Siluman Ular Putih 23 - Warisan Agung(1)


Seorang pemuda tampan berpakaian rompi 
dan celana bersisik warna putih keperakan ten-
gah terlelap di celah-celah dahan batang pohon. 
Tubuhnya yang kekar dengan otot-otot lengannya 
yang bertonjolan dibaringkan begitu saja. Kedua 
telapak tangannya disedekapkan di depan dada. 
Nyaman sekali agaknya pemuda itu menikmati 
mimpinya. Padahal matahari saat itu mulai mem-
bubung tinggi. Untungnya, pohon itu cukup rin-
dang sehingga membuatnya merasa terayomi dari 
sengatan matahari. 
Sementara angin yang bertiup semilir, ma-
kin membuat pemuda berambut gondrong sebahu 
itu makin terlena. Dalam mimpinya seolah ada 
seorang gadis yang hendak mencium bibirnya. 
Sehingga bibir si pemuda tampak monyong-
monyong.... 
"Keakk! Keakkkk!" 
Di atas sana, seekor burung gagak hitam 
hinggap di ranting pohon itu, tepat di atas wajah 
si pemuda. Entah mungkin perut si burung se-
dang mules, sehingga dengan seenaknya mem-
buang hajat yang tak mampu ditahan. 
Crott! 
Pluk! 
Tepat sekali kotoran burung itu mendarat 
di bibir monyong si pemuda berambut gondrong 
yang tak lain Soma alias Siluman Ular Putih. Si 
pemuda kontan tersentak kaget. Mimpinya ten-
tang ciuman dari seorang gadis lenyap seketika. 
Dan ketika meraba bibirnya terasa hangat dan 
basah. Tanpa sadar, tangan yang memegang bibir 
berpindah ke hidung. 
"Slompret! Bau apa ini? Phuahh...!" maki 
Siluman Ular Putih kalang kabut langsung melu-
dah. Ketika menyadari bibirnya didarati kotoran 
burung, mulutnya makin mengumpat serapah tak 
karuan. Segera dicarinya biang musibah itu. Dan 
kepalanya langsung mendongak. 
"Keakk! Keakkk!" 
Seekor burung gagak hitam yang barusan 
buang hajat ternyata masih berada di atas ranting 
pohon. Suaranya yang riuh terdengar nyaring seo-
lah-olah mengejek pemuda gondrong di bawah-
nya. 
"Dasar burung tak tahu adat!  Enak saja 
membuang kotoran di bibir orang!" 
Siluman Ular Putih bergegas mematahkan 
ranting pohon di sampingnya dan hendak melem-
parkannya. Tapi belum sempat melemparkan, bu-
rung gagak itu telah terbang  jauh sambil mem-
perdengarkan suara riuh memekakkan telinga. 
"Brengsek! Alamat macam apa ini sampai 
bibirku kejatuhan kotoran burung!" sungut Soma. 
"Pagi-pagi sudah dikasih sarapan kotoran burung. 
Huh...! Menjengkelkan!" 
Siluman Ular Putih lantas memetik bebe-
rapa daun untuk membersihkan telapak tangan 
kiri maupun bibir. Hidungnya terlihat kembang 
kempis. Kalau saja tidak sedang sibuk member-
sihkan kotoran burung, ingin rasanya tangannya 
memencet hidung kuat-kuat. Celakanya, kotoran 
burung itu tidak hilang begitu saja. Meski telah 
dibersihkan, Soma tetap masih merasakan betapa 
harumnya kotoran burung tadi. 
"Wah...! Kalau tidak cepat-cepat membasuh 
muka dan bibir, bisa-bisa aku pingsan saking tak 
tahannya dengan bau busuk ini. Benar-benar 
brengsek burung itu. Bikin susah orang saja!" 
Walau masih kesal, Siluman Ular Putih se-
gera melompat turun dari pohon. Cukup tinggi 
sebenarnya dahan pohon tempatnya tidur sema-
lam. Namun ringan sekali gerakannya sehingga 
saat kedua kakinya menjejak tanah, sedikit pun 
tidak menimbulkan suara! 
Untuk sesaat Siluman Ular Putih celinguk-
kan ke sana kemari mencari sumber air. Sejurus 
kemudian bibirnya pun tersenyum ketika samar-
samar telinganya mendengar gemericiknya air tak 
jauh dari tempat itu. Tanpa banyak cakap ka-
kinya segera melangkah menuju sumber air. 
Tak jauh dari situ memang terdapat se-
buah sendang kecil yang diapit pohon-pohon be-
sar. Air sendang yang berair jernih kebiru-biruan 
terlihat begitu menantang, membuat Soma tak la-
gi hanya sekadar membasuh, tapi juga ingin 
mandi. Tanpa pikir panjang lagi segera pakaian-
nya dilepas. Dengan satu lompatan. Soma mence-
burkan diri ke dalam sendang.  
Byuuurrr...! 
Air sendang membuncah ke atas, dan men-
ciptakan gelombang-gelombang yang lama kela-
maan menghilang di pinggiran sendang. Sementa-
ra tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo terus 
amblas ke dalam air. Laksana seekor ikan besar 
berwarna putih tubuhnya terus bergerak ke sana 
kemari. Di akhir kenikmatannya, Soma pun me-
nyembulkan kepala di permukaan sendang. 
Namun begitu si pemuda membuka kelo-
pak matanya, tahu-tahu di pinggir sendang telah 
duduk bersila di atas sebuah batu besar seorang 
kakek renta yang usianya sulit sekali ditafsirkan. 
Rambutnya yang memutih digelung ke atas. Se-
dang tubuhnya yang kurus kering seolah tak ber-
tenaga dibungkus kain putih yang diselempang-
kan begitu saja. Meski raut wajahnya terlihat pe-
nuh keriput, namun tampak berseri-seri. Seolah-
olah wajah itu membuat sejuk bagi siapa saja 
yang memandang. 
Sambil duduk bersila, si kakek yang memi-
liki sepasang mata mencorong ini terus memilin-
milin biji-biji tasbih di tangan kanannya. Kedua 
bibirnya pun tak henti-hentinya terus berkemik. 
Entah apa yang sedang diucapkan. 
"Eyang Bromo...!" desis Soma, terkejut. 
Kakek renta yang ternyata Eyang Bromo 
sejenak menghentikan gerakan jari-jari tangannya 
di atas biji-biji tasbih. Perlahan lahan kepalanya 
pun berpaling ke arah Siluman Ular Putih yang 
masih di permukaan sendang. 
Wajah si kakek yang teduh tampak demi-
kian berwibawa. 
Tanpa menunggu perintah Siluman Ular 
Putih segera berenang menuju tepi. Segera dis-
ambarnya pakaian miliknya, lalu cepat bersem-
bunyi di batu besar. Bergegas pakaiannya dike-
nakan kembali. Sejurus kemudian si pemuda te-
lah muncul dan langsung duduk bersimpuh di 
hadapan Eyang Bromo. 
"Terimalah salam hormatku, Eyang!" ucap 
Siluman Ular Putih seraya menelangkupkan ke-
dua telapak tangan di depan hidung. 
"Jangan terlalu banyak peradatan, Cucu-
ku! Sebab peradatan hanyalah semu. Hanya Yang 
Maha Kuasa sajalah yang abadi." 
"Baik, Eyang." 
Siluman Ular Putih menurunkan kedua te-
lapak tangan kembali. Sikapnya yang biasa bersi-
kap ugal-ugalan kini terlihat patuh. Diturutinya 
apa yang diperintahkan Eyang Bromo. Bukannya 
takut, melainkan karena merasa segan dan hor-
mat pada kakek renta di hadapannya. Di samping 
ilmunya tinggi, Eyang Bromo pun sebenarnya 
masih terhitung paman seperguruan Eyang Be-
gawan Kamasetyo di puncak Gunung Bucu. Jadi, 
Siluman Ular Putih pun masih terhitung cucu 
murid tokoh sakti dari Gunung Muncar itu. (Un-
tuk mengetahui siapa Eyang Bromo, baca episode: 
"Sumur Kematian" dan "Pedang Kelelawar Putih"). 
"Bagaimana kabar eyang dan ibumu, Cu-
cuku?" tanya Eyang Bromo tetap dengan suara 
lembut. 
"Baik-baik saja, Eyang. Cuma..., sayang 
ibu masih tetap menjelma menjadi sosok ular pu-
tih. Apakah Eyang dapat membantu agar ibu da-
pat menjelma kembali menjadi manusia?" jelas 
Soma. 
"Hm...!" 
Eyang Bromo menggumam sambil meme-
jamkan matanya. Jari-jari tangannya kembali 
memilin-milin biji tasbih. Cukup lama hal itu di-
lakukan hingga membuat Siluman Ular Putih ti-
dak sabar. Namun untuk mengusik Soma tak be-
rani. Maka terpaksa ia hanya menunggu Eyang 
Bromo membuka suara. 
"Dengarlah, Cucuku! Bila Yang Maha Kua-
sa sudah berkehendak, tak satu pun kekuatan di 
dunia ini yang mampu membendungnya. Tidak 
juga ibumu, eyangmu, maupun aku sendiri. Se-
mua terserah pada titah-Nya. Kita sebagai manu-
sia beriman paling hanya dapat berdoa. Kalau 
memang Tuhan menghendaki ibumu tetap men-
jadi siluman ular, apalagi yang harus diperbuat 
selain menuruti kehendak-Nya? Sebab Dia-lah 
Yang Maha Berkehendak lagi Maha Kuasa. Kena-
pa tidak menggantungkan harapan kita pada-
Nya? Kau paham, Cucuku?" 
Siluman Ular Putih menggeleng perlahan. 
Sulit sekali benaknya mencerna kata-kata yang 
mengandung petuah itu. Ia belum mampu men-
cerna arti kehidupan seperti yang telah dialami 
Eyang Bromo. 
"Eyang maklum. Kau masih muda. Masih 
banyak kesempatan untuk memahami hakekat 
kehidupan ini dengan sebenarnya." 
"Terima kasih atas petuahmu, Eyang. Tapi, 
apakah aku harus menerima begitu saja melihat 
ibuku masih menjelma menjadi siluman ular? Pa-
dahal aku ingin sekali melihat ibu kembali men-
jelma menjadi manusia biasa. Tapi, aku bingung. 
Aku belum tahu, apa yang harus kulakukan, 
Eyang?" ungkap Soma, sedih bila mengingat pen-
deritaan ibunya yang masih menjelma menjadi si-
luman ular. (Untuk mengetahui hal ini, silakan 
baca  episode:  "Misteri Bayi Ular" dan "Murka 
Penghuni Kubur"). 
"Seperti kukatakan tadi, semua tergantung 
titah-Nya. Tergantung kehendak Yang Maha Kua-
sa. Sekarang tak ada pilihan lain, kecuali menu-
rutkan apa yang menjadi kehendak Yang Maha 
Kuasa." 
"Jadi kita harus pasrah begitu saja, 
Eyang?" tuntut Siluman Ular Putih tak puas den-
gan penjelasan Eyang Bromo. 
Eyang Bromo menggeleng perlahan. 
"Tidak begitu, Cucuku. Kau salah dalam 
mengartikan hidup ini. Ketahuilah! Sebagai ma-
nusia berakal, kita tentu harus bisa mengguna-
kannya. Salah besar kalau kita hanya membiar-
kan urusan yang melilit begitu saja. Pasrahnya 
manusia berakal itu bukan seperti orang yang 
hanyut terbawa arus. Bukan itu maksudku, Cu-
cuku. Melainkan kita tetap terus berusaha. Dan, 
jangan lupa. Berdoa! Mintalah petunjuk pada 
Hyang Widi!" 
"Wih...! Aku malah tambah puyeng, Eyang. 
Pusing kepalaku menelan petuahmu," desah So-
ma, jujur. 
"Kalau begitu, mulai hari ini kau harus 
mulai belajar mengerti apa arti kehidupan yang 
sebenarnya, Cucuku!" tegas Eyang Bromo. 
"Aku memang sedang menuju ke sana, 
Eyang. Tapi aku belum mampu mencerna apa arti 
kehidupan yang sebenarnya." 
"Nanti kau akan tahu sendiri, Cucuku. Se-
karang, kau sendiri hendak ke mana?" 
"Oh ya, Eyang?" Siluman Ular Putih tiba-
tiba menepuk jidatnya sendiri. 
"Ada apa, Cucuku?" 
"Dunia persilatan sedang dalam keadaan 
bahaya, kali ini aku harus meminta petunjukmu, 
Eyang," ujar Siluman Ular Putih. 
"Aku sudah tahu. Di pertapaanku, aku 
mendapat firasat kalau dunia persilatan benar-
benar dalam keadaan bahaya oleh munculnya 
Hantu Tangan Api, bukan? Ternyata mata batin-
ku tak salah. Maka untuk itulah aku turun dari 
pertapaan. Dan sungguh kebetulan aku menemu-
kanmu di sini. Jadi, kuharapkan kau harus 
mampu membendung sepak terjang Hantu Tan-
gan Api...!" 
"Aku sudah mencobanya, Eyang. Tapi, tak 
berhasil." 
"Aku mengerti. Kau memang bukan  tan-
dingannya. Tapi bukan berarti kau tak mampu 
mengalahkannya, Cucuku," tandas Eyang Bromo. 
"Maksud, Eyang...?" Siluman Ular Putih 
membelalakkan matanya lebar. Tak mengerti 
maksud ucapan Eyang Bromo. "Apakah Eyang in-
gin memberi petunjuk barang satu dua jurus pa-
daku." 
"Kukira itu perlu kalau kau ingin menga-
lahkannya, Cucuku," sahut Eyang Bromo, mem-
buat mata Siluman Ular Putih membeliak lebar 
saking gembiranya. 
"Terima kasih, Eyang," ucap Siluman Ular 
Putih seraya menelangkupkan kedua telapak tan-
gan di depan hidung. 
"Jangan berlebih-lebihan, Cucuku! Meski 
telah mendapat ilmu yang akan kuturunkan pa-
damu, kau tetap harus waspada terhadap Hantu 
Tangan Api! Sebab, bukan mustahil ia pun memi-
liki ilmu andalan yang dapat mengalahkan ilmu 
yang akan kuturunkan padamu." 
"Tidak mungkin, Eyang. Ilmu yang akan 
Eyang turunkan padaku pasti bukan ilmu semba-
rangan. Tentu merupakan satu ilmu tingkat tinggi 
yang mampu mengalahkan ilmu Hantu Tangan 
Api. Tapi ngomong-ngomong, ilmu apakah yang 
akan Eyang turunkan padaku?" 
"Hm...! Eyang tidak ingin menurunkan ba-
nyak ilmu padamu, Cucuku. Eyang hanya ingin 
menurunkan pukulan 'Lidah Bianglala'." 
"Pukulan 'Lidah Bianglala'...!" desis Silu-
man Ular Putih, tak dapat lagi menyembunyikan 
perasaan gembira. Sebab Soma tahu, pukulan 
'Lidah Bianglala' adalah salah satu ilmu langka 
yang hanya dimiliki Eyang Bromo. 
"Ya! Eyang harap, kau harus mengeluarkan 
ilmu ini seperlunya saja. Jangan dikeluarkan ka-
lau keadaan belum benar-benar terjepit. Kau pa-
ham, Cucuku!" pesan Eyang Bromo. "Iya, Eyang." 
"Nah...! Sekarang, lekas kerahkan Tenaga 
Inti Kapas'-mu! Eyang ingin menyalurkan ilmu 
pukulan 'Lidah Bianglala' ke dalam tubuhmu!" 
perintah Eyang Bromo. 
"Baik, Eyang." 
Tanpa diperintah lagi, Siluman Ular Putih 
segera menuruti. Begitu ilmu 'Tenaga Inti Kapas' 
dikerahkan, seketika Soma merasakan sekujur 
tubuhnya ringan laksana kapas. 
Eyang Bromo mengangguk-angguk seben-
tar. Lalu perlahan-lahan kedua telapak tangannya 
mulai diusap-usap. Saat itu juga kedua telapak 
tangannya berubah jadi putih berkilauan. 
Siluman Ular  Putih memandang takjub. 
Belum pernah rasanya pemuda itu melihat ilmu 
Eyang Bromo sehebat itu. Dari hawa dingin yang 
ditebarkan, ia tahu kalau 'Lidah Bianglala' me-
mang benar-benar suatu ilmu langka. 
"Kerahkan 'Tenaga Inti Kapas'-mu dengan 
kekuatan penuh, Cucuku! Eyang akan menyalur-
kan ilmu pukulan 'Lidah Bianglala' ke dalam tu-
buhmu...." 
* * * 
Siluman Ular Putih memejamkan mata ra-
pat-rapat. Samar-samar sekujur tubuhnya mulai 
dipenuhi asap putih tipis, pertanda telah menge-
rahkan ‘Tenaga Inti Kapas’-nya dengan kekuatan 
penuh. 
"Bersiap-siaplah, Cucuku!" 
Eyang Bromo terus mengusap-usapkan ke-
dua telapak tangan yang kian berubah jadi putih 
berkilauan. Lalu perlahan-lahan sekali kedua te-
lapak tangannya direnggangkan. Seketika, tam-
pak bulatan putih kecil berkilauan di antara ke-
dua telapak tangannya. Tak berapa lama, kedua 
telapak tangannya pun didorong ke depan. 
Seketika itu juga bulatan-bulatan kecil 
berwarna putih berkilauan melesat cepat ke da-
lam perut Siluman Ular Putih. 
Werrr! Werrr! 
Tubuh Siluman Ular Putih kontan bergetar 
hebat. Hampir saja tubuhnya terjengkang kalau 
tidak cepat mengerahkan tenaga dalam kuat-
kuat. Sedang bulatan-bulatan kecil berwarna pu-
tih berkilauan dari kedua telapak tangan Eyang 
Bromo terus mengalir deras ke dalam tubuhnya. 
Siluman Ular Putih saat itu juga merasa-
kan hawa dingin yang bukan kepalang seolah-
olah ingin mengobrak-abrik isi perutnya. Entah 
sudah berapa kali mulutnya mengeluh tertahan. 
Sekujur tubuhnya menggigil hebat. Hampir saja 
pemuda ini tak kuat menahan. Namun karena 
terdorong keinginan kuatnya. Soma tetap memak-
sakan diri. 
"Bertahanlah, Cucuku! Kau pasti kuat," 
ujar Eyang Bromo memberi semangat. Parasnya 
yang renta pun tampak mulai dipenuhi keringat. 
Meski demikian keadaannya tetap kelihatan tegar. 
Sedikit pun tidak mencerminkan rasa letih akibat 
terlalu banyak mengeluarkan tenaga dalam. 
Mendengar ucapan Eyang Bromo, Siluman 
Ular Putih memilih diam. Karena dengan cara itu 
sajalah perhatiannya dapat dipusatkan. Sambil 
menggeletukkan gerahamnya kuat-kuat, dico-
banya untuk memompa semangat yang hampir 
luruh karena didera hawa dingin yang terus men-
gaduk-aduk dalam tubuhnya. 
"Sekarang kendalikanlah hawa dingin yang 
mengeram dalam tubuhmu, Cucuku!" 
Perlahan-lahan Eyang Bromo menurunkan 
kedua telapak tangannya seperti semula. Semen-
tara,  hawa dingin yang mengaduk-aduk dalam 
tubuh Siluman Ular Putih kian hebat. Mulutnya 
mengeluarkan keluhan berkali-kali saking tak ta-
han didera hawa dingin yang mengaduk-aduk da-
lam tubuhnya. Meski demikian, Siluman Ular Pu-
tih tetap memperhatikan petunjuk-petunjuk 
Eyang Bromo untuk mengendalikan hawa dingin 
dalam tubuhnya. 
Sepeminum teh kemudian, Siluman Ular 
Putih mulai dapat mengendalikan hawa dingin 
dalam tubuhnya. Kini wajah murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo betapa piasnya. 
"Syukur. Akhirnya kau dapat juga men-
gendalikan hawa dingin dalam tubuhmu, Cucu-
ku. Sekarang, cobalah hantam batang pohon itu!" 
tunjuk Eyang Bromo ke batang pohon yang tum-
buh rindang di hadapannya. "Baik, Eyang." 
Siluman Ular Putih cepat mengalihkan 
perhatian ke arah sasaran. Kedua telapak tan-
gannya ditarik ke belakang seiring tarikan napas-
nya yang dalam. Untuk sesaat, pukulan 'Lidah 
Bianglala' yang baru saja dipelajarinya disalurkan 
ke kedua telapak tangan. 
"Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Silu-
man Ular Putih menghantamkan kedua telapak 
tangan ke depan. Seketika meluruk dua larik si-
nar putih berkilauan yang menjulur-julur dahsyat 
laksana bianglala ke depan. Sebelum mengenai 
sasaran, mendadak dua larik sinar putih dari ke-
dua telapak tangan Siluman Ular Putih tadi men-
gembang dan membungkus batang pohon. 
Besss! 
Krekk! Krekkk! 
Dua gulungan sinar putih dari kedua tela-
pak tangan Siluman Ular Putih terus membung-
kus batang pohon. Dan saat Soma menurunkan 
kedua telapak tangannya, gulungan sinar putih 
itu pun sirna. Sementara batang pohon itu pun 
luruh ke tanah. Batang dan daun-daunnya lang-
sung hancur berkeping-keping dengan warna be-
rubah menjadi kelabu! 
Siluman Ular Putih tertegun, seolah tak 
percaya dengan apa yang dilihat. 
"Edan! Tak kusangka pukulan 'Lidah Bian-
glala' demikian hebat. Hm...! Kukira aku sekarang 
sudah mampu menghadapi kehebatan Hantu 
Tangan Api," gumam Siluman Ular Putih. 
"Bagus! Untuk tahap pertama, kau sudah 
cukup bagus, Cucuku. Nanti kalau dua larik si-
nar putih dari kedua telapak tanganmu sudah 
dapat kau ubah menjadi dua gulungan asap, baru 
kau dapat menguasai pukulan 'Lidah Bianglala' 
seperti aku menguasai pukulan itu," jelas Eyang 
Bromo dengan wajah berseri. Meski wajah kakek 
renta itu tampak masih pias, namun tetap saja 
tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya. 
"Terima kasih, Eyang. Tapi, apakah aku 
dapat mencapai tingkat yang Eyang maksudkan 
dalam waktu singkat?" tanya Siluman Ular Putih 
penasaran. 
"Tentu. Asal kau giat berlatih. Untuk itu, 
kau harus terus berlatih agar ilmu yang kuturun-
kan ini benar-benar dapat digunakan untuk me-
negakkan kebenaran di muka bumi ini." 
"Aku akan terus mencobanya sampai da-
pat, Eyang. Sesulit apa pun tingkatan yang kau 
maksud, pasti aku akan berusaha mencapainya," 
tandas Siluman Ular Putih bersemangat. 
"Bagus! Aku senang sekali mendengar ke-
sanggupanmu. Sekarang, kukira sudah waktunya 
aku kembali ke Curug Muncar. Harap jaga dirimu 
baik-baik, Cucuku!" 
"Kenapa Eyang buru-buru? Kulihat wajah 
Eyang pucat. Baiknya Eyang istirahat dulu me-
mulihkan tenaga dalam dulu!" cegah Siluman 
Ular Putih cemas. 
"Aku dapat menjaga diri, Cucuku! Selamat 
tinggal!" ucap Eyang Bromo kemudian. 
Saat itu juga, Eyang Bromo menutulkan 
kakinya ke tanah. Dan seketika, sosoknya yang 
tinggi kurus pun melesat cepat dan segera meng-
hilang di kerimbunan depan sana. 
"Hebat bukan main ilmu meringankan tu-
buhnya Eyang Bromo. Meski aku mengerahkan 
ilmu meringankan tubuh 'Menjangan Kencono', 
belum tentu dapat menyusulnya. Hm...! Pantas 
saja ia sangat ditakuti di dunia persilatan," gu-
mam Siluman Ular Putih bcrdecak kagum. "Kalau 
aku sudah menguasai pukulan 'Lidah Bianglala' 
aku harus secepatnya menemukan Hantu Tangan 
Api. Aku tak ingin tokoh sesat dari Bukit Pedang 
itu membuat onar di dunia persilatan!" 
Di dalam sebuah goa tersembunyi di kawa-
san hutan kecil, seorang lelaki tua berbaju jubah 
hitam dan bertopi panjang juga berwarna hitam 
tengah duduk berhadap-hadapan dengan seorang 
gadis berbaju ketat warna hijau. Mereka saling 
menatap sebentar, namun si gadis menundukkan 
kepala dalam-dalam. 
Si gadis mendesah, seolah ada sesuatu 
yang mengganjal hatinya. Sikapnya serba salah, 
tak tahu apa yang harus dikerjakan. 
"Aneh...!" desis si gadis, nyaris tak kentara. 
"Kenapa hatiku jadi risau begini? Kenapa aku su-
lit sekali melupakan Siluman Ular Putih?" 
Memang, sejak berpisah sekaligus berteng-
kar dengan Siluman Ular Putih, hati gadis yang 
tak lain Arum Sari kian dililit perasaan bingung 
tak menentu. Meski merasa kesal terhadap sikap 
Soma, namun sebenarnya dalam hatinya sangat 
mencintai. 
"Ada apa Arum? Kulihat kau gelisah sekali. 
Apa ada sesuatu yang membebani  pikiranmu?" 
tanya lelaki tua berbaju besar warna hitam yang 
tak lain Pendidik Ulung.  
Arum Sari tak mampu menjawab perta-
nyaan Pendidik Ulung. Wajahnya malah kian dis-
embunyikan dalam-dalam menekuri tanah di ba-
wahnya. Bibirnya pun digigit kuat-kuat. Meski tak 
berkata sepatah kata pun, namun Pendidik Ulung 
sudah tahu kalau si gadis tengah memikirkan se-
suatu. 
"Apa kau masih teringat Siluman Ular Pu-
tih?" tanya Pendidik Ulung menduga-duga. 
Arum Sari mendesis. Kepalanya menenga-
dahkan sebentar. Tampak dari wajahnya yang 
pucat tergambar sebuah kegetiran hidup yang su-
lit dimengerti. 
"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Arum? 
Jadi benar, kau sedang memikirkan Siluman Ular 
Putih?" desak Pendidik Ulung, seperti dapat 
membaca apa yang tengah membebani hati Arum 
Sari. 
Si gadis menggeleng perlahan. 
"Jangan berdusta. Arum! Aku tahu, kau 
pasti sedang memikirkan bocah gondrong itu." 
Arum Sari tetap bungkam, seperti mati ku-
tu. Di samping itu, ia berpikir tak ada gunanya 
membicarakan masalah dirinya dengan Siluman 
Ular Putih. Apalagi Soma kelihatannya tidak begi-
tu menyukainya. Bahkan bisa jadi pemuda itu le-
bih menyukai Ratu Adil. (Untuk lebih jelasnya 
mengenai hal ini, silakan baca episode sebelum-
nya: "Hantu Tangan Api"). 
"Paman! Sebenarnya apa yang ingin Paman 
bicarakan?" tanya Arum Sari tiba-tiba. 
Kini gantian Pendidik Ulung yang bung-
kam. Matanya hanya menatap Arum Sari untuk 
beberapa saat, lalu mendesah panjang. 
"Ada apa, Paman? Tampaknya ada sesuatu 
yang sedang kau sembunyikan?" desak Arum Sa-
ri. 
Pendidik Ulung menggeleng perlahan. Se-
mentara benaknya tengah berkecamuk tentang 
sebuah keinginan. "Aku sebenarnya ingin men-
gangkatmu menjadi muridku, Arum. Tapi sayang, 
aku sudah telanjur dikecewakan Prameswara dan 
Samber Nyowo. Jadi, aku harus hati-hati untuk 
memilih siapa saja yang akan kujadikan murid. 
Aku tak ingin dikecewakan untuk yang ketiga 
kali. Untuk itu aku harus menguji calon muridku 
terlebih dulu...." 
"Kenapa, Paman? Kenapa Paman meman-
dangiku seperti itu?" sentak Arum Sari, menga-
getkan Pendidik Ulung yang berkata-kata sendiri 
dalam hati. 
"Tidak ada apa-apa. Arum. Aku hanya...." 
"Ah...! Pasti Paman sedang menyembunyi-
kan sesuatu. Kalau tidak, mustahil Paman segu-
gup ini," terabas Arum Sari. 
Pendidik Ulung menggeleng-geleng. Bibir-
nya dicoba dipaksakan untuk tersenyum. "Tapi, 
Paman...."  
"Tunggu!" 
Tiba-tiba Pendidik Ulung mengisyaratkan 
Arum Sari untuk diam. Sedang sepasang matanya 
yang kelabu kontan jelalatan ke sana kemari. 
Samar-samar telinganya memang mendengar 
langkah-langkah halus di sekitar goa tempat me-
reka bersembunyi. 
"Ada  apa, Paman?" bisik Arum Sari, ber-
tanya. 
"Tampaknya ada beberapa orang tengah 
melintas di sekitar gua ini. Arum," sahut Pendidik 
Ulung, memberi tahu. 
"Ah.... Jangan-jangan bajingan-bajingan itu 
lagi, Paman?" duga Arum Sari cemas. 
"Kalau mereka, aku tak begitu mengkhawa-
tirkan, Arum. Tapi kalau bangkotan tua yang ber-
gelar Hantu Tangan Api sudah mengetahui tem-
pat persembunyian kita, wah...! Bisa celaka!" 
Arum Sari diam tak menyahut. Kalau Pen-
didik Ulung yang sudah sangat terkenal di dunia 
persilatan sampai gentar menghadapi seseorang, 
berarti sulit dibayangkan betapa tingginya ilmu 
orang itu. Kalau tidak, mustahil Pendidik Ulung 
jadi gentar seperti itu. Begitu pikir Arum Sari. 
"Sebentar! Aku ingin melihatnya keluar. 
Arum." 
Pendidik Ulung segera berkelebat keluar 
dari gua tempat persembunyiannya. Hanya dalam 
sekelebatan saja, sosoknya telah menghilang di 
balik mulut gua. 
Sejenak Arum Sari seperti tidak tahu apa 
yang harus diperbuat. Namun karena terdorong 
rasa penasaran untuk mengetahui siapa orang 
yang ditakuti Pendidik Ulung, tubuhnya segera 
berkelebat menyusul. 
* * * 
Dari balik semak belukar, Pendidik Ulung 
dan Arum Sari melihat seorang lelaki bertubuh 
tinggi besar dengan pakaian serba hijau tengah 
memandang berkeliling tak jauh dari gua. Usia le-
laki berparas bengis itu kira-kira empat puluh ta-
hun. Rambutnya panjang sebahu dengan ikat ke-
pala dari kain berwarna hijau pula. Sedang sepa-
sang matanya yang merah menyala terus menya-
pu sekitarnya. 
Tak jauh dari lelaki berperangai kasar itu, 
tampak pula puluhan lelaki kasar yang juga ber-
pakaian serba hijau yang berdiri di samping kuda 
masing-masing. 
"Setan Haus Darah...!" desis Arum Sari. 
"Sssstt...!" 
Buru-buru Pendidik Ulung mengisyaratkan 
Arum Sari untuk diam dengan menempelkan te-
lunjuk di bibirnya. Tanpa banyak membantah, si 
gadis menuruti perintah. 
"Surono! Di mana Arum Sari yang pernah 
kau lihat itu, he?!" bentak Setan Haus Darah, ga-
rang. 
Seorang lelaki kasar yang juga berpakaian 
serba hijau segera maju menghampiri lelaki ber-
tubuh tinggi besar yang tak lain Setan Haus Da-
rah. Memang, mereka semua tergabung dalam 
Pasukan Laskar Hijau yang akhir-akhir ini mere-
sahkan para penduduk kampung. 
"Ketua! Dua hari yang lalu aku pernah me-
lihat gadis itu tengah berlatih silat di sekitar hu-
tan ini. Aku yakin, gadis itu dan Pendidik Ulung 
pasti bersembunyi di sekitar sini," jawab Surono 
seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. 
"Tapi buktinya mana? Dari tadi aku tak 
menemukan batang hidung gadis itu?!" 
Surono gelagapan. Matanya pun makin liar 
memperhatikan keadaan sekitar. 
"Sekali ini kau berbohong, kau akan tahu 
rasa, Surono!" bentak Setan Haus Darah sarat 
ancaman. 
"Tid.... Tidak, Ketua. Dua hari yang lalu 
akan benar-benar melihat gadis itu sedang berla-
tih silat di sekitar hutan ini...," tegas Surono ge-
metaran. 
"Huh!" Setan Haus Darah mendengus gu-
sar. Pandangan matanya kembali beredar ke se-
genap penjuru. 
"Buat apa kau memiliki anak buah tak be-
cus begitu, Singgih! Bunuh saja dia biar tahu ra-
sa!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan garang yang 
disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah 
ke tempat itu. Di kejap kemudian, bayangan itu 
telah berdiri tak jauh dari Setan Haus Darah. Ia 
adalah seorang lelaki tua berpakaian ringkas 
warna merah menyala. Dari rambut, bulu mata, 
alis mata, dan juga jenggotnya yang panjang juga 
berwarna merah menyala. Sepasang matanya 
yang melesak di antara tulang-tulang pipinya 
yang bertonjolan mencorong beringas. 
Sekilas sosok lelaki tua itu memang seperti 
tak bertenaga. Sekali dorong, tentu tubuh kurus 
keringnya akan terjungkal. Namun kalau menilik 
raut wajah dan juga sorot matanya, jelas sekali 
kalau kepandaiannya tak bisa dianggap semba-
rangan. Apalagi dengan kemunculannya yang tak 
terduga-duga. Buktinya tadi, dalam sekejap so-
soknya telah berdiri di hadapan Selan Haus Da-
rah. 
"Guru...!" sambut Setan Haus Darah, men-
desis. 
Hantu Tangan Api hanya mendengus ang-
kuh. Sedikit pun tidak menanggapi ucapan mu-
ridnya. Wajahnya yang garang malah dialihkan ke 
arah tangan kanan muridnya. 
Surono menggigil di tempatnya. Parasnya 
kontan pucat pasi. Tanpa sadar kakinya melang-
kah mundur. 
"Kambing jelek macam begitu saja dipeliha-
ra!"desis Hantu Tangan Api. 
Sementara Pendidik Ulung yang melihat 
kemunculan Hantu Tangan Api jadi gelisah. 
"Celaka! Kalau bangkotan tua itu muncul, 
bisa berabe semua ini," keluh Pendidik Ulung da-
lam hati. 
Arum Sari  yang belum mengenal Hantu 
Tangan Api sedikit pun tidak menunjukkan rasa 
takut. Malah terus diperhatikannya tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu dengan seksama. 
"Katakan! Dengan cara apa kau ingin me-
nemui ajalmu, Kambing Jelek!" bentak Hantu 
Tangan Api. 
Surono terus melangkah mundur. Hatinya 
makin kecut bukan main. 
"Ampun..., Ketua Besar! Aku.... Aku tidak 
berbohong. Aku.... Aku...," sahut Surono gugup. 
"Setan! Aku tidak menyuruhmu minta am-
pun, tahu?! Aku menyuruhmu mengatakan kema-
tian macam apa yang kau inginkan," bentak Han-
tu Tangan Api tak dapat lagi mengendalikan ama-
rah. 
Tiba-tiba saja Hantu Tangan Api mendo-
rong kedua telapak tangan ke depan. Saat itu ju-
ga dua larik kobaran api melesat dari kedua tela-
pak tangan Hantu Tangan Api, siap mengganyang 
tubuh Surono. 
"Ja.... Jangan...!" pekik Surono ketakutan. 
Namun belum sempat lelaki itu bertindak 
lebih lanjut, tubuhnya telah diganyang kobaran 
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api. 
Tanpa ampun, Surono kontan menjerit-jerit 
menyayat. Tubuhnya limbung ke sana kemari 
sambil berusaha mengebut-ngebutkan api yang 
membakar sekujur tubuhnya. Namun sayang, 
usahanya sia-sia. Makin lama kobaran api yang 
memanggang tubuhnya makin hebat. 
Pendidik Ulung dan Arum Sari yang meli-
hat kekejian itu jadi tak dapat mengendalikan diri 
lagi. Maka demi pertimbangan kemanusiaan, me-
reka segera melompat keluar dari tempat persem-
bunyian. Namun agaknya, untuk menolong Suro-
no agaknya sudah tak mungkin. Lelaki itu sudah 
ambruk dengan tubuh melejang-lejang. 
"Biadab! Sungguh kejamnya kau memper-
lakukan orang itu seperti ini. Apa salahnya, 
hah?!" bentak Pendidik Ulung begitu mendarat 
tak jauh dari tubuh Surono bersama Arum Sari. 
"Tua bangka tak berperasaan! Kau tak 
ubahnya seperti iblis dari liang kubur. Tak mung-
kin aku membiarkan sepak terjangmu yang telen-
gas itu begitu saja!" hardik Arum Sari. 
Mendengar bentakan-bentakan di samping, 
Hantu Tangan Api dan semua yang berada di 
tempat itu segera berpaling ke arah datangnya 
suara. Tak jauh dari situ, Pendidik Ulung dan 
Arum Sari tengah memandang Hantu Tangan Api 
penuh kemarahan. Sedang tubuh Surono yang 
terbakar tampak sudah tak bergerak-gerak lagi 
dalam keadaan hangus terbakar! 
Melihat siapa yang datang, Hantu Tangan 
Api kontan tertawa bergelak. Sambil berkacak 
pinggang, tokoh sesat dari Bukit Pedang ini terus 
memperhatikan Pendidik Ulung dan Arum Sari 
dengan sinar mata meremehkan. 
"Jangan banyak bacot! Kalian juga akan 
mengalami nasib sama," geram Hantu Tangan 
Api. "Apalagi kau telah mempermalukan muridku, 
Pendidik Ulung! Kenapa kau tak lekas muncul, 
hingga aku sampai menurunkan tangan maut pa-
da kambing jelek itu?" 
"Hantu Tangan Api! Sejak dulu kau selalu 
menebar angkara murka. Kaulah yang selalu 
menjadi biang petaka dunia persilatan. Hari ini, 
aku tak mungkin membiarkan sepak terjangmu 
begitu saja! Meski kesaktianmu setinggi langit se-
kalipun, jangan dikira aku takut menghadapimu, 
Hantu Tangan Api!" bentak Pendidik Ulung sengit. 
Melihat gelagat yang kurang baik, Setan 
Haus Darah segera memerintahkan anak buah-
nya untuk mengurung tempat pertarungan. Me-
reka siap membantu gurunya bila keadaan me-
maksa. 
"Mundur! Biar aku yang menghadapi me-
reka!" geram Hantu Tangan Api, beringas. 
Setan Haus Darah dan anak buahnya sege-
ra melangkah mundur. Dari kejauhan mereka te-
rus menyaksikan apa yang akan dilakukan Ki 
Banaspati alias Hantu Tangan Api" 
"Lagakmu pongah sekali, Hantu Tangan 
Api! Sayang sekali, kau dilahirkan hanya untuk 
menjadi biang malapetaka dunia persilatan!" desis 
Pendidik Ulung. 
"Bajingan! Bacotmu kian memerahkan te-
lingaku, Pendidik Ulung! Kali ini aku benar-benar 
menginginkan nyawa busukmu, Tua Bangka Ke-
parat!" geram Hantu Tangan Api tak main-main. 
"Kakek jahat! Kau pikir kami takut dengan 
ancamanmu? Kalau kau ingin membunuh kami, 
lakukanlah! Jangan hanya mengancam saja," ejek 
Arum Sari merasa panas. 
"Gadis bengal! Aku memang akan mengha-
bisi kalian semua. Dan, kaulah orang pertama 
yang akan menjadi korbanku!" hardik Hantu Tan-
gan Api. 
Maka tanpa banyak cakap lagi, tokoh sesat 
dari Bukit Pedang ini segera menghantamkan ke-
dua telapak tangan ke arah sasaran. 
Dua larik kobaran api yang ditingkahi ha-
wa panas luar biasa yang berkesiuran kembali ke-
luar dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api. 
Kali ini tampak begitu menggiriskan disertai sua-
ra bergemeletakkan. 
Werrr! Werrr! 
Pendidik Ulung dan Arum Sari terkesiap. 
Melihat kobaran api yang demikian dahsyat, me-
reka tahu kalau Hantu Tangan Api tidak main-
main dengan ancamannya. 
Tanpa buang-buang waktu lagi, Pendidik 
Ulung dan Arum Sari segera bertindak dengan 
melemparkan tubuh masing-masing ke samping. 
Sehingga, kobaran api dari kedua telapak tangan 
Hantu Tangan Api terus melabrak ke belakang, 
langsung menghantam batang pohon. 
Brakkk! 
Batang pohon di belakang Pendidik Ulung 
dan Arum Sari kontan dilalap kobaran api yang 
menyala-nyala. Suaranya terdengar bergemele-
takkan saat ranting-ranting dan daun-daun po-
hon itu terbakar. Hanya dalam waktu yang tidak 
lama batang pohon itu pun tumbang! 
Blammm! 
Debu-debu kontan beterbangan tinggi 
menghalangi pandangan. Gumpalan-gumpalan 
asap hitam yang ditingkahi percikan api yang 
menyala menebar menghambur ke udara. 
"Bangsat! Kalian pikir mudah mengecoh se-
ranganku, hah?! Jangan mimpi! Kalian tetap akan 
modar di tanganku!" geram Hantu Tangan Api 
murka bukan main ketika debu dan asap yang 
menghalangi pandangan mata tertiup angin. 
"Kakek telengas! Lakukan saja kalau kau 
mampu! Kenapa banyak bicara?!" ejek Arum Sari. 
Sekali menggerakkan tangannya, pedang pusaka 
yang menggelantung di pinggangnya telah ter-
genggam di tangan kanan. 
"Hantu Tangan Api! Kau memang benar-
benar memuakkan! Enak benar kau bicara hidup 
mati seseorang! Apa dipikir, kau yang menguasai 
nyawa orang?!" ejek Pendidik Ulung. 
Diam-diam lelaki tua ini pun mulai me-
nyiapkan jurus andalan 'Tangan Maut Dewa 
Kayangan' disertai pengerahan tenaga dalam. Lu-
tut kanannya segera diangkat dalam-dalam. Se-
dang kedua telapak tangannya direntangkan bak 
sayap burung garuda. 
"Jurus picisan 'Tangan Maut Dewa Kayan-
gan' macam itu mana mampu menghadapi seran-
ganku!" 
Di akhir ejekannya, Hantu Tangan Api se-
gera memutar tubuhnya sedemikian rupa dengan 
kedua telapak tangan meliuk-liuk liar laksana tar-
ing-taring tajam kalajengking. Dengan putaran 
tubuhnya, perlahan-lahan mulai didekatinya 
Pendidik Ulung. 
"Hea!" 
Bed...! 
Tiba-tiba Hantu Tangan Api melontarkan 
tendangan memutar. Angin keras kontan berke-
siur menampar-nampar kulit tubuh. Namun Pen-
didik Ulung tak kalah sigap. Kedua tangannya ce-
pat mengibas dari dalam keluar! 
Plakk! Plakkk! 
Tubuh kedua orang itu sama-sama berge-
tar hebat. Pendidik Ulung merasakan lengan tan-
gannya ngilu. Demikian juga yang dialami Hantu 
Tangan Api. Namun tubuh Hantu Tangan Api 
hanya sempat bergetar sebentar, membuktikan 
kalau tenaga dalamnya masih setingkat lebih 
tinggi dibanding lawan. 
"Kakek telengas! Makanlah pedangku! 
Hea!" 
Diiringi teriakan nyaring. Arum Sari yang 
merasa penasaran melihat sepak terjang Hantu 
Tangan Api, cepat menerjang ke depan dengan 
pedang di tangan. Tidak tanggung-tanggung lang-
sung dikeluarkannya jurus andalan 'Tongkat Se-
laksa Badai'. Maka saat itu juga tercipta gulun-
gan-gulungan sinar pedang di tangan Arum Sari 
yang seperti mengeluarkan bunyi menggemuruh 
ditingkahi amukan badai! 
Melihat serangan datang, Hantu Tangan 
Api yang sebenarnya ingin menyerang Pendidik 
Ulung terpaksa harus membelokkan arah seran-
gan. Begitu merasakan angin kencang menampar-
nampar kulit tubuh, tanpa menoleh sama sekali 
ke arah Arum Sari, tiba-tiba tubuhnya berputar 
sedemikian rupa. Dan tahu-tahu, tendangan me-
mutarnya telah mengancam perut Arum Sari. 
"Ah...!"  
Arum Sari terkejut bukan main. Gadis ini 
tidak menyangka akan mendapat serangan demi-
kian cepat. Untuk menghindar rasanya tidak 
mungkin. Karena, serangan Hantu Tangan Api 
datangnya cepat tak terduga-duga. Akibatnya.... 
Bukkk!  
"Aaakh!" 
Perut Arum Sari pun jadi sasaran empuk 
serangan Hantu Tangan Api. Diiringi pekik kesa-
kitan tubuhnya  terlempar jauh ke belakang dan 
terbanting keras. 
Brukkk! 
Arum Sari kalap bukan main sambil men-
dekap perutnya kuat-kuat. Matanya berkunang-
kunang. Darah segar tampak mengalir dari sudut-
sudut bibir. Tendangan kaki Hantu Tangan Api 
tadi memang benar-benar membuat isi perutnya 
terguncang! 
"Hantu Tangan Api! Jangan banyak lagak 
di hadapan gadis kemarin sore! Akulah lawanmu!" 
teriak Pendidik Ulung keras. 
Tanpa banyak cakap lagi. Pendidik Ulung 
segera menerjang Hantu Tangan Api. Kedua tela-
pak tangannya yang berwarna putih berkilauan 
siap melontarkan pukulan maut. Begitu kedua te-
lapaknya menghantam ke depan, maka melesat 
dua larik sinar putih berkilauan menerabas ke 
depan, siap melabrak tubuh Hantu Tangan Api. 
Wesss! Wesss! 
Hantu Tangan Api tentu saja tak mau ka-
lah. Kedua telapak tangannya yang telah berubah 
jadi merah menyala segera menghantam ke depan 
memapak serangan Pendidik Ulung. Maka itu dua 
gulungan bola api ditingkahi hawa panas bukan 
main yang meluncur dari kedua telapaknya lang-
sung melabrak dua larik sinar putih dari kedua 
telapak tangan Pendidik Ulung. 
Derrr! Derrr! 
Terdengar dua kali ledakan disertai perci-
kan bunga api yang ketika pukulan andalan mas-
ing-masing berbenturan. Seketika tempat perta-
rungan jadi terang benderang. Batang-batang po-
hon yang banyak berjajar di sekitar tempat perta-
rungan jadi porak-poranda. 
Tepat ketika terjadi ledakan, tubuh Pendi-
dik Ulung terjajar beberapa langkah ke belakang 
dengan paras pucat pasi. Kedua telapak tangan-
nya melepuh. Sementara seisi dadanya terasa ter-
bakar hawa panas yang bukan kepalang! Buru-
buru diambilnya beberapa obat pulung berwarna 
kuning dari dalam jubah dan ditelannya. 
Sedangkan Hantu Tangan Api yang tubuh-
nya tadi juga sempat terjajar ke belakang hanya 
tertawa bergelak. Puas sekali ia melihat basil se-
rangannya kali ini. Parasnya yang garang tampak 
demikian mengerikan dengan sepasang mata 
mencorong sarat akan kekejian. 
Arum Sari yang melihat Pendidik Ulung 
mengalami luka dalam cukup lumayan jadi kalap. 
Apalagi tubuhnya pun telah terluka oleh serangan 
Hantu Tangan Api. Tanpa banyak pikir panjang, 
segera dikeluarkannya pukulan andalan 'Aji Gada 
Bumi'. Maka begitu kedua telapak tangan murid 
Nenek Rambut Putih ini pun telah berubah jadi 
kuning, diiringi teriakan nyaring dihantamkannya 
dengan kekuatan penuh. 
"Hea!"  
Dua larik sinar kuning menyilaukan mata 
meluruk dari kedua telapak tangan Arum Sari, 
siap melabrak tubuh Hantu Tangan Api.  
Wesss! Wesss! 
Sebagai tokoh tingkat tinggi, Hantu Tangan 
Api cepat tanggap. Maka begitu merasa hawa din-
gin berkesiur menyerang punggung, lelaki ini jadi 
murka bukan main. Parasnya yang garang jadi 
mengelam. Ini menandakan kalau tokoh sesat da-
ri Bukit Pedang tak dapat lagi mengampuni kesa-
lahan lawan. Saat itu juga dikerahkannya tenaga 
dalam sepenuhnya. Begitu tubuhnya memutar 
sedikit ke samping kedua tangannya menghentak. 
Derrr! Derrr! 
Terdengar ledakan dahsyat begitu gulun-
gan dua bola api dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api melabrak dua larik sinar kuning ber-
kilauan dari kedua telapak tangan Arum Sari. Pa-
da saat yang sama juga terdengar jerit menyayat 
hati dari mulut Arum Sari. Tubuhnya langsung 
melayang jauh ke belakang bak layangan putus 
talinya. Sejenak tubuh ramping murid Nenek 
Rambut Putih itu berputar-putar, lalu terbanting 
keras 
Brukkk! 
Arum Sari menjerit tertahan. Tangannya 
tampak menggapai-gapai berusaha untuk menca-
ri pegangan agar bisa bangkit. Namun sayang, 
tubuhnya keburu luruh ke tanah bersamaan den-
gan meluncurnya cairan merah darah dari mu-
lutnya. Setelah itu tubuhnya tak bergerak-gerak 
lagi. Entah pingsan, entah tewas! 
"Bajingan! Kau apakan gadis itu, Tua 
Bangka Keparat!" maki Pendidik Ulung kalap bu-
kan main. Sekali lihat saja ia tahu kalau gadis itu 
menderita luka dalam hebat yang bisa saja me-
renggut nyawa. 
"Kau lihat sendiri nanti, apa yang menimpa 
gadis bengal itu! Sekarang giliranmulah yang ha-
rus modar di tanganku," desis Hantu Tangan Api 
sarat hawa membunuh. 
Pendidik Ulung geram bukan main. Wajah-
nya yang teduh mendadak mengelam, pertanda 
tak dapat lagi mengendalikan hawa amarah. Buk-
tinya saja, jurus andalannya segera dikeluarkan 
'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'. Itu terlihat dari 
tubuhnya yang meliuk-liuk indah. Jari-jari tan-
gannya pun mulai menggurat-gurat udara. Jari-
jari tangan kanan menggurat-gurat dari kanan ke 
kiri. Sedang jari-jari tangan kiri menggurat-gurat 
dari kiri ke kanan. Dan dari setiap guratan jari-
jari tangan ternyata mampu mengeluarkan bunyi 
mencicit yang amat memekakkan telinga. 
Hantu Tangan Api menyurutkan langkah 
ke belakang. Sepasang matanya yang merah kon-
tan membelalak liar. 
"'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'...!" desis 
Hantu Tangan Api penuh takjub. 
"Bagus, kalau kau masih ingat dengan ju-
rusku. Berarti aku tak sia-sia kalau nyawa bu-
sukmu melayang ke akhirat," desis Pendidik 
Ulung. 
Hantu Tangan Api kini tertawa bergelak. 
"Jangan bangga dulu, Pendidik Ulung! Mari 
kita lihat, apakah kau sanggup menahan pukulan 
'Gemuruh Badai Api'-ku?" tukas Hantu Tangan 
Api, tak kalah gertak. 
"Jangan banyak bacot! Keluarkanlah puku-
lan andalanmu itu! Aku ingin lihat, sampai di 
mana kehebatanmu!" balas Pendidik Ulung sengit. 
"Keparat! Kau akan modar, Pendidik Ulung! 
Makanlah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan 
Api menghentakkan kedua telapak tangan ke de-
pan, membuat dua gulungan api yang berkobar-
kobar melesat cepat ke depan. Angin kencang 
yang menderu-deru pun turut menyertai datang-
nya kobaran api sebelum mengenai sasaran! 
Werrr! Werrr! 
Pendidik Ulung terkesiap kaget. Melihat da-
tangnya serangan yang demikian hebat, ia tahu 
kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini telah 
menggunakan pukulan andalan dengan kekuatan 
tenaga dalam penuh. Maka tanpa banyak pikir 
panjang lagi, jari-jari telunjuk tangannya yang da-
ri tadi menggurat-gurat di udara segera diperte-
mukan.  
Classs! 
Seketika selarik sinar putih yang berkerilap 
melesat dari ujung telunjuk Pendidik Ulung den-
gan kecepatan mengagumkan. Akibatnya, puku-
lan Hantu Tangan Api yang meluncur cepat lang-
sung terpapak. 
Besss! 
Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat 
pertemuan dua tenaga dalam tingkat tinggi baru-
san. Namun hebatnya, tubuh kedua orang itu 
sama-sama bergetar hebat. Tanah di sekitar tem-
pat pertarungan pun berguncang seperti terjadi 
gempa dahsyat. 
Sementara tubuh Pendidik Ulung perlahan-
lahan mulai tersurut ke belakang. Darah segar 
mulai mengalir di sudut-sudut bibir, pertanda to-
koh sakti dari Lembah Kalierang itu menderita 
luka dalam cukup parah. 
Namun pendidik Ulung tak mau menerima 
begitu saja. Dengan menggeletukkan geraham 
kuat-kuat, kekuatan tenaga dalamnya kian di-
tambah. 
Di tempatnya, Hantu Tangan Api malah 
tertawa bergelak. Sedikit pun ia tak merasa kewa-
lahan menghadapi Pendidik Ulung. Malah gulun-
gan api yang berkobar-kobar dari kedua telapak 
tangannya kian menghimpit sinar putih berkeri-
lap dari ujung jari-jari tangan Pendidik Ulung. 
Akibatnya, tubuh Pendidik Ulung kian ter-
surut ke belakang. Wajahnya telah berubah pias. 
Apalagi yang harus diperbuat? Sulit rasanya bagi 
Pendidik Ulung menahan gelombang hawa panas 
dari kobaran api tangan tokoh sesat dari Bukit 
Pedang itu. 
"Celaka! Kalau begini terus aku bisa modar 
di tangan manusia bejat ini. Aku harus segera 
bertindak...," gumam Pendidik Ulung, membatin. 
Tanpa diduga Hantu Tangan Api, tiba-tiba 
Pendidik Ulung menjejakkan kakinya ke tanah. 
Tubuhnya langsung melenting tinggi ke udara, 
hingga membuat gulungan kobaran api dari ke-
dua telapak tangan Hantu Tangan Api terus me-
nerabas, menghantam batang pohon di belakang 
Pendidik Ulung tadi. 
Brasss! 
Seketika pohon itu tumbang. Ranting-
ranting dan daun-daunnya terbakar hangus! 
Masih berada di udara, Pendidik Ulung pun 
merogoh sakunya, mengambil beberapa benda 
sebesar telur puyuh. Langsung dilemparkannya 
benda-benda itu ke arah Hantu Tangan Api. 
Sepertinya yang telah diduga, Hantu Tan-
gan Api segera menangkis benda-benda itu den-
gan mengibaskan tangannya. Akibatnya.... 
Blarrr! Blarrr! 
Seketika tempat pertarungan dipenuhi 
asap putih pekat yang bergulung-gulung mengha-
langi pandangan. Tak henti-hentinya Hantu Tan-
gan Api mengeluarkan sumpah serapahnya. Lalu 
dengan kegeraman memuncah, ujung jubahnya 
segera dikibaskan. Satu angin berkesiur keras da-
ri kebutan jubah segera melabrak mengusir gu-
lungan asap putih yang memenuhi tempat perta-
rungan.  
Namun begitu gulungan asap putih itu hi-
lang, ternyata tubuh Pendidik Ulung dan Arum 
Sari tak lagi berada di tempat pertarungan. Hanya 
di kejauhan sana, lelaki sesat itu melihat Pendidik 
Ulung tengah berkelebat cepat sambil memon-
dong tubuh Arum Sari. 
"Bajingan! Jangan biarkan tua bangka itu 
lolos! Hayo, kejar mereka!" 
Dalam terpaan semilir angin siang, Ratu 
Adil tengah memandang jauh ke depan, ke arah 
sebuah hamparan lembah hijau yang terasa len-
gang. Selengang hatinya. Sudah dua hari ini sejak 
berpisah dengan Siluman Ular Putih, Ratu Adil 
melakukan perjalanan seorang diri untuk mene-
mukan ayah kandungnya. Dan sudah banyak pu-
la orang-orang yang dimintai keterangan, namun 
belum juga menemukan siapa orang yang berna-
ma Gendon Prakoso. 
Murid Ratu Alit ini tidak putus asa. Ha-
tinya yakin sekali kalau akan bertemu dengan 
ayah kandungnya. Cuma waktunya kapan me-
mang sulit ditentukan. Satu hal yang membuat-
nya yakin adalah keterangan gurunya. Gadis ini 
percaya, Ratu Alit tidak hanya sekadar omong ko-
song belaka. 
Di sisi lain ada juga yang membuat Ratu 
Alit kecewa, karena perjalanannya tak ditemani 
Soma. Padahal Siluman Ular Putih telah berjanji 
akan menemaninya. Dan itu tak lain akibat cem-
buru buta Arum Sari terhadap Ratu Alit. 
Ratu Alit masih ingat, bagaimana ia dan Si-
luman Ular Putih pada saat pingsan dibawa ke 
dalam gua tempat persembunyian Pendidik Ulung 
di sebuah kawasan hutan kecil. Namun di dalam 
gua ternyata Pendidik Ulung tidak sendirian, tapi 
ada gadis lain yang diketahuinya bernama Arum 
Sari. 
Melihat Siluman Ular Putih datang bersa-
ma Ratu Adil, Arum Sari jadi cemburu. Kecembu-
ruannya ini kian memuncak manakala pada kee-
sokan harinya. Soma dan Ratu Adil hendak ber-
pamitan. Gadis itu memaksa Soma untuk memi-
lih antara meneruskan perjalanan bersama-nya, 
atau bersama Ratu Adil. 
Melihat gelagat yang kurang baik, Ratu Adil 
yang berwatak arif segera memilih untuk mening-
galkan Siluman Ular Putih. Namun ternyata Soma 
pun tak mau menuruti permintaan Arum Sari. 
Pemuda itu malah meneruskan perjalanan ke 
utara. 
Ratu Adil yang diam-diam menunggu Silu-
man Ular Putih kalau-kalau akan menyusul jadi 
kecewa. Sebenarnya Ratu Adil telah merelakan Si-
luman Ular Putih untuk meneruskan perjalanan 
bersama Arum Sari. Namun entah kenapa, begitu 
meninggalkan pemuda itu hatinya jadi rusuh bu-
kan main. Terus terang Ratu Adil merasa me-
nyesal sekali dengan tindakannya. Juga, tindakan 
Siluman Ular Putih. Untuk menghilangkan keke-
salannya gadis ini segera meneruskan perjala-
nannya seorang diri. (Baca episode : "Hantu Tan-
gan Api"). 
"Apa yang harus kulakukan sekarang? Me-
nurut ramalan Peramal Maut, tak lama lagi aku 
akan segera bertemu ayah kandungku bila sudah 
bertemu seorang pemuda tampan yang diam-diam 
mulai menarik hatiku. Siapkah sebenarnya pe-
muda yang dimaksudkan Peramal Maut itu? Si-
luman Ular Putih? Atau, Pembunuh Iblis? Sebab 
baru dua pemuda itulah yang kukenal selama 
ini...," gumam Ratu Adil dalam hati. 
Teringat akan ramalan Peramal Maut, Ratu 
Adil jadi ragu-ragu. 
"Mungkinkah ramalan Peramal Maut dapat 
dipegang kebenarannya? Rasa-rasanya, aku kok 
tak begitu mempercayainya. Tapi, kenapa tiba-
tiba aku jadi selalu teringat Siluman Ular Putih? 
Aneh! Apakah pemuda itu yang dimaksud Peram-
al Maut? Sebab, kalau mau jujur, rasa-rasanya 
aku sudah mulai menyukai pemuda itu. Tapi...." 
Ratu Adil tak meneruskan perang batinnya. 
Ia hanya menggigit bibirnya resah. Lalu dihelanya 
napas berulang-ulang, seolah-olah ingin menepis 
keresahan dalam hati. 
"Gendon Prakoso...," desis Ratu Adil tiba-
tiba. "Di manakah aku dapat menemukan ayah 
kandungku? Rasa-rasanya sulit sekali mencari 
seorang tokoh dunia persilatan hanya dengan 
mengetahui namanya. Bagaikan mencari jarum 
ditumpukan jerami. Kebanyakan tokoh dunia 
persilatan pasti menggunakan gelarnya  diban-
dingkan nama aslinya. Bahkan tidak mungkin 
banyak tokoh dunia persilatan yang sudah  lupa 
dengan nama aslinya. Kalau hal ini menimpa 
ayah kandungku, wah...! Bisa berabe! Mungkin 
dalam waktu yang lama, aku baru dapat mene-
mukan ayah kandungku. Atau, malah sebaliknya. 
Aku sama sekali tak dapat menemukan siapa 
ayah kandungku...."  
Berpikir sampai di sini, Ratu Adil malah 
makin dililit keresahan. Berkali-kali napasnya di-
hembuskan panjang-panjang. Namun, keresahan 
itu masih saja menggelayuti hatinya. 
"Sabar, Yustika! Sabar! Jangan putus asa! 
Kau pasti akan menemukan siapa ayah kan-
dungmu," kata sudut hati kecilnya, mengin-
gatkan. 
Sekali lagi Ratu Adil menghela napasnya 
panjang. Bibirnya pun makin digigit kuat-kuat. 
"Yah...! Apa pun yang akan terjadi, aku te-
tap akan meneruskan perjalanan ini. Aku harus 
dapat menemukan siapa ayah kandungku...," 
tandas Ratu Adil akhirnya. 
Saat itu juga murid Ratu Alit dari Nusa 
Kambangan ini segera membalik arah tujuan. 
Namun baru saja berbalik, mendadak gadis can-
tik berpakaian serba merah ini terkesiap kaget. 
Ternyata di hadapannya sejauh tiga tombak telah 
berdiri seorang pemuda. 
"Pembunuh Iblis...?!" 
* * * 
"Maaf, kalau kedatanganku membuatmu 
terkejut, Ratu Adil!" sahut pemuda berjubah biru 
yang memang Pembunuh Iblis seraya mengumbar 
senyum. 
Melihat sikap bersahabat Pembunuh Iblis, 
Ratu Adil hanya menyunggingkan senyum. Na-
mun hatinya sempat terheran-heran melihat ke-
munculan  Teguh Sayekti yang tidak terduga-
duga, sekaligus lepas dari pendengarannya yang 
tajam. Mengingat ini, si gadis sadar kalau pemuda 
itu pasti memiliki ilmu meringankan tubuh lu-
mayan. Kalau saja Ratu Adil tidak sedang didera 
keresahannya, pasti masih dapat menangkap su-
ara gerakannya. 
"Jangan terlalu berbasa basi, Sobat! Aku 
memang sempat terkejut melihat kemunculanmu 
yang tiba-tiba ini. Tapi ngomong-ngomong, apa-
kah kau sedang mencari seseorang hingga lang-
kahmu sampai kemari?" tanya Ratu Adil dengan 
suara lembut. 
"Sebenarnya aku memang sedang mencari 
seseorang. Mungkin malah dua orang. Tapi aku 
yakin, bukan itu yang  kau maksud. Aku hanya 
merasa heran, kenapa sejak pagi kulihat Setan 
Haus Darah dan pasukannya mondar-mandir di 
sekitar hutan ini. Malah aku melihat seorang ka-
kek berpakaian serba merah dengan rambut yang 
juga berwarna merah, ikut pula dalam rombongan 
Setan Haus Darah. Tapi selanjutnya mereka su-
dah berpencar. Kakek merah itu tak lagi berga-
bung dengan Setan Haus Darah. Terus terang aku 
jadi curiga sekali. Jangan-jangan mereka akan 
membuat onar di tempat ini. 
Paras Ratu Adil seketika memucat men-
dengar keterangan itu. Sesaat dia terdiam. 
"Hm...! Mungkin dugaanmu benar, Sobat. 
Sebab Hantu Tangan Api pasti sedang mencari Si-
luman Ular Pulih dan Pendidik Ulung," sahut Ra-
tu Adil, menggumam. 
"Siapa Hantu Tangan Api itu, Ratu Adil? 
Apakah kakek renta berpakaian serba merah itu?" 
"Benar. Dialah yang bergelar Hantu Tangan 
Api. Mungkin lelaki sesat itu merasa kesal melihat 
muridnya Selan Haus Darah telah dikalahkan Si-
luman Ular Pulih. Jadi tak heran bila Hantu Tan-
gan Api turun tangan." 
"Oh...! Jadi, Setan Haus Darah itu murid 
dari Hantu Tangan Api?!" sentak Pembunuh Iblis 
terkejut. Kepalanya mengangguk-angguk. "Pantas 
kalau kakek itu mondar-mandir di sekitar tempat 
ini. Hm...! Sekarang aku dapat menebak, pasti Si-
luman Ular Putih dan Pendidik Ulung berada di 
sekitar hutan ini...." 
"Dugaanmu memang benar, Sobat. Kukira 
mereka memang masih berada di sekitar hutan 
ini," kata Ratu Adil. 
Entah kenapa, kali ini Pembunuh Iblis me-
nangkap sesuatu yang lain dari ucapan Ratu Adil. 
Terutama sekali sewaktu gadis di hadapannya 
menyebut nama Siluman Ular Putih. 
"Hmm... mungkinkah gadis ini juga men-
cintai Siluman Ular Putih? Hm...," gumam hati 
Pembunuh Iblis gelisah. 
"Ada apa, Sobat? Kulihat raut wajahmu be-
rubah?" tanya Ratu Adil. Tatapannya penuh seli-
dik. 
"Tidak. Aku tidak apa-apa." kilah Pembu-
nuh Iblis 
"Tapi raut wajahmu berubah...," cecar Ratu 
Adil tak percaya. "Aku yakin kau pasti sedang 
memikirkan seseorang." 
Pembunuh Iblis tak menyahut, kecuali 
hanya menghela napas panjang seraya mengalih-
kan perhatian ke arah hamparan lembah hijau di 
hadapannya. 
"Ah, iya? Kau pasti sedang memikirkan se-
seorang. Boleh aku tahu, siapa orang yang sedang 
kau pikirkan, Sobat?" tanya Ratu Adil tanpa ber-
maksud mencampuri urusan Pembunuh Iblis. 
Hanya terdorong rasa persahabatannya sajalah 
yang membuatnya bertanya demikian. 
"Aku memang sedang gelisah memikirkan-
mu dan Arum Sari, Ratu Adil. Kenapa kalian sela-
lu tampak akrab dengan Siluman Ular Putih," je-
las Pembunuh Iblis, namun hanya dalam hati. 
"Siapa, Sobat? Apa kau merasa keberatan 
kalau mengatakan siapa orang yang sedang kau 
pikirkan?" desak Ratu Adil. 
"Tidak. Aku memang sedang memikirkan 
seseorang, mungkin malah dua orang. Tapi, 
sayang. Sampai sekarang aku belum juga mene-
mukan mereka," keluh Pembunuh Iblis. 
"Siapa orang yang sedang kau cari itu, So-
bat?" tanya Ratu Adil penasaran. 
"Hhh...!" Pembunuh Iblis mendengus. 
"Ayah dan adik kandungku...." 
"Kau sedang mencari ayah dan adik kan-
dungmu?!" pekik Ratu Adil dengan mata membe-
lalak lebar. 
"Ya. Tapi sayang, sampai sekarang aku be-
lum juga menemukan mereka. Kalau menurut ke-
terangan guruku, Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met, adik kandungku tentu sudah sebesar kau, 
Ratu Adil," jelas Pembunuh Iblis melanjutkan 
tanpa diminta. 
"Oh, ya? Kalau boleh tahu, siapa sebenar-
nya ayah dan adik kandungmu? Kita senasib! Aku 
juga sedang mencari ayah kandungku. Tapi se-
perti yang kau alami, sampai sekarang pun aku 
belum dapat menemukan siapa ayah kandung-
ku," keluh Ratu Adil sedih bila teringat ayah kan-
dungnya. 
Kali ini pandang mata murid Ratu Alit dari 
Nusa Kambangan itu pun kembali redup. Pera-
saannya entah melayang ke mana. Tanpa sadar 
pandangannya kembali tertumbuk pada hampa-
ran luas lembah hijau di hadapannya. 
"Jangan bersedih, Sobat! Tak ada gunanya 
menyesali nasibmu yang tak jauh berbeda dengan 
nasibku. Pokoknya yang penting, kita jangan 
sampai putus asa. Aku yakin, Tuhan pasti berpi-
hak pada kita. Tapi ngomong-ngomong, siapakah 
ayah kandungmu itu, Ratu Adil? Yah...! Barang-
kali saja aku dapat membantumu." 
Ratu Adil tidak langsung menjawab perta-
nyaan Pembunuh Iblis. Hanya disekanya air mata 
yang mengembang di pipi dengan menggunakan 
sapu tangan. 
Pembunuh Iblis menunggu sabar. Dan, di-
am-diam terus diperhatikannya wajah gadis can-
tik di hadapannya penuh kagum. 
"Kasihan sekali gadis ini. Andai saja dia tak 
keberatan, ingin rasanya aku melindunginya, wa-
lau tak mendapatkan cintanya," gumam Pembu-
nuh Iblis kian digelayuti perasaannya. "Yah...! 
Mungkin adik kandungku yang hilang beberapa 
tahun lalu juga mengalami nasib seperti gadis ini 
bila masih hidup...." 
"Sebelumnya, aku mengucapkan terima 
kasih atas kesediaanmu untuk membantu men-
carikan ayah kandungku  yang sebenarnya. Cuma 
sayang, keterangan yang kudapatkan dari guruku 
sangat sedikit sekali. Guruku  hanya menye-
butkan ayah kandungku bernam..." 
"Tunggu, Ratu Adil! Baiknya obrolan kita 
diteruskan nanti saja. Kulihat Setan Haus Darah 
dan pasukannya tengah menuju kemari," potong 
Pembunuh Iblis. 
Memang saat itu derap puluhan kaki kuda 
Pasukan Laskar Hijau memang tengah menuju ke 
tempat Ratu Adil dan Pembunuh Iblis. Teriakan-
teriakan mereka yang garang sesekali terdengar di 
antara riuhnya derap kaki kuda. 
"Baiknya, kita menyingkir saja dulu, Ratu 
Adil'" ajak Pembunuh Iblis. 
Ratu Adil pun tak menolak. Namun baru 
saja hendak meninggalkan tempat itu, menda-
dak.... 
"Tetap di tempat kalian! Siapa pun juga 
yang berani membantah perintahku, berarti mati!" 
Puluhan laki-laki kasar yang tergabung da-
lam Pasukan Laskar Hijau dibawah pimpinan Se-
tan Haus Darah segera menghentikan kuda di 
hadapan Ratu Adil dan Pembunuh Iblis. Satu per-
satu mereka meloncat turun dari punggung kuda. 
"Kau tentu bocah congkak yang bergelar 
Pembunuh Iblis! Kali ini kau tak mungkin lolos 
dari tangan mautku!" hardik Setan Haus Darah, 
langsung saja. 
Melihat puluhan anggota anak buah Setan 
Haus Darah sudah mengepung, Ratu Adil dan 
Pembunuh Iblis segera saling beradu punggung. 
Sebab hanya dengan cara itulah mereka dapat 
menghadapi keroyokan Setan Haus Darah dan 
pasukannya. 
"Biang rampok! Percuma saja kau mengger-
tak kami! Kalian pikir, kami takut menghadapi 
manusia-manusia bejat macam kalian, he?!" ben-
tak Pembunuh Iblis sengit. 
"Biarpun nyawa taruhannya, sudah menja-
di kewajiban kami untuk membasmi manusia-
manusia pembuat onar macam kalian!" timpal Ra-
tu Adil, lalu buru-buru mencabut pedang pusaka 
yang menggantung di pinggang.  
"Ha ha ha...! Tidak… tidak! Kau tak boleh 
mati, Gadis Galak! Kau harus menemaniku dulu 
barang satu atau dua malam, baru kau boleh 
mampus!" celoteh Setan Haus Darah memua-
kkan. Matanya yang tajam pun lalu menelusuri 
lekuk-lekuk tubuh Ratu Adil dengan jakun turun 
naik. 
"Bedebah! Manusia bermulut kotor tak ta-
hu adat! Enak saja kau mengumbar omong!" ben-
tak Pembunuh Iblis. 
"Jaga bacotmu, Bocah! Kau tak pantas ber-
cakap-cakap denganku! Nyawa busukmulah yang 
pantas kukirim ke liang lahat!" dengus Setan 
Haus Darah tak dapat lagi mengendalikan ama-
rah. 
Di akhir kalimatnya, Setan Haus Darah se-
gera mengibaskan tangannya ke depan. Melihat 
isyarat pimpinan mereka, para anggota Pasukan 
Laskar Hijau yang berjumlah dua belas orang se-
gera menerjang Ratu Adil dan Pembunuh Iblis 
dengan golok di tangan. 
"Cincang pemuda keparat itu! Biar aku 
yang mengurus gadis bengal itu!" perintah Setan 
Haus Darah. 
Kedua belas orang anggota Pasukan Laskar 
Hijau segera mengalihkan serangan pada Pembu-
nuh Iblis. Sedang Setan Haus Darah sendiri lang-
sung menggebrak Ratu Adil dengan pukulan jarak 
jauh. 
Wesss! Wesss! 
Seketika meluruk dua larik sinar merah 
menyala dari kedua telapak tangan Setan Haus 
Darah, siap melabrak tubuh Ratu Adil. 
Ratu Adil menggeram kesal. Tak ada pili-
han lain, kecuali memang harus memapak seran-
gan. Sebab kalau menghindar, Teguh Sayekti pas-
ti akan celaka terkena serangan Setan Haus Da-
rah. Berpikir sampai di situ, Ratu Adil merasa ha-
rus mengerahkan pukulan andalan 'Cakar Naga 
Samudera'. 
Begitu murid Ratu Alit dari Nusa Kamban-
gan mengalirkan tenaga dalam ke kedua tangan, 
jari-jarinya langsung berubah menjadi kebiruan. 
Lalu dengan menggaruk-garukkannya ke udara, 
dari kesepuluh jari-jari tangan telah membersit 
sepuluh larik sinar biru, langsung memapak pu-
kulan yang dikerahkan Setan Haus Darah. 
Classs! Classs! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam di udara barusan. Seketika tempat perta-
rungan jadi terang benderang. Angin berkesiur 
akibat bentrokan barusan menebar ke segenap 
penjuru, memporak-porandakan ranting-ranting 
pohon di sekitarnya. 
Setan Haus Darah terlempar beberapa 
langkah ke belakang, sedang tubuh Ratu Adil 
yang agak menyamping dari tubuh Pembunuh Ib-
lis kontan juga terlempar jauh. Akibatnya, jatuh-
nya gadis itu langsung disambut puluhan mata 
golok para anggota Pasukan Laskar Hijau. 
Srett! Sreet! 
"Oww...!"  
Rupanya para anggota Pasukan Laskar Hi-
jau tak bermaksud melukai, kecuali membabat 
pakaian si gadis. 
"Bajingan! Siapa pun juga berani menyen-
tuh tubuh gadis itu, demi Tuhan aku tak akan 
mengampuni nyawa kalian!" 
Melihat keselamatan Ratu Adil terancam, 
Pembunuh Iblis jadi gusar bukan main. Tubuh-
nya seketika meluruk dengan pedang di tangan. 
Cepat dibabatnya para anak buah Setan Haus 
Darah. 
Sratt! Srattt! 
Namun sayang usaha murid Kakek Pikun 
dari Gunung Slamet ini terhalang oleh anak buah 
Setan Haus Darah  yang langsung menghadang 
dengan golok. 
Di tempatnya Ratu Adil hanya menjerit ter-
tahan melihat pakaiannya robek di sana-sini. 
Meski demikian, tak urung juga gadis itu jadi ge-
ram bukan main. Pakaian di sekujur tubuhnya 
compang-camping terkena sambaran-sambaran 
golok di tangan anggota-anggota Pasukan Laskar 
Hijau. Di samping itu darah segar pun tampak 
mengucur di sana sini. 
"Bajingan! Akan kubasmi kalian semua!" 
teriak Pembunuh Iblis kalap. Pedang di tangan 
kanannya pun makin liar bergerak mengancam 
tubuh para anggota Pasukan Laskar Hijau. 
"Tahan bocah bengal itu!" ujar Setan Haus 
Darah penuh kemarahan. 
Sementara itu Ratu Adil jadi kewalahan 
bukan main. Bukan karena kewalahan mengha-
dapi sepak terjang Setan Haus Darah dan anak 
buahnya, tapi kewalahan karena pakaian yang 
menutupi tubuhnya robek di sana-sini. Tak 
urung, sebagian lekuk-lekuk tubuhnya yang 
menggairahkan pun terlihat. 
Melihat kerepotan Ratu Adil yang tengah 
sibuk membenahi pakaian. Setan Haus Darah ja-
di gembira bukan main. Tak putus-putusnya lela-
ki itu terus mengumbar tawa penuh nafsu. 
"Bukan main! Sudah kukira tubuhmu me-
mang amat menggiurkan. Tidak...! Tidak mungkin 
aku membiarkan begitu saja tubuhmu yang 
menggairahkan! Kalau perlu malah ingin rasanya 
aku mempertontonkan tubuhmu yang molek itu 
di sini. Ha ha ha...!" oceh Setan Haus Darah se-
maunya.