Siluman Ular Putih 25 - Rahasia Kalung Permata Hijau(2)



Di saat Putri Hijau hendak melanjutkan 
perjalanan, tiba-tiba telinganya mendengar suara-
suara teriakan orang bertempur tak jauh dari Hu-
tan Kenjeran. Sebagai seorang pendekar, sudah 
pasti Putri Hijau ingin melihat apa yang terjadi. 
Ternyata dugaannya benar. Di tempat itu telah 
terjadi pertarungan antara Gembong Kenjeran 
melawan Siluman Ular Putih. 
"Kau keberatan menyebutkan gelarmu, Pe-
rempuan Hina? Baik! Keberatan maupun tidak, 
kau pun tetap akan modar di tanganku. Rasakan-
lah kelancanganmu ini, Perempuan Keparat!" pu-
tus Gembong Kenjeran. 
Di akhir bentakannya, Gembong Kenjeran 
segera menghantam kedua telapak tangannya ke 
depan. Maka kembali dari kedua telapak tangan-
nya yang berwarna hitam legam itu mencuat so-
sok-sosok bayi hitam mengerikan dengan tangan-
tangannya yang terjulur ke arah Putri Hijau! 
"Hik hik hik...! Kau  pasti ada sangkut 
pautnya dengan tua bangka Pamekasan. Bagus! 
Kau pasti murid tua bangka itu, aku jadi ingin 
menjajal kehebatan aji 'Setan Kober'-mu," ejek 
Putri Hijau. Sedikit pun hatinya tidak gentar 
menghadapi tangan-tangan bayi hitam dari kedua 
telapak tangan Gembong Kenjeran. 
Begitu melihat tangan-tangan bayi hitam 
itu makin mendekat, Putri Hijau cepat membuka 
payung hijaunya. 
Brakkk! 
Payung di tangan Putri Hijau telah terbuka, 
melindungi dirinya dari cengkeraman tangan-
tangan bayi hitam itu. 
Plak! Plak! 
Hebat bukan main! Ternyata tangan-
tangan bayi hitam dari kedua telapak tangan 
Gembong Kenjeran tak mampu menembus 
payung hijau yang melindungi tubuh Putri Hijau. 
Begitu tangan-tangan bayi hitam itu mendekat, 
satu kekuatan dahsyat yang kasat mata telah me-
muntahkan serangan. Berkali-kali Gembong Ken-
jeran mencoba menembus kehebatan payung di 
tangan Putri Hijau, namun tetap saja tak mene-
mui hasil. Lagi-lagi tangan-tangan bayi hitamnya 
seperti menghadapi satu kekuatan dahsyat luar 
biasa yang mampu menolak serangan-
serangannya! 
"Hik hik hik...! Untung aku selalu memba-
wa payung. Kalau tidak, aku bisa kapiran!" 
Putri Hijau tersenyum senang. Payung di 
tangan kanannya diputar-putar seenaknya. Dan 
seiring Putri Hijau menaikkan payungnya ke atas, 
tangannya tiba-tiba mengibas. 
Werrr! Werrr! 
Seketika tampak lima buah sinar biru yang 
berbentuk seperti gerigi melesat cepat ke arah 
Gembong Kenjeran. 
Gembong Kenjeran menggeram penuh ke-
marahan. Ia yang saat itu tengah kebingungan 
bagaimana caranya menghadapi Putri Hijau, ter-
paksa harus membuang tubuhnya ke samping. 
Tatkala berjatuhan ke tanah, baru diketahui ka-
lau kelima sinar biru itu adalah lima buah bunga 
melati berwarna biru! Hebatnya lagi, ternyata lima 
bunga melati itu mampu mengeluarkan bau ha-
rum yang luar biasa. Hidung Gembong Kenjeran 
sampai kembang kempis dibuatnya. Dan manaka-
la semakin banyak menghirup bau harum bunga 
melati biru itu, mendadak kepalanya berdenyut 
hebat! Gembong Kenjeran seperti merasakan satu 
kekuatan dahsyat dari bau harum bunga melati 
biru itu yang mampu membuat dirinya mabuk 
kepayang! 
"Bajingan! Bagaimana mungkin kepalaku 
jadi pening begini?" rutuk batin Gembong Kenje-
ran gelisah bukan main. 
"Hik hik hik...! Bagaimana? Cukup nyaman 
kan bau bunga-bunga cintaku?" ejek Putri Hijau. 
Gembong Kenjeran menggeram penuh ke-
marahan. Sepasang matanya makin beringas. Ki-
ni dicobanya mengerahkan aji 'Panglarut Banyu 
Putih' yang juga jadi andalannya. Maka begitu te-
naga dalamnya dikerahkan dua telapak tangan-
nya pun telah berubah menjadi putih berkilau, 
dan langsung didorong ke depan. 
"Aji 'Panglarut Banyu Putih'...!" desis Putri 
Hijau manakala melihat dua gulungan asap putih 
berkilauan menyeruak dari kedua telapak tangan 
Gembong Kenjeran. 
Menghadapi serangan-serangan Gembong 
Kenjeran, lagi-lagi Putri Hijau mengembangkan 
payungnya ke depan dan berlindung di baliknya. 
Rut! Rut! 
Laksana air hujan serangan-serangan 
Gembong Kenjeran ambyar begitu menghantam 
permukaan payung. Sedang payung itu sendiri 
sedikit pun tidak mengalami pengaruh apa-apa. 
"Hik hik hik...! Payungku  ini benar-benar 
berjasa. Hm...! Tak percuma aku memilikinya...," 
gumam Putri Hijau sambil memutar-mutar 
payung di tangan kanannya manakala serangan-
serangan Gembong Kenjeran mereda. 
Gembong Kenjeran heran bukan main. Ba-
gaimana mungkin payung butut di tangan  Putri 
Hijau mampu mengatasi semua serangan-
serangannya. Sungguh tak masuk akal. Diam-
diam lelaki ini jadi bertanya-tanya, siapa perem-
puan cantik di hadapannya itu. 
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Hina?!" 
tanya Gembong Kenjeran, akhirnya. 
"Kan aku sudah bilang, aku ya aku. Tapi, 
agar kau tak penasaran kukira tak jeleknya aku 
memperkenalkan diri. Ketahuilah! Gelarku sebe-
narnya tak sebagus gelarmu. Aku Putri Hijau. Je-
las?!" jelas Putri Hijau mantap. 
Seketika paras Gembong Kenjeran jadi pias 
begitu mendengar julukan perempuan cantik di 
hadapannya, 
"Hm...! Jadi perempuan inikah yang berge-
lar Putri Hijau? Pantas saja kalau semua seran-
ganku dapat dipatahkan...," gumam Gembong 
Kenjeran dalam hati. 
Menyadari siapa perempuan cantik di ha-
dapannya, saat itu juga nyali Gembong Kenjeran 
amblas entah ke mana. Ia kini tak berani me-
mandang remeh lagi pada Putri Hijau. Malah ju-
stru yang dipikirkan adalah, bagaimana caranya 
melarikan diri. 
Begitu mendapat satu siasat, Gembong 
Kenjeran melompat ke arah Ratu Adil yang masih 
tertotok. Sekali renggut, tubuh murid Ratu Alit 
dari Nusa Kambangan telah berada dalam anca-
mannya. 
"Berani kau mendekat, akan kubunuh ga-
dis ini, Perempuan Hina!" ancam Gembong Kenje-
ran dengan tangan terkepal erat, siap meremuk-
kan batok kepala Ratu Adil. 
Putri Hijau kesal bukan main, sungguh tak 
disangka kalau Gembong Kenjeran akan bertin-
dak seculas itu, Untuk menyelamatkan Ratu Adil, 
rasanya tak mungkin. Jangankan untuk menye-
lamatkan gadis itu. Untuk bergerak saja, bukan 
mustahil Gembong Kenjeran akan segera  meng-
habisi nyawa gadis itu. 
"Curang! Beginikah yang namanya tinda-
kan seorang lelaki? Memalukan!" geram Putri Hi-
jau. 
"Terserah kau mau ngomong apa, Perem-
puan hina! Kalau kau berani bergerak sedikit sa-
ja, aku tak segan-segan membunuh gadis ini!" 
ancam Gembong Kenjeran sembari melangkah 
mendekati tubuh Dewi Bunga Bangkai yang ma-
sih tergeletak pingsan. Dan dengan tangan ki-
rinya, Gembong Kenjeran cepat meraih tubuh 
Dewi Bunga Bangkai dan membawanya ke pun-
dak. 
Putri Hijau sama sekali tak berdaya di-
buatnya, kecuali hanya menggeletukkan geraham 
penuh kemarahan. Bagaimanapun juga, hatinya 
amat mengkhawatirkan keselamatan Ratu Adil. 
Untuk itu otaknya segera berputar keras. 
"Dengar, Putri Hijau! Kalau kau berani 
mengejarku, aku akan membunuh gadis ini!" te-
riak Gembong Kenjeran. 
Di ujung teriakannya, tokoh sesat dari Hu-
tan Kenjeran itu segera berkelebat cepat mening-
galkan tempat itu. 
Putri Hijau geram bukan main. Namun be-
lum sempat mengejar, tiba-tiba terdengar keluhan 
seseorang. Maka cepat kepalanya berpaling ke 
arah datangnya suara. 
Ternyata, suara keluhan itu keluar dari 
mulut Siluman Ular Putih. Sekali lihat saja pe-
rempuan ini tahu kalau murid Eyang Begawan 
Kamasetyo itu menderita luka dalam yang parah. 
Terlambat sedikit saja, bukan mustahil keselama-
tan Siluman Ular Putih tak akan tertolong lagi. 
Menyadari hal ini, segera diputuskannya untuk 
menyembuhkan luka dalam pemuda itu terlebih 
dulu. 
*** 
Perlahan-lahan Putri Hijau memeriksa tu-
buh Siluman Ular Putih seksama. Seperti du-
gaannya, ternyata pemuda itu memang menderita 
luka dalam hebat. Sedikit saja terlambat mengo-
bati, bukan mustahil nyawanya akan melayang. 
Pertama-tama yang dilakukan adalah me-
nyalurkan hawa murni ke tubuh Siluman Ular 
Putih. Dengan meletakkan kedua telapak tangan 
ke dada Siluman Ular Putih, Putri Hijau mulai 
mengerahkan hawa murni. Tak selang beberapa 
lama, hawa panas yang mengaduk-aduk dalam 
tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai 
mereda. Namun, Siluman Ular Putih belum juga 
siuman, kecuali hanya sesekali mengeluarkan ke-
luhan. 
Perlahan-lahan Putri Hijau menarik tan-
gannya kembali. Matanya yang tajam terus me-
mandang sekujur tubuh Siluman Ular Putih yang 
menghitam seksama. Sambil menggumam, kepa-
lanya menggeleng-geleng. Entah, apa yang terlin-
tas dalam benak perempuan sakti yang sebenar-
nya sudah berusia lanjut itu. 
Meski bilur-bilur hitam akibat cengkera-
man tangan-tangan bayi hitam itu agak berku-
rang, namun Putri Hijau kewalahan juga. Dia ti-
dak tahu, bagaimana harus menyembuhkan luka 
dalam Siluman Ular Putih, karena memang bukan 
ahli obat. Di saat Putri Hijau tengah kebingungan 
memikirkan luka dalam Siluman Ular Putih, tiba-
tiba.... 
Aku adalah bangkai 
Bangkai kejang nan kaku 
Seorang hamba yang dating 
Dengan lemah gemulai 
Penuh pengakuan, juga penyesalan 
Sementara api yang dinyalakan-Nya  
Membakar otot-otot dan hati  
Betapa sangat sempit  
Lorong jalan kehidupan  
Di alam dunia.... 
"Pasti tua bangka sinting itu yang datang 
kemari," duga Putri Hijau dalam hati, lalu me-
langkah berdiri. 
Dan kenyataannya memang benar. Belum 
sempat hilang gaung suara syair itu, Putri Hijau 
melihat seorang lelaki tua dengan pakaian serba 
putih tengah melenggang santai di jalan setapak 
yang menuju tempat bekas pertarungan. 
"Wahai, Sobatku! Kemarilah! Aku butuh 
bantuanmu," sapa Putri Hijau, ramah seperti bi-
asanya. Dan tak lupa menyebut kata-kata 'wahai' 
pada setiap orang. 
Lelaki tua berpakaian serba putih yang 
memang Penyair Sinting menyahut. Kedua bibir-
nya terus melantunkan bait-bait syairnya. Namun 
toh langkahnya menghampiri Putri Hijau. 
Bagiku....  
Cuma ada satu keheranan 
Tumpahnya mata 
Lemah lunglainya tulang 
Berlalunya pengharapan  
Manakala dirimu tahu  
Tentang semua ini  
Maka.... 
"Sudah! Sudah! Aku malas mendengar 
ocehanmu, Orang Sinting! Cepat bantu aku!" ujar 
Putri Hijau, sedikit ketus. 
Penyair Sinting tersenyum arif. Mulutnya 
tak lagi berkemik-kemik melantunkan bait-bait 
syairnya. Hanya langkahnya saja yang tetap le-
mah gemulai menghampiri Putri Hijau. Keliha-
tannya seperti melangkah biasa, namun hebatnya 
cepat luar biasa. Hingga dalam waktu yang tidak 
lama, sosok Penyair Sinting telah tegak di hada-
pan Putri Hijau. 
"Hm...! Sekali lihat saja aku tahu kalau bo-
cah gondrong ini pasti terkena cengkeraman tan-
gan-tangan bayi hitam keparat itu. Entah siapa 
yang melakukan. Mungkin manusia jahanam Pa-
mekasan itu," gerutu Penyair Sinting. 
"Kalau sudah tahu, kenapa diam saja? Ce-
pat obati dia!" tukas Putri Hijau tak sabar. 
"Nenek cantik! Dari dulu kau selalu mem-
bentak-bentak. Apa kau pikir usiamu jauh lebih 
tua dibanding aku, hingga seenaknya saja mem-
bentak-bentak aku, hah?!" sungut Penyair Sint-
ing. 
"Ah...! Sayang sekali aku tak ada waktu 
untuk meladenimu, Kakek Sinting. Lekas obati 
kawanmu ini! Aku akan menolong Ratu Adil yang 
tengah dilarikan Gembong Kenjeran." 
"Hey! Aku sendiri akan mencari orang yang 
kau sebutkan barusan itu. Apa kau melihatnya?" 
"Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kau urus 
saja bocah gondrong itu!" tukas Putri Hijau, lalu 
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
"Sontoloyo! Enak saja main perintah. Dia 
pikir aku ini apa?" sungut Penyair Sinting kesal. 
Lebih  kesal lagi manakala Penyair Sinting 
mendengar suara tawa Putri Hijau di kejauhan 
sana. Namun akhirnya mau juga lelaki tua ini 
mengobati Siluman Ular Putih. 
"Sial benar nasibmu, Bocah! Kenapa kau 
biarkan tubuhmu babak belur begini," gerutu Pe-
nyair Sinting entah apa maksudnya. 
Di ujung kalimatnya tangan Penyair Sinting 
segera merogoh sesuatu di kantong bajunya. Ter-
nyata yang diambil adalah sebuah bungkusan ke-
cil berisi bubuk-bubuk putih. Dijumputnya bu-
buk-bubuk putih itu, dan ditaburkan ke sekujur 
tubuh Siluman Ular Putih yang menghitam. 
Cesss! 
Aneh! Tiba-tiba bubuk-bubuk putih itu 
mengeluarkan suara seperti bara api tersiram air 
tatkala ditaburkan ke sekujur tubuh Siluman 
Ular Putih yang menghitam. Asap kehitam-
hitaman pun mengepul ke atas. Tak selang bebe-
rapa lama, bubuk-bubuk putih itu telah berubah 
menjadi hitam! Dan hebatnya lagi, sekujur tubuh 
Siluman Ular Putih yang menghitam pun sirna! 
Siluman Ular Putih mengerang beberapa 
kali. Sementara Penyair Sinting cepat menotok 
beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu. Kini 
terlihat tubuh Siluman Ular Putih pun tergetar, 
karena Penyair Sinting menotoknya dengan jurus 
'Totokan Jari-jari Suci'. 
Kini tubuh Siluman Ular Putih tak sekadar 
bergeser lagi, tapi mulai menggeliat-geliat. Kelo-
pak matanya pun perlahan-lahan mulai membu-
ka. 
"Mana tua bangka itu? Mana? Aku harus 
membunuhnya. Aku harus menolong sahabatku!" 
teriak Siluman Ular Putih, begitu siuman. 
"Eh eh eh...! Kau memakiku, Bocah?" ujar 
Penyair Sinting sambil menarik dadanya. 
Siluman Ular Putih melongo. Saking kalut-
nya memikirkan keselamatan Ratu Adil, pemuda 
itu sampai lupa terhadap Penyair Sinting. Ia ma-
lah sibuk mencari Ratu Adil dan Gembong Kenje-
ran dengan pandangan matanya. 
"Kau.... Kau? Bagaimana kau bisa berada 
di sini, Kek?" tanya Siluman Ular Putih kehera-
nan. 
"Goblok! Siapa lagi kalau bukan karena 
nenek cantik itu!" tukas Penyair Sinting. 
"Maksudmu? Putri Hijau?"       
"Ya!" 
"Ke mana dia sekarang?" 
"Tidak tahu. Katanya ingin menyelamatkan 
Ratu Adil." 
"Hm...! Kalau begitu, aku harus ke sana. 
Aku pun harus menolong sahabatku!" 
Siluman Ular Putih cepat melompat ban-
gun. Namun, Penyair Sinting cepat menyambar 
lengannya.   
"Tunggu! Seenaknya saja kau mau mening-
galkanku," ujar Penyair Sinting, bersungut-
sungut. 
"Ada apa, Kek? Kenapa kau menahan lang-
kahku?" 
"Jangan sewot! Aku cuma mau tanya. Apa-
kah kau kenal Gembong Kenjeran?" 
"Bukan kenal lagi. Dialah yang melarikan 
Ratu Adil." 
"Oh, ya? Aku lupa. Tadi nenek cantik itu 
juga bilang begitu. Tapi apakah Gembong Kenje-
ran yang melukaimu dengan aji 'Setan Kober'?" 
"Ya!" 
"Goblok!" sergah Penyair Sinting memaki 
kasar. "Kau kan murid Begawan Kamasetyo. Jadi 
tentu memiliki ilmu 'Tenaga Sakti Inti Kapas'. 
Lantas kenapa tak kau gunakan untuk mengha-
dapi aji 'Setan Kober'?" 
"Aku tak sempat berpikir ke sana, Kek. Ta-
pi, apakah benar jurus 'Tenaga Sakti Inti Kapas'-
ku dapat mengalahkan aji 'Setan Kober'?" tanya 
Siluman Ular Putih, ngeri juga bila membayang-
kan tangan-tangan bayi hitam itu. 
"Ya." 
"Ah...! Kalau begitu, aku harus cepat men-
cari Gembong Kenjeran." 
"Bagus. Aku pun juga ingin mencarinya. 
Ayo!" 
Tanpa banyak cakap lagi, Penyair Sinting 
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Sementara Siluman Ular Putih tidak langsung 
menyusul, melainkan segera mengambil anak pa-
nahnya yang tertancap di batang pohon, baru 
kemudian berkelebat menyusul. 
*** 
Gembong Kenjeran yang tengah mabuk ke-
payang melihat kemolekan tubuh Ratu Adil, seo-
lah tak mempedulikan apa yang akan terjadi. Ba-
ginya, yang penting adalah melampiaskan nafsu 
bejatnya. Maka begitu memasuki gua tempat per-
sembunyiannya di sekitar Hutan Kenjeran, tanpa 
banyak membuang waktu segera dibawanya Dewi 
Bunga Bangkai dan Ratu Adil ke sebuah ruangan. 
Ruangan itu memang tidak begitu luas. Le-
barnya tak lebih dari tiga kali empat tombak. Se-
buah obor besar yang tertancap di salah satu 
dinding, membuat suasana dalam ruangan gua 
itu terang benderang. Di atas tumpukan jerami, 
Gembong Kenjeran merebahkan tubuh Dewi Bun-
ga Bangkai yang masih tak sadarkan diri perla-
han. Sementara tubuh Ratu Adil tetap berada da-
lam pondongannya. 
"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Pengecut!" 
teriak Ratu Adil kalap. 
Gembong Kenjeran hanya tertawa bergelak, 
tak sudi menuruti perintah Ratu Adil. Segera di-
bawanya gadis itu ke ruang sebelah. Namun baru 
saja melangkah.... 
"Kakang!"  
Terdengar teguran seseorang, membuat 
Gembong Kenjeran terpaksa menahan langkah. 
Lalu badannya berbalik. Ternyata Dewi Bunga 
Bangkai telah siuman. Dan memang, perempuan 
cantik itulah yang tadi menegurnya. 
"Kau membawa gadis itu pula, Kang?" 
tanya Dewi Bunga Bangkai, sambil menggigit bibir 
menahan luka dalamnya. 
"Iya. Kenapa?" 
"Apa kau ingin...?" tanya Dewi Bunga 
Bangkai tanpa berlanjut, seolah mengerti apa 
yang diinginkan Gembong Kenjeran. 
"Ya! Kau sedang terluka. Jadi tak mungkin 
aku bisa menikmati tubuhmu. Minumlah saja ob-
at ini biar luka dalammu berkurang," ujar Gem-
bong Kenjeran, lalu segera mengambil butiran-
butiran obat dan melemparkannya ke arah Dewi 
Bunga Bangkai. 
Tepp! 
Dewi Bunga Bangkai cepat menangkap ob-
at pemberian Gembong Kenjeran. 
Gembong Kenjeran sendiri tak lagi mempe-
dulikan Dewi Bunga Bangkai. Saat ini ia sudah 
melangkah meninggalkan Dewi Bunga Bangkai 
seorang diri. 
Walaupun Dewi Bunga Bangkai seorang 
wanita yang berhati keji dan sudah terbiasa me-
lakukan hubungan intim dengan banyak lelaki, 
tetap saja merasa iri melihat Gembong Kenjeran 
begitu bernafsu terhadap gadis tawanannya. Na-
mun karena pada dasarnya wanita itu pun tak 
mencintai Gembong Kenjeran, maka keresahan-
nya cepat reda. Dan setelah menelan obat pembe-
rian Gembong Kenjeran, dirinya telah tenggelam 
dalam semadi. 
* * * 
Di ruang sebelah.... 
Sambil tertawa bergelak Gembong Kenjeran 
merebahkan tubuh Ratu Adil ke tumpukan jera-
mi. Tubuhnya sendiri pun segera bersimpuh di 
samping si gadis. Sepasang matanya yang ber-
warna merah saga tak henti-hentinya menjilati se-
tiap lekuk tubuh murid Ratu Alit dari Nusa Kam-
bangan. 
"Mau kau apakan aku, Pengecut?!" teriak 
Ratu Adil, kalut bukan main. 
Inilah saat-saat yang paling mendebarkan 
bagi gadis itu. Meski belum pernah mengalami, 
namun naluri kewanitaannya mengatakan kalau 
dirinya bakal mengalami musibah yang jauh lebih 
mengerikan dibanding kematian! 
"Kau tentunya tahu, Manis. Ilmu silatmu 
hebat. Kuharap, di atas ranjang pun kau jauh le-
bih hebat. Ayo, tunjukkan kehebatanmu, Manis!" 
oceh Gembong Kenjeran dengan jakun turun 
naik. 
Nyaris mau  muntah Ratu Adil mendengar 
ucapan Gembong Kenjeran. Pandangan lelaki itu 
pun seolah hendak menelan dirinya bulat-bulat. 
Berkali-kali gadis ini berusaha melepaskan toto-
kan, namun tetap saja tak mampu. Malah tari-
kan-tarikan napasnya makin membuat Gembong 
Kenjeran menelan liurnya sendiri. 
"He he he...! Tubuhmu tampak makin 
menggairahkan bila kau menggeliat-geliat seperti 
itu, Manis," kekeh Gembong Kenjeran. Jari-jari 
tangannya yang kasar pun mulai merenggut kain 
penutup tubuh Ratu Adil. 
Bret! Bret! 
Dua kali tangan Gembong Kenjeran berge-
rak, maka seketika itu juga pakaian Ratu Adil ro-
bek. Kini satu pemandangan indah terbentang di 
depan mata. 
Ratu Adil menjerit-jerit kalap. Ingin ra-
sanya ia menutupi bagian-bagian tubuhnya yang 
amat mengundang gairah bagi setiap laki-laki. 
Namun sayang, hal itu tak mampu dilakukan. 
Tanpa sadar matanya berair saking ngerinya 
membayangkan musibah yang bakal menimpa di-
rinya. 
Sementara mata Gembong Kenjeran sendiri 
seolah terpaku menatap tubuh mulus di hada-
pannya. Ingin rasanya ia segera menubruknya. 
Namun entah kenapa, tiba-tiba pandang matanya 
jadi liar tatkala melihat seutas kalung yang dihia-
si permata indah warna hijau di leher Ratu Adil! 
Untuk sesaat Gembong Kenjeran terpaku 
laksana melihat setan di siang bolong. Ratu Adil 
yang belum menyadari apa yang tengah bergolak 
dalam hati Gembong Kenjeran makin berteriak-
teriak kalap. Lebih kalap lagi manakala wajah 
Gembong Kenjeran mulai mendekati wajahnya. 
Dan saking tidak kuatnya menahan musibah 
yang bakal menimpa dirinya, gadis ini hanya me-
mejamkan matanya. Air matanya  pun terlihat 
makin membasahi pipi. 
Bret! 
Ratu Adil terkesiap ketika merasakan se-
suatu tanggal dari lehernya. Setelah itu, ia tak 
merasakan apa-apa. Hanya dengusan-dengusan 
Gembong Kenjeran saja yang terdengar. Perlahan-
lahan, si gadis memberanikan diri membuka ke-
lopak matanya. 
Sungguh jauh di luar perkiraan Ratu Adil. 
Ternyata Gembong Kenjeran bukannya tengah 
memandangi tubuhnya yang polos, melainkan 
tengah memandangi kalung permata hijau yang 
direnggutnya barusan. 
"Pengecut! Berikan kalung itu!" teriak Ratu 
Adil begitu menyadari kalau pemberian gurunya 
telah direnggut Gembong Kenjeran. Baginya, ka-
lung itu adalah segala-galanya, karena satu-
satunya bukti untuk dapat menemukan ayah 
kandungnya. 
"Dari mana kau dapatkan kalung itu?!" 
bentak Gembong Kenjeran dengan pandang mata 
nanar. Suara bentakannya pun tak lagi segalak 
tadi. Malah, Ratu Adil seperti merasakan getaran-
getaran aneh dalam bentakan barusan. 
"Berikan kalung itu, Pengecut!" 
"Jawab dulu pertanyaanku! Aku tak akan 
memberikan kalung ini sebelum kau menjawab 
pertanyaanku!" 
Ratu Adil memekik penuh kemarahan. 
Namun karena tak ada pilihan lain, akhirnya di-
penuhinya permintaan Gembong Kenjeran. 
"Aku.... Aku mendapatkan kalung itu dari 
guruku," jawab Ratu Adil.  
"Siapa gurunya?" kejar Gembong Kenjeran. 
"Ratu Alit." 
"Hm...! Lalu, bagaimana kalung ini sampai 
bisa jatuh ke tangan gurumu? Jawab dengan ju-
jur!" 
Ratu Adil menelan ludahnya sebentar. "Gu-
ruku.... Guruku mendapat kalung itu dari seo-
rang perempuan yang tengah sekarat di tepi pan-
tai Nusa Kambangan...." 
Gadis itu lantas menceritakan latar bela-
kang hidupnya seperti waktu Ratu Alit mencerita-
kan kepadanya. Sejak ia ditemukan, sampai di-
rinya turun gunung. Lengkap, tanpa ditambah 
dan dikurangi. (Untuk mengetahui latar belakang 
Ratu Adil, silakan baca episode : "Setan Haus Da-
rah"). 
Sementara Gembong Kenjeran yang men-
dengar cerita Ratu Adil malah makin tegang wa-
jahnya.... 
* * * 
Gembong Kenjeran bungkam seribu bahasa 
begitu Ratu Adil selesai bercerita. Entah kenapa 
tiba-tiba raut wajah tokoh sesat dari Hutan Ken-
jeran ini jadi sedih. Kedua bibirnya pun berkemik-
kemik. Entah, apa yang tengah dipikirkan. Bah-
kan kini didekapnya erat-erat kalung itu dalam 
dadanya. 
"Jadi, kaukah bayi perempuan itu?" tanya 
Gembong Kenjeran, seperti ingin meyakinkan diri. 
"Yah...! Akulah bayi perempuan itu," sahut 
Ratu Adil, mantap.      
"Jadi.... Jadi? Ah...!" keluh Gembong Kenje-
ran sedih bukan main. 
Paras lelaki ini yang biasanya garang, en-
tah kenapa jadi muram. Seolah tengah menang-
gung derita yang teramat sangat. 
"Katakan! Siapa nama ayahmu yang se-
dang kau cari itu!" pinta Gembong Kenjeran ber-
gegas. Jantungnya makin berdetak keras, khawa-
tir kalau jawaban gadis itu sama dengan apa yang 
ada dalam benaknya. 
"Guruku bilang, kalau aku ingin bertemu 
ayah kandungku, aku harus mencari seseorang 
yang bernama Gendon Prakoso. Dialah ayah kan-
dungku!" 
Mencelos hati Gembong Kenjeran menden-
gar jawaban gadis itu. Jelas nama Gendon Prako-
so terucap dari bibir gadis yang hendak diperko-
sanya! Wajahnya seketika jadi pucat pasi. 
"A.... Akulah Gendon Prakoso itu, Nak.... 
A... Aku ayah kandungmu...! Maafkan aku, Nak.... 
Ohh.... Terkutuknya ak...!" desah Gembong Ken-
jeran mirip kerbau mau disembelih. 
"Kau.... Kaukah Gendon Prakoso? Oh...!" 
pekik Ratu Adil, tak kalah kaget. 
Lalu, entah kenapa tiba-tiba Ratu Adil me-
nangis menyayat. Entah bahagia dapat menemu-
kan ayah kandungnya kembali, entah benci meli-
hat ayah kandungnya ternyata seorang penjahat 
keji. Bahkan hampir saja menodai dirinya! 
Gembong Kenjeran tergugu di tempatnya. 
Napasnya memburu menahan guncangan dalam 
hatinya. Untuk sesaat lelaki yang semula garang 
ini seperti tak tahu apa yang harus diperbuat. Pe-
rasaan bersalah terhadap mendiang istrinya yang 
dulu diperlakukan sewenang-wenang, juga pera-
saan berdosa karena hampir saja menodai putri 
kandungnya sendiri, begitu memukul  batinnya. 
Namun manakala melihat Ratu Adil masih terto-
tok, segera dibebaskannya totokan itu. 
"Ayah...!" pekik Ratu Adil mengharukan, 
langsung dipeluknya Gembong Kenjeran. 
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran 
mendekap erat-erat. Perasaan yang semula begitu 
menggebu-gebu ingin merusak kehormatan Ratu 
Adil, kontan sirna begitu mengetahui kalau gadis 
itu adalah putri kandungnya sendiri. 
"Sekali lagi. Maafkan ayahmu, Nak! Maaf-
kan ayahmu...!" ucap Gembong Kenjeran merintih 
lirih dan bergetar. 
Ratu Adil diam tak menyahut, tapi justru 
lebih senang menghamburkan tangisnya dalam 
pelukan ayah kandungnya yang amat dirindukan. 
"Kenapa kau diam saja, Anakku? Apa kau 
tak sudi memaafkan ayahmu yang telah bergeli-
mangan dosa?" tanya Gendon Prakoso. 
Ratu Adil menggeleng-geleng pelan. Kedua 
bahunya tampak masih bergerak turun naik. 
Gembong Kenjeran sedih sekali melihat 
keadaan putri tunggalnya. Apalagi manakala me-
lihat wajah putrinya yang bersimbah airmata. 
Hampir saja lelaki ini tak kuat menahan guncan-
gan dalam hatinya. 
"Maafkan ayahmu, Nak! Maafkan ayah-
mu...!" ucap Gembong Kenjeran. 
Untuk sesaat Ratu Adil masih membung-
kam. 
"Sebenarnya masih ada satu hal yang mesti 
kusampaikan padamu. Ayah," kata Ratu Adil. 
"Tentang apa?" tanya Gendon Prakoso. 
"Tentang Teguh Sayekti...." 
"Teguh Sayekti? Siapa dia?" 
"Kakak Kandungku!" 
"Astaga...?! Ya, ampun.... Oh, Gusti.... Am-
punkan hamba-Mu yang hina ini. Dengan anak 
sulungku pun aku lupa...." 
Bukan main terpukulnya Gendon Prakoso, 
betapa selama ini anak sulungnya pun terlupa-
kan. Ingin rasanya ia menjerit, tapi berusaha di-
tahannya. 
"Ba... bagaimana kabar kakak kandung-
mu? Sejak kutinggal, aku tak pernah mendengar-
nya lagi. Apakah kau pernah bertemu dengan-
nya?" tanya Gendon Prakoso, berdebar. 
"Kami berjumpa setelah sama-sama dewa-
sa, Ayah. Tapi sayang, perjumpaan itu teramat 
singkat. Kakang Teguh Sayekti telah tewas di tan-
gan Hantu Tangan Api!" jelas Ratu Adil, kelu. (Un-
tuk jelasnya baca episode : "Warisan Agung"). 
"Keparat! Huh! Aku harus membuat perhi-
tungan dengannya!" desis Gendon Prakoso. 
"Tak perlu, Ayah. Hantu Tangan Api telah 
dimusnahkan oleh Siluman Ular Putih," jelas Ra-
tu Adil, membuat ayah kandungnya kembali ter-
gugu. 
"Oh, Gusti. Betapa hatiku telah berlumur 
dosa.... Maafkan aku, Teguh.... Ayah telah berdo-
sa terhadapmu.... Semoga kau tenang di alam sa-
na..." 
"Bahkan guru Kakang Sayekti pun telah 
tewas...," lanjut Ratu Adil. 
"Siapa gurunya?" 
"Kakek Pikun dari Gunung Slamet. Dan 
ayah sendirilah yang membunuhnya...," jelas Ra-
tu Adil terus terang. 
"Ohh...!" 
Hanya itu yang keluar dari mulut Gendon 
Prakoso. Makin galau saja hatinya. Keangkuhan-
nya kini terbang entah ke mana. Dosa-dosanya 
terdahulu seolah membuat keangkerannya pudar. 
Yang ada kini hanya rasa penyesalan. 
"Se.... Sebenarnya sulit sekali memaafkan 
kesalahanmu. Ayah. Tapi.... Tapi, baiklah. Aku 
akan memaafkanmu. Asal, Ayah sudi meninggal-
kan jalan sesat yang selama ini kau tempuh." 
Gembong Kenjeran tercekat. Memang 
keangkerannya telah hilang. Tapi ada hal lain 
yang mengganggu benaknya. Yakni, perjanjiannya 
dengan Eyang Pamekasan. 
"Bagaimana, Ayah? Apakah kau kebera-
tan?" 
Gembong Kenjeran tetap masih membung-
kam. Hatinya gelisah sekali. Berkali-kali ia meng-
hela napas resah. 
"Kalau kau keberatan, sebaiknya bunuh 
saja aku, Ayah. Atau, terserah mau kau apakan 
aku," desak Ratu Adil. 
"Tidak! Tidak mungkin aku mencelaka-
kanmu, Nak. Dosa-dosaku sudah bertumpuk. 
Aku menyesal. Menyesal sekali." 
"Kalau begitu, berarti Ayah masih senang 
bergelimangan dunia sesat! Apa Ayah juga masih 
menginginkan nyawa Siluman Ular Putih dan Pe-
nyair Sinting? Padahal, merekalah yang membela 
Kakang Teguh Sayekti mati-matian." 
Berat sekali rasanya menjawab pertanyaan 
Ratu Adil, Gembong Kenjeran mengeluh berulang-
ulang. Parasnya pun menegang. 
"Apakah kau tidak ingin meninggalkan du-
nia sesat, lalu hidup bersama putrimu, Ayah?" 
bujuk Ratu Adil. 
"Aku.... Aku... sudah bersumpah pada se-
seorang untuk membunuh Siluman Ular Putih 
dan Penyair Sinting...." 
"Lupakan sumpah itu, Ayah!" 
"Tidak semudah itu, Putriku, Orang itu 
pasti akan membunuhku." 
"Nyawa terletak bukan pada tangan seseo-
rang, Ayah! Melainkan pada Yang Maha Kuasa. 
Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki nyawa 
Ayah sekarang juga, itu bukan pekerjaan sulit. 
Demikian juga sebaliknya," 
"Sungguh kau bijaksana sekali, Anakku. 
Terus terang aku jadi malu. Baiklah! Mulai seka-
rang, akan kutinggalkan dunia sesat. Dan kita hi-
dup bersama." 
"Terima kasih, Ayah! Akhirnya kau sadar 
juga," kembali Ratu Adil menubruk Gembong 
Kenjeran dan memeluknya erat-erat. 
"Justru aku yang patut berterima kasih 
padamu, Anakku. Oh, ya. Sebenarnya, siapa na-
ma aslimu, Anakku?" 
"Yustika, Ayah." 
"Nah...! Sekarang lekas kenakan kembali 
pakaianmu, Yustika. Aku ingin mengajakmu pergi 
ke tempat yang jauh." 
"Baik, Ayah." 
Buru-buru Ratu Adil melepaskan pelukan 
ayahnya. Agak malu juga hatinya manakala di-
rinya masih telanjang. Maka cepat pakaiannya di-
kenakan kembali. 
Sementara Ratu Adil mengenakan pa-
kaiannya, tampak Gembong Kenjeran duduk ber-
lutut menghadap dinding-dinding gua. Parasnya 
menegang. Kedua bibirnya pun berkemik-kemik. 
"Guru...! Maafkan muridmu, Guru! Terpak-
sa aku harus mencabut sumpahku. Demi menun-
jukkan kasih sayangku terhadap putri tunggalku, 
aku rela mengkhianatimu. Hukumlah aku! Hu-
kumlah aku kalau kau menghendaki, Guru...," bi-
sik hati Gembong Kenjeran. 
*** 
Aneh! 
Tiba-tiba permukaan air sendang tempat 
Eyang Pamekasan bertapa bergolak. Semula 
hanya gelembung-gelembung kecil saja, namun 
tak selang berapa lama air sendang itu bahkan 
membuncah tinggi ke udara! 
Bersamaan dengan itu, mendadak muncul 
satu sosok tubuh berpakaian serba hitam dari 
dasar sendang. Mula-mula yang terlihat hanya 
kepalanya, lalu disusul sosoknya yang masih da-
lam keadaan bersemadi! 
"Bajingan! Kau harus membayar mahal 
atas pengkhianatanmu ini, Muridku!" dengus ka-
kek yang memiliki wajah tirus dan rambut putih 
digelung ke atas penuh kemarahan. Sepasang 
matanya yang berwarna merah saga tampak men-
corong beringas. Lalu dengan ilmunya yang tinggi, 
perlahan-lahan sosok renta yang masih dalam 
keadaan bersemadi itu mulai bergerak menuju 
tepian sendang. Hebatnya lagi, begitu tiba di te-
pian sendang dan melompat keluar, ternyata pa-
kaian yang dikenakan tidak basah! 
Bukan main! Entah menggunakan ilmu 
apa hingga kakek renta yang memang Eyang Pa-
mekasan ini mampu melakukan hal seperti itu. 
"Setan alas! Jangan dikira aku tak tahu di 
mana tempat persembunyianmu, Murid Keparat!" 
maki Eyang Pamekasan tak dapat lagi mengenda-
likan amarah. 
Andai saja saat itu muridnya yang bernama 
Gembong Kenjeran ada di hadapannya, sudah 
pasti Eyang Pamekasan akan melabraknya. Na-
mun sayang, Gembong Kenjeran tak berada di 
tempat itu. Terpaksa Eyang Pamekasan harus 
menangguhkan hawa amarahnya yang menggele-
gak sampai ubun-ubun. 
Di lain kejap, Eyang Pamekasan segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat perta-
paannya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya 
hebat luar biasa, sosoknya telah meluncur cepat 
laksana anak panah terlepas dari busur. 
"Kenapa kau bersedih. Ayah? Apa kau ti-
dak senang hidup bersamaku?" 
Terdengar suara lembut Ratu Adil mengu-
sik keresahan ayahnya. 
Gembong Kenjeran yang saat itu masih 
duduk berlutut menghadap dinding gua hanya 
menghela napas sesak. Tampak sekali kalau lelaki 
berjubah kuning ini tengah gelisah memikirkan 
ancaman gurunya. Ia yakin sekali kalau Eyang 
Pamekasan akan menuntut tanggung jawab atas 
pengkhianatannya. Cepat atau lambat! 
"Ada apa, Ayah? Kenapa kelihatan sedih?" 
usik Ratu Adil lagi. 
"Aku bingung, Putriku. Entah kenapa tiba-
tiba saja aku mengkhawatirkan bila guruku me-
minta tanggung jawabku," keluh Gembong Kenje-
ran, mendesah. 
Ratu Adil melangkah mendekat. Ia yang ki-
ni telah mengenakan pakaiannya kembali tampak 
begitu anggun walau robek di sana-sini. Gembong 
Kenjeran yang melihat robekan-robekan kain pu-
trinya hanya tersenyum kecut. 
"Bangunlah, Ayah! Tak ada gunanya Ayah 
tenggelam dalam kesedihan. Apalagi mengkhawa-
tirkan sesuatu yang belum jelas," ujar Ratu Adil 
sambil merengkuh bahu ayahnya. 
Gembong Kenjeran menurut dipapah pu-
trinya. Melihat kasih sayang Ratu Adil yang amat 
mendalam terhadap dirinya, lelaki ini menjadi 
semakin  trenyuh. Hal ini pula yang diam-diam 
membuatnya bertekad untuk meninggalkan dunia 
sesat yang selama ini digeluti. 
"Kau benar, Yustika. Kupikir, tak ada gu-
nanya mengkhawatirkan suatu kejadian yang be-
lum jelas. Kalau guruku, Eyang Pamekasan ingin 
menghukumku karena tak mentaati perintahnya, 
aku sudah siap. Mati pun aku tak peduli. Hanya 
yang kukhawatirkan, kalau semisalnya aku mati, 
lalu kau akan hidup dengan siapa?" 
"Sebaiknya Ayah tak perlu punya perasaan 
apa-apa terhadapku maupun terhadap hal-hal 
yang belum jelas. Semua ini terserah pada titah 
Yang Maha Kuasa. Kita serahkan saja semua per-
soalan ini pada-Nya. Niscaya kita akan mendapat 
kedamaian." 
"Baiklah, Putriku. Aku akan menuruti apa 
yang kau nasihatkan." 
"Maaf, Ayah! Aku bukannya menasihati 
atau mengguruimu," ucap Ratu Adil malu-malu. 
"Tidak. Kau memang pantas menasihati 
maupun mengguruiku, Putriku. Sebab, kau me-
mang lebih arif dibanding ayahmu!" 
"Ah...! Sudahlah! Kenapa Ayah malah me-
mujiku? Nanti aku jadi besar kepala, lho?" seloroh 
Ratu Adil. 
"Kau memang pantas berbesar kepala, Pu-
triku. Habis, kau memang jauh lebih hebat di-
banding ayahmu." 
"Ah...! Ayah ini bisa saja! Kalau kepalaku 
besar, nanti siapa yang mau menjadi menantu-
mu?"  
"Jadi? Kau sudah punya kekasih, Putriku?" 
"Hm...!" 
Ratu Adil tak langsung menjawab. Entah 
kenapa tiba-tiba saja di benaknya terbayang wa-
jah Siluman Ular Putih. Semakin diingat, hatinya 
semakin gelisah saja. Padahal belum ada seten-
gah hari berpisah dengan Siluman Ular Putih. Ta-
pi, rasa-rasanya seperti sudah lama sekali. 
"Aneh! Ada apa sebenarnya dengan hatiku? 
Kenapa aku seperti merasakan ada sesuatu yang 
hampa dalam hatiku...?" desah Ratu Adil dalam 
hati. 
"Lho...? Kok, malah melamun?" 
"Ah..., Ayah. Mengagetkanku saja," kata 
Ratu Adil malu-malu. 
Gembong Kenjeran tertawa. Alangkah le-
pasnya suara tawa itu terdengar di telinga Ratu 
Adil. Seolah, tak memiliki beban lagi. 
"Pasti kau sedang memikirkan seseorang. 
Siapakah pemuda yang beruntung itu, Putriku?" 
cecar Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran. 
"Sudah, ah! Kenapa Ayah jadi cerewet, sih? 
Katanya ingin mengajakku pergi ke tempat yang 
jauh?" tukas Ratu Adil, sengaja mengalihkan 
pembicaraan. 
"Ayo! Tapi kapan-kapan kau kenalkan ke-
kasihmu itu padaku, ya!" goda Gembong Kenjeran 
gembira. 
Ratu Adil cemberut. 
Gembong Kenjeran tertawa senang seraya 
merengkuh bahu Ratu Adil. Diajaknya gadis  itu 
untuk keluar dari gua tempat persembunyian. 
"Kakang! Apakah kau hendak meninggal-
kanku?" 
Tiba-tiba terdengar suara halus seseorang 
bernada menegur. Seketika Gembong Kenjeran 
dan Ratu Adil memalingkan kepala ke arah da-
tangnya suara. 
Di ruang sebelah dalam gua, Dewi Bunga 
Bangkai tengah melangkah mendekati Gembong 
Kenjeran dan Ratu Adil. Tampak wajah perem-
puan cantik itu tak lagi pucat, pertanda luka da-
lamnya mulai berangsur sembuh. 
"Ayah! Biarkan aku menghajar wanita ke-
parat ini. Ayah!" Ratu Adil memberontak dari 
rengkuhan tangan ayahnya. 
"Tunggu, Putriku! Kau tak boleh semba-
rangan menurunkan tangan maut!" cegah Gem-
bong Kenjeran. 
"Kenapa?" tanya Ratu Adil gusar. Bagaima-
napun juga, gadis ini masih penasaran belum da-
pat merobohkan Dewi Bunga Bangkai. 
"Kakang Gembong Kenjeran! Biarkan gadis 
sial itu bertingkah! Aku ingin melihat, sampai di 
mana kehebatannya!" tukas Dewi Bunga Bangkai 
sengit. 
"Jangan sembarangan bicara, Dewi Bunga 
Bangkai! Gadis ini tak lain dari putriku. Siapa sa-
ja yang berani mengganggunya, aku tak akan 
tinggal diam!" hardik Gembong Kenjeran. 
"Jadi? Kau lebih memilih gadis sial itu di-
banding aku, Kakang Gembong Kenjeran?!" teriak 
Dewi Bunga Bangkai, seolah tak percaya melihat 
perubahan sikap Gembong Kenjeran. 
"Dia putriku. Bagaimanapun juga, aku 
akan membelanya." 
"Hm...! Jadi, kau mulai tak menyukaiku, 
ya?! Baik! Jangan dikira aku akan diam begitu sa-
ja menerima penghinaan orang!" sentak Dewi 
Bunga Bangkai. 
"Pergilah! Tak ada gunanya kau mengan-
camku!" 
"Baik! Aku memang akan meninggalkan 
tempat  ini. Tapi, ingat! Aku pasti akan datang 
menuntut balas," dengus Dewi Bunga Bangkai 
penuh kemarahan. Di akhir kalimatnya, murid 
Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu 
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Gembong Kenjeran memandangi kepergian 
Dewi Bunga Bangkai sedih. Bukan sedih karena 
ditinggal, melainkan sedih karena sudah telanjur 
bergaul akrab dengan perempuan cantik itu. 
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini, Putriku!" 
ajak Gembong Kenjeran mendahului, karena tak 
ingin mendengar pertanyaan  putrinya tentang 
hubungannya dengan Dewi Bunga Bangkai. 
"Baik," sahut Ratu Adil singkat. 
Gembong Kenjeran segera mengajak pu-
trinya keluar. Namun baru saja hendak melang-
kah, tiba-tiba.... 
"Gembong Kenjeran! Keluar! Aku datang 
ingin menemuimu!" 
Gembong Kenjeran gusar bukan main keti-
ka tiba-tiba mendengar bentakan keras dari luar 
gua. Hatinya khawatir kalau-kalau Eyang Pame-
kasan yang datang ingin meminta pertanggungja-
wabannya. Tanpa sadar kepalanya berpaling me-
mandang pada Ratu Adil, seolah-olah ingin minta 
pertimbangan. 
Ratu Adil mengangguk. Maka Gembong 
Kenjeran pun segera mengajak putrinya keluar 
dari tempat persembunyian. 
*** 
10 
Di luar gua tempat persembunyian, seo-
rang lelaki tua berpakaian ringkas berwarna biru 
telah menunggu kedatangan Gembong Kenjeran. 
Tubuhnya amat kurus. Rambutnya awut-awutan 
tak terawat. Dari wajahnya yang kepucatan tam-
pak dipenuhi tonjolan-tonjolan daging hidup. Dia 
tak lain adalah Peramal Maut. 
Melihat siapa yang datang, Gembong Ken-
jeran jadi menghela napasnya lega. Tanpa banyak 
membuang waktu putrinya segera diajak keluar 
dari mulut gua yang tertutup semak belukar. 
"Hup! Hup!" 
Kini Gembong Kenjeran dan Ratu Adil telah 
berdiri tegak di hadapan Peramal Maut. Mereka 
sejenak saling berpandangan. Sementara bagi Pe-
ramal Maut, hatinya merasa heran melihat Ratu 
Adil bersama Gembong Kenjeran. 
"Hm...! Rupanya gadis bengal itu sudah 
dapat kau tundukkan, Gembong Kenjeran," gu-
mam Peramal Maut, sembarangan. 
"Jangan bicara sembarangan, Peramal 
Maut! Dia putriku," hardik Gembong Kenjeran. 
"Oh...! Putrimu?" sentak Peramal Maut 
membelalak lebar. Lalu pandangannya dialihkan 
ke arah Ratu Adil. "Benar kan apa yang kuramal-
kan beberapa hari lalu? Ternyata orang yang kau 
cari tak seperti yang kau harapkan, bukan?" 
"Tak semua ramalanmu benar, Peramal 
Maut. Buktinya aku dapat membujuk ayahku un-
tuk kembali ke jalan lurus," sergah Ratu Adil sen-
git. (Untuk mengetahui ramalan Peramal Maut 
terhadap Ratu Adil, harap baca episode: "Setan 
Haus Darah"). 
"Oho...? Kembali ke jalan lurus? Benarkah? 
Apa tidak salah pendengaranku?" 
"Tidak, Peramal Maut. Berkat nasihat pu-
triku, sekarang aku sadar. Aku tak ingin bergeli-
mang dosa lagi!" tegas Gendon Prakoso. 
Peramal Maut tertawa bergelak. Lucu sekali 
melihat Gembong Kenjeran yang sebelumnya to-
koh sesat tiba-tiba bertekuk lutut hanya karena 
mendengar nasihat seorang gadis. 
"Bukan main. Ini benar-benar satu keju-
tan. Gembong Kenjeran ternyata bertekuk lutut 
hanya karena seorang gadis. Ha ha ha...!" tawa 
Peramal Maut terdengar sangat melecehkan. 
"Peramal Maut! Apa kau datang  kemari 
hanya untuk memperolokku?" tegur Gembong 
Kenjeran tak senang. 
Peramal Maut menghentikan tawanya. Se-
pasang matanya mendadak menatap tajam Gem-
bong Kenjeran. 
"Tidak! Buat apa aku memperolokmu. Ti-
dak diperolok pun kau sudah merasa malu. Aku 
datang kemari hanya ingin menagih janjimu." 
"Janji? Janji apa?" 
"Ha ha ha...! Hm.... Beginikah ciri-ciri 
orang yang sudah tobat? Heran? Kenapa bisa lu-
pa? Bukankah kau akan memberikan obat pena-
war racun kalau aku sudah menyampaikan pe-
sanmu pada Siluman Ular Putih dan Penyair Sint-
ing? Nah! Sekarang apa yang kau inginkan sudah 
kulaksanakan. Mungkin sebentar lagi mereka 
akan kemari. Ayo! Sekaranglah saatnya kau 
memberikan obat penawar racun itu." 
"Hm...! Baik," sahut Gembong Kenjeran. 
Tangan kanannya segera mengambil butiran kun-
ing dari satu jubahnya, dan dilemparkan ke arah 
Peramal maut. "Terimalah obat penawar racun 
ini, Peramal Maut!" 
Werrr! Werrr! 
Dengan sigap Peramal Maut segera me-
nangkap butiran-butiran kuning yang meluncur 
deras. Hebatnya, kedua telapak tangan Peramal 
Maut kontan bergetar keras manakala menang-
kap. Padahal, kelihatannya Gembong Kenjeran 
hanya melemparkan pelan saja! 
Untuk menutupi keterkejutannya, Peramal 
Maut hanya tertawa. Hatinya sebenarnya merasa 
heran juga. Sungguh tak disangka kalau akan 
mendapat obat penawar racun begitu mudah. 
Seandainya saja Gembong Kenjeran belum berto-
bat, bukan mustahil Peramal Maut akan menda-
pat kesulitan. Bahkan bukan mustahil pula nya-
wanya akan melayang. 
"Terima kasih. Sekarang aku baru percaya 
kalau kau telah bertobat," ujar Peramal Maut. La-
lu buru-buru ditelannya dua butiran kuning 
pemberian Gembong Kenjeran. (Untuk mengeta-
hui Peramal Maut terkena racun oleh Gembong 
Kenjeran, silakan baca episode : "Wasiat Kema-
tian"), 
Begitu merasakan kesegaran dalam tubuh-
nya, Peramal Maut tersenyum senang. Dipandan-
ginya Gembong Kenjeran dengan mata berbinar. 
"Sekarang urusan di antara kita tuntas su-
dah. Dan karena tak ada lagi yang patut dibicara-
kan, aku pun tak ingin lagi berlama-lama di tem-
pat ini. Selamat tinggal!" kata Peramal Maut. 
Namun belum sempat lelaki tua itu menje-
jakkan kakinya ke tanah hendak berkelebat me-
ninggalkan tempat itu, mendadak.... 
"Murid murtad! Aku datang meminta per-
tanggung-jawabanmu!" 
Peramal Maut terkesiap ketika terdengar 
bentakan dari sebelah barat, ia seperti mengenali 
bentakan barusan itu. 
"Dia datang. Aku harus dapat meman-
faatkannya untuk melampiaskan dendamku pada 
Gembong Kenjeran," batin Peramal Maut. 
Seperti yang dialami Peramal Maut, Gem-
bong Kenjeran juga terkejut bukan main. Meski 
sosoknya belum kelihatan, lelaki ini tahu siapa 
pemilik suara itu. 
Dan kenyataannya memang benar. Belum 
sempat hilang gaung bentakan, tiba-tiba dari se-
belah barat Hutan Kenjeran muncul sesosok 
bayangan hitam-hitam ke tempat itu. Sosok itu 
adalah seorang lelaki tua renta berpakaian serba 
hitam. Rambutnya yang putih digelung ke atas. 
Dia tak lain dari Eyang Pamekasan! 
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang 
cepat luar biasa, ternyata Eyang Pamekasan telah 
tiba di tempat persembunyian Gembong Kenjeran. 
Tidak mengherankan memang. Eyang Pamekasan 
yang sebenarnya memiliki aji 'Penuntun Sukma' 
yang belum pernah diturunkan pada siapa pun, 
tentu saja dapat menemukan tempat persembu-
nyian Gembong Kenjeran dengan mudah. 
"Benarkah kau telah mengkhianati perin-
tahku, Gendon Prakoso?" 
Seketika paras Gembong Kenjeran pucat 
pasi. Untuk beberapa saat lelaki ini tak mampu 
membuka suara. Hatinya tegang. Seumur hidup-
nya baru kali ini hatinya merasa tegang dan ta-
kut. Takut akan ajalnya, juga takut akan berpisah 
dengan putrinya. 
"Kenapa diam saja, Gendon?!  Benarkah 
kau telah mengkhianati perintahku?" 
"Ha ha ha...! Sungguh malang nasibmu, 
Pamekasan. Punya murid tapi tak mau berbakti. 
Buat apa murid macam itu? Bikin sakit gigi saja!" 
selak Peramal Maut memanas-manasi. 
"Diam kau, Peramal Maut! Aku tak butuh 
ocehanmu!" bentak Eyang Pamekasan. 
"Ha ha ha...! Kau akan menyesal besar ka-
lau tak mau mendengar ocehanku, Pamekasan. 
Akulah saksi atas pengkhianatan muridmu," kata 
Peramal Maut, kian membuat Eyang Pamekasan 
penasaran. 
"Gendon Prakoso! Benarkah apa yang di-
ucapkan, Peramal Maut?" 
"Maaf, Guru! Dengan sangat terpaksa, mu-
rid mencabut semua sumpah yang pernah di-
ucapkan," ucap Gembong Kenjeran sambil me-
nangkupkan kedua telapak tangan ke depan da-
da. 
"Kau dengar sendiri, apa yang diucapkan 
murid kesayanganmu itu, kan?" selak Peramal 
Maut lagi, mengejek. 
"Bangsat! Jadi benar kau telah mengkhia-
natiku, Murid Murtad?!" 
"Adalah kekejian di atas kekejian bila se-
seorang menghalang-halangi seseorang untuk 
kembali ke jalan lurus. Semua ini harusnya dite-
rima dengan lapang dada. Bukan malah sebalik-
nya!" sela Ratu Adil. 
"Bocah lancang! Beraninya kau menasiha-
tiku! Siapa kau sebenarnya, he?!" bentak Eyang 
Pamekasan. 
"Dia itu putri kandung muridmu, Pameka-
san. Dan dia pulalah yang telah membuat mu-
ridmu keblinger." 
"Kurang ajar! Berarti kalian berdua me-
mang patut mampus di tanganku! Minggir!" 
Eyang Pamekasan mendorong tubuh Pe-
ramal Maut kasar. Lalu dengan kemarahan  me-
muncak, diterjangnya Gembong Kenjeran dengan 
ganas. 
Wutt! Wuttt! 
Angin berkesiur keras manakala bogem 
mentah Eyang Pamekasan berkelebat. 
Anehnya Gembong Kenjeran tetap tegak di 
tempatnya. Sedikit pun tidak ada niatan untuk 
menghindar atau menangkis. Malah, serangan 
gurunya diterima dengan mata terbuka. Akibat-
nya.... 
Bukkk! Bukkk! 
Telak sekali bogem mentah Eyang Pameka-
san mendarat di dada Gembong Kenjeran. Seketi-
ka tubuh lelaki itu terpental ke belakang, dan ter-
banting keras. Darah segar kontan menyembur 
dari mulutnya. Gembong Kenjeran mengerang he-
bat. Dadanya yang terkena hantaman seolah mau 
jebol! 
"Ayah!" jerit Ratu Adil memilukan. 
Gadis itu segera menubruk ayahnya dan 
berusaha membangunkannya. Namun, Gembong 
Kenjeran malah menggelengkan kepala. 
"Hukumlah aku kalau kau menghendaki, 
Guru! Aku memang bersalah. Aku patut menda-
pat hukumanmu! Tapi, tolong! Jangan libatkan 
putriku dengan masalahku ini!" 
Eyang Pamekasan menggeram penuh ke-
marahan. Sekali menjejak kembali diterjang 
Gembong Kenjeran ganas. Kali ini tendangan ka-
kinya yang keras kembali siap mengancam dada. 
Lagi-lagi Gembong Kenjeran tetap tak mau 
bergeming dari tempatnya. Melihat itu, Ratu Adil 
jadi gusar sekali. Tanpa pikir panjang segera dis-
ambarnya tubuh ayahnya untuk menghindar. 
Bukan main geramnya hati Eyang Pameka-
san melihat Ratu Adil ikut campur tangan. Me-
nyadari serangannya hanya mengenai angin ko-
song, lelaki tua sesat itu jadi kian beringas. Sepa-
sang matanya yang mencorong tampak demikian 
mengerikan memandang ke arah Ratu Adil dan 
Gembong Kenjeran. Dan kini, selangkah demi se-
langkah didekatinya ayah beranak itu. 
"Selamatkanlah dirimu, Anakku! Cepat!" 
ujar Gembong Kenjeran gusar bukan main. 
"Tidak! Apa pun yang akan terjadi tak 
mungkin aku meninggalkanmu. Ayah!" tegas Ratu 
Adil.  
"Tapi...." 
"Tanggalkan kepala putrimu dulu baru 
kuizinkan pergi!" tuding Eyang Pamekasan ke 
arah Ratu Adil. 
Di ujung kalimatnya Eyang Pamekasan tak 
segan-segan lagi kembali melabrak Gembong Ken-
jeran dan Ratu Adil. 
Wuttt! Wuttt! 
Kembali tendangan-tendangan kaki Eyang 
Pamekasan mengancam ayah dan anak itu. Se-
perti sebelumnya, Gembong Kenjeran tetap tak 
mau bergeming dari tempatnya. Lelaki itu tetap 
duduk berlutut menunggu hukuman gurunya. 
Namun belum sempat serangan Eyang Pa-
mekasan mengenai dada, tiba-tiba Gembong Ken-
jeran melihat selarik sinar putih memapak da-
tangnya serangan. 
Srattt! 
Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Buru-
buru kakinya ditarik kalau tidak ingin terbabat 
sambaran pedang di tangan Ratu Adil. 
"Kurang ajar! Beraninya kau menghalang-
halangi maksudku, Gadis! Makanlah pukulan 
'Pelebur Bumi'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Eyang Pameka-
san yang tak dapat lagi mengendalikan amarah 
segera melontarkan pukulan maut ke arah Ratu 
Adil. Seketika meluruk dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangannya siap melabrak 
tubuh Ratu Adil. 
Wesss! Wesss! 
Ratu Adil tercekat, tak menyangka akan 
mendapat serangan demikian hebat dari Eyang 
Pamekasan. Untuk menghindar maupun mema-
pak rasanya tidak mungkin. Di samping serangan 
itu demikian tiba-tiba, juga dilontarkan dari jarak 
yang demikian dekat. 
Dan belum sempat Ratu Adil memikirkan 
tindakan apa yang dilakukan, tiba-tiba meluruk 
dua larik sinar hitam legam memapak serangan 
Eyang Pamekasan. 
Blammm! Blammm! 
Terdengar ledakan hebat di udara. Tubuh 
Eyang Pamekasan yang sempat terjajar tampak 
bergetar hebat. Parasnya menyiratkan keterkeju-
tan melihat orang yang memapak serangannya. 
"Bangsat! Berani kau melawan gurumu, 
Murid Murtad!" hardik Eyang Pamekasan gusar 
bukan main melihat Gembong Kenjeran berani 
memapak serangannya. 
Gembong Kenjeran yang sempat terjungkal 
beberapa tombak berusaha bangkit. Wajahnya 
pucat pasi dengan napas tersengal. Dadanya tera-
sa seperti mau ambrol akibat benturan tadi. 
"Maaf, Guru! Aku hanya ingin melindungi 
putriku," ucap Gembong Kenjeran tersendat-
sendat. Sambil menekap dadanya, lelaki ini beru-
saha berdiri kokoh. 
Ratu Adil yang melihat keadaan ayahnya, 
segera menyilangkan pedangnya di depan dada, 
bermaksud menghalang-halangi Eyang Pameka-
san. 
"Kalau kau berani melukai ayahku, aku 
siap mengadu jiwa denganmu, Orang Tua!" tegas 
Ratu Adil, sedikit pun tidak menyiratkan pera-
saan takut. 
"Yustika! Pergilah! Biar urusan ini Ayah 
yang menangani," teriak Gembong Kenjeran kha-
watir. 
"Tidak, Ayah. Aku tak mungkin meninggal-
kanmu." 
"Bangsat hina! Aku akan melenyapkan ka-
lian berdua!" bentak Eyang Pamekasan. 
"Tunggu, Pamekasan! Agar kau lebih lelua-
sa menghukum muridmu, biarkan aku main-
main sebentar dengan gadis bengal itu!" usul Pe-
ramal Maut sambil melompat ke tempat pertarun-
gan. 
Eyang Pamekasan tampak ragu-ragu. Seje-
nak dipandanginya Peramal Maut tajam-tajam. 
"Baiklah. Kau boleh memperlakukan gadis 
bengal itu sesukamu, Peramal Maut!" putus 
Eyang Pamekasan akhirnya. 
Peramal Maut tertawa bergelak, senang se-
kali mendapat kesempatan untuk menghajar Ratu 
Adil. 
"Terima kasih, Pamekasan. Ayo, kita hajar 
manusia-manusia tak tahu diri ini!" sambut Pe-
ramal Maut gembira. 
Eyang Pamekasan diam tak menyahut. 
Amarahnya yang memuncak membuat perhatian-
nya hanya terpusat pada Gembong Kenjeran. Na-
mun belum sempat kedua tokoh sesat itu mem-
buka serangan, tiba-tiba.... 
"Wah...! Kebetulan sekali sudah berkumpul 
semua di sini. Apa kabar, Pamekasan?" 
*** 
11 
Eyang Pamekasan menggeram penuh ke-
marahan. Sepasang matanya yang berkilat-kilat 
segera dialihkan ke arah datangnya suara. Ter-
nyata, tak jauh dari tempat itu telah berdiri seo-
rang perempuan cantik berusia tiga puluh lima 
tahun. Tubuhnya yang dibungkus pakaian ketat 
warna hijau pupus menebarkan aroma harum 
bunga melati. Sedang rambutnya yang hitam pan-
jang digelung ke atas. Sambil mengumbar se-
nyum, perempuan cantik itu terus mempermain-
kan payung di tangan kanannya. Seperti pa-
kaiannya, payung itu juga berwarna hijau pupus. 
"Putri Hijau...!" desis Eyang Pamekasan. 
"Wah...! Beruntung sekali kau masih men-
genaliku, Pamekasan! Apa kabar? Kenapa kau tak 
menjawab pertanyaanku?" kata perempuan cantik 
itu yang memang Putri Hijau sambil tetap men-
gumbar senyum. 
"Tak ada gunanya menjawab pertanyaan-
mu. Karena, memang aku tak ada urusan den-
ganmu," sahut Eyang Pamekasan ketus. 
"Oh... begitu. Tapi, muridmu telah melari-
kan temanku yang cantik itu. Jadi kukira aku 
berhak mencampuri urusanmu," tandas Putri Hi-
jau sambil menudingkan ujung payungnya ke 
arah Ratu Adil. 
"Walaupun kau berurusan dengan murid 
murtadku, tapi jangan harap bisa menghakimi 
muridku! Karena, akulah yang berhak." 
"Oho...! Kau bilang murid murtad? Ada apa 
sebenarnya?" sentak Putri Hijau membeliakkan 
matanya yang indah. 
"Sobatku, Putri Hijau! Ketahuilah! Gem-
bong Kenjeran adalah ayah kandungku. Aku telah 
memintanya untuk kembali ke jalan lurus. Tapi, 
orang tua itu menghalangi niat baik orangtua ku," 
sela Ratu Adil sambil menudingkan ujung pedang 
ke arah Eyang Pamekasan. 
"Ah...! Kalau begitu kau yang salah, Pame-
kasan. Masa' muridmu mau tobat tak diizinkan? 
Yang benar saja, ah?! Kalau kau memang biang-
nya orang sesat, sehingga tak suka melihat orang 
bertobat. Biarkanlah muridmu menempuh jalan-
nya sendiri!"  
"Jangan banyak omong, Putri Hijau! Kalau 
berani menghalang-halangi niatku, maka kaulah 
yang pertama kali akan kumusnahkan!" dengus 
Eyang Pamekasan sarat ancaman. 
"Oho...! Sungguh nyaring suaramu, Pame-
kasan. Sepertinya kau saja yang berkuasa di mu-
ka bumi," ejek Putri Hijau. 
"Sobatku, Putri Hijau! Tolong bantu ayah-
ku. Ia tak mau melawan gurunya. Ayahku lebih 
baik memilih mati daripada harus melawan," pin-
ta Ratu Adil. 
"Hm...! Itu bagus. Itu tanda-tandanya 
orang mau tobat. Tentu aku akan melindunginya. 
Nah, Pamekasan! Seperti yang kau dengar dari 
sobatku yang cantik jelita itu, aku diminta untuk 
melindungi Gembong Kenjeran. Sebenarnya, aku 
juga belum yakin benar kalau muridmu akan ber-
tobat. Tapi menimbang permintaan sobatku, tak 
ada salahnya kalau aku melindungi murid mur-
tadmu!" 
"Bangsat! Kalau begitu majulah! Akan ku-
lihat, sampai di mana kehebatanmu!" putus 
Eyang Pamekasan. 
Meski berkata begitu, tapi toh lelaki tua itu 
sendiri yang lebih dulu membuka serangan. Tidak 
tanggung-tanggung, dikerahkannya pukulan an-
dalan 'Pelebur Bumi'. Maka begitu kedua telapak-
nya berubah hitam legam hingga pangkal, segera 
dihantamkannya ke depan. 
Wesss! Wesss! 
Tak terhindarkan lagi, dua larik sinar hi-
tam legam langsung melesat dari kedua telapak 
tangan Eyang Pamekasan yang disertai hawa pa-
nas bukan kepalang, siap melabrak tubuh Putri 
Hijau. 
Putri Hijau sempat menyunggingkan se-
nyum. Namun diam-diam telah pula dikerahkan 
tenaga dalam tinggi. Dan begitu serangan melu-
ruk segera dipapaknya. 
Blammm! 
Saat itu juga terdengar satu ledakan hebat 
di udara begitu dua kekuatan dahsyat beradu. 
Tubuh kedua orang itu pun sama-sama terjajar 
ke belakang. 
* * * 
Sementara itu, Peramal Maut pun mulai 
membuka serangan. Dengan tongkat di tangan 
kanan, segera diterjangnya Ratu Adil hebat. 
Tongkat di tangan kanannya pun telah berseliwe-
ran mengerikan, mengancam tubuh Ratu Adil 
yang terus berkelebat cepat menghindari dan me-
nangkis. 
Takkk! Takkk! 
Dua kali pedang di tangan Ratu Adil me-
nangkis. Dan akibatnya tongkat di tangan Peram-
al Maut kontan terbabat buntung menjadi dua 
bagian.  
"Setan!" 
Peramal Maut menggembor penuh kemara-
han. Sisa tongkat di tangan kanannya dilempar-
kan ke samping. Lalu, sejenak pikirannya dipu-
satkan. Pada saat itu, kedua telapaknya mulai 
menghitam hingga ke pangkal lengan. 
Ratu Adil maklum kalau Peramal Maut mu-
lai mengerahkan pukulan andalan. Tanpa banyak 
pikir panjang, pedangnya segera disimpan kemba-
li dan siap menghadapi Peramal Maut dengan pu-
kulan andalan 'Cakar Naga Samudera'. Maka be-
gitu tenaga dalamnya dikerahkan, tampak jari-jari 
tangannya berubah menjadi biru. 
Di hadapannya, mata Peramal Maut sem-
pat terbelalak lebar melihat musuhnya mulai 
mengerahkan pukulannya. Bagaimanapun juga, 
lelaki tua ini pernah merasakan kehebatan puku-
lan murid Ratu Alit. Untuk itu, ia tidak ingin ce-
laka untuk yang kedua kali. Maka tenaga dalam-
nya ditambah menjadi kekuatan penuh. 
Ratu Adil sendiri tak berani bersikap ayal-
ayalan. Dua kali gadis ini hampir celaka di tangan 
Peramal Maut. Dan itu semua hanya karena keli-
cikan tokoh sesat dari puncak Gunung Kembang 
itu. Maka untuk menghadapi pertarungan, tinda-
kannya harus lebih hati-hati. Ia tidak ingin terke-
na tipu muslihatnya untuk yang ketiga kali. 
(Mengenai pertarungan Peramal Maut dan Ratu 
Adil sebelumnya, silakan baca episode : "Setan 
Haus Darah" dan "Hantu Tangan Api"). 
"Hea!" 
Bersamaan teriakannya yang nyaring, tiba-
tiba Peramal Maut menghentakkan kedua telapak 
tangan ke depan. Hebat bukan main. Dua larik 
sinar hitam legam segera meluruk dari kedua te-
lapak tangannya yang disertai hawa dingin mem-
bekukan tulang. 
Wesss! Wesss! 
Ratu Adil tak ingin banyak membuang-
buang waktu. Begitu melihat datangnya serangan, 
jari-jari tangannya segera digurat-guratkan ke 
udara. Akibatnya dari jari-jari tangannya kontan 
melesat cepat sepuluh larik sinar biru memapak 
pukulan Peramal Maut. 
Cesss! Cesss! 
Sepuluh larik sinar biru dari jari-jari tan-
gan Ratu Adil seperti mencelup dalam kubangan 
air. Namun hebatnya, dua larik sinar hitam legam 
milik Peramal Maut sempat tertahan lalu ambyar 
ke udara! 
Pesss! 
Hawa panas dan dingin dari bentrokan se-
gera menguar memenuhi tempat pertarungan. 
Seketika, ranting-ranting pohon berderak dengan 
daun-daun dalam keadaan hangus terbakar! Se-
bagian lainnya kontan berubah menjadi kusam! 
Sementara, tubuh Peramal Maut dan Ratu 
Adil sama-sama terpental jauh ke belakang. Na-
mun, Ratu  Adil cepat dapat menguasai keseim-
bangan. Walau parasnya menjadi pias, namun 
dapat tersenyum puas melihat hasil serangannya. 
Di hadapannya, tubuh Peramal Maut ma-
sih terduduk di tanah dengan napas memburu. 
Pakaian yang dikenakan tampak bolong-bolong, 
akibat terkena lesatan sinar biru dari jari-jari tan-
gan Ratu Adil. Untung saja, tenaga dalamnya se-
gera dikerahkan, hingga luka yang diderita tak 
begitu parah. 
"Bangsat hina! Kau pikir mudah meroboh-
kanku, he?!" geram Peramal Maut meledak-ledak. 
Di ujung geramannya, tokoh sesat dari 
puncak Gunung Kembang ini segera melompat 
bangun, Tubuhnya sempat limbung begitu ka-
kinya menjejak tanah. Namun keseimbangan tu-
buhnya cepat dapat dikuasai. Kedua telapak tan-
gannya kini telah berubah kuning hingga pangkal 
lengan, pertanda  telah mengerahkan tenaga da-
lam tinggi. 
"Hati-hati, Anakku! Ia akan mengeluarkan 
pukulan 'Gada Akhirat'!" teriak Gembong Kenje-
ran, dari luar tempat pertarungan. 
"Jangan khawatir. Ayah! Asal tua bangkai 
itu tak berbuat licik, pasti aku dapat mengata-
sinya,"  sahut Ratu Adil, merasa terharu melihat 
ayahnya masih terduduk di luar tempat pertarun-
gan akibat luka dalamnya. 
"Gadis pongah! Makanlah pukulan 'Gada 
Akhirat'-ku! Hea!" 
Seiring teriakan keras, tiba-tiba Peramal 
Maut menyentakkan telapak tangannya ke depan, 
membuat dua larik sinar kuning berkilauan mele-
sat ke depan. Hawa panas yang bukan kepalang 
pun sempat menampar-nampar kulit Ratu Adil 
sebelum mencapai sasaran. 
Ratu Adil menggeletukkan geraham se-
kuatnya. Sinar biru di jari-jari tangannya pun 
makin terang. Lalu dengan menambah tenaga da-
lam sepenuhnya, jari-jari tangannya segera digu-
rat-guratkan kembali ke udara.  
Srattt! Srattt! 
Saat itu pula sepuluh larik sinar biru dari 
jari-jari tangan Ratu Adil melesat cepat. Suaranya 
mencicit, sebelum akhirnya memapak dua larik 
sinar kuning milik Peramal Maut. 
Besss! 
Bumi bergetar hebat ketika terjadi bentu-
ran  dua kekuatan dahsyat. Gulungan-gulungan 
sinar biru dan sinar kuning tampak tertahan di 
udara. Di kejap lain, sosok Peramal Maut terpen-
tal jauh ke belakang dengan  teriakannya me-
lengking tinggi. 
Bukkk! 
Tubuh Peramal Maut terbanting keras. Dari 
lobang hidung dan telinganya mengeluarkan da-
rah segar. Mulutnya mengerang hebat. Tangannya 
menggapai-gapai ke udara, lalu luruh ke tanah 
dan tidak bergerak-gerak lagi. Tewas! 
*** 
12 
"Ha ha ha...! Lihatlah, Pamekasan! Nyawa 
sobatmu telah dijemput malaikat maut! Sebentar 
lagi pasti giliranmu!" 
Suara merdu Putri Hijau terdengar amat 
menyakitkan telinga Eyang Pamekasan. Tentu sa-
ja hal ini makin membuat amarah lelaki tua itu 
makin berkobar. Maka dengan disertai pekik ke-
marahan, diterjangnya Putri Hijau ganas. Tidak 
tanggung-tanggung, kali ini disertai pengerahan 
pukulan 'Panglarut Banyu Putih'. Maka begitu 
tangannya dihentakkan, seketika meluncur dua 
gulungan asap putih berkilauan menyeruak. 
Wesss! Wesss! 
"Wah...! Rupanya kau sudah tak sabar in-
gin bertemu malaikat maut, Pamekasan! Baiklah. 
Kudoakan agar kau cepat pergi," ejek Putri Hijau. 
Di akhir ejeknya, Putri Hijau segera mem-
buka payungnya lebar-lebar. Tatkala gulungan 
asap putih dari tangan Eyang Pamekasan sema-
kin dekat dengan tubuhnya, tubuhnya cepat ber-
lindung ke balik payung yang terbuka. 
Besss! 
Aneh! 
Ternyata payung di tangan Putri Hijau ti-
dak mengalami kerusakan apa-apa. Malah yang 
terjadi justru sebaliknya. Dua gulungan asap pu-
tih itu tertahan di udara! 
"Hik hik hik...! Alangkah nyamannya ber-
lindung di balik payungku ini. Untung aku selalu 
membawanya. Kalau tidak, bisa celaka aku," oceh 
Putri Hijau. 
Eyang Pamekasan jadi gusar bukan main. 
Padahal kedua telapak tangannya makin bergetar 
hebat. Sedang dua gulungan asap dari kedua te-
lapak tangannya tetap saja tak mampu menem-
bus payung di tangan Putri Hijau. Melihat hal ini 
dicobanya melipatgandakan tenaga dalam. 
"Hea!" 
Bersama teriakannya yang nyaring, tiba-
tiba Eyang Pamekasan menyentakkan tangannya 
kuat-kuat. Akibatnya, gulungan asap putih milik-
nya makin hebat menerjang payung di tangan Pu-
tri Hijau. 
Buk! Buk! 
Hebat lagi, ternyata payung di tangan Putri 
Hijau mampu menahan datangnya serangan. Wa-
lau payung itu sempat bergetar keras, namun se-
rangan-serangan Eyang Pamekasan jadi tertahan! 
Tiba-tiba Putri Hijau memutar payungnya 
kuat. Akibatnya, gulungan asap dari kedua tela-
pak tangan Eyang Pamekasan ambyar! Sedang-
kan tubuh Eyang Pamekasan terpental ke bela-
kang. 
Tubuh Putri Hijau sendiri pun kontan ter-
getar hebat. Tampak paras cantiknya pucat pasi, 
pertanda mengalami luka dalam yang cukup pa-
rah. Namun bibir itu masih dapat menyungging-
kan senyum. 
"Hup!" 
Pada saat itu tiba-tiba Putri Hijau menje-
jakkan kakinya ke udara. Sekali tangannya dike-
butkan, lima larik sinar kecil yang menebarkan 
bau harum langsung melesat cepat ke arah Eyang 
Pamekasan. 
Werrr! Werrr! 
Eyang Pamekasan terkesiap kaget. Tubuh-
nya yang saat itu masih melayang-layang di udara 
tak siap untuk menerima datangnya serangan. 
Namun, lelaki tua itu tak kehabisan akal. Ujung 
pakaiannya cepat dikebutkan, membuat serang-
kum angin keras langsung memapak serangan 
lawan. 
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! 
Lima larik sinar biru kecil yang memang 
berupa lima buah bunga melati biru langsung lu-
ruh ke tanah! Dan begitu menyentuh tanah, hawa 
harum bunga melati itu pun menebar, amat me-
nyengat hidung Eyang Pamekasan! Tapi semakin 
lama menghirup bau harum itu, kepalanya jadi 
pening! 
"Celaka! Aku bisa mampus terkena racun 
bunga melati biru itu. Aku harus secepatnya 
mengeluarkan aji 'Setan Kober'-ku...," rutuk 
Eyang Pamekasan dalam hati. 
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Eyang 
Pamekasan segera menelangkupkan kedua tela-
pak tangan di depan dada disertai pengerahan te-
naga dalam. Saat itu juga, kedua telapak tangan-
nya berubah menjadi hitam legam hingga pangkal 
lengan! Lalu dikawal bentakan nyaring, kedua te-
lapak tangannya disentakkan ke depan. 
Buesss! 
Kini dari kedua telapak tangan Eyang Pa-
mekasan menyembul keluar dua kepala bayi hi-
tam dengan tangan-tangannya yang menjulur 
panjang ke arah Putri Hijau! 
Seperti sewaktu menghadapi Gembong 
Kenjeran, Putri Hijau segera berlindung di balik 
payungnya. Hebat bukan main! Tangan-tangan 
bayi hitam milik Eyang Pamekasan tak mampu 
menembus kehebatan payung di tangan Putri Hi-
jau! 
Bukan main terkejutnya lelaki tua ini 
sungguh tidak disangka kalau serangan tangan-
tangan bayi hitamnya tetap saja tak mampu me-
nembus payung di tangan Putri Hijau. 
"Hik hik hik...! Tuhan memang maha adil. 
Beruntung benar aku memiliki Payung Keda-
maian ini, hingga dapat terhindar dari tangan-
tangan kotor manusia-manusia yang berhati ib-
lis," kata Putri Hijau sambil tertawa makin mem-
buat hati Eyang Pamekasan penasaran. 
Eyang Pamekasan bungkam seribu bahasa. 
Perasaan malu dan geram bercampur dalam da-
da. Saat itu pula tenaga dalamnya ditambah, seo-
lah hendak memaksakan tangan-tangan bayi hi-
tamnya untuk mencengkeram payung di tangan 
Putri Hijau. 
Pada saat yang sama, tiba-tiba Putri Hijau 
memutar payung di tangan kanannya cepat. 
Serrr! 
Serangkum angin keras laksana gelombang 
badai kontan melabrak tangan-tangan bayi hitam.  
"Aaakh...!" 
Eyang Pamekasan memekik keras. Tubuh-
nya kontan limbung ke samping, Sedangkan tan-
gan-tangan bayi hitamnya pun seketika lenyap, 
sehingga membuatnya gusar bukan main. Paras-
nya pucat pasi. Dari lobang hidungnya tampak 
mengalir darah segar! Pakaian yang dikenakannya 
pun robek di sana sini! 
Di hadapannya, tampak Putri Hijau men-
gebutkan tangannya. Seketika, berpuluh sinar bi-
ru kecil melesat cepat ke arah Eyang Pamekasan. 
Eyang Pamekasan yang telah menderita lu-
ka dalam cukup hebat segera berkelebat meng-
hindar. Namun karena gerakannya agak lambat, 
maka beberapa bunga melati biru milik Putri Hi-
jau sempat menghantam dadanya! 
Plukk! Plukkk! 
"Aaakh...!" 
Eyang Pamekasan meraung setinggi langit 
ketika tubuhnya jatuh ke tanah. Rasa nyeri yang 
bukan kepalang terasa hebat menyerang dada. 
Sekujur tubuhnya pun menggigil hebat! 
"Hoeekh!" 
Darah segar kebiru-biruan langsung me-
nyembur dari mulut Eyang Pamekasan. Tangan 
kanannya cepat mendekat dada kuat-kuat. Sepa-
sang matanya yang tajam pun mulai jelalatan ke 
sana kemari. Lalu tanpa banyak membuang wak-
tu, tubuhnya segera bangkit dan berkelebat cepat 
meninggalkan tempat pertarungan. 
"Hey...! Kau mau ke mana, Pamekasan?! 
Kenapa lari terbirit-birit?" 
Mendadak terdengar suara teguran yang 
disusul dengan berkelebatnya dua sosok bayan-
gan yang langsung menghadang langkah Eyang 
Pamekasan. 
* * * 
Sepasang mata Eyang Pamekasan berkilat-
kilat liar. Dua orang penghadangnya ternyata dua 
orang musuh bebuyutan yang sebenarnya tengah 
dicari. Mereka tak lain adalah Penyair Sinting dan 
Siluman Ular Putih. 
Menyadari dirinya telah menderita luka da-
lam hebat, jelas tak mungkin lelaki tua sesat itu 
dapat melampiaskan dendamnya. Apalagi di situ 
masih ada Putri Hijau yang lihai. Menghadapi Pu-
tri Hijau saja, ia belum mampu. Apalagi sekarang 
muncul Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting. 
Maka ciutlah nyali Eyang Pamekasan. 
"Pamekasan! Kau bilang ingin menghabisi 
nyawaku? Ayo, bunuh aku kalau bisa!" hardik 
Penyair Sinting sambil membusungkan dada. 
Eyang Pamekasan diam tak menyahut. Ma-
tanya kian jelalatan ke sana kemari mencari pe-
luang untuk melarikan diri. Namun sayang, pe-
luang itu tak ada. Malah kini Putri Hijau sudah 
bergabung dengan Penyair Sinting dan Siluman 
Ular Putih. 
"Tua bangka macam kau memang patut 
dimusnahkan dari muka bumi ini. Sudah tua bu-
kannya bertobat, malah menjadi biang pembuat 
onar. Huh!" dengus Siluman Ular Putih 
"Kau benar, Bocah Sinting. Tua bangka ini 
memang palut dilenyapkan," timpal Penyair Sint-
ing. 
"Wahai, sobat-sobatku Penyair Sinting dan 
Siluman Ular Putih! Ucapan kalian kurasa me-
mang benar. Sepertinya aku mulai mendengar 
malaikat maut mulai gentayangan di tempat ini. 
Pasti, ia ingin merenggut tua bangka Pamekasan 
itu!" tuding Putri Hijau ke arah Eyang Pameka-
san. 
"Ha ha ha...!" 
Entah karena tegang, entah saking tak 
kuatnya menahan malu, tiba-tiba Eyang Pameka-
san tertawa bergelak. Suara tawanya terdengar 
sumbang seperti orang putus asa. 
"Kalian semua tak mungkin dapat membu-
nuhku! Kecuali.... Huh...!" 
Dikawal dengusan, tiba-tiba  Eyang Pame-
kasan mengangkat dua jari tangannya ke atas, la-
lu dihujamkan ke ubun-ubun kepalanya sendiri 
dengan kekuatan tenaga dalam penuh. 
Crokkk! 
Darah segar berikut isi kepala langsung 
menyemburat keluar. Perlahan-lahan Eyang Pa-
mekasan luruh ke tanah. Tubuhnya mengejang-
ngejang sebentar, lalu tidak bergerak-gerak lagi. 
Untuk beberapa saat, Putri Hijau, Penyair 
Sinting, dan Siluman Ular Putih hanya tercekat 
melihat kejadian menggiriskan barusan. Mereka 
semua tidak menyangka kalau Eyang Pamekasan 
akan bertindak nekat menghabisi nyawanya sen-
diri. 
"Yah...! Mungkin memang beginilah yang 
dikehendaki Yang Maha Kuasa...;" desah Putri Hi-
jau sambil mendesah panjang. 
Penyair Sinting tampak masih tercekat di 
tempatnya. Namun tidak demikian halnya Silu-
man Ular Putih. Begitu murid Eyang Begawan 
Kamasetyo melihat Ratu Adil yang tengah mengo-
bati luka dalam Gembong Kenjeran, buru-buru 
menghampiri walau dengan sinar mata penuh ke-
heranan. 
"Bagaimana kabarmu, Yustika? Kau tidak 
apa-apa?" sapa Siluman Ular Putih sambil men-
gerling ke arah Gembong Kenjeran. 
Ratu Adil yang tahu apa arti kerling mata 
Siluman Ular Putih tersenyum. 
"Ternyata Gendon Prakoso yang kita cari 
adalah Gembong Kenjeran, Soma;" jelasnya. 
"Jadi...?" 
"Ya! Inilah ayah kandungku yang sebenar-
nya, Soma," Ratu Adil memeluk ayahnya erat-
erat. 
Siluman Ular Putih melongo. Masih belum 
mengerti apa yang dikatakan Ratu Adil. 
"Siluman Ular Putih! Aku menyesal sekali. 
Selama ini, aku begitu bodoh. Bahkan aku sam-
pai menghendaki nyawamu. Juga, menghendaki 
nyawa siapa saja yang menghalang-halangiku. Te-
rus terang, aku sudah insaf. Aku tobat. Kau tidak 
bertanya siapa yang membuatku jadi begini, Si-
luman Ular Putih?" ucap Gembong Kenjeran. 
"Tentu karena putrimu yang cantik jelita 
itu, bukan?" tebak Siluman Ular Putih asal saja. 
Ratu Adil tertunduk malu. 
"Benar! Memang putrikulah yang telah 
membuatku sadar. Terus terang, aku bangga se-
kali memiliki putri seperti ini," kata Gembong 
Kenjeran sambil mendekap Ratu Adil erat. "Tapi, 
sudikah kau memaafkan kesalahanku selama 
ini?" 
"Tentu! Tapi kau juga harus meminta maaf 
pada orang-orang yang telah kau sakiti. Termasuk 
juga, orang tua itu. Eh, di manakah mereka?"  
Siluman Ular Putih celingukkan ke sana 
kemari. Tapi sosok Putri Hijau dan Penyair Sint-
ing sudah meninggalkan tempat itu. 
"Ah...! Dasar orang-orang sinting! Seenak 
perutnya saja ngeloyor," rutuk si pemuda. 
"Sadahlah! Mereka itu orang-orang aneh. 
Buat apa mencarinya," kata Gembong Kenjeran, 
lalu merangkak bangun. "Sebentar." Lelaki itu 
lantas melangkah, mendekati mayat Eyang Pame-
kasan. 
"Soma! Ayahku sudah tobat. Apa kau pikir 
baik kalau misalnya aku mengajaknya hidup di 
Nusa Kambangan?" tanya Ratu Adil, meminta 
pendapat. 
"Kau dan ayahmu akan hidup di Nusa 
Kambangan?" 
"Ya. Kenapa?" 
"Hm...! Tak apa-apa," sahut Soma gugup. 
Ratu Adil memandang Soma sebentar. En-
tah kenapa, hatinya jadi gelisah sekali. 
"Sebenarnya, aku senang sekali melakukan 
perjalanan bersamamu. Soma. Tapi setelah ber-
temu ayah kandungku, terpaksa aku harus me-
nemaninya. Kapan-kapan kau tengok aku di Nusa 
Kambangan, ya?" desah Ratu Adil. 
Siluman Ular Putih mengangguk pelan. 
"Terima kasih, Soma. Kau baik sekali...," 
ucap Ratu Adil. Seketika gadis itu menubruk si 
pemuda. Kepalanya langsung direbahkan ke dada 
Siluman Ular Putih. 
Soma mendekap si gadis erat. Dibelainya 
rambut Ratu Adil lembut. 
"Ayo, kita bantu ayahmu menguburkan 
mayat Eyang Pamekasan," ajak Siluman Ular Pu-
tih. 
Ratu Adil mendesah. Hatinya agak kecewa 
saat Siluman Ular Putih melepaskan pelukannya. 
Namun manakala si pemuda kembali menggeng-
gam jari-jari tangan dan menggandeng lengannya 
untuk mendekati ayah kandungnya, Ratu Adil 
merasa bahagia. Senyumnya pun tampak jelas 
terkembang di bibir. 
SELESAI 
 
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel 
Scan/PDF: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com