Siluman Ular Putih 25 - Rahasia Kalung Permata Hijau(1)


Satu sosok ramping terbungkus pakaian 
hijau pupus menghentikan kelebatannya di dekat 
sebuah padang rumput. Bulatan besar berwarna 
merah tembaga yang mulai rebah di kaki langit 
sebelah barat menciptakan bayangan tubuhnya 
yang memanjang. Tubuhnya berputar sejenak 
dengan pandangan mengedar ke sekeliling. Ketika 
merasa tak ada orang yang mengikutinya, napas 
lega berhembus dari hidung dan mulutnya. 
Sosok itu adalah seorang perempuan can-
tik bertubuh sintal. Usianya sekitar tiga puluh 
atau tiga puluh lima tahun. Tubuhnya terlihat 
ramping dan masih padat berisi. Pakaian hijau 
pupusnya begitu ketat, membuat sepasang buah 
dadanya tampak membusung indah. Dari tubuh-
nya pun tercium bau harum bunga melati. Se-
mentara rambutnya yang hitam panjang digelung 
ke atas dengan hiasan-hiasan indah dari permata 
hijau. 
Di tangan perempuan berpakaian hijau itu 
terpegang sebuah payung berumbai-rumbai war-
na hijau. Siapa lagi perempuan yang memiliki ciri-
ciri seperti itu kalau bukan Putri Hijau? 
Di pundak Putri Hijau terdapat sesosok tu-
buh renta berjubah besar berwarna biru. Kedua 
kelopak matanya yang berbulu putih terpejam ra-
pat. Sisa-sisa darah segar terlihat masih memba-
sahi jubahnya. Wajahnya yang dipenuhi keriput 
pucat pasi dengan rambut awut-awutan tidak te-
rawat. Kakek renta yang tampaknya tengah terlu-
ka parah ini adalah Kakek Pikun dari Gunung 
Slamet. 
Memang! Kakek Pikun yang hendak pulang 
ke Gunung Slamet setelah gagal mencari murid-
nya yang bergelar Pembunuh Iblis, baru saja dis-
elamatkan Putri Hijau. Mungkin kalau tak cepat 
diselamatkan, nyawa Kakek Pikun yang saat itu 
terancam oleh Gembong Kenjeran terbetot seketi-
ka. Kendati demikian, tak urung lelaki tua ini 
menderita luka dalam yang amat parah. (Untuk 
lebih jelasnya, bagaimana Kakek Pikun bisa ter-
luka parah, baca episode: "Wasiat Kematian"). 
"Hm...! Kukira aku sudah cukup jauh me-
ninggalkan mereka. Aku harus secepatnya me-
nyembuhkan luka dalam Kakek Pikun ini...," gu-
mam Putri Hijau perlahan sekali. Kembali sepa-
sang matanya yang tajam memperhatikan kea-
daan sekitar seksama. 
Aman. 
Putri Hijau kembali menghela napas lega. 
Perlahan-lahan dibaringkan tubuh Kakek Pikun 
ke rerumputan. Sejenak ditelitinya dengan sek-
sama. Dan perempuan sakti itu mengerutkan ke-
ningnya ketika merasakan sekujur tubuh Kakek 
Pikun panas bukan main. Dari kedua telapak 
hingga pangkal lengan menghitam. Pertanda ra-
cun keji akibat pukulan Gembong Kenjeran telah 
mengaduk-aduk sekujur tubuh. 
"Aji 'Setan Kober'...?" desis Putri Hijau. 
"Siapakah laki-laki kasar berjubah kuning yang 
mengerahkan  ajian itu terhadap Kakek Pikun? 
Apakah masih ada hubungannya dengan Eyang 
Pamekasan? Hm...! Kukira begitu. Siapa lagi di 
dunia persilatan ini yang memiliki aji 'Setan Ko-
ber' kalau bukan dia...." 
Tak banyak membuang waktu, Putri Hijau 
segera membalikkan tubuh Kakek Pikun. Kedua 
telapak tangannya lalu ditempelkan ke punggung 
si kakek. Pikirannya dipusatkan sebentar, seraya 
mengerahkan hawa murni ke dalam tubuh Kakek 
Pikun. 
Dalam dua puluh lima hitungan, tubuh 
Kakek Pikun mulai bergerak-gerak. Dengan susah 
payah dicobanya untuk membalikkan badan. Pu-
tri Hijau segera membantu agar lelaki tua itu da-
pat berbaring dengan nyaman. 
Begitu tahu siapa yang menolong, Kakek 
Pikun terkejut. Kedua bibirnya bergetar-getar. Su-
lit sekali untuk berkata-kata. Parasnya yang pe-
nuh  keriput terlihat pucat bagai kapas dengan 
napas tersengal. Buru-buru Putri Hijau menotok 
beberapa jalan darah di dada si kakek. 
"Kkk... kau...." 
Hanya itu yang keluar dari bibir Kakek Pi-
kun. Itu pun diucapkannya dengan sulit sekali. 
"Siapa lelaki tinggi besar yang mencelaka-
kanmu itu, Kakek Pikun?" 
"Gem.... Gembong Kenjeran...," sahut Ka-
kek Pikun mendesah lirih. Kedua bibirnya digigit 
kuat menahan sakit akibat luka dalamnya. 
"Gembong Kenjeran? Rasanya aku belum 
pernah mendengarnya?!" desah Putri Hijau den-
gan kening berkerut. 
Kakek Pikun menggeleng pelan. 
"Mengapa dia mencelakakanmu?" 
Kakek Pikun tidak langsung menyahut. 
Mendadak dadanya terasa sesak bukan main. 
Tubuhnya mengejang-ngejang. Sepasang matanya 
mendelik seolah-olah sarat akan penderitaan. 
Putri Hijau kembali menotok jalan darah di 
tubuh Kakek Pikun. Hasilnya sama saja. Paras si 
kakek kian pucat pasi. Napasnya pun tersengal-
sengal. 
"Dia.... Dia bermaksud mencari Siluman 
Ular Putih dan Penyair Sinting. Dia.... Huk huk 
huk...!" 
Kakek Pikun terbatuk keras. Darah segar 
kehitaman menyembur keluar dari mulutnya saat 
terbatuk. Tatkala Putri Hijau akan menotok lagi, 
Kakek Pikun menggeleng pelan. 
"Ajalku sudah dekat. To.... Tolong balaskan 
sakit hatiku. Aku.... Aku.... Ah...!" 
Kakek Pikun tak dapat melanjutkan uca-
pannya lagi seiring hembusan napasnya yang te-
rakhir. Kepalanya keburu terkulai ke samping 
dan tak bergerak-gerak lagi. 
Putri Hijau menghela napas sesak. Perla-
han-lahan diluruskan kembali kepala Kakek Pi-
kun. Kelopak matanya yang membeliak lebar di-
katupkan dengan telapak tangan. Lalu tangan 
Kakek Pikun ditelangkupkan di depan dada. 
Untuk sesaat Putri Hijau hanya termangu. 
Matanya sempat basah melihat sahabatnya me-
nemui ajal di depan mata. Namun perempuan ini 
memang sudah memiliki kekuatan batin yang 
kuat, sehingga kembali dapat menenangkan pera-
saannya. Lalu diusapnya air matanya dengan 
menggunakan ujung baju. 
"Beruntunglah kau, Kakek Pikun. Dengan 
ajalmu ini berarti kau bebas dari penderitaan. Ka-
rena sesungguhnya manusia itu terlahir dalam 
keadaan menderita, dalam keadaan merugi. Di 
samping itu, mungkin Yang Maha Kuasa memang 
sengaja menyingkirkanmu dari musibah besar 
yang melebihi kematian...," desah Putri Hijau 
dengan bibir bergetar. 
Baru saja Putri Hijau berdiri bermaksud 
mencari ranting pohon untuk membuat lobang 
kubur untuk jasad Kakek Pikun.... 
"Oh...! Sahabatku yang malang. Tak ku-
sangka kau telah menemui ajal...." 
Terdengar sebuah suara yang di susul ber-
kelebatnya dua sosok tubuh. Sebentar saja kedua 
sosok itu telah tiba di hadapan Putri Hijau. 
Putri Hijau mengangguk pelan. Dua sosok 
muda-mudi itu segera duduk berlutut di samping 
mayat Kakek Pikun. Yang sebelah kanan adalah 
seorang pemuda tampan berambut gondrong ter-
gerai di bahu. Tubuhnya tinggi kekar terbalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih ke-
perakan. Sebuah rajahan kecil bergambar ular 
putih terlihat di dada. Sementara sebuah gelang 
akar bahar tampak menghias di masing-masing 
pergelangan tangan. Sedang senjata andalannya 
yang berupa anak panah terselip di pinggang. 
Sosok di samping si pemuda adalah seo-
rang gadis cantik. Usianya tak lebih dari tujuh be-
las tahun. Tubuhnya tinggi ramping dibungkus 
pakaian indah terbuat dari benang sutera warna 
merah. Rambutnya yang panjang digelung ke atas 
dengan hiasan-hiasan permata indah. Sebuah pe-
dang panjang menggantung di pinggang. 
"Wahai, sobat-sobatku Siluman Ular Putih 
dan Ratu Adil! Jangan kalian terbawa arus kese-
dihan. Sesungguhnya Yang Kuasa memang men-
ginginkan sesuatu yang baik terhadap hamba-
hambanya yang sejati," kata Putri Hijau, lembut. 
Dua  muda-mudi yang memang Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil memalingkan kepala ke 
samping, memandang Putri Hijau tak mengerti. 
"Kebaikan yang sesungguhnya diinginkan 
Yang Kuasa memang sulit dimengerti apabila hati 
masih terbelenggu. Lepaskanlah belenggu itu, ba-
ru kalian mengerti apa hakekat kehidupan yang 
sebenarnya," lanjut Putri Hijau. 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil meng-
gumam tak jelas. Bukan saja tak mengerti dengan 
apa yang diucapkan Putri Hijau, melainkan juga 
heran melihat sosok Putri Hijau yang kini menjadi 
seorang perempuan cantik berusia kira-kira tiga 
puluh lima tahun. 
"Apakah kau Putri Hijau?" tanya Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil hampir berbarengan. 
Putri Hijau tersenyum. 
"Kalian sudah bertemu denganku, kenapa 
bisa lupa?" 
"Aku tidak lupa. Tapi, bukankah beberapa 
hari lalu kau berwujud seorang gadis muda? Ke-
napa hari ini...?" 
Siluman Ular Putih memperhatikan sosok 
Putri Hijau dengan seksama. Perempuan cantik 
itu sebenarnya memang Putri Hijau yang pernah 
ditemui beberapa hari lalu. Cuma yang membuat 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil tak mengerti, 
adalah perubahan yang begitu cepat atas perem-
puan itu. Mereka memang tak tahu kalau Putri 
Hijau memiliki ilmu yang membuat keadaan tu-
buhnya berubah-ubah, sesuai tanggal bulan. 
"Sudahlah! Jangan pikirkan hal itu!" ser-
gah Putri Hijau. 
Kendati Putri Hijau bilang begitu, Siluman 
Ular Putih tetap saja memandang takjub. Tapi di-
am-diam otaknya terus berpikir keras, terutama 
tentang cerita Eyang Begawan Kamasetyo menge-
nai seorang perempuan yang mempunyai ilmu 
aneh. 
"Hm...! Sekarang aku baru percaya. Ter-
nyata ucapan eyangku di Gunung Bucu memang 
benar. Kau memang memiliki satu ilmu langka 
yang mampu merubah dirimu sesuai perhitungan 
tanggal bulan...!"gumam Siluman Ular Putih. 
"Benarkah? Lalu ilmu apakah itu?" tanya 
Ratu Adil terkejut, entah ditujukan pada siapa. 
"Satu pujian yang agak berlebihan. Tak 
apalah," ujar Putri Hijau dengan senyum. "Seka-
rang kalian berdua mau membantu aku kan?" 
"Tentu. Asal aku sanggup, pasti akan ku-
bantu," sahut Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
bersemangat. 
"Kalian tentu sanggup. Aku hanya minta 
kalian membantuku untuk menguburkan mayat 
Kakek Pikun."  
"Dengan senang hati kami pasti akan 
membantumu, Putri Hijau. Tapi, bisakah kau 
menceritakan siapa yang telah mencelakakan Ka-
kek Pikun?" tanya Siluman Ular Putih. 
"Lelaki tinggi besar berjuluk Gembong Ken-
jeran." 
"Gembong Kenjeran?" 
Putri Hijau mengangguk pelan. 
"Kakek Pikun sempat mengatakan, kalau 
Gembong Kenjeran bermaksud memaksanya un-
tuk mencari Penyair Sinting dan kau, Siluman 
Ular Putih. Ketika permintaan itu ditolak, Gem-
bong Kenjeran marah. Maka, Kakek Pikunlah 
yang menjadi sasaran kemarahannya." 
"Gembong Kenjeran...!" desis Siluman Ular 
Putih menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Demikian juga Ratu Adil. 
"Kita harus membalaskan sakit hati Kakek 
Pikun, Soma!" timpal Ratu Adil. 
"Tentu. Angkara murka harus dibasmi dari 
muka bumi ini." 
"Sudahlah. Ayo, cepat bantu aku memban-
tu menguburkan mayat Kakek Pikun!" tukas Putri 
Hijau. 
*** 
 2 
Srakk!  
"Heh...?!" 
Baru saja mayat Kakek Pikun selesai diku-
burkan, Putri Hijau, Siluman Ular Putih, dan Ra-
tu Adil terkejut oleh sebuah suara mencurigakan. 
Mereka saling berpandangan sebentar. Dari sinar 
mata masing-masing terdapat dugaan kalau di 
sekitar tempat itu ada seseorang yang tengah 
mengawasi. 
"Hup!" 
Tanpa membuang waktu, Putri Hijau ber-
kelebat ke arah datangnya suara ranting pohon 
yang terinjak seseorang. Gerakannya diikuti Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. 
Begitu cepat mereka berkelebat, sehingga 
tak lama kemudian telah terlihat sesosok bayan-
gan berjubah biru kedodoran sampai lutut tengah 
berkelebat ke timur di kejauhan sana. Putri Hijau 
beserta Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera 
menambah kecepatan lesatan tubuh mereka. 
Dengan ilmu meringankan tubuh yang su-
dah mencapai tingkat tinggi, ketiga orang itu kini 
sudah berada dua puluh tombak di belakang so-
sok bayangan berjubah biru. 
"Wahai, Sobatku! Tunggu!" teriak Putri Hi-
jau nyaring. 
Sosok bayangan biru itu menghentikan la-
rinya. Tubuhnya langsung berbalik. Mulutnya 
berkemik-kemik, entah menggumamkan apa. 
Namun menilik kerut-kerut wajahnya yang dipe-
nuhi tonjolan daging hidup, sosok yang ternyata 
seorang kakek berjubah biru itu jelas sedang me-
rasa gelisah sekali. 
"Hey...! Dia Peramal Maut!" teriak Siluman 
Ular Putih. 
"Kau benar, Siluman Ular Putih," ujar Putri 
Hijau. 
Tanpa banyak membuang waktu Putri Hi-
jau makin mempercepat larinya. Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil segera mengikuti. Di sini, ru-
panya Ratu Adil agak kewalahan mengimbangi 
ilmu meringankan tubuh Siluman Ular Putih dan 
Putri Hijau. Maka tak heran kalau murid Ratu Alit 
dari Nusa Kambangan itu tertinggal di belakang. 
"Tahan langkahmu, Peramal Maut!" bentak 
Siluman Ular Putih, langsung membuat lompatan 
bersama Putri Hijau. Mereka melewati kepala le-
laki tua yang ternyata Peramal Maut. Setelah ber-
putaran dua kali di udara, mereka mendarat 
mantap di hadapan tokoh sesat itu. 
Peramal Maut menggeram kesal. Padahal 
tadi ilmu meringankan tubuhnya telah dikerah-
kan dengan kekuatan penuh. Namun, masih juga 
terkejar. Mungkin juga ini disebabkan tubuhnya 
yang keracunan  akibat tipu muslihat Gembong 
Kenjeran untuk menelan obat pemberiannya. (Un-
tuk mengetahui hal ini, silakan baca episode : 
"Wasiat Kematian"). 
"Mengapa kalian menghadang langkahku, 
hah?!" bentak Peramal Maut gusar. 
"Hey...?! Akulah yang mestinya bertanya, 
mengapa kau mengawasi kami tadi?!" bentak Pu-
tri Hijau. 
"Hm...! Jangan salah paham, Putri Hijau! 
Aku tidak mengawasi kalian. Aku cuma kebetulan 
lewat di hutan itu. Apa itu salah?" balas Peramal 
Maut seraya bertolak pinggang. 
"Mendengar ucapanmu, sepertinya kau 
orang baik-baik, Peramal Maut. Tapi kalau meni-
lik sepak terjangmu, bukan mustahil kau memili-
ki maksud jahat," sindir Putri Hijau. 
"Benar. Tidak ada salahnya kalau kita me-
nanyainya, Putri Hijau," sambar Ratu Adil yang 
baru saja sampai di tempat itu. 
Peramal Maut mendengus. Ekor matanya 
sempat melirik sengit ke arah gadis bernama asli 
Yustika itu. Kalau saja tak ada Siluman Ular Pu-
tih dan Putri Hijau, tentu sudah dilabraknya ga-
dis itu. 
"Gadis bengal! Jaga mulutmu! Siapa sudi 
mendengar ucapanmu, he?!" bentak Peramal 
Maut. 
"Kau tampaknya ketakutan, Peramal Maut. 
Hanya orang-orang yang bermaksud tak baik sa-
jalah yang merasa ketakutan. Kalau tidak, kenapa 
merasa gusar?" 
"Aku tidak bermaksud jahat. Siapa bilang 
begitu?" 
"Sudahlah! Jangan ngotot seperti itu! Kata-
kan saja kalau kau memang sedang mengawasi 
kami!" sergah Siluman Ular Putih. 
"Berapa kali aku harus mengatakannya 
pada kalian? Aku tidak mematai-matai kalian. 
Sekarang, minggir! Jangan halangi langkahku!" 
Peramal Maut mengibaskan tangannya ka-
sar. Namun baru saja hendak berkelebat kembali, 
Putri Hijau dan Siluman Ular Putih tetap tak be-
ranjak dengan tangan menjulur, seolah hendak 
menahan langkah Peramal Maut. 
"Kalian ini sebenarnya mau apa, he?! Apa 
kalian sengaja ingin mencari penyakit?!" dengus 
Peramal Maut, tak suka. 
"Sabar, wahai sobatku Peramal Maut! Jan-
gan keburu terbawa amarah! Kami sebenarnya 
hanya ingin bertanya, benarkah kau tidak sedang 
mengawasi kami?" ujar Putri Hijau, kalem. 
"Tidak! Apa telinga kalian budek, hingga 
aku harus mengulanginya berkali-kali?" 
"Baik. Kalau begitu, kau boleh meneruskan 
langkahmu!" ujar Putri Hijau. 
Peramal Maut mendengus geram. Dari 
pancaran matanya jelas harga dirinya tidak rela 
diperlakukan seperti itu. Namun untuk melabrak, 
ia tak punya keberanian. Maka meski hatinya ter-
sulut amarah, tubuhnya segera berkelebat me-
ninggalkan tempat itu setelah Putri Hijau dan Si-
luman Ular Putih bergeser ke samping untuk 
memberi jalan. 
"Kenapa kau biarkan Peramal Maut pergi?" 
tanya Siluman Ular Putih, sepeninggal Peramal 
Maut dari tempat itu. 
Putri Hijau tersenyum. 
"Memang sengaja aku melepaskannya. Tapi 
terus terang, bukannya aku tak mencurigainya. 
Sebab aku sudah tahu, siapa Peramal Maut. Aku 
yakin pasti ia bermaksud tak baik." 
"Kalau begitu, kenapa tidak kita ikuti sa-
ja?" kejar Siluman Ular Putih. 
"Aku memang ingin mengikutinya. Cuma 
terus terang, aku sungkan kalau harus melaku-
kan perjalanan bersama kalian." 
"Kenapa harus sungkan?" tanya Ratu Adil. 
"Tanyakan saja pada kawanmu yang gon-
drong itu. Kulihat dari tadi, ia memperhatikanmu 
terus," ujar Putri Hijau seraya menuding ke arah 
Siluman Ular Putih. 
"Ada apa dengan kau. Soma? Apa yang kau 
lakukan hingga orang tua itu merasa sungkan 
pada kita?" tanya Ratu Adil. 
"Lho? Mana aku tahu? Aku kan tidak me-
lakukan apa-apa terhadapmu, kan?" 
"Iya. Tapi, kenapa ia mencurigaimu?" 
"Kenapa menyalahkanku? Tanyakan saja 
pada..., eh! Mana Putri Hijau itu?" 
Soma celingukkan ke sana kemari. Namun, 
sosok Putri Hijau sudah tak berada di tempat itu. 
"Nah...! Kau lihat sendiri, kan! Kalau ia 
memang sengaja membuat  kita bertengkar. Ayo, 
kita ikuti Peramal Maut! Terus terang, aku men-
curigainya," sambung Siluman Ular Putih. 
Ratu Adil memberengut, tak puas menden-
gar jawaban Siluman Ular Putih. Namun manaka-
la melihat Soma berkelebat meninggalkan tempat 
itu, gadis ini segera menyusul. 
* * * 
Peramal Maut terus berkelebat cepat ke ti-
mur. Sosoknya yang terbalut jubah biru besar 
berkelebat cepat di antara kerapatan pohon. Dan 
di sebuah kawasan hutan lebat, langkahnya pun 
dihentikan. 
Sejenak lelaki tua ini mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling, namun tidak menemukan 
apa-apa. Hanya pohon-pohon besar yang menju-
lang tinggi ke angkasa yang terlihat. Selebihnya, 
semak-semak belukar yang meranggas di sana-
sini. 
"Gembong Kenjeran! Aku datang mene-
muimu!" teriak Peramal Maut, nyaring. Suaranya 
yang berat kasar terdengar bergema memecah ke-
sunyian hutan lebat yang menjadi tempat per-
sembunyian Gembong Kenjeran. 
Tak ada sahutan. 
Peramal Maut menunggu beberapa saat, 
tapi tetap tak ada tanda-tanda kalau orang yang 
dipanggil akan keluar dari tempat pensembu-
nyian. Untung saja lelaki tua ini tak cepat putus 
asa. 
"Gembong Kenjeran! Keluarlah kau! Aku 
ingin menemuimu. Ada sesuatu yang ingin kula-
porkan padamu!" ulang Peramal Maut. 
Suara berat Peramal Maut kembali berge-
ma memenuhi hutan. Dan kali ini, terdengar sua-
ra bergelak di kejauhan sana. Peramal Maut ce-
lingukkan ke sana kemari, namun tetap tak bera-
ni bergeming dari tempatnya berdiri. 
Dan belum juga gaung suara itu hilang, 
dua sosok bayangan tengah berkelebat cepat dari 
utara mengerahkan ilmu meringankan tubuh 
yang cukup tinggi! Buktinya hanya dalam bebera-
pa kelebatan saja, dua sosok bayangan itu telah 
berdiri tegak di hadapan Peramal Maut. 
Berdiri di sebelah kanan adalah seorang 
laki-laki berperangai kasar. Rambutnya awut-
awutan tak terawat. Sepasang matanya menco-
rong garang dengan garis-garis wajah menyi-
ratkan kekejian. Tubuhnya yang tinggi besar me-
makai baju jubah warna kuning. 
Di sebelah si lelaki adalah seorang perem-
puan cantik. Tubuhnya tak terlalu tinggi dibung-
kus pakaian ketat yang juga berwarna kuning, 
menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang padat 
menggairahkan. Pinggulnya bergerak turun naik 
dan meliuk-liuk saat berjalan. Sedang rambutnya 
yang hitam panjang digelung ke atas. 
"Gembong Kenjeran...!" desis Peramal 
Maut. 
Sosok laki-laki berperangai kasar yang di-
panggil Gembong Kenjeran hanya mengangguk-
angguk. 
"Kabar apa yang ingin kau sampaikan, Pe-
ramal Maut?" tanya Gembong Kenjeran langsung. 
"Cepat katakan kalau kau sudah mendapat 
keterangan mengenai Siluman Ular Putih dan Pe-
nyair Sinting!" sela perempuan cantik di samping 
Gembong Kenjeran yang tak lain Dewi Bunga 
Bangkai, membentak. 
"Aku memang ingin mengatakannya," sa-
hut Peramal Maut jengkel. 
"Katakanlah! Kenapa buang-buang wak-
tu?!" ujar Dewi Bunga Bangkai, ketus. 
Peramal Maut mendengus. Ia tak sudi bica-
ra pada Dewi Bunga Bangkai. Kepalanya cepat 
berpaling ke arah Gembong Kenjeran. Kalau saja 
tak ada Gembong Kenjeran, ingin rasanya ia 
memberi pelajaran pada murid Ratu Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian itu. 
"Katakan apa yang ingin kau laporkan, Pe-
ramal Maut!" bentak Gembong Kenjeran. 
"Baik," Peramal Maut menelan ludahnya 
sebentar. "Aku.... Aku baru saja bertemu Siluman 
Ular Putih...." 
"Di mana dia sekarang?" kejar Gembong 
Kenjeran bersemangat. Matanya yang nyalang ter-
lihat makin liar. 
"Dia.... Dia ada di sana. Tak jauh dari Hu-
tan Kenjeran ini!" jelas Peramal Maut seraya me-
nuding ke gerumbulan hutan di sampingnya. 
"Hm...! Bagus. Kalau begitu, aku akan ke 
sana." 
"Tunggu!" kata Peramal Maut menahan 
langkah Gembong Kenjeran. 
"Apa lagi yang akan kau laporkan, Peramal 
Maut?" 
"Aku tidak ingin melaporkan apa-apa. Aku 
hanya ingin menagih janjimu." 
"Janji? Janji apa?" 
Peramal Maut menggeram kesal. "Kau bi-
lang akan memberikan aku obat penawar racun 
bila aku sudah mendapat keterangan mengenai 
Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting." 
"Benar! Tapi apa kau juga membawa lapo-
ran mengenai Penyair Sinting?" 
"Be..., belum." 
"Kalau begitu, kenapa berani meminta obat 
penawar racun kalau kau sendiri belum menyele-
saikan tugasmu?!" 
"Karena.... Karena aku tak ingin mati sebe-
lum aku mendapat keterangan mengenai Siluman 
Ular Putih dan Penyair Sinting. Sebab, Penyair 
Sinting adalah seorang tokoh sakti yang jarang 
sekali menampakkan diri di dunia persilatan. Un-
tuk itulah, aku meminta obat penawar racun yang 
kau janjikan." 
"Laksanakan tugasmu, baru kau berhak 
meminta obat penawar racun itu!" tandas Dewi 
Bunga Bangkai, menjengkelkan. 
"Benar! Kau harus menyelesaikan tugas 
yang kuberikan, baru boleh meminta obat pena-
war racun," timpal Gembong Kenjeran. "Ayo, De-
wi! Kita cari jahanam kecil yang bergelar Siluman 
Ular Putih!" 
"Ayo, Kang," sahut Dewi Bunga Bangkai 
yang kini telah menjadi kekasih Gembong Kenje-
ran, bersemangat. 
Tanpa membuang-buang waktu, Gembong 
Kenjeran dan Dewi Bunga Bangkai segera berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya da-
lam beberapa kelebatan saja sosok mereka telah 
menghilang di balik kerimbunan hutan depan sa-
na. 
Peramal Maut yang ditinggal seorang diri 
jadi menggeram penuh kemarahan. Saking kesal-
nya, kakinya dibantingkan kuat-kuat. Seketika 
tanah bekas pijakan kakinya terbongkar lebar. 
Tanah berpasir di tempat itu membubung tinggi 
memenuhi tempat itu. Ketika keadaan kembali te-
gang, ternyata sosoknya tak tampak lagi di tem-
pat itu. 
*** 
Tak seperti biasanya, matahari siang ini 
begitu garang memanggang apa saja yang ada di 
muka bumi. Tanah pecah di sana sini. Debu-debu 
beterbangan, berputar-putar terbawa hempasan 
angin kering. Ranting-ranting pohon pun berde-
rak dengan daun-daunnya yang berguguran, lalu 
terbang tertiup angin. 
Dalam terpaan angin kencang siang, seo-
rang kakek berpakaian putih bersih tengah me-
lenggang santai di jalan setapak. Tangan kanan-
nya memegang lonceng kecil yang terus digerak-
gerakkan, sehingga menimbulkan suara berisik. 
Klinting! Klinting! 
Tampaknya, si kakek seperti melenggang 
biasa. Namun hebatnya, hanya menutulkan kaki 
seenaknya, sosoknya telah berkelebat di kejau-
han. 
Sesampainya di ujung hutan, kakek renta 
ini menghentikan langkahnya. Sepasang matanya 
yang bersinar terang sejenak memperhatikan se-
keliling. Lalu kepalanya mendongak. Manakala 
angin bertiup kencang, rambutnya yang awut-
awutan tersibak menampakkan wajahnya yang 
tua penuh keriput. Pakaian putih-putihnya berki-
bar-kibar. 
Si kakek renta seperti tak mempedulikan 
saat debu-debu dan daun-daun kering menam-
par-nampar tubuh ketika tertiup angin kencang. 
Perhatiannya terus tertuju pada awan yang bera-
rak di angkasa sambil sesekali menggeleng-
geleng. 
Puas menikmati angkasa raya, kakek renta 
ini kembali menggerak-gerakkan lonceng kecil di 
tangan. Langkahnya kembali gontai menyusuri ja-
lan setapak itu. 
Klinting! Klinting! 
Suara berisik dari lonceng kecil di tangan si 
kakek kembali mengusik ketenangan hutan. Bah-
kan tanpa mempedulikan keadaan sekitar, mulai 
dibacakannya bait-bait syair. 
Sungguh, aku merasa bingung  
Melihat sipandir yang dungu  
Keduniaan, hanya sepercik nikmat  
Tetapi, mereka mengejar dengan semangat 
Padahal, mereka hanya dipermainkan  
Semua heran, semua jadi bingung.  
Mereka berdusta 
Mendustakan ucapan dengan perbuatan 
Dan, kata-kata terbaik 
Hanya ucapan yang tak didustakan 
Kakek renta itu terus membacakan bait-
bait syairnya. Suaranya yang nyaring ditingkahi 
suara bergemelinting dari loncengnya terdengar 
saling sahut. Seolah-olah dengan cara itu, ia ingin 
mengabarkan bait-bait syairnya pada segenap 
penghuni mayapada. 
"Tahan langkahmu, Penyair Sinting!" 
Tiba-tiba terdengar bentakan kasar, mem-
buat lelaki tua yang ternyata Penyair Sinting 
menghentikan langkah. Sedikit pun kepalanya ti-
dak menoleh ke arah datangnya suara. Hanya da-
ri ekor matanya terlihat sesosok kakek renta 
mengenakan jubah besar telah berdiri di bawah 
rindangnya sebatang pohon. Tangan kanannya 
memegang tongkat butut. Tangan kirinya berka-
cak pinggang. Angkuh sekali gayanya. Dari wa-
jahnya yang dipenuhi tonjolan daging hidup, Pe-
nyair Sinting tahu siapa orang yang menahan 
langkahnya. 
"Peramal Maut! Apa keperluanmu hingga 
menahan langkahku?" tegur Penyair Sinting. 
"Aku memang sedang mencarimu, Penyair 
Sinting! Berhari-hari aku mencarimu, tapi baru 
kali ini batang hidungmu kutemukan." 
"Jangan berbelit-belit! Katakan saja, apa 
maksudmu menghadang langkahku!" tukas Pe-
nyair Sinting. 
"Siapa sudi berbelit-belit. Buang-buang 
waktu saja. Ada seseorang tengah mencarimu." 
"Siapa?" Penyair Sinting memutar badan-
nya menghadap ke arah Peramal Maut. Alis ma-
tanya sedikit diangkat. Bibirnya pun tersungging 
aneh. 
"Gembong Kenjeran...." 
"Gembong Kenjeran? Hm.... Apakah aku 
mengenal julukan itu?" 
"Kau mengenalnya atau tidak, aku tak mau 
tahu. Yang jelas Gembong Kenjeran mengingin-
kan nyawa busukmu." 
"Begitu...?" Penyair Sinting mengangguk-
angguk. Lalu bibirnya menggumam tak jelas. 
"Sungguh aneh! Tak seharusnya penghuni-
penghuni alam mayapada ini bersikap aneh. Seo-
rang Pecinta Sejati tak mungkin bersikap demi-
kian. Mereka hanya menginginkan kasih yang ab-
adi, yang sebenarnya amat diidam-idamkan, me-
lebihi harga sebuah jiwa,..." 
"Dasar orang sinting! Ngomongpun tak ka-
ruan juntrungannya. Apa begini tingkah orang-
orang yang sudah mendekati ajal?" ejek Peramal 
Maut. 
"Bagi Pecinta-pecinta Sejati, ajal adalah se-
suatu yang dinantikan. Sebab sudah lama mereka 
menantikan kekasih mereka. Kenapa kau berkata 
demikian, Peramal Maut?" 
"Ah...! Bicaramu semakin ngawur, Penyair 
Sinting. Mana aku tahu maksudmu? Sekarang 
kalau kau punya keberanian, lekas datang ke Hu-
tan Kenjeran! Seseorang yang bergelar Gembong 
Kenjeran sudah lama ingin mengirim nyawa bu-
sukmu menemui Malaikat Maut. Kau harus da-
tang menemuinya, Penyair Sinting! Selamat ting-
gal!" 
Di akhir kalimatnya, Peramal Maut segera 
menutulkan kakinya ke tanah. Lalu tubuhnya 
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Penyair Sinting mengikuti kepergian lelaki 
tua berwajah buruk itu dengan pandang mata he-
ran. Ketika sosok Peramal Maut menghilang di ge-
rumbulan hutan depan sana, langkahnya kembali 
diteruskan. Seperti biasa, bibirnya pun melan-
tunkan bait-bait syairnya. 
Jadilah engkau orang yang menyepi  
Sendiri dan menyendiri dari pergaulan  ha-
layak  
Pergi dari mereka mengejar dan mencari 
yang hak 
Sabarlah 
Dengan kesabaran matahari cita-cita, terca-
pai  
Ridhalah.... 
* * * 
"Heran? Bagaimana mungkin kita tak da-
pat mengejar bayangan Putri Hijau? Sontoloyo! 
Tak kusangka ilmu meringankan tubuhnya demi-
kian tinggi. Padahal aku telah mengerahkan ilmu 
lari cepat 'Menjangan Kencono'...," gerutu Silu-
man Ular Putih kesal. Lalu langkahnya dihenti-
kan di sebuah hutan kecil tak jauh  dari Hutan 
Kenjeran. 
Ratu Adil diam tak menyahut. Napasnya 
memburu karena harus memaksakan diri men-
gimbangi ilmu meringankan tubuh Siluman Ular 
Putih. Namun meski telah mengerahkan ilmu me-
ringankan tubuhnya sampai puncaknya, tetap sa-
ja tak mampu mengimbangi Siluman Ular Putih. 
Tak heran bila begitu sampai di dekat Siluman 
Ular Putih badannya merasa lelah sekali. 
"Kau lari seperti setan, Soma! Apa kau in-
gin meninggalkanku? Apa kau tak ingin memban-
tuku mencari ayah kandungku?" sungut Ratu 
Adil, begitu berada di samping Siluman Ular Pu-
tih. 
"Jangan salah paham, Yustika! Aku hanya 
penasaran sekali melihat ilmu meringankan tu-
buh Putri Hijau. Aku berusaha mengejarnya, na-
mun tetap saja tak dapat. Benar-benar menga-
gumkan kepandaiannya." 
Ratu Adil batuk-batuk kecil. Tampak sekali 
sikapnya tak senang melihat Siluman Ular Putih 
memuji Putri Hijau. 
"Ada apa, Yustika?" usik Siluman Ular Pu-
tih. 
"Tidak ada apa-apa," kelit Yustika alias Ra-
tu Adil. 
"Lalu? Kenapa kau cemberut?" 
"Aku tidak cemberut," tukas Ratu Adil ke-
tus. "Kalau kau mengagumi wanita cantik itu, apa 
aku harus melarangmu?" 
Siluman Ular Putih melongo. Tak habis pi-
kir melihat perubahan sikap Ratu Adil. 
"Yah...! Sekarang aku tahu. Tentu Yustika 
cemburu...," gumam Siluman Ular Putih dalam 
hati. 
Sejenak Soma memandangi Ratu Adil. Se-
benarnya pemuda ini ingin tertawa terbahak-
bahak. Namun ia berusaha menahannya, takut 
gadis itu marah. 
"Jangan cemberut begitu, ah! Masa' kau 
lupa kalau dia itu sebenarnya seorang nenek tua. 
Masa' sih aku menyukainya?" sergah Siluman 
Ular Putih. 
Wajah Yustika kontan berubah merah. Ma-
lu rasanya kelepasan bicara begitu. Padahal sebe-
lumnya. Soma pernah menjelaskan tentang ilmu 
yang dimiliki Putri Hijau sehingga membuat wu-
judnya bisa berubah sesuai peredaran bulan. 
"Ah, bodohnya aku! Kenapa aku mesti bi-
cara begitu? Kenapa aku harus menampakkan 
kecemburuanku?" rutuk Yustika dalam hati. 
"Sudahlah! Sebaiknya kita jangan bicara 
tentang wanita sakti itu lagi. Aku malah jadi tak 
enak. Nanti kau malah bisa mencemburuiku," go-
da Siluman Ular Putih. 
"Siapa yang cemburu? Aku tidak mencem-
buruinya! Kalau kau ingin mencintai nenek cantik 
itu, silakan!" semprot Ratu Adil, berusaha menu-
tupi kedongkolannya. 
"Nah...! Betulkan, kau cemburu? Sudah, 
ah! Ayo, kita lanjutkan perjalanan!"  
"Tapi...."  
"Apa lagi?" 
"Tidak...," sahut Ratu Adil gugup. Pipinya 
pun kian merah. Buru-buru wajahnya ditunduk-
kan dalam-dalam. 
Siluman Ular Putih tersenyum. Senang se-
kali pemuda ini melihat Ratu Adil jadi salah ting-
kah seperti itu. 
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" 
Ratu Adil diam tak menyahut, namun juga 
tidak menolak manakala Siluman Ular Putih me-
raih lengannya untuk meninggalkan tempat itu. 
Di saat mereka bermaksud melanjutkan perjala-
nan, tiba-tiba.... 
"Ha ha ha...! Asyik benar kelihatannya. Tak 
kusangka di hutan sesunyi ini ada sepasang mer-
pati putih bercinta...." 
*** 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil melengak 
kaget dengan kepala berpaling ke arah datangnya 
suara. Ternyata tak jauh di belakang telah berdiri 
dua sosok manusia. Di sebelah kanan adalah seo-
rang laki-laki kasar bertubuh tinggi besar. Ba-
junya berupa jubah besar berwarna kuning. Di 
sebelahnya adalah seorang perempuan cantik be-
rusia tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi ramping 
dibalut pakaian ketat, juga berwarna kuning. 
Saking ketat pakaiannya, membuat buah dadanya 
membusung kencang mengundang hasrat bagi 
siapa saja yang memandang. 
"Gembong Kenjeran...!" sebut Siluman Ular 
Putih mendesis seraya berbalik. Meski mulutnya 
mendesis, namun pandang matanya tak lepas da-
ri sepasang buah dada yang sesekali bergerak tu-
run naik seiring tarikan napas perempuan berba-
ju kuning itu. Tanpa sadar Soma jadi menelan lu-
dahnya sendiri. 
Ratu Adil, buru-buru mencubit lengan pe-
muda yang bertingkah konyol itu. Siluman Ular 
Putih menjerit kecil. Namun manakala melihat 
sepasang mata Ratu Adil yang berkilat-kilat, So-
ma jadi tersenyum lucu. Tangannya pun segera 
menggaruk-garuk kepala. 
"Bocah gondrong! Kau sudah tahu apa 
yang kuinginkan?!" bentak Gembong Kenjeran. 
"Bagaimana aku tahu kalau kau sendiri be-
lum mengatakan?" tukas Siluman Ular Putih, 
bersungut-sungut. 
Gembong Kenjeran mendengus angkuh. 
"Bagus! Kalau begitu, dengarlah! Buka te-
lingamu lebar-lebar! Juga kau, Cah Ayu!" desis 
Gembong Kenjeran, menuding ke arah Ratu Adil. 
"Kalian dengar! Atas wasiat guruku, Eyang Pame-
kasan, aku harus membunuh Siluman Ular Putih 
dan juga seseorang yang bergelar Penyair Sinting. 
Dan karena Siluman Ular Putih yang menyebab-
kan kehancuranku, maka dialah yang pertama 
kali harus mampus di tanganku!" 
"Oh... begitu. Jadi, menurutmu aku ini 
manusia pembawa sial yang telah membuat uru-
sanmu jadi kacau? Kemudian atas dasar itukah 
kau menuntut pertanggungjawaban padaku? 
Atau justru atas bujukan gurumu, Eyang Pame-
kasan itu?" 
"Walaupun guruku tak memerintah, aku 
tetap akan membunuh, Siluman Ular Putih!" 
"Wah...! Kalau begitu, memang kau sendiri 
yang sengaja cari penyakit, Gembong Kenjeran." 
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, nyawamu hari ini berada dalam genggaman 
tanganku." 
"Kau benar, Kang. Bocah gondrong itu 
memang patut mampus di tanganmu. Tapi kalau 
tak keberatan, boleh kan bila aku tidur barang 
satu dua malam dengan bocah gondrong itu?" 
timpal Dewi Bunga Bangkai genit, seraya men-
gerling nakal pada Siluman Ular Putih. 
"Kau jangan macam-macam, Dewi! Apa kau 
tak puas denganku?!" hardik Gembong Kenjeran. 
"Sebenarnya bukan itu maksudku, Kang. 
Aku hanya main-main." 
"Sudahlah!" Gembong Kenjeran mengi-
baskan tangan. 
Kemudian selangkah demi selangkah lelaki 
ini maju ke depan. Sementara Dewi Bunga Bang-
kai mengekor di belakangnya. 
"Bocah gondrong! Ajalmu sudah dekat. 
Bersiap-siaplah menerima kematianmu hari ini!" 
kata Gembong Kenjeran sarat ancaman. 
"Oh, ya? Jadi kau bersungguh-sungguh?" 
tukas Siluman Ular Putih melecehkan. 
"Jangan banyak bacot! Hayo, hadapi aku!" 
putus Gembong Kenjeran seraya mengibaskan 
tangan kepada Dewi Bunga Bangkai yang disam-
but senyum keji. 
"Ayo, Cah Ayu! Nasibmupun tak akan jauh 
berbeda dengan kekasihmu itu!" ejek Dewi Bunga 
Bangkai pada Yustika. 
"Perempuan genit! Jaga bicaramu!" sentak 
Ratu Adil. 
"Dewi...! Jangan menurunkan tangan maut 
pada gadis itu! Aku masih menginginkannya," te-
riak Gembong Kenjeran, mengingatkan. 
"Hik hik hik...! Rupanya kau tertarik juga 
pada gadis ini, Kakang Gembong Kenjeran." 
Gembong Kenjeran menggeletukkan gera-
hamnya kesal. Kilatan sepasang matanya yang 
memerah sempat melirik tubuh Ratu Adil, lalu 
menelan ludahnya beberapa kali. 
"Gembong Kenjeran! Sewaktu kukalahkan 
dulu, kukira kau sudah bertobat. Eh, tidak ta-
hunya malah kembali membuat onar. Bukan 
main! Tentunya kau kini memiliki ilmu hebat 
yang kau pelajari dari Eyang Pamekasan!" oceh 
Siluman Ular Putih, kali ini tak berani meman-
dang ringan lagi. Kalau sampai berani mencari di-
rinya dan Penyair Sinting, bukan mustahil Gem-
bong Kenjeran telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi da-
ri Eyang Pamekasan. 
"Itu tidak kupungkiri, Siluman Ular Putih! 
Aku memang berguru dengan Eyang Pamekasan. 
Dan aku pulalah yang sebenarnya menginginkan 
nyawa busukmu. Sekarang, aku tak segan-segan 
lagi mengirimmu pada malaikat maut. Hea!" 
Dibarengi teriakannya, Gembong Kenjeran 
segera menyerang Siluman Ular Putih. Kedua te-
lapak tangannya didorongkan ke depan. Gera-
kannya pelan saja, seperti orang bermalas-
malasan. Namun pada saat bersamaan.... 
Bed! 
"Heh?! Hup...!" 
Siluman Ular Putih langsung merasakan 
hantaman angin kencang yang luar biasa hebat-
nya! Hingga jika saja tidak cepat menghindar 
dengan membuang tubuh ke samping, niscaya 
akan terbanting keras ke tanah. Karena hembu-
san angin itu secara mendadak telah berputar-
putar membentuk satu pusaran angin hebat luar 
biasa! 
Belum juga Siluman Ular Putih bangkit 
berdiri, tiba-tiba gulungan pusaran angin dari ke-
dua telapak tangan Gembong Kenjeran kembali 
menggebrak. Suaranya menggemuruh disertai 
hawa panas luar biasa! 
"Edan! Jadi benar. Rupanya Gembong Ken-
jeran telah mewarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi 
Eyang Pamekasan. Aku harus berhati-hati.... 
Hup...!" 
Siluman Ular Putih melenting tinggi ke 
udara. Begitu mendarat. Soma bermaksud mem-
balas serangan. Namun belum sempat mewujud-
kan niat, hatinya jadi tercekat. Karena saat itu 
juga, pusaran angin dari kedua telapak tangan 
Gembong Kenjeran kembali melabrak ke arahnya! 
Bahkan dengan kekuatan yang lebih dahsyat! 
"Sontoloyo!" maki Siluman Ular Putih, se-
raya menghantamkan kedua telapak tangan ke 
depan disertai pengerahan tenaga dalam cukup 
tinggi. 
Werrr! Werrr! 
Dua rangkum angin keras yang disertai 
hawa dingin bukan kepalang seketika melesat da-
ri kedua telapak tangan Siluman Ular Putih. 
Besss! 
Tak terdengar suara berarti akibat bentro-
kan dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. 
Namun hebatnya, tubuh Siluman Ular Putih dan 
Gembong Kenjeran sama-sama tergetar hebat. Di 
kejap lain, tubuh masing-masing telah terjajar 
mundur dalam keadaan limbung. 
Pusaran-pusaran angin dari kedua telapak 
tangan Siluman Ular Putih dan Gembong Kenje-
ran sama-sama ambyar, membubung tinggi ke 
udara dan lenyap. Sedang kesiuran-kesiuran ha-
wa panas dan dingin langsung membuat tempat 
pertarungan porak poranda. Ranting-ranting po-
hon hangus terbakar! Sebagian lainnya berubah 
kusam! 
Gembong Kenjeran tertawa bergelak. Puas 
sekali hatinya melihat hasil serangannya kali ini. 
Meski tubuhnya sempat terpelanting, namun ce-
pat dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. 
Lain halnya dengan Siluman Ular Putih. 
Pemuda itu kontan jatuh terduduk di tanah. Pa-
rasnya pias dengan napas memburu! Soma segera 
melompat bangun. Dan kini paras murid Eyang 
Begawan Kamasetyo itu tampak menegang, per-
tanda mulai diamuk hawa amarah! 
"Ha ha ha...! Tak tahunya kepandaianmu 
hanya segini, Siluman Ular Putih. Bagaimana 
mungkin kau dapat mengalahkanku?" ejek Gem-
bong Kenjeran, 
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Kedua telapak tangannya pun telah be-
rubah menjadi putih terang, pertanda mulai men-
gerahkan pukulan andalan 'Tenaga Inti Bumi'. 
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Si-
luman Ular Putih! Kau tetap tidak akan mampu 
mengalahkanku!" 
Tak henti-hentinya Gembong Kenjeran 
mengejek. Dan diam-diam telah pula dihimpun-
nya tenaga dalam tinggi untuk mengerahkan pu-
kulan andalan 'Pelebur Bumi'. Maka seketika ke-
dua telapak tangannya telah berubah menjadi hi-
tam! 
"Pukulan 'Pelebur Bumi'...!" desis Siluman 
Ular Putih. 
Mendengar  desisan Siluman Ular Putih, 
Gembong Kenjeran malah kian melipatgandakan 
tawa. Kedua telapak tangannya telah berubah jadi 
hitam digerak-gerakkan sedemikian rupa seolah 
pamer pada Siluman Ular Putih, lalu dengan ser-
ta-merta disentakkan ke depan. 
"Hea!" 
Di akhir teriakannya yang nyaring, dari ke-
dua telapak tangan Gembong Kenjeran melesat 
dua larik sinar hitam legam yang disertai hawa 
panas luar biasa. 
Siluman Ular Putih tak mau ketinggalan. 
Begitu melihat datangnya serangan, kedua tela-
pak tangannya segera didorong ke depan, mele-
paskan dua larik sinar putih terang yang lang-
sung meluruk cepat ke depan. Dan.... 
Blammm! Blammm! 
Empat larik sinar berwarna putih dan hi-
tam itu langsung beradu di udara, menghasilkan 
ledakan hebat. Bahkan bumi sampai bergetar lak-
sana diguncang prahara! 
Tubuh Siluman Ular Putih dan Gembong 
Kenjeran sama-sama terpental ke belakang den-
gan wajah pucat pasi. Untuk sesaat mereka tetap 
diam di tempat masing-masing. Namun di kejap 
kemudian, mereka kembali melompat bangun 
siap melakukan pertarungan kembali. 
Sementara pertarungan di tempat lain pun 
tak kalah sengit dibanding pertarungan Siluman 
Ular Putih dan Gembong Kenjeran. Meski Ratu 
Adil masih berusia muda, ternyata mampu men-
gimbangi serangan-serangan Dewi Bunga Bang-
kai. Bahkan tak jarang serangan-serangan balik-
nya sempat membuat murid Ratu Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian pontang panting. 
"Bedebah! Kau akan menyesal seumur hi-
dupmu, Gadis Keparat! Aku, Dewi Bunga Bangkai 
tak pernah melepaskan musuhku begitu saja se-
belum ada yang modar!" geram Dewi Bunga 
Bangkai penuh kemarahan. 
"Jangan banyak omong! Aku sudah kebal 
dengan segala macam ancaman kosong. Lakukan 
saja kalau bisa!" tantang Ratu Adil sengit. 
"Setan!" maki Dewi Bunga Bangkai meng-
kalap bukan main. 
Seketika murid Ratu Bangkai dari Lembah 
Selaksa Kematian itu meraup bunga-bunga bang-
kai yang berwarna kuning dari kantung bajunya. 
Lalu dengan tenaga dalam penuh, segera dilon-
tarkannya senjata-senjata andalan itu ke arah 
Ratu Adil. 
Werrr! Werrr! 
Lima buah bunga bangkai langsung mele-
sat cepat ke depan laksana kumbang kuning yang 
siap memangsa. Suara lesatan itu pun disertai 
angin berkesiuran berhawa busuk bukan kepa-
lang! 
Srattt! 
Ratu Adil cepat meloloskan pedang dan se-
gera memutar-mutar cepat memapak serangan. 
Tak! Tak! Tak! 
Lima kali murid Ratu Alit dari Nusa Kam-
bangan memutar pedang di tangan, membuat li-
ma buah bunga bangkai yang menyerang dirinya 
luruh ke tanah. Saat itu juga, tanah rerumputan 
hangus terbakar mengepulkan asap tipis keku-
ningan begitu terkena bunga-bunga bangkai yang 
beracun ganas. 
Cesss! Cesss! 
Ratu Adil menggeleng-gelengkan kepalanya 
ngeri. Seumur hidupnya baru kali ini melihat ke-
hebatan bunga bangkai yang mampu meracuni 
rerumputan maupun apa saja yang terkena. 
"Perempuan keji! Senjatamu beracun. Ha-
timu pun pasti beracun. Alangkah menyesalnya 
ibumu melahirkanmu di muka bumi ini," ejek Ra-
tu Adil sengit. 
Dewi Bunga Bangkai tidak menyahut. 
Amarahnya kian berkobar hingga ubun-ubun. 
Tak ada keinginan lain kecuali membunuh Ratu 
Adil secepatnya. Maka tanpa banyak membuang 
waktu kembali diterjangnya Ratu Adil dengan ga-
nas. Tidak tanggung-tanggung! Begitu bunga-
bunga bangkainya dilontarkan segera pula kedua 
telapak tangannya didorong ke depan. 
Werrr! Werrr! Werrr! 
Wesss! Wesss! 
Hebat bukan main serangan-serangan De-
wi Bunga Bangkai kali ini. Lima buah sinar kun-
ing yang disertai dua larik sinar berwarna kuning 
kontan melesat ke depan. Hebatnya lagi, seputar 
tempat pertarungan pun menjadi dingin bukan 
main! 
Ratu Adil tidak mau menganggap ringan 
serangan-serangan yang datangnya laksana air 
hujan. Segera tubuhnya meloncat ke udara, hing-
ga serangan-serangan Dewi Bunga Bangkai terus 
melabrak ke belakang. Dan.... 
Tep! Tep! 
Brakkk! 
Dua batang pohon di belakang Ratu Adil 
tadi langsung tumbang. Suaranya menggemuruh, 
sebelum akhirnya terbanting keras. Pada bagian-
bagian batangnya yang terkena sambaran-
sambaran pukulan Dewi Bunga Bangkai maupun 
bunga-bunga bangkai berlubang-lubang dan 
mengepulkan asap tipis kekuningan! 
"Bajingan! Bagaimanapun juga tak mung-
kin kau lolos dari tangan mautku! Hea!" 
Dikawal  bentakan nyaring, Dewi Bunga 
Bangkai segera melepas pukulan andalan 
'Memetik Bunga Mengirim Racun' setelah meng-
hentakkan kedua telapaknya. Seketika kembali 
meluruk dua larik sinar kuning yang disertai ha-
wa dingin bukan kepalang siap melabrak tubuh 
Ratu Adil. 
Wesss! Wesss! 
Melihat datangnya serangan, Ratu Adil se-
gera bertindak. Kini pukulan andalan 'Cakar Naga 
Samudera' tak segan-segan lagi untuk dikerah-
kan. Begitu tenaga dalamnya disalurkan, kedua 
telapak tangannya pun telah berubah menjadi bi-
ru. Lalu disertai teriakan membelah angkasa, jari-
jari tangannya segera digurat-guratkan ke udara. 
Cesss! Cesss! 
Terdengar suara mencicit ketika jari-jari 
tangan Ratu Adil menggurat-gurat di udara yang 
disusul melesatnya sepuluh larik sinar biru lang-
sung menghantam sinar-sinar kuning milik Dewi 
Bunga Bangkai. Hingga akhirnya.... 
Bummm! Bummm! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam yang terjadi barusan. Bersamaan dengan 
itu, dua larik sinar kuning berkilauan dari telapak 
tangan Dewi Bunga Bangkai ambyar berpencar, 
menghantam apa saja yang ada di sekitar tempat 
pertarungan! Demikian juga kesepuluh larik sinar 
biru dari jari-jari tangan Ratu Adil. Bahkan pen-
garuh dari bentrokan itu membuat ranting rant-
ing pohon di sekitarnya terbakar! 
Sementara Dewi Bunga Bangkai terpental 
jauh ke belakang bak layangan putus talinya. Tu-
buhnya berputar-putar sebentar sebelum akhir-
nya menabrak batang pohon di belakangnya. 
Brakkk! 
"Uhhh...!" 
Dewi Bunga Bangkai mengeluh tertahan. 
Perlahan-lahan tubuhnya luruh ke tanah dengan 
napas tersengal. Parasnya yang cantik pun tam-
pak pucat pasi, seolah tengah menahan hawa pa-
nas yang tengah mengaduk-aduk isi dalam dada! 
"Hoeeeekh!" 
Dewi Bunga Bangkai menyemburkan darah 
segar dari mulutnya. Ia megap-megap sebentar, 
lalu terkulai ke tanah! 
Sementara tubuh Ratu Adil pun tak luput 
dari musibah. Seperti yang dialami Dewi Bunga 
Bangkai, tubuh gadis itu terlempar jauh ke bela-
kang. Namun di saat melayang di udara, sebuah 
bayangan melesat cepat dan langsung menyam-
bar tubuhnya. Saat itu pula Ratu Adil merasakan 
punggungnya ditotok dua kali hingga kaku tak 
dapat digerakkan. 
"Ha ha ha...! Sudah kuduga. Kau memang 
gadis hebat. Aku senang sekali melihatmu. Tapi 
aku akan lebih senang bila kau pun hebat di atas 
ranjang! Ha ha ha...!" 
*** 
"Gembong Kenjeran! Lepaskan gadis itu!" 
Tak dapat dibayangkan betapa murkanya 
Siluman Ular Putih melihat Gembong Kenjeran 
tahu-tahu sudah menguasai tubuh Ratu Adil 
yang kini dalam keadaan tertotok. Soma memang 
tak menyangka sedikit pun kalau Gembong Ken-
jeran akan bertindak demikian cepat ketika mere-
ka bertarung hebat. 
"Beginikah caramu memperdayai seorang 
gadis, Manusia Pengecut?!" hardik Ratu Adil. 
"Untuk mewujudkan keinginan, apa pun 
akan kulakukan. Masa bodoh dibilang pengecut 
atau tidak. Yang jelas, sebentar lagi aku bisa me-
nikmati kehangatanmu. Tapi, aku tak ingin ada 
orang lain mengganggu kesenanganku. Maka ter-
paksa aku harus menyingkirkan bocah gondrong 
itu!" tuding Gembong Kenjeran ke arah Siluman 
Ular Putih. 
"Lepaskan gadis itu, Gembong Kenjeran!" 
teriak Siluman Ular Putih, tak berkutik di tem-
patnya. 
Sebenarnya bisa saja Soma menyerang 
Gembong Kenjeran. Namun, pemuda ini takut ka-
lau lelaki telengas ini akan menurunkan tangan 
maut pada Ratu Adil. 
"Sayang sekali aku tak sudi menuruti pe-
rintahmu, Bocah Gondrong," sahut Gembong 
Kenjeran. Jelas sekali kalau nadanya melecehkan. 
Lelaki tinggi besar itu lantas melangkah 
mendekati tempat yang aman. Diletakkannya tu-
buh Ratu Adil, kemudian kembali menghadapi Si-
luman Ular Putih. 
Pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo 
ini tahu kalau tokoh sesat dari Hutan Kenjeran 
itu tidak main-main dengan ancamannya. Meski 
demikian, Siluman Ular Putih dapat menghela 
napas lega. Bagaimanapun juga, kesempatan un-
tuk menyelamatkan Ratu Adil masih ada asalkan 
Gembong Kenjeran dikalahkan terlebih dulu. 
Berpikir sampai di sini, Siluman Ular Putih 
segera menyerang Gembong Kenjeran. Tidak 
tanggung-tanggung segera dikeluarkannya jurus 
andalan 'Terjangan Maut Ular Putih'. 
"Hea! Hea!" 
Bersama teriakannya yang nyaring, tubuh 
Siluman Ular Putih telah berkelebat cepat ke de-
pan. Kedua telapak tangannya yang membentuk 
dua kepala ular siap mematuk beberapa bagian 
tubuh mematikan Gembong Kenjeran. 
Gembong Kenjeran tersenyum meremeh-
kan. Sedikit pun hatinya tidak gentar menghadapi 
serangan-serangan Siluman Ular Putih. Dan seka-
li ujung jubahnya dikebutkan, seketika serang-
kum angin kencang telah memapak serangan Si-
luman Ular Putih. 
Bed! 
Weeer...! 
Sesaat serangan Siluman Ular Putih terta-
han di udara. Dan kesempatan ini digunakan la-
wan untuk balik menyerang. Begitu tubuhnya 
berkelebat, tangan Gembong Kenjeran yang ter-
kepal erat tiba-tiba telah menghentak dada Silu-
man Ular Putih.  
Wuttt! Wuttt! 
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Sung-
guh tidak disangka akan mendapat serangan de-
mikian mendadak. Tapi sebagai pendekar kawa-
kan, Siluman Ular Putih cepat mengambil kepu-
tusan. Tubuhnya segera berkelit ke samping den-
gan patukan-patukan tangan menyelinap ke tu-
buh Gembong Kenjeran. 
Sejenak Gembong Kenjeran terperangah 
kaget, namun cepat menyadari kalau tubuhnya 
akan dijadikan sasaran. Maka segera kakinya 
menutul tanah, lalu melenting tinggi ke udara. Di 
udara, Gembong Kenjeran membuat putaran be-
berapa kali. Dan dengan gerakan mengagumkan, 
tubuhnya menukik turun dengan tangan bergerak 
menjotos. 
Bukkk! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
Telak sekali bogem mentah Gembong Ken-
jeran mendarat di punggung Siluman Ular Putih. 
Untung saja Soma cepat melompat ke depan, se-
hingga kepalanya selamat dari bogem mentah 
Gembong Kenjeran. Meski demikian, tetap saja 
pemuda itu terlempar ke depan dengan tulang 
punggung seolah mau remuk dan terasa nyeri 
bukan main! 
Begitu bisa menguasai keseimbangan, Si-
luman Ular Putih menggeram penuh kemarahan. 
Segera dicabut senjata pusaka Anak Panah Ber-
cakra Kembar! 
"Kenapa tidak dari tadi kau keluarkan sen-
jatamu, Bocah Gondrong?! Padahal, tetap saja 
kau akan mampus di tanganku!" ejek Gembong 
Kenjeran. 
Siluman Ular Putih diam tak menyahut. 
Amarah yang membakar sampai ubun-ubun ke-
pala membuatnya jadi kalap. Maka secepatnya 
kakinya menghentak tanah, membuat tubuhnya 
yang tinggi kekar kembali berkelebat cepat me-
nyerang Gembong Kenjeran. Tak tanggung-
tanggung telah dikeluarkannya jurus andalan 
'Ular Kembar Mengejar Mangsa'. 
Wuttt! Wuttt! 
Sambil berkelebat. Soma segera melempar 
senjata pusakanya. Angin berkesiur terdengar 
saat senjatanya meluncur. Bahkan ditingkah sua-
ra-suara merobek udara saat patukan-patukan 
kedua tangannya mencari sasaran. 
Gembong Kenjeran tersenyum angkuh. 
Tampak sekali kalau serangan-serangan Siluman 
Ular Putih sangat dianggap remah. Dan tatkala 
serangan Siluman Ular Putih hanya tinggal seten-
gah tombak, Gembong Kenjeran berniat mema-
paknya. Namun belum sempat lelaki telengas itu 
bergerak, Siluman Ular Putih tiba-tiba membuang 
tubuhnya, seolah membatalkan serangan. Karena 
pada saat yang sama senjata Anak Panah Berca-
kra Kembar yang mengiringi di belakang siap pula 
mengancam. 
Wusss...! 
Bukan main terkejutnya hati Gembong 
Kenjeran. Sungguh ia telah tertipu oleh gerakan 
Siluman Ular Putih. Jarak yang demikian dekat, 
membuatnya tak mungkin bisa mengelak. Aki-
batnya.... 
Cleppp! 
"Aaakh...!" 
Gembong Kenjeran meraung setinggi langit 
begitu mata anak panah Siluman Ular Putih 
menghujam dadanya hingga membuat darah me-
rah menyembur. 
Di saat yang demikian, ternyata Siluman 
Ular Putih telah kembali berkelebat dengan patu-
kan-patukan tangan yang begitu cepat. 
"Setan alas! Kau akan merasakan akibat-
nya nanti, Bocah Gondrong! Hea!" 
Gembong Kenjeran terpaksa harus menun-
da niatnya mencabut anak panah yang menancap 
dada, karena harus membuang tubuhnya ke 
samping menghindar serangan-serangan Siluman 
Ular Putih. Dengan sekali menghentakkan ka-
kinya ke tanah, lelaki itu telah melompat meng-
hindari serangan. 
"Bajingan!" maki Gembong Kenjeran mur-
ka. Tangan kanannya segera mencabut batang 
anak panah yang menancap di dada. Lalu dengan 
tenaga dalam penuh dilontarkannya kembali anak 
panah itu ke arah pemiliknya. 
Werrr! 
Hebat bukan main lesatan senjata anak 
panah itu. Tentu saja Siluman Ular Putih tak in-
gin tubuhnya jadi sasaran empuk serangan balik 
senjata miliknya. Seketika tubuhnya cepat me-
lenting tinggi ke udara, hingga anak panah itu te-
rus melesat ke belakang dan menghantam batang 
pohon! 
Tepp! 
Anak panah itu menancap ke batang po-
hon. Tampak batang pohon itu bergetar menim-
bulkan suara bergemuruh, sebelum akhirnya 
tumbang! 
Blammm! 
Sekali lagi bumi bergetar hebat. Debu-debu 
membubung tinggi memenuhi tempat pertarun-
gan saat pohon besar itu menghantam tanah. 
"Bajingan! Beraninya kau mempermainkan 
aku seperti ini, hah?! Makanlah aji 'Panglarut 
Banyu Putih'-ku! hea!" bentak Gembong Kenjeran 
penuh kemarahan. 
Di akhir bentakannya, tokoh sesat dari Hu-
tan Kenjeran itu segera melompat ke depan. Ke-
dua telapak tangannya yang telah berubah jadi 
putih berkilauan segera dihantamkan ke arah Si-
luman Ular Putih yang baru saja mendarat. 
Wusss! 
Seketika dua gulungan asap putih berki-
lauan melesat dari kedua telapak tangan Gem-
bong Kenjeran yang disertai hawa dingin bukan 
kepalang. 
Hebat bukan main serangan Gembong Ken-
jeran kali ini. Apalagi lelaki telengas itu telah 
mengerahkan kekuatan tenaga dalam sepenuh-
nya. Tak heran bila sebelum serangannya menge-
nai sasaran, terlebih dulu Siluman Ular Putih me-
rasakan kulit tubuhnya seperti membeku. 
Soma tak ingin ayal-ayalan lagi. Maka ce-
pat digabungkannya pukulan 'Tenaga Inti Bumi' 
dan 'Tenaga Inti Api'. Dan begitu telapak tangan 
kanannya telah berubah jadi merah menyala, se-
mentara telapak tangan kiri berubah jadi putih 
terang, segera didorong ke depan. 
Wesss! Wessss! 
Dua larik sinar merah dan putih melesat 
dari kedua telapak tangan Siluman Ular Putih. 
Lalu....  
Besss! 
Tak ada bunyi ledakan yang berarti akibat 
bentrokan dua tenaga dalam tingkat tinggi baru-
san. Namun hebatnya, bumi berguncang hebat 
laksana diguncang prahara. Hawa dingin yang 
berbaur hawa panas luar biasa menguar, meme-
nuhi tempat pertarungan. Akibatnya, ranting-
ranting pohon di sekitar tempat pertarungan kon-
tan jadi layu! Bahkan sebagian lainnya hangus 
terbakar! 
Sementara tubuh Siluman Ular Putih dan 
Gembong Kenjeran sama-sama bergetar hebat. 
Kaki-kaki mereka pun tersurut beberapa tindak 
ke belakang, namun tetap tidak ada yang mau 
mengalah. Malah mereka makin melipatgandakan 
kekuatan tenaga dalam. 
"Hea!" 
Gembong Kenjeran membentak garang be-
gitu melipatgandakan tenaga dalamnya. Tangan-
nya pun dihentakkan kuat-kuat ke depan, hingga 
gulungan asap putih yang berkilauan dari kedua 
telapak tangannya makin hebat menindih dua la-
rik sinar merah dan putih milik Siluman Ular Pu-
tih. 
Besss! Besss! 
Siluman Ular Putih mengeluh tertahan. 
Padahal tenaga dalamnya telah dilipatgandakan. 
Namun tetap saja gulungan asap putih yang ber-
kilauan dari kedua telapak tangan Gembong Ken-
jeran menindih gelombang serangannya. 
"Edan! Tak kusangka kehebatan aji 
'Panglarut Banyu Putih' milik Gembong Kenjeran 
hampir sebanding dengan Eyang Pamekasan. Ka-
lau begini terus, tubuhku bisa membeku seperti 
sewaktu aku bertarung dengan Eyang Pameka-
san. Aku harus cepat bertindak. Barang-kali saja 
pukulan 'Lidah Bianglala' yang kupelajari dari 
Eyang Bromo dapat mengatasinya...," gumam Si-
luman Ular Putih dalam hati. (Untuk mengetahui 
pertarungan Siluman Ular Putih melawan Eyang 
Pamekasan, harap baca episode : "Sengketa Takh-
ta Leluhur"). 
Di akhir keputusannya, murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo segera menjejakkan kakinya ke 
tanah. Seketika, tubuhnya melenting tinggi ke 
udara. Sedang gulungan asap putih berkilauan 
dari kedua telapak tangan Gembong Kenjeran te-
lah melesat ke belakang, memporak-porandakan 
apa saja yang ada di sana! 
Brasss! 
Semak belukar yang menjadi sasaran se-
rangan Gembong Kenjeran kontan hancur porak 
poranda dengan warna menjadi kusam, menge-
pulkan asap putih tipis! 
Melihat hasil serangannya, Gembong Ken-
jeran jadi menggeram penuh kemarahan. Sung-
guh sama sekali tidak disangka kalau Soma akan 
menghindar dari adu tenaga dalam. Tentu saja 
tindakan itu tak dapat diterimanya. Maka begitu 
melihat lawan mendarat, tiba-tiba kedua telapak 
tangannya kembali didorong ke sasaran. 
Wusss! Wusss! 
Lagi-lagi dua gulungan asap putih yang 
berkilauan meluncur dari kedua telapak tangan 
Gembong Kenjeran. Hawa dingin yang ditebarkan 
pun lebih dahsyat dari serangan pertama! 
Siluman Ular Putih tak ingin membuang-
buang waktu, segera dikerahkannya pukulan an-
dalan Eyang Bromo yang bernama pukulan 'Lidah 
Bianglala'. Maka begitu tenaga dalamnya dike-
rahkan, kedua telapak tangannya berubah men-
jadi putih berkilauan yang memendarkan cahaya 
beraneka warna! 
"Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Silu-
man Ular Putih mendorongkan kedua telapak 
tangannya pelan, seperti orang bermalas-
malasan. Namun hebatnya, dari kedua telapak 
tangannya melesat dua larik sinar putih berki-
lauan dengan bias beraneka warna, menjulur-
julur laksana lidah bianglala. Di kejap lain dua la-
rik sinar putih itu pun mengembang besar, beru-
bah menjadi dua gulungan kabut tebal yang me-
mendarkan cahaya beraneka warna! 
Besss! 
Kembali bumi berguncang hebat. Hawa 
dingin akibat bentrokan kabut tebal milik Silu-
man Ular Putih dan dua gulungan asap milik 
Gembong Kenjeran kontan menguar, membuat 
tempat pertarungan dipenuhi hawa dingin bukan 
kepalang! 
Hawa dingin bukan saja dialami Siluman 
Ular Putih dan Gembong Kenjeran, tapi juga oleh 
Ratu Adil dan Dewi Bunga Bangkai. Ratu Adil ter-
lihat menggigil hebat menahan hawa dingin yang 
menusuk kulit. Sedang tubuh Dewi Bunga Bang-
kai yang masih tergeletak pingsan tampak kian 
pucat saja. 
Sementara adu tenaga dalam antara Silu-
man Ular Putih dan Gembong Kenjeran terus ber-
lanjut. Paras masing-masing pun tampak mulai 
pias. Namun mereka tetap tak ada yang mau 
mengalah, dan malah makin melipatgandakan te-
naga dalam.  
"Hea!" 
Teriakan menggelegar dari mulut Siluman 
Ular Putih dan Gembong Kenjeran terdengar 
menggema di seantero lembah. Dua gulungan 
asap  putih dan kabut putih yang berkilauan 
mendadak ambyar! Cahaya yang beraneka warna 
kontan menerangi tempat pertarungan! 
Akibat dari adu tenaga dalam ini, tubuh Si-
luman Ular Putih dan Gembong Kenjeran terpen-
tal jauh ke belakang, lalu terbanting keras ke ta-
nah! Masing-masing mengerang hebat dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar pun tampak mengalir 
di sudut-sudut bibir, pertanda sama-sama men-
derita luka dalam yang cukup parah!      
"Hoeeekh!"  
Siluman Ular Putih menyemburkan darah 
kental dari mulutnya. Dadanya yang terguncang 
hebat didekap dengan telapak tangan. Ia berusa-
ha melompat bangun, namun sayang gerakannya 
lemah. 
Di hadapannya, Gembong Kenjeran telah 
berhasil menguasai keadaan, lelaki ini telah ber-
diri tegak di tempatnya. Sepasang matanya yang 
berwarna merah menyala terus memandangi Si-
luman Ular Putih bengis. 
"Kau memang hebat, Siluman Ular Putih. 
Tapi sayang, kehebatanmu akan berakhir sampai 
di sini," desis Gembong Kenjeran, penuh ejekan. 
Diam-diam lelaki itu pun segera mengerah-
kan ajian pamungkasnya, yakni aji 'Setan Kober'. 
Maka begitu tenaga dalam dikerahkan, seketika 
kedua telapak tangannya telah berubah jadi hi-
tam legam hingga pangkal lengan! 
Tanpa sadar Siluman Ular Putih tersurut 
beberapa langkah ke belakang saking takjubnya. 
"Aji 'Setan Kober'...!"  desis Siluman Ular 
Putih. 
"Ha ha ha...! Syukur kalau kau sudah 
mengenali ajianku ini. Berarti, kau tidak akan 
mati penasaran, Bocah Gondrong! Sekarang, ma-
kanlah aji 'Setan Kober'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Gem-
bong Kenjeran menyentakkan kedua telapak tan-
gan ke depan. Tatkala kedua telapak tangannya 
tersentak, yang tampak ternyata dua sosok hitam 
legam dengan sepasang mata berwarna merah 
menyala! Hebatnya lagi, tangan-tangan bayi-bayi 
hitam itu terus menjulur panjang ke arah Silu-
man Ular Putih! 
"Ah...!" 
Soma tercekat. Meski pernah melihat kehe-
batan aji 'Setan Kober' sewaktu bertarung dengan 
Pangeran Pimpinan dan Eyang Pamekasan, tetap 
saja terkejut dibuatnya. Maka tak ada pilihan 
lain, kecuali segera mengerahkan pukulan 'Lidah 
Bianglala' kembali. 
"Hea!" 
Dua larik sinar putih yang tak selang bera-
pa lama berubah menjadi kabut putih tipis kem-
bali menyeruak dari kedua telapak tangan Silu-
man Ular Putih, memapak datangnya serangan. 
Namun hebatnya, tangan-tangan bayi hitam itu 
seperti tak berpengaruh sama sekali. 
Bahkan terus menjulur mengancam kese-
lamatan Siluman Ular Putih. Sedang dua gulun-
gan kabut putih yang memendarkan cahaya be-
raneka warna milik Siluman Ular Putih seolah 
tertahan di udara! 
Bukan main kecutnya hati Siluman Ular 
Putih melihat serangannya tak berarti apa-apa. 
Sementara tangan-tangan hitam bayi itu terus 
menjulur ke tubuhnya dan mencengkeram tu-
buhnya tanpa ampun! 
"Aughhh...!!!" 
Siluman Ular Putih meraung hebat. Ceng-
keraman-cengkeraman tangan bayi-bayi hitam 
kian hebat menghimpit tubuhnya. Meski telah 
mengerahkan tenaga dalam sekuat mungkin, te-
tap saja pemuda itu tak mampu meloloskan diri. 
Tangan-tangan bayi hitam seolah tangan-tangan 
baja yang kuat dan terus menjepit tubuhnya. 
Berkali-kali Siluman Ular Putih mengerang 
hebat. Entah mungkin karena saking tidak ta-
hannya menahan cengkeraman-cengkeraman 
tangan-tangan bayi hitam itu, tiba-tiba saja seku-
jur tubuhnya telah dipenuhi asap putih tipis. Se-
hingga, kini sosok pemuda berambut gondrong itu 
tidak kelihatan sama sekali. Dan ketika asap pu-
tih yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular 
Putih itu sirna tertiup angin, maka.... 
"Ggggeeeerrr...!!!" 
*** 
"Hm...! Jadi inikah ilmu butut yang kau 
bangga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?" ejek 
Gembong Kenjeran begitu melihat perubahan wu-
jud lawan yang kini berupa ular raksasa sebesar 
pohon kelapa dengan kedua matanya yang meme-
rah. 
Tak ada sahutan. Hanya gerengan-
gerengan Siluman Ular Putih yang menggema ke 
seantero lembah yang terdengar. 
"Percuma! Tetap saja kau tak akan mampu 
mengalahkanku. Rasakanlah pembalasanku!" 
Gembong Kenjeran melipatgandakan tena-
ga dalamnya. Tangan-tangan bayi-bayi hitamnya 
pun kian erat, mencengkeram tubuh ular putih 
raksasa lawan. 
"Ggggeeerrr!!!" 
Ular raksasa itu menggereng liar. Ekornya 
dikibaskan ke sana kemari, membuat debu-debu 
di sekitar tempat pertarungan membubung tinggi. 
Namun anehnya, Siluman Ular Putih yang bi-
asanya kebal terhadap berbagai macam pukulan 
maut maupun bacokan senjata pusaka kini tam-
pak kewalahan menghadapi cengkeraman-
cengkeraman tangan-tangan bayi hitam dari ke-
dua telapak tangan Gembong Kenjeran. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih makin menggeliat-geliat 
hebat. Suara gerengannya kali ini pun seperti 
menahan satu beban yang sarat penderitaan. 
Meski telah berusaha, tetap saja belum mampu 
melepaskan diri dari cengkeraman-cengkeraman 
tangan-tangan bayi hitam itu. 
"Ha ha ha...! Sekaranglah saatnya kau me-
nemui ajal di tanganku, Bocah Gondrong! Hayo, 
lekas kembali ke wujudmu semula! Aku ingin li-
hat, bagaimana kau meregang nyawa," kata Gem-
bong Kenjeran puas sekali melihat hasil seran-
gannya. Sepasang matanya yang mencorong be-
ringas makin menyiratkan hawa membunuh. 
Ratu Adil yang masih tertotok di luar tem-
pat pertarungan jadi gelisah bukan main. Hatinya 
terus berharap agar Siluman Ular Putih dapat 
menandingi sepak terjang Gembong Kenjeran. 
Namun, sayang. Apa yang diharapkan murid Ratu 
alit dari Nusa Kambangan ini hanyalah kesia-
siaan. Sedikit pun Siluman Ular Putih tak ber-
daya menghadapi cengkeraman tangan-tangan 
bayi hitam itu. 
"Celaka! Kalau begini terus, bukan musta-
hil Siluman Ular Putih akan tewas di tangan 
Gembong Kenjeran. Apa yang harus kulakukan! 
Sedang tubuhku sendiri masih tertotok," sesal Ra-
tu Adil dalam hati. "Kalau aku tak dapat meno-
long Siluman Ular Putih, bukan mustahil kesela-
matan nyawaku pun akan terancam. Bahkan bu-
kan itu saja. Mungkin kehormatanku juga...." 
Ratu Adil terus berkutat dengan pikirannya 
sendiri. Otaknya tak henti-hentinya berpikir ba-
gaimana caranya menolong Siluman Ular Putih 
yang tengah kewalahan menghadapi Gembong 
Kenjeran. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menggereng 
hebat. Suaranya yang berat kasar terdengar begi-
tu mengerikan. Tak selang beberapa lama, sosok-
nya telah dipenuhi asap putih yang membungkus 
sekujur tubuhnya. 
"Ayo, keluarkan semua kepandaianmu, Si-
luman Ular Putih! Mumpung aku belum mereng-
gut nyawa busukmu," ejek Gembong Kenjeran 
pongah. 
Tak ada sahutan. Perlahan-lahan asap pu-
tih yang menyelimuti sekujur tubuh ular putih 
raksasa itu pun lenyap tertiup angin. Kini, samar-
samar yang terlihat hanyalah sosok pemuda gon-
drong murid Eyang Begawan Kamasetyo yang 
tengah duduk bersila dengan tangan-tangan bayi 
hitam itu masih terus mencengkeram leher! 
"Edan! Tak kusangka aji 'Setan Kober' 
Gembong Kenjeran jauh lebih hebat dibanding aji 
'Setan Kober' milik mendiang Pangeran Pemimpin. 
Celaka dua belas! Rupanya memang sudah na-
sibku harus tewas di tangan Gembong Kenje-
ran...."    
Siluman Ular Putih mengeluh berulang-
ulang. Pada saat keselamatan nyawanya teran-
cam, entah kenapa tiba-tiba saja ingatannya teru-
sik oleh bayangan wajah Ratu Adil. Secepatnya di-
liriknya gadis itu yang masih tertotok di luar per-
tarungan. Soma jadi menyesali diri, karena belum 
mampu menyelamatkan gadis itu. Sementara 
cengkeraman tangan-tangan bayi hitam dari ke-
dua telapak tangan Gembong Kenjeran terus 
mencekiknya kuat-kuat.  
Siluman Ular Putih mengerang hebat. 
Cengkeraman tangan-tangan bayi itu dirasakan 
kian hebat menjepit tubuhnya. Sehingga, napas-
nya megap-megap saking tak tahannya. 
Di saat yang gawat bagi Siluman Ular Pu-
tih, mendadak terdengar suara pekikan nyaring 
yang luar biasa kerasnya. Soma yang tengah di-
landa keputusasaan jadi menjerit tak tahan. Sa-
mar-samar pandang matanya jadi gelap, gelap, 
dan.... 
Siluman Ular Putih pun akhirnya terkulai 
tak sadarkan diri! Ketika tangan-tangan bayi hi-
tam itu melepaskannya, tubuh si pemuda ambruk 
ke tanah. 
"Bangsat! Siapa yang berani bermain gila 
dengan Gembong Kenjeran, hah!" dengus Gem-
bong Kenjeran mengkelap bukan main. Gendang 
telinganya pun seakan mau robek saat menden-
gar pekikan tadi. Hal ini tentu saja membuat per-
hatiannya terpecah. Maka tangan-tangan bayi hi-
tamnya pun kembali surut merubah menjadi te-
lapak tangan kembali. 
"Hik hik hik...! Hanya manusia-manusia 
berhati iblis sajalah yang tega bermaksud meng-
habisi lawan yang sudah tak berdaya. Hik hik 
hik...! Benar-benar memalukan!" 
* * * 
Sepasang mata merah saga milik Gembong 
Kenjeran kian berkilat-kilat nyalang menatap seo-
rang perempuan cantik berpakaian indah warna 
hijau pupus yang tahu-tahu telah berdiri di de-
pannya. Menilik potongan tubuhnya yang ramp-
ing, jelas sekali kalau usia wanita itu belum terla-
lu tua. Paling tidak sekitar tiga puluh lima tahun. 
"Perempuan hina! Katakan Siapa gelarmu 
sebelum aku menghabisi nyawamu!" hardik Gem-
bong Kenjeran dengan napas memburu saking 
kesal mendengar ejekan barusan. 
Perempuan berpakaian hijau pupus itu 
hanya tersenyum. Payung besar berwarna hijau 
pupus di tangan kanannya digerak-gerakkannya 
dengan lemah gemulai. 
"Aku, ya aku! Kenapa kau sewot kalau kau 
ingin menghabisi nyawaku?" sahut perempuan 
berpakaian hijau pupus yang tak lain Putri Hijau 
dengan senyum dikulum. 
Putri Hijau sebenarnya penasaran men-
dengar Gembong Kenjeran yang bermaksud me-
nyatroni Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting. 
Dengan mengikuti Peramal Maut dari jauh, Putri 
Hijau tiba di Hutan Kenjeran tempat tokoh sesat 
itu bersembunyi. Namun mendadak perempuan 
itu kehilangan jejak Peramal Maut. Putri Hijau be-
rusaha mencari dengan menjelajahi Hutan Kenje-
ran, tapi tetap sia-sia belaka.