Siluman Ular Putih 22 - Hantu Tangan Api(2)



Kembali tubuh Pembunuh Iblis terguncang 
keras dan terjajar kembali kebelakang. Tangan 
kanannya pun terasa kesemutan. Untung saja 
pedangnya tak terlepas. Meski demikian tetap sa-
ja membuat hatinya terkejut. Lebih terkejut lagi 
manakala melihat Peramal Maut tiba-tiba melent-
ing ke atas. Di udara tangan kirinya menyentak 
ke arah lawan. 
"Hea!" 
Diiringi teriakan nyaring, seketika selarik 
sinar hitam legam meluruk dari telapak tangan 
kiri Peramal Maut, hendak melabrak tubuh Pem-
bunuh Iblis. Lebih hebatnya lagi ternyata selarik 
sinar hitam itu juga ditingkahi hawa panas yang 
bukan kepalang. 
Menyadari kalau musuhnya telah menge-
luarkan ajian, tanpa banyak pikir Pembunuh Iblis 
segera mengerahkan tenaga dalamnya. Ketika ke-
dua kakinya membentuk kuda-kuda kokoh, tan-
gan kirinya saat itu pula menghentak. Maka dari 
telapak kirinya meluruk sinar biru, menyongsong 
sinar hitam milik Peramal Maut. 
Wess! Wesss!  
Blammm! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara. 
Bumi bergetar hebat laksana diguncang gempa. 
Sementara angin berkesiur akibat bentrokan dua 
tenaga dalam tinggi itu membuat ranting-ranting 
pohon berderak dengan daun-daun berguguran 
hangus terbakar! 
Peramal Maut terkekeh senang saat meli-
hat tubuh Pembunuh Iblis terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang sambil mendekap 
dadanya kuat-kuat. Parasnya pucat pasi. Darah 
segar menyembur keluar, pertanda telah menga-
lami guncangan dalam dada. 
"Serahkan nyawamu, Bocah!" ancam Pe-
ramal Maut garang. 
Pembunuh Iblis tak menyahut. Geraham-
nya bergemelutuk penuh kemarahan. 
"Bedebah! Ternyata tua bangka ini memiliki 
tenaga dalam yang hebat luar biasa! Kukira aku 
harus mengerahkan tenaga dalam hingga pun-
cak!" desis Pembunuh Iblis, buru-buru menyim-
pan pedangnya kembali ke dalam warangka. 
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu datang menjemput, Bocah!" 
"Jangan gegabah, Orang Tua! Meski ke-
pandaianmu setinggi langit, tak kubiarkan harga 
diriku kau injak-injak," sahut Pembunuh Iblis, te-
gar. 
Peramal Maut tertawa bergelak. Suaranya 
yang parau terdengar bergema di sudut-sudut 
lembah. 
"Jagalah nyawamu, Bocah! Pukulan 'Gelap 
Ngampar'-ku akan mengantarmu menemui  Raja 
Akhirat!" ejek Peramal Maut. 
Pembunuh Iblis menggeletukkan geraham-
nya penuh kemarahan. Dilihatnya kedua telapak 
tangan Peramal Maut telah berubah jadi hitam le-
gam hingga pangkal siku. Kini Teguh Sayekti alias 
Pembunuh Iblis tak berani main-main, ia yakin 
pukulan 'Gelap Ngampar' yang akan dikeluarkan 
Peramal Maut mengandung kekuatan dahsyat 
luar biasa. 
Kenyataannya, begitu Peramal Maut meng-
hentakkan kedua tangannya ke depan, seketika 
melesat dua larik sinar hitam legam dari telapak 
tangan yang salah satunya masih menjepit tong-
kat, ditingkahi hawa panas bukan kepalang! 
"Hm.... Mudah-mudahan dengan pukulan 
'Cahaya Kematian', aku dapat menangggulan-
ginya.... Heaaa...!" 
Pembunuh Iblis menyambut serangan den-
gan pukulan andalan 'Cahaya Kematian'. Begitu 
kedua tangannya yang telah berubah biru terang 
sampai pangkal lengan menyentak, seketika itu 
pula meluruk dua larik sinar biru terang mela-
brak pukulan Peramal Maut!  
Bummm! Bummm! 
Hebat bukan main ledakan yang terjadi kali 
ini. Seketika bumi berguncang keras. Ranting-
ranting pohon berderak. Bersamaan itu, Pembu-
nuh Iblis pun memekik keras. Tanpa ampun lagi 
tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Tubuhnya 
berputar-putar sebentar, sebelum akhirnya ter-
banting keras. 
Sementara Peramal Maut tertawa bergelak. 
Walau tubuhnya sempat terhuyung-huyung bebe-
rapa langkah ke belakang akibat bentrokan tadi, 
namun masih jauh lebih baik dibanding keadaan 
Pembunuh Iblis. 
"Huahhh!" 
Darah merah kehitaman kontan meluncur 
dari mulut Pembunuh Iblis. Namun pemuda yang 
mengenakan jubah biru itu tetap mencoba berta-
han. Sembari mendekap dadanya kuat-kuat, di-
cobanya untuk melompat bangun. Namun 
sayang, begitu kedua telapak kakinya menjejak 
tanah, keseimbangan tubuhnya hilang. Akibatnya 
pemuda ini kembali tersuruk jatuh. 
Peramal Maut menjengekkan hidungnya. 
Melihat keadaan Pembunuh Iblis yang amat men-
genaskan lelaki tua bengis ini malah tertawa ber-
gelak. Nyawa manusia seolah hanya dianggap 
mainan yang menyenangkan. 
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tian, Bocah!" desis Peramal Maut penuh lecehan. 
Dengan serta-merta, kembali telapak tangan ki-
rinya menghentak ke depan. 
Seketika kembali selarik sinar hitam legam 
melesat dari telapak tangan kiri Peramal Maut, 
siap mengganyang tubuh Pembunuh Iblis. Namun 
belum sempat sinar hitam itu mengenai sasaran, 
tiba-tiba sebuah bayangan putih keperakan ber-
kelebat cepat. Langsung disambarnya tubuh 
Pembunuh Iblis.  
Brakkk! 
Batang pohon di belakang Pembunuh Iblis 
kontan tumbang begitu terkena pukulan Peramal 
Maut. Debu-debu kontan membubung tinggi, 
memenuhi tempat pertarungan. 
"Bajingan! Siapa lagi yang ingin mengantar 
nyawa, hah?!" 
Peramal Maut mengedarkan pandangan ke 
sekeliling sambil menggeram penuh kemarahan 
karena lawan yang hendak dijadikan sasaran le-
nyap. Sementara, ia belum tahu siapa orang yang 
menyelamatkan Pembunuh Iblis. Gulungan debu-
debu yang membubung tinggi memenuhi tempat 
pertarungan membuat pandangannya terhalang. 
Karena tak sabar lagi melihat orang yang telah 
menggagalkan maksudnya, segera ujung jubah-
nya dia kibaskan. 
Werrr! 
Angin kencang dari kebutan jubah Peramal 
Maut langsung membuat gulungan-gulungan de-
bu yang membubung itu sirna. Seketika itu pula, 
terlihat dua sosok tubuh berdiri tak jauh di hada-
pannya. Yang sebelah kanan, seorang pemuda 
gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Sambil memondong tu-
buh Pembunuh Iblis, sosok berpakaian putih ke-
perakan yang tak lain Siluman Ular Putih terse-
nyum nakal. 
Sedang di sebelah Siluman Ular Putih ada-
lah seorang gadis cantik berpakaian merah. Ram-
butnya  digelung  ke atas semakin mempercantik 
wajahnya, walaupun sedang mendengus marah. 
Wajahnya menampakkan kemuakan melihat ulah 
Peramal Maut yang dengan kejinya ingin membu-
nuh lawan tak berdaya. 
"Kau memang biadab, Peramal Maut! Ma-
nusia macam kau memang patut dilenyapkan dari 
muka bumi!" hardik si gadis, garang. 
"Ratu Adil! Kalau kau tak terima, boleh se-
kalian maju menghadapiku. Kebetulan sekali 
tongkatku ini sudah lama tak menelan korban," 
sahut Peramal Maut, mengejek. 
Gadis cantik berpakaian merah yang me-
mang Ratu Adil hanya menjengekkan hidungnya. 
Memang, Yustika alias Ratu Adil sendiri pun 
hampir celaka di tangan Peramal Maut. Untung 
saja Siluman Ular Putih waktu itu keburu datang 
menolong. 
"Bagaimana, Soma? Apakah tua bangka ini 
patut dihajar?" tanya Ratu Adil, meminta persetu-
juan Siluman Ular Putih. 
"Terserah! Tapi...." 
"Jangan khawatir, Soma! Kalau tua bangka 
ini tidak curang, aku yakin belum tentu dapat 
merobohkanku," potong Ratu Adil, tegas. 
"Hm...! Baiklah kalau memang itu maumu. 
Tapi, hati-hati! Tua bangka itu penuh tipu musli-
hat," ingat Soma. 
"Aku tahu. Soma." 
Peramal Maut mendengus bak kerbau mau 
disembelih. Hatinya kesal sekali mendengar pem-
bicaraan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang 
sangat melecehkannya. 
"Majulah, Gadis keparat! Kali ini kau tak 
mungkin lolos dari tangan mautku!" bentak Pe-
ramal Maut. 
Ratu Adil tersenyum dingin. Selangkah 
demi selangkah kakinya maju mendekati Peramal 
Maut. 
"Bagus! Rupanya kau sudah tak sabar 
menjemput ajalmu! Sekaranglah saatnya kau 
modar di tanganku!" 
"Jangan pongah, Peramal Maut! Ajal seseo-
rang bukan terletak di tangan manusia, tapi di 
tangan Yang Maha Kuasa. Dialah yang menguasai 
nyawa seseorang." 
"Jangan berkhotbah di hadapanku, Bocah 
Kemarin Sore! Aku jadi tak sabar lagi untuk me-
robek-robek mulutmu!" dengus Peramal Maut, 
langsung menerjang. 
Tanpa sungkan-sungkan lagi, Peramal 
Maut segera mengerahkan pukulan andalannya 
'Gelap Ngampar'. Maka begitu kedua telapak tan-
gannya dihentakkan ke depan, dua larik sinar hi-
tam segera melesat cepat siap meluluh-lantakkan 
tubuh Ratu Adil. 
Wesss! Wesss! 
Ratu Adil sejenak menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Dan saat merasakan hawa panas mu-
lai menyentuh kulit tubuhnya, dikerahkannya te-
naga dalam penuh. Langsung kedua telapak tan-
gannya didorong ke depan, memapak serangan 
Peramal Maut. 
Blammm! Blammm!" 
Terdengar dua kali ledakan hebat disertai 
bunga api menyebar ke segala arah. Seketika 
udara panas memenuhi tempat pertarungan. An-
gin berkesiur akibat bentrokan dua tenaga dalam 
tingkat tinggi itu ternyata mampu membuat po-
hon-pohon di sekitar tempat pertarungan menger-
 
ing layu! 
Sementara tubuh Peramal Maut tampak 
terjajar beberapa langkah ke belakang dengan pa-
ras pucat pasi. Darah segar membersit dari sudut 
bibirnya sambil menggeram penuh kemarahan, 
buru-buru lelaki tua itu menyekanya dengan 
punggung tangan. 
Di hadapannya, tubuh Ratu Adil pun sem-
pat terhuyung-huyung beberapa langkah ke bela-
kang. Akibat bentrokan tenaga dalam tadi kedua 
tangannya terasa panas bukan main. Ratu Adil 
segera menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak 
tangan hingga hawa panas yang menyerang ber-
kurang. Dadanya pun sempat terguncang, walau-
pun hanya sesaat.  
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar tak in-
gin mengampunimu, Gadis Gendeng! Kau harus 
modar di tanganku!" 
Kini, Peramal Maut menekuk lututnya da-
lam-dalam. Sedang tongkat di tangan kanannya 
telah diselipkan di punggung. Dan ketika kedua 
telapak tangan lelaki tua itu telah berubah men-
jadi kelabu hingga pangkal siku, Ratu Adil jadi 
terkesiap kaget. 
"Awas, Yustika! Tua bangka itu hendak me-
lontarkan 'Gada Akhirat'!" teriak Siluman Ular Pu-
tih mengingatkan dari luar tempat pertarungan. 
Soma yang tengah sibuk mengobati luka 
dalam Pembunuh Iblis, diam-diam tak mengalih-
kan perhatiannya pada jalannya pertarungan. 
Dan pemuda itu pun siap membantu Ratu Adil bi-
la terjadi hal yang tak di-inginkan. 
"Aku tahu. Soma," sahut si gadis. 
"Tapi bagaimanapun juga kau harus tetap 
hati-hati!" 
"Terima kasih atas peringatanmu, Soma." 
Yustika kembali menghadapi Peramal 
Maut. Namun diam-diam telah dipersiapkannya 
pukulan andalan 'Cakar Samudera' yang merupa-
kan warisan terakhir gurunya di Nusa Kamban-
gan. Maka begitu tenaga dalamnya dikerahkan, 
seketika kesepuluh kuku-kuku jari tangannya te-
lah berubah menjadi biru! 
Peramal Maut yang sudah kalap malah 
kian menggeram murka. Begitu kedua telapak 
tangannya dihentakkan ke depan, saat itu pula 
meluruk dua gulungan sinar kuning terang. 
Wesss! Wesss! 
Ratu Adil sama sekali tidak tersurut mun-
dur. Begitu melihat datangnya serangan, kesepu-
luh jari tangannya segera diguratkan ke udara. 
Maka dari jari-jari tangannya melesat sinar-sinar 
biru, langsung memapak pukulan Peramal Maut.  
Class! Class! 
Sejenak, dua gulungan sinar kuning terang 
tertahan di udara oleh sinar-sinar biru. Sementa-
ra tubuh tokoh sesat dari Gunung Kembang itu 
bergetar hebat. Kedua kakinya melesak ke dalam 
tanah! Namun Peramal Maut tetap tak ingin kalah 
dalam adu tenaga dalam. Sambil menggeletukkan 
gerahamnya kuat-kuat, tenaga dalamnya makin 
dilipatgandakan ke telapak tangan. 
"Hea!" 
Tiba-tiba Ratu Adil memekik keras. Bersa-
maan dengan itu, kesepuluh jari-jari tangannya 
disentakkan ke depan. Akibatnya sepuluh larik 
sinar biru dari jari-jari tangannya terus mendesak 
gulungan sinar kuning milik Peramal Maut. La-
lu.... 
Class! Class! 
Bukkk! Bukkk! 
"Aughhh...." 
Tanpa ampun Peramal Maut kontan menje-
rit setinggi langit begitu sinar biru dari jari-jari 
tangan Ratu Adil menembus pertahanannya dan 
menghantam dada. Seketika tubuhnya yang tinggi 
kurus terbanting keras dengan paras pias! Tam-
pak tubuh kurus keringnya hanya menggeliat-
geliat  sebentar, lalu tidak bergerak-gerak sama 
sekali. 
Ratu Adil sejenak termangu di tempatnya. 
Ketika melihat tubuh Peramal Maut benar-benar 
tak dapat bergerak lagi, selangkah demi selang-
kah si gadis pun mulai mendekati. 
"Akhirnya kau tewas juga, Peramal Maut. 
Manusia seperti kau memang tidak patut berke-
liaran di muka bumi ini," desis Ratu Adil. 
Meski demikian Ratu Adil tetap waspada, 
karena tak ingin terkecoh untuk kedua kali. Ma-
ka, diam-diam pun telah dikerahkannya pukulan 
'Cakar Naga Samudera'. 
Kira-kira tinggal berjarak satu tombak.... 
"Heh...?!" 
Mendadak Ratu Adil memekik kaget ketika 
tiba-tiba Peramal Maut bergulingan sambil meng-
hentakkan kedua telapak tangannya. Tanpa dapat 
dicegah, dua gulungan sinar kuning terang melu-
ruk dari kedua telapak tangannya siap meluluh-
lantakkan tubuh Ratu Adil! 
Wesss! Wesss! 
Ratu Adil yang untungnya telah bersiap se-
gera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga Samude-
ra'. Namun belum sempat murid Ratu Alit ini ber-
tindak.... 
Wesss!  
Blarr! 
Tiba-tiba telah melesat pula dua sinar pu-
tih yang disusul oleh dua ledakan hebat di udara. 
Dengan demikian kandaslah serangan licik Pe-
ramal Maut. 
Pada saat yang hampir bersamaan, Peram-
al Maut meraung setinggi langit dengan tubuh 
bergeser jauh ke belakang. Namun dengan sisa-
sisa kekuatannya, ia melompat bangun. Saat itu 
juga tubuhnya segera berkelebat meninggalkan 
tempat itu walaupun tampak terhuyung-huyung. 
Yustika yang tubuhnya sempat terlempar 
ke samping akibat bentrokan pukulan tadi, 
menggeram penuh kemarahan. Hampir saja ia ce-
laka di tangan Peramal Maut untuk yang kedua 
kali. Gadis ini hendak mengejar, tapi tubuh Pe-
ramal Maut telah begitu jauh. 
"Soma! Terima kasih! Lagi-lagi kaulah yang 
menolongku," ucap Ratu Adil. 
Siluman Ular Putih tidak menyahut. Ma-
tanya masih terpaku ke arah kepergian Peramal 
Maut. Soma bukannya tak ingin mengejar. Hanya 
rasa kasihannya terhadap Pembunuh Iblis-lah 
yang membuat niatnya diurungkan. 
"Benar-benar licik, Tua Bangka itu! Untung 
saja aku segera bertindak," gumam Siluman Ular 
Putih. 
"Yah...! Kau benar. Soma. Tua bangka itu 
memang licik," timpal Ratu Adil membenarkan. 
"Hoekh!" 
Tiba-tiba Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
dikagetkan suara orang yang tengah muntah-
muntah. Buru-buru mereka berpaling, dan men-
dekati Pembunuh Iblis yang tengah muntah-
muntah. 
"Bagaimana keadaanmu, Kawan?" tanya 
Siluman Ular Putih begitu berada di samping 
Pembunuh Iblis. 
Pembunuh Iblis yang baru saja siuman se-
jenak membelalakkan matanya heran saat meli-
hat Siluman Ular Putih telah berada di hadapan-
nya. 
"Ah...! Lagi-lagi kau yang menyelamatkan-
ku, Soma. Aku jadi malu," desah Pembunuh Iblis 
dengan napas masih tersengal. 
"Sudahlah! Jangan banyak basa-basi! Yang 
penting kau selamat. Bukankah kita segolongan? 
Kenapa mesti sungkan?" 
"Aku mengerti, Soma," kata Pembunuh Ib-
lis. 
Teguh Sayekti berusaha bangun. Dan den-
gan sigap Siluman Ular Putih segera memban-
tunya. 
"Oh,  ya? Siapakah temanmu itu, Soma?" 
bisik Pembunuh Iblis lirih di telinga Siluman Ular 
Putih. Entah mengapa setiap matanya melirik Ra-
tu Adil, dadanya bergemuruh. Bahkan tiba-tiba 
timbul rasa kerinduan mendalam. Ada getaran 
aneh yang menguasai dadanya. 
"Yustika." 
"Ooo...! Senang sekali aku bertemu den-
ganmu, Yustika. Perkenalkanlah.... Aku Teguh 
Sayekti," kata Pembunuh Iblis, bergetar suaranya. 
Apalagi ketika kembali menatap Yustika, wajah 
gadis itu mengingatkannya pada wajah seseorang. 
Tapi pemuda itu lupa, siapa. 
Yustika alias Ratu Adil hanya mengangguk. 
"Bagaimana? Apa lukamu sudah mendin-
gan?" tanya Soma, memecah keheningan. 
"Sudah agak lumayan. Soma. Paling tinggal 
memulihkan tenaga dalamku saja. Tapi ngomong-
ngomong, sekarang kau hendak ke mana lagi?" 
tanya Pembunuh Iblis ingin tahu. 
"Aku ingin mengejar Setan Haus Darah dan 
pasukannya," jawab Soma. 
Pembunuh Iblis tersenyum. Sebenarnya, 
pemuda itu ingin berlama-lama lagi dengan Yus-
tika. Teguh Sayekti ingin ngobrol lebih banyak la-
gi. Tapi hatinya merasa sungkan terhadap Soma. 
"Ayo, Yustika kita melanjutkan perjalanan," 
ajak Soma. 
"Ayo," sahut Ratu Adil, lalu menatap Teguh 
Sayekti sebentar. "Selamat tinggal, Kawan!" 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya 
dalam beberapa kelebatan saja sosok mereka te-
lah menghilang di balik kerimbunan hutan depan 
sana. 
"Hm...! Siluman Ular Putih benar-benar be-
runtung. Ia selalu dikerubungi gadis-gadis can-
tik... Tapi gadis yang bersama Siluman Ular Putih 
barusan..., ah. Mungkinkah ia adikku...? Atau 
hanya perasaanku saja? Kalau bukan, kenapa 
wajahnya mirip dengan mendiang ibu...?" 
Peramal Maut memperlambat kelebatan-
nya. Kini ia melangkah biasa namun terlihat gon-
tai akibat luka dalam yang parah. Sementara ke-
dua tangannya terus mendekap dada kuat-kuat. 
Terus ditelusurinya jalan di pinggiran sebuah de-
sa yang berbatasan dengan hamparan sawah. 
"Keparat! Entah, sudah berapa kali Silu-
man Ular Putih mencampuri urusanku! Hm...! 
Sampai kapan pun aku tak mungkin dapat melu-
pakan dendamku padanya...! Tunggulah pemba-
lasanku, Siluman Ular Putih!" maki Peramal Maut 
dalam hati. 
Kali ini, lelaki tua itu tak kuat lagi mena-
han langkah. Akibat luka dalamnya yang parah 
membuat tubuhnya tersuruk jatuh. Dengan su-
sah payah, ia menggeser tubuhnya ke arah seba-
tang pohon. Begitu tubuhnya disandarkan, na-
pasnya memburu. Dadanya terasa mau pecah. 
Tapi Peramal Maut berusaha bertahan. 
"Edan! Tak kusangka Ratu Adil pun memi-
liki pukulan demikian dahsyat! Andai saja Silu-
man Ular Putih tidak membantu, aku yakin nya-
wa gadis itu sudah berada dalam genggaman tan-
ganku.... Huk huk huk...!" 
Peramal Maut terbatuk-batuk. Pada saat 
itu ia merasakan dari mulut dan hidungnya men-
galir darah segar. Buru-buru diambilnya butiran-
butiran biru dari kantung kecil yang menggan-
tung di pinggang. Tanpa ragu ditelannya butir-
butir biru yang memang berupa obat pulung. Per-
lahan-lahan hawa dingin akibat obat itu mulai 
menjalar ke tenggorokannya. Dan hawa dingin itu 
terus menerabas ke dalam perutnya. 
"Untung saja aku membawa persediaan 
obat. Kalau tidak, barangkali aku sudah tidak 
kuat...," gumam Peramal Maut. "Yah...! Kukira 
aku harus menyembuhkan luka dalamku terlebih 
dulu. Masalah menuntut balas terhadap Siluman 
Ular Putih, bisa ditunda untuk beberapa saat...." 
Habis berpikir begitu, perlahan-lahan  Pe-
ramal Maut beringsut. Dan dengan susah payah, 
akhirnya ia dapat duduk bersila. Lelaki tua ini be-
rusaha menenangkan pikirannya sebentar, lalu 
mulai mengalur jalan napasnya. Tak selang bera-
pa lama, tokoh sesat dari puncak Gunung Kem-
bang ini pun sudah tenggelam dalam semadinya. 
Saat itu, bulan bulat penuh tampak tengah 
membanggakan sinar putih keperakannya pada 
jutaan bintang di angkasa. Suara jangrik di pema-
tang sawah terdengar riuh mengusik ketenangan 
malam. Keadaan ini tentu saja membuat Peramal 
Maut merasa nyaman untuk menyembuhkan luka 
dalamnya. Tarikan-tarikan napasnya pun mulai 
teratur. Tidak memburu seperti tadi. Demikian 
juga dadanya. Setelah melakukan semadi untuk 
beberapa saat, tubuhnya pun terasa segar. 
Malam kian beranjak. Bumi pun kian dite-
rangi cahaya putih keperakan sang dewi malam. 
Peramal Maut tak mau peduli. Meski luka dalam-
nya berangsur-angsur sembuh, tapi ia masih 
tenggelam dalam semadinya. Kedua kelopak ma-
tanya terpejam dengan telapak tangan memegang 
lutut. 
Di puncak semadinya, mendadak hidung 
Peramal Maut mencium bau busuk yang bukan 
kepalang. Bahkan hampir membuat lelaki tua ini 
muntah dengan perut mual. 
"Setan! Bau busuk apa ini? Kenapa demi-
kian menusuk hidung...?" gerutu Peramal Maut. 
Terpaksa lelaki tua ini menghentikan se-
madinya. Kelopak matanya membuka. Meski be-
lum sembuh benar, namun sudah terasa mendin-
gan. Luka dalamnya sudah tidak begitu meng-
ganggunya. Menyadari hal ini, diam-diam Peramal 
Maut tersenyum senang. 
Namun manakala bau busuk itu kian me-
nusuk hidung, tak urung juga Peramal Maut jadi 
kesal bukan main. Sambil mengendus-endus hi-
dungnya, kepalanya bergerak ke samping. Namun 
betapa terkejut hatinya, begitu kepalanya berpal-
ing. Ternyata tak jauh darinya telah berdiri seso-
sok tubuh tinggi kurus. 
Sosok itu seorang kakek renta. Sepintas, 
tubuhnya tak bertenaga. Tubuhnya yang kurus 
kering terbalut pakaian warna merah menyala. 
Rambut, bulu mata, alis mata, dan juga jenggot-
nya yang panjang juga berwarna merah menyala! 
Wajahnya tirus kemerah-merahan dengan sepa-
sang mata melesak ke dalam tertutup tulang-
tulang pipi yang bertonjolan. 
"Hantu Tangan Api...!" desis Peramal Maut 
penuh keterkejutan. 
Sosok kakek renta yang memang Ki Ba-
naspati alias Hantu Tangan Api hanya mendengus 
kasar. Sepasang matanya yang mencorong meng-
hujam tajam ke arah Peramal Maut. 
Buru-buru Peramal Maut melompat ban-
gun. Gerakannya kali ini terlihat agak ringan. Hal 
ini saja sudah menandakan kalau luka dalamnya 
mulai berangsur sembuh. Meski demikian, sikap-
nya tak berani gegabah. Ia tahu, siapa Hantu 
Tangan Api. Seorang tokoh sesat papan atas yang 
amat diperhitungkan di kalangan tokoh putih 
maupun tokoh golongan hitam. Dialah momoknya 
dunia persilatan yang konon sudah lama menga-
singkan diri. 
"Pasti ada satu urusan yang amat penting 
hingga Hantu Tangan Api sampai keluar dari 
tempatnya bertapa...," gumam Peramal Maut. 
"Peramal Maut! Apakah kau melihat Pendi-
dik Ulung dan orang yang bergelar Siluman Ular 
Putih?" tanya Hantu Tangan Api langsung. Na-
danya tetap garang, sarat ancaman. Sebagai to-
koh persilatan, Ki Banaspati pun pernah menden-
gar nama Siluman Ular Putih, walaupun belum 
melihat orangnya. 
"Hm...! Jadi tua bangka satu ini sedang 
mencari Siluman Ular Putih dan Pendidik Ulung? 
Hm...! Kebetulan sekali. Kukira aku dapat me-
manfaatkan tenaga tua bangka ini demi memba-
las dendamku...," Peramal Maut menggumam da-
lam hati. 
Sejenak Peramal Maut manggut-manggut, 
lalu menatap Ki Banaspati. Matanya tampak ber-
binar-binar. 
"Oh...! Jadi kau sedang mencari mereka, 
Hantu Tangan Api? Kebetulan sekali. Aku me-
mang sedang mencari Pendidik Ulung. Tapi...." 
"Jangan banyak bertele-tele, Peramal Maut! 
Cepat katakan di mana Pendidik Ulung dan Silu-
man Ular Putih!" potong Ki Banaspati, tak sabar. 
"Baik. Akan kukatakan terus terang. Aku 
memang belum bertemu Pendidik Ulung. Tapi ba-
ru saja aku bertarung dengan Siluman Ular Pu-
tih," urai Peramal Maut agak gugup. Ngeri juga 
hatinya kalau sampai berbentrokan dengan Ki 
Banaspati. 
"Bagus! Di mana sekarang Siluman Ular 
Putih, Peramal Maut?" cecar Hantu Tangan Api. 
"Hm...! Mungkin ia masih mengobati te-
mannya yang terluka di hutan sebelah sana!" je-
las Peramal Maut seraya menuding telunjuk ke 
arah gerumbulan hutan di sebelah timur. 
"Bagus! Kalau begitu aku akan segera ke 
sana," kata Hantu Tangan Api seraya berbalik. 
"Tunggu, Hantu Tangan Api!" cegah Peram-
al Maut menahan langkah tokoh sesat dari Bukit 
Pedang itu. 
"Ada apa lagi, Peramal Maut?" 
Ki Banaspati berbalik gusar. Pandang ma-
tanya yang, mencorong tajam, jelas memancarkan 
satu hawa kematian yang hanya dapat ditebus 
dengan darah. 
"Jangan gegabah, Hantu Tangan Api! Meski 
kepandaianmu setinggi langit, namun kali ini aku 
mencium hawa kematian dari dalam tubuhmu. 
Bau busuk dari tubuhmu itulah yang menanda-
kan kau harus lebih berhati-hati. Kalau tidak, 
kau bisa celaka!" ingat Peramal Maut, merasa 
gatal kalau tidak meramal orang. 
"Apa kau bilang? Aku akan celaka di tan-
gan Pendidik Ulung atau pemuda bau kencur ber-
gelar Siluman Ular Putih?!" sentak Hantu Tangan 
Api. Bukan main gusarnya dipandang remeh de-
mikian rupa. 
"Jangan salah paham, Hantu Tangan Api! 
Aku hanya mengingatkan. Dan satu lagi yang pa-
tut kau ingat! Ramalanku tak pernah meleset. Be-
runtung sebenarnya kau bertemu denganku. Apa-
lagi, aku tidak menuntut upah darimu," kilah Pe-
ramal Maut. 
"Setan alas! Berani benar kau meminta 
upah?! Apa kau sudah bosan dengan nyawa di 
ragamu, hah?!" 
"Bukan itu maksudku, Hantu Tangan Api," 
elak Peramal Maut. Merasa kecut juga hatinya 
melihat kegarangan Ki Banaspati. 
"Lalu? Kenapa kau demikian lancang bera-
ni menahan langkahku, he?!" bentak Hantu Tan-
gan Api. 
Selangkah demi selangkah Ki Banaspati 
mendekati Peramal Maut. Dan hati lelaki tua jago 
meramal itu makin kecut saja. Walau tidak se-
dang menderita luka dalam, belum tentu ia sang-
gup menghadapi sepak terjang Hantu Tangan Api. 
Maka tak heran kalau Peramal Maut tak ingin ca-
ri perkara. Malah kalau bisa ingin memanfaatkan 
tenaganya. 
"Hantu Tangan Api! Kau adalah seorang 
tokoh papan atas dunia persilatan. Namun ru-
panya, kau pun tetap harus berhati-hati. Mata 
batinku mengatakan, kau akan celaka kalau tak 
berhati-hati. Untuk itulah aku menahan lang-
kahmu!" jelas Peramal Maut, berusaha melunak-
kan hati Ki Banaspati. 
"Setan! Bagaimanapun juga, kau dan ra-
malanmu tetap saja memandang remeh padaku, 
Peramal Maut! Makanlah bogem mentahku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, tiba-tiba Hantu 
Tangan Api telah menerjang Peramal Maut den-
gan ganas. Tubuhnya yang tinggi kurus berkele-
bat cepat laksana kilat. Sedang kedua telapak 
tangannya yang terkepal segera mengirimkan jo-
tosan mengerikan. 
Wutt! Wuttt! 
Sebelum serangan-serangan tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu sempat mengenai sasaran, 
terlebih dahulu Peramal Maut merasakan angin 
kencang disertai hawa panas menampar-nampar 
kulit tubuh! 
Tentu saja Peramal Maut tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Meski hatinya berat, 
demi keselamatannya terpaksa segera dikerah-
kannya pukulan 'Gelap Ngampar'. Dan begitu ke-
dua telapak tangannya berubah jadi hitam legam, 
segera dipapaknya pukulan Hantu Tangan Api. 
Blammm! Blammm! 
Terdengar satu ledakan hebat di udara ke-
tika dua tenaga dalam tingkat tinggi itu beradu di 
udara. Bumi berguncang  hebat seperti terjadi 
gempa. Berkesiurannya hawa panas akibat ben-
trokan bahkan mampu membuat tempat perta-
rungan dipenuhi hawa panas! 
Sementara bersamaan bentrokan tadi, ter-
dengar satu pekik menyayat disusul terpentalnya 
sosok tubuh Peramal Maut. Sejenak tubuhnya 
berputaran, lalu terbanting keras di tanah. 
Bukkk! 
Peramal Maut megap-megap. Dadanya 
yang baru saja sembuh dari luka dalam terasa se-
sak bukan main. Parasnya pun pucat pasi! Meski 
demikian, lelaki ini tetap berusaha bertahan. Per-
lahan-lahan ia mencoba bangkit. Namun sayang, 
tubuhnya kembali luruh di tanah. 
Hantu Tangan Api tertawa bergelak mena-
tap keadaan Peramal Maut. Sepasang matanya 
yang mencorong jelas memancarkan hawa mem-
bunuh. 
"Celaka! Jangan-jangan tua bangka ini 
memang menghendaki nyawaku?" desis Peramal 
Maut, kecut. "Hm...! Sial benar nasibku belakan-
gan ini. Sudah dipermalukan Siluman Ular Putih 
dua kali, masih pula harus berbentrokan dengan 
Hantu Tangan Api." 
Di depan sana, tampak Ki Banaspati mulai 
melangkah mendekati Peramal Maut. Kedua tela-
pak tangannya telah berubah merah menyala 
hingga pangkal siku. Sekali saja kedua telapak 
tangannya dihentakkan ke depan, mustahil bagi 
Peramal Maut dapat lolos dari tangan maut tokoh 
sesaat dari Bukit Pedang itu. 
"Ha ha ha...! Rasakanlah, Peramal Maut! 
Manusia culas macam kau memang tak patut 
menikmati indahnya dunia ini. Sikat saja tua 
bangka culas itu, Kakek Merah!" 
Tiba-tiba terdengar satu suara yang amat 
dikenali Peramal Maut. Bersamaan dengan itu, 
Peramal Maut melihat dua sosok bayangan berke-
lebat cepat mendekati tempat itu. 
"Setan alas! Siapa lagi manusia-manusia 
pencari mati ini, hah?!" 
Sepasang mata merah menyala Hantu Tan-
gan Api kian bergerak-gerak beringas. Tak jauh di 
hadapannya kini telah berdiri dua sosok tubuh. 
Yang sebelah kanan adalah seorang pemuda tam-
pan berambut gondrong dengan pakaian rompi 
dan celana bersisik warna putih keperakan. Se-
dang di sebelahnya adalah seorang gadis cantik 
berpakaian indah warna merah. Rambutnya yang 
hitam panjang digelung ke atas dihiasi mutiara-
mutiara indah warna biru. 
"Hantu Tangan Api! Rupanya, apa yang 
kau katakan benar. Mereka memang manusia-
manusia pencari mati. Dan kalau kau tahu siapa 
mereka, kau tentu akan terkejut. Terutama sekali, 
pemuda edan itu!" kata Peramal Maut seraya me-
nuding ke arah dua anak muda itu. 
"Jangan mempermainkan aku, Peramal 
Maut! Siapa dua bocah ingusan tak tahu diri itu?" 
bentak Ki Banaspati. 
"Ha ha ha,..!" Peramal Maut malah tertawa. 
Lalu dengan susah payah ia melompat bangun. 
"Katakan siapa dua bocah itu, Peramal 
Maut!" bentak Hantu Tangan Api. Kali ini hawa 
amarah yang menggelegak dalam dada benar-
benar tak dapat lagi dikendalikan. 
"Ketahuilah, Hantu Tangan Api. Manusia-
manusia pencari mati itu adalah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil." 
"Hah?! Siluman Ular Putih?" tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu terperangah, seolah tak 
percaya dengan pendengarannya. 
"Benar. Kunyuk gondrong itulah yang ber-
gelar Siluman Ular Putih!" 
"Hhh...!" 
Hantu Tangan Api mendengus gusar. Sepa-
sang mata bengisnya mencorong ke arah Ratu 
Adil dan Siluman Ular Putih. 
"Benarkah kau yang bergelar Siluman Ular 
Putih, Bocah?" lanjut Hantu Tangan Api tetap 
dengan suara garang. 
"Harap jangan menelan mentah-mentah 
apa yang dikatakan Peramal Maut, Kakek Merah! 
Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya apa yang 
menyebabkan kau mencari-cari Siluman Ular Pu-
tih?" ujar Siluman Ular Putih santai. Sedikit pun 
tidak menyiratkan kesan gentar dari raut wajah-
nya yang selalu menyunggingkan senyum. 
"Jangan terlalu banyak menjual lagak, Bo-
cah! Katakan! Benarkah kau yang bergelar Silu-
man Ular Putih?!" tanya Hantu Tangan Api minta 
ketegasan. 
"Hantu Tangan Api! Dia itulah yang berge-
lar Siluman Ular Putih!" sela Peramal Maut. 
Siluman Ular Putih hanya mengumbar se-
nyum. Namun tidak demikian dengan Ki Banas-
pati. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi kalau  pe-
muda gondrong di hadapannya adalah orang yang 
bergelar Siluman Ular Putih. Apalagi manakala 
melihat ciri-ciri pemuda gondrong di hadapannya. 
"Hm...! Bagus! Kalau begitu kau memang 
datang mengantar nyawa, Siluman Ular Putih! Ke-
tahuilah! Sekarang aku datang memenuhi tan-
tanganmu!" dengus Ki Banaspati. 
"Hey...! Siapa yang menantangmu berta-
rung, Kakek Merah? Aku merasa tidak pernah 
menantangmu bertarung. Ah...! Kau ini ada-ada 
saja! Mengenalmu saja baru kali ini. Bagaimana 
aku bisa menantangmu bertarung? Yang  benar 
saja, ah?" tukas Soma, kalem. 
"Keparat! Kau jangan banyak tingkah, Si-
luman Ular Putih! Mustahil aku keluar dari tem-
pat bertapa kalau tak mendengar tantanganmu 
dan Pendidik Ulung!" dengus Hantu Tangan Api 
lagi. 
"Siapa? Siapa yang menyebarkan fitnah itu, 
Kakek Merah? Apakah tua bangka Peramal Maut 
itu? Eh...! Di manakah tua bangka itu?" 
Siluman Ular Putih langsung celingukkan 
ke sana kemari, namun tak menemukan Peramal 
Maut di tempat itu. Demikian pula Yustika. Aki-
bat perhatian mereka tercurah pada Hantu Tan-
gan Api, sehingga ketika Peramal Maut pergi di-
am-diam tak seorang pun yang tahu. 
"Sontoloyo! Pasti tua bangka itu yang men-
jadi biang keroknya!" gerutu Siluman Ular Putih. 
"Jangan libatkan Peramal Maut, Siluman 
Ular Putih. Tua bangka itu tidak tahu apa-apa!" 
kata Hantu Tangan Api. 
"Jadi? Peramal Maut bukan yang menye-
barkan fitnah ini? Lalu, siapa orangnya, Kakek 
Merah?" 
"Ini bukan fitnah, Bocah Goblok! Muridku 
tak mungkin berani dusta padaku," sergah Ki Ba-
naspati. 
"Oh...! Jadi muridmu yang menyebarkan 
fitnah ini? Siapakah murid brengsekmu itu, Ka-
kek Merah?" 
"Setan Haus Darah!" sebut Hantu Tangan 
Api, tandas. "Tapi, ingat! Ini bukan fitnah. Kau 
jangan mungkir, Siluman Ular Putih! Majulah ka-
lau kau ingin menantangku bertarung!" 
Siluman Ular Putih mana sudi menuruti 
perintah lelaki tua berbaju merah itu. Kepalanya 
malah menoleh ke arah Ratu Adil. 
"Bagaimana ini, Yustika!" tanya Siluman 
Ular Pulih, minta pendapat. 
"Kukira, memang Setan Haus Darahlah 
yang telah menyebarkan fitnah ini. Habis, siapa 
lagi kalau bukan dia!" sungut Ratu Adil. 
"Hm...! Bisa jadi. Mungkin ia merasa den-
dam padaku, lalu menyeret gurunya dengan me-
nebar fitnah," duga Siluman Ular Putih. Kemu-
dian perhatiannya beralih pada Hantu Tangan 
api. "Dengar, Kakek Merah! Buka telingamu lebar-
lebar! Aku sama sekali tidak pernah menantang-
mu bertarung. Kau paham? Mungkin karena ulah 
muridmu hingga kau keluar dari tempatmu ber-
tapa. Harap jangan salah paham, Kakek Merah!" 
"Hm...!" Bukan main gusarnya hati Hantu 
Tangan Api. Ia tidak tahu mana yang benar. Yang 
jelas, amarahnya saat itu benar-benar sudah 
mencapai ubun-ubun kepala. 
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kalau aku 
sudah turun dari tempatku bertapa, berarti harus 
ada nyawa yang harus kurenggut!" geram Ki Ba-
naspati penuh kemarahan. 
"Yah...! Kenapa urusannya jadi begini, Yus-
tika? Bagaimana ini?" ujar Siluman Ular Putih, la-
lu menggaruk-garuk kepala. 
"Baiknya kita tinggalkan saja tempat ini. 
Soma!" cetus Ratu Adil mengusulkan. 
"Ah, ya? Kau benar, Yustika. Daripada me-
ladeni Kakek Merah itu, lebih baik memang me-
ninggalkan tempat ini. Ayo!" 
Siluman Ular Putih buru-buru menggan-
deng lengan Ratu Adil. Namun belum sempat me-
reka melangkah, tahu-tahu Hantu Tangan Api te-
lah melompat melewati kepala kedua orang anak 
muda itu. Dan mantap sekali kakinya mendarat 
di hadapan Siluman Ular Putih dan Yustika se-
jauh empat tombak. 
"Boleh saja kalian berdua meninggalkan 
tempat ini. Asal, tinggalkan kepala kalian di sini!" 
bentak Hantu Tangan Api, sarat ancaman. 
"Wah...! Mana bisa begitu, Kakek Merah." 
"Bisa tidak bisa, kalian berdua harus mod-
ar di tanganku!" putus Hantu Tangan Api, lang-
sung menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu 
Adil. 
Kedua telapak tangan Ki Banaspati yang 
telah berubah jadi merah menyala hingga sampai 
pangkal siku segera menghantam ke depan, 
membuat dua larik sinar merah menyala melesat 
cepat, siap melabrak tubuh Siluman Ular  Putih 
dan Ratu Adil. 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terperan-
gah. Mereka kontan merasakan hawa panas bu-
kan main, sebelum serangan-serangan tokoh se-
sat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran.  
Wesss! Wesss! 
Menyadari adanya ancaman berbahaya, Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil segera melempar-
kan tubuh ke samping. Sehingga, dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api terus menerabas ke belakang. Dan.... 
Brakkk! 
Batang pohon sebesar tiga lingkaran tan-
gan manusia dewasa di belakang Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil yang menjadi sasaran seketi-
ka memperdengarkan bunyi berderak. Kemudian 
disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya 
tumbang! 
Blammm! 
Tanah debu berpasir kontan membubung 
tinggi memenuhi tempat pertarungan. Ki Banas-
pati yang merasa geram sekali melihat serangan-
nya dapat dihindari dengan begitu mudah, kem-
bali menerjang Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
ganas. Kedua telapak tangannya yang berwarna 
merah menyala kembali menghentak ke depan. 
Wesss! Wesss! 
Srang! 
Ratu Adil cepat menarik keluar pedang pu-
sakanya yang menggelantung di pinggang. Tu-
buhnya segera melenting tinggi ke udara meng-
hindari sinar merah milik Ki Banaspati. Setelah 
membuat putaran beberapa kali, dengan jurus 
'Pedang Menembus Bulan' tubuhnya meluruk 
dengan kecepatan luar biasa. Dan tiba-tiba, mata 
pedangnya telah mengancam ubun-ubun kepala 
Hantu Tangan Api. 
Sedang Siluman Ular Putih sendiri pun ru-
panya tak mau ketinggalan. Begitu melihat seran-
gan datang, murid Eyang Begawan Kamasetyo se-
gera mengeluarkan jurus 'Terjangan Maut Ular 
Putih' andalannya. Tubuhnya cepat melompat ke 
atas, lalu meluruk dengan kedua telapak tangan 
telah membentuk dua kepala ular. Dan dengan 
mengandalkan patukan-patukan kedua telapak 
tangannya, langsung diserangnya Hantu Tangan 
Api. Hebat bukan main kecepatan serangan Silu-
man Ular Putih. Ratu Adil yang menyerang lebih 
dulu bahkan sempat tersusul. 
Tukkk! Tukkk! 
Dua kali patukan tangan Siluman Ular Pu-
tih telak mengenai iga kiri Hantu Tangan Api. 
Namun hebatnya, tubuh lelaki tua itu hanya 
sempat terjajar ke samping tanpa sedikit menge-
luarkan suara pekikan. Bahkan pada saat demi-
kian, Ki Banaspati segera menghentakkan ka-
kinya ke tanah. Seketika tubuhnya yang tinggi 
kurus langsung melenting tinggi ke udara. Kedua 
telapak tangannya yang makin merah menyala 
langsung menghentak. 
Serangan Ratu Adil yang di mata Hantu 
Tangan Api terlihat lambat jadi terkesiap kaget. 
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau seran-
gannya malah didahului Hantu Tangan Api. Pa-
dahal untuk merubah arah serangan, jelas tidak 
mungkin. 
"Awas, Yustika!" teriak Siluman Ular Putih 
dari bawah. 
Menyadari bahaya maut mengancam, Ratu 
Adil segera mengerahkan pukulan 'Cakar Naga 
Samudera' yang menjadi andalan gurunya di Nu-
sa Kambangan. Maka saat itu juga, jari-jari tan-
gannya berubah menjadi biru begitu tenaga da-
lamnya tersalur. Dan setelah memindahkan pe-
dang ke tangan kiri.... 
"Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Ratu Adil cepat 
mengguratkan jari-jari tangan kanan ke udara. 
Seketika, meluruk lima larik sinar biru dari jari-
jari tangan kanannya memapak sinar-sinar merah 
yang dilepaskan Ki Banaspati. 
Classs! Classs! ' 
Lima larik sinar biru dari jari-jari tangan 
Ratu Adil langsung berbenturan dengan sinar-
sinar merah Hantu Tangan Api. Saat itu juga 
tempat pertarungan jadi terang benderang. Se-
mentara tubuh Ratu Adil pun yang masih di uda-
ra kontan terlempar jauh ke belakang. 
Bukkk! 
Ratu Adil mengeluh tertahan begitu tu-
buhnya menghantam tanah. Parasnya pucat pas-
ti. Kedua bibirnya bergetar-getar hebat menahan 
guncangan dalam dada! 
"Kau tidak apa-apa, Yustika?" tanya Silu-
man Ular Putih cemas bukan main begitu berada 
di dekat Ratu Adil. 
Ratu Adil hanya tersenyum getir seraya 
menggeleng perlahan. 
"Tapi, kau terluka dalam, Yustika?" tukas 
Siluman Ular Putih tak puas melihat Ratu Adil 
berusaha tegar di hadapannya. Padahal ia tahu, 
akibat bentrokan tenaga dalam tadi telah menga-
duk-aduk isi dada si gadis. 
"Cepat telan obat ini!" ujar Siluman Ular 
Putih sambil mengeluarkan butiran kuning dari 
kantung kecil yang menggelantung di pinggang. 
Ratu Adil cepat menerimanya dan langsung 
menelan. Perlahan-lahan hawa dingin mulai men-
jalari tenggorokan dan terus menerabas ke dalam 
perutnya. 
"Bersemadilah, Yustika! Biar luka dalammu 
tidak bertambah parah," kata Siluman Ular Putih. 
Lagi-lagi Ratu Adil hanya menggeleng per-
lahan. Malah dengan sigap segera melompat ban-
gun. 
"Yustika! Kau masih terluka!" cegah Silu-
man Ular Putih, cemas bukan main. 
"Tak apa-apa, Soma. Ayo, kita balas seran-
gan Kakek Merah itu!" ajak Ratu Adil. 
Siluman Ular Putih sebenarnya tidak rela 
melihat Ratu Adil terlalu memaksakan diri. Na-
mun untuk mencegah jelas tidak mungkin. Gadis 
itu telah dirasuki hawa amarah. Sehingga terlihat 
ingin sekali membalas kekalahannya tadi. 
Di hadapan mereka, tak henti-hentinya 
Hantu Tangan Api terus mengumbar tawa. Kali ini 
hatinya puas sekali melihat hasil serangannya ta-
di. Hanya dalam sekali gebrakan saja, gadis la-
wannya dapat dirobohkan. Namun manakala me-
lihat Ratu Adil dan Siluman Ular Putih telah ber-
diri di tempatnya kembali, lelaki tua bengis itu ja-
di menggeram murka. 
"Bagus! Aku memang sudah tidak sabar la-
gi untuk mengirim nyawa kalian menemui malai-
kat maut! Majulah!" tangan Hantu Tangan Api 
bernada mengejek. 
"Meski belum tahu duduk perkara yang se-
benarnya sampai kau menginginkan nyawa kami, 
terpaksa kami harus membela diri, Kakek Merah," 
desis Siluman Ular Putih. 
"Jangan banyak bacot, Bocah Tolol! Tahu 
duduk persoalannya ataupun tidak, kalau Hantu 
Tangan Api sudah berkehendak, siapa pun tidak 
dapat menghalangiku. Dan sekarang, aku men-
ginginkan nyawa kalian. Maka kalian berdua pun 
harus modar di tanganku!" 
Belum lenyap gema suaranya, Hantu Tan-
gan Api tiba-tiba menekuk lututnya sedemikian 
rupa. Sementara kedua telapak tangannya yang 
masih merah menyala tiba-tiba kembali menyen-
tak ke depan. Seketika itu juga meluncur dua gu-
lungan bola api ke depan ke arah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil. 
Werrr! Werrr! 
Begitu melihat datangnya serangan, Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil segera bertindak. 
Serta-merta, mereka segera menghentakkan ke-
dua telapak tangan ke depan. Masing-masing 
dengan pukulan andalan, untuk memapak seran-
gan. Seketika sinar merah dan sinar putih mele-
sat, membentur bola-bola api yang dikeluarkan Ki 
Banaspati. 
Besss! 
Aneh! Ternyata tidak terdengar bunyi leda-
kan sedikit pun akibat pertemuan pukulan-
pukulan andalan yang terjadi. Namun akibatnya, 
tanah di sekitar tempat pertarungan mendadak 
bergetar hebat. Sementara tubuh Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil pun tampak bergetar. Apalagi 
manakala gulungan dua bola api dari kedua tela-
pak tangan Hantu Tangan Api mulai mengem-
bang, menjadi lidah api yang menjulur-julur ke 
tubuh mereka.  
"Ah...!" 
Bukan main kagetnya hati kedua anak 
muda itu. Mereka tidak menyangka kalau seran-
gan-serangan Hantu Tangan Api demikian hebat. 
Meski telah mengerahkan tenaga dalam penuh, 
tetap saja tubuh mereka tersurut beberapa lang-
kah ke belakang. Dan.... 
"Hea!" 
Bersama teriakannya Hantu Tangan Api 
menyentakkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Akibatnya tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil kontan terpelanting. 
Bukk! Bukkk! 
Tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
jatuh saling tumpang tindih. Dan si pemuda men-
jadi kaget bukan main manakala melihat tubuh 
Ratu Adil mendadak jadi lemas tak dapat dige-
rakkan lagi. Bukan main cemasnya hati murid 
Eyang Begawan Kamasetyo itu. 
"Yustika!" 
Siluman Ular Putih memekik kalap. Buru-
buru ditelitinya urat nadi di pergelangan tangan 
Ratu Adil. Ternyata Soma masih merasakan geta-
ran pada nadi si gadis. Dan pemuda itu pun bisa 
menghela napas lega. Ternyata Ratu Adil hanya 
pingsan. Meski demikian, Siluman Ular Putih te-
tap tak dapat menerima kenyataan itu. Setelah 
menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratu Adil 
segera pemuda ini melompat bangun.  
"Bajingan! Kali ini aku benar-benar ingin men-
gadu nyawa denganmu, Kakek Merah!" dengus  Silu-
man Ular Putih, gusar bukan main. 
Hantu Tangan Api hanya tertawa bergelak. Se-
telah tawanya habis, kembali kedua telapak tangannya 
disentakkan ke depan. 
10 
Dua gulungan bola api dari kedua telapak 
tangan Hantu Tangan Api kembali bergulung-
gulung mengerikan siap meluluhlantakan tubuh 
Siluman Ular Putih. Ketika bergesekan dengan 
udara terdengar suara bergemuruh mengandung 
hawa panas luar biasa! 
"Hm...! Rupanya kau benar-benar mengin-
ginkan kematianku, Kakek Merah. Sayang sekali. 
Kukira, kau tak semudah itu untuk merobohkan-
ku," desis Siluman Ular Putih saking tak tahan 
menahan amarah. 
Siluman Ular Putih merasa sekarang saat-
nya untuk mengerahkan pukulan andalan 
'Tenaga Inti Bumi'. Maka begitu kedua telapak 
tangannya berubah putih terang hingga pangkal 
siku, segera dihentakkan ke depan. Seketika me-
luruk dua larik sinar putih terang langsung me-
mapak bola-bola api. 
Wesss! Wesss! 
Blammm! 
Terdengar ledakan hebat ketika dua tenaga 
dalam tingkat tinggi itu beradu di udara. Tanah di 
sekitar tempat pertarungan membuncah dan ber-
hamburan tinggi di udara. Angin berkesiur akibat 
bentrokan tadi membuat daun-daun di sekitarnya 
hangus terbakar! 
Pada saat terjadinya bentrokan, tubuh 
Hantu Tangan Api dan Siluman Ular Putih pun 
sama-sama terpental ke belakang dengan paras 
pias. Namun, Ki Banaspati segera dapat mengata-
si keseimbangan tubuhnya walaupun dengan wa-
jah kaget. 
"Setan alas! Rupanya kau masih terhitung 
murid tua bangka dari Gunung Bucu itu, Bocah!" 
dengus Hantu Tangan Api. 
"Harap jangan membawa-bawa nama 
eyangku, Kakek Merah! Kau tak pantas menyebut 
eyangku!" ejek Siluman Ular Putih seraya membe-
sut darah yang membasahi bibir dengan pung-
gung tangan. 
Setelah melirik sebentar punggung tangan-
nya yang bernoda darah, Siluman Ular Putih se-
gera melompat bangun. Sayang, tubuh murid 
Eyang Begawan Kamasetyo agak limbung akibat 
bentrokan tadi. Namun, pemuda ini berusaha te-
gar. Malah kini bersiap-siap menggabungkan ke-
dua pukulan andalan eyangnya di Gunung Bucu. 
Setelah membuat gerakan, tangan kanan 
Siluman Ular Putih jadi merah menyala. Sedang 
tangan kirinya telah berubah menjadi putih te-
rang penuh 'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti 
Api'! 
"Hebat! Tak kusangka kau yang masih se-
muda ini sudah mampu menggabungkan pukulan 
'Tenaga Inti Bumi' dan 'Tenaga Inti Api'. Benar-
benar hebat! Aku patut mengagumimu, Bocah. 
Tapi sayang, kekagumanku hanya berakhir sam-
pai di sini. Karena sebentar lagi, kau akan modar 
di tanganku!" 
Siluman Ular Putih sedikit pun tak meng-
gubris ucapan Hantu Tangan Api. Hawa amarah 
yang telah memenuhi dada membuatnya tak sa-
bar lagi untuk segera melontarkan pukulan anda-
lan. 
"Sekaranglah saatnya kau menerima kema-
tianmu, Bocah! Hea!" 
Di akhir bentakannya, tiba-tiba tokoh sesat 
dari Bukit Pedang itu segera mengerahkan tenaga 
dalamnya untuk melepas pukulan pamungkas 
yang bernama pukulan 'Gemuruh Badai Api'. Dan 
begitu kedua telapak tangannya telah berubah ja-
di merah terang, segera disentakkan ke depan. 
Saat itu juga lidah api yang berkobar-kobar me-
luncur dari kedua telapak tangannya disertai an-
gin kencang berkesiur yang menggemuruh! 
Werrr! Werrr! 
Benar-benar mengerikan lidah api yang 
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api. Hawa panas yang ditimbulkannya 
pun amat luar biasa. Sehingga sebelum seran-
gannya mengenai sasaran, terlebih dahulu terasa 
hawa panas yang membakar kulit tubuh. 
"Edan! Benar-benar satu pukulan maut 
yang amat mematikan. Hm...! Sungguh dunia 
persilatan bisa berantakan bila sepak terjang to-
koh sesat ini tak dapat dihentikan. Yah...! Seka-
ranglah saatnya aku mencoba menghentikan se-
pak terjangnya," kata batin Siluman Ular Putih. 
Tanpa banyak buang waktu, Siluman Ular 
Putih pun segera menghentakkan kedua telapak 
tangannya ke depan, membuat dua larik sinar 
merah dan putih meluncur cepat laksana kilat. 
Besss! 
Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan dua tenaga dalam barusan. Namun hebat-
nya, tubuh Siluman Ular Putih tampak goyah. 
Kedua kakinya pun melesak ke dalam tanah. 
Bahkan geraham si pemuda sampai bergemelutuk 
saat berusaha menahan laju serangan Hantu 
Tangan Api. Saat itu juga tenaga dalamnya dili-
patgandakan dengan kedua telapak tangan men-
dorong ke depan. Namun, celakanya malah kedua 
kakinya makin terperosok ke dalam tanah. Dan....  
"Aughhh...!" 
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menjerit ke-
ras. Tanpa ampun tubuhnya terpental jauh ke be-
lakang dan terbanting keras. 
Bukkk! 
Siluman Ular Putih menggereng penuh ke-
marahan. Seisi dadanya seolah-olah diaduk-aduk 
hawa panas akibat pukulan Hantu Tangan Api. 
Sementara kedua telapak tangannya pun mele-
puh! 
"Edan! Kenapa jadi begini? Hm...! Kukira 
sudah saatnya aku harus mengeluarkan ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih'...," gumam Siluman 
Ular Putih gusar. 
Siluman Ular Putih cepat beringsut dan se-
gera duduk bersila. Kedua telapak tangannya di-
rangkapkan di depan dada. Sementara kedua bi-
birnya mulai bergerak-gerak membacakan mantra 
ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. 
Tepat ketika mantra ajian 'Titisan Siluman 
Ular Putih' selesai dibacakan, saat itu juga tubuh 
Soma telah dipenuhi asap putih tipis. Dan kini 
sosoknya yang kekar hilang terbungkus asap pu-
tih bergulung-gulung. 
Di tempatnya Hantu Tangan Api tercekat 
untuk beberapa saat. Namun lelaki tua sesat ini 
masih belum bertindak, kecuali hanya terus 
memperhatikan ilmu yang akan dikeluarkan Si-
luman Ular Putih. 
Ternyata setelah asap putih yang menyeli-
muti tubuh Siluman Ular Putih itu hilang tertiup 
angin.... 
"Ggggeeerrr...!!!" 
* * * 
Bukan main terkejutnya Hantu Tangan Api 
begitu melihat perubahan wujud musuh mu-
danya. Seketika sepasang matanya yang menco-
rong membelalak liar. Betapa di hadapannya kini 
pemuda gondrong tadi telah menjelma menjadi 
sosok seekor ular putih raksasa dengan taring-
taring yang runcing! 
"Hm...! Jadi?! Inikah ilmu yang kau bang-
ga-banggakan itu, Siluman Ular Putih?" 
Ular putih raksasa sebesar pohon kelapa 
itu hanya menggereng penuh kemarahan. Suara 
gerengannya yang berat terdengar menggema di 
segenap penjuru. Ekornya, tak henti-hentinya 
mengibas-ngibas ke sana kemari. 
Bummm! Bummm! 
Bumi kontan bergetar hebat begitu terkena 
kibasan-kibasan ekor Siluman Ular Putih. Tanah 
berpasir di sekitar tempat pertarungan pun kon-
tan membuncah ke sana kemari. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih mulai bersiap-siap me-
nerjang Hantu Tangan Api. Ekornya yang besar 
sedikit ditekuk ke samping. Sedang taring-
taringnya yang berkilauan tertimpa sinar rembu-
lan tampak demikian mengerikan, seolah tak sa-
bar untuk mengganyang tubuh musuhnya. 
"Siluman Ular Putih! Meski kau telah men-
jelma jadi ular putih raksasa, jangan dikira aku 
tak dapat merobohkanmu! Hayo, majulah! Akan 
kulihat, sampai di mana kehebatanmu!" tantang 
tokoh sesat dari Bukit Pedang itu pongah. Seolah 
ia yakin dapat merobohkan ular putih raksasa di 
hadapannya dalam sekali gebrakan. 
"Gggeeerrr!" 
Ular Putih raksasa itu mengibas-ngibaskan 
ekornya kasar. Dan dengan satu sentakan, sosok 
panjangnya telah menerjang hebat Hantu Tangan 
Api!  
Wesss! 
Justru Ki Banaspati tertawa pongah meli-
hat ular putih raksasa itu mulai bertindak. Tapi 
ketika serangan Siluman Ular Putih hanya tinggal 
beberapa depa lagi, tubuhnya cepat berkelit se-
raya mengirimkan satu jotosan keras yang tak 
dapat dicegah lagi. 
Bukk! Bukkk! 
Dua kali bogem mentah Hantu Tangan Api 
mendarat telak di tubuh Siluman Ular Putih. Aki-
batnya tubuh ular putih raksasa itu terlempar 
jauh ke samping diiringi teriakan keras, amat 
memekakkan telinga! 
"Ggggeeerrr!" 
Hantu Tangan Api mencelos kaget melihat 
kenyataan bahwa tubuh ular putih raksasa itu 
tak mengalami cedera sedikit pun. Jangankan ter-
luka. Lecet pun tidak! Melihat kenyataan ini, ha-
tinya jadi menggeram murka. 
"Bangsat! Rupanya kau kebal juga terha-
dap pukulanku, Ular Putih Jejadian!" 
"Gggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih mengibas-ngibaskan 
ekornya liar. Sepasang matanya yang mencorong 
seolah ingin melumat tubuh lawannya. 
"Majulah! Jangan dikira aku tak sanggup 
meladenimu!" tantang Hantu Tangan Api diam-
diam kembali mengerahkan pukulan andalan. 
Ular putih raksasa itu tampak demikian 
marah begitu melihat kedua telapak tangan Han-
tu Tangan Api telah berubah jadi merah menyala 
hingga ke pangkal. Hal ini saja sudah membukti-
kan kalau tokoh sesat dari Bukit Pedang ini be-
nar-benar telah mengerahkan kekuatan tenaga 
dalam secara penuh. 
"Gggeeerrr...!" 
Tiba-tiba ular putih raksasa itu kembali 
menerjang hebat. Hantu Tangan  Api. Taring-
taringnya yang runcing pun kembali mengancam 
lawan. Namun tokoh sesat dari Bukit Pedang ini 
tak gentar sedikit pun. Dengan menjengekkan hi-
dungnya, tiba-tiba telapak tangannya kembali di-
hantamkan ke depan. 
Werrr! Werrr! 
Seketika dua gulungan bola api dari kedua 
telapak tangan Hantu Tangan Api melesat cepat 
ke depan, memapak tubuh ular putih raksasa 
yang masih melayang di udara. 
"Gggeeerrr! Gggeeerrr!" 
Ular putih raksasa itu menggereng hebat. 
Tubuhnya yang panjang jatuh ke tanah, langsung 
oleng ke sana kemari. Sedang dua gulungan bola 
api dari kedua telapak tangan Hantu Tangan Api 
tak henti-hentinya menyerang ular putih raksasa 
itu. 
"Mampuslah kau, Ular Jejadian!" 
Ular putih raksasa itu terus menggeliat. 
Namun hebatnya, sosoknya yang panjang memu-
tih sama sekali tidak terpengaruh oleh gulungan 
bola api yang mengurung. 
Dan melihat kenyataan itu, hati Hantu 
Tangan Api jadi gusar bukan main. Lebih gusar 
lagi manakala tiba-tiba ekor ular putih raksasa 
itu tahu-tahu telah meluruk mengancam tubuh-
nya. 
"Setan alas!" geram Hantu Tangan Api 
jengkel bukan main. Namun untuk menghindar ia 
sudah terlambat. Akibatnya.... 
Bukkk! 
Tanpa ampun lagi tubuh kurus kering itu 
pun telah jadi sasaran empuk kibasan ekor ular 
putih raksasa jelmaan murid Eyang Begawan 
Kamasetyo. 
Diiringi raungan setinggi langit, tubuh 
Hantu Tangan Api kontan terlempar jauh ke bela-
kang dan terbanting keras dengan wajah pias. 
Punggungnya yang terkena kibasan terasa mau 
remuk. Untung saja tadi tenaga dalamnya telah 
dikerahkan hingga tidak mengalami cedera berar-
ti. 
"Bangsat! Akan kubalas kibasan ekormu 
tadi, Ular Putih Keparat! Akan kuhancurkan tu-
buhmu hingga berkeping-keping!" geram Hantu 
Tangan Api murka. 
Tanpa banyak basa-basi lagi Hantu Tangan 
Api segera melompat bangun. Darah segar yang 
mengalir di sudut bibir segera dibesut dengan 
menggunakan punggung tangannya. 
"Kali ini kau tak mungkin lolos dari tangan 
mautku, Ular Putih Keparat! Makanlah pukulan 
'Gemuruh Badai Api'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Hantu Tangan 
Api kembali menerjang ular putih raksasa itu ga-
nas. Kedua telapak tangannya yang kian berubah 
merah menyala segera disentakkan ke arah ular 
putih raksasa itu. Saat itu  juga meluruk dua li-
dah api yang berkobar-kobar dari kedua telapak 
tangannya, langsung melabrak tubuh Siluman 
Ular Putih tanpa ampun! 
"Gggeeerrr! Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat. So-
soknya yang panjang memutih oleng ke sana ke-
mari. Sedang lidah api yang berkobar-kobar dari 
kedua telapak tangan Hantu Tangan Api terus 
membakar sekujur tubuhnya tanpa ampun. 
Lelaki tua kurus kering itu sendiri pun tak 
sudi mengendurkan serangannya. Dengan menge-
rahkan segenap tenaga dalamnya, kobaran api 
yang membakar sekujur tubuh Siluman Ular Pu-
tih pun makin mengerikan! 
"Ggggeeerrr...!" 
Bukan main hebatnya geliatan-geliatan tu-
buh Siluman Ular Putih. Tak henti-hentinya 
ekornya dikibaskan ke sana kemari, seolah-olah 
tak tahan dengan kobaran api yang memanggang 
tubuhnya. 
"Ha ha ha...! Hari inilah nama besarmu 
akan tamat, Siluman Ular Putih!" Hantu Tangan 
Api tertawa pongah. 
Siluman Ular Putih kewalahan. Tampak 
sekali kalau ular pulih raksasa itu sudah tak ta-
han lagi dengan lidah api yang berkobar-kobar 
membakar tubuhnya. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Saking tidak tahan dengan kobaran api 
yang memanggang tubuhnya, Siluman Ular Putih 
menggereng hebat. Suaranya yang kasar dan be-
rat seolah-olah tengah menanggung derita maha 
hebat! Ini lebih terbukti manakala tiba-tiba seku-
jur  tubuhnya telah dipenuhi asap putih tipis 
hingga tidak kelihatan sama sekali. 
Sejenak Hantu Tangan Api tertegun di 
tempatnya. Lalu lelaki ini kembali tertawa berge-
lak sambil menunggu apa yang akan dilakukan 
Siluman Ular Putih. 
"Ha ha ha...! Kcluarkanlah semua kepan-
daianmu, Siluman Ular Putih! Kau toh tetap akan 
tewas di tanganku!" ejek Hantu Tangan Api terta-
wa bergelak. Kini tangannya diturunkan kembali, 
membuat lidah api yang berkobar-kobar pun sir-
na. 
Sementara itu asap putih yang menyelimuti 
sekujur tubuh ular putih raksasa itu pun mulai 
sirna. Samar-samar dari gulungan-gulungan asap 
putih itu, terlihat kalau sesosok tubuh pemuda 
berpakaian rompi dan celana bersisik itu tengah 
duduk bersila dengan paras pias! Darah segar 
pun tampak keluar dari lobang hidung dan lobang 
telinga, pertanda menderita luka dalam parah. 
"Celaka! Rupanya memang sudah nasibku 
harus modar di tangan Hantu Tangan Api...," de-
sis Siluman Ular Putih gelisah bukan main. Seku-
jur tubuhnya terasa lemah. Sulit sekali untuk 
mengerahkan tenaga dalam. 
"Ha ha ha...! Daripada kau menderita se-
perti itu, lebih baik lekas kukirim menemui ma-
laikat maut, Bocah! Selamat tinggal!" ejek Hantu 
Tangan Api. 
Begitu habis kata-katanya, tokoh sesat dari 
Bukit Pedang ini kembali menghentakkan kedua 
telapak tangan ke depan, membuat dua larik si-
nar merah menyala meluncur, siap menghantam 
tubuh Siluman Ular Putih. 
Namun belum sempat dua larik sinar me-
rah itu mencapai sasaran, mendadak berkelebat 
sesosok bayangan hitam, langsung menyambar 
tubuh Siluman Ular Putih. Dan dengan kecepatan 
mengagumkan meninggalkannya tempat itu. 
"Bajingan! Siapa lagi yang berani main gila 
dengan Hantu Tangan Api, hah?!" bentak Hantu 
Tangan Api gusar bukan main. 
Tapi sayang, sosok bayangan hitam itu te-
lah berkelebat di kejauhan sana. Lebih dari itu, 
ternyata sosok tubuh Ratu Adil yang tadi tergele-
tak di luar tempat pertarungan pun sudah tak be-
rada di tempatnya lagi! 
"Setan alas! Berani benar mempermainkan 
Hantu Tangan Api seperti ini!" 
Saking tak kuatnya amarah yang memba-
kar dada. Hantu Tangan Api membanting kakinya 
keras. Seketika, tanah tempat bekas berpijaknya 
terbongkar! Tanah berpasir di tempat itu pun 
kontan membubung tinggi di udara, membuat 
suasana di tempat itu jadi gelap pekat. Dan saat 
debu-debu yang membubung tinggi itu sirna ter-
tiup angin, ternyata sosok Hantu Tangan Api te-
lah meninggalkan tempat itu! 
11 
Sosok bayangan hitam-hitam yang melari-
kan Siluman Ular Putih dan Ratu Adil terus ber-
kelebat cepat menembus kegelapan malam. Meski 
sambil memanggul dua sosok tubuh, sosok 
bayangan hitam itu ternyata mampu berkelebat 
cepat tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Hal 
ini jelas membuktikan kalau ilmu meringankan 
tubuhnya benar-benar sudah mencapai tingkat 
tinggi! 
Srakkk! Srakkk! 
Sesampainya di kawasan sebuah hutan ke-
cil, mendadak sosok bayangan hitam ini meng-
hentikan langkahnya. Untuk sesaat, ia masih te-
gak di tempatnya tanpa berbuat sesuatu. Hanya 
kedua bola matanya saja yang bergerak-gerak 
mengawasi keadaan sekitarnya dengan seksama. 
"Hm...! Kukira tak ada orang yang sedang 
mengawasiku. Juga, tua bangka itu. Sebaiknya 
aku cepat masuk," gumam sosok bayangan itu 
dalam hati. 
Dengan langkah hati-hati, sosok bayangan 
itu menyibak semak belukar yang ternyata di ba-
liknya terdapat sebuah mulut goa. Tanpa ragu-
ragu sosok bayangan itu segera membawa Silu-
man Ular Putih dan Ratu Adil masuk ke dalam 
goa. 
"Siapa?! Apakah kau yang datang, Paman?" 
Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan. 
Sosok bayangan hitam itu tidak menyahut, 
kecuali hanya batuk-batuk kecil. Kakinya terus 
melangkah lebar memasuki goa. Dalam goa itu 
memang tidak begitu lebar. Luasnya kira-kira 
empat kali lima tombak. Namun di dalamnya ter-
dapat dua lorong kecil yang memisahkan ruang-
ruang di sebelahnya. 
"Siapa yang kau bawa itu Paman?" tanya 
suara halus dengan kepala menyembul dari balik 
lorong goa. Ternyata suara itu datang dari mulut 
seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian 
serba hijau dengan rambut digelung ke atas. Hia-
san-hiasan bunga melati tampak menyemaraki 
rambutnya. 
Sosok bayangan hitam itu tetap tidak me-
nyahut. Ia hanya mengisyaratkan gadis itu agar 
masuk. Gadis itu menurut, segera melangkah 
masuk. Baru kemudian, disusul sosok bayangan 
itu. 
Dalam sebuah ruangan berukuran empat 
kali lima tombak, sosok bayangan hitam itu sege-
ra meletakkan tubuh Siluman Ular Putih dan Ra-
tu Adil ke tumpukan jerami. Sekali lihat saja, ia 
tahu kalau kedua anak muda itu tengah menderi-
ta luka dalam amat hebat. 
"Siluman Ular Putih...!" desis gadis cantik 
itu begitu mengenali sosok pemuda berpakaian 
putih keperakan yang tengah tergeletak tak ber-
daya ditumpukan jerami. 
"Ya! Dia memang Siluman Ular Putih. Tadi 
sewaktu kita tidur, tiba-tiba aku mendengar sua-
ra orang tengah bertarung. Lalu diam-diam, aku 
menyelinap keluar untuk melihat. Namun betapa 
terkejutnya saat melihat Siluman Ular Putih ten-
gah bertarung melawan Hantu Tangan Api. Hm...! 
Tak kusangka tua bangka itu kembali gentayan-
gan di dunia persilatan. Untung saja aku segera 
bertindak. Kalau tidak, bukan mustahil Siluman 
Ular Putih dan teman-temannya ini sudah tewas 
di tangan Hantu Tangan Api." 
"Siapa sebenarnya Hantu Tangan Api itu, 
Paman?" tanya gadis itu penasaran sekali. Kalau 
Siluman Ular Putih sampai dapat dikalahkan, 
tentu Hantu Tangan Api memiliki kesaktian yang 
tinggi. Begitu pikir si gadis dalam hati. 
"Dia adalah salah seorang tokoh sesat yang 
sangat ditakuti di dunia persilatan. Arum. Kesak-
tiannya sangat tinggi. Jarang sekali yang mampu 
menandingi sepak terjangnya. Aku sendiri mung-
kin tak mampu menghentikannya. Untuk itulah 
aku lebih baik memilih menghindar dan menye-
lamatkan kedua orang anak muda itu," jelas so-
sok bayangan berpakaian hitam-hitam yang ter-
nyata seorang kakek renta. 
"Paman Pendidik Ulung! Sedemikian he-
batnyakah kesaktian Hantu Tangan Api hingga 
membuat Paman tampak ketakutan?" tanya gadis 
itu yang ternyata Arum Sari, heran. 
"Harus kuakui, ilmu Paman masih seting-
kat di bawah Hantu Tangan Api. Untuk itulah 
Paman memilih menyelamatkan Siluman Ular Pu-
tih dan kawannya daripada meladeni Hantu Tan-
gan Api," jelas si tua yang ternyata Pendidik 
Ulung. 
"Hm...! Tapi, buk...." 
"Sudahlah, Arum! Sekarang kau duduk sa-
ja di situ. Paman akan menyembuhkan luka da-
lam kedua anak muda itu!" potong Pendidik 
Ulung cepat.  
"Baik, Paman." 
Pendidik Ulung segera mendekati tubuh Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil. Dalam pandan-
gan matanya, ia tahu kalau kedua anak muda itu 
sama-sama menderita luka dalam parah. 
Tanpa banyak cakap, Pendidik Ulung sege-
ra membalikkan tubuh Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Lalu ia sendiri duduk bersila di tengah 
tubuh kedua anak muda itu. Telapak tangan ka-
nannya segera ditempelkan ke punggung Siluman 
Ular Putih. Sedang telapak tangan kiri segera di-
tempelkan ke punggung Ratu Adil. Sejurus ke-
mudian, mulailah tenaga dalamnya disalurkan ke 
tubuh Siluman Ular Putih dan Ratu Adil. 
Selama Pendidik Ulung sibuk mengobati Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, entah kenapa 
hati Arum Sari jadi rusuh bukan main. Sebentar-
sebentar, matanya memandang ke arah Siluman 
Ular Putih. Namun sebentar kemudian, tatapan-
nya beralih pada Ratu Adil. 
"Ah...! Pantas saja Soma lebih mencintai 
gadis itu dibanding aku. Harus kuakui, gadis itu 
memang cantik. Mungkin masih lebih cantik dia 
dibanding aku. Tapi.... Tapi...." 
Arum Sari tidak melanjutkan perasaan ha-
tinya yang sedang gundah. Ia hanya menggigit bi-
birnya kuat-kuat, seolah-olah ada kegalauan di 
balik wajahnya yang cantik. Gadis ini sedih sekali 
bila mengingat penolakan Siluman Ular Putih atas 
permintaan ibunya beberapa hari lalu. Kalau saja 
Soma tak menolak permintaan ibunya, ahh...! 
Arum Sari tak sanggup membayangkan betapa 
bahagianya bila dapat sehidup semati bersama Si-
luman Ular Putih. Tapi sayang, pemuda itu ter-
nyata tak memenuhi permintaan ibunya. Juga, 
tak memenuhi keinginan hatinya. 
Arum Sari mengeluh tertahan. Tanpa sadar 
matanya jadi merembang bila mengingat penola-
kan Siluman Ular Putih. 
"Aku heran? Benarkah aku kalah cantik 
dengan gadis cantik itu?" gumam Arum Sari kian 
dipermainkan perasaan. 
"Ah...!" keluh Arum Sari tiba-tiba. 
Saking tidak kuatnya menahan gejolak da-
lam hatinya, hampir saja Arum Sari menjerit. Un-
tung saja ia masih bisa mengendalikan perasaan-
nya. Kini matanya lekat memperhatikan Pendidik 
Ulung yang tengah sibuk mengobati Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil. Dari pandang matanya, jelas 
ia seperti dililit perasaan cemas kalau-kalau Si-
luman Ular Putih maupun Pendidik Ulung tahu 
apa yang meresahkan hatinya. Namun akhirnya 
Arum Sari menghela napas panjang. 
"Tenang-tenang! Mereka tak mungkin 
mendengar apa yang tengah bergolak dalam hati-
ku," desah hati Arum Sari menenangkan dirinya 
sambil mengelus-elus dada. 
Saat itu tampak tubuh Siluman Ular Putih 
mulai bergerak-gerak. Selang beberapa saat, ter-
dengar Ratu Adil pun mengeluh. Kemudian seper-
ti tersentak kaget, Siluman Ular Putih dan Ratu 
Adil pun buru-buru berbalik. 
"Jangan khawatir! Kalian berada di tempat 
aman," ujar Pendidik Ulung. 
Kini paras kakek renta itu tampak demi-
kian pias, saking banyaknya mengeluarkan tena-
ga dalam. Di samping itu, tubuh Pendidik Ulung 
pun tampak gemetaran. Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil yang melihat keadaan Pendidik Ulung 
jadi terharu sekali. 
"Ah...! Ternyata kau yang telah menyela-
matkan nyawaku, Pendidik Ulung. Aku tak tahu, 
bagaimana harus membalas budimu...," ujar Si-
luman Ular Putih, buru-buru menelangkupkan 
kedua telapak tangan ke depan hidung penuh 
hormat. 
"Budimu sungguh besar, Orang Tua. Tak 
mungkin aku mampu membalas budimu yang be-
sar ini," kata Ratu Adil. Dengan penuh hormat 
gadis ini pun segera menelangkupkan kedua tela-
pak tangan di depan hidung. 
"Sudahlah! Kita adalah orang-orang satu 
golongan, kenapa kalian banyak peradatan?" te-
gur Pendidik Ulung. "Sekarang, baiknya coba ber-
semadi biar luka dalam kalian cepat sembuh!" 
"Baik, Orang Tua," sahut Ratu Adil penuh 
hormat. Namun manakala melihat Arum Sari 
tampak diam membisu di tempatnya, gadis itu ja-
di merasa tak enak bila tidak menegurnya. "Nona 
pun tentunya telah menanam budi padaku. Teri-
ma kasih, Nona. Kalau boleh tahu, siapakah na-
ma Nona? Aku, Yustika yang rendah ini mohon 
berkenalan. Barangkali, lain waktu aku dapat 
membalas budi Nona yang besar ini." 
"Siapa yang menolongmu? Aku tidak meno-
longmu! Jadi, kenapa kau harus mengucapkan 
terima kasih?!" sahut Arum Sari, terdengar ketus. 
"Arum! Kau tak boleh berlaku kasar!" tegur 
Pendidik Ulung. 
"Benar, Arum. Ada apa sih? Sejak kita tu-
run dari Gunung Bucu, kulihat sikapmu makin 
aneh? Kau sering marah-marah walau tak ada 
sebab pasti," tegur Siluman Ular Putih pula. 
Arum Sari memandang gusar ke arah Pen-
didik Ulung dan Siluman Ular Putih. Lalu dengan 
bibir memberengut, tiba-tiba gadis itu ngeloyor 
meninggalkan tempat ini. 
"Kau mau ke mana, Arum?" tanya Siluman 
Ular Putih. 
"Sudahlah! Jangan hiraukan dia! Lebih 
baik bersemadi saja biar luka dalammu cepat 
sembuh!" 
"Hm...! Baiklah," ujar Siluman Ular Putih 
akhirnya. 
Saat melihat Ratu Adil sudah tenggelam 
dalam semadinya. Soma segera memusatkan piki-
rannya dan bersemadi. 
* * * 
Keesokan harinya, Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil tengah duduk bersimpuh di hadapan 
Pendidik Ulung. Keadaan mereka kini sedikit mu-
lai pulih setelah hampir semalam bersemadi. Wa-
lau belum sembuh benar, namun mereka kini su-
dah merasa lega karena dapat mengerahkan te-
naga dalam lagi. 
"Kukira, sudah saatnya kami melanjutkan 
perjalanan, Orang Tua," kata Siluman Ular Putih, 
mulai membuka percakapan. 
"Kenapa buru-buru benar? Bukankah luka 
dalam kalian belum sembuh?" tanya Pendidik 
Ulung dengan kening berkerut. 
"Memang belum, Orang Tua. Tapi kami kan 
bisa menyembuhkan sambil jalan." 
"Yah...! Kalau memang itu sudah menjadi 
kehendak kalian, aku pun tak dapat lagi mena-
han. Cuma kalau boleh tahu, sebenarnya kalian 
mau ke mana? Apakah kalian ingin kembali me-
nyatroni Hantu Tangan Api dan Setan Haus Da-
rah?" 
"Betul, Orang Tua. Tapi, di samping itu 
kami pun sebenarnya sedang mencari seseorang." 
Siluman Ular Putih yang menjawab. 
"Siapa?" 
Siluman Ular Putih tidak menjawab. Ma-
tanya malah mengerdip ke arah Ratu Adil. 
"Gendon Prakoso, Orang Tua. Apakah kau 
pernah bertemu atau mengenal orang yang ber-
nama Gendon Prakoso?" tanya Ratu Adil. 
"Hm…!" kening Pendidik Ulung berkerut 
dalam. "Rasa-rasanya aku belum pernah men-
dengar nama itu. Siapakah orang yang bernama 
Gendon Prakoso itu, Gadis?" 
"Dia... ayah kandungku, Orang Tua." 
"Oh...!" Pendidik Ulung mengangguk-
angguk. "Sayang sekali aku tak mengenalnya. Ta-
pi, aku pasti akan membantumu untuk mencari-
kan orang tuamu, Gadis." 
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali." 
"Orang tua! Di mana Arum Sari? Kenapa 
aku tak melihatnya?" tanya Siluman Ular Putih. 
"Hm...! Dia sedang latihan di luar." 
"Oh, ya? Kalau begitu, kami sekalian pa-
mit, Orang Tua," lanjut Siluman Ular Putih. 
"Pergilah!" Pendidik Ulung menganggukkan 
kepalanya. 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil sejenak 
menelangkup kedua telapak tangan ke depan hi-
dung. Lalu kedua anak muda itu segera melang-
kah meninggalkan tempat itu. 
Sesampainya di luar goa, Siluman Ular Pu-
tih dan Ratu Adil memang melihat Arum Sari ten-
gah berlatih silat. Namun begitu melihat kemun-
culan Soma bersama Ratu Adil latihannya segera 
dihentikan. 
"Arum...! Kami akan melanjutkan perjala-
nan kembali. Terima kasih atas semua kebaikan-
mu," ucap Siluman Ular Putih berpamitan. 
"Kau akan meninggalkanku, Soma?" 
Arum Sari mendadak membelalakkan ma-
tanya lebar. 
"Iya." 
"Dengan gadis itu?" tuding Arum Sari ke 
arah Ratu Adil. 
"lya. Kenapa?" 
"Ah...!" Arum Sari membantingkan kakinya 
kesal. "Jadi? Kau tak ingin lagi membantuku 
mencari makam kedua orang tuaku, Soma?" 
"Ah...! Bukan begitu maksudku, Arum. Ta-
pi...." 
Melihat gelagat yang kurang menyenang-
kan, Ratu Adil yang memang berwatak halus se-
gera tahu diri. 
"Aku pergi, Soma," pamit Ratu Adil, tanpa 
pikir panjang lagi.  
Habis berkata begitu, Ratu Adil pun segera 
berkelebat cepat meninggalkan Soma dan Arum 
Sari. Hanya dalam beberapa kelebatan saja so-
soknya telah berada di kejauhan sana. 
"Tunggu, Yustika!" 
Siluman Ular Putih hendak berkelebat 
bermaksud menyusul Ratu Adil. Namun sebelum 
bergerak, tiba-tiba Arum Sari telah menghadang 
langkahnya.  
"Jadi? Kau lebih mencintai gadis itu. So-
ma?" tanya Arum Sari, tak dapat lagi menyembu-
nyikan keresahan dalam hatinya. 
"Aku.... Aku.... Ah...! Kenapa kau tanyakan 
ini, Arum? Aku tidak mencintai siapa-siapa kecu-
ali ibu dan eyangku," jawab Siluman Ular Putih, 
gelagapan. 
"Jadi?" mata Arum Sari kian membeliak le-
bar. "Kau.... Kau memang pemuda tak tahu diri, 
Soma. Kau.... Kau sekarang boleh pilih...." 
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini?" 
tanya Siluman Ular Putih gelisah bukan main. 
Belum pernah seumur hidupnya segelisah itu. 
"Kau  terlalu memaksa, Arum. Baik. Untuk me-
nentukan sikapku, sekarang aku tidak mau ting-
gal di sini. Juga, tidak mau menyusul ke mana 
Yustika pergi. Aku akan meneruskan perjalanan 
ke utara." 
Saat itu juga Siluman Ular Putih segera 
berkelebat meninggalkan tempat ini. Seperti yang 
diucapkannya, pemuda itu memang berkelebat 
menuju utara. 
Entah kenapa, hati Arum Sari malah ber-
tambah gusar. Terus diperhatikannya sosok Si-
luman Ular Putih hingga menghilang di balik ke-
rimbunan hutan depan sana. Lalu dengan lang-
kah gontai, Arum Sari pun kembali masuk ke da-
lam goa. 
SELESAI 
 
Segera menyusul: 
WARISAN AGUNG 
Scan/PDF: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com