Siluman Ular Putih 23 - Warisan Agung(2)



"Keparat! Akan kubunuh kau...!" desis Ra-
tu Adil begitu mendengar ocehan Setan Haus Da-
rah. Namun sebentar kemudian terpaksa ia harus 
buru-buru meraih robekan-robekan kain baju un-
tuk menutupi lekuk-lekuk tubuhnya. 
Setan Haus Darah tak ingin membuang-
buang waktu begitu saja. Dalam gebrakan perta-
ma tadi, lelaki ini tahu kalau Ratu Adil ternyata 
memiliki satu pukulan hebat. Buktinya saja, ia 
sampai menderita luka dalam. Meski tidak terlalu 
parah, namun cukup membuatnya gusar. Dan 
saat melihat Ratu Adil kerepotan kesempatan itu 
tak ingin disia-siakan. 
"Jangan takut, Gadis! Sebentar lagi aku 
akan mengajakmu terbang ke angkasa. Ha ha 
ha...!" kata Setan Haus Darah ceriwis. 
Di akhir kalimatnya, Setan Haus Darah se-
gera melompat ke arah Ratu Adil. Kedua tangan-
nya yang terkembang seolah-olah ingin meringkus 
tubuh gadis itu dalam pelukannya. 
Tentu saja Ratu Adil tak sudi terjatuh da-
lam pelukan tangan Setan Haus Darah. Begitu 
melihat tangan lawan sudah terkembang siap 
menerkam tubuhnya, pukulan mautnya pun se-
gera dilontarkan dengan menghentakkan kedua 
tangannya. Namun, akibatnya, robekan kain pe-
nutup tubuhnya pun terkuak hingga menam-
pakkan lekuk-lekuk tubuhnya. 
Melihat hal ini Setan Haus Darah hanya 
tertawa-tawa senang. Dan enak saja pukulan Ra-
tu Adil bisa dihindari dengan menggeser tubuh-
nya ke samping. 
Brasss! 
Pukulan Ratu Adil terus menerabas ke de-
pan, menghantam semak-semak belukar. Seketi-
ka semak-semak belukar itu pun terbakar. 
"Jangan terlalu bernafsu untuk meroboh-
kanku, Manis! Nanti malah kau sendiri yang akan 
roboh dalam pelukanku!" ejek Setan Haus Darah. 
Ratu Adil gelisah bukan main. Lagi-lagi, ia 
harus sibuk membenahi pakaiannya yang robek 
di sana-sini. 
Melihat Ratu Adil kerepotan, Pembunuh Ib-
lis yang sedang sibuk menghadapi keroyokan 
anggota-anggota Pasukan Laskar Hijau jadi tak 
dapat lagi mengendalikan diri. Disertai pekik ke-
marahan, tiba-tiba pemuda itu melompat tinggi, 
meninggalkan para pengeroyok. 
"Jangan ganggu gadis itu, Setan Haus Da-
rah! Kaulah lawanku!" teriak Pembunuh Iblis. Tu-
buhnya cepat menukik tajam dengan pedang siap 
menembus ubun-ubun. 
Setan Haus Darah yang menyadari akan 
datangnya bahaya, cepat membuang tubuh ke 
samping. Namun, Pembunuh Iblis tak sudi mem-
biarkan lawan begitu saja, Begitu kakinya menje-
jak tanah, segera diburunya Setan Haus Darah. 
Crakkk! Crakkk! 
Berkali-kali Pembunuh Iblis menggerakkan 
pedangnya ke bawah. Namun berkali-kali pula 
pedangnya hanya membentur tanah. Sedang tu-
buh Setan Haus Darah bergerak ke sana kemari, 
menghindari serangan-serangan Pembunuh Iblis. 
Dan begitu mempunyai jarak memungkinkan, Se-
tan Haus Darah menghentakkan kedua tangan-
nya. 
"Hea...!" 
Bersama teriakannya, tiba-tiba dari kedua 
telapak tangan Setan Haus Darah telah meluruk 
dua larik sinar merah menyala menghadang se-
rangan-serangan Pembunuh Iblis. 
Wesss! Wesss!  
Teguh Sayekti alias Pembunuh Iblis kaget 
bukan main. Namun bukan berarti harus kehi-
langan akal. Begitu melihat serangan datang se-
gera dikerahkannya tenaga dalam penuh. Lalu ti-
ba-tiba kedua telapak tangannya telah  disentak-
kan ke depan. 
Werrr! Werrr! 
Dua rangkum angin dingin langsung me-
luncur dari kedua telapak tangan Pembunuh Ib-
lis, dan segera memapak pukulan Setan Haus Da-
rah. 
Derrr! Derrr! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam yang terjadi. Bumi berguncang laksana di-
guncang prahara. Ranting-ranting dan daun-daun 
di sekitar tempat pertarungan hangus terbakar 
begitu terkena angin berkesiur itu. 
Sementara tubuh Setan Haus Darah dan 
Pembunuh Iblis pun sama-sama terpental ke be-
lakang. Tubuh Setan Haus Darah terus melesat 
ke belakang, menghantam batang pohon. Sedang 
tubuh Pembunuh Iblis justru menabrak Ratu Adil 
yang saat itu akan datang membantu. Sehingga, 
tak dapat dicegah tubuh mereka jatuh berguling-
guling. 
"Maaf! Maaf! Aku tak sengaja," ucap Pem-
bunuh Iblis kemudian. 
Saat itu tubuh pemuda itu menindih pung-
gung Ratu Adil. Sudah barang tentu murid Kakek 
Pikun dari Gunung Slamet itu jadi gusar bukan 
main. Namun manakala melihat sebuah tanda toh 
berwarna hijau di punggung Ratu Adil, mata pe-
muda murid Kakek Pikun dari Gunung Slamet 
pun membelalak lebar. 
Untuk sesaat, Pembunuh Iblis diam terpa-
ku di tempatnya. Seolah ia tak percaya sehingga 
terus memandangi tanda toh hijau sebesar ibu ja-
ri di punggung Ratu Adil tanpa berkedip. 
"Ratu Adil! Cepat kita tinggalkan tempat 
ini! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan-
mu," bisik Pembunuh Iblis tiba-tiba. 
"Apa?" tanya Ratu Adil. 
"Sudahlah! Ikuti saja kemauanku!" sergah 
Pembunuh Iblis. 
Seketika Pembunuh Iblis memondong tu-
buh Ratu Adil. Dengan satu kali bentakan, tu-
buhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat 
pertarungan. 
Setan Haus Darah dan pasukannya yang 
tidak menyangka kalau Ratu Adil dan Pembunuh 
Iblis akan meninggalkan tempat pertarungan jadi 
murka bukan main. 
"Bajingan! Jangan biarkan mereka lolos! 
Kejar!" 
Matahari belum  begitu tinggi di ufuk kaki 
langit sebelah timur. Namun sinarnya seolah in-
gin membakar semua yang ada di muka bumi. 
Tanah kering merekah. Tak urung, rumput-
rumput yang tumbuh di sekitar hutan kecil tem-
pat seorang pemuda tengah berlatih silat pun 
mengering  karena terlalu sering tertimpa sinar 
matahari di musim kemarau yang berkepanjan-
gan ini. 
Di tanah agak luas dalam hutan kecil itu 
Siluman Ular Putih memang tengah giat menem-
pa diri mempelajari pukulan 'Lidah Bianglala' 
yang diwarisi dari Eyang Bromo. Tanpa mengenal 
putus asa sedikit pun, pemuda itu terus mencoba 
seperti yang diinginkan Eyang Bromo dua hari la-
lu. 
Sayang, sampai sejauh ini Siluman Ular 
Putih belum juga mampu mewujudkan keingi-
nannya. Warisan Agung berupa pukulan 'Lidah 
Bianglala' yang diwarisi dua hari lalu, ternyata te-
tap saja masih berupa sinar putih berkerilap me-
nandakan kalau pukulan andalan Eyang Bromo 
belum sepenuhnya mampu dikuasai. Padahal 
Eyang Bromo menghendaki agar pukulan 'Lidah 
Bianglala' bisa berubah menjadi kabut putih 
membersit cahaya beraneka warna. 
"Gila! Sudah dua hari ini aku memperda-
lam pukulan 'Lidah Bianglala', namun belum juga 
berhasil. Tak mungkin aku begini terus. Tapi, ba-
gaimana aku harus menghadapi Hantu Tangan 
Api yang telah mengalahkanku beberapa hari la-
lu? Edan! Terpaksa aku harus menyempurnakan 
pukulan ini sampai berhasil. Yah...! Tak ada pili-
han lain...," tandas Siluman Ular Putih dalam ha-
ti. 
Siluman Ular Putih pun kembali membuat 
beberapa gerakan tangan di depan dada dengan 
kuda-kuda kokoh. Tenaga dalam penuh dikerah-
kannya. Seketika kedua telapak tangannya beru-
bah jadi putih berkilauan. Dan diiringi  teriakan 
keras, kedua telapak tangannya di-hentakkan ke 
depan. 
Wesss! Wesss! 
Dua larik sinar putih berkilauan dari ke-
dua telapak tangan Siluman Ular Putih kontan 
membersit ke depan. Kira-kira beberapa tombak 
di hadapannya, dua larik sinar putih itu menjadi 
gulungan kabut putih yang menjulur-julur laksa-
na lidah bianglala. Namun yang membuat hatinya 
kesal, ternyata kabut putih itu belum juga mam-
pu mengeluarkan cahaya beraneka warna. 
Besss! 
Batang pohon di hadapan murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo yang menjadi sasaran ini ter-
bungkus kabut putih tipis yang mengandung ha-
wa dingin bukan kepalang. Tak berapa lama, ter-
dengar ranting pohon itu berderak. Kejap beri-
kutnya, kabut putih dari kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih yang menyelimuti pohon itu 
pun sirna. 
Bersamaan dengan itu, ternyata batang 
pohon yang jadi sasaran telah luruh ke tanah, 
bertumpuk seperti onggokan abu! 
"Edan! Belum berhasil juga aku! Hm...! Tak 
kusangka pukulan 'Lidah Bianglala' ini demikian 
sulit disempurnakan. Hm...! Baik-baik. Aku akan 
pelajari terus sampai dapat," tegas Siluman Ular 
Putih sambil menggeleng-geleng. 
Karena terdorong rasa penasaran, Siluman 
Ular Putih segera menarik kedua telapak tangan-
nya ke belakang. Sejenak pikirannya ditenangkan. 
Lalu dikawal teriakan nyaring, kembali kedua te-
lapak tangannya dihantamkan ke depan. 
Tak seperti sebelumnya, ternyata kabut pu-
lih dari pukulannya yang dilepaskan Siluman 
Ular Pulih perlahan-lahan membersitkan cahaya 
beraneka warna. Melihat hal ini Siluman Ular Pu-
tih membeliak. Dan.... 
"Aku berhasil! Aku berhasil!" teriak Silu-
man Ular Putih gembira bukan main. 
Untuk lebih meyakinkan, Siluman Ular Pu-
tih sedikit pun tak mau mengendurkan tenaga 
dalamnya. Sehingga, kabut putih yang membung-
kus batang pohon di hadapan semakin berkilauan 
penuh cahaya beraneka warna. Tak selang bebe-
rapa lama, terdengar suara bergemeletak dari 
ranting-ranting pohon yang luruh ke tanah. Dan 
ketika tenaga dalamnya dikendurkan, batang po-
hon itu ternyata telah berubah menjadi tumpuk-
an abu beraneka warna! 
"Aku berhasil! Aku berhasil mempelajari 
Warisan Agung dari Eyang Bromo!" teriak murid 
Eyang Begawan Kamasetyo. 
Kali ini Soma benar-benar tak tahan untuk 
tidak melampiaskan kegembiraannya. Begitu me-
lihat hasil pukulannya tadi, pemuda itu segera 
melompat-lompat penuh kegembiraan. 
"Sekarang aku akan mencari Hantu Tan-
gan Api. Akan kujadikan tubuhnya yang kurus 
kering itu seperti tumpukan abu itu. Ya ya ya...! 
Tunggulah pembalasan alas kekalahanku waktu 
itu, Hantu Tangan Api," gumam murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo penuh semangat. 
* * * 
"Turunkan aku, Sobat! Kalau begini terus, 
kita bisa terkejar," teriak Ratu Adil kepada Pem-
bunuh Iblis, ketika mereka sudah merasa cukup 
jauh dari kejaran Setan Haus Darah dan Pasukan 
Laskar Hijau. 
"Tapi pakaianmu...," kata Pembunuh Iblis 
seraya menghentikan langkahnya dan menurun-
kan Ratu Adil. 
Si gadis mengeluh. Memang pakaiannya 
saat itu compang-camping tidak karuan menam-
pakkan sebagian lekuk-lekuk tubuhnya. Tak 
mungkin Setan Haus Darah dan pasukannya di-
hadapi dalam keadaan seperti itu. Ia harus mem-
benahi pakaiannya terlebih dulu. 
"Bedebah! Kalau saja keadaanku tidak se-
perti ini, ingin rasanya aku menghajar manusia 
tak tahu diri itu!" geram Ratu Adil tak dapat me-
nahan rasa jengkel. 
"Sudahlah! Tak ada gunanya kau men-
gumpat," ujar Pembunuh Iblis. "Pokoknya kita ha-
rus secepatnya meloloskan diri dari kejaran me-
reka. Mari kita lari lagi." 
"Baik. Kuturuti permintaanmu. Tapi, kata-
kan dulu apa yang ingin kau bicarakan, Sobat!" 
"Waktunya kurang tepat. Sebaiknya turuti 
saja...." 
"Jangan dikira bisa lolos begitu saja, Kepa-
rat!" 
Mendadak terdengar bentakan nyaring 
yang disusul berlompatannya beberapa bayangan 
serba hijau. Rupanya dengan jalan memotong, Se-
tan Haus Darah dan pasukannya kembali berha-
sil menghadang Pembunuh Iblis dan Ratu Adil. 
Sebentar saja, kedua anak muda itu terkepung 
rapat oleh anggota-anggota Pasukan Laskar Hi-
jau. 
"Kau bisa saja tinggalkan tempat ini asal 
tinggalkan kepalamu di sini. Dan gadis itu pun 
kau serahkan padaku!" lanjut Setan Haus Darah 
di atas kuda tunggangannya. 
"Bangsat! Kalian memang benar-benar 
mencari penyakit. Baik. Akan kuladeni kalian bi-
arpun nyawa taruhannya!" dengus Pembunuh Ib-
lis. 
"Ha ha ha...! Bocah pongah! Bisanya me-
mang hanya membacot begitu nyaring! Apa kau 
buta kalau kematian sudah di depan mata, hah?!" 
ejek Setan Haus Darah seraya melompat turun 
dari punggung kuda. 
Melihat Pimpinan Pasukan Laskar Hijau 
sudah melompat turun dari punggung kuda, ke-
dua belas orang anggota Pasukan Laskar Hijau 
pun segera bersiap-siap membuat gebrakan. 
"Cincang bocah pongah itu!" perintah Setan 
Haus Darah, garang. 
Begitu mendapat aba-aba, kedua belas 
anggota Pasukan Laskar Hijau itu segera mener-
jang Pembunuh Iblis. Sedang Setan Haus Darah 
segera menerjang Ratu Adil. Agak kewalahan juga 
si gadis menghadapi serangan-serangan Pimpinan 
Pasukan Laskar Hijau itu. Bukannya tak sanggup 
meladeni, namun karena sesekali Ratu Adil harus 
membenahi pakaiannya yang compang-camping 
sehingga membuatnya kewalahan. 
Keadaan Pembunuh Iblis tak jauh berbeda. 
Meski memiliki kepandaian tinggi, namun untuk 
menghadapi keroyokan anggota-anggota Pasukan 
Laskar Hijau yang memiliki kepandaian lumayan, 
Pembunuh Iblis kerepotan juga. Berkali-kali sam-
baran-sambaran golok di tangan para pengeroyok 
hampir saja membeset tubuhnya. Untung saja 
Teguh Sayekti masih memiliki ilmu meringankan 
tubuh yang cukup lumayan yang dipadu permai-
nan pedangnya. Sehingga serangan-serangan pa-
ra anggota Pasukan Laskar Hijau dapat diimban-
ginya. 
Trang! Trang!  
Dengan kecepatan mengagumkan tubuh 
Pembunuh Iblis berkelebat cepat ke sana kemari 
menghindari terjangan-terjangan golok sambil 
berkelebat menghindar, sesekali pedangnya men-
cari sasaran. 
Craghhh! Craghhh! 
"Augh...!" 
Dua kali sabetan pedang di tangan Pembu-
nuh Iblis, kejap itu pula terdengar dua kali jeritan 
kesakitan yang disusul ambruknya dua orang 
anggota Pasukan Laskar Hijau tanpa dapat ban-
gun lagi. 
Kalau Pembunuh Iblis sedikit banyaknya 
mampu mengatasi para pengeroyoknya, tidak de-
mikian halnya Ratu Adil. Gadis ini benar-benar 
kewalahan menghadapi sepak terjang Setan Haus 
Darah. Diam-diam Pembunuh Iblis sesekali meli-
rik ke arah Ratu Adil. Dan hal ini membuat ha-
tinya jadi gelisah sekali. 
Keadaan ini membuat perhatian Pembunuh 
Iblis bercabang dua. Untuk membantu Ratu Adil 
jelas tidak mungkin. Jangankan untuk memban-
tu. Untuk keluar dari kepungan para pengeroyok 
pun sulit. 
"Bajingan tua! Jangan sentuh gadis itu! 
Akulah lawanmu!" teriak Pembunuh Iblis kalang 
kabut. 
"Ha ha ha...! Bocah pongah macam kau 
memang layak dicincang ramai-ramai. Terima sa-
ja nasibmu, Bocah!" ejek Setan Haus Darah. 
Di akhir ejekannya, Setan Haus Darah se-
gera meningkatkan serangan. Bagaimanapun juga 
hatinya memang merasa kesal sekali, karena te-
lah sekian jurus menyerang belum juga mampu 
melumpuhkan Ratu Adil. Padahal jurus-jurus an-
dalannya pun telah dikeluarkan. 
"Bangsat! Rupanya gadis ini harus diberi 
pelajaran terlebih dulu. Tak mungkin rasanya aku 
menangkap kalau tidak sedikit menyakitinya," de-
sis Setan Haus Darah. 
Selagi Setan Haus Darah masih berpikir 
bagaimana caranya harus melumpuhkan lawan, 
kenyataannya Ratu Adil malah terlebih dulu 
membuka serangan. Dengan diiringi teriakan 
nyaring, tiba-tiba kedua tangannya telah meng-
hentak. 
"Hea!" 
Wesss! Wesss! 
Sepuluh sinar biru dari jari-jari tangan Ra-
tu Adil melesat cepat ke arah Setan Haus Darah. 
"Hm.... Setan! Aku harus segera memapak 
pukulan gadis itu dengan pukulan 'Gemuruh Ba-
dai Api'!" 
Maka dengan sedikit menekuk lututnya ke 
bawah, Setan Haus Darah bersiap melontarkan 
pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api'. Begitu 
murid Hantu Tangan Api ini menghentakkan tan-
gannya ke depan, seketika itu juga melesat dua 
gulungan api yang berkobar-kobar yang diiringi 
angin keras laksana badai lautan dan hawa panas 
menyengat. Dan.... 
Derrr! Derrr! 
Terdengar satu ledakan hebat terjadi diser-
tai kobaran api yang menghambur ke segenap 
penjuru. Akibatnya ranting-ranting pohon di seki-
tar tempat pertarungan yang jadi sasaran kontan 
hangus terbakar! 
Sementara tubuh Ratu Adil dan Setan 
Haus Darah sama-sama terpental jauh ke bela-
kang. Tampak tubuh Setan Haus Darah berputar-
putar sebentar di udara sebelum akhirnya ter-
banting keras! 
Bukkk! 
Setan Haus Darah menggembor penuh ke-
marahan. Hatinya benar-benar tidak puas melihat 
hasil serangannya barusan. Lebih tidak puas lagi 
manakala melihat sesosok bayangan putih tiba-
tiba berkelebat cepat menyambar tubuh Ratu Adil 
yang masih melayang di udara. 
"Edan! Lagi-lagi manusia biang rampok ini 
yang membuat onar. Apa tidak bosan membuat 
orang lain susah, he?!" rutuk sosok bayangan 
berpakaian putih keperakan itu. 
Bukan main geramnya hati Setan Haus Da-
rah mendengar ejekan sosok bayangan yang kini 
telah mendarat di depannya. Tampak kedua bola 
mata murid Hantu Tangan Api ini berkilat-kilat 
liar. Kedua pelipisnya pun bergerak-gerak pertan-
da tak lagi dapat mengendalikan amarah. 
"Setan alas! Lagi-lagi kau yang mengacau-
kan rencanaku, Monyet Gondrong!"  
Sambil memondong tubuh Ratu Adil sosok 
bayangan berpakaian putih keperakan yang baru-
san datang hanya tertawa-tawa. Cara tertawanya 
yang melecehkan membuat Setan Haus Darah ja-
di kesal bukan main. 
"Bajingan! Bacotmu sungguh lancang, Si-
luman Ular Putih! Tak mungkin kali ini kau lolos 
dari tangan mautku!" bentak Setan Haus Darah 
kemudian. 
"Wah wah...! Lagakmu seperti jagoan saja, 
Biang Rampok! Apa kau lupa kalau beberapa hari 
lalu, kau lari terbirit-birit dari kejaranku?" ejek 
Siluman Ular Putih kian membuat telinga Setan 
Haus Darah memerah. 
"Setan! Kalau saja ada Guru, tak mungkin 
monyet gondrong ini berani jual lagak," maki Se-
tan Haus Darah dalam hati. 
"Kenapa diam, Biang Rampok? Budek, ya?" 
ejek Siluman Ular Putih mulai kambuh penyakit-
nya seraya mendekati Setan Haus Darah. Lang-
kahnya terlihat santai saja. 
"Lepaskan aku, Soma!" pinta Ratu Adil me-
rasa jengah berada dalam pelukan Siluman Ular 
Putih. 
"Oh, ya? Sampai lupa. Gara-gara biang 
rampok itu, sih!" ujar Siluman Ular Putih, lalu 
buru-buru melepaskan Ratu Adil dari pondon-
gannya. "Tolong betulkan dulu pakaianmu, ya! 
Nanti mata manusia biang rampok itu tambah 
ijo." 
Tanpa diperintah pun Ratu Adil segera ber-
lari dan berlindung ke balik rindangnya batang 
pohon. Lalu dengan agak gugup, buru-buru di-
ikatnya kain penutup tubuhnya yang robek. 
Meski tidak begitu rapi, gadis ini sudah merasa 
lega. Kali ini, tekadnya telah bulat kembali untuk 
segera menghajar Setan Haus Parah. Maka segera 
ia melompat keluar. 
Saat itu, si gadis melihat Siluman Ular Pu-
tih tengah bertarung hebat melawan Setan Haus 
Darah. Sejenak Ratu Adil hanya termangu di 
tempatnya. Namun manakala melihat Pembunuh 
Iblis tengah kewalahan menghadapi gempuran-
gempuran para pengeroyoknya, tanpa pikir pan-
jang tubuhnya segera melompat ke tempat perta-
rungan.  
"Jangan khawatir, Sobat! Aku datang 
membantu," teriak Ratu Adil. Lalu dengan kema-
rahan memuncak Ratu Adil mulai mengamuk. 
Pedang di tangannya langsung berputaran dah-
syat mencari sasaran.  
Sratt! Srattt! 
Tanpa ampun pedang di tangan Ratu Adil 
membuat barisan Pasukan Laskar Hijau seketika 
kocar-kacir. 
"Mari kita hajar manusia-manusia tak tahu 
adat ini! Jangan biarkan mereka lolos!" sambut 
Pembunuh Iblis. 
Pedang di tangan murid Kakek Pikun dari 
Gunung Slamet pun kembali berkelebat cepat, 
siap memangsa tubuh anggota-anggota Pasukan 
Laskar Hijau. 
Sementara pertarungan antara Siluman 
Ular Putih melawan Setan Haus Darah pun kian 
memuncak. Mereka tak segan-segan lagi menge-
luarkan jurus-jurus andalan. Kali ini Soma meng-
gunakan jurus 'Terjangan Maut Ular Putih'. Dan 
ternyata, murid Eyang Begawan Kamasetyo ber-
hasil mendesak Setan Haus Darah tanpa ampun. 
Malah beberapa kali patukan-patukan kedua te-
lapak tangannya sempat mampir di tubuh lawan 
"Bangsattt...!"  
Setan Haus Darah menggembor penuh ke-
marahan. Dan begitu bisa menguasai keadaan, 
murid Hantu Tangan Api ini berusaha membalas 
serangan-serangan lawan. 
"Hea! Hea!" 
Dikawal teriakan nyaring, Setan Haus Da-
rah langsung menggebrak cepat. Lelaki ini terus 
berusaha menindih gelombang serangan Siluman 
Ular Putih. Kedua telapak tangannya yang telah 
berubah menjadi merah menyala hingga pangkal 
siku berkelebat mencari sasaran. 
Bed! Bed! 
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular 
Putih tersenyum dingin. Manakala serangan itu 
hanya tinggal beberapa jengkal, Siluman Ular Pu-
tih pun segera mengerahkan pukulan 'Tenaga Inti 
Bumi' untuk memapak. 
Blammm! 
Terdengar satu ledakan hebat ketika terjadi 
perlawanan tangan-tangan para petarung. Hawa 
panas dan dingin akibat bentrokan barusan me-
nebar ke segenap penjuru dan menghantam apa 
saja yang ada di sekitarnya. Beberapa orang anak 
buah Setan Haus Darah yang berada tak jauh da-
ri situ menjerit menyayat begitu terkena samba-
ran angin pukulan, dan langsung ambruk dengan 
sekujur tubuh melepuh! 
Sedang tubuh Setan Haus Darah sendiri 
pun tak luput dari getahnya. Sewaktu terjadinya 
bentrokan, lelaki itu kontan meraung setinggi 
langit. Tubuhnya yang tak mampu menahan gun-
cangan tenaga lawan, tanpa ampun terpental jauh 
ke belakang. 
Brukkk! 
Begitu jatuh di tanah, Setan Haus Darah 
menggeletukkan gerahamnya penuh kemarahan. 
Tampak parasnya yang garang menyiratkan rasa 
nyeri yang amat sangat. Bahkan tak henti-
hentinya lelaki ini menggigit bibir dengan napas 
memburu. 
Di hadapannya, Siluman Ular Putih yang 
sempat tersurut beberapa langkah ke belakang 
sudah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. 
Dan sambil berkacak pinggang dengan tangan ki-
ri, tangan kanannya pun melambai-lambai ke 
arah Setan Haus Darah. 
"Hayo, bangun! Katanya ingin membunuh-
ku?" ejek Siluman Ular Putih, Setan Haus Darah 
menggeram murka sambil merangkak bangun. 
Rahangnya yang menggembung tampak mene-
gang. Kedua pelipisnya pun bergerak-gerak per-
tanda murid tunggal Hantu Tangan Api itu tak 
dapat lagi mengendalikan amarah! 
"Bajingan! Jangan dikira aku sudah kalah, 
Monyet Gondrong! Makanlah pukulan 'Gemuruh 
Badai Api'-ku! Hea!" 
Karena terlalu dikuasai hawa amarah, Se-
tan Haus Darah jadi kalap bukan main. Rasa gen-
tarnya yang semula menyelimuti hatinya menda-
dak sirna berganti kenekatan. Ia merasa amarah-
nya akan tuntas dengan tetesan darah lawan. 
Maka tanpa segan-segan lagi dikeluarkannya pu-
kulan andalan milik gurunya Hantu Tangan Api. 
Begitu Setan Haus Darah menghantamkan 
kedua telapak tangan ke depan, melesat gulungan 
api yang berkobar-kobar dari kedua telapak tan-
gannya. Hawa panas yang ditingkahi angin ber-
gemuruh dahsyat laksana badai pun turut me-
nyertai datangnya serangan. 
Werrr! Werrr! 
Siluman Ular Putih sejenak terkesiap ka-
get, namun cepat bisa menguasai diri. Begitu me-
lihat serangan datang, pemuda itu jadi ingin men-
coba ilmu yang baru saja diwarisi dari Eyang 
Bromo. Yakni, pukulan 'Lidah Bianglala'. 
Begitu tenaga dalamnya dikerahkan, kedua 
telapak tangan murid Eyang Begawan Kamasetyo 
ini berubah menjadi putih berkilauan. Lalu tanpa 
segan-segan lagi, kedua tangannya segera dihan-
tamkan ke depan.         
Werrr! Werrr! 
Tanpa bisa dicegah dua gulungan kabut 
yang beraneka warna meluncur, langsung mema-
pak pukulan 'Gemuruh Badai Api' milik Setan 
Haus Darah. 
Besss!  
Tak ada ledakan berarti akibat  bentrokan 
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun 
anehnya, tubuh Setan Haus Darah mendadak 
bergetar hebat. Setindak demi setindak langkah-
nya tersurut ke belakang. 
Geraham Setan Haus Darah bergemelutuk 
keras. Ia berusaha menindih gelombang serangan 
Siluman Ular Putih dengan tenaga dalam sepe-
nuhnya. Namun tetap saja hasilnya sia-sia. Malah 
perlahan-lahan gulungan api yang berkobar-
kobar dari kedua telapak tangannya mulai tertin-
dih kabut beraneka warna dari kedua telapak 
tangan Siluman Ular Putih. Hingga akhirnya, so-
sok tubuh murid Hantu Tangan Api ini terbung-
kus! 
"Aghhh...!!!" Setan Haus Darah menjerit ke-
sakitan, seolah-olah tengah menahan rasa sakit 
luar biasa! 
Kabut yang menyelimuti tubuh Setan Haus 
Darah kian bergulung-gulung membungkus tu-
buh murid Hantu Tangan Api. Dan lama kela-
maan teriakan Pemimpin Pasukan Laskar Hijau 
pun mulai melemah dan tidak terdengar lagi. 
Tepat ketika teriakan Setan Haus Darah 
terputus, murid Eyang Begawan Kamasetyo me-
nurunkan kedua telapak tangannya. Sementara 
kabut beraneka warna yang membungkus Setan 
Haus Darah pun sirna. Namun apa yang terlihat 
benar-benar membuat hati Siluman Ular Putih 
bergidik. Ternyata, tubuh Setan Haus Darah telah 
luluh menjadi tumpukan abu beraneka warna! 
"Edan! Tak kusangka kalau tubuh Setan 
Haus Darah akan menjadi abu seperti itu. Hm...!" 
desah Siluman Ular Putih sambil menggeleng-
geleng. 
Beberapa orang anggota Pasukan Laskar 
Hijau yang melihat pimpinan mereka tewas den-
gan amat mengerikan, segera membuang senjata, 
mereka segera duduk berlutut di hadapan Pem-
bunuh Iblis dan Ratu Adil. 
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Ampun-
kan kami...!" ratap anggota-anggota Pasukan 
Laskar Hijau itu seraya menyembah-nyembah. 
Sebenarnya Ratu Adil dan Pembunuh Iblis 
merasa muak sekali melihat tingkah mereka. In-
gin rasanya mereka mendamprat. Namun mana-
kala melihat Siluman Ular Putih, entah kenapa 
mereka jadi ragu-ragu. Untuk sesaat Ratu Adil 
dan Pembunuh Iblis hanya memandangi Siluman 
Ular Putih. 
"Mau kau apakan manusia-manusia tak 
tahu adat ini, Sobat?" tanya Pembunuh Iblis me-
minta pendapat Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih tersenyum. Ia yang tadi 
sempat terpana melihat tubuh Setan Haus Darah 
berubah jadi abu, kini mulai melangkah mende-
kati anggota-anggota Pasukan Laskar Hijau.  
"Mau kuapakan, ya?" Siluman  Ular Putih 
malah balik bertanya. Nada suaranya terdengar 
menggoda. "Dibunuh atau digantung? Bagaima-
na, Yustika?" lanjut Siluman Ular Putih dengan 
menyebut nama asli Ratu Adil meminta pendapat. 
"Ampunkan kami, Tuan Pendekar! Ampun-
kan kami! Berilah kami kesempatan untuk mene-
bus dosa-dosa," ratap sisa anggota Pasukan 
Laskar Hijau serempak. 
"Wah...! Nyaring benar suara kalian. Apa 
benar kalian ingin bertobat?" tanya Siluman Ular 
Putih. 
"Benar, Tuan Pendekar." 
"Hm...! Rasa-rasanya aku kok kurang per-
caya. Jangan-jangan, kahan akan kembali mem-
buat onar setelah kulepaskan." 
"Tidak, Tuan Pendekar! Tidak!" 
"Oh, ya?" Siluman Ular Pulih masih kurang 
percaya. "Bagaimana, Yustika?" lanjut Siluman 
Ular Putih lagi-lagi meminta pendapat murid Ratu 
Alit dari pulau Nusa Kambangan. 
"Ampunkan mereka. Soma! Berilah mereka 
kesempatan untuk menebus dosa," ujar Ratu Adil 
akhirnya. 
"Kalian dengar apa yang dikatakan teman-
ku yang cantik ini?" tanya Soma, kembali mena-
tap para anak buah Setan Haus Darah. 
"Dengar, Tuan Pendekar." 
"Bagus. Kalau begitu, pergilah! Hanya aku 
tak ingin mendengar kalian membuat onar lagi. 
Kalau sampai melanggar pesanku, jangan harap 
kalian akan lolos dari tanganku!" 
"Tidak, Tuan Pendekar. Kami sudah berto-
bat." 
"Pergilah! Jangan ucapkan kata-kata itu di 
sini!" usir Siluman Ular Putih seraya mengi-
baskan tangan. 
Beberapa orang sisa anggota Pasukan 
Laskar Hijau itu kembali mengucapkan terima 
kasih. Lalu dengan langkah terburu, mereka sege-
ra lari pontang panting meninggalkan tempat itu, 
melupakan kuda-kuda mereka. 
"Sekarang aku ingin bicara, Sobat." 
Pembunuh Iblis memandang Ratu Adil 
dengan sinar mata penuh kasih sayang yang sarat 
kerinduan. Sulit diartikan dengan kata-kata. 
Ratu Adil membalas pandang mata Pem-
bunuh Iblis tak mengerti. Sewaktu Teguh Sayekti 
mengajaknya duduk di rerumputan, gadis itu pun 
tak kuasa menolak. Di samping itu ia menimbul-
kan kesan jelek di mata Pembunuh Iblis maupun 
Siluman Ular Putih. 
"Ada apa, nih? Kok, tampaknya penting 
amat?" tanya Siluman Ular Putih, ikut-ikutan du-
duk di samping Ratu Adil. 
"Duduklah dulu, Sobat!" 
"Aku sudah duduk," ujar Siluman Ular Pu-
tih tak bermaksud menggoda. Dipandangnya Ratu 
Adil dan Pembunuh Iblis yang tampaknya tak in-
gin bergurau.       
Pembunuh Iblis tersenyum. Sama sekali 
hatinya tidak tersinggung mendengar jawaban Si-
luman Ular Putih 
"Begini...." 
Pembunuh Iblis menelan ludahnya seben-
tar, mengatur kata-kata apa yang akan di-
ucapkan. 
"Ada apa, Sobat? Tampaknya ada sesuatu 
yang mengganjal hatimu?" desak Ratu Adil lem-
but. 
"Memang. Bertahun-tahun aku menahan 
derita ini seorang diri. Orang-orang yang kucintai 
entah pergi ke mana. Ayahku, ibuku, juga adik-
ku." 
Sampai di sini, tiba-tiba Pembunuh Iblis 
memandang Ratu Adil seksama. Diperhatikannya 
wajah dan tubuh gadis di hadapannya penuh 
perhatian. 
Ratu Adil jadi jengah. 
"Kenapa kau memandangku seperti itu, 
Sobat?" tegur Ratu Adil makin tak mengerti meli-
hat sikap Pembunuh Iblis. 
"Sebenarnya, sebelum Setan Haus Darah 
dan pasukannya datang, aku sedang mencari 
ayah dan adik kandungku. Menurut keterangan 
guruku di puncak Gunung Slamet, aku sebenar-
nya masih mempunyai seorang adik perempuan. 
Guruku yang dulu sering turun gunung, akhirnya 
berhasil memperoleh keterangan mengenai adik 
kandungku. Konon adikku yang baru saja dila-
hirkan dibawa seorang tokoh sakti dari selatan. 
Penduduk kampung yang pernah didatangi tokoh 
sakti itu pernah melihat kalau bayi perempuan 
yang baru dilahirkan itu memiliki tanda toh hijau 
sebesar ibu jari di punggungnya." 
Ratu Adil tercekat. Parasnya kontan pucat 
pasi. 
Pembunuh Iblis memandang Ratu Adil se-
kilas. 
"Sewaktu aku terkena pukulan Setan Haus 
Darah dan tubuhku menabrak tubuhmu, aku 
sempat melihat kalau di punggungmu terdapat 
tanda toh hijau sebesar ibu jari," lanjut Pembu-
nuh Iblis. 
"Sobat! Semua keteranganmu benar. Aku 
memang memiliki tanda toh hijau sebesar ibu jari 
di punggung. Dan akulah yang sewaktu masih 
bayi dibawa seorang tokoh sakti dari selatan. Tapi 
sekarang aku ingin tahu, siapakah nama ayah 
kandungmu?" tanya Ratu Adil, mulai tak dapat 
mengendalikan diri. 
"Nama ayah kandungku adalah.... Gendon 
Prakoso...." 
"Apa?! Gendong Prakoso?!" sentak Ratu 
Adil dengan mata membeliak lebar-lebar. 
"Iya. Kenapa?"  
"Jadi.... Jadi, kau..., kakak kandungku! 
Kau.... Kau..., ah! Kakang! Aku ini adikmu...!" 
Saat itu juga Ratu Adil menghambur ke da-
lam pelukan Pembunuh Iblis. Tangisnya pun tak 
dapat lagi dibendung. 
"Kakang! Maafkan aku, Kakang! Sungguh 
aku tak mengira kalau kau adalah kakak kan-
dungku," ucap Ratu Adil terisak memelas. "Bo-
dohnya, aku juga lupa menjelaskan maksudku 
turun gunung sekarang ini...." 
"Jangan menyalahkan dirimu, Adikku! Ka-
kang juga bersalah. Tidak seharusnya Kakang 
membiarkan kau hidup merana seorang diri," hi-
bur Pembunuh Iblis. Suaranya bergetar. Tangan-
nya terus mengelus-elus rambut Ratu Adil dengan 
segenap perasaannya. 
"Wah...! Kenapa jadi tangis-tangisan  begi-
ni? Walah...," desah Siluman Ular Putih merasa 
trenyuh juga. Lalu entah karena apa tiba-tiba 
tangannya sudah garuk-garuk kepala. 
Pembunuh Iblis tak mempedulikan ucapan 
Siluman Ular Putih. Sepasang matanya tiba-tiba 
meredup membayangkan kejadian beberapa pu-
luh tahun lalu. 
"Dulu sewaktu aku masih kecil, kira-kira 
berusia tujuh tahun, kulihat ayah dan ibu sering 
bertengkar. Ayah menuduh ibu menyeleweng. Ibu 
tidak terima. Lalu, pada suatu hari, tiba-tiba ayah 
menyeret ibu yang membawa bayi berusia empat 
bulan ke sebuah hutan. Entah, apa yang dilaku-
kan. Namun setelah aku menunggu, ternyata 
ayah dan ibu tidak pernah kembali. Aku terlunta-
lunta. Bertahun-tahun aku hidup merana seorang 
diri. Hingga akhirnya, pada suatu hari aku diajak 
guruku ke puncak Gunung Slamet. Lalu, aku pun 
belajar silat darinya. Namun dalam hatiku, aku 
bertekad akan mencari ayah dan ibu, juga adik 
kandungku." 
Ratu Adil makin terisak. Wajahnya yang 
pias berhamburan air mata. 
"Ayah.... Ayah telah membunuh ibu...," je-
las Ratu Adil bergetar. 
"Ah...! Tak kusangka! Kenapa ayah demi-
kian tega membunuh ibu yang waktu itu baru sa-
ja melahirkan? Benar-benar kejam. Rasanya tak 
mungkin aku memaafkan kesalahan ayah.... Dan 
pasti bayi yang dibawa ibu itu adalah kau, Adik" 
"Benar, Kakang! Ketika ditemukan guru, 
umurku baru empat bulan. Ah, sudahlah. Yang 
penting sekarang kita harus secepatnya menemu-
kan ayah." 
"Baik. Memang itu sudah menjadi tekadku. 
Ayo, sekarang kita lanjutkan perjalanan!" 
Perlahan-lahan Pembunuh Iblis mele-
paskan pelukan Ratu Adil. Dipapahnya si adik 
penuh kelembutan. Seolah mereka terlupa begitu 
saja pada Soma. 
"Yah...! Mungkin inilah yang dinamakan 
dengan habis manis sepah dibuang. Sudah tak 
perlukan, ditinggalkan begitu saja," celoteh Silu-
man Ular Putih. 
Pembunuh Iblis dan Ratu Adil tersadar. 
Saking larutnya dalam suasana mengharukan, 
mereka sampai lupa kalau di tempat itu masih 
ada Siluman Ular Putih. Buru-buru mereka me-
nahan langkah dan berbalik 
"Maaf, Sobat! Bukan maksudku mening-
galkanmu. Kami.... Kami...." 
"Sudahlah! Tak usah diteruskan. Aku mak-
lum, kok. Sekarang, ayo ikut aku!" Siluman Ular 
Putih langsung melompat bangun. 
"Ke mana?" tanya Ratu Adil dan Pembunuh 
Iblis serempak. 
"Terus terang aku khawatir sekali. Hantu 
Tangan Api pasti masih berkeliaran di sekitar hu-
tan ini." 
"Hm..., yah! Kau benar. Sebab, tak mung-
kin Setan Haus Darah membuat onar lagi kalau 
tidak ada gurunya yang menyertai." 
"Baik. Kalau begitu, ayo kita cari Hantu 
Tangan Api!" ujar Siluman Ular Putih.  
* * * 
Hampir setengah harian Hantu Tangan Api 
mondar-mandir di hutan kecil itu. Sepasang ma-
tanya liar memperhatikan sekeliling. Namun lelaki 
tua ini belum juga menemukan Pendidik Ulung 
yang melarikan diri dari tempat pertarungan 
sambil memondong tubuh Arum Sari. 
"Setan! Tak mungkin tua bangka itu lenyap 
begitu saja. Ia pasti masih berada di sekitar hutan 
ini. Apalagi tengah menderita luka dalam yang 
cukup parah," gumam Hantu Tangan Api kesal 
bukan main. 
Hantu Tangan Api kembali mengedarkan 
pandangan ke sekeliling. Lalu, tubuhnya kembali 
berkelebat ke sana kemari meneliti semak-semak 
belukar dengan seksama. Namun sejurus kemu-
dian tubuhnya telah berada di tempat semula. 
"Bajingan! Kenapa aku belum juga mene-
mukan batang hidungnya? Apa muridku beserta 
anak buahnya juga kehilangan jejak? Tapi, kena-
pa mereka tidak segera kembali kemari? Apakah 
mereka...." 
Hantu Tangan Api tak meneruskan kegeli-
sahan hatinya. 
"Ah...! Tak mungkin...," lanjut Hantu Tan-
gan Api menepis bayangan buruk yang tiba-tiba 
menggelayuti perasaannya. 
Di saat Hantu Tangan Api tengah terman-
gu, mendadak sepasang matanya yang tajam me-
lihat bercak-bercak darah di semak-semak belu-
kar. Tentu saja hatinya jadi gembira bukan main. 
Segera diikutinya bercak-bercak darah itu. Se-
sampainya di ujung semak belukar, bercak-
bercak darah itu pun tak kelihatan lagi. 
"Hm...!" 
Hantu Tangan Api mengangguk-anggukkan 
kepala, Akalnya yang cerdik pun segera bekerja. 
Ke manakah sebenarnya Pendidik Ulung 
dan Arum Sari pergi? Mungkinkah mereka pergi 
jauh meninggalkan hutan itu? Padahal mereka 
dalam keadaan terluka parah? 
Tidak. Pendidik Ulung dan Arum Sari tak 
mungkin jauh meninggalkan hutan dalam kea-
daan menderita luka parah. Meski ilmu merin-
gankan tubuh Pendidik Ulung sudah mencapai 
tingkat tinggi, bagaimanapun juga tenaganya 
akan terkuras. Apalagi habis bertarung yang san-
gat melelahkan dengan Hantu Tangan Api. 
Ketika Hantu Tangan Api yang disertai Se-
tan Haus Darah dan anggota Pasukan Laskar Hi-
jau mengejar tadi, Pendidik Ulung menyelinap ke 
semak belukar yang tinggi dan lebat. Sambil 
membawa Arum Sari, lelaki itu berputar-putar di 
sekitar  semak belukar untuk mengecoh Hantu 
Tangan Api. Lalu mereka cepat menyelinap ke 
pintu rahasia di belakang gua persembunyian. 
Kini di dalam sebuah ruangan di gua per-
sembunyian tampak Pendidik Ulung tengah du-
duk memandang haru pada Arum Sari yang terge-
letak tak berdaya di hadapannya. Hatinya trenyuh 
sekali melihat sosok yang telah dingin dan kaku 
tanpa gerakan sama sekali. 
"Iblis...! Tua bangka itu telah merenggut 
nyawa gadis ini...," desis Pendidik Ulung. Paras-
nya mengelam, menahan amarah yang menggele-
gak dalam dada. 
Berkali-kali Pendidik Ulung menghela na-
pas panjang-panjang. Sulit sekali amarahnya da-
lam dada dienyahkan begitu saja. Untuk sesaat 
lelaki tua itu hanya termangu di hadapan jasad 
kaku Arum Sari. Baru setelah amarahnya mere-
da, perlahan-lahan disedekapkannya kedua tan-
gan halus si gadis di depan dada. 
"Sayang sekali aku masih menderita luka 
dalam. Kalau tidak, sudah pasti akan kubalas 
perbuatan Hantu Tangan Api. Tunggulah pemba-
lasanku, Tua Bangka Keparat!" 
Pendidik Ulung memejamkan matanya. 
Samar-samar pendengarannya yang tajam me-
nangkap gerakan-gerakan halus di atas gua per-
sembunyiannya. 
Selama Pendidik Ulung bersemadi, diam-
diam hatinya merasa heran. Ternyata langkah-
langkah halus yang diyakininya milik Hantu Tan-
gan Api masih saja sesekali melintas di atas. Pen-
didik Ulung merasa khawatir juga kalau-kalau to-
koh bengis itu mengetahui tempat persembu-
nyiannya. 
Dan apa yang dikhawatirkan Pendidik 
Ulung pun terjadi. Ternyata Hantu Tangan Api 
memang telah menemukan tempat persembu-
nyiannya. Dengan mengikuti bercak-bercak darah 
yang tercecer di semak-semak belukar, akhirnya 
lelaki sesat itu menemukan pintu rahasia di gua 
tempat persembunyian Pendidik Ulung. 
"Ha ha ha...! Akhirnya kutemukan juga kau 
di sini, Tua Bangka Keparat!" tawa Hantu Tangan 
Api bergelak. 
Pendidik Ulung terkesiap bukan main, dan 
buru-buru melompat bangun. Sepasang matanya 
pun kontan mencorong tajam. 
"Bangsat! Kau kira aku takut menghada-
pimu, hah?! Justru kaulah yang bertanggung ja-
wab atas tewasnya gadis itu!" sembur Pendidik 
Ulung seraya menuding ke arah Arum Sari. 
Hantu Tangan Api menoleh sekilas. Diper-
hatikannya sosok gadis berpakaian serba hijau 
yang tergeletak di tumpukan jerami dengan se-
nyum mengejek. Bahkan kemudian disusul suara 
tawanya yang kembali menggema memenuhi 
ruangan gua. 
"Salah sendiri! Kenapa ia mencari mati di 
tanganku!" dengus Hantu Tangan Api. 
"Dasar manusia penyebar petaka! Bisanya 
selalu membacot demikian. Tak tahu malu!" 
"Diam! Kau pun juga akan mengalami na-
sib serupa dengan gadis itu! Sekaranglah saatnya 
kau menemui ajal, Tua Bangka Keparat!" putus 
Hantu Tangan Api beringas. 
Pendidik Ulung tertawa sumbang. Dengan 
lutut agak goyah menahan luka dalam yang be-
lum sembuh, lelaki tua bertopi panjang warna hi-
tam itu melangkah mendekat.  
"Meski aku terluka, jangan dikira takut 
menghadapimu, Tua Bangka Keriput! Hayo! La-
wanlah aku kalau kau punya keberanian!" tan-
tang Pendidik Ulung sengit saking gusarnya.  
"Boleh! Orang yang akan mampus memang 
terkadang suka membacot yang tidak-tidak. Aku 
pun tak keberatan untuk mengantar nyawa bu-
sukmu menemui malaikat maut!" dengus Hantu 
Tangan Api. 
Di akhir kalimat, tokoh sesat dari Bukit 
Pedang ini pun segera menerjang Pendidik Ulung. 
Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi 
merah menyala segera dihantamkan ke depan. 
Seketika meluruk dua gulungan bola api disertai 
suara menggemuruh siap melabrak tubuh Pendi-
dik Ulung. 
Werrr! Werrr! 
Pendidik Ulung tersenyum kecut. Melihat 
datangnya serangan, tokoh putih dari Lembah Ka-
lierang ini pun segera menekuk lututnya dalam-
dalam. Lalu dengan kekuatan tenaga dalam sepe-
nuhnya, segera dipapaknya pukulan Hantu Tan-
gan Api. 
Blarrr!  
Seketika ruangan dalam gua jadi terang 
benderang. Cahaya merah dan putih akibat ben-
trokan dua tenaga dalam berpendaran, melabrak 
dinding-dinding gua. 
Sementara bak layangan putus tubuh Pen-
didik Ulung kontan terlempar dan menabrak 
dinding-dinding gua. Lelaki berhati bersih ini 
menggeram murka. Kedua pelipisnya bergerak-
gerak pertanda tak dapat lagi mengendalikan 
amarah.  
"Hup!" 
Dengan sekali menggerakkan tubuh, Pen-
didik Ulung segera melompat bangun. Darah yang 
mengalir di sudut-sudut bibir segera dibesut den-
gan punggung tangan. 
"Majulah, Pendidik Ulung! Sudah lama se-
kali tanganku tak merenggut korban orang-orang 
pongah macam kau!" desis Hantu Tangan Api. 
Pendidik Ulung dia tak menyahut. Paras-
nya yang pucat pasi kini begitu tegang. 
"Ayo, serang aku! Tunggu apa lagi?" ejek 
Hantu Tangan Api seraya menepuk-nepuk dada. 
"Mumpung nyawamu masih di badan, kenapa 
semua kepandaianmu tak lekas dikeluarkan? Aku 
ingin lihat, apa manusia congkak macam kau 
mampu menghadapiku, heh?!" 
"Bangsat! Kau pikir mudah merobohkanku, 
hah?! Meski aku menderita luka dalam, kalau 
Yang Maha Kuasa belum menghendaki mati, apa 
kau pikir bisa, hah?!" 
"Jangan menyebut-nyebut nama Yang Ma-
ha Kuasa! Sebab saat ini akulah yang menguasai 
nyawamu!" 
"Jangan takabur, Hantu Tangan Api! Kalau 
boleh aku menasihati, cepatlah bertobat sebelum 
nyawamu lepas dari raga!"  
"Ha ha ha...! Bilang saja kau takut meng-
hadapiku, pakai menasihati segala. Huh! Jangan 
harap aku akan menuruti bacotmu!" 
"Kalau begitu, hatimu memang sudah be-
jat!" sembur Pendidik Ulung kasar. 
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, saat ini juga kau harus modar di tanganku!" 
putus Hantu Tangan Api dengan suara memba-
hana. 
Kali ini tak segan-segan lagi Hantu Tangan 
Api hendak menghabisi nyawa Pendidik Ulung. 
Maka saat itu juga segera dilontarkannya puku-
lan maut.  
Werrr! Werrr! 
Hawa panas bukan kepalang yang disertai 
kobaran api kontan melesat cepat dari kedua te-
lapak tangan Hantu Tangan Api.  
"Hup!"  
Pendidik Ulung cepat membuang tubuhnya 
ke samping, membuat kobaran api yang menye-
rangnya melabrak dinding-dinding gua. Seketika 
dinding-dinding gua hancur berantakan mencip-
takan lobang besar yang menganga dan menge-
pulkan uap kehitaman! 
Hantu Tangan Api gusar bukan main. Ia 
kecewa berat melihat hasil serangannya dapat di-
hindari Pendidik Ulung dengan mudah. 
Di hadapannya, Pendidik Ulung yang juga 
merasa penasaran sekali tampak mulai menggu-
rat-guratkan kedua jari telunjuk di udara. Telun-
juk tangan kanan menggurat-gurat dari kanan ke 
kiri, sedang telunjuk tangan kiri menggurat-gurat 
dari kiri ke kanan. Dari setiap guratan-guratan 
jari tangan ternyata mampu mengeluarkan bunyi 
mencicit yang amat memekakkan telinga! Dari ge-
rakannya jelas kalau Pendidik Ulung mengerah-
kan jurus 'Tulisan Gaib Dewa Kayangan'. 
"Bagus! Keluarkan semua kepandaianmu 
sebelum kau menemui ajal, Tua Bangka Keparat!" 
tantang Hantu Tangan Api, pongah. 
Hantu Tangan Api pun segera membuat 
beberapa gerakan disertai pengerahan tenaga da-
lam. Seketika kedua telapak tangan lelaki sesat 
itu berubah menjadi merah menyala hingga 
pangkal lengan, pertanda telah mengerahkan te-
naga dalam dengan kekuatan penuh. 
"Makanlah pukulan 'Gemuruh Badai Api'-
ku...! Heaaa...!" 
Bersamaan teriakan yang nyaring, tiba-tiba 
Hantu Tangan Api menghentakkan kedua telapak 
tangan ke depan membuat dua gulungan api yang 
berkobar-kobar melesat cepat disertai bunyi 
menggemuruh laksana badai prahara! Langsung 
dipapaknya sinar-sinar putih yang keluar dari te-
lunjuk kedua tangan Pendidik Ulung yang dis-
alurkan. 
Classs! Classs! 
Derrr! 
"Aaakh...!" 
Pendidik Ulung memekik kesakitan. Tanpa 
ampun tubuhnya terpental jauh ke belakang dan 
terbanting keras! 
Brukkk! 
Lelaki tua bertopi panjang ini mengerang 
hebat. Kedua telapak tangannya melepuh. Paras-
nya pun pucat pasi, menahan guncangan dalam 
dada. Bahkan saking tidak kuatnya menahan 
guncangan dalam dada yang seolah-olah ingin 
membakar sekujur tubuh, Pendidik ulung pun 
memuntahkan darah segar. 
"Oeeekh!" 
Hantu Tangan Api gembira bukan main. 
Sambil berkacak pinggang ia terus mengumbar 
tawa. 
"Sehebat apa pun kau tetap akan modar di 
tanganku, Pendidik Ulung!" ejek Hantu Tangan 
Api. 
Pendidik Ulung menggigit bibirnya kuat-
kuat. Hawa panas yang mengaduk-aduk dalam 
dadanya berusaha ditindih dengan hawa amarah 
yang memuncak. 
"Demi Tuhan! Aku akan mengadu nyawa 
denganmu, Hantu Tangan Api!" desis Pendidik 
Ulung, kalap. 
"Akan kulayani! Majulah!" ejek Hantu Tan-
gan Api. 
Pendidik Ulung berusaha melompat ban-
gun. Dengan susah payah, akhirnya lelaki itu da-
pat tegak kembali, meski dengan kedua lutut ge-
metar. Kepalang basah lelaki tua ini tetap me-
maksakan diri untuk melanjutkan pertarungan. 
Selangkah demi selangkah kakinya pun maju 
mendekat. 
Dua tombak di hadapannya, Hantu Tangan 
Api terus mengumbar suara tawanya. Lagaknya 
pongah sekali. seolah-olah dialah yang paling 
berkuasa di muka bumi ini. Lalu dengan pandang 
mata melecehkan dibalasnya tatapan Pendidik 
Ulung.  
"Heaaattt...?" 
Pendidik Ulung yang tak dapat lagi men-
gendalikan amarah telah menerjang beringas. Ja-
ri-jari telunjuknya yang telah berubah putih ber-
kilauan berkali-kali berkelebat cepat di antara tu-
buh Hantu Tangan Api. 
Namun sayang meski telah mengeluarkan 
segenap kepandaiannya, tetap saja Pendidik 
Ulung tak mampu menghadapi sepak terjang 
Hantu Tangan Api. Malah berkali-kali tubuhnya 
dijadikan sasaran empuk serangan-serangan to-
koh sesat dari Bukit Pedang itu. 
11 
Sementara itu, Siluman Ular Putih beserta 
Ratu  Adil dan Pembunuh Iblis terus berkelebat 
cepat menelusuri hutan kecil.  
"Soma! Apakah kau yakin Hantu Tangan 
Api tengah mencari Pendidik Ulung?" tanya Ratu 
Adil sambil berkelebat. 
"Aku yakin sekali. Hantu Tangan Api tak 
mungkin melepaskan Pendidik Ulung begitu saja. 
Apalagi, ia lelah mempermalukan muridnya Setan 
Haus Darah," sahut Siluman Ular Putih. 
"Apa bukan karena kau ingin bertemu 
Arum Sari, Soma?" tanya Ratu Adil bernada cem-
buru. Nada suaranya pun berubah, seperti men-
gandung kekecewaan. 
"Jangan menuduh sembarangan, Yustika! 
Aku benar-benar sangat mencemaskan keselama-
tan Pendidik Ulung," sergah Soma. 
Ketika tiba-tiba bumi yang mereka pijak te-
rasa bergetar, tiba-tiba Siluman Ular Putih men-
dadak menghentikan langkahnya. Soma tak tahu 
apa yang menyebabkan tanah di sekitar itu berge-
tar hebat. Kepalanya lantas berpaling ke arah Ra-
tu Adil dan Pembunuh Iblis yang juga menghenti-
kan langkahnya. 
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis pun hanya 
melongo. 
"Tampaknya ada sesuatu yang kurang 
beres di sekitar tempat ini. Tapi di mana, ya?" 
tanya Siluman Ular Pulih. "Coba aku periksa se-
bentar." 
Murid Eyang Begawan Kamasetyo itu pun 
segera berlutut. Namun belum sempat menem-
pelkan telinganya ke tanah, tiba-tiba sepasang 
matanya yang tajam melihat bercak-bercak darah 
di semak-semak belukar. Kontan saja matanya 
jadi membesar. 
"Kukira dugaanku benar. Lihat bercak-
bercak darah itu!" tunjuk Siluman Ular Putih ke 
semak-.semak belukar. 
Ratu Adil dan Pembunuh Iblis segera meli-
hat ke arah tudingan telunjuk jari Siluman Ular 
Putih. Ternyata benar. Di semak-semak belukar 
itu terdapat banyak bercak-bercak darah yang be-
lum begitu kering. 
"Hm...! Kalau tak salah, bukankah di seki-
tar hutan ini terdapat gua tempat persembunyian 
Pendidik Ulung dan Arum Sari? Jangan-
jangan...." 
"Tampaknya ada satu kejadian kurang 
beres di sekitar tempat ini," tukas Pembunuh Iblis 
cepat. 
Siluman Ular Putih tak menggubris. Segera 
telinganya ditempelkan ke tanah. Di sana Soma 
seperti menangkap getaran-getaran hebat yang 
datang dari dalam tanah, sehingga membuat ke-
ningnya berkerut dalam-dalam. 
"Jangan-jangan di dalam gua tempat per-
sembunyiannya, Pendidik Ulung dan Arum Sari 
tengah terjadi pertarungan...," duga Soma. 
"Kau benar, Soma. Pasti Pendidik Ulung 
dan Arum Sari tengah disatroni Hantu Tangan 
Api," sahut Ratu Adil. 
"Kalau begitu, ayo cepat kita selidiki!" ujar 
Siluman Ular Putih. 
Ratu Adil dan  Pembunuh Iblis hanya me-
nurut. Namun belum sempat mereka melaksana-
kan niat, tiba-tiba.... 
Srakkk! 
Blukk! 
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam terlem-
par keluar dari dalam semak belukar, dan lang-
sung jatuh terkapar. 
Siluman Ular Putih heran bukan main. Bu-
ru-buru pemuda itu melompat mendekati sosok 
bayangan hitam yang tak bergerak sama sekali. 
"Pendidik Ulung...!" desis Siluman Ular Pu-
tih kaget bukan main begitu mengenali sesosok 
bayangan hitam yang tergeletak. 
Belum sempat Soma memeriksa.... 
"Ha ha ha...! Siapa pun juga yang berani 
menentang Hantu Tangan Api, berarti mati!" 
Tiba-tiba terdengar tawa membahana yang 
disusul berkelebatnya sesosok bayangan merah 
ke tempat itu. 
Mata Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
kontan terbeliak lebar. Sosok bayangan merah 
yang kini telah berdiri tegak tak jauh dari mereka 
tak lain adalah Hantu Tangan Api. 
"Heaaat!"  
Sedang Pembunuh Iblis yang belum begitu 
mengenali siapa Hantu Tangan Api, segera mener-
jang ke arah tokoh sesat dari Bukit Pedang itu. 
"Tolong, Yustika! Uruslah orang tua ini!" 
ujar Siluman Ular Putih kemudian cepat berkele-
bat ke tempat pertarungan. 
"Hantu Tangan Api! Akulah lawanmu!" te-
riak Siluman Ular Putih lantang. 
Hantu Tangan Api yang tengah menghada-
pi serangan-serangan Pembunuh Iblis hanya ter-
tawa bergelak. Sedikit pun lelaki sesat itu tak 
mau memandang sebelah mata pada Siluman 
Ular Putih. Malah dengan kecepatan luar biasa, 
tiba-tiba Hantu Tangan Api berkelebat tepat keti-
ka Pembunuh Iblis tengah meluruk menyerang. 
Di udara Hantu Tangan Api membuat putaran. 
Dan ketika Pembunuh Iblis tepat berada di ba-
wahnya, kedua tangannya  menelusup dari atas, 
langsung menggedor dada.  
Bukkk! Bukkk!  
"Aaakh...!" 
Telak sekali dua telapak tangan Hantu 
Tangan Api yang telah berubah menjadi merah 
menyala mendarat di dada Pembunuh Iblis. Seke-
tika itu juga pemuda itu meraung setinggi langit. 
Tanpa ampun tubuhnya terpelanting keras ke ta-
nah. 
"Kakang...!" teriak Ratu Adil kalap bukan 
main. 
Buru-buru gadis itu melompat mendekati 
Pembunuh Iblis. Yang wajahnya sudah demikian 
pias. Darah segar mengalir dari lobang hidung 
dan telinga. Sedang dadanya yang  terkena han-
taman tangan Hantu Tangan Api melepuh! 
"Biadab!" desis Ratu Adil murka. Keadaan 
tubuh kakak kandungnya demikian memelaskan-
nya. Gadis itu segera meletakkan kepala Pembu-
nuh Iblis ke atas pangkuannya. 
"Adikku...! Jaga dirimu baik-baik! Aku.... 
Aku..., ah!" 
Pembunuh Iblis tak dapat lagi meneruskan 
ucapannya. Kepalanya keburu terkulai di pang-
kuan Ratu Adil disertai hembusan napas terakhir. 
Bukan main terpukulnya hati Ratu Adil 
melihat kakak kandungnya yang baru saja dite-
mukan ternyata telah tewas. Sudah pasti si gadis 
tidak terima melihat kenyataan itu. Rasa sedih 
bercampur geram kini mengaduk-aduk dadanya. 
Rasanya tak ada lagi yang harus dilakukan kecu-
ali membalaskan dendam untuk kakaknya. Maka 
perlahan-lahan direbahkannya kepala Pembunuh 
Iblis ke tanah. Lalu tubuhnya cepat berkelebat ke 
tempat pertarungan. 
"Bajingan tua! Kau harus membayar mahal 
nyawa kakak kandungku! Kau harus tewas di 
tanganku!" pekik Ratu Adil dengan kesepuluh ja-
ri-jari tangan telah berubah menjadi biru penuh 
pukulan 'Cakar Naga Samudera'. 
Wesss! Wesss!  
Namun Hantu Tangan Api yang saat itu 
tengah bertarung hebat melawan Siluman Ular 
Putih dapat menghindar dengan melenting ke 
atas. Sehingga serangan-serangan Ratu Adil terus 
menerabas ke belakang menghantam semak-
semak belukar hingga kontan terpangkas habis 
dalam keadaan hangus. 
"Jangan gegabah, Yustika! Biar aku yang 
mengurus tua bangka ini!" teriak Siluman Ular 
Putih gusar bukan main. Langsung dipeganginya 
Ratu Adil yang hendak menyerang Hantu Tangan 
Api kembali. Sebab bukan mustahil Hantu Tan-
gan Api yang telengas tak segan-segan untuk 
membunuh gadis itu. 
"Tidak, Siluman Ular Putih! Tua bangka itu 
harus modar di tanganku!" geram Ratu Adil keras 
kepala. 
"Dengarlah, Yustika! Tolong kau urus Pen-
didik Ulung! Ia sangat membutuhkan pertolon-
gan!" tegas Siluman Ular Putih. 
Ratu Adil sejenak bimbang  di tempatnya. 
Pendidik Ulung memang sangat berjasa terhadap 
dirinya. Dialah yang telah menyelamatkan nya-
wanya dari cengkeraman tangan Hantu Tangan 
Api. Kalau tidak ada orang tua baik hati itu, be-
lum tentu dirinya akan selamat. Berpikir sampai 
di sini, Ratu Adil jadi ragu-ragu. 
"Baiklah, Siluman Ular Putih. Aku memang 
harus membalas budi Pendidik Ulung. Tapi, to-
long jangan kau beri ampun tua bangka keparat 
itu!" geram Ratu Adil, lalu segera melompat men-
dekati tubuh Pendidik Ulung yang tergeletak di 
luar tempat pertarungan. 
"Kau dengar apa yang diucapkan temanku 
yang cantik itu, Tua Bangka Biang Kerok? Aku 
tak boleh melepaskanmu begitu saja. Dengan ka-
ta lain, kau harus tewas di tanganku!" ejek Silu-
man Ular Putih, kini kembali menghadapi Hantu 
Tangan Api. 
"Jangan sembarangan membacot, Kunyuk 
Gondrong! Justru nyawamulah yang jadi taru-
han!" geram Hantu Tangan Api. 
"Bagus! Kalau begitu, buktikan saja omon-
ganmu! Kau atau aku yang akan terlebih dulu 
berkalang tanah!" 
"Setan! Akan kubuktikan ucapanmu, Bo-
cah! Akan kukirim nyawa busukmu menemui ma-
laikat maut!"        
Di akhir kalimatnya, Hantu Tangan Api se-
gera mengerahkan tenaga dalamnya. Begitu ke-
dua telapak tangannya yang telah berubah jadi 
merah menyala, segera dihantam ke arah Siluman 
Ular Putih. Seketika melesat dua gulungan bola 
api menyambar-nyambar deras ke arah si pemu-
da. 
Werrr! Werrr! 
Siluman Ular Putih tak perlu banyak 
buang waktu. Segera dikerahkannya pukulan an-
dalan 'Tenaga Inti Bumi', membuat kedua telapak 
tangannya berubah putih terang. Lalu dengan te-
naga dalam sepenuhnya, segera dipapaknya pu-
kulan Hantu Tangan Api. 
Blammm! Blammm! 
Terdengar ledakan hebat begitu terjadi per-
temuan dua kekuatan dahsyat. Bumi laksana di-
guncang prahara. Ranting-ranting pohon yang 
terkena sambaran angin akibat bentrokan baru-
san kontan hangus terbakar! 
Sementara, tubuh Siluman Ular Putih dan 
tubuh Hantu Tangan Api sama-sama terjajar be-
berapa langkah ke belakang. Paras mereka pun 
sama-sama pias, pertanda sama-sama menderita 
luka dalam. 
Siluman Ular Putih cepat mengendalikan 
tubuhnya yang sempat oleng. Kemudian dengan 
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, kembali 
kedua telapak tangan dihantamkan ke depan. 
Di hadapannya, Hantu Tangan Api sudah 
tak ingin bermain-main lagi. Segera dikeluarkan-
nya pukulan andalan 'Gemuruh Badai Api' den-
gan maksud untuk merobohkan Siluman Ular Pu-
tih secepatnya. Maka tanpa banyak membuang-
buang waktu, kedua telapak tangannya disentak-
kan ke depan. 
Werrr! Werrr! 
Seketika meluruk dua gulungan api yang 
berkobar-kobar dari kedua telapak tangan Hantu 
Tangan Api yang disertai bunyi menggemuruh 
laksana topan badai siap melabrak tubuh Silu-
man Ular Putih. Bahkan sebelum pukulan tokoh 
sesat dari Bukit Pedang itu mengenai sasaran, 
terlebih dulu telah berkesiur angin panas bukan 
kepalang menampar-nampar tubuh Siluman Ular 
Putih. 
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Sebe-
narnya ia menyesal sekali, kenapa tidak segera 
mengeluarkan pukulan 'Lidah Bianglala'. Sedang 
untuk mengerahkan pukulan itu sudah terlam-
bat. Maka yang dapat dilakukannya hanya meli-
patgandakan tenaga dalam. Dan.... 
Derrr! Derrr! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam yang terjadi. Laksana diguncang badai 
prahara, tempat pertarungan jadi terang bende-
rang oleh bunga-bunga api yang menyebar ke se-
gala  arah disertai hawa panas akibat bentrokan 
pukulan itu. Keadaan tempat pertarungan pun 
jadi porak poranda. 
Sewaktu terjadinya bentrokan tadi, tubuh 
Siluman Ular Putih pun terbanting keras dengan 
napas tersengal. Sedang kobaran api dari kedua 
telapak tangan  Hantu Tangan Api terus menge-
jarnya tanpa ampun. 
Werrr! Werrr! 
Tentu saja Siluman Ular Putih tak ingin 
tubuhnya jadi sasaran empuk serangan-serangan 
Hantu Tangan Api. Dengan mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya, pemuda itu cepat me-
lenting ke atas menghindari serangan-serangan 
Hantu Tangan Api. Di udara, diam-diam murid 
Eyang Begawan Kamasetyo berniat mengerahkan 
pukulan andalan Eyang Bromo. 'Lidah Bianglala'! 
Begitu mendarat, kedua telapak tangan Si-
luman Ular Putih telah berubah jadi putih dihiasi 
sinar yang beraneka warna! 
"Pukulan 'Lidah Bianglala'...!" desis Hantu 
Tangan Api, kaget bukan main. Hatinya menda-
dak kecut. 
"Benar! Pukulan inilah yang nantinya akan 
mengantar nyawa busukmu ke neraka!" dengus 
Siluman Ular Putih. 
"Bajingan! Apa hubunganmu dengan Eyang 
Bromo, hah?!" bentak Hantu Tangan Api gusar. 
"Tak ada gunanya aku menerangkan pa-
damu, Tua Bangka Keparat! Baiknya, tanyakan 
saja pada malaikat maut nanti!" 
Hantu Tangan Api mengkelap bukan main. 
Belum pernah seumur hidupnya, harga dirinya 
dihina demikian rupa. Apalagi oleh bocah kemarin 
sore seperti Siluman Ular Putih. 
"Bangsat! Bacotmu sungguh lancang, Si-
luman Ular Putih. Jangan dikira aku akan mem-
biarkanmu lolos dari tangan mautku! Hea!" 
Mungkin karena sekadar menutupi rasa 
gusarnya, tiba-tiba dikawal teriakan nyaring Han-
tu Tangan Api kembali melontarkan pukulan an-
dalan 'Gemuruh Badai Api' dengan kekuatan te-
naga dalam penuh. 
Wusss! Wusss!  
Maka kembali meluncur dua gulungan api 
yang berkobar-kobar dari kedua telapak tangan 
lelaki tua sesat itu, menerabas ke arah Siluman 
Ular Putih. 
Setombak lagi serangan Hantu Tangan Api 
datang, Siluman Ular Putih segera mendorongkan 
kedua telapak tangannya ke depan. Akibatnya, 
dua gulungan kabut putih yang ditingkahi sinar 
beraneka warna yang berkilauan telah melesat 
cepat memapak pukulan Hantu Tangan Api. 
Besss! 
Tak ada bunyi yang berarti akibat bentro-
kan dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. 
Namun, tampak tubuh Siluman Ular Putih dan 
Hantu Tangan Api sama-sama tergetar hebat. Di 
samping itu, dua sinar merah dan putih yang 
berkilauan di udara tampak saling tindih. Terka-
dang kobaran api milik Hantu Tangan Api yang 
menindih kabut putih milik Siluman Ular Putih. 
Namun kejap kemudian ganti kebalikannya. 
Hingga pada titik puncaknya....  
"Hea...!" 
Tiba-tiba Siluman Ular Putih menyentak-
kan kedua telapak tangan dengan kekuatan tena-
ga dalam penuh. Hasilnya, kabut putih tipis dari 
kedua telapak tangannya melesat ke depan, me-
nindih gulungan kobaran api milik Hantu Tangan 
Api. 
"Ah...!" 
Hantu Tangan Api kaget bukan kepalang. 
Perlahan-lahan kabut putih yang berkilauan den-
gan sinar beraneka warna itu makin menindih gu-
lungan kobaran api miliknya. Tanpa sadar peluh 
sebesar jagung membasahi keningnya. 
Dan dengan mata membeliak lebar, tokoh 
sesat dari Bukit Pedang itu dapat melihat jelas 
kalau kabut putih dari kedua telapak tangan la-
wan mulai membungkus tubuhnya. Hal ini mem-
buat gusar hatinya bukan main. 
Pada saat kabut putih tipis dari kedua te-
lapak tangan Siluman Ular Putih membungkus 
sekujur tubuh, Hantu Tangan Api meraung-raung 
hebat.  Namun gulungan kabut itu terus mem-
bungkus tubuhnya tanpa ampun. Hingga pada 
akhirnya, teriakan-teriakan Hantu Tangan Api 
pun tak kedengaran sama sekali. 
Ketika Siluman Ular Putih menurunkan 
tangannya seperti semula, maka gulungan kabut 
dari kedua telapak tangannya kontan sirna. Dan 
begitu gulungan kabut itu sirna, yang tampak di 
hadapannya bukan lain sosok tinggi kurus tubuh 
Hantu Tangan Api, tapi setumpukan abu yang be-
raneka warna! 
"Syukur! Akhirnya manusia penyebar peta-
ka itu mampus juga...," desah Siluman Ular Putih 
dalam hati. 
11 
Siluman Ular Putih menggeleng-geleng tak-
jub. Lalu mulutnya pun menggumam tidak jelas. 
Kini, hatinya merasa agak lega setelah melihat 
tubuh Hantu Tangan Api telah berubah menjadi 
setumpukan abu yang berkilauan. 
"Satu tugas di pundakku telah terlepas. 
Sekarang, tinggal membantu Ratu Adil.... Eh, di 
manakah gadis itu?" 
Buru-buru Siluman Ular Putih berpaling ke 
samping. Dilihatnya, Ratu Adil tengah sibuk me-
nyalurkan tenaga dalam ke tubuh Pendidik 
Ulung. Sedang tak jauh darinya, tampak sosok 
Pembunuh Iblis tergeletak kaku. 
Siluman Ular Putih segera melangkah 
mendekat, namun tidak berani membuka suara. 
Pemuda ini takut mengganggu pekerjaan Ratu 
Adil. Matanya hanya sekilas memandang ke arah 
si gadis dan Pendidik Ulung. 
"Hoeeekh!" 
Tiba-tiba Pendidik Ulung menyemburkan 
darah merah kehitaman dari mulutnya. Lalu per-
lahan-lahan, kelopak matanya pun terbuka. Keti-
ka menyadari di hadapannya ada seorang gadis 
tengah mengobati, bibirnyapun tersenyum. 
"Terima kasih. Rupanya kau yang telah 
menyelamatkan nyawaku, Gadis," ucap Pendidik 
Ulung dengan suara bergetar. Parasnya pun tam-
pak demikian pias dengan napas agak tersengal. 
Ratu Adil tersenyum. Perlahan-lahan ke-
dua telapak tangannya ditarik kembali dari dada 
Pendidik Ulung. 
"Jangan ucapkan kata-kata itu, Kek! Bu-
kankah waktu itu kau juga telah menyelamatkan 
nyawaku?" sahut Ratu Adil lembut. 
"Ah, iya? Tapi, di manakah bajingan tua 
itu?" tanya Pendidik Ulung. Segera lelaki tua ini 
membalikkan badan sambil berusaha bangun. 
Namun, tenaganya masih lemas, hingga sulit se-
kali untuk bangun. Untung saja Siluman Ular Pu-
tih segera mengulurkan tangan dan memban-
tunya bangun.   
"Di manakah bajingan tua itu, Bocah Gon-
drong?" tanya Pendidik Ulung sambil terus men-
gedarkan pandangan ke segenap penjuru. 
Siluman Ular Putih tak menjawab, kecuali 
hanya menudingkan telunjuk jarinya ke arah 
tumpukan abu yang berkilauan tak jauh dari 
tempat itu. 
"Dia telah menjadi abu?!' sentak Pendidik 
Ulung dan Ratu Adil, seolah tak percaya. 
Siluman Ular Putih hanya mengangguk. 
"Oh...! Kalau begitu sekarang aku tahu. 
Kau pasti telah bertemu Eyang Bromo. Kau pasti 
telah diwarisi pukulan 'Lidah Bianglala' yang dah-
syat itu," duga Pendidik Ulung penuh kagum. 
"Kau benar, Kek. Aku memang telah ber-
temu Eyang Bromo sekaligus mendapat warisan 
darinya." 
"Hm...," Pendidik Ulung mengangguk-
anggukkan kepala. Sejenak matanya beredar ke 
sekeliling, lalu tertumbuk pada mayat Pembunuh 
Iblis. "Eh...! Mayat siapakah ini?" 
"Kakak kandungku, Kek. Dia telah tewas di 
tangan Hantu Tangan Api," jelas Ratu Adil berge-
tar. Matanya kembali merembang, namun Ratu 
Adil berusaha menguatkan hati. 
"Oh...! Benar-benar bajingan tua bangka 
itu! Sayang sekali aku tak dapat membunuhnya. 
Tapi, sudahlah! Tak ada gunanya membicarakan 
tua bangka itu. Toh, dia sudah modar. Sekarang, 
ayo ikut aku!" ajak Pendidik Ulung. 
"Ke mana, Kek?" tanya Siluman Ular Putih. 
"Jangan banyak tanya! Kalian pasti akan 
terkejut. Terutama sekali kau, Siluman Ular Pu-
tih!"  
"Oh ya?" 
"Cepat bawa mayat itu. Dan, ikuti aku!" 
ajak Pendidik Ulung lagi, lalu segera melangkah 
mendahului Siluman Ular Putih dan Ratu Adil. 
Siluman Ular Putih yang mendapat tugas 
mengangkat mayat Pembunuh Iblis hanya meng-
gerutu. Namun, toh akhirnya mau juga mengang-
kat mayat itu. Sedang Ratu Adil tampak sudah 
menyusul Pendidik Ulung yang tengah menyibak 
semak belukar. 
Siluman Ular Putih segera menyusul. Dili-
hatnya Pendidik Ulung dan Ratu Adil mulai me-
langkah memasuki mulut gua. Hanya saja kali ini 
mereka masuk lewat pintu lain, tidak seperti wak-
tu Soma dan Ratu Adil dibawa Pendidik Ulung ke 
gua itu pula. 
Memang, Pendidik Ulung terus membawa 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil ke sebuah 
ruangan khusus dalam gua itu. Begitu Siluman 
Ular Putih tahu siapa yang tergeletak di tumpu-
kan jerami, matanya langsung membeliak lebar. 
Buru-buru didekati sosok tubuh yang lak lain 
Arum Sari. Diperiksanya gadis itu dengan seksa-
ma. 
Manakala menyadari denyut nadi Arum Sa-
ri tidak bergerak-gerak sama sekali, Siluman Ular 
Putih langsung menggeram penuh kemarahan. 
"Siapa yang melakukan ini, Kek?!" tanya 
Siluman Ular Putih pada Pendidik Ulung. 
"Hm...! Siapa lagi kalau bukan manusia se-
sat Hantu Tangan Api?" desis Pendidik Ulung. 
Hati Siluman Ular Putih kontan mencelos 
begitu mendengar Hantu Tangan Api-lah yang te-
lah menewaskan Arum Sari. Parasnya menegang 
penuh hawa amarah. Namun sejurus kemudian 
wajah itu meredup dan dengan mata sedikit me-
rembang. 
"Oh...! Maafkan aku. Arum! Aku benar-
benar tak menginginkan hal ini terjadi. Kau ada-
lah sahabatku yang paling baik...," desah Siluman 
Ular Putih dalam hati. 
"Kenapa malah melongo, Bocah? Kau ma-
sih mendapat tugas menguburkan mayat kedua 
orang itu!" Pendidik Ulung memecah keheningan. 
Siluman Ular Putih tak menyahut. Bibirnya 
tersenyum getir ke arah Pendidik Ulung. Tanpa 
diperintah pun, ia memang akan menguburkan 
mayat Pembunuh Iblis dan Arum Sari. Maka tan-
pa banyak cakap segera digalinya dua lobang ku-
bur di dalam gua itu. 
Pendidik Ulung dan Ratu  Adil pun turut 
pula membantu. Dengan pengerahan tenaga da-
lam, tak berselang lama, dua lobang kubur pun 
tercipta dalam ruangan gua itu. Pendidik Ulung 
yang dibantu Siluman Ular Putih dan Ratu Adil 
segera menguburkan mayat Arum Sari dan Pem-
bunuh Iblis.  
Ratu Adil masih sesenggukan di samping 
makam Pembunuh Iblis. Sejenak Siluman Ular 
Putih dan Pendidik Ulung hanya membiarkan sa-
ja. Namun manakala tangis si gadis makin men-
jadi. Soma jadi tak tega. Segera didekatinya Ratu 
Adil dan direngkuhnya ke dalam pelukannya. 
"Jangan menangis, Yustika, masih ada 
aku. Dan aku pun telah berjanji akan membantu 
mencari ayah kandungmu," hibur Siluman Ular 
Putih, lembut sekali di telinga Ratu Adil. 
"Benarkah?" sambut Ratu Adil sambil 
menghapus air mata. 
Siluman Ular Putih mengangguk perlahan. 
Entah karena terdorong perasaan apa, ti-
ba-tiba Ratu Adil menyandarkan kepalanya ke 
dada bidang Siluman Ular Putih. Hatinya merasa 
sejuk sekali. Apalagi merasakan pelukan hangat 
si pemuda.... 
SELESAI 
 
Segera terbit 
WASIAT KEMATIAN 
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel 
 Scan/PDF: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com