Siluman Ular Putih 24 - Wasiat Kematian(2)



Di akhir desisannya, Kakek Pikun, buru-
buru berkelebat cepat meninggalkan tempat itu 
tanpa menoleh sedikit pun ke arah Siluman Ular 
Putih dan Ratu Adil. 
"Tunggu, Kek! Kau mau ke mana?" tanya 
Siluman Ular Putih, heran juga melihat sikap Ka-
kek Pikun. 
Namun Kakek Pikun tak sudi mendengar-
kan panggilan Siluman Ular Putih. Sembari terus 
mengeluarkan gumaman tak jelas, langkahnya 
malah makin dipercepat. Hingga dalam waktu 
yang tidak lama, sosoknya pun telah berubah 
menjadi titik biru kecil di kejauhan sana. Terpak-
sa Siluman Ular Putih dan Ratu Adil menghenti-
kan langkahnya. 
"Kakek Sinting! Dikasih tahu malah kabur. 
Huh...! Ayo, Yustika! Kita pun tak perlu berlama-
lama di tempat ini. Kita harus secepatnya mene-
mukan ayah kandungmu," ajak Siluman Ular Pu-
tih, bersungut-sungut. 
Ratu Adil sendiri tak mau banyak memban-
tah. Begitu Siluman Ular Putih berkelebat, tu-
buhnya segera berkelebat menyusul. 
Matahari kembali rebah dalam rengkuhan 
cakrawala. Langit di ufuk sebelah barat telah 
berwarna merah tembaga dari sinar matahari 
yang menerpa dedaunan di ujung sebuah hutan 
kecil. Sementara angin pun bertiup semilir diiringi 
beberapa kicauan burung liar yang riuh pulang ke 
sarang. 
Dari arah barat, berlawanan dengan bula-
tan matahari yang sebentar lagi menghilang di 
kaki langit, tampak sesosok bayangan biru tengah 
berkelebat cepat menuju tepian hutan. Gerakan-
nya tampak ringan sekali laksana seekor capung! 
Srakk! Srakkk! 
Tiba di tepian hutan, mendadak sosok 
bayangan berpakaian biru itu menghentikan 
langkahnya. Sayup-sayup telinganya seperti men-
dengar suara orang tengah bernyanyi. 
Malam sebentar lagi tiba  
Pertanda kegelapan akan berkuasa 
Sebentar lagi,  
Di sana sini 
Barangkali memang sudah menjadi kodrat 
Nasib memang akan begini  
Apa gunanya keluh kesah?  
Kalau mentaripun tak berdaya 
Sosok berjubah biru kedodoran sampai lu-
tut yang memang Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met berkali-kali mengerutkan kening dengan hati 
kesal. Suara nyanyian itu seperti menyindirnya 
yang tengah kebingungan mencari pembunuh 
muridnya. 
"Sontoloyo! Bikin panas hatiku saja. Sudah 
tahu aku lagi kebingungan begini, pakai menyin-
dir lagi!" maki Kakek Pikun kesal. 
Di akhir makiannya, tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Slamet itu segera berkelebat ke arah 
datangnya suara. Dengan mengandalkan penden-
garan dan penglihatannya yang tajam, sebentar 
kemudian samar-samar Kakek Pikun telah meli-
hat seorang perempuan cantik tengah duduk me-
nyandar di bawah rindangnya sebatang pohon 
sambil mengetuk-ngetukkan gagang payung yang 
berwarna hijau ke tanah. 
Begitu berhenti berkelebat, sekali lihat Ka-
kek Pikun tahu kalau perempuan itu sangat can-
tik. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit 
putih bersih. Tubuhnya yang ramping dibalut pa-
kaian ketat warna hijau pupus. Rambutnya yang 
hitam panjang digelung ke atas, dihiasi permata-
permata indah yang juga berwarna hijau. Dia tak 
lain adalah Putri Hijau! 
Sepuluh hari yang lalu, waktu bertemu Si-
luman Ular Putih dan Ratu Adil, Putri Hijau tam-
pak masih seperti seorang gadis muda. Tapi kini 
parasnya telah berubah menjadi seorang perem-
puan cantik yang kira-kira berusia tiga puluh 
atau tiga puluh lima tahun. Sesuai perhitungan 
tanggal  bulan, sosok Putri Hijau memang akan 
bertambah tua bila bulatan-bulan di angkasa ber-
tambah besar. 
Kakek Pikun yang merasa tersindir oleh 
nyanyian Putri Hijau tak sabar lagi untuk tidak 
mendekat. Dengan sekali loncat, sosoknya yang 
bertubuh tinggi kurus telah melenting tinggi ke 
udara, dan mendarat mantap tak jauh di hadapan 
Putri Hijau. 
"Perempuan cantik berpayung hijau! Kau-
kah yang tadi menyindirku dengan nyanyianmu, 
hah?!" hardik Kakek Pikun galak sambil berkacak 
pinggang. 
Putri Hijau tersenyum samar. Wajahnya 
yang kini berupa perempuan matang tampak ma-
sih menampakkan kecantikannya. Sepasang buah 
dadanya pun membusung besar. 
"Wahai sobatku, kakek berjubah biru! Ka-
lau tak silaf mataku, bukankah aku tengah ber-
hadapan dengan Kakek Pikun dari Gunung Sla-
met?" Putri Hijau malah bertanya kalem. 
"Kuhargai matamu yang jeli, Perempuan 
Berpayung. Aku memang Kakek Pikun dari Gu-
nung Slamet. Tapi, bukan berarti aku harus 
membiarkan sindiranmu tadi!" 
"Hik hik hik...! Dari dulu kau selalu pema-
rah, Kakek Pikun. Kalau tidak marah-marah pasti 
penyakit pikunmu kambuh," goda Putri Hijau. 
"Puahhh! Peduli apa dengan omonganmu, 
Perempuan Berpayung?! Tapi menilik caramu bi-
cara, sepertinya kau mengenaliku? Siapa kau se-
benarnya, he?!" balas Kakek Pikun heran melihat 
orang mengenali dirinya. Padahal, sudah belasan 
tahun ia tak pernah turun gunung. 
"Hik hik hik...! Masa' sih kau lupa pada-
ku?" goda Putri Hijau menggemaskan. 
Kakek Pikun jadi penasaran sampai lupa 
apa tujuannya ke tempat itu. Sejenak keningnya 
diurut-urut mencoba mengingat-ingat siapa pe-
rempuan berpayung hijau di hadapannya. Namun 
sampai sejauh itu ia tak mampu mengingatnya. 
"Ah...! Peduli setan! Siapa pun kau, aku tak 
peduli! Sekarang kau... kau...! Ah, apa sih yang 
akan kukatakan? Kenapa aku jadi bingung begi-
ni? Hey, Perempuan Berpayung! Tahukah kau, di 
mana Hantu Tangan Api berada?" cerocos Kakek 
Pikun mulai kambuh penyakitnya. Semula Kakek 
Pikun ingin menyatroni orang yang menyindirnya, 
tapi sekarang malah menanyakan Hantu Tangan 
Api. Sudah pasti Putri Hijau jadi makin gelisah 
dibuatnya. 
"Dasar orang tua pikun! Kau ini bagaima-
na, sih?! Ngomong plintat-plintut tak karuan. Ba-
gaimana kau dapat menemukan Hantu Tangan 
Api kalau ngomong saja tak becus. Hik hik hik...!" 
"Tunggu!" Kakek Pikun mengangkat tan-
gannya ke atas. "Apa benar Hantu Tangan Api te-
lah tewas di tangan, er... er...! Ah! Siapa sih, na-
ma bocah gondrong itu? Ah...! Pokoknya tewas di 
tangan bocah gondrong itu?" 
"Wah...! Bagaimana aku menjawabnya? Di 
kolong langit ini, banyak sekali pemuda gondrong. 
Lalu, mana yang kau maksudkan, Kakek Pikun?" 
"Dia.... Dia, ah! Dia telah membunuh mu-
ridku...." 
"Siapa? Bocah gondrong itu lagi?" 
"Bukan! Hantu Tangan Api, tahu?" 
"Hm...," Putri Hijau mengangguk-angguk. 
"Jadi Hantu Tangan Api yang telah membunuh 
muridmu? Ya ya ya...! Pantas saja kau tampak ur-
ing-uringan begini. Tapi menurut desas-desus 
yang kudengar, Hantu Tangan Api telah tewas di 
tangan Siluman Ular Putih. Apakah Siluman Ular 
Putih yang kau maksudkan bocah gondrong itu, 
Kakek Pikun?" 
"Ah...! Kau benar, Perempuan Berpayung. 
Teman bocah gondrong itu memang pernah me-
nyebutnya Siluman Ular Putih," teriak Kakek Pi-
kun gembira. Tapi kalau kabar itu memang benar, 
lalu aku harus meminta pertanggungjawaban pa-
da siapa atas tewasnya muridku?" 
Mendadak Kakek Pikun menampakkan 
raut wajah sedih. 
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Seharusnya 
kau bersyukur menerima satu keberuntungan 
yang tersembunyi. Tidak seharusnya menyesal 
seperti ini. Untung saja hanya muridmu saja yang 
tewas. Kalau sampai kau mati, apa pikirmu masih 
dapat menikmati indahnya alam mayapada ini? 
Untuk itu, bersyukurlah! Sesungguhnya Hyang 
Widi memang tengah menginginkan sesuatu yang 
baik terhadapmu," urai Putri Hijau. Seperti biasa, 
kata-katanya selalu mengandung hikmah. 
"Puahhh! Pintar juga kau membolak-
balikkan kenyataan! Muridku mati dibunuh 
orang, kau bilang aku harus bersyukur?" 
"Begitulah caranya bila Hyang Widi meng-
hendaki kebaikan kepada hamba-hambanya yang 
sejati." 
"Puahhh! Bocah kemarin sore macam kau 
bisanya menasihati aku yang sudah tua bangka 
begini! Kau ini tahu apa dengan segala macam te-
tek bengek kehidupan dibanding aku, Bocah Bau 
Kencur?!" dengus Kakek Pikun, panas juga men-
dengar omongan Putri Hijau. 
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Enak benar 
kau memanggilku bocah bau kencur! Dari kau be-
lum lahir di muka bumi ini, aku  sudah terlebih 
dulu gentayangan! Ketahuilah sesungguhnya 
usiaku jauh lebih tua dibanding usiamu seka-
rang." 
"Ha ha ha...! Sayang sekali, cantik-cantik 
tapi berotak miring," kata Kakek Pikun tertawa 
amat melecehkan. 
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang je-
las, biar berotak miring, aku masih dapat berpikir 
waras. Tidak seperti kau, Kakek Pikun! Sudah tua 
bukannya sadar, malah tambah gila. Pikun lagi!" 
sungut Putri Hijau yang sebenarnya berusia sera-
tus tahun lebih itu. Kesal juga hatinya melihat si-
kap Kakek Pikun yang amat meremehkannya. 
"Kau...! Mustahil! Tak mungkin usiamu le-
bih tua dibanding aku!" 
"Dasar tua bangka pikun, tetap saja pi-
kun!" bentak Putri Hijau terpancing juga amarah-
nya. 
Namun, Putri Hijau cepat tersadar. Meng-
hadapi Kakek Pikun yang berwatak pemarah, tak 
seharusnya dihadapi dengan sikap keras. 
"Wahai, sobatku Kakek Pikun! Sesungguh-
nya aku berkata benar. Buat apa aku berkata 
dusta kalau memang kenyataannya demikian. 
Bertawakallah, Kakek Pikun! Niscaya kau akan 
memahami apa yang kukatakan tadi!" kata Putri 
Hijau, kembali lunak suaranya. 
"Puahhh! Sungguh pintar mulutmu bicara, 
Perempuan Berpayung. Aku jadi ingin menjajal, 
apa kau juga punya kepandaian?" teriak Kakek 
Pikun gusar bukan main. 
Di akhir teriakannya, Kakek Pikun segera 
memasang kuda-kuda. Kedua telapak tangannya 
pun telah berubah menjadi biru. 
"Jangan main-main dengan kekerasan, 
wahai sobatku Kakek Pikun! Aku tidak ingin di 
antara kita ada silang sengketa," cegah Putri Hi-
jau, lembut. 
"Jangan banyak omong! Cepat cabut senja-
tamu!" tantang Kakek Pikun sengit. 
Putri Hijau masih tenang-tenang saja di 
tempatnya. Beranjak dari tempat duduknya pun 
tidak. Hal ini tentu saja membuat amarah Kakek 
Pikun makin menggelegak. 
"Kupret! Belum puas aku kalau belum 
menggebukmu, Perempuan Berpayung! Terimalah 
seranganku! Hea!" 
Dikawal teriakan nyaring, Kakek Pikun se-
gera menyerang Putri Hijau. Kedua telapak tan-
gannya yang telah berubah jadi biru langsung di-
dorong ke depan. Saat itu pula dua larik sinar bi-
ru melesat cepat ke depan siap melabrak tubuh 
Putri Hijau! 
Wesss! Wesss! 
Putri Hijau tersenyum samar seraya bang-
kit berdiri. Melihat datangnya serangan, kedua te-
lapak tangannya disentakkan ke depan, membuat 
dua gulungan asap berwarna hijau kontan mene-
rabas ke depan memapak pukulan Kakek Pikun.  
Besss! 
Tak ada ledakan yang berarti akibat ben-
trokan barusan. Namun anehnya, tempat perta-
rungan bergetar hebat. Tubuh Kakek Pikun tersu-
rut ke belakang. Sementara tubuh Putri Hijau ter-
tahan oleh pohon di belakangnya. Tampaknya ke-
dua orang itu tak ada yang mau mengalah. 
"Hea!" 
Tiba-tiba Putri Hijau menyentakkan kedua 
telapak tangannya ke bawah, membuat dua larik 
sinar biru dari kedua telapak tangan Kakek Pikun 
yang tadi tertahan di udara kontan menukik ta-
jam. 
Blammm! 
Bumi bergetar. Tanah berpasir di tempat 
pertarungan itu membuncah ke udara. Debu-
debu beterbangan menghalangi pandangan. 
Sementara tubuh Kakek Pikun terdorong 
beberapa langkah ke belakang dengan paras pias. 
Napasnya pun tersengal. Namun kini baru dis-
adari kalau pukulan yang dilontarkan perempuan 
berpayung itu tak lain adalah pukulan 'Bias Ca-
haya Dewa' yang sangat dikenalinya. Dan itu be-
rarti ia tahu siapa pemiliknya. 
"Bodoh! Perempuan berpayung hijau itu 
adalah Putri Hijau! Huh...! Kenapa aku membuat 
silang sengketa dengannya?" ujar Kakek Pikun 
sembari menepuk-nepuk jidat. 
Begitu menyadari siapa perempuan ber-
payung hijau itu, Kakek Pikun jadi tak sabar me-
nunggu gulungan debu-debu yang masih meme-
nuhi tempat pertarungan. 
Karena terdorong rasa tak sabarnya, ujung 
jubahnya segera dikebutkan.  
Wuss! 
Seketika angin keras dari kebutan jubah 
menyambar keras ke depan. Namun sialnya, begi-
tu gulungan debu yang memenuhi tempat perta-
rungan sirna dari pandangan mata, sosok Putri 
Hijau ikut lenyap dari tempat itu. 
Kakek Pikun celingak-celinguk ke sana 
kemari, namun tetap saja tak menemukan sosok 
Putri Hijau. Hatinya penasaran sekali. Segera di-
cari Putri Hijau ke segenap penjuru dengan berke-
lebat ke sana kemari. Di saat Kakek Pikun tengah 
kebingungan mencari Putri Hijau mendadak.... 
"Edan! Bau busuk apa ini? Kenapa demi-
kian menyengat hidung?" 
"Heh...?!" 
Kakek Pikun terperangah seraya berhenti 
berkelebat. 
Kening Kakek Pikun berkerut dalam. Kepa-
lanya segera dipalingkan ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata tak jauh di sampingnya telah berdiri 
seorang lelaki renta yang tengah memandangi di-
rinya. Tubuhnya yang kurus kering dibalut pa-
kaian warna biru. Rambutnya awut-awutan tak 
terawat. Wajahnya kasar, dipenuhi daging hidup, 
memancarkan hawa membunuh. 
"Peramal Maut! Apa kau bilang tadi, hah?! 
Kau bilang tubuhku bau?!" hardik Kakek Pikun 
kasar. 
"Tubuhmu menebarkan bau busuk. Berar-
ti, alamat tak baik cepat atau lambat pasti akan 
menimpamu. Bukankah kau tua bangka dari Gu-
nung Slamet yang bergelar Kakek Pikun? Tapi 
sayang, tampaknya kau akan mendapat musibah. 
Entah di tanganku, entah di tangan orang lain," 
kata kakek berpakaian biru yang memang Peram-
al Maut, dingin. 
"Apa maksudmu, Peramal Maut? Apa uca-
panmu tadi berarti kau ingin menantangku berta-
rung?" tanya Kakek Pikun, mengkelap. 
"Tantangan telah terdengar. Pantang bagi 
Peramal Maut untuk mundur dari pertarungan!" 
tandas Peramal Maut. 
"Bagus! Sudah lama aku ingin menekuk 
sepak terjangmu. Rupanya inilah saat yang tepat 
untuk mengakhiri sepak terjangmu!" sambut Ka-
kek Pikun sengit. 
"Jangan banyak bacot, Tua Bangka Pikun! 
Ayo kita lihat, siapa yang terlebih dulu berkalang 
tanah! Kau atau aku!" 
Peramal Maut menggeram penuh kemara-
han. Sekali kakinya menghentak ke tanah, tu-
buhnya pun melenting tinggi di udara. Di udara, 
tongkat di tangan kanannya pun menyambar-
nyambar ganas. Bahkan sebelum serangan-
serangan itu sempat mengenai sasaran, terlebih 
dulu telah berkesiur angin keras disertai bunyi 
menggemuruh! 
"Hea! Hea!" 
Kakek Pikun tak kalah gertak. Dikawal 
bentakan-bentakan nyaring, tubuhnya pun segera 
melenting tinggi ke udara. Begitu serangan-
serangan tongkat Peramal Maut dihindari melon-
cat lebih tinggi, tubuhnya menukik turun. Bogem 
mentahnya pun segera melontarkan satu jotosan. 
Melihat serangan balik Kakek Pikun, Pe-
ramal Maut tak kehilangan akal. Sambil berbalik, 
dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, 
segera dipapaknya serangan dengan tongkat di 
tangan kanan. 
Prakkk! 
Tongkat di tangan Peramal Maut memang 
hancur berkeping-keping. Tapi Kakek Pikun sen-
diri merasakan buku-buku jari tangannya kese-
mutan. Tubuhnya pun tanpa ampun terjajar ke 
belakang. Namun begitu kakinya menjejak tanah, 
guru dari Pembunuh Iblis ini segera berkelebat 
cepat menerjang Peramal Maut. Kedua telapak 
tangannya yang telah berubah jadi biru segera di-
hentakkan ke depan, membuat dua larik sinar bi-
ru melesat cepat ke depan, siap melabrak tubuh 
Peramal Maut yang tadi sempat terpental dua 
tombak saat terjadi benturan. Untung saja ia 
sempat menguasai tubuhnya hingga tak sampai 
terjengkang.  
Wesss! Wesss! 
Tapi kini baru saja menjejak tanah, Peram-
al Maut sudah harus bersiap kembali menghadapi 
ancaman serangan lawan. Namun bukan Peramal 
Maut namanya kalau sampai kalah gertak. Maka 
segera dikerahkannya pukulan andalan, mem-
buat kedua telapak tangannya berubah hitam le-
gam hingga pangkal. Itulah pukulan 'Gelap 
Ngampar' yang ganas luar biasa! 
Dan ketika dua larik sinar biru dari kedua 
telapak tangan Kakek Pikun hanya tinggal satu 
tombak, Peramal Maut segera menyentakkan ke-
dua telapak tangannya. Sehingga.... 
Blarrr! 
Terjadi ledakan hebat saat bentrokan dua 
tenaga dalam tingkat tinggi terjadi. Bahkan bunga 
api langsung menyebar ke segala arah, menim-
bulkan cahaya terang. Sebagian bunga api yang 
ambyar kontan melabrak ranting-ranting pohon. 
Brakkk! Brakkk! 
Batang-batang pohon di sekitar tempat per-
tarungan bergetar hebat, lalu disusul suara 
menggemuruh sebelum akhirnya tumbang dengan 
daun-daunnya hangus terbakar! 
Sementara tubuh Kakek Pikun dan Peram-
al Maut pun sama-sama terlempar jauh ke bela-
kang. Dari sini bisa dipastikan kalau tenaga da-
lam mereka tak jauh berbeda. 
"Bangsat! Rupanya kau mengalami banyak 
kemajuan, Kakek Pikun! Tapi, ingat! Nyawamu te-
tap berada dalam genggaman tanganku!" dengus 
Peramal Maut dengan napas memburu. Parasnya 
pun tampak pias akibat bentrokan tadi. Namun ia 
merasa sudah kepalang basah. 
"Hup!" 
Setelah mengeraskan niatnya, Peramal 
Maut segera melompat bangun. Kedua telapak 
tangannya makin menghitam legam sampai ke 
pangkal siku. 
Di hadapannya, Kakek Pikun tengah me-
rangkak bangun. Paras tokoh sakti dari puncak 
Gunung Slamet ini pun terlihat pucat. Sebagian 
telapak tangannya berwarna hitam, pertanda ra-
cun akibat pukulan Peramal Maut mulai menge-
ram dalam tubuhnya. Menyadari hal itu, buru-
buru dirogohnya saku jubah mengambil dua buti-
ran kecil berwarna biru. Dan secepat itu pula se-
gera ditelannya dua butir obat berbentuk bulat 
dari sakunya. 
Pada saat yang sama, Peramal Maut, sudah 
kembali melancarkan serangan. Didahului benta-
kan-bentakan nyaring, tiba-tiba tubuhnya mener-
jang ke depan dengan kedua telapak tangan 
menghantam ke depan. 
Wesss! 
Kembali melesat dua larik sinar hitam le-
gam dari kedua telapak tangan Peramal Maut, le-
bih menggiriskan dari serangan pertama. Itu da-
pat dirasakan dari angin dingin berkesiur yang te-
rasa menusuk kulit Kakek Pikun. 
"Jangan terlalu bernafsu, Peramal Maut! 
Kau pikir mudah merobohkanku, hah?!" Kakek 
Pikun menggeretakkan gerahamnya penuh kema-
rahan. Kedua telapak tangannya pun telah beru-
bah jadi biru hingga pangkal tangan. Dan diiringi 
tenaga dalam kekuatan penuh, segera dipapak 
kedua sinar hitam milik Peramal Maut. 
Blammm! Blammm! 
Kembali terdengar satu ledakan hebat, 
membuat tempat pertarungan bergetar dahsyat 
seperti terjadi gempa. Angin akibat bentrokan itu 
memecah ke segala arah, memporak-porandakan 
apa saja yang ada di sekitar tempat pertarungan. 
Batang-batang pohon tumbang dengan ranting-
ranting hangus terbakar! 
Peramal Maut dan Kakek Pikun yang tadi 
sama-sama mengerahkan kekuatan tenaga dalam 
dengan kekuatan penuh tak dapat lagi menahan 
keseimbangan tubuh. Tanpa ampun tubuh mere-
ka terpental ke belakang, berputar-putar sebentar 
dan terbanting keras! 
Bukkk! Bukkk! 
Peramal Maut menggembor penuh kemara-
han. Darah yang mengalir di bibir dan hidungnya 
segera dibesut dengan punggung tangan. Lalu, 
dengan kemarahan meluap, lelaki sesat itu segera 
melompat bangun. Kali ini hatinya benar-benar 
tak sabar untuk segera merobohkan lawan. Maka 
segera hendak dikerahkannya pukulan andalan 
'Gada Akhirat'. Begitu tenaga dalamnya dikerah-
kan, kedua telapak tangannya pun berubah men-
jadi kuning berkilauan hingga pangkal lengan! 
"Pukulan 'Gada Akhirat'...!" desis Kakek Pi-
kun takjub. Namun hal itu bukan berarti Kakek 
Pikun harus gentar menghadapi tokoh sesat dari 
Gunung Kembang. Begitu bangkit, ia bersiap 
mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. 
"Syukur kalau kau masih ingat dengan pu-
kulanku ini. Berarti kau tidak akan penasaran bi-
la nyawamu melayang," desis Peramal Maut. 
Di akhir kalimatnya, Peramal Maut segera 
menerjang dengan kedua telapak tangan terkem-
bang ke depan. Pada jarak tertentu kedua telapak 
tangannya disentakkan ke depan. 
Bed! 
Werr! Werrr! 
Seketika meluruk dua larik sinar kuning 
berkilauan dari kedua telapak tangan Peramal 
Maut yang diiringi suara menggemuruh cepat 
menerabas ke depan! 
"Heaaa...!" 
Saat itu juga Kakek Pikun tak mau keting-
galan. Dikawal bentakan nyaring, kedua telapak 
tangannya segera dihantamkan ke depan. 
Bed! 
Wuss! Wusss! 
Dua rangkum angin keras yang disertai 
hawa dingin bukan kepalang kontan meluncur 
dari kedua telapak tangan Kakek Pikun dari Gu-
nung Slamet. Langsung dipapaknya dua sinar 
kuning milik Peramal Maut. 
Bummm! Bummm! 
Lagi-lagi terjadi ledakan hebat di udara. 
Laksana layangan putus tali, tubuh Peramal Maut 
dan Kakek Pikun sama-sama terlempar jauh ke 
belakang. 
Bukk! 
Tubuh Peramal Maut terbanting keras dan 
jatuh berguling-gulingan. Parasnya seketika pucat 
pasi! Napasnya tersengal dengan darah mengalir 
dari hidung! 
Tak jauh di hadapannya, tubuh Kakek Pi-
kun tegak kaku di tempatnya. Meski menderita 
luka dalam hebat, namun tokoh sakti dari puncak 
Gunung Slamet itu masih sanggup berdiri tegak. 
Melihat ini, hati Peramal Maut kontan ke-
cut. Nyalinya bertarung pun seketika lenyap. 
"Jangan dikira aku menerima kekalahanku 
begitu saja, Kakek Pikun! Tunggulah pembala-
sanku!" desis Peramal Maut, menahan amarah. 
Dan tiba-tiba tubuhnya berbalik, lalu segera ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Kakek Pikun tetap diam di tempatnya. Ke-
dua lututnya tampak bergetar hebat. Dan begitu 
sosok bayangan Peramal Maut menghilang di ba-
lik kerimbunan depan sana, tubuhnya pun melo-
rot ke bawah. Napasnya memburu hebat. Luka 
dalam tubuhnya pun semakin membuatnya men-
geluh berulang-ulang. 
"Tak kusangka  aku akan mendapat luka 
dalam demikian hebatnya. Kukira, aku harus se-
cepatnya menyembuhkan luka dalamku...," gu-
mam Kakek Pikun dalam hati, lalu segera duduk 
semadi. 
Luka dalam Peramal Maut akibat pertarun-
gan dengan Kakek Pikun memaksanya untuk me-
nyembunyikan diri. Hampir dua hari dua malam 
lelaki tua pandai meramal itu terus bersemadi di 
sebuah gua kecil tak jauh dari Hutan Kenjeran. 
Dan pagi ini Peramal Maut telah keluar da-
ri tempat persembunyiannya. Sejenak lelaki itu 
berdiri mematung memandangi sinar matahari 
yang hangat menyiram bumi. Kicauan beberapa 
burung liar terdengar ramai di ranting-ranting 
dahan. Sementara angin seolah malas berhem-
bus. 
Peramal Maut menghela napas dalam-
dalam. Hawa segar pagi menerobos masuk dalam 
rongga paru-parunya. Kini parasnya tak lagi pu-
cat seperti hari-hari kemarin. Ini menandakan ka-
lau luka dalamnya telah pulih seperti sediakala. 
"Jahanam! Tak kusangka tua bangka pi-
kun dari Gunung Slamet itu banyak mengalami 
kemajuan. Hampir saja aku celaka di tangannya. 
Untung saja aku dapat meloloskan diri...!" rutuk 
Peramal Maut dengan rahang mengeras. "Hm...! 
Tak mungkin aku membiarkan kekalahanku begi-
tu saja. Aku harus menuntut balas. Tapi, aku 
pun harus terlebih dulu mempertajam jurus-jurus 
andalanku. Kalau kepandaianku masih begini-
begini saja, bukan mustahil akan celaka di tan-
gan musuh-musuhku. Termasuk juga, tua bang-
ka pikun dari Gunung Slamet itu...." 
Mantap dengan tekadnya, Peramal Maut 
segera melangkah lebar menuju tanah rerumpu-
tan di depan mulut gua tempat persembunyian-
nya. Padahal kalau tahu bahwa Kakek Pikun juga 
terluka parah tentu hatinya tak panas seperti se-
karang ini. Maka tak heran bila tekadnya untuk 
memperdalam jurus-jurus silatnya makin meng-
gebu. 
Peramal Maut kini telah berdiri tegak di 
tengah-tengah tanah berumput. Kaki kirinya mu-
lai ditarik selangkah ke belakang, membentuk 
kuda-kuda kokoh. Dan diiringi bentakan nyaring, 
sosok tubuhnya yang terbungkus pakaian biru 
pun telah berkelebat cepat. Begitu cepatnya hing-
ga membentuk bayangan biru yang bergerak ma-
kin cepat luar biasa. Sambil terus berkelebat, 
tendangan dan tamparan-tamparannya menjulur 
keluar. 
"Hea! Hea!" 
Angin keras pun berkesiur kencang. Rant-
ing-ranting pohon di sekitar tempat itu ber-
goyang-goyang terkena sambaran-sambaran an-
gin. Sementara sosok Peramal Maut terus berke-
lebat, memainkan jurus-jurus andalan. 
Kira-kira lima belas jurus kemudian, Pe-
ramal Maut menghentikan gerakannya. Kini lelaki 
itu berdiri tegak di tengah-tengah tanah rerumpu-
tan kembali. Parasnya yang kasar tampak mene-
gang dengan keringat membasahi kening. 
"Rasa-rasanya jurus-jurus andalanku tak 
mengalami penurunan. Malah sebaliknya. Tapi, 
kenapa aku tidak mampu merobohkan Kakek Pi-
kun?" tanya Peramal Maut membatin. "Coba aku 
mengerahkan pukulan 'Gelap Ngampar'-ku...." 
Saat itu juga Peramal Maut segera menarik 
kaki kirinya selangkah ke belakang. Kedua tela-
pak tangannya pun telah berubah menjadi hitam 
legam, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam 
dengan kekuatan penuh. Lalu dikawal teriakan 
nyaring, kedua telapak tangannya segera dihen-
takkan ke depan. Seketika melesat dua larik sinar 
hitam legam disertai hawa dingin bukan kepalang 
yang melesat ke depan dengan suara menggemu-
ruh! 
Wesss! Wesss! 
Brakkk! 
Batang pohon yang menjadi sasaran puku-
lan 'Gelap Ngampar' milik Peramal Maut kontan 
bergoyang-goyang sebentar, sebelum akhirnya ja-
tuh berdebam! Tanah kering dan debu-debu kon-
tan berhamburan memenuhi sekitarnya. Sedang 
bagian batang pohon yang terkena hantaman 
tampak mengepulkan uap kehitaman! 
"Pukulan 'Gelap Ngampar' milikku pun tak 
mengalami kemunduran. Tapi herannya, kenapa 
aku tidak mampu merobohkan Kakek Pikun? Se-
tan! Apa aku harus menciptakan satu pukulan 
maut lagi. Hm...! Itu membutuhkan waktu la-
ma...." 
Geraham Peramal Maut bergemeletuk men-
coba menahan amarah yang menggelegak. 
"Tak mungkin aku menciptakan pukulan 
baru. Baiknya kucoba mengerahkan aji 'Gada Ak-
hirat'-ku...." 
Peramal Maut tak melanjutkan kegusaran-
nya. Terdorong rasa penasarannya yang memun-
cak, segera dikerahkannya aji 'Gada Akhirat'. Be-
gitu tenaga dalam dikerahkan, kedua telapak tan-
gannya pun berubah kuning berkilauan. Tepat 
pada hitungan kesepuluh, Peramal Maut segera 
menghantamkan kedua telapak tangannya ke de-
pan. Seketika melesat dua larik sinar kuning ber-
kilauan dari kedua telapak tangannya, langsung 
melabrak batang pohon di hadapannya. 
Brakkk! 
Seketika batang pohon itu tumbang. Sua-
ranya menggemuruh sebelum akhirnya jatuh ber-
debam. Kembali debu-debu beterbangan meme-
nuhi tempat latihan. 
Plok! Plok! Plok! 
"Hebat! Benar-benar satu pukulan hebat! 
Aku patut mengagumimu, Kakek Berbaju Biru." 
Tiba-tiba terdengar suara tepukan tangan 
yang dilanjutkan suara seorang perempuan ber-
nada memuji. Namun anehnya Peramal Maut 
yang sedang dibaluri kemarahan justru malah 
menggeram menggidikkan. 
Dengan kemarahan memuncak tokoh sesat 
dari Gunung Kembang ini segera berpaling ke 
samping. Ternyata, tak jauh di hadapannya kini 
telah berdiri seorang gadis cantik. Tubuhnya 
ramping dengan dua bukit kembarnya yang mon-
tok, terbungkus pakaian ketat warna kuning. Se-
kilas, sosok gadis cantik yang rambutnya digelung 
ke atas ini memang amat menarik. Tak heran ka-
lau Peramal Maut jadi menelan ludahnya berkali-
kali. Namun karena terdorong rasa penasaran 
terhadap Kakek Pikun. Juga karena heran meli-
hat kemunculan gadis itu yang tidak tertangkap 
pendengarannya yang tajam, hatinya jadi gusar 
bukan main. "Siapa kau?!" bentaknya. 
Pertanyaan Peramal Maut tak disahuti. 
Yang terdengar hanyalah suara tawa gadis itu. 
"Bangsat! Apa kau tidak tahu tengah ber-
hadapan dengan siapa, he?!" hardik Peramal 
Maut. 
"Aku tidak mau tahu  tengah berhadapan 
dengan siapa. Apa salahnya sih kalau aku memuji 
pukulanmu tadi?" sahut si gadis cantik, genit. 
Matanya pun sempat mengerling ke arah Peramal 
Maut. 
"Ketahuilah! Hari ini kau tengah berhada-
pan dengan Peramal Maut! Hm...! Dari bau tu-
buhmu, tampaknya kau membawa satu maksud 
tak baik. Kau pun rupanya tengah mencari seseo-
rang. Entah siapa, aku tak tahu. Yang jelas, 
mungkin hatimu akan terpaut pada orang yang 
sedang kau cari," desis Peramal Maut. Namun he-
rannya, masih sempat juga ia meramal gadis can-
tik di hadapannya. 
"Oh...! Jadi kau yang bergelar Peramal 
Maut? Pantas! Begitu aku datang kau sudah me-
ramalku. Tapi benarkah ramalanmu barusan?" 
tanya gadis itu ragu-ragu. Lalu dalam hatinya 
pun membatin, "Menurut keterangan guruku Ra-
tu Bangkai di Lembah Selaksa Kematian, aku ha-
rus hati-hati dengan tua bangka satu ini. Namun, 
aku juga tidak boleh meremehkan ramalannya 
begitu saja...." 
"Dua kali kau membuat kesalahan besar 
padaku, Cah Ayu! Apa pun alasanmu, kau harus 
mampus di tanganku," dengus Peramal Maut gu-
sar. Sebelah kakinya sudah ditarik ke belakang, 
membentuk kuda-kuda yang kokoh. Siap melon-
tarkan serangan maut. 
"Tunggu, Peramal Maut! Kau bilang, dua 
kali aku membuat kesalahan padamu. Bisakah 
kau menjelaskannya?" cegah gadis itu seraya 
mengangkat tangannya. 
"Huh...!" Peramal Maut mendengus gusar. 
"Pertama! Kau datang kemari tanpa seizinku. Ma-
lah pakai menghina pukulanku segala. Kedua, 
kau meragu-ragukan ramalanku. Apakah itu bu-
kan satu alasan kuat untuk melenyapkanmu?" 
"Kau salah, Peramal Maut. Aku sama sekali 
tak menghina pukulan mautmu tadi. Juga, aku 
tak meragu-ragukan ramalanmu tadi." 
"Kau boleh saja berdalih padaku, Cah Ayu. 
Namun tetap saja aku tak membiarkanmu hidup." 
"Sayang sekali. Sebenarnya aku kemari 
bukan bermaksud bermusuhan denganmu. Aku 
hanya ingin numpang tanya, apakah kau men-
genal seseorang yang bergelar Siluman Ular Pu-
tih?" 
Peramal Maut terperangah kaget. Kedua te-
lapak tangannya yang hendak melancarkan se-
rangan, perlahan-lahan diturunkan kembali. Lalu 
dipandanginya gadis cantik di hadapannya tajam-
tajam. 
"Apa maksudmu mencari Siluman Ular Pu-
tih, Cah Ayu? Apakah kau sahabatnya?" 
"Hik hik hik...! Kali ini pun kau salah lagi, 
Peramal Maut. Aku sama sekali bukan sahabat 
Siluman Ular Putih. Aku hanya ingin menyelidiki 
sepak terjangnya. Benarkah Siluman Ular Putih 
yang akhir-akhir ini membuat gempar dunia per-
silatan?" sahut si gadis mengikik. 
"Kalau memang benar, kau mau apa?" 
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Pe-
ramal Maut! Gelarku, Dewi Bunga Bangkai. Aku 
mendapat perintah guruku Ratu  Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian untuk menghentikan 
sepak terjang Siluman Ular Putih!" sahut gadis 
cantik yang ternyata bergelar Dewi Bunga Bang-
kai tegas. Sepasang matanya pun tak lagi ramah 
seperti tadi, melainkan sarat akan kekejian di ba-
lik kecantikan wajahnya. 
Mendengar penuturan gadis cantik di ha-
dapannya yang mengaku murid Ratu Bangkai da-
ri Lembah Selaksa Kematian, tak urung Peramal 
Maut jadi terkesiap. 
"Bagus! Siluman Ular Putih memang patut 
dilenyapkan dari muka bumi. Sudah berkali-kali 
ia selalu menghalang-halangi sepak terjangku. 
Meski demikian, bukan berarti kau luput dari 
tangan mautku, Dewi Bunga Bangkai!" sahut Pe-
ramal Maut dingin. 
"Jadi? Kau tetap ingin bersilang sengketa 
denganku? Bagus! Majulah kalau itu yang kau in-
ginkan!" tantang Dewi Bunga Bangkai. 
"Bangsat! Lagakmu pongah sekali, Dewi 
Bunga Bangkai! Berhubung kita sama-sama satu 
golongan, aku tak ingin membunuhmu. Tapi, aku 
pun patut memberi pelajaran padamu!" 
"Jangan banyak omong, Peramal Maut! 
Aku sudah kebal dengan segala ancaman!" 
"Setan! Makanlah bogem mentahku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Peramal Maut 
segera menerjang ganas Dewi Bunga Bangkai. 
Kedua telapak tangannya yang telah berubah 
menjadi hitam legam pun segera dihentakkan ke 
depan, membuat dua larik sinar hitam legam me-
lesat dari kedua telapak tangannya disertai angin 
keras berkesiur.  
Werrr! Werrr! 
Di depannya, Dewi Bunga Bangkai hanya 
tersenyum sinis. Namun manakala serangan Pe-
ramal Maut hanya tinggal satu tombak, tangan-
nya segera dikibaskan. 
Bed! Bed! 
Werr...! 
Entah bagaimana Dewi Bunga Bangkai me-
rogoh sakunya, yang jelas tahu-tahu meluruk 
bunga-bunga bangkai menyambut serangan. 
Lima bunga bangkai berwarna kuning yang 
terlepas dari tangan Dewi Bunga Bangkai terus 
melesat cepat. Sebelum terjadi bentrokan, terlebih 
dahulu berkesiur angin keras yang disertai bau 
busuk bukan main. 
Teppp! Teppp! 
Begitu terjadi bentrokan dengan sinar-sinar 
hitam milik Peramal Maut, lima bunga bangkai 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tampak tertahan 
sebentar di udara. Akibatnya, sinar-sinar hitam 
legam itu ambyar. Sebagian sinarnya menukik ke 
bawah, menghantam tanah. Sebagian lainnya 
menghantam batang-batang pohon di sekitar 
tempat pertarungan. 
Sementara lima bunga bangkai dari murid 
Ratu Bangkai pun luruh ke tanah. Hebatnya, ta-
nah rerumputan di  tempat pertarungan kontan 
berubah kuning disertai kepulan uap tipis kekun-
ing-kuningan! 
Peramal Maut lagi-lagi terkesiap kaget. 
Sungguh tak disangka sama sekali kalau bunga-
bunga bangkai Dewi Bunga Bangkai itu mengan-
dung racun keji. 
"Bagus! Rupanya kau memang murid ne-
nek geblek dari Lembah Selaksa Kematian itu, 
Cah Ayu!" 
Dewi Bunga Bangkai tak menyahut. Me-
nyadari bunga-bunga bangkainya luruh ke tanah, 
hatinya jadi geram bukan main. Padahal, jarang 
sekali bunga bangkainya menemui kegagalan. 
Namun kali ini, ternyata Peramal Maut mampu 
mematahkannya. 
"Tak usah banyak omong, Peramal Maut! 
Kau dulu yang membuka silang sengketa ini. Pan-
tang bagiku untuk mundur dari pertarungan se-
belum ada yang modar!" 
"Memang itulah yang kuinginkan, Dewi 
Bunga Bangkai! Kalau saja tidak mengingat ka-
wan segolongan, pasti kau sudah mampus di tan-
ganku. Sekarang, terimalah pukulan 'Gelap 
Ngampar'-ku! Hea!" 
Lagi-lagi Peramal Maut berteriak nyaring. 
Sebelum gema teriakannya hilang, kedua telapak 
tangannya sudah mendorong ke depan. Seketika, 
dua larik sinar hitam legam melesat kembali. 
Wesss! Wesss! 
Dewi Bunga Bangkai tak ingin kalah unjuk 
gigi. Tak tanggung-tanggung, segera diraupnya 
sepuluh buah bunga bangkai dari kantung kecil 
yang menggantung di pinggang. Lalu disertai te-
naga dalam penuh, tangannya segera dikibaskan, 
membuat bunga-bunga bangkai kembali meluruk. 
Werrr! Werrr! 
Teppp! Teppp! 
Seperti kejadian sebelumnya, sepuluh bun-
ga bangkai dari tangan Dewi Bunga Bangkai ter-
tahan di udara. Namun sejurus kemudian, kese-
puluh bunga bangkai itu kontan berhamburan ke 
samping. Bersamaan dengan itu, dua larik sinar 
hitam legam milik Peramal Maut pun ambyar 
memporak-porandakan apa saja yang ada di tem-
pat pertarungan! 
Sementara tubuh Peramal Maut sendiri 
tampak terjengkang ke belakang dengan paras 
pucat pasi. Napasnya terdengar memburu. Cepat 
lelaki tua ini melompat bangun. Darah segar yang 
membasahi hidung segera dibesut dengan pung-
gung tangan. 
Jauh di depan sana, tubuh Dewi Bunga 
tampak masih berjumpalitan di udara. Namun 
tanpa diduga-duga sama sekali, tiba-tiba tangan-
nya kembali mengibas, melontarkan kembali 
bunga-bunga bangkai senjata andalannya ke arah 
Peramal Maut. 
Peramal Maut terkesiap bukan main. 
Sungguh tak disangka kalau akan mendapat se-
rangan demikian mendadaknya. Tanpa pikir pan-
jang, tubuhnya segera dibuang ke samping. 
Namun, serangan bunga-bunga bangkai 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai tak cukup sam-
pai di situ. Laksana air hujan, puluhan bunga 
bangkai itu terus mengejar sosok Peramal Maut 
yang tengah sibuk menyelamatkan diri. 
Werrr! Werrr! 
"Bajingan! Kau kira gampang merobohkan-
ku, hah?! Tunggulah pembalasanku nanti, Gadis 
Bengal!" Peramal Maut masih saja sibuk berjum-
palitan di udara untuk menyelamatkan sepotong 
nyawanya. Kali ini tubuhnya sengaja dilempar 
jauh ke samping, hingga serangan-serangan Dewi 
Bunga Bangkai terus menerabas ke belakang, 
menghantam batang-batang pohon di belakang-
nya.  
Classs! Classs! 
Batang-batang pohon di belakang Peramal 
Maut kontan berlobang, mengepulkan asap keku-
ningan yang menebarkan bau busuk bukan kepa-
lang! 
"Jahanam! Kali ini aku tak segan-segan lagi 
untuk membunuhmu, Dewi Bunga Bangkai! Jan-
gan dikira aku takut mendengar nama besar gu-
rumu! Makanlah aji 'Gada Akhirat'-ku! Hea!" 
Diiringi teriakannya yang mengguntur, Pe-
ramal Maut segera mendorongkan kedua telapak 
tangannya ke depan. Seketika dari kedua telapak 
tangannya telah berubah menjadi kuning berki-
lauan menyemburat cahaya kuning berkilauan 
yang disertai hawa dingin bukan main! 
Wesss! Wesss! 
Dewi Bunga Bangkai menggeram penuh 
kemarahan. Hatinya benar-benar penasaran me-
lihat hasil serangannya yang hanya menghambur-
hamburkan bunga bangkai senjata andalan. Bah-
kan sedikit pun tak mampu melukai tubuh lawan. 
"Jangan banyak membuat lagak, Peramal 
Maut! Kau kira aku takut ancamanmu, he?!" Dewi 
Bunga Bangkai menjengekkan hidungnya. 
Di akhir kalimatnya, murid Ratu Bangkai 
dari Lembah Selaksa Kematian ini segera bersiap 
untuk mengerahkan pukulan andalan. Begitu te-
naga dalamnya dikerahkan, kedua telapak tan-
gannya pun berubah kuning hingga pangkal len-
gan. Lalu diiringi teriakan merobek angkasa, ke-
dua telapak tangannya segera didorong ke depan 
memapak pukulan Peramal Maut. 
Wesss! Wessss! 
Blammm! Blammm! 
Hebat bukan main bentrokan dua tenaga 
dalam yang terjadi. Seketika tempat pertarungan 
dironai cahaya kuning yang berkeredepan, sebe-
lum akhirnya ambyar. Sementara di sana-sini 
menyebar bunga api yang meletup-letup sebelum 
akhirnya menghanguskan rumput-rumput di se-
kitar pertarungan! 
Peramal Maut berteriak menyayat saat tu-
buhnya tanpa ampun terbanting keras. Ia meng-
geliat-geliat sebentar, lalu segera melompat ban-
gun dengan kemarahan menggelegak. Kini tam-
pak betapa piasnya wajah kasar lelaki tua itu. 
Napasnya pun memburu dengan darah segar 
membasahi hidung dan sudut-sudut bibir! 
Tak jauh di hadapannya, Dewi Bunga 
Bangkai tengah mengurut  dadanya yang terasa 
mau jebol akibat bentrokan tadi. Parasnya pun 
pucat pasi, pertanda juga mengalami luka dalam 
yang cukup lumayan. Untuk sesaat, gadis itu ma-
sih ngejoprak di tanah. Lalu, tangannya cepat 
mengambil butiran-butiran kecil berwarna kuning 
di saku dan menelannya. 
"Tak kusangka kau punya sedikit kepan-
daian, Dewi Bunga Bangkai. Tapi, tetap saja per-
cuma. Jangankan menghadapi gadis kemarin sore 
macam kau. Menghadapi gurumu si tua bangka 
dari Lembah Selaksa Kematian itu, aku pun tak 
gentar!" 
"Sungguh nyaring bicaramu, Peramal 
Maut! Apa matamu buta? Menghadapiku saja, 
kau masih kewalahan. Apalagi menghadapi guru-
ku? Huh! Bahkan mendengar nama besarnya sa-
ja, mungkin kau sudah lari terbirit-birit!" ejek 
Dewi Bunga Bangkai sengit. 
"Keparat! Jangan salahkan kalau aku ter-
paksa mencabut nyawamu, Gadis! Bersiap-
siaplah menerima kematianmu hari ini!" dengus 
Peramal Maut berang. 
Dewi Bunga Bangkai tersenyum angkuh. 
Lalu sekali menggerakkan tubuhnya, murid Ratu 
Bangkai itu telah melompat bangun. 
Di hadapannya, Peramal Maut yang merasa 
penasaran belum mampu merobohkan Dewi Bun-
ga Bangkai merasa gusar bukan main. Berkali-
kali mulutnya menggereng penuh kemarahan. 
Pandang matanya pun tampak demikian beringas, 
seolah-olah ingin melumat gadis cantik di hada-
pannya lewat pandangan matanya. 
"Majulah, Tua Bangka Keparat! Jangan ba-
nyak mengumbar omong!" tantang Dewi Bunga 
Bangkai Sengit. 
Geraham Peramal Maut bergemeletuk pe-
nuh kemarahan. Kedua telapak tangannya tam-
pak kian kuning berkilauan hingga pangkal len-
gan, pertanda telah mengerahkan tenaga dalam 
penuh. 
Sementara Dewi Bunga Bangkai pun tak 
mau kalah gertak. Segera dipersiapkannya puku-
lan andalan. Namun belum sempat ada yang me-
nyerang.... 
"Tahan serangan!" 
10 
Peramal Maut mendengus penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang mencorong beringas 
segera dialihkan ke arah seorang laki-laki bertu-
buh tinggi besar berjubah besar warna kuning 
yang telah berdiri di sampingnya. 
"Gembong Kenjeran...!" desis Peramal Maut 
kesal bukan main. Si tua ini masih mengira kalau 
laki-laki tinggi besar yang kini telah berdiri di ha-
dapannya adalah Gembong Kenjeran yang dulu. 
Bukan Gembong Kenjeran yang telah berguru pa-
da Eyang Pamekasan. 
Dewi Bunga Bangkai pun menjengekkan 
hidungnya. Seperti Peramal Maut, sinar matanya 
pun amat memandang remeh Gembong Kenjeran. 
"Mau apa kau mencampuri urusan kami, 
hah?!" bentak Dewi Bunga Bangkai galak. 
"Aku tidak akan banyak omong. Aku hanya 
minta kalian untuk menjadi pembantuku. Seka-
rang juga, cepat cari Siluman Ular Putih dan Pe-
nyair Sinting!" kata Gembong Kenjeran tak kalah 
gertak. 
Peramal Maut dan Dewi Bunga Bangkai 
tertawa bergelak mendengar perintah Gembong 
Kenjeran. Bagi mereka Gembong Kenjeran tak 
ubahnya anak rusa menggertak harimau. 
"Enak saja kau main perintah! Memangnya 
kau ini siapa, hah?!" hardik Dewi Bunga Bangkai. 
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, 
Cah Ayu. Namun berhubung aku membutuhkan 
mu, aku tak mungkin membunuhmu. Tapi setiap 
saat, kau harus sudi melayaniku!" 
"Puahhh! Enak benar caramu ngomong, 
Setan! Bicaramu boleh sebakul. Tapi kepan-
daianmu  perlu diuji dulu!" ejek Dewi Bunga 
Bangkai. 
"Aku tak perlu tahu itu semua. Yang jelas, 
mulai sekarang juga kalian semua harus menjadi 
pembantu-pembantuku yang setia!" tandas Gem-
bong Kenjeran. 
"Tundukkan dulu kami berdua, baru kami 
mengakuimu sebagai pimpinan," tantang Dewi 
Bunga Bangkai. 
"Kau mundur, Dewi Bunga Bangkai! Aku 
sendiri sanggup meremukkan batok kepala ma-
nusia pongah ini!" sela Peramal Maut, seraya ma-
ju beberapa langkah ke depan. 
"Kau akan menyesal dengan ucapanmu, 
Peramal Maut. Kenapa tidak kalian berdua maju 
barengan saja?" 
"Keparat! Justru kaulah yang akan me-
nyesal telah bertemu Peramal Maut!" putus Pe-
ramal Maut. 
Di ujung akhir kalimatnya Peramal Maut 
yang memang sebenarnya sedang dibalur kema-
rahan memuncak segera menerjang Gembong 
Kenjeran. Tidak tanggung-tanggung segera dike-
rahkannya pukulan andalannya 'Gelap Ngampar'. 
Maka begitu kedua telapak tangannya berubah 
menjadi hitam legam, segera dihentakkan ke de-
pan. 
"Hea!" 
Wesss! Wesss! 
Gembong Kenjeran menjengekkan hidung. 
Angkuh. Sedikit pun hatinya tidak gentar meng-
hadapi serangan lawan. Malah lelaki ini sempat 
mengumbar suara tawanya yang bergelak. Dan 
ketika jarak serangan Peramal Maut hanya tinggal 
beberapa jengkal dari tubuhnya, segera dikerah-
kannya pukulan andalan 'Pelebur Bumi' yang ba-
ru saja dipelajarinya dari Eyang Pamekasan. 
"Makanlah pukulan 'Pelebur Bumi'-ku! 
Hea!" 
Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso 
segera menghentakkan kedua telapak tangannya 
ke depan, membuat dua larik sinar hitam melesat 
dari kedua telapak tangannya. 
Bummm! Bummm! 
Terdengar ledakan hebat saat dua larik si-
nar hitam milik Gembong Kenjeran berbenturan 
dengan sinar hitam milik Peramal Maut. Seketika 
bumi berguncang hebat laksana diguncang pra-
hara! Sebagian tanah di tempat pertarungan ter-
bongkar, membuat debu-debu beterbangan ke 
udara! 
Dan akibat bentrokan tadi tubuh Peramal 
Maut kontan terlempar jauh ke belakang. Lelaki 
tua itu berputar-putar sebentar, lalu terbanting 
keras! 
Bukkk! 
Peramal Maut mengerang tertahan. Tu-
buhnya menggeliat-geliat di tanah. Namun untuk 
melompat bangun sudah tak berdaya lagi. Yang 
bisa dilakukannya menggapai-gapaikan tangan ke 
 
udara, lalu kembali ngejoprak ke tanah dengan 
napas tersengal! 
"Ha ha ha...! Kepandaian hanya sebatas 
dengkul, berani jual lagak di hadapan Gembong 
Kenjeran! Memalukan!" ejek Gembong Kenjeran 
tertawa puas melihat hasil serangannya. 
Di tempatnya, Dewi Bunga Bangkai jadi 
kecut nyalinya. Sungguh tidak disangka kalau Pe-
ramal Maut akan roboh di tangan Gembong Ken-
jeran hanya sekali gebrak saja. 
"Bedebah! Rupanya lelaki bernama Gem-
bong Kenjeran memiliki tenaga dalam tinggi seka-
li. Hm...! Benar-benar tak kusangka. Sekarang, 
apakah aku harus lari meninggalkan tempat per-
tarungan? Tidak! Pantang bagiku lari dari tempat 
pertarungan sebelum menjajal kehebatan la-
wan...," tegas Dewi Bunga Bangkai dalam hati. 
"Sekarang giliranmu, Cah Ayu! Apa kau 
punya nyali untuk menghadapiku?" tuding Gem-
bong Kenjeran. 
Kaki Dewi Bunga Bangkai tersurut setin-
dak ke belakang. Hatinya pun sempat ciut men-
dengar bentakan Gembong Kenjeran. 
"Apa gunanya aku belajar silat kalau takut 
menghadapi lawan? Tak ada pilihan lain, aku in-
gin menjajal kehebatannya dengan menggunakan 
bunga-bunga bangkaiku...," kata batin si gadis. 
"Ha ha ha...! Rupanya kau sudah kehilan-
gan nyali untuk menghadapiku, Cah Ayu? Ru-
panya kau sudah tidak sabar untuk menemaniku 
tidur, he?" kata Gembong Kenjeran dengan tawa 
amat melecehkan Dewi Bunga Bangkai. 
"Meski kepandaianmu setinggi langit, jan-
gan dikira aku takut menghadapimu, Gembong 
Kenjeran! Majulah kalau  kau ingin merasakan 
kehebatan bunga-bunga bangkaiku!" bentak Dewi 
Bunga Bangkai penuh kemarahan. 
Sekali menggerakkan tangan di tangan 
Dewi Bunga Bangkai telah tergenggam sepuluh 
bunga bangkai yang baru saja diambil dari kan-
tung kecil yang menggantung di pinggang. 
"Boleh! Aku memang ingin menjajal sebe-
rapa tinggi kepandaianmu, Cah Ayu. Tapi lebih 
dari itu, sebenarnya aku ingin sekali melihat apa 
kau juga hebat di atas ranjang?" 
"Jaga bacotmu, Gembong Kenjeran! Kau 
pikir mudah merobohkanku, he?!" hardik Dewi 
Bunga Bangkai, geram bukan main. 
Saat  itu juga, murid Ratu Bangkai dari 
Lembah Selaksa Kematian ini segera menerjang 
ganas. Jari-jari tangannya yang memegang sepu-
luh bunga bangkai segera dikibaskan ke depan, 
mengarah ke bagian-bagian yang mematikan di 
tubuh Gembong Kenjeran alias Gendon Prakoso. 
Werrr! Werrr! 
Sepuluh bayangan kuning yang melesat 
dari tangan Dewi Bunga Bangkai disertai bau bu-
suk bukan kepalang mengancam keselamatan 
Gendon Prakoso. 
Tanpa ingin membuang-buang waktu, 
Gembong Kenjeran segera mengerahkan aji 
'Panglarut Banyu Putih' andalan Eyang Pameka-
san. Memang Gembong Kenjeran harus cepat me-
robohkan gadis itu tanpa harus melukainya. Ma-
ka ia pun hanya mengerahkan sebagian tenaga 
dalamnya. 
"Ha ha ha.... Heaaahh...!" 
Diiringi tawanya yang bergelak, Gembong 
Kenjeran segera menyambuti serangan Dewi Bun-
ga Bangkai dengan mendorongkan kedua telapak 
tangan ke depan. Saat itu pula melesat dua kabut 
tebal berwarna putih berkilauan memapak seran-
gan-serangan Dewi Bunga Bangkai.  
Besss! 
Tak ada bunyi ledakan yang berarti. Na-
mun hebatnya, sepuluh bunga bangkai Dewi 
Bunga Bangkai kelihatan tertahan di udara dan 
segera luruh ke tanah. Sedang dua gulungan ka-
but putih dari kedua telapak tangan Gembong 
Kenjeran terus mendesak ke depan, langsung 
membungkus tubuh Dewi Bunga Bangkai! 
"Hap hap hap...!" 
Dewi Bunga Bangkai megap-megap tak ka-
ruan. Sekujur tubuhnya menggigil hebat. Berkali-
kali dicobanya untuk keluar dari gulungan kabut 
putih yang membungkus tubuhnya. Namun 
sayang, ia tak kuasa. Malah gulungan kabut pu-
tih itu makin kuat membungkus tubuhnya! 
"Ha  ha ha...! Percuma saja melawanku, 
Cah Ayu. Sekarang kalian berdua harus takluk di 
bawah perintahku. Kau, Peramal Maut! Dan kau 
Dewi Bunga Bangkai! Sekarang kalian berdua 
adalah bawahanku! Paham?!" hardik Gembong 
Kenjeran. 
Peramal Maut diam tak menyahut. 
Dewi Bunga Bangkai yang baru saja terbe-
bas dari gulungan kabut hanya megap-megap un-
tuk beberapa saat. Tampak parasnya telah beru-
bah pucat pasi. Namun jauh masih beruntung di-
banding nasib Peramal Maut. 
Meski demikian, gadis itu tetap tak mau 
menggerakkan tubuhnya. Entah kenapa tubuh-
nya seperti kaku tak dapat digerakkan! 
Melihat keadaan Dewi Bunga Bangkai yang 
sekujur tubuhnya masih terbungkus kabut putih, 
Gembong Kenjeran segera menarik telapak tan-
gannya ke belakang. Mengagumkan! Kabut putih 
yang menyelimuti tubuh Dewi Bunga Bangkai 
kontan sirna. Sedangkan murid Ratu Bunga 
Bangkai dari Lembah Selaksa Kematian itu tetap 
kaku di tempatnya! 
Kini Gembong Kenjeran melangkah mende-
kati Peramal Maut yang masih mengerang akibat 
luka dalamnya. Tanpa banyak membuang-buang 
waktu, segera ditotoknya beberapa jalan darah di 
tubuh lelaki tua itu 
Tuk! Tukkk! 
Peramal Maut mengerang tertahan. Seka-
rang, peredaran darahnya terasa mengalir seperti 
semula. Hanya tinggal dadanya saja yang masih 
terasa sesak. 
"Cepat telan obat ini!" ujar Gembong Kenje-
ran, segera menyodorkan dua butiran kecil ber-
warna kuning ke hadapan Peramal Maut. 
Peramal Maut sejenak memperhatikan le-
laki yang sebenarnya bernama Gendon Prakoso 
itu. Melihat pandang mata Gembong Kenjeran 
yang beringas, buru-buru diraihnya  dua butiran 
kuning dan ditelannya. 
"Nah! Kau telah menelan obat itu. Seka-
rang, kau harus secepatnya mencari Siluman Ular 
Putih dan Penyair Sinting. Kalau tak kau kerja-
kan, dalam jangka empat puluh hari kau akan 
mati dengan cara amat mengerikan. Kau tahu! 
Obat yang kau telan tadi adalah racun ganas yang 
perlahan-lahan akan menggerogoti ususmu! Ka-
lau kau tak dapat mencari keterangan tentang Si-
luman Ular Putih dan Penyair Sinting dalam wak-
tu yang kuberikan, jangan harap aku akan mem-
berikan obat pemunahnya!" urai Gendon Prakoso, 
menyentak perasaan. 
Paras Peramal Maut kontan pias. Ia lang-
sung mengutuk dirinya yang terlalu bodoh, hing-
ga dapat dikadali Gembong Kenjeran yang mem-
berikan racun amat mematikan. Namun untuk 
menolak perintah jelas terlambat. Tak ada pilihan 
lain. Peramal Maut pun akhirnya menuruti. 
"Lalu, di mana aku harus melaporkan ka-
lau aku sudah mendapat keterangan mengenai 
Siluman Ular Putih dan Penyair Sinting?" tanya 
Peramal Maut dengan napas tersengal. 
"Kau bisa menemuiku di Hutan Kenjeran!" 
"Baik." 
"Nah! Kalau sudah tahu, sekarang berang-
katlah! Kutunggu kedatanganmu di Hutan Kenje-
ran," ujar Gembong Kenjeran seraya mengibaskan 
tangan. 
Peramal Maut cepat melompat bangun. Pa-
dahal, hatinya mencaci maki habis-habisan. Na-
mun karena tak ada pilihan lain, tubuhnya segera 
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu tanpa 
menoleh lagi ke belakang. 
"Sekarang kau pun harus menjalankan pe-
rintahku, Dewi Bunga Bangkai," lanjut Gembong 
Kenjeran, lalu cepat melangkah mendekati tubuh 
Dewi Bunga Bangkai yang masih tegak kaku. 
"Tugas apa yang akan kau berikan padaku, 
Gembong Kenjeran?" tanya Dewi Bunga Bangkai, 
memendam gelegak amarah. 
"Tugas yang pertama, kau harus melayani-
ku! Sedang tugas yang kedua, nanti bisa menyu-
sul belakangan!" 
'Tapi aku sedang terluka...." 
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya, kau harus 
melayaniku!" sergah Gembong Kenjeran cepat. 
Di ujung kalimatnya, Gembong Kenjeran 
merengkuh bahu Dewi Bunga Bangkai. Tapi di-
am-diam, lelaki ini mengerahkan tenaga dalam 
untuk memulihkan tubuh Dewi Bunga Bangkai 
yang membeku. 
Setelah tubuh Dewi Bunga Bangkai sudah 
dapat bergerak leluasa, Gembong Kenjeran segera 
merebahkan ke rerumputan. Tangan-tangannya 
yang kekar pun mulai sibuk menjamah sekujur 
tubuh gadis yang memang berwatak jalang. La-
lu.... 
11 
Hampir dua hari dua malam, Kakek Pikun 
pun bersemadi untuk menyembuhkan luka da-
lamnya. Masih di bekas tempat pertarungannya 
dengan Peramal Maut, sepagi ini Kakek Pikun 
masih terus duduk bersemadi. Dari terangnya si-
nar matahari, tampak wajahnya tak lagi pucat se-
perti dua hari lalu. Jalan pernapasannya pun mu-
lai teratur. Ini jelas menandakan kalau luka da-
lamnya telah sembuh. 
"Syukur. Akhirnya luka dalamku sembuh 
juga...," desah Kakek Pikun dalam hati. 
Perlahan-lahan lelaki tua pikun ini mem-
buka kelopak mata. Agak silau matanya manaka-
la sinar matahari tepat menyinari wajahnya. Bu-
ru-buru Kakek Pikun meletakkan sisi telapak 
tangannya di atas kening. 
"Menyesal sekali aku tak dapat menghenti-
kan sepak terjang Peramal Maut. Tapi, apa boleh 
buat? Peramal Maut bukanlah tokoh sembaran-
gan. Aku mesti memperdalam ilmu silatku kalau 
ingin menghentikan sepak terjangnya...," lanjut 
Kakek Pikun, membatin. 
Kakek Pikun berniat menggeser duduknya. 
Namun ketika hendak beringsut, tiba-tiba perut-
nya terasa melilit sekali. Memang, sudah dua hari 
dua malam perutnya belum diisi. 
Kakek Pikun sejenak clingak-clinguk ke 
sana kemari, lalu segera melompat bangun. Tu-
juannya yang pertama ingin sekali mencari bahan 
makanan untuk mengganjal perutnya. 
"Pagi-pagi begini enaknya makan daging 
kelinci panggang. Tapi, di mana aku dapat mene-
mukan kelinci...?" 
Lelaki tua pikun ini masih clingak-clinguk 
di tempatnya. Matanya yang kelabu pun ikut jela-
latan ke sana kemari, memperhatikan semak-
semak belukar. Tapi sayang, apa yang diinginkan 
tak terlihat. Jangankan seekor kelinci. Seekor 
semut pun tak kelihatan di tempat itu. 
"Tobil! Ke mana aku harus menemukan ke-
linci-kelinci itu. Wah...! Kalau begini caranya, aku 
bisa menunda seleraku untuk menyantap daging 
kelinci panggang. Tapi, tunggu dulu. Tak baik ka-
lau belum berusaha. Yah...!  Baiknya, aku me-
mang harus mencarinya dulu. Kalau tak dapat, 
baru makan seadanya," putus Kakek Pikun ak-
hirnya. 
Saat itu juga Kakek Pikun segera berkele-
bat menyusuri hutan itu untuk mendapatkan ke-
linci. Berkali-kali lelaki ini keluar masuk semak-
semak belukar, namun tetap saja tak menemukan 
binatang buruannya. 
"Yah...! Kalau begini caranya, tak ada pili-
han lain. Terpaksa aku harus makan seadanya. 
Buah-buahan juga bolehlah...." 
Sejenak Kakek Pikun mendongakkan kepa-
la ke atas. Matanya pun mulai sibuk memperha-
tikan buah-buahan di atas. Dan saat tengah me-
milih-milih, tiba-tiba hidungnya mencium bau 
wangi seperti bau daging kelinci panggang. Seke-
tika hidungnya kembang kempis. Kepalanya pun 
dipalingkan ke camping mencari-cari asal bau ba-
rusan. 
"Ah...! Di sana! Baiknya aku ke sana saja. 
Siapa tahu orang yang sedang memanggang dag-
ing kelinci sudi membagi barang sepotong. Itu 
kan lebih menyenangkan dibanding makan buah-
buahan. Tapi, kalau tidak mau memberi bagai-
mana?" Kakek Pikun mendadak ragu-ragu. "Ah...! 
Masa bodoh! Pokoknya aku harus mendapat dag-
ing kelinci itu. Kalau keberatan, aku akan me-
rayunya. He he he...." 
Lelaki tua ini tak ingin lagi berlama-lama 
berkata sendiri. Terdorong keinginannya untuk 
menyantap daging kelinci bakar, tubuhnya segera 
berkelebat ke arah datangnya bau daging kelinci 
tadi. 
Tak selang berapa lama, akhirnya Kakek 
Pikun pun menemukan tempat yang dimaksud. 
Dari balik semak belukar lelaki ini mengintip. 
Ternyata, orang yang tengah memanggang daging 
kelinci tak lain adalah Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Tampak dua anak muda itu tengah 
asyik menyantap daging kelinci sambil menung-
gui bagian yang belum matang. 
Melihat siapa yang tengah memanggang 
daging kelinci, langsung saja Kakek Pikun berso-
rak gembira. Tanpa banyak pikir, lelaki tua ini se-
gera  melompat keluar dari semak belukar, bagai 
bocah menemukan mainan baru. 
"Apa benar, sobat-sobat mudaku! Tak ku-
sangka kita akan bertemu di sini, ya?" sapa Ka-
kek Pikun. 
Sambil tersenyum-senyum mata tua si ka-
kek tak henti-hentinya memperhatikan Siluman 
Ular Putih dan Ratu Adil yang tengah menyantap 
daging kelinci panggang. Tanpa sadar air liurnya 
hampir menetes. 
"Oh...! Rupanya kau, Kakek Pikun! Ayo si-
ni, Kek! Kenapa malu-malu? Apa tidak ingin ikut 
menikmati daging kelinci?" sambut Ratu Adil ra-
mah. Senyumnya pun ikut terkembang di bibir. 
"Mau! Mauuu...!" kata batin Kakek Pikun, 
semangat. 
"Ayo, Kek! Jangan malu-malu! Nanti kebu-
ru disikat habis temanku yang rakus ini!" tuding 
Ratu Adil ke arah Siluman Ular Putih. 
"Oh...! Jangan dihabiskan!" teriak Kakek 
Pikun tak dapat menyembunyikan perasaan. Ma-
lah dengan langkah buru-buru segera didekatinya 
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih. Ia duduk men-
jejeri Siluman Ular Putih dan tangannya langsung 
memotes paha daging kelinci panggang. 
Ratu Adil dan Siluman Ular Putih yang me-
lihat ulah Kakek Pikun hanya tersenyum-senyum 
saja. 
Tanpa malu-malu lagi, Kakek Pikun segera 
menyantap paha kelinci di tangannya lahap. Ma-
lah, lebih lahap dibanding Siluman Ular Putih dan 
Ratu Adil. Maklum sudah dua hari dua malam 
perutnya belum diisi. Maka tak heran kalau ja-
tahnya lebih dulu dihabiskan. Namun untuk me-
nambah, lelaki tua ini malu-malu. Hanya dipan-
danginya Siluman Ular Putih dan Ratu Adil yang 
masih mengunyah daging kelinci penuh minat. 
"Mau nambah?" tanya Siluman Ular Putih. 
Kakek Pikun mengangguk malu-malu. 
Soma dan Ratu Adil tersenyum. 
"Ambil saja kalau masih lapar! Jangan ma-
lu-malu. Kek!" ujar Soma masih diiringi senyum. 
"Iya, Kek. Kenapa malu-malu sih? Ambil 
saja sesuka hatimu," timpal Ratu Adil. 
Tanpa malu-malu lagi Kakek Pikun segera 
memotes bagian daging kelinci panggang lainnya, 
lalu mengunyahnya lahap-lahap. Tak cukup 
hanya memakan dua potong, kembali dipotesnya 
bagian daging kelinci panggang itu hingga habis 
tinggal tulang-belulang. 
Siluman Ular Putih sejenak saling berpan-
dangan dengan  Ratu Adil. Entah, apa makna 
pandang mata mereka. 
"Maaf, aku menghabiskan makan kalian," 
ucap Kakek Pikun malu-malu. 
"Sudahlah! Kenapa diributkan soal maka-
nan?" tukas Siluman Ular Putih kemudian. 
"Oh, ya, Kek? Sebenarnya kau mau ke ma-
na?" tanya Ratu Adil. 
"Aku.... Aku.... Oh, ya? Aku ingin mencari 
Hantu Tangan Api. Tapi, katanya dia sudah mati," 
sahut si kakek. 
"Kata siapa?" goda Siluman Ular Putih. 
"Kau kan yang bilang dua hari lalu. Tapi, 
perempuan berpayung itu juga ngomong begitu. 
Aku jadi bingung. Pada siapa aku harus meminta 
pertanggungjawaban atas tewasnya muridku?" 
keluh Kakek Pikun. 
"Kau tadi menyebut-nyebut perempuan 
berpayung. Apa kau telah bertemu Putri Hijau?" 
tanya Soma dengan kening berkerut. 
"Ah, ya! Perempuan berpayung itu memang 
Putri Hijau," sahut Kakek Pikun senang. "Tapi 
sayang, kami malah sempat bentrok."  
"Kenapa?" 
"Aku yang salah. Aku yang memulai du-
luan. Untung saja, Putri Hijau tak mau meladeni. 
Ia pergi begitu saja meninggalkanku." 
"Hm...! Itu memang lebih baik daripada sal-
ing bersilang sengketa," ujar Ratu Adil. 
Kakek Pikun mengangguk perlahan. 
"Sekarang kau sendiri mau ke mana, Kek?" 
tanya Ratu Adil lagi. 
Kakek Pikun menggeleng perlahan. "Aku 
tidak tahu. Mungkin aku akan kembali saja ke 
Gunung Slamet. Aku sudah bosan berpetualang." 
"Kalau begitu, selamat berpisah, Kek! Kami 
pun akan melanjutkan perjalanan," kata Soma. 
"Kalian mau ke mana?" tanya si kakek, 
memandangi bergantian dari wajah Soma berpin-
dah pada Ratu Adil. 
"Kami akan mencari seseorang yang ber-
nama Gendon Prakoso. Tolong kalau kau bertemu 
orang yang kami maksud, cepat beri tahu kami!" 
jelas Ratu Adil. 
"Ya ya ya...." Kakek Pikun mengangguk-
angguk kepala mirip burung beo. 
Siluman Ular Putih dan Ratu Adil pun se-
gera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dalam 
beberapa kelebatan saja sosok mereka telah 
menghilang di kerimbunan depan sana. 
"Eh...! Kenapa aku tidak menanyakan ten-
tang Hantu Tangan Api? Apakah ia benar-benar 
sudah mati apa belum? Huhhh! Kenapa aku jadi 
lupa?" desah Kakek Pikun seraya menepuk-nepuk 
jidatnya sendiri. "Tapi Putri Hijau dan bocah gon-
drong itu pernah ngomong kalau Hantu Tangan 
Api sudah mati. Benarkah? Kalau benar, apa yang 
harus kulakukan?" 
Kakek Pikun jadi kebingungan sendiri. Lalu 
telapak tangan kanannya menopang dagu, se-
dangkan telapak tangan kiri menopang siku tan-
gan kanan. 
"Kukira omongan Putri Hijau dan bocah 
gondrong itu benar. Tak mungkin mereka mem-
bohongiku. Jadi, tak ada gunanya aku melan-
jutkan perjalanan ini. Baiknya, aku pulang saja 
ke tempat pertapaanku di Gunung Slamet...." 
Di ujung kalimatnya, Kakek Pikun segera 
melompat bangun. Sejenak pandangannya bere-
dar ke sekeliling. Sepertinya, masih ada keragu-
raguan yang menyelimuti hatinya. 
"Ah...! Aku harus secepatnya kembali ke 
puncak Gunung Slamet," desah Kakek Pikun, lalu 
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. 
Namun baru saja beberapa tombak.... 
"Tahan langkahmu, Kambing Tua!" 
12 
Kakek Pikun terkesiap kaget dan langsung 
menghentikan langkahnya. Kepalanya cepat ber-
paling ke arah datangnya suara. Ternyata tak 
jauh dari tempat itu telah  berdiri dua sosok tu-
buh. Yang berdiri di sebelah kanan adalah seo-
rang laki-laki bertubuh tinggi besar. Jubahnya 
besar berwarna kuning. Rambutnya yang gon-
drong dibiarkan awut-awutan tak terawat. Dari 
parasnya yang kasar, jelas sekali menyiratkan ke-
kejian menggiriskan. Apalagi ditambah sepasang 
mata yang mencorong liar. 
Di sebelah kiri adalah seorang gadis cantik. 
Usianya kira-kira dua puluh tahun. Pakaiannya 
yang ketat berwarna kuning menampakkan le-
kuk-lekuk tubuhnya yang menantang. Sedang 
rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas. 
"Siapa kalian? Tak ada hujan, tak ada an-
gin memakiku, Kambing Tua?" tanya Kakek Pikun 
menatap tajam dua sosok di hadapannya yang tak 
lain Gembong Kenjeran dan Dewi Bunga Bangkai. 
"Ketahuilah, Kambing Tua! Aku adalah 
Gembong Kenjeran. Sedang temanku yang cantik 
ini bergelar Dewi Bunga Bangkai. Paham?" sahut 
Gembong Kenjeran, angkuh. 
"Lalu, kalian mau apa? Kenapa mengha-
dang langkahku?" tuntut Kakek Pikun curiga. 
"Ada dua permintaan yang harus kau pe-
nuhi. Pertama, kau harus takluk di bawah perin-
tahku. Kedua, kau harus segera mencari keteran-
gan tentang Siluman Ular Putih!" 
"Cih! Enak saja main perintah! Kau pikir 
aku ini apamu, hah?!" hardik Kakek Pikun mulai 
tak dapat mengendalikan amarah. 
"Kalau begitu, kau harus menebusnya den-
gan nyawa!" putus Gembong Kenjeran. 
Tokoh sesat dari Hutan Kenjeran yang se-
benarnya tengah melanjutkan perjalanan menuju 
tempat persembunyiannya di Hutan Kenjeran itu 
mulai bersiap-siap melancarkan serangan. Kedua 
telapak tangannya kini telah berubah menjadi 
kuning hingga pangkal lengan. 
"Tunggu! Sebenarnya kalian mau apa men-
cari-cari Siluman Ular Putih?" cegah Kakek Pikun 
heran. 
"Wasiat Kematian Eyang Pamekasan telah 
dititahkan padaku. Aku harus secepatnya meng-
hentikan sepak terjang Siluman Ular Putih dan 
Penyair Sinting." 
"Pamekasan? Kau menyebut-nyebut perta-
pa sesat berhati iblis itu? Apa hubunganmu den-
gan tua bangka keparat itu, he?!" 
"Tutup mulutmu, Kambing Tua! Kau tak 
pantas memaki guruku!" dengus Gembong Kenje-
ran, meledak-ledak. 
"Oh...! Jadi tua bangka berhati iblis itu gu-
rumu? Pantas! Kalau gurunya berhati iblis, tentu 
muridnya berhati setan? Aku tak sudi takluk di 
bawah kekuasaanmu. Apalagi, membantumu un-
tuk mencari Siluman Ular Putih. Cari saja sendiri 
kalau kalian bisa!" 
"Kalau begitu tak ada gunanya kita bicara 
panjang lebar. Kau memang patut modar di tan-
ganku, Manusia Tak Berguna!" putus Gembong 
Kenjeran penuh kemarahan. 
Gendon Prakoso alias Gembong Kenjeran 
bersiap menerjang Kakek Pikun dengan kedua te-
lapak tangan yang telah berubah menjadi kuning. 
"Tahan. Kakang!" 
Dewi Bunga Bangkai yang telah merubah 
panggilannya terhadap Gembong Kenjeran segera 
mencekal pergelangan tangan lelaki itu. 
"Biarkan aku yang menghajar tua bangka 
tak berguna itu, Kakang?" 
Gembong Kenjeran memandang gadis itu 
sekilas. Tampak sekali kalau hatinya ragu-ragu 
membiarkan Dewi Bunga Bangkai bertarung me-
lawan Kakek Pikun. 
"Jangan khawatir, Kakang! Aku pasti dapat 
mengatasi tua bangka tak berguna itu." 
Gembong Kenjeran akhirnya mengangguk. 
"Hati-hati, Dewi! Tampaknya ilmu tua bangka itu 
tak boleh dipandang ringan." 
"Aku tahu, Kakang," sahut Dewi Bunga 
Bangkai, seraya memperlebar senyum. Lalu ka-
kinya segera melangkah beberapa tindak berha-
dap-hadapan dengan Kakek Pikun. 
"Sungguh sayang, kenapa bukan manusia 
pongah itu yang maju, hah?!" dengus Kakek Pi-
kun. 
"Jangan banyak bacot, Tua Bangka Kepa-
rat! Langkahi dulu mayatku kalau ingin mengha-
dapi Kakang Gembong Kenjeran!" bentak Dewi 
Bunga Bangkai, garang. 
Di akhir bentakannya, murid Ratu Bangkai 
dari Lembah Selaksa Kematian itu segera mener-
jang ganas Kakek Pikun. Tangannya cepat mero-
goh saku, mengambil bunga-bunga bangkainya 
yang beracun. Lalu dengan tenaga dalam penuh 
segera dilontarkannya senjata andalan itu ke arah 
Kakek Pikun. 
"Hm...! Pasti kau ada sangkut pautnya 
dengan Ratu Bangkai dari Lembah Selaksa Kema-
tian itu. Bagus! Kalau begitu tak percuma kalau 
aku harus melenyapkanmu, Cah Ayu.... Hup...!" 
Kakek Pikun segera melenting tinggi ke 
udara, membuat lima bunga bangkai itu terus 
menerabas ke belakang, menghantam batang po-
hon di belakang Kakek Pikun. Seketika batang-
batang pohon yang terkena sambaran bunga-
bunga bangkai milik Dewi Bunga Bangkai lang-
sung berlobang, mengepulkan uap tipis kekunin-
gan! 
Sementara itu, Kakek Pikun yang tubuh-
nya masih melayang di udara segera melancarkan 
serangan balasan. Kedua telapak tangannya sege-
ra dihantamkan ke bawah, menciptakan dua 
rangkum angin keras yang disertai hawa dingin 
bukan kepalang siap melabrak tubuh Dewi Bunga 
Bangkai. 
Werrr! Werrr! 
Dewi Bunga Bangkai sempat melengak ka-
get. Namun bukan berarti harus kehilangan akal. 
Begitu melihat datangnya serangan, tubuhnya se-
gera dibuang ke samping. Bahkan ia masih sem-
pat melontarkan bunga-bunga bangkai ke arah 
serangan angin milik Kakek Pikun. 
Plek! Plekkk! 
Lima buah bunga bangkai milik Dewi Bun-
ga Bangkai kontan luruh ke tanah begitu bertemu 
dua rangkum angin keras dari kedua telapak tan-
gan Kakek Pikun. Namun akibatnya, tanah re-
rumputan langsung mengepulkan uap tipis ke-
kuning-kuningan, begitu terkena bunga-bunga 
bangkai. 
Sampai di sini Kakek Pikun dari Gunung 
Slamet sadar kalau bunga-bunga bangkai milik 
murid Ratu Bangkai itu mengandung racun keji. 
Dan itu membuatnya harus lebih berhati-hati 
dengan tidak menangkis langsung bunga-bunga 
bangkai itu. 
Dewi Bunga Bangkai penasaran bukan 
main. Dua kali melontarkan serangan maut, na-
mun belum juga menemui hasil. Bagaimanapun 
juga senjata andalannya harus dihemat agar tak 
sampai habis. Maka mau tak mau ia harus men-
gerahkan pukulan andalan gurunya 'Memetik 
Bunga Mengirim Racun'. Dan begitu tenaga da-
lamnya dikerahkan, kedua telapak tangannya 
langsung berubah kuning hingga pangkal lengan. 
"Makanlah pukulan mautku, Tua Bangka 
Keparat! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Dewi Bunga 
Bangkai segera menyentakkan kedua telapak tan-
gan ke depan. Tak dapat ditahan lagi, dua larik 
sinar kuning segera meluncur dari kedua telapak 
tangannya siap melabrak tubuh Kakek Pikun. 
Wesss! Wesss! 
Kakek  Pikun  tak kehilangan akal. Segera 
dikerahkannya pukulan andalan 'Bayu Bajra'. 
Maka begitu kekuatan tenaga dalamnya telah ter-
himpun, kedua telapak tangannya segera dihen-
takkan ke depan. Akibatnya, dua rangkum angin 
dingin yang disertai suara menggemuruh lang-
sung melesat, melabrak dua larik sinar kuning 
milik Dewi Bunga Bangkai. 
Pesss! 
Blarrr! 
Terdengar ledakan hebat di udara ketika 
terjadi benturan dua kekuatan dahsyat. Seketika 
tempat pertarungan jadi terang benderang. Bumi 
terguncang hebat laksana diguncang prahara. 
Ranting-ranting pohon berderak, begitu terkena 
angin sambaran. Daun-daunnya pun hangus ter-
bakar, sebagian lainnya membeku! 
Bak layangan putus tali, tubuh Dewi Bun-
ga terpental jauh ke belakang. Gadis itu berputar-
putar sebentar, sebelum akhirnya terbanting ke-
ras di tanah. 
Brakkk! 
Dewi Bunga Bangkai mengerang tertahan. 
Wajahnya pucat pasi. Napasnya pun tersengal 
hebat. Sementara, guncangan dalam dadanya te-
rasa tak tertahankan dan.... 
"Hoeeekh!" 
Darah merah kekuning-kuningan kontan 
menyembur keluar dari mulut Dewi Bunga Bang-
kai. Buru-buru tangannya menekan dada kuat-
kuat. Seolah-olah dengan cara itu, ia ingin me-
nindih guncangan dalam dadanya. Namun, tetap 
saja gadis itu tak sanggup. 
"Mundur, Dewi! Biar aku yang menghadapi 
tua bangka keparat ini!" 
Tiba-tiba Gembong Kenjeran menggeram 
penuh kemarahan. Sekali menghentakkan ka-
kinya ke tanah, tubuhnya telah berdiri di depan 
Kakek Pikun. 
"He he he...! Kenapa tidak dari tadi kau 
melawanku, Gembong Kenjeran? Sekarang sete-
lah kekasihmu roboh, baru kau turun tangan. 
Untung saja aku tidak membunuhnya!" ejek Ka-
kek Pikun. 
Gembong Kenjeran mendengus murka. Na-
pasnya memburu saking tak tahan menindih ge-
legak amarahnya. 
"Setan alas! Kau harus membayar mahal 
atas penghinaan ini, Tua Bangka Keparat!" 
Bukan main geramnya hati Gembong Ken-
jeran saat itu. Tanpa basa-basi lagi hendak diter-
jangnya Kakek Pikun dengan serangan dahsyat. 
Tidak tanggung-tanggung pukulan andalannya 
'Pelebur Bumi' pun dikerahkan, membuat kedua 
telapak tangannya jadi hitam legam hingga pang-
kal lengan. 
"Hea!" 
Bersamaan bentakannya, Gembong Kenje-
ran menghentakkan kedua tangannya. Dua larik 
sinar hitam legam pun melesat dari kedua telapak 
tangannya. Tapi dengan gerakan cepat luar biasa, 
Kakek Pikun telah melompat ke samping meng-
hindari serangan. 
Brakkk! 
Batang pohon yang jadi sasaran serangan 
Gembong Kenjeran kontan tumbang. Daun-
daunnya berguguran dalam keadaan hangus ter-
bakar! Debu-debu pun membubung tinggi meme-
nuhi tempat itu, hingga menghalangi pandangan. 
Gembong Kenjeran menggereng bak kerbau 
mau disembelih. Matanya jelalatan ke sana kema-
ri, mencari-cari sosok Kakek Pikun di balik debu-
debu yang membubung tinggi. 
"Hey, Babi Kuning! Aku di sini!" panggil 
Kakek Pikun bernada mengejek, makin membuat 
amarah Gembong Kenjeran berkobar. 
Gembong Kenjeran segera berpaling ke 
arah datangnya suara. Dilihatnya orang tua pikun 
dari Gunung Slamet itu tengah kipas-kipas tan-
gan sambil menyilangkan satu kaki ke kaki lain-
nya di atas sebuah batu. 
"Bajingaaaaannnn...!!! Demi iblis tak 
mungkin kubiarkan hidup lebih lama lagi, Tua 
Bangka Keparat!" 
Layaknya orang kesurupan, Gembong Ken-
jeran yang tak dapat lagi mengendalikan amarah 
segera menerjang beringas Kakek Pikun. Tidak 
tanggung-tanggung, segera dikerahkannya ajian 
'Setan Kober'. Begitu tenaga dalam dikerahkan, 
dari kedua telapak tangannya menyembul bayi-
bayi hitam dengan kedua bola mata berwarna me-
rah saga! Sedang tangan-tangan bayi hitam itu 
menjulur-julur, ke arah tubuh Kakek Pikun! 
Sejenak Kakek Pikun dari Gunung Slamet 
terpana saat turun dari batu besar yang didudu-
ki. Lelaki ini seperti tidak tahu apa yang harus 
diperbuat. Namun ketika menyadari bahaya maut 
mengancam, segera kedua telapak tangannya di-
hentakkan ke depan. Seketika dua rangkum an-
gin dingin melesat dari kedua telapak tangannya 
melabrak sosok-sosok mengerikan bayi-bayi hi-
tam itu!  
Besss! 
Bukan main kagetnya hati Kakek Pikun. 
Ternyata, serangannya tidak membawa hasil. 
Bahkan tangan-tangan hitam bayi aneh dari ke-
dua lengan Gembong Kenjeran terus menjulur ke 
depan, mencengkeram tubuh si tua dari Gunung 
Slamet itu kuat-kuat! 
"Auukhhh...!!!" 
Kakek Pikun melenguh tertahan. Tanpa 
ampun tubuhnya kontan mengejang-ngejang he-
bat, namun dicobanya untuk bertahan. Dengan 
kekuatan tenaga dalam penuh, dicoba mele-
paskan cengkeraman tangan-tangan bayi hitam 
itu. Namun sayang, hasilnya hampa. Apalagi, tan-
gan-tangan bayi malah kian kuat mencengkeram 
tubuhnya. 
Rrekkk! Krekkk! 
"Aaaakhhh...!" 
Terdengar tulang-tulang dalam tubuh  Ka-
kek Pikun remuk tercengkeram tangan-tangan 
bayi hitam. Lelaki tua itu kontan menjerit hebat. 
Rasa nyeri yang tak terhingga semakin hebat me-
nyerang dirinya. 
"Sekaranglah saatnya kau modar di tan-
ganku, Tua Bangka Keparat!" dengus Gembong 
Kenjeran. 
Tanpa buang-buang waktu lagi, Gembong 
Kenjeran segera melemparkan tubuh Kakek Pikun 
ke batang pohon di hadapannya. 
Wesss! 
Tanpa ampun, tubuh Kakek Pikun lang-
sung terbanting deras ke samping. Ketika tinggal 
beberapa jengkal sebelum menghantam batang 
pohon, mendadak berkelebat cepat sesosok 
bayangan hijau dari semak belukar.  
Tap! 
Cepat disambarnya tubuh Kakek Pikun. 
Lalu hanya dalam sekejapan mata, sosok bayan-
gan hijau itu pun telah menghilang dari hadapan 
Gembong Kenjeran. 
"Bajingaaaan...! Siapa yang berani bermain 
gila dengan Gembong Kenjeran, hah?!" bentak 
Gembong Kenjeran mengkelap. "Ayo, Dewi! Kita 
kejar mereka!" 
Gembong Kenjeran segera menyambar tu-
buh Dewi Bunga Bangkai. Dan mereka segera 
berkelebat, menyusul sosok bayangan hijau tadi 
yang membawa tubuh Kakek Pikun dari Gunung 
Slamet. 
SELESAI 
 
Segera terbit: 
RAHASIA KALUNG PERMATA HIJAU 
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel 
Scan/PDF: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com