Siluman Ular Putih 20 - Murka Penghuni Kubur(1)


Di sebuah tanah datar yang tak begitu luas di 
salah satu bagian dari Hutan Seruni. Keheningan 
mengekang sekitarnya. Sinar matahari yang panas 
menyengat, seolah membuat binatang-binatang lebih 
suka bersembunyi di bawah kerimbunan pohon. 
Tepat di tengah tanah datar itu, terlihat se-
buah gundukan tanah yang memanjang, mirip se-
buah makam. Kelihatannya, memang tak ada yang 
aneh  dengan  makam itu. Biasa saja sebagai mana 
layaknya sebuah makam. Tapi....  
Brolll! 
Mendadak saja, keanehan terjadi, makam itu 
tahu-tahu ambrol menerbangkan tanah-tanah ke 
segala arah. Seiring dengan itu, satu sosok bayan-
gan putih melompat dari dalamnya. 
"Hup!" 
Ringan sekali sosok itu saat mendarat di sisi 
tanah yang telah membentuk sebuah lubang. 
Kini jelas, ternyata sosok bayangan putih itu 
adalah seorang kakek tua renta yang sulit sekali di-
tafsir umurnya. Rambutnya yang putih kusut berse-
rakan di bahu. Tubuhnya yang kurus kering dengan 
paras pucat pasi mirip mayat, terbungkus kain putih 
seperti kain kafan. Sekilas, sosok kakek renta ini tak 
ubahnya seperti mayat bangkit dari kubur! 
Sepasang matanya yang mencorong bak mata 
serigala mendadak berkilat-kilat aneh beredar berin-
gas ke sekitarnya. Mulutnya mengeluarkan gerengan 
berulang-ulang. 
"Keparat! Kenapa Empat Iblis Merah tak men-
girimi ku kembang? Kenapa mereka tak menyiram-
kan air ke atas makamku?" desis kakek renta yang 
sebenarnya Penghuni Kubur ini beringas. "Tak seha-
rusnya mereka ceroboh. Bodoh! Pasti ada sesuatu 
yang kurang beres...." (Untuk mengetahui siapa 
Penghuni Kubur, silakan baca episode: "Titisan Alam 
Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah"). 
Kembali kakek renta ini mengedarkan pan-
dangan ke sekeliling. Napasnya memburu. Kedua 
pelipisnya bergerak-gerak seperti hendak melam-
piaskan kemarahannya. 
"Bajingan! Kalau mereka melalaikan tugas, 
kubunuh mereka semua!" 
Penghuni Kubur tak ingin membuang-buang 
waktu. Segera kakinya menghentak tanah, sehingga 
tubuhnya berkelebat cepat ke selatan. Gerakan ke-
dua kakinya seperti biasa saja. Tapi dalam beberapa 
kelebatan saja, sosoknya yang tinggi kurus telah 
menghilang di balik kerimbunan hutan depan sana. 
Hal ini saja sudah membuktikan kalau ilmu 
meringankan tubuh Penghuni Kubur yang sebenar-
nya salah satu momok dunia persilatan itu benar-
benar telah mencapai tingkat tinggi. Dan tentu saja 
kemunculannya akan menggemparkan dunia persi-
latan!  
* * * 
Penghuni Kubur tiba di bagian lain di sekitar 
Hutan Seruni, tepatnya di sebuah tempat yang telah 
porak poranda. Lelaki tua ini yakin di tempat itu te-
lah terjadi pertarungan dahsyat tokoh-tokoh tingkat 
tinggi. Berpikir sampai di situ, jantungnya jadi ber-
degup keras. Perasaan tak enak mulai menghantui 
benaknya. Sejenak pandangannya beredar ke seke-
liling. Dan.... 
"Heh...?!" 
Sepasang mata Penghuni Kubur yang menco-
rong beringas kontan membeliak liar dengan hati 
terkejut saat matanya tertumpuk pada empat gun-
dukan tanah tak jauh dari tempatnya berdiri yang 
tampak belum begitu lama digali. Gundukan-
gundukan tanah itu masih lembek, belum padat se-
perti kuburan yang sudah berusia tua. 
Penghuni Kubur  menggeram penuh kemara-
han. Sepasang matanya yang beringas seolah terpa-
ku pada tulisan di papan nisan keempat gundukan 
tanah merah itu. Di sana tertulis.... 
Makam Bajing-bajing Merah dari Hutan Seruni! 
"Setan alas! Siapa yang melakukan semua 
ini?" 
Sulit dibayangkan betapa murkanya Penghuni 
Kubur saat itu. Rupanya adik-adik seperguruannya 
yang dipercaya mengurus makamnya, telah tewas. 
Pantas saja mereka tidak pernah mengirim kembang 
dan air untuk menambah kesaktiannya. Sehingga, 
memaksa Penghuni Kubur harus keluar dari tempat 
yang selama ini digunakan untuk memperdalam il-
mu hitam yang tengah dipelajarinya. 
"Aku harus menuntut balas! Siapa pun juga 
yang berani membunuh adik-adik seperguruanku, 
harus bertanggung jawab. Biarpun mereka lari ke 
liang lahat sekalipun! Pembunuh adik-adik sepergu-
ruanku harus modar di tanganku!" ancam Penghuni 
Kubur. 
Disertai dengusan sarat kemarahan, Penghu-
ni Kubur tiba-tiba menghentakkan kakinya ke ta-
nah. 
Blup! 
Brolll! 
Dahsyat sekali. Saat itu juga empat gundukan 
tanah yang merupakan kuburan Empat Iblis Merah 
kontan berhamburan tinggi ke udara. Bersamaan 
dengan itu, dari dalam makam terlontar empat so-
sok bayangan merah. 
Buk! Buk! Buk! Buk! 
Hebat  bukan  main tenaga dalam bangkotan 
tua satu ini. Hanya sekali menghentakkan kaki ka-
nannya, gundukan tanah itu berhamburan ke uda-
ra. Bahkan empat jasad itu seolah seperti diatur, 
saat berjatuhan secara berdampingan ke tanah. 
Empat jasad itu tak lain tak bukan adalah mayat Ib-
lis Buntung, Iblis Buta, Iblis Tuli, dan Iblis Gagu! 
Dada Penghuni Kubur bergerak turun naik. 
Rahangnya menggembung menyiratkan kemarahan 
menggelegak. Empat sosok mayat itu dipandanginya 
dengan sepasang mata mencorong beringas! 
"Aku harus mengetahui siapa pelaku pembu-
nuhan ini...," desisnya, menggiriskan. 
Penghuni Kubur melompat  ke arah empat 
mayat adik seperguruannya. Ia langsung berjong-
kok, meneliti mayat-mayat itu dengan seksama. 
Penghuni Kubur mendesis. Ia tahu, sekujur tubuh 
mayat itu menderita luka parah. Tubuh dan kepala 
mereka hancur tak karuan.  
"Hm...! Tampaknya pelaku pembunuhan ini 
bukan satu orang. Bekas-bekas luka di sekujur tu-
buh membuktikan kalau adik-adik seperguruanku 
terkena senjata tumpul. Mungkin terkena gebukan 
tongkat atau bisa jadi senjata tumpul lainnya." 
Penghuni Kubur terus meneliti mayat keem-
pat orang adik seperguruannya lebih seksama. Tan-
gannya meraba-raba ke bagian-bagian tubuh mere-
ka satu persatu. 
"Jahanam! Kalau tak salah, ada beberapa pu-
kulan maut yang melukai adik-adik seperguruanku 
hingga tewas. Satu di antaranya adalah pukulan 
Tongkat Penggebuk Iblis. Dan... pukulan 'Tenaga Inti 
Bumi'! Jahanam! Pukulan yang terakhir inilah yang 
sebenarnya membuat adik-adik seperguruanku 
menderita luka dalam hebat. Bahkan mungkin seka-
ligus merenggut nyawa mereka. Apakah tua bangka 
dari Gunung Bucu itulah pelakunya...?" 
Penghuni Kubur termenung beberapa saat. 
Keningnya berkerut-kerut. 
"Jahanam! Siapa lagi pelakunya kalau bukan 
tua bangka keparat itu! Hm...! Aku harus menuntut 
balas. Aku harus membuat perhitungan dengan 
orang-orang yang berani mencelakakan adik-adik 
seperguruanku. Kamasetyo...! Kau harus bertang-
gung jawab atas perbuatanmu! Juga, orang-orang 
Perguruan Pring Sewu. Mereka pun harus bertang-
gung jawab. Siapa lagi di dunia persilatan ini yang 
memiliki pukulan 'Tongkat  Penggebuk Iblis' kalau 
bukan orang-orang Perguruan Pring Sewu? Tunggu-
lah pembalasanku. Ratu Pring Sewu! Dua Orang Tua 
Aneh Putih Kelabu! Juga kau, Kamasetyo! Kalian 
semua harus modar di tanganku!" (Untuk lebih je-
lasnya harap baca episode : 'Tapak Merah Darah"). 
Penghuni Kubur tak tahan lagi menahan gele-
gak amarahnya yang seperti hendak memecahkan 
kepala. Sepasang matanya jadi kian nyalang mem-
perhatikan sekeliling. Geramannya terdengar bak 
banteng terluka. Sebelum geramannya tuntas, ka-
kinya telah menghentak kuat-kuat. 
Brasss!  
Saat itu pula tercipta lubang besar bekas pi-
jakan kaki Penghuni Kubur. Tanah-tanah merah 
berhamburan tinggi ke udara, bergulung-gulung 
memenuhi tempat itu. Ketika gulungan-gulungan 
merah dari tanah yang berhamburan itu sirna, so-
sok Penghuni Kubur telah menghilang entah ke ma-
na. 
Suasana duka masih menyelimuti Perguruan 
Pring Sewu. Kira-kira sepuluh hari sejak peristiwa di 
Hutan Seruni, banyak murid Perguruan Pring Sewu 
yang merasa kehilangan. Hampir separo dari jumlah 
mereka tewas di tangan Empat Iblis Merah dari Hu-
tan Seruni. Keadaan ini jelas membuat sisa-sisa mu-
rid Ratu Pring Sewu amat terpukul, dan nyaris kehi-
langan kepercayaan diri. 
Dan bahkan apa yang dialami Mawarni, ma-
lah jauh lebih menderita dibanding saudara-saudara 
seperguruan lainnya. Berhari-hari satu-satunya mu-
rid wanita kesayangan Ratu Pring Sewu terus me-
nyesali nasibnya yang malang. Menyesali kesucian-
nya yang hilang direnggut Iblis Tuli dan Iblis Gagu. 
Apalagi yang harus diharap? Tak ada. Masa 
depannya telah hancur. Penyesalan demi penyesalan 
terus menghantui hati Mawarni. Seolah tak ada se-
mangat lagi untuk hidup. Malah segala kata-kata 
menghibur diri mulut gurunya tak mampu mem-
bangkitkan semangatnya. Untung saja pada saat-
saat Mawarni dirundung keputusasaan, seorang ka-
kak seperguruannya yang sejak lama mencintainya 
berhasil membujuknya. Namanya Gandrik. Meski 
tahu kalau Mawarni telah ternoda, namun cinta pe-
muda itu tak pernah pudar. (Untuk mengetahui apa 
yang telah dialami  Mawarni beserta murid-murid 
Perguruan Pring Sewu lainnya, harap baca episode 
"Tapak Merah Darah"). 
Mendapat cinta Gandrik yang begitu tulus, 
Mawarni mulai dapat melupakan penderitaannya. 
Bahkan kini tampak mulai berubah. Wajahnya yang 
cantik mulai berseri-seri bila sedang bercakap-cakap 
dengan Gandrik, maupun kakak-kakak seperguruan 
lainnya. 
Siang itu, ketika panas matahari memang-
gang bumi, Mawarni berlari-lari kecil mendekati pos 
penjagaan di depan pintu gerbang Perguruan Pring 
Sewu. Hatinya terasa berbunga-bunga saat akan 
menemui pemuda idamannya yang tengah berjaga di 
pos depan. 
"Kakang...! Kau dipanggil Guru," ujar Mawar-
ni dengan napas terengah-engah. 
"Ada apa Guru memanggilku, Mawarni?" 
tanya Gandrik heran. 
Dua orang murid lain yang juga sedang berja-
ga-jaga di pos depan sejenak memperhatikan gadis 
cantik berpakaian serba kuning di hadapannya. He-
ran. 
"Tidak tahu, Kang," Mawarni mengangkat ke-
dua bahunya. 
"Hm...!" Gandrik mengangguk-angguk. Entah 
apa yang tengah terlintas dalam benak pemuda ga-
gah yang juga berpakaian serba kuning itu. "Baik-
lah. Aku akan segera menemui Guru. Maaf, Teman-
teman! Terpaksa aku harus meninggalkan kalian." 
"Pergilah!" sahut salah seorang murid seraya 
menggedikkan kepala.  
"Terima kasih." 
Gandrik melangkah keluar dari pos penja-
gaan. Senyum manisnya sempat tersungging di bibir 
saat pandangannya bertatapan dengan mata Ma-
warni.  
Mawarni tersipu. Dadanya berdebar keras 
mendapati senyum pemuda tampan di hadapannya.  
"Ayo!" ajak Gandrik membuyarkan keterpa-
naan Mawarni. 
Tanpa banyak cakap si gadis segera melang-
kah di samping Gandrik. Sesekali matanya melirik 
pemuda tampan di  sampingnya, seraya terus me-
nyusuri halaman depan Perguruan Pring Sewu. Saat 
melirik tadi, sekilas terlihat adanya ketegangan yang 
terpancar di wajah Gandrik. 
"Tampaknya ada sesuatu yang sedang kau pi-
kirkan, Kang?" duga Mawarni mengusik kegelisahan 
Gandrik.  
"Hm...! Benar," sahutnya mendesah.  
"Apa, Kang?" cecar Mawarni. 
"Bukan apa-apa. Hanya aku heran. Tak bi-
asanya guru memanggilku kalau tidak ada satu ke-
perluan yang amat mendesak. Apa kau tahu, apa 
yang akan dibicarakan Guru, Mawarni?" Mawarni 
menggeleng.  Gandrik menghela napas sesak. "Jan-
gan-jangan Guru sudah mengetahui hubungan kita, 
Mawarni. Apa kau tak keberatan untuk menjadi is-
triku bila Guru menanyakannya?" 
"Aku.... Aku...! Te... terus terang aku sulit se-
kali untuk menjawab iya. Aku justru takut akan 
mengecewakanmu. Ingat, Kang! Aku sudah tak suci 
lagi. Baiknya, pikirkan baik-baik kalau kau ingin 
menikahiku, Kang," sahut Mawarni, sekaligus ingin 
melihat kesungguhan Gandrik. 
"Jangan ucapkan itu, Mawarni! Apa pun kea-
daanmu, aku tetap akan menikahimu," tegas Gan-
drik. 
"Sebenarnya aku sudah tahu, Kang. Guru 
memang ingin menanyakan hal ini padamu. Apa kau 
bersungguh-sungguh ingin menikahiku atau tidak?" 
Mendadak Gandrik menghentikan langkah. 
Pandang matanya berbinar-binar, seolah tak percaya 
dengan kata-kata Mawarni. 
"Sudahlah, Kang! Aku tahu apa yang ingin 
Kakang ucapkan," kata Mawarni mendahului Gan-
drik yang hendak membuka suara. 
"Hm...! Baiklah!" 
Gandrik dan Mawarni kembali meneruskan 
langkah menyusuri halaman depan Perguruan Pring 
Sewu. Mulut mereka terkunci. Tak sepatah kata pun 
terucap dari bibir mereka.  
Kedua anak muda itu langsung saja mema-
suki pendopo Perguruan Pring Sewu. Begitu tahu di 
ruangan Ratu Pring Sewu ternyata memang tengah 
menunggu kedatangan mereka. Sosoknya yang ku-
rus kerempeng terbalut pakaian warna kuning tam-
pak kelihatan lemah tak bertenaga. Rambutnya riap-
riapan menutupi sebagian wajahnya yang penuh ke-
riput. Sambil memegangi tongkat bambu kuning di 
tangan kanan, sejenak diperhatikannya kedua orang 
muridnya itu.  
"Aku datang menghadap, Guru. Ada hal apa 
sehingga Guru memanggilku?" tanya Gandrik begitu 
tegak di hadapan gurunya. 
"Duduklah!" 
Gandrik dan Mawarni segera bersimpuh di 
hadapan Ratu Pring Sewu. Wajah mereka sama-
sama tertunduk diam, menekuri lantai. Resah me-
nunggu apa yang ingin diucapkan Ratu Pring Sewu.  
"Gandrik! Dan kau, Mawarni. Akhir-akhir ini 
kulihat hubungan kalian makin akrab. Apa kalian 
bersungguh-sungguh? Aku ingin mendengar jawa-
ban kalian. Terutama kau, Gandrik!" buka Ratu 
Pring Sewu, langsung.  
"Aku bersungguh-sungguh, Guru. Bahkan ka-
lau, Guru mengizinkan, aku ingin sekali me...." 
"Yayaya...! Aku sudah tahu," sela Ratu Pring 
Sewu. "Tapi, tentunya kau sudah tahu keadaan Ma-
warni, bukan? Apa kau tak kecewa? Apa kau tak 
menyesal menikahi seorang gadis yang tak suci la-
gi?" 
"Tidak, Guru. Apa pun keadaan Mawarni, 
niatku tak pernah goyah. Guru." 
"Bagus! Kalau begitu, kiranya tak ada lagi 
yang patut dibicarakan. Aku senang sekali memiliki 
murid macam kau, Gandrik. Hari ini juga, aku me-
restui perk...."  
Mendadak Ratu Pring Sewu menghentikan 
ucapannya dengan kening berkerut. Sepasang ma-
tanya yang kelabu berkilat-kilat penuh kemarahan 
saat mendengar suara ribut-ribut dan pekik-pekik 
kesakitan yang datang dari halaman depan pergu-
ruan. 
"Siapa lagi yang membuat onar dipergurua-
nku...!" desis Ratu Pring Sewu. 
Tanpa diperintah, Gandrik dan Mawarni sege-
ra meloncat bangun dan mengintai apa yang tengah 
terjadi di halaman depan perguruan. Ternyata di 
luar sana memang terlihat seorang kakek renta den-
gan tubuh terbalut pakaian kafan tengah mengamuk 
hebat menghantam murid-murid Perguruan Pring 
Sewu. Bahkan tak kurang dari lima orang murid te-
was dengan cara amat mengerikan. 
"Guru...! Ada seseorang yang tengah menga-
muk di perguruan kita," teriak Gandrik kepada gu-
runya. Namun manakala kepalanya berpaling ke be-
lakang, ternyata Ratu Pring Sewu sudah tak berada 
di tempatnya lagi. 
Gandrik dan Mawarni tahu, gurunya telah 
melompat keluar melalui jendela. Tanpa banyak pi-
kir panjang, sepasang anak muda itu segera melom-
pat ke luar.         
"Bagus! Rupanya kau  sudah menampakkan 
batang hidungmu, Ratu Pring Sewu!" bentak seorang 
kakek berpakaian kain kafan yang baru saja menu-
runkan tangan maut terhadap murid-murid Pergu-
ruan Pring Sewu. Sepasang matanya yang menco-
rong bak sepasang mata serigala terus memandang 
tajam Ratu Pring Sewu. 
Ketua Perguruan Pring Sewu menggeretakkan 
gerahamnya penuh kemarahan. Ekor matanya yang 
tajam sempat melirik ke arah lima orang muridnya 
yang telah menemui ajal dengan cara mengenaskan. 
Tiga orang tewas dengan isi perut memburai keluar. 
Dua orang lainnya tewas dengan kepala pecah. 
"Siapakah tua bangka satu ini. Guru? Kenapa 
ia begitu telengas membantai saudara-saudara se-
perguruanku?" tanya Mawarni dengan tubuh meng-
gigil saking ngerinya melihat mayat kelima orang 
kakak seperguruannya. 
Ratu Pring Sewu tak menyahut. Kedua peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda tak dapat lagi men-
gendalikan gelegak amarahnya. 
"Lancang benar kau, Penghuni Kubur! Tak 
seharusnya kau bunuh murid-muridku kalau ingin 
berurusan denganku!" desis Ratu Pring Sewu, penuh 
kegeraman. 
"Ha ha ha...!" 
Lelaki tua yang memang Penghuni Kubur ter-
tawa bergelak. Namun anehnya, kedua bibirnya 
yang kepucatan sama sekali tak bergerak-gerak! Ta-
wanya pun seperti suara-suara setan yang tengah 
berpesta pora di liang lahat! 
"Salah sendiri, kenapa murid-muridmu berani 
kurang ajar terhadapku?!" tukas Penghuni Kubur te-
tap dengan kedua bibir tak bergerak-gerak. 
"Kurang ajar! Sebenarnya apa urusanmu 
hingga susah payah mencariku kemari, he?!" 
"Jangan banyak bacot! Sekarang, akui saja 
kalau kau serta murid-muridmu dan dua saudara 
seperguruanmu telah membunuh Empat Iblis Me-
rah, bukan?" balas Penghuni Kubur garang. "Kare-
na, siapa lagi yang memiliki pukulan 'Tongkat Peng-
gebuk Iblis' kalau bukan kau dan dua saudara se-
perguruanmu!" 
"Benar! Memang aku dan saudara-saudara 
seperguruankulah yang memiliki pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'? Dan memang, sudah sewajarnya 
kalau manusia-manusia berhati iblis macam Empat 
Iblis Merah itu harus modar. Kenapa kau malah 
menyesali?" sahut Ratu Pring Sewu, terus terang 
mengakui. 
"Setan alas! Berarti kau pun harus mampus 
di tanganku! Tapi sebelum mengirim nyawa busuk-
mu ke dasar neraka, aku ingin kau menjawab bebe-
rapa pertanyaanku!" 
"Siapa sudi meladeni ocehanmu?"     
"Bangsat! Hih!" 
Breeeesss...!  
Begitu Penghuni Kubur menjejakkan kakinya, 
sebuah lubang besar kontan tercipta. 
Ratu Pring Sewu tersenyum kecut. Diam-diam 
dikaguminya tenaga dalam tokoh sesat yang menjadi 
momok dunia persilatan itu. Meski demikian, bukan 
berarti harus gentar. Demi menegakkan kebenaran, 
Ketua Perguruan Pring Sewu siap menghadapi sepak 
terjang Penghuni Kubur walau nyawa taruhannya. 
"Dengar! Buka telingamu lebar-lebar, Ratu 
Pring Sewu! Apakah tua bangka dari Gunung Bucu 
itu juga ikut berperan atas tewasnya keempat orang 
saudara seperguruanku?" desis Penghuni Kubur. 
"Manusia berbudi luhur macam Eyang Bega-
wan Kamasetyo mana pantas berurusan dengan 
manusia-manusia berhati binatang macam adik-
adik seperguruanmu itu, Penghuni Kubur!" sahut 
Ratu Pring Sewu, kalem. 
Bukan main murkanya Penghuni Kubur 
mendengar ejekan Ratu Pring Sewu. Kalau saja tidak 
membutuhkan beberapa keterangan, sudah pasti 
akan diterjangnya perempuan tua itu. 
"Bacotmu sungguh tak enak didengar, Ratu 
Pring Sewu. Untuk beberapa saat, aku masih men-
gampuni nyawa busukmu. Tapi sekali ini kau tak 
mau menjawab pertanyaanku, jangan salahkan ka-
lau aku terpaksa harus membunuhmu berikut mu-
rid-muridmu!" ancam Penghuni Kubur, menggeram. 
"Siapa takut ancamanmu, Manusia Iblis?" 
"Setan! Jawab pertanyaanku! Apa benar Be-
gawan Kamasetyo ikut membantumu membunuh 
adik-adik seperguruanku?" 
"Hm...! Jadi Siluman Ular Putih itu muridnya 
Begawan Kamasetyo? Pantas, aku seperti mengenali 
pukulan bocah gondrong itu sewaktu melawan Em-
pat Iblis Merah dari Hutan Seruni...," gumam Ratu 
Pring Sewu dalam hati seraya mengangguk-angguk. 
"Kau tak mau menjawab, Ratu Pring Sewu?" 
desak Penghuni Kubur. 
"Menyesal sekali. Tak mungkin orang tua satu 
itu turut campur membunuh cecunguk-cecunguk 
merah itu," desah Ratu Pring Sewu. 
"Jadi? Siapa saja yang ikut membunuh adik-
adik seperguruanku,  he?!" geram Penghuni Kubur 
tak sabar. 
Dalam hati, Penghuni Kubur menduga-duga, 
apakah tua bangka dari Gunung Bucu yang bergelar 
Begawan Kamasetyo mempunyai murid? Tapi siapa? 
"Tunggu! Apa kau tahu siapa muridnya Bega-
wan Kamasetyo?" lanjut Penghuni Kubur, untuk 
menjelaskan dugaannya. 
"Tak usah banyak omong, Penghuni Kubur! 
Aku tak tahu, siapa yang kau maksudkan!" tegas 
Ratu Pring Sewu. 
"Setan alas! Meski kau tak buka mulut, aku 
tetap akan membuat perhitungan dengan tua bang-
ka keparat itu. Juga kau, Ratu Pring Sewu! Kaulah 
orang pertama yang harus bertanggung jawab! 
Mungkin, bisa jadi ditambah dua orang kakak se-
perguruanmu yang bergelar Dua Orang Tua Aneh 
Putih Kelabu!" tunjuk lelaki tua berbalut kain kafan 
itu. 
Ratu Pring Sewu terkekeh. Diam-diam dika-
guminya kecerdikan Penghuni Kubur. 
"Pintar! Tak kusangka otak bobrokmu masih 
bisa berpikir jernih. Tapi kalau boleh kuperingatkan, 
sebaiknya jangan teruskan niat busukmu ini! Berto-
batlah sebelum ajal menemuimu!" 
"Keparat! Aku tak butuh khotbahmu, Ratu 
Pring Sewu!  Aku butuh nyawa busukmu! Juga, 
nyawa orang-orang yang telah berani lancang mem-
bunuh adik-adik seperguruanku!" desis Penghuni 
Kubur penuh kemarahan 
Sebelum geramannya tuntas, Penghuni Kubur 
sudah menerjang hebat Ratu Pring Sewu. Kedua te-
lapak tangannya yang masih berlumuran darah ce-
pat menyambar ubun-ubun kepala. Hebatnya sebe-
lum kedua telapak tangan itu mengenai sasaran, 
terlebih dulu berkesiur angin dingin menggiriskan. 
"Heh...?!" 
Ratu Pring Sewu terkesiap. Tak menyangka 
akan mendapat serangan demikian hebat. Tentu sa-
ja Ketua Perguruan Pring Sewu tak sudi batok kepa-
lanya jadi sasaran empuk tangan-tangan Penghuni 
Kubur. Maka dengan jurus andalan 'Tongkat Maut 
Selaksa Prahara', tubuhnya segera berkelit ke samp-
ing dengan tongkat digerakkan secara menyelinap ke 
ulu hati.  
Wuttt! Wuttt! 
Melihat tongkat di tangan Ratu Pring Sewu 
bergerak mengancam ulu hatinya, sedikit pun Peng-
huni Kubur tak terkejut. Malah dengan satu perhi-
tungan tepat, tahu-tahu lengan kanannya menge-
but. Langsung ditangkisnya tongkat Ratu Pring Se-
wu. 
Prakkk!       
"Setan!" 
Tongkat bambu kuning itu kontan hancur 
berkeping-keping begitu terhantam lengan kurus 
Penghuni Kubur. Hal ini membuat perempuan tua 
itu menggeram marah. Telapak tangannya sempat 
tergetar hebat akibat bentrokan tadi. Bahkan belum 
sempat keterkejutan Ratu Pring Sewu lenyap, men-
dadak telapak tangan kiri Penghuni Kubur telah ba-
lik menghantam dada. Sebisanya, Ratu Pring Sewu 
bergerak ke samping. Tapi.... 
Desss! 
"Aaah...!" 
Tanpa ampun tubuh Ratu Pring Sewu kontan 
terbanting keras disertai keluhan tertahan. Untung 
saja tadi tubuhnya sempat bergeser ke samping. Ka-
lau tidak, bukan mustahil dadanya akan hancur 
terkena hantaman Penghuni Kubur. Meski demikian 
pundaknya yang terkena hantaman terasa ngilu bu-
kan main. 
Ratu Pring Sewu meringis kesakitan. Dengan 
susah payah kembali ia meloncat bangun. 
"Bajingan! Beraninya kau melukai Guru kami, 
he?! Makanlah tongkatku, Tua Bangka Keparat!" te-
riak Gandrik gusar bukan main. 
Dan tanpa banyak cakap lagi, Gandrik segera 
menerjang Penghuni Kubur. Bersamaan dengan itu, 
Mawarni dan keenam murid Ratu Pring Sewu lain-
nya segera turut membantu serangan dengan senja-
ta bambu kuning. 
"Jangan gegabah, Murid-muridku! Kalian bu-
kanlah tandingannya!" teriak Ratu Pring Sewu gu-
sar. 
Namun sayang, kedelapan orang murid Ratu 
Pring Sewu yang sudah kalap itu tak mau menden-
gar nasihat gurunya. Malah tongkat bambu kuning 
mereka makin hebat menyerang Penghuni Kubur. 
"Ha ha ha...! Anak-anak manis! Kalian me-
mang patut mendapat pelajaran dariku. Enyahlah 
kalian semua! Hea...!" 
Tiba-tiba Penghuni Kubur berkelebat cepat 
sekali di antara gulungan-gulungan kuning yang 
mendesaknya. Sambil berkelebat, tangan-tangannya 
berputaran mencari mangsa. 
Wut! Wuttt! 
Prak! Prakkk! 
"Aaa...!" 
Dua kali tangan Penghuni Kubur bergerak, 
maka seketika terdengar dua pekik yang amat me-
nyayat hati dari tubuh dua orang murid Ratu Pring 
Sewu yang terkena hantaman. Tampak dua sosok 
tubuh roboh, tak mampu bangun lagi dengan kepala 
pecah! 
"Minggir! Kalian semua minggir!" bentak Ratu 
Pring Sewu seraya kembali menerjang Penghuni Ku-
bur. 
Penghuni Kubur menjengekkan hidungnya. 
Sedikit pun hatinya tak gentar menghadapi seran-
gan-serangan Ratu Pring Sewu. Hanya menggeser 
tubuhnya sedikit ke samping, tahu-tahu tangan-
tangan mautnya kembali meminta korban. 
Prak! Prakkk! 
"Aaa...!" 
Kembali dua orang murid Ratu Pring Sewu ke 
tanah, tak mampu bangun lagi. Sampai di sini, 
Penghuni Kubur pun rupanya belum puas menebar 
maut. Tangan-tangan mautnya kembali mencari 
korban tanpa ampun. Maka hanya dalam sekejap 
mata saja, empat orang murid Ratu Pring Sewu 
kembali terjungkal, termasuk Mawarni dan Gandrik. 
Gandrik dan Mawarni menggigil di tempatnya. 
Paras mereka pucat pasi dengan dada yang terkena 
hantaman terasa mau jebol. Namun nasib kedua 
murid Ratu Pring Sewu ini masih jauh lebih baik di-
banding dua orang teman seperguruannya yang kon-
tan roboh dengan kepala retak! 
"Bajingan! Kau tak pantas melawan murid-
muridku, Penghuni Kubur. Akulah lawanmu!" 
Ratu Pring Sewu mengkelap bukan main me-
lihat keenam orang muridnya, tewas mengerikan di 
tangan Penghuni Kubur hanya dengan beberapa ge-
brakan. Perempuan tua ini tak tahan lagi melihat 
pembantaian di depannya. Dengan kemarahan me-
luap, kembali diterjangnya Penghuni Kubur. 
"Ha ha ha...!"         
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Se-
rangan-serangan Ratu Pring Sewu mudah dapat di-
hindari dengan berkelit ke sana kemari. Akibatnya 
serangan-serangan Ketua Perguruan Pring Sewu 
hanya mengenai angin kosong. 
"Apa kau masih keras kepala tak mau menga-
takan siapa murid Begawan Kamasetyo, Ratu Pring 
Sewu?" kata Penghuni Kubur sambil terus mende-
sak. 
"Siapa sudi dengan bacotmu, Tua Bangka Ke-
parat! Tanyakan saja pada setan gentayangan peng-
huni dasar neraka!" dengus Ratu Pring Sewu. 
"Bagus! Kalau begitu, berarti kau tak sayang 
pada dua orang muridmu itu!" tuding Penghuni Ku-
bur pada Gandrik dan Mawarni. 
Belum sempat Ratu Pring Sewu berpikir, ta-
hu-tahu Penghuni Kubur telah menerjang Gandrik 
dan Mawarni. Perempuan tua ini gusar bukan main. 
Dengan kemarahan meluap, cepat dilontarkannya 
pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' ke arah Penghuni 
Kubur. 
Wesss! Wesss! 
Seketika meluruk dua larik sinar kuning dari 
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu ke arah 
Penghuni Kubur. Sebelum serangan dua larik sinar 
kuning itu mengenai sasaran, terlebih dahulu berke-
siur hawa panas bukan kepalang!  
Penghuni Kubur tentu saja tak ingin tubuh-
nya jadi sasaran empuk. Begitu merasakan hawa 
panas menyambar punggung, tubuhnya segera di-
buang jauh ke samping. Hingga akibatnya... 
Desss! Desss!        
"Aaah...!"  
Ratu Pring Sewu memekik kaget dengan paras 
kontan pucat pasi melihat tubuh Gandrik dan Ma-
warni melayang jauh ke belakang, begitu terkena 
pukulan nyasar. Kedua anak muda itu pun tak 
sempat mengeluarkan pekikan saat tubuhnya me-
layang dan terbanting keras di tanah. Mereka tak 
dapat bangun lagi dengan sekujur  tubuh hangus 
terbakar! 
"Bajingan! Kau harus bertanggung jawab atas 
semua peristiwa ini, Penghuni Kubur! Kau harus 
bertanggung jawab! Tak cukup nyawa busukmu se-
bagai tebusannya! Hea...!" 
Bukan main murkanya Ratu Pring Sewu be-
tapa dua orang murid kesayangannya telah tewas 
menemui ajal akibat kecorobohannya. Maka tanpa 
pikir panjang lagi, kembali diterjangnya Penghuni 
Kubur. Kedua telapak tangannya yang kian berubah 
kuning hingga ke pangkal siku kembali dihantam-
kan ke depan dengan kekuatan tenaga dalam pe-
nuh. 
"Heaaa...!" 
Kembali melesat dua larik sinar kuning dari 
kedua telapak tangan Ratu Pring Sewu. 
Mendapati serangan begini, Penghuni Kubur 
tertawa bergelak. Tapi diam-diam segera dikerah-
kannya tenaga dalam tinggi. 
"Makanlah pukulan 'Pembetot Darah Mayat'-
ku! Heaa...!" 
Begitu Penghuni Kubur mengerahkan puku-
lan maut, seketika melesat dua sinar hijau dari ke-
dua telapaknya, langsung memapaki pukulan Ratu 
Pring Sewu. Sehingga.... 
Blammm! 
Bukan main hebatnya bentrokan dua tenaga 
dalam tingkat tinggi yang terjadi. Seketika bumi ber-
guncang hebat. Hawa panas kontan menebar ke se-
genap penjuru, memporakporandakan apa saja yang 
ada di sekitar pertarungan. Ranting-ranting pohon 
bergerak dengan daun-daun hangus terbakar! 
Sementara sewaktu terjadinya bentrokan tadi, 
Ratu Pring Sewu melayang bagai layangan putus ta-
li. Tubuhnya berputar-putar  sebentar, lalu meng-
hantam batang pohon di belakangnya. Perempuan 
tua ini mengeluh hebat. Seisi dadanya berguncang 
hebat dengan kedua telapak tangannya melepuh. 
Sementara itu sambil mengumbar tawa, se-
langkah demi selangkah Penghuni Kubur mendekati 
Ratu Pring Sewu yang tengah meringis-ringis mena-
han sakit. Kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah hijau siap melabrak tubuh Ratu Pring Sewu. 
Tak ada pilihan lain. Ratu Pring Sewu segera 
bertindak. Tangan kanannya cepat menyelinap ke 
balik baju. Begitu tercabut, tangannya yang telah 
memegang beberapa benda sebesar buah melinjo itu 
mengibas. 
Dan.... 
Plarrr!  
Ledakan kecil yang disertai asap kuning sege-
ra memenuhi tempat pertarungan saat benda-benda 
sebesar melinjo itu menghantam tanah. Asap kuning 
itu terus bergulung-gulung membungkus tubuh 
Penghuni Kubur dan Ratu Pring Sewu.  
Penghuni Kubur menggeram murka. Sekali 
kibaskan kain kafannya dengan tangan kiri, maka 
gulungan-gulungan asap kekuningan itu pun sirna. 
Namun pada saat itu juga, sosok Ratu Pring Sewu 
sudah tak terlihat lagi. 
"Setan alas! Sampai ujung dunia pun, tak 
mungkin aku membiarkanmu begitu saja, Bajingan!" 
Penghuni Kubur menggeretakkan gerahamnya 
kuat-kuat. Rahangnya sampai mengembung, saking 
tak tahannya menahan amarah menggelegak. Kedua 
telapak tangannya yang tadi siap dihantamkan ke 
tubuh Ratu Pring Sewu segera dihantamkan ke de-
pan. Maka seketika meluruk dua larik sinar hijau 
dari kedua telapak tangannya. Lalu.... 
Blarrr...! 
Sebuah pohon besar dua lingkaran tangan 
manusia  dewasa kontan bergoyang-goyang begitu 
terkena pukulan Penghuni Kubur. Pada bagian ba-
tang pohon yang terkena bekas pukulan kontan 
mengepulkan uap tipis kehijau-hijauan. Selang be-
berapa saat, terdengar suara bergemuruh yang  di-
akhiri bunyi keras dari batang pohon yang tumbang! 
Blammm! 
Debu-debu kontan membubung tinggi, me-
menuhi tempat itu. Angin siang itu berhembus semi-
lir, perlahan-lahan menyingkirkan debu-debu yang 
membubung tinggi. Ketika debu-debu itu sirna ter-
tiup angin, sosok Penghuni Kubur pun telah me-
ninggalkan tempat itu! 
Sinar matahari bersinar garang. Namun kare-
na kerimbunan hutan bambu membuat sekitarnya 
menjadi sejuk. Apalagi angin semilir bertiup lembut 
mengusap kulit, seolah ingin melelapkan siapa saja 
yang lewat di tempat ini. 
Namun tidak demikian buat kedua anak mu-
da yang tengah melangkah ringan. Seolah tak ingin 
beristirahat, mereka terus saja melangkah dengan 
tawa renyah yang terdengar meriah di antara ki-
cauan burung-burung di ranting pohon. Mereka se-
perti menikmati suasana siang itu. 
Yang berjalan di sebelah kanan dengan kepala 
sesekali berpaling ke camping adalah seorang pe-
muda tampan berusia kira-kira sembilan belas ta-
hun. Wajahnya berbentuk lonjong dengan sepasang 
mata tajam berwarna kebiruan.  Di kepalanya yang 
ditumbuhi rambut gondrong melingkar ikat kepala 
warna putih keperakan.  Seperti warna ikat kepa-
lanya, tubuhnya yang tinggi kekar pun dibalut pa-
kaian rompi dan celana bersisik warna putih kepe-
rakan. Bila badannya berbalik tampak pula senjata 
andalannya yang berupa anak panah yang memiliki 
cakra kembar. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan 
Soma? 
Di sebelah si pemuda adalah seorang gadis 
cantik berusia tak lebih dari tujuh belas tahun. Ku-
litnya putih bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur. 
Rambutnya digelung ke atas, dihiasi untaian bunga 
melati. Sedang tubuhnya yang tinggi ramping diba-
lut pakaian ketat warna hijau. 
"Kalau begini terus, lama-lama aku bisa jatuh 
cinta, Arum. Kau tampak cantik, menarik, penuh 
daya pesona. Hm...! Enak benar aku punya kawan 
secantikmu," celoteh si pemuda dengan kepala ber-
paling sedikit ke samping, ke arah gadis yang me-
mang Arum Sari murid Nenek Rambut Putih. 
Entah kenapa wajah cantik Arum Sari men-
dadak memerah. Hatinya rusuh sekali. Hampir se-
tengah purnama  lebih mereka melakukan perjala-
nan bersama mencari pembunuh kedua orangtua si 
gadis. Tentu saja hal ini membuat hubungan kedua 
anak muda itu makin akrab. Dalam relung hati 
Arum Sari sendiri pun mulai digelayuti perasaan tak 
menentu. Aneh. Rasa-rasanya gadis cantik itu mera-
sakan satu perasaan yang seumur hidupnya belum 
pernah dialami. (Untuk lebih jelasnya baca episode : 
"Titisan Alam Kegelapan" dan "Tapak Merah Darah"). 
"Jangan menggodaku, Soma!" 
Hanya itu yang keluar dari mulut Arum Sari. 
Padahal kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin 
sekali mengatakan lebih. Atau setidaknya, membiar-
kan godaan pemuda tampan di sampingnya. Yang 
penting hatinya berbunga-bunga. 
"Kenapa? Toh, kalau tak salah penglihatanku 
kau senang, bukan? Buktinya aku baru ngomong 
begitu saja, pipimu sudah merah. Iya. kan? Jangan-
jangan kau mulai berpikir lain?" goda Soma, keterla-
luan.  
"Berpikir lain apa?" sungut Arum Sari. 
"Yaaa. Tahulah. Pokoknya, akhir-akhir ini kau 
tampak lain. Tapi tak apa-apalah. Aku malah senang 
kok, melihat kau gembira seperti ini," ujar Soma se-
raya mengumbar senyum. 
Hati Arum Sari makin dibuat blingsatan tak 
karuan manakala melihat senyum pemuda tampan 
di sampingnya. Ada apa pula ini? Kenapa hatiku jadi 
risau begini? Desis Arum Sari dalam hati. 
"Lho? Kok, malah memandangiku seperti itu? 
Ada apa, nih? Jangan-jangan benar dugaanku?" go-
da Soma, melanjuti. 
"Jangan ngawur kau, Soma! Aku tidak berpi-
kir macam-macam. Aku hanya teringat kedua orang-
tuaku," tangkis Arum Sari, berdusta. 
Begitu teringat kedua orangtuanya. Arum Sari 
jadi sedih. Wajahnya seketika murung membayang-
kan wajah kedua orangtuanya yang sulit sekali ter-
lukis dalam benaknya. 
"Oh, ya? Sayang sekali. Kukira kau sedang 
memikirkanku?" 
Arum Sari menggeleng. Senyum getirnya tam-
pak tersungging di bibir. 
"Apa kau tak  ingat kedua orangtua  mu. So-
ma? Oh, ya? Bagaimana kabar kedua orangtuamu? 
Kenapa kau tak pernah bercerita padaku?" tanya 
Arum Sari tiba-tiba, berusaha menepis kesedihan 
yang menggelayuti hatinya. 
"Tak lebih buruk dari apa yang dialami kedua 
orangtuamu. Arum," sahut Soma, kali ini bersikap 
sungguh-sungguh. 
"Maksudmu? Apa kedua orangtuamu sudah 
meninggal?" 
Soma menggeleng pelan. "Lalu kenapa?" 
"Ayahku tewas dibunuh Manusia Rambut Me-
rah," jelas Siluman Ular Putih mendesah sedih. 
"Lalu, bagaimana dengan ibumu?" kejar si ga-
dis. 
"Hmhh...!" Soma menghela napas sesak. "Ibu-
ku.... Ah...! Dia.... Dia masih berwujud seekor ular." 
"Berwujud ular? Kenapa bisa begitu?" tanya 
Arum Sari heran. 
"Itu akibat ibuku memaksakan diri untuk 
mempelajari ilmu yang diajarkan Eyang. Ah...!" Lagi-
lagi Soma menghela napas sesak. "Nanti kalau uru-
san ini sudah selesai, aku ingin sekali menemui Ibu. 
Sudah lama sekali aku tak menemuinya." 
"Boleh aku menemanimu menemui ibumu. 
Soma?" tanya Arum Sari dengan suara bergetar. 
Soma kembali memalingkan kepala ke samp-
ing. Entah, apa yang tengah berkecamuk dalam be-
naknya. Yang jelas. Arum Sari malah menundukkan 
kepala saat Soma memandangnya. 
"Bagaimana, Soma? Apa kau keberatan?" 
tanya Arum Sari, malu-malu.  
"Hmhh...!"        
Soma mengatur jalan napas sebentar. Kali ini 
ia benar-benar merasa aneh melihat sikap Arum Sa-
ri. Sejenak diperhatikannya gadis cantik di hada-
pannya. 
"Boleh, kalau...." 
Gusrakkk! 
Suara Siluman Ular Putih terpangkas ketika 
mendadak terdengar langkah kasar di semak belu-
kar di samping mereka. Untuk sesaat kedua anak 
muda itu hanya bisa saling berpandangan.  
"Sebentar...!"  
Siluman Ular Putih segera melompat ke arah 
datangnya suara. Tapi, Arum Sari tak ingin keting-
galan. Segera disusulnya Soma.  
* * * 
"Ratu Pring Sewu...?!" sebut Soma dan Arum 
Sari begitu tiba di tempat yang dicurigai tadi. 
Kedua anak muda itu terpaku di tempatnya. 
Sepasang mata mereka membelalak liar. Di hadapan 
mereka kini tergolek sesosok tubuh belum lama di-
kenalnya. Ratu Pring Sewu! 
Betapa tubuh Ketua Perguruan Pring Sewu 
itu teramat mengenaskan. Parasnya pucat pasi. Ke-
dua telapak tangannya melepuh. Darah kering tam-
pak menghiasi sudut-sudut bibirnya.  
"Ratu Pring Sewu! Siapa yang melakukan 
perbuatan keji ini?" tanya Siluman Ular Putih berte-
riak jengkel. Buru-buru diraihnya tubuh Ratu Pring 
Sewu dan diletakkan di atas pahanya. Soma meng-
guncang-guncang tubuh nenek renta itu, tapi 
sayang keburu pingsan. 
Siluman Ular Putih cepat menotok beberapa 
jalan darah di tubuh Ratu Pring Sewu. Selang bebe-
rapa saat, kelopak mata Ketua Perguruan Pring Se-
wu mulai bergerak-gerak. Kedua bibirnya bergetar-
getar. Napasnya pun memburu. Mengenaskan sekali 
keadaannya. 
"Dia.... Dia ingin menyatroni puncak Gunung 
Buc... Bucu...." 
Dengan susah payah, bibir Ratu Pring Sewu 
yang bergetar-getar itu pun membuka suara. Dan ini 
membuat Siluman Ular Putih terperangah. Ya! Pun-
cak Gunung Bucu adalah tempat kediaman eyang 
dan ibunya. Ada apa ini? Siluman Ular Putih jadi ge-
lisah. 
"Siapa yang kau maksudkan, Ratu Pring Se-
wu?" tanya Siluman Ular Putih, tak sabar. 
"Dia.... Dia... ah...!" 
Kepala Ratu Pring Sewu kembali terkulai. 
Sementara Siluman Ular Putih jadi gelisah 
bukan main. Soma tak menginginkan Ratu Pring 
Sewu mati. Pemuda ini merasa harus dapat mengo-
rek keterangan siapa yang telah berani mencelaka-
kan perempuan tua ini, sekaligus ingin menyatroni 
puncak Gunung Bucu. Maka, buru-buru Siluman 
Ular Putih menotok beberapa jalan darah di tubuh 
Ratu Pring Sewu yang kembali pingsan. Kali ini pa-
ras perempuan tua itu tampak demikian mengeri-
kan. Pucat mirip mayat! 
"Katakan, Nek! Siapa yang memperlakukan 
ini semua?" desak Siluman Ular Putih tak sabar. 
"Peng.... Penghuni Kubuuur...!'' 
Bersamaan dengan putusnya ucapan, maka 
putus pula nyawa Ratu Pring Sewu dari raga. Kepa-
lanya terkulai ke samping, tak bergerak-gerak lagi. 
"Keparat! Lagi-lagi si keparat itu yang mem-
buat ulah. Dulu kedua orangtuaku yang tewas di 
tangannya. Kini Ratu Pring Sewu! Benar-benar ke-
parat! Tak mungkin aku membiarkan sepak terjang-
nya begitu saja!" geram Arum Sari penuh kemara-
han. Jari-jari tangannya terkepal erat, seolah ingin 
sekali melampiaskan kemarahannya saat itu juga. 
Siluman Ular Putih tak menanggapi ucapan 
Arum Sari. Ia segera memondong tubuh nenek renta 
itu dan membaringkannya ke rerumputan. Matanya 
sejenak beredar, mencari-cari tempat yang layak un-
tuk menguburkan jasad Ratu Pring Sewu. 
"Soma! Tak mungkin kita membiarkan sepak 
terjang Penghuni Kubur begitu saja! Kita harus ber-
tindak. Terlepas dari kedua orangtuaku yang tewas, 
aku tetap akan menuntut pertanggungjawaban 
Penghuni Kubur!" teriak Arum Sari. 
"Ya ya ya...! Kita memang harus meminta per-
tanggungjawabannya!" sahut Soma singkat. 
"Sekarang apa yang harus kita lakukan. So-
ma?" tanya Arum Sari. 
Soma menghela napasnya panjang. 
"Sebaiknya Bantu aku dulu menguburkan 
mayat Ratu Pring Sewu. Baru setelah itu, kita kejar 
Penghuni Kubur," sahut Soma. 
"Itu berarti, kita harus ke Gunung Bucu?" 
"Ya! Lagi pula, aku juga sudah kangen dengan 
eyang dan ibuku. Ayo kita kubur dulu mayat ini."  
"Ayo!"    
Puncak Gunung Bucu. 
Sesosok bayangan berkelebat cepat menuju 
puncak Gunung Bucu. Gerakan kakinya cepat luar 
biasa laksana terbang. Sehingga dalam waktu sing-
kat sosok bayangan itu telah tiba di puncak gunung. 
Sosok bayangan yang ternyata berpakaian 
tambal-tambalan itu menghentikan langkahnya. 
Menilik alis mata, bulu mata, dan rambut putihnya 
yang awut-awutan, jelas sekali usia lelaki renta ber-
tubuh tinggi kurus ini sudah mencapai delapan pu-
luh tahun lebih. Wajahnya tirus dengan mata sipit 
dan hidung kecil. Bibirnya tebal berwarna hitam. 
Siapa lagi lelaki renta yang memiliki ciri-ciri seperti 
itu kalau bukan Raja Penyihir. 
Apa maksud kehadiran Raja Penyihir di Gu-
nung Bucu? Sebenarnya, lelaki berwajah tirus ini 
hanya ingin menemui Eyang Begawan Kamasetyo 
untuk minta izin agar Siluman Ular Putih sudi me-
manggilnya guru. Hal itu pun sebenarnya atas saran 
Siluman Ular Putih. Karena kalau tidak demikian. 
Tak bakalan sudi Soma memanggilnya guru. Maka 
tak heran kalau lelaki tua itu mau bersusah payah 
ke sini. 
Raja Penyihir mengedarkan pandangan ke se-
keliling. Hamparan pasir dan bebatuan tampak ber-
serakan di sana sini. Sedang jauh di bawahnya ka-
but tebal berkejar-kejaran searah tiupan angin. 
Meski suasana sore itu belum begitu larut, namun 
udara pegunungan terasa dingin menusuk kulit. 
Raja Penyihir tak menghiraukan udara dingin 
yang terasa menyengat tulang belulangnya. Hanya 
sedikit mengerahkan hawa murni, maka udara din-
gin yang mengungkung lenyap entah ke mana. 
"Kalau tak salah, tua bangka itu bertapa di 
goa sebelah sana," duga Raja Penyihir seraya menu-
dingkan ujung tongkatnya ke arah lereng sebelah 
barat Gunung Bucu. "Yah...! Kukira aku harus sece-
patnya ke sana." 
Raja Penyihir segera menutulkan kakinya ke 
tanah. Lalu berkelebat cepat menuju tempat yang 
dimaksud. 
Di sebelah barat puncak Gunung Bucu me-
mang terdapat sebuah mulut goa menghadap ke 
lembah-lembah hijau di sekitar Pegunungan Perahu. 
Raja Penyihir tak ingin membuang-buang waktu. 
Begitu tiba, tubuhnya segera berkelebat masuk ke 
dalam mulut goa. 
Mulut goa itu memang tidak begitu lebar, pal-
ing hanya setengah tombak. Namun ketika Raja Pe-
nyihir menyusuri, lama kelamaan lorong goa itu ma-
kin melebar. 
Di sebuah lorong yang bercabang, mendadak 
Raja Penyihir menghentikan langkahnya. Kepalanya 
celingukkan ke sana kemari, mencari arah yang be-
nar. Namun di saat lelaki tua ini tengah kebingun-
gan, mendadak.... 
"Siapa pun juga yang ingin bertamu, kenapa 
tidak langsung menemuiku?" 
Terdengar teguran yang datang dari lorong 
sebelah kanan. 
Bukannya kaget, Raja Penyihir malah terke-
keh senang. Jelas sekali kalau ia amat mengenali 
siapa pemilik suara parau itu. 
"Ah... rupanya masih hidup juga, Kamasetyo! 
Kukira kau sudah mampus dimakan belatung-
belatung goa ini. Ayo, lekas keluar! Sambut aku!" 
Tak ada sahutan. Hanya gerutuan seseorang 
saja yang terdengar. Gerutuan yang diduga berasal 
dari mulut Eyang Begawan Kamasetyo. Raja Penyihir 
bersungut. Aneh sekali watak tokoh sakti dari pun-
cak Gunung Tidar ini. Tadi terkekeh-kekeh senang. 
Sekarang mulutnya membentuk kerucut karena ke-
cewa ucapannya tak ditanggapi Eyang Begawan Ka-
masetyo. Meski demikian, toh akhirnya mau juga 
menyeret langkahnya ke lorong sebelah. 
Begitu berada di lorong sebelah, kening Raja 
Penyihir kontan berkernyit melihat sosok Eyang Be-
gawan Kamasetyo masih tetap bersila. Jadi, betapa 
tajamnya pendengaran lelaki tua yang tengah bersila 
itu. Tubuhnya yang kurus terbalut pakaian putih. 
Rambutnya yang juga berwarna putih digelung ke 
atas. Seperti rambut dan pakaiannya, ternyata wa-
jahnya pun juga berkulit putih bersih. 
Tak jauh dari Eyang Begawan Kamasetyo ber-
sila seekor ular putih raksasa tengah melingkar di 
atas batu putih pipih. Ukuran tubuh ular putih rak-
sasa itu amat besar. Hampir sebesar pohon kelapa. 
Dalam keadaan melingkar seperti itu, sepasang ma-
tanya terpejam. Namun, mulutnya terus mendesis-
desis. Entah, apa maksudnya. 
Raja Penyihir berkali-kali menggeleng. Merasa 
trenyuh melihat sosok ular putih raksasa yang tak 
lain adalah Siluman Naga Puspa! Ya, dialah ibu 
kandung dari Siluman Ular Putih. 
Sebenarnya, sosok ular putih raksasa itu ada-
lah seorang wanita cantik. Namanya, Dewi Ratri. 
Hanya karena gagal untuk mempelajari ilmu pa-
mungkas ajian 'Titisan Siluman Ular Putih', maka 
wanita yang sebenarnya putri Eyang Begawan Ka-
masetyo itu menjelma seekor ular putih raksasa! 
(Baca serial Siluman Ular Putih dalam episode : 
"Misteri Bayi Ular"). 
"Ada apa kau menyambangiku kemari, Damar 
Suto?" tanya Eyang Begawan Kamasetyo, langsung 
memanggil nama asli Raja Penyihir. Rupanya guru 
dari Siluman Ular Putih sudah mengenai baik, siapa 
Raja Penyihir. 
"Aku ada sedikit urusan denganmu. Tapi, 
nantilah. Aku ingin bercakap-cakap sebentar dengan 
putrimu ini," kilah Raja Penyihir. 
"Jangan diganggu, Damar Suto! Putriku se-
dang bertapa," tegur Eyang Begawan Kamasetyo, 
langsung. 
"Bertapa? Untuk apa?" tanya Raja Penyihir 
tak mengerti. 
"Putriku ingin menjelma menjadi manusia 
kembali. Untuk itu, ia kusuruh terus bertapa." 
"Oooo...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk. 
"Kasihan sekali nasib putrimu ini, Kamasetyo. Kalau 
saja aku dapat membantu, tentu aku akan melaku-
kannya. Tapi sayang, aku...." 
"Sudahlah!" potong Eyang Begawan Kama-
setyo. 
"Katakan saja, kau ada keperluan apa hingga 
susah payah datang kemari?" 
"Oh, ya? Aku memang ada sedikit urusan 
denganmu, Kamasetyo," jelas Raja Penyihir seraya 
menepuk jidat. 
"Aku tahu. Setiap kau menemuiku, pasti ingin 
minta bantuanku, bukan?" tebak Eyang Begawan 
Kamasetyo, tak bermaksud menyindir. 
"Siapa yang butuh bantuanmu? Aku tidak bu-
tuh bantuanmu. Aku hanya ingin minta izin pada-
mu," sungut Raja Penyihir tak senang. 
"Minta izin apa?" 
"Muridmu.... Eh, cucumu harus memanggilku 
guru. Untuk itulah aku minta izin padamu," papar 
Raja Penyihir. 
"Oh, ya? Jadi kau sudah bertemu cucuku?!" 
sentak Eyang Begawan Kamasetyo, gembira. "Suruh 
dia pulang. Aku dan ibunya sudah lama sekali tak 
bertemu. Cucuku harus cepat kau ajak kemari, Da-
mar Suto!" 
"Eh...! Tunggu dulu! Kau belum menjawab 
pertanyaanku. Apa kau mengizinkan cucumu me-
manggilku guru?" terabas Raja Penyihir. 
"Ah...! Kau ini aneh-aneh saja. Siapa yang 
menyuruhmu minta izin padaku? Kalau kau ingin, 
dipanggil guru oleh cucuku, ya silakan! Kenapa mes-
ti minta izin?" 
"Justru karena cucumu itulah yang mengha-
ruskan agar aku minta izin padamu. Tapi boleh kan, 
cucumu memanggilku guru? Masa' aku sudah me-
wariskan hampir semua kepandaianku, tapi cucumu 
tetap saja tak mau memanggilku guru? Ini kan lu-
cu." 
"Hm...!" Eyang Begawan Kamasetyo mengge-
leng-gelengkan kepala. "Kau ini ada-ada saja, Damar 
Suto. Mau-maunya dikerjai cucuku yang nakal itu." 
"Habis...." 
"Kau ini lucu. Masa sudah tua begini masih 
saja mau diakali bocah kemarin sore. Apa susahnya 
sih, bilang bahwa kau sudah menemuiku?" 
"Ah...!" Lagi-lagi Raja Penyihir hanya mene-
puk-nepuk jidatnya. "Benar! Kau benar, Kamasetyo. 
Cucumu memang nakal. Bodohnya aku, kenapa 
mau dikerjai begini. Awas kalau ketemu nanti. Pasti 
cucumu akan kubalas." 
"Ggggecerrrr...!" 
Tiba-tiba dinding-dinding goa di puncak Gu-
nung Bucu bergetar keras oleh sebuah gerengan 
menyeramkan. Batu-batu besar kecil berjatuhan da-
ri langit-langit goa. Raja Penyihir dan Eyang Bega-
wan Kamasetyo heran sekali. Buru-buru mereka 
mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara 
gerengan barusan.  
"Ggggeeerrrr...!" 
Kedua lelaki tua ini sama-sama memandang 
heran pada sepasang mata Siluman Naga Puspa 
yang mencorong beringas. Jelas arahnya ke Raja Pe-
nyihir. Ujung ekornya dikibaskan ke sana kemari, 
membuat dinding-dinding goa bergelar. Pada saat itu 
juga, tiba-tiba tercium harum bunga melati yang 
amat menusuk hidung. 
Eyang Begawan Kamasetyo tahu, putrinya 
tengah marah namun ia belum tahu kenapa tiba-
tiba Siluman Naga Puspa jadi bersikap demikian. 
"Ratri! Hentikan!" tegur Eyang Begawan Ka-
masetyo. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis sambil 
mengibas-ngibaskan ekornya ke sana kemari. 
"Oooo! Jadi kau tak terima kalau Raja Penyi-
hir akan menuntut balas pada puteramu..,?" kata 
Eyang Begawan Kamasetyo, dapat menangkap apa 
arti desisan Siluman Naga Puspa. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. 
Eyang Begawan Kamasetyo mengangguk-angguk. 
"Baik! Aku tahu kalau kau sangat menyayangi pute-
ramu. Kukira, aku pun juga tak menginginkan orang 
lain mencelakakan puteramu." 
"Ratri! Kau jangan salah paham! Aku tak 
bermaksud mencelakakan puteramu. Aku hanya in-
gin memarahinya," jelas Raja Penyihir. 
Siluman Naga Puspa kembali mendesis-desis. 
Tapi sayang, Raja Penyihir hanya melongo. Lelaki 
tua ini tak tahu, apa yang dikatakan Siluman Naga 
Puspa. Terpaksa kepalanya menoleh ke arah Eyang 
Begawan Kamasetyo. 
"Putriku bilang, tak apa-apa kalau kau hanya 
ingin memarahi. Asal, jangan sampai mencelaka-
kannya," papar guru dari Siluman Ular Putih. 
"Edan! Mana mungkin aku mencelakakan bo-
cah sinting itu. Soma sudah kuanggap seperti mu-
ridku sendiri. Ya, memang puteramu  itu muridku. 
Tapi puteramu malah mengerjaiku," sungut Raja Pe-
nyihir. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, tak ditujukan pada Raja Penyihir. Tapi, dituju-
kan pada Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Apa kau bilang. Ratri? Kau kangen pada pu-
teramu? Ya ya ya...! Aku tahu. Dan kau ingin berte-
mu dengan puteramu! Hm...!" Eyang Begawan Ka-
masetyo mengangguk-angguk, lalu menoleh pada 
Raja Penyihir. "Bagaimana, Damar Suto? Kukira kau 
harus segera membawa cucuku kemari!" 
"Waduh! Apa mau bocah sinting itu kuajak 
kemari, Kamasetyo? Disuruh memanggil guru pada-
ku saja, susahnya minta ampun. Apalagi kalau ha-
rus disuruh membawa cucumu kemari," keluh Ki 
Damar Suto. 
"Bilang, ibunya ingin ketemu! Mustahil cucu-
ku tak mau pulang. Cepat sana pergi!" ujar Eyang 
Begawan Kamasetyo. 
"Baik," sahut Raja Penyihir cepat, seraya ber-
balik. 
Tanpa banyak cakap. Raja Penyihir segera 
berkelebat keluar dari lorong goa tempat tinggal 
Eyang Begawan Kamasetyo dan Siluman Naga Pus-
pa. 
"Zzzzt! Zzzzt!" 
Siluman Naga Puspa mendesis desis lagi. Se-
pasang matanya yang mencorong kini berair, seolah-
olah tak tahan lagi menahan rindunya untuk segera 
bertemu dengan putra kesayangannya. 
"Sudahlah! Jangan menangis, Ratri! Sekarang 
teruskan saja tapamu! Nanti Raja Penyihir toh juga 
akan membawa puteramu kemari." 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis seraya 
menggeleng-geleng. 
"Apa? Kau tak ingin melanjutkan bertapa ka-
lau belum bertemu puteramu?" 
Siluman Naga Puspa mengangguk-angguk. 
Eyang Begawan Kamasetyo sebenarnya ingin 
melarang. Namun, saat teringat akan penderitaan 
putrinya, hatinya jadi tak tega. 
"Baiklah! Kalau memang itu kemauanmu, Ra-
tri," desah Eyang Begawan Kamasetyo, mengalah. 
Di antara tebalnya kabut yang bergerak per-
lahan dua sosok bayangan putih dan kelabu tengah 
saling gebrak. Begitu cepat gerakan mereka sehingga 
yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dan 
kelabu yang saling gebrak, kemudian saling men-
jauh seperti mengambil jarak. 
Begitu masing-masing berdiri tegak, tampak 
sepintas kalau paras maupun potongan tubuh ke-
dua orang kakek itu sama. Tubuh mereka kurus 
kering. Rambut, alis mata, bulu mata, dan jenggot 
semua memutih. Hanya pakaian itu saja yang mem-
bedakan mereka. Yang satu berpakaian serba putih, 
dan satu lagi berwarna kelabu. Siapa lagi kedua to-
koh ini kalau bukan Dua Orang Tua Aneh Putih Ke-
labu, yang merupakan kakak seperguruan Ratu 
Pring Sewu. 
"Ayo, Kelabu! Cepat keluarkan jurus 'Kuda 
Binal dari Utara'!" teriak kakek berpakaian serba pu-
tih. 
"Baik. Jangan menyesal kalau pantatmu kena 
gebuk, Kang," sahut kakek berpakaian kelabu. 
Kakek Kelabu menghentak-hentakkan ka-
kinya keras-keras. Dari mulutnya terdengar ringki-
kan mirip kuda. Suara ringkikannya membahana 
memenuhi hutan itu. 
Kakek Putih sejenak tergetar mendengar sua-
ra-suara ringkikan dari Kakek Kelabu yang seolah 
hendak merobek-robek gendang telinga. Maka buru-
buru tenaga dalamnya dikerahkan, sehingga ringki-
kan Kakek Kelabu tak lagi mengganggu.  
"Heaaa...!" 
Dikawal teriakan membahana, Kakek Kelabu 
menerjang ganas Kakek  Putih. Dari kedua telapak 
tangannya mengeluarkan sinar terang yang mene-
barkan hawa panas. Inilah pukulan sakti Kakek Ke-
labu yang lebih dikenal dengan pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'. 
"He he he...! Cuma pukulan 'Tongkat Pengge-
buk Iblis'. Aku tak takut," ejek Kakek Putih, senang 
sekali meladeni adik seperguruannya. 
Satu tombak lagi datang serangan, Kakek Pu-
tih segera mengeluarkan pukulan andalan. Tanpa 
banyak cakap segera dikerahkannya tenaga dalam 
ke arah kedua tangan yang kemudian dihadapkan 
ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar kuning 
terang dari kedua telapak tangannya memapak pu-
kulan Kakek Kelabu. 
Besss! 
Tak terdengar apa-apa akibat bentrokan dua 
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Namun, pukulan 
'Tongkat Penggebuk Iblis' milik Kakek Kelabu tiba-
tiba  tertahan di udara. Lalu laksana dihantam ke-
kuatan luar biasa, tiba-tiba pukulan itu menukik 
keras ke bawah! 
Blammm! 
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke 
udara dan segera menutupi pemandangan untuk 
beberapa saat. Samar-samar Kakek Kelabu mencelat 
sampai dua tombak ke belakang. Ia berusaha men-
guasai keseimbangan tubuh begitu mendarat di ta-
nah. Namun sayang kedua kakinya goyah. Maka ti-
dak lama kemudian, Kakek Kelabu pun jatuh terdu-
duk dengan tubuh bergetar dan napas memburu! 
Di pihak lain, tubuh Kakek Putih sendiri ter-
jajar mundur beberapa langkah ke belakang. Sosok-
nya terlihat bergoyang-goyang. Namun sebentar ke-
mudian telah diam. Malah sembari berkacak ping-
gang ia terkekeh senang. 
"He he he...! Apa kubilang? Pukulan 'Tongkat 
Penggebuk Iblis'-mu tak berarti sama sekali, bu-
kan?" ejeknya. 
"Enak saja ngomong! Kau pikir aku sudah ka-
lah, he?!" balas Kakek Kelabu sengit. 
"He he he! Sudah! Jangan marah-marah! Kita 
hentikan saja latihan ini. Kalau diteruskan, bisa 
modar nanti," ujar Kakek Putih, meredam kemara-
han Kakek Kelabu. 
"Tapi.... Tapi...," Kakek Kelabu memberengut. 
"Aku penasaran, Kang." 
"Aku juga. Tapi, bukan penasaran denganmu. 
Melainkan, dengan Siluman Ular Putih. Tak kusang-
ka bocah gondrong itu mampu mengatasi Empat Ib-
lis Merah dari Hutan Seruni. Apa kau tak penasa-
ran, Kelabu? Apa kau tak ingin menjajal kehebatan 
bocah gondrong itu?" tukas Kakek Putih. 
"Ah, iya? Benar juga kau, Kang. Aku juga pe-
nasaran. Aku ingin sekali mengajaknya bertarung 
untuk membuktikan siapa yang lebih unggul," sam-
but Kakek Kelabu gembira. Padahal mulutnya baru 
saja bersungut-sungut tak senang mendengar eje-
kan kakak kembarnya. 
"Nah...! Memang itulah yang kuinginkan, Ke-
labu. Tapi, sayang. Bocah gondrong itu tak ada di 
sini. Kalau ada, sudah pasti kutantang bertarung," 
keluh Kakek Putih. 
"Ya ya ya...! Bagaimana kalau kita cari saja 
bocah gondrong itu, Kang?" usul Kakek Kelabu. 
"Baik! Aku setuju usulmu, Kelabu. Ayo, kita 
cari bocah gondrong itu!" .sahut Kakek Putih menye-
tujui. 
Saat itu pula, Kakek Putih segera menjejak ke 
tanah. Sosoknya yang tinggi kurus pun segera ber-
kelebat cepat, meninggalkan tempat itu. Namun ba-
ru beberapa tombak.... 
"Tunggu, Kang! Lihat! Siapa yang datang!" te-
riak Kakek Kelabu yang belum beranjak dari tem-
patnya. Telunjuknya menuding ke jalan setapak tak 
jauh dari tempat ini.  
Mau tidak mau Kakek Putih harus berhenti. 
Pandangan matanya segera dialihkan ke arah jalan 
setapak. 
"Ah, iya? Kau benar, Kelabu. Inilah mungkin 
yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Ayo, cepat 
hampiri mereka!" 
Tanpa menunggu kesanggupan adik sepergu-
ruannya, Kakek Putih kembali berkelebat ke tempat 
yang dimaksud. Hanya dalam beberapa kelebatan 
saja, sosoknya telah berada di kejauhan. Sementara 
tentu saja Kakek Kelabu tak mau kalah ketinggalan. 
Dengan sekali menghentak, tiba-tiba sosoknya telah 
berkelebat menyusul kakak seperguruannya. 
* * *