Siluman Ular Putih 20 - Murka Penghuni Kubur(2)



"Selamat bertemu kembali, Siluman Ular Pu-
tih. Beruntung benar aku kali ini. Baru saja kami 
membicarakanmu, eh, tahu-tahu orangnya sudah 
muncul," sambut Kakek Pulih sumringah, begitu ti-
ba di hadapan orang yang ditunjuk Kakek Kelabu 
tadi. Rupanya tadi Kakek Kelabu melihat Siluman 
Ular Pulih dan Arum Sari yang tengah berjalan sam-
bil bersenda gurau. 
"Iya. Rupanya kau panjang umur juga, Bocah 
Gondrong. Tapi ngomong-ngomong, tampaknya ka-
lian asyik sekali. Mau ke manakah kalian berdua?" 
timpal Kakek Kelabu pula. 
"Kami berdua sedang melakukan perjalanan 
ke puncak Gunung Bucu. Ada apakah? Kenapa ka-
lian tersenyum-senyum begitu?" tanya Siluman Ular 
Pulih dengan kening berkerut, menangkap senyum 
penuh arti Dua Orang Tua Aneh Putih Kelabu.   
"He he he...! Katanya kau ingin mencari Peng-
huni Kubur?" kata Kakek Kelabu, berbasa-basi. 
"Memang. Apakah kalian tahu di mana dia?" 
Arum Sari yang menyahuti. 
"Belum. Bangkotan tua itu sulit sekali dicari. 
Tapi...." 
"Ala...! Sudahlah,  Kelabu! Jangan basa-basi! 
Bilang saja terus terang! Kenapa plintal-plintut begi-
ni?" tukas Kakek Pulih tak sabar. 
Kakek Kelabu meringis. Seringaiannya diha-
diahkan sebentar ke arah Siluman Ular Putih dan 
Arum Sari. 
"Ada apa sih? Kok, sepertinya ada sesuatu 
yang disembunyikan?" tanya Siluman Ular Putih he-
ran. 
"He he he...! Kau adalah pendekar besar, Si-
luman Ular Pulih. Aku senang sekali bertemu den-
ganmu," kekeh Kakek Kelabu. 
"Ah...! Jangan terlalu melebih-lebihkanku. 
Aku masih belum seberapa dibanding kalian ber-
dua." 
"Siapa bilang kau di bawah kami? Buktinya 
saja, Empat Iblis Merah dibuat tak berdaya olehmu. 
Apa itu bukan bukti? Coba pikir lagi, apa julukan 
Siluman Ular Putih bukan satu nama besar di dunia 
persilatan dibanding kami-kami yang sudah tua 
ini?" terabas Kakek Putih, memancing. 
"Hm...! Sebenarnya kalian berdua ini mau 
apa, sih?" tanya Siluman Ular Putih masih belum 
mengerti maksud dua orang tua di hadapannya. 
"Iya, Kek. Baiknya katakan saja terus terang. 
Mumpung kami ada sedikit waktu sebelum melan-
jutkan perjalanan di puncak Gunung Bucu," pinta 
Arum Sari, menambahi. 
"Eh...! Tidak boleh! Kalian tidak boleh me-
ninggalkan kami dulu. Kalian harus melayani kami 
dulu!" tukas Kakek Putih sewot. 
"Melayani apa?" tanya Arum Sari, mulai tak 
senang. 
Kakek Putih tidak langsung menjawab. Kepa-
lanya menoleh sebentar ke arah Kakek Kelabu. Lalu, 
kedua orang tua renta itu pun sudah terkekeh-
kekeh senang. Entah apa maksud kekehan mereka 
itu. 
"He he he...! Sudah tentu kalian harus me-
layani kami. Tapi, jangan berpikir macam-macam 
dulu, ya! Kami hanya ingin minta petunjuk barang 
satu dua jurusan, Siluman Ular Putih," jelas Kakek 
Kelabu. 
"Ah...! Jangan begitu, Orang Tua! Harap ka-
lian mengerti! Kami berdua sedang terburu-buru. Di 
samping itu, temanku belum tentu mau meladeni 
kalian! Untuk itu, berilah kami lewat, Orang Tua!" 
tolak Arum Sari kalem. 
"Yeeee...! Tak bisa begitu! Tepatnya, kita ha-
rus berlatih barang beberapa jurus. Setelah itu, ka-
lian boleh meneruskan perjalanan. Bukankah begi-
tu, Kakang Putih?" 
"Betul! Kau harus menuruti keinginan kami, 
Siluman Ular Putih. Sudah, jangan sungkan-
sungkan seperti anak perawan mau dipingit! Ayo, ki-
ta berlatih!" 
"Kalian  terlalu  memaksa. Bagaimana ini, 
Arum?" tanya Siluman Ular Pulih, seraya menoleh 
ke arah Arum Sari untuk minta pendapat. 
"Bolehlah! Barangkali mereka memang ingin 
mendapat pelajaran dari kita," sahut Arum Sari, 
kesal juga. 
"Hik hik hik...! Gadis cantik itu benar. Kita 
memang harus berlatih barang beberapa jurus dulu. 
Tapi, harap hati-hati. Jangan-jangan malah kalian 
yang terkena gebukan tongkatku!" ujar Kakek Putih, 
senang sekali melihat Arum Sari tak menolak kein-
ginan mereka. 
"Hm...! Sebenarnya aku tak senang dengan la-
tihan ini, Kek. Tapi, berhubung kalian terlalu me-
maksa, yah.... Apa boleh buat?" 
"Kita hanya berlatih. Ingat! Kita hanya berta-
rung bohong-bohongan,"  kekeh  Kakek Kelabu tak 
dapat menyembunyikan perasaan senang. 
"Sekarang, begini. Berhubung kami berjumlah 
dua orang, kalian boleh menyerang satu di antara 
kami. Atau, dua-duanya. Demikian juga dengan ka-
mi. Kami boleh saja menyerang Siluman Ular Pulih 
maupun gadis cantik itu. Bagaimana?" tambal Ka-
kek Putih. 
"Baik. Apa pun cara main kalian, kami menu-
rut!" putus Arum Sari tak sabar. 
"Bagus-bagus! Memang itulah yang kami in-
ginkan." 
Tanpa banyak cakap, Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu segera menerjang Siluman Ular Pulih dan 
Arum Sari dengan jurus-jurus andalan. Tongkat di 
tangan mereka telah berkelebat cepat, mengurung 
kedua anak muda itu. 
Wut! Wuttt!    
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular 
Putih segera memainkan jurus andalan ‘Terjangan 
Maut Siluman Ular Putih’. Kedua telapak tangannya 
yang telah membentuk kepala ular telah meliuk-liuk 
indah di antara gulungan-gulungan tongkat. Dan 
dengan satu gerak tipu yang cukup manis, tiba-tiba 
kedua patukan tangan Siluman Ular Putih telah 
mengancam dada Kakek Putih. 
"Ah...!" Kakek Putih terkesiap kaget. Sungguh 
tak disangka kalau akan mendapat serangan demi-
kian hebatnya. Padahal tadi, ia sebenarnya sedang 
mendesak Siluman Ular Putih. 
Menyadari dadanya hendak jadi sasaran em-
puk, Kakek Putih segera menarik mundur tubuhnya 
ke belakang. Sambil bergerak, tongkat di tangan ka-
nannya cepat mengayun ke bawah. 
"Hup!" 
Tiba-tiba Siluman Ular Putih berkelit ke 
samping. Saat itu pula patukan tangan kanannya te-
lah meluncur ke iga Kakek Putih.  
Tuk! Tukkk!  
"Aaah...!" 
Dua kali iga kiri Kakek Pulih terkena patukan 
tangan Siluman Ular Putih hingga kontan menjerit 
kesakitan. Parasnya pias, saking terkejutnya. Iganya 
yang terkena patukan tadi terasa ngilu bukan main. 
Kalau saja Siluman Ular Pulih mengeluarkan tenaga 
dalam tinggi, bukan mustahil iga Kakek Putih akan 
remuk. Tapi, Soma tadi memang sengaja hanya 
mengerahkan sebagian dari kekuatan tenaga dalam-
nya. 
"Hebat! Kau memang pantas menyandang ge-
larmu, Bocah Gondrong! Tapi, ingat! Aku belum ka-
lah," teriak Kakek Putih penuh kagum. 
"Sudahlah! Tak ada gunanya kita meneruskan 
pertarungan ini. Baiknya hentikan saja, Kek!" ujar 
Siluman Ular Putih tak melanjutkan pertarungan. 
"Tidak bisa! Kau hutang satu pukulan, Bocah. 
Mana mungkin aku membiarkanmu kalau aku be-
lum membayar impas!" tandas Kakek Pulih, seraya 
bergerak menerjang. 
Siluman Ular Putih sebenarnya ingin mem-
bantah. Namun manakala tongkat di tangan Kakek 
Pulih kembali bergulung-gulung cepat menyerang 
dirinya, tak ada pilihan lain kecuali harus melade-
ninya. 
Buk! Bukkk! 
"Augh...!" 
"Heh...?!" 
Siluman Ular Putih tersentak kaget ketika 
mendadak dikejutkan teriakan Arum Sari di sebe-
lahnya. Tampak tubuh gadis cantik itu terbanting 
keras. Hal ini membuat Soma gusar bukan main. 
Buru-buru ditinggalkannya Kakek Putih dan segera 
menghampiri Arum Sari. 
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Arum?" tanya Si-
luman Ular Putih cemas. 
Arum Sari meringis kesakitan. Bibirnya yang 
kemerah-merahan digigit kuat-kuat. Lalu kepalanya 
menggeleng lemah. 
Siluman Ular Putih jadi jengkel sekali. Ia hen-
dak memaki Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Tapi 
kedua orang tua aneh itu malah sudah berjongkok 
di sampingnya. 
"Aduuuh...! Kenapa jadi begini? Aku tadi 
hanya memukul biasa. Tapi kenapa begini akibat-
nya?" keluh Kakek Kelabu, penuh sesal. Wajahnya 
yang penuh keriput mendadak jadi murung. "Maaf-
kan aku, ya! Aku benar-benar tak ingin mencelaka-
kanmu. Tapi... Tapi...." 
"Aduh...! Kenapa kalian jadi ribut! Katanya 
tak ingin mencelakakan temanku. Tapi buktinya te-
manku terluka," semprot Siluman Ular Putih. 
"Yah...! Namanya juga latihan. Terkadang la-
tihan kan bisa saja terkena pukulan agak keras. Ja-
di, kau tak pantas menyalahkan adikku!" kilah Ka-
kek Putih membela adik kembarnya. 
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Kau memang tidak 
bermaksud mencelakakan temanku," ujar Siluman 
Ular Putih seraya menghela napas. 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu jadi berpan-
dangan sendiri. Entah, apa maksud pandang mata 
kedua orang tua aneh itu. Namun menilik parasnya 
yang murung jelas kalau mereka sebenarnya juga 
tak menginginkan kejadian itu. 

Siluman Ular Putih tak begitu menggubris 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu. Ia terus saja meno-
tok beberapa jalan darah di tubuh Arum Sari. 
"Minumlah obat ini! Pasti lukamu cepat sem-
buh, Gadis!" ujar Kakek Putih mengulurkan sebuah 
obat berwarna kuning ke arah Arum Sari. 
Arum Sari ragu-ragu sebentar. Demikian juga 
Siluman Ular Putih. 
"Kenapa melongo? Ragu-ragu, ya? Ini bukan 
racun. Ini obat penambah kekuatan bagi orang-
orang yang terluka. Kalau tak percaya, lihat!" Tiba-
tiba Kakek Putih menelan pil dalam genggaman tan-
gannya. "Tidak apa-apa, kan?" 
Arum Sari dan Siluman Ular Putih saling ber-
pandangan sebentar. 
"Sudah! Jangan ragu-ragu! Masa' aku ingin 
mencelakakan kalian, sih! Ayo, telan obat ini!" ujar 
Kakek Pulih lagi, kembali menyodorkan sebutir obat 
berwarna kuning yang baru saja diambil dari kan-
tung kecil yang menggelantung di pinggang. 
"Hm...! Baiklah. Kukira kau memang benar, 
Kek. Minumlah, Arum. Aku yakin orang tua itu tak 
mungkin mencelakakanmu," ujar Siluman Ular Pu-
tih, memungut obat  berwarna kuning dari telapak 
tangan Kakek Pulih. "Minumlah, Arum!" 
Arum Sari memandang Siluman Ular Putih 
seksama 
"Baiklah. Kukira orang tua itu memang tak 
salah. Aku sendiri yang salah, kenapa jadi teledor? 
Kalau aku tak teledor, tak mungkin terluka begini," 
kata Arum Sari. Tangan kanannya pun segera men-
jumput sebutir obat berwarna kuning di tangan Si-
luman Ular Putih dan menelannya. 
Selang beberapa saat, napas Arum Sari pun 
tak lagi memburu. Dadanya yang tadi terkena gebu-
kan tongkat Kakek Kelabu lebih enakan. 
"Iya, kan? Kami tak bermaksud mencelaka-
kan kalian," kata Kakek Putih bangga dengan obat 
yang diberikan tadi. 
"Terima kasih atas obatmu tadi, Kek. Teman-
ku kini sedikit mendingan. Oh, ya. Kakek berdua 
mau ke mana?" tanya Siluman Ular Putih. 
"Wah...! Kita diusir, Kelabu," ujar Kakek Putih 
terlalu perasa. 
"Sudahlah, Kang! Bagaimanapun juga kita 
yang salah! Kalau sekarang bocah gondrong itu 
mengusir kita, ya... apa boleh buat? Kita turuti saja 
kemauannya." 
"Hm...! Sebenarnya aku belum puas. Bocah 
gondrong itu masih punya hutang satu pukulan pa-
daku. Aku belum sempat membayarnya," gumam 
Kakek Putih seraya mengerling ke arah Siluman Ular 
Putih. 
"Ah...! Kalian ini bagaimana sih? Kalau kalian 
mau pergi, pergilah!" kata Siluman Ular Putih. 
"Baik-baik. Kami memang ingin pergi," sungut 
Kakek Putih. 
"Sudahlah, Kang! Ayo, kita tinggalkan tempat 
ini!" Kakek Kelabu cepat meraih lengan Kakek Putih. 
Terdorong rasa bersalahnya, segera digeretnya 
Kakek Putih untuk cepat meninggalkan tempat ini. 
Dan hanya dalam beberapa kelebatan saja, sosok 
mereka telah menghilang di kejauhan sana tertelan 
kerimbunan hutan. 
Siluman Ular Putih menghela napas panjang. 
"Sekarang bagaimana keadaanmu. Arum? 
Sudah mulai membaik?" tanya Siluman Ular Putih 
penuh perhatian. 
Arum Sari tersenyum samar. Entah kenapa, 
hatinya jadi rusuh sekali. Bukannya rusuh memi-
kirkan dadanya yang masih sedikit sesak, melainkan 
karena memikirkan seraut wajah tampan di hada-
pannya. 
"Aku sudah mendingan. Soma. Memang da-
daku masih sedikit nyeri. Tapi, kukira tak apa-apa. 
Mungkin sebentar lagi juga sembuh," ucap Arum Sa-
ri dengan senyum manis terkembang di bibir. 
Sewaktu Arum Sari menyebutkan kalau da-
danya masih sedikit nyeri, tanpa sadar  Soma pun 
melirik ke bagian tubuh yang dimaksudkan gadis 
itu. Dilihatnya, pakaian yang menutupi dada si gadis 
memang sedikit terkuak lebar, menampakkan seba-
gian bukit kembarnya yang membusung indah. 
"Ah...! Kau nakal, Soma!" Arum Sari membe-
rengut manja. Tanpa malu-malu, pakaiannya yang 
robek segera dibetulkan. 
Soma malah cengar-cengir. Entah kenapa 
tangannya lantas bergerak ke atas, menggaruk-
garuk kepala  
"Sudah, kan?" tanya gadis itu.  
"Ya," gumam Soma kaku. Mungkin kecewa 
dengan perbuatan Arum Sari yang membetulkan ba-
ju atau mungkin juga sebaliknya. "Bagaimana kea-
daan mu sekarang? Apa sudah dapat untuk melan-
jutkan perjalanan?" 
"Hm...! Baiknya sebentar lagi saja, Soma. Aku 
ingin bersemadi barang sebentar untuk memulihkan 
tenaga dalam," pinta Arum Sari. 
"Baiklah." 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu terus berkele-
bat cepat ke utara. Sesekali terdengar gerutuan ke-
dua tokoh aneh itu karena merasa tak puas dengan 
apa yang baru saja dialami. Meski telah bertarung 
beberapa jurus, tetapi Dua Orang Tua Aneh Putih 
Kelabu merasa tak puas karena belum sepenuhnya 
menguji kepandaian Siluman Ular Putih. 
Hal ini terutama sekali dialami oleh Kakek 
Putih. Maksud hatinya dalam menguji kepandaian 
Siluman Ular Putih harus terpangkas. Dan ini se-
mua gara-gara Kakek Kelabu yang tidak dapat men-
gendalikan diri, sehingga membuat Arum Sari terlu-
ka. 
"Sial. Sudah ketemu orangnya, malah diusir. 
Gagal sudah keinginanku untuk menguji kepan-
daian Siluman Ular Putih. Dan ini semua gara-gara 
kau, Kelabu!" sungut Kakek Putih kesal. 
"Eh...! Jangan sembarangan menuduh, Kang! 
Aku sendiri juga tak menginginkan hal ini. Tapi, ga-
dis itu memang brengsek. Kalau tak becus mengha-
dapiku, kenapa petentang-petenteng lagak. Huh!" 
dengus Kakek Kelabu, menyalahkan Arum Sari. 
"Jangan menyalahkan orang lain! Kau sendiri 
harusnya tahu diri. Sudah tahu gadis itu berkepan-
daian tak seberapa, kenapa kau mencelakakannya?" 
"Aku tak mencelakakannya!" kilah Kakek Ke-
labu seraya membantingkan  kaki kesal. Sepasang 
matanya yang kelabu berkilat-kilat. 
"Heh?! Tak mencelakakannya?" Kakek Putih 
menjengekkan hidung. "Buktinya? Kau melukainya. 
Bahkan kaulah yang menggagalkan rencana kita un-
tuk menguji kepandaian Siluman Ular Putih." 
Bukan main kesalnya Kakek Kelabu selalu 
disalahkan begitu. Ia tidak terima diperlakukan se-
perti ini. 
"Kupret! Kau benar-benar kupret, Kang! Kalau 
masih bersikeras ingin menguji kepandaian Siluman 
Ular Putih, ayo sekarang hadapi aku! Anggap saja 
aku Siluman Ular Putih," makinya. 
Kakek Putih terkekeh. Telunjuk jarinya me-
nuding tepat di jidat Kakek Kelabu. 
"Mana bisa kau disamakan dengan Siluman 
Ular Putih. Ia masih muda, tampan, dan berkepan-
daian tinggi. Kau ini...?" 
Kakek Putih tak melanjutkan ucapannya, dan 
kembali terkekeh senang. 
"Jangan menghina, Kang! Biar begini aku ma-
sih sanggup menghadapi Siluman Ular Putih. Tak 
seperti kau yang tadi sempat dibuat bulan-bulanan 
oleh pemuda gondrong itu. Hih...! Kalau saja Silu-
man Ular Putih mau, bukan mustahil nyawamu su-
dah minggat, Kang!" balas Kakek Kelabu. 
"Eh...! Enak saja kau ngomong! Kau pikir Si-
luman Ular Putih itu apa, he?! Dia itu pendekar be-
sar. Sudah pasti aku tak mampu menghadapinya. 
Apalagi kau! Menghadapiku saja masih pontang-
panting!" tangkis Kakek Putih. 
"Jadi? Kau menantangku bertarung, Kang? 
Kau.... Kau....." 
Kakek Kelabu menggeretakkan gerahamnya 
jengkel. 
"Baik kalau memang itu yang kau inginkan! 
Jangan dikira aku takut menghadapimu, Kang!" de-
sisnya, geram. 
"Kau memang tak tahu diri, Kelabu! Sudah 
salah, pakai ngotot menantangku bertarung lagi." 
"Jangan banyak omong, Kang! Sekarang ten-
tukan, siapa yang lebih jago di antara kita. Kau, 
atau aku. Kalau aku dapat dikalahkan, aku akan 
patuh pada apa maumu. Tapi kalau kau yang kalah, 
kau yang harus menuruti semua kemauanku." 
"Baik." 
Panas juga akhirnya hati Kakek Putih men-
dapat tantangan begitu, ia yang merasa lebih dulu 
melihat terangnya dunia, jelas merasa terhina men-
dengar tantangan adik kembarnya. Namun sebelum 
kedua orang tua itu beradu kepandaian.... 
"Tikus-tikus busuk! Kalian berdua harus ber-
tanggung jawab atas tewasnya Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni!" 
* * * 
Kakek Putih dan Kakek Kelabu melengak ka-
get begitu mendengar bentakan menggetarkan. Se-
ketika mereka segera berpaling ke arah datangnya 
suara. Ternyata, tak jauh dari mereka lelah berdiri 
seorang kakek yang jauh lebih tua dibanding mere-
ka. Tubuhnya tinggi kurus dibungkus kain kafan. 
Rambut, alis mata, dan bulu mata semua berwarna 
putih. Sepasang matanya mencorong bak sepasang 
mata serigala. Wajahnya pun amat mengerikan, mi-
rip wajah mayat hidup yang baru bangkit dari liang 
lahat. 
"Penghuni Kubur...!" desis Kakek Putih dan 
Kakek Kelabu hampir bersamaan, mengenali sosok 
yang baru datang ini. 
Sosok lelaki renta di hadapan Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu yang tak lain Penghuni Kubur 
hanya mendengus. Sepasang matanya yang menco-
rong makin berkilat-kilat mengerikan. 
"Hm...! Sayang sekali bocah gondrong itu tak 
bernasib bagus. Seharusnya dia yang harus bertemu 
memedi sawah ini. Tapi,  tak kusangka malah aku 
dan Kelabu yang harus bertemu," gumam Kakek Pu-
tih dalam hati. 
"Kau ingin mengungkit-ungkit kami, Penghu-
ni Kubur? Ingat! Kau salah alamat. Kami berdua 
merasa tak pernah membunuh Empat Iblis Merah. 
Lantas buat apa kau menghadang langkah kami?!" 
bentak Kakek Kelabu. Hatinya bergetar juga melihat 
sepasang mata Penghuni Kubur. 
"Jangan banyak bacot! Di kolong dunia persi-
latan hanya Ratu Pring Sewu dan kalian berdua sa-
jalah yang memiliki pukulan ‘Tongkat Penggebuk Ib-
lis’. Kalau tidak, mana mungkin adik-adik sepergu-
ruanku tewas di tangan kalian. Di samping itu, aku 
yakin kalian tentu telah main keroyok untuk mem-
bunuh Empat Iblis Merah. Maka sekarang, kalian 
tak mungkin dapat mengelak dari kematian!" dengus 
Penghuni Kubur. 
"Hm...! Lagakmu pongah sekali, Penghuni 
Kubur. Kau pikir kami takut mendapat gertak sam-
balmu?" geram Kakek Putih. "Kalau kami memang 
terlibat atas tewasnya Empat Bajingan Merah dari 
Hutan Seruni, kau mau apa, he?!" lanjut Kakek Pu-
tih sengit. 
"Bagus! Berarti tak salah lagi! Siapa pun juga 
yang berani mengganggu adik-adik seperguruanku, 
berarti mati! Tak peduli kalian berdua, Ratu Pring 
Sewu, maupun Eyang Begawan Kamasetyo sekali-
pun!" 
"Jadi? Ap.... Apakah kau telah membunuh 
mereka?" tanya Kakek Kelabu, ragu-ragu membuka 
suara. Seolah, lidahnya terasa kelu. 
"Belum semua. Yang jelas, nenek jelek itu su-
dah modar di tanganku!" sahut Penghuni Kubur, 
lantang. 
"Apa? Kau telah membunuh Ratu Pring Se-
wu?" Kakek Putih dan Kakek Kelabu terperangah 
nyaris bersamaan. 
"Tak ada gunanya kau tanyakan ini. Karena, 
sebentar lagi kalian berdua akan segera menyusul!" 
"Setan alas! Kalau begitu, justru kaulah yang 
harus mampus di tangan kami, Penghuni Kubur!" 
teriak Kakek Putih, tak dapat lagi mengendalikan 
amarah. Maka saat itu pula kedua tangannya berge-
rak menghantam ke arah Penghuni Kubur. Serangan 
itu pun diikuti oleh Kakek Kelabu yang juga telah 
menghentakkan kedua tangannya. 
Wuut! Wuuut! 
Dari kedua telapak tangan Dua Orang Tua 
Aneh Putih Kelabu masing-masing melesat dua larik 
sinar terang yang sekaligus berisi hawa panas bukan 
kepalang! 
Melihat serangan itu, jelas sekali kalau mere-
ka ingin segera menuntaskan persoalan dengan 
Penghuni Kubur secepatnya. 
Di depan sana, Penghuni Kubur sama sekali 
tidak membuat gerakan, seolah tak mempedulikan 
serangan. Tentu saja hal ini membuat Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu harus membelalakkan mata sak-
ing herannya. Malah Penghuni Kubur tampak terse-
nyum dingin. Tapi begitu senyumnya terputus tiba-
tiba, kedua telapak tangannya tahu-tahu telah 
menghentak ke depan. 
Weeess! Weeeeeesss! 
Saat itu pula melesat dua bola asap sebesar 
roda pedati diiringi suara berderak. Dan begitu sinar 
terang berwarna kuning yang dilepaskan Kakek Pu-
tih dan Kakek Kelabu berbenturan dengan dua bola 
asap yang melesat dari kedua telapak tangan Peng-
huni Kubur... 
Blesss...! 
Laksana memiliki daya betot luar biasa, em-
pat larik sinar terang dari kedua telapak tangan Ka-
kek Putih dan Kakek Kelabu lenyap ke dalam gulun-
gan dua bola asap! Di lain saat, tempat pertarungan 
kontan terguncang hebat meski tak ada ledakan su-
ara yang berarti akibat bentrokan tenaga dalam 
tingkat tinggi barusan. Gulungan bola-bola asap ter-
lihat ambyar berkeping-keping, memporak-
porandakan apa saja yang ada di sekitar tempat per-
tarungan. Pohon-pohon pun berderak, menggugur-
kan daun-daunnya yang hangus terbakar! 
Tepat ketika dua gulungan bola asap tadi am-
byar, sosok Kakek Pulih dan Kakek Kelabu terjajar 
beberapa langkah ke belakang dengan paras pucat 
pasi. Beberapa saat tubuh mereka bergetar hebat 
dengan napas memburu! 
Bagaimana nasib Penghuni Kubur? Ternyata 
lelaki sesat ini hanya tampak bergoyang-goyang saja. 
Sepertinya, pukulan Kakek Putih dan Kakek Kelabu 
tak begitu berarti. Meski demikian, tenaga dalamnya 
cepat dikerahkan untuk menyusun kekuatan kem-
bali. 
"Saat inilah kalian harus merasakan balasan-
ku! Heaa!" 
Diiringi teriakan dahsyat, tiba-tiba Penghuni 
Kubur kembali menghentakkan kedua telapak tan-
gannya. Tak dapat dicegah lagi, saat itu pula melu-
ruk dua larik cahaya merah darah yang siap mela-
brak tubuh Kakek Putih dan Kakek Kelabu. 
"Heh?!" 
Dua Orang Tua Aneh Pulih Kelabu itu terbela-
lak dengan mulut terbuka lebar. Tapi mereka segera 
memapak dengan pukulan 'Tongkat Penggebuk Iblis' 
andalan mereka. 
Wesss! Wesss! 
Begitu kedua tangan mereka yang menghen-
tak, seketika meluruk empat larik sinar kuning yang 
diiringi hawa panas bukan kepalang. Lalu.... 
Blammm! 
Hebat bukan main bentrokan tiga tenaga da-
lam tingkat tinggi yang terjadi saat ini. Seketika bu-
mi bergetar hebat laksana terjadi gempa dahsyat. 
Debu-debu beterbangan memenuhi tempat perta-
rungan. 
Tepat ketika terdengar ledakan, Kakek Putih 
dan Kakek Kelabu terpental jauh ke belakang. Tu-
buh mereka berputar-putar sebentar, lalu terbanting 
keras di tanah dengan paras pias. Mereka meringis, 
menahan hentakan-hentakan dalam dada. Dan....  
"Uoooeekh...!" 
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Kakek Putih dan Kakek Kelabu. 
Meski telah berusaha mengerahkan tenaga dalam, 
namun tetap saja dada mereka terasa nyeri bukan 
main. Seolah-olah, ada satu kekuatan dahsyat yang 
mengaduk-aduk dalam dada. Namun begitu mereka 
berusaha untuk bangkit. 
Penghuni Kubur tertawa bergelak. Selangkah 
demi selangkah didekatinya Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu yang sudah dapat berdiri meski sempoyon-
gan. Ketika berada dua tombak dari kedua lawan, le-
laki tua sesat melompat melepas tendangan dahsyat. 
Tak ada waktu bagi Kakek Putih dan Kakek 
Kelabu untuk menghindar. Mereka hanya membela-
lakkan mata, pasrah menunggu ajal. Dan.... 
Desss! Desss!  
"Aaakh...!" 
Kakek Pulih dan Kakek Kelabu meraung se-
tinggi langit. Tanpa ampun tubuh mereka terlempar 
jauh ke belakang. Begitu menabrak batang pohon 
dan menggeloso di tanah, tubuh mereka tidak berge-
rak-gerak sama sekali! 
"Itulah balasannya! Siapa pun juga yang be-
rani mengganggu adik-adik seperguruanku, berarti 
mati! Sekarang giliran tua bangka dari Gunung Bu-
cu yang harus modar di tanganku!" geram Penghuni 
Kubur. 
Di ufuk timur, matahari baru saja menam-
pakkan sinarnya yang kuning kemerahan. Beberapa 
burung liar ramai membanggakan kicauannya di 
ranting-ranting pohon. Suaranya merdu seolah ingin 
menyambut datangnya sang Raja Siang. Sementara 
gumpalan-gumpalan awan putih berarak-arak per-
lahan tertiup semilir angin. 
Dalam terpaan lembut angin pagi di lereng 
Pegunungan Dieng, seorang kakek tua renta tengah 
berdiri mematung memandang lembah yang meng-
hampar di hadapannya. Laksana tonggak hidup, se-
pasang matanya yang bersih terus terarah pada pe-
mandangan indah di hadapannya namun dengan ta-
tapan kosong. Raut wajahnya yang putih bersih 
tampak berselimut duka. Agak-nya, kakek tua yang 
rambut putihnya digelung ke atas ini tengah dilanda 
keresahan. 
Siapakah sebenarnya kakek renta ini? 
Menilik ciri-cirinya, lelaki tua ini memang tak 
lain dari Eyang Begawan Kamasetyo. Tentu ada satu 
hal yang amat mendesak dan menggelisahkan ha-
tinya sehingga membuatnya keluar dari tempat per-
tapaan. 
"Ke manakah Ratri pergi? Kenapa sudah dua 
hari ini belum kembali ke tempat pertapaan? Hm...." 
Eyang Begawan Kamasetyo menggumam da-
lam hati. Napasnya ditarik panjang-panjang, seolah-
olah ingin melenyapkan keresahan dalam hatinya 
dalam tarikan napasnya. Rupanya, inilah yang 
membuat hatinya gundah. 
"Kasihan sekali nasib putriku. Sudah berta-
hun-tahun bertapa, Yang Maha Kuasa belum juga 
mengabulkan keinginannya. Sehingga, putriku tetap 
berwujud seekor ular putih. Menyedihkan...." 
Eyang Begawan Kamasetyo termangu-mangu 
di tempatnya. Ia jadi berpikiran yang bukan-bukan. 
Karena penderitaan putri kesayangannya itulah 
yang membuatnya lebih senang mengasingkan diri 
dari dunia persilatan. Lelaki tua ini merasa harus 
menemani anaknya bertapa. 
"Mungkinkah hanya karena rasa rindunya 
dengan Soma hingga membuat putriku keluar dari 
tempat pertapaannya? Hm... Bisa jadi. Tapi, cucuku 
sendiri juga kebangetan. Sudah berbulan-bulan tak 
kunjung datang menjenguk ibunya di Gunung Bu-
cu...." 
Sekali lagi, Eyang Begawan Kamasetyo meng-
hela napasnya panjang. Berpikir sampai di situ, di-
am-diam hatinya jadi maklum kenapa putrinya ha-
rus keluar dari tempatnya bertapa. Memang, Soma 
adalah segala-galanya bagi Siluman Naga Puspa. 
Pemuda itu satu-satunya putra kesayangan Siluman 
Naga Puspa. Terdorong sifat keibuannya, Ratri ru-
panya tak dapat menahan rindu yang mendera hati. 
Cuma yang disayangkan Eyang Begawan Kamasetyo, 
kenapa putrinya tak mau pamit? 
Sudah dua hari dua malam Eyang Begawan 
Kamasetyo keluar masuk hutan mencari putrinya, 
namun belum juga menemukan Siluman Ular Putih. 
"Ke mana lagi aku harus mencari putriku? Ya 
mudah bagiku mencari Ratri yang tentu saja lebih 
banyak menyembunyikan diri di semak belukar bila 
bertemu manusia. Hm...! Tapi biar bagaimanapun 
juga, aku tetap harus mencari. Sesulit apa pun!" 
tandas hati Eyang Begawan Kamasetyo memu-
tuskan. 
Eyang Begawan Kamasetyo segera berbalik 
bermaksud meninggalkan tempat itu. Namun baru 
saja hendak melangkah, tiba-tiba matanya melihat 
sesosok bayangan tengah melenggang santai di jalan 
setapak dengan tongkat terantuk-antuk di tangan. 
Melihat siapa yang tengah berjalan, raut wajah 
Eyang Begawan Kamasetyo kontan berseri-seri. 
"Sobatku Raja Penyihir! Cepat kemari!" 
Meski Eyang Begawan Kamasetyo telah me-
manggil, namun toh tetap berkelebat juga mendekati 
sosok yang dilihatnya sebagai Raja Penyihir. 
* * * 
"Kau...!" 
Kerutan di kening Raja Penyihir tampak ma-
kin banyak. Hatinya merasa heran sekali melihat 
kemunculan Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, apa 
yang ingin kau ucapkan," ujar Eyang Begawan Ka-
masetyo begitu berada di dekat Raja Penyihir. 
Raja Penyihir alias Ki Damar Suto melengos. 
Rupanya ia tak senang mendengar bentakan lelaki 
tua di hadapannya. 
"Apa kau sudah menemukan cucuku, Sobat?" 
terabas Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Jangan banyak tanya! Aku sudah tahu, kau 
pasti akan menanyakan hal itu," balas Raja Penyihir 
ketus, menirukan gaya bicara Eyang Begawan Ka-
masetyo tadi. 
"Jangan bercanda, Sobat! Aku bersungguh-
sungguh." 
"Siapa bercanda? Aku tidak bercanda. Justru 
aku sedang mencari cucu brengsekmu. Tapi, kenapa 
kau tak sabar amat untuk segera bertemu cucumu?" 
hardik Raja Penyihir. 
"Bukannya aku tak sabar. Tapi...." 
"Ngomong plintat-plintut! Bilang saja kau juga 
kangen pada cucu brengsekmu itu, kan?" potong Ra-
ja Penyihir. 
"Putriku pergi...." 
"Apa? Putrimu pergi?" sentak Raja Penyihir 
kaget dengan mata membelalak. "Mustahil. Bukan-
kah putrimu sedang bertapa di sampingmu? Mana 
mungkin ia meninggalkanmu begitu saja!" 
"Kau makin cerewet saja, Sobat! Kalau putri-
ku tak pergi, mana mungkin aku meninggalkan 
tempat pertapaanku," cibir Eyang Begawan Kama-
setyo. 
"Oh...! Ya ya ya...! Jadi, kau sedang mencari 
putrimu, he?!" kata Raja Penyihir. 
Eyang Begawan Kamasetyo diam tak menya-
hut, seolah tak berhasrat lagi meladeni ucapan Raja 
Penyihir. 
Didiamkan seperti itu, Raja Penyihir malah 
jadi uring-uringan sendiri. Ia berjalan mondar-
mandir tak tentu arah. Tongkat di tangan kanannya 
diketuk-ketukkan ke tanah seenak hati. 
"Sekarang apa kau juga ingin melimpahkan 
tugas itu padaku, Kamasetyo?" tanya Raja Penyihir 
dengan nada kesal. 
"Maksudmu?" 
"Kau bermaksud menyuruhku mencari Silu-
man Ular Putih, sekalian mencari putrimu?" 
"Siapa yang ngomong begitu? Tapi kalau kau 
tak keberatan, aku akan senang." 
"Enak saja! Kita cari berdua, tahu?! Untung 
aku masih berbaik hati. Kalau tidak, mana sudi aku 
membantumu!" 
"Baiklah. Ayo, kita cari putriku," sahut Eyang 
Begawan Kamasetyo akhirnya. 
"Biasanya ke mana putrimu pergi, Kama-
setyo?" 
"Mana aku tahu? Putriku hampir tak pernah 
keluar dari tempatnya bertapa." 
"Hm...! Kalau begitu, ya.... Tak ada pilihan 
lain. Rupanya, kita memang diharuskan mencarinya 
sendiri, Kamasetyo." 
Sebenarnya Eyang Begawan Kamasetyo ingin 
sekali membantah ucapan Raja Penyihir. Namun 
mungkin karena malas bertengkar mulut, akhirnya 
hanya menurut saja. Dan tatkala Raja Penyihir ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu, Eyang Be-
gawan Kamasetyo segera menyusul. 
Matahari sudah berada sepenggalah di ufuk 
timur. Sengatannya belum begitu panas menyirami 
sebuah hutan kecil di sekitar kaki Pegunungan Di-
eng. Di tengah hutan, dua orang anak muda berke-
lebat cepat, menuju dataran tinggi dieng melalui le-
reng sebelah timur. Suara canda mereka sesekali 
terdengar memecah kesunyian hutan. Yang satu 
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Sedang 
di sebelahnya seorang pemuda tampan berambut 
gondrong dengan pakaian rompi dan celana bersisik 
warna putih keperakan. Mereka tidak lain adalah Si-
luman Ular Putih dan Arum Sari. 
Memang setelah luka dalam Arum Sari sem-
buh, Soma tak ingin membuang-buang waktu untuk 
mengejar Penghuni Kubur yang bermaksud ingin 
menyatroni puncak Gunung  Bucu tempat tinggal 
eyang dan ibunya. 
"Tunggu, Soma! Coba perhatikan tempat ini 
baik-baik! Tampaknya seperti baru saja terjadi per-
tarungan di sini," ujar Arum Sari, tiba-tiba seraya 
menghentikan langkah. 
Siluman Ular Putih ikut menghentikan lang-
kah di samping Arum Sari. Mungkin karena pikiran-
nya sedang rusuh memikirkan sepak terjang Peng-
huni Kubur yang bermaksud menyatroni Gunung 
Bucu, sehingga Soma tak begitu menghiraukan kea-
daan sekitar. Kenyataannya setelah diperhatikan, 
tempat itu memang tampak seperti baru saja terjadi 
pertarungan besar. Tanah bebatuan di sekitarnya 
terbongkar. Banyak pohon yang tumbang. Sementa-
ra percikan-percikan darah yang belum kering jelas 
terlihat, menandakan kalau di sekitar tempat itu 
memang baru saja terjadi pertarungan. 
"Kau benar, Arum. Tampaknya tempat ini 
memang baru saja terjadi pertarungan besar. Tapi, 
rasa-rasanya tempat ini tak perlu diteliti lagi. Uru-
san kita masih menunggu di puncak Gunung Bucu. 
Aku tak ingin terlambat, Arum. Ayo, kita teruskan 
perjalanan," tandas Soma, tegas. 
"Tunggu, Soma! Apa kau tak lihat di bawah 
pohon itu tergeletak dua sosok mayat?" sergah Arum 
Sari. 
Tanpa menunggu jawaban. Arum Sari cepat 
berkelebat ke tempat yang dimaksud. Begitu sampai, 
si gadis kontan memekik kaget melihat dua sosok 
tubuh yang tewas amat mengerikan. Sekujur tubuh 
kedua mayat itu hancur. Namun dari pakaian yang 
dikenakan, Arum Sari masih dapat mengenali. 
"Kakek Putih dan Kakek Kelabu...!" desis 
Arum Sari. "Siapa yang melakukan perbuatan keji 
ini?" 
Siluman Ular Putih yang kembali tak begitu 
bersemangat kini jadi tersentak kaget manakala 
Arum Sari menyebutkan nama mayat Kakek Pulih 
dan Kakek Kelabu. Dengan sekali berkelebat. Soma 
telah berdiri tegak di samping Arum Sari. 
"Hm...! Siapa lagi yang telah melakukan per-
buatan keji ini...?"gumam Siluman Ular Putih. Diteli-
tinya mayat kedua orang tua aneh itu seksama. Ter-
nyata pemuda ini menemukan tanda-tanda yang 
sama dengan yang dialami Ratu Pring Sewu. 
"Tampaknya orang yang melakukan perbua-
tan keji ini sama," duga Siluman Ular Putih. 
"Maksudmu?" tanya Arum Sari. 
"Hm...!" Siluman Ular Putih mengerutkan 
kening. 
"Ratu Pring Sewu menemui ajal dengan seku-
jur tubuh memerah. Malah kedua telapak hingga 
lengan hangus terbakar. Keadaan mayat kedua 
orang tua ini pun sama. Tampaknya mereka sama-
sama terkena pukulan yang juga dialami Ratu Pring 
Sewu. Jadi kesimpulanku, yang melakukan semua 
perbuatan keji ini satu orang."  
"Maksudmu..., Penghuni Kubur?"  
"Yah...!" Siluman Ular Putih mengangguk. 
"Baiknya cepat kita kubur kedua mayat orang tua 
ini. Arum. Aku tak ingin Penghuni Kubur sampai le-
bih dulu di Gunung Bucu...." 
Arum Sari tak banyak membantah. Memang, 
hanya lewat cara itulah bila mereka ingin segera 
sampai di puncak Gunung Bucu. 
Penghuni Kubur mengedarkan pandangannya 
ke sekeliling, menyapu hamparan pasir dan bongka-
han-bongkahan batu besar kecil yang berserakan di 
sekitar puncak Gunung Bucu. Lelaki berbalut kain 
kafan ini menggeram penuh kemarahan ketika sama 
sekali tak menemukan tandan-tanda kalau Eyang 
Begawan Kamasetyo berada di puncak gunung itu. 
"Kamasetyo! Keluar! Aku datang meminta per-
tanggungjawaban mu  atas tewasnya empat orang 
adik seperguruanku!" teriak Penghuni Kubur lan-
tang. Suaranya menggema memenuhi puncak gu-
nung, membuat binatang-binatang yang hidup di 
sekitar tempat ini pontang-panting ketakutan. 
Tak ada sahutan. Hanya pantulan suara te-
riakannya saja yang terdengar bergema. 
"Sekali lagi kau belum juga menampakkan 
batang hidungmu, jangan salahkan kalau aku ter-
paksa mengobrak-abrik puncak gunung ini, Kama-
setyo!" geram Penghuni Kubur, tak dapat lagi mena-
han amarah. 
Tetap tak ada jawaban. 
Habis sudah kesabaran Penghuni Kubur. Ge-
rahamnya terlihat makin mengeras. Kedua pelipis-
nya pun bergerak-gerak. Jelas sekali kalau lelaki se-
sat ini tak sabar lagi untuk bertemu Eyang Begawan 
Kamasetyo yang selama ini dicurigai sebagai pem-
bunuh Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni. 
"Bajingan! Kau belum mau muncul juga, Ka-
masetyo!" 
Penghuni Kubur menghentakkan kakinya 
kuat-kuat. Seketika, puncak Gunung Bucu bergetar 
hebat. Bongkahan-bongkahan batu dan pasir ber-
hamburan tinggi ke udara, membuat pemandangan 
di sekitarnya berselimut debu. Dan ketika debu yang 
membubung sirna tertiup angin, saat itu pula tercip-
ta sebuah kubangan besar bekas pijakan kaki Peng-
huni Kubur. 
"Bajingan! Benar-benar bajingan kau, Kama-
setyo! Ayo, tunjukkan dirimu! Jangan pengecut, 
Kamasetyo! Keluar! Kita tentukan nasib kita di sini. 
Kau atau aku yang lebih dulu berkalang tanah!" 
sumpah serapah Penghuni Kubur meluncur begitu 
saja. 
Namun  tetap tak ada tanda-tanda kalau 
Eyang Begawan Kamasetyo akan keluar dari tem-
patnya. 
"Kamasetyo! Jangan pengecut kau! Cepat ke-
luar! Tunjukkan batang hidungmu!" teriak Penghuni 
Kubur. Hatinya murka bukan main, merasa diper-
mainkan oleh Eyang Begawan Kamasetyo. Melihat 
tanda-tanda kalau Eyang Begawan Kamasetyo tak 
akan muncul, Penghuni Kubur kembali hendak 
menghentakkan kakinya. Tapi.... 
"Bajingan tua! Kau tak patut membuat onar 
di puncak gunung ini! Siapa pun juga yang berani 
membuat onar di tempat ini, berarti berhadapan 
denganku. Ingat itu, Penghuni Kubur!" 
"Heh...?!" 
Penghuni Kubur mengurungkan niatnya saat 
terdengar bentakan keras membelah angkasa. 
* * * 
Sepasang mata mencorong Penghuni Kubur 
berkilat-kilat mengerikan. Dengusan napasnya kian 
memburu, pertanda tokoh sesat dari Hutan Seruni 
ini tak mampu lagi mengendalikan gelegak amarah-
nya. Maka begitu mendengar bentakan, kepalanya 
segera berpaling ke arah sumber suara. 
Ternyata tak jauh dari tempat Penghuni Ku-
bur telah tegak dua sosok anak muda. Yang satu 
seorang gadis cantik berpakaian serba hijau. Di se-
belahnya, seorang pemuda tampan dengan rambut 
gondrong sebahu berpakaian rompi dan celana ber-
sisik warna putih keperakan. Mereka tak lain dari 
Siluman Ular Putih dan Arum Sari. 
"Bocah bau kencur! Siapa kau?!" bentak 
Penghuni Kubur garang. 
Siluman  Ular Putih sejenak mengedarkan 
pandangan ke sekeliling. Bukannya heran melihat 
puncak Gunung Bucu yang berantakan, melainkan 
heran kenapa eyang dan ibunya tak berada di tem-
pat ini. Inilah yang sebenarnya merisaukan hati Si-
luman Ular Putih. Karena, tak mungkin bila ibu dan 
eyangnya tak mendengar teriakan Penghuni Kubur 
tadi. 
"Penghuni Kubur! Ketahuilah! Temanku ini 
adalah yang bergelar Siluman Ular Putih. Sedang 
aku sendiri adalah putri tunggal Sepasang Pendekar 
Garuda Emas. Aku sengaja datang kemari untuk 
meminta tanggung jawabmu atas tewasnya kedua 
orangtuaku," Arum Sari yang menjawab. 
"Kau...? Jadi kaukah putri tunggal Sepasang 
Pendekar Garuda Emas itu? Bagus! Aku memang 
ingin sekali melenyapkan semua keturunan Sepa-
sang Pendekar Garuda Emas. Kebetulan sekali kau 
datang mengantar nyawa, Gadis," kata Penghuni 
Kubur, melecehkan. 
Penghuni Kubur mendengus angkuh. Kilatan-
kilatan sepasang matanya yang mencorong terlihat 
makin mengerikan. Seolah, ingin meluluh lantakan 
gadis cantik di hadapannya lewat pandangan ma-
tanya. 
"Jangan takabur, Penghuni Kubur! Justru 
kaulah yang patut mendapat gebukan karena berani 
lancang mengotori tempat eyangku," ingat Siluman 
Ulas Putih, lantang. 
"Jadi kaukah cucu tua bangka Kamasetyo itu, 
Bocah?" desis Penghuni Kubur. "Bagus! Tak bertemu 
tua bangka itu, tak jadi soal. Yang penting, kau ha-
rus menebus dosa eyangmu!" 
"Aku paling benci terhadap orang-orang pon-
gah macam kau, Penghuni Kubur! Kalau boleh me-
nasihati, cepatlah kembali ke jalan kebenaran. Per-
cuma saja kau malang melintang berlumur dosa. 
Cucilah hatimu sampai bersih!" 
"Puahhh! Kau dan tua bangka Kamasetyo itu 
sama saja. Sama-sama suka menjual lagak. Cih! 
Siapa sudi mempedulikan bacotmu, Bocah Bau Ken-
cur? Tak ada gunanya berkhotbah di depan Peng-
huni Kubur. Karena justru aku akan mengirim nya-
wa busukmu ke dasar neraka!" 
"Ccccck ck ck...! Kasihan! Sudah tua bukan 
bertobat, eh, malah makin menjadi...." 
"Setan alas! Jaga bacotmu, Bocah!" 
Belum juga gema bentakannya menghilang, 
Penghuni Kubur menghantamkan sepasang tangan-
nya ke depan. Tampak pelan saja, namun pada saat 
bersamaan Siluman Ular Putih merasakan hanta-
man angin yang luar biasa hebat! 
"Hup!" 
Siluman Ular Putih buru-buru menghindar 
dengan melompat ke atas, setelah mendorong tubuh 
Arum Sari. Sehingga serangan itu hanya menyambar 
angin kosong. 
"Bajingan! Rupanya kau punya sedikit kepan-
daian juga, ya? Pantas saja berani menjual lagak di 
depan Penghuni Kubur!" 
Penghuni Kubur kembali menghantamkan 
kedua telapak tangannya ke depan. Kini pusaran 
angin dari kedua telapak tangannya bukan saja me-
nyerang Siluman Ular Putih, tapi juga menyerang 
Arum Sari yang baru saja bersiap. 
Melihat serangan datang, kedua anak muda 
itu segera membuang tubuh ke samping. Namun 
anehnya, serangan pusaran angin Penghuni Kubur 
terus mengejar! 
Arum Sari terpekik kaget. Mulutnya terbuka 
hendak bicara, namun suaranya terhenti di tenggo-
rokan saat pusaran angin tahu-tahu telah mengge-
brak ke arahnya! 
"Keparat!" maki Arum Sari seraya  menghan-
tamkan kedua telapak tangan untuk memapak se-
rangan Penghuni Kubur. Dan.... 
Blammm! 
Terdengar satu ledakan hebat saat Arum Sari 
berhasil memapak serangan Penghuni Kubur. Tapi 
samar-samar  sosok tubuh Arum Sari tampak ter-
lempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar 
dan terbanting keras. 
"Aruuum...!" jerit Siluman Ular Putih kalap. 
Sekali menghentak kaki, tahu-tahu tubuh Si-
luman Ular Putih telah berada di samping Arum Sa-
ri. Disangganya kepala gadis cantik itu dengan len-
gan kirinya. 
"Kau tak apa-apa. Arum?" tanya Siluman Ular 
Putih, cemas bukan main. 
Arum Sari meringis menahan rasa nyeri dan 
goncangan dalam dadanya. Sebelah lengannya men-
dekap dadanya erat-erat. Gadis ini tak tahan lagi. 
Desakan dari dalam perutnya seolah tak terben-
dung. Dan.... 
"Hoeekh!" 
Darah merah kehitam-hitaman kontan me-
nyembur dari mulut Arum sari. Bersamaan itu kepa-
lanya terkulai lemas. 
Siluman Ular Putih seketika jadi kalang ka-
but. Buru-buru dirabanya denyut nadi gadis itu. 
Masih bergerak-gerak kendati lemah sekali. Tapi itu 
cukup membuat Soma lega. Ternyata sahabat can-
tiknya masih hidup. Perlahan-lahan tubuh Arum Sa-
ri dipondong dan dibawa ke tempat yang aman. Baru 
kemudian Siluman Ular Putih kembali menghadapi 
Penghuni Kubur. 
"Kau harus bertanggung jawab atas celakanya 
gadis itu. Juga, atas kelancanganmu datang ke tem-
pat eyangku ini," desis Siluman Ular Putih setelah 
kembali di hadapan Penghuni Kubur. 
Penghuni Kubur hanya tertawa bergelak. Na-
mun anehnya, kedua bibir lelaki sesat itu tak berge-
rak-gerak sama sekali. Bahkan tiba-tiba kedua tan-
gannya menyentak ke depan. 
Wusss! 
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hi-
tam dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur ke 
arah Siluman Ular Putih. 
"Edan! Tua bangka ini cukup lihai juga. Aku 
harus hati-hati menghadapi bangkotan tua ini...!" 
Siluman Ular Putih segera mengerahkan pu-
kulan ‘Tenaga Inti Bumi’. Dan secepat itu pula ke-
dua telapak tangannya segera dihantamkan ke de-
pan untuk memapak. 
Weeesss! Weeesss! 
Siluman Ular Putih terkesiap kaget. Ternyata, 
ia hanya menghantam angin kosong belaka. Belum 
hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba satu kekuatan 
dahsyat yang entah datang dari mana telah membe-
tot tubuhnya. Dan.... 
Bukkk! 
Tahu-tahu saja Siluman Ular Putih terbanting 
keras di bongkahan batu besar, namun cepat me-
lompat bangun. Kini, raut wajahnya berubah merah 
padam. Kedua pelipisnya bergerak-gerak dengan ra-
hang mengembung pertanda telah dilanda amarah. 
"Hebat! Itu pasti yang dinamakan pukulan 
'Tenaga Inti Bumi'. Tapi, percuma saja. Karena tak 
mungkin kau dapat mengalahkan pukulan 
'Pembetot Darah Mayat'ku!" teriak Penghuni Kubur 
mengenali pukulan yang tadi dilontarkan Siluman 
Ular Putih. 
"Hm...! Kalau pukulanku sudah dikenalinya, 
berarti tua bangka ini pasti bekas musuh bebuyutan 
Eyang. Pantas saja kepandaiannya tangguh," gu-
mam Siluman Ular Pulih  dalam hati seraya mem-
perhatikan kedua telapak tangannya yang telah be-
rubah jadi kemerah-merahan, pertanda telah terke-
na racun pukulan milik Penghuni Kubur. Untung-
nya tenaga dalam pemuda ini telah mencapai taraf 
tinggi. Kalau tidak, sudah pasti nyawanya telah me-
layang sejak tadi. 
"Tunggu, Bocah Gondrong! Apakah kau yang 
telah menewaskan Empat Iblis Merah dari Hutan Se-
runi?" kata Penghuni Kubur seraya mengangkat 
tangan kanannya. 
"Kalau memang iya, kau mau apa, Bangkotan 
Tua!" sembur Siluman Ular Pulih, kesal. 
"Bagus! Kalau begitu, kau memang patut 
modar di tanganku," geram Penghuni Kubur. 
Sebelum gema geramannya lenyap, Penghuni 
Kubur telah menghantamkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Seketika meluruk dua gulungan bola 
hitam kemerah-merahan dari kedua telapak tangan-
nya, siap melabrak tubuh Siluman Ular Putih. 
Siluman Ular Putih tentu saja tak ingin tu-
buhnya jadi sasaran empuk serangan Penghuni Ku-
bur. Maka segera disiapkannya pukulan 'Tenaga Inti 
Bumi' yang telah dipadukan dengan 'Tenaga Inti 
Api'. Dan begitu kedua telapak tangannya dihan-
tamkan ke depan, seketika melesat dua larik sinar 
merah dan putih.  
Besss! 
Tak ada suara ledakan yang terdengar saat 
kedua pukulan itu beradu. Namun pukulan 'Tenaga 
Inti Bumi' milik Siluman Ular Putih yang telah diga-
bung dengan pukulan 'Tenaga Inti Api' tiba-tiba ter-
tahan di udara. Lalu laksana dihantamkan kekuatan 
luar biasa, pukulan itu menukik deras ke bawah! 
Bummm! 
Tanah berbatu kontan berhamburan tinggi ke 
udara begitu terjadi ledakan yang memekakkan te-
linga. Pecahan bongkahan-bongkahan batu di pun-
cak gunung tampak berseliweran ke sana kemari. 
Samar-samar di depan, sosok Siluman Ular Putih 
tampak bergetar hebat. Selang beberapa saat, tu-
buhnya pun mencelat beberapa tombak ke belakang. 
Begitu mendarat di tanah, Siluman Ular Putih 
berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya. Na-
mun kedua kakinya tetap goyah, hingga tanpa am-
pun tubuhnya terbanting keras dengan napas me-
gap-megap! 
Di pihak lain, kaki Penghuni Kubur hanya 
sempat tersurut beberapa langkah ke belakang. Tu-
buhnya bergoyang-goyang. Namun di kejap kemu-
dian telah tenang kembali. Malah sambil berkacak 
pinggang tawanya yang bergelak diumbar keras-
keras. 
"Edan! Tak mungkin pukulan gabungan 
'Tenaga Inti Bumi' dan ‘Tenaga Inti Api’ dapat dimen-
tahkan bangkotan tua itu dengan begitu  mudah. 
Hm...! Kukira hanya dengan ajian pamungkas 
'Titisan Siluman Ular Putih' sajalah aku dapat mero-
bohkannya...," gumam Siluman Ular Putih dalam 
hati. 
Saat itu juga, kedua bibir Siluman Ular Putih 
segera berkemik-kemik membaca mantera ajian 
'Titisan Siluman Ular Putih'. Sebentar kemudian tu-
buhnya telah dipenuhi asap pulih tipis hingga tak 
kelihatan sama sekali. Dan saat uap putih yang me-
nyelimuti tubuh Siluman Ular Putih sirna tertiup 
angin, maka seketika itu juga.... 
"Ggggeeeerrr!!!" 
"Siluman Ular Putih...!" 
Penghuni Kubur terkesiap kaget. Sepasang 
matanya yang mencorong bak mata serigala terbela-
lak liar. Apa yang terlihat di balik asap putih yang 
masih menyelimuti sebagian sosok panjang sebesar 
pohon kelapa itulah yang membuatnya terkejut. 
Dari balik gulungan asap putih yang menye-
limuti, sosok ular putih raksasa itu mencuatkan ke-
pala menampakkan sepasang matanya yang berwar-
na. Sebentar kemudian, sosok ular putih itu hanya 
menampakkan punggungnya yang meliuk-liuk di an-
tara gulungan asap putih tipis. 
"Ha ha ha...! Tak kusangka kau juga bisa be-
rubah menjadi ular jejadian, Siluman Ular Pulih! 
Tapi siapa takut denganmu?" ejek Penghuni Kubur 
setelah rasa terkejutnya hilang. 
"Ggggeeerrr...!!!" 
Siluman Ular Putih mengibaskan ekornya ke 
sana kemari. Debu-debu dan bongkahan batu kon-
tan berhamburan ke sana kemari. Sementara, tar-
ing-taring runcingnya siap menerkam tubuh Peng-
huni Kubur. 
"Keparat! Kau jangan berlenggak-lenggok 
menjual lagak, Siluman Ular Putih! Makanlah puku-
lan 'Bola Api'-ku! Hea!" 
Dikawal bentakan nyaring, Penghuni Kubur 
menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan. 
Seketika meluruk dua gulungan bola asap hitam 
kemerah-merahan dari kedua telapak tangannya. 
Bukkk! Bukkk! 
"Ggggeeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng hebat ketika 
dua gulungan bola asap hitam kemerahan itu telak 
menghantam tubuhnya. Ular raksasa itu terlempar 
ke samping, dan terbanting keras. Puncak Gunung 
Bucu bergetar hebat! Bongkahan-bongkahan batu 
dan pasir kontan membubung tinggi ke udara! 
Penghuni Kubur tertawa bergelak, mengira 
tubuh Siluman Ular Putih telah hancur berantakan. 
Namun alangkah terkejut hatinya manakala melihat 
sosok ular putih raksasa itu masih utuh tak kurang 
satu apa pun! Sedikit pun tidak terluka! Malah se-
pasang matanya yang memerah kini memandang be-
ringas pada Penghuni Kubur. 
"Setan alas! Rupanya kau kebal terhadap pu-
kulan 'Bola Api'!" geram Penghuni Kubur tak per-
caya. 
Sekali lagi, Penghuni Kubur kembali meng-
hantamkan kedua tangannya ke depan. Rasa tak 
percayanya membuatnya makin melipatgandakan 
tenaga dalam. Saat itu pula dua gulungan bola hi-
tam kemerah-merahan meluruk kembali dari kedua 
telapak tangannya, langsung menghantam tubuh Si-
luman Ular Putih. 
Bukkk! Bukkk! 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih menggereng keras. Sua-
ranya yang terdengar sampai jauh ke pelosok lem-
bah. Sedang tubuhnya yang panjang kembali ter-
lempar. Namun seperti kejadian pertama, sedikit 
pun tidak mengalami luka! Malah kini ekornya diki-
bas-kibaskan ke sana kemari membuat tanah di se-
kitar tempat pertarungan bergetar! 
Dan begitu taring-taringnya terbuka lebar, ti-
ba-tiba Siluman Ular Putih telah menerjang hebat 
Penghuni Kubur. 

Wesss! 
Lelaki berbalut kain kafan ini terperangah ka-
get, tak menyangka Siluman Ular Putih akan menye-
rang begitu hebat. Bahkan sebelum taring-taring Si-
luman Ular Putih mengenai sasaran, terlebih dahulu 
telah berkesiur angin kencang menampar kulit tu-
buhnya. 
Tentu saja Penghuni Kubur tidak ingin tu-
buhnya jadi santapan empuk taring-taring Siluman 
Ular Putih. Dengan gerakan indah tiba-tiba tubuh-
nya meliuk dengan tangan kanan menyampok ke 
samping. 
Bukkk! 
Sosok panjang ular putih raksasa itu lang-
sung terpental ke samping. Namun rupanya kali ini 
Siluman Ular Putih bertindak cerdik. Begitu tubuh-
nya terpental, ekornya langsung membelit tubuh 
Penghuni Kubur kuat-kuat! 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih terus melilit tubuh Peng-
huni Kubur dengan taring siap mencaplok kepala. 
Dan bau amis bukan kepalang yang keluar dari mu-
lutnya membuat Penghuni Kubur mau muntah. Na-
mun lelaki tua ini berusaha tetap bertahan. Meski 
dalam keadaan sangat terjepit, tiba-tiba tangannya 
yang berisi pukulan andalan 'Pembetot Darah Mayat' 
dihantamkan.  
Bukkk! 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih meraung setinggi langit. 
Lehernya yang terkena hantaman tangan Penghuni 
Kubur kontan terpental ke belakang. Maka, terlepas-
lah tubuh Penghuni Kubur dari libatan ekornya. 
"Hebat! Hebat! Aku kagum padamu, Siluman 
Ular Putih. Tapi jangan bangga dulu! Kau tetap akan 
modar di tanganku!" geram Penghuni Kubur seraya 
bersiap kembali. 
Dalam kejap itu pula, Penghuni Kubur kem-
bali mendorongkan kedua telapak tangannya ke de-
pan, melepaskan dua larik sinar merah menyala 
yang langsung meluncur dahsyat ke arah ubun-
ubun kepala Siluman Ular Putih. 
"Ggggeeerrr...!" 
Siluman Ular Putih meraung hebat begitu pu-
kulan Penghuni Kubur menghantam ubun-ubunnya. 
Tubuhnya oleng ke sana kemari. Satu kekuatan 
dahsyat dua larik sinar merah menyala yang terus 
menghajar ubun-ubunnya seolah ingin membetot 
keluar otak Siluman Ular Putih! 
Raungan Siluman Ular Putih terdengar amat 
mengerikan. Kibasan-kibasan ekornya makin liar 
menghantam apa saja yang ada di sekitarnya. Satu 
tenaga betotan yang luar biasa dahsyat membuat 
ular putih raksasa ini jadi kewalahan. Ia berusaha 
sekuat tenaga menahan tenaga betotan dari dua la-
rik sinar merah yang berpusat dari tangan Penghuni 
Kubur. Namun, hasilnya tetap sama saja. Malah per-
lahan-lahan tubuh Siluman Ular Putih mulai terse-
ret mengikuti tarikan tangan Penghuni Kubur. 
"Sekaranglah saatnya kau mampus di tan-
ganku, Siluman Ular Putih!" 
Mendapat siksaan dahsyat luar biasa, Silu-
man Ular Putih jadi tak tahan lagi. Dan kini, sosok-
nya telah dipenuhi asap putih tipis, hingga tak keli-
hatan sama sekali. Saat Siluman Ular Putih itu sirna 
tertiup angin, yang tampak kini adalah sosok pemu-
da gondrong murid Eyang Begawan Kamasetyo! 
"Keluarkanlah semua kepandaianmu sebelum 
ajal menjemput, Siluman Ular Putih!" ejek Penghuni 
Kubur. 
Siluman Ular Putih yang kini telah menjelma 
menjadi manusia kembali  tampak meringis kesaki-
tan. Ubun-ubun kepalanya seolah ingin copot keluar 
berikut isinya. Parasnya pucat pasi dengan bibir 
bergetar-getar hebat, pertanda menderita luka dalam 
lumayan. 
"Bagus! Rupanya kau sudah terluka, Siluman 
Ular Putih. Itu berarti memudahkanku untuk mele-
nyapkan nyawa busukmu!" 
Terdorong ingin segera menghabisi riwayat Si-
luman Ular Putih, Penghuni Kubur kembali siap 
menghantamkan tangan ke depan. Namun baru saja 
bergerak, mendadak telah berkesiur angin kencang 
yang disertai harum bunga melati. 
Wesss! 
Begitu cepatnya, membuat Penghuni Kubur 
tak sempat mengelak. Dan....  
Bukkk! 
* * * 
"Setan alas! Siapa yang berani main gila den-
gan Penghuni Kubur, he?!" 
Tubuh Penghuni Kubur yang terlempar ke 
samping cepat bangkit dengan sepasang mata kon-
tan membelalak liar ke arah seekor ular putih rak-
sasa lain yang tubuhnya jauh lebih besar. Ular rak-
sasa yang tadi meluncur di atas, sempat menghan-
tam tubuh Penghuni Kubur hingga terjengkang. 
"Ibu...!" pekik Soma terkejut bercampur gem-
bira melihat ular putih raksasa itu menghampirinya. 
Ular putih raksasa yang sebenarnya jelmaan 
Dewi Ratri itu sejenak memperhatikan putranya. Se-
pasang matanya yang sarat kerinduan tampak be-
rair, seolah-olah ingin segera memeluk anak ke-
sayangannya. Dan karena kerinduannya terhadap 
putra tunggalnya inilah yang membuat Siluman Na-
ga Puspa keluar dari tempat bertapa, tanpa sepenge-
tahuan ayahnya. Akibatnya Eyang Begawan Kama-
setyo jadi kelabakan mencari-carinya. 
Setelah Siluman Naga Puspa merasa kesuli-
tan mencari putranya dengan wujud berupa seekor 
ular putih raksasa, akhirnya diputuskan untuk 
kembali ke tempat bertapa. Tapi apa yang dilihatnya 
di puncak Gunung Bucu sungguh membuat hatinya 
geram. Ternyata, anaknya tengah kewalahan meng-
hadapi Penghuni Kubur. Maka Siluman Naga Puspa 
segera datang menolong. 
"Setan alas! Tentu ini ular jejadian yang ber-
nama Siluman Naga Puspa! Bagus! Sekali tepuk da-
pat dua mangsa!" ejek Penghuni Kubur. 
"Ibu...! Hati-hati! Tua bangka ini lihai sekali!" 
teriak Soma memperingatkan ibunya. 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis yang 
hanya diketahui oleh Eyang Begawan Kamasetyo 
dan Soma. 
"Ya, Bu! Hajar saja bangkotan tua itu!" 
"Zzzzzt! Zzzzzzttt!" 
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan 
ekornya ke sana kemari. Taring-taringnya yang 
runcing terlihat berkilauan tertimpa sinar matahari. 
Memang aneh sekali ular putih raksasa ini. 
Besar tubuhnya yang melebihi pohon kelapa ternya-
ta bukannya menebarkan bau amis, tapi malah me-
nebarkan bau harum bunga melati! Penghuni Kubur 
memang pernah mendengar ciri-ciri serta nama si-
luman ular itu. Namun, baru kali ini bertemu lang-
sung. 
"Majulah, Ular Keparat! Kau pun akan kubuat 
tak berdaya seperti bocah gondrong itu!" 
Siluman Naga Puspa mengibas-ngibaskan 
ekornya sebentar. Lalu dengan kecepatan kilat tu-
buhnya melesat cepat ke depan. Taring-taringnya 
yang tajam siap meremukkan batok kepala Penghuni 
Kubur. Sementara kibasan ekornya yang mampu 
memecahkan batu sebesar gajah bergerak pula ke 
arahnya. 
Wesss! 
Hebat bukan main serangan ular raksasa ini. 
Ranting-ranting pohon berderak terkena angin sam-
barannya. Namun yang dihadapi kali ini bukanlah 
tokoh kemarin sore, melainkan Penghuni Kubur 
yang menjadi salah satu dedengkotnya dunia persi-
latan untuk golongan hitam. 
Walaupun sempat tercekat, namun Penghuni 
Kubur sudah dapat menguasai keadaan. Dengan se-
kali melenting ke udara, serangan Siluman Naga 
Puspa dapat dihindari dengan mudah. Bahkan begi-
tu berada di udara tangan kirinya telah melontarkan 
satu pukulan. 
Bukkk!  
"Zzzzttt!" 
Siluman Naga Puspa mendesis hebat. Sosok-
nya yang panjang kontan meliuk deras ke samping. 
Meski demikian ular raksasa ini masih dapat bertin-
dak cerdik. Begitu sosoknya oleng, ekornya telah 
menghantam punggung Penghuni Kubur. 
Bukkk! 
"Aaah...!"  
Penghuni Kubur menjerit kesakitan. Tubuh-
nya yang kurus langsung terpental beberapa tombak 
ke samping. Namun cepat bangkit berdiri. Kalau saja 
tenaga dalamnya belum mencapai tingkat tinggi, bu-
kan mustahil tubuhnya akan hancur berantakan! 
Dan dengan tenaga dalamnya pula hingga guncan-
gan dalam tubuhnya dapat ditahan. 
Sementara Siluman Naga Puspa mendesis-
desis hebat. Sepasang matanya kini mencorong ta-
jam ke arah Penghuni Kubur. Mungkin merasa he-
ran melihat tubuh lawannya tidak terluka sedikit 
pun. 
"Bajingan! Kau harus mampus di tanganku! 
Terimalah pukulan 'Bola Api'-ku! Hea!" 
Berbareng teriakannya yang lantang, Penghu-
ni Kubur cepat menghantamkan kedua telapak tan-
gannya ke depan. Seketika melesat dua gulungan 
bola asap berwarna hitam kemerah-merahan melu-
ruk deras ke arah Siluman Naga Puspa. 
"Zzzzttt!" 
Siluman Naga Puspa tak mau kalah. Begitu 
serangan datang tiba-tiba diterjangnya Penghuni 
Kubur kendati harus menembus dua bola asap ber-
warna hitam kemerah-merahan. 
Besss! 
Terjangan Siluman Naga Puspa yang men-
gandung tenaga dalam luar biasa sejenak tertahan 
di udara, tergulung dua bola asap hitam dari kedua 
telapak tangan Penghuni Kubur. Ular raksasa ini 
mendesis-desis hebat. Kibasan-kibasan ekornya kian 
liar memporak-porandakan apa saja yang ada di se-
kitarnya. Puncak Gunung Bucu tergetar. Bongkahan 
balu-batu besar berhamburan ke sana kemari, 
membuat pemandangan jadi gelap tertutup debu 
yang membumbung tinggi ke udara! 
"Sekarang rasakan bogemku ini, Siluman Ke-
parat! Heaaah...!" 
Penghuni Kubur menyentakkan kedua tela-
pak tangannya ke atas. Laksana terdorong oleh satu 
kekuatan dahsyat luar biasa, tiba-tiba tubuh Silu-
man Naga Puspa terangkat tinggi ke udara. Di saat 
demikian, tiba-tiba kekuatan dahsyat dari kedua te-
lapak tangan Penghuni  Kubur  menyentak dahsyat 
ke bawah.  
Blammm! 
Siluman Naga Puspa menggeliat hebat saat 
tubuhnya menghantam tanah yang diatasnya terda-
pat bongkahan-bongkahan batu. Tulang-tulang tu-
buhnya seakan mau hancur. Kali ini amarahnya 
makin berkobar. Kendati tak mengalami cedera se-
dikit pun, namun sudah cukup membuatnya harus 
mengadu nyawa terhadap Penghuni Kubur. 
Soma sendiri yang melihat keadaan ibunya 
jadi cemas bukan main. Dengan susah payah pemu-
da itu melompat bangun. Saat itu, Siluman Naga 
Puspa tengah mengibas-ngibaskan ekornya berin-
gas. Sepasang matanya yang mencorong kian men-
gerikan. Mulut mendesis-desis hebat, seolah ber-
siap-siap menerjang kembali. Namun baru saja hen-
dak melaksanakan niatnya, tiba-tiba.... 
"Ratri! Hentikan!" 
10 
Mendengar suara halus bernada tegas yang 
amat dikenali, Siluman Naga Puspa berpaling. Dili-
hatnya seorang lelaki berusia delapan puluh tahun 
lebih dengan pakaian putih bersih tahu-tahu telah 
berdiri tegak tak jauh dari tempat pertarungan. Wa-
jahnya putih bersih. Rambutnya yang putih meman-
jang digelung ke atas. Sedang jenggotnya yang juga 
berwarna putih dibiarkan tergerai. Tak lain dan tak 
bukan, lelaki tua ini memang Eyang Begawan Ka-
masetyo. 
Di samping lelaki tua itu berdiri pula seorang 
kakek berpakaian tambal-tambalan mirip pengemis. 
Tubuhnya tinggi kurus. Rambutnya awut-awutan 
tak terawat dengan sepasang mata kecil dan bibir hi-
tam. Sambil mengetuk-ngetukkan tongkat butut di 
tangan kanan, matanya memperhatikan Penghuni 
Kubur seksama. Siapa lagi tokoh ini kalau bukan Ki 
Damar Suto alias Raja Penyihir. 
"Eyang...!" teriak Siluman Ular Putih gembira 
bercampur terkejut. 
Eyang Begawan Kamasetyo hanya melirik ke 
arah Soma sebentar, lalu beralih kembali menatap 
Penghuni Kubur. 
"Bagus! Rupanya kau masih punya nyali ber-
hadapan denganku, Kamasetyo," ejek Penghuni Ku-
bur disusul tawa bergelak. 
Eyang Begawan Kamasetyo tak menggubris 
ejekan Penghuni Kubur. Diberinya isyarat pada Si-
luman Naga Puspa agar menyingkir. Namun, aneh-
nya Siluman Naga Puspa malah mendesis-desis se-
perti hendak melaporkan sesuatu pada Eyang Bega-
wan Kamasetyo. 
"Sudahlah, Ratri! Aku tahu. Rindumu tak ter-
tahankan untuk segera bertemu puteramu, hingga 
kau meninggalkan tempat pertapaan tanpa seijinku. 
Sekarang menyingkirlah, Putriku! Itu puteramu su-
dah menunggu," ujar Eyang Begawan Kamasetyo, 
memahami apa maksud desisan Siluman Naga Pus-
pa. 
Siluman Naga Puspa kini tak berani lagi 
membantah. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut 
menghampiri putranya yang masih ngejoprak tak 
berdaya di samping Arum Sari.  
"Kamasetyo!  Semula aku memang mengira 
kalau kaulah yang membunuh Empat Iblis Merah 
dari Hutan Seruni. Tapi, ternyata cucumu yang telah 
membunuh mereka. Berhubung sudah kepalang ba-
sah, tak ada pilihan lain. Terpaksa aku harus mem-
bunuh siapa saja yang telah berani membunuh 
adik-adik seperguruanku. Kalau kau mencoba 
menghalang-halangi, kau pun tak akan luput dari 
kematian di tanganku!" kata Penghuni Kubur, pon-
gah. 
"Lagakmu dari dulu selalu pongah, Penghuni 
Kubur. Kau pikir semua orang di kolong jagat ini 
akan selalu tunduk di bawah kakimu?" tukas Eyang 
Begawan Kamasetyo, kalem. 
"Puahhh! Bacotmu sungguh nyaring, Kama-
setyo. Aku jadi tak sabar untuk menjajal apakah ke-
pandaianmu juga senyaring bacotmu, he?!" 
"Kamasetyo! Biarkan aku menghajar tua 
bangka tak tahu diri ini!" timpal Raja Penyihir seraya 
menuding Penghuni Kubur. 
"Maaf, Sobat! Penghuni Kubur datang kemari 
sengaja ingin mencariku. Apalagi ia ingin membu-
nuh cucuku. Tentu saja sebagai eyangnya, aku tak 
mengizinkan cucuku celaka!" 
"Bah! Apa kau pikir, aku tak berhak melin-
dungi cucumu? Ingat! Cucumu juga muridku! Apa 
aku tak boleh membela muridku sendiri? Minggir, 
Kamasetyo! Biarkan aku menghajar manusia pongah 
ini!" 
Raja Penyihir mendorong sobatnya ke samp-
ing. Terpaksa Eyang Begawan Kamasetyo hanya me-
nurut, walau hatinya kurang puas atas keputusan 
Raja Penyihir. Namun, tak ada alasannya ia menga-
lah. Karena Ki Damar Suto pasti tak akan menerima 
begitu saja bila Eyang Begawan Kamasetyo  tetap 
bersikeras. Seperti, sewaktu mengajak bersama un-
tuk mencari Siluman Naga Puspa yang pergi me-
ninggalkan tempatnya bertapa. Eyang Begawan Ka-
masetyo pun tak dapat menolak sikap keras Raja 
Penyihir. Demikian juga ketika tiba-tiba Ki Damar 
Suto berubah pikiran untuk segera kembali ke pun-
cak Gunung Bucu. 
Sebenarnya, persoalannya hanya satu. Eyang 
Begawan Kamasetyo malas bersilat lidah dengan Ra-
ja Penyihir. Sebagai kawan lama, sudah pasti lelaki 
tua penghuni Gunung Bucu itu tahu bagaimana pe-
rangai Ki Damar Suto. Di samping itu, Eyang Bega-
wan Kamasetyo pun menyadari bagaimana sulitnya 
mencari Siluman Naga Puspa yang meninggalkan 
tempatnya bertapa tanpa izin. Maka tanpa berpikir 
panjang lagi diturutinya ajakan Raja Penyihir untuk 
kembali ke puncak Gunung Bucu. 
Akan tetapi apa yang terlihat di Gunung Bucu 
membuat hati kedua orang kakek itu jadi gembira. 
Ternyata, Siluman Naga Puspa beserta putranya te-
lah berada di puncak Gunung Bucu. Sewaktu meli-
hat putrinya tengah menghadapi Penghuni Kubur, 
Eyang Begawan Kamasetyo pun segera mencegah. 
"Ha ha ha...! Tua bangka jelek Raja Penyihir! 
Kukira kau pun sudah mendengar apa yang kukata-
kan tadi. Siapa saja yang berani menghalang-halangi 
niatku untuk membunuh bocah gondrong itu, ter-
paksa akan kulenyapkan juga!" geram Penghuni Ku-
bur. 
"Boleh...!" Raja Penyihir mengangguk-angguk 
sambil mendekati Penghuni Kubur selangkah demi 
selangkah. 
"Majulah, Tua Bangka Jelek! Kau pun akan 
segera mampus di tanganku!" dengus Penghuni Ku-
bur. 
Saat itu pula Penghuni Kubur segera meng-
hantamkan kedua telapak  tangan ke depan. Maka 
kembali melesat cepat dua gulungan bola asap, siap 
melabrak tubuh Raja Penyihir. 
Raja Penyihir terkekeh senang. 
"Pukulan 'Bola Api'! Bagus! Aku senang sekali 
melihatnya. Sudah lama kita tidak saling gebuk, 
Manusia Kuburan," ejek Raja Penyihir, seraya cepat 
menghantamkan kedua telapak tangan ke depan. 
Seketika dua gulungan asap putih melesat cepat me-
labrak pukulan Penghuni Kubur! 
Bessss! 
Tak ada bunyi yang berarti akibat bentrokan 
dua tenaga dalam tingkat tinggi barusan. Namun 
samar-samar, terlihat sosok tubuh Penghuni Kubur 
dan Raja Penyihir bergetar hebat. Selang  beberapa 
saat tubuh mereka terjajar beberapa langkah ke be-
lakang dengan paras pias. Dari sini bisa dilihat ka-
lau tenaga dalam kedua kakek renta itu berimbang! 
"Aku senang sekali meladenimu, Penghuni 
Kubur. Tak kusangka kau makin hebat saja," ujar 
Raja Penyihir. 
Penghuni Kubur menggeram penuh kemara-
han. Tiba-tiba kedua telapak tangannya kembali dis-
entakkan ke depan, melepaskan pukulan ‘Bola Api’ 
dengan kekuatan tenaga dalam penuh. Hingga saat 
itu juga, kembali meluruk dua gulungan bola asap 
hitam kemerah-merahan disertai hawa panas luar 
biasa! 
Meski Raja Penyihir masih sedikit merasakan 
nyeri di dada akibat bentrokan tenaga dalam tadi, 
namun tentu saja tak mau tinggal diam. Serta-merta 
kedua telapak tangannya diangkat, lalu didorong ke 
depan mengirimkan pukulan 'Tangan Gaib Penindih 
Setan' andalannya. 
Splassshh...!  
Blarrr...! 
Tempat pertarungan seketika berubah jadi te-
rang benderang dengan hawa panas luar biasa 
menghampar ke segenap penjuru, diiringi ledakan 
hebat di udara. Bahkan kemudian ditingkahi suara 
pekikan dan suara erangan perlahan. 
Sosok tubuh Raja Penyihir dan Penghuni Ku-
bur tampak saling berpentalan beberapa tombak ke 
belakang, 
Bukkk! Bukkk! 
Raja Penyihir terlihat terhuyung-huyung ke 
belakang. Sosoknya yang tinggi kurus bergoyang-
goyang dengan tangan gemetar. Sepasang matanya 
yang kecil mengerjap-ngerjap penuh kagum meng-
hadapi pukulan milik Penghuni Kubur tadi. 
Sementara di depan sana, sosok Penghuni 
Kubur tampak terhuyung-huyung jauh ke belakang, 
sebelum akhirnya terbanting keras di tanah berbatu. 
Tapi lelaki tua terbungkus kain kafan itu cepat me-
lompat bangun. Raungannya yang sarat akan kema-
rahan seolah ingin merobek angkasa. 
"Bajingan tua! Kubunuh kau!" 
Penghuni Kubur kembali menerjang Raja Pe-
nyihir garang dengan kedua telapak tangan segera 
dihantamkan ke depan. Kejap itu pula melesat dua 
larik sinar merah menyala dari kedua telapak tan-
gannya disertai suara menggidikkan. 
Wesss! Wesss! 
Kening Raja Penyihir berkerut sebentar. Me-
rasa heran dengan pukulan yang baru saja dilontar-
kan Penghuni Kubur. Namun  saat dua larik sinar 
merah menyala dari kedua telapak tangan Penghuni 
Kubur tinggal berjarak setengah tombak, tiba-tiba 
tubuhnya mencelat tinggi ke udara. Sehingga puku-
lan Penghuni Kubur hanya menghantam bongkahan 
batu besar di belakang-nya. 
Brakkk! 
Batu gunung sebesar gajah di belakang Raja 
Penyihir kontan hancur berkeping-keping begitu ter-
kena pukulan Penghuni Kubur. Dari kepingan-
kepingan batu mengepul uap hitam kemerah-
merahan, seolah-olah mengandung bara api! 
"Pukulan Pembetot Darah Mayat'...!" desis Ra-
ja Penyihir penuh kagum, sekaligus ngeri mem-
bayangkan seandainya pukulan Penghuni Kubur 
melabrak tubuhnya. Sudah pasti tubuhnya akan 
hancur dan hangus terbakar! 
"Keluarkan semua kepandaianmu. Raja Pe-
nyihir! Kita tentukan nasib kita di sini. Kau atau 
aku  yang lebih dulu modar di tempat ini!" tantang 
Penghuni Kubur, jumawa. 
"Satu permainan menarik. Senang sekali aku 
meladenimu, Penghuni Kubur. Lihat!" 
Raja Penyihir cepat menggosok-gosokkan ke-
dua telapak tangannya, menciptakan dua gulungan 
asap hitam. Selang beberapa saat, kedua telapak 
tangannya ditarik-tarik seperti sedang mengulur 
seutas tali. Kenyataannya, dari kedua telapak tan-
gannya kini jelas tercipta dua gulungan tali hitam. 
"'Tali Gaib'...!" desis Penghuni Kubur terkejut 
manakala dua gulungan tali hitam dari kedua tela-
pak tangan Raja Penyihir mulai menyerangnya. 
Srattt! Srattt! 
Dengan segenap ilmu meringankan tubuhnya, 
Penghuni Kubur cepat berkelit-kelit menghindari ter-
jangan 'Tali Gaib' ciptaan Raja Penyihir. Lelaki tua 
berkain kafan ini tahu, sekali saja kakinya sampai 
terlibat gulungan tali hitam di tangan Raja Penyihir, 
sulitlah baginya untuk melepaskan diri. 
Berpikir sampai di sini, Penghuni Kubur me-
mutuskan untuk menghindar. Namun sambil me-
layang-layang di udara, ia sesekali melepas pukulan 
maut. 
Wusss...! 
Kini terlihat cahaya merah terang dari kedua 
telapak tangan Penghuni Kubur kontan melesat ce-
pat ke depan. Kira-kira berjarak setengah jengkal 
dari tubuh Raja Penyihir, mendadak cahaya merah 
menyala dari tangan Penghuni Kubur mengembang, 
membungkus gulungan-gulungan 'Tali Gaib'. 
Besss! 
Tak ada ledakan yang terdengar. Yang ada 
hanya semburat cahaya merah menyala yang tengah 
bergulung-gulung dengan dua larik 'Tali Gaib' Raja 
Penyihir di udara. Sementara sosok Raja Penyihir 
dan Penghuni Kubur sama-sama bergetar hebat. Ke-
ringat dingin telah membasahi wajah, namun tak 
ada yang mau mengalah. 
Penghuni Kubur dan Raja Penyihir terus me-
ningkatkan tenaga dalam ke telapak tangan. Siapa 
yang sedikit saja lengah atau mengendurkan tenaga 
dalam, berarti mati! 
Raja Penyihir tak menginginkan itu, dan terus 
berusaha menahan gumpalan cahaya merah menya-
la dari kedua telapak tangan Penghuni Kubur. Kalau 
saja gagal, bukan mustahil tubuhnya akan jadi san-
tapan empuk gumpalan sinar merah menyala milik 
Penghuni Kubur. 
Di depannya, sosok Penghuni Kubur tampak 
bergoyang-goyang. Kedua kakinya yang menggigil 
malah telah terbenam ke dalam tanah hampir seba-
tas lutut. Meski demikian, tekadnya tetap membaja. 
Bagaimanapun juga, gulungan 'Tali Gaib' Raja Pe-
nyihir harus tetap ditahan agar jangan sampai 
membelit tubuhnya. Sebab bila hal ini terjadi, berar-
ti kematian akan menjemput. 
Pada saat Raja Penyihir dan Penghuni Kubur 
tengah mengadu tenaga dalam demikian hebat. 
Arum Sari yang baru saja siuman dengan kesadaran 
pulih langsung menujukan pandangan ke arah per-
tarungan. Dan begitu melihat sosok Penghuni Kubur 
amarahnya kontan menggelegak sampai ubun-ubun. 
Parasnya kontan menegang. 
"Hiaaat...!" 
Arum Sari tak tahan lagi dan segera bangkit. 
Lalu diiringi pekik kemarahannya, tiba-tiba diter-
jangnya Penghuni Kubur dengan pedang di tangan. 
Ia merasa saat inilah waktu yang tepat untuk me-
nuntaskan dendamnya. 
"Bajingan tua! Kau harus mampus di tangan-
ku! Arwah ayah ibuku telah menunggu di alam ba-
ka!" 
Penghuni Kubur terkejut bukan main. Saat 
itu, keadaannya benar-benar amat mengkhawatir-
kan. Sedikit saja tenaga dalamnya dikendurkan, be-
rarti kematian menanti. Namun, ia juga tak sudi 
membiarkan tubuhnya jadi sasaran empuk pedang 
di tangan gadis itu. 
Melihat kenekatan Arum Sari, Siluman Ular 
Putih, Eyang Begawan Kamasetyo, dan Siluman Na-
ga Puspa yang tengah memperhatikan jalannya adu 
tenaga dalam tingkat tinggi dengan hati cemas, jadi 
terkesiap kaget. Belum sempat mereka bertindak. 
Arum Sari keburu menerjang Penghuni Kubur.  
"Setan kecil! Enyahlah kau!" 
Rupanya, tak ada pilihan lain lagi bagi Peng-
huni Kubur. Melihat kenekatan Arum Sari, sebagian 
tenaga dalamnya segera dialihkan ke arah si gadis. 
Akibatnya.... 
"Aaaakh...!" 
"Aaa...!" 
Penghuni Kubur kontan terpental jauh ke be-
lakang. Tubuhnya berputar-putar sebentar sebelum 
akhirnya tubuhnya terbanting keras. 
Sementara tubuh Arum Sari sendiri pun tak 
luput dari sambaran cahaya merah dari tangan kiri 
Penghuni Kubur yang keras menghantam tubuhnya. 
Tanpa ampun lagi putri tunggal mendiang Sepasang 
Pendekar Garuda Emas melayang jauh ke belakang 
dan terbanting keras ke bongkahan batu! 
Brakkk! 
Bongkahan-bongkahan batu tempat tubuh 
Arum Sari terbanting kontan hancur berkeping-
keping. Sedang gadis itu sendiri pun terkulai di ta-
nah, tak bergerak-gerak lagi. 
"Aruuuummm...!" 
11 
Bak banteng terluka, Siluman Ular Putih se-
gera melompat. Segera ditopangnya tubuh Arum Sa-
ri dengan tangan dan paha kirinya. Tampak olehnya 
sekujur tubuh Arum Sari memerah. Darah segar ter-
lihat membersit di sudut-sudut bibirnya yang mun-
gil. 
Soma menggereng hebat. Dengan jari-jari ge-
metar, segera diperiksanya denyut nadi di pergelan-
gan tangan Arum Sari. Ternyata, denyut nadi gadis 
murid Nenek Rambut Putih itu masih berdetak, wa-
lau amat lemah. 
Siluman Ular Putih menghela napas lega. 
Namun hal ini bukan berarti harus membiarkan 
Penghuni Kubur. Pemuda ini bertekad, tetap akan 
membuat perhitungan dengan tokoh sesat dari Hu-
tan Seruni itu. Dan berhubung Arum Sari saat ini 
tengah membutuhkan pertolongannya, dengan san-
gat terpaksa niatnya harus ditunda untuk melabrak 
Penghuni Kubur. Perlahan-lahan Soma menduduk-
kan  Arum Sari. Sambil memegangi kedua bahu si 
gadis, pemuda ini beringsut ke belakang. Segera Si-
luman Ular Putih bersila di belakang Arum Sari. Ke-
dua telapak tangannya segera ditempelkan ke pung-
gung si gadis. 
"Kau sedang terluka, Cucuku! Jangan paksa-
kan menyalurkan tenaga dalam ke tubuh gadis itu!" 
Siluman Ular Putih mendongak. Ternyata, 
Eyang Begawan Kamasetyo telah berdiri di bela-
kangnya. Sedang ibunya, Siluman Naga Puspa telah 
berada pula di samping Eyang Begawan Kamasetyo. 
Tak henti-hentinya ular putih raksasa jelmaan Dewi 
Ratri mendesis-desis, merasa turut prihatin atas 
musibah yang dialami Arum Sari. 
"Ibu...!" 
Hanya itu yang terucap dari bibir Siluman 
Ular Putih manakala melihat sepasang mata menco-
rong ibunya. 
"Zzzzttt!" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis, seolah-
olah melarang apa yang tengah terbersit dalam be-
nak anaknya. 
"Ibu melarangku untuk melabrak Penghuni 
Kubur? Kenapa, Bu?" tanya Siluman Ular Putih, 
mengerti maksud desisan ibunya. 
"Zzzzttt...!" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, sepasang matanya yang mencorong berair. Lalu 
dijilat-jilatinya tubuh Soma seolah-olah tengah 
membelai-belai lembut putra kesayangannya. 
Siluman Ular Putih merasa trenyuh. Sengaja 
dibiarkan ibunya menumpahkan segenap kerin-
duannya. 
"Ibu...! Kenapa Ibu tak mengijinkan aku 
membuat perhitungan dengan Penghuni Kubur?" 
tanya Soma. 
"Zzzzttt...!" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis. Sepa-
sang matanya yang mencorong terus memperhatikan 
sekujur tubuh putra kesayangannya penuh kasih. 
Lalu kepalanya menggeleng-geleng. 
"Apa, Bu? Ibu tak membiarkanku melabrak 
Penghuni Kubur karena aku masih terluka dalam?" 
Siluman Naga Puspa mendesis-desis lagi. Kali 
ini, sepasang matanya yang mencorong ditujukan ke 
arah jalannya pertarungan antara Raja Penyihir me-
lawan Penghuni Kubur yang telah berlangsung kem-
bali. 
"Baik, Ibu. Kukira Raja Penyihir memang 
mampu mengatasi Penghuni Kubur," sahut Siluman 
Ular Putih akhirnya. 
Memang saat itu Raja Penyihir tengah berada 
di atas angin. Akibat Penghuni Kubur membagi te-
naga dalamnya tadi ke arah Arum Sari, kini kedua 
kakinya telah terlilit ‘Tali Gaib’ dari kedua telapak 
tangan Raja Penyihir. 
Berulang kali Penghuni Kubur berusaha me-
lepaskan libatan 'Tali Gaib', namun selalu saja gagal. 
Setiap tangannya memapas selalu saja seperti me-
nebas angin kosong. Namun hebatnya, 'Tali Gaib' 
Raja Penyihir tetap saja melibat kedua kaki Penghu-
ni Kubur. Sedikit pun tak terpengaruh oleh tebasan-
tebasan tangan Penghuni Kubur. Bahkan libatannya 
makin kuat saja. 
"Tua bangka jelek! Pengecut kau! Beraninya 
main keroyok!" maki Penghuni Kubur resah bukan 
main. Seketika itu juga parasnya jadi pucat mem-
bayangkan saat-saat ajal menjemput. 
Raja Penyihir terkekeh senang. Seperti men-
dapat permainan baru, 'Tali Gaib' di tangannya asyik 
diayun-ayunkan. Maka saat itu juga tubuh Penghu-
ni Kubur oleng ke sana kemari. Dan tiba-tiba 'Tali 
Gaib' disentakkan  ke  atas  ke bawah, membuat tu-
buh Penghuni Kubur menukik tajam ke bawah. La-
lu.... 
Brakkk! 
"Aaa...!" 
Bongkahan batu sebesar gajah kontan hancur 
berkeping-keping begitu terhantam punggung Peng-
huni Kubur. Tubuh lelaki tua sesat itu sendiri pun 
langsung menggeliat-geliat hebat dengan raungan 
kesakitan. Terdengar suara berderak, mengisya-
ratkan kalau tulang punggungnya telah remuk be-
rantakan. 
"Mampuslah kau, Manusia Kuburan! Enak 
kan, menikmati saat-saat ajal datang?" ejek Raja Pe-
nyihir. 
"Bajingan! Lepaskan aku, Tua Bangka Jelek! 
Ayo, kita bertarung dengan sewajarnya sampai ada 
yang modar!" hardik Penghuni Kubur kalap bukan 
main. 
"Enak saja kau mengatur-ngatur! Apa kau ti-
dak sadar kalau aku juga bertarung secara wajar? 
Kau menghendaki pertarungan macam apa lagi, 
he?!" sungut Raja Penyihir mirip nenek-nenek kehi-
langan susur. 
Penghuni Kubur terus mencaci maki. Tapi Ra-
ja Penyihir sama sekali tak mempedulikannya. Sam-
bil terkekeh-kekeh senang tubuh Penghuni Kubur 
terus dihantam-hantamkan ke bongkahan-
bongkahan batu di puncak Gunung Bucu. Hingga 
akhirnya, tubuh itu hancur tak berbentuk lagi. Kain 
kafan pembungkus tubuh kurusnya pun hancur tak 
karuan berbalur noda darah di sana sini. Hebatnya, 
di saat Penghuni Kubur menemui ajal. ‘Tali Gaib’ 
pun mengendur dan lenyap ke dalam telapak tangan 
Raja Penyihir. 
"Akhirnya kau modar juga, Manusia Kubu-
ran!" dengus Raja Penyihir. 
Selangkah demi selangkah Raja Penyihir me-
langkah mendekati lawannya. Sekali lihat saja, bisa 
dipastikan kalau tubuh Penghuni Kubur memang te-
lah menjadi mayat. 
"Kau sudah modar, Penghuni Kubur. Seka-
rang, kau boleh pilih. Mana kuburan yang kau su-
kai." 
Tiba-tiba Raja Penyihir mengayunkan ka-
kinya. Dan.... 
Desss! 
Tanpa ampun, tubuh Penghuni Kubur kontan 
terpental jauh ke belakang, lalu menghilang di balik 
lereng sebelah barat puncak Gunung Bucu. Untuk 
sesaat Raja Penyihir memperhatikan ke arah sosok 
tubuh Penghuni Kubur menghilang. Lalu sembari 
terkekeh senang, lelaki tua yang juga guru Siluman 
Ular Putih ini kembali bergabung dengan Eyang Be-
gawan Kamasetyo. 
* * * 
Saat itu Eyang Begawan Kamasetyo tengah 
menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Arum Sari. Se-
dang Siluman Ular Putih beserta ibunya turut pula 
menunggui sambil berharap-harap cemas. Tanpa 
banyak sikap Raja Penyihir segera meletakkan pan-
tatnya di samping Eyang Begawan Kamasetyo. 
"Perlu bantuanku?" tanya Raja Penyihir. 
Eyang Begawan Kamasetyo  menggeleng per-
lahan. Kedua telapak tangannya terus menempel di 
punggung Arum Sari, terus menyalurkan tenaga da-
lam. 
Melihat gelengan kepala Eyang Begawan Ka-
masetyo, Raja Penyihir tahu diri. Ia tak ingin men-
gumbar kata-kata dan hanya duduk membisu di 
samping Eyang Begawan Kamasetyo. 
Selang beberapa saat tubuh Arum Sari pun 
mulai menggeliat-geliat. Dengan susah payah, gadis 
ini mencoba membalikkan badan. Untung saja 
Eyang Begawan Kamasetyo segera membantu. Kalau 
tidak, belum tentu Arum Sari mampu mengangkat 
tubuhnya yang lemas tak bertenaga. 
"Syukur kau sudah siuman. Arum," desah Si-
luman Ular Putih. 
Arum Sari mengerjap-ngerjapkan mata. Seje-
nak gadis ini merasa heran melihat dirinya dikeru-
bungi banyak orang. Lalu sepasang mata indah itu 
jelalatan ke sana kemari. 
"Mana Penghuni Kubur?" tanya gadis itu, be-
ringas. 
"Sudah modar di dasar jurang sana!" jelas Ra-
ja Penyihir seraya menudingkan telunjuk jarinya. 
"Hm...!" Arum Sari menggigit bibirnya kuat. 
"Sayang sekali aku tak dapat membunuhnya...." 
"Sudahlah! Kau jangan ungkit-ungkit lagi 
bangkotan tua itu, Arum! Katanya, kau ingin berke-
nalan dengan ibuku?" tukas Soma. 
"Oh, ya? Mana ibumu?" tanya Arum Sari, seo-
lah telah mampu melupakan kebenciannya terhadap 
Penghuni Kubur. 
"Ini!" Soma langsung memeluk Siluman Naga 
Puspa penuh kasih sayang. 
Kata-kata Arum Sari terputus.  Tangannya 
membekap mulutnya sendiri. "Kau tak perlu sung-
kan-sungkan, Gadis. Memang itu putri kesayangan-
ku. Cuma karena...." Eyang Begawan Kamasetyo ter-
lihat ragu-ragu menjelaskan musibah yang menimpa 
putrinya. Namun karena tak ada gunanya menyem-
bunyikan rahasia yang menimpa putrinya, akhirnya 
dijelaskan juga bagaimana putrinya sampai menjel-
ma jadi ular putih raksasa.       
"Oh...! Kasihan sekali kau, Bibi...," desah 
Arum Sari merasa trenyuh sekali begitu mendengar 
cerita Eyang Begawan Kamasetyo. Karena terdorong 
rasa trenyuhnya gadis ini mencoba meraih tubuh Si-
luman Naga Puspa. Langsung dipeluknya ular rak-
sasa itu erat-erat, seolah-olah sedang memeluk ibu 
kandungnya sendiri. 
Siluman Ular Putih tersenyum senang. Apala-
gi, manakala murid Eyang Begawan Kamasetyo itu 
melihat sepasang mata indah Arum Sari berbinar-
binar ke arahnya. Seolah, tengah memancarkan rasa 
kasih yang amat dalam. Entah rasa kasih itu dituju-
kan pada ibunya, entah ditujukan pada Siluman 
Ular Putih. Soma sendiri tidak tahu. Hanya yang je-
las, ia amat kaget manakala tiba-tiba pundaknya di-
tepuk Raja Penyihir dengan kasar. 
"Hey..., Bocah Edan! Mulai saat ini juga, kau 
harus memanggilku Guru, tahu!"  
"Apa? Enak saja!"       
"Kkkau...."  
Raja Penyihir salah tingkah tak karuan. Mu-
lutnya memberengut habis-habisan. Tapi justru Si-
luman Ular Putih dan Eyang Begawan Kamasetyo 
malah tertawa-tawa senang, makin membuat Ki 
Damar Suto tak mengerti.... 
SELESAI 

 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com