1
PADANG rumput menghijau bagai bentangan
permadani yang
menyegarkan mata. Ketinggian
rumputnya rata-rata
sebatas mata kaki. Tentu saja
rumput-rumput itu
tumbuh dengan sendirinya, tak ada
orang yang sengaja
menanam rumput di tanah datar itu.
Tapi anehnya ada
orang yang merasa memiliki
perkebunan rumput
itu. Pendekar Mabuk tertawa
pendek, ketika
mendengar padang rumput itu ada
"Kalau
perkebunan kopi, perkebunan karet,
sehingga wajahnya
menjadi lebih dekat lagi dengan
wajah Suto. Ia
memandang dengan bola matanya yang
bening dan
mempunyai keteduhan tersendiri, ia menjadi
tampak menyesali
tindakannya yang membuat Pendekar
Mabuk nyaris binasa
itu.
"Maafkan aku,
Suto. Seandainya aku tahu semua ini
akan mencelakakan
dirimu, aku tak akan lari dari
pondok itu. Ooh...
tapi... tapi adakah bagian tubuhmu
yang terluka, Suto?" seraya tangan Mayangsita
menyingkapkan
rambut di kening Suto, ia memeriksa
tubuh Suto dengan
penuh kecemasan.
"Untung aku
membawa bumbung tuakku, sehingga
luka kecil itu
dapat kusembuhkan dengan meminum tuak
ini!"
"Oh, syukurlah," senyumnya
mencerminkan hati yang
lega. Hati Suto
menjadi berdesir indah melihat sikap
Mayangsita yang
tampak mencemaskan dirinya.
Keindahan itu kian
berbunga ketika Mayangsita
sunggingkan senyum
kelegaan, sepertinya gadis itu
mengungkapkan rasa
sayangnya tanpa disengaja.
"Mau minum
tuakku? Biar dukamu hilang?!"
Mayangsita
sunggingkan senyum kian lebar. "Kau
tahu saja kalau aku
haus. Aku menangis semalaman di
sini," sambil
Mayangsita menerima bumbung tuak dan
menenggaknya
beberapa teguk.
"Jangan
menangis lagi, Mayangsita," ucap Suto
bagai orang berbisik. "Matamu yang indah dapat
menjadi bengkak
jika kau banyak menangis."
Mayangsita serahkan
bumbung tuak kembali sambil
berkata,
"Tidak, aku tidak akan menangis lagi jika kau
ada di
sampingku."
"Betul? Janji
tak akan menangis lagi?" sambil Suto
sunggingkan senyum
yang memancarkan daya pikat
tinggi itu.
Mayangsita mengangguk
dengan tetap pandangi Suto
dan sunggingkan
senyum indahnya. Lalu kedua tangan
gadis itu
menggenggam tangan Suto.
"Aku berjanji.
Tapi kau pun harus janji tetap akan
mendampingiku."
"Mengapa kau
ingin kudampingi, Mayangsita?"
pancing Suto
Sinting.
"Karena hatiku
merasa seperti sudah mengenalmu
sejak, dulu. Entah
mengapa, ketika aku memandangmu
yang pertama kalinya, hatiku tiba-tiba merasa
sangat
dekat denganmu, sepertinya sudah lama kita saling
berdekatan.
Rasa-rasanya sulit sekali jika aku harus jauh
darimu, Suto."
Mayangsita
tersenyum malu ketika Suto Sinting
sunggingkan senyum
lebarnya dengan tatapan mata
lembut yang
mendebarkan hati.
"Mungkin aku
kena pelet olehmu," tambah
Mayangsita di sela
tawanya. Kata-kata itu bernada
kelakar, sehingga
Suto Sinting pun akhirnya tertawa di
sela suara tawa
kecil si Mayangsita. Kini tangan kiri
Suto ditumpangkan
di tangan Mayangsita yang sejak
tadi menggenggam
tangan kanannya. Rasa hangat
mengalir di sekujur
tubuh akibat kedua pasang tangan itu
saling genggam.
Setiap gerakan jari bagai menjadi pusat
perhatian dan
menghadirkan debar-debar keindahan
tersendiri.
Tak peduli burung
tak lagi berkicau, tak peduli
matahari makin
meninggi, mereka bagaikan terhipnotis
oleh suasana indah
yang hanya bisa dirasakan oleh
mereka berdua.
Bahkan gadis itu tak merasa keberatan
ketika dagunya
diraih Suto dan wajahnya sedikit
ditengadahkan. Mata
mereka saling tatap penuh
keceriaan dalam
jarak kurang dari dua jengkal. Mereka
saling dapat
merasakan semburan napas yang
menghangat di
sekujur wajah masing-masing.
"Kau cantik
sekali, Mayangsita," bisik Pendekar
Mabuk. Bibir ranum
Mayangsita bergerak-gerak indah
saat membalas
ucapan itu.
"Kau pun
sangat tampan dan menggoda hatiku, Suto.
Aku jadi gemetar
sekali."
"Mengapa
gemetar? Apakah karena belum sarapan?"
"Bukan karena
itu, tapi karena aku belum pernah
dipandangi pemuda
setampan dirimu, Suto."
"Kau suka
padaku?" pancing Suto.
Mayangsita menjawab
lirih, "Lebih dari suka...."
Suto tak mampu
bertahan lagi. Bibir ranum itu sangat
menggoda. Akhirnya
ia menempelkan bibirnya ke bibir
Mayangsita
pelan-pelan. Gadis itu langsung pejamkan
mata, pertanda siap
menerima sentuhan hangat dari bibir
Suto. Jantung telah
berdebar-debar, dan bibir itu pun ikut
gemetar.
Ketika bibir itu
terasa dikecup oleh Suto, tangan
Mayangsita meremas
lengan Suto. Seakan ia menahan
sesuatu yang
meledak-ledak dalam dada dengan
indahnya.
Kecupan itu dilepaskan
oleh Suto dengan pelan-
pelan. Lalu mereka
saling pandang kembali. Pandangan
mata Mayangsita
telah menjadi sayu, penuh kobaran
hasrat yang
membara. Senyum Suto mengembang tipis
penuh pesona.
"Indahkah
kecupan tadi?" bisik Suto.
"Indah
sekali," jawab Mayangsita dengan berbisik
pula.
"Dapatkah kau
melakukannya seperti yang kulakukan
tadi?"
Mayangsita tidak
menjawab, namun ia segera
mendekatkan
wajahnya pelan-pelan. Lalu bibirnya mulai
menyentuh bibir Suto Sinting. Tetapi lidah
Mayangsita
sengaja menyapu
permukaan bibir itu lebih dulu.
Sapuannya sangat
lembut dan pelan, hingga jantung Suto
menjadi bergemuruh
dihujani keindahan.
Gadis itu rupanya
pandai memainkan hati seorang
lelaki. Suto
Sinting dibuat penasaran dengan sapuan
lidahnya yang
mengitari permukaan bibir Suto. Dengan
kedua tangannya
menelusup di sela rambut panjang
Suto, Mayangsita
mulai memagut bibir Pendekar
Mabuk. Bibir itu
dilumatnya dengan lidah menari-nari,
dan Suto memberi
balasan yang tak kalah hangat.
Makin lama gairah
Mayangsita semakin bergolak.
Lidah dan bibirnya
menyusuri wajah Suto. Ia tak
tanggung-tanggung
untuk berlutut di atas dahan pipih
yang kokoh itu.
Dengan berlutut dan menunduk, ia lebih
mudah menciumi
sekitar wajah Suto, bahkan lidahnya
sempat menggelitik
di sekitar daun telinga Suto. Daun
telinga itu pun sesekali digigitnya pelan,
menimbulkan
rasa nikmat yang
membuat tangan Suto meremas.
Apa yang diremas
oleh Suto ternyata adalah
gumpalan sekal yang
padat dan berisi di permukaan dada
Mayangsita. Rupanya
sejak tadi tangan Suto sudah
menelusup ke balik
baju tanpa lengan yang berwarna
hitam itu. Tangan
tersebut menemukan dua bukit yang
hangat dan segera
berkeliaran dengan leluasanya.
"Oouuh...!"
Mayangsita mengeluh dengan tangan
meremas rambut
Suto. Kepala pemuda itu semakin
dirapatkan ke
dadanya, bahkan tangan kirinya sempat
menarik baju dari
ikat pinggangnya, sehingga belahan
baju menjadi lebih lebar lagi, bahkan terlepas
bebas.
Mayangsita
menyingkapkan bajunya sendiri, kemudian
menyodorkan dadanya
ke mulut Suto Sinting.
"Hangatkan
yang ini, Suto. Sapulah ujungnya dengan
lidahmu.... Oh, ya,
begitu.... Uuuuh... nikmat sekali,
Sutooo...,"
rengek Mayangsita dengan kepala
mendongak dan mata
terpejam. Seakan setiap sentuhan
lidah Suto sangat
diresapi keindahannya, sehingga gadis
itu kian
menghamburkan desah dan erangan yang tiada
hentinya. Bahkan
ketika Suto memagut agak kencang,
Mayangsita memekik
dengan kedua tangan meremas
rambut Suto.
"Aoow... ! Ooh,
Suto... indah sekali itu. Teruskan,
Suto... teruskan...
ooouh...!"
Kedua tangan
Pendekar Mabuk juga tak mau tinggal
diam. Ia merasa
sudah telanjur masuk dalam arena
pertarungan cinta.
Tangannya pun mulai mengendurkan
apa yang mengikat
di tubuh Mayangsita. Agaknya gadis
itu tak keberatan,
karena ia sempat membantu Suto
melepaskan ikat
pinggangnya yang terbuat dari
selendang hijau
itu. Akibatnya, kain yang menutupi
bagian bawahnya itu
merosot hingga jatuh ke lutut.
Sesuatu yang
tersembunyi selama ini terbuka bebas
tanpa hambatan.
Tangan Suto pun dapat menjamahnya
dengan leluasa.
"Ouuh...!
Teruskan, Suto.... Uuhmmm... indah sekali,
Sayang...,"
erang Mayangsita bersama napasnya yang
berhamburan dalam
desah.
Gadis itu ternyata
jauh lebih berani dari dugaan Suto
Sinting,
ia bahkan meminta Suto Sinting merayapkan
kecupannya dari
dada sampai ke bawah. Lidah Suto
dipaksakan untuk
menari-nari dengan nada merengek.
"Oh, Suto...
menarilah... mainkan tarian lidahmu,
Suto. Ooh, ya, ya,
yaaaah... terus, Suto. Teruuuss...!"
Gadis lembut itu
akhirnya menuntut kemesraan lebih
liar lagi. Ia duduk
di dahan atasnya. Suto Sinting di
dahan bawah. Tanpa
merasa canggung dan malu lagi,
segala yang
dikenakan tadi ditanggalkan di dahan
bawah.
Kerindangan
dedaunan pohon membuat mereka tak
merasa khawatir
dilihat orang. Gadis itu semakin
menjerit. Terlebih
ketika puncak kemesraannya tiba,
Mayangsita tak
tanggung-tanggung meraung panjang
bagai orang sedang
disiksa. Keringatnya pun mengucur
deras, namun
agaknya ia masih belum merasa puas,
sehingga Suto masih
dituntut untuk melakukan
keindahan seperti
tadi dengan lidahnya.
"Oh, Suto...
Suto, sekarang giliranmu, Sayang....
Berhentilah dulu,
aku akan melambungkan jiwamu
seperti yang
kualami tadi. Indah sekali, Suto...."
Pendekar Mabuk pun
menghentikan cumbuannya.
Mayangsita menyuruh
Suto Sinting berdiri dengan kedua
tangan menumpang di
dua dahan sebatas dada itu.
Mayangsita sendiri
yang melepaskan ikat pinggang Suto
yang terbuat dari
kain merah itu. Kemudian tangannya
menemukan sesuatu
yang segera diraih dalam
genggamannya.
"Ooh... luar
biasa sekali kau, Suto...," pujinya dalam
desah dan napas memburu. Kala itu kain putih
Suto
segera ditarik dan
jatuh menutupi telapak kaki.
Mayangsita tampak
kegirangan. Matanya memandang
dengan
berbinar-binar. Sambil tangannya masih
menggenggam,
Mayangsita mulai memagut-magut lutut
Suto. Kadang lutut
itu digigitnya pelan, lalu disapu
dengan ujung
lidahnya.
"Ouh,
Mayang...," desah Suto menahan keindahan
yang ingin meledak
dari dalam dada.
Mayangsita
merayapkan lidahnya dari lutut ke paha
dengan gerakan
sangat pelan, ia tak peduli lutut itu
gemetaran, tapi
kedua tangannya tetap memaksa agar
Suto lebih terbuka
lagi. Kepala Mayangsita pun
menggeliat hingga
tengadah, karena sang lidah ingin
menyapu bagian lain
dari sesuatu yang digenggamnya
sejak tadi.
"Ooooh...!"
erangan panjang Suto membuat
Mayangsita semakin
bersemangat lagi. Ia biarkan tangan
Suto meremasi rambutnya, karena hal itu akan
membuatnya merasa
bangga karena dapat memberikan
keindahan yang
setimpal dengan yang diberikan oleh
Suto Sinting tadi.
Pagutan-pagutannya semakin kuat,
bibir dan lidahnya
semakin lincah bermain di ujung
kehebatan Suto itu.
Setelah puas bermain, gadis itu pun
seakan ingin
menelan Suto bulat-bulat. Hal itu membuat
Suto mengerang
panjang.
Gadis itu tak
sanggup lagi menahan tuntutan
gairahnya, ia
ingin lakukan pelayaran cinta bersama
Pendekar Mabuk yang
bertubuh kekar dan saat itu
bermandi keringat. Menatap keringat Suto saja
Mayangsita sudah
tak sabar lagi mempermainkan
asmaranya sendiri.
Ia segera melompat
ke dahan lain. Huup...! Jleeg... !
Dahan itu lebih
datar dan mempunyai permukaan kulit
yang halus, ia
berbaring di dahan itu.
Kedua kakinya ditumpangkan
pada dahan kecil yang
lebih tinggi dari
dahan yang dipakainya berbaring.
Dahan kecil itu
terletak di kanan kirinya, masing-masing
berjarak satu betis
dari dahan besar.
Pendekar Mabuk
hanya sunggingkan senyum ketika
melihat Mayangsita
telah berbaring di sana. Mata si
gadis semakin sayu
menatap Suto, membentang lebar
penuh tantangan,
dan bibirnya merekah saat memanggil
dengan suara
merengek seperti anak kecil.
"Suto,
datanglah kemari. Aku tak sanggup bertahan
lagi, Suto....
Lakukanlah sekarang juga, Sayang.
Kemarilah...."
Kalau saja saat itu
tidak segera terdengar suara
ledakan, mungkin
Suto Sinting telah melompat ke dahan
itu dan menikam si
gadis dengan kedahsyatannya. Tetapi
karena saat itu
mereka segera mendengar suara ledakan
dua kali yang
berasal dari tempat tak seberapa jauh dari
situ, maka
perhatian Suto pun segera beralih ke suara
ledakan tersebut.
Duaar, blaaarr...!
Pendekar Mabuk
menegang seketika. Matanya lebih
lebar, tak sesayu
tadi. Mayangsita pun tertarik dengan
suara ledakan
tersebut, namun gadis tu segera bisa
bersikap cuek dan tak mau perhatiannya pindah
ke suara
ledakan.
"Suto, biarkan
suara itu. Lekaslah mengarungi lautan
kemesraan
bersamaku, Suto...!" pintanya bernada
merengek.
Jegaaar...!
Suara ledakan itu
semakin keras dan menggetarkan
pohon tempat mereka
bercumbu. Pendekar Mabuk
semakin penasaran
dan resah, ia yakin, di seberang sana
ada pertarungan
seru. Dan Suto paling tak bisa tinggal
diam jika mendengar
suara pertarungan. Nalurinya
sebagai seorang
pendekar selalu menuntut untuk melihat
siapa yang
bertarung dan jurus-jurus maut apa saja yang
digunakan mereka.
Gairah Suto yang
sudah membara pun menjadi
padam seketika.
Rengekan Mayangsita sempat tak
dihiraukan, ia segera mengenakan apa yang tadi telah
dilepaskannya.
Melihat Suto
Sinting merapikan diri, Mayangsita
mulai bernada
kecewa.
"Suto, jangan
pergi dulu! Lakukanlah dulu, Suto.
Oooh... aku ingin
menikmati walau sekali saja...."
"Kau tetap di
sini! Aku akan kembali secepatnya
setelah melihat
siapa yang bertarung di sana!" ujar Suto
dengan sedikit
gugup karena terburu-buru.
"Sutooo...,"
rengek Mayangsita seperti mau
menangis.
"Lupakan dulu pertarungan itu. Kita berlayar
dulu sampai ke
puncak keindahan walau satu kali saja.
Setelah itu kita
sama-sama melihat siapa yang bertarung
di sana. Lalu kita akan kembali ke sini dan
mengulanginya lagi,
Sayang. Ayolah, Suto... oouh, Suto
aku sudah tak bisa
menahan diri lagi, Sayang...," bujuk
Mayangsita sambil
pinggulnya sengaja menggeliat agar
menarik perhatian
Suto.
Tetapi bagi
Pendekar Mabuk, sebuah pertarungan
lebih menarik
perhatiannya daripada sebuah goyangan
pinggul, ia tak
peduli rengekan itu. Bumbung tuak yang
tadi digantungkan
pada salah satu ranting, kini
disambarnya dalam
keadaan telah berpakaian rapi.
"Sutooo...!"
pekik gadis itu dengan jengkel.
"Sebentar
saja, Mayang. Aku hanya sebentar, nanti
aku ke sini
lagi!"
"Kau tak ingin
menikmatinya dulu walau sejenak,
Suto?!"
"Aku akan
melihat pertarungan itu. Sebentar saja!"
"Tapi nanti
kau ke sini lagi?!"
"Ya, aku ke
sini lagi!"
"Dan berlayar
denganku ke lautan cinta?"
"Iya,
ya...!" Suto agak menyentak.
"Kau berjanji,
Suto?!"
"Cerewet kau,
ah!"
Zlaaap...! Suto
Sinting bagaikan menghilang, ia
melesat cepat
menuju ke tempat pertarungan. Sisa asap
hitam dari ledakan
yang kedua tadi masih terlihat. Sisa
asap itulah yang
menjadi pedoman langkah Suto yang
melompat dari pohon
ke pohon.
Zlaaap, zlaaap,
zlaaap...!
Gerakan cepat itu
terhenti dengan cepat pula. Seeet...!
Pendekar Mabuk masih tetap berada di atas
pohon ketika
ia melihat dua
orang gadis sedang lakukan pertarungan
di tanah berpohon
renggang itu. Mata Suto Sinting
sempat terbelalak
kaget melihat kedua gadis yang
bertarung dengan sengitnya
itu. Yang satu sudah
mencabut pedangnya,
yang satu masih menggunakan
tangan kosong.
Pada saat itu
jantung Suto Sinting bagaikan berhenti
seketika, karena
yang dilihatnya adalah seorang gadis
berpakaian serba
hitam sedang bertarung dengan seorang
gadis cantik
berjubah putih. Jubah putihnya yang berhias
benang emas itu
tidak memakai lengan, sehingga kulit
tubuhnya tampak
berwarna kuning langsat.
Gadis yang
berjubah putih itu mengenakan kutang
biru tipis
hingga dadanya tampal sekal
menonjol,
ujungnya mencuat ke
atas. Celana komprangnya
berwarna biru,
panjang sampai ke mata kaki dan diberi
tali pengikat pada ujung celana itu. Gadis berjubah putih
itu mempunyai
senjata pedang gading berukir kepala
naga pada
gagangnya, ia mempunyai potongan rambut
shaggy tanpa ikat
kepala, bibirnya mungil, Hidungnya
bangir.
Pendekar Mabuk
yakin gadis itu jika tersenyum pasti
mempunyai lesung
pipit di kedua pipinya, sebab
Pendekar Mabuk
pernah bertemu dengan gadis itu ketika
menembus alam
perbatasan antara gaib dan alam nyata.
Gadis itu tak lain
adalah Nirwana Tria, cucu Dewa
Tanah yang menjadi
orang paling disegani di Dasar
Bumi, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode :
"Ratu Maksiat").
Kemunculan Nirwana
Tria memang mengejutkan
bagi Suto. Tetapi
lebih mengejutkan lagi adalah lawan
dari Nirwana Tria
itu. Gadis yang sedang menebaskan
pedangnya ke arah
leher Nirwana Tria dan tebasan itu
dapat dihindari
dengan meliukkan badan ke belakang itu
adalah gadis
berpakaian serba hitam, cantik, berambut
pendek sebahu tanpa
ikat kepala, mengenakan sabuk
hijau, dan dadanya
montok. Gadis itu tak lain adalah
Mayangsita.
"Lalu,
siapa yang bercinta denganku di atas pohon
tadi?!" pikir
Suto Sinting dengan hati berdebar-debar, ia
sempat bingung dan
menggeragap sejenak, ia merasa
bercumbu begitu
panasnya dengan Mayangsita, tapi
ternyata gadis itu
sekarang sedang bertarung dengan
Nirwana Tria.
Padahal Suto masih ingat bahwa
Mayangsita
ditinggalkan di pohon besar itu dan sedang
menunggu
kedatangannya untuk mengarungi lautan
cinta.
"Jangan-jangan
mataku telah rusak?!" gumam hati
Pendekar Mabuk,
menyangsikan penglihatannya, ia
mengerjap-ngerjap
dan mengucal-ngucal mata sesaat.
Tapi ketika
memandang ke arah pertarungan, ternyata
tetap Mayangsita
yang dilihatnya sedang bertempur
melawan Nirwana
Tria.
"Haruskah aku
kembali ke pohon itu dan membawa
Mayangsita untuk
melihat siapa yang bertarung di
sini?!" pikir
Suto dalam pertimbangan paniknya.
"Oh, tak
mungkin aku kembali sekarang.
Kelihatannya Mayangsita mulai terdesak oleh
serangan
Nirwana Tria. Kalau
pertarungan itu tidak segera
kuhentikan,
Mayangsita akan terluka, bisa-bisa
nyawanya melayang.
Pertarungan ini tak setanding."
Namun sebelum Suto
bertindak, Mayangsita sudah
berhasil melepaskan
jurus andalannya ke dada Nirwana
Tria. Tendangan itu
datang tak disangka-sangka,
sehingga Nirwana
Tria kecolongan. Duukh...! Weess,
brrruuk...!
Nirwana Tria
terpental mundur dan jatuh dengan satu
kaki berlutut.
Mayangsita melompat dan menebaskan
pedangnya dari atas
ke bawah, seakan ingin membelah
kepala Nirwana
Tria.
Tetapi cucu si Dewa
Tanah itu segera bangkit dah
menyambut datangnya
pedang itu dengan kedua tangan
saling merapatkan
pergelangannya dan menyentak ke
atas. Seeeb...!
Pedang itu terselip di antara kedua telapak
tangan Nirwana
Tria. Dalam keadaan menjepit pedang,
kedua tangan
Nirwana Tria menyentak ke kiri. Krrak...!
Pedang itu pun
patah dan Mayangsita terperangah.
Tanpa menunggu
lawannya sadar kembali dari
kekagetannya,
Nirwana Tria segera memutar tubuh
dengan cepat.
Kakinya menendang dalam gerakan
memutar beberapa
kali, sehingga kaki itu bagai
menampar wajah Mayangsita
berulang-ulang.
Plak, plak, plak,
plak, plak...!
Mayangsita terdesak
mundur dengan geragapan. Dan
yang terakhir
kalinya, kaki Nirwana Tria melayang lebih
cepat lagi, membuat
Mayangsita terlempar ke samping
tanpa ampun lagi.
Beeet, ploook...!
Wees, brruk...!
Mayangsita tak
sempat terpekik karena nyawanya
bagaikan melayang
sekejap dan kembali lagi dengan
cepat, ia jatuh
terkapar di bawah pohon dengan tubuh
mengejang dan wajah
menyeringai menahan sakit.
Tiba-tiba dari arah
belakang Nirwana Tria muncul
sekelebat bayangan
yang segera menerjang punggung
gadis cantik bersenjata pedang dua jengkal yang diberi
nama Pedang Lidah
Naga itu. Wwees...! Duuukh...!
Nirwana Tria
terhentak ke depan. Punggungnya
disodok dengan
ujung tongkat. Ujung tongkat itu
kepulkan asap.
Semestinya punggung itu bolong
seketika. Tapi
ternyata punggung Nirwana tidak
mengalami cedera
apa pun. Bahkan bekas hangus di
jubah putihnya pun
tak ada. Ia hanya merasa sesak napas
sedikit, lalu
segera bangkit dan cepat berbalik.
"Wah, gawat! Ki Wabah Langit turun tangan?!"
gumam Suto Sinting
sebelum menghambur ke
pertarungan.
"Pasti suara ledakan tadi yang membuat Ki
Wabah Langit segera
lari kemari dan mencemaskan diri
Mayangsita!"
Wabah Langit tampak
memandang dengan angker
kepada Nirwana
Tria. Tapi gadis yang dipandang justru
menyunggingkan
senyum sinis berkesan meremehkan
pandangan angker
itu. Wabah Langit segera menggeram,
tongkatnya diputar
di samping kanan dengan permainan
jari-jari tangan
kanannya. Putaran itu sangat cepat,
menimbulkan suara dengung yang menyakitkan
gendang
telinga.
Nirwana Tria segera
mengeraskan kedua jari
telunjuknya. Jari
telunjuk itu ditempelkan ke pelipis
sebentar, lalu
pergelangan tangannya berputar bagai
menari, dan kedua
jari itu disentakkan ke depan.
Suuut...!
Slaaap...! Dua
larik sinar hijau bening melesat dari
ujung jari itu dan
mengarah ke dada Wabah Langit.
Kakek berjubah biru
itu memindahkan tongkatnya ke
depan dalam keadaan
masih berputar cepat bagaikan
baling-baling.
Weerrs...! Kedua sinar hijau itu akhirnya
menghantam tongkat
tersebut hingga timbulkan ledakan
yang menggelegar.
Jegaaar...!
Nirwana Tria
terpental mundur, namun hanya jatuh
berlutut, sementara
si Wabah Langit masih tegak berdiri,
ia bahkan segera
lakukan lompatan dengan tongkat
tergenggam kuat
lalu dihantamkan ke arah kepala
Nirwana Tria.
Gerakannya sangat cepat dan hantaman
tongkat itu nyaris
tak terlihat.
Pada saat itulah, Suto
Sinting segera melepaskan
sentilan kecil dari
jurus "Jari Guntur'-nya ke pinggang si
Wabah Langit.
Tees...!
Buukh...!
Sentilan yang
dilakukan sambil melompat ke tengah
pertarungan itu
membuat Wabah Langit terpelanting ke
samping hingga pukulan
tongkatnya jauh dari sasaran
semula. Brrruk...!
Wabah Langit tak bisa menjaga
keseimbangan tubuhnya, ia jatuh terbanting
dengan
sangat menyedihkan.
"Bangsat
terkutuk...!" makinya dengan kasar dan
bersuara keras.
Zlaap, jleeg...!
Suto Sinting muncul
di pertengahan jarak antara
Nirwana Tria dan
Wabah Langit. Kemunculan itu
membuat keduanya
sama-sama terkejut. Bahkan
Nirwana Tria sempat
berseru girang.
"Suto...?!"
"Hentikan
pertarungan ini!" tegas Suto Sinting.
Wabah Langit protes
sambil menahan sakit di
pinggangnya.
"Dia ingin membunuh Mayangsita!"
Mayangsita yang
sudah berdiri namun tubuhnya
sangat lemas sehingga berpegangan pada pohon itu
segera ikut berkata
dengan suara lemah.
"Diid...
dia... si Bayangan... Bayangan Ketan, eeeh...
Bayangan
Setan!" sambil menuding Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk
segera menarik lengan Nirwana Tria
agar berdiri
bersebelahan dengannya. Saat itu Nirwana
Tria berkata kepada
Suto Sinting bagai anak kecil
mengadu kepada
orangtuanya.
"Dia
menyerangku lebih dulu, Suto! Tak tahu apa
sebabnya, dia ingin
membunuhku!"
"Kar...
karena... karena kau adalah Bayangan Wetan,
eeeh... Bayangan
Setan!" timpal Mayangsita.
"Kau salah
duga!" ujar Suto kepada Mayangsita.
"Siapa yang
salah raga?!" sahut Wabah Langit
dengan keras.
"Salah duga!" ulang Suto memperjelas
ucapannya
untuk si Wabah
Langit. "Gadis cantik ini bukan si
Bayangan Setan! Dia
adalah Nirwana Tria, dari negeri
Pusar Bumi atau
Dasar Bumi! Dia sahabatku, cucu dari
Dewa Tanah!"
"Dewa
Lintah?!"
"Dewa Tanah,
Ki!" seru Suto.
Wabah Langit
terkejut. "Dewa Tanah...?! Ooh...?!
Bbe... benarkah dia
cucunya si Dewa Tanah, penguasa
Pusar Bumi
itu?!"
"Benar!"
jawab Suto Sinting tegas sekali.
"Boh... bohong...!
Waanita... wanita cantik itu pasti si
Bayangan Setan!
Ddi... dia... dia bisa berubah-ubah rupa
seperti siapa
saja!" kata Mayangsita tetap tak percaya, ia
tampak gugup karena
matanya sesekali memandang ke
arah Suto Sinting.
Pendekar Mabuk membatin,
"Agaknya dia benar-
benar Mayangsita.
Dia bicara dengan gugup dan terbata-
bata jika
berhadapan denganku. Sedangkan gadis yang
bercumbu denganku
tadi bisa bicara dengan lancar. Oh,
jika benar si
Bayangan Setan bisa berubah-ubah rupa,
tak salah lagi,
pasti gadis di pohon itu adalah si
Bayangan Setan
alias Andani! Ia berubah menjadi
Mayangsita dan
memancingku untuk bercumbu! Sialan!
Tapi... diam-diam
saja, ah! Malu sekali kalau sampai
cerita ini didengar
mereka yang ada di sini!"
Wabah Langit tampak
takut memandang Nirwana
Tria. Ia bahkan
sempat sedikit membungkuk penuh
hormat kepada
Nirwana Tria.
"Maafkan kebodohanku tadi, Cucu Dewa
Tanah!"
"Kau kenal
dengan kakekku, Pak Tua?"
"Aku hanya
mendengar kebesaran namanya saja.
Tapi aku menjadi
percaya bahwa kau adalah cucu Dewa
Tanah, karena
punggungmu tetap utuh menerima jurus
'Tongkat Kobra'-ku
tadi! Jika bukan orang berilmu
tinggi, tak mungkin
dapat menahan jurus 'Tongkat
Kobra'-ku!"
Lalu, Wabah Langit
berkata kepada Mayangsita.
"Jangan lagi
melawannya, Mayangsita! Dia memang
bukan si Bayangan
Setan! Dugaanmu hanya diracuni
oleh dendammu
sendiri."
Mayangsita
tundukkan kepala, karena Pendekar
Mabuk
memandanginya.
*
* *
5
PENDEKAR MABUK ingin buktikan kepada mereka
bahwa Bayangan
Setan telah mengubah diri sebagai
Mayangsita. Ia
segera membawa mereka ke pohon besar
yang dipakainya
bercumbu itu. Tetapi ternyata pohon itu
sudah tidak
berpenghuni lagi. Sosok gadis yang
menyerupai
Mayangsita telah tiada. Berarti Bayangan
Setan telah pergi.
Wabah Langit
berkata, "Mungkin dia tahu Nirwana
Tria telah muncul
di sekitar tempat ini!"
Nirwana Tria
menarik napas dan palingkan wajah, tak
mau menjadi bahan
perhatian Mayangsita dan Pendekar
Mabuk. Sementara
itu, Mayangsita yang sudah mau
percaya dengan
penjelasan Suto serta Wabah Langit itu
segera ajukan tanya
kepada sahabat gurunya itu.
"Mengapa si
Bayangan Setan segera pergi jika benar
ia mengetahui
kemunculan Nirwana Tria, Ki?"
"Karena dia
takut!" sentak si Wabah Langit.
"Mengapa
takut?!" desak Mayangsita dengan lancar
karena matanya
tertuju pada si wajah angker berjubah
biru itu.
"Apakah gurumu
tak pernah menceritakan tentang
kehancuran Samudera
Kubur saat bersarang di Pulau
Blacan, delapan
tahun yang lalu?!"
"Guru tak
banyak membeberkan cerita itu, Ki."
"Gurumu memang
songong!" geram Wabah La ngit.
"Samudera
Kubur saat berada di Pulau Blacan telah
dihancurkan oleh
pasukan dari Dasar Bumi atau dari
negeri Pusar Bumi.
Pasukan itu dipimpin oleh seorang
gadis, cucu dari
Dewa Tanah. Dan gadis itu sekarang ada
di sampingmu!"
Mata Mayangsita
melirik Nirwana Tria, bahkan kini
memandang langsung
dengan posisi berdiri menghadap
Nirwana Tria. Yang
dipandang jadi serba salah dan
akhirnya hanya
tundukkan kepala sambil kedua
tangannya
bersedekap, kakinya bermain batu secara
iseng.
Suto Sinting pun
jadi ikut memandang Nirwana Tria,
karena kekagumannya
terhadap gadis itu semakin
bertambah, ia pun
ingat dengan cerita Perawan Sinting
tentang sebuah
biara yang telah runtuh dan sekarang
tinggal
puing-puingnya. Biara itu dulu bekas pusat
Perguruan Bunga
Seroja. Ketika perguruan itu diambil
alih oleh Peri
Kahyangan, maka orang-orang Perguruan
Bunga Seroja
menjadi sesat dan beraliran hitam.
Perguruan itu
akhirnya dihancurkan oleh Nirwana Tria
pada masa lima puluh tahun yang lalu, dan Peri
Kahyangan melarikan
diri ke alam gaib. Rupanya Peri
Kahyangan kini
bergentayangan lagi dan menamakan
dirinya
sebagai si Bayangan Setan, (Baca serial
Pendekar Mabuk
dalam episode : "Buronan Cinta
Sekarat")
Kini giliran
Nirwana Tria yang bicara.
"Cerita itu
tak perlu disebarluaskan, Ki Wabah
Langit,"
ujarnya dengan sopan dan hormat. "Untuk apa
membicarakan masa
lalu. Bukankah lebih baik
membicarakan masa
sekarang, di mana Bayangan Setan
mengganas lagi dan
aku diperintahkan oleh Kakek Dewa
Tanah untuk
menuntaskannya!"
"Aku bersyukur
jika kau sudah mulai turun tangan
lagi, Nirwana
Tria," ujar si Wabah Langit. "Karena aku
sendiri merasa
belum tentu unggul melawan si Bayangan
Setan!"
"Kabar yang
kudengar, Bayangan Setan atau si Peri
Kahyangan itu
bersembunyi di Bukit Lahat. Maka aku
pun segera mencari
Bukit Lahat sambil mencari tahu di
mana Pendekar Mabuk
berada."
"Mengapa kau
juga mencari Pendekar Mabur, eeh...
Pendekar Beruk,
eeh... anu... Pendekar...."
"Pendekar
Mabuk!" sentak Wabah Langit.
"Iya!"
balas Mayangsita pendek saja. Ia selalu gugup
jika menyebut
Pendekar Mabuk di depan orangnya.
"Kakek
berpesan agar aku bekerja sama dengan
Pendekar Mabuk.
Si Bayangan Setan hanya bisa mati
atau musnah
selamanya jika yang membunuh adalah
pemuda tanpa pusar.
Dan pemuda tanpa pusar itu adalah
Suto Sinting; si
Pendekar Mabuk ini!"
Mayangsita
terperangah dan tergagap-gagap lagi.
"Oh, jad...
Jadi dia tidak punya pasar? Eeeh... tidak
punya ular? Aduh,
anu... maksudku... dia tidak punya...."
"Pusar!"
sentak Wabah Langit lagi.
"Iya. Tidak
punya pusar?!"
Nirwana Tria
tersenyum geli. "Tanyakan sendiri pada
orangnya."
Wabah Langit
menyahut, "Kalau perlu, periksalah
kebenarannya,
Mayangsita!"
"Ah, anu...
oh, Iya periksa. Eh, jangan...! Tidak mau!"
Mayangsita menjauh
sambil mengibas-ngibaskan
tangannya.
Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria tertawa geli.
Setelah keadaan
tenang kembali, Mayangsita telah
berpindah di
samping Wabah Langit, maka Nirwana Tria
mulai bicara dengan
serius kepada Suto Sinting.
"Berapa lama
kau bertemu dengan si Bayangan Setan
dalam wujud
Mayangsita?"
"Yah, tak
terlalu lama. Kami hanya bertegur sapa saja
dan menanyakan
mengapa Mayangsita tadi malam kabur
dari pondok Ki
Wabah Langit."
Mayangsita
menyahut, "Aku sembunyi di... di-
tumpukan kayu
kabar, eeeh... kayu bakar, di belakang
murah, eeeh... di
belakang rumah. Aku memang ingin
sindiran, aah...
anu, aku memang ingin sendirian
merenungi kata-kata
Ki Bawah Langit!"
"Goblok!
Namaku Wabah Langit!" bentak si pemilik
nama.
"Iya,
maksudku, Wabah Langit, Goblok! Eaeh...
maaf, maaf,
Ki!" Mayangsita ketakutan sendiri
sampai
cium tangan si
Wabah Langit.
Nirwana Tria
akhirnya memutuskan agar Wabah
Langit dan
Mayangsita kembali ke pondok, ia dan Suto
Sinting akan menuju
ke Bukit Lahat, memburu si
Bayangan Setan.
Semula gadis murid Eyang Panujum itu
agak ngotot, ingin
ikut ke Bukit Lahat. Tetapi Suto
Sinting menetapkan
dengan tegas.
"Kau harus
tetap di pondok bersama Ki Wabah
Langit dan Mahesa
Gibas! Jika kau tak mau menurut,
aku tak mau
mengenalmu lagi!"
"Bbaa...
baiklah kalau begitu maumu. Akk... aku...
akan tetap di
pondong, eeh... akan tetap di pondok
bersama Ki Wabah Langit dan Mahesa Gabus, eeh...
Mahesa Gibras,
aduh... salah lagi! Siapa, Ki?"
"Tirukan!
Ma-he-sa...."
"Ma-he-sa...."
"Gi-bas...."
"Gi-bas...."
"Mahesa
Gibas!"
"Mahesa
Gabres! Aduuuh... salah lagi!"
"Sudah,
sudah... kita pulang sekarang saja, biar
urusan si Bayangan
Setan ditangani Nirwana Tria dan
Suto Sinting!"
geram si Wabah Langit sambil menarik
tangan Mayangsita.
Pendekar Mabuk dan Nirwana Tria
pandangi kepergian
mereka sesaat.
Begitu mereka telah
menghilang dari pandangan
mata, tiba-tiba
Nirwana Tria memeluk Suto dan bibirnya
menyambar bibir
pemuda itu. Crrup...!
"Hei, nakal
kau!"
"Aku kangen
padamu!" ujar gadis cantik berlesung
pipit itu.
"Ketika Kakek Dewa Tanah memanggilku dan
memberikan tugas
menghancurkan Peri Kahyangan
dengan terlebih
dulu mencari Pendekar Mabuk, hatiku
girang sekali.
Semangatku tinggi karena aku punya
kesempatan muncul
di permukaan bumi dan bisa
bertemu denganmu.
Maka dari kabar ke kabar, kuperoleh
keterangan bahwa si
Pendekar Mabuk sedang memburu
Bayangan Setan ke
Pulau Blacan atas permintaan tolong
dari Adipati
Jayengrana. Teropong batinku mengatakan,
kau tidak ada di
Pulau Blacan. Mata batinku pun
mencarimu hingga
akhirnya kutemukan kau ada di
sekitar Pantai
Porong. Lalu kuperoleh keterangan dari
Panembahan
Pancalingga, bahwa kau bergerak ke arah
sini. Maka aku pun
memburumu ke sini."
Nirwana Tria bicara
dengan berapi-api, seakan
menampakkan betul
kegembiraannya dapat bertemu
dengan Pendekar
Mabuk, ia memang terpikat oleh
ketampanan dan
keromantisan sang Pendekar Mabuk.
Namun karena ia
tahu, Pendekar Mabuk sudah
mempunyai calon
istri sendiri, yaitu Dyah Sariningrum
anak dari Ratu
Kartika Wangi yang dihormati, maka ia
tak berani merebut
pemuda itu dari hati Dyah
Sariningrum. Ia
hanya memanfaatkan bunga-bunga
indah yang
bermekaran di masa lajang si Pendekar
Mabuk itu.
Sambil melangkah mendaki perbukitan, Pendekar
Mabuk sempat ajukan
tanya kepada Nirwana Tria yang
sebenarnya sudah
berusia tiga kali lipat usia Suto Sinting
itu.
"Apakah kau
tahu, bagaimana caranya si Bayangan
Setan dapat
menirukan wujud dari Mayangsita?"
"Dia bisa
mengambil alam pikiran seseorang dan
mewujudkannya dalam
bentuk nyata. Barangkali saat itu
kau memikirkan
Mayangsita dengan segala
permasalahannya,
sehingga pikiranmu diambil dan ia
membentuk diri
menyerupai alam pikiranmu itu. Ia
mempunyai ilmu 'Aji
Samar Dewi' yang bisa membuat
dirinya
berubah-ubah wujud. Bisa saja ia berubah
menjadi binatang
atau raksasa."
"Hmmm...!"
Pendekar Mabuk menggumam sambil
manggut-manggut.
"Lalu, bagaimana cara
mengatasinya?
Maksudku, bagaimana cara mengetahui
bahwa binatang atau
seseorang itu adalah penyamaran
dari si Bayangan
Setan?!"
"Tato di
pahanya akan selalu ikut serta dalam setiap
perubahannya,
walaupun tato itu tidak hidup seperti jika
berada di pahanya
sendiri."
Pendekar Mabuk hanya membatin, "O, pantas
waktu
tadi kuciumi
pahanya, aku melihat ada tato kecil di sana.
Tapi tak jelas
bentuknya, sehingga kusangka hanya
tompel biasa.
Rupanya tato kecil itu berbentuk kupu-
kupu! Ah, kurang
ajar betul si Andani itu! Aku nyaris
dibuatnya ternoda!
Untung belum sempat kuberikan
'jimat
keramat'-ku ini kepadanya. Benar-benar
gila dia.
Kusangka si
Mayangsita gairahnya sebuas itu. Tak
tahunya si setan
keparat yang punya gairah!"
Nirwana Tria sempat
curiga dengan bungkamnya
mulut Suto itu.
"Benarkah kau
tadi hanya bicara-bicara biasa dengan
jelmaan si Bayangan
Setan?"
"Hmmm... ya,
benar!" Suto mempertegas jawabannya
agar tak timbulkan
kecurigaan lagi di hati gadis itu.
"Tidak berbuat
yang bukan-bukan?"
"Tidak! Kenapa
kau bertanya begitu padaku?"
Nirwana Tria
tersenyum kalem. "Kau sangka aku tak
tahu watakmu kalau
sudah berhadapan dengan seorang
gadis cantik dalam
keadaan hanya berdua di tempat
sepi?!"
Suto Sinting
tertawa pahit. "Aku tak serendah
dugaanmu."
"Itu tak
mungkin kulakukan. Seandainya hal itu
kulakukan, tentunya
aku sudah mati dimakan si
Bayangan
Setan."
Nirwana Tria
tersenyum sinis, "Ia tak akan
melukaimu atau
membunuhmu. Bahkan ia tak mungkin
mengunyah dagingmu
walau sedikit pun."
"Kenapa kau
yakin dia tak akan membunuhku?"
"Karena dia
pasti tahu bahwa kau adalah pemuda
tanpa pusar. Satu
pantangan yang tak boleh dilanggar
olehnya adalah
membunuh atau memakan daging orang
yang tidak punya
pusar!"
"O,
ya...?!" Suto Sinting terperanjat dan semakin
penasaran.
"Seandainya dia nekat membunuhku atau
memakan dagingku,
bagaimana jadinya?"
"Seluruh
ilmunya akan hilang seketika itu juga!"
"Ooo...,"
Pendekar Mabuk manggut-manggut lagi.
"Oleh sebab
itu, kakekku menyarankan agar aku
menemuimu dan
mengatakan, bahwa hanya kaulah
orang yang bisa
membinasakan si Peri Kahyangan itu,"
ujar Nirwana Tria
dengan serius. "Karena jika ia
melawanku, ia hanya
bisa kukalahkan namun tak bisa
kubunuh, ia akan
segera kabur dan hilang entah ke mana,
lalu muncul kembali
beberapa tahun kemudian, seperti
halnya kali
ini!"
Pendekar Mabuk
tarik napas dalam-dalam. Secara tak
langsung ia telah
mendapat mandat dari Dewa Tanah
untuk hancurkan si
Bayangan Setan. Hatinya merasa
bangga mendapat
kepercayaan sebesar itu. Tetapi ia
belum tahu
bagaimana cara mengalahkan si Bayangan
Setan. Tentunya
tidak seperti ia mengalahkan lawan-
lawannya yang lain.
"Bayangan
Setan mempunyai segudang ilmu," lanjut
Nirwana Tria.
"Kau harus hati-hati. Jangan sampai ia
melarikan diri
lagi. Jangan sampai pula ia merasa lebih
baik mati bersama
daripada mati sendirian."
"Apakah kau
tahu di mana letak kelemahan si
Bayangan Setan
itu?!" tanya Suto Sinting terang-
terangan meminta
petunjuk dari gadis cantik yang
tampak lebih muda
darinya itu. Nirwana Tria pun
ternyata tidak
meremehkan pertanyaan itu dan ia
memberikan jawaban
dengan sungguh-sungguh.
"Kelemahan si
Peri Kahyangan atau si Bayangan
Setan itu terletak
di... di antara kedua pahanya. Kurasa
kau tahu maksudku,
Suto."
Pendekar Mabuk
justru hentikan langkah dan
memandang dengan
dahi berkerut. "Kau tidak sedang
bergurau,
Tria?"
"Tidak! Karena
menurut keterangan kakekku, ketika
tubuh Peri
Kahyangan tersiram 'Cahaya Iblis', yang tidak
terkena cahaya
hanya bagian 'mahkota'-nya saja. Jadi,
tempat itu adalah
tempat yang rawan, alias tempat
apesnya!"
"Apa
maksudnya, 'Cahaya Iblis' itu?"
"Cahaya merah
yang keluar dari gerhana matahari.
Kekuatan iblis
terpancar melalui gerhana matahari
berupa sinar merah
kebiru-biruan. Siapa pun yang
terkena sinar merah
itu, maka ia akan memiliki kekuatan
iblis yang sungguh
dahsyat. Tetapi tidak setiap ada
gerhana matahari,
maka akan muncul 'Cahaya Iblis' itu.
Seribu tahun sekali
'Cahaya Iblis' itu akan terpancar dari
gerhana matahari.
Dan selama ini, hanya si Peri
Kahyangan yang
pernah tersiram 'Cahaya Iblis' pada saat
terjadi gerhana
matahari, karena pada saat itu ia sedang
lakukan semadi
telanjang di puncak sebuah gunung."
Pendekar Mabuk
sempat membatin, "Unik juga letak
kelemahannya itu.
Kalau sejak tadi aku sudah
mengetahuinya,
tentu saat di atas pohon itu aku sudah
bisa membunuh si
Bayangan Setan! Sangat bisa, sebab
kelemahannya itu
terbuka lebar-lebar. Tapi mengapa
justru kuberi
kenikmatan, ya? Ah, bodoh sekali aku ini!"
Tiba-tiba Nirwana
Tria menahan lengan Suto hingga
pemuda itu hentikan
langkahnya. Mata si gadis
memandang sekeliling
dengan jeli. Pendekar Mabuk ikut
memandang
sekelilingnya, karena gerakan mata
Nirwana Tria
mengisyaratkan datangnya bahaya di
sekitar mereka.
"Ada apa,
Tria?" bisik Suto Sinting karena tak
melihat ada sesuatu
yang mencurigakan.
"Kau dengar
suara lalat menggaung?"
Pendekar Mabuk
tajamkan pendengaran sebentar.
"Hmmm... ya,
dia memutar-mutar sekitar kita. Tapi
gerakannya sukar
kulihat. Ada apa dengan lalat itu?"
"Adakah
bangkai atau benda busuk di sekitar sini?"
"Belum kuperiksa.
Tapi menurut penciumanku, tak
ada benda busuk di
sini."
"Kalau begitu,
seekor lalat yang terbang itu adalah
lalat yang tidak
wajar."
"Maksudmu,
lalat yang kurang ajar?"
"Tidak
wajar!" tegas Nirwana Tria. "Pasti bukan lalat
sembarangan!
Bersiaplah, Suto! Firasatku mengatakan,
kehadiran kita
sudah mulai disambut oleh si Bayangan
Setan yang mengubah
diri menjadi seekor lalat."
"Gawat!"
gumam Suto Sinting sambil meraih
bumbung tuaknya.
Mereka mulai merenggang jarak.
Nirwana Tria
mencabut pedangnya yang pendek, namun
dapat menjadi
panjang dalam satu sentakan tenaga dalam
tertentu.
Wuuuung...!
Wuuuung...!
Lalat itu
perdengarkan bunyinya sambil mengelilingi
mereka berdua. Suto
Sinting semakin percaya terhadap
dugaan Nirwana
Tria. Jika lalat itu adalah lalat liar, tak
mungkin hanya
terbang mengelilingi mereka berdua.
Maka kedua mata
Pendekar Mabuk pun dipertajam
dengan tali bumbung
tauk mulai melilit di genggaman
tangannya.
"Menjauhlah,
Suto! Biar kuhadapi sendiri lalat
keparat itu!"
Pendekar Mabuk
sengaja memberi tempat bergerak
untuk Nirwana Tria.
Suara lalat mendengung makin jelas
mengelilingi
Nirwana Tria. Tapi gerakan lalat itu tak
bisa dilihat oleh
Suto maupun Nirwana Tria.
Gadis itu akhirnya
pejamkan mata. Ia mulai lakukan
gerakan dengan
berdasarkan ketajaman pendengarannya.
Tanpa memejamkan
mata, maka konsentrasinya akan
terpecah belah dan
tebasan pedangnya akan meleset dari
sasaran.
Kejap berikut,
Nirwana Tria mengibaskan pedangnya
dalam gerakan yang
nyaris tak terlihat oleh pandangan
mata Suto.
Wut, wut, wuuut...!
Wees...!
Nguuuuung...!
Lalat itu justru terbang meninggi. Nirwana Tria
hentikan gerakan
dan tetap pejamkan mata. Pendekar
Mabuk mencari lalat
itu dengan pandangan yang tertuju
ke atas. Tapi tetap
saja tak melihat seekor lalat yang
terbang dan
mendengung pelan.
Beberapa saat
kemudian dengung lalat itu terdengar
mendekat kembali.
"Awas,
Tria...!" ujar Suto mengingatkan. Nirwana
Tria tidak
menjawab, namun badannya bergerak
memutar pelan-pelan
sambil tetap pejamkan mata. Hal
itu terjadi cukup
lama. Sampai akhirnya, pedang
Nirwana Tria
berkelebat dan menjadi panjang sendiri
dalam gerakan
menebas ke samping dua kali.
Wut,
wuuuut...!
Ngguuuurrk...!
Nguuurrk...!
Suara dengung lalat
pun tak senyaring tadi. Nirwana
Tria masih pejamkan
mata dan bergerak memutar
dengan pelan. Tapi
kali ini ia perdengarkan suaranya
kepada Suto
Sinting.
"Dia jatuh!
Kau melihatnya, Suto?!"
"Sedang
kucari!" jawab Suto Sinting sambil
menyimak suara
dengung yang rusak itu.
"Aku telah
menebas sayap kirinya," kata Nirwana
Tria.
"Periksalah jika kau dapatkan dia! Mungkin
sekarang ada di
sebelah kiriku. Di bawah, Suto!"
Pendekar Mabuk
memeriksa bagian kiri Nirwana
Tria. Tiap jengkal
tanah diperhatikan. Namun ia tak
menemukan binatang
kecil itu. Nirwana Tria membuka
mata, karena suara
dengung itu telah hilang dan tak
muncul-muncul lagi.
"Dia telah
pergi!" gumamnya dengan nada
menggeram jengkel.
"Hei, ada
sesuatu yang kutemukan di atas daun ini!"
seru Suto Sinting
yang membuat Nirwana Tria segera
mendekatinya.
Sehelai daun semak
liar berwarna hijau pupus
menjadi pusat
perhatian mereka. Di atas daun itu tampak
noda hitam kecil
yang jika diperhatikan baik-baik
ternyata adalah
selembar sayap seekor lalat.
"Sayap inilah
yang kutebas tadi," kata Nirwana Tria.
Pendekar Mabuk
hanya membatin, "Gila! Kecepatan
jurus pedangnya
memang luar biasa. Dia bisa
memastikan bahwa
tebasan pedangnya telah kenai salah
satu sayap lalat
itu. Dan sekarang terbukti ada selembar
sayap lalat di daun
ini. Benar-benar hebat jurus pedang
yang dimilikinya.
Atau mungkin pedang pusakanya
itulah yang
mempunyai kehebatan sedemikian tinggi?!
Pantas jika pedang
itu dinamakan Pedang Lidah Naga!"
"Sebaiknya
kita...," Nirwana Tria tak jadi lanjutkan
kata-katanya,
karena tiba-tiba mereka mendengar suara
dengung yang lebih
besar dan sepertinya menggema.
Wajah gadis
itu tampak tegang saat memandang Suto
Sinting, membuat Suto
sendiri jadi berkerut dahi.
"Suara dengung
itu makin besar!" ujarnya kepada
Nirwana Tria.
"Apakah lalat
itu juga menjadi sebesar kerbau?" tanya
Suto asal cuap
saja.
"Kurasa kini
yang datang serombongan lalat beracun
yang ingin
menyerang kita, Suto! Bersiaplah!"
Nirwana Tria
melompat dalam jarak empat langkah
dari Suto. Mereka
sama-sama menghadap ke timur,
karena suara
dengung besar itu datang dari timur.
Dahi si Pendekar
Mabuk semakin berkerut kuat-kuat
ketika ia melihat
bayangan hitam bergerak berombak-
ombak menuju ke
arahnya. Bayangan hitam itu tak lain
adalah ratusan ekor
lalat kiriman si Bayangan Setan
yang tentunya
masing-masing membawa racun
mematikan.
"Mereka datang
dalam jumlah banyak, Tria!"
"Minggirlah!
Cari tempat terlindung. Kuhancurkan
sendiri rombongan
lalat itu!" ujar Nirwana Tria.
"Tidak! Ini
giliranku, Tria! Mundurlah...!" kata
Pendekar Mabuk
sambil membuka bumbung tuaknya, ia
segera menenggak
tuak. Yang ditelan hanya sedikit,
sisanya disimpan
dalam mulut, sehingga kedua pipi
pemuda tampan itu
mengembung besar. Nirwana Tria
tak mau
mengecewakan Suto, ia pun bergegas mundur
dengan siap siaga
lepaskan pukulan yang akan
menghancurkan
ratusan lalat yang berombak-ombak itu.
Mereka terbang
dalam ketinggian sebatas kepala Suto
Sinting. Tapi Suto
yakin lalat-lalat itu akan segera
merendah dan
menyergap mereka bersama racun yang
ada di kaki mereka.
Ketika rombongan
lalat itu lebih dekat lagi, Pendekar
Mabuk segera
lakukan lompatan tinggi dalam gerakan
bersalto maju.
Wuuuk, wuuuk...! Lompatan itu melebihi
ketinggian barisan
lalat.
Pada saat posisi
Suto menukik di atas barisan lalat,
tuak dalam mulutnya
segera disemburkan. Itulah jurus
'Sembur Bromo
Wiwaha' yang memercikkan bunga api
saat tuak
disemburkan.
Bwwwwweeerrss...!
Trak, trak, pletak,
praak, traatak, pletak, traaak...!
Terdengar suara
seperti berondongan jagung bakar.
Lalat-lalat itu
terbakar oleh semburan tuak yang
memercikkan bunga
api. Suara gemeretak membuat
tanah menjadi hitam
beberapa saat kemudian. Rumput
tertutup oleh
ratusan bangkai lalat yang menghangus.
Semburan panjang
dari mulut Suto tadi telah berhasil
membunuh semua
lalat yang ada dalam rombongan
tanpa nama itu.
Hanya satu ekor yang lolos dari
semburan tuak Suto
tadi. Satu ekor lalat tersebut segera
mendengung dalam
terbangnya yang menukik tinggi lalu
menghilang di
sela-sela dahan pohon rindang.
Pendekar Mabuk
bermaksud mengejar yang seekor
itu, tetapi Nirwana
Tria sudah lebih dulu berseru
kepadanya.
"Jangan
kejar! Dia akan membawamu ke jebakan
yang
berbahaya!"
Pendekar Mabuk
segera sadar tentang peringatan itu,
sehingga ia tak
berani lanjutkan pengejarannya. Hati
sang pendekar pun
membatin, "Kalau dipikir-pikir
memang tak pantas,
sebagai pendekar kok yang dikejar-
kejar seekor lalat!
Apa kata orang yang tak tahu jika
melihat tingkahku
tadi."
Nirwana Tria
berkata, "Kalau begitu kita sudah
berada di dekat
sarang si Bayangan Setan! Kita serang
saja dia sebelum
dia mempermainkan kita dengan
makhluk jelmaannya
seperti tadi!"
"Bagaimana
kita bisa menyerang jika kita tak melihat
bentuknya?!"
kata Suto.
"Bukankah kau
bisa keluar-masuk alam gaib?!"
"Apa
maksudmu?!" Suto kerutkan dahi.
"Peri Kahyangan mempunyai pintu sendiri untuk
keluar-masuk ke
alam gaib bagi dirinya maupun bagi
para pengikutnya.
Pergunakan kesaktianmu itu agar bisa
melihat di mana
mereka berada!"
Pendekar Mabuk
segera ingat tentang noda merah di
keningnya yang tak
bisa dilihat oleh sembarang orang.
Noda merah itu
pemberian dari calon mertuanya; Ratu
Gusti Kartika
Wangi. Noda merah itu selain sebagai
tanda bahwa Suto
adalah Manggala Yudha negeri Puri
Gerbang Surgawi di
alam gaib, juga sebagai kunci untuk
keluar-masuk alam
gaib, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode :
"Manusia Seribu Wajah").
Noda merah di
keningnya yang sebesar biji jagung itu
jika diusap dengan
tangan kiri bisa untuk melihat
kehidupan alam
gaib, tapi jika diusap dengan tangan
kanan membuat Suto
dapat keluar-masuk ke alam gaib.
Maka Pendekar Mabuk
pun segera mengusap
keningnya dengan
tangan kiri. Slaaap...! Ia pun lenyap
dari pandangan mata
dan telah berada di alam gaib.
Nirwana Tria
menyusul kepergian Suto dengan
merapatkan kedua
tangannya di dada, blaas...! Nirwana
Tria pun
menghilang, dan kini berada di alam gaib
bersama si Pendekar
Mabuk.
*
* *
6
TERNYATA di alam gaib itu, Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria
melihat sebuah bangunan megah dari
batuan putih. Tepi
bangunan itu dilapisi logam sejenis
emas yang berkilauan.
Bangunan itu berada di puncak
bukit yang harus
didaki dulu oleh Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria.
Bukan hal sulit
bagi mereka untuk mendaki bukit itu.
Masing-masing
menggunakan ilmu peringan tubuh dan
mampu melesat
seperti anak panah. Zlaaap, zlaaap...!
Dalam sekejap
mereka sudah mencapai tangga berbatu
putih yang menjadi
pintu gerbang bangunan megah itu.
"Pantas mereka
tak pernah bisa menemukan di mana
persembunyian si
Bayangan Setan, karena ia tinggal di
alam perbatasan
ini!" ujar Suto seperti bicara pada diri
sendiri.
Nirwana Tria
menyenggol lengan Suto dan berbisik,
"Dua orang
penjaga gerbang mendekati kita!"
"Kau satu yang
berbaju merah, aku yang berbaju
biru!
Setuju?!"
"Yang mana
saja aku selalu setuju dengan usulmu,
Pria Jelek!"
Nirwana Tria masih sempat berseloroh,
karena memang ia
sangat tenang menghadapi kedua
penjaga gerbang
yang tadi ada di depan tangga.
Dua orang itu
sama-sama berbadan besar dan
bersenjata bola
berduri. Bola besi itu mempunyai rantai
yang berhubungan
dengan gagangnya. Mereka sama-
sama berwajah lebih
angker dari si Wabah Langit.
"Mau apa
kalian kemari, hah?!" bentak si baju merah.
Nirwana Tria tidak
menjawab, demikian pula
Pendekar Mabuk.
Keduanya sama-sama lepaskan
pukulan jarak lima
langkah berupa sinar yang keluar dari
tangan mereka.
Nirwana Tria keluarkan sinar hijau, dan
kebetulan Suto
Sinting pun keluarkan sinar hijau dari
jurus 'Pecah Raga'
yang dipakai menyerang si Gober itu.
Clap, dap...!
Blaaar,
bleggaarr...!
Tak ada satu
kedipan kedua penjaga berwajah angker
itu kini menjadi
berwajah pucat. Mereka tumbang dalam
keadaan hancur tak
bernyawa. Bola besi berduri ternyata
sia-sia
digenggamnya sejak kemarin-kemarin, toh nyawa
mereka langsung
minggat begitu Pendekar Mabuk dan
Nirwana Tria muncul
di depan mereka.
Suara ledakan itu
jelas mengagetkan mereka yang ada
di dalam bangunan
megah tersebut. Dan sudah tentu
mereka menangkap
datangnya bahaya, sehingga tak
heran ketika mereka
menghambur keluar menuruni
tangga, mereka
sudah bersenjata dan siap menghadapi
pertarungan.
Lebih dari lima
belas orang menuruni tangga yang
jumlahnya sekitar
tiga puluh anak tangga itu. Nirwana
Tria dan Pendekar
Mabuk tak merasa gentar sedikit pun.
Mereka masih tampak
kalem.
"Aku
menghadapi mereka, kau menembus ke dalam
dan cari si Peri
Kahyangan! Hancurkan dia sebelum
sempat kabur
lagi!" ujar Nirwana Tria.
"Kau sanggup
menghadapi mereka?!"
"Jangan
mengecilkan kemampuanku, Suto!"
"Maaf,
kusangka kau hanya bisa menciumku saja!"
ujar Suto
berseloroh, lalu mereka berdua sama-sama
menyongsong
orang-orang yang sedang menuruni
tangga tersebut.
Pendekar Mabuk
berusaha menerobos masuk dengan
mengibaskan bumbung
tuaknya beberapa kali. Mereka
yang terhantam
bumbung tuak bertenaga dalam tinggi
tak pernah sempat
mengerang lebih dari satu kali.
Sementara itu,
Nirwana Tria dengan Pedang Lidah
Naga-nya bergerak
cepat melumpuhkan mereka yang
pada umumnya
buas-buas dan liar-liar.
"Cepat
masuk!" seru Nirwana Tria setelah ia
menyingkirkan tiga
orang yang menghadang langkah
Suto Sinting. Tiga
orang itu dihantam dari arah samping
dengan sinar biru
yang keluar dari ujung kedua jari
Nirwana Tria. Sinar
tersebut menembus pinggang ketiga
orang itu dan
robohlah mereka tanpa mau bernapas lagi.
Ternyata yang
keluar dari bangunan megah itu
semakin banyak.
Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk
berhasil menerabas
masuk dengan jurus 'Gerak
Siluman'-nya,
sementara Nirwana Tria menghadapi
mereka dengan
kelincahan yang sukar diimbangi oleh
mereka.
Pendekar Mabuk tiba
di bangsal utama. Beberapa
lelaki bertelanjang
dada yang mempunyai tubuh kekar
dan kulit hitam
segera menyerangnya. Namun mereka
dapat disingkirkan
dalam waktu singkat, sehingga Suto
Sinting segera
masuk lebih dalam lagi.
Salah seorang
pengawal bersenjata cambuk
menyerang Suto dari
belakang. Ctaaar...! Pendekar
Mabuk tersentak dan
memekik dengan suara tertahan,
karena cambuk itu
melilit kuat di bagian dadanya. Makin
lama lilitan cambuk
terasa makin menjerat dan nyaris
menembus ke daging
dan tulangnya. Wajah Pendekar
Mabuk menjadi merah
karena darahnya tak bisa
mengalir lagi.
Dengan sentakan
kaki pelan, tubuh Pendekar Mabuk
akhirnya melambung
ke atas dan bersalto mundur.
Wuuut...! Tali cambuk berhasil dipegangnya saat ia
berada di udara,
lalu disentakkan ke depan dengan
kekuatan penuh.
Wuuut...! Si pemegang cambuk
terlempar kuat dan
kepalanya membentur dinding
dengan keras.
Praaak...!
"Aaoww...!"
pekiknya memanjang, karena kepala itu
segera mengucurkan
darah. Pendekar Mabuk cepat
lepaskan diri dari
lilitan cambuk itu, kemudian ia segera
menerjang orang
tersebut dengan tendangan kakinya.
Wuuut...!
Bruuusk...!
"Heeekh...!"
orang itu mendelik, lehernya tergencet
kaki Suto dengan
dinding.
"Di mana si Bayangan Setan itu! Katakan sekarang
juga atau kutekan
lebih kuat lagi kakiku ini!" hardik
Suto. Orang itu tak
mau sebutkan, rupanya ia ingin
menjadi pengawal
setia si Bayangan Setan. Tapi Suto
Sinting semakin
memperkuat tekanan pada kakinya
sehingga orang itu
tersentak dengan mulut terbuka dan
lidah terjulur.
"Di mana dia!
Katakan, maka akan kulepaskan
kakiku ini!"
Orang itu memang
tak bisa menjawab, tapi tangannya
menuding ke arah
sebuah kamar berpintu emas. Kamar
itu terletak di
lantai atas yang dapat terlihat dari tempat
Suto berada.
"Terima
kasih!" kata Suto, kemudian melepaskan
kakinya sambil
menjejak ke atas. Dees...! Prook...! Dagu
orang itu remuk, dan kejap kemudian nyawanya pun
melayang karena
terlalu lama tercekik lehernya oleh kaki
Suto.
Pendekar Mabuk
menuju ke lantai atas. Ia tidak
menggunakan tangga
yang ada, melainkan menggunakan
ilmu peringan
tubuhnya. Dalam satu gerakan salto ia
sudah bisa mencapai
lantai atas tersebut. Wuuut...!
Weess...!
Begitu tiba di
depan pintu berlapis emas, Pendekar
Mabuk segera
sentakkan kakinya menendang dengan
tenaga dalam
tersalur penuh ke kaki tersebut.
Braaakkk...! Pintu
pun jebol, lalu seraut wajah cantik
yang sedang
berbaring di ranjang mewah itu
sunggingkan senyum
menawan.
"Andani...?!"
gumam Suto Sinting kepada perempuan
berambut panjang
yang telah melepaskan jubah
hitamnya yang
berbola-bola kuning itu.
"Tak perlu
sekasar itu, Suto! Seharusnya kau tahu
bahwa aku telah
tunduk padamu!" ucap Andani atau si
Bayangan Setan yang
cantik, sexy, dan menampakkan
kemontokan dadanya,
ia kini melepas jubah hitamnya
dengan mata
memandang sayu penuh tantangan
bercumbu.
"Aku sudah
lama menunggumu di sini, Suto...."
Pendekar Mabuk
bagaikan kehilangan semua
bahasanya. Lidahnya
menjadi kelu manakala kain tipis
penutup pinggul itu
tersingkap. Tato gambar kupu-kupu
terlihat jelas di
paha kiri Andani yang dulu pernah
bercumbu dengan
Suto Sinting itu.
"Tak kusangka
kaulah si Bayangan Setan yang keji
itu, Andani!"
geram Suto Sinting dengan langkah pelan
dekati ranjang.
Andani makin
perlebar belahan kainnya dengan
merenggangkan kaki.
Suto Sinting berdebar-debar
memandang sesuatu
yang mengintip dari balik kain tipis
itu.
"Jangan marah
padaku, Suto. Aku hanya melakukan
tuntutan batinku
yang tak bisa kuhindari lagi ini!
Barangkali kepada
orang lain aku memang kejam, tapi
kepadamu sebenarnya
aku tunduk, Suto. Datanglah lebih
dekat, tak mungkin
aku akan menyakitimu, Sayang"
Pendekar Mabuk
menarik napas dalam-dalam.
"Andani, kau
sudah terlalu banyak makan korban.
Rasa-rasanya sukar
sekali untuk diampuni oleh siapa
pun!"
"Apakah kau
akan membunuhku?!"
"Tak ada jalan
lain untuk menghentikan tindakan
kejimu selama ini,
Andani. Barangkali aku memang
harus mengakhiri
masa hidupmu yang sesat tanpa batas
lagi itu!"
tegas Suto Sinting dengan dada bidang tampak
menantang. Dada itu
penuh keringat yang membuat mata
Andani selalu
tertuju ke sana. Perempuan itu tampak
bergairah sekali
pandangi dada Suto yang penuh
keringat dan kekar
itu.
"Suto, aku
berjanji akan hentikan segala tindakanku,
asal aku selalu ada
di sampingmu!" tutur Andani dengan
suara-suara yang
membangkitkan gairah seorang lelaki,
ia tetap berbaring
dengan siku menopang tubuhnya.
"Kau tak
mungkin bisa bersamaku, karena aku sudah
mempunyai seorang
kekasih!"
"Siapa
kekasihmu, Pendekar tampan?" Andani
akhirnya bangkit
dan turun dari ranjang dengan gerakan
lembut, ia berdiri
di depan Suto dalam jarak kurang dari
satu jangkauan.
Sambil menatap dengan mata sayu
penuh harap, ia
mengulangi pertanyaannya yang belum
dijawab oleh Suto
Sinting itu.
"Siapa
kekasihmu, Sayang?"
"Dyah
Sariningrum; Gusti Mahkota Sejatil"
"O, si
penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi itu?!"
"Benar!"
"Aha.... itu
bisa kuatasi. Aku dapat kalahkan dia
dengan mudah.
Sekarang pun bisa kukirimkan penyakit
kepadanya dan ia
akan mati dalam sekejap. Kau tak
perlu takut
kepadanya, Suto!"
Tangan perempuan
itu mulai nakal, walau masih
dalam batas
mengusap-usap keringat di dada Suto
Sinting.
"Aku mau
hentikan tindakanku selama ini, jika kau
izinkan aku hidup
di sampingmu. Aku menyukai
kehangatanmu,
Suto," bisiknya, lalu tanpa ragu-ragu lagi
mengecup dada Suto.
Kecupan itu merayap ke kiri
hingga menemukan
titik hitam di dada Suto, lalu
memagutnya beberapa
saat sambil tangannya mulai
merayap ke bawah
dan meremas lembut apa yang
ditemukannya di
sana.
Pendekar Mabuk
mulai terbuai dan gairahnya yang
tadi tertunda itu
terbakar kembali. Tapi ia buru-buru
ingat serangan
lalat beracun tadi. Maka tubuh
perempuan itu
cepat-cepat disentakkan menjauh.
"Kita bukan
sepasang kekasih, namun sepasang
musuh,
Andani!" tegas Suto Sinting.
"Kau tak mau
berdamai denganku, Suto?" ujar
Andani dengan nada
manja.
"Aku tak punya
waktu untuk berdamai lagi
denganmu! Roh para
korban tak bersalah menuntut
tindakanku lebih
tegas lagi kepadamu!"
"Kau tak takut
kehilangan kemesraanku?"
Pendekar Mabuk
membuang bayangan indah saat
bermesraan dengan
Andani di atas sebuah pohon. Lalu ia
segera teringat
nasib Rama Jiwana, sang menantu
Adipati Jayengrana
itu.
"Di mana Rama
Jiwana?! Katakan, di mana dia?!"
bentak Suto
Sinting.
Andani menjawab
dengan kalem, "Oh, dia satu-
satunya lelaki yang
bisa lolos dari pelukanku. Tapi dia
sekarang terjerat
di perkampungan kusta, ia tak tahu
seperti apa tempat
persembunyiannya itu. Kini ia terkena
penyakit kusta dan
aku tak mau mendekatinya lagi.
Hiiii...!"
Sambil berkata
demikian, Andani melepaskan
penutup dadanya.
Bahkan kain penutup bagian
bawahnya pun
dilepaskan pelan-pelan.
"Kau boleh
membunuhku, Suto. Tapi berikan aku
kemesraanmu yang
dahsyat itu sekali saja. Setelah itu
kau boleh
membunuhku!"
"Tak ada
kemesraan lagi bagimu, Andani!"
"Kalau begitu
kau sangat mengecewakan diriku,
Suto!"
"Sejak dulu
seharusnya aku mengecewakan dirimu!"
"Jahanam!"
bentak Andani tak sabar lagi. Tangannya
disentakkan ke
depan dan seberkas sinar biru melesat
menghembus dada
Suto Sinting kurang dari sekejap.
Claaap...!
Jrrub...!
"Aaaakh...!"
Suto terlempar ke belakang dan
membentur dinding.
Dadanya hangus dan hawa panas
bagai merambat ke
sekujur tubuh.
Ia segera menenggak
tuaknya. Namun baru
tertenggak sedikit,
Andani telah mengibaskan tangannya
tanpa bergerak dari
tempatnya. Wuuut...!
Buuuekh...! Suto
Sinting bagaikan dihantam dengan
kayu balok besar.
Tubuhnya yang sedang menenggak
tuak itu terlempar
dan membentur dinding sebelahnya.
Brruussk...!
Tuak tumpah, namun
tak semuanya. Pendekar Mabuk
mengerang sambil
menutup tuak. Ia segera mengerahkan
tenaganya untuk
menahan rasa sakitnya.
"Aku sudah
siap mati bersama, Suto!"
Clap, clap, clap...
!
Tiba-tiba dari tiga
sisi dinding keluar sinar merah
serempak ke arah
Suto Sinting, padahal tangan Andani
hanya dijentikkan
seperti memanggil seekor ayam. Tiga
sinar itu bergerak
cepat, membuat Suto Sinting hanya
bisa melesat ke atas
hingga kepalanya membentur langit-
langit kamar.
Duuukh, blegaar...!
Ledakan dahsyat
terjadi saat ketiga sinar itu saling
bertemu di tempat
berdiri Suto tadi.
Anehnya, dinding
kamar tersebut tak menjadi jebol,
sedangkan
barang-barang lainnya menjadi porak
poranda. Andani
tetap berdiri di tempat dengan wajah
berangnya.
Suto Sinting jatuh
di lantai bagai terbanting karena
kepalanya membentur
langit-langit kamar dengan keras.
Namun ia sempat
berpikir ketika Andani mendekatinya,
dan kedua kaki
Andani ada di depan wajahnya.
"Kalau dia
sudah siap mati bersama, ini berbahaya!"
sambil Suto
teringat kata-kata Nirwana Tria tadi. "Aku
harus membujuknya
agar ia tak punya niat mati
bersama."
Dengan suara ketus,
si Bayangan Setan berkata,
"Mengapa kau
tak menyerangku, hah?! Tak mampukah
kau
melakukannya?"
"Aku tak
tega!" jawab Suto. "Aku teringat kemesraan
yang pernah kita
nikmati di atas pohon saat itu!"
"Hik, hik,
hik, hik...! Dan kau rupanya ketagihan,
Suto?"
"Jangan berkata
begitu. Aku malu, Andani!" sambil
Suto masih duduk di
lantai dan mendongakkan kepala.
Andani yang sudah
tak berlapis apa pun itu menyeringai
kegirangan.
"Tunjukkan
sikapmu yang ketagihan itu, Suto...,"
sambil Andani
mendekatkan paha ke wajah Suto. Paha
itu tersentuh bibir
Suto. Bibir itu sengaja memagut
pelan. Andani mulai
mendesis kecil, ia mengangkat satu
kakinya,
ditumpangkan di atas sebuah bangku yang tadi
terpental dan jatuh
dalam posisi miring itu.
"Kecuplah
seperti dulu lagi, Suto... ooh, naikkan
kecupanmu, terus
naiiik.... Ooh...!"
Tapi tiba-tiba
tangan Suto yang memegangi bambu
tuaknya segera
menyodok ke atas dengan tenaga dalam
penuh. Sodokan itu
tepat kenai 'mahkota'
kenikmatannya.
Wuuut, jraaab...!
"Aaaaa...!"
Andani alias si
Bayangan Setan memekik keras-
keras, ia tak tahu
bahwa Suto sudah mengetahui di mana
letak kelemahannya,
ia tak menyangka bumbung tuak itu
akan menyodok
"mahkota'-nya hingga hancur dan
menyemburkan darah.
Untung tubuh itu segera
melayang dan
membentur dinding, sehingga semburan
darah tak sampai
membasahi wajah Suto.
Tubuh Andani jatuh
bersimbah darah. Darah pun
membanjir di
lantai. Jurus 'Mabuk Lebur Gunung' telah
hancurkan rahasia
si Bayangan Setan yang jago rayu itu.
Tapi agaknya Andani
masih belum kehilangan
nyawanya, ia masih
bisa bangkit berdiri dengan
sempoyongan.
Wajahnya berubah menjadi tua, keriput,
dan kulitnya
pecah-pecah menyeramkan. Rambutnya
pun memutih dan
mulai rontok helai demi helai. Giginya
meruncing berwarna
hitam mengerikan.
"Kau
mengkhianatiku, Suto...! Kau menyakitiku...!
Hrrrk...!" Ia menyeringai sambil mengangkat kedua
tangannya yang
mulai berkuku panjang dan hitam itu.
Pendekar Mabuk
segera bangkit, namun tiba-tiba
tubuh tua
menyeramkan itu melayang dengan cepat
menerkam leher
Pendekar Mabuk.
"Haarrrhh...!"
Weeesss...!
Crrraass...!
Kuku-kuku runcing
itu menancap di leher Suto,
mencengkeram kuat
membuat napas Suto terhenti
seketika. Namun
dalam keadaan segenting itu, tangan
Suto masih sempat
menyodok ke depan dalam keadaan
jari tangan lurus
dan miring. Beeet...! Zuuurrb...! Sinar
perak telah
terlepas dari ujung tangan Suto dan
menembus ke perut
si Bayangan Setan. Seketika itu
cengkeraman
kesepuluh kuku itu melemah. Suto Sinting
segera tarik diri
dan jatuh bersimbah darah. Luka di
lehernya sangat
parah. Sementara si Bayangan Setan
akhirnya tumbang
dalam keadaan tubuhnya terpotong-
potong pada setiap
persendiannya. Jurus 'Yudha' telah
digunakan Suto
dalam keadaan sangat terpaksa seperti
tadi, dan jurus
itulah yang mengakhiri riwayat hidup si
Bayangan Setan
alias Peri Kahyangan.
"Sutooo...!
Sutooo...?!" suara Nirwana Tria terdengar
berlari-lari di
lantai bawah. Suto Sinting tersandar di
dinding dalam
keadaan leher robek dan mengucurkan
darah. Ketika
Nirwana Tria berhasil temukan Suto, gadis
itu memekik kaget
dan segera menghambur memeluk
Suto Sinting.
"Suto...?! Kau
terluka...?! Ooh...! Kau terluka,
Suto...!"
"Tak
apa...," suara Suto serak. "Aku hanya tak kuat
mengangkat bumbung
tuakku. Beri aku minum tuakku
ini, Tria...!"
"Ba... baik!
Baik...! Buka mulutmu, Sayang...!"
Nirwana Tria sempat
panik. Tapi untung ia dapat
menuangkan tuak ke
mulut Suto dan luka Suto pun bisa
segera teratasi.
"Semuanya
sudah hancur, Suto! Semuanya sudah
binasa!" ujar
Nirwana Tria.
"Bayangan
Setan pun sudah binasa! Lihatlah dia...!"
sambil Suto
menuding potongan tubuh si nenek tua yang
sebenarnya adalah
wujud asli si Bayangan Setan alias
Peri Kahyangan itu.
Nirwana Tria
akhirnya tertawa sambil memeluk Suto,
lalu mereka segera
keluar dari alam gaib dengan senyum
kemenangan. Suto
Sinting sengaja sempatkan diri
menenteng kepala
nenek tua itu sebagai bukti bahwa si
Bayangan Setan
telah tiada.
Kematian Bayangan
Setan segera menyebar ke mana-
mana. Nama Suto
Sinting dan Nirwana Tria pun ikut
menjadi bahan
pembicaraan tiap tokoh persilatan.
Sementara itu, Rama
Jiwana berhasil ditemukan Suto di
perkampungan
penderita kusta, ia tak berani pulang ke
kadipaten karena
tertular penyakit yang mengerikan itu.
Tapi Suto Sinting
segera menyembuhkan Rama
Jiwana dengan
tuaknya. Bahkan para penduduk
perkampungan kusta
itu pun kini menjadi sehat dan tak
pernah menderita
penyakit kusta lagi sejak mereka
meminum tuak sakti
si Pendekar Mabuk.
SELESAI
Segera terbit!!!
PEDANG PENAKLUK
CINTA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book
(pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon