Hak cipta dan copy
right pada penerbit dibawah lindungan
undang-undang.
Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit.
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU:
Abu Keisel
Convert & Edit:
Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
-ooo0dw0ooo-
1
PERJALANAN sang
Pendekar Mabuk menuju negeri Samudera
Kubur menjadi
berantakan. Semula ia berangkat ke negeri Samudera
Kubur yang ada di
Pulau Blacan bersama Perawan Sinting dan
Mahesa Gibas, si
pelayan sang Adipati Jayengrana itu. Dengan
mengendarai sebuah
perahu layar mereka menyeberangi lautan
menuju Pulau
Blacan.
Tiba-tiba badai
datang, lautan mengamuk, ombak melonjak-
lonjak bagai
ratusan kuda liar. Akhirnya perahu itu pecah, tiga
penumpangnya
menyebar arah. Tak tahu bagaimana nasib Perawan
Sinting dan Mahesa
Gibas.
Murid si Gila Tuak
itu pingsan dan terdampar di pantai, ia
ditemukan oleh
seorangkakek berjambul putih. Kemudian dibawa ke
pondok sang kakek
yang tak jauh dari pantai. Di pondok itulah Suto
Sinting, murid si
Gila Tuak itu siuman dalam keadaan sekujur
tulangnya bagaikan
remuk terpatah-patah. Ia mencoba bangkit,
namun tubuh terasa
sakit.
"Tetaplah
berbaring dulu sebelum kekuatanmu pulih kembali.
Anak muda!"
ujar sang kakek yangmengenakan jubah abu-abu itu.
Suto kaget, lalu
merasa asing dengan wajah tua bertulang pipi
menonjoi itu. Ia
tak pernah bertemu dengan tokoh tua yang
rambutnya pendek
warna hitam, tapi rambut bagian depan di sekitar
ubun-ubun itu
berwarna putih uban. Sang kakek menganggap wajar
jika dirinya
diperhatikan dengan dahi berkerut tajam. Ia sunggingkan
senyum tipis dan
menampakkan sikap bijaknya dengan
memperkenalkan diri
lebih dulu.
"Aku yang
menemukan kauterkapar di pantai, tak jauh dari kayu-
kayu pecahan
perahu. Mungkin itu perahumu yang dihantam ombak
ganas tadi malam.
Kau tak perlu takut padaku, karena aku bukan
hantu penunggu
pantai, juga bukan iblis penunggu hutan ini."
"Lalu siapa
kau sebenarnya, Pak Tua?" tanya Suto Sinting dengan
menyeringai menahan
rasa sakitnya.
Kakek bertubuh
kurus dan tak terlalu tinggi itu semakin lebarkan
senyum.
"Aku adalah
seorang pengelana yang sudah bosan berkelana,"
jawab sang kakek
yang berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu.
Sambungnya lagi,
"Namaku yang sebenarnya adalah Jumantara,
tapi aku dikenal
dengan nama: si Jambul Haha. Dalam bahasa orang-
orang sini, 'Haha'
itu artinya putih. Jadi yang dimaksud Jambul Haha
adalah Jambul
Putih. Tapi kalau tanyakan kepada orang daerah
Pantai Porong ini
nama Jambul Putih, tak ada yang tahu. Tapi jika
kau tanyakan nama
si Jambul Haha, semua orang tahu dan
mengenalku."
"Nama
Ki Jumantara!
"Jambul Ha
Sebab nama asl
mat,"
senyumnya
dalam sekejap. Jad
tidak harus
berwajah
Pendekar Mabuk
nya.Ternyata
bumbung
Bumbung tersebut
ikut terp
besar menyapu habis
perah
Itu ia meminum tuak
dari bum
maka seluruh
sakitnya akan
menjadi segar
kembali
"Ah,tenang
saja! Nanti bumbung
datang
sendiri," pikir Suto penuh rasa
Sebab, bambu bumbung
tuak itutemu. sakti,
seperti punya nyawa
sendiri, karen
jelmaan daritokoh
sakti zaman dulu,
Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pedang
Biru"),
Bumbung tuak itu
sudah beberapa kali
Suto, baiktak
sengaja ataupun disenga
oleh seseorang.
Namun pada saat-saa
tentu bumbung tuak
itutahu-tahu muncul tak
dari Suto Sinting.
Seakan bumbung tuak itu tahu di mana majikan
setianya itu
berada, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Asmara Janda
Liar").
"Sebentar lagi
rasa sakit di sekujur tubuhmu akan hilang," ujar si
Jambul Haha.
"Tapi kurasa me-
.u kehilangan
pea?.
asal ceplos sa
dirimu di pantai,
petaka. Kulitmu
bawa kemari,
kusalurkan
ngeluarkan Racun
Keong
Hawa murniku keba
tulang dan
uratmumenjadi
percayalah, tak
sampai mata
buhmu akan segar
kembali."
kasih, Ki Jambul
Haha. Akutak tahu
rus membalas budi
baik dan jasamu
sendiri jasa baik
akan terbalas
Tapi kita tak
tahukapan da-
dan kita tak perlu
mengha
Karena siapa pun
yang menolong de-
harapkan batas
jasa, itu namanya bukan san
melainkan
memburuhkan jasa untuk
ari upah."
Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum sebagai ucapan berterima
kasih atas petuah
si Jambul Haha. Kakek berkulit hitam namun tak
sampai kering itu
segera pergi ke sisi lain, kemudian datang kembali
dengan membawakan
sepoci teh panas dan gula batu di tempat
khusus seperti
mangkuk dari perak kusam.
"Kubuatkan teh
untukmu, biar badanmu cepat segar, Nak, Tapi
sebelum kau minum
teh ini, terlebih dulu tolong sebutkan siapa
namamu?"
"Namaku...
Suto Sinting, Ki."
"Oh, nama yang
bagus sekali itu," puji si Jambul Haha. "Dalam
bahasa orang Pantai
Porong, Sinting itu berarti tampan, Suto itu
berarti anak. Jadi
Suto Sinting itu anak tampan. Cocok sekali dengan
wajahmu yang
ganteng, Nak."
"Ah, kau
terlalu mengada-ada dalam memujiku, Ki Jambul
Haha."
"O, ya... kau
belum berkenalan dengan cucuku yang bernama
Mahayuni. Sebentar,
akan kupanggilkan. Dia sedang berlatih jurus
baru di dekat danau
sana. Dia sudah wanti-wanti agar aku
memanggilnya jika
kau sudah siuman."
Suto Sinting hanya
bisa tersenyum, anggukkan kepala kecil, lalu
berkecamuk sendiri
dalam hatinya setelah si Jambul Haha pergi
memanggil cucunya.
"Baik sekali
pak tua itu. Punya cucu perempuan segala. Hmmm,..
seperti apa cucunya
itu? Tapi... bagaimana keadaan Perawan Sinting
dan Mahesa Gibas?
Bagaimana nasib mereka? Oh, aku lupa
menanyakannya
kepada Ki Jambui Hahatadi."
Tiba-tiba mata
Pendekar Mabuk menangkap sebuah benda yang
berdiri di pojok
dipan, bersandar pada dinding kayu. Benda itu
membuat mata Suto
Sinting berbinar-binar penuh kegembiraan.
Benda tersebut tak
lain adalah bumbung tuaknya yang tadi tidak ada
di tempat itu.
"Nah, datang
juga akhirnya!"
Kemudian Suto
meraih bumbung tuak itu dan menenggak tuaknya
beberapa teguk.
Glek, glek, glek...!
Beberapa kejap
kemudian, rasa sakit pun hilang. Badan menjadi
segar, pernapasan
lancar. Suto tersenyum dan mencium bumbung
tuaknya sebagai
ungkapan kegembiraannya. Ia mampu bangkit
dengan tanpa
menggeliat, bahkan ia mampu berdiri dengan tegak dan
gagah. Baju
coklatnya yang tanpa lengan dan celana putihnya yang
telah kering itu
membuatnya tampak semakin kekar. Pakaian itu pas
untuk tubuhnya yang
berotot dan berdada bidang.
Tapi tiba-tiba
pandangan matanya menjadi buram, makin lama
semakin gelap,
dan... blaap!
"Ooh...?! Aku
buta...?! Mataku menjadi buta atau... atau...."
Suto Sinting tak
ingat apa-apa lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan
terkulai tanpa daya
sedikit pun. Sukma bagai melayang entah ke
mana, dan rasa apa
pun tak pernah ada lagi pada diri Pendekar
Mabuk.
Beberapa saat
kemudian, tak diketahui berapa lamanya, tahu-tahu
Pendekar Mabuk
mulai rasakan desiran angin. Setelah merasakan
desiran angin, ia
mulai mendengar suara gemuruh samar-samar.
Suara gemuruh itu
menjadi jelas beberapa kejap berikutnya. Ternyata
suara itu adalah
suara ombak lautan.
Napas terhirup
dengan ringan dan longgar. Suto Sinting mulai
dapat rasakan hawa
panas di punggungnya. Hawa panas itu datang
dari cahaya terik
matahari.
Kemudian seluruh
rasa telah kembali dimilikinya. Kini mata pun
mulai dapat terbuka
dan berkedip-kedip sesaat. Pendekar Mabuk
akhirnya tersentak
kaget dalam hatinya saat memandangi tanah
berpasir, ia segera
bangkit dan menjadi tertegun bengong. Ternyata
ia dalam keadaan
terkapar di pantai, dan baru saja siuman dari
pingsannya.
"Oh, apa yang
telah terjadi pada diriku?" pikirnya dengan heran
sekait.
"Mengapa aku berada di pantai lagi? Bukankah aku tadi
berada di pondoknya
Ki Jambul Haha?! Aneh, kenapa bisa jadi
begini?"
Mata si tampan
berambut sepundak tanpa ikat kepala itu mulai
menemukan sebatang
bambu tergeletak tak jauh dari jangkauannya.
Bambu itu adalah
bumbung tuak tempat minumnya.
"Seingatku
tadi aku minum tuak dari bumbung ini di pondoknya
si Jambul Haha?!
Ya, ya... aku meminumnya tiga teguk, kemudian
aku merasa pusing,
pandangan mata kabur, dan... tak ingat apa-apa
lagi. Tahu-tahu aku
sudah ada di sini?!"
Suto mencoba untuk
bangkit. Ternyata badannya terasa segar dan
tidak mengalami
rasa sakit sedikit pun. Hal itu juga membuat
Pendekar Mabuk
terheran-heran, ia memandangi keadaan dirinya dan
sekelilingnya.
"Pakaianku
utuh, badanku tak ada yang terluka, tapi... tapi kayu
yang terdampar di
sana itu sepertinya pecahan perahu yang kunaiki
bersama Perawan
Sinting dan Mahesa Gibas?! Hmmm... ya, aku
ingat sekarang.
Perahu hancur dihantam ombak, lalu aku terkapar
di... di mana ini? Seingatku
si Jambul Haha menyebutkan nama
daerah ini: Pantai
Potong. Apa benar nama tempat ini Pantai
Potong?!"
Suto Sinting
menyangka dirinya dibuang kembali oleh si Jambul
Haha. Karenanya ia
segera bergegas mencari pondok berdinding
kayu di dalam
kerimbunan hutan pantai itu. Bumbung tuak diperiksa
sebentar, ternyata
masih berisi dua pertiga bagian. Suto merasa
tenang jika bumbung
tuaknya masih menyimpan tuak sebanyak itu.
"Keanehan apa
yang telah kualami ini sebenarnya? Aku jadi
sangat penasaran,
merasa seperti dibuai bulan-bulanan oleh si Jambul
Haha yang... o,
ya... seingatku Jambul Haha akan memperkenalkan
cucu gadisnya
kepadaku. Kalau tak salah ia menyebutkan nama sang
cucu... Mahayuni.
Hmmm, ya... aku tak salah dengar, ia
menyebutkan nama
Mahayuni sebagai nama cucunya yang sedang
berlatih di dekat
danau. Kalau begitu, aku harus mencari sebuah
danau sebagai
patokan mencari pondoknya si Jambul Haha."
Langkah si tampan
Suto Sinting terhenti seketika. Dari atas pohon
meluncur turun
sekelebat bayangan yang menghadangnya. Bayangan
itu kini tampak
utuh sebagai sosok seorang perempuan cantik
berambut terurai
sepanjang punggung. Matanya memandang tajam,
namun punya
keindahan yang menarik, terutama pada bulu mata
lentiknya.
Perempuan itu
mengenakan jubah tanpa lengan warna merah
bintik-bintik
kuning emas. Dadanya ditutup dengan selembar kain
sutera warna hijau
muda transparan. Apa yang dibungkusnya itu
tampak menonjol
kencang seakan selalu menantang. Sedangkan kain
penutup pinggul dan
bagian bawah lainnya juga terbuat dari kain
sutera transparan
berbelahan dua. Belahan itu memanjang dari bawah
sampai ke atas
paha. Semilir angin menyingkapkan kain halus itu
membuat pahanya
yang mulus tampak mengintai ke arah Suto
Sinting.
Melihat caranya
memandang, perempuan berusia sekitar dua
puluh enam tahun
itu sepertinya menganggap Suto sebagai
musuhnya. Tapi
sikap Suto justru lunak dan menampakkan
keramahannya. Suto
menegurnya lebih dulu dengan tutur kata dan
suara yang lembut.
"Sepertinya
kita baru bertemu kali ini. Nona. Siapakah dirimu
sebenarnya, dan
mengapa menghadang langkahku dengan sikap
seperti itu?
Bukankah kita belum pernah saling bermusuhan, Nona?"
Gadis itu tak
menjawab. Kakinya melangkah ke samping, tapi
matanya masih
tertuju pada Suto Sinting. Pandangan mata itu
membuat Pendekar
Mabuk jadi salah tingkah, bahkan sempat
clingak-clinguk
tanpa arti.
"Kau telah
memasuki wiiayah kekuasaan kami!" ujar perempuan
itu secara
tiba-tiba. Nada bicaranya ketus dan sangat tidak
bersahabat.
Pendekar Mabuk menanggapi dengan cengar-cengir.
Pandangan matanya
sempat nakal, tertuju pada belahan dada yang
kelihatan sekal dan
'mlenuk' seperti bakpao mengintip itu.
"Kau pasti
mata-mata dari Tanjung Leak!" tuduh perempuan
cantik itu.
"Tanjung Leak
itu di mana? Apakah banyak leaknya?!"
Pertanyaan Suto tak
ditanggapi dengan jawaban semestinya.
Sebagai pengganti
jawaban, perempuan cantik itu segera menyerang
Suto
dengantendangan kipasnya yang memutar cepat. Wuuut...!
Suto rundukkan
kepala agak limbung sedikit seperti orang mabuk
mau jatuh. Weess...!
Kaki yang berkelebat ingin menendang kepala
Suto itu akhirnya
hanya menendang angin. Badan si murid sinting
Gila Tuak itutegak
kembali. Nyengir.
"Kau terlalu
galak terhadap seorang tamu, Nona."
Kata-kata Pendekar
Mabuk tak dihiraukan. Perempuan itu cepat-
cepat lepaskan
pukulan tangan kosongnya ke wajah Suto Sinting.
Beet..., beet,
beet...! Suto hanya menghindar ke kanan-kiri sambil
sempoyongan mundur
seperti pemabuk keberatan kepala. Jurus
mabuknya itu
berhasil hindari serangan lawan, tapi justru membuat
lawan bertambah
penasaran.
Perempuan cantik
itu segera lepaskan tendangan menyamping
atas. Wuut...! Kali
ini tangan Suto berkelebat menangkis. Plaakk...!
Namun ternyata
tendangan itu cukup ringan, dan yang terberat
tendangan kaki
kirinya perempuan itu.
Dengan satu
lompatan rendah, tubuh si perempuan memutar balik
dan kaki kirinya
tahu-tahu menyodok perut Suto. Buuhk...!
"Heehk...!"
Pendekar Mabuk mendelik dan tubuhnya terlempar ke
belakang dalam
keadaan menahan rasa sakit, seperti orang mau
buang hajat.
Brruk...! Pendekar
Mabuk jatuh tepat di bawah pohon.
Punggungnya
membentur akar pohon yang menggunduk keras.
Duuhk...!
"Uuuhkk...!"
pemuda tampan itu semakin meringis dengan tubuh
meliuk kesakitan.
Tulang punggungnya terasa memar karena
benturan keras itu.
"Edan! Main
tipu juga dia." gerutu Suto Sinting dalam hatinya.
"Tendangannya
cukup berbobot. Perutku terasa mual dan mulas.
Napasku jadi sesak.
Belum lagi punggungku ini, aduuuh... jangan-
jangan tulang
punggungku retak ini?!"
Perempuan itu
bergegas dekati Suto dengan langkah galaknya.
Pendekar Mabuk
masih tetap duduk di tanah dan menyeringai
kesakitan. Wajahnya
sedikit mendongak pandangi si perempuan
yang kini berdiri
di depannya dalam jarak dua langkah. Mata
perempuan itu
semakintajam, kelihatan bertambah garang.
"Kalau kautak
mau minggat dari sini, kukirim kau ke neraka!"
"Ja... jangan,
jangan...!" Pendekar Mabuk berlagak ketakutan
sambil bangkit
berdiri dengan dipaksakan.
"Jangan kirim
aku ke neraka, Nona. Sumpah mati, aku belum tahu
jalannya. Nanti
nyasar ke rumah janda, repot kan?!"
"Hmmm...!"
dengus perempuan itu dengan wajah benci.
Tangannya mulai
meraih gagang pedang. Suto berlagak semakin
ketakutan dan
gemetar.
"Ja...
jangan... jangan cabut pedangmu, Nona. Ak... aku paling
ngeri melihat pedang.
Lebih baik melihat wanita cantik daripada
melihat pedang.
Sumpah!"
"Pergi kau
dari wilayah kami. Sekarang juga!" bentak perempuan
itu.
"Nona, ak...
aku... aku bukan mata-mata dari Tanjung Leak!
Berani mati berdiri
sambil nyengir, aku memang bukan mata-mata,
Nona! Bahkan
akutaktahu di mana Tanjung Leak itu!"
"Lalu kenapa
kau berada di wilayah ini?! Apa kerjamu?"
"Nganggur. Eh,
maksudmu... maksudmu, aku tidak punya
pekerjaan apa-apa,
karena aku baru saja siuman dari pingsanku."
Sreett...!Pedang
dicabut, Suto makin berlagak takut.
"Aduh, mati
aku kalau kau mencabut pedang, Nona," sambil
tangannya menyilang
bagai menutupi matanya dari pantulan kemilau
pedang itu.
"Kalau kau tak
mau berterus terang tentang dirimu, kutebas
lehermu sekarang
juga!" ancam si perempuan cantik.
"Aku sudah
mengaku apa adanya, Nona! Percayalah padaku,
lihatlah tampangku!
Apakah wajahku punya kesan sebagai wajah
orang jahat?!"
"Ya!"
bentak si perempuan.
"Oh, kalau
begitu, kusarankan cucilah matamu dengan air sirih
biar terang,
Nona."
"Kurang ajar!
Bukannya pergi malah menghina! Hiaat...!"
Wees...! Pedang
ditebaskan ke arah pundak Suto. Tapi dengan
gesitnya tangan
Suto mengangkat bumbung tuak dan bumbung itu
dipakai menangkis
tebasan pedang. Trangng...! Suara yang timbul
seperti besi beradu
dengan besi.
Perempuan cantik
itu sebenarnya terkejut, namun rasa kagetnya
disimpan dalam
hati. Hanya saja, hati itu tak hanya menyimpan rasa
kaget, melainkan
menggumam penuh kekaguman.
"Hebat! Bambu
tempat tuak itu tidak lecet sedikit pun?! Bahkan
suaranya
berdentang, sepertinya pedangku menghantam besi
berongga. Hmmm...
pasti dia menyalurkan tenaga dalamnya ke
dalam bumbung tuak
itu. Berarti dia bukan orang sembarangan.
Setidaknya punya
ilmu yang patut diperhitungkan. Tapi aku yakin,
kali ini ia tak
akan bisa hindari tebasan jurus 'Pedang Ceplok" yang
belum pernah ada
tandingnya!"
Tanpa banyak
bicara, perempuan itu segera lepaskan jurus
'Pedang Ceplok'
yang punya kecepatan cukup berbahaya. Pedang itu
ditebaskan dari
atas ke bawah bagai membelah telur, lalu dengan
gerakan cepat yang
nyaris tak terlihat, pedang itu menyentak ke
kanan dan ke kiri.
Wuuut, bet, bet...!
Tapi Pendekar Mabuk
sengaja jatuhkan diri hingga duduk di
tanah, lalu kakinya
menendang lutut perempuan itu dengan satu
sentakan pendek yangpenuh
tenaga dalam. Dees...! Krakk...!
"Oouh...!"
perempuan itu memekik sambil jatuh berlutut.
"Maaf, Nona...
ini sekadar perkenalan saja!"
Bet, plook...!
Tiba-tiba Suto
Sinting berbalik dan merangkak, lalu kakinya
menyodok ke
belakang tepat kenai pipi perempuan cantik itu.
Sodokan kaki Suto
membuat si perempuan terpental dan terguling-
guling bagai
disereduk babi hutan.
"Ooouuh...!"
ia mengerang di semak-semak sana. Wajahnya
menjadi merah
karena tendangan kaki Suto, kakinya dipegangi
karena sendi lututnya
terasa lepas dan sakit sekali.
Pendekar Mabuk
cepat bangkit dan menenggak tuaknya. Tuak itu
membuat tubuhnya
segar kembali dan rasa sakit di perut serta di
punggung lenyap
beberapa kejap berikutnya.
Kini Suto Sinting
sengaja melangkah kalem dekati perempuan itu
sambil sunggingkan
senyum mengejek. Perempuan itu berang sekali,
kemudian
menyabetkan pedangnya ke arah kaki Suto. Wuutt...! Suto
melompat, seet...!
Ia hinggap di atas ilalang setinggi betis. Ilalang itu
tidak patah ataupun
rusak, bahkan lebih melengkung dari semula pun
tidak. Perempuan
itu hanya memandang dengan mata tak berkedip
dan mulut ternganga
sedikit alias bengong.
"Ilmu peringan
tubuhnya sangat tinggi!" gumam perempuan itu
dalam hati.
"Pantas jurus 'Pedang Ceplok'-ku bisa dihindarinya,
rupanya ia memang
berilmu lebih tinggi dariku. Aduuh... lututku
sakit sekali,
seperti habis dihantam pakai batu sebesar anak kerbau.
Uuh... mungkin
tempurung lututku pecah. Tak bisa kupakai
bergerak.
Aaduuuh...!"
Perempuan itu
menahan sakit dengan menggigit bibir bawahnya.
Hati Suto menjadi
berdebar-debar, matanya tak mau pindah dari
wajah itu, karena
ekspresi wajah itu mengingatkan Suto pada wajah
seorangperempuan
yang sedang menikmati gairah kemesraannya.
"Menggairahkan
sekali ia jika menggigit bibir begitu. Hmm,
hmmm...!"
geram Suto dengan geregetan.
"Mau
diteruskan atau berhenti sampai di sini saja, Nona?!"
tantang Pendekar
Mabuk dengan tersenyum-senyum. Sang Nona
hanya memandang
penuh kedongkolan.
*
* *
2
MELIHAT sikap Suto
Sinting penuh keramahan dan canda,
perempuan itu
akhirnya mengendurkan ketegangannya, menepis
permusuhannya, dan
mencoba untuk tidak terlalu bercuriga. Bujukan
Suto membuat
perempuan itu akhirnya mau meminum tuak sakti
tersebut.
"Aneh! Ajaib
sekali!" gumam hati si perempuan dengan
keheranan yang
besar. "Begitu aku meminum tuaknya, rasa sakitku
hilang. Lututku
sudah bisa digerakkan, dan... oh?! Aku bisa berdiri.
Berdiri tegak
sekali! Benar-benar manusia langka pemuda ini!
Bahkan kurasakan
sekujur badanku menjadi segar, kegusaran hatiku
pun menjadi tenang
kembali. Oh, jangan-jangan aku sedang
berhadapan dengan
cucunya malaikat?!"
Segala pujian dan
kekaguman tetap tersimpan dalam hati demi
menjaga gengsi.
Bahkan ucapan terima kasih pun tak dilontarkan
oleh si perempuan.
Wajah cantiknya tetap dijaga agar kelihatan
angkuh dan
berwibawa. Tapi pedangnya sudah disarungkan kembali
dan pandangan
matanya tak segalak tadi.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanyanya dengan ketus.
"Namaku...
Suto!" jawab Pendekar Mabuk, sengaja tak mau
menonjolkan
kependekarannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak
menyebutkan nama
lengkapnya supaya perempuan itu
menganggapnya
berdusta. Sebab, siapa tahu nama Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk
sudah terkenal di wiiayah tersebut, sehingga si
perempuan bisa saja
menganggap Suto menyombongkan diri jika
menyebutkan nama
lengkapnya sebagai Suto Sinting.
"Terus terang
saja, aku terdampar di pantai sebelah sana itu!"
Suto menuding
tempatnya terdampar. "Aku dan dua temanku dalam
perjalanan
mengarungi lautan menggunakan perahu layar biasa.
Tahu-tahu ada ombak
datang, perahuku tersapu ombak, bahkan
berputar-putar
seperti mau tersedot angin puting beliung. Akhirnya,
perahuku pecah, aku
terkapar di pantai dan terpisah dengan kedua
temanku itu."
Perempuan tersebut
pandangi Suto dengan mata tak berkedip, ia
bukan saja
menemukan daya tarik yang menggetarkan hati, namun
juga menemukan
sebentuk kejujuran dalam penuturan cerita tadi.
"Lalu, mengapa
kau menuju ke hutan ini? Mengapa kau tidak
menyusuri
pantai?"
"Aku mencari
sebuah pondok," jawab Suto dengan kalem, ia
sudah turun dari
atas ilalang sejak tadi, dan kini berhadapan dengan
perempuan itu dalam
jaraktiga langkah.
"Pondok siapa
yang kau cari?" desak perempuan itu penuh curiga.
"Pondok
seorangkakek berjambul putih."
Perempuan itu
terkejut, matanya sedikit menyentak lebar, lalu
netral kembali.
Tapi sorot pandangan matanya itu memancarkan
kecurigaan yang
menjadi besar lagi seperti tadi. Hanya saja, Suto
Sinting berlagak
tidak peduli dengan reaksi tersebut, ia tetap
lanjutkan ucapannya
yang dilontarkan dengan suara lembut. Sangat
bersahabat
kesannya.
"Aku tidak
tahu sekarang aku ada di mana. Tapi pada waktu aku
siuman yang
pertama, aku sudah berada di sebuah pondok. Rupanya
seorang kakek
berjambul putih telah menolongku dan membawaku
ke pondok, ia juga
telah menyembuhkan diriku yang katanya terkena
racun kuil keong.
Entah racun apa namanya, aku lupa. Pada waktu
aku meminum tuakku
ini untuk sembuhkan rasa sakit di sekujur
tubuhku, sang kakek
sedang memanggil cucunya untuk
diperkenalkan
padaku."
Pendekar Mabuk
bergeser ke kiri, tangannya bersidekap di dada,
dan bumbung tuaknya
menggantung di pundak.
"Dan pada
waktu kuminum tuak ini, tiba-tiba pandangan mataku
jadi gelap, lalu
aku tak sadar diri lagi. Ketika aku siuman, ternyata
aku masih dalam keadaan
terkapar di pantai, dekat kayu pecahan
perahuku. Makanya
aku segera masuk ke hutan ini untuk mencari
pondok si kakek dan
menanyakan, mengapa aku dibuang kembali ke
pantai?!"
Perempuan itu masih
diam, masih memandangi Suto, masih
menyimpan
debar-debar lembut akibat daya pikat yang terpancar
melalui wajah dan
senyum si murid sinting Gila Tuak dan Bidadari
Jalang itu. Ia
menunggu lanjutan cerita dari Suto. Tapi karena Suto
ternyata tidak
melanjutkan ceritanya, maka si perempuan yang makin
lama tampak semakin
curiga itu segera perdengarkan suaranya.
"Siapa nama
kakek yang menolongmu itu?"
"Dia
memperkenalkan diri kepadaku dengan nama Jambul Haha,
dan...."
"Ooh...?!"
si perempuan makin terkejut, wajahnya terang-terangan
menegang. Pendekar
Mabuk heran, tapi berusaha untuk cuek
sementara.
"... dan
cucunya yang akan diperkenalkan padaku itu bernama
Mahayuni,
lalu...."
"Oooh...?!"
sentakan kaget si perempuan kian jelas dan nyata.
AkhirnyaPendekar
Mabuk penasaran dan merasa jengkel.
"Ah, oh, ah,
oh... kenapa kau begitu terus, Nona?! Mengapa kau
kaget-kagetan sejak
tadi?!"
Perempuan itu
bicara dengan tegas. "Kau jangan berpura-pura
kalem! Jelaskan,
siapa kau sebenarnya, atau kuulangi kekasaranku
tadi?!"
"Aneh,"
Suto Sinting tersenyum. "Sekarang kau bahkan
mengancamku
lagi?!"
"Karena aku
tahu maksudmu. Kau ingin memperdaya diriku!"
"Memperdaya
bagaimana? Tak perlu kuperdaya, kau memang
sudah tak berdaya
dalam berhadapan denganku, Nona."
Perempuan itu
mendengus kesal dan jadi serba salah.
"Nona, aku
bicara apa adanya dan berusaha bersikap jujur di
depanmu, karena aku
tahu kau perempuan yang tidak pantas untuk
ditipu atau
dikelabuhi. Kalau memang aku mengada-ada dan
bermaksud
memperdaya dirimu, mengapa aku harus sembuhkan luka
di lututmu itu?
Mestinya kubiarkan saja, atau kubunuh, atau
kuperkosa... kan
mudah?!"
"Benar
juga," gumam hati si perempuan. Lalu ia ajukan tanya
dengan nada sedikit
tenang, tak seketus dan setegas tadi.
"Benarkah kau
bertemu dengan seorang kakek bernama Jambul
Haha?!"
"Benar! Bahkan
dari mulutnya aku mengetahui kalau tempat ini
bernama Pantai
Porong. Entah benar atau tidak, aku tak tahu.
Bagaimana? Apa
benartempat ini bernama Pantai Porong?"
"Benar!"
jawab perempuan itu pelan.
"Apakah Pantai
Porong masih dalam wilayah tanah Jawa?"
"Memang!"
jawabnya pendek.
"Kalau begitu
si Jambul Haha tidak membohongiku," gumam
Suto seperti bicara
pada dirinya sendiri.
"Jika kau
benar bertemu dengan kakek bernama Jambul Haha,
tentunya kautahu
siapa nama asli kakek itu?"
"Hmmm...,"
Suto berpikir sebentar, "O, ya... ia juga
memperkenalkan nama
aslinya yang menurutnya hanya berlaku
untuk orang-orang
penting saja. Ia mempunyai nama asli Ki
Jumantara."
Perempuan itu
terkesip, kepalanya tersentak ke belakang sedikit,
tanda ia terkejut
mendengar nama Ki Jumantara.
"Apakah kau
kenal dengan Ki Jumantara atau si Jambul Haha?!"
tanya Suto Sinting
dengan nada tetap lembut.
Setelah diam
beberapa saat, perempuan itu akhirnya menjawab
dengan suara
seperti orang menggumam.
"Itu nama
almarhum kakekku."
Kini Suto Sinting
terkejut. "Oh...?! Maksudmu... kau adalah cucu
Ki Jumantara?"
"Benar. Akulah
yang bernama Mahayuni!" jawabnya tegas sekali.
Pendekar Mabuk
terperangah, kemudian manggut-manggut sambil
terbengong.
Mahayuni berkata
dengan pelan, "tapi itutak mungkin."
"Tak mungkin
bagaimana?"
"Kakekkutelah
meninggal tujuh tahun yang lalu."
Mata si tampan Suto
terbelalak tanpa sungkan-sungkan lagi.
Baginya penjelasan
Mahayuni seperti petir menyambar ujung
hidungnya.
Taarr...!
"Aku
bersungguh-sungguh."
Mahayuni sekarang
mulai tampakkan kejujurannya lewat
pancaran mata yang
tak setajam tadi. Bahkan raut wajahnya tampak
mulai murung,
seperti ada duka yang melapisi kecantikan berhidung
mancung itu. Mau
tak mau Suto Sinting pun kontan percaya pada
kata-kata Mahayuni.
"Beliau tewas
di tangan lawannya dalam suatu pertarungan satu
lawan satu."
"Siapa
yangmembunuhnya?"
"Si Bayangan
Setan dari Pulau Blacan!"
"Hahh...?!"
tersentak lagi hati Suto mendengar jawaban itu.
Jantungnya bagaikan
dibetot tanpa permisi oleh suara Mahayuni.
Karena wajah Suto Sinting
kelihatan tegang sekali, Mahayuni pun
ajukan tanya dalam
keheranannya.
"Apakah kau
mengenal nama si Bayangan Setan? Kelihatannya
kau terkejut
sekali, Suto."
"Justru
perahuku pecah dan aku terdampar di sini itu lantaran aku
sedang memburu si
Bayangan Setan di Pulau Blacan! Aku punya
urusan sendiri
dengan si Bayangan Setan dan ingin mengajaknya adu
nyawa dalam sebuah
pertarungan!" tutur Suto Sinting dengan cepat
dan penuh semangat.
Mahayuni
sunggingkan senyum tawar. Bagi Suto senyum itu aneh
juga. Karenanya
Suto memandangi dengan dahi berkerut heran.
"Pulau Blacan
sudah hancur! Kau tak akan temukan si Bayangan
Setan jika ke
sana!"
"Hancur...?!"
makin heran lagi si Pendekar Mabuk itu. Seakan
semua yang didengar
dari mulut Mahayuni yang berbibir agak tebal
tapi sensual itu
serba mengandung keanehan.
"Sebaiknya kau
pulang saja, dan jangan berada di wilayah Pantai
Porong. Nanti kau
disangka mata-mata dari tanjung Leak."
"Tunggu
dulu," sergah Suto ketika Mahayuni ingin tinggalkan
dirinya. Tanpa
sadar tangan Suto mencekal lengan Mahayuni.
Perempuan cantik
itu hanya pandangi tangan tersebut, membuat Suto
Sinting akhirnya
segera sadar dan melepaskan genggamannya,
"Aku butuh
penjelasan darimu tentang si Bayangan Setan," kata
Suto tegas, '
"Carilah di
Bukit Lahat!"
"Bukan soal
tempatnya saja, tapi keteranganmu itu kusangsikan,
Mahayuni!"
"Sama saja aku
menyangsikan keteranganmu yang mengaku
bertemu dengan
mendiang kakekku!"
"Hmm, ehhh,
hhhmm...," Soto salah tingkah sendiri karena
menjadi gugup.
"Semoga kita
tak akan jumpa lagi!"
Blaas...! Mahayuni
melesat pergi dengan cepat. Pendekar Mabuk
kelabakan sebentar,
akhirnya menyusul Mahayuni dengan jurus
'Gerak Siluman'
yang kecepatannya sama dengan kecepatan cahaya
itu. Zlaaapp...!
Dalam sekejap
Mahayuni sudah terhadang langkahnya oleh Suto
Sinting. Pendekar
Mabuk itu sengaja berdiri tepat di depan Mahayuni
dalam jarak sepuluh
langkah kurang. Akibatnya, Mahayuni hentikan
langkah dengan
menarik napas menyimpan kejengkelan hatinya.
Pendekar Mabuk
hampiri si cantik dan berhenti dalam jarak
empat langkah.
Mereka saling berhadapan dengan sama-sama tegang
seperti ingin
lakukan pertarungan. Pendekar Mabuk sendiri bicara
dengan nada tegas
dan tanpa senyum, ia tampak serius sekali.
"Kuharap kau
percaya padaku, bahwa aku memang ditolong oleh
kakekmu, sehingga
terhindar dari racun kulit keong itu."
"Kuharap kau
juga percaya, bahwa istana Samudera Kubur sudah
hancur dan si
Bayangan Setantidak ada di sana!" balas Mahayuni.
"Baik. Aku
akan percayai kata-katamu itu. Tapi jelaskan, kapan
Samudera Kubur
hancur?!"
"Delapan tahun
yang lalu!"
"Ooh...?!"
Pendekar Mabuk terperangah dan tampak bingung, ia
berkata dengan
suara seperti orang menggumam, namun didengar
oleh Mahayuni.
"Padahal
perjalananku menuju Samudera Kubur baru memakan
waktu delapan
hari."
"Apa
maksudmu?"
"Maksudku,
baru tiga hari yang lalu aku berhadapan dengan
orang-orangnya si
Bayangan Setan yang menculik Rama Jiwana,
menanti Adipati
Jayengrana."
"Tidak mungkn!
Kurasa kau orang yang kurang pengetahuan
dalam hal ini,
Suto!"
"Aku denyar
sendiri suara si Bayangan Setan menyuruh orang-
orangnya untuk
pulang ke Samudera Kubur!"
"Barangkali
yang dimaksud adalah Bukit Lahat!" sentak
Mahayuni karena
merasa jengkel melihat sikap Suto yang ngotot itu.
Sikap saling ngotot
itu membuat mereka semakin mirip orang
ingin lakukan
pertarungan. Karenanya, tiba-tiba sekeping logam
berbentuk daun
bergerigi melesat dengan cepat dari arah belakang
Pendekar Mabuk.
Ziiing...! Jeerb...!
"Aaahk...!"
Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat-
kuat. Ia memegangi
punggungnya. Punggung itu terluka dan
berdarah. Rupanya
ada orang yang lemparkan senjata rahasia
beracun tinggi ke
arah Suto Sinting. Senjata itu kini menancap di
punggung Suto dan
membuat Suto terkulai jatuh, lalu tak sadarkan
diri.
Mahayuni terkejut,
ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan
memeriksanya.
Mahayuni menjadi semakin kaget setelah mengetahui
punggung Suto
terluka oleh senjata rahasia yang mirip daun
bergerigi itu. Ia
mengenali pemilik senjata rahasia tersebut.
Maka perempuan
cantik itu menjadi cemas dan tegang, ia bangkit,
lalu berseru dengan
lantang dengan marahnya.
"Rahisan!
Keluar kau!"
Kurang dari dua
helaan napas, sesosok bayangan turun dari atas
pohon, ia bagaikan
elang menghampiri mangsanya. Gerakannya
cepat dan
menebarkan angin kencang di sekelilingnya.
Wuuusss...!
Daun-daun
terhembus, semak ilalang tersingkap, bahkan ranting
kering yang
berjatuhan di tanah dapat berserakan bersama rumput-
rumput kering.
Rambut panjang Mahayuni tersingkat meriap-riap
bagai dihembus
angin kencang. Sudah pasti bayangan yang turun
dari atas pohon itu
adalah orang berilmu tinggi yang gerakannya
mampu hadirkan
angin kencang, nyaris menyerupai badai.
Seraut wajah mungil
segera menjelma ketika angin kencang itu
mulai reda. Seraut
wajah mungil itu milik seorang gadis kecil
berambut kepang
kuda. Gadis kecil itu mengenakan baju tanpa
lengan warna hijau
dan celananya juga warna hijau. Ikat
pinggangnya dibalut
kain beludru warna merah. Di pinggang si gadis
kecil itu terselip
sebilah pedang bersarung hitam dengan gagang
ukiran bentuk
kepala burung hantu.
Gadis kecil yang
tingginya sebatas perut Mahayuni itu tersenyum
ketika ditatap
Mahayuni dengan pandangan mata berangnya.
Wajahnya yang
cantik mungil seperti baru berusia sekitar sepuluh
tahun itu kelihatan
tenang. Seolah-olah ia merasa tak melakukan apa-
apa.
"Mengapa kau
serang pemuda ini, Rahisan?! Tahukah kau bahwa
racun dalam senjata
rahasiamu itu dapat menewaskan pemuda itu
dalam waktu kurang
dari seperempat hari?!"
"Itu bagus,
bukan?!"
"Apanya yang
bagus?!" bentak Mahayuni.
"Apakah aku
salah jika membelamu?! Apakah aku tak boleh
melumpuhkan orang
ini sebelum dia menyerangmu?!" ujar gadis itu
dengan lagak tengil
dan sok tua.
"Kau keliru,
Rahisan! Aku tidak bermusuhan dengan pemuda
ini!"
"Lho...?!"
Rahisan memandang dengan bengong.
"Dia terdampar
di pantai! Perahunya pecah dihantam ombak
badai. Dia sedang
berdebat dengankutentang si Bayangan Setan!"
"Jadi...
kalian berteman?!" Rahisan makin bingung.
*
* *
3
TERNYATA Pantai
Porong merupakan wilayah kekuasaan
Panembahan
Pancalingga. Di situ berdiri sebuah padepokan yang
juga sebuah
perguruan cukup besar dengan jumlah murid hampir
mencapai seratus
orang.
Perguruan beraliran
putih itu diketuai langsung oleh Panembahan
Pancalingga. Dalam
silsilahnya, Mahayuni adalah murid sekaligus
cucu dari
Panembahan Pancalingga, karena sang penembahan adalah
adik dari Ki
Jumantara alias si Jambul Haha.
Racun yang ada di
senjata rahasia gadis kecil itu hanya bisa
disembuhkan oleh
sangPanembahan sendiri. Beruntung saat itu, luka
beracun yang
diderita Pendekar Mabuk belum sampai membuat
nyawa sang pendekar
melayang. Panembahan Pancalingga menyerap
habis racun itu
dengan cara menempelkan telapak tangannya pada
luka. Telapak
tangan itu berubah menjadi biru, lama-lama menjadi
hitam.
Tangan lelaki kurus
berjubah putih dengan sorban putih juga itu
segera disentakkan
ke atas, maka melesatlah cahaya biru berasap
samar-samar dan
tangan yang hitam itu menjadi bersih seperti
semula.
"Lain kali kau
tak boleh gegabah menggunakan senjatamu itu,
Rahisan!"
"Baik,
Eyang!" jawab Rahisan dengan wajah penuh rasa takut.
"Pemuda ini
bukan orang Tanjung Leak. Ilmunya bahkan jauh
lebih tinggi dari
si Penguasa Tanjung Leak itu."
"Maksud Eyang,
orang ini lebih sakti dari Nyai Gincu Barong?!"
"Benar,
Rahisan! Justru sebenarnya kita beruntung kedatangan
tamu pemuda ini,
karena dia pasti akan memperkuat pihak kita jika
orang-orangTanjung
Leak menyerang lagi."
Percakapan itu
terjadi pada saat Pendekar Mabuk belum siuman,
namun racun senjata
rahasia itu sudah diserap habis oleh sang
Panembahan.
Pendekar Mabuk dibaringkan di lantai pendopo beralas
tikar. Beberapa
murid Perguruan Pantai Porong mengerumuninya,
termasuk Mahayuni
yang paling dekat dengan tempat Suto berbaring
menunggu siuman,
sementara yang lain hanya berkerumun dari jarak
agak jauh. Rahisan
dan Mahayuni berada di samping kanan-kiri
Pendekar Mabuk,
mendengarkan kata-kata Eyang Panembahan
mereka.
"Dia mengaku
bernama Suto, Eyang," ujar Mahayuni. "Benarkah
itu namanya?"
"Benar,"
jawab Eyang Panembahan. "Nama lengkapnya adalah
Suto Sinting,
gelarnya adalahPendekar Mabuk."
"Ooohhh...?!"
Semua orang yang
ada di situ menggaung antara terkejut dan
bangga. Selama ini
mereka hanya mendengar nama dan kesaktian
sang Pendekar
Mabuk, tak pernah bertatap muka dengan pendekar
yang kondang
ketampanannya itu. Baru sekarang mereka dapat
berjumpa dan
melihat sendiri seperti apa kegagahan dan ketampanan
sang Pendekar Mabuk
alias Suto Sinting itu.
Karenanya, beberapa
murid yang semula berada agak jauh kini
mendekat secara serempak
ingin melihat lebih jelas lagi sosok si
Pendekar Mabuk itu.
Bahkan beberapa orang dari mereka saling
berdesak-desakan,
ingin mendapat tempat paling depan, terutama
para gadisnya.
Tetapi Mahayuni segera menenangkan mereka agar
kembali tertib
seperti semula. Mereka pun menurut apa perintah
Mahayuni, karena
Mahayuni dipandang sebagai murid tertua dan
tertinggi
tingkatannya dibanding mereka. Tingkatan kedua diduduki
oleh Rahisan yang
merupakan cucu langsung dari Eyang
Panembahan
Pancalingga.
"Kalian boleh
bertukar pendapat dengan Pendekar Mabuk, boleh
saling berkenalan,
tapi tetap jaga kesopanan dan hormat. Sebab, aku
melihat noda merah
kecil di tengah keningnya," ujar Eyang
Panembahahan.
"Apa arti noda
merah kecil itu, Eyang?" tanya Rahisan.
Salah seorang murid
menimpali, "Apakah noda merah itu berarti
sang pendekar
sedang masuk angin?!"
"Husy!"
hardik Mahayuni membuat orangtersebut mengkerut.
Mereka saling
berkerut dahi, merasa heran dengan penglihatan
sendiri. Sebab
mereka tidak melihat ada noda merah kecil dikening
Pendekar Mabuk.
Bahkan sebutir jerawat pun tak ada. Mereka
akhirnya
berkesimpulan, hanya orang-orang berilmu tinggi yang
sudah mencapai
kepekaan Indera ketujuh saja yang bisa melihat noda
merah kecil itu.
Dan ternyata penjelasan sang Panembahan pun
memang begitu.
"Noda merah
kecil sebesar biji jagung itu tidak bisa dilihat oleh
sembarang orang.
Sebab noda merah itu merupakan tanda
penghargaan
sekaligus jabatan bagi si Pendekar Mabuk. Bagi orang
yangtahu, tak akan
berani bertingkah sembarangan di depan pemuda
ini, sebab noda
merah itu menandakan bahwa dia adalah seorang
Manggala Yudha
alias Panglima Perang dari Sebuah negeri di alam
gaib, yaitu negeri
Puri Gerbang Surgawi dengan ratunya yang
kukenal bernama
Gusti Ratu Kartika Wangi," (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode; "Manusia Seribu Wajah").
Para murid
manggut-mahggut, merasa terkesima dan terkagum-
kagum oleh
penuturan Eyang Panembahan alias guru mereka itu. Si
gadis kecil Rahisan
sempat bertanya kepada kakek kandungnya itu
dengan lagak sok
tuanya.
"Bukankah
negeri Puri Gerbang Surgawi itu adanya di Pulau
Serindu, Eyang.
Seingatku, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi
bernama Dyah
Sariningrum dan berjuluk Gusti Mahkota Sejati.
Bukan Ratu Kartika
Wangi seperti yang Eyang katakan tadi. Pikirlah
dulu baik-baik,
Eyang. Siapa tahu catatan dalam ingatan Eyang
sedikit
keliru."
Sang Panembahan
tersenyum bijaksana. "Rahisan, negeri Puri
Gerbang Surgawi itu
ada dua; satu di alam gaib, satu di alam nyata.
Dyah Sariningrum
itu ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata. Dia
anak dari Gusti
Ratu Kartika Wangi."
"Ooo...,"
Rahisan manggut-manggut.
"Kalau begitu,
Pendekar Mabuk ini adalah tamu agung kita,
Eyang?" ujar
Mahayuni.
"Iya! Tapi...
pendekar yang satu ini memang agak konyol. Lihat
saja, sebagai
Manggala Yudha dari sebuah negeri terhormat hanya
mengenakan pakaian
seperti ini dan membawa-bawa bumbung tuak
itu," sambil
sang Panembahan menuding bumbung tuak yang
tergeletak di
lantai atas kepala Suto. "Itu kan namanya konyol! Jadi
cara kita bersikap
kepadanya tak perlu muluk-muluk. Dia bahkan tak
suka dihormati
secara muluk-muluk. Dan hati-hati...," Panembahan
agak mengecilkan
suara.
"Ada apa,
Eyang?"
"Hati-hati,
pendekar ini agak mata keranjang. Jangan mengawali
melirik nakal.
Sebab kalau diawali dengan lirikan nakal, maka
kalian, terutama
yang perempuan, bakal mendapat lirikan yang lebih
nakal lagi.
Biasanya kalau sudah begitu, gadis mana pun pasti akan
terbuai olehnya dan
bisa jadi tergila-gila padanya."
"Hi, hi, hi,
hi...!' para murid wanita tertawa cekikikan.
"Habis
ganteng, Eyang," celetuk salah seorang murid wanita.
"Memang dia
ganteng, tapi kalau tidak diawali dia tidak mau
berbuat nakal.
Sekali terkena kenakalannya, ooh... heboh! Pokoknya
heboh!"
"Dari mana
Eyang tahu banyak tentang pendekar heboh ini?"
tanya si kecil
Rahisan.
"Lho, Eyang
kan sering berhubungan batin dengan bibi gurunya;
si Bidadari Jalang
itu."
"Lho, katanya
Pendekar Mabuk itu muridnya si Gila Tuak?"
"Lha, iya!
Memang muridnya si Gila Tuak. Tapi dia juga menjadi
muridnya Bidadari Jalang."
"Jadi dia
punya dua guru, Eyang?"tanya Mahayuni.
"Benar. Punya
dua guru; Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Mereka
ibarat
kakak-beradik dalam satu perguruan."
Mereka saling
berkasak-kusuk dengan wajah berseri-seri, sesekali
tampak mengagumi
kehebatan ilmu Pendekar Mabuk. Kejap berikut,
Panembahan
Pancalingga perintahkan kepada Mahayuni untuk
memindahkan Suto
Sinting sebelum pemuda itu siuman.
"Bawa dia ke
kamar peristirahatan. Bisa malu kita kalau dia
siuman dan ternyata
masih digeletakkan di lantai begini."
Para murid,
terutama yang wanita, saling berebut membawa Suto
ke kamar
peristirahatan.
"Biar aku saja
yang membawanya.... Jangan, aku saja! Badanku
lebih kuat kok,...
Minggir-minggir, sini kubawanya sendiri.... Eh,
jangan sendirian.
Aku juga mau membawanya.... Tidak, aku saja...."
Tubuh Suto ditarik
ke sana-sini oleh beberapa tangan.
Panembahan
Pancalingga menjadi cemas.
"Eeh, eeh...
jangan dibetot ke sana-sini! Kalian pikir rebutan
kalkun
panggang?!"
Akhirnya tubuh
kekar itu jatuh dari ketinggian satu perut. Bruuk,
gleduuuhk...!
"Naaah...
jatuh kan?! Aduh, bisa bocor kepalanya itu!"
Jatuhnya Suto
membuat pingsannya justru menjadi siuman, ia
tersentak kaget dan
langsung menyeringai sambil mengerang
kesakitan. Kedua
tangannya, pegangi kepala.
"Aaauuhh.!"
Mereka justru
ketakutan dan ditinggal kabur begitu saja. Bruubut.
.! Tinggal
EyangPanembahan yang ada di situ, clingak-clinguk salah
tingkah, karena
merasa tak enak terhadap sang Manggala Yudha
yang dihormati itu.
"Aduh,
anak-anak bagaimana ini?! Kalau sudah begitu ditinggal
pergi begitu saja.
Celaka! Pasti akuyang kena getahnya!"
Namun ternyata
Pendekar Mabuk tidak tersinggung dan tak ada
yang disalahkan.
Pemuda itu justru mengambil sikap bijaksana,
mengucapkan terima
kasih kepada Eyang Panembahan walaupun
sebelumnya Eyang
Panembahan lebih dulu buru-buru memberikan
hormat kepada sang
Manggala Yudha itu. Keramahan dan keceriaan
Suto Sinting
membuat mereka menjadi tak sungkan-sungkan untuk
mendekat dan saling
ajukan tanya. Hal itu, terjadi setelah badan Suto
merasa segar
kembali akibat menenggak tuak saktinya.
"Dia memang
tidak seperti seorang panglima, ya?" bisik salah
seorang murid
lelaki.
"Dia memang
selalu merendah. Tuh, lihat saja kepalanya sampai
rendah, kan?"
"Itu karena
dia sedang garuk-garuk jempol kakinya!" sentak yang
lain dengan suara
pelan.
Mereka terkesima
mendengar cerita pertarungan Pendekar Mabuk
saat melawan
Pangeran Cabul dan Rogana, si manusia badak, (Baca
serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Perawan Sinting"). Tapi
mereka segera
menjadi tegang dan berdebar-debar ketika Suto
ceritakan
pertarungannya dengan Gober, orang kepercayaan si
Bayangan Setan,
kisah pengejaran ke Samudera kubur dan
pertemuannya dengan
Ki Jambal Haha.
Bukan para murid
saja yang terkejut mendengar nama Jambul
Haha disebutkan,
melainkan Eyang Panembahan sendiri juga kaget,
hingga terpaksa
ajukan beberapa pertanyaan yang bersifat menguji
kesungguhan cerita
tersebut. Tentu saja tes uji kesungguhan itu
berhasil dijawab
oleh Suto secara benar, karena bagi Suto pertemuan
dengan Jambul Haha
bukan sekadar isapan jempol.
Salah seorang murid
berbisik kepada temannya, "Kurasa cerita itu
sungguh-sungguh
terjadi. Bukan hanya isapan jempol semata."
"Lagi pula
jempolnya siapa yang mau dihisap sampai mata?!"
tanggap murid yang
memang rada culun. Mereka cekcok sendiri, lalu
digertak oleh si
kecil Rahisan, keduanya diam, mengkerut seperti
harum manis kena
angin.
Panembahan
Pancalingga mengangkat kedua tangannya, semua
suara hilang.
Suasana menjadi sepi senyap seketika itu juga.
Rupanya kedua
tangan Panembahan Pancalingga mempunyai daya
bungkam sendiri
bagi murid-muridnya, sehingga tak satu pun berani
bersuara. Bahkan
yang suara batuk pun tak ada. Suara napas pun tak
terdengar.
"Hebat Juga
Eyang Panembahan ini," pikir Suto. "Jurus apa yang
dipakainya,
sehingga dengan mengangkat kedua tangan saja sudah
bisa bikin bungkam
mulut mereka?"
Pendekar Mabuk tak
tahu bahwa kedua tangan Eyang
Panembahan
sebenarnya tak memiliki kekuatan pembungkam. Yang
membuat mulut
mereka bungkam adalah wibawa dan kharisma sang
Panembahan, di mana
ia sebagal guru dan penguasa wilayah Pantai
Porong sangat
dihormati dan ditakuti oleh para muridnya.
"Agaknya,
mendiang Ki Jambul Haha, yaitu kakakku sendiri,
sengaja ingin
mempertemukan Pendekar Mabuk dengan kita. Entah
apa sebenarnya
maksud roh Ki Jambul Haha itu. Tapi firasatku
mengatakan, Ki
Jambul Haha ingin supaya Pendekar Mabuk
membantu kita dalam
menghadapi orang-orang Tanjung Leak,
terutama Nyai Gincu
Barong itu!"
Tiba-tiba, mereka
bersorak serentak, "Hidup Pendekar
Mabuutik...!!"
Suto Sinting
clingak-clinguk kaget, ia memperhatikan mereka.
Hanya si kecil
Rahisan yangtidak ikut bersorak dan mengangkat satu
tangan. Mahayuni
saja ikut bersorak, tapi gadis kecil Rahisan hanya
diam, cuek,
bersidekap, matanya memandang agak angkuh kepada
Pendekar Mabuk.
"Rahisan,
kenapa kau tidak ikut gembira menyambut kedatangan
Pendekar Mabuk
ini?!" tanya Mahayuni.
"Ah belum
tentu dia unggul melawan Nyai Gincu Barong," jawab
Rahisan sambil
mencibir terang-terangan di depan Suto Sinting.
"Buktinya, ia
masih bisa terkena senjata rahasiaku! Hmmm...! Kita
lihat saja hasilnya
nanti. Jangan bersorak dulu sebelum dia memang
unggul melawan Nyai
Gincu Barong!"
"Tengil amat
gadis lucu itu?" pikir Suto Sinting sambil
sunggingkan senyum
geli. Tapi ia segera berkata dengan nada
merendahkan diri.
"Tiap manusia
memang punya kelemahan, demikian juga aku.
Dan kurasa memang
belum tentu aku unggul melawan Nyai Gincu
Barong. Tetapi jika
Eyang Panembahan yang melawan Nyai Gincu
Barong, tentunya
Nyai Gincu Barong akan tumbang dalam satu
gebrakan. Bisa jadi
Nyai Gincu Barong akan sakit sendiri, jatuh
sendiri, mati
sendiri dan mengubur diri sendiri!"
"O, tidak
begitu, Nak Mas Pendekar...," sela Eyang Panembahan.
"Aku sudah
bersumpah untuk tidak mau lakukan pertarungan,
kecuali menghindari
dan mengobati yang terluka. Sumpah ini
kuucapkan di depan
kakakku; si Jambul Haha, pada saat dia dalam
keadaan sekarat dan
aku tak bisa kejar si Bayangan Setan itu! Jadi
aku tak berani
melanggar sumpah. Barangkali dengan alasan itulah,
maka roh kakakku
mempertemukan dirimu dengan pihakku, agar kau
menjadi wakilku
melawan Nyai Gincu Barong."
Mahayuni menarik
tangan gadis kecil berlagak tengil itu.
"Rahisan,
hati-hati bicaramu. Jangan menyinggung perasaan
Pendekar
Mabuk."
Rahisan justru
membantah dengan suara keras.
"Masa' seorang
pendekar perasaannya mudah tersinggung dengan
ucapan seperti itu
saja?! Hmmm! Pendekar cap apa dia kalau
begitu?!"
Suto menyahut,
"Cap tengkorak nyengir!"
Lalu yang lainnya
tertawa serentak. Suto Sinting sendiri ikut
tertawa walau tidak
terbahak-bahak.
Tetapi di balik
sambutan ramah orang-orang Padepokan Pantai
Porong itu,
ternyata Suto Sinting tetap menyimpan misteri yang
membuatnya sangat
penasaran, akhirnya ia dibayang-bayangi oleh
kegelisahan. Menjelang
tidur malam di kamarnya, Pendekar Mabuk
kelihatan sangat
resah, tak bisa tenang.
"Benarkah
Samudera Kubur sudah hancur delapan tahun yang
lalu?! Kalau
begitu, haruskah aku mengejar si Bayangan Setan ke
Bukit Lahat?!
Apakah ia masih menyandera Rama Jiwana? Terus,
bagaimana dengan
Perawan Sinting dan Mahesa Gibas? Seharusnya
dalam saat-saat
bingung begini, aku bisa bertemu dengan Perawan
Sinting dan
membicarakannya. Tapi... kelihatannya pihak
Panembahan sangat
membutuhkan bantuanku. Lalu, mana yang
harus kulakukan
lebih dulu; menghadapi Nyai Gincu Barong lebih
dulu?!"
Akhirnya Suto
memutuskan untuk mencari Perawan Sinting di
sepanjang Pantai
Porong. Ia berharap dapat menemukan Perawan
Sinting atau Mahesa
Gibas di pantai tersebut, ia juga berharap kedua
sahabatnya itu
terdampar di pantai itu juga dalam keadaan masih
bernyawa.
*
* *
4
POTONGAN tiang
layar ditemukan Suto bersama sesobek kain
layarnya. Semula ia
merasa senang, karena dapat menemukan bagian
lain dari
perahunya. Tetapi di sekitar tempat itu tak ditemukan
Perawan Sinting
maupun Mahesa Gibas. Hanya saja, ia menemukan
bekas telapak kaki
yang bergerak dari pantai ke hutan.
"Apakah ini
bekas jejak kaki Perawan Sinting?!" tanyanya dalam
hati. "Atau
jangan-jangan ini Jejak kaki si Mahesa Gibas?! Oh, aku
lupa menanyakan
ukuran kaki mereka sebelum berlayar. Akibatnya
aku tak bisa
membedakan telapak kaki siapa yang ada di pasir pantai
ini?!"
Pendekar Mabuk
pandangi arah hutan dengan teliti. Tak ada
tanda-tanda gerakan
manusia di sana. Bahkan suara rintih atau
dengus napas pun
tak terdengar. Maka, jurus 'Lacak Jantung' pun
digunakan oleh Suto
Sinting. Jurus itu dapat mendeteksi detak
jantung
seseorangyang berada di sekitarnya.
"Hmmm..., aku
mendengar detak jantung yang berirama kalem-
kalem saja. Arahnya
di sebelah sana. Aku yakin di sana pasti ada
orang. Hanya saja,
apakah dia Perawan Sinting atau Mahesa Gibas,
aku tak bisa
menduganya."
Suto segera menuju
sasaran dengan lompatan-lompatan peringan
tubuhnya, sehingga
suara langkahnya tak terdengar oleh siapa pun. Ia
menyelinap di
antara pohon-pohon mendekati suara detak jantung
itu.
"Ooh...?!"
dahi Pendekar Mabuk berkerut heran. "Suara detak
jantung itu
menghilang? Aneh. Padahal tadi sudah semakin keras,
berarti semakin
dekat. Mengapa tiba-tiba hilang begitu saja? Apakah
orang itu
mati?!"
Mata setengah
dipejamkan, konsentrasi dipusatkan pada kepekaan
pendengaran. Jurus
'Lacak Jantung' digunakan lagi. Akhirnya ia
memandang ke arah
pantai, karena kini suara detak jantung itu ada di
pantai.
"Mengapa bisa
pindah ke pantai secepat ini?!" pikir Pendekar
Mabuk. "Apakah
yang ada di pantai adalah detak jantung orang lain?
Maksudku, bukan
orang yang ada di dekat-dekat sini?"
Rasa penasaran
membuat Pendekar Mabuk terpaksa memeriksa
keadaan hutan
sebentar. Tetapi ternyata di sekitar tempat
didengarnya detak
jantung tadi memang tak ada orang, bahkan
sesosok mayat pun
tak ada. Pendekar Mabuk berkesimpulan, si
pemilik detak
jantung itu memang sudah pindah ke daerah pantai.
Maka ia pun segera
mengejar ke pantai kembali. Zlaaap...!
Di sana juga tak
ada orang. Tapi anehnya, detak jantung itu
menjadi semakin
jelas, bahkan sepertinya sedang mendekati Suto
Sinting. Pandangan
dan kewaspadaan Suto segera ditingkatkan.
Bumbung tuak yang
digantungkan di pundak kini sudah digenggam
dengan tangan
kirinya.
"Ada sesuatu
yang bergerak mendekatiku, tapi ia tak punya rupa,"
batin sang
pendekar. "Aku harus hati-hati. Siapa tahu tiba-tiba ia
menyerangku tanpa
bisa kusentuh tubuhnya, aku harus tetap
waspada."
Sampai beberapa
saat, detak jantung itu masih terdengar jelas tapi
wujud pemiliknya
tak kelihatan. Bahkan Suto merasa si pemilik
detak jantung itu
sedang mengitarinya dalam jarak sekitar delapan
langkah.
"Aneh, tak
kulihat sosoknya tapi jelas kudengar detak jantungnya.
Hmmm... kurasa kali
ini aku berhadapan dengan Bayangan Setan
yang mampuhadir
tanpa sosok tubuh itu. Jika memang...."
Ucapan batin sang
Pendekar Mabuk terhenti karena tiba-tiba
pandangan matanya
menangkap sesuatu. Sesuatu yang dilihatnya
adalah seekor
kupu-kupu yang terbang mengelilinginya.
Rasa ingin membuang
air kecil pun timbul, dan Suto mencari
tempat yang
tersembunyi untuk membuang air seninya. Tapi kupu-
kupu itu hinggap di
ilalang persis di depan Suto. Sambil
memandangi
kupu-kupu itu, dengan cuek Suto menuntaskan hajat
kecilnya tersebut.
"Hmmm...
kupu-kupu itu sepertinya memandangiku terus.
Apakah ia tertarik
dengan alat pembuang airku ini?" ujarnya dalam
hati dengan konyol.
Lalu, perhatiannya kepada kupu-kupu itu
dilanjutkan.
Namun kejap
berikut, setelah pembuangan hajat kecil itu selesai,
Pendekar Mabuk baru
menyadari ada yang aneh pada seekor kupu-
kupu yang berwarna
hitam bintik-bintik kuning dengan ukuran kecil
itu.
Pendekar Mabuk
pandangi kupu-kupu yang sekarang terbang
kembali
mengelilinginya dan ternyata suara detak jantung tersebut
berasal dari
binatang kecil tersebut. Menurutnya, ini hal yang aneh.
Tak pernah ia dapat
melacak detak jantung seekor kupu-kupu.
Bahkan detak
jantung seekor burung pun tak berhasil dilacaknya
dengan ilmu
tersebut. Tapi mengapa sekarang Suto bisa
mendengarkan suara
detak jantung seekor kupu-kupu?
"Aku yakin dia
bukan kupu-kupu sembarangan," pikirnya dalam
membatin. "Tak
mungkin seekor kupu-kupu mempunyai detak
jantung sekeras
ini. Tapi jika kupu-kupu itu terbang melintasi
kepalaku, suara
detak jantung pun kudengar lebih keras lagi. Ah, apa
iya seekor
kupu-kupu mempunyai sentakan jantung sama dengan
ukuran detak
jantung manusia?!"
Tiba-tiba kupu-kupu
hitam bintik-bintik kuning itu melesat cepat
seakan ingin
menabrak wajah Suto.
Wees...! Pendekar
Mabuk hanya lengkungkan badan ke belakang
hingga kepalanya
terdongak. Dengan begitu kupu-kupu tersebut tak
berhasil kenai
wajahnya.
"Hei, kenapa
dia sepertinya mau menyerangku?!" ujar Suto
membatin dengan
heran.
Kupu-kupu itu
segera hinggap di atas ujung sebongkah batu
berukuran satu
dada. Pendekar Mabuk mendekati dengan rasa
penasaran. Namun
baru mendapat beberapa langkah, kupu-kupu itu
terbang kembali dan
melesat ingin menerjang Suto Sinting. Dengan
gerakan limbung
cepat seperti orang mabuk mau tumbang, gerakan
kupu-kupu itu
berhasil dihindari Suto Sinting lagi. Wuuus...!
Kejap berikut
kupu-kupu itu terbang tinggi dan memutar cepat.
Putaran tubuhnya
mengeluarkan asap yang makin lama semakin
tebal. Asap itu
bergerak turun sambil berputar, sampai akhirnya
menyentuh tanah
dan, buuss...!
"Ooh...?!"
Pendekar Mabuk terbelalak kaget, karena hilangnya
asap dan kupu-kupu,
muncullah seraut wajah cantik berjubah hitam
bola-bola kuning.
Seraut wajah cantik itu mempunyai rambut
panjang terurai dan
mengenakan mahkota hias berukuran kecil.
Pendekar Mabuk
mengucal-ngucal matanya, khawatir kalau dia
salah pandang.
Ternyata apa yang dipandangnya saat itu memang
benar, ia
berhadapan dengan seraut wajah cantik berhidung mancung
dan berbibir
menggemaskan. Tubuhnya sekal, padat dan berisi.
Dadanya yang
ditutup dengan pinjung kain kuning itu kelihatan
montok sekali.
Sebagian belahan dadanya tersumbul naik dari dalam
pinjung.
Wanita cantik itu
tampak sudah berusia sekitar dua puluh tujuh
tahun.
Kecantikannya cukup matang, demikian pula keseksian
tubuhnya tampak
sedang matang-matangnya. Kain penutup pinggul
yang berwarna
kuning itu mempunyai dua belahan, depan dan
belakang. Belahan
yang depan cukup panjang. Dari bawah sampai
mendekati pusar.
Satu gerakan kaki saja dapat menyingkapkan kain
dan menimbulkan
dayatarik yang dapat membuat Suto panas-dingin.
Wanita cantik itu
sunggingkan senyum tipis berkesan sinis. Tapi
senyuman itu justru
menambah kecantikannya menjadi semakin
memancarkan daya
pikat tinggi.
"Cantik sekali
dia?!" puji Suto dalam hatinya. Senyuman itu
dibalas oleh
Pendekar Mabuk dengan senyuman tipis pula. Setelah
maju tiga langkah,
Pendekar Mabuk sengaja tampilkan kesan bahwa
ia sangat mengagumi
kecantikan perempuan itu.
"Kupu-kupu
yang cantik," ujar Suto pelan. "Siapa sangka kalau
kupu-kupu kecil itu
ternyata adalah seorang wanita yang menarik
dan menggemaskan.
Sayang sekali tak kutahunamanya."
Dengan mata
memandang nakal mengoda hasrat lelaki, wanita
berkulit putih itu
perdengarkan suaranya yang bening tanpa serak
sedikit pun.
"Apakah kau
pernah mendengar nama Andani?"
"Belum. Terus
terang saja, aku orang baru di sini. Jadi masih
merasa asing dengan
nama Andani. Siapakah orang yang memiliki
nama Andani
itu?"
"Orang itu ada
di depanmu."
"Oo...,"
Suto Sinting manggut-manggut dalam senyumnya yang
menawan.
"Ternyata nama
itu sangat sesuai dengan kecantikan orangnya",
tambah Suto
Sinting. Si wanita perlear senyumnya, namun matanya
tetap memandang
Suto tanpa kedip penuh goda.
''Apakah kau
orangPantai Porong juga, Andani?"
"Bukan. Aku
orang pendatang, Suto."
Pemuda tampan itu
terkejut. "Oh, kau sudah tahunamaku?!"
"Siapa orang
yang tidak kenal nama Suto Sinting dalam pakaian
berciri
coklat-putih dan bumbung tuak yang selalu dibawanya itu?
Siapa orang yang
tidak kenal wajah tampan berbadan kekar dan
gagah itu adalah
milik Suto Sinting?! Kurasa semua orang
mengenalmu dari
ciri-cirimu itu, Suto."
"Ternyata
wawasanmu lebih luas daripada Mahayuni atau yang
lain."
"Siapa
Mahayuni itu? Kekasihmukah?!"
"Bukan,"
jawab Suto Sinting dengan lemparkan senyum ke arah
lautan lepas, ia
melangkah ke perairan sambil lanjutkan kata.
"Mahayuni
adalah seorang sahabat baru. Ia tidak mengenaliku
saat kami jumpa
pertama."
Pendekar Mabuk
palingkan pandang ke arah Andani.
"Apakah kau
sama sekali tidak mengenal Mahayuni?"
Wanita itumendekat
dengan memandang ke arah lautan juga.
"Sudah
kukatakan tadi, aku hanyalah tamu di Pantai Porong ini!
Tamu yang kebetulan
saja lewat di Pantai Porong dan singgah
sebentar karena
melihat cahaya ketampanan dari seorang pemuda
yangternyata adalah
Pendekar Mabuk."
"Jangan
memujiku, nanti aku lupa daratan, ingatnya cuma lautan."
Andani lepaskan
tawa kecil. "Ini adalah keberuntungan besar
bagiku," kata
Andani tanpa pandangi Suto. "Barangkali memang
sudah kehendak
dewata akuharus bertemu denganmu, Suto."
"Apa maksudmu
berkata begitu?"
"Aku
membutuhkan seorang tabib. Kudengar kau juga dikenal
sebagai Tabib Darah
Tuak?"
"Hanya
beberapa orang saja yang menjulukiku demikian."
"Tapi julukan
itu membuatku menaruh harap padamu, Tabib
Darah Tuak."
"Boleh saja
kau menaruh harap padaku, tapi segala keputusan
tetap ada di tangan
Yang Kuasa, Andani."
"Aku paham
maksudmu."
Pendekar Mabuk
kembali menikmati sebentuk kecantikan yang
enak dipandang dan
membuat jantung berdebar-debar sejak tadi.
Debaran itu
menghadirkan keindahan tersendiri yang sukar
dilukiskan dengan
kata.
"Siapa yang
membutuhkan bantuanku sebagai tabib?!" tanya Suto
setelah mereka
beradu pandang dua helaan napas.
"Aku
sendiri," jawab Andani. Pendekar Mabuk hanya
sunggingkan senyum
sebagai tanda kurang percaya atas pengakuan
tersebut.
"Kau tampak
segar, sehat, cantik, dan... menawan sekali. Kau tak
kelihatan sebagai
orang yang sakit, Andani."
"Kelihatannya
memang begitu. Tapi beberapa tahun yang lalu,
seseorang telah
menyerangku dan melukai bagian dalamku. Orang
itu menggunakan
jurus 'Karang Siksa'. Dengan jurus itu ia
menanamkan sebutir
batu dalam tubuhku. Batu itulah sebenarnya
yang dinamakan batu
'Karang Siksa', yang tubuhku merasa tersayat-
sayat setiap malam.
Kadang merasa seperti dicambuk-cambuk, atau
juga seperti
ditusuk-tusuk jarum. Menyiksa sekali. Dan setiap malam
aku harus menderita
perasaan seperti itu. Jika matahari muncul,
barulah siksaan itu
berhenti dan keadaanku sehat-sehat saja, seperti
saat ini."
"Jurus yang
aneh sekali," gumam Pendekar Mabuk.
"Lawanku itu
memang tangguh. Tapi dalam waktu dekat nanti,
dia akan kukirim ke
neraka setelah aku menyelesaikan pelajari satu
jurus utama khusus
untuk mengalahkan lawanku itu!"
"Siapa lawanmu
yang mempunyai jurus 'Karang Siksa' itu,
Andani?" tanya
Pendekar Mabuk setelah merenung sebentar.
"Kurasa nama
itu tak penting bagimu. Yang kuharap darimu
adalah
menghancurkan batu 'Karang Siksa' yang tertanam di dalam
tubuhku ini! Aku
ingin bebas dari siksaan setiap malam. Aku ingin
bisa tidur dengan
nyenyak dan damai."
Wajah cantik itu
tampak murung, sebagai ungkapan dari rasa
sedihnya jika
membayangkan siksaan setiap malamnya itu. Pendekar
Mabuk menjadi iba
hati melihat si cantik berwajah murung.
Akhirnya ia
putuskan untuk menolong wanita cantik itu.
"Akan kucoba
menolongmu, Andani. Tapi terlebih dulu aku ingin
tahu, dari mana
asalmu?"
"Aku... aku
dari Bukit Jerami, agak jauh dari sini. Aku sengaja
mengasingkan diri
ke Bukit Jerami, karena sebenarnya aku sudah tak
ingin ikut campur
dalam dunia persilatan ini! Aku capek dan ingin
istirahat dengan
damai di bukit yang sepi itu."
"Jadi, kau
tinggal sendirian di Bukit Jerami, tanpa teman, tanpa
saudara dan tanpa
suami?"
"Saudaraku
telah tewas semua di tangan musuhku itu. Aku tak
pernah mau
dikunjungi teman, karena aku memang ingin hidup
menyendiri.
Sedangkan suami... suamiku telah kabur dengan
perempuan lain, dan
membiarkan hidupku menjanda tanpa anak dan
keluarga."
Kata-kata itu
dituturkan dengan menghiba sekali, membuat
Pendekar Mabuk
semakin trenyuh dan berbelas kasihan kepada
Andani. Semakin
trenyuh lagi hati Suto setelah perempuan itu
berlutut di
depannya dan memohon dengan suara menghiba.
"Kumohon kau
mau menyembuhkan sakitku ini, Pendekar
Mabuk! Aku sudah
tak kuat hidup dalam penderitaan setiap malam!"
"Bangunlah,
Andani. Bangun, tak perlu berlutut di depanku
begitu. Aku akan
mengobatimu sekarang juga. Minumlah tuakku ini
dan kau akan
terhindar dari penyakit yang menyiksa itu. Tuakku ini
dapat hancurkan
batu "Karang Siksa' yang ada dalam tubuhmu itu,
Andani!"
Sambil berkata
begitu, tangan Suto mencekal lengan Andani dan
membimbing agar
wanita itu segera berdiri lagi. Bahkan setelah
Andani berdiri,
tangan itu masih mencekal lengan si wanita,
sehingga keduanya
sama-sama merasakan sentuhan hangat yang
menjalar sampai ke
seluruh tubuh.
"Minumlah
tuakku...," sambil Suto Sinting menarik bumbung
tuak yang tadi
sempat digantungkan di pundaknya. Namun sebelum
bumbung tuak itu
sempat diberikan kepada Andani, tiba-tiba
seberkas sinar hijau
seperti buah rambutan melesat cepat menyerang
Pendekar Mabuk dari
arah belakang. Weeess...!
"Oh,
Suto...?!" Andani segera menarik tubuh Suto ke dalam
pelukannya,
kemudian dengan telapak tangannya ia menahan
datangnya sinar
hijau tersebut. Suuurb...!
Seandainya Suto
tidak ditarik hingga berpelukan dengan Andani,
dan tangan Andani
yang ada di belakang Suto tidak menahan sinar
hijau itu, maka
punggung Suto akan berlubang besar dan nyawa pun
akan melayang.
Ketika mereka
merenggangkan jarak, Suto Sinting sempat
tersenyum karena
menyangka mendapat pelukan mesra dari Andani.
Tapi ketika
genggaman tangan Andani membuka, tampaklah sinar
hijau yangmemancar
seperti bentuk buah rambutan.
"Seseorang
ingin membunuhmu dengan sinar ini," ujar Andani.
Maka, Suto pun akhirnya
terbelalak tegang dan kebingungan
sendiri. Ketegangan
di hati Suto disebabkan oleh datangnya sinar
hijau yang nyaris
mengenai punggungnya, dan kemampuan Andani
menangkap sinar
hijau yang sampai sekarang belum meledak-ledak
juga.
"Gila! Tinggi
sekali ilmu perempuan ini?!" pikir Suto dalam
keheranan
"Cahaya hijau itu bisa ditangkapnya dan tidak meledak
dalam gengamannya.
Kalau bukan berilmutinggi tak mungkin hai itu
bisa
dilakukan."
Andani justru
memainkan sinar hijau itu seperti memainkan bola
kecil di tangannya.
"Aku ingin
tahu siapa yang ingin membunuhmu itu!" ujarnya, lalu
tiba-tiba sinar
hijau itu dilemparkan ke arah tempat datangnya
semula. Weess...!
Sinar itu melesat dan menghantam sebatang pohon
besar. Jegaaarr...!
Pohon itu berlubang
sebesar kepala sapi. Daun-daunnya rontok
seketika, bahkan
dahan serta rantingnya menjadi kering dalam waktu
singkat.
Pendekar Mabuk
terbelalak membayangkan jika sinar hijau itu
mengenai
punggungnya, maka nasibnya akan seperti pohon tersebut.
"Untung dia
tangkas dan punya ilmu bisa memegang sinar
pukulan sedahsyat
itu, seandainya ia tidak mempunyai ilmu tersebut,
pasti sekarang ini
aku sudah menjadi sundel bolong. Punggungku
akan berlubang
sebesar kepala sapit begitu."
Sementara si
perempuan cantik itu masih memperhatikan ke arah
pohon tersebut, ia
menunggu sesuatu yang muncul dari balik pohon
tersebut, karena ia
melihat orang yang melepaskan pukulan bersinar
hijau itu
bersembunyi di baiik pohon tersebut. Tetapi sampai dua
helaan napas
ditunggu, orang tersebut tak segera tampakkan diri,
Andani pun jengkel
dan berseru dengan lantang.
"Jahanam,
keluar kau! Jangan hanya berani menyerang dari
belakang!"
"Aku di sini
sejak tadi!" ujar suara yang tiba-tiba didengar sudah
berada di belakang
Suto dan Andani. Mereka berpaling serentak dan
mundur dua langkah.
"Siapa
kau?!" tanya Suto dengan tetap tenang. "Mengapa kau
menyerangku dari
belakang dengan jurus yang berbahaya itu?!"
Seorang lelaki yang
tiba-tiba muncul di belakang mereka itu
hanya sunggingkan
senyum dingin. Lelaki itu bertubuh sedang,
kumisnya tak
terlalu lebat, jenggotnya cepak. Rambut si lelaki masih
hitam dan pendek,
diikat dengan ikat kepala warna biru, sesuai
dengan pakaiannya
yang serba biru itu. Diperkirakan, lelaki itu
berusia sekitar
empat puluh tahun lebih sedikit, ia menyandang
kapak yangterselip
di sabuk hitamnya.
"Aku tak punya
urusan denganmu, Perempuan cantik! Urusanku
adalah dengan
pemuda itu!"
"Aku tidak
kenal denganmu," sergah Suto Sinting. "Mengapa kau
merasa punya urusan
denganku?!"
"Karena kau
yang kulihat bergabung dengan pihak Panembahan
Pancalingga!"
"Kalau begitu
kau orangTanjung Leak?!"
"Benar! Akulah
yang dipercaya untuk memata-matai padepokan
itu dan diberi hak
untuk membunuh orang padepokan selagi ada
kesempatan untuk
melakukannya. Tapi sasaranku yang paling utama
adalah membunuh si
tua bangka; Panembahan Pancalingga, supaya
Nyai Gincu Barong
semakin bangga dengan hasil kerjaku!"
"Kau yang
bernama Singaloya?!" sahut Andani dalam tanya.
"Dari mana kau
mengenaliku sebagai Singaloya, Cantik?!"
"Aku tahu, si
Gincu Barong punya beberapa orang kepercayaan,
di antaranya ada
yang bernama Singaloya yang mempunyai senjata
ampuh 'Kapak
Guntur'. Dan kulihat senjata di pinggangmu itu adalah
Kapak Guntur!"
"Ha, ha, ha,
ha...! Kau ternyata cukup jeli. Cantik! Tapi aku tak
tahu siapa kau dan
di pihak mana kau berdiri. Maklum, aku baru
beberapa bulan
bergabung dengan Nyai Gincu Barong!"
"Sampaikan
salamku kepada Gincu Barong, dan ingatkan
kepadanya agar
tidak mengganggu pemuda ini."
"Oh, pikirmu
kau ini siapa, sehingga merasa mampu menyuruh
Nyai Gincu Barong
untuk tidak membunuh pemuda ini?! Kalau
kukatakan bahwa
pemuda ini akan memperkuat pihaknya Padepokan
Pantai Porong,
tentu saja tak akan ada ampun bagi pemuda ini. Nyai
tetap akan
perintahkan kepadaku untuk membunuhnya."
"Kalau
begitu." kala Andani. "Sebelum kau melukai pemuda ini,
terlebih dulu
sebaiknya kau kukirim ke neraka, Singaloya'"
"Oh, jadi kau
yang ingin tampil sebagai perisainya?! Celaka!
Bodoh amat kau ini,
Cantik. Mengapa kau mau menjadi perisainya?
Apakah kau tak tahu
kali ini yang berhadapan dengannya adalah
Singaloya? Kau bisa
mati tanpa berkedip kalau harus melawanku,
Cantik."
"Jangan banyak
bicara!" geram Andani, tiba tiba tangannya
berkelebat ke depan
seperti menaburkan sesuatu. Wuuurs...! Tangan
itu sebarkan
percikan sinar merah yang segera menerjang ke arah
Singaloya. Namun
dengan cepat Singaloya melesat tinggi ke atas,
hingga percikan
sinar merah itutak ada yang mengenainya
"Modar kau.
Cantik! Heeah...!"
Singaloya lepaskan
pukulan bersinar lurus tanpa putus ke arah
Andani. Claaap...!
Sinar hijau lurus itu bermaksud menghantam
kepala
Andani.Tetapi dengan tangkas tangan Andani menahan ujung
sinar tersebut.
Deeb...! Sinar itu
tetap memancar lurus dari tangan Singaloya ke
tangan Andani Sementara
itu Suto yang ingin ikut campur segera
dilarang oleh
Andani memakai bahasa isyarat. Mau tak mau ia
membiarkan dulu
kemampuan Andani menghadapi Singaloya.
Sampai lelaki
berpakaian serba biru itu daratkan kakinya ke tanah,
sinar hijau itu
masih memancar seperti sebatang tongkat yang
dipakai untuk
saling mendorong lawan.
Namun dalam kejap
berikutnya, Andani bukan sekadar menahan
sinar hijau
melainkan juga ikut kerahkan tenaga dalamnya melalui
telapak tangan itu.
Wuuk...! Sinar hijau pun membengkak menjadi
kebiru-biruan. Lalu
dengan satu kali sentakan tangan ke depan,
Andani berhasil
membuat Singaloya terjungkal ke belakang dan
berguling-guling.
Weess...! Brruk...!
"Uuhk...!"
Singaloya mengerang ketika sinar hijau yang berubah
kebiru-biruan itu
menghantam masuk ke telapak tangannya dan
tubuhnya bagai
diseruduk banteng liat.
Clap, clap...!
Tiba-tiba dari kedua jari Andani keluar sinar merah
seperti ujung
tombak. Sinar merah itu melesat cepat dan
menghantam dada
Singaloya.
Blegaaarr...!
Blaaarr...!
"Gila?!"
pendekar tampan itu terperangah bengong. Ternyata tak
ada ampun lagi bagi
Singaloya, tubuhnya menjadi hancur dihantam
dua sinar merahnya
Andani tadi. Tanpa punya kesempatan
menggunakan senjata
'Kapak Guntur'-nya, Singaloya akhirnya
tumbang dalam keadaan
mengerikan, tangan, kaki, badan, kepala,
bahkan jari-jari
tangannya, semua menjadi menyebar karena pecah.
"Mengapa kau
bunuh dia sekeji itu, Andani?!"
"Karena ia pun
orang yang keji, dan layak mendapat ganjaran
seperti itu
dariku!"
Pendekar Mabuk
masih tertegun bengong memperhatikan Andani.
Hatinya memuji
namun juga mengecam Andani yang dapat
membunuh Singloya
dalam waktu amat singkat.
*
* *
5
PARA murid
Perguruan Pantai Porong sibuk mencari pendekar
heboh itu. Setiap
orang ditugaskan mencari Suto Sinting secara
bergantian. Batas
wilayah Pantai Porong dijaga ketat oleh mereka
dengan senjata siap
perang.
"Ke mana si
wajah heboh itu, ya? Jangan-jangan ditelan cumi-
cumi?" gerutu
salah seorang murid laki-laki yang ditugaskan
menyusuri pantai
bersama beberapa orang lainnya.
"Hei,
lihat...! Kepala siapa itu yang tergeletak di seberang sana?!"
seru salah seorang.
Lalu mereka menghampiri benda yang dituding
oleh orang
tersebut.
"Oh, kepala
manusia?! Tapi... kurasa ini bukan kepala si pendekar
heboh. Pendekar
heboh itutidak berkumis!"
"Siapa tahu
kumisnya tumbuh mendadak?!" ujar temannya
dengan konyol.
Setelah mereka
perhatikan bagian-bagian tubuh yang menyebar
itu, maka tahulah
mereka bahwa potongan tubuh itu miiik orang
Tanjung Leak.
Mereka segera melaporkan hal itu kepada Eyang
Panembahan
Pancalingga.
Ketua perguruan itu
turun tangan sendiri, memeriksa mayat yang
berantakan di
pantai. Dari hasil pemeriksaan indera keenamnya,
Eyang Panembahan
yakin bahwa mayat itu adalah mayat orang
Tanjung Leak, tapi
bukan dibunuh olehPendekat Mabuk.
"Seseorang
telah membunuhnya entah karena persoalan apa."
"Lalu, ke mana
Pendekar Mabuk itu, Eyang?" tanya Mahayuni
dengan cemas.
Rahisan menyahut
dengan tengilnya, "Kurasa dia pulang, karena
takut kalau harus
melawan Nyai Gincu Barong."
"Tak
mungkin," sahut Eyang Panembahan. "Suto pamit padaku
mau mencari kedua
orang temannya, siapa tahu terdampar di
sepanjang Pantai
Porong ini."
"Jangan-jangan
tertangkap orang-orangnya Nyai Gincu Barong
dan dibawa ke
Tanjung Leak?!" ujar Mahayuni.
Eyang Panembahan
pejamkan mata sejenak, melihat dengan
indera keenamnya.
Sebentai kemudian ia buka mata dan gelengkan
kepala,
"Tidak, tidak
ada di sana."
"Lalu ke mana
dia, Eyang? Coba lihat dengan mata batin Eyang,"
desak Rahisan.
Beberapa saat
setelah Eyang Panembahan pejamkan mata, ia jadi
bingung sendiri dan
berkata kepada kedua cucunya.
"Sulit sekali,
Ada kabut hitam yang menyelimutinya, sehingga
sukar kutembus di
mana dia berada."
Mereka tidak tahu
kalau Pendekar Mabuk dibawa oleh Andani ke
tebing karang
berongga besar. Rongga besar itu ada gua yang
mempunyai lorong
panjang entah sampai di mana.
"Mengapa kita
harus di sini, Andani?!" tanya Suto dengan rasa
penasaran.
"Akutak ingin
pengobatanku nanti ada yang melihatnya."
"Seandainya
ada yang melihatnya, mengapa kau keberatan?"
"Karena dia
tahu orang itu kenal dengan musuhku dan ia
memberitahukan
pengobatan ini, sehingga ia datang lagi untuk
menyerangku
kembali."
"Kurasa
kemungkinan itu tipis sekali, Andani. Dan lagi caraku
mengobatimu tidak
kentara. Kau hanya meminum tuak ini. Minum
biasa saja, seperti
orang sedang haus. Dan batu 'Karang Siksa' itu
akan hancur dengan
sendirinyatanpa keanehan apa-apa."
Andani mendekati
Suto hingga berjarak dua langkah, ia
memandang tajam
tapi berkesan sayu. Hati Suto bergetar lagi
menerima tatapan
mata yang penuh daya pikat itu.
"Yang jelas,
aku tak ingin ada orang mengetahui pertemuanku
denganmu."
"Kenapa
begitu?"
"Supaya
musuhku pun tak tahu kalau aku telah mengenalmu dan
menjadi seorang
sahabatmu. Bukankah... bukankah kita bersahabat,
Suto?"
Pendekar Mabuk
anggukkan kepala dengan bibir sunggingkan
senyum menawan.
Kalem, lembut dan enak dipandang. Andani
semakin ceria dan
berbinar-binar bagai ditaburi bunga-bunga indah.
Ia melangkah ke
balik gugusan batu setinggi perut yang memanjang
sekitar dua
langkah. Cahaya yang masuk melalui mulut gua membuat
gua itu
berpenerangan remang-remang.
Di balik batu
setinggi perut itu terdapat tumpukan jerami yang
lebar, sepertinya
sudah biasa digunakan untuk tidur. Andani berdiri
di sana menunggu
Suto mendekat.
"Andani,
apakah kau sudah sering tinggai di gua ini?" tanya Suto
Sinting sambil
memandang di kedalaman gua yang gelap.
"Ya, gua ini
kadang kupakai sebagai tempat persembunyian dari
pengejaran
musuh-musuhku. Atau sesekali kupakai untuk bersemadi.
Jarang orang
mengetahui tempat ini, Suto. Aku merasa aman jika
sudah berada di
sini."
Sambil mendekati
Andani, Suto ajukantanya dengan suara tegas.
"Tembus ke
mana lorong di kedalaman sana?"
"Akutak pernah
mencobanya," jawab Andani tepat pada saat Suto
berhenti di
depannya dalam jarak satu jangkauan.
"Kapan kau
ingin mengobatiku, Tabib Darah Tuak?!"
"O, sekarang
pun bisa." Suto Sinting pun meraih bumbung
tuaknya. Tapi pada
saat itu Andani melepaskan jubahnya. Kini
pundak dan
punggungnya tampak terbuka dengan bebas. Kemulusan
tubuh itu
membentang tanpa penghalang apa pun.
"Andani, kau
tak perlu harus buka pakaian. Kau hanya meminum
tuak ini, seperti
penjelasanku tadi."
"O, ya...
maaf. Kusangka kau akan salurkan hawa saktimu melalui
punggungku."
Andani tertawa
kecil. Tapi ia tidak mengenakan jubahnya lagi. Ia
menerima bumbung
tuak itu dan menenggaknya beberapa kali.
Sebagian tuak
tercecer di sekitar mulut dan dagu hingga lehernya.
"Aahhh...!
Segar sekali rasanya," ujar Andani sambil serahkan
kembali bumbung itu
kepada Suto Sinting.
"Nanti malam
kau tak akan merasakan hal-hal yang menyakitkan
seperti katamu
tadi."
"O, ya? Tapi
hanya beginikah caramu mengobatiku?"
"Memang hanya
begitu."
"Sederhana
sekali."
"Ya. Tapi...
sayang sekali tuak itu tumpah di sekitar bibir dan
lehermu."
"Kau mau
mengeringkannya?" pancing Andani.
"Mau, asal aku
mengeringkan dengan bibirku juga," goda Suto
Sinting.
"Cobalah
lakukan, aku ingin tahu bagaimana caramu
mengeringkan tuak
dari bibir, dagu, leher, dan... oh, ada yang
membasah di belahan
dadaku. Hi, hi, hi...!"
Pendekar Mabuk
semakin deg-degan mendapat tantangan seperti
itu. Lalu,
pelan-pelan ia mendekatkan wajahnya setelah meletakkan
bumbung tuak di
batu sebelah. Andani setengah memejamkan mata
dan dagunya sedikit
naik dengan bibir ranum merekah. Suto Sinting
pun menjilat air
tuak yang masih membasah di sudut bibir itu.
Seeet...! Hangat
sekali rasanya bagi Andani.
Tepian bibir itu
dikecup-kecup dengan hisapan lembut supaya air
tuak tertelan oleh
Suto. Kecupan itu membuat hati Andani makin
berdesir-desir
hingga napasnya sering dilepaskan lewat mulut
bersama desah yang
samar-samar.
Dari tepian bibir,
kecupan Suto merayap ke dagu, menjilat tuak
yang membasah di
sekitar dagu itu, lalu menyusuri leher. Lidah Suto
menyapu leher yang
basah oleh tuak. Tanpa diketahui Suto, ternyata
Andani telah
melepaskan tali simpul dari kain pinjungnya. Kini
pinjung itu jatuh
ke kaki dan dada itu terbuka. Pendekar Mabuk
masih sibuk
menyusuri tempat yang basah oleh tuak.
Ia menjadi terkejut
setelah bibirnya menyentuh tepian bukit dada,
matanya melirik ke
samping, ternyata bukit itu telah menantang
penuh keberanian.
Andani mendesis
lirih. "Sssssh...! Oh, indah sekali sentuhanmu,
Suto. Geserlah ke
kiri sedikit."
Kecupan Suto
bergeser ke kiri. Sekalipun tak ada tuak di situ, tapi
mulut Suto masih
memagut-magut dengan pelan, lembut sekali.
"Ooh, Suto...
ke kiri lagi. Terus ke kiri...." Ketika kecupan Suto
makin ke kiri dan
menyentuh ujung bukit, Andani mengerang
panjang sambil
meremas pundak Suto.
"Ooouh...!
Indah sekali itu, Suto. Indah sekali... oh, agak kencang
sedikit, Sayang.
Aah, yaa... ya... terus, jangan berhenti. Aku suka
sekali pagutanmu,
Suto. Oouh... nikmatnya bukan main. Aaah...."
Sambil
menghamburkan kata-kata yang menjadi ungkapan dari
perasaannya, Andani
meremas pundak Suto makin kuat. Bahkan
tanpa disengaja ia
telah membuat baju Suto mengendor ke lengan,
akhirnya baju itu
dilepaskan olehnya. Suto membiarkan bajunya
dilepas oleh
Andani. Tetapi tangannya yang merangkul pinggang
Andani akhirnya
menemukan ujung pengikat. Tangan Suto
melepaskan ujung
kain pengikat dan kain penutup bagian bawah
Andani pun jatuh
terkulai di kaki perempuan itu.
Dengan masih
seperti bayi yang kehausan, Suto Sinting
merayapkan kedua
tangannya ke bagian belakang tubuh Andani.
Tangan itu akhirnya
mengelus pinggul, lalu meremas bagian yang
menggunduk sekal di
sekitar pinggul itu.
"Ooh, Suto...
aku senang sekali kau perlakukan begini. Ooh...
bikin aku semakin
melayang-layang lagi, Suto...," ucap Andani
seperti bocah kecil
merengek.
Ciuman Suto Sinting
mulai merayap turun setelah kedua bukit di
dada Andani tersapu
habis seluruhnya. Andani sendiri yang meminta
agar kecupan Suto
turun ke bawah dengan menekan kepala Suto agar
turun ke bawah.
"Terus,
terus...! Uuh... terus ke bawah, Suto. Oh yaa... ya... di situ,
Suto! Bikin aku
lebih indah lagi...." Lalu ia memekik, "Aaaah...!
Sutooo.... Oh,
ya... kau pintar sekali melambungkan jiwaku yang,
ooouuh...!" Ia
meremas rambut kepala Suto kuat-kuat karena
merasakan keindahan
yanghampir mendekati puncaknya.
Andani menaikkan
kaki kanannya ke atas batu yang setinggi perut
itu. Suto Sinting
berlutut dan seakan pintu kehangatan telah dibuka
lebar-lebar oleh
Andani, sehingga kecupan dan sapuan lidah Suto
dapat bergerak
dengan lebih bebas lagi.
Rupanya perempuan
itu mempunyai tato gambar kupu-kupu di
paha kirinya. Tato
itu tadi sempat dilirik Suto saat sebelum
kemunculan
Singaloya. Menurut penglihatan Suto, tato kupu-kupu
itu dalam ukuran
kecil. Tapi sekarang Suto melihat tato kupu-kupu
itu menjadi besar
dan sayapnya melebar.
Rupanya tato itu
bukan sembarang tato. Ia dapat mekar dan
mengecil sesuai
dengan gairah Andani. Jika gairah perempuan itu
masih kecil, maka
tato gambar kupu-kupu itu tetap kecil. Tapi jika
gairah Andani
semakin besar, maka tato kupu-kupu itu pun menjadi
lebar.
Tato itu sekarang
disapu oleh lidah Suto dengan gerakan pelan
sekali. Andani
memekik kegirangan.
"Aaow...!"
Suto berhenti dan
mendongak. "Sakit...?!"
"Tidak,
Sayang, itu tempat yang pailng nikmat untuk dikecup.
Lakukan lagi,
Sayang. Lakukan lebih lama lagi. Aaooww...!"
Andani memekik
lagi, karena belum selesai bicara lidah Suto
Wah menyapu tato
tersebut. Rupanya memang benar apa kata
perempuan itu,
semakin lama tato itu dikecup atau disapu dengan
lidah, Andani
semakin memekik keras bagai dihujam seribu
kenikmatan.
Pendekar Mabuk mencoba menggigit pelan tato itu,
Andani kian liar,
teriakannya dan remasan tangannya bagai orang
sedang menahan
sesuatuyang ingin meledak bersama keindahannya
Tangan Suto
akhirnya tak mau tinggal diam di pinggul. Tangan
itu merayap dan
jarinya mulai berani memasuki gerbang kemesraan
Andani.
"Oooh, oooh...
teruskan, Suto! Aku suka yang begini, ooh...!
Indah sekali, Suto.
Indah sekaliii...!"
Napas Andani
terengah-engah, ia masih bertahan untuk tetap
berdiri dengan satu
kaki, sementara pinggulnya pun meliuk-liuk
mengikuti irama
keindahan. Tangan Suto masih menari di gerbang
kemesraan Andani
dan semakin lincah lagi, sementara tato kupu-
kupu itu masih pula
dipagut-pagut serta digigit-gigit kecil oleh Suto.
"Sutooo,
oouh... Sayang, aku mau... aku mau sampai, Sayang.
Terus, terus...
lebih cepat lagi, Suto. Ooouh, oouh.... Aaaahk...!"
Andani memekik
panjang. Sekujur tubuhnya mengejang kaku.
Kepalanya mendongak
dengan mata terpejam kuat-kuat. Rupanya ia
telah mencapai
puncak keindahannya sebelum Suto Sinting
menggunakan
dayungnya untuk mengayuh perahu cinta. Mereka
belum berlayar,
tapi Andani sudah mencapai puncak pelayaran lebih
dulu. Jika bukan
karena kepandaian Suto dalam memainkan irama
kemesraan, tak
mungkin perempuan itu mencapai puncak kemesraan
lebih dulu.
Kini tubuh Andani
basah oleh keringat. Tapi ia tak
mempedulikannya. Ia
masih menyukai jurus-jurus kemesraan
sebelum keduanya
berlayar dengan perahu cinta. Bahkan Suto
Sinting ternyata
mampu membuat perempuan itu melambung tinggi-
tinggi mencapai
puncak kemesraannya beberapa kali. Tak heran jika
suara pekikan dan
erangan Andani membuatnya menjadi serak dan
parau.
"Cukup, Suto!
Cukup...! Kau harus menikmati seperti apa yang
kurasakan! Ooh, berdirilah,
Sayang...! Aku ganti akan
melambungkan jiwamu
ke langit-langit asmara...."
Suto Sinting
bangkit berdiri, bersandar pada batu setinggi perut.
Andani lebih dulu
menerjang bibir Suto. Bibir itu dilumat hingga
lama, dan gairah
Suto menjadi berkobar-kobar. Lalu, lidah Andani
pun menyusuri dagu,
hingga mencapai leher. Di sana ia memagut-
magut lembut,
menimbulkan rasa syur di hati Suto Sinting.
Gerakan bibir itu
makin lama semakin liar. Pagutan Andani bagai
seekor singa yang
buas. Dada Suto pun menjadi sasaran berikutnya.
Andani bagai
seorang bayi yang kehausan dan rakus. Suto Sinting
bagai seorang ibu
yang membiarkan bayinya minum dengan sepuas-
puasnya, ia hanya
mengusap-usap kepala perempuan itu sambil
sesekali meremas
karena menahan desiran kenikmatan.
Akhirnya ciuman
Andani turun terus ke bawah dan perempuan itu
menemukan pusat
keindahan Suto. Ia meremasnya dengan kepala
mendongak ke atas,
menyunggingkan senyum kegirangannya.
Namun baru saja
Andani ingin berlutut, tiba-tiba gua itu terasa
bergetar. Suara
gemuruh terdengar samar-samar bagai datang dari
luar gua. Mereka
sama-sama terkejut, bahkan Andani segera bangkit
dan terduduk dengan
mata melebar memandang Suto Sinting.
"Ada apa
itu?!"
"Entahlah!
Sepertinya terjadi ledakan dahsyat di atas tebing ini."
Gleeerrr...!
Gua berguncang
semakin hebat. Langit-langit gua bagaikan mau
runtuh. Mau tak mau
Andani dan Suto Sinting sama-sama bergegas
mengenakan
pakaiannya kembali.
"Jika
langit-langit gua ini runtuh, kita bisa mati tertimbun di sini!"
ujar Pendekar Mabuk
sambil berkemas untuk keluar dari gua.
"Suto,
tunggu...!" Andani terburu-buru mengenakan pakaiannya.
Kemudian ia
menyusul Pendekar Mabuk yang sudah berada di mulut
gua.
"Kita periksa
dulu apa yangterjadi di atas tebing ini!" ujar Andani
dengan penuh
semangat. Kemudian mereka berdua melesat
tinggalkan gua itu
dan mendaki tebing dengan cara melompat
bagaikan seekor
tupai.
Tab, tab, tab, tab,
tab...!
Dalam sekejap saja
mereka sudah sampai ke atas tebing. Ternyata
bagian atas tebing
itu merupakan tempat yang jarang ditumbuhi
pohon dan banyak
bebatuan yang berserakan di sana-sini dalam
ketinggian
masing-masing. Ada yang tingginya seukuran tinggi
tubuh Suto, tapi
ada pula yang dua kali tinggi ukuran tubuh Suto.
"Akutak
melihat ada pertarungan di sini!" ujar Andani.
"Coba kita
cari di sebelah sana!" sambil Suto mendahului
bergerak ke arah
yang dimaksud.
*
* *
6
DUGAAN Suto benar.
Di tempat yang tampak masih
mengepulkan asap
itu terjadi pertarungan. Namun agaknya
pertarungan itu
sangat tak seimbang.
Pendekar Mabuk
terkejut ketika melihat siapa yang bertarung di
situ. Seorang
perempuan berusia sekitar dua puluh lima tahun
melawan seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh tahun.
Perempuan yang
tampak masih lajang itu sangat berang kepada si
pemuda yang
mengenakan baju kuning dan celana hitam berikat
kepala kuning
merah. Pemuda bertubuh tak terlalu kurus itu
mempunyai kulit
gelap dan wajahnya masih kelihatan polos.
"Mahesa
Gibas...?!" Suto Sinting nyaris terpekik begitu
mengenali pemuda
itu.
Mahesa Gibas sedang
diserang oleh perempuan muda yang
berpakaian serba
merah itu. Tendangan si perempuan kenai
punggung Mahesa
Gibas, membuat pemuda itu terpental dan
berjungklr balik.
"Edan! Tentu
saja ia dapat menghajar Mahesa Gibas, karena
Mahesa Gibas tak
mempunyai ilmu yang cukup. Akulah
tandingannya!"
ujar Suto Sinting sambil ingin melompat dari balik
semak. Tapi
tangannya segera dicekal oleh Andani.
"Tak perlu ke
sana. Aku tahu perempuan itu adalah orang
Tanjung Leak, murid
si Gincu Barong!"
"Tapitemanku
itu akan celaka jika dibiarkan saja!"
"Akan
kuselesaikan dari sini demi temanmu!"
Andani membuktikan
kata-katanya, ia melepaskan pukulan jarak
jauh berupa sinar
merah seperti ujung tombak yang keluar dari ujung
telapak tangannya.
Clapp...! Satu sinar merah terbang cepat dan
dengan telak
menghantam tubuh perempuan berpakaian serba merah
yang sedang ingin
menerjang Mahesa Gibas dengan lompatannya itu.
Blarrr...!
Mahesa Gibas
terperangah dan memekik kaget, ia melihat
lawannya pecah
menjadi beberapa bagian akibat dihantam sinar
merah tadi. Nasib
perempuan itu seperti yang dialami Singaloya.
Menyedihkan,
sekaligus mengerikan. Mahesa Gibas mematung di
tempat karena
dicekam perasaan kaget yang mengerikan.
"Beres,
kan?!" ujar Andani sambil tersenyum pandangi Suto.
"Seharusnya
kau tak perlu gunakan jurus mautmu itu."
"Sudahlah,
jangan mengecam! Hampiri temanmu itu!"
Pendekar Mabuk pun
segera hampiri Mahesa Gibas, sedangkan
Andani masih tetap
di balik semak-semak.
"Mahesa...!"
sapa Suto Sinting.
"Haah...?!
Sutooo?!" Mahesa Gibas makin terperangah, bahkan
sempat terpekik
keras karena girangnya. Ia pun berlari dan
menghamburkan
pelukan kepada Suto Sinting.
"Sutoo... ooh,
untung aku bisa bertemu denganmu lagi. Jika tidak,
aku tak tahu
seperti apa nasibku nanti. Mungkin aku akan bunuh diri
di bawah pohon
toge!" pemuda ituterharu dalam kegembiraannya.
"Di mana
Perawan Sinting?"
"Aku tak tahu.
Aku tak bertemu dengannya. Aku justru bertemu
dengan perempuan
itu."
"Mengapa kau
dihajar oleh perempuan Itu?"
"Dia... dia
ingin minta dicumbu. Ak... aku sudah mencumbunya.
Tapi dia minta
lebih dari sekadar dicumbu. Aku tak mau, karena
hatiku sedang sedih
dan bingung memikirkan nasib kita. Rupanya
perempuan itu
marah, ia menunjukkan kehebatan ilmunya dengan
menghantam pohon
besar itu yang langsung meledak dan menjadi
serpihan kayu
seperti yang kau lihat itu...."
Pendekar Mabuk
memperhatikan serpihan kayu yang berceceran
ke berbagai arah.
Rupanya ledakan itulah yangtadi mengguncangkan
hingga terasa
sampai di dalam gua.
"Dia
menakut-nakutiku dengan cara begitu. Tapi aku tetap tidak
mau memberikan
kenikmatan yang dimintanya."
"Kenapa tak
kau layani saja?" pancing Suto.
"Aku... aku
tidak punya kemampuan, karena hatiku masih gelisah
dan memikirkan kau
serta Perawan Sinting. Apa yang ia harapkan
tak bisa bangun,
sehingga ia semakin marah padaku, lalu aku
dihajarnya...,"
sambil ia menunjukkan wajahnya yang babak belur.
Pendekar Mabuk
justru tertawa melihat Mahesa Gibas bonyok
begitu.
"Kasihan.
Minumlah tuakku ini!"
Mahesa Gibas
buru-buru meminum tuak, dan rasa sakit dan luka-
lukanya segera
hilang dalam waktu singkat.
"Padahal kalau
aku mau melayaninya, aku akan diajak menemui
gurunya dan akan
dijadikan murid si guru itu," kata Mahesa Gibas.
"Siapa guru
yang dimaksud itu?"
"Kalau tak
salah ia menyebutkan Nyai Gincu Barong."
"Hmmm... kalau
begitu apa kata Andani memang benar. Dia
orangTanjung Leak,
anak buah Nyai Gincu Barong."
"Andani? Siapa
Andani itu, Suto?!"
"Seorang teman
baru. O, ya... Ikut aku, Mahesa! Kukenalkan kau
kepada
Andani!"
Sambil melangkah
menuju balik semak tempat Andani
bersembunyi, Mahesa
Gibas bercerita tentang saat-saat ia terdampar
di sebuah pantai
dalam keadaan terjepit karang. Untung ia berhasil
melepaskan diri
dari jepitan karang itu walau siku dan pahanya
sempat robek.Tapi
luka itu kinitelah tiada sejak meminumtuak Suto
tadi.
Pendekar Mabuk
berseru sebelum mencapai semak-semak.
"Andani...!
Keluarlah,temanku ini ingin berkenalan denganmu!"
Tetapi Andani tak
menjawab. Bahkan Suto Sinting tak melihat
ada gerakan di
balik semak-semak itu. Mahesa Gibas pun diajak
menerobos semak
untuk menemui Andani. Tetapi Andani tidak ada
di tempatnya
semula.
"Andani...?!
Andani...!!" seru Suto sambil memandang ke sana-
sini.
"Andani
ituperempuan atau lelaki, Suto?"
"Perempuan
cantik dan bertubuh mulus menggairahkan. Kaupasti
akan suka
memandanginya."
"Jika
dibandingkan kecantikan Perawan Sinting, mana yang lebih
unggul?"
"Keduanya
sama-sama cantik. Tapi... terus terang aku lebih suka
Perawan Sinting.
Hmmm... di mana si Andani tadi!" Suto pun
berseru kembali
sambil badannya memutar pelan-pelan.
"Andanii...?!
Hai, di mana kau, Andani?!"
Tetap saja tak ada
jawaban. Pendekar Mabuk terpaksa mencarinya
di sekitar tempat
itu. Mahesa Gibas diam menungu sambil clingak-
clinguk.
Kejap kemudian
Pendekar Mabuk kembali dekati Mahesa Gibas
dengan napas
terhempas. Mahesa Gibas memandang dengan dahi
berkerut.
"Manatemanmu
itu, Suto?"
"Entahlah.
Tadi dia ada di sini. Mengapa sekarang pergi?"
Suto pun membatin,
"Apakah dia sengaja menghindariku? Atau
karena ia melihat
lawannya dan segera kabur?! Hmmm... ke mana si
Andani? Oh, ya...
mungkin ia kembali ke gua dan menungguku di
sana."
Mahesa Gibas segera
berkata, "Suto, kata Tunawi, perempuan
yang ingin
memperkosaku tadi, di tempat ini ada sekelompok
manusia pemakan
orang. Mereka tinggal di padepokan dan
mempunyai perguruan
sendiri yang bernama Perguruan Pantai
Porong!
Hati-hatilah jika kau bertemu dengan orang Perguruan
Pantai
Porong."
"Ah, siapa
bilang?!"
"Tunawi! Orang
Pantai Porong katanya selalu bersikap baik lebih
dulu. Tapi pada
akhirnya kita akan disembelih seperti kambing dan
dimakan
mentah-mentah!"
"Tunawi
berbohong! Justru aku diselamatkan dan ditolong oleh
orang-orang
Perguruan Pantai Porong! Aku kenal mereka dan aku
ada di pihak
mereka."
"Lho, tapi
kenapa Tunawi berkata begitu?"
"Tentu saja
Tunawi berkata begitu. Karena Tunawi orangTanjung
Leak. Ketahuilah,
Mahesa... orangTanjung Leak sedang bermusuhan
dengan orangPantai
Porong."
Mahesa Gibas
menggumam. "Lalu, bagaimana dengan rencana
kita? Sang Adipati
pasti menunggu hasil kerja kita. Beliau tak mau
kehilangan
menantunya; Rama Jiwana itu."
"Kita memang
akan lanjutkan perjalanan. Tapi kudengar negeri
Samudera Kubur
telah hancur dan si Bayangan Setan sudah tidak
tinggal di Pulau
Blacan lagi."
"Ah, kata
siapa?!" Mahesa bersungut-sungut. "Baru beberapa hari
yang lalu dia
menyerang kadipaten dan menyuruh anak buahnya
pulang ke Samudera
Kubur, kenapa sekarang kau bilang Samudera
Kubur telah hancur?
Si Bayangan Setan itu bukan orang yang mudah
dilumpuhkan,
Suto."
"Aku pun
sependapat denganmu. Tapi keterangan ini kudapatkan
dari orang yang
bisa kupercaya juga, yaitu ketua Perguruan Pantai
Porong yang bernama
Eyang Panembahan Pancalingga. Dia tak
mungkin berkata
bohong, Mahesa. Bahkan menurutnya, kehancuran
Samudera Kubur
terjadi delapantahun yang lalu."
"Semakin tak
masuk akal!" gumam Mahesa Gibas dengan
lagaknya yang sok
tahu. "Sudah, tak perlu hiraukan kata-kata itu.
Sekarang sebaiknya
kita cari perahu baru untuk lanjutkan perjalanan
ke Pulau
Blacan!"
"Nanti dulu.
Aku harus temukan Perawan Sinting dulu. Aku harus
tahu bagaimana
nasibnya. Aku tak mau meninggalkan Perawan
Sinting sebelum
kuketahui nasibnya! Dan lagi...."
Kata-kata Suto
terhenti oleh suara ledakan yang menggelegar di
sebelah barat, ia
dan Mahesa Gibas saling pandang dengan sedikit
tegang.
"Ada
pertarungan di sana!"
Mahesa Gibas
menimpali, "Ya. Jangan-jangan si Perawan Sinting
yang bertarung
dengan orangTanjung Leak?!"
"Celaka! Aku
harus segera ke sana!"
Zlappp...!
"Heii...!
Tunggu aku, Suto!"
Mahesa Gibas tertinggal
karena Suto menggunakan jurus 'Gerak
Siluman'. Mau tidak
mau Suto hentikan langkah dan harus
menyesuaikan
gerakan Mahesa Gibas, karena ia tak mau kehilangan
teman satu
pemberangkatan itu.
Ternyata
pertarungan itu terjadi antara Mahayuni dan dua orang
berpakaian serba
hitam. Dua lelaki berpakaian serba hitam itu
mengenakan ikat
kepala merah dan yang satunya hijau. Mereka
berbadan kekar dan
tinggi, usia mereka rata-rata sekitar tiga puluh
tahunan.
Mahayuni tampak
terdesak oleh tendangan si ikat kepala hijau itu.
Tendangan itu
sangat cepat datangnya, seakan seperti angin yang tak
dapat dilihat.
Mahayuni berusaha
menangkisnya beberapa kali, tapi akhirnya
dadanya menjadi
sasaran empuk kaki tersebut. Druk, duk...!
"Aahk...!"
Mahayuni terlempar ke belakang dalam keadaan
melayang. Brruk...!
Ia jatuh terbanting begitu saja.
Sementara lelaki
berikat kepala merah melepaskan pukulan jarak
jauhnya yang
bersinar merah dengan asap tipis menyertainya.
Weesss...!
Pada saat itu,
Mahayuni baru saja akan bangkit. Tiba-tiba ia harus
menghadapi sinar
merah yang sudah ada di depan matanya.
Mahayunitak punya
waktu untuk berkelit atau menangkisnya.
Blarrr...!
Sinar merah itu
pecah dan timbulkan ledakan yang melemparkan
tubuh Mahayuni
lagi. Seandainya tak ada sinar hijau dari arah kiri
yang menghantam
sinar merah itu, sudah pasti Mahayuni akan
kehilangan
nyawanya. Tetapi dengan munculnya sinar hijau yang
menghantam sinar
merah itu, Mahayuni hanya terlempar ke belakang
dan
berguling-guling beberapa saat.
"Keparat! Ada
yang mau ikut campur urusan kita, Bedana!"
geram lelaki
berikat kepala merah kepada lelaki berikat kepala hijau
yangternyata
bernama Bedana itu.
"Serang dia,
dan aku akan menyerang perempuan kotor itu,
Gambra!" seru
si ikat kepala hijau kepada yang berikat kepala merah,
yangternyata
bernama Gambra itu.
Bedana segera
mencabut goloknya dan lakukan lompatan bersalto
beberapa kali untuk
dekati Mahayuni. Sementara itu, Gambra
melepaskan sinar
merahnya lagi ke arah kerimbunan semak. Clapp...!
Namun pada saat itu
Pendekar Mabuk muncul dengan bumbung
tuak telah berada
di tangan. Wess...! Satu lompatan Suto membuat
sinar merah itu
segera menghantam bumbung tuak yang dipakai
untuk menangkis.
Tubbs, weng...!
Sinar merah itu berbalik arah dalam keadaan
lebih besar dan lebih
cepat. Sementara itu, bumbung tuak Suto tidak
mengalami cedera
atau lecet sedikit pun.
Gambra terkejut
melihat sinar merahnya menuju ke arahnya
dalam keadaan lebih
besar dan lebih cepat, ia terpaksa melompat
tinggi dan bersalto
di udara. Wess...!
Sinar merah itu
memang tak jadi kenai tubuh Gambra. Namun
sinar merah besar
itu meluncur terus ke belakang Gambra di mana
Bedana sedang ingin
mengibaskan goloknya ke kepala Mahayuni.
Pada saat itulah,
sinar merah tersebut menghantam punggung
Bedana. Jedarrr...!
"Aaaaa...!!"
Bedana menjerit sekeras-kerasnya, ia berlari ke sana-
sini dalam kedaan
tubuhnya dibungkus api. Rupanya sinar merah
dari Gambra adalah
sihar pembakar tubuh yang mestinya hanya
membuat lawan
hangus bagian dalamnya. Tapi karena sinar merah
itu menjadi lebih
besar dua kali lipat, maka akhirnya sinar merah itu
bukan saja membakar
bagian dalam tubuh Bedana, namun juga
membakar sekujur
tubuhnya.
"Bedana...?!!"
teriak Gambra dengan tegang, ia sangat terkejut
melihat temannya
terbungkus api sebesar itu. Ia kebingungan
memadamkannya,
sementara Bedana berguling-guling di rerumputan
dengan jeritan yang
menyayat hati.
"Kasihan...!"
gumam Suto Sinting. Lalu, tuak pun ditenggaknya.
Sebagian ditelan,
sebagian lagi disimpan dalam mulut.
Zlapp...!
Dengan gerakan
cepat, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di
dekat Bedana yang
meraung-raung. Tuak dalam mulut itu segera
disemburkan untuk
padamkan kobaran api. Api padam seketika. Tapi
tubuh Bedana sudah
telanjur hangus, ia menghabiskan sisa napasnya
sebentar, kemudian
tak berkutik lagi selama-lamanya. Gambra
memekik keras penuh
murka melihat temannya tewas. Pekikan keras
itu merupakan
ungkapan rasa penyesalannya terhadap serangannya
tadi yang akhirnya
kenai teman sendiri, dan juga ungkapan
kemarahannya kepada
Suto Sinting.
"Kau telah
membunuh temanku, Bangsaaat...! Heeeaaahh...!"
Gambra melompat
sambil cabut goloknya. Golok itu ditebaskan ke
arah dada Suto
Sinting. Wuuttt....
Suto Sinting
menangkisnya dengan bumbung tuak. Trrang...! Tapi
dari arah samping
kanan Gambra, melesat sinar biru kecil yang
langsung menghantam
pinggang lelaki itu. Clapp...! Jrass...!
"Aaahk...!"
Gambra memekik sambil tumbang ke tanah. Sinar
yang datang dari
Mahayuni itu membuat pinggangnya hangus dan
seluruh badannya
terasa mengering.
"Bangsat! Awas
kalian nanti! Aku akan datang lagi menuntut
balas. Tunggu
saatnya yangterbaik!"
Gambra akhirnya
larikan diri. Ia tak sanggup melawan Mahayuni
dan Pendekar Mabuk
dalam keadaan terluka begitu. Mahayuni mau
mengejar dan
melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari jarak jauh.
Tapi Pendekar Mabuk
segera merentangkan tangan dan berseru
kepada Mahayuni.
"Tahan!"
Ia mendekati perempuan yang tak jadi lepaskan
pukulannya itu.
"Dia sudah
lemah. Tak perlu diserang lagi!"
"Tapi dia
mengancam ingin membalas kekalahannya ini!"
"Biar akuyang
berurusan dengannya nanti," ujar Suto Sinting.
*
* *
7
PENDEKAR Mabuk dan
Mahesa Gibas dibawa ke padepokan
oleh Mahayuni.
Orang-orang padepokan yang sedang mencari Suto
Sinting ditarik
kembali. Mereka diperintahkan untuk melakukan
penjagaan lebih
kuat lagi, karena orang-orang Tanjung Leak
tampaknya semakin
gencar lagi lakukan penyerangan secara
bertahap.
Suto ceritakan
pertemuannya dengan perempuan cantik yang
bernama Andani.
Tapi Eyang Panembahan dan para muridnya tak
ada yang pernah
mengenal nama Andani.
"Di seluruh
Pantai Porong dan sekitarnya, tak ada wanita yang
bernama Andani
dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi," kata
EyangPanembahan.
"Kurasa dia bukan orang sini."
"Tapi mengapa
memihak kita, Eyang? Dia membunuh dua orang
Tanjung Leak;
pertama Singaloya dan kedua perempuan yang
hendak membunuh
Mahesa Gibas itu!" ujar Suto.
"Berarti kita
punya satu kekuatan lagi untuk melawan Nyai Gincu
Barong," sela
Mahayuni.
Si kecil Rahisan
menyahut, "Jangan buru-buru menilai begitu.
Siapa tahu dia
lakukan hal itu semata-mata hanya ingin dipuji oleh
Suto? Biasa, cari
perhatian!"
Percakapan malam
itu terhenti seketika karena kemunculan
seorang murid yang
bernama Argayosan. Ia adalah mata-mata yang
ditugaskan menyusup
ke Tanjung Leak dan mempelajari kekuatan
serta
rencana-rencana Nyai Gincu Barong. Kedatangan Argayosan
disambut baik oleh
Eyang Panembahan. Hampir seluruh murid
berkumpul mendekati
Argayosan untuk mendengar kabar yang
dibawanya.
"Kabar apa
yang kau peroleh dari Tanjung Leak, Argayosan?"
tanya Eyang
Panembahan kepada pemuda berambut ikal dan
berpakaian abu-abu
itu.
"Nyai Gincu
Barong murka, Eyang. Dua orangnya ditemukan
tewas dalam keadaan
pecah raganya. Salah satu orang yang tewas itu
adalah Singaloya,
orang andalan sang Nyai sendiri. Maka Nyai pun
merencanakan akan
menyerang kita esok siang dari arah timur!"
jawab Argayosan
dengan wajah masih agak tegang.
"Tapi mereka
yang tewas dengan raga terpisah itu bukan oleh
perbuatan
orang-orang kita, Argayosan."
"Nyai Gincu
Barong tak mungkin mau percaya, Eyang, ia tetap
saja menuduh pihak
kita yang melakukannya."
"Hmmm...,"
Eyang Panembahan manggut-manggut sambil
menggumam.
"Jadi ia akan menyerang dari timur esok siang?"
"Benar, Eyang.
Terutama setelah menggantung tawanannya pagi
hari."
"O, Gincu
Barong punya tawanan?! Apakah tawanan itu dari
pihak kita?"
"Bukan,
Eyang," jawab Argayosan dengan tegas. "Saya yakin dia
bukan orang kita,
Eyang. Saya sendiri merasa asing melihat
perempuan
itu."
"Seorang
perempuankah tawanan itu?"
"Benar, Eyang.
Tapi Nyai Gincu Barong tetap menuduh
perempuan itu
orangnya kita, Eyang. Perempuan itu dituduh sebagai
mata-mata dari
pihak kita, sehingga disiksa sedemikian rupa agar
mengaku. Tapi
perempuan itu tetap mengaku bukan orangPerguruan
Pantai Porong dan
tidak mengenai Eyang Panembahan Pancalingga
serta yang
lainnya."
Pendekar Mabuk
termenung, sebentar. Dahinya mulai berkerut
begitu mendengar
tawanan perempuan itu mengaku tidak mengenal
EyangPanembahan dan
yang lainnya. Mulailah timbul kecurigaan di
hati Pendekar
Mabuk, hingga ia beranikan diri untuk ajukan tanya
kepada Argayosan.
"Siapa nama
perempuan itu?"
"Kudengar ia
mengaku bernama Perawan Sinting."
"Hahh...?!"
Wajah si Pendekar
Mabuk menjadi merah seketika. Mahesa Gibas
hanya mendelik dan
membuka mulutnya. Mahayuni saling pandang
dengan Rahisan,
sementara Eyang Panembahan Pancalingga hanya
menarik napas
sebagai ungkapan rasa kagetnya.
"Eyang,"
kata Suto Sinting. "Sekarang juga aku akan pamit pergi
ke Tanjung
Leak!"
"Jangan
sekarang, Nak Mas Pendekar."
"Akutidak
ingin temanku itu mati di tangan Nyai Gincu Barong."
"Benar. Aku
pun tak ingin Perawan Sinting, temanmu itu menjadi
korban kebrutalan
si Gincu Barong. Tetapi ada saatnya sendiri untuk
melakukan
pembebasan itu. Malam ini bukan saat yang baik. Banyak
rintangannya.
Karena pada malam hari tentunya pihak Tanjung Leak
mempertinggi
penjagaan keamanan mereka. Tentunya keamanan itu
dilakukan secara
berlapis-lapis, dan mereka yang berjaga-jaga dalam
keadaan waspada
tinggi pula. Tapi jika menjelang fajar tiba,
pertahanan mereka
akan mulai mengendur. Kurasa kita bisa
melumpuhkan mereka
dengan mudah di saat mereka dihinggapi
kelelahan dan rasa
kantuk."
Mahayuni menimpali,
"Aku setuju untuk lakukan penyerangan
menjelang fajar
tiba. Akan kubawa beberapa orang kami yangpandai
lakukan penyusupan,
termasuk Argayosan sendiri."
Pendekar Mabuk
mendesah karena gelisah. Bayangan Perawan
Sinting dalam
keadaan tersiksa semakin muncul di benaknya dan
membuat Pendekar
Mabuk bertambah tak sabar lagi untuk menunggu
sampai menjelang
fajar. Sekalipun EyangPanembahan sudah berikan
penjelasan dan
bujukan macam-macam, tapi kegelisahan itu tak bisa
hilang dari hati
Pendekar Mabuk, ia tak rela jika sampai Perawan
Sinting mati di
tangan Nyai Gincu Barong.
Maka setelah lewat
tengah malam, Suto Sinting nekat keluar dari
padepokan dengan
cara mengendap-endap. Tanpa pamit siapa pun,
tanpa diketahui
oleh siapa pun, ia melesat pergi menuju Tanjung
Leak. Sebelumnya ia
sudah lakukan percakapan empat mata dengan
Argayosan tentang
keadaan di Tanjung Leak, termasuk tempat-
tempat rawan yang
mudah diterobos, dan tempat di mana Perawan
Sinting ditawan.
Argayosan menjelaskan segalanya, tapi ia juga
mengingatkan agar
Suto Sinting menuruti saran Eyang Panembahan.
Suto berlagak
setuju dengan saran tersebut, agar tidak timbulkan
perdebatan terlalu
lama.
Karenanya, ketika
ia pergi meninggalkan padepokan menuju
Tanjung Leak, ia
sudah tahu jalan mana yang harus diambilnya agar
sampai ke Tanjung
Leak. Pada waktu ia meninggalkan padepokan,
sang rembulan masih
tersisa di langit, hingga cahayanya cukup
lumayan untuk
menjadi penerang jalan.
Zlaap, zlaap,
zlaap...! Gerakan Suto seperti anak panah menerabas
semak dedaunan.
Kecepatan geraknya memang luar biasa. Dalam
waktu tak terlalu
lama, ia akan sampai di perbatasan Tanjung Leak.
Tetapi sebelumnya,
langkah itu terpaksa dihentikan karena mata
Suto melihat
bayangan yang bergerak di sela-sela pepohonan
samping kanannya,
ia segera merunduk, sembunyikan diri dan
memperhatikan
bayangan yang bergerak di bawah pohon dalam
keremangan cahaya
rembulan yangterhalang dedaunan itu.
"Sepertinya
aku pernah melihat perempuan itu?!" pikir Suto
Sinting.
"Hmmm... coba kulihat lebih dekat lagi. Apa yang dilakukan
perempuan itu di
sana?"
Bayangan itu memang
bayangan seorang perempuan yang
mempunyai rambut
panjang terurai, tapi tak jelas wajah dan
pakaiannya.
Perempuan itu sedang melakukan kegiatan di bawah
pohon, sepertinya
sedang menikmati hidangan yang menggairahkan.
Ketika Pendekar
Mabuk berhasil melesat ke atas pohon tanpa
suara, dan ia
melompat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu
peringan tubuhnya,
maka sampailah ia di tempat yang paling dekat
dengan perempuan
itu. Ia memandang dengan jelas apa yang
dilakukan oleh si
perempuan, dan ia pun tahu siapa perempuan itu
sebenarnya.
Pendekar Mabuk
terkejut dan menggumamkan nama dalam hati,
"Andani...?!"
Matanya tak mau berkedip melihat apa yang dilakukan
oleh Andani. Justru
apa yang dilakukan Andani itulah yang membuat
Suto Sinting
semakin terkejut dan nyaris ingin terpekik dengan suara
keras.
"Ooh...?!"
Pendekar Mabuk menutup mulutnya sendiri agar tak
timbulkan suara.
Namun sekujur tubuhnya menjadi gemetar melihat
pemandangan yang
mengerikan itu.
Rupanya Andani
bertemu dengan seorang lelaki yang berusia
sekitar tiga puluh
tahun. Lelaki itu kini dalam keadaan terbaring
tanpa busana.
Agaknya Andani habis bercumbu dengan lelaki itu dan
menikmati puncak
kemesraan secara bersama-sama.
Tetapi yang membuat
Suto hampir muntah adalah tindakan
Andani berikutnya.
Entah bagaimana caranya, lelaki yang telah
dijadikan pemuas
dahaga itu dibunuh oleh Andani. Lelaki itu bukan
hanya dibunuh saja,
melainkan juga dimakan secara rakus. Pendekar
Mabuk tak berani
menggambarkan bagaimana caranya Andani
menggigit bagian
perut lelaki itu, dan bahkan tampaknya Andani
juga memakan 'jimat
kejantanan' lelaki tersebut dengan lahapnya.
Tentu saja hal itu
membuat sekujur tubuh Suto merinding dan
gemetar.
"Tak kusangka
dia seorang perempuan pemakan daging
manusia?!"
gumam hati Suto bernada tegang. "Oh, seandainya pada
waktu di dalam gua
itu aku jadi berkencan dengannya, mungkin
setelah ia
memperoleh kepuasan maka aku akan dimakannya seperti
lelaki itu?
Hiih...! Cantik-cantik tapi menyeramkan sekali
kegemarannya."
Pendekar Mabuk tak
berani terlalu lama menyaksikan, adegan
mengerikan itu. Ia
segera tinggalkan Andani dengan tanpa timbulkan
suara. Untuk
sementara Andani dilupakan. Suto lebih memusatkan
perhatiannya kepada
nasib Perawan Sinting di tangan Nyai Gincu
Barong.
Saat mendekati
perbatasan Tanjung Leak, tiba-tiba seberkas sinar
biru melesat dari
arah depan Suto. Mau tak mau gerakan Suto
dihentikan dan
sinar itu segera ditangkis dengan bumbung tuaknya.
Claap...!
Buuuss...!
Sinar itu tidak
timbulkan ledakan apa pun, juga tidak memantul
balik ke arah
semula. Sinar biru itu hanya meletup kecil dan
menyemburkan asap
abu-abu.
"Hmm... siapa
orangnya yang menyerangku dari depan saja?!
Pasti dia berilmu
tinggi, karena serangannya tak bisa
dipantulbalikkan
oleh bumbung tuakku ini!" pikir Suto Sinting
dengan mata
memandang tajam. Keremangan cahaya rembulan
membuat pandangan
tak mampu menembus kejauhan. Pendekar
Mabuk akhirnya
melesat ke atas pohon dan mengintai dari sana.
Wuuutt...!
Weesss..!
Sekelebat bayangan
datang dari arah depan. Seseorang yang
berkelebat sangat
cepat itu hanya bisa dilihat seperti bayangan merah
yang melintas di
bawah pohon tempat persembunyian Suto Sinting.
Mau tak
maupandangan Suto mengikuti bayangan merah tersebut.
"Pasti dialah
orangnya yang melepaskan sinar biru tadi," ujarnya
membatin.
Semula Suto ingin membiarkan
orang itu lewat begitu saja. Ia
ingin teruskan
langkahnya menuju gerbang Tanjung Leak. Tetapi
ketika ia bergerak
kembali, ternyata bayangan merah itu telah
berbalik arah.
Mungkin karena tak menemukan Suto di tempat yang
dituju, orang itu
kembali ke tempat semula dan pada saat itu Suto
Sinting mendengar
desau angin yang mencurigakan, ia segera
berbalik, dan
akhirnya berpapasan dengan orang berpakaian serba
merah itu.
"Oh, rupanya
kau sudah ada di sini, Penyusup!" geram orang
brewok berkepala
botak dengan pakaian serba merah. Orang itu
bertubuh tinggi,
besar, dan berwajah angker.
"Siapa yang
menyuruhmu malam-malam begini berkeliaran di
perbatasan Tanjung
Leak, hah?!" bentak orang itu menampakkan
kegalakannya.
Pendekar Mabuk tetap tenang, sempat melirik
sekelilingnya. O,
ternyata orang itu sendirian.
"Aku ingin
bertemu dengan Nyai Gincu Barong!"
"Mau apa kau
bertemu dengan Guru malam-malam begini?!"
"Menantang
pertarungan dengannya!" tegas Suto Sinting tanpa
basa-basi lagi,
karena di benaknya terbayang keadaan Perawan
Sinting yang
tersiksa seperti yang diceritakan Argayosan itu.
"Manusia
jahanam! Ngelunjak sekali kau, malam-malam
menantang guruku?!
Itu sama saja kau ingin membedah dadaku,
tahu?!" bentak
orang bersenjata golok besar itu.
"Kalau kau
mengartikan begitu, terserah! Kurasa kalau memang
kau minta dibedah
dadamu, aku tak keberatan menjadi juru
bedahnya!"
kata Suto tetap kalem, namun kata-katanya sengaja
memancing emosi
lawan.
Orang brewok
berbadan besar itu menggeram. Matanya yang
lebar semakin lebar
ketika ia melotot menampakkan kemarahannya.
Pendekar Mabuk
hanya melangkah ke samping dengan pandangan
mata tak pernah
berkedip.
"Bocah' urap!
Rupanya kau belum tahu siapa si Bagolo ini, hah?!"
Buuhk, buhk...! Ia
menepuk dadanya sendiri. Pendekar Mabuk
justru sunggingkan
senyum tipis dan membatin, "Oo... namanya
Bagolo?! Nama yang
lucu menurut telingaku! Tapi sesuai dengan
perawakannya
yangtinggi besar itu."
"Sebaiknya
urungkan saja niatmu dan kuberi kebijaksanaan agar
kau pulang saja.
Jangan sampai murkaku tak terbendung lagi di
depanmu, Anak muda!
Kau bisa kehilangan nyawa dalam tiga
kedipan saja!"
ujar Bagolo dengan suaranya yang besar
menyeramkan itu.
"Aku sudah
siap kehilangan nyawa! Aku akan pulang kalau
temanku
yangkaliantawan itu dibebaskan!"
"O, jadi kau
teman si perempuan liar bernama Perawan Sinting
itu?!"
"Benar! Dan
akumenuntut pembebasan atas dirinya!"
"Kalau begitu
tak ada salahnya jika sebelum kau bikin onar, lebih
baik kucabut
nyawamu sekarang juga! Heeeaah...!"
Bagolo tiba-tiba
menerjang tanpa diketahui kapan bergeraknya.
Brruusk...!
Pendekar Mabuk menggeragap dan terpental lima
langkah dari
tempatnya semula. Dadanya terasa mau jebol akibat
terkena lutut
Bagolo saat menerjang tadi. Bukan saja panas, namun
juga sakit sekali
dipakai untuk bernapas.
Pendekar Mabuk
mencoba bertahan dalam keadaan terluka dalam,
ia bangkit kembali
pada saat Bagolo mengayunkan golok besarnya
ke arah kepala
Suto. Wuuut...! Zlaap...! Pendekar Mabuk bagaikan
menghilang ditelan
bumi. Lenyap begitu saja, sehingga golok besar
itu tak mengenai
sasaran apa pun. Bagolo kebingungan sesaat
mencari lawannya.
"Aku di sini,
Kawan!"
Bagolo kaget
mendengar suara itu dan buru-buru berpaling ke
belakang. Tapi
tepat ia berpaling, kaki Suto berkelebat cepat
melepaskan jurus
tendangan mabuk yang sukar dihindari. Beet....!
Prrok...!
"Ouhff...!"
Bagolo terpental, wajahnya menjadi sasaran telak
tendangan Suto
Sinting itu.
Sesaat setelah
berguling-guling di tanah, Bagolo bangkit dengan
satu kaki berlutut,
kemudian tangan kirinya menyentak ke depan.
"Heaaah...!"
Weess...! Seberkas
sinar biru seperti tadi melesat menghantam
dada Suto Sinting.
Namun sebelum sinar itu kenai dada Suto, lebih
dulu kaki Suto
menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara
dengan cepat. Wuuukk...!
Tapi tak
disangka-sangka Bagolo juga melesat ke atas menerjang
Pendekar Mabuk
dengan golok segera ditebaskan dari arah samping
kanan ke kiri.
Beet...!
Traang...! Pendekar
Mabuk menangkis tebasan golok dengan
bumbung tuaknya.
Bersamaan dengan itu, kaki Suto menendang
lengan Bagolo dari
bawah. Dess...! Krrak...!
"Ouuh...!"
Bagolo memekik, tulang sikunya bagaikan patah akibat
tendangan tadi.
Goloknya sendiri terpental ke atas. Pendekar Mabuk
segera jejakkan
kaki kanannya saat mereka bergerak turun. Duuhk...!
"Heehg...!"
Bagolo terlempar ke belakang, goloknya melayang
turun dan segera
disambar oleh tangan Suto. Teeb...! Kini golok itu
ada di tangan kiri
Pendekar Mabuk.
Sekalipun Bagolo
terkena tendangan tenaga dalam Suto beberapa
kali, tapi
tampaknya ia tak merasa terlalu kesakitan, ia dapat segera
bangkit dan masih
kelihatan segar. Bahkan kali ini ia lepaskan
pukulan tenaga
dalamnya dari kedua telapak tangan. Pukulan itu
berupa sinar merah
yang terang yang menerjang Suto dengan cepat.
Wuuuss...!
Pendekar Mabuk
terpaksa mengibaskan bumbung tuaknya dalam
satu putaran ke
depan. Wuuuk, blaarr...! Kibasan itu keluarkan
tenaga sakti
tersendiri yang beradu dengan sinar merahnya Bagolo.
Ledakan dahsyat pun
terjadi mengguncangkan tanah dan alam
sekitarnya.
Bagolo dan Pendekar
Mabuk sama-sama terpental ke belakang.
Namun dalam waktu
singkat keduanya sama-sama bangkit kembali.
"Bangsaaat
kau, Bocah urapan! Heeeaaah...!"
Bagolo lakukan
lompatan panjang bagaikan terbang. Kedua
tangannya menyala
merah seperti besi dipanggang api. Kedua tangan
itu menyentak ke
depan dan keluarkan sinar merah runcing bagaikan
tombak. Clap,
clap...!
Zlaap...! Pendekar
Mabuk gunakan jurus 'Gerak Siluman' untuk
pindah tempat.
Tahu-tahu ia sudah berada di samping Bagolo, dan
golok Bagolo yang
ada di tangan kiri Suto itu ditebaskan dalam satu
gerakan melambung
melintasi kepala Bagolo. Wuut, craas, crraas...!
"Aaaah...!"
Bagolo memekik keras dan panjang, karena dalam
waktu sekejap
ternyata kedua lengannya menjadi buntung akibat
tebasan golok di
tangan Pendekar Mabuk tadi.
"Bangkai busuk
kauuu...! Ggrrrmm...!" Bagolo mengerang-
ngerang penuh
luapan murka yang membuatnya panik sekali, ia
pandangi potongan
kedua tangannya yang tergeletak di tanah. Ia
pandangi lengannya
yang buntung, ia menggeram seperti orang mau
menangis.
"Ggrrmm...!
Bagaimana nyambungnya kalau begini, Setaaan...!!
Huuuaaa...!
Tanganku buntung. Huaaa...!" Bagolo benar-benar
menangis seperti
anak kecil.
"Aku hanya
memberi peringatan pada gurumu agar Perawan
Sinting harus
segera dilepaskan. Jika tidak, semua orang Tanjung
Leak akan
kubuntungi sepertimu, Bagolo!"
"Peringatan ya
peringatan, tapi tak usah pakai acara buntung-
buntungan begini!
Huaaa...! Kalau begini, lantas bagaimana nanti
kalau aku mau cuci
muka?! Huaaa...! Kebangetan kau, kebangetan,
huaaa...!"
"Sekarang
pulang dan menghadap gurumu! Sampaikan pesanku,
bahwa Perawan
Sinting harus dibebaskan. Jika tidak, gurumu yang
akan kubuntungi
kepalanya!Paham?!"
"Setan kau!
Huaaa...!"
"Atau kepalamu
yang akan kubuntungi lebih dulu!"
"Jangan!
Huaaa...! Kalau kepalaku kau buntungi, lantas
bagaimana aku bisa
sampaikan pesanmu kepada Guru. Tolol!
Huaaa...
sakit!"
Bagolo masih
berusaha ingin membawa pulang potongan kedua
tangannya itu. Tapi
tak ada kemampuan untuk memegangnya,
sehingga Suto pun
segera berkata dengan tegas.
"Tak perlu kau
bawa potongan itu!"
"Kalau
digondol kucing bagaimana?! Huaaa...! Biar berbulu
begini, tangan ini
sering dipakai untuk mengusap-usap dada si
Darmasih, istri
mudaku!"
"Cepat pulang
dan beri tahukan kepada gurumu!"
"Iyaa...
iyaa...!" Bagolo ketakutan ketika Pendekar Mabuk mulai
angkat golok besar
itu lagi. Bagolo akhirnya berlari meninggalkan
potongan tangannya
sambil berseru dalam tangis.
"Awas kau!
Tunggu pembalasan dari guruku! Bukan tanganmu
yang akan
kubuntungi, tapi nyawamu juga akan dibuntungi. Huaaa...
nasib, nasib.
Huaaa...!"
Pendekar Mabuk
hempaskan napas kelegaan. Golok besar segera
dibuang, ia
menenggak tuaknya untuk obati luka terjangan Bagolo
tadi.
*
* *
8
TANJUNG Leak
menjadi gempar setelah Bagolo tiba di sana
dalam keadaan kedua
tangan buntung. Padahal Bagolo adalah
termasuk orang
andalan Nyai Gincu Barong. Tentu saja sang Nyai
menjadi murka
melihat Bagolo dibuntungi lawan.
"Siapa
yangmelakukannya?!"
"Anak muda,
Guru! Anak muda sekali!" jawab Bagolo sambil
menyeringai antara
sedih dan takut.
Nyai Gincu Barong
yang mengenakan jubah merah hitam
bertepian benang
emas itu menggeletukkan gigi, menahan murka
yang ingin meledak.
Wajahnya yang masih tampak muda seperti
baru berusia tiga
puluh tahunan itu, kelihatan memancarkan api
kemarahan yang
ingin segera dilampiaskan. Dalam hatinya
perempuan berambut
disanggul dengan tubuh sekal dan masih
tampak montok itu
berkata membatin,
"Jika Bagolo
saja berhasil dibuntungi tangannya, berarti anak
muda itu berilmu
lebih tinggi dari Bagolo!"
Saat itu, Bagolo
segera sampaikan pesan Suto Sinting.
"Dia
menghendaki supaya temannya dibebaskan. Gadis yang
mengaku bernama
Perawan Sinting itu adalah teman anak muda itu,
Guru! Dia juga
ingin menantang pertarungan dengan Guru jika
Perawan
Sintingtidak dibebaskan!"
"Keparat!
Berani betul dia sesumbar begitu?!" geram Nyai Gincu
Barong yang
berbibir merah lebar namun mengundang ajakan untuk
bercumbu bagi
lelaki mana pun. Akhirnya Nyai Gincu Barong
merasa gengsinya
jatuh jika tak berani hadapi si anak muda itu. Ia
akan kehilangan
wibawa di depan murid-muridnya jika tak mau
layani tantangan
pertarungan si anak muda itu. Maka dengan suara
keras ia
berserukepada para muridnya.
"Ambil obor,
ikut aku sebagian! Kini akan kuperlihatkan kepada
kalian bagaimana
caranya membalas dendam kepada seseorang yang
telah membuntungi
kedua tangan muridnya!"
Lebih dari dua
puluh orang berbondong-bondong mengikuti
langkah Nyai Gincu
Barong. Di tangan mereka masing-masing
menggenggam obor
yang membuat suasana malam menjadi terang.
Namun ketika mereka
keluar dari pintu gerbang, ternyata seorang
pemuda tampan
berbadan kekar dengan menggantungkan bumbung
tuak di pundak,
telah berdiri menghadang langkah mereka.
"Itu dia
orangnya, Guru!" sentak Bagolo sambil mundur hingga
menginjak kaki
temannya.
"Aduh!
Hati-hati kau, ah!"
Plak...! Temannya
menabok pelan. Tapi karena yang ditabok tepat
bagian yang buntung
dan masih berdarah, maka Bagolo pun menjerit
keras-keras
mengagetkan yang lain.
"Aaooww...!!"
Plook...! Wajahnya
justru ditampar Nyai Gincu Barong yang
sedang memendam
murka, karena teriakan Bagolo juga membuat
tubuh sang Nyai
terlonjak kaget. Tamparan itu ternyata adalah
tamparan bertenaga
dalam. Akibatnya, Bagolo terpelanting jatuh dan
pingsan seketika
dalam keadaan pipinya menjadi hangus.
Sang Nyai segera
pandangi Pendekar Mabuk yang berdiri tegak
dengan kedua kaki
sedikit merenggang. Dalam hati sang Nyai
sempat memuji
ketampanan Pendekar Mabuk yang tak disangka-
sangka itu.
"Setan!
Ternyata kali ini lawanku pemuda ganteng yang bertubuh
kekar dan
menggiurkan seleraku! Aduh, celaka kalau begini! Dia
sangat menawan,
semakin lama dipandang semakin membangkitkan
gairahku. Hmmm...
haruskah kubatalkan pembalasan dendamku ini?
Oh, tidak!
Murid-muridku akan mengancamku jika aku tergiur oleh
ketampanan anak
muda itu. Aku harus tetap membunuhnya agar di
mata orang-orangku
wibawaku masih tetap ada!"
Lalu, sang Nyai
berseru, "Kepung dia!"
Wuurrs...! Beberapa
orang yang menggenggam obor itu segera
mengepung Pendekar
Mabuk. Tangan kiri mereka memegang obor,
tangan kanan mereka
menggenggam senjata masing-masing. Tetapi
sang pendekar
tampan itutetap berpenampilan tenang dan mantap, ia
biarkan mereka
mengepung, ia biarkan Nyai Gincu Barong
mendekat. Tetapi
seluruh inderanya dipasang dan dipekakan supaya
sewaktu-waktu
mendapat serangan dari berbagai arah dapat
dirasakan hembusan
anginnya.
"Kaukah yang
menantang pertarungan denganku, Anak muda?!"
sentak Nyai Gincu
Barong.
"Benar! Aku
memang menantangmu adu nyawa jika Perawan
Sinting tidak kau
bebaskan!" tegas Suto.
"Hmmm...!
Jangan mimpi dulu, Anak muda! Kau belum tahu
siapa Nyai Gincu
Barong ini!"
"Kau pun belum
tahu siapa Suto Sinting ini!" balas Suto sambil
menuding dadanya
sendiri.
Nyai Gincu Barong
dan beberapa pengepung sempat terperangah,
mata mereka
terkesip kaget begitu mendengar nama Suto Sinting.
Sebab mereka tahu
bahwa yang bernama Suto Sinting itu adalah
orang yang bergelar
Pendekar Mabuk. Apalagi setelah mereka
perhatikan
ciri-ciri yang ada pada Suto, mereka semakin yakin
bahwa pemuda itu
memang benar-benar Suto Sinting, si Pendekar
Mabuk.
Para pengepung
mundur satu langkah membuat lingkaran menjadi
lebih lebar. Tetapi
Nyai Gincu Barong tak menampakkan rasa
takutnya walau ia
sadar siapa yang dihadapinya, ia justru mengumbar
sesumbar untuk
membangkitkan keberanian para muridnya.
"Kebetulan
sekali kali ini aku berhadapan denganmu, Pendekar
Mabuk! Sudah lama
kuidam-idamkan ingin menumbangkan
kekuatanmu, biar
namamu tidak menjadi pujian setiap orang!
Agaknya sebentar
lagi adalah giliran namaku yang disanjung-
sanjung oleh setiap
orang, karena aku berhasil membunuh Pendekar
Mabuk yang katanya
berilmu tinggi itu. Hmmm...! Kurasa itu hanya
isapan jempol dari
orang-orang bodoh saja!"
"Aku tak ingin
banyak bicara, Nyai! Aku hanya ingin agar
Perawan Sinting kau
bebaskan, karena kami bukan orang Perguruan
Pantai Porong! Kami
terdampar dari tempat yang jauh dengan tujuan
ke suatu tempat
yang ada hubungannya dengan pihakmu! Jika kau
tak mau bebaskan
Perawan Sinting, maka kita akan beradu nyawa
sampai salah satu
ada yangterkirim ke neraka!"
"Dengan senang
hati kulayani tantanganmu, Pendekar Mabuk!
Kalau kau memang
bisa tumbangkan diriku, maka ambillah si
Perawan Sinting itu
dan bawalah pulang secepatnya. Tapi jika kau
yang tumbang di
tanganku, maka kalian berdua akan kugantung
begitu matahari
terbit nanti."
"Sebuah
perjanjian yang manis bagiku, Nyai!"
"Bersiaplah
untuk sekarat, Bocah hangus...!"
Tiba-tiba sang Nyai
sentakkan tangan kirinya bagai memercikkan
air. Praat...! Weess,
buuhk...!
Pendekar Mabuk
terkejut sekali. Kepretan tangan sang Nyai
ternyata mengandung
kekuatan tenaga dalam sangat besar. Suto
seperti dihantam
dengan batu gunung sebesar dua kali kepala kerbau
yang mengenai
dadanya dengan telak.
Brruk...! Pendekar
Mabuk pun terlempar jatuh dengan dada
merasa sakit
sekali. Seakan tulang dadanya menjadi remuk seketika
itu juga. Sang Nyai
tetap di tempat, memandang angkuh, seakan
menunggu lawannya
bangkit kembali.
Begitu Suto
berdiri, sang Nyai segera bertepuk tangan satu kali
dengan kedua tangan
lurus ke depan. Plook...! Crralaap...!
Oh, rupanya tepukan
tangan itu hasilkan cahaya petir biru yang
melesat cepat
dengan gerakan berkelok-kelok menuju wajah
Pendekar Mabuk.
Namun dengan cepat, bumbung tuak segera
dihadangkan ke
depan wajah dan sinar biru itu menghantam telak
bumbung tuak
tersebut.
Jegaarr...! Ledakan
dahsyat terjadi begitu sinar itu kenai bumbung
tuak Suto.
Pendekar Mabuk
terlempar kembali dan terbanting dengan keras
hingga tulang
punggungnya bagaikan patah. Wajah Suto menjadi
merah matang karena
ledakan tadi semburkan hawa panas yang
menyengat. Sekujur
tubuh Suto menjadi perih sekali seperti alami
luka bakar.
Sedangkan Nyai Gincu Barong masih tetap berada di
tempatnya tanpa
bergeser sedikit pun.
"Bangun kau, Jahanam!
Tunjukkan kesaktianmu yang sering
dipuji-puji orang
itu!" seru Nyai Gincu Barong.
Pendekar Mabuk
buru-buru menenggak tuaknya dua teguk. Lalu
ia bangkit dengan
satu lompatan yang bertumpu pada pinggul.
Wuuut...! Jleeg...!
Tubuhnya segera menjadi segar dan hawa panas
tak dirasakan lagi.
Kulit wajahnya tidak tadi, dan rasa perih hilang
dari seluruh
tubuhnya. Pendekar Mabuk melangkah dengan tenang
dekati lawannya
lagi.
Tiba-tiba Nyai
Gincu Barong melayang bagaikan terbang dalam
keadaan tetap
berdiri tegak. Tapi kedua tangannya mengarah ke
depan dengan
sepuluh jari lurus ke arah Suto. Srraap...! Tiba-tiba
dari kesepuluh jari
itu keluar kuku tajam dan runcing dalam ukuran
panjang. Kesepuluh
jari itu memancarkan cahaya merah bagai besi
dipanggang api.
Wees...! Nyai Gincu
Barong menyerang Suto dengan kesepuluh
jarinya yang
menyala merah itu. Tetapi Pendekar Mabuk segera
gunakan jurus
'Gerak Siluman' untuk hindari terjangan lawannya.
Zlaap...!
Tahu-tahu ia sudah
berada di belakang Nyai Gincu Barong.
Merasa terjangannya
tak berhasil kenai lawan, Nyai Gincu Barong
segera berpaling ke
belakang dan tubuhnya memutar dengan cepat.
Pada saat itulah,
Suto lepaskan jurus 'Tangan Guntur', berupa
sinar biru besar
dari telapak tangannya yang melesat cepat
menghantam Nyai
Gincu Barong. Clap, wweeess...!
Kedua telapak
tangan Nyai Gincu Barong berdiri tegak merapat.
Maka sinar biru itu
tertahan oleh kedua telapak tangan tersebut.
Deeeb...!
Beesss...!
Sinar itu padam
begitu saja tanpa timbulkan suara ledakan
ataupun letupan kecil.
Pendekar Mabuk terkesip melihat jurus
'Tangan Guntur'-nya
dapat dipadamkan oleh lawannya. Bahkan
dengan cepat kedua
telapak tangan Nyai Gincu Barong berkelebat
bagai memutar dan
menyentak ke depan, sehingga dari ujung
kesepuluh kuku
jarinya itu keluar sinar merah berkelok-kelok
bagaikan
cacingmembara. Cralaaap...!
Pendekar Mabuk
sengaja diam di tempat. Begitu sepuluh sinar
merah
berkelok-kelok itu telah berada di depan hidungnya, tubuh
Suto melayang ke
atas dalam satu sentakan. Suuttt...! Weess...!
Tubuh Suto tetap
dalam posisi seperti berdiri tegak. Sementara
kesepuluh sinar
merah itu melesat terus hingga kenai enam orang
pengepung di
belakang Suto. Jegarr...! Keenam orang itu langsung
tumbang dalam
keadaan tubuh mereka berlubang besar dan tak
bernyawa lagi.
Nyai Gincu
Barongtersentak kaget.
"Biadab kau!
Muridku jadi korban salah sasaran! Kuhabisi
nyawamu sekarang
juga, Bangsat! Hiaaah...!!"
Nyai Gincu Barong
melesat dalam keadaan tubuh berputar cepat
di udara. Lalu dari
putaran tubuhnya itu memancarkan sinar merah
terang ke berbagai
arah, empat sinar di antaranya menyerang
Pendekar Mabuk.
Maka dengan gerakan cepat, Pendekar Mabuk
hantamkan bumbung
tuaknya dalam satu putaran. Wuuutt...! Empat
sinar merah itu
bagaikan tersapu bumbung tuak dan menimbulkan
ledakan lebih besar
lagi.
Glegaaarr...!
Pendekar Mabuk
terpental, tapi Nyai Gincu Barong tetap
melayang
menerjangnya. Hanya saja, karena keadaan Suto terlempar
dan jatuh di luar
kepungan, maka tubuh Nyai Gincu Barong pun
menabrak dua orang
anak buahnya yang memegangi obor. Brruuss...!
"Aaaahhk...!"
kedua muridnya itu sama-sama memekik keras dan
panjang, karena
tangan mereka terpotong seketika begitu ditabrak
tubuh Nyai Gincu
Barong yang berputar cepat bagaikan gangsing itu.
Pendekar Mabuk
segera melompat tinggi-tinggi dan bersalto dua
kali di udara,
kemudian ia daratkan kakinya dalam keadaan sudah
berada di dalam
lingkungan pertarungan lagi. Jleeeg...!
Pada saat itu, Nyai
Gincu Barong segera melompat dengan
gerakan tangan
cepat bagai ingin mencabik-cabik lawan. Kuku-kuku
yang panjang
bagaikan mata pisau runcing itu masih memancarkan
cahaya merah bara,
sehingga tiap gerakan tangan diikuti oleh
bayangan sinar
merahtersebut yang mirip bintang berekor.
Jleeg...! Nyai
Gincu Barong tiba di depan Suto, langsung
kesepuluh kukunya
ditancapkan ke pinggang kanan-kiri Suto.
Cruuss...!
"Aaahk...!"
Suto Sinting mengejang dengan wajah menyeringai.
Namun sebelum
kesepuluh kuku itu merobek tubuh Suto, kedua
tangan Suto segera
menyentak ke samping kanan-kiri hingga
kesepuluh kuku itu
lepas dari tubuhnya. Deess...! Lalu kedua tangan
Suto menghantam ke
depan bersamaan dalam keadaan telapak
tangan terbuka.
Buuhk...!
"Haaahk...!"
Nyai Gincu Barong mendelik seketika dengan tubuh
melayang mundur
beberapa langkah.
Suto Sinting tak hiraukan
luka-lukanya yang mengucurkan darah
segar itu. Ia
segera menggeloyor seperti orang mabuk mau jatuh, tapi
tahu-tahu bumbung
tuaknya disodokkan tepat di ulu hati lawannya.
Wuuut, duuhk...!
"Uuaahk...!"
sang Nyai sentakkan napas dalam keadaan mulut
terbuka. Bersamaan
dengan itu menyemburlah darah segar hingga
nyaris kenai wajah
Suto jika Suto tidak segera berlutut satu kaki.
Dengan satu kaki
berlutut, Suto Sinting sentakkan kembali
bumbung tuaknya
yang dinamakan jurus 'Mabuk Lebur Gunung' itu.
Wuuut, beeehk...!
"Oouhk...!"
Nyai Gincu Barong makin mendelik, darah yang
muncrat dari
mulutnya semakin banyak. Wajahnya dan anggota
tubuh lainnya
menjadi biru legam. Rambut sang Nyai mulai rontok,
namun sang Nyai
masih bertahan untuk tetap berdiri hadapi Suto
Sinting.
Tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas cepat menendang Nyai
Gincu Barong.
Weesss...! Plaakk...! Tendangan keras itu membuat
Nyai Gincu Barong
yang sudah terluka parah oleh kekuatan jurus
'Mabuk Lebur
Gunung' itu segera terlempar dan jatuh berguling-
guling. Kemudian
seraut wajah cantik muncul di tempat itu. Jleeg...!
"Andani...?!"
sapa Suto dengan kaget.
"Pergilah dan
cari si perawan itu, lalu bebaskan dia dari kamar
tawanan yang ada di
ruang bawah tanah itu. Aku akan menghadapi si
Nyai Gincu Barongyang
merasa dirinya sudah paling ampuh itu!"
Mau tak mau Suto
Sinting segera melesat memasuki pintu
gerbang yang
diterjang begitu saja dan hancur dalam waktu kurang
dari satu kedipan
mata. Prrak, brraak...! Sementara itu, Andani
segera melepaskan
jurus merahnya dari telapak tangan yang
menyerupai ujung
tombak itu. Claaap...!
Blaarr...!
Maka hancurlah
tubuh Nyai Gincu Barong dalam keadaan
anggota tubuhnya
terpotong dan terpisah saling berjauhan. Padahal
menurut Suto, tanpa
keikutsertaan si Andani, sang Nyai pun tak akan
dapat berkutik
lagi, karena sodokan bumbung tuak tadi.
"Hahh...?!
Guru kita tewas! Guru...?! Guruuu...!"
Para murid tampak
marah melihat guru mereka tak bernyawa lagi.
Mereka segera
menyerang Andani. tapi mereka saling terpental
begitu Andani sentakkan
kedua tangannya ke kanan-kiri. Wuuut...!
Bruuk...!
Bruukk...!
Suto berhasil
temukan Perawan Sinting dalam keadaan terikat
rantai di dua
tiang. Kedua kaki dan tangan direntangkan. Tubuhnya
penuh luka, bahkan
wajahnya hancur menyedihkan. Namun Perawan
Sinting segera
angkat wajahnya yang tertunduk dengan pelan ketika
ia mendengar
seseorang berseru,
"Perawan
Sinting...?!"
Rupanya ia tahu
suara itu adalah suara Pendekar Mabuk, sehingga
tenaganya yang
nyaris terkuras habis karena siksaan itu menjadi
timbul kembali dan
ia mampu mengangkat wajahnya. Kedua
matanya yang memar
memandang kecil kepada Suto. Bibirnya yang
hancur pun mulai
bergerak dengan suara lirih.
"Sutooo...?"
Pendekar Mabuk
segera lepaskan rantai-rantai pengikat itu.
Perawan Sinting
dipaksa untuk meminum tuaknya. Walaupun perih,
Perawan Sinting
tetap menelan tuak sakti Suto, sehingga dalam
beberapa saat
kemudian luka-lukanya menjadi hilang dan
kekuatannya pulih
kembali.
"Suto,
pedangku di mana?!"
"Kita cari
pedang itu!"
Setelah Pedang Galih
Guntur berhasil ditemukan dalam kamar
sang Nyai, mereka
pun segera tinggalkan tempat itu. Mereka sempat
terperangah kaget
melihat suasana di luar gerbang. Ternyata para
murid Nyai Gincu
Barong terkapar semua tak bernyawa. Mayat
bergelimpangan di
sana-sini dalam keadaan tubuh mereka pecah,
anggota tubuh
saling berpencar ke mana-mana.
"Gila!
Dibantai habis begini jadinya?!" gumam Suto Sinting
dengan mata
menegang.
"Siapa
yangmelakukannya, Suto?!"
"Melihat
keadaan mayat terpotong-potong begini, siapa lagi yang
melakukan kalau
bukan Andani!"
"Andani...?!
Oh, rupanya kau sempat serong selama aku dalam
penyiksaan,
Suto?!"
"Bukan begitu.
Maksudku...."
"Dasar pemuda
hidung belang!" gertak Perawan Sinting yang
merasa cemburu jika
Suto berkenalan dengan seorang perempuan,
karena gadis
berpakaian ungu itu menaruh hati kepada Pendekar
Mabuk.
Akhirnya Suto
menjelaskan pertemuannya dengan Andani sambil
matanya memandang
ke sana-sini mencari Andani yang ternyata
telah menghilang
lebih dulu sebelum Suto dan Perawan Sinting tiba
di tempat itu. Suto
pun menceritakan ciri Andani dengan tak lupa
menyebutkan tato
gambar kupu-kupu di paha perempuan itu.
"Apa...?! Di
pahanya ada tato gambar kupu-kupu?!" Perawan
Sinting mendelik.
"Apakah tato itu bisa menjadi besar dan bisa
mengecil,
tergantung gairah yang ada padanya?"
"Benar!
Kulihat tato itu sempat menjadi besar."
"Celaka! Kalau
tak salah dugaanku, perempuan itulah yang
bernama Peri
Kahyangan, di mana kita dulu pernah bermalam di
reruntuhan
biaranya!"
"Peri
Kahyangan?!" Suto segera teringat cerita Perawan Sinting
tentang Peri
Kahyangan yang bekas biaranya pernah dipakai
bermalam oleh
mereka dan Mahesa Gibas, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode: "Buronan Cinta Sekarat").
Sebelum mereka
lanjutkan bicara, tiba-tiba dari arah timur
muncul Mahayuni
bersama beberapa orang murid Eyang
Panembahan,
termasuk Mahesa Gibas ikut dalam rombongan itu.
Rupanya mereka
mencari kepergian Suto yang sudah diduga arahnya
ke Tanjung Leak.
Perawan Sinting segera menyambut gembira bisa
bertemu dengan
Mahesa Gibas, lalu Mahesa Gibas menceritakan
siapa Mahayuni dan
yang lainnya itu.
"Tadi kami
sudah sampai sini dan melihat perempuan cantik
sedang memakan
beberapa potong tubuh mayat-mayat itu. Tapi ia
segera kabur begitu
Mahayuni menyapanya," kata Mahesa Gibas.
"Benarkah
begitu, Mahayuni?"
"Ya. dan kami
mengejarnya, tapi tak berhasil."
"Siapa
perempuan itu sebenarnya?"
"Si Bayangan
Setan!"
"Hahh...?!"
Pendekar Mabuk mendelik seketika itu juga, demikian
pula Perawan
Sinting. "Ke mana larinya?"
"Ke timur!"
"Kalau begitu,
kita kejar dia ke timur, Suto!" ajak Perawan
Sinting.
"Tunggu dulu!
Kita perlu pelajari siapa perempuan itu sebenarnya
melalui Eyang
Panembahan."
Mahesa Gibas
menyahut, "Jelas dia adalah si Bayangan Setan!
Aku pernah melihat
perempuan itu membunuh beberapa pelayan di
kadipaten!"
"Ya, ya...
tapi aku membutuhkan beberapa saran dari Eyang
Panembahan untuk
hadapi perempuan itu," kata Suto. "Terutama
tentang kehancuran
Samudera Kubur delapan tahun yang lalu itu."
"Delapan tahun
yang lalu?!" Perawan Sinting menggumam heran.
"Bukankah kita
baru pergi dari kadipaten delapan hari lamanya,
Suto?!"
Pendekar Mabuk tak
hiraukan keheranan itu, ia segera melangkah
menuju ke Padepokan
Pantai Porong untuk menemui Eyang
Panembahan;
Pancalingga. Yang lainnya pun segera mengikuti sang
pendekar heboh itu
bersama munculnya sang fajar di ufuk timur.
SELESAI
Segera menyusul!!!
RAHASIA BAYANGAN
SETAN
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU:
Abu Keisel
Convert & Edit:
Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon