DARI ketinggian sebuah tebing cadas, tampak sekelebat
bayangan melintas di sela-sela pepohonan. Bayang itu bukan tanpa sosok, tapi
mempunyai sosok yang sedang berlari ketakutan.
Sosok orang yang berlari ketakutan itu mengenakan
baju kuning dan celana hitam. Dilihat dari parasnya yang belum berkumis dan
belum berkeriput, maka ia dapat digolongkan sebagai anak muda yang berusia
sekitar dua puluh tahun. Bukan rambutnya saja yang pendek, tapi badannya juga
tergolong pendek, walau bukan berarti kerdil.
Pemuda itu pernah mengintip seorang wanita cantik bernama
Puting Selaksa yang sedang mandi. Peristiwa itulah yang membuatnya menjadi
salah satu dari sahabat Suto Sinting; si Pendekar Mabuk murid Gila T uak itu.
Pemuda yang punya kemahiran ngibul itu tak lain adalah
Mahesa Gibas, yang juga pernah menjadi pelayan Adipati Jayengrana, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Buronan Cinta Sekarat").
Sepasang mata yang mengikuti pelariannya dari atas
tebing cadas bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang membuat Mahesa Gibas
berlari ketakutan seperti itu"
Dikejar anjing, dikejar kucing, atau dikejar
cacing?"
Beberapa kejap setelah Mahesa Gibas mele wati gcrumbulan
semak berduri, tampak seorang lelaki brewok berbadan gemuk sedang berlari pula
sambil berseru keras-keras. Orang itu berpakaian serba abu-abu dengan ikat
kepala kain merah. Melihat brewoknya yang lebat dan penampilannya yang berperut
buncit itu, dapat diduga ia berusia sekitar empat puluh tahun.
"Berhenti! Hoii...! Berhenti kau, Mahesa!"
Seruan orang gemuk berikat pinggang kain merah itu
membuat Mahesa Gibas menambah kecepatan larinya.
Namun orang brewok bersenjata golok di pinggangnya
juga menambah kecepatan larinya, seolah-olah ia tak ingin kehilangan
buronannya.
"Mahesaa...! Berhenti kau, Setan T uli!"
teriak orang brewok bermata lebar yang membuat tampangnya menjadi cukup
menyeramkan.
Melihat si Mahesa Gibas membelok ke kiri, orang
brewok itu memotong jalan dengan menerabas ilalang, ia segera lakukan lompatan
dari ketinggian tanah di ba wah tebing itu. Wuuut...!
Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan
Mahesa Gibas.
"Haahh..."!!" Mahesa Gibas terpekik
kaget dengan mata mendelik, wajah menegang, mulut terbuka dan langkah terhenti.
Jantungnya terasa kempes seketika.
Wuuus...! Orang brewok itu menyambar baju Mahesa
Gibas pada saat pemuda itu berbalik dan ingin melarikan diri lagi. Mahesa Gibas
semakin ketakutan. Maka ia pun berteriak keras-keras untuk melampiaskan rasa
takutnya.
"T oloong...! Toloong...! Aku mau diperkosa!
Tolooong...!" sambil kaki Mahesa Gibas bergerak seakan sedang berlari,
tapi sebenarnya menggantung di tempat karena orang brewok itu menjinjing baju
Mahesa Gibas hingga tubuh kurus itu terangkat seperti anak kucing.
Sepasang mata yang ada di atas tebing cadas tak
seberapa tinggi itu melihat jelas adegan tersebut. Sepasang mata itu milik
pemuda tampan berambut panjang lurus sepundak tanpa ikat kepala, ia memakai
baju buntung warna coklat dan celana putih kusam. Di punggungnya terdapat bambu
yang dipakai untuk bumbung tempat tuak. Pemuda itu tak lain adalah si Pendekar
Mabuk yang dikenal pula dengan nama Suto Sinting; murid si Gila T uak.
Melihat Mahesa Gibas dicekal orang brewok, Suto
Sinting segera kirimkan sentilan jarak jauhnya yang dinamakan jurus 'Jari
Guntur' itu. T ees...! Satu sentilan mempunyai kekuatan tenaga dalam seukuran
tendangan kuda jantan. Dan hawa padat yang berasal dari sentilan jurus 'Jari
Guntur' itu tepat kenai pinggang kanan si orang brewok. Beehk...!
"Aaahkk...!" si brewok memekik keras,
tubuh gemuknya terlempar ke samping dalam jarak lima langkah. Sentakan tubuh
yang merasa seperti ditendang kuda jantan itu membuat genggaman pada baju
Mahesa Gibas terlepas. Breet...! Baju itu sempat robek di bagian tepian
tengkuknya. Mahesa Gibas sendiri juga jatuh terpental terbawa hempasan tubuh si
brewok.
Zlaaap...! Suto Sinting berkelebat turun dari atas
tebing yang tak seberapa tinggi Itu. Dalam sekejap ia sudah berdiri di depan si
brewok yang masih menyeringai kesakitan dengan suara raungan kecilnya.
"Suto..."! Suto Sinting"! Oooh...
kebetulan sekali!" seru Mahesa Gibas. Ia se gera berlari hampiri Pendekar
Mabuk.
"Suto, tolong aku! Orang itu mengejarku dari
kemarin!" sambil Mahesa Gibas mengguncang-guncang lengan Suto Sinting.
Pemuda tampan itu hanya diam dengan kalem dan pandangi si Mahesa Gibas. Hatinya
tak percaya dengan pengakuan Mahesa Gibas tadi yang mengatakan dirinya dikejar
si brewok dari kemarin.
"Tolong selamatkan aku, Suto! Selamatkan
nyawaku dari orang berwajah mirip kuburan angker itu!" Mahesa Gibas
memohon-mohon dengan wajahnya yang pucat menandakan sangat ketakutan. Suaranya
yang beruntun menandakan bahwa ia sangat mengharap pembelaan dari si Pendekar
Mabuk.
"Mundurlah ke pohon itu. Aku akan hadapi orang
ini!" ujar Suto Sinting dengan suara tegas namun berkesan kalem.
Tepat pada saat Mahesa Gibas mundur ke bawah pohon
yang berjarak lima langkah dari tempat Suto berdiri, orang brewok berbaju
abu-abu tanpa dikancingkan itu bangkit dari jatuhnya. Rupanya ia mulai bisa
atasi rasa sakit di pinggangnya akibat terkena sentilan jarak jauh tadi.
Pinggangnya sempat memar membiru, namun
dengan napas berat ia menahannya.
"Kebo jahil! Kaukah yang menyerangku
tadi"!" bentaknya. "Ya, memang aku yang menyerangmu dari
jauh!" jawab Suto Sinting tegas dan tetap tenang. Bumbung tuaknya sudah
dipindahkan, kini menggantung di pundak kanannya.
Si bre wok sangat berang, matanya yang sebesar jengkol
itu masih melotot, bagai hiasan yang enak dicolok. Suaranya sengaja dikeraskan
agar tampak galak.
"Mengapa kau menyerangku, hah"!"
bentak si orang brewok kepada Suto Sinting, ia belum tahu siapa yang dihadapi
saat itu.
Suto Sinting tidak menjawab, tapi justru ganti bertanya,
"Mengapa kau mengejar-ngejar sahabatku; si Mahesa Gibas itu"!"
"Kalau kau tidak tahu persoalannya, mengapa kau
menyerangku dari jarak jauh"! Apakah kau tak tahu kalau mendapat serangan
seperti itu sangat sakit"! Lihat, pinggangku sampai memar membiru
begini!" Ia menyingkapkan bajunya dan perlihatkan pinggangnya yang memar
sebesar telapak tangan orang dewasa itu.
"Tadi kudengar teriakan Mahesa Gibas yang
mengatakan dirinya akan kau perkosa"!"
"Bohong! Apakah kau tak tahu kalau aku seorang
lelaki tulen"! Apa perlu kutunjukkan bukti kelelakianku"!"
"Justru aku tahu kau seorang lelaki, maka
menurutku bisa saja kau memperkosa sahabatku yang juga lelaki."
"Dasar bocah bodong! Kau kira aku lelaki 'ganda
campuran'"! Yang namanya lelaki tulen itu kalau mau memperkosa ya
memperkosa perempuan! Untuk apa memperkosa sesama lelaki"! Tolol!"
Suto Sinting segera sadar. "Mahesa Gibas pandai
menipu, pandai ngibul, dan mahir bikin gosip yang bukan-bukan. Jangan-jangan
aku termakan tipuan si Mahesa Gibas seperti dulu"!"
Pendekar Mabuk segera memanggil Mahesa Gibas. Yang
dipanggil mendekat pelan-pelan dengan rasa takut. Sebentar-sebentar melirik si
orang brewok yang napasnya masih ngos-ngosan dan wajahnya masih tampak berang.
Mahesa Gibas tak berani berdiri sejajar dengan Suto. Ia berhenti di belakang
Suto Sinting, berlindung di sana jika sewaktu-waktu si orang brewok menyerangnya.
Suto Sinting tetap di tempat, berpaling ke kanan dengan mata melirik ke arah
Mahesa Gibas sambil ajukan tanya,
"Kau mengenal orang itu, Mahesa"!"
"Ya. Hmmm... dia yang bernama Panca Longak
Longok!"
"Panca Longok!" sergah si brewok. "T
idak pakai Longak! Longok saja!"
Suto Sinting menahan geli dengan senyum kecilnya.
"Benarkah kau mau diperkosa oleh si Panca
Longok itu"!" tanya Suto, dan Mahesa Gibas gelagapan sesaat.
"Hmmm... dia... dia orangnya Ki Lurah
Mugeni."
"Yang kutanyakan, benarkah kau mau
diperkosanya, seperti apa yang kau serukan tadi"!" Suto Sinting agak
menyentak dan Mahesa Gibas semakin grogi, ia tundukkan kepala dengan cemberut,
sebagai tanda bahwa pengakuannya tadi tidak benar. Panca Longok segera
menyahut, "Aku memang pesuruhnya Ki Lurah Mugeni!"
"Hmm...!" Suto manggut-manggut memandang
tak berkedip namun punya seulas senyum tipis yang membuat wajahnya tampak
simpatik.
"Aku disuruh Ki L urah Mugeni untuk mencari
Mahesa Gibas."
"Perlu apa Ki Lurah Mugeni menyuruhmu mencari
Mahesa Gibas"!"
"Menyerahkan hadiah buat Mahesa berupa sejumlah
uang!" sambil Panca Longok keluarkan kantong merah dari lilitan ikat
pinggangnya yang berwarna merah juga.
Kantong merah bertali ditimang-timang dengan tangan
kanannya. Gemerincing suara uang logam di dalam kantong merah terdengar,
menandakan jumlahnya tidak sedikit.
Suto Sinting buru-buru memandang Mahesa Gibas. Yang
dipandang terbelalak tak berkedip menatap kantong merah di tangan Panca Longok.
Pesuruh Ki Lurah Mugeni segera jelaskan masalah
sebenarnya kepada Pendekar Mabuk. Wajahnya masih cemberut menahan kedongkolan
karena memar di pinggangnya masih terasa nyeri.
"Ki Lurah Mugeni sangat berterima kasih kepada
Mahesa Gibas yang telah menemukan kotak perhiasan dan mengembalikannya kepada
Ki Lurah."
Suto ajukan tanya dengan suara pelan, "Benarkah
kau telah menemukan kotak perhiasan itu"!"
"Hemm... iyy... iya," jawab Mahesa Gibas
dengan kaku.
Suto Sinting sempat berbisik sambil tersenyum,
"T umben kau jujur!"
"Kemarin malam aku menginap di rumah Ki Lurah
Mugeni," tutur Mahesa Gibas.
"Lalu, malam itu ada pencuri yang menggasak
beberapa barang termasuk kotak perhiasan itu. Paginya kotak itu kutemukan
tergeletak di tepi sungai. Maka kukembalikan kepada Ki Lurah Mugeni. T api...
tapi isinya sudah tak ada. Aku hanya temukan kotaknya saja, Suto! Sumpah! Aku
tak mengambil isinya!"
Mahesa Gibas tampak ngotot, seakan tak ingin dituduh
sebagai orang yang mengambil isi kotak perhiasan itu. Lalu, pesuruh Ki Lurah
Mugeni se gera berkata,
"Kotak itu memang hanya berisi sebuah cincin
emas yang harganya tak seberapa. Cincin itu adalah cincin perkawinan Ki Lurah
Mugeni dengan mendiang istrinya yang pertama. Ki Lurah sendiri mengiklaskan
cincin itu, yang tentunya sudah diambil pencurinya dan kotaknya dibuang di tepi
sungai.
Namun ada benda paling berharga yang tersimpan di
lapisan bawah dari kotak tersebut."
"Benda..."! Aku tak melihat benda
apa"!" ujar Mahesa Gibas dengan ngotot.
"Kotak itu terdiri dari dua lapis. Lapisan
teratas berisi cincin kawin, tapi lapisan yang kedua berisi benda berharga yang
belum sempat diurus oleh Ki Lurah Mugeni!" "Ooh..."!"
Mahesa Gibas terperangah.
"Benda itu peninggalan mendiang ayah Ki Lurah
yang pernah menghancurkan kapal bajak laut dan menemukan benda tersebut di
kapal itu. T api karena Ki Lurah Mugeni masih banyak kesibukan, maka beliau tak
sempat mengurus benda tersebut."
"Maksudmu peta harta karun?" tanya Suto
menebak.
"Hmm.... Hmm... bukan. Pokoknya ya... anu... berharga
gitu." Orang itu jadi gugup, karena tebakan Suto sebenarnya memang betul.
Mahesa Gibas sempat tertegun bengong. Kini raut wajahnya tampak menyimpan penyesalan.
Rupanya cincin yang ada dalam kotak perhiasan itu diambil sendiri oleh Mahesa
Gibas sesaat setelah menemukan kotak perhiasan yang jatuh dari bungkusan si
pencuri.
Karena rasa takut dicurigai se bagai orang yang
mengambil cincin emas, maka Mahesa Gibas buru-buru pamit dari rumah Ki Lurah Mugeni.
Sampai sekarang cincin itu masih berada di selipan ikat pinggang Mahesa Gibas.
Ia tidak tahu kalau kotak itu terdiri dari dua lapis dan berisi peta harta
karun.
Ketika ia melihat Panca Longok menyusulnya, ia menyangka
sedang dikejar-kejar karena persoalan cincin itu. Mahesa Gibas mengira akan
dihajar oleh Panca Longok, sehingga ia berlari sejadinya dan berteriak asal
saja. Rupanya ia dibayang-bayangi oleh kesalahannya
sendiri, sehingga batinnya sangat tersiksa ketika rasa takut itu mencekamnya.
"Mahesa Gibas, terimalah hadiah dari Ki Lurah
Mugeni ini! Ki Lurah berpesan, kapan-kapan jika kau lewat di desa kami,
singgahlah walau hanya sebentar," ujar si Panca Longok yang sudah
kehilangan rasa jengkelnya kepada Mahesa Gibas.
Ia pun menyerahkan kantong merah kecil bertali yang
berisi uang kepada Mahesa Gibas. Pemuda berwajah penuh sesal itu menerimanya
tanpa senyum keceriaan.
"Kalau tahu begitu, lebih baik kuserahkan kotak
bersama cincinnya. Karena dengan panduan peta itu aku bisa temukan harta karun
tersebut dan aku bisa menjadi orang kaya!" gerutu hati Mahesa Gibas.
Panca Longok pamit pulang ke desanya setelah diberi
minum tuak saktinya Suto. Tuak itu mempunyai khasiat ajaib, yaitu menghilangkan
rasa sakit dan warna biru memar di pinggang Panca Longok.
"Mengapa kau masih tampak murung, Mahesa?"
tegur Suto Sinting setelah Panca Longok tak ada di antara mereka berdua.
Mahesa Gibas diam saja. Ia menyelipkan kantong merah
berisi uang itu ke kain ikat pinggangnya. Pada saat itu, tanpa disengaja cincin
yang tersimpan di ikat pinggang itu jatuh ke tanah. Pluuk...! Suto Sinting
terperanjat dan segera memungutnya. Mahesa Gibas mulai salah tingkah dan waswas.
"Cincin siapa ini, Mahesa?" tanya Suto sambil mengamati cincin
tersebut.
"Hmm, eeh... cincin... cincin nenekku yang...
yang...."
"Oooo... sekarang aku tahu...!" Suto
Sinting manggut-manggut sambil pandangi Mahesa Gibas. Yang dipandang semakin
salah tingkah lagi.
"Rupanya kau salah pengertian tadi. Kau
menyangka si Panca Longok ingin menangkapmu, karena kau merasa bersalah telah
mengambil cincin dalam kotak itu. Dan sekarang kau sangat menyesal setelah tahu
kotak perhiasan itu ternyata berisi peta harta karun"! Hmm, ya, ya, ya...
pantas kau cemberut terus sejak tadi!" Mahesa Gibas semakin tak bisa
bicara. Malu sekali.
Tapi dasar tukang kibul, dasar pula muka tembok,
dalam sekejap ia sudah bisa nyengir dan segera alihkan pembicaraan ke masalah
lain.
"Aku disuruh Perawan Sinting untuk mencarimu,
Suto!"
"Jangan mengalihkan pembicaraan dulu!"
sergah Pendekar Mabuk dengan hati kesal. "Bereskan dulu masalah cincin
ini!"
Mahesa Gibas takut, ia menunduk dengan wajah murung.
"Baiklah. Kuakui... aku memang mengambil cincin itu sebelum kotak tersebut
kuserahkan kepada Ki Lurah Mugeni," ujarnya lirih.
"Pulangkan cincin ini!" seraya Suto
Sinting serahkan cincin itu kepada Mahesa Gibas. "Kuantar kau ke rumah Ki
Lurah Mugeni, dan mintalah maaf kepada beliau!"
"T api... tapi Perawan Sinting ingin bertemu
denganmu, Suto! Dia sangat membutuhkan dirimu!"
"Persoalan si Perawan Sinting adalah persoalan
kedua. Persoalan yang pertama, kau harus kembalikan cincin itu dan meminta maaf
kepada Ki Lurah Mugeni!" tegas Pendekar Mabuk.
Wajah si pembual itu semakin mendung. "Aku
takut kalau...."
"Kutemani kau ke sana!" potong Suto
Sinting.
Mahesa Gibas tak punya pilihan lain. Akhirnya ia
kembali ke desa tempat Ki Lurah Mugeni dipercaya oleh penduduk sebagai sang
kepala desa.
Dalam perjalanan ke desa tersebut, ingatan Suto
Sinting menerawang ke wajah cantik milik Perawan Sinting. Gadis yang mempunyai
kesamaan nama belakang dengan Suto itu sudah lama tak dijumpainya.
Namun benak Suto masih ingat tentang segala
sesuatunya yang ada pada diri si Perawan Sinting itu, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode : "Perawan Sinting").
"Mengapa Perawan Sinting ingin bertemu
denganku, hingga ia menyuruhmu mencariku"!" tanya Suto sambil
melangkah.
Namun sebelum Mahesa Giba s menjawab pertanyaan itu,
tiba-tiba langkah mereka terhenti secara mendadak.
Mereka dikejutkan oleh kemunculan seseorang yang
turun dari atas pohon, melayang bagaikan seekor burung perkasa.
Wuuut...! Jleeg...!
Suto Sinting memandang dengan mata sedikit mengecil
karena merasa asing dengan orang tersebut. Sedangkan Mahesa Gibas hanya
terbengong sambil mengusap dadanya yang nyaris kehilangan jantung karena rasa
kagetnya tadi.
* * *
2
RAUT wajah tampan beralis tebal itu menatap Suto
Sinting dengan sorot pandangan tajam. Pemuda itu berambut sepanjang pundak, seperti
Suto. Hanya bedanya, rambut pemuda itu tampak bergelombang tidak selurus rambut
Suto Sinting. Dengan alis tebal, hidung mancung, mata sedikit lebih besar dari
mata Pendekar Mabuk, pemuda itu mempunyai ketampanan yang nyaris mendekati nilai
ketampanan Suto. Kulitnya yang berwarna lebih muda dari warna kulit Suto itu
membuatnya tetap berkesan jantan.
Ia juga berbadan tegap, gempal, dan ketinggiannya
sebaya dengan Suto, sehingga kegagahannya pun nyaris senilai dengan kegagahan
Pendekat Mabuk.
Pemuda yang berusia se baya Suto itu mengenakan
celana biru muda, sabuk hitam, rompi cekak biru muda juga, dan berkalung hitam
dengan bandul berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari logam putih metal.
Di bagian tengah bintang segi enam itu terdapat batu
ungu sebesar kelereng.
"Apa maksudmu menghadang langkahku,
Sobat"!" tegur Suto Sinting dengan sikap bersahabat.
"Benarkah kau yang berjuluk Pendekar
Mabuk"!" tanya pemuda berpedang pendek di pinggang kiri itu.
"Aku bukan Pendekar Mabuk. Aku bernama Mahesa
Gibas Wingit!" jawab Mahesa Gibas dengan lagak tengil.
"Aku tidak bertanya padamu, Orang-orangan Sawah!"
geram pemuda itu.
"Aku hanya mengumumkan diri!" balas Mahesa
Gibas, memuakkan sekali lagaknya. Suto Sinting sunggingkan senyum kalem,
kemudian menatap pemuda sebayanya yang masih berada dalam jarak enam langkah di
depannya itu.
"Benar. Akulah si Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Dari mana kau mengenaliku?"
"Ciri bumbung tuakmu itu!"
Suto menggumam lirih, lalu ajukan tanya kembali,
"Kau sendiri siapa, Sobat"!"
"Aku.... Buyut Batara, utusan dari Tanah
Leluhur!"
"T anah Leluhur..."!" Mahesa Gibas
menggumam
dengan nada tegang, lalu wajahnya tampak tegang
juga.
Ia bergeser ke belakang Suto dengan pandangan mata
dibayangi rasa takut. Hal itu mengundang kecurigaan dan rasa heran si Pendekar
Mabuk.
"Aku ingin bicara denganmu sebentar,
Suto!" bisik Mahesa Gibas, setelah itu ia menjauh dan Pendekar Mabuk
mengikutinya. Sementara itu, si Buyut Batara memandang dengan curiga dan perasaan
tak enak.
Namun ia tetap berdiri di tempatnya dengan gagah. Dadanya
yang keras dan bidang itu tetap tampak membusung tegar.
"Ini ada sangkut pautnya dengan Perawan
Sinting, Suto!"
"Apa maksudmu"!" bisik Suto juga.
"Perawan Sinting menyuruhku mencarimu, karena
ia ditemui oleh sekelompok orang dari T anah Leluhur. Orang-orang itu menduga
Perawan Sinting adikmu, dan mereka mencarimu. Mereka tak percaya dengan
kata-kata Perawan Sinting yang tidak mengetahui di mana kau berada. Bahkan
Perawan Sinting hampir saja mengambil tindakan keras, sebab mereka tidak mau
pergi dan selalu mengikuti ke mana kami pergi. Sampai akhirnya, ketika aku dan
Perawan Sinting ada di sebuah kedai, Perawan Sinting menyuruhku pergi mencarimu
secara diam-diam."
"Apa maksud orang-orang T anah Leluhur itu
mencariku"!"
"Aku tak tahu. Seingatku, mereka juga tidak
menjelaskan kepada Perawan Sinting. Kalau tak ada aku, mungkin Perawan Sinting sudah dibunuhnya.
Mereka tampak segan terhadapku."
Pendekar Mabuk tahu, kata-kata terakhir jelas bualan
Mahesa Gibas sendiri. Bukan kenyataan. Suto tak heran lagi, karena Mahesa Gibas
punya kebiasaan selalu menambahkan bualannya jika sedang menjelaskan sesuatu
hal. Bualan itu dimaksud untuk mengangkat namanya agar tak dipandang remeh di
depan siapa saja.
"Agaknya ada yang tak beres pada diri
orang-orang T anah Leluhur," gumam Suto Sinting dalam hati. "Aku
sendiri belum pernah tahu di mana dan siapa penguasa Tanah Leluhur itu. Hmmm...
sebaiknya kubereskan saja teka-teki ini dengan menghadapi si Buyut Batara
itu!"
Maka, Suto pun bergegas kembali temui si Buyut Batara
yang tampak menunggu dan tak mau mengganggu perundingan tadi. Sikapnya yang tak
mau mengganggu perundingan tadi membuat Suto Sinting sedikit heran, karena
sikap itu adalah sikap yang baik dan bertata krama tinggi. Padahal penjelasan
Mahesa Gibas tadi menimbulkan kesan bahwa orang-orang
T anah Leluhur itu bermaksud buruk kepada Perawan
Sinting. Pendekar Mabuk jadi serba salah menilai si Buyut Batara dalam hatinya.
"Buyut Batara, benarkah orang-orangmu telah
menemui sahabatku yang bernama Perawan Sinting"!"
"Ya, benar!" jawab Buyut Batara dengan
tegas.
"Kami mencarimu, dan menghubungi adikmu; si
Perawan Sinting untuk menanyakan di mana kau berada dan meminta bantuannya mencari
dirimu."
"Perawan Sinting bukan adikku!" ujar Suto dengan
tegas. "Tapi dia lebih dari seorang adik bagiku."
"O, kalau begitu kami tak salah jika meminta
bantuannya mencarikan dirimu, Suto Sinting"!"
"Jika dilakukan dengan kasar itu sama saja menantang permusuhan
denganku!"
"Kurasa tak ada perintah untuk menemui Perawan
Sinting dan meminta bantuannya secara kasar! Sama halnya sikapku terhadapmu
saat ini, Pendekar Mabuk ! Apakah kau menilaiku bersikap kasar
kepadamu"!"
Pendekar Mabuk diam sesaat. T api dalam hatinya ia
mengakui bahwa sikap yang ditunjukkan Buyut Batara di depannya pada saat itu
tidak mempunyai kekasaran sedikit pun. Jika suara si Buyut Batara agak keras,
itu lantaran ia punya sikap yang tegas dan ingin menegakkan wiba wanya.
"Jika begitu kau tentunya tak keberatan jika
jelaskan apa perlunya kau mencariku, Buyut Batara"!"
"Aku ingin membawamu ke T anah Leluhur. Rakyat
kami sangat membutuhkan dirimu, Pendekar Mabuk."
"Hmmm.... Perlu apa aku dibawa ke T anah
Leluhur"!'"
"Kami...."
"Ssst...!" tiba-tiba Suto Sinting memotong
kata-kata Buyut Batara sebelum pemuda itu bicara lebih lanjut.
Suto mendengar suara gemerisik semak terinjak. Lirikan
mata Pendekar Mabuk segera dipahami oleh Buyut Batara. Pemuda itu pun segera
menyimak suara yang mencurigakan. Suara kaki melangkah pelan itu datang dari
arah belakangnya, sehingga ia perlu bergeser sedikit memutar tubuhnya dengan
lirikan mata tegang.
Sedangkan Mahesa Gibas mulai bersiap-siap mencari
tempat berlindung, karena ia tahu akan terjadi sesuatu yang membahayakan
dirinya jika tak segera berlindung.
T iba-tiba dua buah logam yang memantulkan sinar
matahari berkelebat ke arah Buyut Batara. Wuuus, wuuuss...! Dua pisau terbang
melesat dari arah samping kiri Buyut Batara. T api sebelum pemuda itu
menghindarinya, dua pisau serupa muncul la gi dan mengarah ke punggung Buyut
Batara. Wuus, wwuusss...! Buyut Batara sentakkan kakinya dan dalam sekejap
tubuhnya sudah melambung ke atas. Wees...! Sedangkan Suto Sinting segera
bergerak cepat dalam satu lompatanyang sulit dilihat orang. Zlaap...! Teb,
teeb...!
Kedua pisau yang mengarah di punggung Buyut Batara
berhasil ditangkapnya dengan dua tangan. Kedua pisau itu terjepit di sela jari
tangan kanan-kiri Pendekar Mabuk.
Buyut Batara daratkan kakinya kembali ke tanah setelah
dua pisau dari arah kirinya menancap di sebatang pohon.Jreb. Jreeb..! T angan pemuda
itu segera merenggang, penuh siaga.
Matanya yang tajam melirik Pendekar Mabuk. Kedua
tangan Suto sedikit diacungkan, memperlihatkan kedua pisau yang berhasil
ditangkapnya itu. Wajah Suto tidak setegang Buyut Batara.
"Aku dapat dua!" ujar Suto sambil
tersenyum, ia menampakkan ketenangannya.
Buyut Batara masih tegang. Baru saja ia ingin membalas
senyuman Suto, tiba-tiba matanya melihat dua orang menerjang Suto dari belakang
dengan satu lompatan sama-sama cepat.
"Awas di belakangmu, Suto!" pekik Buyut
Batara.
T api senyum Pendekar Mabuk masih tetap mekar tanpa
rasa kaget.
"Aku tahu...," ujar Suto dengan kalem,
lalu cepat membalikkan badan dan kedua tangannya mengayun ke depan, sambil
berlutut satu kali. Wuut, wuut...!
Kedua pisau di tangan Suto itu melesat dan menancap
mengenai kedua orang tersebut. Jeb, jeb...!
"Aaahk...!" keduanya terpekik dan jatuh
terjungkal kehilangan keseimbangan tubuh. Satu pisau menancap di paha salah
seorang, satu pisau lagi menancap di bawah pundak kanan orang yang satunya
lagi.
Kemunculan dua orang yang telah berhasil dirobohkan
Suto itu disusul dengan munculnya tiga orang lagi. Mereka melompat dari balik
kerimbunan semak sebelah kiri Buyut Batara dan sebelah kanannya.
Wuuut...! Jleg, jleg...! Brruk...! Salah seorangyang
baru muncul itu terpeleset dan terpelanting jatuh. Memalukan sekali. T api ia
segera berdiri dan memaksakanwajahnya supaya tampak angker.
Kini kedua pemuda itu berhadapan dengan empat orang
mengenakan rompi zirah, atau pakaian perang anti senjata tajam.
Merekamengenakan topi besi yang mirip bakul nasi. Lengan mereka juga dibungkus
dengan kain berlapis besi agar tak mempan jika terkena pedang.
Mahesa Gibas semakin merunduk, berlindung
semak-semak rimbun di balik pohon.
Dari sela-sela batang semak, ia masih bisa melihat
apa yang terjadi di depan sana. Pendekar Mabuk merasa heran melihat empat orang
berpakaian Kerajaan seperti itu.
Dua orang yang sempat dirobohkan dengan pisau
terbang tadi juga berpakaian sama.
Hanya saja, bagian paha mereka tak terlindung baju
besi, se dangkan bawah pundakorang yang terkena pisau itu kebetulan robek
sehingga pisau lemparan Suto dapatkenai tubuhnya.
Pisau beracun itu membuat kedua orang tersebut tak
bisa berdiri lagi, tapi keadaannya masih bisa bernapas.
Rupanya pisau itu mempunyai racun yang melumpuhkan
korbannya, sehingga kedua orang tersebut hanya bisa mengerang kesakitan karena
tak bisa mencabut pisau yang masih menancap di tubuh mereka.
Empat orang bertopi besi mirip bakul nasi itu segera
berjejer tegak dengan masing-masing tangan pegangi gagang pedang. Namun pedang
mereka belum sempat dicabut. Salah seorang mewakili mereka maju dua langkah
dari barisan.
Pendekar Mabuk melirik Buyut Batara. Pemuda itu
sedang memperhatikan wajah-wajahangker keempat orang tersebut.
"Siapa mereka" Aku tak punya kenalan
seperti mereka," bisik Suto Sinting masih kelihatan tenang, karena bumbung
tuaknya sudah berpindah di tangan kanannya begitu keempat orang tadi muncul
dari semak-semak. "Mereka adalah para prajurit dari Istana Kematian,"
jawab Buyut Batara dalam bisikan. "Mereka menghendaki diriku. Bukan
dirimu. Karena merekalah yang selama ini menculik para pemuda T anah Leluhur
dan sering bikin kacau di tempat kami!"
"Jadi, bagaimana kalau sudah
begini"!"
"Akan kucoba menangani mereka. Tapi ... kurasa
mereka juga akan menangkapmu!"
"Aneh. Belum kenalan sudah mau menangkap?"
gumam Suto Sinting.
"Karena kau termasuk pemuda bertubuh kekar dan
gagah."
"Apa hubungannya"!"
Buyut Batara tak sempat menjawab, karena suara orang
yang maju dua langkah dari barisannya itu telah lebih dulu berseru dengan suaranya
yang kasar, keras, dan serak.
"Menyerahlah Buyut Batara, ketimbang kepalamu
kupenggal di tempat ini! Jangan terlalu berharap dapat bantuan dari pemuda
sebelahmu itu, karena ia pun akan segera kami lumpuhkan. Bilamana perlu akan
kami cincang di sini juga!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum mendengar dirinya
terancam
juga. Ia justru membuka tutup bumbung tuaknya dan
menenggak tuak dengan tenang, tanpa rasa takut diserang. Keempat orang Istana
Kematian itu memperhatikan Suto dengan hati dongkol.
"Hei, kau... yang minum tuak! Dengar perhatikan
kata-kataku!" bentak orang yang tadi mengancam.
Orang itu hampiri Suto Sinting
dengan pedang dicabut dari sarungnya dan bermaksud
ingin mengancam memakai
pedang tersebut.
T etapi suara bentakan itu dimanfaatkan Suto untuk
alasan tersedak. Minumnya
terhenti, kepalanya tersentak ke depan, tuak di
mulutnya menyembur ke arah orang
tersebut sambil berlagak terbatuk-batuk.
Bwrruus...! "Uhuk, uhuk, uhuk, uhuk...!"
"Haah..."!" orang yang mau
mengancamnya itu kaget.
Semburan tuak Suto itu bukan semata-mata semburan
biasa, namun memercikkan bunga api yang segeramembakar tubuh orang tersebut.
"Ooh, hhahh..."! Hhaaa...
haaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk telah mengawali perlawanannya. Jurus
' Sembur Bromo Wiwaha" digunakan dalam keadaan yang tepat sekali, tampak
seolah-olah tidak sengaja, namun sebenarnya sangat sengaja. Jurus 'Sembur Bromo
Wiwaha' itu membuat semburan tuak dari mulut Pendekar Mabuk berubah menjadi
bara api dan segera membakar tubuh orang tersebut.
Semua mata terbelalak kaget, termasuk mata Buyut
Batara. Mata mereka tak berkedip, tubuh mereka tak bergerak. Shock dalam
beberapa helaan napas. Merekahanya memandangi orang yang pakaiannya terbakar
itu berguling-guling di rerumputan, berusaha memadamkan api yang membungkusnya.
"T oloong...! Keparat! Toloong...! Aaow...!
Tolong aku, Jangan bengong saja, Setaann...!!" Jeritnya kepada ketiga
prajurit lainnya. Barulah ketiga prajurit itu berusaha memadamkan api dari
tubuh orang tersebut.
Ada yang menggunakan baju zirahnya dikebut-kebutkan
untuk memadamkan api, ada yang menggunakan segenggam rumput ilalang
disabet-sabetkan.
Salah seorang lari sana-sini dengan bingung mencari
air untuk padamkan api tersebut.
Suto Sinting tertawa seperti orang menggumam. Pelan
tapi jelas merasa geli. Matanya pandangi kesibukan para prajurit itu. Ia
berdiri berdekatan dengan Buyut Batara. Pemuda dari T anah Leluhur itu akhirnya
tersenyum juga melihat ketiga prajurit kebingungan memadamkan api yang
membungkus tubuh temannya itu. "Panaaas...! Panaaaass...! Aaoow...!
Aaaaaiiir...!"
Mahesa Gibas ikut keluar dari persembunyiannya, ia
berlari-lari membawa daun talas berisi air. Air itu segera disiramkan ke tubuh
orang tersebut! Namun karena jumlahnya sedikit, maka air itu tak dapat
memadamkan api yang makin lamasemakin berkobar besar.
T anpa sadar seorang prajurit yang berusaha
memadamkan api dengan menaburkan tanah ke tubuh korban itu berseru kepada
Mahesa Gibas. "Cari lagi yang banyak! Cepat, ambil air yang banyak seperti
tadi!"
"Mana bisa! Aku sudah tidak bisa buang air
lagi!"
"Hahh..."! Jadi yang kau siramkan tadi air
senimu"!"
"Habis tak ada air lainnya"!" Mahesa
Gibas ngotot.
"Kurang ajar! Wajah ketuaku disiram dengan air
begituan"!"
Mahesa Gibas ketakutan, lalu segera lari ke arah
Pendekar Mabuk dan Buyut Batara. T
erdengar suara gerutu Pendekar Mabuk saat Mahesa Giba s berada di belakangnya.
"Kau ini bikin ulah yang bukan-bukan saja! Untung mereka tak segera
memenggal lehermu!" "Habis, aku sendiri juga bingung. T ak ada air
terdekat dari sini. Kebetulan aku sedang kebelet... lalu, yah... kumanfaatkan
saja. Siapa tahu bisa memadamkan api itu," ujar Mahesa Gibas dengan suara
seperti orang menggumam.
Buyut Batara sendiri tidak segera lakukan serangan
terhadap orang-orang istana Kematian itu. Pendekar Mabuk merasa heran dan
akhirnya ajukan tanya kepada BuyutBatara. "Mengapa kau tak menyerangnya
saat mereka banyak kelengahan begitu"!"
"Hmmm... menurutmu bagaimana" Haruskah aku
menyerangnya"!"
"Hei, mengapa kau menunggu perintah
dariku"!" ujar Suto Sinting heran. Buyut Batara bingung menjawabnya.
Akhirnya Suto Sinting lakukan sesuatu setelah melihat
Buyut Batara tampak ragu-ragu untuk bertindak. Pendekar Mabuk melesat dengan cepat
ke arah mereka yang sibuk memadamkan api.
Zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman'-nya yang mempunyai
kecepatan seperti kecepatan cahaya itu dipergunakan. Kakinya merentak saat
menerabas ketiga orang yang sibuk mengerumuni sang ketua prajurit itu.
Brruus...! "Aaahhh...!!" ketiganya memekik
keras. Ketiganya juga terpental ke tiga arah dalam keadaan tubuh mereka
melayang cepat. Mereka jatuh terhempas dengan kuat.
Ada yang terbanting di rerumputan, ada yang masuk ke
semak berduri, ada yang membentur pohon. Yang paling parah yang membentur
pohon. Dua tulang rusuknya patah seketika, ia mengerang kesakitan.
Sekalipun memakai rompi besi, tapi rompi yang membentur
pohon dengan kuat itu justru membuat tulang iganya bagaikan dihantam dengan
sebatang besi.
Pendekar Mabuk segera dekati orang yang terbakar. Orang
itu masih mengerang dalam keadaan sekarat. Api masih berkobar-kobar.
Pendekar Mabuk segera menenggak tuaknya, sebagian
ditelan, sebagian lagi disemburkan ke arah kobaran api tersebut. Bwweerrs...!
Wuuuubbbh...!
Api padam seketika. Dua prajurit yang tadi terkena
pisau itu bisa memandang keadaan tersebut, dan diam-diam mereka tercengang
kagum, namun masih tetap harus menyeringai menahan rasa sakit dalam keadaan
lemas bagai tak bertulang sedikit pun. Sang ketua prajurit seperti babi
panggang. Hangus dan berasap. T api ia masih bisa merintih walau pelan sekali,
ia belum sempat mati. Jika api tak dipadamkan dalam waktu lima hitungan napas
lagi, maka orang tersebut akan tewas tanpa bisa tertolong lagi.
Buyut Batara tetap diam di tempat bersebelah dengan Mahesa
Gibas. Ia sempat menggumamkan kata kagum terhadap kemampuan Pendekar Mabuk
dalam memadamkan kobaran api tersebut. "Luar biasa sekali!"
Mahesa Gibas menyahut, "Memang ini tindakan di
luar biasanya."
Dahi pemuda T anah Leluhur itu berkerut saat melihat
Pendekar Mabuk menenggak tuak lagi. Rupanya kali ini tak ada tuak yang ditelan.
T uak itu segera disemburkan ke sekujur tubuh si ketua prajurit yang sudah
seperti babi panggang itu. Bwwrreeess...! T ak ada yang paham dengan tindakan
itu.
Mereka tak tahu bahwa Suto Sinting telah menggunakan
jurus penyembuhan yang dinamakan jurus ' Sembur Husada'itu. Luka apa pun dapat
disembuhkan dengan tuak yang disemburkan ke tubuh si penderita. T etapi
akibatnya si penderita akan kehilangan ingatan tentang diri Pendekar Mabuk.
Seandainya si ketua prajurit sebelumnya sudah kenal baik dengan Suto, maka ia
akan sembuh tapi lupa siapa diri Suto Sinting.
Jurus seperti itu jarang dipergunakan oleh Pendekar
Mabuk. Biasanya Suto lakukan penyembuhan dengan cara meminumkan tuak dari
bumbung saktinya itu.
T etapi agaknya kali ini ia tak memungkinkan dapat
meminumkan tuak ke mulut orang yang sudah separo matang itu. Maka jurus 'Sembur
Husada' dipergunakan, seperti saat ia mempergunakannya kepada seorang gadis
yang terluka di masa lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Darah Asmara Gila").
Tiga prajurit yang tadi terpental hanya bisa
terbengong di tempat melihat asap mengepul dengan tebal membungkus si ketua prajurit.
Ketika asap itu pudar sedikit demi sedikit, tampak si ketua prajurit menggeliat
bangun. Tubuhnya yang hangus dan terluka bakar itu menjadi bersih seperti
sediakala. Si ketua bisa berdiri dengan tegak, seperti tak pernah mengalami
luka apa pun. Ia sendiri merasa heran dan memperhatikan tubuhnya.
Tetapi ketika ia memandang Suto Sinting, orang itu
tampak heran dan merasa baru kali ini jumpa dengan seorang pemuda berbaju
buntung warna coklat. Dan bagi Suto, hal itu tidak merugikan dirinya. T oh
tanpa terkena pengaruh dari jurus'Sembur Husada' ketua prajurit itu tetap saja
tak mengenal siapa Suto.
Dua orang prajurit yang terjerembab di semak dan
terbanting di rerumputan tadi segera hampiri si ketua.
Mereka pandangi keadaan tubuh si ketua, memeriksa
dengan teliti. Lalu salah seorang berseru kepada dua orang yang terkena pisau
dan satu orang yang patah rusuknya. "Ketua sembuh! Ketua tak punya luka
sedikit pun! Ajaib sekali!"
Pendekar Mabuk melangkah kalem ke arah Buyut Batara.
Setibanya di samping pemuda itu, ia berkata pelan sambil pandangi si ketua
prajurit yang sedang kebingungan.
"Katakan kepada mereka, jika masih mau
coba-coba mengganggu kami, aku akan bertindak lebih kasar lagi. Tapi jika
mereka bersedia pulang ke Istana Kematian, akan kusembuhkan kedua orang yang
terkena pisau itu dan seorang yang meraung di bawah pohon itu!"
Buyut Batara bagai seorang prajurit yang patuh kepada
komandannya, ia pun berseru seperti apa yang dikatakan Suto Sinting tadi.
"Kami bukan orang-orang yang mengenal kata
menyerah atau kalah, Buyut Batara!" seru si ketua prajurit masih ngotot
juga.
Sambungnya lagi, "Tetapi kami hanya bisa
menunda waktu untuk satu tugas! Sekalipun sekarang kami pulang ke Istana
Kematian, bukan berarti melepaskan ancaman untukmu dan... dan untuk temanmu
itu! Aku hanya ingin buktikan kemampuan temanmu mengobati ketiga anak buahku
itu!"
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum. Buyut Batara
berbisik sambil meliriknya. "Dia masih keras kepala!"
"Itu hanya sekadar jaga harga dirinya sebagai
seorang prajurit. Kata-katanya sudah membuktikan dia tak akan berani berhadapan
dengan kita lagi!"
Pendekar Mabuk akhirnya obati ketiga prajurit yang
terluka itu dengan meminumkan tuaknya. Ketiganya menjadi sehat dan badan mereka
terasa segar tanpa luka apapun. Bahkan dua prajurit yang tadi terbanting dan
menyerusuk ke semak berduri itu juga ikut minta minum tuak tersebut. Suto
Sinting tak keberatan memberikan tuaknya. Setidaknya sikap itu telah
mencerminkan kemenangan besar pada pihaknya.
"Lain waktu kita pasti bertemu!" kata si
ketua prajurit dengan suara keras sambil menuding Suto Sinting.
Seruan itu hanya dijawab dengan lambaian tangan
kecil oleh Suto dan senyum lebar yang berkesan melecehkan mereka. Mereka pun
segera pergi tinggalkan tempat itu.
"Itulah mereka," ujar Buyut Batara.
"Hampir setiap empat hari sekali mereka datang ke Tanah Leluhur dan
membuat kekacauan, membunuh, merampas harta kami, dan... menculik beberapa
pemuda yang berbadan sepertiku."
"Untuk apa mereka menculik pemuda-pemuda
sepertimu?"
"Entah. Kami tak tahu dengan pasti. T api menurut
dugaan kami, teman-temanku itu akan dijadikan prajurit di Istana Kematian,
memperkuat Istana Kematian dalammenghadapi lawan. Sementara itu, T anah Leluhur
sendiri diharapkan tidak mempunyai kekuatan lagi setelah semua pemuda sepertiku
diangkut ke IstanaKematian!"
"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut
dan menggumam pelan.
"Karenanya, aku dipilih oleh rakyat T anah
Leluhur sebagai utusan yang bertugas mencari Pendekar Mabuk sampai dapat!"
"Maksudnya..."!"
"Kami ingin meminta bantuanmu untuk memperkuat
T anah Leluhur, mengusir orang-orang Istana Kematian, syukur bisa membebaskan
rekan-rekanku yang diculik oleh pihak Istana Kematian itu! Kami menaruh harap sekali
padamu, Suto! Karena itulah, beberapa orang kami yang mengetahui tentang perempuan
bernama Perawan Sinting segera menghubungi perempuan itu dan mendesak agar
diberi tahu di mana Suto Sinting berada. Mungkin desakan kami itu mencurigakan,
sehingga Perawan Sinting merasa terganggu."
"Kurasa Perawan Sinting dapat memahami keadaan
kalian jika sudah dijelaskan seperti ini."
"Lalu, keputusanmu sendiri bagaimana,
Suto" Maukah kau menyelamatkan sisa nyawa yang ada di T anah Leluhur
itu?"
Pendekar Mabuk menarik napas, memandang jauh. Ia
mempertimbangkan langkahnya, karena ia tak ingin masuk dalam jebakan yang
membahayakan jiwanya.
* * *
3
MENIMBANG serangan enam prajurit Istana Kematian
yang mengincar Buyut Batara, akhirnya Pendekar Mabuk bergegas pergi ke Tanah
Leluhur.
Sebelumnya ia perintahkan Mahesa Gibas untuk
menghubungi Perawan Sinting, karena sejak kematian Peri Kahyangan alias si Bayangan
Setan itu, Mahesa Gibas selalu bersama Perawan Sinting, sementara Suto menyelesaikan
urusan lainnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Rahasia
Bayangan Setan").
"Mahesa, cari Perawan Sinting dan beri tahu
bahwa aku ada di T anah Leluhur. Suruh gadis itu menyusulku di T anah
Leluhur!"
Mahesa Gibas tak bisa menolak perintah itu, karena
sejak ia keluar dari jabatannya sebagai pelayan sang Adipati, hanya Suto
Sinting dan Perawan Sinting yang mau menampungnya. Kedua orang itulah yang
selalu dapat dijadikan pelindungnya jika terjadi bahaya mengancam
keselamatannya. Pendekar Mabuk sendiri memerintahkan hal itu bukan semata-mata
meminta bantuan Perawan Sinting, tapi sebagai tindakanberjaga-jaga bagi dirinya
sendiri. Seandainya permintaan Buyut Batara itu merupakan jebakan maut yang
akan merepotkan dirinya, setidaknya Perawan Sinting akan segera mengetahui
danmelakukan penyelamatan.
T api melihat wajah Buyut Batara berlagak tenang,
tanpa kecemasan sedikit pun, hati kecil Suto mengatakan bahwapihak T anah
Leluhur memang terancam kehancuran oleh tindakan orang-orang Istana Kematian.
Buyut Batara tampak berharap sekali datangnya
bantuan dari Pendekar Mabuk, sehingga apa pun yang ditanyakan Suto selalu
dijawab apa adanya tanpa ada keraguan.
"Dulu T anah Leluhur diperintah oleh Bapa Resi
Burnawa. T etapi sejak tewasnya Bapa Resi di tangan Ratu Kehangatan yang
bernama asli Indudari itu, kekuatan Tanah
Leluhur menjadi lemah. Sampai sekarang kami tak punya penguasa tunggal. Kami
hanya mempunyai beberapa sesepuh yang untuk sementara ini menjadi pengatur
kehidupan di T anah Leluhur."
Buyut Batara menjelaskan hal itu, karena Suto Sinting
ajukan tanya masalah penguasa T anah Leluhur.
Dalam otak Pendekar Mabuk mulai mencatat nama penguasa
Istana Kematian yang agaknya lebih dikenal dengan nama Ratu Kehangatan ketimbang
nama asli Indudari itu.
"Sudah berapa orang pemuda yang diculik dan
diba wa ke Istana Kematian"!" tanya Suto Sinting. "T iga belas
orang," jawab Buyut Batara. "Sebetulnya mereka pemuda-pemuda tangguh.
Boleh dikata, mereka adalah prajurit pilihan kami yang mempunyai kepandaian
bertempur, berilmu tinggi, dan berjiwa ksatria. T etapi sekalipun kami
mengunggulkan mereka, toh pihak Ratu Kehangatan masih bisa melumpuhkan kami satu
persatu dan menculiknya, entah siang ataupun malam."
"Ada berapa pemuda tangguh di T anah
Leluhur"!"
"T ak banyak. Sisanya hanya sedikit, termasuk
aku. Dan agaknya para penculik itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari kami."
"Hmmm...," Suto menggumam, lalu diam
sesaat. Ia tetap melangkah di samping Buyut Batara bagai dua ksatria sedang
menuju ke medan pertempuran.
Mereka berdua sama gagahnya, sama gantengnya, dan
sama-sama berbadan kekar.
T ak heran jika langkah mereka diikuti oleh sepasang
mata yang secara diam-diam mengintai dari balik celah bebatuan besar di depan
mereka. Bebatuan besar itu berada di atas bukit cadas yang tak seberapa tinggi,
puncaknya dapat dicapai dengan satu kali sentakan kaki Suto Sinting.
"Selain para pemuda, adakah kaum wanita yang
diculik mereka, Buyut?"
"Sejauh ini, belum ada," jawab Buyut
Batara dengan kesan jujur. "Padahal kami juga punya beberapa gadis berilmu
yang tergabung dalam kelompok para prajurit Tanah Leluhur."
"Hmmm...!" Suto manggut-manggut lagi.
Mereka melewati jalanan di bawah bukit cadas berbatu-batu
itu. Suto Sinting sempat ajukan tanya kepada Buyut Batara.
"Apakah mereka yang hilang itu benar-benar
dibawa ke Istana Kematian untuk dijadikan prajurit di sana"! Bagaimana
jika ternyata mereka dibunuh?"
"Sejauh ini kami belum pernah menemukan mayat
mereka. Jadi kami yakin mereka masih hidup dan berada dalam benteng Istana
Kematian."
"Jauhkah letak Istana Kematian dengan T anah
Leluhur itu"!"
"Jika ditempuh dengan berjalan kaki biasa,
memakan waktu satu hari satu malam. Tapi jika kita berlari cepat menggunakan
ilmu petingan tubuh, kira-kira hanya memakan waktu satu malam atau satu
siang."
"T ermasuk dekat menurutku. Apakah pihakmu
pernah menyerang ke Istana Kematian?"
"Belum pernah. Sebab kami sadar kekuatan kami
tak seimbang jika berhadapan dengan pihak Istana Kematian. T etapi
dalam...."
"Ssst...!" Suto Sinting memotong
pembicaraan itu dengan mencekal lengan kekar Buyut Batara. T indakan itu
mengherankan bagi Buyut Batara, sehingga ia berpaling memandang Suto dengan dahi
berkerut.
"T etap saja melangkah biasa," bisik
Pendekar Mabuk.
"Ada apa sebenarnya?"
"Ada yang mengikuti kita."
"Ada di mana orang itu"! Di belakang
kita?"
Suto Sinting tersenyum menahan rasa geli.
"Namanya mengikuti ya tentu dari belakang,
tidak mungkin dari depan! Kalau dari depan namanya menuntun kita! Bukan
mengikuti!"
Buyut Batara malu dengan pertanyaan bodohnya tadi.
Ia ingin menoleh ke belakang, tapi Suto Sinting
buru-buru melarangnya.
"Jangan menoleh. T etap saja seperti biasa,
seolah-olah kita tak tahu kalau dia mengikuti dari belakang."
"T api... tapi dari mana kau tahu kalau dia
mengikuti kita" Aku tak mendengar suara langkah kakinya," bisik Buyut
Batara.
"Suara langkah kakinya memang tak terdengar.
Kurasa dia mempunyai ilmu peringan tubuh yang cukup
lumayan, sehingga langkah kakinya bisa tak terdengar. T api aku mendengar detak
jantungnya."
"Ooh..."!" Buyut Batara terperanjat dan
merasa kagum. Baru sekarang ia tahu ada orang yang bisa mendengar suara detak
jantung di kejauhan. Buyut Batara memang tak tahu bahwa Pendekar Mabuk juga
mempunyai ilmu 'Lacak Jantung' yang membuatnya dapat mendengar detak jantung
seseorang di tempat yang tersembunyi.
Mereka akan melewati tikungan jalan. Kerimbunan
pohon bambu yang tumbuh merapat dapat dijadikan tempat bersembunyi bagi kedua
pemuda tersebut. Suto Sinting segera membisikkan rencana kepada Buyut Batara.
"Jika kita nanti sudah membelok di balik
pepohonan bambu itu, lekaslah naik ke pohon. Kau bisa lakukan lompatan cepat ke
atas pohon, bukan?"
"Bisa!" jawab Buyut Batara.
"Bagus. Carilah tempat bersembunyi di atas
pohon nanti, agar jangan sampai kauterlihat dari bawah. Aku akan berhenti dan
menghadang si penguntit kita itu!"
"Baik. Hati-hatilah, Suto!"
"Sekarang jangan kelihatan tegang dulu. Santai
saja!" bujuk Suto Sinting karena Buyut Batara mulai menggenggamkan kedua
tangannya. Hal itu bisa dilihat dari belakang dan tampak mereka bersiap
menghadapi seseorang. Karenanya, Buyut Batara segera melepaskan genggaman
tangannya, ia ikut tertawa pelan ketika Suto Sinting membuat lelucon lewat
celotehnya. Bahkan Suto Sinting sempatkan diri menenggak tuaknya sesaat.
Gerakan menenggak itu dimaksud juga untuk memeriksa
apakah ada bahaya di atas pohon sekitar mereka.
"Aman...," ucap Suto membatin. Langkah
mereka pun berlanjut, membelok di tikungan, di balik serumpun pohon bambu hijau
yang tumbuh rapat. T ak jauh dari tikungan ada sebuah pohon dengan cabangnya
menaungi jalanan yang dilewati mereka berdua. Pendekar Mabuk berikan isyarat
lewat angukan kepalanya.
Buyut Batara segera sentakkan kaki ke tanah.
Wuuus...! T ubuhnya meluncur naik dan hinggap di
salah satu dahan. Jleeg...!
Suto Sinting memandang sebentar, kemudian ia
tersenyum sambil menatap kearah tikungan itu. Ia sengaja berbalik arah dengan
sikap menunggu datangnya si penguntit.
"Aku yakin dia berilmu tinggi, karena suara
langkah kakinya tak terdengar sedikit pun," ujar Suto Sinting membatin
sendiri. "T api ia tidak bisa sembunyikan suara detak jantungnya, sehingga
ia tak akan menduga kalau kuhadang di sini dan akan kupergoki siapa dia
sebenarnya!"
T ernyata sampai beberapa saat lamanya, dari arah
tikungan itu tidak muncul siapa pun juga. Padahal hati Suto sudah tak sabar.
Rasa penasaran ingin mengetahui siapa penguntitnya membuat Suto menjadi
jengkelsendiri. "Apakah dia tahu kalau sedang kujebak di sini?" pikir
Suto, lalu segera menggunakan jurus 'Lacak Jantung'-nya lagi untuk mengetahui
di mana orang itu bersembunyi. Namun sesaat setelah jurus itu dipergunakan,
wajah Suto Sinting mulai berubah.
Dahinya berkerut dan matanya melirik sekitarnya. Ada
kecemasan yang mulai dirasakan oleh si murid sinting Gila T uak itu.
"Aneh! T ak ada suara detak jantungnya
lagi" Apakah dia pergi ke lain arah dan jadi menguntitku" Hmm... tapi...
tapi suara detak jantung Buyut Batara juga tak kutangkap dengan indera pendengaran
gaibku"! Aneh sekali. Yang kutangkap hanya suara detak jantungku sendiri"!"
Pendekar Mabuk semakin cemas, ia mendongak ke atas,
memandang pohon berdaun rindang tempat Buyut Batara bersembunyi tadi.
"Ooh..."! Tak kulihat bayangan seseorang
di atas sana. Apakah Buyut Batara pindah tempat"! Sialan kalau pindah
tempat!" ujar Suto membatin. Lalu, ia pun memanggil Buyut Batara dengan
suara setengah tertahan. "Buyut...! Hei, menjawablah, Buyut! Yuut...!
Buyut Batara"! Ssst...! Buyut, kau dengar suaraku"!"
T ak ada jawab apa pun dari atas pohon. Pendekar
Mabuk semakin bertambah cemas lagi. Wuuut...! Ia pun menyusul naik ke atas
pohon dengan satu sentakan kakiringan. T ubuhnya melayang dengan cepat dan
menerabas daun-daun kecil yang rimbun itu. Brruuss...!
"Edan! Ke mana bocah itu"!" geramnya
dengan hati kesal, karena Buyut Batara ternyata tak ada di pohon tersebut.
T api ketika ia memandang ke arah selatan, tampak
sekelebat bayangan merah tembaga yang melesat dari pohon ke pohon. Bayangan itu
sepertinya sedang memanggul sesuatu yang berwarna biru muda.
"Kurang ajar! Rupanya seseorang telah berhasil
membawa lari Buyut dari pohon ini"!"
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk segera mengejar bayangan
merah jambu itu dengan hati semakin kesal, ia merasa telah kebobolan.
Bahkan lebih parah lagi, niatnya menjebak justru
ganti terjebak. Hal itu membuat Pendekar Mabuk sangat jengkel dan bertambah
penasaran, ia harus berhasil menangkap orang itu dan membebaskan Buyut Batara,
karena tertangkapnya Buyut Batara karena gagasannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa keadaan Buyut Batara
di atas pohon merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi pihak si penguntit.
Orang tersebut bermaksud mengikuti Suto dan Buyut Batara melalui atas pohon,
agar tak menimbulkan kecurigaan bagi keduapemuda tersebut. Namun ketika ia tiba
di pohon berdaun rindang itu, ternyataBuyut Batara muncul dan hinggap di sebuah
dahan membelakangi orang tersebut.
Buyut Batara sendiri tak tahu ada orang di
belakangnya, ia hanya rasakan sentuhan keras di bagian tengkuknya.
Sentuhankeras di bagian sekitar tengkuk itu adalah sebuah totokan dua jari
tangan si penguntit. T entu saja Buyut Batara tersentak, namun tak bisa
keluarkan suara, ia segera menjadi lemas, terkulai hampir jatuh.
Orang tersebut menyambar tubuh Buyut Batara sebelum
pemuda itu jatuh dari atas pohon. Keadaan Buyut Batara masih sadar dan mengetahui
apa yang sedang terjadi atas dirinya. Hanya saja, ia kehilangan kemampuan
bersuara dan bergerak. Orang tersebut agak kerepotan sebentar menahan tubuh
Buyut Batara yang gempal itu. Namun dengan kekuatan tenaga dalamnya, ia berhasil
meletakkan Buyut Batara di pundaknya seperti handuk basah. Kemudian ia berusaha
tinggalkan pohon itu tanpa suara sedikit pun.
Mulanya langkah dan gerakannya dilakukan sangat
pelan, setelah agak jauh baru ia berlari melompati pohon ke pohon dengan ilmu
peringan tubuhnya.
Orang tersebut ternyata mempunyai kecepatan gerak
yang membuat Suto Sinting kewalahan. Jurus 'Gerak Siluman' yang digunakan si
Pendekar Mabuk tak berhasil memburunya, karena orang tersebut mempunyai gerakan
berbelok-belok membingungkan. Bahkan Suto sempat salah arah. Ia tak melihat orang
tersebut membelok ke arah timur. Suto masih mengejarnya ke arah selatan.
Setelah sadar ia salah arah, ia pun kembali ke arah
semula. Tapi sudah terlambat; orang itu sudah membelok lagi entah ke arah mana.
Suto Sinting mencari ke berbagai penjuru dalam radius sekian kilometer. T api
orang yang membawa lari Buyut Batara tetap tidak berhasil ditemukan.
Kesimpulan batin Suto mengatakan, "Pasti orang
Istana Kematian! Entah siapa namanya, yang jelas bukan salah satu dari keenam
prajurit tadi!"
T entu saja Suto tak berhasil temukan orang
tersebut, karena ia tidak melihat adanya sebuah gua kecil di salah satu lereng
bukit tak jauh dari tempat ia salah arah itu. Gua tersebut selain kecil, hanya
cukup untuk masuk satu orang dalam keadaanmerunduk, juga bagian depan gua
tumbuh ilalang setinggi pundak orang dewasa.
Ilalang itu menutupi mulut gua, sehingga tidak kelihatan
jelas dari jalanan seberang semak tersebut,
Orang tersebut meletakkan Buyut Batara di mulut gua
itu. Setelah ia masuk ke dalam gua, ia segera menarik tubuh Buyut Batara hingga
ikut masuk ke dalam guatersebut. Jika bukan orang yang pernah masuk ke gua itu,
tak mungkin gua itu mudah ditemukan oleh orang berpakaian merah tembaga itu.
Keadaan di dalam gua ternyata cukup lebar. Banyak
bebatuan yang berserakan di sana-sini, tapi banyak pula tempat datar yang
kering. Langit-langit gua itu mempunyai tiga lubang tembus ke atas bukit.
Cahaya matahari masuk melalui tiga lubang tersebut, membuat suasana di dalam
gua cukup terang tapi aman.
Gua itutidak punya jalan tembus ke mana-mana, selain
celah-celah sempit pada dinding gua yang tidak bisa dipakai lewat seseorang.
Celah sempit itu juga membiaskancahaya matahari, sehingga jika matahari condong
ke barat atau baru terbit daritimur, gua itu tetap mendapat penerangan cahaya.
Buyut Batara dibaringkan di atas tanah datar yang
dilapisi daun-daun ilalang kering. Ilalang kering itu disusun se demikian rupa,
sehingga dapat digunakanuntuk tidur dengan empuk. Hal itu menandakan bahwa
orang tersebut pernah tiduratau istirahat di gua itu beberapa kali.
Suara sebuah ledakan yang samar-samar mengubah arah
pengejaran Pendekar Mabuk. Suara itu berasal dari utara. Tampaknya cukup jauh
dari tempatnya berdiri saat itu.
"Jangan-jangan suara ledakan itu adalah
pertarungan Buyut Batara dengan orang berpakaian merah tembaga
tadi"!" duga hati murid sinting si Giia T uak. Maka takada langkah
lain bagi Suto Sinting kecuali hampiri suara ledakan tersebut.
T ernyata suara itu memang datang dari sebuah pertarungan.
Pertarungan itu terjadi di hutan berpohon renggang, sehingga banyak tempat
kosong yang memberi kebebasan bagi sebuah pertarungan. Pada waktu Suto Sinting
tiba di atas salah satu pohon, ia sempat kecewa sesaat, karena pertarungan itu
bukan pertarungannya Buyut Batara.
Namun hatinya segera tergugah melihat salah satu
pihak yang bertarung itu adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh lima
tahun. Wanita itu mempunyai paraswajah yang cantik walau berkulit sawo matang.
Rambutnya disanggul seba gian, sisanya meriap sampai
menutupi bahunya.
Tubuh sekal yang tampak padat berisi dan berurat
kencang itu dibungkus dengan jubah kuning gading tanpa lengan. Jubah itu
terbuka bagian depannya. Tapi si wanita cantik berhidung mancung itu mengenakan
kain penutup dada ber warna hijau tua, sama dengan kain penutup bagian bawahnya
yang berbelahan dua kanan-kiriitu. Sebuah sa buk dari kulit binatang dikenakan
untuk menyelipkan pedang bergagang putih berkilauan dari logam anti karat.
"Siapa wanita cantik itu"!" tanya
Suto dalam hatinya.
"Gerakannya cukup gesit dan lincah. Jurus yang dimainkan...
boleh juga! Ia punya gerak tipuan yang bagus. Hmmm... baru sekarang kulihat
wanita bermata penuh keberanian itu. T api yang jelas, lawannya pastiorang
istana Kematian, sebab pakaian besi dan topi besinya sama dengan keenam prajurit
yang tadi. Namun dia bukan salah satu dari mereka. Aku ingat betul, wajah mereka
tak ada yang seperti lelaki ini!"
Lelaki yang kini mencabut pedang panjangnya itu
berusia sekitar tiga puluh lima tahun, mempunyai kumis lebat dan berwajah
ganas, ia mempunyai tubuh yang tinggi dan besar, melebihi keenam prajurit yang
tadi berurusan dengan Suto.
Orang mata lebar itu bukan saja pandai bermain jurus
pedang, namun ia juga mempunyai jurus pukulan jarak jauh bercahaya merah.
Ketika pedangnya menebas dan tertangkis oleh pedang si wanita cantik, ia sempat
terpental karena wanita itu segera memutar tubuh dan melayangkan tendangan
kuatnya ke arah perut lawan.
Begitu orang itu bangkit dari jatuhnya yang berjarak
delapan langkah dari tempat si wanita cantik itu berdiri, tangan kirinya segera
melepaskan sinar merah bundar seperti telur burung. Claaap...!
Sinar merah dari telapak tangan kirinya itu melesat
ke arah wanita berjubah kuning. Namun dengan lincah wanita itu melenting ke
udara, bersalto maju dua kali dengan gerakan putar yang cepat. Wes, wes...!
Sinar merah itu akhirnya padam begitu saja karena menerjang rumput ilalang
lebat. Buuuss...! Asap mengepul dari tengah kelebatan semak ilalang itu.
"Kalau ilalang itu tanahnya tidak basah, pasti
akan terbakar karena sinar merah tadi," pikir Suto Sinting, namun
perhatiannya segera berpindah ke pertarungan.
Wanita berjubah buntung warna kuning berdiri dalam
jarak empat langkah dari lawannya, ia diserang dengan juruspedang yang berkesan
membabi-buta tapi mempunyai gerakan cepat.
Trang, trang, trang, trang...!
Wanita itu terdesak, karena setiap tebasan pedang
yang ditangkisnya berkekuatan besar dan membuat tubuhnya terdorong mundur.
Rupanya orang istana Kematian itu mempunyai tenaga cukup besar, sesuai dengan
postur tubuhnya, sehingga tangkisan pedang si wanita selalu nyaris mengenai
tubuhnya sendiri. Sabetan pedang lawan di ba gian ba wah bisa dihindari oleh si
wanita dengan lompatan. T api di luar dugaan, lelaki itu juga melompat dan
memutar tubuhnyadengan cepat sambil lepaskan tendangan kaki besarnya. Wuuut,
buuhkk...!
"Aahk...!" wanita itu terpekik karena
pinggangnya terkena tendangan kuat. Tubuhnya terpental sejauh lima langkah ke
samping kanan. Ia jatuh terbanting, kepalanya nyaris pecah karena batu besar
yang ada di sampingnya dalam jarak tiga jengkal itu. "Aahhhkk....
Uuuhk...!"
Rupanya tendangan kaki tadi mengandung tenaga dalam
cukup besar, sehingga si wanita akhirnya mengeluarkan darah kental dari
mulutnya. Selain rasa sakit di pinggangnya, rasa panas pun bagai membakar tubuh
bagian dalam. Darah itu keluar cukup banyak dan membuat wanita tersebut
menjadi pucat. "Berakhir sudah riwayatmu,
Perempuan Jalang! Heeaah...!"
Prajurit berwajah angkeritu melompat dengan pedang
terangkat ke atas, siap memenggal leher si wanita yang sedang bersimpuh dan
membungkuk.
T etapi ketika tubuhnya melayang di udara, tiba-tiba
ia merasaditerjang sesuatu yang datang dari arah depannya. Angin padat
berhembus cepat dan kuat, membuat tubuh si prajurit berwajah angker itu
terlempar ke belakang dan berjumpalitan di udara.
Baaahk ..! Wuuusss...! Wuuk, wuuk, wuuk...!
Praaang...! "Aahk...!" ia memekik dengan
kepala terdongak karena jatuh terbanting dalam posisi tengkurap. T ersangga
batu sebesar anak sapi .
Untung saja ia mengenakan rompi besi, sehingga tubuhnya
tak mengalami luka, hanya saja dadanya terasa sakit sekali karena bagaikan
membentur besi baja.
Angin padat yang menabraknya tadi tak lain adalah
jurus 'Jari Guntur' Suto yang disentilkan dari atas pohon.
Pendekar Mabuk akhirnya keluar dari
persembunyiannya. Zlaaap...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di depan
wanitayang terluka, matanya memandang lurus ke arah prajurit berwajah angker
itu.
"Bangsat! Rupanya kau mau cari mampus juga, hah
"!" orang itu paksakan diri untuk berteriak, ia pun memaksakan diri
untuk bangkit walau sambil menahan rasa sakit di dada.
"Heeeaah...!" teriaknya sambil
mengacungkan pedang lurus ke depan dan tubuhnya meluncur di udara dengan cepat
bagaikan terbang. Pedang itu tepat mengarah ke dada Suto Sinting.
Dengan cepat Suto Sinting pun meluncur ke depan
bagaikan terbang, namun setelah bumbung tuaknya disodokkan. Bumbung tuak itu
bagaikan menarik Suto hinggaterbang mengikutinya. Jurus 'Bangau Mabuk' digunakan
oleh Suto Sinting, sehingga ketika ia bertabrakan dengan prajurit itu, ujung
pedang si prajurit beradu dengan ujung bumbung tuak Suto.
Duaaar...! Ledakan cukup keras terjadi. Prajurit itu
terpental mundur dan melayang-layang.
Pedangnya pecah patah menjadi beberapa keping, ia
tak tahu bambu bumbung tuak itu bukan sembarang bambu dan mempunyai kesaktian
dahsyat yang sulit dilawan.
Suto Sinting berdiri tegang setelah terjadinya
ledakan tadi. Ia sunggingkan senyum, memandang tajam pada si prajurit yang
terbatuk-batuk dan memuntahkan darah dari mulutnya. Rupanya ledakan tadi juga
menyebarkan kekuatan tenaga dalamyang menghantam leher prajurit itu.
"Celaka! Kurasa dia bukan tandinganku!
Uuhkk...! Se baiknya kutinggalkan saja mereka! Lukaku harus kusembuhkan
dulu!" pikir si prajurit.
Prajurit itu segera melarikan diri dengan sisa
tenaganya. Pendekar Mabuk hanya memperhatikan dengan bertolak pinggang dan
tersenyum. Bumbung tuaknya sudah digantungkan dipundak kanan. Setelah prajurit
itu menghilang dari pandangan mata, Suto segera berbalik arahdan hampiri wanita
berjubah kuning gading itu. T etapi ia terkejut melihat wanita tersebut sudah
terkapar dengan pedang tak bisa digenggamnya lagi.
"Celaka! Jangan-jangan nyawanya sudah melayang
sebelum berkenalan denganku"!" ujar hati Suto dengan cemas, ia pun
mempercepat langkahnya untuk sampai di tempat wanita cantik itu.
* * *
4
WANIT A
cantik itu akhirnya tertolong juga. T uak yang dituangkan ke mulut wanita itu
secara sedikit demi sedikit membuat kesembuhan yang mujarab. Wanita cantik itu
kebingungandan terheran-heran ketika menyadari badannya menjadi segar, lebih
segar daripada sebelum lakukan pertarungan. Ia pun terperanjat memandang seraut
wajah seorang pemuda tampan yang punya senyum mendebarkan itu.
Ketika wanita itu bebas dari maut akibat luka
dalamnya, Suto Sinting berada di ba wah pohon teduh, sandarkan pundak kirinya
sambil kedua tangan terlipat di dada. Bumbung tuaknya menggantung di pundak
kanan.
Senyumnya mekar indah dengan tatapan mata yang lembut.
T ak heran jika wanita cantik beralis tebal namun tertata rapi itu sempat terbengong
menatap Pendekar Mabuk.
"Siapa dia"!" pikirnya, mencoba mengingat-ingat
masa sebelum pingsan tadi.
"Seingatku... seingatku... orang Istana
Kematian tadi menyerangkudengan tendangan yang luar biasa beratnya. Kemudian...
kemudian aku jatuh, darahku keluar dari mulut dan... dan... dan kulihat
samar-samar orang Istana Kematian tadi ingin mengakhiri hidupku dengan satu
lompatan. Lalu... lalu bagaimana, ya?"
Wanita itu masih diam mengingat-ingat pertarungannya
tadi.
"O, iya... kemudian lawanku tiba-tiba terpental
sebelum pedangnya menghujam ke tubuhku. Dan...kalau tak salah, aku sempat
melihat sekelebat bayangan melompati kepalaku, lalu berdiri di depanku, setelah
itu... bayangan itu pingsan. Eh, aku yang pingsan. Hmmm.... Lalu ke mana si
muka iblis tadi" T ak ada bangkainya di sini. Berarti si muka iblis tadi
melarikan diri setelah pemuda itu membelaku. Hmmm... begitukah
kejadiannya"!"
Suto Sinting tetap tidak menyapa lebih dulu. Ia
ingin tahu, seperti apa sikap wanita cantik itu setelah lolos dari maut. Suto
hanya memandanginya dengan seulas senyum indah tetap menghiasi bibirnya.
Wanita cantik masih membatin, "Jangan-jangan pemuda
ini berkomplot dengan si muka iblis itu"! Lalu ia pura-pura... eh, tapi dia
membawa bambu panjang. Apakah itu bumbung tuak"! O, ya... ia mengenakan
baju coklat celana putih! Bukankah... bukankah itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk
yang sering kudengar dari mulut orang-orang itu" Aduh, deg-degan juga aku
jadinya. Apa benar dia Pendekar Mabuk"! Kalau melihat ketampanannya,
gagahnya, ciri rambutnya tanpa ikat kepala, memang dia sesuai dengan ciri
Pendekar Mabuk.
T api siapa tahu dia hanya seorang penjual tuak
dalam bumbung yang kebetulan nyasar kemari"!"
Dengan lagak membetulkan letak pakaian, membersihkan
tanah dan memasukkan pedangnya ke sarung pedang, wanita cantik itu masih
berkecamuk dalam hatinya. Setelah itu, ia pun segera tentukan sikap untuk
menyapanya lebih dulu. Wajah ketus dan angkuh dipasang supaya tidak dinilai
sebagai wanita seribu tiga alias wanita murahan.
"Mengapa kau memandangiku terus"!"
Pendekar Mabuk semakin lebarkan senyum, ia tahu
wanita tersebut sedang salah tingkah dan tak mengerti harus berbuat apa. Karena
sudah ada teguran pertama,
Pendekar Mabuk akhirnya dekati wanita cantik
bertubuh sekal itu.
"Kebetulan aku lewat daerah sini. Aku sedang
mencarisahabat baruku yang dibawa lari oleh seseorang."
"Aku tidak membawa lari sahabatmu!" ketus
si wanita cantik.
"Memang bukan kau orangnya. Orang itu
mengenakan pakaian merah tembaga. Oh, ya..."!" tiba-tiba Suto Sinting
ingat sesuatu. Hati pun mulai bicara sendiri.
"Pakaian merah tembaga seperti pakaian besi
para prajurit Istana Kematian! Orang yang tadi melawan perempuan ini juga
mengenakan rompi anti senjata tajam yang berwarna merah tembaga. Kalau begitu,
Buyut Batara memang dibawa lari oleh prajurit
Istana Kematian! Atau... atau orang tadikah yang membawanya
lari"!"
Dengan ketegangan sedikit membias di wajah
tampannya, Suto Sinting bur u-buru ajukan tanya kepada wanita cantik itu.
"Apakah... apakah kau tadi melihat prajurit
muka angker itu memanggul
seseorang?"
"T idak!" jawabnya tegas. "Aku hanya
melihat dia menenteng pedangnya. Ketika berpapasan denganku, dia segera
menyerangku, karena dia tahu aku adalah orang Tanah Leluhur."
"Ooh..."!" Suto Sinting terkejut
mendengar si wanita cantik adalah orang T anah Leluhur. T api wanita itu
semakin angkat dagu menampakkan kesombongannya.
Kesombongan itu bukan asli dari dalam jiwanya, melainkan
sengaja dipaksakan timbul untuk menjaga harga dirinya di depan pemuda tampan
itu. "Benarkah kau orang Tanah Leluhur"!"
"Ya! Kenapa"!" ia melirik sinis.
"Kau mau menangkapku seperti orang-orang istana Kematian itu"!
T angkaplah kalau kau bisa!" tantangnya sambil
tangannya mulai meraih gagang pedang, namun belummencabutnya. Suto Sinting
buru-buru nyengir. "Hmmm, bukan begitu maksudku. Hmmm... begini, aku
sendiri sedang...sedang mencari sahabatku. Dia orang T anah Leluhur juga
dan...."
"Siapa namanya"!" potong wanita
cantik itu dengan pandangan mata tertuju tegas-tegas ke wajah Suto Sinting.
"Namaku... Suto Sinting dan aku...."
"Yang kutanyakan siapa nama sahabatmu
itu"!"sergah si wanita.
"Oh, nama sahabatku"! Hmmm... dia mengaku bernama
Buyut Batara! Kami baru saja...."
"Siapa..."!" wanita itu terbelalak.
"Buyut Batara"! Benarkah kau telah bertemu dengan adikku; si Atmajaya
alias Buyut Batara itu"!" Kini mata Suto Sinting juga menatap nanap
pada wajah wanita cantik itu.
"Adikmu..."!" gumam Suto dengan nada
sangsi.
"Buyut Batara adalah adikku! Dia mengenakan
rompi biru dan celana biru, memakai kalung berbentuk bintang, mempunyai batu
ungu di tengah bintang logam putihitu"!"
"Benar! T epat sekali!" sahut Suto Sinting
bersemangat. "Apakah kau melihatnya"!"
"Justru aku sedang mencarinya! Sudah tujuh hari
dia tak pulang karena tugas mencari Pendekar Mabuk. Aku mencemaskan keselamatannya,
maka kususul dia. Namun sudah dua hari ini aku tak bisa menemukan Buyut! Aku
khawatir ia telah ditangkap oleh orang Istana Kematian!"
Wanita itu mulai menampakkan kecemasan aslinya. Matanya
memandang ke sana-sini, seakan tak sabar ingin segera bertemu dengan Buyut
Batara. "Pantas kecantikan wajahnya sedikit mirip dengan Buyut Batara,
terutama hidungnya," ujar Suto Sinting dalam hati setelah membandingkan
wajah wanita itu dengan wajah Buyut Batara.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya wanita
cantik itu.
"Bukankah tadi sudah kusebutkan namaku"!"
Gadis itu bingung mengingatnya. Suto menyambung
lagi, "Namaku adalah Suto Sinting...."
"Oh, tak kuhiraukan nama itu tadi
disebutkannya?" pikir si wanita. Lalu ia memandang Suto dengan sorot mata
berbinar-binar.
"Kalau begitu... kalau begitu kaukah yang
bergelar Pendekar Mabuk itu"!"
"Buyut Batara mengenaliku sebagai Pendekar
Mabuk. Mengapa kau tak mengenaliku?"
"Hmmm, eeh, hmmm, eehh...!" wanita cantik
itu salah tingkah sendiri dengan senyum yang serba salah juga. Ia merasa malu
karena tak merasa kalah cerdas dengan adiknya. Untuk menutupi rasa malunya, ia
justru perkenalkan namanyasendiri. "Hmmm, ehh, iya... anu, namaku...
namaku: Rembulan Senja."
"Nama yang bagus sekali," gumam Suto
Sinting lirih, sampai di telinga wanita cantik itu. T etapi di dalam hatiSuto
ada gerutu yang tersembunyi.
"Sial! Buyut tak pernah bilang kalau punya
kakak secantik ini"! Apa dia takut kalau kakaknya kubawa kabur"!
Hmmm... kurasa Buyut Batara belum tahu kalau akuadalah calon suami Ratu negeri
Puri Gerbang Surga wi yang bernama Dyah Sariningrum itu! Calon istriku juga
cantik, tapi... tapi Rembulan Senja punya kecantikan yang berbeda dengan Dyah
Sariningrum.
Nilai kecantikannya sama, hanya coraknya yang
berbeda...."
Gerutuan yang hanyut ke dalam sebuah renunganpanjang
itu segera buyar, karena Rembulan Senja segera perdengarkan suaranya yang sudah
tak seangkuh tadi, namun masih punya nada-nada tegas. Mungkin nadategas itu
sudah menjadi bagian dari sifatnya sebagai wanita cantik yang punya keberanian
cukup besar.
T erbukti ia berani melawan si wajah angker bertubuh
tinggi besar tadi.
"Mengapa adikku bisa diba wa lari orang"!
Apakah kau tidak bersamanya?"
"Kami sedang dalam perjalanan ke T anah
Leluhur. Tiba-tiba kutahu ada orang yang menguntit kami...," ujar Suto
Sinting, kemudian menceritakan peristiwa yang membuat hatinya dongkol sekali
itu.
Rembulan Senja menarik napas, menekan kesedihan ke
dasar hatinya. Wajah cantiknya memang tampak bersedih, namun tak begitu kentara
jika tak diperhatikan dengan cermat. "Dugaanku, salah satu dari prajurit
Istana Kematian yang punya ilmu lebih tinggi dari prajurit yang melawanmu tadi,
telah melarikan Buyut Batara ke Istana Kematian," ujar SutoSinting.
"Karenanya, aku ingin menuju ke Istana Kematian, tapi aku tak tahu di mana
tempat itu berada!"
Rembulan Senja memandang ke arah selatan dengan mata
sedikit menyipit karena menyimpan kemarahan membayangkan adiknya menjadi
tawanan Ratu Kehangatan. Mulut wanita yang berbibir sensual itu tetap terkatup
rapat, membuat Suto Sinting terpaksa perdengarkan suaranya lagi setelah meneguk
tuaknya beberapa kali. "Maukah kau menjadi pemanduku menuju istana
Kematian itu"!"
Kejap berikut terdengar suara Rembulan Senja yang
sedikit datar itu.
"T erlalu berbahaya jika hanya berdua!"
"Oh, jangan khawatir. Aku bukan pemuda kurang
ajar. Kujamin kau tak akan terganggu oleh keusilanku, baik tanganku maupun
mataku. Aku sangat...."
"Yang kumaksud, berbahaya dalam menghadapi
orang-orang Istana Kematian itu!" potong Rembulan Senja sedikit dongkol
kepada Suto karena salah tanggap.
"Ooo...," Suto Sinting nyengir malu.
Pandangan matanya dibuang ke arah lain.
"Ratu Kehangatan mempunyai prajurit-prajurit pilihan.
Jika kita hanya berdua dan terkepung para prajurit pilihan itu, maka nyawa kita
tak akan lama di tangan mereka!"
"Kalau begitu, kau sebagai penunjuk jalan saja.
Setelah dekat dengan Istana Kematian, aku akan masuk sendiri ke istana itu
untuk membebaskan Buyut Batara, syukur bisa membebaskan para tawanan lainnya.
Kau bisa langsung pulang sebelum aku mendekati istana itu!"
"Kau akan masuk ke sana sendirian"!"
ujar Rembulan Senja bernada tak percaya. "Itu sama saja kau mengantarkan
nyawa secara cuma-cuma, Suto Sinting. Mereka tak bisa diserang dengan satu
orang saja! Mereka harus diserang secara serentak dari berbagai penjuru!
Menembus bentengpertahanannya saja sangat sulit, apalagi sampai membongkar
tembok-tembok penjara"!"
Pendekar Mabuk tarik napas, ia mencoba memaklumi
pendapat Rembulan Senja yangbelum tahu persis setinggi apa ilmu yang dimiliki
Pendekar Mabuk.
Sekalipun Suto merasa mampu menghadapi orang-orang
Istana Kematian dengan hanya seorang diri, tapi wanita cantik itu tak bisa
dipaksa untuk percaya. Mau tak mau Pendekar Mabuk menyimpan rencana itu di
dalam hatinya, dan akan bertindak sendiri setelah tahu di mana letak Istana
Kematian itu. "Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, Rembulan
Senja"!"
"Kita menyusun rencana dengan rekan-rekanku di
T anah Leluhur!" jawab Rembulan Senja dengan mata memandang tegas kepada
Suto Sinting.
Rasa-rasanya tak ada jeleknya jika mengikuti gagasan
Rembulan Senja itu. Pendekar Mabuk juga memperhitungkan waktu. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam. Setidaknya ia butuh tempat untuk beristirahat sambil
menyusun rencana untuk gerakannya sendiri. Maka ia pun mengikuti langkah Rembulan
Senja yang menuju ke Tanah Leluhur.
Untuk sementara, masalah Buyut Batara mereka singkirkan
dulu. Rembulan Senja merasa yakin bahwa adiknya masih hidup, hanya saja di
bawah pengaruh dan kekuasaan hukum Ratu Kehangatan. Jika kesepakatan hasil
rundingan orang-orangnya dengan Pendekar Mabuk sudah didapatkan, Rembulan Senja
pun yakin adiknya akan berhasil dibebaskan. Ia tak tahu bahwa Buyut Batara
bukan berada di dalam Istana Kematian, melainkan berada di dalam sebuah gua.
Seseorang yangmembawanya lari ke dalam gua tersebut ternyata seorang perempuan
muda, berusia sekitar dua puluh empat tahun. Perempuan itu berambut cepak
seperti lelaki, tapi mempunyai raut wajah yang cantik, berhidung mancung,
bermata tajam, bulu matanya lentik, bibirnya sedikit tebal tapi menggairahkan
sekali, ia dikenal dengan nama: Denaya.
Ia mengenakan gaun bawah semacam rok yang sangat
pendek, hanya sebatas separo paha. Rok itu bersulam benang tembaga, sehingga
mempunyai berat cukup lumayan. Tapi cukup lemas, seperti kain tebalbiasa. Rok
itu berwarna merah tembaga.
Sa buknya juga terbuat dari serat besi anti senjata
tajam. Bagian atasnya adalah baju tanpa lengan, juga terbuat dari bahan yang
sama dan anti senjata tajam.
Baju itu dilengkapi dengan pisau-pisau kecil yang
sewaktu-waktu dapat dicabut dan dilemparkan. Karena pada umumnya prajurit
Istana Kematian dilengkapi dengan pedang dan pisau beracun berukuran kira-kira
satu jengkal.
Denaya yang bertubuh sintal dan mempunyai dada montok
namun tidak membengkak besar itu memang prajurit wanita dari Istana Kematian.
Ilmunya lumayan tinggi, karena sejak usia tujuh tahun ia sudah berguru pada
seorang pendeta dari T ibet. Ditambah lagi, ia memperoleh beberapa ilmu dari
Ratu Kehangatan dan berhasil diangkat menjadi prajurit pilihan sang Ratu.
Kulitnya yang berwarna sedikit gelap itu, membuatnya
tampak alot dan bertulang keras. Dari pandangan matanya, seseorang dapat
menilai, Denaya adalah gadis cantik yang punya keberanian tinggi dan tahan bantingan.
Karenanya, ia berani berhasil melumpuhkan pemuda bertubuh kekar dan berhasil membawanya
lari. Agaknya memang Buyut Batara yang diincarnya, bukan SutoSinting. Sebab ia
belum tahu siapa orang yang berjalan bersama Buyut Batara.
Tetapi terhadap Buyut Batara, ia sudah mengenalnya. Denaya
melepaskan totokannya tanpa merasa takut dengan datangnya perlawanan dari Buyut
Batara. Ketika totokan itu sudah dibebaskan, Buyut Batara sedikit tegang pandangi
wajah cantik Denaya itu. Napasnya terengah-engah dah pemuda itu mencoba untuk
segera bangkit dengan penuh waspada.
"Kau.... Denaya..."!" ucap Buyut
Batara dengan suara sedikit bergetar, ia
melangkah mundur jauhi gadis itu.
Si gadis tetap tenang. Seulas senyum
tipisnyatersungging di bibir menggemaskan itu. Senyum tersebut memang berkesan
sinis, tapi begitulah senyum yang dimiliki Denaya sebagai seorang prajurit
pilihan sang Ratu. Sreet...! Buyut Batara mencabut pedang pendeknya.
Pedang itu lebih pendek dari pedang milik Denaya,
juga berukuran lebih kecil dibandingkan pedangnya Denaya.
Tetapi agaknya Buyut Batara punya andalan sendiri
dengan pedangnya itu dan tak merasa gentar berhadapan dengan orang-orang
berpedang panjang.
Denaya tidak mencabut pedangnya, ia justru
melemparkan pedang yang masih bersarung itu ke tanah samping susunan ilalang kering
itu. Prrang...! Wajahnya tetap memandang lurus dan tajam ke arah Buyut Batara.
T api senyumnya semakin menampakkan sikapnya yang tidak akan melakukan perlawanan
apa-apa jika Buyut Batara menyerang dengan pedangnya.
Sikap itu membuat Buyut Batara heran dan berkerut
dahi tajam-tajam. Tubuh yang sedikit membungkuk, otot lengan yang mengeras,
kedua tangan yang terangkat penuh siaga, akhirnya mengendur sedikit demi
sedikit.
Badan pemuda itu menjadi tegak kembali, kedua tangannya
diturunkan, otot lengannya tampak tak sekeras tadi. T api pandangan mata Buyut
Batara masih setajam tadi.
"Ambil pedangmu, Denaya! Kita tentukan siapa
yang mati di antara kita berdua, selagi tak ada pihak yang membantuku dan tak
ada pihak yang membantumu!" ujar Buyut Batara dengan suara menggeram.
Napasnya masih memburu, dadanya naik turun, semua itu akibat ia menaruh dendam
kepada pihak Istana Kematian, dan iatahu bahwa Denaya adalah orang Istana
Kematian.
T etapi tantangan itu tidak dilayani oleh Denaya. Gadis
itu melangkah ke sisi lain, mendekati batu setinggi pinggul, ia pun dudukdi
tepian batu setinggi pinggul dengan kaki kirinya dinaikkan ke batu
sampingnyayang setinggi betis itu. Ia duduk dengan tegak dan gagah, seperti
seorang lelaki. Satu tangannya bertolak pinggang, sedangkan tangan yang satunya
lagi jatuh di pahanya.
"Kalau aku mau, kau sudah mati sejak tadi,
Buyut! T ak perlu kulepaskan totokanku, langsung saja kupenggal lehermu. Apa
susahnya"! Dan kau tak perlu kubawa ke gua ini. Mayatmu yang tanpa kepala
itu akan kubuang di sembarang tempat, kalau bisa di jalanan yang kau lewati
tadi setelah kugoreskan namaku di dadamu dengan ujung pedang. Dengan begitu,
orang-orang Tanah Leluhur yang menemukan mayatmu akan tahu bahwa Denaya adalah
orang yang memenggal kepalamu!"
"Mengapa tak kau lakukan"!"
"Carilah jawabannya dalam hatimu!" tegas
Denaya sambil menatap tajam tak berkedip. Kejap berikut, Denaya melangkah ke
satu sisi lagi. Ia mendekati tiga batu besar berhimpitan, ia ke belakang batu
besar itu. Sesaat kemudian kembali tempat ilalang kering yang disusun dijadikan
alas tidur itu.
Dari balik batu tadi, ia membawa sebuah tempat minum
dari kulit binatang. T empat minum itu berisi air bening, ia menenggaknya
sedikit, sebagai pembasah kerongkongannya.
"Minum..."!" ia menawarkan kepada
Buyut Batara.
Pemuda itu hanya hembuskan napas panjang sambil
memasukkan pedangnya ke sarung pedang. Karena tak ada jawaban dari Buyut
Batara, maka tempat minum itu ditutupdan diletakkan di samping kanannya.
Buyut Batara memandang ke arah pintu gua. Ia mendekati
pintu itu. Denaya diam saja. Hanya memandang sekilas, lalu tundukkan kepala
dengan posisi duduk sedikit melebarkan kaki, seperti duduknya seorang lelaki.
Buyut Batara hentikan langkah sampai di pintu gua. Se
benarnya ia bisa saja lolos, melarikan diri. Tapi kesempatan itu tak dilakukan,
karena Denaya sendiri tampak tidak berusaha menahannya.
"Sepertinya kalau aku lari, dia tak akan
mengejarku," ujar Buyut Batara dalam hati. "Lalu, apa maksudnya
membawaku ke gua ini"!"
Akhirnya pemuda itu kembali mendekati Denaya. Ia berdiri
di depan Denaya dengan kedua kaki sedikit merenggang dan posisi tubuh tegak.
Tampak gagah dan perkasa.
Jaraknya yang hanya empat langkah dari Denaya
membuatnya dapat menatap wajah cantik Denaya yang datar tanpa senyum dan tanpa
kemarahan sedikit pun. Sesaat setelah mereka saling bungkam, dan Buyut Batara
cukup lama pandangi Denaya, prajurit wanita itu segera mengangkat wajahnya dan
menatap Buyut Batara dengan mata mulai berisi, tidak sehampa saat merenung
tadi.
"Mengapa kau tidak melarikan diri"! Mengapa
kau kembali menemuiku"!"
Buyut Batara tak bisa menjawab, karena ia sendiri
tak tahu, mengapa ia tidak melarikan diri, padahal kesempatan itu sangat
memungkinkan. Kini Buyut justru duduk di tanah bertangga yang dipakai
membaringkannya tadi. Ia duduk di samping kiri Denaya dalam jarak satu setengah
jangkauan. Jarak itu sengaja dijaga agar sewaktu-waktu ada bahaya dari Denaya, ia
dapat segera menghindarinya.
"Masih ingat pertempuran di Pantai Ladam?"
tanya Denaya dengan nada datar, sepertinya ia bicara pada diri sendiri. T api
Buyut Batara tahu, kata-kata itu ditujukan padanya.
"Ya, aku ingat kala itu kita berhadapan saling
beradu pedang. Kau melukai lenganku. T api segera meninggalkan diriku, padahal
kau punya kesempatan membunuhku saat aku jatuh tengkurap!"
Sambil berkata demikian, Buyut Batara teringat pertempuran
di Pantai Ladam. Ketika itu, Buyut Batara dan tiga orang kawannyasedang
mengejar seorang pencuri pusaka yang bernama Barak Soca. Mereka berpapasan
dengan orang-orang Istana Kematian, lalu terjadilah pertarungan antara empat
orang Tanah Leluhur melawan tujuh orang Istana Kematian, termasuk Denaya
sendiri. Karena pada saat itu, Barak Soca meminta perlindungan kepada kakaknya
yang menjadi prajuritnyaRatu Kehangatan.
Dua orang Tanah Leluhur itu tewas di ujung pedang
mereka. T etapi Buyut Batara dan seorang temannya lagi, berhasil meloloskan
diri setelah membunuh Barak Socadan merampas kembali keris pusaka yang
dicurinya.
Padahal waktu itu Denaya punya kesempatan emasuntuk
membunuh Buyut Batara, namun gadis itu justru meninggalkannya denganalasan
menyelamatkan Barak Soca yang terluka parah, walau akhirnya Barak Soca tewas
setelah diangkat oleh kakaknya sendiri.
Lamunan masa lalu itu terputus, karena Denaya segera
perdengarkan suaranya lagi sambil melirik ke arah kirinya, menatap Buyut Batara
yang sedang menerawang itu.
"Apakah kau juga masih ingat peristiwa di Bukit
Merah?"
Ingatan pemuda itu segera melayang ke masa dua tahun
yang lalu, ketika terjadi pertarungan di Bukit Merah. Pertarungan itu terjadi
antara Buyut Batara dengan sang penantang yang dikenal dengan nama IblisDarah
Hitam. Dendam si Iblis Darah Hitam kepada keluarga Buyut Batara akan berakhir
jika salah satu dari anggota keluarga tersebut melayani tantangan pertarungan
di Bukit Merah. Semula Rembulan Senja yang akan tampil sebagaila wan Iblis
Darah Hitam. Tetapi segera digantikan Buyut Batara, karena Rembulan Senja
sedang sakit.
Pertarungan itu disaksikan dari berbagai pihak,
termasuk orang yang tidak berkepentingan. Beberapa tokoh rimba persilatan pun
hadir di Bukit Merah, dan Denaya ada di sana juga bersama seorang teman, sesama
prajurit wanita juga.
Waktu itu, Buyut Batara nyaris tewas di tangan Iblis
Darah Hitam, karena pedangnya terpental dan jatuh di depan kaki Denaya. Pedang
si Iblis Darah Hitam juga telah lepas dari tangannya. Buyut Batara terpental
jatuh akibat tendangan lawan. Lawan segera menerkam dengan pisau simpanannya.
Pada saat itu, pedang Buyut Batara meluncur
mendekati tangannya. Pedang itu segera disambar, dan se gera dihujamkan ke
perut lawan. T anpa pedang itu, Buyut Batara kemungkinan sudah mati di tangan
lawannya.
Pedang itu meluncur akibat ditendang oleh Denaya
yang berpura-pura didorong temannya. Buyut Batara menarik napas panjang setelah
membayangkan pertarungan di Bukit Merah itu. Hatinya mulai menyadari tentang sikap
Denaya yang mempunyai maksud-maksud tertentu padanya. Dengan tanpa menatap
Denaya, pemuda itu mulai perdengarkan suaranya kembali yang juga bernada datar.
"Sudah dua kali kau biarkan aku punya kesempatan
hidup. Sekarang ketiga kalinya. Kau tak membunuhku selagi aku tertotok olehmu.
Padahal kau adalah musuhku dan aku musuhmu!"
"Adakah seorang musuh yang membiarkan lawannya
tetap hidup?" suara Denaya agak parau, walaupun ia bicara juga tanpa
memandang Buyut Batara. T api kali ini pemuda itu sengaja berpaling menatap
Denaya. Tatapan itu membuat Denaya tertarik dan ikut berpaling melemparkan
pandangan matanya yang tidak berkesan bermusuhan. Pandangan mata itu dirasakan
Buyut Batara sebagai pandangan seorang sahabat, bahkan lebih dari seorang
sahabat.
Gadis itu berkata lirih, namun masih bernada tegas.
"Sekarang kuberi kau kesempatan untuk
membunuhku."
Buyut Batara diam saja, masih memandang.
"Lakukanlah sekarang juga!" desak Denaya.
"Aku tak sanggup," jawab Buyut Batara
dengan suara pelan.
"Mengapa tak sanggup" Bukankah aku musuhmu
dan kau lawanku"!" sambil Denaya bergeser mendekat, kini jaraknya tinggal
setengah jangkauan lagi. Adu pandangan mata itu semakin lekat, namun punya ketajaman
tersendiri. Seakan ketajaman itu tidak menggores hati, melainkan menciptakan
desir-desir aneh yang terasa indah untuk dinikmati. "Mengapa kau menatapku
begitu?" tanya Buyut Batara dengan suara lirih.
Denaya juga menjawab dengan lirih, "Inilah
gunanya kuberi kesempatan hidup padamu. Aku ingin dapat memandangmu."
Buyut Batara mulai sunggingkan senyum walau canggung,
ia tak tahan beradu pandang, kemudian alihkan pandangan matanya ke arah pintu
gua. Denaya akhirnya ikut-ikutan alihkan pandangan mata ke arah pedangnya yang
masih tergeletak di tanah.
"Aku memang seorang prajurit," suara
Denaya memecah kebisuan mereka. "Tapi kali ini aku terpaksa memberontak
terhadap ratuku yang gila darah itu."
"Gila darah"!" Buyut Batara melirik
Denaya.
"Melihat pertarungan berdarah hingga salah satu
ada yang mati, merupakan hiburan yang amat disenangi Ratu Kehangatan. Kami
diperintahkan untuk menculik para pemuda Lembah Badar, termasuk kaum lelakinya
yang kekar dan perkasa. Mereka diadu dalam satu arena.
Salah satu harus ada yang mati, tak peduli mereka
sahabat atau saudara. Mau tidak mau mereka saling bunuh. Kematian salah satu
dari mereka merupakan kepuasan tersendiri bagi Ratu Kehangatan."
Denaya menuturkannya dengan pandangan mata menerawang,
seakan membayangkan pertarungan berdarah yang hampir setiap hari terjadi di
Istana Kematian itu. Buyut Batara sengaja diam, tanpa tanya sedikit pun, karena
ia ingin menyimak apa sebenarnya yang terjadi di dalam Istana Kematian itu.
"Orang-orang Lembah Badar akhirnya habis,
terutama kaum lelakinya. Mereka mati semua dalam arena pertarungan. Saling
bunuh sesama teman sendiri.
Demikian pula nasib orang-orang Bukit Sabang. Kaum
lelakinya nyaris habis diadu, dipakai tontonan untuk menghibur hati sang
Ratu."
Denaya menarik napas. Kini pandangan matanya lurus
ke arah di depannya.
"Namun ketika tiba giliran orang-orang T anah Leluhur
yang dijadikan mangsa Ratu Kehangatan, aku mulai berpikir untuk memberontak. T
api itu tak mungkin kulakukan. Apalah artinya diriku yang sendiri jika harus memberontak menentang perintah
sang Ratu. Akhirnya aku melarikan diri dari Istana Kematian."
"Mengapa kau melarikan diri?" sela Buyut
Batara.
"Karena aku tak setuju jika orang T anah
Leluhur dijadikan korban pemuas hati sang Ratu. Aku tak setuju jika orang Tanah
Leluhur diculik dan mereka diadu diarena sampai salah satu ada yang mati."
"Mengapa kau tak setuju?" kejar Buyut
Batara.
"Karena di T anah Leluhur ada seseorang yang
menggetarkan hatiku dan membuatku ingin sekali memilikinya. Pemuda itu, cepat atau
lambat akantertangkap dan diadu di arena sampai akhirnya ia akan mati juga.
Daripada akumelihat kematiannya, lebih baik aku lari dari pemerintahan sang
Ratu. Aku harusmenyelamatkan pemuda itu, sebelum darahnya dijadikan pemuas hati
Ratu Iblisitu!" "Siapa pemuda yang kau maksud itu?"
"Kau...!" tegas Denaya tanpa ragu-ragu,
dan pandangan matanya pun segera menatap ke arah mata Buyut Batara.
"Untuk apa kubiarkan dua kali kau hidup kalau
akhirnya kematianmu dijadikan hiburan bagi ratuku"! Untuk apa aku mengabdi
penuh kesetiaan kepada Ratu Indudari, kalau akhirnya pemuda yang menjadi buah
impianku harus mati demikepuasan batin sang Ratu"
Lebih baik aku keluar dari pemerintahannya,
bergabung dengan orang yang kucintai untuk lakukan pemberontakan terhadap
kekuasaan di Istana Kematian Itu"!"
Buyut Batara diam membisu. Hatinya seakan semakin
terbuka oleh ketukan-ketukan halus yang nyaris tak didengarnya, ia sama sekali
tak menduga kalau dirinya diperhatikan oleh seorang gadis dan gadis itu adalah
lawannya sendiri. Sekerat hati yang keras seperti baja sedang menaruh harapan
pada dirinya. Buyut Batara rasakan harapan itu lebih murni daripada datang dari
seorang gadis berhati lembut dan menyukai rayuan.
Denaya perdengarkan suaranya kembali.
"Sejak sang Ratu keluarkan perintah pertama
kali kepada para prajurit untuk pindah sasaran ke T anah Leluhur, aku sudah
lari darinya dan hidup di dalam gua ini. Aku tak berani bergabung dengan
orang-orangmu, karena mereka tahu aku adalah musuh mereka. Ucapanku tak akan
mudah dipercaya. Bisa-bisa justru aku mati di Tanah Leluhur tanpa dapat
selamatkan dirimu dari keganasan Ratu Indudari! Karenanya, setelah kupertimbangkan
beberapa hari di dalam gua ini, maka kuputuskan untuk menculikmu demi
kepentinganku sendiri. Lebih baik aku kehilangan ratuku, jabatanku, kesejahteraanku,
daripada aku harus kehilangan impianku."
Pemuda bertubuh kekar itu menatap Denaya lagi. Mereka
saling beradu pandang kembali. Sorot pandangan mata Denaya semakin menguasai
hati Buyut Batara. Ingin rasanya tak mudah mempercayai kata-kata itu. T api
hati kecil Buyut Batara tak bisa mengingkari rasa percayanya kepada Denaya.
Sorot pandangan mata itu merupakansebentuk ketulusan yang tak bisa dibantah
lagi.
Buyut Batara akhirnya sentuhkan jemarinya di pipi
Denaya. Sentuhan itu merayap hingga ke tepian rambut di kening si gadis. Mata
si gadis tampak berkaca-kaca.
Ada tangis di hatinya. Ada haru di kalbunya. Denaya
akhirnya pejamkan mata, resapi sentuhan lembut yang menggetarkan seluruh
tubuhnya itu. Pada saat kelembutan itu hadir menguasai dirinya, seakan
ketangguhannya sebagai prajurit wanita lumpuh seketika.
Denaya tak ubahnya seperti gadis tanpa senjata dan
ilmu apa-apa. Ia hanya bisa menahan debar-debar kebahagiaan yang selama ini
hanya ada dalam impiannya. Se bagai seorang wanita, akhirnya mata yang terpejam
itu melelehkan butiran air bening. Air mata itu semakin menghancurkan darah
permusuhan Buyut Batara.
Rasa iba dan haru timbulkan rasa kasih di hati Buyut
Batara. Sebagai ungkapan rasa kasihnya, pemuda itu akhirnya mencium kening si
gadis dengan pelan-pelan.
Cuup...! Ciuman itu membekas sampai di dasar hati
Denaya. T angan gadis itu pun mulai meraih lengan Buyut Batara. Diremasnya
lengan itu ketika bibir Buyut Batara merayapi batang hidung si gadis, kemudian
menyentuh bibir yang menggemaskan itu.
Dikecupnya bibir Denaya dengan pagutan pelan sekali.
Terasa deras darah Denaya mengalir di seluruh tubuhnya.
Kerinduan yang selama ini hadir dalam impian, ternyata
mampu terwujud dalam kenyataan. Denaya ingin wujudkan mimpinya tentangcumbuan
hangat dengan Buyut Batara. Maka, seperti yang dilakukannya dalam mimpi,
kecupan bibir Buyut Batara dibalasnya.
Kini bibir pemuda itu dilumat oleh Denaya dengan
kedua tangan merayap dan meremas ke mana saja sebagai curahan rasa rindu dan
hasrat yang menggebu.
Denaya menekan kepala Buyut Batara ke lehernya. Kepala
gadis itu menggeliat sambil keluarkan erangan dan napas mendesah manakala bibir
pemuda itu memagut-magut kulit leher dengan hangat sekali.
"Aaah.... Buyut, ooouuh...," erangan itu
bagai tangis yang terbendung di ujung lidah. Hati Denaya disiram oleh segunung
kebahagiaan, sehingga gadis itu memberi kecupan balasan di sekitar leher Buyut
Batara. Bahkan kecupan itu lebih berani, yaitu merayap ke dada Buyut Batara dan
memagut-magut dada bidang itu dengan kedua tangan menelusup di balik rompi dan
merayapi punggung si pemuda.
Kehangatan itu memancing hasrat, dan hasrat itu
membakar gairah. Buyut Batara tak mampu memendam gairah bercintanya, karena
Denaya memberikan sentuhan yang luar biasa nikmatnya menggunakan bibir dan
lidahnya.
Akhirnya Buyut Batara tak mampu menolak segala kehangatan
yang diberikan oleh Denaya. Pemuda itu terbaring pasrah, sementara Denaya
membuktikan cinta kasihnya dengan ciuman-ciuman yang menggelora.
* * *
5
KEDAT ANGAN Pendekar Mabuk ke Tanah Leluhur disambut
hangat oleh masyarakat T anah Leluhur. Wilayah yang tak begitu luas itu menjadi
gempar dengan adanya berita tentang Rembulan Senja pulang membawa Pendekar
Mabuk, Suto Sinting.
Mereka bersorak kegirangan mengelilingi Pendekar
Mabuk. Ada yang hanya sekadar bersorak, ada yang sambil lonjak-lonjak, lalu
berteriak karena kakinya terkena beling. Mereka yang bersorak dan melonjak pada
umumnya adalah masyarakat awam yang terlalu sering berandai-andai membayangkan
kehebatan Pendekar Mabuk. Se dangkan bagi mereka yang berilmu, hanya menyambut
dengan senyum keramahan dan tegur sapa penuh persahabatan.
Se buah rumah panggung menjadi tempat pertemuan para
sesepuh dan orang-orang yang menjadi benteng pertahanan T anah Leluhur.
Kebanyakan mereka yang menjadi benteng bagi masyarakat T anah Leluhur masih
tergolong muda. Paling tua berusiatiga puluh dua tahun, menurut ingatan ibunya.
Rembulan Senja pun mendapat pujian dari masyarakat
Tanah Leluhur. Karena dari sekian banyak orang yang mencoba mencari Pendekar
Mabuk, justru Rembulan Senja yang berhasil membawa pulang si pendekar tampan
dan gagah perkasa itu. Rupanya Suto Sinting merupakan sosok pendekar yang
menjadi Idola mereka, sehingga kehadirannya di T anah Leluhur bagaikan seorang
aktor kondang singgah di sebuah perkampungan kumuh.
"Kang minta cap jempolnya buat
kenang-kenangan," ujar seorang remaja sambil membawa kulit kitab bersampul
kulit lontar. Dengan menggunakan getah pohon pisang, Pendekar Mabuk akhirnya
memberikan cap jempol di atas kitab tersebut, yang merupakan kitab pelajaran
silat kelas rendah.
Seperti halnya pendekar tampan jika berkunjung ke
sebuah kota selalu dikerumuni penggemar cewek, demikian pula Pendekar Mabuk
yang lebih banyak dikerumuni para gadis daripada para pemuda. Maklum, para pemudanya
banyak yang diculik oleh pihak Istana Kematian.
Hati si wanita cantik; Rembulan Senja, menjadi dongkol
melihat banyak gadis dan kaum wanita lainnya mengerumuni Pendekar Mabuk. Bahkan
ada yang mencolek-colek lengan atau pinggang Suto dengan maksud menggelitik
dalam canda.
Rembulan Senja bagaikan seorang bodyguard yang
selalu memberibatasan kepada kaumnya agar tak berlebihan meluapkan kegembiraannya
kepada Pendekar Mabuk.
"Biarkan kami bercanda sebentar dengan pemuda
tampan itu, Rembulan Senja. Apakah kau tak pernah semuda kami?" ujar
seorang gadis yang kesehariannya menjadi teman dekat Rembulan Senja.
Seorang wanita lain pun berkata, "Iya. Kami
cuma ingin bercanda dan sekadar hanya ini-itu kok, bukan mau macam-macam. Kau
kan sudah pernah bercanda dengan pria yang menjadi idaman hatimu, ketika suamimu
masih hidup. Sekarang berilah kami kesempatan seperti itu, Rembulan
Senja."
"Iya, ya..."! Pokoknya kujamin wajah
pemuda itu tak akan ringsek, karena kami tak akan meremas-remasnya," ujar
yang lain.
Kegembiraan mereka menjadi surut ketika Pendekar
Mabuk menceritakan nasib Buyut Batara. Malam itu mereka membuat api unggun dan
membentuk lingkaran.
Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Buyut
Batara sampai hilangnya pemuda yang menjadi utusan mereka itu.
"T api percayalah, aku akan membebaskan Buyut
Batara secepatnya! Esok aku akan berangkat ke Istana Kematian dan menantang
pertarungan antar pribadi dengan RatuKehangatan!"
Suara gemuruh terdengar bagai pasukan lebah. Mereka
berkasak-kusuk dengan suara gemuruh. Ada yang memuji keberanian Suto, ada yang
mengungkapkan rasa kagumnya, ada pula yang mencemaskan rencana Suto itu.
"T etapi aku butuh seorang pemandu untuk sampai
ke Istana Kematian! Pemandu itu tak
perlu harus ikut sampai ke Istana Kematian, cukup sampai di perjalanan saja. Asal
tempat itu sudah kuketahui, maka aku akan datang sendiri menemui Ratu Kehangatan
dan pemandu itu boleh pulang atau menunggu di tempat yang jauh dan tersembunyi!"
ujar Suto membuat suara gemuruh itu terhenti seketika.
"Kurasa itu akan berbahaya, Nak!" ujar
seorang sesepuh yang memang sudah 'sepuh' alias sudah tua. Usianya sekitar
tujuh puiuh tahun. T api ia bukan seorang tokoh berilmu tinggi, ia hanya
dikenal sebagai seorang ahli siasat pertempuran.
"Ratu Kehangatan atau si Indudari itu bukan
perempuan lemah yang mudah dilumpuhkan, ia cukup tangguh dan sukar
ditumbangkan, karena ilmunya termasuk tinggi juga."
"Sebaiknya," ujar sesepuh lain yang
berkepala botak,
"Beberapa orang kita mendampingi Pendekar Mabuk
dari belakang dan secara sembunyi-sembunyi. Panah, pisau, jarum, bisa dijadikan
senjata yang bersifat melumpuhkan mereka dari kejauhan. Ratu Kehangatan tak
mungkin turun tangan sendiri. Pasti mengajukan prajurit-prajuritnya."
Suto Sinting menyahut, "Aku ingin menantang
pertarungan pribadi. Kurasa Ratu Kehangatan mengerti arti pertarungan pribadi.
Jika ia menolak, maka ia akan malu di hadapan para prajuritnya. Harga dirinya,
martabatnya, akan jatuh di depan anak buahnya jika ia menolak pertarungan
pribadi denganku."
Banyak yang tidak setuju dengan rencana pertarungan
duel antar pribadi itu. Mereka tidak setuju karena pertarungan itu dianggap
sangat membahayakan jiwaPendekar Mabuk. Sedangkan mereka tidak ingin Pendekar
Mabuk binasa dengan hanya lakukan pertarungan pribadi.
Sementara itu, hati Suto Sinting sendiri tak setuju
jika lakukan penyerangan bersama. Karena hal itu akan menimbulkan korban baru
bagi masyarakat TanahLeluhur, ia ingin melumpuhkan pihak Istana Kematian tanpa
timbulkan korban barubagi T anah Leluhur. Karenanya, pertarungan duel antar
pribadi merupakan alternatif yang diandaikan dan dianggapnya baik.
"Beri kami waktu untuk berunding, Nakmas
Pendekar. Sekarang sudah malam. Kami persilakan Nakmas Pendekar beristirahat dulu.
Esok kita sambung lagi perundingan ini," ujar sesepuh yang berkepala botak
itu. Pendekar Mabuk dibawa ke rumah Rembulan Senja.
Sebuah kamar telah disiapkan oleh Rembulan Senja
yang ternyata sudah menjandaselama tiga tahun itu.
Rupanya para sesepuh pun tak keberatan jika Pendekar
Mabuk beristirahat di rumahRembulan Senja, karena hal itu dianggap sesuatu yang
menyenangkan bagi si Rembulan Senja yang telah berhasil mendapat bantuan dari
Pendekar Mabuk.
"Aku belum ingin tidur, Rembulan Senja,"
ujar Suto Sinting dibawa masuk ke sebuah kamar tidur.
"Kau harus beristirahat jika esok ingin pergi
ke Istana Kematian," ujar Rembulan Senja. "Kau harus menjaga tubuhmu
agar tak lelah dan tetap segar."
"T uakku cukup mampu mengatasi hal itu,
Rembulan Senja."
"Jangan membantah. Ini demi kesehatanmu,"
sergah Rembulan Senja sambil merapikanseprai penutup ranjang berkasur itu.
"Selamat beristirahat, Pendekar T ampan!" ucap
Rembulan Senja, lalu melangkah keluar kamar. Tapi langkahnya terhenti di
pintukamar begitu mendengar seruan Suto Sinting.
"Mau ke mana kau?"
"Aku tidur di kamar adikku, di sebelah!"
"Dan aku tidur sendirian?"
"Aku juga tidur sendirian. T ak usah takut,
rumah warisan ini bukan rumah angker." "Barangkali keangkerannya
bukan dalam bentuk kengerian," ujar Suto sambiltersenyum menggoda, karena senyuman
wanita cantik itu juga sejak tadi sudah menggoda. "Kalau bukan angker
kengerian, lalu angker bagaimana?"
"Kesepian," jawab Suto semakin tebarkan
senyum.
Mata si Rembulan Senja semakin berbinar-binar, ia
tahu maksud Pendekar Mabuk, tapi ia tak mau mudah terpikat oleh kenakalan
seperti itu.
Rembulan Senja baru saja ingin berbalik untuk melangkah
keluar, tapi Suto Sinting sudah lebih dulu maju mendekatinya. Kini mereka
saling pandang dalam jarak satu jengkal. Aroma wangi mawar tercium Suto.
Aroma wangi mawar itu menyebar dari tubuh Rembulan
Senja yang mungkin waktu mandi pakai sabun capMawar, atau berendam dalam bak
mandi berisi air bunga mawar. Yang jelas aroma wangi mawar itu menggoda hati,
membangkitkan hasrat kemesraan si Pendekar Mabuk.
Ketika mata indah si Rembulan Senja mulai meredup,
Suto Sinting segera dekatkan wajah dan bibir ranum itu dikecupnya dengan sejuta
kelembutan. Bibir itu dilumatdengan penuh sentuhan mesra dan remasan tangan
kekar yang punya kehangatanmembakar gairah.
Rembulan Senja tidak nolak, karena kemesraan seperti itu sudah lama tak dirasakan. T angan
perempuan cantik itu segera melingkar di pinggang Suto Sinting, kemudian merayap
ke punggung, meremas-remas lembut dengan bibir memberi balasan tak kalah
hangat.
Pendekar Mabuk ingin melepaskan kecupan bibir, tapi
agaknya Rembulan Senja masih betah menikmatinya dan gerakan tubuh Suto yang
ingin mundur ditekan maju lagi hingga semakin rapat dengan tubuh sekal si
Rembulan Senja. Tangan perempuan itu merayapi tubuh Suto Sinting, bahkan sempat
menelusup masuk ke dalam baju tanpa lengan itu dan meraba kulit punggung Suto
dengan remasan-remasan berkesan lembut. Bukan berkesan liar.
Sementara itu, Suto Sinting juga menelusupkan kedua
tangannya ke balik jubah kuning dan menemukan kulit punggung yang halus.
Lumatan bibir Rembulan Senja mendapat balasan lagi dengan tarian lidah Suto
yang sangat mendebarkan hati. Rembulan Senja memburu agarmemperoleh desiran
indah lebih banyak lagi.
Namun akhirnya napas mereka mulai memberat. Mereka
harus melepas kecupan, entah sesaat atau sekian lama. Rembulan Senja danSuto
Sinting sama-sama hembuskan napas panjang, saling menatap, lalu saling tersenyum.
Rembulan Senja tampak malu. Mencubit hidung Suto sambil mendesahkansepatah
kata. "Nakal...!" kemudian ia buru-buru melepaskan pelukannya dan
bergegas keluar tanpa pedulikan Suto Sinting yang tertegun di tempat, kejap
kemudian baru tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Panas, haus, tapi tak mau mengakuinya, itulah
Rembulan Senja!" ujar SutoSinting dalam hatinya.
Rembulan Senja merasa tak yakin dengan apa yang
telah dilakukan terhadap seorang pemuda tampan. Bahkan hatinya bertanya-tanya
dalam keadaan berbaring di ranjangnya.
"Benarkah itu tadi Pendekar Mabuk yang kesohor
sebagai pendekar penakluk hati wanita itu"! Jangan-jangan dia Pendekar
Mabuk palsu"! Andai benar ia Pendekar Mabuk asli, ooh... alangkah
beruntungnya aku pada malam ini"! Aku diciumnya, dipeluk, dan...
dan...aduhai, indah sekali kecupan bibirnya. Sungguh tak bisa kupercaya bahwa
diriku ternyata berhasil mendapat kecupan hangat dan menggelora dari seorang
pendekar yang namanya sangat dikenal di seluruh pelosok penjuru dunia ini.
Aduuh... mimpi apa aku malam ini, belum-belum sudah mendapat kecupan seindah
itu. Sampai sekarang bibirku masih merasa dilumatnya dengan lembut. Aaiih...
indah sekali!"
Kesan indah yang amat membanggakan hati itulah yang
akhirnya membuat Rembulan Senja mendukung rencana Suto Sinting, ia sendiri yang
akan menjadi pemandu perjalanan Pendekar Mabuk menuju ke istana Kematian. Dalam
benaknya terbayang akan selalu bersama Suto Sinting dengan segala keindahannya
jika ia menjadi pemandu tunggal si Pendekar Mabuk itu.
Perjalanan yang memakan waktu cukup lama dapat membuat
kemungkinan terulangnya keindahan seperti malam itu.
Di balik debar-debar kebahagiaan berjalan bersama
Pendekar Mabuk, ternyata Rembulan Senja masih menyelipkan kecemasan di relung
hatinya. Kecemasan itu tak bisa hilang, karena ia tahu siapa orang yang akan
ditantang oleh Pendekar Mabuk, ia khawatir jikaPendekar Mabuk tewas di tangan
Ratu Kehangatan.
Karena jika hal itu terjadi, maka keindahan yang
baru malam itu didapatkan sepanjang hidupnya, tentu akan lenyap pula dan tak
mungkindiperolehnya lagi. Rembulan Senja yakin, tak akan ada keindahan seperti
malam itu yang dapat diperolehnya dari lelaki lain.
"Itu baru kecupan bibir, belum kecupan...
kecupan yang lainnya. Hiik, hiik, hiik, hik...!" Rembulan Senja tertawa
sendiri dalam batinya.
Tiba-tiba ingatan Rembulan Senja terlempar kembali ke
wajah adiknya; Buyut Batara, setelah ia mendengar Pendekar Mabuk berkata kepadanya.
"Pertama-tama akan kulihat dulu apakah Buyut Batara dan tawanan lainnya
dalam keadaan selamat. Jika mereka masih dalamkeadaan selamat, maka aku akan
lakukan tantangan pribadi dengan sang Ratu. Tapijika para tawanan telah tewas,
termasuk Buyut Batara pun tewas, maka IstanaKematian itu akan kuhancurkan tanpa
peduli siapa pun yang menjadi korbankehancuran itu!"
Kekhawatiran akan keselamatan jiwa adiknya membuat
Rembulan Senja kehilangan keceriaan. Alangkah pedih dan menderitanya hati yang
telah ditinggal kedua orangtua jika harus ditinggalkan oleh seorang adik
tunggalnya itu" Rembulan Senja tak inginhal itu terjadi, sehingga ia
sangat menaruh harap kepada Pendekar Mabuk agar mengutamakan menyelamatkan Buyut
Batara begitu tiba di Istana Kematian.
Padahal saat itu Buyut Batara berada di dalam gua
keindahan bersama Denaya. Setelah mereka menikmati pelayaran cinta yang membuat
tubuh mereka bercucuran keringat, akhirnya Buyut Batara ajukan gagasan kepada
Denaya.
"Kita harus pulang ke Tanah Leluhur dan
menyusun kekuatan dari sana!"
"Aku... aku tak berani! Karena orang-orangmu
akan membunuhku. Mereka tahu kalau aku prajurit Istana Kematian," ujar
Denaya dengan polos.
"Nyawamu adalah nyawaku, Denaya! Kau tak perlu takut,"
Buyut Batara berkata dengan suara lirih sambil menciumi pipi Denaya.
Gadis itu menerima ciuman tersebut dengan hati
bertaburan bunga indah. Tangannya ikut mengusap lembut kepala si pemuda yang
dicintainya. "Jika mereka akan membunuhmu, mereka harus membunuhku lebih
dulu, Denaya!
"Benarkah kau siap mati untuk membelaku,
Buyut"!"
"Bukan kau yang kubela, tapi cintamu yang
kurasakan begitu tulus padaku, namun kau sembunyikan sekian lamanya."
Denaya mendesah dalam tawa lirih ketika Buyut Batara
menciumi lehernya dan merayap ke dada, lalu menyambar pucuk-pucuk yang
merentang penuh tantangan itu. "Buyut, sudahlah! Kita bicarakan dulu
persoalan kita tadi. Setelah kita peroleh kesepakatan dan kebulatan tekad, kau
dapat menikmati seluruh tubuhku sepertitadi." "Tekadku hanya satu,
pulang ke Tanah Leluhur bersamamu, dan susun rencana penyerangan!"
Denaya meraih wajah Buyut Batara. Wajah itu sengaja
dihadapkan kepadanya, ditatap dalam-dalam. Lalu, sebaris kata diucapkan penuh
ketegasan, "Aku siap mati bersamamu, sekalipun mati di tangan ratuku
sendiri!"
Hati Buyut Batara kian berbunga indah. Lalu gadis
itu pun dipeluknya kuat-kuat, seakan ia ingin membenamkan dirinya menjadi satu
raga dengan Denaya. * * *
6
PADA mulanya orang-orang T anah Leluhur memandang Denaya
penuh kebencian. Salah seorang pemuda mulai mencabut pedang ketika melihat
Denaya hendak memasuki pintu gerbang Tanah Leluhur itu. Sreet...! Buyut Batara
mencabut pedangnya juga. Sreet...!
Pemuda temannya sendiri itu dipandang dengan sorot
mata yang tajam.
"Apa maumu, Sambawa"!" seru Buyut
Batara.
"Apakah kau tak sadar telah membawa penyakit
sebesar itu, Buyut Batara"! Dia harus
dimusnahkan!
Dibunuh!" "Silakan! Tapi kau harus
membunuhku lebih dulu!"
tegas Buyut Batara. Orang-orang mulai berkumpul dengan
tegang. Denaya tetap
berada di belakang Buyut Batara. Gadis itu tidak
menunjukkan sikap perlawanan,
ia diam, tak mencabut senjata, namun tetap penuh
kewaspadaan.
Salah seorang sesepuh T anah Leluhur muncul dan
berseru kepada Buyut Batara.
"Apa yang kau lakukan, Buyut Batara"! Kau
ingin membunuh kami semua dengan membawa perempuanitu"!"
"Pak T ua! Denaya bukan musuh kami. Dia
inginbergabung untuk melawan Ratu Kehangatan!"
"T api dia orang Istana Kematian, Buyut! T
idakkah hal itu kau sadari"!"
"Dia sudah keluar dari Istana Kematian sejak
keluarnya perintah penangkapan orang-orang kita. Dia satu-satunya prajurit yang
tidak ingin orang Tanah Leluhur dijadikan pemuas hati sang Ratu! Dia
mencintaiku, Pak T ua! Karenanya dia lebih baik tinggalkan segala yang dimilikinya
di Istana Kematian itul"
Suasana sempat ricuh sesaat. Mereka saling
berkasak-kusuk dan sepakat untuk membunuh Denaya. Parasesepuh pun agaknya
terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama setuju untuk menghabisi nyawa Denaya,
kelompok kedua tidak setuju. Samba wa, wakil Buyut Batara selama Buyut Batara
tidak berada di tempat, tampakbernafsu sekali untuk membunuh Denaya. Dengan
pedangnya ia menuding Denaya sambil berseru kepada Buyut Batara.
"Buyut! Kalau kau ingin mati bersama perempuan
itu, dengan sangat terpaksa kami merelakan kematianmu!"
"Baik! Bunuhlah kami berdua!" seru Buyut
Batara lalu membuang pedangnya. Denaya pun mencabut pedang bersama sarungnya,
lalu pedang itu dibuang ke tanah. Praang...! Mereka berdua saling berpegangan
tangan, saling menggenggam, dan saling menatap ke arah Sambawa. "Bunuhlah
kami bersama-sama, Sambawa! Kami sudah tidak membawa senjata lagi!" seru
Buyut Batara.
Sesepuh berkepala botak itu berseru, "T
unggu...!"
Sesepuh itu maju ke pertengahan Sambawa dan Buyut Batara.
"Apalah artinya nyawa perempuan itu jika dibandingkan nyawa Buyut
Batara"! Kematian Buyut Batara sama halnya kematian sepuluh orang kita!
Lalu apakah seimbang jika diganti dengan nyawa perempuanini"!"
"Apa maksudmu, Paman"!" seru seorang
pemuda lain yang juga sudah menghunus pedang. "Cinta dapat mengalahkan
pedang setajam apa pun!
Cinta dapat memadamkan kobaran api gunung berapi! Layakkah
sebuah cinta hancur karena kepicikan kita semua"!" Suasana menjadi
sepi. Sepi sekali. Seperti tak punya napas semua. Suara batukatau bengek pun
tak ada.
Sesepuh botak itu berkata lagi, "Beri dia
kesempatan untuk membuktikan cintanya kepada Buyut Batara! Jika benar perempuan
ini mencintai Buyut, maka ia akan berangkat sekarang juga untuk membunuh Ratu
Kehangatan!"
Denaya cepat menyahut dengan suara keras, "Akan
kulakukan sekarang juga!" Pedangnya segera disambar dan ia bergegas pergi
tanpa Buyut Batara. Tetapi pemuda itu segera berseru dan mengejarnya.
"Denaya! Kau tak bisa mati sendirian, baik di
sini maupun di sana! Kita akan hadapi ratumu bersama-sama!"
"Buyut!" bentak Sambawa yang tak setuju
jika Buyut Batara ikut ke IstanaKematian. "Kalian hanya punya
dendam!" teriak Buyut Batara.
"Kalian hanya punya murka, tapi tak punya
nyali! T ak ada yang berani menyerang Istana Kematian sampai saat ini juga! Tapi
aku dan Denaya akan tunjukkan bahwa kami lebih punya nyali daripada
kalian!"
"Siapa bilang tak ada yang punya
nyali"!" seru Samba wa. "Salah satu dari kami sudah ada yang
berangkat ke Istana Kematian!"
"Siapa"!" sentak Buyut Batara.
"Rembulan Senja; kakakmul"
"Hahh..."!" Buyut Batara mendelik. T
egang sekali.
"Mengapa tak ada yang melarang kakakku
berangkat ke sana"! Kalian ingin korbankan kakak perempuanku itu,
hah"!"
Sesepuh botak segera dekati Buyut Batara dan menepuk
pundak pemuda itu.
"Kakakmu pergi bersama Pendekar Mabuk!"
"Suto Sinting"!" pekik Buyut Batara
lebih keras dan lebih mendelik.
Plook...! Sesepuh itu menampar pelan wajah Buyut
Batara, ia bersungut-sungut.
"Diberi tahu malah melototi orang tua dan membentak-bentak!
Kurang ajar!"
"Maaf, Paman...!" suara Buyut Batara
gemetar. "Aku dan Denaya pamit sekarang juga!" Sungguh merupakan
kabar yang benar-benar mengejutkan bagi Buyut Batara, ia sama sekali tak pernah
berpikir bahwa Pendekar Mabuk akhirnya sampai juga di T anah Leluhur, bahkan
menjadi akrab dengan kakak perempuannya. Sepanjang perjalanan menujuIstana
Kematian, tiada habisnya Buyut Batara bercerita tentang Pendekar Mabuk dan
Rembulan Senja kepada Denaya.
"Kita harus bisa menyusul mereka sebelum mereka
tiba di perbatasan LembahPrahara!" ujar Denaya, karena Istana Kematian itu
berada dalam wilayah LembahPrahara. Denaya berkata lagi, "Temanmu, si
Pendekar Mabuk itu, harus diberi tahu bahwa Ratu Kehangatan mempunyai banyak
jebakan yang sulit ditebak di dalam istananya. Setiap orang tak dikenal mencoba
masuk ke istana Kematian, maka ia akan kehilangan nyawa,termakan jebakan
itu!"
"Pendekar Mabuk mempunyai kecepatan yang sulit
dikejar! Aku pernah melihat kecepatan geraknya yang membuatku hanya bisa tercengang."
"Kalau begitu aku harus menotokmu supaya mudah
kubawa lari! Huup...!"
"Eh, eh, eeh...! Jangan main totok
sembarangan!" sentak Buyut Batara sambil melompat mundur, ia tertawa geli
ketika Denaya pun akhirnya tersenyum.
"Sekarang aku ada di tanah, bukan di atas
pohon! Jadi kau tak boleh menotokku, Denaya!" "Kalau begitu, naiklah
ke atas pohon!" ujar Denaya menggoda. Kemudian ia menyerang dengan jurus
totokan. "Hei, hei...! Denaya! Aku tak mau,
Denaya...!" Buyut Batara melarikan diri, Denaya mengejar. Begitu
seterusnya, sehingga tanpa sadar mereka saling kejar dan saling beradu
kecepatan lari. Sebenarnya Denaya dapat menangkap Buyut Batara dengan mudah,
karena ia mempunyai jurus peringan tubuh yang dapat berlari lebih cepat lagi
jika tenagadalamnya dipusatkan ke kakinya. Tapi Denaya tetap berlagak tak bisa
menyusul Buyut Batara, supaya pemuda itu tetap berlari lebih cepat dan lebih
cepat lagi.
Wees, wees, wees, wees...!
Zlaaap...! Sebuah bayangan melintas di depan Buyut
Batara. Langkah pelarian Buyut Batara terhenti karena kaget. Denaya sendiri
juga hentikan langkah danmatanya memandang sekeliling dengan curiga.
"Kita sudah berada di perbatasan wilayah Lembah
Prahara," bisik Denaya. "Kurasa sekelebat bayangan tadi adalah
gerakan si Bragawa, penjaga perbatasan!"
"Kalau begitu, bersiaplah hadapi Bragawa! Kau
lebih tahu tentang dia."
Zlaap...! Brruus...!
Bayangan itu tiba-tiba berkelebat lagi dan menerjang
Buyut Batara. Pemuda tersebut terpental dengan berguling-guling di tanah.
Denaya terperanjat dan segera mencabut pedangnya untuk bikin pembalasan kepada
si bayangan cepat tadi.
"Buyut..."! Buyut, kau cedera"!"
Denaya segera menolongkekasihnya dengan mata liar mulai menampakkan
keganasannya.
"T idak. Aku tidak cedera apa-apa. Lenganku
yang tersambar dan ditendangnya. T api... tapi kurasa tendangannya tidak
terlalu berat, ia tidak menggunakan tenaga dalam saat menendangku!"
"Jaga dirimu! Akan kucari orang itu!"
geram Denaya sambil membungkuk, memegangi pedang dengan kedua tangan, matanya
jelalatan ke mana-mana.
"Setan! Iblis! Keluar dari persembunyianmu!
Hadapi aku!" teriak Denaya dengan berang. Zlaap...! Jleeg...!
Bayangan itu muncul dari balik semak di belakang
Buyut Batara dan Denaya. Ternyata dia adalah seorang pemuda yang tampan, gagah,
dan bertubuh kekar seperti Buyut Batara. Senyumnya segera mekar setelah Buyut
Batara dan Denaya memandangnya. "Suto..."!" sentak Buyut Batara
sambil melebarkan senyum juga.
"Heeeaaat...!" Denaya memekik dengan
pedang ingin diayunkan ke tubuh Pendekar Mabuk. Tapi tangan Buyut Batara segera
mencekal lengan gadis itu. "T ahan! Dia temanku; Pendekar Mabuk!"
Denaya segera hembuskan napas panjang dan kendurkan
ketegangannya. T api hatinya masih merasa dongkol karena sempat naik darah
melihat Buyut Batara tadi terjungkal.
"Kalian masih kurang waspada!" ujar Suto
Sinting.
"T erbukti aku masih bisa membuatmu jungkir
balik, Buyut!"
"T entu saja, sebab kau punya gerakan
gila!" geram
Buyut Batara sambil menahan senyum.
"Mengapa kau lakukan terhadap kekasihku"!
Salah-salah kau bisa kehilangan nyawamu, Pendekar Mabuk!" ketus Denaya
melampiaskan kekesalannya. Pendekar Mabuk hanya tertawa.
Namun dari semak-semak seberang terdengar suara yang
segera berseru dengan lantang. "Aku yang menyuruhnya menyerang
adikku!"
"Rembulan..."!" sapa Buyut Batara
dengan wajah berseri melihat kakaknya dalam keadaan sehat. T etapi sang kakak
menatap benci kepada Denaya, dan Denaya sendiri
juga memandang sinis kepada Rembulan Senja.
"Siapa perempuan itu, Buyut"!"
"Denaya! Prajurit pilihan Ratu Indudari yang
keluar dari Istana Kematian hanya untuk selamatkan nyawaku! Sekarang dia ada di
pihak kita dan siap membantu kita, Rembulan."
"Jangan mudah tergiur oleh mulut manis
perempuan! Lidah perempuan bisa berubah menjadi pedang yang memenggal lehermu,
Buyut!"
Pendekar Mabuk segera menyahut. "Kalau begitu,
aku pun harus hati-hati terhadapmu, Rembulan! Jangan-jangan karena terlalu
percaya dengan kata-katamu, leherku menjadi buntung mendadak!"
Buyut Batara dan Suto Sinting sama-sama tertawa.
Rembulan Senja dan Denaya masih bersitegang dalam
beradu pandangan. Akhirnya Suto Sinting berhasil meredam permusuhan batin di
antara kedua perempuan itu, terutama setelah Buyut Batara menceritakan alasan Denaya
menculiknya saat berjalan bersama Suto Sinting.
"Denaya mendesakku agar menyusul kalian,"
kata Buyut Batara. "Karena Denaya tak ingin Pendekar Mabuk masuk ke dalam
Istana Kematian sebelum mendapat penjelasan tentang jebakan-jebakan yang ada
disana!"
"T erlalu sulitkah mempelajari jebakan-jebakan
itu, Denaya"!" tanya Suto Sinting. "Cukup sulit! Yang jelas
butuh waktu untuk mempelajarinya. Tergantung kecerdasanmu dalam mengingat dan
mengatasi jebakan tersebut," jawab Denaya dengan nada sudah tidak
bermusuhan lagi.
"Bagaimana kalau sang Ratu kupancing
keluar"!" tanya Pendekar Mabuk. "Aku akan meledakkan Istana
Kematian itu dari luar benteng!" "Bagaimana nasib para tawanan yang
masih hidup?" sela Rembulan Senja.
Denaya segera berkata, "Kalau begitu, alihkan
perhatian mereka ke bagian depan. Aku akan masuk lewat belakang dan menjebol
pintu rahasia. Para tawanan yang ada di ruang ba wah tanah akan kubebaskan dan
kubawa lari keluar istana lewat pintu rahasia itu! Setelah para tawanan kubawa
menjauhi benteng istana, aku akan bergabung denganmu dan ledakkan semua
bangunan yang ada di sana!"
Buyut Batara menimpali, "Itu gagasan yang
bagus!"
"Ya, kurasa memang harus begitu!" gumam
Suto Sinting.
"Jika berhadapan dengan Ratu Kehangatan jangan memandang
di bagian tengah keningnya, diantara kedua alisnya itu."
"Mengapa harus kuhindari?"
"Bagian di antara kedua alisnya itu dapat
keluarkan cahaya merah kecil, seukuran benang jahit. Jika kau terkena sinar
merah kecil itu, kau akan bergairah dan pasrah kepada sang Ratu. Kau akan
tergila-gila dan hasrat bercumbumu berlebihan!" ujar Denaya.
Rembulan Senja memandang arah lain sambil berkata,
"Aku ingin punya cahaya merah itu. Bagaimana caranya, ya?"
Buyut Batara menjawab dengan bersungut-sungut,
"Rendam tubuhmu di kawah gunung berapi selama
delapan tahun!"
"Bonyok, Tolol!" Rembulan Senja cemberut.
Denaya dan Suto Sinting sunggingkan senyum geli. Mereka pun akhirnya bergegas
menuju ke benteng Istana Kematian. Tanpa setahu Rembulan Senja dan Buyut
Batara, Denaya dan Suto Sinting bersepakat untuk menotok kedua orang itu.
Ketika keduanya sudah tertotok dan menjadi lemas, Denaya memanggul Buyut
Batara, dan Suto Sinting memanggul Rembulan Senja.
Wees, wess...! Zlaaaap...!
Mereka berkelebat dengan kecepatan tinggi. Walaupun
Denaya masih kalah cepat dibanding gerakan Suto Sinting, namun ia tertinggal
tak terlalu jauh.
Mereka bahkan mampu menerobos pertahanan Bragawa
dengankecepatan tinggi masing-masing, sehingga Bragawa dan anak buahnya yang
mengetahui gerakanmereka tak dapat mengejarnya. Bragawa dan anak buahnya
tertinggal jauh di belakang Denaya.
Benteng batu hitam akhirnya terlihat dari kejauhan. Saat
itulah Denaya dan Suto Sinting sepakat untuk melepaskan totokan kakak-beradik
itu. "Setan kurap! Kau apakan aku, hah"!" bentak Buyut Batara
kepada Denaya. Denaya hanya menjawab,
"Suto yang menyuruhku begitu. Marahlah kepadanya!"
Rembulan Senja pun menggerutu berkepanjangan.
Namun Suto Sinting segera memutus gerutuan itu.
"Lihat, benteng hitam itu sudah berada di depan
kita. Bersiaplah menghadapi bahaya sewaktu-waktu. Aku akan melepaskan pukulan
jarak jauhku untuk hancurkan pintu gerbang dan bagian depan Istana!"
"Tunggu, biarkan aku sampai ketiga pohon cemara
berjajar itu. Aku akan
menghancurkan pintu rahasia di belakang benteng!
Setelah aku tiba di tiga pohoncemara, segeralah lakukan penghancuran di bagian
depan, supaya perhatian mereka beralih ke depan!" ujar Denaya, lalu ia
bergegas pergi setelah Suto Sinting anggukkan kepala.
"Rembulan, bantulah dia! Aku akan membantu Suto
di bagian depan!" ujar Buyut Batara. Rembulan Senja kurang setuju usul
adiknya. T api karena Suto Sinting membenarkan usul itu, mau tak mau Rembulan
Senja berlari mengikuti Denaya, membayang-bayangi gadis itu. Karena ia tahu,
jika gadis itu celaka, maka Buyut Batara akan marah besar kepadanya.
"Kita maju sampai di batu tinggi itu se belum
Denaya tiba di tiga pohon cemara tersebut!" Buyut Batara ajukan usul lagi.
Pendekar Mabuk setuju, kemudian mereka bergegas maju sampai ke batu besar yang
menjulang tinggi melebihi tinggi tubuh mereka.
"Kau punya jurus penghancur"!" tanya
Suto.
"Ya, tentu saja aku punya!"
"Pergunakan jurus penghancur itu! Arahkan ke
pintu gerbang. Aku akan mengarahkan jurus 'Pecah Raga'-ku ke atap bangunan
istana itu. Jika para prajurit berhamburan keluar, hantam terus dengan jurus
penghancurmu!"
"Baik! T api bagaimana dengan para penjaga di
menara sudut benteng itu"!"
Baru saja kedua pemuda itu memandang ke arah menara
di sudut benteng, tiba-tiba menara yang kiri meledak karena sinar kuning berkelok-kelok
dari bawah.
Blegaaarr...! "Sial! Siapa yang menghancurkan
menara itu"!" gerutu Suto Sinting.
"Itu jurus ' Surya T idar'-nya Rembulan
Senja!" ujar Buyut Batara.
"Berarti Denaya sudah sampai di belakang
benteng! Kita bergerak sekarang juga, Buyut!"
Zlaaap...! Wuuus...!
Kedua pemuda itu berkelebat ke arah tanah lapang di
depan benteng. Pada saat itu, beberapa prajurit keluar dari gerbang yang
pintunya segera dibuka. T etapi sinar biru dari tangan Buyut Batara menyerang
mereka bertubi-tubi. Claaap, claap, claap, claap...!
Blegaar...! Blaaar...! Jegaaar...! Glaaarr...!
Pendekar Mabuk sentakkan tangannya dan dari tangan
itu keluar sinar hijau yang dapat memecahkan raga lawan, karenanya inamakan
jurus 'Pecah Raga' alias 'Lebur Jiwa'. Sinar hijau itu mengarah ke bagian atap
istana yang tampak mencuat melebihi tembok benteng. Clralap...!
Bleggggaaarrr...!
Istana itu hancur bagian depannya. Suto Sinting
melepaskan jurus yang sama lagi. Kali ini diarahkan ke menara sebelah kiri.
Clraaap...!
Bleggaaarrr...!!
Suasana menjadi gempar, kacau balau. Para prajurit
berpakaian anti senjata tajam itu menyebar ke mana-mana dalam keadaan tidak
bernyawa. Namun sebagian besar tampak panik dan saling tabrak sendiri karena
dihujani sinar birunya Buyut Batara. Ledakan dahsyat terjadi berkali-kali
membuat tanah sekitar mereka bergetar terus, sampai akhirnya benteng depan
roboh dalam keadaan hancur terhantam jurus 'Pecah Raga'-nya Pendekar Mabuk.
Beberapa prajurit menyerang dari arah samping dengan
pedangnya. Buyut Batara menghadapi dengan tebasan pedang pendeknya yang dapat
keluarkan cahaya putih berkilauan dan menghanguskan lawan yang terkena cahaya
tersebut. Suto Sinting juga menghadapi serangan lawan dengan bumbung tuaknya.
Sesekali tangannya menyentak dan keluarkan sinar penghancur ke arah munculnya
para prajurit itu.
T iba-tiba di sela ledakan demi ledakan, terdengar
suara perempuan yang menjerit lengking dan menggeram ke mana-mana. Suara itu
jelas dilontarkan dengan bantuan tenaga dalamnya. "Hentikaaaaaann...!!
Hentikaaaaann...!!"
Para prajurit mundur walau tetap bersi aga lakukan
penyerangan sewaktu-waktu. Pendekar Mabuk dan Buyut Batara saling beradu
punggung.
Tiba-tiba angin panas datang menerjang mereka tanpa
diduga-duga. Angin panas itu datang dari arah samping mereka. Pendekar Mabuk
terlambat menghadang anginpanas itu dengan kibasan bumbung tuaknya. Akibatnya
ia pun terhempas danmenjerit kepanasan. Demikian juga Buyut Batara yang memekik
bagai tersiram cairan besi panah. "Aaaaaa...!!"
Pendekar Mabuk jatuh berguling-gulingdalam keadaan
tubuhnya menjadi merah matang. Rasa panas menyelimuti seluruh tubuhnya, ia
buru-buru sempatkan diri menenggak tuaknya walau hanya satu teguk.
"Buyut, cepat minum tuak ini!" sambil Suto
menyodorkan bumbung tuak ke mulut Buyut Batara.
Dengan gerakan cepat dan terburu-buru, Buyut Batara
akhirnya berhasil meneguk tuak tersebut, sehingga rasa panas dan luka bakarnya
pun lenyap dalam beberapa kejap kemudian.
Wuuus...! Jleeeg...!
Seorang perempuan bertubuh sekal dan berdada montok
muncul dari kobaran api yang membakar bagian depan istana serta pintu
gerbangnya. Perempuan itu mengenakan jubah merah jambudengan parasnya yang ayu menawan
hati. Tetapi kedua bola matanya memandang tajam penuh dendam dan murka.
"Siapa kalian, hah"!" bentaknya
dengan suara nyaring. "Dia yang berjuluk Ratu Kehangatan!" bisik
Buyut Batara.
"Menjauhlah!" balas Suto Sinting, lalu
segera maju beberapa langkah.
"Aku si Pendekar Mabuk, sengaja datang mewakili
orang-orang T anah Leluhur untuk bikin perhitungan sendiri denganmu! Aku
menantang pertarungan satu lawan satudenganmu, Ratu!"
Beberapa saat setelah mata sang Ratu memandangi Suto
Sinting, terdengarlah suara tawanya yang mengikik serak.
"Pertarungan yang mana, Pemuda T ampan"!
Pertarungan di atas ranjangkah, maksudmu"!"
"Lebih baik aku bertaruh nyawa di sini daripada
bertaruh keringat di atas
ranjang denganmu, Ratu!"
"Ooh..."! Hebat sekali tantanganmu! T api
coba dulu hadapi pengawalku!"
"T idak!" sergah Suto Sinting.
"Pertarungan dengan pengawalmu hanya membuang-buang waktu saja! Kalau kau
tak mau menghadapi tantanganku, berarti kau adalah seorang Ratu yang tak punya
nyali! Kau hanya berani mengajukan prajuritmu, tapi kau sendiri tidak punya
keberanian menghadapi pertarungan! Mungkin jugadengan orang lain kau tak akan
berani melakukan pertarungan! Sungguh seorang Ratu pengecut kau sebenarnya,
Indudari!"
Hinaan tersebut sengaja dilontarkan oleh Suto untuk
memancing kemarahan Ratu Kehangatan. T ernyata pancingan Suto Sinting berhasil.
Sang Ratu menggeram dengan menampakkan wajah bengisnya. "Mulut lancanganmu
harus kurobek sampai ke tengkuk, Bocah Ingusan! Jika kau ingin menantangku,
terimalah dulu jawa ban dariku ini! Hiaaah...!"
Ratu Kehangatan lakukan lompatan ke atas. T angan
kirinya menyentak ke depan dan mengeluarkan cahaya Jingga menyerupai pedang
pemenggal leher. Wuuus...!
Cahaya Jingga itu menyerang Pendekar Mabuk, makin
dekat makin besar, dan ketika ditangkis dengan bumbung tuak, cahaya Jingga itu
sudah berubah tiga kali lebih besar dari pedangnya Denaya. Blegaaaarrr...!
Benturan itu menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat.
Pendekar Mabuk terlempar dan jatuh berguling-guling dalam jarak sepuluhlangkah.
Tetapi bumbung tuaknya masih utuh, tak mengalami lecet sedikit pun.
Hanya saja, wajah Pendekar Mabuk menjadi memar membiru
dengan sudut mata keluarkan cairan merah kental. Darah.
"Edan! T enaganya besar sekali! T enaga manusia
atau tenaga jin tadi"!" gerutu hati Suto Sinting sambil menahan rasa
sakit di seluruh wajah dan dadanya.
Rupanya dada Suto pun menjadi biru legam akibat
gelombang ledakan dahsyat tadi.
"Hupp, haap, hiaaah...!"
Ratu Kehangatan memainkan jurusnya, lalu satu
kakinya menghentak ke bumi.
Bruuus...! T ubuh perempuan itu lenyap bagaikan
ditelan bumi. Pendekar Mabuk kebingungan mengarahkan pukulan jarak jauhnya.
Namun tiba-tiba dari dalam tanah yang dipijak Suto,
keluar sepasang tangan yang menyentak dan menarik kedua kaki Suto Sinting.
Bruuuusss...! Zruuuubb...!
"Aaaahk...!" Suto Sinting bagai
ditenggelamkan ke bumi. T arikan kedua tangan Ratu Kehangatan itu cukup keras
dan kuat. Pendekar Mabuk akhirnya terbenam sebatas perut. Tapi bumbung tuaknya
masih di atas dan menjadi penyangga tubuh.
"Aaahk...!" Suto Sinting mengerang dengan
wajah menyeringai kuat-kuat. Sesuatu yang menarik tubuh Suto dari dalam tanah
itu nyaris sukar dilawan. Bahkan pergelangan kaki Suto terasa dijepit dengan
tang besi sangat kuat.
"Heeahh...!"
Akhirnya Suto Sinting sentakkan bumbung tuaknya ke
tanah. Duuh...! Sentakan itu mengeluarkan tenaga besar yang mendorong tubuh
Pendekar Mabuk melesat ke atasdengan kecepatan tinggi. Wuuus...! Brruull...!
T ernyata tubuh Ratu Kehangatan ikut terbawa terbang
ke atas dalam keadaan kedua tangan berpegangan pada kedua kaki Pendekar Mabuk.
Semua mata yang memandangnya menjadi kagum. "Heeeeaaahhh...!!" teriak
Ratu Kehangatan mengencangkan kedua genggamannya.
"Aaaaahk...!" Suto Sinting memekik keras,
karena tulang kakinya terasa menjadi remuk oleh genggaman kedua tangan
bertenaga dalam itu.
T ubuh mereka melayang turun. Pada saat itu Suto
Sinting memutarkan bumbung tuaknya dan menyabet ke bawah kakinya dalam keadaan
membungkuk.
Wuuus...! Prrraak...!
Suara berderak keras terdengar oleh semua prajurit
yang menyaksikan pertarungan itu. Suara tersebut datang dari benturan bumbung
tuak dengan kepala Ratu Kehangatan. Kepala itu berhasil dihantam dengan bumbung
tuak. Kepala tersebut pecah, menyemburkan darah ke mana-mana. Genggaman kedua
tangan itu pun terlepas, dan Suto Sinting jatuh terjungkal karena tak mampu
lagi menjaga keseimbangan dan rasa sakit. Kedua kakinya tak bisa dipakai
berdiri lagi. Bruuuk...!
" Aaaaaaaaahhhkk... !"
Pendekar Mabuk meraung panjang, ia buru-buru menenggak
tuaknya untuk atasi rasa sakit. T api keadaan Ratu Kehangatan sudah terkapar
tak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam bumbung tuak yang kerasnya
melebihi besi baja.
"Ratu tewas...! Ratu tewaaass...!" teriak
seorang prajurit, lalu prajurit yang lain pun berhamburan melarikan diri.
Mereka takut menghadapi Pendekar Mabuk, takingin mengalami nasib seperti
ratunya.
"Heeeaaah...!!"
T eriakan itu berasal dari Denaya yang baru saja
muncul bersama Rembulan Senja, ia menyerang para prajurit dengan pedangnya
secara membabi-buta. Rembulan Senja melepaskan cahaya penghancur ke arah para
prajurit yang bertebaran. T api tindakan mereka buru-buru dicegah Suto, hingga
tak telanjurmakan korban. Kemudian Istana Kematian pun segera dihancurkan oleh
Pendekar Mabuk dengan jurus-jurus maut bersinar warna-warni itu, pada saat
sudah ditinggal oleh paraprajurit. Bleggaaaaarrrrrr...!!
Istana Kematian itu meledak dan api berkobar membubung
tinggi seba gai pertanda berakhirnya masa kekejaman Ratu Kehangatan.
Suara ledakan itu menggema sampai ke mana-mana dan
mengguncangkan tanah dengan keras, seakan bumi akan kiamat dalam waktu dekat.
"Denaya!" seru Buyut Batara, lalu ia segera berlari hampiri gadis itu
dan memeluknya. Rembulan Senja berharap Suto Sinting berseru seperti adiknya.
Tapi ternyata Pendekar Mabuk hanya sunggingkan
senyum sambil melangkah mendekati Rembulan Senja. Langkahnya masih sedikit
pincang karena proses penyembuhan pada tulang kaki belum sempurna.
"Kita harus segera pulang. Ada beberapa tawanan
yang menderita sakit akibat tebasan pedang temannya sendiri," ujar
Rembulan Senja.
"Aku setuju dengan usulmu!"
Maka mereka pun bergegas pulang ke Tanah Leluhur. Ternyata
dari sekian pemuda yang diculik oleh pihak Ratu Kehangatan, hanya tujuh orang
yang masih selamat. T iga di antaranya terluka akibat pertarungan di arena.
"Kami dipaksa bertarung dengan teman sendiri
sampai ada yang mati. Darah kami merupakan hiburan dan kepuasan bagi Ratu
Kehangatan itu!" tutur salah seorang tawanan. "Jika kami tidak mau
membunuh lawan yang sudah kalah, kami berdua akan dibunuh oleh para
pengawalRatu. Jadi mau tidak mau kami membunuh teman sendiri demi
mempertahankan nyawa kami masing-masing."
"Menyedihkan sekali!" gumam Suto Sinting
dengan lirih, lalu la pun menundukkan kepala. T ernyata ketika mereka tiba di
Tanah Leluhur, dua orang tamu sedang berada disana. Mereka adalah Perawan
Sinting dan Mahesa Gibas. Walau kedatangan Perawan Sinting termasuk terlambat,
tapi Suto tetap menyambutnya dengan senyum kemenangan. Senyum itu membuat
Rembulan Senja cemberut dan tak mau menatap Suto yang tel ah berada dalam
genggaman tangan Perawan Sinting.
"Repot! Serba salah kalau be gini
jadinya!" gumam Pendekar Mabuk dalam hatinya dengan mata sesekali melirik
Rembulan Senja, sesekali melirik Perawan Sinting yang sudah terang-terangan
menyimpan cinta kepadanya.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul:
PERT ARUNGAN DEWI RANJANG
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Emoticon