1
SUARA tembang itu
ternyata datang dari tanah
perbatasan sebuah
desa. Mulanya suara tembang itu
disangka sekelompok
orang yang mengadakan lomba
berbaju tanpa
lengan warna coklat dan bercelana putih
kusam itu segera
mendekati tempat tersebut. Pemuda
tampan yang membawa
bambu bumbung tuak itu tak
lain adalah si
murid sinting Gila Tuak yang bergelar
Pendekar Mabuk dan
akrab dipanggil Suto Sinting.
Namun setelah Suto
Sinting sampai di tempat
datangnya suara
tembang itu, ia jadi kecewa dan geleng-
geleng kepala.
Ternyata suara tembang itu dilantunkan
dari mulut seorang
pemuda gila berpakaian rangkap-
rangkapan. Seorang
lelaki agak pendek bertubuh kurus
dengan rambut kucal
acak-acakan itu menari-nari sambil
melantunkan tembang
tak jelas iramanya. Sebuah guci
kecil ada di tangan
kirinya.
"Uu, lalala...
ceriping singkong enak rasanya. Uuh,
lalala... nyolong
ceriping aduh nikmatnya, uuh, lala, lala,
la... lalalalala...
ceriping!"
Orang gila itu
berjoget sambil geleng-geleng kepala
terus tanpa henti.
Seakan dunia itu miliknya. Seluruh
keindahan di alam
jagat raya itu bagaikan hanya dia
yang punya. Matanya
yang sayu itu seperti orang
mengantuk, tapi
gerakan tubuhnya yang meliuk ke sana-
sini dengan teratur
itu benar-benar tampak sedang
dinikmati.
Lelaki berpakaian
rangkap tujuh, termasuk tiga
celana pendek, tiga
celana panjang beda panjang, dan
sarung kumai
dililit di pinggangnya itu, tak pedulikan
kedatangan Suto
Sinting di bawah pohon. Pendekar
Mabuk terpaksa
menikmati tontonan gratis itu sebagai
obat kecewa atas
hatinya yang salah terka itu.
"Pemuda itu
benar-benar tak punya beban dalam
hidupnya. Alangkah
enak hidup seperti dia?" pikir Suto
sambil
senyum-senyum kecil karena geli melihat tarian
si orang gila.
"Coba kalau
aku bisa hidup seperti dia, pasti pikiran
dan batinku bebas
dari masalah apa pun. Tapi... eh, aku
tak mau hidup
seperti dia, itu berarti aku gila! Mana ada
gadis yang mau
punya kekasih pemuda gila? Hmmm...
kalau menikmati
kelucuan orang gila, boleh-boleh saja.
Sambil beristirahat
di tempat teduh ini, kunikmati saja
keanehan orang
itu."
Bumbung tuak
diangkat dan dijungkirkan ke mulut.
Glek, glek,
glek...! Tiga teguk tuak diminumnya. Badan
terasa segar, hati
merasa tenang. Pendekar Mabuk
sengaja duduk di atas sebuah batu yang ada di bawah
pohon rindang
itu sambil matanya pandangi tarian si
orang gila yang
usianya sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Uuh, lalala... ceriping kodok aduh baunya. Uuh,
lalala... ceriping
tembok aduh kerasnya. Uuh, lala, lala,
la... lalalala...
ceriping!"
Orang gila itu masih berjoget seenaknya dengan
kepala menggeleng-geleng
terus. Keringatnya mengucur
dari dahi sampai ke
pipi. Giginya gemeretak seperti
orang sedang
menggigil kedinginan. Matanya yang sayu
terbuka sedikit dan
mulai melihat kehadiran Suto
Sinting, ia
tersenyum dan melambaikan tangan penuh
persahabatan. Suto
Sinting hanya membalas senyuman
tapi tak mau
melambaikan tangan, takut dikira sama-
sama gila.
Tetapi pemuda kurus
berambut tipis itu segera
mendekati Suto sambil
kepalanya tetap godek-godek
seperti wayang
golek.
"Hai,
Jek...!" sapanya sambil melambaikan tangan
lagi. "Tampan
sekali kau, Jek...."
"Namaku Suto,
bukan Jek!"
"Ah, bohong.
Kau pasti si Dufkijek... cucunya Mbah
Gudel! He, he,
he...!"
"Bukan. Aku
bukan Dufkijek, dan bukan cucunya
Mbak Gudel. Namaku
Suto Sinting. Kau bisa
memanggilku Suto,
kalau kau mau bersahabat
denganku."
"Ah, kau pasti
Dulkijek! Kalau kau bukan Dulkijek,
aku tak mau
bersahabat dan tak mau memberitahukan
rahasia pedang itu
lho!"
Suto mulai tertarik
mendengar rahasia pedang yang
sebenarnya tak
ingin diketahui. Karena pemuda gila
yang cengar-cengir
terus dengan mata sayu seperti orang
mabuk itu
sudah telanjur menyebutkan tentang rahasia
sebuah pedang, Suto
jadi berminat untuk
mengetahuinya. Mau
tak mau ia harus bersikap
bersahabat dengan
pemuda gila itu.
"Mau
bersahabat denganku atau tidak?" sambil
pemuda gila itu
geleng-geleng terus mengikuti irama
tembang di hatinya.
"Baiklah. Aku
mau bersahabat denganmu. Aku
memang
Dulkijek!"
"Naaah... itu
baru sohib namanya! Sohib
itu teman
baik! He, he, he,
he...!"
Suto Sinting
ikut-ikutan tertawa ceria supaya
dianggap seorang
sahabat yang baik. Pemuda itu
mengangkat
tangannya dengan telapak tangan terbuka
dan mengajak adu
telapak tangan.
"Tos dulu,
Jek. Ayo, tos dulu...!"
"Tos itu
apa?!"
"Tos itu
singkatan dari: Tangan Orang Senang. Mari
kita adu tangan
kita supaya senang bersama! Ayo, tos
dulu, Jek...!"
Untuk melegakan
pemuda tersebut, Suto Sinting pun
mengadu telapak
tangannya dengan orang itu sambil
tertawa kecil.
Plok...!
Wuuut!, brruk...!
Pemuda gila itu
terlempar sejauh lima langkah. Suto
Sinting kaget,
pemuda itu juga kaget dan menggeragap.
"Kenapa
pukulanmu keras sekali, Jek?! Pelan saja?!
Yang penting kita
sama-sama asyik, Jek!"
"Wah, aku lupa
menarik tenaga dalamku dari telapak
tangan. Aduh,
kasihan sekali dia!" pikir Suto Sinting
yang tak sengaja
melepaskan tenaga dalamnya saat
beradu telapak
tangan. Hal itu karena Suto sudah
terbiasa jika
bertemu dengan lawan dan mengadu telapak
tangan selalu
saling melepaskan tenaga dalam dari
telapak tangan itu.
Tapi rupanya kali ini pemuda gila itu
tidak mempunyai
tenaga dalam sedikit pun. Ia
menghendaki adu
telapak tangan secara kosong hanya
sebagai tanda
bersahabat. Suto jadi menyesal sendiri dan
buru-buru menolong
pemuda itu.
"Maaf, aku tak
mengerti maksudmu. Jangan marah,
Kawan!"
"O, tak apa.
Untuk apa aku marah? Yang penting kita
sama-sama senang
saja, tak perlu saling bermusuhan,
Jek!"
Setelah pemuda itu
berhasil dibantu untuk berdiri, ia
mengangkat
tangannya lagi.
"Tos lagi,
Jek! Pelan-pelan saja!"
Plaak...!
"Asyiiiik...!
ini baru sahabat yang baik!" ujarnya
sambil tetap ceria, sementara Pendekar Mabuk
hanya
merasa bingung
melihat sikap pemuda itu.
"Kelihatannya
gila, tapi kok bicaranya masih lancar?"
pikir Suto.
Pemuda yang belum
diketahui namanya itu masih
bergoyang-goyang
sambil geleng-gelengkan kepala.
Ceria sekali,
tampak sangat gembira menikmati
hidupnya di siang
yang teduh itu.
"Mau ceriping
juga, Jek?"
"Ceriping...?!"
Suto heran lagi.
"Tak usah
sungkan-sungkanlah.... Apa kau tak tahu
kalau ceriping itu
jenis minuman tuak yang paling enak
dan melebihi tuak
majalegi? Kalau mau ceriping, aku
masih punya cukup
banyak."
Suto membatin,
"Bukankah ceriping itu sejenis
keripik singkong?
Tapi mungkin di daerah ini beda
artinya."
"Kau juragan
ceriping?!" tanya Suto.
"Lho, masa'
lupa...?! Aku, Mahesa Gondes, bandar
ceriping di seluruh
padukuhan sini. Jek!" sambil ia
menepuk dadanya dan
tetap godek-godek. Suto hanya
mencatat dalam
hatinya bahwa pemuda itu
bernama
Mahesa Gondes.
"Kalau kau mau
ceriping, nanti kita bisa bergembira
bersama sambil
menembang begini...," ia mulai
menembang lagi.
"Uuh,
lalala... ceriping tokek aduh jijiknya. Uuh,
lalala... ceriping
kebo aduh alotnya. Uuh, lala, lala, la.
lalalala...
ceriping!" sambil ia memperagakan
kenikmatannya dalam
berjoget dan geleng-geleng
kepala.
"Mahesa
Gondes, soal rahasia pedang tadi,
bagaimana?"
Suto alihkan omongan.
"Ah, minum
ceriping dulu baru ngomong soal
pedang!" ujar
Mahesa Gondes sambil geleng-geleng
kepala terus.
"Baik,
baik...! Aku mau minum ceriping. Hmmm...
kau punya ceriping
apa, Mahesa Gondes?!"
"Hmmm,
pokoknya asyik, Jek! Aku orangnya asyik-
asyik saja,
Jek!" kata Mahesa Gondes sambil membuka
tutup guci itu.
"Minum ini!
Kau pasti akan menikmati keindahan di
dunia! Baru kita bisa bicara tentang rahasia pedang
pusaka!"
"Apa
ini?!" tanya Suto heran.
"Ini namanya
ceriping raja! Minum saja, Jek!"
Pendekar Mabuk
sempat dibuat bimbang sesaat, ia
mencium tuak dalam
guci berbau wangi.
"Minum
saja!" bujuk Mahesa Gondes.
"Minuman apa
ini sebenarnya?" Pendekar Mabuk
semakin bingung.
"Minumlah
benda itu, itu adalah tuak gegap gempita.
Sejenis minuman
yang bikin hati kita senang dan selalu
jujur kepada siapa
pun, selalu baik kepada siapa pun,
dan selalu mengalah
kepada siapa pun. Namanya "Tuak
Ceriping'."
"Wah, gawat
sekali orang ini!" pikir Suto Sinting.
"Jangan-jangan
bisa muntah jika aku minum tuak bau
wangi rempah-rempah
begini."
"Kalau kau tak
mau minum, aku tidak bisa kasih tahu
rahasia pedang
pusaka itu, Jek. Sebab kau tak bisa lihat
di mana pedang
pusaka itu berada."
"Pedang apa
itu, Mahesa Gondes?!"
"Pedang
Penakluk Cinta. Wow...! Hebat kan
namanya? He, he,
he...!" Mahesa Gondes geleng-
gelengkan kepala
terus sambil segera serukan
tembangnya.
"Uuh, lalala... ceriping sumur aduh benjolnya. Uuh,
lalala... ceriping
janda aduh hangatnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala...
ceriping! Asyiiik...!"
Sementara itu
Pendekar Mabuk mulai teringat sesuatu
yang sempat tak
terpikirkan, yaitu sebuah pusaka yang
bernama Pedang
Penakluk Cinta. Karena dalam
perjalanannya
memburu Siluman Tujuh Nyawa, ia
sempat melihat
pertarungan dua tokoh muda tapi
berilmu lumayan
tinggi. Dua tokoh muda itu adalah dua
gadis yang tak
dikenal Suto dan saling mempersoalkan
Pedang Penakluk
Cinta. Sayangnya, sebelum Suto turun
tangan melerai pertarungan
itu, keduanya sudah sama-
sama mati dibunuh
orang misterius dengan senjata
rahasia berbentuk
kelelawar. Suto mengejar dan mencari
orang itu, tapi tak berhasil menemukannya, sampai
akhirnya ia merasa
lelah, lalu mendengar suara tembang
Mahesa Gondes dan
akhirnya singgah di tempat itu.
"Penasaran
sekali aku dengan pedang itu?! Mengapa
si Mahesa Gondes
yang setengah gila ini mengetahui
rahasia pedang itu?
Siapa dia sebenarnya? Hmmm...
supaya dia mau
berterus terang padaku, sebaiknya
kuikuti
keinginannya!"
"Ayo minum.
Tuakmu kalah enak dengan tuak
ceriping ini!"
Suto Sinting segera
menenggak tuak dalam guci itu.
"Lihat
tanganmu, Jek!" kata Mahesa Gondes, sambil
mengambil gucinya.
Guci itu mempunyai tali dan
galinya
digantungkan pada ikat pinggang.
"Ada apa
dengan tanganku?!"
"Kalau telapak
tanganmu sudah berkeringat, berarti
kau sudah merasakan
khasiat tuak ceriping raja tadi!"
Suto Sinting
membiarkan telapak tangannya diperiksa
dengan cara diraba.
Setelah meraba tangan Suto, pemuda
yang tak jelas
status kejiwaannya, gila atau mabuk itu,
segera tersenyum
dengan mata sayunya memandang
Suto.
"Sebentar lagi
kau pasti akan merasa gembira, Jek!
Nikmati saja dulu.
Kalau kau sudah mulai merasa
melayang-layang
dengan indahnya, baru kita bicara
tentang' rahasia
Pedang Penakluk Cinta. Setuju? He, he,
he...!"
Mahesa Gondes
menari-nari lagi sambil
geleng-
geleng kepala dan
melantunkan lagu seperti tadi.
"Uuh, lalala... ceriping borok aduh asinnya. Uuh,
lalala... ceriping
popok aduh pesingnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala...
ceriping!"
Pendekar Mabuk
hanya senyum-senyum sambil
memikirkan beberapa
hal yang membingungkan, ia ikut
geleng-geleng
kepala hanya untuk menyenangkan
Mahesa Gondes.
Tiba-tiba hatinya
berkata, "Mengapa aku berdebar-
debar? Ooh... ada
perasaan senang di hatiku dan debaran
ini sangat indah
rasanya. Hei, ada apa dengan diriku?
Kenapa badanku jadi
dingin?! Tapi... tapi tanganku
mulai
berkeringat?!"
Pendekar Mabuk
semakin bingung dengan perubahan
dirinya yang begitu
cepat dan sangat di luar dugaan itu.
Sambil terbawa
gerakan Mahesa Gondes yang geleng-
geleng kepala itu,
hati Suto berkecamuk terus, bertanya-
tanya pada diri
sendiri.
"Ya, ampun...
ada apa ini? Mengapa hatiku berbunga-
bunga begini
bahagianya? Oh, pandangan mataku pun
serba indah.
Melihat pakaian si Mahesa Gondes yang
tumpuk-tumpuk itu
tampak indah namun lucu sekali.
Aduh... aku ingin
tertawa terus tanpa alasan? Oh, bibirku
tertarik ke kanan
kiri, ingin tersenyum terus? Aduuh...
nikmat sekali
perasaanku hari ini... lalu bagaimana
dengan pedang
itu?!"
"Godek-godek
terus, Jek! Ayo, jangan malu-malu,
ikuti
goyanganku!" Mahesa Gondes memberi semangat.
Bahkan ia mengajak
Suto melantunkan tembang pula.
"Uuh,
lalala... ceriping tengkuk aduh kerasnya. Uuh,
lalala... ceriping
dengkul aduh mualnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala...
ceriping!"
"Indah sekali
tuak ceripingmu, Mahesa!" ujar Suto
sambil tersenyum
gembira dan ikut goyang badan serta
goyang kepala.
Bahkan ia pun ikut lantunkan tembang
seperti Mahesa
Gondes tadi.
"Uuh, lalala... ceriping golok aduh tajamnya.
Uuh,
lalala... ceriping
tombak aduh mulesnya. Uuh, lala, lala,
la... lalala...
ceriping!"
"Bagus,
Jek! Terus gelengkan kepala! Nembang
terus,
Jeeek...!" seru Mahesa Gondes memberi semangat.
Suto Sinting
semakin asyik geleng-geleng kepala dan
goyangkan badannya
yang kekar, sambil mengayunkan
bumbung tuaknya ke
sana-sini. Ia tampak menikmati
perasaan girangnya
penuh suka cinta.
Tiba-tiba seberkas
sinar merah melesat dari balik
pohon di kejauhan
sana. Weeess...! Kebetulan saat itu
Suto Sinting
melihat gerakan sinar yang meluncur di
udara ke arah
Mahesa Gondes. Tetapi ia tidak segera
melindungi Mahesa
Gondes atau menghantam sinar
berbahaya itu
dengan jurus mautnya, ia justru menuding
sinar itu sambil
tertawa-tawa.
"Hei, lihat...
sinar itu indah sekali warnanya!
Asyiik...! Ha, ha,
ha, ha...!" Suto tertawa dengan nada
rendah tapi penuh
keceriaan.
Mahesa Gondes juga hanya
menatap gembira ke arah
sinar yang melayang
ke arahnya.
"Asyik...! Ada
dewa menghampiriku. Pasti ingin tuak
ceriping juga!
Wahai dewa merah... datanglah kemari
aku akan...."
Blaaabbs...!
Sinar merah
itu menghantam dada Mahesa Gondes.
Tubuh pemuda
itu meletup kepulkan asap tebal.
Pendekar Mabuk
bukan kaget dan segera menolong, tapi
justru tertawa
sambil menudingnya.
"Hah, hah,
nah...! Kau seperti sate kebanyakan
bumbu, Mahesa!
Ngebul teruuuusss...!"
Suto tetap
goyangkan badan sambil berseru, "Uh,
lalala... ceriping
asap aduh lucunya...."
Asap tebal yang
membungkus Mahesa Gondes itu
segera lenyap.
Ternyata di balik asap tebal itu tubuh
Mahesa Gondes telah
terkapar di tanah dalam keadaan
tak berkutik.
Tubuh itu menjadi merah kebiru-biruan,
memar, seperti
habis dikeroyok orang sepasar. Bahkan
setiap lubang di
tubuhnya keluarkan darah kental; dari
mulut, hidung,
telinga, dan sudut-sudut matanya.
Suto Sinting yang
diliputi perasaan bahagia itu
memandang Mahesa
Gondes seperti memandang badut
yang lucu. Ia
tertawa geli walau tak harus terbahak-
bahak, ia memang
menghampiri Mahesa Gondes, tapi
bukan untuk
menolong seperti biasanya, melainkan
untuk menertawakan.
"Hah, hah,
hah...! Kenapa kau bobo manis di sini,
Mahesa?! Ayo, kita
keluarkan ceripingmu lagi. Kita ber-
uhlala kembali,
Mahesa! Mumpung aku sedang asyik
ini, Jek!"
Suto Sinting
bergoyang kepala, "Uuh, lalala...
ceriping mayat aduh
bonyoknya. Uuh, lalala... ceriping
lempung aduh
pulesnya. Uuh, lala, lala, la... lalala...
ceriping!"
Pendekar Mabuk
tidak tahu bahwa Mahesa Gondes
saat itu
sedang sekarat akibat pukulan bersinar merah
tadi. Nyawa pemuda
itu sudah di ubun-ubun, tinggal
lolos meninggalkan
raganya, lalu la akan tewas tanpa
bisa ber-uhlala
lagi.
Tapi pada saat itu
segera muncul sekelebat bayangan
yang segera
menyambar tubuh Mahesa Gondes.
Wuuus...! Orang
yang berkelebat cepat itu membawa
pergi Mahesa
Gondes. Suto Sinting berseru, "Hei... mau
diajak jualan tuak
di mana dia? Aku ikut, Jeek...!"
Suto Sinting pun
mengejar orang tersebut sambil ber-
uhlala.
2
ORANG berjubah
putih yang membawa lari Mahesa
Gondes itu
punya kecepatan gerak yang cukup tinggi.
Pendekar Mabuk
tertinggal, karena ia lupa menggunakan
jurus 'Gerak
Siluman' yang kecepatannya menyamai
kecepatan cahaya
itu.
Jika ia tidak dalam
keadaan terbuai oleh perasaan
indah akibat 'tuak
ceriping raja'-nya Mahesa Gondes,
sudah tentu
kecepatan orang berjubah putih itu dapat
disusulnya.
Setidaknya, Suto tidak akan kehilangan arah
ke mana larinya si
jubah putih itu.
Tuak yang
diminumnya demi rasa ingin tahu tentang
rahasia sebuah
pedang itu ternyata benar-benar membuat
pikiran Pendekar
Mabuk menjadi kacau, ia justru
hentikan langkah
ketika bingung mencari orang yang
dikejarnya.
"Hah, hah,
hah...! Orang itu larinya cepat sekali,
seperti setan
kebelet buang air besar," ujarnya dengan
terkekeh-kekeh
sendiri, ia sandarkan salah satu
tangannya ke pohon
dan pandangan mata menatap ke
sana-sini. Mata
Suto seperti mata orang mengantuk.
Sayu dan sedikit
merah.
"Jualan tuak
ceriping ke mana si Mahesa Gondes itu,
ya?" tanya
Suto pada dirinya sendiri. "Hebat sekali
ceripingnya. Bisa
bikin perasaanku selalu riang dan
senang. Umumnya
bahan yang dipakai untuk ceriping
adalah singkong
atau pisang. Tapi kali ini yang
kuminum ceriping...
ceriping raja? Heh, heh, heh...!"
Suto Sinting
melangkah tanpa tujuan sambil
menikmati keindahan
yang memabukkan jiwanya.
"Ceriping sama
dengan tuak. Singkong sama dengan
raja. Jadi ceriping
singkong sama dengan tuak raja! Hah,
hah, hah, hah...!
Lucu sekali pengertian yang kudapatkan
ini?! Raja kok
dibuat tuak?! Apa tidak bikin orang
kesurupan?! Hehh,
hehh, heeh, he...!"
Tiba-tiba ia
mendengar suara dentuman yang cukup
keras.
Blaaarr...!
Tawanya dihentikan,
tapi senyum kegembiraan masih
ada.
"Suara apa itu
tadi?! Setan batuk?! Hah, hah, hah...!
Setan kok batuk?!
Ada-ada saja pikiranku ini!"
Blegaaar...!
"Waah, lebih
seru lagi. Kurasa suara itu bukan suara
setan batuk. Tapi
suara petir bangkis! Hah, hah, hah...!
Petir kok bangkis,
lalu ingusnya sebesar apa, ya? Hik,
hik... lucu sekali
pikiranku ini? Kenapa aku jadi punya
pikiran yang
lucu-lucu, ya?!"
Ledakan ketiga
terdengar lagi. Kali ini ledakan
tersebut sampai
menggetarkan tanah tempat Suto
berpijak. Pemuda
mabuk tuak ceriping itu bicara pada
diri sendiri.
"Wah, buminya
mau ambrol. Pasti sudah keropos!
Tapi, jangan-jangan
getaran tanah ini akibat suara
menggelegar itu? Ah, sebaiknya kulihat ada apa di
sebelah sana,
sehingga sejak tadi jegar-jeger mirip dewa
tepuk tangan! Heeh,
heeh, hheeh, hee...! Dewa kok tepuk
tangan, apa dewanya
kurang kerjaan?!" Suto Sinting
tertawa sendiri
sambil hampiri tempat datangnya ledakan
tadi.
Ternyata di lembah
berpohon renggang itu terdapat
sebuah pertarungan
yang cukup seru. Pertarungan itu
dilakukan oleh dua
perempuan yang usianya sama-sama
sekitar dua puluh
tiga tahun. Yang satu berambut pendek
sepundak dengan
poni di depan dahinya, yang satu
berambut panjang
sebahu diriap, dengan ikat kepala dari
kulit macan tutul.
Gadis yang
mengenakan ikat macan tutul itu juga
mengenakan baju
model tutul-tutul tapi bukan warna
kuning-hitam,
melainkan warna biru tutul-tutul putih.
Bajunya tanpa
lengan dan berbelahan dada lebar,
menampakkan
sebagian tepi bukit mulusnya yang
berkulit kuning
langsat itu. Sedangkan bagian bawahnya
adalah kain yang
dibentuk seperti celana panjang
longgar berbelahan
samping kanan-kiri. Jika kaki gadis
itu menendang, maka kainnya akan menyingkap dan
pahanya pun akan
melambai-lambai menggugah hasrat
lelaki yang sedang
tidur.
Gadis berpakaian
tutul-tutul itu punya tendangan
cukup bagus. Selain
cepat juga tinggi, melebihi kepala
lawannya. Sedangkan
sang lawan jarang gunakan
tendangan, kecuali
dalam saat-saat tertentu.
Sang lawan
mengenakan jubah rapat berlengan
longgar warna hijau
dengan bunga-bunga merah. Celana
panjangnya yang
longgar berwarna merah darah.
Sekalipun ia tampak
rapi, tidak seseronok lawannya, tapi
gumpalan dadanya
tampak membusung penuh
tantangan, seakan
menunggu jamahan tangan lawan
jenisnya, ia juga
seorang gadis cantik berhidung
mancung dan
berbibir mungil. Matanya indah, dan
sangat sayang jika
sampai tercolok pedang lawannya.
Melihat kedua gadis
itu bertarung, Suto Sinting justru
menertawakan walau
tak keras, ia memandang dari
ketinggian tanah
yang ditumbuhi semak ilalang.
"Haah, haah,
haah, haa...! Cantik-cantik kok pada
berantem?! Bodoh
amat mereka itu. Mendingan ikut
senang-senang
denganku, hati riang jiwa melayang,
ooh...
asyiknya!"
Suto Sinting
menuruni tanah tinggi itu sambil
mendendangkan
tembang suara pelan.
"Uuh,
lalala... ceriping paha aduh mulusnya. Uuh,
lalala... ceriping
dada aduh montoknya. Uuh, lala, lala,
la... lalalala...
ceriping! Uuh... lalala... uuh, lalala...."
Tiba-tiba ia
berseru, "Awas kepala!"
Plook...! Si gadis
berikat kepala kulit macan tutul itu
terkena tendangan
kaki lawan yang memutar dengan
cepat. Pelipisnya
bagaikan ditampar dengan tendangan
itu cukup keras, ia terpelanting dan
berguling-guling
sesaat.
Suto tertawa
melihat gadis itu berguling-guling,
"Hah, hah,
hah, hah! Tangkisanmu salah, Nona!
Menangkislah pakai
tangan, jangan pakai kepala!"
Kali ini Pendekar
Mabuk bukan sebagai pemisah
pertarungan, tapi
sebagai penonton terang-terangan.
Jaraknya dengan
pertarungan sekitar sepuluh langkah, ia
menyaksikan
pertarungan itu sambil tertawa-tawa,
karena setiap
gerakan kedua gadis itu selalu
menghadirkan
kelucuan bagi hati Suto Sinting. Tak
segan-segan ia
bertepuk tangan seperti anak kecil nonton
adu jago di
pekarangan rumah tetangga.
"Awas perutmu,
hoi!"
Buuhk...!
"Naah... apa
kataku! Hah, hah, hah, hah! Ususmu bisa
kusut, Nona! Perut
mau ditendang kok dibiarkan saja?!
Uuuh... lucu sekali
gadis berbaju biru itu."
Gadis berbaju biru
tutul-tutul putih itu bukan saja
rasakan sakit pada
bagian perutnya yang terkena
tendangan lawan,
tapi juga merasa dongkol mendengar
komentar Suto dari
kejauhan. Ingin rasanya menyumpal
mulut Suto dengan
segenggam tanah kuburan. Namun
karena si jubah
hijau bunga-bunga merah mendesaknya
terus, maka si baju
biru merasa tak perlu pedulikan
seruan-seruan
pemuda tampan itu.
"Sebelum
kesabaranku habis, serahkan saja Pedang
Penakluk Cinta
itu padaku, Sunggar Manik! Jika kau
tetap ingin membawa
lari pedang itu, maka aku
mengakhiri masa hidupmu
di bumi ini! Ratu Ladang
Peluh telah
memberiku wewenang untuk mencabut
nyawamu jika kau
tetap membandel tak mau serahkan
pedang pusaka
itu!"
"Sampai mati
pun tak akan kuserahkan pedang itu ke
tanganmu.
Mustikani! Bila perlu, Ratu Ladang Peluh
pun akan kulawan
dengan pedang itu!" balas si baju biru
tutul-tutul yang
ternyata bernama Sunggar Manik itu,
sedangkan lawannya
bernama Mustikani. Suto Sinting
terkekeh pelan di
tempatnya sambil geleng-geleng
kepala.
"Bodoh amat
kalian! Mengapa harus berebut pedang?
Beli lagi saja!
Banyak tukang pande besi jualan pedang!"
Mustikani
benar-benar ingin wujudkan ancamannya.
Pedang di punggung
dicabut. Sreet...! Sunggar Manik
yang ada dalam
jarak delapan langkah itu dihampirinya
dengan gerakan
melompat jungkir balik berkali-kali
dengan gunakan
ujung pedangnya sebagai tumpuan di
tanah. Wuk, wuk,
wuk, wuk!
Tiba di depan
Sunggar Manik pedangnya ditebaskan
dengan cepat dengan
gerakan memenggal kepala.
Wuuus...! Trang...!
Sunggar Manik pun telah siap dan
cabut pedangnya
dengan cepat, lalu menangkis pedang
itu. Denting suara
pedang melengking tinggi dan
keluarkan pereskan
bunga api.
Sunggar Manik cepat
sentakkan pedang runcingnya
yang habis dipakai
menangkis tadi. Suuut...! Pedang itu
bertujuan menghujam
ke dada Mustikani. Tetapi gadis
berponi rata
itu berkelit ke samping dengan
lincahnya.
Lalu ia putar
tubuhnya dengan cepat, pedangnya
menyambar perut
Sunggar Manik. Wees...! Traaaang...!
Hampir saja perut
Sunggar Manik robek tanpa ada
yang menjahitnya.
Untung jurus pedangnya cukup
lincah, sehingga ia
berhasil menangkis tebasan cepat.
Seakan ia sudah
tahu bahwa serangan berikutnya akan
membahayakan
perutnya.
Trang, trang,
tring, trang, tring...!
Kedua gadis
itu beradu pedang dengan kecepatan
tinggi. Gerakan
jurus pedang mereka nyaris tak bisa
dilihat dari tempat
Suto berdiri sambil sesekali
menenggak tuaknya,
lalu tertawa-tawa pelan,
menganggap
pertarungan pedang itu adalah sesuatu yang
lucu.
"Mana bisa
saling merobek perut, jurus pedang kalian
tanpa tipuan
begitu?!" ujar Suto pelan, hanya dia yang
mendengarkan.
"Kalian pegang pedang saja seperti
pegang centong
nasi, mana bisa unggul?!"
Lalu, ia berseru,
"Gunakan kaki, Non! Kaki
mainkan...!"
Seruan itu
dijawab sendiri, "Mau main ke mana si
kaki, ya? Main
jauh-jauh nanti malah nyasar ke
pelacuran? Hik,
hik, hik, hik!" Pendekar Mabuk pun
tertawa sendiri.
Tapi seruannya tadi
sempat ditangkap telinga
Mustikani, sehingga
kaki Mustikani segera berkelebat
cepat
menendang Sunggar Manik saat pedang
mereka
beradu di atas
kepala. Traang...! Buuhk...!
"Heehk...?!"
Sunggar Manik terpental lima langkah
jauhnya. Ulu
hatinya terkena tendangan dengan telak.
Tendangan bertenaga
dalam itu sempat membuat ulu hati
Sunggar Manik
bagaikan terbakar bagian dalamnya, ia
memuntahkan darah
segar saat hendak bangkit.
"Hoeek...!"
Suto berkata sambil
tertawa, "Wah, ngidam, ya Non?!
Sudah hamil berapa
bulan, Non?!" sambil ia tetap
geleng-geleng
kepala dengan lambat, badannya
bergerak-gerak
ikuti irama goyangan indah.
Tetapi tiba-tiba
Suto melihat selarik sinar putih terang
melesat dari
telapak tangan Mustikani yang disentakkan
ke arah Sunggar
Manik. Kala itu Sunggar Manik sedang
berlari jauhi
lawannya, karena ingin menahan luka panas
di dalam dadanya
lebih dulu. Ia merasa akan terganggu
bahaya jika redakan luka dalam jarak dekat dengan
lawannya.
Slaaap...! Sinar
putih itu meluncur jauh ke arah
lawan. Suto
langsung berseru sambil tertawa.
"Woow...! Indah sekali sinarmu! Lebih indah jika
dipadu dengan
sinarku!"
Claap...! Suto
Sinting lepaskan jurus pukulan 'Guntur
Perkasa' yang
berupa sinar hijau dari tangannya. Karena
posisinya
seolah-olah berada di pertengahan jarak antara
Mustikani dengan
Sunggar Manik, maka sinar hijau itu
berhasil memotong
kecepatan sinar putih tersebut dan
bertabrakan di
depan Sunggar Manik yang baru saja
hendak lari ke arah
lain. Blaaarrr...!
Ledakan keras
menggelegar guncangkan tanah
sekelilingnya.
Tubuh Sunggar Manik terlempar akibat
jaraknya terlalu
dekat dengan ledakan, ia bagai
dilemparkan oleh
ledakan yang mempunyai gelombang
panas dan daya
sentak cukup besar itu. Weerr...!
Bruuuss...!
"Aaoow...!"
Sunggar Manik meraung kesakitan
karena menabrak
pohon besar. Wajahnya berciuman
dengan pohon dengan
keras. Kulit pohon sampai lecet
dan somplak. Hal
itu membuat Sunggar Manik semakin
parah. Dahinya
terasa retak, batang hidungnya terasa
patah. Darah mengalir
deras dari hidung, sementara
tulang dada juga
terasa remuk.
"Sekarang
tamatlah riwayatmu, Sunggar Manik!
Hiaaah..!"
Mustikani melayang
seperti seekor burung tanpa
sayap. Pedangnya
diarahkan ke depan, siap menembus
dada atau leher
lawan. Pendekar Mabuk girang melihat
gadis itu bagaikan
terbang.
"Wooow,
hebaaat..! Aku juga bisa, Non! Lihat,
hiaaahuu...!"
Pendekar Mabuk
ikut-ikutan meluncur bagaikan
terbang. Bahkan
gerakannya lebih cepat karena ia
menggunakan separo
jurus 'Gerak Siluman' yang
terkenal
berkecepatan tinggi itu. Weees...! Akibatnya,
kedua tubuh
itu bertabrakan di udara sebelum pedang
Mustikani mencapai
tubuh Sunggar Manik. Brrruus...!
Bumbung tuak lebih
dulu membentur tubuh
Mustikani dari arah
samping. Gadis itu langsung
terpental jauh
bagaikan diterjang badai besar, ia sempat
memaki keras ketika
melayang-layang di udara.
"Setan
kuraaap...!"
Brruuuk...!
"Uuuhk...!"
Mustikani mengerang, ia jatuh dalam
keadaan telentang.
Tulang punggungnya terganjal akar
pohon sebesar lengan.
Tulang punggung itu bagaikan
patah seketika
karena hempasan terbangnya mempunyai
daya banting cukup
keras. Sedangkan Pendekar Mabuk
juga jatuh
terbanting dengan kepala membentur tanah.
Duuuk...!
"Aoow...!
Puyeeng...!" erangnya sambil
menggeliat
memeluk bumbung
tuaknya. Namun rasa puyeng di
kepala hanya
sesaat, ia segera bangkit dan menenggak
tuak sambil
berlutut satu kaki. Glek, glek, glek...! Tuak
itu membuat seluruh rasa sakit hilang, termasuk
rasa
puyengnya, ia
tertawa-tawa lagi dengan suara tawa
seperti erang
menggumam.
"Hebat,
hebat... kepalaku termasuk barang awet, tak
mudah pecah! Heh,
heh, heh, heh!"
Suto memandang ke
arah Sunggar Manik, ia
terperanjat melihat
gadis itu telah melarikan diri agak
jauh.
"Lho... lari?!
O, ya... memang lebih baik kau
melarikan diri
dulu, Non. Nanti kembali lagi kalau luka-
lukamu sudah sembuh, ya?! Hik, hik, hik, hik...!
Larinya seperti
ayam kesiangan!"
Wuuut, brruk...!
Tiba-tiba Suto
Sinting terjungkal ke depan.
Punggungnya
diterjang dengan tendangan kuat. Rupanya
Mustikani berhasil
kerahkan tenaga simpanan sambil
menahan tulang
punggungnya yang sakit untuk lakukan
terjangan ke arah
Suto. Ia tampak berang kepada pemuda
yang belum
dikenalnya itu. Tapi merasa pernah dibuat
beruntung oleh
saran Suto tentang tendangan tadi.
"Uuh...! Punggungku masih ada apa sudah jebol,
ya?!" gumam
Suto Sinting sambil cengar-cengir, masih
tetap bersuasana
senang dan tak merasa marah oleh
serangan tersebut.
Mustikani memandang
ke arah Sunggar Manik yang
sudah menjauh itu.
Ia ingin mengejar, tapi tiba-tiba
kakinya disampar
oleh kaki Suto yang berlagak ingin
bangkit itu. Wuuut, brruuk...! Mustikani terpelanting
jatuh dengan pedang
nyaris menancap perutnya sendiri.
Untung ujung pedang
itu menancap di tanah samping
pinggangnya,
sehingga perut gadis itu masih utuh.
"Setan
busuk!" maki Mustikani, ia ingin bangkit,
namun jatuh melemas
lagi. Kali ini tulang punggungnya
benar-benar patah,
ia mengerang kesakitan dan hanya
bisa menggeliat
pelan-pelan.
Suto Sinting
menertawakan lagi. "Uuh, lalala...
ceriping kaki aduh
sakitnya...," goda Suto Sinting yang
tidak mendapat
tanggapan dari si gadis.
"Oouh...!
Oooouh...!"
"Sakit, ya?
Sakit, Non?!" Suto mendekati dan
jongkok seenaknya
di dekat Mustikani sambil cengar-
cengir.
"Punggungku yang kau jejak juga sakit, Nona.
Tapi aku minum tuak
ini jadi bisa 'uhlalala' lagi. Kalau
kau mau tak sakit,
minumlah tuakku ini!"
Si gadis masih tak
menghiraukan, ia hanya
mengerang sambil
peringas-peringis berusaha mengurut
pinggangnya. Suto
Sinting membuka tutup bumbung
tuak, lalu
menyodorkan ke mulut si gadis.
"Ayo, minum!
Minumlah... jelek-jelek tuak ini
mengandung kekuatan
sakti, Non. Sakti sekali! Sakit apa
pun yang kau derita
bisa cepat sembuh, kalau kau mau
minum tuak ini.
Orang mati yang sudah jadi tengkorak
saja bisa hidup
kembali, kalau mau minum tuak ini! Tapi
biasanya orang mati
pada bandel, tak ada yang mau
minum tuak
ini!" celoteh Suto tanpa pedulikan wibawa
dan kharismanya
sebagai pendekar kondang itu hilang
daripadanya.
Bumbung tuak
disodor-sodorkan ke mulut Mustikani.
Si gadis tetap tak
peduli karena menahan rasa sakit. Tapi
pada saat mulutnya
mengerang, tuak pun mengucur
masuk ke mulut si
gadis. Beberapa tuak terteguk, tapi
yang lainnya
berceceran di sekitar mulut dan dada si
gadis.
Beberapa saat
kemudian, Mustikani mulai rasakan
kesegaran pada
tubuhnya. Mula-mula pernapasannya
yang tadinya berat
menjadi longgar. Rasa sakit jika
bergerak mulai
ringan. Bahkan tulang punggungnya
terasa tersambung
lagi. Rasa sakit itu makin lama
semakin lenyap dan
tubuh Mustikani menjadi lebih segar
dari sebelum
bertarung dengan Sunggar Manik.
"Hebat juga
tuaknya. Hmmm...! Siapa pemuda ini
sebenarnya?"
pikir Mustikani sambil memperhatikan
Suto Sinting yang
masih menggumamkan tembang
sambil duduk santai
di bawah pohon terdekat, kepala
menggeleng-geleng
menikmati irama tembang yang
digumamkan itu.
3
SETELAH rasakan
kehebatan tuak Suto, gadis itu
menjadi punya
pertimbangan lain dalam benaknya. "Aku
yakin dia bukan
pemuda sembarangan. Dari kehebatan
tuaknya yang mampu
lenyapkan luka dengan cepat ini,
aku yakin dia punya
ilmu cukup tinggi. Setidaknya
sejajar denganku.
Kurasa ada baiknya jika ia kubujuk
untuk membantuku
mendapatkan Pedang Penakluk
Cinta."
Mustikani merasa
yakin, bahwa ia akan kalah jika
berhadapan dengan
Sunggar Manik apabila Sunggar
Manik mengeluarkan
Pedang Penakluk Cinta. Tadi dia
berani serang
Sunggar Manik, karena pedang yang ada
di pinggang Sunggar
Manik bukan Pedang Penakluk
Cinta.
"Pedang itu
pasti disimpan di suatu tempat," pikir
Mustikani.
"Sekarang ia sedang mengambilnya untuk
melawanku! Tak ada
jeleknya jika kugunakan pemuda
ini untuk menjadi
perisaiku melawan pedang tersebuti
Aku harus
mengenalnya lebih dekat lagi."
Rencana batinnya
itulah yang membuat Mustikani
mulai dekati
Pendekar Mabuk. Walau wajahnya masih
belum bisa ramah,
karena menahan harga dirinya agar
tak dianggap gadis
ganjen, namun sikapnya sudah mulai
menunjukkan rasa
ingin bersahabat. Sikap itu ditanggapi
Suto Sinting dengan
santai, tak terlalu pikirkan apa
maksud pendekatan
si gadis, karena Suto masih diliputi
perasaan senang,
bahagia dan selalu ingin tersenyum.
Apa saja yang
dipandang bisa menghadirkan perasaan
geli di hatinya,
sehingga ia mudah tertawa atau
tersenyum.
"Apa maksudmu
menghalangi seranganku kepada
Sunggar
Manik?!" tanya Mustikani dengan ketus.
"Biar lebih
seru lagi," jawab Suto Sinting seolah-olah
terlontar seenaknya
saja.
"Kau
kekasihnya Sunggar Manik?!"
Pendekar Mabuk
tertawa geli, namun tak terbahak-
bahak. Rasa-rasanya
pertanyaan wajar seperti itu
mengandung kelucuan
yang amat menggelikan, padahal
dilontarkan dengan
wajah ketus dan berkesan sinis. Tapi
perasaan Suto tak
merasa tersinggung sedikit pun.
"Kalau dia
kekasihku, sudah kuajak 'uhlala' sejak
tadi,"
jawabnya di sela tawa. "Aku tidak kenal siapa dia,
juga tidak kenal
siapa dirimu. Tapi aku yakin kita pasti
akan
berkenalan."
"Hmmm...!"
Mustikani mencibir, Suto perpanjang
tawanya.
"Asyik sekali
cibiranmu, Non! Mirip rembulan dalam
gerhana. Heh, heh,
heh, heh!"
Mustikani pandangi
Suto yang cuek, geleng-geleng
kepala dengan badan
sedikit ikut bergoyang. Mustikani
menyimpan keheranan
melihat sikap pemuda tampan
yang ceria dan
geleng-geleng terus itu.
"Jangan-jangan
dia orang gila lepas dari pasungan?"
pikir Mustikani,
tengkuknya sempat merinding sedikit.
Pandangan mata sayu
Suto Sinting masih tetap tertuju
ke wajah Mustikani
yang cantik jelita itu. Setelah
beberapa saat
saling bungkam dan saling pandang, Suto
Sinting
perdengarkan suaranya yang bernada lembut,
seakan penuh
persahabatan dan kesabaran yang damai.
"Namaku
Dulkijek, ehh... bukan. Itu bukan namaku.
Hanya si gendeng
Mahesa Gondes saja yang
memanggilku
Dulkijek. Namaku sebenarnya adalah
ceriping raja. Eh,
salah lagi... anu.... Suto! Nah, iya...
namaku Suto, itu
asli, tidak salah lagi!" lalu Suto tertawa
cekikikan, merasa
geli sekali dengan kesalahan ucap
yang dilakukan
tanpa disengaja itu. Sedangkan
Mustikani sendiri
sebenarnya ingin tertawa, namun
ditahannya
mati-matian agar tetap kelihatan berwibawa
di depan pemuda
aneh itu.
"Namamu
sendiri siapa, Nona? Boleh kutahu? Kalau
tak boleh akan
kuberi nama sendiri. Heh, heh, heh, heh!"
Setelah diam sesaat
dengan pandangan tetap berkesan
angkuh, gadis
itu pun sebutkan namanya dengan suara
datar.
"Namaku
Mustikani!"
"Siapa?
Setrikani?!"
"Mustikani!"
sentak si gadis.
"Ooo....
Mustikani?! Kedengarannya tadi Setrikani.
Kupikir, apanya
yang disetrika? Tengkuknya? Heh, heh,
heh, heh!"
"Kau ceria
sekali, ya? Sedikit-sedikit tertawa, sedikit-
sedikit tertawa?
Jangan-jangan otakmu sedang tak
waras?!"
"Kelihatannya
memang begitu. Heh, heh, heh...! Hari
ini aku diliputi
perasaan senaaaang... sekali, ini gara-gara
si Mahesa Gondes
yang memberiku tuak ceriping raja,
eh... ceriping apa
tadi namanya, ya?" Suto menggumam,
seakan bertanya
pada diri sendiri. Mustikani hanya
kerutkan dahi dan
tak pedulikan tentang apa yang
dialami Suto
Sinting, ia segera ajukan tanya perihal
pertolongan Suto
terhadap dirinya itu.
"Mengapa kau
menyelamatkan Sunggar Manik dari
ancaman mautku,
sementara kau juga sembuhkan
cederaku dengan
tuakmu itu? Apa maksud tindakanmu
yang kuanggap aneh
ini?!"
"Entah, aku
sendiri tak tahu mengapa aku lakukan
semua itu! Aku
hanya merasa senang dan bahagia sekali
jika bisa sembuhkan
dirimu dan membuatmu sehat
seperti sekarang
ini. Cuma itu yang ada di hatiku. Kalau
tak percaya,
tanyakanlah padaku!"
Mustikani tarik
napas dalam-dalam. Ada rasa kesal
mendengar jawaban
yang seolah-olah dilontarkan tidak
dengan
sungguh-sungguh itu. Hati gadis itu pun
membatin sambil
memandang ke arah kepergian
Sunggar Manik.
"Sepertinya
pemuda ini benar-benar gila. Kurasa ia
tak bisa diharapkan
menjadi perisaiku dalam
menghadapi Sunggar
Manik dan Pedang Penakluk Cinta
itu. Diajak bicara
saja susah, apalagi diajak kerja sama,
malah akan menyusahkan
diriku sendiri nanti!
Sebaiknya kukejar
saja si Sunggar Manik sebelum ia
mengambil Pedang
Penakluk Cinta yang disembunyikan
di suatu
tempat!"
Suto Sinting segera
bangkit berdiri ketika Mustikani
ingin tinggalkan
tempat itu. Suaranya cepat berseru
menahan langkah
kaki Mustikani.
"Hei,
tunggu...!" Ia terpaksa mendekat dengan
langkah limbung
karena Mustikani berhenti dalam jarak
lima langkah di
depannya.
"Mau ke mana
kau, Mustikani?"
"Mengejar
lawanku tadi!" jawab Mustikani masih
ketus.
"Dia sudah
lari, mengapa harus dikejar?! Bodoh amat
kau ini. Orang lari
kok dikejar?! Lebih baik istirahat
dulu di sini
bersamaku, nanti akan kunyanyikan sebuah
lagu yang berjudul
'Uhlala'. Kau pasti ikut-ikutan
goyang kepala,
Mustikani. Heh, heh, heh, heh!"
Suto mulai tarik
suara, "Uuh, lalala...."
"Aku tak butuh
nyanyian!" sentak Mustikani
memotong, membuat
Suto tak jadi lantunkan
tembangnya, ia
justru tertawa geli menyadari
tembangnya terputus
begitu saja.
"Yang
kubutuhkan adalah Sunggar Manik, bukan
nyanyianmu yang
bersuara seperti kaleng rombeng itu!"
tambah Mustikani
dengan hati kesal.
"Mengapa kau
membutuhkan Sunggar Manik?
Apakah dia
kekasihmu?"
"Hmm, dasar
bodoh!"
"Sudah lama
aku bodoh, tapi baru kau yang tahu.
Heh, heh, heh,
heh!"
"Persetan
dengan ucapanmu!" sentak Mustikani,
kemudian ia
bergegas pergi. Tapi tangan Suto mencekal
lengannya dengan
cepat, membuat langkah tertahan
kembali. Teeb...!
"Sebutkan dulu
alasanmu, mengapa ingin mengejar
Sunggar
Manik?!"
"Itu urusanku!
Kau tak perlu tahu!"
"O, perlu! Aku
perlu tahu alasanmu, supaya aku bisa
tentukan sikap;
apakah aku harus membantumu atau
tidak."
"Kau tidak
perlu membantuku!"
"Jadi, kau tak
butuh bantuanku? Oh, kalau begitu,
kembalikan tuakku
yang sudah kau telan tadi!
Kembalikan,
ayo...!"
"Dasar edan!
Tuak sudah ditelan disuruh
mengembalikan?!"
Gerutuan si gadis
tak didengarkan oleh Suto. Murid
sinting si
Gila Tuak itu
berkata lagi dengan nada
membujuk.
"Percayalah,
aku akan membantumu jika kau mau
berterus terang
tentang permusuhanmu dengan Sunggar
Manik. Jelaskan
saja padaku, supaya aku bisa tahu mana
yang baik dan mana
yang jahat. Kalau kau yang jahat,
aku tak mau
membantumu. Tapi kalau kau di pihak yang
baik, aku akan
membantumu."
"Tak ada yang
perlu kujelaskan padamu!" ketus
Mustikani.
"Kau mau anggap aku orang baik atau orang
jahat, terserah!
Aku tak punya urusan denganmu!"
"Heh, heh,
heh, heh...! Tak punya urusan denganku
kok berhenti di
sini?" ledek Suto Sinting.
"Kau yang
menahan langkahku!" bentak Mustikani
semakin dongkol
hatinya.
"Aku menahan
karena aku ingin tahu tentang pedang
yang kau
perdebatkan dengan Sunggar Manik tadi!"
Mustikani agak
kaget. Ada rasa sesal karena tadi ia
memperdebatkan
pedang yang dicarinya tanpa
menyadari ada orang
yang mendengarkan perdebatan itu.
Mustikani merasa
tak bisa sembunyikan masalah lagi
jika kenyataannya
Suto Sinting sudah menyinggung-
nyinggung tentang
pedang. Napas gadis itu ditarik
dalam-dalam, lalu
dihembuskan dalam satu sentakan
kedongkolan.
"Apa saja yang
kau dengar dari pertengkaranku
dengan Sunggar
Manik tadi?'"
"Aku mendengar
kalian tadi berdebat soal Pedang
Penakluk Cinta.
Selain itu juga main ancam-ancaman
yang mengerikan,
tapi aku belum sempat ngeri.
Sekarang aku ngeri
dulu, ya?"
"Bicara yang
benar!" sergah Mustikani dalam nada
menghardik. Suto
Sinting tersenyum, mengangkat
tangannya, memberi
tanda agar Mustikani tenang dan
jangan terburu-buru
marah.
Pemuda berambut
panjang lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu
menyambung kata-katanya lagi,
"Hanya soal
pedang itu yang masih melekat dalam
ingatanku. Jadi
sekarang kuminta padamu, jelaskanlah
tentang pedang itu,
Mustikani! Kalau kau tidak mau
jelaskan, aku akan
lantunkan tembang keras-keras
tentang 'uhlala'
yang...."
"Cukup!"
sentak Mustikani memotong kata-kata Suto
lagi. Ia merasa akan semakin kesal jika sampai
mendengarkan
tembang yang dianggapnya melantur tak
karuan itu. Karenanya ia memilih lebih baik jelaskan
persoalan
sebenarnya.
"Siapa tahu
dia memang benar-benar mau
membantuku,"
pikir Mustikani, menaruh harap lagi
kepada Suto Sinting
yang belum diketahuinya sebagai
Pendekar Mabuk.
Nama Pendekar Mabuk
cukup dikenal di rimba
persilatan.
Mustikani sendiri sering mendengar cerita
tentang kesaktian
Pendekar Mabuk dari beberapa orang
yang dikenalnya.
Bahkan cerita-cerita itu membuatnya
ikut merasa kagum
terhadap Pendekar Mabuk. Tetapi ia
belum pernah
bertemu dengan sosok Pendekar Mabuk,
sehingga ia tak
tahu kalau sekarang ia sedang
berhadapan dengan
pendekar berilmu tinggi itu.
"Aku diutus
untuk menangkap Sunggar Manik atau
membunuhnya, dan
membawa pulang Pedang Penakluk
Cinta," tutur
Mustikani dengan serius.
"Siapa yang
mengutusmu? Sunggar Manik sendiri?"
"Bukan!"
sentaknya dengan kesal. "Ratu Ladang
Peluh yang
mengutusku!"
"O, ya... tadi
kudengar kalian juga sebutkan nama
ratu itu. Siapa...? Ratu Ladang Peluh?! Aneh.
Ladang
kok peluh. Ladang
itu pantasnya ladang jagung atau
ladang singkong.
Jadi bisa dipanen tiap bulan-bulan
tertentu. Kalau
ladang peluh itu yang mau dipanen
apanya? Mau panen
peluh?! Memangnya sekarang peluh
sekilonya
berapa?"
"Mau
kujelaskan persoalannya apa mau ngoceh
sendiri?!"
hardik Mustikani. Suto Sinting cepat-cepat
diam, menutup mulut
sambil tertawa geli tanpa suara.
Hanya tubuhnya yang
terguncang-guncang sesaat.
"Sunggar Manik
mencuri pusaka ratu kami, yaitu
Pedang Penakluk
Cinta itu! Ia mencuri pedang itu
bersama adiknya
yang bernama Lentik Sunyi.
Kemudian, sang Ratu
menugaskan aku dan Umbari
untuk menangkap
atau membunuh keduanya, yang
penting Pedang
Penakluk Cinta harus berhasil kami
bawa pulang ke
Bukit Randa, tempat sang ratu bertakhta
dalam istana
kecilnya."
"Bukit Randa
itu di mana?" potong Suto Sinting,
karena tiba-tiba ia
merasa sangat asing dengan nama itu
dan menjadi ingin
tahu secepatnya.
"Bukit Randa
ada di sebelah selatan, hampir
mendekati pesisir
kidul," jawab Mustikani sepolos-
polosnya, karena ia
pikir penjelasan itu perlu diketahui
Suto agar jika
terjadi sesuatu padanya Suto bisa
sampaikan kabar
kepada Ratu Ladang Peluh.
"Aku dan
Umbari berpisah di lereng bukit itu,"
Mustikani menuding
sebuah bukit kecil tak jauh dari
tempat mereka
berdiri.
"Kami berpisah
karena masing-masing mengejar
kedua pencuri yang
berpencar itu. Aku mengejar
Mustikani dan
Umbari mengejar Lentik Sunyi."
Sambil masih
godek-godek kepala, Suto Sinting
segera ajukan tanya setelah Mustikani diam
selama dua
helaan napas.
"Bagaimana
kalau sampai kau tak berhasil tangkap
Sunggar Manik dan
Lentik Sunyi?"
"Ratu akan
menghukumku! Mungkin juga akan
membunuhku karena
dianggap sebagai pengawalnya
yang sudah tak
berguna lagi."
"Ooo... jadi
kau pengawal Ratu Ladang Peluh?"
"Bukan aku
saja, tapi Umbari dan beberapa orang
lainnya, termasuk
Sunggar Manik sendiri sebenarnya
adalah pengawal
pribadi sang Ratu."
"Ooo... pantas
kalian cantik-cantik dan lincah-lincah.
Tentunya ilmu silat
kalian cukup tinggi, ya?"
Gadis berjubah
hijau bunga-bunga merah itu tidak
hiraukan sanjungan
yang dianggap kampungan itu.
Mustikani lanjutkan
kata-katanya. Kini kata-katanya
lebih cenderung
berkesan keluhan hati yang dicekam
rasa cemas.
"Jika ratu
mengutus kami, berarti nyawa kami siap
hilang
sewaktu-waktu; hilang di tangan musuh, atau
hilang di tangan
ratu jika kami gagal."
"Oh, itu tak
baik! Manusia tanpa nyawa, itu tak baik!
Sumpah!" kata
Suto Sinting seakan serius sekali. "Jadi
kusarankan,
sebaiknya kau jangan mau kehilangan
nyawa. Apa artinya
hidup tanpa nyawa?! Iya, kan?!"
Mustikani
bersungut-sungut, "Wejanganmu
kesiangan! Aku
bukan anak kecil yang perlu wejangan
seperti itu! Aku harus pergi mengejar Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi!
Pedang itu harus kudapatkan, karena
aku ingin tetap
bernyawa!"
"Bagus! Mari
kita bernyawa bersama!" ujar Suto
semakin ngaco.
Mustikani menatap dengan tajam dan
cemberut. Suto
segera sadar bahwa ucapannya tadi
kurang betul.
"Maksudku,
mari kita mengejar Sunggar Manik dan
Lentik Sunyi
bersama. Kita serang mereka. Kita tangkap
mereka. Lalu...
kita ajak mereka menyanyikan:
'Uuh, lalala...
ceriping maling aduh bencinya. Uuh,
lalala... ceriping
copet aduh muaknya. Uuh, lala, lala,
la... lalalala...
ceriping'!"
Suto lantunkan
tembang lagi dengan kepala
menunduk dan
geleng-geleng, tubuh bergoyang ikuti
irama. Tapi ketika ia buka mata, ternyata Mustikani
sudah berlari jauh
meninggalkannya.
"Lho... dia
sudah sampai sana?! Waah... ketinggalan
aku ini! Kejar
terus, Jek...!"
Zlaap, zlaap...!
Suto Sinting segera menyusul
Mustikani dengan
Jurus 'Gerak Siluman' yang dilakukan
secara refleks itu.
Dalam sekejap saja Mustikani sudah
terkejar dan justru
Suto Sinting berhasil mendahului
Mustikani. Ia
berhenti di bawah pohon yang akan
dilewati Mustikani.
"Edan! Cepat
sekali gerakannya? Tahu-tahu ia sudah
berada di depan
langkahku?! Padahal sudah kutinggal
cukup jauh!"
ujar Mustikani dalam hatinya dengan rasa
terheran-heran.
Akhirnya mereka
berlari beriringan. Namun baru
beberapa saat
mereka lakukan pengejaran terhadap diri
Sunggar Manik,
tiba-tiba langkah mereka terpaksa
hentikan langkah.
Mereka temukan dua sosok mayat
tergeletak
berdekatan. Dua sosok mayat itu adalah
dua
gadis yang
pertarungannya pernah dilihat Suto sebelum
Suto akhirnya
bertemu Mahesa Gondes.
"Umbari...?!
Umbari!...!" seru Mustikani sambil
hampiri salah satu
mayat yang berpakaian abu-abu itu.
Ternyata mayat itu
adalah mayat Umbari, sedangkan
mayat yang satunya
adalah mayat Lentik Sunyi.
"Kulihat
mereka tewas karena lemparan senjata
rahasia berbentuk
kelelawar," kata Suto Sinting sambil
mencari sekeping
logam hitam berbentuk kelelawar
bersayap runcing.
Ketika kedua gadis yang lakukan
pertarungan itu
tiba-tiba tumbang karena lemparan
senjata rahasia,
Suto sempat memeriksa keduanya, dan
menemukan sekeping
logam berbentuk kelelawar
bentangkan sayap.
Logam hitam berukuran kecil itu
sempat dicabut oleh
Suto dari leher Umbari, lalu logam
itu dibuang begitu
saja setelah Suto merasa jelas dengan
bentuk logam
tersebut. Sekarang logam itu sedang
dicarinya untuk
ditunjukkan kepada Mustikani.
Tetapi sebelum Suto
temukan logam tersebut,
Mustikani sudah
berhasil menemukan sekeping logam
berbentuk kelelawar
dari dada mayat Lentik Sunyi, ia
mencabut benda
itu dan memperhatikan dengan dahi
berkerut. Dukanya
terhadap kematian sang teman
menjadi surut oleh
rasa heran dan aneh melihat logam
berbentuk kelelawar
kecil itu.
"Nah, seperti
itulah logam yang kutemukan
menancap di leher mayat ini," ujar Suto
sambil dekati
Mustikani.
"Kurasa, kedua
gadis ini sengaja dibunuh oleh
seseorang yang
memiliki senjata rahasia berbentuk
kelelawar seperti
yang kau pegang itu, Mustikani! Dan
orang tersebut
sempat kukejar, kucari-cari, tapi yang
kutemukan justru 'ceriping raja'-nya si Mahesa Gondes
yang sangat
'uhlala' ini," sambil Suto Sinting
sunggingkan senyum
keceriaan.
Mustikani tetap
berkerut dahi pandangi senjata
rahasia berbentuk
kelelawar itu. Ia menggumam, seperti
bicara pada diri
sendiri.
"Rasa-rasanya
aku kenal siapa pemilik senjata rahasia
ini!"
"O, kau kenal
pemilik senjata itu? Bagus, bagus!"
kalau begitu,
maukah kau mengenalkan diriku
kepadanya?!"
seraya senyum Suto semakin melebar,
kepala godek-godek
pelan.
Mustikani
menggeram. "Hiih...!"
Wuuut, jruuub...!
Senjata itu
dilemparkan di atas kepala Suto
Sinting.
Pemuda itu
cepat rundukkan kepala dengan wajah
menyeringai merasa
ngeri. Senjata itu menancap di
pohon belakang
Suto.
"Akan kubalas
kematian Umbari! Akan kutuntut
nyawanya sebagai
pengganti nyawa Umbari!" geram
Mustikani sambil
matanya menerawang jauh,
memancarkan dendam
yang ditujukan pada seseorang.
Suto Sinting sempat
bengong karena beranggapan
dirinya yang
diancam Mustikani.
"Bukan aku
pemilik senjata rahasia itu, Non! Aku
orang baik-baik.
Lihat saja, aku hanya bisa menyanyi:
'Uuh, lalala... ceriping codot aduh ngototnya. Uuh,
lalala....'"
"Diaaam...!"
bentak Mustikani membuat Suto
terlonjak kaget dan
langsung bungkam tak bersuara
sedikit pun.
4
MUSTIKANI tetap ingin kejar Sunggar Manik
lebih
dulu. Jika ia
berhasil merebut Pedang Penakluk Cinta
yang diduga
disembunyikan oleh Sunggar Manik, maka
ia akan dapat
menumbangkan orang yang membunuh
Umbari dengan
senjata rahasia beracun tinggi itu.
Namun gadis itu
tak mau menjawab pertanyaan Suto
ketika Suto ajukan
tanya siapa pemilik senjata berbentuk
kelelawar itu.
"Nanti kau
akan tahu sendiri jika kau benar-benar
bantu aku dalam
merebut Pedang Penakluk Cinta itu!"
ujarnya sambil
melirik Pendekar Mabuk dengan wajah
masih pancarkan
dendam terhadap si pembunuh Umbari
itu.
Suto Sinting
akhirnya ikuti langkah Mustikani yang
sudah ditinggal
jauh oleh Sunggar Manik. Sekalipun
demikian, Mustikani
masih yakin bahwa ia akan berhasil
temukan Sunggar
Manik, karena ia tahu Sunggar Manik
terluka cukup parah
dan akan kehabisan darah dalam
pelarian.
Setidaknya akan kehabisan tenaga, lalu
berhenti di suatu
tempat, dan di situlah saatnya
Mustikani harus
memaksa Sunggar Manik untuk
serahkan pedang
tersebut.
Murid Sinting si
Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang
bertubuh kekar dan
gagah itu masih dalam keadaan
dimabuk oleh
khayalan indah yang menyenangkan
hatinya. Tetapi ia
tak terlalu banyak kehilangan
kewaspadaan. Masih
ada sisa kewaspadaan yang
membuatnya segera
mencekal lengan Mustikani, lalu
menariknya mundur
hingga saling berjatuhan.
Bruuuss...!
"Edan kau
ini!" sentak Mustikani dengan marah.
Namun belum habis
kata-kata itu, suara Mustikani cepat
menjadi lirih
karena tiba-tiba ia sadar apa yang terjadi
pada saat itu.
Serombongan jarum
melayang di atasnya pada saat ia
jatuh telentang dan
menindih tubuh Suto yang telentang
juga itu. Jarum-jarum itu
bagaikan pasukan nyamuk
yang melesat di
udara dan menancap di pohon belakang
mereka. Zruuub...!
Pohon itu segera
menjadi layu. Kulit pohon bergerak-
gerak terkelupas
pelan-pelan dan mengkerut. Daun-daun
pohon segera
mengkerut juga dalam keadaan berubah
menjadi kuning.
Kejap berikutnya, pohon itu telah
menjadi kering dan
merengas bagai hidup di padang
pasir tanpa air.
Keadaan tersebut ternyata disebabkan
oleh racun di
ujung-ujung puluhan jarum yang
menancap di
batangnya. Racun itu bekerja dengan cepat
dan ganas, membuat
pohon bagaikan mati kering dalam
dua helaan napas.
Mustikani buru-buru
bangkit dan memasang
kewaspadaan tinggi.
Matanya menatap ke arah
datangnya
jarum-jarum hitam tersebut. Sementara itu,
Suto Sinting
bergegas bangkit dengan wajah
menyeringai karena
tangannya terlipat ke belakang saat
jatuh dan tertindih
tubuh Mustikani. Tangan itu terasa
terkilir dan sakit
jika dipakai untuk bergerak.
"Sial!
Pergelangan tanganku terselip di sebelah mana
ini?!" gumam
Suto Sinting dalam nada gerutu. Tapi
hatinya merasa geli
melihat pergelangan tangannya
sukar ditegakkan,
ia buru-buru menenggak tuaknya
sambil duduk
melonjor di tanah. Dua teguk tuak cukup
rasa sakitnya
hilang dan pergelangan tangannya menjadi
normal kembali.
Namun ia segera terkejut begitu melihat arah yang
dipandang
Mustikani. Ternyata di sana telah berdiri
seorang tokoh tua
berusia sekitar tujuh puluh tahun, ia
seorang kakek
berjubah biru lusuh dengan tubuh kurus,
mata cekung dan
rambut abu-abu pendek. Janggut dan
kumisnya juga
abu-abu pendek. Giginya... bukan abu-
abu, tapi hitam
kelam bagai kebanyakan nikotin
tembakau. Tokoh tua
yang menggenggam tongkat
berujung seperti
palu itu sangat asing bagi Suto Sinting,
sehingga Suto
segera dekati Mustikani. Kala itu
Mustikani sedang
beradu pandang mata dengan mulut
terbungkam rapat,
namun dadanya yang naik turun
menunjukkan
gemuruhnya hati yang dibakar kemarahan
dan ketegangan.
"Siapa Pak Tua
itu? Bandar ceriping juga?" tanya
Suto dalam bisikan.
Mustikani menjawab
dengan lirih dan bernada datar.
"Dia dikenal
dengan nama: si Tulang Besi dari
Sungai Garong. Dia
adalah Ketua Perguruan Raga Baja"
"Diakah yang
menyerangmu dengan jarum-jarum
maut tadi?"
"Memang
dia!" geram Mustikani. "Satu purnama
yang lalu,
perguruannya dihancurkan oleh ratuku, ia
sempat lolos, dan
baru sekarang muncul lagi. Kurasa dia
ingin balas dendam
padaku, karena dia tahu aku
orangnya Ratu
Ladang Peluh."
Pendekar Mabuk
masih senyum-senyum saat
pandangi si Tulang
Besi yang berwajah tegas, berkesan
galak. Senyuman
Suto Sinting diartikan lain bagi si
Tulang Besi,
karenanya ia segera berseru dengan
suaranya yang masih
terdengar sedikit berat,
menyeramkan.
"Apa maksudmu
senyum-senyum padaku, Pemuda
Pikun?!"
"Maksudku...?
Oh, hmmm... maksudku tersenyum
padamu ya
mengajakmu tersenyum," jawab Suto
Sinting, lalu
tertawa pelan. "Pertanyaanmu lucu juga,
Pak Tua. Orang
tersenyum kok mau dilarang?!"
"Aku tidak
butuh senyumanmu, Pemuda Bodoh!"
bentaknya.
"Tidak butuh
ya sudah! Masih bisa kutawarkan pada
yang butuh,"
ujar Suto Sinting dengan santai sekali,
seakan tak punya
beban apa-apa, tak punya rasa takut
sedikit pun.
"Dengar
kataku, Pemuda Dungu...! Aku tak punya
persoalan apa-apa
denganmu. Persoalanku hanyalah
mencabut nyawa
gadis pengikut ratu Iblis itu sebagai
cicilan hutang si
ratu iblis itu atas pembantaian yang
menewaskan semua
muridku! Tapi jika kau mau
berlagak jagoan,
mau jadi pelindung gadis binal itu,
maka aku tak
segan-segan mencabut nyawamu pula
tanpa permisi
lagi!"
"Tulang
Besi!" seru Mustikani. "Jika kau ingin
membalas dendam
atas kematian semua muridmu,
lampiaskan kepada
ratuku! Jangan kepadaku, karena
pada waktu
peristiwa pembantaian itu terjadi, aku tidak
ikut di dalamnya.
Aku sedang menengok kakekku yang
saat itu
kebetulan sedang sakit. Jadi aku tak punya
kesalahan apa pun
padamu, Tulang Besi!"
"Hmmm...!
Hanya segitu nyalimu, Perawan Busuk?!"
geram si Tulang
Besi. "Aku dapat rasakan getaran
hatimu yang
ketakutan melihat kehadiranku di sini!"
Suto Sinting
menyahut, "Pak Tua, bolehkah aku
melindungi gadis
ini?!"
Mustikani
menggerutu pelan namun penuh geram.
"Goblok!
Begitu saja ditanyakan!"
Tulang Besi segera
berkata, "Kalau kau ingin mati
bersama gadis
busuk itu, jadilah pelindungnya. Bila
perlu, jadilah
pemandu jalan menuju neraka!"
"Wow...
mengerikan sekhalieee...," ujar Suto
berkesan canda.
Tulang Besi marah,
merasa dipermainkan oleh
Pendekar Mabuk.
Maka dengan cepat ia menggeram
seperti seekor
singa mengincar mangsa. Geraman itu
membuat tanah dan
pohon sekitarnya bergetar. Bahkan
beberapa helai daun
ada yang rontok akibat getaran
tersebut. Rupanya
si Tulang Besi sengaja pamer
kesaktian sambil
ciutkan nyali calon lawannya.
Suto Sinting
berkata kepada Mustikani dengan santai,
cuek sekali, seakan
ia tidak sedang berhadapan dengan
seseorang yang
berilmu tinggi.
"Rupa-rupanya
ada gunung berapi mau meletus,
Mustikani. Getaran
gempanya sampai ke tempat kita ini!
Bagaimana jika kita
mengungsi lebih dulu sebelum kena
letusan gunung
berapi itu?!"
Mustikani tidak
melayani ucapan Suto. Ia tetap diam
dan menatap
tajam-tajam ke arah Tulang Besi. Ia tak
mau lengah dan
terkena pukulan lawan.
Murid si Gila Tuak
yang dikenal pula dengan Julukan
Tabib Darah Tuak
itu segera memandang si Tulang Besi
sambil nyengir dan
berkata kalem.
"Pak Tua, aku
mau coba lindungi gadis ini. Karena
menurut dugaanku,
gadis ini tidak bersalah, sebab dia
tidak ikut dalam
pembantaian itu. Jadi, kalau kau tidak
keberatan dan tidak
merasa jeri, izinkan aku melindungi
gadis ini dari
ancaman balas dendammu. Bagaimana?"
Tulang Besi semakin
menggeram dengan mata
cekungnya kian
tajam.
"Grrrhhmmrrr!"
Getaran pada tanah
semakin hebat. Bahkan tanah di
bawah kaki si
Tulang Besi menjadi retak memanjang
sampai di sekitar
tempat Suto berdiri. Pohon-pohon pun
bergetar lebih
keras, membuat daun-daun berguguran
dan ranting-ranting
kecil berjatuhan. Suara derak samar-
samar terdengar.
Ternyata sebatang dahan lapuk patah
akibat getaran
tersebut.
Pendekar Mabuk
memandang sekelilingnya dengan
bingung tapi tetap
dengan senyum.
"Wah,
rasa-rasanya kiamat mau tiba, Mustikani. Tapi
mengapa langit
tidak ikut bergetar, ya? Jangan-jangan di
dalam tanah ini ada
binatang raksasa yang sedang
menguap karena
habis bangun tidur?"
Nada bicara yang berkesan menyepelekan itu
membuat hati
Mustikani menjadi cemas. Sebab secara
jujur hati kecilnya
mulai mengakui kehebatan ilmu
Tulang Besi. Hanya
dengan keluarkan suara menggeram
saja bisa
menggetarkan tanah dan pepohonan
sekelilingnya,
apalagi pukulannya. Nyali pun menjadi
ciut juga, namun
Mustikani tidak perlihatkan keciutan
nyalinya itu. Ia tetap diam memandang Tulang Besi
seakan siap hadapi
serangan kapan pun.
Sementara itu,
Tulang Besi menjadi semakin berang
melihat Suto
Sinting tidak kelihatan takut sedikit pun.
Bahkan sebaliknya,
tampak menyepelekan gertakan
nyali itu. Tulang
rahangnya yang bertonjolan itu tampak
bergerak
menggeletukkan gigi. Suaranya pun
terdengar
kian memberat,
seakan dibebani kemarahan yang telah
menjadi lebih besar
dari sebelumnya.
"Anak muda,
kuizinkan kau menjadi pelindungnya
jika kau kuat
menahan hantaman tongkatku ini!
Heeeah...!"
Weess...! Tongkat
itu dihantamkan ke kepala
Pendekar Mabuk
sambil si Tulang Besi lakukan
lompatan cepat.
Dengan gerak refleksnya Pendekar
Mabuk angkat
bumbung tuak dan sentakkan ke samping.
Tongkat pun
akhirnya kenai bumbung tuak.
Duaaar...!
Benturan tongkat
dengan bumbung tuak timbulkan
ledakan yang cukup
keras dan mengeluarkan daya sentak
besar. Tangan si
Tulang Besi yang pegangi tongkat itu
tersentak ke
belakang, badannya turut tersentak dan
akhirnya ia
terpelanting nyaris jatuh kalau tidak
punggungnya
membentur pohon. Sementara itu,
Pendekar Mabuk yang
cengar-cengir itu juga
terpelanting ke
belakang dan nyaris jatuh kalau tak
segera ditahan
dengan kedua tangan Mustikani.
"Gila! Ternyata
bumbung tuak bocah itu punya
kekuatan tenaga
dalam yang tidak kecil?!" gumam hati si
Tulang Besi.
"Agaknya aku harus hati-hati dengannya.
Selama ini hanya
orang-orang berilmu tinggi yang
mampu menahan
hantaman tongkatku. Apakah anak
muda itu
juga berilmu tinggi? Siapa dia sebenarnya?
Aku tak pernah
jumpa dengannya."
Mustikani berbisik,
"Hati-hati, dia bukan orang
berilmu pas-pasan!
Seluruh tulangnya seperti terbuat
dari besi. Tenaga
dalamnya pun cukup tinggi. Jangan
sampai pukulan dan
tendangannya kenai tubuhmu. Bisa
remuk tulangmu jika
diadu dengan tulangnya."
"Tenang saja.
Aku hanya berpura-pura sempoyongan,
padahal... memang
benar-benar sempoyongan. Heh, heh,
heh, heh!"
"Masih konyol
saja kau ini! Hilangkan
kekonyolanmu!"
Mustikani menyentak dengan suara
berbisik, ia
benar-benar mencemaskan jiwa Suto, tapi
yang dicemaskan
justru seenaknya saja.
"Pak Tua, aku
sudah bisa menahan pukulan
tongkatmu, malahan
kau sendiri yang terpental lebih
jauh dariku. Jadi,
sekarang kau mengizinkan aku
menjadi pelindung
gadis ini, bukan?!"
"Jangan merasa
bangga dulu dengan keselamatan
yang kebetulan ini,
Bocah bau popok! Tahanlah
pukulanku ini jika
kau memang merasa mampu menjadi
pelindung!
Heeeahh...!"
Wuuut...! Tulang
Besi berkelebat menerjang
Pendekar Mabuk
dengan tangan menggenggam dan
dihantamkan ke
wajah anak muda itu. Beet!
Suto Sinting
menggeloyor seperti orang mabuk mau
jatuh. Wuuut,
wees...! Pukulan tangan itu lolos dari
sasaran. Namun
ternyata kaki si Tulang Besi menendang
cepat ke arah
samping mengenai pangkal lengan Suto.
Beet, krak...!
"Aaaah...!"
Suto Sinting memekik sambil terjungkal
ke samping. Tulang
di ujung pundaknya terasa dihantam
dengan besi sebesar
betisnya. Tulang itu terasa remuk
dan tangan kirinya
tak mampu digerakkan lagi.
"Aaahk...!"
Suto Sinting mengerang kesakitan sambil
bergeser mundur
dengan merayap-rayap hingga
mencapai bawah
pohon, ia sandarkan tubuhnya di sana
seraya berusaha
menahan rasa sakit yang luar biasa.
Matanya sesekali
terbeliak dengan mulut ternganga, atau
terpejam kuat-kuat
dengan mulut menyeringai.
"Kutumbuk
hancur batok kepalamu, Tikus Lumbung!
Haaaah...!"
Tulang Besi
melompat sambil ingin hantamkan
tongkatnya yang
berkepala mirip martil besar itu.
Namun sebelum
lompatan itu mendekati tubuh Suto, jari
tangan Suto segera
menyentil dua kali. Des, des...!
Jurus 'Jari Guntur'
dipergunakan Pendekar Mabuk
untuk menyingkirkan
bahaya yang sedang menuju ke
arahnya. Sentilan
jari itu mempunyai kekuatan tenaga
dalam cukup besar,
seperti tendangan kuda jantan yang
liar. Dua sentilan
bertenaga dalam itu kenai dada si
Tulang Besi. Duuhk,
duuhk ..!
"Uuhk...!"
Tulang Besi terlempar mundur. Kekuatan
daya lompatnya
kalah besar dengan kekuatan sentilan
Suto Sinting.
Akibatnya ia jatuh terbanting dalam
keadaan duduk.
Brruuk...!
Umumnya orang yang
terkena sentilan jurus 'Jari
Guntur' apalagi di
bagian dadanya, dia akan menyeringai
kesakitan karena
tulang dadanya terasa remuk. Apalagi
sampai dua kali
sentilan mengenai tempat yang sama,
pasti orang itu
tidak akan bisa bernapas untuk beberapa
saat.
Tetapi tidak
demikian halnya dengan si Tulang Besi.
Ia segera bangkit
dan tetap tampak kuat bagai tak pernah
mendapat sentilan
'Jari Guntur'. Rupanya tulang-tulang
tubuhnya yang keras
seperti besi itulah yang membuat ia
mampu cuek setelah
terkena sentilan 'Jari Guntur' dua
kali.
"Kuat juga
orang ini?!" gumam Suto Sinting
dalam
hati.
Mustikani ingin
bertindak, tapi Suto Sinting
mencegahnya.
"Diam saja di
tempat, Mustikani! Aku masih sanggup
menghadapi besi tua
ini!"
Sambil berkata
begitu, Suto Sinting bangkit berdiri
lagi. Sebab pada
saat Tulang Besi terlempar dan
terbanting, Suto
buru-buru menenggak tuaknya dua
teguk. Tuak itu segera hilangkan rasa sakit di ujung
pundak kirinya, ia
menjadi sehat lagi, seperti tak pernah
cedera sedikit pun,
dan hal itu juga menimbulkan rasa
kagum di dalam hati
si Tulang Besi.
Kakek berjubah biru
itu segera mainkan jurus dengan
tongkatnya.
Tiba-tiba tubuhnya melambung di udara,
melesat cepat bagai
seekor burung zaman purba yang
meluncur ke arah
Suto Sinting dengan tongkat
digenggam dua
tangan menyilang di depan dadanya.
Weeers...!
Ayunan tubuh
menyentak ke atas, membuat Pendekar
Mabuk melambung
naik. Wuus...! Kemudian kedua
kakinya menjejak
pohon yang ada di belakangnya.
Dess...! Tubuhnya
pun meluncur cepat bagaikan terbang
ke arah si Tulang
Besi. Weess...!
Dengan kedua tangan
menggenggam bumbung tuak
melintang di dada,
Pendekar Mabuk sengaja mengadu
kekuatan tenaga
dalamnya kepada si Tulang Besi.
Bumbung tuak dan
tongkat saling bertabrakan di
udara.
Masing-masing digenggam dengan kedua tangan
yang sudah dialiri
tenaga dalam.
Blegam...!
Ledakan dahsyat
terjadi hingga mengguncangkan
alam sekeliling.
Beberapa pohon berukuran sedang
menjadi tumbang
bagaikan dihempas badai yang
mengamuk.
Benturan tongkat
dengan bumbung tuak itu sempat
menimbulkan daya
rekat cukup kuat, sehingga Tulang
Besi bagai bergelayutan pada tongkatnya dan kakinya
menendang ke dada
Suto Sinting secara beruntun.
Des, des, des, des,
des...!
"Aaahk...!"
Suto Sinting tak bisa hindari tendangan
itu karena tak menduga akan mendapat serangan
beruntun secepat
itu.
Ketika tongkat
terlepas dari bumbung tuak, tubuh
mereka sama-sama
melayang turun. Tapi Pendekar
Mabuk masih sempat
kerahkan sisa tenaganya untuk
berkelebat memutar
tubuh. Wuuus...! Bersamaan dengan
itu bumbung tuaknya pun berkelebat menyabet dan
kenai bagian bawah
ketiak si Tulang Besi.
Buuhk, kraak...!
"Aaaahhk...!"
Tulang Besi terlempar bagai bola kena
pukulan kuat.
Tubuhnya melayang cepat sejauh delapan
langkah lebih.
Kepala si Tulang Besi yang kehilangan
keseimbangan badan
itu membentur pohon besar dengan
kuatnya. Prrook...!
"Aauw...!"
pekik si Tulang Besi lagi. Benturan itu
sangat kuat,
sehingga sebagian kulit batang pohon itu
menjadi rompal. Tak
ketinggalan kepala si Tulang Besi
yang kerasnya
seperti besi itu akhirnya bocor juga dan
mengalirkan darah
cukup deras.
"Aauh...!
Bangsat tengik bocah itu!" erang si Tulang
Besi sambil
pegangi rusuknya. "Jahanam
terkutuk!
Tulang rusukku bisa
patah begini?! Kalau kupaksakan
aku bisa mati di
tangan anak semuda dia!"
Tulang Besi segera
kerahkan sisa tenaganya dan
melarikan diri
secepatnya, ia merasa tak mungkin
mampu melawan
kekuatan si pemuda sinting itu jika
dalam keadaan
terluka separah itu. Maka tanpa berkata
apa pun, ia tinggalkan
tempat tersebut dengan gerakan
cepat,
Mustikani sengaja
tidak mengejarnya, karena ia
menjadi tegang
setelah melihat Suto Sinting terkapar di
tanah tanpa
bergerak lagi. Tendangan beruntun si Tulang
Besi tadi telah
membuatnya pingsan dan terluka parah di
bagian dalam
dadanya.
"Celaka!
Bagaimana kalau sudah begini?!" keluh
Mustikani dengan
wajah tegang sekali. Sekalipun dia
tahu tuak Suto
dapat sembuhkan luka, tapi dia tak tahu
bagaimana cara meminumkan
tuak itu, karena keadaan
mulut Suto terkatup
rapat.
Gadis cantik yang
tadi ikut terlempar saat terjadinya
ledakan dahsyat
itu, kini diam mematung dalam keadaan
serba bingung.
Matanya menatap lurus ke sosok tubuh
kekar berwajah
tampan yang kini terkapar dengan sangat
menyedihkan.
"Dadanya
menjadi merah kebiru-biruan. Alangkah
parahnya ia. Siapa yang akan kumintai bantuan untuk
menyelamatkan nyawa pemuda konyol ini?!" pikir si
cantik di sela-sela
kecemasannya.
5
CAHAYA lampu minyak
menerangi rumah gubuk di
lereng Bukit
Busung. Dinamakan demikian, karena
menurut legenda
zaman dulu, di bukit itu ada seorang
gadis anak janda
miskin yang hamil tanpa suami.
Artinya, tidak ada
yang mengaku sebagai ayah si jabang
bayi yang
dikandungnya. Akhirnya untuk menutup rasa
malu, ketika perut
gadis itu membengkak, si ibu selalu
mengatakan kepada
kenalannya bahwa anak gadisnya
bukan hamil tapi
karena terkena penyakit busung lapar.
Setelah sembilan
bulan, gadis itu tidak melahirkan,
sampai dua bulan ke
depan juga belum melahirkan.
Ketika diperiksa
seorang tabib, ternyata gadis itu
memang benar-benar
kena penyakit busung lapar.
Karenanya bukit itu
dinamakan Bukit Busung.
Tetapi persoalan
yang dihadapi Pendekar Mabuk
bukan persoalan
busung-membusung, melainkan
persoalan Pedang
Penakluk Cinta yang kabarnya tidak
bisa membuat oramg
menjadi busung. Keberadaan
Pendekar Mabuk di
Bukit Busung itu bukan lantaran ia
ingin menjadi busung juga, tapi karena dibawa oleh
Mustikani. Ia dipanggul
di pundak Mustikani yang
menggunakan
kekuatan tenaga dalam. Tanpa kekuatan
tenaga dalam
mustahil gadis cantik itu dapat memanggul
tubuh Suto Sinting
yang kekar dan tinggi gagah itu.
Dengan kekuatan
tenaga dalamnya, Mustikani
menyampirkan tubuh Suto
Sinting di pundaknya seperti
menyampirkan handuk
saat mau ke kamar mandi.
Pemuda berhidung
bangir itu tak melakukan protes
atau meronta saat
dipanggul seenaknya oleh Mustikani
dan dibawa ke Bukit Busung, karena pada waktu itu
Suto Sinting dalam
keadaan pingsan.
Mustikani
membawanya ke pondok di lereng Bukit
Busung, karena
tempat itulah yang terdekat dengan
tempat pingsannya
Suto akibat tendangan beruntun si
Tulang Besi.
Kebetulan Mustikani mempunyai kakek
yang tinggal di
Bukit Busung. Maka tak ada pilihan lain
bagi si gadis untuk
menyelamatkan nyawa si tampan
kecuali dengan cara
membawanya ke pondok sang kakek
itu.
Tetapi setelah tiba
di rumah kakeknya, ternyata
Mustikani terpaksa
mencukil pintul belakang dan masuk
lewat pintu
belakang tersebut. Bukan karena Mustikani
berbakat jadi
maling, tapi karena keadaan terpepet. Sang
kakek ternyata
sedang pergi, sedangkan hari sudah
hampir petang. Mau
tak mau Mustikani harus segera
membawa masuk Suto
Sinting ke dalam pondok
tersebut.
Pemuda itu
dibaringkan di atas dipan dari anyaman
bambu. Dipan itu
tidak berkasur, karena mungkin sang
kakek tak sempat
memesan kasur di toko mebel, atau
memang saat itu
belum ada toko mebel. Sekalipun dipan
itu tanpa kasur,
tapi terasa empuk, karena dilapisi
anyaman jerami yang
dibungkus tikar pandang.
Pendekar Mabuk
siuman setelah dibaringkan di situ
selama lebih kurang
dua jam. Karena pada waktu itu
belum ada arloji,
maka Mustikani tidak mempersoalkan
berapa lama si
pendekar tampan itu dibaringkan dalam
keadaan pingsan.
Yang jelas ketika
Suto Sinting siuman, pertama-tama
yang dirasakan
adalah sakit dada, senut-senut di kepala,
panas di
pernapasan, lemah di tenaga, nyeri di sekujur
tulangnya. Pertama
ia membuka mata, yang dilihat
adalah ujung api
lampu minyak. Lampu minyak itu
menggantung di
tengah ruangan dan dapat dilihat dari
tempat Suto
berbaring.
Makin lama
pandangan matanya makin jelas. Makin
bingung juga
jadinya.
"Di mana aku
ini?" gumamnya dengan suara lirih
sekali, lalu segera
menyeringai menahan rasa sakit di
dadanya. Dada
itu hangus dan gumpalan darahnya
menghitam di bawah
lapisan kulit.
Lalu seraut wajah
muncul bagai melongok Suto dari
sisi kanan. Serut
wajah itu amat cantik dan mempesona.
Suto Sinting kaget,
tapi tak mau berteriak karena
dadanya akan
menjadi semakin sakit jika dipakai untuk
berteriak.
"Ssi... siapa
kau, Nona?"
"Apakah kau
lupa padaku?" Mustikani justru balik
bertanya. Pendekar
Mabuk bingung, namun tak sampai
pingsan lagi. Ia segera
mengingat-ingat bayangan yang
samar-samar sudah
mulai muncul di benaknya. Lalu,
sebaris kenangan
tadi sore muncul kembali dalam
ingatannya.
"Oh, kau...
kau Mustikani, yang mau dibunuh oleh
Tulang Anjing
itu?"
"Benar. Tapi
yang mau membunuhku adalah si
Tulang Besi, bukan
Tulang Anjing."
"Iya.
Maksudku, si Tulang Besi yang mirip tulang
anjing itu,"
ujar Suto menutupi kekeliruannya.
Setelah itu si
tampan konyol itu menyeringai lagi,
menahan rasa sakit
di dadanya. Tangannya yang ingin
memegang dada
bergerak sangat pelan. Menyedihkan
sekali, ia seperti
orang jompo yang belum makan tujuh
hari. Lemas dan
sepertinya tak punya sisa tenaga lagi
selain untuk
menarik napas. Menarik napas saja terasa
sulit, apalagi
menarik timba sumur, jelas tak akan
mampu. Bahkan
menarik kesimpulan saja agak susah.
"Tuak...,"
ucap Suto Sinting pelan. "Minum tuak...."
"Sudah. Aku
sudah minum tuak, tadi sewaktu sampai
di sini."
"Aku yang
minum... bukan kau!" kata Suto dengan
menahan rasa
dongkol.
"Oo...
maksudmu kau ingin minum tuak. Hmmm...
sebentar,
kuambilkan...." Mustikani agak gugup.
Rupanya gadis itu
menjadi gugup karena punya rasa
takut, yaitu takut
kalau pemuda tampan itu mati. Maka
ketika Suto mulai
siuman, Mustikani merasa gembira.
Rasa gembira
itu tak disadari muncul sendiri dalam
hatinya dengan
tulus, ikhlas, tanpa paksa dan tanpa
ancaman. Tak heran
jika saat Suto meminta minum
tuaknya, Mustikani
sempat menggeragap dan salah
ambil. Bukan bumbung
tuak milik Suto yang
diambilnya,
melainkan bumbung milik kakeknya yang
biasa dipakai untuk
menyimpan minyak tanah. Untung
saja belum sempat
diserahkan kepada Suto sehingga
Mustikani terhindar
dari tindakan yang nyaris
memalukan
pribadinya.
"Hmmm ..
hmmm... apakah kau bisa meminum tuak
sendiri? Keadaanmu
lemah begitu, Suto," ujar
Mustikani.
"Tidak...
bisa. Harus ada yang... menuangkan ke
mulutku."
"Hmm, eeh,
hhm... aku saja. Aku sudah biasa
menyiram tanaman,
jadi aku yakin kalau aku bisa
menuangkan tuak ke
mulutmu."
"Kau...
pikir... aku... pot kembang...?!"
Mustikani tersenyum
tawar dan kaku sekali. Salah
tingkah juga gadis
itu, selain juga tangannya gemetar
karena rasa gugup.
Perasaan gugup itu timbul setelah ia
merasa beruntung
bertemu dengan Suto Sinting. Jika
tidak ada Suto
Sinting, ia yakin akan tumbang di tangan
Tulang Baja, karena
ilmunya tak akan mampu
menandingi ilmu si
Tulang Baja.
Rasa salut dan
kagum membuat hati Mustikani
tertarik untuk
bersahabat dengan pemuda tampan itu.
Lebih-lebih setelah
beberapa saat ia tadi pandangi wajah
Suto yang
pingsan, ia baru temukan sebentuk
ketampanan yang
mendebarkan hati. Seakan ketampanan
itu membutuhkan belas kasih sayang yang tulus
dari
hatinya, sehingga
sang hati pun membuka pintu dan
siap-siap menerima
tamu jika sampai Suto Sinting
merayap masuk ke
hatinya.
"Buka mulutmu,
akan kutuangkan tuak ini pelan-
pelan," ujar
Mustikani masih paksakan diri untuk
kelihatan tegar dan
tegas, walau pemaksaan itu justru
membuatnya semakin
kikuk.
Suto Sinting
membuka mulutnya. Kecil. Mustikani
sangsi dapat
menuangkan tuak di lubang mulut yang
sekecil itu.
"Lebarkan lagi
mulutmu."
"Sudah...,"
jawab Suto pelan, lalu melebarkan
mulutnya lagi.
"Lebih lebar
lagi. Terlalu sempit untuk masuknya air
tuak."
"Ini... sudah
besar."
"Ah, mengapa
masih kecil sekali?"
"Yang... mau
kau... tuangi itu... lubang hidung."
Mustikani tertawa,
namun tak berani bersuara lepas.
Bahkan ia tertawa
sambil menoleh ke belakang,
sembunyikan senyum
gelinya. Tanpa sengaja tawa yang
dipendam itu
mengguncangkan tubuh, sementara
bumbung tuak sudah
dimiringkan. Mau tak mau tuakpun
akhirnya mengguyur
wajah Suto Sinting. Byuur...!
"Haap, hhaap,
haap...!" Suto Sinting gelagapan.
"Ooh...?!"
Mustikani kaget dan buru-buru menarik
bibir tuak dari
mulut Suto. Tapi dengan begitu, sebagian
tuak sudah tertelan
ke tenggorokan, dan mulai bekerja
sebagai penyembuh
luka di dada si Pendekar Mabuk itu.
Mustikani
meninggalkan Suto yang masih berbaring
di dipan bambu, ia
sempatkan diri untuk mandi, karena
kebetulan tempat
penampungan air di kamar mandi terisi
penuh. Usai mandi,
badan segar, pakaian rapi, Mustikani
kembali temui Suto
sambil menentang pedangnya.
Pedang pun diletakkan
di atas meja. Saat itu, Suto
Sinting telah duduk
di tepian dipan bambu, ia tampak
segar dan telah
sehat seperti sediakala. Tak ada bekas
luka sedikit pun di
dadanya.
"Maaf, tadi
aku... aku tak sengaja mengguyur
wajahmu," kata
Mustikani dengan senyum dikulum.
Gadis itu
dekati Suto Sinting, berdiri pandangi Suto
dengan bola mata
bening yang memancarkan
kelembutan
tersendiri, ia berkata lagi dengan suaranya
yang semakin
berkesan kalem tapi punya ketegasan yang
tak timbulkan kesan
cengeng.
"Aku
benar-benar tak sengaja mengguyur wajahmu
dengan air
tuak."
"Tak apa. Aku
tak sakit hati, asal bukan air comberan
yang kau guyurkan
ke wajahku," ujar Suto dengan
kalem. Senyumnya
pun tampak lebih kalem lagi dari
senyum sebelumnya.
Rupanya setelah
minum tuaknya sendiri luka di dada
tadi hilang, dan
pengaruh tuak yang diminumnya dari
Mahesa Gondes telah
sirna sama sekali tanpa bekas.
Kondisi murid si
Gila Tuak benar-benar normal,
perasaannya pun
tidak diliputi khayalan indah seperti
saat mabuk
'ceriping raja' itu. Suto Sinting tampil
sebagai pemuda yang
gagah, tampan, mempesona,
wibawa, dan lembut.
Mengesankan sekali.
Perubahan sikap
itu membuat Mustikani bingung.
Ada dua hal yang
membuat Mustikani bingung. Pertama,
sikap Suto menjadi
sangat menarik dan tidak
kampungan. Kedua,
hati Mustikani menjadi sering
berdebar-debar jika
melihat senyuman Suto. Apa
maksud debaran hati
itu, Mustikani sendiri tak tahu
dengan pasti. Yang
jelas, malam itu Suto tampil beda
dari jumpa semula.
Kekonyolannya terbatas dan tidak
berkesan norak.
"Gara-gara
pemuda yang bernama Mahesa Gondes
itulah aku menjadi
nyaris kehilangan jati diriku, dan
hanyut dalam
keindahan yang memabukkan," tutur Suto
menjelaskan
kondisinya kala jumpa pertama itu.
"Apakah kau
kenal dengan pemuda yang bernama
Mahesa Gondes
itu?"
"Tidak. Aku
baru mendengar nama itu sekarang,"
jawab Mustikani
polos sekali. "Kurasa kau telah diberi
tuak beracun yang
dapat membawa khayalanmu ke alam
keindahan, dan
mempengaruhi pikiran serta jiwamu
kepada kesenangan
semata."
"Kurasa juga begitu." Suto Sinting tersenyum,
setengah tersipu
malu sambil geleng-geleng kepala
dalam terawangnya,
ia malu pada diri sendiri.
"Mengapa kau
mau saja disuruh meminum tuak itu?"
"Karena aku
penasaran ingin mengetahui rahasia
tentang...."
Suto Sinting diam sesaat, ia juga ingat
tentang Pedang
Penakluk Cinta yang dicuri oleh Sunggar
Manik.
Saat pertimbangan
Suto terlalu lama, Mustikani
memandang dengan
dahi berkerut. Menyadari
pandangan mata si
gadis penuh curiga, Suto Sinting
buru-buru alihkan
pembicaraan tersebut ke masalah lain.
"Apakah ini
rumahmu sendiri, Mustikani?"
"Bukan. Ini
rumah kakekku yang dikenal dengan
nama Ki Belantara.
Kau mengenalnya, Suto?"
"Tidak. Tapi
aku ingin sekali berkenalan dengan
beliau."
"Kakek pergi,
entah ke mana. Ketika aku
membawamu kemari,
rumah ini kosong. Pasti kakek
pergi, entah untuk
berapa lama," jawab Mustikani sambil
matanya bagai tak
mau lepas dari wajah Suto dan merasa
sayang jika
berkedip.
Pendekar Mabuk
langkahkan kaki, seperti
menyelidiki tiap
dinding rumah kayu itu. Padahal dalam
benak Suto sedang
mencari bahan pembicaraan
selanjutnya. Sebab
ketika pandangan matanya beradu
dengan tatapan mata
Mustikani selama tiga helaan
napas, jantung Suto
mulai berdebar-debar, salah tingkah,
dan otaknya
bagaikan kosong, tak tahu apa yang harus
dibicarakan.
Karenanya, untuk menutupi perasaan itu, ia
berlagak pandangi
sekeliling rumah kayu tersebut.
"Di kamar
mandi belakang masih banyak air, kurasa
cukup untuk mandi.
Kalau kau ingin mandi, mandilah
sana. Biar badanmu
lebih segar lagi."
"O, ya... baru
saja aku ingin katakan hal itu!" ujar
Suto, lalu
bergegas, untuk mandi.
Selama Suto pergi
mandi, Mustikani termenung di
depan meja kayu
berwarna coklat kehitaman. Apa yang
direnungkan adalah
perasaannya yang tiba-tiba berubah
aneh setelah
mengetahui sikap Suto Sinting sebenarnya.
Dan tiba-tiba
sebaris ingatan bagai menyengat
hidungnya, sehingga
gadis itu tersentak kaget dengan
menegakkan badannya
dalam keadaan tetap duduk di
bangku panjang.
"Ciri-ciri
pakaiannya, bumbung tuaknya,
ketampanannya,
ooh... semua itu pernah kudengar dari
mulut orang-orang yang pernah bertemu langsung
dengan Pendekar Mabuk. Hmm... Apakah
dia si
Pendekar Mabuk
itu?!"
Mustikani
berdebar-debar, mulai gusar dan salah
tingkah lagi.
"Sepertinya
memang benar dia si Pendekar Mabuk.
Jika bukan Pendekar
Mabuk, mana mungkin bumbung
tuaknya mampu
menahan pukulan 'Tongkat Maut'-nya si
Tulang Besi?! Oh,
ya... aku yakin! Yakin sekali, bahwa
Suto adalah si
Pendekar Mabuk!"
Mustikani hembuskan
napas, tubuhnya bagai terasa
lemas karena
debar-debar kegirangan menguasai
jiwanya.
"Ya, ampuun... mengapa baru sekarang kusadari
kalau dia adalah si
Pendekar Mabuk?!"
Kemunculan si
pemuda seusai mandi itu
mengagetkan
Mustikani. Gadis itu sempat menggeragap
dan buru-buru
sembunyikan kekagetannya dengan
berlagak menata
tikar pelapis dipan bambu itu. Suto
Sinting sempat
curiga, namun ia lebih pandai
menyimpan
kecurigaannya, sehingga bersikap biasa-
biasa saja. Seakan
tak mengetahui kekagetan gadis
cantik jelita itu.
"Sekarang ada
di mana pemuda yang memberimu
butiran racun
berbahaya itu?" Mustikani makin menutupi
perasaannya.
"Seseorang
telah menyambarnya saat ia sekarat, ia
sekarat karena ada
orang yang kehendaki kematiannya
dengan melepaskan
pukulan jarak jauh yang sangat
membahayakan
jiwanya. Aku tak tahu siapa orang itu.
Aku juga mengejar
orang yang menyambar Mahesa
Gondes, tapi
mungkin salah arah. Akhirnya aku lupa
mengejarnya lagi
setelah melihat pertarunganmu dengan
Sunggar Manik
itu!"
Pendekar Mabuk
duduk kembali ke dipan tak
berkasur itu. Mustikani duduk di sampingnya dalam
jarak satu
jangkauan tangan.
"Mengapa kau
bertanya soal pemuda itu?" tanya
Suto.
"Karena kau
tadi tampak ragu mau sebutkan suatu
rahasia."
Pendekar Mabuk
alihkan pandangan ke atas meja. Di
sana tergeletak
pedang Mustikani yang tadi nyaris
merenggut nyawa
Sunggar Manik. Gadis itu tetap
arahkan
pandangannya kepada Suto. Pandangan mata itu
seakan menuntut
Suto untuk jelaskan rahasia yang
dimaksud. Akhirnya,
Suto tak bisa sembunyikan hal itu
karena tadi sudah
telanjur sebutkan tentang sebuah
rahasia.
"Mahesa Gondes
ingin mengatakan sebuah rahasia,
asal aku mau ikut
minum tuak tersebut. Rahasia itu
adalah rahasia
tentang Pedang Penakluk Cinta."
"Ooh...?!"
Mustikani terperanjat, duduknya bergeser
lebih dekat lagi
dengan Suto. Dalam jarak seperti itu, ia
bisa bicara pelan
sekali dan tetap didengar oleh si
pemuda tampan itu.
"Apa yang ia
katakan tentang rahasia Pedang
Penakluk Cinta
itu?"
"Dia belum
katakan rahasia itu sudah telanjur
diserang seseorang
dan dibawa lari. Entah penyerangnya
sama dengan yang
melarikan atau tidak aku tak jelas."
Gadis berbibir
ranum itu hembuskan napas tanda
kecewa.
"Sayang
sekali...," gumamnya lirih, lalu pandangan
matanya tampak
menerawang ke satu arah.
"Apakah kau
tahu rahasia Pedang Penakluk Cinta
itu?" tanya
Suto Sinting.
"Aku tak
mengerti maksud 'rahasia' dalam kata-kata
temanmu itu. Tapi seperti yang pernah kuceritakan
padamu, bahwa
pedang itu dicuri oleh Sunggar Manik
dan adiknya; Lentik
Sunyi. Pada saat Sunggar Manik
dan Lentik Sunyi
kupergoki, mereka tidak membawa
pedang tersebut.
Aku menduga, pedang itu
disembunyikan oleh
mereka. Mungkin temanmu yang
bernama Mahesa
Gondes itu tahu di mana pedang
tersebut
disembunyikan oleh Sunggar Manik."
"Hmmm..., ya,
mungkin juga!" Suto Sinting
sentakkan bahu satu
kali. "Tapi mungkin juga Mahesa
Gondes itu
sendiri yang menyembunyikan pedang
tersebut."
Mustikani menjadi
gelisah. Ada kecemasan yang
membias di
permukaan wajah cantiknya. Kecemasan itu
adalah rasa takut
dijatuhi hukuman mati oleh sang Ratu
jika ia tak
berhasil dapatkan Pedang Penakluk Cinta.
"Sebenarnya,
seberapa dahsyat kesaktian pedang itu,
Mustikani?"
tanya Suto Sinting setelah menenggak
tuaknya lagi. Tuak
di dalam bumbung tinggal sedikit,
sehingga Suto harus
mulai hemat untuk tak terlalu sering
meneguk tuaknya.
Mustikani menjawab
pertanyaan Suto Sinting dengan
sesekali matanya memandang
Suto, sesekali
menerawang bagai
mengingat-ingat kedahsyatan pedang
tersebut.
"Dua tahun
yang lalu, aku mulai menjadi pengikut
Ratu Ladang Peluh.
Selama setahun kurang, aku
mengikuti
perjalanan Ratu Ladang Peluh sampai
akhirnya kami
berhasil merebut wilayah Bukit Randa
yang kini menjadi
wilayah kekuasaan kami."
"Semula siapa
yang menguasai Bukit Randa?"
"Iblis Wajah
Sutera, yang sekarang sudah dikirim ke
neraka oleh Ratu
Ladang Peluh. Orang-orangnya pun
berhasil kami
bantai habis, sehingga tak ada lagi aliran
silat dari
keturunan Iblis Wajah Sutera."
"Hmmm...,"
Suto Sinting hanya manggut-manggut.
"Selama itu
aku melihat sendiri kesaktian Pedang
Penakluk
Cinta," sambung Mustikani. "Pedang itu
mempunyai tiga
kesaktian. Pertama, mampu menusuk
jantung orang
melalui bekas telapak kaki orang tersebut.
Kedua, jika lawan
tergores pedang itu, maka racun yang
ada di dalam besi
pedang akan menyerang urat saraf
setelah menyatu
dengan darah, berpengaruh pada otak
manusia yang dapat
membangkitkan gairah untuk
bercinta. Pedang
itu sebenarnya bukan terbuat dari besi,
melainkan dari
jenis batu-batuan dari kerak bumi yang
menyerupai besi dan
mempunyai kadar racun penggugah
gairah bercumbu
jika racun itu menyatu dengan darah
korban."
"Hebat sekali
pedang itu?!" gumam Suto Sinting.
"Lalu, apa
kesaktiannya yang ketiga?"
"Jika terkena
sinar rembulan dapat memantulkan
cahaya putih.
Cahaya putih itu jika kenai mata kita,
maka mata kita akan
menjadi buta seumur hidup. Tak
ada obat
penyembuhnya."
"Cukup
berbahaya juga pedang itu!" gumam Suto
Sinting lagi dengan
membayangkan kehebatan pedang
tersebut. Segenggam
kecemasan mulai bertaburan di hati
Suto Sinting,
karena menurutnya pedang itu dapat
menjadi biang bencana
bagi kedamaian di dunia jika
berada di tangan
orang sesat.
"Pedang itu
harus dihancurkan. Jika tidak, ia akan
menjadi perusak
kehidupan di muka bumi itu, jika
pemegangnya adalah
tokoh persilatan sesat."
Mustikani diam
sebentar, merasa tak enak mendengar
ucapan itu. Tapi ia
tak tunjukkan perasaan tak enaknya
itu, walau hati
kecilnya menyadari bahwa selama ini ia
telah menjadi
pengikut tokoh aliran hitam yang berjuluk
Ratu Ladang Peluh.
"Apakah kau
setuju jika pedang itu
dihancurkan?!"
tanya Suto Sinting
sambil ingin mengetahui jiwa
Mustikani yang
sebenarnya. Ternyata gadis itu tak
segera menjawab.
Di wajahnya tampak kebimbangan
bercampur perasaan gelisah yang menjengkelkan diri
sendiri.
"Agaknya kau
tak setuju jika pedang itu
dimusnahkan,"
ujar Suto pelan sekali, berusaha untuk
tidak menyinggung
perasaan si cantik jelita itu.
"Bukan soal
setuju atau tidak setuju. Tapi pedang itu
sekarang sudah
merupakan nyawaku. Jika aku gagal
membawa pulang
pedang itu, maka aku akan dibunuh
oleh Ratu Ladang
Peluh," Mustikani mencoba
mengungkapkan
ganjalan hatinya.
"Jadi kau tak
setuju jika pedang itu
kuhancurkan?"
desak Suto Sinting
seakan ingin mendengar kepastian
dari mulut si
cantik jelita itu.
"Setuju saja,
asal pedang itu sudah berhasil
kukembalikan ke
tangan Ratu Ladang Peluh," kata
Mustikani setelah
diam selama dua helaan napas, ia
bicara sambil
memandang Suto. Pandangan matanya itu
seakan mengharap
pengertian tersendiri dari Suto
tentang niatnya
itu. Suto Sinting segera sunggingkan
senyum sambil
manggut-manggut, menandakan ia cukup
mengerti maksud
hati kecil Mustikani.
"Aku tak mau
mati karena gagal dalam tugas."
"O, ya! Aku
paham maksudmu. Kau tak mau terlibat
dalam usaha
menghancurkan pedang itu, bukan?"
"Aku masih
ingin hidup lebih lama lagi, karena aku
belum punya
keturunan."
Senyum Suto menjadi
lebih lebar lagi.
"Mengapa tak
segera mencetak keturunan?" tanya
Suto dengan kalem
bernada menggoda. Mustikani malu
dan sembunyikan
senyum masamnya.
"Kusarankan
secepatnya bersuami jika memang
sekarang kau belum
bersuami."
"Aku memang
belum bersuami."
"Desaklah
kekasihmu agar cepat menikahimu, maka
kalian akan segera
mempunyai keturunan."
"Aku... aku
tidak mempunyai kekasih."
"Ah, kau
bergurau!" Suto Sinting menggoda dengan
berlagak tak
percaya.
"Tidak! Aku
tidak bergurau! Aku memang tidak
mempunyai kekasih.
Sejak putus dengan kekasihku yang
dulu, aku masih
belum bisa percaya dengan hati seorang
lelaki. Kuanggap
setiap lelaki hanya mencari kepuasan
dan kehangatan
tubuh seorang perampuan sepertiku.
Setelah puas, pergi
dan mencampakkannya!"
"Kurasa...
anggapan itu kurang tepat," ujar
Suto
Sinting sambil
segera menyimpulkan bahwa Mustikani
ternyata gadis yang
patah hati dan tak mau percaya lagi
kepada cinta
seorang lelaki. Tentunya hal itu
terjadi
akibat ia pernah
dikhianati oleh seorang lelaki.
"Lelaki adalah
sosok seorang manusia, demikian pula
perempuan. Yang
membuat seorang lelaki menjadi
pengkhianat cinta
adalah kepribadian orang itu sendiri,
Mustikani. Pribadi
manusia beraneka ragam, satu dengan
yang lainnya tidak
bisa sama persis. Perempuan pun ada
yang punya
kepribadian buruk, ada yang cenderung
menjadi seorang
pengkhianat cinta, tapi tidak semua
perempuan
berkepribadian buruk."
Mustikani diam
saja. Ia sedikit tundukkan kepala
karena merenung.
Pendekar Mabuk sengaja biarkan
gadis itu hanyut
dalam renungannya.
Suto Sinting
sempatkan diri menengok keadaan di
luar rumah melalui
jendela yang dibukanya sendiri.
Ternyata keadaan di
luar rumah sepi-sepi saja dan sang
rembulan muncul di
balik awan. Sangat sedikit, sehingga
sinarnya hanya
teram-temeram menerangi permukaan
bumi.
Jendela ditutup,
Suto Sinting kembali duduk di dipan.
Kali ini ia duduk
lebih dekat lagi dengan Mustikani. Ia
beranikan diri
mengusap punggung gadis cantik berkulit
kuning langsat itu.
"Buanglah
kepicikanmu sebelum kau bisa menilai
seseorang dengan
benar, penilaian terhadap pribadi
seseorang tidak
boleh dibarengi dengan dendam dan
kesumat. Pandanglah
kehidupan dari berbagai sisi,
jangan hanya satu
sisi saja."
"Akan
kucoba," ujar Mustikani dengan lirih sekali.
Suto Sinting
beranikan diri untuk menyentuh dagu
Mustikani. Wajah
yang sedikit tertunduk itu
didongakkan
pelan-pelan hingga mereka saling beradu
pandang.
Senyum lembut
sengaja dipamerkan oleh Suto
bersama tutur kata
yang sedikit bernada bisik.
"Melangkahlah lagi
ke jalan penuh kasih. Jangan
takut gagal, karena
jika kau takut gagal berarti kau takut
berhasil."
"Ya, aku
mengerti," balas Mustikani dalam bisikan
pula.
"Cobalah
mencari seorang kekasih yang dapat
mendamaikan
hatimu."
"Selama ini
tak ada. Yang ada hanya kepalsuan. Tapi
akan kucoba membuka
hatiku kembali untuk menerima
kehadiran seorang
lelaki yang dapat kujadikan dambaan
hatiku."
"Bagus!"
tegas Suto Sinting seraya lebarkan senyum.
"Masih banyak
kesempatan bagi gadis secantik dirimu,
Mustikani. Jangan
hancurkan hatimu oleh dendam dan
kebencianmu
sendiri. Aku yakin, cepat atau lambat kau
pasti akan temukan
kedamaian itu."
"Adakah
kedamaian di hatimu sendiri?"
"O, ya...
tentu ada."
"Dapatkah kau
berikan kedamaian itu untukku?"
Suto Sinting
menjadi terbungkam sesaat, ia bingung
menjawab, karena ia
tahu maksud Mustikani. Apalagi
gadis itu
segera tambahkan kata di sela keheningan
mereka berdua itu.
"Kurasa jika
aku selalu bersamamu, aku akan
memperoleh
kedamaian yang hakiki."
Hanya sehela napas
yang dihempaskan pelan bersama
senyuman tawar.
Sebenarnya Suto ingin katakan bahwa
harapan Mustikani
untuk mendapatkan kedamaian dan
kasih sayang dari
Suto adalah hal yang tak mungkin,
sebab Suto sudah
mempunyai seorang kekasih sendiri,
bahkan calon istri, yaitu
Dyah Sariningrum, penguasa
negeri Puri Gerbang
Surgawi di Pulau Serindu. Tetapi
hati kecil Suto tak tega untuk menjelaskan hal itu,
sekalipun hal itu
adalah kejujuran yang patut dihargai
dari seorang
lelaki.
"Banyak hal
yang harus kita pertimbangkan masak-
masak dalam
menentukan pendamping hati.
Pertimbangan itu
membutuhkan waktu dan tak mungkin
bisa diputuskan
sesingkat ini, Mustikani."
"Ya, aku
mengerti sekali. Tapi... itu hanya suatu
harapan. Toh
harapan tak harus menjadi kenyataan. Bisa
gagal dan bisa pula
berhasil."
"Aku senang
jika kau mulai bisa berpandangan
seperti itu. Kau tampak lebih cantik dari sebelumnya,
Mustikani."
"Benarkah?"
Pendekar Mabuk
anggukkan kepala. Senyumnya
yang kian menawan hati
si gadis membuat si gadis
tambah
berdebar-debar.
Jari tangan yang
masih pegangi dagu itu kini merayap
ke pipi Mustikani
merasa dibuai oleh sentuhan penuh
damai, ia biarkan
sentuhan jemari itu hingga nyata-nyata
merupakan usapan
tangan penuh kelembutan. Mustikani
pejamkan mata untuk
resapi tiap sentuhan lembut itu.
Saat mata si gadis terpejam, Pendekar Mabuk
bertambah gemetar
karena pandangi bibir ranum yang
menggemaskan itu. Akhirnya dengan tekad berani
tanggung risiko
kena tampar tujuh kali, Pendekar Mabuk
segera dekatkan
wajah, lalu bibirnya menyentuh pipi si
gadis.
Ternyata Mustikani
diam saja. Bahkan tangannya
meremas tangan Suto
Sinting yang jatuh di
pangkuannya.
Remasan itu merupakan pertanda bahwa
lampu hijau telah
dinyalakan, Suto dipersilakan masuk.
Maka ciuman Suto
yang lembut sekali itu merayap
hingga menyentuh
bibir. Bibir ranum itu segera
dikecupnya
pelan-pelan sekali. Cuup...! Suto melumat
bibir itu sesaat,
si gadis justru memberi peluang dengan
merekahkan bibirnya
dan pasrah lidahnya untuk dipagut.
Ternyata Suto
benar-benar memagut lidah itu dengan
pagutan sangat
lembut, sentuhan keindahannya sampai
ke dasar kalbu si
gadis.
Tangan si gadis
akhirnya memeluk Suto Sinting.
Seakan ia meraih sebentuk kebahagiaan sejati yang
jarang diperoleh
dari seorang lelaki. Kebahagiaan liar
memang sering
diperolehnya, namun yang sejati dan
agung seperti malam
itu, sama sekali tak pernah
diperolehnya.
Karena itulah pelukan itu menjadi sangat
erat, Mustikani
seakan tak ingin lepaskan apa yang telah
menyiram hatinya
dengan damai dan sejuk itu.
"Ooh.... Suto,
sudah... sudah, Suto. Jangan teruskan,"
bisik si gadis
dengan suara gemetar.
"Bau
keringatmu masih harum, sulit membuatku
hentikan ciuman
ini, Mustikani," ujar Suto yang juga
membisik di sekitar
leher dan telinga kiri gadis itu.
"Jangan
teruskan, Suto. Kau... kau bukan para budak
cinta piaraan sang
Ratu!"
"Balaslah
ciumanku, Mustikani. Balaslah...!" pinta
Suto seakan membangkitkan
semangat Mustikani yang
telah lama terkubur
ditimpa dendam itu.
"Aku tak
mau... aku tak mau kau hanyut dan terlena
dalam buaianku. Kau
bukan para budak pemuas gairah
kami, Suto....
Kumohon, hentikanlah sebelum kau
terkena racun
kemesraanku."
"Balaslah!"
"Tidak. Aku
tidak mau! Aku kotor dan kau tak pantas
menerima kekotoran
ini, Suto. Oouh... jangan pancing
gairahku, Suto.
Nanti akan mengamuk dan membuatmu
kewalahan."
"Lawanlah aku,
Mustikani! Lawanlah...."
"Tidak, Suto!
Jangan paksa aku untuk, oooh.... Suto,"
desah Mustikani
dengan meremaskan kedua tangannya
ke punggung Suto,
pertanda sedang menahan gejolak
gairah yang tak
ingin dilepaskan kepada Suto. Mustikani
merasa tidak layak
menerima kelembutan yang begitu
indahnya dari seorang
pemuda seperti Suto Sinting,
sebab ia tahu Suto
Sinting adalah Pendekar Mabuk.
Nama besar pemuda
itu terlalu agung baginya.
Mustikani akhirnya
terkulai lemas dalam pelukan
Suto Sinting karena
menahan gejolak gairahnya mati-
matian, ia terpaksa
harus puas menerima kebahagiaan
dari Suto walau
dengan hanya menyandarkan kepala di
dada bidang sang
Pendekar Mabuk itu.
6
TIDUR nyenyak dalam
pelukan Pendekar Mabuk
merupakan
kebanggaan tersendiri bagi Mustikani. Udara
dingin yang
biasanya meresap ke tulang, malam itu
dapat dikalahkan
oleh hangatnya pelukan sang Pendekar
Mabuk.
Mimpi pun menjadi
indah. Mimpi jalan di atas
padang bunga, mimpi
terbang sampai menyentuh
rembulan, mimpi
bertarung dengan siapa pun selalu
menang, mimpi makan
tempe rasa ayam panggang, dan
berbagai macam
mimpi indah lainnya datang silih
berganti membuat
hati Mustikani selalu diliputi rasa
senang.
Pendekar Mabuk
sendiri juga merasa memperoleh
kebahagiaan selama
tidur memeluk gadis cantik jelita.
Mimpi yang hadir
dalam tidur Suto juga serba indah;
bertemu dengan
arwahnya Pesona Indah yang pernah
menjadi utusan Ratu
Asmaradani, berkunjung ke
Padepokan Griya
Indah, menunggang kuda yang
bernama Indah
Turangga dan hal-hal yang serba indah
lainnya.
Tak heran jika
mereka berdua akhirnya bangun
kesiangan. Mustikani menggeragap dan wajahnya
menjadi pucat pasi.
Tubuh gadis itu gemetar dengan
jantung
berdebar-debar keras.
Suto Sinting yang
membuka mata dalam keadaan
masih berbaring
sempat merasa heran melihat Mustikani
sepucat itu.
"Bangun
kesiangan saja sampai gemetaran dan pucat
sekali kau,
Mustikani."
"Bu... bukan
karena bangun kesiangan, tapi... lihat
itu...!"
"Astaga!"
Suto Sinting juga kaget dan segera
melompat dari dipan
bambu. Ternyata di pintu rumah
kayu itu sudah
berdiri seorang lelaki tua berjubah putih
dengan rambut
pendek dan kumis abu-abu. Lelaki itu
berusia sekitar
enam puluh tahun, bertubuh sedang tapi
berwajah tegas,
matanya memandang dengan tajam.
"Siapa
dia?" bisik Suto Sinting.
"Kakekku...,"
Jawab Mustikani dengan lirih.
"Pantas
wajahmu jadi pucat pasi, rupanya kau
takut
karena dipergoki
kakekmu sedang tidur bersamaku.
Hmmm... katakan
saja kalau kita hanya tidur biasa, tanpa
luar biasa!"
bisik Pendekar Mabuk yang terpaksa cengar-
cengir karena
dipandang tajam oleh Ki Belantara, kakek
Mustikani.
Sang kakek segera
mengangkat tangan kirinya dan
menyentak ke depan.
Wuuut...! Ternyata ia
mengeluarkan tenaga
dalam yang menerjang Mustikani,
membuat gadis itu
terlempar jatuh di atas dipan bambu.
Gubraaakk...!
"Untuk apa kau
pulang, Gadis Liar!" geram Ki
Belantara
menampakkan kemarahannya. Mustikani tak
berani melawan, ia
diam saja dan bersimpuh di atas
dipan dengan kepala
tertunduk dan menahan kesedihan.
"Kau sudah tak
layak lagi singgah di rumahku, Gadis
Liar!" bentak
Ki Belantara, lalu tubuhnya melompat ke
atas dipan ingin
menendang Mustikani. Tapi dengan
cepat Pendekar
Mabuk sentilkan jarinya yang dapat
keluarkan gelombang
tenaga dalam itu.
Tees..! Buuhk...!
Ki Belantara
terpental dan menabrak pintu yang telah
dibuka dari luar
tadi. Gubraaak...! Bruuk...!
Seet...! Kakek
itu bangkit dengan secepatnya.
Napasnya ditarik
panjang-panjang, matanya menatap
lebih tajam. Suto
Sinting maju dengan sikap masih
menghormat dan
salah tingkah.
"Jadi sekarang
kau ingin menjadi pembela cucuku,
Bocah Sapi?!"
geram Ki Belantara kepada Suto Sinting.
"Maaf, Ki...!
Kami hanya tidur biasa, tanpa
melakukan gitu-gituan.
Kumohon jangan marah kepada
Mustikani, Ki. Jika
kau ingin marah, marahlah padaku.
Pukullah aku sepuas
hatimu asal pelan-pelan, Ki!"
"Aku tidak
menuduh kalian berbuat mesum di sini!
Aku hanya marah
kepada cucuku yang bandelnya
melebihi cucu setan
itu!" sambil Ki Belantara menuding
Mustikani dengan
tegas-tegas.
Ki Belantara
mendekati Suto Sinting.
"Dengar, gadis
itu sudah menjadi pengikut Ratu
Ladang Peluh alias
ratu kebejatan! Pasti sudah ikut-
ikutan bejat
seperti ratu itu. Entah berapa lelaki yang
sudah jatuh dalam
pelukannya untuk memuaskan
gairahnya. Dia
sudah menjadi gadis yang kotor, hina,
dan celaka! Aku tak
sudi punya cucu sesat seperti dia!
Aliran hitam bukan
aliranku. Jika ia menjadi pengikut
ratu aliran hitam,
berarti dia sudah menjadi musuhku!
Musuhku tak boleh
tinggal di pondokku ini!"
Mustikani segera
turun dari dipan, berlari ke arah
kakeknya, lalu
bersimpuh sambil memeluk kaki sang
Kakek. Tangisnya
tercurah di sana hingga terisak-isak.
"Ampunilah
aku, Kakek... ampunilah aku...! Aku
memang bersalah,
tak mau menuruti nasihatmu kala itu.
Ampunilah aku...
hukumlah aku seberat mungkin! Aku
akan terima hukuman
darimu apa saja, asal aku tetap kau
akui sebagai
cucumu, Kek...!"
Tangis Mustikani
membuat Suto Sinting bergegas
keluar dari pondok
itu. Ia tak tega, tak bisa melihat gadis
menangis
sebegitu menyedihkan. Bagi Suto, lebih
baik
melihat pemandangan
indah serba hijau daripada melihat
seorang gadis
menangisi penyesalannya.
Rupanya Ki
Belantara sangat marah ketika Mustikani
nekat bergabung
dengan Ratu Ladang Peluh, ia tak
sempat mencegah
cucunya lagi, dan sengaja membiarkan
sang cucu bergabung
dengan ratu sesat itu. Tetapi untuk
selanjutnya Ki
Belantara merasa tak memiliki cucu lagi
dan menganggap
Mustikani bukan lagi cucunya. Karena
itu, Ki Belantara
menjadi berang melihat Mustikani
berada di pondoknya
karena ia sudah menganggap gadis
itu tidak punya
hubungan apa-apa dengannya.
Suto Sinting
membiarkan persoalan mereka diurus
oleh mereka berdua
di dalam rumah kayu itu. Suto
Sinting sengaja
nyelonong ke kamar mandi dan
menyegarkan badan
di belakang rumah, ia tak mau ikut
campur urusan
pribadi antara kakek dan cucu itu.
Bagaimanapun juga,
ternyata cinta sang Kakek
terhadap cucunya
masih tetap ada, walau tertimbun oleh
kemarahan yang
terpendam selama dua tahun. Akhirnya,
Ki Beiantara pun
tak tega untuk tidak mengakui
Mustikani sebagai
cucunya. Sang cucu akhirnya dipeluk
dengan seribu ampun
yang menjengkelkan diri sendiri
bagi Ki Belantara.
"Aku tidak
ingin kembali ke Bukit Randa! Aku tidak
mau jadi
pengikutnya lagi. Suto Sinting telah bicara
banyak padaku dan
membuatku sadar, Kek!" tutur sang
cucu di sela
tangisnya. "Aku ingin kembali menjadi
gadis baik-baik dan
meninggalkan aliran sesat sang
Ratu! Terimalah aku
sebagai cucumu lagi, Kek... karena
aku tak punya
orangtua lagi, tak punya sanak saudara
lainnya. Hanya kau
yang kupunyai sebagai sisa
leluhurku,
Kek...."
Ratapan itu yang
membuat hati Ki Belantara akhirnya
luluh. Pendekar
Mabuk dipanggil saat pemuda itu berdiri
di bawah pohon
depan rumah sambil menenteng
bumbung tuaknya dan
memandangi pohon-pohon
sekitarnya.
"Aku ingin kau
menjadi saksi!" kata Ki Belantara.
"Saksi apa
maksudmu? Apakah di sini ada
pembunuhan?"
tanya Suto Sinting.
"Bukan saksi
pembunuhan, tapi saksi pengakuan!"
tegas ki Belantara.
"Cucuku, si Mustikani, berjanji tidak
akan kembali
menjadi pengikutnya Ratu Ladang Peluh.
Dia ingin kuterima
lagi sebagai cucuku. Dia bersedia
menjalani hukuman
dariku!"
"Benar aku
berjanji seperti itu di depanmu, Suto!"
Pendekar Mabuk
nyengir bingung sendiri. Baru
sekarang ia menjadi
saksi seperti itu. Tapi agaknya ia
harus ikuti
permainan yang ada.
"Aku ingin kau
menjadi saksi kesanggupan Mustikani
dalam menjalani
hukuman dariku!" ujar si kakek.
"Hukuman apa
maksudmu, Ki Belantara?"
"Mustikani
tidak boleh keluar dari batas halaman
rumah ini selama
tujuh bulan, dan harus bisa kuasai
jurus 'Beruang
Menari' yang akan kuajarkan padanya!"
"Ooh...?!
Tujuh bulan?!" Mustikani kaget.
Suto Sinting
mengerti keberatan hati Mustikani, maka
ia mencoba
meringankan hukuman itu dengan berkata
kepada Ki
Belantara, "Tujuh bulan itu terlalu menyiksa
hati cucumu, Ki.
Bisa-bisa begitu selesai jalankan
hukuman, cucumu
menjadi gadis yang kurus dan sakit-
sakitan karena
tekanan batin. Apakah kau tak malu
punya cucu yang
kurus, kerempeng, sakit-sakitan, kena
angin sedikit
roboh?!"
"Hmmm...,"
Ki Belantara diam sesaat. "Kalau begitu
lima bulan
saja!"
"Tiga
bulan!" tegas Suto.
"Ini hukuman!
Bukan jualan kambing yang bisa
ditawar!"
"Tapi tiga
bulan tak boleh keluar halaman rumah ini
sudah merupakan
siksaan berat bagi seorang gadis
secantik dia, Ki!
Percayalah, dengan tiga bulan
terkurung di sini
dia akan jera dan tak akan berani
menentang nasihatmu
lagi!"
Setelah diam
sesaat, Ki Belantara berkata, "Baiklah!
Tiga bulan tak
boleh ke mana-mana. Tapi dalam waktu
tiga bulan dia
harus kuasai jurus 'Beruang Menari'. Jika
belum bisa kuasai
jurus itu, dia tak boleh ke mana-
mana!"
"Baik! Aku
setuju!" ujar Suto.
"Yang mau
jalani hukuman adalah cucuku! Mengapa
kau yang menyatakan
setuju? Kau hanya kubutuhkan
sebagai saksi
saja!" ujar Ki Belantara membuat Suto
Sinting nyengir
sambil palingkan wajah.
"Bagaimana
denganmu, Mustikani?! Sanggup jalani
hukuman itu?!"
Mustikani anggukkan
kepala di depan kakeknya.
"Sanggup, Kek!
Tapi bagaimana dengan... dengan
pedang itu?!"
Suto Sinting segera
teringat tentang Pedang Penakluk
Cinta, ia menatap
Mustikani yang masih diliputi
kecemasan.
Ki Belantara
perdengarkan suaranya di sela
keheningan mereka,
"Aku tahu maksudmu, Mustikani!
Seperti yang kau
tuturkan dalam tangismu tadi, kau
mendapat tugas oleh
Ratu Ladang Peluh untuk dapatkan
Pedang Penakluk
Cinta yang dicuri Sunggar Manik. Jika
kau tak berhasil,
maka kau akan dibunuh oleh ratu bejat
itu. Tapi sekarang
keadaannya sudah lain, Cucuku! Ratu
bejat itu harus
berhadapan denganku jika akan jatuhkan
hukuman seperti itu
padamu! Kau sudah menjadi orang
hukumanku lebih
dulu, dan si ratu bejat tak bisa merebut
tawananku seenaknya
sendiri."
"Aku akan
mencari pedang itu!" sahut Suto tiba-tiba.
Ki Belantara
menatap Suto dengan dahi berkerut,
"Kau ingin
memiliki pedang itu?!"
"Ya. Aku ingin
memilikinya sekejap untuk kemudian
akan
kuhancurkan!"
"Bagus!"
sentak Ki Belantara mengagetkan Suto dan
Mustikani. Si kakek
tampak bersemangat sekali setelah
mendengar ucapan
Suto Sinting tadi.
"Aku akan
membantumu menghancurkan pedang itu,
Pendekar
Mabuk!" ujar Ki Belantara. Kali ini ucapan itu
benar-benar membuat
Suto Sinting tercengang dan
terbengong beberapa
saat. Ki Belantara sunggingkan
senyum tipis
melihat si pemuda tercengang.
"Dari mana kau
tahu kalau aku adalah Pendekar
Mabuk?!"
"Dari
ciri-cirimu!" jawab Ki Belantara sambil
melangkah ke dapur. Suto dan Mustikani saling
pandang. Gadis
itu juga sunggingkan senyum sambil
segera palingkan
wajah ke arah lain.
"Sial! Rupanya
gadis itu juga sudah tahu kalau aku
adalah Pendekar
Mabuk?!" gumam Suto dalam hatinya.
Ki Belantara keluar
dari dapur sambil perdengarkan
suaranya.
"Bumbung
tuakmu, ketampananmu, dan semua yang
ada padamu
membuatku yakin bahwa kau adalah murid
si Gila Tuak.
Sekalipun aku belum pernah bertemu Gila
Tuak, tapi namanya
sangat kukenal."
Ki Belantara dekati Suto, memandang dalam jarak
dua langkah.
"Karena itulah aku tak berani bertindak
terlalu kasar
padamu, karena aku
tahu cucuku kembali bersama
seorang pemuda yang
tak lain adalah Pendekar Mabuk!
Sebab itu
pula kau kujadikan saksi dalam menebus
kesalahan cucuku
ini!"
"Kau memang
hebat, Ki!" ujar Suto tanpa alasan,
karena ia ingin
tutupi rasa canggung dan kikuk sejak Pak
Tua itu
memandangnya penuh rasa kagum.
"Pedang itu
dapat kita temukan setelah kita berhasil
menemukan
muridku!"
Mustikani kaget.
"Oh, jadi sekarang Kakek sudah
punya murid?!"
"Ya. Aku
kesepian tanpa dirimu, Mustikani. Lalu
seorang pemuda
pencari kayu bakar kutemukan, dan
kuangkat sebagai
muridku. Tapi sayang pemuda itu
bandelnya sama
denganmu, Mustikani!"
Pendekar Mabuk
tertawa pelan seperti orang
menggumam. Tapi
tawa itu segera hilang setelah Ki
Belantara
menunjukkan benda kecil bagai sebutir kacang
tanah berwarna
hitam. Rupanya benda itu sejak keluar
dari dapur sudah
ada di dalam genggaman Ki Belantara.
"Muridku itu
mencuri beberapa butir racun perubah
jiwa yang belum
selesai kuracik ini!"
Suto Sinting
terkejut dengan mata melebar. "Ooh,
ini... ini
'ceriping raja' yang pernah kutelan dari...."
"Mahesa
Gondes!" sahut Ki Belantara. Suto Sinting
dan Mustikani menarik napas jelas-jelas sebagai tanda
terkejutnya.
"Kulihat kau
memang tergoda oleh bujukan muridku
yang masih bodoh itu, Pendekar Mabuk. Kulihat
kalian
bersenang-senang
dan geleng-geleng kepala. Lalu
dengan jengkel
kuhantam sendiri muridku, kubuat
sekarat, dan kubawa
lari agar ia tidak buka rahasia
tentang obat
perubah jiwa manusia ini!"
"Oh, jadi kau
yang menghantam Mahesa Gondes
dengan sinar merah,
dan kau pula yang menyambar
pemuda itu saat ia
terkapar?!"
"Benar!"
jawab Ki Belantara dengan tegas. "Dan aku
berhasil menghindar
dari kejaranmu. Tapi saat
kusembuhkan anak
itu dari
lukanya, tiba-tiba aku
diserang musuh
lamaku; Janarpati karena dendam
lamanya! Kami
bertarung hingga menjelang petang.
Janarpati melarikan
diri, aku mengejarnya tanpa
pedulikan Mahesa
Gondes lagi. Ketika kurasakan tak
berhasil mengejar
Janarpati, aku kembali hampiri
Mahesa Gondes,
ternyata anak itu sudah tak ada. Kucari
hingga fajar terbit
di ufuk timur, namun Mahesa Gondes
tetap tidak
kutemukan. Kusangka ia pulang kemari,
ternyata
tidak!"
Mustikani segera
ajukan tanya setelah mereka sama-
sama bungkam
beberapa helaan napas.
"Untuk apa
Kakek menciptakan racun itu?"
"Meracuni
orang-orang Bukit Randa! Terus terang,
aku muak dengan
tingkah laku Ratu Ladang Peluh yang
sempat
menggiurkan cucuku hingga cucuku
bersekutu
dengannya!"
"Aku hanya
ingin membalas sakit hatiku kepada
Raden Pundawa
dengan menggunakan kekuatan Ratu
Ladang Peluh. Sebab aku tak mungkin unggul
melawan
Raden Pundawa yang
telah merenggut kesucianku dan
menghancurkan
hatiku dengan cinta palsunya itu.
Dengan menggunakan
Pedang Penakluk Cinta, Raden
Pundawa telah
berhasil ditaklukkan oleh sang Ratu. Ia
menjadi pelayan
cinta sang Ratu sampai akhirnya mati di
kamar sang Ratu.
Aku puas melihat kematiannya!"
Ki Belantara
menghempaskan napas. "Mengapa kau
tidak mengatakan
hal itu pada kakekmu ini, Mustikani?!
Kau sangka kakekmu
ini tak sanggup menghajar Raden
Pundawa?!"
"Kakek punya
hubungan baik dengan ayah Raden
Pundawa, sang
Adipati Kumatan itu! Tentunya cara
Kakek menangani
Raden Pundawa berbeda dengan Ratu
Ladang
Peluh!"
Ki Belantara tarik
napas lega, memaklumi jalan
pikiran sang cucu.
Ia segera melupakan masalah itu, dan
lebih bersemangat
menyambut niat Suto Sinting untuk
menghancurkan
Pedang Penakluk Cinta yang belum
diketahui ada di
mana itu.
"Sebaiknya
kita segera mencari Mahesa Gondes. Dia
tahu persis rahasia
pedang tersebut! Karena kudengarkan
celotehnya selama
mabuk obatku ini, ia selalu sebut-
sebut tentang Pedang
Penakluk Cinta," ujar Ki
Belantara. Suto
setuju, lalu mereka pun pergi dan
meninggalkan
Mustikani di pondok tersebut.
*
* *
7
DALAM perjalanan
mencari Mahesa Gondes, Ki
Belantara sempat
jelaskan maksudnya menciptakan tuak
racun yang dinamakan
Mahesa Gondes sebagai tuak
'ceriping raja'
itu. Menurut Ki Belantara yang ingin
hancurkan kekuatan
di Bukit Randa, tuak racun perusak
jiwa itu
dapat melumpuhkan kekuatan Ratu Ladang
Peluh secara tak
kentara. Rencananya racun itu akan
dimasukkan ke dalam
sumber air yang mengalir ke
Istana Bukit Randa.
"Dengan
memasukkan racun itu, maka orang-orang
Bukit Randa akan
lemah dan mereka akan lengah karena
sibuk bersukaria. Dalam keadaan seperti itu, aku
dapat
menghancurkan Ratu
Ladang Peluh dan pengikutnya,
namun cucuku bisa
kuselamatkan. Racun itu kucari
sendiri dari getah
dan akar-akaran. Ada satu akar yang
belum kumasukkan
dalam tuak itu, tapi tuak tersebut
sudah telanjur
banyak dicuri oleh Mahesa Gondes sialan
itu!"
Suto tertawa kecil,
ia mengerti maksud jalan pikiran
Ki Belantara. Kakek itu merasa tak akan unggul jika
bertarung dengan
Ratu Ladang Peluh yang pasti akan
menggunakan senjata
Pedang Penakluk Cinta. Oleh
sebab itu, si jubah putih berikat kepala hitam
itu ingin
membuat lawannya
lupa tentang pedang tersebut dengan
racun yang membuat
orang selalu senang dan terbuai
oleh
keindahan.
"Aku pernah
mempunyai seorang sahabat yang
bernama Mahesa
Gibas," ujar Suto. "Apakah
Mahesa
Gondes bersaudara
dengan Mahesa Gibas, karena
namanya hampir
sama."
"O, aku pernah
mendengar nama Mahesa Gibas dari
mulut Mahesa
Gondes. Mereka bukan bersaudara,
melainkan hanya
berkawan. Semula mereka sahabat
karib. Mereka
sama-sama menggunakan nama Mahesa
sebagai ikatan
persahabatan, tapi mereka punya nama
asli
sendiri-sendiri dan tidak ada hubungan keluarga.
Mereka itu
sebenarnya pemuda-pemuda yang tak punya
pengarah hidup
sehingga mereka bertindak seenaknya
sendiri."
"Ooo...,"
Suto Sinting menggumam lega. Rupanya
soal nama saja
sempat mengganjal di hati Suto Sinting,
sehingga ia
menyempatkan diri untuk menanyakannya.
Langkah mereka
berdua terhenti mendadak. Ada
suara orang memekik
bukan karena kesakitan tapi karena
luapan kemarahan.
Suara pekikan itu ada di sebelah
timur mereka. Suto
Sinting segera mengajak Ki
Belantara untuk
menuju ke arah suara pekikan itu.
"Jangan-jangan
muridku sedang bertarung dengan
seseorang?!"
gumam Ki Belantara sambil bergegas
menuju ke timur.
Ternyata suara itu
datang dari balik bukit cadas tanpa
nama. Bukit itu tak
begitu tinggi, mudah di daki dari sisi
barat. Suto Sinting
dan Ki Belantara berada di atas bukit
itu, mereka
berlindung di balik bebatuan tinggi, menatap
ke arah pertarungan
yang terjadi di bawah sana.
Pertarungan itu
dilakukan oleh seorang perempuan
muda yang usianya
sekitar dua puluh enam tahun.
Mengenakan jubah tanpa lengan warna jingga
dengan
kain pembalut
bagian bawahnya juga berwarna jingga
longgar, ia tampak
mengenakan penutup dada warna
hitam kecil,
sehingga sebagian kulit dadanya tampak
coklat mulus.
Perempuan muda itu mempunyai rambut
panjang yang
digulung ke atas, sisanya dibiarkan
berjuntai seperti
ekor kuda.
Wajah perempuan itu
cantik. Tapi matanya berkesan
jalang. Bibirnya
sedikit tebal, dan mengundang selera
untuk bercumbu.
Seakan tiap ia tersenyum selalu
menyebarkan daya
tarik untuk bercumbu. Perempuan itu
bertubuh sekal,
padat dan montok. Mata Suto Sinting
sempat tak berkedip
memandanginya.
"Ssst...!"
Ki Belantara menendang betis Suto ketika
Suto terbengong
melompong pandangi perempuan
berjubah jingga
itu. Suto Sinting buru-buru sadar dan
nyengir malu,
hindari pandangan mata Ki Belantara
yang cemberut itu.
"Jangan mudah
tergiur! Kau belum kenal siapa
perempuan
itu."
"Memang belum,
Ki. Siapa perempuan montok itu?"
"Jerami
Ayu!"
"O,
pantas!"
"Pantas
apa?"
"Pantas
ayu!" jawab Suto lirih sambil berbisik.
"Dia orangnya
Ratu Ladang Peluh. Tapi kudengar dia
sudah memisahkan
diri dari Ratu Ladang Peluh karena
persoalan pribadi
dengan ratu bejat itu."
"Ooo...,"
Suto menggumam lirih. "Mengapa kau
selalu mengatakan
Ratu Ladang Peluh sebagai ratu
bejat?!"
"Karena dia
selalu mencari mangsa seorang lelaki
muda dengan pedang
pusakanya, ia menampung lelaki
muda sepertimu
cukup banyak untuk dijadikan pemuas
gairahnya. Kau
belum tahu, kehidupan di istana Bukit
Randa sangat bejat.
Mereka bebas bercinta dengan lelaki
mana pun, kecuali
lelaki yang sedang menjadi pilihan si
ratu bejat, tak
boleh dipakai oleh anak buahnya!
Menurutnya, darah
kemesraan seorang pemuda dapat
membuatnya panjang
umur dan tetap cantik, sehingga...
kurasa tak perlu
kuceritakan lagi kau sudah bisa
membayangkan
seperti apa gilanya kehidupan bercinta
di dalam istana
Bukit Randa itu."
"Ya, kau
benar, Ki. Kau tak perlu bercerita dulu,
sebab kulihat
pemuda yang sedang bertarung melawan
Jerami Ayu itu
mulai keluarkan jurus mautnya!"
Blegaaarr...!
"Apa kataku,
jurus mautnya keluar, bukan?!"
bisik
Suto Sinting
setelah mendengar ledakan cukup dahsyat
dan mengguncangkan
bukit cadas itu. Ledakan itu
timbul akibat benturan sinar kuning yang keluar dari
tangan seorang
pemuda gagah berpakaian hitam. Sinar
kuning itu
ditangkis dengan sinar biru yang keluar dari
tangan Jerami Ayu.
Sehingga meledak di pertengahan
jarak, membuat
pemuda itu terpental dan jatuh
berguling-guling
bagai diterjang badai. Jerami Ayu
sendiri terlempar
kuat hingga membentur pohon dengan
keras.
Bruuus...!
"Jangan campuri dulu urusan mereka! Kita lihat
sampai di mana
kekuatan si Jerami Ayu," bisik Ki
Belantara. Suto
Sinting setuju dan anggukkan kepala.
Tapi tiba-tiba Ki
Belantara tampak terkejut setelah
melihat Jerami Ayu
cabut pedang yang sejak tadi
diselipkan di
pinggang kirinya.
"Ooh...?!
Ternyata di sana?!" gumam Ki Belantara
dengan nada tegang,
memancing rasa ingin tahu
Pendekar Mabuk.
"Apa maksudmu,
Ki?"
"Lihat, Jemari
Ayu mencabut pedang hitam!"
"Ya, aku
melihatnya. Kurasa ia merasa terdesak dan
ingin segera
tumbangkan si pemuda. Kau kenal siapa
pemuda itu,
Ki?"
"Tidak! Tapi
aku mengenal pedang di tangan Jerami
Ayu. Pedang hitam
itu adalah Pedang Penakluk Cinta!"
"O,
ya...?!" Suto terperangah kaget. "Kau tak salah
pandang,
Ki?"
"Kudengar
penjelasan dari seorang sahabatku yang
pernah melihat Ratu
Ladang Peluh menggunakan
Pedang Penakluk
Cinta, katanya pedang itu berwarna
hitam karena
terbuat dari batu kerak bumi yang kerasnya
melebihi besi.
Gagang pedang berbentuk dua hati
berempetan.
Bukankah gagang pedang di tangan Jerami
Ayu juga berbentuk
dua hati berdampingan?!"
"Hmmm... ya,
memang benar. Tapi apakah pedang itu
memang Pedang
Penakluk Cinta? Bukankah menurut
cucumu pedang itu dicuri
oleh Sunggar Manik?!"
Ki Belantara tak sempat menjawab, karena mereka
segera menyimak
suara Jerami Ayu yang berseru kepada
lawannya.
"Sambada! Kali
ini kau tak bisa lari dari pelukanku!
Lihat, apa yang ada
di tanganku ini?!"
"Hmm...! Kau
kira pedang murahan itu bisa
meluluhkan hatiku
untuk tetap mencintaimu?! Tidak,
Jerami!"
Rupanya pemuda yang
bernama Sambada itu tidak
tahu tentang pedang
di tangan Jerami Ayu. Pemuda
tinggi, tegap,
gagah, dan bercambang tipis dengan
rambut ikal bergelombang sepanjang bahu itu sengaja
maju dekati Jerami
Ayu. Dua pisau yang ada di
pinggang
kanan-kirinya itu segera dicabut. Masing-
masing pisau
panjangnya sekitar dua jengkal lebih
sedikit, ia
memainkan pisaunya itu dengan jurus-jurus
yang punya gerakan
cepat.
Jerami Ayu
tersenyum dan mulai melangkah ke
samping seraya
mengangkat pedang hitam itu dengan
kedua tangannya.
Sarung pedang yang terbuat dari
ukiran kayu cendana
berlapis emas pada tepiannya itu
masih terselip di
pinggang. Kemewahan sarung pedang
itulah yang membuat
Suto Sinting mulai yakin bahwa
pedang itu adalah
Pedang Penakluk Cinta. Aroma harum
cendana menyebar
dan tercium oleh hidung Suto ketika
angin berhembus ke
arahnya.
"Saatnya kita
bergerak, Pendekar Mabuk!" bisik Ki
Belantara.
"Aku saja yang
menanganinya, Ki!" bisik Suto, lalu
bersiap untuk
lakukan serangan yang dapat
menghancurkan
pedang itu.
Tetapi sebelum Suto
bergerak, tiba-tiba terdengar
suara orang
melantunkan tembang dari arah barat. Suara
itu membuat Ki
Belantara dan Suto Sinting menengok ke
arah barat, tempat
datangnya mereka tadi.
"Uuh,
lalala... ceriping sendok aduh kerasnya. Uuh,
lalala..."
"Itu dia si
Mahesa Gondes, Ki!" sentak Suto dengan
suara bisik.
"Kucing kurap,
kadal kudis...! Dia masih tetap mabuk
racun itu
rupanya?!"
"Mungkin dia
habis minum tuak beracun itu, Ki!"
"Kurasa
begitu, karena ia mencurinya satu guci
penuh."
"Edan!"
gumam Suto Sinting sambil geleng-geleng
kepala.
Perhatian mereka
terhadap Jerami Ayu dan Sambada
terlupakan sesaat.
Dan pada saat itu mereka segera
melihat kemunculan
seorang gadis berpakaian biru tutul-
tutul putih,
mengenakan ikat kepala kulit macan tutul.
Gadis itu
tak lain adala Sunggar Manik yang muncul
dari belakang
Mahesa Gondes, langsung menerjang
pemuda itu dari
belakang. Wuuut...! Bruuuk...!
"Aauh...!"
Mahesa Gondes tersungkur dan mengerang
kesakitan.
"Celaka! Murid
bodong itu bisa mati di tangan gadis
itu!" geram Ki
Belantara.
"Tanganilah
dulu, Ki! Aku akan menangani pedang
itu!" ujar
Suto Sinting membagi tugas. Ki Belantara
segera melesat
turun dari bukit dan menerjang Sunggar
Manik yang ingin
menghajar Mahesa Gondes lagi itu.
Wuuut...!
Bruuus...!
Pendekar Mabuk
cepat pindahkan perhatian ke arah
pertarungan Jerami
Ayu dengan Sambada. Pada saat itu,
tepat Jerami Ayu
melompat dan melayang di atas kepala
Sambada. Ia
bersalto satu kali, namun sambil
menebaskan Pedang
Penakluk Cinta itu.
Wuuut, craas...!
"Auh...!"
Sambada terpekik dan jatuh tersungkur.
Pundak kirinya
terkena sabetan Pedang Penakluk Cinta.
Goresan itu
tak seberapa dalam. Bahkan darah yang
keluar dari goresan
pedang itu boleh dibilang sangat
sedikit. Tetapi hal
itu membuat Jerami Ayu tersenyum
lega setelah
berdiri tegak tak jauh dari Sambada.
"Apa yang
terjadi jika sudah begitu?" pikir Suto
Sinting. Rasa ingin
tahu menahan niatnya untuk
menyerang Jerami
Ayu yang kini tertawa cekikikan
sambil berdiri pegangi pedangnya di bawah pohon,
empat langkah dari Sambada. Pemuda itu telah berdiri
dan menggenggam
kedua pisaunya.
Suto melihat
ketegangan di wajah Sambada mulai
berkurang.
Pandangan matanya yang tertuju pada Jerami
Ayu pun tak setajam
tadi. Bahkan semakin lama
memandang Jerami
Ayu yang tersenyum menggoda itu,
wajah Sembada
semakin luluh, tanpa ketegangan sedikit
pun. Senyum
tipisnya mulai tampak. Kedua pisaunya
dilepaskan. Jatuh
di tanah.
"Apakah kau
masih berkeras untuk menolak cintaku,
Sambada?!"
ujar Jerami Ayu sambil matanya melirik
nakal.
"Jerami...,"
Sambada dekati perempuan itu. Si
perempuan sengaja
mundur hingga punggungnya
merapat dengan
batang pohon.
"Apakah kau
tetap ingin meninggalkan aku dan
melangsungkan
pernikahanmu dengan Seriti Kumala?!"
"Kau ternyata
lebih cantik dari Seriti Kumala! Ooh,
Jerami Ayu... aku
ingin kembali padamu dan kita akan
hidup bersama,
Sayang...."
Racun dari Pedang
Penakluk Cinta telah membaur
dengan darah
Sambada. Racun itu mempengaruhi otak
Sambada dan
membakar gairah. Hati Sambada yang
semula tetap tak
ingin layani cinta Jerami Ayu kini
berhasil
ditaklukkan oleh pedang tersebut.
"Edan! Begitu
cepatnya Sambada berubah pikiran dan
menjadi bergairah
kepada Jerami Ayu?!" ujar Suto
dalam hatinya saat
melihat Sambada segera merapatkan
badan ke tubuh
Jerami Ayu.
Perempuan itu
segera masukkan pedang tersebut ke
sarungnya. Kedua
tangan segera memeluk Sambada
yang menciumi
wajahnya. Jerami Ayu tertawa cekikikan
sebagai ungkapan
rasa bahagianya.
"Peluklah aku,
Sambada! Oouh... jangan gigit
leherku. Geli, ah!
Hik, hik, hik!"
Sambada bergairah
sekali. Bibir perempuan itu segera
dilumatnya dengan
ganas. Jerami Ayu membalas dengan
jamahan tangan yang
mencapai tempat tertentu.
Sambada membiarkan
tangan Jerami Ayu menemukan
apa yang dicari
dalam dirinya.
"Oouh,
Sambada.... Sambada aku sayang padamu...
jangan tinggalkan
aku, Sambada! Oouh...!" Jerami Ayu
kian mengganas
ketika Sambada melepaskan penutup
dadanya, lalu
menyapu dada montok itu dengan ciuman
buasnya.
Tangan pemuda itu
menarik kain tipis penutup bagian
bawah Jerami Ayu.
Kain itu tersingkap ke atas dan paha
mulus si Jerami Ayu
membuat mata Suto Sinting tak
bisa berkedip.
Jantung Suto berdetak-detak manakala
melihat tangan
Sambada semakin nakal merayap di
sekitar paha Jerami
Ayu yang masih tetap berdiri
bersandar pohon
itu.
"Sam... ooh,
Sam... sudah lama kurindukan sentuhan
mesramu ini! Aku
tak mampu menahannya lagi, Sam.
Lakukanlah...
lakukanlah.... Oouh...!" Jerami Ayu
mengerang penuh
kenikmatan. Jubahnya terlepas karena
gerakan liarnya. Sementara itu, Sambada sendiri telah
kehilangan ikat
pinggangnya dan membuat pakaiannya
berantakan. Pemuda
itu bagai orang gila cumbuan, ia
mengganas dan
melampiaskannya dengan kasar kepada
Jerami Ayu. Agaknya
Jerami Ayu menyukai kekasaran
itu, sehingga ia
memberi perlawanan yang sama
hangatnya
sampai-sampai ikat pinggangnya sendiri
terlepas dan pedang
itu dibiarkan jatuh di bawah
kakinya.
"Oouuuh...!"
Jerami Ayu tak malu-malu lagi untuk
mengerang panjang
ketika ditikam oleh kehangatan
Sambada yang luar
biasa nikmatnya itu.
Pendekar Mabuk
berkeringat dingin. Seakan seluruh
tulangnya hilang
karena terbuai oleh pemandangan yang
membuat dadanya
bergemuruh bagai gunung ingin
meletus itu.
"Celaka! Aku
tak boleh hanyut dengan pemandangan
itu!" pikir
Suto Sinting sambil menarik napas dan
mengalihkan
pandangan sebentar.
Pandangan Suto
Sinting dialihkan ke arah Ki
Belantara. Rupanya
Pak Tua itu masih sibuk menghajar
Sunggar Manik yang
tetap ingin mengejar Mahesa
Gondes yang lari
mengelilingi bukit cadas itu. Meski
mulut dan hidungnya
telah mengucurkan darah, Sunggar
Manik tak mau
melarikan diri ke arah lain.
"Kalau benar
dia muridmu, kau harus bertanggung
jawab, Setan Peot!
Muridmu telah mencuri pedangku!"
seru Sunggar Manik.
Pendekar Mabuk
alihkan pandangan lagi ke arah
Jerami Ayu dan
Sambada. Oh, ternyata mereka semakin
panas. Sambada
mendayung perahu cintanya
mengarungi samudera
kenikmatan, membawa Jerami
Ayu ke puncak
keindahan. Perempuan itu memekik-
mekik tanpa
pedulikan suasana di sekitarnya lagi.
Dengan mata
terpejam dan tangan mencengkeram kedua
lengan Sambada
dengan rematan penuh gairah.
"Jerami...?!!"
seru suara orang yang baru tiba di situ.
Orang tersebut
adalah Mahesa Gondes sendiri yang
segera hentikan
pelariannya dan membelalakkan mata
melihat apa yang
diperbuat Jerami Ayu dengan
Sambada.
Seruan itu membuat
Jerami Ayu hentikan kemesraan
dan membuka
matanya. Sambada didorong mundur.
Tapi pemuda
itu tetap ingin lanjutkan pelayarannya
sehingga Jerami Ayu
sibuk menghindarinya.
"Tunggu
sebentar, Sambada!"
"Jerami, aku
belum selesai membahagiakan dirimu.
Ayolah,
Jerami...," bujuk Sambada.
Jerami Ayu meraih
pakaiannya dan mengenakan
sejadinya.
"Pergilah,
Mahesa! Jangan pandangi aku demikian!"
"Jerami,
kau... kau... hah, hah, hah, hah!" Mahesa
Gondes tertawa.
"Kau membohongiku, Jerami! Nah,
nah, nah...
sekarang ketahuan kau membohongiku! Kau
suruh aku melarikan
Pedang Penakluk Cinta saat
Sunggar Manik
pingsan di tanganmu dan kau
menghadapi adiknya.
Katamu, jika aku mau melarikan
pedang itu, kau mau menjadi kekasihku. Tapi ternyata
kau bercinta dengan
pemuda itu. Hah, hah, hah, hah!"
Jerami Ayu segera
menyambar pedangnya setelah
menyentakkan tubuh
Sambada yang membuat Sambada
terjungkal ke
semak-semak. Saat itu Suto Sinting
membatin dalam
hatinya.
"O, rupanya
Mahesa Gondes diperalat oleh Jerami
Ayu! Dia melarikan
pedang itu saat Sunggar Manik
pingsan dan Lentik
Sunyi bertarung melawan Jerami
Ayu. Rupanya Mahesa
Gondes berhasil serahkan pedang
itu kepada Jerami Ayu dengan janji ingin
dijadikan
kekasihnya.
Alangkah kasihan si Mahesa Gondes, ia tak
tahu Jerami Ayu
ingin dapatkan pedang itu untuk
tundukkan cinta
Sambada!"
"Mahesa! Aku
tidak ada urusan apa-apa lagi
denganmu! Sebaiknya
pergi dan jangan ganggu aku
lagi!" seru
Jerami Ayu.
"Hah, hah, hah, hah...! Kau menipuku, Jerami! Kau
menipuku, hah, hah,
hah, hah!" Mahesa Gondes tertawa
walau merasa
ditipu. Tawa itu tetap ada karena pengaruh
'ceriping raja'
yang ditelannya.
"Aku memang
memperalat dirimu, Mahesa Gondes,
karena aku tahu kau
pemuda yang bodoh! Bahkan kau
percaya saja ketika
aku pergi dengan alasan memeriksa
pedang ini kepada
guruku. Kau tak tahu bahwa kala itu
aku sengaja
melarikan diri dari congor bebekmu itu!"
"Hah, hah,
hah, hah! Congorku ini bukan congor
bebek, tapi congor
kambing, Jerami! Hah, hah, hah...!"
Wuuus...! Tiba-tiba
sekelebat bayangan melesat
menerjang Jerami
Ayu yang telah mencabut Pedang
Penakluk Cinta.
Tapi untung ia segera berguling
bersama pedang
tersebut, sehingga terjangan dari
belakangnya itu
tidak kenai kepalanya sedikit pun.
"Oh, rupanya
kau, Sunggar Manik?!" geram Jerami
Ayu sambil memandang
Sunggar Manik yang telah
berdarah akibat
dihajar Ki Belantara itu. Sunggar Manik
mengejar Mahesa
Gondes, namun segera setelah berhasil
lolos dari serangan
Ki Belantara. Sementara itu, Ki
Belantara pun
segera mengejarnya. Namun Sunggar
Manik cenderung
untuk segera menyerang Jerami Ayu
karena melihat
pedang itu ada di tangan Jerami Ayu.
"Kembalikan
pedang itu!" sentak Sunggar Manik.
"Apa? Kembalikan?! Hmmm! Ini yang
kukembalikan
padamu!"
Weess...! Jerami
Ayu lemparkan senjata rahasianya
berupa sekeping
logam berbentuk kelelawar. Sunggar
Manik sentakkan
kaki dan melambung ke atas dengan
cepat dalam gerakan
bersalto satu kali. Senjata itu
meleset dari tubuh
Sunggar Manik, namun di belakang
Sunggar Manik ada
Sambada yang ingin membantu
Jerami Ayu dengan
menyerang Sunggar Manik dari
belakang. Maka
senjata rahasia berbentuk kelelawar itu
akhirnya menancap
telak di dada Sambada. Jrreeb...!
"Aahk....!"
Sambada pun roboh dan berkelojotan
beberapa saat
sebelum hembuskan napas terakhir.
"Sambadaaa...!"
Jerami Ayu
menjerit, menyesal sekali telah
membunuh orang yang
dicintainya itu. Ia segera hampiri
Sambada, namun
racun ganas dari senjatanya membuat
Sambada tak
kehilangan nyawa dalam waktu lima
hitungan sejak
terkena senjata tersebut.
Jerami Ayu menjadi
sangat murka kepada Sunggar
Manik, ia berpaling
ke belakang, tepat saat Sunggar
Manik mencabut
pedangnya untuk ditebaskan ke
punggung Jerami
Ayu. Wuuut, wwees...! Jerami Ayu
berguling ke
samping dalam keadaan pakaian setengah
bugil itu. Ia segera menghujamkan Pedang Penakluk
Cinta ke tanah.
Jrrub...!
"Aaahkh...!"
Sunggar Manik mengejang, pegangi
dadanya dengan mata
mendelik. Rupanya jantungnya
telah tertusuk
Pedang Penakluk Cinta melalui bekas
telapak kakinya
yang dihujam pedang itu.
Brrruk...! Sunggar
Manik pun roboh tak berkutik
selamanya. Jerami
Ayu menggeram dengan mata liar
memandang Mahesa
Gondes yang mendekatinya.
"Jerami,
bagaimana dengan nasib cintaku, Cah
Ayu...! Heh, heh,
heh, heh!"
"Keparat kau,
Mahesa! Semua Ini gara-garamu!
Kubunuh kau
sekarang juga!" teriak Jerami Ayu.
Wees...! Mahesa
Gondes disambar seseorang,
ternyata Ki
Belantara. Tapi pada saat itu, Pedang
Penakluk Cinta
segera diangkat oleh Jerami Ayu dan
siap dihujamkan ke
bekas telapak kaki Mahesa Gondes.
"Heeaat...!"
Wuuus...! Baaar...!
Jerami Ayu disambar
sesuatu yang membuatnya
terpental. Ternyata
Pendekar Mabuk mulai bergerak,
berkelebat
menyambar Jerami Ayu dengan bumbung
tuak diadukan
dengan Pedang Penakluk Cinta. Benturan
itulah yang
mengakibatkan timbulkan ledakan
bergelombang padat
dengan daya sentak cukup tinggi.
Suto Sinting
sendiri jatuh terjungkal dalam jarak empat
langkah dari tempat
benturan tersebut.
"Jahanaam...!!"
teriak Jerami Ayu dengan murkanya.
Matanya mendelik
bagai orang kesurupan, ia segera
bersalto beberapa
kali sambil dekati Suto Sinting. Saat
itu Suto sedang
menggeliat bangkit dengan menyeringai
menahan rasa sakit
di pinggangnya. Pinggang itu
menjadi memar
akibat membentur sebongkah batu.
"Kubuat gila
birahi kau, Jahanam!" teriak Jerami
Ayu, kemudian pedang itu ditebaskan dari atas ke
bawah. Wuuut...!
Suto Sinting segera
melintangkan bumbung tuaknya
dengan kedua tangan
ke atas kepala dalam keadaan
berlutut satu kaki.
Duaaarr...! Pedang itu meledak saat
menghantam bumbung
tuak. Sementara bumbung dari
bambu itu tidak
mengalami kerusakan sedikit pun. Lecet
atau hangus pun
tidak.
Ledakan itu
membuat Jerami Ayu terpental lagi,
namun kali ini
hanya terhuyung-huyung ke belakang.
Suto Sinting segera
lepaskan pukulan 'Guntur Perkasa'
yang merupakan
sinar hijau lurus melesat dari tangan
kirinya. Slaaap...!
Sinar itu tepat kenai pedang hitam
yang masih
terangkat ke atas dalam genggaman Jerami
Ayu.
Jegaaaarrr...!
Ki Belantara tarik
mundur langkahnya begitu melihat
sinar hijau
menghantam Pedang Penakluk Cinta dan
ledakan dahsyat
terjadi hingga mengguncangkan tanah
sekitar tempat itu.
Pepohonan pun bergetar, runtuhkan
ranting dan daun.
Jerami Ayu
menyeringai menahan sakit sambil
pandangi Pedang
Penakluk Cinta yang kini hancur
menjadi serbuk
halus berhamburan di tanah. Ki
Belantara pun tertegun di tempat melihat kedahsyatan
jurus pukulan 'Guntur Perkasa'-nya Pendekar Mabuk.
Mahesa Gondes pun
ikut terbengong melihat pedang itu
hancur dalam
sekejap.
Suto Sinting
buru-buru menenggak tuaknya yang
tinggal sedikit
itu untuk hilangkan rasa sakit di
pinggang. Sementara
si perempuan berpakaian setengah
bugil itu
segera menyambar jubah jingganya dengan
tangan kiri, sebab
tangan kanannya menjadi hangus
akibat ikut terkena
jurus 'Guntur Perkasa' itu.
"Bangkai
setan!" serunya pada Suto. "Kuberi waktu
padamu untuk
menebus kelancanganmu ini! Kalau kau
tak bisa mengganti
pedang itu, kau harus siap kehilangan
nyawamu!"
Blaaassss...!
Jerami Ayu segera
pergi meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mabuk
hanya sunggingkan senyum mendengar
ancaman tersebut.
SELESAI
Segera terbit!!!
KEMATIAN SANG DURJANA
Pembuat E-book:
DJVU & E-book
(pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon