1
JAGO-JAGO dunia berkumpul di kotaraja, yang
merupakan Ibukota
dari negeri Bardanesya. Mereka
datang ke negeri
Bardanesya bukan sekadar piknik,
dikeluarkan oleh
pihak keluarga Istana. Sang penguasa
negeri Bardanesya
menyebar pengumuman di seluruh
pelosok dunia,
melalui selebaran-selebaran maupun
pariwara dari
mulut ke mulut. Entah mulutnya siapa saja,
yang penting
pengumuman itu dalam waktu singkat
cepat menyebar
dan sampai di telinga para jago dunia.
Isi sayembara itu
berbunyi:
Dicari seorang
lelaki perkasa
Untuk calon
menantu Raja Gundalana.
Syarat-syarat:
Berbadan sehat,
tanpa penyakit sedikit pun, meski hanya
sebutir panu.
Berotak waras,
dan belum pernah dinyatakan gila oleh
para perempuan.
Punya rasa
tanggung jawab, baik terhadap istri maupun
mertua.
Tidak pernah
menggunakan obat terlarang, sekalipun
obat nyamuk.
... dan
sebagainya... dan sebagainya....
Barang siapa yang
memenuhi syarat dan terpilih
melalui ujian
penyaringan, akan dinikahkan dengan
putri Raja
Gundalana yang bernama:
Rara Ayu Kumala
Udarini Sumbi, disingkat RAKUS.
Sayembara ini
tidak dipungut biaya, kecuali sumbangan
sukarela berupa
gula, teh, kopi, emping, kacang, dan
sebagainya untuk
para petugas yang menangani
sayembara ini.
Sekali lagi: Sukarela saja. Kalau tidak
suka dan tidak
rela, tidak apa-apa. Sekian dan terima
kasih.
Bardanesya, 13
Kliwon 4711 SM (Sudah Malam)
Atas nama Ketua
Penyelenggara: Pak Nitlyo.
Pendekar Mabuk
murid si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang, juga
membaca selebaran tersebut yang
ditempelkan pada
sebatang pohon di hutan perbatasan
negeri tersebut.
Senyum si tampan Suto Sinting alias
Pendekar Mabuk
adalah senyum orang yang tidak
tertarik dengan
pengumuman sayembara tersebut, ia
tetap ingin
melanjutkan perjalanannya ke Teluk Sendu.
Ia harus temui
Resi Parangkara yang berdiam di
Teluk Sendu,
karena ada kabar dari seorang sahabat
yang mengatakan
bahwa Puting Selaksa sedang sakit.
Puting Selaksa
adalah murid dari Resi Parangkara yang
jatuh hati kepada
si Pendekar Mabuk, (Baca serial
Pendekar Mabuk
dalam episode: "Wanita Keramat").
Tapi menurut
dugaan Suto, perempuan itu tak
mungkin sakit
berat. Bahkan mungkin hanya menderita
rindu saja. Sebab
Suto ingat bahwa Puting Selaksa
adalah
satu-satunya perempuan yang pernah mendapat
keberuntungan
berupa 'gaib kekuatan kasih' yang
dimiliki para
dewa, yang bernama 'Rona Dewaji'.
Kekuatan itu
membuatnya perempuan muda itu akan
selalu
dianugerahi kesehatan, keberuntungan, dan
kebahagiaan.
Sekalipun Suto
punya dugaan seperti itu, tetapi ia
tetap ingin
luangkan waktunya untuk datang ke Teluk
Sendu. Karena
bukan hanya Puting Selaksa yang akan
dikunjunginya,
melainkan Resi Parangkara dan Manggar
Jingga, murid
sang resi juga, merupakan orang-orang
yang disayanginya
dan perlu dikunjungi sebagai langkah
silaturahmi yang
akan mempererat tali persaudaraan.
"Aku tidak
tertarik dengan pengumuman seperti itu,"
ujar Suto dalam
hatinya sambil teruskan langkah
tinggalkan pohon
berpengumuman tadi. "Bagaimanapun
juga aku tetap
akan menikahi calon istriku yang
sekarang masih
menunggu di Pulau Serindu. Sayang
sekali musuh
utamaku; Siluman Tujuh Nyawa, belum
berhasil
kupenggal kepalanya. Kalau saja si manusia
terkutuk itu
sudah berhasil kupenggal kepalanya dan
kupersembahkan
kepada Dyah Sariningrum sebagai
maskawin
untuknya, ooh... alangkah indahnya. Pasti saat
ini aku berada di
sampingnya sambil mengelus-elus
kulitnya yang
putih, halus, lembut, seperti kulit bayi
itu...."
Masa
berandai-andai si murid sinting Gila
Tuak itu
terputus
seketika, karena mendadak ia dikejutkan oleh
ledakan kecil
yang datang dari arah barat, lebih
mendekati arah
batas wilayah negeri Bardanesya. Suara
ledakan kecil itu
diduga sebagai suara pertarungan dua
tenaga dalam.
Pendekar Mabuk adalah pemuda yang tak
boleh mendengar
suara pertarungan, karena di mana saja
dan sedang apa
saja jika ia mendengar suara pertarungan
selalu
dihampirinya. Suto adalah pemuda yang hobi
melihat
pertarungan, terutama jurus-jurus yang sedang
bertarung itu.
Sebab dengan sering melihat jurus-jurus
tersebut, maka
dalam benaknya akan penuh
perbendaharaan
jurus, sehingga sewaktu-waktu jika
berhadapan dengan
salah satu jurus tersebut, ia dapat
segera
mengantisipasinya.
Pemuda bertubuh
kekar, gagah, dengan baju buntung
warna coklat
dan celana putih itu segera berkelebat ke
arah barat.
Bumbung tuaknya masih menyilang di
punggung. Tali bumbung
menyilang di dadanya yang
bidang.
Zlaap, wuuut...!
Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah
berada di atas
pohon berdaun rindang. Lompatannya
nyaris tak
terlihat karena selain ia menggunakan jurus
'Gerak Siluman'
yang punya kecepatan menyamai
kecepatan cahaya
itu, juga menggunakan ilmu peringan
tubuh yang sangat
dikuasainya. Tanpa ilmu peringan
tubuh tingkat
tinggi, tak mungkin pemuda berambut
panjang lurus
sepundak tanpa ikat kepala itu bisa berdiri
di atas dua
ranting sebesar kelingkingnya.
"Alih...
gila!" gumam Suto pertama kail melihat ke
arah pertarungan.
"Ternyata si
pendek; Sawung Kuntet sedang
berhadapan dengan
seorang lawan yang sangat tak
seimbang?!
Hmmm... nekat sekali si kuntet itu. Sudah
tahu lawannya
bertubuh tinggi, besar, seperti raksasa
berwajah kuburan,
masih saja dilawannya?! Apa tak
tersayangkan
olehnya kalau sampai kaki si orang besar
itu menginjak
kepalanya, sudah tentu kepalanya akan
remuk seperti
telur asin diinjak kakinya sendiri?!"
Suto Sinting
geleng-gelengkan kepala. "Ck, ck, ck,
ck! Benar-benar
konyol si kuntet itu. Boleh saja dia
bertarung pakai
golok, pakai tenaga dalam, pakai jurus
andalan, tapi
mestinya juga harus pakai otak! Mengapa
ia tidak gunakan
jurus-jurus jarak jauh saja? Jangkauan
tangannya sangat
tak seimbang dengan jangkauan tangan
si manusia
raksasa itu! Goblok! Apa dipikirnya dia
punya nyawa
cadangan?!"
Sawung Kuntet
adalah seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun
yang berkumis lebat seperti seekor
kelelawar hinggap
di bawah hidungnya. Lelaki bertubuh
setinggi perut
Suto itu mengenakan baju lengan panjang
warna hijau dan
celana warna hitam. Rambutnya botak
bagian tengah,
dari dahi sampai ke belakang,
membentuk seperti
parit. Suto Sinting mengenal lelaki
itu dalam
peristiwa hilangnya kitab keramat milik Eyang
Bintara alias si
Geledek Biru, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode : "Kematian Sang Durjana").
Sedangkan lawan
si Sawung Kuntet itu adalah orang
yang belum
dikenal Suto. Orang itu bertubuh tinggi,
besar, dan
berkumis lebat melintang dengan wajah
seangker kuburan
keramat. Badannya besar penuh bulu,
dadanya kekar
seperti batu gunung. Pakaiannya serba
merah dengan baju
tak berlengan dan tak terkancing
bagian depannya.
Lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun juga itu
mempunyai rambut panjang sepunggung,
diurai lepas dan
beterbangan ke mana-mana. Tampaknya
ia tak bersenjata, tapi mengenakan sabuk besar terbuat
dari logam
kemerah-merahan seperti tembaga.
Sekalipun
badannya besar dan tinggi, tapi orang
bergelang akar
bahar sebelah kiri itu mempunyai
gerakan cukup
gesit dan lincah, ia dapat menghindari
tebasan golok
Sawung Kuntet yang sebenarnya
mempunyai gerakan
tebas cukup cepat itu.
Sawung Kuntet
tampak sulit kenai lawannya. Tak
sedikit pun
goloknya menggores tubuh lawan, bahkan
menyentuh kain
pakaiannya pun tidak.
Tetapi sekali
pancal, kaki orang besar itu kenai
lengan Sawung
Kuntet, sehingga Sawung Kuntet
terlempar dan
terbanting dengan sangat menyedihkan.
Bruuuk...!
"Ngeeg...!"
Jarak jatuh
Sawung Kuntet dengan tempatnya di
tendang sekitar
tujuh langkah. Orang berwajah angker
itu tidak
buru-buru menyerang lagi. Rupanya
ia ingin
memberi
kesempatan kepada Sawung Kuntet untuk
bangkit dan
persiapkan diri kembali untuk lanjutkan
pertarungan
secara jantan.
Sawung Kuntet
meringis kesakitan sambil menggeliat
bangkit. Pada
saat itu, lawannya serukan kata dengan
suara besarnya.
"Sawung
Kuntet! Kalau kau masih bersikeras untuk
datang ke
kotaraja, aku tak akan segan-segan
membunuhmu
sekarang juga!"
Sawung Kuntet
biarpun kecil tapi tengil dan konyol,
ia membalas
seruan itu dengan kebiasaannya
menggunakan kata
'anu' sebagai pengganti beberapa kata
yang kadang bisa
dipahami orang kadang tidak.
"Aku tak
akan gentar dengan anu-mu, Singawulu!
Sekali aku tetap
ingin ke sana, aku tetap anu! Anu-ku
sangat besar,
sehingga aku tak merasa takut jika harus
bertarung dengan
siapa pun. Siapa tahu aku bisa menjadi
menantu Raja
Gundalana, dan putrinya itu menyukai
anu-ku!"
Pendekar Mabuk
mencoba berpikir tak jorok. "Apa
yang dimaksud:
'Anu-ku sangat besar' itu? Oh, mungkin,
semangatnya yang
sangat besar. Lalu, apa yang
dimaksud dengan
kata: 'putrinya menyukai anu-ku' itu?
Hmmm... mungkin
maksudnya menyukai
penampilannya
atau wajahnya. Ah, memang sulit bicara
dengan si Juragan
'anu' itu. Harus hati-hati mengartikan
kalimatnya."
Rupanya antara si
Sawung Kuntet dengan orang yang
bernama
Singawulu itu sudah saling kenal. Entah
hubungan apa yang
terjalin di antara mereka berdua.
Yang jelas,
agaknya Singawulu tak menghendaki
Sawung Kuntet
mengikuti sayembaranya Raja
Gundalana itu.
"Sawung
Kuntet! Rupanya kau memang tak pantas
diberi hidup
lebih lama lagi! Jika begitu, bersiaplah
untuk mati
sekarang juga, Sawung Kuntet!"
Singawulu berjungkir balik, plik-plak dengan kedua
tangannya.
Gerakannya sangat cepat dan lincah. Wut,
wut, wut,
wut...! Tahu-tahu ia sudah berada di
depan
Sawung Kuntet.
Tapi sebelum ia lakukan tendangan atau
pukulan, Sawung
Kuntet sudah lebih dulu menebaskan
goloknya ke lutut
Singawulu. Weess...!
Singawulu lompat ke atas dengan gerakan bersalto
cepat.
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Sawung
Kuntet, kakinya
menendang ke belakang dengan
kekuatan penuh.
Dees...!
"Aahk...!"
Sawung Kuntet melayang di udara,
terlempar ke arah
depannya sejauh sepuluh langkah.
Wajahnya
membentur sebatang pohon, dan pohon itu
adalah pohon yang
dipakai bersembunyi Suto Sinting.
Brrrruuus...!
"Aaaaaah...!"
Sawung Kuntet
memekik keras. Wajahnya berlumur
darah karena
hidungnya segera bocor dan bibirnya
jontor.
Singawulu yang sudah tak punya ampun lagi itu
segera melepaskan
sabuknya. Sabuk yang mirip tembaga
berukir itu
segera disabetkan ke udara. Wuut...!
Claap,
claap...! Dua berkas sinar biru melesat
dari
sabetan sabuk
itu. Salah satu sinar nyasar ke pohon lain.
Jegaaar...! Pohon
itu hancur seketika dan menjadi
serpihan arang.
Sedangkan satu sinar biru lagi mengarah
ke tubuh Sawung
Kuntet.
Melihat pohon itu
hancur dan menjadi arang, Suto
Sinting yakin
betul kalau tubuh Sawung Kuntet pun akan
senasib dengan
pohon tersebut.
Suto dengan cepat
segera turun dari atas pohon.
Wuuut...! Bumbung
tuaknya sudah berpindah dari
punggung ke
tangan, ia menghadang sinar itu dan
menahan kecepatan
sinar dengan bumbung tuaknya yang
nyaris meleset.
Deebs...!
Blaaarr..!
Meledak. Biasanya
sinar yang ditangkis dengan
bambu bumbung
tuaknya itu akan memantul balik dalam
keadaan lebih
besar dan lebih cepat. Tapi kali ini sinar
itu justru
meledak saat membentur bambu tempat tuak
itu. Berarti
sinar biru Singawulu berkekuatan sangat
besar dan
mempunyai kesaktian yang tidak tanggung-
tanggung.
Ledakan itu
membuat Suto Sinting terpental mundur
tiga langkah dan
jatuh berlutut satu kaki. Ia buru-buru
bangkit, sebab
jari tangan Sawung Kuntet tertindih
lututnya, membuat
orang yang masih terkapar itu
semakin merintih
kesakitan.
Sedangkan di
seberang sana, Singawulu tidak
bergeming karena
gelombang ledakan tak mencapai
tempatnya. Namun
begitu melihat kemunculan pemuda
berwajah tampan,
Singawulu segera kerutkan dahinya
dan menggeram
penuh kejengkelan, ia merasa asing
dengan Pendekar
Mabuk dan tak menduga kalau
Sawung Kuntet akan ada yang melindungi. Maka,
Singawulu pun segera maju beberapa langkah dengan
melompat satu
kali bagaikan seekor kuda nil terbang ke
arah Suto
Sinting. Wuuus...! Bluuuk...! Kedua
kakinya
menapak ke bumi
dengan suara yang mirip nangka jatuh.
"Bangsat
dari mana kau, hah?!" bentak
Singawulu
kepada Pendekar
Mabuk. Tapi yang dibentak tetap
kalem dan tegar,
tak merasa gentar sedikit pun.
"Maaf, aku
hanya menyelamatkan nyawa sahabatku.
Dia sudah jelas
kalah melawanmu. Kurasa tak perlu kau
hancurkan seperti
pohon itu, Kawan!" ujar Suto Sinting
dengan nada suara
yang bersahabat.
"Kalau perlu
kau sendiri akan kuhancurkan dengan
'Sabuk Lidah
Dewa'-ku ini!"
Singawulu mengangkat sabuknya, ingin disabetkan,
tapi suara Suto
Sinting segera terdengar menahan
gerakan sabuk
itu.
"Tunggu,
tunggu...! Aku tidak bermaksud
melawanmu,
Sobat!"
"Hmmm...!"
Singawulu menggeram dengan mata
besarnya
memancarkan pandangan yang menyeramkan.
Suto Sinting
hanya menggumam dalam hati.
"Gila!
Matanya seperti telur bebek lho! Ganas juga
dia. Sabuknya
saja bernama 'Sabuk Lidah Dewa'. Ya,
ampuuun... dewa
mana yang lidahnya dipotong dan
dibuat sabuk
orang ini?! Kasihan amat nasib si dewa
itu."
Suara geram
Singawulu tak terdengar lagi setelah
Suto berkata,
"Kuakui,
sabukmu memang sakti dan dahsyat.
Mungkin aku tak
mampu melawan kesaktian sabukmu.
Tapi alangkah
sia-sianya sabuk sedahsyat itu hanya
dipakai untuk
membunuh orang kerdil seperti si Sawung
Kuntet ini?! Tanpa menggunakan sabuk itu kau sudah
bisa mengajarnya
dan membuatnya tak berkutik,
mengapa harus
menggunakan sabuk pusaka segala?
Simpan saja
kekuatan sabuk itu untuk lawanmu yang
lebih tangguh,
Singawulu!"
"Dia harus
kubunuh supaya tak menjadi perintangku
di kotaraja
nanti!"
"Tak perlu.
Biar aku yang membunuhnya!"
"Hmmmm...! Ada urusan apa kau sampai mau
membunuhnya?
Bukankah kau bilang dia adalah
sahabatmu?"
"Artinya,
kalau dia masih nekat mau ke kotaraja,
maka aku yang
akan membunuhnya! Kusarankan,
sebaiknya
berangkatlah ke kotaraja sekarang juga.
Hematlah
tenagamu, karena siapa tahu kau diterima
sebagai menantu raja dan harus lakukan bulan
madu
dengan putri raja
itu?!"
Singawulu membatin, "Benar juga kata-katanya.
Untuk apa aku
melayani si kutu monyet itu? Buang-
buang waktu dan
tenaga saja! Hmm... sebaiknya
kutinggalkan saja
si kutu monyet itu, biar diurus oleh
sahabatnya yang
kurasa ilmunya lebih tinggi dari ilmu si
kutu kuntet
itu!"
Pendekar Mabuk
merasa lega melihat Singawulu
mengenakan
sabuknya di pinggang. Sebelum orang
angker itu pergi,
terlebih dulu dia mengancam Pendekar
Mabuk dengan
menuding tegas-tegas.
"Baik. Akan
kuturuti saranmu. Tapi ingat, kalau
sampai dia masih
muncul di kotaraja, maka kau sendiri
yang akan
kubunuh!"
"Terserah
kemampuanmu! Tapi sebaiknya sekarang
juga kuucapkan
selamat jalan padamu semoga usahamu
berhasil!"
kata Suto Sinting dengan suara lantang,
menunjukkan tak
ada rasa takut sedikit pun terhadap
ancaman itu.
Singawulu pergi dengan pamer gerakan cepatnya.
Satu kali lompat
jauhnya sekitar delapan langkah.
Sedangkan gerakan
lompatnya itu cukup cepat, sehingga
dalam waktu
singkat ia sudah hilang dari pandangan
Suto Sinting.
Sawung Kuntet ternyata
menjadi buta akibat benturan
wajah dengan
pohon. Dalam arti, pandangan matanya
menjadi rusak dan
tak bisa dipakai untuk melihat dengan
jelas. Di samping
itu, sekujur tubuhnya bagaikan remuk
akibat tendangan
bertenaga dalam Singawulu tadi. Ia tak
mampu berdiri,
namun masih mampu mengerang dan
merintih seperti
perempuan mau melahirkan.
Pendekar Mabuk
sempatkan diri menenggak tuaknya
beberapa teguk,
kemudian meminumkan tuak itu ke
mulut Sawung
Kuntet. Hati si Juragan 'anu' itu merasa
lega, karena ia
sempat melihat secara samar-samar
bayangan wajah
Pendekar Mabuk. Dan ia tahu betul
bahwa Pendekar
Mabuk mempunyai tuak sakti yang
mampu obati
segala macam luka atau penyakit.
"Makanya... lain kali jangan nakal! Jangan berani
sama orang besar.
Akibatnya ya begini ini...," ujar Suto
seperti memberi
peringatan kepada anak kecil.
Sawung Kuntet
segera sembuh setelah meminum tuak
saktinya Pendekar
Mabuk. Rasa sakitnya hilang dalam
waktu singkat.
Luka-lukanya pun lenyap beberapa saat
kemudian.
Pernapasannya yang semula tersendat-sendat
seperti tagihan
hutang, sekarang menjadi longgar.
Badannya pun
terasa segar, lebih segar dari saat sebelum
lakukan
pertarungan.
"Terima
kasih, anu-ku telah kau sembuhkan," katanya
kepada Suto.
"Aku
menyembuhkan lukamu, bukan anu-mu!"
bantah Suto.
"Yang
kumaksud memang lukaku telah kau
sembuhkan!"
Sawung Kuntet bersungut-sungut. Suto
Sinting menggumam
sambil tersenyum geli.
"Untung
sinar itu kau tangkis dengan anu-mu, kalau
tidak...."
"Bumbung
tuakku yang menangkisnya. Bukan anu-
ku yang
menangkis!"
"Iya!
Maksudku ya bumbung tuak itu!" bentak
Sawung Kuntet
yang sebenarnya berasal dari perguruan
silat aliran
putih, namun karena jiwanya yang kasar
maka sepintas ia
seperti orang beraliran hitam.
"Kalau tidak
kau tangkis dengan anu-mu, sinar biru
itu akan
membuatku berkeping-keping."
"Sudah
kupertimbangkan sebelumnya! Tapi... siapa
sebenarnya
Singawulu itu?"
"Dia bekas
wakil ketua anu-ku... maksudku wakil
ketua
perguruanku, yang telah pergi dan ber-anu lagi
dengan Nyai
Santet Pitu."
"Ber-anu itu
apa?"
"Berguru!"
sentak Sawung Kuntet.
"Ooo....
Tapi baru sekarang kudengar nama Nyai
Santet Pitu.
Siapa dia, Sawung Kuntet?!"
"Nyai Santet
anu... adalah perempuan iblis dari
Tebing Teluh. Dia
tokoh anu hitam...."
"Aliran
hitam, maksudmu?"
"Ya, dan
dikenal pula sebagai dukun anu...."
"Dukun
cabul, maksudmu?"
"Dukun
teluh!" tukas Sawung Kuntet. "Tapi
ia juga
tokoh persilatan
yang pernah punya anu...."
"Punya anu
bagaimana?" potong Suto lagi.
"Punya
perguruan! Hanya saja, perguruannya
dihancurkan oleh
perguruan lain lima tahun yang lalu.
Nyai Santet Pitu
ingin turunkan anu-nya kepada
seseorang...."
"Ilmunya...?"
"Ya. Dan
rupanya Singawulu tertarik, sehingga
ia
keluar dari
anu-ku, lalu...."
"Keluar dari
anu-mu?!"
"Keluar dari
perguruanku!" geram Sawung Kuntet
dengan jengkel.
"Dia keluar dari perguruanku dan
menjadi murid
Nyai Santet anu. Dialah satu-satunya
orang yang akan
menerima warisan anu dari Nyai anu
Pitu itu."
"Oo... jadi
Singawulu adalah pewaris ilmu-ilmunya
Nyai Santet
Pitu?! Lalu, mengapa sampai bentrok
denganmu?!"
"Kami
ber-anu dalam perjalanan. Maksudku, bertemu
dalam perjalanan.
Rupanya dia juga ingin ke kotaraja
untuk mengikuti
sayembara raja anu. Dia tahu kalau aku
pun bermaksud
mengikuti anu tersebut. Lalu, dia
menganggapku
sebagai lawan yang harus di-anu-kan.
Maksudku,
disisihkan. Dia tak setuju kalau aku anu ke
kotaraja.
Barangkali karena dalam anunya yakin...."
"Dalam
anunya itu apa?"
"Dalam
batinnya...!" Sawung Kuntet selalu jengkel
jika kata-katanya
dipotong atau ditanyakan."... dia yakin
kalau wajahnya
lebih buruk dari anu-ku, sehingga..."
"Husy! Yang
benar saja, masa' wajahnya lebih buruk
dari
anu-mu?" Suto geli sendiri.
"Maksudku,
dia yakin kalau wajahnya lebih buruk
dari wajahku,
sehingga ia takut kalah saing denganku.
Maka ia bertekad
menyingkirkan anu-ku!"
"Menyingkirkan
nyawamu, begitu?!"
"Apa lagi
kalau bukan nyawaku yang akan
disingkirkan?!"
gerutu Sawung Kuntet sambil bersungut-
sungut. Suto
Sinting tertawa pelan, merasa geli melihat
wajah kecil penuh
kumis itu bersungut-sungut seperti
ikan tongkol
dalam penggorengan.
"Apakah kau
juga anu ke sana, Suto?"
"Ah, untuk
apa? Aku tidak tertarik ikuti sayembara
itu."
"Tapi
jago-jago dunia akan datang ke sana dan meng-
anu sayembara
itu. Mereka pasti akan bertarung, anu
lawan anu!"
Suto tertawa
geli. "Apa maksudmu bertarung anu
lawan anu?"
"Satu lawan
satu!"
"Oooo..." Suto Sinting habiskan tawanya.
"Aku sendiri
sudah siap untuk hadapi mereka dengan
anu-ku!"
"Dengan
apamu?"
"Dengan
ilmuku!" sentak Sawung Kuntet. "Sekarang
aku mau ke sana.
Aku tak takut bertemu beradu anu
dengan Singawulu
atau yang lainnya."
"Kau tak
takut beradu apa?"
"Beradu
ilmu!"
"Kusarankan, sebaiknya jangan ke sana, Sawung
Kuntet! Kau akan
celaka. Salah-salah kau akan
kehilangan nyawa
dan tak bisa beli lagi!" ujar Suto
menasihati dengan
gaya konyolnya.
Tapi rupanya
Sawung Kuntet tak mau peduli dengan
nasihat Suto
Sinting itu.
"Bagaimana
kalau aku nekat ke sana?!"
"Aku akan
mencegahmu dengan cara apa pun!" jawab
Suto yang membuat
Sawung Kuntet diam berpikir.
Hati si juragan
'anu' itu berkata, "Kalau dia yang
mencegahku, pasti
aku benar-benar tak akan bisa ke
sana. Hmmm...
sebaiknya kupakai anu-ku untuk kelabui
dia."
Niat untuk
menggunakan anu alias akal, membuat
Sawung Kuntet
akhirnya berlagak pasrah dan menurut.
"Baiklah,
kuikuti anu-mu tadi. Saranmu, maksudku!
Tapi aku ingin
melihat pertarungan di sana. Apakah kau
tetap ingin meng-anu-ku jika aku hanya ingin
melihat
pertarungan?!"
"Kalau kau
hanya ingin melihat pertarungan,
sebaiknya pergi
saja denganku. Aku juga ingin melihat
pertarungan
tersebut."
Tak ada pilihan
lain bagi Sawung Kuntet, akhirnya ia
setuju untuk
pergi bersama Suto ke kotaraja.
*
* *
2
LERENG bukit tanpa nama mempunyai hutan
berpohon jarang.
Bahkan berkesan tandus. Banyak batu
bertengger di
lereng bukit yang tak seberapa tinggi itu.
"Dengan
melewati bukit ini, kita akan lebih cepat anu
di perbatasan
negeri Bardanesya," ujar Sawung Kuntet
sambil melangkah
di samping kanan Pendekar Mabuk.
"Apakah
Singawulu juga lewat jalan sini?"
"Kurasa
anu," sambil Sawung Kuntet menggeleng.
"Dia tidak
tahu jalan tembus lewat sini. Pasti dia lewat
pinggir tepian
sungai, karena memang jalan yang anu
lewat pinggiran
sungai."
"Rupanya kau
sudah sering ke negeri Bardanesya."
"Dulu anu-ku
di sana."
"Hahh...?!
Anu-mu di sana?"
"Kekasihku!"
sergah Sawung Kuntet. "Dulu hampir
setiap tujuh hari
sekali aku ber-anu dengan kekasihku."
"Maksudmu
bercumbu?"
"Bertemu!"
"O,
bertemu...," sambil Suto tersenyum kecil.
"Sayang
sekali hubungan kami putus di tengah anu,
sehingga...."
"Putus di
tengah anu itu bagaimana?"
"Putus di
tengah jalan," jelas Sawung Kuntet. "...
sehingga aku
sudah tak pernah datang lagi ke negeri
Bardanesya."
"Sekarang
kau sudah punya anak berapa, Sawung
Kuntet?"
Lelaki pendek itu
gelengkan kepala. "Aku belum
sempat punya
anu."
"Jadi kau
belum punya anak?"
"Belum
sempat punya istri!" tegas Sawung Kuntet.
"O, masih
perjaka?"
"Ya,
perjaka. Tapi anu-ku sudah tidak perjaka lagi."
Suto Sinting
tertawa pelan. "Maksudku, adikku sudah
tidak perjaga
lagi. Sudah menikah lebih dulu."
"Oo...
kukira yang sudah tidak perjaka adalah anu-
mu."
"Anu-mu,
bagaimana?"
"Hmmm,
yaaah... itu, anu... kakakmu," jawab Suto
mengalihkan
dugaan ngeres.
"Mengapa kau
tidak segera menikah saja?" sambung
Suto.
"Aku masih
malas jatuh cinta," jawabnya dengan
kalem, seakan
pria yang dingin terhadap wanita. Tapi
sebenarnya hati
Sawung Kuntet sering menangis sendiri,
karena enam belas
kali jatuh cinta, tujuh belas kali
ditolak.
"Menurutku,"
kata Suto. Namun baru saja berkata
satu patah kata,
tangan Sawung Kuntet mencekal
lengannya dan
hentikan langkah mendadak. Wajah
berkumis lebat
itu mulai tampak tegang. Ketegangan itu
mengundang rasa
ingin tahu Pendekar Mabuk.
"Ada
apa?"
"Sssst...!"
Sawung Kuntet memberi isyarat dengan
telunjuknya agar
Suto tidak bersuara dulu. Ia
menelengkan
kepala, melacak sebuah suara yang samar-
samar
didengarnya.
Lalu ia berbisik
pelan, "Tidakkah kau mendengar
suara anu
menangis?"
"Anu
menangis? Anu menangis itu seperti apa?"
tanya Suto
Sinting dalam bisikan pula.
"Maksudku,
suara perempuan menangis!"
"O,
perempuan menangis?!" Suto Sinting ikut
mempertajam
pendengarannya. Dalam kebisuan mereka,
Suto akhirnya
mendengar suara rintihan perempuan
secara
samar-samar sekali.
"Ya, ya...
aku mendengarnya. Tapi dari sebelah mana
suara itu
datangnya?"
"Sepertinya
dari... dari tempat yang lebih anu lagi.
Maksudku, lebih
atas lagi."
Mereka berdua
segera mendaki lebih ke atas.
Akhirnya mereka
mendengar suara rintihan perempuan
tersebut lebih
jelas lagi. Mereka pun segera dekati suara
tersebut.
"Ooh...?!"
Ternyata mereka
temukan seorang gadis yang
terkapar dalam
keadaan sekarat. Gadis itu berusia sekitar
dua puluh dua
tahun, raut wajahnya mungil dan cantik,
ia mengenakan pakaian serba kuning. Tapi keadaan
pakaiannya
morat-marit seperti habis diperkosa.
Wajah si gadis
pucat pasi seperti mayat. Di bawah
lehernya,
mendekati belahan dada, terdapat dua lubang
masing-masing
sebesar kemiri. Lubang itu melelehkan
darah berwarna
merah kehitaman. Luka yang
membentuk dua
lubang itulah yang membuat si gadis tak
berdaya dan
sebentar lagi akan kehilangan nyawanya.
"Kasihan
sekali gadis itu. Anu-nya berlubang!" ujar
Sawung Kuntet
setelah terperanjat dan memeriksa lebih
dekat lagi.
Suto Sinting
buru-buru membuka tutup bumbung
tuaknya, ia
mengangkat kepala si gadis dengan tangan
kiri, kemudian
tangan kanannya yang menyangga
bumbung tuak itu
menuangkan tuak ke dalam mulut si
gadis dengan
pelan-pelan. Beberapa teguk tuak
terminum oleh si
gadis, sampai gadis itu tersedak dan
terbatuk-batuk.
Suto Sinting meletakkan kembali kepala
gadis itu karena merasa lega, sudah ada tuak yang
tertelan oleh si
gadis.
"Kau
kenal dengan gadis ini?" tanya Suto
Sinting
setelah ia
sendiri meneguk tuak sebagai pembasah
kerongkongannya.
Sawung Kuntet hanya menggeleng,
matanya masih
tetap tertuju pada dua lubang di sekitar
dada si gadis.
Dua lubang itu
mengepulkan asap setelah si gadis
menelan tuak
Suto. Makin lama asap itu semakin tebal,
tapi hanya
menggumpal di dua lubang yang saling susun
seperti dua
kancing baju itu.
Makin lama asap
yang menggumpal di dua lubang itu
semakin menipis.
Beberapa saat kemudian asap tersebut
hilang, dan kedua
lubang itu pun ikut hilang.
Keadaannya
menjadi bersih tanpa darah, karena darah
yang sudah
telanjur keluar dan membekas di sekitar
lubang tadi ikut
menguap setelah si gadis minum tuak
saktinya Pendekar
Mabuk.
Gadis itu mulai
bernapas dengan normal. Ia justru
terkejut ketika
menyadari di sampingnya ada lelaki
pendek berkumis
mirip kelelawar iseng itu. Ia buru-buru
bangkit dalam
satu sentakan menegangkan.
"Hahh...?!"
Begitu melihat
pemuda tampan di sisi lain, ia berlari
dekati pemuda
tampan itu. Ia tak tahu bahwa pemuda
tampan itu adalah
Pendekar Mabuk yang namanya
sering didengar
dari mulut teman-temannya seusianya.
"Tenang,
tenang... dia sudah jinak kok! Jangan takut,
dia
sahabatku!"
"Ak... aku
takut dicakar," ujar si gadis dengan nada
manja.
"Kau pikir
aku anak macan?!" geram Sawung Kuntet,
lalu
bersungut-sungut. Suto Sinting hanya tertawa geli,
namun sengaja
buang muka agar tak menyinggung si
juragan 'anu'
itu.
Si gadis sempat terbengong
tanpa sadar ketika Suto
Sinting
sunggingkan senyum kepadanya.
"Siapa kau
sebenarnya, Nona? Mengapa sampai
terkapar di
sini?"
Saat itulah si
gadis terbengong kagum melihat
senyuman yang
menurutnya sangat menawan hati itu.
Namun kebengongan
itu segera buyar setelah Sawung
Kuntet pindah
tempat ke samping kanan Suto Sinting. Si
gadis sempat
mundur selangkah melihat Sawung Kuntet
mendekat.
Wajahnya berubah dari kagum menjadi
tegang.
Sawung Kuntet
berkata, "Sepertinya aku pernah
melihat anu-mu!
Tapi di mana, ya?"
"Husy! Yang benar saja. Masa' kau pernah melihat
anu-nya?"
"Maksudku,
pernah melihat wajahnya!" tegas
Sawung Kuntet.
Pendekar Mabuk
segera pandangi gadis itu.
"Apakah kau
pernah bertemu dengan sahabatku yang
bernama Sawung
Kuntet ini?!"
Gadis itu
gelengkan kepala. "Tapi... tapi guruku
pernah
menyebutkan nama Sawung Kuntet kepada
kakakku."
"Siapa
gurumu?" tanya Suto.
"Eyang
Cakraduya," jawabnya dengan jelas.
"Ooo....
Eyang Cakraduya?!" Sawung Kuntet
manggut-manggut.
"Aku anu baik dengan beliau. Kalau
begitu, kau adalah murid beliau yang bernama Candu
Asmara
itu?!"
"Bukan.
Candu Asmara kakakku, sedangkan aku
bernama Mirah
Cendani."
"Nama yang
cantik sekali," gumam Suto memuji
dengan suara
lirih.
Si gadis tersipu dan alihkan pandangan.
Kebetulan
pedangnya yang
terpental saat pertarungan tadi belum
diambil, maka
pedang itu pun diambil dan dimasukkan
ke sarungnya yang
ada di pinggang.
Gadis berambut
kepang satu sepanjang punggung itu,
kembali memandang
Sawung Kuntet setelah orang
Lembah Layon itu
ajukan tanya kepadanya.
"Apakah kau
yang ikut ke Lembah Layon ketika anu-
ku sakit?"
"Husy...!
Yang lengkap kalau bicara! Anu-mu apa
maksudnya?"
tegur Suto.
"Guruku!
Sebab ketika guruku sakit, Eyang
Cakraduya datang
menjenguk bersama anu-nya...
maksudku,
muridnya. Dan kalau tak salah gadis
inilah
yang kulihat
bersama Eyang Cakraduya."
"Ya, memang
aku yang ikut Eyang kala ke Lembah
Layon,"
jawab Mirah Cendani.
Sawung Kuntet
menarik tangan Suto hingga jauhi
Mirah
Cendani. Ia menyuruh Suto Sinting merendah,
karena ia ingin
bisikkan sesuatu. Suto pun menuruti
kemauan si
juragan 'anu' itu.
"Setahuku,
Eyang Cakraduya adalah tokoh ber-anu
tinggi. Maksudku,
berilmu tinggi. Kudengar, kedua
muridnya juga
mewarisi ilmu tingginya. Tetapi,
mengapa Mirah
Cendani bisa terluka dan nyaris mati?
Pasti dia di-anu
oleh seseorang yang anu-nya lebih besar
lagi."
"Maksudmu
di-anu bagaimana?"
"Dilawan
oleh orang yang kekuatannya lebih besar
atau ilmunya
lebih tinggi. Dalam keadaan luka bolong
pada anu-nya dan
masih bisa bertahan hidup, itu sudah
menunjukkan bahwa
dia ber-anu tinggi."
"Hmmm... ya.
Lantas apa maksudmu?"
"Tanyakanlah,
siapa lawannya. Aku ingin bertanya,
tapi takut ia
sepelekan anu-ku. Maksudnya... sepelekan
pertanyaanku."
Suto Sinting
manggut-manggut dan tegak kembali.
Mereka segera
temui Mirah Cendani yang cemberut
manja karena
merasa tersinggung melihat mereka
berkasak-kusuk
berduaan.
"Mirah Cendani,"
ujar Suto dengan lembut. "Kami
merasa kagum
melihat lukamu yang menurut kami
sangat berbahaya
itu tapi kau masih bisa bertahan hidup
sampai kami tiba.
Tolong jelaskan kepada kami,
mengapa kau
sampai terluka separah tadi?" tanya Suto.
Sawung Kuntet
menimpali, "Tadi kau disembuhkan
oleh Suto Sinting
menggunakan anu-nya. Eh,
maksudku...
tuaknya."
"O, terima
kasih sekali kalau begitu," ujar si gadis
seraya menatap
Suto Sinting. "Kalau saja kalian tak
datang dan
menemukan diriku, mungkin aku sudah tak
bernyawa lagi
saat ini."
"Tadi
kulihat dadamu berlubang," kata Suto.
"Ya. Aku
terkena senjata 'Garpu Malaikat'-nya si
Tengkorak
Tampan."
"Hahh...?! Tengkorak Tampan?!" Sawung Kuntet
terperanjat.
"Kau kenal
siapa si Tengkorak Tampan itu, Sawung
Kuntet?"
tanya Suto.
"Dia orang
Pulau Wingit, muridnya si Jahanam Tua,
tokoh sakti yang
sukar ditumbangkan!"
"Memang
benar. Tengkorak Tampan adalah murid si
Jahanam Tua,
tokoh aliran sesat! Tapi si Tengkorak
Tampan pernah
lari ketika melawan kakakku! Ilmunya
masih di bawah
ilmu kakakku. Kalau saja dia tadi tidak
bertindak curang,
aku tak mungkin terkena senjatanya!"
"Apa yang
membuat kau bentrok dengan Tengkorak
Tampan?!"
tanya Suto.
"Sebenarnya
persoalan itu adalah persoalan guruku
dengan gurunya.
Tapi kami sebagai murid menjadi ikut-
ikutan bermusuhan
dengan sesama murid. Ketika aku
dan Candu Asmara
pulang dari rumah paman kami, tiba-
tiba kami
berpapasan dengan si Tengkorak Tampan.
Kakakku terkena
totokannya, dan tak berdaya. Lalu, aku
menghadapi si
Tengkorak Tampan sendirian," tutur si
gadis dengan mata
mengecil memancarkan dendam.
Lanjutnya lagi,
"Setelah ia terdesak oleh seranganku
beberapa kali,
akhirnya ia mengangkat kedua tangannya
dan mengaku
kalah. Aku tak jadi lanjutkan seranganku.
Namun tiba-tiba
ia mencabut senjatanya dan
menyerangku saat
aku ingin melepaskan totokan pada
diri kakakku. Aku
tak menduga kalau dia ternyata
menyimpan senjata
'Garpu Malaikat' di balik bajunya.
Padahal 'Garpu
Malaikat' adalah senjata berbahaya milik
gurunya tak
sebanding jika dipakai melawan senjata
lainnya. Maka,
ketika aku berbalik ingin menangkis
'Garpu
Malaikat'-nya dengan pedangku, senjata itu lebih
dulu
melukaiku."
Gadis itu berhenti
sejenak, menarik napas dan
menelannya
sebagai penahan kobaran api dendamnya.
Setelah itu ia pun
berkata lagi dengan suara merdunya
yang enak
didengar.
"Aku
terpental dan menabrak kakakku. Ujung gagang
pedangku
menghantam leher kakakku, tapi justru
membuatnya
terlepas dari totokan tersebut."
"Sekarang di
mana anu-mu?" tanya Sawung Kuntet.
"Maksudmu...
kakakku?"
"Ya.
Kakakmu! Di mana dia?"
"Mengejar si
Tengkorak Tampan yang lari ke arah
kotaraja. Karena kubilang lukaku tak seberapa parah,
bisa kuatasi,
maka ia pun pergi. Tapi ternyata aku tak
bisa atasi
lukaku."
"Kau yakin
bahwa dia lari ke kotaraja?"
"Dia sendiri
yang mengatakan akan
mempersembahkan
kepalaku dan kepala kakakku
sebagai bukti
keperkasaannya dalam melamar putri Raja
Gundalana
itu!"
"Hmmmmm...,"
Sawung Kuntet manggut-manggut.
"Kalau
begitu Tengkorak Tampan nanti akan ber-anu
dengan
Singawulu!"
"Apakah kau
akan menyusul kakakmu, Mirah
Cendani?"
"Tidak. Aku
yakin kakakku mampu mengatasi si
Tengkorak Tampan.
Aku akan mengadukan hal ini
kepada
guru."
"Jadi kau
mau anu ke Bukit Sutera?!" tanya Sawung
Kuntet,
"Ya. Guru
harus segera mengetahui kekurangajaran
murid si Jahanam
Tua itu! Karena ia hampir saja
memperkosaku
sebelum aku buru-buru mencabut
pedang dan nyaris
memenggal kepalanya."
Sawung Kuntet
menggumam, dan gumam itu
didengar oleh
Suto Sinting.
"Setahuku,
senjata 'Garpu Malaikat' adalah senjata
yang sangat
berbahaya, dapat dipakai membunuh dua-
tiga lawan dalam
sekali pakai!"
Suto Sinting
memandang Sawung Kuntet dan
berkata,
"Temanilah dia pulang dan menghadap gurunya.
Aku akan menyusul
kakaknya Mirah Cendani. Jangan
sampai ia menjadi
korban senjata 'Garpu Malaikat' itu."
"Baik, aku
setuju!" Sawung Kuntet pun berbisik,
"Siapa tahu
gadis ini tertarik dengan anu-ku dan...."
"Tertarik
dengan apamu?" bisik Suto.
"Wajahku!"
geram Sawung Kuntet dengan rasa takut
didengar Mirah
Cendani.
Suto tersenyum,
Sawung Kuntet lanjutkan kata-
katanya dengan
pelan, hanya Suto Sinting yang
mendengarnya.
"Terus
terang saja... anu-ku dulu seperti dia.
Maksudku... yang
seperti dia kekasihku! Cantik, mungil,
tapi anu-nya
besar."
"Apanya yang
besar?"
"Keberaniannya."
Melihat mereka
berkasak-kusuk lagi, Mirah Cendani
segera berkata
dengan nada sedikit ketus.
"Kurasa aku
tak perlu pengawal! Aku masih sanggup
tiba di Bukit
Sutera dengan selamat tanpa harus dikawal.
Nanti justru aku
repot melindungi pengawalku sendiri!"
"Kebetulan
aku ada perlu dengan anu-mu. Eh,
maksudku...
dengan gurumu," kata Sawung Kuntet yang
sejak tadi
diam-diam menikmati sebentuk kecantikan
mungil yang mirip
wajah mantan kekasihnya itu.
"Kalau kau
ingin bertemu dengan guruku, pergilah
sendiri ke Bukit
Sutera, tak perlu bersamaku!"
"Aku... aku
lupa jalan menuju ke anu-mu. Hmmm...!
maksudku, lupa
jalan menuju ke rumahmu, Mirah
Cendani!"
"Kalau
begitu kau bisa mengikuti dari belakang. Tak
perlu berjalan
seiring denganku!" ujar si gadis.
Sebelum Sawung
Kuntet bicara lagi, Mirah Cendani
sudah melesat
pergi tinggalkan tempat.
"Lho...
sudah anu duluan, ehh... sudah kabur lebih
dulu?!"
"Cepat susul
dia!"
Sawung Kuntet tak
banyak bicara lagi kepada Suto.
Ia takut kehilangan jejak Mirah Cendani. Maka ia
pun
segera mengikuti
gadis itu dengan kecepatan gerak
masih lebih
tinggi dari gerakan si gadis.
Suto Sinting
menuju ke barat, menyusul kakak Mirah
Cendani dengan
pergunakan jurus 'Gerak Siluman' yang
mampu
mempersingkat waktu. Hati si murid Gila Tuak
sempat menggerutu
sendiri dalam perjalanannya.
"Sial!
Mengapa aku sampai lupa menanyakan ciri-ciri
kakaknya Mirah
Cendani itu?! Kalau begini, mana bisa
kutemukan gadis
itu kecuali dalam keadaan sedang
bertarung melawan
Tengkorak Tampan. Yang namanya
Tengkorak Tampan
saja aku tak tahu ciri-cirinya. Uuh...!
Bodoh amat aku
ini?!"
Pendekar Mabuk
hanya bisa menahan kedongkolan
dalam hatinya.
Namun langkahnya tetap meluncur ke
arah negeri
Bardanesya yang baru kali itu akan
disinggahinya.
*
* *
3
PERBATASAN negeri
itu dikelilingi oleh parit besar
yang sengaja
digali sebagai perintang masuk ke
wilayah
tersebut. Namun
ada jalanan lebar yang rata menuju ke
gapura besar yang
menjadi pintu gerbang negeri
tersebut. Untuk
mencapai pintu gerbang perbatasan yang
letaknya sekitar
lima puluh tombak dari parit pembatas,
dibangunlah
sebuah jembatan beton selebar delapan
tombak.
Di jembatan itu
ada enam penjaga bersenjata tombak
dengan ujung
tombak macam-macam. Ada yang
ujungnya berupa
pedang besar, ada yang berupa trisula,
ada yang ujungnya
berupa kapak dua mata, ada pula
yang ujungnya
seperti centong nasi, namun tepiannya
sangat tajam,
setajam mata pedang. Enam penjaga itu
berseragam
hijau-hijau dengan potongan pakaian sama;
baju berlengan
panjang dan celana longgar. Ikat
kepalanya
berbeda-beda. Ada yang pakai ikat kepala,
ada yang tidak.
Wajah mereka pun berbeda; ada yang
tampan, ada yang
sedang-sedang saja, ada pula yang
jelek dengan gigi
maju ke depan dan mekar bak kipas
pengantin.
Orang yang
bergigi mekar bak kipas pengantin itulah
yang hentikan
langkah Suto Sinting dan menegur dengan
galak.
"Mau ke mana
kau, Bocah bau kencur?!"
"Mau... mau
jualan kencur, Kang," jawab Suto
Sinting sambil
nyengir geli.
"Bicara yang
benar!" bentak si gigi mekar.
"Kau sendiri
juga bertanya tak benar," ujar Suto
Sinting dengan
kalem. "Sudah jelas aku mau melewati
jembatan ini,
tentu saja aku mau menuju ke kotaraja. Itu
tak perlu
ditanyakan. Yang perlu ditanyakan adalah
siapa namaku dan
apa keperluanku? Begitu, Kang!"
''Eh,
berani-beraninya kau mengguruiku, hah?!" orang
itu bukan saja
giginya yang keluar, tapi sekarang
matanya pun
seperti keluar karena melotot lebar-lebar.
Temannya yang
berikat kepala merah itu menyahut,
"Hajar saja
kalau dia macam-macam!"
Mereka berenam
segera berdiri membentuk pagar
betis memenuhi
jembatan. Mereka berbaris dengan
senjata mengarah
ke depan, siap menghujam Pendekar
Mabuk. Rupanya
mereka sengaja membuat pagar betis
agar Suto tak
bisa menerobos dan melewati jembatan itu.
Pendekar Mabuk
hanya tersenyum, ia dapat menduga
keenam orang itu
berilmu rendah, karena salah satu dari
mereka ada yang
menempatkan kedua kaki berkuda-
kuda lemah. Untuk
meyakinkan dugaannya, Pendekar
Mabuk segera
menggunakan jurus 'Sentak Bidadari',
pemberian dari
bibi gurunya: si Bidadari Jalang. Jurus
itu hanya berlaku
bagi orang yang berilmu rendah. Jika
orang itu berilmu
tinggi, maka jurus 'Sentak Bidadari'
tak akan berguna
sedikit pun.
Si gigi mekar
menggertak lebih dulu, "Pulang dan
jangan kembali ke
sini lagi!"
Suto membentak
keras, "Minggir...!!"
Wajah-wajah yang
dipaksakan angker itu mulai
tampak surut.
Jantung mereka berdetak-detak. Bahkan
tadi ketika suara
Suto terlontar, ada yang melonjak
karena kagetnya.
Ada pula yang membatin, "Aduh,
jantungku pasti
copot ini!"
Jurus 'Sentak
Bidadari' telah menggetarkan jiwa
mereka, membuat
mereka menjadi takut dan berwajah
pucat. Satu demi
satu tundukkan kepala secara tak
langsung. Mereka
merasa takut, bahkan ngeri melihat
pemuda tampan
yang usianya masih di bawah mereka
semua itu.
"Beri aku
jalan!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas,
tapi suaranya tak
menyentak sekeras tadi.
Mereka segera
menyisih dengan langkah sopan dan
penuh hormat.
Mereka melangkah ke pinggiran jembatan
dengan
membungkuk-bungkuk seperti ingin memberi
jalan untuk
rajanya.
"Silakan
lewat, Nakmas!" ujar si gigi tonggos dengan
suara pelan dan
senyum canggung.
"Hmm, terima
kasih!" ucap Suto Sinting, lalu
melangkah tegak,
gagah, dan mantap. Tapi dalam
hatinya ia
tertawa sendiri melihat wajah-wajah penuh
ketakutan itu.
"Penjagaannya
memang cukup kuat. Di sana ada
gerbang
perbatasan dan tampaknya dijaga oleh beberapa
orang. Kurasa
nanti aku akan menghadapi kesulitan juga
dari
mereka," ujar Suto Sinting dalam
hatinya, ia
sempatkan diri
menenggak tuaknya setelah melewati
jembatan
tersebut. Keenam penjaga tadi tak satu pun ada
yang berani
memandang Suto secara terang-terangan.
Mereka hanya
saling melirik dengan jantung masih
berdebar-debar.
"Kotaraja
masih jauh, tapi penjagaannya sudah
seketat ini?!" ujar Suto membatin. "Ada
berapa lapis
penjagaan yang
harus kulewati nanti? Apakah si
Tengkorak Tampan
dan Candu Asmara juga melewati
penjagaan yang
berlapis-lapis ini?!"
Langkah Pendekar
Mabuk diperlambat, karena
matanya sibuk
menghitung jumlah penjaga yang ada di
sekitar gerbang
perbatasan. Gerbang itu dibangun
dengan tembok
kokoh berwarna putih, mempunyai dua
pilar di kanan
kirinya. Tinggi gerbang itu sekitar lima
tombak, dan
bagian atasnya ada dua orang penjaga
berpakaian serba
hitam bersenjata panah. Sedangkan
enam orang
berpakaian hitam lainnya ada di bawah
dengan senjata
tak seragam.
Wajah-wajah kedelapan
orang penjaga gerbang
perbatasan itu lebih seram ketimbang enam orang di
jembatan tadi.
Mereka rata-rata berkumis lebat dan
berusia sekitar
empat puluh tahun. Badan mereka pun
tampak lebih
kekar ketimbang para penjaga yang ada di
jembatan.
Salah seorang
dari mereka yang menenteng golok
lebar tanpa
sarung sengaja berdiri menghadang langkah
Suto di
pertengahan jalan. Golok lebarnya diberdirikan,
bersandar dada
kanan. Tangan kirinya melintir kumis
bagaikan sedang
melintir sumbu kompor.
"Hei, siapa
kau dan apa perlumu datang kemari?!"
tegurnya dengan
tak ramah, tapi Suto Sinting
menanggapi dengan
senyum ramah dan kalem.
"Namaku
adalah Suto Sinting, Paman. Aku ingin ke
kotaraja."
"Hmmm...!"
orang itu manggut-manggut angkuh
sambil tetap
melintir kumis lebatnya. Kemudian dia
berseru memanggil
temannya yang agaknya
berkedudukan
lebih rendah darinya.
"Gintung,
Polo...! Hajar dia!"
Dua orang
bersenjata sabit kembar dan trisula kembar
segera hampiri
Pendekar Mabuk yang tercengang.
Gintung
bersenjata sabit kembar, dan Polo bersenjata
trisula kembar.
"Tunggu
dulu!" kata Suto mencoba menahan langkah
kedua orang itu.
"Mengapa aku akan dihajar? Apakah
aku melakukan
kesalahan?!"
Tetapi pertanyaan
itu tak ada yang menjawabnya.
Justru dari arah
kanan kiri Suto Sinting segera datang
serangan dari
Gintung dan Polo.
Sabit kembar itu
disabetkan secara beruntun ke tubuh
Suto Sinting.
Namun dengan gerakan menggeloyor
seperti orang
mabuk mau jatuh tebasan sabit kembar itu
selalu meleset dari sasaran. Tak satu pun sabetan
sabit
yang menggores
pakaian Pendekar Mabuk.
Sebuah tendangan
cepat dikirimkan oleh Suto.
Wuuut...! Tendangan itu sukar dilihat, sehingga tahu-
tahu Gintung terpental sejauh delapan langkah.
Wuuuss..!
Brrruk...!
"Aaoow..!"
pekiknya kesakitan.
Polo segera
menyerang dengan trisula kembarnya.
Pendekar Mabuk
sempoyongan, sepertinya mau jatuh ke
kiri, tak tahunya
justru berada di kanan, ia menggeloyor
terbungkuk-bungkuk
dengan pegangi bumbung tuaknya
sebagai penahan
tubuh agar tak jatuh ke tanah. Gerakan
yang
membingungkan itu membuat Polo sukar
mengarahkan
tusukan trisulanya ke tubuh Suto Sinting.
Wut, wut, wut,
wut...!
Tiba-tiba Suto
berguling di tanah dan kakinya
menyentak ke
atas. Wuuut...! Sentakan itu tepat kenai
dagu Polo dengan
telak, sampai wajah orang itu
terdongak dan
tubuhnya terlonjak ke atas. Kruuk...!
"Ouffh...!"
Polo mengerang kesakitan, giginya rontok
dua, gusinya
berdarah, ia sempoyongan dan tak bisa
tegak lagi.
Zlaap, zlaap...!
Suto Sinting bergerak dengan
kecepatan
menyamai cahaya. Mereka kebingungan, sulit
mengikuti gerakan
Suto dengan pandangan mata. Tahu-
tahu Pendekar
Mabuk sudah melintasi gerbang
perbatasan,
berdiri di bagian dalam, dipunggungi
mereka, ia tersenyum
di sana sambil membuka tutup
bumbung tuaknya
dan menenggak tuak dengan tenang.
"Hei, itu
dia anaknya!" seru salah seorang yang ada di
atas pintu
gerbang. Mereka berpaling ke belakang dan
terperanjat
melihat anak muda itu sudah injakkan
kakinya di tanah
wilayah negeri itu.
"Kampret
busuk! Keluar kau!" bentak si kumis
melintang dengan
melepaskan pelintiran kumisnya.
Empat orang
penjaga menyergap Suto membentuk
kepungan dari
empat arah: depan, belakang, kanan, kiri,
dan dua orang
yang ada di atas gapura besar itu
merentangkan tali
busurnya, siap lepaskan anak panah
ke arah Pendekar
Mabuk.
Tapi si murid
sinting Gila Tuak itu masih tetap
tenang. Senyumnya
berkesan cengar-cengir meremehkan
lawan. Pandangan
matanya tertuju ke mata si kumis
melintang yang
rupanya sebagai ketua dari kelompok
delapan orang
itu.
"Setiap
orang yang ingin menghadap Paduka Raja
untuk ikut
mendaftarkan diri sebagai calon menantu raja
harus diuji dulu
kemampuannya! Kami tidak ingin Gusti
Rara Ayu Kumala Udarini
Sumbi mempunyai seorang
suami yang tidak
mampu melindungi keselamatan
keluarga
istana!"
"Aku tidak
bermaksud...."
"Serang!"
teriak si kumis melintang memotong kata-
kata Pendekar
Mabuk.
Dua anak panah
melesat lebih dulu dari atas gapura
besar itu dan
menancap di bawah pundak kanan-kiri
Suto Sinting.
Jeeb, jeeb...! Disusul dengan lemparan dua
buah pisau dari
arah belakang yang menancap di bagian
paha. Jrrub,
jruub...!
"Aaakh...!
Aooow...!"
Suara teriakan
itu bukan berasal dari Pendekar
Mabuk. Pemuda
tampan itu tetap berdiri di tempat tak
bergerak sedikit
pun. Tapi si kumis melintang justru
menjerit dua kali
dan akhirnya tumbang sendiri.
Brrruk...!
"Aaaaaaoow...!
Aaaaahh...!" si kumis melintang
meraung-raung
kesakitan.
Dua orang yang
akan menyerang Suto dari kanan kiri
terpaksa hentikan
langkah. Mereka terperanjat sekali
melihat ketuanya
jatuh dan meraung-raung. Setelah
diperiksa,
ternyata si kumis.
"Edan! Kenapa kau, Sagolo?! Siapa yang
melukaimu?!"
seru salah seorang dengan wajah tegang.
Suto Sinting
mencabut dua panah yang menancap di
bawah pundak
kanan-kiri. Srub, sruub...!
Saat itu tubuh Sagolo menyentak dua kali sambil
memekik,
"Aah, aahkk...!"
Salah seorang
dari dua pemanah itu mendelik bagai
patung ketika
melihat Suto Sinting mencabut anak panah
dengan santainya,
tapi Sagolo yang merasa kesakitan.
Bahkan kini ia
melihat Pendekar Mabuk mencabut pisau
di kedua pahanya
dengan tenang. Sreeb, sreeb...! Dan
saat itu pula
Sagolo menyentak, dua kali lagi dengan
pekik kesakitan
yang diteruskan raungan memanjang.
"Hahk,
haahk...! Aaaauuh...!"
"Gila!"
gumam orang di atas yang terbengong. "Dia
yang kena panah,
dia yang cabut panah, eeh.... Sagolo
yang kesakitan
dan terluka begitu?!"
Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum tipis.
Tubuhnya tak
merasa sakit sedikit pun. Ketika anak
panah dan pisau
dicabut dari badannya, ternyata badan
itu tidak
terluka. Tetapi Sagolo tetap terluka hingga
darahnya
bercucuran ke mana-mana. Ia digotong ke
tempat bayangan
tembok gerbang yang teduh.
"Monyet,
babi, kambing, tokek sinting!" makinya
sambil berteriak.
"Jangan keras-keras mengangkatku!
Sakit semua,
Setan!!"
Mereka tak tahu
bahwa saat Suto beradu pandang
dengan Sagolo,
saat itulah jurus "Alih Raga' dilancarkan.
Jurus itu dapat
memindahkan rasa sakit dan luka yang
seharusnya
diderita Suto tapi bisa diderita orang lain.
Dalam kesempatan
itu, jurus 'Alih Raga' ditujukan
kepada Sagolo
melalui pandangan mata Suto tadi,
sehingga yang
terluka dan merasakan sakit adalah
Sagolo sendiri
walau yang diserang tubuh Suto Sinting.
Tiba-tiba dari
arah timur melesat sekelebat bayangan.
Wuuuuss...!
Bayangan itu berasal dari salah satu pohon
yang melintasi
atas kepala para penolong Sagolo.
Jleeg...! Sesosok
tubuh muncul berdiri tak jauh dari
para penolong
Sagolo. Mereka terperanjat saat orang
tersebut
perdengarkan suaranya.
"Bukan
kalian yang patut menguji ilmu pemuda itu!
Kalian akan mati
sia-sia jika masih nekat ingin
menahannya!"
Mereka segera
berkasak-kusuk, kejap kemudian
undurkan diri dan
merasa takut berhadapan 'tamu' yang
baru datang itu.
Suto Sinting berkerut dahi karena
merasa heran
melihat sikap mereka yang takut kepada
'tamu' tersebut.
"Siapa dia?
Mengapa mereka takut?!" pikir Suto
Sinting sambil
pandangi seorang gadis berusia sekitar
dua puluh empat
tahun yang mengenakan celana dan
baju buntung
warna ungu bintik-bintik putih. Gadis itu
berparas cantik
dengan potongan rambutnya yang
pendek. Cepak,
seperti potongan lelaki, ia bertubuh
tinggi, sekal,
dadanya montok, kulitnya kuning langsat.
Sebilah pedang
ada di pinggang yang dililit sabuk kain
merah, sama
dengan ikat pinggang Suto Sinting.
Gadis berwajah
berhidung mancung dan berbibir
sensual dengan
mata bening indah itu sengaja hampiri
Suto Sinting
dengan langkah tegas. Tak ada kesan yang
manja dan cengeng
pada penampilannya. Suto Sinting
memandangi penuh
rasa kagum dan hati mulai berdesir-
desir.
Ketika gadis itu
berhenti di depan Pendekar Mabuk
dalam jarak tiga
langkah, aroma wangi melati tercium
oleh hidung Suto
yang bangir. Aroma wangi melati itu
membuat hati Suto
Sinting semakin berdebar-debar
indah.
"Kurasa kau
tak perlu membenci mereka. Tugas
mereka memang
menguji setiap tamu yang ingin
mendaftarkan diri
sebagai calon menantu Raja
Gundalana!"
"Aku tidak
membenci dan mendendam kepada
mereka,"
ujar Pendekar Mabuk dengan senyum
keramahan
menghiasi wajah tampannya.
Sambungnya lagi,
"Hanya yang kusayangkan, mereka
bukan orang-orang
berilmu tinggi yang patut menjadi
kelompok penguji
ilmu lawan. Salah-salah mereka bisa
mati sebagai
penguji yang naas!"
"Untuk
ukuran di sini, ilmu mereka sudah cukup
lumayan."
"Mungkin
saja begitu. Tapi kurasa mereka tak harus
lakukan pengujian
dengan menggunakan pertarungan.
Sebaiknya dengan
cara lain yang dapat dipakai untuk
mengukur
ketinggian ilmu para tamu! Misalnya dengan
cara memecah batu
atau yang lainnya."
"Itulah
kecerobohan atasan mereka," ujar si gadis
tinggi sambil
memandang ke arah Sagolo yang masih
dibiarkan
terkapar merintih-rintih.
Si gadis dekati
Sagolo, Pendekar Mabuk pun segera
dekati Sagolo
pula, kemudian menyuruh Sagolo
meminum tuaknya.
Gintung dan Polo juga disuruh
minum tuaknya.
Mereka menurut walau dahi yang lain
berkerut. Mereka
heran melihat tindakan Suto.
"Istirahatlah
beberapa saat. Luka kalian akan
sembuh!"
ujar Suto Sinting, setelah itu ia pergi
tinggalkan mereka
tanpa bicara lagi. Seakan ia tak peduli
dengan keheranan yang akan berkembang di wajah-
wajah mereka yang
akan melihat kesembuhan secara
ajaib itu. Ia
juga tak peduli dengan wajah si gadis yang
terbengong
memandanginya.
Pendekar Mabuk
teruskan langkahnya menuju
kotaraja.
Ternyata kotaraja masih jauh dari gerbang
perbatasan.
Sejauh mata Suto memandang, ia belum
temukan
tanda-tanda keramaian kota atau rumah-rumah
penduduk.
Matahari sudah
condong ke barat sejak tadi. Suto
Sinting membatin,
"Bisa-bisa sampai kotaraja sudah
malam. Atau
mungkin langkahku salah arah?!"
Langkah itu
akhirnya terhenti seketika, karena tiba-
tiba muncul
seseorang yang turun dari atas pohon di
depannya.
Wuuut...! Jleeg...! Suto Sinting sempat
tersentak kaget,
dan secara naluriah tangan dan kakinya
mengambil sikap
kuda-kuda pertahanan.
Ketegangan itu
segera mengendur setelah Pendekar
Mabuk segera
sadar bahwa orang yang turun dari atas
pohon itu adalah
si gadis berpakaian ungu bintik-bintik
putih tadi.
Rupanya ia sengaja menghadang Suto Sinting
dengan maksud
yang masih menjadi tanda tanya besar
dalam hati si
pendekar tampan itu.
"Aku sengaja
mengganggu perjalananmu sebentar!"
ujar gadis itu
tanpa sungkan-sungkan, ia kelihatan tegas
dan rada-rada
cuek dalam bersikap. Suto Sinting hanya
sunggingkan
senyum tipis sambil pandangannya tak
bergeser dari
wajah si gadis tomboy itu.
"Ada yang
bisa kubantu?" tanya Suto Sinting bernada
lembut.
"Justru aku
yang ingin bertanya, mungkin kau butuh
bantuanku?"
"Bantuan
tentang apa, misalnya?"
"Mungkin
tentang arah ke kotaraja! Kulihat kau telah
salah arah.
Mestinya kau membelok ke kiri saat
melewati jalanan
menurun tadi."
Suto Sinting
tertawa kecil, menertawakan
kebodohannya.
"Aku memang orang asing di negeri ini. Kurasa...
kurasa aku memang
butuh seorang pemandu."
Gadis itu
sunggingkan senyum tipis, seperti gadis
yang angkuh dan
melecehkan kebodohan Suto. Tetapi
senyuman tipisnya
itu sempat membuat Suto Sinting
hampir
menggeragap, karena di sudut senyuman itu si
gadis mempunyai
lesung pipi yang menambah
kecantikannya.
Lesung pipit seperti itu juga dimiliki oleh
Dyah Sariningrum,
calon istri Suto Sinting yang menjadi
penguasa di
negeri Putri Gerbang Surgawi, di Pulau
Serindu.
Karenanya, desir-desir di dalam dada Suto
berubah menjadi
debar-debar yang sempat membuatnya
salah tingkah.
"Apakah kau
yang bernama Suto Sinting dan bergelar
Pendekar
Mabuk?" tanya gadis itu sebelum mereka
melangkah.
"Benar. Dari
mana kau tahu namaku?"
"Bumbung tuak dan pakaianmu. Juga, tuak saktimu
yang tadi telah
membuat luka-luka Sagolo serta dua anak
buahnya menjadi
sembuh. Mereka sehat dan merasa
lebih segar dari
sebelum meminum tuakmu! Kehebatan
tuakmu itu yang
paling utama mengingatkan diriku pada
cerita beberapa
sahabatku tentang Pendekar Mabuk."
Malu juga Suto
jadinya. Tapi di balik rasa malu itu
bertaburan rasa
bangga akan populeritas namanya yang
sampai membekas
dalam ingatan gadis secantik itu.
"Boleh
kutahu namamu?" Suto ganti bertanya.
"Candu
Asmara!" jawab si gadis. Suto Sinting
terperanjat,
namun buru-buru ditahan dan
disembunyikan,
sehingga ia tetap kelihatan kalem.
"Candu
Asmara...?" gumamnya sambil manggut-
manggut.
"Kau pasti murid Eyang Cakraduya, dan kakak
dari si Mirah
Cendani!"
Kini gadis itu
yang terperanjat kaget. "Dari mana kau
tahu?"
Tawa Suto sengaja
dibuat berkesan dingin, ia
memandang alam
sekelilingnya sambil menjawab
pertanyaan itu,
hingga berkesan tengil.
"Kecantikanmu
membuatku ingat tentang murid
Eyang Cakraduya
yang punya lesung pipit menggetarkan
hati setiap
lelaki."
Gadis itu tampak
tersipu, namun masih berusaha
tampil cuek.
"Kau... kau
kenal dengan guruku?"
"Dengan
kekasihmu pun aku kenal," pancing Suto
Sinting.
Pancingan itu membuat Candu Asmara menarik
napas seperti
menahan kedongkolan.
"Ikuti aku
kalau mau ke kotaraja!" ujarnya sambil
melangkah, tapi
maksudnya mengalihkan percakapan
yang tadi.
Pendekar Mabuk
menangkap perasaan tak enak pada
diri gadis itu,
terutama setelah menyinggung tentang
kekasih. Entah
apa sebabnya, untuk sesaat Suto tak ingin
menanyakannya.
Namun ia segera mengikuti langkah
Candu Asmara
hingga akhirnya mereka berjalan
berdampingan.
"Rupanya kau
sudah mengenal seluk beluk negeri ini!
Apakah kau
termasuk rakyat negeri Bardanesya?"
"Bukan. Tapi
aku sering berkunjung ke kotaraja.
Seorang sahabatku
tinggal di sana, dan dia punya
hubungan baik
dengan putri Paduka Raja Gundalana
itu."
"Pantas para
penjaga tadi saling berkasak-kusuk dan
takut
kepadanya," ujar batin Suto Sinting. "Kurasa
mereka pernah
dihajar gadis ini, sehingga mengetahui
bahwa gadis ini
berilmu lebih tinggi dari mereka.
Hmm.... Ternyata
kakak si Mirah Cendani lebih cantik
dari adiknya. Aku
terkesan sekali dengan sikapnya yang
tegas dan
rada-rada galak itu. Dia bisa bikin hatiku
penasaran kalau
selalu menjaga keangkuhan sikapnya."
Lamunan dan
kecamuk batin Suto dibuyarkan oleh
teguran Candu
Asmara.
"Kau akan
mendaftarkan diri sebagai calon menantu
Paduka
Raja?"
"Oh, hmm...
ya, eeh... tidak! Aku tidak punya niat
begitu,"
jawab Suto agak grogi, lalu segera ingat tentang
tujuannya
semua, ia pun ajukan tanya kepada Candu
Asmara.
"Apakah kau
sudah bertemu dengan Tengkorak
Tampan?"
Langkah si gadis
terhenti, mata memandang tajam,
Suto Sinting
menjadi salah tingkah. Senyumnya
berkesan
cengar-cengir yang tak jelas tujuannya.
"Mak...
maksudku... hhmm... maksudku, apakah kau
sudah berhasil
menghadang langkah si Tengkorak
Tampan?"
"Dari mana
kau tahu kalau aku sedang memburu
murid si Jahanam
Tua itu?! Kau sahabat si Tengkorak
busuk itu?!"
"Oh, bukan!
Hmmm... bukan itu maksudku. Aku...
aku mendengar
nama itu dari adikmu: Mirah Cendani!"
Candu Asmara
kerutkan dahi. "Kau bertemu dengan
adikku?"
"Ya.
Kutemukan dia terkapar dalam keadaan sekarat.
Tapi untung aku
berhasil menuangkan tuak ke mulutnya.
Sekarang dia
sudah sehat dan sedang pulang untuk
menemui guru
kalian."
Setelah diam
termenung sebentar, Candu Asmara
bergumam lirih,
namun sempat didengar oleh Suto.
"Pantas
ketika aku kembali ke tempat itu, Mirah
sudah tak ada!
Kupikir dibawa pulang oleh Guru?!"
Suto pun
membatin, "Jika dia sempat menengok
tempat itu lagi,
dan berhasil menyusulku tiba di gerbang
perbatasan,
berarti dia mempunyai kecepatan gerak yang
hampir
menyamaiku?! Oh, agaknya kata-kata Sawung
Kuntet memang
benar; murid Eyang Cakraduya berilmu
tinggi. Tak heran
jika Candu Asmara mempunyai
kecepatan gerak
yang menyamai gerakanku."
Untuk mengetahui
seberapa tinggi ilmu si gadis itu
terutama dalam
kecepatan geraknya, Pendekar Mabuk
pun memancingnya
secara halus.
"Apakah kita
tak akan kemalaman di jalan jika
dengan hanya
berjalan biasa begini?"
"Sampai
kotaraja bisa tengah malam."
"Bagaimana
kalau kita berlari agar bisa tiba di
kotaraja sebelum
tengah malam?!"
Gadis itu hanya
tersenyum kecil berkesan
meremehkan,
karena ia tahu ajakan itu merupakan
tantangan halus
dari si tampan. Maka, tanpa menjawab
atau berkata
sepatah kata pun, Candu Asmara sentakkan
kaki kirinya ke
bumi satu kali. Duuhk...!
Bluub...! Asap
mengepul tipis, Candu Asmara
bagaikan lenyap
di telan bumi. Suto Sinting
kebingungan sesaat. Setelah memandang ke depan,
ternyata gadis
itu sudah berada jauh di depan sana.
"Gila!
Kecepatan geraknya seperti melebihi angin
berhembus?!
Hmmm... baik, akan kususul kau, Candu
Asmara!"
Zlaaaap,
zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman'
dipergunakan
Pendekar Mabuk untuk susul gadis itu.
Kejap berikut,
Candu Asmara hentikan langkah ketika ia
merasakan
hembusan angin berkelebat di samping
kanan, mendahului
langkahnya.
"Edan!
Gerakan apa itu hingga bisa mendahului jurus
'Pemburu
Badai'-ku?!" gumam hati gadis cantik itu.
Candu Asmara mencoba
menyusul gerakan Suto
Sinting, namun
tak pernah berhasil, ia hanya bisa berada
tiga langkah di
belakang Suto Sinting. Sekalipun
demikian, gerakan
itu dianggap oleh Suto sebagai
pemecah rekor
bagi gerakan para gadis yang pernah
dikenal Pendekar
Mabuk. Angin Betina, saja masih
tertinggal lima
langkah di belakang Suto Sinting. Berarti
Angin Betina,
gadis yang menyimpan cinta kepada Suto
itu, masih kalah
cepat dengan Candu Asmara, walaupun
Angin Betina
punya ilmu yang dapat menembus waktu.
*
* *
4
HATI Candu Asmara merasa lega mendengar
adiknya dalam
keadaan sehat. Nafsu memburu
Tengkorak Tampan
tidak sebesar tadi. Bahkan perhatian
gadis itu lebih
banyak ditujukan kepada Pendekar
Mabuk. Curahan
perhatian batin itu membuat Candu
Asmara juga
rasakan debar-debar indah yang sering
membuatnya
jengkel sendiri.
Hampir memasuki
kotaraja, Pendekar Mabuk sengaja
hentikan langkah
disusul langkah Candu Asmara yang
terhenti pula.
Gadis itu memandang heran kepada Suto
Sinting. Suaranya
terdengar lirih. "Kenapa berhenti?"
"Aku
mendengar suara perempuan merintih," jawab
Suto pelan.
Candu Asmara diam
sesaat, pertajam
pendengarannya.
Matanya melirik ke arah kiri, pada
gerumbulan semak
yang melingkari batu besar. Suara
rintihan
perempuan berasal dari gerumbulan semak itu.
Sepertinya ada
yang terkapar dan sekarat di bawah batu
besar itu.
Suto Sinting
berbisik lagi, "Arah pandangan matamu
memang benar.
Suara itu dari bawah batu. Hanya saja,
ketinggian
semaknya membuat kita tak bisa melihat apa
yang terjadi di
bawah batu besar itu."
"Rasa-rasanya
bukan rintihan orang menderita," ucap
Candu Asmara
dengan membisik. "Sebaiknya tak perlu
kau hiraukan.
Kita lanjutkan langkah kita."
"Tunggu
sebentar," sergah Pendekar Mabuk sambil
mencekal lengan
Candu Asmara. "Aku penasaran dan
ingin
mengintainya dari atas pohon itu."
"Ah,
sudahlah! Itu tak perlu!"
"Sebentar
saja!"
Wuuut...!
Tahu-tahu Suto Sinting sudah berada di
atas pohon.
Gerakan lompatnya sangat cepat dan
membuat Candu
Asmara hanya bisa hempaskan napas
sebagai tanda
menahan rasa kesalnya.
"Bandel juga
dia!" gerutunya dalam hati. "Masa' dia
tak bisa bedakan
suara rintihan kesakitan dengan rintihan
kenikmatan?!"
Pendekar Mabuk
melesat dari pohon pertama ke
pohon kedua, dari
pohon kedua ke pohon ketiga. Di situ
ia berhenti,
mengintai ke bawah, tepat di atas batu besar
tersebut.
"Astaga...?!"
hati Suto terkejut dan jantungnya
menjadi
berdetak-detak.
Ternyata apa yang
ada di balik semak dan di bawah
batu besar itu
adalah suatu pemandangan yang
menggetarkan
gairah kemesraannya. Seorang perempuan
sedang dicumbu
oleh seorang pemuda dengan panasnya.
Perempuan itu
tampak berusia sekitar tiga puluh
tahun, sedangkan
lawan jenisnya berusia sekitar dua
puluh tiga tahun.
Tetapi pemuda yang bertubuh gempal
itu tampak masih
hijau dalam hal bercumbu, sehingga
butuh bimbingan
dari si perempuan yang cukup matang
dalam masalah
kencan. Pemuda itu menurut saja ketika
diperintahkan
untuk memindahkan kecupannya ke dada
si wanita.
Sekalipun pemuda itu masih hijau, tapi
semangatnya tampak tinggi dan menggebu-gebu,
sehingga si
perempuan mengerang berkali-kali
menikmati
keindahannya.
Candu Asmara
akhirnya menyusul Suto Sinting.
Dengan lompatan
yang sama seringan tubuh Suto tadi, ia
melesat ke atas
pohon dan hampiri Suto Sinting. Daun
dan ranting yang
dipijaknya tak sempat bergerak karena
ilmu peringan
tubuhnya ternyata cukup tinggi juga.
Suto Sinting
nyaris terkejut ketika sikunya
menyentuh daging
empuk di belakangnya. Ternyata ia
menyentuh pipi
Candu Asmara yang ikut berjongkok di
sampingnya, agak
ke belakang.
"Sial!"
gerutu Suto Sinting.
"Inikah yang
ingin kau intip? Rupanya kau doyan
mengintip orang
beginian, ya?"
"Kusangka
bukan beginian!"
Mereka hentikan
bisik-bisik sesaat karena suara
perempuan yang
sedang dicumbu pemuda itu makin
meringkik tinggi
manakala si pemuda memagut dada
sekal perempuan
itu. Candu Asmara sengaja palingkan
pandangan ke arah
lain sambil mencolek lengan Suto.
"Tinggalkan
pemandangan itu! Sebentar lagi petang
datang, kita
harus sudah tiba di kotaraja sebelum
hari
menjadi
gelap."
"Sebentar...,"
ujar Suto Sinting dalam bisikan, ia
memandang tak
berkedip adegan hot yang dilakukan
oleh sepasang
insan yang sudah seperti bayi baru lahir
itu. Mereka
menggelar pakaian sebagai alas berbaring
bagi si
perempuan. Tampaknya perempuan itu sangat
menikmati tiap
sentuhan hangat yang dilakukan si
pemuda atas perintahnya.
Suto Sinting
berbisik tepat di telinga Candu Asmara,
membuat napasnya
menyembur hangat di sekitar telinga
gadis itu.
"Kau kenal
dengan mereka?"
Candu Asmara
menjawab dengan nada dingin, "Dewi
Ranjang, seorang
janda liar yang selalu memburu
kehangatan pemuda
ingusan."
"Dewi
Ranjang...?!" gumam Suto lirih. "Lalu, siapa
pemuda yang
menjadi pasangannya itu?"
"Rudaya,
bocah ingusan, anak Raden Mas
Sastrajingga,
salah satu dari lima penasihat Raja
Gundalana."
Suto Sinting
menggumam lirih sambil manggut-
manggut,
pandangan matanya kembali ke arah kedua
insan yang sedang
asyik-asyiknya menyerap kenikmatan
bersama itu.
Jantung Suto pun kian berdebar-debar saat
melihat Rudaya
menuruti perintah Dewi Ranjang.
"Kecuplah
ini... kecuplah, Rudaya," sambil
perempuan itu
menekan kepala Rudaya agar bergeser ke
bawah. Rudaya pun
menurut, kepalanya bergeser ke
bawah dan
kecupannya mencapai bagian yang
diinginkan Dewi
Ranjang.
"Oouh...
nikmat sekali itu, Rudaya. Uuuhhh...!
Hmmmmhhh...!"
sambil kedua tangan Dewi Ranjang
meremas-remas
rambut pendek Rudaya dan merentang
diri untuk
mempermudah gerakan kepala Rudaya.
"Sudahlah!
Untuk apa kita tonton lama-lama?!" bisik
Candu Asmara
dengan tak enak hati. Ia menarik tangan
Suto agar
menyingkir dari tempat itu. Tapi Pendekar
tampan itu masih
betah menyaksikan adegan yang makin
lama semakin
membakar darah kemesraannya sendiri.
Tentu saja darah
kemesraan Suto terbakar, karena
kala itu Rudaya digulingkan oleh Dewi Ranjang.
Pemuda itu
terbaring dan menerima dengan pasrah apa
yang akan
dilakukan Dewi Ranjang.
"Diamlah
begitu, kau akan kuterbangkan ke langit
yang paling
tinggi. Hik, hik, hik, hik...!" kata perempuan
yang berparas ayu
dan punya mata serta bibir
memancarkan daya
tarik untuk bercumbu.
Rudaya menggigit
bibirnya sendiri sambil
menggeram ketika
Dewi Ranjang menciumi wajahnya,
lalu melumat
bibir pemuda itu dengan lahap. Lidah
perempuan itu
akhirnya menjalar sampai ke leher,
mencekam beberapa
saat, lalu bergeser ke dada si
pemuda.
Desir-desir di
dalam dada Suto semakin tinggi,
karena ia
membayangkan seandainya yang diperlakukan
begitu adalah
dirinya. Desiran itu sempat membuat Suto
Sinting meremas
dedaunan manakala ia melihat jelas
sekali ke mana
gerakan lidah Dewi Ranjang.
Mulut perempuan
bertahi lalat di sudut dagu
kanannya itu
melintasi perut Rudaya. Ternyata mulut itu
tidak hanya
berhenti mengecup di perut saja, namun
lewat terus dan
lidahnya menyapu sekitar paha Rudaya.
Napas si Pendekar
Mabuk menjadi sesak ketika
mendengar suara
Rudaya merintih dengan kepala
menggeliat ke
atas dan kedua tangan di kanan-kiri
kepalanya itu
menggenggam kuat-kuat. Suto dapat
merasakan desiran
keindahan yang amat tinggi yang
dirasakan Rudaya
manakala mulut Dewi Ranjang bagai
ingin menelan
sesuatu dengan gerakan pelan-pelan
sekali.
Candu Asmara
resah. Mau pergi sendiri, tak enak.
Mau tetap di
samping Suto, juga tak enak. Serba salah
jadinya.
"Pendekar
jalang!" gerutunya pelan bernada jengkel,
tapi gerutuan itu
didengar oleh Pendekar Mabuk. Hati
menjadi tak enak
mendengar kecaman tersebut. Suto
segera ingat nama
besarnya sebagai seorang pendekar.
"Masa'
seorang pendekar kerjanya nonton begituan?
Ah, tak enak hati
aku kepada gadis yang baru ku kenal
ini. Sebaiknya
memang aku harus segera pergi agar tak
timbulkan kesan
buruk di hati Candu Asmara," ujar Suto
dalam hatinya,
maka ia
pun segera bergegas pergi
tinggalkan
pemandangan yang sedang panas-panasnya
itu.
"Jangan
coba-coba menatap mata Dewi Ranjang jika
kebetulan kau
berpapasan dengannya," kata Candu
Asmara sambil
teruskan langkah menuju kotaraja.
"Mengapa tak
boleh?"
"Ia
mempunyai aji pemikat melalui pandangan
matanya. Kau bisa
kasmaran jika terkena aji pemikatnya
itu."
"Kau
khawatir?" Suto Sinting sunggingkan senyum
menggoda.
"Aku hanya
mengingatkan padamu, bukan karena
khawatir. Jika
kau sendiri punya selera kepada si janda
liar itu, silakan
saja! Itu urusan pribadimu, bukan
urusku."
Pendekar Mabuk makin lebarkan senyum dan
akhirnya berubah
menjadi tawa pelan seperti orang
menggumam. Candu
Asmara bersungut-sungut, tampak
sedang menahan
rasa malu dan sembunyikan
keresahannya.
Menjelang
matahari ditelan bumi, Pendekar Mabuk
dan Candu Asmara
tiba di kotaraja. Gadis itu segera
membawa Suto
Sinting ke sebuah penginapan. Tentu
saja hal itu
cukup mengherankan bagi Suto.
"Mengapa aku
dibawa ke penginapan?" tanyanya
terang-terangan.
Gadis tomboy itu
menjawab seenaknya, "Kalau
kutahu jalan ke
neraka, kubawa kau ke neraka dan
kuceburkan ke
sana!"
Suto Sinting
tertawa geli melihat gadis itu bersungut-
sungut.
"Maksudku,
aku tak punya uang untuk sewa kamar."
"Untuk apa
sewa kamar? Kau pikir perempuan apa
aku ini?!"
"Mmm... mmm...
maaf, aku tidak bermaksud
menilaimu jelek,
Candu Asmara. Tapi... tapi terus terang
saja, tujuanku
kemari semula ingin melihat orang-orang
yang mencalonkan
diri sebagai menantu raja. Tapi
segera berubah
setelah bertemu adikmu. Tujuanku
menjadi ingin
melindungimu dari serangan Tengkorak
Tampan yang
membawa senjata milik gurunya bernama
'Garpu Malaikat'
itu. Aku khawatir kau menjadi korban
senjata yang kata
temanku adalah senjata berbahaya.
Lalu...."
"Cukup!"
potong Candu Asmara. "Aku mengerti
maksudmu. Kalau
kau ingin bertemu dengan Tengkorak
Tampan, kau bisa
temui dia esok hari. Karena esok hari
para calon
menantu raja berkumpul di alun-alun."
"Ooo...,"
Suto Sinting manggut-manggut. "Kau
sendiri tak ingin
lanjutkan pembalasanmu terhadap
Tengkorak
Tampan?"
"Terlambat.
Kurasa saat ini ia sudah menjadi tamu
kehormatan Paduka
Raja. Siapa yang mengusik atau
mengganggu tamu
istana akan mendapat hukuman dan
dianggap
bermusuhan dengan pihak Raja Gundalana.
Jadi aku tak
berani mengusiknya. Tapi jika ia sudah
pulang dan tidak
lagi menjadi tamu Istana, aku akan
bikin perhitungan
sendiri padanya!" kata Candu Asmara
dengan tegas
sekali. Suto Sinting sangat menyukai nada
bicara yang tegas
seperti itu.
Ketika Suto
diajak masuk ke penginapan berlantai
dua itu, Candu
Asmara sempat berkata dalam nada
pelan.
"Aku mencari
sahabatku; Cempaka Ayu!"
"Apakah dia
sering bermalam di penginapan ini?"
"Dia anak
pemilik penginapan ini."
"Ooo...,"
Suto Sinting manggut-manggut lagi. Ia ingin
ajukan tanya,
tapi batal karena seorang lelaki berusia
sekitar lima
puluh tahun dan berpakaian rapi segera
menyambut
kedatangan Candu Asmara dengan senyum
ramahnya.
"Candu
Asmara.... Oh, sudah lama kau tak datang
menjenguk kami.
Mengapa kau menghilang hampir satu
purnama, Candu
Asmara?!"
"Aku ada
urusan yang harus kuselesaikan, Paman! O,
ya...
perkenalkan, ini sahabatku; Suto Sinting."
Orang yang
dipanggil sebagal 'paman' oleh Candu
Asmara itu
memberikan hormat kepada Pendekar
Mabuk, kedua
tangannya saling genggam di dada serta
badannya sedikit
membungkuk.
"Selamat
datang di penginapanku, Tuan Muda!"
"Terima
kasih. Senang sekali aku melihat penginapan
sebagus ini, Paman," kata Suto membalas
keramahan
sang Paman itu.
"Paman,
apakah Cempaka Ayu ada?"
"O, dia ada
di kamarnya. Datanglah sana ke
kamarnya!
Kedatanganmu sangat ditunggu-tunggu oleh
Cempaka. Heh,
heh, heh, heh...!"
Candu Asmara
mengajak Suto Sinting menaiki
tangga yang
tampak dari ruang tamu itu. Ruang tamu
tersebut dipakai
sebagai kedai yang menyajikan
makanan mewah
dengan tamu-tamu dari golongan atas.
Kala itu, kedai
mewah tersebut sedang melayani delapan
tamu yang
membentuk tiga kelompok berlainan meja.
Mereka memandang
ke arah Candu Asmara dan Suto
Sinting, namun
keduanya bersikap tak menghiraukan
pandangan para
tamu berbusana rapi dan bagus itu.
"Orang yang
kupanggil 'paman' tadi adalah ayahnya
Cempaka
Ayu!"
"Ooo...,"
Suto hanya menggumam dan manggut-
manggut lagi.
"Dia sangat
senang jika aku ada di sini, karena
berkali-kali aku
berhasil mengusir orang-orang yang
berniat
mengganggu ketenangan para tamu di sini!"
"Rupanya kau
petugas keamanan di penginapan ini?!"
"Tak
resmi!" jawab Candu Asmara pendek,
sambil
menelusuri lorong
di depan kamar-kamar lantai atas.
Sebuah pintu
kamar yang letaknya di ujung sendiri
diketuk oleh
Candu Asmara. Kemudian seraut wajah
cantik berhidung
bangir muncul dari balik pintu kamar
tersebut.
"Candu Asmara...?!" gadis berusia sebaya dengan
Candu Asmara itu
terpekik girang, kemudian ia
memeluk Candu
Asmara dalam senyum yang lebar.
Matanya sempat
beradu pandang dengan Pendekar
Mabuk yang masih
berdiri di belakang Candu Asmara.
Gadis itu segera
lepaskan pelukannya dan mulai salah
tingkah karena
baru sadar bahwa Candu Asmara datang
bersama pemuda
tampan.
"Cempaka,
perkenalkan ini sahabatku; Suto Sinting
namanya."
"Ooh...?!
Pendekar Mabuk?!" Cempaka Ayu
terperanjat
dengan mata membelalak.
Suto Sinting
hanya anggukkan kepala dalam senyum
keramahannya.
"Astaga!
Rupanya apa yang kau impikan selama ini
benar-benar
menjadi kenyataan, Candu Asmara. Kau
bisa bertemu
dengan Pendekar Mabuk dan...."
"Ssst...! Tak perlu dibahas lagi soal itu," potong
Candu Asmara yang
wajahnya menjadi semburat merah
karena malu
kepada Suto Sinting. Senyum si tampan itu
semakin lebar,
hatinya pun menggumam,
"Rupanya
selama ini Candu Asmara ingin sekali
bertemu denganku.
Hmm... ketahuan sekarang! Aku
yakin saat ini hatinya
sangat gembira karena
keinginannya
bertemu denganku sudah tercapai. Meski
berlagak angkuh,
tapi ternyata dia menyimpan
kegembiraan yang
pasti membuat hatinya melonjak-
lonjak. Hmm, hmm,
hmm...! Perempuan, perempuan...
paling pintar
menutupi isi hatinya!"
Cempaka Ayu
sebentar-sebentar melirik Pendekar
Mabuk. Rupanya
gadis itu juga menyimpan rasa kagum
terhadap
ketampanan Suto Sinting. Namun ia
menghargai nilai
sebuah persahabatan, sehingga tak mau
bertingkah yang
bukan-bukan di depan Candu Asmara,
ia hanya sering
berbisik dan mereka tertawa kecil sambil
melirik Suto.
"Kebetulan
kau datang hari ini, Candu," ujar
Cempaka Ayu.
"Mengapa
kebetulan?!" tanya Candu Asmara.
Cempaka Ayu
melirik ke arah Pendekar Mabuk
sesaat.
Sepertinya ada sesuatu yang ragu-ragu dikatakan
karena keberadaan
Suto di tempat itu. Suto jadi tak enak
hati.
"Apakah aku
harus pergi dulu?" tanya Suto Sinting.
"O, tidak!
Tidak perlu," jawab Cempaka Ayu tergesa-
gesa. "Ini
bukan rahasia lagi. Aku hanya ingin
menyampaikan
kabar tentang niat Paduka Raja
mencarikan menantu yang gagah perkasa dan layak
diandalkan
sebagai panglima negeri ini."
"Itu sudah
kudengar, Cempaka. Esok para calon
menantu raja akan
dikumpulkan di alun-alun untuk
dilihat
kemahirannya dalam ilmu kanuragan. Siapa yang
ilmunya paling
tinggi, itulah yang akan dinikahkan
dengan Rara Ayu
Kumala, bukan?!"
"Iya.
Tapi... tapi rencana itu ternyata harus diubah
oleh pihak
keluarga istana."
"Mengapa
diubah?"
"Kemarin
malam Rara Ayu Kumala hilang."
"Hilang...?!"
Candu Asmara terperanjat, demikian
pula Pendekar
Mabuk yang segera berkerut dahi tajam-
tajam.
"Seseorang
telah menculik Rara Ayu Kumala!"
"Ooh...?!
Siapa orang yang menculik putri raja itu?!"
tanya Suto
Sinting dengan rasa penasaran mendesak
dadanya.
"Rara Ayu
Kumala diculik oleh tokoh aliran hitam
dari Pulau Setan
yang bernama : Hantu Urat Iblis!"
"Celaka!"
sentak Candu Asmara dengan wajah
tegang.
Agaknya ia sudah
mengetahui siapa si Hantu
Urat Iblis itu.
Suto Sinting
segera berkata, "Tapi mengapa para
penjaga di
gerbang perbatasan masih menguji tamu yang
mau mencalonkan
diri sebagai menantu raja?! Bahkan
aku sempat diuji
oleh mereka!"
Cempaka Ayu
menjawab, "Kabar ini belum disebar-
luaskan. Tapi
ayahku mendengarnya dari kenalannya
yang menjadi
pejabat istana. Ayah pun wanti-wanti
padaku agar tidak
bicara pada siapa pun. Tapi kepada
kalian aku tak
bisa merahasiakannya."
Candu Asmara
masih tertegun membayangkan Hantu
Urat Iblis, sementara
itu Cempaka Ayu menyambung
kata-katanya
sambil menatap Pendekar Mabuk.
"Mungkin
maksud sang Raja tetap akan menerima
calon menantu
sebanyak mungkin, karena dengan begitu
raja merasa punya
banyak dukungan dari orang-orang
berilmu tinggi.
Karena rencana beliau, esok para calon
menantu akan
dikumpulkan di alun-alun, dan diberi tahu
tentang
penculikan tersebut. Raja akan mengubah
sayembara, barang
siapa yang bisa mengalahkan Hantu
Urat Iblis dan
membawa pulang putrinya, dialah yang
akan dinikahkan
dengan sang Putri dan mendapat
kedudukan tinggi
sebagai panglima tertinggi di negeri
ini!"
"Hmmm...,"
Suto Sinting manggut-manggut dalam
renungannya.
"Apakah...
apakah kau berminat untuk merebut Rara
Ayu Kumala dari
tangan Hantu Urat Iblis?" tanya
Cempaka Ayu
kepada Suto.
Candu Asmara
segera menyahut sambil menatap Suto
tajam-tajam dan
bicaranya penuh tekanan.
"Hantu Urat
Iblis adalah tokoh sesat aliran hitam
yang mempunyai
ilmu 'Perisai Kubur', kau tak mungkin
bisa tumbangkan
dirinya!"
"Apa itu ilmu 'Perisai Kubur'?!"
tanya Pendekar
Mabuk.
"Tak bisa
terluka. Setiap kali ia terluka, lukanya akan
menutup sendiri
dan pulih seperti sediakala. Racun apa
pun tak bisa
bercampur dengan darahnya."
"Aku ingin
mencoba melawannya!"
"Tak perlu,
Suto!" sentak Candu Asmara. "Kau akan
mati sia-sia jika
melawannya!"
Pendekar Mabuk
terbungkam dan memendam
keheranan.
"Mengapa ia jadi berang begitu?! Seandainya
aku mati, mengapa
tak boleh? Ih, lama-lama aneh juga
gadis ini,
ya?!"
*
* *
5
ALASAN apa yang membuat Hantu Urat Iblis
menculik putri
raja, hal itu pun menjadi sesuatu yang
dipikirkan oleh
Pendekar Mabuk. Karenanya, sekalipun
ia dan Candu
Asmara mendapat satu kamar gratis di
penginapan itu,
namun Pendekar Mabuk tak bisa cepat
tertidur, ia
masih terngiang kata-kata Candu Asmara
ketika mereka
berada di kamar Cempaka Ayu.
"Hantu Urat
Iblis bukan saja punya ilmu
'Perisai
Kubur', namun
juga menguasai ilmu 'Peluh Neraka' yang
tidak dimiliki
orang lain."
"Apa
kehebatan ilmu 'Peluh Neraka' itu?" tanya Suto.
"Pada
saat-saat yang ditentukan, ia dapat keluarkan
racun melalui
peluhnya. Racun ganas yang sangat
mematikan itu
bercampur dengan keringatnya. Siapa pun
yang terkena
keringatnya walau sedikit saja, maka orang
itu akan mati
dalam tiga belas hitungan. Repotnya lagi,
racun itu tak
bisa ditangkal dengan obat penawar racun
apa pun."
"Sakti
sekali?!" sindir Suto Sinting agak tak percaya.
"Siapa
sebenarnya si Hantu Urat iblis itu sehingga ia
bisa mempunyai
ilmu aneh-aneh begitu?!"
"Dia anak
haram dari mendiang Nyai Selir Iblis,
penguasa Pulau
Setan. Menurut cerita dari guruku,
Hantu Urat Iblis
sejak bayi tak pernah kena sinar
matahari, karena
hidupnya di ruang bawah tanah. Di
sana ia
digembleng oleh ibunya sendiri hingga menjadi
dewasa. Seluruh
ilmu milik ibunya sudah mengalir ke
dalam diri Hantu
Urat Iblis sejak ia berusia lima tahun.
Ketika ibunya
tewas, ia muncul di permukaan bumi
sebagai pengganti
sang Ibu; menjadi penguasa Pulau
Setan. Karenanya,
dalam usia sekitar empat puluh tahun
ini, dia sudah
menjadi tokoh yang ditakuti oleh lawan-
lawannya, karena
ilmunya memang dahsyat!"
"Apakah dia
punya guru lain?"
"Tidak!
Seluruh ilmu yang diwariskan oleh mendiang
ibunya sudah
cukup untuk kalahkan beberapa guru dari
perguruan-perguruan
yang pernah menjadi lawan ibunya
semasa
hidup."
"Jika ia
dikatakan sebagai anak haram, maka sampai
sekarang ia tak
tahu siapa ayahnya?"
"Kurasa ia
sudah tahu," jawab Candu Asmara. "Tapi
kurasa ia belum
pernah bertemu dengan ayahnya.
Karena menurut
cerita guruku, yang pernah menyelidiki
kekuatan di Pulau
Setan, ternyata Nyai Selir Iblis pernah
kencan dengan
siluman dari alam gaib. Kencan itu
membuahkan
keturunan, dan keturunan tersebut adalah
si Hantu Urat
Iblis."
Beberapa
penjelasan itulah yang dicerna terus oleh
otak Pendekar
Mabuk, hingga malam yang semakin larut
dibiarkan lewat
begitu saja. Rasa kantuknya belum juga
datang walau
ia telah berbaring di ranjang yang
berseberang
dengan ranjangnya Candu Asmara.
Sedangkan gadis
berpakaian ungu bintik-bintik putih itu
tampak sudah
tertidur sejak tadi dengan tenang, ia
berbaring sambil
mendekap pedangnya yang diletakkan
di dada.
Sebelum ke
kamarnya, tadi Suto sempat mengisi
bumbungnya dengan
tuak yang didapat dari ayah
Cempaka Ayu. Kini
bumbung tuak itu telah terisi penuh.
Namun
sebentar-sebentar ditenggaknya, sehingga mulai
berkurang
sedikit.
"Bagaimana
kalau kucoba menembus alam gaib dan
mencari ayahnya
si Hantu Urat Iblis itu? Barangkali
dengan bujukan
sang ayah, Hantu Urat Iblis mau
melepaskan putri
raja," pikir Suto Sinting yang mampu
menembus alam
gaib karena kekuatan khusus yang
diberikan oleh
Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya
itu, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam
episode:
"Manusia
Seribu Wajah").
"Tetapi...
kalau aku pergi sekarang tanpa pamit, pasti
Candu Asmara
sangat kecewa dan mempunyai penilaian
buruk padaku.
Sebaiknya kubangunkan saja dia dan aku
harus pamit dulu
padanya."
Suto Sinting
dekati ranjang Candu Asmara. Namun
kurang dua
langkah dari ranjang, Candu Asmara sudah
membuka matanya,
terbangun dari tidurnya, namun tetap
dalam posisi tenang, walau tangan kanannya secara
cepat memegang
gagang pedang. Begitu sadar didekati
Pendekar Mabuk,
tangan yang memegang gagang
pedang itu
mengendur, gagang pedang dilepaskan, tak
jadi dicabut.
Kini pedang itu justru digeser ke samping
kiri, sejajar
dengan tubuhnya.
"Hebat! Ternyata dia sangat peka dengan gerakan.
Walau dalam
keadaan tertidur, namun dapat segera
mengetahui ada
sesuatu yang mendekatinya," pikir Suto
Sinting merasa
kagum terhadap kepekaan Candu
Asmara.
Karena ia
dipandang oleh gadis itu, maka ia pun
sunggingkan
senyum berkesan nyengir. Suto jadi tak
enak hati, takut
dianggap ingin bertingkah kurang ajar,
maka ia buru-buru
jelaskan maksudnya.
"Aku ingin
membangunkanmu, bukan ingin bertindak
yang
bukan-bukan."
Candu Asmara
hembuskan napas panjang, tapi ia
tetap berbaring
dengan mata memandang langit-langit
kamar.
"Mau apa
membangunkan tidurku?"
"Aku mau...
mau pamit!"
"Pamit ke
mana?"
"Ke alam
gaib."
"Edan!"
sentaknya pelan, lalu cemberut dan
melengos. Suto
Sinting lebih mendekat hingga persis di
tepi ranjang.
"Akan kucoba
menemui siluman yang menjadi ayah
si Hantu Urat
Iblis itu. Akan kudesak siluman itu agar
mau menyuruh
anaknya melepaskan putri raja."
"Tidurlah dulu, baru mengigau! Jangan mengigau
sebelum tidur,
itu tidak baik!" ujar Candu Asmara
sambil masih
palingkan wajah ke dinding.
Pendekar Mabuk
sunggingkan senyum geli
mendengar
kata-kata Candu Asmara. Wajah cantik itu
dipandangi dari
samping. Timbul getaran nakal di batin
Suto yang
membuatnya gelisah. Karena keindahan mata,
kemancungan
hidung, ketebalan bibir yang serasi itu,
sangat menggoda
hatinya dan membuatnya ingin usil di
wajah halus tanpa
jerawat sebutir pun itu.
Lengan si gadis
juga dipandangi. Hati pun berdesir
kembali, karena
lengan itu mempunyai bulu-bulu halus
yang samar-samar,
seakan mengundang hasrat untuk
meraba bulu-bulu
itu.
Pendekar Mabuk
akhirnya menelan ludah sendiri, ia
memberanikan diri
untuk duduk di tepian ranjang.
Ternyata gadis
itu diam saja, namun masih berpaling ke
arah dinding dan
memejamkan mata. Suto yakin, gadis
itu tidak tidur.
Karenanya ia pun segera mengajaknya
bicara dengan
suara pelan, agar tak mengundang
kebrisikan bagi
tamu penghuni kamar sebelah.
"Candu
Asmara, aku bicara sungguh-sungguh tentang
rencanaku tadi.
Sekarang juga aku akan pergi. Kau
tetaplah di sini
dulu."
Candu Asmara
membuka mata, kini wajahnya
menjadi agak
miring ke kanan, pandangannya tertuju ke
wajah Suto
Sinting yang tetap sunggingkan senyum tipis
di bibirnya.
"Rencana apa
maksudmu?" tanya Candu Asmara
berlagak bodoh.
Sebelum Suto Sinting mengulangi
penjelasannya
tadi, Candu Asmara sudah bicara lagi
lebih dulu.
"Kau
berhasrat ingin membebaskan putri raja itu?
Maksudmu supaya
kau dinikahkan dengan Rara Ayu
Kumaia dan menjadi
menantu Raja Gundalana? Kau
ingin menjadi
panglima tertinggi di negeri ini dengan
didampingi istri
secantik putri raja itu?!"
Pertanyaan yang
beruntun hanya membuat Pendekar
Mabuk geli
sendiri. Tawanya tak bersuara, tapi jelas-
jeias berkesan
meremehkan dugaan-dugaan Candu
Asmara itu.
"Aku...."
"Kalau kau
ingin mendapat hadiah seorang istri yang
cantik seperti
Rara Ayu Kumala, pergilah sana,
bebaskanlah
dia!" sahut Candu Asmara memotong kata-
kata Suto.
Pendekar Mabuk
akhirnya diam sambil tetap
sunggingkan
senyum dan menatap Candu Asmara.
Pandangan yang
beradu bagai menembus sampat ke
dasar hati
masing-masing. Candu Asmara merasakan
getaran hati
menjalar ke seluruh tubuhnya, seakan darah
mengalir dengan
deras namun punya keindahan yang
sulit
digambarkan.
Rupanya kebisuan
di antara mereka berdua mengubah
wajah ketus dan
cemberut menjadi sendu. Mata tegar
berubah menjadi
sayu. Tangan di dada pindah ke
pangkuan Suto
Sinting. Tangan itu disambut dengan
usapan lembut
oleh sang Pendekar tampan. Akhirnya
tangan itu saling meremas pelan, dan rasa hangat
mengalir pula di
seluruh tubuh mereka berdua.
"Mengapa kau
tampaknya sangat tak setuju jika aku
membebaskan putri
raja itu?" tanya Suto Sinting yang
kini membungkuk,
bertumpu siku di pangkuannya,
sementara tangan
Candu Asmara digenggam dengan
kedua tangan,
dimainkan dengan usapan pelan-pelan.
"Aku takut
kau tidak berhasil, tapi juga takut kalau
kau
berhasil," jawab Candu Asmara dengan suara lirih,
sambil meresapi
tiap usapan tangan Pendekar Mabuk.
"Aneh
sekali ketakutanmu itu. Gagal takut,
berhasil
takut?"
"Karena jika
kau gagal atau berhasil kita tetap tak
akan saling
bertemu lagi. Gagal berarti mati, berhasil
berarti menjadi
menantu raja."
Kepala gadis itu
tergolek. Manis sekali. Suto merasa
sedang menunggui
istrinya yang habis melahirkan.
Kebahagiaan
seperti itulah yang ada di dalam hati
Pendekar Mabuk
malam itu.
"Aku tak
mungkin gagal, juga tak mungkin menikah
dengan putri
raja."
"Benarkah?"
suara itu agak parau, menambah suasana
menjadi semakin
romantis saja rasanya.
Suto Sinting
anggukkan kepala. "Aku bersumpah tak
akan menerima
hadiah itu seandainya aku bisa kalahkan
Hantu Urat
iblis."
"Kau tetap
akan bersamaku?"
"Mengapa
tidak?" jawab Suto lirih, namun terdengar
menggema sampai
ke lubuk hati Candu Asmara.
"Kita baru
saja bertemu, tapi rasa-rasanya seperti
sudah beberapa
tahun saling kenal," ucap gadis itu.
"Aku pun
merasa demikian. Begitu dekatnya kau
dengan hatiku,
sampai aku lupa kalau kita baru saja
bertemu,"
balas Suto Sinting, lalu tersenyum menawan,
Candu Asmara pun
tersenyum manis.
Tangan pemuda
tampan itu beranikan diri mengusap
rambut Candu
Asmara. Ternyata gadis itu tidak
menolak, ia
bahkan meresapi usapan yang berawal dari
kening hingga ke
pertengahan rambut itu. Ia meresapi
dengan mata
terpejam lembut.
Kulit halus di
pipi kuning itu semakin menggoda Suto
Sinting. Mata
yang terpejam seakan sebuah isyarat untuk
Suto agar bertindak lebih romantis lagi. Maka dengan
jantung
berdetak-detak cepat, Suto Sinting dekatkan
wajahnya. Pipi
halus lembut seperti kulit bayi itu
diciumnya
pelan-pelan. Ceesss...! Seperti salju
menetes
di ujung hati,
begitu indah dan sangat menyejukkan jiwa.
Candu Asmara
tidak meronta, ia diam saja, seakan
pasrah dengan apa
yang akan dilakukan Suto Sinting.
Gadis itu masih
tak mau membuka matanya, walau
sudah dua kali
dikecup oleh Suto; pipi dan keningnya.
Mungkin ia malu
jika membuka matanya dan menatap
wajah tampan,
atau tak sanggup menahan getaran jiwa
yang mengguncang
dan bergemuruh di dalam dada.
Yang jelas wajah
bersih berkulit kuning langsat itu
menjadi semburat
merah saat dua kali menerima ciuman
lembut dari
Pendekar Mabuk. Merahnya kulit wajah itu
bisa berarti
menahan rasa malu atau menahan hasrat
yang memburu.
Pendekar Mabuk
mengumbar kebahagiaan di hatinya.
Ciumannya kembali
menghangat di kening Candu
Asmara. Ciuman
itu merayap pelan-pelan ke mata si
gadis. Namun kini
kedua tangan Suto memegangi kepala
Candu Asmara,
mengusap lembut kedua sisi kepala itu
dari rambut
sampai ke pipi sambil merayapkan
ciumannya. Tangan
kanan Candu Asmara meremas
pinggang Suto
Sinting ketika ciuman hangat itu
mendekati
bibirnya.
"Ooh...
Indah sekali caranya menciumku," desah
Candu Asmara
dalam hatinya.
Namun ketika
bibir Suto melintasi hidungnya dan
hampir menyentuh
bibirnya, Candu Asmara segera
membuka mata dan
mengelak dengan memalingkan
wajah ke samping
kiri. Ia
bagaikan tak mau dikecup
bibirnya. Suto
Sinting pun menarik wajah dan
memandanginya
dengan satu tangan masih mengelus
lembut kepala
gadis itu. Kini sang gadis menatapnya
dengan mata kian
sayu.
"Jangan
mencium bibirku," katanya dengan suara
seperti berbisik.
"Sekali
saja," pinta Suto lirih.
"Jangan,"
sambil Candu Asmara menggeleng.
"Mengapa tak
boleh?"
"Berbahaya
bagi dirimu."
Suto Sinting
lebarkan senyum geli. "Aku bisa
menahan hasratku
jika kecupan kita makin membara."
"Tak mungkin
kau bisa menahan hasratmu jika sudah
mengecup bibirku
satu kali pun. Tak ada lelaki yang bisa
menahan
keinginannya. Sekali kau mengecup bibirku,
kau akan
mengecupnya terus dan selalu ingin berdekatan
denganku. Aku tak
ingin membuatmu tergila-gila
padaku. Karena
aku tahu hatimu belum sepenuhnya siap
hidup
bersamaku."
"Jangan
samakan diriku dengan pria lain, Candu
Asmara."
"Kau belum
tahu apa yang ada di mulutku, juga di
ujung bibirku,
Suto."
"Keindahan
dan kehangatan yang membara, bukan?"
Candu Asmara
gelengkan kepala.
"Menurut
guruku. Air liurku mengandung racun
karena aku
pelajari ilmu 'Tirta Wicara'. Racun itu
jika
bersatu dengan
air liurmu akan membuatmu selalu ingin
bercumbu denganku
dan... dan kau akan tergila-gila
padaku,
Suto."
"Benarkah?"
"Aku tak
pernah mencobanya. Sebab itu tak pernah
ada lelaki yang
mengecup bibirku. Aku takut menyiksa
dirinya setelah
kecupan itu berakhir."
Tentu saja
Pendekar Mabuk tidak percaya
sepenuhnya. Rasa
percaya dan tidak membuatnya
menjadi
penasaran, ingin membuktikan. Karena memang
begitulah sifat Pendekar Mabuk, mudah penasaran
terhadap sesuatu
yang membahayakan.
"Aku ingin
mencobanya. Aku ingin sekali mengecup
bibirmu yang
ranum ini," seraya ujung bibir itu disentuh
oleh telunjuk
Suto Sinting.
"Apakah kau
sudah siap untuk keracunan asmara?"
Suto tertawa
kecil. "Kalau memang terbukti begitu,
tentunya kau tak
akan menolak kehadiranku, bukan?"
Candu Asmara
diam, sunggingkan senyum tipis,
seakan pamer
lesung pipit yang kian menggoda hati
Pendekar Mabuk.
Dada si pemuda kian bergemuruh
seperti gejolak
gunung yang akan meletus. Bibir itu
dipandanginya,
makin lama makin menantang
keberanian. Suto
Sinting pun akhirnya dekatkan
wajahnya
pelan-pelan.
"Suto,
jangan...," larang Candu Asmara dengan suara
lembut sekali. Ia
menempelkan telunjuknya ke bibir Suto
sebagai tanda
melarang gerakan bibir mendekati
bibirnya sendiri.
"Aku ingin
membuktikan kata-katamu, Candu
Asmara,"
desak Suto Sinting yang kian penasaran.
Candu Asmara
akhirnya pasrah. "Kau memang
bandel. Terserah
kau saja. Tanggung sendiri akibatnya,
Pendekar
Nakal!"
Jari telunjuk itu
pun pergi dari bibir Suto Sinting.
Wajah pemuda
tampan kian mendekat. Candu Asmara
pejamkan mata
dengan bibir merekah, seakan siap
menerima kecupan
hangat dari pemuda yang
mendebarkan
hatinya itu.
Akhirnya bibir
Suto pun menempel pelan-pelan di
permukaan bibir
Candu Asmara. Siiiirr...! Hati keduanya
sama-sama
berdesir indah sekali.
Bibir pemuda itu
bergeser pelan dengan ujung
lidahnya
menyentuh samar-samar di permukaan bibir si
gadis. Candu
Asmara panas-dingin, sentuhan hangat
bibir dan lidah
Suto membakar gairahnya hingga
berkobar-kobar.
"Aih, gila
betul! Pandai sekali dia menciptakan
sentuhan indah
yang membuatku ingin menjerit. Ooh...
aku suka sekali
dengan keindahan ini! Ternyata lebih
indah dari
sekadar usapan tangannya yang lembut tadi.
Ooh.... Suto, kau
telah menjerat hatiku dengan cara
seperti ini. Tak
sadarkah kau, Suto?" rintih batin si gadis
sambil tetap
menikmati sentuhan lidah Suto yang
bermain nakal di
permukaan bibirnya.
Akhirnya bibir
ranum itu dipagut pelan-pelan oleh
Suto Sinting.
Pagutan lembut itu bertambah
menggetarkan
jantung si gadis, sehingga rasa ingin
menjerit nyaris
tak bisa terbendung lagi.
"Hhmmmhh...,"
Candu Asmara mengerang dalam
gumam. Kedua
tangannya meremas baju Suto bagian
punggung.
Tubuhnya menggelia menahan rasa yang luar
biasa nikmatnya.
Akhirnya gigi si gadis membuka dan
lidah Suto pun
disambarnya. Haap...!
"Hhhmmmh...!"
desah yang keluar lewat hidung
menghamburkan
geram menggumam penuh curahan
kebahagiaan. Suto
Sinting melumat lidah dan bibir
Candu Asmara
dengan kelembutan yang terasa
menerbangkan jiwa
setinggi mungkin. Candu Asmara
membalasnya
dengan lembut pula, namun kedua
tangannya meremas
tubuh Suto di sana-sini, seakan
ingin merobek
baju Suto yang tak berlengan itu.
Batin si
gadis menuntut kuat. Tuntutan keindahan
yang lebih nyata
lagi itu dipertahankan mati-matian
hingga napasnya
terengah-engah dan keringat dinginnya
keluar semua.
Hembusan napas kelegaan terlontar
bersama erangan
memanjang ketika Suto Sinting
melepaskan bibir
si gadis dan merayapkan ciumannya ke
dagu, lalu
menelusup ke leher.
"Aaaaaahh...!"
Candu Asmara
gemas sendiri. Punggung Suto
menjadi sasaran
remasan kegemasannya lagi. Tapi ia tak
mau menyingkirkan
wajah Suto yang menelusup di
lehernya.
Bahkan ia memiringkan kepala, membuat
lehernya menjadi
kian terbuka sehingga Suto Sinting
memperoleh
kebebasan bergerak. Leher itu disapu
dengan lidah
Suto, sesekali dipagut-pagut kecil dalam
kelembutan yang
memancarkan gairah berlebihan bagi
Candu Asmara.
"Sutooo...
uuuhh, hhek, heek, heek...," Candu Asmara
merengek seperti
anak kecil, ia merasa semakin hanyut,
terbang di langit
tingkat tertinggi, lupa segala-galanya,
hanyut dalam
kemesraan yang belum pernah
diperolehnya,
walau dulu ia pernah mempunyai seorang
kekasih yang
bernama Umbada. Tapi Umbada tak
pernah
mendapatkan kesempatan seperti yang diperoleh
Suto. Candu
Asmara tak pernah mau berciuman dengan
Umbada, karena
Umbada tak pandai menundukkan
jiwanya.
Sementara itu,
hati Pendekar Mabuk sendiri
berkecamuk dalam
keheranan. Hasratnya ingin mencium
tubuh Candu
Asmara tak bisa ditangguhkan sebentar
pun. Bahkan
semakin lama semakin bersemangat, dan
gairahnya semakin
berkobar-kobar.
"Edan! Aku
tak bisa berhenti?! Padahal aku ingin
berhenti sebentar
saja untuk menarik napas, tapi rasa-
rasanya sulit
sekali untuk berhenti. Ooh... sekujur
tubuhku penuh
dengan keringat dingin. Gairahku
meledak-ledak di
dalam dada. Apakah karena racun
dalam air liurnya? Oh, pantas dia bernama Candu
Asmara, rupanya
siapa pun yang pernah mengecup
bibirnya akan
kecanduan bermain cinta dengannya.
Aduh, bagaimana
berhentinya kalau begini?!"
Candu Asmara
sendiri hanya bisa mengerang dan
merintih-rintih
ketika ciuman Suto merayap sampai ke
belahan dada. Ia
biarkan tangan Suto melebarkan
bajunya hingga
baju itu terlepas. Dada berlapis kutang
tipis diterjang
ciuman Pendekar Mabuk, sampai akhirnya
mulut Pendekar
Mabuk itu mencapai puncak bukit
kehangatan, ia
menyapu ujung bukit itu dengan
lidahnya, pelan
namun pasti. Maksudnya, pasti disantap.
"Aaoouh...!"
Candu Asmara memekik dengan
rematan kedua
tangan semakin kuat ketika ujung bukit
itu akhirnya
disantap oleh Pendekar Mabuk. Tubuhnya
mengejang,
bibirnya digigit sendiri dengan kepala
menggeliat naik.
Suto Sinting memagutnya pelan, pelan,
dan pelaaan...
sekali.
"Celaka! Aku benar-benar tak bisa hentikan
tindakanku
ini," pikir Suto sempat tegang juga.
"Keinginan
menggumulinya semakin besar dan tak bisa
kuhindari. Ooh...
kalau begitu aku benar-benar telah
terkena racun
asmara dalam air liurnya itu. Bahaya kalau
begini! Bahaya
sekali! Aku harus paksakan diri untuk
melepaskan
cumbuanku dan meminum tuakku!"
Suto Sinting
merencanakan hal itu, tapi dalam hatinya
masih ada sedikit
kesangsian; dapatkah tuak itu melawan
racun asmara
tersebut?
*
* *
6
TERNYATA kesaktian tuak Suto masih mampu
melumpuhkan racun
cinta tersebut. Dengan menenggak
tuak beberapa
teguk, hasrat ingin bercumbu secara
berlebihan dapat
dihentikan. Bahkan tuak itu mampu
meredam emosi
cinta Candu Asmara, sehingga
keduanya
sama-sama tegang, hanya saling berpelukan
dalam damai.
Pelukan damai
itu, melebihi puncak keindahan
bercumbu. Pelukan
damai itu terasa lebih agung dan
sangat berkesan
dalam hati mereka masing-masing.
Terasa sulit
melupakan saat-saat bahagia dalam pelukan
seperti itu.
Pusat perhatian
mereka beralih ke masalah
penculikan putri
raja. Mereka ikut hadir di alun-alun
bersama para
calon menantu raja yang jumlahnya cukup
banyak itu. Namun
Suto dan Candu Asmara tidak ikut
berkumpul di
tengah alun-alun. Mereka hanya berada
dalam jajaran rakyat yang menyaksikan wajah-wajah
calon menantu
raja mereka.
"Itu yang
bernama Tengkorak Tampan," bisik Candu
Asmara sambil
menunjuk ke arah pemuda berbaju
merah, rambut
kucal, tubuh kurus, namun masih tampak
muda, seperti
berusia sekitar dua puluh tiga tahun.
Suto Sinting
hanya menggumam sambil manggut-
manggut.
Menurutnya, pemuda berpakaian serba merah
dengan
punggungnya bergambar tengkorak warna putih
itu memang
mempunyai wajah yang lumayan tampan
dibandingkan
Sawung Kuntet. Tapi melihat bentuk
matanya yang
kecil, Suto dapat pastikan bahwa pemuda
itu penuh
kelicikan.
Di samping
Tengkorak Tampan, Suto melihat wajah
angker berbadan
tinggi, besar, berbulu, ia adalah si
Singawulu yang pernah berhadapan dengan Suto saat
menyelamatkan
nyawa Sawung Kuntet. Hanya beberapa
orang yang
berwajah angker, lainnya pada umumnya
mempunyai wajah
yang bisa dibilang lumayan ganteng.
"Gila! Bocah
gendeng itu ada di sana juga rupanya?!"
gumam Suto
Sinting dengan terperangah.
"Siapa
maksudmu?"
"Santana,
sahabatku dari Pulau Parang," jawab Suto
sambil menuding
ke arah pemuda bersenjata toya bambu
kuning yang mengenakan
rompi putih celana coklat itu.
Pendekar Mabuk
geli sendiri saat membayangkan
pertemuannya
dengan Santana, si pemuda kalem dan
murah senyum itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode :
"Kematian Sang Durjana").
Pendekar Mabuk
segera tertarik pada seorang pemuda
bertubuh lebih
tinggi darinya, berbadan kekar dan
bercambang halus.
Wajah tampannya dihiasi dengan
kumis tipis dan
rambut bergelombang sepanjang bahu.
Pemuda yang
mengenakan pakaian hijau muda dengan
hiasan benang
emas itu diperkirakan baru berusia sekitar
dua puluh tahun.
Tapi karena perawakannya yang tinggi
dan kekar, ia
tampak seperti sudah berusia lebih dari dua
puluh tahun.
Wajah bocahnya masih tampak jelas,
sehingga orang
dapat menduga bahwa ia masih muda
belia.
"Siapa
pemuda yang berdiri di bawah pohon itu?"
"Oh,
dia...?! Dia dikenal dengan nama si
Pedang
Dewa, murid
Perguruan Jari Wasiat, berasal dari Selat
Kubang. Aku
kenal dengannya ketika adikku; Mirah
Cendani hampir
mati di tangan para Perampok Gunung
Sawan. Dia yang
selamatkan Mirah Cendani," jawab
Candu Asmara
dengan lancar. Tapi tiba-tiba wajah gadis
itu sedikit
menegang. Seseorang yang berjalan dari arah
kanan Suto
menjadi pusat perhatian. Candu Asmara pun
berbisik kepada
Suto dengan lagak tak memperhatikan
orang tersebut.
"Kita pindah
ke sebelah sana saja, dekat Cempaka
Ayu!"
"Kenapa?"
tanya Suto heran.
"Pindah saja
ke sana!" sambil Candu Asmara menarik
tangan Suto.
Ketika pemuda itu menaruh curiga dengan
pandangan si
gadis dan ingin berpaling ke belakang,
Candu Asmara
buru-buru menyentak dengan suara bisik.
"Jangan
menengok ke belakang! Jangan menengok!"
"Hei, ada
apa sebenarnya, Candu Asmara?!"
"Dewi
Ranjang melihatmu dan dia berusaha
mendekatimu!"
bisik Candu Asmara yang membuat Suto
Sinting jadi
tersenyum geli. Rasa takut Candu Asmara
terhadap aji
pemikat di mata Dewi Ranjang membuatnya
sempat tampak
gugup. Suto tahu, Candu Asmara sangat
takut jika Suto
terkena aji pemikat Dewi Ranjang. Sebab
itu, Suto tak
berani coba-coba melirik Dewi Ranjang,
karena Candu
Asmara akan berang terhadapnya jika
nekat melakukan
hal itu.
Candu Asmara
berpindah posisi. Kini ia berjalan di
belakang Suto
Sinting dan mengarahkan langkah Suto
untuk pindah
tempat. Dengan begitu, ia seolah-olah
menjadi
penghalang utama jika Dewi Ranjang ingin
mendekati
Pendekar Mabuk.
Setelah mereka
bergabung dengan Cempaka Ayu
yang berdiri
bersama kekasihnya, maka pusat perhatian
mereka pun
tertuju pada utusan dari istana yang
mewakili Raja
Gundalana. Sang utusan tampil di atas
panggung lebar
yang sebenarnya disediakan untuk
pertarungan laga
bagi para calon menantu raja. Dari atas
sana sang utusan
berseru mengumumkan tentang
hilangnya Rara
Ayu Kumala Undarini Sumbi yang
diculik oleh
Hantu Urat Iblis.
Suara gemuruh
terdengar bagai ratusan lebah
menyerang
alun-alun. Suara gemuruh itu berasal
dari
gumam, gerutu dan
kecaman dari para calon menantu
raja dan rakyat
di sekeliling alun-alun. Mereka sangat
terkejut,
sekaligus kecewa dengan munculnya musibah
yang baru
sekarang diketahui oleh mereka itu.
"Tepat malam
purnama yang akan datang dua hari
lagi, Hantu Urat
iblis memberi kesempatan kepada siapa
saja yang ingin
mencoba merebut Gusti Rara Ayu
Kumala dari
tangannya. Hantu Urat Iblis menunggu di
Bukit Kecubung
dan siap lakukan pertarungan dengan
siapa pun. Jika
tak ada yang bisa menumbangkan
dirinya, maka
Gusti Rara Ayu Kumala akan
diboyongnya ke
Pulau Setan dan dijadikan istrinya
secara paksa."
"Bangsaaat...!"
teriak Singawulu dengan keras,
membuat ia
diperhatikan oleh setiap orang.
Singawulu
tampak marah
sekali dan sangat bernafsu untuk
membunuh Hantu
Urat Iblis.
Suto Sinting
justru tertawa geli mendengar makian
Singawulu yang sangat kecewa itu. Dalam benak Suto
terbayang
semangat Singawulu saat hendak menuju ke
kotaraja, seakan
ia yakin betul bahwa dirinya yang akan
menjadi menantu
Raja Gundalana. Tapi kenyataannya ia
justru mendapat
kabar seperti itu, dan Suto dapat
bayangkan betapa
besar kekecewaan Singawulu saat itu.
Utusan raja
berseru lagi, "Karenanya, Paduka Raja
memutuskan,
barang siapa yang bisa membebaskan
Gusti Rara Ayu
Kumala dan membawanya pulang
dengan selamat,
dialah yang akan menjadi menantu
Paduka Raja dan
diangkat sebagai panglima tertinggi di
negeri Bardanesya
ini!"
"Aku
sanggup!" seru salah seorang peserta.
"Aku juga
sanggup! Kau pikir kau saja yang
sanggup?!"
bantah orang di sebelahnya.
"Jangan
besar mulut, Kawan! Buktikan, siapa di
antara kau atau
aku yang berhasil tumbangkan si Hantu
Urat iblis
itu!"
"Eh, kau
meremehkan aku, ya?!" bentak orang kedua
tadi.
"Kalau iya
mau apa kau, hah?!" orang pertama juga
tampak berani.
"Hei, hei,
hei...! Jangan ribut di sini!" sentak yang
lainnya.
"Kalau mau ribut di Bukit Kecubung sana!"
Mereka melerai,
Suto Sinting memandang dengan
tertawa geli.
Pendekar tampan itu masih tetap tenang dan
seakan tidak ikut
terlibat dalam rencana pertarungan di
Bukit Kecubung
itu. Ia
bahkan berbisik kepada Candu
Asmara dengan
pelan.
"Dapatkah
aku menghadap Raja Gundalana?!"
"Untuk
apa?"
"Ada
beberapa hal yang ingin kuketahui tentang
hubungan raja
dengan Hantu Urat Iblis," jawab Suto
dengan serius,
sehingga Candu Asmara pun menanggapi
dengan serius
pula.
Bisikan itu
didengar oleh Cempaka Ayu, kemudian
Cempaka Ayu ikut
angkat bicara dalam bisikan pula.
"Kurasa
untuk saat seperti sekarang ini, siapa pun
sulit menemui
raja, karena beliau dalam keadaan sangat
berduka.
Sebaiknya jika ada sesuatu yang ingin kau
ketahui,
tanyakanlah kepada Paman Sumanjaya!"
"Siapa itu
Paman Sumanjaya?" tanya Suto.
"Sahabat
ayahku yang sering berkunjung untuk
makan di
penginapanku."
"Oooo..,"
Suto manggut-manggut. "Apakah Paman
Sumanjaya
mengetahui hubungan pribadi antara raja
dengan Hantu Urat
Iblis?"
"Menurutku...
beliau tahu banyak tentang keluarga
istana, karena
beliau adalah penasihat raja dalam bidang
hukum dan
adat."
"Kurasa
memang lebih baik bicara kepada Paman
Sumanjaya
saja," timpal Candu Asmara. "Menghadap
raja tidak mudah.
Bisa-bisa kau dicurigai sebagai anak
buah Hantu Urat
Iblis!" sambil Candu Asmara
sunggingkan
senyum cantiknya yang membuat Suto
Sinting
berdebar-debar, lalu balas memamerkan senyum
menawannya.
Paman Sumanjaya
bertemu dengan Pendekar Mabuk
di kedai
penginapan milik keluarga Cempaka Ayu.
Pendekar Mabuk
didampingi oleh Candu Asmara yang
sudah dikenal
oleh Paman Sumanjaya.
Tetapi sebelumnya
Suto mewanti-wanti kepada
Candu Asmara dan
Cempaka Ayu agar jangan
memperkenalkan
dirinya sebagai Pendekar Mabuk. Ia
hanya bersedia
dikenalkan sebagai sahabat Candu
Asmara yang
bernama Suto saja.
"Mengapa kau
tak mau diperkenalkan sebagai
Pendekar Mabuk.
Menurutku, jika Paman Sumanjaya
mengetahui bahwa
kau Pendekar Mabuk, maka ia tak
segan-segan
menceritakan apa saja yang ingin kau
ketahui. Namamu
sudah sering disebut-sebut oleh para
prajurit dan
pejabat istana," kata Cempaka Ayu.
"Justru aku
tak ingin mereka terlalu menaruh harap
padaku,"
ujar Pendekar Mabuk. "Jangan katakan kalau
aku pun ingin
mencoba membebaskan putri raja.
Katakan saja
bahwa aku dan Candu Asmara hanya
sekadar ingin
tahu tentang penculikan tersebut."
Candu Asmara
menimpali lagi, "Kalau hanya itu aku
sendiri yang
bicara kepada Paman Sumanjaya!"
Orang yang
bernama Paman Sumanjaya itu berbadan
gemuk dan tinggi
tubuhnya sedang-sedang saja.
Kebiasaannya
makan siang di kedai tersebut bukan
lantaran di
istana tidak mendapat jatah makan, tetapi
sekadar ingin selalu
bertemu dengan ayahnya Cempaka
Ayu dan menambah
porsi makannya. Sebab jika ia
makan terlalu
banyak di istana, merasa malu terhadap
pejabat lainnya.
"Penculikan
itu dilakukan pada tengah malam," ujar
Paman Sumanjaya
mengawali ceritanya. "Tak seorang
pun yang
terbangun pada malam itu, sehingga tak
seorang pun yang
melihat jalannya penculikan tersebut.
Kami seperti
dibius dengan suatu ilmu yang membuat
kami tertidur
nyenyak sekali. Bahkan penjaga pintu
gerbang istana
pun ikut tertidur sampai pagi baru
bangun."
"Dari mana
pihak istana tahu kalau Hantu Urat Iblis
menunggu di Bukit
Kecubung?"
"Selembar
surat ditinggalkan di dalam kamar Gusti
Rara Ayu
Kumala," jawab Paman Sumanjaya.
Kini Suto Sinting
giliran ajukan pertanyaan kepada
sang penasihat
raja bidang hukum itu.
"Apakah
sebelumnya pihak raja sudah kenal dengan
Hantu Urat Iblis,
Paman?"
"Sudah,"
jawabnya tegas. "Hantu Urat Iblis pernah
datang melamar
Rara Ayu Kumala, tapi lamarannya
ditolak secara
halus."
"Secara
halusnya bagaimana?"
"Rara Ayu
Kumala mau menerima lamaran Hantu
Urat Iblis jika
diberi maskawin seekor kelinci emas."
"Mana ada
kelinci emas?" sela Suto sambil tertawa
dalam senyum.
"Justru
itulah putri raja memberi syarat yang tak
mungkin bisa
dikabulkan oleh Hantu Urat Iblis."
"Hmmm...,"
Suto Sinting menggumam sambil
manggut-manggut.
"Kalau begitu, rupanya Hantu Urat
Iblis merasa
sakit hati dengan penolakan lamarannya itu,
kemudian ia
mendengar sang Raja mencari calon
menantu. Sebelum
calon menantu didapatkan, ia
menculik Rara Ayu
Kumala. Menurutku selain ia sakit
hati juga ingin
membuktikan bahwa ia mampu bertindak
dengan cara apa
pun untuk dapat memperistri Rara Ayu
Kumala."
"Ya, memang
begitulah kesimpulan kami, para
pejabat
Istana!" ujar Paman Sumanjaya.
"Tapi
sebelumnya tak ada perjanjian apa-apa,
bukan?"
"Perjanjian
apa maksudmu, Nak?"
"Misalnya,
sang Raja pernah berjanji tidak akan
mengawinkan
putrinya dengan siapa pun sebelum Hantu
Urat Iblis
mendapatkan kelinci emas, atau perjanjian
lainnya yang
bersifat mengikat kebebasan keluarga
istana?"
"O, tidak!
Tidak pernah ada perjanjian apa pun."
Suto Sinting
manggut-manggut, lalu diam termenung
beberapa saat.
Sementara itu, Candu Asmara ganti
ajukan tanya
kepada Paman Sumanjaya.
"Paman, jika
seseorang berhasil merebut Rara Ayu
Kumala dari
tangan Hantu Urat Iblis, tapi dia tidak
bersedia menikah
dengan Rara Ayu Kumala, apa
sanksinya?"
"Tak ada
sanksi apa-apa. Tak ada hukuman apa-apa!
Justru pihak
istana akan merasa tak enak hati dan pasti
akan menuruti apa
pun permintaan orang tersebut
sebagai
hadiahnya."
"Nanti
dianggap penghinaan?!" timpal Suto
Sinting
dengan nada
cemas, karena ia pernah nyaris dianggap
menghina keluarga
istana karena menolak hadiah berupa
perkawinan
terhadap putri sang penguasa, (Baca serial
Pendekar Mabuk
dalam episode: "Asmara Darah Biru").
"Kurasa
tidak demikian, Nak. Perkawinan itu hanya
semacam hadiah
saja. Karena orang yang membebaskan
sang Putri belum
tentu semuanya bermaksud melamar
ingin menjadi
menantu raja. Peraturannya sudah berbeda
dengan peraturan
semula. Sekarang siapa pun, tua atau
muda, lelaki atau
perempuan, boleh ikut membebaskan
Rara Ayu Kumala.
Pihak istana punya kebijaksanaan
tersendiri dalam
hal ini."
"Paman
berani menjamin tak ada kesan penghinaan
jika ada yang
berhasil membebaskan Rara Ayu Kumala
tapi tidak mau
menikah dengannya?" sela Candu
Asmara.
"Ya. Aku
berani menjamin! Apakah kau tak tahu
yang merumuskan
ketentuan dan hukum adalah diriku,
Candu
Asmara?"
Candu Asmara
merasa lega, demikian pula Pendekar
Mabuk. Tapi bagi
Paman Sumanjaya, pertanyaan itu
akhirnya menjadi
buah ganjalan hatinya.
"Mengapa kalian mempersoalkan tentang itu?
Apakah ada yang
ingin membebaskan putri raja tapi tak
ingin menikah
dengannya?!"
Suto Sinting
buru-buru menjawab pada saat bibir
Candu Asmara
mulai bergerak ingin lontarkan kata.
"O, tidak!
Kami hanya ingin tahu saja, Paman. Kami
tertarik dengan
peristiwa itu dan ingin mengikuti sampai
di mana akhir
dari penculikan tersebut. Adakah para
calon menantu
raja yang mampu merebut sang Putri dari
tangan Hantu Urat
Iblis? Hanya itu yang ingin kami
ketahui,
Paman."
"Kita lihat
saja pada malam purnama nanti!" kata
Paman Sumanjaya,
seakan yakin bahwa salah satu dari
para tamu istana
itu ada yang berhasil bebaskan Kumala
dari tangan Hantu
Urat Iblis.
Candu Asmara
sendiri akhirnya tertarik untuk melihat
pertarungan di
Bukit Kecubung. Para jago dari pelosok
penjuru dunia
datang untuk melawan Hantu Urat Iblis.
Bahkan menurut
Paman Sumanjaya, para pelamar itu
ada yang datang
dari Pegunungan Tibet dan Tanah
Gangga. Suatu
kerugian besar jika Candu Asmara tidak
ikut menyaksikan
pertarungan di Bukit Kecubung itu.
Selama dua malam
Suto Sinting menginap di
penginapan milik
ayahnya Cempaka Ayu itu. Selama
dua malam itu,
bunga-bunga asmara berhamburan di
kamar yang tak
seberapa lebar. Namun gadis berhidung
mancung itu tetap
tak ingin lanjutkan cumbuan mereka
menjadi pelayaran
cinta yang mendebarkan. Suto Sinting
pun tak merasa
kecewa dan merasa lebih bangga dapat
memeluk Candu
Asmara sepanjang malam tanpa
menodai cinta dan
kesetiaannya terhadap Dyah
Sariningrum.
"Jangan
bertindak dulu sebelum jelas bahwa tak satu
pun dari mereka
yang mampu merebut Kumala dari
tangan Hantu Urat Iblis," ujar Candu Asmara
sebelum
mereka berangkat
ke Bukit Kecubung.
"Aku memang
bermaksud begitu. Kalau memang ada
yang mampu
menumbangkan Hantu Urat Iblis, aku
justru senang, karena tak perlu repot-repot lompat
sana-
sini
melawannya."
Candu Asmara
hembuskan napas lega. Tapi ketika
mereka berangkat
menuju bukit tersebut pada awal
purnama tiba,
Candu Asmara tampak gelisah. Ada suatu
kecemasan yang
disembunyikan oleh gadis cantik
bertubuh tinggi
sekal itu.
"Mengapa kau
kelihatannya resah, Candu Asmara?"
tegur Suto yang
merasa janggal atas jarangnya Candu
Asmara bicara
sepanjang perjalanan itu.
"Aku takut
kalau kau tumbang di tangan Hantu Urat
Iblis! Aku... aku
tak ingin kau mati di tangannya!"
Suto Sinting
tertawa kalem. "Bukankah kau dapat
bertindak
secepatnya jika aku tampak terdesak bahaya?!
Kita bisa lari
bersama, heh, heh, heh...."
"Aku yakin
kau tak akan mundur walau sudah tahu
kalau terdesak.
Kau adalah seorang pendekar, jiwamu
tak mungkin
menyerah begitu saja. Kau lebih baik mati
di pertarungan
daripada lari dari pertarungan!"
"Betulkah
jiwaku begitu? Oh, aku sendiri justru baru
tahu
sekarang," ujar Pendekar Mabuk dengan santainya, ai ketegangan sedikit
pun.
Ketenangan Suto
itu justru membuat Candu Asmara jadi
kesal sendiri di
dalam hatinya. Gadis itu tak mau
sunggingkan
senyum seulas pun walau Suto
menggodanya
dengan canda.
Sampai mereka
tiba di Bukit Kecubung, gadis itu
masih tak mau
tersenyum. Namun ketenangannya mulai
terlihat sejak ia
melihat gurunya ternyata hadir di situ
pula bersama
Mirah Cendani dan Sawung Kuntet,
"Lihat, di
sebelah sana ada adikmu dan Sawung
Kuntet!"
"Ya, aku
tahu. Kita ke sebelah sini saja. Kalau Guru
tahu aku di sini,
pasti akan melarangku ikut campur
dalam pertarungan
ini. Padahal kalau kau maju melawan
Hantu Urat Iblis
dan keadaanmu terdesak, aku tetap akan
ikut campur dalam
pertarungan nanti!"
Candu Asmara
sengaja tidak temui gurunya. Tapi ia
yakin, jika ia
ikut campur dan dalam bahaya, pasti sang
Guru tidak akan
tinggal diam. Rupanya kabar tentang
malam
pertarungan itu cepat menyebar ke
mana-mana
sampai Eyang
Cakraduya mengetahuinya.
Terbukti, bukan
hanya para calon menantu raja saja
yang hadir di
Bukit Kecubung itu, melainkan beberapa
tokoh dari
berbagai penjuru ikut datang menyaksikan
ulah si anak
siluman yang kala itu belum datang.
Ketika bukit
tersebut sudah ramai dikunjungi orang,
maka angin besar
berhembus bagaikan badai di awal
kiamat tiba.
Suara deru angin yang disertai dengan
kilatan cahaya
petir membuat beberapa orang, terutama
yang berilmu
rendah, sempat merinding dan bergidik.
Mereka memandang
ke arah langit. Tampak cahaya biru
petir yang
melesat di sana-sini dengan gelegar suaranya
yang menggema di
sana-sini.
"Biasanya
ini pertanda si Hantu Urat Iblis datang
bersama
murkanya," bisik Candu Asmara kepada Suto
Sinting. Mata pemuda
tampan murid si Gila Tuak itu
menatap ke
sana-sini, hatinya penasaran ingin segera
melihat sosok
tokoh aliran hitam yang dikenal sebagai
Hantu Urat Iblis
itu.
*
* *
7
TIDAK seorang pun mengetahui kehadiran Hantu
Urat Iblis.
Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh
kemunculan
seorang lelaki berjubah hitam dan bercelana
merah. Jubah
hitamnya yang tanpa lengan itu berkelebat
ditiup sisa badai
misterius tadi.
Kini cahaya
purnama tampak semakin terang dan
menyinari sesosok
tubuh yang tak terlalu gemuk, tapi
juga tak terlalu
kurus. Pandangan mata mereka tertuju
pada seraut wajah
pucat yang punya ketampanan
tersendiri. Wajah
pucat berambut sepunggung warna
abu-abu itu
mempunyai kulit tubuh warna putih dengan
garis-garis biru
sebagai bayangan urat nadi yang tampak
jelas karena ketipisan kulitnya.
"Diakah yang
bernama Hantu Urat Iblis?" bisik Suto
kepada Candu
Asmara.
"Benar!
Dialah orangnya!" Candu Asmara menjawab
dengan suara
sedikit terasa tegang.
Tapi Pendekar Mabuk
memandang dengan sikap
tenang sekali, ia
memperhatikan sosok Hantu Urat Iblis
dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Ia tak melihat
orang tersebut
membawa senjata, selain keruncingan
pada kuku-kuku
tangannya. Hanya orang-orang berilmu
tinggi yang
sering merasa malas membawa senjata,
karena seluruh
anggota tubuhnya dapat berubah menjadi
senjata maut
perenggut nyawa lawannya.
"Atau memang
dia tak mempunyai senjata?" ujar hati
Suto Sinting
dengan usil.
Bukit Kecubung
termasuk bukit gundul tanpa hutan.
Ketinggiannya
memang tak seberapa, tapi permukaan
puncaknya sangat
datar, mirip sebuah lapangan bola. Di
puncak itu hanya
ada satu pohon yang tumbuh tinggi,
seperti pohon
jati tapi daunnya mirip beringin.
Di pohon itulah,
Rara Ayu Kumala tahu-tahu sudah
terikat begitu
mereka mengetahui Hantu Urat Iblis sudah
tiba di tempat
tersebut. Gadis cantik itu terikat tubuhnya
dalam keadaan
menangis terisak-isak. Namun ia masih
sehat dan tak ada
luka sedikit pun pada tubuhnya.
"Gusti Ayu
Kumala... apakah dia sudah menodai-
mu?!" seru
Tengkorak Tampan.
"Belum! Tapi
aku takut... oh, tolonglah aku...!" seru
Kumala Udarini
Sumbi.
"Apakah dia
menyakitimu?!" seru pemuda yang lain.
"Tidak.
Dia... dia hanya menyekapku dan sekarang
mengikatku di
sini! Tolong bebaskan diriku!" sambil
sang gadis
menangis ketakutan.
Cahaya rembulan
bersinar penuh. Malam bagaikan
siang. Terang
sekali. Angin berhembus sedang dengan
kecepatan tak
perlu disebutkan. Yang jelas, rambut
panjang Hantu
Urat Iblis meriap-riap dipermainkan
angin. Sebagian
ada yang menutup wajah, membuat
wajahnya menjadi
tampak menyeramkan. Sorot
pandangan matanya
sangat dingin, seakan mampu
membekukan
seluruh darah orang yang dipandangnya.
Utusan dari
istana maju, bicara dengan Hantu Urat
Iblis dengan
gemetar.
"Hantu Urat
Iblis, apakah kau tak menyesal membuka
tantangan
pertarungan di sini dengan para pelamar ini?!"
"Jangan
banyak mulut! Siapa yang merasa mampu
menjadi istri
Kumala, tunjukkan padaku kehebatannya!
Hantu Urat Iblis
berkuasa atas diri gadis yang sudah
lama
kuidam-idamkan ini! Siapa pun tak berhak
memilikinya!"
"Baiklah,
itu urusanmu. Kalau sakit, kau sendiri yang
menanggung. Para
pelamar kebanyakan orang-orang
galak
dan...."
Claaap...!
Tiba-tiba dari mata Hantu Urat Iblis
keluarkan sinar
merah berbentuk seperti pintu runcing.
Sinar itu melesat
cepat dan menghantam dada utusan
dari istana.
Zuuurb...!
Orang itu diam
saja, tapi mulutnya tetap ternganga
tak bisa
ditakupkan lagi. Ia tak menjerit kesakitan, walau
beberapa orang
mengetahui dada utusan istana itu
menjadi hitam
hangus selebar telapak tangan.
"Minggirlah,
Ki Juru Wicara... biar aku yang
menghadapinya
pertama kali!" ujar seorang pemuda
berbaju biru tua
kepada utusan dari istana itu.
Tetapi pemuda
tersebut segera tercengang setelah
mengetahui bahwa
Ki Juru Wicara ternyata sudah tidak
bernyawa lagi. Wajah pemuda itu menegang dan ia
segera berseru
kepada orang di sekitarnya.
"Dia sudah
tak bernyawa?! Dia langsung mati?!"
"Kejam!"
geram Singawulu yang tampak sudah tak
sabar lagi.
Singawulu tiba-tiba melesat dalam satu
lompatan.
Wuuut...!
Jleeg...! Ia berdiri di
depan Hantu Urat Iblis
dalam jarak lima
langkah.
"Lepaskan
putri raja atau kulepaskan kepalamu dari
ragamu!"
ancam Singawulu sambil melepas sabuk
pusakanya.
Hantu Urat Iblis
tak menjawab. Hanya saja,
Singawulu tiba-tiba menggeragap bagai diterjang
bayangan hitam
yang membuat matanya gelap sesaat.
Wuuus...! Tanpa
suara teriak atau menggeram,
Singawulu tahu-tahu sudah berada di tanah, terkapar
dalam keadaan sekarat. Dadanya rusak tercabik kuku
tajam. Sedangkan
Hantu Urat Iblis sudah berada di
tempat yang tadi
dibelakangi Singawulu.
"Edan! Gerakannya
seperti setan ketakutan?!" gumam
seorang penonton
di samping Suto Sinting.
"Gerakan
setan yang tidak ketakutan saja sudah
secepat itu,
apalagi setan yang ketakutan, ya?" timpal
temannya.
Beberapa orang
sempat tertegun melihat Singawulu
kejang-kejang
beberapa saat, kemudian napasnya
menghembus
panjang, dan sejak saat itu tak mau
bernapas lagi.
"Gila! Alangkah singkatnya pertarungan itu. Belum
apa-apa
Singawulu sudah tewas, padahal baru
melepaskan
sabuknya?!" gumam Suto Sinting pelan
sekali dan
didengar oleh Candu Asmara.
Gadis itu
berkata, "Begitulah cara Hantu Urat Iblis
jika bertarung.
Tak pernah pakai basa-basi dulu, tahu-
tahu lawannya
tewas tanpa sempat lakukan perlawanan
sedikit
pun."
"Ssst...!
Lihat, pemuda yang pernah menolong
adikmu itu sudah
mencabut pedangnya. Pasti dia akan
menyerang lebih
dulu," bisik Suto, dan baru saja bisikan
tersebut
berhenti, ternyata pemuda tinggi berambut ikal
yang bergelar si
Pedang Dewa sudah berkelebat
menerjang Hantu
Urat Iblis.
Wees. .!
Craas...!
Terjangan dari
belakang membuat Hantu Urat Iblis
terkena sabetan
pedang. Punggungnya tampak koyak
lebar. Tetapi
beberapa orang yang berada di arah
belakang Hantu
Urat Iblis segera tercengang melihat
luka itu berasap tipis dan bergerak menutup
sendiri
secara
pelan-pelan. Akhirnya punggung tersebut utuh
kembali tanpa
luka seujung rambut pun. Hanya saja
pakaian hitam
Hantu Urat Iblis tetap saja robek, tanpa
ada yang
menjahitnya, baik secara ajaib maupun nyata.
"Itulah ilmu 'Perisai Kubur'-nya," bisik Candu
Asmara. Suto
hanya menggumam kecil dan tetap tenang.
Matanya tertuju
pada si Pedang Dewa yang memainkan
pedangnya dengan
gerakan indah.
Hantu Urat Iblis
hentakkan kakinya dari jarak lima
langkah.
Duuhk...! Brruuus...!
"Aaaaa...!!"
jeritan si Pedang Dewa terdengar
menyayat hati.
Tanah yang dipijaknya itu longsor ke
dalam bukit.
Tubuhnya bagai tersedot ke dalam. Setelah
itu tanah
tersebut muncul kembali dan menjadi datar
lagi. Bahkan
menjadi keras seperti tak pernah longsor
sedikit pun.
"Celaka!"
ujar Candu Asmara. "Si Pedang Dewa
tewas ditelan
bumi?! Padahal dia pernah menolong
adikku. Aku
harus...."
Suto Sinting
mencekal lengan gadis itu. "Ingat, kau
hanya akan ikut
campur jika aku dalam bahaya!"
Candu Asmara
akhirnya hembuskan napas, tak jadi
lakukan tindakan
pembalasan terhadap nasib si Pedang
Dewa, karena
ingat akan janjinya.
Perhatian gadis
itu segera diarahkan kepada si
Tengkorak Tampan.
Karena pemuda berbaju merah
dengan gambar
tengkorak di punggungnya itu segera
lakukan lompatan
bersalto cepat ke arah Hantu Urat
Iblis. Wuk, wuk,
wuk...! Sambil bersalto ia mencabut
senjata milik
gurunya; 'Garpu Malaikat' yang selama ini
dianggap sebagai
senjata sangat berbahaya.
!
Jleeg...! Tepat
saat kaki Tengkorak Tampan menapak ke
tanah, 'Garpu
Malaikat' disentakkan ke depan. Wuuut!
Claaap...! Dari
ujung kedua mata garpu itu keluar sinar
merah sebesar
lidi yang bergerak dengan sangat cepat.
Jleeb...! Sinar
itu menghujam dada Hantu Urat Iblis.
"Uuhk
?!" Hantu Urat Iblis sempat terpekik dan
limbung ke
belakang beberapa langkah. Tapi kejap
kemudian ia
menjadi tegak kembali dan lubang bekas
luka kedua sinar
merah itu telah mengatup dengan
sendirinya.
"Keparat
kau, Iblis!" geram Tengkorak Tampan, lalu
ia lakukan
lompatan menerjang dengan senjata
disabetkan dari
bawah ke atas. Weees...!
Hantu Urat Iblis
berguling ke tanah satu kali, lalu
tangannya
menampar ke atas, mengenai kaki si
Tengkorak Tampan.
Plaak...! Suara tamparan itu tak
seberapa keras,
namun akibatnya sungguh berbahaya
bagi si Tengkorak
Tampan.
Pada mulanya
pemuda itu masih mampu berdiri tegak
dan memainkan
jurusnya untuk siap lakukan serangan
kembali. Tapi
tiba-tiba ia menggeloyor mau jatuh.
Tubuhnya terasa
menggigil. Kakinya menjadi biru
legam. Warna biru
legam itu merayap dengan cepat
sampai ke
pinggul. Brruk...! Tengkorak Tampan pun
roboh dalam
keadaan napas tersentak-sentak.
Semua mata
memperhatikan si Tengkorak Tampan.
Mata mereka
terbelalak serentak setelah si Tengkorak
Tampan mengejang
kuat, lalu melemas sambil
hembuskan napas
terakhirnya.
"Gila! Kena
tamparannya saja langsung koit?!" ujar
penonton awam
yang nekat menyusup di antara para
jagoan.
Candu Asmara berbisik
kepada Pendekar Mabuk,
"Bukan
tamparannya yang mematikan, tapi keringat di
telapak
tangannya, ia pasti pergunakan Ilmu 'Peluh
Neraka'.
Tengkorak Tampan akhirnya mati setelah tiga
belas
hitungan."
"Kau
menghitungnya?"
"Ya,"
jawab Candu Asmara dengan tegas.
Kini setiap orang
mengetahui kehebatan Ilmu si
Hantu Urat Iblis
itu. Namun demikian pertarungan masih
berlangsung
terus. Sebagian memang ada yang
mengundurkan
diri, karena merasa tak punya ilmu yang
bisa untuk tandingi
kesaktian Hantu Urat Iblis itu. Tapi
sebagian lagi
masih merasa penasaran dan ingin
mencoba
melawannya.
Mayat
bergelimpangan di puncak Bukit Kecubung.
Setiap lawan yang
tumbang tak bernyawa dibuang oleh
Hantu Urat Iblis
dengan tendangan kaki hingga
menggelinding ke
tepian.
Satu persatu
mereka tumbang tak bernyawa. Sampai
akhirnya tak ada
orang lagi yang ingin mencoba merebut
Rara Ayu Kumala
dari tangan Hantu Urat Iblis. Si anak
siluman itu
berseru dengan suara lantangnya.
"Kuhitung
sampai tiga kali, kalau tak ada yang maju,
berarti aku harus
segera pulang ke Pulau Setan
memboyong
Kumala!"
Suto dan Candi
Asmara saling pandang. Tapi tiba-
tiba Suto
terkejut melihat sekelebat bayangan melesat ke
tengah arena.
Wuuus...! Jleeg...!
"Aku yang
akan melawanmu, Paman!" ujar seorang
pemuda bertongkat
bambu kuning sambil cengar-cengir.
"Edan!
Santana mau ikut-ikutan maju?!" sentak Suto
Sinting dengan
tegang.
Zlaaap...! Suto
Sinting bagaikan menghilang dari
hadapan Candu
Asmara. Ternyata ia berkelebat
menyambar tubuh
Santana dari hadapan Hantu Urat
Iblis. Weess...!
Tubuh Santana dilemparkan begitu saja
dan jatuh
menggelinding menuruni lereng bukit.
Brruk...!
"Aahk...!"
pekikannya terdengar pelan dan pendek,
karena saat itu
Santana langsung pingsan. Ulu hatinya
membentur batu
sebesar kepala bayi dengan kerasnya
saat ia jatuh
terbanting.
Kini Suto Sinting
yang ada di depan Hantu Urat Iblis.
Kemunculan
Pendekar Mabuk membuat beberapa orang
yang mengetahui
ciri-ciri tersebut saling terkejut dan
bergumam kagum.
Mirah Cendani segera berseru di sela
gumam mereka.
"Pendekar
Mabuk! Jangan hadapi dia!"
Si gadis ingin
berlari ke arena, tapi tangan sang Guru
mencekalnya.
"Biarkan dia
mengakhiri keganasan si anak siluman
itu!" ujar Eyang
Cakradayu yang mengenakan kain putih
dililitkan tubuh
seperti seorang biksu.
Candu Asmara
memandang dengan tegang,
jantungnya
berdetak-detak saat mendengar Hantu Urat
Iblis membentak
kepada Suto Sinting.
"Mau cari
mampus juga kau, hah?!"
Suto Sinting
justru menenggak tuaknya dengan
santai.
Ketenangan Pendekar Mabuk membuat darah si
anak siluman itu
semakin membara.
Tiba-tiba Hantu
Urat Iblis menerjang Suto dengan
kecepatan tinggi,
seperti yang dilakukan terhadap
Singawulu.
Wees...!
Zlaaap...! Jurus
'Gerak Siluman' si Pendekar Mabuk
membuat terjangan
cepat itu tak mengenai sasaran.
Tahu-tahu Suto
Sinting sudah berada di samping Rara
Ayu Kumala.
"Biadab
kau!" geram Hantu Urat Iblis.
Zlaaap...! Suto
sudah berpindah tempat sebelum
Hantu Urat Iblis
menyerangnya. Anak siluman itu
kebingungan
sesaat. Begitu menengok ke belakang,
ternyata lawannya
sedang berdiri di belakangnya,
menutup bumbung
tuak. Hal itu sangat menjengkelkan
sekali bagi Hantu
Urat Iblis. Maka serta-merta dari
kedua matanya
keluar sinar merah seperti pisau yang
meluncur cepat
menghantam Suto Sinting.
Claaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat
terjadi hingga mengguncangkan
bukit tersebut,
karena Pendekar Mabuk menangkis dua
sinar itu dengan
bumbung tuaknya. Bumbung tuak
tersebut tidak
pecah atau terluka sedikit pun. Bahkan
lecet pun tidak.
Tetapi tubuh Suto terpental ke belakang
akibat gelombang
ledakan tadi, dan Hantu Urat Iblis
terdorong
sempoyongan ke arah belakang.
"Wajahku
panas sekali! Sialan! Ledakan tadi
menyemburkan hawa
panas yang terasa membuat
wajahku
melepuh! Aduh, perih sekali?!"
gerutu hati
Pendekar Mabuk.
Candu Asmara
semakin tegang, karena ternyata
wajah Suto
benar-benar melepuh, bagai tersiram air
panas, demikian
juga dengan dada dan lengannya. Tapi
agaknya Suto
Sinting masih kuat menahan rasa sakit itu,
sehingga dalam
waktu singkat ia sudah berdiri tegak
kembali.
"Heeah...!"
Hantu Urat Iblis sentakkan kaki ke bumi.
Suto Sinting
ingat Jurus itu pernah digunakan untuk
melawan si Pedang
Dewa. Maka dengan pergunakan
jurus 'Layang
Raga', tubuh Suto tetap berada di tempat
sementara tanah
di bawah kakinya menjeblos ke dalam.
Brruus...!
Hantu Urat Iblis
terbelalak melihat Suto Sinting tetap
berada di tempat
dalam keadaan kedua kaki
mengambang di
udara. Zuuurb...! Tanah itu muncul lagi
dan datar seperti
semula. Telapak kaki Suto menyentuh
tanah lagi.
Namun serta-merta
ia lakukan lompatan cepat
menerjang
lawannya. Bumbung tuak disodokkan ke
depan. Wuuut...!
Jurus 'Bangau Mabuk' membuat tubuh
Suto terbawa
terbang oleh gerakan bumbung tuak
tersebut.
Hantu Urat Iblis
menahan sodokan bambu itu dengan
kedua telapak
tangannya yang mulai menyala merah itu.
Deeeb...!
Duaaarr...!
Suto Sinting
terlempar kembali dan jatuh terbanting
dengan sangat
menyedihkan. Kepalanya membentur batu
dan bocor. Darah
mengalir dari kepala bagian samping.
Sementara itu, Hantu Urat Iblis juga terlempar dan
berguling-guling
ke belakang akibat ledakan yang saling
menyentak kedua
arah itu.
Candu Asmara
berkelebat hampiri Suto Sinting,
karena gadis itu
sangat mencemaskan keselamatan Suto
melihat banyaknya
darah yang mengalir.
"Suto! Suto,
bangun...! Ayo, bangun dan minum
tuakmu!"
seru Candu Asmara yang sempat membuat
Mirah Cendani dan
gurunya terperangah kaget melihat
Candu Asmara
ternyata sudah kenal dekat dengan
Pendekar Mabuk.
Hantu Urat Iblis
cepat bangkit dan menggeram di
kejauhan. Candu
Asmara tegang sekali, karena keadaan
Suto sangat lemah
karena masih merasa pusing. Melihat
Hantu Urat Iblis
hendak menyerang lagi, Candu Asmara
segera cabut
pedangnya dan menghadang lawan,
melindungi Suto
Sinting.
"Sudah
saatnya kau berhadapan denganku, Anak
Haram!" seru
Candu Asmara.
Murka si Hantu
Urat Iblis memuncak mendengar
seseorang
mengatakannya 'anak haram', ia pun
menggeram kuat
dengan tubuh bergetar, kedua tangan
mulai diangkat
pelan-pelan dengan kuku runcing
menyala biru, dan
dari kuku ke kuku tampak sinar biru
berlompatan bagai
petir-petir kecil.
Suto Sinting
segera kerahkan tenaga begitu
mendengar seruan
Candu Asmara, ia sadar bahwa gadis
itu mulai
bertindak, sedangkan tindakan tersebut hanya
akan mengantarkan
nyawa di tangan Hantu Urat Iblis.
Maka serta-merta
kaki Suto menendang kaki Candu
Asmara. Beet...!
Brruk...!
Gadis itu
terpelanting jatuh. Suto yang ada di
belakangnya
segera bangkit, berdiri dengan satu kaki
berlutut.
Kemudian tangan kanannya menyentak ke
depan dalam
keadaan jari lurus mengeras. Napasnya
dihentakkan lewat
hidung. Bersamaan dengan itu,
melesatlah
sinar-sinar kuning emas berbentuk pisau
kecil-kecil dalam
jumlah banyak.
Cralaap...!
Weerrss...!
Saat itu Hantu
Urat Iblis sedang bersiap melepaskan
pukulan mautnya
dari dua tangan, sehingga kedua
tangannya
diangkat ke atas. Namun sebelum niatnya
terlaksana, sinar
emas berbentuk pisau dari jurus
'Manggala' itu
telah lebih dulu menerjang dadanya.
Zeeerrb...!
Orang-orang
bergumam kagum, "Oooohhh...!"
Hantu Urat Iblis
diam tak bergerak dalam posisi tetap
mengangkat kedua
tangan dan wajahnya tetap
menyeringai. Suto
Sinting buru-buru menenggak
tuaknya untuk
atasi luka bakar dan kebocoran di
kepalanya. Candu
Asmara segera bangkit, tak pedulikan
Suto lagi, ia
berlari dekati Hantu Urat Iblis sambil
mengangkat
pedangnya.
Namun sebelum
pedang itu ditebaskan, angin
berhembus agak
kencang. Rambut Hantu Urat Iblis
rontok dan
menjadi debu. Candu Asmara terperanjat
kaget. Setelah
diperhatikan baik-baik, ternyata Hantu
Urat Iblis sudah tak bernyawa lagi. Tubuhnya
menjadi
abu seketika
begitu terkena jurus 'Manggala' tadi.
Keadaan itu dapat
diketahui oleh mereka setelah
hembusan angin
semakin kencang dan tubuh Hantu Urat
Iblis pun
berhamburan dalam bentuk abu. Prruuuss...!
"Dia telah
tewas! Penculik itu tewas...!" teriak salah
seorang. Yang
lain segera berseru,
"Hidup
Pendekar Mabuk! Hidup Pendekar Mabuk!"
Mereka menghambur
ke arah Suto sebagai ungkapan
kegembiraan atas
keberhasilan Suto membebaskan putri
raja. Tetapi
gerakan mereka terhenti karena saat itu Suto
Sinting segera
dipeluk oleh Candu Asmara dengan
ungkapan
kegembiraan yang luar biasa.
"Huuuhh...!"
mereka menggoda kedua insan yang
berpelukan itu,
lalu mereka hamburkan tawa
kemenangan. Sang
putri pun segera dibebaskan dari
ikatannya oleh
para prajurit istana yang ikut
menyaksikan
pertarungan tersebut. Mirah Cendani dan
gurunya bergabung
dengan Suto Sinting, demikian pula
dengan si Sawung
Kuntet.
Mereka
beramai-ramai mengantarkan Rara Ayu
Kumala ke istana,
setelah gadis itu ucapkan terima
kasihnya kepada
Pendekar Mabuk. Namun si gadis
merasa kecewa
setelah Suto mengatakan,
"Kau
bebas menikah dengan siapa pun, Rara
Ayu.
Bukan aku calon
suamimu."
Candu Asmara sunggingkan
senyum kebanggaan.
Tangannya
menggenggam erat-erat tangan Pendekar
Mabuk.
Tanpa diketahui
siapa pun, sepasang mata sedang
memandang ke arah
Pendekar Mabuk. Sepasang mata itu
adalah milik
seorang perempuan cantik bertahi lalat kecil
di ujung dagunya.
Dia dikenal dengan nama: Dewi
Ranjang.
Suto Sinting tak
tahu kalau sedang diincar oleh mata
si Dewi Ranjang,
alias janda liar pemburu kehangatan
pemuda.
SELESAI
Segera terbit!!!
DARAH PEMUAS RATU
Pembuat E-book:
DJVU & E-book
(pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon