4
MENURUT penilaian
Suto, Ranggina adalah gadis
munafik. Suka tapi
berlagak tak suka, senang tapi
berlagak tak
senang. Begitu seterusnya. Karena dilihat
dari ketegangan
wajah Ranggina, sebenarnya gadis itu
tertarik kepada
Elang Samudera, tapi di mulut ia
berlagak tidak
tertarik, keberatan, sinis, dan sebagainya.
"Mungkin juga
ia suka padaku, tapi berlagak ketus
dan judes begitu.
Hiii... takut, ah!" ujar Suto dalam hati
dengan konyol,
kemudian tertawa sendiri.
Terlepas dari
bagaimana isi hati Ranggina
sebenarnya,
pertemuan itu bagi Pendekar Mabuk
membawa hikmah
tersendiri. Tanpa melalui
pertemuannya dengan
Ranggina, mungkin Suto tak akan
tahu bahwa ada dua
pihak yang telah bersekutu dan
didalangi oleh
Siluman Tujuh Nyawa. Menurutnya ini
suatu kesempatan
yang tak boleh disia-siakan. Mungkin
saja kali ini
Pendekar Mabuk akan melakukan
pertarungannya yang
terakhir melawan Siluman Tujuh
Nyawa.
Kemenangan yang
diperoleh Elang Samudera
semakin memperlebar
kesempatan bagi Pendekar Mabuk
untuk ikut
menangani kasus ancaman Panglima Tulang
dan Malaikat
Gantung. Sehabis memberikan minum
tuaknya kepada
Elang Samudera, mereka sempat
berunding secara
bisik-bisik tentang rencana selanjutnya.
"Aku dipanggil
menghadap Sultan. Agaknya sultan
bukan saja ingin
memberikan hadiah sekantong uang
padaku, tapi juga ada
yang ingin dibicarakan," ujar
Elang Samudera.
"Libatkan
aku!"
"Ya, aku akan
bilang kalau aku tidak sendirian,
melainkan berdua
bersama...."
"Bertiga!"
sahut Ranggina dengan ketus.
"O, ya...
bertiga," ralat Elang Samudera sambil
nyengir malu.
Elang Samudera,
Pendekar Mabuk dan Ranggina
diterima pihak
Sultan Jantrawindu sebagai tamu
kehormatan. Karena
hari sudah senja, mereka mendapat
dua kamar untuk
bermalam di dalam istana kesultanan.
Dua kamar itu yang
satu untuk Suto dan Elang
Samudera, yang satu
lagi untuk Ranggina. Kamar itu
bersebelahan dan
mempunyai pintu tembus dari kamar
yang satu ke kamar
yang lain. Hal itu membuat mereka
mudah berhubungan
sewaktu-waktu.
Sebelum acara makan
malam bersama keluarga
istana, Ranggina
sempat menemui Elang Samudera di
kala Pendekar Mabuk
sedang mandi. Gadis itu nekat
mendekati Elang
Samudera bukan untuk suatu keperluan
cinta, melainkan
karena ingin menyampaikan ganjalan
hatinya selama ini.
"Elang, apakah
sudah kau pertimbangkan baik-baik
untuk melibatkan
Suto dalam rencana menghadapi
Malaikat Gantung
itu?!"
Sambil mengikat
rambutnya yang panjang, Elang
Samudera memandang
Ranggina melalui pantulan
cermin rias yang
ada di kamar itu. Ia tersenyum geli,
namun bukan dalam
bentuk tawa bersuara.
"Kelihatannya
kau menyangsikan kemampuan Suto,
Ranggina."
"Sebab
setahuku dia tidak mempunyai nyali sebesar
nyalimu. Terbukti
ia tidak berani tampil dalam
pertarungan di
arena itu."
Senyum Elang
Samudera semakin lebar. "Sudah
berapa lama
kaukenal dengannya?"
"Baru setengah
hari lebih sedikit," jawab Ranggina.
"Pantas kau
sangsi padanya," ujar Elang Samudera
dengan kalem. Ia
berpaling menatap Ranggina yang ada
di belakangnya
dalam jarak tiga langkah.
"Tidakkah kau
lihat wajahnya memancarkan
kemarahan ketika
kusebutkan nama Siluman Tujuh
Nyawa?!"
"Ya, aku
melihatnya. Dia tampak gusar sekali tadi.
Mungkin karena
belum-belum ia sudah ketakutan
mendengar nama
tokoh sesat yang sangat kejam itu."
Elang Samudera
mendekat. Kini jaraknya hanya satu
langkah dari
Ranggina.
"Dia bukan
takut. Dia gusar karena terbakar api
dendam dan
murkanya. Perlu kau ketahui, Siluman
Tujuh Nyawa adalah
musuh utamanya dalam hidup ini!"
"Musuh
utamanya?! Hmmm...!" Ranggina mencibir.
"Mana mungkin
dia berani melawan Siluman Tujuh
Nyawa jika untuk
melindungiku dari ancaman Ayodya
saja dia tak punya
kesanggupan?! Juga, tak punya
keberanian tampil
di arena pertarungan seperti tadi."
"Keberanianku
belum ada sekuku hitamnya
keberanian Suto.
Ilmuku juga belum ada sejengkalnya
ilmu yang dimiliki
Suto."
"Ah, kau
terlalu berlebihan menilainya di depanku,
Elang."
"Tidak,
Ranggina. Aku berkata yang sebenarnya.
Sebab itulah ia
bernafsu sekali untuk berhadapan dengan
Siluman Tujuh
Nyawa."
"Tentu saja
Siluman Tujuh Nyawa tak akan mundur
jika berhadapan
dengannya, bukan?! Menurut cerita
guruku sebelum kami
diserang Ayodya, Siluman Tujuh
Nyawa hanya mundur
jika berhadapan dengan Pendekar
Mabuk."
"Guru
benar!" ujar Elang Samudera sambil
melebarkan senyum.
"Dan perlu kau ketahui, Siluman
Tujuh Nyawa juga
selalu melarikan diri jika bertarung
melawan Suto."
Ranggina memandang
dengan mencibir tak percaya.
"Mengapa
Siluman Tujuh Nyawa melarikan diri jika
bertarungmelawan
Suto? Apa alasannya?!"
"Karena Suto
itulah Pendekar Mabuk."
"Ah,
kau...!" Ranggina bersungut-sungut tak percaya.
Ia ingin
meninggalkan Elang Samudera, tapi pundaknya
segera dicekal
pemuda itu. Badannya pun berbalik
menghadap Elang
Samudera lagi.
"Nama aslinya
Suto Sinting, dia murid dari si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang
yang bergelar Pendekar
Mabuk! Lihatlah
ciri-cirinya, bumbung tuak yang selalu
dibawa-bawa ke mana
pun ia pergi. Itulah ciri-ciri yang
jelas untuk
mengenali Pendekar Mabuk."
"Ah, ngibul,
ngibul...!" gerutu Ranggina, kemudian
gadis itu bergegas
kembali ke kamarnya. Elang
Samudera berkerut
dahi dengan sedikit terbengong
melihat Ranggina
tidak mempercayai penjelasannya.
Elang Samudera
tidak tahu bahwa Ranggina di dalam
kamarnya segera
duduk termenung tak bergerak sedikit
pun. Benak dan
batinnya berkecamuk sendiri sambil
membayangkan wajah
Suto dan mengingat kembali
kata-kata Elang
Samudera itu.
"Edan! Kalau
benar apa kata Elang Samudera tadi,
berarti benar-benar
edan! Entah dia yang edan atau aku
yang edan! Orang
pongah-pongah begitu dikatakan
sebagai Pendekar
Mabuk?! Ooooh... untung mendiang
Guru tak
mendengarnya. Jika sampai mendengarnya
mayat Guru pasti
hidup kembali, khusus untuk
membahas
tentangpemuda konyol itu!"
Jantung Ranggina
berdebar-debar. Ia berusaha
menenangkan, tapi
tak berhasil. Batinnya masih terus
berkecamuk
memperdebatkan tentang jati diri Suto
Sinting. Ranggina
memang sering mendengar cerita
tentang kehebatan
Pendekar Mabuk, tapi tak pernah
dengar nama asli
Pendekar Mabuk.
"Jika benar ia
Pendekar Mabuk, tentunya dia dapat
dengan mudah
melindungi nyawaku dari ancaman maut
si Ayodya itu.
Mengapa ia tak menyatakan
kesanggupannya
sebagai pelindung ku?! Ah, kurasa
Elang Samudera
membual terlalu berlebihan. Toh orang
yang membawa
bumbung tuak bukan hanya Pendekar
Mabuk saja. Seorang
penjual 'legen' pun kalau pergi ke
mana-mana membawa
bumbung seperti itu."
Kebimbangan
Ranggina membuatnya menjadi
jengkel sendiri.
Kebimbangan itu menjadi semakin susut
dan menipis setelah
mereka mengikuti perjamuan makan
malam dengan
keluarga istana. Dalam perjamuan makan
malam itu Elang
Samudera yang sudah diketahui oleh
mereka sebagai
pemenang sayembara, memperkenalkan
kedua sahabatnya
dengan diawali dari Ranggina.
"Barangkali
Kanjeng Sultan perlu mengetahui, bahwa
sahabat hamba yang
wanita itu bernama Rengginang,
eeh.... Ranggina,
berasal dari Perguruan Lintang Yudha,
murid mendiang
Eyang Sampurna...."
"Ooh...?!"
Sultan Jantrawindu yang sudah berusia
sekitar enam puluh
lima tahun itu terperanjat. Rupanya
ia mengenal nama Eyang
Sampurna.
"Jadi... gadis
itu adalah murid sahabatku sendiri;
Kakang
Sampurna?!"
"Benar,
Kanjeng," jawab Ranggina dengan sopan dan
penuh hormat.
Kemudian ia menceritakan nasib
perguruannya secara
singkat. Sang Sultan tertegun duka
mendengar kematian
Eyang Sampurna.
"Aku turut
berduka atas wafatnya gurumu,
Ranggina."
"Terima kasih,
Kanjeng," jawab Ranggina pelan,
karena hatinya ikut
dicekam kesedihan juga.
"Kemudian...,"
sambung Elang Samudera,"... satu
lagi sahabat hamba
yang sejak tadi diam saja ini
bernama Suto
Sinting. Barangkali Kanjeng perlu
mengetahui juga,
bahwa Suto Sinting adalah murid si
Gila Tuak dan ia
bergelar Pendekar Mabuk."
"Hahhh...?!"
semua orang yang berada mengelilingi
meja makan besar
itu terperanjat, wajah mereka tampak
tegang namun
berseri-seri. Suto Sinting berdiri dan
membungkuk satu
kali, kemudian duduk kembali. Ia
bagaikan tak
mempedulikan pandangan mata Ranggina
yang juga
terperangah tak berkedip.
"Aku seperti
sedang bermimpi dapat jumpa
denganmu. Pendekar Mabuk,"
ujar Sultan Jantrawindu.
Suto memberikan
senyuman yang lembut dan menawan,
enak dipandang,
indah dikhayalkan.
"Aku ingin
bicara denganmu nanti. Kumohon kau
tidak keberatan,
Pendekar Mabuk."
"Aku bersedia,
Kanjeng!" jawab Suto tegas.
"Dan
sebelumnya hamba mohon maaf, Kanjeng
Sultan...,"
sambung Elang Samudera yang masih berdiri
di
tempatnya."... hamba sedikit berbohong kepada pihak
Kesultanan
Tanahinggil ini. Pada saat hamba
mendaftarkan diri
menjadi peserta sayembara, hamba
mengaku bernama
Elang Samudera dari Teluk Merah.
Sebenarnya...
memang benar hamba dari Teluk Merah,
sebab Guru hamba
tinggal di sana, Kanjeng. Tetapi
kedatangan hamba
kemari mewakili rakyat Pulau
Sangon. Hamba
diutus oleh junjungan hamba, yaitu
Gusti Ratu Remaslega
untuk tampil sebagai pemenang
dalam
sayembaratadi."
"Ooh... jadi
kau... kau adalah utusan Ratu Remaslega,
sahabatku
itu?!"
"Benar,
Kanjeng Sultan. Dan hamba telah dibekali
banyak pengetahuan
tentang keadaan di Kesultanan
Tanahinggil ini.
Sejujurnya saja hamba telah mengetahui
alasan yang
sebenarnya bagi Kanjeng dalam
mengadakan
sayembara tadi."
"Oooh....
Remaslega benar-benar curang! Dia
mengirimkan
utusannya tanpa bilang-bilang padaku.
Aku jadi malu
sendiri sekarang. Dia mencuri rahasia
kegentingan
negeriku. Ooh, Remaslega... harus dengan
cara apa aku
membalas budimu selama ini?!" gumam
sang Sultan merasa
gembira sekali mendapat perhatian
dari sahabatnya
yang berkuasa di Pulau Sangon itu.
Kemudian sang
Sultan menghendaki pembicaraan
diputus sampai di
situ dulu, mereka diwajibkan
menikmati jamuan
makan malam dengan tanpa malu-
malu. Tak heran
jika Pendekar Mabuk segera
menyambar sepotong
ayam panggang dan melahapnya
sesuai perintah
sultan, yaitutanpa malu-malu.
Rupanya sejak tadi
baik Pendekar Mabuk maupun
Elang Samudera
mendapat sorotan sepasang mata yang
memandangi mereka
tiada hentinya. Sepasang mata
berbulu lentik dan
sedikit besar namun indah itu datang
dari tempat duduk
di depan mereka, berseberangan meja.
Sepasang mata yang
menatap penuh ungkapan rasa
kagum yang
terpendam dalam hati itu ternyata milik
seorang perempuan
berusia tiga puluh tahun, berwajah
cantik oval,
bermahkota kecil di bawah rambutnya yang
disanggul.
Perempuan yang tadi tampak berdiri di
samping Sultan
Jantrawindu saat sang Sultan
menyaksikan
pertarungan dari menara pengawas, sejak
tadi memang tidak
banyak bicara. Tetapi gerakan
matanya, pandangan
mata itu, merupakan ucapan kata
yang hanya bisa
dipahami oleh batin Pendekar Mabuk.
Oleh sebab itu,
Pendekar Mabuk berkesempatan
membisikkan kata di
telinga Elang Samudera tanpa
menimbulkan
kecurigaan siapa pun.
"Siapa
perempuan yang ada di depan kita ini?"
"Ooh, dia
putri sulungnya Kanjeng Sultan. Kalau tak
salah, dialah yang
disebut-sebut oleh kakakku sebagai
janda cantik
bermata indah. Kata kakakku, dia bernama
Gusti Ayu Rara
Padwi."
"Kau sudah
kenal?"
"Belum. Tapi
kalau kau berminat aku bisa
memperkenalkan diri
dulu, baru kuperkenalkan padamu.
Tapi... bagaimana
dengan kutilang cantikmu yang satu
ini?!" Elang
Samudera melirik Ranggina.
Pendekar Mabuk
tersenyum menahan geli.
Pertanyaan itu
sengaja tak dijawabnya, sebab ia sendiri
memang tidak tahu
harus bersikap bagaimana terhadap
Ranggina.
Menurutnya, gadis munafik akan sulit
diselami jiwanya,
sehingga jika dituruti akan membuat
kaum lelaki menjadi
serba bingung, salah tingkah, serba
salah, akhirnya
bisa bunuh diri. Suto tak mau mengalami
nasib seperti itu.
Rupanya perempuan
cantik bernama Rara Padwi itu
selalu mendampingi
ayahandanya ke mana pun sang
ayah pergi.
Pendekar Mabuk punya dugaan, Rara Padwi
bukan sekadar janda
cantik yang setia kepada ayahnya,
tapi juga punya
ilmu walau kecil-kecilan. Ilmu itulah
yang dipakai
mengawal sekaligus melindungi
keselamatan ayahnya
yang sudah tua. Dilihat dari
pandangan matanya
yang punya unsur ketajaman,
perempuan itu pasti
punya keberanian dan ketegasan
dalam bersikap,
sehingga tak sembarang lelaki bisa
mendekatinya.
Dalam perundingan
yang dilakukan di ruang khusus
bernama Sasana
Pura, sang Sultan juga didampingi oleh
putri sulungnya
yang sering melemparkan pandangan
kepada Pendekar
Mabuk dan Elang Samudera. Namun
kedua pemuda itu
bersikap wajar dan berlagak tidak
mengetahui curian
pandang itu. Hanya saja, hati
Ranggina sempat
memendam keresahan karena ia sering
memergoki Rara
Padwi mencuri pandang ke arah Suto
dan Elang Samudera.
Di dalam Sasana
Pura itu mereka hanya berlima. Para
pengawal lainnya
berjaga-jaga di luar Sasana Pura. Pintu
ruangan yang
setebal dua jengkal itu ditutup rapat-rapat.
Tak seorangpun
boleh masuk tanpa seizin Rara Padwi.
"Aku memang
mencari orang yang dapat kupercaya
untuk menjadi
penguasa di Tanah Sereal," ujar Sultan
Jantrawindu dalam
sidang rahasia itu.
"Maaf,
Kanjeng... jadi sekarang siapa yang
ditugaskan
mempertahankan Tanah Sereal itu?" tanya
Elang Samudera.
"Secara resmi
belum ada. Tapi untuk sementara ini,
putraku Harya
Sentanu kutugaskan menjaga Tanah
Sereal. Rencanaku,
siapa yang unggul dalam sayembara
ini akan kujadikan
pengganti Panglima Tulang, berkuasa
di Tanah Sereal.
Apakah kau punya kesanggupan untuk
mempertahankan
Tanah Sereal dari jarahan tangan siapa
pun, Elang
Samudera?"
"Hamba
sanggup, Kanjeng!"tegas Elang Samudera.
"Bagus! Jika
begitu, kau harus segera pergi ke Tanah
Sereal, sebab
putraku Harya Sentanu masih lemah dan
tak sebanding jika
harus berhadapan dengan Panglima
Tulang."
Sultan Jantrawindu
pun bicara tentang kabar dari
mata-matanya yang
menyebutkan adanya persekutuan
antara Panglima
Tulang dengan Malaikat Gantung alias
Ayodya. Menurutnya,
persekutuan itu akan menjadi
persekutuan
berdarah dan dapat merenggut banyak
korban nyawa dari
pihak mana pun.
"Lumpuhkan
persekutuan itu sebelum berkembang
menjadi neraka
berjalan!" tegas sang Sultan. "Jika kalian
dapat melumpuhkan
persekutuan itu, maka kalian akan
kuberi hadiah
berupa wilayah di Lembah Tayub.
Terserah akan
kalian apakan tanah di Lembah Tayub itu.
Tapi kalian tetap
menjadi bagian dari kesultanan ini.
Keselamatan kalian
di Lembah Tayub merupakan
tanggung jawab
Kesultanan Tanahinggil."
Secara tak resmi,
ketiga tamu kehormatan sang Sultan
itu sudah menjadi
orang andalan bagi pihak Kesultanan
Tanahinggil. Tapi
tanpa berpikir tentang hadiah atau
upah yang
ditawarkan Sultan Jantrawindu, ketiga tamu
istimewa itu sudah
mulai mempersiapkan diri, mental
dan semangat untuk
menghancurkan persekutuan maut
itu.
"Aku tidak
ingin gadis konyol itu ikut terlibat terlalu
dalam," ujar
Suto kepada Elang Samudera ketika mereka
berdua ada di dalam
kamarnya, sementara itu Ranggina
ada di kamar
sebelah.
"Gadis itu
akan merepotkan ruang gerak kita jika ikut
tampil menghadapi
persekutuan itu, Elang."
"Yah, itu
terserah kau saja. Bukankah kau yang
membawanya
kemari?"
"Aku yang
dibawanya kemari. Bukan dia yang
kubawa!" ralat
Suto Sinting. "Aku akan bicara
dengannya
dulu!"
"Bicaralah
baik-baik, jangan sampai dia meledak!"
Elang Samudera
tertawa tanpa suara, kemudian berbisik
di telinga Suto.
"Gadis itu
mudah meledak, baik amarahnya maupun
gairahnya!"
"Dia tak suka
bicara kotor!"
"Bicara memang
tidak suka, tapi mungkin saja
berbuat kotor ia
suka."
Elang Samudera
tertawa sedikit keras, Pendekar
Mabuk
meninggalkannya dengan senyum tertahan. Ia
mengetuk pintu
tembus ke kamar sebelah. Ranggina
membukakannya dan
Pendekar Mabuk segera berkata
kepada gadis itu.
"Aku ingin
bicara empat mata denganmu! Kau
bersedia?!"
Ranggina tidak
menjawab, tapi ia segera
menyingkirkan dari
depan pintu pertanda memberi jalan
agar Suto masuk ke
kamarnya. Suto pun menutup pintu
tembus itu lagi,
karena ia tak ingin diganggu oleh
kekonyolan Elang
Samudera pada saat lakukan
pembicaraan serius
dengan Ranggina nanti.
Sebenarnya Elang
Samudera memang punya niat usil.
Tapi niat itu tak
jadi dilaksanakan, batal akibat malam
itu seorang
pengawal istana datang ke kamarnya.
"Gusti Ayu
Rara Padwi memintamu datang
menghadapnya
sekarang juga, Elang Samudera."
"Ada persoalan
apa?! Sekarang sudah hampir larut
malam."
"Aku hanya
diperintahkan untuk membawamu
menghadap Gusti
Ayu!"
Dengan hati ingin
tahu dan sedikit tegang, Elang
Samudera pun
bergegas menghadap Rara Padwi. Pedang
peraknya ditenteng
sebagai sikap siaga dalam
menghadapi bahaya
kapan saja. Elang Samudera tak
sempat pamit kepada
Pendekar Mabuk, karena pikirnya
keperluan tersebut
hanya sebentar.
Rupanya putri
sulung sang Sultan sudah menunggu di
taman keputrian.
Taman bercahaya nyala api obor di
setiap sudut itu
membuat Elang Samudera sedikit curiga
dan kewaspadaannya
dipertajam. Sang pengawal yang
menjemputnya segera
pergi setelah Rara Padwi memberi
isyarat dengan
tangannya agar orangtersebut keluar dari
taman.
"Ada masalah
apa, Gusti Ayu?!" tanya Elang
Samudera dengan
sikap tenang, tapi kelihatan gagah dan
penuh keberanian.
"Ada sesuatu
yang ingin kubicarakan padamutentang
PanglimaTulang."
"Haruskah
semalam ini kita bicarakan?"
"Malam bukan
penghalang. Apa yang ingin
kusampaikan padamu
itu sangat penting, dan Ayah tidak
mengetahuinya.
Jadi, kuharap kau pun tidak bicara pada
Ayah atau kepada
temanmu; si Pendekar Mabuk dan
kekasihnya itu
tentang pertemuan kita ini!"
Rara Padwi
menyangka Ranggina adalah kekasih
Pendekar Mabuk,
karena ke mana-mana Ranggina
tampak berdekatan
terus dengan Pendekar Mabuk. Elang
Samudera ingin
jelaskan bahwa hubungan mereka bukan
sebagai kekasih.
Tapi agaknya Rara Padwi punya
persoalan lebih
penting dari penjelasan tersebut,
sehingga Elang
Samudera membatalkan niatnya. Kini ia
justru mengikuti
langkah Rara Padwi yang
memerintahkan agar
langkahnya diikuti.
Perempuan cantik
berjubah kuning sutera dengan
dalaman warna biru
menyala itu menuju ke sudut taman.
Di sana ada
serumpun bambu hias yang daunnya kecil-
kecil dengan batang
bambunya yang berwarna kuning.
Serumpun bambu hias
itu tumbuh berjajar seperti pagar,
tertata rapi dan
punya keindahantersendiri.
Namun ternyata di
balik deretan bambu hias yang
rimbun itu ternyata
ada sebuah pintu dalam posisi ke
tanah. Pintu kayu
jati itu segera dibuka, ternyata di balik
pintu itu ada
tangga menuju ke bawah. Elang Samudera
masih belum banyak
tanya mengenai keadaan di
sekitarnya. Namun
ia cepat mengambil kesimpulan
bahwa Rara Padwi
membawanya ke ruang bawah tanah
yang terdiri dari
lorong-lorong dan kamar-kamar bertirai
kain tebal.
"Ini ruang
bawah tanah, jalan rahasia untuk melarikan
diri jika kami
terancam bahaya sewaktu-waktu," ujar
Rara Padwi sambil
memperlambat langkah supaya
sejajar dengan
langkah Elang Samudera.
Cahaya terang dari
obor-obor yang ada di sana-sini
membuat mata Elang
Samudera dapat melihat jelas
keadaan di ruang
bawah tanah. Rupanya ruang bawah
tanah itu bukan
saja jalan rahasia yang dapat tembus di
suatu tempat, namun
juga merupakan tempat
perlindungan dan
persembunyian yang cukup aman.
Karena di dalam
ruang bawah tanah itu terdapat pula
beberapa kamar yang
lengkap dengan perabotnya,
sehingga memungkinkan
sekali seseorang tinggal di
ruangan tersebut
sampai beberapa hari.
Ruangan itu dijaga
oleh dua prajurit bertubuh tinggi,
besar, mengenakan
baju rompi merah dan celana merah,
berkulit hitam
keling mirip algojo dengan senjata pedang
dan tombak bermata
kapak lebar. Kedua pengawal itu
hanya memberi
hormat ketika Rara Padwi menuruni
tangga, setelah itu
mereka tetap berada di sekitar tangga
masuk. Mereka tak
ikut menyusuri lorong bersama Rara
Padwi dan Elang
Samudera.
Rara Padwi membawa
masuk Elang Samudera ke
sebuah kamar yang
berpenerangan api obor samar-
samar. Kamar
tersebut menyerupai kamar tidur yang
dilengkapi dengan
ranjang kayu, meja minuman, almari
pakaian dan
sebagainya. Tempat buah dari logam
kuningan itu terisi
buah-buahan segar. Sepertinya sudah
disiapkan
sebelumnya. Kamar itu menyebarkan aroma
wangi mawar yang
begitu lembut dan menenteramkan
jiwa.
"Mengapa Gusti
Ayu membawaku kemari?"
"Pembicaraan
ini sangat rahasia!" jawab Rara Padwi
sambil melepaskan
mahkota kecil di sanggulnya.
Bahkan gulungan
sanggul pun dilepaskan. Kini rambut
janda cantik
berbibir menggemaskan itu terurai lepas
sepanjang pinggang
kurang. Elang Samudera duduk di
sebuah bangku dari
batu berlapis bantalan empuk warna
merah. Ia memandang
dengan heran saat Rara Padwi
melepaskan seluruh
perhiasannya, termasuk giwang
mutiara dan gelang
berhias batuan merah delima itu.
"Panglima
Tulang bukan orang yang mudah
ditumbangkan,"
ujar Rara Padwi saat melepasi
perhiasannya.
"Dia mempunyai ilmu andalan yang
berbahaya bagi
lawan-lawannya. Ilmu itu bernama jurus
'Lidah Geni'.
Mulutnya bisa menyemburkan api seperti
lidah naga, panjang
dan sangat berbahaya. Terkena hawa
panasnya saja kulit
kita bisa melepuh, apalagi sampai
terkena kobaran
apinya, kulit kita bisa hangus seketika."
Elang Samudera
sengaja tak berkomentar. Ia
memperhatikan janda
cantik bermata indah itu sambil
merekam seluruh
keterangan dalam otaknya.
"Jurus Lidah
Geni' itu sangat buas dan ganas. Jika
tanganmu terkena
semburan api dari mulutnya, maka
dalam sekejap
tanganmu akan kehilangan kulit dan
daging, yang
tersisa hanya tulang hangus dan
mengerikan."
"Benarkah
Kanjeng Sultan belum mengetahui ilmu
andalan itu?!"
"Untuk ilmu
itu, Ayah memang mengetahuinya. Tapi
ada satu hal
yangtidak diketahui oleh Ayah."
Rara Padwi
mendekat. Ia berdiri dengan pinggang
bersandar tepian
meja marmer. Persis di depan Elang
Samudera. Hidung
Elang Samudera dapat mencium
aroma wangi mawar
pada tubuh janda cantik berkulit
putih mulus itu.
Hati pemuda berusia dua puluh tahun itu
berdebar-debar
karena berada dalam jarak kurang dari
satu jangkauan dari
Rara Padwi. Aroma wangi mawar
yangtercium terasa
menggelitik kenakalan jiwanya.
"Ayah tidak
mengetahui hubungan isi hati Panglima
Tulang terhadap
diriku," sambut Rara Padwi. "Panglima
Tulang sangat
mencintaiku. Semangat pengabdiannya
dari dulu
berkobar-kobar karena ingin tunjukkan rasa
cintanya yang besar
pada diriku."
"Jadi... jadi
maksud Gusti Ayu dia...."
"Panggil aku:
Padwi! Jangan pakai sebutan Gusti
Ayu, kecuali jika
kita berada di depan umum," potong
Rara Padwi.
Pandangan matanya begitu tajam dan
mengandung getaran
yang mengusik hati Elang
Samudera, sehingga
pemuda itu menjadi tersipu-sipu
untuk sesaat. Rara
Padwi melanjutkan kata-katanya
tanpa pedulikan
sikap kikuknya Elang Samudera.
"Cintanya yang
begitu besar membuatnya patuh
terhadap segala
perintah Ayah, juga segala permintaanku
diturutinya. Tetapi
belakangan ini aku mengecewakan
hatinya. Dia tahu
kalau aku tak mencintainya dengan
sungguh-sungguh. Ia
menjadi sangat kecewa dan marah.
Lalu kutegaskan
sekalian bahwa aku memang tidak
mencintainya. Aku
hanya suka bersahabat dengannya,
atau bersaudara
dengannya. Kekecewaannya itulah yang
membuatnya pergi
meninggalkan Tanah Sereal dan
bersekutu dengan Malaikat
Gantung."
Elang Samudera
manggut-manggut dengan gumam
kecil. Pedangnya
diletakkan di atas meja marmer. Saat
itu paha kiri Rara
Padwi diletakkan di meja itu juga,
sehingga perempuan
itu nyata-nyata duduk di tepian
meja dengan kaki
kiri ditekuk di atas meja. Belahan
jubahnya
tersingkap, dan kemulusan pahanya
terpampang jelas
menggoda hati Elang Samudera. Dada
pemuda itu
bergemuruh karena gejolak hasratnya yang
melonjak-lonjak
begitu disuguhi paha mulus tanpa cacat
itu.
Dengan tarikan
napas panjang yang pelan-pelan,
Elang Samudera
berusaha mengendalikan gejolak
hasratnya. Ia pun
mengurangi kenakalan matanya untuk
tidak melirik ke
arah paha, melainkan sedikit
mendongakkan wajah
memandang kecantikan Rara
Padwi.
"Sebenarnya kalau
sekarang aku mau menerima cinta
Panglima Tulang,
maka ia akan kembali memihak
kesultananku dan
meninggalkan persekutuan itu."
"Mengapa tidak
kau lakukan?"
Rara Padwi
menggeleng, "Hatiku tak bisa menerima
cinta lelaki macam
dia. Pernah kucoba untuk
menerimanya, tapi
batinku selalu menolak dan aku
merasa
tersiksa."
"Mengapa
demikian?" tanya Elang Samudera sedikit
parau.
"Dia tidak
memiliki apa yang dibutuhkan batinku
sebagai seorang
wanita. Dia hanya jantan di pertarungan,
perkasa di medan
laga, tapi berbeda jauh jika berada di
dalam kamar seperti
ini."
Elang Samudera
berkerut dahi. "Aku tak mengerti
maksud kata-katamu,
RaraPadwi."
Perempuan itu
tersenyum. Elang Samudera
merasakan senyuman
itu bukan sekadar senyuman biasa.
Senyuman itu
mengandung tantangan dan harapan.
Pandangan matanya
juga bukan sekadar sorot mata
seorang sahabat,
melainkan mengundang ajakan untuk
bercumbu dalam
kemesraan. Naluri Elang Samudera tak
bisa dibohongi. Dia
mulai mengerti apa sebabnya Rara
Padwi membawanya ke
ruang rahasia tersebut.
"Kau sudah
punya kekasih, Elang?" tanya Rara Padwi
dengan suara lirih
dan sedikit parau. Tangannya
membelai-belai
rambutnya sendiri yang dikedepankan.
"Mengapa
kautanyakan hal itu?"
"Hanya sekadar
ingin tahu," jawab Rara Padwi, tapi
pahanya itu semakin
melebar, sehingga belahan jubah
kuningnya kian
terbuka. Sesuatu yang ada di balik jubah
itu tampak jelas di
mata Elang Samudera. Bahkan yang
paling dalam pun
terlihat jelas dari tempat duduk Elang
Samudera. Pemandangan
itu membuat pemuda bertubuh
tegap itu menjadi
bergetar dan deg-degan. Keringat
dinginnya mulai
tersembul di bagian kening dan leher.
"Jika kau
sudah punya kekasih, aku tak ingin
mengganggu
kemesraan kalian. Tapi jika kau belum
punya
kekasih...."
Rara Padwi sengaja
berhenti bicara, bikin hati Elang
Samudera penasaran.
Maka pemuda itu pun
mendesaknya dengan
sebuah pertanyaan.
"Jika belum,
kenapa?!"
"Mungkin kau
tahu aku seorang janda yang sudah
sekian lama tak
disentuh oleh seorang lelaki. Aku haus
kemesraan. Perasaan
ini tak bisa kututupi lagi sejak aku
melihatmu bertarung
di arena. Aku berusaha menahan
mulutku agar tak
bicara, tapi gairahku mendesak batinku
agar mengatakannya
padamu."
Rara Padwi
membungkuk, meraba pipi Elang
Samudera dengan
sentuhan lembut. Elang Samudera
diam, memandang tak
berkedip dengan jantung
berdetak-detak.
"Jika kautak
bisa memenuhi tuntutan batinku, jangan
katakan pada siapa
pun tentang hal ini. Tapi jika kau
merasa mampu
memenuhi keinginan batinku, mampu
mengobati siksaan
batinku, lakukanlah sesuatu pada
diriku. Sentuhlah
aku, Elang...," suara Rara Padwi
semakin berbisik
lirih.
Cukup lama mereka
saling pandang. Cukup lama
jemari tangan Rara
Padwi mengusap lembut di sekitar
wajah Elang
Samudera.
Rupanya gairah
pemuda itu pun menjadi terbakar
total. Ia tak mampu
mengendalikan hasrat pribadinya.
Maka tangannya pun
mulai meraba paha mulus di
depannya. Rabaan
pelan itu menjalar sampai di
kedalaman jubah.
Rara Padwi memajukan duduknya.
Kini ia nyata-nyata
duduk di depan Elang Samudera.
Kedua kakinya
berada di kanan kiri tempat duduk
pemuda itu.
Rara Padwi
mendekatkan wajahnya dengan kedua
tangan mengusap
pipi Elang Samudera. Pelan-pelan
bibirnya
disentuhkan di kening anak muda yang tampak
masih ingusan dalam
hal bercinta itu. Cuup...! Ciuman
itu pun merayap
turun ke mata Elang Samudera yang
terpejam, menikmati
kecupan hangatnya.
"Elang...,"
bisik Rara Padwi, "Sentuhlah lebih dalam
lagi...."
Jari-jari tangan
Elang Samudera semakin merayap ke
dalam. Rara Padwi
memberi kesempatan lebih leluasa,
sehingga jari
tangan itu kini berhasil menyentuh pusat
kehangatan yang
menghadirkan rasa nikmat jika dijamah
pelan-pelan.
"Oooh...,"
keluh janda cantik itu. "Ooh, indah sekali
sentuhan lembutmu,
Elang. Uuuh... mmmhh!" Rara
Padwi tak bisa
bicara lagi karena bibir Elang Samudera
mengecup bibirnya.
Bahkan pemuda yangtampak masih
ingusan dalam
bercinta itu ternyata pandai melumat bibir
lawan jenisnya,
pandai pula menari-narikan lidahnya
hingga menimbulkan
debar-debar keindahan dalam hati
Rara Padwi.
"Oooh,
benar-benar indah, Elang... oooh, mau apa
kau, hmm?! Mau apa
kau, oouh... yaah... yaaaah,
lakukanlah,
Elang...."
Rara Padwi
mengerang setelah tahu mulut Elang
Samudera merayapi
pahanya. Paha mulus itu dipagut
lembut oleh Elang
Samudera.
"Oooouhkk...!"
Rara Padwi mengerang keras, seperti
merengek. Rambut
dan kepala Elang Samudera
diremasnya, ditekan
agar mencapai tempat lebih dalam
lagi.
"Sssshhh...
aaah! Ternyata kau... kau nakal, Elang.
Oouh, kau nakal...
uuuhkkk... ssssh, aaaah!" Rara Padwi
kegirangan sekali
mendapatkan kemesraan seperti itu. Ia
belum pernah
mendapatkannya dari mantan suaminya
atau dari lelaki
mana pun. Bahkan dari Panglima Tulang
pun tak pernah ia
temukan sapuan lidah seindah itu.
"Oooouuuh...!!!"
Rara Padwi memekik
keras dengan tubuh mengejang,
karena jiwanya
bagaikan terbang lebih tinggi lagi ketika
ia merasakan
'mahkotanya' dipagut lembut oleh bibir
Elang Samudera.
Kedua mata terpejam kuat-kuat, tubuh
pun menggeliat
nikmat, karena pagutan bibir Elang
Samudera semakin
nakal.
"Oooooh, luar
biasa indahnya, Elang. Lakukan lagi...
lagi... ooouh,
yaaaah...."
Apa yang ada di
atas meja menjadi berantakan. Elang
Samudera menjadikan
meja itu sebagai arena
pertarungan yang
amat disukai si janda cantik itu.
*
* *
5
BERSATUNYA Panglima
Tulang dengan Malaikat
Gantung dianggap
suatu persekutuan iblis oleh pihak
kesultanan. Dalam
hal ini, Ranggina tetap ngotot ingin
ikut dalam upaya
menghancurkan persekutuan iblis itu.
Pendekar Mabuk tak
mampu lagi membujuk gadis itu,
akhirnya hanya bisa
angkat tangan dengan satu
perjanjian.
"Akutak
menjamin keselamatanmu!"
"Aku yang akan
menjamin keselamatanmu!" balas
gadis cantik itu
dengan angkuhnya, padahal dalam
hatinya ia ingin
menjerit jengkel karena Pendekar
Mabuk tak
maumelindunginya.
Suto Sinting sempat
berang menunggu Elang
Samudera sampai
hampir fajar, tapi pemuda itu belum
juga kembali ke
kamarnya. Pendekar Mabuk sampai
tertidur di atas
bangku panjang. Ketika ia bangun, Elang
Samudera sudah ada
di kamar. Pemuda itulah yang
membangunkan Suto
Sinting dengan wajah sedikit
tegang.
"Brengsek
kau!" sentak Suto bersungut-sungut.
"Kemana saja
kau semalaman?!"
"Sekarang
belum sempat kujelaskan. Tapi sebaiknya
segeralah berkemas.
Sultan memanggil kita bertiga."
"Sepagi
ini?!"
"Ada seorang
mata-mata datang membawa kabar
buruk. Kita harus
segera menghadap sultan! Bangunkan
Ranggina!"
"Bangunkan
sendiri!" jawab Suto dengan suara parau.
Ia segera mengambil
bumbung tuaknya dan menenggak
tuak beberapa
teguk. Badan pun menjadi segar, kantuk
pun hilang.
Kabar yang dibawa
mata-mata kesultanan itu cukup
mengejutkan ketiga
tamu istimewa itu.
"Hari ini,
Lembah Tayub sudah dikuasai oleh
Panglima Tulang!"
ujar sang Sultan menyampaikan
kabar dari
mata-matanya. "Beberapa orangku tewas
dibunuh, Gerdanala
yang kuserahi tugas menjaga
Lembah Tayub juga
tewas di tangan Panglima Tulang."
"Apakah
Malaikat Gantung tampak ikut campur
tangan dalam
perebutan wilayah itu, Kanjeng?" tanya
Ranggina.
"Benar. Bahkan
mata-matamu sempat melihat
Siluman Tujuh Nyawa
muncul di sana."
"Kalau begitu
sekarang juga kami akan berangkat ke
Lembah Tayub!"
tegas Suto penuh semangat. Ia
bagaikan tak sabar
lagi; ingin segera berhadapan dengan
Siluman Tujuh
Nyawa.
"Akan kusuruh
orang-orangku mempersiapkan kuda
untuk kalian. Dan
pilih sendiri beberapa prajurit untuk
membantu kalian
merebut kembali Lembah Tayub!"
"Kami cukup
bertiga, Kanjeng," ujar Elang
Samudera.
"Dan kami tak
butuh kuda!" sahut Pendekar Mabuk.
"Aku hanya
butuh tuak. Bumbung tuakku ini harus diisi
penuh sebagai bekal
di perjalanan nanti, Kanjeng
Sultan!"
"Padwi, suruh
pelayan membawa tuak kemari dan
mengisi penuh
bumbung itu!" perintah sang Sultan.
Sebelum matahari
meninggi, mereka sudah berangkat
tinggalkan
Kesultanan Tanahinggil. Dua prajurit istana
ikut dalam
perjalanan itu sebagai pemandu arah. Mereka
masih muda, sebaya
dengan usia Elang Samudera.
Mereka adalah
Parerang, si jago panah, dan yang satu
lagi bernama
Wisena, si jago pisauterbang.
"Berapa lama
perjalanan menuju ke Lembah Tayub?"
tanya Elang
Samudera kepada Wisena.
"Setengah hari
jika ditempuh dengan jalan kaki
biasa," jawab
Wisena. "Tapi kami biasa menempuhnya
dalam waktu kurang
dari setengah hari dengan
menggunakan
kuda."
Suto Sinting
menyahut, "Derap kaki kuda hanya akan
memancing
pendengaran mereka, sehingga mereka dapat
bersiap-siap
menghadapi kedatangan kita! Itulah
sebabnya kupilih
untuktidak menunggang kuda."
"Aku mengerti
maksudmu," ujar Wisena. Tapi
sebelum ia
melanjutkan kata-katanya, tangkah kakinya
tiba-tiba berhenti.
Dari sorot matanya ia tampak tegang.
"Ada
apa?" tanya Elang Samudera.
"Aku mendengar
suara langkah kaki di belakang
kita."
"Biarkan
saja," sahut Suto. "Itu hanya langkah kaki
anak kecil. Mungkin
sedang mencari kayu."
Rupanya Pendekar
Mabuk sejak tadi sudah
mengetahui ada
langkah kaki yang mengikuti mereka. Ia
juga tahu bahwa
langkah kaki itu milik seorang bocah
berusia sekitar
delapan tahun. Dari tekanan suara
kakinya saat
menginjak rumput kering, Suto dapat
memperkirakan usia
bocah itu.
Saat mereka
memandang ke arah belakang, ternyata
memang ada seorang
bocah yang mengenakan baju
rompi merah dengan
kalung kain hitam. Bocah itu pun
tampak tidak
mempedulikan mereka. Ia sibuk mencari
burung dengan
ketapel siap di tangannya. Rombongan
Pendekar Mabuk
segera meneruskan langkah mereka.
"Gunakan
langkah cepat, agar lekas sampai di
tujuan!" ujar
Suto Sinting yang secara tak langsung
dianggap oleh
mereka sebagai pimpinan rombongan.
Maka mereka pun
menggunakan jurus peringan tubuh
agar dapat berlari
cepat. Wisena dan Parerang ternyata
mempunyai kecepatan
gerak yang lumayan, sama
cepatnya dengan
Ranggina. Mereka bertiga berada
paling depan,
sementara Pendekar Mabuk dan Elang
Samudera mengikuti
dari belakang, menyesuaikan
kecepatan tiga
orang itu.
Namun tiba-tiba
terdengar suara gemuruh seperti
pasukan guntur
lewat. Gluuuurrr...! Tanah terasa
bergetar. Ranggina
dan yang lain menyangka ada gempa.
Mereka sempat
clingak-clinguk kebingungan. Suara
gemuruh itu
berkepanjangan bagai tiada henti.
"Elang, lompat
ke sisi kanan!" seru Pendekar Mabuk
sambil menunjuk ke
gundukan tanah membukit.
Seruan itu mengisyaratkan
adanya bahaya. Elang
Samudera segera
lakukan lompatan zig-zag ke atas
gundukan tanah itu.
Tab, tab, tab...! Wees...! Parerang
dan Wisena bergegas
mengikuti gerakan Elang
Samudera. Tapi
Ranggina masih kebingungan karena tak
paham mengapa Suto berseru
dengan tegang.
"Bodoh!"
sentak Pendekar Mabuk, kemudian ia
segera berkelebat
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaap...! Tubuh
Ranggina disambarnya. Wees...! Dalam
sekejap saja mereka
sudah berada di atas gugusan tanah
yang membukit.
"Oooh...?!"
Ranggina terkejut, matanya terbelalak.
Bukan saja karena
tubuhnya telah disambar Suto, tapi
juga karena melihat
tanah tempatnya berdiri tadi telah
retak lebar seakan
bumi ingin terbelah. Seandainya Suto
terlambat menyambar
Ranggina, maka gadis itu akan
mati terkubur dalam
celah keretakan tanah yang amat
dalam. Asap tipis
mengepul dari keretakan tanah
tersebut.
Krraak, kraaak,
duuuurrr...!
Kini keretakan
tanah bercabang menjadi lima tempat.
Keretakan tanah itu
bergerak cepat bagaikan lima ekor
naga ke lima
penjuru.
"Elang, lari
ke bukit itu! Lekas...!!"
Wuut, wuut,
wees...!
Tanpa banyak
kompromi lagi, mereka berkelebat
mendaki bukit.
Memang tak terlalu tinggi, tapi cukup
lumayan sebagai
tempat berlindung sementara. Ketika
mereka tiba di
puncak bukit tandus, getaran bumi
semakin kuat.
Pepohonan tumbang tanpa angin badai.
Banyak tanaman dan
batu yang tenggelam ke dasar
bumi. Dari puncak
bukit itu mereka dapat melihat
kiamat kecil yang
melanda kawasan bawah bukit.
Mengerikan sekali.
Seakan bumi menjadi murka dan
ingin menelan
hidup-hidup siapa saja yang ada di
atasnya.
Beberapa saat
kemudian, getaran bumi menjadi reda.
Keadaan normal
kembali. Di mana-mana tampak tanah
menganga, membentuk
celah-celah yang mengerikan
dengan semburan
asap samar-samar dari kedalamannya.
Angin pun bertiup
dengan kecepatan sedang.
"Bencana alam
apa ini?! Mengapa terjadi di sekitar
sini saja?!"
"Kurasa ini
bukan bencana alam," ujar Pendekar
Mabuk menimpali
suara gumam Parerang tadi.
"Firasatku
mengatakan, gempa ini kiriman dari
seseorang yang
ingin membuat kita celaka bersama!"
"Firasatku
juga berkata demikian," sahut Elang
Samudera.
"Kurasa...,"
Ranggina ingin ikut bicara tapi tak jadi,
karena tiba-tiba
mereka mendengar suara jeritan seorang
bocah yang
memilukan hati.
"Toloooong...!!
Maaaak...! Maaaak...!! Tolooong...!"
Elang Samudera
berwajah tegang. "Suto, bocah di
belakang kita tadi
masuk ke dalam salah satu celah
tanah! Ia
terperosok ke dalam!"
"Suaranya dari
arah sana!" sahut Wisena sambil
menuding ke suatu
arah.
"Yang lain di
sini saja!" tegas Pendekar Mabuk,
kemudian ia
berkelebat cepat ke arah datangnya suara
teriakan itu.
Zlaap, zlaap...!
Ternyata dugaan
Elang Samudera memang benar.
Bocah berompi merah
dan berkalung kain tali hitam itu
terperosok dalam
keretakan bumi. Ia tersangkut pada
tonjolan tanah di
dinding celah itu, di kedalaman sekitar
tujuh tombak. Bocah
itu menangis ketakutan
mengulurkan tangan
kirinya ke atas, sementara tangan
kanannya sempat
memegangi tepian batu celah.
"Tolooong...!
Tolooong...!"
Wuuus...! Pendekar
Mabuk segera terjun ke dalam
celah yang
menyerupai jurang itu. Bocah itu ingin
disambarnya, namun
tiba-tiba kaki si bocah menghentak
pada tempat
berpijak dan tubuhnya melenting tinggi.
Wuuus...!
Jleeg...! Suto
Sinting kecele. Ia berhasil tapakkan
kakinya di tempat
bocah itu tadi tersangkut. Tapi ia
segera terperanjat
kaget melihat bocah itu sudah
melenting ke atas
dan kini berada di tepian celah.
"Heehk, heek,
heehk, heehk...!"
Bocah itu tertawa
kegirangan memandangi keadaan
Suto di bawah sana.
Ia pun melesat bagaikan seekor
tupai. Wuuut,
jleeg...! Sebatang pohon yang tidak ikut
tumbang
dipakaitempat bertengger.
Tiba-tiba tanah
bergetar kembali. Keretakan yang
membentuk celah
bergerak cepat, seakan digeser oleh
tangan raksasa hingga
bergerak menutup rapat seperti
semula.
"Sutooo...!"
teriak Ranggina ketika melihat Pendekar
Mabuk tergencet dua
sisi belahan tanah. Ia ingin
bergegas
menyelamatkan Suto, tapi Elang Samudera
menahan lengannya.
"Jangan ke
sana! Berbahaya!"
"Tapi dia tergencet
belahan tanah! Ia akan terkubur
hidup-hidup!"
"Pendekar
Mabuk tak mungkin sebodoh dugaanmu!
Aku akan mengejar
bocah keparat itu!"
Blaas...! Elang
Samudera berkelebat menghampiri
bocah bermata tajam
itu. Sementara si Pendekar Mabuk
yang nyaris mati
tergencet dua lapisan tanah itu segera
menyilangkan
bumbung tuaknya. Wut, krep...! Gerakan
dua lapisan tanah
yang ingin menggencet tubuh
Pendekar Mabuk
terhenti akibat tertahan bumbung tuak
yang melintang.
Celah sempit itu segera dimanfaatkan
oleh Pendekar Mabuk
untuk meluncur ke atas
menggunakan jurus
'Layang Raga' yang digabung
dengan jurus 'Gerak
Siluman'-nya. Zlaap, wuuut...!
Pada saat tubuh
Suto meluncur ke atas, tangannya
menyambar tali
bumbung tuaknya. Dees...! Bumbung
tuak pun ikut
terbawa terbang dengan cepat. Seketika itu
pula dua lapisan
tanah tadi mengatup menjadi rapat
seperti sediakala.
Zeeerb...!
Jleeg...! Pendekar
Mabuk berhasil daratkan kakinya
di atas tanah
datar. Parerang dan Wisena
menghembuskan napas
lega melihat Pendekar Mabuk
selamat dari
gencetan tanah. Ranggina tampak lebih lega
lagi, sampai-sampai
ia tertunduk melemas sambil
bergelayutan pada
tongkatnya yang diberdirikan di tanah
itu.
"Syukurlah dia
selamat!" gumamnya di sela engahan
napas sisa ketegangannya.
Blaaar...! Suara
ledakan cukup keras membuat
mereka yang ada di
atas bukit segera memandang ke
timur. Ternyata di
sana Elang Samudera sedang dibuat
berjungkir balik ke
belakang akibat pukulannya beradu
dengan tangan bocah
liar itu. Si bocah tak mau
ditangkap. Ia
bermaksud melarikan diri. Tapi ia ingin
diterjang oleh
Elang Samudera, maka ia pun melepaskan
pukulan tenaga
dalam dari kedua tangannya yang
membuat Elang
Samudera terlempar ke belakang.
Berarti tenaga
dalam bocah itu lebih besar daripada
tenaga dalam Elang
Samudera.
"Bocah
setan!" geram Pendekar Mabuk. "Siapa pun
dirimu, kau sudah
bertindak melebihi setani"
Zlaap, zlaap...!
Pendekar Mabuk mengejar bocah itu
dari sisi lain.
Dalam sekejap, si bocah terhadang oleh
langkah Pendekar
Mabuk. Mereka sempat saling kejar
dari pohon ke
pohon. Si bocah ingin hindari tangkapan
Pendekar Mabuk.
Tapi karena tahu-tahu Pendekar
Mabuk meluncur dari
arah depannya, maka si bocah pun
segera lepaskan
pukulan tenaga dalamnya dengan kedua
tangan disentakkan
ke depan. Blaab...! Seberkas sinar
putih menyilaukan
menerjang Suto Sinting. Pada saat itu
Pendekar Mabuk
segera mengibaskan bumbung tuaknya
dalam gerakan
memutar.
Wuuut...! Jurus
'Kipas Malaikat' dipergunakan oleh
Pendekar Mabuk
untuk menandingi sinar putih
menyilaukan itu.
Jurus tersebut hadirkan angin kencang
dan semburan busa
salju yang segera menghantam sinar
putih lebar itu.
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat
terjadi, gelombang ledakannya
menyentak ke
berbagai penjuru, mematahkan empat
pohon di sekitar
tempat itu. Si bocah pun terlempar
jatuh, demikian
pula Pendekar Mabuk. Brruk, brruuss...!
Rupanya bocah itu
bukan sembarang bocah. Pendekar
Mabuk merasa
seperti diterjang oleh uap panas yang
membuat kulit
tubuhnya menjadi merah matang. Perih
semua. Tapi ia
masih mampu menahan rasa panas dan
perih, sehingga
dalam sekejap Pendekar Mabuk sudah
bangkit berdiri dan
memasang kuda-kudanya.
Bocah itu pun
seperti terbuat dari karet. Begitu jatuh
terbanting ke tanah
dari ketinggian pohon, tubuhnya
membal ke atas,
menabrak dahan pohon dan membal
lagi ke arah lain.
Dalam satu gerakan salto yang cukup
lincah, bocah itu
sudah berhasil berdiri di atas
sebongkah batu
hitam yang tadi nyaris ikut terperosok
dalam keretakan
tanah.
Jleeg...!
"Bocah
gendeng! Siapa kau sebenarnya!" seru Suto
Sinting dari jarak
lima langkah.
"Kau tak perlu
tahu siapa aku. Tapi aku tahu rencana
kalian ingin
merebut Lembah Tayub! Kudengar
percakapan kalian
dalam perjalanan tadi!" seru bocah itu
dengan suara
cemprengnya.
Sreeet...! Elang
Samudera mencabut pedangnya.
Dengan sekali
sentak kedua kaki, tubuhnya melayang
tinggi dan meluncur
ke arah bocah itu. Pedang tersebut
ditebaskan ke leher
si bocah dari arah belakangnya.
Namun sebelum
pedang itu diayunkan, si bocah segera
berbalik arah dan
sentakkan tangannya dengan telapak
tangan terbuka.
Wut, claap...!
Seberkas sinar
merah panjang melesat dari tengah
telapak tangan itu.
Sinar tersebut langsung kenai dada
Elang Samudera.
Tapi karena tangan Elang Samudera
mengayunkan pedang,
maka tubuhnya pun miring dan
sinar itu
menyerempet lengan kiri Elang Samudera.
Craas...!
"Aaaahk...!"
Elang Samudera memekik. Sekujur
tubuhnya bagaikan
tersengat kilatan petir yang membuat
seluruh ototnya
seperti putus dan mengendur. Elang
Samudera pun jatuh
tanpa bisa menjaga
keseimbangannya.
Brrruk...!
"Edan!"
geram Suto Sinting. Serta-merta ia melayang
cepat menerjang
bocah itu dengan kecepatan 'Gerak
Siluman'-nya.
Zlaap...! Bruss...!
"Oouf...!"
Suto terpekik sendiri. Bocah itu melompat
juga dan
menghadangkan kedua kakinya. Tabrakan kaki
dengan dada membuat
seluruh tulang Pendekar Mabuk
bagaikan remuk
seketika itu juga.
Bruuuk...!
Pendekar Mabuk
jatuh telentang. Si bocah justru
terpental dalam
keadaan melayang di udara.
Punggungnya membentur
pohon, deel...! Tubuh itu pun
memantul bagaikan
karet membentur benda keras.
Pada saat tubuh itu
memantul balik, Pendekar Mabuk
sedang kerahkan
tenaga cadangan untuk bangkit. Dalam
keadaan setengah
duduk, tahu-tahu tubuh bocah itu
menerjangnya dari
depan.
"Hiaaaaah...!!"
Teriakan melengking
itu membuat Pendekar Mabuk
segera sadar akan
datangnya bahaya, ia segera berguling
ke kiri dan cepat
bangkit terduduk dengan tangan
berkelebat ke
samping. Tangan yang menguncup itu
mematuk seperti
seekor ular. Gerakan cepat itu tepat
kenai mata kaki si
bocah. Dees...!
"Aaaook..!"
bocah itu memekik dengan tubuh
melayang ke arah
lain, kemudian berguling-guling
bersama suaranya
yang mengerang kesakitan. Pendekar
Mabuk sendiri
segera roboh kembali setelah melepaskan
jurus totokan
'Delapan Penjuru Sarat' yang apabila
mengenai mata kaki
seseorang akan berubah menjadi
totokan pemudar
gaib.
"Haaarrh...!!"
suara mengerang itu menjadi besar.
Pendekar Mabuk yang
rasakan lemas sekujur tubuhnya
sempat memandang ke
arah datangnya suara tadi.
Ternyata suara itu
berasal dari si bocah yang segera
bangkit dan
berbentuk bayang-bayang, lalu berdiri tegak
dalam sosok seorang
pemuda seusia Suto Sinting.
"Sudah kuduga,
bocah itu hanya bocah jadi-jadian!"
geram hati Suto
Sinting sambil memperhatikan ke arah
lawannya yang sudah
berubah menjadi pemuda dewasa
berambut panjang
dikuncir ke belakang seperti Elang
Samudera.
Pemuda itu segera
membuka jurus dengan kuda-kuda
yang cukup kokoh.
Tubuhnya yang gempal tampak
berotot. Matanya
tajam berkesan bengis.
"Panglima
Tulang...!!" seru Wisena sambil berlari
menuruni bukit.
Pendekar Mabuk mendengar seruan itu.
"Oh, rupanya
dia yang bernama Panglima Tulang?!"
gumam hati Suto
sambil berusaha mencari kesempatan
untuk menenggak
tuaknya.
Wisena mencabut
pisau terbangnya. Ranggina ikut
bergegas turuni
bukit dengan gerakan lincahnya yang
cukup cepat. Teb,
teb, teb, teb...! Sementara itu,
Parerang melepaskan
anak panahnya ke arah Panglima
Tulang. Zaaab...
zaaab...! Dua anak panah dilepaskan
sekaigus dan
berkelebat sangat cepat.
Panglima Tulang
menghindari anak panah itu dengan
berseru berang.
"Bangsat kau, Parerang...!!"
Wut, wut...! Tapi
baru saja kakinya mendarat ke
tanah, dua pisau
terbang Wisena melayang ke arahnya.
Wwest, wesst...!
Panglima Tulang terpaksa melompat ke
belakang berjungkir
balik dua kali untuk hindari pisau
beracun itu.
Saat itulah
Pendekar Mabuk gunakan kesempatan
untuk menenggak
tuaknya. Dengan menenggak tuaknya,
maka kekuatannya
pulih kembali. Sayang ia tak sempat
meminumkan tuak
kepada Elang Samudera, sehingga
Elang Samudera
masih tetap terkapar tak berdaya dalam
keadaan
urat-uratnya bagaikan putus semua.
Namun dalam keadaan
seperti itu, Elang Samudera
masih punya sisa
tenaga sehingga ia bisa keluarkan suara
keras yang
ditangkap oleh pendengaran Suto Sinting.
"Hati-hati,
mulutnya dapat keluarkan api yang
berbahaya!"
"Hiaaaat...!!"
Ranggina ikut menyerang Panglima
Tulang dengan jurus
tongkat mautnya. Sodokan tongkat
itu keluarkan sinar
merah berkelok-kelok seperti cahaya
petir. Sinar merah
beruntun itu menyerang Panglima
Tulang, membuat
pemuda itu kewalahan
menghindarinya.
Blarr, blaar,
blaar...! Ledakan terjadi secara beruntun
juga setiap sinar
merah itukenai benda keras apa pun.
"Bangsat
tengik! Kalian benar-benar memuakkan
semua!
Heeahhh...!"
Sentakan napas dari
mulut Panglima Tulang
menyemburkan lidah
api yang mengarah kepada
Ranggina.
Woooss...! Ranggina melompat dalam
gerakan bersalto
mundur. Wuuk...! Sementara itu,
Wisena dan Parerang
menghujani Panglima Tulang
dengan panah dan
pisau mereka. Panglima Tulang makin
dibuat sibuk dan
tak punya kesempatan untuk
menyerang. Zaab,
zaab, weest, wesst...! Wuut, wuuut,
wuut...!
Panglima Tulang
menghindari mundur dengan
lompatan zig-zag.
Tak satu pun panah dan lemparan
pisau mereka yang
mengenai tubuh Panglima Tulang.
Sementara itu,
Pendekar Mabuk sejak tadi sudah
berkelebat ke arah
lain. Ia mengepung Panglima Tulang
dari balik
semak-semak berduri. Ketika Panglima
Tulang berhasil
menjauhi para penyerangnya. Ia
kepergok
olehPendekar Mabuk.
"Ooh...?!"
sentaknya kaget, karena pada saat itu kaki
Pendekar Mabuk
segera menendangnya dengan
tendangan berputar.
Weet, dees...!
"Ahhk...!"
Panglima Tulang terlempar ke samping
akibat rahangnya
terkena tendangan Pendekar Mabuk. Ia
buru-buru bangkit
sebelum serangan berikutnya
menyusul.
Tab, tab, tab,
wwuut...!
Lompatan cepatnya
membuat Panglima Tulang dalam
sekejap sudah
berada di atas dahan pohon. Hidung dan
mulutnya tampak
berdarah akibat tendangan Pendekar
Mabuk tadi. Tapi
dari atas pohon ia sempat berseru.
"Biadab!
Kalian telah membuatku tak jadi melihat
keadaan Rara Padwi!
Tunggu pembalasanku nanti!"
Blaaas...! Panglima
Tulang cepat-cepat melarikan diri
sebelum Parerang
melepaskan anak panahnya lagi.
Ranggina tampak mau
mengejar pelarian Panglima
Tulang, tapi
Pendekar Mabuk segera menahannya.
"Jangan kejar
dia! Biarkan dia lari dan mengadu
kepada Siluman
Tujuh Nyawa!"
Pendekar Mabuk
bermaksud memancing musuh
utamanya itu agar
keluar dari persembunyiannya dengan
membiarkan Panglima
Tulang melarikan diri. Yang lain
pun tak jadi
mengejar Panglima Tulang setelah mengerti
maksud Pendekar
Mabuk.
Elang Samudera
segera ditolong dengan
meminumkan tuak
dari bumbung sakti Pendekar Mabuk
itu.
"Dia bergerak
ke arah Lembah Tayub!" ujar
Parerang. Lalu,
suara Wisena terdengar seperti orang
menggumam.
"Tak kusangka
ilmunya menjadi sehebat itu?!"
"Pasti dia
telah berguru kepada Malaikat Gantung
atau orangyang
lebih tinggi ilmunya!"
"Kita ikuti
saja dia!" ujar Suto Sinting memberi
komando, membuat
mereka pun segera bergegas ke arah
Lembah Tayub.
*
* *
6
MEREKA melanjutkan
perjalanan dengan saling
memasang
kewaspadaan tinggi. Percakapan demi
percakapan terjadi.
Mereka berkesimpulan sama, bahwa
kiamat kecil yang
nyaris mengubur Suto hidup-hidup itu
tak lain adalah
perbuatan si bocah iblis jelmaan
Panglima Tulang.
Terbukti si bocah hampir saja berhasil
menjebak Suto ke
dalam celah lapisan tanah itu.
Elang Samudera
sempat menceritakan pertemuannya
dengan Rara Padwi
kepada Suto Sinting. Sekalipun Suto
menggerutu
mendengar kemesraan Elang Samudera
dengan Rara Padwi,
namun ia merasa beruntung karena
dapat mendengar
ilmu andalan Panglima Tulang. Suto
pun mengingatkan
kepada yang lain agar waspada
dengan semburan api
dari mulut Panglima Tulang.
Tapi mendengar nama
Siluman Tujuh Nyawa
disebut-sebut
sebagai dalang persekutuan iblis itu,
Parerang dan Wisena
menjadi ciut nyali. Mereka berdua
sering mendengar
kehebatan ilmu tokoh sesat itu.
Mereka juga sering
mendengar cerita kekejaman
Siluman Tujuh
Nyawa. Akhirnya, Wisena berkata
kepada Pendekar
Mabuk.
"Kurasa aku
dan Parerang tak perlu mengantar kalian
sampai Lembah
Tayub. Nanti jika sudah sampai balik
bukit itu, kami
harus segera kembali ke istana karena ada
tugas lain yang
harus kami selesaikan."
Elang Samudera
tersenyum sinis mendengar.
"Mengapa
kalian berubah pikiran?! Kalian takut karena
PanglimaTulang
dibantuoleh Siluman Tujuh Nyawa?!"
"Bukan begitu,
tapi...."
"Kalau jadi
pengecut memang sebaiknya tak perlu
ikut!" sahut
Ranggina dengan ketus membuat kata-kata
Wisena tak jadi
diteruskan.
Elang Samudera
berkata kepada Wisena, "Siluman
Tujuh Nyawa bukan
tandingan kalian. Pendekar Mabuk
yang akan
menghadapinya. Jadi kalian tak perlu takut
akan berhadapan
dengan Siluman Tujuh Nyawa."
Pendekar Mabuk
sendiri segera menimpali, "Gagasan
Wisena tidak buruk,
Elang! Ada baiknya jika mereka
segera kembali ke
istana setelah kita berada di dekat
Lembah Tayub. Kita
hanya butuh panduan mereka agar
tak salah arah,
bukan?!"
"Terima kasih
atas pengertianmu, Pendekar Mabuk,"
ujar Parerang
dengan hati lega.
Tapi di luar
dugaan, mereka berdua ternyata tetap
terlibat dalam
perkara tersebut. Karena ketika mereka
hampir mendekati
Lembah Tayub, Parerang dan Wisena
tak jadi pulang ke
istana. Mendadak mereka dikepung
oleh sejumlah orang
berwajah angker yang rata-rata
mengenakan pakaian
serba hitam. Orang-orang itu
muncul dari
berbagai arah dengan senjata terhunus siap
tarung.
"Celaka! Kita
terkepung mereka, Suto!" ujar
Ranggina dengan
tegang.
"Uuhk...!"
tiba-tiba Parerang memekik sambil
tubuhnya
jatuhterpelanting.
"Hei, kenapa
kau, Parerang?!" seru Elang Samudera
dengan heran.
Wisena segera
mendekati temannya. "Parerang, kau...
oaaahk...!"
Wisena sendiri
terpekik dengan kepala terdongak.
Tubuhnya terpental
mundur dan berguling-guling.
Ketika ia
merangkak, ternyata ia memuntahkan darah
segar dari
mulutnya.
"Hooeek...!"
"Gawat!
Bersiaplah! Mereka menyerang dari jarak
jauh!" seru
Pendekar Mabuk dengan mata terbuka
tegang.
Dees, dees,
dees...!
"Aaahk, uuuhk,
aaahk...!"
Ranggina seperti
disodok ulu hatinya dengan
sebatang kayu
balok. Ia terlempar ke belakang dan jatuh
terkapar dengan
mata mendelik sukar bernapas.
Elang Samudera
seperti dihantam dengan tangan besi
pada bagian
pinggangnya. Ia roboh ke depan dalam
keadaan tulang
punggung bagaikan remuk. Sedangkan
Pendekar Mabuk
terlempar sejauh empat langkah.
Bumbung tuaknya
terpental lepas dari genggamannya,
karena ia merasa
seperti diterjang seekor banteng yang
sedang mengamuk.
Telinganya menjadi berdarah.
Serangan tanpa
wujud itu datang kembali dan
menghajar mereka
satu persatu. Des, des, des, des, des!
Mereka saling
terpekik dan bergelimpangan. Tanpa
diketahui dari mana
datangnya serangan itu, tiba-tiba
mereka merasa
rahangnya seperti mau copot, dadanya
bagaikan mau jebol,
kepalanya seperti dihantam kayu
besar, dan
macam-macam rasa sakit yang tak
tertahankan lagi.
Dalam empat
hitungan saja mereka sudah saling
bergelimpangan,
berdarah dan keluarkan erangan
kesakitan yang
memanjang. Pendekar Mabuk sendiri tak
bisa atasi serangan
tanpa wujud itu. Karena ketika ia
menduga serangan
itu datang dari arah kiri, ternyata
serangan berikut
datang dari depannya persis. Dagunya
bagaikan mau pecah
karena seperti ditendang dengan
kaki baja.
Prook...!
"Aaahk...!"
Kepala Suto tersentak ke belakang. Ia pun
tumbang dengan
mulut mengucurkan darah. Namun ia
masih berusaha
mengerahkan tenaga simpanannya untuk
menahan melapisi
sekujur tubuhnya dengan tenaga
dalam.
Beet, beet, beet,
prook, ceprot...!
Serangan tak
diketahui dari mana asalnya itu seakan
mengincar Pendekar
Mabuk. Ia dihajar tanpa ampun lagi
sampai tubuhnya
terbanting-banting dan terjadi luka di
beberapa tempat.
Termasuk luka hangus pada dadanya.
"Edan! Tenaga
dalamnya tinggi sekali! Siapa yang
menyerangku dengan
cara licik ini?!" geram hati
Pendekar Mabuk yang
sudah mulai kehilangan banyak
tenaga. Ia mencoba
bangkit dan merangkak mendekati
bumbung tuaknya.
Sraak...! Bumbung
tuak itu terpental dengan
sendirinya, bagai
ada yang menyampar dengan kaki.
Jaraknya semakin
jauh dari Suto Sinting. Bumbung tuak
itu tergeletak
dalam satu jangkauan dari tempat Elang
Samudera terkapar
berlumur darah pada bagian
kepalanya.
"Suto...,"
suara Ranggina terdengar mengerang berat.
"Ini...
perbuatan.... Malaikat Gantung! Seperti... yang
dilakukan...
pada... pada mendiang Guru dan teman-
temanku. Oohk...
cari dia! Serang ddii... dia, agar tak
menggunakan...
jurus 'Lamunan Iblis'-nya. Uuuhk...!"
Suto Sinting
melihat para pengepung semakin
berdatangan. Dalam
keadaan tubuh tergeletak dengan
kepala miring ke
kanan. Ia melihat dua orang
mendekatinya. Salah
satu dari kedua orang itu adalah si
Panglima Tulang.
Rupanya orang itu telah berhasil
memberi tahu para
sekutunya tentang rencana Pendekar
Mabuk dan
kawan-kawannya yang akan menyerang
Lembah Tayub.
Ayodya alias si
Malaikat Gantung segera kerahkan
orang-orangnya
untuk menghadang mereka di kaki
bukit. Usaha itu
berhasil. Bahkan si Malaikat Gantung
dengan mudahnya
melumpuhkan lima orang dari
Kesultanan
Tanahinggil itu.
Pendekar Mabuk
melihat sosok lelaki berusia sekitar
tiga puluh tahun
yang berambut panjang dengan ikat
kepala dari logam
perak berukir. Lelaki itu mengenakan
jubah merah tua dan
di pinggangnya terdapat se-gulung
tambang yang
menyerupai cambuk. Hati kecil Suto
mengatakan bahwa
orang berjubah merah itu pasti si
Malaikat Gantung.
Pandangan matanya begitu tajam,
seakan dapat
membutakan orang yang beradu pandang
dengannya.
"Panglima
Tulang...! Kini saatmu menghancurkan si
keparat yang nyaris
membuatmu mati itu!" ujar Malaikat
Gantung.
"Akan
kuremukkan kepalanya tanpa ampun lagi!"
geram Panglima
Tulang yang kala itu membawa senjata
berupa gada besi
berduri.
Dalam keadaan
tergolek tanpa daya, Pendekar Mabuk
hanya bisa
memandangi langkah Panglima Tulang yang
mendekatinya dengan
penuh nafsu membunuh. Gada
besinya yang cukup
besar dan berat itu digenggam kuat-
kuat.
"Modarlah kau
sekarang juga! Heeah...!"
Gada besi itu
diangkat, ingin dihantamkan ke kepala
Pendekar Mabuk.
Tetapi pada saat itu satu-satunya
kekuatan yang
dimiliki Suto adalah kekuatan pada
matanya. Ia
memandang sebongkah batu sebesar kepala
sapi. Batu itu
dilemparkan dengan kekuatan pandangan
matanya. Wuuut...!
Batu itu melayang cepat menerjang
gada besi dari
samping. Prraak...! Crrooook...!
"Aaaah...!!"
Panglima Tulang memekik keras-keras.
Akibat diterjang
batu sebesar kepala sapi, gada besi
berduri itu membentur
kepala Panglima Tulang sendiri.
Tentu saja sebagian
wajah dan kepala Panglima Tulang
menjadi berlumur
darah karena duri-duri pada gada itu
menancap dan
merobek kulit wajah.
Gada itu terlepas
dari tangan Panglima Tulang. Orang
tersebut
terbungkuk-bungkuk kesakitan sambil
memegangi lukanya.
Suto Sinting segera menggunakan
ilmu 'Pranasukma'
yang dapat membuat benda bergerak
sendiri dengan
kekuatan pandangan matanya. Dengan
mata melebar jelas,
Malaikat Gantung melihat gada itu
melayang sendiri
dan menghantam tengkuk kepala
PanglimaTulang.
Wuuut, ceprooot...!
"Aaahk...!"
pekikan Panglima Tulang itu lebih
pendek, karena
kepalanya menjadi hancur akibat
hantaman gada besi
berduri. Panglima Tulang pun jatuh
tersungkur,
menggelepar sesaat, kemudian
menghembuskan napas
terakhir dalam keadaan kepala
rusak berat.
Hancur.
"Panglima
Tulaaang...!!" teriak Malaikat Gantung
begitu sadar bahwa
Panglima Tulang telah tak bernyawa
lagi.
Para pengepung
menjadi tegang dan mundur
selangkah melihat
Panglima Tulang tewas karena
serangan lawan yang
aneh itu. Malaikat Gantung
menjadi murka
sekali. Matanya memandang makin
tajam. Namun
langkahnya yang ingin dekati mayat
Panglima Tulang itu
terhenti karena ia melihat Parerang
berusaha bangkit
berlutut dan ingin menarik anak
panahnya dari
busur.
Dengan cepat tangan
Malaikat Gantung menyambar
tambang yang
menyerupai cambuk panjang itu. Seet...!
Tambang tersebut
segera dilecutkan. Jedaaarr...! Lecutan
itu timbulkan suara
keras dan menyentak. Tahu-tahu
tambang itu
menjerat leher Parerang. Sert...!
"Aahkkkr,
hhkkr...!" Parerang tak bisa bersuara lagi.
Tambang segera
ditarik dalam satu sentakan tenaga
dalam. Wuuut...!
Seert...! Leher Parerang terjerat kuat.
Tubuh Parerang pun
terlempar ke atas dalam keadaan
tetap dijerat
tambang. Pada saat melayang di udara itu,
jeratan itu semakin
kencang dan membuat Parerang
mendelik, lidahnya
terjulur, lalu jatuh menggelepar
sesaat. Kurang dari
dua hitungan, nyawa Parerang pun
pergi tanpa pamit
dari raganya. Ia seperti mati digantung
lawannya. Barangkali
senjata tambang maut itulah yang
membuat Ayodya
menggunakan julukan Malaikat
Gantung.
Tanpa setahu
Ayodya, Elang Samudera kerahkan sisa
tenaganya yang
tinggal sedikit itu untuk dekatkan kepala
ke bumbung tuak
Suto. Tutup bumbung itu terbuka
sedikit, sehingga
tuaknya mengalir keluar. Elang
Samudera tahu betul
kesaktian tuak tersebut, maka ia
pun berusaha
meminum tuak itu walau sedikit saja.
Dengan menjulurkan
lidah seperti seekor anjing sedang
minum, tuak
tersebut berhasil ditelan oleh Elang
Samudera, membuat
kekuatan Elang Samudera mulai
pulih kembali.
Pada saat tubuh
Parerang jatuh dan menghembuskan
napas terakhir,
Elang Samudera telah mempunyai
separuh lebih dari
kekuatannya semula. Maka dengan
cepat ia meraih
pisau terbang milik Wisena. Pisau itu
dicabut dari
pinggang Wisena yang ada di sisi kanannya.
Seet,..! Elang
Samudera bangkit terduduk dan pisau itu
dilemparkan ke arah
Malaikat Gantung. Wees...!
Jrruub...!
"Aaahk...!"
Ayodya alias Malaikat Gantung terkejut
sekali. Ia tak
menyangka akan ada serangan dari
lawannya. Pisau itu
tak sempat hindari karena kecepatan
lemparannya yang
nyaris tak terlihat oleh mata awam
itu.
Akibatnya, pisau
itu menancap di dada Malaikat
Gantung. Pisau itu
terbenam seluruhnya, tinggal bagian
gagangnya saja.
Malaikat Gantung mengeluarkan darah
kental dari
mulutnya dalam keadaan mata mendelik dan
badan sedikit
bungkuk.
I buru-buru
berusaha melepaskan jurus 'Lamunan
Iblis'-nya untuk
menyerang Elang Samudera. Tetapi
ternyata Pendekar
Mabuk lebih dulu menggunakan jurus
'Pranasukma'-nya,
melemparkan tubuh Malaikat
Gantung dengan
kekuatan pandangan mata.
Wuuut...! Tubuh itu
terlempar ke arah pohon dengan
keras. Padahal di
pohon itu ada bekas dahan yang patah
dan berbentuk
runcing. Tak ayal lagi tubuh Malaikat
Gantung itu tertancap
pada keruncingan dahan tersebut
dari punggung
tembus ke perut. Jrruub...!
"Aakkh...!!"
Malaikat Gantung
mendelik, tak bisa berkutik.
Tubuhnya kelojotan
sesaat, setelah itu diam tak bergerak
selama-lamanya.
"Gawat! Sang
ketua tewas juga?!" seru seorang
pengepung.
"Lariiiii...!!"
Para pengepung lari
tunggang langgang. Mereka
dapat bayangkan,
betapa mengerikan lawan yang mereka
kepung itu. Jika
ketuanya yang dianggap sakti itu
berhasil dibunuh
oleh lawan, apalagi diri mereka yang
masih berilmu
pas-pasan. Oleh sebab itu mereka
memilih melarikan
diri sebagai satu-satunya obat
panjang umur.
Elang Samudera
segera mengucurkan tuak ke mulut
Pendekar Mabuk.
Dengan begitu, kekuatan Pendekar
Mabuk
berangsur-angsur pulih dan luka-lukanya
terobati. Hal yang
sama dilakukan pula kepada Ranggina
dan Wisena. Tapi
Parerang tetap Parerang, maksudnya
tetap menjadi mayat
Parerang, tak dapat dihidupkan
kembali dengan tuak
saktinya Pendekar Mabuk itu.
"Persekutuan
iblis itu telah kita lumpuhkan!" ujar
Elang Samudera
setelah memandangi mayat Panglima
Tulang. Sambungnya
lagi,
"Apakah kita
akan kembali menghadap sultan untuk
mengambil
hadiahnya?"
"Aku bukan
memburu hadiah?" tegas Suto Sinting.
"Aku memburu
si keparat Durmala Sanca! Sial! Kenapa
dia tak muncul di
sini?!"
Suto tampak sedikit
kecewa karena musuh utamanya
tak berhasil
ditemuinya. Namun Elang Samudera bisa
menghibur
kekecewaan itu dengan berkata pelan,
"Suatu saat
dia pasti akan muncul di hadapanmu, dan
saat itulah kau
punya kesempatan memancung
kepalanya!"
Ranggina berkata
kepada kedua pemuda tampan itu.
"Kalian telah
menyelamatkan nyawaku dari ancaman
maut Ayodya. Siapa
dari kalian yang ingin mengambil
hadiahnya?!"
"Hadiah
apa?!" tanya Elang Samudera.
"Menikah
dengannya atau bersaudara dengannya!"
jawab Suto, lalu
Elang Samudera memandangi Ranggina
beberapa saat.
Setelah itu menatap Suto Sinting sambil
berkata.
"Ambillah
hadiahnya."
"Aku...?! Ooh,
aku sudah punya Dyah Sariningrum.
Kau belum ada yang
punya, kan?"
"Hmmm... kalau
begitu kita bersaudara saja!" kata
Elang Samudera,
membuat Ranggina tersenyum manis
dan berkata lirih.
"Terima
kasih...."
Lalu mereka membawa
pulang mayat Panglima
Tulang dan mayat
Malaikat Gantung ke istana, sebagai
bukti bahwa mereka
sudah berhasil melumpuhkan
persekutuan iblis
itu. Sedangkan Wisena membawa
pulang mayat
Parerang, sebagai bukti kejamnya
persekutuan iblis.
SELESAI
Pendekar mabuk
Segera terbit!!!
SUKMA WARISAN
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU:
Abu Keisel
Convert & Edit:
Paulustjing
Ebook oleh: Dewi KZ
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon