1
ANGIN bertiup menuju ke timur, sementara
awan hitam menggantung di langit barat. Hembusan angin itu membuat rambut
pan|ang sepundak tanpa ikat kepala itu meriap-riap bagai ingin terbang dari
kepala si pemuda tampan.
Pemuda tampan berbaju buntung coklat dengan
celana putih kusam dan menyilangkan bumbung tuak di punggungnya itu sengaja
berhenti di perbatasan desa tersebut. Pemuda yang tak lain adalah si murid
sinting Gila Tuak dan Bidadari Jalang yang bernama Suto Sinting alias Pendekar
Mabuk itu tertarik pada seorang pengemis kecil yang duduk di bawah pohon.
Pengemis kecil itu berusia sekitar tiga
belas tahun. Badannya yang kurus dlbungkus pakaian biru lusuh, seperti jeans
belel. Bajunya tanpa lengan tanpa" kancing, celananya cingkrang, tinggi
tidak panjang tidak sebatas lutut lewat sedikit Bajunya mempunyai empat
tambaian, celananya dihitung hitung ada enam belas tambaian.
Semua kain penambal berbeda wana. bulu
dan celananya memang serba tambalan, hanya mulutnya yang tidak ditambal. Karena
itulah maka mulut pengemls kecil Itu nyerocos terus, memohon belas kasihan
dengan kata-kata dil'agukan dalam irama mirip dangdut.
"Kasihanilah daku..-.
Bapak. Ibu. Kakek, Nenek, dan
keturunannya....
Daku ini orang tak punya, duhai"
Ada nasi makan nasi. ada singkong makan
singkong, ada rampok makan ayam....
Mohon belas kasihan.... Bapak, ibu,
Kakek, Nenek, dan keturunannya....
Beri daku sedekah aia kadarnya....
Yang penting cukup untuk makan sebulan,
duhai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya.... Siapa memberi akan
masuk surga....
Yang tidak memberi masuk penjara....
dunai... Bapak, ibu, Kakek, Nenek, dan
keturunannya... "
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum
Setelah menyimak permohonan belas kasihan yang ditembangkan itu. ia tersenyum
bukan karena punya ide ingin iadi pengemis juga, namun karena merasa unik melihat
pengemls kecil melantunkan tembang bersyalr lucu.
Pengemis berambut kucai warna merah
jagung dan berkulit hitam kusam itu sempat melirik Suto Sinting. Hatinya
berharap mendapat sedekah dari seorang pemuda tampan. Maka permohonannya dalam
tembang pun lebih diperbanyak dengan suara agak keras.
"Kasihaniiah daku....
Duhai, Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan
keturunannya.... Badanku kurus bukan karena
cacingan,
Bapak, ibu, Kakek, Kangmas, dan
keturunannya....
Badanku kurus karena bakat, Kangmas....
Bakat [adl pengemis muda....
Duhai, Bapak, ibu, Kangmas, dan
keturunannya.--."
Akhirnya Suto mendekati pengemis kecil
itu. SI pengemis pandangi wajah Suto dengan mata sayu, seakan penuh harapan
untuk mendapat sedekah dari si walah tampan itu. Ternyata Suto Sinting memang
mengambil sekeping uang yang ada di selipan Ikat pinggang kain merahnya itu.
"Kau memang pengemis kecil yang
berbakat.
Suaramu enak juga didengar sambil
tiduran."
"Terima kasih, terima kasih,
Kakang"
Yang kubutuhkan bukan pujian tapi
makanan,
Kakang" Kalau tak ada makanan uang
pun jadi,
Kakang... Tak ada uang, baju pun jadi,
Kakang"
Kalau tak ada baju, celana pun jadi,
Kakang..."
Sambil tertawa kecil Suto berkata,
"Kalau celanaku kuberikan padamu, lalu aku pakai apa"!
Bisa
masuk angin, Dik" Kata nenek dan para sesepuh kakang ...
Masuk angin itu lebih baik daripada
masuk
neraka, Kakang" Aduh lapar, lapar,
lapar perutku, Kakang"
Jika tak punya uang jangan bercanda
denganku, Kakang?"
Pengemis kecil itu selalu menjawab
dengan tembang. Kata-katanya mengandung kelucuan sederhana yang cukup menghlbur
hati sl Pendekar Mabuk. Maka, sambil tertawa pelan. murld sinting si Glla Tuak
itu berkata lagi kepada pengemis kecil bermata sayu.
"Aku akan memberimu uang, tapi
sebutkan dulu
namamu." "Menurut silsilah
para raja"raja. Kakang...
Hamba yang hina ini diberi nama Baruna
Widyatama" Tapi karena mirip nama
perusahaan; Kakang...
Maka nama Baruna Widyatama diganti
Badrun,
Kakang?"
Tawa Suto terdengar iagi seperti orang
menggumam pelan. Ia masih menimang-nimang uang yang terhitung besar untuk
ukuran perekonomian dl kala Itu. Si pengemis kecil bermata sayu tampak melirik
terus dengan. hati-tak sabar. Tempurung yang sejak tadi ditadahkan ke depan itu
sengaja diarahkan mendekati tangan Suto Slnting.
"Satu iagl pertanyaanku untukmu,
Badrun. Kalau kau bisa, uangku ini akan kujatuhkan ke tempurungmu. Jawablah tak
perlu pakai-tembang'lagl.'!
Badrun sangat ngiler mellhat uang
sebanyak itu. Kira"kira kalau dlkurskan pada zaman sekarang uang itu
Ibarat selembar lima puluh ribuan yang berwarna biru abu-abu itu. Suto memang
mempunyal tiga keplng uang masing-masing senilai lima puluh ribu untuk uang
sekarang. Ia habis mendapat hadiah dari seorang lurah., karena berhasil
selamatkan nyawa anak KI Lurah. yang tenggelam di sungai.
Jiwa sosial Pendekar Mabuk membuatnya
tak merasa sayang memberrikan satu keping uang senilal itu kepada seorang
pengemis. Apalagi Ia menaruh beias kasihan kepada pengemis kecil tersebut.
Tembangnya membuat hati Suto terharu,
namun juga merasa senang bisa bertemu dengan Badrun. Suto Sinting sendiri tak
tahu mengapa hatinya menjadi senang ketika menyimak suara tembang bocah
tersebut. Yang jelas, ia justru punya minat untuk menjadi sahabat si pengemis
kecil.
"Apa yang ingin kau tanyakan.
Kang?" tanya Badrun, matanya sebentar-sebentar melirik ke uang yang
ditlmang-timang dl tangan Pendekar Mabuk Itu. "Apakah kau punya tempat
tinggal"!"
"Punya, tapi hanya sebuah gubuk
reot, Kang. Itu pun kalau ada angin kencang bisa ambruk!"
'Bolehkah aku bermalam di gubukmu?"
"Boleh saja, Kang. Tapi cepat
jatuhkan uangmu ltu ke tempurungku, Kangl"
'Balkiah," ujar Suto sambil
tersenyum, dan uang pun dijatuhkan ke dalam tempurung. Kliting...l Wa|ah si
pengemis kecil Itu tampak girang sekali, kedua mata sayu nya menjadi lebar dan
seakan melihat surga di depan mata. Ia buru-buru mengambil uang itu dan
memasukkan dalam selipat ikat pinggangnya yang terbuat dari kain kuning itu.
"Terima kasih, Kang! Terima
kaslh!" ucapnya dengan ceria sekali. 'Kaiau memang kau lngin...," Badrun
hentikan kata, karena dilihatnya ada tiga orang berpakaian bagus hendak
memasuki perbatasan desa.
"Ssst..., Kang, menjauhiah dulu.
Ada tiga nasabah mau lewat."
"Nasabah itu apa?"
"Nasibnya selalu bertambah!"
"Bertambah kaya atau bertambah
miskin?"
"Yaaah, tergantung cuaca. kang -..
..... ..-.. menyingklrlah dulu, Kang"."
Sambil tersenyum geli Suto Sinting yang
selama ini pusing dengan urusan pertarungan, sengaja menyempatkan diri untuk
mellhat aksi pengemis kecil sebagal hlburannya. la menjauh, duduk di atas
sebatang pohon yang sudah lama tumbang.
Pohon
tumbang Itu ada di seberang jalan perbatasan desa tersebut. Di sana ia
menenggak tuaknya tiga teguk.
Tiga orang berpakaian mewah itu
sepertinyam para saudagar atau pejabat istana yang hidupnya berkecukupan.
Masing-masing menunggang kuda yang berpelana bagus. Lebih bagus pelana'kuda ketimbang
pakaian si Badrun.
Kuda yang berjalan santai seperti
malas-malasan Itu akhirnya berhenti di depan Badrun ketika Badrun serukan tembangnya.
Ketiga orang berusia sekitar lima puluh tahun itu sailng pandang seben tar,
kemudian sama"sama menatap Badrun. Wajah si pengemis kecil itu kian dibuat
murung sedih dengan mata semakin sayu.
"Berilah sedekah kepada anak yatim
piatu"ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat,
yang gagah
dan perkasa.... Hamba sudah lama tak
makan nasi...-
Kecuali panggang ayam dan gulai sapi....
Kasihaniiah hamba yang hina ini....
Duhai, Tuan-tuan yang terhormat dan
punya
pangkat.... Sedikit sedekah dapat
membuat harta makin
berlimpah.... Tanpa sedikit sedekah
nanti malah Tuan dapat
musibah".
Salah seorang yang berpakaian kuning
mengkllap itu berseru dengan nada membentak.
"Hei, kau mau minta sedekah atau
mau menyumpahi kami"!" '!
"Mohon ampun seribu ampun, Tuan,...
Bukan maksud hamba mengutuk nasib
orang....
Tapi syair memang tersusun begitu,
dan....
Yang penting bukan syairnya. tapi
sedekah-
Duhai Tuan-tuan yang terhormat dan anti
melarat-.."
Suto Sinting hanya senyum-senyum saja
dari kejauhan. Matanya memang tidak tertuju langsung ke arah Badrun, tapi
perhatiannya terpusat ke sana.
Telinganya menyimak suara tiga
penunggang kuda & yang terdengar samar-samar dari tempatnya.
"Sebaiknya kita tanyakan pada dia.
Siapa tahu dia mengetahuinya!" usul yang berpakaian merah bergaris-garis
biru itu. Kejap kemudian, orang yang
berpakaian kuning itu berseru kepada
Badrun tanpa turun dari kudanya. "Hei. Bocah gembel...! Apakah kau melihat
gadis penunggang kuda putih lewat sini"!"
"Kasihanilah hamba yang nista
ini....
Duhai, Tuan"tuan yang terhormat dan
salah
alamat.... Sedikit sedekah dapat
perpanjang umur
hamba.... Duhai, Tuan-tuan terhormat dan
tersesat...."
Yang berpakaian hijau muda mengkilap itu
membentak dengan mata melotot dan kumis dipelintir kuat-kuat.
"Hei, budek kau, yar"! Jawab
pertanyaan tadi. Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putlh lewat
jalanan ini"!"
"Aduh lapar, lapar, lapar
perutku....
Segenggam nasi dapat menjadi petunjuk
tak
basi.... Sekeping uang dapat menjadi
bahan
penerang...."
Badrun tetap ngotot Iantunkan tembang
benrisl syair permohonan. ta bagai tak mau dengar pertanyaan ketiga orang
berkuda Itu. Salah seorang dari mereka akhirnya turun dari punggung kuda dan hampiri
Badrun. Orang berpakaian merah garis-garis biru Itulah yang hampiri Badrun dan
menendang tangan Badrun. Plak...l Weeers...l
Tempurung penadah uang terlempar akibat
tendangan itu. Badrun ketakutan dan duduknya bergeser mundur. Pendekar Mabuk
masih tetap di tempatnya, namun sudah mulai siap-slap lakukan sesuatu jIka
orang-orang itu bertindak lebih kasar lagi kepada Badrun.
'Apa kau benar-benar tuli,
hah"!" bentak sl baju merah garis-garis biru. "Jawab pertanyaan
kami tadi. Jangan hanya bisa minta-minta terus! Kalau kau tak mau menjawab,
kami tak akan segan"segan menghajarmu, karena kami tak mau kau permalnkan dengan
syair-syairmu itui'
Badrun merapatkan badan ke pohon, ia
masih duduk meringkuk dengan wajah penuh ketakutan. Orang berpakaian merah
garis-garis biru yang menyandang pedang besar bersarung emas di pinggangnya itu
mengulang pertanyaan tadi.
"Kau tinggal menjawab ya atau
tidak! Apakah kau melihat seorang gadis menunggang kuda putih lewat jalanan
tni"l Ya, atau tidak"l'
"Kalau Tuan bisa jawab tebakanku,
aku akan jawab pertanyaan Tuanl' ujar Badrun dengan nada lumrah, namun tak
berani dilamplaskan jelas-jelas.
'Turuti saia permintaannya asal bukan
uangl" seru yang berpakaian hilau dari atas kudanya.
"Baik. Asal iangan minta uang, akan
kuturuti apa"kemauanmu! Apa tebakanmu"!"
"Kalau Tuan tak bisa menjawab, Tuan
akan celakal"
'persetanl Apa tebakanmu, lekas
sebutkanl' bentak st baju merah garis"garis biru.
Badrun tempelkan kedua telunjuknya di
pelipis. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian mata terbuka bersama suaranya
terdengar ajukan tebakan
"Mana yang lebih hebat: matahari atau
rembulan"!"
Sl baju merah garis-garis biru menggeram
jengkel. ia segera menatap kedua temannya yang masih tetap di atas kuda. Kedua
temannya sunggingkan senyum sinis menyelekan. Si baju merah garis-garis biru
akhirnya menjawab tebakan itu sambil me natap Badrun dengan mata garangnya.
"Jelas lebih hebat mataharil Dia
lebih besar dan lebih panas." "Salah" ujar Badrun tegas sambil
berdiri pelan-pelan.
' Yang berbaju hijau Ikut ngotot.
"Hebat matahari! Dia punya daya panas lebih tinggi dari rembulan!"
"Salah!" Badrun makin
mene'gaskan.
Yang berpakaian kuning pun menimpali,
"Bocah ' bodoh! Rembulan dan matahari itu ieblh hebat matahari. Tenaga
matahari bisa untuk membakarmu, Tololl' ' .
"Salahl' ujar Badrun sambil bernada
ngotot juga. Lalu sambungnya lagi.
'Rembulan dan matahari lebih hebat
rembulan. Karena rembulan bisa menerangi malam, sedangkan matahari tak pernah
bisa menerangi malaml'
"Konyol! Hajar saia bocah
itu!" seru yang berpakaian hijau. Si baju kuning segera turun dari pu
nggung kuda. ; "
Tapi kejap berikut si baju merah
garis"garis biru itu tersentak dengan tubuh membungkuk. Tiba-tiba mulutnya
terbuka dan suaranya menyentak keras.
"Hooeeek...!" Orang itu
memuntahkan darah segar cukup banyak. Kedua temannya tertegun kaget memandang keadaan
seperti itu. Si baju merah garis-garis biru ingin kembali ke kudanya, tapi Ia
memuntahkan darah lagi.
"Hoooeek...l Hoooeeek...i"
'Kenapa kau, Jalagina"l' tanya si
baju kuning segera memapahnya. "Dadaku terasa, hooeek...i Hoooeek...l'
Si baju hijau segera turun dari kudanya.
ia Ingin ikut memapah si baju merah
garis-garis biru itu. Tapi tiba"tiba
langkahnya terhenti dan ia sendiri memuntahkan darah segar cukup banyak.
"Hooeeek...l Hoooeeeekk...l'
'Apa yang terjadi Ini"!" seru
si baju kuning dengan terheran-heran. 'Kenapa kalian sampai begini"
Apakah... hoooeeek...i"
Sl baju kuning juga memuntahkan darah
segar cukup banyak dari mulutnya. Ia terbungkuk"bungkuk karena sesuatu
mendorong lsl perutnya untuk keluar semua, namun dalam bentuk darah segar.
"Hoooeeek...!' "Huuuueeeaaak...!
Huuueeaak...i"
'Hoooook... hooook... hooeeeek...."
Pendekar Mabuk terperanjat sekali dan
menjadi tertegun di tempat. ia berdiri seketika pada waktu sl baju hijau
memuntahkan darah segar. Dalam benak Suto segera teringat kata"kata
Badrun, bahwa mereka akan celaka jika salah menjawab tebakannya.
"Apakah celaka seperti itu yang
dimaksud Badrun"!" gumam Suto dalam hatinya. "Apakah muntah darah
mereka disebabkan salah menjawab tebakan"! Ah, mana mungkin salah menjawab
tebakan bisa bikin muntah darah separah itu"!"
Ketiga orang itu tampak lemah dan
berwajah pucat pasl seperti mayat. Darah mereka banyak yang keluar. Mereka tak
mampu lagi meiangkah. Sisa
tenaganya dipakai untuk naik ke punggung
kuda. Itu pun mereka masih terus-terusan memuntahkan darah segar. Ketiga orang
itu akhirnya kembali ketempatnya.Tak jadI lanjutkan perjalanan masuk desa.
Mereka menunggang kuda sebisanya sambil
sesekaii muntahkan darah dari mulut. Suara 'hoek-hoek' masihterdengar sekalipun
mereka sudah cukup jauh.
Pendekar Mabuk segera hamplrl Badrun
dengan wajah penuh keheranan- Badrun yang sudah mengambil tempurungnya itu
masih memandang kepergian ketiga orang kaya Itu sambil 'sungglngkansenyum
sinis. "Ada apa dengan mereka, Badrun" Suto Sinting berlagak tidak
tahu nasib ketiga orang itu.
"Mereka muntah darah, Kang."
"Mengapa bisa muntah darah
begitu"!"
"mereka saiah menjawab
tebakanku!"
Pendekar Mabuk makin kerutkan dahi,
mencoba memahami maksud pengemis konyoi itu- Tapi beberapa renungan tidak
membuat Suto mengerti maksud kata-kata Badrun. Sebelum Sute ajukan tanya, Badrun
sudah bicara lebih dulu.
"Kalau mereka tidak segera
tertolong, mereka dapat mati kehabisan darah. Darah Itu tidak akan berhenti dan
akan terkuras sampai habis."
"Maksudku... maksudku mengapa
mereka sampai muntah darah hanya karena salah menjawab tebakanmu"!"
Badrun tarik napas dan sedikit tundukkan
wajah, pandangi tempurungnya. Suaranya terdengar ilrlh dan membuat Stilo
Sinting makin mendekat.
"Mereka bermaksud jahat padaku,
jadi terpaksa kugunakan Ilmu 'Kedung Getih', daripada aku yang celaka mendingan
mereka yang celaka.'
"ilmu apa..."!" Suto klan
kerutkan dahi dekatkan teiinga. "llmu 'Kedung Getlh'. Kang. Hmm...
hmmm...sebenarnya kalau yang dua tidak ikut menjawab tebakanku, kedua orang itu
tidak akan terkena iimu 'kedung Getlh'-ku. Tapi karena mereka ikut menjawab dan
jawaban mereka salah, maka mereka ikui-Ikutan muntah darah."
Pendekar Mabuk tegakkan badan. Memandang
ke arah kepergian ketiga orang tadi. Hatinya diilputl kesangslan, antara
percaya dan tidak mendengar
pengakuan Badrun itu. Karena baru
sekarang Suto sintng menemukan ilmu aneh seperti yang dikatakan Badrun.
Pengakuan itu seperti sebuah canda, itu iebih tepatnya mirip orang main-main.
Tapi kenyataan yang diiihat Suto membuat hati menjadi' ragu-ragu. "Katamu
tadi, kau Ingin ikut bermalam di gubukku, Kang?" Badrun alihkan
pembicaraan.
"Hmmm, ehh... iya," lawab Suto
mengggeragap karena segera sadar dari lamunannya. "Tapi... tapi aku ingin tahu dulu tentang ilmu 'Kedung
Getih' Itu.
“Apakah kau bersungguh
sungguh"!"
"Kugunakan jika dalam keadaan
diriku terancam bahaya saja, Kang. Karena begitulah pesan mendiang
kakekku."
"Mendiang kakekmu. Apakah ilmu itu
dari kakekmu?"
Badrun anggukkan kepala. "Kata
mendiang ayahku, Jika Kakek sudah mati, maka llmunya akan menitis padaku.
Semasa kakek masih hldup dulu bllang begitu padaku, tapi waktu itu aku masih
kecil. Masih usia enam tahun, jadi masih tidak percaya dengan kata-kata Kakek.
Tapi aku sering melihat Kakek memberi tebakan kepada lawannya dan lawannya
muntah darah lika tidak bisa menjawab tebakannya."
"Aneh..."!' gumam Suto Sintlng
sambil masih berkerut dahi, pandangan matanya dilemparkan kearah lain.
"Tentang gadis penunggang kuda yang ditanyakan mereka itu saja sudah
meniadl bahan pertanyaan dalam batinku. Jawabannya belum kutemukan, sudah harus
dibuat heran lagi dengan ilmu 'Kedung Getih' itu"!"
Maka Suto Sinting pun bertanya kepada
Badrun, "Tentang gadis penunggang kuda putih itu bagaimana" Apakah
kau memang melihat gadis Itu lewat jalanan lnl atau tidak"! Mengapa kau
tak mau' menjawab pertanyaan mereka?"
"Kang," ujar Badrun pelan,
suaranya agak berbisik. "Kalau mau tahu tentang itu, sebaiknya kita blcara
di rumahku saja. Kau tak perlu keluarkan uangsewa kamar lagi. karena memang
rumahku tak punya kamar."
Pendekar Mabuk seperti dipaksa untuk
tersenyum. Maka yang keluar adalah senyuman canggung dlbayang-bayangl rasa
penasarannya.
***
2
DESA itu bernama Desa Bumireja. Sebuah
desa yang subur dan padat penduduknya, nyaris menyerupai sebuah kota. Bahkan menurut
keterangan Badrun, desa itu'rneniadi pusat perdagangan palawlja dan
rempah-rempah.
"Desaku ini masih termasuk wilayah
Kadipaten Buranang lho, Kang," ujar
Badrun saat mereka melangkah menuju rumah pengemis kecil itu.
Pendekar Mabuk sedikit terperanjat, karena
Ia pernah dengar nama Kadipaten
Buranang. Ia pernah kenal dengan putri sang Adipatiyang manja itu: Dianti
Anggraini. Kabar terakhir yang diterima Suto dari Sawung Kuntet, sang
putrl'adipati telah diantar sampai ke istananya dengan selamat. Suto jadi lega mendengarnya,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bibir Penyebar Maut").
"Apakah tiga orang kaya tadi adalah
orang Kadipaten Buranang?"
"Kurasa bukan. Kang. Kalau mereka
pejabat atau saudagar yang menetap di pusat kota kadlpaten. mereka tidak akan
bertindak semena –mena begitu. Kurasa mereka orang dari Kadipaten
Lohmina."
"O. ada dua kadipaten?"
"i
Iya, tapi letaknya berjauhan. Batas
Kadipaten Buranang adalah Pegunungan Nagasari itu, Kang!" sambil Badrun
menuding pegunungan yang tampak panjang
melluk-Iluk mirip badan naga itu.
"Seberang pegunungan itu sudah
menjadi wilayah Kadipaten Lohmina: tutur Badrun menjeiaskan bagai pemandu
turis. "Kalau yang itu gunung apa namanya, Badrun?"
"0, itu namanya Gunung Batari"
"indah sekali dipandang dari sini.
Seperti bentuk mahkota alam."
'indah tapi... tapi cukup berbahaya itu,
Kang."
"Berbahayanya kenapa" deSak
Suta semakin ingin tahu. "Pokoknya bahaya." jawab Badrun seakan malas
memberi penjelasan panjang-lebar. Suto Sinting pun tak. terlalu tertarik untuk
mendesaknya, karena matanya segera pandangi lalu-lalang para penduduk desa itu.
Mereka tampak rajin bekerja dan punya gairah hidup cukup tinggi.
Suto menyukai semangat hidup yang tampak
dari wajah wajah para penduduk desa itu. Ternyata bukan hanya Suto Sinting yang
memandang kagum terhadap semangat hidup para penduduk desa, tapi para penduduk
desa pun memandang kagum terhadap kehadiran Suto Sinting.
Sebagai orang asing yang punya wajah
tampan, tubuh kekar, gagah perkasa, sudah tentu menjadi pusat perhatian mereka.
baik secara terang"terangan maupun secara gelap-gelapan.
Mata kaum wanita selalu sempatkan
metirlk ke arah Suto, baik yang muda, tua, atau sudah berstatus nenek
sekalipun. ada yang-mellrlk sambil dari balik pohon, ada yang menatap darl'.bailk
jendela rumahnya, ada yang memandang dari sela"sela jemuran. ada pula yang
memandang dari belakang punggung suaminya. Menyadari hal itu, Suto menjadi
rlslh sendiri.
Badrun pun disuruh mempercepat
langkahnya. Tetapi bocah itu justru memperlambat langkah karena ia merasa
bangga bisa berjalan dengan pemuda gagah dan tampan bak seorang ksatria,
Menurut Badrun. di desa itu tidak ada pemuda yang segagah dan setampan Suto.
Maka ketika tiba di rumah gubuknya
Badrun, Suto buru-buru masuk ke dalam. ia terpaksa merundukkan kepala karena
atap rumah itu pendek, pintunya lebih pendek lagi"
"Wah, kalau begini caranya
bisa-bisa keluar dari rumah ini bentukku berubah esseperti udang. Bungkuk' gumam Suto Sintlng sengaja
agak- keras supaya dtdengar Badrun.
"Ya, begini inilah gubukku, Kang.
Kalau kau suka silakan bermalam di sini. Kalau tak suka, silahkan ajak aku
pindah ke rumah yang bagus," kata bocah itu sambil cengar-cenglr. '
Rumah itu memang menyedihkan. Dindingnya
terbuat dari papan yang tambal-tambal tak karuan.
Selain beratap pendek, juga miring ke
kanan. Sepertinya sekali disapu angin setengah badai, rumah itu akan roboh
tanpa ampun lagi. seperti apa kata
Badrun tadi, rumah beratap rumbia itu tak punya kamar.polos tanpa penyekat
Tempat tldumya dari dipan bambu yang
sudah reot. Satu kakinya disambung dengan kayu lain hingga posisinya agak
miring. Meja kursinya dari kayu papan yang dibuat asal jadI. Di tengah ruangan
ltu ada meja lebar, berkaki rendah.
Meja itu dikelilingi tikar pandan yang
sudah butukan. Orang yang akan makan di meja itu harus duduk berslla, atau
melonjor ke samping. Tak bisa melonior ke depan, karena meja itu menyerupai
kotak tanpa kolong. Dua kursi kayu reot ada di samping dipan, satu kursi lagi
ada dl sudut. Sudut itu adalah dapur yang mempunya! tungku berabu tinggi, dekat
dengan pintu menuju ke halaman belakang.
Tapi halaman belakang hanya secuil tanah
yang cukup untuk kamar mandi dan WC saja. Bahkan untuk menanam pohon cabe saia
harus diperhitungkan masak-masak letaknya.
Suto tak betah berdiri dI dalam rumah
tanpa jendela Itu. Karena ia tak betah harus membungkuk terus. Maka ia memilih
duduk di tikar yang mengelilingi meja rendah tersebut.
"Benar"benar menyedihkan.
Lebih bagus kandang kebo daripada rumah lnl," pikir Suto Sinting sambil matanya
memandang sekeliling.
Badrun menutup pintu rumah, karena
petang mulai datang.
"kang, aku punya teh seduh. Apakah
kau mau minum teh seduh?"
'kaiau aku menjawab salah, bisa celaka
apa tidak ."
Badrun tertawa kecii. "ini
pertanyaan biasa kok, Kang. Bukan tebakan 'Kedung Getlh'. Jangan takut menjawab
salah," ujar si bocah.
'Aku minum tuak saja," jawab Suto
sambil sedikit mengangkat bumbung tuaknya.
"Wah. tak balk terlalu banyak minum
tuak, Kang. Sedlklt saja. Sisanya blar kuminum."
Suto tertawa pendek. "Ambil cangkir
dan kita minum tuak bersama."
Badrun kegirangan, lalu segera mengambil
cangkir keramik yang sudah rusak tepiannya. ini cangkir apa takaran
beras"i" gumam Suto Sinting. membuat Badrun tertawa malu.
Sambil menikmati minuman tuak memakai
cangkir-cangkir sompai Itu, Suto Sinting sempat pandangl lagi barang-barang
yang ada di rumah Itu. Semuanya memang serba rombeng. Satu pun tak ada yang
laku dijual.
"Sebenarnya pintu rumah ini tak
perlu kau ganjal dengan palang pintu. Karena aku yakin tak ada pencuri yang mau
masuk ke rumahmu lnl, Badrun."
"Siapa tahu ada"!" _
"Pencuri masuk ke sini adalah
pencuri yang bernasib siail Apa yang mau dicuri?"
"Siapa tahu yang dicuri diriku
sendiri"!'
"Orang mencuri dirimu itu adalah
orang buta yang menganggapmu patung keramat."
Tawa mereka meledak bersama di bawah
penerangan cahaya iampu minyak. lampu itu berupa mangkuk tembaga yang sudah
pietat-pietot, dituangi minyak. Sejumput kapas direndam dalam minyak itu,
kemudian ditarik sedikit dijadikan sumbu yang membuat lampu itu menjadi
menyala.
"Apakah sejak dulu keluargamu
tlnggal di sinl"'
"Ya. Ayahku, ibuku, bahkan kakekku
juga dulu menempati rumah ini."
"tak dibangun sedikit pun?"
"Kami tak mampu membangunnya. Dari
dulu ya begini ini." "Gliai' gumam Suto Sinting sambil
geleng"geieng kepala. 'Rumah kanan-kirlmu bagus"bagus, rumahmu
sendiri yang luar biasa bagusnya," sindlr Suto tapi dalam nada bercanda.
dan tampaknya Badruntak pernah tersinggung oleh sindiran atau candaan seperti
itu. Namun hati Suto sebenarnya terharu meiihat kehidupan Badrun.
"Dengan siapa kau tinggal di rumah
ini?" tanya Suto setelah diam beberapa saat.
Badrun tidak langsung menjawab, Ia
pandangi cangkir tuaknya sesaat, kemudian baru perdengarkan suaranya agak
pelan.
"Aku tlnggal sendirian di rumah
inl.'
'Kau tak punya saudara?"
"Punya. Seorang kakak!
"Laiu, di mana kakakmu
tlnggal?"
'Tidak di rumah ini."
"Siapa nama kakakmu?"
"Peri-..," jawab Badrun, lalu
tertawa kecil.
Suto ikut tertawa walaupun sebenarnya
ieiucon itu tidak membuatnya geli. Rasa-rasanya pembicaraan itu tak begitu
penting bagi Suto. Ada masalah yang lebih penting dibicarakan, yaitu tentang
gadis berkuda putih yang ditanyakan tiga orang kaya itu.
Maka Suto pun menanyakan hal itu kepada
Badrun.
"Penunggang kuda putih itu memang kulihat
tewat di depanku," kata Badrun. 'Tapi aku tak mau memberi tahu
mereka."
"Mengapa kau
rnerahaslakannya"'
"Gadis itu adaiah... adalah orang
suku Mabayo."
Pendekar Mabuk berkerut dahi. "Suku
Mabayo?"!"
"Suku yang hidup di Hutan Maiaikat:
tambah Badrun dengan suara pelan, seakan takut didengar orang lain. "Aneh.
Baru sekarang kudengar nama suku itu. Lalu, yang dinamakan Hutan Malaikat itu
ada dl mana?"
"Di Gunung Batar.'
"Hmmm...," Suto Sinting menggumam pelan dan manggut-manggut. Selagi
mereka saling terbungkam, suara petang menjadi riuh. Di luar rumah ada
keributan. Orang"orang berteriak, sailng menjerit, dan suara bentakan terdengar
tak ieIas dari mulut orang yang tampaknya berperilaku kasar. Suara tersebut
membuat Suto Slnting bangkit berdiri, namun tak bisa tegak.
" 'Jangan keluar, Kang. Jangan
keluar! Tetaplah di sini!" ujar Badrun dengan wajah tegang ]uga. Ia pun
ikut bangkit dan memegangi tangan Suto.
"Suara keributan apa itu"!'
tanya Suto Sintlng.
Bluuub...! Badrun matikan lampu. Suasana
meniadl gelap dan keheranan Suto Sinting bertambah besar.
'Badrunl Drum."! Badrun, di mana
kau"?" tangan Suto meraba-raba. Plok...i WaJah Badrun dipegangnya
"Kang, ini wajahku. Jangan diremas'
"Badrun, mengapa lampunya kau
padamkan'."
'Biar orang-orang itu tidak mendekati
rumah ini!' "Kenapa" Orang-orang siapa"i Katakan. Drun... siapa
mereka itu"!"
"Mereka orang-orang iahat, kang"
bisik Badrun.
"Apa mau mereka"!"
"Mereka pasti mencari gadis
penunggang kuda putih."
"Aneh. Aku harus keluar dan
mengetahui apa yang mereka perbuat, Druni'
'Jangan, Kangi Nanti salah-saiah kau
dibunuh oieh mereka! Sudah tiga malam ini mereka berkeliaran di desa sini dan
pasti mencari gadis penunggang kuda putih. Mungkin sekarang mereka jengkel dan
marah"marah pada penduduk, Kang."
Saat si Badrun bicara begitu, Suto sudah
melangkah dekati pintu dengan meraba"raba. Lalu la temukan palang pintu
dan diangkatnya kayu palang pintu itu.
"Kang..." Kang Suto..."l'
Badrun memanggil dengan suara berbisik. rTetaplah di rumah dan kunci pintu! Aku
keluar sebentar. Drun' 'Bahaya, Kang' "Kalau ada ketukan pintu empat kali,
berarti aku yang mengetuk! Kau boleh buka pintu. Tapi kalauketukan kurang atau
lebih dari empat kali, berarti bukan aku yang datang. Kau tak perlu buka
pintui"
"Tapi, Kang"."
Krriiieet...! Pintu pun dibuka
pelan-pelan oleh Suto. Seakan ia tak hiraukan kecemasan Badrun. Bocah berusia tiga
belas tahun itu bermaksud menahan Suto, tetapi ketika Ia sampai di pintu, Suto
Sintlng sudah keluar rumah. Mau tak mau Badrun ikut keluar iuga. Ia sangat mengkhawatirkan keselamatan teman
barunya itu. Karena seiama ini. baru Suto Sintlnglah orangnya yang datang ke
rumahnya sebagai tamu dan bersikap bersahabat.
'Kang..."! Kakang..." panggil
Badrun sambil beriarl-lari kecil mengikuti Suto Slnting.
"Hei, kenapa kau ikut keluar
juga"! Sana masuk"
"Kang, kau belum paham betui
jaian-lalan di desa ini Kau bisa tersesat jika puiang ke rumahku nanti
Sebaiknya aku ikut juga biar nanti pulangnya bisa bersama-sama," kata
Badrun seakan Ia merasa bertanggung iawab atas keselamatan tamunya. Suto tak
tega untuk menghardik atau memaksanya pulang, akhirnya ia biarkan anak itu ikut
bersamanya.
Suasana di luar rumah iebih terang
daripada di dalam tadi. Tiap rumah mempunyal iampu penerang jalan. pada umumnya
terbuat dari bambu melintang dengan tiga atau empat sumbu.
Keadaan terang itulah yang membuat Suto
Slnting melihat seorang lelaki kurus diseret keluar dari rumahnya oleh dua
orang berpakaian serba hitam.
"Kang... mereka orang-orang Waduk
Bangkal!" bisik Badrun semakin bernada penuh kecemasan dan rasa takut.
"Siapa orang-orang Waduk Bangkai itu"!"
"Mereka para pembunuh bayaran,
Kang! Mereka ganas-ganas! Sebaiknya kita masuk rumah kembali, Kangl"
Badrun menarik-narik tangan Suto.
"Kau berlindung di samping rumah
berpagar rendah itu. Aku akan temui mereka sebentar."
"Jangan, Kang! Nanti mereka marah
padamu!"
"Sudahlah. sana berlindung di
samping rumahitu! jangan mendekatiku seiama aku berhadapan dengan orang-orang
Waduk Bangkai itu!"
"Tapi... tapi... tapi hati-hati, ya
Kang"!"
"Hmmm! O, ya" siapa orang yang
diseret mereka itu"!"
"Wakilnya Ki Lurah! Aduh. kasihan
dia.... Soalnya Ki Lurah beberapa hari ini sedang sakit. tak bisa turun dari
tempat tidurnya dan...."
"Sudahlah, sana sembunyi!"
"Baik, Kang. Baik...i" kata
Badrun masih tetap dengan suara bisik, kemudian ia berlari ke samping rumah
tetangganya, bersembunyi di sana.
Matanya memandang tegang ke arah Suto
Siming yang melangkah dengan tenang dekati kerumunan orang-orang berpakaian
serba hitam itu. Dengan bumbung tuak digantungkan di pundak kanannya, Suto
Sinting sengaja berjalan di tengah jalanan tak beraspal itu supaya kehadirannya
dapat dilihat jelas oleh orang-orang berpakaian hitam yang jumlahnya sekitar
enam orang itu.
Si wakil lurah duduk di tanah dengan
ketakutan dikelilingi oleh enam orang Waduk Bangkai. Salah seorang dari mereka
memegang cambuk yang segera dilecutkan ke tubuh sl wakil lurah.
Ctaaar...! "Kalau kau tak mau kasih
tahu di mana gadis berkuda putih itu, kau akan kuhancurkan dengan cambuk
Ini!" bentak orang berkumis yang mengenakan ikat kepala model warok Itu. |
"Sumpah mati. aku tidak tahu
tentang gadis itui' ujar si wakil iurah. "Bohong! Kau wakil iurah, pasti
menerima iaporan dari anak buahmu bahwa di sini ada tamu seorang gadis
menunggang kuda putihi"
"Tidak! Tidak ada laporan. Sumpah!
Berani disambar petir seratus kail kalau aku bohongi"
"Paksa dia dengan cambukan supaya
mengakui" semak salah seorang dari mereka, maka si pemegang cambuk pun
melecutkan cambuknya kembali.
Ctaaarrr...i "Aaaow...|" si wakil
lurah memekik kesakitan, mengiris hati orang yang mendengarnya. Sementara itu.
keiuarganya yang hanya bisa menyaksikan dengan sembunyi-sembunyi dari balik
pintu rumah hanya bisa menangis tanpa berani berteriak meminta tolong pada
siapa pun.
Pendekar Mabuk segera berseru sebelum
cambuk melecut ketiga kallnya.
'Hentikan...l" Suara itu sangat
menarik perhatian mereka berenam. Bahkan para penduduk yang diam-diam mengintai
dari beberapa tempat itu juga terkejut mendengar suara Suto Sinting. Mereka tak
menyangka ada orang yang berani berseru menyuruh orang-orang Waduk Bangkai
menghentikan siksaannya.
"Siapa kau"i Berani-beraninya
kau menyuruh kami hentikan tindakan Ini, hah"!" seseorang maju dengan
berang dan segera mengangkat tangannya untuk menampar Suto Sinting.
Tapi sebeium tangan orang itu berkelebat
menampar, tiba-tiba kaki Pendekar Mabuk melayang cepat dengan gerakan tak
terlihat oleh siapa pun.
Wuuut...! Ploook...i Tendangan yang
teramat cepat itu membuat mereka terbengong sesaat, karena orang itu tahu-tahu
sudah jatuh terkapar dengan napas tersentak-semak bagai sekarat. la jatuh di
antara kedua temannya.
Melihat orang Itu terkapar, sl pemegang
cambuk menjadi barang. ia maju dengan langkah cepat dan melecutkan cambuknya ke
arah Pendekar Mabuk.
Tapi gerakan tangan yang terangkat untuk
melecutkan cambuk Itu terhenti. Suto lepaskan junrs 'Jarl Guntur", berupa
sentilan bertenaga dalam cukup besar, menyamai tendangan seekor kuda jantan.
Teess...i 'Aaaooh...i" sl pemegang
cambuk memekik keras-keras. Sentilan bertenaga dalam itu kenai pergelangan
tangan orang tersebut, cambuk pun terlepas, tangan tak mampu menggenggam lagi.
Ia terbungkuk-bungkuk dengan tangan kiri pegangi tangan kanannya.
"Aauuh, aauh, aaah... aaaakh...l'
'Serang dia' seru salah seorang memberi
komando. Empat orang segera mencabut golok danmenyerang Pendekar Mabuk. Murid
si Gila Tuak itu meliukkan tubuh ke sana-sini, melompat dan sempoyongan seperti
orang mabuk mau tumbang, namun sebenarnya ia menghindari tebasan dan bacokan
golok-golok yang menyerangnya secara serentak itu.
'Hiiiaaaat...l" Wut, wuuuk, wuuuk,
wuul, wuuk, wees,weeess...l Tak satu pun sabetan golok mereka ada yang kenal
tubuh Pendekar Mabuk. Bahkan tendangan dan pukulan mereka dapat dihindari oleh
Pendekar Mabuk dengan gerakan cepat yang sukar dihadangdengan pukulan
selaniutnya.
Secara tak sadar mereka berempat semakin
mengepung lebih dekat lagi. Pada saat itulah, Pendekar Mabuk lompat ke atas dan
memutar tubuh dalam keadaan tegak lurus dengan kedua kaki disentakkan secara beruntun.
Wuuuut. prraaak...l , 'Aaaaow...!"
Empat orang itu terpental serempak. Mereka terkena tendangan kaki Pendekar
Mabuk secara serempak ]uga. Tendangan kaki memutar bagai baling-baling tadi
mengandung tenaga dalam yang membuat dagu mereka pecah, salah seorang
rahangny'a remuk. Mereka terkapar mengerang"erang, sementara si pemegang
cambuk tadi hanya bisa memandangi Suto Sinting dengan tangan kiri
masih pegangi tangan kanan yang terasa
sakit bagaikan patah tulang itu.
"Bawa pulang teman-temanmu! Jangan
sekali-kali berani bertingkah di desa ini! Kalau ketuamu tak bisa menerima perlakuanku,
suruh dia cari aku. Namaku Suto Sinting! Aku bukan orang desa ini. Tapiaku siap
berhadapan dengan plhakmu kapan saja kalian menghendaki diriku! Sekali kudengar
kalian mengganggu ketenteraman desa Ini, aku akan datang ke Waduk Bangkai, dan
kuhancurkan tempatmu ltui'
Kata-kata tersebut
diucapkan dengan tegas, sekalipun sikap Suto tenang, tapi tiap kata yang dilontarkan
bagai menggetarkan hati si pemegang cambuk. Nyali orang itu mengkerut bagai
kerupuk kena angin.
Dengan menahan rasa
sakit di tangan kanan, ia membantu
teman"temannya untuk segerapergi. Bahkan Ia ]uga yang menggotong salah
seorang yanig pingsan karena serangan pertama tadi.
'Hei, tunggu"!" seru Suto
membuat mereka hentikan langkah dengan cemas.
"Siapa yang mengupah kalian untuk
mencari gadis berkuda putih"!"
'iimmm, eeeh, eeh... hmmmm.?"
'Aku minta lawaban yang jujur! Jangan
harap ' kau bisa pulang ke Waduk Bangkai kalau tak mau menjawab pertanyaankui'
"Hmmm, ehhh... kami hanya diperintah oleh Nyai Ratu." 'Nyai Ratu
siapa"!"
Nyali yang sudah teianlur mengkerut
mirip celdna kodian habis dicuci itu akhirnya tak berani tutupi rahasia
tersebut. Sl pemegang cambuk menjawab dengan pelan. "Nyai Ratu... Ratu
Sendang Pamuas.'
Suto Sinting menggumam lirih dan manggut
manggut. Hatinya bertanya"tanya, "Siapa sebenarnya ratu Sendang
Pamuas itu"! Mengapa baru sekarang kudengar nama Sendang Pamuas"!
Sayang sekali tadi lupa kutanyakan di mana keduduka si Ratu Sendang Pemuas itu!"
Ketika Suto selesai mengobati luka
cambuk si wakil lurah dengan meminumkan tuak dari bumbung saktinya itu. ia pun
kembali ke rumah Badrun. sekallpun si wakil lurah menawarkan tempat yan lebih nyaman,
tapi Suto Slnting tetap memilih bermalam di gubuk reotnya Badrun. Anehnya, tak
satu pun dari penduduk desa yang mengetahui siapa Ratu Sendang Pamua Itu.
Badrun pun mengaku tak mengenai nama itu dan baru sekarang mendengarnya.
'Setahuku di sini tak ada ratu, adanya
adipati " kata Badrun yang membuat Suto akhirnya termenung parljang di
rumah kumuh itu.
***
3
SETELAH dua hari tinggai bersama Badrun.
bahkan sempat mengobati penyakit Ki Lurah dan beberapa warga setempat, Pendekar
Mabuk akhirnya teruskan perjalanan yang sudah direncanakan dalam benaknya
beberapa hari yang lalu.
Persoalan gadis berkuda putih itu dapat
ditangguhkan untuk sementara waktu, toh orang-orang Waduk Bangkai tidak muncul
iagi sejak peristiwa malam itu.
"Setelah dari Bukit Sawan aku akan
datang kembali ke sini untuk mencari tahu. siapa sebenarnya garis berkuda putih
itu" Mengapa Ki Lurah dan beberapa Warga desa lainnya tak ada yang bisa
menjelaskan tentang gadis berkuda putih itu" Aku sendiri jadi sangsi
dengan keterangan Badrun. Jangan-jangan anak itu hanya mengarang sebuah cerita
supaya aku betah tinggal bersamanya"! Brengsek: Licin juga akal anak itu.
Tapi kuakui. ia sebenarnya anak yang cerdas." ujar Suto Siming dalam
hatinya.
"badrun, kau mau ikut ke Bukit
Sawan?" tidak, Kang. Nanti siapa yang menggantikan pekerjaanku;
mengemis?"
'sudahlah, tinggalkan saja pekerjaan
itu. Kau bisa kulatih untuk bisa melakukan pekerjaan lain yang mendatangkan
hasil juga."
hah. sayang kalau bakat ini tidak
terpupuk. Kang." jawab Badrun sambil cengar-cenglr dan membuat Suto
Slnting tersenyum geli. '
Maka ketika pagi mulai meninggi,
Pendekar Mabuk tlnggalkan desa tersebut. Ia harus teruskan perjalanannya menuju
ke Perguruagn Telaga Murka yang berada di Bukit Sawan. Ia ingin temui seora ng
' gadis cantik bak boneka yang menjadi murid perguruan tersebut. Tirai Surga,
namanya!
Gadis itu mampu tinggalkan kesan
tersendiri di hati Pendekar Mabuk. Rasa-rasanya sulit bagi Suto untuk melupakan
Tirai Surga yang berkullt halus lembut seperti kulit bayi itu. Sekalipun Tlral
Surga sebenarnya adalah musuh yang nyaris merenggut nyawa Suto Slnting. karena
ia adalah utusan dari Nyai Dupa Mayat yang bertugas menjebak dan menangkap
Suto, namun pada kenyataannya justru nyawa Suto diselamatkan oleh jubah Tirai
,Surga saat lakukan pertarungan dengan Nyai Dupa Mayat.
Gadis itu sendiri tak tahu kalau orang
yang harus ditangkap dan diserahkan kepada Nylal Dupa
Mayat adalah pemuda yang pertama kali
dalam sejarah hidupnya memberikan ciuman dan belalaian mesrra. Tirai Surga
sudah telanjur dibuai oleh kemesraan': Pendekar Mabuk, sehingga ketika ia
merngtetahui bahwa pemuda yang harus ditangkapnya adalah Suto, maka ia berbalik
memihak Suto Sinting: ia lebih baik batal mendapatkan ilmu 'Gerhana Senyawa'
ketimbang tak bertemu dengan Suto
Sinting selamanya. Mengharukan sekail, (Baca serial pendekar Mabuk dalam
episode : 'Dalam Pelukan Musuh').
"Kalau kau mau ke Bukit Sawan, kau
harus melewati kaki Gunung Batar itu, Kang," ujar Badrun pada saat sebelum
Suto Slnting meninggalkan desa
tersebut. Suto mencatat panduan itu
dalam benaknya.
' 'Kang, aku tidak bisa membekali
apa-apa," kata Badrun saat ingin ditinggalkan. "Tapi aku punya dua tempurung. Kalau kau mau, bawalah tempurungku yang
satu Ini, Kang. Yang satunya lagi tetap akan kupakai untuk mengemis."
"Kau plklr aku dijalanan akan
mengemis"! Pakai bawa-bawa tempurung segala"!" ujar Suto Slnting
sambil bersungut-sungut menahan tawa. Ia segera mengusap-usap kepaia anak itu
dengan penuh persahabatan.
' "Kau lebih membutuhkan tempurung
itu ketimbang aku, Badrun."
"Tapi setidaknya buat tanda mata,
lumayan juga, Kang" Siapa tahu di jalan kau butuh tempat untuk minum"!"
Suto merasa didesak. Ia tahu, Badrun ingin memberikan tanda kenang-kenangan
atas jalinan persahabatan mereka itu. Maka untuk melegakan hati Badrun,
tempurung hitam yang tepiannya bengerigi mlrlp tempat menaruh rokok pada asbak
Itu akhirnya diterima juga oleh Suto.
Tempurung hitam itu bergambar wajah
orang di bagian luarnya. Hasil goresan tangan Badrun sendiri yang dianggap Suto
mempunyai nilai seni cukUp lumayan. Suto sempat menertawakan gambar wajah orang
yang mirip topeng itu.
"Wajah kakekmukah yang kau gambar
di 'tempurung ini?" canda Suto, dan Badrun tertawa penuh keceriaan.
"Ada gunanya juga. Bisa pas untuk tutup bumbungku"!" pikir Suto
sambil mencoba menutupkantempurung dalam keadaan tengadah ke lubang bumbung.
Tempurung itu bagaikan baut yang harus diputar sedikit agar menutup rapat dan
kencang.
Membukanya juga harus diputar sedikit.
Dengan tutup tempurung itu, tuak yang ada di dalam bumbung lebih terjaga
keutuhannya. Tidak mudah tumpah. atau menetes keluar jika bumbung dalam keadaan
terbalik sewaktu-waktu.
Perjalanan separuh siang itu terhenti
sejenak akibat suara ledakan kecil yang terdengar sampai di telinga Pendekar
Mabuk. Ledakan kecil itu berasal dari arah kiri Suto. ia yakin ledakan kecil
itu timbul akibat adanya pertarungan adu tenaga dalam.
Pendekar Mabuk adalah orang yang tak
bisa melewatkan sebuah pertarungan. Di mana pun ia mendengar suara pertarungan
selain diburunya untuk dijadikan tontonan. Bukan sekadar tontonan penghibur
hati. melainkan tontonan penambah pengetahuannya tentang jurus-jurus yang ada
di dunia persilatan. ia ingin mengetahui keunggulan dan kelemahan setiap lurus
yang dimiliki orang lain.
Karenanya, tak heran jika Suto Sintlng
pun sedikit membelokkan arah perjalanannya untuk melihat pertarungan apa yang
terjadi di sebelah kirinya itu.
"wuut". ..! Dalam sekejap ia
sudah berada di atas pohon dengan menggunakan ilmu peringan tubuh ia melompat
dari pohon ke pohOn sampai akhimya meiihat dua sosok yang sedang beradu
kekuatan fislk tanpa senjata tajam.
Mata terbelalak segar dengan senyum
membias tipis ketika Suto menatap ke arah pertarungan dua gadis yang cukup
menarik. Bukan jurus"jurus mereka saja yang menarik, tapi penampilan salah
satu dari kedua gadis itu juga sangat menarik. Mereka sama sama mempunyai nilai
kecantikan yang seimbang, tapi busana mereka berbeda.
Yang satu berjubah putih
kekuning"kuningandari bahan kain halus namun mengkilap seperti satin.
Jubalmya berlengan panjang itu tidak dik kancingkan, sehingga pakaian dalamnya
yang terdiri daribaju buntung warna biru dan celana biru yang juga mengkilap
itu tampak jelas. Gadis berjubah putih krem itu berusia sekitar dua puluh tiga
tahun dengan
rambut disanggul asal-asalan, sehingga
sisa rambutnya berjuntai ke bawah seperti ekor anak kuda.
Ia bersenjata pedang dl pinggangnya,
namun saat itu belum digunakan. Sarung pedangnya dililit kain beludru merah
dengan ujung gagang pedang diberi hiasan rumbai"rumbai benang kuning. Sedangkan
lawannya justru berpakaian minim.
Penutup dadanya dari serat"serai
kulit pohon yang lemas dan tampak kenyal, berserabut seperti rambut. Demikian
pula penutup bagian bawahnya dari rumpul-rumput kulit pohon yang menyerupai
rambut.
Digunakan hanya menutup bagian
terpenting saja. sisi kanan"kiri pinggulnya hanya tertutup tali serat itu.
gadis bertubuh tinggi dan seksi dengan dada montok tampak maju ke depan itu
tampak seperti orang prlmltll dilihat dari pakaiannya. Tapi ia adalah gadis
yang cantik, berhidung mancung, berblblr sensual, mata agak lebar berkesan
galak.
Gadis yang berpakaian prlmltif itu
berusia sekitar dua puluh tiga tahun juga, hanya bedanya Ia bertubuh lebih
tinggi dari lawannya. Gerakannya tampak lebih lincah dan ilar. Caranya
memandang pun berkesan liar. Sekalipun ia mempunyai pedang di punggung, tapi ia
belum mau mencabut pedangnya.
Rambut gadis itu panjang sebahu dan
keriting kecil-kecil,'tak terlalu kentara keritingnya jika dilihat dari
kejauhan. ia mengenakan ikat kepala dari tali halus berwarna putih yang
panjangnya melebihi pundak, sehingga dalam setiap gerakannya, tali itu melayang
ke sana-sini, membuatnya tampak lebih lincah dan menarik sekali. "
Kulitnya yang berwarna sawo matang
bagaikan tahan pukulan dan tahan goresan, karena keliha tan keras bagal
tembaga. Setiap bergerak, rumbai"rumbal penutUp dada dan bagian bawahnya
menyingkap ke sana"slni, sehingga barang yang ditutupi sesekali tampak
sesekali tertutup, membuat hati Pemdekar Mabuk berdeslr dan pandangan matanya
menjadi penasaran.
'Gila! Ini yang namanya kecantikan alami dan kemontokan
alami juga," ujar Suto dalam hati. "Justru kalau kelihatan ngablak
malahan kurang menarik. Aih, gila! Kenapa mataku tertuju ke sana. Konyol!
Jangan, ahi Tidak boleh! Kata orang tua; pamali" sambil hati Suto tertawa
sendlrl.
Gerakan si gadis berpakaian
rumbai"rumbai itu makin lama semakin tampak liar. ia melompat ke sana-sini
mlrlp kera, terkadang menyerupai singa yang sedang mengamuk, ingin menerkam
lawannya dengan buas. Ia sering gunakan gerakan bersalto, atau plik-plak dl
tanah. Dan hal itu dilakukan dengan cepat, membingungkan iawannya.
Tahu-tahu kakinya menendang telak kenal
wajah gadis berjubah putih krem itu. Plook...! Gadis berjubah putih krem
menggoyor ke belakang. Sempoyongan! Wajahnya diklbaskan sesaat karena pandangan
matanya jadI buram. Dan pada saat Itu pula, serangan si gadis berambut kerltlng
halus Itu datang lagi berupa tendangan beruntun.
Piak, plak, plak, best...!
Gadls berjubah krem berhasil tangkis
setiap tendangan lawannya. Bahkan Ia segera memutar tubuh dan layangkan
tendangannya ke arah kepala ' lawan. Wuuut...! . Plaaak...l Tendangan itu
ditangkls juga oleh lawan.
Kejap berikut mereka saling
menghantamkan kedua telapak tangan. Wuuut...! Biaarr...l Ledakan keras terjadi
akibat benturan dua telapak tangan yang bertenaga dalam itu. Asap mengepul
tipis dari kedua telapak tangan yang saling beradu tadi. Klni mereka sarna-sama
teriempar ke belakang bagai dihernpas badai.
Si gadis berjubah putih krem jatuh
terduduk, sedangkan lawannya hanya terpelanting dan sempo.yongan, namun tak
sempat jatuh karena ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Klnl jarak
mereka menjadi sekitar delapan langkah.
"Boleh juga si gadis hutan
itu," ujar Suto Slnting dalam hati sambil perhatikan gadis berpakaian
rumbai-rumbai itu. "Gerakannya cukup llncah dan membingungkan. Ia banyak
menggunakan gerak tipuan.
Kurasa si jubah putih tak dapat
menumbangkannya. Justru mungkin si jubah
putih akan tumbang dalam beberapa jurus lagi. Karena menurutku.?"
Celoteh batin Suto Sinting Itu terhenti
karena si gadis berjubah putih telah bangkit dan berseru kepada lawannya.
'Sudah waktunya kita tentukan siapa yang
hidup dan siapa yang mati, Sahara!" sambil si jubah putih krem mencabut
pedangnya. Sreeet...l
"Akan kulayani kemauanmu, Cindera
Giri!" Gadis berpakaian minim itu pun segera mencabut pedangnya dari
punggung. Sraaang...l Rupa-nya ia bernama Sahara, sedangkan lawannya yang berjubah
putih krem itu bernama Cindera Girl.
Entah orang mana mereka dan apa
persoalannya hingga mereka ingin beradu pedang, Suto Sinting masih belum paham.
Tapi hatinya sempat cemas. karena sebenarnya Suto tak ingin salah satu ada yang
mati.
"Haruskah aku turun tangan melerai
pertarungan itu"!" tanyanya kepada hati sendiri. PendekarMabuk
sempatkan diri menenggak tuaknya untuk sambil menimbangcnimbang langkah yang
akan diambilnya.
Namun Cindera Giri sudah lebih dulu maju
menyerang dengan satu lompatan bagaikan terbang.
Sahara tidak hanya diam. Ia pun
menyongsong datangnya serangan lawan dengan satu lompatan llarnya.
'Heeaaah...!" . Trang, trang, wuik,
wuik, wuuus. traaang...l
' ! Buuukh...l Sahara berhasil menendang
perut Cindera Girl. Gadis yang ditendang terlempar sebelum mereka sama-sama
daratkan kaki ke tanah. Gerakan adu pedang yang cepat tadi sempat membuat
Cindera Giri kehilangan kontrol
keseimbangan, aklbatnya ia mudah terlempar oleh tendangan kaki panjang Sahara.
Wuuut...! Brrruk...l Slaaap...l Cindera Girl melintang ke udara secara
tiba-tlba. Ujung pedangnya bertumpu dltanah dan melengkung saat ditekan, lalu
pedang Itu bagaikan
per yang menyentak dan melemparkan
Clndera Giri ke atas. Dengan satu gerakan bersalto, Cindera Glrl berhasil
menjaga keseimbangan tubuhnya dan daratkan kaki dengan tegak di tanah. Tapi
serangan dari Sahara datang lagi iebih ganas dan Ieblh liar.
'Hiillaaah...l' Sahara berlari dengan
kedua tangan pegangl pedangnya dan siap menusukkan ke arah Cindera Giri. Namun
ketika pedang itu hendak sampai ke perut Cindera Giri, tiba-tiba pedang Cindera
Girl berkelebat ke depan menangkis pedang iawan. Traang...l
Perpaduan pedang itu memercikkan bunga
api sekejap, kemudian tubuh Sahara terpelantlng ke klrl akibat terbawa oleh
sentakan pedangnya yang bagai dibuang ke kanan oleh pedang Cindera Girl.
Pada saat Sahara terpelanting ke sebelah
klrinya, pedang Cindera Girl berkelebat sambil tubuhnya memutar satu kali.
Wuuuut, beeet...!
Craaas...l 'Aaaakh...!" Sahara
menjerit keras, punggung dekat lengan kanannya robek terkena sabetan pedang
Cindera Girl. ia jatuh berlutut satu kaki sambil menahan sakit. Pada saat itu
pula, Cindera Girl melompat ke arahnya dan menghujamkan pedangnya.
Sahara segera berguling mendekati lawan
sambil menebaskan pedang ke atas. Traaang...! Pedang Cindera Giri berhasil
ditangkis. lalu pedang Sahara berkelebat menebas daiam posisi berlutut satu
kaki lagi. Wuuuut, craaas...l 'Aaaakh...!' Cindera Giri tersentak mundur dalam
keadaan perutnya robek terkena tebasan pedang Sahara. Darah pun mengalir
sebanyak darah dari luka Sahara. "Bangsat kaul' geram Cindera Giri sambil
menahan sakit.
'Heeeaaat...l' Sahara menyerang sambil
lakukan lompatan ke arah Cindera Girl. Pedangnya dlgenggam dengan dua tangan
lagi dan dlhujamkan ke dada lawan. Wuuut...l Traaang...! Sahara terpelanting ke
samping kanan, karena tiba"tiba pedangnya bagal ada yang melemparnya dengan
batu besar.
Padahal yang mengenai pedangnya hanya
sepotong ranting, tak lebih dari seukuran ibu jari. Hanya saja, ranting itu
berisi tenaga dalam cukup besar sehingga kekerasannya bisa menyerupai baja dan
kekuatan daya sentaknya bisa meleblhi tendangan seekor kuda.
Perbuatan siapa lagi yang melemparkan
ranting itu kalau bukan perbuatan Suto
dari atas pohon. Ia sentilkan ranting itu dengan jurus 'Jarl Guntur' sehingga
mampu singkirkan pedang Sahara yang nyaris merenggut nyawa Cindera Giri.
Mata Sahara jelalatan, bukan karena
lngln melihat pemuda tampan, tapi karena ingin mencari orang yang menghalangi
pedangnya dengan ranting berisi itu. ia tak sadar. pencarian matanya itu
membuatnya lengah dan Cindera Giri yang masih bertahan dengan lukanya segera
menyerang memakai pukulan tenaga dalamnya. Beet...l Seberkas sinar kuning
seperti telur mata sapi melesat dari telapak tangan kiri Cindera Girl.
Claaap...! Sinar itu diketahui Sahara
sudah terlambat. Hanya ada sedikit peluang bagi Sahara, itu pun tak bisa dengan
cara menghindar. Mau tak mau Sahara keluarkan jurus bersinar juga yang keluar
melalui kedipan kedua matanya. Blaap...! Dari kedua mata itu keluar sinar merah
kecil yang segera menyatu di depan hidungnya dan melesat menghantam sinar
kuning. Crllaaap...!
Jegaarrrr...l Sinar jingga berpendar
pecah menyebar dalam sekejap. Besar dan lebar. Sinar jingga itu muncul akibat
benturan kedua sinar tadi. Gelombang sentakannya sangat kuat. Melemparkan tubuh
Sahara
bagaikan boneka tak terpakai. Weess...l
Brruuss...!
Ia jatuh terbanting dengan menyedihkan
sekali. Tapi masih beruntung karena Ia jatuh di semak"semak Ilalang.
Gelombang ledakan itu hanya membuat Cindera Giri terhuyung"huyung ke
belakang sejauh delapan langkah, lalu membentur pohon tak seberapa keras.
Posisinya yang jauh dari ledakan membuat
Ia tak terlempar seperti Sahara. Ia masih bisa berdiri memandang lawannya walau
dengan sedikit membungkuk dan tangan kirinya segera mendekap luka di perut.
"Seru! Sama-sama kuat sebenarnya,
hanya tergantung slapa yang lengah lebih dulu," ujar Suto Slnting. Tapi Ia
segera tak tega melihat kedua gadis itu berusaha saling membunuh. Karena ketika
Sahara keluar dari semak-semak dalam keadaan semp oyongan, ternyata tubuhnya
telah tercablk-cabik bagal habis diserang delapan ekor singa bersama delapan
belas anaknya.
Tubuh itu rusak berat, mengerikan, dan
menyedihkan. Namun Sahara masih bernyawa dan masih bersikeras untuk lanjutkan
pertarungannya.
"Wah, ini sudah kelewatan"
ujar Suto Slnting dalam hatinya. la geleng-geleng kepala sambil teruskan
membatln.
"Sahara bisa mampus! Mampus betul
Sahara! Cindera Giri tarnpak masih tangguh walau terluka. Ia tidak separah
Sahara. Aku harus bertindak lebih
nyata lagi jika begini keadaannya."
DI lain pihak, semangat Cindera Giri
menjadi besar kembali begitu melihat lawannya rusak berat seperti habis
terbungkus petasan yang meledak bersama. Dengan jeritan nyaring, Cindera Giri
berlari beberapa langkah, kemudian melayang bagaikan terbang. Pedangnya
ditebas-tebaskan di bagian depan, membuat Sahara sempat kebingungan melihat gerakan
pedang lawan dan kebingungan pula menangklsnya.
Ziaaap...i Edan! Ada bayangan seperti
hantu melayang cepat menyambar tubuh Sahara. Tahu"tahu Sahara sudah pindah
di tempat lain, sekitar sepuiuh tombak dari tempat Cindera Giri dan pedangnya
kecele, tidak berhasil menebas sasaran.
Siapa orang yang menyambar Sahara dalam kecepatan
seperti hantu sakit perut itu kalau bukan si Pendekar Mabuk yang rada-rada
konyol itu. Cindera Giri terkejut melihat kemunculan pemuda tampan yang belum dikenalnya.
Pemuda itu sedang menyangga tubuh Sahara yang miring dalam berdirinya.
Sahara sendiri kaget melihat seorang
pemuda tampan berperawakan tinggi gagah sedang menyangga tubuhnya yang nyaris
tak kuat berdiri lagi
Itu. Tapi karena ia sibuk menahan rasa
sakit, maka kekagetannya itu tak begitu kentara. Ia hanya mengeluh sambil
pejamkan mata. _
"Oouh...l' Tubuhnya bertambah
memberat dalam sanggaan tangan kiri Suto Slnting. Mau tak mautangan itu makin
diperkuat. Bumbung tuak belum
sempat diraih Suto. Masih menggantung di
pundaknya.
"Lepaskan dia atau kau ikut
kuhancurkan"l" teriak Clndera Giri dengan ancaman yang bukan
main-main.
"Hentikan pertarungan Ini!"
Suto Slnting berseru, mencoba tampilkan Suara wibawanya. Tapi ternyata tak
digubris oleh Cindera Giri.
Sinar kuning seperti telur mata sapi
tadi melesat lagi dari tangan Cindera Girl. Pendekar Mabuk segera meraih tali
bumbung tuaknya. Dalam sekejap bumbung tuak sudah berada di tangan kanan dan dlhadangkan ke depan. Tepat pada saat itu
sinar kuning datang, lalu menghantam bumbung tuak itu. Teeub...! Eh, sinar
kuning membalik arah dalam keadaan lebih cepat dan iebih besar. Seperti telur
mata kebo.
Sinar Itu bagaikan batu mengenai karet
yang segera memantul balik ke arah pemiliknya.
'Setaaan...!" teriak Cindera Giri
memaki sambil lompat ke samping. Sinar kuningnya yang sudah berubah itu melesat
melewati bekas tempatnya berdiri tadl dan menghantam sebatang pohon besar.
Blegaaarrr...l Tanah berguncang bagai
dilanda gempa. Hawa sekeliling menjadi panas menyengat. Daun-daun rontok dan menjadi layu. Pohon itu sendiri
terbelah menjadi beberapa potong. Salah satu potongan kayu yang Sebesar paha
perawan itu menghantam punggung Cindera Giri. Buuukh...i
'Heeekh-..!" Cindera Giri terSentak
ke depan dan jatuh tersungkur dengan
napas tak bisa dihela untuk sesaat. Suto Sintlng iatuh ke belakang, karena
guncangan tanah membuat keseimbangannya hilang.
Padahal Ia menyangga beban tubuh tinggi
seksi milik Sahara. Maka mereka pun jatuh bersama.
Brruuk...! Tubuh Sahara menimpa tubuh
Suto Slnting. Gadis yang belum pingsan namun sudah tak mampu berbuat apa-apa itu hanya mengerang
lirih.
'Uuuhhh...!" "Celakal Mungkin
sebentar lagi dia akan mati"!" gumam hati Suto Sintlng, ialu ia
segera menyingkirkan tubuh penuh luka cablk-cablk Itu.
Suto Slnting sempat memandang ke arah
Cindera Giri. Rupanya gadis Itu memuntahkan darah dari mulutnya akibat
terhantam potongan kayu pohon tadi. Cindera Giri sedang sibuk Seperti orang ngidam.
Kesempatan itu digunakan oleh Suto Slnting untuk buru-buru menuangkan tuak ke
mulut Sahara.
Tuak tertuang ke dalam mulut yang
ternganga mengerang. Akibatnya, Sahara tersedak, tuak tumpah di sekitar wajah
dan dadanya. Tapi Suto agak lega karena yakin ada tuak yang telah tertelan.
'Berbarlnglah dulu! Sebentar lagi lukamu
akan sembuh!" ujar Suto Sinting, lalu tinggalkan Sahara.
Ia segera hampiri Cindera Giri yang
sedang bergegas bangkit.
'Nona...," baru saja Suto ingin
menawarkan tuak saktinya untuk sembuhkan luka, Cindera Giri sudah memotong
dengan geram penuh dendam.
"ingat! Lain kali kau akan
berhadapan denganku, dan akan kubalas tindakanmu Inil'
'Lho, aku tidak menyerangmu"! Kau
yang menyerangku. Cuma sinar kuningmu Itu terlalu rendah kadar kesaktiannya,
Sehingga memantul ballk
dan...." "Dlaamm...l"
bentak Cindera Giri. Ia menuding Suto dengan pandangan mata menyeramkan.,
"Kau akan kubuat lumpuh seumur
hidup jika kita jumpa lagi!" "Jangan begitu, Nona. Aku hanya..."
Blaaass...l Cindera Girl melesat pergi
tanpa pedulikah kata kata Suto lagi. Ia mengerahkan tenaga ' penghabisan untuk
berlarl' secepat mungkin. SutoSintlng hanya pandangi kepergian Cindera Girl
dengan mulut melongo dan garuk"garuk kepala. Wajahmya jadi seperti murid
SLB.
***
Emoticon