4
PELAYAN Resi Pakar Pantun itu setelah ditolong Suto
hanya bisa jelaskan tentang siapa orang yang membawa Suto sampai ke tempat itu.
Persoalan yang sebenarnya, Kadal Ginting tak bisa jelaskan. Karena pada waktu
Jalu Kuping jelaskan perkara muridnya; si Badra Sanjaya itu, ia dalam keadaan
KO alias pingsan.
Maka dalam hati Suto pun diliputi tanda tanya besar,
"Apa alasan Ki Jalu Kuping membiusku dan ingin membawaku ke pondoknya"!
Kesulitan apa yang dialaminya sehingga
ia nekat bertindak sekonyol itu padaku" Lalu, bagaimana dengan Pandawi dan
Dewi Kun itu"!"
Ke mana kedua tokoh tua itu pergi, Kadal Ginting
juga tak bisa jelaskan. Oleh sebab itu, Pendekar Mabuk segera perintahkan Kadal
Ginting untuk mencari kedua tokoh tua itu ke arah timur, sedangkan Suto sendiri
akan mencari ke arah utara.
Padahal kedua tokoh tua itu berlari ke arah barat. T
entu saja mereka tidak akan bertemu dengan kedua tokoh tua itu. T anpa terasa
Pendekar Mabuk sudah berkeliaran mencari mereka selama dua hari, baik mencari
kedua tokoh tua itu atau mencari Pandawi dan Dewi Kun.
Rasa-rasanya seluruh pelosok bumi telah dijelajahi
Suto untuk mencari mereka, padahal baru sebagian kecil dari permukaan bumi yang
dijelajahinya. Tentu saja mereka tak dapat ditemukan.
Anehnya, Pendekar Mabuk justru menemukan seraut wajah
cantik lainnya yang belum pernah dikenal dan dijamahnya. Seraut wajah cantik
jelita itu milik seorang gadis berpakaian kuning gading. Bajunya tanpa lengan,
agak ketat dengan tubuhnya yang sekal itu. Celananyajuga a gak ketat dengan
pinggulnya yang padat berisi itu.
T api gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan yang
mudah dilepas. Jubah merah beludru itu seperti jubah milik Superman atau
Drakula, seakan bisa dipakai untuk terbang. T api sebenarnya gadis itu tidak
bisa terbang, karena bukan peranakan kelelawar, ia juga tidak doyan minum
darah, karena bukan keturunan vampire.
Suto Sinting temukan gadis berambut pendek sepundak
itu di sebuah lembah. Gadis yang mengenakan ikat kepala dari lempengan logam kuning
emas berbatu kecil-kecil seperti intan itu ditemukan Suto bukan dalam keadaan
sedang melamun atau menangis, tapi dalam keadaan sedang berjumpalitan di udara
karena hindari pedang seorang lawan. Lawan yang sedang bertarung dengan si
gadis itu pernah dilihat oleh Suto, yaitu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang
rambutnya digulung ke atas dan dililit pita merah.
Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap, dan ramping. Badannya
tidak sekekar Pendekar Mabuk, ia mengenakan jubah kuning mengkilat dari semacam
kain satin, pakaian dalamnya warna hitam. Sarung pedangnya dibungkus kain
jingga dan terselip di pinggang.
Pemuda berwajah tampan dan beralis tebal itu tak
lain adalah si Raden Lontar, putra bangsawan yang menjadi murid Perguruan Darah
Biru.
Raden Lontar adalah sosok pemuda yang haus ilmu,
sehingga ia pernah ingin membunuh seorang tokoh tua aliran putih yang bernama T
ulang Geledek, hanya untuk dapatkan ilmu dahsyat dari si manusia berwajah ba
dak yang bernama Rogana.
Kehadiran Pendekar Mabuk dan gadis konyol; Perawan
Sinting, membuat usaha menangkap T ulang Geledek menjadi gagal, (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan Sinting").
"Aku masih ingat si Raden Lontar itu,"
gumam hati Suto Sinting. "Tapi siapa gadis cantik berhidung mancung dan
berbibir menggemaskan itu"! Hmm...! Kecantikannya punya daya tarik
tersendiri. Beda dengan yang sudah-sudah. Kecantikan itu bagaikan memancarkan
cahaya berlian yang berkesan mewah dan mengagumkan. Hmmm... benar-benar mirip
boneka gadis itu." Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan rasa kagum
berbunga-bunga.
Gerakan gadis itu sangat lincah dan gesit. Segalanya
dilakukan dengan cepat, nyaris tak terlihat mata manusia biasa. Agaknya ia
belum mau menggunakan senjatanya walau Raden Lontar sudah menggunakan pedangnya
yang berkesan mewah itu.
"Menyerahlah kau, T irai Surga!" bentak
Raden Lontar yang rupanya kewalahan karena sejak tadi tak bisa kenai gadis itu
dengan pedangnya.
"Perguruanku tak kenal kata menyerah, Raden
Lontar! Tapi jika perguruanmu mengenal kata menyerah, kusarankan agar segeralah
kabur sebelum hidupmu berakhir di sini!" ujar si gadis yang ternyata
bernama T irai Surga itu.
"Kita buktikan siapa yang masa hidupnya
berakhir di sini! Hiaaah...! Raden Lontar menebaskan pedangnya dari kanan ke kiri.
Arahnya ke leher T irai Surga. T api dengan gerakan gesit dan cepat T irai Surga
meliukkan badan sambil merunduk hingga pedang Raden Lontar membabat tempat
kosong. Wuuss...!
Dengan geram Raden Lontar hentakkan kaki ke depan
dan pedangnya menghujam ke dada si gadis.
Suuut...! Gadis itu hanya bergeser ke samping dalam
gerakan miring. Pedang lawan lewat di depan dadanya. T angan si gadis segera
menghantam pergelangan tangan Raden Lontar. Plaak...! Pedang itu hampir saja
terlepas dari genggaman Raden Lontar, namun berhasil ditangkap kembali dengan
gerakan terhuyung ke kanan. Kesempatan itu digunakan oleh T irai Surga untuk
lepaskan tendangan menyamping.
Gerakan kaki itu sangat cepat, sehingga Raden Lontar
tak bisa hindari atau menangkisnya. Bet, plook...! Wajah Raden Lontar terkena
tendangan cepat dan kuat. Pemuda itu
tersentak ke belakang dan terjungkal satu kali.
"Monyet...!" geram Raden Lontar setelah
menegakkan badannya dalam keadaan satu kaki berlutut.
Wajahnya yang terasa panas dan tulang rahangnya seperti
patah itu ditahan sesaat. Raden Lontar segera lepaskan pukulan tangan kiri.
Wuuut...! Claap...! Sinar biru lurus melesat dari telapak tangan RadenLontar di
luar dugaan T irai Surga. Sinar itu berkelebat sangat cepat dan tak bisa
dihindari. Si gadis hanya bisa menahan dengan telapak tangannya yang segera
ingin memancarkan sinar merah.
Namun sebelum sinar merah itu menjadi besar dan
terlepas dari telapak tangan itu, sinar birunya Raden Lontar lebih dulu
menghantamnya. Blegaaar...! Ledakan cukup keras membuat T irai Surga terlempar
sejauh tujuh langkah dan jatuh berguling-guling. Ra den Lontar segera
mengejarnya, tak beri kesempatan bagi si gadis untuk lepaskan balasan. Kali ini
Raden Lontar pergunakan pedangnya untuk membunuh T irai Surga.
Dalam jarak satu langkah, pedang itu diayunkan memenggal
leher si gadis yang sedang sempoyongan akibat ledakan tadi.
Wuuut...! Traaang...!
T iba-tiba pedang itu terpental bagai disambar
setan. Se butir batu kecil telah melesat dan kenai pedang itu. Batu kecil itu
disentilkan dari tangan seorang pemuda tampan yang bersembunyi di balik semak.
Pendekar Mabuk itulah orangnya yang merasa sayang jika gadis secantik itu
terpenggal kepalanya.
"Setan...!! Siapa kau yang ada di semak-semak
itu"! Keluar!" seru Raden Lontar setelah memungut pedangnya. Pendekar
Mabuk sengaja tak menjawab, karena sebenarnya ia tak ingin terlibat urusan
antar perguruan itu. Ia hanya merasa sayang jika gadis itu sampai kehilangan
nyawa. Jika hanya luka atau celaka tak apa, asal jangan sampai mati.
Raden Lontar mencoba untuk tidak pedulikan gangguan
dari balik semak. Selagi T irai Surga belum bangkit dan masih tampak lemah
akibat pukulan sinar birunya tadi, Raden Lontar ayunkan kembali pedangnya untuk
memenggal kepala gadis Itu. Wuuut...!
Traang...! Lagi-lagi batu sekecil kemiri melesat
kenai pedang Raden Lontar. Pedang itu tersentak kuat membalik arah, bahkan
membuat keseimbangan Raden Lontar menjadi
limbung. Hampir saja ia jatuh terjengkang kalau tak segera pasang
kuda-kuda rendah. "Bangsat kurap betul orang itu!" geram Raden
Lontar, kemudian tangan kirinya lepaskan pukulan bersinar biru seperti tadi ke
arah semak-semak. Claap...!
Sinar biru itu melesat cepat ke arah semak-semak.
Suto Sinting melihat gerakan sinar biru itu, lalu cepat-cepat hadangkan bumbung
tuaknya sebagai penangkis. Tuub...! Sinar itu membentur bumbung tuak seperti
benda padat membentur karet.
Bumbung tuak tidak mengalami luka lecet atau hangus
sedikit pun, tapi ia mampu pantulkan sinar biru itu ke arah semula dalam
keadaan lebih cepat dan lebih besar dari aslinya.
Wuuus...! "Edan..."!" pekik Raden
Lontar dengan mata mendelik melihat sinar birunya memantul balik dengan lebih
cepat dan lebih besar dari aslinya, ia sempat panik, dan segera melepaskan
jurus bersinar kuning dari sentakan pedangnya. Pedang yang disentakkan ke depan
keluarkan sinar kuning dari ujungnya
sebesar telur ayam kampung. Claap...! Jegaaarrr...! Benturan sinar kuning yang
baru saja keluar dari ujung pedang dengan sinar biru timbulkan ledakan dahsyat yang melemparkan
tubuh Raden Lontar sejauh sepuluh langkah lebih. T ubuh itu melayang ke
belakang bagai tersapu badai dan jatuh terbanting di atas sebongkah batu
sebesar anak sapi. Bruuuk...!
"Huaaaahhkk...!!" pekik Raden Lontar
dengan kerasnya. Suara pekikan itu dibarengi dengan semburan darah segar dari
mulutnya.
Suto Sinting sendiri terkejut, karena tak sangka
akan membuat Raden Lontar separah itu. "Salahnya, pakai ditangkis dengan
sinar kuning segala!" gerutu hati Suto
Sinting. "Coba dihindari saja, tak akan membuatnya terluka dalam
separah itu"!"
T irai Surga pun terperanjat melihat lawannya
terlempar sejauh itu dan semburkan darah segar dari mulutnya. Gadis itu dapat menduga,
lawannya terluka parah bagian dalam tubuhnya. Namun siapa orang yang memihaknya,
T irai Surga tak dapat menduga.
Raden Lontar mencoba bangkit dengan
terhuyung-huyung. Wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat. Mulutnya menganga
terus karena berusaha menghirup napas yang tampak sukar sekali itu. Ia
melangkah mundur dengan masih pegangi pedangnya. Langkahnya itu menggeloyor dan
jatuh terduduk di tempat, darah keluar lagi dari mulutnya. Namun ia mencoba
bangkit kembali dengan pandangan mata mulai sayu.
"Wah, mati tuh orang..."!" gumam hati
Suto Sinting dengan agak menyesal. Ia ingin bergegas keluar untuk menolong
Raden Lontar,karena di antara dirinya dan Raden Lontar sebenarnya tak punya
masalah pribadi apa pun. Ia hanya menyelamatkan nyawa si cantik T irai Surga
itu, tak sengaja membuat Raden Lontar sampai segawat itu.
Namun sebelum Pendekar Mabuk keluar dari
persembunyiannya, murid Perguruan Darah Biru itu sudah kabur lebih dulu. Dalam hati
Raden Lontar yakin bahwa lukanya akan semakin parah jika dilanjutkan melawan T
irai Surga atau orang yang ada di balik semak itu. Maka ia memilih lari dari
pertarungan dan segera temui gurunya untuk lakukan pengobatan.
"T api aku akan kembali lagi untuk bikin
perhitungan sendiri denganmu, T irai Surga!" geram hati Raden Lontar yang
cepat menghilang di balik kerimbunan hutan
seberang. T irai Surga sudah dapat berdiri dan menahan
kayunya, ia ingin kejar musuh perguruannya itu. T
etapi tiba-tiba langkahnya terhenti oleh sebuah suara yang muncul dari
semak-semak di belakangnya.
"T ahan...!"
T irai Surga terkejut meiihat seraut wajah tampan
yang sedang melangkah tegap ke arahnya. Gadis itu sempat tertegun bagai melihat setan ganteng
menghampirinya.
"Ya, ampun... ganteng amat pemuda ini"!
Senyumnya walaupun tipis namun terasa meneduhkan hatiku yang marah kepada si
Raden Lontar itu"!" ujar T irai Surga dalam hati. "Anak siapa
dia, ya"! Pandangan matanya membuat hatiku berdesir-desir indah. Ooh...
kurasa dia memakai ilmu pelet sehingga aku bisa terpesona oleh penampilannya.
Tapi... tapi apa benar dia pakai ilmu pelet"! Wajahnya toh memang asli
tampan, badannya juga tegap, gagah, dan langkahnya mantap sekali. Kurasa tanpa
ilmu pelet pun dia sudah menawan."
Pendekar Mabuk sengaja hentikan langkah di depan T
irai Surga dalam jarak satu tombak kurang. Senyumnya sengaja dipamerkan supaya
si gadis tahu bahwa ia bermaksud bersahabat bukan bermusuhan. Namun si gadis
belum bisa membalas senyumannya. Walau hati si gadis berdebar-debar indah, tapi
ia tak mau pamer senyum sembarangan. Ia memasang wajah berkesan dingin. Hanya
saja, sorot pandangan matanya tak bisa berbohong, bahwa ia terpesona kepada
murid sinting si Gila T uak itu.
"T ak perlu kau kejar dia, Nona. Lukanya sudah
terlalu berat. Anggap saja dia kalah tanding denganmu dan melarikan diri.
Jangan menyerang orang yang telah melarikan diri dan tak berdaya itu."
"Kaukah yang ikut campur dalam pertarunganku
ini"!" suara T irai Surga terdengar dingin sekali, seakan acuh tak
acuh terhadap kehadiran Suto di situ.
"Ya, memang aku yang menyentilkan batu ke
pedang Raden Lontar, karena aku tak ingin nyawamu melayang dalam usia semuda
ini dan secantik ini. Kau boleh mati setelah wajahmu keriput dan kempot,
yaah... kira-kira setelah berusia seratus tahun lebih," ujar Suto Sinting seenaknya
saja dalam bicara.
"Apakah kau dewa penentu usia
seseorang"!"
"T erserah anggapanmu. Dianggap dewa ya mau,
dianggap raja ya mau, dianggap pangeran ya mau! Asal jangan dianggap sapi
saja."
Senyum pemuda tampan itu makin mekar. Tirai Surga
merasa diajak bercanda, tapi ia sengaja menahan senyum dan tawa agar tak berkesan
sebagai gadis yang mudah terpikat oleh ketampanan dan kelakar setiap pemuda. Ia
justru melangkah ke bawah pohon, supaya tubuhnya yang putih mulus itu terlindung
oleh sengatan sinar matahari. Suto Sinting hanya mengikuti dengan pandangan
mata, namun karena gadis itu berhenti agak jauh, mau tak mau Suto Sinting pun
menghampirinya, ia ingin melihat sebentuk kecantikan yang mulus, tanpa cacat,
dan jerawat sebutir pun.
"Kau terlalu lancang, ikut campur dalam urusan
perguruanku!"
"Maaf, seperti kukatakan tadi. aku hanya tak
ingin Raden Lontar mencabut nyawamu. Kalau hanya membuatmu bonyok atau babak
belur, itu tak apa. Asal jangan membuatmu mati."
"Mengapa kau tak ingin kalau aku mati?"
"Hmmm... karena... karena itu akan merepotkan
aku. Aku adalah orang yang tak bisa melihat mayat tergeletak tanpa dikubur. Aku
selalu menguburkan mayat tak kukenal, terutama yang berwajah cantik,"
sambil Suto Sinting tertawa pelan pertanda ucapannya hanya sekadar kelakar
belaka. Kali ini si gadis sunggingkan senyum kecil berkesan sinis.
"Rupanya kau ingin kuanggap sebagai pendekar
sakti, ya" Hmmm...," gadis itu mencibir. "T anpa kau bela pun
sebenarnya aku bisa tumbangkan pemuda laknat tadi! Aku sengaja diam, dan
menunggu dia mendekat, lalu akan kuhantam dia dengan jurus mautku. T api
rupanya kau terlalu usil dan sok jago, sehingga ia akhirnya kabur dalam keadaan
bernyawa. Padahal aku ingin dia kabur dalam keadaan sudah tak bernyawa."
"Mana mungkin"!" ujar Suto sambil
tertawa lirih.
"Mungkin saja! Kau sangka ilmuku lebih rendah
dari Raden Lontar"! Hmmm...! Sepuluh Raden Lontar pun sanggup kugulingkan
dalam waktu sekejap"!"
"Maksudku, mana mungkin orang sudah tak punya
nyawa bisa lari"!" potong Suto Sinting membuat Tirai Surga hentikan
kata-katanya, sedikit merasa malu menyadari ucapannya yang salah ucap tadi.
Setelah sama-sama diam sesaat, Pendekar Mabuk segera
ajukan tanya kepada T irai Surga yang sejak tadi dipandanginya penuh rasa kagum. "Kalau boleh kutahu, perkara apa
yang membuat perguruanmu bermusuhan dengan perguruannya Raden
Lontar"!"
"Urusan Guru sama Guru, murid jadi kena
getahnya!" jawab T irai Sur ga masih bernada dingin. "Mereka berebut
kitab warisan Eyang Guru, lalu kami para murid saling mendukung Guru
masing-masing. Permusuhan ini sudah lama
berlangsung, tak satu pun dari mereka ada yang mau saling mengalah. Maka jika
orang perguruanku bertemu orang Perguruan Darah Biru, pasti saling beradu
nyawa."
"Kau dari perguruan mana?"
"Aku dari Perguruan T elaga Murka. Saat ini
kami tak mempunyai ketua, karena ketua perguruan kami baru saja meninggal
karena penyakit ketuaannya."
"Jadi kau sedang mencari seorang ketua untuk
perguruanmu"!"
"Malam purnama yang akan datang akan dilakukan
pemilihan calon ketua dengan cara adu kekuatan di antara para murid. Siapa yang
terkuat dan unggul melawan para calon ketua, dialah yang akan dinobatkan
sebagai ketua kami."
"Aneh. Kau bilang tadi, gurumu dan gurunya
Raden Lontar selalu bermusuhan, tapi sekarang kau bilang sedang mencari ketua
perguruan yang...."
"Guru tidak mau menjadi ketua perguruan! Guru
hanya sebagai pengawa s dan penggembleng para murid. Gur u juga tidak mau
menunjuk salah satu dari kami untuk menjadi ketua. Maka kami sepakat untuk
adakan adu kekuatan tenaga luar. Dan aku ingin sekali menjadi orang berjasa
dalam perguruan yang nantinya akan kuhadapi musuh utama kami si Beruang iblis,
karenanya aku harus mencari tambahan ilmu dari pihak luar secara diam-diam."
"Ooo... ceritanya kau ingin cari penghasilan
sampingan di luar perguruan"!" ujar Suto Sinting sambil tertawa pelan
dan manggut-manggut kecil. "Kau memang termasuk murid bengal, T
irai."
T irai Surga tak tersenyum sedikit pun. T api ia
pandangi Suto Sinting dengan mata beningnya yang tak berkedip sejak tadi itu.
Sesaat kemudian, ia mulai perdengarkan suaranya yang terdengar seperti
ragu-ragu dalam pengucapannya itu.
"Maukah... maukah kau membekaliku sedikit ilmu
untuk membuatku menjadi lebih tinggi
dari para murid lainnya"!"
Suto Sinting tertawa lagi. Seakan permohonan itu
dianggap lucu dan tak perlu ditanggapi secara serius.
"Kau belum mengenalku, belum tahu namaku, belum
tahu seberapa tinggi ilmuku, mengapa kau sudah berani meminta ilmu padaku"
Siapa tahu ilmumu sendiri lebih tinggi dari ilmuku"!"
T irai Surga gelengkan kepala pendek saja. Matanya
tetap tertuju ke arah wajah Suto Sinting. Sikap berdirinya mengesankan sebagai
gadis pemberani yang tak pernah kenal kata menyerah. "Kulihat kau tadi
sudah bisa mengembalikan sinar birunya Raden Lontar dalam keadaan lebih cepat
dan lebih besar, itu sudah menandakan kau berilmu tinggi, karena dari
perguruanku maupun dari perguruan Raden Lontar tak ada yang punya ilmu seperti
itu," ujarnya dengan polos tanpa senyum.
"Begitukah?" sambil Suto tersenyum bangga,
namun senyum itu justru memancarkan daya pikat lebih tinggi lagi, sehingga
debar-debar di hati T irai Surga menjadi bertambah meresahkan jiwanya. Namun
gadis itu pandai sembunyikan perasaannya, sehingga tak mudah diketahui oleh
pemuda yang ada di depannya itu.
"Namaku: Tirai Surga! Kau boleh memanggilku Tirai
saja, atau Surga saja. Kurasa kau tak akan rugi menurunkan sedikit ilmumu
kepadaku, karena akan kukenang sepanjang masa dan...."
"Dan namaku Suto Sinting," potong Suto
yang tak mau mendengar janji-janji bercorak bualan belaka itu.
"Kau boleh memanggilku Suto, boleh memanggilku
Sinting. T erserah seleramu saja!" tambah Suto Sinting.
Gadis itu sudah hampir mau tersenyum. Tapi tiba-tiba
mereka mendengar suara ledakan yang menggelegar. Suara ledakan itu sangat
jelas, dan cukup dekat menurut perhitungan jarak lari Pendekar Mabuk. T anah
tempat mereka berpijak sempat terasa bergetar, menandakan ledakan tadi terjadi
karena perpaduan dua kekuatan berilmu tinggi.
"Maaf, aku harus pergi ke arah ledakan tadi,
untuk melihat siapa yang bertarung di sana!" "T unggu! Aku ikut
denganmu!" sahut T irai Surga."Kau keberatan"!"
Pendekar Mabuk belum jadi melangkah pergi, ia menatap
T irai Surga yang ber wajah cantik mulus. Kulitnya begitu lembut bagaikan kulit
bayi. "Biarkan aku ikut denganmu. Aku tidak akan mengganggu ruang gerakmu,
Suto!" ujar T irai Surga setengah mendesak. Pendekar Mabuk hanya sentakkan
kedua pundaknya, kemudian segera melesat dengan kecepatan tinggi, menyerupai
gerakan seberkas sinar, karena ia menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
T irai Surga terbengong melompong melihat kecepatan
gerak itu. Ia terkesima di tempat hingga tertinggal cukup jauh oleh Suto
Sinting. "Aku harus mendekatinya terus. Siapa tahu kekuatan dan ilmunya
biasa kugunakan untuk melindungiku dari maut yang sedang kuburu
ini"!" ujar gadis itu sambil bergegas
menyusul Suto.
* * *
5
MATA pendekar tampan itu tidak berkedip pandangi
pertarungan antara seorangnenek berjubah abu-abu dengan seorang kakek berjubah
biru muda. Hal yang amat menarik bagi Suto Sinting adalah keduanya bertarung di
atas daun-daun ilalang. T entu saja mereka sama-sama pergunakan Ilmu peringan
tubuh yang cukup tinggi, sehingga mampu berdiri di atas pucuk-pucuk ilalang.
Seakan pucuk-pucuk ilalang adalah tanah padat atau hamparan batu luas tanpa
celah sedikit pun.
Si jubah biru tampak bergerak dengan lincah, lakukan
lompatan ke sana-sini sambil lepaskan pukulan bersinar putih. Pukulan itu
ditangkis terus oleh si nenek berjubah abu-abu dengan kibasan tangannya. Angin
kibasan tangan itu mewakili perisai hawa padat yang membuat sinar putih itu tak
pernah berhasil menyentuhnya.
Sekali si nenek lepaskan pukulan dengan tubuh melayang
bagai terbang, kedua tangan mereka beradu di udara dan timbullah ledakan besar
yang kedua kalinya. Blegaarr...! Jubah biru yang belum dikenal Suto Sinting itu
jatuh berlutut, tapi tetap di atas ilalang tanpa terperosok sedikit pun. Itu
menandakan kemampuan dalam menjaga keseimbangan tubuh dalam ilmu peringannya
nyaris mendekati sempurna.
Sayangnya si jubah biru tidak segera dongakkan
wajah, sehingga ia tak tahu ketika nenek berjubah abu-abu dan berkuku runcing
itu melepaskan sinar hijau kecil sebesar lidi dari ujung telunjuknya. Sinar
hijau itu melesat lurus bagaikan kawat dan menghantam leher si jubah biru.
Claap...!
Dess...! "Uuhk...!" Jubah biru memekik dan
jatuh terperosok ke dalam semak.
Pada saat itu, T irai Surga datang mendekati Suto
Sinting dengan langkah pelan agar tak timbulkan suara.
Namun bagi Suto, suara langkah kaki gadis itu masih
bisa didengar karena jaraknya semakin dekat. Suto Sinting menengok sesaat,
kemudian ketika T irai Surga ada di sampingnya, Suto pun berbisik dengan suara
sangat pelan.
"Kau lihat si jubah biru tadi?"
"Ya. Dia yang berjuluk si Singa Bangka dari
Pantai Bacin. Dia termasuk gurunya Raden Lontar di luar Perguruan Darah
Biru."
"Ooo..." Suto Sinting menggumam lirih dan manggut.
"Sebenarnya ia termasuk orang tangguh. T api
sayang ia lebih dulu terkena jurus 'Mati
Raga', sehingga ia tak akan bisa berkutik lagi," tambah Tirai Surga yang
tadi sempat melihat sinar hijau lurus menghantam leher Singa Bangka.
"O, sinar hijau tadi namanya jurus 'Mati
Raga'"!" gumam Suto merasa baru tahu nama jurus itu. "Lalu, yang
berjubah...."
Kata-kata Pendekar Mabuk terhenti sampai di situ,
karena matanya segera terbelalak ketika melihat bayangan nenek berjubah abu-abu
itu bergerak sendiri, bagai melompati tubuh
jubah bir u yang terperosok di dalam ilalang itu. Sedangkan si pemilik
bayangan segera melesat ke arah lain, memunggungi Suto Sinting.
Weess...! Blaass...!
Gerakan bayangan hitam yang berbeda dengan gerakan
si pemilik bayangan itu timbulkan letupan kecil dan nyaris tak terdengar.
Bluub...! Wuuurss..!
"Hahh..."!" Suto Sinting nyaris
terpekik karena kagetnya. Sayang rasa kagetnya terlalu besar sehingga yang
keluar dari mulutnya hanya desah napas menyentak.
Matanya masih tak berkedip pandangi bayangan hitam yang segera bergabung dengan
tubuh si jubah abu-abu. Mereka bagai dua
nyawa yang se gera melesat pergi tinggalkan tempat tersebut.
Tubuh Singa Bangka segera kepulkan asap, lalu asap
segera lenyap ditiup angin, dan Singa Bangka ternyata sudah menjadi abu
bercampur arang.
"Ger.... Ger.... Gerhana
Senyawa..."!" ucap Suto Sinting lirih sekali sambil
menggeragap dan terpaku di tempat.
"Benar. Itu tadi jurus ' Gerhana Senyawa' yang
sangat dahsyat dan mematikan sekali!" ujar T irai Surga sambil matanya
pandangi ke arah kepergian si jubah abu-abu. Pendekar Mabuk belum bisa kedipkan
mata. Jantungnya bagai menyentak-nyentak setelah tahu bahwa Singa Bangka
akhirnya tewas menjadi abu karena dilanda bayangan hitam dari sosok tubuh si
jubah abu-abu tadi.
Kini si jubah abu-abu sudah sangat jauh dan
menghilang dari pandangan Suto Sinting serta Tirai Surga. Namun keadaan Suto masih
tetap terpaku di tempat bagaikan patung bernyawa dengan mulut ternganga. T irai
Surga memeriksa abu itu dengan menerabas semak-semak ilalang. Sesaat kemudian
ia kembali temui Suto. T api pemuda itumasih terpaku di tempat dengan mata
melebar dan mulut ternganga.
"Hei, kenapa kau"!" tegur T irai Surga
seraya menepuk punggung Pendekar Mabuk. T epukan dan teguran itu berhasil membuat
Suto Sinting sadar dan menggeragap.
Napasnya terengah-engah,
wajahnya menjadi pucat dan menegang. Hal itu
menimbulkan keheranan dan kecurigaan bagi T irai Surga.
"Ada apa kau"! Kenapa wajahmu menjadi
sepucat mayat puasa"!"
Bisa dibayangkan, wajah mayat saja sudah pasti pucat
pasi, dan orang puasa pun berwajah pucat. Dapat dibayangkan pula seperti apa
kepucatan wajah Suto kala itu jika T irai Surga sampai mengatakan 'seperti
mayat puasa'" Suto Sinting sangat shock begitu melihat kematian Singa
Bangka dari Pantai Bacinitu. Ia sampai tak bisa bicara sesaat, karena
tenggorokannya sibuk menelan napas beberapa kali. Bahkan ketika ia melangkah ke
bawah pohon dan sandarkan tangan kirinya di sana, ia masih belum bisa bicara
dengan benar sewaktu T irai Surga menegurnya lagi.
"Ada apa sebenarnya"! Kau aneh sekali,
Suto Sinting"!"
"Itu... tadi... iya... hmm... jurus
itu...."
"Jurus yang mana" Apakah maksudmu jurus '
Gerhana Senyawa' itu"!"
"Kau... kau kenal dengan si jubah abu-abu
tadi"!"
"T entu. Dia adalah Nyai Dupa Mayat yang sedang
memburu Pendekar Mabuk," jawab Tirai Surga dengan polos, karena ia tak
tahu bahwa Suto Sinting itu adalah si Pendekar Mabuk.
"Oohhhh...," Suto Sinting mengeluh dengan
tubuh melemas.
"Untuk saat ini, memang baru Nyai Dupa Mayat
yang menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa'. T api ia juga mempunyai beberapa jurus
maut yang membahayakan lawan, di antaranya adalah jurus 'Mati Raga' itu tadi.
Seseorang yang terkena jurus 'Mati Raga' selamanya
tak akan bisa bergerak, namunnyawa dan napasnya masih ada."
T uak segera diteguk untuk menenangkan getaran hatinya.
Hal yang membuat Suto Sinting menjadi shock adalah penglihatannya yang tak
disangka-sangka.
Dengan jelas sekali ia melihat sosok Nyai Dupa Mayat.
Dengan jelas pula ia melihat bagaimana bayangan hitam itu berkelebat membakar
tubuh Singa Bangka dalam sekejap.
Sedangkan saat itu nyawa Suto merasa terancamoleh
ilmu gila itu. T ak dapat dibayangkan olehnya jika nenek berjubah abu-abu itu
tadi pergi dengan melintas atas
kepalanya, tentu saja saat ini ia sudah menjadi abu seperti nasib Singa Bangka
itu.
Baru sekarang Suto Sinting melihat sosok orang yang
akan menjadi calon lawannya nanti. Rasa sesal itu mengejutkan hati Suto, karena
sebenarnya tadi ia punya kesempatan untuk menyerang Nyai Dupa Mayat dengan
jurus 'Manggala' atau jurus 'Yudha'-nya. Sayang sekali ia tak tahu siapa nenek
berjubah abu-abu itu, sehingga yang dilakukan hanya terbengong melompong
saksikan pertarungan tersebut. "Bodoh! Bodoh sekali aku! Lawan sudah di
depan mata dibiarkan pergi begitu saja"! Ia tak mungkin bisa terkejar
olehku, karena ia juga punya gerakan cepat, menyamai dengan jurus 'Gerak
Siluman'-ku!" geram Suto Sinting dalam hatinya.
Tirai Surga pandangi Suto sejak tadi. Yang dipandang
cuek saja, tak hiraukan si gadis, karena pikirannya tertuju pada penyesalan
besarnya itu. Wajah Nyai Dupa Mayat yang sempat dilihatnya sepintas tadi masih
membayang terus di pelupuk matanya. Suto Sinting merasa seperti melihat sang
malaikat yang akan mencabut nyawanya.
"Suto, katakan dengan jujur, mengapa kau tampak
ketakutan sekali"! Apakah baru sekarang kau melihat korban ilmu
"Gerhana Senyawa'?" ujar T irai Surga.
"Hmmm. Eeh... iya, memang baru sekarang,"
jawab Suto menutupi kasus sebenarnya yang sedang dihadapi.
"Kau tak perlu khawatir, Suto. Nyai Dupa Mayat
tak akan mencelakaimu semasa kau tidak mengganggunya. Aku tahu betul tentang
sifatnya yang pendendam itu, karena dia pernah tiga kali datang ke perguruanku
dan mengajak guruku bergabung. T api guruku menolaknya. Aku tahu banyak tentang
dia dari guruku."
"O, ya..."!" jawab Suto Sinting
secara basa-basi, tapi sebenarnya ia tidak begitu menghiraukan kata-kata
tersebut. Hanya dalam hatinya ia berkata, "Kau tidak tahu yang sebenarnya.
T irai Surga. T entu saja kau bisa berkata begitu."
T irai Surga menyambung kata-katanya tadi,
"Lupakan tentang apa yang kau lihat tadi. Percayalah, Nyai Dupa Mayat
tidak akan menyerangmu. Dia hanya membutuhkah nyawa si Pendekar Mabuk
saja!"
Hati Suto Sinting bagai diiris dengan sembilu. Bukan
saja perih namun juga merasakan kecemasan yang amat besar, ia membayangkan saat
bayangan hitam itu melintasi tubuhnya, dan akan terasa seperti apa panas yang
menyengat sekujur tubuh dan membuatnya menjadi abu.
"Kalau masih sempat bertarung saling
berhadapan, masih ada kesempatan bagiku untuk melawan dan menghindarinya. T api
kalau tiba-tiba bayangannya melintasiku sementara aku sedang duduk beristirahat
dengan santai, mau dibilang apa" Matilah aku saat itu juga! Hmmm... memang
mestinya aku harus segera temui si Bocah Emas untuk mencari tahu penangkal ilmu
'Gerhana Senyawa' itu. Sebab kali ini lawanku bisa saja mencabut nyawaku pada saat
aku tidur. Tentu aku tak akan merasakan kehadiran bayangan hitam itu."
Pendekar Mabuk termenung panjang. Hatinya berceloteh
sendiri, sementara T irai Surga tampak pandangi keadaan sekeliling. Gadis itu
tak mau pergi dari Suto, karena hatinya punya niat untuk bisa selalu berada di
dekat pemuda tampan itu.
Suto pun membatin kembali, "Semakin matahari
condong ke barat, atau berada di sisi
timur, maka bayangan tubuh Nyai Dupa Mayat akan semakin panjang. Sangat mudah
baginya untuk menyerangku jika bayangan itu semakin panjang. Dan jika bayangan
itu tahu-tahu mendekatiku dari samping, sementara aku berhadapan dengan Nyai
Dupa Mayat, mana mungkin aku bisa mengetahuinya jika mataku tak memandang
waspada keadaan sekelilingnya"
Lalu, jika bayangan itu datang dari belakang, mana
mungkin kudengar kehadirannya" Mana mungkin kurasakan gerakannya"
Oh, gila betul ini! Sekarang aku benar-benar sedikit
grogi berhadapan dengan lawan yang punya ilmu edan-edanan itu! Untung bukan
Siluman Tujuh Nyawa, musuh utamaku, yang mempunyai ilmu edan seperti itu. Seandainya dia yang mempunyai ilmu itu, akan
semakin sulit bagiku untuk mengalahkannya dalam setiap pertarungan"!"
Wajah yang tertunduk hanyut dalam renungan itu kini
terangkat ingin memandang T irai Surga. T iba-tiba sekelebat benda tampak
meluncur dari atas pohon seberang ke arah gadis itu.
"T irai, awaas...!" seru Suto Sinting
sambil bergegas menyambar tangan gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan. Gadis
itu sempat terpelanting hilang keseimbangan dan tubuhnya berputar balik dengan punggung
menyentuh dada Suto Sinting.
Namun pada saat itu pula, benda yang melesat cepat
dari atas pohon seberang itu menancap di dada kiri T irai Surga. Zaaap...!
Jrrub...!
"Aaahk...!"
Sebatang anak panah menancap di dada kiri gadis itu,
tepatnya di bawah pundak. Pendekar Mabuk tak sempat menangkap anak panah itu
karena tangan kanannya memegangi bumbung tuak dan tangan kirinya menarik tubuh
T irai Surga. Ga dis itu langsung mengejang dan mengerang pelan.
"Uuuhhh...!" suaranya merintih
mengharukan. T ubuh si gadis menjadi lemas, bahkan tak mampu berdiri dengan
kedua kakinya.
"T irai..."! Tirai..."!" Suto
Sinting mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Tirai Surga semakin redupkan
matanya dalam pelukan Suto. Hati si pemuda menjadi berang, gemas, dan jengkel
sendiri. Maka dicabutnya anak panah yang menancap di dada gadis itu.
Sleeb...! Suto Sinting sempat terperanjat heran
karena tak ada darah yang mengalir dari luka berlubang itu. Luka tersebut
mengeluarkan darah hanya sedikit dan berwarna hitam, hanya di sekitar lubang
luka saja. Jelas hal itu dikarenakan ujung anak panah mempunyai racun yang
cukup membahayakan.
Pendekar Mabuk segera baringkan gadis itu ke tanah
berumput. Mulutnya yang ternganga keluarkan erangan merintih itu segera
dituangi tuak. Sebagian tuak ada yang terminum, sebagian ada yang berceceran di
sekitar mulut dan leher.
Selesai itu, Suto tak pedulikan lagi keadaan Tirai
Surga, ia segera menatap ke arah pohon tempat keluarnya anak panah tersebut. T
ernyata di sana masih ada si pemanah yang tampaknya ingin memastikan apakah T
irai Surga benar-benar mati atau tidak. Kesempatan itu segera digunakan Suto
untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya yang dinamakan 'Pukulan Guntur Perkasa'
itu.
Sentakan tangan kiri Suto Sinting keluarkan sebaris
sinar hijau. Claaap...! Sinar itu segera menghantam dahan pohon besar berdaun
rimbun itu.
Jegaaarrr...!
Ledakan membahana terdengar bersamaan berpendarnya sinar hijau besar. Kejap
berikut pohon itu telah hancur separo bagian. Sekelebat bayangan tampak melesat
dari pohon itu, terlempar akibat gelombang ledakan. Walau sinar hijau itu tak
kenai tubuh si pemanah, namun gelombang ledakannya melemparkan si pemanah
sejauh delapan tombak dari pohon tersebut.
Pendekar Mabuk segera hampiri orang itu dengan gerakan
cepatnya. Zlaap...! T ahu-tahu ia sudah berada di samping si pemanah yang
sedang berusaha bangkit sambil mengerang. Busur panahnya patah akibat tertimpa
tubuhnya sendiri saat jatuh terbanting. Seba gian anak panahnya berceceran ke
mana-mana. Si pemanah ternyata seorang lelaki yang berusia sekitar empat puluh
tahun dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala merah tua.
Lelaki berperawakan sedang, berkumis lebat dan
bermata besar itu sengaja dibiarkan bangkit oleh Suto Sinting, sampai akhirnya
lelaki itu memandang Suto dengan tersentak kaget. Raut wajahnya tampak
menyimpan kecemasan bercampur kemarahan. Se bilah pisau sepanjang dua jengkal
dicabut dari pinggangnya. Sreet...! Ia sedikit membungkuk sambil mengarahkan
pisau mengkilat itu kepada Suto Sinting.
"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku,
Bangsat!"
"Namaku; Suto, bukan Bangsat!" ujar
Pendekar Mabuk dengan kalem, walau hatinya geram sekali ingin menghantam congor
orang itu.
"Persetan dengan siapa namamu! Tapi kau sudah
mencampuri urusanku, maka kau pun harus mati di ujung pisauku ini!
Hiaaat...!"
Wut, wut, wut, wess, wuut, wees, wess...!
Serangan orang itu datang secara beruntun, menusuk
dan menyabetkan pisaunya. Tapi dengan gerakan cepat yang menggeloyor ke
sana-sini seperti orang mabuk ingin jatuh, Suto berhasil hindari tusukan dan
sabetan pisau itu. Sampai suatu saat akhirnya tangan orang itu berhasil
ditendang oleh Sulo dengan tendangan berputar cepat. Beet...! Wuut...!
Tangan itu tersentak ke atas dengan kuat, pisaunya
terpental dari genggaman.
"Hahh..."!" orang itu membelalak
tegang setelah sadari tangannya tak memegang pisau lagi. Pendekar Mabuk
berputar sekali lagi dengan gerakan cepat.
Wuuus...! Kakinya bagai menampar wajah orang itu
dengan telak sekali. Plook...!
"Aauw...!" Orang itu terjungkal ke samping
karena kuatnya tendangan Suto. Ia jatuh berguling-guling dengan wajah bagaikan
ditampar dengan balok kayu yang amat besar. Untuk sesaat orang itu menjadi
buta, tak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba bangkit dengan meraba-raba dan
mengerang dengan suara napas memburu ganas. Pendekar Mabuk sengaja biarkan
orang itu geragapan mencari pegang.
Pada saat itu
mata Suto sempat melirik ke arah Tirai Surga. Gadis itu telah berdiri dan memandang
heran ke arah dadanya yang terluka. Luka tersebut telah merapat dan lenyap.
Kulit dada menjadi mulus kembali tanpa luka seujung jarum pun. Hanya saja, baju
kuningnya yang tanpa lengan itu terpaksa bolong akibat ditembus anak panah
beracun tinggi itu.
Wut, wut, wut...!
Plook...! Tirai Surga berplik-plak cepat, berjungkir
balik dengan menggunakan kedua tangannya di tanah menuju ke arah si lelaki
berpakaian hitam itu. Begitu tiba di depan lelaki tersebut, kaki T irai Sur ga
menendang ke atas dengan cepat dan kuat. Dagu si lelaki terkena tendangan
tersebut, sehingga orang itu terdongak dan sambil mengerang keras, lalu
sempoyongan ke belakang.
"Hiaaah...!" T irai Surga menjejak dengan
cepat, dada orang itu terkena telak dan membuatnya semakin terlempar, lalu
jatuh terkapar setelah semburkan darah segar dari mulutnya.
Gadis itu mempunyai senjata gelang pipih bertepian
tajam. Sepasang gelang pipih mirip piringan itu mempunyai tempat tersendiri di
pinggang kanan-kiri yang terbuat dari kulit. Gelang pipih sebesar piring makan
itu segera dicabut dari tempatnya. Matanya memandang beringas kepada lelaki
yang sedang berusaha bangkit dengan merangkak-rangkak itu.
"Habis sudah riwayatmu, Setan Ajak!"
teriak T irai Surga tampak murka sekali. Senjata itu akan dilemparkan ke arah
si Setan Ajak untuk memenggal leher orang tersebut. T api Suto Sinting yang
saat itu ada di belakang T irai Surga segera mencekal tangan yang sudah
memegang senjata gelang putih dari besi baja itu.
"Jangan! Dia sudah cukup terluka oleh
tendanganmu. T erlambat menyembuhkan dia akan mati dengan sendirinya!"
"T api dia hampir saja membunuhku secara
curang! Dia harus menerima hukumannya; kehilangan kepala!"
"T irai, kau masih hidup dan tetap sehat, bukan"!
Kurasa tak perlu harus mencabut nyawanya. Jangan terlalu mudah mencabut nyawa orang selama tidak dalam keadaan sangat
terpaksa, T irai!"
Gadis itu menatap Suto, dan Suto pun menatapnya lekat-lekat.
"T urunkan amarahmu, T irai."
Tatapan mata lembut itu terasa menembus sampai ke
dasar hati, menyiramkanketeduhan yang damai bagi T irai Surga. T atapan mata
itu menjinakkan hati yang beringas terhadap si Setan Ajak. Namun demi
memperlihatkan ketangguhan dan harga dirinya, Tirai Surga berseru kepada Setan Arak
yang bermaksud melarikan diri itu.
"Katakan kepada Beruang Iblis; ketua
perguruanmu itu, T irai Surga tak akan gentar jika harus bertarung melawannya! Jangan
coba-coba lagi berusaha membunuhku jika tak ingin perguruanmu kuratakan dengan
tanah!"
Setan Ajak bagai tak pedulikan seruan itu. Ia bergegas
pergi tanpa menengok ke belakang lagi. Sesekali arah langkahnya terhuyung ke
kiri atau ke kanan karena ia masih harus menahan luka di dalam dadanya.
"Siapa si Setan Ajak itu
sebenarnya"!"
"Orang perguruan Pintu Neraka, anak buah si
Beruang Iblis!" jawab T irai Surga setelah hembuskan napas pengendur
ketegangannya.
"Beruang iblis..."!" gumam Suto
Sinting merasa asing dengan nama itu.
"Jika aku menjadi ketua perguruan nantinya,
Beruang Iblis adalah la wan beratku yang harus kuhadapi. Karena itu aku butuh
tambahan ilmu yang dapat kupakai untuk melumpuhkan si Beruang Iblis. Maukah kau
ajarkan salah satu ilmu andalanmu padaku?" Pendekar Mabuk kembali diliputi
perasaan serba salah, ia tak tahu harus bilang apa kepada gadis itu, sementara
hati kecilnya merasa ingin mengajarkan salah satu jurus mautnya, tapi ia
terikat oleh satu perintah dari sang Gur u Gila T uak dan Bidadari Jalang,
bahwa ia masih tak boleh ajarkan ilmu kepada siapa pun.
Sementara itu, T irai Surga semakin yakin bahwa Suto
Sinting adalah pemuda tampan yang berilmu tinggi, karena ketika ia dapatkan
lukanya mengering dan rasa sakitnya lenyap, hatinya melontarkan berbagai pujian
dan rasa kagum yang amat besar kepada pemuda tampan itu. Lenyapnya luka dalam
waktu singkat hanya bisa dilakukan oleh orang berilmu tinggi, menurutnya. Karena
itu, Tirai Surga semakin bernafsu untuk dapatkan satu atau dua ilmu andalan
dari Suto Sinting.
"T anpa ada tambahan ilmu dari aliran lain,
kurasa aku tak akan bisa kalahkan si Beruang Iblis. Padahal si Beruang Iblis
itu lebih berbahaya daripada gurunya Raden Lontar," tambah si gadis dengan
harapan dapat meluluhkan hati Suto Sinting. Yang diajak bicara hanya diam saja
dengan senyum menghiasi bibirnya yang menawan. Bahkan pemuda itu kini menenggak
tuaknya beberapa teguk. Kala itu ia melihat langit sore mulai memerah.
T iba-tiba mereka mendengar suara jeritan kematian
di kejauhan.
"Aaaaa...!"
Pendekar Mabuk tersentak kaget. "Suara apa
itu"!
Seseorang terbunuh"!" sambil matanya menatap
Tirai Surga. Yang ditatap hanya angkat pundak sambil kembangkan kedua tangan.
"Itu sudah hukum yang berlaku bagi
mereka."
"Bagi siapa"! Mereka siapa
maksudmu"!"
"Kau mau lihat ke sana" Akan kutunjukkan
jalannya!"
T irai Surga lebih dulu bergerak ke arah jeritan
kematian itu. Pendekar Mabuk segera mengikutinya, ia sangat penasaran dengan
apa yang dikatakan T irai Surga tadi. * * *
6
SETAN Arak ditemukan tewas dengan luka lebar di
dadanya. Pendekar Mabuk sempat merasa heran dan segera menatap T irai Surga.
Gadis itu sunggingkan senyum tipis seraya berkata dengan nada dingin.
"Dia gagal membunuhku, maka dia harus
dibunuh!"
"Siapa yang membunuhnya"!"
"T emannya sendiri!" jawab T irai Surga
kalem.
"Rupanya ia menjadi 'Utusan Maut' dari pihak
perguruannya. Hukum yang berlaku di Perguruan Pintu Neraka, siapa pun yang diangkat
menjadi 'Utusan Maut' akan dibunuh oleh teman sendiri jika gagal menjalankan
tugasnya. Orang yang diutus membunuh 'Utusan Maut' dinamakan 'Utusan Ajal'. Dan
bagi 'Utusan Maut' tak pernah tahu siapa teman seperguruannya yang dijadikan 'Utusan
Ajal', bahkan tidak tahu di mana sang 'Utusan Ajal' itu bersembunyi menguntit tugasnya."
"Kejam sekali"!"
"Seperti itulah kekejaman hati si Beruang
Iblis!"
"Mengapa bukan si 'Utusan Ajal' yang membunuhmu?"
"Sekalipun aku lewat di depannya, ia tak akan
membunuhku, karena tugasnya hanya lakukan hukuman mati bagi kegagalan si
'Utusan Maut'...."
Percakapan itu berlanjut sambil mereka sama-sama
melangkah. Ketika senja mulaimenua dan sebentar lagi petang akan tiba, mereka
menemukan sebuah gua di lereng bukit. Gua itu tampaknya sering digunakan
sebagai tempat beristirahat bagi para pengembara atau pencari kayu. Sisa-sisa
kayu bakar bekas api unggun masih ada di dalam gua datar yang mempunyai
langit-langit tinggi itu. Maka mereka pun tak perlu mencari kayu bakar lagi,
karena menurut Suto, sisa kayu bakar yang ada di dalam gua jika dikumpulkan
cukup untuk menghidupkan api unggun selama satu malam.
`Tak jauh dari gua itu, ada telaga yang berukuran
kecil yang bisa dipakai untukmandi. Airnya bening, dan berwarna
kehijau-hijauan. Ketika Suto menyalakan api unggun, T irai Surga sempatkan diri
pergi ke telaga kecil itu.
"Haruskah aku membawa T irai Surga ke Pulau
Sangon untuk temui si Bocah Emas?" pikir Suto saat gadis berjubah merah
beludru itu belum kembali dari telaga kecil.
"Sepertinya gadis cantik itu akan mengikutiku
terus sebelum mendapatkan satu-dua ilmu dariku. Agaknya ia benar-benar membutuhkan
ilmu tersendiri untuk kalahkan si Beruang Iblis. Hmmm...! Tapi hal itu tak
mungkin kulakukan, aku takut melanggar peraturan dari Kakek Guru Gila T uak dan
Bibi Guru Bidadari Jalang," ucap batin Suto sambil tangannya menata kayu
bakar agar nyala apinya tetap stabil. "Kurasa aku harus berterus terang
padanya tentang ketidaksanggupanku untuk menurunkan satu ilmu pun padanya.
Tentang dia mau ikut ke Pulau Sangon, itu tak jadi masalah, selama ia sendiri
tidak bikin masalah di perjalanan. Aku harus cepat-cepat temui si Bocah Emas
untuk dapatkan keterangan tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu."
T iba-tiba ucapan batin Suto terhenti, karena
mendadak ia ingat sesuatu yang pernah dikatakan T irai Surga.
"Dia banyak mengetahui tentang Nyai Dupa
Mayat"!
Apakah ia juga tahu kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu"! Hmmm... sebaiknya kutanyakan saja padanya. Siapa tahu dia bisa
jelaskan rahasia kelemahan ilmu gila itu"!"
Hati Suto Sinting agak cemas ketika T irai Sur ga
sudah cukup lama belum kembali ke gua. Ia se gera menyusul ke telaga kecil itu
dengan penerangan sinar bulan yang baru muncul seperempat bagian itu.
Setibanya di telaga, Suto tak temukan T irai Surga
di sana. T api kemilau air telaga yang terkena pantulan sinar bulan samar-samar
itu menggoda hatinya, sehingga ia pun sempatkan diri untuk mandi di telaga itu.
Selesai mandi, ia baru berpikir lagi tentang T irai Surga.
"Jangan-jangan aku tadi bersimpang jalan"
Sebaiknya kutengok dulu keadaan di dalam gua, mungkin ia sudah sampai di
sana," pikir Suto, maka ia pun bergegas kembali ke gua. T ernyata gadis
itu sedang berdiri dengan cemas di depan pintu gua, memandang ke sana-sini
mencari Suto Sinting.
"Dari mana saja kau"! Bikin orang cemas
saja!" omel T irai Surga sambil mendahului masuk ke dalam gua tersebut.
Suto hanya sunggingkan senyum kecil.
"Aku mencarimu. Kupikir kau hilang, karena
terlalu lama berada di telaga."
"Aku mengejar ayam hutan!" sambil ia
menuding ke atas api unggun, ternyata di sana sudah ada ayam hutan yang sedang
dibakar.
"Hmmm... pantas bau sedapnya tercium olehku
dari bawah sana. Perutku jadi lapar sekali, Tirai."
"Aku sengaja menangkapnya untuk santap malam
kita, Guru."
"Guru..."!" Suto tertawa pelan.
"Jangan mengigau memanggilku guru. Aku bukan gurumu." "Walau
hanya satu ilmu yang akan kau turunkan padaku, tapi kau tetap layak kupanggil
guru."
"T irai, tak akan satu pun ilmu yang kuturunkan
padamu, karena aku belum mendapat mandat dari guruku sendiri. Aku takut
melanggar larangan beliau."
Gadis itu diam saja, tapi wajahnya tampak menyimpan
kekecewaan. Pendekar Mabuk berlagak tak hiraukan kekecewaan itu. Sambil
menggerai-geraikan rambut basahnya di dekat api unggun, Suto sempatkan bicara
kepada T irai Surga.
"Kalau kau memintaku membantu menundukkan si
Beruang iblis atau siapa pun, aku sanggup. T api kalau untuk menurunkan ilmu
padamu, atau kepada siapa saja, aku tak sanggup."
Gadis itu melepaskan jubah merahnya. Jubah itu diletakkan
di atas batu setinggi satu betis. Dari sana Tirai Surga terdengar mengulang
kata-kata Suto tadi.
"Jadi, kau bersedia membantuku tumbangkan si
Beruang iblis?"
"Kenapa tidak, semasa Beruang Iblis tokoh
aliran sesat yang perlu dimusnahkan"!"
Pendekar Mabuk bicara sambil membolak-balikkan ayam
bakar supaya tak sampai hangus, ia duduk di atas batu yang panjangnya sedepa
dan tingginya separo betis. Batu itu menyerupai anak tangga, punya tempat lebih
tinggi dan lebih rendah.
Suto duduk di tempat yang tinggi, sementara Tirai
Surga datang mendekat, lalu duduk di tempat yang agak rendah Itu.
"Kalau begitu, besok akan kubawa kau ke Lereng
Curam, tempat Perguruan Pintu Neraka berada!" ujar T irai Surga seraya
membetulkan susunan kayu bakar paling bawah. "Jangan besok!" potong
Suto. "Besok aku harus pergi ke Pulau Sangon."
"Pulau Sangon..."! O, ya... aku pernah
dengar nama Pulau Sangon yang di bawah kekuasaan Ratu Remaslega itu."
"Pengetahuanmu cukup lumayan juga
rupanya," puji Suto sambil memandang dan sunggingkan senyum. Tirai Surga
bagai tak hiraukan pujian itu.
"Mau apa kau ke sana?"
"Temui seorang sahabatku," jawab Suto,
sengaja tak mau sebutkan nama si Bocah Emas, karena takut menjadi masalah
tersendiri di rimba persilatan.
"Kekasihmu ada di sana?" pancing T irai
Surga. Suto tertawa pendek.
"Aku tidak punya kekasih di Pulau Sangon."
"Lalu di pulau mana kekasihmu?"
"Di Pulau Serindu," jawab Suto terus
terang, tapi justru membuat T irai Surga mencibir tak percaya.
"Pulau Serindu adalah kekuasaan Ratu Gusti
Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sariningrum. Orang-orang Pulau Serindu
jarang yang punya kekasih dari tanah Jawa. Kau tak perlu membual di depanku,
Suto."
"Belum tahu dia," gumam hati Suto sambil
bibirnya sunggingkan senyum lebar.
Mereka menikmati santap malam berupa ayam bakar sambil
T irai Surga bercerita tentang latar belakang kehidupannya. Bahwa ia ternyata
putri seorang panglima perang dari sebuah kerajaan yang sudah tidak mempunyai
sanak keluarga lagi. Sang ayah tewas dalam peperangan ketika T irai Surga
berusia delapan tahun.
Kemudian menyusul ibunya tewas ketika T irai Surga
berusia sepuluh tahun. Ia dan adiknya sempat melarikan diri ketika keturunan
sang panglima perang itu dihabisi oleh seorang musuh dari Laut Bangkai. Tapi sang adik akhirnya meninggal
juga setelah sama-sama berguru kepada Eyang Syakati dari Gunung Waru. Sang adik
tewas karena terkena jarum beracun dari lawannya.
T irai Surga mengaku bercita-cita ingin mengabdi
kepada seorang raja, dan berkeinginan keras menjadi panglima perang dalam
kerajaan itu. Ia ingin meneruskan profesi sang ayah dulu, namun selama ini ia
masih merasa belum cukup ilmu, sehingga tak berani melamar sebagai prajurit. Ia
bersumpah tak akan menikah sebelum menjadi seorang perwira di sebuah negeri.
"Apakah kau mampu menahan kehadiran cinta dalam
usiamu sekarang ini?" tanya Suto Sinting, saat itu mereka sudah
menghabiskan ayam bakar tersebut.
"Mengapa tidak" Buktinya sampai sekarang
aku belum pernah jatuh cinta pada seorang lelaki."
"Sulit dipercaya, gadis secantik kau tidak
mengenal cinta seorang kekasih, adalah suatu hal yang langka sekali."
"Secara manusiawi, kadang aku memang punya keinginan
bermesraan dengan seorang pemuda. Namun sampai sekarang, aku tak pernah temukan
pemuda yang sesuai dengan hatiku."
"Sampai sekarang belum ada pemuda, yang cocok
dengan seleramu"!" Suto bernada tak percaya. "Hmmm...
hmmm...," T irai Surga sulit menjawab, karena ia sadar saat ini hatinya selalu
berdebar-debar penuh keindahan, karena merasa bangga dan bahagia bisa berada
dalam satu gua dan satu malam bersama Suto Sinting. Akhirnya gadis itu diam
membisu, hanya pandangi lidah api unggun yang menari-nari bagai seorang penari
telanjang.
"Mau minum lagi?" Suto menawarkan tuaknya
setelah ia meneguknya beberapa kali. Tuak itu masih separo bumbung, Masih cukup
untuk perjalanan ke sebuah desa dan mengisinya kembali dari sebuah kedai. Tirai
Surga menenggak tuak itu sedikit. Gerakan menengadah itu dipandangi oleh Suto, sehingga gadis itu sempat grogi dan
tuaknya tumpah di sekitar mulut dan leher. "Ooh...!" Tirai Surga
sempat tersenyum malu, dan hati Suto Sinting berdebaran manakala melihat senyum
itu begitu manis dan indahnya.
"Ini gara-gara kau pandangi aku terus!"
gerutu si gadis sambil sembunyikan senyum malunya.
"Kau cantik kalau sedang tersenyum
begitu," ujar Suto Sinting dengan lembut. Tangannya menerima bumbung tuak
dan menutupnya kembali. T irai Sur ga sengaja palingkan wajah. Dadanya bergemuruh
bagaikan ada tanah longsor di dalam dada itu. Pujian Suto terasa semakin
mendebarkan hati, membuat tangannya sempat gemetar halus.
"Sungguh cantik menurut pandanganku."
"Lupakan pujian itu," kata T irai Surga.
"Aku bukan gadis yang gila pujian,"
"Apakah kau pikir aku sedang memujimu" Oh,
tidak! Kau salah duga, Tirai. Aku bukan sedang memujimu, tapi sedang bicara
dengan hatiku sendiri. Kau tak perlu mendengarnya."
Si gadis menjadi salah tingkah. Namun ia cepat kuasai
getaran jiwanya itu dengan menelan napas beberapa kali. Matanya tertuju ke arah
api unggun, tak berani melirik Suto Sinting yang ada di sebelah kanannya.
"Lehermu basah oleh tuak, T irai."
"Ya. Biar saja!"
"Boleh aku mengeringkannya?"
Se belum mendapat jawaban, Suto Sinting melepaskan
bajunya, kemudian baju itu dipakai untuk mengeringkan tuak yang membasahi leher
T irai Surga. Ga dis itu menjadi semakin gemetar dan serba salah. Keindahan
yang ditimbulkan dari sentuhan perbuatan Suto itu sangat menyentuh perasaannya,
sehingga lidah pun menjadi kelu. Hembusan napas dari hidung Suto terasa
menghangat di pipinya, karena jarak wajah mereka sangat dekat. Suara Suto yang
membisik membuat Tirai Surga semakin tak bisa bicara lagi.
"T irai, boleh aku mencium pipimu"!"
Pendekar Mabuk sengaja hadapkan wajah cantik itu
pelan-pelan dengan menyentuh dagu si gadis dan menariknya ke samping. Mata
indah itu ditatap lekat-lekat oleh Suto Sinting. Si gadis tak bisa lari dari
pandangannya, ia pun merasakan kedamaian dan keteduhan di dalam hatinya
manakala bola mata Suto itu dipandanginya tak berkedip. "Bolehkah aku
menciummu?" ulang Suto dalam bisikan. T irai Surga hanya bisa membuat bibirnya merekah, dan bibir itu
tampak gemetar jelas-jelas.
Akhirnya si gadis pejamkan mata pelan-pelan. Suto
Sinting pun segera mencium pipi si gadis yang berkulit halus dan lembut mirip
kulit bayi itu.
Kehangatan yang menyiram wajah berhidung mancung itu
bagai membakar sekujur tubuh. Si ga dis meremas tangan Suto, dan Suto rasakan
remasan itu punya getaran yang dapat dirasakan oleh tangan Suto.
"Suto...," gadis itu membisik ketika Suto
ingin menarik wajahnya dari ciuman pertama. Suara itu terdengar parau dan lirih
sekali. Napas yang terhembus dari hidung mancung itu mengalir deras menghangat
di wajah Suto Sinting.
Rupanya gadis itu tak ingin wajah Suto jauh dari
wajahnya. Wajah itu pun bergeser ke kiri, sehingga bibir mereka saling
bersentuhan. Maka bibir itu pun dikecup oleh Suto pelan-pelan.
Kecupan itu seperti mengambang, antara menyentuh dan
tidak. Hati si gadis makin berdesir bagai terbang. Bibir ranum itu
dikecup-kecup oleh Suto Sinting, makin lama semakin terasa jelas kecupannya.
Akhirnya si gadis memeluk Suto kuat-kuat setelah bibirnya terasa dilumat dengan
lembut dan penuh kehangatan.
Si gadis mencoba membalas kecupan Suto. Bibir Suto
dipagutnya pelan-pelan. Tapi Suto justru menyodorkan lidahnya. Si gadis pun
memagut lidah Suto. Lalu ia ingin rasakan jika lidahnya dipagut, maka ia pun
ulurkan lidahnya dan Suto Sinting memagut dengan lembut.
"Oooh... ternyata lebih nikmat dan indah
sekali," ucap si gadis dalam hatinya, ia memeluk Suto semakin kuat, karena
merasakan ada sentakan dalam dada yang menuntut keindahan itu berkepanjangan.
"Aku belum pernah rasakan keindahan seperti
ini, Suto," bisiknya pelan ketika Suto sengaja merebahkan kepala si gadis
di dadanya. T angan kekar Pendekar Mabuk
itu memeluk hangat dan membuat hati si gadis bagai terlindung oleh
perisai kedamaian dan kemesraan.
"Betulkah selama ini kau belum pernah dicium
seorang lelaki?"
"Aku berani sumpah mati sekarang juga kalau aku
berbohong padamu," jawab T irai Surga sambil meremaskan genggamannya ke
tangan kiri Suto yang jatuh di pangkuannya. Sementara tangan kanan Suto
mengusap-usap rambut yang ada di kening si gadis.
Usapan itu membuat si gadis terasa kian terbuai oleh
kemesraan yang baru pertama kali dirasakan.
"Memang sudah lama aku ingin menikmatinya, setidaknya
merasakan seperti apa kemesraan seorang lelaki itu. T etapi... tak pernah ada
pemuda yang membuatku tertarik untuk melakukannya."
"Melakukan apa?" pancing Suto sengaja
menggoda.
"Yaah, melakukannya seperti tadi," jawab T
irai Surga sambil tertawa kecil, malu-malu kelinci. Suto Sinting ikut tertawa
seraya mempererat pelukannya.
Gadis itu sedikit menengadah, wajahnya dihadapkan ke
arah Suto. Lalu, ciuman Suto Sinting mendarat lagi di pipinya. Ciuman itu
bergeser ke bibir, dan si gadis menyambarnya lebih dulu. Ia melumat bibir Suto
Sinting dengan kelembutan yang hangat.
"Auh...!" Suto terpekik sambil menarik wajah ke belakang. Si gadis
cekikikan, sembunyikan wajah di dada Suto. Ia telah menggigit bibir pemuda itu
karena gemasnya. "Nakal kau ini!" sambil Suto Sinting menyentil ujung
hidung T irai Surga.
Si gadis makin tertawa kegirangan, lalu tangannya
merangkul Suto dan wajahnya semakin dibenamkan di dada pemuda tampan itu. Sang
pemuda memeluk dengan kedua tangan. T api karena T irai Surga banyak bergerak
dalam tawanya, karena ia juga menggigit dada Suto dengan nakal, maka Suto pun
jatuh terbaring dan si gadis tiduran di dada pemuda itu.
"Suto, apakah kau benar-benar mau menolongku
jika tak bisa turunkan ilmumu?"
"T entu saja, T irai Surga. Katakan, apa yang
harus kulakukan untukmu?"
T irai Surga tak langsung menjawab, benaknya penuh
pertimbangan, ia hanya bermain anak rambut yang jatuh di samping leher Suto
Sinting. Kepalanya direbahkan di dada bidang dalam posisi miring dengan wajah
menghadap ke arah wajah Suto Sinting.
Agaknya si gadis ragu-ragu untuk katakan sesuatu, sehingga
ketika Suto mengulangi pertanyaannya, gadis itu hanya menjawab lirih.
"T idak. T idak ada yang perlu kau lakukan
untukku selain berada di dekatku."
"T irai, mengapa kau berkata begitu?"
"Karena aku suka berada di dekatmu. Pada
dirimulah kutemukan keindahan dan kemesraan yang pertama kalinya. Mungkin sulit bagiku untuk melupakan
saat-saat indah seperti malam ini." Pendekar Mabuk usapkan tangannya ke
rambut gadis itu. Usapan yang pelan-pelan membawa mereka dalam kebisuan. Si ga
dis sengaja tak bicara untuk resapi usapan lembut yang baru kali itu
diperolehnya dari seorang pemuda.
"T irai...," Suto Sinting segera
perdengarkan suara setelah mereka cukup lama tenggelam dalam kebisuan.
"Benarkah kau tahu banyak tentang Nyai Dupa
Mayat"!" Suto menyambung ucapannya.
"Mengapa kau bertanya begitu?"
"Aku ingin tahu kelemahan ilmu 'Gerhana
Senyawa' itu." T irai Surga bangkit pandangi wajah pendekar tampan yang
masih berbaring tanpam, baju itu. "Mengapa kau ingin tahu kelemahan ilmu
itu, Suto?"
"Jangan bertanya dulu. Ja wablah dulu
pertanyaanku, T irai. Tahukah kau tentang kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa'
itu?"
T irai Surga diam sesaat bagai memikirkan sesuatu. Kemudian
suaranya terdengar dengan jelas sambil gelengkan kepala. "Tidak, aku tidak
tahu!"
Pendekar Mabuk pandangi wajah T irai Surga. Sorot
mata gadis itu tampak menyimpan kebohongan. Suto Sinting mengetahui ada sesuatu
yang disembunyikan di balik tatapan mata sayu gadis itu. T api ia ragu-ragu
untuk mendesaknya.
"Aneh," ujar Suto dalam hati. "T
iba-tiba hati kecilku merasa yakin kalau dia tahu kelemahan ilmu itu"! Mengapa
naluriku mengatakan demikian"! Suatu saat aku pasti akan tahu rahasia ilmu
itu darinya. Mungkin sekarang ia masih ragu karena aku tak mau menurunkan ilmu
padanya, atau... atau dia sengaja ingin membuatku penasaran, sehingga aku tetap
bersamanya"! Oh, kalau begitu dia pandai membuat satu jeratan hati dengan rahasia
itu" Benar-benar aneh! T iba-tiba saja aku berpendapat seperti itu. Padahal
pendapatku itu belum tentu benar. Bisa saja salah!"
Suto Sinting sengaja berlagak melupakan
pertanyaannya tadi. Ia mengalihkan dengan satu tanya yang segera dija wab
dengan anggukan kepala oleh si gadis. "Besok aku harus ke Pulau Sangon.
Apakah kau mau ikut ke sana juga?"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tenang ketika
melihat kepala si gadis mengangguk. Lalu, si gadis ajukan tanya,
"Katakan dulu, untuk apa kau mau ke Pulau
Sangon."
"Ada seorang sahabatku yang tahu tentang
kelemahan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu. Aku ingin menanyakan padanya."
Wajah gadis itu tampak sedikit tegang karena kecemasan
mulai membersit lewat tatapan matanya. Suto Sinting sengaja memperhatikan mata
yang menyimpan keresahan kecil itu.
"Kurasa...," si gadis menelan ludah
sendiri. "Kurasa tak perlu ke Pulau Sangon."
"Mengapa tak perlu"!"
"Hmmm... eehh...," setelah pandangannya
serba salah, T irai Surga akhirnya menatap Suto Sinting.
"Mengapa kau repot-repot ke sana, toh Nyai Dupa
Mayat tidak mengincar nyawamu"!"
"Sebenarnya...."
"Ah, sudahlah! Kau tak perlu mencampuri urusan
pribadi Nyai Dupa Mayat, salah-salah kau benar-benar menjadi korban berikutnya,
Suto! Aku tak ingin kau menderita nasib seperti Singa Bangka atau pemuda yang
lainnya!"
Setelah bicara demikian, T irai Surga mulai
tampakkan keresahan dan kecemasannya. Suto Sinting berkata dalam hatinya,
"O, rupanya ia resah dan gelisah karena takut
kalau aku menjadi korban Nyai Dupa Mayat"! Ia pasti akan merasa kehilangan
sesuatu yang amat berharga kalau sampai aku
mati di tangan sang Nyai! T api ia belum tahu bahwa aku adalah si Pendekar Mabuk
itu. Haruskah kujelaskan padanya?"
* * *
7
BUKAN hanya Suto Sinting yang mengetahui ke mana
arah menuju Pulau Sangon. T etapi mantan prajurit istana Kematian yang bermata
biru itu juga mengetahui arah ke Pulau Sangon. Pandawi akhirnya mengarahkan
langkah kakinya ke sana setelah berputar-putar mencari Suto Sinting tak
ditemukannya.
Gadis berba dan tinggi sekal itu akhirnya menjalin
hubungan kerja sama dengan Dewi Kun, karena mereka sama-sama merasa kehilangan
Pendekar Mabuk. Mereka juga sama-sama merasa harus menemukan Suto. Perkara
nanti jika sudah bertemu mereka harus bertarung lagi karena rasa iri, itu tak
masalah bagi mereka.
"Jika ingin kalahkan ilmu 'Gerhana Senyawa'
harus tahu rahasianya. Dan si Bocah Emas pasti tahu rahasia itu, karena ia
kuasai seluruh rahasia kelemahan ilmu apa pun!" ujar Dewi Kun yang membuat
Pandawi merasa perlu juga datang ke Pulau Sangon dan menanyakannya kepada si
Bocah Emas.
Dugaan Pandawi memang benar, Suto Sinting tetap ngotot
dalam hatinya untuk temui si Bocah Emas. Ia membawa T irai Surga ke arah Pulau
Sangon dengan alasan hanya sekadar ingin tahu rahasia ilmu tersebut.
"Aku tidak akan melawan Nyai Dupa Mayat. Aku
hanya ingin tahu saja rahasia tersebut, sebagai bekal pengetahuanku di masa
mendatang," tambah Suto dalam ajukan alasan yang kira-kira bisa diterima
oleh akai sehat Tirai Surga, dan tidak timbulkan kecurigaan yang mencemaskan
gadis itu.
Namun langkah Pendekar Mabuk dan T irai Surga terhenti
karena suara orang bicara di balik kerimbunan pohon bambu hutan. Suara- suara
itu sangat dikenali oleh Suto Sinting. Oleh sebab itu, Suto membawa T irai Surga
ke jalan setapak yang menuju balik pepohonan bambu itu.
"T ak ada gunanya kita saling berbaku hantam
lagi, jika ternyata kita sama-sama kehilangan dia!"
"Ini semua gara-gara ulahmu. Pakar
Pantun!"
"Ulahmu juga, Jalu K uping! Lain kali kau tidak
boleh lakukan cara seperti itu. Kurasa bocah itu akan bersedia membantumu jika
kau jelaskan perkara yang sebenarnya!"
Mereka adalah dua tokoh tua yang sudah tiga hari ini
kebingungan mencari Pendekar Mabuk. Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sempat
dibuat jengkel oleh tingkah mereka sendiri.
Akhirnya saling menyadari bahwa perselisihan itu tak
perlu terjadi. Mereka memang sudah bertemu dengan si Kadal Ginting, sehari
setelah Kadal Ginting sendiri kebingungan mencari majikannya. Tapi ternyata
menemukan Pendekar Mabuk tidak semudah menemukan Kadal Ginting. Namun mereka
sudah mendapat penjelasan arah kepergian
Suto saat bersepakat dengannya mencari kedua tokoh tua itu.
Maka ketika Suto Sinting muncul dari satu arah, Kadal
Ginting lebih dulu berseru sambil menunjuk ke arah Suto.
"Itu dia orangnya!"
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping sama-sama menengok
ke arah yang ditunjuk Kadal Ginting, lalu wajah mereka sama-sama tampak lega
melihat Suto Sinting berjalan dengan gagahnya. Tetapi mereka sempat berkerut
dahi ketika melihat di samping Suto ada gadis cantik yang melangkah seiring,
bahkan tangannya digandeng mesra oleh Suto Sinting.
"Siapa lagi gadis itu"!" gumam Resi
Pakar Pantun.
"Setiap kujumpa dia selalu saja ganti-ganti
wajah gadis pendampingnya." Jalu K uping menyahut lirih, "Kita dulu
juga pernah muda, bukan"!" Senyum keramahan Suto mengawali percakapan
mereka. Namun terlebih dulu sang Resi segera lepaskan pantunnya sambil sesekali
melirik ke arah Tirai Surga.
"Telur tokek beranak m enjangan,
jatuh ke lum pur langsung dimakan.
Jika tangan sudah bertemu tangan,
orang tua pun dianggap boneka pajangan."
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang
menggumam, T irai Surga tersipu malu, karena sebelum muncul tadi Suto Sinting sudah
jelaskan siapa-siapa mereka bertiga itu. Maka gadis itu pun tampakkan sikap
bersahabat tanpa kecurigaan apa pun.
"Eyang Resi, Ki Jalu K uping... perkenalkan,
ini T irai Surga, murid si Perguruan T elaga Murka."
Jalu Kuping menyahut, "Ooo... jadi kau muridnya
si Gampar Sewu"!"
"Benar, Ki! Aku murid Eyang Gampar Sewu!"
jawa b T irai Surga dengan sopan.
Resi Pakar Pantun segera utarakan maksudnya, yaitu
tugas memanggil Suto untuk hadiri penyerahan Pedang Jagal Keramat kepada Karina
Larasita, murid si Burung Bengal. "Secepatnya kedatanganmu ditunggu di
Lembah Sunyi, Suto!"
"T api sebaiknya ke pondokku dulu, Suto,"
sahut Ki Jalu Kuping yang segera jelaskan perkara muridnya itu.
Suto Sinting dan T irai Surga saling pandang ketika
mereka mendengar nama jurus 'Mati Raga' disebutkan.
"Setahuku, jurus itu dulu milik Bega wan Dawung
Gada. T api beliau sudah lama meninggal," ujar Ki Jalu Kuping. "Aku
tak tahu siapa orang yang memiliki jurus itu sekarang ini, Suto.
Karenanya..,."
"Nyai Dupa Mayat!" sahut Suto Sinting
cepat membuat Jalu Kuping hentikan ucapannya dan terkesiap pandangi Suto
Sinting.
"Benar, Ki. Jurus 'Mati Raga' dikuasai oleh
Nyai Dupa Mayat," timpal Tirai Surga. "Aku tahu persis dia memiliki
ilmu itu."
"Dan juga ilmu 'Gerhana Senyawa'...,"
tambah Suto Sinting.
Resi Pakar Pantun dan Jalu Kuping tertegun tak berucap
satu kata pun.
"Dan sekarang dia sedang mencariku, Eyang
Resi," ujar Suto membuat T irai Surga melirik heran. Suto tak pedulikan
lirikan itu. Ia tetap menyambung kata-katanya.
"Nyai Dupa Mayat mencariku untuk balas dendam,
karena muridnya yang bernama Dewi Ranjang tumbang di tanganku ketika kami
berebut pusaka Pedang Jagal Keramat itu." Resi Pakar Pantun
manggut-manggut. "Sudah kuduga si Pratiwi akan turun tangan juga demi
membela muridnya. T api aku tak tahu kalau Pratiwi alias Nyai Dupa Mayat itu
menguasai ilmu 'Gerhana Senyawa', itu ilmu paling berbahaya. Sebaiknya hindari
pertarungan dengannya, Suto."
"Rasa-rasanya sulit, Eyang. Sebab ia tak akan
hentikan pencariannya sebelum bertemu muka denganku!"
T irai Surga semakin kerutkan dahi. "Ini orang
kalau ngomong sembarangan saja!" gumamnya dalam hati.
"Apa maksudnya bicara begitu"!"
Di kaki bukit itu, ternyata mereka dikejutkan oleh
kemunculan seorang pemuda yang bersenjata toya bambu kuning.
"Santana..."!" sapa Suto Sinting agak keras. Wajahnya sedikit
tegang melihat Santana berlari-lari dengan kesan panik.
"Ooh... kebetulan kau ada di sini, Suto! Ooh.
ooh...,"
Santana terengah-engah.
"Kalau tak salah lihat, ini kan muridnya
Banyudana ailas si Dewa Bandot dari Pulau Parang"!" ujar Resi Pakar
Pantun.
"Benar, Kek... aku... aku muridnya Eyang Dewa
Bandot!" jawab Santana sambil berusaha menenangkan
napasnya. "Apa yang terjadi,
Santana"!"
"Aku sendiri tak tahu mengapa harus terjadi.
Padahal kami sudah berusaha untuk tidak menemuinya. Tapi...."
"Yang kutanyakan; apa yang terjadi sampai kau
ngos-ngosan dan tegang begitu"!" tegas Suto dengan suara agak keras.
"Oohhh..."!!" Santana justru
terbelalak kaget dan wajahnya memancarkan rasa takut yang lebih besar lagi.
Pandangan matanya yang melebar itu tertuju ke arah T
irai Surga.
"Sssu.... Suto, sebaiknya jangan berada dekat
gadis itu! Cepat ke sini!"
"Apa-apaan kau ini, Santana"!" Suto
agak menyentak karena keheranannya. Bukan hanya Suto Sinting yang merasa heran
melihat sikap Santana yang tampak takut memandang T irai Surga, tapi juga Resi
Pakar Pantun, Kadal Ginting, dan Ki Jalu Kuping ikut heran terhadap tingkah
Santana.
"Lekas, Suto...! Lekas kemari, jangan
dekat-dekat dia! Kau akan mati, Suto!"
Suto Sinting memandang bingung ke arah Santana dan T
irai Surga secara bergantian. Pada mulanya Tirai Surga juga merasa heran melihat
tingkah Santana. Tapi lama-lama ia tersinggung juga ketika Santana berseru
dengan wajah tegang,
"Suto, dia bukan gadis yang pantas bersahabat
denganmu! Dia adalah racun maut yang akan merenggut nyawamu!"
"Bicara apa kau sebenarnya, Keparat!!"
bentak T irai Surga mulai tampakkan kemarahannya, ia ingin maju menyerang
Santana, tapi segera dihalang-halangi oleh Resi Pakar Pantun.
"T unggu! Sa barlah, T irai Surga...!"
"Dia menghinaku sedemikian rupa, Eyang
Resi!"
"Biar Suto yang selesaikan! Serahkan masalah
ini kepada si Pendekar Mabuk itu!"
"Pendekar Mabuk..."!" T irai Surga
terkejut, wajahnya tersentak mundur bagai ada petir yang menyambar giginya, ia
memandang Suto dan sang Resi secara bergantian sambil melangkah mundur. T
indakan itu membuat Suto Sinting menjadi sangat heran terhadap T irai Surga.
"T irai... mengapa kau menjadi setegang
itu"! Aku memang Pendekar Mabuk. T api kau tak perlu menatapku dengan cara
seperti itu, T irai...!"
"T idak...!" sentaknya sambil si ga dis
ingin menangis.
Ketika Suto mendekatinya, ia justru melangkah mundur
dengan cepat.
"T irai, aku tak bermaksud jahat padamu,
mengapa kau takut"!"
"T idak! Jauhi aku! Jauhi aku, Suto.,..!"
si gadis kini benar-benar menangis.
Air matanya membasah di pipi dan ia tetap melangkah
mundur pelan.
"Santana! Apa yang terjadi sebenarnya dengan
gadis itu"!" tegur Ki Jalu Kuping,
"Gadis itu memang cantik. Kuakui
kecantikannya...."
"Yang kutanyakan, ada apa dengan gadis
itu"!" sentak Ki Jalu K uping jika ja waban Santana terasa akan tak
sesuai dengan pertanyaannya. "Oh, hmmm... gadis itu... gadis itu adalah
utusan Nyai Dupa Mayat! Aku dan guruku sendiri melihat ia menghadap Nyai Dupa
Mayat bersama seorang gadis yang bernama Wigati. T api Wigati tewas karena
banyak menentang Nyai Dupa Mayat.
Satu-satunya orang yang menjadi utusan sang Nyai
adalah dia!"
Pendekar Mabuk mulai gemetar. Dadanya bergemuruh
karena jantungnya menyentak-nyentak. Ia sempat tak percayai kata-kata Santana.
"Jangan menyebar fitnah di depanku, Santana!"
"Aku berani bersumpah, Suto! Dia adalah utusan
Nyai Dupa Mayat! Tugasnya menangkapmu dengan
bujukan dan membawanya kepada Nyai Dupa Mayat, ia mendapat upah cukup
besar, yaitu ilmu 'Gerhana Senyawa' yang akan diturunkan padanya jika ia
berhasil menjebakmu!"
"T idaaaakkk...!!"
T irai Surga berteriak sekeras-kerasnya, kemudian ia
melesat pergi sambil membawa tangisnya yang bukan sekadar tangis kacangan.
Blaas, blaas, blaas...! Dalam waktu singkat ia sudah berada di tempat jauh.
Tapi telinga Suto Sinting seperti masih mendengar suara isak tangisnya yang
mengharukan.
"Jangan kejar dia!" cegah Ki Jalu Kuping
ketika Suto Sinting tampak ingin bergerak mengejar T irai Surga.
Sang pendekar tampan hanya diam di tempat dengan napas
memburu. Napasnya sudah mulai berubah menjadi napas badai. T anah yang
berhadapan dengan arah hidungnya menjadi berongga, rumputnya tercabut dengan
sendirinya. Jurus 'Napas T uak Setan' sudah mulai bekerja dengan sendirinya
karena kemarahan Suto mulai menggumpal di dada.
Untung Resi Pakar Pantun dan Ki Jalu Kuping segera
menghibur hingga kemarahan yang tak mengerti harus dicurahkan kepada siapa itu
mulai surut. Perhatian Suto mulai terarah kembali kepada Santana.
"Santana, di mana gurumu sekarang"!"
tanya Suto Sinting, masih ingin mendengar sendiri pengakuan itu dari si Dewa
Bandot.
"Guruku adalah Dewa Bandot, ia memang sudah tua
tapi...."
"Di mana gurumu sekarang"!" bentak
Suto Sinting, suaranya menggetarkan hati jantung setiap orang yang ada di situ,
termasuk si Kadal Ginting yang kedua kakinya gemetar sekali bagai nyaris
kehilangan kekuatan untuk berdiri.
"Guruku..."! Ooh, ya... hmmm... guruku ada
di balik bukit itu! Beliau sedang
membantu Pandawi dan...."
"Ada apa dengan Pandawi"!" sentak
Suto karena terkejut mendengar nama Pandawi.
"Yang kutanyakan, ada apa dengan Pandawi! Jawab
yang benar!" ulang Suto.
"Pandawi..."! Hmmm... o, ya.... Pandawi
sedang berhadapan dengan Nyai Dupa Mayat!" "Apaa..."!"
suara Suto menyentak lagi, tampak semakin tegang.
"Guruku berusaha untuk selamatkan
Pandawi", karena kukatakan bahwa Pandawi adalah kekasihmu. Benar dan
tidaknya, dibetulkan nanti saja! Yang jelas...."
Zlaaap, zlaaap...! Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah
ada di lereng bukit tanpa menunggu Santana selesai bicara. Resi Pakar Pantun
segera berkata kepada Ki Jalu Kuping. "Dia pasti menuju ke pertarungan
itu!"
"Ikuti dia!" ujar Ki Jalu Kuping. Maka
mereka pun bergegas mengikuti Suto Sinting. T ernyata apa yang dikatakan
Santana memang benar.
Di balik bukit itu ada pertarungan. Pertarungan itu
terjadi antara Pandawi dengan Nyai Dupa Mayat.
Pada mulanya Pandawi berdua bersama Dewi Kun dalam
perjalanan menuju pantai, karena mereka ingin menuju ke Pulau Sangon. Tetapi
begitu melihat kelebatan Nyai Dupa Mayat, dendam Dewi Kun bergolak teringat kematian adik bungsunya dan
beberapa orang Kuil Perawan Ganas.
Dewi Kun menyerang Nyai Dupa Mayat lebih dulu dengan
pukulan bersinar biru. T api pukulan itu bisa dipatahkan oleh sang Nyai.
Maka bertarunglah Dewi Kun dengan Nyai Dupa Mayat.
Sementara itu, Pandawi mengincar kelengahan Nyai Dupa Mayat secara diam-diam.
Tindakan itu dilakukannya karena Pandawi takut kalau sang Nyai nantinya justru
akan menewaskan Pendekar Mabuk.
T etapi dalam beberapa gebrakan saja Dewi Kun telah
diterjang oleh bayangan sang
Nyai. Ketika perempuan tua berkelebat ke kiri,
bayangannya berkelebat ke kanan dan lakukan pukulan ke arah Dewi Kun. Bluub...!
Wuuurss...!
Maka hanguslah tubuh Dewi Kun seketika itu juga tanpa
sempat memekik, ia menjadi abu dan tumpukan arang yang mengerikan.
Kejadian itu bukan saja dilihat oleh Pandawi
sendiri, namun Santana dan Dewa Bandot melihatnya, sebab mereka memang sempat
kehilangan arah ketika mengikuti jejak sang Nyai. Secara kebetulan mereka melewati
tebing bukit, sehingga melihat pertarungan tersebut dari atas sana. Maka
turunlah Santana dan gurunya.
"Lari dan bersembunyilah! Jangan sampai Dupa
Mayat melihatmu, nanti kau disangka Pendekar Mabuk, sebab katamu dia belum tahu
seperti apa si Pendekar Mabuk itu. Maka pergilah, jauhi tempat ini. Aku akan
mencoba menenangkan murkanya!" ujar Dewa Bandot kepada muridnya. Maka
Santana pun berlari menjauh sampai akhirnya bertemu dengan Suto Sinting.
Pada saat Suto tiba di tempat itu, Dewa Bandot telah
terkapar terkena jurus 'Mati Raga' dari sang Nyai.
Pada kala itu Dewa Bandot baru berkata,
"Pratiwi, kumohon jangan gunakan ilmu 'Gerhana Senyawa' itu! Kau boleh
membalas dendam kepada Pendekar Mabuk, tapi jangan gunakan ilmu terkutuk itu.
Kemenanganmu tak akan sempurna dan...."
"Jangan banyak bicara kau. Dewa Bandot!"
bentak sang Nyai, lalu jurus 'Mati Raga' pun dilepaskan. Dewa Bandot tak
menduga, dan berusaha menghindar tapi gagal. Akhirnya ia terkapar tanpa bisa
bergerak sedikit pun.
Kepada Pandawi sang Nyai berseru, "Kau...!
Mengapa kau tak jadi menangkap Pendekar Mabuk dan menyerahkannya padaku,
hah"! Kau ingin menjadi pengkhianat bagiku, Pandawi"!"
"Kurasa lebih baik aku membunuhmu daripada Pendekar
Mabuk yang kau bunuh. Nyai!" ucap Pandawi dengan tegas. Srraang...! Ia segera
mencabut pedangnya tanpa tanggung-tanggung.
"Gadis busuk!" geram Nyai Dupa Mayat,
kemudian ia menyerang dengan satu lompatancepat. Pandawi perhatikan bayangan
sang Nyai. Ia berusaha hindari bayangan itu, namun justru terkena tendang kaki
Nyai Dupa Mayat dengan telak. Buuuhk...!"
"Heeehhk...!!" Pandawi terlempar ke
belakang dan jatuh setelah membentur pohon besar. T ubuhnya sampai terpental ke
depan lagi karena kerasnya benturan itu.
Pedang pun terlepas dari tangannya, dan napas
menjadi sesak, dada terasa jebol akibat tendangan telak tadi. Pandawi berlutut
ingin bangkit, tapi bayangan hitam Nyai Dupa Mayat bergerak melesat mendahului
raga sang Nyai. Wuuus...!
Saat itu pula sekelebat bayangan menyambar tubuh
Pandawi. Zlaap...! Wuuut...! Bayangan sang Nyai tak kenai tubuh Pandawi, karena
tubuh itu lenyap sebelum bayangan mendekatinya. Pandawi sudah berada di sisi
lain dalam jarak delapan langkah dari Nyai Dupa Mayat.
Di samping Pandawi berdiri seorang pemuda tampan
yang tak lain adalah Pendekar Mabuk. Sang Nyai pandangi pemuda tampan itu
ketika bayangan hitamnya menyatu kembali dengan kakinya yang menapak di tanah.
Suto Sinting menatap tanpa berkedip ke arah Nyai Dupa Mayat. Namun ia sempat
berbisik kepada Pandawi tanpa berpaling memandang gadis itu.
"Menjauhlah...! Sudah saatnya ia harus bertemu
denganku! Lekas menjauh dan hindari bayangannya!"
"T api, Suto...."
"Jangan banyak bicara! Pergi sana!" geram
Suto Sinting sambil meraih bumbung tuaknya dari pundak.
Pandawi pun segera menyingkir, namun tetap memasang
kewaspadaan untuk sewaktu-waktu lepaskan pukulan guna membantu Suto Sinting.
"Akulah orang yang kau cari, Nyai! Aku si
Pendekar Mabuk yang ingin kau bunuh itu!" "Bagus! Rupanya pekerjaanku
sudah akan selesai! Bersiaplah mati demi menebus nyawa murid kesayanganku,
Pendekar Mabuk! Heeaat...!"
T ubuh sang Nyai melayang hendak menerkam, tapi Suto
Sinting juga segera melayang menyambut serangan itu dengan bumbung tuak diputar
di atas kepala.
Wuuus...! Wuuung...!
Bumbung tuak disabetkan, namun kedua tangan Nyai
Dupa
Mayat menangkis dengan lengan. Duaar...! Benturan
bumbung tuak dengan kedua tangan timbulkan ledakan, menandakan kedua lengan
Nyai Dupa Mayat telah dilapisi tenaga dalam cukup tinggi. Sang Nyai memang
terpental dan jatuh terbanting, tapi kedua tangannya tetap utuh dan tak
merasakan sakit sedikit pun.
"Edan! Baru sekarang ada orang kuat menahan
pukulan bumbung tuakku"!" gumam Suto dalam hati sambil tapakkan
kakinya kembali ke tanah. Nyai Dupa Mayat kembali lakukan serangan dengan satu
lompatan menendang ke samping. Wees...!
Pada saat itu bayangan hitamnya mulai bergerak lebih
cepat dari gerakan tubuh sang Nyai. Suto hampir saja terpancing gerakan
melompat lawannya. Semula Suto hanya akan bergeser ke samping dengan
menggeloyor seperti orang mabuk, lalu akan sodokkan bumbung tuaknya.
Tapi melihat bayangan hitam lawannya tampak bergerak
lebih cepat, konsentrasi Suto sempat dibuat kacau.
T iba-tiba terdengar suara berseru dari atas pohon
terdekat, "Hancurkan dia, Sutooo...!!"
Wuuurss...! Selembar Jubah merah beludru melayang,
dilemparkan oleh seseorang yang ada di atas pohon. Jubah itu melebar di udara
dalam gerakan memutar melayang-layang di atas kepala Nyai Dupa Mayat. Dengan
begitu cahaya matahari menutupi sang Nyai dan bayangan hitamnya hilang
seketika. Pendekar Mabuk pun segera sodokkan bumbung tuaknya ke arah kaki sang
Nyai. Buuhk...! Lalu meliukkan badan ke tanah dan menyodokkan kembali bumbung
tuaknya ke perut sang Nyai. Blaaarr...!
"Aaaaaaahh...!!"
Perut berlapis tenaga dalam itu robek seketika bersama
bunyi ledakan keras setelah terkena sodokkan bumbung tuak dari jurus 'Mabuk
Lebur Gunung' dari Suto Sinting. Jeritan histeris pun terlontar dari mulut
nenek berjubah abu-abu itu.
Nyai Dupa Mayat akhirnya jatuh terpuruk tanpa gerak
lagi dalam keadaan tak berdaya. Jubah merah beludr u milik T irai Surga itu
jatuh menutupi tubuh sang Nyai. Bruuuk...!
"T irai..."!" seru Suto Sinting
setelah lawannya tak bergerak-gerak lagi. Ia
memandang ke arah pohon di mana gadis cantik yang
menjadi utusan Nyai Dupa Mayat itu telah berubah pikiran dan berada di pihak
Pendekar Mabuk.
Jubah merah itu telah menyelamatkan nyawa Suto dari
terjangan bayangan Nyai Dupa Mayat. Seandainya jubah T irai Surga tidak menjadi
payung penutup raga sang Nyai dari sinar matahari, mungkin Suto sudah menjadi
abu dan arang seperti nasib Dewi Kun.
T irai Surga segera dekati jubahnya dan mengambil
jubah itu. Wuuuut...! Ternyata Nyai Dupa Mayat sudah tak bernyawa, sekujur
tubuhhya menjadi hitam dan muiai membusuk akibat sodokan bambu saktinya
Pendekar Mabuk tadi.
"Dia telah mati!" ujar T irai Surga dengan
nada dingin. "Kematiannya sama dengan kepergian bayangan iblis dari ilmu
'Gerhana Senyawa'! Kau tak perlu khawatir lagi!"
"T irai... kau telah selamatkan nyawaku!
Aku...."
"Karena aku masih ingin jumpa denganmu di lain
waktu!" sahut T irai Surga, kemudian melesat pergi tanpa pamit lagi. Kedua
matanya masih digenangi air yang ditahan agar tak menitik di depan siapa saja.
Pandawi segera dekati Suto Sinting dan bertanya penuh
curiga, "Siapa dia sebenarnya?"
"Seorang sahabat," jawab Suto Sinting
dengan masih terbengong pandangi kepergian T irai Surga, sang utusan maut yang menjadi pengkhianat majikannya demi kenangan
indah di saat ia dan Suto berada di dalam gua.
Pandawi mendengus kesal, Suto Sinting tak terlalu
hiraukan sikap gadis bermata biru. Ia segera dekati Resi Pakar Pantun yang
berdiri bersama Ki Jalu K uping, Santana, dan Kadal Ginting. Mereka berada di
dekat si Dewa Bandot. Jurus 'Mati Rasa' itu akhirnya berhasil dikalahkan oleh
kesaktian tuak Suto yang diminumkan ke mulut Dewa Bandot.
Sang Guru dari Pulau Parang itu menjadi sehat
seperti sediakala. Demikian pula dilakukan Suto untuk Badra Sanjaya pada hari
berikutnya. T api di pihak lain, Pandawi masih penasaran dan ingin mengetahui
hubungan apa yang terjadi antara Suto Sinting dengan T irai Surga itu.
SELESAI PENDEKAR MABUK Se gera menyusul!!!
T AWANAN BERMATA NAKAL
Pembuat E-book:
Scan buku ke DJVU: Abu Ke isel
Conve rt & Edit: Paulustjing
Ebook oleh: De wi KZ
http://kangzusi.com
http://dewi-kz.info/
http://www.tiraikasih.co.cc/
http://ebook-dewikz.com/
Emoticon