Implementasi Amal dalam Kehidupan
الحمد لله الذى جَعَلَنا مِنْ عِبادِهِ الْمُخْلِصِيْْنَ ووَفَّقَنا لِلْعَمَلِ بِما فيهِ صَلاحُ الاسْلامِ والمسلمين
أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “
أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الهادى الى الصراط لمستقيم أما بعد،، فياأيها المسلمون أوصيكم وإياي بتقوى الله عز وجل والتَّمَسُّكِ بهذا الدِّين تَمَسُّكًا قَوِيًّا. فقال الله تعالى في كتابه الكريم، أعوذ بالله من الشيطان الرجيم “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ “
Alhamdulilllah, segala puji kita panjatkan kehadirat Allah swt bahwa
hingga saat ini, Allah masih memberi kita kesempatan untuk
menyempurnakan pengabdian kita kepadaNya, dengan harapan mudah-mudahan
segala kekurangan dalam proses pengabdian itu diampuni oleh Allah swt.
Mudah-mudahan juga momentum hari jumat ini semakin memberikan kita
kesadaran akan peningkatan kualitas iman dan takwa kita kepadaNya. Amin.
Sesungguhnya kehidupan ini memang Allah ciptakan untuk menguji siapa
diantara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Beramal
merupakan inti dari keberadaan manusia di dunia ini, tanpa amal maka
manusia akan kehilangan fungsi dan peran utamanya dalam menegakkan
khilafah dan imarah. Allah berfirman menegaskan tujuan keberadaan
manusia,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun“. (Al-Mulk: 2)
Namun pada tahap implementasinya, ternyata tidak cukup hanya beramal
saja, karena memang Allah akan menseleksi setiap amal itu dari niatnya
dan keikhlasannya. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak
berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali
menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang
yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya).
Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam
amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan
berhati-hati dalam beramal”.
Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan
mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang
dijamin Allah dalam firmanNya, “Tetapi hamba-hamba Allah yang
dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang
tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang
dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”.
(Ash-Shaaffat: 40-43)
Sidang Jamaah Jumat Rahimakumullah
Ayat tentang keutamaan dan jaminan bagi orang yang bekerja dengan ini
ini seharusnya menjadi motifasi utama kita dalam menjalankan tugas dan
pekerjaan kita sehari-hari dalam apapun dimensi dan bentuknya, baik
dalam konteks “hablum minaLlah atau Hablum minannas”..karena hanya orang
yang mukhlis nantinya yang akan meraih keberuntungan yang besar di hari
kiamat, yaitu syurga Allah yang penuh dengan kenikmatan, meskipun dia
harus banyak bersabar terlebih dahulu ketika di dunia. Ayat ini juga
merupakan salah satu diantara jaminan yang disediakan oleh Allah bagi
orang-orang yang mukhlis.
Jaminan lain yang Allah sediakan bagi mereka yang ikhlas dalam
beramal bisa ditemukan dalam kisah perjalanan Yusuf as ketika beliau
berhadapan dengan seorang wanita yang mengajaknya melakukan kemaksiatan.
Bahwa Allah akan senantiasa memelihara hambaNya yang mukhlis dari
perbuatan keji dan maksiat, “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba
Kami yang mukhlis“. (yusuf: 24).
Dalam ayat lain, orang yang mukhlis juga mendapat jaminan akan
terhindar dari godaan dan bujuk rayu syetan. Syetan sendiri mengakui
ketidakberdayaan dan kelemahan mereka dihadapan orang-orang yang beramal
dengan ikhlas, “Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah
memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang
baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara
mereka.” (Al-Hijr: 39-40).
Dengan redaksi yang sama, ayat ini berulang dalam surah Shaad, “Iblis
menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka“. (Shad: 82-83).
Sungguh benteng keikhlasan merupakan benteng yang paling kokoh yang tak
tergoyahkan oleh apapun bentuk rayuan dan fitnah iblis dan sekutunya.
Sidang Jamaah Jumat Rahimakumullah
Dalam tinjauan ilmu qira’at, para ulama qira’at berbeda dalam membaca
kata “Al-Mukhlashin” yang tersebut pada akhir kedua ayat tersebut.
Sebagian qari’ membaca Al-Mukhlashin dengan ism maf’ul dan sebagian
lainnya membaca dengan isim fi’il Al-Mukhlishin. Imam Ibnu Katsir, Abu
Amr dan Ibnu Amir, membaca seluruh kalimat ini dalam Al-Qur’an dengan
bacaan “Al-Mukhlishin” yang artinya: Mereka mampu memurnikan agama dan
ibadah mereka dari segala noda yang bertentangan dengan nilai tauhid.
Sedangkan ulama qira’at yang lain membaca Al-Mukhlashin yang artinya:
Mereka yang dipelihara dan mendapat taufik dari Allah untuk memiliki
sifat Ikhlas. Berdasarkan qira’at ini, ikhlas dan iman adalah mutlak
anugerah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang dikehendaki. Namun setiap
hamba diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa memperhatikan dan
meningkatkan kadar dan tingkt keikhlasannya dalam beramal. Bahkan Allah
menyuruh kita meneladani orang-orang yang mendapat petunjuk karena tidak
pernah mengharapkan balasan dari amalnya kecuali dari Allah swt,
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Yaasin: 21)
Secara prinsip, Islam memandang keikhlasan sebagai pondasi dan ruh
sebuah amal, apapun bentuknya amal tersebut selama termasuk kategori
amal sholih. Baik amal tersebut dilakukan dalam skala pribadi maupun
secara kolektif (bermasyarakat, berbangsa dan bernegara). Bahkan
keikhlasan dalam ruang lingkup kolektif sosial ternyata sesuatu yang
berat dan memerlukan lebih kesabaran.
Dalam konteks ini, keikhlasan harus dibangun secara timbal balik
antara seluruh individu dalam masyarakat dan menghindari kecemburuan
serta persepsi negatif terhadap masing-masing anggota. Demikian, semakin
luas wilayah kerja seseorang, maka semakin dibutuhkan keikhlasan.
Apalagi di tengah semakin beragam hambatan atau ujian keikhlasan yang
menghadangnya, yang pada umumnya adalah seperti yang dinyatakan oleh
Syekh Hasan Al-Banna’ dalam Risalahnya, yaitu: harta, kedudukan,
popularitas, gelar, ingin selalu tampil di depan dan diberi penghargaan
dan pujian dan sebagainya.
Sidang Jamaah Jumat Rahimakumullah
Jika keikhlasan dituntut dari setiap orang yang beramal, maka menurut
Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, keikhlasan bagi seorang da’i merupakan
keniscayaan yang harus senantiasa menyertainya karena ia akan berhadapan
dengan berbagai keadaan dan beragam manusia dalam perjalanan dakwahnya.
Jika tidak, maka binasa dan sia-sialah amalnya. Bahkan sifat yang
mendasar bagi seorang da’i yang harus senantiasa melaziminya adalah
ikhlas.
Oleh karena itu, para ulama hadits menjadikan bab Niat berada di awal
kitab hadits susunan mereka, agar karya tulis mereka selalu diawali
dengan keikhlasan dan tidak luput dari sifat ini. Bisa dibayangkan para
ulama yang merupakan teladan dalam beramal mencontohkan kita agar
senantiasa mengukur setiap amal yang kita lakukan dengan ukuran ikhlas.
Para nabi Allah dalam kapasitas mereka sebagai da’i senantiasa
menjadikan keikhlasan sebagai jargon dan prinsip dakwah mereka. Sebagai
contoh Nabi Muhammad saw sebagai teladan utama dalam hal ini
mengemukakan tentang motifasinya dalam berdakwah, “Katakanlah: “Aku
tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah
itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil
jalan kepada Tuhan nya“. (Al-Furqan: 57)
Dengan redaksi yang sama dan dalam surah yang sama secara
berdampingan, seluruh nabi Allah menekankan prinsip keikhlasan dalam
dakwah mereka yang ideal, mulai dari nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan
Syu’aib as. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam“.
(Asy-Syu’ara’: 109, 127, 145, 164, 180).
Inilah bangunan keikhlasan yang pernah ditunjukkan dan dicontohkan
dalam dakwah para nabi Allah swt, sehingga mereka meraih kesuksesan dan
diabadikan namanya oleh Allah swt sebagai cerminan bagi para da’i
setelah mereka.
Menurut bahasa, dalam kata ikhlas terkandung beberapa makna; jernih,
bersih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi maupun non
materi. Lawan dari ikhlas adalah nifak dan riya’.
Rasulullah saw bersabda tentang sifat yang mulia ini dalam sabdanya,
“Barangsiapa yang tujuan utamanya meraih pahala akhirat, niscaya Allah
akan menjadikan kekayaannya dalam kalbunya, menghimpunkan baginya semua
potensi yang dimilikinya, dan dunia akan datang sendiri kepadanya seraya
mengejarnya. Sebaliknya, barangsiapa yang tujuan utamanya meraih dunia,
niscaya Allah akan menjadikan kemiskinannya berada di depan matanya,
membuyarkan semua potensi yang dimilikinya, dan dunia tidak akan datang
sendiri kepadanya kecuali menurut apa yang telah ditakdirkan untuknya“.
(Tirmidzi).
Dalam apapun keadaan, keikhlasan akan tetap menjadi modal, bekal
sekaligus kemudi amal sholih, apalagi dakwah sebagai puncak dari amal
sholih. Karena semakin berat dan mulia sebuah tugas tentu akan semakin
dibutuhkan keikhlasan. Semakin dewasa perjalanan dan pengalaman dakwah
seseorang, maka semestinya semakin baik tingkat dan kualitas
keikhlasannya.
Keikhlasan juga merupakan salah satu dari dua pilar dan syarat
diterimanya amal sholih, bahkan ia yang paling utama, seperti yang
dinyatakan oleh Abdullah bin Al-Mubarak ketika menafsirkan ayat: “Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya” (Al-Mulk: 2). Tanpanya amal seseorang akan
sia-sia tidak bernilai. Untuk itu, dengan ikhlas, akan mencukupi amal
yang sedikit seperti yang ditegaskan dalam sebuah riwayat Ad-Dailami,
“Ikhlaslah kamu dalam beramal, maka cukuplah amal yang sedikit yang kamu
lakukan”.
” أَخْلِصِ الْعَمَلَ يَجْزِيْكَ القلِيْلُ مِنْهُ”
Agar ikhlas dapat terpelihara, tentu ada variabel yang melekat pada
setiap amal yang kita lakukan; diantaranya variabel profesionalisme,
kompetensi, itqan dan kesungguhan. Maka amal yang cenderung apa adanya,
serampangan, asal jadi, “pokoknya” dan amal yang tidak konsisten bisa
jadi karena ketidak ikhlasan kita dalam menjalankan tugas tersebut. Ini
tantangan terberat bagi kita sesungguhnya. Ikhlas inilah yang akan
memperkuat potensi spritualitas kita. Lantas pertanyaan besar kita,
“Apakah ruh dan motifasi yang menggerakkan roda amal kita selama ini
???…
بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم ونفعنى
واياكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم وتقبل الله منى ومنكم تلاوته انه
هو السميع العليم
Contoh Teks Khutbah Jumat Kedua dengan Judul Implementasi Kata Amal dalm Kehidupan
اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا
اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَ كَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ حَبِيْبُهُ وَ خَلِيْلُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ وَ
الْبَشَرِ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ
عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله
اِتَّقُوْا الله وَ اعْلَمُوْا اَنَّ الله يُحِبُّ مَكَارِمَ الْأُمُوْرِ
وَ يَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ اَنْ يَّكُوْنُوْا فِى
تَكْمِيْلِ اِسْلَامِهِ وَ اِيْمَانِهِ وَ اِنَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ
الْفَاسِقِيْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى
اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى اَلِ اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ
الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ
مِنْهُمْ وَ الْأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
وَ قَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا
بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ
اَنْتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا لَا تَجْعَلْ فِى قُلُوْبَنَا غِلًّا
لِلَّذِيْنَ اَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ. رَبَّنَا
هَبْلَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرِّيَّتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَ
اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا. رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَ فِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ الله! اِنَّ الله يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ اِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَّكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا الله الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْهُ
عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَ لَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ
مَا تَصْنَعُوْنَ
Emoticon