1
SEBUAH kedai
berukuran agak besar dikunjungi
beberapa pembeli.
Kedai ituterletak di sebuah desa yang
merupakan salah
satu desa paling dekat dengan kotaraja.
Tentu saja desa
itu berpenduduk padat, bahkan banyak
orang buka usaha
penginapan dan kost-kostan untuk
Jarak antara Desa
Walikutu dengan kotaraja hanya
dua kilometer
jika menggunakan ukuran zaman
sekarang. Sarana
angkutan umum juga cukup banyak,
dari dokar, pedati,
gerobak sapi sampai ojek gendong.
Karena pada masa
itu tidak ada sepeda atau motor, maka
beberapa penduduk
desa bisa mencari nafkah melalui
ojek gendong.
Artinya, siapa yang mau ngojek dari desa
ke kotaraja, maka
ia akan digendong oleh si pengojek
dengan upah yang
cukup untuk membeli dua bungkus
nasi pecel.
Tentu saja ojek
tersebut ber-AC dengan tempat duduk
pas untuk satu
orang. Hanya saja, pada masa itu
istilahnya bukan
ojek, melainkan andong, artinya: angkat
dan gendong. Pada
akhirnya nanti, zaman yang
berkembang
membuat 'andong' yang semula tenaga
manusia menjadi
bertenaga kuda dan mempunyai tempat
duduk sendiri,
seperti dokar atau delman.
Pada umumnya
'tukang ojek' di masa itu bertubuh
kekar dan
rata-rata tingginya satu tombak lebih sedikit.
Mereka berkalung
untaian bunga aneka aroma untuk
menghilangkan
kesan bau badan yang dapat membuat
muntah pada
penumpangnya. Maklum, pada masa itu
belum ada parfum,
sehingga untuk mengatasi bau badan
mereka
menggunakan wewangian alami.
Salah satu
'tukang ojek' yang terkenal bernama
Puntung. Nama itu
sesuai dengan kebiasaan pemuda
'tukang ojek' itu
yang gemar menyelipkan puntung rokok
di telinganya.
Walau tubuh si Puntung tak begitu kekar,
tapi dia 'tukang
ojek' paling laris. Sepertinya dia
memakai aji
penglaris, sehingga banyak orang yang
menyewa
punggungnya untuk dijadikan sarana angkutan
dari desa ke
kotaraja atau sebaliknya.
Kala itu Pendekar
Mabuk yang dikenal dengan nama
Suto Sinting,
murid si Gila Tuak, sedang menikmati
jagung rebusnya.
Ia duduk di bawah pohon tempat para
pengojek mangkat.
Sambil menikmati jagung rebusnya
ia memperhatikan
para pengojek yang menawarkan
punggungnya
kepada orang-orang yang baru keluar dari
pasar.
"Andong,
andong, andong...!" seru mereka mencari
penumpang.
"Mari siapa yang mau diangkat dan
digendong ke
kotaraja?! Ayo, ayo, ayo... jangan malu-
malu. Gendongan
saya bermutu. Bebas panu dan bebas
bau badan. Ayo,
ayo, ayo... siapa mau digendong. Tarif
murah anti
tabrakan...."
Pendekar Mabuk
tertawa sendiri mendengar cara
mereka menawarkan
jasa gendongannya. Banyak juga
perempuan tua
yang sudah waktunya dipanggil 'nenek'
yang memanfaatkan
ojek gendong untuk mengurangi
rasa capeknya
dalam berjalan ke kotaraja. Ada pula yang
hanya menyuruh si
pengojek menggendong barang
belanjaannya,
sementara si pemilik belanjaan berjalan di
samping si
'tukang ojek' itu.
Melihat pemuda
tampan yang membawa bumbung
tuak tergantung
di pundak itu sudah selesai makan
jagung rebusnya,
Puntung mendekati dengan senyum
ramah. Pendekar
Mabuk sedang bergegas berdiri. Ia
bermaksud
meneruskan perjalanannya memburu
Siluman Tujuh
Nyawa yang melarikan diri dari
pertarungan.
Siluman Tujuh Nyawa adalah tokoh super
jahat yang
dikenal sebagai tokoh paling tersesat dan
tersasar. Dia
adalah musuh utama si Pendekar Mabuk,
karena kepala
tokoh sesat itu akan dijadikan maskawin
oleh Suto untuk
melamar seorang putri cantik dari Pulau
Serindu, yaitu
ratu negeri Pintu Gerbang Surgawi yang
bernama Dyah
Sariningrum.
Dalam catatan
kitab takdir kehidupan, Pendekar
Mabuk berjodohan
dengan Dyah Sariningrum, sehingga
sampai sekarang
pemuda tampan bertubuh kekar itu
tidak mau menikah
dengan perempuan mana pun kecuali
hanya 'cuci muka'
alias cium sana cium sini sebagai
selingan dalam
perjalannya berpetualang, (Baca serial
Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pusaka Tuak Setan").
Kembali pada
masalah si 'tukang ojek' yang bernama
Puntung itu, ia
berharap Pendekar Mabuk akan
menggunakan jasa
tenaganya dan mau digendong untuk
perjalanan ke
kotaraja. Maka Puntung pun menawarkan
punggungnya
kepada Suto Sinting.
"Kang, butuh
gendongan apa?! Mari, kugendong ke
kotaraja.
Ditanggung nyaman, Kang. Biar tidur pules
asal jangan
ngiler."
Geli juga
mendengar tawaran bersifat merayu itu.
Tapi untuk
menjaga agar tidak menyinggung perasaan si
Puntung, maka
tawa Suto pun hanya berbentuk senyum
lebar dan tanpa
suara terbahak-bahak.
"Akutidak
sedang menuju kotaraja, Sobat."
"Lho, jadi
kau mau ke mana, Kang?"
"Mau ke mana
saja mengikuti arah angin."
"Oo... edan
orang ini?" gerutu Puntung pelan,
sekalipun Suto
mendengarnya tapi ia tidak tersinggung.
Justru kembali
tersenyum geli mendengar gerutuan yang
tak
sungguh-sungguh itu.
"Ayolah,
Kang... sebaiknya kau ke kotaraja saja,"
desak Puntung.
"Di sana kan ada sayembara, Kang.
Apakah kau
tidaktertarik dengan sayembara tersebut?"
"Sayembara
apa?" tanya Pendekar Mabuk.
"Makanya
datang saja ke kotaraja, nanti kau akan
tahu sayembara
apa yang sedang berlangsung di depan
istana kesultanan
itu."
Sekali lagi
Pendekar Mabuk tertawa kecil, kemudian
menenggak tuaknya
dari bumbung bambu yang
berukuran satu
depa itu.
"Boleh aku
minta minumanmu, Kang?"
"O, silakan!
Tapi jangan banyak-banyak."
"Ah, aku
sudah biasa minum tuak kok, Kang. Tak
usah takut kalau
aku akan mabuk."
"Maksudku
jangan banyak-banyak bukan takut kau
mabuk, tapi takut
tuakku habis."
Setelah minum
tuak Suto beberapa teguk, Puntung
merasakan
badannya menjadi segar. Kelelahannya dalam
bekerja sebagai
tukang ojek gendong bagaikan lenyap
begitu saja. Tapi
pemuda berambut kucai itu tidak
memperhatikan
perubahan tubuhnya. Cuek saja. Bahkan
ia mendesak Suto
Sinting lagi agar mau menggunakan
jasa
gendongannya.
"Ayo,
Kang... naiklah ke punggungku. Kugendong
sampai ke
kotaraja.Tak usah membayarku mahal-mahal,
cukup dua sikal
saja, Kang. Mumpung patas lho, Kang."
"Apa
itupatas?"
"Tempatnya
terbatas. Hanya cukup untuk satu
penumpang."
"Lha, iya...
mana mungkin kau akan menggendong
dua penumpang.
Ada-ada saja kau ini. O, ya... siapa
namamu?"
Ia menunjukkan
dadanya. Rupanya di dada si
Puntung yang
memakai baju putih kusam itu terdapat
tulisan dari
getah pisangyang berbunyi:
ANDONG 'PUNTUNG'
CEPAT, ANTAR KOTA
ANTAR DESA
"Ooo...
namamu Puntung?" gumam Suto Sinting
sambil masih
tersenyum geli. "Namamu hampir sama
dengan namaku,
ya?"
"Namamu
siapa, Kang?"
"Suto!"
"Wah, jauh
sekali itu, Kang. Mana ada kesamaannya
dengan nama
Puntung?!"
"Maksudku
sama-sama jelek!" lalumereka tertawa.
Seorang gadis
berbaju hijau mendekati mereka. Saat
itu Suto Sinting
sempat melirik ke arah si gadis yang
datang dari
belakang Puntung. Pemuda berambut kucal
dan berbaju putih
kusam dengan celana hitam itu belum
mengetahui ada
gadis mendekatinya. Tapi karena ia
melihat ada
seorang perempuan yang membawa
belanjaan berat,
maka ia pun segera bergegas menemui
perempuan itu.
"Maat,
Kang... langgananku datang. Aku mau angkut
dia dulu!"
"Silakan,"
ucap Pendekar Mabuk sambil tersenyum
memperhatikan si
Puntung berlari menemui perempuan
pembawa barang
belanjaan itu.
Kini gadis
berpakaian hijau yang cantik dan tampak
sexy itu semakin
dekat. Gadis itu tadi dilihat Suto
sedang makan
sendirian di dalam kedai. Waktu Suto
makan di sana ia
memperhatikan gadis itu, tapi agaknya
si gadis tak
pedulikan pandangan siapa pun yang
bermaksud melirik
nakal kepadanya.
Gadis berpakaian
hijau itu membawa sebuah tongkat
berukir yang
tingginya sepundak lewat sedikit. Tongkat
itu terbuat dari
sejenis kayu jati coklat tua, ujung atas
dan bawahnya
berukir biasa, seperti tiang bendera atau
seukuran tongkat
pramuka. Tapi tentu saja gadis itu
bukan anggota
pramuka dari Gugus Depan mana saja,
karena pada masa
itu belum ada istilah pramuka.
Yang jelas si
gadis berambut dikuncir ke belakang itu
mengarahkan
pandangan matanya kepada Pendekar
Mabuk. Saat itu
Suto Sinting berlagak memperhatikan
Puntung di
seberang sana yang sedang berusaha
menaikkan barang
belanjaan langganannya ke
punggung. Suto
berlagak tidak mengetahui kedatangan
si gadis cantik
itu. Karenanya, ketika si gadis menegur,
ia berpura-pura
sedikit terkejut.
"Ke kotaraja
berapa?!"
"Hmm,
eehh... apanya yang berapa, Nona?"
"Ongkosnya!"
gadis itu sedikit menyentak dengan
sikap angkuh.
Pendekar Mabuk segera nyengir geli,
karena ia segera
sadar bahwa dirinya dianggap tukang
ojek seperti si
Puntung itu. Timbul niat konyolnya untuk
menggoda gadis
itu agar dapat berkenalan lebih akrab
lagi.
"Mengapa
kautanyakan ongkos ke kotaraja, Nona?"
"Aku mau ke
sana! Bukankah kau butuh upah untuk
menggendong
seseorang ke kotaraja?"
"Kau ingin
kugendong ke sana?"
"Cerewet kau
ini!" gertak si gadis. "Berapa
ongkosnya,
sebutkan saja."
"Oh,
itutergantung, Nona."
"Tergantung
bagaimana?"
"Tergantung
mau digendong sebelah mana? Kalau
digendong
belakang ongkosnya lima sikal...."
"Mahal
amat?!"
"Kalau digendong
depan, hmmm... gratis!"
"Gendong
depan gratis?! Artinya, tidak perlu
bayaran?"
"Benar,
Nona! Sekarang mau pilih gendong depan
atau gendong
belakang?"
"Gendong
depan saja!"
"Baik!"
Suto bersemangat bersiap mau menggendong
gadis itu.
"Ee, eh...
tunggu dulu! Bukan aku yang harus kau
gendong."
"Lho, lalu
siapa?!"
"Nenek yang
baru keluar dari kedai itu?!" sambil si
gadis menunjuk
seorang perempuan tua, bungkuk dan
jalannya
tertatih-tatih, menggunakan tongkat sebagai
penjaga
keseimbangan tubuhnya. Suto Sinting
terperanjat
dengan langsung terbengong melihat nenek
yang masih
mengunyah sirih dan air sirihnya berceceran
di sekitar dagu.
Langsung tubuh Suto bergidik merinding
membayangkan
dirinya menggendong nenek itu dari
depan.
"Hiiihh...!"
ia berjingkat mundur sambil mengusap
tengkuk kepalanya
yang merinding.
"Lho,
kenapa? Katanya kalau gendong depan itu
gratis?!"
"Iya, tapi
kalau untuk nenek seperti dia aku tak
menyediakan
tempat duduk di depan. Di belakang pun
sudah
penuh!" gerutu Suto Sinting dengan hati dongkol,
lalu bergegas
pergi meninggalkan tempat sambil berseru,
"Aku bukan
tukang ojek, Non!"
"Hei,
tunggu...!" gadis itu mengejarnya dengan
lompatan. Wuk,
wuk...! Jleeg...!
Pendekar Mabuk
terperanjat lagi melihat gadis itu
melayang di atas
kepalanya dalam gerakan bersalto,
tahu-tahu berdiri
di depan langkahnya.
"Aku hanya
bercanda. Bukan nenek itu yang harus
kau gendong, tapi
diriku sendiri. Aku capek, habis
melakukan
perjalanan sangat jauh. Aku butuh kendaraan
untuk sampai ke
kotaraja. Maukah kau menggendongku
di
belakang?!"
"Hmmm,
eeh... sebaiknya kau cari tandu sewaan saja,
Nona. Akutak kuat
menggendongmu."
"Ah tubuh
kekar dan gagah begitu masa' tak kuat
menggendongtubuhku
yang kecil begini?"
"Bukan
tenagaku yang tak kuat, tapi imanku menahan
getaran jantung
saat tubuhmu menempel di badanku."
"Dasar otak
mesum!" geram gadis itu, lalu tiba-tiba ia
kibaskan
tongkatnya menyambar kepala Suto. Wuuut...!
Suto Sinting
menggeloyor mau jatuh, tapi tegak kembali
setelahtongkat
itu meleset tak kenai kepalanya.
"Tunggu,
Nona...!"
Gadis itu
penasaran atas kegagalannya menghantam
kepala Pendekar
Mabuk. Dengan cepat tongkatnya
disodokkan ke
perut Suto Sinting. Suuut...! Suto hanya
berkelit ke kanan
dengan tubuh sedikit memutar.
Sodokan datang
lagi dengan cepat. Suuut...! Suto
berkelit ke kiri
dengan tubuh memutar.
"Hiaah...!"
gadis itu menyodokkan tongkatnya secara
beruntun dan
cepat. Sut, sut. sut, sut!
Suto Sinting
berkelit ke kanan-kiri berkali-kali
sehingga mirip
orang menari. Hal itu bukan saja
membuat sodokan
tongkat selalu meleset, tapi juga
membuat beberapa
'tukang ojek' memperhatikan dengan
tertawa-tawa.
Bahkan mereka bertepuk tangan memberi
semangat ketika
melihat Suto Sinting melompat-lompat
menghindari
tebasan tongkat gadis yang mengarah ke
kakinya.
Wut, wut, wut,
wut...!
"Hentikan,
Nona! Hentikan seranganmu!" seru Suto
Sinting sambil
merunduk dua kali dan melompat tiga
kali. Wes, wes,
wes, wes, wes...! Si gadis tetap
menyerang dengan
tubuh berputar satu kali dan
tongkatnya
menyambar kian kemari.
Lama-lama hati
Suto menjadi jengkel. Kali ini
sabetan tongkat
si gadis ditangkis dengan bumbung
tuaknya.
Trrang...! Suara yang timbul seperti tongkat
menghantam
bumbung besi. Dan pada saat tongkat itu
tertahan oleh
bumbung tuak, kaki Suto Sinting
berkelebat
menyambar betis si gadis. Wuut, plak,
brruuk...!
"Huaaah,
hah, hah, hah, haa...!" mereka tertawa
melihat gadis itu
jatuh terpelantingtanpa ampun lagi.
"Setan...!"
geramnya dengan mata makin
memancarkan
permusuhan. Pendekar Mabuk tak mau
layani gadis itu.
Ia segera berlari meninggalkan tempat.
Pelarian itu juga
menimbulkan perasaan geli bagi para
penontonnya.Tapi
Suto Sintingtak pedulikan suara tawa
mereka. Ia tetap
melarikan diri untuk jauhi keramaian
orang.
"Berhenti
kau, Jalang!" seru si gadis yang segera
mengejarnya.
Wees...! Gerakan cepat dipergunakan oleh
si gadis untuk
menyusul Pendekar Mabuk. Tetapi si
pemuda tampan
berambut panjang lurus tanpa ikat
kepala itu segera
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'.
Zlaap...! Dalam
waktu kurang dari sekejap, Pendekar
Mabuk sudah
berada jauh dari si gadis. Gerakan yang
mirip menghilang
karena kecepatannya menyerupai
kecepatan cahaya
itu membuat si gadis terbengong
melompong.
"Edan! Cepat
sekali gerakannya itu?! Hmmm...
rupanya dia
memang bukan pemuda biasa! Ia punya
ilmu cukup
lumayan! Sebaiknya kukejar dengan
memotong jalan!
Pasti dia akan lewat balik bukit sana!"
pikir si gadis,
kemudian ia berkelebat mengejar Suto
dengan memotong
jalan.
Dugaannya tepat
sekali. Suto Sinting melintasi jalan
di balik bukit
yang tak seberapa tinggi itu. Dan si gadis
pun melompat dari
tebing bukit itu dengan gerakan
bersalto dua
kali. Wuk, wuk, jleeg...! Langkah Pendekar
Mabuk terhenti
lagi karena tiba-tiba gadis itu muncul
menghadang langkahnya.
"Bandel juga
gadis ini?!"
Suto Sinting
menggeram jengkel dalam hatinya. Tapi
di wajah
tampannya ia tak kelihatan menggerutu. Ia
justru tampak
tenang dengan kedua mata memandang
lembut ke arah
gadis itu. Di balik kelembutan pandangan
matanya itu si gadis
merasakan adanya ketajaman
pandang yang
menjadi ciri-ciri orang berilmu tinggi. Dia
belum tahu siapa
pemuda yang dihadapinya, sehingga
hati si gadis pun
bertanya-tanya serta memendam
perasaan kagum
terhadap si murid sinting Gila Tuak dan
Bidadari Jalang
itu.
"Mengapa kau
menjadi liar begitu, Nona?!" tegur
Suto Sinting saat
si gadis melangkah ke samping dengan
memutar-mutar
tongkatnya, bersiap untuk menyerang
kembali.
Wajah cantik yang
mengandung keangkuhan itu
sekarang ada di
samping kanan Suto. Kuda-kudanya
dipasang
sedemikian rupa dengan tongkat diarahkan ke
depan. Satu kali
sentakan diiringi lompatan cepat dapat
membuat kepala
Suto tersodok tongkat tersebut. Supaya
tidak terkena
serangan mendadak, Pendekar Mabuk pun
segera memutar
tubuhnya hingga berhadapan dengan
gadis berdada
sekal itu.
"Dugaanku
memang sempat meleset, tapi pada
mulanya dugaanku
ternyata benar, bahwa kau bukan
pemuda
sembarangan. Kau pasti berilmu lumayan,
setidaknya satu
tingkat di bawah ilmuku!" ujar si gadis
dengan nada
ketus.
"Jika memang
begitu anggapanmu, lantas apa maumu
terhadap diriku,
Nona?!"
"Hampir saja
aku terkecoh dengan menyangkamu
sebagai tukang
ojek gendong!"
"Sekarang
kau tak terkecoh. Lalu apa maumu!"
bentak Suto
karena jengkel tak mendapat jawaban yang
pasti dari si
gadis.
"Kau harus
membantuku, Manusia Jalang!"
"Membantu
dalam hal apa?!".
"Nanti
kujelaskan! Sekarang ikutlah aku ke kotaraja!
Kalau kau tak
mau, aku akan membuat wajahmu babak
belur sehingga
ketampananmu hilang!"
"Menjengkelkan
betul kau ini, Nona!" gumam Suto
Sinting setelah
menarik napas menahan kedongkolan
hatinya.
"Dengar,
Nona... kalau kau mau meminta bantuan
padaku, bukan
begini caranya!"
"Persetan
dengan cara! Apa pun akan kulakukan agar
aku tetap
selamat!"
"Selamat...?!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi,
kemudian
mendekati gadis itu. Ujung tongkat si gadis
sengaja diulurkan
ke depan. Langkah Suto berhenti
ketika ujung
tongkat itu ada di depan lehernya, kurang
dari setengah
jengkal.
"Apakah ada
orang yang mengancam keselamatanmu,
Nona?!"
"Ada! Dan
kau harus bantu aku menyingkirkan orang
itu!"
"Siapa orang
tersebut?!"
"Ayodya!"
jawabnya singkat tapi jelas dantegas.
"Siapa
Ayodya itu, Nona?"
"Tak perlu
banyak tanya! Jawab dulu pertanyaanku:
maukah kau
menolongku atautidak?!"
"Singkirkan
dulu tongkatmu!" tegas Suto Sinting.
"Tidak! Aku
tetap akan mengancammu dengan
tongkat maut ini.
Jika kau tak bersedia menolongku,
tongkat ini akan
meremukkan kepalamu yang mungkin
banyak kutunya
itu!"
Pendekar Mabuk
tersenyum. "Sepertinya aku
berhadapan dengan
gadis gila! Minta tolong kok
memaksa
begini?!"
"Masa
bodoh!!" bentak si gadis dengan berang.
Tongkatnya
menyodok leher Suto. Tubuh si pemuda
tampan itu
sengaja bertahan di tempat, tak mau mundur,
sebagai bukti
bahwa ia tak takut dengan ancaman si
gadis. Akibatnya,
tenggorokan Suto seperti dicekik
dengan tenaga
cukup kuat. Rupanya tenaga dalam si
gadis tersalur
melalui tongkat itu, sehingga dapat
membuat jakun di
leher Suto bagai ingin dipecahkan
secara
pelan-pelan.
"Oo, rupanya
tongkat ini bukan sembarangan," pikir
Suto Sinting.
"Tapi bagaimana jika gadis ini kuberi
pelajaran sedikit
biar tidak gendeng begini?!"
Tiba-tiba kaki
Suto Sinting menendang ke atas
dengan badan
melengkung ke belakang. Wuuut, trak...!
Tendangan kaki
yang tiba-tiba itu mengenai tongkat, dan
tongkat tersebut
terpental lepas dari pemegangnya.
Tendangan itu
beraliran tenaga dalam cukup besar,
sehingga
genggaman kuat pada tangan si gadis tersentak
dan terlepas.
Sedangkan jari
tangan Suto pun menyentil ke depan
tak kentara.
Sentilan yang melepaskan tenaga dalam
cukup besar
itutelah mengenai perut si gadis.
Buuuhk...! Si
gadis terpekik sambil tubuhnya
tersentak ke
belakang.
"Uuhk...!"
Brruk...! Ia
jatuh terhempas dalam keadaan duduk.
Jurus 'Jari
Guntur' pendekar ganteng itu berhasil
membuat perut si
gadis bagaikan ditendang seekor kuda
jantan. Untung ia
segera menahan napas dan salurkan
tenaga intinya ke
perut sehingga tak sampai membuat isi
perutnya
tersembur keluar melalui mulut. Namun ia
sempat
menyeringai kesakitan dengan mata terpejam dan
tangan memegangi
perut.
"Maaf, itu
hanya sebagai pelajaran agar kau tak
bersikap gendeng
terhadap orang yang ingin kau mintai
bantuannya,
Nona!"
"Keparat
kau...!" geramnya dengan nada berat.
"Ya, aku
memang keparat! Tapi aku punya hormat
dan harga diri!
Kau tidak bisa memperlakukan aku
seperti itu,
Nona! Aku bukan musuhmu!"
"Aku tak
suka caramu bicara tadi. Kotor!" sambil si
gadis bergeser
untuk mengambil tongkatnya.
"Maaf kalau
ucapanku tadi kotor. Itu hanya sebuah
canda. Kalau
kaumemang...."
Weesss...!
Tiba-tiba tongkat itu dilemparkan dengan
cepat sekali.
Pendekar Mabuk sempat terperanjat. Ia
segera melompat
ke kanan untuk menghindari tongkat
itu. Begitu
kakinya mendarat ke tanah dan ia ingin
lepaskan sentilan
'Jari Guntur'-nya lagi, tiba-tiba ia
mendengar suara
orangterpekik di belakangnya.
"Aahk...!!"
Pendekar Mabuk
memutar kepala memandang suara
orang terpekik
itu. Oh, ternyata orang yang terpekik itu
mendelik dengan
mulut ternganga karena ulu hatinya
terkena lemparan
tongkat. Punggung orang itu
membentur pohon
dalam keadaan ulu hati bagai
didorong kuat
oleh sebatangtongkat.
Pendekar Mabuk
masih belum hilang rasa kagetnya,
tahu-tahu tongkat
itu meluncur ke arah si gadis dan
ditangkap oleh tangan
berjari lentik itu. Wees, taab...!
Pendekar Mabuk
makin terbengong melihat kejadian
yang tak
disangka-sangka. Semuanya terjadi dengan
sangat cepat dan
mengagumkan.
Rupanya si gadis
melihat seorang lelaki ingin
menebaskan
goloknya ke punggung Pendekar Mabuk. Ia
segera
melemparkan tongkatnya itu dan kenai ulu hati si
penyerang
tersebut. Tongkat segera memantul balik
bagai habis
membentur karet, lalu dalam sekejap tongkat
itu sudah ada di
tangan si gadis, sementara lelaki
bersenjata golok
itu masih mengangkat tangannya ke
atas, namun
mulutnya melelehkan darah kental akibat
sodokan tongkat
tadi. Si lelaki berpakaian serba hitam
itu jatuh
terpuruk di bawah pohon dengan tubuh kejang-
kejang. Sekarat.
"Ternyata
dia bermaksud menyelamatkan diriku?"
gumam hati
Pendekar Mabuk. "Tapi jurus tongkatnya
yang baru saja
kulihat itu sungguh hebat. Kalau tongkat
itu tak mengenai
orang berpakaian hitam, maka
punggungku
mungkin akan robek ditebas goloknya!"
Gadis itu segera
hampiri si lelaki berpakaian hitam.
Tongkatnya siap
disodokkan ke wajah orang tersebut.
Tapi langkahnya
terhenti ketika tahu-tahu Suto Sinting
berkelebat dengan
cepat, menghadang di depannya
dengan kedua
tangan merentang.
"Cukup!
Jangan lanjutkan seranganmu. Dia sudah tak
berdaya!"
"Kau
berhutang nyawa padaku!"
"Benar, dan
terima kasih. Tapi ingat, kau juga
berhutang padaku.
Hutang jawaban!"
Si gadis yang
berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu
melirik sinis,
lalu mendengus ketus. Pendekar Mabuk
sunggingkan
senyum, lalu berbalik pandangi orang baju
hitam yangmasih
kejang-kejang itu.
"Kau tahu
siapa orang ini?! Aku tidak mengenalnya,
Nona!"
Si gadis masih
diam, tapi matanya memandang tajam
dan bersikap
memusuhi orang yang tadi hendak melukai
Suto Sinting itu.
Suto juga diam, menunggu penjelasan
dari gadis konyol
itu.
*
* *
2
AKHIRNYA
kekerasan hati si gadis dapat
ditundukkan
dengan kesabaran Pendekar Mabuk. Gadis
itu mengaku
bernama Ranggina. Sedangkan lelaki
berpakaian hitam
yang dilumpuhkannya itu dikenal
sebagai 'Begundal
Pulau Darah'. Tentu saja Pendekar
Mabuk terkejut
mendengar nama Pulau Darah, sebab ia
memang bermusuhan
dengan penguasa Pulau Darah
yang bernama
Pawang Setan, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam
episode : "TerorPemburu Cinta").
"Tak mungkin
ia orang Pulau Darah. Setahuku orang
Pulau Darah punya
ilmu tinggi dan tak mudah
dirobohkan dengan
sesederhana itu!" ujar Pendekar
Mabuk.
"Kubilang
tadi, dia Begundal Pulau Darah, artinya dia
hanya orang yang
memihak Pulau Darah. Tapi dia
memang bukan
orang Pulau Darah. Pasti dia ingin
membunuhmu hanya
semata-mata ingin dapat upah atau
dapat kesempatan
berguru kepada si Pawang Setan."
"Oh, kau
kenal dengan Pawang Setan segala,
Ranggina?!"
"Aku pernah
berurusan dengan pihaknya. Jadi aku
tahu persis
siapa-siapa saja yang memihak Pawang
Setan."
Ranggina membuka
baju orang yang kini telah
pingsan itu. Satu
sentakan tongkat telah berhasil
membuat baju
hitam itu tersingkap lepas dari
pengikatnya.
Breet...!
"Lihat tato
di dadanya ini!" ujar Ranggina. Pendekar
Mabuk
memperhatikan tato gambar tengkorak di atas
dua pedang
bersilang.
"Ini
ciri-ciri orang yang bersekutu dengan Pawang
Setan!"
"Ooo...,"
Pendekar Mabuk menggumam.
"Kau punya
masalah dengan Pawang Setan?!"
"Punya! Kau
mau minta?" jawab Suto Sinting dengan
konyol. Ranggina
hanya mendengus, tanpa senyum dan
tawa sedikit pun.
"Hati-hati
jika kau punya masalah dengan Pawang
Setan. Dia cukup
kuat dan sukar ditumbangkan!" ujar
Ranggina, dan
Suto Sinting sengaja menggumam
pendek, tak mau
menceritakan hal yang sebenarnya.
Mungkin Ranggina
tak akan percaya jika Pendekar
Mabuk telah
terlibat bentrokan dengan pihak Pawang
Setan, terlebih
setelah ia berhasil membunuh adik
Pawang Setan yang
bernama Delima Wungu. (Baca
serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Kematian
Misterius").
Setelah sikap
Ranggina mulai tampak bersahabat,
walau masih
kelihatan kaku, mereka segera
meninggalkan
Begundal Pulau Darah itu. Suto melarang
niat Ranggina
yang ingin menghabisi nyawa Begundal
Pulau Darah itu.
"Tinggalkan
saja dia! Biar nanti celaka oleh
tindakannya
sendiri jika masih ingin memburuku!
Sebaiknya
sekarang kita masuki persoalanmu. Tolong
jelaskan seluruh
persoalanmu yang membuat kau nekat
memaksaku untuk
dibantu!"
"Supaya kau
tidak menganggapku remeh dan
mengecamku
sebagai gadis yang lemah, aku harus
lakukan kekerasan
seperti itu dalam mengharap
pertolonganmu,
Suto!" ujar Ranggina. "Aku tak tahu
siapa kau
sebenarnya, sehingga aku harus jaga wibawa
di depanmu!"
"Sekarang
kau tahu bahwa namaku Suto, tak punya
tempat tinggal
tetap, termasuk orang jalanan. Apakah
kau masih ingin
jaga wibawa dengan sikap kasarmu
itu?!"
"Bila
kuperlukan, memang harus begitu!" jawab si
gadis dengan
tegas. Agaknya ia benar-benar tak mau
disepelekan oleh
seorang pemuda tampan yang
sebenarnya
membuat hatinya sering berdesir kagum itu.
Suto memang tidak
memperkenalkan dirinya sebagai
Pendekar Mabuk,
murid si Gila Tuak. Ia tak ingin gadis
itu menertawakan
atau mencibirkan pengakuan itu.
Sebab menurut
Suto, Ranggina bukan gadis yang mudah
percaya dengan
nama besar seperti Pendekar Mabuk itu.
Jadi percuma saja
Suto mengaku sebagai Pendekar
Mabuk, nanti
justru akan timbul masalah baru, misalnya
dijajal ilmunya
oleh Ranggina. Suto malas melayani
orang-orang yang
sekadar ingin mengetahui tingkat
ketinggian
ilmunya.
Dengan mengaku
sebagai Suto, orang jalanan, rasa-
rasanya lebih
mudah dipercaya dan mudah menjadi
akrab dengan
Ranggina. Terbukti gadis itu mau
menjelaskan
persoalannya sambil mereka meninggalkan
si Begundal Pulau
Darah. Suto tak tahu bahwa arah yang
mereka tuju
adalah jalan melingkari bukit yang menuju
ke arah kotaraja.
"Seperti
kukatakan tadi, aku mencari orang yang
dapat
menyelamatkan jiwaku dari ancaman Ayodya alias
si Malaikat Gantung
itu," ujar Ranggani mengawali
penjelasan yang
sebenarnya.
"Kau belum
jawab pertanyaanku tadi tentang siapa
Ayodya itu
sebenarnya."
"Ayodya
adalah kakak seperguruanku. Tetapi ia
dianggap murid
murtad oleh Guru karena ia mendalami
ilmu hitam dari
tokoh lain."
"Siapa yang
menjadi guru ilmu hitamnya itu?" tanya
Suto.
"Nyai
Kembang Kempis!"
"Ooh..
?!" Suto Sinting terkejut, sebab ia tahu nama
Nyai Kembang
Kempis adalah nama gurunya Delima
Wungu. Tokoh tua
itu disebut juga sebagai Tabib Sesat
yang berasal dari
dasar bumi. Kabarnya, Nyai Kembang
Kempis memang
seorang pelarian dari dasar bumi.
"Kenapa
terkejut? Kau juga murid Nyai Kembang
Kempis?"
sambil Ranggina melirik curiga. Pendekar
Mabuk tersenyum
tenang sambil tetap melangkah.
"Kalau aku murid
Nyai Kembang Kempis, tentunya
kau sudah
kuhancurkan sejak tadi. Aku terkejut karena
pernah mendengar
nama Nyai Kembang Kempis sebagai
tokoh pelarian
dari dasar bumi yang berjuluk Tabib
Sesat itu."
"Rupanya kau
punya pengetahuan cukup lumayan
tentang rimba
persilatan, Suto."
"Mungkin
saja. Sayang sekali pengetahuanmu tak
sebanyak
pengetahuanku," ujar Suto karena merasa
dirinya tidak
dikenali sebagai Pendekar Mabuk.
"Hmmm,
jangan merasa tersanjung dulu oleh kata-
kataku,"
ujar Ranggina.
"Aku tidak
merasa tersanjung, hanya saja... ah,
sudahlah.
Sebaiknya lanjutkan penjelasanmutadi."
Sambil tetap
melangkah di samping kiri Pendekar
Mabuk, gadis itu
melanjutkan penjelasannya tentang
Ayodya alias si
Malaikat Gantung itu.
"Guruku
bernama Eyang Sampurna, dari perguruan
silat Lintang
Yudha...."
"Yang ini
memang tak ada dalam pengetahuanku,"
sela Suto.
"Teruskan...!"
"Malaikat
Gantung menyusun kekuatan sendiri
setelah ia
berhasil pelajari beberapa ilmu hitamnya Nyai
Kembang Kempis.
Kemudian ia menyerang perguruan
kami. Perguruan
menjadi hancur. Ternyata Eyang
Sampurna juga
berhasil ditewaskan oleh ilmunya si
Malaikat Gantung.
Aku sempat membawa kabur Guru
untuk mengobati
lukanya, tapi tak berhasil. Guru pun
tewas di depanku.
Tapi sebelum beliau wafat, sebuah
amanat
disampaikan kepadaku."
"Amanat
apa?"
"Aku harus
tetap menghidupkan Perguruan Lintang
Yudha! Tanah
perguruan yang telah dikuasai oleh
Malaikat Gantung
harus kurebut kembali. Namun aku
merasa kalah ilmu
dengan Malaikat Gantung. Bahkan
kini aku menjadi
buronannya. Malaikat Gantung tak
ingin ada murid
Eyang Sampurna yang tersisa. Seluruh
murid telah
dibantainya habis. Tinggal beberapa orang
yang melarikan
diri menyebar entah ke mana, termasuk
diriku."
"Apakah kau
tetap bersikeras untuk melaksanakan
amanat mendiang
gurumu itu?"
"Ya. Aku
harus merebut kembali tanah perguruan
kami dan membuka
kembali Perguruan Lintang Yudha.
Sebab itulah aku
butuh bantuan seseorang yang kuat dan
bisa kuajak
bersama-sama menumbangkan si Malaikat
Gantung
itu!"
"Hmmm,
begitu...?!" gumam Suto pelan. "Lantas,
mengapa kau
memaksaku ikut ke kotaraja?!"
"Kudengar
Sultan Jantrawindu sedang mengadakan
sayembara orang
kuat. Aku ingin melihat siapa yang
unggul dalam
sayembara orang kuat itu. Jika ternyata
orang kuat
tersebut bisa didekati, maka aku akan
meminta bantuan
pula kepada orang kuat itu untuk
melindungiku."
"Apa
upahnya?!" sela Pendekar Mabuk sekadar ingin
tahu kesanggupan
Ranggina dalam memberi imbal balik
kepada orang yang
dimintai bantuannya. Gadis itu diam
sesaat, kemudian
menjawab dengan pandangan mata
berpaling ke arah
lain. Seakan ia tak berani menatap
Pendekar Mabuk.
"Jika memang
ada orang yang mampu
menyelamatkan
jiwaku, melindungi nyawaku dari
ancaman Malaikat
Gantung, seandainya orang itu wanita
akan kuanggap
sebagai kakak angkatku, tapi jika dia
seorang lelaki,
mungkin aku akan pasrah padanya."
"Pasrah
bagaimana?" desak Suto Sinting dengan
pertanyaan
yangtergolong usil itu.
"Terserah
orang itu! Dia boleh memperistri diriku
jika menurutnya
aku pantas menjadi istrinya, atau
menganggapku
sebagai adik. Singkatnya, siapa yang
bisa melindungiku
aku akan mengabdi kepadanya, asal
bukan kepada si
Malaikat Gantung."
Pendekar Mabuk
tertawa pelan, nyaris tak terdengar.
Ia tahu gadis itu
tak mau memandangnya karena malu
terhadap
kesanggupannya memberikan imbalan seperti
itu. Tetapi hati
Pendekar Mabuk bisa memaklumi
mengapa Ranggina
sampai mau berpasrah seperti itu
kepada si
penyelamatnya nanti. Hal itu dikarenakan ia
tak mempunyai
apa-apa yang bisa dijadikan imbalan
timbal balik, dan
agaknya ia benar-benar tak ingin jatuh
di tangan Ayodya.
Demi menjalankan amanat sang
Guru, apa pun
risikonya Ranggina harus bisa
menyingkirkan
Ayodya dari tanah perguruannya yang
terletak di Bukit
Palawa itu.
Menurut pengakuan
Ranggina, ia sudah tak
mempunyai ayah
dan ibu lagi. Bahkan dua adiknya telah
tewas di tangan
musuh leluhurnya. Keterangan itu
menimbulkan rasa
iba di hati Pendekar Mabuk. Hanya
saja, rasa iba
itu tak ditunjukkan di depan Ranggina,
takut akan
membuat gadis itu semakin ngelunjak
terhadap Pendekar
Mabuk. Dengan tetap bersikap kalem,
Suto kelihatan
tak begitu tergerak hatinya terhadap nasib
Ranggina.
"Bagaimana
jika orang kuat yang unggul dalam
sayembara nanti
tidak mau membantumu menghadapi
Ayodya?"
pancing Suto.
"Berarti aku
harus mencari teman lain yang mau
membantuku!
Sebelum kudapatkan orang yang mampu
melindungiku dan
mampu kuajak kerja sama untuk
menumbangkan
Ayodya, aku akan berusaha untuk tidak
dilihat oleh
Ayodya."
"Bagaimana
jika sebelum kau dapatkan orang
tersebut kau
sudah tertangkap oleh pihak Ayodya lebih
dulu."
"Aku pasti
akan dibunuhnya. Dan kalau sudah begitu,
ya sudah.... Itu
namanya nasib!"
Pendekar Mabuk
tersenyum geli. Tapi langkahnya
semakin merapat
ke samping kanan Ranggina. Dengan
pandangan wajah
tetap lurus ke depan, Pendekar Mabuk
bicara dengan
pelan seperti orang berbisik.
"Apakah kau
mempunyai seorang teman lelaki
bertubuh
kurus?"
"Tidak,"
jawab Ranggina dengan mata memandang
penuh curiga.
"Atau...
barangkali kau mempunyai teman lelaki
berambut panjang
dikonde dengan tubuh agak kurus
juga?"
Ranggina makin
berkerut dahi. "Tidak. Kenapa kau
bertanya
begitu?!"
"Karena kita
diikuti oleh dua orang yang tidak sama-
sama kita
kenal."
"Ooh...?!"
"Jangan
menengok ke belakang!" sergah Suto Sinting
sambil tetap
memandang lurus ke depan. Ia
menambahkan dalam
bisikannya.
"Dua orang
itu yang satu berbadan kurus dengan
rambut lurus
sepundak, seperti rambutku, yang satu lagi
berbadan sedikit
gemuk dari yang pertama, tapi
rambutnya dikonde
seperti perempuan. Cuma dia punya
kumis
tipis."
"Di mana
mereka sekarang?"
"Di balik
pohon belakang kita. Mereka ada di sebelah
kirimu dan di
sebelah kananku. Keduanya sama-sama
bersenjata tombak
berkepala pedang besar. Sinar kilatan
pedangnya yang
memantulkan sinar matahari sempat
kenai pohon depan
kita itu!" sambil Suto menuding
pohon itu secara
tak kentara. Ranggina segera
menemukan kilatan
kemilau logam yang memantulkan
sinar matahari.
"Tajam
sekali penglihatanmu?" bisik Ranggina.
Pendekar Mabuk
tersenyum dan tetap tenang. Tentu
saja Ranggina
memujinya demikian karena ia tak tahu
bahwa Suto sering
menggunakan jurus 'Lacak Jantung'-
nya dalam setiap
perjalanan. Sewaktu-waktu ia gunakan
jurus itu dan
menangkap suara detak jantung milik orang
lain. Ia segera
curiga dan mencari cara untuk mengintai
si pemilik detak
jantung itu secaratak kentara.
"Di depan
ada serumpun bambu yang tumbuh
memanjang,"
bisik Ranggina.
"Itu bukan
tanaman kebunku," jawab Suto iseng.
"Lompatlah
ke balik semak bambu itu. Akan
kuhadapi dua
orang penguntit kita itu."
"Tak akan
berhasil. Mereka pasti tak mau
menampakkan diri
menyusul kita jika kita bersikap
menunggu."
"Akan
kupaksa mereka!"
"Percuma.
Sebaiknya ikutlah belok ke semak-semak
bambu itu. Lalu,
tiba-tiba kita sergap langkah mereka."
"Tapi janji,
biar akuyang mengurus mereka?!"
"Dengan
senang hati akan kuberikan kesempatan ini
padamu,
Ranggina!" bisik Pendekar Mabuk sambil
tertawa kecil
seperti orang pacaran.
Rupanya Ranggina
ingin tunjukkan kemampuannya
menangani dua
lawannya itu. Pendekar Mabuk
menghargai maksud
gadis itu. Sehingga ia tidak akan
ikut campur
kecuali jika si gadis dalam keadaan bahaya.
Maka ketika
mereka membelok ke semak-semak,
Ranggina segera
berbalik arah dan siap menunggu
langkah kedua
penguntit itu. Pendekar Mabuk sentakkan
kakinya ke tanah,
deg...! Wuuut...! Jurus 'Layang Raga'
yang merupakan
ilmu peringan tubuh itu digunakan.
Dalam sekejap
Pendekar Mabuk sudah berada di atas
ranting pohon
bambu tanpa membuat ranting itu patah.
Ranggina sempat
meliriknya sekejap dan terperangah
melihat Pendekar
Mabuk mampu berdiri di atas ranting
bambu sekecil
kelingking.
"Edan!
Rupanya dia punya ilmu peringan tubuh
cukup
lumayan?!" gumam Ranggina pelan. Lalu
perhatiannya
kembali pada dua penguntitnya.
Ternyata apa yang
dikatakan Suto Sinting memang
benar. Ranggina
segera melihat dua sosok tubuh kurus
yang bersenjata
tombak berujung pedang. Dua orang itu
mengendap-endap
dari pohon ke pohon. Yang satu
berbaju merah
dengan celana hitam, rambutnya dikonde.
Yang satunya lagi
berompi biru dengan celana hitam,
rambutnya lurus
tanpa ikat kepala. Masing-masing
berusia sekitar
tiga puluh tahun.
Ketika yang
berambut lurus itu berkelebat pindah
tempat, Ranggina
segera melesat menerjangnya dengan
tongkat
disentakkan ke depan.
"Hiaaaat...!"
"Sambra,
awaaas...!!"
Weess...!
Trang...! Tongkat itu tertangkis oleh pedang
di ujung tombak
lawan. Tapi pedang itu menjadi patah
akibat tersodok
ujung tongkat Ranggina.
"Hmmm...
kekuatan tongkat itu seperti baja?!"
gumam Pendekar
Mabuk yang kali ini sengaja menjadi
penonton dari
atas pohon bambu.
Kalau saja orang
berambut panjang yang dikonde itu
tidak berseru
mengingatkan temannya yang bernama
Sambra, maka
tongkat itu akan kenai tengkuk kepala
orang tersebut.
Pendekar Mabuk mengecam Ranggina
dalam hati,
karena lakukan serangan dengan bersuara.
"Bodoh! Mau
menyerang pakai teriak segala! Yah,
tentu saja
ketahuan!"
Tetapi agaknya
Ranggina tak peduli serangannya
diketahui pihak
lawan. Patahnya pedang lawan membuat
Ranggina semakin
bersemangat melepaskan serangan
tongkatnya ke
arah dada Sambra. Wuuut, trak...!
Serangan itu
berhasil ditangkis juga oleh tombak
Sambra. Kini sisa
pedang di ujung tombak itu
dihujamkan ke
wajah Ranggina. Wuut...!
Ranggina lompat
ke belakang dengan bersalto. Wuk,
jleeg...! Begitu
ia menapakkan kakinya ke tanah, pedang
di ujung tombak
si lelaki berkonde itu membelah
kepalanya.
Wuung...!
Traang...!
Ranggina berlutut satu kaki dan
menyilangkan
tongkatnya di atas kepala dengan
dipegangi dua
tangan. Tebasan pedang lawan tertangkis
oleh tongkat itu.
Ranggina segera berguling ke tanah
dengan tubuh
memutar, kaki menyampar cepat. Wuuut,
plaak...!
"Awas,
Dempak!" pekik Sambra mengingatkan
temannya yang
bernama Dempak itu. Tapi peringatan itu
terlambat. Kaki
Ranggina sudah telanjur menyampar
kaki Dempak
dengan kuat. Akibatnya, Dempak pun
jatuh
terpelanting kehilangan keseimbangannya.
Brruuk...!
Dengan cepat
tongkat Ranggina menghantam kepala
Dempak. Beet...!
Trok...!
"Aaoow...!!"
teriak Dempak dengan mengejang.
Kepala itu
langsung berlumur darah, bonyok pada
bagian
pelipisnya. Dempak menggelepar kebingungan
sambil
meraung-raung.
"Bangsat
kau. Gadis Kunyuk!! Heeaah...!!"
Sambra makin
mengamuk melihat temannya terluka
seperti itu. Ia
melompat dengan sisa senjata dihantamkan
ke kepala
Ranggina. Wuuut...! Ranggina berguling ke
depan, sehingga
hantaman tombak itu tak mengenai
sasaran. Tetapi
tongkatnya segera menyentak ke atas.
Dees...!
"Uuhk...!"
perut Sambra menjadi sasaran empuk
ujung tongkat
itu. Ternyata Ranggina salurkan tenaga
dalamnya melalui
tongkat itu, sehingga sentakan ke
perut Sambra
membuat lelaki ituterlempar ke udara dan
berjungkir balik
tanpa keseimbangan lagi. Wuk, wuk,
wuus...!
Brruuk...!
"Aaahk...!"
Sambra mengerang kesakitan, tulang
punggungnya
bagaikan dibanting di permukaan batu
sebesar kepala
kerbau. Ia menyeringai kesakitan
merasakan tulang
punggungnya bagaikan patah dan tak
bisa dipakai
bangkit dengan cepat.
"Hiaaah...!"
Ranggina merentangkan kedua
tangannya dengan
tongkat melilit di tangan kanan, kedua
kakinya merendak
ke samping. Jurus yang dimainkan
kala itu sungguh
indah dan menimbulkan rasa kagum
dalam hati
Pendekar Mabuk.
"Dia bukan
saja kelenturan tubuh, namun juga lincah
dan
tangkas." ujar hatiPendekar Mabuk.
Tongkat itu pun
diputar-putar di sekitar tubuhnya.
Kelebatan tongkat
itu menimbulkan suara mendesau
menandakan angin
yang ditimbulkan dari gerakan
tongkat itu cukup
kuat.
Dempak dan Sambra
berhasil bangkit dengan
memaksakan diri.
Padahal Suto tahu keduanya sudah
kehilangan tenaga
cukup banyak akibat menahan rasa
sakitnya. Dan
pada saat itu mereka bermaksud
menggunakan jurus
gabungan.
Tapi pada saat
mereka masih berdiri berjajar dalam
jarak tiga
langkah, tiba-tiba Ranggina melesat bersama
tongkatnya.
Tongkat itu ditancapkan ke tanah dan
tubuhnya memutar
dengan tangan berpegangan pada
tongkat tersebut.
Hiaaat...!!"
Plok, plok, des,
des...!
Kedua kaki
Ranggina menendang secara beruntun.
Entah berapa kali
gerakan kaki itu menendang dengan
cepat. Yang jelas
semua tendangan beruntun yang mirip
orang berlari itu
mengenai tubuh lawannya. Mereka
berdua sama-sama
terpekik pelan karena suaranya
tertahan rasa
sakit di tenggorokan. Kejap berikutnya
mereka berdua
tumbang ke belakang setelah lebih dulu
terpental ke arah
yang berlainan.
Brrusk, brruk...!
"Uuggrr...!"
Dempak mengerang menyeramkan
karena mulutnya
semburkan darah kental. Sementara itu,
Sambra tak
terdengar suaranya sedikit pun. Bahkan
tubuhnya hanya
bergerak sebentar, lalu terkulai lemas
dengan hidung dan
telinga mengucurkan darah kental.
Ranggina berdiri
dengan kedua tangan merentang dan
tongkatnya
melilit di tangan kiri. Matanya memandang
lawan dengan
tajam. Posisi kakinya diangkat satu bagai
seekor burung
bangau di tengah sawah. Ia tampak siap
siaga menerima
serangan berikutnya. Tapi ternyata
berikutnya tak
ada serangan, yang ada hanya desau angin
mengembus sunyi.
Beberapa saat
kemudian, Pendekar Mabuk turun dari
atas pohon bambu.
Ia memeriksa kedua orang yang
terkapar tanpa
gerakan lagi itu.
"Dia
tewas!" ujar Suto Sinting setelah berdecak dan
geleng-geleng
kepala. Orang yang tewas itu adalah
Dempak. Sedangkan
Sambra tampaknya hanya pingsan
atau sedang
sekarat, yang jelas ulu hatinya masih tampak
berdenyut-denyut
pertanda napasnya masih ada.
"Seranganmu
terlalu kuat, Ranggina. Akibatnya yang
satu mati dan
yang satu lagi setengah mati," ujar Suto
Sinting sambil
meninggalkan kedua orang itu.
"Itulah
bodohnya mereka. Mengincar nyawaku tapi
tak melindungi
nyawanya sendiri," ucap Ranggina
dengan nada
ketus. Wajahnya yang cantik masih
memancarkan
kebencian terhadap kedua lawannya itu.
"Apakah
kautahu siapa mereka?"
"Dempak dan
Sambra!"
"Iya, aku
juga tahu kalau cuma nama mereka," Suto
bersungut-sungut.
"Tapi tahukah kau dari pihak mana
mereka dan
mengapa menguntit kita?"
"Mereka
orangnya Ayodya! Untuk apa lagi mereka
menguntit kita
kalau bukan menunggu kelengahanku.
Pasti mereka
ditugaskan membunuhku!"
Suto Sinting
manggut-manggut. Ia semakin yakin
bahwa gadis itu
memang dalam ancaman bahaya. Rasa-
rasanya tak ada
salahnya jika ia mulai bertindak menjadi
pelindung
Ranggina tanpa perlu mengeluarkan
pernyataan apa
pun.
"Suto, kita
lanjutkan perjalanan kita ke kotaraja!
Kurasa sayembara
itu sudah dimulai. Aku ingin melihat
siapa orang kuat
yang memenangkan sayembara di
sana!"
"Tunggu! Aku
melihat seseorang berkelebat ke sana!"
sambil Suto
memandang ke arah bayangan yang
dilihatnya
melesat dari arah lain ke arah ujung semak
bambu tadi.
"Kurasa
orang itu juga tak mau ketinggalan tontonan
gratis di
alun-alun kesultanan!" ujar Ranggina.
"Sepertinya
akumengenali orang itu, Ranggina!"
"Kalau
begitu, mengapa kau hanya diam saja?! Siapa
tahu dia kenalanmu
yang cukup kuat dan bisa ikut
membantuku
menghadapi Ayodya?!"
Setelah bicara
begitu, Ranggina bergerak lebih dulu.
Seolah-olah ia
ingin menyusul bayangan yang berkelebat
ke arah kotaraja
itu. Pendekar Mabuk pun bergegas
mengikutinya
tanpa menggunakan jurus Gerak Siluman',
sehingga
kecepatan geraknya sejajar dengan kecepatan
lari Ranggina.
*
* *
3
SEBUAH panggung
dibangun di tengah alun-alun.
Panggung itu tak
seberapa tinggi, tapi cukup luas.
Lantainya
dilapisi karung-karung rami yang membuat
lantai panggung
menjadi tebal dan empuk.
Panggung itu
dikelilingi oleh banyak orang. Mereka
bukan ingin
melihat karung-karung dibentangkan
melainkan untuk
melihat suatu tontonan murah, meriah,
dan bikin betah,
kadang-kadang bisa bikin muntah.
Tontonan itu tak
lain adalah pertarungan adu kekuatan
tenaga dalam.
Sultan
Jantrawindu mengadakan sayembara orang
kuat dengan
hadiah cukup tinggi. Sekantong uang emas
akan diberikan
kepada si peserta yang dapat kalahkan
lawannya dalam
tiga kali berturut-turut. Sekantong uang
emas itu menjadi
daya tarik bagi para peserta, walau
kantongnya
berukuran kecil. Berisi sekitar empat sampai
tujuh keping uang
emas. Tapi nilai itu sudah sangat
tinggi untuk
ukuran pada waktu itu. Oleh sebab itulah,
banyak dari luar
kesultanan yang mendaftarkan diri
sebagai peserta
sayembara.
Salah satu orang
dari luar Kesultanan Tanahinggil
adalah seorang
pemuda berwajah tergolong tampan, ia
mengenakan baju
tanpa lengan berwarna ungu dan
celananya juga
ungu. Rambutnya panjang dikuncir ke
belakang. Pemuda
berusia sekitar dua puluh tahun itu
bertubuh tinggi,
tegap, mengenakan gelang kulit warna
loreng
hitam-putih. Pemuda itu mempunyai tato kecil di
punggung telapak
tangannya bergambar seekor burung
elang biru
mengepakkan sayapnya.
Pendekar Mabuk
nyengir geli sendiri setelah tahu
siapa bayangan
yang berkelebat dan yang diikuti
bersama Ranggina
itu. Ternyata dia adalah Adhiyaksa,
murid Pendeta
Darah Api. Pemuda itu dikenal dengan
nama Elang
Samudera.
Wuut, teeb...!
Suto Sinting melemparkan sebongkah
batu dari arah
belakang pemuda berbaju ungu itu.
Dengan cepat
tangan pemuda itu menyambar ke
belakang bersama
tubuh yang memutar cepat. Batu itu
berhasil
ditangkapnya, wajah Elang Samudera tampak
berang. Tapi
begitu melihat Pendekar Mabuk tertawa
cengar-cengir
dari jarak tujuh langkah di belakangnya,
wajah ngototnya
itu segera mengendur. Napas terhempas
lepas sambil
geleng-geleng kepala.
Tapi tiba-tiba
batu itu ganti dilemparkannya dengan
gerakan cepat.
Wuuut...! Ranggina terkejut melihat batu
melayang cepat ke
wajah Pendekar Mabuk. Ia segera
menyodokkan
tongkatnya. Suuut...! Teeb...!
Sodokan tongkat
itu melesat karena kalah cepat
dengan lemparan
batu itu. Tapi tangan Suto Sinting
berkelebat ke
depan dan dalam sekejap batu itu sudah
dijepit dengan
kedua jarinya; jari tengah dan jari
telunjuk.
Ranggina
terbengong melihat batu itu sudah ada
dalam jepitan
jari tangan Suto. Pendekar Mabuk
menyeringai makin
lebar. Tapi Ranggina tampak geram.
Ia ingin
melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah
Elang Samudera.
Tetapi gerakan tangannya ditahan oleh
tangan Suto
Sinting.
"Jangan...!"
"Dia
melemparmu dengan batu itu!"
"Karena aku
melemparnya lebih dulu!"
"Tapi...."
"Dia
sahabatku! Mari kukenalkan dengan si konyol
Elang Samudera
itu!"
Elang Samudera sengaja
bertolak pinggang melihat
dirinya dihampiri
oleh Suto Sinting dan seorang gadis
cantik yang belum
dikenalnya. Ketika mereka sudah
berada dalam
jarak dua langkah di depannya, Elang
Samudera segera
perdengarkan suaranya yang bernada
senang karena
berjumpa dengan sahabat karibnya itu,
(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Dendam
Selir Malam"
dan "Kuil Perawan Ganas").
"Kalau saja
kau tidak bersama Nona cantik ini, sudah
kuperbesar batu
kirimanmu tadi, Suto!"
Pendekar Mabuk
makin lebarkan senyum
menanggapi
kelakar Elang Samudera. Ia segera
memperkenalkan
Elang Samudera kepada Ranggina, dan
sedikit
menceritakan tentang nasib Ranggina.
"Oh, jadi
Eyang Sampurna sudah wafat?!" Elang
Samudera tampak
kaget.
"Kau kenal
dengan gurunya Ranggina itu?!"
"Aku pernah
jumpa beliau satu kali ketika
mengantarkan
guruku dalam satu pertemuan di Selat
Bantang. Hanya
satu kali, tapi aku cukup terkesan
dengan sikap
bijaknya beliau yang penuh kesabaran itu,"
jawab Elang
Samudera menyebutkan ciri-ciri sikap
mendiang Eyang
Sampurna, sehingga Ranggina makin
percaya bahwa
Elang Samudera memang mengenal
mendiang gurunya.
"Bagaimana
kabar kakakmu; si Dewi Cintani itu?"
tanya Suto yang
mengenal kakak perempuan Elang
Samudera sebagai
panglima dari Pulau Sangon.
"Baik-baik
saja, Suto. Ratu Remaslega juga dalam
keadaan
sehat-sehat saja. Juga si Bocah Emas dalam
keadaan
sehat."
"Lalu,
mengapa kau datang kemari, Elang?"
"Mau
mengikuti sayembara itu," jawab Elang
Samudera yang
membuat Ranggina menatap tanpa
berkedip. Dahinya
sedikit berkerut, seakan
menyangsikan
kekuatan Elang Samudera.
"Kau ingin
mengikuti adu kekuatan itu? Ooh, aneh
sekali bagiku,
Elang," ujar Suto sedikit bernada
mengecam.
"Apa yang kau cari dari kemenanganmu
nanti?"
"Hadiahnya!"
"Beberapa
keping uang emas, maksudmu?!"
"Bukan hanya
itu," jawab Elang Samudera yang
membuat Ranggina
dan Pendekar Mabuk saling pandang
sebentar, tampak
merasa aneh dengan jawaban Elang
Samudera.
"Sebagian
besar orang tak tahu apa maksud Sultan
Jantrawindu
mengadakan sayembara ini," bisik Elang
Samudera, takut
ucapannya didengar pihak lain.
"Apa
sebenarnya maksud Sultan Jantrawindu
mengadakan
sayembara ini?" desak Suto.
"Mencari
orang tangguh yang akan dipercaya untuk
berkuasa di Tanah
Sereal!"
Ranggina
menyahut, "Tanah Sereal memang dalam
kekuasaan wilayah
Kesultanan Tanahinggil, tapi
bukankah Tanah
Sereal sudah dikuasakan kepada
PanglimaTulang?!"
"Apakah kau
belum dengar bahwa Panglima Tulang
sekarang
bersekutu dengan salah seorang muridnya Nyai
Kembang Kempis
yang berjuluk si Malaikat Gantung?!"
"Hahh...?!"
Ranggina terkejut, matanya yang bundar
melebar indah
namun berkesan tegang. Pendekar Mabuk
justru pertajam
kerutan dahinya.
"Kau tak
salah dengar itu, Elang?"
Dengan senyum
kalem Elang Samudera menggeleng.
"Sultan
Jantrawindu adalah sahabat Ratu Remaslega.
Kabar itu datang
dari utusan Pulau Sangon yang
kebetulan singgah
kemari beberapa hari yang lalu."
"Jadi...
maksudmu Panglima Tulang telah
meninggalkan
Tanah Sereal dan...."
"Dan
diperkirakan akan menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan
Tanahinggil yang lainnya. Tentu saja
wilayah Tanah
Sereal akan dikuasai keseluruhannya,
juga daerah yang
bernama Cadas Pitu, Lembah Tayub
dan beberapa desa
di kaki Bukit Ratus itu."
"Daerah-daerah
subur semua?!" gumam Ranggina.
"Rupanya kau
cukup banyak tahu tentang daerah
kekuasaan
Kesultanan Tanahinggil ini, Ranggina," ujar
Elang Samudera
berkesan memuji. "Tapi aku yakin kau
belum tahu siapa
yang ada di belakang tindakan makar si
Malaikat Gantung
dan PanglimaTulang itu!"
"Maksudmu...
persekutuan mereka ada yang
mendalangi?!"
sela Pendekar Mabuk.
"Benar. Dan
tidak semua orang tahu siapa dalang
yang berdiri di
belakang mereka?!"
"Nyai
Kembang Kempis?!" tebak Ranggina. Elang
Samudera menggeleng
dalam senyuman tipis.
"Lalu, siapa
dalang dari rencana persekutuan mereka
itu, Elang?"
desak Pendekar Mabuk.
"Siapa lagi
kalau bukan saudara kembarmu: Siluman
Tujuh
Nyawa."
"Setan!"
maki Suto Sinting dengan jengkel, tapi
membuat Elang
Samudera tertawa mirip orang
menggumam
terputus-putus.
Wajah Suto sempat
menjadi semburat merah
mendengar nama
Siluman Tujuh Nyawa sebagai orang
yang berada di
belakang persekutuan Ayodya dengan
Panglima Tulang.
Bara api permusuhan bagaikan
menyala
berkobar-kobar dalam hati Pendekar Mabuk. Ia
menggeram dan
menggenggam kedua tangannya kuat-
kuat.
Tanah di depannya
menyebar ke kanan-kiri. Batuan
kecil sempat
menggelinding lari akibat hembusan napas
Pendekar Mabuk.
Dalam keadaan sedang memendam
kemarahan begitu,
dengan sendirinya napas yang keluar
dari hidung Suto
adalah suatu kekuatan maha dahsyat
yang dinamakan
Napas Tuak Setan. Hembusan napas
seperti itu
sangat berbahaya, dapat mendatangkan badai
yang
mampumenggulung habis sebuah desa.
"Tenang,
tenang...! Kendalikan dirimu, Suto," bisik
Elang Samudera
yang mengetahui bahayanya napas
Pendekar Mabuk
jika sedang diliputi kemarahan. Tetapi
Ranggina berkerut
dahi tampak terheran-heran melihat
perubahan Suto
Sinting.
"Sejak tadi
ia tampak kalem, kenapa sekarang
menjadi gusar dan
pandangan matanya kelihatan liar?!"
pikir Ranggina
yang belum tahu-menahu pribadi Suto
Sinting yang
sebenarnya.
Pendekar Mabuk
pun segera kuasai dirinya. Matanya
sengaja dipakai
memandang beberapa orang yang sudah
tak sabar
menunggu sayembara dimulai. Perhatian Suto
pun sengaja
ditujukan kepada seorang punggawa istana
yang memimpin
sayembara tersebut. Kini si ketua
panitia itu telah
berada di atas panggung pertarungan,
membacakan
peraturan dan tatatertib bagi para peserta.
"Saudara-saudara
sebangsa dan setanah air...," sang
panitia mengawali
sambutannya.
Dari menara
pengawas, tampak Sultan Jantrawindu
duduk di sebuah
kursi khusus yang dijaga ketat oleh para
pengawal. Di
kanan-kiri Sultan Jantrawindu berdiri
beberapa keluarganya
termasuk seorang wanita berusia
tiga puluh tahun
yang berwajah cantik, bermahkota
kecil, namun
jelas ia bukan permaisuri sultan. Sebab
menurut
penjelasan Ranggina, sang Sultan sudah tidak
beristri lagi dan
hanya hidup bersama tiga orang putri
dan dua orang
putra, serta menantu-menantunya.
Setelah panitia
bertubuh gemuk itu memberi
sambutan
alakadarnya, termasuk menyebutkan tujuan
sang Sultan
mengadakan sayembara dengan alasan
memperluas
persahabatan, maka sang panitia pun
membacakan
tatatertib pertarungan tersebut.
"Pertama,
para peserta pertarungan persahabatan ini
tidak boleh
saling membunuh. Siapa yangterluka sedikit
parah akan
disingkirkan dari arena pertarungan, supaya
tidak menimbulkan
korban nyawa bagi siapa pun.
Kanjeng sultan
tidak berkenan memilih peserta yang
sampai membuat
lawannya luka berat atau bahkan
tewas.
Kemenangannya dianggap batal! Paham?!"
"Pahaaaaammm...!!"
seru mereka, bahkan yang bukan
peserta pun ikut
berseru sehingga suasana menjadi
cukup meriah.
"Kedua,
pertarungan ini tidak dibenarkan
menggunakan
senjata tajam maupun senjata tumpul.
Ketiga, peserta
yang berdarah walau hanya sedikit akan
diturunkan dari
arena dan pertarungan dihentikan.
Keempat, peserta
harus sudah siap di sekitar arena agar
mempermudah
tampil jika gilirannya telah tiba. Kelima,
peserta yang
dipanggil tiga kali berturut-turut tidak naik
ke arena ini,
dinyatakan... budek!"
"Huuuhhh...!!"
seru mereka sambil tertawa. "Selain
budek juga
dinyatakan mengundurkan diri!" sambung
panitia.
"Keenam, peserta tidak diperkenankan main
keroyokan.
Ketujuh, dilarang menggigit kuping. Sebab
daun kuping itu
sangat tipis, kalau somplak susah
nambalnya."
Para penonton dan
peserta lainnya saling tertawa.
Kelakar itu
sengaja dikeluarkan oleh sang ketua panitia
untuk menarik
minat bagi mereka yang masih berada
agak jauh dari
alun-alun. Buktinya tawa mereka
memancing yang
lain mendekat ke arah arena.
"Kedelapan,
peserta harus bisa menjaga diri baik-
baik, karena
barang rusak, hilang, risiko tanggung
peserta sendiri.
Kesembilan, dilarang mengeluarkan
anggota badan.
Kesepuluh, buanglah sampah pada
tempatnya...."
Elang Samudera
menghilang dari samping Ranggina.
Gadis itu
mencari-cari, sementara Suto Sinting sengaja
diam tak berkata
sepatah pun dengan mata memandang
ke arah orang
yang berbicara di panggung. Ranggina
mencoba berbisik
dengan hati-hati.
"Di mana
sahabatmu tadi, Suto?"
Barulah Suto
memperdengarkan suaranya yang datar.
"Mungkin
mendaftarkan diri."
Ranggina
memandang ke arah panitia lainnya, dan
ternyata Elang
Samudera memang sedang mendaftarkan
diri. Pendekar
Mabuk pun bergegas maju, mau menyusul
Elang Samudera.
Ranggina menahan langkah Suto
Sinting dengan
mencekal lengannya.
"Mau ke
mana?"
"Pipis,"
jawab Suto seenaknya. Konyol sekali, bikin
hati Ranggina menggeram.
Tapi gadis itu yakin, Suto tak
mungkin
benar-benar mau buang air kecil. Maka gadis
itu pun
ikut-ikutan berkata konyol.
"Aku juga,
ah!"
Langkah Suto di
antara orang-orang itu terhenti.
"Jangan
barengan!"
"Habis,
siapa duluan?!" tanya Ranggina makin
berlagak konyol.
Suto Sinting mendengus kesal, lalu
berjalan lagi
menyelusup di antara kerumunan orang
yang berada di
sekitar panggung arena. Pundaknya
segera dicekal
kembali oleh Ranggina.
"Sebaiknya
segeralah mendaftarkan diri supaya tidak
terlambat!"
"Mendaftar
ke mana?"
"Apakah
kautak ingin ikut sayembara ini?!"
"Aku bukan
orang kuat! Sekali geprak akan rontok
perabot
dalamtubuhku!"
"Tapi...
tapi bagaimana dengan sahabatmu itu?! Elang
Samudera yang
tidak segagah dirimu, tidak sekekar
badanmu, itu saja
berani ikut dalam sayembara ini.
Mengapa kautak
berani?!"
"Nyaliku
kecil! Tak seberapa nyalinya Elang
Samudera."
"Lalu kau
mau apa mendekati meja pendaftaran?"
"Mau bicara
dengan Elang Samudera! Mau pamit
pergi dari
sini!"
"Kau
sinting, Suto?!"
"Aku Suto Sinting,
bukan Sinting Suto!" sambil
pemuda itu terus
mendesak kerumunan orang untuk
mendekati Elang
Samudera. Ranggina mengikutinya
dengan gerutu dan
omelan yang tak digubris lagi oleh
Pendekar Mabuk.
Setelah berada di
dekat Elang Samudera, Pendekar
Mabuk berkata
kepada si petugas pendaftaran.
"Apakah aku
bisa bertemu dengan Kanjeng Sultan?!"
"Ada perlu
apa?" tanya prajurit yang
mengamankansekitar
tempat itu.
"Ada yang
ingin kubicarakan tentang...."
Elang Samudera
menyahut, "Setelah acara ini selesai
tentunya kau bisa
menghadap Kanjeng Sultan!
Sebaiknya
sekarang mundurlah dulu dan tonton saja
sayembara ini
tanpa ikut campur!"
Pendekar Mabuk
dan Elang Samudera saling beradu
pandang beberapa
saat. Akhirnya Suto tanggap dengan
kata-kata Elang
Samudera. Agaknya ia tak diizinkan
bicara yang
menyinggung-nyinggung tentang si
PanglimaTulang
atau Malaikat Gantung.
Elang Samudera
pun berharap agar Suto tidak ikut
tampil dalam
arena nanti. Bukan saja karena akan
berhadapan
dengannya, tapi Elang Samudera ingin
unggul dalam
pertarungan itu, supaya dia dijadikan
andalan untuk
menangani masalah persekutuan maut itu.
Mau tak mau Suto
memahami juga hal itu, sehingga
ia merasa lebih
baik berunding dengan Elang Samudera
seusai acara
tersebut. Tapi agaknya sikap Suto yang tak
mau ikut dalam
sayembara itu mengecewakan hati
Ranggina,
sehingga gadis itu diam saja dengan wajah
cemberut.
"Tak peduli
dia mau kecewa atau tidak," ujar Suto
dalam hatinya,
"... kurasa memang ada baiknya kalau
aku tidak
menampakkan diri dalam acara ini. Firasatku
mengatakan bahwa
di sekitar sini pasti ada mata-mata
dari pihak
Malaikat Gantung atau Panglima Tulang.
Siapa yang akan
unggul dalam sayembara ini pasti akan
sampai di telinga
mereka. Paling tidak mereka dapat
menduga bahwa
pemenang sayembara ini akan
diandalkan oleh
sang Sultan sebagai penangkis serangan
mereka. Hmmm....
Panglima Tulang dan sekutunya pasti
akan mempelajari
kelemahan orang andalan sultan!"
Pendekar Mabuk
memperhitungkan langkahnya
masak-masak. Ia
tak menyangka kalau akan menghadapi
masalah segawat
itu. Persoalan persekutuan Panglima
Tulang dengan
Malaikat Gantung bukan persoalan yang
ringan baginya,
karena di belakang mereka berdiri si
tokoh paling
sesat yang menjadi musuh bebuyutannya:
Siluman Tujuh
Nyawa.
Dulu, Siluman
Tujuh Nyawa pernah ingin
mempersunting
Dyah Sariningrum secara paksa. Tapi
Suto Sinting
tampil dan mengacaukan segala rencana si
tokoh sesat yang
paling ditakuti oleh para tokoh
golongan hitam
itu. Sebagai sumpahnya, Pendekar
Mabuk akan
melamar Dyah Sariningrum dengan
maskawin
kepalanya Siluman Tujuh Nyawa.
Tetapi tokoh yang
sudah nyaris hancur dan
kehilangan banyak
pengikut itu ternyata cukup licin.
Setiap
pertarungan ia selalu menggunakan jurus
'Langkah Seribu',
artinya melarikan diri jika keadaannya
sudah terdesak.
Ia melarikan diri bukan saja dengan
kedua kakinya,
melainkan dengan ilmunya yang tinggi,
yang mampu
menembus alam gaib dan sukar dilacak
lagi.
Berkali-kali Suto
Sinting gagal menumbangkan
Siluman Tujuh
Nyawa. Orang terkutuk yang memang
dikutuk oleh
leluhurnya untuk menjadi manusia sesat
selama tiga ratus
tahun itu memang tampak kewalahan
hadapi Pendekar
Mabuk. Tapi Pendekar Mabuk pun
sering dibuat
keteter dalam berhadapan dengan Durmala
Sanca alias
Siluman Tujuh Nyawa.
Pengembaraan Suto
selama ini adalah dalam rangka
mengejar si
manusia kejam yang tempat
persembunyiannya
sukar ditemukan. Jika sekarang
diketahui ia
berada di belakang Malaikat Gantung dan
Panglima Tulang,
maka Suto sangat bernafsu untuk
hadapi salah satu
dari kedua orang itu. Suto berharap
dapat menangkap
salah satu dari mereka secara hidup-
hidup, agar bisa
dapatkan keterangan di mana letak
persembunyian
Siluman Tujuh Nyawa.
Lamunan Pendekar
Mabuk buyar dan ia tersentak
kaget, sempat
menggeragap sebentar ketika pinggangnya
disodok memaki
siku oleh Ranggina. Gadis itu
bersungut-sungut
melihat Suto Sinting menggeragap.
"Orang-orang
bersorak kau malah melamun! Lihatlah
pertarungan itu!
Kasihan temanmu terbanting berkali-
kali!"
Pendekar Mabuk
baru sadar bahwa ia sudah melamun
cukup lama.
Pertarungan di atas panggung arena itu
sudah berlangsung
cukup lama. Peserta demi peserta
telah dinyatakan
tumbang. Kini tinggal Elang Samudera
melawan seorang
lelaki bertubuh tinggi, kekar, dan
berkepala
pelontos, walau bukan berarti gundul.
Orang itu
mendaftarkan diri dengan nama Wiro
Geprak.
Tubuhnya tampak
kenyal dan sukar ditumbangkan.
Elang Samudera
berhasil menendangnya beberapa kali,
tapi Wiro Geprak
tetap berdiri tegar bagai tiang pancang
sebuah jembatan
beton.
Dalam satu
lompatan kecil, Elang Samudera berhasil
menghantam
pukulannya ke arah perut Wiro Geprak.
Tapi tangan Wiro
Geprak justru mencekal genggaman
Elang Samudera.
Teeb...! Genggaman itu dirematnya.
Kreeerk...!
"Aaaaoow...!!"
Elang Samudera menggeliat sambil
menyeringai
kesakitan. Tulang-tulang jari tangannya
bagaikan remuk.
Namun ia masih bisa menyilangkan
tangan kiri ke
atas kepala ketika Wiro Geprak ingin
menghantam
kepalanya. Dees...! Tangkisan itu pun
terasa membuat
tulang lengan Elang Samudera bagaikan
patah. Tiga kali
hantaman tangan kanan Wiro Geprak
berhasil
ditangkis oleh Elang Samudera, namun untuk
hantaman keempat
sepertinya Elang Samudera tak
sanggup
menangkisnya lagi, sebab tulang lengannya
sudah terasa
remuk.
Namun ternyata
hantaman Wiro Geprak tidak seperti
tiga hantaman
yang tadi. Kali ini telapak tangan Wiro
Geprak menyodok
ke depan. Kepala Elang Samudera
disentakkan ke
belakang untuk hindari sodokan telapak
tangan besar itu.
Namun agaknya gerakan tersebut
terlambat,
sehingga rahang Elang Samudera tersodok
telapak tangan
itu. Deess...!
"Ooufw...!"
wajah Elang Samudera tersentak ke
samping, air
peluhnya memercik, rambutnya terhempas
lepas dari
ikatannya.
"Gila! Besar
sekali tenaga orang itu?!" gumam
Pendekar Mabuk
dengan tegang.
Tangan kanan
Elang Samudera masih dalam
cengkeraman Wiro
Geprak, membuat Elang Samudera
tak bisa
terpental jatuh. Padahal pandangan matanya
telah menjadi
buram akibat tulang rahangnya terasa
pecah.
Orang-orang
berseru saling melontarkan aneka
macam kata-kata.
"Hantam
lagi! Hantam lagi biar mulutnya
mengsong!"
"Ayo,
Elang... lawan terus dia! Ayo... ayooooo, kamu
bisa...!"
"Genjot
mukanya! Genjot yang mantap, biar
hidungnya
somplak!"
"Awas,
jangan gigit kuping, nanti disidang!" seru
yang lain. Suto
Sinting pun gemas sendiri dan berseru
dari tempatnya.
"Gunakan
lututmu. Elang! Lutut...! Lutut...!"
Rupanya Elang
Samudera sempat mendengar suara
Suto samar-samar.
Dalam keadaan pandangan mata
semakin gelap,
Elang Samudera segera menyodokkan
lututnya ke
depan. Dess...! Prook...!
"Aaaaaoow...!!"
Wiro Geprak
memekik keras-keras. Tubuhnya
langsung
terbungkuk mundur. Genggaman tangannya
pada kepalan
tangan Elang Samudera dilepaskan. Elang
Samudera pun
berhasil melangkah mundur dengan
sempoyongan,
namun segera terhempas jatuh. Ia
terengah-engah
sebentar, dan mendengar suara Wiro
Geprak
berteriak-teriak akibat 'anunya' tersodok lutut
dengan keras
sekali.
"Bangun!
Cepat bangun...!" seru mereka kepada
Elang Samudera,
karena mereka tahu keadaan Wiro
Geprak sudah
mulai lemah, makin lama makin lemah.
"Ayo,
bangun! Serang lagi dia! Cepat, bangun...
bangun!"
"Bangun
tidur kuterus mandi...!"
"Husy! Itu
tembang anak-anak!" gertak teman orang
yang konyol itu.
Suto Sinting pun
berseru, "Pusatkan napas! Pusatkan
napas di
dada!"
Ranggina ikut
berseru dengan kedua tangan di
samping mulutnya.
"Di dada...!
Dada...! Pusatkan dada di napas, eeh...
pusatkan napas di
dada!"
Seruan itu tak
dihiraukan Elang Samudera. Tak ada
yang didengarnya
sama sekali. Tapi jiwa dan semangat
pertarungannya
tetap membara, sehingga dengan susah
payah Elang
Samudera pun berusaha bangkit. Melalui
pandangan mata
yang memburam, tak segelap tadi. Ia
melihat Wiro
Geprak terbungkuk-bungkuk
mendekatinya
dengan kedua kaki merapat. Elang
Samudera pun
kerahkan tenaganya untuk lakukan satu
lompatan
berputar, wuuut...! Kakinya berkelebat dalam
satu tendangan
seperti orang menampar. Wees, plook...!
"Aaaaohk...!"
Wiro Geprak terpekik lagi, tubuhnya
terlempar ke
samping. Tendangan kaki itu seperti
sebatang pohon
beringin menerjangnya dari kiri. Pelipis
dan tulang
rahangnyaterasa mau pecah.
Brrrrukk...!
Wiro Geprak
tumbang bagaikan nangka busuk jatuh
dari pohon. Ia
tak berkutik lagi. Pingsan. Tak ada
penantang atau
peserta lain yang ingin mengadu
kekuatan dengan
Elang Samudera, sehingga dengan
demikian maka
kemenangan mutlak berada di tangan
Elang Samudera.
Para penonton,
termasuk Pendekar Mabuk, bersorak
kegirangan
menyambut kemenangan Elang Samudera.
Tetapi Ranggina
tidak ikut bersorak. Ia hanya diam
dengan cemberut,
sehingga menimbulkan tanda tanya di
batin Suto
Sinting.
Akhirnya Suto pun
bertanya, "Mengapa kau tampak
tak senang
melihat kemenangan Elang Samudera?!"
"Aku sangsi
apakah dia bisa melindungiku atau
tidak."
"Yang perlu
kau sangsikan adalah, apakah dia mau
melindungimu atau
tidak!" ujar Suto Sinting agak
tersinggung
karena kemampuan temannya disepelekan
oleh Ranggina.
"Sebaiknya
aku pergi saja."
"Hei, katamu
kau mau minta bantuan pada pemenang
sayembara
ini?!"
"Tak
jadi!"
"Mengapa tak
jadi?"
"Aku... aku
tak berani memberikan upah yang pernah
kukatakan padamu
itu! Aku tak mau jadi istrinya jika ia
berhasil kalahkan
Ayodya!"
"Jangan
kegedean rasa dulu! Elang pun belum tentu
mau memperistri
dirimu, Ranggina! Dia sudah punya
kekasih
sendiri."
"O, ya...?!
Benarkah dia sudah punya kekasih?!"
Ranggina tampak
terperanjat dan sedikit tegang. Suto
Sinting hanya
memandang dalam keheranan.
"Kenapa
sekarang ia justrutampaktegang?!"
*
* *
Emoticon