4
SAHARA kaget meilhat luka-lukanya hliang
bersama rasa sakit di sekujur badannya. Ia kebingungan pandangi tubuhnya yang
mulus kembali bagal tak pernah terluka sedikitpun. Luka yang hilang dicarinya
di sana-sini tubuhnya. Seperti orang kehilangan dompet. Sampai la memutar
tubuh, menengok ke pinggulnya. Hmmm... ternyata mulus juga, tak ada cacat atau
bekas goresan sedikit pun.
"Karena kau meminum tuakku, maka
lukamu mengatup rapat kembali dan... badanmu merasa segar, bukan"!"
sambil Suto SIntIng sungglngkan senyum menawan.
Sahara memandang rada tegang.
Cepat-cepat pedangnya diacungkan ke arah Pendekar Mabuk dengan mata membelalak
garang.
"Siapa kau'sebenarnya"!"
bentuknya sambil melangkah maju. Pendekar Mabuk melangkah mundur karena
lehernya tak mau tertusuk uiung pedang.
'Hei. aku yang menolongmu! Aku bukan
musuh. Sahara!"
"Bohong! Kau pasti mata"mata
dari Pantai Dahaga!"
"Pantai Dahaga"! Ooh..., baru
sekarang kudengar nama Pantai Dahaga!"
"Dusta' bentak Sahara iagi dengan
wajah cantiknya semakin memancarkan keganasan. Pedangnya disentakkan ke depan,
Suto tersentak mundur karena hindari ujung pedang yang berjarak kurang dari
Sejengkal dengan lehernya.
'Kau Salah paham; Sahara! Aku tadi
melihatmu bertarung dengan Cindera Giri. Kuselamatkan kau saat keadaanmu lemah
dan Cindera Girl menyerang engan pedangnya. Kalau tidak kau akan mati di ujung
pedang Cindera Giri!"
"Memang aku tadi terluka parah,
tapi sekarang lukaku sudah hilang dan...."
"Dan aku yang Sembuhkan dirimu,
Saharal"
"Mungkin saja. Tapi aku tahu maksud
burukmu di balik sikap baik itu!"
Suto Sintlng masih mundur terus
sementara Sahara dan pedangnya tetap maju, sampai akhirnya Suto terdesak tak
bisa bergerak lagi. Di belakangnya ada batu sebesar rumah Badrun.
Di situlah agaknya Sahara menggiring
Suto dan mengancam dengan pedangnya. Ujung pedang lebih dekat lagi dengan kulit
leher Suto. 'Jangan lakukan gerakan yang mencurigakan kalau tidak ingin
pedangku menembus lehermu, .jahanam"
"Namaku Suto Sinting. bukan Jahanam
Sintlng...," ujar Suto sambil sunggingkan senyum yang biasanya membuat
hati wanita menjadi lemah. Tapl agaknya ia berhadapan dengan wanita lain
daripada yang lain. Gadis itu tetap tegar, galak, dan penuh curiga. Jurus
"Senyuman lblis' yang mampu membuat perempuan terglla gila padanya Itu
luga tidak mempan diarahkan kepada Sahara.
"Lepaskan bumbung tuakmu!"
"Hei. aku...." 'Lepaskan
bumbung tuakmu!" bentak Sahara dengan mata kian mendeiik. Uiung pedang
terasa dingin, berarti sudah menempel di pertengahan Ieher Suto.
Agaknya gadis itu tidak main"main
denganancamannya. Mau tak mau Suto pun melepaskan bumbung tuaknya. Tangan
Sahara terulur ke depan. Bumbung tuak diserahkan ke tangan itu. Sahara menggantungkannya
di pundak kirl.
"Jalan ke kiri...!" perintah
Sahara sambil ujung pedang sedikit merapat lagi ke leher Suto.
'Gawatl Dia bersungguh"sungguh.
Sedikit gerakan yang mencurigakan leherku bisa ditembus dengan pedangnya.
Sebaiknya aku mengalah dulu.
sambil kucoba yakinkan bahwa aku bukan
mata-mata dari Pantai Dahaga," ujar Suto dalam hati.
"Mau dibawa ke mana aku,
Sahara"!" tanya Suto seraya melirik ke belakang, karena sekarang
Sahara ada di belakangnya dan ujung pedang gadis itu menempel lekat dl punggung
kiri. Jika pedang itu ditusukkan maka akan tembus kenai jantung.
"Mau kubawa ke mana saja Itu
urusankul Kau tak perlu tahu. karena kau sekarang adalah tawanankul"
Pendekar Mabuk masih tenang, masih
sempat sungglngkan senyum geli mendengar dirinya dianggap tawanan. Suto pun
mencoba jelaskan siapa dirinya dengan tetap melangkah, karena ujung pedang
Sahara terasa sedlklt mendorong.
Kalau Suto hentikan langkah, maka ujung
pedang itu akan menembus ke punggungnya akibat didorong terus oleh pemegangnya.
"Saha'ra, kuingatkan sekali lagi, aku adalah seorang sahabat. Bukan
musuhmu, bukan mata"mata Pantai Dahaga. Aku dalam perjalanan ke Bukit
Sawan untuk jumpai seorang sahabat yang menjadi murid Perguruan Telaga Murka.
Lalu kulihat kau bertarung dengan Cindera Giri,..."
"Apakah kau begundalnya Cindera
Glri"i'
"0, bukan! Bukan ]uga begundalnya
Cindera Giri. Aku"." "Tetap jalani' bentak Sahara memotong
kata-kata Suto. Maka perintah itu pun diikuti ketimbang harus ngotot yang
akhirnya akan ditembus pedang.
Tapi pada langkah berikutnya, tiba"tiba
Sahara terkelut melihat tawanannya tiba-tiba lenyap tak berbekas. Gadis itu
kelabakan. cllngak-cilnguk kebingungan mencari sang tawanan yang sebenarnya
telah menggunakan jurus berlari dengan
kecepatan menyamai kecepatan cahaya yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman' itu.
Zlaaap, zlaaap...l
Tahu-tahu Suto Sinting berada disebelah
kanan Sahara dalam jarak delapan langkah lebih. Pemuda itu sengaja berdiri
dengan satu tangan bersandar pada pohon dan Senyumnya mengembang penuh kesan
ejekan. Sahara menggeram, kemudian segera berlari mengejar Suto Sinting.
Wuuus"!
Ziaap, zlaa'ap...l Pemuda tampan yang
senyumannya menggoda itu lenyap kembali. Padahal si gadis baru saja tiba di
tempat si pemuda tadi berdiri dengan satu tangan bersandar pada pohon. Kini
mata si gadis melihat pemuda itu ada di sisl lain, duduk di atas batu
seenaknya, seperti orang sedang santai melepas lelah.
'Kuhancurkan kau jika tetap tak mau
kubawa ke pengadilanl" geram Sahara, kemudian melepaskanpukulan bersinar
merah ke arah Pendekar Mabuk.
Ciaaap...l Zlaaap...| Blaarrr...i Sinar
merah itu menghantam batu, sedangkan Suto Slntlng sudah pindah di belakang
Sahara dalam [arak tujuh langkah. Bertambah geram hati _Sah ara begitu
mengetahui tawanannya ada di belakangny a. Ia pun bergegas memburunya lagi.
Tapi sebelum melangkah, tiba"tiba suara Suto Sinting terdengar bagal
menggertak.
"Maju selangkah kau mati,
Saharal"
Langkah si gadis kekar itu terhenti
seketika. Rupanya gertakan yang tak akan dilakukan Suto secara sungguh"Sungguh
Itu sudah cukup membuat hati Sahara menjadi waswas. ' "Kalau aku mau lolos
darimu, itu adalah hal yang mudah, Sahara! Bahkan kalau aku memang niata -mata
dari lawanmu, sudah kubunuh kau sejak tadi.
Jadi sampai sekarang aku tidak melawanmu
karena aku Ingin tunjukkan bahwa aku bukan mata"mata dari pihak
lawanmul"
"Menyerahiah jika kau bukan
mata-mata!!
"Mana mungkin"! Justru karena
aku bukan mata-mata maka aku memberontak!"
Sahara dlam, agaknya ia mempertimbangkan
sesuatu dalam hatinya, 'Jika aku melawannya dengan kekerasan. kurasa... ilmuku
tidak cukup untuk menandinginya. Dillhat dari gerakannya yang luar biasa cepat,
dan kemampuannya menyembuhkan lukaku dengan tuaknya ini, maka jelaslah dia
berilmu cukup tinggi, dan lebih tinggi dariku. Aku harus menggunakan siasat untuk
menawannya. karena agaknya Ia memang mata-mata yang pandai bersandiwara sebagai
orang balk-balk."
Pendekar Mabuk mencoba membujuk Sahara dan
meyakinkan gadis itu bahwa dirinya bukan seorang mata-mata dari Pantai Dahaga.
Tetapi agaknya gadis itu tak mudah dibujuk dan pendiriannya tetap kokoh.
"Baiklah kalau begitu kau memang Inginkan aku melawanmu, Sahara! Jangan
menyesal jika kau celaka dalam pertarungan denganku nanti!' ujar Suto tegas.
Sahara hanya berpikir, "Celaka! Dia
pasti tak akan Segan-segan membunuhkui
Sebelum hal itu terjadi, aku harus gunakan siasat untuk dapat menjeratnya. Tapl
siasat apa yang harus kupakai?"
Sambil berpikir demikian, Sahara
melangkah ke samping dengan pandangan mata tetap tajam penuh waspada. Namun
pandangan matanya itu sempat mellrik'ke arah tanaman rambat yang berakar mlrlp tambang
itu.
"Hmm... ada 'Akar Serat
Setan". Kalau dia kulkat dengan 'Akar Serat Setan" itu, maka ia tak'
akan dapat lolos. Sebab akar Itu jlka dipakai untuk mengikat akan menjadi tambah kuat apabila orang itu
ingin memberontak melepaskan diri dari lkatannya. Akar itu hanya bisa
dilepaskan dengan pelan-pelan sekali atau dengan cara dltebas dengan pedang.
Tapl... bagaimana aku harus membujuknya supaya masuk perangkap dan dapat
menjeratnya dengan akar itu?"
Terdengar suara Suto berseru dari
kejauhan.
"Sahara, sekali lagi kulngatkan
bahwa aku sebenarnya bukan musuhmu. Aku sedang. dalam perjalanan ke suatu
tempat Untuk temui sahabatku, sl Tirai Surga. Kembalikan bumbung tuakku yang
menggantung dl pundakmu itu, sebelum aku merampasnya dengan paksa. Tubuhmu akan
cedera jika kulakukan perampasan dengan paksa, Sahara."
"Tlral Surga adalah menjadi
tawananku juga. Sebentar lagi Ia akan jalan! hukuman gantung!"
"Apaa..."l' Suto Sinting
tampak terkejut dengan kedua mata terbelalak. Sahara mulai mendapat angin untuk
slaaatnya. 'Jika kau bersedia kutawan, maka kau akan kujadikan satu dengan
Tlral Surga sebelum ia dihukum gantung oleh atasankul"
"Slapa atasanmu"!"
"Kau tak perlu tahu! Akan kulkat
kau dan kuserahkan kepada atasanku biar dijadikan satu dengan Tirai Surga dalam
tawanan nanti." sambll hatl Sahara berkata sendiri, "Aku yakin, Tikal
Surga pastl nama seorang gadis, dan mungkin Ia sedang naksir gadis Itu. Padahal
aku sendri tak tahu siapa sl Tlral Surgaitu." Pendekar Mabuk sendiri
berpikir, "Benarkah Tlrai Surga menjadi tawanannya" Benarkah akan
dlhukum gantung?"
Lalu, Suto pun mendekat dalam' jarak
lima langkah. "Apa kesalahan Tirai Surga sehingga kau Ingin menghukum
gantung sahabatku Itu?"
"Kau bisa tanyakan sendiri padanya
setelah dalam satu kamar tahanan nanti!" '
Hati sl pendekar tampan itu pun akhirnya
berkata, "Kurasa tak mungkin Tlral Surga menjadi tawanannya. Aku yakin,
dia hanya ingin menjebakku saja. Mengapa Ia bernafsu sekail menangkapku"
Aku jadi Ingin tahu siapa dia dan mau
dibawa ke mana jika aku sudah diikatnya nanti?"
'Mendekatlah dan berbaliklah ke
belakang. Taruh kedua tanganmu di belakang dan aku akan mengikatnya dengan akar
ini!". '
Tees...l 'Sahara memotong akar
tanaman-rambat dengan pedangnya. Akar itulah yang dinamakan 'Akar Serat
Setan", yang akan menjerat semakin kuat jika tangan yang dijerat
bergerak"gerak Ingin loIoskan diri. "
Suto Sintlng masih diam memandang sambil
hatinya berujar, "Aku benar-benar penasaran padanya. Orang mana sebenarnya
dia itu" Apakah dia juga tahu tentang si gadis penunggang kuda putih"
Hmmm... baiklah, aku akan berlagak menyerah saja, biar jelas Segalanya
bagiku'tentang siapa dia sebenamya. Aku akan penasaran jika sampai tak tahu siapa
gadis cantik berperawakan tegar itu. Kurasa
jika sampai terjadi bahaya, aku bisa atas! Sendiri walau kedua tanganku
terikat, apalagi hanya diikat dengan akar seperti Itu. Sekali Sentak saja pasti
akar itu akan putus!" '
"Sahara," ujar Suto. "Aku
bersedia kau tangkap, tapi kau harus berjanji akan membebaskan aku jika kau tak
punya cukup bukti dalam peradilan nanti tentang'tuduhan terhadapku tadi. Dan
kau pun harus bebaskan Tira! Surga jika benar Ia akan dihukum gantung!" '
"Aku tak punya perjanjian apa pun! Jika kau Ingln bertemu Tira! Surga,'
serahkan kedua tanganmu. ke belakang! ! lekas!"
Dengan senyum kaiem, merasa ancaman itu
,terlalu ringan untuk dihadapi, akhirnya Suto Sintlng pun berlagak pasrah. ia
memutar balik tubuhnya dan kedua tangannya dibiarkan diikat di belakang dengan
akar tersebut.
'Kusentakkan Satu kali, akar ini pasti
putus. Dan dia akan tahu bahwa Sebenarnya aku tak akan bisa ditangkap dengan cara
apa pun!" pikir Suto Sinting saat Sahara mengikat tangannya.
Suto Sinting tak tahu keistimewaan akar
tersebut. Kedua tangannya terikat dan Ia harus berjalan, kedua tangan itu
mencoba berusaha untuk disentakkan agar mengetahui seberapa kekuatan akar tersebut.
Tapi ternyata akar itu justru semakin kuat menjerat. Suto coba-coba untuk
loloskan tangannya, dan jeratan pun terasa kian kuat lagi. ikatannyaterasa
mengencang dengan sendirinya, sampai"sampal darah terasa tak mengalir ke
telapak tangan.
"Celaka! Kenapa tallnya jadi
kencang sendiri begini" Makin aku bergerak makin menjerat lag! Tall akar
Ini. Brengsek! Rupanya ia memakai akar yang
aneh untuk mengikatkan! Wah, kacau kalau
begini, akar In! tak bisa diputus dengan sekali atau dua kali sentak"
Hmmm... biarlah kulkutl dulu apa maunya gadis cantik bertubuh menggairahkan
itu!"
Sahara membawa Suto ke arah timur.
Mereka akhirnya tiba di tepi sungai. Sungai itu berteplan dangkal dan mempunyai
air terjun cukup dingin. Hawa sejuk terasa menyegarkan tubuh, seakan udara
panas dl siang nan bolong itu tak dapat melawan udara sejuk di sekitar air
terjun tersebut.
"Duduk di situ!" sentak
Sahara, dan Suto menuruti perintah Itu dengan sabar. Ia duduk di atas batu
setinggi betis dengan kedua kaki melenjor ke depan. Rupanya Sahara masih
menyimpan sisa 'Akar Serat Setan', dan kali ini sisa akar itu dipakai untuk
mengikat kedua kaki Suto Sintlng.
"Gila! Mengapa kau mengikat kakiku
juga"!" ujar Suto sambil pandang! dada Sahara yang dalam posisi agak
membungkuk itu.
"Biar kau tak Iarlkan diri. harus
diikat dengan 'Akar Serat Setan' ini!" Sahara bicara sambil sibuk mengencangkan
simpul Ikatannya.
'Aku tak akan lari, Sahara! Percayalah,
aku tak akan lari karena aku tak ingin menjadi buronanmu dan kau anggap
mata-mata!"
Sahara diam saja. ia segera menuju ke
pancuran air terjun itu. Suto Sintlng Sempat berseru dengan jengkel.
'Hel, denger...! Kalau aku mau, aku bisa
menendang wajahmu saat kau mau mengikat kakiku baru saja! Tapi hal Itu tidak
kulakukan, bukan" Berarti aku tidak bermakSud jahat padamu, Sahara!"
Gadis itu bagaikan tak mendengar
teriakan Suto Sintlng. Ia melangkah terus. melompat ringan dari batu ke batu.
Sampai di belakang batu setinggi perut, Sahara melepaskan pedang dari
punggungnya Setelah meletakkan bumbung tuak milik Suto Itu.
Pedang ditaruh di atas batu berdekatan
dengan bumbung tuak. Demikian pula penutup dadanya yang berumbal-rumbai Itu,
juga dilepasnya dengan cuek. Mata Suto Sintlng memandang tak berkedip.
Mulutnya terbengong melompong. Ludahnya
ditelan berkali-kali. Dada yang terbuka Itu tampak jelas dari tempatnya.
Kencang dan mulus walau berwarna coklat Sawo matang. Tap! ujung-ujungnya tampak
jelas sekali masih ranum dan menantang.
"Edan! Gadis Ini sudah tak waras!
Buka dada di depanku begini adalah hal yangtldak waras menurut dalil mana pun
juga! Aduh... dadaku sendiri malah jadi sesak menahan deburan jantungku.
iilhh...! Geregetan sekail aku padanya. Kaiau keadaanku tidak terikat begini,
kusambar dia dalam keadaan begitu. Busyet!"
Pendekar Mabuk mencoba ioloskan kedua kakinya. Tapi ikatan akar itu bergerak
semakin kencang dan kuat. Suto Sinting dongkol sekali.
Jantungnya makin berdetak-detak ketika
ia melihat Sahara mengguyur tubuhnya dengan air terjun ltu. Hal yang membuat
dada Suto semakin sesak dan dipakai bernapas terasa sakit adalah keadaan
Sahara_yang melepaskan penutup bawahnya juga itu.
Sayang ia memunggungi Suto Slntlng,
sehingga mata bandel sl pendekar tampan itu tak bisa melihat jelas apa yang
tadi tertutup di bagian bawah Sahara itu. Namun dengan memandang lekuk tubuh
dari belakang, kemulusan punggung sampai ke pinggul, kemontokan pinggul
belakang yang tampak kencang dan membusung itu, sungguh suatu siksaan batin
yang sulit dipakai untuk menjerit.
"Dia lebih sinting darikul' geram
Suto dengan napas terengah-engah, bukan karena marah tapi karena dibakar oleh
gairahnya sendiri.
'Gadis tololi Gadis edanl Mandi
seenaknya di depan orang yang jerat begini. Menyakltkan hati. Goblokl' maki
Suto Slntlng dengan suara gerutu yang pelan. "Sebaiknya aku tak perlu
memandangnyal Pandang saja arah iainl' sambil Suto berpaling ke ketempat lain.
menatap karimbunan pohon bambu di bawah tanggul sungai. Tapi sesaat kemudian
mata itu mellrik ke arah Sahara. '
Srrr...! Hati pun berdeslr karena Sahara
kini dalam posisi menyamping, karena ia juga perlu mengawasi tawanannya dalam
keadaan tetap menggUyur tubuh dengan air sejuk itu. Mata Suto sendiri segera
dialihkan lagi ke arah lain. Tapi sebentar sebentar melirik ke arah Sahara,
seolah berharap agar Sahara mandinya
menghadap ke arahnya.
"Konyol! Kenapa mataku berat ke
kanan"! Jangan-jangan sudah tak sehat lagi mata kananku"!
Maunya melirik ke kanan terus. Ah, setan
belang betul gadis lm!" gerutu hati Suto Slnting sambil sesekali menahan
napas, berusaha meredakan gemuruh dl dalam dada. Namun gemuruh itu justru
terasa semakin keras, seolah-olah dl dalam dadanya ada ratusan kuda yang
berlari serentak di tanah lapang.
"Mungkin Ia bermaksud menyiksa
batinku," pikir Suto Sintlng. 'Hmm... sebaiknya kupejamkan mataku blar tak
semakin tersiksa."
Pendekar Mabuk pun segera pejamkan
mata.Tapi mata kanannya masih mencoba mengintip sedikit. Sedikit sekali.
Lama-lama menjadi lebar.
"Oh, kenapa aku mengintipnya"
Tolol!" ia buru-buru pejamkan mata kanan kuat-kuat,
'Aman...! Kalau begini amanlah batinku,
tidak tersiksa oleh pemandangan yang-.... Lho, tapi benakku kok masih
membayangkan dia telanjang dan mandi di sana"! Wah, kacau! Mata terpejam
tapi pikiran membayangkannya, sama saja'terslksa juga kalau begini"!
Aduuuh... benar"benar muak aku pada keadaan seperti ini! Lama-lama aku
teriak juga, biar ada orang yang mendengarnya dan datang kemari untuk menonton
Sahara mandi! Kunyuk betul!"
Entah sampai berapa baris batin Suto
menggerutu dan berceloteh sendiri- Yang ielas hal itu dilakukannya dengan kedua
mata terpejam rapat-rapat. Ia mencoba untuk membayangkan hal-hal lain, seperti:
rumah Badrun, orang Waduk Bangkai, Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi musuh
utamanya itu, wajah Sawung Kuntet yang berkumis mirip kelelawar lumpuh itu dan
beberapa bayangan lain yang sebenarnya sangat tak enak jika dibayangkan.
Namun dengan cara begitu. deburan deras
dalam dadanya menjadi berkurang, lama lama hilang. Gairah kemesraannya yang
tadi berkobar kini menjadi padam, terutama setelah ia membayangkan Badrun sedang
melepas pakaian. Suto justru tertawa ceklkiksn sendlri membayangkan Badrun
tanpa pakaian dikejar-kejar anjing dan jatuh terpeleset karena menginjak tempurungnya
sendiri. 'hehh, hehh. hehh, hehh...l" lawa Suto mulai agak keras.
"Kenapa tertawa sendlri Lekas jalan iagll"
Sentakan itu mengejutkan Suto dan Ia
jadi menggeragap. 'Hahh..."l Ada apa ini" Mengapa gelap
semua"!"
"Buka matamu. Toioll'
"Astaga,?" Suto Slntlng malu
sekali. Tak sadar ia telah memejamkan mata terlalu lama. hingga tak tahu kalau
Sahara selesai mandi dan sudah ada di hadapannya. Bahkan ia sampai lupa membuka
matanya kembali, sehingga dunia dianggapnya gelap semua. Ketika matanya beradu
pandang dengan Sahara yang sudah siap lanjutkan perjalanan dengan pedang
terhunus di tangan, Suto hanya bisa cengar-cengir malu dan salah tingkah.
Wuuut, breat...l 'Haaaahh..."l'
Suto Slntlng terpeklk karena kagetnya ketika pedang Sahara berkelebat ke
arah-memutus 'Akar Serat Setan' tanpa lukal kaki Suto sedikit pun. Hal itu
membuktikan bahwa Sahara mempunyai keahlian dalam memainkan jurus pedang yang
cukup dapat handal
"Cepat, jalan lagi!" perintah
Sahara sambil mengarahkan ujung pedang ke leher Suto.
"Hmmm... aku... aku haus sekali.
Sahara. Boleh minta minum tuakku'."
Setelah mendengus kesal, Sahara pun akhirnya
tuangkan tuak ke mulut Suto, sementara Suto berlutut dengan dongakkan kepala:
dan membuk a mulutnya lebar"lebar. Om...!
"Haaip... haaip...l Sudah, Tolol!
Uhuk, uhuk, uhuk...!' Suto Slntlng terbatuk tuk. Tuak banyakyang tumpah ke
wajahnya. ia megap-megap karena terlalu lama menenggak tuak.
"Gadis edan kau! Kau pikir alku
seekor unta, bisa minum sebanyak Itu buat persediaan di jalan"! Yang wajar
saja, Non!" omei Suto Slnt'ing sambil didorong agar jalan kembali. Belum
jauh dari tanggul, tiba-tiba Suto Sintlng melihat sekeiebat benda kemilau
melesat dari arah samping kirinya. Suto pun berteriak secara spontan,
'Awass...l' ia melompat ke depan dan
berguling ke tanah satu kali. Wuuut...! Kejap berikut_la sudah berdiri dengan
satu kaki berlutut.
Pada saat ia berguling ke tanah.
samar-semar didengarnya suara Sahara terpekik dengan nada tertahan.
"..-"akh !. . 'Sahara. ."l' Suto Sinting terkejut melihat Sahara
terluka. Sebuah senjata rahasia berbentuk bintang segi lima menancap di lengan
kiri Sahara. Ben-da itu masuk ke dalam lengan separuh bagian. Sahara
menyeringai dan mengerang panjang sambil berusaha mencabut senjata rahasia itu.
'Seseorang ' menyerangmu, Sahara!
Lepaskanlah ikatanku, aku.
"Diam kau!" tuding Sahara
memakai pedangnya. Suto Slnt'ing mundur dan dlam seketika. Emosinya diturunkan
sendiri. ia "undur sampai merapat dengan sebatang pohon.
"Berani lari kubunuh dari jauh
kaul" geram Sahara dengan wa mulai memucat. pasti racun dalam senjata
rahasia itu mulai bekerja, menyatu dengan darah yang mengaiir di
sekujur'tubuhnya itu
"Sahara, aku hanya akan... awas-
sentak Suto mendadak. Seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun melompat
dari balik semak dengan kapak bermata dua sudah ada di tangannya. Orang itu
menerjang Sahara dari belakang; kapaknya slap. Dihantamk an pada kepala
gadis'itu. Sahara segera berbalik, lalu bersalto mundur hindari hantaman kapak
orang tersebut. Wees...!
Perginya Sahara dari hadapan Suto
membuat kapak itu terarah ke wajah Suto bersama pemiliknya yang melompat dengan
ganas. "Mati aku!" gumam Suta Sinting menegang, tapi ia segera
jatuhkan badan ke kiri. buuk...! Tepat pada saat itu kapak orang tersebut
diayunkan ke depan. Jrrab...!
Kapak itu menghantam pohon. Kaki Suto
Sinting berkelebat menendang perut oran'g itu sambil berbaring di tanah.
Buuukh...! Wass.-..! Orang Itu terpental sejauh tujuh langkah. Tendangan
bertenaga 'dalam cukup kuat itu tak diduga sama sekali oleh orang berbaju serba
biru.
Akibatnya Ia jatuh terbanting di sana
dan terkapar dengan tubuh tersentak-sentak seperti orang terSerang penyakit
ayan- Mulutnya berbusa dan busa itu adalah darah. Sedangkan kapaknya tertinggal
di pohon dalam keadaan masih menancap. Sahara menjadi beringas Setelah kenali
orang tersebut. "Rupanya kau ingin nasibmu lebih parah dari adik
perguruanmu, Ganda Wirang"! Terimalah ajalmu sekarang juga Keparatll'
heaaah" .!"
'Saharaaa ... jangan. .l' teriak Suto
Sinting begitu meiihat Sahara berlari dengan pedang siap dihujamkan ke tubuh
Ganda Wirang, Suto Sintlng buru-buru bangkit ingin menahan gerakan Sahara.
Tetapi gadis itu tiba-tiba iatuh
tersimpuh dan memekik sendiri. Rupanya racun pada senjata rahasia tadi mulai
tak mampu ditahannya. Racun itu membuat Sahara menjadi semakin lemas dan
jantungnya melemah. Napasnya menjadi sesaak. Sulit diheia. Ia masih bersimpuh
sambil mendekap luka di lengannya. Pendekar Mabuk segera menghampirinya setelah
berusaha mengambil bumbung tuaknya yang tadi jatuh saat Sahara bersaito mundur.
Bumbung tuak itu dijatuhkan dl depan Sahara dengan tangan Suto masih tetap
terikat ke belakang.
"Minum Tuakku! Lekas minum sebelum
racun itu mencabut nyawamu' 'Uuukh...l' Sahara menahan sakit sambil berusaha
mengairnbil bumbung tuak.
Pada saat itu, Ganda Wirang'berusaha
bangkit dan mendekati Suto dari belakang dengan langkah gontal. Suto sedang
memperhatikan Sah ara, dan mata Sahara segera terbelalak melihat Ganda Wirang
mencabut pisau yang terselip di balik bajunya.
Kemudian melompat hendak menikam Suto
dengan pisau itu. _ 'Awwwaas...l. Aaakh...l" Sahara berusaha memeklk, tapi
suaranya pelan dan lemah, bahkan dadanya terasa bagal ditikam dari dalam.
Namun pemuda tampan murid el Gila Tuak
itu segera paham maksud Sahara. Ia cepat menengok ke belakang, kemudian kakinya
berkelebat menendang Ganda Wirang. Wuuut...l Baaaklt...l Tenda ngan kaki itu
tepat kenal dada Ganda Wirang.
'Heekh...!' Ganda Wirang terlempar lagi
ke belakang sejauh lima langkah, membentur pohon dngan kerasnya. Duuurt'...l
"
Orang berkumis tlpis itu tak bisa
bersuara lagi.
Matanya mendellk, wajahnya mendengak dengan
mulut terbuka, ia jatuh terkapar dan mengejang. Darah semakin banyak yang
keluar dari mulutnya.
"Lekas minum tuaknya!" seru
Suto dengan tenang. Wajahnya menampakkan kecemasan yang cukup membuatnya
menjadl jengkel sendiri. Sahara pun buru"buru 'meminum tuak itu dengan
kedua tangan gemetar. Sementara itu, suara Ganda Wirang terdengar
menyentak-nyentak bersama tubuhnya yang juga menyentak-nyentak.
"Buka ikatanku! Lekas, buka ikatan
tanganku! Orang itu butuh bantuan. ia akan mati kalau tak ninum tuakkul Buka
ikatan tanganku ini, Sahara!" sambil Suto memunggungi Sahara, tapi gadis
itu tak mau membuka ikatan tangan Suto. Gadis itu terengah"engah dengan
pejamkan mata, tertunduk dan masih bersimpuh. "Buka ikatanku "ini,
Sahara...!' teriak Suto dengan jengkel sekali.
***
5
NYALA api unggun menerangi tempat mereka
bermalam. Bukan gua, juga bukan rumah, melainkan alam bebas yang penuh
ditumbuhi pepohonan besar dan tinggi. Di bawah pohon tinggi yang mempunyai akar
pipih 'seperti dinding itulah mereka sepakat untuk bermalam. '
Sahara dan tawanannya masih berada di
dekat api unggun. Udara dingin menembus malam, tapi mereka tertolong oleh
kehangatan api unggun. Gadis berpakaian primitif itu duduk di atas bongkahan akar
setinggi betis. Pedangnya ditancapkan di tanah samping kanannya Matanya
pandangi nyala api unggun tak berkedip.
Pendekar Mabuk menyimpan rasa kagum
melihat ketegasan dan keberanian Sahara. la mirip seorang prajurit perang yang
tak pernah kenal kata menyerah. Dilihat dari sikap duduknya yang mirip lelaki perkasa
itu, Pendekar Mabuk yakin bahwa gadis ltu berhati baja, tak mudah terkena bujuk
rayu siapa pun. Prinsipnya kuat dalam melakukan suatu pekerjaan. la bagaikan
karang di tengah lautan; tak gentar diterjang ombak. tak goyah disapu badai.
"Siapa sebenarnya gadis
itu"!"
Pertanyaan tersebut sering muncul di
hati Pendekar Mabuk, bahkan sering terlontar lewat mulutnya, tapi tak pernah
mendapat jawaban dari si gadis.
Kacantlkannya yang keras menandakan ia
tak mudah buka rahasia terhadap pihak lain, terlebih terhadap orang yang belum
dikenalnya.
Suto Sinting pandangi gadis itu sambil
sandarkan punggung di akar pipih menyerupai dinding setinggi pundaknya jika
sedang berdiri. Suto duduk melonjor dengan kedua tangan tetap terikat ke
belakang. Gadis Itu beium mau membuka ikatan tersebut. Jaraknya dengan Suto
hanya satu jangkauan.
Setiap gerakan Suto selalu diperhatikan
dengan lirikan penuh curiga. Wajah cantiknya tak pernah tersenyum. Bahkan kali
ini Ia tampak memendam rasa kesai seteiah Sutomendesak agar Ganda Wirang diberi
minum tuak.
Gadis itu akhirnya memang memberinya
minum tuak kepada Ganda Wirang. Orang itu tak jadi mati, iuka dalamnya sembuh
dan badannya meniadi segar. Tapi ia segera larikan diri setelah pandangi Suto
dengan pandangan aneh; antara'dendam dan salut.
"Kurasa tidak terlalu
berlebihan," kata Suto kepada gadis itu.
"Kulakukan hal itu karena kau telah
selamatkan nyawaku dari kapak mautnyai' ujar Sahara dengan suara seperti orang
menggumam, walahnya tetap menghadap ke depan, matanya setengah menerawang
pandangi api unggun. .
"Siapa dia sebenarnya?"
"Saudara seperguruannya Cindera
Girl! Pasti ia telah bertemu Cindera Giri yang terluka oleh sabetan pedangku
itu; dan ia mencariku. untuk balas ,dendam!"
Katakata itu terdengar datar dan dingin.
Tapi Suto sudah merasa beruntung karena pertanyaannya dijawab oleh Sahara. Akan
iebih mengesaikan hati lagi jika pertanyaan itu tidak mendapat jaWaban walau
diulang-ulang seperti kaset rusak.
"Siapa sebenarnya Cindera Giri
itu"! Mengapa kalian sampai ingin saling membunuh"!"
Sahara menarik napas, lalu
menghempaskan-nya lepas-lepas. Kedua lengannya berada di atas kedua kaki yang
mrenggang dalam duduknya, menapak dengan tegar seperti seorang lelaki.
Jari"jari tangannya saiing selinap antara yang kiri dengan yang kanan.
Punggungnya sedikit membungkuk dengan lengan merenggang gagah.
'Duiu _aku bersahabat dengan Cindera
Giri. Aku sering diajak bertandang ke perguruannya. Tapi sejak kutahu maksud
persahabatan Cindera Girl, kami jadi bermusuhan." ' 'Apa maksud di baiik
persahabatannya itu"'
'Mencoba memanfaatkan diriku."
Sampai di situ Sahara dlam. Tapi Suto
Slntlng belum puas dengan iawaban yang dianggapnya masih menggantung itu. Maka
ia pun aiukan tanya lagi bersifat mendesak namun tak kentara.
"Kau mau dimanfaatkan untuk maksud
apa?"
"Kurasa kau Sudah tahu!"
jawabnya sambil melirik angker. Angker tapi cantik dan enak dipandang, karenanya
Suto tak merasa takut atau muak. Justru ia Suka dan dipandang terus wajah itu
dengan senyum ketenangannya. Senyum itu makin melebar setelah Ia akhirnya
berkata,
"Kau pikir siapa aku Ini"! Aku
tidak ada hubungannya dengan Cindera Giri!
"Tapi kau punya hubungan dengan
Ratu Sendang Pamuas! Dan perempuan itu juga mempunyai maksud yang sama dengan
Cindera Giril" sahut Sahara dengan kata-kata cepat, nyerocos, tegas,
berkesan menuduh. Setelah memandang senyum tawanannya justru semakin melebar,
Sahara palingkan pandang ke depan, ke arah api unggun lagi. Namun suaranya
terdengar tetap datar sebagai kelaniutan nyerocosnya tadi.
"Tugasku adalah menggagalkan
orang-orang sepertimui Mata-mata sepertimu memang pantas dihukum mati. Tapi
bukan aku yang menentukannya. Selama masih bisa kutangkap dan kubawa ke peradilan,
akan kutangkapi Tapi kalau tidak bisa. kucabut nyawanya!" "Peradilan
mana?" pancing Suto.
Tapi gadis itu tak menjawab. Ia justru
lanjutkan kata-katanya yang tadi. 'Kaiau Cindera Giri bukan bekas sahabatku, sudah
kubawa ia ke peradilan dan pasti kuiatuhi hukuman mati jika kubeberkan
maksudnya di peradilani'
"Peradilan mana"!"
Pertanyaan itu hanya dijawab dengan
pandangan sinis dari mata indah yang berkesan galak itu. Wajah cantik tersebut
juga semakin tampak sangar, seperti pembunuh berdarah dingin. Suto Sintlng salah
tingkah sesaat setelah adu pandangan mata selama tiga helaan napas. ia baru
bisa bersuara lagi setelah Sahara alihkan pandangan matanya ke api unggun.
"Mengapa kau begitu yakin kalau aku mata"mata dari Pantai
Dahaga"l"
'Aku pernah melihat wajahmu sebagai
pendamping Ratu Sendang Pamuasl' '.
Dahi Suto Sinting berkerut, ia buru-buru
memprotes tuduhan itu. "Aku belum pernah kenal dengan Ratu Sendang Pemuas!
Mendengar namanya saja baru beberapa hari ini!"
"Mataku tak bisa dikeiabui. Walau
saat itu kulihat ia bersama rombongannya dari kejauhan, tapi aku ingat betul
kau berada disamping Ratu Sendang Pemuas. Kalian sama-sama menunggang kuda
bersebelahan, sementara orang"orangmu membantai habis perkampungan orang
Shakih."
'Orang apa..."! Orang
sakit"!"
'Orang Shakih!" Sahara sedikit
menyentak sam-bil melirik Pendekar Mabuk. Gadis itu memang belum tahu bahwa
pemuda yang bersamanya adalah Pendekar Mabuk yang namanya sudah bukan asing lagi
di rimba persilatan itu. Agaknya ia juga belum mengenai nama Pendekar Mabuk,
sehingga sikapnya masih dingin-dingin saia ketika Suto Sintlng menyebutkan gelarnya.
"Baru sekarang kudengar nama orang
Shakih, tentunya melihat perkampungan orang Shaklh pun aku belum pernah."
Gadis itu melirik sinis tanda tak percaya.
! "Sahara, apakan kau pernah
mendengar nama Pendekar Mabuk"l' Sahara diam sala. Cuek. Entah cuek atau
budek, yang jelas ia tidak memberi reaksi apa-apa. Suto Sinting merasa heran
dalam hatinya. Tapi la coba memancing reaksl si gadis dengan ianlutkan
kata"katanya tadi. "Akulah orang yang bergelar Pendekar Mabuk, murid
dari si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Aku tidak ada hubungannya dengan pihak
Pantai Dahaga atau Ratu Sendang Pamuas. Pendekar Mabuk adalah Pendekar Mabuk,
bukan pendekar pendamping Ratu Sendang Pamuasl"
Gadis itu memang meniengkeikan sekali.
Ia tak dengarkan kata-kata Suto. ia justru merapatkan punggungnya ke akar pipih
di sebelah kanannya, lalu mengambil posisi slap-slap untuk tidur. Kini di sebelah
kirinya adalah bumbung tuak Suto, dan sebelah kanannya pedang yang sudah tidak
ditancapkan ke tanah lagi, melainkan digeletakkan di tanah dekat dengan tangannya. "Konyol!"
geram hati Suto Sinting sambil hembuskan napas kejengkelannya.
Gadis itu lonjorkan kedua kakinya dengan
satu kaki lagi terlipat tegak. Duduknya menghadap ke arah Suto, dengan sedikit
merebah. Maksudnya sewaktu-waktu matanya terbuka dapat melihat gerakan
tawanannya. Tapi Suto Sinting. merasa sengaja dlpameri pemandangan yang
mendebarka n jantung lelakinya.
Rumbai"rumbai penutup bagian dada
dan bagian bawah sengaja dihadapkan ke
arah Suto, seakan menantang sekali,
sehingga napas Suto pun mulai memberat. "Brengsek!" gerutu Suto dalam
hati sambil palingkan pandang ke arah api unggun daripada api gairahnya sendiri
yang berkobar akibat menatap ke arah si gadis.
Sebab apa yang tertutup oleh pakaian rumbaI"rumbai
tampak mengintip sedikit, seakan melambai"lambai dan cengar-cengir
menggoda keusllan hasrat seorang lelaki. Kalau saja tangan Suto tak terikat,
Ingin rasanya ia menjepretnya dengan karet gelang.
"Siapa yang bernama Ratu Sendang
Pemuas itu sebenarnya' Mengapa dia yakin betul kalau aku waktu itu ada di
sarnplng sang Ratu"." Apakah sang ratu punya pengawal yang mirip
aku"!" pikir Suto Sintlng sambil alihkan perhatiannya agar tidak
ter.tuju kepada posisi tidur sl gadis yang menggoda sekali itu.
"0, ya... bicara tentang Ratu Sendang
Pemuas, berarti dia |uga tahu tentang gadis penunggang kuda putlh"!
Hmmm... apakah dia yang dimaksud gadis penunggang kuda putih" Jika bukan
dia, apakah ada hubungannya dengan Cindera Girl"!'
Rasa penasaran yang mengusik hati liu
segera dilontarkan dengan suara sedikit keras agar gadis itu tak jadi tertidur lelap.
'Sahara....' ' Baru disebut namanya saja
ia sudah membuka matanya walau tak seluruh nya. Ini menandakan bahwa Ia tidak
mudah tertidur nyenyak dan kewaspadaannya masih terjaga.
'Apakah kau juga tahu tentang gadis yang
di-cari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas itu"!' tanya
Suto Slnting dan membuat Sahara makin
mernbuka mata seluruhnya. Suto menyambung kata,
"Sekitar dua hari yang lalu, aku
singgah di Desia Bumirela. Malam itu ada keributan dan aku berhasll mengatasi.
Orang-orang Waduk Bangkai yang mengaku dibayar oleh seorang ratu bemama Ratu Sendang
Pamuas, telah menyiksa wakil lurah desa tersebut hanya untuk mencari tahu
seorang gadis penunggang kuda putih."
Sahara tegakkan duduknya. Matanya sedikit
iebih lebar: dari biasanya. Tatapan mata itu terasa tajam menembus jantung
Suto.
'Aku tidak tahu gadis mana yang
dimaksud, dan siapa orangnya. Tapi aku penasaran sekail. Sebab seorang temanku
juga sempat hampir dianiaya oleh tiga orang yang diduga dari Kadipaten Lohmina,
karena ketiga orang itu Ingin tahu tentang gadis berkuda putih.'
Gadis itu diam saia. Diam sambil menatap
tak berkedip ke arah'Suto Sinting. Tentu saja ini' itu membuat Suto menjadi
salah tingkah dan terheran"heran. Akhirnya ia tersenyum canggung sambil
berkata,
"Baiklah kalau kau tak bersedia
bicarakan tentang gadis berkuda putih itu. Lupakan saja pertanyaanku. Tidurlah
lagi kalau kau memang sudah mengantuk. Aku tak akan lari, sekalipun aku nanti berhasil
lepaskan ikatan tanganku! Silakan tidur; lagi. Kau kelihatannya letih sekail
hari ini.'
Sahara justru mendekati Suto dengan
duduk di tempat semula, tapi kali ini tidak menghadap ke arah api unggun,
melainkan langsung menghadap ke arah Suto Sinting. Pedangnya digenggam dengan tangan
kanan dan ditancapkan di tanah tidak terlalu dalam. "Apakah kau pernah
melihatnya?"
"Melihat orang orang Waduk Bangkal,
maksudmu" Oh, tentu saja aku pernah melihatnya sebab aku yang...." :
"Melihat gadis penunggang kuda putih' sentak.
Sahara memotong kata"kata Suto
Sintin'g. Yang dipandang hanya nyengir malu.
"Belum. Aku justru penasaran dan
ingin melihatnya. Lebih tepatnya, ingin mengetahui siapa gadis itu 'dan mengapa
dicari-cari oleh Ratu Sendang Pamuas maupun orang Kadipaten Lohmina.
Apakah...apakah kau penunggang kuda putih itu?" Suto Sinting ganti
bertanya sebagai pemancing percakapan tersebut.
Sahara kendurkan ketegangannya dengan hembusan
napas panjang. Ia berpaling ke kanan, menatap
api unggun yang hampir redup itu. Ia justru
sempatkan diri menambahkan kayunya dan
nyala api semakin terang kembail.
"Apa yang kau dengar dari
orang"orang itu?" tangis Sahara sambil mundur dari tepian api unggun,
iai duduk kembali ke tempat semula.
"Orang-orang Desa Bumireja tak ada
yang melihat gadis penunggang kuda putih, tapi seorang sahabatku."'
"Yang kumaksud, apa yang kau dengar
dari para pencari gadis penunggang kuda puth itu"!" potong Sahara
agak jengkel. "Mereka tak banyak bicara. Hanya menanyakannya pada beberapa
penduduk desa, dan memaksa wakil lurah untuk mengakui melihat gadis penunggang
kuda putih. Lebih dari itu aku tak tahu apa-apa tentang gadis tersebut. Tapi...
jujur saja kukatakan padamu, aku memang ingin tahu tentang gadis itu."
'Untuk apa kau ingin tahu jika kau
memang bukan mata-mata dari Pantai Dahaga"!"
"Hanya sekadar ingin tahu saja.
Semula masalah ltu memang sudah kulupakan. Tapi berhubung kau menyebut nama
Ratu Sendang Pemuas, lalu rnenuduhku sebagai mata-matanya, maka aku |adi
teringat lagi dan rasa penasaranku untuk mengetahui siapa gadis itu mulai
tumbuh iagi.' ?
Sahara diam kembali. Kali ini ia
merenung dan membiarkan dipandangi oleh Pendekar Mabuk. Hati keci! Suto
mengatakan, gadis penunggang kuda putlh bukan Sahara. Karena Sahara tampak
sedang, memikirkan gadis penunggang kuda putih iuga. .
"Apakah kau tidak bisa jelaskan
tentang gadis itu, Sahara?" Sahara memandang dengan mata tak berkedip, kepaia
sedikit tertunduk. Bola matanya bagus sekali '- saat ia memandang dengan po
sisi seperti itu. .
Suto tambahkan kata, "Hati kecilku
mengatakan, gadis itu menghadapi kesulitan yang timbul dari beberapa pihak.
Agaknya aku perlu membantunya ' Jika ia gadis baik-baik: _"Ia gadis
balk-balk!" sahut Sahara dengan cepat.
"Dan sedang menghadapi
kesulitan"!"
"Kurasa memang begitu," jawab
Sahara tegas, tanpa senyum sedikit pun.
"Apakah dia cukUp mampu menghadapi
kesulltan itu?"
"Kurasa" ," Sahara tampak
ragu, tapi segera paksakan diri untuk tegas kembali.
"Kurasa ia cukup mampu hadapi
kesulitan apapun!'
"Syukurlah kalau begitu." Suto
manggut"manggut kecil. "Apakah dia sahabatmu"!" pancing
Suto.
' 'Dia lebih tinggi dariku."
Dahi si murid Gila Tuak itu berkerut
taiam. "Maksudmu lebih tinggi "dalam hal apa"!"
Sahara hembuskan napas panjang lagi.
"Lupakan tentang dial Aku mau tidur! Esok pagi kau harus jalan lagi menulu
ke peradilan!"
Setelah bicara begitu, Sahara geser
mundur dan sedikit merebah bersandar akar, posisinya seperti tadi lagi.
Kali ini Sahara tidur dengan memangku
pedangnya. Tangan masih tetap berada di gagang pedang walau tak menggenggam
kencang. Sebenarnya saat itu adalah saat yang mudah bagi Suto Sinting untuk melarikan
diri, atau melumpuhkan Sahara dengan jurus 'Napas Tuak Setannya.
Tapi Suto tak mau lakukan juga. Hatinya
justru merasa Iba melihat gadis Itu tidur dengan kepala miring ke kiri. Seluruh
ucapan gadis Itu dicerna kembali dalam benak Suto. lalu kesimpulan di batin
Suto mengatakan, Sahara adalah seorang prajurit.
Setidaknya seorang anak buah yang punya
nilai pengabdian cukup besar dan berani pertaruhkan nyawa demi atasannya.
"Jika ia mengatakan bahwa gadis penunggang kuda putih itu lebih tinggi
darinya, apakah itu berarti dia adalah anak buah si gadis penunggang kuda putih
tersebut"!" tanya Suto dalam hatinya sendiri.
'Apakah aku akan diserahkan kepada .si
gads penunggang kuda putih itu"! Jika benar begitu, sebaiknya kuikuti saja
apa maunya- Biarlah aku jadi tawanannya. karena aku ingin jumpa dengan gadis penunggang
kuda putih itu dan ingin tahu persoalan yang sebenarnya. Lebih-lebih aku
dituduh sebagai mata-mata Ratu Sendang Pemuas, setidaknya aku ingin dapat
berhadapan dengan orang yang bergelar Ratu Sendang Pemuas itu."
Suto Sinting akhirnya redupkan mata. Ia
juga ingin tidur daripada buka mata dan tersiksa batinnya melihat pemandangan
yang ada di depannya; paha mulus, dada seksi, pinggul menggiurkan, blblr menggemaskan,
dan semua itu memang sengaja dipamerkan sebagai siksaan bagi sang tawanan.
Namun baru saia Suto pejamkan mata, la
mendengar suara langkah yang mencurigakan. Langkah itu seperti bukan langkah
hewan, tapi langkah manusia yang mengendap endap.
"Ada yang mendekat kemari.
Sepertinya berasal dari arah belakang Sahara"l' pikir Suto, kemudian dengan
gerakan pelan ia menggulingkan batu
sebesar genggaman dengan kaki kirinya.
Batu itu bergulir dan kini berada di atas telapak kaki kanannya. Ia masih
berlagak memejamkan mata, namun sebenarnya mata itu tak tertutup rapat. ia
masih bisa melihat gerakan orang yang memang muncul dari pohon belakang Sahara.
"Oh..."! Seorang lelaki lebih
tua dari Ganda Wirang"! Hmm... badannya besar, kumisnya tebal, pakaiannya
serba hitam, wajahnya tampak bengis.
tapi nyalinya kecil sekaii"i Ooh...
dia membawa plsau"l"
Lelaki yang diintai Suto itu berikat
kepala merah dengan rambut ikal tak sampai pundak. Ia menggenggam pisau
bergagang dari gading. Panjang mata plsau sekitar dua iengkal. Bentuknya hampir
seperti badik besar, ujungnya runcing.
Orang itu mengendap"endap dari
belakang Sahara. la berlindung di balik akar pipih seperti dinding itu. Padahal
akar itulah yang dipakai bersandar Sahara. ia memandang Suto beberapa saat,
kemudian setelah merasa yakin bahwa pemuda yang dipandangnya juga tertidur, ia
memperhatikan Sahara dari balik akar itu. Kejap kemudian, tangan yang
menggenggam pisau ltu terangkat ke atas. ia ingin menikamkan pisau itu di dada
Sahara, atau mungkin sasarannya ieher Sahara.
Ketika pisau itu mau diayunkan ke bawah,
kaki Suto Sinting segera berkelebat menendang. Batu yang ada di atas telapak
kaki itu melayang cepat sekali. Wuuut...! Praak...i
"Aaoow...l' orang itu memekik keras
karena kepalanya terkena batu tersebut. Kepala itu langsung bocor dan
mengucurkan darah. sedangkan batunya jatuh di pangkuan Sahara. Orang itu
sendiri terpeianting menggeioyor ke belakang.
Sahara segera bangkit. ia amat terkejut
melihat wajah orang itu berlumur darah. Tapi agaknya ia masih kenali siapa
orang bertubuh besar yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Seet...l Sahara segera acungkan pedang
di dada orang yang berdiri terpojok sudut kedua akar yang mirip bilik itu.
"Buang plsaumu. Krakaro"!" gertak Sahara dengan suara dan sikap
tampak kalem tapi sedingin seorang pembunuh tak kenal ampun.
'Hhhrrgg...i' Krakaro menggeram ganas,
giginya saling menggegai kuat. Pisaunya tak dibuang. ia bahkan gerakkan kakinya
menendang tangan Sahara dengan gerakan cepat. Beeet. piaaak...i Tangan Sahara
tersentak ke atas. Ujung pedangnya menggores sedikit di dada Krakaro. membuat
baju
hitam orang itu robek dan kuiit dadanya
tampak berdarah karena goresan.
Namun ia tak peduli. dan bahkan segera
menghujamkan pisaunya ke perut Sahara dengan suara mengerang mirip singa ganas.
"Haaarrrgg...!"
Sahara lompat ke belakang hindari
jangkauan tangan Krakaro. Gadis itu segera memutar tubuh menjadi memunggungl
Krakaro yang mengejar, lalu "pedang Sahara menyelinap ke belakang. Wuuut,
jruUb" .! "Aaaakkkhr...
Krakaro mendellk, uiu hatinya ditembus pedang
Sahara yang dihujamkan ke belakang
dengan satu ' tangan, sementara tangan yang kiri terangkat ke atas menjaga
keseimbangan. Pedang itu nyaris tembus ke punggung Krakaro karena hentakan
tangan Sahara cukup kuat dan tepat pada sasarannya.
"Ooh... kenapa harus
dibunuh"!" gumam Suto Sinting agak menyesal. _Sahara mencabut pedang
dari ulu hati Krakaro.
Siuuub...! Wajah gadis itu tetap tampak
dingin. Krakaro jatuh ke belakang, tersandar batang pohon. kemudian melorot ke
bawah dengan mulut terbuka dan nyawa melayang entah ke mana.
Suto Sinting hembuskan napas. ia kurang
setuju dengan tindakan Sahara. Tapi setelah dipikir-pikimya, Sahara sudah cukup
bijak, menyuruh Krakaro membuang senjatanya- Tapi Krakaro nekat akhirnya Sahara
ambll tindakan tegas.
"Dengan apa kau membocorkan
kepalanya tadl"l" tanya Sahara sambil dekati Suto Sinting.
"Dengan batu di atas kakiku',"
jawab Suto apa adanya. "Hemm...l" Sahara manggut-manggut. "Kalau
begitu aku harus hati-hati dengan kakimu."
Suto Sinting tersenyum getir.
'Dia adalah Krakaro, mata"mata dari
Lereng Curam. Dia juga punya maksud yang sama dengan ratumu; si Sendang
Pemuas."
"Lereng Curam.--"!' Suto
Sinting menggumam bernada heran. ia pernah mendengar nama tempat tersebut
ingatannya segera berputar dan akhirnya temukan sebuah nama yang pemah
disebutkan oleh Tirai Surga, yaitu nama Perguruan Pintu Neraka dan nama
ketuanya: sl Beruang iblis, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : 'Daiam
Pelukan Musuh')..
"Sebagai mata-mata Tebing Curam, ia
layak mati karena tak mau menyerah!" tegas Sahara sambil membersihkan
pedangnya yang berlumur darah Krakaro memakai dedaunan.
"Aku pernah mendengar nama tempat
itu. Kalau tak salah di sana ada perguruan yang bernama Perguruan Pintu Neraka,
ketuanya berjuluk si Beruang iblis!"
'Kau sahabat Beruang iblis"l' ujar Sahara
penuh curiga. 'Aku hanya pernah mendengar nama itu dari sahabatku yang menjadi
musuhnya. Aku pernah berjanji padanya untuk membantu menumbangkan si Beruang
ibllsl Karena itulah aku menuju ke Bukit Sawan untuk temui sahabatku itu. Tapi
kau menangkapku dan menawanku begini!"
Sahara acuh saja dengan keluhan itu. ia
bahkan berkata sambil bersihkan pedangnya lagi dengan dedaunan. "Sudah
yang keempat kail ini Beruang lblis gagal mengirimkan utusannya untuk menjadi
pencuri laknat!" 'Apa yang ingin dicurinya"!" tanya Suto, tapi pertanyaan
itu tak mendapat jawaban. Sahara justru mengatakan hai yang membuat Suto jadi
kesal hati
iagi.
'Kurasa kau memang orangnya Ratu Sendang Pamuas,
sebab kau kenal dengan si'Beruang Iblis dan tahu persis nama perguruannya.
Kudengar kabar. Beruang iblis sedang merencanakan untuk bergabung dengan pihak
Ratu Sendang Pamuas. Mereka akan membentuk persekutuan busuk untuk menyerang
kami! Benar, bukan"!'
"Mana kutahu"i" Suto
bersungtrt"Sungut.
'Tak usah berpura"pura lagi di
depahkui' gumam Sahara yang membuat hati pemuda tampan itu semakin dongkol. sahara
tak pernah memberitahu akan dibawa kemana tawanannya itu. Sang tawanan hanya
bisa memendam kedongkolan dalam hatinya. Mau tak mau ia tetap harus meiangkah
mengikuti perlntah Sahara. Gadis itu sepertinya tak pernah tahu berterima
kasih.
Sudah tiga kali nyawanya diselamatkan
oleh Pendekar Mabuk, namun masih tetap menganggap Pendekar Mabuk adalah
mata-matanya Ratu Sendang Pemuas.
Sahara berjalan di belakang Suto. Setiap
Ingin membelok ke kiri atau ke kanan, Sahara hanya berseru keluarkan perintah
dan Suto melakukannya.
Anehnya, sejak peristiwa malam kematian
Krakaro, gadis itu semakin menjadi gadis pendiam. Beberapa pertanyaan Suto tak
dijawabnya. Kalau toh ia mau menjawab, hanya satu-dua kata saja.
"Mengapa kau jadi pendiam,
Sahara"
Pertanyaan itu pun tak dijawab. Sahara
hanya keiuarkan kata perintah, "Jalan terusl' Suto Sinting terpaksa
melangkah lagl. Namun kali Ini iangkahnya diperiambat ketika meiewati kaklperbukitan yang merupakan tanah tandus tak
berpohon itu. Kelambatan langkah Suto Slnting diiakukan karena ia melihat
beberapa orang berdiri di perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Jarak mereka
satu dengan yang lain sekitar tiga puluh iangkah.
Namun sikap mereka berdiri yang meman
dang ke arah Suto Sinting mengundang tanda tanya sendiri di dalam hati si
Pendekar Mabuk.
Orang-orang di atas perbukitan itu diam
tanpa lakukan tindakan apa pun. Padahal mereka bersenjata; pedang, tombak, ada
pula 'yang bersenjata cambuk. Suto Sinting melangkah sambil memperhatikan
mereka, sehingga punggungnya didorong oleh
Sahara dengan agak kasar.
"Ayo, cepat"i"
"Tunggu" sergah Suto.
"Apakah kau tak meiihat orang"orang di atas perbukitan
itu"!"
"Itu bukan urusanmui'
'Tapi mereka mengawasi kita"!"
"Mereka orang Suku Shakih! Penjaga
perbatasan. Ayo, jalan terus!"
Suro Sinting didorong iagi, terpaksa
melangkah kembali. "Orang Shaklh"i Jadi Shaklh Itu nama suku?"
Sahara diam saja, matanya memandang ke
arah orang"orang di atas perbukltan Itu.
"Jika mereka dari Suku Shaklh,
iantas kau dari
suku apa"i" 'Mabayoi"
jawab Sahara pelan dan datar, matanya tak mau memandang Suto Sinting. Padahal
saat itu Suto Sinting terperanjat mendengar nama Suku Mabayo. Ia ingat cerita
_Badrun tentang Suku Mabayo. Cerita yang didengarnya hanya sepintas itu
ternyata sekarang meniadi sangat berguna bagi Pendekar Mabuk.
"Jadi... iadl kau adalah masyarakat
dari Suku Mabayo yang tinggal di Hutan Malaikat itu"i"
Sahara tidak menjawab. Wajahnya tampak
keras, penuh ketegasan dan bersikap cuek. Sementara itu Ingatan Suto kembali
menyusuri kata"kata Badrun tentang gadis penunggang kuda putih yang berasal
dari Suku Mabayo.
"Sekarang bisa kutebak," kata
Suto. "Kau adalah sahabat gadis penunggang kuda putih itu. Sebab menurut
penjelasan sahabatku, gadis penunggang kuda putih itu berasal dari Suku Mabayo
Benar, bukan"i" desak Suto. Tapi mata Sahara hanya memandang dingin,
mulutnya membungkam tanpa sepatah kata pun. Wajahnya tetap kelihatan cantik2
galak. Mereka tiba di tepi sungai. Sahara diperintahkan Suto Sinting untuk
seberangi sungai.
"Aku tak bisa berenang menyeberang
kalau ikatantanganku tak kau lepaskan," ujar Suto beralasan padahal ia
bisa menyeberang sungai tanpa harus berenang. Dengan melompati dedaunan atau
benda apa saja yang mengambang di permukaan air, lurus perlngan tubuhnya dapat
dipakai untuk menyeberangi sungai. Tetapi ia sengaja berlagak bodoh agar Ikatan
tangannya dilepaskan.
Sahara bukan gadis yang mudah
dikeiabuhl. Sekalipun aiasan Suto masuk akal, tapi ia tetap tidak mau lepaskan
akar pengikat kedua tangan Itu. Tanpa diduga"duga Sahara melepaskan
totokan ke tengkuk Suto. Deees...l Totokan itu melumpuhkan seluruh urat si
Pendekar Mabuk, dan membuat Pendekar Mabuk menjadi tak berdaya. Terkulal lemas
dalam keadaan masih sadar, masih bisa memaki dalam hatinya.
Dengan sedikit gunakan kekuatan tenaga
dalam, gadis itu mengangkat tubuh Pendekar Mabuk. dan memanggulnya. Kemudian Ia
menyeberangi sungai tersebut dengan lakukan lompatan"lompatan perlngan
tubuh dari ujung"ujung batu yang tersumbul dari kedaiaman air.
Tab, tab, tab, tab, teb...l
Sampai di seberang sungai ia tidak
lepaskan totokannya. Suto tetap dlpanggulnya dan dibawanya lari. Gerakan
larinya cukup cepat. dan dalam waktu singkat ia sudah sampai di perkampungan
Suku Mabayo di kedalaman Hutan Malaikat. Totokan pun segera dilepaskan. Suto
Sinting bergegas bangkit terduduk.
Sahara segera mencengkeram baju Suto dan
menarikya ke atas agar Suto Sintlng berdiri. Pendekar Mabuk terbengong pandangi
orang-orang perkampungan Suku Mabayo itu. |
Ternyata kaum wanita lebih banyak
daripada kaum lelakinya. Para wanita
Suku Mabayo mengenakan pakaian minim seperti yang dikenakan Sahara. Mereka
berkullt coklat sawo matang, dan rata rata kaum wanitanya bertubuh indah.
Tinggi, padat, berisi, dan masing"masing mempunyai dada yang , montok.
Wajah mereka pun hampir mempunyal kecantikan yang seimbang, hanya berbeda corak
kecantikannya.
Kaum wanita Suku Mabayo mempunyai hidung
mancung-mancung dan alis iebat namun tunbuh dengan rapl. Mata mereka
bening"bening dan berbulu mata lentik, seperti mata Sahara. Rambut mereka keriting
semua. Keriting kecil-kecil, halus sekali. nyaris tak kentara kerltingnya.
Namun potongan rambut mereka
berbeda-beda.
Kaum lelakinya berperawakan tegap dan
gagah. Namun yang memiliki ketarnpanan seperti Suto Sintlng tidak ada. Umumnya
ketampanan meka tergolong cukup lumayan. Berkulit gelap dan berdada bidang,
namun yang sekekar Suto Sinting tak ada.
Hanya tinggi tubuh mereka memang
rata-rata seukuran tinggi tubuh Pendekar Mabuk.
"Suku Mabayo..."!' gumam hati
Suto Sinting.
'Rupanya di sinilah akhir perjalananku
sebagai tawanan," sambil mata Suto Sinting pandangi rumah-rumah yang
berbentuk kerucut terbuat dari rumbia.
Menurut perkiraan Suto Sintlng,
perkarnpungan itu terdiri dari sekitar dua puluh sampai tiga puluh rumah.
Mereka berkelompok, sehingga satu dengan yang lain mudah saling berhubungan.
Jarak dari rumah ke rumah sekitar empat langkah. Nanun mereka mempunyai tanah
lapang yang tak berpohon kecuali tatanan rumput, itu pun tak sesubur runput di
tempat lainnya. Rumah-rumah itu dibangun mengeiiiing tanah lapang yang luasnya
separuh lapangan boia itu.
Di tengah tanah lapang ada tanah. yang
menggunduk tak seberapa tinggi, kira-kira hanya setinggi satu betis. Di tengah
gundukan itu ada tiga tiang tinggi sebesar pohon pinang. Suto tak mengerti apa kegunaan
tiang itu. Yang jelas, kini ia sedang menjadi pusat perhatian hampir seluruh
penghuni perkampungan suku Mabayo. Wajah para wanita yang memandangnya berkesan
dingin dan sinis.
Tiga orang bersenjata pedang di punggung
hamplri Sahara yang masih mencekal lengan Pendekar Mabuk. Ketiga wanita yang
mendekat itu tampak berusia sedikit iebih tua dari Sahara, sekitar dua puluh
delapan tahun- Satu orang dari mereka berambut pendek seperti potongan lelaki.
Satu lagi berambut panjang namun
diguiung ke atas dengan sisanya berjuntai seperti ekor kuda. Yang satunya
mempunyai rambut sepundak namun bagian depannya pendek sekali.
Wajah mereka cantik-cantik dengan bibir
sensuai dan berwarna merah ranum. Tetapi dari sorot matanya mereka tampak
tegas-tegas dan punya wibawa tersendiri. "Siapa yang kau bawa ini,
Sahara"!'
"Aku menangkap mata-mata dari
Pantai Dahaga Orangnya si Sendang Pamuas!"
Yang tengah maju dekati Suto Sinting.
Tanganya segera mencengkeram dagu Suto dengan kasar. hingga mulut Suto monyong
ke depan. Suto Sinting sempat kaget dan mendelik tegang.
"ingin rasanya kuhancurkan wajah
tampanmu. Jahanam!" geram wanita berambut cepak itu dingin penuh kebencian
tercurah di wajahnya.
'Madesya... jangan sentuh dulu dia"
ujar si rambut sepundak. "Biar sang ketua yang tanganli'
"Benar, Madesya! Kita tunggu saja
kedatangan sang Ketua," timpal yang rambutnya digulung keatas dan
mengenakan kalung manik"manik putih kecil". 'Hmmmh...!" Wanita
yang bernama Madesya itu meiepaskan cengkeraman tangannya hingga wajah
Suto tersentak ke kiri. ia pun mundur ke
tempat semula.
"Aku bukan mata-matal Sahara yang
salah paham dan...."
'Tutup mututmu!" bentak Madesya
sambil menuding dengan kasar.
Wanita yang rambutnya diguiung naik itu
berseru memanggii seseorang.
"Sambu...! Sambu...!"
Seorang pemuda sebaya dengan Suto
berlari menghadap wanita itu. Sikap berdirinya tampak menghormat dan wajahnya
penuh kepatuhan. Pemuda itu hanya kenakan ceiana dari kuiit binatang warna
hitam, berbentuk seperti rok yang sangat mini. Rambutnya kerlting lembut
sepanjang pundak.
Ikat kepaia dari tali biru.
"Sambu, ikat dia di tiang
tengah?"
"Baik, Barana!" jawab Sambu
dengan patuh.
Kemudian ia menarik Suto Sinting dan
membawanya ketiang di atas gundukan tanah itu. Suto Sinting tak mau meronta.
karena hanya akan bikin tuduhan semakin berat. ia menurut, saja dengan kalem,
tangannya masih terikat di belakang.
Sebelum itu Suto mendengar wanua yang
dipanggii Sambu dengan nama imang bicara kepada wanita yang berambut sepundak
tapi bagian depannya pendek sekali itu.
"Siapkan tiang gantungan, Jenda'
"Apakah dia sudah pasti dijatuhi
hukuman gantung"l"
"Persiapkan sajai' sergah lmang.
Maka wanita yang ternyata bernama Jenda itu pun segera memanggii beberapa
pemuda dan beri perintah untuk persiapkan tiang gantungan.
Pendekar Mabuk terikat di tiang tengah.
Tali penglkatnya bukan dari 'Akar Serat Setan" tapi dari jenis tali rami berukuran besar, mirip
tambang kapal. Kedua tangan Suto masih tetap terikat dengan "Akar Serat
Setan". ia menjadi bahan tontonan para penduduk perkampungan Suku Mabayo
itu. Ada yang secara terang-terangan menonton, ada yang sambil lakukan
kesibukan dari depan atau samping rumah mereka.
Dua orang pemuda sebaya dengan Suto
menjaga di kanan"kiri. membawa senjata tombak yang panjangnya melebihi
tinggi tubuh Suto SintIng. Sementara itu. Jenda, lmang, Madesya, Sahara, dan beberapa
wanita berpedang berkumpul di seberang tanah gundukan itu. Mereka saling
berkasak"kusuk dengan wajah wajah tegang. Suto Sintlng memperhatikan
sekeliling tempat itu sambil sesekali! menatap kearah para wanita berpedang.
"Aneh. Tak ada orang tua dl
sini"! Rata-rata mereka berusia sebaya dengan Sahara. Setua-tuanya hanya
seperti Madesya"l" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
"Kelihatannya kaum wanita lebih berkuasa di sini, sedangkan kaum lelakinya
patuh dengan perintah kaum wanita. Hmmm... tak kulihat juga ada anak-anak di sini" Apakah
mereka perempuan-perempuan mandul" Atau mereka sengaja tidak
kawin"i"
Sekali lagi Suto mencari sosok anak-anak
dengan pandangan matanya, namun Ia tak temukansatu anak pun. Uaia paling muda
yang ditemukan melalui pandangan matanya adaiuh berusia sekitar tujuh belas
tahun. "Sepertinya mereka tidak mengenai hubungan suami-Istri,"
Pendekar Mabuk kembali membatin.
"Tampaknya mereka tak mengenal
kemesraan. Tak ada yang kelihatan tertarik padaku. baik secara mencuri pandang
atau terang-terangan. Anehi Apakah mereka perempuan-perempuan dingin"i
Perempuan"perempuan tak mengenal cinta dan kemesraan"!"
Memang aneh kehidupan orang orang Suku Mabayo
itu. Biasanya, di mana saja Suto muncul selain ada wanita yang menaruh
perhatian khusus kepadanya. Satu-dua wanita akan menampakkan rasa terpikatnya
terhadap ketampanan atau kegagahan Pendekar Mabuk.
Tapi agaknya hal itu tidak berlaku di
perkampungan Suku Mahayo. Mereka tak kelihatan ada yang tertarik dengan
ketampanan atau
kegagahan Suto Sinting. "Alangkah
gersangnya," pikir Suto. 'Alangkah sepinya kehidupan yang tak mengenal
cinta dan kemesraan. Lalu... lalu bagaimana cara mereka berkembang biak"
Apakah melalui penyerbukan"! Ah. kok seperti tanaman saja" Tak
mungkin itu! Laiu... apakah mereka tidak ingin melestarikan kehidupan sukunya"
Aneh sekail. Baru sekarang aku bertemu dengan
orang-orang yang tidak mengenal kemesraan sama sekali. Mereka dikatakan kolot
ya tidak, dikatakan tidak ya koiot. Seharusnya mereka beranak-cucu agar penerus
keturunan Suku Mabayo tetap ada!" Pendekar Mabuk mencoba menangkap
percakapan mereka dengan menggunakan jurus 'Sadap Suara'. Tetapi ia justru
bingung sendiri, karena mereka bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh
Pendekar Mabuk. Rupanya mereka mempunyal bahasa sandi tersendiri, atau bahasa
daerahyang belum pernah didengar oleh Suto sebelumnya.
Sampai menjelang sore, Suto Sintlng
dibiarkan terikat di tiang tanpa diberi makan ataupun minum. Bahkan diajak
bicara pun tidak. ia mendahului mengajak bicara kedua penjaga bersenjata tombak
itu, tapi tak satu pun ada yang menjawab. Bahkan memandangnya pun tidak. Baru
saja Suto Sinting Ingin berteriak supaya menarik perhatian mereka dan diajak
bicara, tapi tiba"tiba niatnya ditangguhkan karena perhatiannya
terpusat. pada suara derap kaki kuda
yang makin
lama semakin jelas. Sahara, imang,
Madesya, dan
wanita-wanita perpedang lainnya segera
bubar, mereka membentuk barisan berjajar di sepanjang jalanan depan tempat Suto
diikat itu.
Kejap berikutnya, Pendekar Mabuk bagal
terhipnotis di tempatnya. Wajahnya menegang; matanya terbelalak, mulutnya
ternganga, napasnya tertahan, tenggorokan tersumbat, dan... burung pun terbang.
Burung di rerumputan terbang karena derap kaki kuda mendekatinya. Kuda itu
adalah kuda putih.
Penunggangnya seorang gadis cantik
berambut, sebagian dikonde di tengah kepala, sisanya merlap sepunggung. Rambut
itu bergerai-gerai karena sentakan kuda putih yang ditungganginya ?
"Gadis... gadis penunggang kuda
putih..."!" gumam hati Pendekar Mabuk dengan lidah masih kelu.
Sahara dan para wanita berpedang
tundukkan kepala menyambut kedatangan gadis berkuda putih itu. Kedua penjaga di
kanan kiri Suto Sinting juga tundukkan kepala walau tugasnya berbeda, karena orang"orang
iainnya pun memberi hormat dengan cara yang sama. Seluruh kesibukan dihentikan
sesaat hanya untuk menyambut kedatangan gadis penunggang kuda putih.
"Oh, rupanya dia kepala
sukunya"!' gumam hati
Suto Sintlng masih belum bisa kedipkan
mata. "Pantas Sahara pernah bilang bahwa gadis itu lebih tinggi darinya,
rupanya karena gadis itu kepala sukunya maka Sahara tak berani sebutkan
sembarangan!"
Madesya dan jenda segera pegangi tali
kekang kuda saat kuda berhenti tepat di depan Suro Slnting. Gadis cantik itu
lemparkan tatapan matanya ke arah Suto hingga beberapa saat.
Suto Sinting berdebar-debar dan muiai
sadar dari tertegunnya, ia saiah tingkah
dan segala yang dipandang terasa serba saiah. Sesaat kemudian gadis itu pun
turun dari atas kuda, tapi masih tetap memandang ke arah Pendekar Mabuk. Bahkan
ia berjaian dekati gundukan tanah, tapi belum sampai naik ke. atas gundukan
itu.
"imang! Siapa orang
ini"!" serunya sambil tetap memandang Pendekar Mabuk. Rupanya seng
kepaia suku juga belum pernah mendengar ciri-ciri Pendekar Mabuk, sehingga ia
masih merasa asing dengan wajah dan penampilan si Pendekar Mabuk itu.
"Sahara menangkap mata-mata dari Pantai Dahaga, Ketua" dia! imang
dengan suara tegas daniantang.
Suro Sinting menyahut, "itu tuduhan
yang salah, Ketual Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Pantai Dahaga maupun
Ratu Sendang Pamuas Sumpah! Berani dikutuk jadi raja kalau pengakuanku ini
bohong!"
Gadis yang tampak. masih muda namun
punya sikap yang cukup matang itu sunggingkan senyum tipis. Pendekar Mabuk
berdesir bagai jatuh dari ayunan begitu melihat senyuman kecil yang iuar biasa
indahnya itu. Untuk sesaat ia tak bisa bicara pandangi si gadis berjubah emas.
Jubahnya itu tanpa lengan dan tanpa kancing.
Pakaian dalamnya hanya berupa penutup
dada dan penutup bagian bawah yang terbuat dari kulit macan tutul. Sangat kecil
sekali penutup itu. bahkan tampaknya hanya ' rapat di bagian atas saja, semacam
rok yang mudah tersingkap atau sengaja disingkapkan sewaktu-waktu.
Satu"satunya gadis yang memakai
jubah itu seiain berhidung mancung juga berlesung pipit di sudut senyumnya.
Manis sekali. idia memgenakan gelang emas di lengan atas, dekat ketlak. Sebuah
kalung emas berbandul batu hijau berukuran sebutir anggur melingkar di lehernya
yang berkulit sawo matang itu.
"Ketua, aku mohon dibebaskan karena aku bukan mata-mata," ujar Suto
agar tak tampak grogi.
Senyum sang Ketua kian meiebar, lesung
pipitnya semakin menikam kerinduan di hati Pendekar Mabuk. Sebab calon istrinya
yang' bernama Dyah Sarlningrum juga mempunyai lesumg pipit di sudut senyum
manisnya itu. "Kalau kau bukan mata-mata,mengapa kau mau ditangkap"!"
'Gobiok yang nangkap saya" suto
Sinting bersungut-sungut. Tapi sang Ketua semakin tebarkan senyum. bahkan
terdengar tawanya '.yang sangat manis dan pendek itu. Tiba-tiba ia bersuara
tegas. ' 'Madesya! Bawa dia ke ruang pengadilani' 'Baik Ketua!" '_ Suto
segera berkata, 'Aku minta seorang pembela!"
'Aku yang akan jad! pembelamu ujar sang
Ketua cantik dengan sunggingkan senyum
lincah lagi.
"Aku pembeiamu, tapi juga
penuntutmu, termasuk hakim yang akan mengadilimui'
Pendekar Mabuk tak bisa bicara selain
memandang antara kagum dan dongkoi.
***
6
RUMAH berbentuk kerucut itu berfungsi
sebagai ruang pertemuan, termasuk ruang pengadiian juga. Di rumah kerucut itu
ada kursi berukir diiapisi emas pada tepiannya dan gading di bagian punggung
kursi. Sang kepala suku duduk di kursi yang menyerupai singgasana dan punya
iantai iebih tinggi itu.
Sementara para wanita berpedang yang
berperan sebagai prajurit itu memenuhi ruangan tersebut. Suto Slnting berdiri
di depan sang Ketua dalam keadaan tangannya masih terikat. Sahara ada di
samping Suto, seolah-olah sebagai pihak yang mengajukan tuntutan dalam
persidangan itu. '
"Apakah ada barang-barang
buktinya"i' tanya sang Ketua. "Hanya bumbung tempat tuak ini,
Ketua." Ujar Sahara sambil serahkan bumbung tuak itu. Laiu ia tambahkan
kata, "Tuak itu punya khasiat yang iuar
biasa hebatnya. Selain dapat melenyapk
an luka 'daiam waktu singkat. juga bisa memulihkan te naga dan menyegarkan
badan." |
'Sudah kau buktikan"!" tanya
sang Ketua sambil pandangi bumbung tuak.
'Tlga kali saya 'terluka, tapi selalu
sembuh setelah minum tuak itu. Tiga kail pula dia menyelamatkan nyawa saya dari
ancaman maut Cindera Girl, Ganda Wirang, dan Krakaroi' Sang Ketua
manggut"manggut dengan senyum
tipis. ia pandangi Suto sesaat sambil
masih pegangi
bumbung tuak itu. "Benar kau
memiliki bumbung tuak ini"l'
'Benarl" jawab Suto Sinting pendek.
"Karena kau telah selamatkan nyawa
Sahara tiga kali, maka kuberi imbaian yang sepantasnya."
Sang Ketua memandang Sahara, 'Buka
ikatan tangannya sebagal imbalan atas jasa baiknya selama menjadi mata-mata
pihak lawan!"
"Kuklra dapat imbalan apa?"
gerutu Suto Sinting lirih sambil membiarkan Sahara membuka akar pengikat itu
dengan pelan-pelan sekali. Jika tidak dilakukan dengan pelan-pelan atau diputus
dengan Secara cepat, akar itu akan menjerat lebih kencang lagi. Pendekar Mabuk
agak lega kedua tangannya kini telah lepas dari tali pengikat. ia
menggosok"gosok pergelangan tangannya sambil,memandang ke kanan-kiri.
"Tawanan" ujar sang Ketua.
"Benarkah tuakmu punya khasiat untuk lenyapkan luka dan sehatkan badan"!"
"Benar! Coba saja kalau tak percayai" jawab Suto Sintlng agak ketus
karena masih dongkol.
sang Ketua membuka tutup bumbung itu. Ia
ingin..' memeriksa tuak tersebut, tapi lebih dulu tetarik pada tempurung hitam
yang menjadi penutup bumbung itu. Sang Ketua kerutkan dahi, lalu sedikit terperanjat
melihat gambar wajah orang pada tempurung itu. Lalu ia tersenyum dan
geieng-geleng kepala sendiri.
Semua anak buahnya Ikut berkerut dahi,
wajah mereka memamerkan keheranan. Sahara pun tampak sedikit terperanjat ketika
sang Ketua menghadapkan gambar wajah orang di tempurung
itu. Bahkan Sahara segera menatap Suto
Sinting dengan dahl berkerut. Suto Sinting juga berkerut dahi karena bingung
melihat ekspresi wajah mereka.
"Tawanan! Kau dapatkan dari mana
sebenarnya tempurung ini"!" tanya si Ketua cantik itu.
"Dari seorang sahabatku yang
menjadi pengemis."
'Slapa namanya"i"
'Badrunl' jawab Suto tegas dan jelas.
Terdengar suara menggaung'seputl lebah.
Itulah suara para wanita berpedang yang berkasak-kusuk dengan wajah tegang.
Sang Ketua tetap kalem, tapi Sahara jadi tampak grogi, wajahnya. memancarkan
kecemasan. Suto Slnting pandangi ke sana"sini dengan penuh rasa heran.
'Kenapa..."l" tanyanya kepada sang Ketua cantik yang masih menyandang
pedang di punggungnya. Pedang itu bergagang dan bersarung emas dengan
rumbai"rumbai benang merah.
"Sahara, apakah kau tak meiibat
tempurung ini sejak menyita bumbung tuaknya"i"
"Saya... saya tidak memperhatikan,
Ketual' jawab Sahara dengan rasa takut.
'Tawanan! Sebagai mata-mata yang
tertangkap kau harus diadu dengan sepuluh orangku. Mereka
adalah para prajuritku yang
kuat"kuat dan menjadi andalan suku kami. Jika kau unggul melawan mereka,
kau bebas. Tapi jika kau tidak unggul, nyawamu yang bebas bergentayangan ke
mana"mana!"
"Hmmm, eeeh... aku bersedia saja,
tapi...."
"Tapi karena kau menyimpan
tempurung ini," sahut si Ketua. "maka aku cukup. menghukummu dengan
satu tebakan. jika kau salah menjawab, kau akan celaka. Celaka itu! bisa
membuatmu mati atau cacat seumur hidup."
'Tebakan"l" Suto Slntlng heran
sekali.
"Kau hanya punya kesempatan
menjawab satu kali! "Tebakan apa maksudmu"l"
"Mana yang-lebih hebat; rembulan
atau matahari?"
'Hah..."l" Suto Sinting justru
terperangah.
"Kau kusuruh menjawab. bukan
kusuruh terperangah seperti kuda menelan gentong!" ujar sl Ketua. Semua
yang berkasakukusuk tadi menjad! bungkam. Suasana sangat hening. Napas mereka
pun tak terdengar. Sang Ketua mengulang pertanyaannya, "Mana yang lebih
hebat; rembulan atau matahari?"
Sulo Slntlng ingat tebakan Badrun yang
diberikan kepada tiga orang kaya itu. Bahkan pada malam setelah pengusiran
orang"orang Waduk Bangkai,
Suto Sintng dan Badrun mengupas kembali
soal tebakan tersebut. Memang jawaban itu terkesan konyol atau main"main,
tapi kala itu Badrun tetap ngotot bahwa jawabannya tidak salah.
Maka, walau hati Suto Sintlng merasa
heran dan kurang yakin dengan jawaban yang pernah didengarnya dari Badrun,
namun di situ ia mencoba menggunakan jawaban tersebut. Ia menjawab dengan suara
lantang.
"Rembulan dan matahari, lebih hebat
rembulan. Karena rembuian bisa menerangi malam, sedangkan matahari tidak bisa
menerangi maiam. Matahari muncul pada waktu slang. Padahal siang itu sudah terang.
Jadi untuk apa ia muncul slang hari. Tetapi rembulan muncul pada waktu malam
menjadi gelap. Jadi cahayanya berguna bagi kehidupan manusia!"
. Prok, prok, prok, prok...l
Suara tepuk tangan itu diawali dari sang
Ketua cantik. Yang lainnya lkut-ikutan tepuk tangan. Wajah mereka mulai tampak
berseri. Sahara sendiri mulai bisa tersenyum Walau kecil. Tapi senyum Itu
mencengangkan Pendekar Mabuk karena mempunyal keindahan yang sama dengan senyum
sang Ketua.
apakah... apakah iawabanku ini kau
anggapbenar !" tanya Suto Sinting kepada sang Ketua.
'kalau jawabmu salah kau akan muntah
darah sampa seluruh darahmu hsbls. Karena tebakan itu sebenarnya adalah
ilmu...."
"Kedung Getlh'l" sahut Suto
Sinting.
"Benar! Dan aku yakin kau pasti
bisa. Menjawab dengan benar, karena adikku selalu memberitahukan jawaban dari tebakan
itu kepada orang yang akan singgah kemari!"
"Adlkmu..."!" Suto
Slntlng kembali kerutkan dahi dengan rasa heran lebih besar lagi.
"Badrun adalah adik bungsukul Tapi
karena dia masih anak-anak, maka dia tak boleh tinggal di perkampungan sebelum berusia
tujuh beias tahun. Kelak jika ia sudah berusia tiga puluh tahun, Ia pun harus
pergi mengembara tak boleh tinggal di perkampungan. Begitulah aturan leluhur
Suku Mabayo yang berjalan secara turun temurun!
"Oh, pantas di sini tak ada
anak-anak atau orang tua"!" gumam Suto Sinting dalam hatinya.
"Madesyal Siapkan jamuan makan
untuk tamu kita Ini, karena dia bukan calon pencurl Batu Selaput Dara."
'Baik, Ketua! Apakah kita akan pesta"!"
'Ya. Kita akan pesta bersama tamu tampan
kita ini!" sambll sang Ketua melirik Suto Slnting dengan ' senyumnya yang
menawan. Baru sekarang ada orang yang tersenyum dan bersikap menggemaskan hati
seperti itu.
"Tunggu dulul' sergah Suto Slntlng.
'Apa yang kau maksud dengan Batu Selaput Dara itu?"
Sang Ketua memegangi batu liontin
kalungnya yang berwarna hijau. "lnllah yang dinamakan Batu Selaput Dara,
yang akan dirampok atau dicuri oleh beberapa pihak; termasuk si Sendang Pemuas.
Karena batu ini akan membuat si
pemakainya tetap perawan, tetap suci, walaupun Ia sudah melahirkan beberapa
keturunan,"
'Luar biasa"l' gumam Suto Sinting
terheran-heran.
'Batu Selaput Dara juga dapat dipakai
menundukkan semua lelaki. sejahat apa pun dan seangkuh apa pun, termasuk jlka
cahayanya yang dibiaskan batu ini diarahkan ke tubuh lelaki Itu. Entah mengenal
matanya, keningnya, blblmya, atau dengkulnya... atau apa saja bagian tubuhnya.
Lebih-lebih jika terkena itunya maka lelaki itu akan menjadi budak perempuan si
pemakai:
"Maksudmu terkena bagian
apanya?"
"Pusarnya!' jawab sang Ketua sambil
tertawa kecil.?"Jangan beranggapan jorok dulu, nanti kau jatuh sendirl
dijorokkan dengan pikiranmu!" tambah sl ketua membuat Suto Sintlng tertawa
kecll pula. para wanita berpedang keluar dari ruang sidang sambil bertaburan
senyum. Tldak seangkuh dan sedingin tadi. Rupanya mereka dapat tersenyum jika ketua
sukunya berwajah ceria.
Suto Sinting dan sang ketua masih tetap
berada dl tempat. Sahara mendampingl sang ketua sebagai penjaga pintu,
memunggungi mereka. Gadis itu tampak ' cuek dan tak mau ikut terlibat dalam
percakapan itu; "Aku ingat, ketika Badrun kutanya apakah dia punya seorang
kakak, dia menjawab punya. Ketika kutanya, siapa nama kakaknya, dia menjawab:
Peri,'.. tapl langsung tertawa."
Dengan suara lembut dan ramah sang Ketua
berkata, "Namaku adalah Peri Jenaka."
'Peri Jenaka"!"
'ltu nama julukan! Hanya seorang Kepala
Suku yang boleh menggunakan nama julukan. Tapi nama asllku: Srikunti."
'Manls sekali namamu"'
"Aku tak butuh pujian," ujar
Perl Jenaka sambil mencibir lucu, menggemaskan sekali bibirnya itu, rasa-rasanya
Suto ingin mencubltnya dengan gigitan.
"Badrun adik bungsuku, tapi juga
mata-mata Suku Mabayo,' ujar Peri Jenaka dengan .suara renyah dan sikap riang.
"Aku hampir tak percaya, Badrun
seorang pengemis sedangkan kakaknya secantik ini dan menjadi kepala suku,"
Suto Sinting tertawa sendiri sambll geleng"geleng kepala.
"itu pengabdian. Setiap bocah
menjelang dewasa, sebelum ia tingga! di perkampungan 'kaml, harus mempunyai
pengabdian terhadap suku. leluhurnya. Tapi mereka tidak kami kucilkan. 'di
kamarku, ada ruang bawah tanah, sebuah lorong panjang yang menjadi tempat
persembunyian sekai'igus ruang kemesraan
bagi kami. Lorong panjang Itu tembus ke Suatu tempat, beberapa tempat, di
antaranya rumah reot adikku itu. Kalau kau geser meja rendah di tengah ruangan, maka kau akan temukan
lubang seperti sumur yang menuju ke bawah dan itulah |alan tembus lorong
rahasia kamil"
"Oooh. ."!" Suto Sinting
manggut-manggut.
"kakekku asli dari Suku Mabayo,
demikian pula ayahku, pernah menjabat sebagal kepala suku sebelum ia mencapai
usia tiga puluh tahun,' ujar PerlJenaka. Sambungnya lagi, "Adikku
sebenarnya ada tiga. Tapi yang dua meninggal karena penyakit. Tinggal sl Badrun
itu.'
"Jadi, pada waktu ltu sebenarnya
Badrun melihat kau lewat di depannya
dengan menunggang kuda putih"!" "Benar. Aku habis iakukan
pertarungan dengan seseorang, karena tantangan itu harus kupenuhl untuk
menjunjung harga diri suku kami. Demikian pula tadi, aku baru pulang dari
pertarungan, memenuhi tantangan sl Putri Mesum."
"Kenapa tak ada yang
mendampingimu"'
'Seorang kepala Suku Mabayo harus berani
datang ke pertarungan seorang diri. Jika dalam Waktu tlga hari tak pulang, maka
ia dinyatakan tewas dan jabatan kepala suku segera digantikan dengan yang baru."
Percakapan itu terhenti. Bukan karena
Suto Sinting yang telah memperoleh bumbung tuaknya itumenenggak tuak beberapa
teguk, tapi karena Madesya muncul dengan wajah tegang.
'Ketua, tiga orang Pantai Dahaga datang
menantang pertarungan di sini juga!"
Suto Sinting terkejut, tapi Peri Jenaka
tetap tenang.
"Suruh tunggu sebentar, aku akan
muncul menghadapinya!" "Baik, Ketual" Madesya pun segera pergi.
?".peri Jenaka berkata dengan tetap tersenyum kepada Suto Sintlng.
"Maaf, obrolan kita dilanjutkan nanti saja. Aku harus hadapl orang Pantal
Dahaga itu!"
'Perl Jenaka... aku punya usul,
bagaimana )lka aku yang menghadapi
mereka?"
"Kau bukan orang Suku Mabayo:
sambil Perl Jenaka gelengkan kepala. "Anggap sala aku masih tawananmu. Dan
jika aku bisa tumbangkan mereka, aku bebasl'
Peri Jenaka tertawa kecil. Ceria sekali
wajahnya. Tak punya ketegangan sedlkit pun. Setelah beberapa saat pandangl
Suto, akhirnya Perl Jenaka mencekal lengan Suto dan menuntunnya keluar bagai
membawa seorang tawanan.
Rupanya salah satu dari ketiga orang
Pantal Dahaga utusan ratu Sendang Pamuas itu mempunyai ketampanan yang hampir
mirip Suto Sinting.
Rambutnya juga sepundak dan tidak
kenakan Ikat kepala. Badannya tegap, gagah. kekar, hanya mengenakan rompi merah
da celana merah, membawa pedang di punggungnya.
"O, rupanya kali ini kau sendlrl
yang diutus sl Sendang Pemuas untuk mewakilinya, Salendra"!"
sapa Perl Jenaka kepada si pemuda tampan
yang
bernama Salendra itu. "Aku
diperintahkan oleh Nyai Ratu untuk mengambil Batu Selaput. Dara melaiul
pertarungan."
Oh, jadi si Sendang Pamuas tetap Ingin
merampok Batu Selaput Dara dengan mempertaruhkan nyawamu"! Bagusl' ujar
Perl Jenaka. "Tapi sebelun kau merampok Batu Selaput Dara, kau harus'
berhaapan dulu dengan tawananku lnll Jika kau unggul, baru kau boleh bawa
pulang Batu Selaput Daral'
Salendra menatap Suto dengan sinis.
"Boleh jugaa Kurasa dua kali gebrak tawananmu tak akan berkutlk
lagi." "Kita lihat saja, siapa yang besar mulut Sebenarya: ujar Peri
Jenaka dengan senyum kecil.
Lalu Ia
mencabut pedangnya dan menyerahkannya pada suto Slnting sambll berkata
Ilrlh.
'Selngatku, hanya Pendekar Mabuk yang
pergi ke mana-mana membawa bumbung tuak."
'Akulah Pendekar Mabuk itu."
Peri Jenaka tersenyum geli. "Sudah
kuketahul sejak Sahara serahkan bumbung tuakl"
"Kau memang Kepala Suku yang nakal,
Peri Jenaka! "Sekarang letakkan bumbung tuakmu. Hadapi Salendra dengan
pedangkul Tumbangkan dia, jangan sampai kau menjadi tawananku selamanya, Pendekar
jelekl' "Akan kucoba, Ketua genit.
Tapi apa hadiah untukku jika aku unggul
melawan Salendra'"
'Apa yang kau mau dariku, ambiliah. Asal
jangan Batu Selaput Dara lnl!" jawab Peri Jenaka semakin Ilrlh. Kemudlan
ia membawa Pendekar Mabuk ke arena pertarungan yang sudah dilingkari oleh
wanlta wanita Suku Mabayo yang bersenjata pedang Itu. Salendra pUn sudah
menunggu di tengah arena dengan pedang ditangan. Apakah Suto Slntlng akan
unggul melawan Salendra jika ternyata Salendra Jago pedang andalan Ratu Sendang
Pamuas"l
SELESAI PENDEKAR MABUK
Segera menyusul!" RATU PEMBURU
GAIRAH Edit teks - Saiful B http://cerita-silat.mywapblog.com
Emoticon