1
SUNGGUH
mengejutkan sekali jika Arjuna tampil di
rimba persilatan
dan berhadapan dengan Pendekar
Mabuk. Tentu saja
dunia akan menjadi gempar, dan
setiap orang tak
akan percaya, karena mereka berbeda
zaman. Mungkin
juga setiap orang akan bertanya-tanya,
siapa yang unggul
jika Pendekar Mabuk bertarung
Sayangnya, orang
yang menghadang langkah Suto
Sinting, si
Pendekar Mabuk itu, hanyalah orang yang
mirip Arjuna.
Rambutnya pendek, rapi, tanpa ikat
kepala. Badannya
sedang, tidak tinggi, tidak pendek,
tidak gemuk,
tidak kurus dan tidak apa-apa. Kulitnya
putih untuk
ukuran kulit seorang lelaki. Usianya sekitar
dua puluh empat
tahun. Matanya kecil tapi tajam.
Hidungnya bangir
dan punya ketampanan tersendiri.
Jika Pendekar
Mabuk mengenakan baju tanpa lengan
warna coklat dan
celana putih, maka orang yang mirip
Arjuna itu mengenakan rompi putih dan celana coklat
tua. Pendekar
Mabuk mengenakan ikat pinggang dari
kain merah, orang
yang mirip Arjuna itu mengenakan
ikat pinggang
kulit warna hitam. Pendekar Mabuk
membawa bambu
bumbung tuak, orang itu membawa
bambu tanpa tuak.
Bambu itu adalah sebuah toya yang
panjangnya satu
depa lewat, seperti tongkat pramuka.
Tapi orang itu
jelasbukan seorang pramuka.
Bambu kuning itu
adalah bambu gading. Kedua
ujungnya papak
alias datar. Kelihatannya masih basah,
karena warna
kuningnya masih mengkilap. Tapi
sebenarnya bambu
itu cukup ulet dan keras. Sekali
gebuk, lalat pun
bisa mati, apalagi nyamuk.
Ketika langkah
Suto Sinting terhenti, pemuda itu tiba-
tiba lakukan
lompatan cepat menerjang ke dada Suto.
Wuuut...! Tentu
saja tendangan kaki itu dapat ditangkis
dengan sentakan
tangan kanan ke samping kiri. Plak...!
Kaki kiri
Pendekar Mabuk pun berkelebat ke samping.
Wuuut...! Deeekh.
"Akh...!"
pemuda berbambu kuning itu tersentak
mundur dua
langkah karena pinggangnya terkena
tendangan Suto.
Tapi ia tak sampai jatuh, karena setelah
tersentak mundur
dua langkah, bambu kuningnya
berkelebat
menyambar Suto beberapa kali.
Wus, wus, wus,
wus...!
Suto
menghindarinya dengan melangkah mundur
sambil kepalanya
berkelit ke kanan-kiri. Bambu itu
hanya lewat di
depan hidung Suto, kira-kira berjarak
setengah jengkal.
Namun tiba-tiba
bambu kuning itu berhenti, lalu
menyodok mata
Pendekar Mabuk. Suuut...! Taaab...!
Pendekar Mabuk
menahan sodokan bambu kuning
tersebut dengan
telapak tangannya. Dalam sekejap toya
bambu kuning itu
telah tertangkap di tangan Suto.
Namun segera
terlepas kembali ketika Suto Sinting
kirimkan
tendangan sekali lagi ke arah pinggang lawan.
Buuukh...!
"Uuuugkh...!"
pemuda berbambu kuning itu
menyeringai
sambil sedikit membungkuk pegangi perut
sampingnya.
Tendangan itu dirasakannya seperti
terjangan seekor
kerbau mabuk.
"Maaf, bukan
aku yang cari penyakit, tapi kau sendiri
yang ingin cepat ke liang kubur, Sobat!" ujar
Suto
Sinting yang
sengaja tak lanjutkan serangannya agar si
pemuda berambut
pendek itu sadar akan kesalahannya.
Tapi rupanya
harapan Suto itu tidak terkabul, karena si
pemuda berambut
pendek itu justru memainkan toya
bambunya setelah
menarik napas untuk menahan rasa
sakitnya.
Raut wajah pemuda
itu tampak menyimpan dendam
atas dua kali
serangan Suto yang mengenainya, ia juga
tampak penasaran
karena sejak tadi tak bisa melukai atau
mencelakai
lawannya. Padahal ia merasa sudah tepat
sasaran.
Kali ini si
pemuda berambut pendek sentakkan
tongkatnya ke
arah dada Suto Sinting. Tongkat itu dialiri
tenaga dalam
hingga keluarkan sinar kuning lurus.
Claaap...!
Pendekar Mabuk agak terkejut karena tak
menyangka ujung
tongkat akan keluarkan sinar. Namun
dengan cekatan ia
menyambar bumbung tuaknya dan
dihadangkan di
depan dada sehingga sinar kuning lurus
itu tepat kenai
bumbung tuak tersebut.
Traaak...!
Terdengar suara seperti benda keras beradu
dengan bumbung
tuak. Dan sinar kuning itu ternyata
memantul
berbalik ke arah pemiliknya dalam
keadaan
lebih cepat dan
lebih besar dari keadaan aslinya.
Weess...!
"Edan!"
teriak pemuda berambut pendek itu, lalu
ia
melompat dan
berguling di tanah ketika sinar kuningnya
nyaris kenai
dadanya sendiri. Wut, bruuk...! Sinar
kuning itu
akhirnya menghantam pohon di belakangnya.
Duaaarr...!
Ledakan cukup keras terdengar
menggema, mata si
pemuda berambut pendek terbelalak
melihat pohon
yang terhantam sinar kuning itu terbelah
menjadi dua
bagian. Padahal biasanya sinar kuning itu
jika meleset
kenai lawan, akan menghantam pohon dan
pohon itu hanya
akan terkoyak sebagian saja. Tapi kali
ini sinar kuning
itu justru telah membuat pohon itu
terbelah
sedemikian rupa. Sungguh mengherankan bagi
si pemuda
berambut pendek itu.
Akhirnya ia
bangkit pandangi lawannya yang tetap
berdiri tenang
dengan senyum tipis membias di
wajahnya. Kalau
saja Suto mau lakukan serangan lagi,
pemuda itu pasti
akan celaka karena ia punya
kesempatan
menghantam dengan telak. Pemuda itu pun
berpikir,
"Mengapa ia tak mau balas menyerangku?!"
Suto pun
perdengarkan suaranya yang bernada kalem
tapi tegas.
"Siapa kau
sebenarnya, Sobat?!"
"Aku yakin
kau si Pendekar Mabuk yang kondang
itu! Ciri-cirimu
tetap seperti yang pernah kudengar dari
seseorang."
"Yang
kutanyakan, siapa kau sebenarnya?!" Suto
agak menggertak,
karena jawaban pemuda itu tak sesuai
dengan pertanyaan
yang diajukan Suto.
Pemuda itu segera
sadar, lalu menjawab sesuai
pertanyaannya.
"Namaku
Santana!"
"Santana...?!"
Suto berkerut dahi. "Aku merasa asing
dengan nama
itu."
"Hmm,
kasihan. Rupanya kau pendekar yang kurang
pergaulan,"
ejek Santana dengan senyum sinis. "Kau
belum tahu siapa
jawara dari Parang, eh... maksudku dari
Pulau
Parang?!"
"Aku pernah
mendengar nama Pulau Parang tapi
tidak pernah tahu
kalau pulau itu ada jawaranya," ujar
Suto Sinting
dengan melangkah ke samping.
"Akulah
jawaranya!" Santana menepuk dada.
"Akulah yang
bernama Sandi Tanayom alias Santana!"
Pendekar Mabuk
manggut-manggut kalem, "Akulah
Suto Sinting,
alias Pendekar Mabuk!"
"Aku sudah
tahu nama aslimu Sinting. Kau tak perlu
memperkenalkan
diri lagi. Sebaiknya cepat persiapkan
diri untuk
kematianmu!" sambil Santana mondar-mandir
ke kanan-kiri
dengan lagak sok jagonya.
"Mengapa aku
harus persiapkan diri untuk
kematianku?"
"Sudah tujuh
hari aku mencarimu, Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk
tertawa dalam hati, "Bocah ini kalau
ditanya pasti
jawabannya tidak pernah nyambung!
Goblok apa gila
dia itu?"
"Mengapa kau
ingin membunuhku Santana?!"
"Sekadar
menyalurkan bakat saja," jawabnya dengan
konyol.
"Bakat
apa?"
"Jangan
sebut-sebut bakat seenaknya, ya? Bakat itu
nama
bapakku!" Santana tampak ngotot. "Subakat, itu
nama lengkap
bapakku!"
"Lho, yang
menyinggung soal bakat kau dulu,
Santana. Aku
hanya menanyakan bakat apa yang ingin
kau salurkan
itu!"
"Bakat
menjadi pembunuh bayaran!" jawab Santana
dengan mata
dilebarkan biar tampak galak dan
menyeramkan. Tapi
karena wajahnya tampan, maka
kesan galaknya
tidak ada, yang muncul justru kesan lucu
menggelikan hati
Suto.
"O, jadi kau
seorang pembunuh bayaran?" gumam
Suto sambil
manggut-manggut.
"Hampir,"
jawab Santana tegas. "Maksudku, sebentar
lagi aku hampir
menjadi pembunuh bayaran, terutama
setelah berhasil
membunuhmu, Pendekar Sinting!"
"Siapa yang
membayarmu untuk membunuhku?"
"Memang
tugasku membunuhmu!"
"Yang
kutanyakan, siapa yang menyuruhmu
membunuhku?!"
sentak Suto agak kesal dengan jawaban
yang tulalit
alias tak pernah nyambung itu.
"Soal siapa
yang menyuruhku, kau tak perlu tahu. Itu
urusanku dan itu
rahasia perusahaan. Kau hanya kuminta
dengan kerelaanmu
agar bersedia kubunuh dan mayatmu
akan kuserahkan
kepada Ratu Ladang Peluh!"
"Ooo... jadi
yang mengupahmu untuk membunuhku
itu adalah si
Ratu Ladang Peluh?" sambil Suto manggut-
manggut, tapi
Santana membantahnya dengan keras.
"Kau tidak
perlu tahu siapa yang mengupahku! Aku
bukan orang
upahan Ratu Ladang Peluh! Bagaimanapun
juga aku tidak
akan katakan padamu bahwa aku
pembunuh bayaran
atas suruhan Ratu Ladang Peluh!"
"Bocah
goblok!" gerutu Suto sambil menahan rasa
jengkel-jengkel
geli. "Kalau mau merahasiakan siapa
yang mengupahmu,
jangan sebutkan namanya!"
"Memang
tidak sebutkan namanya! Buktinya aku
tidak bilang
padamu kalau aku disuruh membunuhmu
oleh Ratu Ladang
Peluh, bukan?! Aku tidak bilang
begitu,
bukan?!"
"Hmmm...,
pembunuh bayaran kelas teri kau ini,
Santana,"
kecam Pendekar Mabuk sambil sunggingkan
senyum berkesan
geli. Karena bagaimanapun ngototnya
Santana, Suto
tahu persis bahwa pemuda itu disuruh oleh
Ratu Ladang Peluh
untuk membunuh Pendekar Mabuk.
Padahal nama itu
sedang menjadi buah pikiran Suto,
sebab masih ada
kaitannya dengan perkara hancurnya
sebuah pedang
pusaka, (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode :
"Pedang Penakluk Cinta").
"Sebaiknya
urungkan niatmu membunuhku,
Santana,"
saran Suto.
"Urungkan?!
Hmmm, enak saja! Aku sudah
menerima uang
muka dari orang yang menyuruhku, dan
uang muka itu
sudah habis kupakai jajan, masa' aku
harus
mengurungkan niatku?! Hmmm, tidak bisa! Aku
harus tetap
berusaha membunuhmu, supaya dapat
tambahan uang dan
memperoleh sebuah pusaka dari
orang yang
menyuruhku itu. Pusaka Pedang Penakluk
Cinta!"
"Dasar
bodoh! Kau tak pantas menjadi pembunuh
bayaran, Santana,
karena semua rahasia kau beberkan
secara tidak
sengaja, termasuk nama orang yang
membayarmu itu!
Aku tahu, kau disuruh oleh Ratu
Ladang Peluh
dengan upah menarik, yaitu sebuah
pedang pusaka
yang bernama Pedang Penakluk Cinta."
"Lho, kok
tahu?" gumam Santana yang sampai
didengar oleh
telinga Suto. Maka senyum Suto pun
mengembang dengan
lebar. Santana akhirnya
menggeram,
"Aku tak
peduli kau tahu siapa yang menyuruhku
atau tidak, yang
jelas sekarang terimalah saat
kematianmu yang
sebenarnya, Suto Mabuk! Heaaat...!"
Santana melompat
kembali sambil menyodokkan
toya bambu
kuningnya. Tapi dengan sentakan cepat,
Pendekar Mabuk telah melayang melebihi ketinggian
Santana.
Wuuut...! Santana melesat di bawah kaki
Pendekar Mabuk.
Maka dengan cepat ujung kaki kanan
Suto menyentak ke
bawah, tepat kenai ubun-ubun
Santana.
Deess...!
Brrukk...!
Santana kontan jatuh tersungkur. Wajahnya
yang tampan itu
bagai diadu dengan tanah. Suara
pekiknya
terbungkam oleh rumput yang masuk ke
mulutnya.
Sedangkan Suto Sinting sudah berada di
tempat lain
dengan lakukan gerakan salto pada saat
kakinya menyentak
di kepala Santana.
"Babi burik!
Kepalaku malah dipakai buat tumpuan
kakinya!"
geram hati Santana. "Ooh... kepalaku? Ya,
ampun... mengapa
berat sekali? Uuh...! Gila! Kepalaku
seperti dibanduli
batu sebesar gunung. Sulit sekali
diangkat dan rasa
sakitnya sampai ke tunggir! Uuuh,
setan belang
nyolong kacang, jurus apa yang dipakai si
Pendekar Sinting
itu?!"
Pendekar Mabuk
akhirnya menjambak rambut
Santana hingga
kepala pemuda itu terdongak.
Mulutnya
ternganga penuh rumput yang terpotong
pada saat giginya
menggegat menahan rasa sakit itu.
Pendekar Mabuk
cabuti rumput yang ada di dalam mulut
Santana sambil
berkata,
"Aku tahu
kau pesuruh yang bodoh, jadi aku tak tega
untuk
mencelakaimu!"
Santana tak bisa
bertindak dengan tongkat karena
kedua tangannya
yang lurus ke depan itu diinjak oleh
kaki Suto. Posisi
Suto ada di depan Santana. Setelah
rumput tidak
menyumbat mulut Santana, Suto pun
menuangkan
tuaknya ke mulut itu.
"Minum tuak
ini biar kepalamu tak pecah!"
Glek, glek, glek
..! Mau tak mau Santana menelan
tuak itu. Kejap
berikutnya ia merasa sehat kembali tanpa
rasa sakit
sedikit pun. Suto segera membangunkan.
"Sekali lagi kusarankan padamu, batalkan niatmu
untuk membunuhku,
Santana! Ratu Ladang Peluh itu
bukan orang yang
patut dibela. Dia ratu aliran hitam!"
Setelah berpikir
sejenak, Santana pun berkata, "Akan
kuturuti saranmu.
Tapi ada syaratnya!" sambil hati
Santana membatin,
"Kalau kulawan dengan kekerasan
aku tak akan
menang. Harus kugunakan akalku untuk
tundukkan orang
ini!"
Suto Sinting diam
saja, ia
sengaja menyimak apa
yang ingin
dikatakan oleh Santana. Sampai akhirnya,
tanpa diminta
Santana menjelaskan sendiri maksudnya.
"Syaratnya
cukup ringan."
Santana membuat
lingkaran besar dengan tongkat
bambu kuningnya.
Lingkaran itu mengelilingi Suto
Sinting dalam
jarak empat langkah dari tengah ke garis
lingkaran.
Setelah itu, Santana dekati Suto Sinting lagi.
"Pendekar
Mabuk, kalau kau bisa membuatku keluar
dari lingkaran
ini, berarti aku tidak jadi membunuhmu.
Karena jika kau
bisa membuatku keluar dari garis
lingkaran itu,
maka aku akan merasa tak bakal bisa
menandingi
kekuatan dan ilmumu. Tapi jika kau yang
keluar dari garis
lingkaran itu, berarti kau harus rela
kubunuh demi
tugasku!"
Santana tersenyum
lagi. Suto Sinting tetap tenang
memandangi garis
lingkaran tersebut.
"Bagaimana?"
desak Santana bernada menantang.
Dengan kalem Suto
Sinting berkata sambil garuk-garuk
kepala.
"Kelihatannya
syarat itu cukup berat, Santana. Kurasa
aku tak bisa
membuatmu keluar dari lingkaran. Tapi
kalau membuatmu
masuk ke dalam lingkaran, kurasa
aku sanggup
melakukannya."
"O, baik!
Baik!" Santana manggut-manggut. "Itu tak
jadi masalah,
Suto," sambil ia melangkah keluar dari
lingkaran.
"Silakan kau membuatku jatuh ke dalam
lingkaran dengan
cara apa pun. Kalau memang...."
Suto Sinting
memotong, "Santana, aku tidak
menggunakan
ototku, tapi aku menggunakan otakku."
"Tak apa!
Kau boleh menggunakan otakmu. Aku
tetap mengakui
kemenanganmu walaupun kau
menggunakan otak
jika...."
"Santana,"
potong Suto Sinting lagi. "Lihat kakimu!
Sekarang kau
sudah berada di luar lingkaran. Berarti aku
sudah bisa
membuatmu keluar dari garis lingkaran
sesuai dengan
syarat yang kau ajukan tadi!"
"Maksudku,
hmm... ehhh... begini, Suto. Kau tadi
bilang...."
"Kau kalah,
Santana! Kau sudah keluar dari lingkaran
sedangkan aku
tetap berada di dalam lingkaran!" sahut
Suto lagi.
Santana menjadi diam tertegun dan segera
menyadari bahwa
dirinya telah terpedaya oleh kata-kata
Pendekar Mabuk
tadi.
Suto Sinting
sunggingkan senyum lebar ketika
Santana menatap
dengan bengong. Hati murid si Gila
Tuak itu
merasa geli dan ingin tertawa, namun
demi
menjaga perasaan
Santana, ia tak jadi lepaskan tawa
lebar-lebar.
"Kau curang,
Suto!" Santana mulai menggeram.
"Hei, ingat
apa yang kukatakan tadi... aku tidak akan
menggunakan otot
melainkan menggunakan otak, dan
kau sudah bilang
akan mengakui kemenanganku
walaupun aku
menggunakan otak!"
Santana bagai tak
bisa berkutik lagi. Senyumnya
hilang, pandangan
matanya terasa hampa. Jelas batinnya
penuh gerutu dan
makian.
"Jika kau
seorang pria sejati berjiwa kesatria, kau
pasti mengakui
kekalahanmu ini, Santana! Tapi jika kau
berjiwa pengecut
dan banci, maka kau akan ngotot tak
berani akui
kekalahan diri sendiri!" tambah Suto Sinting
semakin membuat
Santana terbungkam seribu bahasa
selama empat
helaan napas lebih.
Ketika sedang
beradu pandang dalam kebisuan, tiba-
tiba ekor mata
Pendekar Mabuk melihat gerakan benda
yang meluncur ke
arah Santana.
Slaap...!
Seketika itu pula Pendekar Mabuk berseru
dengan wajah menegang
seketika. "Awaaas...!"
Santana segera
sentakkan tangan kanannya ke kiri.
Bambu kuning itu
melintang di sekitar telinganya. Benda
yang meluncur itu
menancap tepat di bambu kuning itu.
Jrraab...! Jika
tak terhalang bambu kuning, leher Santana
yang menjadi
sasaran benda tersebut.
Tongkat ditarik
kembali oleh Santana dengan kalem.
Matanya memandang
benda yang menancap di
bambunya.
Ternyata sebuah senjata rahasia dari
sekeping logam
putih berbentuk bintang segi enam, tapi
bagian tengahnya
berlubang seperti cincin.
Suto Sinting
membatin, "Boleh juga gerakan
cepatnya! Tanpa
memandang ke arah kirinya ia sudah
bisa menangkis
senjata rahasia tersebut. Kuakui, walau
cuma seperti itu
tapi ia sudah tergolong hebat. Ilmunya
tidak terlalu
rendah."
Santana yang
kehilangan senyum itu melirik ke
semak-semak
sebelah kirinya.
"Agaknya ada
orang jahil yang ingin membunuhmu,
Santana!"
ujar Suto Sinting.
Santana tidak
memberikan komentar apa-apa. Tapi ia
segera sentakkan
tongkat bambu kuningnya itu ke arah
datangnya senjata
rahasia tadi. Sentakan bertenaga
dalam membuat
benda yang menancap di tongkat
bambunya itu
terlepas dan melesat dengan cepat seperti
dilemparkan
dengan tangan. Slaaap.! Benda itu
melayang ke arah
semak-semak. Zrrraab...!
Triing...!
Terdengar suara
denting menggema kecil, seakan
benda berbentuk
bintang segi enam itu telah menyentuh
logam lain di
balik semak-semak tersebut. Kejap
berikutnya, dari
balik semak-semak tampak sesosok
bayangan melesat
keluar dengan gerakan bersalto di
udara dua kali.
Bruus...! Wuuk,
wuuk...!
Jleeg...!
Pendekar Mabuk
dan Santana sama-sama pandangi
seraut wajah
cantik yang baru saja muncul dari semak-
semak itu. Seraut
wajah cantik itu milik seorang gadis
berusia sekitar
dua puluh dua tahun. Rambutnya pendek,
seperti potongan
lelaki, kepalanya dililit logam kuning
emas dengan
hiasan batu merah delima sebesar biji sawo
berantai pendek.
Gadis itu
mengenakan baju tanpa lengan warna
merah kehitaman
dari bahan kain tebal. Bajunya yang
berhias benang
emas dan mempunyai krah agak tinggi,
hingga menutupi
sebagian lehernya yang dari depan
tampak berwarna
kuning mulus.
Baju berbelahan
dada agak lebar dan sedikit
menggoda itu
dililit sabuk hitam dengan kepala sabuk
dari logam emas
berbatu merah. Ada tiga batu merah
delima pada
kepala sabuknya itu. Sedangkan celananya
juga berwarna
merah kehitaman berhias benang emas
dari kain tebal
dan ketat hingga membentuk lekak-lekuk
pinggul, paha dan
betisnya.
Kaki yang separo
betisnya kelihatan itu mengenakan
sandal kulit
bertali hitam membentuk anyaman renggang
pada betisnya.
Gadis itu bersenjata pedang di punggung.
Pedang tersebut
sudah dicabut dari sarungnya dan
digenggam dengan
tangan kanan. Rupanya pedang itulah
yang terkena
lemparan balik sekeping logam berbentuk
bintang segi enam
itu. Ia
berhasil menangkisnya dan
segera tampakkan
diri dengan wajah tanpa senyum.
Suto Sinting yang
berada dalam jarak dua langkah di
samping Santana
segera berbisik dengan pandangan
mata tetap
tertuju kepada wajah cantik berhidung
mancung dan
berbibir sensual itu.
"Kau
mengenalnya, Santana?"
"Dia memang
cantik," jawab Santana seperti orang
tuli yang selalu
salah jawab.
Suara Suto
Sinting jadi menggeram karena menahan
kejengkelan.
"Aku
bertanya padamu, apakah kau mengenal gadis
itu?!"
"Oh, hmm...
tidak!" jawab Santana seperti baru saja
sadar dari
lamunan. "Aku... aku sama sekali tak
mengenalnya.
Mungkin kau yang mengenalnya.
Barangkali dia
kekasihmu?!"
"Kekasihku
adalah Dyah Sariningrum. Bukan dia!
Dyah Sariningrum
lebih cantik darinya. Sayang sekali
perjalananku ke
Pulau Serindu untuk menemuinya
terhalang oleh
kemunculanmu tadi!"
Santana menatap
Suto Sinting dengan mulut
terperangah.
"Hei, nama
itu kukenal! Bukankah orang yang
bernama Dyah
Sariningrum itu adalah penguasa di Pulau
Serindu yang
bergelar Gusti Mahkota Sejati?!"
"Tepat
sekali! Dia itulah calon istriku!"
"Ooo... jadi
kau sudah pesan tempat di hati sang Ratu
Puri Gerbang
Surgawi itu?!" Santana mulai tersenyum
kembali.
"Benar
sekali. Aku sudah pesan tempat cukup lama!"
Suto pun
tersenyum walau hanya tipis-tipis saja.
"Hebat
sekali kau! Hebat sekali! Hah, hah, hah, hah!"
Kedua pemuda itu
tertawa, sepertinya tak
menghiraukan
kemunculan si gadis cantik yang
menggenggam
pedang itu. Sang gadis menjadi dongkol,
kemudian segera
lakukan lompatan ke arah Santana.
Pedangnya
ditebaskan dalam sekali kelebat. Beet...!
Trak...! Pedang
itu berhasil ditangkis dengan bambu
kuningnya
Santana. Bambu itu tak menjadi patah atau
terpotong,
padahal pedang tersebut cukup tajam. Jika tak
dialiri tenaga
dalam, tentunya bambu itu sudah patah
atau terpotong.
Gagal menebaskan
pedangnya ke tubuh Santana,
gadis itu segera
kirimkan tendangan kakinya dalam satu
lompatan kecil.
Beet...! Plook...! Santana menangkisnya
dengan kaki,
sehingga kaki mereka saling beradu.
Sementara itu,
Suto Sinting mundur jauhi mereka.
Namun ketika itu
Santana segera hantamkan telapak
tangan kirinya
dalam gerakan sangat cepat. Beet...!
Buuhk...!
"Hehhk...!"
gadis itu tersentak mundur, tubuhnya
melayang sesaat,
namun berhasil kuasai diri sehingga tak
sampai jatuh, ia
berdiri dalam jarak lima langkah dari
Santana.
Sedangkan Suto
Sinting berdiri dua langkah dari
samping kiri si
gadis. Gadis itu melirik Suto Sinting
dengan lirikan
tak bersahabat, Suto pun segera mundur
sambil mengambil
bumbung tuaknya yang sejak tadi
menyilang di
punggung. Sambil melangkah mundur,
Suto Sinting sunggingkan senyum lebar, bagaikan
seringai penuh
goda.
"Siapa kau,
Nona cantik?! Apa alasanmu dua kali
menyerangku
dengan senjata?!" tanya Santana dengan
wajah tak
menampakkan permusuhannya. Wajah itu
kembali dihiasi
oleh senyum yang kadang kecil kadang
melebar.
Si gadis tak lagi
menatap Suto melainkan lemparkan
pandangan ke arah
Santana. Walau sepasang mata itu
jernih dan
berbulu lentik, namun sorot pandangannya
terasa tajam dan
dingin. Tajam seperti peniti, dingin
seperti es
cendol.
*
* *
2
PENDEKAR Mabuk coba menyapa si gadis dengan
nada lebih lembut
dari nada suara Santana.
"Nona, boleh
kutahu siapa dirimu sebenarnya?"
Gadis itu memandang Santana, tapi menjawab
pertanyaan Suto
Sinting walau bernada ketus.
"Aku yang
berjuluk Mendung Merah dari Gunung
Pare!"
"Wah,
gawat!" sahut Santana pelan, memandang Suto
dengan senyum
dikulum.
"Gunung Pare
itu tempat begituan!"
"Begituan
bagaimana?"
"Tempat
perjudian nyawa!" tegas Santana.
"Kudengar,
di Gunung Pare banyak orang berjudi
dengan mengadu
jago. Jago mereka adalah manusia
seperti kita.
Siapa yang mati, itulah yang kalah. Kalau
belum mati, walau
sudah babak belur dan tidak bisa
bicara lagi, tapi
masih bernapas, tetap belum dikatakan
kalah! Bukankah
begitu, ya Nona?!" Santana melempar
bicara kepada
gadis itu.
"Itu
dulu!" jawab si gadis pendek, namun sudah bikin
Santana tersenyum
lebar. Sebelum pemuda bertongkat
bambu kuning itu
bicara lagi, Mendung Merah sudah
dului ajukan
tanya kepada pemuda itu.
"Kau yang
berjuluk Pendekar Mabuk, bukan?!"
"Ooo... keliru, Non! Keliru!" ujar Santana
santai
sekali, ia
menuding Suto, "Dia yang punya gelar
Pendekar
Mabuk!"
"Benar, aku
yang bergelar Pendekar Mabuk!" sambil
Suto acungkan
tangan dengan cengar-cengir.
Gadis itu menatap
Suto Sinting sesaat, lalu menatap
Santana, kembali
memandang Suto, kembali lagi
pandangi Santana.
Ia tampak bingung menentukan
keyakinannya.
Mungkin karena pakaian Suto dan
Santana punya
warna sama, hanya berbeda tempatnya,
maka si gadis
menjadi bimbang. Bawahan putih atau
atasan putih? Atasan coklat atau bawahannya yang
coklat? Tapi
keduanya sama-sama membawa bambu,
hanya saja beda
kegunaannya.
"Aku bertanya
sungguh-sungguh, siapa yang berjuluk
Pendekar
Mabuk?!"
"Aku...!"
jawab Suto lagi sambil menepuk dada dan
maju selangkah.
"Jangan
menyesal jika pedangku telanjur merenggut
nyawamu!"
geram gadis itu.
Tiba-tiba ia
bergerak cepat menyabetkan pedangnya
ke dada Suto
Sinting. Beett...! Tapi gerak naluri Suto
sudah terlatih.
Dengan memiringkan badan sedikit
seperti orang
mabuk menggeloyor, bambu bumbung
tuaknya
dihadangkan ke arah datangnya pedang. Maka
bambu itulah yang
terkena sabetan pedang si Mendung
Merah. Traang...!
"Busyet!
Suaranya seperti besi ketemu besi?!"
gumam Santana
pelan. Matanya memandang kagum ke
arah bumbung tuak
yang tak lecet sedikit pun.
Si gadis lepaskan
pukulan dengan tangan kirinya, tapi
dihindari oleh
Suto dengan menggeloyor seperti ingin
tersungkur ke
depan. Wuut...! Pukulan tersebut tak kenai
sasaran, tapi
hembusan angin, pukulannya terasa panas
di tengkuk
Pendekar Mabuk. Berarti pukulan itu
mengandung tenaga
dalam cukup besar.
"Hai,
sabar...! Sabar dulu, Mendung Merah!" bujuk
Pendekar Mabuk.
Namun si gadis
tak mau turuti bujukan itu. Kakinya
menendang ke
samping, arahnya tepat di depan mulut
Pendekar Mabuk.
Wuukk...! Tendangan itu tidak
ditangkis, tapi
dihindari juga dengan cara melompat ke
belakang. Wes,
jleeg...!
Si gadis
sentakkan kakinya dan tubuh sekalnya itu
tiba-tiba
melambung ke atas, lalu bersalto ke belakang.
Wees...!
Begitu kedua
kakinya sampai di tanah, pedangnya
menebas ke
samping kanan. Wuuut...! Trang..!
Bumbung tuak
dipakai menangkis pedang itu lagi. Tapi
sang pedang
berkelebat dalam gerak meliuk cukup cepat.
Suuutt...!
Wees...! Kepala Suto Sinting nyaris jadi
sasaran telak
kalau saja pemuda itu tidak cepat-cepat
tundukkan kepala
dengan setengah berjongkok.
Tangan kiri Suto
menapak di tanah, tubuhnya
memutar cepat
dengan kaki menyambar betis gadis itu.
Wuut...!
Plook...!
Brrruk...! Mendung Merah jatuh terduduk dalam
hempasan keras.
Suto Sinting segera berdiri dan pindah
tempat dengan
gunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Zlaaap...!
Tahu-tahu ia sudah berada di belakang
Santana.
Diam-diam Mendung
Merah tercengang kagum
melihat gerakan
sebegitu cepat, nyaris tak terlihat sedikit
pun bayangannya.
Santana sendiri agak kaget
mengetahui Suto
Sinting sudah ada di belakangnya.
"Edan! Lewat
mana kau bisa sampai di belakangku?!"
"Lewat
kolong kakimu!" jawab Suto Sinting sambil
pandangi si gadis
yang telah berdiri dengan wajah
memancarkan
permusuhan.
Ketika Mendung
Merah ingin bergerak lagi, Santana
buru-buru berkata
kepadanya.
"Mendung
Merah, maukah kau kerja sama
denganku?"
"Minggir
kau! Akan kuhantam dia dari sini jika benar
dia Pendekar
Mabuk!" sentak Mendung Merah.
"O,
silakan!" ujar Santana sambil menyingkir,
membuat Pendekar
Mabuk tanpa penghalang apa pun di
depannya.
Seketika itu pula Mendung Merah sentakkan
tangan kirinya
dengan jari lurus ke depan dan saling
merapat.
Suuutt...! Dari ujung jari tengah itu keluar sinar
merah panjang
yang melesat ke dada Pendekar Mabuk.
Claap...!
Bumbung tuak
segera diangkat sedada. Sinar merah
itu menghantam
bumbung tersebut. Tuub...!
Ternyata sinar
merah itu memantul balik dalam
keadaan lebih
cepat dan lebih besar dari aslinya.
Weess...!
Mendung Merah
kaget sekali. Hampir saja ia jadi
sasaran balik
sinarnya sendiri. Untung ia segera
sentakkan kaki
dan tubuhnya melambung ke udara dan
bersalto mundur
satu kali. Suut...! Wuuuk...!
Sinar yang
kembali arah itu akhirnya menghantam
sebatang pohon
yang besarnya tiga kali pelukan Suto
Sinting.
Jegaarrr...!
"Edan!"
sentak Santana dengan rundukkan kepala
hampir jongkok.
Ledakan yang terjadi sangat keras dan
menghentak kuat,
seakan ingin memecah gendang
telinga.
Sementara
itu, Mendung Merah tertegun beberapa
kejap dengan mata
tak bisa berkedip, ia nyaris tak
percaya bahwa
sinar merahnya yang berbalik arah itu
telah membuat
pohon yang dihantamnya menjadi
serpihan-serpihan
kayu yang menyebar ke berbagai arah.
Padahal biasanya
sinar merah tersebut hanya bisa
membuat pohon
berlubang besar dalam keadaan
lubangnya hangus.
Tak sampai membuat pohon pecah
seperti saat itu.
Setelah
masing-masing sama-sama bungkam selama
dua helaan napas,
Pendekar Mabuk segera menegur
Mendung Merah
dengan serius, tanpa senyum sedikit
pun, namun tanpa
wajah bermusuhan.
"Mendung
Merah, mengapa kau benar-benar ingin
membunuhku?!"
Santana menyahut,
"Jawab saja, Nona! jawab apa
adanya, daripada
nanti dia matinya penasaran, Rohnya
bisa mendatangimu
tiap malam dan mencabuti bulu
ketiakmu!"
"Aku tak
punya bulu!" bentak Mendung Merah
kepada Santana.
"Ooh...
maaf, maaf... aku salah pandang kalau
begitu!"
kata Santana sedikit gugup, tapi gayanya
menggelikan hati
Pendekar Mabuk.
Mendung Merah
hampiri Santana dan mengacungkan
pedangnya ke arah
pemuda itu.
"Jika kau
bukan Pendekar Mabuk, jangan ikut bicara!
Bisa robek
mulutmu dengan pedangku ini kalau masih
ikut campur
urusanku dengannya!"
Suto menyahut,
"Aku merasa tak punya urusan
denganmu, Mendung
Merah."
"Aku yang
punya urusan denganmu! Kau tak perlu
ikut mengurusnya,
biar aku yang mengurus, karena
memang tugasku
tak jauh dari urusan nyawamu!"
"Tugas apa
itu, kalau boleh kutahu?!"
"Memenggal
kepalamu!" geram Mendung Merah.
Santana maju
dekati Mendung Merah. Senyumnya
berkesan sinis
mengejek.
"Siapa yang
memberimu tugas begitu, Neng?!"
"Aku dibayar
oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar
Mabuk!"
Suto Sinting
terperanjat. Lagi-lagi nama Ladang
Peluh mengejutkan
hatinya, membelalakkan matanya,
menahan napasnya
di tenggorokan. Suto Sinting tak bisa
tertawa, tapi
Santana justru tertawa agak keras. Tawa
meremehkan.
"Itu tidak
mungkin, Nona cantik! Tidak mungkin!"
"Apanya yang
tidak mungkin, Tikus parit?!" geram
Mendung Merah.
"Ratu Ladang
Peluh sudah menyewaku untuk
membunuh Pendekar
Mabuk. Separo bayaranku sudah
diberikan sebagai
uang muka, sisanya akan dilunasi
setelah aku
datang kembali dengan membawa potongan
kepala Pendekar
Mabuk! Jadi tak mungkin kau merebut
lahanku, Cah
Ayu!"
"Mendung
Merah tak kenal kata tak mungkin!"
sentak gadis itu
dengan galaknya. "Pendekar Mabuk
adalah
buruanku!"
"Tidak bisa!
Dia adalah buruanku!" bantah Santana.
"Kalau
begitu kita tentukan siapa yang berhak
memenggal kepala
Pendekar Mabuk!"
"Boleh!"
kata Santana dengan bersemangat
menyambut
tantangan Mendung Merah.
Suto Sinting
tertawa kecil dalam hatinya, ia sengaja
mundur beberapa
langkah sampai di bawah pohon.
Hatinya pun
membatin,
"Gila!
Mereka berebut kepalaku? Lucu sekali! Apa
mereka pikir
mudah memenggal kepala Pendekar
Mabuk?!"
Santana dan
Mendung Merah masih bersitegang. Suto
sengaja
membiarkannya, sambil ia ingin tahu sejauh
mana kemampuan kedua
orang itu sehingga mereka
berani
memperebutkan kepala Pendekar Mabuk.
"Kalau kau
mampu menahan sodokan bambu
kuningku, berarti
kau berhak mendapatkan kepala
Pendekar
Mabuk!" ujar Santana sambil melangkah ke
kiri mengitari
gadis itu. Si gadis sendiri melangkah ke
kanan membentuk
gerakan melingkar sambit
mempertinggi
kewaspadaannya.
Bambu kuning yang
dipermainkan dengan kedua
tangan Santana
itu tiba-tiba menyodok ke dada Mendung
Merah secara
beruntun.
Suutt, suut,
suuut, suutt...!.
Mendung Merah
hanya menghindar dengan gerak
tubuh lincahnya
yang meliuk ke sana-sini, sementara
kedua kaki tetap
berada di tempat, tak bergeser sedikit
pun. Gadis itu
ingin tunjukkan bahwa ia mampu
bergerak lebih
cepat dari sodokan bambu kuning
Santana.
Sodokan itu
mengandung tenaga dalam, sehingga
ujung bambu
terasa keluarkan hawa panas yang dapat
menyengat kulit
manusia biasa. Hawa panas itu pun
berhasil
dihindari oleh Mendung Merah.
Namun ketika
pedang Mendung Merah ingin
menebas bambu
itu, tiba-tiba Santana berputar tubuh
dengan cepat
bersama bambunya. Namun seketika itu
pula bambunya
menyodok ke belakang ketika Santana
memunggungi
Mendung Merah. Wuutt...!
Tenaga dalam yang
keluar dari ujung bambu lebih
besar dari yang
tadi. Untung gadis itu berhasil sentakkan
kaki ke tanah
secepatnya, lalu tubuhnya melambung ke
udara dan
bersalto maju satu kali. Wuuuss...!
Tubuh itu
melayang lewat atas kepala Santana.
Pedang pun
ditebaskan ke arah kepala Santana. Tetapi
dengan cepat
Santana berlutut satu kaki dan bambu
kuningnya
disilangkan di atas kepala dengan kedua
tangan
memeganginya. Traakkk...! Pedang itu akhirnya
tertahan oleh
bambu kuning tersebut hingga tak sempat
lukai kepala
Santana.
Pemuda itu
cepat-cepat lepaskan satu tangannya. Kini
bambu kuning
dipegang dengan satu tangan dan berputar
melilit di tangan
Mendung Merah yang memegangi
pedang.
Slep, slep,
slep...!
Dess...! Bambu
itu menyodok cepat dan kenai ketiak
Mendung Merah.
"Uuhk...!"
Mendung Merah menyeringai, ketiaknya
terasa sakit
sekali mendapat sodokan bambu kuning
yang rasanya
seperti disodok besi. Tulang di ketiak
terasa remuk.
Tangan kanan Mendung Merah pun tak
mampu menggenggam
lagi. Pedangnya jatuh ke tanah,
tangan itu
bagaikan lumpuh tanpa daya sedikit pun.
Tapi gadis itu
belum mau menyerah, ia berusaha
kerahkan tenaga
yang masih tersisa. Seluruh tenaga
dipusatkan pada
tangan kirinya. Ketika bambu Santana
menyabet punggung
Mendung Merah, gadis itu cepat-
cepat berguling
di tanah. Wuuus, wuuutt...!
Gerakan berguling
sengaja mendekati kaki Santana.
Dengan gerakan
cepat, tangan kiri itu segera keraskan
kedua jarinya dan
menotok tepian mata kaki Santana
dengan gerakan
seperti seekor kobra mematuk mangsa.
Tuuuss...!
"Aow...!"
Santana terpekik dengan suara tertahan.
Tiba-tiba
tubuhnya jatuh terduduk. Seluruh urat dan
tulangnya
bagaikan hilang. Rupanya ia terkena totokan
lawan yang
membuatnya kehilangan sebagian besar
kekuatannya,
namun masih tetap dalam keadaan sadar, ia
tak mampu lagi
memegangi bambu kuningnya.
Napasnya menjadi
sangat sesak dan sulit dihela,
sehingga Santana
tampak cengap-cengap seperti seekor
lele kekurangan
air.
"Haap,
haap.., haap...!"
Mendung Merah
segera menendangkan kaki
kanannya,
sementara kaki kiri dipakai untuk berlutut di
tanah. Wuuut,
plook...! Dengan telak tendangan itu kenai
wajah Santana.
Tapi setelah itu Mendung Merah jatuh
terduduk. Rupanya
sodokan bambu kuning di ketiaknya
makin lama
semakin melumpuhkan seluruh bagian
tubuhnya.
Tulang-tulang terasa nyeri dan urat-urat bagai
mengendor.
Bruuukk...!
Mendung Merah jatuh terduduk dalam
keadaan bersandar
pada akar pohon yang tersumbul dari
tanah setinggi
betis manusia dewasa itu. Napasnya
terengah-engah
dengan wajah pucat pasi seperti mayat.
Wajah Santana pun
tampak lebih pucat lagi, bahkan
menyerupai
sehelai kertas tanpa stempel.
"Edan...! Kurang ajar...," Santana memaki dengan
suara lirih dan
serak karena berusaha melonggarkan
napasnya.
"Hrrmmm...
hhrrmmm...," Mendung Merah tak bisa
keluarkan suara
kecuali menggeram seperti orang
mendengkur.
Pendekar Mabuk
tertawa dari kejauhan. Tawa gelinya
memang tak
keluarkan suara keras, namun dari
guncangan
badannya ia tampak terpingkal-pingkal
melihat kedua
orang yang ingin membunuhnya itu saling
terkulai lemas.
Dengan sisa tawa yang ada, Suto pun
akhirnya hampiri
kedua orang yang sama-sama lumpuh
itu.
Pedang milik
Mendung Merah dipungutnya, lalu
diletakkan di
atas pangkuan gadis itu.
"Babat saja
lehernya! Kapan lagi kalau tidak
sekarang!"
ujar Suto dengan nada menyindir.
Bambu kuning yang
tergeletak sejauh satu langkah
dari Santana juga
dipungut dan diletakkan di atas dada
Santana yang
terduduk melonjor dalam keadaan lengan
tersangga batu
sebesar anak sapi.
"Gebuk saja
gadis itu! Jangan malu-malu, Santana!"
"Mata...
mu...!" Santana memaki sambil matanya
mendelik dan
sibuk menarik napasnya yang terasa sulit
dihela itu.
Pendekar Mabuk
lebarkan senyum, keluarkan suara
tawa seperti
orang menggumam, ia geleng-geleng kepala
pandangi kedua
orang tersebut secara bergantian.
Mereka juga
memandang Pendekar Mabuk dengan
kecamuk batin
masing-masing. Entah apa yang
dikecamukkan
mereka, tapi yang jelas mereka punya
kedongkolan
sendiri terhadap ejekan Suto Sinting tadi.
"Kalian ini
bagaimana? Payah sekali!" Suto bertolak
pinggang satu
tangan. "Bagaimana kalian mau
membunuhku jika
menumbangkan lawan seperti kalian
tak mampu saling
menumbangkan?!"
Melihat kedua
orang itu tak berdaya, Pendekar
Mabuk tak sampai
hati. Sekalipun mereka bermaksud
membunuhnya,
namun dalam hati Pendekar Mabuk
yakin bahwa
mereka akan membatalkan niatnya jika
sudah mengetahui
permasalahan yang sebenarnya.
Menurut penilaian
Suto, wajah-wajah mereka bukan
wajah-wajah orang
jahat yang tak dapat disadarkan.
Mereka masih bisa
disadarkan dan diberi pengertian.
"Apalagi
ilmu mereka hanya segitu, sekali kugebrak
bakalan ngacir
tak balik-balik lagi," ujar Suto dalam
hatinya.
"Aku yakin mereka hanya terpedaya oleh kata-
kata Ratu Ladang
Peluh, sehingga mereka menerima
tawaran menjadi
pembunuh bayaran. Agaknya mereka
belum tahu belang
si Ladang Peluh itu."
Tuak sakti yang
ada dalam bumbung Suto
diminumkan kepada
mereka satu persatu. Dengan
meneguk tuak dari
dalam bumbung yang selalu dibawa-
bawa Suto itu,
kekuatan mereka menjadi pulih kembali.
Rasa sakit
hilang, napas sesak menjadi longgar,
tulang
nyeri menjadi
kokoh kembali, urat kendor menjadi
keras, dan
gemuruh hati yang ingin membunuh menjadi
tenang kembali.
"Aneh?!
Hanya dengan meneguk tuaknya saja
badanku menjadi
segar dan lincah kembali?" pikir
Santana.
"Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelum
bertemu
dengannya? Ternyata tinggi juga kesaktian yang
dimiliki si
Pendekar Mabuk itu?! Apakah aku mampu
melawannya? Ah,
aku jadi sangsi pada kemampuanku
sendiri jika
harus berhadapan dengannya. Apalagi dia
baik padaku, mau
mengobati kelumpuhanku ini!"
Sementara itu,
hati Mendung Merah sendiri
membatin,
"Luar biasa tuaknya itu. Sekujur badanku
seperti habis
dipijat secara rata. Enak dan segar.
Mengapa dia mau
menolongku, sedangkan dia tahu aku
diupah untuk
membunuhnya? Oh, haruskah aku
membunuh orang
sebaik dia dan... dan setampan dia?!
Ah, ratu setan
itu benar-benar iblis tanpa malu! Pemuda
setampan dia
disuruh membunuhnya. Apa dia sudah
buta?! Belum lagi
pertimbangan tentang ilmunya yang
dapat kuduga
lebih tinggi dari ilmuku. Bayangkan saja,
jurus totokanku
yang kenai pemuda konyol itu dapat
dibuyarkan dengan
meminum tuaknya?! Apa bukan ilmu
edan-edanan itu
namanya?!"
Ketika keduanya
saling berdiri membenahi pakaian
dan membersihkan
tanah yang menempel di pakaian
mereka, Pendekar
Mabuk sengaja pandangi mereka dari
jarak empat langkah
sambil perdengarkan suaranya yang
masih bernada
bersahabat itu.
"Sebenarnya
apa yang membuat kalian bersemangat
sekali diupah
untuk membunuhku oleh Ratu Ladang
Peluh? Apakah
karena besarnya upah tersebut atau
karena hal
lain?!"
"Upah itu
bisa dibilang besar, bisa pula dibilang kecil.
Tergantung
keadaan orang tersebut. Kalau sedang
miskin, tak punya
beras sejimpit pun, tentu saja upah itu
termasuk besar
dan menggiurkan hati. Tapi bagi orang
yang sudah punya
delapan kapal, maka upah seperti itu
dinilai sesuatu
yang tak berharga."
"Jawabanmu
tak pernah sesuai dengan pertanyaan,
Santana.
Sebaiknya kau jangan menjawab!" kata Suto
Sinting agak
jengkel, ia segera memandang Mendung
Merah yang telah
memasukkan pedangnya ke sarung
pedang.
Tapi sebelum
gadis itu bicara, tiba-tiba Suto Sirting
tersentak kaget
dan cepat bergerak dengan menggunakan
jurus Gerak
Siluman'-nya. Zlaapp...! Ia melesat hampiri
gadis itu.
Mendung Merah menyangka Suto ingin
menerjangnya, ia
segera menghindar ke samping kanan.
Gerakan Suto
berkelebat di sebelah kirinya.
Blaaarrr...!
Ledakan besar
terjadi dan menggetarkan tanah sekitar
tempat itu.
Ternyata tindakan Suto tadi adalah langkah
menyelamatkan
Mendung Merah dari serangan sinar
biru yang melesat
dari atas pohon berdaun rimbun. Sinar
biru itu seperti
lidi, meluncur cepat mengarah ke kepala
Mendung Merah.
Tetapi dengan
berkelebatnya Pendekar Mabuk, maka
sinar biru itu
akhirnya menghantam bumbung tuak Suto.
Sinar itu
membalik arah dan menghantam dahan pohon
bersama timbulnya
ledakan besar tadi.
Zrraak...!
Bruuk...!
Dari atas pohon
itu melesat sekelebat bayangan.
Rupanya ada
seseorang yang nyaris termakan sinar
birunya sendiri
yang memantul balik dalam keadaan
lebih cepat dan
lebih besar dari keadaan aslinya. Orang
tersebut melompat
hindari sinar tersebut. Karena
terburu-burunya,
maka ia tak berhasil kuasai
keseimbangan
tubuh, sehingga ia jatuh terduduk pada
saat kakinya
mendarat di tanah.
Santana kaget,
tapi Mendung Merah lebih kaget lagi,
karena ia sadar
bahwa nyawanya nyaris terancam punah
dari peredaran
jika tidak segera diselamatkan oleh
Pendekar Mabuk.
Gadis itu semakin terkejut setelah
mengetahui siapa
orang yang melepaskan sinar biru
penjemput
nyawanya itu.
"Siapa orang
itu?!" bisik Suto kepada Mendung
Merah, karena
saat itu Mendung Merah ada di samping
kanannya,
sedangkan Santana ada di sebelah kirinya.
*
* *
3
PEMILIK sinar biru itu adalah seorang lelaki
pendek
berusia sekitar
empat puluh tahun dengan kumis seperti
kelelawar menclok
di bawah hidung. Tinggi badannya
sebatas perut
Suto lebih sedikit. Lelaki itu mempunyai
rambut yang
tumbuh di sisi kanan-kiri kepalanya,
sedangkan bagian
tengah kepala dari depan sampai ke
belakang botak
tanpa rambut sehelai pun.
Ia mengenakan
baju berlengan panjang warna hijau
tua dengan
celananya berwarna hitam. Baju itu tidak
dikancingkan,
sehingga perutnya yang buncit itu tampak
berkulit coklat
gelap.
Ia juga
mengenakan sabuk dari kain warna merah.
Kain merah itu
dipakai untuk selipkan golok bergagang
hitam bentuk
kepala burung gagak.
Matanya yang
beralis tebal itu memandang lurus dan
tajam ke arah
Mendung Merah. Pandangan mata itu
menandakan sikap
permusuhan yang dalam, seakan tak
akan mengenal
kata ampun untuk Mendung Merah.
"Apa
maksudmu menyerangku, Sawung Kuntet?!"
seru Mendung
Merah dengan suara lantang menandakan
keberaniannya.
Suto Sinting sedikit condongkan
badannya ke arah
Santana dan berbisik pelan, tak
kentara.
"Ooo...
namanya Sawung Kuntet!"
"Sawung itu jago, Kuntet itu pendek. Berarti dia
jagoan yang
bertubuh pendek."
"Jagoan apa
dulu?"
"Mungkin
jagoan sambar jemuran orang? Hee, hee,
hee, he...!"
"Sstt...!"
desis Suto menyuruh Santana agar tak
cengengesan dulu,
karena saat itu bibir si Sawung
Kuntet sudah
mulai bergerak-gerak ingin bicara.
"Aku mau anu
kau, karena kau mau anu Pendekar
Mabuk!"
Santana dan Suto
Sinting berkerut dahi, merasa tak
jelas dengan
kata-kata Sawung Kuntet yang gemar
menggunakan kata
'anu' sebagai pengganti kata yang
dimaksud. Suto
Sinting akhirnya bertanya dalam bisikan
kepada Mendung
Merah.
"Apa
maksudnya?"
"Dia ingin
membunuhku karena aku ingin
membunuhmu.
Kurasa begitulah maksudnya."
"Aneh.
Mengapa harus pakai kata 'anu' untuk
mengungkapkan
maksudnya?"
"Memang
begitulah ciri bicaranya!" bisik Mendung
Merah.
"Sudah lama
kau kenal dia?"
"Cukup
lama. Ia
orang Lembah Layon yang ada di
kaki Gunung
Pare."
Setelah menggumam
dan manggut-manggut, Suto
Sinting kerutkan
dahi. Pada saat itu Sawung Kuntet
melirik Suto
sekejap. Anehnya, lirikan itu tidak tampak
bersahabat
melainkan justru kelihatan bermusuhan.
Hati Suto pun
membatin, "Rupanya dia ingin
membelaku?!
Dengan alasan apa dia ingin selamatkan
diriku?"
Mendung Merah ajukan tanya lagi kepada Sawung
Kuntet.
"Apa maksud
pembelaanmu terhadap Pendekar
Mabuk?!"
"Karena dia
anuku!"
"Anumu...?!"
Santana berseru dengan heran. "Anumu
bagaimana?!"
"Dia
jatahku!" bentak Sawung Kuntet. "Kau pun juga
akan ku-anu
setelah anunya gadis itu melayang!"
Suto Sinting
tertawa ditahan, Santana pun geli dan
menutup mulutnya
agar tak melepaskan tawa.
"Anunya
Mendung Merah akan melayang, katanya.
Melayang ke mana,
ya?!" ujar Santana sambil menahan
tawa.
Mendung Merah
jelaskan, "Maksudnya, dia juga akan
membunuhmu
setelah nyawaku melayang!"
"Ooo...,"
Suto dan Santana sama-sama melongo
sambil
angguk-anggukkan kepala dan memendam rasa
geli dalam hati.
"Apa
maksudmu mengatakan Pendekar Mabuk
adalah
jatahmu?!" tanya Mendung Merah lagi.
"Aku sudah
di-anu oleh Ratu Ladang Peluh...."
"Di-anu itu
diapakan?" potong Santana. "Diperkosa
apa
diperbudak?!"
"Disewa,
Bodoh!" bentak Sawung Kuntet.
"O, jadi kau
sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh?
Disewa untuk
apa?!" tanya Suto.
"Untuk
meng-anu-mu!"
"Apa lagi
artinya itu, Mendung?" bisik Suto.
Mendung Merah pun
berbisik, "Mungkin artinya dia
sudah disewa oleh
Ratu Ladang Peluh untuk
membunuhmu!"
Suto Sinting
terkesip. Matanya segera menatap
Sawung Kuntet.
"Benarkah
kau sudah disewa oleh Ratu Ladang Peluh
untuk
membunuhku?!"
"Benar!" jawabnya tegas. "Dari tadi kuikuti
pembicaraan
kalian, sehingga aku meng-anu siapa kalian
berdua. Ternyata
dia bernama Santana dan kau yang ber-
anu Pendekar Mabuk!"
Mendung Merah
segera bicara kepada Sawung
Kuntet.
"Kurasa
sebaiknya urungkan saja niatmu membunuh
Pendekar Mabuk!
Kau tak akan mampu menandingi
ilmunya!"
"Justru kau
yang harus anu, dan jangan bermimpi lagi
mendapatkan anu
besar dari Ratu Ladang Peluh! Jika
kau tak mau
mundur, maka kau akan ku-anu sekarang
juga! Siapa pun
yang ingin meng-anu Pendekar Mabuk,
akan ku-anu lebih
dulu sebelum ia berhasil bawa kepala
Pendekar Mabuk ke
Ratu anu!"
Santana tampil ke
depan sambil cengar-cengir.
"Sawung
Kuntet, sedikit banyak aku bisa memahami
maksud
kata-katamu. Siapa pun yang ingin membunuh
Pendekar Mabuk
maka orang itu akan kau bunuh lebih
dulu, supaya
kepala Pendekar Mabuk bisa kau dapatkan,
dan kau tukar dengan upah dari Ratu Ladang Peluh!
Tapi ketahuilah
pula Sawung Kuntet... sebagai orang
yang disewa juga
oleh Ratu Ladang Peluh, aku tak
gentar sedikit
pun jika harus bertarung dulu denganmu
untuk menentukan
siapa yang berhak membunuh
Pendekar Mabuk! Jadi jika kau tetap ingin menjadi
pembunuh bayaran
untuk dapatkan kepala Pendekar
Mabuk, kurasa kau
harus beranu-anuan dulu denganku!"
"Apa itu
beranu-anuan?!" sentak Mendung Merah.
"Berpukul-
pukulan. He, he, he, he...!"
Santana nyengir.
Mendung Merah masih berwajah
ketus, sedangkan
Sawung Kuntet menjadi berang karena
dibuat bercandaan
oleh Santana. Tiba-tiba tangannya
berkelebat
seperti melemparkan pisau ke arah Santana.
Ternyata yang
keluar dari lemparan tangannya adalah
cahaya merah yang
berbentuk seperti piringan bergerigi.
Crlaapp...!
Santana segera
sodokkan tongkat bambunya ke
depan. Wuuutt...!
Dari ujung bambu kuning itu keluar
seberkas cahaya
kuning seperti anak panah kecil.
Claap...! Cahaya
kuning itu menghantam cahaya
merahnya Sawung
Kuntet. Maka meledaklah kedua
cahaya itu di
pertengahan jarak.
Duuaaarrr...!
Daya sentak
ledakan itu melesat ke dua arah,
membuat Sawung
Kuntet terdorong mundur hingga lima
langkah dan
Santana terpelanting ke belakang sekitar
lima langkah.
Suto Sinting
segera berdiri di pertengahan jarak
mereka. Pada saat
itu, Sawung Kuntet sudah mulai
kepalkan kedua
tangannya yang mengeras, seakan ia
telah menggenggam
tenaga dalam yang siap dilepaskan
dari jarak jauh.
Mendung Merah mencabut pedangnya
kembali.
Sreett...! Gadis itu berseru sebelum Pendekar
Mabuk menyuruh
Sawung Kuntet hentikan serangannya.
"Hadapilah
aku lebih dulu, Sawung!"
Lelaki pendek itu
segera sentakkan kedua tangannya
ke arah Mendung
Merah sambil membuka
genggamannya. Ternyata
sebentuk tenaga dalam cukup
besar dilepaskan oleh Sawung Kuntet pada saat
Mendung Merah
lakukan lompatan menyerang.
Wuuutt...!
Baahkk...!
Tubuh gadis itu
terlempar cukup jauh. Ia seperti
diterjang seekor
banteng liar yang sedang mengamuk.
Tubuh itu
terbanting di bawah pohon dan mengerang
lirih di sana.
Brruuuss...!
"Aooh...!"
Suto Sinting
membatin, "Boleh juga tenaga dalamnya
yang tanpa sinar
itu! Mendung Merah seperti kapas
dihempas badai.
Hmmm... rupanya si Sawung Kuntet
punya tenaga
dalam cukup besar juga?!"
Rasa ingin
menjajal ilmunya Sawung Kuntet
membuat Santana
segera maju menyerang. Kali ini ia
pergunakan jurus
'Toya Sakti'-nya yang ditebaskan ke
kanan-kiri
beberapa kali, lalu tiba-tiba menyentak ke
depan dan dari
ujung toya itu keluar jarum-jarum
berkarat yang
jumlahnya lebih dari sepuluh batang
jarum.
Sraab...!
weerrs...!
Jarum-jarum
berkarat menerjang Sawung Kuntet.
Tetapi pria
pendek berkumis seperti kelelawar itu
melayangkan
tubuhnya dengan ringan. Wuuutt...! Tubuh
itu bersalto dua
kali selama di udara, dan jarum-jarum
berkarat itu
menancap pada sebatang pohon, Pohon
tersebut menjadi
rubuh dalam beberapa kejap kemudian.
Tempat yang
terkena jarum-jarum itu tampak hitam
membusuk.
Pendekar Mabuk
bingung sendiri melihat sana-sini
menyerang Sawung
Kuntet. Ia segera melompat ke sisi
lain dan
membiarkan Santana hadapi Sawung Kuntet
yang sudah
mencabut goloknya begitu kakinya menapak
ke bumi.
Jleeg...!
Wut, wut, wut,
wuut, wuut...!
Sawung Kuntet
tebaskan goloknya ke arah Santana
beberapa kali.
Gerakan golok menebas itu sangat cepat
sehingga tampak
seperti cahaya putih berkelebat ke
sana-sini, karena
golok itu memantulkan sinar matahari.
Rupanya Santana
juga dapat mainkan tongkat bambu
kuningnya dengan
kecepatan yang sama. Setiap tebasan
golok itu selalu
ditangkis dengan bambunya.
Trak, trak, trak,
trak, trak...!
Lalu tubuh
Santana berputar cepat dan tongkatnya
menghantam dari
arah samping. Buuhk...! Pinggang si
Sawung Kuntet
terhantam. Sebelum lelaki itu memekik,
Santana segera
rendahkan badan dengan menyapukan
tongkatnya ke
arah bawah. Wuutt...! Prraakk...!
"Aaow...!"
Sawung Kuntet memekik, karena Santana
berhasil
menyambar mata kakinya. Pria pendek itu
berdiri dengan satu
kaki dan mulai limbung. Santana
segera
menyodokkan bambu kuningnya dengan
kecepatan tinggi
dan secara beruntun. Deb, deeb, deeb,
deeb...!
Suara angin dapat
keluar dari ujung bambu kuning itu
dan menghantam
dada Sawung Kuntet beberapa kali.
Lelaki itu
terdorong mundur gelagapan, akhirnya
terlempar dalam
gerakan melayang mundur saat tongkat
menyodok telak
ulu hatinya. Des...! Wuuutt...!
Brruuk...!
Sawung Kuntet
terbanting di antara akar-akar pohon
yang bertonjolan
di tanah, ia menyeringai kesakitan.
Santana melompat
dengan gerakan jungkir balik
menggunakan
tongkatnya yang sesekali menyentuh
tanah sebagai
penopang tubuh. Wuk, wuuk, wuk...!
Jleeg...! Santana
daratkan kakinya tepat di samping
Sawung Kuntet dan
terbaring. Tongkat bambu kuning
diangkat dan
ingin dihujamkan ke perut Sawung Kuntet.
Tetapi pria
pendek itu gunakan tenaga simpanannya
hingga tubuhnya
bisa melenting naik dengan kedua kaki
terangkat ke atas
dalam gerakan jungkir balik. Saat
itulah tongkat
bambu kuning berhasil ditendang oleh
kaki Sawung
Kuntet. Bet...! Tendangan itu sangat keras,
sehingga bambu
kuning itu tersentak dan tubuh Santana
ikut terbawa
hingga oleng.
Santana yang
menggeragap itu segera disabet dengan
golok panjang
Sawung Kuntet. Weess...! Tapi bambu
kuning bergerak
cepat lindungi pinggang samping
sehingga golok
itu tak jadi merobek pinggang melainkan
kenai bambu itu
dengan keras.
Trraak...!
Benturan itu memercikkan bunga api dalam
sekejap,
sepertinya golok tersebut beradu dengan besi
baja yang
melapisi bambu kuning tersebut. Padahal yang
ada dalam lapisan
bambu kuning itu adalah tenaga dalam
Santana yang
selalu disalurkan ke dalam bambu tersebut.
Begitu sadar
goloknya tak kenai sasaran, Sawung
Kuntet segera
pergunakan telapak tangan kirinya untuk
menghantam
punggung Santana. Bet! Plaak...!
"Aaah...!"
Santana memekik, punggungnya berasap
dan membekas
telapak tangan Sawung Kuntet yang
selain bertenaga
besar juga mengandung hawa panas api
cukup tinggi.
Brruk...! Santana
tumbang dalam keadaan tersangkut.
Sawung Kuntet tak
mau hentikan serangan sampai di
situ saja, ia
mengangkat goloknya dan menghujamkan
golok ke punggung
Santana dengan kedua tangan.
"Heaaah...!"
Tapi di luar
dugaan, Sawung Kuntet terpental
sebelum goloknya
sempat menghujam punggung
lawannya, ia
merasa ulu hatinya ditendang seekor kuda
jantan dengan
kerasnya. Napas bagai menggumpal di
perut, jantung
terasa berhenti mendadak. Sawung Kuntet
jatuh terkapar
dalam jarak lima langkah dari Santana, ia
tak tahu bahwa
Pendekar Mabuk telah lepaskan jurus
'Jari Guntur'-nya
yang berupa sentilan jari bertenaga
dalam tinggi.
"Aahk...!
Aaakkh...!" Sawung Kuntet mendelik dan
kelojotan,
mulutnya ternganga karena ingin menghirup
udara
banyak-banyak. Namun jalur pernapasannya
seakan tersumbat
sesuatu yang sulit dihilangkan.
Mendung Merah
sudah berdiri sejak tadi. Rasa
sakitnya akibat
jatuh terbanting itu sudah dapat diatasi
dengan tarikan napasnya. Gadis itu segera berlari
dan
lakukan lompatan
bersalto beberapa kali hingga
secepatnya tiba
di dekat Sawung Kuntet. Jleeg...!
Pedang di
tangannya segera dihujamkan ke dada
Sawung Kuntet.
Suuut...! Traang...! Mendung Merah
terpelanting
jatuh karena pedangnya tersentak kuat dan
akhirnya menancap
di tanah. Jreeb...!
Sesuatu yang
membuat pedang Mendung Merah
terpental adalah
sentilan tenaga dalam juga yang
dilakukan oleh
Pendekar Mabuk dari tempatnya berdiri.
Sentilan itu tepat kenai pedang, dan pedang menjadi
berat dalam
keadaan terlempar. Mau tak mau tubuh
Mendung Merah
terbawa oleh pedangnya.
"Hentikan
semua!" seru Pendekar Mabuk kali ini
perlihatkan
ketegasannya.
Suasana hening
sejurus ketika Pendekar Mabuk
hampiri ketiga
orang itu. Lalu, suara erangan Santana
terdengar secara
samar-samar. Sentakan-sentakan napas
Sawung Kuntet pun
terdengar lirih seperti orang
cegukan. Pria itu
masih mendelik dengan mulut terbuka
berusaha menarik
napas beberapa kali.
"Sadarlah
kalian bahwa saat ini aku dapat membunuh
kalian
semua!" seru Suto Sinting bernada tegas, namun
hatinya tetap
bersabar. Suto hanya ingin memberi
peringatan kepada
mereka, agar tidak bertarung sendiri-
sendiri hanya
untuk merebutkan haknya sebagai
pembunuh bayaran
Ratu Ladang Peluh.
"Aku sengaja
tak ingin menjadi musuh kalian dengan
cara melukai,
atau mencederai, bahkan membunuh
kalian! Lupakan
tugas kalian sebagai pembunuh bayaran
si Ladang Peluh
itu, karena tindakan tersebut hanya akan
mengorbankan
nyawa kalian secara cuma-cuma!"
Tak satu pun yang
berani bicara pada saat itu.
Apalagi si Sawung
Kuntet, sama sekali tak bicara karena
ia sedang sibuk
ngap-ngapan mencari lubang napasnya.
Sekali lagi
Pendekar Mabuk tunjukkan sikap
bersahabatnya
dengan meminumkan tuak sakti kepada
mereka. Dengan
begitu, luka dan rasa sakit mereka
segera lenyap.
Badan mereka pun segar kembali. Tetapi
warna hitam
hangus di rompi Santana masih membekas
telapak tangan
Sawung Kuntet, dan agaknya bekas itu
menjadi suatu
peringatan bagi Santana untuk lebih
berhati-hati jika
terpaksa harus bertarung lagi melawan
Sawung Kuntet.
Kegalakan lelaki
pendek itu pun menjadi reda dengan
sendirinya,
karena ia merasa diselamatkan oleh Pendekar
Mabuk, sehingga pernapasannya
normal kembali.
"Aku
mendapatkan satu kesimpulan setelah melihat
pertarungan
kalian yang lamban dan kurang pantas jika
menjadi pembunuh
bayaran," ujar Suto Sinting
memberanikan diri
bicara agak sombong untuk
meluruskan jalan
pikiran mereka.
Sambungnya lagi,
"Kalian sebenarnya dimanfaatkan
oleh Ratu Ladang
Peluh sebagai umpan agar aku
menemuinya.
Mengapa kalian dijadikan umpan? Karena
dia tak bisa
menemukan diriku dengan mudah, sehingga
tak bisa
melampiaskan dendamnya!"
Santana melirik
Mendung Merah, saat itu Mendung
Merah sendiri
melirik Sawung Kuntet yang menatap
Suto Sinting
dengan pandangan mata tak setajam tadi.
Agaknya mereka
sengaja diam untuk dengarkan ucapan
sang Pendekar
Mabuk itu.
"Nyawa
kalian sama sekali tidak dihargai oleh Ratu
bejat itu.
Bayangkan saja, berapa duit kalian dibayar
untuk dapat
membunuhku? Sementara dia tahu persis
bahwa kalian tak
mungkin bisa membunuhku, justru
kalian sendiri
akan terbunuh olehku jika kita saling
bertarung. Jika
kalian terbunuh, tentu saja dia tak akan
keluarkan uang
untuk membayar kalian!"
Suto sengaja diam
sesaat untuk memberi kesempatan
kepada mereka
merenungi kata-katanya itu. Beberapa
kejap kemudian,
Sawung Kuntet perdengarkan suaranya
yang mirip orang
menggumam, seakan bicara pada
dirinya sendiri.
"Keparat!
Berani-beraninya dia menjadikan anuku
sebagai
umpan!"
"Anuku itu
apa maksudnya?" tanya Santana.
"Nyawaku!"
sentak Sawung Kuntet.
"Ooo...
nyawamu. Kukira anumu!" gumam Santana,
lalu diam,
masalah 'anu' tak dibahas lagi.
Mendung Merah
segera berkata, "Aku tertarik tugas
ini bukan
semata-mata upah sejumlah uang dan
perhiasan. Terus
terang saja aku tertarik tugas ini karena
ia berjanji akan
memberi hadiah padaku sebuah pedang
sakti yang
bernama Pedang Penakluk Cinta, jika aku
berhasil membawa
pulang kepala Pendekar Mabuk."
"Aku juga
akan diberi hadiah Pedang Penakluk Cinta
jika bisa
memenggal kepalamu, Suto!" ujar Santana.
Pendekar Mabuk
hanya sunggingkan senyum lebar
setengah geli.
Sawung Kuntet
segera berkata, "Dia juga ber-anu
begitu padaku,
dan aku sangat tertarik dengan Pedang
Penakluk
anu...."
"Husy!
Penakluk anu bagaimana?!" sentak Santana.
"Maksudku.
Pedang Penakluk Cinta!"
"Bicaralah
yang lengkap!"
"Apa hakmu
mengatur bicaraku?!" sentak Sawung
Kuntet menegang.
Suto Sinting segera meredakan
kembali
ketegangan itu.
"Ratu bejat
itu memang licik!" ujar Suto Sinting.
"Kalian
boleh percaya boleh tidak, Pedang Penakluk
Cinta sudah
kuhancurkan saat berada di tangan Jerami
Ayu!"
Ketiga orang itu
saling pandang dengan dahi
berkerut.
Suto menyambung,
"Kalian boleh tanyakan kepada
Ki Belantara, jika kalian kenal dengan beliau.
Ki
Belantara adalah
saksi mata saat aku menghancurkan
Pedang Penakluk
Cinta. Karena pedang itu kuhancurkan,
maka Ratu Ladang
Peluh sangat marah dan mendendam
padaku, tapi tak
bisa melampiaskan kemarahannya.
Kurasa ia sudah
cukup lama mencari-cariku namun tak
berhasil
dijumpai, sehingga ia menggunakan umpan
nyawa kalian.
Harapannya, jika kalian sekarat
ditanganku,
tentunya kalian akan bicara siapa yang
menyuruh kalian.
Dan kalau sudah begitu, dia berharap
aku mendatanginya
ke Bukit Randa!"
"Bangsat
kurap! Pedang sudah anu ditawarkan
sebagai
anu!" geram Sawung Kuntet.
Wajah tiga orang
utusan Ratu Ladang Peluh itu
tampak memendam
kejengkelan. Mendung Merah
bahkan kelihatan
menyembunyikan rasa malu di
hadapan Pendekar
Mabuk, ia tak berani menatap
langsung ke mata
si murid sinting Gila Tuak itu.
"Kurasa
bukan hanya kita saja yang dikerahkan
sebagai orang
upahannya!" kata Santana sambil
tersenyum kecut.
"Mungkin lebih dari lima atau enam
orang."
Mendung Merah
segera berkata dengan nada
menggeram,
"Aku akan bikin perhitungan sendiri
dengan Ratu
Ladang Peluh! Ia telah menganggapku
sebagai gadis
bodoh dengan cara seperti ini!"
"Aku pun
akan memberi pelajaran pada anu-nya yang
busuk itu!"
Sawung Kuntet ikut-ikutan menggeram.
"Apa benar
anu-nya Ratu Ladang Peluh itu busuk?!"
tanya Santana
sambil tersenyum menahan geli.
"Yang
kumaksud, mulutnya! Mulut busuk itu harus
dihajar biar
anu!"
Pendekar Mabuk
segera berkata, "Itu urusan kalian!
Aku tak menyuruh
kalian bertindak begitu. Hanya saja,
yang jelas aku
tak akan layani dendam si Ratu Ladang
Peluh itu! Aku punya
urusan lain yang lebih penting dari
melayani
dendamnya!"
Santana
perdengarkan suaranya yang kalem,
"Aku
hanya akan minta
bukti keutuhan Pedang Penakluk Cinta
itu. Jika ia bisa
tunjukkan pedang itu masih utuh, akan
kulanjutkan
tugasku mengejar kepalamu, Suto. Tapi jika
ia tak bisa
tunjukkan pedang itu, berani pedang itu
benar-benar hancur dan... yah, mungkin kepalanya
kubuat hancur
juga dengan bambu gadingku ini!"
"Gagasanmu
itu bagus! Pertama, untuk membuktikan
kebenaran
kata-kataku tentang pedang yang sudah
kuhancurkan itu.
Kedua, untuk menelanjangi tipu
muslihatnya!
Tentang yang lain-lain, terserah dirimu
sendiri,
Santana."
"Anu-nya
ratu itu memang palsu!" ujar Sawung
Kuntet.
"Anu-nya
palsu? Maksudnya anu-nya dari karet,
begitu?!"
tanya Suto.
"Pengakuannya
palsu!" sentak Sawung Kuntet
menjelaskan.
"Ooo...
pengakuannya?! Kukira... kukira giginya
yang palsu,"
gumam Suto Sinting sambil tertawa.
Mendung Merah
sembunyikan senyum. "Dia pandai
menutupi otak
ngeresnya!" ujar Mendung Merah
membatin.
"Dia
mengaku, anu-nya kau acak-acak, dan ia sangat
sakit hati
padamu."
"Ah, yang
benar saja! Mana mungkin aku mengacak-
acak
anunya!"
Mendung Merah
yang menyahut, "Maksudnya, ia
mengaku istananya
di Bukit Randa itu kau acak-acak!
Sebab, di depanku
pun ia mengaku demikian."
"Ooo...
istananya?" Suto Sinting manggut-manggut
sambil tersenyum,
sementara Mendung Merah sengaja
bersungut-sungut
dengan gerutu tak jelas. Wajahnya
tampak semakin
cantik dan menarik dalam keadaan
cemberut begitu.
Santana juga
ingin katakan hal yang sama tentang
pengakuan Ratu
Ladang Peluh. Tetapi sesuatu telah
membuat Santana
tak jadi bicara.
Sekelebat
bayangan melintas di depan mereka, tepat
di belakang
Pendekar Mabuk. Mereka menjadi cemas
dalam keadaan
tegang. Sosok bayangan yang muncul di
belakang Suto
Sinting itu tak lain adalah tokoh yang
dikenal oleh
mereka bertiga.
*
* *
4
TOKOH yang baru muncul itu bertubuh kurus,
ceking, jangkung
dan bermata cekung. Ia seorang lelaki
tua yang
mempunyai rambut berwarna biru. Rambut itu
panjangnya
sepundak, berkesan kusut, tanpa ikat kepala.
Ia tak berkumis
dan tak berjenggot, namun alisnya yang
tebal juga
berwarna biru.
Jubahnya yang
berlengan panjang dan bagian
depannya tidak
dikancingkan itu juga berwarna biru
muda seperti
rambutnya. Tapi celana komprangnya
berwarna abu-abu,
bukan biru lagi. Kakek berusia sekitar
delapan puluh
tahun itu mempunyai kulit yang kusam
dan berkeriput.
Dadanya yang tinggal tulang dibungkus
kulit itu masih
tersisa tato semasa muda. Tato yang
lebarnya pas satu
dada itu bergambar seekor burung
sedang lebarkan
sayapnya.
Pendekar Mabuk
merasa asing dengan kemunculan
kakek bertongkat
hitam itu. Sepanjang ingatannya, ia
merasa belum
pernah jumpa dengan tokoh tua tersebut.
Tapi si tokoh tua
menatapnya dengan pandangan mata
yang dingin dan
menggetarkan hati.
"Kau kenal
kakek itu?" bisik Suto kepada Mendung
Merah.
"Dia yang
bernama Eyang Bintara alias Geledek
Biru!"
Santana yang
mendengar bisik-bisik itu segera
menimpali dengan
bisikan pula.
"Dia adalah
Penguasa Kuil Keramat di Bukit
Belatung! Di
kawasan tenggara, dia sangat dikenal,
ditakuti dan
disegani."
Sawung Kuntet
nimbrung juga, "Anu-ya sangat
banyak!"
"Apanya
maksudmu?"
"Pengikutnya!"
geram Sawung Kuntet.
"Dia guru
besar dari Perguruan Badai Keramat!"
tambah Mendung
Merah. Si tampan Pendekar Mabuk
hanya menggumam
dan manggut-manggut kecil.
Setelah beradu
pandang sebentar, tiba-tiba saja si
Geledek Biru
surutkan pandangan matanya, tak sedingin
tadi, tak setajam
saat ia datang. Mereka yang mengenal
siapa Geledek
Biru menjadi heran melihat surutnya
pandangan mata tersebut. Tak biasanya Geledek Biru
surutkan
pandangan mata dalam berhadapan dengan
siapa pun.
Zeeeb...! Geledek
Biru bergerak dekati Suto Sinting
dengan gerakan
kaki tak menyentuh tanah, seperti
melayang cepat
dan berhenti dengan cepat pula.
Yang lain mundur
dua langkah, tapi Suto Sinting
tetap diam di
tempat dalam jarak empat langkah dari
Geledek Biru.
Pemuda itu masih menampakkan
sikapnya yang
tenang, seakan menghadapi manusia
biasa. Padahal
dalam hati Pendekar Mabuk mulai
mengakui
kehebatan ilmu Geledek Biru dengan cara
memperhatikan gerakan kakek tersebut saat
mendekatinya
tanpa menyentuh tanah.
"Pasti kau
yang berjuluk Pendekar Mabuk!" ujarnya
dengan nada tegas
dan suara masih jelas.
"Benar,
Eyang! Aku yang berjuluk Pendekar Mabuk,
murid si Gila
Tuak!" jawab Suto Sinting dengan tegas
pula.
Santana beranikan
diri bersuara setelah Geledek Biru
dan Pendekar
Mabuk saling membisu dalam beradu
pandang.
"Maaf, Eyang
Geledek Biru, apakah Eyang juga
diminta
bantuannya oleh Ratu Ladang Peluh untuk
membunuh Pendekar
Mabuk?!"
Sebelum
pertanyaan itu dijawab oleh Geledek
Biru,
gadis berpakaian
merah itu segera menimpalinya.
"Eyang
Geledek Biru, mohon Eyang tidak
terpengaruh oleh
kata-kata Ratu Ladang Peluh. Mohon
pula,
pertimbangkan baik-baik pengaduan Ratu Ladang
Peluh itu. Jangan
sampai Eyang Geledek Biru termakan
fitnah atau
terpedaya olehnya."
Sawung Kuntet
jadi ikut bicara, "Kami semua di-anu
oleh Ratu Ladang
Peluh, Eyang!"
"Di-anu itu
diapakan?!" sahut Santana.
"Ditipu,
maksudku!" Sawung Kuntet agak
menyentak.
Mendung Merah
berkata lagi, "Pendekar Mabuk
bukan orang yang
patut dipenggal kepalanya, tapi Ratu
Ladang Peluh
itulah yang patut dipenggal kepalanya,
Eyang!"
Suto Sinting
pandangi sekeliling, menatap wajah para
utusan Ratu
Ladang Peluh satu persatu. Keheningan
terjadi karena
mereka saling bisu. Geledek Biru juga
pandangi
wajah-wajah di belakang Pendekar Mabuk.
Kejap berikut,
sebelum Suto Sinting ingin mengawali
percakapannya, si
Geledek Biru kembali perdengarkan
suara dengan nada
rendah.
"Justru aku
ke sini ingin menanyakannya kepada
Pendekar
Mabuk, benarkah dia yang membunuh Ratu
Ladang
Peluh?!"
"Bukan
membunuh, Eyang!" sahut Mendung Merah.
"Tapi
menurut pengakuan Pendekar Mabuk, dialah yang
hancurkan Pedang
Penakluk Cinta milik sang Ratu itu,
Eyang."
Geledek Biru
seperti orang menggumam, "Lalu, siapa
yang membunuh
Ratu Ladang Peluh?"
Ketiga wajah di
belakang Suto Sinting saling tatap
satu dengan yang
lainnya. Pendekar Mabuk pun
kerutkan dahi,
sama seperti mereka. Tatapan mata si
Pendekar Mabuk
tertuju ke wajah bermata cekung di
depannya, setelah
tadi ia sempatkan diri menengok ke
belakang dan
pandangi wajah-wajah mereka yang penuh
keheranan itu.
"Membunuh
bagaimana maksudnya, Eyang?!" kini
Suto Sinting
beranikan diri untuk bertanya kepada si
Geledek Biru.
Yang ditanya justru membungkam
mulutnya sesaat
dengan tetap pandangi bola mata
Pendekar Mabuk.
Beberapa saat kemudian, suara si
Geledek Biru pun
terdengar kembali.
"Ladang
Peluh ditemukan tewas di pantai bersama
empat orang
pengawalnya."
"Ooh...?'"
mereka saling menggumam kaget. "Mayat
mereka ditemukan
oleh salah seorang muridku dalam
keadaan
terpenggal kepalanya. Sementara itu, kudengar
kabar dari Jerami
Ayu, bahwa Ratu Ladang Peluh
mencari-cari
Pendekar Mabuk untuk lampiaskan
dendamnya. Maka
kucoba untuk mencari dan
menemukan
Pendekar Mabuk dengan caraku sendiri."
"Bukan aku
yang membunuhnya, Eyang," kata Suto
Sinting dengan
nada bicara tetap ramah. "Justru aku
yang sedang
diburunya dan ingin dipenggal kepalaku,
sampai-sampai dia
menyuruh tiga orang di belakangku
ini untuk
memenggal kepalaku. Tapi setelah kujelaskan
bahwa mereka
diperdaya oleh Ratu Ladang Peluh,
mereka justru
menjadi sahabatku, Eyang!"
"Kapan mayat
Ratu Ladang Peluh ditemukan,
Eyang?"
tanya Mendung Merah.
"Kemarin
sore!" jawab Geledek Biru. Ia melirik
Mendung Merah
sebentar yang terperangah, lalu
menatap Suto
Sinting lagi.
"Kurasa...
seorang Manggala Yudha sepertimu tak
perlu
mendustaiku. Pendekar Mabuk!"
Suto Sinting
kaget disebut 'Manggala Yudha' alias
sang senopati
atau panglima perang, itu berarti si
Geledek Biru
mampu melihat noda merah kecil di
kening Suto yang
menjadi tanda bahwa dirinya adalah
Manggala Yudha
Kinasih dari negeri Puri Gerbang
Surgawi di alam
gaib. Noda merah kecil itu pemberian
Ratu Kartika
Wangi, calon mertuanya, atau ibu dari
Dyah Sariningrum.
Noda merah itu tak bisa dilihat oleh
sembarang orang,
kecuali oleh orang berilmu tinggi,
(Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia
Seribu
Wajah").
Pendekar Mabuk
mulai simpulkan bahwa si Geledek
Biru memang
berilmu tinggi, terbukti ia dapat melihat
noda merah di
kening Suto Sinting. Tetapi nada
bicaranya tadi
seperti tidak percaya dengan pengakuan
Suto, sehingga si
murid sinting Gila Tuak terpaksa
meyakinkan sekali
lagi kepada Geledek Biru.
"Sungguh, Eyang! Aku bukan orang yang
menewaskan Ratu
Ladang Peluh! Bahkan bertemu pun
belum
pernah."
Si rambut biru
itu manggut-manggut, kalem tapi
berwibawa.
"Kalau
begitu, pasti orang lain yang membunuh si
Ratu Ladang Peluh
itu!"
"Kurasa
memang begitu, Eyang!" kata Suto Sinting,
namun dalam hatinya membatin, "Mengapa ia sangat
peduli dengan
kematian Ratu Ladang Peluh? Apakah ia
punya hubungan
keluarga dengan Ratu bejat itu?!"
Seperti orang
yang tahu maksud hati orang lain,
Geledek Biru tanpa diminta telah jelaskan alasannya
dalam mencari
Pendekar Mabuk.
"Aku sengaja
mencarimu, karena kusangka kau yang
membunuhnya.
Seandainya memang kau yang
membunuhnya, maka
yang ingin kutanyakan, apakah
Serat Sekar
Siluman ada padamu?"
Kerutan dahi Suto Sinting menjadi semakin tajam,
demikian pula
kerutan dahi ketiga orang di belakangnya.
Mereka merasa
asing dengan kata-kata 'Serat Sekar
Siluman' yang
sama sekali tak dimengerti maksudnya
itu. Maka si
Pendekar Mabuk pun menanyakannya
kepada Geledek
Biru, dan kakek tua yang mirip
tengkorak
berkulit itu segera jelaskan maksud kata-kata
itu.
''Yang kumaksud
dengan 'Serat Sekar Siluman' itu
adalah kitab
kecil seukuran telapak tangan yang selalu
diselipkan di
pinggang Ladang Peluh. Kitab keramat itu
terdiri dari
sepuluh lembar, terbuat dari kulit rusa. Kitab
itu berisi
mantra-mantra pemanggil kekuatan iblis.
Mantra-mantra itu
tidak bisa diingat atau dihafalkan, jadi
cara
menggunakannya harus dibaca. Jika si Ladang
Peluh membaca
salah satu dari kesepuluh mantra dalam
kitab tersebut,
maka kekuatan iblis yang maha dahsyat
akan datang dan
menyatu dalam jiwa raganya."
Mereka
manggut-manggut serempak, kecuali si kakek
kurus itu.
Beberapa saat setelah suasana sempat menjadi
hening karena tak
ada yang bersuara, Santana segera
ajukan tanya
kepada si Geledek Biru.
"Jika benar
kitab yang dapat mendatangkan kekuatan
iblis itu selalu
dibawa dan terselip di pinggang Ratu
Ladang Peluh,
mengapa ia bisa terbunuh, Eyang?!"
"Tentunya ia
belum sempat membaca salah satu dari
kesepuluh mantra
itu, maka seseorang sudah lebih dulu
berhasil
membunuhnya. Tetapi jika saat itu Ratu Ladang
Peiuh punya
kesempatan membaca satu saja dari sepuluh
mantra keramat
tersebut, maka orang yang
membunuhnya itu
justru akan kehilangan nyawanya
sendiri,"
tutur Geledek Biru dengan kata demi kata dapat
didengar secara
jelas.
Sambungnya kembali, "Aku yakin, 'Serat Sekar
Siluman' itu ada
padanya sebelum ia tewas. Dan setelah
ia tewas, 'Serat
Sekar Siluman' dicuri pula oleh si
pembunuhnya itu. Karena pada waktu mayat Ladang
Peluh ditemukan
oleh tiga orang muridku, keadaan
sabuk dan
angkinnya terlepas, menandakan seseorang
telah sengaja
melepas sabuk dan angkin itu untuk
mengambil 'Serat
Sekar Siluman' tersebut."
"Dari mana
Eyang tahu kalau kitab itu ada padanya?"
tanya Mendung
Merah.
"Kitab itu
adalah milikku!"
"Ooh...?!"
Mendung Merah dan Santana menggumam
bersama dengan
nada terperanjat.
"Satu
purnama yang lalu, kitab itu dicuri, atau lebih
tepatnya lagi dirampas
oleh si Ladang Peluh saat kitab
tersebut berada
di tangan muridku yang bernama: Jati
Kumarang."
"Apakah Jati
Kumarang tidak melawannya kala itu?"
tanya Suto
Sinting.
"Jati
Kumarang seorang pemuda tampan sepertimu.
Sayang sekali ia
mudah tergoda bujuk rayu dan
kecantikan si
ratu celaka itu. Ia terbuai oleh kemesraan,
sehingga dengan
mudahnya melepaskan kitab tersebut.
Ketika ia
sadar, ia tak bisa ungguli kekuatan Ratu
Ladang
Peluh."
Geledek Biru
hentikan kata sejenak. Menerawang
bagai mengenang
sang murid dengan napas ditarik
panjang-panjang.
"Jati
Kumarang terkena luka beracun. Saat ia
menghadapku dan
melaporkan bencana itu, aku
terlambat
selamatkan nyawanya, karena racun yang
mengenainya
begitu ganas dan segera merenggut
nyawanya,"
sambung Geledek Biru dengan memendam
kesedihan.
"Mengapa
kitab itu tidak segera Eyang rebut dari
tangan Ratu
Ladang Peluh?" ujar Mendung Merah
setelah mereka
saling bungkam sesaat.
"Kala itu
Ladang Peluh masih mempunyai pusaka
yang sangat
membahayakan, yaitu Pedang Penakluk
Cinta. Aku pernah
mencobanya mengadu nyawa dengan
Ladang Peluh,
tapi hampir saja mati di ujung pedang itu.
Ia nyaris berhasil menikam jantungku melalui
bekas
telapak kakiku di
tanah. Dan ketika aku berhasil
menguasai ilmu
peringan tubuh yang kunamakan jurus
'Tapak Angin',
yang membuatku dapat berjalan tanpa
meninggalkan
bekas telapak kaki di tanah ini, ternyata
semuanya sudah
terlambat. Bahkan kudengar dari mulut
Jerami Ayu
sendiri, bahwa Pedang Penakluk Cinta telah
dihancurkan oleh
pendekar Mabuk. Sayang sekali dalam
keadaan seperti
ini, Ladang Peluh telah tewas dan kitab
itu sudah
disambar pencuri lain!"
"Kira-kira
siapa anu-nya, Eyang?!" tanya Sawung
Kuntet.
"Maksud saya... siapa pelakunya?"
"Semula
kusangka sang Pendekar Mabuk inilah
pelakunya. Tapi
ternyata kutemukan kejujuran dari bola
matanya, bahwa
dia bukan pelakunya. Jika begitu, pasti
ada pihak lain
yang mempunyai ilmu cukup tinggi juga
dan berhasil
menewaskan Ladang Peluh bersama
keempat orangnya
itu. Tentu saja si pelaku adalah orang
yang tahu tentang
kitab 'Serat Sekar Siluman' tersebut.
Jika tidak, tak
mungkin ia membawa lari kitab itu setelah
membunuh Ladang
Peluh!"
Suto Sinting
hembuskan napas panjang. Kini ia tahu,
bahwa hancurnya
Pedang Penakluk Cinta membuat Ratu
Ladang Peluh
menjadi sangat murka. Perempuan itu
bermaksud
menghancurkan Suto melalui mantra yang
ada di dalam
kitab 'Serat Sekar Siluman' yang selalu
dibawanya dalam
pencarian itu. Tetapi sayang sekali ada
pihak yang
mengincar kitab itu di luar dugaan Ratu
Ladang Peluh,
sehingga sang Ratu bejat itu tewas lebih
dulu sebelum
berhasil muntahkan murkanya kepada
Pendekar Mabuk.
Suto yakin, sang
Ratu bejat mengetahui hancurnya
Pedang Penakluk
Cinta adalah karena laporan dari
Jerami Ayu. Sebab
ketika pedang itu hancur, Suto
membiarkan
perempuan itu lolos. Besar kemungkinan si
Jerami Ayu yang
telah memisahkan diri dari Ratu
Ladang Peluh,
kembali ingin bergabung lagi.
Pedang Penakluk
Cinta pada mulanya dicuri oleh
Sunggar Manik
dari tangan Ratu Ladang Peluh. Dalam
pelariannya,
Sunggar Manik bertemu dengan Jerami
Ayu yang rupanya
sudah lama mengincar pedang
tersebut. Jerami
Ayu berhasil merebut pedang itu dengan
bantuan Mahesa
Gondes, murid Ki Belantara. Jerami
Ayu ingin
tundukkan hati pemuda tampan yang bernama
Sambada dengan
menggunakan pedang tersebut. Namun
akhirnya pedang
itu hancur di tangan Pendekar Mabuk,
setelah dipakai
membunuh Sunggar Manik.
Jerami Ayu bisa
saja berlagak tak pernah memegang
pedang tersebut,
ia pura-pura menjadi saksi mata
pertarungan
antara Sunggar Manik dan Pendekar Mabuk
yang menewaskan
Sunggar Manik dan menghancurkan
pedang tersebut.
Dengan membawa keterangan berharga
itu ia menghadap
Ratu Ladang Peluh dengan harapan
dapat diterima
kembali sebagai pengikut si Ratu bejat itu.
"Mungkinkah
si Jerami Ayu sendiri yang membunuh
Ratu Ladang
Peluh, Eyang?" ujar Suto Sinting memecah
kebisuan mereka.
"Tak
mungkin!" tegas Geledek Biru. "Jerami Ayu tak
akan mampu
ungguli ilmunya si Ladang Peluh, ia
memang kecewa terhadap sikap Ladang Peluh karena
niatnya bergabung
kembali ditolak sang Ratu, walaupun
ia telah menjadi
pembawa berita tentang hancurnya
Pedang Penakluk
Cinta. Tapi Jerami Ayu tak mungkin
berani melawan
Ladang Peluh, terbukti ia justru datang
kepadaku dan
dengan maksud meminta bantuanku untuk
kalahkan Ladang
Peluh. Tapi aku menolaknya, karena
aku tahu Jerami
Ayu bukan perempuan baik-baik. Ia
perempuan yang
licik dan serakah."
"Kalau
begitu, sangat berbahaya jika kitab keramat
itu jatuh di
tangan Jerami Ayu!" ujar Santana kepada
Mendung Merah.
"Di tangan
manusia serakah siapa pun, kitab keramat
itu sangat
berbahaya karena bisa menjadi bencana bagi
kehidupan
manusia," ucap Eyang Bintara alias si
Geledek Biru.
"Jika
begitu, aku akan membantumu mencari
kitab
keramat itu, Eyang!" ujar Suto Sinting
menyatakan
kesanggupannya.
"Bila perlu,
hancurkan saja kitab itu agar tak menjadi
biang petaka
dan bahan incaran orang-orang
serakah!"
kata Geledek
Biru. "Aku rela tak memiliki kitab itu,
daripada bumi ini
menjadi hancur karena kitab itu!"
"Aku juga
akan mencoba ikut membantu mencarikan
kitab itu,
Eyang," ujar Santana, seakan tak mau kalah
gengsi dengan
Pendekar Mabuk.
Mendung Merah
akhirnya berkata, "Aku hanya
sanggup sampai
mengetahui siapa pemegang kitab
keramat itu
sekarang. Barangkali aku tak punya
kesanggupan untuk
merebut kitab itu, karena aku tak
mau menjadi
korban mantra kekuatan iblis yang ada di
dalam kitab
tersebut, Eyang."
"Kuhargai
kesanggupanmu walau cukup sederhana
itu, Mendung
Merah!"
Sawung Kuntet
yang semula diam saja kini jadi ikut
bicara juga.
"Aku akan
anu ke Lembah Layon. Aku tak berani
anu-anuan seperti
kalian."
"Tak berani
apa maksudmu?"
"Ikut-ikutan!"
sentak Sawung Kuntet dengan
dongkol. Santana
nyengir tanpa pedulikan wajah murung
si pria pendek
itu.
*
* *
5
BARU saja mereka ingin berpencar, tiba-tiba
mereka
dikejutkan oleh
suara gemuruh yang menggetarkan
bumi. Suara
gemuruh itu tak diketahui dari mana
datangnya. Tetapi
getarannya sungguh mencemaskan
hati mereka,
karena tanah di sekitar tempat itu
mulai
retak dan
membentuk celah-celah lebar. Bahkan
sebagian tanah
ada yang amblas ke dalam, menelan dua
pohon besar.
"Selamatkan
diri kalian maaing-masing!" seru
Geledek Biru.
Seruan itu membuat mereka menyebar
dan mencari
tempat yang dapat dipakai untuk
menyelamatkan
diri dari ancaman maut itu.
"Mantra di
dalam kitab itu pasti ada yang
membacanya! Cari
orang yang telah mengucapkan
mantra tersebut!
Ini bencana berasal dari kekuatan iblis!"
Baik Suto Sinting
atau yang lain masih sempat
mendengar seruan si Geledek Biru. Tetapi mereka tak
sempat balas berseru,
karena beberapa saat kemudian
hembusan angin
menjadi hembusan badai. Suara
gemuruh semakin
jelas, dibarengi kilatan cahaya petir
yang menyambar ke
sana-sini. Ledakan di pucuk pohon
terjadi beberapa
kali. Pohon-pohon yang disambar petir
itu mengepulkan
asap, bahkan ada yang pecah dan
ditelan gerakan
tanah yang longsor ke dalam bumi.
Langit menjadi
gelap, awan hitam makin tebal dan
menutupi hampir
sebagian besar permukaan langit.
Suasananya
seperti awal kiamat yang datang tanpa
diduga-duga oleh
siapa pun.
"Aaauuuh...!"
Mendung Merah menjerit, ia jatuh
terperosok dalam
keretakan tanah, seakan dihisap dari
dalam bumi.
Melihat keadaan
gadis itu sangat membahayakan,
Pendekar Mabuk
segera melesat dengan sangat cepat.
Weeess...! Wuuutt...!
Tangan gadis itu disambarnya.
Dalam sekejap
saja Mendung Merah telah berada dalam
pelukan Suto dan
dibawa menjauh dari tempat tersebut.
Zlaap, zlaap,
zlaap...!
Mendung Merah
terengah-engah, tubuhnya terasa
lemas karena
merasa hampir tak bernyawa lagi. Ia
bersyukur setelah
mengetahui dirinya sudah berada di
sebuah bukit yang
tak terlalu tinggi dan dapat
memandang
kehancuran alam di bawah sana. Namun
gadis itu cepat
tersentak kaget setelah menyadari berapa
dalam pelukan
Pendekar Mabuk.
"Ooh...
kau...?!"
"Oh, hmm...
eeh...," Pendekar Mabuk sendiri segera
menggeragap dan
mengalihkan perhatiannya ke wajah
Mendung Merah, ia
buru-buru melepaskan pelukannya,
karena tadi
terkesima melihat alam yang nyaris hancur
bagal dilanda
kiamat itu. Sekalipun kini gemuruh itu
telah lenyap dan
suasana sudah menjadi tenang, namun
ternyata gemuruh
di dalam dada Suto Sinting masih
terasa
menggetarkan tubuhnya dan membuatnya
tergagap-gagap.
"Apa yang
terjadi... yang terjadi di sana itu, eeh... Iya,
di sana!"
Suto Sinting mencoba alihkan perhatian untuk
menutup rasa
malunya, ia merasa seperti pemuda jalang
yang berani
memeluk seorang gadis tanpa permisi.
Untungnya Mendung
Merah juga segera alihkan
perhatian, seakan
tak ada masalah tentang pelukan
penyelamatan
tadi, walau hatinya pun bergemuruh
digoda oleh
perasaan malu, geli dan gembira.
"Kudengar
suara si Geledek Biru tadi berseru
mengatakan ada
orang yang telah menggunakan kitab itu
dengan mengucapkan
salah satu mantranya," kata
Mendung Merah
sambil berpura-pura tak merasa pernah
dipeluk Pendekar
Mabuk.
"Siapa yang
menggunakan mantra dalam kitab itu?!"
"Mana ada
yang tahu?! Justru si Geledek Biru tadi
berseru agar kita
mencari orang yang memegang kitab
tersebut!"
"O,
Iya. Benar. Aku tadi juga mendengarnya.
Tapi,
hei... di mana
mereka?"
Dari tempat
tinggi itu, mata Pendekar Mabuk dan
Mendung Merah
mencari-cari mereka, yang tadi ada di
kanan-kirinya.
Tak terlihat batang hidung si murah
senyum; Santana.
Juga tak terlihat sepotong gigi pun
milik juragan
'anu' Sawung Kuntet. Bahkan Eyang
Bintara alias si
Geledek Biru itu juga tak kelihatan
kemana
gerakannya. Mungkin mereka menjadi korban
bencana alam
sepintas tadi, mungkin terkubur ke dalam
bumi, mungkin
pula lolos dari maut dan berada di
tempat lain.
"Kita
terpisah dari mereka," ujar Mendung Merah
dengan mata masih
memandang pohon-pohon yang
tumbang
berserakan dan tanah yang rusak berat.
"Ya, kita
memang terpisah dari mereka. Tapi apakah
hal ini membuat
kita harus merasa takut?"
"Aku tidak
berkata begitu," kata Mendung Merah
sedikit ketus,
karena ia agak tersinggung dianggap
merasa takut.
Pendekar Mabuk tersenyum kalem.
Ketenangannya sudah
berhasil pulih dan dikuasai.
"Sebaiknya kita cari si pemegang kitab
keramat itu
sambil memeriksa
tempat tadi. Siapa tahu ada yang
tergencet
pohon," ujar Suto Sinting.
Mendadak mereka
mendengar suara letusan yang tak
begitu keras.
Letusan itu seperti suara perpaduan tenaga
dalam yang
dihantamkan dari kedua orang dalam suatu
pertarungan.
Pendekar Mabuk segera mengajak
Mendung Merah
untuk datangi tempat tersebut, melihat
apa yang terjadi
di sana.
"Oh...?!
Lihat, siapa yang terkapar itu?!" ujar
Mendung Merah
sambil menuding ke satu arah, di
samping gundukan
tanah setinggi kuda itu. Di sana
tampak seseorang
berpakaian hijau-hitam tergeletak
dengan wajah biru
memar dan sedang kejang-kejang.
Orang itu tampak
sedang mendekati ajalnya karena luka
pukulan yang
menghangus di bagian dadanya.
"Celaka! Ada
apa dengan si Sawung Kuntet itu?!"
gumam Suto
tegang, lalu segera berkelebat dekati
Sawung Kuntet
yang sedang sekarat. Mendung Merah
pun ikut
berkelebat hampiri Sawung Kuntet.
"Siapa
lawannya?!" sambil mata Suto memandang
sekeliling dengan
tajam. Tetapi mereka berdua tidak
melihat ada orang
di sekitar tempat itu. Mereka yakin,
Sawung Kuntet
ditinggalkan begitu saja oleh lawannya.
"Aku akan
mencari di sekitar sini!" ujar Suto Sinting.
Namun sebelum
bergegas pergi, lengannya segera
dicekal oleh
Mendung Merah.
"Bagaimana
dengan dia? Apakah kita biarkan mati di
sini atau kita
tolong dulu dengan tuakmu itu?"
"Ya,
ampun...! Hampir saja aku lupa!" Suto Sinting
segera tuangkan
tuak ke mulut Sawung Kuntet secara
pelan-pelan agar
tak banyak tuak yang terbuang sia-sia.
"Tunggu dia,
dan tanyakan padanya siapa orang yang
melukainya
tadi!"
"Kau mau ke
mana?!"
"Mengejarnya
di sekitar sini!"
"Hei, tunggu
dulu! Bagaimana kau bisa mengejar
lawan si Sawung
Kuntet ini jika belum tahu siapa
orangnya?!"
seru Mendung Merah. Tetapi pada saat itu
Suto Sinting sudah berkelebat jauh, karena ia
menggunakan jurus
'Gerak Siluman' yang kecepatannya
menyamai
kecepatan cahaya itu.
Tuak sakti
Pendekar Mabuk yang ditelan Sawung
Kuntet itu telah
membuat si juragan 'anu' segera sadar.
Luka parahnya
terkikis habis oleh kesaktian tuak
tersebut. Dalam
beberapa kejap ia sudah dapat
mengenali wajah
Mendung Merah yang berdiri tak jauh
darinya, ia pun
segera bangkit terduduk. Napasnya yang
menjadi longgar
itu menghirup udara banyak-banyak,
seakan ingin
mengganti udara yang tadi tak sempat terisi
di paru-parunya.
"Siapa yang
sembuhkan anuku ini?" tanya Sawung
Kuntet saat
dipandangi Mendung Merah dengan sikap
masih tetap
ketus, seakan tak pernah bisa ramah kepada
pria pendek itu.
"Suto
Sinting, si Pendekar Mabuk itu yang
mengobatimu."
"O,
pantas...," gumamnya pelan. "Orang itu
menghantam anuku
seenaknya saja!" tambah Sawung
Kuntet sambil
berdiri.
"Apamu yang
dihantamnya?!"
"Anuku!"
"Dadamu?"
"Benar-benar
anuku!" sentak Sawung Kuntet sambil
melirik bagian
bawahnya. "Bukan dadaku saja, tapi
anuku juga
kena!"
Mendung Merah
buang muka karena ia ingin tertawa.
"Sekarang ke
mana si Pendekar Anu itu?!"
"Pergi
mencari orang yang menyerangmu," jawab
Mendung Merah
dengan ketus.
"Celaka!
Pendekar Mabuk pasti celaka kali ini!"
"Kenapa?!"
sergah Mendung Merah, tampak segera
menjadi cemas.
"Orang
itu... lawanku tadi... dia membawa anu,
kurasa...."
"Membawa anu
bagaimana?! Yang jelas!" bentak
Mendung Merah.
"Membawa
kitab keramat yang dikatakan oleh Eyang
Bintara
tadi!" Sawung Kuntet ganti membentak,
menandakan tak
suka mendapat bentakan.
Mendung Merah
menjadi semakin tegang. "Jadi... jadi
lawanmu tadi
membawa kitab 'Serat Sekar Siluman'?!
Kau melihat
dengan jelas dia memegangnya, atau hanya
kira-kira
saja?!"
"Dia
kupergoki sedang membuka-buka anu, dan...."
"Membuka anu
bagaimana?!"
"Membuka
kitab!" sentak Sawung Kuntet. "Kitab itu
berwarna coklat, kecil, tampak terbuat dari kulit
anu...
kulit rusa,
maksudku."
"Kau
mengenali orangnya?!"
"Tidak.
Kurasa selama ini aku belum pernah
menganu dia...
mengenali dia!"
Gadis itu menarik
napas penuh kecemasan. Setelah
diam sesaat
memikirkan langkahnya, akhirnya ia segera
melesat
tinggalkan Sawung Kuntet sambil berseru, "Aku
mau menyusul
Pendekar Mabuk! Dia pasti dalam
bahaya!"
"Masa bodo!
Lebih baik aku pulang saja, daripada
anuku kena
lagi," gerutu Sawung Kuntet, kemudian ia
pergi tinggalkan
tempat itu berbeda arah dengan
kepergian Mendung
Merah.
Suto Sinting
sempat jengkel dalam hatinya, karena
sudah mencari
dalam radius sepuluh kilometer tapi tetap
tak temukan siapa
pun di sekitar tempat itu. Bahkan
ketika ia kembali
ke tempat semula, ternyata Mendung
Merah dan Sawung
Kuntet sudah tak ada pula. Rupanya
Mendung Merah tak
berhasil berpapasan dengan Suto. Ia
tak tahu gerakan
Suto Sinting mengelilingi tempat
tersebut,
sehingga akhirnya Mendung Merah sendiri
clingak-clinguk
kebingungan dengan memendam rasa
kesal dan cemas.
Tentu saja ia
mencemaskan Suto Sinting, karena
dalam hati
Mendung Merah mempunyai rasa kagum dan
tertarik kepada
pemuda tampan yang berilmu tinggi itu.
Ia ingin mendekati Suto lebih dekat dari yang
sudah
dekat. Jauh-dekat
tiga debaran indah bagi hati Mendung
Merah. Hanya saja
ia sangsi melakukan hal itu, takut
dikecewakan,
karena menurutnya biasanya pemuda
tampan seperti Suto
adalah type pemuda yang suka
mempermainkan
gadis dan playboy, pacarnya banyak,
gemar merayu,
sadis dalam hal kerinduan. Hanya saja,
hati Mendung
Merah ternyata tak mau berpaling begitu
saja. Hati itu
masih dibayang-bayangi berbagai rasa,
termasuk rasa
khawatir akan keselamatan Suto, rasa
dongkol, rasa
kagum dan... mungkin juga rasa kare ayam
ada di dalam hati
gadis itu manakala mengenang
Pendekar Mabuk.
"Ke mana si
Mendung Merah dan Sawung Kuntet?!"
gumam hati Suto
Sinting sambil melompat dari pohon ke
pohon, ia
melakukan pencarian melalui pohon ke pohon,
karena tempat itu
dianggapnya telah memungkinkan
untuk memandang
sekeliling secara luas. Dengan ilmu
peringan tubuhnya
yang cukup tinggi, Pendekar Mabuk
tak ragu-ragu
menapakkan kakinya ke pucuk-pucuk
dedaunan, ia
bagaikan seekor burung yang sedang
mencari
sarangnya, hinggap dari pucuk daun yang satu
ke pucuk daun
yang lainnya.
Tak terasa
pencariannya semakin menjauhi tempat
terjadinya
bencana alam lokal tadi. Bahkan semakin jauh
dari tempat
ditemukannya Sawung Kuntet dalam
keadaan sekarat.
Tiba-tiba tampak
olehnya cahaya merah melesat ke
udara, melambung
menuju ke suatu tempat.
Cahaya yang mirip
bintang jatuh itu terlihat
melambung di
seberang gerumbulan dedaunan pohon
sebelah timur,
agak jauh dari tempat Pendekar Mabuk
berada. Dengan
gerakan serupa cahaya, Pendekar Mabuk
melesat juga ke
arah timur, karena rasa ingin tahunya
tentang cahaya
merah tadi begitu besar.
Ternyata cahaya
merah tersebut adalah kekuatan
tenaga sakti si
Geledek Biru yang digunakan menyerang
seorang lawan
berjubah biru lusuh, berjenggot abu-abu
dengan wajah
tampak angker. Orang tersebut berusia
sekitar tujuh
puluh tahun, dan pernah berhadapan dengan
Suto Sinting ketika
Suto melindungi Mustikani. Tokoh
tua itu tak lain adalah si Tulang Besi, (Baca
serial
Pendekar Mabuk
dalam episode: "Pedang Penakluk
Cinta").
Ketika Pendekar
Mabuk tiba di balik gerumbulan
daun pohon.
Tulang Besi dalam keadaan tubuhnya
berasap,
tangannya yang kanan lurus ke depan dengan
telapak tangan
terbuka. Tangan itu tampak sedang
menahan cahaya
merah yang tadi mirip bintang jatuh itu.
Sedangkan Eyang
Bintara alias si Geledek Biru tetap
diam di tempat,
seakan menjadi penonton aksi si Tulang
Besi yang menahan
sinar merah. Sinar tersebut
menempel di
telapak tangan Tulang Besi dengan
cahayanya yang
makin lama semakin terang.
"Keluarkan
seluruh tenaga intimu, dan tahan sinar
'Ajilebur'-ku
itu!"
"Heeaahh...!!"
Tulang Besi benar-benar kerahkan
tenaga intinya,
sehingga telapak tangannya menyala biru
pendar-pendar.
"Persoalan
apa yang membuat Eyang Bintara
bertarung melawan
Tulang Besi!" pikir Suto dari
tempatnya.
"Kurasa Tulang Besi akan hancur jika nekat
melawan Eyang
Bintara. Bodoh amat dia!"
Dugaan tersebut
mendekati kebenaran. Tulang Besi
tampak gemetaran
dan semakin terang cahaya merah
bundar yang
menempel di telapak tangannya semakin
kuat getaran pada
sekujur tubuhnya. Asap yang
mengepul dari
tangan tersebut membuat sinar birunya
menjadi redup,
bagai tak sanggup lagi untuk menyala
terang.
Tiba-tiba Eyang
Bintara ulurkan tangan ke depan,
lalu tangan itu
menyentak ke belakang dan sinar merah
yang menempel di
telapak tangan Tulang Besi itu
berkelebat lepas,
meluncur balik dan ditangkap oleh si
Geledek Biru.
Zuubbs...! Sinar
itu kini berada dalam genggaman
Geledek Biru dan
keadaannya berubah menjadi biru
bening. Kedua tangan Geledek Biru saling bertemu,
telapak tangannya
saling bergeseran seperti
menghancurkan
sinar tersebut. Bluub...! Sinar itu pun
lenyap,
tinggal asap tipis yang segera musnah
diterpa
angin.
Tulang Besi jatuh
berlutut dengan napas terengah-
engah dan
keringat bercucuran. Tubuhnya tampak lemas,
wajahnya
kelihatan pucat pasi seperti mayat. Kejap
berikutnya
kepalanya tersentak ke depan dan dari
mulutnya keluar
darah kental.
"Heek...!" Tulang Besi jatuh merangkak. Siapa pun
orangnya akan
menduga, Tulang Besi tak sanggup lagi
menghadapi
Geledek Biru. Keadaannya sudah sangat
parah. Satu
pukulan lagi dari lawannya dapat
mengakibatkan
minggatnya sang nyawa dari raganya.
"Aku tak
ingin kau mati, Tulang Besi! Tapi serahkan
kitab keramatku
itu sebelum pendirianku berubah!"
Dengan suara
berat menahan sakit, Tulang Besi
berkata,
"Bunuhlah aku dan geledahlah di dalam
tubuhku! Maka kau
tetap tak akan temukan kitab
keramatmu itu,
karena memang bukan aku yang
membunuh Ladang
Peluh! Bukan aku... yang mengambil
kitab
keramatmu... itu!"
"Bukankah
kau yang sedang mencari kesempatan
untuk membalas
dendammu kepada Ladang Peluh?!"
"Memang
benar! Tapi... uuhk... tapi sudah kucoba
melawannya,
ternyata aku... aku kalah ilmu dengannya.
Aku... aku pergi
meninggalkan mereka, dan beberapa
saat kemudian
kudengar suara ledakan di sekitar pantai
tempatku mencoba
bertarung dengannya. Aku... aku
tidak pedulikan
suara itu, lalu aku pergi ingin temui
adikmu; si Tulang
Geledek, karena kurasa dia tahu
rahasia kematian
dan kelemahan Ladang Peluh. Ternyata
aku justru hampir
mati oleh kiamat kecil tadi!"
Suto sempat
terperanjat, "Oh, ternyata Eyang Bintara
alias si Geledek
Biru itu adalah kakak dari Tulang
Geledek yang
pernah bertemu denganku dalam urusan
dengan
Rogana?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam
episode :
"Perawan Sinting").
Rupanya pengakuan
Tulang Besi membuat Geledek
Biru bertimbang
rasa. Akhirnya ia dekati Tulang Besi
dengan gerakan
kaki tanpa menyentuh tanah.
Zeeebb...!
Geledek Biru
dapat berhenti secara mendadak di
depan Tulang
Besi. Kemudian dari telunjuknya yang
ditudingkan
keluar sinar putih terang dan menyilaukan.
Claap...! Sinar
putih itu kenai kepala Tulang Besi.
Beberapa kejap
kemudian, Tulang Besi pun sehat
kembali. Rupanya
sinar putih itu adalah cahaya sakti
yang dapat
menyembuhkan luka si Tulang Besi dan
memulihkan
tenaganya.
"Kucoba
untuk mempercayaimu, karena kau adalah
teman adikku
semasa muda dulu," kata Geledek Biru.
"Tapi jika
kuketahui kau pemegang kitab itu, maka
seketika itu juga
kucabut nyawamu demi keselamatan
seisi dunia ini,
karena aku tahu jalanmu mulai
menyimpang sejak
kau mendirikan Perguruan Raga Baja
itu! Pergilah,
dan jangan campuri urusan ini! Jangan
coba-coba ikut
mencari kitab keramatku itu, nanti akan
kau miliki
sendiri jika kau yang memperolehnya!"
Tanpa komentar
apa pun, Tulang Besi segera melesat
pergi tinggalkan
Geledek Biru. Suto Sinting masih
menaruh curiga
pada Tulang Besi, karena ia tahu Tulang
Besi menaruh
dendam kepada Ratu Ladang Peluh, sebab
perguruannya
dihancurkan oleh Ratu bejat itu.
Karenanya, Suto
Sinting diam-diam mengikuti kepergian
Tulang Besi dari
kejauhan.
"Siapa tahu
ia pandai bersandiwara di depan Eyang
Bintara, dan
kitab itu disembunyikan di suatu tempat
yang hanya dia
yang tahu?!" pikir Suto sambil mengikuti
Tulang Besi.
Ketika Tulang Besi melintasi lembah berpohon
jarang,
langkahnya segera terhenti dan berkelebat
sembunyi di balik
pohon. Suto Sinting hentikan
langkahnya tapi
masih tetap berada di atas pohon agak
jauh dari Tulang
Besi.
"Mengapa ia
bersembunyi?" pikir Suto dalam
pengintaiannya.
Rupanya Tulang
Besi sedang mengincar seseorang
yang akan lewat
tempat tersebut, ia sudah mengetahui
gerakan orang
yang diincarnya. Orang itu sedang
melesat bagai
bayangan dari arah barat. Ketika melintas
di depan Tulang
Besi, tiba-tiba bayangan yang berwarna
kuning gading itu
dihantamnya menggunakan tenaga
tanpa sinar.
Wuutt...! Buuhk...!
"Aakh...!"
orang itu memekik dan jatuh terbanting.
Brruuk...!
Suto Sinting
terkejut, ia mendekat dengan
melayangkan
tubuhnya dan hinggap di pohon yang
satunya. Mata
pemuda itu lebih terbuka lagi, karena
sekarang ia dapat
melihat jelas bahwa bayangan kuning
gading itu
ternyata adalah seorang perempuan berwajah
cantik dengan
perhiasan lengkap dan pakaiannya
berkesan mewah.
Perempuan itu terkapar dengan bagian
lehernya berwarna
biru legam akibat terkena pukulan
tanpa sinar si
Tulang Besi tadi.
"Terpaksa
kulakukan kecurangan ini, Rasti! Tanpa
kulakukan kecurangan
ini aku tak mungkin bisa
melumpuhkan
dirimu dan...."
Zlaaap...!
Wuuss...!
Tulang Besi
terkejut sekali, karena tubuh perempuan
itu ternyata
sudah lenyap dari hadapannya. Percuma saja
ia menghampiri
perempuan tersebut dan meluncurkan
celotehan jika
perempuan itu tiba-tiba disambar oleh
seseorang.
"Bangsat!
Berhenti kau! Tinggalkan perempuan itu!"
teriak Tulang Besi
dengan berang, ia melepaskan
pukulan bercahaya
merah suram. Clap...! Duar! Cahaya
itu tidak kenai
orang yang menyambar Rasti. Cahaya itu
kenai sebatang
pohon dan pohon itu segera retak dari
atas ke bawah.
Tapi si penyambar tubuh Rasti tetap
melesat dan sukar
dikejarnya.
Orang yang
menyambar tubuh perempuan itu tak lain
adalah si Pendekar
Mabuk, ia merasa kasihan melihat
perempuan itu
diserang secara licik dan terluka
berbahaya. Jika
tak segera disambar dan dibawa lari
untuk diobati,
pasti perempuan yang berusia sekitar dua
puluh delapan
tahun itu akan mati oleh luka parahnya
itu.
Lagi-lagi sebuah
gua menjadi tempat persembunyian
Pendekar Mabuk
yang membawa lari pasiennya. Gua itu
tidak terlalu
dalam, mempunyai pintu masuk yang
termasuk sempit.
Namun keadaannya cukup terang,
karena bagian
atas gua terdapat celah untuk masuknya
sinar matahari.
Hanya saja, karena sinar matahari mulai
redup di awal
senja, maka sinar yang masuk akhirnya
menjadi ikut redup. Tetapi pada saat sinar itu redup,
Suto Sinting
sudah berhasil menuangkan tuak ke mulut
Rasti yang
dibaringkan di atas tanah berbatu datar dan
berlumut rata
mirip permadani.
"Ternyata
wajahnya cantik juga dia?!" gumam Suto
Sinting dalam
hatinya. Perempuan yang pingsan dan
sedang menunggu
proses penyembuhan itu
dipandanginya
dengan cermat, dengan senyum tipis,
dengan hati
berdebar-debar. Baju kuningnya yang tanpa
lengan dan
panjang menyerupai jubah tak terkancing itu
tersingkap lebar,
sehingga penutup dadanya kelihatan
jelas, berwarna
merah tipis, membuat gumpalan di
dadanya membayang
samar-samar. Pakaian longgar
penutup bagian
bawahnya juga berwarna merah samar-
samar, dan
membuat apa yang ditutupi tampak
membayang,
semakin mendebarkan.
Ternyata
perempuan itu mempunyai tubuh yang sekal
dan montok.
Kemulusan kulitnya yang berwarna putih
sangat
menggiurkan bagi setiap lelaki yang
memandangnya.
Hidung yang mancung dan bibir yang
sensual membuat
hati Suto Sinting geregetan dan ingin
mengecupnya
pelan-pelan. Rambutnya yang panjang
sepunggung diikat
dengan logam perhiasan dari bahan
emas bercampur
bebatuan warna-warni. Sungguh cantik
ia jika
mengenakan perhiasan rambut seperti itu. Kalung
dan gelangnya pun
menampakkan bahwa dirinya adalah
perempuan berada.
Bukan perempuan miskin yang
keluyuran mencari
upah seperti Mendung Merah.
Pendekar Mabuk
sengaja keluar gua sebentar untuk
memeriksa
keadaan. Siapa tahu Tulang Besi
mengikutinya
sampai tempat tersebut. Tapi ternyata
Tulang Besi atau
siapa pun tak ada di tempat itu.
Agaknya gua itu
cukup aman, apalagi terlindung semak
ilalang setinggi
pundak Suto Sinting. Setelah yakin
keadaan aman,
Pendekar Mabuk masuk ke gua kembali.
Pada saat itu si
perempuan telah siuman dan segera
memandang Suto
Sinting dalam keadaan duduk, ia
berkerut dahi,
terbungkam dan merasa asing oleh
penampilan pemuda
tampan yang gagah perkasa itu.
Suto sunggingkan
senyum keramahan.
"Kau aman di
sini, Rasti!" ujar Suto, langsung
menyebut nama
perempuan itu, karena ia telah
mendengar nama
tersebut dari mulut Tulang Besi. Rasti
terperanjat dan
semakin heran mendengar namanya
disebutkan oleh
pemuda yang belum dikenalnya.
"Kaukah yang
menyerangku dengan curang?!"
"Bukan.
Orang yang menyerangmu adalah Tulang
Besi. Kau dalam
keadaan terluka parah dan kelihatannya
akan dibunuh oleh
si Tulang Besi. Lalu aku
menyambarmu dan
membawamu kemari."
Setelah Suto
Sinting mendekat pada saat Rasti
berdiri,
tiba-tiba pandangan mata perempuan itu
dipertajam dan
mulutnya sebutkan kata dengan pelan.
"Apakah...
apakah kau Pendekar Mabuk alias Suto
Sinting?!
"Benar!"
jawab Suto dengan senyum ramah. Rasti
tersentak dan
mundur selangkah dengan wajah tegang.
"Hei,
mengapa kau tampak takut padaku?! Aku bukan
orang
jahat!" kata Pendekar Mabuk sambil membetulkan
letak tali
bumbung tuak di pundaknya.
"Hmm, eeh...
tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya
terkejut. Tak
sangka akan bertemu dengan Pendekar
Mabuk yang
kondang itu," ujar Rasti sambil
sunggingkan
senyum kaku.
"Ada
persoalan apa kau dengan Tulang Besi,
sehingga ia
tampak bernafsu sekali ingin
membunuhmu?"
tanya Suto mengalihkan pembicaraan
agar tidak
terlalu berpusat pada dirinya.
"Aku tak
tahu. Tapi aku kenal dengan Tulang Besi.
Dulu kami pernah
bermusuhan, tapi ia kalah dan nyaris
mati di tanganku.
Hanya saja, persoalan itu sudah
kuanggap
kadaluwarsa, Sudah sekitar delapan tahun
yang lalu dan tak
pernah kuingat-ingat lagi. Mungkin
saja dia ingin
balas dendam padaku karena kekalahannya
di masa
lalu."
Pendekar Mabuk
manggut-manggut dan menggumam
kecil.
"Dari mana
kau tahu namaku?!" tanya perempuan
bermata jeli itu.
"Kudengar si
Tulang Besi menyapamu dengan nama
Rasti. Maka aku
yakin namamu adalah Rasti. Apakah
aku salah
panggil?"
Perempuan itu
sunggingkan senyum dan mulai luwes.
"Kau memang
cerdas!" pujinya di sela senyum indahnya
itu.
Pandangan matanya
mulai berkesan genit. Suto
Sinting sadar
dirinya sedang digoda, maka ia segera
alihkan pandangan
matanya ke arah lain. Ia sengaja
hindari hal itu,
karena tak ingin terjerat oleh debar-debar
keindahan yang
sudah semakin bergemuruh dalam dada.
"Maukah kau
mengantarku ke suatu tempat, Suto?"
"Ke
mana?" tanya Suto Sinting sambil berbalik
menatap lagi.
Tapi Rasti tidak langsung menjawab,
melainkan menatap
seperti tadi dengan senyum yang
sangat menggoda.
Suto Sinting akhirnya salah tingkah
sendiri, lalu
segera ajukan tanya untuk memecah
kebisuan di
antara mereka.
"Kau mau ke
mana, Rasti?"
Setelah melangkah
dekati Suto, perempuan itu
menjawab dengan
lirih.
"Aku ingin
ke suatu tempat yang jauh dari keramaian.
Mungkin puncak
gunung atau sebuah pulau yang
terpencil."
"Mengapa kau
ingin ke sana?"
"Aku ingin membuang rasa kesepianku yang
menyiksa hidupku
sejak kematian suamiku dua tahun
yang lalu.
Mungkin dengan mengusir kesepian, aku bisa
bergairah lagi
dalam hidup dan tidak punya niat untuk
bunuh diri."
"Suamimu
meninggal dua tahun yang lalu? Sakitkah
dia?"
Perempuan itu
gelengkan kepala. Bibirnya yang
menawan hati
bergerak-gerak dengan pandangan mata
yang sedikit
sayu.
"Dia dibunuh
oleh si Geledek Biru."
"Oh...?!"
Suto Sinting terkejut. "Mengapa sampai
berurusan dengan
si Geledek Biru?"
"Salah
paham! Ada dua nama yang sama, dan
Geledek Biru
menyangka nama suamiku adalah orang
yang mencuri
pedang pusakanya. Lalu, suamiku yang
tak berilmu
sedikit pun itu dibunuhnya. Aku ingin
membalas dendam
kepada Geledek Biru, tapi tak
mungkin bisa,
karena ilmunya tak seimbang dengannya.
Maka kupilih
untuk menghilang dari rimba persilatan,
mengasingkan diri
di suatu tempat yang terpencil, agar
tak tersiksa oleh
kesepian yang sering muncul manakala
kulihat dua
pasangan sedang berkasih-kasihan atau...."
Ucapan itu
terhenti, napas Rasti tersentak. Suto
Sinting memandang
dengan heran. Namun ketika
perempuan itu
tersentak lagi sambil pegangi dadanya,
Suto Sinting tahu
ada sesuatu yang menyakitkan dalam
dadanya.
"Rasti...
minumlah tuakku lagi. Lekas minum!"
"Tid...
tidak bisa... aku... aku...."
Rasti mengejang
beberapa kali. Tubuhnya oleng dan
jatuh ke
belakang. Namun sewaktu tubuh itu limbung
ingin jatuh,
tangan Pendekar Mabuk segera
menangkapnya.
Rasti terkulai sesaat dalam pelukan Suto
Sinting, matanya
terbeliak-beliak mengerikan. Tubuhnya
menjadi dingin,
wajahnya pucat pasi.
"Hei, kenapa
kau ini?! Ada apa, Rasti?!"
"Pen...
penyakitku kambuh lagi... lagi...."
"Minumlah
tuakku, biar penyakitmu hilang!"
Rasti menggeleng,
bibirnya gemetar.
"Aku... aku
tak bisa.... Penyakit ini tidak bisa diobati
dengan apa pun,
kecuali, kecuali... oouh, huuhk....
Ahhk...!"
"Kecuali
apa. Rasti?!"
"Di...
dingin... peluklah aku. Peluklah, huuhk...!" ia
menyentak lagi.
Suto Sinting segera memeluknya dalam
keadaan mulai
panik.
"Hang...
hangatkan aku... oouh. hangatkan aku.
Toloong... hanya
dengan memberi kehangatan, penyakit
ini bisa hilang.
Oouhk... tolong hangatkan aku.
Hangatkan seluruh
tubuhku...."
"Ak... aku
harus bagaimana?"
"Peluk...
peluk seluruh tubuhku. Peluk erat-erat,
hangatkan de...
dengan tubuhmu. Huuhkk... aahk...!"
Rasti menyentak
dan kejang. Badannya terasa
semakin dingin
seperti es. Wajahnya pun bertambah
pucat seperti
kertas putih. Semula Suto Sinting ragu
memberikan apa
yang diminta Rasti, tapi setelah melihat
wajah yang
semakin pucat dan tubuh yang bertambah
dingin dan
bergetar, Suto merasa harus melakukan
permintaan Rasti.
"Ia tidak
main-main. Ia sungguh-sungguh menderita
penyakit aneh.
Aku harus memberikan pelukan yang...
oh, tapi
kehalusan kulit dan kesekalan tubuhnya dapat
membuatku tergoda,
dan gairahku bisa terbakar. Aduh,
bagaimana kalau
begini...? Haruskah kuberi pelukan dan
kubiarkan
gairahku semakin terbakar?"
Pendekar Mabuk
benar-benar panik, tindakannya
serba canggung.
Tapi perempuan itu semakin tersentak-
sentak, tubuhnya
pun kian dingin.
*
* *
6
SEMAKIN erat Suto Sinting memeluknya, semakin
reda
sentakan-sentakan tubuh Rasti. Napasnya yang
sesak tampak
mulai longgar. Rasti sengaja
ditengkurapkan di
atas tubuh Suto sementara Suto
sendiri berbaring
di atas batuan datar. Jika tubuh Rasti
yang berbaring,
maka punggung Rasti akan terkena
dinginnya batu
yang berlumut. Jadi mau tak mau Suto
memeluk Rasti
yang tengkurap di atasnya. Kedua kaki
Suto pun
menggamit tubuh Rasti erat-erat.
"Ooh...
uuuhhh..., tempelkan mulutmu ke
leherku,"
bisik perempuan
itu. Suto mengerti maksudnya.
Hembusan napasnya
akan menghangat di leher
perempuan itu dan
menciptakan kehangatan yang lebih
mendalam lagi.
Tetapi aroma
wangi mawar di tubuh perempuan itu
semakin menggoda
hasrat si pemuda tampan. Tempelan
bibirnya pada
leher Rasti membuat lidah Suto pun
akhirnya
usil juga. Leher itu digelitik dengan
lidah
secara
pelan-pelan. Rasti justru mengencangkan
pelukannya.
Kepalanya bergerak menggeliat ke kanan-
kiri, seakan ia
ingin seluruh lehernya mendapat
kehangatan dan
keusilan lidah Suto.
Gerakan tubuh
Rasti pun memancing hasrat Suto
untuk menikmati
tiap sentuhan tubuh. Hati berdebar-
debar, jiwa
menuntut keindahan lebih tinggi. Pendekar
Mabuk akhirnya
meremas-remas pinggul Rasti.
Perempuan itu
tidak menolak, justru keluarkan suara
erangan tipis.
Bahkan makin lama wajahnya semakin
didusal-dusalkan
di telinga kiri Suto, kadang merayap ke
permukaan wajah
Suto lalu pindah ke telinga kanan.
Hembusan napas
Rasti menghangat di sekitar wajah,
sehingga Suto
Sinting benar-benar terpancing untuk
mencumbunya.
"Oouh,
ouuh... hangat sekali, Suto. Hangat dan
nikmat. Uuuh...
peluk aku lebih kuat lagi. Peluk aku...
uuhmmm...!"
perempuan itu nekat mencium Suto,
bahkan bibir Suto
dikecupnya dan dilumatnya. Suto tak
bisa menolak
karena telah terlanjur terjerat tuntutan
batinnya sendiri.
"Remas aku,
Suto.... Remas aku! Oouh, aahh...."
Rasti merintih
dengan gerakan semakin liar. Suto Sinting
meremas pinggul
Rasti yang masih kencang itu.
Remasan tangan
Suto membuat Rasti bertambah
mengerang, dan
bibirnya semakin ganas mengecup leher
Suto,
memagut-magut dengan sapuan lidahnya yang
begitu
mendebarkan hati si pemuda tampan itu.
Pakaian Rasti
berantakan dengan sendirinya.
Gumpalan di
dadanya terasa menghangat di wajah Suto,
karena Rasti
bergerak naik hingga dadanya ada di atas
wajah Suto
Sinting.
"Kecup,
Suto... oouh, kecuplah sekarang juga,
Sayang...,"
rengek Rasti. Maka ujung dada yang
merentang itu pun
disambar oleh mulut Suto Sinting.
Haaapp...!
"Aaaahh...
nikmat sekali, Sayang. Nikmat sekali!
Ooohh... ssss,
ahh!" Rasti mendesis-desis dengan wajah
terdongak.
Matanya terpejam kuat, namun kadang
terbeliak dengan
bibir digigit sendiri. Suto Sinting
menjadi seperti
bayi yang kehausan. Seolah-olah ia tak
sadar dengan apa
yang sedang diperbuatnya saat itu.
"Ooouh...
luar biasa indahnya, Suto. Hangat sekali
kemesraanmu.
Ooh... jangan hentikan sampai di sini
saja, Suto. Aku
bahagia sekali. Aku, oouh...." Tubuh itu
tidak lagi
dingin. Bahkan semakin lama semakin panas
dan mencucurkan
keringat. Butiran keringat menetes
dari dagunya ke
leher Suto Sinting. Gerakan-gerakan
liarnya terhenti
bersama helaan napas yang terengah-
engah seperti
habis melakukan pekerjaan yang amat
melelahkan. Suto
Sinting pun menghentikan reaksi
ketika Rasti
akhirnya jatuh terkulai di atasnya dan
memeluk dengan
kepala tergolek di samping wajah Suto.
Pada saat itulah
kesadaran Pendekar Mabuk muncul
kembali. Pemuda
itu merasa seperti baru saja bangun
dari mimpinya.
Hatinya tersentak kaget menyadari apa
yang baru saja
dilakukan bersama perempuan yang baru
dikenalnya itu.
Ia segera menyingkirkan tubuh Rasti dari
atasnya. Rasti
menggerang manja, tak ingin turun dari
atas Suto.
"Aku ingin menikmatinya lagi, Suto."
"Hmm, eehh,
hmmm... istirahatlah dulu. Kau tampak
lelah sekali,
Rasti."
"Tapi kau
kan belum mencapai puncak keindahanmu?
Sekarang
giliranku yang akan menjadi pelayan
kemesraan kita,
Suto. Berbaringlah dulu, jangan berdiri.
Aku akan
membuatmu seperti berada di langit-langit
surgawi,
Sayang...."
"Iyy... iya,
tapi nanti saja. Kau harus istirahat. Kalau
kau teruskan,
penyakitmu tadi bisa kambuh lagi, Rasti."
"Tidak,
tidak! Justru aku akan menjadi semakin kuat
dan tangguh
setelah mendapatkan puncak kemesraan
seperti
ini."
"O,
begitukah kau sebenarnya?" sambil Suto Sinting
duduk bersandar
pada dinding gua.
"Sudah
beberapa waktu lamanya aku tidak menikmati
kemesraan seorang
lelaki. Aku terlalu sibuk dengan
urusanku,
sehingga tak sempat memburu pemuas
dahagaku.
Akibatnya, penyakitku kambuh lagi."
"Penyakit
apa itu tadi?"
"Penyakit...
penyakit kekurangan hawa sakti."
"Baru
sekarang kudengar ada penyakit seperti itu."
"Kurangnya
hawa sakti akan merusak kelenjar di
dalam hatiku.
Keringnya kelenjar hati membuat darah
terserap.
Lama-lama seluruh darahku dapat mengering
dengan sendirinya
jika aku tak segera mendapat
cumbuan dan
kemesraan dari seorang lelaki. Puncak
kenikmatan yang
kudapatkan dari seorang lelaki
membuat kelenjar
hatiku berfungsi kembali dan darahku
tidak terserap
habis. Hawa saktiku pun bekerja seperti
semula setelah
aku dapat mencapai puncak kenikmatan
asmaraku."
"Aneh
sekali...?'" gumam Suto Sinting dengan dahi
berkerut.
"Aku akan
menjadi lebih segar lagi jika sudah
tersiram darah
kemesraan seorang lelaki. Darah
kemesraan
lelaki merupakan semangat baru di dalam
jiwa dan ragaku.
Karenanya, lakukanlah lagi, Suto.
Cumbulah aku dan
berlayarlah bersamaku. Semburkan
darah kemesraanmu
sebanyak-banyaknya padaku, agar
hidupku menjadi
lebih segar dan lebih bersemangat
lagi."
"Hmm,
eeeh.... nanti saja," jawab Suto setelah
menimbang-nimbang.
Bagaimanapun panasnya
kemesraan itu,
Suto Sinting tetap tak ingin menodai
kesetiaan
cintanya terhadap seorang kekasih nun jauh di
sana: Dyah
Sariningrum. Ia tak ingin lakukan
percumbuan yang
begitu dalam dengan perempuan mana
pun. Ia
ingin berikan kesucian asmara sejati kepada
Dyah Sariningrum
sebelum perempuan lain merasakan
semburan darah
kemesraannya.
Namun dalam
temeram sisa cahaya senja itu, wajah
Rasti semakin
melentur sayu, memancarkan harapan
cumbu yang begitu
besar, memancarkan gairah yang
bergelora.
Remasan tangannya sebagai simbol desakan
batin untuk
mendapatkan darah kemesraan Suto.
Senyumnya pun
melambangkan ajakan untuk berlayar
menuju pulau
kenikmatan sejati.
"Tanganmu
sungguh hebat, Suto. Tapi apakah...
apakah
kehangatanmu ini juga sehebat jari tanganmu
yang mampu
melambungkan jiwaku ke puncak
asmara?!"
Suto Sinting
hanya tersenyum canggung, ia sadar
kata-kata itu
merupakan jebakan halus menuju ke
percumbuan yang
lebih dalam. Suto pun bergolak dan
gairahnya
menggeliat, ingin unjuk kehebatan. Tetapi
kesadarannya yang
selalu terjaga itu membuat Suto
harus menolak
tantangan bercumbu itu secara halus, ia
tak ingin lakukan
penolakan secara kasar, karena ia tak
ingin menyinggung
perasaan perempuan cantik yang
sudah matang
dalam berkencan itu.
"Aku harus
mandi dulu. Aku akan mencari sungai di
sekitar tempat
ini," ujar Suto Sinting ketika Rasti
menyodorkan
bibirnya dengan mata kian sayu.
"Mengapa harus
mandi? Tak perlu mandi kau sudah
harum dan
keringatmu membakar gairahku, Suto."
"Aku... aku
tidak bisa lakukan pelayaran cinta dalam
keadaan badan
masih kotor dan belum mandi. Aku harus
mandi dulu,
Rasti."
"Percuma,
Suto. Kau nanti toh akan mandi keringat
juga; keringatku
dan keringatmu sendiri."
"Memang.
Tapi untuk mengawalinya, badanku harus
bersih dulu. Aku tak ingin kau menikmati pelayaran
cinta denganku
dalam keadaan badanku masih kotor.
Aku tak ingin
memberikan yang kurang baik padamu.
Aku ingin berikan
yang terbaik padamu, Rasti."
Perempuan itu
tersenyum, hatinya berdesir bangga
karena merasa
diistimewakan oleh si tampan itu. Ia
segera menyambar
bibir Suto. Bibir itu dilumatnya
sejenak, kemudian
dilepaskan dengan engahan napas
kelegaan.
"Pergilah
mandi sana! Jangan lama-lama. Aku tak
ingin menunggu
terlalu lama. Nanti aku kedinginan dan
masuk
angin," tuturnya seraya hamburkan tawa lirih
yang mengikik
penuh rangsangan menantang.
Suto Sinting
bergegas bangkit, merapikan pakaian
sejenak.
"Atau... aku
ikut mandi sekalian saja, ah!" ujar
perempuan itu
seraya ikut-ikutan bangkit dan merapikan
pakaian.
Pada saat itu,
mata Suto menangkap sebuah benda
yang segera
diselipkan di pinggang Rasti. Benda itu
semula jatuh di
tanah, diduduki oleh perempuan itu.
Ketika si
perempuan merapikan pakaiannya, benda itu
nyaris
tertinggal, ia segera memungutnya dan
menyelipkan di
pinggang belakang, di balik kain
pengganti sabuk.
Benda itu berwarna coklat sebesar
telapak tangan,
bentuknya menyerupai lembaran-
lembaran kulit
rusa.
"Benda apa
itu, Rasti?!" tanya Suto Sinting setelah
mempertimbangkan
kecurigaannya yang menggoda hati.
"Hmm, ooh...
anu, hmm... bukan apa-apa. Maksudku,
bukan sesuatu yang penting. Ini hanya... hanya
jimat.
Jimat pemikat
pria, hik, hik. hik...!"
Sekalipun Rasti
mengalihkan dalam canda, namun
rasa penasaran
Suto masih menggoda terus dan
kecurigaannya
semakin besar. Benda itu menyerupai
sebuah kitab yang
terdiri dari sekitar sepuluh lembar
kulit rusa. Dalam
benak Pendekar Mabuk menduga
bahwa kitab itu
adalah kitab keramat yang dinamakan
kitab 'Serat
Sekar Siluman'. Tetapi hati kecil Suto masih
sangsi, sehingga
ia pun bertanya-tanya dalam hatinya,
"Apa benar
bentuk kitab keramat seperti itu?!"
Rasti sudah rapi,
siap pergi mencari sungai untuk
mandi.
"Ayo, kita
cari sungai itu dan bersihkan badan
sebelum petang
tiba. Nanti kita kembali lagi kemari,
Suto!" ajak
Rasti ketika sudah diambang pintu gua.
Suto Sinting
sempat tertinggal karena memikirkan
benda yang
dikatakan sebagai jimat oleh perempuan itu.
"Rasti,
boleh kulihat benda yang kau katakan sebagai
jimat itu?"
Rasti berlagak
tidak mendengar ucapan Suto Sinting,
ia bergegas
keluar dari gua lebih dulu. Suto Sinting
buru-buru
menyusulnya.
"Rasti...!
Rasti, tunggu sebentar!"
Langkah perempuan
itu semakin cepat. "Ayo, Suto...
kita temukan
sebuah sungai sebelum petang tiba!
Lekaslah...!"
"Hei,
Rasti... tunggu aku! Aku ingin melihat benda
yang kau selipkan
di pinggang belakangmu itu! Apakah
benda itu adalah
kitab keramat 'Serat Sekar Siluman'
milik Geledek
Biru yang pernah dicuri Ratu Ladang
Peluh?!"
Perempuan itu
bagaikan tak menghiraukan seruan
Suto sama
sekali. Ia justru melangkah semakin
cepat
dengan jubah
kuningnya yang melambai-lambai. Suto
berlari
menyusulnya, tapi Rasti makin percepat
langkahnya.
"Rasti, aku
hanya ingin tahu apakah benar benda itu
adalah kitab
keramat berisi mantra-mantra berkekuatan
iblis?!"
seru Suto Sinting, namun seruan itu tetap tak
dihiraukan Rasti.
Bahkan perempuan itu mengubah
langkahnya
menjadi gerakan lari kecil dengan lompatan-
lompatan peringan
tubuh.
Suto Sinting
jengkel, akhirnya ia membentak, "Hei,
Rasti...!
Tunggu!"
Di luar dugaan,
Rasti hentikan langkah sekejap,
berbalik ke
belakang dan sentakkan tangan kirinya ke
arah Suto
Sinting. Wuutt...! Sentakan itu mengeluarkan
cahaya kuning
emas sebesar telur burung. Claap...!
Weess...!
Pendekar Mabuk
sangat terkejut mendapat pukulan
bersinar kuning
emas itu. Bumbung tuak yang
disilangkan di
punggung tak sempat diraih dan dipakai
menangkis. Namun
sebelum sinar kuning emas sebesar
telur burung itu
menghantam dadanya, secara refleks
tangan Suto pun
menyentak ke depan. Jurus 'Pecah Raga'
yang digunakan
secara tiba-tiba itu keluarkan sinar hijau
dari telapak
tangan si Pendekar Mabuk. Namun gerakan
itu agak
terlambat, sinar hijau tersebut menghantam
sinar kuning emas
yang sudah mendekat dan kurang tiga
langkah lagi.
Akibatnya, benturan sinar hijau dan sinar
kuning emas itu
timbulkan ledakan yang menyentak kuat
dan
mengguncangkan pepohonan di sekitarnya.
Blaaarrr...!
Tubuh Suto
Sinting terlempar ke belakang, melayang
dan berjungkir
balik tak karuan bagaikan seonggok
sampah tersapu
badai, ia jatuh terbanting setelah
tubuhnya
membentur pohon berduri. Cruus, buuhk...!
"Aaow...!"
pekiknya sambil menyeringai kesakitan.
Duri-duri pohon
yang berukuran sebesar paku itu
menancap dan
merobek pinggang Suto. Duri itu
mengandung getah
beracun yang cukup membahayakan
jiwa manusia.
Suto Sinting akhirnya terpuruk sesaat di
bawah pohon itu
dengan pinggang mengucurkan darah
dan darah itu menjadi cepat mengering dan itu berarti
kematian Suto pun
akan tiba.
"Rastiii...!"
teriak Suto sebelum ia semakin lemas
akibat racun pada
duri pohon tersebut. Namun
perempuan yang
dipanggilnya justru semakin percepat
pelariannya, dan
dalam waktu singkat telah menghilang
dari pandangan si
Pendekar Mabuk. Rasti benar-benar
melarikan diri
tanpa basa-basi lagi.
"Keparat!
Berarti dugaanku benar; benda itu adalah
kitab keramat
yang dinamakan 'Serat Sekar Siiuman'
Oouhk...! Badanku
panas sekali! Celaka! Pasti duri
pohon ini beracun
membahayakan. Oouhk... aaahk...!"
Suto Sinting
buru-buru mengambil bumbung tuaknya
dengan susah
payah. Tangannya selain lemas juga
gemetar, sehingga
bumbung tuak tak dapat diambil
dengan mudah,
walau akhirnya berhasil juga. Ia segera
menenggak tuak
saktinya.
Suara ledakan
tadi memancing seseorang untuk
datang ke tempat
itu. Dalam keremangan cahaya senja
yang semakin
menua, Pendekar Mabuk masih bisa
melihat
kemunculan sesosok tubuh kurus bermata
cekung yang dulu
pernah bertarung melawannya. Orang
tersebut tak lain
adalah si Tulang Besi, yang sedang
mencari-cari
buronannya. Buronan itu tadi disambar oleh
seseorang dan
orang yang menyambarnya adalah Suto
sendiri. Tapi
Tulang Besi tak tahu bahwa penyambar
buronannya adalah
si Pendekar Mabuk.
Maka ketika ia
mengetahui keadaan Pendekar Mabuk
sedang kesakitan
akibat tergores duri beracun, dan tuak
yang ditenggaknya
belum bereaksi, Tulang Besi segera
lepaskan
tendangan kebenciannya ke arah wajah Suto.
"Kau yang
tempo hari coba-coba melawanku, Bocah
gendeng!
Terimalah upah kelancanganmu waktu itu.
Hiaaah...!"
Beet! Plaak...!
Suto Sinting
masih sempat menangkis dengan
silangkan lengan
kirinya ke depan. Tendangan itu
tertahan lengan
tersebut, tak sempat kenai wajah tampan
si murid sinting
Gila Tuak itu. Pemuda tersebut segera
berguling ke
belakang, lakukan jungkir balik dengan
cepat. Dalam satu
sentakan tubuhnya pun melambung ke
atas dan bangkit
berdiri dengan tegak. Pengaruh luka di
pinggangnya telah
hilang, bahkan luka itu telah
mengering. Sebentar
lagi akan hilang sama sekali tanpa
bekas.
"Tahan
seranganmu, Tulang Besi!" sentak Suto
Sinting dengan
lantang pertanda badannya telah segar
kembali.
"Persetan
dengan kata-katamu, Bocah gendeng! Kau
telah memihak
Mustikani, yang berarti kau ada di pihak
Ladang Peluh! Itu
sama saja kau adalah musuhku yang
perlu
kubinasakan! Heaah...!"
Tulang Besi
melompat cepat dan melepaskan
tendangan
beruntunnya ke dada Pendekar Mabuk. Wuut,
wuut, wuut...! Tapi dengan cepat Suto Sinting
menadahkan
bumbung tuaknya sebagai penangkis
tendangan itu.
Krak, prak, krak...!
"Aaoww...!" Tulang Besi memekik kesakitan dan
jatuh terduduk di
tanah. Kedua kakinya terasa remuk
karena menendang
bumbung bambu tuak yang
mempunyai
kekuatan tenaga dalam tersendiri. Tulang
Besi bagaikan
menendang sebatang baja yang
meremukkan Tulang
kakinya sendiri.
"Hentikan
kebodohanmu, Tulang Besi! Aku tahu apa
yang kau cari dan
apa yang harus kita kejar!" sentak
Suto Sinting,
ingin ungkapkan tentang perempuan yang
bernama Rasti
itu. Tetapi agaknya Tulang Besi masih
terpaku oleh
kekalahannya beberapa waktu yang lalu,
sehinga dengan
berang ia melepaskan pukulan jarak
jauhnya tanpa
sinar.
Dalam keadaan
duduk di tanah, Tulang Besi
sentakkan
tangannya ke depan, dan gelombang hawa
padat berkekuatan
dua kali tenaga kuda itu meluncur
lepas menghantam
Suto Sinting. Beet, wuuut...! Suto
Sinting segera
hindari gelombang hawa padat itu dengan
satu lompatan ke
atas. Wuuuus...! Gelombang hawa
padat itu akhirnya menghantam pohon berduri di
belakang Suto.
Blaam...!
Krraaak...!
Pohon itu retak
dan menjadi miring, hampir saja
tumbang. Pendekar
Mabuk segera lepaskan jurus 'Jari
Guntur'-nya ke arah
Tulang Besi. Senantiasa jarinya
diarahkan tepat
ke dada Tulang Besi. Des, dos...! Dua
kali sentilan
jari membuat Tulang Besi yang pernah
merasakan
akibatnya segera berguling ke samping untuk
menghindarinya.
Buub, buub...! Sentilan bertenaga
dalam itu akhirnya kenai tanah. Tanah pun memuncrat
dengan dedaunan
kering menyebar ke mana-mana
Zlaap, zlaaap...!
Suto Sinting segera berpindah tempat
dengan cepat,
sehingga tampak seperti menghilang.
Tulang Besi
sempat clingukan sebentar dengan wajah
tegang. Akhirnya
ia temukan Suto Sinting sudah berada
di belakangnya.
Dalam keadaan kedua kakinya masih
terasa sakit
dipakai berdiri, Tulang Besi akhirnya
berguling ke
belakang dari keadaannya yang duduk di
tanah sejak tadi.
Gerakan tergulingnya itu sambil
melepaskan
tendangan bertenaga dalam, sehingga
hembusan hawa
padat kembali menyerang Pendekar
Mabuk secara
beruntun. Wuuk, wuuk...! Namun
bumbung tuak pun
kembali menghadang gelombang
hawa padat itu
dalam keadaan dipegang dua tangan dan
satu kaki Suto
berlutut menahannya.
Blaam, blaamm. .!
Benturan gelombang hawa padat
dengan bumbung
tuak membuat Suto Sinting terdorong
ke belakang dan
jatuh terduduk. Namun ia segera
berguling ke
samping karena Tulang Besi tampak ingin
lepaskan pukulan
bersinarnya. Sebelum hal itu terjadi,
Suto Sinting
segera arahkan sentilan 'Jari Guntur'-nya ke
pelipis Tulang
Besi. Dess...! Wuuut, brruukk...!
"Aoooww...!"
Tulang Besi memekik sambil jatuh
berguling guling.
Kepalanya terasa mau pecah karena
terkena sentilan
jarak jauh yang mempunyai kekuatan
tenaga dalam
sebesar tendangan seekor kuda jantan itu.
Untuk sesaat
Tulang Besi yang meraung-raung kesakitan
sambil kedua
tangannya pegangi kepala.
Pendekar Mabuk
bergegas bangkit, ia sengaja tidak
menyerang lagi,
karena tak ingin pertarungan itu
mencelakakan
kedua belah pihak. Bagaimanapun
ganasnya si
Tulang Besi, tapi Suto masih ingat bahwa
kakek tua itu
patut murka kepada pihak Ratu Ladang
Peluh karena
perguruannya dihancurkan. Hanya saja, ia
salah paham dan
menyangka Mustikani masih berada di
pihak Ratu Ladang
Peluh, sehinga pembelaan Suto
terhadap
Mustikani dianggap bersekutu dengan pihak
Ratu Ladang
Peluh. Yang perlu dilakukan Suto adalah
meluruskan
anggapan tersebut agar tidak membuat
pertikaian dan
salah paham itu menjadi berlarut-larut.
"Sekarang
pun kau sudah kuanggap mati di tanganku,
Tulang
Besi!" seru Suto Sinting sambil mengarahkan
bambu tuak
seperti ingin dihantamkan ke kepala Tulang
Besi.
"Kalau aku
mau, bambu ini dapat membuat kepalamu
pecah seperti
telur bebek habis dibanting!" tambah Suto.
"Tapi karena
aku merasa kau bukan musuhku dan aku
bukan berada di
pihak Ratu Ladang Peluh, maka aku tak
akan membunuhmu,
Kakek berang!"
"Keep... keparat
kaauu...!" geram Tulang Besi sambil
menahan
sakit.
"Minumlah
tuakku, kujamin kau akan sembuh dan tak
merasa sakit
lagi! Tapi berjanjilah untuk tidak
bermusuhan lagi
denganku karena kemarahanmu itu
menimbulkan
kesalahpahaman belaka, Tulang Besi!"
Suto Sinting
segera sodorkan bumbung tuaknya dengan
tetap waspada.
Tulang Besi menolak dengan suara
mengerang dalam
satu sentakan.
"Tulang Besi, aku tahu yang kau cari saat ini! Kau
mencari perempuan
berjubah kuning yang bernama
Rasti! Jika kau tak
mau minum tuakku, maka pelarian
Rasti semakin
jauh lagi dari tempat ini, karena ia tadi
bersamaku dan
segera melarikan diri setelah kutahu ia
menyembunyikan
kitab keramat di pinggang
belakangnya!"
Tulang Besi
segera berubah sikap. Walau tetap
menggeram, namun
ia mulai tertarik dengan ucapan Suto
tadi.
*
* *
7
SETELAH menerima perdamaian dari Pendekar
Mabuk berupa
pengobatan melalui tuak saktinya, Tulang
Besi akhirnya
membenarkan dugaan Suto tentang kitab
keramat di tangan
Rasti.
"Memang
benar, benda yang disembunyikan
perempuan itu
adalah kitab keramat. Kitab itu
diambilnya dari
mayat Ladang Peluh sesaat setelah ia
berhasil membunuh Ratu bejat itu bersama beberapa
pengawalnya."
"Apakah kau
melihatnya sendiri?"
"Ya, aku mengintainya
dari kejauhan. Karena
sebelum itu, Ratu
bejat kuserang sebagai tindakan balas
dendamku
kepadanya. Tapi agaknya aku kaliah ilmu
dengannya. Aku
terluka dalam, dan harus sembuhkan
lukaku dulu
untuk menyerangnya lagi. Saat
kutinggalkan,
beberapa waktu kemudian kudengar suara
ledakan dari
tempatku bertarung melawannya. Aku
kembali ke sana
untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata
Ratu Ladang
Peluh bertarung melawan Rastiwina, dan
pertarungan itu
kuperhatikan hingga tewasnya si Ladang
Peluh dan anak
buahnya itu."
Sementara si
Tulang Besi berceloteh, benak Suto
Sinting
memikirkan sesuatu yang terasa menggoda
ingatannya.
Bahkan batin Pendekar Mabuk pun
bertanya pada
diri sendiri, "Rastiwina...?! Sepertinya aku
pernah mendengar
nama Rastiwina itu?! Di mana dan
kapan kudengar
nama itu?!"
"Rupanya
Rastiwina mengetahui bahwa Ladang
Peluh mempunyai
kitab keramat tersebut. Mungkin
karena dulu
mereka bersahabat dan belakangan ini
kudengar mereka
bermusuhan karena persoalan pribadi,
sehingga
Rastiwina akhirnya nekat menghadapi Ladang
Peluh. Tujuannya
hanya untuk mengambil kitab keramat
tersebut. Dan
kulihat Rastiwina berhasil dapatkan kitab
itu setelah
menggeledah tubuh mayat Ratu bejat yang
dipenggalnya
memakai pedang milik pengawal Ladang
Peluh
sendiri."
"Dan kau pun
naksir kitab itu?!"
Tulang Besi gusar
sesaat, namun akhirnya menjawab,
"Daripada
kitab keramat itu jatuh di tangan Rastiwina
yang juga sebejat
Ladang Peluh, lebih baik kitab itu
kurebut dan
kukuasai sendiri!"
"Kau akan
berurusan dengan Geledek Biru jika
menguasai kitab
itu!"
"Memang.
Tapi aku bisa pergunakan kekuatan sakti
di dalam kitab
itu untuk melawan Geledek Biru. Hanya
saja... sekarang
pendapatku sudah berubah, mengingat si
Geledek Biru
adalah kakak sahabatku sendiri. Aku
hanya ingin
merebut kitab itu agar jangan jatuh di tangan
perempuan
bejat!"
"Bukankah
dia...."
"Apakah kau
belum kenal dengan Rastiwina yang
berjuluk Ratu
Lembah Girang itu, Anak muda?!"
Suto Sinting
tersentak kaget begitu mendengar nama
Ratu Lembah
Girang. Rasa ingin protes atas pemotongan
kata-katanya tadi
terpaksa dibatalkan karena ia lebih
tertarik
memperhatikan nama Ratu Lembah Girang. Kini
Suto ingat bahwa
ia pernah berurusan dengan Ratu
Lembah Girang
yang ingin menguasai bocah sakti di
Pulau Swaladipa.
Walau secara langsung memang ia
belum pernah
beradu muka dengan Ratu Lembah
Girang, tetapi
para begundalnya telah menyerang dan
bermaksud
membunuhnya, termasuk iblis kirimannya
yang amat berbahaya itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk
dalam episode:
"Bocah Titisan Iblis").
"Pantas
sejak tadi aku merasa janggal terhadap nama
Rastiwina.
Rupanya nama itu adalah nama asli dari Ratu
Lembah Girang
yang pernah kudengar disebutkan oleh
si Manusia Kayu;
Ki Sumparana," pikir Suto Sinting
sambil tertegun
berkepanjangan. Karena ia juga ingat
pertarungannya
melawan Pangeran Cabul dan Lembah
Wuyung, yang
merupakan orang-orang utusan Ratu
Lembah Girang
untuk mencabut nyawa Suto Sinting.
"Kurasa ia
mengenaliku. Tapi mengapa saat di dalam
gua ia tidak
membunuhku? Mengapa ia justru
bersemangat dalam
mencumbuku?" pikir Suto lagi. Ia
tak tahu bahwa
Rastiwina alis Ratu Lembah Girang
terkejut ketika
mengetahui ketampanan Suto Sinting
yang menjadi lawannya
itu. Ia
tidak menyangka
ketampanan dan
kegagahan Pendekar Mabuk sangat
menawan hatinya,
sehingga ia merasa sayang jika harus
membunuh pemuda
itu sebelum dimanfaatkan
kehangatan
kemesraannya.
"Dia tidak
boleh mati. Dia begitu hangat dan pandai
membuatku terbang
di puncak kenikmatan. Aku akan
tundukkan dia
dengan aji pemikat abadi yang menurut
keterangan Ladang
Peluh dulu, mantra tersebut ada di
dalam kitab
keramat ini. Sekarang dia tahu aku
membawa kitab
itu. Aku harus melumpuhkannya sesaat.
Setelah kitab ini
kupelajari, akan kuhampiri dia dan
kutundukkan agar
menjadi pemuas gairahku. Ooh... aku
suka sekali dengan permainan tangannya yang seolah-
olah sangat
sesuai dengan harapanku itu. Aku tak boleh
membunuhnya...!"
pikir Rastiwina pada saat itu.
Karenanya ia
lebih baik melarikan diri daripada harus
berhadapan dengan
Suto dan saling mengadu ilmu.
Pendekar Mabuk
segera sadar dari lamunannya.
Namun ia
terperanjat mengetahui hari telah menjadi
gelap dan Tulang
Besi telah pergi dari hadapannya. Ke
mana perginya si
Tulang Besi, Suto tak tahu. Namun
dugaan hati
kecilnya mengatakan, bahwa Tulang Besi
pergi mencari
Rastiwina karena ingin merebut kitab
keramat itu.
Sekalipun gelap petang
telah tiba, namun Pendekar
Mabuk tetap
lakukan pencarian terhadap diri Rastiwina.
Semakin cemas hati si Pendekar Mabuk setelah
mengetahui bahwa
kitab itu ternyata jatuh di tangan Ratu
pengumbar nafsu
dari Pulau Swaladipa. Semakin kuat
niatnya untuk
selamatkan kitab itu atau
menghancurkannya
sama sekali, seperti yang dikatakan
si Geledek Biru.
Esok paginya,
Pendekar Mabuk yang sempat tidur
beberapa waktu di
atas pohon itu, segera memutuskan
untuk memberi
tahu hal itu kepada Geledek Biru dan
beberapa orang
lainnya yang dianggap mau membantu
Geledek Biru
dalam mencari kitab keramat tersebut.
Sebuah desa yang disinggahi menjadi tempatnya
bertanya tentang
kediaman si Geledek Biru, sambil ia
mengisi
bumbungnya dengan tuak yang baru.
"Eyang
Bintara tinggal di Bukit Belatung,"
tutur si
pemilik kedai
yang sudah berusia sekitar enam puluh
tahun itu.
"Ke mana
arahnya jika aku harus ke Bukit Belatung,
Ki?"
"Jalanlah
menuju ke selatan. Jika kau temukan dua
sungai
bersebelahan, ikutilah sungai yang
sebelah kiri
dan menuju ke
muara!"
Ketenangan Suto
terasa semakin besar, karena
bumbung tuaknya
sudah terisi tuak penuh, ia lebih
bersemangat lagi
dalam perjalanannya. Hanya saja,
langkahnya
terpaksa terhenti karena suara ledakan
menggelegar yang
samar-samar berasal dari arah barat
daya. Ia
segera bergegas ke sana, karena rasa ingin
tahunya jika
mendengar suara pertarungan selalu
menggoda hati.
Mata Suto Sinting
terbelalak begitu melihat di tepian
sungai terjadi
pertarungan antara Rastiwina melawan
Mendung Merah.
Agaknya gadis berpakaian merah itu
terdesak beberapa
kali, karena ilmunya tak sebanding
dengan ilmu si
Ratu Lembah Girang. Namun gadis itu
masih belum mau larikan diri walaupun ia
telah
memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"Kau memang
keparat busuk, Mendung Merah! Kau
sama busuknya
dengan gurumu! Jika gurumu saja
hampir mati di
tanganku, apalagi hanya kau seorang?!"
Rupanya antara perguruan
Mendung Merah dengan
pihak Ratu Lembah
Girang pernah terjadi bentrokan
yang nyaris
menewaskan gurunya Mendung Merah yang
namanya tak
diketahui oleh Suto Sinting. Tapi dari
perkataan
Rastiwina, Suto dapat simpulkan bahwa
bentrokan itu
terjadi karena rebutan sebuah pusaka yang
akhirnya
dihancurkan sendiri oleh Ratu Lembah Girang.
"Urusan
pusaka Keris Bumiyamka itu sudah tak ada
lagi. Pusaka itu
ternyata kalah sakti dengan ilmuku,
terbukti mampu
kuhancurkan sendiri! Kurasa kau tak
perlu mengungkit
masa lalu antara pihakku dengan
pihak
perguruanmu, Mendung Merah. Apalagi kau
masih bau kencur
saat peristiwa itu terjadi!"
"Aku bukan
memasalahkan Keris Bumiyamka itu!
Yang kukehendaki
adalah kitab keramat 'Serat Sekar
Siluman'! Aku
tahu kitab itu ada padamu, karena
Sawung Kuntet
memergokimu sedang membuka-buka
kitab tersebut,
lalu ia kau serang hingga sekarat!"
"O, jadi kau
ingin menguasai kitab keramat itu juga?!
Hmm...! Kalau aku
sudah menjadi bangkai, kau boleh
menguasai kitab
itu. Mendung Merah! Sekalipun si
Geledek Biru yang
ingin merebutnya dari tanganku,
akan
kupertahankan dengan mempertaruhkan nyawaku!"
"Kalau
begitu, jangan salahkan diriku jika aku
harus
merebutnya dengan
cara sekasar mungkin!" bentak
Mendung Merah,
lalu segera mencabut pedangnya.
Sreeet...!
Tetapi sebelum
Mendung Merah menyerang, tiba-tiba
Rastiwina
lepaskan pukulan jarak tujuh langkah dengan
pergunakan dua
jarinya yang mengeras. Dua jari itu
dikibaskan
seperti melemparkan pisau, dan dari dua jari
itu melesat sinar
merah patah-patah seukuran pisau
terbang. Clap,
clap, dap!
Mendung Merah
sentakkan kaki ke tanah dan
tubuhnya
melambung naik dengan gerakan bersalto.
Wuk, wuuk...!
Begitu hinggap di atas gundukan tanah
setinggi pundak
manusia dewasa, pedang itu dikibaskan
ke depan dan dari
kibasan pedang itu keluarlah serbuk
biru mengkilap
yang menyebar ke arah Ratu Lembah
Girang.
Wuuurrsss...!
Serbuk itu pasti
serbuk beracun, terbukti rumput-
rumput yang
terkena serbuk itu menjadi lumer dan
akhirnya mencair
seperti bubur. Jika sampai serbuk biru
mengkilap itu
kenai tubuh Ratu Lembah Girang,
tentunya
perempuan bermata jalang itu akan lumer dan
menjadi seperti
bubur. Sayangnya, Ratu Lembah Girang
bukan orang
berilmu pas-pasan, sehingga dengan satu
kali sentakan
tangannya, ia dapat keluarkan hembusan
angin yang
membuat serbuk-serbuk itu terbang ke arah
Mendung Merah
sendiri. Wuuss, wuuurss...!
"Heeaaat...!"
Mendung Merah melompat ke sana-sini
dengan lompatan
cepat. Kakinya bagai menyentak
bagian ujung
saja, termasuk menjejak sebatang pohon
yang membuatnya
meluncur ke satu arah hindari
serbuknya
sendiri.
Begitu kakinya
mendarat di bumi, tahu-tahu
Rastiwina
lepaskan pukulan bersinar kuning emas
sebesar telur
burung puyuh itu. Claap...! Sinar kuning itu
meluncur cepat
ke arah Mendung Merah. Namun
sebelum sampai di
pertengahan jarak, seberkas sinar
merah kecil telah
melesat lebih cepat dan menghantam
sinar kuning
tersebut. Weeess...! Jegaaarrr...!
Ledakan itu
menyentakkan tubuh Rastiwina ke
belakang, namun
ia hanya terhuyung sesaat, lalu dapat
berdiri tegak
kembali dan memandang ke arah datangnya
sinar merah kecil
tadi. Ternyata dari balik pohon rindang
itu muncul seraut
wajah yang murah senyum, yaitu
wajah seorang
pemuda bertongkat bambu kuning.
"Santana...?!"
gumam Suto Sinting dari
persembunyiannya.
"Kusangka ia telah mati ditelan
bumi, ternyata
masih cengar-cengir juga anak itu?!"
"Bocah
ingusan! Kau mau ikut campur juga, hah?!"
bentak Rastiwina
dengan wajah berang. Santana tetap
nyengir sambil
melangkah santai dekati lawannya.
"Jurusmu
cukup membahayakan nyawa sahabatku,
Bibi! Aku
terpaksa mematahkannya, ketimbang
sahabatku
kehilangan nyawa, lebih baik kau sajalah yang
kehilangan nyawa,
toh wajahmu sudah tampak tua.
Kuduga
usiamu sudah delapan puluh tahun lebih,
Bibi
cantik!"
Santana bicara
seenaknya dan tak punya kesan
bermusuhan. Namun
kata-katanya justru memanaskan
telinga Rastiwina
yang tak mau dikatakan sudah tua. Ia
sangat
tersinggung dengan penghinaan itu, sehingga
suara geramnya
menunjukkan ia sangat marah kepada
Santana.
Pendekar Mabuk
geleng-geleng kepala sambil
tersenyum geli.
"Bocah itu kalau bicara seenak udel-nya
sendiri! Memang
menjengkelkan, tapi juga menggelikan.
Apalagi dia
mengakui bahwa Mendung Merah adalah
sahabatnya, jelas
itu sangat menggelikan bagiku, sebab
kutahu mereka
semula adalah saingan; sama-sama
menjadi pembunuh
bayaran yang memburuku, eeh...
sekarang malah
jadi sahabat?!"
Celoteh batin
Suto Sinting dihentikan sampai di situ
dulu, karena
Rastiwina melepaskan kemarahannya
dengan sebuah
pukulan jarak jauh yang mengeluarkan
asap
hitam-hitaman dari pangkai telapak tangan atau
pergelangannya.
Wuuusss...! Asap
itu menyembur ke arah Santana.
Mendung Merah
berseru dari tempatnya. "Awas,
racuuun...!"
Santana segera
memutar tongkat bambu kuningnya
dengan satu
tangan. Tongkat itu bagaikan berputar
secepat
baling-baling dalam gerakan menyelinap
dipermainkan oleh
kelima jari tangan kanan itu. Seerr...!
Wuuurrss...!
Angin putaran tongkat itu membuyarkan
asap kehitaman.
Pada saat itu, Rastiwina segera melesat
bagaikan kilat
menerjang Santana. Weesss...!
"Brreesss...!
"Aoow...!"
pekik Santana tertahan. Tubuhnya
terpental delapan
langkah ke belakang, ia terbanting
dengan kerasnya
di samping Mendung Merah. Brruuk!
"Auuh...!
Tulang punggungku patah, Sayang...!"
rintihnya sambil
menyeringai menatap Mendung Merah
dengan satu mata
dipicingkan. Mendung Merah tak
pedulikan
rintihan konyol itu. Ia segera menyerang
Rastiwina dengan
tebasan pedangnya beberapa kali.
Wut, wut, wut,
wut...!
Rastiwina hanya
menghindar dengan meliukkan
badan dengan
lincah ke kiri, kanan, belakang, merunduk,
dan akhirnya
jatuhkan diri, sambil kakinya menyapu
betis Mendung
Merah. Wuuutt...! Prraak...!
Brrruk...!
Rastiwina berhasil menjatuhkan Mendung
Merah yang
memekik tanpa suara karena mata kakinya
bagaikan pecah
disapu tendangan bertenaga dalam tadi.
Sapuan itu juga
membuat pedang Mendung Merah
terlepas dari
genggamannya. Pedang itu terpental ke atas
dan segera
disambar oleh Rastiwina.
Wuuut, teeb...!
"Saatnya
pergi ke neraka telah tiba, Gadis bodong!
Heeaah...!"
Ratu Lembah
Girang menebaskan pedang ke arah
kepala Mendung
Merah. Namun sebelum pedang itu
bergerak membabat
kepala, tiba-tiba Santana lemparkan
tongkat bambu
kuningnya dengan tenaga dalam
disalurkan ke
dalam bambu tersebut. Wuuut...! Deeeg!
"Uuhk...!"
tubuh Rastiwina terdorong mundur,
bahkan jatuh
berjumpalitan di tanah, ia merasa seperti
diseruduk banteng
liar. Lemparan bambu kecil itu kenai
dada kirinya, dan
bambu itu memantul balik ke arah
pemiliknya.
Teeb...! Santana menangkap bambu itu
dengan cekatan,
ia segera bangkit dan sunggingkan
senyum kepada
Mendung Merah yang menatapnya.
"Mundur,
Sayang... nanti nyawamu berantakan! Dia
sudah memegang
senjatamu, biar aku yang hadapi dia!"
"Kitab itu
ada pada...."
"Aku
tahu!" potong Santana dengan kalem. "Aku
dengar suaramu
tadi. Lihat, bagaimana caranya
mengambil kitab
itu, hanya ada di ujung tongkatku ini!"
Santana segera
melompat dengan menggunakan
tongkatnya
sebagai alat pelempar tubuh yang
disentakkan ke
tanah.
"Hiaaahh...!"
Wuuuss, wuutt...!
Terjangan ke arah kepala Rastiwina
berhasil
dihindari. Santana akhirnya mendarat ke
belakang
Rastiwina. Namun dengan cepat bambu
kuningnya
bagaikan disabetkan dari samping kiri ke
kanan dalam satu
gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Weess...!
Trraak...! Pedang
di tangan Rastiwina menahan
bambu itu. Kaki
perempuan tersebut berkelebat menjejak
dada Santana.
Beet! Bluuhk...!
"Huuueeeek...!"
Bruuuss...!
Mulut Santana
semburkan darah cukup banyak.
Pemuda itu jatuh
terkapar dengan napas tersentak-
sentak, matanya
pun mendelik dengan mulut ternganga.
Keadaan Santana
sekarat, karena tendangan yang kenai
dadanya itu
bertenaga dalam sangat besar dan membuat
dada Santana membekas telapak kaki warna hitam dan
berasap.
"Habislah
riwayatmu, Jahanam! Hiaaah...!" teriak
Rastiwina dengan
murkanya. Tangan yang memegangi
pedang milik
Mendung Merah diangkat, pedang itu akan
dihujamkan ke
dada Santana. Tetapi niat itu tertunda
kembali.
Zlaaap...!
Bruuuss...!
Pendekar Mabuk
turun tangan setelah melihat
kenyataan yang
menyedihkan, kedua orang sahabatnya
tidak dapat
mengalahkan Ratu Lembah Girang. Maka ia
pun segera
berkelebat menerjang Ratu Lembah Girang
dengan pergunakan
kecepatan gerak yang menyerupai
perpindahan sinar
itu.
Terjangan dari
samping itu membuat Ratu Lembah
Girang terlempar
sepuluh langkah jauhnya, ia jatuh
terbanting di
sela-sela bebatuan. Pendekar Mabuk segera
mengejarnya, dan
hentikan langkah dalam jarak satu
tombak dari
Rastiwina. Ia biarkan perempuan itu bangkit
dengan suara
geram kemarahan yang lebih besar lagi.
"Hhmmr...!
Ternyata kau tak bisa kujadikan pemuas
gairahku lagi,
Pendekar Mabuk kecubung! Kau
membuat
pengampunanku hilang, dan kini yang ada
padaku hanyalah
membunuhmu, mencabik-cabikmu, dan
merajang habis
sekujur tubuhmu yang sebenarnya
menggairahkan
sekali itu!"
"Berilah
kitab itu dan kita selesaikan permusuhan kita
sampai di sini
saja. Ratu Lembah Girang!" ujar Suto
Sinting, sengaja
menyebut nama itu untuk mengingatkan
perempuan itu
pada peristiwa Bocah Emas beberapa
waktu yang lalu.
"Biadab kau,
Suto! Dari dulu kau selalu mencampuri
urusanku! Kau
membuatku murka dan tak punya belas
kasihan lagi!
Adikku; Pangeran Cabul, juga kau bunuh!
Bocah Emas itu
juga kau bawa lari. Kau benar-benar
neraka bagi
hidupku, Pendekar sapi! Sekarang saatnya
membalas seluruh
tindakanmu itu, Keparat!"
"Rastiwina, yang kuharapkan adalah kau
mengembalikan
kitab itu kepada si pemiliknya, yaitu
Eyang Bintara
alias Geledek Biru. Serahkan padaku dan
aku akan menyerahkannya
kepada beliau!" tegas Suto
Sinting.
"Ambil ini!
Hiaaah...!"
Rastiwina
sentakkan kedua tangannya dalam keadaan
menggenggam. Dari
kedua genggaman itu keluar sinar
kuning secara
beruntun dalam bentuk seperti piring
kecil.
Blab, blab, blab,
blab, blab, blab,..!
Suto Sinting
menangkisnya dengan melintangkan
bambu tuaknya di
depan dada. Kedua tangannya
memegangi bambu
itu dengan kuat, karena sinar kuning
itu ternyata
tidak bisa membalik ke arah semula seperti
sinar-sinar lain
yang terkena bumbung tuak. Bahkan
sinar-sinar
kuning itu tidak meledak walau berulangkali
membentur bumbung
tuak. Menandakan kekuatan sinar
itu sungguh
dahsyat dan dapat mengimbangi kekuatan
sakti yang ada
pada bumbung tuak milik Pendekar
Mabuk itu.
Kekuatan Suto
menahan bumbung tuak itu akhirnya
lemah. Wuuuss...!
Tubuh Suto Sinting terlempar ke
belakang dengan
keseimbangan tubuh tak terkendali, ia
jatuh terjungkal
dan pelipisnya membentur batu runcing.
Cuuur...! Darah
pun mengucur dari pelipis Pendekar
Mabuk.
Sinar kuning itu
telah lenyap. Kini Rastiwina
meluncur bagaikan
singa terbang tanpa membawa
pedang milik
Mendung Merah. Wuuut...! Dari kedua
matanya
memancarkan sinar merah lurus dua larik yang
ditujukan ke
tubuh Pendekar Mabuk. Dengan gerakan
cepat, Pendekar
Mabuk sentakkan tangan ke tanah dan
tubuhnya melesat
naik, melambung di udara tepat pada
saat kedua sinar
merah dari mata Ratu Lembah Girang
menghantam batu
besar yang ada di belakang Suto saat
Suto terjatuh
tadi. Cralap...! Blegaaarrr...!
Batu besar itu
lenyap tanpa bekas, kecuali asap hitam
yang segera buyar
disapu angin. Pada saat itu, Suto
Sinting yang
masih melambung di udara segera lepaskan
pukulan sinar
kuning juga, yaitu jurus 'Pukulan Gegana'
dari dua jari
yang dikeraskan. Sinar kuning patah-patah
itu menghantam
punggung Rastiwina yang sedang
melayang di
bawahnya. Clap, clap, clap...!
Jleb, jleb,
jleb...!
"Aaaa...!"
Rastiwina alias Ratu Lembah Girang
memekik panjang
dan tubuhnya jatuh tengkurap. Sinar
kuning itu
menembus punggungnya. Punggung itu
akhirnya kepulkan
asap yang makin lama makin tebal
membungkus raga.
Pendekar Mabuk
segera bersalto di udara dan
hinggap di atas
batu setinggi dadanya sendiri. Jleeg..!
Dari sana ia
dapat melihat kemunculan si Tulang Besi
yang segera
hentikan langkahnya sambil pandangi tubuh
Rastiwina yang
dibungkus asap tebal. Dari arah lain juga
melesat bayangan
biru yang menghampiri Pendekar
Mabuk. Wuuutt...!
Jleeg...!
"Eyang
Bintara...?!" sapa Suto Sinting, lalu buru-buru
turun dari atas
batu tersebut, takut dianggap tak sopan
kepada si Geledek
Biru.
Geledek Biru
pandangi Rastiwina yang sudah tak
berkutik
lagi. Bahkan ketika gumpalan asap itu
buyar
seketika setelah
Geledek Biru hembuskan napas dari
mulutnya, semua
mata memandang tertegun ke arah
Ratu Lembah
Girang. Ternyata tubuh perempuan itu
sudah menjadi
seonggok daging yang kering, kehitam-
hitaman, dan
tentunya tak mempunyai nyawa sesendok
pun. Ratu Lembah
Girang akhirnya tewas di tangan
Pendekar Mabuk,
disaksikan seorang tokoh tua yang
amat disegani dan
ditakuti di kawasan tenggara; Geledek
Biru.
"Dia yang
mencuri kitab keramat itu, Eyang!" kata
Suto Sinting.
"Hmmm...," Geledek Biru manggut-manggut. "Tapi
dia sudah menjadi
kering seperti arang begitu, apakah
kitab keramatku
masih utuh?"
"Hmm, hmm...
mungkin ya ikut kering juga, Eyang!"
jawab Suto
Sinting dengan takut-takut.
Tulang Besi yang
sudah mendekati mereka ikut
bicara.
"Lebih baik
hancur daripada bikin penyakit bagi
orang lain!"
Geledek Biru
hanya melirik si Tulang Besi,
sementara itu
Suto memeriksa kain ikat pinggang
Rastiwina yang
juga menjadi abu itu. Ia menemukan
kitab tersebut,
namun keadaannya sudah terbakar dan
hanya sisa bagian
pinggirannya saja.
"Ini kitab
keramat milik Eyang, silakan ambil,
Eyang!"
"Aku sudah
punya banyak abu gosok buat cuci piring.
Ambillah
sendiri!" ujar Geledek Biru dengan hati kesal,
namun membuat
Tulang Besi tersenyum kaku, dan
Pendekar Mabuk
tersipu malu menahan geli.
"Lupakan
tentang kitab itu! Tolong sembuhkan
Mendung Merah dan
Santana!" perintahnya kepada
Pendekar Mabuk.
Dengan rasa hormat Suto pun obati
mereka
menggunakan tuak saktinya. Lalu, mereka pun
saling berpisah
dengan damai.
SELESAI
Segera terbit!!!
TANTANGAN ANAK
HARAM
Pembuat E-book:
DJVU & E-book
(pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing
https://www.facebook.com/Dunia
AbuKeisel
convert txt :
http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon