Wisanggeni Bag. 06


Hari ini adalah awal dari hari esok. Pertemuan adalah awal dari suatu perpisahan. Beberapa hari bersama-sama, ngobrol bercanda, makan minum dan tidur, tanpa terasa telah menumbuhkan rasa pertemanan yang akrab. Rombongan besar itu berpencar. Demung Pragola bersama cucu dan anak buahnya pulang ke markas partainya. Sebelum pergi Demung Pragola menjanjikan bantuan kepada Wisang Geni, kapan saja diperlukan.

Rombongan Sang Pamegat bersama Ranggawuni, Mahisa Campaka, Waning Hyun dan delapan pendekar Tumapel melanjutkan tujuan asalnya. Wisang Geni yang dulunya tawar terhadap tiga pangeran ini, belakangan mulai hangat. Ia memberi hormat sambil mengucap salam perpisahan.

Sekoyong-koyong Waning Hyun yang berdiri di samping Ranggawuni memperingatkan Geni. "Kangmas Wisang Geni, kamu sekarang ketua Lemah Tulis, kamu juga kakak perguruanku, tetapi kamu tetap masih hutang satu permintaan padaku. Jangan lupa, suatu waktu nanti aku akan menagih janji itu, awas kamu tak boleh ingkar."

Wisang Geni tertawa. "Tanpa berhutang janji pun, kalau di perintah seorang permaisuri agung, mana berani aku menolak."

Melihat Waning Hyun tersipu-sipu. Ranggawuni tertawa terbahak-bahak. "Kangmas Geni, kamu sekarang tak lagi kaku seperti dulu pertama kali bertemu kami. Sobat, berhati-hatilah memimpin Lemah Tulis. Makin tinggi kau duduk makin besar angin yang akan menerpamu, hati-hati dan waspada terhadap siapa pun!"

Rombongan Lemah Tulis melanjutkan perjalanan. Lima hari kemudian sampai di Gayu, sebuah desa kecil di kaki gunung Wclirang. Lima hari itu bagi Manjangan Puguh adalah pengalaman baru. Selama lima hari itu ia merasa dikejar-kejar Mei Hwa. Setiap ia sendirian, Mei Hwa selalu menghampiri dan mengajaknya bicara

Dia seperti melihat wajah Mei Hwa di mana-mana.

Hidungnya yang bangir mungil, matanya yang sipit indah gemerlap, rambutnya yang halus lurus, bibir yang mungil, semuanya seperti akrab dengannya. Perawakannya yang tinggi jangkung, tidak kurus dan tidak gemuk selalu jadi bahan lamunan.

Manjangan Puguh seorang lelaki berjiwa polos yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Ia terus memikirkan Mei Hwa. Sampai suatu saat ia dihadapkan pada pilihan sulit. Pergi jauh dari perempuan Cina itu, atau menghampiri perempuan itu dan mengatakan bahwa ia mencintainya.

Tetapi ia bimbang. Ada rasa khawatir, cintanya akan ditolak. Ia merasa sudah tua, usia separuh abad, apakah Mei Hwa mau menerima cintanya? Ia makin kesal terhadap dirinya, mengapa menjadi begitu lemah, tak mampu mengambil keputusan tegas.

Perpisahan selalu membawa kenangan. Bagi Manjangan Puguh, yang selalu berpindah tempat dan tak pernah diam lama di suatu tempat, perpisahan adalah kawannya yang paling akrab. Hari itu ia sulit memutuskan mengikuti rombongan Wisang Geni ke Lemah Tulis, pergi mengembara seorang diri atau mengawani rombongan Mei Hwa ke bukit Penanggungan. Ia bingung memilih, seperti kebingungan dirinya yang tidak punya keberanian mengutarakan cintanya pada Mei Hwa.

Tadi malam, bagi Manjangan Puguh suatu hari yang tak akan terlupa. Mei Hwa menghampirinya, memegang tangannya dan menatap lekat-lekat matanya. Ia sepertinya melihat sinar mata yang mengandung cinta. Apakah benar, Mei Hwa mencintai dirinya sebagaimana ia mencintainya? Gadis itu berkata lirih, "Mas Puguh, di dalam rombongan ini aku adalah pemimpinnya karena aku pandai bahasa Jawa. Tetapi pengalamanku cetek, apalagi aku sangat asing dengan negeri ini, aku mohon bantuanmu mengantar kami ke bukit Penanggungan. Di bukit itu kami akan menanti rombongan ketua Sam Hong. Kamu mau mengantar kami?"

Entah mengapa Manjangan Puguh justru menjawab yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan kemauannya. "Aku tidak bisa, aku masih punya urusan lain." Ia melihat wajah Mei Hwa yang kecewa, bahkan matanya merah basah. Ia menyesal, tetapi tak mampu meralat jawabannya tadi.

Siang hari itu, di batas desa Gayu, dua rombongan itu sampai di persimpangan jalan. Ke kiri menuju Trowulan, markas perdikan Lemah Tulis. Ke kanan menuju bukit Penanggungan. Jari Manjangan Puguh menunjuk lurus ke depan. "Kalau ke utara terus, kalian akan sampai di bukit Penanggungan." Mata Mei Hwa berkaca-kaca. Ia dan keempat kawannya memberi hormat kepada semua orang. Matanya memandang Manjangan Puguh penuh arti. Sepasang mata sipit itu, basah tapi masih bening dan berkilat. Manjangan Puguh menyukai keindahan mata itu. Hatinya tergugah, tapi ia tak bisa mengambil keputusan. Dalam hatinya ia merasa malu, mencintai gadis usia duapuluhan, padahal dia sendiri sudah hampir setengah abad. Ia malu terhadap Geni dan yang lainnya. Juga terhadap Mei Hwa.

Manjangan Puguh tak sanggup menatap lama-lama mata Mei Hwa. Cepat ia membalik dan melangkah mendahului rombongan Lemah Tulis. Ia berjalan menuju Trowulan. Mei Hwa masih berdiri tak bergerak Mata gadis itu menatap kekosongan.

Wisang Geni berbisik pada Wulan. Perempuan ini manggut, lalu berseru, "Paman, tunggu dulu, lebih baik paman mengawani Mei Hwa dan rombongannya, kalau terjadi apa- apa terhadap mereka, nama kita semua akan cemar. Lagi pula, paman, kau bukan anggota Lemah Tulis apa gunanya ke Trowulan?"

Manjangan Puguh berhenti, berpikir sejenak, ia berbalik. "Kau benar juga. Aku bukan orang Lemah Tulis, buat apa ikut ke Trowulan. Baik, aku akan mengawani orang-orang Cina ini sampai desa di depan."

Sambil berkata Manjangan Puguh melesat Sekejap saja ia sudah berdiri di dekat Mei Hwa. Mata gadis itu berbinar, wajahnya menjadi cerah. Tanpa merasa malu ia mengucap, "Terimakasih," sambil menjura kepada Geni dan Wulan. Tidak disadari baik Manjangan Puguh maupun Mei Hwa bahwa keputusan itu telah mengubah jalan hidup keduanya.

Tiga hari kemudian rombongan Wisang Geni tiba di desa Tumbas di tepi Kali Gunting. Dari situ menuju Trowulan hanya lebih kurang satu hari. Hari sudah senja, Wisang Geni memutuskan bermalam di batas desa. Dia mengutus Gajah Nila ke desa, mencari makanan dan keterangan.

Matahari sudah lama masuk peraduan ketika Gajah Nila kembali.

Bersamanya ikut Kebo Lanang, murid pertama Ranggascta dan sepasang suami isteri. Mereka membawa banyak makanan seperti ketela, ubi, ikan asin, ayam dan daging sapi yang sudah dikeringkan. Tak lama kemudian tempat itu penuh kesibukan.

Gajah Nila memperkenalkan suami isteri itu kepada Wisang Geni. Seorang laki-laki tampan berusia sekitar empatpuluhan, Baruna. Isterinya sedikit lebih muda. Keduanya lama tinggal di desa dekat Lemah Tulis, karenanya tahu banyak situasi dan keadaan perdikan.

Selama dua hari di batas desa Tumbas itu, satu persatu murid Lemah Tulis berdatangan. Ternyata selama ini Lemah Tulis masih memiliki murid yang bertebar di mana-mana dan berlatih sendiri secara sembunyi Namun meski pun hidup berpencar, tetapi secara diam-diam mereka tetap saling berhubungan. Hanya selama ini belum berani memperkenalkan diri di depan umum

Ketika semua orang sudah beristirahat, Gajah Nila membawa Baruna, menghadap Wisang Geni. Di situ duduk juga Walang Wulan, Padeksa dan Gajah Watu. Tidak ketinggalan di situ adalah Sekar. Karena Sekar adalah isteri Wisang Geni, maka boleh saja hadir dalam perbincangan Lemah Tulis. Baruna menceritakan panjang lebar segala sesuatu yang diketahuinya tentang tanah perdikan Lemah Tulis.

Tanah perdikan itu belum lama berselang telah dikuasai orang-orang dari partai Cundha, ketuanya bernama Tita Sahaja. Saat ini perdkan itu sedang ramai, karena kedatangan beberapa tokoh dari kalangan hitam Di antaranya ada Sepasang Iblis Sapikerep dan ketua partai Bajul Ireng, yakni Jayawikata.

"Kebetulan sekali, dua iblis Sapikerep dan Jayawikata ada di sana, aku tak perlu susah-susah mencari mereka. Guru, siapa itu Tita Sahaja?"

"Kakek itu salah seorang yang ikut dalam penyerbuan ke Lemah Tulis dan perang Ganter. Ia kawan dekat Ken Arok semasa muda. Ilmunya cukup tinggi, mungkin oleh Sapikerep dan Jayawikata, dia diharapkan dapat mengimbangimu! Kita harus berhati-hati, kupikir mereka sudah tahu kita akan datang."

Wisang Geni menyuruh Gajah Nila dan Jayasatru mempersiapkan pertemuan seluruh anak murid Lemah Tulis. Sebagian murid Lemah Tulis terutama yang tidak hadir di Mahameru hanya mendengar cerita kehebatan Wisang Geni. Tetapi ketika mereka melihat wajah ketuanya yang masih begitu muda, timbul keraguan. Apa mungkin, ketua yang begini muda usia punya ilmu hebat sampai bisa membunuh Kalayawana bahkan menjadi salah seorang dari lima pendekar utama tanah Jawa? Begitu kira-kira keraguan di benak mereka. Pertemuan berlangsung singkat, Wisang Geni menggambarkan apa saja yang harus dilakukan untuk membangun kembali perdikan Lemah Tulis yang sudah duapuluh lima tahun tenggelam

"Kerja keras, berlatih keras, tidak kenal lelah, tidak kenal putus asa, dan yang paling penting kita semua harus menjaga memelihara persatuan dan pertemanan di antara sesama murid Lemah Tulis. Ingat, mulai sekarang, semua murid kita, terutama murid baru, harus diketahui asal usulnya. Tak boleh lagi ada penyusup, tak boleh lagi ada murid pengkhianat yang meracuni makanan dan air minum kita. Harus ada kesepakatan bahwa siapa yang membuat kesalahan harus dihukum, siapa pun dia, bahkan jika aku ketua kalian bersalah dan melanggar peraturan, silahkan hukum'" Semua murid memerhatikan seksama penegasan sang ketua. Lebih lanjut Wisang Geni mengajak semua murid untuk menyerbu dan merebut kembali tanah perdikan Lemah Tulis dari tangan partai Cundha. "Pertama yang harus kita lakukan adalah merebut kembali Lemah Tulis. Malam ini, kalian waspada dan berjaga-jaga. Aku akan menyelidik keadaan di perdikan, melihat apakah mereka mempersiapkan jebakan atau tidak. Selama aku tidak ada, semua urusan disini kuserahkan pada paman Gajah Watu sebagai penanggungjawab. Besok pagi, kita akan menyerang. Satu hal lagi, pastikan di antara kalian tidak ada pengkhianat?"

Semua murid menyambut dengan semangat meluap. Sudah lama mereka tarmimpi datangnya saat ini. Selama ini mereka merasa seperti buronan saja. Tak berani memperkenalkan diri sebagai murid Lemah Tulis karena takut disatroni musuh- musuh lihai. Ternyata saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba bahkan mereka sudah punya ketua baru yang ilmu silatnya sangat tinggi.

Wisang Geni melakukan perjalanan cepat. Kalau berjalan biasa tanah perdikan itu bisa dicapai dalam satu hari. Tetapi Geni yang menggunakan Waringin Sungsang tiba sebelum tengah malam Tak sulit menemukan perdikan itu, karena peta yang digambar Baruna cukup jelas. Bulan ditutup mendung tebal, Geni melihat perdikan dikelilingi pepohonan sebagai pagar batas. Ia tersenyum dan menemukan cara paling bagus dan aman. Menggunakan Waringin Sungsang ia melompat dari satu pohon ke pohon lain.

Ada beberapa penjaga malam berkeliling. Di antara sekian banyak rumah, tampak satu bangunan besar mendapat pengawalan paling ketat. Geni menduga itu mungkin markas pusarnya. Bagaimanapun juga ia harus mendekati bangunan itu, mengintai rencana lawan. Ia dengan jurus Warayang dari Waritigin Sungsang bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Gerakan Wisang Geni terlalu cepat untuk bisa dilihat mata, apalagi di malam hari yang rembulannya tertutup mendung tebaL Sampai di bangunan besar, ia sembunyi di bawah wuwungan.

Dari situ ia bisa mengintai ke ruangan tengah. Tampaknya ada pesta. Empat perempuan separuh bugil menari diiringi musik tabuh. Beberapa lelaki duduk menyaksikan sambil makan-minum Meja hidangan penuh makanan dan minuman, seseorang masuk ruangan. Ia melapor adanya rombongan besar bermalam di hutan di batas desa Tumbas. "Tidak tahu siapa rombongan itu tapi jumlahnya sekitar limapuluh orang. Mereka semua orang-orang yang mengerti silat."

Lelaki yang dikenal sebagai Jayawikata berseru. "Itu sudah pasti mereka, orang-orang Lemah Tulis yang dipimpin Wisang Geni. Kita harus bersiap-siap sekarang ini, jangan sampai kita diserang saat kita semuanya sedang tidur."

Seorang lelaki yang tidak dikenal Geni, berusia sekitar tujuhpuluh tahun, mengusir pergi si pelapor tadi. "Aku sudah siapkan semuanya. Di mana-mana ada jebakan, kalau malam ini mereka berani menyerbu, itu sama saja dengan bunuh diri! Aku yakin mereka akan datang besok siang. Alasannya, mereka menganggap dirinya golongan pendekar jadi mau tarung secara terang-terangan. Justru kesombongan mereka itu yang akan kita manfaatkan. Sekali lagi sejarah akan mencatat kehancuran Lemah Tulis!"

Wisang Geni terkesiap. Rupanya benar yang dikatakan Padeksa, mereka sudah mempersiapkan diri. Apa jebakan itu, Geni tak tahu. Tiba-tiba Geni merasa telapak kakinya gatal. Ia hendak menggaruk, tapi ditahannya. Merasa tak ada lagi yang perlu diketahui, Geni melesat pergi. Rasa gatal di kakinya menjadi-jadi waktu ia tiba di luar batas perdikan. Ketika tangannya menyentuh telapak kaki, ia terkejut. Kakinya itu panas, bengkak dan berair. Racun ganas!

Tak ayal lagi Geni duduk bersila. Ia mengerahkan tenaga Wiwaha di kedua kakinya. Hampir sepenanakan nasi kemudian kakinya mulai membaik. Kakinya masih bengkak, namun sudah kurang gatal. Sebenarnya ia bisa menyembuhkan kakinya dengan ramuan, tetapi di malam hari tak mungkin bisa menemukan daun obat Satu-satunya jalan, cepat kembali ke rombongan.

Tapi bagaimana caranya? Berlari, tidak mungkin sebab racun itu akan menjalar lebih ganas lagi Berjalan, juga tidak mungkin, sebab akan makan waktu lama. Menanti pagi hari, kemudian baru mencari daun obat, juga tak mungkin, orang- orang Lemah Tulis akan gelisah menanti. Satu-satunya jalan ia harus mencari kuda.

Terpaksa ia mencuri kuda dari salah satu rumah penduduk.

Ia melecut kuda secepatnya dan tiba di desa Tumbas saat fajar menyingsing. Kedatangannya disambut beberapa murid. Ia minta Sekar menyiapkan air hangat di tempayan. Sambil merendam kaki, ia mengerahkan tenaga dalamnya. Air di dalam ember mendidih, selang sesaat menjadi dingin. Wulan dan Sekar duduk di dekat kekasihnya, bergantian melayani kebutuhan Geni.

Wulan, Sekar, Padeksa dan Gajah Watu serta beberapa murid lain memerhatikan wajah ketuanya. Tak ada tanda- tanda yang mengkhawatirkan, apalagi tadi Geni mengatakan bahwa ia cuma kena racun ringan. Racun itu tidak bisa menembus ke dalam tubuh tetapi bisa merusak telapak kakinya.

Wisang Geni selesai dengan pengobatannya ketika matahari pagi sudah memperlihatkan diri sepenuhnya. Geni masih belum mau menceritakan pengalamannya. Ia semedi. Selang beberapa lama, kakinya sudah tidak gatal lagi, meskipun masih bengkak. Masih ada bekas racun di kaki, warnanya agak biru kehitaman.

Setelah merasa agak baikan, Geni memaksa diri berkeliling di hutan, mencari ramuan daun dan rumput. Sebagian ramuan ditumbuk kemudian dilabur ke kaki, sebagian lagi direbus dan diminum Lalu ia semedi sambil melonjorkan kaki. Ketika siang hari, tampak kakinya sudah pulih seperti sediakala.

Wisang Geni memanggil Padeksa, Gajah Watu dan beberapa murid utama. Ia menceritakan pengalamannya ketika mengintai Lemah Tulis. "Jebakannya itu garam beracun yang disebar di tanah sekeliling sehingga penyerang akan keracunan kakinya. Racun ini akan mengganas apabila yang keracunan menggunakan tenaga."

Setelah semua murid mengutarakan pendapat, akhirnya Geni menjelaskan siasat. "Kita berangkat siang ini. Tapi sebelum itu kita sebar isu akan menyerang besok siang. Kita akan sampai sekitar tengah malam. Istirahat, lalu menjelang fajar, kita serang. Gunakan karung berisi pasir dan batu-batu besar yang akan kita tebar di pekarangan. Itu tempat pijakan kaki. Selain itu, kalian lumuri kaki dengan ramuan obat yang sudah kusediakan lalu bungkus dengan kain yang agak tebal, menjaga jangan sampai kena racun."

Geni mengumpulkan semua anggota, membagi tugas.

Sekelompok menyediakan karung. Sesampai di tepi perdikan, baru diisi pasir. Sekelompok lain, membuat busur dan anak panah. Ujung panah dibungkus kain, nanti berfungsi sebagai panah api.

Perjalanan ke Lemah Tulis telah membangkitkan semangat semua murid Mereka melangkah tegap. Tepat tengah malam mereka sampai di hutan dekat perdikan. Semua kelompok siap dengan tugasnya. Siap mengubah sejarah. Inilah saat-saat kebangkitan Lemah Tulis!

Beberapa saat menjelang fajar, ketika orang masih enggan membuka mata, Wisang Geni memberi aba-aba menyerang. Dari segala penjuru, mereka melepas anak panah berapi. Tak lama berselang semua bangunan di perdikan itu menyala!

Musuh berlarian keluar. Suasana hiruk pikuk dan kacau. Tepat dugaan Geni, ternyata banyak anggota partai Cundha yang tak mengetahui kalau tanah di sekitarnya sudah ditabur racun.

Mereka hanya diberitahu agar melangkah di atas batu-batu yang telah diatur rapi. Tetapi di malam hari dan dalam suasana hiruk pikuk diserang musuh, tak ada lagi yang mengingat aturan itu. Akibatnya mereka memijak tanah yang bertabur garam beracun, satu demi satu korban di pihak Cundha berjatuhan.

Tidak lama kemudian Wisang Geni memberi aba-aba menyerang. Karung pasir dan batu besar dilempar ke dalam pekarangan, berbarengan murid-murid Lemah Tulis menyerbu masuk. Geni, Gajah Watu, Wulan berada paling depan.

Gajah Watu tarung lawan Sepasang Iblis Sapikerep. Wulan lawan Jayawikata. Sekar dan murid lainnya tarung lawan orang-orang Cundha. Geni menghadapi si orang tua yang ternyata adalah ketua partai Cundha, Tita Sahaja!

Di mana-mana pertarungan sengit. Murid-murid Lemah Tulis dengan ganas membabat kian kemari. Anggota partai Cundha lari tercerai berai. Luput dari hamuk anak murid Lemah Tulis mereka mati disengat garam beracun.

Pertarungan tidak lama, tanah perdikan itu resmi jatuh ke tangan pemiliknya.

Pertarungan antara tiga pemimpin sudah mendekati akhir. Tak percuma selama ini Wulan memperdalam ilmu Prasidba dari Wisang Geni. Pada mulanya Wulan agak terdesak. Suatu ketika ia terancam pukulan yang mengarah ke dada. Melihat tak ada jalan keluar, Wulan memasrahkan diri sambil menggelar jurus Akwamatyana dari ilmu Prasidba. Jayawikata hanya sempat memekik sebelum terjengkang dua tombak ke belakang. Tulang dadanya remuk, ia mati sebelum menyentuh tanah.

Gajah Watu sebetulnya kewalahan dikeroyok Sepasang Iblis Sapikerep. Namun, karena Lembusana belum pulih dari luka pedang Ki Antaboga ketika tarung di Mahameru, maka Gajah Watu tinggal memerhatikan si iblis perempuan, Lembani. Dan saat Wulan mengalahkan Jayawikata, saat yang sama Gajah Watu menghantam leher Lembani. Iblis ini terlempar dengan leher patah, mati seketika!

Lembusana kalap melihat isterinya mati. Ia menyerang tanpa peduli pada lukanya yang belum sembuh. Gajah Watu menyambut dengan jurus Dekungpulir dan Sikepdehak.

Tangan dan kaki Gajah Watu berputar dengan mendorong. Bentrokan tenaga tak terhindar. Gajah Watu undur dua langkah. Lembusana tetap di tempat, wajahnya pucat. Dari mulurnya keluar darah, tubuhnya bergoyang, saat berikutnya ia jatuh tertelungkup, mati! Selesai sudah perjalanan hidup yang kelam tiga pendekar kalangan hitam, Jayawikata dan pasangan suami isteri Sapikerep. Duapuluh lima tahun silam mereka ikut andil dalam pembantaian berdarah murid-murid Lemah Tulis, sekarang nyawa dan hidup mereka dihentikan oleh orang-orang Lemah Tulis. Hutang nyawa bayar nyawa!

Pertarungan antara Wisang Geni dengan Tita Sahaja berlangsung seru sejak awal. Murid-murid Lemah Tulis menonton takjub. Ketua mereka ternyata seorang berilmu tinggi meski usianya masih muda. Sepanjang pertarungan itu, terdengar bentrokan tenagayang bersuara keras. Tita Sahaja memainkan jurus andalannya Gelap Ngampar dan Gelap Sewu Geni berganti-ganti menggunakan Garudamukha dan Bang Bang Alum Alum.

Sengaja Geni tak mau menggunakan Prasidha karena ingin menguji tenaganya sendiri. Ia ingin adu tenaga habis-habisan, ingin tahu sampai di mana kekuatan Wiwaha menghadapi lawan istimewa ini. Baru kali ini Geni menemukan lawan dengan tenaga luar dan tenaga batin yang begitu tinggi

Namun sekuat apa pun tenaga Tita Sahaja, tampaknya Wimkm jauh lebih sempurna. Makin bertarung, tenaga Geni makin besar. Panas yang membara dan dingin yang membeku silih berganti menyiksa Tita Sahaja. Melampaui jurus limapuluh, Tita Sahaja yang sudah terdesak hebat terpaksa menggunakan pukulan paling dahsyat yang dimilikinya.

Amarahnya meluap, ia membentak keras dan mengerahkan segenap tenaga. Mati atau hidup!

Geni melihat ini, ia juga mengerahkan segenap tenaga dinginnya. Terjadi adu tenaga dalam yang dahsyat. Angin dingin dan tangan Geni menyambar ke segala penjuru dan terasa oleh sebagian murid Lemah Tulis. Mereka yang belum pernah melihat sepak terjang Geni, kini takjub akan kehebatan ketuanya.

Yang paling celaka, Tita Sahaja. Bentrokan tenaga itu telah membuatnya nyaris beku. Ia menggigil hebat. Dari mata, hidung, mulut dan telinga merembes darah. "Ilmu apa itu?" Ia bertanya, tapi tak sempat mendengar jawabannya. Nyawanya melayang!

Pertarungan selesai lebih cepat dari perkiraan. Di pihak Lemah Tulis tidak ada korban jiwa, hanya beberapa murid yang luka. Tetapi di pihak lawan, sebagian besar mati di pekarangan, sebagian lagi di luar perdikan.

Pagi itu, Lemah Tulis memulai hari yang baru. Semua murid membersihkan pekarangan, membuang garam beracun.

Mereka bekerja dengan riang. Mayat-mayat orang partai Cundha dikubur dalam satu liang besar di luar perdikan. Semua bangunan dibongkar kemudian membangun yang baru sesuai kebutuhan dan rencana.

Selama beberapa hari, Wisang Geni sibuk menjalankan tugas sebagai ketua. Waktunya yang senggang digunakan untuk melatih para murid atau berkeliling membantu pembangunan. Malam hari ia istirahat bersama Wulan dan Sekar. Dua isteri itu sekarang sudah makin rukun, mau bercanda dan bekerjasama. Bahkan tidak jarang mereka bercinta, dua isteri menggumuli Geni. Hampir setiap pagi dan malam Geni membantu penyembuhan tenaga Padeksa. Tubuh Padeksa semakin membaik, ia sudah sembuh namun tenaga dalamnya belum pulih sepenuhnya.

Pada saat-saat tertentu Geni melatih beberapa murid utama secara bersamaan. Kemudian beberapa murid utama ini melatih beberapa murid di bawahnya. Tampaknya roda kehidupan Lemah Tulis mulai berputar kembali setelah duapuluh lima tahun lamanya terbenam dalam lumpur kehinaan.

Hanya dalam waktu duapuluh hari, keadaan perdikan Lemah Tulis langsung berubah. Secara fisik terlihat bangunan dan saluran pengairan mulai berfungsi. Di sisi lain mulai timbul kepercayaan diri pada setiap anak murid.

Sepak terjang Wisang Geni menjadi pembicaraan para murid. Sebagai ketua ia tegas, berani dan bijaksana. Sebagai manusia biasa, ia mau duduk sama rendah dengan para murid, makan bersama bahkan ikut menebang kayu dan menggali sumur. Terkadang ia larut dalam canda bersama mereka. Makin hari para murid makin segan, hormat dan sayang pada ketua mereka yang masih berusia muda ini.

Tiba saatnya Wisang Goni berangkat ke Tajinan, memenuhi janji tarung pada Malini dan Kumara. Malam menjelang berangkat, Wulan membujuk Geni untuk mengajaknya. Geni keberatan mengingat Lemah Tulis kekurangan tenaga.

"Wulan, kamu harus membantu perguruan. Guru Padeksa belum pulih seluruhnya. Hanya seorang yang bisa diandalkan, paman Gajah Watu selain beberapa murid utama. Itu sebab tenagamu diperlukan di sini. Aku akan cepat kembali." Geni melihat air muka Wulan yang murung.

"Kamu mengajak Sekar?" tukasnya dengan suara bergetar.

Geni mengangguk, mengiyakan. Seperti anak kecil, ia merengek. "Aku mau ikut, Geni!" Geni belum sempat menyahut, terdengar suara Sekar mengusulkan agar Wulan ikut serta. Mau tak mau Geni akhirnya bertanya pada Padeksa. Orang tua ini tertawa geli. Dalam hati ia merasa lucu melihat dua isteri itu tidak mau berpisah dari suaminya. "Sekarang ini Lemah Tulis tak akan kekurangan tenaga. Lagipula siapa yang akan menyerang kita? Justru kamu yang perlu ditemani, maka ajak saja dua isterimu itu.

Ingat Geni, yang kamu hadapi itu dua orang yang ilmu silatnya tergolong kelas atas. Kamu harus waspada dan berhati-hati!"

Dalam perjalanan menuju Tajinan, Wisang Geni, Wulan dan Sekar lebih sering berbincang mengenai ilmu silat. Berkat latihan dan bimbingan Geni, sekarang Wulan sudah menguasai Prasidha dan bisa menggunakan saat dibutuhkan. Selain itu Wulan pun mulai menguasai warisan ayahnya, ilmu Nagapasa. Geni tak lupa menyediakan waktu membimbing Sekar khususnya dalam peningkatan tenaga dalam.

Pada saat tertentu Wisang Geni menghabiskan waktu memikirkan pertarungan nanti. Ia pernah bertempur dengan Malini selama tigapuluh jurus di Mahameru. Waktu itu ia terkejut sebab dalam setiap bentrokan tangan, ia merasa tenaganya seperti amblas ke tempat kosong. Malini seperti sebuah sumur yang dalam, yang menyedot seluruh tenaga pukulannya. Ketika ia tanyakan, Padeksa menegaskan itulah ilmu yang meminjam tenaga bumi. Inti ilmu tersebut, adalah daya tarik bumi. Setiap benda kalau dilempar akan jatuh ke tanah. Makin tinggi keberadaan benda dan makin berat bobot benda itu maka kejatuhannya akan bertambah keras.

Prinsip ilmu itu hampir sama dengan Prasidha. Bedanya Prasidha meminjam tenaga musuh untuk memukul kembali musuh. Sedang ilmu Tenaga Bumi menyalurkan tenaga pukulan musuh lenyap ke bumi, makin lama musuh akan kehabisan tenaga. Selelah itu barulah musuh dihajar. Wisang Geni berpikir, apakah Prasidha bisa mengatasi ilmu pendekar India itu?

Pertanyaan ini menghantui Geni sepanjang jalan.

Bagaimana kalau Prasidha ternyata tak mampu mengatasi ilmu lawan itu? Memang ia berhasil meyakinkan Padeksa dan Gajah Watu bahwa ia bisa mengatasi dua pendekar Jambudwipa itu. Tapi dalam hatinya ia tak yakin bisa menang.

Sejak masih di Trowulan ia sudah memikirkan cara menghadapi ilmu Tenaga Bumi itu? Namun sampai saat ini pun, ia belum menemukan jawaban yang tepat. Ia tahu, ia tak punya pegangan untuk menang.

Malam itu ketika nginap di hutan dekat perbatasan desa Wajak. Wisang Geni temukan pengalaman aneh. Setelah bercinta dengan dua isterinya sepanjang malam, Geni terbangun saat ambang fajar. Ia merasa ada orang yang mengusik tidurnya. Ia menengok kedua isterinya, mereka tidur lelap.

Ia seperti mimpi mendengar suara kidung Penakluk Raja sayup-sayup mengelus pendengarannya. Suara itu seperti bisikan lembut dan merdu yang mengiang di telinganya. Ia menengok keliling, tapi tak melihat ada orang. Merasa penasaran ia membangunkan Wulan dan Sekar. "Kau mendengar orang menyanyikan kidung Penakluk Raja?"

Sekar mengerutkan kening, mencoba mendengar dengan penuh perhatian, lalu menggeleng kepala. Wulan tak mendengarnya. Wisang Geni memukul kepala, ternyata ia tidak bermimpi, suara kidung itu masih saja terdengar di telinga berulang-ulang. Mulanya ia mengira itu perbuatan si Kidung Maut. Tapi ia teringat Kidung Maut tak pernah menyanyikan syair kepala kidung. Sedangkan kidung yang mengiang di telinganya justru lengkap. Suara itu juga bukan suara si Kidung Maut, yang didengarnya kali ini lembut, sejuk dan nikmat. Sekar dan Wulan melanjutkan tidurnya. Wisang Geni tetap terjaga. Ia masih mendengar kidung. Sekonyong-konyong kidung berhenti dan lenyap begitu saja. Kemudian suara itu datang lagi. Tapi tidak berkidung. Suara yang sama kini bersyair.

Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan, satu tujuan.

Tidak sedih atau sedih sama saja! Ada atau tidak ada, sama sajal Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!

Geni tidak bingung lagi. Ia tahu ada orang sakti yang main- main dengannya. Itu ilmu mengirim suara paling dahsyat yang cuma ada dalam dongeng. Orangnya tak terlihat tapi suaranya ada. Tak ada suara, namun ia bisa menangkap kata demi kata yang diucapkan orang itu. Ucapan itu berulang sampai dua kali.

Wisang Geni berbicara sendiri. "Ini petunjuk, tapi petunjuk tentang apa. Orang sakti, tolong jawab pertanyaanku."

Suaraku terdengar lagi. "Pertanyaan atau jawaban, sama saja! Bisa bertanya, harus bisa menjawab! Selamat tinggal, cucuku!"

Wisang Geni hampir pingsan. Benar-benar dia orang sakti yang memberi petunjuk. Tapi petunjuk tentang apa, ilmu silat? Kalau ilmu silat, ilmu apa? Tiba-tiba Geni melompat saking terkejutnya. Apakah mungkin itu petunjuk tentang Jurus Penakluk Raja? Kemungkinan besar, iya, sebab bukankah semua tadi diawali dengan kidung Penakluk Raja? Orang itu pasti Eyang Sepuh Suryajagad, tidak bisa tidak!

Berpikir demikian Geni berlari sambil berseru memanggil, "Eyang! Eyang, jangan pergi!"

Suara Geni membangunkan seluruh penghuni hutan, bergema di mana-mana. Wulan dan Sekar melompat dari tidur saking terkejutnya. Wulan mengejar menangkap Geni, "Kenapa? Ada apa, Geni?"

Tiba-tiba Wisang Geni menelungkup di tanah. Ia menangis sambil memukul tanah. "Bodoh! Tolol! Aku pantas mampus! Kenapa tidak dan awal aku tahu bahwa dia adalah Eyang Sepuh Suryajagad!"

Wulan dan Sekar bingung melihat tingkah laku Geni.

Apakah benar Eyang Sepuh tadi hadir di sini? Wulan melihat berkeliling. Tak ada siapa pun. Hutan itu sepi, tak ada seorang manusia pun Hanya kicau burung dan kokok ayam di ambang fajar.

Wisang Geni duduk semedi, memusatkan pikiran, mencari tahu apa sebenarnya kejadian yang ia alami tadi? Wulan dan Sekar lak bisa berbuat apa-apa, duduk bersandar di pohon mengawasi sang suami. Sekar bergumam dalam hati, ia bertanya-tanya, apa mungkin Geni kena samber dedemit, semacam kerasukan setan.

Dua hari Geni berusaha memecahkan petunjuk Eyang Sepuh.

Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan, satu tujuan. Tidak sedih atau sedih sama saja! ada atau tidak ada, sama saja!

Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!

Apa maksudnya, 'Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu sama saja!" Bahkan ketika tiba di desa Tajinan, Geni tetap belum temukan pegangan untuk menghadapi dua pendekar Jambudwipa itu. Siang itu Geni bertiga tiba di warung makan di mana pertama kali ia jumpa Sekar. Tampak banyak orang menanti di sana. Ia gembira melihat Manjangan Puguh. Di samping gurunya, ia melihat Mei Hwa dan empat pengawalnya. Di situ juga hadir beberapa murid Mahameru, juga murid perguruan lain.

Tak lama kemudian dua pendekar Jambudwipa itu tiba.

Malini mengenakan celana hitam dan sutra merah yang berlapis-lapis dililitkan di tubuhnya. Kumara mengenakan celana dan baju hitam. Malini berseru, "Rupanya sudah banyak orang di sini. Wisang Geni, apakah mereka datang untuk menonton atau membantumu?"

"Jangan sombong, kita akan bertempur satu lawan satu tanpa ada yang ikut campur. Atau mungkin kau mau maju berdua?"

"Tak perlu berdua, aku sendiri saja sudah bisa membunuhmu. Geni. Karenanya masih ada kesempatan kamu mundur jika kamu beritahu di mana persembunyian kakek gurumu yang pengecut itu. Terus terang kau bukan lawanku."

"Kau mimpi di siang bolong, sudah kukatakan hutang piutang Eyang Sepuh dengan kalian, sudah kuambil alih!"

Pertarungan tak terhindarkan lagi. Geni dan Malini saling gempur. Tanpa ayal, Geni menggelar semua ilmu andalannya. Bergantian ia menyerang dengan mengerahkan tenaga Wiwaha-nya. Malini tak mau kalah, ia mainkan jurus-jurus aneh.

Malini berkata sinis, "Cuma begini saja ilmu Lemah Tulis, tak ada yang hebat. Kau bukan tandinganku, Geni. Aku heran, kenapa kau mau membuang jiwa untuk orang tua pengecut itu?"

Tigapuluh jurus berlalu. Geni tahu lawan mulai memainkan ilmu Tenaga Bumi. Semua pukulan Geni seperti nyemplung di sumur, tak berbekas. Melihat itu Geni berlaku cerdik memancing lawan untuk menyerang. "Ia pasti menyerang hebat kalau tahu aku tak menggunakan tenaga".

Benar perhitungannya. Malini memukul dengan tenaga bagai air bah. Tanpa ragu Geni menyambut dengan jurus Kacakrawartyan yakni "Penguasaan dunia" dari Garudamukha Prasidha.

Kembali Geni kalah tenaga. Ia terlempar dua tombak.

Begitu kakinya mendarat Geni merasa dadanya sesak, darah merembes di ujung mulurnya. Malini tersenyum dingin. "Sudah kubilang kamu tidak akan bisa melawanku, bagaimana rasanya jurusku tadi namanya Mandi Bersih di Sungai Gangga!"

Namun diam-diam dia mengakui kehebatan tenaga dalam Geni. Kena hantaman sehebat itu ia masih bisa berdiri tegar. Tangannya menyapu bekas darah di mulurnya. "Belum, aku belum kalah!"

Malini bangkit marahnya. Ia menyerbu ganas. Geni melesat dengan Antarlina. Pertarungan jadi menarik, Malini menyerang dan Geni mengelak dengan berlari. Geni berhasil menemukan cara mengatasi Tenaga Bumi lawan. "Harus kupancing dia tarung di udara. Jika tidak memijak bumi, aku rasa Tenaga Bumi itu tidak bisa ia gunakan."

Berlarian dengan Waringin Sungsang Geni punya dua maksud. Memancing Malini bertarung di udara dan mencuri waktu memulihkan tenaganya. Karena betapa pun hebat tenaga Wiwaha, kena hajaran sehebat itu tetap membutuhkan waktu untuk memulihkan luka dalam itu.

Suatu ketika Geni menggunakan jurus Sumujugtundaghata dari Prasidha menyambut hantaman keras Malini. Rencana Geni berjalan mulus, bentrokan tenaga terjadi di udara.

Keduanya dalam keadaan melayang, tidak memijak bumi Tapi bukannya berhasil, Geni justru merasakan tenaga dinginnya membalik menghantam dirinya. Cepat ia mengerahkan tenaga panas untuk bertahan.

Pertarungan berlanjut, Geni semakin kewalahan, ternyata di udara pun ilmu Prasidha tak bisa melumpuhkan perlawanan Malini.

Limapuluh jurus berlalu. Malini tertawa, ia berbisik dengan memendam suara sehingga hanya Geni yang mendengarnya. 'Pulang dari Mahameru, temanku Kumara cemburu, ia kemudian melamar aku menjadi isterinya. Geni, aku menyukaimu, aku akan menolak lamaran itu, jika kamu mau menjadikan aku isterimu Dan semua urusan ini akan kulupakan. Bagaimanapun kamu tak bisa mengalah kau aku, percuma kau memancing pertarungan sambil melayang di udara. Tak ada gunanya. Di udara atau pun di bumi sama saja, jurusku sama hebatnya. Kamu tetap akan mati."

Kata-kata Malini "di udara atau pun di bumi, sama saja" dan pernyataan cintanya itu mengingatkan Geni akan petunjuk dari Eyang Sepuh. "Katanya ia cinta padaku, mungkinkah itu? Benar atau tidak benar, cinta dan tidak cinta, sama saja. Di udara dan di bumi, sama saja. Tidak sedih, tidak gembira, tidak berani, tidak kuasa, tidak birahi, tidak cinta, tidak selamat, tidak mati. Delapan jalan satu tujuan. Tidak sedih atau sedih, sama saja! Ada atau tiada, sama saja! Delapan jalan menuju satu tujuan, delapan dan satu, sama saja!"

Geni bicara sendiri namun bisa didengar Malini. "Cinta atau tidak cinta, sama saja. Ya, tarung di udara atau pun di bumi, sama saja, aku tetap kalah. Menang atau kalah, sama saja. Dua sifat yang berlawanan namun tetap sama. Kenapa?

Dipukul atau memukul, sama saja. Kenapa? Delapan dan satu, sama saja. Delapan jalan menuju satu tujuan, apa itu? Kenapa menyebut delapan, bukannya sembilan atau sepuluh. Tetapi delapan dengan sepuluh, sama saja. Kalau delapan sama dengan satu, empat juga sama dengan delapan, sama juga dengan satu."

Malini kesal mendengar jawaban Geni. "Jadi kamu menolak cinta dan uluran tangan berteman denganku, kamu kurang ajar Geni, kuhajar kamu, biar tahu rasa!" Ia menyerang gencar.

Geni berpikir. Dia berpikir terus sementara tubuhnya tak henti bergerak menghindar dan menangkis gempuran Malini yang makin gencar dan ganas. Dua pukulan Malini menghantam tubuh Geni. Ia terhempas ke kanan dan ke kiri, dua kali ia muntah darah.

Manjangan Puguh mencekal tangan Mei Hwa erat, meremas keras. Berulang kali ia hendak bangkit menolong Geni, Mei Hwa menahannya. "Muridmu itu sedang berlatih dalam bertarung. Ia tak apa-apa."

Sekar marah mendengar komentar Mei Hwa. "Kau bicara apa, dia muntah darah, masih kamu bilang dia tak apa-apa?"

"Sekar dan Wulan, tenanglah. Biasanya orang yang sudah muntah darah itu sudah tak mampu lagi bertarung. Kalau Geni, ia muntah darah tetapi masih saja bisa adu tenaga Itu kan aneh?"

Memang aneh, Geni merasa terombang-ambing di tengah lautan luas. Tak ada daya menentang ganasnya ombak.

Kenapa dua hal yang berlawanan dikatakan sama saja Delapan dan satu sama saja.

Satu dan empat, .sama saja. Apa maksudnya? Geni merasa makin dekat dengan tujuan. Apa tujuannya, ia tak tahu. Ia tak ambil pusing dibulan-bulani pukulan dahsyat Malini. Dipukul atau tidak dipukul, memukul atau dipukul, sama saja. Mati sekarang, hari ini dengan mati besok atau mati lima tahun lagi, sama saja. Tidak ada bedanya. Sama saja, yaitu mati! Tetapi waktunya bisa beda, hari ini, besok, dua hari, satu tahun, lima tahun. Sama saja, mati adalah satu. Waktu bisa banyak, lima atau delapan. Delapan sama dengan satu, satu sama dengan lima. Lantas tiba-tiba ia berteriak, "Memang sama, intinya kan mati?

Bagaimana dengan sedih dan tidak sedih, sama saja. Memang sama, karena intinya adalah rasa atau sringara. Gembira dan tidak gembira, sama saja, itu juga rasa. Kalau ada rasa, tentu lanjutannya harus ada aksi atau bhava. Hidup dan mati. Hidup bisa merasa dan bisa beraksi. Tetapi mati, tidak bisa merasa dan tidak bisa beraksi. Inti dari Prasidha adalah merasakan pukulan lawan, menerima pukulan lawan, itu yang namanya rasa atau sringara kemudian melontarkan apa yang dirasakan itu menjadi aksi atau bhava. Makin cepat dan makin bertenaga pukulan lawan itu maka bhava yang dilontarkan juga sama cepat dan sama besarnya.

Geni merasa gembira luar biasa. Melompat seperti anak kecil mendapat mainan. Teka teki itu sudah terjawab. Misteri bagaimana cara memainkan Prasidha telah terungkap. Saat itu pukulan Malini kembali menggoncang tubuhnya. Kalau tadinya menerima pukulan Geni merasa darahnya meluap, ingin muntah. Sekarang, tidak lagi, pukulan itu seperti pukulan biasa yang tidak bertenaga. Geni menerima pukulan itu dengan menggerak rasa tidak sakit, kemudian aksi membuang tenaga lawan. Geni memainkan tiga jurus gabungan Mangapeksa (Menanti), Kumawashaken (Menguasai) dan Sikepdehak (Tangkap dorong). Ada rasa gembira dalam diri Geni, menguak misteri sringara dan bhava, tetapi ia juga kesal dan marah. "Kau sudah memukul aku berulang kali, kini rasakan tamparanku, anak nakal!" "Plakkk!"

Malini terpelanting ke belakang. Ia jatuh berdiri di atas dua kaki. Ia heran, ia tak melihat gerakan Geni, tahu-tahu saja pipinya kena tampar. Ilmu siluman! Bagaimana Geni menamparnya tadi, ia tak tahu. Ia merasa ada cairan kental di mulurnya, ia meludah. Ia marah luar biasa melihat dua giginya copot.

Malini marah, menyerang ganas. Geni mengelak dan menampar bokong Malini. Ia tak cuma menampar namun meremas bokong perempuan itu. Malini makin marah. Geni mencengkeram leher, lalu tiba-tiba tangannya ke bawah, meremas buah dada perempuan itu.

Kontan Malini melompat mundur. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin Geni bisa meremas bokongnya, meremas buah dadanya tanpa ia sanggup menangkis. "Kurangajar, ia telah menghina aku habis-habisan, tetapi ilmu apa itu?

Bagaimana jika ia menurunkan tangan jahat. Aku bisa mati atau paling tidak terluka parah!" gumamnya dalam hati.

Pada saat itu, Kumara sudah masuk ke medan tarung, berdiri di sisi Malini. Ia bercakap-cakap dengan Malini dalam bahasa India. Tampak Malini sekali-sekali manggut kemudian menggeleng kepala. Sedang Kumara kelihatan berang, wajahnya yang agak hitam semakin seram karena marah dan malu.

Tanpa basa-basi, Kumara menyerang. Pukulan berantai disertai tenaga dalam dahsyat sepertinya akan melumat habis tubuh Geni. Menggunakan Waringin Sungsang Geni meloloskan diri Namun tak hanya mengelak, Geni kini membalas dengan dua jurus Bang Bang Alum Alum yakni Nanawidha (Beraneka warna) dan Nyakra Manggilingan (Selalu berputar-putar), pukulannya cepat, ringkas dan bertenaga Kumara terpental mundur sambil memegang pundaknya Ia menyerang sekali lagi, kini Geni membalas kontan dengan jurus lain dari Bang Bang Alum Alum yaitu Bahni Aempuh Toya (Api menyerang air) dengan tenaga panas. Kumara kena gampar di pungungnya Punggungnya merah kehitaman, bajunya koyak seperti hangus.

Melihat rekannya kesakitan, Malini maju mendampingi Kumara Keduanya berbincang lirih. Lalu Malini berseru, "Wisang Geni kamu menggunakan ilmu siluman, karena itu kami akan maju berdua, apakah kamu takut? Jika takut kamu cepat mundur menyerah dan mengaku di mana Ki Suryajagad bersembunyi"

Sekar berteriak dari pinggiran, "Hei, wanita goblok, tak punya malu, sudah keok masih tak tahu malu, sekarang mau main curang dua mengeroyok satu"

"Kamu mau bela kekasihmu, maju saja sekalian biar kucabik-cabik wajahmu yang burik." Malini seperti kelepasan omong. Ia heran tanpa sadar ia berseru, "Hei kamu sudah tidak burik lagi, waktu di Mahameru aku tidak begitu perhatikan. Kamu cantik, pantas saja Wisang Geni tergila-gila padamu!"

Geni tertawa "Kamu ini tak tahu diri, kenapa masih mau tarung lawan kakek guruku, menghadapi aku cucu muridnya saja, kalian tak ungkulan apalagi melawan Eyang Suryajagad. Kalian mau maju berdua, ya mau saja, dari dulu aku sudah tahu persis kalian ini tak punya malu."

Tidak menanti lebih lama lagi, dua pendekar India itu langsung menyerbu mengeroyok Wisang Geni. Hebat! Dua- dua, Malini dan Kumara, menyerang dengan jurus mematikan. Semua di situ terperanjat tapi tak kuasa menolong Geni.

Apalagi tahu, dua pendekar asing itu memiliki ilmu silat yang tak terukur tingginya.

Sekar membanting kakinya, "Tadi kan mas Geni sudah menang, kenapa mau meladeni keroyokan mereka, wah bisa runyam ini, mbak Wulan bagaimana ini?" Wulan yang sedang melotot nonton tarung hebat itu, menggeleng kepala, "Aku tak tahu, Sekar."

Pertarungan jadi lain. Tadi seorang diri Malini menghajar Wisang Geni sampai babak belur. Kemudian setelah memperoleh pencerahan dan menemukan inti Prasidha Geni menghajar balik Malini. Kini berdua, Kumara dan Malini bahkan tampak terdesak. Geni memainkan Garudamukha dan Bang Bang Alum Alum dengan leluasa. Duapuluh jurus berlalu, dua pendekar asing itu terdesak, bernapas pun sulit! Dalam keadaan bingung dan frustasi, Kumara dan Malini berlaku nekad Adu jiwa!

Mereka menggelar jurus yang paling diandalkan perguruan mereka Atehai Zaminpar Kabhiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi), jurus yang bisa digunakan dua atau tiga orang secara bersatupadu. Dua pasang tangan saling bantu, mencakar dan memukul dengan seluruh kekuatan yang ada.

Geni melihat datangnya serangan, bukannya mengelak malah maju menerjang. Dua tangan melakukan gerak memutar kemudian mendorong. Ia menggabung dua jurus Garudamukha Prasidha yaitu Agniwisa (Bisa api, pijar) dan Sanakanilamatra (Sebesar angin yang terkecil). Itu jurus sederhana, tetapi sulit dimainkan secara gabung karena mengandung unsur berlawanan yakni gerak putar dan gerak dorong dengan tenaga yang dikeluarkan luar biasa besarnya. Tetapi Geni memainkan dua jurus gabungan itu dalam satu gerak yang mulus dan bertenaga. Satu lagi bukti kehebatan Wiwaha, hasilnya luar biasa! Terjadi bentrok tenaga, dua tangan Geni mampu menahan empat tangan lawannya. Tetapi pada saat-saat terakhir Geni mengurangi tenaganya. Dan inilah yang menyelamatkan nyawa dua pendekar India itu sehingga tidak tewas atau terluka parah.

Kumara dan Malini terpental mundur. Dari mulut Kumara merembes darah. Malini merasa dadanya sesak. Dua pendekar asing itu jatuh terduduk, luka dalam! Keduanya heran! Tadinya terdesak hebat bahkan nyaris mati, mendadak Geni bisa menjadi begitu perkasa. "Ilmu apa ini? Apakah ilmu ini yang digunakan Ki Suryajagad ketika mengalahkan paman guru Lahagawe?" gumam Kumara dalam bahasa India. Malini mendengar keluhan kekasihnya itu, tetapi tak mau menjawab.

Geni tertawa. "Kau memukul aku begitu banyak, tapi aku cuma membalas sedikit. Kau untung banyak. Tapi sama saja, untung atau rugi, sama saja. Kalian pulanglah ke negerimu, tanah Jawa ini terlalu angker buat kalian orang-orang asing."

Sekonyong-konyong pusaran angin mendatangi arena tarung, tetapi sebelum memasuki arena tarung, pusaran angin itu menjauh sambil membawa serta debu, ranting dan dedaunan. Terdengar suara lembut dan mesra, "Kalian pulanglah, sampaikan salam dan maafku pada Lahagawe, katakan salam hormat dari pemilik Jurus Penakluk Raja." Saat berikut terdengar kidung Penakluk Raja ditembang, suaranya lembut, dingin namun ada ketegasan seorang penguasa.

Ilmu dari seberang Tak boleh tepuk dada Di Tanah Jawa ini Dari gunung Lejar Jurus penakluk Raja Ilmu dari segala ilmu Melenggang ke Barat Meluruk ke Timur Merangsak ke Utara Merantau ke Selatan

Tak ada lawan Tak ada Tandingan Ilmu dari segala ilmu

Wisang Geni melihat di kejauhan bayangan putih melenggang santai. Hanya sekejap kemudian suara kidung dan bayangan itu lenyap dari pandangan. Ia menatap bayangan itu dengan mata mendelong. Geni berkata perlahan. "Kenapa Eyang tak memberi kesempatan aku sungkem?"

Dia melangkah berat, seperti kehilangan sesuatu. Dia menengadah langit, menggumam "Kenapa, eyang pergi begitu saja? Kenapa tidak mau kutemui? Tapi kenapa aku bertanya, orang bertanya harus tahu jawabannya!"

Kumara dan Malini menyaksikan sepak terjang kakek berjubah putih itu, merasakan angin Lesus bawaan si kakek serta kidung yang dinyanyikan dengan tenaga dahsyat serta mengandung wibawa kekuasaan. Dalam hati mereka mengakui takkan mungkin bisa menandingi ilmu silat tokoh sakti itu. Keduanya duduk bersila di tanah, mengerahkan tenaga mengobati luka dalamnya. Sia-sia. Tenaga mereka belum bisa digunakan. Perlu waktu satu bulan untuk memulihkan tenaga

Geni menghampiri dua musuhnya itu. "Aku tahu rahasiamu Kalian adalah si Kidung Maut itu. Kalian membunuh banyak orang. Sekarang kalian luka dan mungkin satu bulan lagi baru bisa sembuh. Kalau aku buka rahasiamu sekarang ini, banyak orang akan mengejar kalian, membalas dendam kematian keluarganya, kalian akan dikejar ratusan orang."

Kumara dan Malini memandang ketakutan. Butir keringat dingin muncul di wajahnya Selama ini dengan ilmu yang begitu tinggi, mereka tidak pernah membayangkan akan dikalahkan seseorang apalagi sampai terluka, mereka tak sekali pun ketakutan. Tapi kini di saat luka parah dan membayangkan diri dikeroyok orang banyak, mereka bergidik ketakutan. Keduanya menatap Geni seperti meminta belas kasihan. Wisang Geni tertawa "Kamu tak pernah menyangka, beberapa bulan lalu, kalian memaksa aku menelan racun, sekarang justru nyawa kalian berada di tanganku Sekali balik tangan, kamu mati Semua tergantung kalian, masih mau menyimpan dendam, masih mau berhitung dendam dengan Lemah Tulis? Cerita dendam ini tak akan pernah habis. Tapi buat apa? Dendam atau tidak dendam sama saja Pergilah, pulanglah ke negerimu, senangkan hatimu di sana. Jangan memikirkan dendam."

Dua pendekar asing itu melenggang pergi dengan sejuta kesal dan kagum. Kesal tak mampu mengalahkan Geni Kagum akan ilmu silat Geni yang begitu dahsyat.

Semua yang hadir di situ, sekali lagi melihat kehebatan Wisang Geni. Seperti di Mahameru ia selalu mengawali dari posisi kalah dan terdesak untuk kemudian merebut kemenangan dengan begitu fantastis. Tetapi hanya Manjangan Puguh dan Walang Wulan saja yang tahu bahwa Wisang Geni menang lantaran menemukan keajaiban, memecahkan rahasia jurus silat di tengah pertarungan merupakan hal yang mustahil dan yang hanya bisa dilakukan orang yang cerdas dan beruntung.

Wulan tak mengerti ilmu apa yang diperoleh kekasihnya. Sebulan yang lalu di Mahameru, Geni menang karena secara ajaib berhasil memecahkan rahasia ilmu Prasidha. Tadi itu, ilmu apalagi yang di peroleh kekasihnya itu. Wulan yakin keajaiban itu ada hubungannya dengan keanehan yang terjadi beberapa malam lalu di hutan dekat desa Wajak. Ketika seperti orang kesurupan. Geni berteriak-teriak memanggil Eyang Sepuh Suryajagad.

Wulan dan Sekar menghampiri kekasihnya. Mereka terkejut, seperti disambar halilintar. Mata membelalak menatap rambut di kepala Geni. Rambut yang tadinya berwarna hitam legam, kini hampir semua dipenuhi uban. Rambut yang tadinya agak keriting, sekarang menjadi lurus. Dan wajah kekasihnya itu seperti menunjukkan keletihan dari perjalanan jauh. Geni tampak lebih tua dan lebih dewasa namun di balik itu tersimpan wibawa dan ketegasan.

Geni memang seperti orang yang letih fisik dan mental. Rambutnya yang penuh uban menunjukkan perjalanan fisik yang jauh. Ia tampak lebih tua beberapa tahun. Kelakuan dan tabiatnya pun ikut berubah. Ketika Sekar menunjukkan perubahan rambutnya yang uban, Geni cuma tertawa. "Hitam, putih, abu-abu sama saja, tak perlu dipusingkan."

Banyak orang yang pernah atau belum pernah ia kenal datang mengucapkan selamat dan memuji kehebatannya. Tetapi Wisang Geni menyambut tawar, seperti tak mengalami sesuatu yang hebat. Wulan dan Sekar, dua perempuan yang sangat mengenal Geni, mulai menangkap perubahan sikap pembawaan kekasihnya.

Hari itu setelah makan dan istirahat, Geni bertiga Sekar dan Wulan pamitan kepada semua orang. Manjangan Puguh memeluk murid dan putra sahabatnya itu. "Ilmu silatmu sekarang sudah maju pesat, kamu sudah menjadi pendekar kelas utama, hati-hati dan waspada, jangan terbuai sanjungan dan nafsu kekuasaan. Geni jika kamu butuh sesuatu, kamu cari aku di bukit Penanggungan, sementara aku menetap di sana." Manjangan Puguh berkata sambil melirik Mei Hwa yang berdiri di sampingnya.

Keintiman Manjangan Puguh dengan Mei Hwa tak luput dari mata Wisang Geni. Ia berbisik, "Guru, apakah kamu dengan Mei Hwa, sudah berkawan akrab ?"

Mei Hwa tersenyum agak malu-malu. "Kami sudah kawin, beberapa hari lalu."

Karuan saja Geni, Wulan dan Sekar memberi hormat dan ucapan selamat. Wulan bahkan memeluk Mei Hwa. "Syukur, akhirnya kamu bisa mencairkan hati pamanku itu." Mei Hwa menarik Wulan menjauh. "Dia sudah cerita semuanya padaku, tentang perasaan cintanya pada ibunya Geni, pendekar Sukesih. Sejak itu ia berkelana dan bercinta dengan banyak perempuan cantik, tetapi tak ada yang hebat secantik Sukesih. Katanya, ia telah menemukan Sukesih dalam diriku. Kini ia sudah bisa menerima kejadian itu sebagai masa lalu yang bisa ia lupakan dan tinggalkan, sekarang ia memiliki aku, dan ia merasa bahagia karena aku mencintainya, sesungguhnya ia lelaki yang romantis meskipun agak kaku dan tegas."

"Tetapi bagaimana dengan kedudukanmu sebagai utusan para pendekar Cina dalam tarung mendatang?"

"Aku kan hanya sebagai utusan, sebagai juru bahasa, jadi tidak ada pengaruh apa-apa"

"Setelah pertarungan, apa kamu pulang ke negerimu?" "Aku sudah memutuskan tetap tinggal di negeri ini sejak

aku menjadi isteri pamanmu. Di negeri Cina ada pepatah yang khusus bagi kaum wanita, jika kamu kawin dengan penjahat, maka kamu juga menjadi penjahat. Itu ungkapan yang artinya, perempuan Cina itu akan setia mengikuti ke mana suaminya pergi." Mei Hwa menoleh ke arah Sekar yang mendampingi Geni. "Wulan, apakah Sekar sudah jadi isteri Geni?"

Wulan tersenyum Ia berbisik ke telinga Mei Hwa "Untung ada Sekar, jadi kami berdua bisa bergantian melayani Geni."

Mei Hwa memandang Wulan, kemudian tertawa geli. Ia sepertinya mengerti apa maksud ucapan Wulan. Dua perempuan itu semakin akrab satu sama lain. Keduanya berpelukan ketika harus berpisah.

Dalam perjalanan pulang ke Lemah Tulis, Wulan dan Sekar makin bingung melihat suaminya. Mereka semakin banyak menemukan perubahan dalam diri kekasihnya Wisang Geni kini lebih peka terhadap lingkungan. Dalam sekejap mata, ia bisa berubah sedih, gembira, marah ataupun berdiam diri. Dalam waktu sehari-hari ia kini banyak berdiam diri, menyendiri dan berpikir. Sekar dan Wulan merasa harus menanyakan kepada Geni.

Wulan memberanikan diri menanyakan kepada Geni kenapa ia lebih suka menyendiri dan berdiam diri. "Tak ada apa-apa, aku biasa-biasa saja. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir, ada sesuatu dalam diriku yang menuntut, aku sendiri tak tahu apa itu?"

Beberapa hari kemudian mereka sampai di Lemah Tulis. Semua murid menyambut dengan suka cita. Rupanya kabar kemenangan Geni lebih cepat datang. Wisang Geni kembali sibuk sebagai seorang ketua.

Kepada Padeksa dan Gajah Watu, Geni hanya bercerita singkat tentang pertarungannya. Dua sepuh perguruan itu heran. Keduanya melihat perubahan Geni yang bingung, seperti seseorang yang sedang dilanda persoalan yang membutuhkan pemikiran keras.

Ia tetap bergaul erat dan akrab dengan anak muridnya. Namun, ia masih mengerjakan kebiasaan yang baru, duduk menyendiri dan melamun. Padeksa, Gajah Watu, Sekar dan Wulan tak bisa mencegah kebiasaan ini. Karena begitu kebiasaannya disebut-sebut, Geni langsung berdiam diri seperti anak kecil yang merajuk.

Makin hari kebiasaan Geni semakin mencolok. Waktunya kini lebih sering dihabiskan sendirian, duduk melamun atau berlatih silat sendirian. Ia tak lagi mengurus dirinya, agak mirip orang tak waras. Anehnya, ia berlatih silat seperti orang pemula, mulai dari tingkat dasar. Jurus-jurus sederhana yang pernah dipelajari para pemula, itu yang dilatihnya seharian.

Ia hampir tak pernah tidur. Ia juga menjauh dari Sekar dan Wulan. Kalau sebelum itu hampir setiap malam ia bercinta dengan Wulan atau Sekar, sekarang tidak lagi. Hanya sekali- sekali ia meniduri isterinya. Itu pun dengan cara dan perlakuan kasar. Tak ada lagi basa-basi atau ungkapan romantis dalam bercinta. Sekar dan Wulan tak berani menolak. Keduanya bingung, mengapa terjadi perubahan dalam diri suaminya.

Padeksa dan Gajah Watu kehabisan akaL Tak tahu harus berbuat apa. Wulan dan Sekar hanya bisa menangis, iba akan nasib kekasihnya. Suatu hari Manjangan Puguh dan Mei Hwa datang bertamu. Ia terkejut dan terenyuh melihat keadaan muridnya.

"Kita tak boleh diam saja dan pasrah menerima kenyataan pahit ini. Keadaan Geni sangat kritis. Kita harus melakukan sesuatu. Aku akan pergi menjemput Ki Waragang. Dan paman Gajah Watu berdua, Sekar menjemput Dewi Obat di Lembah Cemara. Kita harus bergerak cepat, lebih cepat lebih bagus.

Kita berangkat sekarang!"

Dua pekan menjelang hari tarung antara pendekar tanah Jawa dengan jago-jago daratan Cina, datang dua utusan Mahameru menemui Padeksa. Setawasatra, murid paling berbakat dari

Mahameru didampingi kekasihnya Rorowangi, murid nomor dua Nyi Pujawati Keduanya membawa surat dari pendeta Macukunda, minta agar Wisang Geni segera datang dan berkumpul di bukit Penanggungan.

Selama ini Wisang Geni sudah mirip orang hilang ingatan. Ia tak mau didekati orang, ia curiga pada setiap orang bahkan juga Wulan, Sekar dan Padeksa. Jika ada yang mendekat, Geni kontan pasang kuda-kuda, kalau sudah begitu tak ada yang berani mendekat. Tak seorang pun bisa menandingi ilmu silat Geni jika dia memberontak. Itu sebab Padeksa tak mampu menyembunyikan keadaan Geni dari dua tetamu itu.

Rorowangi terkejut melihat keadaan Geni yang dulu secara diam diam pernah dirindukannya. Ia tak pernah mengira Geni bisa berubah menjadi orang hilang ingatan. Setawastra membawa kabar itu ke gurunya. Dan pendeta Macukunda segera berunding dengan Sang Pamegat untuk memilih pendekar pengganti Wisang Geni. Pilihan akhirnya jatuh pada Ki Demung Pragola. Kabar kehebatan Wisang Geni yang mengalahkan dua jago Jambudwipa tidak lagi dibincangkan orang. Kabar yang beredar kini adalah Wisang Geni jadi gila lantaran mempelajari ilmu sesat.

Dua hari setelah kedatangan utusan Mahameru, Manjangan Puguh tiba dengan seorang lelaki tua, Ki Waragang, tabib sakti yang pernah merawat Wisang Geni waktu kecil. Esok harinya Gajah Watu dan Sekar datang bersama Dewi Obat. Dua tabib yang saat itu dikenal sebagai yang paling jago di tanah Jawa, pun sama bingungnya. Keduanya tak tahu penyakit apa yang membuat Geni hilang ingatan. "Kemungkinan besar, Geni sakit ingatan lantaran terlalu banyak berpikir," tukas Waragang setelah mendengar cerita Wulan dan Sekar. 

Waragang memikirkan ramuan yang bisa menyembuhkan orang yang mengalami tekanan pikiran berlebihan. "Aku bisa membuat ramuan itu, tetapi kita harus temukan cara untuk meminumkannya pada Geni. Sampai saat ini, ia tak bisa didekati siapa pun."

Dewi Obat berkata lirih, "Ki, aku pikir lebih baik sekarang ini kamu bikin ramuan obat itu, sementara kita semua memikirkan cara meminumkannya."

Waragang membuka bungkusan pakaiannya. Di dalamnya banyak tabung bambu yang berisi ramuan obat. Sementara ia meracik dan mencampur ramuan, Dewi Obat bersama Sekar, Wulan, Padeksa, Gajah Watu berpikir keras. "Banyak pendekar ahli mengalami hal yang sama dengan Geni, pemahaman ilmu silat yang melebihi kesanggupan pikiran, membuat seseorang bisa gila bahkan tewas," kata Padeksa. "Sebenarnya ilmu apa yang sedang ia pikirkan?" Wulan dan Sekar mengulang sekali lagi kejadian di hutan, ketika Geni berteriak memanggil Eyang Sepuh Suryajagad Mendadak dewi Obat memanggil Wulan dan Sekar menjauh. "Sudah berapa lama kamu tidak bercinta dengan Geni?"

Agak malu-malu dua perempuan itu mengatakan, sudah sejak tujuh hari. Geni tampaknya tak mau mendekat lagi. Ia tidur sendirian, ketika didekati Wulan atau Sekar, ia berteriak mengusir, "Jangan ganggu aku, pergi!"

Tiba-tiba Dewi Obat teringat sesuatu, ia berseru, "Ada akal, kalian berdua bisa membuat Geni minum ramuan itu." Ia lalu menjelaskan rencananya. Wulan dan Sekar manggut- manggut. "Apa saja akan kulakukan agar dia sembuh," kata Sekar. Rencana itu disetujui Waragang, Gajah Watu dan Padeksa.

Malam itu ketika semua murid sudah tidur lelap, seperti biasanya Geni berlatih silat di bawah sinar bulan, di pekarangan rumahnya. Terdengar sayup-sayup suara Gajah Watu yang menceritakan kisah Ksiti Sundari kasmaran. Di beranda rumah, Sekar setengah bugil menarikan Kinanti Prasidha yang kebetulan saja ia pelajari saat bosan menjalani penyembuhan wajah buriknya di Lembah Cemara

Cerita itu, suara lelaki seperti tembang Ki Dalang dengan Sekar yang menari Kinanti dengan penuh goyang birahi, telah menarik perhatian Geni. Ia menghampiri beranda rumah. Ia menyaksikan goyang bokong, paha dan hentakan kaki yang membuat buah dada Sekar membusung mengundang birahi. Geni yang sudah mandi keringat hasil latihan silat, cepat sekali terangsang. Ia mendekat lalu tiba-tiba memeluk Sekar, menciumi gadis itu dengan nafasnya panas membara Sekar bereaksi tak kalah ganasnya, membuat Geni makin terperosok ke lautan birahi. Sekar menarik tangan suaminya masuk rumah. Di dalam rumah Wulan menanti dengan bugil, langsung mengeroyok Geni. Terjadilah pergumulan birahi. Di tengah mabuk kasmaran, Wulan dan Sekar bergantian meminumkan ramuan yang langsung ditenggak Geni tanpa curiga

Semalaman Geni dengan kasar dan brutal meniduri dua isterinya, membuat Sekar dan Wulan kesakitan. Tetapi apalah arti sakit dibanding keinginan mereka melihat suaminya sembuh. Besok paginya, Geni tampak sudah membaik. Malam hari, rencana itu diulang lagi, demikian seterusnya sampai empat malam.

Hari itu Wisang Geni sudah mulai membaik. Ingatannya mulai pulih. Apalagi Sekardan Wulan tak pernah bosan mendampingi. Keduanya bercerita tentang masa lalu. Geni sudah bisa tertawa. hal ini membuat Waragang dan Dewi Obat gembira. Apalagi Geni rajin minum ramuan Ki Waragang. Hari keenam setelah kehadiran dua tabib sakti, Geni sudah pulih seperti sediakala.

Kepada Wulan dan Sekar, Geni menceritakan perjalanan batinnya sejak malam hari di hutan Wajak sampai saat ia menemukan inti ajaran Garudamukha Prasidha dalam pertarungan lawan Malini. "Inilah jurus yang disebut Eyang sebagai Jurus Penakluk Raja. Aku sudah hampir menguasai seutuhnya, hanya tinggal satu dua bagian saja," katanya pada dua isterinya.

Sebenarnya ia telah menembus pencerahan Sringara dan Bhava tetapi ada sesuatu yang seperti titik bayangan kabur di depannya. Ia tahu bahwa ia harus sampai ke titik tersebut. "Aku berterimakasih kepada kalian semua, guru Waragang dan Dewi Obat serta dua isteriku dan guru Padeksa serta paman Gajah Watu, tanpa kalian mungkin aku sudah tewas atau gila.Tetapi aku harus terus mencari pengertian itu. Kalian jangan khawatir."

Wisang Geni seharusnya merasakan Sringara dalam pengalaman hidupnya baru ia bisa menguasai sempurna Sringara delapan rasa itu seperti bisikan Eyang Sepuh, Glana (Sedih), Harsa (Gembira), Syura (Berani), Prabhawa (Kekuasaan), Raga (Nafsu birahi), Kamuka (Jatuh cinta), Haju (Keselamatan), Kapejah (Kematian).

Menyelusuri delapan rasa itu ternyata bukan hal yang mudah. Geni melakukan kesalahan besar karena terlampau memaksakan diri. Seharusnya delapan rasa itu ditelusuri sambil ia menyelami asam garam kehidupan dunia. Ia nyaris tewas karena tenaga itu berbalik menghantam otak dan hampir merusak seluruh jaringan pikiran. Ia selamat lantaran memiliki ilmu Wiwaha. Ilmu langka ajaran pendekar Lalawa ini sama tua dengan Garudamukha ajaran Prabu Erlangga punya dua sisi yang sama besar pengaruhnya, sisi kekuatan untuk bertarung dan sisi kelaki-lakian. Arti Wiwaha adalah Kakawin. Tak heran kalau Geni punya tenaga besar panas dan dingin untuk bertarung. Selain itu Geni juga sama besar dalam hal nafsu birahi serta keperkasaan sebagai lelaki. Ia bisa selamat karena kecerdasan Dewi Obat, ramuan obat Waragang, dan pengorbanan dua isterinya.

Tetapi rasa khawatir orang-orang itu timbul lagi sehabis makan siang. Geni berlatih silat di tengah panas matahari. Mulanya orang menganggap sebagai hal wajar malahan senang karena dengan menyaksikan Geni bersilat, mereka dapat memetik keuntungan.

Namun, ketika sampai malam hari belum juga Geni berhenti, orang mulai khawatir. Semalaman penuh, Geni belum juga menghentikan latihannya. Bahkan berlanjut sampai pagi harinya.

Semua orang terutama Wulan dan Sekar tidak tidur semalaman, menemani Geni. Mereka khawatir melihat keadaan Geni. Anehnya silat yang dimainkan Geni mirip jurus Lemah Tulis tetapi banyak perubahan yang aneh. Tetapi Geni memainkannya dengan hebat.

Geni tidak mengutamakan kehebatan jurus atau ilmu tenaga dalam. Ia bersilat sesuai perasaan hati Ada kalanya ia menggeram marah dan bersilat cepat serta beringas. Terkadang ia bersilat lambat dan tampak seperti orang berduka. Saat berikutnya seperti sikap seorang raja yang memiliki pengaruh.

Delapan rasa dan satu aksi yang ia mainkan itu merupakan inti permainan silatnya, inti dari Jurus Penakluk Raja yang kesohor. Tentu saja tidak dimengerti oleh sebagian besar murid Lemah tulis. Padeksa dan Gajah Watu menduga-duga ilmu apa yang sedang dimainkan Geni, tetapi mereka tak bisa menjawab.

Siang hari, matahari tepat di atas kepala. Geni berhenti. Tepat satu hari satu malam ia berlatih. Ia tertawa senang. "Akhirnya aku dapatkan juga Jurus Penakluk Raja itu."

Ia melihat berkeliling. Ia tertawa melihat Wulan dan Sekar duduk bersandar di tiang beranda, mata terpejam. Rupanya semalaman tidak tidur. Tetapi tertawanya terhenti ketika melihat semua murid memandang kepadanya. Geni kemudian menjelaskan perjalanan dirinya mencari pencerahan ilmu silat sudah selesai. "Kalian tak perlu cemas, aku sudah selesai berlatih!"

---ooo0dw0ooo---

Perjalanan panjang yang melelahkan Geni sejak pencerahan ilmu Wiwaha di lembah kera dan penemuan Prasidha telah berakhir pada hari kemarin. Resiko hampir gila dan hampir tewas telah mewarnai perjalanannya dalam penguasaan ilmu silat kelas utama. Dendam atas kematian orangtuanya dan semangat membayar semua hutang darah perguruannya membuat Wisang Geni tak pernah surut dalam melangkah. Tujuannya jelas, ingin melunasi dendam serta ambisi besar mengangkat kembali citra Lemah Tulis yang sudah terpuruk selama duapuluh lima tahun.

Pencerahan ilmu silat dimulainya ketika dia menemukan rahasia kehebatan Prasidha saat tarung lawan tiga murid Kalayawana di Mahameru Dia berhasil menembus misteri memahami inti falsafah jurus pusaka itu. Kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa (Hendaknya menjadi perahumu menyeberangi lautan kesusahan) telah sempurna dipahaminya pada saat-saat terakhir ketika nyawanya berada di ambang maut.

Jurus Prasidha itu, intinya adalah menyedot dan menyimpan tenaga pukulan lawan lalu dikembalikan dengan tenaga yang sama atau bahkan berlipatganda. Jika Garudamukha mengandalkan tenaga kasar berasal dari nafsu amarah dan kekuasaan manusia, maka Prasidha mengutamakan tenaga batin leburnya dua tenaga inti Gama (Amarah) dan Kadharmestati yang diperoleh dari tenaga dingin. Adanya tenaga panas dan dingin Wiwaha membuat Prasidha makin dahsyat.

Setelah menguasai Prasidha Geni mendapatkan hal baru Bisikan Eyang Sepuh Suryajagad membuka lagi tabir ilmu silat tingkat lebih tinggi. Jurus Penakluk Raja lewat delapan rasa menuju satu aksi. Delapan Sringara menuju satu Bhava.

Tetapi ia terlampau bernafsu menyelesaikan secepatnya sesuatu yang seharusnya ditempuh dalam proses pencerahan yang panjang melalui pengalaman asam garam kehidupan.

Nyaris saja ia celaka!

Memang sebagian telah ia temukan saat tarung lawan Malini dan Kumara. Namun ketika masuk lebih dalam mengorek delapan rasa ia terjebak dalam pemikiran yang njelimet, melingkar dan tak pernah putus. Pertolongan Dewi Obat, Waragang, Sekar dan Wulan pun sebenarnya sia-sia. Geni tidak tertolong lagi dari kegilaan dan maut. Ramuan waragang, rencana Dewi Obat, tari Kinanti dan terapi bercinta Sekar dan Wulan pun sesungguhnya sia-sia. Geni tidak tertolong kecuali datangnya suatu keajaiban.

Di saat kritis itulah, Eyang Sepuh Suryajagad datang menolong. Setiap malam selama tiga malam berturutan Eyang Sepuh hadir di samping Geni. Orangtua itu datang dengan sembunyi Ia menggelar tenaga dalamnya yang sudah mencapai kesempurnaan, membuat siapa saja yang berada di dekat Geni, tertidur pulas.

Ia memijat dahi, mengurut kepala dan seluruh tubuh Geni. "Semoga Dewa membantuku, cucuku ini adalah murid Lemah Tulis satu-satunya yang bisa mengangkat citra perguruan, jika dia mati, Lemah Tulis akan terkubur. Sudah tugasku si tua, menjaga dan memeliharanya."

Kehadiran dan pertolongan Eyang Sepuh yang tersembunyi, membuat semua orang mengira pengobatan Dewi Obat dan Waragang berjalan sukses. Tetapi Geni samar-samar mengetahui adanya tangan halus empuk yang mengirim tenaga maha dahsyat menelusuri seluruh tubuh dengan sasaran utama di bagian otak. Tenaga itu menarik dan menghidupkan kembali tenaga Wiwaha sampai saatnya tenaga Wiwaha bekerja normal.

Orang itu pasti memiliki ilmu silat dahsyat tak terukur.

Tetapi setiap hendak membuka mata melihat siapa orangnya, ia gagaL Ia tak pernah tahu siapa, tetapi ia yakin dialah Eyang Sepuh. Ketika ia sembuh, pikirannya sudah kembali normal, ia berpura-pura tetap mengikuti terapi pengobatan Dewi Obat dan Waragang serta demonstrasi bercinta Sekar dan Wulan.

Tak seorang pun yang tahu.

Setelah melewati masa kritis itu, Geni ragu-ragu melanjutkan pendalaman Jurus Penakluk Raja, takut gagal yang berakhir kehilangan akal waras lagi. Saat itulah, terdengar suara bisikan, "Kenapa harus takut, takut dan berani sama saja. Jurus Penakluk Raja terlalu ampuh dan agung sehingga pantas untuk dipelajari meskipun ada resiko kematian di situ."

Geni tahu, itu suara Eyang Sepuh. "Jadi memang benar yang tiap malam menolong aku adalah Eyang Sepuh." Timbul semangat dan keberanian Geni. Ia berlatih kembali, memainkan delapan rasa menuju satu aksi. Mulanya ia mempersiapkan sikap jiwa delapan rasa kemudian baru memainkan jurus-jurus Prasidha. Tahapan berikut ia berhasil memainkan jurus Bhava berbarengan sikap jiwa delapan rasa.

Tidak ada kesulitan atau hambatan setiap ia memainkan aksi jurus. Itulah yang disebut Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu Wisang Geni bahkan tidak sadar bahwa ia kini telah melompati tingkat kepandaian silat kelas utama.

Hari itu, suatu pagi yang cerah Geni terjaga dari tidur lelapnya. Ia melihat dua isterinya masih tidur lelap dalam keadaan bugil. Ia memerhatikan dua perempuan itu. Tubuh keduanya, sama molek, sama-sama sintal. Tetapi dari wajah, tampak Sekar lebih cantik. Geni menepuk bokong keduanya yang langsung lompat saking terkejutnya. Geni tertawa, sembari lari melesat keluar rumah. Ia menemui gurunya, Padeksa.

Padeksa sedang berlatih Prasidha. Geni menanti kemudian setelah melihat gurunya istirahat, ia menegur, "Guru, kenapa pagi ini perguruan kita tampak sepi?"

"Sebagian murid utama dan lapis kedua, dua hari lalu sudah berangkat ke bukit Penanggungan, bersama dimas Gajah Watu."

"Oh, mereka menonton pertarungan pendekar tanah Jawa lawan orang-orang Kuangchou itu? Guru, aku pikir, sebaiknya aku juga pergi ke sana?" Padeksa menatap muridnya. "Cucuku, selama kamu sakit, ada utusan Mahameru datang mengundang kamu. Belakangan aku mendengar bahwa mereka telah mengganti dirimu dengan Demung Pragola. Tarung itu akan dilaksanakan pada saat purnama bulan Aswina, tempatnya di hutan bagian selatan bukit Penanggungan, sekarang masih ada sisa waktu tiga hari lagi. Jika kau bergegas menunggang kuda, kau akan tiba pada siang di hari tarung."

Sebelum Geni menjawab, terdengar suara Wulan, "Aku dan Sekar ikut bersamamu" Dua perempuan itu sudah berada di situ.

"Guru, aku ke sana hanya sekadar nonton tarung. Aku tak punya maksud unjuk jago." Ia menoleh ke dua isterinya. "Jadi sebaiknya aku pergi sendiri saja."

"Geni, ajaklah isterimu. Kamu perlu ada yang menemani.

Biar aku yang menjaga perdikan ini."

Dua perempuan itu cepat berkemas dan menyediakan kuda. Geni bertiga kemudian pamit pada Padeksa dan sebagian murid. Mereka melecut kuda tunggangannya masing- masing. Malam hari mereka istirahat di hutan. Mereka menemukan tempat bermalam yang tersembunyi dan aman.

Setelah makan malam, Geni memeluk Sekar dan Wulan menciumi dua isterinya, melucuti pakaian dan bercinta. "Kamu sekarang sudah normal. Sudah pulih seperti biasa. Tetapi waktu kamu masih sakit, perilakumu mengerikan. Kamu brutal dan kasar, seluruh tubuhku sakit," bisik Sekar. "Kamu hampir membunuh kami berdua, sepanjang malam kamu menyakiti kami. Geni, kamu tidak lagi menciumi tetapi menggigit. Kamu lihat saja bekas gigitanmu masih ada," kata Wulan sambil memperlihatkan bekas merah di sisi buah dadanya dekat ketiak.

Geni tertawa geli. "Kalian berteriak kesakitan?" "Gila kamu, mana mungkin kami berteriak, malu didengar orang!" kata Sekar sambil menindih tubuh suaminya.

Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan. Siang hari mereka istirahat di sebuah desa kecil. Lima orang tampak mengawasi saat ketiganya memasuki warung makan. Salah seorang mendekati pemilik warung. "Lelaki itu penjahat cabul dua wanita itu tawanan dan terpaksa mengikuti kemauan lelaki itu karena takut mati. Kami orang baik-baik ingin menolong dua wanita itu, maka tolong kamu bantu kami mencampur racun di dalam makanan mereka. Racun ini tidak berbahaya, hanya membuat orang menjadi lemas tak berdaya."

Pemilik warung manggut kepala.

Saking laparnya, semua jenis makanan dipesan.

Menyaksikan dua isterinya makan begitu lahap, Geni tak sampai hati. Ia makan sekadarnya, suap demi suap. Tiba-tiba Wulan dan Sekar, hampir berbarengan memegang kerongkongan, dan mengeluarkan suara ngorok

Geni terkejut. Ia tahu ada racun dalam makanan. Karena ia belum makan banyak racun belum menyerang dirinya. Ia kerahkan tenaga Wiwaha aliran dingin menghentikan kerja pencernaan kemudian tenaga panas menguras dan mendorong makanan yang masuk tadi, keluar lagi Saat berikutnya, ia membungkuk dan memuntahkan semua isi perutnya.

Pada saat berbarengan, lima kawanan tadi menyerang dengan berbagai macam senjata. Wulan dan Sekar sudah rubuh dengan mulut berbusa. Geni tak ayal lagi, menjatuhkan diri telentang, dua tangannya menepuk punggung dua isterinya, sementara dua kakinya menendang bangku-bangku dan meja ke arah lawan. Tenaga Wiwaha membanjir menerobos punggung Wulan dan Sekar berputar-putar di perut. Lima lelaki itu terkejut, tak menyangka bahwa Geni masih bisa memberikan perlawanan hebat meskipun sudah menelan makanan beracun. Karena terkejut, tak menyangka, maka dua orang kena hantaman kursi. Keduanya terjengkang dengan kepala berdarah, sakit tetapi tidak tewas. Tiga lainnya sibuk mengelak.

Geni bergerak pesat Ia tahu racun sangat ganas dan mematikan. Tak ada jalan lain, dia harus memilih siapa yang dia tolong lebih dahulu, resikonyayang belakangan bisa lebih parah. Pada saat kritis itu secara naluriah Wisang Geni akan mendahulukan perempuan yang lebih dicintainya. Pikiran dan gerakannya spontan, dia mendahulukan Sekar. Belakangan memang dia tahu bahwa dia sangat mencintai Sekar. Dia menggapai tubuh Sekar, mengurut perutnya dengan tenaga besar, satu tangan lainnya mengerahkan tenaga Wiwaha menerbos punggung Sekar. Selang beberapa saat, dia ganti memeluk Wulan dan melakukan penyembuhan dengan cara yang sama

Saat itu lima musuh meluruk maju, serangannya ganas. Untung bagi Geni, kepandaian mereka bukan dari kalangan atas, sehingga bisa diatasi. Tetapi serangan itu telah menghambat penyembuhan Wulan. Geni menepuk punggung Sekar, tangan lain menekan perut Wulan, kemudian menggendong keduanya melompat menjauh. Terpisah agak jauh dari musuhnya, dia menekan dan mengurut perut Sekar yang langsung muntah-muntah, semua isi perutnya terkuras keluar. Tak lama kemudian, Wulan pun muntah. Geni merasa lega, pertolongan pertama sudah selesai. Pada tahapan itu, nyawa dua isterinya sudah bisa diselamatkan. Geni berbalik menghadap lima penjahat itu, "Siapa kalian? Aku tidak kenal kalian, mengapa kalian memusuhi aku?"

Lima orang itu menyerang membabi-buta Salah seorang berseru. "Kamu Wisang Geni telah membunuh guru kami, Ki Sempani, kami harus balas dendam!" Geni tak menanti lagi. Ia bergerak cepat mengandalkan Waringin Sungsang dan Jurus Penakluk Raja sekadar ingin menjajal jurus barunya itu. Tetapi hasilnya luar biasa. Tolakan dua tangan sambil memutar dan mendorong, membuat lima penjahat itu saling hantam satu sama lain. Dua orang tewas oleh senjata kawinnya, tiga lainnya luka parah. Mereka memandang Geni dengan mata mendclong, tak percaya. "Ilmu siluman!" kata yang seorang.

Tadinya ia sangat marah, tetapi belakangan ia merasa kasihan. "Kalian membalas dendam kematian gurumu, itu perbuatan lelaki sejati, tak peduli jahat atau buruk kelakuanmu. Kamu pergilah! Lupakan dendam kalian!

Percuma, dendam tak akan pernah selesai. Pergilah, bawa serta mayat temanmu!" Orang itu kabur.

Setelah mencari keliling, Geni menemukan si pemilik warung sedang bersembunyi ketakutan. Geni memanggil berulangkali dengan seruan marah. Pemilik warung muncul dengan ketakutan. Ia menyembah minta ampun. Geni membentak, "Cepat kamu ambil tuak yang banyak!"

Geni memaksa dua isterinya membuka mulut. Ia menuang tuak ke mulut. Hampir empat tabung, masuk kerongkongan Wulan dan Sekar. Ia mendudukkan mereka, kemudian dua tangannya menempel di punggung dan mulai mengurut disertai pengerahan tenaga dalam. Tenaga panas yang disalurkan, membuat dua isterinya merintih kesakitan. Isi perut macam dibakar. Tak lama keduanya muntah lagi, memuntahkan air tuak yang berbusa.

Melihat dua isterinya masih lemah, Geni memutuskan menunda perjalanan. Pemilik warung yang merasa bersalah namun tidak mendapat hukuman, menebus kesalahannya dengan menyediakan kamar di rumahnya sendiri untuk tiga orang itu menginap.

Semalaman Geni bergantian menyembuhkan Sekar dan Wulan. Menjelang fajar, ia istirahat, tidur. Dua perempuan itu memandang sang suami dengan penuh rasa cinta dan terimakasih. Keduanya memijit tubuh dan kaki Geni yang tidur pulas.

Esok harinya, ketika matahari sudah di atas kepala, mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi perjalanan tak bisa cepat karena tubuh Wulan dan Sekar masih lemas. Untuk mengejar waktu yang terbuang, mereka nginap di hutan. Keesokan hari, melihat kondisi tubuh kedua istrinya membaik, Geni memaksakan perjalanan cepat. Siangnya mereka tiba di selatan bukit Penanggungan.

Geni takjub melihat suasana di bukit itu. Di tengah kerilmunan penonton, sebuah panggung raksasa berdiri dengan megahnya. Di atas panggung dua sosok bayangan sedang bertempur sengit. Begitu banyak penonton, tapi anehnya suasana justru sangat sepi. Geni bertiga terlambat, karena pertarungan sudah tiba pada partai terakhir. Ketiganya berdesakan maju mendekati panggung. Mereka berdiri di antara murid-murid Mahameru. Di atas panggung Geni melihat pendeta Macukunda sedang tarung sengit dengan seorang lelaki kurus. Ketua Mahameru memainkan tasbih menghadapi serangan dahsyat sepasang golok.

Mencari-cari wajah yang dia kenal, Geni gembira mengenali Ki Antasena, saudara seperguruan Macukunda. Geni menegur ramah. Ki Antasena melihat dengan sinar mata aneh, kemudian mengalih pandangan ke atas panggung. Geni mengikuti pandangan Ki Antasena. Di panggung pertarungan, Macukunda terdesak. Senjata tasbih yang memainkan duapuluh satu jurus ilmu andalan Mahameru, Brahmanagrha, ternyata tak mampu membendung permainan sepasang golok lawan. Geni mendengar bunyi napas Macukunda sudah ibarat dengus kuda yang habis berlari jauh.

Suasana yang begitu sunyi dan lenggang membuat dengus napas ketua Mahameru terdengar lebih jelas. Lelaki yang jadi lawannya, seorang tua dengan jenggot dan kumis putih bagai salju tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu memutar golok semakin gencar.

Geni melihat keadaan sudah semakin berbahaya. Sesaat lagi Macukunda akan roboh. Saat itu Geni mendengar keluhan seorang perempuan yang suaranya seperti ia kenal. "Begitu Macukunda roboh, habis sudah nama besar tanah Jawa."

Wisang Geni berpikir sesaat. Ia bertanya kepada perempuan itu yang ternyata Rorowangi, kekasih Setawastra. "Apa maksudmu, oh kamu adik Rorowangi, apa maksudmu nama tanah Jawa habis?"

Rorowangi terkejut melihat Wisang Geni, "Oh kamu Ki Wisang Geni, kau sudah sembuh, syukurlah! Kau baru datang rupanya, jago-jago kita sudah kalah semua, harapan tinggal pada pendeta Macukunda. Tapi lihatlah sendiri, apa masih ada harapan?"

Tadi sebelum Geni tiba, sudah diselesaikan empat pertarungan. Kok Bun satu-satunya jago pihak lawan yang kalah, ia dikalahkan Ki Antaboga. Jago-jago Kuangchou lainnya menang meski pun lewat keunggulan tipis.

Pak Beng mengalahkan dua lawan beruntun, Antaboga dan Sang Pamegat. Kemudian Liong Kam mengalahkan Demung Pragola. Jago nomor satu Kuangchou, Sam Hong mengalahkan pendekar Merapi, Ki Sagotra dalam pertarungan yang paling seru. Dan kini yang sedang dihadapi pendeta Macukunda adalah jago nomor dua Cina, Sin Thong.

Geni menoleh memandang Sekar dan Wulan yang ikut mendengar penuturan Rorowangi. Geni seperti bisa membaca pikiran Wulan.

Pikiran yang sama seperti apa yang ia pikirkan. Ia tak bisa berdiam diri, karena bagaimanapun juga hal ini menyangkut gengsi tanah Jawa. Tak sabar lagi, Wisang Geni melompat ke atas panggung dengan menggunakan jurus Paghasa dari Waringin Sungsang. Begitu mendekat panggung pertarungan, Geni mengibas dua tangannya. Satu mengarah ke dada Sin Thong. Satunya lagi ke pendeta Macukunda. Gebrakan tiba-tiba oleh Geni mendatangkan kegaduhan di kalangan penonton. Macukunda dan Sin Thong yang sedang memusatkan perhatian, merasa ada serangan angin keras yang mendorong mereka surut beberapa langkah.

Sin Thong berteriak marah. Ia memaki dalam bahasa Cina. Wisang Geni tidak mengerti. Tetapi tiba-tiba timbul humornya, ia membalas dengan meniru perkataan Sin Thong dalam logat Jawa yang kental!

Suasana penonton yang tadi begitu sunyi karena merasa prihatin atas kekalahan jago-jago negeri sendiri, berobah gaduh. Mereka yang pernah hadir di Mahameru dan Tajinan menyaksikan sepak terjang Geni, kontan berseru, "Itu Wisang Geni!"

Dua bulan belakangan ini nama Wisang Geni berkibar di dunia kependekaran, dia dikenal hampir semua pendekar silat. Kemenangan atas Kalayawana dan sepasang pendekar India memang pantas jadi bahan kekaguman orang. Kemarin pun namanya disebut-sebut berkaitan kabar yang mengatakan ia gila lantaran melatih ilmu sesat.

Sin Thong memandang Wisang Geni dengan amarah luar biasa. Ia memaki dalam bahasa Cina. Geni tertawa dingin, balas memaki dengan meniru ucapan Sin Thong. Amarah Sin Thong memuncak.

Dari gebrakan Geni tadi, Sin Thong tahu lawannya berilmu tinggi Itu sebabnya sambil memaki, Sin Thong menyerang sengit. Sepasang goloknya, mengarah empatbelas jalan darah Geni. Melihat lawan begitu telengas, Geni segera mengerahkan jurus Sikepdehak yang inti gerakannya adalah tangkap dan dorong. Geni seperti menyampok punggung golok dan mendorongnya ke sisi berlawanan, gerakan itu dilakukan seperti tidak menggunakan tenaga, namun hasilnya luar biasa. Sepasang golok lawan saling beradu dan Sin Thong terdorong surut dua langkah.

Pada saat itu melayang dua sosok tubuh ke atas panggung.

Geni mengenal yang wanita, yakni Mei Hwa, yang sekarang sudah menjadi isteri Manjangan Puguh, gurunya. Seorang lagi, lelaki kurus jangkung berusia sekitar limapuluhan. Lelaki itu menuding Macukunda dan berkata setengah teriak dengan logat Cina yang patah-patah. Rupanya ia sedikit gagu Mei Hwa menerjemahkan, ”beginikah jago tanah jawa bertanding, kalian sudah kalah, lantas mau sengaja mengacau, hayo cepat mengaku kalah!"

Wisang Geni balas membentak, "Siapa kau, berani mengatakan tanah Jawa kalah. Aku belum bertanding bagaimana bisa kalah?"

"Aku, Sam Hong dari partai Whu Than, aku pemimpin rombongan Kuangchou ini. Kau pura-pura tidak tahu atau memang matamu tidak melihat semua jago tanah Jawa sudah kalah!" Mei Hwa sibuk menerjemahkan dari bahasa Cina ke Jawa dan juga sebaliknya dari bahasa Jawa ke bahasa Cina.

"Tidak bisa! Aku belum bertanding, tak bisa dikatakan tanah Jawa kalah! Kalau kalian sudah kalahkan aku, baru boleh temberang dan tepuk dada."

"Kamu siapa, kita sudah membuat aturan sebelum pertarungan dimulai, yaitu masing-masing kubu diwakili lima pendekar. Siapa yang menang paling akhir, dia yang keluar sebagai pemenang. Jago kalian sudah kalah semua. Apalagi yang mau dibicarakan!"

Wisang Geni tahu bahwa ia harus memancing kemarahan orang-orang Kuangchou agar mau membuka pertarungan lagi. Karena ia yakin dengan pengendalian Jurus Penakluk Raja ia akan mampu menghadapi siapa saja di pihak lawan. Kalaupun kalah, ia tak akan kecewa karena sudah berusaha. Lagipula inilah kesempatan bagus mengangkat kembali citra dan kebesaran nama Lemah Tulis.

"Hei, goblok! Aku adalah salah satu peserta yang menang di puncak Mahameru jadi aku berhak tarung dengan kalian. Lagipula pendeta Macukunda belum kalah, jadi layak saja jika aku maju menggantikan beliau."

Ketika itu Mei Hwa berbisik-bisik pada Sam Hong. Sebelum dia mengatakan sesuatu, Geni telah mendahuluinya. "Ya, bagus, Mei Hwa, kau seorang juru bahasa yang pintar.

Katakan pada ketua partaimu itu, bahwa aku punya ilmu sangat tinggi. Aku adalah jagonya jago, jadi kalau dia takut suruh saja dia pulang ke Cina dan bertapa di puncak gunung!"

Sam Hong berkata dengan nada hormat. "Rupanya tuan seorang ketua partai besar, tapi kenapa tuan tidak menepati janji. Tuan datang terlambat sehingga tempat tuan diberikan kepada teman pendekar lain."

Wisang Geni terdesak. Tapi ia tak mau kalah. Ia menyahut sembarangan. "Siapa bilang aku terlambat, lihat aku berdiri di sini, sekarang aku ambil kembali jatahku, tidak salah kan?

Lagipula semua ini salahmu, kenapa kamu tentukan hari pertarungan pada hari perkawinanku. Aku terpaksa kawin dulu, baru datang ke sini."

"Benarkah, tuan merayakan pernikahan dulu? Aku ucapkan selamat, tapi mana isteri tuan apakah tuan bawa serta?"

Saat itu juga Wulan dan Sekar melambungkan tubuh dan salto ke atas panggung. "Kenapa apa ketua partai Whu Thang tak percaya pada omongan suamiku?" kata Wulan.

Sam Hong berulang-ulang memberi selamat dengan menjura. "Oh dua perempuan ini isteri kamu. Tetapi sayang aku tetap tak percaya omong kosong ini. Lagipula jika benar, perkawinan ini tak ada hubungannya dengan pertarungan. Aturan tetap aturan, tanah Jawa sudah kalah, habis perkara."

Kini Wisang Geni benar-benar naik pitam. "Hei, kau dan kawanmu cepat pergi dari sini, sebelum hidung kalian kupindahkan ke pantat atau kaki kalian kupindahkan ke telinga. Kau tahu, kalian tak punya keberanian menghadapi aku, bilang saja takut dan berlutut di depanku, baru aku beri ampun!"

Sepasang mata Sam Hong berkilat. Ia marah. Tiba-tiba Sin Thong menghampiri Sam Hong dan bicara dalam bahasa Cina. Selang sesaat, Sam Hong berkata kepada Wisang Geni dan juga ditujukan kepada semua penonton.

"Baik, karena pendekar Wisang Geni mendesak, maka kami akan bertarung dengan dia. Tapi kalian harus janji, setelah dia kalah tak boleh ada lagi yang menantang kami. Kalau kalian sepakat baru kami siap!"

Semua penonton menjawab serempak "Setuju!"

Sam Hong segera melompat turun bersama Mei Hwa diikuti pendeta Macukunda, Wulan dan Sekar. Tinggal Wisang Geni dan Sin Thong yang akan tarung.

Sin Thong memberi hormat, "Silahkan tuan mengambil senjata!"

Wisang Geni tertawa keras, sengaja pamer tertawa dari lembah kera kemudian menjawab, "Maaf, aku tak pernah pakai senjata!"

Tanpa sungkan Sin Thong menyerang sengit. Ia memutar sepasang goloknya bagai titiran dan menyerang semua jalan darah kematian. Geni menyambut dengan tertawa dingin.

Terlihat ia seperti orang bersedih hati, tangannya ditopang ke dagu, dua kakinya seperti berjalan gontai, tangannya yang lain mendorong ke depan. Percuma memutar goloknya dengan gencar, ada tenaga besar yang membuat Sin Thong terpukul mundur. Pendekar Kuangchou ini terkejut, ilmu apa itu dan betapa besar tenaga yang dikeluarkan Geni

Tetapi pendekar cina ini tak mengendurkan serangan, dalam sepuluh jurus ia sudah mengurung Geni rapat rapat. Terlihat kilat putaran golok di sekeliling tubuh Geni. Tetapi jangankan mengena telak, menyentuh kulit Geni saja tak bisa. Pendekar Lemah Tulis itu tak terjamah.

Geni melihat dan mencari kelemahan lawan. Ia merasa sudah cukup berlaku kendur, ia harus secepatnya menyelesaikan tarung pertama ini. Masih ada beberapa tarung lain yang akan dilaluinya. Segera ia rciainkan jurus Prasada Atishasha (Menara sangat tinggi) dari Prasidha dengan perasaan Prabhawa. Inilah Jurus Penakluk Raja, ilmu dari segala ilmu.

Kekuasaan atau sikap Prabhawa yang melapis jurus Prasada Atishasha yang merupakan penampilan Jurus Penakluk Raja itu berhasil membuat sepasang golok Sin Thong mental ke udara, tangan Geni terus melaju menerobos pertahanan dan menggedor pundak lawan. Pendekar Cina itu terpental keluar panggung. Dua goloknya jatuh persis di tangan Geni yang segera menekuk patah menjadi delapan potong. Sin Thong berdiri gontai, muntah darah kemudian terduduk lagi.

Wisang Geni seperti tak peduli keadaan sekeliling, ia memandang ke arah Sam Hong dengan pandangan menghina. Sam Hong merasa darahnya mendidih. Tapi sebelum ia melompat, Pak Beng melompat duluan. Tanpa basa basi, Pak Beng segera menyerang dengan tangan kosong. Ia terkenal dengan pukulan racun dingin. Antaboga dan Sang Pamegat yang kena hajar tangan dinginnya masih saja menggigil sampai sekarang. Wisang Geni tersenyum dan berseru dengan nada sinis, "Kau pamer tenaga dingin di daerah panas, baik aku mau lihat mana lebih dingin tenagamu atau tenagaku?"

Sambil berkata demikian, Geni melontar pukulan dengan Jurus Penakluk Raja dengan aksi jurus Nanawidha dari Bang Bang Alum Alum dan rasa sikap hayu (Keselamatan).

Hebatnya Jurus Penakluk Raja adalah rasa diambil dari delapan sikap jiwa sementara bhava atau aksi tidak harus dari Prasidha tapi bisa dengan jurus apa saja.

Mei Hwa masih saja rajin menerjemahkan semua percakapan di atas panggung. Mendengar Geni mau adu tenaga pukulan dingin, diam-diam Pak Beng merasa senang. Ia yakin, sekali hantam Geni akan rubuh! Sebab tenaga dinginnya ini yang dilatih di puncak gunung bersalju selama ini tak pernah tertandingi. Di daratan Cina hampir tak ada pendekar yang berani adu tenaga dingin dengannya.

Terdengar benturan tenaga, keras lawan keras. Hawa dingin menyambar ke mana-mana, penonton di bawah panggung merasa kedinginan, hampir beku. Beberapa benturan tenaga pukulan menyusul. Wisang Geni menggelar Jurus Penakluk Raja dengan Sringara sikap Syura (Berani) dengan menggabung empat jurus Nanawidha, Gora Andaka, Kinabasang, hokamandala semuanya dari Bang Bang Alum Alum. Tujuh kali terjadi benturan tenaga, Geni tetap berdiri tegar. Pak Beng juga berdiri, hanya mendadak tubuhnya menggigil hebat. Pak Beng roboh dengan wajah keabu-abuan, bibirnya pucat dengan tubuh gemetaran hebat.

Penonton bersorak riuh. Wajah semua anggota tamu pucat pasi. Tidak bisa tidak, kini Sam Hong harus maju meski dalam hati ia agak gentar. Tetapi ini masalah gengsi, lebih baik mati daripada menanggung malu. Sam Hong meloncat ke panggung. Ia berseru, suaranya menggema. Mei Hwa menerjemahkan. "Ketua Lemah Tulis ternyata seorang pendekar dengan ilmu kepandaian hebat, aku kagum dibuatnya. Terpaksa aku harus mencoba unjuk kepandaianku yang tak seberapa ini".

Wisang Geni menatap lawannya ini, yang merupakan pendekar kenamaan Cina dan juga kepala rombongan. Ia melihat ke dalam mata lawannya. Mata lawannya itu bening, jernih dan berbinar-binar. Itu tanda bahwa Sam Hong memiliki tenaga dalam hebat yang tak terukur. Karenanya Geni tak mau meremehkan lawannya ini. Diam-diam ia menebak lawannya pasti lebih tangguh dan lebih lihai dibanding Sin Thong ataupun Pak Beng.

Sam Hong bertanya yang diterjemahkan Mei Hwa. "Aku akan menanti di bawah panggung, sampai pendekar Wisang Geni merasa sudah cukup beristirahat, karena aku tak mau mengambil keuntungan dari keadaan tuan yang letih."

Dengan nada angkuh dan sikap jumawa Wisang Geni menegaskan ia tak perlu istirahat. "Tadi itu, aku hanya melakukan pemanasan saja, karena aku tahu bakal menghadapi pendekar hebat dari Cina yang bernama Sam Hong. Nah silahkan tuan memulai!"

Pertarungan tak terelakkan, keduanya berlaga dengan tangan kosong. Sam Hong dengan delapanbelas jurus Naga Membalik Bumi diladeni Geni yang memainkan Jurus Penakluk Raja namun kini dengan jurus-jurus dari Garudamukha Prasidha yakni Sikbwiriya (Cintaku kepadanya), Sanakanilamatra (Sebesar angin terkecil), Agniwisa (Pijar api), Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah), Prasada Atishasha (Menara tinggi bukan main), Akwamatyana (Biarlah aku membunuh) dan Kacakrawartyan (Penguasaan dunia).

Tujuh jurus Prasidha yang diulang dua kali putaran tak membuat Sam Hong kesulitan. Sepertinya Geni merasa tenaga menghisap dari Prasidha ternyata tidak berarti apa-apa bagi Sam Hong. Pertarungan dari saat ke saat semakin seru. Sam Hong benar-benar seorang jago sejati Ilmu Naga Membalik Bumi merupakan gabungan tenaga keras dan lunak, panas dan dingin. Wisang Geni kewalahan, ilmu Prasidha dan yang diikuti Bang Bang Alum Alum tak berdaya mengimbangi kekuatan lawan.

Sam Hong benar-benar tangguh, jurus-jurusnya penuh perubahan yang membingungkan disertai penggunaan tenaga dalam hebat. Geni sekarang mengerti mengapa pendekar Merapi, Sagotra, dikalahkan pendekar kelas wahid Wu Than ini. Pada jurus limapuluh, tamparan keras Sam Hong menerobos dan menggenjot dada dan pundak Geni.

Geni sempat menangkis sehingga pukulan itu tidak mengena telak dan tenaga pukulan juga sudah hilang lebih dari separuh. Kendali demikian, Geni merasa darahnya bergolak hebat, nyaris ia memuntahkan darah. Sam Hong tahu lawannya terluka, maka ia tak mau memberi kesempatan. Ia menyerang gencar dan telengas. Ia tak peduli soal mati hidup lagi. Dia ingin menang, agar kematian putranya bisa terungkap. Sesuai perjanjian jika tanah Jawa kalah maka seluruh pendekar tanah Jawa harus mencari dan menemukan pembunuh putra Sam Hong itu.

Wisang Geni terdesak, saat itu Sam Hong memukul dari dua arah berlawanan, gerakan menggunting yang banyak kembangan tipu, jurus Naga Langit Mengawini Naga Bumi, salah satu jurus paling hebat dan ganas dari ilmuNagaMembalik Bumi. Geni dalam bahaya. Tenaga dalamnya masih belum teratur akibat pukulan Sam Hong yang cukup keras itu.

Dia tak punya jalan keluar. Sebab ia tahu begitu menangkis maka serangan kaki Sam Hong akan lebih mengancam lagi. Ia bisa membaca itu dari pasangan kuda-kuda Sam Hong. Ini soal mati dan hidup! Tidak ayal lagi, Geni menggelar Waringin Sungsang dengan sikap Harsa (Gembira). Pukulan Sam Hong jatuh di tempat kosong, Geni melejit mundur. Sam Hong memburu, "Mau lari ke mana kamu" Katanya dalam bahasa Cina. Geni melejit mundur memutari panggung, Sam Hong mengejar dengan pukulan-pukulan mematikan. Tetapi berkat ilmu ringan tubuh Geni yang sangat mumpuni, Sam Hong tak mampu mengejarnya. Karuan membuat pendekar Cina ini semakin marah.

Dalam beberapa saat itu, memanfaatkan waktu kejar- kejaran tadi, Geni berhasil menghimpun kembali tenaga Wiwaha meskipun dada dan pundaknya masih sakit. Merasa sudah cukup menghindar dan merasa tenaganya sudah mulai teratur, Geni kembali bertarung dalam jarak dekat.

Tetapi jurus-jurus aneh dari Naga Membalik Bumi kembali unjuk keunggulan. Beberapa kali ancaman itu nyaris menerpa tubuh Geni. Pertarungan memasuki jurus limapuluhan dan Wisang Geni masih saja terdesak. Suatu ketika Sam Hong menghantam dengan jurus dahsyat Ekor Naga Menghentak Bumi. Tenaganya penuh, tampaknya Sam Hong ingin adu pukulan karena ia memang mengandalkan jurus ampuhnya itu.

Wisang Geni tak ingin terus berlari. Ia ingin menyudahi tarung secepatnya. Karenanya ia kerahkan rasa Kapejah, perasaan seseorang waktu hendak mati. Dan Bahva yang ia pilih adalah jurus Akwamatyana dari Garudamukha Prasidha (Biarlah aku mati atau kau yang mati).

"Plaak, plaak, plaak! Plaak, plaak, plak! Dess, dess, desss!"

Sembilan kali benturan tangan dan kaki, menimbulkan suara keras. Penonton di bawah panggung merasakan kesiuran angin panas dan dingin. Untuk pertama kalinya sejak menguasai ilmu silat tingkat tinggi, baru hari ini Geni menemukan tandingan. Tenaga Sam Hong sesungguhnya masih di bawah kekuatan Wiwaha namun jurus Naga pendekar Cina itu bisa membuat tenaga pukulannya ibarat gelombang. Adu pukulan itu menimbulkan akibat pada kedua pendekar.

Geni merasa darahnya meluap kemudian mereda, dadanya merasa ngilu, dua lututnya bergetar hebat. Tubuhnya oleng, hampir jatuh. Mata jeli Geni sempat melihat keadaan Sam Hong.

Tampak mata Sam Hong melotot, tubuhnya bergetar hebat. Ia jatuh terduduk dengan posisi menghadap Geni. Mendadak dua kepalan tangan Sam Hong bergerak putar ke atas kemudian turun mengarah kepala sendiri. Sam Hong hendak bunuh diri! Wisang Geni berteriak, "Jangan", sambil ia melayang ke arah Sam Hong. Ia berupaya hendak menahan tangan Sam Hong, mencegah pendekar Cina itu bunuh diri.

Ternyata tidak, Sam Hong merancang strategi tipuan. Jika Geni tidak berupaya menolong, paling tidak Geni akan terkejut. Saat itulah gerak tangan itu akan berubah menjadi jurus Lidah Api Naga Bumi Menelan Korban menghantam kepala dan dada lawan.

Jika Geni bergerak maju hendak menolong, maka jurus itu akan lebih mudah mengenai sasaran. Dan sudah pasti akan menelan korban. Geni bakal kena hantaman! Sam Hong terpaksa memainkan akal bulus ini, meski di dalam hati ia merasa malu dan risih. Bagi seorang pendekar garis lurus, menciderai lawan dengan cara membokong dan berlaku curang adalah suatu aib tersendiri.

Memang itulah yang terjadi! Geni bergerak maju hendak menolong. Geni melakukan itu tanpa persiapan dan tidak tahu bahwa di balik tipuan itu, ia akan diserang dengan jurus mematikan.

Sam Hong berteriak gembira. Begitu Geni berada di depannya, dua tangan yang mengarah kepala sendiri itu berubah arah, memutar di atas kepala dan menghantam dada Geni. Tenaganya penuh, Sam Hong telah menguras seluruh tenaganya disalurkan dalam jurus maut itu. Jarak sangat dekat, Geni tak punya peluang menghindar. Semangat Geni terbang. "Matilah aku!"

Di saat-saat terakhir itu, Geni pasrah secara mutlak! Mati sekarang atau mati besok sama saja, selamat tinggal dunia, selamat tinggal Wulan dan Sekar, isteri dan kekasihku! Secara naluriah sikapnya Sringara adalah Kapejah kematian dan Kemuka cinta. Ia pasrah mati, tetapi dalam keadaan mencintai dua kekasihnya. Namun sebagai manusia yang ingin hidup, tanpa sadar ia menarik dua bahunya merapat ke dada sambil dua tangannya berdekap melindungi dada sekaligus memainkan Bhava jurus Sikhmriya (Cintaku kepadanya) dari Garudamukha Prasidha.

"Desss, desss, desss, dess!"

Terdengar suara bentrokan tenaga. Dua tangan Sam Hong membentur dua tangan Geni yang melindungi dada. Saat berikut Sikhmriya beraksi, satu tangan tetap menahan dua tangan lawan, tangan lainnya diangkat ke atas, berputar dan mendorong ke depan. Tangannya telak menghantam dada Sam Hong, sambil ia berseru, "Kalau pun harus mati, maka kita mati berdua!"

Semua penonton menahan napas. Wisang Geni terlempar ke belakang sambil memuntahkan darah segar.

Sam Hong tak bersuara lagi, dadanya melesak ke dalam, tulang-tulangnya patah. Ia tewas di tempat. Tragis, seorang pendekar kenamaan dari daratan Cina, tewas secara memilukan di bukit Penanggungan. Berita ini bakal menggegerkan dunia persilatan di daratan Cina.

Pada saat itu beberapa bayangan melompat ke atas panggung. Wulan dan Sekar segera merangkul suaminya. Wulan memangku kepala, Sekar memeluk tubuhnya. Dua perempuan cantik itu berseru dengan tangis, "Geni, jangan mati!" Manjangan Puguh dan Gajah Waiu berjaga-jaga di sisi Geni.

Saat berikutnya Geni membuka mata. "Aku masih hidup. Bagaimana dengan Sam Hong?" Ia memaksa diri duduk dengan dibantu dua isterinya. Ia melihat beberapa pendekar Cina memegang dan menggotong mayat Sam Hong.

Manjangan Puguh berkata lirih, "Sam Hong mati!" Ia memegang lengan Mei Hwa, isterinya Perempuan Cina itu bersandar di pundak suaminya Ada warna duka dalam wajah Mei Hwa Ia sudah pamit tadi sebelum pertarungan, bahwa ia tak akan kembali ke Cina karena mengikuti suaminya, Manjangan Puguh. Berita ini juga akan membuat ibu Mei Hwa, seorang pendekar kenamaan Sian Hwa, Dewi Pedang Gurun Gobi bersedih.

"Geni bagaimana lukamu?" Sekar bertanya dengan suara gemetar saking tegang memikirkan keselamatan kekasihnya. Tanpa mendengar jawaban Geni, sebenarnya ia menyadari luka suaminya cukup parah.

"Aku tak apa-apa. Luka ini memang cukup parah, aku perlu waktu satu bulan untuk sembuh" Geni memandang wajah dua isterinya yang tampak sayu dan bersimbah airmata "Jikalau saja tadi aku tidak mengingat kalian berdua, mengingat cinta kalian padaku dan merasakan cintaku pada kalian, mungkin aku sudah mati sekarang ini!" Dua perempuan itu tak mengerti apa hubungannya cinta dengan pertarungan mati hidup tadi, tetapi keduanya diam dan hanya manggut saja.

Geni melanjutkan, "Tetapi Sam Hong, sungguh kasihan, harus mati seperti itu. Aku heran mengapa ia mengambil jalan pintas dan nekad. Ia memojokkan aku, serangannya itu cuma aku atau dia yang hidup. Salah seorang harus mati! Bagiku tak ada pilihan lagipula jurusku itu keluar begitu saja untuk menyelamatkan diri meski sebenarnya aku sudah pasrah mati, bagiku mati sekarang atau mati besok, sama saja, mati dan hidup pun, sama saja!" Wulan memotong, "Geni, jangan bicara terus. Kau perlu merawat lukamu!"

Saat itu matahari senja tenggelam Semua orang sudah bubar turun gunung. Pendeta Macukunda dan para pendekar lain, memberi selamat dan terimakasih kepada Geni yang telah menyelamatkan gengsi tanah Jawa "Ki Wisang Geni, kamu sekarang sudah pantas disebut Pendekar Tanah Jawa.

Memang masih banyak pendekar lain yang barangkali berilmu lebih tinggi dari kamu, tetapi gebrakanmu tadi telah menyelamatkan kita semua, aku beri kamu gelar Pendekar Tanah Jawa, dan siapa orang yang tak setuju usulku ini boleh berhadapan dengan Mahameru!" 

Geni membalas hormat para pendekar. "Jangan paman pendeta memberi aku gelar itu, aku belurn pantas menerimanya!"

Semua pendekar menyatakan setuju. Pendekar Merapi Sagotra, Nyi Pancasona, Grajagan, Manjangan Puguh, Gajah Watu, Dewi Obat, Sang Pamegat menyambut baik gelar yang memang pantas diberikan kepada Geni mengingat jasanya yang besar. Kemudian satu per satu mereka bubar turun gunung.

Wisang Geni dipapah dua isterinya. Ia memegang tangan Wulan dan Sekar. "Kalian berdua takut aku mati kenapa?"

Mendadak tubuh Wisang Geni menggigil. Luka dalam membuat ia lemah, karenanya ia tak tahan angin dingin yang tiba-tiba berhembus dengan kerasnya. Ia memaksa duduk sila, semedi dengan memejamkan mata. Tetapi tak ada gunanya, ia tetap menggigil kedinginan. Wulan dan Sekar menggandeng lengan Geni memasuki desa dekat lereng gunung.

Mereka menemukan sebuah rumah penduduk yang bersedia disewa. Wulan dan Sekar memeluk untuk menghangatkan tubuh kekasihnya. Geni berbisik, "Aku memang luka dalam, tetapi aku masih kuat memberi kalian berdua kepuasan seperti biasa." Tiga insan itu tertawa geli. Saat berikut Geni tak lagi merasa dingin.

Esok paginya seharian, Wisang Geni semedi mengatur kembali tenaga Wiwaha yang sudah semrawut berkeliaran tak teratur di seluruh tubuhnya. Ia tahu, kalau saja tak pernah berlatih Wiwaha nama Wisang Geni saat ini sudah terkubur. "Terimakasih guru Lalawa. Kamu sudah lama mati, tapi kamu telah memberi kehidupan pada muridmu yang paling beruntung ini!"

Tujuh hari mereka tinggal di desa. Malam hari mereka bercinta, siang hari Geni semedi menyembuhkan luka dalamnya. Di hari pertama Geni mengajari dua kekasihnya mencari rumput dan akar pohon untuk ramuan. Mendadak saja di hari kedelapan muncul Lembu Agra di depan rumah. Ia didampingi empat orang anak buahnya dari perguruan Turangga.

Lembu Agra tertawa keras, "Ha, ha, ha, mau lari ke mana kamu Wisang Geni, kamu tak pernah menyangka aku bisa menemukan kamu di sini. Kamu hebat bisa mengalahkan orang-orang Cina itu, tetapi kamu sekarang luka parah, kamu tak berdaya."

Geni tak pernah menyangka bakal ada kejadian seperti ini. Dia menyesal meminta Manjangan Puguh dan teman-teman lain pergi.

Pikirnya wakiu itu dia ingin menyendiri bertiga isterinya.

Sekarang Jia lak berdaya, jangankan Lembu Agra, menghadapi penjahat kelas teri pun sekarang ini ia tak sanggup. "Kau memang tak punya malu!"

Wulan dan Sekar pasang kuda-kuda di samping suaminya.

Wulan memaki, "Kamu mau apa ke sini?"

"Sudah tentu membunuh Wisang Geni. Tetapi sebelum itu aku ingin melihat penderitaannya. Aku akan memperkosa kamu berdua di depan matanya. Nah, bagaimana pendapatmu?"

"Kamu memang bejat, pengkhianat busuk, aku akan adu jiwa denganmu!" Wulan hendak menyerang, tetapi tangan Sekar memegang erat lengannya. "Tahan dulu, mbak. Dia sengaja memancing amarah kita."

Seorang nenek tua, tubuhnya agak bungkuk, rambut putih seluruhnya, dengan tongkat sapu lidi di tangan, mendekat. "Jangan, jangan berkelahi di sini, rumah ini nanti roboh!"

Tetapi mana mau Lembu Agra menuruti omongan si nenek.

Ia membentak si nenek, "Diam kamu tua bangkotan, cepat kamu minggir!"

Nenek tua itu ketakutan dan melangkah terseok-seok keluar ke pekarangan.

Lembu Agra berkata kepada anak buahnya, "Jangan bunuh Wisang Geni, biarkan dia hidup beberapa saat lagi sampai aku selesai bercinta dengan dua isterinya yang montok"

Empat murid Turangga menyerang Sekar dan Wulan.

Sedang Lembu Agra menyerang Wisang Geni. Saking terkejutnya Sekar dan Wulan berseru, "Bangsat pengecut!" Tetapi dua perempuan ini tak mampu melepaskan diri dari keroyokan empat lawannya yang juga memiliki ilmu silat kelas atas. Wulan mengandalkan Garudamukha Prasidha menyerang gencar dengan jurus Agniwisa (Bisa api) dan Silmujugtundaghata (Menukik ke bawah) berhasil menghantam salah seorang lawan. Ia membuka jalan menuju Geni, tetapi tiga lawan lainnya menghalangi dengan serangan serentak. Apalagi saat itu Sekar sedang dalam bahaya, membuat Wulan terpaksa menolongnya.

Pada saat berbarengan, hanya dengan satu gebrakan Lembu Agra berhasil menghajar Wisang Geni yang tenaga dalamnya belum pulih. Geni terjengkang dengan muntah darah. Dadanya sakit. Dua isterinya, menggeram marah, ingin membantu suarninya, namun tiga lawannya tidak memberi kesempatan.

Setelah menaklukkan Wisang Geni dengan tawa puas Lembu Agra menghampiri pertarungan. Tiba-tiba ia menerobos masuk dan menyerang Sekar, sementara tiga anak buahnya tetap mengeroyok Wulan. "Jangan kalian lukai dia," seru Agra.

Beberapa jurus berlangsung, Lembu Agra berhasil menotok titik lemah Sekar yang langsung jatuh terduduk. Setelah itu ia menyerang Wulan dengan jurus dari Pitu Sopakara. Dikeroyok banyak orang, Wulan akhirnya tak berdaya ketika pukulan Agra membuat dia terjungkal. Tubuhnya lemas tak bertenaga karena urat besarnya ditotok, ia lumpuh untuk sementara. "Kau bunuh saja kami, jangan melakukan penghinaan ini."

Lembu Agra tertawa sinis. "Aku senang melakukan ini, pertama aku akan memerkosa Sekar, berikutnya nanti giliranmu, dan semua ini disaksikan kekasihmu Wisang Geni yang tak berdaya itu!"

Berkata demikian, Lembu Agra menghampiri Sekar yang ketakutan. Sekar tak berdaya, membayangkan yang akan dia alami membuatnya pucat pasi ketakutan. Dia gemetar ketakutan ketika tangan Lembu Agra meraba pinggul dan bokongnya, merobek baju di dadanya. Melihat payudarayang montok, dia mengelusnya. "Kamu sungguh montok, pantas Geni tergila-gila padamu!"

Sekar menangis, "Jangan lakukan itu, lebih baik kamu bunuh aku saja!"

Wisang Geni berseru, "Lembu Agra, ini urusan kamu dengan aku, selesaikan sekarang, bunuh aku, tetapi sebagai pendekar kamu tak pantas memperlakukan perempuan dengan caramu yang hina."

"Aku gembira dan menikmati permainan ini, kamu saksikan kehebatanku." Lembu Agra memegang lengan Sekar yang terbaring di tanah. Ia berupaya mencium leher dan mulut Sekar namun gadis ini menggeleng kepalanya menghindar. Agra memegang kepala Sekar. Geni menutup mata, darahnya bergolak, tetapi ia tak berdaya. Tenaga Wiwaha masih tak beraturan, tak bisa dihimpun.

Sekar menangis. Pada saat Lembu Agra hampir mencium Sekar, tiba-tiba saja ada bayangan berkelebat. Lembu Agra terlempar. Ia bereaksi cepat, tubuhnya melenting bangkit. Namun bayangan itu yang ternyata nenek tua bungkuk sudah berada di dekatnya. Tanpa bisa dikelit, tangan si nenek menampar pipi Lembu Agra, enam kali. Pipi itu bengkak, beberapa giginya rontok.

Semua di ruangan itu terperanjat. Siapa nenek tua yang memegang tongkat sapu lidi itu? Betapa hebat ilmu silatnya, ia bisa menampar Lembu Agra berulang kali, tanpa lelaki itu bisa menangkis atau mengelak. Empat orang begundal Lembu Agra maju menyerang, tetapi nenek itu memutar tongkat sapu lidinya, dalam tiga gebrakan cmpat lawan itu tci jengkang.

Baju ili bagian dada robek, kulit dada ikut tersayat, darah mengucur.

Nenek itu mengambil tabung kecil dari saku kebayanya, ia bergerak cepat, sangat pesat. Ia menuang beberapa tetes cairan dari tabung, mengoles ke luka di dada lawan. Empat lelaki menjerit lengking mengerikan. Luka itu perih dan bertambah menganga lebar. Mereka melompat-lompat untuk mengurangi rasa perih.

Lembu Agra mencabut keris panjang, berseru, "Siapa kamu?"

Nenek tua itu tertawa terkekeh. "Kamu goblok!" Ia bergerak lebih cepat dari serangan Agra. Tangannya menampar pipi, telinga lalu menggaruk dada Lembu Agra dengan tongkat sapu lidi. Setelah itu ia mengolesnya dengan cairan. Semua dilakukan dengan cepat tanpa Lembu Agra mampu menghindar atau menyerang balik. Saat berikut Lembu Agra menjerit kesakitan. Melihat mudahnya ia menghajar Lembu Agra dan empat anak buahnya, jelas nenek tua itu memiliki ilmu silat tingkat tinggi yang sulit diukur.

"Kamu laki-laki binatang! Gadis itu cucuku! Beraninya kamu mau memperkosa dia, seharusnya kubunuh kamu Beruntung kamu, hari ini aku pantang membunuh. Tetapi luka di dada kalian tak mungkin akan sembuh, cacat itu tanda-mata atas kejahatan kalian yang mau memperkosa cucuku. Camkan bangsat-bangsat busuk, suatu waktu jika kalian berani mengganggu cucuku ini, ke mana kamu pergi akan kukejar.

Dan tak ada orang yang bisa menolong kalian dari hajaranku! Sekarang pergi, sebelum aku berubah pikiran." Lembu Agra dan begundalnya pergi dengan menanggung malu.

Nenek itu menghampiri Sekar. Menepuk pundak dan punggung, membebaskan Sekar dari totokan. "Terimakasih nenek, tetapi tadi nenek katakan aku cucumu, kamu salah, sebenarnya aku sudah punya nenek sendiri, namanya Dewi Obat, aku tak punya nenek lain."

"Dengar nduk, kamu memang cucuku, waktu berusia empat tahun, kamu kena penyakit cacar, aku titipkan kamu pada Kunti? Hebat dia bisa menyembuhkan burik di tubuhmu, kamu kini cantik luar biasa. Tetapi dia patut kuhajar karena bersalah membiarkan kamu jalan sendirian padahal ilmu silatmu masih sangat cetek!"

"Nenekku tak bersalah, aku saja yang malas berlatih. Hai Nek, kamu tahu persis nama kecil nenekku padahal tidak banyak orang mengetahui nama itu."

Nenek tua itu menolong Walang Wulan dan Wisang Geni. "Sekar bocah goblok kamu itu cucuku, Dewi Obat atau si Kunti itu adik perguruanku. Tetapi dia lebih suka mempelajari pengobatan. Itu sebab ilmu silatnya rendah, maka ilmu silatmu juga rendah. Kamu memang cucuku, kamu anak putraku, orangtuamu mati muda, itu sebab kamu dipelihara si Kunti. Mana dia si Kunti?" "Jadi aku harus bagaimana, memanggilmu apa?"

"Bocah goblok, ya panggil aku nenek. Jadi kamu punya dua nenek sekarang," ia tertawa geli, membuat Sekar ikut ketawa. "Tetapi kamu harus ikut aku, belajar ilmu silat dari aku. Sini kamu bocah bodoh!"

Sekar menghampiri neneknya. Wajah neneknya tampak tua, tetapi tidak banyak keriput, masih tampak bekas kecantikan masa muda. Rambutnya putih semua, persis kapas. Tubuhnya bungkuk namun masih tampak segar.

Kulitnya kuning. Mereka saling rangkul. "Kamu harus ikut aku, akan aku ajari ilmu silat paling dahsyat, supaya tak ada orang lagi yang berani menghinamu"

"Nek, tidak bisa, aku sudah punya suami, aku harus tinggal bersama suamiku."

Nenek tua terkejut. Ia menoleh memandang Wisang Geni. "Diakah suamimu?" Ia bertanya pada Geni. "Kamu murid siapa?"

"Aku murid Padeksa dari Lemah Tulis."

"Hah? Lemah Tulis? Eh kamu tahu di mana Suryajagad sembunyi, aku sudah belasan tahun mengejar kakek genit itu. Lantas perempuan ini siapa?" sambil ia menunjuk Wulan.

Wulan menjawab, "Aku juga isterinya."

Nenek tua itu tertawa. "Kurang ajar memang Suryajagad.

Bukan cuma ilmu silat saja yang ia wariskan pada murid- muridnya, sampai pada cara memelet perempuan pun diwariskan. Sekarang ini kamu luka parah, benar?"

Nenek tua itu kemudian membantu Wisang Geni. Ia menotok, mengurut dan menepuk beberapa titik di punggung, dada dan perut kemudian menyalurkan tenaga dalam. Geni merasa suatu tenaga besar menerobos dan merambah ke seputar tubuhnya. Ia takjub, nenek tua ini memiliki tenaga dalam sangat tinggi Sepenanakan nasi kemudian si nenek menyudahi pertolongannya. Wisang Geni merasa segar, ia berusaha mengerahkan tenaga dalam. Ternyata tenaga Wiwaha langsung bereaksi. Ia gembira dan cepat mengucapkan terimakasih.

"Kau tahu di mana kakek gurumu Suryajagad sembunyi?"

Geni menggeleng kepala. "Nenek kenal Eyang Sepuh?"

Nenek itu tersenyum, seperti seorang gadis yang senang dipuji kekasihnya. "Kami saling kasmaran, bercinta sampai tahunan. Kami kawin. Ketika putra kami mati, ia putus asa lantas menghilang bagai ditelan bumi, puluhan tahun ia lenyap. Aku ditinggalkan begitu saja, kurang ajar dia tapi meskipun demikian aku tak bisa melupakan dia."

Ia menoleh menatap Geni dengan tajam, ia mengepal tangannya dan mengacungkan di depan wajah Geni. "Awas kamu Geni, jangan perlakukan cucuku seperti itu, awas, akan kuhajar babak belur kamu! Eh apa kamu sungguh-sungguh mencintai Sekar?"

Geni mengangguk. Nenek tua memegang lengan Sekar. "Kamu harus ikut nenekmu, aku akan melatihmu jadi pendekar wanita nomor satu seperti aku, sudah puluhan tahun aku tak punya tandingan. Hanya suamiku seorang yang mampu mengalahkanku. Dan ilmu silatku ini harus ada yang mewarisi sebelum aku mati!"

"Nek, tunggu dulu, biar aku pamit pada suamiku!"

Sekar berlari ke dalam pelukan kekasihnya. Ia tak merasa sungkan, mencium mulut Geni dengan bernafsu. Tiba-tiba ia menggigit pundak dekat leher Geni. Keras. Geni terkejut, ingin berteriak saking sakitnya namun ditahannya. Sekar menjilati darah di bibirnya, berbisik, "Mas, aku sudah mengisap darahmu, darahmu manis, darahmu sudah campur dalam darahku, itu tanda aku tak akan lupa padamu, tak akan ada laki-laki lain dalam hidupku. Dan luka bekas gigitanku itu jangan kamu obati, supaya kamu tidak lupa padaku. Geni, suamiku, aku tak mau kehilangan kamu."

Memeluk erat isterinya, Geni merasa berat untuk berpisah. Ia sadar sekarang, ternyata ia sangat mencintai Sekar. "Aku tak akan lupa padamu, aku akan mencarimu." Geni menoleh pada nenek tua, "Nek, berapa lama kau bawa isteriku? Dan di mana tempatmu, biar nanti aku menyusul ke sana."

"Duabelas purnama, tidak lama anak muda! Sekarang ini aku ke Lembah Cemara setelah itu aku pergi ke suatu tempat, lalu kembali lagi ke Lembah Cemara. Duabelas purnama, aku sempurnakan ilmu silat isterimu. Setelah duabelas purnama, kamu jemput isterimu di Lembah Cemara, awas jika kamu ingkar janji!"

Sekar pamitan pada Wulan. Mereka berpelukan. "Mbakyu, kamu jaga suami kita, awasi dia. Sedikit alpa saja, dia akan lari dengan gadis lain."

Wulan mencium pipi Sekar. "Ilmu silat nenekmu itu tidak terukur tingginya, Sekar kamu berlatih yang rajin supaya menjadi pendekar wanita nomor satu. Aku akan menjaga Wisang Geni, dan mengingatkan dia selalu bahwa isterinya yang bernama Sekar adalah perempuan cantik yang setia. Aku jamin dia tak akan lupa padamu, dan setelah duabelas purnama aku bersama suami kita akan menjemputmu di Lembah Cemara. Dan hari itu kamu akan berduaan dengan dia sehari semalam, bahkan jika perlu dua hari dua malam, asal kamu tahan, adikku."

Sekar tertawa cekikikan. "Gila, mbak. Bisa mati aku.

Mbakyu Wulan, kamu salah seorang yang paling kusayang di dunia, jangan lupa padaku, mbak. Sekarang aku pergi." Sekar memeluk erat Wulan, menciumi pipi dan lehernya. Dia menangis.

Wulan memeluk dan memandangi wajah Sekar yang cantik. "Aku juga sangat menyayangimu, adikku. Jangan menangis, Sekar adikku, pergilah." Sekar memandang Wulan, dia mencoba senyum. Kemudian tanpa menoleh lagi dia berlari pergi sambil menangis.

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG