Pendekar Kelana Sakti 06 - Bidadari Kuil Neraka


Ki Rondo Mayit mengamuk kalap ketika ia mendengar berita kematian putranya. Tidak ada seorang pun yang dapat meredakan amarahnya. Karena dalam ruangan itu memang hanya dia sendiri. Seluruh ruangan itu berderak-derak. Apa yang ada di hadapannya dihancurkan. Meja yang penuh dengan peralatan terbalik hancur belah hanya dengan sekali tendang. Termasuk juga dua buah peti yang bersandar di dinding batu. Kedua peti yang tingginya hampir sama dengan tubuh Ki Rondo Mayit tidak luput dari kemurkaannya. Peti-peti hancur, ia menghentikan amukannya. Nafasnya masih memburu menahan amarah. Lalu ia melangkah ke luar. Rambutnya yang putih kusut sebatas bahu bergerak-gerak saat ia melangkah.

Udara dingin menghembus tubuhnya saat ia berdiri di tengah pintu bangunan yang hampir ambruk itu. Matanya memerah menatap jauh cakrawala. Kedua telapak tangannya mengepal erat. Terdengar bunyi gemeretak tulang-tulang jarinya.

"Manusia mana yang mampu membunuh anakku...! Siapa dia gerangan...! Aku tidak yakin kalau Raden Mas Kinanjar Swantaka yang melakukannya. Kematian Wadak Keling maupun dua mayat hidup itu, aku tak perduli!" katanya geram setelah berada di luar bangunan.

"Tapi untuk kematian anakku, orang itu harus menerima balasannya!" Tiba-tiba saja kakinya menendang hancur batu yang menonjol di permukaan tanah. Lalu tubuhnya melesat berlari kencang. Sebentar saja manusia berambut putih itu sudah jauh menghilang dari pandangan mata. Namun teriakannya masih saja menggelegar terdengar. "Raden keparat! Orang-orang pilihan keparat!

Kalian tunggu pembalasanku!"

*

* *

Pagar bambu yang setinggi tiga tombak itu rapi berderet membatasi tanah lapang yang cukup luas. Padahal beberapa hari yang lalu tempat itu sempat porak poranda. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada waktu itu sudah tidak nampak lagi. Orang-orang Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat memperbaiki pagar bambu itu meskipun keadaan mereka banyak yang luka-luka. Dan Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri cukup prihatin terhadap keadaan mereka. Sebelumnya jumlah mereka lebih banyak dari yang sekarang. Hampir separuh dari mereka tewas akibat serangan mendadak yang terjadi di tempat itu.

Meski mereka kehilangan hampir separuh dari jumlah mereka. Orang-orang itu tetap gigih membangun benteng pertahanan di daerah itu. Mereka setuju sekali kalau setiap sudut tanah Rogojembangan didirikan benteng-benteng pertahanan. Dengan adanya benteng pertahanan, Rogojembangan akan tetap aman dan tentram.

Tenda-tenda besar masih berdiri di tengahtengah lapangan itu. Di sana sini terdapat bangunan yang hampir jadi. Meskipun bangunan itu terbuat dari kayu dan setengah batu, bangunan itu nampak kokoh dan kuat. Tapi yang jelas pondokan-pondokan yang hampir jadi itu sudah bisa ditempati. Malah lebih nyaman daripada di dalam tenda. Di antara sekian banyak berderetnya pondokan-pondokan, ada sebuah podokan yang sudah betul-betul rampung.

Raden Mas Kinanjar Swantaka bersama orangorangnya berada di situ. Mereka dalam keadaan aman. Beberapa prajurit menjaganya di luar. Lalu sisanya meneruskan pekerjaan mereka membangun benteng. Nampak sekali kesibukan-kesibukan mereka. Raden Mas Kinanjar Swantaka duduk berderet melihat dari dalam ruangan pondokan itu. Juga termasuk beberapa orang yang duduk berderet melingkar ke arahnya. Mereka tidak lain adalah Wintara, Umbara Komang dan Pendekar Wanita Kembar Cambuk Seriti. Beberapa prajurit berdiri juga di dalam ruangan itu.

Dari kancing bajunya yang terbuka nampak jelas balutan-balutan yang melilit di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sedari tadi pula Wintara memperhatikan luka-lukanya. Nampaknya luka-luka itu sudah berangsur membaik. Umbara Komang duduk bersila bersandar pada dinding, kedua matanya terpejam sambil mendengkur. Tapi orang-orang yang ada di ruangan itu tidak memperdulikannya. Apalagi wanita kembar yang bersila di sebelahnya, mereka bersikap masa bodoh terhadap Umbara Komang. "Semestinya kita sudah harus ada di kerajaan untuk membawa upeti-upeti ke sana. Tapi mengingat saudara Tangan Besi dan temannya belum sampai ke sini, kita terpaksa menunggu mereka. " kata Raden Mas Kinanjar Swan-

taka mengawali pembicaraan.

"Tapi mereka sudah melewati batas perjanjian, Raden. Kami khawatir saudara Tangan Besi dan Langkung Daro tewas dalam melakukan tugasnya. " Cam-

buk Kembar Seriti Kuni memberikan pendapat. "Jangan berperasaan khawatir seperti itu, Seriti

Kuni.... Mereka berdua bukan termasuk orang-orang yang mudah diperdaya." jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Memang betul, Raden... Menurut perintah dalam tiga hari mereka harus kembali ke sini. Tapi sekarang sudah telat lima hari     Halangan apa yang mem-

buat mereka begitu telat.... Kalau Raden Mas sengaja menunggu mereka, apa kata orang-orang kerajaan nanti? Paling tidak mereka akan khawatir juga terhadap kita. Tidak pantas kalau orang-orang kerajaan datang ke mari yang mengambil upeti   " ujar Seriti Kuni

yang tidak berbeda dengan Seriti Wuni. Keduanya menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Jadi bagaimana menurutmu jalan yang terbaik ?"

"Secepatnya kita berangkat ke kerajaan, kalaupun saudara Tangan Besi dan saudara Langkung Daro masih hidup mereka pasti datang ke sini lagi. Lagipula tanpa mereka apa halangannya. ? Raden Mas Kinanjar

Swantaka orang kepercayaan kerajaan, jangan sampai Raden kehilangan muka." jawab Seriti Kuni.

"Apa yang dikatakan Seriti Kuni adalah benar. Upeti harus secepatnya sampai ke kerajaan " Wintara

ikut angkat bicara. Umbara Komang masih tetap mendengkur.

"Raden Mas Kinanjar Swantaka tak usah cemas! Tentunya Pendekar Kembar Seriti akan bersedia mengawal, bukankah begitu ?" kata Wintara lagi, ma-

tanya berkedip ke arah wanita kembar itu.

"Kau pun harus ikut serta, Pendekar Muda!" sahut Seriti Wuni.

"Jangan lupa ajak temanmu itu." Seriti Kuni menunjuk Umbara Komang. Pandangan Raden Mas Kinanjar Swantaka mengarah ke situ pula, maka ia tersenyum.

Umbara Komang tetap mendengkur pulas. Sudah tentu ia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka mengancingkan bajunya. Balutan-balutan yang melilit di tubuhnya tertutup. Luka-luka itu masih terasa sakit. Tapi tidak apa-apa. Hanya luka luar.

"Bukan aku tak percaya dengan kalian...." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, ia bangkit berdiri. Yang lain tetap bersila pada tempatnya. Lalu....

"Kalau saja Pendekar Tangan Besi dan Langkung Daro ada di sini, kekuatan kita akan lebih terjamin lagi. Sebab daerah yang akan kita lewati amatlah berbahaya. Tidak ada jalan lain selain melintasi perbukitan tandus yang memanjang sampai ke Ungaran. Bukit tersebut telah dikuasai oleh perampok-perampok yang tidak kenal ampun. Apalagi mereka tahu kita membawa upeti yang tidak sedikit jumlahnya."

"Raden, kita-kita ini bertugas demi kerajaan...

Demi tanah air!. Apapun halangannya kita harus berusaha menghadapi. Lebih baik kita mati dalam tugas daripada diam berpangku tangan di sini." kata Seriti Kuni. Adiknya, Seriti Wuni diam berpikir.

"Aku mengerti.... Kalian memang bermaksud baik." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka, sambil kedua matanya memandang orang-orang yang bekerja di luar sana. Kemudian ia berkata lagi,

"Kalau kita-kita semua berangkat, siapa yang akan mengawasi orang-orang bekerja di sini, siapa pula yang akan menjamin bila terjadi sesuatu ?

Haaaaaaah," Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik nafas. Pembicaraan mereka putus. Ucapan Raden Mas Kinanjar Swantaka memang betul. Kedua-duanya sama penting. Orang-orang yang ada di situ dan upeti yang akan diantar sama-sama memerlukan pengawal.

"Siapa di antara kalian yang mau mengawal upeti dan mengawal di sini ?"

"Aku !" jawab mereka serempak. Hanya Umba-

ra Komang yang tetap mendengkur.

"Ah! Itu sama bodohnya ! Dalam hal ini kalian akan ku bagi menjadi dua bagian. Hanya itu jalan terbaik. Kalian tinggal mencari keputusan." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka tersenyum ramah. Semuanya diam. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah menuju ke sudut ruangan. Di situ terdapat sebuah meja. Di atasnya terdapat empat buah peti ukuran kecil. Orang itu mengusap-usap salah satu peti.

"Kalau kalian tetap diam biarlah aku yang akan memberi keputusan... Menurut pemikiran ku, Pendekar Cambuk Seriti Kembar tetaplah di sini. Sebenarnya bukan aku merendahkan kalian. Bukan sama sekali... Dalam hal ini aku sengaja memilih Wintara dan sahabat silumannya "

"Apa? Aku bukan siluman! Aku Umbara Komang!" Tiba-tiba saja Umbara Komang bangkit. Setelah ia berkata begitu, ia meneruskan tidurnya.

*

* *

2

Panas terik matahari menggarang ketiga orang yang menunggangi kuda menyusuri lembah sunyi. Ketiga ekor kuda itu berjalan tenang membawa tuannya. Paling tengah duduk tegak sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tubuhnya bergoyang-goyang saat kudakudanya melangkah tenang menyusuri jalan itu. Wintara dan Umbara Komang mengiringi di samping kiri dan kanan Masing-masing kuda mereka membawa dua buah peti. Peti-peti diikat erat menyatu dengan pelana. Tebing-tebing curam di kedua sisi jalan. Umbara Komang tidak bisa diam di atas pelananya.

"Dewa.... Sebenarnya  mau  ke mana kita ini? Rasanya kita menyusuri lorong maut yang sangat panjang." kata Umbara Komang kesal. Tingkah lakunya sangat aneh.

"Tenanglah, Umbara.... Akan kubawa kau ke sarang siluman jahat. Pasti kau akan senang...." kata Wintara menghibur.

"Apa? Mendengar adanya siluman jahat tanganku jadi gatal...! Di mana mereka?"

"Masih jauh... Tenang saja jangan ribut! Pelanpelan saja kita berjalan... Awas jangan sampai mereka terbangun, kita akan celaka...." Raden Mas Kinanjar Swantaka menakut-nakuti. Tapi Umbara Komang malah kegirangan.

"Siluman-siluman jahat mesti dimusnahkan! Biar saja mereka bangun semua! kenapa harus takut...!" Lalu Umbara Komang memacu kudanya berjalan paling depan. Sebentar saja kuda itu berada jauh. Nampak kuda itu berputar-putar ke sekeliling lembah.

"Keluar siluman...! Keluar! Ayo keluar kalian semua! Aku siluman, Eh bukan! Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang raja dari para siluman akan menggorok leher kalian!" Umbara Komang berteriakteriak. Tidak ada jawaban. Hanya suaranya yang bergema di sekeliling lembah. Umbara Komang berhenti berteriak. Lalu ia memberi aba-aba pada Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendekatinya.

"Sssst... Siluman-siluman itu benar ada. Mereka bersembunyi di sekeliling sini! Kalian dengar tadi mereka mengikuti suara ku!" katanya sambil menutup bibirnya dengan jari telunjuk. Kedua orang yang menghampiri hanya tersenyum. Mereka mengerti apa yang dimaksudkan Umbara Komang. Laki-laki berpenyakit saraf itu mengira gema suaranya adalah suara para siluman. Mereka berjalan beriringan lagi. "Biar saja mereka bersembunyi.... Itu karena mereka takut!" ujar Wintara.

"Siluman yang suka sembunyi adalah siluman yang baik!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menimpali. Umbara Komang manggut-manggut sok mengerti. Kini ia duduk dengan gagah di atas kudanya. Memandang ke atas penuh keangkuhan.

"Siluman jahat tidak ada yang berkeliaran di sini... Nanti tak lama kita akan menjumpai silumansiluman jahat... Tapi aku rasa mereka takut melihat kita. Karena raja dari para siluman ada di sini...!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka lagi. Umbara Komang makin kembang kempis hidungnya. Bibirnya mencibir sombong.

Mereka kembali berjalan dengan menunggangi kuda-kudanya. Lembah-lembah di situ tidak begitu curam lagi. Udara masih dapat berhembus meski matahari bersinar terik. Mereka baru merasakan kalau hari itu begitu cerah. Namun begitu mereka tetap waspada akan bahaya yang bakal dari kedua sisi jeram. Para perampok biasanya di sana. Dan mereka memang telah memastikan wilayah rawan.

Mereka bertiga mendadak berhenti ketika mendengar banyak derap kaki kuda dari arah belakang. Ketiganya serempak menoleh ke arah kuda-kuda yang berlarian di belakangnya. Kuda-kuda itu makin lama makin dekat. Nampak dua ekor kuda menarik sebuah kereta yang amat bagus. Kuda-kuda lainnya mengiringi berderet di depan dan belakang.

Melihat kuda-kuda yang begitu banyak, Wintara segera menepi ke pinggir jalan. Umbara Komang maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka mengikuti. Kuda-kuda mereka berjajar di pinggiran jalan. Mereka memberi jalan kepada belasan kuda yang berlari terburu-buru. Kereta kuda yang berada paling tengah pada barisan itu nampak tenang melaju. Di dalam kereta itu nampak jelas sekali seorang perempuan muda duduk sendirian. Mereka melaju terus tidak memperdulikan ketiga orang yang menunggangi kudanya di pinggiran jalan.

Ketiga orang itu pun dapat melihat wajah perempuan muda di dalam kereta itu. Wajah yang ayu nan anggun. Sinar matanya penuh kelembutan yang jarang dimiliki oleh perempuan manapun. Siapa saja yang melihatnya pasti tergetar. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka saat itu. Kedua matanya tidak berkedip ketika mereka beradu pandang.

Umbara Komang hampir melompat menyerang mereka, tapi cepat Wintara dapat menahannya.

"Mereka bukan siluman jahat, Umbara... Mereka siluman baik-baik!" sergah Wintara. Umbara Komang tenang kembali. Rombongan kuda itu telah menjauh. Yang mereka lihat hanyalah segumpalan asap mengepul di antara kaki-kaki kuda mereka.

Raden Mas Kinanjar Swantaka masih memandangi kepergian kereta yang kian lama kian jauh menghilang. Sedari tadi ia tidak berkedip. Wintara dapat memperhatikannya, betapa Raden Mas Kinanjar Swantaka terpesona pada perempuan muda itu.

Wintara pun mengakui akan keanggunannya, kecantikannya bahkan kelembutan yang memancar dari kedua sinar mata yang indah. Tapi bagi Wintara hanya cukup untuk mengagumi saja. Lain tidak!

"Dia memang sangat cantik, Raden... Dan pantas untuk dijadikan selir." Wintara menggoda. Raden Mas Kinanjar Swantaka tersentak dari lamunannya. Ia sudah merasa dengan sindiran itu. Maka ia cepatcepat mengendalikan kudanya meneruskan perjalanan. Namun dalam hatinya masih membayang seraut wajah yang sangat menawan. "Begitu banyak para pengawalnya, pastilah gadis itu bukan orang sembarangan. Apalagi berani melintasi lembah ini. Bagaimana kalau sampai di bukit sana?" kata Wintara yang menyusul di belakang bersama Umbara Komang.

"Mudah-mudahan saja mereka selamat dalam perjalanan... Kuharap sekali...." Raden Mas Kinanjar Swantaka berkata pelan.

Ketiganya tidak lagi berjalan perlahan. Raden Mas Kinanjar Swantaka yang memimpin di depan memacu kudanya lebih cepat. Wintara maupun Umbara Komang hanya mengikuti berusaha mengimbangi. Sengaja Wintara membiarkan orang ningrat itu berjalan paling dulu. Membiarkan dirinya bersama angannya yang kasmaran.

Setengah harian penuh sudah mereka melintasi daerah lembah. Kini mereka mengarungi dataran kering berbatu. Di mana pada dataran itu banyak menghampar tulang belulang berserakan. Namun bagi mereka bertiga pemandangan semacam itu tidak berarti sama sekali. Malah tulang berulang itu hancur berderak-derak terinjak oleh kaki-kaki kuda mereka.

Pandangan mereka membentur pada sebuah bangunan yang hampir roboh. Bangunan itu pula yang bakal mereka lewati. Setelah mereka menyeberangi sebuah jembatan kayu yang menghubungkan ke mulut jurang yang membentang di hadapan mereka, barulah mereka dapat melihat jelas bangunan yang telah termakan usia. Perlahan sekali mereka melintasi halaman muka bangunan tersebut.

Mata Raden Mas Kinanjar Swantaka terbelalak ketika ia melihat ke bawah di depan pintu. Sosok tubuh terkapar membiru dan menyebarkan bau busuk. Tubuh itu penuh dengan pisau-pisau kecil menembus di kulitnya. Ia langsung turun dari kuda yang di tunggangi. Wintara dan Umbara Komang hanya memperhatikan.

"Langkung Daro! Astaga...!" Keluar pekikan dari mulut Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wintara turun dari kudanya mendekat. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih dulu masuk ke dalam bangunan itu. Sebelum orang itu masuk, tubuh Umbara Komang melesat dan tiba-tiba saja menghalangi langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka....

"Tahan.... Jangan masuk ke sini! Aku tahu betul kalau di sini sarang siluman jahat!" Begitu katanya. Melihat tindakan Umbara Komang, orang ningrat itu hampir marah. Tapi ia segera dapat menguasai amarahnya....

"Justru itu, Umbara Kita mesti membasminya

sekarang!" kata Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil menyingkirkan tubuh Umbara Komang yang menghalangi langkahnya. Umbara Komang membiarkan orang itu masuk tapi ia sendiri pun ikut masuk pula ke dalam. Pada ruangan pertama mereka tidak melihat apaapa. Namun pada ruangan kedua, mereka hanya melihat barang-barang serta papan-papan yang telah hancur berkeping-keping. Tidak ada satu manusiapun di dalam sana. Lalu mereka keluar lagi. Wintara masih menunggu di luar.

"Tidak ada tanda-tanda orang tinggal di sini....

Apa sebenarnya yang terjadi pada Langkung Daro!" Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap mayat itu. Umbara Komang termangu. Sepertinya ia teringat akan sesuatu yang pernah dialaminya. Terbayang sekali wajah seram seseorang berambut putih kusut dengan gusi tanpa gigi di saat menyeringai. Wajah itu kian menghantui perasaannya. Membuat dirinya kalap. Tiba-tiba saja ia berteriak dan mengamuk seperti ingin menghancurkan bangunan itu.

*

* *

3

Setiap pukulan Umbara Komang mampu menghancurkan dinding batu. Tendangannya pun demikian. Kalau saja Wintara tidak cepat menahannya, mungkin bangunan itu akan hancur. Terhadap Wintara, Umbara Komang sangat takluk. Ia menghentikan amukannya.

"Kau melakukan tindakan yang salah, Umbara Komang. Kalau kau menghancurkan bangunan ini, salah-salah kau sendiri yang akan terkubur hidup-hidup di sini!" bentak Wintara. Umbara Komang tertunduk, sepertinya ia menyesali perbuatannya. Tidak terasa kedua tinjunya mengalirkan darah.

Sekarang ia menatap angkuh ke arah bangunan itu. Kedua matanya memancarkan sinar kebencian. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka memandang aneh. "Aku ingat sekarang. Istana ini tempat berdiamnya Siluman Berambut Putih! Hati-hati terhadap dirinya! Dia banyak menguasai siluman!" kata Umbara Komang dengan tiba-tiba.

"Siluman Berambut Putih?" Wintara bergumam. "Yahhhh. Nanti kalau ketemu Siluman Putih ki-

ta bereskan dia! Sekarang kita kubur saja jasad Langkung Daro ini...."Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai menggali lubang, sebelumnya ia meraih tonggak kayu yang digunakan untuk menggali. Wintara datang membantu. Umbara Komang tidak berdiam diri. Kedua tangannya ikut membantu menggali tanah. Maka dengan sebentar saja lubang itu sudah siap.

Selesai menguburkan jasad Langkung Daro, mereka meneruskan perjalanan. Kali ini mereka nampak serius. Ketiganya nampak hanyut dengan pikiran masing-masing. Apalagi sekarang mereka melewati padang tandus. Angin yang berhembus bercampur dengan debu. Keringat mereka berbaur dengan debu-debu yang beterbangan.

Perjalanan mereka memang masih sangat jauh. Untuk mencapai daerah kerajaan mereka harus menempuh setengah harian lagi. Untunglah mereka membawa banyak perbekalan. Tiap-tiap kuda mereka terdapat kantong perbekalan. Mereka lebih banyak membawa persediaan air. Nampak pula mereka sesekali meneguk pundi-pundi air mereka.

Tebing-tebing tegar nampak menakutkan. Tidak ada tumbuhan yang kelihatan menghijau. Semuanya kering serba tandus. Batang-batang pohon banyak tumbuh di atas tebing-tebing itu. Cabang-cabangnya yang plontos tanpa daun bagai cakar-cakar makhluk yang amat mengerikan. Dari situ pula, tiba-tiba saja berjatuhan batu-batu sebesar kepala menghujani ketiga orang yang berjalan menunggangi kuda.

Batu-batu tersebut menggelinding bersuara bagai gemuruh. Ketiga orang yang berada di bawahnya cepat menoleh ke atas. Lalu dengan sigap mereka menghindari hujan batu yang datangnya dari atas tebing. Kuda-kuda mereka meringkik ketakutan. Debudebu pasir menutup bagai asap tebal. Dan ketika batubatu itu berhenti menghujani mereka. Asap debu perlahan pudar.

Pandangan mereka masih samar tertutup asap debu. Meskipun demikian mereka dapat melihat puluhan sosok berdiri di atas tebing menatap garang ke bawah. Puluhan orang itu melihat betapa repotnya mereka menghindari batu-batu yang masih menggelinding nyaris menimpa. Tidak satupun batu-batu itu yang berhasil menyentuhnya. Ketiga orang itu meskipun duduk di atas kuda dapat menghindarinya dengan mudah.

Separuh dari orang-orang yang berdiri di atas tebing meluruk turun ke arah tiga orang yang masih berusaha menghindari hujan batu. Suara-suara mereka begitu ribut, mendengar dari nada teriakan mereka pastilah mereka akan menyerang. Mereka juga nampak mengacung-acungkan senjatanya! Dari pisau, golok, pedang, bahkan panah sekalipun nampak jelas di tangan mereka. "Tangkap mereka hidup-hidup dan ambil semua upeti yang mereka bawa...!" terdengar teriakan seseorang dari atas tebing sana. Sosok itu berdiri pada tonjolan batu yang paling tinggi. Tubuh hitam itu berdiri tegak menyaksikan anak buahnya menyerang ketiga orang yang berada di bawahnya. "Kita juga perlu kuda-kuda mereka!" Sosok yang berdiri paling tinggi teriak lagi.

"Itu perampok-perampok yang kuceritakan tempo hari, Wintara... Dan kita memang memasuki wilayah kekuasaannya. Mereka pasti menginginkan upeti-upeti yang kita bawa...." Raden Mas Kinanjar Swantaka melirik peti-peti kecil di belakang kuda Wintara dan Umbara Komang. Ia khawatir dan tidak ingin upeti-upeti itu jatuh ke tangan mereka. Wintara tetap tenang menatap para perampok itu mendekat berdatangan.

"Wueeeeh...! Inikah siluman-siluman jahil itu? Bagus!" kata Umbara Komang ia membawa kudanya maju ke depan. Wintara membiarkannya, ia melihat Umbara Komang melompat dari kudanya dan maju menyerang para perampok yang sudah turun. Tendangannya menjatuhkan tiga orang sekaligus....

"Hayo kalian turun semua...! Siluman-siluman jelek yang jahat harus lenyap dari muka bumi !

Heaaaaaaat!" Lengannya berputar. Kembali dua orang bergelimpangan dengan muka yang berlumuran darah. Para perampok itu tidak hanya menyerang Um-

bara Komang, mereka berpencar mencari sasaran lain. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka mulai turun menyambut serangan-serangan mereka. Senjatasenjata mereka berkelebat, namun Wintara dapat dengan mudah mengatasi. Bahkan setiap kali Wintara melakukan serangan balasan, tubuh-tubuh banyak yang berpentalan.

Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka, meskipun ia dalam keadaan yang terluka ia masih bisa menyambut serangan-serangan itu. Sekalipun para perampok itu tahu tiga orang itu memiliki ilmu yang sangat luar biasa, mereka tidak gentar sedikitpun.

"Bantu mereka. Cepat.... Tangkap mereka hidup-hidup!" Terdengar lagi teriakan sosok yang berdiri tegap. Maka menghamburanlah sisa orang-orang yang masih berdiri atas tebing. Mereka meluruk ke bawah bagai air bah. Dengan disertai suara-suara teriakan orang-orang itu maju menerjang. Beberapa orang berusaha mendekati dua ekor kuda yang membawa petipeti kecil. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang sempat melihat mereka langsung melompat dan melancarkan tendangan...

"Deeeeees."

Orang-orang yang baru saja mengambil petipeti itu memekik dengan tubuh-tubuh yang terbanting keras. Namun masih saja orang-orang berwajah garang datang merebut peti-peti itu. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak akan mengijinkannya. Orangorang itupun harus menyingkirkannya lebih dahulu. Tapi mana mampu mereka menyingkirkan Raden Mas Kinanjar Swantaka?

Para perampok itu berdatangan seperti tidak pernah ada habisnya. Mereka memang berilmu tinggi, tapi menghadapi puluhan orang secara keroyokan mana mungkin mereka bisa bertahan lama. Wintara sendiri selalu mundur-mundur mengatur siasat. Setiap ia mundur melangkah, hantamannya selalu memakan korban. Selalu saja begitu. Karena Wintara tidak mungkin berdiri di situ terus menghadapi para perampok-perampok itu, sementara mereka menyerang dari segala arah.

"Kau raja siluman keparat...! Akulah lawanmu...!" Umbara Komang berlari menanjak ke atas tebing. Namun tidak mudah! para perampok berdatangan menghalanginya. Babatan-babatan senjata mereka hampir merencah tubuhnya. Sosok hitam berdiri tenang melihat pertempuran itu. Sinar ma tanya memancar sinar amarah yang luar biasa terhadap Umbara Komang. Maka ia pun melesat ke bawah ke arah Umbara Komang. Laki-laki itu tidak tahu sama sekali bahaya yang akan datang. Karena Umbara Komang tengah sibuk menghadapi lawan-lawannya. Sampaisampai ia lalai. Dan tahu-tahu saja sebuah tendangan menghantam kepalanya... "Der!"

Sudah tentu Umbara Komang memekik bergelintingan. Setelah melancarkan tendangan, sosok hitam itu melesat lagi. Gerakannya cepat bagai kilat. Ia tidak lagi naik ke atas tebing. Tubuhnya yang gesit meluncur deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ringan sekali ia melesat di udara, sebelah tangannya berkelebat menyambar...

Saat Raden Mas Kinanjar Swantaka membereskan lawan-lawannya, matanya sempat melihat sosok hitam berkelebat melancarkan serangan... "Weeees!" Serangan itu luput. Karena Raden Mas Kinanjar Swantaka keburu merunduk. Dalam keadaan tubuh masih di udara sosok hitam itu masih sempat melancarkan tendangannya. "Deeees!"

Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak sempat menghindar lagi. Tubuhnya bergulingan. Mulutnya mengeluarkan darah. Sosok hitam itu tidak berhenti menyerang, sekali kakinya menghentak tubuhnya melesat lagi dan tahu-tahu tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bekukannya. Sebelah lengannya mengarahkan pedang pendek ke tenggorokkan laki-laki ningrat itu. Ujung pedangnya menggores kulit leher. Terasa sekali perihnya.

"Hentikan...! Kalian lihat ke mari!" teriak sosok hitam itu. Maka segera saja Wintara melompat jauh menghindari serangan-serangan dan melihat keadaan Raden Mas Kinanjar Swantaka terancam. Umbara Komang masih sibuk menjatuhkan lawan-lawannya...

"Hei manusia gila...! Kau ingin majikan mu ini mampus?" teriak sosok hitam lagi.

*

* *

4

Kuil itu berdiri kokoh pada dataran berbatu. Setiap sudut-sudutnya terdapat nyala api yang berkobar-kobar. Membuat seluruh kuil itu nampak terang benderang. Kuil itu hampir mirip dengan sebuah candi. Bentuknya bertingkat-tingkat. Dan pada tingkat paling atas berdiri sebuah patung. Entah patung apa. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Kepala patung itupun sudah tidak ada. Pada tingkat atas tersebut nampak sebuah ruangan yang sangat terang. Belasan pelita dari kuningan tergantung pada tiap-tiap tiang penyanggah. Dalam ruangan itu pula ada dua orang duduk bersila saling berhadapan.

Di luar sangat dingin dan gelap. Terdengar sayup-sayup rintih kesakitan. Suara itu berasal dari halaman kuil di mana banyak berdiri tonggak-tonggak kayu tinggi yang berderet mengelilingi halaman tersebut. Tiap-tiap tonggak itu pula terikat sosok-sosok tubuh yang sudah berlumuran darah. Dari situ rintihan kesakitan berasal. Pada tingkat kedua ruangan itu mirip sebuah tempat persembahan korban, sekeliling ruangan itu terdapat altar-altar yang berukuran cukup besar. Di atas altar itu masing-masing terdapat sosok tubuh seorang perempuan telanjang bulat. Mereka terlentang pasrah dengan kedua lengan dan kaki terikat rantai mengangkang.

Pada beberapa altar yang sudah tak tampak terurus, nampak beberapa kerangka tulang manusia yang terlentang dengan rantai-rantai yang erat membelenggu. Ruangan itu nampak suram. Seluruhnya hampir dipenuhi dengan asap keputihan. Namun tempat itu tetap dingin dan selalu terdengar dari mulut-mulut para wanita yang terbelenggu membugil.

Rintihan-rintihan kesakitan yang sangat mengganggu itu sama sekali tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi kedua orang-orang yang tetap duduk bersila berhadapan. Satu dari kedua orang itu berambut putih kusut. Satu lagi seorang lelaki berambut menggulung di atas kepalanya, ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Keduanya terlibat satu pembicaraan yang serius. Beberapa pelayan yang mengenakan pakaian serba hitam pula datang menghidangkan makanan. Setelah itu mereka ke luar lagi. Lalu kedua orang ini melanjutkan pembicaraannya.

"Bukannya aku tak mau membantu mu, Ki Rondo Mayit.... Masalahnya sangat berbahaya. Kau terlalu berangan-angan muluk. Kita-kita ini berdiri pada jalan hitam, siapapun tidak ada yang akan mendukung kita. Apalagi dengan caramu yang tidak benar itu... Pantas saja putra mu tewas di tangan orangorang Raden Mas Kinanjar Swantaka." kata orang berjubah hitam sambil meraih pundi arak. Diapun menenggaknya.

"Semua yang telah terjadi ya memang harus terjadi. Tapi paling tidak aku harus membalas dendam. Raden keparat itu harus mampus di tanganku... Karena dia harus membayar darah anakku yang tertumpah!

Aku harap kau mau membantuku, Kama Lodra!" Ki Rondo Mayit menatap orang yang duduk bersila di hadapannya. Setelah meminum beberapa kali tenggakan Kama Lodra menjawab.

"Aku bersedia membantumu, tapi ada satu permintaanku... Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kerajaan!"

"Berarti kau takut!" Ki Rondo Mayit mencela.

Kama Lodra tersenyum, lalu....

"Bukannya takut.... Kehidupan di sini serba cukup! Aku tidak kurang satu apapun! Dan aku cukup mengerti apa yang tengah kau pikirkan sekarang. Tentunya kau sendiri yang merasa takut terhadap orangorang yang melindungi Raden Mas Kinanjar Swantaka... Bukankah begitu ?" jawab Kama Lodra.

"Kau salah! Pendapatmu sangat salah! Terhadap siapapun aku tidak takut! Apalagi hanya membunuh raden keparat itu, Huh! Apa susahnya Aku

hanya kurang dukungan "

"Lalu kau akan meminta dukungan kepadaku...? Ha ha ha ha sungguh cerdik kau Ki Rondo Mayit. Aku mengakui pernah berutang budi padamu... Kau memojokkan aku...! Ha ha ha ha. Kelak kalau sudah menguasai Rogojembangan jangan melupakan aku!" Keduanya tertawa. Ruangan tingkat atas jadi riuh oleh tawa-tawa mereka.

*

* *

Sementara itu di luar kuil nampak puluhan kuda berjalan mendekat. Suara derap kaki kuda mereka memecah kesunyian malam yang gelap dan dingin. Seseorang bertopeng hitam dan berpakaian serba hitam pula berjalan membawa kudanya paling depan. Beberapa anak buahnya di belakang mengiring tiga orang tawanan yang terikat dengan tambang berhubungan. Rombongan memasuki halaman kuil yang penuh dengan sosok-sosok tubuh terikat pada sebatang tonggak yang mengelilingi halaman itu.

Ketiga tawanan itu dapat melihat tubuh-tubuh tergantung bermandikan darah sambil mengerangerang menahan sakit. Pastilah mereka korban-korban dari perampokan mereka. Sungguh biadab, pikir Raden Mas Kinanjar Swantaka yang terikat paling tengah. Di lehernya mengancam sebilah dang yang setiap saat dapat merenggut nyawa.

Wintara dan Umbara Komang tak dapat berbuat apa-apa. Mereka bertiga terdorong terus oleh beberapa mata tombak yang mengarah di punggung.

"Ra-ra-raden...." Terdengar rintihan dari sosok tubuh yang tergantung di antara tiang tonggak. Merasa ada yang memanggilnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah suara itu, dan bukan main terkejutnya. Sosok tubuh itu nampak jelas diterangi dengan api yang berkobar-kobar di sudut kuil.

"Pendekar Tangan Besi...!" Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik tak percaya.

"Maafkan aku, Raden.... aku gagal dalam menjalankan tugas.... Mereka menghadang dalam perjalanan," suara itu lemah sekali. Begitu juga dengan tubuhnya yang tergantung.

"Kau tidak gagal, Pendekar Tangan Besi    Bala

Tlenges sudah tewas di tangan kita...! Sekarang dibunuh mereka pun aku puas!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap iba.

Sebatang tombak mendorong punggung, Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lagi. Tapi baru saja ia melangkah tiga kali matanya tertuju pada sebuah kereta yang amat bagus. Ia masih ingat betul kereta tadi yang dijumpainya dalam perjalanan. Ia pun belum lupa dengan wanita muda yang berada dalam kereta itu. Apakah ia juga telah tertawan di sini? Kalau ya wanita muda itu tentunya akan celaka. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah membayangkan kengerian yang pasti akan dialami si cantik jelita itu. Ia tidak merasakan tusukan-tusukan mata tombak di punggungnya. Rasa sakit itu seakan-akan tak berarti setelah melihat kereta kuda diam berdiri tak bergeming. Wintara yang memperhatikannya langsung menarik tali pengikatnya. Wintara tidak ingin tombak itu menembus lebih dalam di tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Para perampok itu turun dari kuda-kudanya dan langsung menambatkannya berjajar di halaman kuil yang sangat luas. Suara-suara mereka ribut dan tempat itupun menjadi gaduh. Setelah menambatkan kudanya sosok bertopeng itu melepaskan ikatanikatan tali yang mengikat empat buah peti berukir. Mereka pun menaiki anak tangga memasuki ruangan. Anak buah yang lain menggiring ketiga tawanan memasuki ruangan bawah.

Dari luar pintu yang terkunci ketiga tawanan mendengar rintihan-rintihan beberapa perempuan. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah lebih cepat mendekati ruangan itu. Pintu dengan gembok sebesar kepalan tangan itu dibuka, maka ketiganya melihat altar-altar yang berderet di sekeliling ruangan. Mereka melihat pula sosok-sosok perempuan bugil terlentang terbelenggu rantai di atasnya. Para perampok mendorong tubuh ketiganya masuk ke dalam. Kemudian mengunci kembali pintu itu.

"Di mana ini... Di mana...?" Umbara Komang celingukkan.

"Di istana siluman! Kita jadi tawanan mereka. Lihat itu para siluman baik pun tertawan di sini bersama kita...." jawab Wintara sambil memoncongkan mulutnya ke arah wanita-wanita yang terlentang di atas pilar. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah mengitari seluruh altar. Matanya menatapi satu persatu wajah wanita-wanita itu. Mereka memang rata-rata berwajah menarik. Bentuk tubuh mereka pun aduhai. tapi tidak satupun wanita yang mirip dalam anganangannya. Sampai ia melangkah ke ruangan sudut, ia melihat di atas altar seonggrokan kerangka tulang terbelenggu rantai. Dan wanita yang ditemuinya tadi siang betul-betul tidak ada. Raden Mas Kinanjar Swantaka makin cemas. Wintara melangkah mendekat.

"Keparat! Mereka pasti telah berbuat kotor atau membunuhnya!"

"Belum tentu, Raden... Wanita itu teramat istimewa. Mungkin mereka menawannya di ruangan lain. Berdoa saja, mudah mudahan dia tak kurang satu apa pun!" ujar Wintara di sebelahnya. Umbara Komang nampak mengelilingi melihat satu persatu wanitawanita yang terlentang di atas altar Iapun bergidik. Namun ia masih saja berkeliling menatap tubuh-tubuh bugil itu.

*

* *

5

Esok paginya ketika matahari menyembul dari balik bukit, ketiga tawanan itu diseret ke luar. Halaman kuil telah penuh dengan perampok. Namun saat tiga tawanan memasuki halaman, mereka semua menyingkir ke pinggir. Membiarkan ketiganya berdiri di tengah-tengah halaman. Tak lama muncul pula sosok hitam bertopeng menuruni anak tangga. Ia bersama dua orang laki-laki yang setengah tua. Mereka pun memasuki halaman kuil.

"Ayah, Paman... Itulah tawanan-tawanan kita yang baru." kata sosok hitam bertopeng. Kedua orang yang berjalan di sebelahnya membelalakkan mata. Terlebih-lebih pada seorang yang berambut putih kusut. Ia tidak percaya melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka dan Umbara Komang berada di situ terikat. Ki Rondo Mayit segera melompat. Dan ketika ia berada dekat Raden Mas Kinanjar Swantaka, lengannya siap terangkat memecahkan kepala. Namun cepat sosok bertopeng itu menepis "Plaak!" Hantaman Ki Rondo Mayit

melenceng.

"Apa yang hendak Paman lakukan...?" Sosok bertopeng itu menggenggam lengan Ki Rondo Mayit.

"Serahkan manusia keparat ini padaku! Juga manusia gila yang di sebelahnya!"Ki Rondo Mayit geram. Sebelah tangannya bergerak lagi siap menghantam. "Tunggu, Paman! Mereka tawananku! Paman tidak bisa berbuat semaunya di sini! Paman hanya tamu, kami akan menghormati jika Paman bersikap sopan terhadap tuan rumah." Mereka saling tatap. Ki Rondo Mayit makin geram. Lalu ia menoleh ke arah Kama Lodra.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa! Di sini anakku yang berkuasa." jawab Kama Lodra sambil mengangkat bahu. Tiba-tiba saja Umbara Komang berteriak....

"Hey   Kerak Neraka! Siluman ompong, kita ke-

temu lagi... He he he he   " ucapan itu tertuju pada Ki

Rondo Mayit. "Anjing-anjing siluman mu sudah jadi abu semua. Apa kau tidak ingin menyusul mereka? He he he he... Aku khawatir mereka tidak bisa nenen!" ejek Umbara Komang. Muka Ki Rondo Mayit memerah. Sosok bertopeng berjalan mengelilingi kereta kuda yang masih berada di pinggir halaman. Umbara Komang bersikap aneh memandang sosok bertopeng yang berjalan mengelilingi mereka. Manusia bertopeng itu berdiri di hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia menatap dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Mana gadis itu.... Kau boleh berbuat sesuka hatimu, asal kau bebaskan dia!" Kata Raden Mas Kinanjar Swantaka. Manusia bertopeng mengangkat wajahnya.

"Boleh saja! Tapi langkahi dulu mayat ku !"

"Jangan percaya, Raden.... Mereka semua perampok laknat!" Beberapa orang yang tergantung di tiang nampak berteriak-teriak. Mereka masih hidup meskipun telah berlumuran darah.

"Siapapun tak ada yang hidup di sini! Mereka akan membantai kita satu persatu!" Pendekar Tangan Besi yang ikut tergantung itu ikut berteriak. Mendengar teriak-teriakan itu sosok bertopeng menghentakkan kedua kakinya, maka tubuhnya lentur berputar di udara. Dalam pada itu ia menarik gagang pedangnya. Lalu "

Breeet..! Breet!"

Kepala dua orang yang tergantung menggelinding di tanah bersamaan dengan hinggapnya kedua kaki manusia bertopeng. Tubuh-tubuh tanpa kepala yang tergantung kelojotan. Dari leher mereka yang kutung memancur deras darah merah bagai air mancur.

Bagi para perampok kejadian semacam itu adalah hal yang biasa. Tapi bagi ketiga tawanan ini, tindakan itu sangatlah di luar kemanusiaan. Ketiganya nampak diam saat sosok bertopeng mendekati lagi.

"Aku pun hendak melakukan hal yang sama terhadap kalian!" kata manusia bertopeng.

"Tentunya kau pun telah membunuh gadis itu!

Biadab!" Kinanjar Swantaka geram.

"Yang kau tanyakan selalu gadis itu, kau cemburu?" Umbara Komang menyahut. Manusia bertopeng itu gelagapan, Lalu tangannya melayang menampar pipi Umbara Komang. Terasa sekali tamparan itu. Tapi Umbara Komang malah mencibir. Nampak sosok bertopeng itu mengangkat pedangnya lagi, lalu dengan secepat kilat....

"Treeees!" Ia membabat ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Semua orang termasuk anak buahnya berdecak kagum. Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun pakaiannya tidak robek segorespun. Padahal tadi babatannya sangat kencang dan terarah. Hanya tambang-tambang pengikat tubuhnya saja yang putus. Itu bukan berarti Raden Mas Kinanjar Swantaka memiliki ilmu kebal. Bukan sama sekali.

Sosok bertopeng sengaja memutuskan tambang pengikat dengan cara itu. Hal itu berarti ia menunjukkan ilmu pedang yang sangat luar biasa. Dan tanpa basa basi ia melangkah ke arah salah seorang anak buahnya yang berdiri di pinggir halaman. Sebelum sosok bertopeng mendekat, anak buahnya itu menyerahkan pedangnya. Sosok bertopeng menerimanya lalu melemparkan pedang itu ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dengan sigap pula laki-laki itu menyambarnya. Pedang itu telah terhunus dalam genggamannya.

"Aku akan membebaskan kalian ke luar dari sini bila kau mampu melumpuhkan aku, Raden. Pergunakanlah pedang itu baik-baik! Nyawa kedua orangmu itu berada di tanganmu...!" kata sosok bertopeng yang sudah mulai mengeluarkan jurus pedangnya. "Bagaimana dengan gadis itu? Apakah kau juga akan membebaskannya?" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Jangan kau pikirkan gadis itu, Raden. Dia tidak apa-apa.... Pikirkan saja bagaimana caranya kau dapat melumpuhkan aku! Ayo kita mulai!"

Keduanya berhadapan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum mengeluarkan jurusnya. Wintara menarik tubuh Umbara Komang ke samping halaman. Mereka bersatu dengan para perampok. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit menyaksikan di atas deretan anak tangga.... Dan tanah lapang itu menjadi sunyi dengan seketika. Di tengah-tengah halaman berdiri dua sosok tubuh menggenggam pedang. Mereka siap bertarung. Kedua mata Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap pedang lawannya berkilat bergerak-gerak. Kini iapun mulai mengeluarkan jurus pedangnya.

Dengan garang sosok bertopeng maju. Pedangnya menjurus ke depan.... "Traaaang!" Raden Mas Kinanjar Swantaka bergeser menyambar tusukan itu dengan pedangnya. Lalu pedang itu berkelebat di atas kepalanya menangkis sinar yang siap membelah

kepalanya.... "Traaang." Kembali pedang mereka beradu.

Cukup kewalahan juga ia menghadapi serangan-serangan sosok bertopeng yang datang bertubitubi. Kalau saja ia lengah sedikit, sudah pasti tubuhnya akan mendapat luka yang tidak ringan. Apalagi sekarang pedang itu berputar-putar deras bagai selaret sinar yang amat menyilaukan. Dan babatan-babatan pedang itu menjurus ke bagian-bagian lemah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itupun dengan sigap menyambar babatan-babatan pedang itu.

Setiap gerakan pedangnya disertai teriakanteriakan nyaring. Begitu juga dengan dentingan beradunya senjata mereka. Benturan itu sampai mengeluarkan percikanpercikan api. Gerakan mereka sendiri terlihat seperti dua ekor harimau yang saling terjang menjatuhkan. Bukan hanya pedang mereka yang bergerak, tangan serta kaki mereka pun mencari sasaran. Hantamanhantaman mereka tidak jarang saling beradu.

Sosok hitam menghantam keras pedangnya, namun dengan sekali samber Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil menepisnya. Karena babatan pedang itu keras, tubuhnya sampai terhuyung sewaktu menangkis. Kesempatan itu digunakan baik-baik oleh sosok bertopeng. Tendangannya berhasil menjatuhkan lawan. Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat bangkit, sosok bertopeng datang lagi dengan serangannya yang lebih gencar. Babatan pedangnya menyambar bagai kilatan sinar. Namun Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menghentakkan tubuhnya. Sehingga babatan pedang itu luput. Saat tubuh itu melesat ke atas, ia membalas serangan.... "Deees!" Hantaman itu telak mengena bagian punggung sosok bertopeng. Tubuhnya terhuyung.

Melihat hantaman yang  begitu dahsyat, para anak buahnya beringsut hendak menyerang. Tapi mereka segera menghentikan langkah-langkahnya saat melihat sosok hitam itu bergerak maju dengan disertai babatan pedang lebih keras. Sambil menjatuhkan tubuhnya Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambar babatan pedang itu dengan pedangnya "Trlaaak"!

Benturan itu sangat keras, pedang mereka terlepas. Tubuh mereka pun bergulingan di tanah.

Keduanya sama-sama bangkit berbareng. Kini mereka bertarung tanpa senjata. Hantaman-hantaman mereka berkelebat.

Teriakan mereka pun makin menggelegar. Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menunduk saat sosok bertopeng mengarahkan tendangannya ke arah kepala. Ia cepat pula menangkis dengan kedua tangannya... "Plaak!" Namun ketika laki-laki itu bangkit berdiri untuk membalas serangan, tahu-tahu sebuah jotosan mengenai dadanya. Raden Mas Kinanjar Swantaka terjungkal ke belakang, pada saat itu kakinya masih sempat menyambar keras ke wajah sosok bertopeng. Tubuh itupun nampak sempoyongan.

Namun ia masih saja maju menyerang. Kedua lengannya bergerak cepat menghantam.

Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan menghindarinya.

*

* *

6

Asap-asap debu mengepul saat tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka bergulingan. Namun serangan-serangan sosok bertopeng belum juga berhenti, manakala lelaki yang bergulingan itu semakin terdesak. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk bangkit berdiri. Ia hanya menangkis serangan-serangan itu dengan kedua kakinya.

Wintara yang masih terikat menganggap pertarungan itu seimbang. Sosok bertopeng maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka sama-sama mengeluarkan ilmu andalan mereka. Dalam mengeluarkan ilmu-ilmu pukulannya sosok bertopeng tidak tanggung-tanggung lagi. Meski dalam keadaan bergulingan di tanah, tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka dapat menghindar dengan gesit. Dan sungguh di luar dugaan saat ada kerenggangan di antara mereka, Raden Mas Kinanjar Swantaka menghentakkan kedua lengannya. Maka sebentar saja ia sudah bersalto di udara. Keadaan seperti itu pula tidak di-sia-siakan oleh sosok bertopeng. Dengan tiba-tiba tendangannya memutar ke belakang ke arah tubuh lelaki yang baru menginjak tanah...

"Deees!" Tepat mengenai bagian pinggang. Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya tetap tegar berdiri menanti serangan berikutnya.

Terdengar lagi suara teriakan dari sosok bertopeng. Tubuhnya melesat menerjang. Sebelah lengannya menyambar lalu sebelah lagi bergantian menyerang. Raden Mas Kinanjar Swantaka menangkis berkali-kali serangan itu sampai terasa berdenyut seluruh tulang lengannya. Iapun tidak tinggal diam. Saat-saat ia menangkis ia sempat melancarkan jotosannya. Meskipun tidak mengenai, cukup membuat sosok bertopeng kehilangan kontrol. Maka cepat sekali tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar. Telapak tangannya menampar keras ke muka. Lalu dengan bahu dan bermaksud akan membanting. Namun sosok bertopeng keburu me runduk. Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak dapat mencekal kedua bahu itu. Kesepuluh jarinya hanya dapat menarik topeng penutup wajahnya.

Wintara tersentak kaget, apalagi Umbara Komang. Tampangnya yang blo'on menganga lebar. Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri hampir tak percaya dengan penglihatannya. Darahnya seperti terkesiap melihat sosok berpakaian hitam tanpa topeng. Berdiri di hadapan dengan rambut yang tergerai tertiup angin. Wajahnya yang anggun jelita menatap jelas ke arahnya.

Mimpikah ia? Kenapa justru lawannya seorang perempuan cantik. Perempuan itu tidak lain penumpang kereta kuda yang di temuinya kemarin siang. Astaga...! Si cantik yang anggun mempesona kini berhadapan dengannya. Perempuan muda itu tersenyum. Betapa trenyuh hati Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia masih memandangi tidak percaya. Tahu-tahu saja gadis itu melancarkan serangan paling dahsyat... Der! Tendangan memutarnya menggedor dada. Lalu menyusul lengannya menghantam tulang tenggorokan...

"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka jatuh dengan seketika. Kedua matanya masih memandang wajah anggun

Wintara dan Umbara Komang berontak. Tapi beberapa bilah pedang telah menempel di leher mereka terlebih dahulu. Mereka diam kembali. Tak mampu berbuat apa-apa. Mereka tak dapat menolong Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya memalingkan muka ia tidak berani menatapnya. Manakala kaki perempuan itu telah menginjak tubuh yang masih terlentang menahan sakit.

"Kau sudah kalah, Raden... Itu berarti menetap tinggal di sini untuk kemudian kukirim ke akherat seperti lainnya!" kata gadis itu menyeringai. Lalu ia memberi aba-aba pada seluruh anak buahnya. Mereka cukup mengerti dan patuh. Serempak mereka membawa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara dan Umbara Komang di giring kembali ke dalam ruangan di mana banyak altar berderet dengan tubuh-tubuh perempuan bugil di atasnya.

"Untuk yang satu ini... Pisahkan dari mereka!" Sebelum Raden Mas Kinanjar Swantaka dibawa, gadis itu memberi perintah. Orang-orang yang membawa Raden Mas Kinanjar Swantaka membelok ke kiri. Di sana ada lagi sebuah ruangan. Nampaknya ruangan itu cukup bersih terawat.

Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit masih berdiri pada anak tangga yang berderet ke atas. Mereka menunggu kedatangan gadis itu yang melangkah ke arah mereka. Setelah dekat mereka, gadis itu memeluk Kama Lodra.

"Kau hampir saja celaka, Dewi Rakuntili... Untunglah kau cerdik!" sapa Kama Lodra.

"Dan nampaknya ia terpesona sekali dengan kecantikanmu itu." katanya lagi.

"Dewi Rakuntili... Aku mengerti akan kekerasan watak mu. Tapi kuharap kau mau mengerti... Raden Mas Kinanjar Swantaka adalah musuhku. Ia telah membunuh anak ku. Aku harus membalaskan dendam mumpung ia ada di sini...." Ki Rondo yang berdiri di sebelah Kama Lodra angkat bicara. Mendengar ucapan itu Dewi Rakuntili cemberut lalu....

"Ucapan Paman seperti seorang pengecut! Kenapa Paman tidak melaksanakannya sewaktu dia belum jadi tawananku! Tidak bisa, Paman! Sudah kubilang, Paman hanya seorang tamu di sini dan tidak dapat sewenang-wenang kalau masih di mau hormati !"

Setelah berkata begitu Dewi Rakuntili menanjak ke atas. Langkah-langkahnya cepat menjajaki tiap-tiap anak tangga. "Dewi!" Kama Lodra, ayahnya memekik memanggil. Namun Dewi Rakuntili tidak peduli. Ia memasuki ruangan paling atas. Kama Lodra menggelengkan kepala.

"Kalau ia mempertahankan tawanannya, berarti ia mendapatkannya dengan susah payah juga. Pendapatnya memang benar. Aku tidak bisa menyalahkan anakku." kata Kama Lodra. Ki Rondo Mayit tertunduk. Sejak tadi ia memang sudah dibuat malu oleh seorang gadis yang muda belia.

"Beginikah caranya membantu diriku...? Tidak sangka kau pandai mendidik anak!" kata Ki Rondo menyindir. Lalu keduanya melangkah ke atas. Kama Lodra hanya diam. Mereka berjalan berdampingan. Tak berapa lama sampailah mereka pada ruangan atas. Dewi Rakuntili sudah berada di situ. Pakaiannya sudah tidak serba hitam lagi. Kini ia mengenakan pakaian sebagaimana layaknya seorang perempuan. Rambutnya yang tadi kusut kini rapi terjuntai sebatas pinggang. Setelah ia menatap Ki Rondo Mayit, ia membuang muka lagi.

"Hasil rampokan ada di sana... Rupanya mereka hendak mengantarkan upeti. Isinya pun lumayan, aku sudah melihatnya." Kata Dewi Rakuntili sikapnya acuh di hadapan cermin. Kedua tangannya sibuk memasang anting-anting di kedua daun telinganya. Ia pun dapat menatap kedua orang itu lewat cermin.

"Ayah pasti tidak percaya kalau kukatakan uang emas semua." katanya lagi.

"Ayah percaya." jawab Kama Lodra sambil turun duduk bersila di lantai yang berlapis karpet sulaman indah. Ki Rondo Mayit mengikuti.

"Lalu kenapa ayah nampak murung? Kurang puaskah atas hasil yang kudapatkan kemarin?" Dewi Rakuntili selesai berdandan. Ia pun melangkah mendekati ke arah mereka yang duduk bersila saling berhadapan. Kama Lodra tersenyum saat putrinya yang tangguh itu duduk di sebelahnya. Tercium aroma yang sangat harum.

"Kau telah membuat Ki Rondo Mayit kehilangan muka, Anakku... Aku yang merasa tidak enak. Apalah artinya segelintir nyawa untukmu. Serahkan saja Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Di tanganmu atau di tangan Ki Rondo Mayit akan sama saja hasilnya. Laki-laki itu pasti mati...." Suara Kama Lodra datar. Mata Dewi Rakuntili membelalak.

"Itukah yang membuat ayah nampak murung hari ini? Kalau hanya untuk menguasai tanah Rogojembangan sekarang sudah sangat mudah. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah berada di sini. Apa lagi yang menjadi halangan?" jawab Dewi Rakuntili.

"Ini bukan soal menguasai daerah, Dewi. Tapi soal dendam!" Kama Lodra mendelik.

"Apa ayah pikir Ki Rondo Mayit mampu menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Mendengar itu Ki Rondo Mayit hampir bangkit dari duduknya. Tapi ia cepat menguasai diri. Ia berusaha tetap tenang sekalipun ucapan itu sangat menyakitkan. Dewi Rakuntili tersenyum sinis. Kama Lodra menghela nafas.

"Berfikirlah yang matang, Anakku... Ayah pernah berhutang budi pada Ki Rondo Mayit. Sekaranglah saatnya untuk membalasnya...." kata Kama Lodra. Dewi Rakuntili mengernyitkan alis seperti tidak mengerti dengan apa yang diucapkan ayahnya.

"Hutang budi...? Hutang budi apa? Kupikir selama ini Ayah tidak pernah berhutang budi terhadap siapapun "

"Ada anakku! Dulu sewaktu ibumu hendak melahirkan kau, aku titipkan ibumu ke pada Ki Rondo Mayit agar bisa mengurusnya.... Sementara itu aku melanglang buana untuk mencari daerah kekuasaan... Aku sudah bayangkan betapa repotnya Ki Rondo Mayit mengurus ibumu saat itu dan aku menganggap tidak akan pernah melupakan budinya...." tutur Kama Lodra. Dewi Rakuntili diam. Dalam pikirannya berkecamuk selaksa uneg-unegnya yang tak terpecahkan. Kedua bola matanya menatap nanar ke arah laki-laki berambut putih tak terurus. Lalu ia bangkit berdiri menunjukkan wataknya yang keras.

"Baik. Sebagai balas budi aku serahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka padamu! Tapi dengan satu syarat, kau harus membunuh laki-laki itu di hadapanku. Itupun setelah ia sembuh dari luka-lukanya... Kurasa itu cukup adil!" Setelah bicara lantang begitu ia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar itu berderak menutup.

*

* *

7

Dewi Rakuntili melangkah menuju sebuah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka terkurung. Ia membawa sebuah cawan dari batok kelapa yang telah hitam mengkilat. Dalam batok itu terisi penuh cairan berwarna kehitaman. Melihat pintu terkuak lebar, Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ke arah pintu. Ia melihat gadis yang telah menghajarnya sampai luka-luka begini. Pandangannya tidak lepas menatap wajah yang demikian anggunnya. Gadis itu memasuki ruangan. Pakaiannya yang gemerlapan membuat gadis itu seperti lemah lembut. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia gadis yang sangat sadis dan liar. Semuanya tidak nampak pada dirinya. Walaupun baru saja ia menghadapi seorang gadis berilmu tinggi yang nyaris merenggut nyawanya. Gadis itu menatap tajam menyerahkan batok hitam berkilat. Mereka saling tatap. Seperti ada getaran....

"Borehkan seluruh luka-lukamu dengan ini "

"Aneh! Kenapa tidak dengan mata pedang kau mengobati luka-luka ini. Bukankah kau menginginkan nyawaku...." Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mau menerima batok kelapa itu. Dewi Rakuntili tidak memaksa, ia meletakkannya di atas meja.

"Bagianmu memang harus mati. Tapi jangan harap kau akan mendapat kematian dengan mudah. Sekarang kau sudah mengenalku, bukan? Bagaimana menurut pendapatmu?"

"Bagiku kau tidak lebih iblis jahanam berkedok bidadari. Tapi aku yakin bahwa kau masih punya perasaan. Terbukti sekarang kau memberi aku ramuan obat untuk luka-lukaku."

"Lalu kau pikir aku berbaik hati terhadapmu ?

Hih! Lucu...! Sekalipun kau sembuh dari luka-lukamu mana mungkin aku membiarkan kau pergi begitu saja. Itu perbuatan tolol! Kalau kau lepas dari sini, tentunya kau akan datang kembali bersama pasukanmu ke mari !"

"Sudah tahu akan bahayanya, kenapa tidak langsung membunuhku saja!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat.

"Sekarang jangan banyak tanya! Borehi saja luka-lukamu itu. Nanti setelah kau sembuh kau akan tahu sendiri " Dewi Rakuntili bicara pelan.

"Sama sekali tak akan kusentuh ramuan obat itu! Biar aku cepat-cepat mati!"

"Keras kepala...! Heaaat...!" Tiba-tiba saja Dewi Rakuntili menghantam bagian belakang kepala... "Deees!" Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka ambruk tak sadarkan diri di atas tumpukan rumput kering sebagai alas tidur. Dewi Rakuntili membuka baju yang dikenakan laki-laki yang terbaring pingsan. Cepat pula ia memborehi tubuh kekar Raden Mas Kinanjar Swantaka dengan cairan kental kehitaman. Telapak tangannya yang halus itu menyusuri seluruh tubuh yang terbaring itu. Setelah selesai ia sengaja tidak menutup baju itu kembali. Lalu ia pun keluar dan mengunci pintu ruangan. la tidak langsung melangkah, Dewi Rakuntili berdiri di balik pintu itu dengan kedua lengan merapat di dada.

"Kau jangan pura-pura pingsan, Raden.., Kancingkan kembali bajumu itu, nanti masuk angin...!" Dewi Rakuntili membentak. Di dalam ruangan Raden Mas Kinanjar Swantaka memicingkan matanya. Lalu....

"Aku pura-pura pingsan, karena ingin membuktikan bahwa kau gadis yang lembut! Ternyata dugaanku semua benar! Kalau boleh ku tahu, siapa namamu...!" Terdengar jawaban dari dalam ruangan itu. Dewi Rakuntili tidak menjawab. Ia tertunduk mendengar ucapan itu. Kemudian ia melangkah meninggalkan ruangan yang mengurung Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Di ruangan bawah semua anak buahnya sudah lama menunggu. Mereka semua menunduk hormat ketika Dewi Rakuntili melewati. Langkahnya semakin tenang saat ia mendekati pintu ruangan. Ia dapat melihat keadaan di dalam ruangan bawah melalui lubang berterali besi pada pintu. Wintara nampak duduk di lantai. Umbara Komang berjalan berkeliling menatap perempuan-perempuan yang tidak pernah berhenti merintih di atas altar-altar.

"Langit mau runtuh! Bumi bakal goncang! Sayang aku tidak dapat membebaskan bidadaribidadari yang tertawan ini... Menyebalkan !" Umbara Komang menggerutu.

Bagi Wintara ini merupakan suatu pengalaman pahit. Selama ia mendapatkan julukan Pendekar Kelana Sakti baru kali ini merasa terkurung begini. Apalagi harus bercampur dengan para tawanan wanita bugil. Tidak adakah ruangan yang lebih pantas untuk mereka berdua...?

Wintara mengawasi setiap sudut ruangan itu. Ia tidak menyadari kalau Dewi Rakuntili mengawasi pula dari lubang pengintai pada pintu. Mereka masih nampak terikat dengan tambang sebesar ibu jari melilit di sekujur tubuh.

*

* *

Menjelang gelap kedua orang dalam ruangan itu nampak duduk bersandar pada dinding. Umbara Komang tidak bisa memejamkan matanya, karena sedari tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi. Nampak pula ia menggaruk-garuk perutnya. Tiba-tiba saja Wintara bangkit berdiri. Ia melangkah menuju pintu yang terkunci dari luar. Dari lubang pengintai ia dapat melihat beberapa orang berjaga di luar. Dan di halaman yang diterangi api unggun berkobar-kobar nampak pula puluhan orang berpesta pora. Kemudian matanya mengarah pada Umbara Komang. Ia seperti duduk serba salah.

"Kita harus melakukan sesuatu, Umbara Komang... Cepat berbaring." bisik Wintara sambil melangkah mendekati. Umbara Komang dapat mendengar, namun ia tidak bereaksi.

"Sebentar lagi mereka datang ke mari untuk mengantarkan makanan... Cepat berbaring." bisik Wintara lagi. Kali ini ia harus mendorong tubuh sahabatnya sampai terguling.

"Diam dan jangan mengeluarkan suara...." Umbara Komang masih belum mengerti. Wintara ikut berbaring di belakangnya. Mulutnya mengarah pada ikatan yang ada di belakang Umbara Komang. Gigi-giginya berusaha membuka ikatan-ikatan itu. Memang tidak gampang melakukannya. Apalagi ikatan itu demikian kuat. Namun berkat usaha yang gigih Wintara berhasil juga membuka ikatan-ikatan itu. Tulang rahangnya terasa kaku. Umbara Komang baru mengerti. Ia pun bangkit melepaskan diri dari lilitan tambang. Lalu mereka bergantian melepaskan ikatan-ikatan itu.

"Cepat...! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya " Wintara tidak sabar. Dari luar ruangan ter-

dengar langkah beberapa orang mendekati ruangan di mana Wintara dan Umbara Komang berusaha membuka tambang-tambang yang membelit sekujur tubuh mereka. Terdengar pula langkah-langkah itu berhenti di depan pintu, lalu suara gembok yang gemeretak berbarengan dengan itu pintupun membuka lebar. Nampaklah tiga orang memasuki ruangan. Dua orang masuk dengan membawa dua buah nampan berisi makanan. Seorang lagi berkacak pinggang sambil memainkan anak kunci.

Ruangan itu tetap sepi. Tubuh-tubuh bugil di atas tiap-tiap altar nampak lemas. Ada yang sudah membiru, mungkin mati. Wintara dan Umbara Komang duduk seolah-olah tenang bersandar pada dinding. Umbara Komang cengengesan. Tapi ketika kedua orang itu merunduk meletakkan makan di atas lantai, tahu-tahu... "Bleduk...! Bleduk!" Kedua kepala mereka beradu dengan lutut Umbara Komang. Kedua orang itupun langsung menggelosoh pingsan dengan masingmasing kepala retak. Seorang lagi yang tadi asyik memainkan anak kunci, membelalakkan mata. Ia berjingkat langsung kabur. Mulutnya hampir membuka, tapi sebelum ia berteriak.... Sebuah pukulan menghantam di belakang kepalanya... "Deer!" Orang itu langsung mati.

"Ambil kunci-kuncinya...." teriak Wintara. Ternyata Wintara belum terbebas dari ikatan-ikatan tambangnya. Tanpa buang waktu Umbara Komang meraih kunci-kunci yang berkumpul jadi satu itu di lantai. Sebelum Umbara Komang menyerahkan kunci-kunci itu, Wintara berjalan mendekat. Ia membalikkan tubuhnya di hadapan Umbara Komang. Laki-laki berpenyakit saraf itu mengerti maksudnya. Maka ia menggigit gantungan kunci-kunci itu. Kedua tangannya sibuk membuka tambang-tambang pengikat yang membelit di tubuh Wintara. Sekarang Umbara Komang dapat membuka ikatan-ikatan itu dengan cepat. Setelah Wintara terbebas ia cepat menyambar gantungan kunci dari mulut lelaki itu.

Wintara mendekati salah satu perempuan bugil yang nampak merintih-rintih terlentang di atas altar. Dan ia berusaha membuka gembok yang mengunci rantai-rantai itu.

"Buka juga gembok-gembok yang membelenggu teman-temanmu, Ingat jangan ribut! Di sana ada makanan." kata Wintara setelah membuka belenggu rantai salah seorang tawanan perempuan. Telunjuknya mengarah pada dua buah nampan berisi makanan yang tergeletak di atas lantai. Wanita itu mengangguk. Iapun menerima kunci dan langsung bangkit menuju ke sebelah altar. Iapun mulai membuka gembok yang membelenggu teman-teman senasibnya.

"Kalian tetap diam di sini. Sampai aku kembali baru aku membawa kalian ke luar." kata Wintara memperingatkan. Umbara Komang berjaga-jaga di balik pintu. Di luar halaman memang banyak para perampok yang tengah berpesta pora. Dan sekeliling tempat itu cukup terang.

Wintara menutup pintu tahanan itu dan membiarkan para perempuan-perempuan bugil terkurung di dalamnya. Lalu keduanya berjalan perlahan-lahan di samping dinding. Langkah mereka hati-hati sekali. Dan hampir tidak mengeluarkan suara.

*

* *

8

Di depan halaman kuil itu terang benderang oleh api unggun yang meletup-letup berkobar. Begitu juga dengan suara-suara tawa mereka. Seluruh halaman jadi riuh. Ada juga beberapa wanita penghibur yang menjadi sasaran utama mereka. Yang lain menyantap daging panggang atau menenggak arak. Obrolan mereka simpang siur tidak jelas terdengar.

Sementara itu dua sosok terus mengendapendap berjalan menyusuri dinding. Mereka menuju sebuah ruangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka tersekap. Untunglah tadi siang Wintara sempat melihat di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka dipisahkan.

Jadi mereka tidak perlu lagi susah-sudah

mencari. Mereka cepat menyelinap saat mendekati ruangan itu. Dua orang penjaga nampak berdiri di depan pintu ruangan. Senjata-senjata mereka nampak berkilat tertimpa sinar api. Begitu juga dengan kunci yang tergantung di pinggang salah seorang itu. Dari balik tembok Wintara sudah yakin pasti pintu ruangan terkunci. Manakala dua penjaga itu terus mengawasi setiap pelosok. Keduanya berjalan hilir mudik. Telapak tangan mereka siap menggenggam gagang pedang.

Tidak ada cara lain. Wintara maupun Umbara Komang harus menyingkirkan mereka. Maka dengan tiba-tiba Wintara menghantam punggung Umbara Komang. Begitu kaget Umbara Komang memekik tertahan. Tapi suara itu dapat didengar oleh dua penjaga tawanan.

"Hei! Siapa itu...!" Salah seorang dari mereka membentak. Ia mulai curiga dan melangkah ke balik dinding. Satu orang lagi mengikuti di belakang.

"Ah, paling-paling tikus berkelahi berebut bangkai!" Orang yang berjalan belakangan berjalan santai. Tapi ia sempat terbengong saat melihat temannya hilang be gitu cepat menyelinap ke balik tembok. Rupanya Wintara cepat menarik dan memuntir leher seorang penjaga. Umbara Komang siap menyambut seorang lagi. Begitu kepala seorang penjaga itu menyembul dari ujung tembok, ia melihat sosok temannya sudah terlentang kaku, dan tahu-tahu... "Deeeos!" Tinju Umbara Komang bersarang di tenggorokan. Orang itupun ambruk tak sadarkan diri karena tulang lehernya remuk!

Sigap sekali Wintara merampas kunci dari pinggang orang yang sudah tak sadarkan diri itu. Lalu dengan hati-hati keduanya berlari ke arah pintu.

"Raden...." Wintara berbisik sambil mengetuk pintu besi. Umbara Komang berjaga-jaga mengawasi orang-orang yang berkumpul di halaman.

"Siapa...!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka sambil bangkit dari tumpukan jerami kering sebagai alas tidur. Ia melangkah ke balik pintu membalas mengetuk. "Aku! Wintara dan Umbara Komang! Bersiap-siaplah kita harus lari malam ini Wintara menyahut. Tangannya cepat membuka gembok. Umbara Komang melihat beberapa orang akan melewati tempat itu jadi serba salah!

"Waaaaah...! Siluman-siluman jahat keburu datang...! Wei! Wei! Sana pergi...! Pergi...!" Umbara Komang teriak-teriak. Suaranya kencang sekali. Keempat orang yang baru datang itu langsung menoleh. Dan mereka pun segera berlarian menuju ke ruang tahanan. Semuanya mencabut senjata. Wintara belum juga membuka gembok, karena kunci itu agak kaget sedikit. "Ada orang...! Ada orang...!" Mereka berteriak. Orangorang yang berada di halaman kuil menoleh ke arah teriakan. Maka mereka semua bangkit. Mereka melihat empat orang temannya menghadapi seorang berilmu tinggi di depan ruang tawanan. Wintara masih juga mengutak-atik gembok. Umbara Komang sigap menyambut keempat penyerangnya yang bersenjata.

Pedang maupun golok berkelebat ke sana ke mari ke setiap Umbara Komang menghindar. Kedua lengannya berputar-putar menangkis seranganserangan mereka. Salah satu dari mereka berlarian ke arah Wintara yang masih sibuk. Orang itu mengangkat pedangnya siap mengarah ke punggung. Umbara Komang yang sempat melihat itu langsung melompat dan menendang orang itu.... "Deeees!" Sampai terpental. Saat itupun Wintara sudah berhasil membuka pintu. Dan orang yang terpental itu langsung masuk ke dalam menimpa tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Orang-orang yang tadi berkumpul di halaman meluruk menerjang ke arah itu. Senjata-senjata mereka mencereng siap men jemput maut. Umbara Komang mempercepat gerakannya melancarkan serangan ke arah tiga orang itu. Kakinya menendang keras... "Deees!" Gerakan tubuhnya lentur menghindari babatan pedang. Lalu tangannya bergerak ke atas menghantam kepala. Wintara juga melancarkan serangan menjatuhkan satu demi satu orang-orang yang mulai berdatangan menyerbu. Raden Mas Kinanjar Swantaka keluar dari ruangan. Ia melihat betapa semrawut pemandangan di hadapannya. Ia pun melihat Wintara bersama Umbara Komang dengan gigih menghadapi para perampok itu.

"Raden...! Cepat tinggalkan tempat ini! Biar kami berdua yang menghadapi mereka...!" teriak Wintara. Lengannya menghantam batok kepala salah seorang musuhnya "Cepat, Raden...!" Wintara berteriak lagi, kali ini tendangannya menjatuhkan dua

orang sekaligus. Umbara Komang tidak kalah gesit! Orang-orang yang berdatangan itu dibuatnya bergelimpangan. Tapi Raden Mas Kinanjar Swantaka masih tetap diam di tengah-tengah pintu. Bagaimana ia harus pergi dari situ? Semua jalannya tertutup oleh pertempuran mereka. Sebenarnya ia pun sudah gatal ingin ikut membantu menghabisi para perampok itu. Namun setiap orang yang berusaha mendekatinya, Wintara lebih dulu memberinya sebuah hantaman. Tidak memberi kesempatan untuk Raden Mas Kinanjar Swantaka menunjukkan kebolehannya.

"Hematlah tenagamu, Raden. Dan cepat pergi dari sini!" Wintara bergeser hampir saja kepalanya terbelah oleh babatan pedang, tapi ia cepat membalas serangan itu dengan tendangan. Dalam pada itu, Raden Mas Kinanjar Swantaka menerjang menerobos gempuran itu. Semua yang dikatakan Wintara memang benar. Ia mesti pergi dari situ. Dan ia percaya kalau Wintara bersama Umbara Komang dapat mengatasi serangan-serangan itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak dan tak dapat dihitung dengan jari.

Untuk menerobos ke luar tidaklah mudah. Raden Mas Kinanjar Swantaka harus menerjang sambil melancarkan serangan. Dari tangan sampai kaki terus bergerak menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalan. Ia tidak perduli lagi senjata-senjata mereka berkelebat ke sana ke mari memburunya. Menghadapi dengan tangan kosong amatlah berbahaya. Maka sewaktu Raden Mas Kinanjar Swantaka berhasil menangkis babatan pedang, ia cepat meraih pedang itu dari tangan lawannya.

Maka seleret sinar putih berputar berkilat menjatuhkan beberapa orang dengan bergelimangan darah. Teriak kesakitan mereka menggelegar. Begitu juga teriakan-teriakan Wintara dan Umbara Komang yang berbarengan dengan gerakan-gerakan mereka di saat melancarkan serangan. Mereka berdua sama sekali tidak merasa kesulitan menghadapi para pengeroyok yang demikian banyaknya. Setiap babatan senjata mereka dapat dengan mudah dihindari.

Benturan-benturan senjata terdengar nyaring di saat Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pedangnya melindungi diri. Puluhan orang yang memburunya dapat terdorong menyingkir. Ada juga yang terguling dan terkena pedang teman sendiri. Sampai

betul-betul di hadapannya tidak ada lagi yang menghalangi. Pada gerakan yang terakhir Raden Mas Kinanjar Swantaka memutar pedangnya ke belakang... "Breeeeert!" Lima orang yang masih mengejarnya di belakang ambruk kelojotan dengan masing-masing perut mereka robek!

Setelah itupun Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat melarikan diri dari kepungan orang-orang penghuni kuil. Namun orang-orang itu masih saja terus mengejar. Wintara yang sempat melihat langsung menarik tangan lengan Umbara Komang ke atas, keduanya beterbangan di udara. Lalu berlari menginjakinjak kepala yang bergerombol menyerang. Keduanya sama-sama menghentakkan kakinya dan tahu-tahu saja hinggap di hadapan orang-orang yang mengejar Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka pun tidak sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu.

Kini halaman itu jadi kacau balau. Semuanya mengepung Wintara dan Umbara Komang. Dua orang ini betul-betul alot. Meskipun tanpa menggunakan senjata, para penyerang itu sulit sekali menyentuh senjatanya ke arah mereka. Saat itupun jumlah mereka sudah berkurang banyak. Di sana sini telah bergelimpangan sosok-sosok tubuh berlumuran darah. Nampak pula Umbara Komang dan Wintara semakin gigih menjatuhkan lawan-lawannya. Meskipun keduanya sudah benar-benar terkepung. Tidak mungkin lagi dapat ke luar.

"Ha ha ha ha...! Siluman-siluman keparat macam kalian tidak pantas mengisi istana ini...! Hayo maju semua! Biar kalian cepat kukirim ke dasar neraka...!" Umbara Komang menerjang sambil berteriak. Kedua lengannya bergerak menjatuhkan satu demi satu orang-orang itu. Wintara maju terus menyambut serangan-serangan mereka.

"Sekarang kalian baru tahu rasa! Aku raja siluman yang bakal menghancurkan batok kepala kalian...!" Sambil berkata demikian, Umbara Komang melesat sambil menendangi gerombolan itu. Tangannya bergerak menghantam kepala-kepala yang berada di bawahnya. 

*

* * 9

Ki Rondo Mayit bangkit dari pembaringannya sewaktu mendengar suara ribut-ribut di halaman luar kuil. Ia langsung keluar dari kamarnya. Saat itu Kama Lodra juga bermaksud keluar. Keduanya berlari ke arah jendela dan melihat peristiwa yang terjadi di bawah. Bukan main terkejutnya mereka. Mereka melihat para tawanan berontak melarikan diri.

Kama Lodra melangkah cepat ke arah kamar Dewi Rakuntili. Ia langsung mengetuk pintu kamar kuat-kuat. Dewi Rakuntili yang berada di dalam tertidur pulas tersentak bangun.

"Dewi... Cepat bangun! Para tawanan melarikan diri!" Kama Lodra berteriak lantang. Mendengar itu Dewi Rakuntili cepat bangun. Tanpa mengganti pakaian tidurnya yang sangat tipis ia melangkah membuka pintu. Ki Rondo Mayit masih mengawasi pertempuran dari atas jendela.

"Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak ada di antara mereka!" katanya setelah Dewi Rakuntili mendekat ke jendela. Dewi Rakuntili langsung melesat menerobos jendela. Tubuhnya melayang ke bawah. Dia hinggap di lantai dasar tanpa mengeluarkan suara. Ia terus berlari menuju ke sebuah ruangan. Dan ia menjadi geram sekali ketika tiba di ruangan itu. Pintu tahanan yang tadi menyekap Raden Mas Kinanjar Swantaka telah terbuka lebar. Beberapa belas anak buahnya bergelimpangan tak karuan. Di dalam ruangan itupun sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah raib.

Dengan geram ia keluar lagi dari ruangan itu. Keduanya menatap nanar ke arah pertempuran. Di situpun ia tidak melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka, kecuali Umbara Komang dan Wintara mengamuk dahsyat menjatuhkan para anak buahnya.

Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit terjun dari tingkat atas ke lantai dasar. Gerakannya ringan sekali. Mereka hinggap di lantai bagaikan dua helai daun kering yang tertiup

"Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-benar telah kabur! Ayah dan Paman tolong awasi mereka! Biar aku yang mengejar raden keparat itu! Pasti dia belum jauh dari sini!" Dewi Rakuntili berlari kencang. Gerak tubuhnya yang gempal nampak jelas menembus dari pakaiannya yang tipis membayang. Tubuhnya gesit melompati tiap-tiap kepala anak buahnya. Kepalakepala itu tidak ubahnya bagai batu loncatan. Maka sebentar saja ia sudah melewati arena pertarungan. Ia tidak lagi memperdulikan Wintara dan Umbara Komang mengatasi anak buahnya. Karena ia sudah dapat melihat Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit maju membantu anak buahnya.

Wintara dan Umbara Komang merasa aneh melihat para pengeroyoknya segera minggir semua. Dan tahu-tahu saja mereka melihat dua sosok berdiri di hadapan dengan wajah angker. Mereka langsung melancarkan serangan. Gerak-gerak jurus mereka nampak aneh. Sudah pasti mereka bukan orang sembarangan.

"Kau bagianku, siluman bule! Kenapa tidak dari tadi kau menampakkan diri!" kata Umbara Komang menyambut serangan Ki Rondo Mayit. Kedua hantaman mereka membledar beradu. Begitu juga dengan Wintara. Kama Lodra mengeluarkan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Setiap pukulannya menimbulkan suara angin yang bergemuruh. Menerpa seluruh tubuh Wintara. Mana mau Wintara diperlakukan begitu, iapun segera menghimpun tenaga dalamnya. Lalu dengan suara teriakan yang dahsyat ia melancarkan serangan balasan. "Dueeees!" Hantaman mereka beradu. Keduanya sama-sama terdorong oleh pukulan-pukulan tenaga dalam mereka sendiri.

Orang-orang yang tadi menyingkir datang lagi menyerang. Senjata-senjata mereka berkelebat mencecar! Wintara berlompatan di udara menghindari. Namun kedua matanya tidak lepas mengawasi sosok Kama Lodra yang diam-diam datang melancarkan sebuah pukulan. Begitu pukulan itu datang, Wintara melompat lagi. Maka hantaman itu hanya mengenai sasaran lain.

Di lain pihak, Umbara Komang masih menghadapi Ki Rondo Mayit. Merekapun tidak luput dari serbuan para perampok. Sambil menangkis serangan Ki Rondo Mayit, Umbara Komang memutar tangannya ke belakang... "Deeees!" Beberapa orang pembopong bergulingan dengan darah menyembur dari mulut mereka. Saat itu pula Ki Rondo Mayit tidak menyia-nyiakan kesempatan. saat Umbara Komang melancarkan hantaman ke belakang. Tendangan Ki Rondo Mayit masuk menghantam dadanya. Umbara Komang mundur seloyongan. Sudut bibirnya mengalir darah. Tapi ia tidak membiarkan darah itu mengalir. Umbara Komang menghisap kembali ke dalam perutnya.

Dengan gerakan yang deras ia maju membalas melancarkan dua pukulannya sekaligus. Ki Rondo Mayit cepat merunduk sambil sebelah kakinya menyapu bagian bawah... "Bug!" Umbara Komang yang kurang hati-hati itu terpaksa terpelanting jatuh. Melihat itu para penyerang lainnya meluruk menerjang tubuh Umbara Komang yang masih bergulingan di tanah. Ki Rondo Mayit membiarkan orang-orang itu. Baginya Umbara Komang tidaklah begitu penting. Ia yakin Umbara Komang tidak mungkin mampu menghindari serangan-serangan penghuni kuil. Apalagi sekarang Umbara Komang dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi.

Ki Rondo Mayit tersenyum sinis melihat Umbara Komang bergelintingan menghindari serbuanserbuan orang-orang yang bersenjata. Setiap kali senjata-senjata mereka hampir mengena di tubuh Umbara Komang. Ada juga yang hanya menyerempet pakaiannya hingga robek. Kelihatannya memang sangat sukar untuknya lolos dari kepungan itu. Terbukti Umbara Komang tidak sempat bangkit berdiri. Ia hanya bergelintingan menghindar atau membalas serangan.

Wintara sendiri setengah mati menghadapi kepungan-kepungan itu. Apalagi setiap saat yang tak terduga Kama Lodra melancarkan serangan yang tidak kepalang tanggung mendera di tubuhnya. Ia sudah beberapa kali terkena hantamannya. Mulutnya-pun sudah berlumuran darah.

Sekali waktu ia mengerahkan seluruh tenaganya dengan di barengi kedua lengan yang berputar keras. Maka orang-orang yang berada di dekatnya menghambur berpentalan. Setelah sekelilingnya agak renggang, Wintara melesat ke atas dan bersalto di udara. Tubuhnya menjurus ke arah Umbara Komang yang telah berlumuran darah akibat babatan-babatan senjata yang menyerempet di tubuhnya. Tiba-tiba saja para pengeroyok itu jatuh bergelimpangan. Wintara langsung melancarkan tendangan maupun pukulan setelah tiba di tempat itu. Umbara Komang cepat bangkit saat Wintara berada di hadapannya. Para pengeroyok itu berdatangan lagi menerjang.

Sebelum para penghuni kuil mendekat menyerang, Wintara langsung menarik tubuh Umbara Komang. Ia memapahnya dan membawa lari dari tempat itu. "Kejar! Jangan sampai mereka lolos!!" bentak Kama Lodra. Para anak buahnya berlarian mengejar. Senjata mereka mengacung-acung mengancam. Begitu juga dengan Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit. Keduanya sama-sama lari mengejar. Kecepatan lari mereka memang lebih cepat dibanding dengan sisa-sisa anak buahnya yang kurang lebih kini berjumlah tiga puluh orang.

Sebentar saja kedua orang tua itu sudah berada jauh di depan orang-orang yang masih berlari mengejar. Sebentar-sebentar Kama Lodra menoleh ke belakang.

"Ayo cepat kejar...! Kejar...! Lari kalian seperti keong!" Bentaknya sambil berlari. Mendengar bentakan yang demikian orang-orang itu memacu kecepatan larinya. Sampai ada yang terbatuk-batuk. Sebenarnya bisa saja mereka mengejar dengan menunggangi kuda. Tapi mana sempat lagi mereka mengambil kuda sedangkan keadaannya sudah mendadak begitu. Dengan terpaksa pula mereka sekarang berlari.

Suasana malam yang gelap menguntungkan bagi Wintara yang membawa tubuh Umbara Komang. Ia dapat berlari tanpa kelihatan. Hanya sayang daerah itu merupakan dataran padang batu yang sangat luas. Tidak ada tempat satu pun untuk bersembunyi. Mereka memang berada jauh dari kejaran orang-orang penghuni kuil. Umbara Komang malah cengar-cengir dalam papahan Wintara. Tawanya malah lebih keras sewaktu Wintara menggerutu. Dengan kesal Wintara melepaskan papahannya... "Bruugg!" Tubuh Umbara Komang terbanting.

"Kalau mau cepat berada di akherat tetap diam di sini! Tapi kalau mau selamat ikuti aku!" bentak Wintara. Umbara Komang menoleh ke belakang. Samarsamar melihat puluhan orang mengejar. Dengan mata yang membelalak Umbara Komang bangkit sendiri, lalu ngacir....

"Hiiiiy... Siluman-siluman jahat itu sangat banyak, aku tidak sanggup menghadapinya. Kita pasti tewas di rencah oleh mereka, Dewa. !" Katanya sambil

berlari terengah-engah menyusul langkah-langkah cepat Wintara.

"Apakah kau terluka?" kata Wintara setelah Umbara Komang berhasil membayanginya.

"Entahlah! Yang ku rasakan seluruh punggung terasa perih...! Sebenarnya aku tidak takut terhadap mereka, sayang siluman berambut kusut ada di situ!" jawab Umbara Komang. "Kau kenal pada siluman berambut kusut itu?"

"Siapa yang tidak kenal padanya! Dialah Siluman penguasa yang pernah bersarang di Rogojembangan!" jawab Umbara Komang cepat. Wintara menanggapi serius. Mereka makin cepat berlari mendahului para pengejarnya di belakang yang jauh tertinggal.

Sementara itu Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit tetap berada paling depan dari ketiga puluh orang anak buahnya. Mereka dapat mengetahui ke mana arah Wintara dan Umbara Komang melarikan diri. Mereka dapat melihat tapak-tapak kakinya yang menyeplak di dataran berpasir. Dengan begitu mereka sangat mudah mencari tawanan mereka.

*

* *

10

"Raden...!" Teriakan Dewi Rakuntili bergema.

Suasana gelap pekat dan dingin. "Kau tak dapat lolos dari sini, Raden! Aku bakal mendapatkan kau kembali!" Teriakannya selalu menggema. Tapi tidak pernah ada jawaban. Sukar sekali menentukan di mana adanya Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Kedua matanya yang jeli benarbenar seperti buta. Dan dirasakannya debu pasir menerpa kulitnya yang mulus saat angin berhembus kencang.

"Raden...! Aku tak segan-segan lagi membunuhmu jika kau kutemui!" Kembali gema-gema suara Dewi Rakuntili memenuhi malam yang gelap. Larinya nampak cepat sekali. Langkah-langkahnya bersuara bagai derap kaki kuda.

Sebenarnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa mendengar teriakan-teriakan Dewi Rakuntili yang menggema-gema itu. Ia sengaja tidak menjawabnya agar tidak diketahui di mana ia berada. Padahal jarak mereka tidak begitu jauh dan Dewi Rakuntili mengejarnya dengan benar. Hanya saja suasana yang gelap itu membuat ia tidak dapat memastikan buruannya. Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mengetahui Dewi Rakuntili mengejarnya makin lama makin dekat, mempercepat larinya. Kain bajunya berderap tertiup angin dan gesekan gerakannya. Cepat Dewi Rakuntili menoleh ke arah suara itu. Ia yakin di situlah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia lari mengejar.

"Kau sudah kudapatkan, Raden...! Kau pasti mati!" teriaknya.

Laki-laki yang berlari di depannya tidak perduli. Meskipun ia cukup yakin ia masih dalam buruannya. Sebab itu laki-laki itu tidak pernah berhenti dari langkah-langkahnya yang bergerak cepat.

Saat itu udara makin dingin dan malam tetap gelap. Angin pasir menderu-deru menakutkan. Debudebu pasir beterbangan menerpa tubuh mereka. Keringat mereka sudah lengket bercampur dengan debudebu itu. Yang terlihat dari kejauhan hanyalah dua sosok saling lari mengejar. Keduanya nampak telah lelah. Lari mereka tidak secepat seperti tadi. Keduanya kadang berlari kadang pula berjalan. Begitu seterusnya.

Tidak terasa pula hari hampir pagi. Langit yang semula hitam kelam, kini nampak kebiruan mengambang di atas cakrawala. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah beberapa kali terjatuh. Manakala pasir telah membenam kedua telapak kakinya.

Dewi Rakuntili berjalan perlahan menatap lakilaki itu jatuh bangun dari permukaan pasir yang luas menghampar. Langkah-langkahnya demikian pasti meskipun nampak terhuyung menahan lelah. Semangatnya timbul kembali saat dirinya mendekati sosok tubuh lelaki merangkak menyeret diri. Kedua kaki Dewi Rakuntili yang gemetar mendadak melangkah cepat. Pasir-pasir yang membenam sampai semata kaki berhamburan saat ia melarikan diri mengejar sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka. Jejak-jejaknya bagaikan lubang-lubang yang sangat dalam yang kemudian hilang kembali seperti pasir-pasir yang longsor dari atas bukit pasir.

Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit dan berusaha berlari lagi. Tapi teriakan Dewi Rakuntili yang menggelegar itu mengagetkannya. Laki-laki itu menoleh ke belakang dan ia tidak sempat lagi menghindari terkaman yang datang dari arah belakang. Keduanya jatuh bergulingan. Sebelah tangan Dewi Rakuntili menghantam dada. Tapi untuk hantaman yang kedua, Raden mas Kinanjar Swantaka berhasil menangkisnyaa. Gerakannya yang sangat lemah membuat mereka nampak seperti berpelukan.

Dalam dekapan yang begitu erat, Dewi Rakuntili tidak dapat melancarkan hantaman-hantamannya. Gadis itu meronta-ronta sekuat tenaga. Rontaan itu demikian lemas. Sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka mendorong kedua lengannya. Tubuh Dewi Rakuntili terdorong bergulingan. Laki-laki itu cepat bangkit dan melangkah dengan lunglai meninggalkan Dewi Rakuntili yang berusaha bangkit lagi. Wajahnya sudah tidak karuan tertutup debu. Bentuk keanggunannya seperti hilang. Hanya kedua matanya yang nanar memerah nampak jelas membelalak.

Namun begitu Dewi Rakuntili masih terus berusaha mengejar. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha tidak perduli. Tapi lagi-lagi terjangan Dewi Rakuntili datang menerkam. Kembali keduanya bergulingan. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha menghindari hantaman Dewi Rakuntili. Sebelum hantamannya mengena laki-laki itu memutar tubuhnya. Membuat posisi Dewi Rakuntili berada di bawah. Sigap sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka membekap dari atas. Lelaki itu hanya menamparnya kuat-kuat. Dan Dewi Rakuntili memekik! Tubuhnya terlentang seperti tak bertenaga. Tapi begitu Raden Mas Kinanjar Swantaka beringsut bangun, kaki Dewi menendang ke atas... "Bug!"

Lelaki itu terbanting ke belakang. Dadanya terasa ngilu. Kedua-duanya nampak bangkit terduduk saling berhadapan. Nafas mereka memburu menunjukkan wajah-wajah yang amat menyeramkan.

"Kau akan mampus di sini, Raden.... Kita akan mengadu jiwa!"

"Aku akan lebih suka kalau kita mati bersama!" jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Dewi Rakuntili bangkit dengan geram. Langkahnya yang sempoyongan dipaksakan menerjang lakilaki di hadapannya menyamping. Kedua lengannya bersiap ke atas. Maka hantaman itu beradu. Raden Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan tendangannya. Tapi sebelum tendangan itu bergerak Dewi Rakuntili menjatuhkan diri. Sebelah lengannya menangkis tendangan....

"Plaak!" Akibat tepisan yang demikian kuat, laki-laki itu terbanting. Tubuhnya berdegum mengeluarkan asap-asap debu. Bersamaan dengan itu pula Dewi Rakuntili menerjang menerjang tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka yang masih bergulingan. Keduanya jatuh menggelinding saling hantam. Mereka baru menyadari kalau matahari mulai menampakkan diri di balik pasir memancarkan sinar keperakan. Namun demikian udara masih menyebarkan hawa dingin. Di luar dugaan pasir di atas mereka meluruk menimbun. Keduanya cepat-cepat bangkit sebelum mereka tertimbun.

Dewi Rakuntili yang nampak lemas itu terpeleset jatuh. Melihat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka menendang keras ke arah tubuh ramping Dewi Rakuntili. Semua itu dilakukan semata-mata agar gadis beringas selamat dari timbunan pasir yang datang bak air bah. Dan tindakan Raden Mas Kinanjar Swantaka ternyata tidak sia-sia. Dewi Rakuntili selamat dari badai pasir yang tiba-tiba datang melanda. Laki-laki itu berhasil menyelamatkan orang lain, tapi dirinya diri tidak dapat menghindari saat pasir menimbun seluruh tubuhnya.

Dengan pandangan yang samar, Dewi Rakuntili dapat melihat bagaimana saat ia diselamatkan dan bagaimana juga saat Raden Mas Kinanjar Swantaka meronta-ronta di kala pasir-pasir menimbuninya hiduphidup. Ia sendiri tidak dapat bangun akibat tendangan yang sangat keras tadi. Dia hanya menatap pasir-pasir mulai rata dengan permukaan tanah bersama angin yang membuat debu-debu beterbangan.

Sambil menahan sakit ia beringsut bangun, kemudian menyeret tubuhnya ke arah di mana tadi Raden Mas Kinanjar Swantaka tertimbun. Susah sekali ia mencapainya, karena padang pasir yang membukit ini membuatnya harus merosot ke bawah lagi. Dan ia tidak henti-hentinya mendaki. Namun tetap saja. Tubuhnya yang lemah tak berdaya selalu merosot ke bawah. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba saja kedua matanya membelalak lebar....

Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas sana, dari permukaan bukit pasir menyembul sebelah lengan. Lengan itu nampak bergerakgerak menyingkirkan pasir-pasir yang terkuak semakin membesar. Lalu muncul lagi sebelah lengan lainnya. Gadis itu makin tak percaya. Apalagi saat ia melihat sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka menyembul. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Seluruh tubuhnya telah penuh dengan pasir. Sosok itu bergerak-gerak berusaha ke luar dari timbunan. Untuk mengangkat tubuhnya saja laki-laki itu sudah tidak sanggup. Ia hanya mengandalkan kedua lengannya yang membawanya keluar dari timbunan itu.

Matanya menatap nanar ke arah perempuan yang juga nampak kepayahan di bawahnya. Perempuan itu balas menatap sambil duduk dengan kedua lengan yang menahan tubuhnya di atas permukaan pasir. Dan saat Raden Mas Kinanjar Swantaka benarbenar ke luar dari timbunan pasir, Dewi Rakuntili ambruk pingsan. Begitu juga dengan laki-laki itu yang berjalan tersaruk-saruk. Dengan tiba-tiba pandangannya berputar. Ia tidak kuat lagi untuk melangkah.

Maka tubuh itu menggelosoh ambruk! Tubuhnya menggelinding deras... akhirnya ia pun jatuh terlentang tak sadarkan diri tidak jauh dari sosok Dewi Rakuntili. Keduanya sama-sama terlentang menantang matahari yang kian lama semakin tinggi mencorot.

*

* *

11

"Itu mereka! Lekas kejar!" teriak Kama Lodra melihat sosok Wintara dan Umbara Komang berjalan tenang, maka ketiga puluh anak buahnya berlarian. Wintara dan Umbara Komang yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke belakang.

"Astaga! Mereka masih saja mengejar!" Wintara kaget. Umbara Komang melotot.

Keparat! Siluman-siluman itu punya tenaga apa!" Umbara Komang ketakutan menatap kedua orang yang berlari paling depan.

"Itu siluman rambut kusut kenapa tidak mau mampus saja!" gerutunya lagi. Wintara segera menarik lengan Umbara Komang mengajaknya berlari lagi. Mereka memang nampak sudah tak bertenaga, tapi melihat para pengejarnya demikian gigih membuat mereka memeras tenaganya.

Sementara itu di belakang mereka Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit meninggalkan jauh orang-orang yang berlari mengikuti. Ketiga puluh orang itu larinya sudah simpang siur. Banyak juga di antaranya yang jatuh bangun. Ada juga yang tidak kuat meneruskan larinya. Yang jelas mereka semua tidak bakal sanggup lagi mengikuti cara lari kedua orang yang mendahului di depan. Percuma saja Kama Lodra memberinya semangat. Belum-belum mereka ada yang bergelintingan pingsan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah memakan tenaga yang sedikit. Mereka telah menempuh semalaman penuh. Sampai sekarang matahari mulai tinggi di ufuk Timur.

Bagi Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sebenarnya sama-sama lelah dan telah kehabisan tenaga. Hanya mereka berusaha menyembunyikannya. Kalau saja mereka sanggup berlarian semalam suntuk, adalah wajar! Karena mereka berdua memang memiliki ilmu kecepatan lari yang sangat luar biasa. Kedua buruannya yang berada di depan hampir terkejar.

Wintara dan Umbara Komang sudah tidak dapat menambah kecepatan larinya. Apalagi sekarang mereka mengarungi lautan padang pasir yang sangat luas. Setiap kakinya melangkah, padang pasir membenam ke mata kaki. Mereka betul-betul terdesak. Berusaha tetap lari adalah percuma dan bukan jalan satusatunya yang terbaik. Lambat laun tenaga mereka akan habis, dan para pengejarnya akan mendapatkan mereka pula. Maka dengan bringas Wintara membalikkan tubuhnya berdiri menantang. Umbara Komang yang terlanjur berlari terpaksa pula berhenti menatap ke arah Wintara tidak mengerti. Ia balik lagi melangkah mendekat Wintara.

"Dewa akan bunuh diri! Mereka akan merencah kita!" kata Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia seolah-olah berdiri menantang kedua orang yang berlari makin dekat.

"Bukan bunuh diri, Umbara! Tapi kita yang akan membunuh siluman-siluman itu!"

"Oh, iya iya.... Mereka memang silumansiluman yang mesti di berantas!"

"Awaas!" Wintara mendorong tubuh Umbara Komang saat Kama Lodra datang melancarkan tendangan terbangnya ke arah mereka. Umbara Komang ke pinggir sempoyongan. Wintara juga. Tapi ia cepat di sambut oleh Ki Rondo Mayit dengan sebuah jotosan....

"Des!" Tepat mengenai muka. Sehabis menghantam begitu tampak sekali tubuh Ki Rondo Mayit terhuyung, maka Wintara membalas dengan tendangannya. Meskipun agak terhuyung Ki Rondo Mayit masih dapat menangkis tendangan itu. Malah Wintara yang jatuh tergelincir.

Melihat Wintara terguling ke arah Kama Lodra. Umbara Komang menahan gerakan Kama Lodra yang berniat melancarkan serangan ke bawah. Tendangan Umbara Komang mengenai kedua lengan lelaki tua yang mengenakan jubah serba hitam. Mendapat kesempatan itu Wintara cepat bangkit dan melancarkan sabetan lengannya. "Des!" tubuh Kama Lodra terbanting.

Saat itu ketiga puluh orang anak buah Kama Lodra sudah berdatangan. Mereka tidak perlu diberi komando lagi. Dengan serempak mereka mencabut senjata dan menyerang Wintara. Umbara Komang terbelalak melihat senjata-senjata mereka nampak putih berkilat menyilaukan. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit segera menyingkir membiarkan anak buahnya mengepung dua orang buruannya. Saat-saat itu mereka berdua berusaha menghimpun tenaga.

Menghadapi kepungan itu Wintara maupun Umbara Komang tidak mengalami kesulitan. Para penyerang itu melancarkan serangan tanpa tenaga. Babatan-babatan senjata mereka nampak lamban, malah lebih cepat dibanding dengan gerak hantaman Wintara atau tendangan Umbara Komang. Sungguh-sungguh menghajar mereka. Wintara sengaja membuat para penyerangnya jatuh pingsan, Tapi untuk Umbara Komang, ia tidak pernah tanggung-tanggung melancarkan hantamannya. Kalau lawan-lawannya tidak patah tulang atau batok kepala mereka tidak remuk, Umbara Komang kurang puas. Untuk itulah ia nampak mulai kehabisan tenaga. Sementara itupun Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sudah dapat melihat dan mengukur kekuatan kedua orang itu. Kama Lodra beringsut melangkah bermaksud ikut menyerang. Tapi Ki Rondo Mayit segera menahannya. Kama Lodra berhenti melangkah, saat itupun ia sempat melihat Umbara Komang jatuh terkena babatan pedang.

"Putri mu telah mengecewakan aku, Kama Lodra! Ia telah mengingkari janji! Sampai sekarang ia belum kembali. Pastilah ia sudah tewas di tangan raden keparat itu!"

"Kau bicara apa, Ki Rondo Mayit! Dua orang buruan kita sudah ada di sini! Kenapa berbicara soal putri ku! Hancurkan saja mereka dulu, setelah itu kita berdua mencari mereka!"

"Ah tidak perlu! Itu urusanmu! Bagiku kedua orang itu tidak begitu penting! Yang kuperlukan nyawa raden sial itu! Aku pergi sekarang mencari mereka! Urus saja kedua orang itu olehmu!" Setelah berkata begitu Ki Rondo Mayit melesat meninggalkan tempat itu. Kama Lodra tidak dapat menghalanginya. Matanya hanya menatap kepergian Ki Rondo Mayit yang berlalu menjauh. Kemudian beralih ke arah pertarungan. Di situ ia melihat Umbara Komang mengamuk menjatuhkan satu demi satu para anak buahnya. Padahal darah telah mengucur deras dari luka di pinggangnya. Begitu juga dengan Wintara. Ia sudah semakin kalap menghantam lawan-lawannya. Babatan-babatan senjata yang begitu banyak berkelebat sama sekali tidak ada yang mengena di tubuh Wintara.

Sekalipun Wintara nampak keteter. Kama Lodra berbalik mundur, bukan karena takut menghadapi kedua orang buruannya itu. Tapi ia merasa khawatir akan nasib putrinya. Ia takut kalau putrinya betulbetul tewas di tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sebab sampai sesiang ini belum juga kembali. Menurut sepengetahuannya, ia selalu berhasil dalam bidang apapun. Dan dapat kembali lebih awal. Apalagi Ki Rondo Mayit sekarang pergi menyusul. Bagaimana kalau Dewi Rakuntili berhasil membawa Raden Mas Kinanjar Swantaka? Tentunya Ki Rondo Mayit akan merampasnya dari tangan Dewi Rakuntili. Ia tahu benar watak anak perempuan tunggalnya. Watak yang keras dan tidak bakal dengan mudah menyerahkan miliknya yang sudah didapat. Dia memang pernah berjanji akan menyerahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki Rondo Mayit. Tapi sekarang suasananya lain...! Kama Lodra berpikir panjang. Lalu dengan tiba-tiba saja ia menghentakkan kedua kakinya berlari meninggalkan pertarungan. Membiarkan para anak buahnya matimatian menggempur dua pendekar perkasa.

"Weiiii! Siluman tengik! Mau lari ke mana kau!" bentak Umbara Komang sambil melancarkan hantamannya ke dada lawan. Darah menyembur bagai air mancur! Umbara Komang melangkah cepat, tapi beberapa orang menghadangnya. Dua orang lagi melompat memegangi kedua kakinya.

"Ha ha ha ha cecoro-cecoro busuk! Apa-apaan kalian! Lepas!" Umbara Komang berteriak-teriak. Wintara jadi geli melihatnya. Melihat kelucuan itu, tenaga Wintara seperti muncul kembali. Terbukti sekali hantamannya bergerak menjatuhkan tiga orang sekaligus. Memang tidak telak, tapi cukup membuat ketiganya menjerit-jerit!

Dua orang itu masih memegangi kaki Umbara Komang manakala di hadapannya berdatangan orangorang membabatkan senjatanya. Sebelum senjatasenjata itu berkelebat, Umbara Komang melesat ke atas. Dua orang yang memegangi kakinya sampai ikut terbang ke atas. Maka babatan-babatan senjata itu hanya mengenai kedua orang itu sampai salah satu dari tubuh mereka ada yang hampir putus. Dan Umbara Komang sendiri yang masih berada di udara menghantam kepala mereka satu persatu.

Wintara bertambah yakin akan kehebatan Umbara Komang. Tapi sedikitnya ia masih khawatir akan keadaan tubuhnya yang

banyak mengeluarkan darah. Setelah Wintara berhasil menjatuhkan dua orang penyerang, ia melompat ke arah Umbara Komang....

"Dewa jangan khawatir! Aku tidak apa-apa! Lihat " Umbara Komang memutar lengannya. Dan seo-

rang pembokong itu terlentang ambruk menyemburkan darah. Saat Umbara Komang menghantam, Wintara dapati mimik yang menyeringai menahan sakit.

"Kau memang hebat, Umbara! Tapi bagaimana pun aku harus membantumu! Kau tidak perlu menghajar mereka sampai tewas! Itu akan membuang tenagamu saja... "Seperti ini saja!" Wintara menendang ke depan "Der!" Perlahan tapi pasti. Dan dua orang ber-

gulingan dengan kelojotan untuk kemudian diam tak berkutik.

"Dengan begitu kita sudah mengurangi lawanlawan brengsek itu! Cepat menyingkir! Urusi saja luka di pinggangmu, Umbara... Mereka tinggal sedikit, aku sanggup menghabisi mereka!" Wintara melancarkan tendangan memutar ke depan menghantam pergelangan tangan hingga senjata-senjata mereka mental berbareng. Lalu sebelah kakinya menyambar lagi beruntun membuat orang-orang itu jatuh bergelimpangan.

*

* * 12

Matahari bergeser semakin tinggi dengan menyebarkan panas teriknya ke setiap permukaan tanah berpasir yang menghampar itu. Dua sosok tubuh masih terlentang menantang matahari dengan nafas yang tersendat-sendat perlahan. Tubuh mereka telah berlapis pasir yang berwarna coklat kehitaman. Rambut keduanya sudah nampak kaku penuh debu.

Sesekali angin berhembus meniup mereka. Dan Dewi Rakuntili berusaha membuka kedua kelopak matanya yang sayu menatap panas menyilaukan. Bibirnya yang pucat retak bergetar. Lemah sekali ia menoleh ke samping kiri di mana sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka terkapar mulai sadar. Gadis itu berusaha bangkit, tapi tubuhnya yang lemah membuat ia tidak mampu bergerak lagi. Matanya terpejam.

"A-a-air.... Air.... hhhhhh" Gadis itu merintih. Raden Mas Kinanjar Swantaka mendengar itu. Ia pun segera menoleh ke samping. Sosok Dewi Rakuntili terlentang lemas dengan nafas yang terputus-putus. Lelaki itu merangkak bangun. Akan tetapi ia terjatuh lagi berguling. Ia pun telah benar-benar kehabisan tenaganya. Sekali lagi ia merangkak bangun. Lalu berjalan ke arah Dewi Rakuntili.

Ia menatap gadis itu mengucurkan keringat dengan wajah yang pucat serta bibir yang kering retak. Tubuhnya nampak gemetar. Ia tetap terlentang saat Raden Mas Kinanjar Swantaka di sampingnya. Tangan lelaki itu gemetar menarik gagang pedang pendek yang terselip di pinggang Dewi Rakuntili. Gadis itu hanya diam pasrah.

"Kau menang, Raden.... hhhhhhh. Kau boleh membunuhku!" Suara Dewi Rakuntili lirih. Raden Mas Kinanjar Swantaka mengangkat pedang pendek tinggitinggi. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar matahari Dewi Rakuntili menatap mata pedang dengan tak berkedip. Di luar dugaan, Raden

Mas Kinanjar Swantaka menghantam pedang itu ke arah lengannya sendiri. Pedang pendek menancap dalam di lengannya. Darahpun menetes ke luar. Tetesan darah itu sengaja diarahkan ke mulut Dewi Rakuntili.

Lelaki itu mengangkat kepala Dewi Rakuntili agak berdiri. Kemudian ia melekatkan luka yang masih mengalirkan darah ke mulut. Membiarkan gadis itu menghisapnya. Tanpa setetes darahpun yang terbuang percuma. Bibir mungil itu kini basah lagi dengan cairan merah.

Entah sampai berapa lamanya, tubuh lelaki itu ambruk lagi ke tanah. Dewi Rakuntili terduduk menatap sosok yang ambruk terlentang. Ia menyeka cairan merah yang tersisa di sekitar bibirnya. Tubuhnya masih gemetar, dan berusaha meraih pedang pendek yang masih dalam genggaman Raden Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itu diam tak bergeming. Dewi Rakuntili mengarahkan mata pedang pendek ke dada lelaki itu. Nafasnya kian memburu. Pedang pendek berkilat siap menembus dada. Tapi apa yang akan dilakukan Dewi Rakuntili tidaklah sekejam itu! Gadis itu melemparkan pedangnya jauh-jauh....

"Bagus, Dewi Rakuntili! Nyawa anjingnya memang bagianku !" Tiba-tiba saja terdengar suara yang

amat berat dari belakang. Dewi Rakuntili menoleh....

"Ki Rondo Mayit !" Dewi Rakuntili menatap so-

sok tubuh berambut putih kusut menyeringai menyeramkan. Laki-laki setengah tua itu melangkah dekat.

"Tidak, Ki Rondo Mayit! Kau tidak boleh membunuhnya!" Dewi Rakuntili menghalangi dengan kedua lengannya. Ki Rondo Mayit berhenti melangkah.

"Kau sudah berjanji padaku, Dewi." jawabnya tenang.

"Betul! Tentunya kau masih ingat dengan janji ku itu. Kau boleh membalas dendammu, asalkan Raden Mas Kinanjar Swantaka telah sembuh betul!"

"Hm... Lalu membiarkan keparat itu melarikan diri lagi...? Tidak bisa, Dewi! Sekarang saatnya yang tepat, kau tidak bisa menunda-nunda lagi!" Ki Rondo Mayit melangkah kian dekat.

"Diam di tempat, Ki! Sekali lagi melangkah aku tidak segan-segan menghadapimu!" Dewi Rakuntili mengancam. Ki Rondo Mayit tertawa mengekeh....

"He he he he.... Kau pikir aku ini apa dapat digertak macam itu? Hah! Di sini kau bukan seorang penguasa, Dewi. Kau tidak punya wewenang apapun terhadapku. Menyingkirlah kalau masih ingin hidup lama!" Kedua lengan Ki Rondo Mayit siap-siap mengeluarkan jurus.

Melihat itu Dewi Rakuntili berdiri cepat menghadapi laki-laki setengah tua berambut putih kusut. Kedua matanya menatap liar bagaikan betina yang haus darah. Ki Rondo Mayit bergidik melihat sosok ramping berlapis debu. Wajah anggunnya tidak nampak sama sekali.

"Jangan heran kalau sekarang aku menolongnya, Ki.... Dia tidak patut kubunuh atau kuserahkan padamu! Karena dia telah menyelamatkan nyawaku!"

"Oh pantas sekarang telah menjadi anjing penji-

lat!"

"Tutup mulutmu!" Bersamaan dengan itu, Dewi

Rakuntili melancarkan tinjunya ke arah muka Ki Rondo Mayit. Lelaki setengah tua itu hanya bergeser sedikit, maka serangan itu meleset ke samping. Dengan mudahlah bagi Ki Rondo Mayit membalas serangan. "Des!"

Tubuh ramping itu bergulingan. Hantaman ke-

ras itu membuat Dewi Rakuntili menyemburkan darah. "Bukan salahku, Dewi! Kau sendiri yang me-

maksa aku bertindak kejam!"

"Bangsat! Jangan sombong tua bangka keparat!" Dewi Rakuntili bangkit lagi. Kali ini hantamannya bergerak cepat. Dan hantaman itu hampir mengenai kepala Ki Rondo Mayit, untunglah lelaki itu cepat merunduk. Tapi tiba-tiba saja Ki Rondo Mayit memekik hebat dan terhuyung mundur. Ternyata dalam kesempatan itu Raden Mas Kinanjar Swantaka yang baru saja siuman dari pingsannya langsung melancarkan hantaman keras. Kesempatan itu pula Dewi Rakuntili ikut ambil bagian.... Sewaktu Ki Rondo Mayit mundur terhuyung, gadis itu melancarkan tendangan. Tepat mengenai punggung dan sampai memuntahkan darah. Dewi Rakuntili cepat berlari melindungi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang nampak bangkit berdiri.

Dengan geram pula Ki Rondo Mayit maju menerjang, kedua lengannya berputar di barengi dengan tendangan yang sangat keras. Untuk menghadapi pukulan-pukulan itu mereka dapat menangkisnya, tapi tendangan yang sangat keras itu sama sekali tidak dapat di-bendung. Kedua-duanya jatuh bergulingan.

Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat bangun, Ki Rondo Mayit menerjang lagi dengan serentetan serangan. "Sudah kepalang tanggung, Dewi! Rupanya kalian berdua memang harus mampus di tanganku... Hreaaaaaa!"

Angin pukulan ki Rondo Mayit bergulunggulung. Kedua sasarannya belingsatan menghindar. Mereka yakin hantaman yang bertubi-tubi itu sudah tentu di sertai tenaga dalam yang dahsyat. Kalau saja sampai terkena, pastilah mereka akan tamat riwayatnya.

Sekalipun Dewi Rakuntili dan Raden Mas Ki-

nanjar Swantaka telah kehabisan tenaga, mereka masih dapat menghindari serangan-serangan maut itu. Mereka berdua bergantian saling melindungi. Bahkan menangkis saling bergantian. Namun sekuat-

kuatnya mereka, bagi Ki Rondo Mayit tidaklah berarti. Sekali Ki Rondo Mayit kerahkan tendangannya.... "Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka yang bermaksud menyambut tendangan itu tidak sempat menangkis lagi. Terasa sekali dadanya rontok. Ia mundur terhuyung dengan darah menyembur. Dewi Rakuntili datang membalas. Teriakannya menggelegar berbareng dengan sambaran lengan kanannya yang menghantam deras, Ki Rondo Mayit hanya menepak dengan telapak tangannya lalu kakinya naik ke atas menendang perut "Der!"

Dewi Rakuntili terlempar melintir! Begitu tubuhnya jatuh di tanah, debu-debu pasir berdegum mengepul. Seluruh tulang-tulang sendinya rontok. Ia berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.

Ki Rondo Mayit menyeringai. Kedua tangannya mengepal erat dan siap menghantam lagi. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah bangkit meskipun dengan gerakan yang lunglai. Ia bersiap-siap menghalangi bilamana laki-laki setengah tua berambut putih kusut melancarkan serangan. Dewi Rakuntili menatap ngeri. Saat Ki Rondo Mayit maju menerjang ke arah Dewi Rakuntili, cepat sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka bergerak menghalangi, tapi lelaki berambut putih kusut tidak kalah sigap. Sebelum ia melancarkan hantaman ke arah Dewi Rakuntili, ia menghantam perut Raden Mas Kinanjar Swantaka terlebih dahulu. Tubuh itu terbanting di samping Dewi Rakuntili. Dan ki Rondo Mayit tetap meneruskan niatnya... Hantamannya berkelebat menyambar batok kepala gadis itu, tapi....

"Plaaaak!" Sosok bayangan lain muncul menggagalkan hantaman itu. Ki Rondo Mayit mundur selangkah, dirasakan kedua pergelangan tangannya berdenyut.

Dan di saat ia menoleh ke arah sosok bayangan tadi, mata Ki Rondo Mayit terbelalak! Begitu juga dengan Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Sosok Kama Lodra berdiri tenang dengan tatapan penuh amarah ke arah Ki Rondo Mayit. "Sudah kuduga kedatanganmu ini ke sini pasti akan membawa bencana, Ki! Untung aku cepat datang ke sini!" kata Kama Lodra yang mulai melangkah.

"Itu lebih bagus, Ki! Biar kau saksikan kematian putri mu akibat keangkuhan wataknya yang kelewat sombong! Tapi setelah memandang kau, aku masih memberi kesempatan untuk kau membawanya pulang!" Ki Rondo Mayit berkata sinis.

"Kau meremehkan aku, Ki Rondo Mayit!

Aku memilih kita bertarung saja. Aku rasa kau tidak keberatan, bukan?" jawab Kama Lodra sambil membantu putrinya bangkit.

*

* *

13

"Aku setuju! Dan itu berarti akan ada tiga mayat bergelimpangan tanpa kubur di sini... Mari Kama Lodra, kita yang sama-sama tua ini belum pernah saling menjajal ilmu!" Ki Rondo Mayit menantang. Kama Lodra tetap tenang. Ia melihat putrinya membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit berdiri. "Jangan khawatir, Kama Lodra. Aku tidak akan

menyentuh putri mu sebelum mengirimmu ke neraka. Dan juga jangan coba-coba melarikan diri dari sini kalau tidak ingin ku sebut sebagai pengecut!" Ki Rondo Mayit membetulkan ikat pinggangnya, lalu ia bersiapsiap mengeluarkan jurus-jurus maut. Kama Lodra membuka jubah hitamnya.

Maka terlihatlah tubuhnya yang setengah telanjang itu nampak kekar dan berisi. Rambut hitamnya tetap tergulung di atas kepala. Ia pun tidak kalah dahsyat menunjukkan jurusjurusnya.

Ki Rondo Mayit tidak membuang-buang waktu. Teriakannya menggelegar, bersamaan dengan lesatan tubuhnya menerjang Kama Lodra. Kedua lengannya berputar menimbulkan suara angin yang bergemuruh bergulung-gulung. Kama Lodra menyambut dengan kedua telapak tangannya yang mendorong keras ke depan. Sampai akhirnya hantaman mereka beradu dahsyat.... Suara benturan itu membledar nyaring memecah kesunyian gurun tandus berpasir.

"Tidak kusangka kau sehebat ini, Kama Lodra!" kata Ki Rondo Mayit sambil melancarkan tendangan memutar dengan kedua kaki yang menghantam bergantian.

"Kau menghina, Ki    Heaaat!" Kama Lodra me-

lesat ke atas menghindari tendangan yang beruntun itu. Dan ia sempat terkesiap karena tahu-tahu saja sebelah jotosan Ki Rondo Mayit nyaris menghantam jantungnya. Untunglah Kama Lodra cepat memutar lengannya ke depan melindungi. Dan cepat menangkap lengan Ki Rondo Mayit.

Secepat itulah Kama Lodra melancarkan pukulannya menghantam punggung... "Bug!" Ki Rondo Mayit memekik. Kama Lodra membiarkan lawannya terhuyung maju. Saat itu Kama Lodra sudah hinggap di tanah. Lelaki tua berambut putih kusut membalikkan tubuhnya. Ia menatap geram.

"Pukulanmu hebat, Ki.... Tapi jangan senang dulu, sambut ini....

Haaaaat!" Tubuh ki Rondo Mayit melesat. Kedua kakinya tidak menyentuh tanah seakan-akan dirinya terbang menjurus ke arah Kama Lodra. Gerakan kedua tangannya sukar untuk dipastikan. Namun begitu Kama Lodra tetap berhati-hati, karena ia yakin serangan yang dilancarkannya pasti lebih dahsyat dari yang sudah-sudah. Ketika hantaman-hantaman itu menjurus ke arahnya, Kama Lodra melesat ke atas lagi. Sambil berjumpalitan di udara Kama Lodra menepis hantaman-hantaman itu dengan kedua telapak tangannya. "Bledaaaar!"

Serangan itu luput, tapi Kama Lodra tidak menyangka sama sekali akan tendangan yang bergerak menyerbu. Sebelum Dewi Rakuntili melancarkan serangan, Kama Lodra menahannya. Gadis itu hanya berdiri di belakang ayahnya dengan nafas yang memburu. Kama Lodra berdiri dengan sikap bersiap-siap menghadapi......

"Menyingkirlah, Dewi.... Dia bukan tandingan mu!" Bisiknya. Dewi Rakuntili mundur....

Setelah berkata begitu, Kama Lodra maju ke depan menyambut hantaman Ki Rondo Mayit yang datang dengan tiba-tiba. Kembali hantaman-hantaman mereka bergulung-gulung. Tubuh kedua orang tua itu saling kelit melancarkan serangan. Tendangan maupun hantaman mereka saling bentrok hingga menimbulkan suara-suara yang memekakkan telinga.

Dua sosok tubuh tua itu bertarung bagai dua ekor harimau lapar. Meraung-raung saat melancarkan serangan. Kama Lodra tidak tanggung-tanggung lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Setiap hantamannya selalu berisi tenaga penuh. Hal itu membuat Ki Rondo Mayit gelagapan dibuatnya. Dan harus pula menangkis hantaman-hantaman Kama Lodra.

Namun semua denyutan di lengannya itu sama sekali tidak dirasakannya. Walaupun Kama Lodra masih melancarkan pukulan-pukulan maut beruntun. Jago tua Ki Rondo Mayit memang sangat sukar untuk dijatuhkan. Ia masih bisa bertahan dari hantamanhantaman yang mendera di tubuhnya. Apalagi serangan-serangan Kama Lodra tidak pernah berhenti dan selalu mengincar.

Di luar dugaan tubuh Ki Rondo Mayit melayang ke atas. Tahu-tahu kedua telapak tangannya mencengkeram lengan-lengan Kama Lodra. Lalu begitu ia menjatuhkan diri, sebelah kaki Ki Rondo Mayit masih menggedor dada Kama Lodra. Kama Lodra menyemburkan darah. Dan posisinya masih dalam cengkeraman Ki Rondo Mayit. Setelah menendang, laki-laki berambut putih kusut menghantam kepalanya dengan sabetan lengannya.... "Des!" Tulang leher Kama Lodra terasa copot! Ia terhuyung mundur kemudian jatuh ambruk!

"Ayah...!" Pekik Dewi Rakuntili berlari ke arah Kama Lodra.

"Tenang, Dewi. Aku tidak apa-apa. Kau menyingkirlah...!" jawab Kama Lodra sembari berusaha bangkit.

"Heh! Kenapa musti sok pahlawan, Kama Lodra.... Biarkan putri mu itu ikut menyerang. Atau kalau perlu sekalian dengan Raden keparat itu! Kalian boleh maju semua!" Ki Rondo Mayit melangkah maju. Raden Mas Kinanjar Swantaka kepalang maju, ia maju lebih dulu. Tapi disambut oleh tendangan Ki Rondo Mayit "Weeees!" Untunglah Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menarik kembali tubuhnya ke belakang. Namun untuk tendangan yang kedua, laki-laki itu tidak dapat menghindarinya lagi... "Des!" Tubuhnya terlempar deras dan hampir menimpa tubuh Dewi Rakuntili. Gadis itu tidak menghindar, malah menjaganya sehingga tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak terbanting. Setelah itu Dewi Rakuntili lompat menerjang.

Amarahnya telah meluap. Dan juga ia tidak mengontrol dirinya...

Setelah merebahkan diri menghindari serangan gadis itu, Ki Rondo Mayit membalas dengan tendangan... "Deeeeer!

Dewi Rakuntili memekik. Tubuhnya terbanting berdegum di tanah berpasir. Darah mengalir dari mulutnya. Ki Rondo Mayit menatap puas melihat gadis itu tidak dapat bangkit lagi.

Saat itu tubuh Kama Lodra berjumpalitan di udara. Bersamaan dengan itu pula Raden Mas Kinanjar Swantaka juga melesat dari arah lain, Ki Rondo Mayit yang mengetahui adanya serangan dari dua arah langsung merentangkan kedua tangannya.

Kedua lengan itu menyambut tendangan dan hantaman dari arah yang berlawanan. Dan ternyata serangan-serangan dari arah yang berlawanan itu hanya sampai di situ. Kama Lodra dan Raden Mas Kinanjar Swantaka masih terus mencecar Ki Rondo Mayit. Merasa tidak sanggup mengatasinya, Ki Rondo Mayit sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan menjauh. Tapi mana mau dua orang itu membiarkan Ki Rondo Mayit bergeser dari tempatnya. Maka keduanya datang lagi menerjang.

Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat ke atas, tendangannya cepat menyambar. Begitu juga dengan Kama Lodra, hantamannya yang berkelebat beruntun sukar diikuti oleh pandangan mata.... Namun hanya dengan sekali sentak, Ki Rondo Mayit dapat menepis tendangan itu yang hampir menghantam kepalanya. Lalu sambil mundur ia menangkis hantamanhantaman yang mendesak ke dada.

Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan dua puluh jurus. Namun tidak ada tanda-tanda bagi mereka dapat menjatuhkan Ki Rondo Mayit. Laki-laki berambut putih kusut yang sangat luar biasa itu selalu dapat menghindar atau menangkis hantamanhantaman mereka. Sekalipun mereka tahu kalau lawan yang dihadapinya itu memiliki ilmu yang sangat tangguh, Kama Lodra maupun Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak mundur dalam selangkah.

*

* *

Saat itu Wintara dan Umbara Komang telah menjatuhkan lawan-lawannya. Kini mereka yang tadi berjumlah tiga puluh orang, sekarang tinggal empat orang. Keempat orang itu pun seperti ragu-ragu menyerang. Mereka telah kehilangan kekuatan. Seluruh permukaan dataran berpasir telah bergelimpangan sosok-sosok penghuni kuil.

Wintara dan Umbara Komang yang sudah berlumuran darah menatap keempat orang itu dengan sorot mata yang menakutkan. Pedang-pedang mereka memang masih tergenggam, tapi pedang-pedang itu seperti gemetar menahan takut. Umbara Komang maju menyeringai. Dan keempat orang itu mundur berbareng. Umbara Komang tertawa mengekeh!

"Sudah tahu takut masih saja berdiri di situ! Ayo merat...! Kalau masih mau mampus cepat ke mari maju!" bentak Umbara Komang menunjukkan wajah yang amat mengerikan. Keempat lawannya saling pandang. Lalu sambil melemparkan pedang-pedang mereka, kemudian berbalik lari pontang panting. Wintara menatap mereka menggelengkan kepalanya.

"Dasar dungu! Kembali ke kuil pun mereka percuma! Mereka akan memakan waktu yang sangat lama! Dia kira gampang mengarungi padang pasir sedemikian luasnya? Kita berduapun pasti mati kehausan di sini " kata Wintara setelah Umbara Komang berja-

lan mendekatinya.

"Lalu bagaimana dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka? Aku rasa ia pun sudah jadi santapan para siluman padang pasir!" sahut Umbara Komang yang berjalan lunglai. Keduanya sama-sama lemas seperti kehabisan tenaga. Angin-angin makin kencang berhembus.

*

* *

14

Namun dengan tiba-tiba saja Wintara dan Umbara Komang menoleh ke belakang. Ia mendengar suara teriak-teriak. Tampaklah empat sosok tubuh berlarian mendekat ke arah mereka. Salah seorang dari keempat orang itu jatuh dan tidak bangkit lagi, lalu yang tiga berlari terus. Umbara Komang menatap tak mengerti.

"Ada apa gerangan, sehingga mereka berlari balik ke mari...?" Wintara heran. Tapi sebelum mereka berfikir, mereka menemukan jawabannya. Jauh di belakang orang-orang itu telah mengejar segerombolan kuda dengan penunggang-penunggangnya. Jumlahnya hampir belasan.

"Sekarang mati kita! Musuh-musuh berdatangan lagi!" kata Wintara.

"Apakah mereka siluman-siluman jahat juga?" Umbara Komang mempertajam penglihatannya. Wintara memeluk bahu Umbara Komang sebelah tangan.

"Di neraka ini mana ada yang berpihak kepada kita. Kecuali muzizat dari Tuhan."

"Tuhan.... Kenapa Dewa mengharapkan keajaiban Tuhan? Bukankah Dewa bisa berbuat apa saja?" Umbara Komang menatap ketiga orang yang hampir mendekati mereka. Orang-orang itu lari tunggang langgang.

"Tuhan itu ada di mana-mana, Goblok! Semua makhluk ciptaan-Nya kebanyakan memohon padaNya...! Kau juga makhluk ciptaan-Nya. Aku juga "

Wintara menjelaskan dengan kesal.

"Dan juga aku bukan dewa yang patut kau sembah! Aku juga siluman. Sayang kita berdua di sini bakal mampus!" kata Wintara lagi.

"Heh, suara apa itu...?" Umbara Komang mendengar sesuatu yang lain. Di antara suara deru derap kaki belasan kuda, mereka mendengar suara gletargletar cambuk yang tidak pernah berhenti. Manakala gerombolan berkuda itu semakin dekat mendatangi ketiga orang yang lari tunggang langgang itu telah berjatuhan kehabisan nafas. Apa yang membuat mereka nampak ketakutan sekali ?

"Mereka.... Mereka...." Tiba-tiba saja Umbara Komang berjingkrak-jingkrak. Wintara baru tersadar dengan apa yang dilihatnya. Kedua perempuan yang menunggangi kudanya paling tengah nampak jelas sekali....

"Astaga.... Mereka Pendekar Kembar Cambuk Seriti!" Seru Wintara. Lalu keduanya melompat-lompat sambil melambai-lambaikan kedua tangannya. "Hooy...! Hooy...!" teriak mereka. Gerombolan kuda itu datang mendekat. Mereka memang gerombolan perempuan yang dipimpin oleh Pendekar Kembar Cambuk Seriti. Dan kedua wanita kembar ini tidak percaya pula dengan apa yang mereka lihat.

"Wintara...! Umbara Komang...!" Kedua wanita kembar itu berteriak.

"Aku mengira kalian berdua mayat-mayat hidup. Lihat saja rupa kalian sudah tidak nampak." Gurau Seriti Kuni. Wintara memperhatikan perempuanperempuan itu. Ternyata mereka adalah para tawanan di kuil yang pernah mereka bebaskan.

"Kalian dari sana?" Tanya Wintara, Seriti Wuni turun dari kudanya setelah mendekati kedua lelaki yang tetap berdiri.

"Ya, tidak satu orang pun yang hidup di sana!" Kata Seriti Kuni, ia melemparkan dua pundi air ke arah Wintara. Lelaki berbaju kulit binatang itu menangkapnya sekaligus, kemudian melemparkan satu pundi air pada Umbara Komang. Mereka langsung meminum air itu. Seriti Kuni meneruskan pembicaraannya.

"Aku menemukan mereka dalam sebuah ruang tahanan. Mereka menceritakan bahwa kalian yang melepaskan dari belenggu-belenggu rantai. Di kuil itu pula kutemukan empat buah peti berisi upeti yang kalian bawa tempo hari. Dari situ kami memilih kesimpulan bahwa kalian mendapat kesulitan.... Mana Raden Mas Kinanjar Swantaka?" Seriti Kuni membetulkan letak empat buah peti kecil yang agak miring. Wintara tidak menjawab, ia masih menenggak air minum. Begitu juga Umbara Komang. Lama sekali mereka menunggu jawaban Wintara. Belasan perempuan yang di belakangnya diam di atas kuda. Dan setiap kuda membawa perbekalan air dalam pundi.

"Seperti katamu tadi.... Raden Mas Kinanjar Swantaka mendapat kesulitan dan repotnya aku sendiri tidak tahu di mana dia berada." jawab Wintara sambil menyiram kepalanya dengan sisa air minum. Umbara Komang mengikuti.

"Bagaimana kalian berdua sampai punya niat menyusul kami?" Wintara balik bertanya.

"Di Rogojembangan cukup aman. Lagi pula siapa yang betah berdiam diri di sana... Apa kalian kira kedatangan kami ini bermanfaat?" Jawab Seriti Wuni. Umbara Komang nyengir. Ia tidak berani menatap gadis itu.

"Ooow... Jelas kedatangan kalian ini bagaikan utusan-utusan dari surga." kata Wintara serius. Ia menyerahkan kembali pundi air yang telah kosong.

"Kalau begitu, kenapa kalian masih berdiam diri di sini. Bukankah lebih baik kita langsung mencari Raden Mas Kinanjar Swantaka...?" kata Seriti Wuni menyeret kudanya ke hadapan Wintara dan ia sendiri melangkah ke arah kuda yang ditunggangi Seriti Kuni.

"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas dirinya." katanya lagi sambil naik duduk di belakang Seriti Kuni. Dengan sigap pula

Wintara langsung melompat ke punggung kuda yang diserahkan tadi. Tanpa diperintah Umbara Komang langsung naik ke belakang Wintara. Lalu Wintara memacu kudanya memimpin mereka berjalan paling dulu... "Hreaaaaa...! Hreaaaaaa!" Maka gerombolan penunggang kuda itu bergerak lagi. Dan asap-asap debu mengepul-ngepul bertebaran di atas permukaan tanah berpasir.

*

* * Teriakan Ki Rondo Mayit menggelegar bersamaan dengan itu hantamannya maju ke depan... "Des!"

Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya terhuyung mundur. Namun ia masih bisa bertahan untuk tetap tidak jatuh. Kama Lodra cepat menghalangi saat Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya lagi. Hantamannya membentur lengan Ki Rondo Mayit dengan keras. Mendapat serangan seperti itu, Ki Rondo Mayit berbalik menghadapi Kama Lodra. Sebelah lengannya memutar, Kama Lodra cepat menangkis. Maka terlihatlah gaya-gaya jurus mereka seperti dua sosok bayangan hitam yang melintir saling melancarkan pukulan. Gerak-gerak hantaman mereka tidak jelas terlihat. Tahu-tahu saja lengan mereka saling beradu dan menimbulkan suara yang membledar nyaring.

Gigih sekali Kama Lodra melancarkan serangan. Hantaman-hantamannya menjurus ke bagian bawah dan atas. Sedikitnya Ki Rondo Mayit merasa kewalahan menghadapinya. Kedua matanya tidak berkedip sedikit pun. Pandangannya yang jeli terus mengawasi setiap gerakan Kama Lodra.

Bahkan ketika tendangan Kama Lodra menjurus ke depan, Ki Rondo Mayit hanya bergeser mundur ke belakang. Kedua telapak tangannya menepis tendangan itu. Di luar dugaan, tubuhnya yang lentur mendadak berguling berjumpalitan di tanah. Kama Lodra melesat menyusul Ki Rondo Mayit dengan berjumpalitan di udara. Dalam keadaan seperti itu kedua lengan Kama Lodra beruntun menghantam. Ki Rondo Mayit yang masih bergulingan di tanah sama sekali tidak dapat disentuh. Malah ketika ia membalas dengan tendangan yang mengarah ke atas. Tiba-tiba saja Kama Lodra memekik hebat...! "Deeeer!"

Tendangan itu mengena telak di dada. Tubuh Kama Lodra langsung berdegum di tanah. Bagai air mancur, darah menyembur dari mulutnya. Belum sempat ia bangun, Ki Rondo Mayit datang melompat dan tahu-tahu saja jotosannya menghantam tenggorokannya.

Kama Lodra mengejang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar. Saat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat melancarkan serangan. Suara teriakan itu dapat di dengar. Maka dengan cepat Ki Rondo Mayit mencengkeram tubuh Kama Lodra dan melemparkan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mulai mendekat. Langkah lelaki muda itu terhalang. Saat tubuh mereka saling tabrak, Ki Rondo Mayit melancarkan tendangannya ke arah mereka. "Deeeer!"

Tendangan itu menghantam punggung Kama Lodra. Dengan demikian ambruklah tubuh Kama Lodra bersama tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Ki Rondo Mayit makin garang menyerang. Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat bergeser dari tindihan tubuh Kama Lodra. Sambil mundur sempoyongan, lelaki muda itu menghindari hantaman Ki Rondo Mayit. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka kewalahan. Melihat itu Kama Lodra cepat bangkit menerjang, meskipun tubuhnya telah terluka parah ia masih mampu mengalihkan serangan-serangan Ki Rondo Mayit. Tapi tindakannya itu hanya berlanjut sebentar, karena dengan telengas Ki Rondo Mayit menghantam kepala itu hancur berderak, kemudian menyusul dengan berdegumnya tubuh telanjang dada ke tanah dengan nyawa melayang.

*

* * 15

Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ketika mendengar suara rintihan Dewi Rakuntili. Dan ia melihat gadis itu mulai bangkit berdiri. Sesaat kemudian ia berpaling lagi ke arah Ki Rondo Mayit yang tertawa menyeringai. Rambut putih kusutnya bergerak kaku tertiup angin. Mulutnya yang tanpa gigipun menganga menyeramkan. Langkahnya kian dekat bergeser.

Dewi Rakuntili melangkah berjalan ke hadapan Raden Mas Kinanjar Swantaka Wajahnya tetap menatap Ki Rondo Mayit penuh amarah. Ki Rondo Mayit terus menyeringai bagai melihat mangsa yang siap di mangsa.

Ketika Ki Rondo Mayit bergerak maju, Raden Mas Kinanjar Swantaka yang berada di belakang Dewi Rakuntili langsung menarik lengan gadis itu. Kemudian kakinya maju ke depan menendang....."Des!" Tepat mengenai perut. Saat itu pun Dewi Rakuntili tidak tinggal diam. Meski pun berada dalam pelukan Raden Mas Kinanjar Swantaka, sempat pula melancarkan tendangan... "Deer!" Ki Rondo Mayit makin terdorong mundur. Namun setelah ia merentangkan kedua tangannya lalu berputar di atas rasa sakit itu seperti hilang. Ki Rondo Mayit makin maju menunjukkan wajah yang garang. Tapi baru saja ia melangkah ke depan, pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu. Ia cepat menoleh memandang jauh. Dilihatnya belasan kuda berlari kencang. Terdengar pula gletar-gletar cambuk dan helaan-helaan para penunggang kuda itu. Ki Rondo Mayit mempertajam penglihatannya.

Belasan kuda itu berhenti, tapi dua ekor kuda di antaranya bergerak maju terus. Gletar cambuk makin keras. Ki Rondo Mayit dapat melihat dengan jelas. Tiaptiap kuda ditunggangi oleh dua orang. Salah satu kuda itu ditunggangi oleh dua wanita kembar memainkan cambuk-cambuknya. Dan satu lagi, dua orang laki-laki yang ditemuinya di kuil. Laki-laki berambut putih kusut itu tidak perduli melihat kedatangan mereka. Ia kembali menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka dan Dewi Rakuntili. Langkahnya yang secepat kilat berbareng dengan hantaman-hantaman yang keras mendera, Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menangkis. Tapi Dewi Rakuntili tidak sempat lagi mengelak. Lengan kiri Ki Rondo Mayit cepat berkelebat menghantam dadanya. Sebelum hantaman kedua menyambar lagi, Raden Mas Kinanjar Swantaka menghalangi dengan tubuhnya. Dengan telak punggungnya menerima hantaman itu. Keduanya jatuh bergulingan di tanah berpasir. Ki Rondo Mayit masih mengejar dan siap melancarkan hantaman-hantaman.

Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun Dewi Rakuntili diam terlentang menatap Ki Rondo Mayit datang dengan lengan siap menghantam. Tiba-tiba saja terdengar gletar cambuk. Dan mendadak saja lengannya yang siap menghantam itu tertahan oleh lilitan cambuk. Pendekar Kembar Cambuk Seriti sudah berada di situ. Dengan garam pula Ki Rondo Mayit menarik lengannya. Tanpa diduga pula, Seriti Kuni yang melancarkan cambuknya tertarik sampai jatuh terguling. Seriti Wuni yang duduk di belakangnya tidak sempat menahan, karena lengan itu menarik dengan disertai tenaga luar biasa. Saat itu pula Wintara dan Umbara Komang turun dari kudanya langsung meluruk berlarian ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.

Tapi sebelum mereka mendekati, sebuah tendangan memutar Ki Rondo Mayit menyambut. Cepat keduanya menarik mundur. Seriti Wuni dan Seriti Kuni berdatangan melancarkan cambuk-cambuknya. Sebentar saja tubuh Ki Rondo Mayit telah terbelit oleh kedua cambuk itu. Namun laki-laki berambut putih kusut itu tetap tak menghiraukan lilitan cambuk. Tubuhnya masih saja maju menerjang Wintara dan Umbara Komang.

"Siluman kusut! Aku pikir kau telah mampus jadi kerak pasir!" gerutu Umbara Komang. Tubuhnya melesat ke atas sambil menghantam. Ki Rondo Mayit menyambut dengan kedua lengannya. Hantaman itu beradu. Sekalipun tubuhnya terbelit dua utas cambuk, Ki Rondo Mayit masih bisa melancarkan tendangannya ke atas. Maka Umbara Komang yang masih berada di udara memekik sambil memegangi dadanya yang terasa remuk!

"Cecurut sableng! Kau boleh mampus lebih dulu!" Ketika Umbara Komang jatuh ke tanah, Ki Rondo Mayit langsung menginjak dadanya. Umbara Komang kelojotan. lalu Ki Rondo Mayit menghentakkan kedua tangannya menarik kedua cambuk yang melilit di tubuhnya. Maka dua wanita kembali itu tertarik ke atas dan mereka tidak dapat menghindari, kepala mereka saling bentur. Seriti Kuni maupun Seriti Wuni jatuh bergulingan sambil memegangi kepala masing-masing. Wintara cepat menarik tubuh Umbara Komang yang masih terlentang menahan sakit. Dan berusaha menangkis serangan-serangan Ki Rondo Mayit yang diarahkan pada Umbara Komang.

Serangan Ki Rondo Mayit kini beralih pada Wintara. Laki-laki setengah tua itu memiliki ilmu dan daya tahan tubuh yang sangat kuat. Maka sebelum Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya, Wintara lebih dulu menyambut dengan sodokan lengannya dengan tubuhnya merunduk ke tanah. Jotosan yang mengarah tepat ke ulu hati itu membuat Ki Rondo Mayit tersentak kaget. Dan tiba-tiba saja kaki Wintara naik ke atas menghantam muka. Kontan Ki Rondo Mayit ambruk celentang. Saat itu pun Wintara berjingkat bangun. Umbara Komang masih terbaring lemas. Dua pendekar Kembar Cambuk Seriti berusaha bangun meski dengan kepala pusing.

Mendapat tendangan yang menghantam keras di bagian muka, Ki Rondo Mayit merasakan pandangannya berputar. Ia melihat sosok Wintara berdiri berderet lebih dari satu. Keadaan seperti itu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mendadak saja tubuh Wintara maju menerjang melancarkan hantaman yang beruntun. Beberapa hantaman Wintara bersarang telak. Tapi saat Ki Rondo Mayit memutar lengannya ke depan, Wintara gelagapan menyambutnya. Ki Rondo Mayit sengaja melancarkan serangan membabi buta. Namun begitu salah satu hantamannya berhasil menjatuhkan Wintara. Anak muda itu sendiri merasakan kerasnya hantaman itu.

Pandangan Ki Rondo Mayit masih membayang. Ia sempat menoleh ke samping melihat dua wajah kembar datang menyerang. Sosok-sosok itu begitu banyak berdatangan. Sukar sekali bagi Ki Rondo Mayit untuk menentukan yang asli. Maka sebelum wanita kembar itu mendekat, Ki Rondo Mayit mengerahkan seluruh tenaganya menghantami setiap bayangan yang ada dalam pandangan matanya. Sudah tentu dua pendekar kembar sukar mengatasi hantaman-hantaman yang datang bertubi-tubi. Keduanya bergulingan sambil menyemburkan darah. Mereka ambruk seperti tidak dapat bangkit lagi.

Wintara melompat cepat menangkis hantaman Ki Rondo Mayit yang nyaris mengenai kedua wanita kembar yang berusaha bangkit berdiri. Melihat adanya seseorang yang menghalangi niatnya, Ki Rondo Mayit segera membalikkan hantamannya terhadap orang itu. Wintara gelagapan dan tidak sempat menghindari hantaman yang melanda di dadanya. Pada saat yang sama pun ketika Wintara mencelat, ia sempat melancarkan tendangannya. Dan tendangan itu menghantam keras Ki Rondo Mayit sampai jatuh terduduk.

Wintara yang jatuh terlentang cepat bangun bersila. Kedua telapak tangannya nampak menyatu di depan dada. Lalu dalam posisi seperti itu tubuh Wintara melesat maju menerjang. Kedua kakinya yang bersila tidak menyentuh tanah. Ki Rondo Mayit masih terduduk menghimpun tenaga dalamnya. Dan tahu-tahu saja Wintara sudah berada di depannya mendorong kedua telapak tangannya. "Dueeeeer!"

Ki Rondo Mayit terpekik dengan tubuh yang terlempar ke belakang. Wintara masih mendorong terus dengan telapak tangannya. Sampai keduanya nampak terpaku diam duduk saling berhadapan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap tajam sambil memeluk tubuh Dewi Rakuntili. Umbara Komang bangkit menyeringai menahan sakit. Begitu juga Pendekar Kembar Cambuk Seriti yang menatap nanar. Mereka semua membelalakkan mata ketika melihat sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri terhuyung. Wintara duduk bersila menunduk. Tiba-tiba saja sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri di hadapan Wintara menyemburkan darah. Lalu dengan lunglai tubuh renta itu ambruk untuk selama-lamanya. Wintara tetap duduk bersila.

Melihat itu Pendekar Kembar Cambuk Seriti berlari ke arahnya. Sebelum mereka mendekat, Wintara sudah bangkit terlebih dahulu. Keringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Rupanya ketika tadi Wintara melancarkan kedua telapak tangannya, ia mengerahkan semua tenaga inti secara menyeluruh. Dengan cara itu ia sengaja mengadu nyawa dengan Ki Rondo Mayit.

"Apakah kau terluka?" Seriti Wuni khawatir.

Wintara tersenyum menggeleng.

"Ah, syukurlah! Aku melihat benturan tenaga dalam tadi begitu dahsyat. Semula aku begitu takut akan celaka." Seriti Kuni mendekati.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sekujur tubuhku terasa ngilu." jawab Wintara. Lalu ketiganya menatap Raden Mas Kinanjar Swantaka memapah tubuh Dewi Rakuntili melangkah mendekati mereka. Langkah-langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri nampak limbung.

Dewi Rakuntili membuka matanya perlahan, ia merasa tubuhnya melayang dalam papahan seseorang. Dan saat kedua matanya membuka lebar, ia melihat jelas seseorang itu tidak lain Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Ayahmu tewas, Dewi.... Kami tidak bisa menyelamatkannya." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka pelan.

"Tapi musuhnya itu telah tewas pula." bisik lelaki itu lagi. Dewi Rakuntili mengawasi sekitar permukaan hamparan pasir. Sosok Ki Rondo Mayit terkapar kaku tanpa nyawa masih mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Kau pun akan membunuhku, bukan   Bunuh

saja sekarang " kata Dewi Rakuntili.

"Kami akan membawa dirimu ke Rogojemban-

gan."

"Aku memang bersalah. Dan pantas menerima

hukuman apa saja.... Sekalipun hukuman mati yang kuterima." Kedua lengan Dewi Rakuntili melingkar erat di leher Raden Mas Kinanjar Swantaka. Keduanya saling pandang.

"Sebelum aku menerima hukuman mati, aku minta makamkan ayahku sebagaimana layaknya....

Hanya itu, Raden.... Aku harap kau mau memenuhi permintaanku."

"Ayahmu memang akan kami kuburkan secara baik-baik.... Dan lagi di Rogojembangan, kau tidak akan dihukum. Apalagi sampai dihukum mati "

"Lalu ?" Dewi Rakuntili heran.

"Kau akan kujadikan selir ku!" "Hah ?!"

Wintara maupun Pendekar Kembar Cambuk Seriti tertawa malu mendengar ucapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka bertiga serempak tertunduk. Tapi tiba-tiba saja ia tersentak kaget. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka....

"Ha ha ha ha.... Siluman rambut kusut telah mampus! Siluman penghuni kuil juga telah modar !

Sekarang aku bebas...! Bebas...! Hua ha ha ha ha ha....

Aku mau pergi ke mana aku suka! Dan...." Umbara Komang berhenti berteriak. Sorot matanya memandang tajam ke arah orang-orang yang berdiri di situ. Wintara hanya tersenyum saja....

"Aku tidak mau lagi mengikuti kalian!" kata Umbara Komang lagi. Lalu dengan sombong Umbara Komang melompat ke atas kuda.

"Aku tidak mau lagi menempuh bahaya     Re-

pot kalau sampai berurusan dengan siluman-siluman lagi   " Setelah berkata begitu Umbara Komang mema-

cu kudanya.

Sementara itu belasan orang yang menunggangi kuda berdatangan menuju tempat itu. Beberapa orang turun dari kudanya menyerahkan pundi-pundi air kepada Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dewi Rakuntili meraih pundi air itu dan langsung menenggaknya. Kemudian sisa air minum di siramkan ke wajah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Maka berderailah tawa mereka..... TAMAT

07 : Setan Gila Dari Lereng Ungaran 1

"Gunung mau meledak! Langit mau runtuh! Biar saja bumi retak! Apa betul padang pasir ini tiada batasnya?..." celoteh Umbara Komang nyaring. Ia duduk menunggangi kudanya yang berjalan tenang. Hamparan pasir membentang di hadapannya seperti tanpa batas. Sejauh mata memandang Umbara Komang tidak melihat apa-apa kecuali bukit-bukit berdiri samar di kejauhan.

"Kiamat sekalipun aku tidak gentar!" Suaranya makin parau terdengar. Manakala matahari keriput. Keringatnya sudah lengket dengan debu dan pasir. Manakala matahari terus mencorot mengundang panas, dan hembusan angin semakin kencang menebarkan debu-debu menerpa tubuhnya. Sering kali ia melindungi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dari terpaan pasir debu.

Perjalanannya mengarungi padang pasir yang sangat luas itu bagaikan sebatang jarum yang terkatung-katung di dasar lautan. Dia sendiri tidak tahu akan ke mana tujuannya. Umbara Komang hanya duduk tenang, tertawa oleh langkah-langkah kudanya. Lelaki berpenyakit senewen ini sudah tidak ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit serta nyeri di sekujur tubuhnya. Pada hal beberapa jam yang lalu Umbara Komang ikut bertempur membantu orang-orang kerajaan. Dan ia juga sempat mengenal erat dengan seorang pendekar yang sangat berilmu tinggi. Bersama seorang Pendekar Pengelana Sakti, ia ikut bertempur bahu membahu melumpuhkan seorang tokoh kosen dari golongan hitam (Untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa mengikuti dalam cerita: Bidadari Kuil Neraka). Kalaupun sekarang ia terkatung-katung sendirian mengarungi hamparan padang pasir, itu kemauannya sendiri. Setelah mereka berhasil menjatuhkan tokoh sesat itu, ia sengaja memisahkan diri. Atas dasar kemauannya, siapa pun tidak ada yang dapat menghalanginya.

Dalam perjalanannya ia selalu mengingat sosok tubuh kekar seorang pendekar muda yang dianggapnya seperti 'dewa'. Yang begitu gigih berjuang bahkan sempat menyelamatkan nyawanya. Hanya itu yang dia ingat. Sekarang pikirannya hanya tertuju pada hamparan pasir yang tidak pernah berhenti menyebarkan pasir debu.

Dari ketinggian sosok kuda itu tidak lebih seperti sebuah titik yang bergeser sedikit demi sedikit dengan meninggalkan jejak pada dataran pasir. Jejakjejak itu membentuk sebuah garis yang memanjang mengikuti ke mana langkah kaki kuda bergerak maju di bawah mencorotnya sinar terik.

"Sial! Aku tadi hanya bergurau...! Kenapa jadi sungguhan!" gerutu Umbara Komang menatap langit yang tadi biru, kini tiba-tiba saja berubah keruh. Awan bergumpul-gumpal bergerak demikian cepat seakanakan benar-benar hendak ambruk.

"Celaka! Langit mau runtuh, di sini tidak ada tempat untuk berlindung...." Umbara Komang ketakutan. Dan saat itu suasana berubah gelap. Angin menderu-deru kencang melanda dataran pasir. Mengoyakkan seluruh permukaan dataran itu.

Kuda yang ditunggangi Umbara Komang meringkik keras sambil kedua kaki depannya terangkat ke atas menyepak-nyepak. Bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang lehernya bergerak-gerak tertiup angin yang sangat kencang. Umbara Komang sendiri setengah mati mengimbangi tubuhnya di atas punggung kudanya. Ia berusaha keras memegang tali kekang. Sementara kuda yang ditunggangi itu terombang ambing terbawa oleh gerakan angin yang mendorong begitu deras.

Belum habis ia berusaha mengimbangi tubuhnya dari amukan kuda yang ditungganginya, mendadak kuda itu terbanting ke samping. Sedangkan Umbara Komang sendiri ikut terbanting berdegum di tanah dengan sangat keras. Angin menderu-deru bagaikan badai. 

Pasir debu menerpa tubuhnya semakin deras. Ia tidak sanggup membuka matanya. Umbara Komang hanya tetap berpegangan pada tali kekang. Dan ia sendiri tidak mengerti kenapa angin yang bertiup sangat kencang itu mampu menerbangkan tubuhnya. Untung saja ia berpegangan kuat pada tali kekang. Memang tidak dapat diatasi lagi. Angin yang menderuderu kencang itu mampu mendorong tubuh Umbara Komang bersama kudanya sehingga bergulingan di dataran berpasir.

Manakala langit makin gelap tertutup awan hitam yang merambat di cakrawala. Debu-debu beterbangan memenuhi seluruh dataran itu. Membuat mata Umbara Komang semakin rapat terkatup. Untuk bernafas saja demikian sesak. Ia seperti mati konyol dibuatnya. Dan merasa tidak dapat berbuat apa-apa.

Sementara tubuhnya kini mulai terombang ambing terdorong oleh hembusan angin. Dari kejauhan nampak tubuhnya mengapung-apung di atas permukaan dataran padang pasir. Untung saja ia berpegangan erat pada kekang yang menjerat di leher kudanya. Kalau tidak tentu Umbara Komang sudah terbawa hanyut oleh angin yang maha ganas itu. Didengarnya pula deru angin makin kencang. Bergemuruh laksana ribuan jarum yang menerpa di tubuhnya.

Sesaat ia membuka matanya. Bukan main Umbara Komang terkejut. Di hadapannya nampak pusaran angin berwarna hitam kecoklatan bergulunggulung. Pusaran angin itu memporak-porandakan seluruh tanah berpasir yang dilaluinya. Umbara Komang memekik nyaring saat pusaran angin itu kian mendekat menerjang. Tubuh serta kudanya tidak dapat bertahan lagi. Dan ketika pusaran angin itu melandanya, tahu-tahu saja keduanya bagai tersedot masuk dalam gulungan angin yang berwarna hitam kecoklatan.

Keduanya berputar-putar semakin tinggi dalam pusaran angin. Teriakan Umbara Komang dan ringkik kuda terdengar nyaring dari ketinggian. Keduanya nampak seperti sosok-sosok kecil yang melayanglayang dalam pusaran angin. Dan lagi pusaran angin itu membawanya semakin jauh. Sesaat kemudian, suasana berubah tenang kembali. Gemuruh angin masih terdengar meskipun sayup-sayup. Pusaran angin telah berlalu. Namun dari kejauhan masih nampak bagai sebuah tiang yang menjulang ke atas. Di mana di atasnya masih bergumpal awan-awan hitam bertebaran. Lalu tak lama tiang hitam itu menghilang entah ke mana. Langit kembali membiru bersama sinar matahari yang terik mencorot ke bumi. Pada dataran padang pasir membekas jejak-jejak pusaran angin yang baru saja lewat. Jejak-jejak itu memanjang berliku-liku bagai sebuah galian memanjang sepanjang dataran itu. Tapi lebih mirip lagi jejak-jejak seperti bekas seekor ular raksasa.

Seperti apapun jejak-jejak pusaran angin itu, bagi Umbara Komang tidak lain bagaikan maut yang merenggut nyawanya. Baginya memang terlalu awam untuk melintasi dataran itu. Dan ia tidak menduga sama sekali kalau ia akan menghadapi badai angin yang demikian dahsyatnya.

Itulah sebabnya banyak  orang dari kalangan manapun tidak berani melintasi dataran tersebut. Karena sering terjadi hal-hal yang tak terduga seperti ini. Begitu tolol Umbara Komang melintasi dataran itu sendirian yang akhirnya harus menempuh bahaya beresiko berat. Bagaimana pun Umbara Komang harus menerima nasibnya.

Seperti yang sudah-sudah, belum pernah ada terdengar segelintir nyawa yang bisa selamat dari amarah pusaran angin. Dibawa berputar-putar setinggi langit itu saja sudah sampai pingsan. Apalagi sampai terbanting dari ketinggian? Itu yang diketahui oleh banyak orang.

Bagaimana dengan nasib Umbara Komang? Mungkinkah ia bernasib sama seperti korban-korban lainnya? Sampai detik ini belum dapat diketahui. Badai pusaran angin membawanya semakin tinggi dan menjauh.

Umbara Komang sendiri sudah tidak sadarkan diri. Tubuhnya hanya mengikuti dan berputar dalam badai angin yang membawanya pergi. Sebenarnya badai pusaran angin yang ganas itu tidak sedahsyat tadi. Setelah melewati dataran padang pasir badai pusaran angin kian melemah. Tubuh Umbara Komang dan kudanya yang hanyut di dalamnya tidak lagi terombang ambing tinggi. Keduanya makin perlahan turun. Perlahan pula badai pusaran angin bergemuruh. Warnanya tidak lagi hitam. Awan di atasnya bergerak berpencaran. Lalu tempat itu menjadi terang dengan seketika. Bersamaan itu pula badai pusaran angin hilang.

Mendadak saja tubuh Umbara Komang beserta kudanya jatuh ke bawah. Keduanya meluncur deras ke bawah. Sedang di bawahnya telah menunggu sebuah dataran baru yang banyak ditumbuhi pepohonan.

Dataran yang menghijau itu tidak lain dari sebuah lembah pembatas dataran berpasir. Ke lembah tersebut mereka terjatuh Kuda yang memiliki bobot lebih berat dari Umbara Komang meluncur lebih dulu.

Kuda itu meringkik-ringkik saat tubuhnya jatuh menerobos rimbunnya dedaunan. Terdengar pula derak cabang pohon yang patah akibat benturan. Lalu sebuah deguman bergedebuk sangat nyaring pada permukaan tanah.

Saat itu pun tubuh Umbara Komang mulai jatuh menerobos dedaunan. Tubuhnya meluncur terus ke bawah, dan berkali-kali membentur cabang-cabang pohon yang tumbuh di sana sini. Tapi untuk terakhir kali, tidak terdengar deguman sosok tubuh yang membentur permukaan tanah. Dasar lembah yang banyak ditumbuhi pepohonan sebesar-besar raksasa nampak sunyi. Akar-akar pohon yang merambat tak beraturan bergetar perlahan. Tidak terhitung pula betapa tingginya pohon-pohon yang memenuhi lembah itu.

Sosok Umbara Komang tersangkut lemas pada cabang pohon yang agak besar. Matanya membiru akibat benturan cabang pohon yang berada di atas. Di bawahnya, di atas permukaan tanah berumput terkulai pula sosok seekor kuda terbalik dengan tulang punggung yang patah. Sehingga bentuk kuda itu tidak karuan lagi. Pada tubuh kuda itu banyak menancap pohon-pohon onak yang bergerombol di sekitarnya.

Kuda yang malang itu tewas mengerikan. Kepalanya nampak berkelojotan sambil menyemburkan darah yang keluar dari sederetan giginya yang terkatup rapat. Untuk kemudian diam tak bergeming. Puluhan meter di atasnya, tubuh Umbara Komang masih tergantung di atas cabang pohon. Tubuh lelaki itu pun sama diamnya. Dedaunan yang berada di atas berjatuhan ke bumi akibat terobosan tubuh Umbara Komang. Bersamaan dengan itu pun burung-burung yang bersarang di atas pohon beterbangan menimbulkan suara bergemericit meriuhkan suasana lembah. Kepak-kepak sayap mereka menandakan bahwa mereka berpindah tempat ke pohon lainnya.

Sampai segerombolan orang berdatangan ke tempat itu, Umbara Komang belum juga sadar dari pingsannya. Orang-orang itu nampak bertelanjang dada semua. Dan hampir rata-rata bersenjatakan tombak maupun panah. Mereka langsung mengelilingi bangkai kuda yang tergeletak di tanah. Dua orang di antaranya yang membawa golok melangkah ke tengah dan langsung mencabut dari pinggang mereka.

Tanpa diperintah lagi kedua orang itu memotong-motong tubuh kuda itu menjadi beberapa bagian. Yang lain menampani potongan-potongan daging itu. Setiap potongan masih mengeluarkan darah segar. Membuat mereka makin bersemangat memutusmutuskan bagian tubuh kuda.

Sebenarnya mereka tidak tahu kalau di atas sana masih ada sosok tubuh tersangkut pada cabang pohon yang sangat tinggi. Karena darah yang menetes dari atas semakin deras. Mereka semua yang berada di bawah kalang kabut menoleh ke atas. Dan yang mereka lihat memang sosok tubuh seorang lelaki tersangkut.

"Rezeki besar! Binatang apalagi yang ada di atas sana?"

"Nampaknya seperti orang hutan. Ia pun sama mampusnya seperti kuda ini," jawab salah seorang temannya. Gerombolan itu menengadah ke atas semua.

"Melihat dari darahnya pastilah bangkai itu masih segar!"

"Bangkai apapun di sana, ambil saja.   Toh kita

memang tengah kekurangan makanan... Ayo beberapa orang naik ke atas untuk mengambilnya!" perintah seseorang yang bermuka garang ditumbuhi berewok. Maka dua orang sekaligus memanjat ke atas pohon. Mereka dengan mudah dapat naik ke atas dengan cepat. Karena hampir di sekeliling batang pohon raksasa itu banyak akar-akar merambat sampai ke atas. Jadi mereka berdua tidak menemui kesulitan apapun. Selain itu mereka memang sudah terbiasa melakukan hal yang seperti itu. Gerak-gerik mereka bagaikan dua ekor kera yang sangat lincah.

Orang-orang yang berada di bawah hampir selesai memotongi tubuh kuda yang kini tinggal bagian tubuh plontos tanpa kaki dan kepala. Pemimpin mereka yang seram penuh berewok masih menatap ke atas memandangi kedua orang yang melompat-lompat mendekati cabang pohon di mana Umbara Komang tersangkut. Setelah berada pada cabang itu, keduanya mengernyitkan alis.

"Rowok Tunggel! Dia bukan binatang ataupun orang hutan!" teriak salah seorang orang yang disebut Rowok Tunggel kurang jelas mendengar.

"Bicaralah yang keras! Aku tidak mendengar suaramu...!" jawab Rowok Tunggel dari bawah.

"Dia bukan binatang apapun! Tapi manusia yang terluka!" teriak orang di atas itu lebih keras. Rowok Tunggel keheranan seperti tidak percaya dengan ucapan anak buahnya. Nampak pula dua orang itu mendekati sosok tubuh yang tersangkut.

"Manusia?... Kalau sudah mampus tinggalkan saja, tapi jika masih hidup...." teriak Rowok Tunggel belum habis.

"Orang ini masih hidup!" jawaban dari atas po-

hon.

"Bawa turun ke sini!" perintah Rowok Tunggel.

Setelah itu menggerutu....

"Edan.... Iblis mana yang telah melemparkan orang itu sedemikian tingginya. Aku jadi heran, sejak tadi mengitari tempat ini tidak mendengar suara apaapa. Kenapa sekarang ada sosok seseorang yang terluka. Dan lagi bangkai kuda ini seperti terjatuh dari langit." Rowok Tunggel menunggu kedua orang anak buahnya turun membawa tubuh Umbara Komang dari atas pohon.

*

**

2

Wintara hanya tersenyum menatap orang-orang yang melambaikan tangannya. Belasan kuda berikut lengkap dengan para penunggangnya melepaskan kepergian seorang Pendekar Pengelana Sakti. Salah seorang lelaki bersama seorang gadis duduk di atas pelan dalam satu kuda melambai-lambaikan tangannya,

"Selamat jalan pendekar... Aku berterima kasih sekali padamu!" teriak lelaki itu

"Jangan sungkan-sungkan kalau mau singgah di Rogojembangan. Kami semua akan menyambut dengan tangan terbuka...!" teriaknya lagi. Wintara nyengir, sebelah tangannya membalas lambaian tangan mereka. Ia pun nampak gagah menunggangi seekor kuda putih.

"Suatu saat pasti kita akan bertemu lagi, Raden... Cepatlah kembali ke kota, tentunya kalian harus cepat-cepat menikah." jawab Wintara. Gadis yang duduk di depan lelaki itu tersenyum malu. Kuda yang mereka tunggangi menyepak-nyepak seakan-akan ikut menyalami kepergian Pendekar Kelana Sakti itu. Lalu tempat itu menjadi sunyi. Lambaian tangan dari belasan orang melemah turun. Mereka semua menatap kepergian seekor kuda putih yang ditunggangi Wintara. Kuda itu membawanya pergi menjauh dari belasan kuda yang masih berdiri di situ.

Mereka belum beranjak sebelum Wintara betulbetul hilang dari pandangan mata. Lama kelamaan sosok kuda putih itu makin mengecil dan hilang bagai ditelan bumi. Wintara menghela kudanya kuat-kuat, maka kuda putih melaju cepat diiringi dengan derap langkah yang menyapu dataran tanah perbukitan.

Dilaluinya semak-semak kering yang berderet di sepanjang jalan yang menurun ke bawah. Jalan itu berliku-liku menuju ke sebuah tanah subur. Dan Wintara sendiri sudah berada jauh dari tanah Rogojembangan. Manakala kuda putih yang ditungganginya makin cepat berlari. Tanah yang dilaluinya mulai nampak menghijau ditumbuhi rerumputan.

Saat matahari mulai tenggelam, barulah ia tiba di salah satu desa. Meskipun tidak begitu ramai, desa itu nampak banyak dilalui orang. Kebanyakan dari orang-orang itu hanyalah penduduk asli. Wintara menghentikan kudanya tepat di depan sebuah gapura yang berdiri di mulut desa.

Dan ia menjadi terkejut sekali saat ia melihat beberapa penduduk berlarian masuk ke dalam rumah. Wintara semakin penasaran. Ia turun dari kudanya dan menuntun memasuki desa. Kedua matanya memandangi orang-orang yang berlarian memasuki gubuknya.

Apa yang membuat mereka takut. Wintara sendiri semakin tidak mengerti. Sejak kehadirannya di desa itu semua orang belingsatan berlarian sembunyi. Dua orang penduduk desa yang semula duduk-duduk berbincang langsung melompat ketika melihat Wintara melangkah mendekati mereka. Keduanya berlarian masuk dan mengunci pintu gubuk sampai berderak. Wintara menatap heran.

Dalam sekejap saja desa itu menjadi sunyi. Wintara memandangi sekeliling desa. Ia tidak menyangka sama sekali kalau akan mengalami perlakuan seperti ini. Pastilah mereka takut akan kehadirannya.

"Hooooiiiii...! Para penduduk desa...! Kenapa kalian semua bersembunyi!" Wintara berteriak-teriak. Suaranya menggelegar dan menggetarkan seisi kampung. Ia pun menambatkan kudanya pada sebatang pohon, lalu....

"Kalau kalian tidak mau keluar, aku tidak akan pergi dari sini. ! Keluarlah!"

Tidak ada jawaban. Suasana desa nampak sepi bagai mati.

Pendekar Kelana Sakti memandang berkeliling mengawasi tiap-tiap gubuk. Semua pintu nampak tertutup rapat. Wintara membuang nafasnya kuat-kuat. Lalu berjalan melangkah melewati tiap-tiap muka halaman gubuk. Langkah-langkah Wintara membuat jantung pemilik gubuk yang dilaluinya berdegup ketakutan.

Sementara hari mulai merambat gelap. Tanpa seorang pun yang berani memasang pelita. Ringkik kuda putih yang tertambat pada batang pohon sesekali terdengar. Wintara masih berjalan mengitari desa itu.

"Aku bukan sebangsa setan atau jin sekalipun! Kenapa kalian semua takut!" Pada suasana gelap dan sunyi suara Wintara bergema.

"Baik! Aku akan tetap di sini sampai kalian keluar semua!" bentak Wintara. Ia pun duduk di sebuah balai dekat kuda putihnya tertambat.

Dalam hatinya Wintara mengutuk orang-orang kampung. Jelas-jelas kedatangannya ke desa itu tidak ada maksud apa-apa. Ia hanya kebetulan lewat dan harus kemalaman di situ. Dan berharap ada seseorang yang bersedia memberikan tempat untuk nya barang semalaman. Tapi kenyataannya yang ia terima sungguh di luar dugaan. Semua orang kampung berlarian sembunyi ketika melihat kedatangannya. Pastilah telah terjadi sesuatu di desa ini, pikir Wintara. Belum habis pikirannya menerawang, mendengar derit pintu bambu. Segera saja Wintara menoleh ke arah suara. Gubuk itu tepat di hadapannya. Pintu bambu semakin terbuka lebar berderit. Lalu seorang anak perempuan kecil keluar dengan membawa sebuah pelita. Anak berumur enam tahun itu melangkah menuju tiang gubuk, di mana pada tiang itu tergantung sebuah cempor.

Dengan susah payah bocah itu berjingkatjingkat menyalakan lampu cempor. Sudah tentu usahanya itu akan sia-sia. Karena lampu cempor yang tergantung di tiang jauh lebih tinggi dari jangkauannya.

Wintara yang melihat usaha bocah berumur enam tahun itu beranjak dari balai. Mana mungkin anak sekecil itu sanggup melakukannya? Dan yang pasti akan berbahaya untuk anak kecil itu. Kenapa tidak orang tuanya saja yang menyalakannya.

Bocah kecil itu langsung berbalik dengan menggigil ketakutan setelah melihat Wintara berada di dekatnya.

"Cah ayu    Kau hendak menyalakan pelita itu,

bukan?" Wintara tersenyum. Tapi anak perempuan itu malah mundur ketakutan. Pendekar Kelana Sakti berjongkok menghadapi. Ia menatap kedua bola mata yang berapi-api penuh keberanian. Dan Wintara pun berusaha seramah mungkin agar anak itu tidak berprasangka buruk.

"Jangan takut, paman akan membantumu menyalakannya.... Kau bersedia?" Wintara mengelus-elus kedua lengan yang gemetar. Anak itu diam membisu. Tapi di wajahnya menunjukkan perasaan yang amat takut sekali.

"Ke marilah, paman akan menunjukkan bagaimana caranya...." Wintara menarik perlahan anak itu ke dalam pangkuannya. Lampu kecil dalam genggaman gadis itu masih meletup-letup menyala. Maka nampaklah wajah yang amat dekil dan kusam. Wintara mengangkat tubuh kecil itu.

"Siapa namamu, Cah ayu...?" tanya Wintara sambil membantu lengan kecil itu menjulurkan pelita yang menyala ke arah sumbu lampu cempor pada tiang gubuk.

Lampu cempor langsung menyala menerangi muka gubuk. Gadis kecil itu masih dalam gendongan Wintara. ia menatap dengan sorot mata yang keheranan. Wintara membalasnya dengan senyuman. Mendadak saja....

"Siluman jahil! Lepaskan anak itu!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah belakang. Wintara segera menoleh, tahu-tahu seseorang menyerang dengan membabatkan golok ke arahnya. Wintara yang dalam

keadaan menggendong seorang bocah sempat bergeser ke samping. Maka sabetan golok pun terhindar. Dalam keadaan seperti itu pun Wintara sempat membalas serangan. "Bug!" Telak sekali tendangan itu bersarang di pinggang. Penyerang itu langsung ambruk merintihrintih kesakitan.

"Siluman keparat! Masih kurang puaskah kau menghirup darah orang-orang kampung ini? Sampai berapa banyak lagi korban yang kau inginkan!" Penyerang itu bersiap lagi mengangkat goloknya.

"Bicaramu ngawur, Sobat! Apakah rupa ku sangat menakutkan, sehingga kau menduga aku ini iblis menghisap darah? Bicaralah yang tenang dan baikbaik," ujar Wintara. Gadis kecil dalam gendongannya memeluk erat leher pendekar itu.

"Tenanglah, Cah ayu.... Kau tak perlu takut. "

bisik Wintara.

"Siluman laknat! Dia hanya seorang bocah yang tidak tahu apa-apa! Kalau saja kau membawanya, aku akan mengadu jiwa dengan mu!" Kali ini serangannya lebih garang. Babatan goloknya berkelebat ke sana ke mari. Wintara yang masih menggendong anak perempuan itu tidak sempat menurunkannya.

Tapi ia cukup tangkas berkelit menghindari babatan-babatan golok. Sekali babatan golok menyambar di kepalanya, Wintara cukup menangkis dengan kedua jarinya, maka...."Trak!" Golok itu patah dua. Pemiliknya sendiri sampai terbengong-bengong.

"Kau hanya dikuasai perasaan emosi mu, sobat. Aku yakin kau adalah salah seorang penduduk yang berjiwa ksatria. Hanya sayang kau salah menempatkan perasaanmu."

"Ciis! Kau hanya berpura-pura siluman! Kenapa berbasa basi segala, siluman tengik macam kau memang harus diberantas!" Orang itu maju lagi. Golok buntungnya meski tinggal separuh masih nampak tajam berkilat. Dan berkelebat bersama teriakannya yang menggelegar. Wintara tenang menghantam lengan itu sampai goloknya terpental jauh. Detik itu pula tendangan Wintara maju ke depan... "Des!" Melemparkan orang itu terbanting ke tanah. Tapi ia cepat bangkit menatap ke arah Wintara dengan pandangan nanar menahan sakit.

"Pergilah dan jangan sampai membuat bocah ini ketakutan!" bentak Wintara. Orang itu setelah merangkak beberapa langkah, ia melarikan diri.

"Nah, kau sekarang tidak perlu takut lagi, Cah

ayu."

"Namaku: Dwi Langsih, Paman... Dan aku yakin, paman bukanlah siluman jahat." ketus bocah kecil dalam gendongan Wintara.

"Bagaimana kau bisa yakin, Dwi Langsih...?" tanya Wintara dan ia menurunkan gadis kecil itu. Dwi Langsih meletakkan pelita kecil ke atas tanah.

"Kalau paman mau membunuhnya, paman bisa melakukan semudah paman mematahkan golok dari tangan Kang Birun " jawabnya tegas.

"Ah! Ternyata kau gadis cilik yang cerdik, Dwi Langsih." Wintara mengelus-elus rambut Dwi Langsih. Bocah itu hanya tersenyum.

"Langsih.... Langsih.... Kau bicara dengan siapa? Sudahkah engkau menyalakan lampu

cempor?" Keduanya menoleh ke dalam gubuk. Dan terlihatlah seorang nenek berjalan tertatih-tatih sambil meraba-raba. Langkahnya yang perlahan itu menuju ke luar.

"Kita kedatangan tamu, Nek... Tamu yang luar biasa," jawab Dwi Langsih menuntun nenek buta keluar gubuk. Nenek buta menghentikan langkahnya. Ia tidak berani keluar melewati pintu.

"Kau terlalu gegabah, Langsih. Saat matahari tenggelam kau tidak boleh menerima tamu sembarangan. Kau tahu, siluman jahat itu selalu datang pada saat-saat begini."

"Tapi dia bukan siluman, Nek... Paman ini hanya membantu menyalakan lampu cempor di tiang itu." Dwi Langsih menjelaskan.

"Dia juga menghajar Kang Birun yang telah kurang ajar terhadap paman ini. Nenek tak perlu takut."

"Apa yang diucapkan Dwi Langsih terlalu berlebihan, Nek Aku hanya seorang pengelana yang kebe-

tulan lewat di desa ini." Wintara ikut bersuara.

"Oh...." Nenek buta mengangguk. Tubuhnya yang bungkuk melangkah maju. Kedua lengannya menggapai-gapai seperti ingin menyentuh pengelana itu. Dwi Langsih membantunya. Maka telapak tangannya pun dapat meraba baju kulit binatang yang dikenakan Wintara.

"Ma-masuklah.... Tidak baik berlama-lama di luar." kata nenek buta. Ia pun dituntun ke dalam kembali oleh Dwi Langsih. Wintara mengikuti melangkah di belakang. "Langsih, sediakan air minum buat paman. Kau harus sopan melayani tamu." Nenek itu dituntun mendekati sebuah balai lalu ia pun duduk di situ.

Tanpa dipersilahkan Wintara langsung duduk pada kursi yang tersandar di bilik. Dwi Langsih menuangkan segelas air kemudian menyodorkannya pada Wintara. Lelaki itu menerimanya.

"Kenapa Kang Birun sampai bentrok dengan pengelana itu, Langsih?" tanya nenek buta dengan suara parau. Kelopak matanya yang tertutup rapat seolah-olah menatap tajam ke arah Wintara. Dwi Langsih belum jauh dari sisi Wintara.

"Semua salah Kang Birun, Nek. Kang Birun menuduh paman ini siluman jahat. Malah Kang Birun menyerang lebih dulu. Untung saja paman seorang yang berilmu tinggi... Kang Birun dibuatnya merangkak," jawab Dwi Langsih.

"Pantas saja Kang Birun mengiranya siluman. Karena pengelana ini sangat asing di desa ini. Kau sendirikan tahu...? Siluman jahat memang setiap kali mengambil korban di sini. Lagipula semua anak isteri Kang Birun telah habis menjadi korban siluman itu. Pantaslah dia menjadi kalap sekali melihat orang asing." kata nenek buta yang nampak mulai merebahkan tubuhnya di atas balai.

“Aku rasa bukan hanya dia yang menganggap aku siluman. Semua orang kampung ini merasa takut dan bersembunyi ketika melihat kehadiranku, mengapa demikian, Nek?" Wintara bertanya heran. Nenek buta seperti tersenyum dan berpaling ke arah suara Wintara.

"Menurut kabar, siluman itu dapat bergantiganti rupa. Wajarlah kalau mereka merasa takut terhadap orang asing yang memasuki kampung ini."

Begitu ganaskah siluman itu?"

"Tentu saja! Semua korbannya seperti kehabisan darah dengan batok kepala yang berlubang sebesar telapak tangan. Tapi syukurlah... Aku yang sudah renta ini belum pernah menemuinya, hanya aku khawatir terhadap cucuku Dwi Langsih "

*

* *

3

Nenek buta menceritakan keadaan korban keganasan siluman dengan sungguh-sungguh. Padahal kedua matanya buta. Tapi ia bisa membeberkan semua yang terjadi seperti ia melihatnya sendiri.

"Untung siluman itu belum berpaling kepada kami, entah esok atau lusa pastilah kami menjadi korbannya..." nenek buta terbaring rebah seolah menerawang ke atas atap. Semuanya tetap gelap. Dwi Langsih melangkah mendekat, lalu memijit-mijit tubuh keriput itu yang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam.

"Apakah kepala kampung sama sekali tidak melakukan tindakan. Sebenarnya kalau seluruh penduduk kampung bersatu, aku rasa mereka bisa mengatasi kesulitan." Ucapan Wintara pelan, tapi cukup membuat nenek buta berpaling lagi ke arahnya. Orangorang kampung sama sekali tidak mempunyai nyali. Apalagi kepala kampung, dia tidak pernah mau perduli. Pekerjaannya hanya ongkang-ongkang kaki di tumpukan hartanya," kata nenek itu.

"Bicara nenek terlalu kencang. Nanti terdengar orang," kata Dwi Langsih berhenti memijit.

"Mana ada orang yang berani berkeliaran di saat begini! Kau pun harus segera tidur, Langsih. Tidak baik anak sekecil kau ikut campur pembicaraan orang tua." Suara nenek itu parau sekali. Dwi Langsih nunduk terdiam, ia melangkah lesu ke sudut ruangan yang sudah tersedia sebuah tikar untuknya berebah.

Wintara memandangi keluguan gadis kecil itu. Sekarang gadis kecil itu telungkup di atas tikar. Sebentar saja dengkurnya sudah mengalun menyusul.

Lelaki pengelana masih duduk bersandar pada bangku kayu. Air dalam gelas bambu masih utuh. Wintara meletakannya di atas meja sebelahnya. Tubuhnya sudah nampak letih betul, dan ia memang perlu beristirahat.

"Maaf, anak muda. Aku tidak memiliki persediaan tikar. Kau bisa tidur di kursi itu bukan...?" kata nenek itu acuh. Tubuhnya tetap terlentang. Mulutnya menganga perlihatkan gusinya yang mengkilat tanpa sebutir gigi.

"Tak apa. Ini sudah lebih dari cukup. Nek... Malah aku telah mengganggu ketenangan di sini. Besok pun pagi-pagi sekali aku harus pergi dari kampung ini."

"Kenapa harus buru-buru? Tidak inginkah kau mengungkap malapetaka ini?"

*

* * Suasana malam di pedalaman yang dipenuhi hutan belukar, di mana pohon-pohon berdiri tegar bagai raksasa nampak ramai. Orang-orang bertelanjang dada banyak berdatangan memenuhi suatu tempat. Empat api unggun yang meletup-letup sejak tadi sore sudah menyala. Sekeliling tempat itu penuh sesak dengan manusia-manusia bertelanjang dada. Sepertinya mereka tengah menunggu sesuatu.

Di tengah-tengah kerumunan itu terlentang sosok tubuh penuh luka memar. Tubuh itu terlentang di atas tumpukan gedebong-gedebong pisang yang disusun rapi. Di bawahnya bertaburan bara-bara api yang menggarang sosok tubuh terlentang itu.

Setumpukan daging yang sudah terpotongpotong membukit beralasan pelepah-pelepah daun pisang berada pada tiap-tiap api unggun. Beberapa orang pun siap membakar daging-daging itu. Dan semua orang yang mengerumuni tempat itu seperti tidak sabar menunggu kenikmatan daging bakar. Tiba-tiba saja keriuhan itu mendadak berhenti. Dalam suasana sepi itu terdengar beberapa orang meniup terompet dari tanduk, juga terdengar suara genderang yang bertalu-talu. Tanda aba-aba itu bersumber dari atas pohon.

Tapi semua orang yang mengerumuni tempat itu seperti mengerti akan aba-aba yang mengumandang itu. Maka dengan serempak kerumunan itu langsung bergeser. Dari keluangan itu muncullah beberapa orang melangkah cepat. Mereka langsung menuju ke tengah lapangan di mana sosok tubuh tergarang di atas susunan gedebong pisang.

"Semuanya sudah dipersiapkan?" Suara Rowok Tunggel memecah kesunyian. Seseorang yang berdiri di sebelahnya menganggukkan kepala. Dua orang lagi yang ada di belakangnya berjalan mendekati sosok terlentang itu. "Balur seluruh tubuhnya dengan daun-daun jarak. Dan juga sediakan darah anjing hutan secepatnya." Kedua orang itu menuruti perintah Rowok Tunggel.

"Siapa pun orang ini kita harus berusaha menyelamatkannya. Kalau saja orang ini bisa hidup, itu berarti warga pedalaman lereng Ungaran bertambah satu." kata Rowok Tunggel sambil melangkah ke arah dua orang itu. Di hadapannya sebuah pendulangan besar tersedia berisi cairan kental berwarna merah. Rowok Tunggel mencelupkan kedua lengannya ke dalam pendulangan. Maka begitu ia menarik ke luar kembali, kedua lengannya telah berlumuran darah anjing hutan.

Semua mata yang memandang mengelilingi menyaksikan Rowok Tunggel membasuh mukanya dengan darah. Wajah yang penuh berewok makin tampak menyeramkan. Lalu ia membalur seluruh tubuhnya dengan sisa-sisa darah yang masih tersisa di kedua lengannya. Dua orang yang tadi ikut membantu segera menyingkir. Membiarkan Rowok Tunggel berdiri sendiri menghadap sosok yang terlentang itu Orangorang yang berdiri berkeliling tempat itu serempak membacakan mantra saat Rowok Tunggel mengangkat kedua lengannya ke atas. Maka terdengarlah seperti raungan harimau yang memenuhi seisi pedalaman. Mereka yang sesungguhnya penduduk suku pedalaman Lereng Ungaran memang tengah mengadakan 'Upacara Penyembuhan' terhadap seseorang yang ditemuinya tersangkut di atas pohon.

Dalam 'Upacara Penyembuhan' itu tidak diperkenankan seorang perempuan ataupun anak-anak menghadirinya. Namun begitu mereka tidak boleh menampakkan diri sama sekali. Andaikata ada salah seorang perempuan ataupun anak kecil sempat turun ke tempat upacara, maka dukun yang memimpin 'Upacara Penyembuhan 'seperti Rowok Tunggel, tidak bisa menyelamatkan pasiennya. Itulah sebabnya mereka yang hadir hanya kaum lelaki. Mereka nampak mengeluarkan serentetan rapalan mantra. Makin lama mantra-mantra itu keras dan cepat. Tubuh mereka bergerak-gerak mengeluarkan suara yang beraturan. Rowok Tunggel sendiri berteriak-teriak nyaring menyaingi raungan para pengikutnya.

Sesaat kemudian Rowok Tunggel mengangkat pendulangan yang berisi darah anjing hutan. Dan saat ia berjalan berkeliling membawa pendulangan itu, semua pengikutnya membacakan mantra sekuatkuatnya. Sehingga seperti teriakan-teriakan yang menyayat.

"Bres... Bres... Bres...!" Rowok Tunggel menyiram berkali-kali sosok yang ditutupi dengan dedaunan jarak.

Seluruh cairan darah tertumpahan habis, dengan begitupun rapalan mantra berangsur-angsur perlahan. Untuk kemudian menghilang membuat seisi pedalaman nampak sunyi. Semua orang yang berderet menatap dengan pandangan dalam. Dan tiba-tiba saja orang-orang itu menyingkir menjauh. Rowok Tunggel mendadak melesat ke atas. Tubuhnya berjumpalitan di udara. Ketika ia turun ke tanah, mulutnya menyemburkan sesuatu.

"Bruuuus... Blaaaaar!" Bara api yang menggarang sosok terlentang itu mendadak berkobar. Api menjilat-jilat gedebong-gedebong pisang. Sekitar tempat itu menyengat hawa panas.

Tapi begitu Rowok Tunggel menyembur lagi, api yang tadi berkobar-kobar mendadak padam. Lalu orang-orang kembali berkerumun sambil melanjutkan mengeluarkan rapalan mantra. Daun-daun jarak yang menutupi sosok tubuh terlentang berjatuhan ke tanah. Rapalan mantra makin santer terdengar. Saat itu pun sosok terlentang itu mendadak bangkit...

"Wuaaaaa...! Panas! Panaaaas!" Ia langsung berjingkat-jingkat di atas susunan gedebong-gedebong pisang. Bekas-bekas luka memar sudah tidak nampak lagi. Sosok itu melompat ke bawah memandang bara api yang mengepulkan asap hitam.

"Bangsat! Api apa ini!" hardiknya. Suaranya tenggelam dalam keriuhan orang-orang yang membacakan mantra. Dia memandang berkeliling.

"Kalian kira aku ini daging panggang? Wuahwuah... Rupanya aku terjebak oleh segerombolan siluman pemakan daging!"

"Bukan! Kami bukan bangsa siluman! Tapi suku pedalaman bangsa Bajor yang menyelamatkan anda!" Rowok Tunggel melangkah mendekat.

"Rupa kalian begitu buruk. Pastilah kalian penghuni neraka! Yah...! Tidak salah Pasti aku sudah berada di neraka... ahh, nasib." Sosok itu duduk ngedeprok. Rowok Tunggel memandang aneh, ia merasa ada sesuatu yang ganjil.

"Anda telah sembuh dari kematian, dan juga bukan berada di neraka." "Bohong! Buktinya api neraka banyak sekali bertebaran di sini." katanya sambil menunjuk ke arah bara api dan keempat api unggun yang berada di setiap sudut. Orang-orang yang berada di situ menahan senyum. Tempat itu mulai ramai. Kaum perempuan dan anak-anak banyak yang berdatangan. Mereka berani ke tempat itu karena 'Upacara Penyembuhan' telah selesai. Dan menganggap Rowok Tunggel berhasil menyembuhkan pasiennya.

"Semua perkiraan anda salah. Kami cuma sekelompok kecil suku pedalaman bangsa Bajor. Yang kau sebut api neraka itu hanyalah beberapa unggun sebagai penerang. Sewaktu kami berburu, anda kami temukan tersangkut tak sadarkan diri. Kalau saja kami terlambat menemukan anda, mungkin anda benarbenar telah berada di neraka." Rowok Tunggel menjelaskan. Sosok itu bergidik lalu bangkit.

"Jangan menakut-nakuti aku. Tahukah kalian, aku pernah bertarung melawan raksasa angin juga badai pasir... Cuma aku tidak ingat siapa yang menang dan yang kalah." ucap sosok itu sambil menunjukkan mimik muka yang sedih. Sudah tentu hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orang yang berada di sekelilingnya. Bagaimana tidak. Ucapannya yang selalu ngawur dan tidak masuk di akal sehat itu cukup menggelitik perut mereka.

Siapa yang akan percaya akan ucapannya itu? Segala menyebut-nyebut pernah bertempur melawan raksasa angin, badai pula... Anak kecil pun tidak akan percaya. Rowok Tunggel sendiri hampir tidak tahan melepaskan tawanya. Dari situ ia mempunyai kesimpulan, bahwa orang yang mereka selamatkan tidak lain orang yang menderita sakit ingatan. Namun begitu ia tidak menyesal menyelamatkannya.

Rowok Tunggel memberikan aba-aba kepada orang-orang agar segera tidak menertawakannya lagi.

"Kalau memang anda pernah bertarung dengan semua itu, tentunya anda masih ingat dari mana anda berasal dan juga tentunya mempunyai nama, bukan "

"Oh, tentu saja punya, dong... Mula-mula aku memang tidak punyai nama, tapi setelah bertemu dewa, ia memberi ku nama Siluman Baik. Senang sekali aku mendapatkan nama itu. Namun tak lama 'Dewa' mengganti sebutan itu menjadi: Umbara Komang. Kupikir lebih bagus daripada menyandang nama Siluman Baik." kata sosok sinting yang tak lain dari Umbara Komang. Rowok Tunggel manggut-manggut.

"Lalu di mana kampung halamanmu?!"

Belum Umbara Komang menjawab, terdengar terompet nyaring bersahutan di atas ketinggian sebuah pohon. Orang-orang yang mendengar suara itu langsung lari berserabutan. Tempat itu jadi kalang kabut seketika. Masing-masing menaiki tangga yang menuju ke atas ke gubuk mereka.

Rowok Tunggel dan Umbara Komang merasa terkejut dengan keadaan yang hiruk pikuk itu. Dukun Suku Bajor berusaha untuk menenangkan suasana, tapi bagaimana mereka bisa tenang! Orang-orang itu tetap berlarian menuju tangga tali saling berebutan.

Mendengar suara terompet tadi, bukan berarti Rowok Tunggel tidak mengetahui arti aba-aba yang merupakan tanda bahaya. Tapi bagi Umbara Komang ia hanya berdiri tenang-tenang saja...

"Tentunya itu suara panggilan Malaikat. Tuhan untuk menghukum kita... He he he... Rasain! Kalian memang pantas dihukum, siluman-siluman jahil!" teriak Umbara Komang. Rowok Tunggel tidak memperdulikan ocehannya.

"Heii... Siluman Bewok! Kenapa kau tidak lari seperti siluman-siluman itu?" Umbara Komang menarik lengan Rowok Tunggel.

"Tolol! Kau harus menyelamatkan diri!" Bersamaan dengan itu Rowok Tunggel melemparkan tubuh Umbara Komang ke atas.

Tiba-tiba saja tubuh itu melayang dan hinggap dia antara cabang pohon. "Diam di situ!" bentak Rowok Tunggel.

Sementara itu orang-orang masih berhamburan. Banyak anak-anak yang tertinggal memanjat tangga tali. Sedangkan di belakang mereka seekor singa meraung-raung melangkah mengincar mangsanya yang berlarian menyelamatkan diri. Para lelaki bergelayutan menyambar anak-anak mereka yang berada di bawah. Jerit tangis ketakutan membisingkan telinga. Bersamaan dengan itu pula raungan singa menggetarkan jantung orang-orang yang berada di situ.

Rowok Tunggel melompat menghadapi singa yang melangkah makin dekat. Dengan sebatang tombak ia berusaha menghalaunya. Tapi bagi singa yang tengah kelaparan tidaklah berarti apa-apa. Singa itu menunjukkan giginya yang putih mengkilat setajam mata pisau.

*

**

Belasan anak panah beserta beberapa tombak meluncur deras dari atas pohon. Menghujani tepat ke tubuh singa yang siap menerkam Rowok Tunggel. Singa itu seperti kelabakan menghadapi hujan senjatasenjata itu. Namun tidak satu pun yang dapat melukainya. Raungannya makin keras. Anak-anak panah makin deras pula menghujani.

Sementara makhluk liar itu sibuk mengamuk mengatasi anak-anak panah, Rowok Tunggel tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia melempari satu persatu para anak kecil maupun orang-orang dewasa ke atas gubuk di atas pohon. Gubuk-gubuk mereka memang sengaja didirikan di atas pohon, dan itu memang salah satu kebudayaan suku pedalaman Bangsa Bajor.

Melihat mangsa-mangsanya beterbangan ke atas, singa itu tidak lagi memperdulikan seranganserangan dari atas. Lagi pula panah dan ujung tombak tidak cukup kuat untuk menembus kulitnya yang alot laksana karet... Dengan raungan yang sangat menyeramkan makhluk itu melompat menerjang.

Sekalipun Rowok Tunggel sibuk menyelamatkan para anak buahnya, tapi perhatiannya tidak pernah lepas dari sosok makhluk ganas yang kini menerjang ke arahnya. Maka saat kedua kaki makhluk berkuku runcing menyambar, Rowok Tunggel merunduk ke bawah. Terjangannya luput. Namun sosok makhluk itu masih mendapatkan sasaran lain, yaitu seorang lelaki yang berdiri di belakang Rowok Tunggel.

Lelaki itu berteriak-teriak dengan tubuh yang mulai terkoyak oleh kuku-kuku runcing. Dan saat giginya yang runcing menggerogoti bagian perut, orang itu mati dengan seketika.

Meskipun tindakan Rowok Tunggel terlambat, ia tidak membiarkan makhluk ganas itu menggerogoti mangsanya. Dengan terjangan yang sangat dahsyat laki-laki berewok segera melompat ke punggung. Sebelah tangannya mencekik leher. Singa itu meraung meronta-ronta. Pergumulan sengit tak terelakan lagi. Beberapa pukulan Rowok Tunggel menghantam ke tulang rusuk, namun makhluk ganas membalasnya dengan cakaran-cakaran yang merobek di paha Rowok Tunggel.

Sedikitnya Rowok Tunggel merasa kewalahan mengatasinya, ia merasa lebih baik menghadapi puluhan orang dari pada seekor singa jantan seperti sekarang ini. Tenaga seekor singa lebih kuat dari pada seorang pendekar sakti manapun. Rowok Tunggel sendiri harus terbanting dari punggung makhluk ganas itu. Padahal seluruh tenaganya telah dikerahkan untuk mematahkan tulang lehernya. Dan singa itu makin tergiur saat melihat mangsanya jatuh berdegum di tanah. Puluhan pasang mata menyaksikan makhluk itu menerjang disertai raungan yang dahsyat. Mereka sudah menduga Rowok Tunggel pasti tidak akan sanggup menghindari terjangan yang begitu cepat.

Detik itu sekelebat bayangan melesat dari atas pohon meluncur ke bawah. Semua orang yang berada di atas pohon tidak menyangka, kalau sosok bayangan itu adalah seorang yang dianggap kurang waras. Siapa lagi kalau bukan Umbara Komang!

Kedua tinju Umbara Komang menghantam telak ke tulang rusuk... "Kraaak!" Makhluk itu terbanting ke samping. Sebelumnya kuku-kuku yang runcing sempat menyerempet ke dada Rowok Tunggel. Laki-laki berewok ini tidak percaya Umbara Komang bisa melakukannya. Kedua matanya sempat terbelalak saat singa itu bangkit menerjang ke arah Umbara Komang yang berdiri tenang menantang.

Tenang sekali Umbara Komang menyambut dengan mengangkat sebelah tinjunya. Meskipun perlahan tapi cukup membuat makhluk itu meraung melengking. Hantaman itu tepat mengenai tenggorokan. Saat itu pula Umbara Komang menambahkan hantamannya ke bagian kepala. Kali ini kedua lengannya disertai dengan tenaga penuh... "Praaak!" Batok kepala makhluk itu berderak.

Raungannya makin lemah. Sesaat kemudian tubuhnya berdiri limbung. Umbara Komang bermaksud melancarkan serangan lagi, tapi makhluk itu keburu ambruk ke tanah dengan batok kepala yang remuk. Suasana tempat itu kembali sunyi. Hanya letupletup api unggun yang mengisi kebisuan itu. Beberapa pasang mata menatap tidak percaya dari ketinggian sebatang pohon. "Apakah dia juga salah satu penghuni neraka?" Umbara Komang menendang tubuh singa yang sudah tak bernyawa. Tendangan itu pun sangat luar biasa! Mampu menggeser bangkai binatang itu sampai di hadapan Rowok Tunggel. Lelaki berewok sulit menjawabnya. Dia hanya kagum akan kehebatan Umbara Komang.

"Sudah kukatakan, bahwa kita ini bukan di neraka, Siluman Umbara Komang. Makhluk itu seekor binatang buas pemakan daging. Untung kau telah mengatasinya... Tidak kusangka kau demikian hebat! Pantas ketika aku melemparkan dirimu ke atas pohon terasa sekali tubuhmu begitu ringan."

"Aku bukan Siluman Umbara Komang. Cukup Umbara Komang saja! Tidak pakai embel-embel!"

"Umbara Komang!" Rowok Tunggel mengulangi. "Ya, begitu. Kedengarannya merdu." Umbara

Komang melipat tangannya di dada.

"Sekarang nasib kami tergantung padamu... Secara tidak langsung kuserahkan jabatanku untuk menguasai Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Kau memiliki kepandaian yang sangat hebat, aku bersama yang lainnya akan mengabdi sampai akhir hayat," Rowok Tunggel menunduk seperti menyembah.

"Sudilah kiranya kau memimpin kami di sini. "

Melihat Rowok Tunggel menyembah-nyembah Umbara Komang, orang-orang yang berada di atas pohon berloncatan ke bawah. Mereka semua turun sampai tidak ada yang tersisa. Hanya kaum perempuan dan anakanak yang tetap tinggal di atas gubuk. Para lelaki itu berbaris di belakang Rowok Tunggel. Mereka pun mengikuti apa yang dilakukan Rowok Tunggel.

"Aku tidak mau memimpin para siluman. Lagi pula siapa yang sudi tinggal di neraka jahanam. Aku mau pergi saja!" cetus Umbara Komang.

"Kami akan tetap mengikutimu, Umbara Komang," jawab Rowok Tunggel.

"E, Ehhh. Badung. Kalau memang mau mema-

tuhi perintahku, coba sediakan makanan untukku. Dari tadi perutku sudah keroncongan," katanya menguji. "Kalau cuma itu permintaanmu kami akan memenuhinya sekarang juga," kata Rowok Tunggel, ia pun memberi aba-aba dengan kedipan matanya kepada dua orang yang berlutut di sampingnya. Dan kedua orang itu pun melangkah menuju api unggun di mana di situ telah tersedia setumpukan daging. Umbara Komang mengawasi kedua orang itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau amis. Apalagi setelah dua orang itu mulai membakar daging-daging itu. Perut Umbara Komang makin melilit.

"Hebat! Rupanya kalian sengaja mempersiapkan untukku." kata Umbara Komang tersenyum. Rowok Tunggel mengangguk, lalu ia memberi aba-aba lagi dengan tepukan tangan. Maka seluruh orang yang berdiri di sekelilingnya berjalan memutar membuat lingkaran. Kemudian mereka duduk bersila mengelilingi Umbara Komang dan Rowok Tunggel yang saling berhadapan.

Wangi daging bakar makin santer membuat duduk Umbara Komang tidak tenang. Sebentarsebentar ia menoleh ke arah api unggun. Beberapa perempuan nampak turun dari atas pohon di mana tempat tinggal mereka. Tiga perempuan itu masing-masing membawa dua gelondong bambu yang berisikan tuak. Rowok Tunggel menyambutnya saat mereka tiba di situ.

"Selama menunggu daging bakar, kita bisa menikmati tuak... Silahkan diminum Umbara Komang." kata Rowok Tunggel ketika seorang perempuan menyerahkan dua gelondong bambu itu.

"Aha ha ha ha... Terima kasih! Terima kasih...! Aku suka sekali. Wuah... harumnya... Baru kali ini aku menemukan tuak sewangi ini." Umbara Komang menunggingkan gelondongan bambu itu ke mulutnya.

Suasana pedalaman yang gelap itu kembali terang. Wangi daging bakar menyebar dimana-mana. Orang-orang yang duduk bersila berkeliling itu ramai membicarakan kehebatan Umbara Komang. Sedikitnya mereka mengharap agar laki-laki senewen itu mau memimpin Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Selama ini Rowok Tunggel memang memimpin mereka. Dan sekarang mereka menganggap Umbara Komang jauh lebih sakti dari Rowok Tunggel. Rowok Tunggel sendiri berusaha membujuknya agar Umbara Komang mau memimpin mereka.

Umbara Komang mendapat jatah daging bakar lebih dulu. Jatahnya lebih banyak daripada yang diberikan kepada Rowok Tunggel. Kedua orang yang selesai membakar daging itu berjalan membagikannya pada orang-orang yang duduk bersila melingkar.

Rakus sekali Umbara Komang menggerogoti daging bakar. Kelucuan yang nampak itu membuat para perempuan dan anak-anak yang berada di atas pohon tertawa tergelak-gelak. Merekapun segera turun membawakan tuak untuk para suaminya. Mereka dan anak-anaknya juga mendapat bagian.

Daging ini sebenarnya tidak enak, lumayan untuk dijadikan isi perut di saat lapar begini...." Umbara Komang menyantap rakus.

"Ya-ya memang lumayan. Bagi kami sudah terbiasa mengisi perut selama ada yang bisa dimakan... Masih kurang? jawab Rowok Tunggel sekaligus menawarkan.

"Kalau masih ada, boleh!" jawabnya cepat. "Eh, Rowok Tunggel sedari tadi aku tidak melihat kuda milikku... Kau taruh mana dia " sambungnya lagi.

"Maaf, Umbara Komang. Yang kau makan itu adalah kudamu." Rowok Tunggel tidak berani menatap. Mendengar itu, daging bakar di mulut Umbara Komang keluar lagi. "Apa?... Aduh gusti...! Kuda itu pemberian seorang raden! Kalian benar-benar siluman keparat!" Umbara Komang menghardik marah.

"Terpaksa Umbara Komang!... Terpaksa! Kami menemukannya telah mati sekarat di saat kami berburu. Begitu juga dengan kau. Sama sekaratnya dengan kuda milik mu." Rowok Tunggel gemetar menjelaskannya. Rasa takutnya bukan karena Komang memiliki ilmu setinggi langit, tapi karena Umbara Komang sekarang menjabat sebagai pemimpin Suku Pedalaman Bajor. Rowok Tunggel hanyalah orang kecil di bawah Umbara Komang. Karena dia tidak memiliki ilmu yang langka dikuasai orang.

"Ah! Aku baru ingat! Pastilah angin raksasa dan badai pasir telah mengalahkan aku di saat bertempur! Hiii... Ngerinya! Jangan-jangan angin raksasa dan badai pasir akan datang ke sini! Wuaaaaa... Aku takut!" Tiba-tiba saja Umbara Komang lari menjauh. Gerakannya yang gerabak gerubuk membuat orang-orang di sekitarnya menjadi terkejut. "Aku tidak mau lagi bertemu dengan dua laknat itu. Hiiii! Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi mereka!" Lari Umbara Komang makin cepat.

"Umbara Komang...! Tunggu...!" Rowok Tunggel menyusul. Begitu juga dengan lainnya.

Tempat itu jadi riuh oleh derap langkah yang serabutan. Mereka semua mengejar sang pemimpin baru. Umbara Komang tidak memperdulikan orangorang yang berlari mengejar di belakangnya. Malah ia mempercepat larinya dengan ilmu peringan tubuh. Bagi Rowok Tunggel, ia bisa mengimbangi dengan kecepatan larinya. Tapi bagi orang-orang yang mengikuti mereka di belakang cukup kewalahan. Untuk itulah Rowok Tunggel memberi tanda agar mereka bisa mengikuti. "Siluman-siluman brengsek! Apa-apaan mengikutiku! Pergi! Bikin susah saja!"

"Sekarang kau ketua kami, Umbara Komang!

Bagaimana pun kami harus ikut kau!"

*

* *

"Ni Klesung Rangit...! Ni Klesung Rangit...!" teriak salah satu orang yang mengerumuni gubuk kecil itu. Semua mata mengarah pada pintu bambu yang tertutup rapat. Orang-orang semakin ramai berdatangan ke tempat itu. Dan menyaksikan sosok mayat tergeletak di depan pintu bambu tersebut. Sosok itu jasad Kang Birun. Tubuhnya biru seperti kehabisan darah dengan kepala berlubang sebesar telapak tangan. Bau amis seperti busuk menyengat.

"Pastilah Ni Klesung Rangit dan cucunya Dwi Langsih sudah tewas seperti Kang Birun... Karena sejak tadi kita berteriak-teriak mereka tidak keluar juga." Penduduk yang lain menimpali.

"Ni Klesung Rangit...! Apakah kalian baik-baik saja?" Mereka berteriak lagi. Di antara kerumunan itu berdiri sosok kepala kampung, Ki Sangga Wana. Ia menatap tajam gubuk itu. Pikirannya sama dengan para penduduk lainnya. Ia sudah menduga kalau terjadi sesuatu atas diri Ni Klesung Rangit dan cucunya. Ia pun sudah membayangkan kematian mereka pasti serupa dengan yang dialami Kang Birun. Kehabisan darah dengan batok kepala berlubang. Tapi mendadak saja semua mata mereka terbelalak dengan mulut menganga. Betapa tidak. Pintu bambu itu berderit terbuka. Dari dalamnya keluar seorang nenek buta terbungkuk-bungkuk dituntun oleh anak perempuan berumur lima tahun. Namun setelah melihat sosok mayat yang tergeletak di depan pintu, anak perempuan itu berlari ke belakang nenek buta, ketakutan.

"Syukurlah kau tidak kurang satu apapun, Ni Klesung Rangit... Kami sudah khawatir terhadap kalian " ujar Ki Sangga Wana sang kepala kampung.

*

* *

5

Wajah Ni Klesung Rangit berubah kecut, sebelah lengannya yang keriput memeluk Dwi Langsih yang masih memalingkan wajahnya di belakang nenek buta. "A-ada apa, Ki Sangga Wana...?" tanya Ni Kle-

sung Rangit tergagap. Ia kenal betul dengan suara orang yang berdiri di hadapannya.

"Kang Birun tewas disantap siluman itu, Ni...

Mayatnya tergeletak di sini. Apakah...." Kata-kata Ki Sangga Wana belum habis, dari gubuk itu keluar sosok Wintara. Ia langsung berdiri di belakang Ni Klesung Rangit. Ia juga tersentak kaget menatap sosok mengerikan terkapar di hadapan pintu.

Yang lebih heboh lagi terhadap orang-orang kampung. Mereka berjingkat kabur setelah melihat Wintara keluar dari gubuk.

Sejak kemarin sore mereka memang takut akan kehadiran Wintara di kampung itu. Apalagi sekarang telah jatuh korban. Rasa takut mereka makin bertambah. Tapi Wintara tetap tenang menatap Ki Sangga Wana.

"Pemuda asing... Aku cenderung kaulah yang melakukan ini. Tentunya kaulah yang selalu mengambil korban dari penduduk desa ini! Sekarang perbuatan busukmu sudah ketahuan. Kau harus menebus dengan nyawa anjingmu!" Ki Sangga Wana mencabut keris dari pinggangnya. Nampak sekali keris itu memancar sinar keemasan. Meskipun Ni Klesung Rangit tak dapat melihat, ia sudah dapat menduga apa yang bakal terjadi. Maka ia melangkah menghalangi.

"Sabar... Sabar...! Kalian sudah salah menuduh. Wintara bukanlah bangsa siluman yang kita takuti selama ini. Ia hanya seorang pengelana yang kebetulan singgah di sini. Kalian saja yang berpikiran buruk." sergah Ni Klesung Rangit.

"Betul. Paman Wintara bukan orang jahat." Dwi Langsih ikut membela.

"Lalu apa artinya mayat Kang Birun tergeletak di depan gubukmu? Pantas saja kalian tidak dapat melihat rupa siluman itu, karena kalian buta semua!" Ki Sangga Wana geram. Kerisnya yang mencereng terhunus ke atas.

"Begitu burukkah rupa ku...? Sehingga kau yakin akan ketololan kedua insan ini! Ni Klesung Rangit memang buta. Tapi begitu yakin akan ketajaman mata hatinya. Daripada kalian yang sebenarnya melek tapi memiliki pikiran yang sangat rendah!" jawab Wintara tenang.

"Bangsat!" Tentu saja Ki Sangga Wana menjadi sangat marah. Kerisnya meluncur di depan. Desiran anginnya membersit. Wintara yang sudah terlanjur menghadapi melesatkan tubuhnya ke atas. Keris Ki Sangga Wana terus berkelebat mengikuti.

"Paman... Jangan berkelahi!" pekik Dwi Lang-

sih.

"Tenang, Langsih. Wintara pasti bisa mengatasi

kecongkakan Ki Sangga Wana!" bentak Ni Klesung Rangit. Dwi Langsih mendadak merungkut.

Orang-orang kampung menyaksikan bagaimana Wintara berkelit menghindari setiap tusukan keris yang menjurus mematikan. Mereka tidak berkedip barang sekejap pun. Dan mengharap setiap tusukan keris menancap di tubuh lawan Ki Sangga Wana Saat itu Ki Sangga Wana benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya, dan ternyata kepala desa itu memang hebat. Setiap serangannya nyaris melukai Wintara. Pendekar Kelana Sakti masih menimbang-nimbang agar ia tetap berkepala dingin. Setiap gerakannya terlihat selalu menghindar.

"Ha ha ha ha... Kau takut menghadapi keris perakku, siluman. Sebentar lagi perut mu akan robek!" bentak Ki Sangga Wana, tusukan kerisnya menyambar bagian muka. Wintara harus cepat merunduk. Bersamaan itu pula tendangan Ki Sangga Wana menjurus deras. Disertai dengan sebuah bentakan, Wintara mengangkat lengannya ke atas. Bukan main kerasnya benturan tendangan itu. Kiranya kepala kampung itu bukan sosok kosong tanpa ilmu. Melihat dari jurusjurus yang dilancarkannya, Wintara sudah bisa mengukur. Namun hal itu bukanlah berarti Ki Sangga Wana berada di atas kemampuan Pendekar Kelana Sakti.

"Mampus keparat sialan!" Keris perak menusuk berkali-kali. Wintara lincah mengelak. Tindakannya itu seperti mengejek.

"Aku bukannya takut mati, Ki... Tapi masih sayang dengan nyawaku yang hanya selembar." kata Wintara sambil menepis tusukan-tusukan keris.

"Jangan hanya mengelak! Tunjukkan semua kebolehan mu, penghuni neraka!" Bersamaan dengan ucapannya, Ki Sangga Wana lancarkan tinjunya dengan telak. Kalau hanya sebuah tinju, Wintara tidak perlu mengelak. Ia sengaja membiarkan tinju itu mengenai dadanya. Tapi sesaat kemudian tubuh Ki Sangga Wana mencelat ke belakang. Pekikannya nyaring saat tubuhnya berdegum di tanah. Tapi ia siap bangkit mengarahkan kerisnya lagi. Amarahnya sudah meluap, mukanya nampak memerah.

Begitu melihat Ki Sangga Wana maju menerjang, Wintara sempat melihat langkah-langkah yang gemetar. Ia pun sudah menduga kalau kepala kampung sudah terluka akibat terbanting tadi. Namun sedikitnya Wintara cukup mengerti akan kekerasan hati Ki Sangga Wana. Semuanya hanya menunjukkan sifat kesombongan. Mungkin karena hanya dia yang berilmu tinggi di desa itu.

Tusukan-tusukan kerisnya serba ngelantur dan tak terarah. Dan ternyata Wintara cukup bosan melayaninya. Sekali ia bergeser ke samping kakinya menyapu ke bawah...

"Sreeeet... Blaaaak!" Untuk kedua kalinya Ki Sangga Wana terbanting. Keris dalam genggamannya terlepas. Dan dia sendiri tidak dapat bangkit lagi. Mulutnya menyeringai menahan sakit.

"Aku cukup menghargai ketangkasan mu, Ki Sangga Wana. Tapi sayang... Kepandaian disertai dengan kesombongan tidak akan sejalan. Bagaimana kau bisa mengalahkan siluman yang selalu mendatangi desa ini? Kalau kau sendiri tidak dapat membedakannya.. Aku memang orang asing di sini. Untuk itu maafkanlah atas kekurangajaran ku tadi." Wintara memandangi Ki Sangga Wana kepayahan berusaha bangkit.

"Aku dapat melihat dari sinar matamu, bahwa kau sendiri pun menyesalinya. Tak apa, Ki. Aku bisa menjadi bulan-bulan orang."

Ki Sangga Wana tidak bermaksud mendengar ucapan Wintara. Dirinya merasa malu sekali di hadapan orang-orang kampung. Itu pun lebih bagus! Untung lawannya itu tidak sungguh-sungguh menghadapinya. Ki Sangga Wana sendiri harus mengakui akan kesalahannya. Tidak semestinya ia bertindak se kasar itu. Apalagi ia seorang kepala kampung. Tapi semua itu bisa dimaklumi oleh Wintara. Desa itu memang sedang kalut. Jadi ia cukup mengerti dengan perasaan orang-orang kampung. Hanya saja Wintara masih tidak mengerti mengenai adanya siluman jahat yang selalu mengambil korban. Diam-diam Wintara menyusun rencana untuk membuktikan kekalutan yang selama ini menjadi keresahan penduduk desa.

"Rasanya tidak pantas lagi kalau aku berlamalama di sini. Aku tidak ingin membuat seluruh orang kampung panik. Anggap saja kalian tidak pernah melihat kehadiran ku." Setelah berkata begitu, Wintara melangkah mendekati Ni Klesung Rangit yang masih berpegangan pada cucunya. Orang-orang kampung tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Ki Sangga Wana mengelus-elus pinggangnya yang nyeri. Ia tidak tahu apa yang mesti diucapkan terhadap pendekar itu.

"Terima kasih atas pelayanan mu semalam, Ni Klesung. Seperti yang telah aku katakan, aku harus meninggalkan desa ini sedini mungkin." Wintara memberi salam Ni Klesung Rangit menggapai-gapaikan kedua tangannya. Wintara membiarkan Ni Klesung Rangit menyentuh baju bulunya.

"Kau mau ke mana Wintara? Tetap tinggallah di sini. Jangan diambil hati perlakuan orang-orang kampung ini. Sekarang mereka sudah yakin bahwa kau bukanlah siluman jahat. Dengarlah kataku Wintara. "

Ni Klesung Rangit menahan.

"Paman Wintara mau ke mana? Tetap saja di sini menemani Langsih. Kalau paman pergi, paman tidur di mana ?"

Suara Dwi Langsih polos. Wintara jongkok lalu mencubit pipi Dwi Langsih. "Paman harus pergi, Langsih. Dan juga kau tak perlu khawatir. Paman bisa tidur di mana saja. Cuma satu pesanku, jagalah nenek baikbaik. Suatu saat paman pasti datang lagi menemuimu...." Wintara tersenyum. Ia pun bangkit melangkah mundur. Lalu ia menatap Ki Sangga Wana.

"Tanpa kau usir pun aku akan pergi, selamat tinggal, Ki... Mudah-mudahan kau menjaga desa ini." Kata-kata Wintara cukup pedas. Tapi Ki Sangga Wana tidak berani menyahut. Ni Klesung Rangit bersama cucunya tidak bisa menahan. Wintara berjalan tenang meninggalkan keramaian. Kuda putihnya masih tertambat menunggu.

Kuda itu menyepak-nyepak kaki depannya saat Wintara mengelus bulu-bulu yang tumbuh di sepanjang leher.

Cepat sekali tubuh Wintara melompat ke punggung kuda. Sebentar saja ia sudah menghela kudanya dengan suara yang lantang. Derap kuda pun menderuderu meninggalkan desa itu. Orang-orang kampung mulai berdatangan memenuhi gubuk Ni Klesung Rangit. Ki Sangga Wana sudah dapat berjalan meskipun terpincang-pincang. "Kau benar, Ni... Anak muda itu seharusnya tetap tinggal di desa ini. Dia seorang pendekar sakti. Satu-satunya orang yang bisa melindungi kita, kini sudah pergi. Kita sudah tidak punya harapan lagi." Ki Sangga Wana menyesali tindakannya.

"Nasi sudah menjadi bubur. Kau telah menghinanya, Ki Sangga Wana. Mana mau pendekar itu berpaling lagi kepada kita! yang mesti mencari jalan keluarnya." jawab Ni Klesung Rangit. Ia menggeser tubuh cucunya. Dwi Langsih mengerti akan maksud neneknya, maka ia menuntun masuk kembali ke dalam gubuk. Pintu bambu di banting keras-keras. "Orangorang tidak tahu diuntung!" Suara parau itu terdengar dari dalam gubuk. Ki Sangga Wana menatap penduduk kampung yang mengerubungi mayat Kang Birun. Kejadian seperti itu sudah tujuh kali berturut-turut

menggemparkan desa. Namun sampai saat ini mereka belum tahu siapa adanya siluman yang menghantui desanya.

"Saudara-saudara sebaiknya kita cepat menguburkan mayat Kang Birun. Kasihan, ia sudah tidak punya sanak saudara lagi, kini ia pun menyusul mereka. " kata Ki Sangga Wana memecah kerumunan itu.

Serempak pula para penduduk kampung itu mengangkat jasad Kang Birun. Darah

masih berceceran ketika tubuh tanpa nyawa itu di bawa pergi. Ki Sangga Wana mengikuti rombongan itu. Beberapa penduduk kampung mengiringi langkahnya.

"Sudah tujuh orang yang menjadi korban, Ki. Kalau kita selamanya berdiam diri, lama-kelamaan penduduk kampung ini habis semua." kata salah seorang yang mengikuti Ki Sangga Wana.

"Itu memang sudah ku pikirkan, tapi siapa yang sanggup melawan siluman keparat itu. Melihat kematian dari para korban, tentulah siluman itu sangat ganas dan tak mengenal ampun. Satu-satunya jalan kita harus meninggalkan kampung ini." jawab Ki Sangga Wana.

"Itu bukan satu tindakan yang benar, Ki. Bagaimanapun kita harus tinggal di sini. Bukankah desa ini dulu tempat yang aman? Kita harus menyelidikinya, mengapa desa ini terancam malapetaka."

Ki Sangga Wana diam seribu bahasa. Ia terus melangkah mengikuti rombongan yang membawa jasad Kang Birun. Bagi seorang kepala kampung memang serba salah. Masalah apapun akan menjadi tanggung jawab yang serius. Apalagi macam pembunuhan yang terjadi berturut-turut seperti ini. Sudah tentu sebagai kepala kampung ia merasa panik. Ia sudah tidak bisa menenangkan warganya lagi. Setiap malam penduduk desa dilanda ketakutan. Pernah ada seorang dukun mengatakan bahwa mereka harus menggantungkan sebuah penangkal di atas pintu. Namun usaha itu sia-sia saja. Malam itu kedapatan seorang penduduk tewas dengan keadaan yang serupa dengan Kang Birun. Esok malamnya pun, dukun itu sendiri yang menjadi korban. Mereka bisa bilang apa. Siapa yang bisa mengatasi pembunuh yang sama sekali tidak diketahui rupanya... Cuma tujuh orang yang bisa tahu. Ketujuh orang itu pun kini telah terbujur dalam liang kubur,

Beberapa orang yang menggali lubang untuk jasad Kang Birun telah selesai, di tempat itu pula mayat itu dimandikan serta dibekali serentetan doa sebagai penghantar upacara pemakaman. Jauh dari keramaian di balik semak-semak yang merimbun, sosok kuda putih bersama seorang penunggangnya mengawasi tanpa diketahui oleh siapapun. Penunggang kuda itu sejak tadi mengawasi.

Sampai orang-orang kampung selesai menguburkan mayat Kang Birun dan bubar meninggalkan tempat itu, sosok yang di atas punggung kuda tetap diam di balik semak.

"Kalian boleh mengira aku benar-benar meninggalkan kampung ini. Bagaimana pun aku tidak bisa tinggal diam. Nasib kalian sangat mengenaskan. Mungkin dengan pura-pura pergi begini, aku bisa menyelidiki Siluman apa kiranya yang menghantui desa ini." kata Wintara dalam hati. Kedua matanya menerobos semak-semak menatap kepergian penduduk kampung dari tanah pemakaman. Ia masih di situ sampai tanah pekuburan betul-betul sepi. *

* *

6

Saat itu juga Sangga Wana menuruti kehendak para penduduk kampung. Mereka bermaksud akan berjaga malam secara bergiliran. Seluruh lelaki desa itu dipecah menjadi dua bagian. Dua kelompok itu berjaga-jaga tiap dua malam sekali. Sangga Wana menyetujui usul warganya, dengan harapan dapat memergoki pelaku pembunuh yang secara berturut-turut datang menghebohkan. Malam itu pun semenjak kematian Kang Birun, kampung itu tidak nampak sepi lagi seperti sebelumnya. Sangga Wana memberi tugas pada tiap-tiap orang, untuk menjaga rumah-rumah penduduk berkeliling. Kepala kampung itu sendiri ikut repot pentang mata. Suasana malam itu jadi ramai. Tiap-tiap di halaman muka rumah dinyalakan pelita. Dari kejauhan nampak berkelap-kelipan orang-orang yang berjalan simpang siur memenuhi pelataran desa.

Semua mata memandang berkeliling mengawasi ke segala sudut. Tempat-tempat yang biasanya gelap kini dipasangi pelita. Mereka begitu bersemangat meskipun udara cukup dingin. Sangga Wana nampak berjalan mondar mandir.

"Sampai saat ini masih tenang-tenang saja, Ki. Jangan-jangan siluman itu sudah tahu kalau kita tengah mengepungnya di sini." Salah seorang warga datang melapor. "Biar saja. Tapi kita harus tetap waspada! Bagaimana keadaan di Utara dan Barat? Dari tadi aku belum mendengar laporannya." kata Sangga Wana.

"Aku lihat mereka tengah berjaga-jaga. Yang lain berkeliling mengawasi tiap-tiap gubuk. Aku rasa tidak ada apa-apa di sana." "Syukurlah! Aku harapkan demikian untuk seterusnya."

Kembali Sangga Wana berkeliling mengawasi tiap pelosok. Penduduk kampung pun sama gesitnya mengawasi. Mereka siap dengan senjata yang tajam mengkilap. Semak-semak yang dianggap mencurigakan, habis terbabat. Apalagi mendengar suara-suara aneh. Mereka langsung mengepung.

Bulan sabit menggantung di langit se bentar terang sebentar gelap tertutup awan yang bergerak tertiup angin. Suara binatang malam mengerik mengisi suasana malam yang demikian dingin mencekam. Pada tengah malam itu penduduk kampung sudah terlelap dalam tidurnya. Hanya orang-orang yang tengah berjaga di luar yang masih mendengar pembicaraan mereka. Sangga Wana sendiri sudah merasa lelah. Setengah malaman ia berkeliling dan kini matanya mulai sepat.

Sangga Wana menghentikan langkahnya tepat di depan gubuk Ni Klesung Rangit. Dua orang yang mengawalnya ikut berhenti. Mereka berdua terus mengikuti ketika Sangga Wana duduk di balai yang ada di depan gubuk.

"Ni Klesung Rangit, kami numpang beristirahat sebentar di sini. Maaf kalau kami mengganggu." kata Sangga Wana menghadap ke bilik. Tidak ada jawaban kecuali suara dengkur yang saling susul. Pelita yang tergantung di tiang menerangi tempat itu. Dan mereka bertiga cukup santai duduk-duduk di atas balai.

"Sayang pendekar sakti itu telah pergi! Aku pun sampai lupa menanyakan namanya." Sangga Wana menghela nafasnya. Tubuhnya tersandar ke bilik.

Tapi aku sempat mendengar Dwi Langsih memanggil pendekar itu dengan nama: Wintara. Yah! Mungkin namanya Wintara." jawab orang yang duduk di sebelahnya.

"Padahal kalau kita mengijinkan ia tinggal di sini, pendekar itu pasti mau." Orang yang satu lagi ikut menimpali. Wajah Sangga Wana mendadak kecut.

"Yaaah aku memang salah tindak. Dan aku tidak habis pikir, kenapa mayat Kang Birun tergeletak di sini saat pengelana itu menginap di gubuk Ni Klesung Rangit. Siapa yang tidak sengit! Kampung kita selalu terjadi pembunuhan yang tidak masuk di akal sehat."

"Mungkin siluman itu sengaja mengkambing hitamkan Wintara."

"Bisa jadi, Ki "

Sangga Wana diam seribu bahasa. Kedua matanya memandang di kejauhan pada orang-orang kampung yang bersiap siaga. Diam-diam ia menyesali kejadian tadi siang. Pikirannya melayang jauh, ia tidak lagi mendengar dua orang yang duduk di sebelahnya bercakap-cakap. Tapi mendadak saja lamunannya buyar.

Pintu bambu berderit panjang. Ketiga orang yang duduk di balai langsung menoleh ke arah itu. Dwi Langsih gadis lima tahunan keluar dari gubuknya. namun setelah melihat ketiga orang yang duduk di muka gubuk itu, ia tidak jadi melangkah.

"Langsih, ada apa malam-malam berani keluar...?" tegur Sangga Wana. Dwi Langsih ketakutan. Dua orang yang duduk di samping Sangga Wana tersenyum.

"Ada apa? Kok diam saja?" sapanya. "Langsih mau buang air " jawab gadis kecil itu.

"Ohhh... Kok sendirian. Kenapa tidak minta diantar Ni Klesung."

"E-e-e... Be-be-beliau " Dwi Langsih tergagap.

"Kau anak yang baik. Tentunya kau tidak ingin mengganggu tidur nenekmu, bukan? He he he he...

Tak apa. Paman justru mau mengantarkan kamu." "Antarkan Langsih, Kunto. Jangan lupa membawa obor." perintah Sangga Wana. Seorang pengawalnya yang bernama Kunto beranjak bangun dan menyalakan obor dari bambu. Lalu lelaki itu menggendong Dwi Langsih.

"Bersama Paman Kunto kau akan aman " ka-

ta Sangga Wana lagi. Kunto membawa Dwi Langsih. Sebentar saja mereka hilang dari pandangan Sangga Wana yang menggeleng-geleng menatapnya.

Pintu gubuk tetap terbuka. Sangga Wana bangkit berjalan dan menutup pintu bambu itu. Ia tidak berani menatap ke dalam. Makin malam udara makin dingin. Ketiga orang yang di atas balai mengusap-usap kedua lengannya.

"Dingin?" sapa Ki Sangga Wana pada seorang pengawalnya.

"I-iya, Ki... Mungkin kalau kita bawa berjalanjalan rasa dingin ini akan hilang."

jawab orang itu. "Kita tunggu Kunto. Setelah itu kita berkeliling lagi." Sangga Wana menyodorkan kotak bakaunya. Pengawal itu langsung membuka dan membuat satu linting daun kawung. Ki Sangga Wana sendiri ikut melinting.

"Sebaiknya Ki Sangga Wana tidak usah pentang mata begini. Penduduk kampung cukup banyak yang berjaga malam...." kata pengawalnya sambil menyulut lintingan bakau.

Lalu ia menghembuskan asapnya kuat-kuat. "Mana bisa begitu, Dun. Kita sudah sepakat

untuk berjaga secara bergiliran. Lagipula aku bertanggungjawab atas desa ini." Mardun terdiam mendengar ucapan Ki Sangga Wana. Pikirannya melayang pada anak istrinya di rumah. Mungkinkah mereka dapat tertidur lelap tanpa dilanda ketakutan? Sementara sang suami keluar selama satu malam berjaga berkeliling dengan para penduduk lainnya. Bagaimanapun Mardun tetap khawatir akan keselamatan keluarganya di rumah.

"Lama betul Kunto mengantar Dwi Langsih. Padahal tempat buang air tidak jauh dari sini." ujar Ki Sangga Wana. Mardun terkesiap.

"Coba kau susul mereka, Dun. Biar aku di sini menjaga Ni Klesung Rangit." Mardun tidak bisa menolak perintah kepala kampung. Ia membetulkan kain sarungnya kemudian bangkit berdiri.

"Baik, Ki. Aku pun mulai khawatir pada mereka." Mardun melangkah meninggalkan Ki Sangga Wana yang masih duduk di balai. Langkahnya cepat berlalu. Ia berpapasan dengan rekan-rekan sekampung yang juga melaksanakan tugas di malam itu. Goloknya terseron erat di pinggang.

Tanpa sebuah obor ia bisa melihat jalan ke pinggir kali. Karena sepanjang jalan memang banyak didirikan tiang-tiang yang digantungi sebuah lampu pelita. Jalan menuju ke sana agak sedikit sulit. Di sana sini banyak ditumbuhi semak-semak dan pepohonan. Daun-daun pisang mulai nampak dibasahi oleh embun. Manakala angin terus menerus berhembus menusuk tulang. Mardun yang telanjang kaki terus melangkah. Pelita yang berderet di atas tiang menerangi jalannya. Letup api pelita bergoyang-goyang tertiup angin. Mendadak saja angin berhembus kencang menderu-deru. Namun sebenarnya angin kencang itu hanya dirasakan oleh Mardun.

Lelaki itu jadi ketakutan setengah mati. Langkah-langkahnya jadi kian lambat. Pendengarannya serasa berdenging nyaring memecahkan gendang telinga.

Kedua mata Mardun terbelalak saat ia melihat sosok tubuh melompat-lompat mengelilinginya. Sosok tubuh itu nampak kurus kering berkulit hitam dengan rambut putih seperti kapas. Rongga matanya nampak besar memerah. Mardun berdiri gemetar melihat sosok menyeramkan itu.

Dengan mengeluarkan suara yang sangat aneh, sosok itu menerjang. Mardun tidak sempat menghindari sergapan yang demikian cepatnya. Tahu-tahu saja lengan hitam bergerak menghantam keras di atas batok kepala. Darah pun menyembur bagai air mancur. Dan sosok hitam itu tidak membiarkan darah tergenang. Mardun sendiri tidak sempat berteriak lagi saat nyawanya hampir putus.

Tubuh Mardun masih kelojotan. Saat itupun telapak tangan legam menghantam sampai kelima jarinya menembus pada batok kepala itu. Kulit serta rambutnya terkelupas. Dari situ sosok mengerikan menyedot habis darah dan isi kepala Mardun.

*

* *

"Wuaaaaaa...!" Jeritan itu mengagetkan seluruh penduduk kampung yang tengah berjaga-jaga. Terlebih-lebih pada diri Ki Sangga Wana. Ia langsung bangkit dari atas balai. Seluruh peronda malam pating serabut berlarian ke arah suara teriakan. Ki Sangga Wana cepat memburu menyusul mereka.

"Cepat, Ki! Aku mendengarnya dari arah pinggir kali... Cepat!"

"Astaga...! Mardun dan Kunto ada di sana!" pekik kepala kampung. Larinya cepat menyusul orangorang yang berlarian ke arah kali. Semuanya menerobos pohon tanpa peduli. Senjata-senjata mereka siap mengacung.

"Cepat! Siluman laknat itu pasti di sana! teriak salah seorang yang berlari paling depan. Mereka memang sedang menunggu-nunggu kesempatan itu. Sekaranglah saatnya menunjukkan kemarahan mereka. Tapi sesampainya di pinggir kali mereka semua bengong melompong bercampur ngeri. Mereka tidak melihat sosok tubuh tergeletak berlumuran darah.

"Kunto apa yang terjadi?" tanya Ki Sangga Wana sesampainya pada kerumunan itu. "Entahlah... Aku menemukannya tergeletak di sini." jawab Kunto ketakutan. Ki Sangga Wana maju ke tengah mendekati sesosok mayat. Mengerikan sekali. Tubuh Mardun nampak biru dan di atas kepalanya berlubang sebesar telapak tangan.

"Kita terlalu lengah. Mardun korban yang kedelapan. Cepat menyebar...! Siluman itu pasti masih ada di sekitar sini!" Ki Sangga Wana memberi perintah.

"Kita berpencar. Awas jangan terpisah dengan yang lain " Mereka menyebar.

"Kalau ketemu langsung saja cincang!" teriak mereka ramai. Beberapa orang tetap tinggal bersama Ki Sangga Wana membereskan mayat Mardun. Dwi Langsih ketakutan. Ia memegangi ujung baju Kunto. Melihat itu Ki Sangga Wana mengelus-elus rambut kemudian menggendongnya.

"Kau tidak perlu takut, Langsih. Penduduk kampung sedang mencari siluman itu. Malam ini pasti tertangkap." bujuk Sangga Wana. Dwi Langsih diam. Kunto ikut menggotong mayat Mardun. Mereka membawanya ke perkampungan.

"Mungkin nenekmu sudah cemas menunggu...

Kau sendiri tidak apa-apa, bukan? Dwi Langsih menggeleng. Ia tetap dalam gendongan Ki Sangga Wana yang melangkah cepat menuju keramaian.

Keadaan desa jadi gaduh. Orang-orang yang tengah pulas tertidur mendadak bangun dan keluar dari gubuknya masing-masing. Mereka semua ketakutan. Istri Mardun langsung pingsan setelah mendengar kabar dari para penjaga malam.

"Langsih...! Langsih...!" Ni Klesung Langit melangkah menggapai-gapai kedua tangannya. Semua orang tidak perduli. Tapi saat Ki Sangga Wana melihatnya, ia langsung melangkah menemuinya.

"Langsih tidak apa-apa, Ni... Ia bersama ku." kata Ki Sangga Wana menurunkan Dwi Langsih. Bocah itu meluruk lari memeluk nenek buta Ni Klesung Rangit.

"Neeeeek...!"

"Kepala kampung tak tahu diuntung! Kau hampir saja mencelakakan cucuku!" hardik Ni Klesung Rangit. Mendengar perkataan yang demikian, Ki Sangga Wana naik pitam.

"Justru kau yang sengaja mencelakakan cucu mu sendiri, Ni Klesung Rangit. Kau membiarkan cucumu keluar malam sendirian. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu padanya? Apakah kau juga akan menyalahkan aku?" Ki Sangga Wana membentak.

Bibir Ni Klesung Rangit bergetar menampakkan kemarahan yang luar biasa. Kedua matanya yang buta tertutup rapat oleh kelopak mata, seperti melotot hendak keluar dari rongganya.

*

* *

7

Setelah menggeram Ni Klesung Rangit menarik lengan Dwi Langsih.

"Kembali ke gubuk, Langsih! Jangan mencampuri urusan para pahlawan yang sok jago. Chis!" Ni Klesung membuang ludah di hadapan Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu berusaha acuh meskipun ia merasa terhina. Penduduk kampung memaklumi akan perangai Ni Klesung Rangit. Mereka hanya memperhatikan sampai nenek dan cucu itu masuk ke dalam gubuknya. Setelah itu pun mereka sibuk kembali mencari-cari sosok yang mencurigakan.

Semua penduduk keluar dari gubuknya. Mereka berkumpul dalam satu lapangan yang cukup besar. Semuanya bergidik setelah melihat mayat Mardun. Mereka menimbulkan suara yang sangat ribut dan membisingkan. Apalagi semua keluarga Mardun yang tidak rela akan kematiannya.

"Kalian tenang! Tenang!" Ki Sangga Wana berusaha menenangkan mereka, namun para penduduk kampung makin kalang kabut.

"Kalau kalian begini terus bagaimana kita bisa mendapatkan siluman itu? Diam! Kalian bisa tenang atau tidak!"

Bagaimana pun bentakan kepala kampung tak digubrisnya. Para penduduk makin takut dan semakin ribut. Penjaga-penjaga malam berkeliling bersiap-siap dengan senjata. Lampu-lampu obor dinyalakan membuat kampung itu menjadi terang seketika. Sampai saat itu mereka belum menemukan apa-apa. Tapi mendadak saja mereka kaget semua.

"Rowok Tunggel kau tidak perlu mengikutiku! Pergi! Pergi! Kau sudah menyembelih kudaku...!" Tibatiba saja terdengar seorang berteriak-teriak. Orangorang kampung terlolong melihat seseorang berlari kencang. Di belakangnya seorang lelaki telanjang dada mengejarnya.

"Aku tidak mau! Kalian siluman jahat!" teriak lelaki yang berlari di depan. Mereka tidak lain dari Umbara Komang dan Rowok Tunggel. Mereka berdua tidak menyadari kalau saat itu sudah memasuki perkampungan orang. Umbara Komang sendiri tersentak kaget disambar petir saat melihat orang-orang yang berkerumun di hadapannya. Apalagi orang-orang itu mengacung-acungkan senjata mereka.

"Mati aku! Rupanya aku terkepung." Umbara Komang menghentikan larinya. Rowok Tunggel masih jauh tertinggal. Melihat begitu banyak orang mengacungkan senjata, Umbara Komang berlari ke arah lain. Tapi justru tindakannya itu membuat orang-orang kampung jadi curiga. Maka...

"Kepung mereka! Dan tangkap mereka hiduphidup!" perintah kepala kampung. Lalu semua orang yang ada di situ langsung menyerbu Umbara Komang. Begitu juga dengan Rowok Tunggel. Ia tidak mengerti, tahu-tahu saja puluhan orang bersenjata menghadangnya. Mereka memang tidak langsung menyerang, tapi cukup membuat Rowok Tunggel jadi panik. Makanya begitu orang-orang itu mendekat, Rowok Tunggel melancarkan hantaman-hantaman kepada orang yang menghalangi langkahnya.

Ki Sangga Wana sang kepala kampung sampai turun tangan. Dia sengaja tidak mengeluarkan keris. Karena dengan tangan kosong pun ia bisa menahan serangan-serangan Rowok Tunggel yang selalu menjatuhkan orang-orang kampung.

Sebenarnya dalam hal ini Rowok Tunggel membela diri dari kepungan puluhan orang. Tapi Ki Sangga Wana telah mengira orang asing itu bermaksud kurang baik dan bersangkutan dengan kematian Mardun dan korban-korban sebelumnya.

Untuk itulah Ki Sangga Wana mengerahkan seluruh tenaganya menghalangi setiap gerakan-gerakan Rowok Tunggel. Menghadapi orang yang cukup memiliki ilmu, Rowok Tunggel sulit menyingkirkan orangorang yang datang menghadang. Sampai mereka saling berhadapan, lelaki telanjang dada itu seperti kewalahan.

Hantaman-hantaman Ki Sangga Wana hampir mengenai bagian kepala dan dadanya. Rowok Tunggel berusaha menghindarinya walaupun sekeras apa hantaman itu. Laki-laki telanjang dada itu harus melompat ke sana ke mari menghindari babatan-babatan senjata yang membabi buta mengarah ke tubuhnya. Manakala serangan-serangan Ki Sangga Wana begitu gencar mengikuti ke mana Rowok Tunggel bergerak.

Gerakan Ki Sangga Wana sangat cepat, begitu juga dengan Rowok Tunggel yang sudah menyadari adanya seseorang yang mengikuti. Tapi ia tidak perduli. Ia lebih ngeri menghadapi orang-orang yang bersenjata. Saat itulah ia tidak sempat lagi menghindari pukulan Ki Sangga Wana yang menghantam membuatnya jatuh. Sudah tentu semua orang kampung yang melihat lelaki itu jatuh langsung mengepung. Senjatasenjata mereka siap merencah. Tapi sebelum senjatasenjata itu menghujani, Rowok Tunggel salto ke belakang. Nafasnya tersengal-sengal masih menahan sakit akibat hantaman Ki Sangga Wana tadi.

"Tunggu! Aku menyerah! Aku menyerah!" Rowok Tunggel mundur-mundur, tapi ia masih sanggup menepiskan beberapa senjata yang mencecar ke arahnya.

"Kalian ini siapa? Kenapa kalian tiba-tiba saja menyerang?" Rowok Tunggel melompat mundur.

"Jangan banyak bicara! Ringkus saja manusia busuk itu!" Orang-orang kampung semakin gencar menyerang. Ki Sangga Wana melepaskan jurus-jurus maut mematahkan pertahanan Rowok Tunggel.

"Tangkap dia hidup-hidup!" teriak kepala kampung penuh semangat. Sementara itu orang-orang yang mengepung Umbara Komang berpentalan satu demi satu. Bersamaan dengan itu pula teriakan Umbara Komang menggelegar. Nampak jelas sekali gerakan-gerakan kedua lengan Umbara Komang yang menghantam jatuh lawan-lawannya. Orang-orang yang telah jatuh itu tak dapat bangkit lagi, karena mereka semuanya mengalami patah tulang.

Senjata-senjata mereka tidak berarti sama sekali. Umbara Komang dapat dengan mudah menghindar dan membalas serangan.

"Kebetulan! Kebetulan sekali aku dapat menemukan gudang siluman! Hua ha ha ha... Aku paling gatel melihat siluman-siluman tengik macam begini. Heaaaaa!" Umbara Komang memutar sebelah lengannya maka empat orang sekaligus bergulingan sambil menjerit karena tulang kaki mereka terkilir.

"Biar langit runtuh! Biar bumi bergoncang!... Aku tidak takut!" Umbara Komang teriak-teriak. Suaranya berbareng dengan teriakan orang-orang yang jatuh bergulingan. Dan ia cukup puas akan tindakannya. Tawanya terkekeh-kekeh.

"Rasain! Biar kalian pada pedok! Pada pencot! Hih! Hih!" Lelaki senewen itu memandangi orang-orang itu dengan sapuan kakinya yang memutar berkali-kali. Kontan semua lawannya meringis sambil berjingkatjingkat. Sebentar saja para pengeroyoknya itu berkurang banyak, dan mereka jadi ragu-ragu untuk maju lagi.

Siapa pun tidak ada yang sanggup mengatasi amukan Umbara Komang. Laki-laki senewen itu selalu dapat membalas di saat mereka melancarkan serangan. Sampai saat itu pun senjata-senjata mereka yang tajam berkilat tidak mampu menyentuhnya. Gerakan Umbara Komang yang nampak asal asalan itu justru membawa maut bagi orang yang coba-coba mendekat. Semuanya dibuat tunggang langgang.

Di lain pihak, Rowok Tunggel nampak berlarilari menghindari kejaran Ki Sangga Wana dan kepungan orang-orang kampung. "Wuaaa... Rowok Tunggel. Gara-gara kau, aku jadi ikut-ikut sial!" kata Umbara Komang yang melihat lelaki telanjang dada itu berlari ke arahnya.

"Sekarang kau seorang pemimpin. Bagaimana pun kau tidak bisa meninggalkan kami di Pedalaman Lereng Ungaran!" jawab Rowok Tunggel. Tidak hentihentinya ia menoleh ke belakang. Ki Sangga Wana mulai mencabut kerisnya.

"Jangan banyak omong! Awas di belakang mu biang siluman akan menikam." bentak Umbara Komang, ia cepat menarik tubuh Rowok Tunggel. Keris Ki Sangga Wana berkelebat nyaris merobek pinggang.

"Hati-hati, Komang. Orang yang satu ini luar

biasa!"

*

* *

Ah! Peduli amat!" jawab Umbara Komang. Tusukan-tusukan keris dihadapinya. Tubuhnya yang lentur bergerak ke sana ke mari seakan mengejek. Sudah tentu membuat Ki Sangga Wana makin kalap. Orangorang kampung yang bermaksud datang membantu kepala kampung itu dihadapi oleh Rowok Tunggel. Tanpa Ki Sangga Wana, lelaki telanjang dada itu dapat menghalau para pengeroyok. Ia masih belum mengerti kenapa orang-orang kampung bertindak membabi buta macam itu.

Tapi bagi Rowok Tunggel yang berpikiran panjang, ia sengaja betul-betul tidak menyakiti orangorang itu. Setiap hantamannya membuat mereka terguling atau mundur. Kalau Rowok Tunggel mau, ia bisa merebut senjata mereka dan menghabisi mereka satu persatu.

Bagi Umbara Komang lain lagi. Laki-laki senewen itu tidak pandang bulu. Siapapun yang datang melancarkan serangan padanya, ia tidak segan-segan membalas dengan hantaman yang paling dahsyat. Untuk itulah Ki Sangga Wana harus kewalahan menghadapinya. Tapi bagi seorang kepala kampung pantang untuk menyerah atau mundur. Ia semakin gigih melancarkan babatan-babatan serta tusukan keris. Umbara Komang yang sendiri tadi melayani hanya memutar-mutar kedua lengan dengan sesekali berlompat. Dan mendadak sekali tubuh Ki Sangga Wana terhuyung ke belakang. Dadanya terasa sakit dan ia tidak tahu kapan hantaman itu datang. Yang lebih mengejutkan lagi, keris milik Ki Sangga Wana telah berpindah tangan pada Umbara Komang. "Hak hak hak hak...! Kau pikir senjata butut ini mampu melumpuhkan kesaktianku? Jangan mimpi, Biang Siluman! Kalau bukan angin raksasa dan badai pasir tidak ada yang bisa mengalahkan ku! Kau baru jadi biang siluman sudah sok main keroyok. Nih! Kukembalikan senjata taik kucingmu!" Umbara Komang melemparkan keris itu ke hadapan Ki Sangga Wana yang masih heran. Keris itu menancap tepat di atas permukaan tanah. "Ayo ambil! Aku tidak butuh pusaka butut! Hak hak hak hak...!" tawa Umbara Komang menggelakgelak. Perutnya sampai tergoyang-goyang.

Ki Sangga Wana hanya memandangi laki-laki bertingkah aneh itu. Ia seperti tidak percaya ketika melihat Umbara Komang berlalu dengan acuh. Kenapa orang ini tidak menghisap darahnya? Atau melubangi kepala Ki Sangga Wana? "Hai, Siluman senewen! Kau pikir bisa pergi begitu saja? Tinggalkan dulu nyawamu di sini!" bentak Ki Sangga Wana. Ia mengejar dengan langkah yang sangat cepat menyusul Umbara Komang berjalan tenang.

"Mampus!" Ki Sangga Wana menerjang dengan tusukan keris. Tanpa menoleh Umbara Komang sudah mencium adanya serangan gelap dari arah belakang.

Maka ia segera bergeser ke samping. Ki Sangga Wana mengarahkan kerisnya ke tempat kosong. Bersamaan dengan gerakan itu Umbara Komang melancarkan hantamannya... "Bug!" Ki Sangga Wana yang hampir jatuh tambah ngusruk mencium tanah.

Umbara Komang mengekeh. Bibirnya mencibir monyong dengan kedua mata yang terbelalak. Kepala kampung itu meringis berusaha bangkit.

"Aku bukan siluman! Tapi Umbara Komang! Sekali lagi kau menyebutku siluman, lidahmu akan ku tarik ke luar! Jangan plintat plintut begitu! Aku lagi serius!" Lelaki senewen itu tolak pinggang berjalan mengelilingi Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu balas menatap dengan geram. Lalu dengan teriakan lantang ia julurkan ujung kerisnya yang setajam mata pedang. Sinar keemasan membersit ke arah lelaki yang berjalan mengelilinginya. Tapi secepat kilat pula Umbara Komang dapat menangkap pergelangan tangan Ki Sangga Wana. Bahkan melintirnya... "Aaaaarght!" Keris berwarna keperakan terlepas.

Mendadak saja Umbara Komang melepaskan cengkramannya. Bibirnya yang rada monyong menganga lebar. Ki Sangga Want yang nampak meringis sempat tersentak kaget. Cepat-cepat ia meraih kerisnya yang tergeletak di tanah. Mengapa tidak? Dari arah lain puluhan orang bertelanjang dada berlarian memasuki desa itu. Mereka bersenjatakan panah dan golok terhunus sepanjang lengan. "Rowok Tunggel...! Umbara Komang...! Kami datang!" teriak orang-orang itu.

Melihat Rowok Tunggel terkepung macam itu, tentunya orang-orang telanjang dada tidak tinggal diam. Sebagian dari orang-orang yang bersenjata parang maju mengempur. Yang lain menyebarkan anak-anak panah.

"Jangan...! Jangan serang mereka!" teriak Rowok Tunggel. Ia menerobos kepungan orang-orang kampung. Tapi teriakan itu tidak didengar sama sekali. Keadaan makin riuh. Teriakan Rowok Tunggel tenggelam dalam kegaduhan malam itu. Rowok Tunggel cukup mengerti kemarahan orang-orang suku Pedalaman Bangsa Bajor. Tapi dengan cara seperti itu tentunya akan banyak memakan korban. Manakala anak-anak panah melesat deras seperti air hujan meluruk ke arah para penduduk kampung yang mulai sadar akan kedatangan puluhan tamu tak di undang.

Di balik dentingan senjata beradu dan desiran angin, batang-batang anak panah. Sosok tubuh melayang berjumpalitan di udara. Kedua lengannya sigap menangkapi batang-batang anak panah. Sosok itu begitu cekatan dan cukup berani menentang derasnya hujan panah. Rowok Tunggel

yang melihatnya langsung mengikuti cara itu. Tubuhnya segera melesat dan harus melompat-lompat menyambar tiap-tiap batang anak panah. Melihat kemunculan Rowok Tunggel, mereka mengurangi serangan anak panah. Mereka tidak ingin lelaki telanjang dada itu kena sasaran.

*

* * 8

Dua lelaki masih berjumpalitan, kedua lengan mereka sigap menyambar lesatan-letatan anak panah. Saat itu pun mereka saling pandang. Diam-diam Rowok Tunggel menatap kagum terhadap seorang pemuda yang mengenakan baju bulu binatang. Dan begitu keduanya hinggap di tanah. Pasukan telanjang dada menghentikan serangan panahnya.

Orang-orang itu mendekati Rowok Tunggel. Penduduk kampung tidak ada yang berani mendekat. Kecuali Ki Sangga Wana. Rupanya ia masih mengenali pemuda yang baru datang itu. Ia segera melompat meninggalkan Umbara Komang. Lelaki senewen itu tidak mau kalah cepat. Tubuhnya yang lentur berjumpalitan mendahului langkah-langkah Ki Sangga Wana. Dan tahu-tahu saja mendarat di hadapan pemuda yang mengenakan baju bulu binatang.

"Dewa!" Suara Umbara Komang keras menyapa. Orang yang disebut dewa tidak lain Wintara adanya. Pendekar Kelana Sakti itu seakan tidak percaya melihat Umbara Komang kini berdiri di hadapannya.

"Ha ha ha ha... Dunia betul-betul sempit. Dalam keadaan seperti ini pun kita bisa ketemu lagi "

Umbara Komang langsung memeluk Wintara.

"Aku pikir kau sudah terkubur hidup-hidup oleh badai pasir!" tawa Wintara menggelegak. Mereka berpelukan. Ki Sangga Wana maupun orang-orang kampung keheranan.

"Tidak salah! Tidak salah apa yang kau katakan, Dewa! Kalau saja Rowok Tunggel tidak keburu menyelamatkan aku, mungkin sudah jadi setan gentayangan." Suara Umbara Komang lepas.

"Mana mungkin kau bisa jadi setan gentayangan! Kalau jadi setan gila, aku baru yakin... Ha ha ha ha ha...!" "Ha ha ha ha ha...!"

"Anak muda." teguran Rowok Tunggel menghentikan tawa mereka. "Untung kau cepat datang. Orang-orangku dan penduduk desa ini nyaris berperang. Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang telah terjadi di sini. Tiba-tiba saja mereka menghadang dan menyerang kami " tutur Rowok Tunggel.

"Bagaimana kami tidak menyerang. Kalian berdua datang di tengah malam begini, gasak gerusuk selagi kampung ini tengah terjadi sesuatu. Coba saja lihat, semua penduduk masih merasa ketakutan." Ki Sangga Wana membela diri.

"Apalagi yang terjadi di sini, Ki?" tanya Wintara. "Malam ini telah jatuh seorang korban." jawab

kepala kampung itu cepat.

"Korban yang sama seperti Kang Birun?" Wintara meyakinkan. Ki Sangga Wana mengangguk. Bersamaan dengan itu pula mayat Mardun diusung ke tempat terang. Penduduk kampung ikut mengiringi. Rowok Tunggel mengeryitkan alis memandang iring-iringan itu. Umbara Komang dan Wintara ikut melihat. Bagi Wintara sudah tidak heran lagi melihat korban kehabisan darah dengan kepala bolong sebesar telapak tangan. Tapi,

"Astaga...! Tunggu dulu!" Rowok Tunggel menahan iring-iringan itu. Maka orang-orang yang mengusung mayat Mardun berhenti penuh ketakutan. Apalagi saat Rowok Tunggel mendekat. Kedua matanya tidak berkedip. Malah membelalak.

"Sudah berapa orang yang tewas seperti ini?" tanya Rowok Tunggel dengan suara gemetar. Ia tidak berani menyentuh mayat itu.

"Untuk malam ini genap delapan orang! Siluman penghisap darah itu memang selalu mengambil korban di sini. Itu yang membuat kami kalut." Ki Sangga Wana yang menjawab.

"Ini bukan perbuatan siluman atau sebangsa setan lainnya." Rowok Tunggel yakin sekali. Wintara dan Ki Sangga Wana menatap tajam. Mereka menunggu ucapan Rowok Tunggel.

"Kalau kalian percaya, ini perbuatan seseorang yang tengah menggenapi ilmunya. Dengan darah dan isi kepala baru bisa sempurna. Delapan nyawa belum cukup menyempurnakan 'Ilmu Gelugut Manik'...." tutur Rowok Tunggel.

"Harus berapa nyawa lagi yang perlu di ambil dari desa ini!" Ki Sangga Wana geram setelah mendengar penjelasan laki-laki berewok telanjang dada.

"Orang itu masih membutuhkan empat nyawa

lagi."

Mendengar ucapan Rowok Tunggel, orang-

orang kampung merinding dan semakin ciut. Bagaimana pun ucapan itu menghantui setiap orang. Sampai saat ini siluman tersebut belum juga ditemui, datang dan perginya selalu meninggalkan korban. Siapa yang bisa mengatasinya.

Sementara itu Ni Klesung dan Dwi Langsih mendengar kegaduhan itu dari dalam gubuknya. Mereka memang belum bisa memejamkan mata sejak kegaduhan itu

"Nek, Paman Wintara datang lagi ke sini. Pastilah siluman itu akan tertangkap." Dwi Langsih yang sudah mengenali suara Wintara yakin akan kedatangan Pendekar Kelana Sakti. Wajahnya berseri.

"Hus! Anak kecil tahu apa! Tidur sana!" bentak Ni Klesung Rangit. Gadis kecil itu mengkerut langsung beranjak ke sudut ruangan.

"Sampai kapan pun mereka tidak akan sanggup menangkap siluman itu!" Di luar keadaan semakin ramai. Apalagi ditambah dengan puluhan orang-orang bersenjata panah. Membuat tempat itu penuh sesak. Penduduk kampung yang terluka di seret ke pinggir. Untunglah tidak sampai korban nyawa.

"Terus terang 'Ilmu Gelugut Manik' salah satu ilmu kesempurnaan tingkat tinggi yang dimiliki Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Tapi sampai saat ini belum ada orang yang sanggup menguasainya." kata Rowok Tunggel.

"Nampaknya kau tahu persis siapa pelaku pembunuhan ini, Sobat. Apa yang membuat kau begitu yakin?" Ki Sangga Wana penasaran.

"Karena aku dan orang-orang itu para penghuni Lereng Ungaran. Boleh dibilang penduduk asli Suku Pedalaman Bangsa Bajor." Rowok Tunggel menjawab mantap.

"Kalau begitu...." Ki Sangga Wana menerjang lagi. Kerisnya siap menikam. Tapi cepat Wintara menahan.

"Sabar, Ki... Kita tidak boleh asal tuduh. Semua yang diucapkannya hanyalah penjelasan." Wintara berdiri di tengah-tengah. Umbara Komang nyengir. Lalu...

"Rowok Tunggel bukan siluman! Tapi dia seorang dukun yang hebat. Ilmu yang dikuasainya hanya bisa menyembuhkan orang-orang sekarat."

"Benar! Dan sekarang yang memimpin kami adalah Umbara Komang. Untuk itulah aku mengejarnya, karena dia lari dari sumpah Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Orang yang telah disumpah menjadi pemimpin tak boleh mengelak."

"Kau dengar, Ki... Aku rasa sekarang sudah jelas persoalannya." Wintara menepuki punggung Ki Sangga Wana. Amarahnya belum juga reda. "Orang-orang kampung yang terluka biarlah kami yang akan mengobati. Kalau hanya patah tulang atau terkilir, kami bisa mengatasi."

"Kumpulkan saja mereka yang terluka. Mudahmudahan saja sobat kita ini bisa menyembuhkannya." tutur Wintara. Ki Sangga Wana menatap penduduk kampung yang penuh ketakutan itu. Lalu setelah ia memberi aba-aba. Beberapa orang yang nampak segar bugar membantu mengumpulkan teman-temannya yang terluka. Banyak juga yang terluka dan mengerang-ngerang menahan sakit.

Rowok Tunggel sendiri memilih orang-orangnya dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Enam orang yang betul-betul dianggapnya bisa mengobati luka patah atau sejenisnya. Keenam orang itu menunjukkan sikap yang bersahabat. Penduduk kampung tidak takut lagi. Mereka menuruti apapun perintah keenam orang pilihan Rowok Tunggel.

"Yang lain boleh kembali ke gubuk, tidak akan terjadi apa-apa lagi di sini " perintah Rowok Tunggel.

"Karena pembunuh itu hanya memerlukan satu nyawa setiap malamnya."

"Turuti saja perintahnya. Rowok Tunggel selalu berkata benar." sumbar Umbara Komang. Kata-kata itu ditujukan pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu hanya diam. Keputusannya ada pada tiap-tiap penduduk desa. Nyatanya mereka tidak ada yang mau menuruti, mungkin dikarenakan masih ketakutan. Rowok Tunggel tak bisa berbuat banyak. Wintara mendekati kepala kampung...

"Untuk sementara biarkan saja orang-orang pedalaman tinggal di sini. Aku rasa ada baiknya. Desa ini butuh pertolongan orang banyak."

"Mereka akan tinggal di mana? Jumlah mereka begitu banyak. Mana mungkin bisa menampung orang sebanyak ini." jawab Ki Sangga Wana.

"Kami sudah terbiasa hidup di alam terbuka. Kalau tidak keberatan, biarkan saja kami berkeliaran di sini " Rowok Tunggel menimpali. Entah karena apa

tiba-tiba saja ia ingin menetap di desa itu. Mungkin karena salah seorang yang menyempurnakan 'Ilmu Gelugut Manik' selalu mengambil korban di situ. Yang ia ketahui "Ilmu Gelugut Manik' hanyalah ilmu yang berasal dari Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Sejenis ilmu sesat. Dia sendiri tidak mau menguasai ilmu itu. Dulu memang banyak para tetua suku Bajor yang menguasai ilmu itu. Tapi menurut sepengetahuannya 'Ilmu Gelugut Manik' sudah punah beberapa puluh tahun yang lalu, karena seluruh tetua itu sadar akan ilmu yang tidak dibenarkan. Maka mereka pun bunuh diri. Yang pada sekarang tinggal generasi Rowok Tunggel.

"Untuk mereka boleh tinggal berkeliaran di luar. Tapi aku tidak." Tiba-tiba saja Umbara Komang menyela.

"Kenapa. Bukankah sekarang kau ketua Suku

Pedalaman Bangsa Bajor? Kau harus memimpin mereka." jawab Wintara.

"Aduh, Dewa... Aku paling tidak tahan kantuk dan lapar. Bagaimana aku bisa bertahan hidup di luar sepanjang hari." Umbara Komang hampir menangis.

"Pendekar macam apa kau ini. Terhadap badai angin dan pasir kau tahan. Masa hanya begadang beberapa malam saja kau tidak sanggup. Jangan khawatir Umbara Komang, aku akan menemanimu Juga

bapak kepala kampung akan bersama-sama kita menghadapi siluman itu." Wintara memberi semangat.

"Benar, Umbara Komang... Kau sebagai ketua kami semestinya bertindak, jangan sampai 'Ilmu Gelugut Manik' tercipta. Kalau sampai orang itu menguasai ilmu itu, maka kita semua tidak akan lagi dapat mengatasinya." ujar Rowok Tunggel.

"Terserah kalian saja! Pokoknya aku tidak mau sampai kelaparan." jawab Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia merangkulnya berjalan menghadap Ki Sangga Wana.

"Namanya Umbara Komang. Maafkan saja kalau bicaranya rada ngaco. Kadang-kadang otaknya rada miring." Wintara memperkenalkan sahabat lamanya itu pada Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu tidak ragu-ragu lagi.

"Lalu kau sendiri siapa, Anak muda. Ilmu yang kau miliki sangat luar biasa!" tanya Rowok Tunggel. Saat itu suasana desa sudah tenang kembali. Yang terdengar hanya kasak kusuk beberapa penduduk kampung dan erangan orang-orang yang terluka.

"Aku hanya seorang pengelana. Namaku Wintara. Anda Rowok Tunggel, bukan? Ilmu peringan tubuhmu pun sangat hebat."

“Sekarang kalian menjadi tamu-tamu kami ini. Adalah wajar kalau kami bermaksud menjamu kalian." kata Ki Sangga Wana.

"Itu bisa menyusul. Yang penting kita urus dulu mayat itu." sela Wintara.

Penduduk kampung memang sudah mengurusi jenasah Mardun. Meskipun tidak dibungkus dengan kafan, kain sarung pun bisa digunakan. Mayat itu di letakkan di tempat yang lebih terang. Terdengar pula beberapa orang membacakan doa. Para penduduk Suku Pedalaman Bangsa Bajor hanya terdiam memandangi adat itu.

"Biar saja orang-orang itu yang mengurus, toh kita menguburkannya besok. Lagi pula tanah pemakaman jauh dari sini. Bukankah katamu tadi siluman itu tidak bakal datang lagi? Sebaiknya kalian datang ke rumah ku. Mungkin ada satu rencana yang akan dibicarakan." Ki Sangga Wana mengundang. Ketiga orang itu tidak bisa menolak, mereka pun mengikuti langkah-langkah kepala kampung.

Rumah gedung itu terletak tidak jauh dari situ. Meskipun dengan beberapa lampu gembreng, bangunan berwarna serba putih itu nampak terang. Setelah Ki Sangga Wana mengetuk pintu berkali-kali, maka perempuan setengah tua keluar membukakan. Perempuan itu tidak lain istri Ki Sangga Wana. Ia terheranheran melihat suaminya pulang dengan tiga orang berpakaian sangat lusuh. Terlebih-lebih saat melihat Rowok Tunggel yang wajahnya hampir tertutup oleh berewok. Terhadap lelaki yang tidak mengenakan baju, istri Ki Sangga Wana merinding.

Ruangan tamu cukup besar, isinya pun dilengkapi dengan perabotan yang bagus-bagus. Mungkin hanya Ki Sangga Wana orang terkaya di desa itu. Makanya ia terpilih menjadi kepala kampung.

Lapat-lapat tercium bau kemenyan. Umbara Komang yang sedari tadi mencium bau itu mengendusendus hidung. Wintara sedari tadi pun sudah merasa. Hanya Rowok Tunggel yang nampak tenang-tenang saja.

Rupanya bau kemenyan itu berasal dari salah satu yang diterangi dengan sebuah lampu pelita. Asapnya masih mengepul keluar. Bara api di pendupaan masih marong. Ki Sangga Wana memasuki ruangan itu. Ketiga orang yang dibawanya mengikuti masuk ke dalam ruangan. Maka mereka melihat setumpukan sesajen yang mengampar di sekitar pendupaan. Mendadak saja Ki Sangga Wana menendangi sesajen berupa macam-macam makanan. Pendupaan itu sampai pecah belah berantakan. Wintara tetap tidak mengerti. Tapi ia cepat menahan amukan Ki Sangga Wana.

"Penangkal-penangkal ini tidak ada gunanya sama sekali. Aku bodoh mengotori tempat ini dengan segala macam barang penangkal!" gerutu Ki Sangga Wana.

*

* *

9

Selesai mengubur jenasah Mardun, penduduk kampung kembali ke desa. Orang-orang yang terluka semalam juga ikut. Rasa sakit pada luka-luka mereka hilang seketika. Malah mereka mulai mengikat tali persahabatan dengan para anggota Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Akrab sekali kelihatannya. Satu sama lain saling menceritakan pengalaman. Ternyata orangorang Suku Pedalaman Bangsa Bajor amatlah menyenangkan.

Selain ramah, mereka juga ringan tangan. Kebanyakan dari mereka giat membantu meringankan beban para penduduk desa. Ki Sangga Wana tidak menyangka sebelumnya. Ada juga yang coba-coba menggoda para gadis desa. Lucu juga! Tapi wajar kalau hal itu terjadi di kalangan anak muda.

Ki Sangga Wana dan keluarganya tidak perlu repot menyambut Wintara dan kawan-kawannya. Anak perawannya yang dua orang sibuk membuat hidangan. Dan ketika mereka keluar membawakan hidangan, Umbara Komang menyambar lebih dahulu.

Rumah-rumah penduduk nampak ramai. Semuanya berada di luar duduk-duduk di atas balai di depan gubuk mereka. Hanya ada satu gubuk yang nampak sepi dan pintunya masih terkunci. Pandangan Rowok Tunggel mengarah ke situ. Dan sejak tadi ia diam saja.

"Saudara Rowok Tunggel ada apa?" tegur Ki Sangga Wana yang mulai merasa kevakuman Rowok Tunggel.

"Apakah gubuk itu tidak ada penghuninya, Ki. Sejak tadi kuperhatikan tidak ada orang yang keluar masuk dari situ." jawab Rowok Tunggel tanpa menoleh. "Oh... Ada! Seorang nenek buta dan cucunya.

Sebenarnya mereka orang baik-baik. Mungkin karena usianya yang sudah tua dan pikun, hal itu membuat penduduk kampung menjadi kurang suka." Ki Sangga Wana menjelaskan.

"Semua orang tua renta pasti pikun. Kau pun akan seperti itu kelak." sahut istrinya yang duduk di sebelah Ki Sangga Wana.

"Menurutku Ni Klesung Rangit tidak pikun. Tapi ia terlalu berhati-hati. Hanya kita selalu salah tafsir." Wintara menimpali. Tapi mendengar ucapan Wintara, Rowok Tunggel bagai disambar petir.

"Siapa katamu, Ni Klesung Rangit...?" Rowok Tunggel mengulangi ucapan Wintara. "Ya! Ni Klesung Rangit!" Mendadak saja Rowok Tunggel bangkit. Matanya membinar seolah-olah telah menemukan sesuatu yang sangat berharga. Umbara Komang sampai kaget.

"Kalau betul ia Ni Klesung Rangit, pastilah bersama seorang anak kecil." Rowok Tunggel masih merasa kurang yakin.

"Dia memang bersama seorang cucu perempuan bernama Dwi Langsih." Istri Ki Sangga Wana ikut menjelaskan. Maka entah karena apa ia keluar dari teras rumah besar itu. Wintara tidak sempat menahan. Kecepatan lari Rowok Tunggel bagaikan angin menuju ke arah gubuk kecil kediaman Ni Klesung Rangit.

"Ibuuuu...! Langsih...!" Rowok Tunggel langsung membuka pintu gubuk itu sampai berderak. Deritnya terdengar nyaring. Tindakan itu menjadi perhatian seluruh orang-orang yang berada di desa itu. Wintara dan Umbara Komang menghampiri Rowok Tunggel

yang berdiri diam terpaku. Orang-orang kampung maupun para Suku Pedalaman Bangsa Bajor berdatangan ke tempat itu.

"Ibu... Anakku... Di mana kalian...?" suara Rowok Tunggel parau.

Kedua matanya berputar mengawasi tiap-tiap sudut ruangan. Tidak ada siapa-siapa di dalam gubuk itu. Kecuali perabotan yang berserakan di tanah.

"Be-benarkah mereka tinggal di sini...?" tanya Rowok Tunggel setelah Ki Sangga Wana datang ke tempat itu. Ki Sangga Wana tidak langsung menjawab sebab ia menatap langsung ke atas melihat atap jerami yang jebol. Tapi tak lama...

"Semalam ia masih tinggal di sini, bahkan kami sempat bentrok. Mustahil kalau kepergiannya tidak diketahui oleh siapa pun."

"Atapnya jebol! Mungkin seseorang telah membawanya pergi." kata Wintara setelah memperhatikan tempat itu. Rowok Tunggel melihat ke atas. Atap itu memang ternganga lebar.

"Benarkah Ni Klesung Rangit dan Dwi Langsih keluargamu dari Suku Pedalaman bangsa Bajor? Kalau benar bagaimana mungkin bisa berada di sini?" Wintara jadi penasaran. Rowok Tunggel berbalik menghadap Wintara.

"Dunia kita sempit, Wintara. Tidak mungkin ada orang lain yang memiliki ibu dan anak bernama Ni Klesung Rangit dan Dwi Langsih. Tidak mungkin ada kesamaan. Aku yakin mereka bagian dari hidupku."

"Kenapa kalian sampai terpisah?"

"Pertanyaan itu memang menyakitkan. Dan aku tidak bisa melupakannya. Peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu. Di mana kami selalu berkumpul hidup di pedalaman. Ni Klesung Rangit adalah orang tertua Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ia memimpin suku kami sebagaimana layaknya para tetua terdahulu. Ilmu pengobatan yang dimilikinya sangat luar biasa. Sampai-sampai aku pun diwarisinya. Tapi setelah aku betul-betul menguasai ilmu pengobatan, Ni Klesung Rangit pergi mengunjungi makam para tetua Bangsa Bajor. Ia membawa anakku Dwi Langsih yang baru berumur tiga tahun. Mulai hari itu mereka tidak kembali. Kami semua mengira mereka telah menjadi mangsa binatang buas. Namun kami tidak menemukan tandatanda apapun sewaktu mencari mereka. Istriku sampai meninggal karena memikirkan Langsih." Rowok Tunggel selesai menceritakan perihal Ni Klesung Rangit. Semua orang terdiam. Ada banyak pertanyaan di benak Wintara dan Ki Sangga Wana. Tapi mereka tidak mengutarakannya pada Rowok Tunggel dalam keadaan demikian.

*

* *

Matahari tepat mencorot di atas kepala. Jauh dari keramaian desa, tepatnya di perbukitan yang mengelilingi desa. Dua sosok tubuh nampak duduk di bawah rindangnya pepohonan. Sejak tadi Dwi Langsih sudah mengucurkan keringat. Ni Klesung Rangit pun nampak demikian. Kulitnya yang kurus keriput sampai legam mengkilat terkena sinar matahari. Bibir mereka mengering.

"Nek,... Kenapa kita harus meninggalkan desa, bukankah di sana ada Paman Wintara? Lagipula perut Langsih sudah keroncongan." "Bocah cerewet! Tidak bisakah kau diam saja! Nanti aku carikan makanan!" bentak Ni Klesung Rangit. Seperti biasa bila nenek membentak, Dwi Langsih langsung mengkerut takut.

"Siapa yang meninggalkan desa? Nanti pun kita akan kembali lagi ke sana. Orang-orang keparat itu yang membuat kita harus menyingkir sementara. Wintara itu sama keparatnya dengan mereka." gerutu Ni Klesung Rangit.

Dwi Langsih cemberut. Paman Wintara orang baik. Mengapa nenek bilang Paman Wintara keparat? Dalam hati Langsih mendongkol.

Keduanya menatap desa itu dari kejauhan. Sayup-sayup terdengar keramaian di sana. Nampak pula orang-orang yang berjalan simpang siur di sekitar desa. Gelak anak-anak desa menghalau kerbau, juga gurau para gadis yang menertawakan para pemuda Suku Pedalaman Bangsa Bajor.

Sumpah serapah Ni Klesung Rangit tidak hentihentinya mengutuk. Matanya yang buta seakan menatap tajam ke arah keramaian itu. Dwi Langsih sesekali melirik. Melihat Ni Klesung Rangit diam bagai patung, ia makin ngeri. Ia tidak lagi berani tanya ini itu. Sebab takut kena bentak bagaikan sengatan lebah.

Mereka masih tetap di situ sampai matahari mulai terbenam. Dwi Langsih nampak begitu kelelahan seharian penuh hanya berdiam di situ. Rambut kusut Ni Klesung Rangit berderai-derai tertiup angin. Saat itu pun ia menyeringai mengeluarkan geram yang amat menakutkan. Berbareng dengan geraman itu, Ni Klesung Rangit bangkit. Dia langsung menyeret tubuh Dwi Langsih menyandarkannya pada batang pohon di mana mereka berteduh. Jari-jari tangannya yang keriput menjambak rambut gadis kecil itu.

"Diam di sini! Aku akan menemui orang-orang keparat itu. Mengerti! Setelah aku kembali pasti membawa makanan untuk mu." Suara Ni Klesung Rangit menakutkan. Dia menarik angkin yang melilit di pinggangnya.

Dengan angkin itu Ni Klesung Rangit mengikat tubuh Dwi Langsih pada batang pohon. Dwi Langsih berontak. Tapi tenaga nenek buta itu kuat bagai lengan-lengan raksasa yang mencengkram.

"Aku tidak mau diikat begini, Nek... Aku tidak mau!" Gadis kecil itu terus meronta-ronta, tapi... "Plaaak!" Ni Klesung Rangit menampar.

"Kalau tidak diikat begini, kau pasti bakal kabur! Dengar, Langsih! Kau harus patuh padaku. Dan jangan coba-coba berteriak selama aku belum kembali!"

"Aku patuh... Aku akan patuh, Nek. Tapi jangan diikat begini "

"Diam!"

*

* *

Meskipun hari telah gelap desa itu masih tetap nampak ramai. Selain lampu-lampu obor yang menerangi tiap-tiap gubuk mereka membuat juga beberapa api unggun di tengah-tengah pelataran desa. Beberapa ternak terpaksa dikorbankan untuk makan malam orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Ki Sangga Wana yang mengeluarkan biaya semua itu. Dan ia mempunyai banyak ternak.

Tidak jauh dari keramaian itu, tepatnya di depan bekas gubuk Ni Klesung Rangit, Rowok Tunggel bersama Ki Sangga Wana sibuk membuat cairan hitam yang berasal dari kerak dapur. Wintara pun berada di situ. Ia hanya memperhatikan cara kerja Rowok Tunggel. Umbara Komang sibuk menghadapi hidangan yang disuguhkan oleh kedua anak perawan Ki Sangga Wana. Kedua gadis itu selalu tertawa cekikikan karena tingkah laki-laki senewen itu memang cukup menggelitik perut.

Istri Ki Sangga Wana beserta perempuanperempuan lain ikut membantu menumbuki kerakkerak dapur sampai halus. Bubuk-bubuk hitam diserahkan pada Rowok Tunggel yang langsung mencampurnya dengan darah binatang. Cairan hitam semakin kental menggumpal dalam satu tempat yang besar.

"Cukup! Cukup banyak! Bawalah cairan itu pada orang-orang kampung. Suruh mereka mencoreng muka dengan ini. Jangan sampai di antara mereka ada yang tidak mencoreng muka. Bayi pun harus menggunakannya." pesan Rowok Tunggel sambil menyerahkan cairan berwarna hitam ke tangan Ki Sangga Wana.

Melihat Ki Sangga Wana menerima sesuatu dari Rowok Tunggel, Umbara Komang langsung berjingkat. Kedua tangannya langsung masuk ke dalam cairan kental itu.

"Ini bukan makanan, Umbara Komang. Sudah terlanjur. Corengkan saja di muka mu." kata Ki Sangga Wana. Wintara hanya tersenyum. Ia menggeleng-geleng kepala.

"Apa ini? Baunya busuk sekali." Umbara Komang melihat kedua telapak tangannya hitam. Ki Sangga Wana tidak perduli ia terus melangkah membawa cairan kental berwarna hitam ke arah para penduduk yang telah berkumpul.

"Itu kerak dapur yang dicampur dengan darah binatang." jawab Wintara.

"Hiiiy...!" Umbara Komang mendelik. Ia langsung menyeka cairan yang melekat di kedua tangan pada bajunya. Sementara itu Ki Sangga Wana berjalan berkeliling memerintahkan penduduk kampung agar mencoreng muka mereka dengan cairan hitam itu. Semua orang-orang itu menurut. Berbagai macam mereka mencoreng muka. Dari anak-anak, bayi, laki, perempuan, nenek-nenek sampai aki-aki. Meskipun cara itu agak aneh tapi mereka tidak ada satupun yang menolak.

Begitu juga dengan orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor, mereka ikut mencoreng muka dengan cairan itu.

"Lucu! Mereka takut terhadap siluman, malah mereka sendiri menyamar seperti siluman." Umbara Komang nyengir menertawakan orang-orang kampung. Tapi tiba-tiba saja ia melompat kaget, ketika dua orang anak Ki Sangga Wana mendekatinya. mereka sengaja menakut-nakuti saat muka mereka telah di corengi cairan hitam. Umbara Komang sampai jatuh terduduk. Maka meledaklah tawa orang-orang yang berada di gubuk itu.

"Kalian nampak seperti para penghuni neraka." Lelaki senewen menggerutu. Wajah kedua gadis itu pun merah padam.

Langit makin gelap manakala angin bertiup kencang. Api unggun menari-nari menimbulkan suara letupan. Suasana mencekam sunyi. Saat ketegangan mulai merambat pada tiap-tiap jantung manusia. Para penduduk kampung sengaja berdiam di luar, mereka berkumpul di pelataran itu. Semua orang sudah membayangkan bakal ada satu peristiwa lagi pada malam itu. Yakin akan kedatangan siluman yang mengambil korban di desanya, untuk itu mereka tidak memejamkan mata.

Anak-anak kecil memeluki ibunya dengan penuh ketakutan. Beberapa bayi tengah menyusui sambil sesenggukan seakan-akan bahaya yang akan menjemput. Tangis mereka kadang terdengar di kesunyian. "Usahakan bayi-bayi itu agar tenang, Ki... Sua-

ra tangis mereka akan mempengaruhi. Dan juga untuk orang-orang kampung jangan banyak bicara." bisik Rowok Tunggel di sebelah Ki Sangga Wana. Kepala kampung itu langsung bangkit dan mendekati para perempuan yang tengah menyusui bayinya. Ia mengatakan apa yang diperintahkan Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Komang diam bersandar pada bilik gubuk. Matanya terus mengawasi tiap-tiap pelosok.

*

* *

10

Puluhan pasang mata mendadak kaget saat melihat sosok tubuh kurus terbungkuk memasuki mulut desa. Sosok buta itu cukup dikenal di mata penduduk kampung. Dan hampir semua orang menyebutkan namanya ketika sosok itu mulai nampak jelas. 'Ni Klesung Rangit'... Suara mereka tidak keluar seakan tersangkut dalam tenggorokan. Sedangkan nenek buta itu terus melangkah memasuki desa.

Rowok Tunggel tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Bibirnya bergetar menatap kehadiran Ni Klesung Rangit di tengah malam begini. Perasaan yang dialami Rowok Tunggel sama halnya dengan orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Mereka masih kenal betul dengan sosok Ni Klesung Rangit, meskipun sekarang nampak lebih renta dan buta. Mereka pun menjadi tegang saat Rowok Tunggel melangkah mendekati sosok nenek buta. "Bu... Aku tahu ibu menetap di sini, kenapa kau harus pergi meninggalkan aku lagi? Mana Dwi Langsih...?" Ternyata Ni Klesung Rangit benar adanya orang tua Rowok Tunggel. Nenek buta menyeringai.

"Rowok Tunggel! Kau memang anakku. tapi jangan harap aku merasa bahagia dengan pertemuan ini. Pergilah jauh-jauh dari sini..." jawab Ni Klesung Rangit.

"Apa yang akan ibu lakukan, justru aku mencari ibu dan anakku agar kita bisa berkumpul lagi seperti dulu."

"Aku sudah menganggap diriku sudah mati, Rowok Tunggel. Kau sudah tidak punya ibu lagi." Ni Klesung Rangit terus melangkah.

"Kenapa ibu bilang begitu? Mana Dwi Langsih?" Pertemuan yang amat mengecewakan ini men-

jadi perhatian banyak orang. Rowok Tunggel tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu. Wintara dan Ki Sangga Wana menatap iba. Mereka tidak bisa mencampuri urusan keluarga kecil itu.

"Dwi Langsih akan tetap menemaniku! Kau tidak akan mendapatkannya, Rowok

Tunggel! Karena...." Bersamaan dengan itu, Ni Klesung Rangit memutar sebelah tangannya... "Bug!" Cukup telak menghantam tubuh Rowok Tunggel. Lelaki telanjang dadu itu terhuyung ke belakang. "Kau pun akan ku kirim ke akherat bersama mereka!" Nenek buta itu meneruskan ucapannya. Nenek buta maju lagi menyerang, tentu saja Rowok Tunggel tidak berani membalas. Melihat itu, orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor tidak tinggal diam. Mereka maju serempak menghalangi serangan-serangan Ni Klesung Rangit yang di arahkan pada Rowok Tunggel yang setengah mati menghindarinya.

Tapi malah berakibat fatal. Ni Klesung Rangit mengamuk. Gerakannya yang berkelebat bagai angin menjatuhkan orang-orang itu satu persatu. Sekali hantam ada yang batok kepalanya pecah atau perut mereka terbeset cakaran yang runcing bagai mata pisau. Usaha mereka hanya mengantarkan nyawa dengan percuma.

"Ni Klesung Rangit, kami ini orang-orangmu... Jangan bertindak seperti ini!" teriak dari salah seorang. Ni Klesung Rangit menjawab sengit...

"Aku akan memberi muka terhadap kalian kalau kalian segera pergi meninggalkan desa ini. Aku tidak ingin niatku setengah-setengah, sudah kepalang tanggung! Aku hampir menguasai 'Ilmu Gelugut Manik'!" Selesai berucap begitu Ni Klesung melancarkan tendangan sekuatnya... "Breeees!" Kaki yang kurus bagai tiang galah menembus sampai ke tulang belakang. Darah menyembur. Penduduk kampung yang melihatnya memekik penuh ngeri.

Tentu saja Wintara dan Ki Sangga Wana tidak bisa membiarkan korban semakin berjatuhan. Keduanya melesat berjumpalitan di udara menyelamatkan orang-orang yang nyaris tewas di tangan Ni Klesung Rangit. Saat itu pun Umbara Komang menyusul menunjukkan kebolehannya. Sekali menghentakkan kedua kakinya ia sudah menghadapi nenek buta yang tengah mengamuk.

Wintara sendiri tidak tahu kapan datangnya Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah melancarkan serangan. Ni Klesung Rangit yang buta itu bagai memiliki seribu pasang mata. Setiap serangan Umbara Komang, dapat dihindarinya.

"Semuanya mundur...! Mundur...!" teriak Ki Sangga Wana. Mendengar komando itu, kontan orangorang kampung maupun para penduduk Suku Bangsa Bajor berlari menyelamatkan diri. Rowok Tunggel sudah bangkit. Bagaimana pun ia tidak tega me lihat ibunya yang renta itu dikeroyok oleh Wintara dan kawan-kawan.

Umbara Komang sudah tidak dapat menahan amarahnya lagi. Maka ia bertindak cepat melancarkan serangan, tapi sebelum hantaman itu mengena, Rowok Tunggel menggagalkannya. Wintara cukup mengerti. Makanya ia pun segera menghalangi Umbara Komang saat ia berniat membalas serangan Rowok Tunggel.

Dalam keadaan seperti itu Ni Klesung Rangit tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia melancarkan serangan pada Ki Sangga Wana yang berdiri sendiri dengan keris perak terhunus. Kepala kampung gelagapan, tahu-tahu saja sebuah hantaman melanda bagian kepala. Lelaki itu sampai jatuh kelojotan. Pandangannya berkunang-kunang seperti mau pecah. Wintara cepat memutar tubuhnya, ia cepat menangkis hantaman Ni Klesung Rangit yang hampir memecahkan batok kepala Ki Sangga Wana.

"Jangan kira aku tidak tahu siapa diri mu, Pendekar Kelana Sakti. Aku tidak gentar dengan nama besarmu! Heaaat!" bentak Ni Klesung Rangit. Tubuh bungkuk kurus itu melompat menerjang. Wintara yang sudah bersiap-siap menyambut dengan pukulan kedua telapak tangan... "Blaaaar!" Keduanya terlempar pada arah yang berlawanan. Ni Klesung Rangit bergulingan, Wintara pun bergulingan tapi ia cepat salto ke depan bersiap menyerang lagi.

Umbara Komang yang selalu ganas ikut menerjang. Ni Klesung Rangit memang belum sempat bangkit. Namun Rowok Tunggel cepat datang menghalangi langkah-langkah mereka. Lengannya berputar-putar menepis hantaman Wintara dan Umbara Komang.

"Tahan, Sobat!" teriak Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Komang menghentikan serangan. Tapi apa yang mereka lihat, Ni Klesung Rangit menghantam Rowok Tunggel dari arah belakang... "Blaaaar!" Rowok Tunggel ambruk ke tanah dengan menyemburkan darah dari mulutnya. Ia cepat berbalik menatap nanar ke arah nenek buta.

Saat itu pun Ni Klesung Rangit melancarkan serangan lagi dengan tidak tanggung-tanggung. Wintara maupun Umbara Komang tidak sempat menarik tubuh Rowok Tunggel yang menerima hantaman keras di dadanya. Ketiganya sampai terpelanting bergulingan.

"Sudah kubilang Rowok Tunggel! Kau pun akan mampus bareng dengan pendekar-pendekar busuk itu." kata Ni Klesung Rangit dengan suara parau menyeramkan.

Bersamaan itu lengan kurusnya menepis keris perak yang dilemparkan Ki Sangga Wana.

"Keparat! Yang kuperlukan memang menghisap habis darahmu, Ki Sangga Wana!"

Lesatan tubuh kurus bungkuk itu sungguh cepat. Kedua lengannya siap menghantam. Untunglah Ki Sangga Wana cepat menjatuhkan diri dan berguling ke samping... "Deeeerrr!" Dua hantaman itu hanya mengenai tanah. Namun akibatnya sangat dahsyat sekali, kedua telapak tangan itu sampai melesak ke tanah.

Rowok Tunggel tak dapat bangkit lagi. Beberapa tulang rusuknya patah. Umbara Komang membawanya agak jauh dari situ. sementara Wintara datang menghadapi Ni Klesung Rangit. Ia berusaha melindungi Ki Sangga Wana yang terancam bahaya. Tendangan serta pukulannya sengaja ia arahkan mengenai lenganlengan kurus Ni Klesung Rangit.

Sudah tentu nenek buta itu merasa di permainkan. Maka setelah ia menghadapi beberapa hantaman keras dari Wintara, ia segera menghimpun tenaga baru. Dengan suara teriakan yang menggelegar kedua telapak tangannya maju mendorong ke depan.

Di luar dugaan, Wintara hanya diam menghadapi hantaman itu dengan dadanya. "Blaaar!" Terdengar pekikan nyaring, tapi bukan pekikan berasal dari mulut Wintara. Ni Klesung Rangit mundur terhuyung. Dirasakan tulang-tulang lengannya menghantam batu karang.

Wintara sendiri hanya berdiri tegak dengan dada yang mengepul. Tubuh itu tetap diam tak bergeming. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah kental. Benturan hantaman itu begitu dahsyat, mengundang Umbara Komang maju menyerang. Terjangan Umbara Komang kali ini lebih hebat. Ketika tubuhnya melesat, kedua lengannya berputar menimbulkan suara yang bergemuruh bagai kitiran angin. Ni Klesung Rangit yang baru saja berdiri tegak, tersentak kaget mendapat beberapa hantaman yang bersarang di punggung serta perut. Tak urung lagi tubuh renta itu jatuh kelojotan di tanah sambil menyembur darah.

"Komang...! Jangan bunuh dia! Dia ibuku...!" Rowok Tunggel teriak-teriak. Umbara Komang memang menghentikan serangannya, ia hanya berdiri menatap Ni Klesung Rangit yang berusaha bangkit. Wintara sudah merasa pulih dari rasa sakitnya. Keduanya merasa serba salah. Para penduduk desa pun sudah tidak sabaran ingin melihat bagaimana para pendekar sakti itu menamatkan sosok renta yang ternyata selama ini bikin rusuh desanya. Darah membanjir di mulut Ni Klesung Rangit. Seluruh tubuhnya nampak bergetar ketika ia bangkit berdiri. Kesepuluh jarinya meregang kaku. Wajahnya begitu menyeramkan saat ia menyeringai bagai setan. Mendadak saja kedua kelopak matanya membelalak lebar. Kedua bola matanya merah seperti darah. Bersamaan dengan itupun kulit keriputnya bergelora bagai air mendidih. Berubah menjadi hitam sehitam arang. mengeluarkan suara lebih parau mirip suara binatang.

"Ki Sangga Wana...! Perintahkan semua orang jangan mengeluarkan suara! Dan juga coreng hitam di wajah mereka jangan sampai hilang...!" Rowok Tunggel berteriak lagi. Kali ini ia menyeret tubuhnya sendiri ke arah kerumunan orang-orang kampung. Semua yang dikatakan Rowok Tunggel benar. Ni Klesung Rangit yang sudah membuka matanya tidak dapat melihat mereka. Mungkin pengaruh kerak dapur yang dicoreng ke muka membuat mereka tidak nampak dalam penglihatan Ni Klesung Rangit. Ia hanya dapat melihat beberapa sosok orang yang tadi menyerangnya.

"Jangan ada yang mengeluarkan suara kalau ingin selamat. Ni Klesung Rangit sudah tidak dapat dikendalikan. Sekarang ia betul-betul memerlukan darah dan isi kepala!" Rowok Tunggel memperingati para penduduk dengan suara lantang.

Ni Klesung Rangit yang sudah tidak karuan rupanya itu memang tidak dapat melihat kerumunan orang-orang yang dilanda ketakutan. Tapi ia bisa mendengar suara-suara teriakan ngeri yang riuh di sekitar pelataran desa. Wintara maupun Umbara Komang cepat berlari melindungi orang-orang itu.

"Rowok Tunggel keparat! Anak tak berbudi! Rupanya kau telah memecahkan rahasia 'Ilmu Gelugut Manik' hebat! Aku tidak segan-segan lagi untuk membunuhmu!" Ni Klesung Rangit melangkah perlahan. Setiap langkahnya hampir tidak menyentuh tanah. Matanya yang semerah darah menatap dua pendekar yang siap melindungi penduduk desa maupun orangorang Suku Pedalaman bangsa Bajor.

"Aku hanya perlu satu nyawa setiap malamnya. Tapi untuk malam ini terpaksa sekali aku harus membantai kalian semua. Terutama pendekar-pendekar keparat seperti kalian yang mesti dibikin mampus lebih dulu!" Ucapan itu terarah pada Wintara dan Umbara Komang.

"Siluman keriput! Kalau penyakit jengek mu belum sembuh jangan banyak mulut!" hardik Umbara Komang. Ki Sangga Wana melangkah dengan geram, tapi Wintara cepat menahannya.

"Hak hak hak hak hak...!" Ni Klesung Rangit mengekeh. Selesai tertawa tubuh hitam itu melesat menyambar ketiga orang yang berdiri paling depan. Siapa lagi kalau bukan Wintara, Umbara Komang dan Ki Sangga Wana. Ketiganya hampir jatuh bergulingan. Namun bagi Wintara dan Umbara Komang sangatlah mudah untuk bangkit kembali, keduanya langsung bergerak menghalangi serangan Ni Klesung Rangit yang mengarah pada Ki Sangga Wana. Terasa sekali hantaman mereka beradu.

Wintara yang sudah kepalang maju melancarkan pukulan berkali-kali. Begitu juga dengan Umbara Komang beberapa tendangannya mendesak pertahanan Ni Klesung Rangit.

Menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi sangatlah sulit bagi Ni Klesung Rangit. Hantamanhantaman mereka yang selalu bergantian datang hampir sukar untuk dihindari. Sosok hitam itu terpaksa sekali berjumpalitan di udara. Dengan begitu serangan-serangan Wintara dan Umbara Komang dapat dielakkan. Sesekali pula Ni Klesung Rangit melepaskan hantaman dahsyat ke arah mereka. Saat mereka menangkis maka timbullah suara yang membledar nyaring. Umbara Komang berjingkat-jingkat menahan sakit di lengannya. Tubuh Wintara sampai melintir.

Wintara kertakan gigi saat menyambut serangan Ni Klesung Rangit. Tendangannya mendesak mengenai perut. Juga hantamannya yang cepat dapat bersarang di mukanya. Mendapat hantaman-hantaman yang begitu dahsyat, Ni Klesung Rangit mundur beberapa langkah. Umbara Komang menerjang tidak memberi kesempatan. Tapi mendadak pula Ni Klesung Rangit mengangkat sebelah tangannya. Dari tiap-tiap ujung jarinya mengeluarkan sejenis serat yang langsung membelit di tubuh Umbara Komang.

Tingkat akhir 'Ilmu Gelugut Manik' yang hampir sempurna. Umbara Komang berusaha berontak dari belitan serat-serat yang alot bagai kawat. Sementara Ni Klesung Rangit makin terkekeh. Wintara pun tidak luput dari serangan serat-serat itu. Tapi saat serat-serat berdatangan membelit tubuh, Wintara menghentakkan kedua telapak tangan disertai dengan hentakan nafas panjang... "Hraaaaa!" Serat-serat itu seperti berbalik menyerang tuannya. Ni Klesung Rangit sendiri kelabakan menghadapi serat-serat yang alot bagai kawat. Untung saja ia cepat menggeser tubuhnya ke samping.

*

* *

11

Dan Ni Klesung Rangit dapat mengetahui saat Ki Sangga Wana datang menyerang dari arah lain, maka ia pun mengangkat lengannya lagi. Seperti apa yang dialami Umbara Komang, tubuh Ki Sangga Wana terbelit serat-serat. 'Gelugut Manik' yang kian lama kian mengkerut melilit tubuh.

Umbara Komang menghempaskan seluruh tenaganya. Teriakannya menggelegar lantang, maka seluruh serat-serat yang melilit di tubuhnya putus terpotong-potong. Di tubuh Umbara Komang membekas seperti sayatan-sayatan pisau yang mengeluarkan darah. Malang bagi Ki Sangga Wana. Ia tidak bisa melepaskan diri dari belitan yang semakin mengkerut membelit. Umbara Komang sudah berusaha sekuat tenaga melepaskan belitan-belitan yang alot laksana kawat. Juga beberapa penduduk kampung berdatangan ikut membantu melepaskan belitan itu. Malang tak dapat dibuang! Ki Sangga Wana harus menerima nasibnya. Belian-belitan serat Gelugut Manik mencerai beraikan tubuh Ki Sangga Wana menjadi belasan po-

tong.

Pekik kengerian pun menggelegar. Apalagi dari keluarga Ki Sangga Wana. Semuanya meluruk mendekati potongan-potongan tubuh tanpa jijik. Saat itu Wintara sibuk mengatasi serat-serat 'Gelugut Manik' yang terus berdatangan menyerang. Berkali-kali pula Wintara mengerahkan tenaga dalam mengenyahkan serat-serat yang datang tiada henti. Membuat seratserat itu berserabutan memenuhi pelataran desa.

"Pendekar ingusan! Ilmu apa yang kau miliki itu, hah!" Suara Ni Klesung Rangit seperti kehabisan tenaga. Ia merasakan hawa dingin yang menerpa seluruh kulit hitamnya. Melumerkan semua serat-serat yang muncul dari kelima ujung jari.

Belum Wintara menjawab, mendadak Umbara Komang menerjang. Menghadapi tenaga dalam Wintara saja ia sudah gedubukan, apalagi mendapat serangan Umbara Komang yang datangnya secara tiba-tiba ini. Ni Klesung Rangit memekik dengan tubuh yang terbanting keras ke tanah.

Laki-laki senewen penuh luka bekas lilitan serat itu terus mencecar tubuh Ni Klesung Rangit yang masih bergulingan. Tendangan maupun hantaman membuat sosok hitam mencelat ke sana ke mari. Darah pun hamburan dari mulut Ni Klesung Rangit, setiap hantaman Umbara Komang mengena telak. Dan pada hantaman yang dilancarkan Wintara, tubuh Ni Klesung Rangit mencelat tidak kepalang tanggung.

Meskipun dalam keadaan parah, sosok hitam itu masih bisa mengimbangi tubuh. lentingan tubuhnya berjumpalitan gesit di udara. Diam-diam Ni Klesung Rangit pergi menjauh.

"Hak hak hak hak... Malam ini kalian ku beri ampun! Darah kalian tak kubutuhkan karena aku masih punya darah simpanan yang lebih segar dari darah kalian...!" Suara itu makin hilang ditelan keramaian malam. Sekejap saja tubuh Ni Klesung Rangit melesat pergi entah ke mana.

"Kejar dia, Wintara! Cepat kejar! Dwi Langsih ada padanya! Dia pasti membunuhnya untuk dijadikan korban malam ini! Cepat! Selamatkan Langsih anakku!" teriak Rowok Tunggel. Wintara dan Umbara Komang saling pandang. Mereka baru sadar kalau Ni Klesung Rangit membutuhkan satu nyawa dalam satu malam. Ia perlu darah dan isi kepala seseorang. Sekarang Dwi Langsih berada di tangannya. Pastilah Ni Klesung Rangit akan membunuh gadis kecil yang masih suci itu. Tersadar dari mimpi buruk, Wintara dan Umbara Komang segera berlari menyusul sosok hitam Ni Klesung Rangit.

"Cepat, Wintara. Sebelum Ni Klesung Rangit menguasai penuh 'Ilmu Gelugut Manik' kalian harus cepat bertindak!" Rowok Tunggel terus berteriak. Suaranya masih dapat didengar meskipun dua pendekar sakti itu telah menjauh hilang di kegelapan malam. Keduanya sama-sama mempertajam penglihatan. Sebab dalam keadaan gelap begitu sukarlah untuk menentukan ke mana arah kepergian Ni Klesung Rangit.

"Larinya begitu cepat padahal ia sudah terluka. Pastilah ia mengikuti ke mana arah angin berhembus," ujar Wintara.

"Siluman licik! Pantas bau badannya tidak tercium oleh ku!" sahut Umbara Komang. Keduanya membelok berlari searah dengan arus angin. Wintara paling depan. Umbara Komang berusaha mengimbangi dengan kecepatan larinya. Mereka melintasi

hutan yang menuju ke arah bukit. Batangbatang pohon berderet. Dari situ pula nampak titik putih bergerak-gerak semakin jauh.

"Itu dia! Rambutnya kelihatan...!" Rambut Ni Klesung Rangit memang seputih kapas. Mereka dapat melihat meskipun dalam keadaan gelap seperti itu.

"Awasi terus dan jangan sampai kita kehilangan jejak!" Wintara mempercepat larinya. Sosok mereka berdua berkelebat dan sukar diikuti oleh pandangan mata.

*

* *

Dalam keadaan terikat begitu Dwi Langsih tidak dapat memejamkan matanya. Udara malam yang sangat dingin membuat dirinya gemetaran. Tenggorokannya telah kering dan dirasakannya keluh. Pandangannya mulai kabur dengan seluruh rambut yang kusut. Sedangkan tali ikatan yang membelit di tubuhnya tetap kuat. Batang pohon tempat ia bersandar terikat terasa dingin.

Dwi Langsih tidak mengeluarkan suara saat sosok hitam melompat ke hadapannya.

Pandangannya yang kabur mengabaikan sosok kurus hitam dengan rambut bergerak-gerak kaku laksana kapas. Dua titik merah menyala mewarnai kedua rongga mata sosok hitam itu. Dan terasa perih saat sosok hitam mencengkram kedua lengan gadis berusia lima tahun. Dwi Langsih memekik menahan sakit. "Cucuku... Malam ini aku tidak mendapat kor-

ban. Pendekar-pendekar sialan itu menghalangi. Dan memang benar apa kata mu itu. Mereka memang hebat! Maafkan aku Langsih. Sebenarnya aku sayang pada mu...." Suara Ni Klesung Rangit parau menyeramkan. Dwi Langsih semakin gemetar menatap sosok yang amat menakutkan.

"Kau bukan nenek ku... Kau bukan Ni Klesung Rangit. "

"Apapun yang kau katakan, aku memerlukan korban satu nyawa sekarang. Berkorbanlah demi nenekmu ini, Langsih... Demi kesempurnaan 'Ilmu Gelugut Manik' " Mulut Ni Klesung Rangit menganga lebar

dan mengarah tepat pada ubun-ubun gadis kecil yang terikat tanpa daya. Kedua mata yang nyala memerah itu makin membesar saat gigi-gigi runcing menyentuh batok kepala Dwi Langsih   "Aaaaarght!" Langsih men-

jerit sekuatnya. Dan saat itu pun mendadak saja tubuh Ni Klesung Rangit seperti membentur benda yang amat keras...

"Breeesss" Sosok hitam itu bergulingan ke samping. Saat ia bangkit, Ni Klesung dapat melihat dua sosok bertubuh kekar. Sosok Wintara dan Umbara Komang.

"Sudah jelas 'Ilmu Gelugut Manik' adalah ilmu yang sesat, kenapa kau begitu tega mengorbankan cucumu sendiri... Tidak ku sangka hatimu sungguh bejat, Ni !"

"Keparat kau selalu mencampuri urusan orang!" Ni Klesung menghardik.

"Siapa yang akan tinggal diam kalau melihat seorang bocah tewas di tangan seorang nenek peyot macam kau. Ha ha ha ha. " sahut Umbara Komang.

"Manusia gila, kukira sudah mampus oleh jerat 'Gelugut Manik' ku."

"Chis! Segala serat macam benang jahit tidak mampu menewaskan aku. Tulang-tulangku cukup kuat untuk dicerai beraikan."

"Pendekar ingusan! Jangan coba-coba melepaskan bocah itu!" Ni Klesung Rangit melangkah maju saat Wintara mencoba melepaskan ikatan angkin yang melilit di tubuh Dwi Langsih. Umbara Komang melompat menghalangi langkah sosok hitam.

"He he he he, rupa kita sama-sama buruk. Tapi sayang nasibmu lebih buruk dari ku." Umbara Komang mengejek. Bersamaan dengan itu tangannya melayang. Cepat Ni Klesung Rangit menepis. Namun serangan Umbara Komang tidak berhenti sampai di situ.

Wintara tidak sempat membuka ikutan Dwi Langsih, karena Ni Klesung Rangit cepat lari ke arahnya. Serangan-serangan Umbara Komang tidak diperdulikan, membuat lelaki senewen itu bertambah gusar. Dan ia dapat menyerang dengan leluasa saat Ni Klesung Rangit menghadapi Wintara. "Beg!" Sosok hitam itu hampir ngusruk ke tanah. Bahkan ia setengah mati menghindari serangan-serangan Wintara yang bergulung-gulung.

Umbara Komang sendiri tersentak kaget, karena tahu-tahu saja Ni Klesung Rangit membalas serangan. Dua kali berturut-turut cakaran sosok hitam itu mengenai wajah Umbara Komang. Kalau saja Wintara tidak cepat membantu, mungkin sobat gilanya itu sudah terkena tendangan Ni Klesung Rangit.

Menghadapi gerakan-gerakan Ni Klesung Rangit yang begitu cepat, Wintara maupun Umbara Komang hampir kehabisan akal. Mereka tidak menyangka kalau 'Ilmu Gelugut Manik' amatlah dahsyat. Padahal Ni Klesung Rangit menguasai ilmu itu baru separuhnya. Nyatanya sekarang mereka malah berbalik repot menghadapi amukan Ni Klesung Rangit. Kini kedua telapak tangan Ni Klesung Rangit mulai berputar. Untuk itu kedua pendekar ini perlu hati-hati. Karena setiap gerakannya dari kesepuluh ujung jari Ni Klesung Rangit bertebaran serat-serat yang sudah kita ketahui kedahsyatannya.

Bagi kedua pendekar yang cukup awas ini, mereka hanya melompat ke atas menghindari terjangan serat-serat 'Gelugut Manik'. Mereka berjumpalitan ke sana ke mari. Manakala serat-serat itu makin berhamburan menyerang. Suara tawa Ni Klesung Rangit mengekeh menyaksikan mereka setengah mati meloloskan diri dari serat 'Gelugut Manik’.

Kembali Wintara mengeluarkan tenaga hawa dingin. Kedua telapak tangannya mengepak-ngepak ke depan menyambut sambaran-sambaran jerat 'Gelugut Manik'. Serat-serat itu bagai terkena angin topan. Serat, 'Gelugut Manik' berpentalan dibarengi dengan tenaga pukulan yang bergemuruh.

"Pendekar ingusan sialan! Kita akan mati bareng!" jerit Ni Klesung Rangit. Dari hidung dan telinganya mengalir darah. Wintara tidak dapat mendengar apa yang di ucapkan Ni Klesung Rangit. Sebab dia sendiri hampir kehabisan tenaga. Keringat dingin mulai mengucur membasahi seluruh tubuhnya. Makin lama pukulan hawa dingin yang dikerahkannya makin mengendur.

Saat itu pun Umbara Komang datang menyerang. Sekali lompat ia sudah berada di hadapan Ni Klesung Rangit. Mengetahui adanya Umbara Komang datang menyerang, Ni Klesung Rangit langsung berbalik menghadapi Umbara Komang. Namun hantaman Umbara Komang yang sangat keras menghantam dada tidak sempat dihindari. Saat itu pun kesepuluh jari hitam Ni Klesung Rangit cepat mengeluarkan serat yang datang langsung melilit di tubuh Umbara Komang.

Dengan geram Wintara datang menerjang. Hantaman-hantamannya sengaja diarahkan pada lenganlengan Ni Klesung Rangit. Namun sosok hitam itu seakan tidak merasakan hantaman-hantaman Wintara, Sementara Umbara Komang kalang kabut merontaronta dari lilitan serat 'Gelugut Manik'. Makin keras Wintara mengarahkan hantamannya. Ni Klesung Rangit menyemburkan darah untuk kesekian kalinya. Namun ia masih saja mengeluarkan serat-serat itu sebagai senjata andalannya. Lilitan di tubuh Umbara Komang makin tebal. Dirasakan pula oleh Umbara Komang lilitan itu semakin mengkerut bagai mengirisngiris tubuhnya. Wintara sudah berupaya melepaskan segala macam pukulan untuk menghentikan serangan Ni Klesung Rangit. Usahanya itu hanya sia-sia belaka.

Di luar dugaan, Umbara Komang melesat ke atas. Ia tidak perduli tubuhnya terlilit serat 'Gelugut Manik' yang makin kencang. Meskipun ia tidak dapat melancarkan serangan, Umbara Komang berlari mengelilingi Ni Klesung Rangit. Membuat sosok hitam Ni Klesung Rangit ikut terbelit oleh senjatanya sendiri.

Seluruh tubuh Umbara Komang mengeluarkan darah dari setiap belitan serat. Sekalipun ia mengerahkan tenaganya. Belitan serat 'Gelugut Manik' tidak dapat dilepaskannya. Terasa sekali serat yang alot bagai kawat itu menggerogoti daging yang melekat di tubuh Umbara Komang.

Ni Klesung Rangit sendiri menjerit-jerit berontak dari belitan senjatanya. Ia tidak dapat menghentikan serat 'Gelugut Manik' yang terus menerus keluar dari kesepuluh jarinya. Apalagi Wintara melancarkan hantaman dengan bertubi-tubi.

"Dewa toloooong... Aaaaarght!" jeritan Umbara Komang, tubuhnya telah memerah bercampur darah. "Kerahkan seluruh tenaga dalam mu Umbara!" Wintara menghimpun pukulan hawa dinginnya. Umbara Komang kelojotan menahan sakit yang tak terkira.

"Hraaaa...!" Wintara menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan mengarah pada Umbara Komang... "Bledaaar!" Sosok Umbara Komang mencelat jauh. Bersamaan dengan itu seluruh belitan serat hancur bagaikan ribuan batang jarum yang berhamburan. Tubuh Umbara Komang jatuh diam bersimbah darah. Wintara cepat menghampiri tubuh itu. Sosok Umbara Komang tetap diam tak bergeming.

"Wuaaaaa...!" Terdengar jeritan panjang dari mulut Ni Klesung Rangit. Tubuhnya telah penuh dengan serat 'Gelugut Manik'. Wintara menatap ngeri saat serat-serat itu mengkerut melumatkan tubuh Ni Klesung Rangit. Jeritannya berhenti tatkala tubuh hitam menjadi potongan-potongan daging segar.

*

* *

Istri Ki Sangga Wana maupun kedua anak perawannya menangisi sosok yang terpisah-pisah. Malam itu Ki Sangga Wana mengalami kematian yang sangat mengerikan. Potongan-potongan tubuhnya telah terkumpul menjadi satu dalam bungkusan selembar kain. Tak ada seorang pun yang berani melihat tubuh hancur Ki Sangga Wana.

Rowok Tunggel masih bersandar menahan sakit pada tulang rusuknya. Orang-orang Suku Pedalaman Bangsa Bajor banyak mengerubungi. Beberapa orang nampak tengah mengobati luka-luka Rowok Tunggel. Sedangkan penduduk kampung hanya terdiam membisu menatap pada keluarga Ki Sangga Wana.

Api unggun masih menyala menerangi pelataran desa. Suasana itu tidak lebih seperti medan perang. Beberapa mayat bergelimpangan di sekitar pelataran. Kebanyakan mayat-mayat itu dari penduduk Suku Pedalaman Bangsa Bajor. Penduduk kampung itu sendiri hanya satu dua orang yang menjadi korban. Bagi Suku Pedalaman Bangsa Bajor, kematian adalah hal yang biasa. Mereka lebih mementingkan orang-orang yang terluka. Namun bagi penduduk kampung, mereka harus meraung-raung menangisi mayat para keluarganya. Rowok Tunggel memaklumi akan hal itu. Ia seperti menyesali peristiwa yang melanda desa. Apalagi yang menjadi topik persoalan adalah ibunya. Ni Klesung Rangit... Entah perasaan apa yang ada di dalam Rowok Tunggel. Namun nyatanya para penduduk kampung desa itu malah ikut merawat luka-lukanya. Dan Rowok Tunggel tak dapat menolak

uluran tangan mereka.

Saat itu di mulut desa telah muncul orang yang sangat dinanti-nantikan. Wintara dengan lunglai memapah tubuh Umbara Komang yang telah berlumuran darah. Di sampingnya seorang gadis kecil ikut melangkah memegangi ujung baju bulu Wintara. Mereka melangkah menuju kerumunan di pelataran. Langkahlangkah Wintara yang cukup menggetarkan itu menjadi perhatian penduduk kampung. Orang-orang itu berserabutan mendekati Wintara. Mereka mengiringi bagai menyambut seorang pahlawan perang. Rowok Tunggel berjingkat bangkit ikut berlari menyusul para penduduk yang datang mengerubungi Wintara.

"Itu ayahmu, Langsih. Sudah dua tahun ia merindukan kamu." Orang-orang kampung memberi jalan pada Rowok Tunggel yang menerobos kerumunan. Dia langsung memeluk Dwi Langsih erat-erat. Gadis kecil itu diam tak mengerti.

"Maafkan aku, Rowok Tunggel... Aku tak dapat menyelamatkan ibumu. Ia termakan oleh ilmunya sendiri." kata Wintara menatap Rowok Tunggel penuh haru.

"Tak ada yang perlu ku maafkan, Pendekar hebat... Ni Klesung Rangit memang harus mengorbankan dirinya sendiri. Hanya itu jalan satu-satunya." jawab Rowok Tunggel. Pelukannya makin erat merengkuh Dwi Langsih.

"Bagaimana keadaan sobat Umbara Komang? Nampaknya ia begitu parah." tanya Rowok Tunggel. Wintara tidak menjawab. Kedua matanya menatap ke bawah pada Umbara Komang yang diam dalam papahan Wintara. Tapi Wintara mendadak kaget. Ia melihat sebelah mata Umbara Komang mendelik...

"Apakah kita sudah sampai di desa?"

Suara Umbara Komang lancar. "Sompret! Kau mengerjai aku!" Wintara melepaskan papahannya. Umbara Komang jatuh berdegum di tanah. "Ha ha ha ha ha...!" Ia malah tertawa ngakak.

TAMAT