Wisanggeni Bag. 03


Keduanya melakukan perjalanan cepat ke Lembah Cemara.

Sekar sebagai penunjuk jalan berpatokan pada matahari. Mereka beristirahat hanya waktu siang untuk makan. Sekar menangkap ayam hutan dan memanggang. Keduanya makan lahap. Tanpa istirahat lagi mereka melanjutkan perjalanan.

Hari sudah senja, mereka tiba di bagian hutan pepohonan jati Ketika Sekar sedang mencari-cari tempat yang layak untuk bermalam, dia mendengar suara keluhan. Ia menoleh, ternyata Geni sudah terbaring di tanah. Lelaki itu terjatuh dari kudanya. Dia terkesiap mendapatkan Geni menggigil hebat. Ia menghampiri. "Geni kenapa kamu?"

Geni tak kuasa menjawab. Bibirnya gemetar. Butiran keringat membasahi wajahnya yang pucat pasi Tampak ia sangat kesakitan. Sekar ingat akan ancaman Kumara. "Rupanya racun ular salju mulai bekerja," kata gadis itu.

Sekar hendak menolong, tetapi mendadak saja ia merasa seperti ribuan semut merambat dalam tubuhnya. Rasa dingin itu datang menusuk sampai ke tulang, ia menggigil hebat Rasa sakit juga datang berbarengan. Nyeri dan ngilu. Sekar berguling-guling di tanah, dari mulurnya keluar rintihan lirih.

Racun ular salju mulai bekerja. Seperti yang dikatakan Kumara dan Malini, racun mulai bekerja satu hari kemudian. Serangan racun di tubuh Sekar tidak begitu lama, hanya sepenanakan nasi. Ketika serangan di tubuh Sekar sudah reda, Geni masih menderita sakit. Geni memang lebih parah disebabkan selain keracunan dia juga mengalami luka dalam akibat pukulan Kalayawana. Serangan sudah mereda, namun Geni masih merasa dingin. "Aku kedinginan."

Sekar yang sudah normal kembali, memeluk Geni. Ia mengharap panas tubuhnya bisa menghangatkan tubuh lelaki itu. "Geni, kamu harus bertahan, besok kita akan tiba di rumah nenek."

Lelaki itu masih menggigil. Sekar memeluk lebih erat, mencium mulut lelaki yang dicintai itu. "Geni, jangan mati, aku mencintaimu"

Tak lama kemudian Geni merasa normal kembali. Sekar bangkit. "Tunggu di sini." Ia pergi mengikat kuda di pohon. Tak lama dia kembali menenteng dua ekor ayam hutan. "Aku sudah menemukan tempat yang bagus untuk bermalam. Ayo kita ke sana."

Geni hanya kehilangan tenaga dalam namun masih punya tenaga macam lelaki biasa. Dia membantu Sekar membersihkan tempat bermalam kemudian mengumpulkan ranting dan kayu untuk membuat api. Keduanya duduk bersanding berdampingan sambil menikmati ayam panggang. Selesai makan, Sekar berbisik, "Geni, lukamu tampaknya lebih parah."

"Aku luka dalam, kena pukulan Kalayawana dan juga racun ular salju. Kalau menurut ucapan Kumara pada hari ketujuh, racun akan membunuhku. Tapi melihat parahnya luka, aku yakin kematianku akan lebih cepat, mungkin pada hari keempat. Celakanya serangan rasa sakit lebih cepat datangnya, mungkin besok siang racun akan menyerangku lagi, begitu seterusnya. Serangan berikut mungkin besoknya di pagi hari."

"Kalau aku, bagaimana? Parah juga?"

"Kamu tak begitu parah, racun akan menyerangmu pada senja hari, sama seperti sekarang ini. Kau masih bisa hidup sampai hari kemjuh seperti ancaman Kumara."

Keduanya berpelukan. Geni mencium leher si gadis. "Sekar, tadi kau berkata, kau mencintaiku, benarkah?"

Gadis itu tertawa kecil. "Memang benar, dan aku tidak perlu malu mengatakan mencintaimu Aku memang mencintaimu sejak kita makan di warung itu, kau lelaki berbudi mulia dan bermoral baik."

"Dari mana kau tahu? Kau baru saja mengenalku."

"Kau berbudi muka, karena kau tidak jijik malah menolong gadis buruk rupa bekas penderita cacar yang mengalami kesulitan. Kamu bermoral, karena mau jujur mengatakan kamu sudah punyakekasih, kau tidak membohongi aku. Eh, siapa nama gadis kekasihmu itu?"

"Wulan. Walang Wulan. Aku mencintainya, aku berduka karena aku bakal mati tanpa bertemu lagi dengan dia."

"Apakah dia mencintaimu?"

"Ya dia mencintaiku seperti aku mencintainya." "Lalu, kenapa dia meninggalkan kamu?"

"Bagaimana kamu tahu dia yang pergi meninggalkan aku bukan sebaliknya?"

Sekar tertawa, suaranya merdu "Aku menerka asalan saja, kenapa dia pergi, apa katanya?" "Ia ingin sendiri, katanya dia ingin memikirkan hubungannya dengan aku."

"Perempuan bodoh."

"Eh, kau jangan mengatainya bodoh, dia gadis yang cerdas sama seperti kamu"

"Boleh saja dia cerdas, tetapi dia tetap bodoh, karena apa? Karena melepas sesuatu yang sudah dalam genggaman. Kalau dia sudah yakin bahwa kamu mencintainya dan dia tahu bahwa dia juga mencintaimu, lantas apalagi yang harus dia pikirkan."

Geni termenung. "Usianya lebih tua, ia kakak perguruanku, gurunya dan guruku sama-sama seperguruan. Ia juga bibiku, sebab ayahku dan ibuku adalah kakak seperguruannya. Jadi ia takut ditertawai orang."

Sekar tertawa kecil. "Memang bodoh. Semua itu apa urusannya? Yang penting kamu bukan ayahnya, dia bukan ibumu dan kamu bukan anaknya atau saudara kandungnya. Lagipula di dunia persilatan orang tidak membicarakan hal-hal seperti itu. Seperti aku, begitu aku menyukaimu dan kamu menyukaiku, itu sudah alasan kuat bagiku membiarkan kamu merenggut perawanku Jangan harap aku mau bercinta dengan laki-laki yang tidak kukenal atau yang tidak kusukai. Kita berada dalam dunia persilatan yang penuh dengan orang- orang kasar dan yang sulit dipercaya."

Geni meneliti gadis di hadapannya. "Dia ini cerdas, dan jalan pikirannya terarah dan terpola. Jika bekas cacar itu sembuh dan lenyap, dia menjadi seorang wanita yang sangat cantik dan cerdas," pikirnya.

Timbul keinginan menggodanya. "Bagaimana kamu begitu yakin aku akan setia menjadi kekasihmu? Bagaimana kalau suatu waktu nanti aku pergi, kabur bersama perempuan lain?" Matanya berbinar-binar. "Aku akan mengejarmu, bahkan sampai ke neraka pun. Aku tak akan membiarkan laki-laki yang kucintai pergi begitu saja, apalagi dia telah memerawani aku"

"Maksudmu, kamu akan membunuh aku?"

Sekar menggeleng. "Buat apa membunuhmu? Kamu enak, langsung mati, tetapi aku? Aku akan merana kesepian mengenang dirimu."

"Kamu akan membunuh perempuan itu?"

Sekar menggeleng. "Membunuh perempuanmu adalah langkah terakhir. Pertama-tama, aku akan nyelinap masuk kamar tidurmu, membawa seember air yang sudah aku campur dengan lombok yang pedas, aku siramkan air itu ke tubuh kalian berdua," dia tertawa cekikan.

Geni merasa lucu. "Kenapa kamu tertawa?"

"Aku membayangkan kamu dan perempuanmu saking terkejutnya lari bertelanjang bulat." Dia tertawa geli. Geni ikut tertawa.

"Sekar, kamu tak boleh lakukan itu pada Wulan. Karena dia yang lebih awal mendapatkan cintaku."

"Iya aku tahu, Wulan yang pertama, aku yang kedua, mungkin saja akan ada yang ketiga dan keempat. Tapi aku tak peduli berapa perempuan yang kamu rayu dan kamu tiduri, selama kamu tetap mencintai aku dan tak bosan bercinta dengan aku, itu sudah cukup bagiku."

"Sesederhana itu?"

Sekar mengangguk. "Iya sederhana saja. Itu sebab aku katakan keputusan gadis yang pergi meninggalkan lelaki yang dia cintai dan mencintai dia, adalah tindakan bodoh. Aku jadi ingin ketemu dengan gadis bodoh yang bernama Wulan itu."

"Kau jangan mengatai dia bodoh." Sekar tertawa. "Baiklah aku berjanji tidak akan mengatainya bodoh lagi."

"Lantas mau apa kamu ketemu dia?"

"Mau menasehati dia supaya berpikir cerdas, berpikir sederhana saja dan jangan berpikir njelimet. Eh, kau tadi mengatakan ia lebih tua dari kamu, tentu ia cantik."

"Ia memang lebih tua usia, tetapi ilmu yang dipelajarinya membuat ia tampak muda, sama seperti gadis remaja. Dan sangat cantik."

"Kamu sudah menidurinya?"

Geni mengangguk. "Berulang-ulang, tak pernah bosan." "Geni, coba kau bayangkan, seandainya wajah dan tubuhku

bersih dan mulus tanpa ada bercak cacar, apakah aku secantik Wulan?"

Geni memandang Sekar di keremangan cahaya api unggun yang makin meredup. "Kamu cantik, Sekar. Tetapi aku mencintai Wulan."

Sekar menelungkup di atas tubuh Geni. "Kamu teruslah mencintai Wulan, aku tak akan menghalangimu Aku tetap mencintaimu dan aku sudah bahagia jika kau mencintaiku walau hanya semalam atau separuh malam. Pada saat kau terangsang birahi dan meniduriku, saat saat seperti itu bagiku adalah cinta. Bagiku, cinta sama dengan nafsu birahi. Tak ada nafsu, tak mungkin ada cinta. Tak ada cinta, bisa saja ada nafsu. Buktinya, kamu sendiri, kamu mencintai Wulan, tetapi kamu terangsang birahi dan meniduriku dengan gairah."

Api unggun semakin kecil. Redup. Akhirnya padam. Malam menjadi kelam Geni menggeluti tubuh Sekar. Apa yang dikatakan Sekar semuanya benar. Ia tidak mencintai Sekar, tetapi rangsangan birahi lebih berperan Ia tergila-gila akan tubuh molek Sekar dan cara gadis itu mencintainya. Di tengah pergumulan, gadis itu berbisik merdu di telinganya. "Aku mau diobati nenek, supaya aku tampak cantik, supaya kamu tak akan bisa melupakan aku. Aku tak ingin kamu mencintaiku, yang aku inginkan adalah kamu selalu merindukan aku, merindukan tubuh dan semua kenikmatan yang kuberikan padamu Geni, aku sendiri hanya akan mencintaimu seorang, tak akan ada lelaki lain dalam hidupku, hari ini, besok dan hari-hari di masa datang."

Keesokan pagi mereka melanjutkan perjalanan, menempuh jalan pintas lewat hutan. Selain menghindari perjumpaan dengan orang, Sekar memperkirakan senja atau malam hari akan tiba di Lembah Cemara Ia tahu keadaan kritis terutama racun ganas yang menyerang Wisang Geni. Siang itu seusai makan, racun ular salju menyerang Geni. Kali ini rasa sakit hampir tak tertahan. Geni mengerang. Rasa sakit dan dingin seperti akan membunuhnya. Sekar memeluk, menciumi Geni. Ia menangis melihat penderitaan kekasihnya. "Geni, jangan mati, nanti malam kita akan tiba, kekasihku kau harus bisa bertahan!"

Ketika serangan racun itu mereda, Geni seperti orang kehabisan tenaga Ia bahkan tak sanggup mengangkat tangannya. Sekar masih memeluknya, airmata si gadis membasahi pipinya. "Oh Geni, kamu sangat menderita, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menolongmu"

Geni memandang si gadis dengan senyum dipaksa. "Dua kali serangan lagi, aku pasti akan mati. Sekar, tak ada obatnya, lebih baik kamu tinggalkan aku sendiri di sini, kamu pulang ke rumah nenekmu, pergilah Sekar."

Sekar menggeleng, menjawab sambil menangis, "Tidak, kamu tak boleh mati, tidak kuijinkan kamu mati. Sekarang juga kita berangkat ke Lembah Cemara"

Dia membantu Geni, susah payah ia menaikkan Geni ke atas punggung kuda. Ia melompat di belakang kekasihnya, satu tangan memeluk Geni, tangan lainnya memegang kekang kuda. Mereka menunggang satu kuda, kuda lainnya dituntun di belakang dengan tali yang agak panjang

Sekar memacu kudanya, memburu waktu, ia harus tiba secepatnya sebelum racun ular itu menyerang lagi. Perjalanan jauh. Ketika matahari mulai tergelincir ke barat, Sekar berteriak gembira. Ia memeluk kekasihnya, "Geni, kamu lihat, itu dia Lembah Cemara. Sebaiknya kita ganti kuda, supaya bisa lebih cepat"

Sekar melompat turun. Tetapi berbarengan saat itu racun menyerangnya, ia jatuh bergulingan. Ia menjerit. Geni terkejut, melompat dari kuda ingin menolong Sekar.

Tetapi lantaran tak lagi punya tenaga yang cukup, Geni pun jatuh bergulingan

Geni merangkak mendekati Sekar. Ia memeluk gadis itu yang berontak kesakitan. Tak tahu harus berbuat apa, Geni menyodorkan tangan ke mulut Sekar. Tanpa sadar Sekar menggigit tangan Geni, ia menggigit sekeras-kerasnya. Geni meringis kesakitan, tetapi ia diam tak bersuara. Ternyata dengan menggigit itu Sekar bisa bertahan dari rasa sakit.

Tidak lama kemudian gadis itu sadar, sakitnya mereda dan lenyap. Geni memandangnya dengan pandangan aneh. Sekar baru sadar bahwa mulurnya sedang menggigit tangan kekasihnya. Agak lemas, ia bangkit, memegang tangan Geni. Tampak bekas gigi yang dalam di tangan Geni, sejengkal di bawah siku. Bekas gigitan itu merah dan masih mengeluarkan darah. "Aku tidak sadar, tetapi mengapa kamu membiarkan tanganmu kugigit?"

Geni mencium gadis itu. "Aku ingin meringankan penderitaanmu, tak ada artinya tangan ini dibanding apa yang telah kau berikan padaku."

Sekar memeluknya erat. "Aku tidak salah mencintai orang." Ia cepat sadar ketika matanya tak melihat kudanya. "Kemana kuda itu pergi?" Ia bersiul. Tetapi kuda-kuda itu sudah lari jauh, lari menuju kebebasan. Keduanya saling membimbing, melangkah pelan-pelan menuju Lembah Cemara. Senja semakin mendekati malam Hutan cemara semakin dekat.

Ketika keduanya tiba di batas Lembah Cemara, matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya, ketika itulah racun menyerang Geni. Kali ini serangan semakin ganas. Keringat membasahi sekujur tubuhnya tapi ia pantang bersuara. Ia tak mau membuat Sekar kelewat sedih. Rasa sakit yang menusuk tulang membuat seluruh syaraf dan ototnya menjerit, rasa dingin membuat ia menggigil, seluruh tubuhnya gemetar.

Geni hanya memikirkan mati atau pingsan sajalah yang bisa membuat ia melupakan sakitnya. Tetapi keinginan untuk pingsan pun tidak terpenuhi. Ia seperti harus menjalani rasa sakit ini. Sekar menangis, memeluk Geni dengan erat, ia takut kehilangan lelaki yang dicintainya itu.

Sekar berusaha segala daya, membuka baju Geni, membuka bajunya sendiri, menempelkan dadanya ke dada Geni. Sekar masih memiliki tenaga dalam meskipun sudah banyak berkurang, namun dengan memaksa diri dia memindahkan panas tubuhnya ke tubuh kekasihnya. Geni antara sadar dan pingsan mengigau. "Bunuhlah aku, bebaskan aku dari sakit ini, bunuhlah aku, tolong, kau bunuhlah aku!"

Sekar semakin panik. Ia memeluk dan mencium mulut Geni. Mulut itu dingin, tubuh Geni dingin dan gemetaran. Dalam kepanikan, Sekar teringat neneknya. "Semoga nenek bisa mendengar siulanku." Sambil tetap memeluk Geni, ia menghirup nafas panjang kemudian mengeluarkan siulan.

Tetapi itulah tenaga terakhir, sisa-sisa tenaga yang masih ada pada Sekar. Siulan itu seperti bisikan lemah. Tak mungkin bisa didengar orang. Sekar pingsan. Letih, sedih dan putus asa. Ia pingsan di atas tubuh Geni yang masih menggigil kedinginan. Dua insan itu lama tidak bergerak Malam merangkak semakin kelam Geni mulai sadar, sakitnya sudah mereda. Tetapi ia tak mau bangkit atau bergerak ia tahu Sekar pingsan dengan telungkup di atas tubuhnya. Geni memeluk gadis itu Ia merasakan tubuh Sekar yang lunak. Gadis itu sedang tidur.

Tadinya pingsan kini malahan tidur, dimungkinkan jika seseorang terlampau sedih, kecewa dan ketakutan.

Tengah malam, embun mulai turun, Sekar terjaga Ia kaget merasa tangan Geni memeluknya. "Di mana kita, Geni, kamu masih hidup?"

Geni menciumnya. Tak terkirakan gembiranya, Sekar memeluk dan mencium kekasihnya. Dua anak manusia itu bergumul dalam kenikmatan nafsu di gelapnya malam. Bulan bersembunyi di balik mendung seakan malu menyaksikan dua kekasih yang bugil di alam terbuka.

Matahari pagi mulai mengintip dari arah timur, Sekar mencubit lengan kekasihnya. "Aku sudah bilang, tak kuijinkan kamu mau, kita sudah sampai di rumahku, nenek pasti bisa mengobatimu, jika dia tak sanggup maka tak seorang pun di kolong langit ini yang bisa menyembuhkanmu"

Keduanya bergegas mengenakan pakaian, kemudian melangkah masuk ke dalam pepohonan cemara. Sekar melangkah hati-hati, tangannya menuntun tangan Geni dan menghitung langkahnya. Ia melangkah ke kiri, sebentar ke kanan Terkadang mundur lantas maju lagi. Terkadang berhenti, berpikir sejenak lalu melangkah lagi.

Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tua di tengah hutan cemara. Rumah berada di tengah empang yang airnya kehijauan dihiasi banyak bunga teratai. Tak ada jembatan

Terdengar suara dari dalam rumah. "Bocah nakal, akhirnya kamu pulang juga, siapa yang kamu bawa?"

"Namanya Wisang Geni, kami berdua kena racun ganas, racun ular salju." Sekar belum selesai bicara ketika racun itu menyerang. Ia jatuh terbanting ke tanah, bergulingan di tanah. Geni bergerak hendak menolong, tetapi ia kalah cepat. Dari dalam rumah berkelebat sebuah bayangan. Bagai terbang ia melayang menggunakan bunga teratai sebagai batu loncatan melewati empang. Gerakannya sulit diikuti mata telanjang. Cepat sekali ia menyambar tubuh Sekar, menotok dada, memeriksa nadi, lalu mengurut dada dan punggung. Serangan racun mereda.

Dia perempuan tua. Dia memakai semacam jubah yang longgar dan panjang, di dalamnya dia mengenakan baju lengan panjang dan celana sebatas mata kaki. Rambutnya disanggul rapi di atas kepala. Matanya tajam seperti hendak menelan Wisang Geni.

Dia melesat ke dalam rumah, kemudian kembali. Ia menggenggam seikat rumput warna warni. Tangannya bergerak cepat ke seluruh tubuh Sekar. Ia memijit dada, menepuk pelan punggung bagian atas gadis itu.

"Huuuaaahhh!" Sekar muntahkan darah hitam yang berkilat kena sinar matahari. Nenek tua itu menjejalkan seikat kecil rumput ke mulut Sekar, mengambil air empang dan meminumkan pada cucunya.

"Ini racun ganas! Racun ini membunuh secara perlahan setelah sebelumnya si korban mengalami penderitaan sakit yang panjang. Orang itu sungguh kurang ajar, tetapi mana mungkin aku kalah, dalam tempo dua hari racun itu akan kupunahkan."

Sekar tertawa. "Kamu memang hebat, Nek, kalau tidak, mana mungkin kamu dijuluki Dewi Obat." Ia menatap neneknya dengan mimik manja. "Nek, kamu tolong kawanku ini, ia orang baik, ia menolong aku tanpa pamrih, ia tak pernah menghinaku, kamu harus menolongnya Nek, lukanya parah." Dewi Obat bersungut-sungut. Ia menarik Sekar menjauh dari Geni, "Nduk, kamu tahu aku sudah tak pernah menolong orang luar, mengapa kamu membawa orang luar ke rumah kita, apakah dia tahu jalan masuk?"

Sekar memeluk neneknya. Tidak dia tidak akan hafal jalannya. ”Nek kamu harus tolong dia, kau tahu Nek, Wisang Geni itu murid Lemah Tulis. Dia dihajar Kalayawana, dalam keadaan luka parah dia dipaksa telan racun ular salju. Orang Himalaya itu mengejek bahwa tak ada orang di negeri Jawa ini yang bisa menolong Geni. Kurang ajar, dia menghina, aku saja merasa terhina."

Nenek itu memandang cucunya dengan mimik Jenaka. "Aku tahu kau sengaja memanasi aku, ternyata berhasil, aku jadi penasaran, apa benar tidak bisa menyembuhkannya. Sekar, kau harus jujur, kau pasti sudah kehilangan perawanmu, dia yang menidurimu?"

Sekar memeluk dan mencium leher neneknya, berbisik. "Memang dia! Beberapa kali, aku mencintainya Nek!"

Sang nenek mendengus lirih. "Laki-laki semua sama, mana bisa dipercaya!"

Dia menghampiri Geni, memukul pelan, Geni jatuh pingsan.

Sekar berteriak, terkejut. Dewi Obat tertawa, "Dia cuma pingsan supaya aku leluasa memeriksa." Dia meraba nadi, dada dan punggung. Wajahnya memucat

Ia menjauh dari Geni. Ia kembali mendekat, memeriksa mata, telinga, hidung dan mulut Geni. "Gila, ini tak mungkin!" Ia menempelkan telinga di dada Geni. Matanya berkejap- kejap, menatap langit. Ia menggeleng kepala. "Mana bisa ada kejadian seperti ini. Dia sudah kehilangan seluruh tenaga cadangan, tapi aneh dia tidak mati!"

Setelah memeriksa, Dewi Obat menyadarkan Geni, menanyakan asal kejadiannya mendapat luka separah itu. Geni menceritakan seluruhnya. Dewi Obat diam tak bersuara, keningnya berkerut. Ia berpikir keras. Dalam hati, ia tidak yakin bisa menyembuhkan Geni.

"Akan kutolong sebisanya, kelihatannya lukamu sangat parah. Kamu dihantam pukulan dingin yang merasuk sampai di bagian paling dalam tubuhmu. Sulit disembuhkan karena pukulan itu menyerangmu pada saat tenagamu kosong, tenaga cadangan pun tak ada. Racun ular itu tak bisa membunuhmu Aku heran, kenapa kamu bisa bertahan sampai tiga-empat hari. Biasanya luka macam ini, orang hanya bisa bertahan satu hari. Aku yakin darahmu punya penolak racun."

Nenek itu berhenti bicara, dia menoleh memandang Sekar yang tak sadar mencengkeram lengan neneknya. Geni teringat gurunya, Waragang yang telah membentuk kekuatan menolak racun dalam tubuhnya. Dia berterimakasih pada guru Waragang.

Nenek menatap tajam Geni kemudian melanjutkan, "Darahmu mampu menolak racun tetapi sifat dingin racun telah menambah bobot dingin pukulan Kalayawana. Aku bisa mengusir racun ular, karena sebagian besar bisanya sudah dilumpuhkan kekuatan darahmu Tapi rasa dingin dalam tubuhmu tidak bisa disembuhkan, dingin itu akan menetap terus di tubuhmu, kamu akan kedinginan makin hari makin parah sampai. " Dia menoleh memandang Sekar yang

menangis terisak-isak.

Geni mengeluarkan nafas. "Terimakasih Nek, atas pertolonganmu, berapa lama aku masih bisa hidup?"

Dewi Obat melangkah menuju empang. Ia menoleh kepada dua muda-mudi itu. "Sekar kau bawa dia, ke gubuk di sebelah timur. Aku akan persiapkan obatnya." Tak lama kemudian dia kembali membawa kotak kecil, mengeluarkan delapan mangkuk berbagai ukuran. Dia bekerja cepat, mengurut, menotok dan melekatkan mulut mangkuk ke beberapa bagian punggung. Saat bersamaan Sekar mempersiapkan tungku api dan tempayan besar berisi air. Geni kemudian berendam.

Api makin lama makin besar sampai titik didih yang mana Geni tak mampu bertahan. Geni melompat keluar. Dia berendam lagi, demikian berulang-ulang sampai delapan mangkuk itu lepas dengan sendirinya.

Dewi Obat memegang dan meraba nadi Geni. "Lumayan, sekarang tenaga cadanganmu mulai timbul Ada harapan kau bisa disembuhkan. Hanya aku belum yakin," katanya. Ia menotok beberapa jalan darah di perut dan dada. Selang sesaat Geni muntah darah kental, hitam dan berkilat, Tiga kali muntah.

Pagi hari itu udara dingin terasa menusuk tulang. Embun dan kabut menyelimuti gubuk kecil. Wisang Geni tampak sedang semedi. Ia sudah tiga hari menetap di gubuk menjalani pengobatan. Anehnya selama itu ia tak melihat Sekar. Meskipun hatinya bertanya-tanya namun dia agak segan menanyakan pada si nenek. Sepanjang hari Geni berlatih semedi dan berendam air panas.

Keesokan siang harinya, Dewi Obat berdua Sekar menemui Geni di gubuknya. Sekar menjinjing makanan. "Aku masak makanan enak buai kamu," katanya. Dia tampak gembira "Tiga hari aku menjalani pengobatan, sekarang ini aku sudah sembuh."

Dewi Obat batuk-batuk kecil, "Benar kata orang, di atas langit masih ada langit lain, kupikir dengan ilmu pengobatanku tidak ada suatu penyakit pun yang tak bisa kutaklukkan. Tapi hari ini aku harus mengakui kenyataan pahit, aku tak mampu menyembuhkan lukamu, aku cuma bisa memperpanjang usiamu

Sekar menyela, "Nek "

Dewi Obat mengangkat tangan. "Sekar jangan potong bicaraku Semua yang terjadi sudah terjadi, aku juga manusia biasa, kemampuanku terbatas. Racun ular salju sudah punah, tetapi luka dingin pukulan Kalayawana masih menguasai jalan darah bahkan merasuk sampai ke tulang. Tak ada lagi daya yang bisa kukerjakan untuk menolongmu, anak muda. Racun dingin Kalayawana itu sudah merasuk jauh ke seluruh bagian tubuhmu, dengan ramuan yang kuberikan nanti, kamu bisa bertahan hidup sampai satu bulan lagi."

Selama empat hari di Lembah Cemara, Geni merasa banyak baikan. Ia kini lebih kuat "Dewi Obat, aku berhutang budi padamu, tadinya usiaku hanya tinggal satu hari tapi kamu telah memberi tambahan satu bulan, mungkin dalam satu bulan itu aku bisa menemukan cara penyembuhannya. Aku rasa tak ada gunanya lagi aku berdiam di sini, lebih baik aku pamit sekarang."

Sekar cepat memotong. "Geni sebaiknya besok pagi, sekarang hari sudah mendekati senja."

Dewi Obat mengiyakan. "Wisang Geni, kamu bisa sembuh apabila ada dua pendekar yang memiliki tenaga dalam tinggi, yang seorang menguasai tenaga dingin, orang lainnya tenaga panas. Lalu keduanya membantumu dengan menyalurkan tenaganya ke dalam tubuhmu"

Menatap mata Sekar yang berkaca-kaca, Geni tersenyum dan menjawab akan berangkat esok pagi. Seketika mata Sekar berbinar, gembira Dewi Obat hendak beranjak meninggalkan muda-mudi itu tetapi ia berhenti sejenak. "Geni, aku ingin bertanya, tetapi kuharap kau tidak curiga Sesungguhnya aku masih punya ikatan keluarga dengan Lemah Tulis, dan aku tahu kamu murid Lemah Tulis."

Geni merasa tubuhnya mengejang. Ia menjadi waspada. Dia tidak menyahut, menanti Dewi Obat menatap mata Geni. "Kau pernah mendengar bukit Lejar di kaki gunung Batuk?

Ratusan tahun lalu di salah satu bagian bukit pernah hidup seorang perempuan pertapa tua, dia suka berkeliling daerah sekitarnya dan menolong penduduk, kau tahu siapa dia?" Geni terperanjat. Tidak sembarang orang mengetahui cerita itu, bahkan tidak semua murid Lemah Tulis mengetahuinya.

Geni sendiri mendengar rahasia ini dari gurunya, Padeksa. Seketika ia sadar bahwa Dewi Obat adalah teman sendiri. Geni menjawab tegas, "Nenek pertapa itu dijuluki Nenek Panitikan!"

Dewi Obat menghela nafas. Ia gembira berbareng duka.

Gembira karena aldairnya menemukan orang yang dicari selama ini, murid Lemah Tulis yang sudah mewarisi ilmu Prasidha. Tetapi dia berduka lantaran mengetahui pendeknya usia Geni. Suaranya agak gundah, "Ceritanya panjang, aku bukan dari perguruan Lemah Tulis. Tetapi keluargaku turun temurun kerabat dekat Lemah Tulis. Aku turunan nenek Panitikan!"

Wisang Geni terkejut. Dicari-cari tidak ketemu Tidak dicari justru jumpa. Belasan tahun berdua Padeksa, dia mencari keturunan Nenek Panitikan, bahkan pernah mencarinya di bukit Lejar. Siapa nyana justru sekarang ia sendiri yang menemukan. "Ini pertemuan aneh. Bertahun-tahun aku dan guruku Padeksa mencari tetapi tak berjodoh denganmu, Nek!"

Sekar yang dari tadi diam, menyela, "Mengapa kamu tidak gembira bertemu nenek."

"Aku gembira, tetapi apakah usiaku masih cukup untuk mempelajari Garudamukha Prasidha dan apakah ada gunanya menguasai jurus luar biasa itu."

Dewi Obat menghela nafas. "Semua yang kita peroleh, mungkin tidak bermanfaat pada saat itu, tetapi bisa berguna di saat lain. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi besok atau satu bulan ke depan."

"Terimakasih atas nasihatmu, Nek, sekarang aku mohon kau perlihatkan padaku Kinanti Prasidha itu."

Dewi Obat makin yakin, tak salah orang. Tidak ada orang luar yang tahu tentang Kinanti Prasidha itu, bahkan hanya murid Lemah Tulis yang sangat dipercaya dan murid pilihan yang diberi tugas kepercayaan mencari Kinanti Prasidha. Tapi ia masih menguji. "Aku tak mengerti apa itu Kinanti Prasidha."

"Sebenarnya aku tak usah peduli, sebab usiaku tinggal sebulan, tetapi tugas tetaplah tugas yang harus kulaksanakan. Kau pasti tahu Kinanti Prasidha karena tugasmu menuntun murid Lemah Tulis mempelajari separuh jurus Garudamukha Prasidha yang tersembunyi dalam kinanti itu. Ilmu ini sengaja dibagi dua untuk mencegah dicuri orang luar. Bagian separuh diwariskan kepada murid yang dipercaya, kebetulan orangnya adalah aku. Separuh lain disembunyikan dalam tari kinanti yang dijaga turun temurun oleh keturunan Nenek Panitikan.

Kamu masih tak percaya padaku, Nek?"

Senang hati Dewi Obat dan Sekar. Tak disangkal lagi, Geni- lah orangnya. "Aku percaya sekarang, tetapi tari kinanti tak ada padaku, itu ada pada kakak kandungku dan putrinya.

Mereka kini ada di bukit Lejar."

"Bagaimana aku bisa menemukan mereka?"

"Jika kau berjodoh dengan ilmu dahsyat itu, kau akan temukan mereka di pesta akhir bulan Cakra nanti. Ada pesta gunung, banyak orang dan keramaian. Pesta akan berlangsung tujuh malam Di salah satu tenda, kakak dan keponakanku akan menembang tari Kinanti Prasidha. Kami sekeluarga sudah tak sabar menanti selesainya tugas yang diemban orangtua kami. Sejak belasan tahun lalu dalam setiap pesta gunung di bulan Caitra kami selalu mementaskan drama dan tari Kinanti Prasidha itu. Kau tak perlu khawatir tidak menemukan mereka, tenda mereka mudah dikenali karena tempat lalulintas pengunjung, dan setiap malam mereka hadir dari awal malam sampai dini hari. Wisang Geni, aku mengharap kamu akan memperoleh keajaiban dan sembuh dari penyakitmu, besok pagi jika kau pergi, tak perlu pamitan padaku. Aku cuma berpesan padamu, jika umurmu panjang jangan kamu sia-siakan cinta Sekar." Berkata demikian Dewi Obat berkelebat menghilang dari pandangan dua muda-mudi itu.

Kala itu sinar matahari senja sudah hampir memasuki peraduan. Sinarnya tak mampu menembus lebarnya pepohonan cemara Agak gelap, tetapi sinar mata Sekar berkilat tajam Ia tampak cantik, bekas cacarnya hampir tak terlihat, tertutup sinar senja yang redup. Geni terpesona.

Sesaat kemudian airmata menetes dari sepasang mata indah itu. Ia terisak. "Geni, besok kamu pergi, mungkin kamu akan melupakan aku, tetapi aku tidak akan pernah bisa melupakan kamu, sampai kapan pun."

Geni menghapus airmata Sekar, menciumnya dengan lembut. "Sekar, jangan berkata demikian, aku tak akan melupakan kamu, betapa bodoh dan gilanya aku jika sampai melupakan kamu"

Sekar memegang tangan Geni dan menuntunnya ke buah dadanya. Geni merasakan payudara yang kenyal dan montok. Geni mulai terangsang, ia memeluk dan mencium mulutnya.

Mendadak Sekar mencubit pahanya dan tertawa menggoda. "Jangan sekarang sayangku, kamu tunggu di sini, aku akan membawakan makanan untuk kita berdua dan kita akan berdua saja, hanya kau dan aku, sepanjang malam." Ia pergi sambil tertawa cekikikan, berlari dan melompat ke seberang empang, menghilang di balik pepohonan rimbun.

Hari sudah gelap. Di gubuk itu Geni berdua Sekar. Makan berdua. Duduk bersanding memandang pucuk cemara yang bersinar diterangi cahaya rembulan. "Geni, aku yakin kamu masih berusia panjang, tapi ingat suatu waktu aku pasti akan mencari kamu, aku tidak peduli di sisimu ada Wulan atau wanita lain, aku mendatangimu, mengingatkan kamu bahwa di kolong langit ini masih ada Sekar, gadis buruk rupa yang sangat mencintaimu, yang mau berkorban apa saja untuk membuat kamu bahagia." "Kamu tidak takut dihina dan dipermalukan sainganmu?" "Jika saatnya tiba, wajahku sudah bersih dan cantik, aku

juga membekali diri dengan ilmu silatyang lumayan. Kamu belum melihat kemampuan silatku, karena belum kuperlihatkan. Dalam waktu enam bulan ini nenek akan menyembuhkan bekas cacar dan melatih kepandaian silatku. Nantinya tidak sembarang orang bisa mengalahkan aku."

"Kalau aku, bagaimana?"

Sekar tertawa, mencubit lengan kekasihnya. "Tak mungkin aku berani melawanmu, aku pelayanmu dan juga kekasihmu!" Dia menyandar ke dada Geni. "Tetapi aku mau lebih dari itu, aku mau menjadi ampil, selir atau isteri. Aku tahu banyak wanita yang menyukaimu dan kau pasti akan terpikat rayuan mereka, tetapi aku berani bersaing, aku yakin kau selalu akan tergila-gila padaku, kau akan selalu ingat cara aku melayanimu, kau akan selalu ingat tubuhku dan cintaku. Geni, aku ingin kau menjawab jujur, apakah kau tahu aku mencintaimu?"

Geni mengangguk. "Aku tahu!" Dia mengelus punggung dan perut mulus itu. Kulitnya halus, tubuhnya lunak.

Sekar menggeliat. "Geni, jika aku menemukanmu dan kau sedang dalam pelukan perempuan lain, Wulan atau siapa saja, apakah kau masih mau mengenalku?"

"Tentu saja, tak mungkin aku bisa melupakan hari-hari indah yang telah kita lalui bersama. Jika mau jujur, sebenarnya aku tak tahu bagaimana perasaanku padamu, berada di sampingmu membuat aku sangat bernafsu"

"Geni, aku akan membuatmu bahagia sepanjang malam ini, membuat kamu mengenang dan mengingat tubuh dan cintaku. Akan mengingat kesegaran cintaku meskipun seandainya kamu berada dalam pelukan dan cumbu rayu perempuan lain. Kamu akan sampai pada kesimpulan bahwa Sekar adalah perempuan yang tak bisa kaulupakan begitu saja."

Malam terasa pendek. Sepasang kekasih itu berbisik-bisik mesra diselingi peluk cium penuh birahi. Sekar menangis dan tertawa, ia bahagia berbareng sedih. Malam ini mungkin terakhir ia melayani Geni, tak ada lagi malam-malam panjang yang penuh nafsu dan cinta. Sekar menangis, ia mendengar bisik Geni di telinganya. "Kekasihku, besok aku pergi, entah apakah akan bertemu lagi denganmu, aku pun tak tahu apakah masih akan hidup lanjut, tetapi jika aku masih hidup aku pasti akan mencari kamu."

"Bagaimana dengan Wulan atau perempuan lain?"

"Kita hidup bersama, bertiga, aku, kamu dan Wulan. Aku yakin Wulan akan bersedia, kamu mau?"

Sekar mengangguk. Ia mencium Geni. Lelaki itu menggeluti tubuhnya, dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tak ada sejengkal lekuk tubuh molek itu yang tidak dijamah tangan dan ciuman Geni. Mereka tak mau memejamkan mata.

Sepanjang malam. Sampai esok pagi ketika burung berkicau dan ayam berkokok, keduanya masih bugil berpelukan. Ketika pagi datang, terompet perpisahan sudah harus ditiup. Kini berpisah, tak tahu apakah bisa bertemu lagi.

Sekar mengantar kekasihnya dengan berurai air mata.

Mendekati batas hutan cemara, Sekar memeluk kekasihnya. "Geni, jangan lupakan aku."

"Tak mungkin melupakan kamu, Sekar. Kau terlalu hebat untuk bisa kulupakan, tetapi aku tak berani menjanjikan apa- apa."

"Setelah sembuh dari bekas cacar ini, aku akan mencarimu.

Jika kamu mati, pasti cintaku ikut terkubur, tak ada laki-laki lain bagiku." Geni memeluk gadis itu. Gadis yang sangat mencintainya. Ia mencium penuh nafsu, tangannya merambah ke belahan celana dan meremas bokong gadis itu. Sekar menggeliat. Dua kakinya terangkat melingkar ke pinggang Geni. Keduanya hilang keseimbangan, jatuh terguling dalam posisi berpelukan. Ciuman makin liar dan panjang. Burung burung menjadi saksi saat sepasang kekasih melepas pakaian dan bersatu dalam kenikmatan batin dan raga yang makin lama makin memuncak.

Ditengah deru nafsunya yang panas Geni berbisik,"Sekar jikalau saja aku bisa hidup bersamamu selamanya di Lembah Cemara ini, aku puas. Namun aku harus pergi, aku harus hidup, aku tidak mau mati! Tetapi seandainya mati aku akan membawamu dalam kenangan terakhirku.''

Sekar menggeliat penuh nafsu. "Percayalah Geni, itu tandanya kau mencintai aku, oh, aku bahagia."

"Aku tak tahu apakah ini yang disebut cinta, tetapi kalau benar ini adalah cinta, maka pohon pohon cemara dan seisi mahluk hutan menjadi saksi bahwa aku Wisang Geni sangat mencintai Sekar."

"Aku bahagia kekasihku," bisik Sekar yang menjerit lirih. Ia mendaki puncak kenikmatan. Tengah hari ketika matahari berada di titik tertinggi Geni dengan langkah berat akhirnya meninggalkan Sekar yang mengantarnya dengan berurai air mata.

Duapuluh hari telah berlalu sejak meninggalkan Lembah Cemara, Wisang Geni menjalani hari-hari yang kosong, tak ada arti. Dia tidak langsung menuju bukit Lejar, ia merantau tanpa tujuan. Akhirnya ia tiba juga di bukit Lejar tepat pesta gunung memasuki hari keenam. Itulah hari terakhir bulan Caitra, puncak keramaian pesta. Jika menurut hitungan Dewi Obat, dia masih bisa hidup tujuh hari lagi sebelum kematian menjemputnya. Dia mendaki bukit Lejar, tenggelam di antara banyaknya pengunjung. Dia dalam keadaan bimbang. Pikirannya tak menentu, kalut. Dalam hati dia mengakui sebenarnya dia takut mati Ada bedanya, mati dalam perkelahian, seseorang tidak perlu menanti kematian menjemput. Ia mati dibunuh lawan.

Dan selesai. Jika menang, ia tidak akan terbunuh, musuhnya yang mati. Tetapi keadaannya kini berbeda, ia justru menanti saat maut datang menjemputnya. Tujuh atau enam atau lima hari, ia tidak tahu pasti kapan saatnya ajal itu datang menerkamnya. Geni semakin bingung. Ia seperti linglung, mendaki bukit mengikuti ke mana langkah membawanya.

Menunaikan tugas perguruan menemukan Kinanti Prasidha dan mempelajari ilmu pusaka Garudamukha Prasidha. Tetapi buat apa? Berhasil menemukan dan mempelajarinya tak akan banyak gunanya, ia akan mati membawa ilmu itu ke dalam kubur. Pikiran ini menghantuinya sejak pergi meninggalkan Lembah Cemara. Ia tak lagi mengurus dirinya, tak pernah mandi, pakaiannya compang camping, wajahnya lusuh dengan cambang, kumis serta rambut panjang riap-riapan. Geni menyerupai pengemis butut yang dekil.

Hari itu sangat ramai. Geni terbawa arus pengunjung.

Orang-orang itu percaya jika berada di bukit Lejar pada hari terakhir bulan Caitra, apa saja yang diinginkan akan terkabul.

Konon di bukit Lejar ini, di suatu tempat yang tidak diketahui, dewa-dewa mengadakan pertemuan membincangkan urusan dunia. Sebagian pengunjung mencari jodoh, yang lain minta kekayaan dan kekuasaan. Para pendekar mengincar buku silat yang konon milik para dewa yang tercecer di bukit ini Para pedagang tidak ketinggalan, datang menjajakan jualan. Semua orang datang mencari peruntungan. Makin larut malam, lereng bukit semakin padat, penuh sesak. Nyaris tak ada tempat kosong sepanjang lereng. Di sana sini ada keramaian. Wisang Geni melangkah gontai. Pakaiannya compang camping tampak kontras dengan pengunjung sekitarnya. Semua orang mengenakan pakaian mewah mentereng. Di satu pojok keramaian, bagian yang tidak banyak dikunjungi orang terdengar suara lelaki bercerita. "Siapa sangka cinta dua anak manusia itu mendapat rintangan besar. Ksiti Sundari menangis. Ia berduka menangisi nasib dan kisah cintanya.

Prabu Baladewa tidak setuju, apa alasannya?"

Langkah Wisang Geni terhenti. Ia diam Terbayang wajah Wulan. Wajah perempuan yang dicintainya. Ia merasa senasib dengan tokoh yang diceritakan itu. Ia ingin mendengar lebih lanjut. Ia memilih sebuah pohon besar tidak jauh dari tenda yang menggelar cerita wayang itu, bersandar dan memasang telinga. Beberapa saat mendengar, ia lantas tahu cerita yang dibawakan Ki Dalang adalah Ghatotkamsraya karya mpu Panuluh. Dia mempelajarinya dari guru Waragang. Cerita yang digandrungi banyak orang.

Sesaat Geni lupa segalanya. Ia larut dalam kisah itu. Bagian di mana Ksiti Sundari, putri tunggal prabhu Kresna, raja Dwarati bertemu Abhimanyu, putra Arjuna, keduanya saling mengutarakan cinta. Berjanji sehidup semati Ksiti Sundari memberi cupu berisi "burat" sebagai tanda setia. Cinta diam- diam dan tersembunyi lantaran takut akan murka sang prabhu Baladewa, kakak Kresna. Karena resminya Baladewa telah menjodohkan Sundari dengan Laskmana, putra tunggal prabhu Duryudhana.

Meskipun sudah mengetahui isi cerita, namun Geni masih tetap terpesona akan kisah itu. Terutama ketika Ki Dalang memasuki bagian Sundari kasmaran di taman. Membayangkan kekasihnya, Abhimanyu, yang jauh di rantau, Sundari menumpahkan segenap isi hati dalam tari. Seorang gadis cantik dengan busana kerajaan yang mewah, naik panggung. Ia menari lemah gemulai, indah dan mengundang pesona.

Penonton bertepuk tangan. Jantung Geni seakan terhenti. Ia terkejut. Matanya melotot.

Ia seakan tak percaya apa yang dilihatnya. Jari-jari tangan gadis itu meliuk-liuk seperti paruh burung, siap memangsa korban di kanan kiri. Geni tahu itulah gerak pembukaan jurus Prasidha. Sejak kecil gurunya Padeksa mengajarinya berulang- ulang sehingga Geni sudah sangat hafal dan menguasai jurus pembukaan itu.

Saat berikut terdengar suara si gadis melantunkan kidung, suaranya mendayu-dayu. Kidung rindu seorang gadis yang mabuk cinta. Berbagai rasa bergalau di dalamnya, sedih, gembira, cinta, birahi, rindu, berontak, ingin mati, ingin selamat. Geni melihat kidung itu dilantunkan sesuai gerak tarinya. Adakalanya ia gemulai. Kadangkala kakinya menghentak lantai. Sekali-sekali ia menggoyang pinggul mengundang fantasi, mengguncang buah dadanya memancing birahi Sepintas orang hanya melihat gerak tari seorang penari yang dinamis. Tetapi Wisang Geni terpukau bukan sebab tari yang sensual melainkan setiap detil gerakannya menyerupai jurus silat. Geni memusatkan pikiran pada gerak tari itu yang ternyata sangat akrab dengan apa yang telah dipelajarinya, mirip Prasidha ajaran Padeksa.

Seperti orang edan, mulut Geni komat-kamit. "Itu kan jurus Sanakanilamatra (Sebesar Angin yang Terkecil), itu Agniwisa (Bisa Api) dan itu Silmujug Tundaghata (Menukikke Bawah dan Menyerang dengan Patuk). Hebat, ternyata kelanjutan jurus itu demikian adanya. Itu Parasada Atishasha (Menara Bukan Main) dan Akivatnatyana (Biarkan Akuyang membunuh), tak kusangka kelengkapan jurusnya begitu, luar biasa! Itu Kacakrawatyan (Penguasaan Dunia) dan Sikbtviriya (Cintaku Kepadanya), tapi mengapa Sikhmriya diletakkan paling buntut, seharusnya paling awal? Tarian ini pasti jurus pusaka Kinanti Prasidbayang kucari selama ini."

Seluruhnya ada tujuh jurus dan yang diulang-ulang sampai tiga kali putaran. Ketika penari itu mengulang pada putaran kedua, Geni mulai bingung. Tujuh jurus yang tadi digelar tak lagi berurutan. Pada putaran ketiga, urutannya kembali tidak sama. Tetapi Geni mulai mengerti. Pada setiap hendak mengawali satu putaran, penari itu mendendang syair Parahwanta Angentasana Dukharnaipa (Hendaknya Aku Menjadi Perahilmu untuk Menyeberangi Lautan Kesusahan). Apa maksud syair itu? Pasti bukan bagian ungkapan Ksiti Sundari, sementara syair lainnya tak pernah diulang-ulang. Tetapi kalimat ini justru diulang sampai tiga kali. Ini pasti bagian paling penting. Tapi apa artinya?

Meskipun berpikir keras Geni tetap merekam semua yang dilihatnya. Tak ada yang luput dari pengamatan sekecil apa pun. Ia tak tahu berapa lama si gadis menari. Waktu terasa begitu singkat ketika Geni melihat gadis penari itu undur diri. Suara Ki Dalang terdengar lagi melanjutkan kisahnya. Tetapi Geni tak lagi tertarik. Benaknya sudah dipenuhi gerak tarian tadi.

Bagai orang linglung dia melangkah di antara orang berlalu- lalang. Dia lupa keadaan sekeliling. Bahkan lupa akan diri sendiri. Ia mulai mengingat ulang jurus Prasidha yang diajarkan kakek Padeksa kepadanya. Lalu menggabungkannya dengan gerak tari tadi. Satu demi satu ia rangkai dalam benaknya. Tanpa sadar ia memeragakan di tengah keramaian. Orang-orang tertawa melihatnya, dikiranya pengemis gila itu sedang menari, tari yang kacau. Mendadak Geni melompat kegirangan. "Aku dapat!" teriaknya berulang-ulang.

Itulah jodoh. Wisang Geni tak pernah tahu bahwa dia salah satu murid Lemah Tulis paling beruntung sepanjang lima dekade akhir. Pendekar Lemah Tulis terakhir yang mewarisi Garudamukha Prasidha tidak lain adalah Eyang Sepuh Suryajagad yang keberadaannya sekarang masih misterius.

Ia masih mengingat-ingat jurus dahsyat itu yang kini sudah lengkap dan sempurna dalam benaknya, mendadak ia terpental terbanting ke tanah. Punggungnya sakit terbentur batu. Capingnya mental. Ia menengadah, memandang lelaki yang membenturnya. Mata lelaki itu melotot memandangnya. "Pengemis buduk, mata kamu buta beraninya nabrak aku."

Geni hendak melawan tetapi ia ingat keadaannya sekarang seperti orang awam, tak punya kepandaian silat dan tak punya tenaga Jika melawan, itu hanya mencari gebuk saja. Lebih baik diam, mengalah. Seorang gadis mendekati lelaki itu. "Ayo kangmas, kita jalan terus."

Lelaki itu manda digandeng si gadis. Keduanya pergi. Geni diam terpaku, bibirnya gemetar menyebut nama seseorang, "Sari!" Ia merasa telah berteriak, ternyata tidak, suaranya terdengar sayup-sayup. Anehnya gadis itu mendengar namanya disebut orang. Ia menoleh mencari-cari. Sepintas ia melihat pengemis terbaring di tanah. Tetapi ia tak mengenal Geni. "Aneh," gumam si gadis.

Terdengar suara lelaki itu, suara yang berat dan agak parau. "Apa yang aneh, Wulan?"

Gadis itu menyahut sembarangan. "Aku seperti mendengar suara yang memanggil namaku."

"Aku WisajigGeni yang memanggilmu," dia teriak dengan suaranyya hanya terdengar macam orang ngorok. Ketika Geni sadar sepenuhnya, Wulan sudah menghilang di dalam kerilmunan orang. "Apakah aku bermimpi?" Geni menampar pipinya. Sakit. "Aku tidak mimpi, benar-benar tadi aku melihat Wulan tetapi mengapa dia tak mengenalku? Siapa lelaki itu?"

Geni merasa ada sesuatu menusuk hatinya. Sakit dan perih. Ia cemburu. Ia bangkit, punggung dan pundaknya masih sakit namun hatinya lebih sakit lagi. Ketika itu ada tangan perempuan menyodor sekeping uang tembaga kepadanya. Ia menengadah menatap wanita itu. Wajah cantik itu tersenyum ramah. "Pak Tua itu uang untuk makan dan beli pakaian."

Geni seperti ingat wajah cantik itu. Mendadak ia mengenalnya. "Dia Rorowangi!" Tetapi saat itu Rorowangi sudah menghilang bersama lelaki yang mendampinginya. Geni merasa heran. "Rorowangi dan lelaki itu Setawastra, tetapi mengapa dia tidak mengenalku, malah menyebut aku Pak Tua." Tangan Geni meraba wajahnya. Mendadak ia tertawa keras. Ia sadar wajahnya dipenuhi berewok, cambang dan kumis serta rambut panjang tak terurus, pakaian rombeng, pantas orang tak mengenalnya.

Ia teringat lelaki yang bersama-sama Wulan Siapa dia, mengapa tampak begitu mesra, bergandeng tangan. Geni marah. "Apakah Wulan sudah melupakannya, begitu mudah berganti kekasih semudah berganti pakaian?" Pertanyaan itu ibarat pisau tajam menusuk hatinya. Ia melangkah gontai.

Pertanyaan itu memburunya terus. Geni memegang kepala, mencoba memikirkan jurus Garudamukha Prasidha tetapi gagal. Bayangan Wulan dan lelaki itu terus menghantuinya.

Geni melihat sebuah warung penjual tuak. Di samping warung di sebuah pokok pohon, ia duduk bersandar. Pemilik warung menegurnya, namun sebelum orang itu memaki, Geni mendahuluinya. "Ini uang, bawakan aku tuak sebanyak- banyaknya." Pemilik warung melayani macam seorang pangeran. Geni menenggak tuak. Lima tabung. Ia mulai pusing. Sepuluh tabung. Geni rubuh.

Saat itu fajar menyingsing, matahari mengintip di ufuk timur. Pemilik warung mengusirnya, "Hei bangun pengemis buduk, pergi kamu, jangan mengotori tempatku."

Geni menyahut. "Biarkan aku bermimpi, kalau aku tidur, aku tak akan bangun lagi. Jika aku bangun, aku tak akan tidur lagi, mati sekarang atau mati besok, sama saja." Geni melangkah gontai, ke mana langkah membawa lubuknya.

Tanpa sadar ia berjalan ke arah ketinggian. Ia berjalan lerus. Tubuhnya kian melemah. Matahari mulai tenggelam, Geni jatuh tertidur. Bangun dari tidur, dia berjalan lagi. Ia tak tahu berapa lama ia mendaki, siang berganti malam, malam berganti siang. Ia berjalan terus. Ia tak tahu berapa hari lagi sisa hidupnya. Racun dingin lebih sering menyerang, ia menggigil gemetaran.

Siang itu ia terbaring menggigil, wajah dan tubuh Wulan muncul di benaknya. Wajah cantik dan tubuh molek.

Pelukannya yang hangat, bibirnya yang panas membara Geni mengigau menyebut nama Wulan. Lalu muncul wajah Sekar, wajahnya cantik, tak ada lagi bercak hitam bekas cacar. Wajah dan tubuh Sekar yang indah ranum Ia masih bisa membayangkan kenikmatan cinta yang diberikan Sekar yang membuatnya bahagia. Geni memanggil nama Sekar berulang- ulang. Dalam benaknya ia membandingkan dua perempuan itu. Ada perbedaan. Saat mengingat Wulan ia ingin mati lantaran cemburu. Saat merindukan Sekar, ia ingin hidup. Ia ingat janjinya pada gadis itu, "Aku akan sembuh dan aku akan mencarimu." Ia merasakan birahi setiap membayangkan dua perempuan itu tetapi ia tak bisa memutuskan siapa yang lebih ia cintai. "Aku akan sangat bahagia jika bisa mendapatkan keduanya sebagai isteriku."

Siang sangat terik, namun udara sejuk. Bagian lereng itu sepi. Tak ada mahluk hidup. Sepi dan lengang. Ia haus.

Tenggorokan kering. Ia tak ingat lagi, kapan terakhir ia makan atau minum. Tetapi haus cuma bagian kecil dari penderitaannya. Ia tak kuat lagi melangkah. Tenaganya habis. Setengah menyeret kaki ia sampai di bagian sisi yang terjal.

Jauh di ujung jalan ia melihat timbunan pohon bambukecil. Biasanya dalam ruas bambu tersimpan air. Ia memaksa diri melangkah mendaki jalan setapak. Di kiri tebing gunung menjulang tegaklurus. Di sisi kanan jurang mengangayang dasarnya tak terlihat Jatuh bangun ia sampai juga di pepohonan bambu.

Persoalan lain muncul. Ia tak punya pisau untuk memotong, tidak juga tenaga. Ia memandang bambu itu dengan gundah. "Bambu pun tak bersahabat denganku. Inilah akhir perjalanan hidup murid Lemah Tulis bernama Wisang Geni!" Menggumam demikian ia menerawang berusaha mengingat wajah orangtuanya. Samar-samar terbayang wajah Gajah Kuning dan Sukesih. Ia bahkan belum membalas kematian orangtuanya. Teringat bayangan guru-gurunya Mahisa Walungan, Waragang, Gubar Baleman, Manjangan Puguh, Padeksa.

la ing.H kala kala Padeksa, "Bila sedang kacau, kembalilah ke kehidupan. Pikirkan tentang hidup. Ada nafas ada kehidupan, tak ada nafas hidup pun tak ada." Tadinya tak mengerti maknanya tetapi kini ia mengerti maksudnya. Ia duduk bersila merasakan desah nafasnya. Ia tak mau memikirkan hal lain kecuali bernafas. Ia tahu begitu nafasnya berhenti, ia terbebas dari derita. Ia rela jika saat itu ia harus mati. Ia tak punya siapa pun.

Berapa lama ia semedi, ia tak sadar. Mendadak pikirannya tergugah. Bayangan gadis penari membayang di depan matanya. Satu demi satu gambaran jurus itu muncul di benaknya. Utuh! Bagai terbius ia bangkit mengikuti gerak tari si gadis. Ia mengurut tujuh jurus tari yang sudah ia sempurnakan dengan tujuh jurus yang diajarkan Padeksa, memainkan Garudamukha Prasidha.

Ia sadar kini jurus pusaka Lemah Tulis itu sudah jadi miliknya. "Tetapi aku tak lama lagi akan mati, jurus dahsyat ini akan ikut terkubur. Ini tak boleh terjadi, aku harus berjuang hidup, selamatkan jurus ini, menemui Wulan dan Sekar, membalas kematian orangtua dan guru-guruku. Masih banyakyang harus kukerjakan, aku tak boleh mati!"

Geni berlatih terus. Matahari terbenam Lereng gunung menjadi kelam Bagai kesurupan Geni berlatih terus. Ketika ia berhenti, mendadak saja ia berteriak kaget. "Bukankah aku sudah kehabisan tenaga, lantas mengapa aku bisa bersilat sepanjang siang? Dari mana datangnya tenagaku, mungkinkah dari jurus pusaka ini." Berpikir demikian, Geni mencoba memukul. Ternyata pukulannya tak mengeluarkan tenaga besar. Sama sekali tak ada tenaga batin. Tetapi ia tak kecewa, ia bahkan gembira, lantaran merasa tubuhnya segar. "Ini pasti berkat latihan Garudamukha Prasidha tapi apa mungkin cuma setengah hari sudah mendatangkan manfaat sebesar ini." Ia ingat petuah Padeksa. "Jurus Garudamukha Prasidha menyita waktu latihan sekitar dua tahun. Itu pun jika orang itu sudah punya tenaga dalam hasil latihan sepuluh tahunan. Sementara orang awam yang tak punya tenaga batin terlatih, tak mungkin bisa menguasai jurus pusaka ini. Pada pokoknya jurus pusaka ini hanya bisa dilatih apabila kita memiliki tenaga batin mumpuni, sebab ilmu ini adalah untuk menyempurnakan dan meningkatkan tenaga batin yang sudah kira miliki."

Ia tak tahu apa yang terjadi. Ia cuma tahu tubuhnya kini segar. Ia merasa gembira Namun mendadak saja ia menggeliat. Rasa dingin yang amat sangat menusuk tulangnya, ia menggigil hebat. Tubuhnya terbanting dan terguling. Tanpa sadar ia menggelinding ke jurang terjal. Geni merasa tubuhnya melayang. Dia jatuh ke dalam jurang.

Tubuhnya menggigil tetapi ia berpikir cepat. Ingin selamat. Tangan menggapai apa yang bisa diraihnya.

Tubuhnya melayang di udara Ia melihat di bawah gelap gulita. Tetapi samar-samar di kegelapan malam ia melihat sebuah batu cadas menonjol. Tidak berpikir lagi, dia spontan bereaksi memutar tubuhnya dalam sikap Makanjaran (Menari dengan Lengan Terkembang). Di tengah udara ia menari memutar dua tangannya Aneh memang, dalam keadaan kritis itu mendadak muncul tenaga istimewa Jurus Makanjaran yang sempurna telah menyelamatkan nyawanya Ia menggerakkan tubuh sehinggakakinya menjejak tepat di atas batu cadas itu.

Kakinya sakit. Tetapi ia selamat. Anehnya rasa dingin mendadak lenyap. Geni menengadah. Ada sedikit cahaya bulan. Tempat dari mana ia jatuh, tidak terlalu tinggi. Tetapi tak mungkin bisa naik ke sana, tebing sangat terjal. Ke bawah, gelap gulita "Lebih baik aku menanti sampai matahari terbit."

Menanti terbitnya matahari, Geni duduk semedi di batu cadas yang tak terlalu luas. Ia berlatih, menggerakkan tubuh mengikuti jurus pusaka Garudamukha Prasidha untuk mengusir rasa dingin yang mengiringi turunnya embun dan kabut pegunungan. Ia tak perlu menanti lama, menyaksikan fajar mulai menyingsing. Matahari masih sembunyi di ufuk Timur namun cahayanya sudah menerangi alam sekeliling.

Kini Geni bisa melihat ke bawah. Tak tampak dasar. Embun dan kabut menutupi pandangannya. Ke atas, ia melihat tebingyang terjal dengan permukaan yang licin, mustahil ia bisa memanjat ke atas. Lagipula menuruni tebing jauh lebih mudah dan lebih ringan dibanding memanjat ke atas. Ia memutuskan menuruni tebing, mungkin di dasar jurang ada kehidupan. Ia mengamati dengan teliti dalam radius pendek ia bisa melihat jelas. Tebing di bawahnya tidak rata dan tidak licin. Tampak beberapa batu menonjol, bisa dijadikan pegangan dan pijakan.

Manusia memang aneh. Kemarin dan hari-hari sebelumnya, Geni bahkan mencari mati, tak ingin hidup. Tetapi sejak jatuh dari tebing, semangatnya untuk hidup dan menyelamatkan nyawa justru menggebu. Ia ingat nasehat Dewi Obat kepadanya berdua Sekar, "Kalian musti tabah, hidup harus diperjuangkan. Geni, jika kamu menetap di sini kamu pasti mati muda, tetapi jika pergi memperjuangkan hidup, adu peluang kamu sembuh dan hidup lanjut. Saat itu kalian bisa bertemu lagi."

Tekadnya besar, semangatnya tinggi, kemauannya keras untuk mencari selamat. Satu-satunya jalan menuruni tebing menuju dasar jurang yang jaraknya tak bisa diukur. Gagal pun tak ada yang perlu dirisaukan. Gagal berarti mati Dan soal mati, ia sudah harus mati hari-hari kemarin, mungkin juga beberapa hari ke depan. Menuruni tebing terjal yang penuh batu cadas hanya dengan tangan dan kaki sungguh penderitaan yang menyiksa. Cadas yang keras dan tajam telah merobek tangan dan kaki. Hampir sekujur tubuhnya lecet berdarah. Namun Geni pantang menyerah.

Ia memandang ke bawah, kabut menghalangi pandangan meskipun terik matahari mulai membakar. Keringat dan darah membasahi tubuh. Tulang dan ototnya meregang menjerit memohon istirahat. Geni bergerak terus. Ia seakan tak peduli apa yang akan terjadi. Ia membayangkan Sekar sedang menantinya di dasar jurang, Sekar dengan kenikmatan cintanya. Juga Wulan, perempuan montok itu tergolek di dalam goa di dasar jurang, tumit, betis dan pahanya yang indah menggodanya. Dua wanita itu sedang menanti di dasar jurang. Tetapi dasar jurang, belum juga tampak. "Mungkin aku harus menuruni jurang ini sampai ajal menjemputku tetapi apa peduliku, akan kulakukan sampai mati pun," gumamnya.

Menuruni tebing jurang ia selalu melihat ke bawah, mencari-cari batu tempat pijakan. Suatu ketika matanya menangkap sesuatu yang bergerak, di bawah. Selang sesaat ketika lebih jauh menurun ia berteriak gembira Itu pucuk pepohonan. Semangatnya bangkit. Semakin mendekati dasar jurang semakin mudah menuruni tebing.

Ketika kakinya menginjak dasar jurang, dengkulnya menggeletar hebat diikuti tubuhnya yang mengejang. Ia jatuh. Ia berbaring diam karena tahu bahwa semuanya itu disebabkan keletihan yang amat sangat. Ia tak mampu menggerakkan kaki dan tangan. Ia melirik tangannya, penuh darah. Jari-jari dan telapak tangan luka, lecet dan terkelupas. Rasanya perih, seluruh rubuhnya perih. Ia lama diam, akhirnya tertidur pulas di bawah pohon besar yang rindang.

---ooo0dw0ooo--- 

Wajah Kalayawana tampak mengerikan, matanya yang hanya sebelah itu menyala seperti matahari. Merah dan memancarkan panas luar biasa. Orang jahat itu tertawa keras sambil melancarkan pukulan berantai. Wisang Geni berusaha mengelak tetapi tubuhnya tak mampu bergerak. Dia merasa sakit, tubuhnya terguncang keras dilanda beberapa pukulan Kalayawana. Saat berikut dia merasa tubuhnya terlempar, melayang-layang ke suatu tempat.

Tiba-tiba Wisang Geni melihat seorang dewi yang cantik muncul, wajah dan tubuhnya mirip Sekar. Wajahnya cantik tak ada bekas cacar. Dia berseru memanggil, "Sekar!" Tetapi sang dewi tidak menengok ke arahnya melainkan mengejar dan mengusir Kalayawana yang lari ketakutan. Sang dewi balik menghampirinya.

Wisang Geni masih merasakan dirinya melayang-layang, dan dia tak bisa menghentikan gerak tubuhnya. Dia tak punya daya untuk menguasai tubuhnya sendiri, tenaganya lenyap.

Dalam ketidakberdayaan dia melihat sang dewi tersenyum padanya dan menarik dia turun ke bumi, mengelus dan memijit-mijit tubuhnya. Dia merasa aman dan nyaman. Dia memerhatikan sang dewi, ternyata bukan Sekar, tetapi mirip Sekar.

Mendadak dia melihat cahaya terang benderang menerangi alam. Cahaya itu menuju ke arahnya. Dia tak bisa mengelak, karena tubuhnya tak bisa bergerak. Cahaya itu menerpa kepalanya. Geni merasa kepalanya pecah. Tetapi aneh, dia tidak mati Dia membuka matanya. Samar-samar dia melihat sang dewi sedang memijit m tubuhnya. Saat berikut, pelan- pelan wajah sang dewi yang tadinya cantik berubah menjadi kera yang menyeringai. Tidak hanya seekor kera tetapi beberapa ekor. Saking terkejut spontan dia memejamkan mata.

"Apakah aku sudah mati lalu dihidupkan kembali dengan wujud lain, wujud kera? Apakah aku hidup di dunia kera? Tapi ke mana perginya dewi cantik tadi yang telah menolong aku? Apakah tadi hanya mimpi?"

Tiba-tiba terdengar jeritan yang melengking keras.

Kemudian sepasang tangan berbulu memeluk dan menggendongnya. Geni masih tetap memejamkan mata. Dia merasakan tubuhnya digendong seseorang yang tangannya berbulu lebat. Apakah makhluk itu seekor kera? Belum sempat berpikir lebih jauh, dia merasa tubuhnya melayang. "Apa yang terjadi?" Dia membuka mata. Tampak pohon-pohon dan tebing berputar. "Celaka rupanya aku dilempar." Pikirannya belum stabil ketika dia merasa tubuhnya kecebur dalam air.

Saking terkejutnya air menerobos masuk mulut dan hidungnya. Gerak refleks menolong diri, kaki Geni menendang air dan muncul ke permukaan.

Matanya masih nanar, pikirannya pelan-pelan mulai bekerja normal Dia melihat keliling. Ternyata dia berada di sebuah kolam besar yang diapit tebing-tebing terjal. Jalan keluar dari kolam hanya satu tepian. Tetapi di situ berdiri sekumpulan kera berteriak-teriak sambil menuding ke arahnya. Geni memberanikan diri berenang ke tepian, jika tidak maka dia akan tenggelam karena tenaganya masih belum pulih.

Lagipula, air kolam itu panas, sangat panas.

"Oh ternyata aku belum mati," ia ingat kini, ia berada di dasar jurang setelah susah payah menuruni tebing terjal. "Rupanya di dasar jurang ini ada kehidupan juga. Mungkinkah ada manusia hidup di sini, atau cuma kera-kera liar?" Banyak pertanyaan belum terjawab, dia akhirnya sampai di tepian kolam meski berenang dengan susah payah. Seekor kera besar, rupanya pemimpin di antara mereka, berteriak melengking. Teriakannya keras. Teriakan itu membuat kera-kera lain lari ketakutan dan menyingkir jauh. Kera besar kemudian membantu Geni duduk di tepi kolam

Sesaat Geni tak tahu harus berbuat apa. Seekor kera kecil datang membawa bebuahan. Tidak banyak, hanya dua.

Warnanya merah, ukuran dan bentuknya mirip mangga Ia menyodorkan kepada Geni. Rasanya enak, gurih dan harum baunya. Buah itu terasa dingin di mulut namun terasa hangat di perut.

Kera kecil melompat-lompat. Gembira. Kera besar meraba luka di tubuh Geni, lalu menunjuk kolam Geni melihat luka- lukanya, kulit dan dagingnya lecet ketika menuruni tebing.

Hampir tak ada bagian tubuh yang tidak luka. Geni memandang kera besar. Ia mengerti apa maksud makhluk itu. "Ia ingin aku mencuci luka dengan air kolam," gumamnya.

Ketika ia meraup air untuk mencuci luka tiba-tiba kera besar mendorongnya. Ia terpental ke dalam kolam Terdengar suara riuh. Kera-kera itu berjingkrak sambil tertawa. Riuh.

Wisang Geni merasa lucu, berenang ke tepian. Tetapi kera besar itu melompat-lompat dengan air muka marah. Ketika Geni merapat ke tepian, kera besar immendorongnya kembali ke air. Kera itu menuding ke suatu tempat.

Geni mengikuti arah yang ditunjuk. Itu bagian kolam yang paling ujung dan paling pojok. Di situ tidak terlihat sesuatu apa pun. Selain suara kera yang masih saja bising, kolam itu punya kesan teduh dan lengang. Bahkan ada semacam nuansa angker dan magis. Air kolam di bagian pojok itu tidak beriak. Seluruh permukaannya terselubung uap panas yang tebal. Geni berenang ke bagian itu.

Air di kolam itu panas. Tetapi makin mendekati pojok kolam, air semakin panas. Anehnya lagi, ia merasa ada mahluk hidup lain yang bergerak di bawah. Sesuatu yang menggerayangi dan menggelitik tubuhnya. Ia menyelam. Ternyata ikan. Jumlahnya banyak dan jinak.

Makin ke pojok kolam, air makin panas, uap panas makin tebal, membuat dia sulit untuk bernafas. Geni tidak tahan berlama-lama di situ. Tak hanya sulit bernafas, panasnya air seperti hendak merebus tubuhnya. Ia berbalik arah berenang ke tepian.

Mendekati tepi kolam, ia melihat kumpulan kera itu berjingkrak, menjerit dan melengking. Tampaknya marah atau tidak puas. Kera besar menggerakkan tangan, menyuruh Geni kembali ke pojok kolam. Geni merapat ke tepian. Kera besar menghalanginya, malah mendorong dia kembali ke kolam Tak sadar Geni berteriak, "Panas, aku tak tahan! Istirahat dulu!"

Seakan mengerti, kera besar membantu Geni naik dari kolam. Ia mengajak Geni ke bagian lain kolam. Kolam itu besar dan luas. Memerhatikan lebih cermat ternyata kolam besar itu terdiri dua bagian yang menjadi satu. Batas pemisah hanya dinding batu kasar warna hitam. Dinding itu nyaris tak terlihat sebab terendam sedikit di bawah permukaan air.

Memerhatikan lebih lanjut Geni menemukan perbedaan. Kolam di mana tadi ia berenang, ada uap yang menyelimuti hampir seluruh permukaan. Tetapi kolam yang satu ini, berbeda. Di bagian kolam ini tak ada uap panas. Tampak uap tipis dan bening mengambang di permukaan. Kolam ini kelihatan angker. Airnya tenang tak bergerak seperti menyimpan misteri.

Geni mendekati tepi kolam hendak meraup air. Mendadak kera besar mendorongnya. Begitu tubuhnya tercebur di kolam, Geni berteriak. Seperti pengalaman sebelumnya, saking terkejut tanpa sengaja ia meneguk air. Air kolam itu dingin, sangat dingin Tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum es. Ia menggigil hebat. Cepat ia berenang ke tepian. Kera besar melompat girang, lalu mendorongnya kembali ke kolam Tubuh Geni menggigil hebat Giginya saling beradu. "Gila! Dingin luar biasa, aku tak tahan!"

Dia berenang ke tepian. Kali ini kera besar berlaku baik, menariknya keluar dari kolam. Begitu menginjak tanah, Geni langsung nyebur ke kolam air panas. Rasa dinginnya mereda. Ia keluar dari kolam, duduk di sebuah batu besar dekat kolam Kera besar tertawa sambil menunjuk dada Geni. Ia melihat luka-lukanya. Aneh, luka-luka itu tampak bersih. Luka yang kecil yang hanya tergores batu tajam, mulai rapat Sedang luka besar dan lebar memperlihatkan tanda-tanda membaik.

Wisang Geni takjub. Dua kolam ini suatu keajaiban alam. Yang satu airnya panas luar biasa. Satu lainnya dingin nyaris membeku. Anehnya karena dinding batas yang tidak tinggi, air kedua kolam ini bercampur menjadi satu. Tapi sifat panas dan dingin itu tetap terpelihara Air yang panas tak bisa melenyapkan sifat dingin air kolam tetangga, begitu sebaliknya. Geni memandang sekeliling. Ke mana dia memandang ke situ matanya terbentur tebing terjal bagai tak berujung. Lembah itu menyerupai silmur raksasa yang dikelilingi tebing terjal. Tak mungkin bisa didaki manusia kecuali dia memiliki ilmu silat tinggi.

Tanahnya subur. Di mana-mana tampak pepohonan dengan daun rimbun serta buah-buahan warna warni. Macam- macam buah. Melihat ini, dia tidak perlu khawatir mati kelaparan. "Mati? Aku masih hidup, tetapi terpencil dan terasing dalam jurang ini sama halnya dengan mati Apakah ini bentuk lain dari kematianku? Tetapi kenapa aku harus peduli, bagaimanapun juga ajalku sudah semakin dekat," katanya dalam hati

Dia tidak sempat melamun atau berpikir jauh, kera besar datang lagi mendorong. Dia tak bisa menghindar, tercebur ke kolam panas. Kalau tadinya ilia merasa enggan, sekai ang dia mencoba menikmati bei main main di kolam panas. Berganti-ganti dia berenang di kolam dingin dan panas. Ketika matahari terbenam, Geni sudah mulai terbiasa dengan panas dan dinginnya air kolam. Ia juga mulai bersahabat dengan kera- kera.

Sikapnya pasrah. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk keluar dari lembah. Lagipula, dia tak punya kepentingan lagi untuk keluar sebab bagaimanapun juga dia akan mati Dan mati di lembah ini atau mati di luar lembah, sama saja, tak ada bedanya, tetap sama, mati! Geni berpikir sederhana, dia harus pasrah menjalani hidup seperti apa yang ada di depan mata dan menikmatinya. Dia memang tak punya pilihan. Dia mencari tempat untuk bermalam, semacam goa. Jika tak ada goa maka dia berpikir akan membangun rumah sederhana. Di sekitarnya terdapat banyak pohon yang rimbun. Tapi dia tak punya perkakas. Setelah berkeliling akhirnya dia menemukan sebuah goa kecil, cukup untuk satu orang. Dibantu kera-kera ia membersihkan goa.

Tanpa disadarinya sudah tiga hari ia tinggal di lembah. Tiap hari bergaul dengan kera Makan buah, menangkap ikan kolam. Ikannya gemuk dan berlemak. Selama itu dia hanya sekali-sekali diserang rasa dingin. Geni menghitung hari, menurut perhitungan Dewi Obat, kemarin seharusnya dia sudah mati

Tetapi aneh. Bukan saja belum mati Malah rasa dingin dan nyeri mulai berkurang. Tampaknya ada tanda-tanda sembuh. "Tetapi benarkah, aku akan sembuh? Apakah berkat khasiat kolam dingin dan panas itu atau buah-buahan dan ikan yang kumakan? Barangkali juga tenagaku sudah mulai pulih?"

Berpikir demikian, dia coba memukul udara Tetapi tak ada tanda-tanda tenaganya pulih. Tetap lemah seperti manusia biasa. Meskipun demikian kegembiraannya tak berkurang. Paling tidak tubuhnya kini segar dan racun dingin itu tak lagi merongrong tubuhnya

Hanya begitu teringat akan tugas kewajiban yang diberikan Padeksa, ia merasa kepala seperti digodam palu besar.

Apakah seterusnya ia harus tinggal di lembah ini? Bagaimana dengan Lemah Tulis? Hutang jiwa orangtua dan guru- gurunya? Bagaimana dengan Wulan dan Sekar, dua perempuan yang dia cintai? Lalu Padeksa dan Gajah Watu, juga Manjangan Puguh?

Pertanyaan itu silih berganti menjejali benak. Ia duduk bersila, memusatkan pikiran untuk melupakan semua pertanyaan tadi. Dia berusaha mengingat hal-hal lain, mendadak dia teringat gadis molek yang menari kinanti l'mstdha. Dia ing.u kembali jin us-jurus yang sudah digabungnya selama beberapa hari kemarin. Ia bangkit dan mulai bersilat. Cukup lama ia berlatih, tak disadarinya kera- kera bergerombol di sekelilingnya. Terdengar celoteh bising.

Seekor di antaranya yang bertubuh besar melangkah maju.

Ia berceloteh menunjuk Geni kemudian memukul-mukul dadanya sendiri. Setelah tiga hari bergaul Geni mulai mengerti apa maksudnya. "Oh, dia menantangku berkelahi." Ia menoleh memandang kera besar. Pemimpin kera itu melompat-lompat seperti tak sabar ingin menyaksikan pertarungan "Celaka!

Kalau aku masih punya tenaga dalam, tentu tidak sulit mengatasi lawan ini. Tetapi dengan keadaanku seperti sekarang, sulit bagiku untuk menang."

Belum sempat Geni menentukan sikap dan mengatur strategi, ia sudah diserang. Dua tangan lawan menerkam mencakar dada dan kepala. Ia menghindar dengan jurus Parasada Sltishasha dari Garudamukha Prasidha. Lutut kanan terangkat, dua tangan mengembang, persis sikap menara tinggi yang menantang badai sebagaimana arti dan makna jurusnya. Serangan lawan berhasil ditangkis. Tetapi bentrokan tenaga membuat Geni terdesak mundur dua langkah. Seperti mengerti unggul tenaga, kera itu mencecer terus dengan serangan cakar. Tak terhindarkan Geni terpelanting, terbanting keras ke tanah. Tiga kali cakar kera itu melukai dada dan pundak Geni, darah menetes.

Kera itu memburu terus, hendak menerkam dan menghabisi Geni. Tiba-tiba terdengar teriakan kera besar. Suara lengkingnya keras. Kera yang jadi lawan Geni, mundur ketakutan dan bersembunyi di balik kerilmunan kawannya.

Kera besar memapah Geni ke tepi kolam. Geni sangat malu. Hanya satu gebrakan, ia terjungkal di tangan seekor kera. Ingin rasanya ia sembunyi ke dalam tanah. Kera besar menunjuk dada Geni dan kolam Kemudian ia bergerak seperti orang bersilat Ia mengulangi lagi. Menunjuk Geni, menunjuk kolam, lalu bersilat lagi.

Wisang Geni tidak mengerti maksud kawannya, menggeleng kepala. Kera besar berlari ke sebuah batu besar. Ia mengangkat batu dan melontarkan ke atas, menangkapnya dengan mudah. Dia melempar lagi dan menangkap kembali. Kera besar memainkan batu yang besar dan berat itu seperti anak laki-laki memainkan bola. Sekali lagi kera besar menunjuk Geni kemudian menunjuk kolam, membusungkan dada dan mengangkat dua tangan sambil berteriak keras.

Terdengar dahsyat, gemanya dipantul tebing berulang-ulang.

Geni kagum, ternyata sahabatya itu memiliki tenaga luar biasa. Dia akhirnya mengerti apa maksud si kera besar. "Menunjuk kolam, dia menyuruhku berlatih di kolam supaya kuat. Tapi bagaimana cara berlatih di kolam, apakah hanya berenang setiap hari?"

Dia belum mengerti. Tetapi dia sepertinya merasa bahwa kolam itu menyimpan misteri yang belum terkuak. Dalam beberapa hari itu, luka-luka di tubuhnya sudah mengering dan sembuh. Air kolam itu punya khasiat. Begitu juga buah- buahan dan ikan yang dimakannya setiap hari.

Tiba-tiba dia teringat kata-kata Dewi Obat, "Kamu akan sembuh dengan sendirinya apabila memiliki tenaga panas dan tenaga dingin pada taraf tinggi." Ia berpikir keras. "Mungkinkah aku bisa memperoleh tenaga itu dari air kolam ini? Sifat panas dan dingin kolam ini berada di taraf paling tinggi. Namun bagaimana cara memindahkan dua tenaga panas dan dingin menjadi bagian tubuhnya?

Kera besar memerhatikan Geni. Sepertinya dia tahu temannya sedang berpikir keras. Dia tak mau mengganggu. Dia menoleh ke kumpulan anak buahnya, berteriak menyuruh mereka bubar. Geni berpikir dan mencoba menemukan cara latihan, tetapi dia tak juga memperoleh jawaban memuaskan. "Biarlah mungkin aku akan memperoleh jawabannya, masih banyak waktu."

Pagi hari seperti biasa, ia berenang di kolam. Berenang ke sana kemari, menyelam dan memburu ikan. Ia tak pernah bisa menangkap ikan lagi. Selain tidak lagi jinak, ikan itu selalu bersembunyi di pojok kolam, bagian terdalam yang tak mampu didekati Geni. Pada kolam dingin, air di pojokan itu teramat dingin. Makin dekat semakin dingin membeku. Geni tak bisa mendekat Jika mengejar ikan dan ikan itu berenang memasuki daerah pojok itu, Geni terpaksa balik badan. Tidak tahan akan air dingin yang nyaris membekukan darahnya.

Anehnya, meski begitu dinginnya, tetapi air di situ tidak membeku. Keadaan hampir sama di kolam panas, Geni tak pernah bisa memasuki kawasan pojok yang airnya panas tidak tertahankan.

Terbersit sesuatu dalam benaknya, "Mengapa aku tidak berusaha mendekati pojok dasar kolam, ada apa sebenarnya di bagian pojok itu?" Pikiran ini membuatnya bersemangat. Ada tantangan, dan dia menyukai tantangan. Seharian dia berusaha mendekati pojokan itu. Sedikit demi sedikit ia mulai mencapai kemajuan.

Dalam upaya menaklukkan pojokan kolam ia teringat petuah gurunya, Gubar Baleman. Ia masih berusia sembilan tahun waktu itu. "Geni, untuk mengejar dan memperoleh sesuatu, kamu harus sabar, tekun dan ulet. Kamu harus bisa bertahan di suatu tempat atau di suatu keadaan yang kamu sendiri sudah merasa tidak mungkin bisa bertahan lagi. Itu kunci kehidupan, Geni!"

Waktu berjalan terus. Setelah berjuang selama enam hari, Geni akhirnya bisa mendekati pojokan kolam. Di pojokan dasar kolam, di bagian sudut yang sempit, ada lubang sebesar kepala manusia. Hawa panas luar biasa merembes keluar dari situ. Rupanya itulah sumber tenaga panas. Di kolam dingin, lain lagi. Ada sebongkah batu sebesar kepala manusia.

Warnanya putih mengkilat menerangi dasar kolam. Geni terkejut ketika meraba batu, sangat dingin. Rupanya batu itulah sumber air dingin. Anehnya tak ada lilmut yang melekat di batu itu. Anehnya juga, begitu dinginnya tetapi air di sekitarnya tidak membeku. 

Geni merasa aneh, ketika menemukan lukisan di dinding kolam. Ia bisa melihat jelas karena penerangan dari batu putih. Ada empat kelompok lukisan. Satu kelompok terdiri tiga lukisan. Untuk memeriksa lebih teliti, Geni naik ke permukaan, menghirup udara, lalu menyelam lagi. Lukisan itu seperti digurat dengan benda tajam, namun melihat kerasnya dinding, jelas orang itu memiliki tenaga dalam dahsyat.

Lukisan menggambar duabelas orang dalam berbagai posisi. Di atasnya ada tulisan bahasa Sansekerta.

Dari ujung kolam menuju ukiran kera di tebing, di tengah jarak itu aku menyimpan jurus Wiwaha dptaanku, aku Lalawa, pendekar tanpa tandingan. Petunjuk itu singkat namun jelas. Geni naik ke permukaan. Mencari ujung kolam, mencari ukiran kera di tebing. Mungkin sudah lama dimakan usia, sebagian tebing sudah dipenuhi lilmut dan rumput liar. Ia tak putus asa, mencari terus, membersihkan tebing, mencari tebing yang dimaksud. Hari ketiga, ia menemukan lukisan kera berjingkrak. Geni menghitung jarak ke ujung kolam dingin, empatpuluh empat langkah. Ia melangkah balik dan berhenti pada jarak langkah duapuluh dua. "Di sini tepatnya, tempat di mana pendekar Lalawa menyimpan jurus Wiwaha, tetapi apa itu jurus Wiwaha, apakah jurus hebat? Pasti hebat, karena di akhir pesannya, pendekar itu menulis bahwa dia tak punya tandingan. Tidak punya tandingan, artinya tidak bisa dikalahkan. Luar biasa!" berpikir demikian, Geni bersemangat

la menggali tempat itu dengan tombak berkarat yang dia temukan di dekat situ. Kera besar dan kawannya ikut menggali. Cepat sekali lubang menganga. Tak lama kemudian Geni merasa tombaknya membentur benda keras, batu cadas. Berulang kali ia menghantam, jangankan hancur, lecet pun tidak. Bahkan tombaknya bengkok. Ia terpaksa menggali di sekelilingnya. Ternyata permukaan batu itu cukup luas. Batu itu, warnanya hitam legam, permukaannya rata.

Geni istirahat. Ia memandang permukaan batu. "Apakah aku salah menggali tempat, ataukah batu ini hanya sebuah peti? Barangkah ada petunjuk lebih lanjut." Berpikir begitu Geni membersihkan tanah yang lengket di permukaan batu. Ia menemukan tulisan Sansekerta diukir di bagian atas batu.

Huruf kecil namun bisa dibaca dengan jelas. Bahasa itu akrab dengannya sebab sejak kecil ia dididik membaca dan menulis dalam bahasa Jawa kuno dan Sansekerta, baik aksara maupun Esan. Diam-diam dia berterimakasih pada gurunya, Waragang.

Ia terkesiap ketika membacanya.

Kamu berjodoh menjadi muridku, aku pendekar Lalawa, tak punya tandingan di kolong langit. Terimalah jurus Wiwaha artinya perkawinan, mengawinkan dua unsur panas dan dingin menjadi tenaga batin. Kalau kamu bodoh, kamu mati. Kalau cerdas, kamu pantas mewarisi jurus ini. Aku mencipta jurus ini setelah menemukan kolam dingin dan panas. Jantan betina, siang malam, air panas air dingin, semua bertentangan. Tapi aku telah mengawinkan dua unsur berlawanan itu dan menyerapnya menjadi tenaga dalam yang berkekuatan dahsyat. Jika kolam ini masih ada maka akan sangat membantu dalam berlatih.

Perhatian dan pikiran Geni terpusat pada rangkaian tulisan.

Petunjuk melatih tenaga batin di dalam air. Seluruhnya ada empat jurus yang harus dilatih berurutan. Tulisan diakhiri gambar kelelawar dan huruf "Lalawa".

Orangtua dan semua gurunya banyak menceritakan nama- nama pendekar kosen jaman dulu, namun seingat Geni dia tak pernah mendengar nama Lalawa. Siapa pendekar hebat itu, yang tak punya tandingan di kolong langit. Ia melanjutkan penggalian, sampai batu itu muncul di permukaan. Ia mencuci batu, menemukan banyak tulisan di empat sisi batu.

Ia merenung, memuji ketelitian dan kecerdasan pendekar Lalawa.

”Seandainya seseorang menemukan batu besar dengan tulisan itu, tak akan berguna. Sebab jurus itu tak mungkin dipelajari tanpa melihat gambar dan keterangan kunci yang diukir di dinding kolam dingin. "Ia sengaja memisahkan tempat simpanan ilmu sedemikian rupa sehingga hanya yang berjodoh yang bisa menemukan. Lagipula tak akan ada orang yang kesasar sampai di jurang tak berpenghuni ini. Aku kebetulan saja jatuh dan nyasar ke lembah ini. Kalau aku tak menemukan tulisan dan gambar di dasar kolam dingin tak mungkin aku bisa memperoleh ilmu ini. Cara menyimpan ilmu ini mirip cara leluhur Lemah Tulis menyimpan jurus Garudamukha Prasidha ke dalam tarian Kinanti” katanya. Ia menatap batu hitam. Ada perasaan akrab dalam dirinya menatap lukisan kelelawar dan nama Lalawa. Dengan ilmu Wiwaha pendekar Lalawa tak menemui tandingan di kolong langit. Begitu hebatkah ilmu itu. Jika ia bisa mewarisi ilmu itu, pasti lukanya akan sembuh, seperti kata Dewi Obat bahwa ia akan sembuh jika memperoleh tenaga panas dan dingin pada tingkat tinggi. "Tetapi berapa lama aku mempelajari ilmu ini. Ah, tak usah kupikirkan karena sebenarnya aku sudah mati beberapa hari lalu."

Geni bimbang, dia bertanya-tanya sesungguhnya pendekar Lalawa itu dari golongan bersih atau kalangan sesat, selain itu apakah boleh mempelajari dan mewarisi ilmunya? Ia kemudian teringat petuah gurunya, Mahisa Walungan, semasih dia kecil, "Geni, ilmu itu tak ada yang sesat. Semua ilmu pada dasarnya bersih dan lurus. Yang kotor dan sesat adalah orangnya. Batin yang kotor memancarkan perbuatan jahat, batin yang bersih mendorong seseorang melakukan perbuatan baik."

Keragu-raguannya lenyap. Dia tersenyum kemudian memberi hormat kepada tulisan nama Lalawa. "Terimalah aku sebagai muridmu, guru Lalawa, aku berjanji akan melakukan perbuatan mulia dengan jurus Wiwaha yang kau wariskan kepadaku."

Ia menoleh dan tersenyum ketika kera-kera itu berjingkrak gembira dan berceloteh senang. "Apakah kera-kera ini turun temurun lahir di lembah ini? Mungkin ratusan tahun lalu, kakek moyang mereka, pernah menjadi pelayan guru Lalawa. Kalau benar demikian, sungguh luar biasa bahwa mereka begitu setia pada pesan leluhurnya."

Ia tak membuang waktu lagi. Ia mulai belajar. Inti ilmu Wiwaha adalah menyerap panas dan dingin dari luar tubuh dan meresapkannya ke dalam tubuh, kemudian mengelolanya menjadi kekuatan batin yang jika disalurkan keluar menjadi tenaga dahsyat Jurus satu Tepung Rapah Sambung Kalen

artinya mengawrnkan dua unsur yang bertetangga.

Geni memang cerdas. Ia segera mengerti yang dimaksud jurus satu berkaitan dengan lukisan nomor satu yang dilihatnya di dasar kolam dingin. Lukisan seorang berdiri dan bertumpu pada ibu jari kaki, dua kaki lurus dengan lutut ditekuk, dua tangan terentang ke samping. Latihan harus dilakukan di dasar kolam bergantian di kolam panas dan dingin. Di kolam dingin, dua tangan terentang dan digerak- gerakkan ke arah dalam sampai menyentuh dada. Di kolam panas gerakan kebalikannya. Gerak tangan dan lutut yang ditekuk dilakukan dengan lambat, makin lambat makin bagus.

Setelah menguasai ini maka gerak di kolam dingin diubah, menjadi tangan digerakkan dari dada ke arah luar sampai terentang, sedang di kolam panas menjadi kebalikannya. Jika sudah menguasai latihan ini, maka penyempurnaan jurus satu dilakukan di udara terbuka, dari pagi, siang, malam sampai dini hari. Latihan sangat berat, tetapi semangat Geni sangat tinggi. Ia ingin menyelesaikan latihan dan segera keluar dari jurang ini.

Selama hari-hari ia berlatih, kera-kera datang silih berganti, membawa berbagai macam jenis buah-buahan yang selama ini belum pernah ditemui Geni di dunia luar lembah. Geni menghitung hari dengan mencoret-coret tebing. Jurus satu, ia selesaikan dalam waktu duapuluh enam hari. Geni bingung, "Mengapa guru Lalawa menyebut orang dengan tenaga dalam lumayan akan menyelesaikan jurus ini dalam waktu dua purnama artinya enampuluh hari, orang awam bisa dua kali lipat lebih lama waktunya. Mengapa aku hanya duapuluh enam hari, mungkin aku salah berlatih?" Geni membantah pikirannya, "Tak mungkin aku salah berlatih!"

Geni tak tahu sebabnya, pendekar Lalawa pun tak menyadari perbedaannya. Lalawa menciptakan ilmu sekaligus berlatih, tentu saja perlu waktu lebih lama dari Geni yang cuma berlatih saja. Lagipula Geni memang tergolong cerdas.

Siang itu Geni istirahat menjelang berlatih jurus dua. Ia duduk di tepikolam. Seperti biasa menanti kerakecil mengantar buah-buahan. Ia memandang ke jalanan setapak yang biasa dilalui si kera kecil.

Tampak sahabatnya itu berlari sambil berteriak girang.

Tiba-tiba mata Geni menangkap benda kuning berkilat yang bergerak di tebing yang akan dilewati si kera kecil. Ular berbisa! Satu gigitan saja, kera itu bakal mati Geni meraup batu seadanya, kerikil kecil itu ia sentil ke arah ular. Ia lupa bahwa tenaganya sudah lenyap. Itu hanya gerak naluriah ingin menolong sahabatnya yang nyawanya sedang terancam. Batu itu melesat, mendesis dan menghantam kepala ular.

Pecah.

Kera itu berteriak kaget melihat ular itu masih kelojotan dekat kakinya. Kera kecil tahu Geni telah menyelamatkan jiwanya, ia berteriak dan berjingkrak, mengucap terimakasih. Geni sangat terkejut melihat hasilnya. Ia tak pernah menyangka tenaganya sudah pulih bahkan mungkin lebih bertenaga Geni meraup batu yang lebih besar lalu menyambit sekuat tenaga. Suara mendesing, batu itu lenyap dari pandangan mata

"Hebat, benar-benar keajaiban, tenagaku sudah pulih." Dia gembira, demikian juga kera besar dan kawan-kawannya, sepertinya mereka sadar tenaga Geni semakin tangguh. Kera besar menyerang Geni dengan mendadak, Geni mengelak dan menangkis. Dua tangan bentrok! Kera besar terhuyung- huyung mundur tiga langkah. Seekor lainnya, kera yang kemarin mengalahkan Geni menyerang, Geni mengibas dan menolak. Kera itu terhuyung dan jatuh telentang. Semua kera berteriak senang, kera besar datang memeluk. Geni sangat terharu melihat kegembiraan kera-kera itu. "Kalian benar- benar sahabat sejati, kalian bersuka ria dan bergembira melihat aku berhasil melatih tenaga batin. Sungguh aku harus berterimakasih pada kalian."

Tinggal menetap beberapa hari lagi di lembah ia menemukan keajaiban. Latihan itu telah mengembalikan tenaga batinnya seperti sediakala. Rasa nyeri pun tak pernah lagi menyerang, pertanda racun sudah lenyap dari tubuhnya. Ia yakin bila mampu menyelesaikan latihan ilmu Wiwaha itu tenaga batinnya akan berlipat ganda. Hal ini memacunya lebih giat berlatih.

Jurus dua Kitrang Raja Pati (Pertengkaran Hebat tentang Bahaya Maut yang Datang Mengancam) diselesaikan dalam waktu sembilanbelas hari. Pendekar Lalawa memperingatkan agar hati-hati melatih jurus dua. Inilah tingkat paling sulit dan mengandung resiko besar. Jika salah berlatih, akibatnya fatal, bisa cacat bahkan lumpuh atau mati.

Pada tingkat dua itu, seperti juga nama jurus, percampuran unsur panas dan dingin mulai memasuki tahapan yang kadarnya besar. Panas yang merasuk ke tubuh sangat membakar. Begitu pun rasa dingin yang masuk, nyaris membekukan sel sel darah. Pada akhir Latihannya, Geni mampu menguasai dan mengatur dua unsur panas dan dingin itu kemudian menyimpannya dalam tubuh. Pada tahapan ini tenaga dalam Geni sudah lebih maju ketimbang sebelum luka parah oleh pukulan Kalayawana.

Tingkat tiga Ngrupak Jajahaning Mungsuh (Mempersempit dan Melemahkan Kekuatan Musuh). Pada tingkat ini, Geni berlatih bergantian di kolam dingin, kolam panas dan di udara terbuka. Mulainya penyesuaian dua unsur kolam, panas dan dingin dengan udara di luar kolam yang cuacanya berubah- ubah. Latihan dilakukan pagi, siang dan malam. Tingkat ini sama berbahaya seperti tingkat dua, salah latihan bisa tewas kepanasan atau kedinginan. Namun demikian Wisang Geni mampu menyelesaikan dalam waktu enambelas hari. Tingkat empat Pethuk Ati Golong Pikir (Bersatunya Hati, pikiran, tekad dengan perbuatan). Pada tingkat akhir ini, dua unsur panas dan dingin yang saling berlawanan itu sudah menyatu dengan pikiran dan tenaga batin. Sewaktu pikiran ingin mengeluarkan tenaga dingin, saat itu juga tenaga dingin muncul dan menyebar ke seluruh bagian tubuh. Begitu juga dengan tenaga panas. Tingkat ini paling sulit, Geni bahkan harus sangat berhati-hati agar tidak salah penerapan. Karena mengatur pikiran yang terkadang mencuat secara spontan dan terkadang bisa buntu, perlu konsentrasi mutlak. Setelah menyelesaikan tingkat ini, begitu Geni berpikir akan menggunakan tenaga dingin pada saat berikut tenaga dingin sudah siap untuk digunakan. Tingkat ini diselesaikan Geni dalam tempo tigapuluh hari. Selesainya tingkat empat ini, selesai sudah Geni berlatih ilmu Wiwaha. Geni berhasil mewarisi ilmu Wiwaha itu seluruhnya dalam waktu sembilanpuluh hari.

Begitu mengakhiri latihan tingkat empat, ia segera mencoba ilmunya. Ia menyelam ke dasar kolam yang paling dingin. Pojokan itu masih membuatnya merasa dingin nyaris membeku. Ia berpikir akan menggunakan tenaga panas melawan dan mengusir rasa dingin. Pada saat itu juga ketika tubuhnya bergerak, ia tak lagi merasa dingin. Ia takjub akan reaksi tenaga batinnya. Tenaga panas itu muncul cepat sekali, hanya butuh sesaat saja. Luar biasa!

Wisang Geni sangat gembira. Seharian ia berlatih silat.

Mengulang semua jurus yang pernah dipelajarinya Bang Bang Alum Alum, Garudamukha Prasidha, bahkan juga Waringin Sungsang. Dia memainkan semua jurus itu dengan menggunakan tenaga Wiwaha. Dia merasakan banyak kemajuan. Ia merasa lebih leluasa bergerak. Gerakannya lebih pesat, lebih ringan dan lebih pegas. Pukulan lebih berbobot.

Gerak jari tangan mematuk dari jurus Manusuk dulu hanya bis membuat sebuah batu retak. Kini hancur jadi bubuk. "Sama imbang dibanding tenaga guru Padeksa. Ah, betapa aku hutang budi kepadamu, terimakasih guru Lalawa. Engkau bukan saja telah menolong nyawaku, kau juga mewariskan ilmu Wiwaha yang dahsyat itu kepadaku."

Siang hari itu Wisang Geni merasa seakan bangkit dari kematian. Ia merasa gembira. Tapi pada saat yang sama ia merasa begitu duka. Kini ilmunya sudah maju pesat Jauh lebih pesat dari tingkat yang dicapainya sebelum tersesat ke lembah. Ia tahu dengan tingkat ilmu yang dicapainya sekarang ini tidak sulit baginya untuk keluar dari lembah ini menuju keramaian dunia. Tapi hatinya berduka karena harus berpisah dengan kera-kera sahabatnya.

Tetapi biar bagaimanapun juga, hari ini dia harus pergi meninggalkan lembah kera. Dia telah menghitung hari. Dia sudah menghabiskan waktu seratus hari di lembah. Dia merasa tidak pasti, tetapi perkiraannya, dia masih punya waktu tigapuluh hari lagi untuk menghadiri pertemuan para pendekar di puncak Mahameru.

Dia akan menghadiri pertemuan Mahameru. Tidak hanya itu, masih banyak tugas lain yang harus ia selesaikan. Tugas sebagai murid untuk membangun kembali perguruan Lemah Tulis. Tugas membalas kematian dua orangtua dan guru- gurunya. Tugas sebagai pendekar pembela keadilan dan kebenaran.

"Memang setiap pertemuan, adalah awal perpisahan. Tapi setiap perpisahan belum tentu awal suatu pertemuan. Belum tentu aku bisa sampai ke lembah ini lagi. Belum tentu aku bisa bertemu dengan kalian lagi." Dia bicara dengan nada sendu, kera-kera itu seperti mengerti maksudnya. Mereka berteriak- teriak.

Kera besar memegang tangan Geni, membawanya ke dekat kolam Dia menunjuk ke atas ke tebing yang tinggi, sambil berteriak dan merundukkan kepalanya. Dia seperti memberi hormat ke arah tebing itu. Geni mengerti ada sesuatu di tebing yang ditunjuk kera besar. Dia memerhatikan seksama. Ada sebuah lubang di tebing itu. "Mungkinkah itu goa? Tetapi letaknya sangat tinggi, permukaan tebing juga rata dan licin. Sulit untuk didaki."

Geni menggeleng kepala. Tak mungkin aku bisa mendaki, tak ada tempat berpijak dan berpegangan di tebing yang begitu rata dan licin. Kera besar berteriak dan berguling-guling di tanah. Dia kecewa melihat sikap Geni yang menolak mendaki tebing itu.

"Baiklah sahabat, aku akan mendaki dan memasuki goa itu, pasti ada sesuatu di dalamnya Mungkinkah ada ilmu silat lagi di situ?"

Geni tertawa, menertawakan dirinya yang begitu tamak. "Kamu sudah memperoleh jurus Wiwaha masih juga belum puas dan menghendaki tambahan lain. Tamak dan serakah."

Kera besar dan seluruh pasukannya berteriak memberi semangat pada Geni yang beberapa kali gagal dalam usahanya mendaki tebing itu. Tiba-tiba Geni menemukan jalan keluar. "Menuruni tebing lebih mudah dari mendaki," gumamnya. Dia melihat keliling, kemudian berlari dan mendaki di bagian lain. Dari tempat yang tinggi di atas goa itu, Geni turun dengan mudah dan menjejak kakinya di mulut goa.

Goa itu sebenarnya bukan goa, hanya sebuah celah di tebing yang cukup untuk tubuh satu orang. Geni terkesiap ketika melihat tumpukan tulang dan tengkorak manusia. Diterangi sinar matahari, dia melihat ada tulisan di dinding dekat tumpukan tulang belulang. 

Kamu pasti telah menguasai ilmu Wiwaha. Aku merestui kamu sebagai murid tunggal. Tugas pertamamu, membawa tulang-belulang tubuhku ini dan kuburkan di tempat kamu menemukan ilmuku.

Aku pendekar Lalawa, menemukan dan menciptakan jurus Wiwaha di lembah kera ini. Aku mengembara dan tarung selama puluhan tahun, tak seorang pendekar pun bisa bertahan lebih dari dua puluh jurus. Aku tak punya tandingan. Aku kesepian, tak punya lawan tak punya kawan.

Semua orang takut padaku, juga takut menjadi kawanku. Kawanku hanya wanita-wanita yang kutiduri. Tetapi tak ada yang bertahan lama di sampingku. Aku kembali ke lembah ini, mewariskan Wiwaha entah siapa yang akan mewarisinya.

Tugasmu yang kedua muridku, jadilah pendekar budiman yang menolong orang yang tertindas.

Pesanku padamu muridku, hati-hatilah dengan wanita, ilmu Wiwaha akan membuat kejantanan dan nafsu birahimu berlipat ganda. Tapi tak perlu takut, itu hanya reaksi dari ilmu. Sekarang dalam usia lebih dari delapanpuluh tahun, aku bertapa di sini sampai aku moksa.

Selamat tinggal muridku. Aku, gurilmu, Lalawa.

Geni termenung membaca tulisan itu yang diukir atas dinding tebing yang keras. "Kasihan nasib guruku." Tanpa ragu, Geni berlutut sungkem "Guru Lalawa, terimakasih atas ilmu Wiwaha, aku pasti akan menjalankan tugas dan pesanmu. Maafkan aku, menyentuh tulang tubuhmu yang sangat kilmuliakan."

Geni mencari-cari sesuatu untuk membungkus tulang- belulang gurunya. Tak ada. Dia melihat bajunya, sudah compang-camping, tak mungkin bisa dijadikan pembungkus. Tiba-tiba dia melihat sesuatu di pojok. Ternyata selembar kulit yang digulung. Kulit itu tidak lapuk dimakan usia ratusan tahun. Geni tahu, ada ramuan khusus yang membuat kulit bisa tahan sampai ratusan tahun. Hati-hati dan penuh hormat, Geni membungkus tulang gurunya kemudian menuruni tebing. Dibantu kera sahabatnya, dia menggali lagi tempat dia menemukan batu bertuliskan ilmu itu. Dia mengubur tulang- belulang gurunya kemudian memberi hormat dengan sungkem Kera-kera ikut memberi hormat dengan cara berdiam diri dan tidak berceloteh.

Kera besar memeluknya kemudian memberi tanda, menyuruh Geni pergi. Kera itu menunjuk ke atas tebing yang tak terlihat ujungnya. Tampak hanya langit putih bersih.

Mendaki tebing itu ibarat mendaki menuju langit. Geni berlari memanjat tebing. Tiba di suatu tempat di celah tebing, dia menoleh ke bawah dan melambai tangannya. Dia bersiul keras, seperti siulan kera. Siulannya bergema dan memantul di tebing-tebing.

---ooo0dw0ooo---

Pagi hari di lereng bagian selatan gunung Lejar, udara masih saja sejuk kendati matahari sudah agak tinggi. Sisa-sisa tetesan embun masih membasahi dedaunan yang rimbun.

Suasana hutan sunyi dan lengang. Wisang Geni menghirup udara pagi sepuasnya. Ia baru saja keluar dari lembah kera. Tebing terjal itu bukan lagi penghalang sulit baginya. Mudah saja ia memanjat menggunakan ilmu Waringin Sungsang&xn. Garudamukha dengan tenaga batin Wiwaha. Seperti baru keluar dari kurungan, ia melangkah santai sambil memandang alam sekeliling.

Dia tiba di tempat yang banyak pohon rindang. Di tempat ini, empat bulan lalu dia menemukan tari Kinanti Prasidhayang kemudian berhasil digabungnya menjadi jurus Garudamukha Prasidha. Suara ki dalang seperti mengiang kembali di telinga. Matanya seperti melihat kembali gerak gemulai gadis yang menarikan tari Kinanti. Ia menghela napas, merasa berduka dan menyesal. "Seharusnya aku menemui mereka, si penari dan si dalang, paling tidak aku harus mengucap terimakasih dan memperkenalkan diri."

Ia juga menyesal, tidak bertanya lebih lanjut tentang makna tarian. Terutama kalimat Parahwanta Angentasana Dukharnawa (Aku hendaknya menjadi perahilmu menyeberangi laut kesusahan). Dia berkata dalam hati, "Tapi kalau memang jodoh, suatu waktu pasti akan jumpa lagi. Dan saat itu aku pasti akan menanyakan makna kalimat tersebut."

Tak disangka bahwa arti dan makna kalimat itu begitu penting dan sangat menentukan penguasaan ilmu tingkat tinggi dari perdikan Lemah Tulis itu. Setiap melatih Garudamukha Prasidha Geni selalu terbentur pada penggunaan tenaga. Ada sesuatu yang membuat penyaluran tenaga seperti terhambat, tenaga tak bisa dipusatkan pada saat hendak digunakan, tenaga selalu menyebar saat hendak digunakan.

Anehnya, kalau dia menggunakan jurus Garudamukha tingkat awal atau Bang Bang Alum Alum tenaga itu bisa leluasa digunakan. Tapi begitu ia menggelar jurus Garudamukha Prasidha maka tenaganya seperti tersumbat. Ia tahu sebabnya. Tidak lain lantaran makna dan arti kalimat itu belum bisa terpecahkan. Hampir tiap saat ia memikirkan, tapi tetap saja menemui jalan buntu. Dalam keadaan termenung itu sayup-sayup ia mendengar suara ribut. Seperti bentakan dan teriakan banyak orang. Hanya sekejap saja suara makin dekat. Pertanda orang-orang itu bergerak pesat

Geni bergerak cepat. Ia melompat ke pohon terdekat.

Bersembunyi di kerimbunan daun. Suara bentakan orang dan benturan senjata tajam memecah kesunyian hutan di sekitar persembunyian Geni. Tampak beberapa orang bertarung dengan sengit. Memerhatikan lebih seksama, ia melihat ada kesamaan di antara sejumlah orang. Sepertinya mereka terdiri dari satu rombongan. Pakaian sama, seragamkeraton. Tapi yang ini berbeda dengan seragam Tumapel yang pernah ditemuinya bersama Sekar beberapa waktu lalu.

Mereka yang berseragam, semuanya berjumlah sembilan orang. Tujuh lelaki, dua perempuan. Rombonganyangmenjadi lawan, terdiri empat orang. Seorang kakek dan tiga orang muda. Di antaranya seorang gadis kurus dengan wajah putih cantik. Geni teringat seseorang. "Bukankah dia gadis kurus cantik dan misterius yang juga menguasai jurus Garudamukha?" Melihat ini, simpati Geni lantas memihak pada kakek dan tiga orang muda. Empat orang ini terdesak hebat.

Kakek bertempur hebat menghadapi tiga pengeroyok. Mata Geni terbelakak, heran menyaksikan kakek memainkan Garudamukha dengan hebatnya. "Siapa kakek ini, ilmunya tidak di bawah guru Padeksa? Ia pasti orang Lemah Tulis, tapi siapa?"

Meski tiga pengeroyok berilmu tinggi tapi tampaknya kakek itu masih bisa menguasai keadaan. Geraknya masih leluasa, malah berkali-kali ia menoleh ke tiga anak muda itu. "Lari- lari... biar kutahan mereka di sini!" Teriakannya sia-sia. Tiga anak muda itu agaknya tak mau lari. Para punggawa mengepung rapat, juga tak mau mereka lolos. "Mau lari ke mana? Kalian jangan mimpi bisa lolos!"

Pemuda berpakaian putih tertawa sinis. "Kalian tak punya guna semua, tak punya malu, apa pikirmu bisa menaklukkan kami?" Ia dikeroyok dua orang, lelaki separuh baya dan perempuan cantik usia empatpuluhan. Kepandaian mereka lumayan.

Geni bisa membedakan kepandaian mereka yang bertarung. Kakek itu yang paling tinggi ilmunya. Namun ia tidak punya kesempatan membantu kawannya karena dilibat tiga lawannya. Tiga punggawa itu kelihatan paling jago di antara rekan-rekannya. Kalau si kakek terlibat pertarungan ketat yang memerlukan konsentrasi, tidak demikian dengan pemuda baju putih. Pemuda ini bertarung sambil memerhatikan dua temannya. Terkadang ia menerobos keroyokan meninggalkan kedua lawannya membantu dua temannya yang terdesak. Meski tak sehandal kakek itu, namun ilmu pemuda baju putih cukup tinggi dan jurus-jurusnya aneh. Tapi sesungguhnya yang hebat adalah keampuhan kerisnya yang bagaikan ular naga menyambar ke sana kemari.

Semua punggawa itu jeri terhadap keris di tangan si pemuda. Keris itu berkilauan diterpa sinar mentari. Cahayanya hijau kemerahan, terkadang birukekuningan. Mereka tak berani mengadu senjata. Geni teringat, itulah keris yang pernah menjadi senjata si gadis kurus cantik yang akhirnya membenam di dada pendekar Tambapreto.

Gadis kurus seperti juga pemuda berbaju hitam terdesak hebat oleh empat lawan. Tapi setiap si gadis kurus atau pemuda baju hitam terancam, selalu si pemuda baju putih sempat membantu. Namun tampaknya keadaan takkan bertahan lama. Pemuda baju hitam itu sudah terluka di beberapa tempat Gadis itu tampak mulai letih.

Keadaan kritis. Geni beraksi cepat, melayang turun menggunakan Waringin Sungsang sambil berteriak. Tanpa sadar Geni meniru teriakan kera, sesuatu yang dipelajarinya di lembah kera. Teriakan dengan tenaga batin luar biasa, menggema hebat di penjuru hutan. Semua orang yang bertempur, terkejut tak terkecuali kakek yang berilmu tinggi itu

Belum lenyap gema teriakan itu, serangan Geni sudah menyergap salah seorang lawan yang mengeroyok si gadis. Geni memang sengaja memilih lawan paling lemah, si punggawa wanita. "Lebih cepat seorang lawan roboh lebih bagus, itu akan merontokkan nyali dan semangat tarung yang lainnya," pikirnya.

Ia melancarkan jurus Gora Andaka (Banteng Besar) dari Bang Bang Alum Alum mengarah kepala punggawa wanita itu. Serangan yang dibungkus tenaga dingin Wiwaha melanda bagai serbuan hamuk banteng. Punggawa wanita itu terkejut. Dari angin pukulan saja, ia tahu, ia bukan tandingan Geni.

Tiga kawannya juga terkejut. Punggawa wanita mengelak dengan merunduk sambil memutar tubuh menyabetkan pedang.

Salah seorang rekannya ketika melihat wanita itu terancam serangan ganas, segera meninggalkan pemuda baju hitam. Ia melesat ke arah Geni, mencegat gerakan Geni dengan tebasan golok. Tidak percuma Geni berlatih di lembah kera. Tanpa menghentikan pergerakan majunya, ia melontarkan pukulan jarak jauh ke perut si punggawa wanita. Tangan lainnya memukul ke arah ketiak lawan prianya.

Geni seperti tak menghiraukan datangnya golok. Ia yakin pukulan jarak jauhnya akan melukai pundak si lelaki Benar! "Buukkk!" lengan lelaki itu keseleo kena angin pukulan Geni. Golok itu jatuh tepat di depan wajah Geni. Hanya sekali gebrak, dua lawan terluka Lelaki itu cidera lengan. Wanita itu terhuyung-huyung, pedangnya terlempar. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil kedinginan, sesaat kemudian ia muntah darah!

Geni tak berhenti. Ia menerobos kepungan tiga lelaki yang mengeroyok kakek tua. Kak ini ia menggelar jurus Nanawidha (Beraneka Warna). Dua tangan mengirim pukulan berantai ke dua lawan sekaligus. Dia menggunakan tenaga panas. Tiga lawan itu terkejut bukan main. Meski tak menyaksikan langsung, namun mengetahui dua rekannya sudah menjadi korban Geni, mau tak mau timbul rasa keder dalam hati.

Kalau lawan terkejut melihat kehebatannya, Geni pun tak pernah menyangka bisa kejadian begitu. Di luar dugaan, kepandaiannya kini sudah maju pesat terutama kekuatan tenaga dalamnya. Pukulan Geni belum tiba, tapi hawa panas sudah menerjang. Dua lelaki itu tak bisa menghindar. Mau tak mau, dua punggawa itu menarik serangan mereka yang mengarah ke kakek tua. Dua lelaki itu beralih menghadapi serangan Geni yang seperti luapan air bah. Yang seorang mengirim beberapa tusukan berantai dengan sepasang tombak pendek. Rekannya yang bertangan kosong memukul dengan dua tangan sambil mengerahkan segenap tenaga dalam. Seorang lagi, yang paling tinggi ilmunya, tetap melanjutkan pertarungan dengan kakek tua.

Tusukan berantai sepasang tombak mendatangkan kesiuran angin tajam, pertanda tenaga lelaki itu cukup besar. Geni tak berani ambil resiko, ia mengelak dengan bergerak ke sisi kanan. Saat itu pukulan tenaga dalam lawan lainnya sudah menghadang di depan mata. Tak ada ruang gerak lagi, Geni memukul dengan dua tangan, mendorong ke depan.

Terdengar suara orang mengeluh. Lawannya itu terdorong mundur sampai tiga langkah. Gerakan Geni masih berlanjut, menyongsong serangan tombak lawan. Ia melancarkan pukulan melingkar. Lawan mengelak ke samping sambil menikam dengan dua tombak. Geni membatalkan serangan. Ia merundukkan kepala. Tubuhnya membungkuk ke depan seperti sengaja menabrak tusukan tombak. Lawannya terkejut, tapi tentu saja gembira. "Cari mati kau!"

Pada saat tombak sudah di depan hidung, mendadak kepala dan tubuh Geni seperti membal melenting ke belakang. Itu memang gerak tipu yang menjadi ciri jurus Nanawidha dari Bang Bang A.lum Alum. Tubuhnya melenting ke belakang sekaligus kaki kanan naik menerpa pergelangan tangan lawan. Kena! Tombak terpelanting ke udara!

Pada saat itu lelaki yang satu dengan curang menghantam punggung Geni. Mabuk kemenangan, itu yang membuat Geni lengah. Ia baru sadar ketika pukulan itu hanya berjarak sejengkal dari punggungnya. Terlambat untuk mengelak! Geni cuma bisa menahan napas untuk mengurangi luka dalam.

Buk! Pukulan dua tangan yang digerakkan tenaga dalam tingkat tinggi itu menghantam punggungnya, Geni terlempar sampai terduduk di tanah. Sesaat ia merasa mual. Ia merasa sakit seperti ribuan semut menerobos pori-pori di punggungnya. Aneh, sesaat kemudian, sakit itu lenyap begitu saja. Tubuhnya kembali segar, aliran darah berjalan lancar. Geni merasa heran. Belum sempat berpikir, ia melihat lawan datang memburu dengan mengirim pukulan mematikan.

Geni bangkit dari duduk. Dua tangannya terentang luwes, itulah jurus Makanjaran (Menari dengan Lengan Terkembang) dari Garudamukha.

Lawan merasa heran. Diam-diam ia mengagumi tenaga dalam Geni yang meskipun sudah terkena pukulan telak jurus Kelabang tapi masih sanggup berdiri. Bahkan sanggup melanjutkan tarung. Tapi punggawa istana itu tak peduli. "Sekali lagi kena Aji Kelabang, kau pasti modar” serunya.

Tak pernah terpikir oleh punggawa itu ada ilmu sehebat Wiwaha. Dia tak tahu, bahwa saat Geni mengetahui pukulan akan menimpa punggung saat itu juga tenaga Wiwaha melindungi bagian tubuh di sekitar punggung. Itu sebab Geni hanya terlempar. Dan pukulan Kelabang hanya menerobos sesaat, dan saat berikut sudah terusir oleh tenaga Wiwaha

Lelaki itu mengerahkan segenap tenaga dalam. Nafsu membunuh memancar dari sepasang matanya. Geni bersikap biasa. Tak terhindarkan lagi terjadi benturan tenaga Geni mengibas dua tangan. Begitu pukulan lawan membentur dua tangannya, Geni memutar dan mendorong dalam jurus Gongkrodha (Kemarahan Luar Biasa) dan Garudamukha.

Suara tulang patah diiringi suara orang mengeluh kesakitan. Lelaki itu terhuyung-huyung mundur, dua tangannya tergantung lemas tak bertenaga. Ia berkata dengan wajah pucat. "Ilmu apa itu... siapa kamu...?"

Tanpa ada yang memberi komando, mendadak perkelahian berhenti. Semua orang seperti sepakat. Mereka bertanya- tanya siapa pengemis gembel yang dengan beberapa pukulan sudah menjatuhkan empat punggawa keraton.

Geni tersenyum ke gadis kurus. "Kau baik-baik saja nona?" Gadis kurus memandang heran. "Siapa kau, apakah kita pernah berjumpa?"

"Ah kau tentu lupa, kita pernah bertemu di. ," mendadak

saja Wisang Geni teringat akan dirinya. Wajahnya dipenuhi kumis dan brewok yang lebat bahkan sampai menutupi mulutnya. Rambut panjang tak terurus. Pakaian dekil dan compang-camping. Ia tak melanjutkan kata-katanya.

Penampilannya yang macam pengemis, tentu saja tak dikenal orang. Wulan pun tak mungkin bisa mengenalnya lagi. Ia batal melanjutkan kata-katanya. "Tentu saja kau tidak mengenalku! Ha... ha "

Tertawanya tiba-tiba terhenti. Dia melihat semua orang memandangnya aneh. Geni menatap semua orang di situ. "Apakah kalian merasa perlu bertanya siapa aku?"

Lelaki separuh baya yang tadi bertarung sengit dengan kakek tua itu maju. Rupanya dialah pemimpin rombongan. "Sampean telah ikut campur dan menggagalkan usaha dan perintah Paduka Baginda Raja Kediri. Itu sebabnya kami ingin tahu siapa nama sampean, pendekar yang berilmu tinggi yang berani menentang perintah Baginda Raja?"

"Aku tak ada urusan dengan kerajaan. Aku cuma tidak senang melihat kalian yang mengandalkan jumlah orang lebih banyak mengeroyok empat orang, itu tidak adil dan aku tidak suka!"

"'Sampean harus mengerti bahwa sekarang ini sampean sudah tergolong musuh kerajaan. Katakan nama sampean, hutang ini akan kami bayar kembali!"

"Namaku tak perlu kalian tahu. Dan kalau mau bayar hutang ini, boleh saja, kapan dan di mana saja kita bertemu!"

"Katakan namamu, atau mungkin kau takut pembalasan kami? Seorang pendekar berani berbuat, berani bertanggung jawab." "Persetan dengan pendekar atau bukan pendekar. Sekali aku tidak mau menyebut nama, selamanya tak akan kuberi tahu!"

Lelaki itu menoleh ke rekan-rekannya, tampak ia merasa geram Tetapi ia tahu persis kekuatan pihaknya melemah dan kini berada di bawah angin. Empat rekannya sudah terluka, apalagi di pihak sana ada pengemis brewok yang kosen dan misterius.

Saat itu mata Wisang Geni bentrok dengan sepasang mata punggawa wanita yang tadi kena pukulan tenaga dingin. Mata itu memancarkan sinar memelas. Tubuh wanita itu menggigil, rupanya rasa dingin belum juga hilang. Tampaknya luka parah. Tubuhnya dipapah rekannya yang wanita.

Geni teringat akan keadaannya ketika terluka oleh pukulan Kalayawana. Ia terserang rasa dingin yang amat sangat hampir setiap hari. Apakah wanita ini akan menderita seperti apa yang dirasakannya waktu itu?

Tiba-tiba Geni melesat ke wanita itu. Punggawa wanita yang memapah rekannya terkejut. "Hei apa yang kau lakukan?" Rekan-rekannya yang lain memburu. Tapi mana bisa mendahului gerakan Geni yang menggunakan Antarlina (Menghilang) jurus paling handal dari Waringin Sungsang. Geni seperti hilang dari pandangan.

Punggawa wanita itu merasa angin menerpa wajahnya. Ia tahu Geni berada di depannya. Ia melepas tubuh rekannya, mencabut pedang, memukul dengan tangan kiri diikuti tebasan pedang ke arah bayangan Geni.

Sambil tetap maju, Geni merunduk dari tebasan pedang, mengelak dari pukulan lurus lawan. Ia melonjorkan tangan kanan mendorong wanita itu pergi. Tangan kiriinya menjambret lengan wanita yang terluka. Saat itu tiga punggawa lelaki sudah sampai di situ. Tapi mereka ragu-ragu menyerang melihat tangan Geni menggenggam lengan rekannya yang terluka. "Kalian diam di tempat, sekali kepruk temanmu ini akan mati!"

Semua orang terdiam. Punggawa yang menjadi pimpinan berteriak. "Itu bukan tindakan pendekar!"

"Memang aku bukan pendekar," berkata demikian, tangan Geni cepat menotok dua belas titik di punggung dan pundak wanita itu. Sebat dan cepat. Telapak tangannya menempel di punggung.

Punggawa wanita yang terluka itu merasa hawa panas menerobos punggung, berputar-putar di seluruh tubuhnya. Sesaat kemudian ia muntahkan darah beku. Saat itu juga Geni mendorongnya ke arah rekan-rekannya. Secara naluriah wanita itu melakukan salto, jatuh berdiri di samping teman wanitanya. Ia tak lagi menggigil. Sudah sembuh!

Semua orang diam, terpaku di tempat. Satu lagi gebrakan aneh lelaki brewok itu. Menyerang, merebut dan menyembuhkan orang yang tadinya adalah lawan.

Gerakan Geni juga menakjubkan semua orang. Itulah ilmu ringan tubuh tingkat tinggi dan langka. Gerakan yang sulit diikuti mata. Caranya mengobati luka punggawa wanita juga menunjukkan penguasaan ilmu pengobatan serta tenaga batin yang tinggi.

Punggawa wanita memberi hormat. "Terimakasih kamu sudah menolong, tetapi..." Ia tak bisa melanjutkan kata- katanya, wajahnya merah menahan malu.

Pemimpin rombongan punggawa segera ke depan. "Pertolonganmu itu tidak bisa menghapus dosa-dosamu kepada kerajaan Kediri. Kami, dari regu Sinelir, tetap akan mencarimu untuk menagih hutang ini, kamu sudah dianggap pemberontak." Berkata demikian, lelaki itu mengibaskan tangan Sesaat kemudian mereka menghilang dari pandangan. Geni tak peduli. Ia masih meresapi kegembiraan. Tidak disangka hanya dalam waktu sekitar seratus hari, ia sudah salin rupa. Dari seorang yang terluka parah dan nyaris mati, menjadi seorang yang memiliki kepandaian silat yang begitu tinggi. Mendadak saja ia merasa kesiuran angin disertai seruan, "Awas serangan!"

Ada orang menyerangnya. Geni memutar tubuh setengah putaran dengan jurus Paghasa (Pergeseran Kaki dalam Jarak Dekat) dari Waringin Sungsang. Mudah saja ia lolos dari serangan. Ternyata kakek tua itu yang menyerang. Geni heran, apa kesalahan yang dilakukan nya? "Tunggu dulu, hei kenapa kamu menyerangku?"

Kakek itu tak menjawab. Malah serangan semakin gencar.

Sepak terjangnya mendatangkan angin kencang dan hawa panas luar biasa. Anehnya, semua jurus yang dimainkan si kakek, tidak asing bagi Geni. Itulah dua belas jurus luar biasa dari Garudamukha.

Berturut-turut kakek itu menempurnya dengan tiga jurus yakni Warayangungas, Sikepdhebak, Dekungpulir. Geni terdesak mundur. Ada sebabnya mengapa Geni terdesak. Dari semula Geni sudah tahu kakek itu menguasai jurus Garudamukha. Karenanya ia tak berani sembarangan menggunakan tenaga Wiwaha. Siapa tahu, kakek ini salah seorang ketua Lemah Tulis. Ia tak berani kurang ajar. Tapi lawan yang dihadapi Geni kali ini bukan sembarang orang. Itu sebab begitu konsentrasinya terpecah, kontan pukulan kakek itu menampar bahunya.

Geni terpental mundur. Rasa panas membakar bahunya. Ia mengerahkan tenaga dalam dan sekejap kemudian panas itu lenyap. Belum sempat ia menentukan sikap, serangan kakek itu datang lagi. Terdengar bentakan orang tua itu. "Keluarkan ilmu simpananmu!"

Kakek im kembali menyerang dengan jurus-jurus Garudamukha. Dua jurus sekaligus Shuhdrawadan Gongkrodha. Semuanya mengarah titik kematian, ulu hati, pelipis, kemaluan, jantung, tenggorokan, pusar dan kepala. Sepanjang pertarungan Geni hanya menggunakan Waringin Sungsang untuk menghindar. Tapi ini saja tak cukup. Ia terdesak hebat. Mau tak mau akhirnya ia membalas dengan jurus dari Bang Bang Alum Alum.

Pertarungan sengit terjadi. Geni yang bertarung setengah hati, makin terdesak. Kembali dua pukulan menghajar pundak dan pahanya. Dan kali ini ia tak sempat untuk berbenah diri. Pundak dan pahanya terasa panas seperti terbakar. Terpaksa untuk menolong diri Geni memainkan jurus-jurus Garudamukha. Kali ini pertarungan jadi imbang. Ke mana serangan kakek itu tertuju, ke situ Geni menahannya dengan jurus yang tepat. Persis seperti latihan saja.

Geni teringat, dulu ia sering berlatih tarung dengan guru Padeksa menggunakan cara ini. Hanya bedanya, waktu itu tenaga batinnya tak ungkulan untuk adu tenaga. Kali ini lain. Mulanya dalam adu tenaga Geni berlaku setengah-setengah. Tapi karena tenaga kakek itu begitu kuat, Geni akhirnya menggunakan seluruh tenaga batin. Pertarungan menjadi imbang. Keduanya sama kuat. Kakek itu lebih matag bertarung dan memainkan Garudamukha, sedang Geni lebih menguasai ilmu ringan tubuh dan lebih unggul tenaga dalamnya. Tak terasa pertarungan berlangsung puluhan jurus. Seperti waktu menyerang yang begitu tiba-tiba, mendadak saja kakek itu menghentikan serangan.

"Hebat, tak dinyana ada murid Lemah Tulis yang begini handal. Siapa kau, murid siapa kau?" Kakek itu memandang Geni dengan sorot mata wibawa. Suaranya pun terdengar mantap, memerintah.

"Rupanya ia sengaja menguji ilmu Garudamukha. Ia mengenalku ketika tadi aku memainkan jurus Makanjaran dan Gongkrodha. Tapi siapa kakek ini." Berpikir demikian, tanpa dibuat-buat Geni benar-benar merasa takluk. "Namaku, Wisang Geni, anak Gajah Kuning dan Sukesih. Aku murid Manjangan Puguh."

"Jangan bohong, dari mana kau peroleh Garudamukha itu?" "Dari guru Padeksa".

"Apa arti Parasada Atishasha?"

"Itulah sikap kebesaran jiwa dan percaya diri untuk menjadi menara yang tinggi. Dari ketinggian yang luar biasa ini, kita bisa melihat semua gerakan lawan dengan jelas."

Kakek itu memandang Geni dengan tajam. Geni merasa bulu kuduknya berdiri. "Apa saya salah bicara?"

Kakek menggeleng kepalanya. Tiba-tiba matanya basah. "Di mana kangmas Padeksa, gurilmu itu?"

"Saya tidak tahu di mana guru berada. Maafkan saya yang tak kenal peradaban, tapi dengan siapa saya berhadapan?" Itulah kata-kata paling sopan yang pernah diucapkan Wisang Geni.

"Namaku sebenarnya Gajah Watu. Tapi kini orang mengenalku sebagai Ki Bhojana".

Wisang Geni bagai disengat kalajengking. Kaget luar biasa. Lama ia bersama Padeksa mencari paman guru yang satu ini tetapi tak pernah ketemu. Tak dicari justru jumpa di sini. Geni menjatuhkan diri. "Saya haturkan sungkem kepada paman guru atau mungkin saya harus menyebut kakek guru, karena saya putra Gajah Kuning dan Sukesih."

"Ha... ha... ha... Mana bisa kau jadi cucu muridku. Kau murid Padeksa, berarti aku ini paman gurilmu."

"Tetapi ayah dan ibu saya adalah murid kakek Bergawa.

Dan saya juga murid paman Gubar Baleman."

"Tidak peduli, itu urusan lain. Kau tetap murid keponakanku. Kau pilih saja, kamu jadi keponakan muridku atau menjadi keponakan murid dari muridku yang perempuan ini?"

Berkata demikian, Gajah Watu menunjuk gadis kurus berwajah cantik itu. Gadis cantik itu tertawa riang. "Guru, aku segan dan tidak mau punya keponakan murid yang kepandaiannya begini hebat.”

Kakek itu tertawa keras. "Kenapa kau ngomong pakai tetapi... apa yang kurang dari Wisang Geni ini?"

Gadis kurus itu tertawa kecil. Dengan matanya yang jenaka ia memandang Geni dan berkata dengan agak malu-malu. "Kalau mau jadi keponakan muridku, harus berpakaian bersih, harus mencukur jenggot dan kumis harus. "

"Ah itu kan mudah saja "

Berkata demikian, kakek itu menoleh kepada pemuda baju putih. "Pinjam kerismu, Den Mas"

Kontan saja Geni melangkah mundur. "Jangan, jangan.

Saya mau dan sedia menjadi keponakan murid paman Gajah Watu."

"Kau bersedia karena terpaksa?" tegas kakek itu. "Tidak, tidak terpaksa. Aku memang lebih suka begitu.

Karena memang itu yang sebenarnya, aku kan murid guru

Padeksa. Terimalah sungkemku, paman Gajah Watu."

"Hei. kau harus memanggilku paman Bhojana. Itu namaku

yang sekarang!"

Gadis kurus itu nyeletuk, "Bagus, aku kini memperoleh kakak seperguruan yang ilmunya jauh lebih tinggi dari aku." Gadis itu menoleh dan tersenyum kepada pemuda baju putih.

"Kau terlalu memujiku, nona," kata Geni agak malu.

"Eh tadi kau menegurku seakan-akan kita pernah bertemu, di mana kita pernah ketemu, aku benar-benar tak ingat lagi?" "Nona, memang tak mengenalku. Sekarang ini dandananku macam pengemis, kita dulu pernah bersama-sama seorang perempuan, bertiga, mengeroyok dan membunuh Tambapreto, masih ingat?"

Gadis itu tertawa. "Oh itu kamu? Tapi dulu ilmu silatmu tidak sehebat sekarang? Hei, mana kawan wanitamu, dia pasti dari Lemah Tulis juga?"

"Iya namanya Walang Wulan. Dia murid paman Bergawa.

Berarti dia saudara perguruanmu".

Mereka berkenalan. Wisang Geni terkejut mengenal tiga orang muda yang ditolongnya. Gadis kurus cantik berkulit putih, tidak lain adalah puteri keraton yang dicari-cari, puteri Waning Hyun. Ia lebih terkejut lagi mengetahui pemuda baju putih itu, adalah putera mahkota keraton Tumapel yakni pangeran Ranggawuni, putera dari Baginda Raja Anusapati. Sedang pemuda berbaju hitam adalah saudara kandung puteri Hyun, Mahisa Cempaka.

Entah bagaimana, mendadak ada rasa tidak suka muncul dalam dirinya. Geni tak bisa mengingkari dendam sejarah. Orang-orang dari keraton Tumapel dulu yang membantai dan menghancurkan Lemah Tulis.

Orangtuanya, meski dibunuh Kalayawana, tapi pasukan Arek merupakan bagian dari peristiwa berdarah itu. Dan tiga orang muda ini, tak lain keturunan Ken Arok. Keturunan dari orang yang paling bertanggungjawab atas musnahnya perdikan Lemah Tulis.

Tapi bagaimana bisa terjadi, paman Gajah Watu mengambil puteri Hyun sebagai murid. Dan bagaimana lagi hubungan paman Gajah Watu dengan dua pangeran itu? Geni bingung.

Apa yang dirasa Geni, tanpa sadar memancar dari wajah dan sinar matanya. Gajah Watu melihat ini. Ia mengerti.

Tanpa sadar orang tua itu menghela napas. Ia tahu persis apa itu dendam. Karena dendam juga maka perjalanan hidupnya berubah. Ia masih ingat, dua kali dia berusaha menerobos istana Tumapel, untuk membalas dendam dan membunuh raja. Pertama di tahun 1222 dan yang kedua di tahun 1239.

Yang pertama, gagal membunuh Ken Arok karena keraton dijaga banyak punggawa berilmu tinggi yang berasal dari para pendekar kenamaan. Tujuhbelas tahun kemudian (1239) atau duabelas tahun setelah kematian Ken Arok (1227) yang kemudian digantikan Anusapati, dia kembali menyatroni keraton. Baginya membunuh raja Tumapel adalah tugas perguruan. Raja Tumapel, Anusapati meski bukan keturunan Ken Arok melainkan putra Ken Dedes dengan suami pertamanya Tunggul Ametung, tetapi tetap saja adalah raja Tumapel. Malam itu dia berhasil menyusup sampai ke dalam keraton. Di taman keraton ia memergoki bayangan berlari dengan gesit. Orang itu bertopeng.

Rasa curiga menuntunnya membuntuti bayangan tersebut yang menggendong sesuatu di punggung. Pada saat itu terdengar suara ribut, tanda rahasia istana berbunyi. Rupanya istana kebobolan musuh. Gajah Watu sadar malam itu tak mungkin meneruskan niat membunuh raja. Ia memutuskan lari menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia mendengar suara berteriak minta tolong. Suara itu, suara anak kecil. Rupanya orang itu menculik anak kecil.

Sesaat ia berpikir, jangan-jangan yang diculik salah seorang pangeran. Tanpa pikir panjang lagi ia bergerak lebih cepat Ia berhasil mengejar. Bertarung beberapa jurus, ia tahu lawannya sedang terluka. Tahu tak mungkin menang, malah jiwanya terancam, orang bertopeng itu melempar anak kecil gendongannya dan kabur cepat.

Gajah Watu memeriksa keadaan anak kecil itu yang ternyata gadis kurus. Gadis kecil itu tersenyum padanya. "Terimakasih pak tua. Kau sudah menolongku. Eh, sebagai tanda terimakasih nanti kau kuberi hadiah emas dan pakaian bagus-bagus." Gajah Watu terkesima. Gadis kecil ini punya nyali luar biasa. Ia sama sekali tak merasa takut. Suaranya wajar-wajar saja.

Pada saat itu terdengar kesiuran angin. Beberapa bayangan berkelebat mengepung dan menyerang Gajah Watu.

Semuanya ada enam orang. Empat orang menyerang. Dua lainnya menjaga gadis kecil itu. Gajah Watu kini benar-benar sibuk. Empat orang itu berilmu tinggi dan dalam sekejap saja terjadi pertarungan sengit.

Gadis kecil itu berteriak-teriak kegirangan. Lucunya, ia berteriak membantu Gajah Watu. Ia balikan mengolok-olok empat punggawa istana itu. Tak lama kemudian tempat itu sudah dikepung banyak orang. Tak mungkin lagi Gajah Watu bisa lolos.

Seorang lelaki berjubah panjang mendekati pertarungan. "Huh, betapa beraninya sampean, dengan kepandaian sejengkal itu berani membentur istana Tumapel."

Mendadak gadis kecil itu berteriak, "Hei kamu jangan mengejek pak tua itu. Dia yang menolongku. Kalau bukan karena dia, tentu aku sudah dibawa kabur jauh oleh penculik itu."

"Apa katamu, Den Puteri? Dia bukan penculikmu?"

"Kamu semua apa kerja kamu, penculik itu masuk keraton dan menerobos sampai keputrian, kalian di mana? Kerjamu cuma tidur, dasar goblok."

"Maaf kami terlambat datang tuan putri."

"Sudah jangan banyak omong, cepat hentikan perkelahian itu."

Malam itu Gajah Watu melihat kesempatan emas. Ia dibawa menghadap ke hadapan Baginda Raja Anusapati. Sekali lagi gadis kecil itu menolongnya, memaksa baginda raja mengampuni Gajah Watu, juga memberi ijin tinggal di istana menjadi guru pribadinya. Gadis kecil itu ternyata puteri Waning Hyun, keponakan Anusapati Nenek putri Hyun adalah Ken Dedes. Ayah Waning Hyun, Bhatara Parameswara adalah putra Ken Dedes dari suami Ken Arok. Sedang Anusapati adalah putra Ken Dedes dari suami Tunggal Ametung.

Sejak itu Gajah Watu tinggal di istana, menggunakan nama samaran Ki Bhojana. Dia menjadi guru silat putri Hyun.

Ternyata meski sangat dimanja, tetapi Waning Hyun sangat rajin berlatih silat. Jika sebelumnya dilatih banyak guru secara bergantian, kini ia hanya bersedia berlatih di bawah bimbingan Gajah Watu.

Gajah Watu pura-pura senang mengabdi keraton tetapi dalam benaknya menanti kesempatan bertindak. Waktu berjalan terus, tahun berganti tahun Gajah Watu akhirnya sadar, bahwa dendam hanyalah ilusi dari nafsu angkara. Tegakah ia membunuh gadis kecil yang tak tahu apa-apa tentang dendam Lemah Tulis, hanya lantaran ia adalah cucu Ken Arok?

Cerita Gajah Watu tentang pengalamannya tak bisa melumerkan bara dendam dalam sanubari Geni. Dendam bagi Gajah Watu diartikan sebagai ilusi nafsu angkara. Selama belum terlampiaskan selama itu juga ilusi bergelayut di pelupuk mata. Bagi Wisang Geni, dendam adalah semangat. Dendam sama dengan tujuan hidup. Karena dendam itulah ia bisa lolos dari kematian. Dendamlah yang memelihara dan membesarkannya selama ini. Ia tak mungkin bisa menghapus ingatan masa kecil saat Manjangan Puguh menggendong membawanya lari dari istana yang sudah dikepung musuh.

Meski waktu itu usianya delapan tahun tetapi ia mengerti kenapa mereka kabur dari istana. Masih lekat di ingatannya, hiruk pikuk di keraton. Semua orang berhambur ingin menyelamatkan diri.

Di mana-mana orang berteriak tentang kekalahan pasukan keraton di perang Ganter. Orang-orang berlarian sambil membawa harta benda dan keluarganya. Geni menahan tangis. Ia menanyakan keadaan orangtuanya. Dari jawaban gurunya, ia merasa orangtuanya dalam bahaya besar. Tapi ia tak boleh menangis, itu pantangan bagi seorang pendekar, begitu yang diajarkan kepadanya.

Geni telah melalui hari demi hari yang penuh kekerasan dan kegersangan hidup. Tak ada kasih sayang ibu, tak ada kebanggaan memiliki seorang ayah. Yang ada hanyalah perasaan dendam yang melecut diri untuk giat berlatih ilmu silat. Dendam bagi Geni adalah urusan besar.

Mengetahui Warung Hyun dan dua kawannya adalah keturunan Ken Arok, Geni tak bisa menyembunyikan perasaan tidak sukanya. Dia tak bisa berpura-pura. Sikapnya dingin dan kaku. Tentu saja sikap ini menjengkelkan Gajah Watu. Tapi orangtua ini tak bisa memaksa Geni mengubah sikap. Suka atau tidak suka, Gajah Watu harus menerimanya sebagai hal yang wajar.

Tidak demikian dengan tiga orang muda itu. Namun reaksi ketiganya tidak sama. Ranggawuni berpikir sikap Geni itu lantaran malu dan segan setelah mengetahui mereka keturunan keraton. Mahisa Cempaka pun berpikiran sama.

Tapi Waning Hyun seakan bisa membaca jalan pikiran Geni. "Ki Wisang Geni, bersama kami, anda tak perlu basa-basi. Kalau berada di luar keraton, kami adalah orang biasa. Jadi kau tak perlu sungkan."

Wisang Geni menyahut dingin ucapan Ranggawuni "Mana berani aku kurang ajar terhadap seorang putera mahkota yang tak lama lagi akan menjadi Yang Dipertuan di kerajaan Tumapel."

Ranggawuni dan Mahisa Campaka menganggap jawaban Geni adalah sejujurnya. Tapi Waning Hyun merasa adanya nada sinis. Hanya sebelum gadis itu menjawab, Gajah Watu sudah mendahului. "Geni, ada yang ingin kutanyakan kepadamu." Gajah Watu memisahkan diri bersama Geni. Ia menanyakan tentang ilmu Geni yang bertenaga panas dan dingin. Ia tahu pasti ilmu hebat itu bukan ajaran Lemah Tulis. Geni menceritakan pengalamannya.

Gajah Watu merasa takjub akan peruntungan Geni. "Aku pernah mendengar cerita guruku tentang kehebatan pendekar Lalawa itu. Ia hidup lebih dari seratus tahun lampau, ilmunya memang tinggi. Kau beruntung Geni, mewarisi ilmunya itu."

"Tapi paman, aku mengalami kesulitan yang tak bisa kuatasi sampai saat ini. Setiap memainkan jurus Garudamukha Prasidha aku tak bisa menggunakan tenaga Wiwaha.

Sepertinya tenagaku tersumbat Tapi kalau menggunakan Garudamukha tingkat biasa atau ilmu dari guru Manjangan Puguh, tenaga Wiwaha itu mengalir lancar tanpa hambatan."

"Geni, kau beruntung memperoleh ilmu paling handal dari Lemah Tulis itu. Gurilmu Padeksa juga aku bahkan kangmas Bergawa dan kangmas Branjangan selalu memimpikan ilmu ini. Kalau saja kami terutama kangmas Bergawa berjodoh memperolehnya, aku yakin malapetaka di Lemah Tulis itu tak akan pernah terjadi."

Gajah Watu muram tiba-tiba ia sadar, mungkin peruntungan Geni, merupakan pertanda awal bangkitnya Lemah Tulis?

"Geni, selalu dalam melatih ilmu diperlukan pengenalan mutlak terhadap ilmu itu sendiri. Apakah kau sudah mengenal Prasidha mutlak, utuh dan tuntas?"

"Paman, aku memang sudah mempelajari tuntas Prasidha.

Tapi kau benar, paman, ada satu kalimat yang sampai sekarang tak bisa kumengerti Aku rasa mungkin ini kunci permasalahan mengapa tenagaku tak bisa mengalir lantar saal memainkan Garudamukha Prasidha. Bunyinya begini, Parahwanta Angentasana Dukharnawa, (Hendaknya aku menjadi perahilmu menyeberangi laut kesusahan) mungkin paman tahu artinya?"

Wisang Geni penuh harap kalimat itu akan terpecahkan maknanya. Tapi sayang Gajah Watu pun tak bisa menembus maksud kalimat itu. Gajah Watu memandang Geni dengan gundah. "Agaknya kalimat itu sebuah perumpamaan yang mengandung falsafah. Aku belum pernah mendengar sebelumnya. Aku juga tak tahuapamalmakalimat itu, tapi akan kupikirkan. Mungkin suatu hari kelak aku bisa menjawabnya."

Tanpa terasa hari sudah senja. Tak lama lagi matahari akan tenggelam di peraduan. Baik Geni maupun rombongan Gajah Watu sama-sama bertujuan ke puncak Mahameru.

Ranggawuni mengajak Geni untuk melakukan perjalanan bersama. Tapi Geni menolak, dia lebih suka melakukan perjalanan sendiri.

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG

WISANGGENI