Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 06


BAGIAN 23
Nun jauh di kedalaman kolam ...
Murid pertama Dewa Pengemis dan Dewi Banal
Bertangan Naga menyelam cepat bagai seekor ikan,
mengatur napas pori-pori kulit hingga sanggup berlama-lama
di dalam air. Dengan menggunakan salah satu jurus
dari ‘18 Tapak Naga Penakluk’ (Xiang Long Shi Ba
Zhang) yang bernama ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’
(Yu Yue Yu Yuan) yang bisa dialihfungsikan, si pemuda
berbaju biru menyelam semakin jauh ke kedalaman air.
Bagaimana pun juga, ia seorang pemuda yang sedari

kecil akrab dengan laut. Menyelam dan mencari ikan
sudah menjadi kehidupannya meski Jalu Samudra kala
itu dilanda kebutaan. Ketika baru mencapai beberapa
tombak, ia mendengar suara benda tercebur. Saat ia
menoleh ke atas, ia melihat sosok baju hijau
mengikutinya terjun ke dalam kolam, namun hanya
sebentar saja sosok itu kembali naik ke permukaan.
“Hemm ... Beda Kumala rupanya,” pikir si Jalu. “ ... dia
mengkhawatirkan diriku.”
Ketika mencapai kedalaman dua puluhan tombak,
tiba-tiba Jalu melihat sesuatu yang memancarkan cahaya
putih temaram di dinding kolam sebelah kanannya.
Cahaya itu membias dari sebuah lorong gelap.
“Hemm ... cahaya apa itu?” pikirnya, “Aneh sekali jika
dalam kolam yang gelap seperti ini ada bagian yang bisa
memancarkan cahaya? Di dalam lorong lagi!?”
Namun Jalu mengacuhkan saja, akan tetapi hati
kecilnya seakan mengisyaratkan agar ia mendekat ke
dalam lorong bercahaya itu. Sejenak ia berhenti.
“Lihat ngga, ya?” pikirnya. Setelah pikir punya pikir,
“Ahh ... lihat sebentar ngga apa-apalah.”
Jalu segera berenang mendekat. Begitu sampai, yang
dilihatnya bukanlah lorong seperti yang dia kira, tapi
cuma sebuah cerukan dinding selebar satu kali satu
tombak sedalam sekitar setengah tombak. Dan ternyata
yang memancarkan cahaya putih di dalam cerukan,
adalah sebuah benda berbentuk kotak pipih warna putih
kusam.
“Benda apa ini?” pikirnya.
Tangan kanan Jalu bergerak menyentuh benda pipih
yang bersandar di dalam cerukan dinding. Begitu

tersentuh tangan, tiba-tiba saja seberkas cahaya putih
terang membentuk gumpalan sinar membersit.
Criiing!
Spontan, Jalu bergerak mundur melayang sambil
kedua tangan dipalangkan di depan mata.
“Sinar apa ini? Silau sekali!” kata Jalu dalam hati.
Saat sinar mereda, Jalu menurunkan sepasang
tangannya yang tadi digunakan untuk menghalangi
pancaran di depan mata.
Begitu diturunkan, sepasang mata Jalu langsung
melotot!
--o0o--
“Beda, kulihat kau begitu mengkhawatirkan pemuda
itu,” kata Ki Gegap Gempita. “Apamukah dia?”
“Dia ... dia ... hanya seorang teman yang baik, Aki.”
“Hanya teman?”
Gadis itu mengangguk lemah.
“Tidak lebih?” kali ini yang bertanya Nyi Tirta Kumala
sambil tersenyum.
“Apa maksud Nyai?”
“Maksudku ... apa kau ada hati dengan Jalu?” tanya
Nyi Tirta Kumala lebih lanjut, tanpa tedeng aling-aling.
Degg!
Jantung Beda Kumala berdetak kencang, pikirnya,
“Ya! Apakah aku memang ada hati dengan Kakang Jalu?
Dan apakah Kakang Jalu juga merasakan hal yang sama
denganku?” Namun diluarnya, ia berkata lain, “Entahlah,
Nyai! Saya tidak tahu.”

“Kenapa kau tidak tahu?” tanya heran Ki Gegap
Gempita.
“Saya kenal dengan Kakang Jalu baru beberapa hari,”
ucap Beda Kumala. “Lagi pula, menurut penuturan
Kakang Jalu, ia sudah beristri. Dan saya pribadi tidak
ingin merusak rumah tangga orang lain.”
Ke dua orang tua itu saling pandang satu sama lain.
“Nyai, sebenarnya apa yang terjadi dengan Nyai Guru
hingga bisa sampai berada di tempat celaka ini?” tanya
Beda Kumala mengalihkan perhatian.
Sambil membetulkan posisi duduknya, Nyi Tirta
Kumala berkata, “Sebelum aku menjawab, aku ingin
bertanya satu hal padamu.”
“Silahkan, Nyai Guru.”
“Saat ini, bagaimana waktu di luar? Maksudku ... siang
atau malam?”
“Malam hari ... mungkin tengah malam,” sahut Beda
Kumala.
Nenek itu mengangguk pelan.
“Kalau begitu ... kau masih ada kesempatan untuk
keluar dari tempat ini, muridku,” tutur Nyi Tirta Kumala,
“Tapi sebelum kau pergi, aku akan menjawab apa yang
menjadi pertanyaanmu tadi.”
Ki Gegap Gempita dan Nyi Tirta Kumala saling
pandang beberapa saat.
“Sebenarnya, keberadaan semua tokoh silat di tempat
ini termasuk kami berdua adalah ulah dari sosok tanpa
wujud yang menamakan diri sebagai Raja Iblis Pulau
Nirwana. Tak perlu kami ceritakan bagaimana kami bisa
tertangkap, namun yang jelas, tokoh ini berniat menguras

habis semua ilmu-ilmu kesaktian para tokoh rimba
persilatan.”
“Apa!?” seru Beda Kumala, kaget.
“Benar, Beda! Kau lihat rantai keparat ini ... ” kata Ki
Gegap Gempita, “ ... rantai bernama Rantai Setan
Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit inilah yang
menyedot kesaktian kami semua. Dan kau tahu kenapa
gurumu tadi bertanya tentang waktu?”
Beda Kumala menggeleng lemah.
“Karena hanya di pagi hari saja, Raja Iblis itu datang
kemari dan menyedot seluruh kesaktian kami semua,”
tutur Ki Gegap Gempita. “Semua! Tanpa tersisa!”
Kembali Beda Kumala tercekat. Tidak terbersit dalam
pikirannya bahwa Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi
Dan Langit yang sulit diputus dengan senjata apapun ini
adalah pangkal bahala bagi insan persilatan!
“Namun, anehnya ... di siang hari hingga tengah
malam, tenaga sakti kami secara berangsur pulih hingga
lima bagian dan mendekati pagi hari, justru pulih sepuluh
bagian,” kali ini yang berkata justru Si Tangan Golok.
“Eh, kenapa bisa begitu?”
“Aku sendiri tidak tahu, dan aku yakin semua orang
yang ada disini juga tidak mengetahuinya,” jawab Ki
Harsa Banabatta.
Beda Kumala berpikir keras, “Jika setiap hari disedot
tenaga dalamnya, dan setiap hari pula tenaga dalam itu
kembali secara aneh, entah sekarang ini seberapa tinggi
kesaktian Raja Iblis Pulau Nirwana jika melakukan hal itu
hampir lebih dari satu setengah tahun. Dan itu artinya ...
ia sudah menjadi tokoh sakti tanpa tanding di jagat
persilatan!”

“Itulah sebabnya tadi kukatakan jika rantai keparat ini
putus, maka kesaktian kami akan kembali seperti sedia
kala ... ” lanjut Si Tangan Golok. “ ... meski harus
menunggu hingga pagi hari.”
--o0o--
“Selamat berjumpa, muridku,” kata sosok laki-laki
tampan bertubuh tinggi tegap.
Di hadapan Jalu Samudra, terlihat sosok laki-laki
dengan raut muka lembut, tatapan mata teduh penuh
welas asih, berdiri menggendong tangan di belakang
punggung. Disebelahnya berdiri sesosok perempuan
cantik jelita dengan pesona kecantikan tersendiri, tidak
seperti kerupawanan gadis-gadis tanah Jawa pada
umumnya, sekilas mirip dengan wajah orang-orang dari
negeri seberang laut yang bernama Daratan Tiongkok.
Sepasang mata sipit dengan posisi alis melengkung tipis
di atasnya. Belum lagi dengan postur tubuh tinggi
semampai dan berkulit kuning pucat terbalut pakaian
kuning gading dalam bentuk dan cara memakainya cukup
aneh di mata Jalu.
Ke dua sosok yang datang secara gaib ini terlihat
melayang-layang, mengambang di atas air.
Saat Jalu hendak membuka mulut, air segera
memasuki kerongkongannya hingga membuatnya
tersedak.
Blubb ... blubb!
“Aduhh ... aku lupa kalau di dalam air,” pikirnya,
“Bagaimana harus menjawab, nih? ... ah, ada akal!”
Tubuh Jalu Samudra yang juga mengambang di dalam
air membuat gerakan membungkuk sedikit, setelah itu ke

dua tangannya membuat gerakan aneh di depan dada,
tunjuk sana-tunjuk sini.
Kedua sosok di hadapan Jalu hanya tertawa tanpa
suara.
“Istriku, berikan ilmumu pada murid kita ini,” pinta si
laki-laki. “Biar kita bisa bercakap-cakap sebentar dengan
leluasa.”
“Baiklah, suamiku,” sahut si wanita berbaju kuning
gading, “Terima ini, muridku.”
Jari kanan si wanita menjentik pelan.
Ctik!
Seleret cahaya putih bening melesat cepat membelah
air.
Plass!
Jalu tersentak kaget diserang mendadak begitu rupa,
namun belum lagi ia menghindar atau memang tidak
sempat menghindar saking cepatnya serangan si wanita
berbaju kuning gading, cahaya putih bening langsung
menabrak tengah dada.
Blashh!
Jalu Samudra tersentak kaget, namun hanya
beberapa kejap saja. Tangannya segera meraba tengah
dada, bahkan secara tidak sadar ia bergumam, “Lho, kok
tidak ada luka?”
Saat itulah ia baru menyadari sesuatu.
“Aku bisa bicara dalam air?” katanya dengan heran.
“Mana mungkin?!”
“Kau tidak perlu heran, muridku!” tutur si laki-laki,
“Barusan istriku memberikan Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’

padamu. Dengan ilmu itu, kau bisa berada dalam air
berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya.”
(Ket : ikan gajah maksudnya adalah ikan paus, jaman
dulu istilahnya masih ikan gajah karena bentuknya yang
besar seperti gajah).
Jalu merasa heran sekali. Dari awal ia memang sudah
punya dugaan tentang siapa adanya dua orang yang
memiliki pancaran wibawa kuat di depannya ini. Di dunia
ini, Jalu memang memiliki dua pasang guru. Yang
pertama pasangan Tombak Utara Tongkat Selatan yang
telah merawatnya sejak kecil dan yang kedua adalah
Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga,
sepasang tokoh pendekar dari Aliran Pengemis yang
telah hidup ratusan tahun silam. Jika Tombak Utara
Tongkat Selatan jelas tidak mungkin karena keduanya
telah meninggal dunia dalam usia tua, demikian pula
dengan Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga
yang sudah meninggal ratusan tahun silam.
Dan kemungkinan kedua hanyalah dua orang yang
berdiri di hadapannya adalah sosok roh gaib!
“Guru berdua adalah ... ”
“Seperti yang ada di dalam pikiranmu, muridku,” ucap
si wanita. “Aku adalah Dewi Binal Bertangan Naga dan ini
suamiku, si Dewa Pengemis adanya.”
Jalu Samudra alias Si Pemanah Gadis segera menjura
dengan hormat.
“Heran, biasanya aku bisa bicara seenaknya. Namun
di hadapan ke dua guruku ini, entah mengapa aku
menjadi segan dan sulit sekali mengatakan sesuatu,”
kata hati Jalu Samudra.

“Muridku, kau tidak perlu heran dengan kehadiran
kami di tempat ini. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak,
apa pun bisa terjadi,” tutur Dewa Pengemis melayang
mendekat, lalu tangan kanannya membelai lembut
rambut Jalu. “Namun, waktu kami berdua tidak banyak.”
“Lalu ... maksud kedatangan guru berdua?”
“Kami masih memiliki satu jenis ilmu yang tidak
terdapat dalam dua kitab yang kami tulis sebelumnya,
dikarenakan kami keburu dipanggil Yang Maha Kuasa,”
kata Dewi Binal Bertangan Naga, sambungnya, “Di alam
sana, hidup kami tidak tenang, muridku. Seperti ada
sesuatu yang mengganjal dalam perjalanan kami
menghadap Maha Yang Kuasa. Dan hal itu berlangsung
selama lima ratus tahun, hingga akhirnya kau dan istrimu
Kumala Rani menemukan dua kitab milik kami dan
mempelajarinya hingga tuntas. Saat itulah sebagian dari
beban hidup kami terkurangi.”
Sebagai murid yang baik, Jalu Samudra diam
mendengarkan setiap wejangan ke dua gurunya.
“Meski demikian, ada sejenis ilmu yang belum sempat
kami wariskan pada kalian berdua,” ujar si Dewa
Pengemis.
“Menurut saya pribadi, apa yang Guru berikan pada
kami berdua lebih dari cukup, bahkan mungkin terlalu
berlebihan untuk ukuran kami,” tutur Jalu Samudra, “Dan
pribadi serta mewakili Nimas Rani, kami berdua
mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
Ke dua sosok itu saling pandang sejenak, lalu samasama
mengangguk.
“Tidak, Jalu! Kami berdua bukan guru yang pelit, yang
menyembunyikan sebagian ilmunya untuk di simpan
sendiri. Bagi kami, setiap ilmu harus bisa bermanfaat

bagi diri sendiri dan orang banyak,” sahut Dewa
Pengemis, sambungnya, “Walau ilmu terakhir ini tidak
sehebat dan sedahsyat ilmu kesaktian yang ada dalam
Kitab Dewa Dewi dan Kitab Kembang Perawan, namun
kami yakin ilmu ini akan banyak berguna bagi orangorang
di atas sana.”
“Nah muridku, bersediakah kau menerima ilmu terakhir
kami?” tanya Dewi Binal Bertangan Naga.
Biasanya, seorang guru selalu memberikan begitu saja
setiap ilmu yang ia miliki pada muridnya tanpa bertanya.
Tidak peduli apakah muridnya suka dengan ilmu itu atau
tidak. Namun, bagi tokoh puncak Aliran Pengemis masa
ratusan tahun silam ini, hal itu tidak berlaku. Bagi
mereka, keikhlasan sang murid yang menimba ilmu dan
guru yang mengajarkan ilmu berada pada urutan teratas,
sebab menurut pasangan suami istri ini, percuma saja
memiliki segudang ilmu jika faktor keikhlasan kedua
belah pihak terabaikan!
“Dengan senang hati, Guru,” sahut Jalu Samudra
dengan hormat.
“Kau tidak bertanya ilmu apa?”
“Saya rasa tidak perlu saya bertanya mengenai ilmu
terakhir ini, Guru,” jawab Jalu tegas.
“Katakan alasanmu, muridku,” tanya Dewa Pengemis.
“Saya pribadi yakin, bahwa tidak mungkin seorang
guru akan menjerumuskan muridnya ke lembah
kenistaan. Sebab jika hal itu terjadi, sama saja dengan
mencoreng arang ke wajah guru yang bersangkutan,”
papar Jalu Samudra.
Kembali Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan
Naga tersenyum.

“Darimana kau memiliki keyakinan seperti itu, Jalu?”
tanya Dewi Binal Bertangan Naga.
“Hati kecil saya yang mengatakan begitu,” jawab Jalu
Samudra. “Semoga tidak mengecewakan guru berdua.”
“Bagus ... bagus!” kata Dewa Pengemis sambil
menepuk lembut pundak kiri muridnya. “Aku senang
dengan pendapatmu.”
“Oh ya, muridku. Apakah kau membawa serta kalung
medali yang ada dalam kotak hitam?” tanya Dewa
Pengemis.
“Maksud guru lempengan besi hitam segi delapan
dengan ukiran naga, rajawali dan harimau itu?”
“Benar.”
“Saya selalu membawanya, Guru!” jawab Jalu
Samudra. “Sesuai yang tertulis pada lembar akhir Kitab
Dewa Dewi.”
“Bagus! Kau bawalah terus Medali Tiga Dewa, jangan
pernah kau lepaskan atau kau berikan pada siapa pun
juga,” kata Dewa Pengemis lebih lanjut, “Sekarang ...
mendekatlah kemari.”
Jalu bergerak mendekat.
“Pejamkan matamu.”
--o0o--
BAGIAN 24
Jalu Samudra segera memejamkan matanya. Begitu
mata terpejam, di dalam alam pikirannya terlihat
serangkaian gerakan tangan dan kaki dengan titik-titik
merah yang saling berurutan. Ada yang dalam satu sesi

hanya terlihat pancaran titik merah sejumlah satu, ada
yang dua akan tetapi jumlah terbanyak sejumlah
sembilan titik merah dari atas kepala hingga kaki.
Tergambar dengan jelas di alam pikiran Jalu, siluet tubuh
yang menggambarkan posisi-posisi gerak dan
penggunaan aliran tenaga dalam melewati titik-titik
merah.
Jalu sendiri merasa heran, sebab sosok tubuh yang
ada dalam pikirannya adalah ... sosok dirinya!
Dan ia lebih heran lagi, seolah ia sendiri bisa
mengetahui ke bagian mana dari titik-titik merah akan
berujung dan bagaimana daya guna dari siluet tubuh
dirinya, seolah-olah ia memang telah menguasai daya
guna itu sebelumnya.
Ketika sosok bayangan dirinya menghilang, Jalu
segera membuka matanya.
“Itulah ilmu terakhir kami Jalu,” ucap Dewa Pengemis,
“Kau sudah memahaminya?”
“Walau tidak pernah belajar, namun saya seakan
mampu menguasai setiap jengkal dari sosok siluet yang
ada dalam alam pikiran saya,” tutur Jalu Samudra, “Dan
anehnya lagi ... sepertinya, saya merasa sudah lama
memiliki ilmu itu, Guru.”
“Kau benar-benar murid kami yang cerdas, Jalu.”
“Jika boleh saya tahu, sebenarnya ilmu apa yang telah
guru berdua berikan pada saya.”
“Ilmu ini adalah ilmu pengobatan yang bernama Ilmu
‘Tapak Sembilan’. Sesuai dengan namanya ilmu ini
memiliki sembilan kegunaan. Beberapa diantaranya
adalah bisa menyambung tulang dan daging yang
terputus, bahkan sanggup memulihkan dan

membuyarkan tenaga sakti separah apa pun,” tutur Dewi
Binal Bertangan Naga, “Untuk manfaat lain, kau bisa
mengetahuinya sendiri.”
“Terima kasih atas limpahan ilmu yang Guru berdua
berikan pada saya,” kata Jalu Samudra.
“Sama-sama, muridku.”
“Cuma satu pesanku, kau boleh mengajarkan ilmu ini
pada anak keturunanmu, dengan catatan : tanpa
menggunakan paksaan. Keduanya harus ikhlas antara
yang menimba dan mengajarkan. Bahkan pada siapa
pun yang kau inginkan asal untuk kebaikan.”
“Pesan Guru akan saya junjung tinggi,” kata Jalu
Samudra. “Lalu ... bagaimana dengan ilmu-ilmu yang lain
Guru?”
“Sebenarnya ... semua ilmu kami bisa dipelajari oleh
semua orang. Hanya saja, bisa atau tidaknya tergantung
dari jodoh dan keberuntungan masing-masing,” tutur
Dewa Pengemis pada muridnya. “Kau paham?”
“Jalu, kami memiliki sebuah kitab terakhir, dimana
kitab ini mau kau pelajari atau kau berikan pada orang
lain, semua terserah padamu,” kata Dewi Binal
Bertangan Naga, lalu tangan kiri bergerak menarik ke
arah benda pipih yang bersandar di dalam cerukan
dinding. Seperti ada kekuatan gaib, benda pipih itu
tersedot keluar dari cerukan, melayang pelan, lalu
mengarah pada Jalu yang langsung menerimanya
dengan kedua tangan.
Plekk!
Benda pipih besar itu terasa ringan di tangan Jalu
Samudra.

“Kitab itu hanya bisa dipelajari oleh orang yang
memiliki tenaga dalam tinggi, atau setidaknya
mempunyai ilmu atau tenaga unik berserabut,” tutur Dewi
Binal Bertangan Naga. “Meski demikian, kitab itu memiliki
satu kelemahan.”
“Apakah itu, Guru?”
“Kitab ini ... akan hancur setelah berada di luar
kedalaman air dua puluh tombak dalam waktu satu
kentongan!”
“Benarkah!?”
“Menurut kakakku, memang seperti itulah adanya,”
ucap Dewa Pengemis. “Jadi ... apakah ingin kau pelajari
atau tidak, semua kuserahkan padamu.”
“Nah, muridku! Waktu kami berdua semakin menipis.
Jaga dirimu baik-baik,” kata Dewi Binal Bertangan Naga,
lalu sosoknya mengabur, “Sampaikan salam kami untuk
Kumala Rani.”
“Satu lagi! Aku tahu kau sedang membantu para tokoh
yang terbelenggu rantai ini. Untuk menghancurkan
Rantai Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit,
gunakan tingkat sembilan dari ‘Tenaga Sakti Kilat
Matahari’, muridku,” kata Dewa Pengemis dalam sosok
samar.
Akhirnya, bersamaan dengan hilangnya suara sang
guru, lenyap pula sosok gaib Dewa Pengemis dan Dewi
Binal Bertangan Naga dari hadapan Si Pemanah Gadis.
“Terima kasih guru berdua. Semoga perjalanan guru
berdua tidak ada halangan lagi,” desis Jalu Samudra.
Setelah termenung beberapa saat, ia berkata, “Sebuah
pengalaman yang unik. Nimas Rani pasti tidak percaya
kalau aku ceritakan semuanya. Sudahlah! Lebih baik aku

lanjutkan tugasku.” Lalu pandangannya beralih pada
benda pipih di tangan kirinya, katanya, “Dan perkara kitab
ini, lebih baik kuberikan saja pada Beda Kumala, siapa
tahu dengan adanya lonjakan tenaga saktinya kemarin
bisa mempelajari ilmu dalam kitab ini dengan sempurna.”
Jalu Samudra segera menyelam lebih dalam lagi. Jika
sebelumnya ia menggunakan napas pori-pori kulit, kini ia
justru berani menggunakan napas hidung.
“Wah ... Ilmu ‘Napas Ikan Gajah’ benar-benar ciamik!”
kata Jalu, sambil main gelembung udara lewat hidung
dan mulut, lalu sambungnya, “ ... atau jangan-jangan
diriku malah keturunan ikan, nih?”
--o0o--
Di dalam penjara bawah tanah ...
“Begitulah, Beda!” kata Ki Gegap Gempita, “Sebisa
mungkin kau segera keluar dari tempat ini. Kami tidak
ingin kau mengalami nasib celaka seperti halnya kamikami
yang ada disini.”
“Dan kau perlu memberi tahu pada tokoh persilatan
tentang ancaman yang ditimbulkan oleh Raja Iblis Pulau
Nirwana,” kata Dewi Tangan Api, sambungnya,
“Bergegaslah sebelum terlambat! Semakin cepat
semakin baik!””
Beda Kumala bingung.
Benar-benar bingung!
Di satu sisi, ia begitu mengkhawatirkan Jalu Samudra
yang tercebur ke dalam kolam dan ia sudah
berkeyakinan apa pun yang terjadi, ia akan menunggu
Jalu meski yang keluar hanya sesosok mayat beku. Di
sisi lain, ia perlu memberitahukan perihal Raja Iblis Pulau

Nirwana yang telah menyekap dan menawan tokoh-tokoh
silat di penjara bawah tanah Istana Jagat Abadi.
“Cepat! Tunggu apa lagi?” desak kata si kepala gundul
klimis, lalu ia mengangsurkan sebuah kotak kecil pada
gadis itu, “Jika diluar sana kau bertemu dengan orang
bernama Jalak Siluman, berikan benda ini padanya.”
“Tapi paman ... ”
“Aku percaya padamu, Cah Ayu! Tidak mungkin murid
Perguruan Sastra Kumala seorang pengecut busuk yang
menginginkan barang tak berharga milik orang lain,
bukan?!”
“Jalak Hutan!” bentak Nyi Tirta Kumala, “Kau berani
berkicau tak karuan pada muridku di depan gurunya,
hah!?”
Si kepala gundul klimis yang dipanggil Jalak Hutan
hanya menyeringai saja.
“Aduuhh ... bagaimana, nih?” gerutu Beda Kumala.
“Beda! Terima saja benda busuk itu,” kata Nyi Tirta
Kumala, lalu sambungnya, “Antar ke Perkumpulan Titian
Langit, dan bilang pada anaknya si Jalak Siluman itu
kalau bapaknya yang bau tanah sebentar lagi mau
modar!”
“Dasar nenek bawel!”
“Botak sinting!”
“Nenek peot muka codot!”
“Sudah ... sudah ... ” lerai Ketua Aliran Danau Utara,
“Kalian ini selalu saja berkelahi. Apa tidak malu sama
yang muda-muda!”
Jalak Hutan dan Nyi Tirta Kumala saling mendengus,
lalu satu sama lain saling melengos.

“Baiklah ... kuterima,” kata Beda Kumala. “Tapi dengan
catatan, kalau ketemu dengan Jalak Siluman, benda ini
akan kuberikan padanya. Kalau tidak ... ya menunggu
kalau pas ketemu.”
“Begitu juga boleh.”
Tangannya terulur maju.
Belum lagi menyentuh benda yang diberikan Jalak
Hutan, tiba-tiba saja dari dalam kolam menyeruak sinar
terang.
Crakkk ... crakkk ... !!
Dari dalam kolam tiba-tiba memancar keluar percikanpercikan
bunga api warna-warni seperti kilat yang
berloncatan. Fenomena ini cukup mengejutkan semua
orang yang ada di dalam ruangan tahanan bawah tanah.
Bahkan Beda Kumala sendiri, langsung berlari
mendekat ke arah tepi kolam.
“Apa yang kau lihat disana, Beda?” tanya Dewi
Tangan Api dari tempat duduknya.
“Aku tidak tahu, Nyai Guru! Hanya saja di bawah sana,
di kedalaman kolam terlihat sembilan cahaya warnawarni
membentuk gumpalan bola cahaya besar,” terang
Beda Kumala. “Dan kelihatannya semakin naik ke atas.”
Tentu saja ucapan tak masuk akal ini sangat
mengejutkan semua orang yang ada di tempat itu,
termasuk pula Nyi Tirta Kumala dan Ki Gegap Gempita
yang saling pandang.
“Mana ada dalam kolam gelap gulita bisa muncul
cahaya terang sembilan warna?”
“Memangnya ada api yang bisa menyala dalam air?
Bah!”

“Yang benar saja?”
Gerutuan beberapa tokoh persilatan terdengar di
sana-sini.
“Apakah pikiranmu sama dengan apa yang aku
pikirkan?” tanya Ki Gegap Gempita.
“Katakan apa yang ada dalam benakmu,” sahut Nyi
Tirta Kumala.
“Pikiranku adalah ilmu kesaktian langka milik Dewa
Pengemis telah muncul kembali di rimba persilatan ... ”
desis Ki Gegap Gempita. “ ... Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat
Matahari’!”
Semua orang terkejut mendengarnya. Ada yang
percaya, setengah percaya, tiga perempat percaya
bahkan ada yang tidak percaya!
“Apa yang ada dalam benakmu sama dengan apa
yang ada dalam otakku, Kakang.”
“Seperti itukah yang kau maksud dengan ilmu langka
nan legendaris itu?” tanya Jalak Hutan dengan nada
kurang percaya. “Mungkin hanya bias sinar matahari
saja.”
“Sejak kapan tempat ini bisa disinari cahaya
matahari?” seru seorang laki-laki dengan rambut awutawutan.
Tanpa mempedulikan ocehan Jalak Hutan, Ki Gegap
Gempita terus memandang di bagian atas kolam.
“Benar!” sahut Ki Gegap Gempita, dengan mata tidak
beralih dari pancaran sembilan warna yang menyeruak
dari dalam kolam. “Tidak salah lagi.”
“Tapi ... siapa yang menguasai ilmu itu sekarang?”
tanya Ki Harsa Banabatta, si Tangan Golok.

Belum lagi pertanyaannya terjawab, semua orang
yang ada di tempat itu merasakan rantai yang
membelenggu mereka terasa sedikit hangat memanas.
“Aneh, kenapa tiba-tiba rantai keparat ini menjadi
hangat?” gumam Jalak Hutan.
Semua orang merasakan hal yang sama.
“Satu-satunya manusia yang masuk ke dalam kolam
hanya Jalu saja,” tutur Nyi Tirta Kumala, “Apakah
mungkin dia orangnya yang berhasil menguasai ilmu
itu?”
“Tapi ... apakah mungkin ada manusia sanggup
bertahan sebegitu lama berada dalam air dengan
tekanan yang begitu besar?” timpal si Tangan Golok.
“Jika kuhitung, sudah lebih dari satu kentongan berjalan.
Jika benar, tentu ia pemuda yang sakti mandraguna!”
“Yang namanya kemungkinan memang ada,” ucap
Jalak Hutan sambil mengucap kepala klimisnya. “Tapi
kalau bocah semuda itu sanggup melakukan apa yang
kau katakan tadi ... jelas mengada-ada namanya.”
“Ada atau mengada-ada ... kita lihat saja hasilnya,”
desis Nyi Tirta Kumala.
Sementara itu, pancaran sembilan warna semakin
lama semakin terang dan akhirnya ...
Blushhh ... !
Dari bawah air, pelan namun pasti menyembul keluar
sebongkah bola raksasa sebesar lebar kolam.
Blashh ... !
Dalam waktu satu sedotan napas, bola cahaya
memancarkan sinarnya menerangi seantero ruangan,
memecah dan sinarnya menyebar ke segala arah,

membuat semua orang yang ada di tempat itu
memicingkan mata, bahkan ada yang sampai
membalikkan badan.
Bersamaan dengan itu pula, seluruh ruangan bagai
dilanda gempa bumi.
Grhhh ... ggreeehh ... !
“Ada apa ini?”
“Wuaaa ... gempa bumi!”
“Mati aku!”
“Awas ... atap runtuh!”
Suara-suara terdengar di sana-sini. Namun, gempa
hanya sesaat saja terjadi.
Begitu gempa bumi berhenti, dari dalam kolam
terdengar suara gemuruh keras, seperti ada sejenis
makhluk raksasa yang terbebas dari penjara besi, seperti
pekikan keras seekor naga air yang terbangun dari tidur
panjang, diikuti dengan sambaran kilat sembilan warna
membentuk hawa naga dengan mulut terbuka lebar
melesat keluar mengarah ke langit-langit.
“Hroaagghhh ... !”
Blammm ... ! Blamm ... !
Semua orang yang terpana dengan yang terjadi di
depan mata mereka, suasana sontak bagai dicekam
sebentuk hawa menakutkan disertai dentuman keras dan
air semburat ke mana-mana.
Pyarr ... pyarr ... !
Begitu naga air menghilang, dan air meluruh kembali
ke dalam kolam, dari atas langit-langit terlihat melayang
turun sosok pemuda baju biru dengan tangan kiri

memegang benda putih besar sedang tangan kanan
memegang tongkat hitam.
Jlegg!
Semua orang terpana. Dalam hati masing-masing
berkata, benarkah pemuda buta ini pewaris ilmu-ilmu
sakti Dewa Pengemis, tokoh sakti masa silam yang
paling diperhitungkan tindak-tanduknya?
Jika memang benar, betapa beruntungnya dia!
“Kakang Jaluuu ... !”
Beda Kumala langsung berlari menyongsong Jalu
Samudra. Tanpa malu-malu di hadapan banyak orang,
murid bungsu Nyi Tirta Kumala memeluk erat Si
Pemanah Gadis.
“Hu ... hu ... huk ... !”
“Sudah ... sudah ... jangan nangis! Cup, cup, cup!”
kata Jalu sambil menepuk-nepuk punggung Beda
Kumala, “Malu diliat orang?!”
“Biarin!”
Sambil masih dipeluk Beda Kumala, Jalu Samudra
berseru, “Saudara-saudara, cepat putuskan rantai yang
membelenggu kalian. Waktu kita tidak banyak!”
Mendengar hal ini, semua orang meragu. Namun
begitu, ada juga yang mencobanya dengan
menggunakan tenaga dalam yang mereka tersisa.
Crakk! Klaang!
Rantai yang dulunya sulit putus, kini bisa patah
menjadi dua!
Melihat kawan-kawannya bisa memutuskan Rantai
Setan Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit, membuat

semua tokoh silat yang ada dalam tahanan meniru
perbuatan kawan-kawan mereka.
Crakk! Crakk! Crakk!
Klaang! Klaang! Klaang!
--o0o--
BAGIAN 25
Suasana dalam ruangan bawah tanah kini ramai
dengan suara patahnya besi serta ayunan senjata tajam
diikuti dengan riuh rendah sorak-sorai kegembiraan
karena telah terbebas dari belenggu rantai yang selama
ini mengekang kebebasan mereka.
Sementara itu, Beda Kumala sudah melepaskan
pelukannya pada Jalu Samudra, karena beberapa tokoh
silat yang telah bebas menghampiri pemuda murid Dewa
Pengemis ini. Tentu saja gadis ini malu bila menjadi
tontonan.
“Anak muda bernama Jalu, kami tidak tahu harus
mengucapkan apa, tapi terimalah rasa hormat kami,” kata
seorang kakek yang membawa sebatang tongkat besi,
lalu duduk bertekuk lutut. Dan hal itu diikuti dengan
beberapa orang yang lain.
Beberapa tokoh aliran hitam, mereka hanya
mendengus saja, meski dalam hati mengakui bahwa
tanpa adanya pemuda itu sulit sekali mereka bisa lolos
dari penjara bawah tanah dari libatan Rantai Setan
Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit milik Raja Iblis
Pulau Nirwana. Jalu Samudra segera membangunkan
kakek yang membawa sebatang tongkat besi yang
berlutut di hadapannya, diikuti dengan yang lain.

“Sudahlah, Paman! Saling tolong menolong sesama
manusia adalah kewajiban kita bersama,” tandas Jalu
Samudra. Lalu sambil memutar badan, Jalu berkata,
“Mohon para sahabat segera bersemadi mengatur hawa
murni. Kemungkinan besar kita keluar dari sini dengan
membuka jalan darah.”
Semua orang yang ada di tempat itu tersentak!
“Benar! Kita harus keluar dari neraka ini! Apa pun
caranya!?”
“Akuurr!”
“Kalau perlu, kita habisi semua orang yang
menghalangi kita!”
“Ya! Ya ... betul!”
Semua orang segera duduk bersila mengatur jalan
darah dan hawa murni masing-masing. Bahkan Nyi Tirta
Kumala dan Ki Gegap Gempita saling beradu telapak
untuk saling membantu mengalirkan hawa murni masingmasing.
Selagi semua orang tenggelam dalam semadi, Jalu
berkata pada Beda Kumala, “Beda, lebih baik kau pelajari
ini.”
Jalu Samudra mengangsurkan kitab besar di
tangannya pada gadis itu. Saat gadis itu ingin membuka
suara, jari telunjuk kanan Jalu menempel di bibir merah si
gadis, katanya, “Tidak perlu bertanya! Cepat pelajari!”
Beda Kumala menelan suaranya, lalu berjalan ke
pinggir kolam, duduk disana sambil membuka kitab besar
di tangannya. Disampingnya duduk Jalu Samudra, sambil
matanya mengawasi keadaan di sekelilingnya.
Pada lembar pertama, tertulis : Ilmu ‘Kepompong Ulat
Sutera Perak’!

“Hemm ... Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’!?” pikir
Beda Kumala, “Dari mana Kakang Jalu dapat kitab
seperti ini? Nanti saja aku tanyakan!”
Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ adalah sejenis
ilmu silat dan tenaga sakti yang digabung menjadi satu.
Inti dari ilmu adalah persis seperti seekor ulat sutera
menjadi dewasa. Dimana diawali dengan asal muasalnya
dari sebentuk kepompong yang perlahan-lahan berubah
menjadi ulat sutera. Dan luar biasanya, Beda Kumala
justru telah melampaui tahap menjadi kepompong dan
ibaratnya sekarang menjadi ulat sutera dewasa. Ilmu ini
terdiri dari sepuluh jurus, dimana setiap jurusnya justru
berdiri sendiri. Tidak seperti ilmu silat pada umumnya,
yang dari satu jurus ke jurus berikutnya masih saling
terkait.
“Beda, kau hapalkan dulu saja,” bisik Jalu Samudra.
Beda Kumala yang tenggelam dalam konsentrasi
seolah tidak mendengar, terus saja membuka lembar
demi lembar hingga pada lembar ke sepuluh. Beberapa
saat kemudian, Beda Kumala memejamkan mata sambil
mulut berkomat-kamit. Tak lama kemudian gadis itu
membuka mata. Sinarnya begitu tajam menusuk.
Blusshh!
Kitab besar di tangan Beda Kumala tiba-tiba
menyerpih, serpihan kitab jatuh ke dalam kolam. Gadis
itu kaget bukan alang kepalang, sehingga tanpa sadar ia
terpekik!
“Aaah ... ” pekiknya, “Apa ... apa yang terjadi?”
Plungg!
Kembali terjadi keajaiban!

Di saat menyentuh air, serpihan kitab kembali menyatu
utuh membentuk sebuah kitab putih besar, melayang
turun perlahan ke bawah. Semakin lama semakin
mengecil dan akhirnya hilang dari pandangan mata.
“Kitab itu telah kembali ke asalnya,” desis Si Pemanah
Gadis. Lalu ia menoleh pada gadis di sebelahnya, “Kau
berhasil mengingat semuanya?”
“Semuanya aku ingat disini,” kata Beda Kumala sambil
mengetuk pelan dahinya.
“Bagus! Kau telah berhasil menguasai teori Ilmu
‘Kepompong Ulat Sutera Perak’!” kata Jalu Samudra.
“Teori?” tanya Beda Kumala heran, “Tidak, Kang! Aku
sepertinya sanggup menggunakan ilmu baruku ini kapan
pun aku mau!”
“Ahh ... yang benar?” tanya Jalu dengan nada
setengah percaya.
“Betul alias tidak salah.”
“Jika begitu adanya, kau tetap perlu melatih ilmu
barumu ... ” ucap Jalu Samudra menandaskan, “ ... meski
hanya satu kali.”
Beda Kumala mengangguk.
“Bagaimana kalau sekarang saja, mumpung semua
yang ada di tempat ini sedang tenggelam dalam alam
semadi,” usul Beda Kumala.
“Apa tidak mengganggu orang yang ada di tempat ini?
Nanti kalau ada suara ledakan, gimana?”
“Tenang saja! Kalau cuma melatih gerak jurus tanpa
tenaga dalam, tak ada salahnya dicoba, bukan?”
“Ide cemerlang!” sahut Jalu Samudra sambil
mengacungkan jempol. “Apa perlu teman bertanding?”

“Sementara ini ... belum dulu saja.”
Segera saja Beda Kumala melakukan gerak awal dari
Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ dimana posisi kedua
kaki sedikit merapat, hanya sejarak tiga jari. tangan
kanan ditekuk terulur dengan dua jari telunjuk dan tengah
terpentang, tiga jari lainnya di tekuk ke dalam. Sekilas
seperti orang mau mencolok dua mata. Akan halnya
posisi kaki Beda Kumala cukup aneh untuk bentuk
sebuah kuda-kuda, sebab biasanya kuda-kuda ilmu silat
sedikit banyak pasti merenggangkan ke dua kaki.
Posisi tangan kiri justru lebih tidak mengherankan lagi.
Jika tangan kanan dalam posisi mencolok mata, justru
tangan kiri membentuk posisi tegap lurus di depan dada
seperti orang mau menyembah!
Jalu Samudra hampir saja tertawa geli melihat posisi
kuda-kuda awal Beda Kumala, kalau ia sendiri tidak ingat
bahwa kuda-kuda awal Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’
justru lebih aneh lagi, berdiri dengan kaki terpentang
lebar dalam posisi miring ke samping, justru badan
tertekuk ke dalam dengan dua tangan membentuk caping
terentang ke kiri kanan.
Sekilas memang mirip dengan kepiting yang mau
terjun ke dalam air!
Begitu posisi siaga siap, Beda Kumala menggerakkan
ujung-ujung jari seperti orang menunjuk-nunjuk sesuatu
disertai dengan langkah kaki yang kadang bergeser ke
kiri kanan, namun anehnya pergeseran kaki tetap
menyentuh lantai, tidak diangkat seperti olah kaki pada
umumnya. Belum lagi dengan badan yang melejit-lejit
seperti cacing kepanasan meski posisi kaki tetap berada
di tanah.
Sett! wreett!

Jurus ‘Ulat Sutera Memintal Benang’ digerakkan
dengan cantik oleh gadis mungil ini.
“Hemm ... untung tidak memakai hawa murni,” desis
Jalu Samudra, “Kalau ia menyisipkan sedikit saja hawa
murni, kukira yang keluar justru buntalan hawa maut
yang siap menghabisi siapa saja. Dari catatan tadi, ini
mungkin yang namanya jurus ‘Ulat Sutera Memintal
Benang’. Sekarang memasuki jurus kedua. Kalau tidak
salah namanya ‘Belitan Ulat Sutera Jahat’. Seperti apa ya
bentuknya?”
Begitu jurus pertama selesai, Beda Kumala
menggerakkan ke dua tangan di atas kepala, memulai
jurusnya yang ke dua. Namun uniknya, gerakan tangan
sangat bertolak belakang. Tangan kiri membuat gerakan
kotak-kotak berulang kali dan tangan kanan membentuk
gerak melingkar berulang-ulang. Seperti yang diduga Si
Pemanah Gadis, kali ini jurus ‘Belitan Ulat Sutera Jahat’
diperagakan dengan sempurna oleh Beda Kumala.
Jika sebelumnya kaki tetap bertumpu pada tanah,
justru sekarang gadis itu benar-benar melayang-layang di
udara dengan posisi ke bawah di bawah!
Tiba-tiba saja ...
Dharr ... ! Dharr ... !
Terdengar suara ledakan meski terdengar tidak begitu
keras, tapi cukup membuyarkan konsentrasi semua
orang yang ada di tempat itu.
“Siapa yang bikin berisik?” desis Jalak Hutan dengan
mata mendelik.
Mulanya Jalu menduga bahwa Beda Kumala sengaja
melambari jurus dengan hawa murni, namun setelah

terdengar ledakan untuk kedua kalinya, barulah ia
mengetahui bahwa suara ledakan berasal dari luar!
Beda Kumala yang hampir menggunakan jurus ketiga,
berhenti sejenak.
“Suaranya terdengar dari luar,” Jalu menjawab
pertanyaan Jalak Hutan.
Belum lagi gema suara pemuda baju biru itu
menghilang, dari luar kembali terdengar suara ledakan
namun disertai dengan suara sorak-sorai membahana
dan dentingan senjata tajam.
“Mungkin bala bantuan telah datang,” kata Ki Gegap
Gempita.
“Kemungkinan besar ... para pendekar yang menyerbu
ke mari,” ujar Si Tangan Golok. “Bagus! Tenagaku sendiri
sudah pulih sembilan bagian. Sudah saatnya Ilmu
‘Putaran Golok Sakti’ minum darah para keparat yang
menempati istanaku dengan seenak perutnya!”
“Betul! Betul!” seru beberapa tokoh silat sambil
mengangkat senjata masing-masing.
“Kita habisi mereka!”
“Cincang Raja Iblis Pulau Nirwana!”
“Bunuh!”
“Hancurkan!”
“Bantai para pecundang!”
Seperti sudah seia sekata, mereka yang sebelumnya
terkurung di tempat itu, berkelebatan keluar dari penjara
bawah tanah. Pintu baja yang sebelumnya sudah
berlubang besar langsung dibuka dari dalam. Ki Harsa
Banabatta sebagai pemilik asli dari Istana Jagat Abadi
tentu saja tahu dimana posisi kunci dan letak jebakan

maut dalam ruang bawah tanah, dan segera ia menekan
sebuah kotak persegi untuk mematikan alat rahasia.
Krieett!
Terdengar suara berderit keras saat kunci pembuka
pintu gerbang diaktifkan.
Jika hanya tenaga satu orang jelas tidak akan kuat
membuka pintu baja yang sebegitu tebal dan kuat,
namun dengan tenaga sakti lima orang pendekar, sudah
lebih dari cukup untuk membuka lebar pintu ini.
Wutt! Wutt! Blassh! Blashh!
Lapp!
Beberapa pendekar langsung berserabutan keluar.
Di dalam ruangan ...
“Lebih baik Nyi Tirta Kumala dan Aki Gegap Gempita
memimpin para tawanan. Takutnya mereka salah
sasaran,” ucap Jalu Samudra pada dua ketua perguruan
ternama itu. “Kami akan menyusul di belakang.”
Rupanya perkataan Jalu Samudra disalahtafsirkan
oleh Nyi Tirta Kumala dan Aki Gegap Gempita. Ke dua
orang ini masih berpikir bahwa pemuda baju biru yang
ternyata murid dari Dewa Pengemis, yang telah mewarisi
satu-satunya ilmu paling langka rimba persilatan adalah
seorang pemuda buta. Dan satu-satunya manusia yang
dikenal oleh pemuda buta ini hanyalah Beda Kumala
seorang.
Tanpa pikir panjang, Ketua Aliran Danau Utara
berkata, “Baik! Kami berangkat duluan, Jalu! Beda!”
“Beda! Jangan terlalu lama. Mungkin kami
membutuhkan bantuan dari kalian berdua,” tambah Nyi
Tirta Kumala alias Dewi Tangan Api.

Ke dua orang ini langsung berkelebat pergi tanpa
menunggu jawaban dari Beda Kumala dan Jalu
Samudra.
Saat Beda Kumala hendak menyusul keluar, tangan
kirinya dicekal oleh si pemuda.
“Kau mau apa?”
“Aku mau menyusul Nyai Guru dan yang lain-lainnya
... ”
“Selesaikan dulu latihanmu, baru kita susul mereka,”
sahut Jalu Samudra.
“Tapi ... ”
“Jangan khawatir! Kita tetap akan berpesta, kok!?”
--o0o--
Benar seperti dugaan Tangan Golok!
Saat di langit timur sudah menampakkan semburat
merah, di halaman Istana Jagat Abadi terlihat ratusan
orang berada di tempat itu. Mereka semua berada di
tempat itu bukan untuk rapat, ngobrol, apalagi main dadu,
tapi sedang siap-siap beradu nyawa!
Terlihat beberapa tembok pembatas terlihat berlubang
besar disana-sini, mungkin di jebol dengan pukulan sakti
atau hantaman benda-benda berukuran besar, jika
dihitung sekitar dua belas lobang terbentuk membuat
angin pagi semakin santer menerobos masuk ke dalam.
Di setiap bagian jebolan tembok, berkumpul orangorang
dengan pakaian aneka warna dan aneka rupa. Ada
yang necis dengan rambut hitam klimis, ada yang kucel
seperti belum pernah dicuci seumur hidup, bahkan ada
yang tidak berpakaian sama sekali (maksudnya telanjang
dada, bukan bugil, lho) karena masih memakai celana.

Bahkan ada yang seluruh tubuhnya tertutup pakaian,
hanya sepasang matanya saja yang kelihatan.
Namun yang cukup menyolok mata adalah adanya
puluhan gadis cantik berbaju hijau-hijau dengan sulaman
bunga matahari kuning emas di dada sebelah kiri, berdiri
saling berpasangan dengan puluhan pemuda yang ratarata
tampan berbaju putih-putih berikat pinggang ungu
berdiri berdampingan, di dada bagian kiri terdapat
bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya
tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal
dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang
sama.
Lambang Perguruan Sastra Kumala dan Aliran Danau
Utara!
“Cepat, kembalikan ayahku!” teriak seorang pemuda
tinggi kurus. “Kalau tidak ... Perkumpulan Titian Langit
akan membuat tempat ini sama rata dengan tanah!”
“Serahkan Ketua kami, dan kalian bisa hidup untuk
beberapa tahun!” seru seorang laki-laki kate dengan
muka tirus. Di dahinya terdapat sebuah batu biru ukuran
yang melekat kuat di seperti di tempel dengan getah
pohon. Dibelakangnya berdiri pula lima orang dengan
tubuh kate, hanya tidak memiliki tempelan batu biru di
dahi.
“Ya, betul ... !” seru kompak beberapa orang tokoh silat
atau murid perguruan yang datang ke Istana Jagat Abadi.
“Kembalikan orang-orang kami yang kalian culik!”
“Bebaskan tanpa syarat!”
--o0o--

BAGIAN 26
Seorang laki-laki berbaju ungu dengan jenggot
panjang putih kelabu, sorot mata tajam menusuk berdiri
angkuh. Rambut panjangnya yang diikat memanjang
seperti ekor kelabang terlihat melingkari kepalanya.
Dibelakangnya berdiri ratusan orang berbaju ungu yang
rata-rata siap dengan senjata telanjang di tangan. Akan
tetapi, tidak semuanya menggunakan baju ungu, ada
yang memakai baju hitam, biru bahkan belang-belang
seperti harimau.
Tepat di belakang laki-laki berbaju ungu berdiri dengan
tangan terlipat di depan dada sosok laki-laki baju kuning
kusam. Seorang laki-laki tua dengan tubuh tinggi ceking
menjulai mendekati dua tombak. Raut muka tirus kerut
merut penuh bercak-bercak putih dilengkapi sejumput
jenggot warna kuning kehitaman macam jenggot
kambing. Belum lagi dengan sinar mata licik dan kejam
tergurat jelas di wajahnya.
Siapa lagi jika bukan Raja Jarum Sakti Seribu Racun!
Sedang di kiri kanannya, berdiri Tombak Sakti dengan
tombak sepanjang tiga tombak. Di kanannya berdiri
Karang Kiamat yang kini buta dan disebelahnya berdiri
Pedang Dewa dengan pedang besar yang telah
dikeluarkan dari sarung. Agak sedikit ke kiri belakang
berdiri Gada Maut dengan senjata andalannya yang
diberi nama beken Gada Raja Langit Empat Sisi. Akan
halnya Trisula Kembar terlihat berdiri bersandar di
langkan sambil memutar-mutar sepasang trisulanya.
“Aku, Si Tangan Golok adalah pemilik tempat ini! Dan
Istana Jagat Abadi tidak ada hubungannya dengan
hilangnya beberapa tokoh silat yang kalian sebutkan!”
seru Ki Harsa Banabatta lantang. Jelas sekali dalam
suaranya dilambari sebentuk tenaga dalam yang

sanggup membuat telinga orang-orang yang ada di
depannya seperti tertusuk ujung jarum.
“Huh! Dari penuturan Watu Humalang dari Aliran
Danau Utara dan Wulan Kumala dari Perguruan Sastra
Kumala, jelas-jelas bahwa kalianlah dalang dari semua
penculikan ini!” bentak seorang yang membawa
sepasang tombak pendek.
“Itu fitnah!” bentak Si Tangan Golok. “Mana buktinya!?
Tak ada!”
Watu Humalang yang disebut namanya segera maju
ke depan. Di tangan kirinya terlihat menjinjing sebuah
benda.
“Ooo ... kalian mau mungkir? Kalau mau bukti ... ini
buktinya!”
Watu Humalang melemparkan begitu saja benda yang
dibawanya ke arah Si Tangan Golok. Lemparannya yang
dilandasi dengan kekuatan bawah sadarnya membuat
benda tanpa bungkus meluncur cepat.
Whuss!
Tapp!
Si tangan golok segera menangkap benda yang
meluncur cepat ke arahnya. Matanya sedikit menyipit
kala tangan kirinya menangkapnya.
“Bangsat! Tenaga dalamnya boleh juga,” pikirnya.
Saat matanya meneliti benda yang tertangkap di
tangan kirinya, sontak ia melonjak kaget!
“Gelang Bintang!” desisnya tanpa sadar. Rupanya
benda yang dilemparkan oleh Watu Humalang adalah
potongan kepala Gelang Bintang yang saat itu tertinggal
di halaman Aliran Danau Utara.

“Bagaimana?” ejek Watu Humalang. “Apa bukti itu
kurang kuat!?”
“Keparat busuk! Hanya dengan potongan kepala ini
membuktikan apa?” bantah Ketua Istana Jagat Abadi
sambil membanting potongan kepala Gelang Bintang
yang di tangan kirinya.
Prakk!
Tentu saja kepala itu langsung hancur berantakan.
“Jadi masih kurang bukti?” bentak Wulan Kumala.
“Kalau begitu, coba tunjukkan pada kami Ilmu ‘Putaran
Golok Sakti’ kalau kau benar memang Ki Harsa
Banabatta?”
Selebar wajah laki-laki berbaju ungu dengan jenggot
panjang putih kelabu langsung memias sesaat, lalu
katanya dengan diiringi tawa keras, “Ha-ha-ha! Buat apa
aku tunjukkan ilmu golokku pada gadis kecil seperti
dirimu? Tidak ada gunanya!”
“Benar, memang tidak ada gunanya!” kata Sari
Kumala, sambungnya dengan pandangan mengedar ke
sekeliling, “Sobat-sobat semua! Memang benar kata Si
Tangan Golok ini, dia tidak mau menunjukkan Ilmu
‘Putaran Golok Sakti’ karena memang dia tidak bisa
melakukannya.”
“Gadis keparat! Jadi kau mau bukti kalau aku memang
Si Tangan Golok yang asli?” bentak Si Tangan Golok
dengan tangan kanan terlihat mengencang kuat dengan
jari merapat.
Namun, belum lagi laki-laki ini mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menyerang si gadis baju hijau, dari
bangunan paling belakang berkelebat puluhan bayangan
orang.

Salah seorang dari bayangan itu berkelebat cepat
sambil berteriak keras, “Dia memang ketua palsu!”
Belum lagi suaranya hilang, sebuah hamparan hawa
golok menerjang ke arah laki-laki baju ungu.
Wusshh ... !
Si Tangan Golok kaget bukan alang kepalang, namun
sebagai tokoh silat kawakan, tidak sembarang orang
sanggup menjatuhkannya dengan sekali serang. Sontak
ia menangkis dengan mengelebatkan tangan kanannya
yang sudah teraliri dengan tenaga murni.
Wusshh ... !
Blarr ... blarr ... blarr ... !!
Terdengar dentuman keras kala dua hawa murni
berbenturan di udara kosong. Debu-debu beterbangan
sehingga menutupi ke belah pihak yang masing-masing
telah melancarkan satu serangan keras.
Beberapa orang pendekar yang pernah mengenal
siapa adanya Ketua Istana Jagat Abadi ini, tentu
mengetahui bagaimana kehebatan jurus ‘Putaran Golok
Membelah Bumi’. Namun yang membuat mereka kaget
dan terkejut adalah ternyata lawan menggunakan jurus
‘Putaran Golok Membelah Bumi’ yang sama!
Begitu debut-debu sirap, di tempat itu telah berdiri
puluhan orang berwajah pucat, baju yang dipakai
compang-camping tidak karuan, terlihat menghadang di
depan Si Tangan Golok.
Kembali semua orang yang menyerbu ke Istana Jagat
Abadi kaget bukan alang kepalang!
“Guru!” teriak seorang pemuda pendek.
“Ayah!” seru si tinggi kurus.

“Ketua!” seru si kate yang berdahi batu biru.
Dan tentu saja beribu macam sebutan saling bersahutsahutan
hingga menggemuruh. Sontak, semua orang
saling menghambur ke orang yang mereka tuju masingmasing.
Semuanya tumpah ruah seperti pasar tiban!
Tentu saja pihak Istana Jagat Abadi kaget bukan main!
“Bagaimana mungkin mereka semua bisa lolos?” pikir
Pedang Dewa. “Kemana perginya Raja Iblis Pulau
Nirwana hingga tawanannya bisa keluar dari ruang
bawah tanah.”
Meski semua orang telah menemukan orang yang
mereka cari, akan tetapi urusan mereka dengan Istana
Jagat Abadi belum selesai. Saat mata memandang ke
depan, semua orang yang ada di situ terkejut bukan
main!
Bagaimana tidak terkejut, sebab di hadapan mereka
berdiri dua orang saling berhadapan dalam sejarak lima
tombak. Namun yang lebih mengejutkan adalah dua
orang itu ternyata sekujur tubuhnya sama persis satu
sama lain. Tinggi sama, wajah juga sama, gerak-gerik
juga sama dan yang jelas-jelas sama-sama berjuluk Si
Tangan Golok!
Beberapa murid Istana Jagat Abadi saling pandang
satu sama lain, tidak mengerti dengan apa yang
sebenarnya terjadi.
“Bagaimana mungkin ada dua orang Ketua di tempat
ini?” desis seorang yang paling ujung.
“Ssstt ... diam saja. Kalau kedengaran sama Ki Wira,
kau bakal jadi daging landak,” bisik temannya. “Mau?”
“Ogah, ahh ... ”

“Makanya diem.”
Sementara itu ...
“Siapa kau sebenarnya?” bentak Si Tangan Golok
yang baru datang.
“Huh, kau sendiri siapa?” balas bentak Si Tangan
Golok yang rambutnya dikelabang.
“Kurang ajar! Berani sekali kau memalsukan diriku!”
bentak Si Tangan Golok yang rambutnya awut-awutan
seperti orang gila.
Sambil menudingkan jari telunjuknya, Si Tangan Golok
satunya balas membentak, “Bangsat kurang ajar! Justru
kau yang palsu!”
“Kau yang palsu!”
“Kau!”
Semua yang ada di tempat itu jadi bingung sendiri
dengan perkembangan yang tidak terduga sama sekali.
Dua tua bangka itu saling tuding dan mengaku bahwa
dirinya yang asli dan lawan bicaranya yang palsu.
“Baik, kalau begitu kita buktikan siapa yang asli, siapa
yang palsu!” kata Si Tangan Golok yang di kelabang
rambutnya, lalu ia menunjuk salah seorang muridnya
yang berdiri paling dekat dengannya, “Kau ... kemari!”
Si murid yang ditunjuk langsung berlari mendatangi.
Suasana mendadak senyap.
Semua orang hanya memandang heran sambil
berpikir dengan cara bagaimana dua orang itu bisa
membuktikan keaslian mereka. Dari logat bicara, cara
berkata sampai tinggi tubuh semua sama persis. Sulit
sekali membedakan mana yang asli dan mana yang
palsu.

Mirip dengan orang kembar identik!
“Apa apa, Ketua?”
“Sudah berapa lama kau berguru disini?” tanya Si
Tangan Golok yang berkelabang.
“Sekitar dua tahun.”
“Pergi sana!” usir Si Tangan Golok yang berkelabang.
Si murid langsung mengundurkan diri sambil
bersungut-sungut.
“Kau ... yang membawa pisau, kemari kau!” kata Si
Tangan Golok yang berkelabang, menunjuk orang yang
berdiri di belakang Ki Wira.
Segera saja pemuda ditunjuk berlari mendekat.
“Sudah berapa lama kau berguru di tempat sini?”
tanya Si Tangan Golok yang berkelabang.
“Dua belas tahun.”
“Kau murid ke berapa dari Istana Jagat Abadi?”
“Jika Rangga Langking tidak tewas, saya murid ke
delapan.”
“Bagus! Kau ternyata orang jujur! Jadi dengan begitu,
aku tidak salah tunjuk orang. Siapa namamu?”
“Jempana.”
“Nah, Jempana ... menurutmu mana diantara kami
yang asli?” tanya Si Tangan Golok yang berkelabang.
“Diantara guru berdua?”
“Benar!” kata yang berambut awut-awutan.

“Ingat, jangan salah! Atau malah salah-salah
kepalamu yang menggelinding ke tanah,” kata Ki Harsa
Banabatta yang berambut di kelabang.
Segera pemuda itu memandang pulang pergi antara
dua orang yang kini berdiri sejarak dua tombak jauhnya.
Membuat perbandingan antara keduanya. Mungkin saja
ada yang beda dari dua orang itu. Tapi dimana, itu yang
sulit diungkapkan.
“Duhh ... sulit sekali membedakannya,” kata Jempana
dalam hati, “Dengan cara bagaimana, ya?”
Sepeminuman teh berlalu, namun Jempana hanya
tengak-tengok saja seperti kera mau mencuri buah.
“Jempana, cepat jawab! Mana diantara kami yang asli
dan yang palsu! Sebagai murid ke tujuh, tentu kau lebih
paham gurumu sendiri!” seru Si Tangan Golok yang
berkelabang.
Melihat pemuda itu sulit menjawab, Si Tangan Golok
berambut awut-awutan memanggil, “Jempana, kemari
kau!”
Jempana berjalan mendekat.
Belum lagi Jempana memberi hormat, Ki Harsa
Banabatta yang berambut awut-awutan sudah berkata
lagi, “Aku sudah capek dengan urusan disini! Lebih baik
... BUNUH AKU!”
Semua orang terkejut mendengar perintah ini!
Sudah gila barangkali orang ini!?
Masa menyuruh orang membunuhnya!?
Namun, yang lebih membuat mereka terperanjat
adalah sikap dari Jempana sendiri!

Jempana langsung membungkuk lebih dalam lagi
sambil berkata tegas, “Baik!”
--o0o--
BAGIAN 27
Gendeng!
Pemuda itu justru meluluskan permintaan dari si
rambut awut-awutan. Begitu Jempana bangkit dari
membungkuknya, secepat kilat pisau yang ada di
tangannya berkelebat cepat.
Wutt!
Sasarannya adalah ... Si Tangan Golok yang
berkelabang!
Ilmu ‘Gundu Terbang’ adalah sejenis ilmu melempar
senjata rahasia melalui sebentuk benda bulat kecil atau
kelereng dimana setiap serangan selalu diarahkan ke
titik-titik jalan darah kematian. Sebenarnya dasar dari
Ilmu ‘Gundu Terbang’ adalah ilmu totokan, namun karena
dirasakan kurang efisien jika bertarung dengan pendekar
yang memiliki kesaktian lebih tinggi, maka ilmu ini
diciptakan untuk menutupi kekurangan pada sang
penyerang. Selama masih ada benda yang bisa dilempar,
maka Ilmu ‘Gundu Terbang’ akan berfungsi dengan baik.
Begitu pisau dilempar, langsung menyambar ke arah
tengah ulu hati Si Tangan Golok yang berambut di
kelabang.
“Dasar murid pengkhianat!” bentak Si Tangan Golok
saat mengetahui justru dirinya yang menjadi sasaran.
Tangannya segera berkelebat berusaha memotong arah
lemparan pisau.

Wess!!
Jurus ‘Segala Penjuru Penuh Misteri’ adalah jurus
unik, dimana serangan yang dilakukan pihak penyerang
bila mendapat halangan dari pihak lawan, secara
otomatis akan bergerak membelok ke empat penjuru.
Tentu saja laki-laki berbaju ungu itu kaget bukan main!
Clepp!
Belum sempat ia melakukan elakan, pisau telah
menancap di pundak kiri, sejarak sejari di atas jantung!
“Keparat kau! Bukankah dia sendiri yang minta mati?
Kenapa kau menyerang gurumu yang asli!” bentak lakilaki
itu sambil mencabut pisau yang menancap di
pundaknya.
Jempana hanya menyeringai saja, lalu berjalan
mendekat ke arah laki-laki berambut awut-awutan.
“Maaf ... selama ini mata saya telah lamur,” kata
Jempana. “Selamat datang kembali ... GURU!”
Semua khalayak yang ada di tempat itu, selain orangorang
yang di penjara dalam ruang bawah tanah,
tersentak kaget!
Jadi ... kakek berambut macam orang gila itu adalah
Ketua Istana Jagat Abadi yang asli? pikir orang-orang
yang melakukan serangan bersama ke Istana Jagat
Abadi.
“Tidak apa-apa, muridku!” sahut Ki Harsa Banabatta
sambil tertawa lega, “Rupanya kau masih ingat dengan
pesanku dahulu.”
“Pesan mengerikan itu tetap akan saya ingat
sepanjang napas masih ada, Guru.”

“Bagus!” ujar Ki Harsa Banabatta, sambungnya,
“Sekarang perintahkan semua saudaramu agar
berkumpul ke sisi timur.”
“Baik!”
Jempana segera berkelebat cepat ke arah kumpulan
para pendekar yang berdiri terpaku di tempat, diikuti
dengan teriakan keras, “Di langit tidak ada dua matahari,
di atas bumi tidak ada dua raja!”
“Siap!”
Puluhan orang berbaju ungu mendadak berkelebatan
dan semuanya berkumpul di belakang Jempana!
Sebenarnya ... apa yang terjadi?
Sesungguhnya adalah setiap murid aliran perguruan
manapun pasti memiliki yang namanya kata sandi,
dimana dengan kata sandi ini bisa membedakan mana
kawan dan mana lawan. Seperti halnya apa yang
digunakan saat ini oleh Jempana, bahwa kata sandi
‘BUNUH AKU’ hanya diketahui oleh delapan murid yang
paling dipercaya oleh Ki Harsa Banabatta alias Si
Tangan Golok. Kata sandi ini merupakan ungkapan
bahwa musuh tangguh ada di depan mereka, dan satusatunya
bentuk perlawanan adalah dengan bertaruh
nyawa!
Akan halnya kata sandi ‘DI LANGIT TIDAK ADA DUA
MATAHARI, DI ATAS BUMI TIDAK ADA DUA RAJA’
merupakan salah satu cara untuk mengetahui siapa
lawan mereka yang sesungguhnya. Tentu saja kata sandi
ini tidak diketahui oleh Si Tangan Golok palsu.
Melihat murid-muridnya berkumpul di belakang
Jempana, Ki Harsa Banabatta yang berambut awutawutan
memandang sosok berambut kelabang. Dengan

diiringi tawa keras ia berkata, “Kau bisa saja memalsukan
diriku, keparat! Namun kau tidak bisa memalsukan kata
sandi istana kami.”
“Bangsat busuk! Kenapa Ki Wira tidak mengatakan
tentang hal ini?” pikir Ki Harsa Banabatta yang
rambutnya berkelabang. “Bersandiwara pun sudah tidak
ada gunanya!”
Sambil tertawa keras dengan kepala mendongak ke
atas, Ketua Istana Jagat Abadi palsu ini berucap, “Hampir
dua tahun aku menguasai tempat ini, namun ternyata
tidak semudah yang kuharapkan. Kukira aku sudah bisa
menguasai tempat ini, bahkan mempelajari Ilmu ‘Putaran
Golok Sakti’ dengan sempurna, namun ternyata ... ”
Belum sampai kata-katanya selesai, tangan kiri lakilaki
itu mengusap wajahnya pulang pergi.
Srett! Srett!
Sebentuk topeng tipis kini berada di tangan kirinya.
Semua orang yang ada di tempat itu terkejut bukan
main!
“Iblis Muka Seram ... !” seru beberapa tokoh persilatan,
mengenali siapa adanya pemilik wajah asli dari Ketua
Istana Jagat Abadi palsu.
“Ternyata dia orangnya biang keladi dari semua
masalah ini,” tukas seorang tokoh silat berpedang biru.
“Aku harus buat perhitungan dengannya!”
“Aku juga!” sahut beberapa tokoh silat secara
bersamaan.
 “Setahuku, dia pula pimpinan perampok Gunung
Welirang yang tersohor dengan Pukulan ‘Sabuk Lebur
Gunung’!” desis kawan sebelahnya, “Kita harus hati-hati
menghadapinya.”

Beberapa tokoh silat yang tahu siapa adanya Iblis
Muka Seram tanpa sadar melangkah mundur beberapa
tindak.
Iblis Muka Seram, memang memang memiliki wajah
yang menakutkan bin menyeramkan. Dari selebar
wajahnya, tidak ada yang rapi satu pun. Mata memang
berjumlah dua, namun di tengah dahi terdapat sebuah
batu permata berwarna kuning cerah dengan garis tegak
lurus warna hitam yang membelah tepat di tengahnya,
seperti mata kucing layaknya. Batu Mustika Mata Kucing
ini, konon sudah ada sejak ia lahir ke dunia, tertanam
begitu saja disana. Belum lagi dengan jumlah codet dan
totol-totol putih seperti bekas cacar yang hampir
memenuhi selebar mukanya yang memang sudah
lumayan berantakan, apalagi dengan adanya sepasang
taring kecil saat ia menyeringai atau tertawa semakin
membuat bulu kuduk berdiri tanpa sebab.
“Ha-ha-ha! Rupanya nama Iblis Muka Seram cukup
membuat gentar sobat-sobatku yang ada di tempat ini!”
seru Iblis Muka Seram, lalu sambungnya, “Anak-anak!
Sudah saatnya memperlihatkan diri kalian pada mereka!”
Belum lagi suaranya lenyap, entah dari mana
datangnya, seluruh tempat itu sudah dikepung oleh
ratusan orang dengan senjata telanjang.
“Iblis Muka Seram!” bentak Si Tangan Golok.
“Rupanya kau pun telah menjadi kacung dari Raja Iblis
Pulau Nirwana, bersama–sama dengan mereka.” Sindir
Tangan Golok sambil melirik pada Ki Wira, Tombak
Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa, Gada Maut dan
Trisula Kembar.
Tentu saja sindiran itu membuat orang-orang yang
dilirik langsung memerah mukanya terutama sekali Gada
Maut yang langsung menudingkan Gada Raja Langit

Empat Sisi ke arah Ketua Istana Jagat Abadi sambil
berseru keras, “Keparat! Jangan hanya pencang bacot di
depanku!”
Begitu kata-katanya selesai, senjata unik di tangannya
segera berkelebat menebas ke arah leher Ketua Istana
Jagat Abadi.
Wutt!
Dengan manis, laki-laki berambut awut-awutan ini
merendahkan tubuh, sambil tangan kanannya yang
mengeras kencang melakukan babatan mematikan dari
bawah ke atas.
Settt!
Gada Maut kaget. Tidak mengira bahwa lawan yang
diserangnya mendadak sanggup melakukan serangan
balik. Pikirnya, lawan akan menghindar ke belakang, lalu
ia akan melanjutkan serangan dengan mengulur rantai
yang ada di satu sisi Gada Raja Langit Empat Sisi.
Namun perhitungannya meleset!
Satu-satunya jalan selamat adalah tangan kiri
digunakan menahan bacokan golok tangan lawan.
Bughh!
Gada Maut terjajar ke belakang beberapa tindak.
“Bangsat! Tenaga dalamnya masih tangguh,” Gada
Maut membatin.
Begitu mengetahui serangan awal dari pihak lawan
telah dimulai, beberapa tokoh persilatan langsung
menghambur dengan sorak-sorai pertarungan.
“Serbuu ... !!”
“Serang ... !”

Pertarungan pun pecah saat terang tanah.
Pagi yang seharusnya penuh dengan kicau burung
bersahutan kini berganti dengan bentakan keras, jeritan
kematian yang diiringi ledakan-ledakan keras pukulan
bertenaga dalam. Gada Maut yang memulai serangan
awal, langsung dikepung oleh empat gadis murid
Perguruan Sastra Kumala yang mengambil alih lawan Si
Tangan Golok, sedang Ki Harsa Banabatta alias Si
Tangan Golok kini telah jual-beli pukulan dengan Iblis
Muka Seram. Akan halnya Dewi Tangan Api dan Ki
Gegap Gempita saling bahu membahu menghadapi
Pedang Dewa dan Karang Kiamat. Dewi Tangan Api
yang menguasai seluruh ilmu sakti dari Kitab Bunga
Matahari dan Ki Gegap Gempita sendiri menguasai
tuntas Kitab Mata Bulan saling mengisi satu sama lain.
Jika Dewi Tangan Api menggunakan jurus ‘Dewa Surya
Melumerkan Bumi’ maka Ketua Aliran Danau Utara justru
menyeimbangkan diri dengan jurus ‘Dewa Menjunjung
Bulan’.
Karang Kiamat yang kini buta total, masih terlihat
tangguh dengan Ilmu ‘Karang’ yang dikuasainya.
Beberapa terdengar suara seperti besi ketemu besi saat
jurus-jurus maut milik Dewi Tangan Api bersentuhan
dengan kulit merah kehitaman akibat pengerahan Ilmu
‘Karang’ oleh Karang Kiamat.
Crang! Crangg!
Ilmu Pedang ‘Mayapada Beku’ yang dimiliki oleh
Pedang Dewa yang kadang cepat kadang lambat dalam
serangan acap kali membuat Ki Gegap Gempita harus
memutar akal menghadapi tajamnya hawa pedang
lawan.
Sutt! Sett!

Namun, menghadapi seorang Ketua Aliran yang
disegani, tidak mudah bagi Pedang Dewa menjatuhkan
laki-laki ini, apalagi saat mengetahui hawa pedangnya
seperti tercebur ke dalam kolam yang dalamnya tak
terkira membuat laki-laki berperangai menyimpang ini
harus ekstra hati-hati. Bahkan jurus ‘Deru Angin Debur
Ombak’ yang datang laksana gulungan angin tajam dan
deburan ombak ganas kandas untuk ke sekian kalinya.
Untunglah bahwa pasangan pendekar tua ini melakukan
kerjasama yang saling melengkapi sehingga membuat
Pedang Dewa dan Karang Kiamat seperti dihadapkan
dengan kobaran tungku api dan dinginnya es balok yang
saling tumpang tindih.
Jumlah para pendekar persilatan yang meluruk ke
Istana Jagat Abadi tidak sebanding dengan jumlah
orang-orang Gunung Welirang. Namun meski kalah
jumlah, kemampuan olah kanuragan dan jaya kawijayan
para tokoh silat di atas rata-rata perampok Gunung
Welirang yang notabene berilmu pas-pasan meski ada di
antara mereka yang berilmu lumayan tinggi.
Crass! Crasss ... !!
Jlebb ... jlebb ... !
“Akhhh ... akhhh ... akhhh ... akhhh ... ”
Teriakan kematian bagai saling berlomba dengan
suara sabetan senjata tajam yang semakin lama semakin
membuncah. Sebentar saja, jumlah orang-orang Gunung
Welirang berkurang dengan cepat.
“Babat terus!!”
“Bantai semuanya ... !”
Teriakan-teriakan para penyerang semakin memberi
semangat kawan-kawan mereka, yang meski ada dari

golongan sesat namun untuk sementara waktu bersatu
padu dengan golongan lurus dalam menghadapi lawan.
Melihat anak buahnya kocar-kacir tak karuan, Iblis
Muka Seram semakin seram wajahnya.
“Setan belang! Aku tidak bisa membiarkan anak
buahku jadi tumbal di tempat ini!” pikir Ketua Perampok
Gunung Welirang. Belum lagi ia bertindak cepat, sebuah
hawa golok nan tajam membabat dari dari atas ke
bawah, laku menelikung ke samping kiri.
Wess ... !
“Setan! Ini jurus kelima yang bernama jurus ‘Putaran
Golok Menyobek Rembulan’!” desis Iblis Muka Seram.
Laki-laki ini langsung memapaki serangan lawan
dengan jurus yang sama.
Jurus ‘Putaran Golok Menyobek Rembulan’ melawan
jurus ‘Putaran Golok Menyobek Rembulan’!
Criing! Criing!
Dua hawa golok kasat mata saling terjang hingga
menimbulkan suara nyaring. Berulang kali si tangan
golok dan Iblis Muka Seram saling tukar jurus-jurus maut.
Si Tangan Golok sendiri merasa geram, karena lima
jurus Ilmu ‘Putaran Golok Sakti’ andalannya ternyata di
curi oleh lawan. Bahkan ia merasakan bahwa Ilmu
‘Putaran Golok Sakti’ yang digunakan oleh Iblis Muka
Seram ternyata setingkat lebih tinggi dari yang
dikuasainya. Kakek ini lupa, bahwa sebenarnya
kemampuan aslinya lebih tinggi dua tingkat dari Iblis
Muka Seram jika saja selama beberapa waktu terakhir ini
hawa saktinya tidak terhisap oleh Rantai Setan
Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit milik Raja Iblis
Pulau Nirwana.

“Kalau dibiarkan terus seperti ini, aku bakalan kalah
oleh manusia culas ini!” desis Ki Harsa Banabatta. “Mau
dikemanakan mukaku jika sampai tokoh persilatan tahu
kalau aku, Si Tangan Golok kalah oleh pecundang busuk
dari Gunung Welirang ini!”
Wutt! Wess!
Kakek ini melesat ke atas saat Iblis Muka Seram
sekaligus melepaskan dua jurus yang berbeda dari Ilmu
‘Putaran Golok Sakti’ curian. Tangan kiri melepaskan
jurus ‘Putaran Golok Menghalau Badai’ dimana serangan
ini dikelebatkan dari atas ke bawah diikuti dengan
memutar cepat laksana baling-baling. Sedang tangan
kanan Iblis Muka Seram terlihat mengacung ke atas
diiringi dengan secercah cahaya kilat ungu yang
menyambar-nyambar.
Jurus ‘Putaran Golok Menepis Halilintar’!
Werrr ... !! Cratt! Cratt!
Beberapa tokoh silat yang tidak siap dengan serangan
dadakan, berpelantingan seperti di terjang angin topan
dan sebagian tewas dengan tubuh hangus.
“Bangsat!” teriak Tangan Golok saat salah satu kilat
ungu menyambar ujung celana kumalnya.
“Ha-ha-ha! Itu baru ujung celana, sebentar lagi
mungkin kepalamu yang tersambar oleh ilmu andalanmu
sendiri!” seru Iblis Muka Seram sambil terus menerus
melancarkan serangannya.
Si Tangan Golok pontang-panting menghindar.
Tapi benarkah Ketua Istana Jagat Abadi ini diam saja
di serang lawan begitu rupa tanpa melakukan serangan
balasan?
Jawabnya adalah ... TIDAK!

--o0o--
BERAMBUNG