Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 04

BAGIAN 14
Begitu tenaga ditarik, diganti dengan sebuah tarikan
napas lembut, diikuti hawa hangat mengalir cepat
melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya
sebuah denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar
ke ujung pilar tunggal penyangga langit.

“Terima jurus pamungkasku ini, sayang!” kata Jalu
sambil mempercepat gerakan mennyerang dari
belakang.
Beda Kumala sendiri masih terguncang-guncang, tapi
justru inilah yang diharapkannya. Ia pun semakin
menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih
cepat!
“Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... ”
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat
bergerak pada dinding-dinding gua, menjalar cepat
menuju ke ujung. Dan akhirnya ...
Jrass ... !
Sebentuk hawa keperkasaan si Jalu yang berasal dari
jurus Ilmu ‘Perjaka Murni’ menggelegak tersembur keluar
diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga
langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian
terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan.
Dan bersamaan dengan itu pula, Beda Kumala
mengalami hal yang sama untuk ke tiga kalinya.
Serr ... !
Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar
panas di dalam sana.
Saling sembur dan saling semprot!
Jika tubuh si Jalu menegang sambil dada bidang
menempel erat pada punggung dan sepasang tangannya
meremas kuat sepasang bukit padat si gadis dari arah
belakang, sedang pinggul menekan dalam-dalam hingga
membuat pilar tunggal penyangga langitnya semakin
dalam menekan ke gerbang istana terujung.
Sedang yang dialami Beda Kumala justru berlainan.
Tubuhnya melengkung indah ke atas dengan kepala

mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher
jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pangkal
paha si Jalu, seakan dengan cara begitu, ia bisa
memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit
si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin
membusung.
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh
mereka mulai melemas.
“Kau benar-benar hebat, Kakang Jalu,” kata Beda
Kumala setelah gelombang asmaranya mereda. “Bisa
dilepas, ngga? Aku mau duduk di tempat tidur saja.
Begini terus bikin capek.”
“Terima kasih atas pujiannya,” jawab Jalu tertawa
sambil bergerak menarik mundur, katanya dalam hati,
“Hemm, rona mukanya sudah kembali seperti semula.
Berarti racun birahi dalam darahnya sudah terusir semua.
Semoga saja perkiraanku benar adanya.”
“Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanyanya sambil
duduk dekat Beda Kumala.
“Apanya?”
“Apa kau masih merasakan getaran-getaran aneh?”
tanya Jalu Samudra.
Sambil meraba dada kiri yang masih tertutup baju
dengan tangan kanan, ia menekan-nekan beberapa kali,
lalu menggeleng.
“Sudah tidak ada lagi. Rasanya sudah plong,” katanya
sambil mengangsurkan tangan kirinya. “Coba Kakang
Jalu raba denyut nadiku?”
Tanpa menjawab, Jalu meraba tangan gadis yang
diangsurkan ke arahnya.

“Benar. Denyut jantung dan jalan darah di nadimu
sudah normal kembali,” sahut Jalu sambil melepas
tangan kiri Beda Kumala.
Saat ini mereka duduk agak berdempetan dan tentu
saja masih dalam keadaan setengah telanjang tentunya.
Namun lucunya, mereka berdua seolah tidak sadar kalau
dalam keadaan seperti itu.
“Sebenarnya aku kena racun apa?”
“Kau ingin tahu?”
Beda Kumala mengangguk.
“Aku sendiri kurang begitu tahu, hanya saja dari
percakapan mantan lawan kita, aku mendengar Racun
‘Serabut Maut’ mereka sebutkan ... ”
“Benar! Aku juga mendengar mereka mengatakan
seperti itu,” potong Beda Kumala.
“Setahuku, racun ini adalah sejenis racun yang sering
kali digunakan para lelaki hidung belang untuk
memperdaya korbannya. Dalam bahasa kasarnya, tanpa
diperkosa pun mereka pasti menyodorkan diri untuk
dinodai.”
“Masa seperti itu?”
“Racun ‘Serabut Maut’ sebenarnya masih termasuk
dalam racun birahi, racun yang bisa membangkitkan
nafsu ragawi lawan jenis dalam tempo singkat. Semakin
banyak racun yang masuk ke dalam tubuh seseorang, ia
bisa menjadi budak nafsu ragawi secara
berkepanjangan,” urai Jalu panjang lebar. “Bahkan ia
menemui ajalnya dengan tubuh kurus kering.”
Beda Kumala bergidik ngeri dirinya menjadi budak
nafsu.

“Iiihh ... jangan menakut-nakuti aku, Kang?” kata Beda
Kumala sambil mendekapkan dua tangan ke pipinya.
“Tapi untunglah, kau hanya terkena sedikit, jadi tidak
perlu cemas seperti itu Beda,” kata Si Pemanah Gadis,
lembut.
“Benarkah?” tanya Beda Kumala sambil menurunkan
sepasang tangannya.
Saat ia menundukkan kepala, tiba-tiba saja ia menjerit
kaget!
“Aaaa ... ” jerit kaget Beda terdengar.
“Apa ada!?” Jalu bertanya dengan kaget.
“Itu ... itu apa?” tanya Beda Kumala sambil tangan
kanannya menuding ke bawah pusar Jalu yang masih
berdiri kokoh seperti batu karang.
Seperti sudah tahu benda apa yang dituding Beda
Kumala, Si Pemanah Gadis menjawab ringan, “Benda
itulah yang telah menyembuhkanmu, Beda. Kau tidak
perlu kaget!” Sedang katanya dalam hati, “Huh, kaget kok
telat! Sudah diobok-obok baru tahu benda yang dipakai
buat obok-obok!?”
“Seperti belum pernah melihat saja kau ini?” kata Jalu
sambil membusai lembut rambut panjang Beda Kumala.
“Bukan begitu! Ukuran dan panjangnya ... ”
“Ada yang salah, ya?” goda si Jalu.
Selebar muka Beda Kumala merona karena malu.
“Apa mau merasakan lagi?” tanya Jalu sambil
mendekap erat tubuh gadis murid Perguruan Sastra
Kumala ini.

“Dasar nakal ... ” ujar Beda Kumala lagi sambil
mengusap rambut pemuda bermata putih itu,
menjambaknya dengan bercanda.
“Oh ya? Nakal seperti ini ... ” kata Si Pemanah Gadis
sambil menunduk dan menciumi leher Beda Kumala
yang jenjang, membuat gadis cantik mungil itu menjerit
kaget dan tertawa kecil kegelian.
“Lebih nakal dari itu!” sergah Beda Kumala sambil
berusaha menghindar tetapi tidak sungguh-sungguh.
“Atau yang seperti ini ... ” kata Jalu Samudra sambil
menunduk lebih ke bawah, menelusupkan mukanya di
antara belahan bukit kenyal yang terpampang
menggairahkan di balik baju hijau Beda Kumala,
membuat gadis itu menggelinjang dan tertawa lebih
keras.
“Kurang nakal ... ” desah Beda Kumala.
“Kalau yang ini bagaimana?”
Jalu Samudra segera membuka kancing-kancing di
depan sepasang bukit kembar sang gadis. Tidak sulit
melakukan yang satu ini, karena posisi kancing baju
tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka.
Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah
menakjubkan, putih mulus tanpa cela, tersangga penutup
dada yang seperti tidak cukup muat menampung
gelembung daging menggairahkan itu.
Jalu Samudra tentu paham semua gerakan birahi
gadis dalam dekapannya. Paham semua petunjuk paling
samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa yang
disukai tipe gadis mungil seperti Beda Kumala kala
bercinta yaitu sebuah usapan lembut di perut yang
perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di antara
dua pahanya yang bagai pualam, dilanjutkan dengan

penjelajahan nakal di gerbang istana kenikmatan di yang
mulai terkuak mengundang sentuhan penuh pengertian.
Tanpa kata, Jalu Samudra mengusap-usap lembut
permukaan perut datar Beda Kumala, seperti hendak ikut
merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh lawan
jenisnya. Lalu, perlahan-lahan tangan Jalu Samudra
turun, menelusup ke bawah, menggapai tepi pintu
gerbang istana kenikmatan.
“Oooohh ... ”
Beda Kumala pun mengerang nikmat. Bahkan
membuka diri sebisa dan selebar mungkin, membiarkan
gerakannya menjadi liar dan penuh gejolak.
“Hebat! Hebat sekali si buta tampan ini! Dia bisa
menyelami setiap jengkal tubuhku,” kata Beda Kumala
dalam hati, “Kenapa dulu aku tidak ketemu dia?”
“Sudah cukup nakal?”
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Oooooh ... ” Beda Kumala kembali mengerang sambil
memejamkan mata erat-erat dan mencengkeram
pinggiran dipan kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Bersamaan dengan itu, dua kenikmatan sekaligus
meletup di tubuhnya, karena dengan bersamaan Si
Pemanah Gadis mengisap-menyedot ujung-ujung bukit
kembar sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di
celah atas gerbang istana kenikmatannya.
Dan rasanya?
Seperti ada selaksa bunga api meledak menimbulkan
percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh
persendian tubuhnya.

Sesekali jari Jalu Samudra menelusup semakin ke
bawah, menyelinap lembut di antara sepasang rekahan
gerbang istana kenikmatan di bagian bawah sana,
mengambil sesuatu yang basah untuk dibawa ke atas
menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Jalu Samudra
melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan
sebentuk kenikmatan demi kenikmatan kepada gadis itu.
Justru hal ini membuat Beda Kumala semakin
mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk
titik puncak asmara awal yang tercipta di dasar
pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua
pahanya lebih lebar lagi, dan lebih lebar lagi, seakan
mengundang Jalu Samudra untuk menjelajah lebih dalam
lagi.
Tetapi, sebelum Jalu Samudra sempat bergerak lebih
jauh, Beda Kumala tak bisa menahan ledakan puncak
kenikmatan.
Menggelepar kuat, dan mengerang panjang!
“Aaaaaaahhh ... ”
Sambil mencengkeram pinggiran dipan kuat-kuat dan
melentingkan tubuhnya.
Jalu Samudra membiarkan sang bidadari mungil
menikmati ledakan puncak kenikmatan, melepaskan
isapan di bagian ujung bukit kembar, dan mengalihkan
tangannya ke pinggul Beda Kumala. Diciuminya wajah
yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang
berkonsentrasi menikmati puncak asmara. Wajah itu
semakin cantik dan semakin bersinar tatkala mencapai
titik puncak asmara.
Pemandangan paling indah dalam sebuah
percumbuan!

Merupakan episode paling menegangkan sekaligus
paling dramatis dan indah!
Beda Kumala membuka matanya setelah segalanya
mereda. Ditemukannya sepasang mata putih Jalu
Samudra memandang lembut dan dekat sekali. Susah
payah Beda Kumala mengatur nafasnya yang masih
memburu.
“Huuh ... ” desah Beda Kumala sambil tersenyum
manja di sela nafasnya yang mulai teratur tetapi masih
agak tersengal, “Bagaimana aku bisa mengusir Kakang
Jalu, kalau begini ... ”
--o0o--
BAGIAN 15
“Memangnya kau ada rencana mengusirku?”
“Mulanya begitu, tapi sekarang malah lebih sulit lepas
lagi, Kang.”
“Oh ya?” sahut Jalu seperti orang tidak percaya.
Gadis itu hanya mengangguk saja.
“Apakah cuma karena ‘itu’?” tanya Jalu Samudra
menjungkit-jungkitkan alis, dan dua tangan mengulur ke
belakang, mengusap-usap lembut pinggul Beda Kumala.
Mata Beda Kumala berbinar nakal.
“Bukan hanya karena itu ... ” katanya.
“Karena apa?” sergah Jalu Samudra.
“Karena ... mungkin aku sekarang telah jatuh cinta
pada Kakang Jalu,” kata Beda Kumala lirih.

“Ahhh ... yang bener, nih?” sergah Jalu, “Masa’ kau
yang cantik jelita begini bisa jatuh cinta pada pemuda
rudin sepertiku, buta lagi!?”
“Aku belum pernah merasakan seperti apa yang aku
rasakan sekarang ini, Kang. Aku betul-betul jatuh hati
padamu.”
“Tapi, aku ‘kan sudah punya istri?”
“Aku tidak peduli. Jadi pacar gelap pun aku bersedia,”
kata Beda Kumala, serius. “Asal selalu tetap
bersamamu.”
“Kau perlu bertanya dulu pada istriku, apa dia mau
menerima dirimu seutuhnya?” ucap Jalu Samudra.
“Baik. Siapa takut?”
“Tapi istriku galak, lho?” kata Si Pemanah Gadis
menakut-nakuti sambil tangan kiri menowel pelan hidung
mancung si gadis.
“Aku juga galak!”
“Hah? Yang benar!?”
“Apa perlu dibuktikan?” tukas Beda Kumala, sambil
memeluk leher pemuda bermata putih itu. “Kubuka dulu
bajumu, setelah itu baru kau tahu aku ini galak atau tidak
... ” kata Beda Kumala tertawa kecil, sambil melepas baju
biru si pemuda.
Jalu Samudra terbahak, lalu dengan bergairah
menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung ... semua
permukaan wajah Beda Kumala.
“Baiklah. Tapi sebelumnya kau harus menerima satu
jurus dariku dulu,” kata Jalu Samudra. “Biar tidak seperti
orang amatiran."

Tanpa menunggu jawaban dari Beda Kumala, Jalu
Samudra segera membisikkan sesuatu ke telinga gadis
yang kini dalam pelukannya.
Sesaat kemudian Beda Kumala mengernyit berpikir,
“Masa bercinta ada jurusnya segala? Aneh-aneh saja si
buta ganteng ini. Tapi tak apalah aku coba.”
Percintaan mereka semakin lama semakin
menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi
juga penuh canda dan permainan-permainan kecil.
Seperti kali ini, tanpa diminta oleh Beda Kumala Jalu
Samudra segera tidur terlentang setelah keduanya tidak
dilapisi selembar benang pun.
“Jangan bergerak, ya ... ” bisik Beda Kumala sambil
bergerak mundur ke belakang bawah, menelusur pinggul
Jalu Samudra. Geraknya gemulai, seperti seorang penari
yang menyiapkan gerakan pembukaan dalam sebuah
tarian. Dengan takjub Jalu Samudra memandang tubuh
telanjang yang serba indah menggairahkan itu
terpampang bebas di mukanya.
Beda Kumala kemudian melakukan beberapa gerakan
yang tak terlalu kentara karena mata Jalu Samudra
terpaku menatap tubuh indah kekasih gelap.
Slepp!
Tahu-tahu Jalu Samudra merasakan pilar tunggal
penyangga langitnya seperti menyelinap diam-diam ke
liang lembab licin gerbang istana kenikmatan yang bagai
memiliki indera tersendiri ... tahu-tahu kegairahan
terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan
menjadi semakin kokoh bagai batu karang di dalam sana.
Dalam hati, Beda Kumala berdecak kagum, “Benarbenar
luar biasa. Ukuran dan panjangnya dua kali lebih
dahsyat dari milik Kakang Garan Arit. Istanaku sampai

terasa penuh, tidak muat menampungnya.” Lalu ia melirik
ke bawah, kembali ia bergumam, “Gila! Cuma
setengahnya saja sudah menabrak dinding terdalam.”
Ketika Jalu Samudra menggelinjang merasakan
nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana, kembali
Beda Kumala berbisik, “Jangan bergerak ... ”
Bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai
jurus ‘Tarian Dewi Kayangan Mengendarai Kuda Dewa’
yang merupakan salah satu jurus asmara yang ada
dalam Kitab Kembang Perawan dan Jalu Samudra
menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang
dengan sepasang kaki sedikit di tekuk sambil
memandangi Beda Kumala yang sudah mulai
berkeringat, bergerak naik turun perlahan dan teratur.
Wajahnya tampak memerah-muda kembali dengan
sepasang mata dipenuhi sinar gairah sekaligus
kelembutan, terbuka menatap mata putih Jalu Samudra
tanpa berkejap.
Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya
mulai memburu. Kedua bukit kenyal tegak menjulang di
dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan
tubuh pemiliknya!
“Ohhhh ... ” Beda Kumala mendesah tanpa sadar saat
pilar tunggal pemuda yang kini didudukinya semakin
dalam dan dalam saja, menyeruak masuk memberikan
geletar nikmat, menyentuh dinding-dinding gerbang
istana. Tangan segera bertopang mencari penguatan di
dada bidang Jalu Samudra. Gerakannya semakin lama
semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti
manakala ia memutar pinggulnya selagi pilar tunggal Jalu
Samudra terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu,
Beda Kumala memejamkan mata erat-erat, dan merintihrintih
nikmat.

Murid si Dewa Pengemis merasakan denyut-denyut
halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal
yang semakin lama semakin tegang membesar.
Gadis murid Perguruan Sastra Kumala kembali
bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang
kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi
dengan sinar birahi yang semakin tajam. Jalu Samudra
menatap mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa
kasih di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama
dari sebuah drama percumbuan.
Gerakan Beda Kumala kini semakin mempesona
diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah gadis ini
melakukan putaran-putaran menakjubkan. Terkadang
maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan,
terkadang naik-turun dengan gairah liar. Terkadang
berputar-putar perlahan, hingga Jalu Samudra
merasakan pilar tunggalnya mengusap-mengurut
dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan
berdenyut itu.
Suara-suara mulai terdengar dari tempat kedua tubuh
mereka bertaut. Berdecap ramai menyelingi derit-derak
dipan bambu, di antara rintihan dan desah napas
memburu. Beda Kumala dengan wajah sumringah
konsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak
di ufuk percumbuan. Ia seperti sedang menunggu
dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan
kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh
tembok baja sekalipun.
Jalu Samudra mengangkat kedua tangannya, tak
tahan berdiam diri melihat sang gadis menarikan jurus
‘Tarian Dewi Kayangan Mengendarai Kuda Dewa’ yang
menggairahkan. Dijamahnya lembut kedua dada putih
padat Beda Kumala yang bergerak-gerak seirama

tubuhnya. Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak
tangan di atas kedua ujung bukit kembar yang telah
tampak membesar dan tegak-kenyal.
Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap
usapan bagai tambahan pasokan kenikmatan yang
memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya.
Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Beda Kumala
kini tinggal beberapa langkah lagi.
“Aaah ... Kang ... ” Beda Kumala berucap terputusputus
oleh erangannya sendiri, “ ... Ah ... aku tidak ...
aaah, tahan ... Kang ... ”
Jalu Samudra mengerti. Cepat diraihnya pinggul Beda
Kumala dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik
pemuda itu membantu gerakan sang gadis. Naik turun
dengan cepat. Berputar-putar ke kiri ke kanan seperti
seperti pendekar murka yang mengerahkan pedang
emas menyerang ke kanan kiri!
“Oooooh ... ” Beda Kumala mengerang panjang.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lebih
cepat dan cepat ...
“Aaaaah ... ” Beda Kumala mendesah sambil
menengadah kepala dan memejamkan mata.
Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ...
“Mmmmmmmmmm ... ” Beda Kumala mengerang
panjang.
Naik turun lagi ... Lagi ... Lagi ...
Dan lagi!
Kedua dada padatnya berguncang-guncang indah
sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Jalu Samudra
meremas-remas kedua bukit kembar menggemaskan itu,

kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu
gerakan Beda Kumala dalam menggapai puncak
asmaranya.
Beda Kumala akhrinya benar-benar tak tahan lagi. Ia
menjerit-jerit kecil dalam selang waktu pendek, dengan
tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang
tidak lagi teratur.
“Aah ... aaah ... aaah ... ”
Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali.
Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan
erangan panjang ...
“Aaaaaaaaaah ... !”
Beda Kumala kali ini berhasil mencapai titik tertinggi
dari percumbuan di atas tubuh Jalu Samudra.
Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak
dipegangi oleh Jalu Samudra agar tidak terlempar ke luar
dipan. Pemuda itu merasakan pilar tunggalnya seperti
disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang
berdenyut-denyut semakin liar.
“Sudah saatnya,” bisik Jalu Samudra.
Kembali hawa keperkasaan jurus ilmu ‘Perjaka Murni’
si pemuda menggelegak panas tersembur diiringi dengan
sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga
melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari
dinding dalam gerbang istana kenikmatan yang saat ini
sedang menggelepar-gelepar di atas tubuhnya.
Jrassh ... !
Dan hal itu tentu saja semakin membuat Beda Kumala
menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya!
“Aaaaaaaaaah ... !”

Cukup lama Beda Kumala menggeliat-geliat menikmati
puncak asmaranya diiringi dengus desah menggelora,
sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka
matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi
menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh
kepuasan dan kebahagiaan.
Belum pernah rasanya Jalu Samudra melihat mata
yang begitu terang setelah bercinta.
“Aku benar-benar takluk padamu luar dalam, Kang!”
kata Beda Kumala sambil memeluk Jalu Samudra.
--o0o--
BAGIAN 16
Begitu bangun tidur, Jalu tidak mendapati lagi sosok
Beda Kumala di sampingnya, tapi justru sebuah benda
bulat panjang warna putih perak berada dalam
pelukannya. Bagai disengat kalajengking, Jalu segera
melenting menjauh menghindari benda yang semula
dalam dekapan.
“Apa yang terjadi? Dimana Beda Kumala?” pikir Jalu
sambil matanya mengawasi ke sekelilingnya, tapi tidak
ada yang mencurigakan atau adanya tanda-tanda orang
yang memasuki kamar mereka. Semua masih sama
seperti sebelumnya.
Sambil memandang benda bulat panjang warna putih
perak dengan tatapan siaga, Jalu beringsut ke depan
dengan perlahan, sementara tangan kiri teraliri hawa
murni hingga memancarkan sinar putih kusam sedang
tangan kanan membentuk tapak dengan pancaran sinar
yang sama. Perlahan-lahan ia mendekati benda bulat
panjang yang ada di tempat tidur.

Setelah mendekat, mata putihnya melihat sesuatu
yang ganjil pada benda putih itu.
“Hemm ... tidak ada hawa beracun di tempat ini,”
gumamnya saat ia menggeser-geserkan telapak tangan
kanan di atas benda aneh itu sejarak dua jengkal.
Pancaran tenaga segera ditarik kembali. Dan dengan
perlahan penuh kehati-hatian disentuhnya serabutserabut
halus warna putih dengan lembut.
“Apa ini?”
Saat tersentuh tangan, ia merasakan sesuatu yang
lengket-lengket kenyal di ujung jarinya.
“Ini ... benang?” gumam Jalu, lalu dengan sedikit
membungkuk, berusaha memperjelas pandangan
matanya, “Mirip sekali dengan jaring laba-laba ... atau
lebih mungkin kalau disebut sebagai benang sutera,
ya!?” gumamnya lebih lanjut. Sambil mendongak
memandang langit-langit kamar, ia kembali bergumam,
“Di sekitar sini tidak ada tanda-tanda adanya ulat atau
sejenisnya. Lalu dari mana datangnya benda ini?”
Kembali pandangan matanya menelusuri benda putih
di depannya. Jalu segera bergeser ke kiri, ke arah benda
yang membulat kecil, yang diduganya adalah kepala.
“Jika dilihat dari sini seperti kepompong ulat yang lagi
dalam proses menjadi kupu-kupu ... ” gumamnya sambil
geleng-geleng kepala. “Dilihat dari keadaannya, memang
seperti kepompong, dari ujung ke ujung semuanya
berwarna putih perak. Membujur kaku tanpa gerak
seperti mayat. Kayak orang pakai selimut saja.”
Begitu kata ‘selimut’ terlontar, Jalu tersentak, serunya,
“ ... atau jangan-jangan gadis itu ada di dalam
kepompong ini ... ? Waduh, celaka! Kalau benar seperti

dugaanku, benar-benar celaka dua belas! Bisa mati
kehabisan napas dia, nih!”
Matanya segera meneliti dengan seksama benda bulat
memanjang yang terbalut benang-benang halus itu. Dari
ujung ke ujung diperiksanya dengan seksama. Tidak ada
yang terlewatkan sedikit pun. Semuanya tertutup rapat.
Bahkan celah sebesar lubang semut pun tidak ia
dapatnya disana.
“Aku harus melihat apa isi dari kepompong ini,”
katanya, namun setelah pulang pergi di sekitar benda itu,
ia kembali mengeluh, “Lewat mana aku harus menjebol
kepompong ini?” keluhnya sambil matanya jelalatan.
Tiba-tiba ia berseru senang, “Ada ide bagus! Kurobek
saja dengan pedang.”
Sambil berjalan ke pojok ruangan dimana pedang
anak murid Perguruan Sastra Kumala tergeletak,
diraihnya sarung pedang yang tergeletak di atas meja
kecil dan sambil berjalan kembali ke tempat tidur,
dilolosnya pedang dari sarungnya.
Criiing!
“Kucoba dulu dengan bagian bawah. Di gores
cukuplah,” katanya sambil menggoreskan ujung mata
pedang.
Sraakk!
“Eeehh?” Jalu kaget kala ujung mata pedang tidak
bisa mengoyak benda yang dianggapnya kepompong itu.
“Edan! Pedang setajam ini tidak bisa mengoyak benang
selembek bubur begini? Padahal kemarin kepala
Cambuk Pemutus Nyawa saja dari daging cincang tanpa
bentuk? Kok bisa!?”

Dicobanya sekali lagi, tapi sekarang sedikit dengan
tekanan.
Srakk! Srakk!
Kembali keanehan terjadi.
Diulanginya lagi. Lagi. Dan lagi!
Srakk! Srakk! Srakk! Srakk!
Tapi hasilnya tetap sama. Bahkan saat Si Pemanah
Gadis menggunakan satu bagian tenaga dalamnya,
terasa sekali daya tolak dari benda bulat panjang yang
ada di depannya. Bahkan tangan yang memegang
gagang pedang terasa kesemutan.
“Gila! Tetap tidak mempan juga!” seru murid tunggal
Dewa Pengemis ini. “Kepompong apa ini sebenarnya?”
Jalu Samudra meletakkan pedang, lalu duduk di kursi
dekat dipan. Saat duduk ia merasakan sesuatu yang
sejuk di sekitar bawah perutnya.
“He-he-he! Pantas saja adem, belum pakai apa-apa,
sih,” gerutunya, lalu disambarnya celana dan baju
birunya, terus dikenakan. “Nah, gini baru enak.”
Hingga sore hari, belum juga ada tanda-tanda kalau
kepompong itu akan menetas atau keluar sesuatu dari
dalamnya. Bahkan kala pemilik penginapan sempat
melihatnya saat mengirim makan pagi atas permintaan si
pemuda, Ki Ajur Mumur sampai ketakutan setengah
hidup saat mengetahui ada benda aneh di dalam kamar
yang disewa pasangan muda itu.
Tanpa banyak kata, langsung diletakkan begitu saja
sarapan pagi di dalam kamar, tepat depan pintu bagian
dalam!

Barulah pada saat merembang petang, terjadi tandatanda
kehidupan meski halus sekali.
Ssshh ... !!
Dalam waktu sepenanakan nasi, terdengar suara
desisan halus seperti bara api dimasukkan ke dalam
segentong air.
“Hemm ... sudah ada tanda-tanda kehidupan dari
kepompong ini,” desis Si Pemanah Gadis. “Setelah ini
apa yang akan muncul? Setan berkepala tujuh? Atau
malam kuda nil berbadan cacing raksasa barangkali?”
Suara desisan makin lama makin keras, bahkan
sekarang ditingkahi dengan suara gemeresak seperti
ribuan ulat sedang memakan daun.
Ssshh ... !! Ssshh ... !! Srreekk ... srreekk!!
“Walah, suara apa lagi sekarang?” desis si pemuda
sambil mengerahkan hawa murni untuk menutupi
gendang telinganya. Meski pelan, tapi suara itu sanggup
menusuk gendang telinga hingga telinga pekak dan
berdenging-denging.
Perlahan-lahan, bagian bawah kepompong bagaikan
disayat dengan sebilah pisau gaib nan tajam, terus
menjalar lurus dari bawah ke atas.
Srett! Srett!
“Wuihh ... sekarang ada keganjilan apalagi ini?”
gumam si Jalu sambil memandang lekat-lekat pada
fenomena aneh yang terpampang dengan jelas di depan
matanya. “Masa bisa sobek sendiri?”
Begitu terbelah dari bawah tampak terkuak sepasang
kaki putih mulus, sayatan terbelah terus naik ke atas
hingga memperlihatkan bongkahan betis putih
menggoda. Begitu terus hingga sobekan benang

mencapai pada permadani hitam dan terus naik ... terus
naik ... terus naik ... dan naik lagi!
Srett!
Kini sayatan sudah mencapai bagian perut, terus
terobek perlahan ke atas hingga memperlihatkan
sepasang bukit kembar padat menantang terkuak lebar.
Jalu sendiri yang melihat peristiwa menakjubkan ini
sampai geleng-geleng kepala, “Kukira hanya Nimas Rani
saja yang mengalami kejadian heboh seperti ini, tak
tahunya Beda Kumala pun mengalami hal-hal yang luar
biasa pula.”
Hingga akhirnya, seluruh sayatan terkuak sempurna
dan seperti ada tangan-tangan gaib saja, tepi sayatan
meluruh sendiri ke samping kiri kanan, sehingga
memperlihatkan sesosok sempurna tubuh seorang anak
gadis yang terbaring diam.
Beberapa saat kemudian, kelopak mata anak gadis
yang ternyata adalah Beda Kumala terbuka perlahan.
Berkejap-kejap sebentar, lalu bangun dari dipan dan
duduk manis di sana.
“Sudah malam rupanya.”
Itulah kata pertama yang meluncur dari bibir merah
alami itu.
“Sudah malam-sudah malam! Ini sudah malam
berikutnya, Non,” tukas Jalu sambil melemparkan baju
hijau si gadis. “Cepat pakai baju, nanti masuk angin.”
Dengan raut muka setengah bingung, Beda Kumala
bertanya sambil memakai baju dan celananya, “Sudah
malam berikutnya!?”
“Kau sudah tidur sehari semalam di tempat ini! Masa’
tidak terasa, sih?”

Gadis itu hanya mengernyitkan alis sambil bergumam,
“Masa’ aku bisa tidur selama itu?”
Saat selesai berpakaian, barulah ia menyadari ada
sesuatu yang lengket-lengket di tangannya.
“Apa ini?”
“Kau tidak tahu dengan apa yang sebenarnya kau
alami?” tanya Jalui Samudra dengan heran.
Gadis itu hanya menggeleng sembari melepas
benang-benang halus yang melekat di tangannya.
“Terus apa yang kau alami?”
“Entahlah, Kang! Aku sendiri juga tidak tahu dengan
pasti,” tutur Beda Kumala memulai cerota, “Hanya tadi
malam aku bermimpi di kejar-kejar ulat raksasa warna
putih sebesar pohon kelapa. Ulat itu berhasil
menangkapku, lalu ia menyemprotkan air liur berbuih
hingga mengenai badanku. Anehnya, saat mengenai
tubuh, air berbuih tersebut berubah menjadi serabutserabut
halus yang ulet dan kenyal. Kucoba memutuskan
dengan pedang tidak berhasil.”
“Aneh juga kalau begitu. Terus lanjutnya bagaimana?”
tanya Jalu mengomentari.
“Entah bagaimana awalnya, aku juga tidak tahu. Tibatiba
saja kedua tanganku bisa memutuskan benangbenang
putih yang membelit tubuhku dan setelah itu
terbangun dari tidur,” sambung Beda Kumala sambil
matanya mengamati benang-benang putih yang
berserakan di dipan dan lantai. “Bentuk benang putih ini
sama persis dengan yang ada dalam mimpiku,” Beda
Kumala berkata.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Beda Kumala
adalah suatu kejadian langka!

Tanpa setahu Jalu Samudra dan Beda Kumala sendiri,
dalam tubuh gadis itu kini bersemayam sebuah kekuatan
menakjubkan yang awalnya adalah sebuah racun birahi
yang bernama Racun ‘Serabut Maut’ dimana racun ini
merupakan kumpulan beberapa jenis racun ulat yang
paling ganas di rimba persilatan. Terutama sekali yang
berjenis Racun ‘Ratu Ulat Sutera’, racun paling langka
dan paling sulit ditawarkan dengan obat apa pun. Entah
darimana Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus
Nyawa bisa memiliki dan meracik Racun ‘Ratu Ulat
Sutera’ menjadi semacam racun birahi berdaya kerja
cepat.
Dan tanpa setahu Jalu pula, bahwa dengan
percumbuan yang mereka lakukan selain berhasil
menawarkan Racun ‘Ratu Ulat Sutera’ hingga tidak
berbahaya lagi bagi gadis baju hijau itu, justru sekarang
racun birahi yang bertemu dan saling gempur dengan
hawa keperkasaan jurus ‘Perjaka Murni’ milik Jalu
Samudra selain tawar juga mengalami perubahan wujud
dari sifat racun yang mematikan berubah menjadi
sebentuk hawa aneh dengan ditandai adanya serabutserabut
halus putih yang menyelubungi Beda Kumala.
Serabut-serabut inilah yang merupakan proses
penggodokan serta penggabungan antara hawa
keperkasaan Jalu Samudra dan racun birahi dalam diri
Beda Kumala, melebur menjadi satu. Begitu proses
penggabungan berhasil, otomatis serabut-serabut ini
akan membelah dengan sendirinya, seperti seekor kupukupu
keluar dari kepompong. Dan sepeminuman teh
kemudian, serabut-serabut itu meluruh dan akhirnya
berubah menjadi bubuk atau tepung putih yang
berserakan dimana-mana.
“Sekarang bagaimana kondisimu?”

“Dalam tubuhku terasa ada arus tenaga panas dingin
yang kuat. Berputar-putar melewati jalan darah di
seantero tubuhku,” jawab Beda Kumala menceritakan
keadaan dirinya.
“Apakah kau terasa mau meledak?”
“Mau meledak?”
“Ya. Misalnya seperti ada suatu keinginan untuk
menghentakkan keluar arus hawa yang ada dalam
tubuhmu,” sahut Jalu Samudra, lalu sambungnya, “Coba
kau atur napasmu.”
Beda Kumala menurut. Diaturnya napas beberapa
saat menurut apa yang dipelajarinya dari Kitab Bunga
Matahari. Hawa sakti digerakkan melewati jalan-jalan
darah, diarahkan ke tangan, kaki, dada, punggung.
Semua bisa dilakukan tanpa suatu kendala.
Dalam artian ... lancar-lancar saja!
“Tidak ada, Kang. Semuanya lancar. Tidak ada
sumbatan apa pun di jalan darah, bahkan di pusat energi
terasa sekali arus yang amat kuat, tapi tidak liar. Mungkin
lebih kuat empat lima kali dari biasanya,” sahut Beda
Kumala sambil melepas kendali Jalur tenaga dalamnya.
“Ya, sudah kalau begitu,” tutur murid Dewa Pengemis
dan Dewi Binal Bertangan Naga ini, “Bagaimana kalau
kita lanjutkan perjalanan ke Istana Jagat Abadi?”
“Malam-malam begini?”
“Malam hari adalah waktu yang tepat untuk melakukan
penyelidikan di tempat itu,” jawab Si Pemanah Gadis, lalu
imbuhnya, “Aku tahu, jarak perjalanan dari Istana Jagat
Abadi dari sini sudah cukup dekat. Jadi, kusarankan
malam ini juga kita bergerak. Siapa tahu kita bisa

mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan
perguruan kalian.”
“Benar juga ucapan, Kakang.”
Mereka berdua menemui Ki Ajur Mumur, pemilik
penginapan bahwa mereka ada keperluan sebentar dan
menitipkan buntalan pakaian mereka pada laki-laki tua itu
dan berpesan agar kamar itu jangan disewakan dulu
pada orang lain. Pada awalnya Ki Ajur Mumur agak
keberatan, namun saat melihat Jalu Samudra
meletakkan lima belas keping uang perak di tangannya,
rambut kepala laki-laki yang tujuh bagian sudah beruban
langsung mengangguk-angguk menyetujui.
Padahal dengan sekeping uang perak saja bisa
digunakan untuk menginap selama satu minggu, kini
malah dapat lima belas keping sekaligus!
Jarang-jarang ia dapat rejeki nomplok seperti itu!
Ketika sudah berada di luar desa, Jalu Samudra dan
Beda Kumala langsung mengerahkan jurus peringan
tubuh masing-masing. Keanehan kembali terjadi pada diri
Beda Kumala. Lesatan tubuhnya begitu cepat, lebih
cepat dari biasanya yang mampu ia kerahkan.
Blasss!
“Eeehh ... ” seru Beda Kumala kaget.
Brakk!
Tanpa bisa dicegah lagi, Beda Kumala langsung
menabrak pohon besar hingga pohon tersebut berderak
tumbang.
“Apa yang terjadi?” tanya Beda Kumala sambil meraba
seluruh tubuhnya baru saja menghantam batang pohon
secara frontal, namun ia tidak mengalami luka sedikit
pun.

Jalu Samudra segera berlari mendekat sambil otaknya
bekerja, “Gadis ini mengalami lonjakan tenaga secara
drastis. Pasti ini ada hubungannya dengan serabut putih
yang membungkusnya.”
“Kau tidak apa-apa?” tanya Jalu sambil membantu
Beda Kumala bangkit berdiri.
“Aku tidak apa-apa.”
“Kau harus bisa mengontrol tenagamu.”
Jalu Samudra segera memberi petunjuk bagaimana
cara mengontrol tenaga yang berlimpah itu. Kejadian
seperti yang dialami Beda Kumala hampir sama persis
dengan apa yang terjadi pada dirinya dan Kumala Rani,
istrinya sewaktu pertama kali mendapat limpahan hawa
dari buah sakti peninggalan Dewa Pengemis dan Dewi
Binal Bertangan Naga.
Setelah dicoba beberapa kali, barulah Beda Kumala
sanggup mengontrol tenaga dalamnya yang melimpah.
Blass ... !
Saat ia mengerahkan jurus ‘Langkah Menjangan
Terbang Meloncat’ andalan perguruannya, Beda Kumala
langsung melesat seperti larinya seekor menjangan
betina yang dengan lincah menghindari pohon-pohon
yang dilewatinya.
Jalu sendiri yang melihat cara berkelebat Beda
Kumala, mengikuti langkah si gadis sambil mengerahkan
jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ miliknya sambil berdecak
kagum, “Bukan main! Gadis itu bisa bergerak selincah
menjangan saja.”
Tubuh pemuda baju biru melesat cepat laksana
sambaran kilat, hingga membentuk sosok bayangan biru

yang mengejar sosok bayangan hijau yang ada di
depannya.
--o0o--
BAGIAN 17
Tanpa terasa sebelas hari berlalu ...
Pengintaian yang dilakukan oleh Si Pemanah Gadis
dan Beda Kumala, sejauh ini masih biasa-biasa saja.
Tidak ada yang luar biasa, atau pun melihat sesuatu
yang diluar kebiasaan orang-orang Istana Jagad Abadi.
Dan sudah dua-tiga hari lamanya Beda Kumala uringuringan
tak karuan, karena sebegitu jauh mereka
melakukan penyelidikan, tidak ada sesuatu yang bisa
mereka gunakan sebagai tambahan informasi. Beberapa
mereka menyusup masuk ke dalam, namun tidak ada
yang mereka dapatkan. Dan pada akhirnya, Beda
Kumala memutuskan ingin mengalihkan penyelidikan ke
Aliran Danau Utara saja. Lebih mudah katanya.
Namun oleh Jalu Samudra, niatan itu di cegah karena
si pemuda, karena entah mengapa mencium sesuatu
yang tidak beres terjadi pada tempat yang sudah sepuluh
hari lamanya mereka intai. Entah pada bagian mana dari
Istana Jagat Abadi hingga sanggup membuat si buta
ganteng ini curiga.
“Kalau sampai besok pagi kita tetap tidak
mendapatkan apa-apa di tempat ini, aku akan pergi saja,”
kata Beda Kumala lirih, sambungnya sambil menggerutu,
“Kita ini seperti dua ekor monyet yang tiap hari kerjaan
naik turun pohon.”

“Sudah kubilang, kau harus sabar, Beda. Aku yakin
malam ini kita akan mendapatkan sesuatu,” sahut Jalu
Samudra yang duduk uncang-uncang kaki di atas pohon.
“Dari kemarin Kakang Jalu juga bicara seperti itu. Tapi
... mana hasilnya? Mana? Nol besar!” tukas Beda Kumala
dengan ibu jari dan jari telunjuk ditautkan membentuk
bulatan.
Tiba-tiba saja, Jalu membekap mulut mungil Beda
Kumala.
“Emmphh ... emmphh ... ”
“Ssst ... diam! Ada orang di bawah kita,” bisik Jalu
Samudra sambil tangan kiri menunjuk ke bawah, sedang
tangan kanan bergerak melepas dekapan mulut.
Beda Kumala mengikuti arah telunjuk kiri si pemuda.
Di bawah sana, sejarak tiga tombak dari tempat
mereka duduk, terlihat sesosok tubuh tengah duduk
mendekam di atas dahan yang cukup besar. Tidak bisa
diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena
gelapnya malam tanpa cahaya bulan atau sinar bintang.
Hanya dengan melihat caranya mendekam di atas pohon
seperti itu, gadis murid Perguruan Sastra Kumala bisa
memastikan setidaknya si pengintai memiliki ilmu ringan
tubuh cukup tinggi.
Namun anehnya, si pengintai entah menyadari atau
tidak, justru ia membuat sesuatu perbedaan yang cukup
mencolok perhatian. Bagaimana tidak, di malam gelap
gulita seperti itu, justru ia memakai baju putih-putih untuk
melakukan pengintaian!
“Rupanya selain kita, ada orang lain yang melakukan
pengintaian, Beda,” bisik Jalu Samudra pada gadis di
sebelahnya.

“Dia kawan atau lawan?”
“Aku kurang tahu,” sahut Si Pemanah Gadis. “Namun
aku melihat sesuatu yang aneh dengan pengintai di
bawah kita ini.”
“Apanya yang aneh? Toh sama saja seperti kita.
Mendekam seperti monyet di atas pohon,” sela Beda
Kumala, seakan tidak menyadari sesuatu yang aneh
pada perkataan pemuda di sampingnya.
“Makanya ... punya otak jangan diletakkan di dengkul!
Mikir dikit kenapa sih!?” seru lirih Jalu Samudra sambil
menyentuh lembut dahi gadis cantik di sampingnya,
“Coba kau perhatikan pakaiannya.”
Begitu Jalu selesai berkata, barulah Beda Kumala
menyadari maksud perkataan pemuda baju biru
disampingnya.
“Masa’ mengintai tempat orang lain malam-malam
begini memakai baju putih begitu?” kata Beda Kumala
dalam bisikan.
“Jika seperti itu pertanyaanmu, jawaban yang bisa
kuberikan hanya ada dua.”
“Apa?”
“Pertama, dia adalah orang tolol merangkap sebagai
orang jujur. Dan yang kedua adalah ... karena dia belum
pernah mengintai sama sekali, jadi tidak tahu bagaimana
cara mengintai yang baik dan benar ... ” ucap Jalu sambil
tersenyum.
“Dari dua kemungkinan yang kakang berikan, aku
cenderung mengatakan kalau dia jelas orang tolol tapi
bukan orang jujur!” kata Beda Kumala, lalu sambungnya,
“Terus apa yang sebaiknya kita lakukan pada pengintai
tolol ini?”

“Kita lumpuhkan dia, terus kita bawa dia menjauh dari
tempat ini,” ujar Jalu Samudra, imbuhnya, “Aku harus
tahu siapa dia sebenarnya dan dengan maksud apa dia
mengintai markas Istana Jagat Abadi malam-malam
begini.”
Si Pemanah Gadis langsung melayang turun secepat
kilat sambil menyentakkan dua jari tengah dan telunjuk
ke bagian tengkuk. Sebentuk hawa padat menerjang ke
sasaran.
Dubb! Takk!
Karena di serang mendadak, si pengintai berusaha
menghindar, namun sudah terlambat. Baru saja ia berniat
menghindar, tubuhnya sontak menjadi kaku karena
totokan dan tanpa bisa dicegah lagi, langsung
terjengkang ke belakang.
“Mati aku!” pikir si pengintai baju putih saat mana
mengetahui tubuhnya jatuh ke bawah.
Namun tiga tombak sebelum menyentuh tanah,
segulungan bayangan biru menyambar tubuhnya dan
melesat cepat ke jurusan timur. Sedang dibelakangnya
satu bayangan hijau terlihat membayangi.
Wutt! Wutt!
Dalam tiga helaan napas, bayangan biru telah
mencapai jarak puluhan tombak dari markas Istana Jagat
Abadi.
Jlegg! Jlegg!
Begitu sampai di tepi sebuah sungai, bayangan biru
dan hijau hentikan larinya. Terlihat pemuda baju biru
yang adalah Jalu Samudra melemparkan begitu saja
sosok manusia baju putih yang semula dalam
panggulannya.

Brukk!
“Kita apakan dia?” ucap Beda Kumala sambil
melangkah mendekat.
Ketika sampai pada sosok yang jatuh terlentang di
tanah, alis mata Beda Kumala tampak mengkernyit.
“Rasa-rasanya aku kenal sama orang ini ... ” gumam si
gadis sambil memandang sosok telentang tanpa gerak
itu.
Sosok yang ternyata adalah seorang laki-laki tinggi
besar dengan kulit coklat kehitaman, sangat kontras
dengan balutan baju putih dan celana putih. Sehelai
sabuk ungu terlihat melingkari pinggang si pemuda yang
diperkirakan berusia dua puluh tujuh tahunan, mungkin
lebih sedikit. Di dada bagian kiri terdapat lambang
bulatan dari rajutan benang emas dan di tengahnya
tersulam dengan benang perak sebentuk tangan terkepal
dan sebuah gambar tapak tangan dengan warna yang
sama pula.
Lambang Aliran Danau Utara!
Mata Beda Kumala agak melebar saat mengamati raut
muka si pemuda baju putih.
Sepasang alis hitam tebal dengan bola mata sebesar
jengkol terlihat melotot seperti mata ikan kena bisul.
Belum lagi dengan kumis tebal tercukur rapi yang
bertengger di bawah hidung yang terhitung mancung
(mancung ke dalam maksudnya alias pesek), dilengkapi
dengan janggut hitam yang tercukur rapi pula. Belum lagi
dengan ikat kepala putih yang melingkar di kepala, selain
untuk merapikan rambut yang terhitung panjang dengan
keriting kecil, juga menambah kesan wibawa pada diri si
pemuda baju putih.

Jelas sekali, bahwa pemuda tinggi besar ini sangat
menjaga penampilan dirinya!
Setelah beberapa saat, Beda Kumala berkata tanpa
menoleh pada Jalu Samudra, “Kang, aku kenal dengan
orang ini.”
Jari telunjuk dan jari tengah Beda Kumala menegang,
lalu menusuk dekat belakang tengkuk si pemuda.
Taak!
Begitu bebas dari totokan, si pemuda bergegas
bangun, sambil mengeprik-ngeprik bajunya yang kotor
karena jatuh di tanah.
“Iga sapi! Apa kabarmu?” tanya Beda Kumala pada si
pemuda.
Jalu Samudra langsung tertawa keras mendengar
ucapan Beda Kumala, katanya dalam hati, “Cocok sekali!
Tapi lebih cocok kalau disebut iga kera hutan.”
Akan tetapi, si pemuda baju putih justru malah
terperanjat kaget!
Setahunya, yang mengetahui gelar jelek itu cuma dua
orang. Yang pertama adalah Tiara dan satunya Beda
Kumala, keduanya murid-murid Nyai Tirta Kumala dari
Perguruan Sastra Kumala.
“Jika Tiara jelas tidak mungkin, dia masih ada di
perguruan. Jadi dia pasti teman Tiara yang cerewetnya
seperti burung kutilang itu,” kata hati pemuda yang
disebut dengan nama iga sapi itu.
“Dasar kutilang cerewet! Baru ketemu langsung bikin
masalah!” bentak si pemuda.
Dan untuk kedua kalinya, Jalu Samudra tertawa keras,
“Ha-ha-ha! Sebutan kutilang cerewet sangat cocok

denganmu, Beda! Pas betul! Dari kemarin dulu aku sibuk
cari kata yang tepat untukmu, baru hari ini kudapatkan!
Ha-ha-ha!”
Beda Kumala langsung merengut dengan bibir
meruncing.
Begitu Jalu melihat bibir merah itu meruncing, dalam
matanya langsung terbayang sosok patuh burung
kutilang, dan itu justru semakin membuatnya tertawa
terkial-kial.
“Ha-ha-ha-ha! Sudahlah! Aku mau buat api unggun.
Tidak enak bicara panjang lebar dalam gelap begini.”
Iga sapi yang melihat pemuda baju biru masih tertawatawa
sambil berjalan ke arah sebatang pohon yang
tumbang karena usia, hanya terbengong seperti sapi
ompong!
“Apanya yang lucu?” katanya dengan mimik muka
lugu.
Melihat mata sebesar jengkol itu, mau tak mau Beda
Kumala tertawa-tawa juga.
“Iga sapi! Kalau melotot seperti itu, matamu benarbenar
mirip mata sapi,” ujar Beda Kumala sambil tertawa.
Setelah tawanya reda, gadis itu kembali berkata, “Kita ke
dekat api unggun saja, lebih terang.”
Keduanya berjalan beriringan ke api unggun.
“Apa tujuanmu datang ke tempat ini?” tanya Beda
Kumala sembari duduk dekat Jalu Samudra.
“Aku sedang melakukan penyelidikan ke Istana Jagat
Abadi,” sahut si pemuda, lalu sambungnya, “Sedang kau
sendiri, apa yang kau lakukan disini? Dan ... terus siapa
dia?”

“Dia ... Jalu,” sahut Beda Kumala memperkenalkan diri
pemuda bertongkat hitam, lalu sambil menoleh pada
Jalu, Beda Kumala berkata, “Kakang Jalu, dia ini Kakang
Gabus Mahesa, calon suami dari Tiara sahabatku.”
Pemuda tinggi besar yang bernama Gabus Mahesa
sedikit membungkuk ke arah Jalu Samudra dan dibalas
dengan cara yang sama pula.
“Sopan juga si buta ini,” pikir Gabus Mahesa sambil
memandangi mata putih pemuda baju biru, lalu katanya,
“Apakah beberapa hari ini kau tidak berjumpa dengan
Garan Arit?”
Mendengar nama Garan Arit disebut, raut muka Beda
Kumala bagai disaputi awan kelabu.
Tentu saja perubahan raut muka Beda Kumala bisa
dilihatnya dengan jelas.
“Ada apa, Beda?” tanya Gabus Mahesa, “Kau
bertengkar lagi dengannya?”
“Benar! Tapi itu adalah pertengkaran dan juga
pertemuan kami yang terakhir,” sahut Beda Kumala, lirih.
“Apa maksudmu?”
“Kakang Garan Arit telah tewas.”
“Apa!?” Gabus Mahesa berkata. “Siapa yang telah
membunuhnya?” tanyanya dengan nada geram.
Beda Kumala terdiam tanpa kata. Air matanya
berlinang membasahi ke dua pipinya yang halus.
“Orang-orang Istana Jagat Abadi,” Jalu Samudra yang
menjawab, “Garan Arit tewas oleh serangan gelap dari
lawan.”
“Serangan gelap? Maksudmu ... ”

“Ya! Dia dibokong dari belakang. Punggungnya
ditembus oleh golok pendek dengan rumbai hitam di
gagangnya,” terang Jalu Samudra.
“Bangsat! Aku harus bikin perhitungan dengan
mereka!” seru Gabus Mahesa dengan dua tangan saling
diadu sama lain. Suara beradunya tangan membuat area
sekitar mereka bergetar seperti mau terjadi gempa.
“Hemm ... hebat juga tenaga dalamnya,” kata hati Jalu
Samudra.
Setelah hawa amarahnya reda, barulah Gabus
Mahesa berkata, “Sebenarnya kedatanganku ke tempat
ini untuk menyusul kalian berdua, sekalian melakukan
penyelidikan.”
“Menyusul ... kami?” tanya Beda Kumala heran.
“Benar! Tujuh hari yang lalu, aliran kami kedatangan
teman-temanmu. Tepatnya di siang hari.”
“Kalian berkelahi!?” tanya Jalu Samudra, menebak.
“Hampir saja terjadi perkelahian antara kami, kalau
saja Sari tidak mengemukakan tujuan mereka
mendatangi Aliran Danau Utara,” tutur Gabus Mahesa,
yang juga murid ke dua Aliran Danau Utara segera
menceritakan kronologis kejadian yang sebenarnya.
--o0o--
BAGIAN 18
Belasan gadis murid-murid Perguruan Sastra Kumala
bersenjata lengkap mendatangi Aliran Danau Utara
sambil menyeret seorang laki-laki yang seluruhnya
babak-belur bersimbah darah.

Tentu saja kedatangan para gadis cantik yang
notabene sedang bersengketa akibat kehilangan kitab
pusaka masing-masing dimana dua pihak saling
menuduh, bahwa pihak lawanlah yang mencuri kitab
perguruan mereka, dimana kejadian sudah berlangsung
beberapa waktu yang lalu. Meski tidak secara sungguhsungguh
bermusuhan, namun tetap saja ada rasa tidak
nyaman saat saling berdiri berhadapan dengan senjata
siap tercabut.
Seorang pemuda berbaju rompi putih celana putih
berikat pinggang ungu berdiri menghadang di depan
pintu gerbang. Di dada bagian kiri terdapat lambang
Aliran Danau Utara berupa bulatan dari rajutan benang
emas dan di tengahnya tersulam dengan benang perak
sebentuk tangan terkepal dan sebuah gambar tapak
tangan dengan warna yang sama.
“Ada keperluan apa kalian kemari?” tanyanya dalam
nada sinis.
Seorang gadis baju hijau dengan pedang di punggung
maju satu langkah ke depan. Sari Kumala, orang tertua
dari Perguruan Sastra Kumala, berkata, “Watu
Humalang, apa betul kau yang bertanggung jawab di
tempat ini?”
“Benar! Karena aku yang tertua, maka akulah yang
bertanggung jawab selama Ki Gegap Gempita, guru kami
tidak berada di tempat!” kata tegas si baju rompi yang
bernama Watu Humalang. “Ada perlu apa kau membawa
seluruh saudara seperguruanmu ke tempat kami, Sari!?”
Baru saja Watu Humalang selesai berkata, dari arah
belakang si pemuda berlari mendatangi seorang pemuda
tinggi besar sambil menyeret seseorang. Dari caranya
berlari, jelas sekali bahwa ilmu ringan tubuhnya sudah
mencapai cukup tinggi.

Pakaian yang digunakan oleh laki-laki tinggi besar
dengan kulit coklat kehitaman sama seragamnya dengan
Watu Humalang, hanya bedanya ia mengenakan baju
lengan panjang sedang Watu Humalang menggunakan
rompi tanpa lengan.
Tangan kanannya melemparkan orang yang
diseretnya ke tanah begitu saja.
Brughh!
Tak ada keluhan sama sekali. Jelas bahwa seluruh
tubuh dan urat suaranya dalam keadaan tertotok.
“Brengsek!” maki orang yang dibanting dalam hati.
“Dalam satu kali totok, aku langsung keok! Gabus
Mahesa ini cepat juga gerakannya, cepat laksana
hembusan angin.” Saat ia melirik ke samping, ia sedikit
terkejut, “Gelang Bintang juga sudah tertangkap rupanya.
Kalau sudah begini, aku harus berusaha meloloskan diri
dari sini dan memberi laporan pada Ki Wira atau pada
Ketua.”
“Ada apa, Mahesa?” tanya Watu Humalang dengan
mata menyipit saat melihat sesosok tubuh tinggi besar. Ia
kenal dengan orang ini, karena bekerja sebagai penjual
kayu bakar dan sering menjual kayu bakar ke perguruan
mereka. “Kenapa dengan dia?”
“Kakang, rupanya dia ini orangnya yang memata-matai
kita selama ini dengan berkedok sebagai penjual kayu
bakar,” kata pemuda yang dipanggil Mahesa, lengkapnya
Gabus Mahesa. “Untung saja berhasil kulumpuhkan saat
ia sedang menuangkan sesuatu ke dalam sumur.”
“Apa!?” seru beberapa murid Aliran Danau Utara
hampir bersamaan.

Mata kiri Sari Kumala sedikit melebar melihat muka
jelek orang yang baru saja dibanting oleh Gabus Mahesa.
Ia langsung menoleh ke belakang, tangan kiri terulur ke
arah Wulan Kumala, mencekuk leher pemuda tanpa
telinga dan di lempar begitu saja dekat si tukang kayu
bakar.
Bruggh ... !
“Aku ingin bertanya satu hal padamu. Apa dia
orangmu!?” tanya Sari Kumala.
“Apa dia juga orangmu!?” balik tanya Gabus Mahesa,
meski suaranya tidak keras, tapi cukup membuat telinga
berdenging.
“Di tempat kami pantang menerima tamu laki-laki yang
tidak kami kenal,” sahut Wulan Kumala sambil maju
selangkah.
“Kalau begitu ... kami juga sama,” jawab Watu
Humalang, sambil memandang dua sosok tubuh yang
terkapar di tanah.
Jika hasil tangkapan Gabus Mahesa masih utuh,
sehingga bisa dilihat raut mukanya. Namun orang
satunya yang tanpa telinga, sulit sekali dikenali siapa
adanya. Semuanya babak belur belepotan darah kering.
Hanya yang pasti, dia masih bernapas!
“Karena kita sama-sama tidak kenal dengan mereka
berdua, berarti dua orang ini sengaja disusupkan oleh
pihak ketiga untuk membuat suasana semakin kacau
antara perguruan kita,” tutur Tiara Kumala sambil
berjalan mendekat, “Apa kalian setuju dengan
pendapatku?”

Matanya menatap tajam pada murid-murid Aliran
Danau Utara satu persatu, dan pada akhirnya berhenti
pada Gabus Mahesa.
Orang dipandangi hanya menatap sesaat, lalu
mengangguk pelan.
“Bagaimana dengan kalian?” tanya Tiara Kumala
kembali, mencari ketegasan.
Suasana semakin tegang!
“Baik! Untuk sementara ... kita lupakan dulu
permusuhan kita,” jawab Watu Humalang pada akhirnya.
Suasana yang semula tegang, mencair seketika.
“Bukan untuk sementara ... tapi untuk selamanya,”
kata tegas Sari Kumala.
Meski agak sedikit heran, tapi Watu Humalang
memandang dengan mata penuh tanya.
Tanpa ditanya dengan sebuah pertanyaan, Sari
Kumala pun berkata, “Orang tanpa telinga ini hampir
enam bulan lamanya berkeliaran di tempat kami, entah
sejak kapan ia tidak punya telinga, aku tidak tahu. Pada
mulanya kami diam saja, membiarkan saja ia mengintai
kami dari segala arah, namun lama-lama dibiarkan, dia
jadi semakin keterlaluan. Beberapa kali ia mencuri masuk
ke dalam perguruan, namun berhasil kami gagalkan.”
“Teruskan.”
“Akhirnya, kami membuat jebakan. Kami semua keluar
dari perguruan lewat pintu gerbang dan pergi ke jurusan
yang berbeda-beda, padahal kami hanya berlari memutar
saja setelah sepuluh tombak jauhnya. Sengaja kami
tinggal Cantika menunggu perguruan seorang diri. Dan
benar dugaan kami. Saat Cantika sedang bersalin baju
dalam kamar, tiba-tiba saja si brengsek ini masuk ... ”

kata Sari Kumala sambil berjalan mengitari si tanpa
telinga, “ ... dan begitu mendengar teriakan dari dalam
kamar, kami semua segera mengurung jalan keluar dan
berhasil meringkus monyet tanpa telinga ini!”
“Terus ... apa hubungannya dengan kedatangan kalian
kemari?” tanya Gabus Mahesa.
“Pertanyaan bagus!” seru Tiara, sambungnya,
“Hubungannya sangat erat. Saat kami korek keterangan
dari mulutnya, mulanya ia tidak mengaku. Namun setelah
kami beri sedikit ‘usapan mesra’ di beberapa bagian
tubuhnya, keluar juga pengakuan dari mulutnya.”
Tentu saja orang-orang yang ada disitu paham dengan
apa yang namanya ‘usapan mesra’. Apalagi jika bukan
ketupat bangkahulu alias bogem mentah plus dengan
bumbu-bumbu penyedapnya!?
“Sebelumnya, teman kami Beda Kumala mengalami
celaka, hampir mati keracunan jika tidak ditolong oleh
seorang pemuda buta bernama Jalu Samudra. Dari Jalu
inilah, akhirnya mata kami terbuka bahwa selama ini
Aliran Danau Utara dan Perguruan Sastra Kumala telah
diadu domba oleh pihak ketiga ... ”
“Pemuda buta bernama Jalu Samudra!?” gumam Watu
Humalang dalam hati. “Rasa-rasanya aku pernah
mendengar nama itu!?”
Kemudian Sari Kumala, bergantian dengan Wulan
Kumala, menceritakan apa yang dibicarakan dengan Si
Pemanah Gadis tempo hari. Tentang segala
kemungkinan yang terjadi, tentang adanya pihak-pihak
yang berusaha mengail di air keruh.
“ ... dan puncaknya, akhirnya kami tahu tentang
kebenaran kemungkinan yang diberikan Jalu Samudra,
lewat si tanpa telinga ini,” kata Wulan Kumala mengakhiri

ceritanya. “Orang ini mengaku mata-mata dari Istana
Jagat Abadi. Dan satu temannya berkeliaran di aliran
kalian,” sambil jari telunjuknya menuding ke bawah,
“Kukira si tinggi besar yang menggelosoh di tanah ini
adalah kambratnya.”
Watu Humalang, Gabus Mahesa dan rekan-rekan
seperguruan mereka saling pandang satu sama lain.
“Bagaimana menurut kalian?” tanya Watu Humalang.
“Kakang Watu, kemungkinan apa yang diucapkan Sari
dan Wulan ada benarnya. Dan aku yakin sepuluh bagian,
bahwa memang kita sedang dimanfaatkan oleh pihak
ketiga untuk kepentingan mereka,” kata salah seorang
yang bertubuh jangkung yang dibagian punggungnya
tergantung sebuah benda aneh terbuat dari potonganpotongan
bambu bulat yang di tata sedemikian rupa
hingga membentuk deretan bambu nan unik. Benda
itulah yang disebut sebagai angklung, sedang pemiliknya
dijuluki dengan Angklung Penebar Maut.
“Benar sekali apa perkataanmu, Adi Angklung. Kita
telah membahas masalah ini jauh-jauh hari, tapi tidak
ada bukti nyata di depan mata kita. Namun, dengan
adanya tambahan keterangan dari pihak Perguruan
Sastra Kumala, kurasa kita harus menyelidiki ini lebih
jauh ke Istana Jagat Abadi,” tutur Gabus Mahesa.
“Namun sebelumnya, aku ingin mengorek keterangan
dulu dari keparat ini!”
Gabus Mahesa berjongkok, lalu tangannya berkelebat.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri si tinggi
besar, sedang satunya mendarat di pipi kanan si tanpa
telinga.
Plakk! Plaakk!

“Hebat! Dalam satu gerakan tangan, dua tamparan
melayang sekaligus membebaskan totokan,” kata
Gaharu dalam hati.
“Katakan! Apa benar yang dikatakan oleh temantemanku
yang cantik-cantik tadi?” tanya Gabus Mahesa.
Trisula Kembar merasakan nyeri di pipi, namun karena
seluruh tubuhnya tertotok kaku, ia tidak bisa
menggerakkan tangan, hanya pita suaranya saja yang
bebas.
Diluarnya ia berkata lain dengan nada memelas,
“Semuanya bohong, Tuan! Saya ini cuma tukang kayu
bakar ... Tuan Mahesa telah salah tangkap! Dan dengan
dia, saya tidak kenal dengan si bodong jelek penuh kutil
ini. Tolong ... lepaskan saya!”
“Lalu ... apa yang kau lakukan tadi di sumur? Mau
meracuni kami, hah!?” bentak Gabus Mahesa dengan
mata melotot.
“Meracuni apa? Tadi saya sedang meracik jamu untuk
obat sakit perut. Sudah dua hari ini perut saya mules
tidak karuan,” elak si tukang kayu bakar alias Trisula
Kembar dengan mimik muka meringis-ringis seperti
orang mau buang hajat.
“Ooo ... begitu?”
“Ya begitu, Tuan Mahesa! Sumpah! Di samber
perawan satu desa saya mau kalau saya bohong,” kata si
tukang kayu bakar pakai sumpah-sumpah segala.
“Sumpah kok enak betul!?” bentak Angklung Penebar
Maut.
“Aku yakin dia bohong, Mahesa. Dia pasti kenal
dengan si tanpa telinga ini,” tutur Wulan Kumala.
“Mungkin kenal akrab, malah.”

“Darimana kau tahu?”
“Gampang sekali,” sahut Wulan Kumala. “Darimana ia
tahu kalau orang yang kami tangkap ini pusarnya bodong
penuh kutil? Padahal dari tadi kita tidak membuka
pakaiannya sedikit pun.”
Si tanpa telinga atau tepatnya Gelang Bintang tampak
memelototi orang di sampingnya, sambil memaki panjang
pendek dalam hati, “Dasar mulut ember! Borok orang lain
di buka di depan umum! Kalau kita berdua bisa lolos dari
sini, mulutmu bakal aku sumpal dengan kotoran sapi!”
Sedang si tukang kayu bakar gadungan tercekat,
pikirnya, “Celaka! Aku kelepasan omong!”
“Benar ... benar ... tadi aku juga mendengar dia bicara
seperti itu,” ucap Angklung Penebar Maut. “Kakang
Mahesa, biar aku saja yang urus. Kali ini aku yakin dia
bakal ngaku.”
Tanpa menunggu jawaban dari Gabus Mahesa,
Angklung Penebar Maut segera meraih angklung di
punggungnya. Tanpa menunggu lama, terdengar suara
merdu dari goyangan-goyangan angklung yang
dimainkan oleh Angklung Penebar Maut.
Kluung! Klukk! Klukk! Klekk ... !
Semua orang yang ada disitu menikmati alunan bunyi
angklung yang terasa merdu di telinga, namun tidak bagi
si tukang kayu bakar gadungan. Laki-laki ini berulangkali
mengernyitkan dahi dengan muka pucat pias seperti
tanpa darah. Keringat sebesar biji nangka langsung
keluar.
“Uuuhhh ... aaaghhh ... aghhh ... ammm ... puun ...
sakiittt ... ”

“Bagaimana? Masih tidak mau mengaku?” tanya
Angklung Penebar Maut sambil terus menggoyanggoyangkan
senjata unik di tangannya.
Sepenanakan nasi telah berlaku, dan selama itu pula
Trisula Kembar menahan derita yang mendera pada
panca indranya hingga meneteskan darah kental secara
perlahan-lahan.
“Baik ... ba ... iikk ... aku mengaku ... ” akhirnya
menyerah juga Trisula Kembar. “Tapi ... hentikan dulu
alunan angklungmu ... aku sudah ... tidak tahan ...”
Angklung Penebar Maut segera menghentikan ayunan
angklung di tangannya.
“Silahkan, Kakang Watu.”
“Terima kasih, Adi Angklung,” kata Watu Humalang,
lalu tanyanya pada si tukang kayu bakar gadungan.
“Siapa namamu?”
“Aku biasa disebut Trisula Kembar, sedang dia itu
Gelang Bintang.”
“Tunggu ... tunggu ... ! Namamu Trisula Kembar!? Jadi
kau ini salah seorang dari anggota Komplotan Pondok
Setan yang beberapa waktu yang lalu diburu oleh Paman
Panglima Bratasena dari Kerajaan Danaraja?” tutur salah
seorang dari murid Aliran Danau Utara.
“Jadi kau kenal dengan dia, Raden Wiratama?” tanya
Watu Humalang.
“Jika benar dia adalah Trisula Kembar yang
merupakan salah satu pucuk pimpinan dari komplotan
sesat Pondok Setan, berarti dialah orang yang selama ini
dicari Paman Bratasena dan Pemanah Dewa Dua Nyawa
selama beberapa bulan terakhir ini, Kakang Watu,” ujar
Raden Wiratama. “Kebetulan sekali kalau pada akhirnya

penjahat busuk ini bisa tertangkap. Dia sudah berbuat
makar pada Kerajaan Danaraja. Bahkan Sang Prabu
sendiri memerintahkan hukum penggal padanya.”
Trisula Kembar langsung tercekat!
Tidak disangkanya bahwa salah seorang murid Aliran
Danau Utara masih ada hubungan dengan keluarga
Kerajaan Danaraja.
“Celaka dua belas!” pikir Trisula Kembar, “Aku harus
benar-benar bisa lolos dari tempat ini. Perduli setan
dengan Gelang Bintang!”
“Itu kita urus nanti saja,” kata Watu Humalang dengan
cepat.
Pada akhirnya, dari mulut Trisula Kembar berhasil
diperoleh keterangan tentang sepak terjang Istana Jagat
Abadi, bahkan tentang siapa Ketua dan orang-orang
yang berada di balik semua kejadian yang menimpa dua
aliran perguruan ini serta beberapa pendekar persilatan,
semua berhasil didapatnya dari mulut Trisula Kembar.
Sementara itu, sambil terus berbicara panjang lebar,
diam-diam Trisula Kembar berusaha keras untuk bisa
mengalirkan hawa murni dan memulihkan diri dari
totokan. Namun totokan yang dilakukan oleh Gabus
Mahesa cukup kuat. Beberapa kali ia gagal menjebol
pembatas jalan darah yang tersumbat. Dalam hati,
Trisula Kembar berharap bahwa semua orang tertuju
pada keterangan yang keluar dari mulutnya, sehingga
tidak mengetahui bahwa dirinya sedang berusaha
membebaskan diri.
Tapi ... benarkah seperti itu yang diharapkan oleh
salah seorang anggota Istana Jagat Abadi ini?
Jawabnya ... tidak!
-o0o-
BERSAMBUNG