Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 07 Tamat


BAGIAN 28
Meski terlihat pontang-panting seperti itu, tanpa setahu
Iblis Muka Seram, seluruh jari-jari tangan si Tangan
Golok sedikit demi sedikit bersemu ungu kehijauan.
Semakin lama semakin jelas. Entah ilmu macam apa
yang akan dikeluarkan oleh Ketua Istana Jagat Abadi ini.
Sementara itu, meski pun kawanan Rampok Gunung
Welirang terkenal kejam dan ganas, namun sekarang ini
mereka salah dalam memilih lawan. Lawan mereka kali
ini bukanlah manusia-manusia biasa, bukan orang-orang
kelas teri, tapi justru pendekar-pendekar kelas kakap dari
segala aliran dan golongan.
Tak pelak lagi, raungan kesakitan dan disertai jerit
kematian semakin sering terdengar dimana-mana,
dengan tubuh-tubuh bergelimpangan yang hampir
seluruhnya adalah rampok ganas ini. Bahkan muridmurid
Istana Jagat Abadi terutama delapan murid utama,
mengamuk membabi buta. Bagaimana pun juga mereka
adalah korban yang sebenar-benarnya, korban
ketidaktahuan, korban keserakahan dari orang yang
menyamar sebagai guru yang paling mereka hormati.
Trang! Trang! Trang!
Beberapa tokoh silat yang melihat banyak jatuh korban
dari pihak lawan, mengurungkan niatnya memasuki
arena pertarungan bahkan banyak di antara mereka yang
menonton sambil berbciara santai. Ada pula yang setelah
menemukan orang yang mereka cari, beranjak pergi dari
tempat itu.

Dalam tempo yang tidak begitu lama, tinggal sepuluh
arena pertarungan yang semakin lama semakin sengit.
Raja Jarum Sakti Seribu Racun di keroyok oleh empat
pemuda murid Istana Jagat Abadi, termasuk di dalamnya
adalah Jampana, orang yang getol melempar-lemparkan
puluhan pisau-pisau kecil ke arah lawan.
Criing! Criing!
Beberapa kali Jarum Lebah Terbang dan Jarum Laba-
Laba Putih saling bentur hingga menimbulkan denting
nyaring dan percikan bunga api. Beberapa kali pulau
pisau kecil Jampana dan jarum-jarum lawan runtuh ke
tanah, rupanya daya lempar keduanya sama-sama kuat!
Belum lagi Ki Wira memperbaiki kedudukannya dari
serangan yang baru saja dilakukannya, sebuah
hantaman sekeras palu godam tepat mendarat di
punggungnya.
Bughh!!
“Ughh!”
“Setan belang!” Umpat Ki Wira. “Kalian beraninya main
keroyok! Sudah begitu membokong lagi! Huh, apa ini
yang namanya perbuatan pendekar aliran lurus? Benarbenar
memalukan!”
Jampana yang paling cerdik menyahut, “Sobatsobatku!
Apa kita ini seorang pendekar?”
“Bukan!” jawab Janadesta yang ada di sebelah kiri. Di
tangannya memegang sepasang pisau panjang.
“Lalu ... siapa kita ini?” tanya ulang Jampana.
“Kita berempat ... cuma murid seorang pendekar yang
telah ditipu selama dua tahunan ... “ jawab Wataggalih.
“Jadi ... wajar kalau kita salah aturan!”

“Tepat! Kita cuma murid!” ujar Jampana sambil tertawa
keras diikuti dengan tiga kawannnya.
“Namun, bukankah kalian ini adalah murid-murid
pendekar aliran lurus yang berjuluk Si Tangan Golok?
Masa' tingkah kalian begitu rendah?” kata Ki Wira
dengan mata sedikit mendelik.
“Wah ... wah ... ! Ternyata calon bangkai ini sudah
rusak gendang telinganya,” ujar Watanggalih. “Bukankah
tadi sudah kukatakan, bahwa kita ini cuma murid! Jadi ....
wajarlah kalau ada salah-salah dikit. Apalagi kalau cuma
salah sedikit mencabvut nyawa keparat sepertimu!”
Belum lagi kata-katanya hilang dari pendengaran,
Watanggalih mengayunkan tangan kanan yang
mendadak memancarkan cahaya ungu berkilauan ke
arah leher Ki Wira!
Wutt ... !!
Ki Wira yang diserang mendadak tidak menjadi gugup.
Tubuhnya berputar setengah langkah ke kiri sambil
tangan kanan melakukan gerakan menampar ke arah
pelipis lawan.
Wutt!!
Jurus 'Putaran Golok Membelah Bumi' yang
dilancarkan Watanggalih meski belum begitu sempurna
namun sudah sanggup memecahkan kepala kerbau
dalam sekali pukul. Akan tetapi dengan cerdik, Ki Wira
justru memutar tubuh mendekat ke arah lawan,
memasuki daerah pertahanan si pemuda sambil
melancarkan serangan mematikan!
“Awas serangan jebakan! Ada jarum beracun di lipatan
jari tangan!” seru Janadesta sambil mengayunkan

sepasang telapak tangan membabat secara bersilangan
ke arah kaki Ki Wira.
Tentu saja Ki Wira dapat merasakan sebewntuk
desakan hawa padat yang mengarah ke kaki.
“Bangsat!” maki Ki Wira sambil menarik kembali
serangan, klalu melenting ke atas dengan cepat.
Wutt! Wutt! Sett! Sett!
Begitu berada di ketinggian sejarak tiga tombak, Ki
Wira memutar tubuh laksana gasing.
Werr! Werr!
Jurus 'Ribuan Lebah Mencari Madu' digelar dalam
situasi yang tepat.
Empat pemuda itu langsung kelabakan menghindar.
Watanggalih yang paling dekat, segera memutar
sepasang tangan, merubah jurus 'Putaran Golok
Membelah Bumi' menjadi perisai tubuh. Namun kali ini
yang dihadapi adalah seorang tokoh kosen yang ahli
melempar senjata rahasi dan mahir menggunakan racun,
tentu saja serangannya tidak bisa dianggap main-main.
Jlebb! Jleeb!
Meski sanggup mementalkan puluhan jarum, namun
beberapa diantaranya masih lolos. Sepasang tangan
Watanggalih langsung gembung bengkak kehitaman saat
enam jarum panjang menancap, dua di tangan kanan
dan sisanya di tangan kiri. Dalam satu tarikan napas,
Watanggalih langsung roboh.
Entah pingsan entah mati!
Brughh!
“Galih!” teriak Janadesta sambil memburu ke arah
sang kawan dan terus dibawa menjauh.

Jampana dan Rupaksa melihat seorang kawan
mereka berhasil dirobohkan, langsung mempergencar
ritme serangan. Lontaran pisau kecil di tangan Jampana
dan lesatan kelereng di tangan Rupaksa dimuntahkan
bagai hujan deras.
Serr! Serr! Ngiing! Ngiing!
Triing! Tiing! Triiing!
Senjata rahasia di lawan senjata rahasia!
Benar-benar pertarungan yang jarang terjadi di jagat
persilatan masa kini!
Sementara itu, Gada Maut yang menggunakan senjata
unik pun tidak bisa berbuat banyak menghadapi
gempuran dari murid-murid Perguruan Sastra Kumala.
Wulan dan Gaharu berulang kali berhasil menggoreskan
sisi-sisi tajam badan pedang ke tubuh lawan. Belum lagi
dengan sergapan hawa panas yang acapkali digunakan
Tiara dan Tinara. Meski Gada Maut sendiri bukan tokoh
kelas kemarin sore, namun menghadapi tekanan berat itu
membuatnya kelimpungan.
“Celaka! Aku harus bisa lolos dari tempat ini! Keadaan
sekarang tidak begitu menguntungkan bagiku!” kata
Gada Maut dalam hati. “Aku ada akal!”
Gada Raja Langit Empat Sisi mendadak mengubah
taktik serangan dimana empat gada yang ada di tiap sisi
masing-masing sudut terlepas. Jurus 'Empat Penjuru
Merenggut Jiwa' digunakan sebagai bentuk serangan
kilat.
Sutt! Syuuut!!
Cress! Cress!
Tinara yang sedikit terlambat bergerak, tergores
pangkal pahanya.

Akan halnya dengan Gaharu hampir saja kehilangan
kepala jika tidak cepat-cepat menjatuhkan diri ke tanah,
meski ia harus mengorbankan beberapa helai rambutnya
terbabat putus.
“Hampir saja!” desis Gaharu dengan muka seputih
kapas.
Begitu serangannya membuat kepungan sedikit
merenggang, Gada Maut segera berkelebat cepat
meloloskan diri sambil berseru, “Sampai jumpa lagi, para
gadis cantik yang tolol!”
“Jangan biarkan dia lolos!” teriak Tiara.
Namun belum lagi suara hilang dan belum sempat ia
sendiri bertindak lebih lanjut, sebentuk gumpalan cahaya
putih bening telah menghantam Gada Maut yang saat itu
sedang melayang naik berusaha melompati tembok.
Wutt! Glarr ... !
Terdengar ledakan keras saat laki-laki bersenjata gada
unik terkena tepat di bagian punggung.
Tentu saja raga dan jiwa Gada Maut sulit
dipertahankan lagi karena pukulan tadi telah membuat
lubang sebesar kepalan tangan yang tembus dari
punggung hingga ke dada.
Brugghh ... !
Setelah meregang nyawa beberapa saat, Gada Maut
pun terdiam untuk selama-lamanya.
Empat murid Perguruan Sastra Kumala menoleh ke
arah sumber pukulan. Disana, terlihat empat pemuda
baju putih berdiri dengan gagah. Dibelakangnya
tergeletak sesosok tubuh perempuan tua yang menjadi
lawan mereka. Terlihat pula Watu Humalang masih
dalam posisi tangan kanan terkepal erat membentuk tinju

dengan tangan kiri terentang ke samping. Kaki kanan di
tekuk sedikit sedang kaki kiri lurus ke belakang.
Itulah jurus pembuka Pukulan 'Blubuk Kencana'!
“Maaf! Aku ikut campur urusan kalian!” kata Watu
Humalang sambil menarik kembali sikap jurusnya.
“Semoga para sobat cantikku tidak kecewa dan marah
padaku!”
“Tidak apa-apa, Kakang Watu! Daripada membiarkan
bibit penyakit berkeliaran dan di kemudian hari kembali
menebar bencana, memang lebih baik dilenyapkan saja,”
jawab Gaharu sambil bangkit berdiri.
“Terima kasih atas pengertian kalian,” kata Gabus
Mahesa sambil mendekap pundak kirinya yang tulangnya
patah.
“Lebih baik kita ke pinggir arena sambil mengobati
luka dalam,” kata Watu Humalang.
Dalam pada itu, Ki Wira pun mengalami nasib sial.
Meski berhasil merobohkan Watanggalih, tapi gagal
untuk sisa lawannya. Suatu saat Ki Wira baru saja
melepaskan Jarum Laba-Laba Putih dan Jarum Lebah
Terbang dari kiri kanan ke arah Jampana dan Rupaksa.
Serr! Serr! Sett! Sett!
Dua pemuda baju ungu segera berkelebat menghindar
ke belakang, dan saat melayang itulah, Jampana
mengelebatkan tangan kiri ke arah dada laki-laki tua
berbaju kuning kusam.
Wut! Wutt!
Settt!
Tiga pisau terbang meluncur cepat.
--o0o--

BAGIAN 29
Raja Jarum Sakti Seribu Racun tersenyum sinis
melihat cara lawan melempar yang menurutnya semakin
lama semakin lamban.
“Kau kurang bertenaga, anak muda!” bentaknya.
“Terima Pukulan ‘Lebah Kuning’-ku!”
Dua jari tangan kanan mendorong ke depan.
Wutt!
Sebentuk cahaya kuning melesat cepat memapaki
datangnya serangan luncuran pisau terbang.
Wesss ... !
Jempana yang diserang balik, tidak menghindar. Akan
tetapi justru meneruskan gerakan tubuhnya melayang
turun. Dan bersamaan dengan serangan Pukulan ‘Lebah
Kuning’, Rupaksa dengan sigap menjentikkan jari tangan
kiri sebanyak tiga kali berturut-turut.
Ctiik! Ctiik! Ctiik!
Tiga kelereng melesat membelah udara.
Ki Wira melengak kaget. Tidak dikiranya lawan
ternyata tidak malu membokong dengan melakukan
serangan yang datangnya hampir bersamaan dengan
dirinya melepas pukulan sakti. Tanpa pikir panjang lagi,
karena yakin dengan pukulan saktinya yang beracun
maut, tangan kirinya melepaskan kembali Pukulan
‘Lebah Kuning’!
Wess ... !
Duarr ... ! Duarr ... ! Jdduarr ... !

Terdengar suara dentuman keras saat dua Pukulan
‘Lebah Kuning’ saling labrak dengan pisau dan kelereng.
Jelas sekali bahwa meski hanya berukuran kecil, namun
tenaga dalam yang menopang daya luncur pisau dan
kelereng cukup besar.
Sett!
Begitu kena benturan, tiga kelereng runtuh ke tanah
dengan kepulan asap kuning tipis.
Benar-benar pukulan beracun!
Jika kelereng runtuh, tidak untuk pisau terbang milik
Jempana, justru benda itu melesat semakin cepat. Yang
paling tengah menerabas bagian tengah lontaran cahaya
kuning dari Pukulan ‘Lebah Kuning’ dan langsung runtuh
ke tanah disertai kepulan asap kuning tipis, namun
demikian yang paling atas dan yang paling bawah justru
melakukan liukan tajam.
Sett! Sett!
Sepasang pisau merangsek maju ke arah Ki Wira!
“Ehh!?”
Mata tajamnya melihat sebentuk benda panjang tipis
mengikat hulu pisau hingga gerakan pisau dapat
dikendalikan oleh si pelempar pisau. Namun
keterpanaannya yang sesaat harus di bayar mahal.
Wutt! Wutt! Jlebb! Jlleeb ... !
Terlambat!
Satu pisau terbenam dalam-dalam di dada kiri dan
satunya dengan manis bersarang tepat di ulu hati. Raja
Jarum Sakti Seribu Racun terperangah. Tidak dikiranya
bahwa dirinya yang memiliki ilmu ringan tubuh handal,
tokoh silat kenamaan, ahli racun paling top harus

menyerah kalah di telapak kaki dua pemuda ingusan
yang tidak terkenal sama sekali!
“Kau ... ?”
Hanya sepatah kata saja, tubuh Raja Jarum Sakti
Seribu Racun langsung limbung ke tanah.
Brughh ... !
Sebelum mencium tanah, nyawa tuanya telah pergi
untuk selama-lamanya.
Dengan tewasnya Raja Jarum Sakti Seribu Racun,
Gada Maut dan beberapa tokoh silat bawahan Iblis Muka
Seram sudah lebih dari cukup untuk mengetahui siapa
pemenang pertarungan di Istana Jagat Abadi. Tentu saja
Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa dan Trisula
Kembar ketar-ketir saat tahu satu demi satu sekutu
mereka tewas di tangan lawan.
Tapi tidak untuk Iblis Muka Seram!
Kepala Rampok Gunung Welirang yang melihat lawan
terlihat pontang-panting menghindari lontaran-lontarana
hawa golok, tertawa keras penuh kemenangan.
“Ha-ha-ha! Kenapa kau seperti kucing dapur yang
ketahuan mencuri ikan asin?” ejek Iblis Muka Seram
sambil mengelebatkan tangan kiri lewat jurus ‘Putaran
Golok Menghentak Alam’.
Wutt ... !!
Ki Harsa Banabatta tahu betul kehebatan dari jurus
‘Putaran Golok Menghentak Alam’, dimana jurus ini
memiliki hawa golok yang sanggup memecah menjadi
dua jurusan yang berbeda.
“Manusia keparat! Sudah saatnya aku mengantarmu
ke neraka!” desis Si Tangan Golok.

Begitu dua hawa golok serangan dari Iblis Muka
Seram sejarak setengah tombak darinya, tapak tangan Ki
Harsa Banabatta yang sekarang ini memancarkan
cahaya ungu kehijauan menggidikkan yang segera
mengelebatkan secara bersilangan sambil berteriak
keras, “Untuk pertama kalinya, cicipilah ... jurus ‘Putaran
Golok Membabat Iblis’!”
Wutt! Wutt ... !
Dua hawa sakti membentuk sepasang golok raksasa
warna ungu kehijauan membelah hawa golok dari jurus
‘Putaran Golok Menghentak Alam’ seperti orang
memotong tahu.
Crass ... ! Crass ... !
Jurus ‘Putaran Golok Membabat Iblis’ sebenarnya
adalah jurus ke enam dari rangkaian Ilmu ‘Putaran Golok
Sakti’. Jurus paling baru dan belum pernah digunakan
sama sekali oleh Si Tangan Golok dimana jurus ini
diciptakan waktu senggang di dalam penjara bawah
tanah. Sedianya akan digunakan untuk menghadapi Raja
Iblis Pulau Nirwana, namun melihat perkembangan yang
terjadi sekarang, mau tidak mau ia harus menggunakan
jurus ilmu juga.
Tentu saja Iblis Muka Seram melengak kaget. Dia tahu
betul bahwa dalam kitab curian yang dipelajarinya, tidak
ada jurus yang memiliki pancaran hawa tajam yang
dalam jarak tiga tombak saja sudah sanggup membuat
bulu kuduknya meremang. Namun sebagai tokoh hitam
kelas atas, insting terhadap bahaya sudah terasah
sempurna. Dengan sigap tangan kanan kiri mengepal,
kemudian diayunkan dengan cepat ke depan setengah
lingkaran.

Ilmu yang paling diandalkan laki-laki berwajah
serampangan ini digelar juga. Pukulan yang diciptakan
olehnya sendiri dan dinamai sebagai Pukulan ‘Sabuk
Lebur Gunung’!
Wesss ... wesss ... !
Dua gumpalan coklat kemerahan memapaki hawa
golok raksasa.
Duarrrr ... Duarrrr ... !!
Dentuman keras berkesinambungan terdengar
membahana, bahkan orang-orang sejarak delapan
tombak dari pertarungan antara Iblis Muka Seram dan Si
Tangan Golok pun masih menerima efeknya. Semuanya
berpelantingan seperti disapu badai topan.
Wesss ... !
Beberapa diantaranya tewas dengan tubuh berceraiberai
begitu tersentuh daya ledak pukulan maut yang
saling bertemu.
Untuk sesaat pertempuran terhenti!
Kini ...
Semua mata khalayak tertuju pada kepulan asap yang
sedikit demi sedikit memudar. Dalam empat-lima helaan
napas, terlihat dengan jelas siapa pemenangnya. Di
sana, satu sosok terlihat berdiri kokoh dengan baju
compang-camping tak karuan. Muka dan seluruh
tubuhnya celemongan hitam seperti pantat kuali yang
sudah puluhan tahun tidak dicuci. Dia adalah ...
Iblis Muka Seram!
Di depannya terlihat Si Tangan Golok jatuh berlutut.
Tangan kanan mendekat dada kiri, sedang tangan kanan
menopang tubuh tuanya agar tidak rubuh ke tanah. Dari

mulutnya terlihat darah kental menetes seperti anak
sungai.
“Guru!” seru beberapa murid Istana Jagat Abadi,
bahkan Jempana, Rupaksa dan beberapa murid yang
lain dengan berani berlari menyongsong sang guru yang
sudah hampir dua tahun ini hilang tanpa diketahui
rimbanya.
Jempana dan Rupaksa membantu gurunya berdiri.
“Terima ... kasih ... ”
Ketua Istana Jagat Abadi memandang Iblis Muka
Seram dengan tatapan aneh.
“Kau ... me ... mang hebat, so ... bat! Aku pu ... as mati
di ... ta ... ngan ... mu ... ” ucap Iblis Muka Seram dengan
terputus-putus.
Begitu ucapannya selesai, sebuah ledakan kecil
terjadi.
Blammm!
Tubuh Iblis Muka Seram langsung hancur menyerpih
membentuk sayatan-sayatan kecil hingga mirip sekali
dengan daging cincang gosong dimana-mana.
“Kau adalah lawanku yang paling tangguh ... sobat
Iblis Muka Seram,” kata lirih Ketua Istana Jagat Abadi.
“Hanya sayang ... kau berada di jalan kesesatan.”
“Guru, lebih baik kita masuk ke dalam aula
pengobatan dulu,” potong seorang murid utama sambil
membimbing gurunya yang sering disebut si Kumis
Harimau, karena memang kumisnya panjang dan jarangjarang
namun tebal dan hitam legam. “Jempana!
Rupaksa! Kau urus disini.”
“Baik, Kang!”

Namun, baru saja berjalan beberapa tindak, semua
suara mengagetkan semua orang yang ada di tempat itu.
“Kalian tidak bisa pergi begitu saja dengan nyawa
masih melekat di tubuh!”
Suara itu menggema hingga ke seantero Istana Jagat
Abadi. Gema suara memantul-mantul hingga membuat
telinga seperti ditusuk-tusuk dengan jarum. Entah
bagaimana caranya, secara hampir bersamaan semua
orang yang ada di tempat itu berjatuhan lemas seperti
karung basah!
Brughh! Brughh! Brughh!
Beberapa orang berjatuhan tanpa sebab.
“Ha-ha-ha ... !”
Belum lagi tersadar dengan apa yang terjadi, kembali
berjatuhan orang-orang yang ada di tempat itu, terutama
sekali orang-orang yang menyerang Istana Jagat Abadi
hampir sembilan bagian telah terkulai lemas.
“Celaka! Cepat kalian semua lari!” teriak Ki Gegap
Gempita.
Begitu mendengar kata ‘lari’, sontak semua orang
yang masih sehat segera berlarian tanpa pikir panjang.
Namun semuanya terlambat. Baru saja mereka berniat
lari, semua orang yang tersisa justru berjatuhan tanpa
sebab, termasuk pula para pengikut Iblis Muka Seram.
Benarkah semua orang terjatuh lemas tanpa sebab?
Tidak!
Karena Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa
dan Trisula Kembar masih berdiri di tempat masingmasing,
hanya lawan mereka saja yang jatuh terkulai
lemas.

Sebenarnya ... apa yang terjadi?
Suara tawa yang terdengar oleh semua orang yang
ada di tempat itu adalah sejenis totokan yang dikerahkan
melalui suara. Jarang sekali ditemui ada tokoh sakti yang
sanggup melakukan totokan seperti ini.
“Celaka ... kita semua tertotok,” keluh Ketua
Perguruan Sastra Kumala.
“Kita tertotok?” tanya Jalak Siluman dari Perkumpulan
Titian Langit.
“Benar.”
Jalak Siluman hanya geleng-geleng kepala di tanah
saja.
“Kenapa kau geleng-geleng kepala?” tanya orang di
sebelahnya.
“Tidak kusangka bahwa lawan yang kujumpai kali ini
benar-benar berilmu tinggi,” jawab masgul si pemuda.
Sebuah suara tanpa wujud kembali menggema.
“Tombak Sakti, Karang Kiamat, Pedang Dewa dan kau
... Trisula Kembar! Kenapa kalian diam saja? Apa yang
kalian tunggu! Bantai mereka!”
“Siap, Ketua!” kata empat orang itu serempak.
Namun, belum lagi niat terlaksana, sebuah suara
keras terdengar, “Hentikan!”
Bersamaan dengan suara itu, sebentuk cahaya ungu
kecil berbentuk anak panah terlihat melesat cepat.
Wusss ... !
Karena tidak tahu siapa yang melepas serangan
berbentuk anak panah itu, empat orang bawahan Raja
Iblis Pulau Nirwana tidak berani gegabah. Mereka

berloncatan menghindar. Pikirnya, daripada korban
nyawa sia-sia, lebih baik mengorban calon korbannya.
Benar-benar manusia licik!
Akan tetapi, cahaya ungu kecil tidak memang
menyerang mereka, tapi justru menerjang ke arah
beberapa tokoh silat yang bergeletakan seperti sampah
ditebarkan angin. Tentu saja mereka yang dituju hanya
bisa pasrah, selain memekik lirih tanpa sanggup
menggerakkan tubuh.
Dess ... dess ... dess ... !
Enam orang langsung diselimuti cahaya ungu
transparan. Namun dalam satu helaan napas, mereka
bisa menggerakkan anggota tubuh bahkan ada yang
sanggup berdiri.
“Dasar tolol! Hadang anak panah itu!” bentak suara
tanpa wujud.
Empat orang itu langsung berloncatan berusaha
menghadang laju anak panah.
Wutt! Wutt ... !
Seolah memiliki indra penglihatan, anak panah itu
sanggup meliuk-liuk bagai ular menyusup di rerumputan.
Dess ... dess ... dess ... !
Kali ini Si Tangan Golok, Nyi Tirta Kumala, Ki Gegap
Gempita dan beberapa tokoh silat terbebas dari totokan
aneh. Akan tetapi, kali ini sedikit berbeda dari
sebelumnya. Mereka yang terbebas terakhir kali tidak
sanggup menggerakkan kaki, namun dari pinggang ke
atas bisa bergerak bebas. Mungkin karena harus meliukliuk
tadi membuat daya kesaktian cahaya ungu kecil
berbentuk anak panah melemah.

Dess ... !
Dan pada orang ke lima belas, cahaya ungu kecil
berbentuk anak panah langsung hilang tak berbekas.
Slappp ... !
Begitu cahaya ungu kecil berbentuk anak panah
hilang, kembali meluncur sepasang cahaya ungu
berbentuk anak panah yang ukurannya dua kali lebih
besar dari sebelumnya.
“Cepat! Cegah cahaya keparat itu sebelum semua
orang terbebas dari totokan!” kembali suara tanpa wujud
memberi perintah.
Empat orang kembali berserabutan berusaha
menghadang.
Wutt! Wutt ... !!
Tentu saja, orang-orang yang sudah terbebas dari
totokan tidak akan membiarkan sepasang cahaya ungu
berbentuk anak panah yang bisa membebaskan mereka
dari totokan suara, musnah begitu saja. Beberapa orang
berloncatan menghadang. Namun kembali terjadi
keanehan. Meski mereka memang bisa bergerak bebas,
akan tetapi ilmu kesaktian yang mereka miliki belum
pulih.
Benar-benar gawat!
Kali ini, sepasang anak panah ungu tidak menerjang
ke arah orang-orang yang tertotok, tapi justru mengarah
ke sebatang pohon yang berada tidak begitu jauh dengan
pintu gerbang Istana Jagat Abadi.
“Bangsat!” maki suara tanpa wujud.

Sepasang anak panah ungu melayang cepat di sertai
liukan tajam lalu menukik ke bawah terus bergulunggulung
beberapa kali sebelum akhirnya melesat ke atas.
Werr ... werr ... werr ... werr ... !
--o0o--
BAGIAN 30
Semua mata memandang ke arah sepasang anak
panah ungu yang terbang ke sana kemari dengan
kecepatan kilat seakan-akan sedang memburu setan.
Kembali terdengar suara makian keras.
“Kurang ajar! Siapa yang berani main-main
denganku!?” suara tanpa wujud terdengar seperti lalu
lalang di berbagai tempat.
Nyi Tirta Kumala seolah mengerti sesuatu, hingga
tanpa sadar ia bergumam, “Aku mengerti sekarang.”
“Apa yang kau mengerti, Nyi Tirta?” tanya Ki Gegap
Gempita.
“Sepasang anak panah ungu itu sedang memburu
sosok tanpa wujud yang selama ini kita yakini sebagai
Raja Iblis Pulau Nirwana,” sahut Nyi Tirta Kumala dengan
mata tak lepas dari benda ungu yang berkelebatan
seperti rajawali mengejar kawanan tikus.
“Begitukah?”
“Menurutku begitu. Aku yakin bahwa ada orang di
belakang kita yang mengetahui letak sosok tanpa wujud
dari Raja Iblis Pulau Nirwana,” kata Ketua Perguruan
Sastra Kumala. “Kita lihat saja hasilnya.”

Tiba-tiba saja sepasang anak panah ungu berhenti,
seperti tertahan sesuatu di tengah udara kosong.
“Kena!!” bentak satu suara nyaring. “Kau hebat,
Kakang Jalu!”
Dari nadanya, jelas dia seorang perempuan yang
masih muda.
Belum lagi suaranya lenyap, terdengar suara desisan
keras seperti air ketemu api.
Ssssshh ... ! Bluuubb!
Terlihat gumpalan asap ungu pekat menutupi ruang di
udara kosong sejarak dua tombak, kemudian terlihat
melayang turun ke tanah.
Pyarrr ... !
Begitu menyentuh tanah, gumpalan asap ungu pekat
langsung pecah berantakan.
Satu sosok tubuh terlihat berdiri dengan dua tangan
terlipat di depan dada. Yang membuat aneh adalah sisi
kanan tubuhnya berwarna biru dengan pancaran hawa
dingin sedang sisi kiri tubuhnya berwarna merah pekat
dengan pancaran hawa panas, bahkan seluruh bajunya
juga terlihat sama dengan sosok raga orang ini.
Selain keanehan pertama, ternyata masih diikuti
dengan keanehan yang lainnnya. Baju yang
dikenakannya jelas-jelas baju seorang gadis, tapi
sosoknya tidak mendukung dengan baju yang
dipakainya. Terlebih lagi sebaris kumis tebal terlihat
melintang di bawah bibirnya yang tipis kemerahan. Jelas
dengan adanya kumis segedhe singkong bisa dipastikan
dikatakan dia seorang laki-laki tulen, namun bibir tipis
kemerahan jelas hanya dimiliki oleh perempuan yang
dalam porsi seperti itu bisa dikategorikan cantik. Apalagi

dengan wajah halus licin yang mirip dengan wanita serta
raut muka bulat telur dan sepasang alis indah plus mata
jeli, sungguh-sungguh bertolak belakang dengan suara
berat laki-laki. Belum lagi dengan satu keanehan yang
lain. Di bagian dada terlihat sebuah tonjolan seperti
halnya gunung kembar milik para gadis yang tumbuh
dengan subur makmur, bahkan belahan dada dan
bentuknya pun sangat menggiurkan kaum laki-laki.
Penuh dan berisi!
Benar-benar ‘penampilan’ yang mengerikan!
Beberapa orang terkejut melihat penampilan aneh
sosok manusia jadi-jadian ini dan berkata dalam hati,
benarkah sosok ini yang mengaku sebagai Raja Iblis
Pulau Nirwana? Sosok yang paling mereka takuti
hanyalah seorang ... banci!?
Benar-benar memalukan!
“Anak muda! Kau benar-benar berilmu tinggi!” kata
laki-laki aneh ini. “Kau pantas mati di tanganku!”
“Benarkah?” terdengar suara lantang dari arah pintu
penjara. “Jangan-jangan justru banci sinting sepertimu
yang terbang duluan ke neraka!?”
Belum lagi suaranya hilang, satu sosok pemuda baju
biru dengan tongkat hitam di tangan berdiri dalam jarak
satu tombak. Dibelakangnya mengikuti gadis cantik baju
hijau. Siapa lagi mereka berdua jika bukan Jalu Samudra
alias Si Pemanah Gadis dan Beda Kumala adanya.
“Kau yang bernama Raja Iblis Pulau Nirwana?”
“Akulah orangnya.”
“Sebelum pertanyaan yang lain, aku punya satu
pertanyaan untukmu,” tanya Jalu Samudra. “Bisa kau
jawab?”

“Apa yang ingin kau ketahui?”
“Kau ini laki-laki atau perempuan?”
“Awalnya aku laki-laki, tapi jika bukan karena kau
dengan seenaknya memutuskan rantai sakti yang
sanggup menyedot tenaga dalam unsur air dan api dari
para tawananku, satu dua hari aku sudah berubah jadi
gadis cantik jelita,” jawab Raja Iblis Pulau Nirwana
dengan ketus.
“Oh ya?”
“Dan aku yakin, pemuda setampan kau pasti akan
terpikat padaku,” katanya dengan suara sedikit
direndahkan seperti suara wanita.
Hampir muntah rasanya saat Beda Kumala
mendengar suara Raja Iblis Pulau Nirwana yang dibuat
mendayu-dayu.
“Belum tentu juga!” tukas Jalu, pendek.
“Kenapa kau katakan belum tentu? Lihat saja tubuhku
sekarang ini, sembilan bagian sudah seperti gadis usia
dua puluhan tahun ... ”
“Dasar raja goblok!” bentak Beda Kumala. “Mana ada
orang buta bisa melihat!?”
Raja Iblis Pulau Nirwana tersentak. Sebuah ingatan
tersirat di otaknya.
“Pantas saja dia sanggup memusnahkan Ilmu
‘Halimun Alam Langit’. Jika bukan orang buta, tidak
mungkin ada orang yang sanggup menetralkan ilmu
kesaktian yang selama ini aku pakai,” katanya dalam hati.
Tiba-tiba sebersit pikiran singgah di kepalanya. “Janganjangan
dia ... ? Lebih baik aku lihat dulu Ilmu ‘Tatar
Sukma Memindah Hawa’!”

Sekejapan kemudian ...
“Ternyata memang dia! Pemuda ini membekal suatu
benda yang bisa membuatku ketakutan dan tewas jika
tersentuh olehnya. Aku harus bisa menghancurkan
benda itu!” pikir Raja Iblis Pulau Nirwana. “Sosok gaib
harimau putih belang hijau, ular hitam besar bermahkota
dan seekor burung raksasa warna emas terlihat jelas
sekali. Pemuda ini benar-benar berbahaya sekali. Ilmu
‘Dewi Air Penakluk Api’ tidak berguna jika sampai
tersentuh ke tiga sosok gaib itu sekaligus.”
Belum lagi Jalu Samudra bertanya lebih lanjut, dua
buah kekuatan tinju dan telapak yang dahsyat seperti
gemuruh ombak samudra dan muntahan lahar gunung
berapi langsung menerjang dari depan.
Jalu sendiri juga kaget diserang mendadak seperti itu.
Kalau tak melihat dengan mata kepala sendiri, sulit
dipercaya di dunia ini ada gabungan tinju dan telapak
yang begitu dahsyat.
Woshhh ... woshhh ... !
Dengan sigap, Jalu menggerakkan jurus ringan tubuh
yang paling ia diandalkan. Jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’
dengan serta merta menggerakkan tubuh pemuda
bertongkat hitam dengan lesatan laksana kilat sambil
menyambar Beda Kumala yang berada tepat
dibelakangnya.
Lapp ... !
Kesigapan lawan membuat Raja Iblis Pulau Nirwana
meradang, apalagi dua serangan kilatnya salah sasaran
dengan menghantam dinding sisi selatan.
Jdarrr! Blarrr ... !

“Beda, kau sanggup menghadapi empat cecunguk
itu?” tanya Si Pemanah Gadis.
“Biar mereka bagianku,” sahut Beda Kumala, lalu
dengan gerakan manis gadis itu menggeliat seperti ulat
bangun kesiangan dan melesat cepat ke arah empat
orang bawahan Raja Iblis Pulau Nirwana sambil berseru
keras, “Empat cecunguk mau mampus! Akulah lawan
kalian!”
Tanpa banyak kata, Beda Kumala langsung dikerubuti
empat tokoh silat golongan atas itu.
Sementara itu, kemarahan Raja Iblis Pulau Nirwana
semakin memuncak. Sudah beberapa kali serangan tinju
dan tapaknya meleset. Kemarahan manusia banci itu
membangkitkan keinginan untuk membunuh, keinginan
membunuh itu memaksa mengeluarkan kekuatan yang
sesungguhnya ...
Benar-benar marah!
Walau jurusnya belum dikeluarkan, hawa dingin
menggelora dan panasnya sudah menyebar ke segala
penjuru. Sontak panas dingin saling bergantian tindih
menindih. Sesaat udara berubah drastis, menjadi arus
hawa yang sanggup menggulung lawan.
Benar-benar amat menyesakkan dan menggetarkan
jiwa!
Srrrr! Bweshh ... !
Wuuzzz!
“Dasar banci gila! Dia benar-benar berniat
membunuhku! Ada silang sengketa apa aku dengannya?”
gerutu Jalu Samudra sambil meningkatkan Ilmu ‘Tenaga
Sakti Kilat Matahari’ hingga tingkat tujuh. Segera saja,

cahaya kilat merah kebiru-biruan menggeletar
menyelubungi seluruh tubuh pemuda baju biru.
Tentu saja sepak terjang dua muda-mudi ini menjadi
pusat perhatian dari semua khalayak yang ada di situ.
Beberapa orang yang telah terbebas dari totokan aneh,
segera menyingkirkan teman-teman mereka agar tidak
terkena salah sasaran pukulan sakti yang kemungkinan
besar akan mewarnai jalannya pertarungan.
“Pemuda itu ... ” desis Nyi Tirta Kumala. “ ... dia
sanggup menahan serangan Raja Iblis Pulau Nirwana!
Siapa sebenarnya dia?”
Mata nenek tua itu nanar memandang sosok pemuda
buta yang kini saling serang dengan Raja Iblis Pulau
Nirwana. Momok yang telah menawannya hingga hampir
dua tahun lamanya.
Kemudian mata tua itu beralih pada sosok baju hijau
yang kini sedang adu nyawa dengan empat orang tokoh
silat sekaligus, yang ia tahu bahwa andaikata dirinya
melawan salah seorang dari mereka membutuhkan
waktu lama untuk merobohkannya.
“Darimana muridku bisa memiliki ilmu aneh seperti
itu?” desisnya lagi dengan geleng-geleng kepala. “Unik
dan luar biasa sekali.”
Akan tetapi melihat kenyataan sekarang ini, ia
semakin terheran-heran melihat Beda Kumala, muridnya
sanggup menahan gempuran empat orang sekaligus.
Bahkan terlihat sekali, gadis murid Perguruan Sastra
Kumala ini sanggup mengungguli dan memukul balik
para lawannya!
Benar-benar luar biasa!

Saudara-saudara seperguruan Beda Kumala sendiri
sampai terbengong melompong melihat perbedaan yang
menyolok dengan saudara seperguruan mereka.
“Aku tidak salah lihat, ‘kan?” tanya Wulan Kumala. “Itu
... Beda?”
“Mulanya aku berpikir itu orang lain,” sahut Sari
Kumala. “ ... namun melihat lagak lagunya dia memang
Beda Kumala. Lihat saja gaya bertarungnya. Khas
sekali.”
“Tapi ... darimana ia dapat ilmu yang bisa
mengeluarkan benang-benang perak itu?” tanya heran
Ratih Kumala. “Perasaan di perguruan kita tidak ada ilmu
seperti itu.”
Semua orang yang baru mengenal Beda Kumala dan
Jalu Samudra terheran-heran. Tidak dikiranya dua orang
yang membebaskan mereka dari ruang penjara bawah
tanah ternyata memiliki berilmu tinggi. Kasak-kusuk
tentang siapa adanya dua muda-mudi perkasa pun
berdengung seperti lebah mau kawin. Semua bergulir
begitu saja, mengalir seperti air.
Sebagai tokoh tua yang sering berkelana di rimba
persilatan, Ketua Aliran Danau Utara pun angkat bicara.
“Dalam tahun-tahun belakangan ini, aku menyirap
kabar tentang munculnya lima pendekar muda yang
cukup diperhitungkan para tokoh persilatan dari delapan
penjuru mata angin,” tutur Ki Gegap Gempita sambil
mengamati pertarungan antara Si Pemanah Gadis
dengan Raja Iblis Pulau Nirwana.
“Siapa saja mereka itu?” tanya Si Tangan Golok
dengan masgul.
--o0o--

BAGIAN 31
“Delapan tahun yang lalu, muncul seorang pemuda
bernama Paksi Jaladara yang dijuluki sebagai Pendekar
Elang Salju yang sekarang ini menjabat sebagai Ketua
Muda Istana Elang,” jawab Ki Gegap Gempita. “Itu orang
yang pertama.”
“Maksudmu ... pemuda yang berhasil memenangkan
perebutan gelar pendekar di puncak Gunung Tiang
Awan, namun justru ia melepaskannya gelar kehormatan
itu dan diberikan pada Pendekar Tombak Putih?” tanya si
pendek katai di samping kiri Ketua Aliran Danau Utara.
“Tepat. Meski ia tidak menyandang gelar pendekar
lagi, namun para tokoh tua sepakat menyematkan gelar
Pendekar Kehormatan pada Paksi Jaladara,” tutur Ki
Gegap Gempita.
“Lalu ... siapa yang kedua?”
“Murid mendiang Malaikat Tangan Petir yang dijuluki si
Dewa Geledek,” sahut Ki Gegap Gempita. “Yang ketiga
adalah seorang pemuda yang selalu memakai rompi kulit
binatang bersenjatakan seruling panjang berlubang
sebelas dan memiliki tunggangan seekor rajawali hijau
raksasa yang bernama Jatayu. Julukannya ... Rajawali
Dari Utara.”
“Terus ... siapa orang yang ke empat, Ki?” kejar yang
paling belakang dengan rasa tertarik yang tinggi.
“Setahuku, dia adalah seorang jago muda yang dijuluki
Kalajengking Berambut Emas,” tutur Ki Gegap Gempita.
“Kalian pasti kenal dengan tokoh hitam yang bergelar
Bajak Laut Berambut Merah, bukan?”

“Aku tahu siapa dia!” seru Jalak Hutan yang di pojok.
“Jadi ... dia tokoh muda aliran hitam?”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Ya! Sebab Bajak Laut Berambut Merah telah tewas
enam belas tahun lalu dan muridnya hanya ditinggali
sebuah kitab bernama Kitab Sastra Hijau dan kita patut
bersyukur meski dia murid tokoh aliran hitam, namun ia
berjalan di jalan kebenaran!” lanjut Ki Gegap Gempita.
Semua orang yang ada di tempat itu saling pandang.
Siapa yang tidak kenal dengan empat tokoh muda
yang disebutkan oleh Ki Gegap Gempita.
Pendekar Elang Salju, tentu saja mereka tahu siapa
adanya sosok pemuda sakti yang memiliki dua istri cantik
jelita yang juga memiliki kesaktian pilih tanding. Belum
lagi dengan Empat Pengawal Gerbang Istana Elang yang
dipilih sesuai dengan garis nasib dan takdir mereka.
Nama Empat Pengawal ini sama terkenalnya dengan
Ketua mereka. Ketua Istana Elang inilah yang pada
delapan tahun lalu berhasil mengungkap siapa dalang
pembunuhan terhadap Pendekar Gila Nyawa, yang
ternyata didalangi oleh orang keturunan setengah setan
setengah manusia yang bernama Pangeran Nawa
Prabancana.
Belum lagi dengan murid mendiang Malaikat Tangan
Petir yang dijuluki Dewa Geledek. Tentu semua orang
persilatan sangat-sangat tahu tentang sepak terjang
Dewa Geledek yang berhasil meruntuhkan benteng
kekuatan aliran hitam yang waktu itu berusaha
mengacaukan jagat persilatan wilayah selatan. Bahkan
datuk persilatan yang dijuluki Toya Raja Kera Putih harus

merelakan nyawanya melayang di bawah tebasan
Pedang Urat Geledek sang pendekar. Dalam
pertempuran itu, ia saling bahu membahu dengan tokoh
muda berjuluk Kalajengking Berambut Emas.
Akan halnya Rajawali Dari Utara, baru tiga-empat
tahun belakangan ini ia muncul ke permukaan, ikut
meramaikan kancah dunia persilatan. Entah siapa
gurunya tidak ada yang mengetahui dengan pasti. Ilmu
silatnya cukup aneh dan jarang-jarang tokoh silat papan
atas mengetahui sumber kesaktian dari Rajawali Dari
Utara ini.
“Lalu .. siapa tokoh muda yang ke lima, Ki?”
Ki Gegap Gempita menghela napas sebentar, lalu
berkata, “Yang ke lima ... namanya baru muncul dua
tahun terakhir ini. Dia seorang pendekar bermata buta.
Menurut kata sobat Nelayan Dari Laut Utara, pemuda ini
menguasai sebuah ilmu kesaktian langka yang paling
dicari di rimba persilatan.”
“Maksudmu ... ?”
“Ilmu Sakti ‘Mata Malaikat’!” kata Ketua Aliran Danau
Utara, mantap.
Rata-rata orang yang ada di tempat itu terlonjak kaget!
Benarkah apa yang dikatakan si Kitab Pengelana ini?
Mana mungkin ilmu yang sudah ratusan tahun hilang
kini bisa muncul kembali?
Kok bisa?
“ ... dan menurut ciri-ciri yang diberikan sobat Nelayan
Dari Laut Utara padaku, pemuda bernama Jalu Samudra
itulah orangnya,” sambung Ki Gegap Gempita. “Dan
menurutku secara pribadi, dialah murid tunggal Dewa
Pengemis ... ”

Kaget untuk pertama kali, kata orang adalah biasa.
Tapi kalau terus-terusan kaget, bisa sakit jantung
namanya. Hal itu kembali terjadi pada para tokoh silat
yang ada di tempat itu. Tatapan mata mereka nanar,
mengarah pada sosok bayangan biru yang bergerak
dengan kecepatan kilat yang saling desak dengan
bayangan biru-merah lawan.
“Hanya saja ... ” suara Ki Gegap Gempita terputus
sendiri.
“Hanya saja apa, Ki?”
“Dia punya julukan aneh,” sahut laki-laki berbaju putih
kucel itu.
“Julukan aneh?Apa Aki mengetahuinya?”
Laki-laki itu mengangguk pelan.
“Apa?”
“Aku malu mengatakannya.”
“Katakan saja. Toh dia pula yang telah menolong kami
lepas dari rantai setan itu,” tandas si laki-laki bertongkat
panjang.
“Sebutkan saja, kawan!”
“Tak perlu malu-malu lah!”
“Ia digelari ... Si Pemanah Gadis,” kata Ki Gegap
Gempita pada akhirnya.
Beberapa orang tercekat. Bahkan ada yang mengulum
senyum, namun ada pula yang tertawa tanpa suara.
Tidak sedikit yang langsung tertawa tergelak-gelak
mendengarnya.
“Julukan kok aneh,” celetuk si botak klimis. “Biasanya
orang memakai julukan yang mentereng atau malah

menakutkan pihak lawan yang mendengarnya. Pemanah
Sakti Tanpa Tanding misalnya. Atau kalau perlu
Pemanah Maut Bermata Buta. Lha ini, julukan kok Si
Pemanah Gadis? Memangnya gadis mana yang mau ia
panah? Orang buta saja pakai gelar sembarangan!”
Mendengar celetukan itu, beberapa orang langsung
tertawa geli, bahkan ada yang terbahak-bahak.
“Meski gelarnya sembarangan, tapi ilmu kesaktian
yang dimilikinya tidak sembarangan,” bela laki-laki
bertongkat panjang. “Ingat! Dia telah menolong kita
semua! Camkan itu!”
“Yeah! Aku juga tahu itu! Ngga perlu naik pitam
begitulah,” kata si botak klimis tanpa mau disalahkan.
Sementara itu, pertarungan terpecah menjadi dua
tempat.
Dengan menggunakan tenaga saktinya yang telah
meningkat pesat, Beda Kumala sanggup menahan
gempuran empat lawannya sekaligus.
Hitung-hitung pertarungan kali ini sebagai uji coba ilmu
barunya!
Plakk! Plakk!
Pedang Dewa dan Karang Kiamat terjajar beberapa
langkah ke belakang saat ujung pedang dan kepalan
tangan pasangan nyleneh ini saling bentur dengan
telunjuk kanan kiri murid Perguruan Sastra Kumala.
“Edan! Seluruh jaringan syarafku seperti digigit oleh
puluhan ulat,” desis Pedang Dewa sambil menekankan
ujung pedang ke tanah hingga amblas sampai separo
lebih. “Dapat kesaktian darimana gadis ini? Aku yakin di
perguruannya tidak ada bentuk tenaga seperti ini.”

Sedang karang kiamat yang terdorong agak jauhan,
jatuh bergulingan saat tubuhnya secara tidak sengaja
kakinya tersandung satu sosok mayat.
Brukk!
Tubuhnya tanpa dapat dicegah, langsung
terhumbalang jatuh.
“Keparat!” maki karang kiamat sambil menendangkan
kaki kirinya.
Bughh! Wutt!
Mayat itu langsung meluncur cepat ke arah Beda
Kumala.
Mengetahui serangan datang dari arah yang tidak
diduganya, Beda Kumala segera menggerakkan jurus
‘Ulat Sutera Memintal Benang’ dimana ujung-ujung jari
seperti orang menunjuk-nunjuk sesuatu disertai dengan
langkah kaki yang kadang bergeser ke kiri kanan, namun
anehnya pergeseran kaki tetap menyentuh tanah. Belum
lagi dengan badan yang melejit-lejit seperti cacing
kepanasan meski posisi kaki tetap berada di tanah.
Sett! Wreett!
Dari ujung jari kanan keluar larikan panjang serabutserabut
putih keperakan.
Srepp! Srepp!
Seperti digerakkan oleh ratusan ulat yang sedang
memintal benang, sosok mayat yang di lemparkan oleh
Karang Kiamat dalam sekejap telah dibungkus
seluruhnya, persis seperti pocongan.
Wutt ... !

Tidak berhenti di situ saja, Beda Kumala segera
menarik cepat bungkusan mayat dengan gerak sendak
pancing diarahkan ke Tombak Sakti.
Duess ... ! Darrr ... !
Tombak baja di tangan Tombak Sakti langsung
bengkok!
Akan halnya bungkusan mayat hancur luluh
membentuk debu-debu putih yang beterbangan seperti
layaknya debu ditiup angin.
Tombak Sakti sendiri langsung terpental jauh ke
belakang disertai semburan darah kental kehitaman
keluar dari mulutnya.
“Gadis sundal! Kau harus rasakan Pukulan ‘Dewa
Edan’-ku ini!” teriak Tombak Sakti sambil tangan kanan
menyusut darah yang menetes.
Jari-jari tangan kiri tombak sakti mendadak berubah
menjadi lima warna sekaligus!
Namun belum sempat Pukulan ‘Dewa Edan’ terlontar,
jari kanan gadis cantik baju hijau kembali memuntahkan
benang-benang perak ke arah Tombak Sakti. Masih
dengan jurus yang sama, kembali Beda Kumala berniat
mengulang kesuksesan membungkus Tombak Sakti
seperti yang dilakukan pada mayat sebelumnya.
Sett! Wreett!
Yang diserang kaget bukan alang kepalang!
Kecepatan datangnya serangan terlalu amat sangat
sehingga Tombak Sakti hanya sanggup melotot matanya
yang segedhe jengkol, lupa bahwa di tangan kirinya telah
siap dengan jurus Pukulan ‘Dewa Edan’ yang telah siap
ditunjukkan kehebatannya.

Namun kesadarannya sudah terlambat!
Rett! Retttt!!
Dalam satu helaan napas saja, seluruh tubuh Tombak
Sakti sudah terbungkus rapat.
“Selamat jalan ke neraka!” desis Beda Kumala.
Begitu dilakukan gerakan sandal pancing, sosok tubuh
Tombak Sakti terlontar ke atas dan langsung meledak
diiringi suara dentuman.
“Aaaahhh ... !!”
Buummm ... !!
“Tombak Sakti ... !” seru Trisula Kembar melihat
rekannya hancur menjadi debu putih.
Trisula Kembar begitu syok melihat tombak sakti
tewas. Meski sering perang mulut, namun hanya Tombak
Sakti sajalah sebenarnya orang yang paling sejalan
dengan dirinya.
“Aku akan membalaskan dendammu, sobat ... ” desis
Trisula Kembar sambil menggenggam erat sepasang
trisulanya, katanya, “Gadis setan! Hutang nyawa bayar
nyawa! Aku mau menuntut bela pati untuk sahabatku!”
Trisul kembar langsung menerjang cepat.
Wutt ... ! Wutt ... !
Kibasan sepasang trisula yang menerbitkan angin
dingin membuat Beda Kumala harus berpikir cermat
dalam menghadapi lawan kali ini.
“Menghadapi orang gila harus dengan cara orang
waras. Kalau aku ikut-ikutan gila, wah ... bisa berabe,
nih!” pikir Beda Kumala sambil berjumpalitan
menghindari terjangan lawan.

Begitu Trisula Kembar menyerang, Pedang Dewa dan
Karang Kiamat mengikuti langkah sang kawan. Jika
tangan kanan Pedang Dewa menggunakan Ilmu Pedang
‘Mayapada Beku’, suatu ilmu pedang yang
mengutamakan kecepatan gerak, ilmu pedang yang bisa
mendahului serangan lawan dengan pancaran hawa
pedang, diikuti serangan yang sebenarnya dilancarkan.
Syuuut! Sutt ... !
Tangan kiri Pedang Dewa melancarkan jurus-jurus
pukulan sakti hingga arena pertarungan menjadi semakin
ramai dan semarak.
Bumm! Blarrr ... !
Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang digunakan
oleh Beda Kumala benar-benar luar biasa. Benangbenang
suteranya bisa berubah sekeras baja dan kadang
kala bisa selembut kain sutera.
Criing! Criiing!
Terdengar suara nyaring saat benang sutera beradu
dengan kulit Karang Kiamat yang menggunakan Ilmu
‘Karang’ tingkat tinggi hingga benar-benar keras seperti
batu karang. Seluruh tubuh pemuda yang kini bermata
buta menjadi semakin merah kehitaman, layaknya batu
karang yang tertimpa sinar matahari selama puluhan
tahun.
“Kau tidak akan bisa menembus Ilmu ‘Karang’-ku, cah
ayu!” ejek Karang Kiamat. “Menyerah sajalah!”
“Aku tidak percaya ilmu kebalmu tidak bisa ditembus
dengan senjata apa pun!” kata Beda Kumala sambil
memutar tubuh seperti gasing, melenting ke atas.
Wusss ... !

Gadis itu benar-benar melayang-layang di udara
dengan posisi ke bawah di bawah!
Di atas ketinggian, Beda Kumala menggerakkan ke
dua tangan di atas kepala, memulai jurus ke dua Ilmu
‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang bernama jurus
‘Belitan Ulat Sutera Jahat’. Sepasang tangannya
membuat gerakan tangan bertolak belakang. Tangan kiri
membuat gerakan kotak-kotak berulang kali dan tangan
kanan membentuk gerak melingkar berulang-ulang.
Sett! Sett!
Dua gulungan benang perak beda bentuk menerabas
daerah pertahanan Pedang Dewa dan Karang Kiamat.
Criiing! Criing!
Pedang Dewa sendiri langsung memainkan jurus
‘Fajar Di Tengah Kabut’ untuk memutus benang perak
yang membentuk kotak, yang kini seperti membesar
membentuk sebuah penjara seluas dua tombak kali dua
tombak dan turun dari atas dengan cepat.
Crakk! Crakk!
Brakk!
Begitu menyentuh tanah, penjara benang perak
bergerak mengecil dengan sendirinya.
Rett!
Tentu saja Pedang Dewa kelabakan mendapati dirinya
terkurung dalam penjara aneh yang bisa bergerak
mengecil dengan sendirinya.
“Setan belang! Masakan pukulan saktiku tidak bisa
meruntuhkan penjara busuk ini!” teriak Pedang Dewa
kalang kabut.
“Heaaaa ... !”

Duarr! Jdarr! Glarr!
Puluhan kali pukulan sakti yang dilontarkan oleh
Pedang Dewa membentur penjara benang perak. Namun
hasilnya sungguh diluar dugaan. Jangankan koyak
seperti yang dibayangkan oleh Pedang Dewa, putus
sehelai pun tidak!
Semakin lama, penjara benang perak semakin kecil.
Hingga akhirnya ...
“Toobbaaaaatttt ... !!”
Crass ... crasss ... !!
Teriakan kematian Pedang Dewa begitu membuat
miris orang-orang yang ada di tempat itu. Apalagi tubuh
laki-laki dengan tabiat aneh ini tercacah-cacah seperti
daging cincang.
Sungguh kematian yang mengerikan!
Jerit kematian Pedang Dewa datangnya hampir
bersamaan dengan jerit lengking Karang Kiamat. Kekasih
Pedang Dewa ini juga mengalami nasib yang tidak begitu
jauh beda. Hanya bedanya, jika Pedang Dewa
penjaranya berbentuk kotak, justru Karang Kiamat
dipenjara benang perak berbentuk tabung. Merasa
dirinya kebal segala jenis senajat tajam dan pukulan
maut, tidak terbertik sedikit pun di kepala pemuda buta itu
untuk mempertahankan hidupnya seperti yang dilakukan
oleh Pedang Dewa. Karang Kiamat lupa satu pepatah
kuno yang berbunyi ‘bahwa diatas langit masih ada langit
dan diatas gunung masih ada gunung’.
Di saat punggungnya terasa perih, barulah ia
menyadari bahwa dirinya salah perhitungan!
Crass ... crasss ... !!

Kematian yang sama pun diterima oleh Karang
Kiamat.
Trisula Kembar yang kini sendirian, nyalinya langsung
kuncup. Tanpa banyak kata, ia langsung balik badan.
Mengambil jurus paling aman. Jurus yang paling terkenal
di kalangan pengecut.
Jurus langkah seribu!
“Huh! Kau boleh pergi! Tapi tinggalkan dulu nyawamu
disini!” bentak Beda Kumala. Di udara, gadis itu segera
meniup telapak tangan kiri-kanan bergantian. Lima
bentuk hawa padat bergulung-gulung setajam pedang
melesat cepat ke arah larinya Trisula Kembar yang kini
sejarak dua tombak dari pintu gerbang.
Inilah jurus yang bernama jurus ‘Lima Ulat Sutera
Mengukur Baju Pengantin’!
Jurus yang sekarang ini digunakan oleh si gadis
segera bekerja.
Crass! Crass!
Sepasang kaki Trisula Kembar tepat di bagian lutut
terpisah dari tempatnya.
“Aaaahhh ... !!”
Jerit kesakitan terdengar memilukan.
Crass! Crass!
Kali ini, sepasang tangan pun putus sebatas bahu.
“Aaaahhh ... !! Aaaaggghhh ... !! Ampunnn ... !!”
Kembali jerit kesakitan terdengar, bahkan kini semakin
memilukan di telinga siapa saja yang mendengarnya.
Tubuh Trisula Kembar hampir terjatuh ke tanah saat
sebuah tebasan cepat mengenai lehernya.

Crasss!
Selesai sudah penderitaan yang dialami Trisula
Kembar untuk selama-lamanya!
Jlegg!
Beda Kumala melayang turun. Mata indahnya
memandang ‘hasil buah tangannya’. Ada rasa
penyesalan dalam hati gadis itu melihat bahwa ilmu yang
ia miliki ternyata sebuah ilmu yang telengas bahkan
cenderung sadis dan ganas.
“Tak kukira bahwa Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera
Perak’ yang diberikan Kakang Jalu begini menakutkan.
Entah bagaimana dengan tujuh jurus lainnya,” desah lirih
Beda Kumala. “Aku harus lebih bijaksana menggunakan
ilmu ini.”
--o0o--
BAGIAN 32
Kembali ke pertarungan antara Jalu Samudra dan
Raja Iblis Pulau Nirwana.
Sebelum hari ini --bagi Raja Iblis Pulau Nirwana yang
selama puluhan tahun malang melintang di rimba
persilatan secara tersembunyi-- kalau ada orang yang
dalam dua jurus sudah bisa memaksanya mengeluarkan
jurus pamungkas, dia pasti mendengus saja, bahkan
kalau perlu tertawa sampai menangis. Namun hari ini,
pada akhirnya dia tahu kalau hal ini bisa menjadi
kenyataan.
Selain sama sekali tidak lucu atau menggelikan,
bahkan cenderung menakutkan!

Dan yang lebih menjengkelkannya, yang sanggup
memaksanya kali ini cuma orang buta!
Jdarr! Derr!!
Berulang pukulan-pukulan sakti yang dilancarkan oleh
Si Pemanah Gadis dan Raja Iblis Pulau Nirwana saling
serang dan saling tumbuk hingga mengakibatkan
beberapa bagian Istana Jagat Abadi menjadi lebur
menjadi debu terkena pukulan nyasar dan tanah
terbongkar disana-sini.
Jalu Samudra sendiri selain bergerak cepat dengan
jurus ‘Kilat Tanpa Bayangan’ dengan beraninya
memapaki serangan lawan.
Plakk! Plakk!
Glerrr ... !!
Raja Iblis Pulau Nirwana dibuat kaget saat Pukulan
‘Api Dendam Kegelapan’ dan Pukulan ‘Tongkat Es’ di
tahan dengan mudah oleh si pemuda buta.
“Gila! Pemuda macam apa lawanku sekarang ini?”
Raja Iblis Pulau Nirwana berdesis. “Hawa tenaga dalam
yang digunakan untuk menahan dua pukulanku barusan
seperti sengatan petir dan hawa panasnya seperti
panggangan terik mentari.”
Sementara itu, melihat dua jenis pukulan yang baru
saja digunakan oleh sosok momok persilatan itu
membuat beberapa orang yang ada di tempat itu
terperanjat kaget.
“Bukankah itu ... Pukulan ‘Api Dendam Kegelapan’
tingkat akhir?” seru si gundul klimis dengan raut muka
tidak percaya. “Bagaimana mungkin pukulan saktiku bisa
dikuasainya, bahkan lebih sempurna dan lebih dahsyat
dari yang aku kuasai?”

“Bukan hanya itu kawan! Lihat tangan kirinya! Benda
panjang yang memancarkan sinar redup itu adalah
Pukulan ‘Tongkat Es’! Ilmu andalan perkumpulanku,”
desis kawannya sebelah kiri.
Terdengar suara kaget dimana-mana kala Raja Iblis
Pulau Nirwana mengumbar pukulan-pukulan maut yang
ternyata adalah salah satu dari ilmu andalan dari orangorang
yang pernah menjadi tawanan di penjara bawah
tanah Istana Jagat Abadi. Bahkan Nyi Tirta Kumala
sendiri pucat wajahnya waktu Pukulan ‘Jambu Surya’
yang hanya dimiliki Perguruan Sastra Kumala dengan
entengnya dilontarkan begitu saja oleh raja banci itu.
Kitab Pengelana atau Ketua Aliran Danau Utara
geleng-geleng kepala melihatnya banyak orang terkejut
saat ilmu-ilmu andalan perguruan atau perkumpulan
mereka di umbar seenaknya oleh Raja Iblis Pulau
Nirwana, katanya, “Rupanya raja banci itu berniat
menguasai rimba persilatan dengan cara mencuri ilmuilmu
sakti dari tiap perguruan, perkumpulan mau pun
orang-orang yang dianggap memiliki berilmu tinggi.
Benar-benar manusia yang berbahaya.”
Desss!! Derrr ... !
Si Pemanah Gadis menambahkan satu tingkat lagi.
Sontak seberkas cahaya biru keemasan menyelimuti
sosok pemuda baju biru.
Tingkat ke delapan dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat
Matahari’!
Pyarrr ... !!
Begitu mencapai tingkat delapan penuh, Jalu Samudra
berkelit cepat sambil menerobos masuk daerah
pertahanan dari Raja Iblis Pulau Nirwana yang baru saja
melepaskan jurus ‘Ranting Merah’.

Wutt ... ! Derr!!
Lawan langsung tersentak melihat pemuda bertongkat
hitam telah sejarak setengah tombak dari dirinya!
Jurus ‘Anak Kepiting Menggoyangkan Empat Kaki’
menggedor keras dada dengan telak.
Bughh! Bughh!
Duuesss ... !
Raja Iblis Pulau Nirwana langsung melayang jauh
terkena empat tendangan beruntun sekaligus.
Beruntunglah bahwa Ilmu ‘Dewi Air Penakluk Api’ yaitu
sejenis ilmu yang merupakan inti sari dari imu-ilmu
kesaktian para tokoh persilatan yang berhasil dicernanya
sudah dalam tataran tinggi hingga begitu serangan si
Pemanah Gadis masuk, sembilan bagian langsung
dinetralisir hingga tidak membahayakan jiwa.
Tanpa banyak kata, kembali si pemuda memburu
cepat sambil menggerakkan tongkat di tangan kanannya
dalam jurus ‘Kepiting Membersihkan Sisik Ikan’!
Cratt! Cratt!
Baju dua warna yang dipakai oleh Raja Iblis Pulau
Nirwana koyak di beberapa bagian, namun hasilnya
sungguh di luar dugaan murid tunggal Dewa Pengemis.
Jangankan sobek, kulit yang ada di bagian baju yang
tersentuh ujung tongkat itu lentur laksana karet dan lunak
bagaikan bulu ayam.
Lapp!
Jalu Samudra yang melihat dua serangan kilatnya
tidak membuahkan hasil, bergerak mundur menjauh.
“Hemm! Banci sinting ini terlalu hebat! Tingkat ke
delapan tidak sanggup merobohkannya,” pikirnya sambil

membelintangkan tongkat di belakang punggung. “Entah
seberapa tinggi kesaktian yang dimilikinya. Apakah ‘18
Jurus Tapak Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’
harus kugunakan sekarang?”
Terlihat jelas kebimbangan tergambar di wajah tampan
Jalu Samudra antara menggunakan ilmu pamungkas
atau tidak. Bagaimana pun juga, ilmu ‘18 Jurus Tapak
Naga Penakluk (Xiang Long Shi Ba Zhang)’ terlalu
berbahaya bagi orang sekitarnya. Terutama efek daya
ledak yang seringkali menggelora.
“Jika dilihat kemungkinannya, memang tidak ada jalan
lain!” desis Jalu pada akhirnya. “Namun aku harus
berusaha seminimal mungkin mengatasi daya ledak.
Kasihan orang-orang yang tidak bersalah.”
“Hi-hi-hik! Bagaimana anak muda!? Kau menyerah?”
suara Raja Iblis Pulau Nirwana berubah menjadi suara
perempuan. Genit dan manja. “Kau tidak akan mampu
menembus Ilmu ‘Baju Besi Merak’ yang telah menyatu
raga denganku.” Dalam hatinya ia memaki panjang
pendek, “Bangsat! Sedari tadi tidak satu pun jurus atau
ilmu yang sanggup aku sadap dari pemuda ini, naganaganya
Ilmu ‘Peniru Gerak’ gagal. Aku merasakan
adanya suatu kekuatan gaib yang melindunginya dan
memberikan daya tolak. Hanya jurus miring-miring
macam orang gila saja yang bisa aku sadap! Huh! Buat
apa jurus tidak berguna itu?”
“Ilmu ‘Baju Besi Merak’!?” desis Kitab Pengelana
mendengar jenis ilmu yang disebutkan lawan si pemuda
buta baju biru. “Celaka dua belas!”
“Ada apa dengan ilmu itu, sobat? Mengapa kau begitu
kaget begitu mendengarnya?”

“Ilmu ‘Baju Besi Merak’ adalah sebuah ilmu sakti yang
pada ratusan tahun lalu dimiliki oleh Iblis Mara
Kahyangan. Ilmu ini menyerupai ilmu kebal segala
macam senjata dan pukulan sakti. Konon kabarnya, Iblis
Mara Kahyangan sendiri hanya sanggup sampai ke
tingkat lima belas dari dua puluh tingkat yang ada,” tutur
Kitab Pengelana. “Entah darimana manusia satu itu bisa
memiliki ilmu sesat itu?”
“Benar-benar berbahaya kalau begitu!” ujar si Tangan
Golok. “Apa ada tokoh silat yang sanggup
menandinginya pada jaman dulu?”
“Tidak ada!”
“Tidak ada?” tanya heran si Tangan Golok. “Masa’ dari
sekian ribu pendekar dunia persilatan tidak ada satu pun
yang melawannya?”
“Kalau yang melawannya ... banyak! Bahkan sampai
membuat persekutuan pendekar. Tapi yang sanggup
menandingi atau seimbang dengannya ... tidak ada!”
jawab Kitab Pengelana.
“Terus ... bagaimana sampai ia bisa mati?” kejar si
Tangan Golok penasaran.
“Dari apa yang aku dengar, Iblis Mara Kahyangan mati
karena usia tua!” jawab Ki Gegap Gempita.
“Gendeng!”
“Apakah Iblis Mara Kahyangan punya murid?” sela Nyi
Tirta Kumala.
“Hingga menjelang kematiannya ... ia tidak memiliki
satu pun murid yang mewarisi semua kesaktiannya, Nyi.”
Di arena pertarungan, Raja Iblis Pulau Nirwana terus
saja mengumbar keangkuhan.

“Anak muda! Jika kau bergabung denganku, maka ...
seluruh ilmu kesaktian yang aku miliki akan aku turunkan
kepadamu lengkap dengan kekuasaan tunggal
ditanganmu,” kata Raja Iblis Pulau Nirwana membujuk.
“Bagaimana?”
“Huh, buat apa kekuasaan tunggal kalau toh pada
akhirnya dimusuhi banyak orang,” jawab Jalu Samudra.
Lalu dua jari telunjuk dan tengah diacungkan ke depan
membentuk huruf ‘V’. “Aku kan orang cinta damai! Ngga
mau, ah!”
Melihat lagak tengil pemuda di depannya, membuat
Raja Iblis Pulau Nirwana meradang gusar.
“Buta tolol! Diberi kekuasaan justru meminta kematian!
Aku kabulkan keinginanmu!” bentak Raja Iblis Pulau
Nirwana.
Ilmu ‘Dewi Air Penakluk Api’ dibagi menjadi dua sifat
ilmu yang berbeda yaitu Ilmu ‘Dewa Api Membakar
Dunia’ yang membersitkan hawa panas membara dan
Ilmu ‘Dewi Air Memusnahkan Bumi’ yang memancarkan
hawa dingin yang mengalir. Sosok tubuh Raja Iblis Pulau
Nirwana sisi kanan menerbitkan sinar biru berhawa
dingin yang semakin tebal, demikian pula dengan sisi kiri
tubuhnya berwarna merah pekat dengan pancaran hawa
panas semakin menggelora.
Woshhh ... wosshh ... !!
Pancaran hawa sanggup mendesak para tokoh
persilatan bergerak menjauhi kalangan pertempuran.
Beda Kumala yang memiliki tenaga dalam tinggi pun
dibuat mengempos hawa tenaga perlindungan, bahkan
sampai-sampai menggunakan jurus ke tujuh dari Ilmu
‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang bernama jurus
‘Benang Sutera Menahan Hawa’ dimana jurus ini

sanggup melingkupi area sejauh sepuluh tombak di kiri
kanan gadis cantik mungil dari Perguruan Sastra Kumala
ini.
Sementara itu, mayat-mayat yang ada di tempat itu
langsung membeku dengan diselimuti butir-butir es dan
sebagian lagi terbakar hangus begitu saja tanpa terkena
sengatan panas membara.
“Gila! Dia benar-benar bertaruh nyawa rupanya,” desis
Jalu Samudra, lalu ia sisipkan tongkat kayu hitam ke
pinggang. “Langsung saja ke tingkat sembilan!”
Baru saja ia mengambil sikap, sebuah suara mengiang
di telinganya.
“Muridku! Jangan kau gunakan tingkat akhir Ilmu
‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’! Terlalu berbahaya bagimu
dan orang-orang sekitar!”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Guru?” bisik Jalu
Samudra mengenal pemilik suara tanpa ujud.
Siapa lagi jika bukan Dewa Pengemis adanya?
“Muridku! Gunakan Ilmu ‘Tapak Sembilan’ pada jurus
‘Perisai Roh’ berturut-turut dengan ‘Sesekali
Mengendarai Enam Naga (Shi Cheng Liu Long)’, ‘Naga
Bertempur Di Alam Liar (Long Zhan Yu Ye)’ dan terakhir
‘Naga Terbang Di Langit (Fei Long Zai Tian)’!” perintah
suara tanpa wujud. “Cepat lakukan!”
“Baik, Guru!” meski dalam hatinya ia sempat bertanyatanya,
“Aneh! Kenapa Guru justru memintaku
mengerahkan jurus ‘Perisai Roh’? Apakah manusia
setengah jadi ini membekal senjata gaib? Ah, bodo amat!
Manut ajalah!”

Jalu segera menudingkan jari telunjuk kanan ke atas
sedang telunjuk kiri menuding ke bawah, lalu di putar
didepan dada hingga posisi jari telunjuk berganti posisi.
Ratt!
Hawa lembayung dari jurus ‘Perisai Roh’ segera
membungkus rapat sosok Si Pemanah Gadis.
--o0o--
BAGIAN 33
Jurus ‘Perisai Roh’ adalah jurus pelindung berbentuk
perisai yang menyelimuti seluruh tubuh si pemilik,
terutama untuk melindungi rohnya dari berbagai
serangan gaib atau pun serangan dari bangsa gaib.
Bahkan jurus ini mampu mementahkan berbagai senjata
gaib.
Criing!!
Terdengar suara dentingan nyaring kala sosok Raja
Iblis Pulau Nirwana dengan langkah lambat-lambat
mendekat Jalu Samudra yang kini diselimuti sebentuk
hawa lembayung.
Srekk ... srekk ... crkk!!
Suara gesekan antara dua jenis hawa yang saling
bertolak belakang menimbulkan gema yang ternyata
sanggup membuat gendang telinga bagai disodok jarum
beku dan ditusuk lidi api silih berganti.
“Aneh! Kenapa rasa takutku semakin membuncah?”
pikir raja banci sambil terus meningkatkan hawa saktinya.
“Apa sebenarnya yang dimiliki bocah buta ini? Aku jadi
penasaran sekali!”

Begitu sejarak tiga tombak dari lawan, Raja Iblis Pulau
Nirwana telah sempurna mengerahkan Ilmu ‘Dewi Air
Penakluk Api’ hingga tahap tertinggi.
Tahap dua puluh tujuh!
Tentu saja kekuatan yang dimiliki perempuan
setengah jadi ini tidak bisa dianggap main-main.
Seantero wilayah Istana Jagat Abadi bagai di kepung
hamparan sinar biru temaram sarat hawa dingin menusuk
tulang yang saling tumpang tindih dengan hamparan
cahaya merah pekat yang justru sarat dengan hawa
panas menggelora.
Swoshh ... swoshhh ... !!
Jilatan hawa panas yang ada kalanya meletupkan api,
membuat beberapa orang tokoh silat semakin menyingkir
keluar lebih menjauh cari selamat, bahkan pintu gerbang
pun di buka lebar-lebar saat pertarungan tingkat tinggi
antara Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis dengan
Raja Iblis Pulau Nirwana telah menggunakan pukulanpukulan
berbahaya. Beruntunglah bahwa jurus ‘Benang
Sutera Menahan Hawa’ yang digunakan oleh Beda
Kumala untuk sementara sanggup bertahan dari terpaan
dua hawa beda sifat ini.
“Gila! Hawa lembayung yang dikerahkan pemuda ini
membuatku merasa gentar,” desis Raja Iblis dalam hati.
“Tidak! Aku tidak boleh membiarkan rasa gentar
merasuki diriku! Aku adalah raja diraja yang akan
menguasai seluruh jagat persilatan di muka bumi ini!
Batu sandungan seperti ini tidak ada artinya!”
Craakk ... crakkk!!
Saat jilatan api mulai bersentuhan dengan tabir
lembayung, terdengar suara, “Cess ... !”

Jilatan api seperti di tamper balik oleh tangan kasat
mata.
“Edan!” desis Raja Iblis Pulau Nirwana. “Ini tidak bisa
dibiarkan! Aku harus menyerangnya lebih dahulu! Harus!”
Tangan kanan di dorong ke depan lambat-lambat,
diikuti dengan dorongan tangan kiri.
Wutt! Wuss!!
Sebentuk bola api diikuti bola es ukuran segede gajah
langsung melesat cepat.
Derrr!!
Kontan, dua bola serangan Raja Iblis Pulau Nirwana
langsung bentrok dengan tabir lembayung.
Dari balik tirai lembayung, Si Pemanah Gadis segera
mendorong telapak tangan kanan sedikit mendongak ke
atas dengan lima jari tangan terpentang lebar sedang
tangan kiri membentuk tapak. Inilah gerak pembuka dari
jurus ‘Sesekali Mengendarai Enam Naga (Shi Cheng Liu
Long)’!
“Hworagghhh ... !!”
Dari balik tabir lembayung melesat enam sosok hawa
naga biru keemasan berukuran kecil yang saling memilin
di udara dan langsung menggempur ke arah Raja Iblis
Pulau Nirwana!
Srakk! Sraak!!
Semua orang yang melihat melesatnya keluar enam
sosok hawa naga biru keemasan di buatnya terpana.
“Luar biasa sekali pemuda itu,” desis Nyi Tirta Kumala.
“Benar-benar mengagumkan!” seru si Tangan Golok
tanpa malu-malu.

Beberapa murid Perguruan Sastra Kumala pun di buat
berdecak kagum. Tidak terbersit di benak mereka bahwa
pemuda yang beberapa waktu lalu sempat dicemooh
sebagai orang buta yang biasa-biasa saja, bahkan
sempat diantara mereka mempermainkan si buta,
ternyata memiliki tingkat olah kanuragan yang puluhan
kali lipat di atas mereka.
Apalagi Ratih Kumala dan Tinara Kumala, yang baru
menyadari kalau sebenarnya dulu itu mereka ternyata
‘dikerjain’ habis-habisan oleh Jalu Samudra!
“Ratih, apa kau menyadari sesuatu?” bisik Tinara.
“Ya!”
“Apa!?”
“Kita berdua telah dikerjain sama si Jalu!” desis Ratih
Kumala dengan muka merah merona. “Dasar Jalu
brengsek! Dengan tingkat kesaktian setingkat dewa,
mata buta sudah tidak berguna lagi baginya. Aku tidak
terima!”
“Kau tidak terima?” tanya Tinara, heran. “Cieeehh!
Memangnya kau mampu melawannya?”
“Mampu atau tidak ... itu urusan belakangan. Yang
penting dia harus menerima buah akibat perbuatannya,”
kata Ratih Kumala. “Awas kau, nanti ya?”
Meski dengan nada mengancam, namun sinar
matanya justru begitu mesra!
Weleehh ... !
Sementara itu, Raja Iblis Pulau Nirwana yang tidak
menyangka dirinya diserang dengan enam sosok hawa
naga biru keemasan yang ternyata memiliki pancaran
panas membara yang tidak kalah dengan yang
dimilikinya, tidak membuatnya gugup. Sebagai tokoh

sakti mandraguna yang telah lama malang melintang di
rimba persilatan segera mengambil langkah antisipasi.
Sepasang tangannya yang sarat hawa maut segera
menggebrak dengan Pukulan ‘Palu Dewa Patah Hati’
secara beruntun!
Rett! Rettt!!
Akibatnya ...
Derrr ... blarrr ... glarrr ... !!
Sulit sekali dikatakan dengan kata-kata akibat
pertemuan antara Pukulan ‘Palu Dewa Patah Hati’
dengan enam sosok hawa naga biru keemasannya Jalu
Samudra. Yang jelas, dalam jarak dua puluh tombak
lebih seperti dilanda gempa bumi skala besar. Belum lagi
dengan suara ledakan keras layaknya petir menyambar
bumi.
Brakk! Brakk!
Beberapa bagian dinding istana jebol. Pohon-pohon
bertumbangan tersapu angin. Beberapa orang terlempar
akibat terjangan daya getar yang begitu kuat, bahkan ada
diantara mereka yang tewas seketika tanpa sempat
menjerit-jerit dulu dikarenakan terkena efek ledakan.
Hawa naga biru keemasan tercerai-berai.
Hawa api dan air dari Pukulan ‘Palu Dewa Patah Hati’
juga tidak jauh beda.
Sesuai perintah Dewa Pengemis, tanpa menunggu
jeda terlalu lama, sepasang tapak tangannya di arah ke
tanah sedang kaki kanan di tarik ke belakang. Kali ini
jurus ‘Naga Bertempur Di Alam Liar (Long Zhan Yu Ye)’
di gelar.
“Hworagghhh ... !!”

Kembali terdengar raungan keras membahana kala
sesosok hawa naga dengan ukuran empat kali lipat dari
sebelumnya melesat keluar dari balik tirai lembayung.
Begitu keluar dari balik tirai, tanah yang dilewati hawa
naga bagai di keduk dengan bajak raksasa.
Srakk! Srakk!
“Huh! Kau masih main-main dengan hawa nagamu,
anak muda!” seru Raja Iblis Pulau Nirwana. “Terima
Pukulan ‘Tangan Dewa Dewi’-ku ini!”
Belum lagi selesai ia berkata, tangan kiri dan kanan
didorongkan ke depan secara bersamaan.
Wutt! Wutt!
Sebentuk hawa panas dingin merah biru berbentuk
sepasang telapak tangan raksasa menghadang ke arah
hawa naga yang dilancarkan si Pemanah Gadis.
Bllamm ... !
Meski hanya terdengar satu dentuman keras, namun
efeknya dua kali lipat dari sebelumnya.
Sebagian aula Istana Jagat Abadi hancur lebih
menjadi debu, tembok dan dinding menyerpih. Belum lagi
dengan semakin banyak jumlah korban tak bersalah yang
tewas mengenaskan.
Raja Iblis Pulau Nirwana sendiri terseret hingga dua
tombak ke belakang!
Bahkan jurus ‘Benang Sutera Menahan Hawa’
terkoyak!
“Semua menghindar sejauh mungkin! Pergi dari
tempat ini!” Beda Kumala berteriak keras kala desakan
hawa panas dingin sanggup menjebol jurus
pertahanannya. Belum lagi suara teriakan menghilang,

puluhan orang berkelebatan menyelamatkan selembar
nyawa mereka.
“Jurus terakhir!” perintah suara tanpa wujud. “Cepat
lakukan! Aku akan membantumu!”
Tanpa menjawab, Jalu Samudra yang masih diselimuti
tabir lembayung melesat ke atas.
Wesss ... !!
Dari atas ketinggian, kaki kanan si Pemanah Gadis
ditekuk membentuk sudut siku sedang tangan kiri di
angkat sejajar kepala. Akan halnya tangan kanan
mendorong maju ke depan. Jurus inilah yang dinamakan
sebagai jurus ‘Naga Terbang Di Langit (Fei Long Zai
Tian)’!
“Hworagghhh ... !!”
Kembali suara raungan naga terdengar keras hingga
sanggup menggetarkan seluruh wilayah Istana Jagat
Abadi, bahkan beberapa tokoh silat harus duduk bersila
sambil mengerahkan tenaga dalam untuk mengurangi
daya desak yang sanggup membobol pecah isi kepala
mereka.
Sedang di angkasa, tampak sesosok naga biru
keemasan sedang meliuk-liukkan badannya yang
panjang dengan sorot mata merah tajam.
Sedang di bagian bawah, Raja Iblis Pulau Nirwana
tercekat saat melihat dua sosok gaib yang berada di
samping kiri kanan sang naga yang sedang meliuk-liuk di
angkasa.
Sosok gaib harimau putih belang hijau dan seekor
burung raksasa warna emas!

“Itu dia! Itu dia!” desis Raja Iblis Pulau Nirwana. “Aku
tidak boleh menyerah! Jika harus mati, maka pemilik dari
tiga sosok gaib ini harus menyertaiku ke alam baka!”
Raja banci ini segera mengempos seluruh tenaga sakti
yang dimilikinya. Kali ini Ilmu ‘Dewa Api Membakar
Dunia’ yang membersitkan hawa panas membara dan
Ilmu ‘Dewi Air Memusnahkan Bumi’ yang memancarkan
hawa dingin yang mengalir serta seluruh ilmu kesaktian
dipertaruhkan dalam satu serangan!
Pada liukan ke tiga, sosok naga biru keemasan
beserta dua sosok gaib pendampingnya meluruk ke
bawah laksana sambaran kilat.
Crakkk! Crakk!! Syattt ... !!
Lawan yang juga telah siap dengan dua ilmu saktinya,
mengangkat sepasang tangannya ke atas.
Jdarrr! Jdarrr ... blammm ... glarrr ... !!
Sulit sekali diucapkan dengan kata-kata bagaimana
keadaan saat itu.
Semua serba mengerikan hingga membuat bulu kuduk
berdiri semua.
Nggegirisi!
Bagaimana tidak?
Benturan demi benturan daya kesaktian ke dua belah
pihak saling terjang satu sama lain hingga terdengar
ledakan dimana-mana. Belum lagi dengan sisa-sisa
buncahan panas dingin yang ternyata sanggup
memporak-porandakan daerah sekitarnya. Korban tidak
berdosa kembali berjatuhan terutama sekali merekamereka
yang berilmu rendah langsung hancur
menyerbuk (nggak menyerpih lagi).

Debu-debu tebal panas dingin menutupi pandangan
mata hingga sulit sekali menentukan siapa di antara dua
orang petarung kelas tinggi ini yang tergeletak tanpa
nyawa.
Tiba-tiba, secara samar dari balik kepulan debu
memancarkan cahaya putih, merah dan biru terang.
Sring!
Hanya sekejapan saja, lalu lenyap!
Begitu debu-debu luruh ke bumi, terlihatlah semua apa
yang sebenarnya terjadi.
Sembilan bagian Istana Jagat Abadi hancur luluh!
Di pelataran sendiri terlihat kubangan besar yang
kemungkinan besar bisa dihuni sepuluh gajah bunting
ukuran jumbo sekaligus. Apalagi dengan kedalaman
kubangan besar yang diperkirakan mencapai tiga
tombak.
Beberapa tokoh silat baru berani mendekat setelah
mata mereka tidak melihat sosok Raja Iblis Pulau
Nirwana di tempat semula ia berdiri angkuh.
“Kemana dia?” tanya di botak klimis sambil celingakcelinguk.
“Apa sudah mati?”
”Siapa yang kau maksud?”
“Si banci itu.”
“Mungkin sudah mampus jadi debu,” sahut si kurus
dari Perkumpulan Titian Langit.
Sementara itu, beberapa anak murid Perguruan Sastra
Kumala --terutama sekali Beda Kumala-- segera
memburu ke arah Jalu Samudra yang sedang duduk
bersila di tepi kubangan besar. Tanpa malu-malu lagi,

Beda Kumala mengusap darah yang menetes dari sudut
bibir dengan ujung jari tangannya.
Entah kemana perginya baju biru yang dipakainya
hingga seluruh tubuh pemuda yang sekarang matang
biru kehitaman terlihat dengan jelas.
“Dia terluka cukup parah,” kata hati Beda Kumala.
Tiba-tiba saja terjadi suara keajaiban. Mendadak saja,
tubuh Jalu Samudra berubah menjadi ungu transparan.
“Eh!?” Beda Kumala berseru kaget hingga tersurut
mundur beberapa tindak.
Namun hanya dua helaan napas saja, warna ungu
transparan lenyap. Luka matang biru kehitaman hilang
tanpa bekas. Yang tertinggal hanya sosok pemuda buta
yang duduk bersila!
Beberapa saat kemudian, Jalu membuka mata.
“Kakang!!”
Beda Kumala langsung menghambur dalam pelukan si
pemuda.
Pelukan hangat sarat kerinduan!
Beberapa orang pemuda yang melihatnya
memberikan sorot mata aneh. Ada rasa tidak enak atau
semacamnya yang mendadak menggelayuti isi hati
mereka.
Cemburukah?
Tidak ada yang tahu dengan pasti!
Namun mereka harus berbesar hati, bagaimana pun
juga sosok pemuda buta itu adalah bintang penolong
mereka.

“Mana lawanku tadi?” tanya Jalu sambil membalas
pelukan Beda Kumala.
“Entah, Kang! Aku tidak tahu!”
“Beda,” kata Jalu, lirih.
“Ehmm?”
“Lepaskan pelukanmu, dong.”
“Kenapa?” sahut Beda sambil memeluk erat. “Tidak
mau?”
“Bukannya tidak mau! Liat tuh! Banyak orang begini!
Malu, neng!”
“Biarin aja! Bodo amat!” sahut Beda Kumala, malah
kini pelukan semakin diperketat.
“Tapi aku capek duduk begini terus, lalu kau peluk
kencang-kencang seperti ini,” kata Jalu.
Sambil bersungut-sungut manja, si gadis melepaskan
pelukannya sambil berkata, “Iya deh ... Iya.”
--o0o--
BAGIAN 34 Tamat
“Kau benar-benar luar biasa, anak muda!” kata si
botak klimis. “Entah murid siapa kau ini, tapi yang jelas ...
rimba persilatan sekarang telah aman dengan kalahnya
Raja Iblis Pulau Nirwana di tanganmu. Aku benar-benar
salut. Terimalah salam hormatku!”
Si botak klimis segera menjura diikuti dengan
beberapa orang yang lain.
Jalu sendiri hanya cengar-cengir sambil usap-usap
hidungnya yang tak gatal.

“Paman! Jangan dibesar-besarkan,” kata Jalu
Samudra sambil ikut-ikutan menjura ke arah si botak
klimis. “Jadi malu rasanya.”
“Anak muda bernama Jalu! Sebenarnya aku ingin
ngobrol panjang lebar denganmu. Namun aku tidak bisa
lama-lama meninggalkan kelompokku,” tutur si botak
klimis. “Jika ada waktu, kapan-kapan mampirlah ke
pondokku di puncak Bukit Tengkorak.”
Tanpa menunggu jawaban, si botak klimis langsung
berkelebat pergi.
Wutt!!
Beberapa tokoh silat yang ada di tempat itu
berpamitan satu persatu, terutama sekali dari golongan
sesat sudah angkat kaki sebelum pertarungan babak
terakhir selesai. Namun tidak seluruhnya meninggalkan
tempat itu, beberapa diantaranya membantu rekan-rekan
mereka yang terluka. Ada yang menggali lubang besar
untuk mengubur mayat-mayat yang berserakan, meski
sebagian besar sudah tidak utuh lagi bentuknya karena
tergerus daya hancur akibat pertarungan antara Raja Iblis
Pulau Nirwana dengan si Pemanah Gadis.
“Hei! Benda apa ini?” teriak seorang laki-laki dengan
baju kelabu compang-camping.
Semua mata menengok ke arah datangnya suara.
Ternyata dari tengah-tengah kubangan tanah!
Terlihat di sana, seorang laki-laki dengan baju kelabu
compang-camping sedang duduk mencangkung sedang
tangan kanan yang memegang tombak pendek tanpa
menusuk-nusuk ke arah sebuah benda berbentuk huruf
‘S’ terbalik. Benda berbentuk huruf ‘S’ ini cukup aneh,

dimana memiliki dua sisi, warna biru di separoh bagian
tengah dan sisanya berwarna merah.
Triing! Criing!
Saat tersentuh ujung tombak, serangkum hawa panasdingin
merambat ke dalam gagang tombak hingga si
pemilik mengkernyitkan alis.
“Mungkinkah senjata pusaka?” gumamnya. “Jika
benar, betapa beruntungnya aku! Aku ambil saja dari
pada keduluan yang lain!”
Tangan kirinya terjulur maju.
“Jangan dipegang!” teriak Jalu Samudra, namun
terlambat!
Bluuub! Blushh ... !
Tubuh laki-laki berbaju kelabu compang-camping
langsung terbakar di sisi kiri dan sisi kanan dingin
mengkristal. Dan tentu saja, tanpa sempat berteriak
sama sekali, ia tewas seketika!
“Aduh, celaka! Kenapa aku bisa sampai lupa?” keluh si
Pemanah Gadis sambil menepuk jidat.
“Memangnya kenapa, Jalu?” tanya Nyi Tirta Kumala,
heran. “Apanya yang terlupa?”
“Sebentar, Nyi! Saya harus mengamankan benda itu
dulu! Berbahaya jika ada orang yang mencoba
mengambilnya.”
Tanpa menunggu jawaban, Jalu Samudra melayang
turun ke bawah, menyambar gagang benda berhuruf ‘S’
dari dasar kubangan dan melesat kembali ke tempatnya
semula.
Wutt!

Benda berbentuk huruf ‘S’ yang kini di tangan Jalu
terlihat bergetar sebentar, lalu sinar merah-biru
memancar terang.
Sett! Sett!
Jalu mengusap sisi kiri-kanan dari benda aneh itu, lalu
ditempelkan di dekat dahi.
Plekk!
Begitu ditempelkan, pancaran sinar dua warna benda
aneh yang kini di tangan Jalu meredup dan pada
akhirnya padam sama sekali.
“Nah, sudah aman sekarang,” tutur Jalu Samudra
sambil menurunkan kembali benda di tangannya.
Si Kitab Pengelana terlihat serius mengamati benda
yang ada di tangan Jalu Samudra. Sebentar kemudian, ia
mengangguk-anggukkan kepala. Pengetahuannya
terhadap senjata pusaka dan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi
sudah tidak diragukan lagi.
“Nakmas Jalu, boleh aku pinjam sebentar,” kata Ki
Gegap Gempita.
“Silahkan, Ki! Sudah aman kok.”
Ki Gegap Gempita menerima benda berbentuk huruf
‘S’ dari tangan si pemuda. Sebentar kemudian, Ketua
Aliran Danau Utara mengamat-amati benda di
tangannya.
Dibolak-balik.
Ditimang.
Diraba.
Sebuah senjata berbentuk unik, dimana di bagian
bawah melengkung sedikit bertolak belakang di bagian

depan. Sedang dekat ujung yang tajam dan runcing
terdapat sembilan lubang kecil-kecil. Panjangnya dari
ujung hingga hulu tidak lebih dari sejengkal. Gagang
senjata unik ini hanya setengah jengkal saja.
“Jika dilihat dari pancarannya, ini merupakan benda
pusaka yang jarang tandingannya,” kata Kitab Pengelana
sambil mengembalikan benda di tangannya kepada Jalu
Samudra alias si Pemanah Gadis. “Jika tidak salah
dugaanku, benda ini seperti sejenis kujang yang ada di
tanah Pajajaran.”
“Benar, Ki!” kata Jalu Samudra membenarkan.
“Jadi ... senjata kujangmu ini yang menamatkan Raja
Iblis Pulau Nirwana?” duga si Tangan Golok.
“Bukan!”
“Bukan?”
“Ya! Sebenarnya ... kujang ini justru penjelmaan dari
Raja Iblis Pulau Nirwana!”
“Apa!?!”
Semua orang yang ada di tempat itu terhenyak
beberapa saat. Dalam alam pikir mereka berkecamuk
berbagai hal yang menurut mereka tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin manusia segede gajah bisa
menjelma menjadi benda sekecil itu?
Ada-ada saja!
“Ngibul ni anak,” pikir seorang pemuda berbaju hitam
cerah.
“Bisa kau jelaskan, anak muda!”
“Bisa.”
Jalu pun akhirnya bercerita dengan singkat.

--o0o--
Jalu Samudra yang baru saja melancarkan serangan
akhir, segera melayang turun menerobos masuk ke
dalam ruang penuh debu akibat terjadinya bentrokan
antara ilmu-ilmu kesaktiannya dengan ilmu kesaktian
Raja Iblis Pulau Nirwana. Meski ia tahu bahwa
menerobos seperti itu penuh resiko, namun ia percaya
bahwa gurunya si Dewa Pengemis tidak akan
menjerumuskan muridnya ke jurang kematian. Meski
begitu, cukup membuatnya luka dalam lumayan parah
karena berani menerobos area ledakan.
Sementara di tangan kanannya tergenggam erat
Medali Tiga Dewa!
Begitu dekat dengan sosok Raja Iblis Pulau Nirwana
yang saat itu sedang jatuh berlutut seperti orang
menerima titah, Jalu segera menempelkan Medali Tiga
Dewa ke kening sang raja banci.
Sriiing ... cesss!
Tiga cahaya putih, merah dan biru terang memancar
berpendar-pendar. Cahaya inilah yang sebenarnya tadi
dilihat oleh orang-orang yang menonton di kejauhan.
“Cepat naik ke atas!” seru suara tanpa wujud. “Obati
lukamu.”
“Baik!”
Jalu segera berkelebat naik, lalu duduk bersila sambil
mengerahkan jurus pertama dari Ilmu ‘Tapak Sembilan’
yang bernama jurus ‘Sambung Nyawa’ untuk mengobati
luka dalam. Jurus inilah yang dilihat Beda Kumala saat
mencapai batas akhir penyembuhan dengan
memancarkan sinar ungu transparan.

Saat melakukan semadi penyembuhan itulah, sang
guru berkata secara gaib.
“Muridku! Raja Iblis Pulau Nirwana sebenarnya
jelmaan dari sebilah senjata sakti yang bernama Pasir
Kujang Duta Nirwana. Ia dilarikan oleh Iblis Mara
Kahyangan ratusan tahun silam dari sebuah pulau alam
gaib yang bernama Kepulauan Tanah Bambu. Saat Iblis
Mara Kahyangan sekarat menjelang ajal selama empat
puluh hari lamanya, pada hari terakhir terjadi keajaiban
karena daya tuah dari kujang sakti. Seluruh jiwa dan
sukmanya menitis masuk ke dalam Pasir Kujang Duta
Nirwana. Setelah seratus hari berselang, ia kembali
hidup di dunia dan mengganti nama sebagai Raja Iblis
Pulau Nirwana. Namun karena sifat dasarnya yang haus
kekuasaan, angkuh dan sombong membuatnya semakin
merajalela setelah bersatu raga dengan Pasir Kujang
Duta Nirwana. Beruntunglah bahwa Pasir Kujang Duta
Nirwana hanya sanggup menyerap kekuatan unsur air
dan api saja, tidak menyerap unsur-unsur alam yang lain.
Andaikata Delapan Unsur Penggerak Bumi sanggup
diserapnya, entah apa yang terjadi dengan dunia
tempatmu bernaung ini. Meski hanya dua unsur alam,
namun sudah membuat orang-orang saling sengketa
akibat ilmu-ilmu andalan atau pun kitab-kitab pusaka
perguruan yang memiliki unsur air dan api hilang tak
tentu rimba. Untunglah Ketua Kepulauan Tanah Bambu
di alam gaib bertemu denganku dan menceritakan
masalah yang mungkin akan menimba rimba persilatan
selama ratusan tahun ke depan. Lewat ilmu
pendulumnya pula, bahwa kelak aku akan memiliki murid
yang sanggup membendung keangkara-murkaan yang
diakibatkan oleh Pasir Kujang Duta Nirwana miliknya.
Dan muridku itu adalah kau ... Jalu Samudra!”
“Lalu apa yang harus aku lakukan selanjutnya, Guru?”

“Kembalikan Pasir Kujang Duta Nirwana ke Kepulauan
Tanah Bambu.”
“Dimanakah letak dari pulau itu, Guru?”
“Di seberang lautan. Jika kau menemukan tempat
yang banyak dihuni ikan gajah putih pembunuh dan air
tawar di tengah laut, maka Kepulauan Tanah Bambu
sudah dekat. Selanjutnya Pasir Kujang Duta Nirwana
akan membimbingmu. Nah, muridku! Selamat berjuang!
Nasib dunia persilatan berada dalam genggamanmu.”
“Terima kasih, Guru! Tugas ini akan murid laksanakan
sebaik-baiknya.”
--o0o--
Jalu pun menutup ceritanya.
Para pendekar persilatan yang mendengarnya dibuat
tercengang, antara percaya dan tidak percaya. Sebab
bagaimana mungkin manusia segede gajah bisa masuk
ke dalam kujang sekecil itu?
Benar-benar sulit dipercaya!
Namun, kenyataan itu benar-benar terjadi di depan
mata mereka!
Sosok Raja Iblis Pulau Nirwana ternyata adalah
penjelmaan dari Iblis Mara Kahyangan yang telah
meninggal ratusan tahun dan menebar kekejaman
dimana-mana. Menggegegerkan jagat persilatan dengan
sepak terjangnya yang nggegirisi.
Jadi ... yang selama ini mereka lawan adalah tokoh
hitam kelas berat!
“Begitulah cerita yang saya dengar dari Guru, Ki.”

“Gurumu?”
“Benar, Nyi.” Jalu menjawab pertanyaan Nyi Titta
Kumala.
“Jika boleh aku tahu, siapakah nama gurumu, Jalu.”
“Beliau berjuluk Dewa Pengemis, Paman.”
Kembali orang-orang yang ada di tempat itu terkejut.
“Aaahh ... ”
“Apa?”
“Yang benar?”
“Beneran nih?”
“Benar! Memang beliaulah yang membimbingku
hingga bisa menjadi seperti sekarang ini,” tutur Jalu
Samudra merendah.
“Anak muda! Jadi kau benar murid dewa pengemis?”
tanya si Tangan Golok, memastikan pendengarannya.
Jari kiri terlihat keluar masuk lubang telinga kiri.
Jangan-jangan kemasukan kecoa dan sebangsanya?
“Benar, Ki!”
“Tapi bagaimana mungkin? Bukankah semua
pendekar aliran mana pun tahu, bahwa tokoh sakti
setingkat Dewa Pengemis telah meninggal lima ratus
tahun silam dan kisahnya pun menjadi cerita yang sering
didongengkan pada anak-anak kecil saat menjelang
tidur,” kata Tangan Golok. “Sulit sekali aku mempercayai
ucapanmu, anak muda!”
“Memang sepertinya sulit dipercayai,” sahut Jalu
Samudra dengan nada datar-datar saja. “Namun,
mendiang Dewa Pengemis adalah benar-benar guruku

yang sejati ... ” Lalu sambungnya, “ ... kadang kala hal
yang paling nyata di dunia adalah hal yang tidak nyata.”
Semua menganggukkan kepala tanda persetujuan
akan ucapan si Pemanah Gadis yang terakhir ini.
Pandangan si Tangan Golok segera beralih tongkat
kayu hitam di tangan Jalu.
“Apakah tongkatmu juga warisan mendiang Dewa
Pengemis?”
“Tidak. Ini tinggalan dari kakek nenek angkatku.”
Kitab Pengelana pun ikut nimbrung pembicaraan
keduanya.
“Jalu, boleh kupinjam sebentar tongkatmu.”
“Silahkan, Ki.”
Tongkat kayu hitam kini berpindah tangan.
Kakek Ketua Aliran Danau Utara mengamat-amati
tongkat hitam di tangannya. Sepasang mata tua pulang
balik meneliti dari ujung ke ujung. Menarik tali hitam tipis
yang terkait, direntang sedikit lalu dilepas lagi.
Diciumnya bau yang teruar.
Tiap kelukan ia raba.
Saat mata terpejam, ia rasakan aura yang ada.
Aura panas menyengat menggeletar!
Sebentar kemudian, terlihat ia menggeleng-gelengkan
kepala.
“Ini benar-benar di luar dugaanku,” serunya lirih. Lalu
dengan sigap tangan kiri menyambar sebatang golok
yang terselip di pinggang orang terdekatnya, lalu dengan

sekuat tenaga, dibacoknya tongkat kayu hitam di tangan
kanan.
“Jangan!” seru Jalu Samudra.
Terlambat!
Cranggg! Klaang!
Golok patah dan patahan golok jatuh berkerontangan.
Semua kaget, namun Jalu Samudra lebih kaget lagi.
Tongkat kayu hitam warisan sepasang kakek nenek yang
bergelar Tombak Utara Tongkat Selatan tidak terpotong
menjadi dua!
“Kayu besi ... ” desis laki-laki berpedang panjang.
“Kayu sakti ... ” seru beberapa orang yang lain.
Beberapa orang berkomentar terhadap kayu hitam
yang sekarang telah kembali ke pemiliknya.
“Kau tahu benda apa yang ada di tanganmu, Jalu?”
tanya Ki Gegap Gempita.
“Hanya sebatang tongkat hitam. Tidak ada yang
istimewa dengan tongkatku ini, Ki.”
“Kau salah!”
“Salah?” ucap Jalu heran. “Dimana salahnya, Ki?”
Tanpa menjawab, ki gegap gempita justru berbicara
lain.
“Dulu sekali ... Guruku pernah mendengar tentang
adanya dua benda sakti yang konon kabarnya paling
ampuh dan paling kuat dari semua senjata yang pernah
ada di jagat ini. Semua pendekar persilatan berlombalomba
untuk menemukan benda itu. Bahkan Raja Iblis
Pulau Nirwana atau dulunya Iblis Mara Kahyangan juga
mencari-cari dua benda yang ingin dimilikinya itu,” ucap

Ki Gegap Gempita. “Benda itu adalah sebatang tongkat
pendek dan sebuah medali segi delapan ... ”
Mendengar itu, dada Jalu sedikit berdebar, dalam hati
ia bertanya-tanya, “Jangan-jangan ... ”
Sebatang tongkat pendek dan sebuah medali segi
delapan?
Semua mata memandang ke tongkat pendek di tangan
kanan Jalu Samudra dengan pandangan bertanya-tanya.
“Silahkan diteruskan, Ki.”
“Sebatang tongkat yang berasal dari batang pohon
kayu hitam, dan suatu saat petir menyambar batang
pohon hingga terbakar habis. Yang tersisa hanya sebuah
ranting berkelok-kelok di bagian ujung. Karena ramalan
seorang tokoh sakti yang berjuluk Kakek Jitu Ramal
tentang adanya sebuah tongkat sakti yang bernama Kayu
Petir membuat rimba persilatan geger. Perburuan tongkat
dari Kayu Petir atau disebut dengan nama Tongkat Kayu
Petir berlangsung hingga ratusan tahun lamanya. Pada
akhirnya, karena tidak ada yang menemukan keberadaan
Tongkat Kayu Petir, perburuan menghilang dengan
sendirinya.”
Ki Gegap Gempita berhenti sebentar sambil menata
kembali ingatannya.
“Namun, belum lagi reda, berhembus kabar tentang
adanya sebuah medali sakti berbentuk segi delapan yang
terbuat dari besi hitam, yang konon katanya berasal dari
alam gaib dan didalamnya dihuni oleh Tiga Petinggi
Satwa Gaib,” kata Ki Gegap Gempita. “Medali itu
bernama ... Medali Tiga Dewa.”

“Lalu ... apa keistimewaan dari Medali Tiga Dewa itu,
Guru?” tanya Watu Humalang. “Dan apa ada tokoh silat
yang menemukannnya?”
“Karena berasal dari alam gaib, hanya orang-orang
yang menguasai ilmu gaib saja yang sanggup
melihatnya,” tutur Kitab Pengelana, imbuhnya, “Aku tidak
tahu siapa pemiliknya dan apa keistimewaan dari Medali
Tiga Dewa ini. Hanya saja Guruku pernah berkata,
bahwa siapa saja yang memiliki Medali Tiga Dewa dan
bisa mengendalikan Tiga Petinggi Satwa Gaib, maka dia
akan menjadi raja di raja di alam nyata dan alam gaib.”
Kembali semua khalayak terdiam dengan seribu satu
macam pikiran di otak masing-masing. Semua berandaiandai
bisa memiliki Tongkat Kayu Petir dan Medali Tiga
Dewa.
“Ki, apakah ... ” pertanyaan Jalu Samudra terhenti di
tenggorokan.
“Aku tidak tahu, Jalu! Benar atau tidaknya bahwa
tongkat yang kini berada di tanganmu adalah Tongkat
Kayu Petir atau bukan, karena pada dasarnya aku belum
pernah melihatnya. Semua yang aku katakan tadi adalah
apa yang aku dengar dari Guruku dan kini aku ceritakan
pada semua orang yang ada di tempat ini,” kata Ki
Gegap Gempita dengan bijaksana. Dalam hatinya ia
berkata, “Beruntung sekali kau, Jalu! Benda pusaka yang
paling dicari di jagat persilatan dari waktu ke waktu justru
berada dalam genggaman tanganmu. Gunakanlah
Tongkat Kayu Petir untuk menebar kebaikan.”
“Sudahlah!” seru Ki Harsa Banabatta memecah
keheningan. “Kalian tidak perlu dengarkan omong
kosong dari setan tua ini. Aku mau membereskan tempat
yang berantakan gara-gara ulah Jalu.” Sambil berjalan

menjauh, ia sempat bertanya, “Hai ... Jalu! Benarkah kau
yang dijuluki Si Pemanah Gadis?”
Jalu Samudra yang kini bertelanjang dada hanya
tersenyum saja tanpa mengucapkan apa-apa.
Semua orang kembali terlonjak kaget!
Jadi ... pemuda ini yang digelari Si Pemanah Gadis?
--o0o--
Malam hari di Perguruan Sastra Kumala ...
Untuk kedua kalinya, Jalu Samudra menjadi tamu
kehormatan!
Tentu saja para gadis murid Perguruan Sastra Kumala
senang bukan alang kepalang!
Terutama sekali Beda Kumala, Tinara Kumala dan
Ratih Kumala yang memang ada hati dengan sang
jagoan ini. Meski cuma satu hari satu malam ia menginap
disana --di ruang yang terpisah dengan kamar para
murid-- namun dalam semalam Jalu Samudra sanggup
‘makan tiga ekor ayam betina’ sekaligus sampai puas!
Siapa lagi mereka bertiga jika bukan fans berat Jalu!
Sedangkan Nyi Tirta Kumala sebagai guru besar
Perguruan Sastra Kumala telah kembali memimpin
perguruan yang hampir selama dua tahun ditinggalkan.
Semenjak menghilang, sikap kakunya berubah banyak.
Beberapa perguruan dan aliran silat yang dulu samasama
berada dalam tahanan kini menjalin hubungan baik
dengan Perguruan Sastra Kumala, terutama sekali Aliran
Danau Utara dan Istana Jagat Abadi.
--o0o--

Pada JILID 3 : HUJAN DARAH DI TANAH BAMBU,
Jalu Samudra atau Si Pemanah Gadis yang ditugasi
mengembalikan Pasir Kujang Duta Nirwana ke
Kepulauan Tanah Bambu, di tengah laut nan luas tak
bertepi, kapal ditumpanginya hancur berkeping-keping
dan secara tidak sengaja pula menyelamatkan seorang
gadis cantik jelita yang waktu ditemukan tidak
mengenakan apa-apa!
Nah ... gimana coba?
Pusing ngga, tuh!?
--o0o--