Cantika Dewi Penyebar Maut 02


1. HUKUMAN 


PENDAPA depan Padepokan Rahtawu sunyi senyap ki- 
ni. Angin pun sampai terdengar menderu di sudut- 
sudut atap. Angin dingin yang biasanya membawa alu- 
nan doa. Hingga sayup-sayup menjauh. 

Kini angin itu hanya membawa suara dari luar. Sua- 
ra ratap tangis. Suara makian. Kemudian suara kaki- 
kaki yang berjalan menuju pendapa. 

Di pendapa sendiri sunyi. 

Semua yang ada di situ bagai patung. 

Suranggana, dengan kepalanya yang hitam berhias 
rambut tak keruan. Dan aliran darah yang terus me- 
ngucur dari bagian belakang kepalanya. Berdirinya ti- 
dak mantap. Setiap saat ia pasti tumbang. Tapi mata- 
nya beringas merah. Membara. Marah. Mulutnya mena- 
han rasa sakit. Tangannya teracung. Telunjuknya kaku 
mengarah pada Tara. 

Tara juga bagai patung. 

Tapak kakinya memang sudah dalam kedudukan ge- 
rak Sura-caya, siap untuk menghindar dari serangan 
pihak mana pun. Tetapi kaki-kaki itu nampak lemas. 
Tak ada otot yang tegang yang menandakan tenaga 
akan tersalur dan kaki terangkat. Pandangan matanya 
pun tidak tertuju pada Suranggana yang seakan hendak 
melahapnya. Ia pun tidak memandang pada Anengah 
yang walaupun berada di lantai siap terbang setiap saat, 
dengan kaki akan langsung menebas lehernya. 

Rasanya hanya Anengah yang paling hidup. Matanya 
liar. Hidungnya kembang-kempis. Jari-jemari yang me- 
nahan tangannya di lantai gemetar. Dan setiap otot di 
kakinya menegang, menghimpun kekuatan dahsyat un- 
tuk membunuh dalam sekali pukul. 

Bahkan Rangga Prawangsa yang galak itu rasanya 
kalah angker dengan Anengah. Perwira Daha itu kini 
berada di belakang Tara, siap untuk meringkusnya lagi 
setelah tadi dengan mudah mengibaskannya. Rangga 
Prawangsa bertekad untuk menjalankan tugasnya de- 
ngan baik. Dan tugas itu adalah melindungi Resi Rha- 
gani. Apa pun yang terjadi. Ia tahu Tara adalah murid 
Resi Rhagani. Tetapi jika keadaan memerlukan, ia tak- 
kan segan menghajar anak itu. 

Resi Rhagani paling mirip patung. Ia memejamkan 
mata. Ia menyusun jari, merapatkan tapak tangan. Ia 
berdiri tegak. Tak bergerak. 

Yang lain diam, namun gelisah. Tari merangkul se- 
buah tiang agung. Mukanya rapat ke kayu itu. Matanya 
bingung memandang Tara. Mulutnya ternganga seolah 
ingin meneriakkan sesuatu. Lati dan Rati berada di 
pinggir. Berangkulan. Memandang ke Tara dan Surang- 
gana. Pawungsari dan Dwaralika kebingungan. 

Makin banyak keluarga padepokan yang berdatang- 
an ke pendapa itu. Mereka memang hanya berhenti di 
tepi lantai pendapa. Kemudian diam. 

“Aku mohon Panembahan...” terdengar suara serak 
Suranggana kini bergema. Susah sekali ia mengelua- 
rkan kata-kata. “Cabut nyawa murid durhaka ini. Dia 
punya ilmu tinggi, namun tak dapat menggunakannya. 
Dia perkasa, namun tak tahan melihat wajah cantik 
hingga melupakan semua saudaranya. Bunuh dia, Pa- 
nembahan!” 

Dan Suranggana roboh. Beberapa orang akan meno- 
longnya. Tetapi ia mengangkat tangan mencegah. Susah 
payah ia merayap hingga mencapai kaki Resi Rhagani. 
Dipegangnya kaki itu dengan tangannya erat-erat. 

“Belasan tahun, puluhan tahun... aku mengabdi pa-
da Tuan, Panembahan... aku tak mau Tuan keliru... 
aku tak mau Tuan memperoleh malapetaka hanya ka- 
rena keliru menilai orang. Muridmu si Tara itu... tidak 
punya hati. Tuan akan menyesal jika masih membiar- 
kannya hidup. Suatu hari dia akan... mampu mengor- 
bankan saudara-saudaranya lagi... O, Panembahan...” 

Dan Suranggana roboh lemas. Tak bergerak lagi. Mati. 

Seorang warga padepokan yang berada di luar pen- 
dapa berlutut, sujud mencium tanah. Dan ia berseru, 
“Derita kami begitu dalam, Guru... hukumlah Tara!” 

Dan gerakan serta suaranya satu per satu ditiru oleh 
yang lain. Tak lama orang-orang yang mengelilingi pen- 
dapa itu telah bersujud sambil berseru bagaikan ber- 
nyanyi, “Hukum Tara! Hukum Tara! Hukum Tara!” 

Tara bagaikan tersentak dari mimpi. Matanya beri- 
ngas memandang ke kiri ke kanan. Dan tiba-tiba ia pun 
menubruk kaki Resi Rhagani yang masih digenggam 
Suranggana. 

“Guru... hukumlah aku jika aku bersalah... tapi aku 
tak merasa bersalah, Guru!” teriak Tara mencoba meng- 
atasi galau di luar itu. 

“Suranggana telah tewas,” baru kemudian Resi Rha- 
gani terdengar suaranya. “Ia merasa pasti akan sesuatu. 
Dan ia mati dengan rasa pastinya itu. Kau harus berce- 
rita dengan jelas. Untuk itu kautenangkan diri lebih da- 
hulu. Dwaralika, Pawungsari, bawa Tara ke Ruang 
Sunyi. Yang lain...” Resi Rhagani memperkeras sua- 
ranya hingga menindih suara galau yang ada dan se- 
mua diam untuk mendengarkannya, “Padepokan kita 
telah tertimpa malapetaka dahsyat. Kita belum tahu apa 
yang terjadi. Untuk itu Tara akan kita periksa nanti. 
Yang jelas, ini mungkin ada hubungannya dengan peta- 
ka yang menimpa guru kalian—Madraka. Uruslah me- 
reka yang tewas. Dan waspada serta lipat-gandakan 
penjagaan. Malam nanti kita akan melakukan upacara 
untuk mengiringi mereka yang menghadap para dewata. 
Kemudian kita bicarakan apa yang terjadi.” 

Dengan menunduk Resi Rhagani meninggalkan tem- 
pat itu. Dwaralika dan Pawungsari memberi isyarat pa- 
da Tara untuk ikut mereka. Ketika Tara tak bergerak, 
Anengah dengan geram berdiri dan menyeret pemuda 
itu. 

Di luar, sebuah batu pertama terlempar pada Tara. 
Kemudian menyusul batu-batu lainnya. Hujan batu di- 
iringi hujan makian. Tara dengan gugup mencoba me- 
nangkis semua lemparan itu. Dwaralika dan Pa- 
wungsari pun terpaksa melindunginya. Namun mereka 
kewalahan. Akhirnya mereka hanya bisa menyeret Tara 
untuk berlari secepatnya. 

Terengah-engah mereka mencapai bangunan yang 
berisi Ruang Sunyi. Ruang itu berada di bawah tanah, 
tempat Sang Resi biasa menyepi untuk menekuni il- 
munya. 

Dwaralika dan Pawungsari berhenti sejenak mem- 
perhatikan apakah orang-orang mengejarnya. Tidak. 
Agaknya mereka masih berada di halaman depan. Dan 
kini mereka mungkin sibuk mengurusi mayat-mayat. 

“Buka pintunya, Dinda Pawungsari,” kata Dwaralika. 
Diperhatikannya Tara. Pemuda itu lemas. Matanya kini 
kosong tak bercahaya. Pasrah. 

“Sebetulnya apa yang terjadi, Tara?” tanya Dwaralika 
sementara Pawungsari membuka pintu—sebuah pintu 
kayu yang besar dan berat. Tara diam saja. 

“Kau perlu menjawab. Bukan untuk menyelamatkan 
nyawamu, tetapi agar kita tahu apa yang terjadi. Agar 
kita bisa mencegahnya.” 

Tara diam saja. 

Anengah muncul. Badannya penuh keringat. Dada- 
nya kembang-kempis menahan marah. 

“Tara! Betulkah kata Paman Suranggana tadi?” ben- 
tak Anengah. 

Tara diam saja. 

“Bangsat cilik... jawab!” dengan geram Anengah me- 
nampar Tara. Tapi Dwaralika dengan tangkas menang- 
kis tamparan itu. 

“Sabar, Anengah, akan kita bicarakan nanti,” kata 
Pawungsari. 

“Paman tadi dengar kata Paman Suranggana? Beliau 
merasa pasti si kunyuk kecil ini penyebab kematian ta- 
di!” sahut Anengah geram. 

“Aku tahu. Tapi kita harus mempelajari dulu apa 
yang terjadi.” Dwaralika mendorong Tara masuk. Pa- 
wungsari langsung menuntun Tara masuk dan menu- 
runi tangga. Dwaralika menutup pintu bangunan serta 
berdiri menghadang di depan Anengah. “Sementara itu 
kita tak bisa sembarangan menjatuhkan hukuman!” 

“Ah, itu semua hanya membuang waktu!” geram 
Anengah. “Paman sendiri tahu, ia suka bersikap manis 
pada Bapa Guru dan Bibi Madraka, hanya agar mempe- 
roleh ilmu lebih banyak! Kesetiaannya tak ada. Dan itu 
berbahaya, bukan?” 

“Benar, tapi yang berhak memberi hukuman hanya 
Gusti Panembahan,” kata Dwaralika. 

“Sekali lagi, itu hanya membuang waktu!” dengus 
Anengah. 

Dwaralika sesaat memperhatikan Anengah. “Ane- 
ngah, kenapa kau tiba-tiba berubah? Biasanya kau wa- 
laupun kaku tetapi punya perasaan adil, dan tidak begi- 
tu serampangan dalam menjatuhkan putusan.” 

“Aku tidak apa-apa! Hanya aku tak rela jika saudara- 
saudaraku tewas tanpa pembalasan!” 

“Kepada siapa? Yang jelas bukan Tara yang membu- 
nuh orang-orang itu!” 

“Tapi mungkin Tara sudah bisa melakukan pembala- 
san itu tanpa harus menunggu segala macam urusan— 
kalau saja ia memang punya maksud untuk membalas 
dendam! Jadi Tara jelas bersalah!” 

“Tiba-tiba rasa dendam menyelimuti hatimu. Apakah 
itu yang kaupelajari di sini?” 

“Paman bukan guruku, tak usah Paman menggurui- 
ku.” 

“Bagus jika kauingat bahwa kau patut patuh pada 
gurumu. Dan gurumu menghendaki perkara ini dibica- 
rakan lebih dahulu!” 

“Dinginkan kepalamu, Anengah,” Pawungsari telah 
keluar dari Ruang Sunyi, dan memalang pintunya dari 
luar. Memang sesungguhnya Ruang Sunyi itu serbagu- 
na—untuk menyepi atau mengucilkan seseorang. Ada 
kalanya seorang siswa harus merenungkan kekeliruan- 
nya hingga terpaksa dikucilkan di sini. Di bawah tanah, 
ada tiga tingkat ruangan, bersusun ke bawah. Untuk 
kekeliruan yang sangat berat, maka siswa yang ber- 
sangkutan ditempatkan dalam ruangan yang hanya cu- 
kup untuk duduk bersila. Ruang di atasnya agak lega. 
Ruang ketiga yang tepat berada di bawah permukaan 
tanah sudah cukup lega dan bahkan penghuninya bo- 
leh menikmati cahaya lampu, buku-buku agama, serta 
makanan atau minuman. Di sini sesungguhnya Sang 
Resi biasa menyepi—bukan karena menjalani hukuman 
tapi hanya untuk lebih memusatkan pikirannya pada 
sesuatu. Bangunan yang berada di atas tanah berupa 
ruangan untuk berdiskusi—sebuah ruang yang lega 
dengan jendela berterali bambu dan dinding bambu 
dengan pintu kokoh. 

“Tara berada di ruang terbawah. Dia toh tak akan bi- 
sa ke mana-mana. Jika kau ingin menghukumnya, ma- 
sih ada saatnya nanti.” 

“Aku tak mengerti Paman berdua. Sama sekali tak 
mengerti. Bukan hanya rasa keadilan... tetapi toh Pa- 
man berdua seharusnya mencoba membalaskan kema- 
tian Paman Suranggana!” kata Anengah. 

“Aku mengerti bahwa mungkin kau akan menjadi pe- 
mimpin para siswa di sini,” kata Pawungsari dingin. 
“Aku mengerti rasa tanggung jawabmu besar. Rasa per- 
saudaraanmu tebal. Tapi selama kau belum resmi men- 
jadi pemimpin di sini, kuharap kau menunggu apa yang 
akan dikatakan Sang Panembahan nanti. Ayo, Dinda 
Dwaralika....” 

Pawungsari menggamit Dwaralika. Dwaralika mena- 
tap tajam pada Anengah dan berdua melangkah pergi. 

Anengah masih lama termenung di depan pintu vang 
terpalang itu. Matahari telah tinggi. Dari sudut matanya 
ia melihat sesosok bayang-bayang orang di balik 
bayang-bayang lumbung padepokan. Ia menghela napas 
panjang dan berkata seorang diri, “Hhh... betapa berat 
cobaan untuk Guru. Dan saat aku ingin mencoba meri- 
ngankannya, ada saja orang yang tak mengerti. Ah, ka- 
lau saja aku punya kekuasaan yang lebih besar... Pasti 
penyebab malapetaka ini sudah lama aku ringkus!” 

Ia berbalik. Dan melangkah meninggalkan tempat 
itu. Sengaja ia berjalan ke samping lumbung. Dan ia 
bertemu dengan Rangga Prawangsa yang tampaknya 
sedang berjalan menunduk tenggelam dalam pikiran da- 
lam. 

“Oh, Tuanku Rangga... tuanku belum memperoleh 
tempat untuk istirahat?” tanya Anengah. “Maaf jika tak 
ada yang memperhatikan Tuan. Aku harus mengatur 
persiapan upacara nanti malam.” 

“Tak apa. Sebagai seorang bekas prajurit tentu saja 
aku tak kaget akan ketidaknyamanan tempatku berada. 
Mhhh... ya. Namamu Anengah, bukan? Dari manakah 
asalmu?” 

“Mohon diampun, Tuan... menurut cerita Bibi Ma- 
draka hamba ditemukannya dekat Hutan Lawor... ma- 
sih berumur dua tahun, demikian kata pwangkulun. 
Hamba tak berani menanyakan lebih lanjut tentang as- 
al-usul hamba... tetapi Hutan Lawor adalah daerah Da- 
ha, bahkan merupakan jalan besar ke Daha dari Kota- 
raja. Bukan tidak mungkin hamba mempunyai ayah-ibu 
di Daha. Dan rasanya hal itu tak terlalu sukar untuk 
diselidiki.” 

“Lalu Uttara?” Rangga Prawangsa bersandar ke din- 
ding lumbung untuk menghindari terik matahari. 

“Tara hampir mirip riwayatnya dengan hamba,” Ane- 
ngah seakan mendengus. “Hanya menurut cerita Bibi 
Madraka dia ditemukan di Kamal Pandak, di tepi Su- 
ngai Bara. Riwayat hidupnya pun gelap....” 

“Aku tadi menyaksikan kalian bertarung. Kepandai- 
an kalian berimbang?” Rangga Prawangsa menyipitkan 
matanya agar tak tampak bahwa matanya itu melirik 
memperhatikan wajah Anengah. Anengah tampak se- 
makin berwibawa dengan alis mata tebalnya berkerut. 
Dadanya yang berhias bulu dada kini bersimbah peluh, 
mengkilap dalam sinar matahari, memperlihatkan dada 
yang lebar dan tangguh kokoh. Dengan tubuh tinggi be- 
sar dan cara berdirinya yang tegak itu, Anengah lebih 
cocok untuk menjadi seorang panglima perang, pikir 
Rangga Prawangsa. Atau... memangkah anak ini ketu- 
runan seorang ksatria Daha? Lebih-lebih lagi jika dikait- 
kan dengan perhatian Bhre Daha pada murid muda di 
Padepokan Rahtawu... apakah hubungannya lebih erat 
dari yang bisa diduganya? 

“Guru sangat adil dalam memberi pelajaran,” kata 
Anengah. “Tak ada siswa yang memperoleh lebih, tak 
ada yang kurang. Pada akhirnya tergantung dari para 
siswa itu sendiri. Mungkin apa yang dipelajari Tara sa- 
ma dengan apa yang aku pelajari. Pada akhirnya, Guru 
sendiri yang menentukan siapa yang sudah cukup ma- 
tang untuk memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi. Sebagai 
gambaran saja... Guru telah menurunkan Dharmacakra 
padaku. Sedang pada Tara belum.” 

Kembali Rangga Prawangsa memperhatikan Ane- 
ngah. Terdengar nada sedikit menyombong pada anak 
muda itu. Atau, memang demikianlah sifatnya? 

“Oh, ya. Bagaimana dengan siswa-siswa putri?” ta- 
nya Rangga Prawangsa. 

“Mereka sesungguhnya hanyalah separuh siswa. Me- 
reka asuhan Bibi Madraka. Tetapi Bapa Guru kami de- 
ngan murah hati menganugerahi mereka dengan ilmu- 
ilmu Padepokan Rahtawu. Sebulan sekali mereka diba- 
wa kemari oleh Bibi Madraka. Ini sesungguhnya kebia- 
saan Bapa Guru dan Bibi Guru dari dulu. Ilmu pwang- 
kulun berasal dari satu sumber yang juga kakak-adik 
pria dan wanita. Maka pwangkulun berdua ingin meles- 
tarikan kebiasaan itu.” 

“Berapa jumlah mereka?” 

“Mereka sesungguhnya...” Tiba-tiba Anengah berhen- 
ti berbicara. Beberapa orang wanita muncul membawa 
tempat padi. Di antara mereka tampak Tari yang ma- 
tanya bengkak karena menangis. Wanita-wanita lain 
adalah anggota Padepokan Rahtawu sendiri. Mereka le- 
wat di depan Rangga Prawangsa dan Anengah, diam- 
diam membungkuk memberi hormat. Mereka kemudian 
menaiki tangga ke pintu lumbung 

“Katamu tadi...” Rangga Prawangsa mengingatkan 
Anengah saat para wanita itu sudah masuk ke dalam 
lumbung. 

“Mmmh, maaf, Tuanku Rangga... tidak enak rasanya 
kita berbicara di sini sementara semua orang bekerja. 
Hamba akan pergi ke depan dulu...,” Anengah mengi- 
syaratkan sembah dan bergegas pergi. 

Rangga Prawangsa termenung-menung sejenak, 
memperhatikan kepergian Anengah. Kemudian ia mem- 
perhatikan pintu lumbung yang tinggi itu. Dan akhirnya 
ia menggelengkan kepala, berjalan menunduk ke ba- 
ngunan yang memiliki Ruang Sunyi itu. 

Lama ia berdiri di depan bangunan tersebut. Sampai 
kemudian terdengar langkah kaki mendatangi. Ternyata 
Tari. Gadis itu terlihat terkejut melihat Rangga Pra- 
wangsa ada di situ. Ia bergegas menunduk menyembah 
dan akan berlalu. Tetapi Rangga Prawangsa mencegah- 
nya. 

“Tunggu, bukankah kau yang bernama Tari?” sapa 
Rangga Prawangsa. 

“Benar, Tuanku Rangga... namun mohon maaf, 
hamba tak punya waktu untuk berbicara. Mohon beribu 
maaf, Tuanku, hamba berlalu....” Dan Tari bergegas 
pergi. 

Rangga Prawangsa ternganga. Gadis itu tidak secan- 
tik putri-putri Daha, memang, tetapi ada sesuatu yang 
sangat menarik padanya. Pandang matanya yang tajam, 
sikap wajahnya yang anggun. Bahkan pada saat mem- 
bungkuk memberi hormat terasa bahwa hal itu seakan 
dipaksakan. Juga jalannya... seakan tak acuh pada sia- 
pa pun. 

Dia akan menanyakannya pada Resi Rhagani nanti. 

Malamnya, upacara untuk mendoakan para sukma 
yang telah meninggalkan badan kasar mereka berjalan 
khidmat. Dan mengharukan. Di antara doa yang diba- 
cakan dan dinyanyikan bersama, teralun pula lengking- 
an tangis dan alunan ratapan. Ditambah dengan hawa 
yang terasa luar biasa dinginnya, dan cuaca yang gelap 
pekat, api unggun di halaman depan padepokan itu se- 
rasa tertelan cerianya. Upacara berlangsung terus hing- 
ga menjelang fajar, dan kemudian satu per satu jasad 
mereka yang gugur diangkat ke luar untuk disemayam- 
kan di halaman candi di luar lingkungan padepokan 
guna menantikan upacara selanjutnya. Di pendapa de- 
pan, Resi Rhagani berdiri sunyi memperhatikan para 
warga padepokan hampir tanpa suara mengalir ke luar 
padepokan dengan membawa berbagai peralatan upaca- 
ra. Tidak seperti biasanya pada upacara keagamaan, 
maka beberapa warga padepokan telah mempersenjatai 
diri dan mengikuti rombongan yang keluar itu sebagai 
pengawal. Di atas pagar padepokan pun terlihat bebera- 
pa orang berjaga-jaga. 

Akhirnya halaman depan itu sunyi. Dan gelap. Ha- 
nya beberapa obor yang masih menyala. Itu pun di tem- 
pat-tempat yang berjauhan. Ini membuat orang-orang 
yang berada di pendapa itu bagaikan sosok-sosok 
bayangan seram. 

Mereka adalah Resi Rhagani, Dwaralika, Pawungsari, 
Kanigara, Sodrakara, Tari, Anengah, dan Rangga Pra- 
wangsa. 

“Mari ke ruang baca... ada yang ingin aku bicarakan 
dengan kalian,” kata Resi Rhagani hampir berbisik. Dan 
ia mendahului pergi. Langkahnya gontai, lemah. Dwa- 
ralika dan Pawungsari terlihat selalu bersiap di kiri- 
kanan junjungan mereka ini. 

Ruang baca itu luas. Beberapa bumbung teronggok 
di sudut, berisi gulungan-gulungan lontar tentang ber- 
bagai hal. Ada alas lantai yang empuk di situ. Dan lam- 
pu buah jarak yang tertancap di beberapa tempat di 
dinding membuat tempat itu terang-benderang. Resi 
Rhagani memberi isyarat agar mereka duduk melingkar. 
Tak ada yang memiliki kedudukan lebih tinggi. 

Beberapa saat sunyi. Dari luar sayup-sayup terde- 
ngar nyanyian doa pelepas mereka yang pergi. 

“Kita semua berkumpul di sini. Kuharap kita telah 
mewakili semua warga padepokan. Dan seorang orang 
luar,” Resi Rhagani berbicara lirih. Matanya menyapu 
semua yang ada di situ. “Dwaralika dan Pawungsari me- 
wakili kepercayaan warga padepokan yang bukan siswa. 
Kanigara dan Anengah mewakili para siswa. Sodrakara 
dan Tari mewakili siswa-siswa putri. Tuan Rangga me- 
wakili kepentingan Wilwatikta. Dan aku ingin menjadi 
wakil dari kehendak Hyang Agung. Tapi semuanya pu- 
nya hak sama. Semua punya hak mengatakan penda- 
pat. Dan apa pun keputusan yang kita ambil, akan kita 
ambil berdasarkan kesepakatan kata.” 

Hening lagi. 

“Aku telah berbicara panjang-lebar dengan Tara. Se- 
mestinya ia diwakili di sini. Tapi ia telah melimpahkan 
kepercayaannya padaku,” kata Sang Resi lagi. “Kuharap 
semuanya mengerti hal ini.” 

Yang terdengar hanyalah gemerisik lampu di dinding 
serta alunan lagu sedih dari luar. 

“Singkatnya... menurut pengakuan Tara... ketika ia 
dan Suranggana tiba di tempat ini, didapatinya mayat- 
mayat bergelimpangan. Tak ada bekas luka ataupun se- 
suatu yang aneh. Pada wajah mereka yang meninggal 
hanya terlihat air muka ketakutan yang amat sangat. 
Ketika aku selidiki, ini adalah akibat Upas Gemet ting- 
kat tujuh. Sangat berbeda dengan Upas Gemet yang me- 
ngenai Dinda Madraka....” Sang Resi berhenti sebentar. 
Bibi Madraka telah tiba siang tadi dan kini dirawat di 
asrama wanita. “Upas Gemet tingkat tujuh ini sanggup 
membunuh dengan hanya menempel pada kulit kor- 
bannya. Menurut Tara tidak ada pertanda perkelahian 
sebelumnya. Jadi, kemungkinan si pembunuh dapat 
mendekat tanpa dicurigai atau dapat bergerak sangat 
cepat. Melihat wajah si pembunuh serta kesaktiannya 
kemudian, Tara berpendapat kedua hal itulah yang ter- 
jadi.” 

Dalam kesunyian itu keras sekali terdengar Tari 
menghela napas panjang. Ia sendiri kaget karena itu. 

“Saat itu, Suranggana dan Tara kemudian memutus- 
kan untuk langsung menyelidiki. Tara dari bagian bela- 
kang padepokan, Suranggana dari bagian depan. Tara 
menemukan pembunuh itu di puncak Menara Pemu- 
jaan. Tara bertarung melawan orang itu. Orang itu sa- 
ngat cantik. Dan sangat sakti. Suatu saat ia sudah 
hampir bisa membunuh Tara. Tapi pada saat itu Su- 
ranggana datang dari belakangnya. Dan melepaskan pe- 
luru andalannya. Orang itu roboh.” 

Resi Rhagani memandang ke arah langit hitam yang 
tampak dari celah-celah dinding. 

“Di sinilah terjadi kesalahpahaman yang berbuntut 
sampai sekarang. Tara memang punya kesempatan un- 
tuk membuat orang itu cedera. Paling tidak melumpuh- 
kannya. Tara tidak melakukannya. Katanya ia tak me- 
ngerti mengapa itu yang terjadi. Katanya, mungkin juga 
ia terpengaruh oleh kecantikan orang itu. Atau, mung- 
kin karena ia merasa sesungguhnya ia tadi diberi ke- 
longgaran untuk bisa hidup sampai saat itu. Yang jelas, 
ia juga punya pikiran untuk menangkap orang itu hi- 
dup-hidup. Itu semua terjadi dalam waktu sesaat. Ke- 
mudian muncul Suranggana. Ia langsung akan mem- 
bunuh atau paling tidak mencederai orang itu dengan 
kerisnya. Tara mengaku mencegah Suranggana. Dan ti- 
ba-tiba orang itu menyerang Suranggana. Hingga Su- 
ranggana cedera berat. Dan tewas. Nah, kita berkumpul 
di sini untuk menentukan, apakah Tara bersalah. Dan 
apa hukumannya. Coba Tuan Rangga, sebagai orang 
luar, menyatakan pendapatnya.” 

Semua berpaling pada Rangga Prawangsa. Rangga ini 
salah tingkah juga sedikit. Ia mendeham dan memelintir 
kumisnya. Namun akhirnya ia berbicara. 

“Bagiku... kesalahan Tara hanya satu. Ketika ia ke- 
mudian sadar, mestinya ia langsung mencari jejak 
orang itu. Atau cepat lapor pada Sang Resi,” Rangga 
Prawangsa berbicara pada semuanya. 

“Ia mencoba menolong Suranggana. Tapi begitu sa- 
dar, Suranggana menyerangnya. Dan menuduhnya ber- 
komplot dengan pembunuh itu. Tara terguncang. Ka- 
rena itulah tindakannya bagai orang mabuk. Dan ia ha- 
rus mempertahankan diri dari serangan Suranggana,” 
jawab Resi Rhagani. 

“Jika begitu... kekeliruan Tara hanyalah usianya 
yang masih muda. Dan pengalamannya yang masih ku- 
rang. Untuk itu ia tak bisa disalahkan. Kalau aku di- 
tanya, semestinya ia dibebaskan saja. Kalaupun dihu- 
kum, maka ia harus mencari si pembunuh. Hanya dia 
yang pernah melihat mukanya,” kata Rangga Prawang- 
sa, matanya tajam melihat berkeliling. “Itu pendapatku. 
Lebih dari itu, aku ingin menyatakan suatu hal. Racun 
Upas Gemet itu. Siapa yang pernah memilikinya?” 

“Itu yang membuatku heran dari tadi,” Resi Rhagani 
berkata perlahan. “Tuan datang dari Daha membawa 
berita tentang kemungkinan keturunan Wirabhumi 
membalas dendam. Yang aneh adalah... keluarga Wira- 
bhumi tak pernah menggunakan racun. Justru salah 
seorang lawan keluarga Wirabhumi-lah yang terkenal 
sebagai pemakai racun. Juru Pajarakan menggunakan- 
nya. Juga semua keluarga beliau. Tetapi keluarga ini 
sangat memusuhi keluarga Wirabhumi. Kedua puteri- 
nya...” Resi Rhagani tak melanjutkan perkataannya. 

“Kau bagaimana, Dwaralika?” 

“Ampun, Panembahan. Hamba belum bisa menyerap 
pelajaran yang Paduka berikan,” Dwaralika menyem- 
bah. “Hamba seorang prajurit. Pemikiran hamba pemi- 
kiran prajurit. Tara melakukan kesalahan yang sangat 
berat, yaitu memberi kesempatan pada musuh untuk 
menguasainya. Jika musuh tidak memberi ampun pa- 
danya, pasti ia sudah dibunuh. Jadi... hamba kira hu- 
kuman itulah yang patut untuknya.” Semua orang me- 
mandang terkejut pada Dwaralika. Terutama Anengah. 
Ia sama sekali tak menyangka sikap Dwaralika akan 
begitu. Terutama jika mengingat pembicaraannya tadi 
siang. “Itu pun... jika pertemuan ini menyetujuinya.” 

“Mohon ampun, Panembahan... sebagai seorang pra- 
jurit juga, hamba sangat setuju pada pertimbangan dan 
keputusan Dwaralika,” sembah Pawungsari. 

“Hm...” Resi Rhagani mengangguk-angguk. “Sodraka- 
ra?” 

“Si pembunuh sangat tak kenal ampun. Dan agak- 
nya ada hubungan dengan si Buruk Muka yang telah 
membuat cedera Guru junjungan hamba,” sembah So- 
drakara. “Tara telah memberi kesempatan pada makh- 
luk itu untuk tetap bebas merajalela. Ia harus dihukum. 
Apa hukumannya, terserah,” sembah Sodrakara. 

“Yang hamba takutkan adalah semua tindakannya 
menunjukkan Tara tidak pantas merasuk ilmu-ilmu 
tinggi yang diajarkan Guru,” sembah Anengah tidak 
menunggu untuk ditanya. “Jika hatinya selemah itu, 
untuk apa ia mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan jika 
hatinya tidak lemah, kemungkinan ia dikuasai oleh ha- 
srat buruk setelah melihat wajah cantik. Ini berarti ia 
tidak punya pribadi yang baik. Dan ini akan sangat ber- 
bahaya nanti jika ia berhasil menguasai ilmu Guru. 
Pendapat hamba, binasakan dia sebelum jadi burung 
garuda!” 

Hening. Semua menunggu Kanigara dan Tari. 

“Mohon diampun, Bapa Guru,” akhirnya Kanigara 
berbicara. “Hamba sudah mengenal Tara dari kecil. Ia 
punya banyak kelemahan. Yang tampak jelas ialah bah- 
wa ia adil, baik hati, dan tidak tegaan. Hamba yakin 
Tara tidak punya maksud apa-apa saat ia meloloskan 
pembunuh itu. Mungkin ia merasa tidak adil untuk me- 
nyerang orang yang tak sadar. Mungkin ia hanya ingin 
membalas budi. Mungkin... ia memang tidak tega. Se- 
mua itu toh sifat yang baik. Jadi kurasa... Tara jangan 
dihukum berat. Berilah dia wejangan. Dan pengertian 
tentang pahitnya hidup di dunia ini.” 

“Hm... ya...,” Sang Resi mengangguk-angguk. Kini 
beliau memandang Tari. “Dan kau, Tari?” 

“Kakang... Tara... masih sangat muda... sarika(beliau) be- 
lum tahu... lebih mendalam... tentang hubungan antar 
manusia di dunia ini.... Dia masih... boleh dikata anak- 
anak! Tak pantas ia diberi tanggung jawab.... Harap... 
harap ia diampuni!” Tiba-tiba Tari menekap mukanya 
dan berlari keluar dari ruang baca itu. 

“Tari!” panggil Resi Rhagani. Tetapi Tari telah hilang 
di kegelapan malam. 


2. PENGEMBARA 


TARI berdiri sendiri. Ini puncak Batu Hitam, salah satu 
puncak bukit tertinggi di Rahtawu. Ia tak bisa melihat 
apa-apa. Sekelilingnya gelap-pekat. Langit pun gelap. 
Mungkin awan di atas sana. Atau mendung. Bintang- 
bintang pun tak terlihat. 

Sering Tara berada di sini. Pemuda itu memang yang 
menunjukkannya tempat ini. Memang mereka tidak 
berdua—tiba-tiba pipi Tari terasa panas. Para murid 
Madraka tak boleh berdua saja dengan murid pria Resi 
Rhagani. Tapi... walaupun mereka bertiga atau berem- 
pat, sering Tari merasa bahwa Tara hanya memperhati- 
kan dirinya. Memang Tara mungkin bercanda dengan 
Lati. Atau dengan Gendar. Tapi Tari seakan tahu bahwa 
sesungguhnya candaan Tara itu ditujukan padanya. 

Sebulan lalu Tara mengajarkan tata gerak Birawa- 
dana Pria. Dan itu memang ditugaskan oleh Sang Resi. 

Tari merasa jika Tara yang mengajar, maka seakan ti- 
dak belajar, segalanya bisa muncul sendiri. Lain dengan 
jika Anengah yang mengajar. Segalanya terasa kaku, le- 
bih kaku lagi karena semua seakan melihat bahwa Ane- 
ngah hanya memperhatikan dirinya. Saat itu Tara juga 
mengajarkan sedikit ilmu bintang. Ditunjukkannya bin- 
tang Jaka Belek. Bintang Weluku. Bintang Gubuk Pen- 
ceng. Dan ah... berbagai ilmu pertanian yang berkenaan 
dengan bintang. Lancar sekali Tara berbicara. Begitu 
enak didengar hingga Tari tak bisa menangkapnya. Ia 
lebih kesengsem mendengarkan suara Tara yang bagai- 
kan berdendang. 

Saat itu, tiba-tiba saja Tara terdiam. Memang ada 
sekilas garis terang di langit. Meluncur dari selatan ke 
arah barat laut. Dan ketika ditanya kenapa ia terdiam, 
maka Tara hanya berkata bahwa akan terjadi pemba- 
han besar-besaran dalam kehidupan mereka. 

Inikah pembahan yang dimaksudkannya itu? Bahwa 
ia akhirnya... harus mati dihukum? 

Angin dingin meniup pipi Tari. Beberapa lembar ram- 
butnya membelai mukanya. Tari hampir terisak. Tapi, 
kenapa? Ia baru kenal Tara sejak... mungkin tiga tahun 
yang lalu. Itu pun hanya sebulan sekali. Mengapa ia be- 
gitu sedih? 

Terdengar langkah kaki di belakangnya. Tari heran. 
Tapi ia langsung bersimpuh di batu hitam. 

“Bibi Guru... Padukakah itu?” tanyanya. Bibi Madra- 
ka memang selalu dipanggil “Bibi” oleh murid-murid- 
nya, sebab secara resmi mereka adalah murid Resi Rha- 
gani—walaupun sesungguhnya lebih dari sembilan per- 
sepuluh pelajaran yang mereka dapat diperoleh dari Bi- 
bi Madraka. 

“Ya, Tari...,” suara itu lembut. Dengan getaran le- 
mah. Tari terkejut. Berpaling. 

Bibi Madraka bagaikan bayang-bayang putih. Bagai- 
kan hanya jubah putih melambai lemah. Bagaikan bu- 
kan manusia. Apalagi tangan kanannya kosong. 

“Bibi Guru... mengapa... Bibi kemari....” Ketakutan 
Tari mendekat bersimpuh di kaki gurunya. 

“Karena kudengar kau menderita kesedihan yang 
amat sangat, Tari....” Dengan tangan kirinya Bibi Ma- 
draka membelai kepala Tari. 

“Tapi... Bibi masih luka parah....” 

“Ah, apakah kau meremehkan daya penyembuhan 
Bapa Gurumu, Tari? Aku sudah kuat untuk berjalan 
kemari.” 

“Tapi keadaan sangat berbahaya.” 

“Kalaupun aku tewas, aku rela. Kematianku mung- 
kin adalah kehendak Dewata... untuk apa kuberatkan? 
Yang jadi pikiranku adalah kau. Kau sesungguhnya 
punya masa depan yang bisa kuandalkan. Pribadimu 
baik, kecerdasanmu baik. Aku tak ingin kau merusak 
dirimu, merusak masa depanmu hanya oleh persoalan 
kecil ini.” 

“Kakang Tara adalah sahabat baikku, Bibi... ini bu- 
kan persoalan kecil....” 

“Kaulihat tangan kananku, Tari?” 

“Ya, Bibi....” 

“Kau tabu kenapa Bapa Gurumu memotong tangan- 
ku itu?” 

“Ya, Guru. Agar racun tidak menguasai bagian tubuh 
yang lain.” 

“Apakah aku sayang pada tanganku itu?” 

“Tentu, Bibi.” 

“Dan Bapa Gurumu tahu hal itu?” 

“Tentu, Bibi.” 

“Toh ia masih memotongnya juga. Demikian juga ka- 
kangmu Tara. Kurasa... semua orang menyukai anak 
itu. Bapa Gurumu juga sayang padanya. Tapi ada suatu 
hal yang tak bisa diperbaiki dalam sikap seseorang. Ada 
kelemahan Tara yang akan berbahaya jika dibiarkan te- 
rus berkembang nanti. Setidak-tidaknya, begitu yang 
kaudengar dalam pembicaraan tadi. Kau tentu punya 
pendapat lain. Tapi kita sudah terbiasa mengikuti apa 
yang disepakati oleh pertemuan....” 

“Bibi setuju Kakang Tara dihukum mati?” 

Bibi Madraka menghela napas. “Sesungguhnya, ini 
adalah urusan di dalam rumah Kakang Resi. Kau dan 
aku, hanyalah tamu. Seperti juga orang yang dari Daha 
itu. Kalau kau, Sodrakara, orang Daha itu keluar, bera- 
pa orang di pertemuan itu yang membela Tara? Sesung- 
guhnya mereka dapat mencapai sepakat bulat, Tari....” 

“Tapi, Bibi...” 

“Sudahlah, Tari, sesungguhnya aku datang kemari 
untuk suatu maksud lain. Aku meninggalkan padepo- 
kan bukannya tidak diketahui oleh Bapa Gurumu, 
ataupun bibimu Sodrakara. Ada sesuatu yang ingin ku- 
sampaikan. Tindakan Kakang Resi memang cukup te- 
pat. Nyawaku akan tertolong. Tapi betapapun bagian 
tubuhku yang lain akan terkena. Terutama otakku. Aku 
tak bisa merasa pasti bahwa apa yang aku miliki bisa 
kusampaikan padamu... jika aku harus menunggu. Ka- 
renanya, bersiaplah untuk menerima wejanganku ten- 
tang ilmu Coban Saleksa.” 

“Ilmu Coban Saleksa?” 

“Ya. Ini bukan ilmu kewiraan. Ini bukan ilmu kesak- 
tian. Tetapi lebih mirip sebagai ilmu untuk menjaga diri. 
Menurut cerita guruku yang begitu berbudi, Danyang 
Sinom, beliau pernah terkena suatu penyakit yang amat 
berat. Untuk pengobatannya beliau harus memusatkan 
perhatiannya. Tetapi selalu tak berhasil. Kemudian ka- 
kak beliau, Panembahan Megatruh, menciptakan suatu 
ilmu guna pemusatan perhatian itu. Karena beliau 
menciptakannya di antara air terjun Seribu, maka ilmu 
itu dinamakannya Coban Saleksa. Ilmu itu akan mem- 
buka aliran-aliran hidup dalam tubuhmu. Membuka 
otakmu. Membuat kau mudah mencapai ilmu-ilmu 
yang kelak kemudian kaupelajari. Di samping itu, kare- 
na lancarnya peredaran kehidupan dalam tubuhmu, 
kau akan punya suatu daya tolak yang luar biasa. Te- 
rus terang, karena ilmu itulah aku kini masih hidup. 
Kakang Resi dalam gugupnya mungkin lupa akan ilmu 
itu. Dengan diputuskannya salah satu aliran kehidu- 
panku, maka ilmu itu sudah pecah. Dan... aku akan 
terpaksa meninggalkanmu.” 

“Bibi!” Tari sangat terkejut, merangkul kedua kaki 
gurunya. 

“Kau bukan anak kecil lagi, Tari,” suara Bibi Ma- 
draka terdengar tegas. “Mundur dan lakukan langkah 
penyucian yang tujuh!” 

“Bibi...” Tiba-tiba air mata membanjir di pipi Tari. Ia 
tidak bergerak dari tempatnya. 

“Ya, Tari....” 

“Bukan hamba ingin melawan kehendak Guru... tapi 
hamba merasa... begitu sedikit waktu hamba untuk 
berbakti kepada Guru, untuk berterima kasih pada 
Guru. Kalau itu pun tak bisa hamba lakukan, bagaima- 
na jika hamba berterima kasih pada orang tua hamba? 
Tapi... hamba pun tak tahu siapa dan di mana mere- 
ka....” 

Bibi Madraka merenung sejenak. Memang semua 
murid yang diambilnya kebanyakan tak mengenal orang 
tua mereka. Selalu diambilnya pada waktu mereka sa- 
ngat kecil. 

“Bahkan Bapa Gurumu tidak tahu siapa engkau, Ta- 
ri. Jika kau memang bersikeras ingin mengetahui asal- 
usulmu, pergilah ke Gunung Lawu dan temui eyang- 
eyang gurumu... Panembahan Megatruh atau Danyang 
Sinom. Jika kau berkata bahwa kau telah memperoleh 
izin dariku, maka mereka akan memberitahukan ten- 
tang ayah dan ibumu.” 

Kini Tari termenung. Kemudian ia berdatang sembah 
dan mundur, menggumamkan mantra penyucian diri. 

Tak berapa lama guru dan murid itu sudah melupa- 
kan keadaan di sekeliling mereka. Dengan sabar dan je- 
las Bibi Madraka menguraikan apa saja tentang Coban 
Saleksa. Bacaan ilmu itu sendiri berbentuk kidung 
hingga agak mudah dihapalkan oleh Tari. Keterangan 
tentang kata-kata yang ada di dalamnya memang agak 
lama baru merasuk. Kemudian disusul oleh berbagai la- 
tihan pernapasan dan penerapan laku. 

Dan akhirnya, ketika di ufuk timur fajar mulai me- 
nyingsing, terdengar Bibi Madraka berkata lemah, “Se- 
mua sudah kaumiliki Tari, kau tinggal melatihnya saja. 
Jika itu sudah kaukuasai, maka... tanpa petunjukku 
pun kau akan bisa menguasai banyak ilmu. Sekarang, 
bersemadilah untuk memulihkan kekuatanmu.” 

“Baik, Bibi.” Tari menutup mata, mengatur letak ta- 
ngan dan kakinya. Kemudian ia mematikan diri terha- 
dap apa saja yang terjadi di sekelilingnya. 

Sinar matahari mulai menyentuh punggungnya saat 
Tari memutuskan untuk membuka semadinya. Dihi- 
rupnya udara sejuk dalam-dalam. Seluruh tubuhnya te- 
rasa segar. Penuh semangat. Dan hati murungnya sea- 
kan lenyap. Dengan gembira ia langsung meloncat ber- 
diri dan berkata, “Bibi... begitu besar kebaikan hati Pa- 
duka...” Ia tertegun. 

Di depannya bukan Bibi Madraka. Di depannya ber- 
diri Anengah. Pemuda itu tampak gagah dan seram. 
Badannya berkeringat walaupun hari pagi dan hawa be- 
gitu dingin. Bertelanjang dada dengan sinar matahari 
menonjolkan keperkasaannya. Dan dada itu kembang- 
kempis menahan suatu perasaan hati. Lebih aneh, di 
tangannya terpegang pedang telanjang. 

“Kakang Anengah!” seru Tari kaget. 

“Di mana dia?” tukas Anengah tegas. 

“Dia? Jangan kurang ajar, Kakang Anengah, kenapa 
begitu kasar dengan Bibi Guru?” 

“Bibi Guru siapa? Oh, ya, bahkan Bibi Guru juga tak 
ada. Di mana dia?” 

“Lho. Dia siapa? Kau maksud pwangkulun guru ki- 
ta?” Tari menjelaskan. 

“Jangan bergurau. Aku mencari dia. Si Tara!” bentak 
Anengah. 

“Lhoh!” Tari makin terkejut. Mulutnya ternganga le- 
bar. “Kaumaksud... Kakang Tara?” 

“Goblok banget kau ini. Ya! Tara! Jangan pura-pura 
tak mengerti!” 

“Aku memang tak mengerti! Aku berada di sini se- 
malaman dengan Bibi Madraka!” 

“Lalu di mana pwangkulun?” 

“Aku tak tahu. Aku baru saja semadi....” 

“Huh. Jawaban ngawur... sudah. Sekarang, di mana 
Tara?” 

“Aku tak tahu!” Tari menegaskan. “Apakah... apakah 
dia melarikan diri?” 

“Jangan pura-pura tak tahu. Kau pasti yang meno- 
longnya. Dan pasti kauajak kemari. Ada jejaknya me- 
nuju tempat ini!” 

“Tak mungkin. Kalau memang begitu, pasti paling ti- 
dak ia akan membangunkan aku.” 

“Mungkin juga sebetulnya kau tak bersemadi. Hanya 
pura-pura saja. Sesungguhnya pasti kausembunyikan. 
Ada dua jejak menuju kemari. Jejakmu. Dan jejak Tara. 
Dengar, Tari. Jangan bersifat kekanak-kanakan. Semua 
menjatuhkan hukuman mati pada Tara. Kalaupun kau 
menolongnya sekarang, suatu saat hukuman itu pasti 
jatuh ke kepalanya, tahu! Jadi katakan. Di mana kau- 
sembunyikan dia!” 

“Aku tak tahu!” 

“Aku tahu kau memang murid terkasih Sang Resi. 
Tapi kau telah menggagalkan kehendak beliau! Jadi, 
jangan membuat beliau marah. Mana dia!” 

Sikap Anengah membuat Tari meluap marah. Tak te- 
rasa ia bertolak pinggang. Suaranya sedikit gemetar 
saat berkata, “Kakang Anengah. Kalau kau menuduh 
aku berdusta, lebih baik kita tak usah berbicara lagi.” 

Dengan geram Tari berpaling dan melangkah pergi. 
Sekilas saja Anengah telah berada kembali di depannya. 

“Aku tidak menuduhmu berdusta. Aku hanya ber- 
tanya di mana Tara!” 

“Dan aku bilang tidak tahu! Aku semadi semalaman 
di sini. Tanyakan pada Bibi Guru kalau tak percaya.” 

“Enak saja. Bibi Guru juga tak ada.” 

“Kalau begitu minggir saja, aku benar-benar tak ta- 
hu.” 

“Paling tidak kau harus menghadap Bapa Guru lebih 
dahulu.” 

“Kalau saja tidak kausuruh, sesungguhnya aku me- 
mang akan menghadap pwangkulun. Sekarang... jika 
aku ke sana, kaukira aku takut padamu!” Tari mencibir. 

“Dasar kau masih anak-anak,” dengus Anengah. “Ini 
bukan soal takut atau tidak. Ini soal tanggung jawab!” 

Lama mata bulat Tari menatap Anengah. Kemudian 
ia pun mendengus. “Benar kata Lati.” 

“Apa?” Anengah heran. 

“Sikapmu berubah sejak kedatangan Rangga Pra- 
wangsa.” 

“Apa maksudmu?” 

“Kau tahu Bhre Daha mengirim Rangga Prawangsa 
kemari antara lain untuk menyelidiki keadaan siswa 
termuda Bapa Guru. Tuan Rangga tak mengetahui na- 
ma siswa yang dimaksud oleh Bhre Daha. Kini kau ber- 
sikap penuh kematangan dan penuh tanggung jawab. 
Untuk menarik perhatian sarika!” 

“Gila!” desis Anengah. Marahnya meledak. Tapi bi- 
birnya terlihat gemetar menahan suatu perasaan yang 
bukan kemarahan. Kata-kata Tari telak mengenai sasa- 
ran. Dan ketajaman pandangan serta ketajaman lidah 
gadis itu betul-betul terhunjam di hatinya. Dengan ge- 
ram dia berkata, “Tari! Dalam urutan, aku adalah ka- 
kakmu. Aku berhak menghukummu sesuka hatiku. 
Kau betul-betul bandel. Sekarang kuperintahkan pada- 
mu, katakan di mana Tara atau kuseret kau ke hada- 
pan Bapa Guru!” 

“Kaukira aku takut?” tantang Tari nekat. Ia marah 
pada sikap Anengah. Ia marah karena Anengah tidak 
membela Tara. Ia marah karena ia mengira Anengah 
bersikap tidak jujur dalam hubungan dengan utusan 
Bhre Daha. Ia ingin melampiaskan kebuntuan hatinya 
pada sesuatu. Dan sesuatu itu saat ini adalah Anengah. 
Ia nekat. 

“Gila!” desis Anengah. Gemetar tangannya menahan 
diri. Sesaat seolah-olah akan menerjang Tari. Tapi ke- 
mudian ia seakan menelan kemarahannya. “Baiklah. 
Aku tak ingin bertengkar dengan anak kecil. Sesukamu- 
lah. Tapi aku akan mencari Tara. Pasti kutemukan!” 

Beberapa saat mata Anengah bagaikan membakar 
Tari. Kemudian ia berpaling dan berlari ke arah timur. 

Lama Tari termenung. Ada yang rasanya kurang pas. 
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya. 

Pertama, betulkah Tara hilang? Atau melarikan diri? 
Atau... pokoknya lolos dari hukuman? Melarikan diri 
rasanya tidak mungkin. Ruang Sunyi sulit untuk dite- 
robos, apalagi kini dijaga ketat. Lagi pula, rasanya Tara 
tak akan sepengecut itu... melarikan diri dari tanggung 
jawab. Lalu ke mana? Kedua... di mana Bibi Madraka? 
Mustahil Anengah tak menemukannya? Ketiga... bagai- 
mana pribadi Anengah sesungguhnya? Ia merasa tadi 
saat ia menuduh, pemuda itu tampak terpukul. Tetapi 
ternyata ia dapat menguasai diri. Mungkinkah ia tidak 
berhati serendah itu? Keempat... ia sesungguhnya se- 
dang bergembira karena telah memiliki ilmu Coban Sa- 
leksa. Memang ia masih banyak harus berlatih. Yang je- 
las, ini suatu langkah yang hebat! 

Angin bertiup keras. Rambutnya yang terurai agak 
lengket oleh keringat. Ia berpaling ke arah barat. Agak 
jauh di bawahnya, terlihat menara pemujaan. Dan Pa- 
depokan Rahtawu. 

Tempat itu tak akan sama lagi. Apa pun yang terjadi 
nanti, semua kenangan manis tentang tempat itu akan 
terhapus. Mungkin ia akan membenci tempat itu. 

Apakah lebih baik jika... jika ia tidak mengunjungi 
tempat itu lagi? Ia bisa memohon pada Bibi Madraka 
agar mulai saat itu ia tak usah pergi ke Rahtawu lagi. 
Lebih baik mengikuti Bibi Madraka mengembara saja. 

Tiba-tiba ia terkejut. Ada sesuatu yang aneh pada 
padepokan di bawahnya itu. Tak ada asap mengepul. Ini 
aneh. Isi padepokan itu masih cukup besar. Dan me- 
reka pasti menghendaki makan. Tapi dapur sama sekali 
tak berasap. Mungkinkah karena sedang berkabung? 
Yang aneh lagi... ya... Tari mencoba mempertajam pan- 
dangan matanya. Tapi benar. Tak ada satu pun orang 
tampak di halaman padepokan. Tak ada satu pun! Hei. 

Cepat Tari berlari turun. Ada jalan setapak memang, 
tapi jalan itu harus melewati berbagai semak-semak 
dan batu-batu besar. Dengan gesit Tari berlompatan da- 
ri batu ke batu atau melesat menerobos semak-semak. 

Dadanya semakin berdebar sewaktu ia semakin de- 
kat. Padepokan itu sangat sunyi. 

Di depan gapura ia ternganga. Gapura itu pun ter- 
nganga. 

Di halaman hanya ada beberapa belas ekor ayam. 
Dan di lapangan ada beberapa ekor kambing. Tak ada 
seorang manusia pun. 

“Hei...” Tari melompat masuk. Gugup ia berlari me- 
nyeberangi halaman. Tak ada orang. Ia masuk ke pe- 
mukiman para wanita. Tak ada orang. Dapur pun sepi. 
Tak ada orang! 

Tari berlari sampai ke halaman belakang. Ia masuk 
ke biliknya. Bilik-bilik orang lain kosong. Barang-barang 
yang ada hanyalah barang yang tak terlalu diperlukan. 

Terdengar suara seseorang bergerak di luar bilik. Tari 
cepat melompat ke luar lewat jendela. 

Seseorang memang berdiri di halaman samping. 
Anengah. 

“Kau?” Tari setengah bertanya setengah memanggil. 

“Mereka sudah pergi. Kalau kau tadi cepat-cepat pu- 
lang mungkin kau masih bertemu dengan Bapa Guru,” 
kata Anengah. 

“Mereka... pergi ke mana?” Tari makin heran. 

Anengah duduk di pagar dalam, mempermainkan 
pedangnya. 

“Tadi malam, Bapa Guru memutuskan untuk me- 
ninggalkan padepokan ini...,” kata Anengah perlahan. 
“Rombongan demi rombongan berangkat. Tujuannya 
berbeda-beda. Hanya kepala rombongan kecil saja yang 
tahu mereka akan ke mana. Rombongan Bapa Guru te- 
rakhir berangkat. Pagi tadi, sesungguhnya sebelum ka- 
mi berangkat, Tara harus dihukum mati. Ternyata ia hi- 
lang.” Anengah terdiam sesaat. “Juga ketahuan bahwa 
kau tidak ada. Juga Bibi Guru. Aku ditugaskan menca- 
rimu. Yang lain langsung berangkat sambil mencari 
Tara.” 

“Tadi kau menyuruhku menemui Bapa Guru!” tuduh 
Tari. 

“Saat itu... mungkin kau masih bisa mengejar Bapa 
Guru. Kau tak bertanya di mana pwangkulun. Kau lang- 
sung menuduhku yang bukan-bukan. Terus terang, se- 
sungguhnya ingin kau kutinggalkan saja. Hanya... aku 
tak tega.” 

“Ke mana Bapa Guru?” 

“Tak ada yang tahu. Bapa Guru tak ingin jatuh kor- 
ban lebih banyak lagi.” 

“Lati? Rati?” 

“Aku tak tahu. Tak akan ada yang tahu. Kecuali rom- 
bongan itu sendiri. Dan mungkin Bapa Guru.” 

“Kakang sendiri... mau ke mana?” Tari bingung. 

Anengah lama tak menjawab. Ia turun dari pagar. 
Berjalan menunduk di antara bangunan-bangunan 
yang kosong. Sebuah batu ditendangnya. Batu itu ter- 
lontar dan pecah berkeping-keping. Ia berpaling. Berja- 
lan mendekati Tari. 

“Aku tak tahu. Perintah Bapa Guru agak membi- 
ngungkan. Aku harus mengikutimu. Sungguh. Tak pe- 
duli ke mana pun kau pergi. Tugas utamaku mencari 
Tara. Dan menghukumnya. Tugas kedua, mengikuti. 
Hanya itu.” 

“Aneh!” 

“Memang.” 

Keduanya termenung. 

“Aku akan pulang ke...” Tari ragu-ragu. 

“Itu adalah salah satu tempat yang dilarang dikun- 
jungi oleh Bapa Guru. Pusat perguruanmu mungkin 
adalah sasaran penyebar maut itu...,” tukas Anengah. 

“Mungkin Bibi Madraka pulang ke sana.” 

“Bibi Madraka entah pergi ke mana. Mungkin telah 
diberi tahu Bapa Guru terlebih dahulu.” 

“Aku akan pulang. Aku tak peduli. Mungkin Bibi Ma- 
draka juga pulang ke Walirang. Dan mungkin sarika* 
memerlukan bantuanku,” Tari mengambil keputusan. 

“Bapa Guru berkata tempat itu harus dihindari,” ka- 
ta Anengah. 

“Aku lebih khawatir akan keadaan Bibi Madraka.” 

“Kau berani menyalahi kata-kata Bapa Guru?” 

Tari menunduk. Kemudian mengangguk. “Tak apa. 
Aku tak punya maksud durhaka. Aku hanya ingin me- 
nemui Bibi Madraka. Bapa Guru akan mengerti.” 

Tari bergegas ke asrama tempat ia tinggal. Diambil- 
nya beberapa lembar kainnya, beberapa peralatan un- 
tuk bepergian jauh yang biasanya dibawa oleh teman- 
temannya serombongan, sebuah topi pandan lebar, alas 
kaki, karung beras, air... dan ia merenungi tongkat yang 
biasa dibawa oleh Bibi Madraka. Tongkat dari jantung 
kayu asam. Hitam mengkilap. Lurus dan keras. Ia me- 
mutuskan untuk membawa tongkat yang oleh kawan- 
kawannya diberi julukan “si Galih” itu. Si Galih dahulu 
sering dipakai untuk menghukumnya jika ia salah ge- 
rak. Dan akhir-akhir ini dipakai untuk membantu Bibi 
Madraka berjalan. Bukan karena sang guru itu harus 
bertongkat, tetapi sekadar penopang serba guna saja. 
Kadang-kadang bahkan bisa dipergunakan untuk senja- 
ta. 

Agak lama Tari memperhatikan tongkat itu. Hitam. 
Halus. Mengkilap. Entah sudah berapa tahun umurnya. 
Seingat Tari, sewaktu ia baru mulai diberi pelajaran tata 
gerak, tongkat itu sudah ada. Pada umur lima tahun, 
saat ia menerima pelajaran melompat, tongkat itu men- 
jadi palang penghalang untuk loncatannya. Dan saat ia 
mulai belajar memainkan senjata pada umur delapan 
tahun, gurunya sering mengumpamakan tongkat itu 
pedang. Atau tombak. Atau sekadar tinju lawan. 

Kapankah tongkat ini akan kembali ke tangan pe- 
miliknya? 

Tari tersentak dari lamunannya. Sayup-sayup dide- 
ngarnya suara seruling. 

Anengah tak dapat bermain suling. Atau, paling tidak 
tidak semerdu itu. Tara... ya, dia pandai bermain suling. 
Tapi tak mungkin dia. Orang lain yang pandai bermain 
suling adalah... ah, itu pun tak mungkin. Si Gita, putra 
Paman Kanigara. Tapi Gita masih kecil. Sedang lagu 
ini... rasanya terlalu sulit bagi seorang anak gembala se- 
perti Gita. 

Tari bergegas keluar. Ke halaman yang begitu sepi. 
Suara itu datang dari arah depan. Dengan membawa 
buntalan barang-barang serta tongkatnya, Tari berlari 
ke depan. 

Anengah berdiri di tengah pintu gerbang. Menghadap 
ke luar. Dan di tengah padang rumput di depan pintu 
gerbang itu, seseorang tampak duduk bersila di tanah. 
Meniup seruling. 


3. TANTRI 


“SIAPA DIA?” bisik Tari yang tak bersuara berdiri di be- 
lakang Anengah. 

“Aku tak tahu. Dia belum mau berbicara. Entah ka- 
wan, entah lawan.” 

“Kurasa ia tak bermaksud jahat pada kita,” bisik Tari 
lagi. “Kalau tidak, kenapa ia menampakkan diri begitu 
saja? Dan lagu yang dimainkannya adalah Kidung Sri 
Gandra. Kidung itu berisi pesan persahabatan. Agaknya 
ia ingin bersahabat.” 

“Dasar kau tak punya pengalaman. Bisa saja ia me- 
nipu.” 

“Kedengarannya ia orang yang terpelajar. Dan jujur. 
Pasti ia bukan orang tidak baik.” 

“Biar kutanyai dia....” 

“Jangan. Biar diselesaikannya dulu lagu itu.” Baru 
saja Tari selesai berkata begitu, irama seruling berubah. 
Seakan gembira. Seakan tertawa. “Hei, ini bukan Ki- 
dung Sri Gandra ,” bisik Tari pada Anengah. “Sri Gandra 
tak bisa dimainkan selincah itu. Aku tahu. Bibi Madra- 
ka sering menyanyikannya untukku waktu aku masih 
kecil.” 

Irama yang dilagukan masih lincah dan riang. Ber- 
lompat-lompat. Menggerakkan hati. 

“Ah. Aku tahu. Ini lagu para nelayan di daerah Hu- 
jung Galuh. Aku ingat betul. Beberapa tahun yang lalu 
aku diajak Bibi Madraka menyusuri Sungai Suwarna. 
Dan di Hujung Galuh ada pesta besaaar sekali. Sebuah 
kapal besar baru merapat. Para nelayannya berpesta- 
pora, dan lagu itu dimainkan. Lucu. Para wanitanya 
menari dengan gaya yang aneh. Hanya maju-mundur 
dan melenggang-lenggang. Bahasa mereka agak lain 
dengan kita. Apakah orang ini dari sana.” 

Terdengar lagu berubah lagi. Kini mengalun-alun. 
Seakan tiupan angin. Di sela sekali-sekali oleh lengking- 
an tinggi bagaikan pekikan burung camar. “Ah, seperti 
di laut, ya,” bisik Tari. 

“Huh. Kau pernah ke laut?” tanya Anengah, sedikit 
terlihat rasa irinya. 

“Pernah saja! Waktu itu aku berangkat dari Hujung 
Galuh,” Tari tak menyembunyikan rasa bangganya. 
“Kau saja yang seperti katak di bawah tempurung. Kami 
murid-murid Bibi Madraka sudah berkunjung ke mana 
saja!” 

“Makanya ilmu kalian tak maju-maju,” dengus Ane- 
ngah. 

“Daripada maju tapi tak tahu utara-selatan,” tukas 
Tari asal membantah saja, kekanak-kanakannya mun- 
cul. “Kau pernah ke Kembang Putih, ke Kamal Pandak? 
Tak mungkiiin!” 

“Tapi kau ke tempat-tempat itu paling juga hanya 
meminta-minta belas kasihan orang. Apa enaknya! Ja- 
lan jauh, capek, makanan tak keruan!” Anengah juga 
lupa akan ke “angkeran” dirinya. Ia meladeni gaya ke- 
kanak-kanakan Tari. Sesaat Tari tercengang juga meli- 
hat gaya berbicara Anengah. Belum pernah Anengah 
begitu bebas berbicara. Bebas dalam arti tidak terlalu 
terkungkung oleh kepura-puraan dan basa-basi. Ya. 
Mungkin itu yang terjadi. Mungkin Anengah bersikap 
angkuh dan sok berwibawa untuk membedakan dirinya 
dari siswa lain. Terutama Kang Tara yang selalu ber- 
canda dan ceria. Mungkin... karena sekarang merasa 
tak ada saingan, Anengah bisa kembali pada pribadi 
yang menyenangkan. Tapi... rasanya tak akan ada yang 
bisa menggantikan kedudukan Kang Tara. 

“Anak tolol, apa yang sedang kaurenungkan?” tiba- 
tiba Anengah bertanya. Dan Tari tersentak dari lamu- 
nannya. Dirasakannya betapa janggalnya mereka. En- 
tah bagaimana ia dan Anengah telah duduk seenaknya 
di telundakan pintu gerbang, berhadapan, seolah-olah 
tak ada hal lain yang harus mereka perhatikan. 

“Jika kau memang maju, coba bagaimana kau bisa 
melakukan langkah ke-26 dari Sura-caya tanpa tangan- 
mu harus terangkat, hayo!” Tari melanjutkan suasana 
yang mereka buat itu. Ia bersandar ke gapura, duduk 
seenaknya dan tak menghiraukan suara seruling yang 
mendayu-dayu itu. 

“Mudah saja. Kautekuk kaki kananmu, kauputar 
bahumu ke kiri, dan dengan menggelengkan kepala ke 
kanan maka tubuhmu akan maju ke depan tanpa ta- 
nganmu terangkat. Itu pun kalau kau sudah melaku- 
kan langkah sebelumnya dengan benar. Jangan tanya- 
kan langkah sebelumnya, sebab kemungkinan kau ti- 
dak mengujiku, tetapi memang bertanya!” 

“Gila apa! Untuk apa bertanya padamu,” Tari menci- 
bir. 

“Hei, tanya saja padaku!” tiba-tiba sebuah suara me- 
lengking terdengar. Keduanya menoleh. Ternyata orang 
yang meniup seruling itu telah mendatangi. Dan kini ti- 
dak meniup seruling lagi. Dan kini tampak bahwa orang 
itu bukannya orang dewasa, tetapi seorang anak lelaki 
yang kemungkinan baru berumur sekitar dua belas 
atau empat belas tahun. Wajahnya tampan sekali, ma- 
lah mendekati cantik. Kulitnya kuning bersih. Matanya 
bersinar-sinar. Ia memakai kain yang tampaknya sudah 
berpuluh tahun tidak dicuci. Selembar kain kasar me- 
nutupi dadanya yang terbuka. Kainnya hanya diikat 
dengan tali. Dan di tali itu terselip seruling putih dan 
sebuah kantungan bekal. “Tanya saja padaku, pasti aku 
jawab!” 

“Apakah kami mengajak bicara kanyu(kamu)?’ sela Ane- 
ngah. Kini sudah berubah lagi. Kini seperti biasa: tajam, 
mantap, bersungguh-sungguh. 

“Tentu saja tidak, tetapi kalau tidak dimulai seka- 
rang, kapan lagi. Sejak tadi aku menunggu ditegur. 
Wah, di sini kok sepi. Kabar yang kuterima mengatakan 
di sini ramai!” anak itu menjawab seenaknya. 

“Ramai karena apa?” Anengah tampak curiga. Dan 
Tari bisa melihat bahwa tekanan yang beberapa saat ini 
dirasakannya mulai muncul di wajahnya: marah, kesal, 
putus asa, dan ketegangan. Pedang telanjangnya telah 
diselipkan tanpa disarungkan ke ikat pinggangnya. Tapi 
tangan kirinya seolah tak sengaja mendorong hulu pe- 
dang itu hingga maju dan mudah dicabut kapan saja. 
Dalam hati Tari merasa bahwa ketegangan Anengah 
pastilah sudah pada puncaknya. Anengah yang biasa 
angkuh itu... masakan kalau perlu menghadapi anak ini 
harus menggunakan pedang? 

“Ya karena ada orang. Benar bukan, Kak...?” anak 
itu meringis pada Tari. Giginya putih bersih, rata, dan 
bibirnya bahkan sedikit memerah. “Lha kalau di hutan 
kadang-kadang memang ramai... tapi ramainya hutan 
lho, kan tidak cocok bagi kita manusia! Masa aku harus 
berbicara dengan harimau, kijang... masih untung. Lha 
kalau bicara dengan ular pakai bahasa apa, hayo!” 

“Siapa dan dari mana kanyu?” Anengah sama sekali 
tidak tergoda untuk tersenyum, walaupun Tari hampir 
terkikik oleh lagu bicara anak itu yang begitu aneh. 

“Namaku Tantri. Boleh dikata aku ini anak angin, 
tak pernah punya tempat tinggal. Jadi kalau ditanya da- 
ri mana, yah... bagaimana, ya... pertanyaannya jangan 
sulit-sulit ah. Kita sendiri siapa?” ia balas bertanya. Ta- 
pi pada waktu bertanya siapa lawan bicaranya itu, anak 
tadi tidak menghadap Anengah, malah menoleh pada 
Tari. 

“Hei, kanyu bertanya padaku atau padaku?” Tari 
mencoba melepaskan beban di hatinya dengan menga- 
jak berbicara ringan dengan anak ini. 

“Benar, pada kita dan pada kita,” anak itu tertawa 
mendengar permainan kata Tari. Kita memang berarti 
kau ataupun aku. “Suaranta bagus. Aku senang men- 
dengarnya. Pikiranta indah, aku suka melihatnya. Pe- 
ngalamanta luas, aku suka berkelana di dalamnya....” 

Mau tak mau Tari tertawa mendengar gaya bicara 
anak itu. “Namamu Tantri? Namaku Tari. Dan ini...” 

Kata-kata Tari terputus. Anengah melompat ke anta- 
ra Tari dan Tantri, kakinya melecut ke arah tangan Tan- 
tri. Tantri menjerit keras. Tubuhnya yang kecil terlem- 
par terpental dan jatuh terkangkang di tanah. 

“Kakang Anengah!” Tari berteriak langsung melompat 
mencegah tendangan kedua Anengah. 

“Kau lupa peristiwa yang baru terjadi. Dan kau begi- 
tu saja mempercayai orang,” dengus Anengah dengan 
sikap masih akan melancarkan serangan. “Yang mem- 
bunuh begitu banyak saudara-saudara kita adalah seo- 
rang wanita cantik yang katanya mirip bidadari. Apa 
susahnya bagi seorang anak untuk mencabut nyawa ju- 
ga?” 

Tari menelan kembali kata-kata marah yang akan 
disemburkannya. Betapapun Anengah benar. Ia tak 
kenal anak ini. Dan kemungkinan bahwa anak ini juga 
diperalat oleh siapa pun yang memusuhi padepokan ini 
masih ada. Tari melangkah mundur. Diliriknya anak 
yang mengaku bernama Tantri itu berguling-guling di 
tanah sambil memegang tangan kanannya yang tadi 
terkena tendangan Anengah. Dan anak itu menangis! 

“Hu hu huuuu... kalian sungguh galak..., sungguh 
tidak sesuai dengan... dengan... sebagai murid-murid 
padepokan yang mestinya... mestinya belajar mengasihi 
sesamanya, hu hu huuuu. Makanya tempat kalian sepi 
begini... paling semua orang lari, habis... habis kalian 
galak sih. Huhu huuuu... walaupun kalian jaga kaki 
gunung ini dengan pagar betis pun... pasti orang akan 
lari semua. Hu hu hu... tapi, eh, isi padepokan ini kan 
tinggal kalian berdua toh? Lalu... untuk apa kaki gu- 
nung kalian jaga?” dari menangis Tantri mengubah si- 
kap jadi bertanya. Dia kini sudah berdiri sambil terus 
mijit-mijit tangan kanannya. Tari melihat tangan itu 
mulai memerah bagai terbakar. Itulah akibat tendangan 
Birawadana Anengah tadi. 

“Apa katamu?” tangan Anengah secepat kilat melun- 
cur dan menyambar kain pembungkus badan Tantri. 

“Eh, eh, apa aku salah bicara ya?” Tantri sangat ke- 
takutan. 

“Kaubilang kaki gunung ini dijaga?” Anengah meng- 
guncang-guncang tubuh anak itu. 

“Be... benar! Apanya yang aneh? Kita pasti tahu itu, 
kan?” 

Baru kini Tari sadar mengapa Anengah tampak begi- 
tu gusar. 

“Siapa yang menjaga? Di mana?” tanya Anengah. 

“Eh, eh, jadi bukan kita? Orangnya galak-galak... di 
hutan yang ada jalan setapaknya ke Kojajar?” 

“Apa yang mereka lakukan?” 

“Tadinya mereka melarang aku naik. Aku bilang aku 
cari kambingku yang lepas. He he he he... aku pandai 
bermain sandiwara lho! Dulu di...” 

“Apakah mereka memakai seragam? Mereka mema- 
kai tanda-tanda?” tukas Anengah. Tari ikut tegang 
mengikuti pembicaraan ini. 

“Seragam? Tidak... tidak kok. Mereka malah lebih 
mirip perampok. Mukanya menyeramkan, pakaiannya 
tak keruan... cuma, pemimpinnya naik kuda. Dan di pe- 
lana kuda itu aku lihat cap bergambar.... Ya, ada gam- 
bar mirip Candrakapala ..Dan Tantri menirukan Can- 
drakapala itu, yaitu tengkorak yang bertaring. 

“Candrakapala? Lambang Kadiri dulu?” Tari ikut 
berbicara. “Lambang itu sudah lama hilang.” 

“He he he... aku juga bilang mirip. Rasanya sih bu- 
kan lambang Kadiri kok. Kalau Kadiri lambangnya begi- 
ni,” Tantri membelalakkan matanya lebar-lebar. 

“Apa kata mereka?” Anengah masih mencengkeram 
kain pembalut badan Tantri. 

“Wuah. Mereka galak. Lebih galak dari kita,” kata 
Tantri. “Mula-mula aku tak boleh masuk. Kemudian 
mereka memperbolehkan aku masuk. Tapi pemimpin- 
nya bilang, barang siapa yang sudah naik gunung ini, 
tak boleh keluar lagi. Harus dibunuh. Serem, ya? Me- 
ngapa kita buat peraturan aneh itu?” 

Anengah mengempaskan Tantri ke tanah. Gemas ia 
berbalik menghadap pintu gerbang padepokan. Ta- 
ngannya mengepal keras. Tubuhnya tampak tegang. 
Mau tak mau Tari harus berpendapat bahwa saudara 
seperguruannya ini terlihat sangat memikirkan pergu- 
ruannya. 

Kemudian Anengah berpaling lagi. Wajahnya begitu 
muram. 

“Bapa Guru memerintahkan aku untuk selalu men- 
jagamu, mengikutimu. Kau kularang pulang ke Wali- 
rang, karena itu larangan Bapa Guru. Kau tampaknya 
kurang percaya padaku. Baiklah,” Anengah menghela 
napas panjang, “aku akan melanggar perintah Bapa 
Guru. Harapanku hanyalah, suatu saat pwangkulun 
akan memberiku ampun. Tugas utamaku mencari Tara, 
itu akan kulaksanakan. Tugas keduaku menjaga eng- 
kau, tapi karena kau tak peduli, biar kulanggar tugas 
itu. Aku rasa ada tugas lain yang lebih penting. Yaitu... 
mencari siapa sebenarnya yang begitu membenci Rah- 
tawu hingga ingin membasmi kami sedemikian rupa. 
Nah, sekarang terserah kau, Tari. Jika kau pergi sendiri, 
dan suatu saat menemui kesulitan, hubungi aku de- 
ngan getaran batinmu. Jika kau tewas di tangan seseo- 
rang, aku akan membalaskan dendammu. Terserah kau 
mau ke mana.” 

“Tunggu, Kakang Anengah,” Tari cepat mencegah 
saat Anengah akan berpaling pergi. “Maafkan aku tadi... 
begitu kasar padamu. Aku tahu... kau tertekan oleh pe- 
ristiwa ini. Aku pun demikian. Kita bersaudara, tak ada 
yang bisa memutuskan persaudaraan kita. Apalagi 
hanya dengan pertengkaran kecil itu.” 

“Lalu?” hidung Anengah mengembang karena mena- 
han haru. 

“Kau lebih tua dari aku. Aku akan ikut kau. Asal kita 
segera berangkat.” 

“Aku ikut,” kata Tantri. “Aku bisa mati kalau harus 
melewati orang-orang di kaki gunung itu.” 

“Dengar. Aku masih mencurigaimu,” dengus Ane- 
ngah. 

“Aku... aku betul-betul orang baik-baik kok. Aku ke- 
mari hanya... ingin minta makan dan minum serta tem- 
pat istirahat beberapa hari. Itu saja. Benar. Kudengar 
Padepokan Rahtawu sangat murah memberi dana....” 

“Sudahlah, kalau kau mau ikut, ikutlah... tapi ja- 
ngan bikin gara-gara, ya!” Tari menggamit tangan Tantri 
agar mendekat untuk menghindari sambaran tangan 
Anengah. 

“Hm, Tari, kau tak boleh begitu saja mempercayai 
orang. Kauperhatikan dia terus. Jika dia berbuat sesua- 
tu yang mencurigakan, bunuh. Tunggu, aku akan men- 
gambil perbekalan.” 

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga sudah da- 
lam perjalanan turun gunung. Anengah kini mengena- 
kan pakaian petani, dengan caping lebar, kain kasar, 
dan buntalan perbekalan di punggungnya. Pedangnya 
dibungkus kain dan dijadikan pemikul buntalan tadi. 
Tari juga berpakaian serupa. Tongkat si Galih dijadikan 
kayu pemikulnya. Tantri tentu saja tak berubah penam- 
pilannya. “Untuk apa menyamar. Walaupun kita me- 
nyamar pun orang takkan percaya kita petani. Aku sen- 
diri... tanpa menyamar orang pasti mengira aku orang 
gila. Ya toh?” katanya. 

Menjelang sore hutan yang mereka tempuh mulai 
menipis. 

“Hei, bukankah ini jurusan ke Kojajar?” tanya Tantri 
tiba-tiba. “Di ujung jalan ini dijaga manusia galak!” 

Anengah tak menjawab. 

“Kakang Anengah ingin menyelidiki mereka,” bisik 
Tari. “Dan kurasa s arika ingin melampiaskan kemara- 
hannya pada seseorang. Aku juga begitu.” 

“Kita labrak mereka?” Mata Tantri bersinar. 

“Ya. Kau takut?” 

“Takut sih tidak. Tapi aku tak bisa berkelahi. Aku 
nonton saja, ya? Kalau kita berdua kalah, aku pura- 
pura tidak kenal, jadi tak ikut ditangkap, ya?” 

“Kalau memang terjadi pertempuran, kau lari saja. 
Ingat, ya?” 

“Boleh!” Tantri mengeluarkan serulingnya, dan sam- 
bil berlari-lari kecil ia meniupkan lagu gembira pada se- 
rulingnya. 

Anengah yang tak sabar telah menggunakan ilmu ja- 
lan cepatnya. Tari harus mengikutinya, maka ia pun 
menggunakan ilmu yang sama. Tantri sendiri agaknya 
tak memiliki ilmu apa pun, jadi ia harus berlari-lari ke- 
cil. 

Waktu Tantri meniup seruling sambil berlari-lari ke- 
cil, Anengah melirik tajam pada anak itu. Dan pandan- 
gan matanya bertemu dengan pandang mata Tari. Jika 
memang Tantri tak punya ilmu, paling tidak ia harus te- 
rengah-engah. Kini dengan enak ia malah meniup serul- 
ing. 

Tiba-tiba Anengah berhenti dan menjulurkan kaki- 
nya. Tari dengan mudah melewatinya. Tetapi Tantri 
langsung jatuh terbanting tunggang-langgang memben- 
tur kaki Anengah. 

“Hei, kalau berhenti jangan terlalu tiba-tiba. Wah, 
benjol kepalaku ini....” Tantri mengusap-usap dahinya 
yang terbentur pohon. Tari memperhatikannya. Ane- 
ngah mengangkat bahu. Ia merasakan dari benturan 
tadi bahwa Tantri tak punya tenaga apa pun. Aneh juga. 

Mereka melanjutkan perjalanan. Jalan kini kian me- 
lebar. Pepohonan pun kian menipis. 

“Itu mereka,” tiba-tiba Tantri berkata. Mereka ber- 
henti. Di depan sana hutan berakhir. Jalan yang me- 
reka lalui melebar di sebuah padang rumput kecil. Di 
sisi padang rumput itu ada serumpun pohon bambu. 

Rindang sekali. Dan beberapa lelaki duduk-duduk di 
sana. Tak jauh dari mereka berkumpul beberapa ekor 
kuda. Kemunculan Anengah, Tari, dan Tantri dari da- 
lam hutan langsung membuat orang-orang itu berdiri. 
Dengan sikap garang mereka mengambil kedudukan di 
ujung jalan itu, hingga ke mana pun ketiga orang itu 
pergi maka dengan mudah dapat mereka tangkap. 

Tapi Anengah dan Tari bukanlah orang yang mudah 
ditakut-takuti. Mereka tidak lari. Dengan tenang berja- 
lan mendekat. 

“Hei, kamu!” seorang bertubuh tinggi besar dengan 
rambut tumbuh hampir di seluruh tubuh membentak. 
“Dari mana, hei?” 

“Siapa kalian?” bentak Anengah tak kurang galak- 
nya. 

“Monyet! Aku bertanya padamu, hei!” 

“Terserah. Kalau kau tak mau menjawab, aku juga 
tak mau menjawab!” sahut Anengah. Kedua orang itu 
langsung berbicara dengan bahasa kasar, tidak seperti 
biasanya jika seseorang jumpa di jalan dengan orang 
lain. 

“Monyet! Namaku Kala Modot, kau pasti sudah de- 
ngar nama itu bukan? Aku raja perampok di daerah ini. 
Nah, jawab pertanyaanku tadi!” 

“Jika kau raja, mengapa kau merampok? Jika kau 
raja perampok, jelas kami bukan rakyatmu, kami bukan 
perampok kok!” Tantri ikut berbicara. “Lagi pula, jadi 
raja perampok saja kok bangga sih?” 

“Pokoknya, serahkan semua hartamu. Cepat!” geram 
perampok yang bernama Kala Modot itu. “Lebih bagus 
lagi, serahkan kepala kalian!” 

“Kau terlalu serakah,” dengus Anengah. “Ketahuilah, 
ini masih daerah pengaruh Padepokan Rahtawu. Dan 
sebagai murid Rahtawu, aku tak rela daerah ini dikotori 
oleh orang-orang macam kau!” 

“Weeee lhah! Kau murid Rahtawu! Wah, wah, wah, 
untung besar ini kita, kawan-kawan....” Kala Modot ter- 
tawa dan berpaling pada kawan-kawannya. “Dapat ma- 
kanan besar kita kali ini. Ha ha ha... Anak bagus, se- 
rahkan dirimu baik-baik saja ya, sayang kulitmu jika 
pecah....” ia tertawa pula pada Anengah. 

“Hari ini aku melanggar pantangan membunuh,” ka- 
ta Anengah dingin. “Akan kubasmi kalian semua. Tapi 
jika kalian mau berterus terang tentang siapa yang me- 
nyuruh kalian berada di sini, mungkin nyawa kalian 
masih bisa kuampuni.” 

“Weeee lhah! Lha ini lucu... kamu itu aku yang ngan- 
cam, Nak! Kamu tidak pantas mengancam orang! Sini... 
mana lehermu biar kupotong sendiri sini....” Kala Modot 
tertawa mengulurkan tangannya. Akibatnya hebat. Ta- 
hu-tahu saja orang bertubuh tinggi besar itu terbanting 
begitu keras hingga suaranya membuat kuda-kuda 
menjerit. 

“Bangsaat. Monyet! Celeng!” Kala Modot memaki- 
maki bangkit. “Kamu tak bisa disayang, yah! Kawan- 
kawan... gempur!” 

Serentak sekitar sembilan orang maju menerjang 
Anengah. Dengan tenang Anengah menggeser kaki. Dan 
ketika ia memutar tubuh maka dua-tiga penyerang 
tunggang-langgang kena sambaran tinju dan kakinya. 
Tari segera meletakkan buntalannya dan dengan tong- 
kat si Galihnya ia menghantam roboh tiga orang pe- 
nyerang. “Tantri, minggir kau!” teriak Tari sambil me- 
robohkan lawannya yang keempat. 

“Uupps!” Kala Modot terkejut. Enam orang kawannya 
telah roboh dalam gebrakan pertama! Mereka langsung 
bangkit dan mengepung Anengah, Tari, dan Tantri. 

“Cincang mereka!” teriak Kala Modot. Ia pun meng- 
hunus sebilah pedang panjang. Udara pun langsung te- 
risi oleh kilatan berbagai senjata lainnya. Parang. Pe- 
dang. Tombak. Gada besi. Keris. Dan mereka langsung 
menyerbu Anengah. 

“Minggir, Tantri.” Dengan lembut Tari menendang 
Tantri hingga anak itu terlempar ke pinggir, sementara 
ia langsung melompat menghadang. Gerak kaki Sura- 
caya yang dipakainya begitu lembut. Ia bagaikan me- 
nari. Ke kiri. Ke kanan. Maju. Mundur. Dan setiap gera- 
kan berarti satu serangan lawan digagalkan. Anengah 
menggunakan tata gerak yang sama. Tetapi gerakannya 
begitu mantap dan gagah. Dan tak segan-segan ia me- 
lontarkan tendangan yang pasti disusul oleh jeritan se- 
ram. Juga derakan patah berbagai senjata tadi. Bahkan 
gada besi yang pemiliknya sudah gembira karena gada 
tersebut berhasil menyentuh babu Anengah, tiba-tiba 
meledak patah oleh gerakan bahu itu. 

Orang-orang itu kemudian bergelimpangan di tanah. 
Masing-masing paling sedikit meringis kesakitan. Ada 
yang pingsan. Ada yang berputar-putar dengan kaki pa- 
tah. Kala Modot tak bisa berbuat apa-apa. Perutnya di- 
injak oleh Anengah. 

“Jika aku tekan sedikit lagi, perutmu akan meletus, 
kau tahu itu?” kata Anengah geram. Wajahnya sangat 
seram karena terkena percikan darah dan mengkilap 
oleh keringat, matanya memancarkan amarah. “Siapa 
yang menyuruh kalian berada di sini?” 

“Aku... akhhhh... jangan! Jangan!” agaknya Kala 
Modot akan berdusta tetapi Anengah memperkeras te- 
kanannya. 

“Hi hi hi hi... banyak mainan nih....” Tantri berlom- 
patan ke sana kemari mengambil berbagai potongan 
senjata yang berserakan di tanah. “Lumayan... lain kali 
cari yang banyak tombaknya, ya, bisa buat lempar- 
lemparan lho,” katanya pada Tari. 

Tari tak memperhatikan dia. Baru kali ini ia berta- 
rung melawan orang yang tak dikenalnya, dan dengan 
semangat untuk betul-betul membela diri atau terbu- 
nuh. Dadanya berdebar keras. Matanya jalang melirik 
ke mana-mana. Beberapa orang masih tergeletak. Bebe- 
rapa orang mencoba bangkit. Seseorang sedang ter- 
huyung-huyung berdiri dan jatuh menimpa temannya. 
Mereka saling memaki. 

Heran. Kuda-kuda itu begitu tenang. 

Dan Tari melihat seorang lelaki gemuk pendek di an- 
tara kuda-kuda tersebut. Menenangkan mereka. Lelaki 
itu tak keruan mukanya, badannya, dan pakaiannya. 
Serba kumal dan dekil. 

“Kau masih belum mau berbicara?” bentak Anengah 
lagi. 

“Aku... aku... aku disuruh oleh...” 

Dari sudut matanya Tari melihat sesuatu melesat ce- 
pat ke arah Anengah. “Awas!” ia berteriak dan melompat 
tinggi. Benda itu datang dari si Gendut yang berada di 
antara kuda-kuda tadi. Di udara Tari berputar dan ka- 
kinya menendang benda tadi. Ia menjerit. Kakinya tera- 
sa panas. Tetapi benda itu berhasil ditendangnya jatuh. 
Menancap di tanah. Sebilah keris pendek! Tari menda- 
rat di tanah dan terpaksa langsung berkelit karena ter- 
nyata orang gendut itu telah melayang ke arahnya! Tin- 
ju Tari beradu dengan tubuh si Gendut. Kembali ia 
menjerit. Serasa meninju batu! Tari berputar. Melang- 
kah mundur untuk mengambil kuda-kuda berikutnya. 
Si Gendut menginjak tanah langsung mengirimkan ten- 
dangan terbang ke arah Anengah. Anengah membentak 
keras. Menginjak Kala Modot dan menerima tendangan 
si Gendut di udara. Terdengar Anengah menjerit. Dia 
terbanting ke samping namun cepat melompat berdiri. 

Mereka berdiri bagaikan patung-patung kaku. Si 
Gendut tegar diam, tak memandang pada siapa pun. 
Anengah dengan kuda-kuda menyerangnya, meman- 
dang Si Gendut heran. Tari masih dalam kedudukan se- 
tengah menarinya, melirik pada Anengah. Ada yang 
aneh. Kenapa orang itu tidak maju lebih dahulu, dan 
malah menjaga kuda. Lemparannya tadi membuat kaki 
Tari kesakitan. Apalagi benturannya. Jelas orang ini le- 
bih berilmu dari Kala Modot. 

Dan kini Kala Modot juga mengguling minggir. 

“Siapa kau?” tanya Anengah. 

“Tak ada gunanya kujawab. Toh kau akan mampus!” 
si Gendut langsung menerjang. 

Anengah sudah bersiaga. Ia memutar tubuh ke kiri. 
Mestinya serangan si Gendut, betapapun cepatnya, 
akan membentur angin dan Anengah akan punya ke- 
sempatan menabas pinggangnya. Tetapi si Gendut sea- 
kan tahu gelagat. Ia memberatkan tubuh hingga dirinya 
menyentuh tanah sebelum waktunya dan sambil berte- 
riak nyaring tangannya menusuk ke depan. Anengah 
dalam keadaan genting. Namun ia sempat membuang 
diri, berguling menjauh. Si Gendut seakan terpental 
sendiri... ke arah Tari. Gugup Tari melompat mundur, 
namun terlambat. Sebuah tamparan keras mengenai 
pipinya. Tari menjerit. Pipi itu serasa terbakar. Tubuh- 
nya berputar bagai gasing dan roboh. Ia terpaksa bergu- 
lingan tiga-empat kali. Dadanya begitu sesak. Dan cepat 
ia bersila untuk mengatur kembali napasnya—sesuatu 
yang biasa dilakukannya dalam latihan. Tetapi ini bu- 
kan latihan. Kala Modot yang sudah bangkit sambil me- 
nyeringai mendekatinya dengan pedang terhunus—Kala 
Modot pun tak sadar bahwa pedangnya itu sudah pa- 
tah. 

“Tari!” jerit Anengah memperingatkan. Ia melesatkan 
tubuhnya untuk menghadang. Tapi si Gendut lebih da- 
hulu menghadangnya, memasang kaki hingga perut 
Anengah terancam jebol. Putus asa Anengah memaksa- 
kan kakinya menyambut kaki si Gendut sementara ta- 
ngannya gesit melemparkan keris pendek ke arah Kala 
Modot. 

Tiga jeritan terdengar sekaligus. Anengah yang me- 
nyalurkan tenaga Birawadana pada kakinya menjerit 
karena dirasakannya kaki itu bagaikan masuk ke dalam 
kobaran api—padahal, mestinya tendangannyalah yang 
memancarkan wibawa panas. Kala Modot menjerit ka- 
rena punggungnya terhajar keris terbang Anengah. Dan 
Tantri menjerit karena pedang buntung Kala Modot 
menghajar kepalanya—agaknya Tantri ingin menolong 
Tari, ia lari ke antara Tari dan Kala Modot, dan saat pe- 
dang Kala Modot terlepas karena pemiliknya terhajar 
keris terbang Anengah, maka kepala Tantri terlempar 
pedang buntung itu. 

Anengah jatuh terguling-guling. Si Gendut tertawa 
terbahak-bahak. “Hua ha ha ha ha... hanya sedemikian 
saja kesaktian anak Rahtawu, hah? Hua ha ha ha ha...” 

Tari sudah terlanjur menjalankan ilmu pernapasan- 
nya. Ia hanya bisa semakin memusatkan perhatian agar 
pemusatan pikirannya tak terpecah. 

Kala Modot berguling-guling di tanah, memegang ba- 
hunya yang bersimbah darah. 

Tantri terlihat kebingungan membawa kumpulan po- 
tongan senjata yang tadi dipungutinya. 

Si Gendut sesaat memperhatikan Anengah. Anengah 
rasanya tak akan berbahaya baginya. Saat itu juga ter- 
lihat kaki Anengah melepuh bengkak. Sambil tertawa si 
Gendut berpaling pada Tari. Terus tertawa terpingkal- 
pingkal ia mendekati gadis itu. “Hua ha ha ha... kalau 
gadis seperti engkau dikumpulkan... hua ha ha ha... ra-
sanya masih cukup indah buat pajangan, hua ha ha...” 

Melihat si Gendut mendekat, Tantri mengkeret keta- 
kutan. “Hei, jangan ribut saja!” serunya gugup, tangan- 
nya memeluk berbagai potongan senjata. “Kalau sudah 
menang ya sudah. Tidak ada acara untuk tertawa kena- 
pa sih!? Diam! Saudaraku ini sedang tidur!” 

Si Gendut seolah tak acuh menendang Tantri. Tantri 
terpental tinggi. Potongan senjata yang dipegangnya 
terhambur berantakan, meluncur ke arah si Gendut. 
Potongan-potongan senjata itu memang tak terarah. Ge- 
rakannya pun pelan tak bertenaga. Jadi si Gendut tak 
menghiraukannya, tetap melangkah ke arah Tari. 

Tiba-tiba si Gendut tertegun. Sebilah potongan tom- 
bak menimpa tengkuknya. Tidak keras. Tapi terasa sa- 
kit sekali. Dan ini aneh, sebab si Gendut merasa dirinya 
sudah kebal. Belum selesai terkejut, sekeping potongan 
pedang mental ke arah kakinya, sekitar tiga jari di ba- 
wah tempurung lutut. Disusul oleh pegangan pedang 
yang menimpa dada sebelah kirinya. Hanya menyerem- 
pet memang. Tapi hampir saja ia menjerit. Dan ia roboh. 
Kakinya serasa tak bertulang. 

Sementara itu, Tantri yang terlempar ke atas, jatuh 
tepat menimpa Tari. Entah bagaimana Tari terguncang 
tersadar dari semadinya. Terkejut dilihatnya dirinya di- 
peluk rapat oleh Tantri. 

“Kurang ajar!” desisnya. Gemas ia melemparkan Tan- 
tri ke samping. Dan sadarlah ia bahwa Tantri sesung- 
guhnya sudah tak sadarkan diri! Dirabanya nadi di leh- 
er Tantri. Masih hidup, walaupun terlihat anak itu seo- 
lah-olah sudah tak bernapas lagi. Cepat berpaling, Tari 
melihat si Gendut sedang bangkit dengan heran. Sesaat 
ia memandang potongan-potongan senjata yang berte- 
baran di tanah sekelilingnya, sesaat ia memandang Tan- 
tri yang tertelungkup di tanah tak sadarkan diri. Dan di 
sana, Anengah terengah-engah mencoba mencegah ha- 
wa panas yang merambat naik dari kakinya yang mele- 
puh. 

Si Gendut menggeleng. Pasti tadi tempat-tempat ter- 
peka di tubuhnya itu kena secara tak sengaja. Sekarang 
yang penting si gadis itu harus diringkus. Sial. Kala 
Modot ternyata tak berguna sama sekali. Bajingan itu 
beserta anak buahnya masih terguling-guling menahan 
kesakitan di tanah. 

Tari juga mengguncangkan kepalanya. Pusing sekali. 
Tetapi lebih dari itu ia mendengar sebuah suara lembut 
di telinganya, “Awas, si Gendut itu memiliki ilmu Sasra- 
dahana yang sangat mirip dengan Birawadana- mu. Ke- 
lemahannya ada di bawah ketiak kirinya. Saat dia akan 
melontarkan ajiannya, tempat itu tak terjaga. Kau- 
gunakan langkah ke-39 Sura-caya untuk memancing 
dia berpaling ke arah kananmu. Kemudian kau serang 
ubun-ubunnya dengan pukulan Bantala Liwung. Dia 
akan merasa mendapat lowongan. Dan dia akan meng- 
angkat tangan kirinya. Saat itu gunakan tendangan 
Bantala Liwung ke-12.” 

Siapa yang berbisik? Atau... betulkah itu bisikan? 
Heran Tari melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang 
yang mungkin bisa dicurigai. Tantri pingsan. Anengah 
jauh di sana. Lalu siapa? Tak mungkin si Gendut itu. 
Tapi... betulkah itu tadi suara? Bukan hanya khayalan- 
nya belaka? 

Ia tak sempat berpikir. Sekilas dilihatnya si Gendut 
telah meloncat menerjangnya. Tari berguling ke kiri. Me- 
lompat berdiri dan berputar ke kanan. Sebuah pukulan 
dilancarkannya sambil menjerit keras. Si Gendut mene- 
rimanya dengan tersenyum mengejek. Tari cepat me- 
narik tangannya. Ia pernah mendengar tentang ilmu Sa- 
sradahana. Sungguh berbahaya kalau memang itu yang 
dihadapinya. Ia berputar mundur. Cepat kedudukan 
kakinya berubah. Kaki kirinya melecut ke udara dan 
tubuhnya berputar. Itulah langkah ke-39. Dan benar 
juga. Si Gendut terpaksa berpaling ke kanan, karena se- 
rangan berikutnya mungkin adalah tendangan lurus ke 
lambungnya. Tapi Tari tidak melanjutkan gerakan ka- 
kinya. Tangannya tertekuk. Jari-jarinya berkumpul ra- 
pat mengancam kepala si Gendut. Si Gendut berteriak 
menggelegar mengangkat tangan kiri untuk menghan- 
tam kepala Tari. 

Tapi tendangan kilat Bantala Liwung ke-12 telah 
mendahuluinya. 


4. CANDIKA 


TERIAKAN si Gendut begitu keras. Hingga daun-daun 
kering di hutan itu serasa rontok. Dan ia melompat 
tinggi, badannya melengkung menahan sakit. Ia jatuh 
bergedebum di tanah, masih menjerit panjang, kemu- 
dian berguling-guling cepat sekali. 

Tari sendiri ternganga melihat hasil serangannya. 
Rasanya mudah sekali. Dan ia juga merasa bahwa ten- 
dangannya telak mengena. Tapi kenapa begitu mudah? 
Apakah itu karena bisikan lembut tadi? Tapi... bisikan- 
kah itu? Atau mungkin hanya hubungan batin? Jika bi- 
sikan mestinya ia mengenal suaranya. Lagi pula... siapa 
yang berbisik? 

“Tolol! Cepat habisi dia!” ia serasa mendengar. Sekali 
lagi ia celingukan. Siapa yang berbicara? “Cepat, habisi 
dia!” seru suara itu lagi. Tak terasa Tari mencabut ke- 
risnya. Tapi ia tertegun. Tidak. Ia tak akan membunuh 
orang! Walaupun si Gendut itu musuh... ah. Membu- 
nuh? 

“Tolol, mengapa ragu-ragu?” 

Sial! Siapa sih yang berbicara? Tari berpaling. 

“Sudah. Kesempatanmu sudah lewat!” terdengar su- 
ara itu lagi. 

Tari berpaling. Dan terkejut. Si Gendut telah lenyap! 

“Tari... tangkap pemimpinnya!” keluh Anengah me- 
maksa diri. Tangannya sibuk mencoba menghentikan 
rambatan panas. “Cepat!” 

Ini perintah jelas. Jelas pula siapa yang bersuara. 
Cepat Tari melompat pada Kala Modot. Diinjaknya leher 
orang itu. 

“Cepat katakan, siapa yang menyuruhmu!” geram 
Tari. 

Sebutir batu melesat cepat dari dalam hutan menuju 
Tari. Tari terkesiap. Belum sempat ia memutuskan akan 
berbuat apa, terlihat sebuah titik hitam lagi meluncur. 
Anengah pun melihat ini. “Awas, Tari!” 

Pada saat kritis itu Tari tiba-tiba teringat gerakannya 
tadi sewaktu ia “mengalahkan” si Gendut. Cepat tubuh- 
nya berputar, melesat ke atas hingga terhindar dari se- 
rangan batu yang tertuju ke arahnya. Dan dalam gera- 
kan hampir tak terlihat tangannya tertekuk turun. 
Ujung kerisnya tepat menerima batu yang tertuju pada 
Kala Modot. Tari berteriak terkejut. Getaran pada keris- 
nya begitu kuat hingga sewaktu jatuh ia limbung. Agak 
gugup ia berdiri menghadap ke hutan, berseru. “Hai, 
orang gagah! Keluarlah!” Saat itu juga, walaupun se- 
dang terancam maut, Tari malu sendiri. Ucapan seperti 
itu belum pernah diucapkannya, dan hanya didengar- 
nya dari dongeng-dongeng kepahlawanan yang dicerita- 
kan oleh Bibi Madraka. 

Bibi Madraka! Hei, mungkinkah gurunya itu yang 
memberinya petunjuk tadi? Dari mana? Apakah dengan 
hubungan batin? 

“Tari, aku jaga dia....” Anengah berhasil merayap dan 
kini telah mencengkeram leher Kala Modot. “Kauawasi 
hutan itu... agaknya itu tadi si Gendut. Ia sudah lum- 
puh, takkan berani ia memunculkan diri di sini. Hh. 
Baru tahu rasa dia, dikiranya murid Rahtawu mudah 
ditakuti begitu saja?” Anengah berbicara gagah. Tetapi 
Tari tahu bahwa sebetulnya itu hanya untuk menutupi 
kelemahannya. 

Tari mengangguk. “Ya, kukira ia takkan berani ke- 
luar lagi,” katanya keras-keras. “Apa unggulnya Sasra- 
dahana sih kalau dibandingkan Birawadana? Tak ada 
seujung kuku hitam!” 

Dengan gaya gagah Tari menghampiri Anengah. Di- 
am-diam diulurkannya dua butir obat penawar luka pa- 
da saudara seperguruannya itu. Beberapa anak buah 
Kala Modot mulai bangun. Tapi dengan sekilas pandang 
saja Tari melihat bahwa mereka takkan berani maju la- 
gi. Anengah mencengkeram buah jakun di leher Kala 
Modot. 

“Jika kau kubunuh, maka itu terlalu enak bagimu,” 
bisik Anengah. “Aku yakin majikanmu akan lebih se- 
nang jika kau mampus. Sebaliknya, aku ingin kau tetap 
hidup dan menderita. Kau tahu, murid Rahtawu diajari 
seribu dua ratus empat puluh dua cara untuk menyiksa 
orang. Masing-masing cara sanggup membuat rambut- 
mu rontok ketakutan. Sebelum itu kulakukan, cepat 
kaukatakan siapa yang menyuruhmu!” 

Tari sedikit ternganga. Betulkah Bapa Gurunya me- 
ngajar cara menyiksa orang? Ia tak percaya. Tetapi Ane- 
ngah tampak bersungguh-sungguh. 

“Aku... aku...” Kala Modot megap-megap. Tapi kem- 
bali Tari terkejut. Tiga butir batu kini meluncur cepat ke 
arahnya. “Awas, Kakang!” teriak Tari. Ia sudah tahu 
bahwa batu-batu itu dilempar dengan kekuatan tinggi 
maka kini ia memasang kuda-kuda kokoh serta meng- 
gunakan kerisnya hanya untuk membuat batu-batu ta- 
di terserempet dan berganti arah, tidak untuk meng- 
hancurkannya. 

Usaha pertamanya berhasil, walaupun tangannya te- 
rasa ngilu. 

“Kakang Anengah, apakah kukejar saja dia?” bisik 
Tari. Kedudukannya sulit. Anengah jelas tak bisa ba- 
nyak bergerak dengan kaki yang melepuh bengkak itu. 
Tari sendiri jika harus melayani serangan jarak jauh itu 
pasti akan kecipuhan. 

“Hei, kok sepi sekali... yang berkelahi sudah selesai 
ya?” tiba-tiba Tantri menggeliat bangun, meraba-raba 
seluruh tubuhnya. “Sialan si Gendut tadi. Dikiranya 
aku ini bola Cayitra apa, enak saja ditendangi. Mana 
dia, biar aku hajar nanti... hayo... mana dia...?” Tantri 
memunguti lagi potongan-potongan senjata yang tadi 
berantakan. “Habis mainanku... mana dia, Kak Tari?” 

“Awas, Tantri!” Tari berseru. Beberapa butir batu kini 
melesat dari hutan. Arahnya tak keruan. Ada yang ke 
Tari, ada yang ke Anengah, ada yang ke Kala Modot, ada 
yang ke Tantri. Dan ke beberapa anak buah Kala Modot 
yang kebetulan sudah berdiri. 

Anengah berguling ke tanah sambil menyeret Kala 
Modot. Tari tidak berani lagi berbenturan dengan keku- 
atan dahsyat itu. Ia pun bergeser menghindar. Anak 
buah Kala Modot ada yang sempat melihat luncuran ba- 
tu-batu tadi. Tapi mereka tak terlalu gesit dalam meng- 
hindar. Seorang menjerit dengan lengan patah. Tiga 
orang tak sempat lagi menjerit. Langsung roboh tak ber- 
gerak. Tewas. 

Adalah Tantri yang paling ribut. Batu yang tertuju 
padanya agaknya tidak bertenaga. Sekilas Tari melihat 
batu itu hanya membentur punggungnya. Dan jatuh. 

Tapi Tantri menjerit-jerit seolah-olah tubuhnya terluka 
parah. Ia berteriak-teriak kalang-kabut, “Kurang ajar! 
Kura-kura! Kadal! Kutu kepala! Siapa yang melempar- 
lempar, ya! Tak punya adat! Kurang tata susila! Melem- 
par tanpa bilang-bilang lebih dahulu! Pengin tahu rasa- 
nya dilempar tak diberi tahu dulu, ya? Nggak enak, lho 
rasanya, nggak enak! Pengin tahu, ya? Pengin tahu, ya!” 
Dan dengan gemas ia serabutan melemparkan apa saja 
yang dibawanya ke arah hutan. Lemparannya memang 
lemparan ngawur, sama sekali tidak memakai ilmu me- 
lempar. Berbagai potongan senjata itu meluncur se- 
enaknya, sesuai sifat masing-masing. Potongan pedang 
terlempar miring dan bagaikan melayang melengkung 
menyisir udara. Ujung tombak bukannya meluncur te- 
tapi berputar-putar bagaikan sepotong ranting tua saja. 
Gagang pedang melambung tinggi sekali. Bahkan ada 
potongan tangkai tombak yang hanya melesat ke atas 
dan kembali menimpa punggung Tantri sendiri yang 
tentunya makin kalang-kabut memaki-maki. Ia makin 
beringas melemparkan apa saja yang bisa dipegangnya 
ke hutan. 

Sesuatu membuat Tari tertegun. Lemparan-lemparan 
Tantri jelas tanpa aturan. Dan tak bertenaga. Apakah 
memang kebetulan bahwa semua benda yang dilempar- 
nya ternyata bisa meluncur jauh hingga masuk ke hu- 
tan? Seperti bilah pedang tadi. Karena pipih dan ber- 
permukaan lebar, mungkin secara wajar bisa melayang 
hingga mencapai jarak jauh melebihi tenaga lempa- 
rannya. Kemudian potongan tombak. Karena berputar- 
putar berhasil mencapai jarak jauh juga. Ah, ya. Pasti 
hanya kebetulan saja. 

“Hayo, lempar lagi kalau berani!” tantang Tantri. 

Tak ada jawaban tentunya. Dan mereka pun me- 
nunggu. Yang terdengar hanyalah teriakan anak buah 
Kala Modot yang kesakitan. Sementara beberapa yang 
mulai sadarkan diri lagi agaknya tak berani bangkit. 

“Hei, gandarwa jelek! Hayo lempar aku!” teriak Tantri 
lagi. Suaranya sampai bergema. Tak ada jawaban. Tan- 
tri mengangkat bahu, tertawa berpaling pada Tari, “Hah, 
siapa pun si jahat itu, Kak, dia sudah ketakutan. Jadi 
tak usah khawatir lagi. Orang ini mau diapakan? Di- 
sembelih? Wah, sayang, pedangku habis. Barangkali 
orang ini masih enak ya disate, he he he... atau dima- 
kan mentah-mentah, kulitnya diiris kecil-kecil terus di- 
beri jeruk nipis... ihhh, sedap! Kita coba, yuk!” Ia betul- 
betul menunduk mencengkeram kumis Kala Modot 
yang memang sangat tebal dan merenggutnya keras- 
keras. Dan Kala Modot yang punya tampang kebal sega- 
la siksaan itu ternyata menjerit-jerit bagaikan anak ke- 
cil! 

“Wadauuuuu! Wadauuuuu! Ampuuun! Ampuuun..., 
hu hu...” 

“He he he... ini baru kutarik kumisnya, lho! Kadang- 
kadang agar orang mengaku harus ditarik lidahnya, te- 
rus diulur dan dibelitkan di pohon klampis yang penuh 
duri. Wuuuuih! Pasti langsung mengaku!” kata Tantri 
bangga. “Kak Tari, kita mau tanya apa?” 

Tari masih memperhatikan hutan dari mana tadi se- 
rangan datang beruntun. Ia tak mau lengah. “Kakang 
Anengah, bagaimana?” bisiknya. 

Anengah memasang telinga beberapa saat. Perlahan 
ia mengangguk. “Agaknya musuh yang tak kelihatan itu 
memang sudah tidak ada, Tari. Tapi jangan lepas ke- 
waspadaan. Sementara aku...” Anengah lemah meman- 
dang kedua kakinya. Sulit untuk digunakan. 

“Setengah hari perjalanan dari sini ada sebuah desa 
—Mirejo. Aku kenal buyut-nya. Bibi Madraka...” agak 
tersedak Tari mengucapkan nama itu, “sering bermalam 
di rumahnya dalam perjalanan ke Rahtawu. Kami biasa 
disambut dengan baik. Barangkali lebih baik bila kita 
melanjutkan perjalanan. Orang ini kita bawa. Dan bisa 
kita tanyai di sana. Bagaimana?” 

“Bagus, bagus!” sahut Tantri. “Lebih bagus lagi jika 
kita naik kuda. Kan bisa lebih cepat!” Matanya cemer- 
lang bangga memberi usulan yang dianggapnya cemer- 
lang. 

“Ya, benar,” kata Anengah mengangguk. Kepada Kala 
Modot ia berkata, “Cepat perintahkan anak buahmu 
membawa semua kuda itu kemari. Kau ikut kami. Yang 
lain bisa kami ampuni.” 

“Tentunya yang belum mati lho, he he he he...” kata 
Tantri. 

Tak berapa lama, mereka telah melanjutkan perja- 
lanan. Tari, Tantri, dan Anengah. Ketiganya di pung- 
gung kuda. Anengah memang agak sulit, tetapi dapat 
dipaksakannya. Kala Modot diikat di pelana kuda. Di- 
dampingi oleh Tari yang selalu siap dengan si Galih-nya. 
Ada tiga ekor kuda lagi yang mereka bawa. Menurut pi- 
kiran Tari ini untuk oleh-oleh si buyut, atau kepala de- 
sa, Mirejo itu. 

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Tantri me- 
ngoceh. Sedikit terhibur rasanya perasaan hati Tari. 
Pengetahuan Tantri sangat luas. Berbicara tentang apa 
pun bisa. Sayang bahwa berbicara apa pun ia selalu 
menyelipkan hal-hal yang dianggapnya lucu. 

Menjelang sore daerah semak belukar telah mereka 
tinggalkan. Ladang-ladang luas terhampar. Dan di ba- 
wah mereka tampak sebuah desa. 

“Itu Mirejo,” kata Tari. Jelas terdengar nada lega di 
suaranya. Sepanjang perjalanan tadi ia merasa begitu 
tegang. 

“Belum tentu kita aman,” bisik Anengah. “Yang pen- 
ting, kakiku harus segera sembuh. Setelah itu barulah 
aku merasa lega.” 

“Tentu saja, siapa bisa merasa lega kalau kakinya 
sakit!” sela Tantri, tertawa. 

Ketika rombongan itu mulai memasuki desa, maka 
orang pun geger. Anak-anak kecil berhamburan datang 
menonton. Orang-orang dewasa tadinya berhamburan 
datang, namun melihat si Kala Modot mereka tertegun 
dan cepat bubar. Sebagian berlari mendahului pergi ke 
rumah buyut. 

Rumah buyut halamannya luas. Dipagari dinding ta- 
nah yang tinggi. Dan tampak dikawal oleh beberapa 
orang penduduk desa bersenjatakan tombak. Mereka 
langsung mengelilingi Tari dan kawan-kawan. 

“Paman Wirot, Paman masih ingat aku?” Tari me- 
lompat turun dari kudanya, berbicara pada salah seo- 
rang pengawal itu. “Aku ingin bertemu dengan Sang Wi- 
rak.” 

Lama Wirot tak menjawab. Ia memperhatikan Kala 
Modot yang melotot padanya. 

“Hei, rambut api, kau ditanya dengar tidak?” teriak 
Tantri kurang ajar. Rambut Wirot memang kemerah- 
merahan. 

“Tantri!” cegah Tari. 

Tapi Wirot juga tak memperhatikan Tantri. 

“Buyut Wirak tak bisa menemui siapa pun,” katanya 
kemudian. “Sarika sedang bersiap untuk menghadap 
Akuwu.” 

Tari tertegun. Belum pernah sambutan terhadapnya 
begitu dingin. Tapi Tantri telah menyabut, “Kebetulan 
kalau buyut itu pergi. Kita hanya mau pinjam tempat- 
nya kok, untuk menyiksa orang ini!” 

“Kalau begitu, silakan melanjutkan perjalanan,” kata 
Wirot. 

“Kurang ajar!” bentak Tantri. “Kau tak kenal para 
orang besar dari Rahtawu ya? Tadi si gandarwa Kala 
Modot ini menghadang kami dengan empat puluh dela- 
pan orang pengikut. Toh sarika berdua ini sanggup 
menghancurkan mereka, dan bahkan menawan pemim- 
pinnya! Hayo. Apa kalian bisa menirukan kemampuan 
itu? Tak mungkin, kan? Nah, kalau kau melarang, apa 
sulitnya sih merobohkan rumah ini!” 

Wajah Wirot makin muram. Ia merenungi kaki Ane- 
ngah yang terjuntai dari kuda. Hampir menggumam ia 
berkata, “Para murid Rahtawu memang sangat kami 
hormati, tetapi janganlah menyulitkan kami yang kecil 
ini. Kami silakan melanjutkan perjalanan.” 

“Gila! Itukah keputusan buyut -mu yang tak keruan 
rupanya itu?” teriak Tantri. “Wah ini keterlaluan. 
BUYUT WIRAAAAK!” tiba-tiba Tantri berteriak keras se- 
kali. “BUYUT WIRAAAK! KELUAR KAUUU!” 

“Tantri!” Tari berseru terkejut, bahkan langsung me- 
narik anak itu turun dari kudanya. “Kau gila! Jangan 
begitu tidak sopan!” 

Tetapi Tantri tak peduli. Ia masih berteriak, “BUYUT 
WIRAAAK! DESAMU INI BUKAN KUDADU, TAK SULIT 
BAGI KAMI UNTUK MERATAKANNYA DENGAN TANAH!” 

“Oh, maafkan kami, Paman Wirot,” gugup Tari me- 
nyusun tangan menghadap Wirot. “Ampuni kesalahan 
saudara kecil ini, Paman....” 

“Tidak, dia benar, ini bukan Kudadu, tapi kami wajib 
memberi perlindungan bagi siapa pun yang memerlu- 
kannya,” tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah. 
Dan di pintu berdiri Buyut Wirak, seorang tua yang ma- 
sih gagah dan tegap. 

“Mereka betul-betul membawa Kala Modot, Buyut,” 
kata Wirot. 

“Yang sudah terjadi, terjadilah. Suruh anak buahmu 
memperkuat penjagaan desa, Wirot. Suruh semua orang 
berada di dalam desa sebelum matahari terbenam. Ke- 
mudian kau masuk ke dalam untuk berbicara dengan 
tuan-tuan ini....” 

Bagian dalam rumah buyut itu luas. Dingin. Tinggi 
langit-langitnya. Mereka duduk di lantai, masing- 
masing menghadapi semangkuk minuman panas. Ane- 
ngah masih harus bersandar ke tiang agung. Kala Mod- 
ot diikat pada sebuah tiang dijaga oleh Tantri yang suka 
menggodanya dengan, misalnya saja, mencabuti bulu di 
bawah ketiaknya. 

“Maafkan kami, murid-murid Rahtawu,” kata Buyut 
Wirak. “Jika kami tidak terlalu bersahabat, maka itu ka- 
rena kami mencoba melindungi penduduk desa ini.” 

“Dalam hal apa, Buyut?” tanya Tari. 

“Yang Tuan-tuan bawa ini adalah kepala perampok 
yang terkenal di daerah ini. Terkenal jahatnya. Terkenal 
kejamnya. Terkenal saktinya. Terkenal sangat banyak 
anak buahnya. Aku tidak takut, tetapi penduduk sangat 
ngeri memikirkan pembalasan yang akan dilakukan 
anak buahnya pada desa ini. Kita tentunya maklum, 
bukan?” 

“Kami... tidak tahu siapa Kala Modot ini,” kata Ane- 
ngah sambil meringis menahan sakit. “Kami ingin tahu. 
Dia telah menutup pintu masuk ke Rahtawu. Bahkan 
kami pun ingin dihalanginya. Kami... tentu saja... ingin 
tahu kenapa....” Ia memandang pada Kala Modot. 

“Jika Buyut takut pembalasan anak buah monyet 
rambut berantakan ini, tenang sajalah.” Tantri mengilik- 
ilik hidung Kala Modot dengan sebatang lidi. “Dedeng- 
kotnya saja berhasil kami tawan kok... apalagi para ce- 
cunguknya! Hei, Kala Modot. Kau mau mengaku kan 
kini? Kau mungkin kebal, tapi kalau lidi ini kudorong 
terus, teruus, teruuus ke dalam hidungmu... apa tidak 
muncul di telinga?” 

“Yang kupikirkan... Kala Modot memang perampok 
besar. Tapi sampai dia berani menentang Rahtawu, ma- 
ka mestinya ia punya tulang punggung sangat kuat,” 
kata Buyut Wirak perlahan. Mata tuanya kemudian te- 
rangkat. Dari bawah alisnya yang putih dan lebat hing- 
ga hampir menutup mata ia memperhatikan Kala Mod- 
ot. “Aku sudah tua. Apa pun balasanmu, Kala Modot, 
aku tidak peduli. Aku hanya tak ingin desaku ini men- 
dapat kesulitan. Kuharap kau bisa mengaku tanpa ha- 
rus disiksa. Agar dendammu tak terlalu tertuju pada 
desa ini. Agar sukmamu memperoleh jalan lurus dan 
lapang.” 

“Sudah! Jangan banyak bicara lagi. Biar aku yang 
menanggung dosa jika si Kala Modot ini mendendam!” 
Tantri mencengkeram leher Kala Modot dan bersiap un- 
tuk menghunjamkan lidinya ke lubang hidung orang 
itu. 

“Tantri! Jangan!” cegah Tari. 

Tapi Kala Modot telah menjerit keras, “Ampun! Ja- 
ngan! Ampun!” Dan ia menangis tersedu-sedu ketika 
Tantri melepaskan cengkeramannya. Betul-betul mena- 
ngis dengan air mata bercucuran! 

“Hi hi hi... kau cengeng juga ya?” ejek Tantri. “Hayo, 
sekarang ngaku!” Main-main Tantri melecutkan lidinya 
pada leher Kala Modot. Sekali lagi Kala Modot menjerit 
keras. “Jangan... jangaaan...” Ia sampai terengah-engah 
ketakutan. Tantri berdiri. Berkacak pinggang. Terse- 
nyum. 

Saat itu hari telah gelap. Beberapa pembantu rumah 
tangga telah menyalakan lampu-lampu biji-bijian. Lidah 
api lampu itu bergoyang-goyang. Sinarnya kemerahan. 
Dan itu membuat Tantri yang kini bertelanjang dada ba- 
gaikan patung tembaga. Wajahnya tampak manis. Ma- 
tanya bersinar nakal. Tari yang memperhatikan anak 
itu mau tak mau merasa sedikit kagum. Ulah api lampu 
membuat Tantri bagaikan patung Sri Kameswara waktu 
muda. Matanya pun bagai memancarkan api. Berwiba- 
wa. Kejam. 

Agaknya Kala Modot juga merasakan hal itu. Ia tun- 
duk. Wajahnya yang seram kini luruh dan kuyu. 

“Aku akan bercerita,” katanya lemah. 

“Terserah,” goda Tantri. “Asal jangan cerita tentang 
Binatang Yang Lima saja.” Ia tertawa membicarakan se- 
buah dongeng yang sering diceritakan para ibu kepada 
anak-anak menjelang tidur. “Dan ingat, kalau kau ber- 
dusta sedikiiiit saja, lidiku ini akan tahu.” 

Kala Modot menghela napas panjang. Kemudian ia 
mulai bercerita. 

Beberapa bulan yang lalu, hidupnya begitu tenang. 
Tenang dalam dunianya, tentu. Penuh hiruk-pikuk pe- 
rampokan, penuh hura-hura kenikmatan merasakan 
hasil rampokan, gegap-gempita dengan pertarungan- 
pertarungan yang baginya begitu memuaskan. 

Kemudian ia mendengar sahabat karibnya, Begal 
Singandaka dari Gunung Lejar mendapat musibah. Sa- 
rang Singandaka telah diobrak-abrik oleh sepasukan 
bhayangkara dari Daha. Bahkan istrinya, Ken Lum- 
bang, ditawan oleh pasukan tersebut untuk dibawa ke 
kotaraja. Kala Modot langsung mengerahkan anak 
buahnya mengejar. Dalam gerebekan di tepi Bengawan, 
Kala Modot berhasil merebut kembali Ken Lumbang. 

“Huh, apa susahnya sih mengalahkan pasukan 
bhayangkara dari Daha? Jangan kau begitu bangga!” 
tukas Tantri menendang paha Kala Modot. Kembali Kala 
Modot menjerit kesakitan. “Aku yakin dengan satu tan- 
gan terikat pun Kak Tari sanggup menghancurkan se- 
puluh pasukan. Jangan kata hanya satu! Jadi tidak 
usah bangga ya!” bentaknya. 

“Ba... baik... baik...,” kata Kala Modot setengah me- 
ngeluh. 

Ken Lumbang dan dua orang pengikutnya segera di- 
larikannya ke Selagung. Salah seorang pengikut Ken 
Lumbang itu selalu berkerudung penutup muka. Dan 
baru kemudian Kala Modot tahu bahwa sesungguhnya 
Ken Lumbang juga tak kenal wanita yang tak tampak 
mukanya itu. Menurut Ken Lumbang, suaminyalah 
yang membawa wanita tersebut. Dianggapnya sebagai 
rampasan saja. Hanya... sering kali wanita itu tak mau 
melakukan tugasnya sebagai budak. 

Tapi saat itu keanehan tersebut tak terpikirkan oleh 
Kala Modot. Ia begitu gembira bisa selalu dekat dengan 
Ken Lumbang. Dan agaknya Ken Lumbang pun memba- 
las perasaan hatinya. 

“Dasar binatang terendah martabatmu!” dengus Tan- 
tri. 

Istri Kala Modot sendiri, Ken Hangi, tentu saja me- 
rasa tak senang. Tapi Kala Modot tak peduli. Ken Lum- 
bang begitu cantik dan begitu pandai memuaskan ha- 
tinya. Sampai suatu malam... 

Ken Hangi memergoki Kala Modot sedang berme- 
sraan dengan Ken Lumbang. Ken Hangi meluap dan 
menyerang Ken Lumbang. Kala Modot tak tahan dan 
menghajar Ken Hangi habis-habisan. 

Ken Hangi malam itu lari dari Selagung. Dengan an- 
caman akan membalas dendam. Kala Modot tak peduli. 
Ia tahu siapa Ken Hangi. Dan keluarganya. Ia juga ya- 
kin akan ketenarannya sebagai tokoh berandal di Sela- 
tan. Kepada siapa pun Ken Hangi minta bantuan, rasa- 
nya Kala Modot akan bisa menyambutnya dengan ter- 
tawa. Tapi akhirnya ia tidak tertawa. Ken Hangi tak be- 
rapa lama datang lagi. Bersama wanita yang selalu me- 
nutup muka itu. Diikuti seseorang yang bertubuh gen- 
dut. Mula-mula Kala Modot juga masih tertawa. Kemu- 
dian wanita asing itu membuka tutup mukanya. Kala 
Modot terpesona. Wanita itu begitu cantik. 

“Seperti bidadari?” sela Tari tak sengaja. Ia teringat 
akan cerita Tara. Tapi tadi tempat itu begitu sunyi oleh 
cerita Kala Modot hingga Tari sendiri terkejut oleh sua- 
ranya. Kemalu-maluan ia memandang Anengah. Ter- 
nyata Anengah juga sedang memandang padanya. 
Agaknya Anengah pun berpikir serupa. Pastilah wanita 
itu adalah wanita yang telah membawa pralaya di Rah- 
tawu. 

“Seperti bidadari,” kata Kala Modot lemah. 

“Enak saja!” dengus Tantri. Dan sekali lagi leher Kala 
Modot menjadi korban cambukan lidi anak itu. Tari 
kembali heran. Orang segalak Kala Modot toh terpaksa 
menjerit-jerit hanya karena cambukan sebatang lidi di 
tangan seorang anak kecil! “Tak ada yang secantik bida- 
dari kecuali Kak Tari! Ya toh? Ayo, jawab, iya nggak?” 
Tantri mengacungkan lidinya. 

“Iya! Iya!” jerit Kala Modot ketakutan. Tantri tertawa 
terkekeh-kekeh. Kini Buyut Wirak juga memperhatikan 
Tantri dari balik alis matanya yang putih dan gondrong 
itu. Dan orang tua itu pun memandang Anengah. Tari 
bisa melihat pertanyaan di mata tua itu. Betulkah Tan- 
tri juga murid Rahtawu? Tampaknya kok terlalu... ku- 
rang ajar. 

Tari mencoba menghindari pandangan mata orang 
tua itu. “Lalu?” akhirnya ia bertanya. 

Kala Modot kemudian semakin tercengang. Si Gen- 
dut yang tadinya dikiranya takkan lebih gesit dari see- 
kor kerbau tambun itu ternyata sanggup membuat se- 
mua anak buah Kala Modot tunggang-langgang. Bah- 
kan Kala Modot pun ternyata tak sanggup berbuat apa 
pun. 

“Puih! Begitu kau berani melawan Kak Tari! Dengar, 
Kek Buyut, dengan mata tertutup saja si Gendut itu 
menggelinding ditangani Kak Tari! Apalagi dia ini!” kata 
Tantri. 

“Tantri!” desis Tari. 

“Kenapa? Kan memang begitu tadi. Tanya saja si Ka- 
la Modot ini. Iya kan, Dot?” Tantri tertawa pada Kala 
Modot. 

“Iya! Iya!” Kala Modot cepat-cepat mengangguk. Tan- 
tri tersenyum puas. 

Kala Modot melanjutkan ceritanya. 

Para berandal Selagung mencoba mengeroyok kedua 
orang itu. Dua puluh tiga orang. Mereka adalah para 
dedengkot rampok yang bahkan ditakuti oleh pasukan 
bhayangkara. Tapi mereka dipermainkan dengan mu- 
dah oleh si Gendut dan wanita itu. Terutama wanita itu. 
Senyumnya saja sudah sanggup untuk membuat orang 
tertegun. Harum badannya membuat orang pusing. Dan 
sambaran selendangnya bahkan dapat membuat pohon 
roboh! 

“Sudah! Jangan terlalu memuji! Bisa kupuntir kepa- 
lamu agar kau hanya bisa memandang Kak Tari saja 
seumur hidup!” tukas Tantri. 

“Siapa namanya?” tanya Anengah lemah. 

“Dia... dia tak menyebutkan namanya, tapi... tapi 
wanita itu tanpa berkedip telah membunuh sembilan 
belas orang anak buahku, dan sepak terjangnya kemu- 
dian... Jika kau salah menoleh saja, jika ada sedikit saja 
gerakanmu yang tak disukainya, maka ia akan lang- 
sung mencabut nyawamu....” Kala Modot termenung. 
“Ken Lumbang dipukul pecah kepalanya hanya karena 
berani minum sebelum wanita itu minum! Padahal me- 
reka berada di tempat yang sangat berjauhan!” 

“He, kau menyesali kematian wanita itu?” tanya Tan- 
tri. 

“Tidak. Sekadar gambaran mengapa kemudian diam- 
diam ia diberi julukan... Candika... Dewi Pencabut Nya- 
wa!” Kala Modot menundukkan kepala. 

Beberapa saat tempat itu sunyi. Tari yang tak tegaan 
mengambil tempurung tempat air dan memberi minum 
Kala Modot. Kala Modot melirik Tantri. 

“Untuk apa lihat-lihat segala?” dengus Tantri. “Mau 
menolak pemberian Kak Tari? Bisa kulubangi lehermu, 
tahu?” 

Tergopoh-gopoh Kala Modot minum air yang diso- 
dorkan Tari ke mulutnya. 

Kala Modot melanjutkan ceritanya. 

Dewi Candika—nama itu kemudian menjadi sema- 
cam nama rahasia yang dipakai oleh kalangan hitam — 
ternyata tidak hanya menghukum Kala Modot untuk 
perbuatannya pada Ken Hangi. Bahkan Ken Hangi pun 
akhirnya tewas di tangannya. Maksud utamanya ter- 
nyata adalah mengumpulkan semua jago-jago kalangan 
hitam. Dan hanya yang betul-betul jago saja yang di- 
kumpulkannya. Mereka yang dianggap lemah langsung 
dihabisi. 

“Si Gendut... siapa namanya?” tanya Tari. Ia teringat 
pada peristiwa di Telaga Biru dulu. Mungkinkah si Gen- 
dut ini sama orangnya dengan si Buruk Muka yang di- 
temuinya di sana itu? Tari memalingkan muka. Me- 
mandang ke luar. Dari Jendela terlihat di luar gelap. 
Hanya agak jauh di sana, beberapa orang tampak mon- 
dar-mandir dengan membawa obor. Dari sini pun terli- 
hat bahwa orang-orang itu bersenjata. Sesuatu yang tak 
biasa terjadi di desa Mirejo ini. 

“Kami tak pernah tahu namanya,” kata Kala Modot. 
“Mereka tak pernah berbicara. Hanya saling pandang 
dan masing-masing tahu apa yang harus dilakukan. 
Dan yang mereka lakukan biasanya sungguh mengeri- 
kan,” Kala Modot berhenti sesaat. Dipandangnya Tari 
yang kini semakin tertarik melihat ke luar jendela. “Aku 
pun biasa membunuh tanpa berkedip. Tapi aku masih 
pilih-pilih. Sarika tidak. Seakan-akan tak ada maksud 
sama sekali. Asal ia ingin membunuh, dibunuhlah.” 

“Lalu... apa hubungannya dengan Rahtawu?” tanya 
Tari yang kini telah berdiri di depan jendela, membela- 
kangi yang lain. 

“Itulah. Semua gerombolan yang dikumpulkannya 
diberi tugas satu. Kepung Gunung Rahtawu. Jangan 
sampai ada yang berhasil lolos turun gunung dalam 
keadaan hidup,” kata Kala Modot lemah. 

“Dan kau mau saja menerima perintah gila seperti 
itu?” tanya Tari dari jendela. “Kau toh tahu orang-orang 
bagaimana yang tinggal di Rahtawu. Harta kami tak pu- 
nya. Dendam rasanya tiada. Dan kau memusuhi kami?” 

“Aku... kami terpaksa. Semua yang berada di bawah 
kekuasaannya memiliki sesuatu kelemahan. Dan justru 
kelemahan-kelemahan kami itulah yang dikuasainya. 
Dan kami tak bisa berbuat apa-apa kecuali melakukan 
apa perintahnya,” kata Kala Modot menunduk. 

“Dan kelemahanmu apa, Kala Modot, hingga kau be- 
rani memusuhi Rahtawu?” tanya Anengah. 

“Awas!” tiba-tiba Tari berseru. Semua terkejut, tetapi 
terlalu terkejut untuk bergerak. Tari sendiri menjatuh- 
kan diri ke belakang dan berguling ke kiri. 

Tari merasakan sambaran panas. Dan sebilah tom- 
bak menancap di dada Kala Modot. Melesat menderu 
lewat tempat tadi Tari berdiri. 


5. PERJALANAN 


TIBA-TIBA saja di situ telah berdiri seseorang. Seorang 
wanita yang berpakaian pria dengan memakai jubah 
berwarna biru laut yang mengkilap serta menutupi se- 
luruh tubuhnya. Ikat kepalanya berkilauan terkena si- 
nar kemerahan lampu yang ada. Wajahnya tak jelas. Te- 
tapi dalam pandangan sekilas Tari melihat bahwa tak 
mungkin orang ini yang dijuluki “bidadari” baik oleh 
Tara ataupun Kala Modot. Wajahnya memang tidak bu- 
ruk, tetapi jelas sudah tua. 

“Kelemahannya adalah... ia terlalu sayang pada nya- 
wanya,” kata orang itu serak. “Kalau nyawanya teran- 
cam, maka ia akan lebih suka melakukan apa saja. Asal 
ia selamat. Sekarang, ia terpaksa melepaskan apa yang 
paling disayanginya itu. Seperti semua yang ada di sini.” 
Matanya menyapu orang-orang yang ada. “Kalian semua 
jelas harus mati. Kalian anak-anak Rahtawu, memang 
sudah digariskan untuk hanya bernapas sampai saat 
ini. Buyut Wirak, kau orang tua tak tahu diri. Berani 
menerima orang yang jelas tidak kami sukai. Kau dan 
semua penduduk desa ini, harus menanggung huku- 
mannya.” 

“He, aku bagaimana?” Tantri tertawa mendekat, 
mengayun-ngayunkan lidinya. “Aku bukan orang Rah- 
tawu. Juga bukan orang Mirejo. Nah, lalu apa salahku, 
apa hukumanku, siapa pembelaku, siapa yang berani 
menghukumku, dan bagaimana kalau aku lalu...” se- 
mentara bicara dan tertawa serta mendekat tadi Tantri 
seolah tak acuh mengeluarkan seruling yang selama ini 
diselipkannya di pinggangnya, “...melarikan diri?” Dan 
tiba-tiba saja Tantri mematahkan seruling itu menjadi 
dua. Dari patahan seruling tadi terlontar dua butir bula- 
tan putih, yang melesat cepat—sebutir terbanting mem- 
bentur lantai, sebutir lagi melesat ke arah wanita tua 
itu. 

Tari yang saat itu masih terbaring di lantai tak sem- 
pat menjerit. Terdengar ledakan keras saat butiran per- 
tama membentur lantai. Asap tebal pun langsung meng- 
gumpal. Tebal. Besar. Berkembang cepat. Butir yang 
sebuah lagi telah ditampar oleh si wanita tua. Menyusul 
ledakan kedua yang terjadi karenanya. Menggelegar. 
Dan menyemburkan api. 

Suatu bau yang menusuk hidung menyesakkan da- 
da. Pandangan pun terhalang oleh asap yang tebal pe- 
kat. Kegelapan yang ditingkah semburan api. Me- 
nyambar dan mengobar. 

Tari mencoba melompat berdiri. Seseorang tiba-tiba 
memegang tangannya. Serta-merta Tari memutar tu- 
buhnya untuk melancarkan tendangan Bantala Liwung- 
nya. Tetapi orang itu agaknya mengenal sekali gerakan 
tersebut, walaupun sama sekali tak terlihat. 

“Ayo lari!” didengarnya seseorang berbisik tergesa- 
gesa. Suara Tantri. Dan tangannya pun ditarik. Hampir 
saja Tari memutar tangan serta membanting tangan 
yang memegangnya. Tapi entah kenapa puntirannya 
punah dengan sendirinya. Dan serasa tak bertenaga ia 
melompat bersama Tantri. Keadaan begitu gelap, hingga 
batang hidung sendiri pun tak terlihat. Dan bau asap 
itu begitu tajam hingga Tari tak berani bernapas. Tapi 
dengan mudah Tantri menemukan jendela itu. Sesaat 
Tari ingin meronta melepaskan diri. Namun pegangan 
tangan kecil Tantri begitu aneh. Tidak keras, tetapi juga 
tidak mudah dilepas. 

“Cepat,” bisik Tantri lagi, hanya terdengar suaranya 
dan terasa pegangan tangannya. Sementara itu di bela- 
kang terdengar jeritan dan makian. Hiruk-pikuk yang 
semakin ramai karena beberapa belas orang berlompa- 
tan. Agaknya mereka ingin masuk ke dalam, tapi karena 
begitu gelap tak urung dinding dan tiang terhajar oleh 
mereka. Dan barang-barang pun berantakan. Disusul 
oleh api yang tiba-tiba berkobar merajalela. Tari sudah 
melompati pagar rumah Buyut Wirak saat rumah besar 
itu roboh. 

“Kakang Anengah!” seru Tari sesaat waktu mereka 
berdua bertengger di atas pagar yang dibuat dari tanah 
kering. 

“Jangan dipikirkan,” desis Tantri sambil terus me- 
nyeret Tari. “Bahaya jika kita menunggu. Kakakmu kan 
sudah cukup besar. Pasti ia bisa menolong dirinya sen- 
diri. Kita yang kecil-kecil ini harus saling tolong. Dan 
kalau merasa tak kuat, harus lari. Ayo!” 

Tantri menariknya. Mau tak mau Tari pun terpaksa 
ikut meloncat turun. Dan dirinya terus diseret berlari. 

Desa itu kalang-kabut. Orang-orang berlarian. Besar- 
kecil berhamburan. Semuanya saling teriak. Semuanya 
menjerit-jerit. Di belakang mereka rumah Buyut Wirak 
tampak berkobar. Api menggunung membesar. Suara 
tong-tong pun membuat suasana makin mencekam. 
Beberapa lelaki bersenjata meneriakkan perintah-pe- 
rintah untuk mengatur orang-orang lain. Tapi terdengar 
juga hardikan-hardikan keras. Dari sudut matanya Tari 
melihat ada serombongan orang lagi muncul. Yang ini 
membuat kacau suasana. Mereka bukan saja mengha- 
langi orang-orang yang mencoba memadamkan api, te- 
tapi juga malah secara membabi-buta menerjang orang- 
orang Mirejo. Mereka pun tidak pilih-pilih. Asal ada 
makhluk yang bisa bergerak, mereka labrak. Dan me- 
mang bukan manusia saja yang kini berada di jalan- 
jalan desa Mirejo. Ternak peliharaan juga ikut-ikut 
membuat ramai. Ternak-ternak ini pun menyumbang- 
kan suara-suara mereka yang hiruk-pikuk. 

Tari ditarik Tantri berlari menjauhi jalan utama. Me- 
reka memasuki lorong-lorong kecil dan gelap di antara 
rumah-rumah. Beberapa kali Tantri harus mengguna- 
kan si Galih untuk menyelamatkan diri dari benturan 
melawan orang-orang yang datang dari depan. Tari sen- 
diri sudah lupa akan tongkat itu. Rupanya Tantri sem- 
pat menyambarnya dan kini menghantam siapa saja 
yang mencoba mendekati mereka. 

Ini tidak benar, pikir Tari sambil berlari. Mengapa ia 
melabrak orang-orang desa ini? Mengapa ia lari tanpa 
tahu mengapa? Lebih buruk lagi: mengapa ia lari me- 
ninggalkan saudara seperguruannya dalam keadaan 
bahaya? 

Tari menghentikan langkah. Tantri yang beberapa 
saat yang lalu telah melepaskan pegangannya untuk le- 
bih leluasa membuka jalan di depan terpaksa berhenti 
tiba-tiba di ujung sebuah gang. 

“Ayo!” teriak Tantri, melompat ke kiri dan mera- 
patkan diri ke sudut sebuah rumah untuk menghindar 
dari sebuah keluarga yang menghambur masuk ke gang 
itu. 

“Tidak, aku harus menolong Kakang Anengah!” jerit 
Tari dan berbalik serta mencoba berlari ke ujung gang. 

“Tunggu!” teriak Tantri. Kakinya terulur. Dan Tari ja- 
tuh tersungkur. Keras. Mukanya terbanting ke dalam 
sebuah kubangan kecil berlumpur. “Maaf,” Tantri cepat 
membangunkannya. “Jika kita kembali ke sana, kita tak 
akan bisa kembali lagi ke mana pun!” 

“Tapi aku harus menolongnya!” Tari mengibaskan 
tangan Tantri, sambil mencoba mengusap lumpur yang 
ada di mukanya. 

“Itu tindakan sia-sia,” kata Tantri menghadang di 
depan Tari. “Dan melakukan tindakan yang kau tahu 
hasilnya sia-sia adalah... sia-sia!” kata Tantri lagi. 

“Tapi aku harus tahu apa yang terjadi padanya,” ti- 
ba-tiba ada suatu perasaan yang begitu mencekam. Ka- 
lau terjadi sesuatu dengan Anengah, sesuatu yang... 
yang... Tari tak berani memikirkan lebih lanjut. Mung- 
kin ia dan Anengah saja yang selamat turun dari Rah- 
tawu. Dan jika Anengah tiada... 

“Aku harus melihatnya!” teriak Tari, langsung lari. 

“Tunggu,” Tantri mencoba menghadang lagi. Tapi de- 
ngan gerakan Sura-caya Tari berhasil menghindar ke ki- 
ri. Tantri tidak gugup. Cepat ia menyodorkan si Galih ke 
kanan, sementara tubuhnya melesat ke depan dan tan- 
gannya terentang lebar. Tari tak menghentikan lang- 
kahnya. Akibatnya Tantri harus menjerit keras. Lang- 
kah kaki Tari secara tak sengaja telah membentur dada 
Tantri. Tari melompat lagi ke depan, sementara Tantri 
berputar untuk melenyapkan dampak benturan kaki 
Tari tadi. Ia pun menjatuhkan diri dan tangannya ter- 
ulur menyambar ujung kain Tari. 

Tari terpaksa berhenti. Jika ia meneruskan langkah- 
nya, akibatnya jelas. Tantri tak akan melepaskan ujung 
kainnya. Dan pasti kain itu akan terenggut lepas dari 
tubuh Tari. Dalam sesaat itu pertimbangan rasa malu 
muncul secara wajar. Dan Tari berhenti. Yang membuat 
ia heran adalah... bagaimana Tantri bisa mengulurkan 
tangan pada saat yang tepat hingga sanggup menyam- 
bar kain Tari? Pada galibnya gerakan Sura-caya tak ter- 
duga dan tak bisa dihadang. Kecuali oleh seseorang de- 
ngan kemampuan tinggi. Kini baru Tari sadar. Kemung- 
kinan Tantri ini orang yang berkemampuan tinggi! 

“Hei, jangan memandangku seperti itu!” kata Tantri, 
dan memang, beberapa saat tadi Tari memandangnya 
bagaikan baru kali itu ia melihat Tantri. Ia mengulurkan 
tangan, menarik Tari ke pinggir agar terhindar dari tu- 
brukan dengan orang-orang yang bagaikan mengalir di 
gang itu. 

“Aku... aku ingin tahu nasib Kakang Anengah,” kata 
Tari lemah. 

Sesaat Tantri tampak berpikir. Kira-kira begitulah. 
Sebab tempat itu begitu gelap. “Baiklah,” akhirnya Tan- 
tri berkata. “Ayo ikut aku.” Tantri berlari ke ujung gang. 
Kini tanpa ditarik pun Tari mengikuti anak itu. Mereka 
merambat di dinding-dinding rumah, menghindari o- 
rang-orang yang berlarian lintang-pukang. Di jalan 
utama terlihat suatu pertempuran kecil. Beberapa pria 
desa bertarung melawan orang-orang yang tampaknya 
memang ahli bertarung. Senjata mereka sekali-sekali 
tampak berkilau di sinar api yang kini telah melahap 
dua buah rumah di samping rumah Buyut Wirak. Se- 
saat Tari berhenti. 

“Kita tak bisa membantu mereka,” kata Tantri. “Ayo!” 

Tantri melompat ke beranda sebuah rumah. Berdiri 
di pagar beranda itu. Dan melompat ke atap. Tari me- 
nyusulnya. Mereka berlompatan dari atap ke atap. Atap- 
atap ijuk itu sering membuat Tari hampir terjerumus. 
Tetapi ia lebih memperhatikan gerakan-gerakan Tantri. 
Dengan mengingat cerita Bibi Madraka, mungkin ia bisa 
mengira-ngira apakah Tantri memang orang yang ber- 
kemampuan tinggi. 

Tetapi ia tak melihat hal yang luar biasa dari gerakan 
Tantri. Gerakannya bahkan mirip gerakan orang yang 
tidak menguasai tata gerak kewiraan. Beberapa kali 
tampak ia terpeleset. Beberapa kali hampir terjerumus. 
Beberapa kali lompatannya ke atap rumah yang lain 
hampir tidak sampai. 

Tantri mendekam di puncak atap rumah di seberang 
rumah Buyut Wirak. Tari pun berjongkok di sebelahnya. 
Ia harus berusaha keras menindih perasaannya. 

Halaman rumah Buyut Wirak terang-benderang. Be- 
lasan orang mencoba memadamkan api. Beberapa 
orang lagi mencoba menghalangi mereka yang ingin 
memadamkan api. Dan orang-orang ini, walaupun pen- 
duduk desa, agaknya tahu apa yang mereka lakukan. 
Kelompok pendatang agak kesulitan menghadapi me- 
reka. 

“Mereka takkan bertahan lama,” bisik Tantri. “Tapi 
lumayan juga anak buah Wirot itu. Yang mereka hadapi 
adalah gerombolan perampok-perampok dari Hutan 
Kumbina.” 

“Bagaimana kau tahu?” tanya Tari, matanya nyalang 
mencari-cari kalau-kalau terlihat Anengah. Ada suatu 
rasa sakit dalam perutnya. Memikirkan apa yang terja- 
di, apa yang mungkin terjadi dengan Anengah. 

“Itu Ula Bandotan,” kata Tantri, menunjuk pada seo- 
rang lelaki bertubuh pendek yang dengan gesit menahas 
siapa saja yang berada di dekatnya. Dia pimpinan para 
perampok di hutan itu. 

“Dan orang berbaju biru itu? Siapa dia?” 

“Wuah! Dia berita buruk! Aku kenal dia... lebih baik 
lari saja kalau kau seorang lelaki. Dewasa ataupun 
anak kecil baginya sama saja. Asal lelaki dan dia suka... 
hhh... Dia tak akan mau melepaskanmu!” Tantri tak te- 
rasa memperendah suaranya. 

“Kau takut padanya?” 

“Tentu! Kaukira aku ini apa, huh? Mana aku berani 
menghadapi orang sesakti dia... aku toh bukan murid 
Rahtawu!” 

Tari melirik Tantri. Apakah anak ini mengejek? 

“Aku harus turun. Aku harus tahu nasib Kakang 
Anengah,” kata Tari. 

“Celaka!” tiba-tiba Tantri mengeluh. “Ilmu pendenga- 
rannya sungguh tajam!” 

“Apa?” bisik Tari. 

Tantri tidak menjawab. Tari pun lupa menunggu ja- 
waban. Di bawah sana terjadi sesuatu. 

Dari balik kepulan asap, Tari melihat tiba-tiba saja 
muncul cahaya kebiru-biruan di beranda rumah Buyut 
Wirak yang seluruhnya sudah diliputi api itu. Si Jubah 
Biru muncul! 

Berdiri tegak. Tak peduli. Si Jubah Biru seolah me- 
mandang ke arah mereka yang bersembunyi di atas 
atap. Jubah birunya melambai-lambai mengikuti koba- 
ran api di sekelilingnya. Bagaikan kena angin. Birunya 
kemilau bermain di cahaya kobaran api yang merah- 
kuning. Dan baik si jubah maupun pemiliknya sama 
sekali tak terganggu oleh api. Ada hal lain yang lebih 
menarik perhatian Tari. Orang itu menyeret seseorang— 
Anengah! 

Ya. Anengah. Dari kejauhan memang tampak kain 
Anengah terbakar di sana-sini. Juga terlihat luka bakar 
di tubuhnya. Tapi jelas pemuda itu masih hidup. Dan 
masih bersemangat. Sekilas terlihat betapa Anengah 
mencoba melancarkan salah satu pukulan melengkung 
Bantala Liwung ke arah pinggang si Jubah Biru. Tapi je- 
las Anengah tak memiliki kuda-kuda yang kuat sebagai 
landasan. Dan dalam keadaan seperti itu tak mungkin 
ia bisa mengerahkan tenaga. Si Jubah Biru menoleh 
pun tidak. 

“Kakang Anengah!” tak terasa Tari berdesis. 

“Jangan!” Tantri tergesa mencegah. Tapi terlambat. 
Bahkan dari jarak sejauh itu, dari balik kepulan asap 
dan di tengah hiruk-pikuk memekakkan telinga itu si 
Jubah Biru kini seakan tahu lebih persis lagi dari mana 
asal bisikan tadi. Dan ia tertawa. Suaranya serasa pe- 
cah. Serak. Tidak keras namun terdengar jelas. 

“He he he... agaknya kau masih di situ, anak manis?” 
katanya serak, melemparkan Anengah kepada salah 
seorang anak buahnya dan turun ke halaman. Berjalan 
perlahan ke arah rumah tempat Tari dan Tantri ber- 
sembunyi di atapnya. “Jangan-jangan kau memang 
sayang padaku, anak manis, walaupun kau berulang 
kali lari dariku. Kau tadi sudah kuberi kesempatan un- 
tuk lari... eh, masih juga kau kembali. Sekarang... yah, 
apa boleh buat... tak bisa aku berbuat pura-pura tak 
kenal padamu, anak manis!” 

Tantri menepuk punggung Tari, dan mendahului me- 
loncat turun ke bagian belakang rumah. Tari heran, tapi 
ia segera menyusul. 

Tantri begitu bersungguh-sungguh. Dan ketakutan. 
Ia menggamit Tari untuk bersembunyi di balik tumpu- 
kan kayu kering di kandang. “Dengar baik-baik. Kita 
harus berpisah,” bisik Tantri. “Aku yakin aku akan ber- 
hasil ditangkapnya. Aku tak ingin kau ikut tertangkap 
bersamaku. Tapi aku pasti lolos. Kau pergilah ke arah 
barat. Mungkin sebelum mencapai Kotaraja, aku akan 
berhasil menyusulmu. Kalau tidak, teruslah ke Kapan- 
jian. Dekat Desa Pakisaji ada sebatang pohon beringin 
putih. Tunggu aku di sana. Jangan khawatir tentang 
Kakang Anengah. Aku akan menolongnya. Pergilah ce- 
pat!” 

Tiba-tiba Tantri mengulurkan tangan. Ujung jarinya 
seolah tak sengaja menyinggung sebuah titik di ping- 
gang kiri Tari. Terasa suatu getaran yang tajam dan me- 
nyengat. Mau tak mau Tari terpaksa meloncat. Meloncat 
dengan sepenuh tenaga! 

Bahkan sebelum Tari menyentuh tanah kembali, ter- 
dengar suara gedubrakan hebat. Rumah yang tadi me- 
reka naiki terguncang hebat. Bagian depan rumah itu 
roboh berantakan! Dan di antara ributnya suara gemu- 
ruh rumah rubuh itu suara serak tadi terdengar jelas, 

“Hei, anak manis, kau masih ingin main sembunyi- 
sembunyian?” 

“Aku di sini, Betari!” Tantri berteriak meloncat me- 
ninggalkan kandang dan menghantam sudut belakang 
rumah itu. Dengan suara gemuruh robohlah rumah ter- 
sebut. Tari tak sempat berpikir lagi. Ia jatuh di luar pa- 
gar, dekat sebuah lumbung. Belum kokoh berdirinya, 
tiga orang lelaki bersenjata berloncatan menerjang. Ge- 
lap memang, tapi Tari bisa melihat bahwa salah seorang 
di antaranya adalah orang yang tadi ditunjukkan Tantri 
sebagai si Ula Bandotan. Dalam gelap senjata rantai be- 
si hitamnya tak terlihat. Tetapi Tari mendengar desir 
senjata itu lebih dahulu dari desir pedang dan tombak 
yang tertuju juga padanya. Tari menekuk kaki kiri. Ba- 
dannya melengkung dan berputar. Tangan kanan cepat 
menabas sementara tangan kiri turun untuk bersiap- 
siap menjadi tumpuan. Jurus ke-11 Bantala Liwung ini 
memang ampuh untuk kepungan dari tiga penjuru. Ula 
Bandotan cekatan menggulingkan diri ke kiri dan ke be- 
lakang. Tak urung kaki kanan Tari berhasil mengganjal 
lompatan mundur Ula Bandotan hingga benggolan pe- 
rampok itu sesaat agak terhuyung berdirinya. Saat yang 
hanya sekejapan mata itu digunakan Tari untuk memu- 
tar dirinya bagaikan baling-baling. Kini dada Ula Bando- 
tan terkena dengan telak. Kedua temannya lebih dahulu 
telah tersungkur dan terpental menubruk tiang kan- 
dang. Tangan kiri Tari yang menyangga tubuhnya kini 
telah melancarkan sambaran langsung. Tinju kecilnya 
berhasil membuat tombak lawan yang diangkat untuk 
menangkis patah menjadi dua. Tangan kanannya me- 
nyambar ujung tombak yang langsung digunakannya 
untuk menyerang Ula Bandotan. Ula Bandotan gesit se- 
kali berputar-putar dekat tanah. Namun gerakan dara 
Rahtawu ini lebih cepat. Sekali tombak yang sangat 
pendek di tangan Tari berhasil mengikat rantai Ula 
Bandotan. Sesaat Ula Bandotan menyeringai riang di 
kegelapan. Anak tak tahu diuntung ini ingin mengadu 
tenaga dengannya? Boleh coba! 

Namun Ula Bandotan terkejut. Ternyata Tari tidak 
mengadu kekuatan, tetapi malah meminjam tenaga Ula 
Bandotan! Tubuh kecil Tari bagaikan terbang melewati 
kepala Ula Bandotan dan melesat ke atas kandang. De- 
ngan kegemasan luar biasa dari atas kandang Tari 
membantingkan tombak buntungnya pada Ula Bando- 
tan yang masih bergulingan di tanah. 

“Ampun!” terkesiap Ula Bandotan. Rasanya takkan 
mungkin ia menghindari serangan itu. Tapi ia biasa 
berpikir cepat. Kakinya menendang. Temannya yang se- 
dang mendekat untuk mengejar Tari terbanting. Tepat 
menerima ujung tombak yang dilemparkan Tari. 

*** 

Hari pasaran di Angkusa. Tari duduk di bawah sebatang 
pohon di pinggir pasar. Ramai sekali pasar itu. Para pe- 
tani dari daerah sekitar kota kecil tersebut seakan tum- 
pah ke sana. Membawa apa saja yang mereka anggap 
bisa dijual. Hasil pertanian. Hasil peternakan. Hasil ke- 
rajinan. Ah, alangkah senangnya kalau ia masih berada 
bersama saudara-saudara seperguruannya. 

Tari sangat rindu pada mereka. Tari sangat rindu 
pada gurunya, Bibi Madraka. Bibi Madraka selalu keras 
dalam mengajar. Tetapi dalam perjalanan maka ia sa- 
ngat berubah. Ia bagaikan seorang ibu yang sangat 
memanjakan anak-anaknya. Tari dan lainnya selalu di- 
biarkan berbuat apa saja. Dengan batasan: mereka ha- 
rus bisa bertanggung jawab akan apa yang terjadi. Di- 
am-diam Tari tersenyum. Ia ingat dulu, tepat di hari pa- 
saran seperti ini, Lati yang bertubuh tinggi besar terta- 
wa lucu melihat tingkah laku seekor anak kambing. 
Seorang pemuda tani salah mengartikan tawa ini. Pe- 
muda itu mengira Lati tertawa padanya. Dan ia tak mau 
melepaskan Lati lagi. Mengikuti terus ke mana rom- 
bongan Bibi Madraka itu pergi. Dengan tekun ia terus 
mencoba menjalin hubungan dengan Lati, mengajaknya 
bicara. Membelikannya makanan. Memberinya pakaian. 
Mula-mula Lati memang senang juga mendapat perha- 
tian begitu besar. Tapi kemudian ia menjadi sebal. Apa- 
lagi saudara-saudara seperguruannya tak habis- 
habisnya menggodanya. Apalagi karena Lati memang 
tak menaruh perhatian pada pemuda itu. Apalagi si 
pemuda makin lama makin mendesak. Mula-mula Lati 
menolak secara halus. Kemudian menghardiknya. Bah- 
kan akhirnya terpaksa memukulnya. Si pemuda tak pe- 
duli. Terus mengikutinya hingga sampai ke Kambang 
Putih. Lati saat itu sudah sangat putus asa. Semua sau- 
dara seperguruannya tak mau membantu. Bibi Madraka 
tak mau membantu. Bibi Sodrakara juga tak mau mem- 
bantu. Akhirnya terpaksa Lati menegakan hatinya un- 
tuk menipunya. Ia naik ke sebuah kapal layar di Kam- 
bang Putih. Kapal itu akan berlayar ke Melayu. Dan di 
tengah laut Lati terjun ke laut. Berenang semalaman 
hingga mencapai daratan kembali. Untuk berenang se- 
jauh itu memang Lati sanggup. Dan ia tahu si pemuda 
tak bisa berenang. 

Lati memang keji, tak terasa Tari tersenyum. Tapi 
senyum itu langsung lenyap. Dan ia mengerutkan ke- 
ning. Lati begitu berkepribadian. Sementara dia sendiri? 

Tari menghela napas panjang. Apa yang telah dila- 
kukannya beberapa hari terakhir ini? Perguruannya ter- 
timpa bencana. Dan ia tak berbuat apa pun. Bahkan ia 
tak tahu ke mana yang lain pergi. Bahkan ia merasa 
menyayangkan seseorang yang sudah berat disangka 
sebagai berkhianat pada perguruannya. Dalam hal ini 
mungkin ia bisa dianggap benar, sebab Tara belum ter- 
bukti bersalah. Tetapi kemudian... ia telah begitu saja 
meninggalkan saudara seperguruannya dalam keadaan 
menderita di tangan pihak yang bermusuhan... dia telah 
percaya saja pada seseorang yang baru saja dikenal- 
nya... ya bahkan orang itu adalah seorang anak. Ya. 
Mengapa ia bahkan mengikuti permintaan Tantri sepe- 
nuhnya? Tiga hari ini ia telah berjalan ke arah barat. Ti- 
ga hari ini ia sesungguhnya melarikan diri. Tanpa ke- 
luar pikiran untuk, misalnya, mencari berita tentang 
Anengah. Atau mendengar-dengarkan kabar tentang 
adanya orang-orang Rahtawu. Aneh juga. Sepanjang 
perjalanan ia tak mendengar berita apa pun tentang 
Rahtawu. Juga tidak tentang Candika. Hanya... ya. Ada 
berita tentang kematian-kematian aneh di sana-sini. 
Serta berita kejahatan yang meningkat. Bahkan selalu 
kehadirannya di sebuah desa disambut dengan kecuri- 
gaan. Untung juga bekal yang dibawanya cukup. Ia be- 
lum perlu meminta derma seperti yang dilakukannya bi- 
la mengadakan perjalanan dengan Bibi Madraka. 

“Hai, anak manis, kanyu tentunya sedang memimpi- 
kan betapa senangnya jika semua ternakm/u terjual ha- 
bis, ya?” tiba-tiba sebuah suara menembus lamunan 
Tari. 

Tari tergagap sadar. Dan terkejut. Di depannya ber- 
diri tiga orang lelaki. Seorang pemuda berwajah tampan, 
berkulit kekuningan, dengan badan penuh perhiasan. 
Dialah yang tadi bicara. Senyumnya masih terpaku di 
bibir yang berkumis tipis itu. Dan matanya cemerlang 
bersenyum nakal. 

Agak di belakang si pemuda, berdiri dua orang yang 
bertampang lucu. Seorang bertubuh bulat bundar. Mu- 
kanya juga bundar. Matanya bundar terbuka lebar. Mu- 
lutnya terbuka membentuk suatu kebundaran. Melongo 
terus. Yang satu kurus tinggi. Segalanya kurus. Muka- 
nya kurus, giginya menongol ke depan, bibirnya seakan 
terus tersenyum. 

“Ah, Raden, memang cukup manis, tetapi anak ini 
tampaknya begini tolol. Apakah Raden masih ingin ber- 
cengkerama dengannya?” si Bulat tertawa terkekeh- 
kekeh sambil terus memperhatikan wajah Tari. 

“Bagi junjungan kita, yang penting kan bukan tolol- 
nya, Yoni,” sahut si Kurus. “Malah semakin tolol, sema- 
kin gembira, bukan, Raden? Hi hi hi hi....” 

“Wuah, tapi kalau terlalu tolol ya kita juga yang jadi 
korban, Lingga,” si Gendut makin membundarkan mu- 
lutnya. “Harus jadi percobaan! Lagi pula ini pasti anak 
petani bawang dari Ara Plasa. Waduh. Baunya sungguh 
menusuk hidung!” 

Ketiga orang itu tertawa. Tari terkesiap mendengar 
nama panggilan kedua orang itu. Dan sikap si pemuda 
juga terlalu... genit! Kalau ada Lati, mungkin pemuda 
itu akan langsung kena tendang. Tapi Tari tak mau 
mencari gara-gara. Diangkatnya buntalan bekalnya dan 
ia berdiri. Tapi begitu ia berpaling, si pemuda melompat 
ke depannya. Menghadang. 

“Hei, mau ke mana, anak manis? Ikut aku saja ke 
Tumenggungan. Ayo. Bawalah ternakmu. Kubeli semua- 
nya!” kata si pemuda. “Ayolah!” 

“Wah, ikut saja,” kata orang yang dipanggil Lingga. 
“Tak sembarang orang bisa memperoleh anugerah ke- 
nikmatan dari Tumenggungan lho!” 

Tari tertegun. Lingga dan Yoni nampaknya ingin 
menghalanginya melangkah dari situ. Ke mana pun. 

Bersambung ke jilid 3.