Wisanggeni Bag. 12


Malam itu bulan dipayungi mendung, kabut mulai bergayut. Di gubuk besar yang ditempati perguruan Mahameru tampak cahaya obor. Pekarangan gubuk mulai dipadati para pendekar. Pendeta Macukunda menyambut satu per satu tetamunya.

Wisang Geni, Sekar dan Gayatri tiba bersamaan waktu dengan Demung Pragola yang dikawal beberapa murid. Demung Pragola dan Macukunda memperlihatkan perasaan gembira menyambut Geni dan dua isterinya. Semua pendekar juga menyatakan rasa senangnya dan menyapa Wisang Geni dengan hangat. Kehadiran Pendekar Tanah Jawa berambut uban ini membangkitkan semangat mereka. Di balik itu semua pendekar tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya melihat kecantikan Gayatri dan Sekar. Macukunda memimpin rapat membicarakan siapa saja pendekar yang tampil dalam tarung esok pagi. Suasana rapat damai, diwarnai canda. Ada pendekar yang menarik diri setelah melihat ada nama lain yang lebih mumpuni. Rapat yang penuh rasa persahabatan akhirnya memastikan delapan nama pendekar, Wisang Geni, Macukunda, Demung Pragola, Panji Patipati SangPamegat, Sagotra, Warok Brantas dan Grajagan. Ketika nama Pranaraja disebut, ternyata penasehat raja Kediri itu berhalangan hadir maka Macukunda memutuskan senopati Samba yang mewakili. Masih ada tiga nama yang diperlukan.

Tidak membuang-buang kesempatan, Gayatri bangkit dari duduk, berkata perlahan namun bisa didengar semua orang. Suatu pertunjukan tenaga dalam yang mumpuni. "Maafkan aku, pendeta mulia Macukunda dan juga para pendekar yang hadir di sini, sekali lagi mohon maaf. Aku juga minta maaf pada suamiku," sambil perempuan cantik ini memandang ke arah Geni yang duduk di sampingnya. Geni diam, ia sudah tahu apa maunya si isteri cantik itu.

Perempuan itu melanjutkan, "Aku adalah Gayatri, isteri Wisang Geni. Kebetulan aku punya bekal sedikit ilmu silat. Aku seperti Sawitri yang sangat menyinta Salyawan dan yang bersedia bertarung nyawa membela suaminya. Aku dengan rendah hati mohon kepada para pendekar untuk diberi kesempatan ikut tarung membela gengsi tanah Jawa."

Hadirin tercengang. Belum hilang kagetnya, Macukunda dikejutkan tampilnya perempuan cantik di samping Geni. "Aku juga mau ikut tarung, aku Sekar, isteri Wisang Geni. Aku juga punya ilmu silat yang mumpuni dan siap membela tanah Jawa bersama Gayatri dan suamiku."

Masih dalam keadaan bingung, namun Macukunda, cepat memberi hormat kepada dua pendekar wanita itu. "Terimalah hormatku, pendekar Sekar dan Gayatri, sampean memang isteri setia seperti Sawitri, aku setuju masukkan nama sampean berdua sebagai pendekar kesembilan dan kesepuluh namun keputusan aku serahkan kepada suamimu apakah dia memberi ijin atau tidak, karena dia seorang yang paling tahu tingkat ilmu silat yang kalian miliki, tanggungjawab ada pada Ki Wisang Geni. Apakah semua pendekar setuju keputusan ini?"

Hampir semua pendekar menyatakan setuju. Mereka memandang Wisang Geni, menanti apakah lelaki ini memberi ijin isterinya yang cantik jelita untuk ikut tarung. Geni berbisik kepada isterinya, "Kamu benar-benar gila, aku tidak memberi ijin, tidak bisa."

Gayatri menjawab dengan berbisik, "Geni, kamu tidak boleh melarang aku sebagai isterimu yang hendak berbakti kepada suamiku, ini darma baktiku sebagai seorang isteri yang menyinta suaminya. Geni, kamu harus memberi ijin."

Sekar memperkuat permohonan Gayatri. Ia berbisik pelan, "Suamiku, kamu tak boleh menolak darma bakti dari isterimu, lagipula kami berdua punya ilmu silat mumpuni, yang mampu mengalahkan kami hanya kamu seorang, itu kalau urusan ilmu silat, kalau urusan bercinta belum tentu."

Mendengar alasan dan perkataan Sekar, apalagi kalimat yang terakhir, Geni tersenyum geli. "Kalian memang gila, tarung ini bukan main-main, urusannya bisa mati!" Dua isterinya manggut, menandakan kemauan yang pasti.

Diam sesaat akhirnya Wisang Geni mengangguk, lalu berkata kepada pendeta Macukunda, "Baik, aku mengijinkan dua isteriku ini ikut bertarung. Mereka dibekali ilmu silat mumpuni, tak usah ragu, tetapi kalah menang atau hidup mati dalam pertarungan ini tetap merupakan rahasia dewa."

Macukunda menjawab dengan berseru kepada para pendekar. "Pendekar berikutnya kupastikan adalah Nyi Gayatri dan Nyi Sekar, isteri Ki Wisang Geni." Masih ada satu tempat yang setelah melalui pembicaraan cukup ketat akhirnya disetujui pendekar Matangkis, adik seperguruan Macukunda. Semua setuju dan sepakat atas keputusan bersama itu. Pertemuan berlangsung singkat, rapat usai sebelum tengah malam. Para pendekar dipersilahkan kembali ke tempatnya masing-masing. "Kita semua perlu istrahat agar besok bisa lebih segar," kata Macukunda.

Malam itu di gubuknya Wisang Geni berbaring di lantai beralaskan tikar bambu Tiga isterinya duduk mengelilinginya. Gayatri dan Sekar mengapit sambil memijit lengan dan tangan, Prawesti memijit paha dan betis. Ia memecah kesunyian, "Aku tak tahu apa yang terjadi besok, tetapi aku mohon kamu berdua, Sekar dan Gayatri, jangan terlalu berani ambil resiko, aku tidak mau kamu terluka. Setelah pertarungan besok, kita masih punya urusan menghadapi orangtua Gayatri, aku harus bisa mencairkan kekerasan ayah mertua supaya bisa memberi ampun kepadamu, Gayatri."

Sambil terus memijit bahu dan lengan suaminya, Gayatri berkata, "Besok aku akan berhati-hati, kamu juga harus hati- hati Setelah itu memang sebaiknya kita menghadapi ayah, jika ia datang bersama Wasudeva, aku pikir hasilnya akan lebih baik, aku akan ceritakan semua perbuatan Wasudeva terhadap Manisha dan juga niat tersembunyi lelaki itu.

Selanjutnya terserah ayah."

"Apakah Wasudeva punya niat jahat terhadapmu?" tanya Sekar.

"Cerita harus dimulai dari kakekku. Setelah dikalahkan Eyang Sepuh di perang Ganter, kakek banyak berubah. Pulang ke Himalaya, ia lebih sering menyendiri. Hanya ibukuyang paling dekat dengannya, ia berkata pada ibuku bahwa ia tak pernah menyangka bisa dikalahkan orang, benar kata orang bahwa di atas langit masih ada langit yang lebih tinggi lagi.

Geni, aku percaya kepandaianmu sangat tinggi, tetapi tetap saja aku merasa takut besok kamu kalah, atau kau mati. Itu sebab aku ngotot ikut tarung, kalau perlu aku saja yang mati."

Geni memandang tiga isterinya bergantian, "Semua orang harus mati, kita sering melihat kematian, aku melihat Lembu Agra mati, kamu juga melihat Lembu Ampai mati Tetapi tiap manusia punya pikiran hampir sama, mereka tidak mau mati, mereka ingin hidup lebih lama lagi, apalagi jika manusia itu sudah menikmati kekayaan dan kekuasaan, ia semakin ingin hidup selama-lamanya. Mereka enggan melepas kekuasaan atau kekayaannya, mereka ingin membawa kekayaan dan kekuasaannya ke lubang kubur."

"Makanya kupikir kamu itu aneh, kamu malah melepas kekuasaanmu sebagai ketua Lemah Tulis," kata Sekar.

Geni mengalihkan pembicaraan, menanyakan sesuatu yang sudah lama mengganggu pikirannya. "Gayatri, kamu belum menjawab pertanyaanku tentang niat jahat Wasudeva itu. Aku juga heran kenapa kamu begitu yakin ayahmu akan menghukum kamu, membunuhmu atau memaksa kamu bunuh diri. Aku juga tidak mengerti, mengapa seorang ayah bisa tega berlaku sekeras itu terhadap putrinya sendiri, sungguh aneh."

Memegang dan memijit tangan Geni, kemudian Gayatri menciuminya. Ia menjelaskan bahwa dalam adat istiadat keluarga, juga adat dan tradisi di kampungnya di lereng Himalaya, anak perempuan harus patuh dan taat terhadap apa pun keputusan ayahnya menyangkut perjodohan. Anak perempuan tak punya hak memilih jodoh. Hak tersebut ada di tangan ayah. Sang ayah telah menerima lamaran Wasudeva, maka Gayatri harus menerima, suka atau tidak suka. "Ayah, ibu dan dua kakakku pasti datang menjemputku, mungkin juga Wasudeva ikut dalam rombongan. Tetapi Geni, aku tidak menyesal sedikit pun telah menjadi isterimu Kepada ayah, aku akan mengaku sudah menikah dan telah menjadi isterimu.

Dua kesalahan telah kulakukan. Yang pertama, aku membangkang dan menolak perjodohan yang menjadi hak ayah. Yang kedua, aku telah menikah dengan orang luar tanpa ijin ayah. Maksud orang luar adalah lelaki yang bukan asal Himalaya. Dalam adat istiadat kami, dua kesalahan besar ini tak bisa diampuni. Hukumannya mati, karena telah memberi aib besar kepada keluarga."

Sejak tadi diam dan hanya mendengar, Prawesti mendadak bicara, "Kakak Gayatri, kita pergi saja menyendiri di suatu tempat yang sepi, ayahmu pasti tak akan bisa menemukan kita."

Gayatri menghela napas, "Percuma sembunyi, ayah akan mencari dan tidak akan berhenti mencari bahkan membuat ayah makin murka. Aku pikir aku akan hadapi ayah, membeberkan persitiwa sebenarnya. Wasudeva menghamili kakak Manisha dan mengingkari janjinya untuk menikahi kakak. Aku akan ceritakan alasan mengapa Wasudeva berusaha keras menjadi menantu ayah, tak lain karena ingin mencuri ilmu andalan kakek Atehai Zaminpar Kabhiyeb Chande Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi). Setelah menjadi menantu ayah akan mudah baginya mencuri ilmu itu. Dan ayah terlalu jujur, ia tak tahu kelicikan Wasudeva"

"Dari mana kamu tahu niat licik Wasudeva itu?" tanya Sekar.

"Sebelum kakek meninggal, ia bercerita padaku, bahwa perguruan Arjapura ingin menguasai jurus andalan perguruan Yudistira dengan demikian Arjapura menjadi yang terkuat diantara semua perguruan sekitar Himalaya. Kakek tahu watak ayah itu keras dan jujur, ayah tak akan percaya. Maka kakek menugaskan aku untuk menjaga jangan sampai murid Arjapura bisa menipu ayah. Ternyata dugaan kakek benar adanya, Wasudeva, putra dari ketua Arjapura berhasil memperoleh kepercayaan ayah. Sebenarnya jika ia mau mengawini Manisha, maksudnya akan tercapai, ayah akan mengajarkan jurus itu kepadanya. Karenanya aku tidak mengerti mengapa ia menolak Manisha dan berpaling menyukai aku."

"Katamu, Manisha lebih cantik dari kamu, tetapi mungkin saja Wasudeva lebih menyukaimu, aku pikir masuk akal.

Gayatri, kamu perempuan yang punya daya tarik yang bisa membetot semangat dan merangsang nafsu birahi lelaki." Geni juga menepuk pinggul isterinya.

"Itu yang kamu rasakan pertama memandangku?"

"Yang kulihat waktu itu, perempuan tercantik yang bahkan belum pernah muncul dalam mimpiku. Aku terpikat tubuhmu, buah dada, rambut, mulut dan kemarahanmu yang memancar dari matamu yang indah, aku terangsang bahkan ingin memerkosamu"

"Kenapa tidak kau lakukan?"

"Aku merasa bersalah, jika harus merusak makhluk secantik kamu, aku juga punya moral dan belum pernah memerkosa perempuan."

"Waktu itu, aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, aku takut."

Sekar tertawa cekikikan. Ia menggoda, "Tetapi akhirnya kamu diperkosa juga, sama seperti ia memerkosa aku di tengah hutan. Dan kamu Westi, kamu diperkosa di mana? Di Lemah Tulis?"

Prawesti terbawa suasana humor, menjawab dengan tertawa lirih, "Ia memang suka memerkosa perempuan. Isterinya, bibi Wulan, baru lima hari mati, ia sudah memerkosa aku."

"Ilmu Wiwaha sering membakar birahi setiap melihat perempuan cantik apalagi yang tubuhnya indah macam kalian bertiga." Geni membela diri sambil tawa. "Lagipula kalian suka menggoda dan memancing birahiku seperti sekarang ini.

Kalian juga ketagihan." Gayatri memeluk Geni. "Ciumanmu itu telah menaklukkan aku, pada saat itu aku sudah menjadi milikmu, aku menyintaimu hari itu, hari sekarang dan hari besok, Geni aku tak bisa hidup tanpa kamu, Geni apakah sekarang kamu terangsang," Gayatri mencium suaminya. Ciuman yang menumpahkan segala birahi dan cinta seorang kekasih.

Berturutan Sekar dan Prawesti menggeluti dan menciumi sang suami.

Lelaki itu terangsang, ketika hendak mengajak bercinta, Gayatri dan Sekar menolak halus beralasan besok akan tarung. Prawesti tanpa membuang waktu menggeluti Geni penuh nafsu. "Aku mendapat tugas melayanimu, ketua."

Sekar dan Gayatri keluar meninggalkan dua insan itu yang langsung bergumul dalam birahi.

Fajar menyingsing. Gayatri dan Sekar sudah pulas dalam semedi. Prawesti tergeletak lelap, kelelahan, bugil dan berkeringat. Geni semedi mengatur pernafasan, tubuhnya melayang di atas tanah. Nafasnya lembut nyaris tak terdengar. Uap tipis membias keluar dari tubuhnya yang basah kuyup oleh keringat. Ia mengerahkan tenaga panas berganti dingin.

---ooo0dw0ooo---

Pagi itu di sekitar panggung kayu yang luas, berkumpul semua pendekar yang akan tarung, disaksikan penonton yang cukup banyak. Siauw Tong memperkenalkan satu per satu dari sebelas pendekar termasuk dirinya. Mereka duduk di sisi panggung sebelah utara. Di sisi sebelah selatan, Macukunda memperkenalkan satu per satu pendekar yang mewakili tanah Jawa. Orang yang terakhir diperkenalkan adalah Wisang Geni, Sekar dan Gayatri. Ketika nama Gayatri disebut, Siauw Tong menyela, "Apakah tanah Jawa sudah kekurangan pendekar sehingga harus diperkuat oleh seorang pendekar dari pegunungan Himalaya?"

Wisang Geni berdiri. Tetapi sebelum suaminya menjawab, Gayatri berkata lantang dengan suarayang ditekan tenaga dalam "Aku isteri Wisang Geni sehingga punya hak membela gengsi negeri kelahiran suamiku. Kebetulan kamu masih punya hutang piutang dengan aku, mungkin sebaiknya nanti kita selesaikan di atas panggung, itu pun kalau kamu punya nyali." Gayatri teringat bentrokan tenaga dalam dengan lelaki itu di pelabuhan Jedung.

Wajah Siauw Tong merah padam. Saat itu Sio Lan berdiri dan menuding Gayatri. "Tidak perlu Siauw Tong yang turun, aku yang akan melawan kamu, sama-sama perempuan." Rupanya selama perjalanan Sio Lan dan Siauw Tong sudah saling menyinta dan berjanji akan menikah sepulang ke Cina. Ciu Tan, ayah Sio Lan merestuinya. Sio Lan melompat ke panggung Gayatri memandang Geni yang mengangguk setuju.

Dua perempuan itu berhadapan. Sekonyong-konyong bayangan berkelebat ke atas panggung. "Tunggu dulu aku harus ikut tarung, mana boleh kalian tidak mengajak aku," kata seorang lelaki berusia enampuluhan yang tubuhnya masih kekar.

Macukunda berteriak dari bawah panggung. "Hei Manyar Edan, kamu turun, kalau mau tarung nanti saja kita rundingkan."

"Tidak bisa, aku tak mau turun jika belum dapat kepastian." Dia memandang Gayatri penuh kagum "Eh, perempuan ini cantik, sampean mau jadi isteriku? Nanti aku kasih hadiah satu perahu besar, kamu tahu, semua perahu di kali Brantas dan kali Porong, semua punyaku"

Kontan Wisang Geni naik darah melihat isterinya diganggu. Dia berteriak, "Manyar kamu cari mati berani ganggu isteriku!" Tetapi sebelum ia bertindak, Gayatri mendahului memaki, "Eh tua bangka, jaga mulutmu, apa mau aku tampar."

Macukunda gelisah melihat gelagat buruk. "Manyar Edan jangan ngawur, pendekar itu isteri Ki Wisang Geni!"

"Oh isteri orang?" Manyar Edan melihat sekeliling, mengenali Wisang Geni. "Ayo kita tukar-tukaran, aku punya cucu masih muda, umur empatbelas dan cantik. Kamu ambil cucuku, aku ambil isterimu"

Terdengar bentakan perempuan, "Kakek tua tidak tahu diri, kurang ajar," disusul suara mencicit menyerang Manyar Edan. Pendekar kali Brantas terkejut, desir angin tajam menyerangnya. Seutas tali tipis dengan bor di ujungnya memburu ke mana Manyar Edan mengelak. "Hei siapa kamu, jangan main bokong!"

Serangan itu berhenti begitu saja. Terdengar suara Gayatri berteriak, "Urmila, Shamita, kalian datang."

Dua pembantu itu membungkuk dari pinggiran panggung. "Kami siap membantumu, putri." Orang-orang menatap dua gadis cantik yang tampak jelas berasal dari India. Semua orang di situ mendengar dua pendekar wanila itu memanggil Gayatri dengan sebutan putri. Jika pembantunya sudah begitu lihai tentu Gayatri lebih piawai lagi.

Pada saat itu, Siauw Tong berteriak, "Hei, Macukunda, kalian ini mau tanding atau main dagelan. Cepat siapkan anak buahmu atau kalau takut cepat-cepat mengaku kalah dan meminta maaf."

Saat itu Manyar Edan salah tingkah, mendadak putranya, Warok Brantas berdiri, "Bapak, kamu ambil alih saja tempat aku ini."

"Wuah begitu juga bagus, kamu minggir saja, kamu urus bini dan gundikmu saja, kalau urusan tarung biar aku saja, aku sudah lama kepingin ketemu lawan yang jago," katanya sambil tertawa. Ketika Manyar Edan hendak turun panggung, mendadak berkelebat tiga sosok bayangan.

"Aku Si Jenggot dari Gunung Lawu terlambat daftar, tapi aku mau ikut tarung, kapan lagi tarung lawan pendekar Cina," kata lelaki berusia enampuluhan dengan tongkat di tangan. Ia menoleh ke kiri dan kanan, lalu tertawa. "Rupanya bukan aku sendiri yang ingin tarung, ini datang juga pacarku Dewi Ayu dari Segoro Kidul dan teman lama Nyi Pancasona, nah pendeta budiman Macukunda siapa tiga orang yang akan kita ganti, tadi Manyar Edan sudah dapat jatah, kita bertiga juga harus dapat jatah, biar adil," kata pendekar Gunung Lawu

Mendadak Pak Beng berteriak, "Hei, kalian kalau mau berkelahi, tarung saja di bawah sana, jangan mengganggu pertarungan di atas panggung, kita tak peduli siapa dari kamu yang naik panggung, yang penting jumlahnya hanya sebelas orang."

Macukunda menoleh kepada para pendekar di sekitarnya.

Senopati Samba dan Matangkis undur diri, memberikan tempatnya kepada pendekar Jenggot dan Gunung Lawu dan Dewi Ayu dari Segoro Kidul. Adapun NyiPancasona, dia berseru kepada Sagotra, pendekar gunung Merapi. "Hei Sagotra, dulu kamu tarung di bukit Penanggungan, sebaiknya sekarang kamu mengalah dan memberi giliran orang lain."

Sagotra berseru, "Silahkan ambil tempatku, Nyi, aku lebih suka mengalah daripada setiap hari kau mengomeli aku. Biar kali ini kau dengan Grajagan yang ikut tarung. Aku nonton saja, tapi kau harus hati-hati"

Di atas panggung Gayatri dan Sio Lan bersiap. Mendadak Pak Beng melompat ke panggung. "Tunggu, kita bacakan aturannya." Pak Beng menegaskan peraturan. Sebelas pendekar dari setiap kubu boleh naik panggung, satu lawan satu, yang menang boleh istirahat daii uaik pada ke.sempalan l.un. Siapa yang kalali, tak boleh larung lagi. Jika pertarungan berakhir imbang, keduanya dinyatakan kalah dan tak boleh tarung lagi. Kubu yang sebelas wakilnya kalah semua, kubu itu yang dinyatakan kalah. Sebagai hukuman kubu itu harus dengan ksatria menyatakan kalah dan minta maaf. Jika ada pendekar yang mati, itu adalah resiko, tak boleh ada dendam atau main keroyokan.

Di atas panggung dua singa betina sedang beradu pandang. Sio Lan usia duapuluh, cantik dengan tubuh langsing. Ia mengenakan pakaian khas Cina warna kuning dengan hiasan benang emas, rambut dikuncir diikat di belakang leher jenjangnya. Ia meloloskan pedang tipis dari punggungnya.

Penonton memerhatikan Gayatri. Hari itu Gayatri berdandan ala pendekar Jawa. Ia tampak cantik jelita, kulitnya yang putih tampak mencolok dibungkus pakaian warna hitam, baju lengan pendek dan celana longgar sebatas betis.

Rambutnya panjang digelung diikat pita warna putih. Hidungnya bangir, bibir yang tebal dengan mulut lebar membentuk busur serta dua bola mata warna coklat di balik bulu mata lentik, menegaskan kecantikan seorang perempuan India.

Tadi pagi sebelum berangkat, Gayatri minta bantuan Prawesti membungkus ketat-perutnya dengan stagen, setelah sebelumnya perut dilapisi semacam kulit tipis. Lilitan stagen itu tidak terlalu ketat sehingga masih bisa bernafas dengan leluasa.

Gayatri membawa sebilah pedang. Tidak panjang seperti pedang umumnya, tidak juga pendek. Ukurannya sedang, ujungnya sedikit melengkung. Itu pedang pusaka pemberian kakeknya. Gayatri bisa menduga kemahiran lawan dari cara Sio Lan naik panggung. Namun ia tak mau memandang enteng, bisa saja lawan sengaja memperlihatkan kekurangan. Saat berikut dua macan betina itu terlibat tarung hebat.

Sio Lan pernah melihat Gayatri di pelabuhan Jedung ketika Siauw Tong mengujinya dengan tenaga dalam. Perempuan India ini memiliki tenaga dalam mumpuni, maka ia langsung mengeluarkan segenap kepandaian. Kiamboat (Ilmu pedang) Wu Tang yang sederhana namun banyak mengandung arus putar lingkaran kecil dan lingkaran besar menerbitkan tenaga pusaran yang menyedot lawan. Sekali lawan masuk ke dalam pusaran itu, maka tak ada jalan keluar lagi. Tubuh lawan bisa berlubang di banyak tempat.

Tarung beberapa jurus Gayatri mulai merasakan hebatnya ilmu pedang lawan. Ia juga tak mau main-main, ia menggelar jurus pedang warisan sang kakek Hothon Se Maine Kuchna Kuba (Tak ada yang kukatakan melalui bibirku) dan Kitna Bechain Kiya Tumne Tu Kalke Door Naa Rehpan (Kamu membuat aku gelisah, aku tidak bisa pisah dari kamu).

Pertarungan sangat seru, pedang Sio Lan mengurung tubuh Gayatri yang tampak terdesak. Jurus Sio Lan ganas dan telengas sedang gerakan Gayatri sangat indah seperti dewi menari.

Limapuluh jurus berlalu, Sio Lan mulai gelisah, kiamboat- nya seperti membentur tembok yang mengandung pegas.

Tembok itu memukul balik pedangnya. Setiap bentrok pedang, tangannya kesemutan. Memasuki jurus kelimapuluh sembilan, pedang Gayatri berhasil menusuk lengan lawan, dengan gerak menyentak pedang lengkung itu membuat daging lengan Sio Lan tercabik.

Perempuan Cina itu berteriak kesakitan, ia melepas pedang sambil tangannya bergerak, lima pisau terbang mengarah Gayatri. Perempuan India itu sudah mewaspadai perbuatan curang lawan, ia tidak gugup. Ia memutar tubuh seperti gasing, jurus yang ia pelajari dari Geni, pedangnya memukul balik semua pisau. Dua pisau nancap di pundak Sio Lan. Tiga lainnya terbang ke Sin Thong yang sigap menangkap. Siauw Tong melompat memeriksa luka tunangannya dan membopong turun dari atas panggung. Penonton bersorak. Para pendekar seperti Macukunda, yang tak menyangka Gayatri begitu lihai ikut tepuk tangan. Gayatri kembali duduk di samping Geni yang langsung memegang tangannya. Geni menyalurkan tenaga dalam.

Gayatri merasa tubuh segar kembali.

Waktu itu di atas panggung. Nyi Pancasona dengan jurus pedang Dala-dala dari perguruan Gorang-gareng terdesak hebat oleh Li Moi. Pertarungan berlangsung seratus jurus. Li Moy, wanita usia empatpuluh, gesit dan ringan memainkan jurus Belalang. Tadinya tarung imbang, mendadak Pancasona berteriak, "Kau curang!"

Penonton tidak mengerti karena tidak melihat betapa jarum halus Li Moy telah melukai pundak Pancasona. Sedikit demi sedikit Li Moi mulai menguasai pertarungan. Pada jurus keseratus sepuluh, tendangan Li Moy menerpa pundak Pancasona yang tersungkur ke bawah panggung. "Aku kena jarum beracun, aduh lukaku rasanya panas," katanya kepada Sagotra, kawannya. Saat pendekar Merapi hendak mencaci- maki kecurangan lawan, Pancasona mencegah. "Aku yang salah karena tidak waspada. Tak perlu berkoar malah mempermalukan aku." Sagotra cepat mengobati luka Pancasona.

Pertarungan berikutnya, Sin Thong bersenjatakan sepasang golok dihadapi Manyar Edan. Pendekar pendiri perguruan Brantas ini terkenal dengan senjata keris luk tujuh yang konon sangat ampuh dan berhawa panas. Wisang Geni memerhatikan permainan Sin Thong. Dua tahun lalu di bukit Penanggungan, ia menghantam dada Sin Thong sampai muntah darah dan mematahkan dua goloknya. Tampak permainan Sin Thong semakin matang, tetap ganas dan kejam. Sebaliknya Manyar Edan yang rada ugal-ugalan kini ketemu batu, ia terdesak hebat. Kerisnya tak berdaya menghadapi sepasang golok yang cepat, ganas dan bertenaga Sampai jurus sembilanpuluh serangan Sin Thong melukai pundak dan paha Manyar yang terdesak mundur ke bibir panggung. Tendangan Sin Thong mengarah ulu hati, Manyar Edan tak punya pilihan selain lompat mundur. Ia terdesak keluar panggung, kalah.

Saking malunya pendekar ini ngamuk mau naik tarung lagi, namun pendeta Macukunda melerainya. "Kamu sudah kalah Ki Manyar, ini pertandingan resmi, kamu tak boleh melanjutkan tarung, jika kamu naik juga hal itu akan memalukan kita semua."

Pendekar tua ini ngeloyor pergi duduk di samping cucunya. Ia masih mengumbar amarah, "Seharusnya tarung begini tidak perlu pakai panggung, aku belum kalah dan juga belum mati, kenapa berhenti dan dinyatakan kalah."

Dalam tarung berikut pendekar Ujung Kulon, Grajagan, kewalahan menghadapi Mok Kong. Tarung tangan kosong sebenarnya bukan andalan Mok Kong yang berdua saudara kembarnya terkenal dengan jurus golok bersatupadu. Tetapi melihat lawannya menyukai pertarungan tanpa senjata, maka ia pun meladeni.

Jurus Mok Kong, mirip Cakar Elang yang cepat dan ganas, tampak lebih tangguh dibanding Sewubraja. Dua ilmu ini sangat beda dan kontras. Sewubraja mengutamakan "gerak lamban mengatasi cepat" jadi sebenarnya tepat untuk menjinakkan cakar elang. Sayang dalam hal tenaga dalam, Grajagan masih kalah dibanding tenaga Mok Kong. Itu sebabnya kelambanan Sewubraja tak mampu mengimbangi Cakar Elang yang cepat dan ganas. Setelah lewat seratus jurus, Mok Kong akhirnya melukai pundak dan punggung lawannya. Grajagan tersingkir ke bawah panggung. Pundak dan punggungnya berdarah.

Merapatkan tubuh ke tubuh suaminya Gayatri menggamit lengan Geni dan berbisik, "Tampaknya semua jago kita akan kalah, akhirnya tinggal kamu seorang dan mereka akan menghadapi kamu dengan bergilir, mereka akan menguras tenagamu Itu strategi perang mereka, sungguh cerdik.

Kebetulan secara perorangan banyak dari mereka yang lebih tangguh dari pihak kita."

"Tetapi kamu lebih cerdik karena bisa menebak jitu strategi mereka. Sekarang apa strategi kita untuk mengalahkan mereka?" Nada suara Geni tenang.

Belum Gayatri menjawab, Sekar memotong bicara, "Agaknya tarung akan berlanjut besok, sekarang sudah mulai senja. Kamu harus siap tarung selama dua hari. Sebaiknya kamu naik panggung hari ini dan mengalahkan satu atau dua orang untuk mengurangi kerjamu besok."

Saat ketiganya bercakap-cakap, pertarungan kelima memasuki saat-saat kritis. Sang Pamegat terdesak hebat oleh Mok Tang. Dari penampilan jurus goloknya, Mok Tang tampak lebih tangguh dari saudara kembarnya Mok Kong. Jurus andalan Sang Pamegat tetap tak berdaya, ia seperti terbungkus gulungan sinar golok. Meski benteng pertahanan cukup rapat, tidak urung pendekar Pamegat terdesak mundur. Ia berada di bibir panggung, selangkah mundur ia akan keluar panggung dan kalah.

Melihat keuntungan di depan mata, Mok Tang menyerang gencar. Dalam peraturan tarung, seseorang tidak perlu harus melukai atau membunuh lawan, cukup jika lawan terdesak keluar panggung, itu artinya ia menang Sang Pamegat tak mungkin lolos dari serangan ganas yang mengarah empat titik mati di tubuhnya. Ia terpaksa mundur dan melayang turun panggung. Mok Tang menang. Ia menjura memberi hormat kepada Sang Pamegat.

Sudah empat pendekar negeri yang kalah, Nyi Pancasona, Manyar Edan, Grajagan dan Sang Pamegat. Sedang di kubu lawan, baru seorang yang kalah, Sio Lan. Saat Macukunda berpikir siapa yang akan maju, mendadak Wisang Geni melompat ke atas panggung. Terdengar sorak sorai penonton. Semua orang sudah tahu siapa Wisang Geni yang secara tidak langsung sudah diakui sebagai Pendekar Tanah Jawa. Namun dalam hati, orang juga merasa khawatir, jika pendekar berambut uban ini kalah, sama artinya tanah Jawa yang kalah.

Begitu Wisang Geni menginjak lantai panggung, sesosok bayangan berkelebat. Pak Beng berdiri di hadapan Geni.

Pendekar Cina ini mengenakan baju longgar berlengan panjang yang justru tampak ketat di pergelangan tangannya. Geni ingat bisik Gayatri sebelum naik panggung. "Perhatikan pergelangan tangan lawan, di situ mereka menyimpan senjata rahasia." Tidak sengaja, Geni menoleh ke Gayatri. Isterinya memberi isyarat, membenarkan lawan menyembunyikan senjata rahasia.

Pak Beng tertawa keras. "Dua tahun aku mengingat kekalahan di bukit Penanggungan. Sekarang aku ingin menjajal lagi kehebatan pendekar Wisang Geni." Ia menyalurkan tenaga ke seluruh tubuh. Wajahnya berubah kemerahan, tubuhnya bergetar.

Tidak mau memandang ringan lawannya, Geni waspada terhadap senjata rahasia yang disembunyikan di pergelangan tangan lawan. Geni menyalurkan pikiran dan tenaga ke satu titik. Ia diam menanti. Pak Beng menyerang, angin pukulannya terasa dingin menusuk tulang. Geni bergerak ke samping, langkahnya lebar dan ringan.

Dia tahu Pak Beng sedang menanti saat adu pukulan, saat itulah senjata rahasia di pergelangannya akan dilepas. Pak Beng sengaja melancarkan serangan tangan kosong dengan pukulan racun dingin yang sudah dilatihnya di puncak gunung bersalju. Pukulannya jauh lebih matang, lebih dahsyat dibanding dua tahun lalu.

Diam-diam Geni mengagumi lawannya. Pak Beng terus mendesak dengan perhitungan Geni terpaksa bentrok tangan. Gerakan Geni tampaknya lamban namun sebenarnya mengandung kecepatan tinggi, langkahnya tak lagi memijak panggung, melayang satu inci di atas lantai. Namun saking cepatnya orang tak bisa melihat ini.

Dalam pandangan penonton Pak Beng lebih unggul dan mendesak. Wisang Geni tampak hanya mengelak dengan sekali-sekali balas menyerang. Pak Beng berteriak, "Wisang Geni, jangan mengelak terus, apakah kamu jeri adu pukulan dengan pukulan salju, hayo sambut ini."

Saat itu jurus tigapuluhan, Geni sengaja adu pukulan. Ia gunakan tenaga dingin, yang mengalir deras dari dua tangannya secara beruntun dan bergantian. Desss. Desss. Desss. Desss. Empat kali bentrokan. Hawa dingin menyebar ke mana-mana. Adu pukulan berlanjut, Geni waspada. Ia memukul dengan kanan disusul tangan kiri dalam kecepatan sama. Terus dan beruntun. Pak Beng terpaksa meladeni, kini tidak lagi menyerang namun untuk bertahan. Sebab jika berhenti memukul maka pukulan dingin Geni akan menimpa tubuhnya. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi sebab makin lama tenaganya makin terkuras.

Pak Beng pun menggentak dua tangannya, puluhan jarum halus melesat dari tabung kecil di pergelangan tangannya menyerbu Geni. Berbarengan saat itu Geni memukul dengan tangan kanan, tangan kirinya menyusul ketika jarum Pak Beng menyerbunya. Geni menambah kekuatan dan kecepatan pukulan tangan kirinya, tangan yang terkepal dilepas menjadi jari-jari terbuka yang membuat lingkaran kecil. Saat itu jarum dari sebelah tangan lain Pak Beng menerjang leher Geni.

Sekarang kepalan kanan Geni berubah menjadi jari terkembang yang berputar membuat lingkaran kecil. Geni berteriak, "Maaf, aku kembalikan jarum milikmu," sambil mendorong dua tangan secara beruntun kembali ke arah Pak Beng.

Puluhan jarum yang terkumpul dalam pusaran dua tangan Geni, menerjang Pak Beng dengan kecepatan tinggi. Jarum- jarum menghunjam amblas ke tubuh Pak Beng. Bola mata Pak Beng melotot. Tubuhnya menggigil hebat, selanjutnya ia ambruk Tewas.

Hanya sedikit pendekar, termasuk Gayatri yang menyaksikan detil kejadian itu. Mereka mengagumi kehebatan Geni bisa lolos dari kedudukan yang begitu sulit. Namun Geni sendiri merasa bulu romanya berdiri. Ia tahu persis, jika tak ada kecurigaan Gayatri, jika tak ada peringatan isterinya itu, mungkin saat ini dia yang tewas tergeletak di lantai panggung.

"Aku tak berniat membunuh, tetapi jarum-jarum itu bisa membinasakan aku. Ia menyerang dengan membokong, aku cuma mengembalikan jarum yang menjadi miliknya."

Siauw Tong berteriak, "Kamu yang membokong, bukan Pak Beng, rupanya selama ini namamu terkenal karena kamu mengandalkan main bokong saja."

Wisang Geni balik ke tempat duduknya, ia diam. Gayatri marah "Hei Siauw Tong, periksa dulu mayat kawanmu itu, aku rasa tabung kecil yang diikat di pergelangan tangannya adalah bukti kuat bahwa sejak awal dia sudah merencanakan main curang."

Siauw Tong sebenarnya tidak tertarik adu jiwa dalam pertarungan. Tetapi sejak menyinta Sio Lan, ia kini berjuang keras membantu calon mertuanya, Ciu Tan. Karena ia tahu Ciu Tan adalah orang yang paling menginginkan kematian Wisang Geni. Melihat kepandaian Gayatri yang tidak terlalu istimewa, Siauw Tong yakin bisa mengalahkan Gayatri. Pikiran Geni akan kalut melihat isterinya mati. Di situ peluang Ciu Tan menantangnya.

Berpikir demikian, Siauw Tong melompat ke atas panggung sambil menantang Gayatri. "Hei perempuan India, mari bereskan persoalan kita yang belum selesai."

Gayatri berbisik pada suaminya. "Ia menyimpan senjata rahasia, tetapi aku tak tahu ada di mana, tidak mungkin di pergelangan tangannya. Pasti di tempat lain, biar nanti kucari tahu."

Geni memegang tangan isterinya. "Hati-hati"

Gayatri melompat ke atas panggung. Ia melihat lawannya menggunakan senjata sepasang pit panjang yang terbuat dari baja pulih. Tiba-tiba Gayatri teringat nasehat kakeknya. "Banyak orang curang, menyimpan senjata di dalam senjata."

"Aku tahu, jika melihat pit yang panjang tetapi tipis, kemungkinan besar berisi jarum atau serbuk beracun," gumam Gayatri. Ia kemudian meloloskan senjata andalannya, tali tipis dengan bor kecil di ujungnya. Pedang disisipkan di pinggang.

Tanpa basa-basi lagi Siauw Tong menyerang dengan sepasang pit, namun sebelum ia mendekat Gayatri menjangkaunya dengan bor maut. Tentu saja Siauw Tong berada pada posisi terdesak, ia tak bisa mendekat lantaran jangkauan senjata Gayatri lebih panjang. Terpaksa ia membela diri dengan rapat sambil memikirkan siasat.

Bor maut Gayatri itu seperti ular hidup bergerak dan mematuk ke mana saja Siauw Tong bergerak. Saking cepatnya, gerak bor maut itu tak bisa diikuti mata. Hanya suara mencicit menandakan senjata itu masih mencari mangsa. Siauw Tong hanya mampu bertahan dengan memutar pit melindungi seluruh tubuhnya. Bentrokan pit menangkis bor terdengar bercampur suara bor yang mencicit. Pada jurus keduapuluh, Siauw Tong dengan cerdik menangkis dan memutar, membuat tali lawan terikat pada pit-nya. Ia menarik dan mengerahkan tenaga dalam, maksudnya ingin mendekati lawan namun Gayatri mendahuluinya dengan serangan senjata bor dari ujung tali yang lain.

Siauw Tong terkejut, tak pernah menyangka bahwa bor- maut itu memiliki dua ujung. Pundaknya terluka parah, darah muncrat ketika Gayatri menarik pulang senjatanya. Dalam situasi terluka, Siauw Tong berlaku nekad, ia menerobos maju dan menyerang lima titik mati tubuh lawan. Gayatri sudah menghitung ia membiarkan lawan mendekat, saat bersamaan ia menghunus pedangnya dan menebas tangan lawan. Siauw Tong kaget, untuk menolong diri ia melepas senjata pit-nya. Gayatri menarik ujung bor lainnya berikut pit yang mengikatnya.

Kedua senjata Siauw Tong terampas, pundaknya luka parah. Ia sudah kalah, tetapi gengsinya besar sehingga ia nekad menyerbu dengan pukulan tenaga dalam Gayatri mengelak, sambil berseru, "Kamu sudah kalah, aku juga tak mau membunuhmu Pergilah sebagai seorang jantan yang berani mengaku kalah."

Siauw Tong tertegun. Ia menoleh ke bawah panggung Ia melihat sinar mata Sio Lan yang khawatir, pandangan Ciu Tan yang memberi isyarat agar dia mundur. Siauw Tong melompat turun.

Gayatri menggulung senjata bornya. Ia membiarkan senjata Siauw Tong tergeletak begitu saja di panggung. Lalu dengan gerakan anggun ia melayang kembali ke tempat duduknya di samping Geni. "Kau cerdik dan tangkas, pendekar Cina itu bahkan tak sempat menggunakan senjata rahasianya. Tetapi apakah kau yakin ia menyimpan senjata rahasia?" tanya Geni.

"Ia menyimpannya di dalam senjata pit. Ada rongga di dalam alat tulis tersebut, aku pikir mungkin bubuk beracun atau jarum halus. Itu sebabnya ia menginginkan bertarung dalam jarak dekat, tetapi aku justru menghindari pertarungan jarak dekat. Sebab dalam tarung jarak jauh, senjata rahasianya masih bisa kupatahkan, jika dari dekat aku tidak yakin bisa mengelak, aku bisa mati konyol."

Pertarungan berlanjut terus. Tiga perkelahian diselesaikan sebelum matahari terbenam. Dua partai dimenangkan pendekar Cina. Pendekar Pedang dari Gurun Gobi, Sian Hwa, dengan limapuluh lima jurus Topan Gurun bertarung ketat lawan pendekar wanita Dewi Ayu dari Segoro Kidul. Dalam seratus jurus lebih, akhirnya Sian Hwa berhasil menoreh goresan di bahu dan lengan Dewi Ayu Pertarungan usai, Sian Hwa menang. Namun ia memberi hormat dan menyatakan kekaguman pada lawannya yang bersikap jujur dan berani mengaku kalah.

Pada pertarungan berikut, Demung Pragola dengan tongkat besinya menghadapi pedang Liong Kam berakhir sama kuat.

Liong Kam seorang ahli pedang yang telah menciptakan jurusnya sendiri hasil merangkum beberapa ilmu pedang dari pelbagai perguruan di daratan Cina. Namun Demung Pragola dengan tongkat yang dimainkan tenaga dalam yang besar, tak mungkin bisa ditaklukkan. Pada akhirnya dua pendekar itu saling mengakui kehebatan lawan. Keduanya yakin bahwa kendati tarung sampai malam, tetap saja hasilnya akan imbang. Perjanjian menyatakan bahwa hasil imbang maka keduanya dinyatakan kalah dan tak boleh bertarung lagi

Jenggot dari Gunung Lawu, pendekar yang sudah lama tak didengar namanya, berhadapan dengan pemimpin rombongan, Ciu Tan. Pertarungan berlangsung ketat. Tongkat sakti Gunung Lawu berhadapan dengan jurus Cengkeraman Naga Ciu Tan.

Seratus jurus lebih baru tampak Ciu Tan mengungguli lawannya, Cakar Naga-nya merobek lengan pendekar gunung Lawu itu Lengan nyaris patah jika dia tidak mengerahkan ilmu Belut Putih membuat lengannya licin. Tetapi tetap saja darah mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu.

Keduanya melompat mundur,kemudian saling memberi hormat. Kakek Jenggot dari Gunung Lawu ngeloyor turun panggung. Saat itu senja sudah tiba. Matahari turun ke peraduannya di ufuk Barat. Macukunda berkata kepada rombongan Cina, "Pertandingan akan dilanjutkan besok pagi saat matahari mulai bersinar." Siauw Tong dengan pundak yang dibalut kain putih berdiri dan berseru lantang kepada Macukunda. "Pendekar Macukunda, perlu diumumkan bahwa pihak kalian sudah kehilangan Nyi Pancasona, Ki Manyar Edan, Ki Grajagan, Ki Pamegat, Nyi Dewi Segoro Kidul, Ki Demung Pragola dan Ki Jenggot Gunung Lawu, tujuh pendekar yang kehilangan hak tarung. Sisa empat pendekar yang boleh tarung besok yakni Ki Wisang Geni, Nyi Gayatri, Nyi Sekar dan Ki Macukunda. Di pihak kami, sudah kehilangan Sio Lan, aku sendiri Siauw Tong, Pak Beng dan Liong Kam Kami masih punya tujuh pendekar yang akan bertarung besok, Li Moy, Sin Thong, Mok Kong, Mok Tang, Dewi Gurun Gobi, Kim Mei dan Ciu Tan. Sampai jumpa besok."

Seruan Siauw Tong memancing reaksi macam-macam dari para pendekar, ada yang marah, ada yang diam dan ada yang mengomel bahwa tanah Jawa sudah kalah. Macukunda dan beberapa pendekar berjalan beriring. "Malam nanti kita kumpul di tenda Perguruan Mahameru, kita perlu berunding," kata Sang Pamegat.

Sejak awal Macukunda telah ditunjuk sebagai juru bicara kubu tanah Jawa. Waktu itu ia menolak sambil menunjuk Wisang Geni, karena Wisang Geni dinilai paling lihai ilmu silatnya. Tetapi Geni menolak keras. "Aku tidak pantas, masih muda dan tak punya pengalaman. Pendeta Macukunda adalah orang yang paling layak, aku sangat mendukungnya."

Malam itu di tenda Mahameru berkumpul pendekar utama tanah Jawa. Wajah Macukunda dan semua yang hadir, kelihatan muram dan berduka. "Hari ini kita kalah total. Sesuai peraturan kita hanya boleh menampilkan empat wakil, Nyi Gayatri, Ki Wisang Geni, Nyi Sekar dan aku sendiri. Kubu lawan masih tersisa tujuh pendekar. Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan untuk menyelamatkan gengsi tanah Jawa ini," kata Macukunda. Semua orang diam Wisang Geni berbisik kepada isterinya, "Kamu punya rencana untuk pertarungan besok?" Gayatri menggeleng. Wisang Geni diam. "Jika Gayatri saja tak punya rencana, artinya keadaan sudah gawat," gumam Geni dalam hati

Sang Pamegat memecah kesunyian. "Maaf para pendekar, coba kita bersama-sama memeta kekuatan dan kelemahan lawan, mungkin kita bisa menemukan jalan keluar."

Satu per satu pendekar menyumbang saran. Peta kekuatan lawan tampaknya sangat tangguh. Li Moy, Sin Thong, Mok bersaudara, Dewi Gurun Gobi dan Ciu Tan sudah diketahui kekuatannya. Hanya Kim Mei yang belum memperlihatkan kebolehannya. Di antara enam lawan yang sudah diketahui kepandaiannya mungkin hanya Li Moy yang mudah diatasi. "Sekarang, siapa di antara kita yang akan menghadapi Li Moy?" tegas Sang Pamegat.

Baik Macukunda maupun Geni merasa enggan melawan Li Moy Bukan hanya ia perempuan, tetapi juga dinilai yang paling lemah sehingga memilih Li Moy sebagai lawan, sama artinya dengan mengakui kelemahan diri sendiri. Macukunda dan Wisang Geni saling pandang. Gayatri bisa memahami, ia mengajukan diri melawan Li Moy Macukunda memilih Sin Thong. Sekar memilih pendekar Gurun Gobi. Wisang Geni akan menghadapi Mok Tang atau Mok Kong.

Macukunda menyambut rencana ini. "Cara ini cukup baik semoga kita berempat bisa menang, sehingga bisa tarung lagi." Ia melihat Sekar bisik-bisik dengan Wisang Geni. "Mungkin Nyi Sekar punya rencana lain. Silahkan bicara, tidak perlu sungkan."

Sekar meminta maaf karena berani lancang bicara. "Melihat Kim Mei belum tarung, mungkin ilmunya cukup hebat, bisa sama lihai dengan Ciu Tan atau Mok bersaudara Aku yakin Kim Mei akan menantang suamiku. Jika benar maka aku akan meladeninya. Dia belum tahu ilmu silatku, aku juga belum melihat cara tarungnya. Ada lagi rencana lawan yang sangat berbahaya. Aku pikir Mok bersaudara akan maju berdua, ilmu pedang bersatupadunya sangat lihai, di daratan Cina selama ini mereka belum pernah kalah."

"Tidak bisa, mana bisa dua orang maju mengeroyok satu pendekar dari kubu kita, itu tak boleh terjadi," tukas Manyar Edan marak

Sekar menjawab dengan tangkas, "Mereka akan menantang suamiku untuk menjajal ilmu golok bersatupadu, itu jelas. Setelah itu Ciu Tan maju dengan pemikiran suamiku sudah letih, maka akan mudah mengalahkannya."

Semua terdiam Rencana itu sangat pintar dan licik. Namun semua sepakat Gayatri dan Sekar juga tak kalah cerdas, karena bisa menebak rencana lawan. "Nyi Sekar, bagaimana kamu bisa memikirkan jebakan lawan im," tanya Nyi Pancasona penasaran.

Sekar belum menjawab, Grajagan memotong. "Nyi Sona, untuk bisa menebak, Nyi Sekar hanya perlu menempatkan diri semisal dia sebagai lawan, apa yang akan dia perbuat."

"Kenapa kamu sendiri tak bisa menebak," balas Nyi Pancasona dengan nada tinggi. Grajagan menggeleng, "Aku tak bisa, pikiranku lambat."

Macukunda memandang Sekar dan Gayatri. "Nyi, kamu sungguh pintar, kamu cantik dan pintar sungguh pasangan yang cocok untuk Ki Wisang Geni, sekarang apa rencana kita yang paling baik?"

Sekar dan Gayatri menggeleng. Gayatri menjawab, "Aku tak tahu, mungkin besok kita bisa atur strategi tergantung situasi. Aku usul besok sebaiknya Ki Macukunda tegaskan kepada mereka bahwa sebagai penantang wakil mereka harus naik panggung lebih awal. Dengan demikian kita bisa mengatur siasat siapa dari kubu kita yang maju menghadapinya." Macukunda tersenyum dan berkata kepada para pendekar, "Besok, aku akan duduk berdampingan dengan Nyi Gayatri dan Nyi Sekar, keduanya kuangkat sebagai penasehat perang." Macukunda tertawa puas. Saat yang sama di tempat lain, Ciu Tan tertawa puas mendengar rencana yang dibentangkan Siauw Tong.

Pagi itu seperti hari sebelumnya, Prawesti membalut perut Gayatri dengan stagen berlapis-lapis. Di balik stagen, menempel di perut, ada semacam kulit tipis berwarna hitam keabu-abuan. Gayatri tidak mau menjelaskan benda apa itu. Ada tempat duduk kosong di samping Macukunda. Pendekar tua ini menggapai ke arah Geni, Sekar dan Gayatri, mengajak mereka duduk di sampingnya.

Saat itu muncul para pendekar Cina yang datang dengan rasa percaya diri. Wajah mereka tampak cerah. Sebaliknya pendekar Macukunda dan rombongannya kelihatan tegang.

Siauw Tong mengumumkan empat nama kubu tanah Jawa dan tujuh wakil Cina yang boleh tarung. Ia setuju syarat Macukunda bahwa sebagai penantang kubu Cina naik panggung lebih awal. Selang sesaat Li Moy naik panggung, ia memberi hormat kepada penonton. Gayatri tak sungkan lagi, ia memperlihatkan kebolehan dengan melentingkan tubuh dan hinggap di panggung tanpa menimbulkan suara Keduanya saling berhadapan.

Li Moy mengacungkan dua tangannya, pertanda ia bertarung dengan tangan kosong. Gayatri tahu bahwa ini akal- akalan Li Moy yang memang lihai dengan jurus Belalang serta memiliki jarum beracun. Dari bawah panggung Nyi Pancasona berteriak, "Awas, perempuann itu licik, menggunakan senjata rahasia jarum beracun."

Li Moy memandang nenek tua itu dan tertawa sinis. "Bagaimana rasanya jarumku, enak?" Sambil tertawa Gayatri bicara pada Nyi Pancasona, tapi sebenarnya ditujukan kepada lawannya. "Dia pakai senjata rahasia, aku juga punya, malah racunku adalah racun ular yang hanya hidup di daerah salju, racunnya ganas mampu membuat wajah perempuan cantik menjadi keriput dan tua dalam sekejap mata. Lihat saja nanti."

Gayatri bersiap. Mendadak Li Moy mundur dengan wajah pucat. "Tunggu, kita atur perjanjian, tidak boleh menggunakan jarum atau senjata rahasia, siapa ketahuan memakai senjata rahasia dia dianggap kalah meskipun misalnya dia menang. Bagaimana kau setuju?" Rupanya Li Moy merasa ngeri mendengar racun yang bisa merusak wajah. Ia selama ini selalu rajin merawat wajahnya yang cantik.

Gayatri pura-pura memperlihatkan rnimik menyesal, "Sayang sekali tetapi baiklah aku ikuti apa maumu"

Keduanya langsung berhantam. Li Moy langsung menyerang dengan jurus Belalang, langkahnya ringan, gerak tangannya lincah, jari tangan mencengkeram Gayatri memeragakan jurus andalan Banjao Kisi Ke Kisi Ko Aapna Banalo (Jadilah milik seseorang dan milikilah seseorang), yang mengutamakan tarung jarak dekat. Semakin dekat jarak tarung, makin ampuh jurus ini. Dalam tarung Li Moy agak kikuk, ada rasa tak percaya terhadap lawan, khawatir lawan menggunakan racun ganasnya.

Hal itu membuat gerakannya tidak bebas. Ia terdesak serangan gencar Gayatri. Di jurus limapuluhan, Gayatri menampar pundak dan mendupak bokong Li Moy Tubuh Li Moy melayang keluar gelanggang. Ia kesakitan, Gayatri menang.

Sin Thong melompat ke atas panggung. Ia menantang Macukunda, tetapi Wisang Geni yang melompat naik. Ini taktik strategi Gayatri. Bahwa Geni harus memenangkan partai kedua, untuk mengurangi jumlah lawan, juga agar Geni punya waktu istirahat yang cukup. Saat itu Sin Thong agak bingung. Ia memandang Siauw Tong. Melihat rekannya diam, ia menoleh ke Macukunda dan setengah berteriak, "Hei, aku menantang Macukunda, kenapa yang datang orang lain, Macukunda apakah kamu takut padaku?"

Wisang Geni tertawa keras. "Ki Macukunda adalah pimpinan kami dan belum saatnya bertarung, aku saja yang tarung. Tetapi kalau kamu takut melawan aku, pergi pulang saja ke Cina. Aku janji tidak akan membunuhmu, hanya memukul kamu biar kapok dan jangan datang-datang lagi ke negeri ini."

Dalam benaknya Sin Thong merasa gentar. Dua tahun lalu ia dikalahkan Geni, sepasang goloknya direbut dan ditekuk patah, juga kena hantam hingga muntah darah. Meskipun selama dua tahun ia memperdalam ilmu silatnya di Cina dan yakin bisa mengatasi Geni, tetapi sekarang di atas panggung dengan Geni sebagai lawan nyata, ia tak bisa menyembunyikan rasa gentarnya.

Sin Thong tak punya jalan lain. Suka atau tidak suka ia harus hadapi pertarungan ini. Ia memusatkan pikiran dan tenaganya, menghunus sepasang goloknya, golok pusaka yang sangat tajam Tanpa memberi hormat lagi, ia menyerang Geni dengan jurus mematikan yang telah ia sempurnakan selama dua tahun menyepi di balik Tembok Cina.

Sepasang golok bagai kitiran mengurung Geni. Lelaki ini mengelak dengan gerak sederhana. Dua tahun lalu, ia menghantam telak Sin Thong, sehingga jika dalam dua tahun lawannya maju pesat, ia juga maju pesat setelah pertemuan dengan Eyang Sepuh Suryajagad. Jadi bagaimanapun juga Sin Thong bukan lawan yang perlu ditakuti. Ia hanya perlu waspada terhadap kecurangan lawan.

Selama limapuluh jurus Geni berkelit dan menghindar dalam kurungan sinar golok Pada dasarnya Geni belum mau menggelar ilmu sejatinya, tetapi ia merasa perlu cepat menyelesaikan tarung ini. Ia menggunakan kecepatan melebihi angin, dan ketepatan pada saat-saat genting. Tidak heran Sin Thong selalu kecele, pada saat ia merasa golok akan mengena, ternyata jatuh di tempat kosong atau melenceng karena didorong angin pukulan. Sin Thong tak pernah tahu bagaimana gerak lawan ketika sepasang goloknya saling beradu, keras, membuat dua tangannya kesemutan.

Saat itu Geni membuat gerak lingkar, seperti pusar angin kencang dan menyedot golok berikut tubuh Sin Thong.

Sepasang golok pendekar Cina itu terlempar ke udara. Kaki Geni menghantam pundak lawan. Sin Thong terjengkang ke bawah panggung. Terdengar sorak penonton Geni segera turun panggung.

Di tengah sorak penonton, Kim Mei, wanita cantik dalam usia di penghujung duapuluhan, melenting ke atas panggung. Ia menjura memberi hormat penonton. Matanya melirik tajam Sang Pamegat. Sudah sejak tarung hari pertama, Kim Mei selalu tersenyum kepada Sang Pamegat. Rupanya dua pendekar ini sudah saling mengenal sebelumnya. Tadi pagi, keduanya saling tegur dengan senyum dari lemparnya masing- masing.

Ketika Sekar siap-siap hendak maju, Geni memegang lengan isterinya. "Kamu jangan terlalu berani ambil resiko, aku tak mau kamu terluka, jadi kalau keadaan sulit, lompat mundur saja."

"Kamu tenang saja suamiku. Kamu belum lihat semua jurus yang aku pelajari di Laut Selatan. Percayalah, aku tak akan terluka!"

Dari atas panggung Kim Mei menatap Sang Pamegat, ia mengharap lelaki itu menepati janji, menantinya di suatu tempat usai tarung ini. Kim Mei merasa tak punya kepentingan dengan tarung ini, menang kalah, tak ada untungnya bagi dirinya pribadi. Sekar melompat ke atas panggung, menggunakan ringan tubuh paling andal Wimanasara. Gerakannya cepat bagai melesatnya panah sakti, mendarat di panggung tanpa suara. Begitu ringan seperti kapas.

Selama ini Geni belum melihat seluruh ilmu silat isterinya ini sejak keluar dari pertapaan Nenek Sapu Lidi. Ia terkejut dan kagum melihat ringan tubuh isterinya itu. Gayatri berbisik, "Aku pernah tarung dengan Sekar, waktu itu aku tak bisa menang dan aku tahu ia belum mainkan seluruh ilmu silatnya. Aku yakin ilmu silatnya tidak berada di bawah kepandaianku. Malahan ilmu ringan tubuhnya jelas lebih unggul dari aku." Geni manggut setuju.

Saat itu di atas panggung, Sekar berkelebat gesit mengelak dan menyerang balik tiap serangan Kim Mei. Keduanya tidak menggunakan senjata, tangan kosong lawan tangan kosong. Sekar dengan 17 jurus Sapwa Tanggwa kontra jurus Cakar Elang Kim Mei.

Dalam limapuluh jurus tampak Sekar di atas angin. Jurus yang dimainkan banyak variasi dan seperti gelombang samudera, saling susul tak pernah putus. Kim Mei kewalahan. Tadinya ia merasa tak begitu perlu tarung, tetapi dalam keadaan terdesak egonya sebagai pendekar menuntut ia untuk menang. Ia mundur empat langkah, mencabut golok tipis dari punggungnya. "Nona, kita pakai senjata, silahkan kamu ambil senjatamu!"

Sekar tersenyum Ia menoleh ke arah Prawesti. Saat itu Prawesti melempar tongkat. Sekar menangkapnya. "Terimakasih, adik."

Tongkat warna hitam mengkilat, rupanya terbuat dari logam keras, tidak panjang, tidak juga pendek. Ukuran sepanjang empat jengkal. Ujungnya melekat logam tajam. Geni dan Gayatri belum pernah melihat senjata itu. Di mana Sekar menyimpannya? Sesaat kemudian dua singa betina ini tarung ketat.

Benturan golok dengan tongkat memercik lelatu api. Tangan Kim Mei kesemutan, ia menggerutu ternyata tenaga dalam perempuan muda iiu sangat unggul. Tak bisa lain, Kim Mei memutar goloknya lebih kencang dalam jurus Golok Patuk Elang.

Makin lama bertarung Sekar makin perkasa sementara Kim Mei terdesak. Pada jurus limapuluhan, Sekar menggabung dan mengulang kembali jurus andalan Manguswapujeng (Mencium lutut), Kalokikan Kanirmalan (Kesucian), Raganararas (tertarik pada perempuan), Cumangkrama (Menyetubuhi) dan Mangaksih (Memutus cinta). Kim Mei terdesak hebat.

Goloknya mental disampok tongkat, ujung tongkat meluncur ke leher. Semangat Kim Mei terbang. Tanpa sadar Sang Pamegat berseru, "Jangan!"

Sejak awal memang Sekar tak punya maksud membunuh.

Ia menurunkan ujung tongku dari sasaran leher menurun menggores pundak. Luka goresan itu merobek baju, kulit pundak yang putih beset mengeluarkan darah, tetapi tidak parah Hanya luka luar. Sekar melompat undur. Kim Mei menjura dengan membungkuk. "Aku kalah, terimakasih atas kebaikanmu"

Kim Mei turun dari panggung, sambil melirik Sang Pamegat Tadi ia mendengar seruan lelaki itu, ia berterima kasih.

Mungkin saja seruan itu yang mencegah Sekar sehingga tidak menurunkan tangan kejam. Meskipun demikian, dalam hati ia gembira karena itu pertanda laki-laki itu punya perhatian padanya.

Ketika kembali ke tempatnya, Kim Mei langsung dimaki Ciu Tan. Tetapi ia balas memaki dengan nada tinggi. Keduanya bertengkar dalam bahasa Cina. Kim Mei berseru, "Aku tak punya kepentingan dengan pertarungan ini, kau yang punya kepentingan. Kamu yang ingin membalas dendam, lalu kenapa aku harus adu jiwa untuk kepentinganmu?" Berkata demikian Kim Mei mencari tempat duduk menyendiri. Sian Hwa, mendekatinya dan menolong membalut lukanya

Geni menyambut isterinya dengan wajah berseri. "Tidak sia-sia kamu pergi selama duabelas purnama, ilmu silatmu sekarang sudah masuk kelas utama"

Sambil mengatur pernafasan, Sekar mencubit suaminya "Bukan duabelas, tetapi limabelas purnama lebih aku berkorban, untuk mendapatkan ilmu silat ini."

Saat itu di atas panggung, pertarungan Macukunda dan Mok Kong berlangsung sangat ketat dan imbang. Macukunda bersenjata dua tasbeh, besar dan kecil. Mok Kong memainkan jurus goloknya yang hebat. Bertarung dengan senjata belum ada keputusan siapa pemenangnya meskipun sudah melebihi seraius jurus. Pertarungan dilanjulkan dengan tangan kosong, adu tenaga pukulan sampai seratus jurus lebih. Tampak kedua pendekar ini kelelahan.

Akhirnya Mok Kong mundur, Macukunda pun mundur. Keduanya tertawa, kemudian sama-sama turun panggung. Pertarungan Gayatri dengan Dewi Pedang dari Gurun Gobi juga berakhir sama kuat. Keduanya tak mau saling melukai. Sesuai peraturan dan perjanjian, jika pertarungan berkesudahan imbang, artinya tidak ada pemenangnya, maka kedua petarung sama-sama dinyatakan kehilangan hak tarung.

Dengan demikian dari kubu tanah Jawa tinggal Wisang Geni dan Sekar yang boleh tarung, sedang di kubu Cina hanya Ciu Tan dan Mok Tang.

Gayatri berbisik kepada suaminya, "Hati-hati dengan Ciu Tan, ketika mengalahkan Jenggot Gunung Lawu, aku melihat sepertinya ia menyimpan jurus andalan. Selain itu Mok Tang bertugas menguras tenagamu, sehingga tenagamu sudah habis saat tarung lawan Ciu Tan." Sekar menyela, "Aku akan hadapi Mok Tang, biar kamu leluasa menghadapi Ciu Tan." Di depan umum Geni tidak malu-malu memeluk dan menciumi leher Sekar. Isterinya merasa geli. Dia berbisik, "Kamu istirahat saja, sekarang kamu nonton saja hebatnya ilmu silat suamimu, ini jurus yang belum pernah aku mainkan. Aku ingin menghadapi dua lawan itu sekaligus, biar cepat selesai."

Sekar tersenyum, pikirnya Geni hanya bergurau.

Matahari berada di puncak, di atas panggung, Mok Tang berdiri dengan golok di tangan. Ia siap dengan kuda-kudanya. Dari tenaga maupun kematangan jurus golok, Mok Tang lebih tangguh dibanding saudara kembarnya.

Di bawah panggung Wisang Geni sedang memeta diri, mengingat Eyang Sepuh, mengingat angin dan awan. "Jangan rasakan bumi lupakan bumi, tengadah memandang langit, rasakan angin, bebaskan diri macam awan. Rasakan angin di bawah tapak kakimu. Pusatkan pikiran tenagamu, hasratmu."

Dengan ringan Geni melompat ke panggung, gerakannya perlahan, kakinya menginjak panggung tanpa suara, namun panggung terasa bergetar. Menatap sepasang mata Geni yang macam macam sumur tanpa dasar, Mok Tang merasa gentar. Ia merasakan panggung bergetar padahal gerak kaki Geni seperti tidak bertenaga "Tetapi aku sekarang sudah berada di atas panggung, tak bisa mundur." Berpikir begitu, Mok Tang bergerak cepat, menyerang dengan jurus andalannya. Cepat, kencang, bertenaga dan ganas.

Geni mengelak, dan menyentil badan golok. Ia menghindari tendangan, menangkis pukulan, menyentil tebasan golok. "Semua manusia diperbudak berbagai macam keinginan. Lihat gerak awan yang mengikuti gerak angin yang begitu merdeka, bergerak semaunya, dan hebatnya lagi ia berganti-ganti arah sesukanya. Di dunia tak ada suatu kekuatan pun yang bisa menghentikan angin. "Wisang Geni bergerak leluasa di antara kepungan sinar golok. Mendadak Geni lompat mundur jauh dari Mok Tang. "Tunggu, aku sebenarnya ingin menjajal jurus sepasang golok dari Mok Bersaudara yang terkenal, tetapi kita tak bisa melanggar peraturan dan perjanjian, saudaramu sudah kehilangan hak tarung. Pihakmu hanya tinggal kamu berdua, kupikir mungkin sebaiknya aku menghadapi kalian berdua sekaligus, biar pertarungan ini cepat selesai."

Semua orang yang mendengar seruan Wisang Geni, terkejut. Gayatri bahkan menahan napas, saking kagetnya. Prawesti memegang dadanya, merasakan debar jantung yang bagai derap kaki kuda. Sekar terkesiap telapak tangannya berkeringat "Tadi kupikir dia bergurau, tetapi dia benar-benar gila, bagaimana mungkin bisa mengalahkan dua lawan itu sekaligus ?" Tanpa pikir panjang Sekar melompat naik panggung, "Aku ikut, dua lawan dua, itu baru adil."

Macukunda dan para pendekar lain terkesiap. "Apakah aku tidak salah dengar," kata pendeta Mahameru itu. Namun seruan itu benar adanya, Geni menantang dua lawan sekaligus. Tetapi untunglah Sekar juga naik panggung.

Begitu Sekar mendekat, Geni menyambar pinggang pinggang isterinya, memeluk mesra, menciumi leher dan berbisik. Lagaknya macam dua kekasih sedang berkasih mesra, dan yang tidak peduli dengan orang-orang di sekeliling. "Kau jangan membantah suamimu, kamu turun sekarang juga, biar aku selesaikan urusan ini." Sekar menatap mata suaminya. Mata itu berbinar, tajam dan dalam bagai sumur tak berdasar. Ketika tangan Geni menepok bokongnya, Sekar tahu dia harus mundur.

Semua aksi Wisang Geni seperti memandang remeh lawannya. Tak bisa menguasai amarahnya Ciu Tan berteriak, "Kamu sombong, kamu mencari mati sendiri." Ia melompat ke atas panggung. Saat inilah yang ditunggunya selama dua tahun lebih. Membalas dendam kematian adik perguruannya. Hutang darah bayar darah, hutang nyawa bayar nyawa. Ia langsung menabrak Geni dengan jurus Liong-jiao-ciu (Cakar naga) yang dicampur dengan Wan-coan Put-toan (Putar tak habis-habisnya). Mok Tang pun tidak kalah ganasnya, "Bukan maunya aku, tetapi kamu sendiri yang mencari mati. Sekarang aku sempurnakan permintaanmu" Ia menyerang ganas dengan Eng-jiao Kim-na-ciu (Jurus cakar elang) di tangan kiri dan Liang-gi To-hoat (Jurus golok) di tangan kanan.

Penonton menahan napas. Wisang Geni diserang dari segala penjuru Tetapi ia melayang-layang, meliuk, menghindar dengan gerak tangan macam orang menari. Golok Mok Tang membentur tembok, Cakar Naga Ciu Tan menabrak ruang kosong. Geni bersiul, memanggil angin. Ia ingat petuah Eyang Sepuh. Sekarang saatnya memperlihatkan kekayaan ilmu silat warisan Lemah Tulis. "Di dunia, tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menghentikan angin. Jadilah seperti angin 'bajra' yang bisa semilir 'sirir membuat orang ngantuk dan nyaman, tapi bisa juga hamuk macam 'leysus', 'nilapraconda', 'bajrapati' menghancurkan apa saja yang dilewati. Jadilah angin yang merdeka, maka kamu bisa bergerak mengikuti angin, bahkan bisa lebih cepat dan lebih ringan dari angin.

Kosongkan pikiranmu, rasakan angin di sekelilingmu. Angin itu ada, kamu juga ada."

Tampaknya bergerak lamban namun Geni bisa mengatasi kecepatan golok dan Cakar Naga lawannya. Terkadang Geni bergerak cepat sehingga seperti hilang dari pandangan mata. Perlahan namun pasti dua lawannya mulai merasa gentar, Geni tak tersentuh. Geni mengelak dan menangkis tergantung situasi dan serangan lawan. Setiap kali golok Mok Tang nyaris mencincang tubuh Geni, sekonyong-konyong ada tenaga yang mendorong golok menebas rekannya sendiri. Begitu Cakar Naga Ciu Tan sering nyasar mengancam Mok Tang.

"Awas, jangan terpancing, dia menggunakan Si-nio-po-cian- kin (Empat tail menghantam seribu kati), dia ingin mengadu sesama kita." Peringatan Ciu Tan yang disampaikan dalam bahasa Cina, benar. Tetapi tidak seluruhnya benar. Geni tidak menggunakan jurus, dia hanya meniru keperkasaan angin yang bisa mengadu benda yang satu dengan benda lainnya.

Seratus jurus berlalu, Geni semakin ringan dan leluasa bergerak. Di lain pihak Ciu Tan dan Mok Tang sudah mandi keringat, napas pun sudah terengah-engah.

Sekar dan Gayatri terpesona melihat kehebatan suaminya. "Selama ini dia sengaja menyembunyikan ilmu silatnya yang tinggi itu, kepandaiannya itu tinggi sekali, sampai kapan pun aku tidak akan bisa menandinginya," kata Gayatri.

"Dikeroyok kita berdua pun, dia masih lebih unggul," tambah Sekar. Ada nada bangga dalam suara dua perempuan itu, bangga akan suaminya.

Penonton bergembira melihat situasi tarung, mereka perkirakan dalam sekejap lagi, Wisang Geni akan mengalahkan dua lawannya itu. Ciu Tan mengerti situasi buruk ini, ia sudah mengambil keputusan akan adu jiwa. Tetapi tidak demikian dengan Mok Tang, dia memang dibayar mahal oleh Ciu Tan untuk membantunya membunuh Geni, namun situasi dan kondisi sekarang sudah sangat berbeda.

Dia tidak akan mungkin bisa mengalahkan Geni meskipun Ciu Tan ikut mengeroyok. Jika pertarungan dilanjutkan, itu sama halnya dengan mengantar nyawa.

Dan terus terang saja Mok Tang masih menyayangi kehidupannya. Saat itu ia berpikir akan mundur keluar gelanggang. Tetapi sudah terlambat.

Pada saat yang sama Geni bergerak cepat dan ganas, hamuk macam Leysus, Nilapraconda, Bajrapati. Mok Tang dan Ciu Tan merasa panggung bergetar. Geni seperti hilang.

Padahal Geni masih berada di atas panggung, berputar bagai gasing. Papan dan balok panggung terangkat dan meluruk ke arah dua lawannya. Ciu Tan dan Mok Tang kaget setengah mati "Jurus apa ini?" Ciu Tan berseru sambil berusaha menangkis, karena sudah tak punya waktu mengelak.

Penonton yang berada di sekitar panggung lari pontang- panting menyelamatkan diri. Kejadiannya memang seperti angin prahara yang meluruk dan hendak menelan Ciu Tan dan Mok Tang. Terdengar suara jeritan. Sesaat kemudian prahara itu berhenti. Ia menghilang seperti datangnya, serba tiba-tiba dan di luar dugaan.

Di antara debu dan daun kering yang beterbangan, Wisang Geni berdiri dengan anggun. Panggung itu sudah lenyap, hanya tersisa bekas-bekasnya. Mok Tang dan Ciu Tan tergeletak di tanah. Sio Lan berteriak sambil lari memeluk ayahnya. "Ayah!" Li Moy dan pendekar Cina lainnya datang membantu menyadarkan dua rekannya.

Terdengar suara Wisang Geni dingin dan kaku, "Mereka hanya pingsan dan luka ringan. Kalian pulang saja ke Cina, ilmu dari negeri seberang jangan jual lagak di tanah Jawa ini. Di negeri ini masih banyak pendekar hebat yang bersembunyi. Sekarang ini lebih baik kalian pulang ke negerimu, tak ada dendam tak ada hutang piutang dendam. Hiduplah dengan damai, ingatlah damai itu indah, karena hidup ini juga sangat indah."

Tidak berapa lama Ciu Tan dan Mok Tang sadar dari pingsan. Geni melanjutkan kata-katanya, "Dendam tak pernah berhenti, dendam akan mengejar seperti bayangan maut.

Dendam akan berhenti jika salah satu di antara pemburu dan yang diburu, mati. Kenapa harus mati, kenapa harus membunuh kehidupan orang lain, padahal hidup ini begitu indah untuk dinikmati."

Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar yang langsung memeluknya. Tiga insan berpelukan mesra. Prawesti menghampiri, Geni merangkulnya. Keempat insan itu berpelukan sejenak. Tiga isterinya pada awalnya sangat tegang begitu Geni menantang dua lawan sekaligus. Sekarang mereka amat gembira menyaksikan keunggulan sang suami. Tetapi mereka pun tak bisa menyembunyikan kekagumannya, mereka hampir tak percaya apa yang dilihat, saat Geni mengembangkan jurus yang menghancurkan panggung sekaligus membuat dua lawannya pingsan.

Sambil menggigit perlahan telinga kekasihnya, Sekar berbisik halus, yang juga didengar Prawesti dan Gayatri. "Itu tadi ilmu apalagi, kekasihku?"

"Itu tadi jurus jatuh cinta, begitulah jika aku jatuh cinta dan bernafsu pada kalian, persis seperti angin prahara," bisiknya sambil tersenyum penuh arti.

Penonton yang tadinya lari menghindari balok dan kayu yang beterbangan, kembali lagi ke arena tarung. Mereka bertepuk, memuji kehebatan Wisang Geni, Pendekar Tanah Jawa. Seorang penyair terkenal, Ki Langlang Jagad mengumandangkan syair pendek.

Tak ada lawan, tak ada tandingan,

cuma Wisang Geni seorang yang lajak disebut Pendekar Tanah Jawa.

Para pendekar utama yang ikut menyaksikan kehebatan Geni menaklukkan Ciu Tan dan Mok Tang sekaligus, semua merasa kagum "Tenaga dalam seperti itu, belum pernah aku melihatnya. Ia seperti dewa dalam mimpi kita," kata Manyar Edan.

"Bagaimana mungkin seorang muda bisa memiliki tenaga dalam sedahsyat itu," kata Demung Pragola. "Sungguh beruntung Lemah Tulis memiliki seorang ketua seperti Wisang Geni. Ayah dan ibunya di dalam kubur pasti gembira menyaksikan kehebatan putranya."

Pendeta Macukunda tak kurang kagumnya. "Sungguh Ki Wisang Geni pendekar nomor satu." Pendeta ini kemudian memberi hormat kepada para pendekar Cina. "Terimalah hormatku, sebenarya dalam setiap pertarungan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Tetapi dalam pertarungan selama dua hari ini, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, melainkan persahabatan yang ada, aku senang bisa berteman dengan sampean semua."

Ciu Tan membalas hormat "Maafkan kami, tamu yang tak tahu diri. Kami mengaku kalah. Sungguh luar biasa ilmu silat Ki Wisang Geni, sulit menemukan seseorang yang sanggup menandinginya. Aku setuju dengan perkataan pendeta Macukunda, mulai sekarang ini yang ada di antara kita adalah teman sesama kita dan persahabatan."

Memang yang ada hanyalah persahabatan. Sang Pamegat melirik Kim Mei. Ia berkata menggunakan tenaga dalam Suara Tanpa Wujud mengirim suara ke perempuan Cina yang cantik itu. "Kim Mei, jangan lupa tempat pertemuan kita, aku menunggumu."

---ooo0dw0ooo---

Pertarungan sudah usai. Beberapa hari berkumpul di desa Bangsal, akhirnya para pendekar Cina mengambil jalan masing-masing. Kim Mei, janda muda yang cantik itu, pergi pada hari pertama, tidak lama setelah pertarungan usai.

Tampak seperti tergesa-gesa Kim Mei pamitan kepada semua rekannya. Dia mampir sejenak di rumah mengambil bungkusan pakaian dan kudanya, kemudian pergi. Dia tidak memberitahu tujuannya.

Ciu Tan berusaha mencegah, tetapi Kim Mei menolak. Sio Lan berusaha membujuk, "Kakak Mei, ayah mencintaimu, hanya ayah malu mengakuinya. Tadi dia minta aku menyampaikan lamaran. Ia melamar kamu untuk menjadi isterinya."

Kim Mei memeluk Sio Lan. "Aku hanya kagum saja pada ayahmu, perasaanku padanya tidak lebih dari itu, sampaikan maaf padanya aku tidak bisa menerima lamarannya. Sekarang ini aku harus pergi mencari jalan hidupku sendiri."

"Apakah kamu pergi bertemu dengan pendekar bernama Pamegat itu?"

Kim Mei tidak menjawab langsung. Ia bercerita, beberapa waktu lalu ketika terjadi pertarungan Wisang Geni dengan Kalandara dan tiga muridnya di hutan tepi desa Bangsal. "Saat itu aku bertemu dengan dia. Pertemuan kedua terjadi satu pekan kemudian di desa Dayu, itu semua kebetulan. Aku dikeroyok penjahat lalu ia muncul menolongku. Kupikir semuanya kebetulan tetapi bisa saja itu menjadi awal perjodohanku. Aku ingin membereskan ini, aku ingin kepastian baik diriku maupun lelaki itu. Perkawinan ineinei lukau kejujuran pada awal dan harus dipertahankan ke depan dan hari ke hari. Aku mencari cinta yang jujur."

Tetapi Kim Mei tidak menceritakan secara rinci kejadian di desa Dayu Pertemuan itu, merupakan awal dari babak baru kehidupan Kim Mei. Kematangan dan perlindungan, yang diperlihatkan Sang Pamegat berhasil menguak pintu hatinya yang sudah lama tertutup.

Kim Mei memeluk Sio Lan mengucap selamat tinggal. Ia melecut kudanya menuju desa Ngoro, satu hari perjalanan dari Bangsal. Ia baru memasuki gerbang desa, lelaki itu sudah menjemputnya.

Pertemuan itu mulanya agak kaku, lantas mencair saat keduanya menceritakan pengalaman diri masing-masing. Pamegat mengakui ia masih punya isteri dan anak, keluarganya menetap di lingkungan istana Tumapel. Lelaki berusia separuh baya itu menjelaskan bahwa di tanah Jawa merupakan hal biasa seorang lelaki memiliki lebih dari seorang isteri. Ia bahkan punya dua isteri dan lima selir.

Pada mulanya Kim Mei terkejut namun bisa menerimanya. Di Cina pun seorang lelaki bisa punya isteri dan selir. Hal yang tak bisa diterimanya adalah ketidakjujuran. Suaminya terdahulu sering mengumbar janji dan kata cinta, namun kemudian mengkhianatinya dengan perbuatan yang tak bisa dia maafkan.

Menggenggam tangan Kim Mei, dengan suara lirih namun tegas, lelaki itu berkata, "Hari ini aku melamarmu menjadi isteriku, isteri utama, mungkin terlalu cepat, tetapi keputusan ini sudah kupikir matang dan tak perlu lagi menanti waktu untuk mengutarakannya. Tetapi kalau kamu sendiri belum siap untuk menjawab, aku akan menanti jawabanmu sambil sementara ini kita berteman dulu, aku akan menemanimu pesiar dan melihat-lihat keramaian di pusat kerajaan Tumapel."

Kim Mei punya kesan baik terhadap Sang Pamegat.

Perasaannya mengatakan itu. Tidak urung ia mengaku dirinya seorang janda muda tetapi belum punya anak. Ia pergi meninggalkan suaminya setelah tiga bulan kawin Dia menceritakan pengalaman pahitnya lima tahun lalu ketika suaminya berlaku serong, memerkosa adiknya. Lantaran sayang dan takut terhadap kakaknya, adik Kim Mei itu menyimpan rahasia.

Tetapi suatu malam, Kim Mei memergoki cinta rahasia itu.

Sang adik memohon ampun, bercerita terus terang bahwa pertama kalinya dia diperkosa. Kemudian kejadian itu berulang dan berulang. Lambat laun, hal itu menjadi hubungan suka sama suka. Adiknya mengakui telah jatuh cinta dan bersedia melakukan hubungan itu berulangkah sampai hamil. Pada mulanya Kim Mei sangat marah, tetapi rasa sayangnya kepada adiknya membuat dia tak berdaya. Dia tidak membunuh dua sejoli itu melainkan pergi meninggalkan suaminya dan adiknya. Sejak itu dia tak pernah percaya pada lelaki.

Sudah banyak lelaki melamar dirinya, tetapi sampai saat ini ia belum tertarik seorang pun. Akan halnya Sang Pamegat, Kim Mei menerima lamarannya dan kawin satu tahun kemudian. Ia hidup bahagia, dimanjakan sang suami. Sesuai janji Sang Pamegat, dia memang menjadi isteri utama dan tinggal di lingkungan keraton. Sang Pamegat semakin menyintainya apalagi setelah Kim Mei melahirkan dua putra dan seorang putri.

Para pendekar Cina lainnya juga menjalani hidup masing- masing. Dua bersaudara Mok Kong dan Mok Tang setelah mengantongi bayaran beberapa potong emas dari Ciu Tan, pulang ke Cina. Keduanya membeli barang-barang berharga dari tanah Jawa dan menjualnya di Cina. Mereka mendirikan perusahaan dagang dan ekspedisi mengantar barang dan manusia.

Ciu Tan mengambil pelajaran dari kekalahannya. Dia tidak lagi merasa ilmu silatnya paling hebat, dia melihat bahwa ilmu silat dan manusia tak punya batasan. Pepatah Cina, di atas langit masih ada langit, benar-benar ckyakininya sekarang. Ciu Tan benar-benar berubah, dia telah membuang sikap sombong dan takabur. Dia pulang ke Cina, melangsungkan pernikahan Sio Lan dengan Siauw Tong, kemudian hidup menyepi di gunung Wu Tang memperdalam ilmu silat Terkadang dia turun gunung menengok anak dan cucunya sambil menolong orang yang membutuhkan pertolongan.

Pendekar Pedang dari Gurun Gobi, Sian Hwa, memilih menetap di tanah Jawa. Ia menyepi di rumah kecil di samping kediaman sang menantu Manjangan Puguh dan putrinya. Ia bahagia, setiap hari ia bermain dan mengurus tiga orang cucu, memberinya pelajaran dasar ilmu silat. Sian Hwa tidak berniat kembali ke Cina. Ia telah menemukan ketenteraman dan kebahagiaan di hari tua. Dia selalu ingat kata-kata Wisang Geni, usai pertarungan dahsyat itu. "Damai itu indah, dan kehidupan itu memang indah karenanya harus dinikmati.''

Li Moy dan Sin Thong saling jatuh cinta, mereka kawin dalam upacara sederhana disaksikan teman-teman dekat. Pasangan ini pada mulanya hanya niat bertualang mencari benda-benda berharga untuk dibawa pulang dan dijual di Cina. Namun lama kelamaan, keduanya semakin betah. Pada akhirnya mereka menetap di negeri Jawa, apalagi setelah Li Moy melahirkan seorang putri.

Liong Kam memilih menetap di desa Bangsal, berdagang dan membuka warung makan. Ia seringkali bertualang berupaya menemukan jejak keris Gandring. Pada akhirnya ia memperoleh kabar, keris sakti itu masih disimpan di keraton. Namun tidak ada seorang pun yang bisa memastikan di istana Tumapel ataukah istana Kediri. Dan menyaksikan penjagaan dan pengawalan istana yang begitu angker, niatnya mencuri keris Gandring memudar dan akhirnya lenyap. Ia mendengar cerita banyaknya pendekar yang mengantar nyawa karena ingin menerobos istana mencuri keris. Setelah bertualang selama dua tahun, akhirnya Liong Kam pulang ke tanah Cina.

---ooo0dw0ooo---

Besok adalah hari pertama dari bulan Asadha. Hari itu, hari terakhir bulan Iyestha, tigapuluh hari setelah pertarungan di desa Bangsal. Sebuah perahu layar besar merapat di pelabuhan Jedung. Kebanyakan penumpang adalah pedagang yang membawa barang dagangan dari Gujarat, Malaka, Cina dan India. Kesibukan merambah seputar pelabuhan. Kuli pengangkut barang, para pedagang kuda dan kereta, tukang jaja makanan, semua sibuk menawarkan jasa.

Di antara banyak manusia yang lalu lalang, serombongan orang asing menuruni tangga. Di depan sekali, seorang lelaki bertubuh kekar, tinggi jangkung dengan raut wajah keras, ia ketua perguruan Yudistira dari lereng Himalaya. Lelaki separuh baya itu dijuluki Tangan Besi, nama aslinya Yudistira. Dalam kisah Mahabrata, Yudistira adalah tokoh welas asih, bijaksana serta pemimpin dan kakak tertua dari Pandawa Lima bersaudara.

Tidak demikian dengan Yudistira dari lereng Himalaya ini. Dia lelaki yang terlalu keras kepala dan selalu ngotot dalam hal prinsip dan harga diri. Ia tampak kasar dan kejam Air mukanyakeras, jarang senyum bahkan mungkin sudah lupa bagaimana cara tersenyum Kumisnya tebal, rambut panjang digelung di atas kepala, kulitnya sawo matang kemerahan dibakar matahari. Ia mengenakan baju luar panjang warna hitam, dengan baju dalam lengan pendek warna hijau. Ikat pinggangnya lebar dari kulit rusa.

Berjalan di belakangnya, isterinya, Satyawati yang dijuluki Bunga Salju. Dalam sastra Mahabrata, nama Satyawati adalah isteri setia raja Santanuyang menjadi nenek para Kurawa dan Pandawa. Tinggi langsing, tubuhnya berisi, kulitnya putih.

Meskipun ada kesan tua pada wajahnya namun harus diakui ia sangat cantik. Ia mengenakan busana jubah panjang warna hijau yang menutup hampir seluruh tubuhnya.

Di belakangnya, seorang lelaki muda, tinggi besar, kulit sawo matang dengan kumis dan brewok, rambut panjang dibiarkan terurai. Wajahnya tampak tegang dan kejam, dia Wasudeva, putra tunggal ketua perguruan Arjapura. Di belakangnya putra tertua Yudistira, Arjun dan isterinya Susmita. Diikuti putra kedua, Shankar bersama Ayeshak, isterinya. Arjun dan Shankar, lelaki muda, tubuh mirip ayah dengan wajah tampan mirip sang ibu Keduanya mirip satu sama lain dengan kulit sawo matang. Dua isteri itu, baik Ayeshak maupun Susmita, memiliki kecantikan perempuan Himalaya. Ayeshak sedikit lebih gemuk sedang Susmita tampak lebih langsing. Di belakang mereka, sepasang suami isteri yang adalah murid utama Yudistira. Urutan paling akhir adalah suami isteri yang merupakan pembantu dan juru masak keluarga. Tampak dari gerak langkah dan keseimbangan tubuh, sebelas orang itu semuanya pendekar kelas atas. Jembatan papan itu bergerak berayun-ayun, tetapi kaki mereka seperti melekat pada pijakannya. Kecuali Yudistira dan isterinya, mereka yang lain semuanya membawa bungkusan yang gemblok di punggungnya. Selain itu beberapa peti kayu ukuran cukup besar, yang semuanya berisi barang dagangan.

Mereka masuki warung makan yang tidak banyak pengunjungnya. Dua pembantu itu ikut nimbrung ke dapur, sehingga pesanan ayam dan ikan bakar serta minuman tersaji dengan cepat Selain khawatir makanan diracun, dua pembantu itu mencampur masakan dengan bumbu masak khas Himalaya yang dibawanya. Mereka menyantap hidangan dengan lahap.

Empat murid perguruan Brantas menawarkan diri menjadi penunjuk jalan sekaligus menyewakan kereta kuda untuk barang-barang dagangan itu, dengan imbalan jasa.

Sebenarnya semua anggota rombongan mengerti bahasa Jawa, tetapi karena Susmita yang paling mahir maka peremuan ini bertindak sebagai juru bahasa. "Baik, kalian berempat menjadi penunjuk jalan kami"

Dalam perjalanan Susmita menanyakan pada murid Brantas itu, pernahkah melihat tiga gadis India yang tiba dengan perahu layar sekitar tiga atau empat bulan lalu. "Aku tahu, memang sudah cukup lama, sudah tiga bulan berlalu, mungkin kalian lupa tetapi coba tolong diingat-ingat," kata Susmita.

"Akhir akhir ini banyak orang asing yang dalang ke negeri ini, jadinya aku tak bisa mengenal dan mengingat semua orang yang sudah datang. Lagipula aku tidak selalu berada di sini. Tetapi kalau yang kamu cari itu pendekar silat, aku tahu ke mana harus mencarinya," jawab salah seorang murid Brantas.

Dia menyebut desa Bangsal, karena tigapuluh hari lalu di desa itu berlangsung pertarungan pendekar negeri Jawa lawan pendekar Cina. "Mungkin temanmu ikut tarung atau sebagai penonton, maka lebih baik kita ke sana mencari keterangan dari penduduk setempat" 

Tetapi Yudistira memutuskan terlebih dahulu pergi ke pusat kerajaan Tumapel menjual barang dagangan yang dibawanya. "Di sepanjang jalan kita bisa mencari berita tentang Gayatri.

Nanti, selesai urusan dagang, baru kita mencari putriku," tukasnya.

Perjalanan dari pelabuhan Jedung menuju desa Karangplosos, pusat kerajaan Tumapel, diperkirakan memakan waktu enam hari. Perjalanan memang tak bisa cepat lantaran barang-barang harus diangkut dengan kereta kuda. Mereka menunggang kuda termasuk empat penunjuk jalan dari perguruan Brantas. Di tengah jalan dua kali mereka dicegat perampok namun dengan ilmu silatnya yang tinggi rombongan pendekar asing itu dengan mudah bisa mengatasi.

Dari luar tampaknya anggota rombongan akur satu sama lainnya tetapi sebenarnya ada masalah ibarat api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meletup. Persoalan tak lain disebabkan ulah Wasudeva yang urakan. Lelaki itu terbiasa selalu memperoleh keinginannya karena sejak masa kecil semua permintaannya selalu dikabulkan ayahnya.

Selama duapuluh hari perjalanan darat sejak dari lereng Himalaya sampai ke pelabuhan Puchet, dia minta diperlakukan istimewa. Tingkah lakunya kasar. Dia sering memaki. Dia memerintah kedua pembantu itu bahkan juga terhadap Arjun dan Shankar, seperti perintah seorang majikan kepada budak. Ucapannya kasar, sering membentak dan memaki. Ketika Arjun melapor kepada ayahnya, Yudistira tak menjawab langsung, hanya menjelaskan Wasudeva itu tamu kehormatan dan titipan sahabatnya, Arjapura. Ketika isterinya, Satyawati bicara tentang perilaku buruk Wasudeva, jawaban Yudistira sama, ia tamu kehormatan dan putra seorang sahabat

Selama perjalanan dari Himalaya menuju Puchet, saat rombongan bermalam di desa, sering kali Wasudeva menyelinap keluar rumah di malam hari. Suatu malam, Shankar dan Arjun membuntutinya.

Ternyata Wasudeva memerkosa wanita dan membunuh suaminya.

Dua bersaudara itu melapor ke ibunya. Kini mereka mengerti alasan Gayatri menolak perjodohan dan lari ke tanah Jawa. "Mungkin Gayatri mengetahui kelakuan Wasudeva, atau barangkah dia pernah digoda atau diganggu. Jika memang Wasudeva pernah mengganggu Gayatri, sunguh aku akan membunuhnya," kata Shankar kepada ibunya.

"Kamu jangan ngaco, jangan gegabah, semua harus pakai pikiran jernih. Kamu harus tahu, dia selalu benar dan terhormat di mata ayahmu Jadi sementara waktu ini kalian sama sekali tidak boleh bentrok dengan Wasudeva Tunggu sampai ayahmu sadar," katanya.

Tiga orang itu, ibu dan dua putranya, kesal dan kecewa mengapa Yudistira mengajak Wasudeva ikut dalam rombongan. Waktu itu ayah mereka beralasan. "Ia harus ikut untuk memperjelas status perjodohan, jika Gayatri setuju maka persoalan selesai, segera kita kawinkan mereka. Jika Gayatri menolak maka dia harus dihukum, aku sendiri yang menghukum," kata Yudistira pada isterinya saat hendak berangkat.

Satyawati, tidak cuma setia namun patuh dan taat kepada suami sebagaimana perempuan Himalaya umumnya. Tetapi khusus soal Wasudeva, ia punya sikap tersendiri. Ia membenci Wasudeva karena secara tidak langsung Manisha, putrinya, mati disebabkan perbuatan Wasudeva. Dia mengetahui semuanya dari cerita Manisha sebelum putrinya itu bunuh diri. Wasudeva menghamili Manisha. Laki-laki itu kemudian pergi dengan janji akan kembali melamar dan mengawini Manisha. Tetapi dia ingkar janji, dia tak pernah muncul lagi di perguruan Yudistira, lari dari tanggung jawab.

Waktu itu Satyawati mengutus Gayatri ditemani dua murid Urmila dan Shamita menemui Wasudeva di Arjapura. Laki-laki itu ingkar janji bahkan menuduh Manisha dihamili lelaki lain. Mendengar itu Satyawati dan putrinya sangat marah tetapi tidak berani menceritakan semuanya kepada Yudistira. Tragedi terjadi sewaktu Yudistira menerima lamaran Mahesh, pendekar dari Himalaya Timur untuk Manisha. Dalam keadaan hamil, Manisha tak mungkin bersedia menjadi isteri Mahesh.

Agar aib tidak terbongkar, dia harus menolak lamaran. Tetapi tradisi kuno Himalaya melarang ini. Tradisi turun temurun itu mengajarkan seorang anak perempuan harus bersedia kawin dengan siapa saja lelaki yang ditentukan sang ayah. Manisha tidak punya pilihan lain, dia bunuh diri, terjun dari tebingyang curam

Bagi Satyawati dan anak-anaknya, Wasudeva adalah mimpi buruk.

Celakanya lagi, Yudistira sangat menyukai Wasudeva. Di mata Yudistira, Wasudeva tak mungkin bersalah. Perlakuan terhadap lelaki itu begitu istimewanya sehingga seringkah menimbulkan iri hati dua putranya. Satyawati pernah menanyakan pada suaminya, jawabannya hanya itu-itu saja, bahwa Wasudeva putra sahabatnya.

Persahabatan Yudistira dengan Arjapura terbina sejak masa muda. Keduanya sangat tergila-gila menuntut ilmu silat Yudistira yang usianya dua tahun lebih muda, lebih cerdas dan berbakat sehingga lama kelamaan Yudistira lebih menonjol dan lebih terkenal di kawasan Himalaya. Diam-diam Arjapura memendam rasa iri yang makin lama makin subur menjadi kebencian terpendam.

Perkawinan Yudistira dengan Satyawati makin menambah rasa iri dan benci Arjapura karena sebenarnya ia pun menaruh hati pada Satyawati. Dua lelaki itu sama-sama mengenal Satyawati saat bersama-sama merantau ke gunung Bharwa, sebuah desa di Himalaya. Satyawati, adalah putri kepala suku Namcha, seorang pendekar tangguh di kawasan Timur Himalaya. Dua pendekar itu sama-sama melamar tetapi Satyawati yang cantik jelita menjatuhkan pilihan pada Yudistira.

Belasan tahun kedua sahabat itu tidak berjumpa. Dua tahun sebelum Gayatri lari ke tanah Jawa, Arjapura mengirim putranya, Wasudeva, agar dibimbing Yudistira. Secara rahasia, Arjapura menginginkan putranya mencuri atau mewarisi jurus hebat Yudistira Atchai Zamin Par Kabhiyeh Chand Sitare (Kadang bulan dan bintang pun turun ke bumi). Jika bisa menguasai ilmu andalan itu maka Arjapura yakin sanggup mengalahkan Yudistira.

Wasudeva, lelaki mata keranjang. Tadinya ia sudah memiliki Manisha. Sang ayah sangat bersuka-cita ingin cepat melamar gadis itu. Tapi Wasudeva tergila-gila dan kasmaran akan kecantikan Gayatri. Dia menginginkan Gayatri. Dia berhasil membujuk ayahnya, untuk mengubah rencana melamar Manisha dan sebagai gantinya melamar Gayatri.

Sebenarnya Manisha sangat cantik, malahan lebih cantik dari adiknya. Tetapi di mata Wasudeva, kecantikan Gayatri lebih liar dan lebih primitif. Satu saat ketika bertandang ke perguruan Yudistira, ia pernah memergoki dua bersaudara itu basah kuyup kehujanan. Ia melihat perbedaan dua gadis itu. Manisha yang waktu itu sudah ia tiduri, kecantikannya tampak biasa. Tetapi kecantikan wajah dan tubuh Gayatri, sangat menggoda. Sejak itu Wasudeva tak pernah bisa melupakan kecantikan Gayatri. Dia tahu Gayatri menolaknya, bahkan membencinya selelah matinya Manisha. Dia tahu Gayatri kabur ke tanah Jawa, untuk menghindarinya. Tapi dia tak peduli, dia kasmaran. Dia tergila-gila ingin mengawini Gayatri, tak peduli gadis itu suka atau tidak suka.

Senja itu rombongan tiba di desa Dayu Saat makan, Shankar dan Arjun memerhatikan Wasudeva yang tak hentinya menatap tubuh gadis pelayan warung. Gadis itu adalah putri pemilik warung, cantik dan montok. Shankar memberi isyarat kepada Arjun. Malamnya, dua dua saudara itu berjaga, khawatir tingkah laku Wasudeva memancing keributan di desa. Tetapi malamku tidak terjadi sesuatu.

Esok harinya rombongan melanjutkan perjalanan. Ketika malam tiba, mereka nginap di tengah hutan. Saat itulah Wasudeva menyelinap pergi. Arjun dan Shankar terlambat menyadari lelaki itu sudah tak ada di kemah. Keduanya bergegas ke warung di desa Dayu Keduanya mengintip, ternyata Wasudeva tak ada, si gadis juga tak ada. Mereka menunggu. Menjelang fajar, Wasudeva datang membopong si gadis. Ia memberi sesuatu, si gadis tertawa senang. Shankar dan Arjun saling pandang. "Dia benar-benar gila," tukas Shankar kesal.

Karangplosos desa yang cukup besar, ramai dan menjadi pusat perdagangan. Hampir semua pedagang asing juga pedagang lokal menjual barangnya di desa ini. Pembelinya datang dari desa-desa sekitar. Kebanyakan adalah keluarga para pejabatkerajaan Tumapel.

Rombongan Yudistira membawa barang dagangan istimewa, sutera, perhiasan, permadani, kosmetika dan berbagai macam barang mewah. Mereka menyewa rumah besar selama beberapa hari, untuk tempat tinggal sementara juga untuk menjajakan dagangan yang dipajang di serambi rumah. Barang dagangan cepat laku, selain harga tidak mahal, barang yang dijual adalah barang pilihan. Para pejabat dan isteri serta penduduk yang kaya berdatangan berebut membeli barang yang diminati. Satyawati yang cantik dan anggun, memimpin menantu dan murid wanitanya melayani dengan ramah dan sabar. Namun demikian tidak semua pembeli berlaku sopan.

Hari itu tiga lelaki yang dari dandanan diduga berasal dari keluarga kaya, berbuat onar. Melihat Ayeshak cantik dan montok, seorang di antaranya menggoda, bahkan berupaya meraba bokong isteri Shankar. Tetapi Ayeshak bergerak cepat, menepis tangan jahil itu. Lelaki itu marah.

Dia berteriak sambil memegang tangannya yang tampak memar,

"Hei, kenapa kamu main tampar, kurang ajar kamu wanita asing, beraninya kamu jual lagak di sini." Suaranya keras dan didengar banyak orang. Para pembeli, sebagian ingin tahu apa yang terjadi, sebagian lain tidak peduli.

Ayeshak berkata dengan suara rendah, "Maaf, tuan. Tuan sengaja hendak meraba bagian tubuh saya. Perbuatan tuan itu tidak pantas karena saya sudah bersuami, maafkan saya."

Lelaki itu yang usianya sekitar tigapuluhan menuding wajah Ayeshak. "Kamu orang asing di sini, harus sopan, harus tahu diri apalagi kamu berdagang di desa Karangplosos, ini wilayah kerajaan Tumapel, kamu pasti mata-mata, siapa kamu?"

Shankar muncul melihat isterinya kesulitan, "Maaf tuan, dia isteri saya, kami hanya berdagang, kami mencari nafkah."

Seorang punggawa keraton bersama tiga rekannya menghampiri lelaki itu. Mereka kebetulan lewat di situ. "Ada apa?" Lelaki itu terkejut memandang empat punggawa keraton. "Dia berlaku tidak sopan, dia orang asing mungkin mata- mata."

Salah seorang punggawa, ternyata Ekadasa, menghampiri dan bertanya pada Shankar, "Kamu bisa berbahasa Jawa, ada apa?"

"Ah mungkin cuma salah f aham antara tuan itu dengan isteri saya, tetapi sudah beres, kok."

Wasudeva menyela di samping Shankar, sambil menatap Ekadasa. "Tuan itu mencoba menjamah bokong saudaraku ini, tetapi saudara perempuanku ini menangkis tangan jahilnya, lalu tuan itu marah, nah itulah cerita yang sebenarnya," kata Wasudeva tersenyum

Punggawa yang paling tua, Dwi, menuding hidung lelaki itu. "Kamu siapa? Mengapa mengganggu tetamu asing?"

Lelaki itu merah mukanya. Suaranya bernada takut. "Aku putra Ki Kamandang dari desa bagian Timur. Aku tidak mengganggu mereka. Aku mau belanja."

"Huh anak pejabat, kamu mabuk rupanya," lalu kepada anak buah di sampingnya, Dwi berkata tegas, "Bawa dia ke penjara. Panggil bapaknya menghadap aku." Ia menoleh ke Ayesakh, "Maafkan orang itu, ia mabuk, kalau ada gangguan, tuan-tuan boleh melapor kepada punggawa desa, selama tuan berada di desa ini, kamu boleh merasa aman."

Rombongan punggawa itu pergi.

Enam hari menetap di Karangplosos, semua barang dagangan habis terjual. Yudistira memutuskan istirahat beberapa hari, setelah itu baru melanjutkan perjalanan ke desa Bangsal. Dari keterangan yang dikumpulkan selama beberapa hari, semua sumber berita membenarkan di desa Bangsal telah terjadi pertarungan pendekar, akhir bulan Waisaka kemarin. Jumlah pendekar yang hadir lebih dari seratus bahkan terdapat di antaranya para pendekar asing. Tidak jelas siapa- siapa pendekar yang hadir, namun satu nama mencuat sebagai paling jago, tanpa tandingan. Dia Wisang Geni yang dijuluki Pendekar Tanah Jawa. "Untuk keterangan lebih banyak kita memang harus pergi ke desa Bangsal, mungkin saja Gayatri bertiga Urmila dan Shamita juga hadir di tempat itu," kata Yudistira

Rombongan kemudian menyewa dua tenaga penunjuk jalan, karena empat murid Brantas sudah pergi begitu mereka tiba di Karangplosos. Mereka menuju desa Bangsal. Perjalanan tidak terburu-buru dan diselingi istirahat di beberapa desa untuk membeli rempah-rempah dan benda-benda kuno yang akan dijual di Malaka dan Puchet dalam pelayaran pulang ke Himalaya nanti.

Suatu hari rombongan tiba di desa Prigen, sekitar satu hari perjalanan dari gunung Welirang. Senja itu udara dingin, mendung. Desa itu sepi dan lengang. Sebagian besar rumah kosong, tampaknya telah ditinggalkan penghuninya. Ada beberapa rumah yang masih dihuni, namun begitu melihat rombongan Yudistira, mereka menutup pintu dan jendela.

Rombongan berhenti di sebuah rumah besar yang tak ada penghuninya.

"Anak mantu Susmita, kamu bawa dua orang, kamu selidiki mengapa banyak rumah kosong, kupikir ada yang aneh di kampung ini," kata Yudistira sambil memandang sekeliling.

Lima rumah sudah dikunjungi, Susmita bertanya kepada penghuni, namun orang-orang itu diam saja, membisu.

Tampak pada wajah mereka mimik ketakutan. Di rumah keenam, penghuninya kakek dan nenek, ada dua gadis remaja dan seorang pemuda. Kakek membisu, tetapi nenek tua itu justru marah. "Kenapa kita takut, ceritakan saja kepada mereka, bagaimanapun juga kita semua pasti akan dibunuh." Nenek itu menceritakan kampungnya kedatangan beberapa lelaki jahat. Mereka datang sekitar sepuluh hari lalu.

Pemimpinnya, Ki Lawungwesi julukannya Tengkorak Putih. Begundalnya enam orang. Mereka jahat dan bejat Mereka memerkosa gadis-gadis, merampok harta benda, minum tuak dan mabuk-mabukan.

Tidak ada penduduk yang bisa meloloskan diri, usaha lolos selalu ketahuan dan yang lelaki langsung dibunuh atau disuruh kerja keras membersihkan rumah, memijit dan menyediakan makanan Yang perempuan harus mau menari, untuk kemudian ditiduri, jika tidak mau akan dipaksa, diperkosa.

Sudah tigabelas perempuan diperkosa, sudah tujuh lelaki yang dibunuh. Penduduk lainnya menanti giliran dengan tegang dan tak berdaya. "Mereka tinggal di rumah ujung sana dekat hutan," kata pemuda remaja itu. Salah seorang gadis berlutut di kaki Susmita, "Nona, tolong aku, aku takut diperkosa."

Mata Susmita berkaca-kaca, wajahnya merah. Dia menjawab dengan geram, "Tidak ada orang yang bisa memerkosamu, tidak ada orang jahat yang boleh mengganggu kamu, selama aku ada di desa ini." Dia balik dan menceritakan kepada ayah mertuanya.

Yudistira mengeluh, berkata kepada diriya sendiri. "Di mana-mana ada manusia kotor, manusia penindas, mereka pikir tidak ada orang yang sanggup menghentikan perilaku buruknya. Apa yang mereka inginkan akan mereka ambil tanpa berpikir apakah itu merugikan atau menghancurkan hidup orang lain."

Dia menggeleng-geleng kepala. "Ada manusia jahat, moralnya lebih rendah dari binatang itu pun jika binatang punya moral. Orang-orang itu tahu tindakan mereka akan menghancurkan hidup orang lain, tetapi dengan senang mereka melakukan perbuatan biadab itu. Aku tidak suka orang-orang seperti itu, orang yang tidak punya moral."

Keluarganya ikut berduka melihat mimik sedih Yudistira.

Orangtua itu menoleh kepada putra tertua, "Arjun kamu hentikan kejahatan ini." Ia melangkah masuk ke dalam rumah.

Arjun memandang rumah yang ditunjuk Susmita sebagai markas si Tengkorak Putih dan enam begundalnya. Ia mengumpulkan batu yang berserak di sekitarnya. Ia meraup dan melempar ke rumah itu. Batu-batu itu beterbangan saling susul menimbulkan suara mencicit. Rumah itu bagaikan hendak runtuh, dihujani begitu banyak batu. Saat berikut beberapa orang berlarian keluar sambil teriak-teriak. "Hei bangsat kurangajar, berani kamu mengganggu tuanmu yang sedang tidur."

Tidak lama kemudian, keluar dari rumah itu, seorang lelaki tua kepala botak, bersenjata tombak. Tubuhnya masih kekar. Ia bersama begundalnya menghampiri rombongan Arjun. "Hei ada wanita cantik, wah hebat, ini namanya mendapat daging rusa enak tanpa kita perlu berburu dan memasak. Ketua, setelah kamu memilih, ganti aku yang memilih," kata lelaki yang berbadan kekar sambil menunjuk Susmita. "Aku mau dia. Tubuhnya montok."

Sepasang mata indah Susmita merah berkaca-kaca, ia tertawa sambil melangkah menghampiri lelaki itu. "Kamu mau aku, mari dekat-dekat sini."

Lelaki itu tertawa. "Wah kamu juga suka sama aku, mari sini dewi yang cantik." Ia menghampiri Susmita. Gerak tangan Susmita tak terlihat, tamparannya menerpa pipi kiri kemudian kanan. Lelaki itu kaget, ia menangkis. Tapi sia-sia. Tamparan itu berulangkah, membuat pipinya lebamdan berdarah. Ia menangkis sambil teriak-teriak. Tapi percuma. Tamparan itu bertubi sampai akhirnya ia tak sanggup membuka mulutnya yang hancur. Darah meleleh. Ia meludah dan hampir semua giginya ikut bersama lendir dan darah. "Ilmu apa itu," kata seorang rekannya. "Ilmu siluman," kata rekannya yang lain.

Dari rombongan, hanya Arjun dan Susmita yang meladeni lawan, Satyawati dan yang lain sibuk mengurusi rumah, kereta kuda dan semua barang-barangnya. Dua penunjuk jalan, terpesona dan kagum melihat sepak terjang Susmita. Wanita cantik itu kelihatan lemah gemulai, tak disangka geraknya begitu cepat dan kejam

Lelaki tua berbadan kekar dan kepala botak tahu gelagat, ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang sangat lihai. "Siapa kalian, aku adalah Lawungwesi julukanku Tengkorak Putih."

Arjun menjawab ramah dan sopan, "Kami orang asing di negeri ini, kami pedagang, kami tidak mencari musuh, tetapi kami tidak suka orang-orang jahat, kami adalah pengusir kejahatan. Kami tidak kenal tuan, tetapi kami tahu bahwa tuan orang jahat"

"Eh kamu tidak kenal Ki Lawungwesi, tetapi kamu pasti kenal muridnya yang kenamaan julukannya si Bayangan Hantu. Cepat berlutut minta ampun dan semua salahmu akan diampuni," kata lelaki lainnya.

Si Bayangan Hantu adalah pendekar yang mati di tangan Wisang Geni dalam pertarungan di Argowayang. Rupanya Lawungwesi turun gunung mencari Wisang Geni untuk menuntut balas. Ia mendengar muridnya itu mati oleh Wisang Geni.

"Aku tak perlu minta maaf, karena tak lama lagi Tengkorak Putih benar-benar akan menjadi tengkorak di dalam kuburnya," kata Arjun melangkah mendekati Lawungwesi.

Berbarengan, Susmita menghampiri enam begundalnya. Saat berikut terjadi tarung, Arjun lawan Lawungwesi yang bersenjata tombak pendek, Susmita menerjang enam begundalnya. Arjun menyerang dengan tangankosong, Lawungwesi membalas dengan tombak pendek. Pada saat sama isteri Arjun dikeroyok enam begundal, termasuk si lelaki yang mulutnya sudah nyonyor nyaris hancur. Susmita dengan leluasa bergerakke sana kemari, gerakannya cepat tangkas dan tak kenal ampun.

Dalam sepuluh jurus ia sudah melumpuhkan seorang lawan, tangan dan kakinya patah. Berturutan satu per satu lawannya terpental dengan anggota tubuh yang patah.

Empatpuluh jurus, pekerjaan Susmita selesai.

Saat yang sama jurus empatpuluh, Arjun menampar Lawungwesi, pundaknya terluka. Lima jurus berikut, paha dan lengannya kena tamparan keras, Lawungwesi tersungkur. Ia berupaya bangkit tetapi gagal. Enam begundalnya dengan tertatih bangkit berusaha menolong ketuanya. Mereka pergi dengan sumpah serapah.

Pada saat itu beberapa perempuan dan lelaki yang ditawan berhamburan keluar dari rumah, begitu juga penduduk lainnya. Semua mereka datang dan mengucap terimakasih sambil berlutut. Satyawati dan anggota rombongan menolong mereka. Beberapa perempuan bekas tawanan menangis berpelukan dengan orangtua atau suaminya. Suasana haru namun semua penduduk gembira. Malam itu para penduduk menyediakan makanan untuk tetamunya.

Dua hari menetap di desa itu. Susmita, Ayeksha dan ibu mertua sibuk membantu orang-orang itu, memberi mereka barang dagangan yang masih tersisa, bahkan sebagian pakaian dan perhiasan juga dibagi-bagikan kepada penduduk miskin itu. Para penduduk mengiringi kepergian mereka dengan tangis terimakasih.

Hari itu, tepat pada tengah hari, rombongan tiba di desa Bangsal. Penunjuk jalan itu bergerak gesit, dalam waktu singkat ia sudah mendapatkan rumah kosong untuk disewa dan warung makan. Malam hari di dalam bilik tidur, sambil memijit tubuh suaminya, Satyawati berkata lirih, "Suamiku, entah mengapa sejak tiba di Karangplosos, aku selalu bermimpi Gayatri, aku khawatir sesuatu menimpa dirinya. Sungguh baru sekarang ini selelah berpisah dengannya baru aku tahu betapa aku sangat menyintainya."

"Itu perasaan seorang ibu, tak ada apa-apa yang menimpa dirinya, ia memiliki ilmu silat tinggi, juga ada Urmila dan Shamita yang mengawalnya."

"Suamiku, hukuman apa yang akan kau berikan kepada putriku?"

"Aku belum tahu, nanti saja kita lihat apa saja kesalahannya."

"Suamiku, selama hidup aku tidak pernah membantah dan selalu patuh padamu. Kali ini aku mohon padamu, ampuni Gayatri. Dia belahan jiwaku. Jika dia mati, aku juga akan mati. Aku sangat menyintainya, aku mohon ampuni dia. Lagipula Wasudeva itu lelaki yang buruk, tidak pantas untuk Gayatri- ku."

"Tentang Gayatri, aku akan pertimbangkan kesalahannya, aku juga sangat menyintainya, setelah kehilangan Manisha aku tidak mau kehilangan Gayatri. Kamu tenang saja, aku mau tidur."

"Wasudeva itu "

Yudistira memotong ucapan isterinya, "Aku tak mau bicara tentang Wasudeva, aku mau tidur."

---ooo0dw0ooo---

Pertarungan bergengsi di desa Bangsal itu ramai dibincangkan orang, kaum awam dan para pendekar memuji kehebatan Wisang Geni. Bahkan Macukunda pun mengaku seumur hidup ia belum pernah menyaksikan sepak-terjang dan ilmu silat sedahsyat yang diperlihatkan Wisang Geni ketika mengalahkan Ciu Tan dan Mok Tang. Jurus apa itu, macam angin puyuh yang bisa menghancurkan apa saja. Tak seorang juga yang mengetahui persis jurus yang digunakan Wisang Geni.

Manjangan Puguh, yang pernah menjadi guru Wisang Geni juga tak tahu apa-apa tentang perkembangan muridnya itu. "Jelas dia muridku, tetapi kepandaiannya sekarang sudah jauh di atas aku," kata Manjangan Puguh kepada isterinya Mei Hwa.

Bahkan para murid Lemah Tulis pun semakin takjub akan kehebatan ketuanya. "Sayang sekali, ketua sudah tak mau lagi memimpin kita," kata salah seorang murid Lemah Tulis. "Aku yakin, ketua masih mau memimpin Lemah Tulis, mungkin dia hanya marah sesaat," kata seorang lainnya.

Hari itu usai pertarungan yang mencekam, Wisang Geni sungkem pada Manjangan Puguh. "Guru, aku tak pernah melupakanmu, kau menyelamatkan aku dari perang Ganter, kau mendidik aku sejak kecil, menyuapi obat sehingga tubuhku kuat. Aku tak bisa membalas budimu, guru"

"Kamu tidak perlu membalas apa-apa, aku sudah sangat bahagia jika kamu tetap menjalankan kewajiban sebagai pendekar sejati yang berjalan di jalan benar, selalu melindungi kaum lemah dan yang memusuhi kesewenang-wenangan," kata Manjangan Puguh yang memeluk erat muridnya itu.

Geni tak lupa memberi hormat kepada Mei Hwa yang sedang terlibat pembicaraan dengan Sekar dan Gayatri. Mereka sudah berkenalan ketika sama-sama hadir di gunung Argowayang.

Wisang Geni dan rombongannya tidak tinggal lama di desa Bangsal. Dua hari setelah pertarungan, mereka pulang ke gunung Welirang. Gajah Nila dan Gajah Lengar beserta isteri memisahkan diri menuju Lemah Tulis. Mereka mau pamitan pada Padeksa dan Gajah Watu, karena akan tinggal menetap bersama Geni. Putra putri mereka sudah diangkat murid oleh Geni. Murid lain ikut Geni pulang ke Welirang, berlatih silat dan melanjutkan pembangunan beberapa rumah yang belum selesai.

Bulan Iyestha sudah berlalu Wisang Geni hidup berempat dengan Sekar, Gayatri dan Prawesti. Mereka bahagia. Hari itu tengah bulan Asadha, rumah yang dibangun sudah rampung. Rumah yang agak besar untuk Wisang Geni dan tiga isterinya.

Dua rumah agak mungil, untuk Gajah Lengar dan Gajah Nila masing-masing bersama isteri dan anak-anaknya. Gajah Nila punya seorang putra bernama Sasro berusia sekitar delapan tahun. Gajah Lengar punya sepasang, putra bernama Saty aki usia tujuh tahun dan putri bernama Sundari usia 4 tahun.

Selain itu ada beberapa rumah untuk tetamu dan murid yang datang berlatih.

Senja itu Gayatri menyendiri di biliknya. Sudah tiga hari dia gelisah. Pikirannya bimbang, apakah dia tetap merahasiakan kehamilannya atau memberitahu Geni. Dia juga merindukan ibunya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.

Ia tak pernah tahu, bahwa senja itu ibu dan keluarganya tiba di desa Karangplosos. Ia tak tahu bahwa dalam beberapa hari ini ibunya juga merindukan dia. Gayatri menangis.

Prawesti menghampiri, berbaring di samping, memeluk mengelus kepalanya. Saat itu Geni berdua Sekar sedang berlatih silat di dekat danau.

"Kakak, kenapa kamu kak?" tanya Prawesti dengan lirih.

Gayatri semakin terisak. "Kenapa Kak, ada apa, ceritakan, aku pasti akan membantumu, apa saja akan kukorbankan untukmu" "Aku bingung, aku tidak tahu harus mengambil jalan yang mana, di depanku terbentang banyak jalan bercabang, aku bingung." Suara Gayatri lirih dan sendu.

"Katakan saja pada Geni." "Katakan apa?"

"Katakan bahwa kamu hamil!" "Kamu... kamu tahu?"

"Kakak Gayatri, aku tahu, aku melihat perubahan tubuhmu, kamu makin montok, makin cantik dan mulai muntah-muntah. Itu gejala orang hamil. Aku mulai curiga ketika harus membalut perutmu dengan stagen khusus waktu kamu mau tarung."

"Tetapi kamu tidak cerita pada Geni, kan?"

Prawesti menggeleng, ia duduk dan memijit-mijit paha Gayatri. "Tidak. Geni tidak tahu apa-apa, malah dia tidak curiga. Aku baha gia melihat kamu hamil, seharusnya kamu bahagia, kakak. Karena sesungguhnya Geni sangat ingin punya keturunan. Ceritakan saja padanya, kak."

"Resikonya besar. Geni pernah melihat isterinya mati dalam keadaan hamil, anaknya ikut mati Jika aku juga mati bersama anaknya yang kukandung, hatinya pasti hancur. Ia bisa kalap, ia akan ngamuk melawan siapa saj a. Dan orang yang akan dia lawan adalah ayah dan keluargaku, aku bingung dan tak berdaya."

Prawesti terharu Ia memeluk Gayatri. Keduanya bertangisan. "Tidak Kakak, kamu tak akan mati, selalu akan ada jalan keluar, kita harus percaya itu." Dalam hati Prawesti bertekad. "Aku akan korbankan diriku di depan ayahnya.

Gayatri telah memberi aku kehidupan terindah. Hidup bersama dia, Sekar dan Geni membuat aku bahagia. Kini giliranku membalas budinya, memberi dia kehidupan dan kebahagiaan." Mendadak saja Prawesti bangkit dan menepuk bokong Gayatri. "Kakak, kita tidak boleh lemah dan menyerah, kita harus berusaha. Pada saatnya nanti aku akan bongkar semua kebusukan Wasudeva di depan ayah dan ibumu, aku tidak takut meski misalnya aku dihantam mati" Prawesti memang sudah mengetahui seluruh kisah Gayatri, Manisha dan Wasudeva.

Saat itu terdengar suara Geni memanggil Gayatri dan Prawesti. Tak lama kemudian ia berdua Sekar muncul di dekat isterinya. Heran melihat mata dua perempuan itu basah dengan airmata. "Kenapa? Kenapa kalian berdua menangis?"

Prawesti menepuk pantat Gayatri. "Katakan Kak Gayatri, katakan sekarang ini, katakan, ayo ini saatnya."

Geni bingung, "Katakan apa, ada apa?" Gayatri berkata lirih, "Aku hamil."

Wisang Geni terpaku di tempat berdirinya. "Apa?" Dia mengulanginya, malu-malu, "Aku hamil, Geni."

"Hamil, kamu hamil. Sekar juga hamil." Geni melompat sambil teriak. "Dua isteriku hamil, aku akan segera punya anak, Gayatri hamil, Sekar hamil," Ia lari keluar rumah, melompat-lompat dan bersiul keras.

Ia lari menuju hutan, mengelilingi danau, menanjak tebing. Siulannya memantul tebing menjadi gema bergaung ke mana- mana. Para murid yang sedang berlatih bingung melihat kelakuan Geni. Tetapi kemudian ikut gembira mendengar kabar Sekar dan Gayatri hamil. "Ya tentu saja ia merasa sangat gembira."

Tadi waktu berlatih silat berdua Sekar, di hutan jauh dari rumah. Tiba-tiba saja Sekar merasa lemas, ia merunduk dan muntah-muntah. Geni bingung. "Kenapa? Ada apa? Kamu sakit?" Perempuan itu memeluk Geni. "Suamiku, aku semakin mencintai kamu Aku bahagia menjadi isterimu Rasanya aku akan segera memberimu seorang anak."

"Apa? Kamu hamil?"

Sekar mengangguk, "Ya kekasihku, aku hamil!"

Geni memeluk dan menciumi isterinya. Tangannya meraba, mengelus dan menciumi perut sang isteri. Ia merasakan rangsangan birahi. Sekar melayani dengan bernafsu.

Keduanya berlari mendaki tebing. Di dalam goa, terengah- engah Sekar berbisik, "Geni, suamiku. Pelan-pelan."

Itu sebab mengetahui Gayatri juga hamil, Geni gembira seperti orang kesetanan. Setelah melampiaskan rasa senangnya dengan teriak-teriak di hutan, Geni menerobos masuk bilik. Sekar dan Gayatri berangkulan. Prawesti ikut bergembira.

Wisang Geni menghampiri Gayatri dan Sekar. Ia meraba, mengelus dan menciumi perut dua isterinya, bergantian. "Ini dia anakku, kapan kamu keluar jumpa dengan bapakmu?" kata Geni sambil tertawa. Dua perempuan itu tertawa geli melihat tingkah laku Geni yang macam orang kesurupan. "Gayatri dan Sekar, sesungguhnya kapan kalian mengetahui diri hamil?"

Gayatri memegang lengan Prawesti yang hendak beranjak dari duduknya. "Kamu jangan pergi, kamu harus temani aku." Ia tertawa kepada Geni. "Waktu pertarungan di desa Bangsal, aku mulai mual dan muntah-muntah Aku curiga mungkin aku hamil."

Prawesti ikut nimbrung. "Aku pun curiga, ketua, ketika kakak minta bantuanku membalut perutnya dengan stagen berlapis-lapis."

Dahi Geni berkerut, "Kamu sudah tahu dirimu hamil, kenapa nekad mau bertarung, bisa-bisa kamu celaka. Kamu juga Sekar, mau saja tarung Benar-benar gila." Ia teringat sesuatu, "Pantas hari-hari belakangan ini kalian berdua cepat lelah, aku lihat pinggul kalian dan juga buah dada makin montok."

Gayam tertawa. "Kamu cuma ingatyang montok-montok saja."

"Tetapi kalian terlalu nekad, mulai sekarang kalian berdua tak boleh tarung atau melakukan pekerjaan yang berat-berat."

"Waktu itu aku nekad, karena ingin membantu suamiku, itu kan kewajiban isteri. Tetapi aku tidak tahu ilmu silatmu setinggi itu, jika tahu buat apa aku berlaku nekad ikut tarung. Sekarang jawab pertanyaanku, mengapa kamu merahasiakan kepandaianmu itu?" tanya Gayatri.

"Kamu tidak bertanya padaku, lagipula sudah beberapa kali kamu bertarung denganku, kamu pasti sudah tahu kepandaianku."

"Kamu bohong, kamu tak pernah sungguh-sungguh tarung dengan aku, kamu tidak mengeluarkan seluruh kepandaianmu"

"Kau bukan musuh, kau kekasihku, mana bisa aku bertarung sungguh-sungguh dan melukai kamu," Geni memeluk Gayatri. Isterinya itu menggelinjang.

Gayatri menarik tangan Sekar dan Prawesti. "Ayo, kita keroyok dia" Ia menciumi leher suaminya. "Geni, sekarang ini setelah aku dan Sekar hamil, kamu harus pelan-pelan jangan sampai mengusik anakmu yang sedang tidur ini."

Seperti biasa kalau sedang gembira, Sekar tertawa cekikikan. "Mulai hari ini Prawesti akan lebih sering diperkosa. Oh ya Westi, kamu jangan hamil dulu, giliranmu hamil nanti setelah kami berdua melahirkan, setuju Westi?"

Sambil memeluk menciumi punggung Sekar, Prawesti menggoda, "Aku siap ikuti semua perintah mbakyu. Jadi sekarang aku harus lebih sering melayani mas Geni, ya mbak?"

Semalaman mereka berempat bercanda ria, bercinta dan bergurau Ketika fajar tiba, keempatnya tertidur pulas.

Siang hari itu setelah makan siang. Geni duduk bersama Gayatri, Sekar dan Prawesti di tepi danau. Gayatri memegang tangan suaminya. "Geni kamu harus berjanji padaku, Sekar dan Westi yang menjadi saksi, kamu berjanji bahwa kamu tidak bertarung melawan ayah, ibu dan kakakku."

"Kamu ini aneh, mana mungkin aku bertarung melawan mereka, tetapi aku mengerti kekhawatiranmu Kamu khawatir jika tiba saatnya ayah menghukummu, aku pasti membelamu, kamu khawatir aku menantang berkelahi melawan keluargamu"

Geni menepuk pipi isterinya. "Tidak Gayatri, aku hanya akan menjelaskan perihal cinta kita berdua, tentang Wasudeva yang tidak layak jadi suamimu, aku hanya akan menjelaskan. Dan aku berjanji tidak akan bertarung lawan mereka."

"Aku punya firasat, ayah dan ibu serta dua kakakku sudah tiba di negeri ini. Tak lama lagi mereka akan menemukan aku!"

"Itu cuma firasat dan rasa takutmu saja, aku tidak yakin keluargamu akan datang ke tanah Jawa, aku juga tidak yakin ayahmu lega menghukum kamu Percayalah padaku, semua persoalanmu akan selesai dengan baik."

Prawesti ikut nimbrung. "Aku punya firasat sama dengan Mas ( rt-ni, ayahmu pasti tak tega menghukum kamu, Kak." Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan. "Kakak, aku pikir sebaiknya jangan mengikat Mas Geni dengan janji semacam itu, bagaimana jika ayah ?i bu kakakmu memaksa dan menyerang Mas Geni, apakah dia harus diam juga dan tnanda digebuk?" Gayatri terdiam, kemudian menangis. 'Tidak, aku tidak mau suamiku dilukai, tetapi aku juga tak mau dia melukai keluargaku."

"Aku janji padamu Kakak, ilmu silatku memang cetek namun aku akan membantu dengan caraku sendiri." Prawesti menoleh ke Sekar yang menggamit lengannya. "Westi, tolong kamu pijit aku," kata Sekar sambil menggandeng Prawesti.

Belakangan ini Sekar bersama Prawesti dan Gayatri sering pijit-memijit bergantian. Keduanya berlari menuju rumah. Tinggal Geni berdua Gayatri.

Geni mengelus-elus kepala isterinya. "Kamu tak perlu ketakutan dengan apa yang belum tentu terjadi, jika ayah dan keluargamu datang biar aku yang menyelesaikan, jangan khawatir, aku tahu apa yang harus aku perbuat."

Gayatri memeluk erat suaminya. "Aku percaya dan yakin, kamu tidak akan melukai keluargaku, tetapi aku tidak yakin apakah ayah dan kakak mau untuk tidak melukai kamu Oh aku takut, Geni."

Geni tidak menjawab. Ia balas memeluk serta mengelus perut isterinya. Gayatri merasakan jari dan tapak tangan yang hangat penuh cinta dan sayang, ia berbisik, "Suamiku, kamu tahu betapa aku menyintaimu Jangan tinggalkan aku, bawalah aku bersamamu, jika kamu mati bawalah aku, aku mengikutimu ke mana kamu pergi, itu adalah kewajibanku namun lebih dari itu adalah karena aku menyintaimu"

"Aku juga sangat menyintaimu, Gayatri. Aku hampir tak punya keinginan lain kecuali hidup bersamamu. Tahukah kau bahwa saat-saat seperti ini, aku ingin memeluk dan bercinta denganmu tanpa pernah berhenti. Tetapi sekarang ini kamu sedang hamil, jadi aku harus membatasi diri."

"Geni jangan berhenti menyintaiku, karena pada saat kau berhenti menyintaiku pada saat itulah aku mati" Gayatri menangis dalam pelukan suaminya. Keduanya kembali ke rumah.

Dua hari bermalam di desa Bangsal, rombongan Yudistira sudah mengumpulkan keterangan lengkap mengenai pertarungan para pendekar itu. Di pihak negeri Jawa ada seorang wanita asing, cantik berasal dari India. Ia bisa bertarung karena ia adalah isteri dari pendekar utama negeri ini, Wisang Geni. Nama wanita itu Gayatri dan ilmunya sangat tinggi. Selama tarung Gayatri tidak terkalahkan oleh para pendekar Cina. Tetapi ilmu silat yang dimiliki Wisang Geni, yang belakangan dijuluki Pendekar Tanah Jawa dari Lemah Tulis, sangat luar biasa. Pada akhir pertarungan Wisang Geni seorang diri mengalahkan dua jago utama kubu Cina, Ciu Tan dan Mok Tang. Dan ilmu silat yang digunakan sangat luar biasa dan aneh. Cerita tentang kehebatan Wisang Geni berkembang dari mulut ke mulut ditambah bumbu penyedap apalagi julukannya sebagai Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa.

Berita itu bagai halilintar di siang bolong, sangat mengejutkan sehingga reaksi pun bermacam-macam. Yudistira diam, tidak mau memberi keterangan sepotong pun mengenai putrinya. Wasudeva yang marah sempat berkata kasar kepada Yudistira, "Lihat putrimu, ia berani melangkahi adat istiadat Himalaya dan kawin diam-diam dengan orang luar. Dia harus dihukum berat Khusus buat lelaki yang bernama Wisang Geni itu, dia harus dibunuh."

Yudistira menggebrak meja sehingga hancur lebur. "Wasudeva, jangan sekali-kali berani menista dan menjelekkan keluargaku, urusan putriku adalah urusanku. Jika kamu masih mau menjadi menantuku, silahkan. Jika kamu tidak mau, aku juga tak peduli. Sekarang kamu pergi dari hadapanku." Itulah pertama kali dia berkata kasar dan tegas kepada Wasudeva.

Satyawati menangis semalaman. Keesokan hari, wajah cantiknya tampak sayu, matanya sembab. "Airmataku sudah habis. Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membelanya, oh Gayatri mengapa kaulakukan kesalahan besar itu, kamu tak mungkin lolos dari hukuman ayahmu" Perkataan Satyawati didengar putra dan menantu. Yudistira mendengar namun tetap diam

Sekonyong-konyong Susmita menyela dengan lirih, "Maafkan aku ibu, seandainya aku pada posisi Gayatri, aku akan melakukan hal yang sama asalkan lelaki itu cocok dengan kata hatiku"

Arjun terkejut mendengar ucapan isterinya. "Susmita, kamu bicara sembarangan."

Susmita merangkap dua tangannya. "Maaf ayah dan ibu, maaf suamiku, jangan menganggap aku bicara begini karena sayangku pada Gayatri atau lantaran hubunganku sangat dekat dengan adik ipar itu. Tidak. Bukan sebab itu. Tetapi cobalah ayah, ibu, suamiku dan iparku, cobalah berpikir sederhana."

Ia mengumpulkan segenap keberanian, kemudian melanjutkan, "Gayatri, seorang gadis berilmu tinggi dan sangat cerdas. Aku tahu persis bahwa aku tergolong cerdas, tetapi Gayatri lebih cerdas, banyak akal dan sangat waspada, ia bahkan bisa menghitung sesuatu yang orang lain belum memikirkannya. Aku yakin, Gayatri punya alasan kuat, aku hanya mohon pada ayah, ibu dan kalian semua, dengarkan alasannya lebih dahulu, baru memutuskan apa kesalahannya."

Semua terdiam Yudistira memecah kesunyian, "Dengarkan, besok kita ke Lemah Tulis, kita berkunjung dengan baik-baik, karena menurut kabar, Lemah Tulis perguruan besar, banyak murid dan unggul ilmu silatnya. Lagipula kita datang ke tanah Jawa tidak untuk mencari permusuhan."

Wasudeva masuk ruangan. Ia heran melihat seluruh keluarga kumpul bersama. Ia memberi hormat kepada Yudistira. "Maaf ayah mertua. Aku sudah pikir matang. Pertama, aku akan tarung dan membunuh Wisang Geni. Setelah itu aku menikahi Gayatri. Ini keputusanku, aku mohon restumu, ayah mertua." Ia berlutut di hadapan Yudistira.

"Aku merestuimu, Wasudeva," kata Yudistira.

Semua terkejut, heran akan keputusan Wasudeva. Mereka tidak tahu niat dalam hati lelaki itu "Gayatri telah menghina aku, tetapi demi kepentingan ayah yang menginginkan jurus silat andalan Yudistira, aku rela berkorban. Tetapi aku akan ciptakan neraka untuknya, memperlakukan dia seperti binatang, meniduri ia tiap malam dan memukulinya setiap siang."

Malam harinya di bilik tidur, Satyawati berkata dengan isak tangis, "Suamiku, apa yang kaupikirkan tentang Gayatri? Dan kenapa kamu memberi restu kepada Wasudeva?"

Yudistira berkata lirih, "Istriku, biarkan persoalan ini berjalan seperti bola salju. Saat bola berhenti menggelinding, akan terungkap kejadian sebenarnya, saat itulah aku akan tetapkan keputusan yang paling bijaksana. Sekarang ini aku mau tidur."

Malam itu di bilik tidur, Wisang Geni membangunkan tiga isterinya. "Besok pagi aku akan pergi ke gunung Bromo, kalau kuhitung hitung mungkin aku akan kembali setelah enam hari."

Tiga perempuan itu heran. Geni menjelaskan, kemarin ia teringat pesan Dewi Obat beberapa waktu lalu ketika ia mengantar Wulan yang sedang hamil. Namun pesan itu kemudian menjadi tidak penting dan dilupakan, karena Wulan mati, begitu juga anak yang dikandungnya.

"Supaya kandunganmu kuat dan tidak mudah keguguran, juga memberi si bayi daya tahan tubuh yang kuat, carilah bunga talasari yang hanya terdapat di Lembah Bunga di kaki gunung Bromo. Bunga itu tidak terdapat di tempat lain," tutur Dewi Obat waktu itu. Gayatri memaksa suaminya mengajak mereka bertiga. Tetapi Wisang Geni tetap pada pendiriannya. "Dewi Obat berpesan obat itu hanya bisa dipakai jika kandungan belum mencapai tiga bulan, aku khawatir masa tiga bulan segera tiba. Karenanya aku perlu cepat. Perjalanan akan sulit dan berat sebab aku belum tahu letak Lembah Bunga dan bagaimana bentuk bunga talasari. Kalian bertiga tinggal di rumah. Sebab jika aku sendiri, aku bisa bergerak cepat Dalam waktu enam hari aku sudah kembali. Aku harus pergi karena obat ini sangat perlu untuk kalian berdua dan bayinya."

Keesokan hari setelah berpesan kepada Gajah Lengar dan Gajah Nila, ia berangkat. Ia melecut kuda jantan hitam yang tangguh itu ke arah tenggara menuju gunung Bromo. Geni tak pernah menduga bahwa pada saat yang sama, jauh sana di desa Bangsal, rombongan Yudistira bersiap-siap melakukan perjalanan menuju Lemah Tulis. Jikalau saja Geni tahu, mungkin dia tak akan berani beresiko meninggalkan Gayatri di rumah.

Rombongan Yudistira tiba di Lemah Tulis. Susmita dan Arjun mengaku sebagai saudara Gayatri ingin jumpa dengan Wisang Geni dan Gayatri. Melihat tamu datang dan bicara dengan sopan, para murid menerima dengan baik.

Prastawana, Dyah Mekar dan murid utama lainnya sama sepakat, para tamu benar-benar keluarga dari Gayatri. Apalagi melihat wajah Satyawati yang mengaku sebagai ibu, seperti pinang dibelah dua dengan Gayatri.

Itu sebab mereka tidak ragu memberitahu bahwa Geni dan isterinya sudah satu bulan lebih pindah ke hutan di lereng gunung Welirang. "Maaf, kami tidak bisa mengantar, karena kami masih punya kesibukan, aku yakin penunjuk jalan itu bisa membawa anda semuanya ke gunung Welirang," tutur Prastawana.

Tanpa istirahat lagi, rombongan melanjutkan perjalanan menuju gunung Welirang. Pada saat yang sama, Wisang Geni tiba di desa kecil di batas hutan di kaki gunung Bromo. Desa kecil itu hanya dihuni beberapa keluarga. Hari masih siang, Geni bertanya kepada seorang penduduk, di mana Lembah Bunga Orang itu menunjuk ke arah hutan. "Lewat hutan itu. Tetapi lebih baik batalkan saja niat sampean, tempat itu sangat angker dan jarang didatangi manusia karena banyak dedemit."

Geni menitip kuda hitamnya di rumah penduduk yang memiliki kandang kuda. Kemudian dengan ilmu ringan tubuh, ia menerobos hutan lebat. Saking lebarnya hutan, hanya sebagian kecil sinar matahari yang bisa menerangi. Tidak sulit untuk menetapkan arah, Geni memilih jalan yang menanjak.

Beberapa saat kemudian ia sampai di suatu tempat yang luas. Sebatas mata memandang tampak hamparan ilalang setinggi tubuh manusia membentang di depan matanya Geni dengan ilmu ringan tubuhnya berjalan di atas pucuk ilalang.

Tetapi ia temukan keanehan. Tadinya ia yakin menuju ke depan, ke arah Selatan. Tetapi herannya ia bahkan tak pernah bisa sampai di tepian padang ilalang yang luas itu. Ia

berputar-putar di padang itu. Matahari sudah hampir tenggelam tetapi Geni belum juga bisa lolos dari padang ilalang. Mendadak saja sesosok bayangan berkelebat jauh di depan. Bayangan itu berhenti dan menggapai memanggilnya Geni mengejar. Begitu mendekat, ia terkejut, mengenal perempuan itu adalah Manohara, murid paling buncit dari Kalandara, si ketua Lembah Bunga "Mengapa si Manohara berada di sini?"

Pertanyaan itu tak sampai tercetus karena Geni teringat bahwa Kalandara dijuluki Dewi Lembah Bunga, artinya dia memang tinggal dan menetap di lembah ini. "Selamat jumpa Manohara, kebetulan kamu datang, mungkin kamu bisa membantu aku keluar dari padang ilalang ini."

Manohara berdiri agak jauh Tampaknya ia tidak merasa takut. "Wah, hebat sekali, Wisang Geni Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa datang secara diam-diam ke Lembah Bunga, ia kesasar dan minta tolong padaku. Hei Geni, kamu tentu masih ingat, dulu kamu mempermalukan aku di depan orang banyak, meremas bokongku merobek celanaku sehingga sepanjang jalan aku terpaksa menutupi bokongku agar tidak terlihat orang. Kamu kurang ajar. Kenapa kamu lakukan itu?"

Wisang Geni menjawab sekenanya, "Aku gemas, melihat bokongmu yang semok?

Wajah Manohara memerah, malu, tetapi dalam hatinya ada rasa senang. "Kalau memang gemas, kamu tak perlu lakukan itu."

"Seharusnya bagaimana?"

Sekali lagi wajah pendekar cantik itu memerah "Kamu kan bisa memintanya dengan baik-baik."

Geni berpikir satu-satunya jalan, menawan Manohara, memaksa dia menjadi penunjuk jalan. Geni tersenyum "Baik, kalau begitu, sekarang aku minta ijin."

Manohara tertawa. "Kamu pura-pura merayu, mau menawan aku? Ini daerah milik perguruanku, kamu tak bisa keluar dari sini, kamu juga tak bisa menawan aku, kalau tak percaya cobalah."

Geni tidak menunggu lagi. Ia bergerak cepat, sangat cepat, melompat ke depan menjambret tangan Manohara.

Perempuan itu bergerak, namun terlambat. Geni berhasil menangkapnya Takut ia lepas, Geni memeluk erat-erat Tubuhnya terasa lunak dan menebar bau harum yang segar. Geni menekan titik jalan darah di punggung membuat perempuan itu lemas. "Sekarang tunjukkan jalan menuju Lembah Bunga."

Tubuh Manohara lemas, tak bertenaga. Tetapi lidahnya masih tajam. "Geni, kamu bodoh, daerah ini namanya Lembah Bunga, cuma sekarang ini kita berada di padang ilalang. Kamu mau ke dalam atau mau keluar?"

Geni terpaksa membopong perempuan cantik itu. "Antarkan aku ke tempat yang banyak bunganya."

"Baik, kalau itu maumu, kau tak boleh berjalan cepat, sebab harus mengikuti hitungan langkah. Tujuh langkah ke depan, kiri empat, tujuh ke depan, kanan duapuluh, tunggu dulu, aku peringatkan kamu Geni, percuma kamu menghafal hitungan langkah ini, sebab selalu berubah, jalan masuk dan jalan keluar juga berbeda, semuanya berpatokan pada posisi matahari. Dan kamu harus ingat, sekali kamu masuk, kamu tak bisa keluar jika tidak diantar. Apa yang kamu cari?"

"Kau sama sekali tidak takut, padahal sudah menjadi tawananku."

"Aku tak perlu takut, aku aman dalam pelukan lelaki perkasa yang pernah meremas bokongku. Lagipula hanya aku yang bisa menjadi penunjuk jalanmu Hei, kamu belum menjawab, apa yang kau cari di Lembah Bunga ini?"

"Ya, kamu antarkan aku mendapatkan bunga talasari." "Setahuku talasari itu bagus untuk perempuan hamil,

apakah dua isterimu hamil sampai kamu jauh-jauh datang

kemari untuk bunga obat itu. Geni, lepaskan totokanmu biar aku bisa bergerak."

Manohara berusaha berontak dari pelukan Geni. Tetapi usahanya sia-sia, tubuhnya lemas tak bertenaga.

Saat itu, mereka sudah keluar dari padang ilalang, tiba di daerah luas yang terdiri dari pepohonan kamboja. Geni memencet jalan darah di punggung Manohara, perempuan itu bisa berdiri. Geni menatap wajah gadis cantik itu. "Bagaimana kau tahu, aku sudah kawin dan punya dua isteri?"

"Aku menyaksikan pertarungan di desa Bangsal, kamu hebat, perkasa dan tampan. Gayatri dan Sekar, keduanya cantik dan ilmu silatnya tinggi. Kamu memang penakluk perempuan, aku pikir semua wanita yang mengenalmu pasti jatuh cinta padamu"

Gadis itu mengeluarkan sekuntum bunga dan mengunyahnya.

"Termasuk kau?" Geni memerhatikan mulut indah yang sedang mengunyah bunga itu.

"Ya termasuk aku. Sejak kau meremas bokongku, aku sudah jatuh cinta padamu Kebetulan sekarang ini kamu datang ke rumahku, dan kebetulan guru serta dua kakakku sedang turun gunung. Semuanya serba kebetulan. Sekarang ini kau menjadi milikku."

Berkata demikian, Manohara yang berdiri di dekatnya, bergerak cepat, merangkul leher Geni dan mencium lelaki itu. Geni terkesiap tetapi hanya sesaat, ia kemudian menikmati bibir basah dan lembut itu Keduanya larut dalam nikmat ciuman.

Mendadak Geni merasa tubuhnya lemas, kepalanya agak pusing. Ia kaget. Manohara melepas ciuman, berontak dari pelukan. Geni limbung dan jatuh terkapar di tanah. Kepalanya terasa pusing dan berdenyut sakit. "Racun apa ini?"

Manohara tersenyum puas melihat Wisang Geni terkulai lemas. "Aku tahu, kamu memiliki tenaga dalam yang tinggi, kamu bisa mengusir pengaruh bunga ini, jika orang lain bisa lemas sepanjang hari, tetapi kamu pasti bisa pulih jauh lebih cepat. Aku beri kamu racun tambahan, tak usah takut, racun ini hanya membuat kamu tidak bisa mengerahkan tenaga dalam saja, kamu tidak akan mati."

Gadis itu mengambil tiga kuntum bungayang ia simpan di belahan dadanya. Ia mengunyah bunga itu, membuka paksa mulut Geni. Ia membungkuk dan mencium mulut Geni. Ia menekan hidung Geni sehingga ampas dan cairan bunga itu tertelan oleh Geni. Baunya harum, rasanya manis. Manohara tersenyum "Geni, apakah pernah terpikirkan olehmu, suatu waktu nyawamu berada di tanganku, sekarang ini kalau aku mau, aku bisa membunuhmu"

Geni berkata lirih, "Lakukan saja, kenapa harus banyak omong."

"Kamu pernah mengancamku, akan melucuti pakaianku di depan umum, mempermalukan aku. Itu kan sudah kelewatan, mengapa kamu membenciku sedemikian rupa?"

"Aku tidak membencimu, aku hanya menakut-nakuti kamu, supaya kamu jangan lagi membunuh murid Lemah Tulis yang tidak berdosa. Aku tidak punya permusuhan denganmu, lantas kenapa harus membencimu?"

"Kamu tidak membenciku? Benarkah?"

Wisang Geni menatap gadis cantik itu, menggeleng kepala. 'Tidak, aku tidak membencimu Ayo Manohara, bunuhlah aku, jika memang itu maumu, mumpung aku lagi tak berdaya."

"Aku tak pernah berpikir akan membunuhmu Apakah kau tuh, tadi aku sudah mengaku menyintaimu, bagaimana mungkin aku tega membunuhmu "

"Jika demikian bebaskan aku."

Manohara menggeleng kepalanya. "Tidak bisa, jika kubebaskan kamu akan pergi, kabur."

"Tadi katamu, sekali masuk orang tidak bisa keluar dari lembah ini jika tidak diantar, bagaimana aku bisa kabur? Lagipula aku masih membutuhkan bunga talasari."

Manohara diam sejenak. Tampak ia berpikir. Sesaat wajahnya memerah. Ia membungkuk hendak membopong tubuh Geni, membawanya ke tempat tersembunyi. Tetapi mendadak saja, tangan Geni merangkulnya. Ia terjerembab di atas tubuh Geni yang lalu menjambak rambutnya sehingga wajah Manohara tengadah. Geni mencium mulurnya. Gadis cantik itu terperanjat. Namun ia tak perlu berpikir lagi. Ia balas memeluk erat tubuh Geni Keduanya larut dalam birahi, bercinta di bawah pohon kamboja.

Manohara terengah-engah, ia menutupi tubuhnya yang telanjang. "Kamu memang lihai, bisa begitu cepat mengusir racun bunga cinta," Ia menatap Geni dengan penuh cinta dan birahi. Geni bertanya saking herannya mendapatkan wanita itu masih perawan. "Aku memang masih perawan, kenapa heran?"

Geni menjawab penuh penyesalan, "Aku salah sangka, aku pikir kamu wanita sembarangan, penggoda lelaki dan mau saja ditiduri laki-laki, maafkan aku, Manohara."

"Aku mau kau tiduri karena aku menyukaimu Sekarang apa lagi maumu?" Manohara bangkit, lari sambil memegang bajunya. Ia setengah bugil.

Geni mengejar, "Kamu jangan lari!"

Manohara lari dan berhenti di sebuah batu besar. Di balik batu itu, ada sebuah goa kecil, bagian dalamnya bersih, di pojokan ada bale untuk tidur. Manohara berbaring di bale. "Goa ini tempat aku bermain-main waktu masih kecil."

Keduanya bergelut lagi dengan bernafsu. Manohara menceritakan asal-usulnya. Ia ditemukan gurunya sejak bayi dididik, disayang seperti anak sendiri. Untuk Manohara, gurunya memelihara sapi. "Sejak bayi aku minum susu, waktu dewasa seminggu sekali aku mandi susu dicampur bunga warna-warni."

Baru sekarang Geni mengerti mengapa Manohara masih perawan dan bau keringatnya harum macam bunga.

Malamnya Geni menggeluti si gadis. Esok harinya, mereka mencari bunga talasari. Ternyata tak mudah, baru senja hari mereka temukan. Bunga talasari besarnya setengah tapak tangan, bersusun aneka warna. Sangat indah. Geni memilih sepuluh kuntum yang segar. Ia menghunus pisau, mengeluarkan tabung bambu kecil. Ia melumat sepuluh kuntum berbarengan menoreh tangannya. Darahnya menetes di atas bubuk bunga, ia menghitung sampai sebelas tetes. Aneh, darah dan bunga menggumpal menjadi satu Geni cepat memasukkan ke dalam tabung sebelum gumpalan mengeras. Selesai sudah.

Menurut Dewi Obat, gumpalan itu akan menjadi keras. Nantinya dikunyah dan ditelan Sekar dan Gayatri selama sepuluh hari. Anehnya, jika darah yang menjadi campuran itu bukan darah ayah kandung si bayi, maka obat itu tak akan bermanfaat.

Geni menatap Manohara, mengucap terimakasih. Gadis itu diam. Geni berkata ia harus pergi secepatnya sebelum waktu tiga bulan itu terlewati. "Kalau terlambat, obat ini tak bermanfaat."

Manohara memegang ujung bajunya sendiri. Ia menatap Geni. "Kamu mau pergi begitu saja? Tidak lama lagi matahari terbenam, kalau tak ada matahari aku tak punya pedoman untuk jalan keluar, tetapi apakah kau tak ingin nginap semalam lagi, berdua bersamaku Geni?" Suaranya memelas.

Geni diam, ia menghitung hari. Ia berjanji kepada Gayatri, enam hari. Sekarang baru hari keempat, jika esok pagi pulang, bisa tiba tepat di hari keenam Masih ada waktu. Geni memutuskan nginap lagi semalam di goa kecil itu.

Semalaman keduanya bercinta dan bergurau. Namun Geni tak pernah menyangka, pada malam hari saat ia menggumuli tubuh molek Manohara, pada saat yang sama di rumahnya di kaki gunung Welirang, Gayatri sedang menangis dalam dekapan sang ibu Gayatri menumpahkan segala kerinduan dan ketakutan, ia menelungkup di pangkuan ibunya. Satyawati ikut menangis. Saat-saat mengerikan yang ditakuti Gayatri, sudah tiba. 

---oo0dw0ooo---

BERSAMBUNG