Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 03


BAGIAN 9
“Sebaiknya Gada Maut dan Tombak Sakti mencari
berita siapa adanya pemuda buta itu. Akan halnya
Pedang Dewa dan Karang Kiamat, sebaiknya kalian
berdua kembali ke markas pusat di Gunung Puyuh,” kata
Raja Jarum Sakti Seribu Racun, lalu sambungnya, “Dan
kalian berempat, kembali ke pos masing-masing. Untuk
Istana Jagat Abadi sebaiknya Golok Tapak Kuda dan
Cambuk Pemutus Nyawa saja yang kesana dan kerjakan
tugas kalian seperti biasa.”

“Lalu bagaimana dengan kami berdua, Ki?” tanya
Gelang Bintang yang kehilangan dua pasang telinganya.
“Gelang Bintang, kau mengawasi Perguruan Sastra
Kumala dan laporkan perkembangan yang terjadi.”
Gelang Bintang langsung tersenyum lebar mendengar
tugasnya.
“Dapat bagian gadis cantik, nih,” batinnya dengan
senyum menyeringai.
Melihat senyum Gelang Bintang, Raja Jarum Sakti
Seribu Racun seketika memandang dengan mata
mendelik seraya berkata, “Ingat! Tugasmu hanya
memata-matai, bukan main gila di sana!”
Seringai meriah Gelang Bintang langsung lenyap
seketika!
“Trisula kembar!”
“Ya.”
“Kau kembali ke Aliran Danau Utara. Lanjutkan
penyamaranmu! Pastikan bahwa murid-murid Aliran
Danau Utara tidak ada yang macam-macam lagi seperti
tempo hari,” tandas Ki Wira.
Trisula Kembar hanya mendengus saja.
“Brengsek! Kenapa kembali aku harus mengawasi
puluhan laki-laki bau keringat di sana. Enak betul si
Gelang Bintang, tiap hari matanya sehat melihat gadis
cantik lalu-lalang,” sumpah serapah Trisula Kembar
dalam hati, “Semoga saja matanya bintitan!”
“Kalian paham?”
Delapan orang tokoh hitam itu hanya mengangguk
tanpa suara.

“Bagus! Lima hari dari sekarang, aku tunggu kabar dari
kalian di tempat biasa!” kata Raja Jarum Sakti Seribu
Racun, lalu ucapnya menambahi, “Aku harus pergi
sekarang! Ketua memanggilku untuk menghadap!”
Belum lagi suaranya menghilang, laki-laki itu telah
berkelebat cepat ke arah tenggara.
Blass!
Setelah tiga-empat helaan napas, barulah Pedang
Dewa membuka suara dengan sedikit menggeram,
“Terpaksa kita harus mengikuti permintaan setan keparat
itu! Enak saja dia main tunjuk perintah semaunya!”
“Aku sendiri sudah muak dengan keparat itu! Kalau
bukan atas permintaan Ketua agar kita mengikuti segala
perintah Raja Jarum Sakti Seribu Racun, sudah aku
pesiangi dia dari kemarin!” dengus Tombak Sakti sambil
mengepalkan dua tangan hingga terdengar suara
berkerotokan keras. “Suatu saat nanti, dia harus
mencicipi Ilmu ‘Tombak Selaksa Hantu’ milikku!”
“Sudahlah, sementara rasa tidak enak ini kita tahan
dulu untuk waktu yang tepat,” ujar Karang Kiamat yang
kini menjadi orang buta tulen. “Hilangnya dua mataku ini
secara tidak langsung juga atas perbuatannya.”
“Aku setuju dengan Karang Kiamat! Kita harus bisa
menahan diri untuk sementara waktu,” tandas Cambuk
Pemutus Nyawa, lalu ia sendiri langsung berkelebat
cepat ke jurusan timur laut.
”Kalau begitu, kita berpisah untuk sementara waktu,“
kata Golok Tapak Kuda sambil berkelebat pula menyusul
arah lari Cambuk Pemutus Nyawa. Di kejauhan sana
terdengar kembali suaranya yang menggema, “Semoga
saja kalian berenam masih hidup, hingga kita berdelapan
bisa sama-sama menggebuk matang pantat si tukang
jahit itu, hah-ha-ha-ha!”
Enam orang saling pandang, lalu mereka berloncatan
dengan jurus peringan tubuh masing-masing ke jurusan
yang berlainan.
Blass! Wuss!
Dua helaan napas kemudian, sesosok tubuh melayang
turun dari pohon besar yang paling ujung.
Ternyata Raja Jarum Sakti Seribu Racun adanya!
Rupanya dia tadi cuma akal-akalan dia saja untuk
mengelabui delapan anak buahnya dengan pura-pura
pergi ke suatu tempat, kemudian setelah sejarak
pendengaran delapan orang anak buahnya tidak bisa
mendengar lagi, ia mengerahkan jurus ringan tubuh kelas
wahid, dan kembali ke tempat pertemuan terus
bersembunyi di atas pohon.
“Brengsek! Rupanya mereka berdelapan juga
mengincar diriku!?” umpat Ki Wira, lalu sambil tersenyum
sinis penuh misterius, “Kita lihat saja nanti, siapa yang
makan dan siapa yang dimakan?”
Tubuhnya kembali berkelebat cepat ke arah pertama
tadi ia menghilang!
--o0o--
“Boleh aku memanggilmu ... Kakang Jalu?”
“Silahkan saja.” sahut seorang pemuda baju biru, “Mau
disebut kakang, mau kakek, mau paman aku juga tidak
bakalan protes. Asal jangan nenek saja!”
“Hi-hi-hik,” gadis cantik mungil berbaju hijau tertawa
sambil menutup mulut, “Kakang ternyata lucu juga.”

“Ha-ha-ha! Bisa saja kau ini,” tukas Jalu sambil
menjotos ringan gadis di sampingnya.
Dua orang beda jenis itu adalah Jalu Samudra alias Si
Pemanah Gadis dan gadis yang menenteng pedang
dengan tangan kiri seperti tukang jagal tak lain tak bukan
Beda Kumala adanya. Sudah dua hari lamanya mereka
menempuh perjalanan bersama dan dengan tujuan yang
sama pula.
Yaitu ... ke Aliran Danau Utara!
Selain untuk mengabarkan tewasnya Garan Alit yang
bergelar Pendekar Dari Utara akibat dibokong oleh
orang-orang Istana Jagat Abadi, juga untuk menyelidiki
kemungkinan keberadaan Ketua Perguruan Sastra
Kumala yang berjuluk Dewi Tangan Api.
“Beda ... “
“Hemm?”
“Apa kau masih berduka atas meninggalnya
kekasihmu?”
“Sudah tidak lagi.”
“Bagus kalau begitu,” ucap Jalu berjalan sambil
mengetuk-ngetukkan tongkat hitamnya ke tanah.
“Kenapa Kakang katakan bagus?”
“Yaa ... baguslah, daripada kau nangis sampai
nungging-nungging sedang orang yang kau tangisi tak
bakalan hidup lagi,” jawab Jalu seenaknya.
Beda Kumala mengerutkan sepasang alisnya yang
indah mendengar ucapan Jalu yang sekenanya itu
dengan hati bertanya-tanya, sebegitu mudahkah ia bisa
melupakan Garan Arit, pemuda yang telah menjadi
bagian dari hidupnya meski ia tahu bahwa dalam
rangkaian jalinan kasihnya penuh dengan pertengkaran
dengan mendiang Garan Arit.
“Kakang Jalu ... apakah kau pernah mencintai
seseorang?” tanya Beda Kumala tiba-tiba.
“Laki-laki apa perempuan?” tanya balik Si Pemanah
Gadis sambil terus berjalan ke muka.
“Tentu saja perempuan!” sahut Beda Kumala sambil
tertawa berderai. “Memangnya Kakang punya kelainan
seperti Pedang Dewa!?”
“Pernah.”
Tawa renyah Beda Kumala langsung lenyap!
“Kakang sungguh-sungguh?” tanya heran Beda
Kumala sambil memandang sepasang mata putih si
pemuda.
“Lho? Kenapa? Orang buta tidak boleh jatuh cinta?
Yang benar aja, neng!! Orang buta khan juga manusia,
tho?” sahut Jalu keheranan.
“Terus sekarang orangnya dimana?”
“Mungkin ... sekarang sedang mencari diriku,” kata
Jalu, enteng.
Pikir si gadis, “Orang buta satu ini hebat juga! Aku jadi
pingin tahu gadis macam apa yang dicintainya itu. Dari
ucapannya, tampaknya si buta ini betul-betul mencintai
sang pujaan hati.”
Di luaran ia bertanya, “Memangnya sudah berapa
lama Kakang berpisah dengannya?”
Jalu Samudra merandek sebentar, berpikir beberapa
saat, lalu berkata, “Sekitar dua tahunan lah. Mungkin
lebih.”

“Buju buneng! Lama amat!” seru Beda Kumala. “Jadi
... kakang berpisah dengan sang kekasih selama itu?’
“Kekasih apa?”
“Lho, bukankah yang kita bicarakan disini adalah
kekasihmu?” kembali nada heran terlontar dari mulut
mungil Beda Kumala.
“Aku tidak punya kekasih atau pacar atau apa pun
sebutannya!”
“Lalu?”
“Dia itu ... istriku!” sahut Jalu Samudra.
Kembali Beda Kumala menjungkitkan sepasang alis
indahnya.
“Kakang sudah ... beristri?”
“Kenapa? Heran, ya?”
“Ah enggak, kok!” sahut Beda Kumala, lalu
sambungnya, “Apa kakang tidak khawatir dengan
keadaan dengan ... ”
“Kumala Rani maksudmu?”
”Ooo ... namanya Kumala Rani,” gumam Beda
Kumala.
”Kalau bicara perkara khawatir, aku-lah yang paling
dikhawatirkan istriku.”
“Kok bisa begitu?”
“Sebab aku bisa memanah ribuan gadis tanpa
pandang bulu, ha-ha-ha,” ucap Jalu Samudra diikuti
suara tawa, entah apa maksud dari tawanya.
“Memanah ribuan gadis? Apa maksudnya?” pikir Beda
Kumala, mendadak sebuah pikiran terbersit di kepalanya,
lalu ia berkata, “Maksudnya ... kakang jatuh cinta pada
gadis lain begitu? Selingkuh istilahnya!?”
“Betul sekali.”
“Dan bagaimana sikap istri kakang jika mengetahui
kalau kakang selingkuh? Dan bagaimana pula sikap
kakang jika istri kakang juga selingkuh?” tanya Beda
Kumala dengan membolak-balik kata.
“Aku sendiri juga tidak tahu,” kata Jalu Samudra
ringan, “Tapi yang jelas ... Nimas Rani tak bakalan
selingkuh!”
“Hah!? Yang benar? Darimana Kakang bisa memiliki
keyakinan seperti itu?”
“Karena itulah yang namanya ... kekuatan cinta.”
“Cinta?”
“Kau tahu cinta itu seperti apa?” tanya Si Pemanah
Gadis.
Beda kumala hanya menggeleng lemah.
“Ada orang berkata bahwa cinta seperti sebuah janji
yang abadi, ada juga yang berkata seperti teka-teki yang
membuat lupa diri. Tapi terhadap sebagian orang, cinta
mungkin adalah sebuah kutukan yang paling menakutkan
di dunia. Begitu kena, selamanya tidak bisa melepaskan
diri. Tenggelam dalam khayalan dan mimpi, kepalsuan
yang kadang manis dan kadang pahit ... “ tutur si pemuda
bertongkat hitam, “ ... dalam pandangan orang yang
sedang dimabuk cinta, bisa-bisa saja ia salah lihat. Yang
jelek menjadi bagus, yang cacat dianggap suatu
kesempurnaan yang tidak dimiliki orang lain, bahkan
yang tua bangka bisa kembali menjadi muda jika
bersinggungan dengan panah asmara ini!”

Mendengar uraian panjang lebar Jalu Samudra
tentang cinta, Beda Kumala menjadi bertanya-tanya
dalam hati, sebenarnya orang macam apa yang ada
disampingnya ini? Dia begitu tenang menguraikan
masalah seolah bahwa ia sendiri yang mengalami.
Pemuda buta itu seakan jelmaan pujangga kraton yang
sedang menguraikan kitab-kitab kuno dan dia sendiri
justru merasa seperti kambing congek mendengarkan
ucapan-ucapan yang keluar dari mulut pemuda buta yang
tampan ini.
“Sayang sekali ia buta,” pikir Beda Kumala sambil
memandang lekat-lekat wajah tampan di depannya.
--o0o--
BAGIAN 10
“Kau paham maksudku?”
Beda Kumala tergagap, karena terlalu tenggelam
dalam lamunan, “Eh, oh ... apa?”
“Jadi ... aku tadi ngomong panjang lebar tidak ada satu
pun yang kau mengerti?” tukas Jalu, heran.
Beda Kumala hanya bisa meringis saja terima salah!
Melihat cara meringis serba salah gadis cantik mungil
didepannya, Jalu hanya nyengir kuda saja.
Mendadak saja, Jalu meraih cepat tangan Beda
Kumala hingga tubuh depan gadis murid Perguruan
Sastra Kumala jatuh dalam pelukan si pemuda, diikuti
dengan gerakan pinggul Si Pemanah Gadis,
menggelinding di tanah dalam posisi tetap berpelukan
dengan Beda Kumala.

“Celaka, aku mau di perkosa, nih?” pikir Beda Kumala
sambil memejamkan mata. “Nolak ngga, ya?”
Selesai bergulingan sejarak satu tombak lebih dimana
sekarang posisi Jalu di atas sedang Beda Kumala berada
di bawah dengan sepasang tangan memeluk erat
pinggang Jalu. Tentu saja dada montoknya beradu keras
dengan dada bidang Jalu Samudra.
Belum lagi mereka bangkit, sebuah suara keras
terdengar dari sebelah selatan.
“Ha-ha-ha! Pucuk di cinta ulam tiba! Tidak di cari justru
calon mangsa kita ada di depan mata, sobat Golok Tapak
Kuda!”
“Benar, kawan! Cuma sayang, Serabut Mautmu gagal
mengenai si bocah ayu!” seru yang sebelah kiri yang
pada pundaknya memanggul sebuah benda berbentuk
kotak mengkilat. “Andai kena, pasti gadis itu mengemisngemis
pada kita berdua untuk memuaskan hasratnya,
hua-ha-ha!”
“Hua-ha-ha!”
Begitu mendengar suara itu, Jalu segera melepas
pelukan pada Beda Kumala dan keduanya bangkit
berdiri.
Di saat melihat dua orang yang menyerang dengan
senjata rahasia, selebar wajah ayu itu langsung
mengkelap membesi, apa lagi ia mengenal dua orang
pembokong itu.
“Rupanya kalian!” seru Beda Kumala dengan suara
tertahan di leher.
“Benar! Memang kami!” sahut yang mempunyai lilitan
cambuk di pinggangnya. “Kenapa? Kangen, ya?”
Siapa lagi mereka berdua jika bukan Golok Tapak
Kuda dan Cambuk Pemutus Nyawa adanya!
Dalam perjalanan mereka ke Istana Jagat Abadi,
secara tidak sengaja sudut mata Cambuk Pemutus
Nyawa menangkap sekelebatan dua bayangan biru dan
hijau di kejauhan. Segera saja ia mengubah arah tujuan
dan mengejar bayangan tersebut diikuti dengan Golok
Tapak Kuda yang mengekor di belakang.
“Karena sudah ketemu di tempat ini, kami tidak perlu
jauh-jauh ke tempat kalian untuk meminta
pertanggungjawaban atas tewasnya temannya temanku
ini,” kata Jalu enteng sambil ujung tongkat bolak-balik
menuding ke arah dua laki-laki yang kini hanya berjarak
dua tombak saja.
“Pemuda buta! Tempo hari kau bisa lolos dari tangan
kami berdelapan, tapi jangan harap sanggup lolos dari
tangan kami berdua!” sentak Cambuk Pemutus Nyawa
sambil melolos cambuk yang ada di pinggangnya.
“Dasar orang bego! Dengan delapan orang saja, kami
berdua bisa lolos. Masak lolos dari dua tangan kalian
yang tidak pernah dicuci kami tidak bisa?” seloroh Jalu
Samudra sambil terkial-kial.
“Bangsat buta! Sebutkan namamu sebelum kami kirim
kau ke neraka!” bentak Golok Tapak Kuda sambil
mengayun-ayunkan senjatanya.
“Bangsat cebol! Buat apa kau tahu namaku, kalau
sebentar lagi justru kalian berdua yang akan merangkak
ke liang kubur!” balas memaki Si Pemanah Gadis.
“Dasar keparat! Makan golokku!”
Golok Tapak Kuda menyerang sebat setelah memutar
golok yang seketika berubah menjadi lingkaran lebar.
Sinar terang mencuat ke depan ketika golok lebar yang
beratnya ratusan kati menusuk ke arah ulu hati lawan.
Jurus 'Bangau Mencuci Sayap’ yang dikerahkan oleh
Golok Tapak Kuda memang bukan jurus sembarang
jurus. Kehebatannya bukan olah-olah.
Wuuung! Wuung!
Dengungan keras terdengar saat senjata berbentuk
kotak menerjang cepat ke arah Jalu. Akan tetapi, yang
menjadi lawan Golok Tapak Kuda bukanlah bocah
kemarin sore. Sebagai murid dari Dewa Pengemis, tentu
saja mendapat serangan dadakan seperti itu tidak
membuat Jalu keder. Dengan jurus 'Kepiting Beringsut',
Si Pemanah Gadis segera menarik diri ke samping dalam
posisi miring, sambil tangan kanannya yang memegang
tongkat bergerak ke depan meliuk-liuk seperti belut di
pasir.
Wutt!
Meski terlihat sederhana, tapi justru sanggup
memasuki celah-celah dari bayangan golok lawan.
“Edan!” maki Golok Tapak Kuda saat ujung tongkat si
pemuda buta berada dalam jarak dua jengkal dari
dadanya. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak malu
menyandang gelar Golok Tapak Kuda. Laki-laki
berbadan pendek kekar itu segera menarik jurus dan
dalam sekejap mata, badan golok super lebar sudah
menghadang di depan dada.
Tangg!
Benturan antara ujung tongkat dengan badan golok
lebar terdengar keras.

Golok Tapak Kuda terjajar ke belakang beberapa
tindak. Terlihat sekali ke dua tangannya gemetar waktu
memegang golok.
“Sinting! Ilmu apa yang digunakan bocah itu untuk
menghindar tadi? Gerakannya miring ke kiri kanan
seperti kepiting. Lagi pula, tenaga dalam si buta ini hebat
juga. Golokku hampir saja terlepas dari tangan. Siapa
sebenarnya bocah ini?” pikir si laki-laki pendek kekar.
“Golok dan tanganku seperti dirambati semut api.”
“Bagaimana? Masih mau dilanjutkan?” tanya Jalu
sambil menggeser kaki sedikit menyamping dengan
ujung tongkat mengarah ke bawah.
“Hebat juga dia!” puji Beda Kumala dalam hati. “Dalam
satu gebrakan sanggup membuat mundur lawan.”
“Lanjut!” seru Golok Tapak Kuda sambil mengibaskan
golok dari bawah ke atas seperti orang menyapu daun.
Wuung!
Seberkas hawa golok berkiblat cepat.
“Mau adu tenaga? Boleh!”
Tongkat di tangan Jalu dikelebatkan ke depan dari kiri
ke kanan. Segera saja hawa tongkat warna biru kusam
berselang-seling hitam cemerlang menebar, bergerak
memotong dari tengah. Umumnya tokoh persilatan akan
menghindari kontak langsung dalam adu tenaga dalam,
atau setidaknya mereka mencari celah yang bisa
diterobos. Akan tetapi yang dilakukan pemuda bertongkat
hitam ini justru langsung dibenturkan langsung.
“Pemuda nekat!” desis Cambuk Pemutus Nyawa.
Duarr!

Kembali jurus serangan dari Golok Tapak Kuda
kandas, bahkan kini ditambah dengan tubuh kekar itu
terpelanting ke belakang dan jatuh berguling-guling di
tanah.
Cambuk Pemutus Nyawa terlonjak kaget.
“Setahuku, jurus ‘Tangisan Rembulan’ tidak pernah
ada yang sanggup menangkisnya,” batin Cambuk
Pemutus Nyawa dengan mata sedikit membesar,
“Pastilah dia itu berilmu tinggi. Kami harus hati-hati
padanya.”
“Sobat, kau butuh bantuan untuk berdiri?” tanya
Cambuk Pemutus Nyawa pada kawannya.
“Tidak usah!” desis Golok Tapak Kuda sambil bangkit
berdiri, sedang tangan kiri mengusap ke arah hidung.
Ternyata dari dua lubang hidung terlihat darah mengucur,
pikirnya, “Murid siapa sebenarnya pemuda bertongkat
hitam ini?”
“Kau cukup hebat, anak muda!” katanya sambil
mengacungkan ibu jari kiri ke atas,” Tapi sebentar lagi,
kau akan segera mampus,” katanya sambil membalik ibu
jari ke bawah.
“Oh ya?”
“Tentu saja iya!”
Golok Tapak Kuda mengempos seluruh tenaga
dalamnya. Terlihat otot-otot lengannya bertonjolan
seperti ulat hijau yang berkerumun.
“Heeaaa!!”
Diiringi dengan bentakan keras, laki-laki dengan
senjata golok kotak itu segera menerjang ke arah Jalu
Samudra yang berdiri santai menanti serangan lawan.
Kali ini, Golok Tapak Kuda mengerahkan salah satu
jurus golok yang paling diandalkannya, jurus ‘Tarian
Golok Mengacau Kayangan’. Dengan jurus ini, Golok
Tapak Kuda sanggup mencacah-cacah lawan hingga
menjadi ribuan keping daging merah berdarah.
Sebenarnya yang berbahaya bukanlah pada goloknya,
tapi pada hawa golok yang datangnya laksana curahan
hujan badai menerjang.
Sementara itu, Beda Kumala yang melihat tangan kiri
Cambuk Pemutus Nyawa meloloskan cambuk yang ada
di pinggang, langsung membentak, “Satu lawan satu, itu
baru pertarungan jujur namanya!”
Sriing!
Pedang di tangan kanan Beda Kumala langsung
diloloskan dari sarung, terus digerakkan secepat angin
mengincar leher Cambuk Pemutus Nyawa!
“Gadis sundal! Dari dulu sampai sekarang selalu
mengganggu saja kerjaannya! Nih, makan jurus ‘Cambuk
Langit Berawan’-ku!” bentak Cambuk Pemutus Nyawa
sambil memutar-mutar cambuk di atas kepala dan
dikelebatkan kesana kemari disertai bunyi ledakan keras.
Tarr! Tarr! Ctarr!
Beda Kumala yang tidak menyangka lawan begitu lihai
memainkan cambuk, langsung membuang tubuh ke kiri
sambil pedangnya berusaha membabat ke ujung cambuk
lawan yang tengah mengancam pinggangnya.
Criing! Triing!
“Cambuk ini terbuat dari besi,” desis Beda Kumala
setelah pedangnya sedikit gompal.
“Ha-ha-ha! Pedang rongsokanmu mana sanggup
merontokkan jalinan besi yang membungkus cambuk
kesayanganku ini,” kata Cambuk Pemutus Nyawa
dengan angkuh.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, kembali Beda
Kumala menyerang salah seorang dari delapan jago
Istana Jagat Abadi.
Tak pelak lagi, pertarungan terpecah di dua tempat.
Meski baru sembuh dari Racun ‘Ular Karang’ tidak
membuat Beda Kumala keteteran atau tepatnya di bawah
angin, namun yang dihadapi kini adalah salah satu tokoh
silat aliran hitam yang bergelar Cambuk Pemutus Nyawa,
seorang jago silat kawasan selatan yang direkrut oleh
Raja Iblis Pulau Nirwana sebagai pembantunya, tentu
saja tidak memiliki ilmu pasaran. Ilmu cambuknya yang
bernama ‘Cambuk Langit Berawan’ merupakan jurus
simpanan yang paling diandalkan dan ilmu itu pula yang
telah mengangkat namanya sebagai satu tokoh silat yang
diperhitungkan.
Pada jurus ke dua puluh, tubuh mungil si gadis
melenting setinggi lima tombak, kemudian menukik ke
bawah sembari mengelebatkan pedang di tangan kanan
sedang sarung pedang di tangan kiri melakukan gerakan
menotok. Jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim Kemarau’ yang
digunakan gadis itu bukan jurus sembarangan. Jarang
ada tokoh silat yang mampu menangkis serangannya.
Wutt! Wutt!
Ribuan bayangan pedang mengancam dari atas
membuat Cambuk Pemutus Nyawa segera melakukan
gerak pertahanan. Cambuk panjangnya semakin cepat
diputar-putar di atas kepala hingga membentuk perisai
perlindungan yang kokoh.
Criing! Criing!
Trangg!

Beberapa kali benturan keras terjadi tatkala ujung
mata pedang bentrok dengan perisai cambuk yang
dimainkan oleh lawan.
Klangg! Klanggg!
Akan tetapi, serangan jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim
Kemarau’ yang dilancarkan oleh gadis murid Perguruan
Sastra Kumala kandas begitu saja, bahkan totokan
sarung pedang yang membentur perisai cambuk lawan
juga tidak bisa berbuat banyak.
“Ganti jurus!” pekik Beda Kumala yang masih
melayang di udara, segera menginjak sarung pedang di
tangan kiri sebagai batu loncatan untuk melayang lebih
tinggi lagi.
Tapp! Wutt!
Tentu saja, gerakan yang dilakukan oleh Beda Kumala
membuat Cambuk Pemutus Nyawa terpana!
“Bagaimana mungkin ada gerakan seperti itu!?”
desisnya sambil terus memutar-muta cambuknya.
Begitu mencapai tiga tombak lebih tinggi dari
sebelumnya, Beda Kumala kembali menggerakkan
pedangnya membentuk ribuan bayangan pedang yang
semakin lama semakin menggila.
“Huh, jurus yang sama? Siapa takut!” bentak Cambuk
Pemutus Nyawa.
Segera saja, laki-laki ini memperhebat putaran ayunan
cambuknya.
Wuung! Wungg! Wuung!
Sementara itu, jurus yang dilancarkan oleh Beda
Kumala memang kelihatannya sama dengan jurus
sebelumnya, tapi begitu melayang turun sejarak satu
tombak ke bawah, terbersit pancaran hawa pedang tajam
menerjang Cambuk Pemutus Nyawa yang berjumlah
ribuan banyaknya.
Jurus ‘Daun Runtuh Mengguguri Bumi’ memang ada
kemiripan dengan jurus ‘Hujan Gerimis Di Musim
Kemarau’, namun begitu mendekati lawan, barulah
terlihat perbedaannya. Serangannya lebih tajam dan
lebih menakutkan.
Wirr! Wirr!
Cwiss! Cwiss!!
Cambuk Pemutus Nyawa yang meremehkan serangan
lawan harus menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Hawa pedang yang dilancarkan oleh Beda Kumala
ternyata sanggup menembus perisai yang dibangun oleh
salah seorang dari pentolan Istana Jagat Abadi.
Akibatnya, seantero tubuhnya langsung tersayat-sayat
seperti daging dicacah pisau jagal.
Crass! Crass!
“Gadis keparat! Jika aku mati ... kau pun harus
menemaniku ke neraka!” bentak Cambuk Pemutus
Nyawa, “Silahkan cicipi Pukulan ‘Awan Biru’-ku!”
“Heeeaaa ... !”
Disertai bentakan keras, Cambuk Pemutus Nyawa
mendorongkan tangan kiri yang berubah menjadi
kebiruan ke arah lawan sedang tangan kanannya yang
masih memegang hulu cambuk menjentikkan berkali-kali.
Wutt! Wutt!
Sritt! Sriit!
Pukulan ‘Awan Biru’ digunakan bukan pada waktu
yang tepat, namun hasilnya sungguh luar biasa sekali.

Suara deru angin disertai gumpalan asap kebiruan
langsung membersit ke atas, bahkan sanggup
menerobos hawa pedang yang dikerahkan oleh Beda
Kumala.
Beda Kumala yang saat itu masih melayang di udara,
tersentak kaget, “Celaka dua belas!”
Tidak ada waktu untuk menghindar, bahkan untuk
menghimpun kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' juga
tidak sempat. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan
adalah memperhebat serangan hawa pedang ke lawan,
siapa tahu saja sanggup menahan pukulan sakti yang
dilancarkan lawan.
Wutt! Wutt!!
Dhuarr!
Buaghh!
Crasss! Crasss!!
--o0o--
BAGIAN 11
Cambuk di tangan lawan kontan terputus-putus
menjadi ribuan potong, termasuk pula kepala Cambuk
Pemutus Nyawa menggelinding ke tanah dalam kondisi
terbelah kecil-kecil. Orang tanpa kepala tentu nyawanya
tidak bakalan mau lama-lama berada di dalam raga,
apalagi jika berdiri lama-lama!
Bruggh!
Bersamaan dengan rubuhnya Cambuk Pemutus
Nyawa yang tanpa nyawa lagi, Beda Kumala mengikut
melayang jatuh di tanah.

Bruggh!
Gadis itu segera berusaha bangkit dari keterpurukan,
namun baru saja mengangkat kepala, darah kental
kehitaman tersembur keluar dari mulutnya.
“Hoeekk! Hoeekk!”
Rupanya serangan terakhir dari lawan yang berupa
gumpalan asap biru tepat menggedor dada kanan dekat
pundak.
“Aku terluka dalam!” keluhnya sambil tangan kiri
menekan bagian dada kanan. Tiba-tiba matanya melihat
sebuah benda kecil menancap di tangan kiri. “Apa ini?
Senjata beracunkah?”
Cess!
Benda berbentuk serabut warna coklat segera dicabut,
lalu dibuang begitu saja.
“Tidak ada rasa dingin atau panas, bengkak pun juga
tidak ada. Mungkin terkena serabut pohon barangkali,”
pikirnya sambil berusaha duduk bersandar di pohon. “Aku
harus segera menyembuhkan luka dalam ini.”
Sebelum gadis itu duduk bersila, matanya sempat
memperhatikan jalannya pertarungan antara Jalu
Samudra dengan Golok Tapak Kuda.
“Ilmu apa yang digunakan Kakang Jalu? Pergeseran
kaki dan tangan sungguh unik sekali. Kadang miring ke
kiri, kadang miring ke kanan, bahkan tongkat hitamnya
seperti telah menjadi satu jiwa dengan pemakainya.
Benar-benar ilmu yang aneh,” desis lirih Beda Kumala.
“Entah siapa gurunya yang mengajarkan ilmu aneh
seperti itu?”
Sementara Beda Kumala mengobati luka dalamnya
akibat pertarungan dengan Cambuk Pemutus Nyawa,

pertarungan antara Jalu Samudra dan Golok Tapak Kuda
semakin seru dan memanas. Sudah beberapa kali Golok
Tapak Kuda terpental ke belakang akibat adu jurus mau
pun adu tenaga, namun berulang kali pula ia menerjang
lawan dengan sebat.
Meski terlihat seru dan menegangkan, namun
sebenarnya kondisinya tidak seperti yang terlihat.
Si Pemanah Gadis seperti setengah hati dalam
pertarungan, hanya menunggu serangan dari lawan.
Tidak ada inisiatif membuka serangan terlebih dahulu.
Sedangkan lawan, justru terlihat beringas dengan
cecaran hawa dan kelebatan jurus-jurus silat
menggunakan golok persegi.
Brakk! Brakk! Praakk!
Tranggg!
“Baru kali ini aku dapat lawan keras kepala seperti ini,”
pikir si Jalu sambil kirinya bergerak merendahkan tubuh
ke bawah menghindari tebasan golok, sambil tangan
kirinya melancarkan serangan tapak ke arah dada lawan.
Debb!
Dalam waktu sekian detik, lawan sanggup
mengeliminasi serangan tapak Si Pemanah Gadis yang
mendadak datang dengan tinju kiri terkepal sarat tenaga
sakti.
Plakk!
“Uughhh!”
Untuk ke sekian kalinya, Si Golok Tapak Kuda kembali
terjajar ke belakang.

“Gila! Tenaganya semakin lama semakin kuat,”
desisnya dengan terengah-engah. “Rambatan energinya
seperti sengatan kilat semakin menyengat.”
“Anak muda! Siapa kau sebenarnya?” tanya Golok
Tapak Kuda.
“Aku!?” jawab Jalu sambil menunjuk hidungnya, “Aku
ya ... aku! Aku jelas bukan kamu!?”
Jawaban Jalu yang pulang pergi membuat lawan
semakin beringas.
“Bangsat!”
Senjata golok persegi ditarik lurus melintang ke depan.
Dua pasang tangan yang memegang golok terlihat
bergetar lembut, kemudian semakin lama semakin keras.
Jelas sekali bahwa dalam serangan kali ini bahwa Golok
Tapak Kuda berniat memberikan serangan pamungkas
pada lawan.
Keringat sebesar jagung terlihat mengucur deras dari
dahi.
“Kalau kau sanggup menahan jurus terakhirku ini, aku
akan tunduk padamu, anak muda!” seru Golok Tapak
Kuda, “Tapi aku yakin kau tak bakalan sanggup menahan
jurusku ini! Di dunia ini cuma Ketua saja yang sanggup
menahan serangan jurus ‘Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak’ ini!”
“Ooo ... jadi jurus golok terhebatmu ini sudah ada yang
sanggup mematahkannya,” ucap Jalu enteng sambil
menarik bagian tengah tongkat hitamnya. Begitu ditarik,
seutas benang tipis dari kulit ular yang dikaitkan dari
ujung ke ujung terentang kuat, “Jadi ... sudah bukan jurus
terhebat lagi dong?”

“Setan keparat! Silahkan kau pentang bacot
sesukamu!” bentak Golok Tapak Kuda gusar, namun
pengerahan hawa sakti terus meningkat setahap demi
setahap. Begitu mencapai batas maksimal, sekujur tubuh
pendek kekar itu diselimuti cahaya putih yang
membungkus sekujur tubuhnya.
Sriiing!
Perlahan-lahan, pancaran sinar putih menjalar naik
dan pada akhirnya terkumpul di genggaman tangan dan
terus menjalar hingga badan golok memancarkan sinar
putih menyilaukan mata. Semakin lama pancaran sinar
putih membesar, dan berikutnya mendadak bergejolak
seperti ombak di tepi pantai. Bahkan jilatan-jilatan cahaya
itu membuat jarak dua tombak di sekitar Golok Tapak
Kuda seperti pasir pantai yang dihempaskan oleh
gelombang laut pasang.
Srakk! Srakk!
Sementara itu, Jalu sendiri tidak tinggal diam
menunggu serangan lawan seperti yang sudah-sudah.
“Kukira dengan tingkat dua sudah lebih dari cukup
untuk menghajar adat si pendek ini,” kata hati Si
Pemanah Gadis sambil mengerahkan tingkat dua dari
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’.
Dihimpunnya kekuatan tenaga kilat yang berasal dari
sepasang buah Naga Kilat dan diikuti dengan
melontarkan hawa panas matahari dari pusar yang
berasal Bibit Matahari yang semuanya telah bersatu raga
dengan murid tokoh silat masa lima ratus tahun silam ini.
Swoshh! Swoshh ... !!
Sebentuk hawa biru bening merambat keluar hingga
pada tangan kanan dan kiri, lalu menggumpal

membentuk mata anak panah berbentuk kepala burung
rajawali yang juga memancarkan cahaya biru bening
sepanjang setengah tombak lebih. Sebenarnya, dengan
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, Jalu Samudra
sanggup membuat sembilan mata anak panah sekaligus.
Namun untuk menghadapi lawan seperti Golok Tapak
Kuda, Jalu Samudra memutuskan untuk menggunakan
satu anak panah saja.
Sementara itu, Beda Kumala sudah sembuh tiga
perempat bagian. Dan begitu ia membuka mata, gadis
murid Perguruan Sastra Kumala takjub melihat tontonan
tataran olah kanuragan yang tergelar gratis di depan
mata.
“Baru pertama kali kulihat orang membuat senjata
dengan pancaran hawa tenaga dalamnya,” pikir Beda
Kumala takjub sambil bangkit berdiri dari duduk
bersilanya, “Menurut Nyai Guru Tirta Kumala, hanya
orang pilih tanding saja yang mampu melakukannya hal
mustahil seperti itu.”
Jalu Samudra sendiri memutuskan untuk
mengerahkan jurus ‘Rajawali Meniti Pelangi’ yang
merupakan jurus ke tiga dari '18 Jurus Panah Hawa' dari
Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa
Pengemis untuk menghadapi jurus lawan.
Tentu saja apa yang dilakukan Jalu Samudra
membuat lawan juga terhenyak.
“Mustahil! Bagaimana mungkin ini bisa terjadi!?” desis
Golok Tapak Kuda dengan mata terbelalak.
Hatinya sempat tergetar melihat tataran ilmu yang
digunakan pihak lawan. Akan tetapi, sebagai salah satu
tokoh persilatan yang sudah lama malang melintang

puluhan tahun lamanya, tidak membuat Golok Tapak
Kuda mundur dari arena pertarungan.
“Cuma panah sekecil itu mana sanggup menahan
jurusku!” ejek Golok Tapak Kuda, lalu sambungnya,
“Terima jurus golokku ini! Heaaa ... !!”
Diiringi dengan teriakan penambah semangat, Golok
Tapak Kuda mendorongkan golok perseginya dengan
dorongan kuat ke depan.
Wutt! Wussshh ... !
Seberkas cahaya putih terang menebar hingga dua
tombak lebarnya. Tanah di sekitar pancaran sinar putih
yang berasal dari jurus ‘Gelombang Pasang
Mempermainkan Ombak’ yang dilepas dengan tenaga
penuh membuat tanah terkelupas bagaikan ada tikus
tanah raksasa yang sedang menggali liang, menggebah
deras ke arah Jalu Samudra seakan-akan ini menelannya
bulat-bulat.
Melihat lawan mengawali serangan, Jalu tetap tenangtenang
saja.
“Mari kita adu, mana yang lebih hebat, jurus
‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ atau jurus
‘Rajawali Meniti Pelangi’ milikku,” ucap Jalu, lalu dengan
sedikit tarikan tangan kanan yang semakin
mengencangkan busur, lalu melepaskan tali busur
terentang.
Srett!
Twanggg ... !
Begitu dilepas, lontaran anak panah biru bening
berubah bentuk menjadi burung rajawali yang melesat
cepat dan dibawahnya terlihat pancaran sinar tujuh

warna, sekilas terlihat seperti seekor burung rajawali
yang memekik-mekik yang meniti pelangi di angkasa.
Kwaarkk! Kwaarkk!
Benar-benar jurus yang indah, namun berbahaya bagi
lawan!
Dhuaarr! Dhuaarr!!
Terdengar suara ledakan keras yang memekakkan
telinga saat hawa sakti yang dilepas masing-masing
lawan saling bentrok di udara kosong.
Buuumm!! Bummm ... !!
Di seantero pertarungan dalam jarak belasan tombak
bagai dilanda gempa bumi skala sedang. Beberapa
pohon terlihat bergetar keras, kemudian bertumbangan
menimbulkan suara derak bisa menulikan gendang
telinga.
Krakk! Krakk!
Brakkk!!
Beda Kumala sendiri meski sudah siap dengan jurus
peringan tubuhnya, tetap terpelanting ke belakang
laksana dilemparkan oleh tangan-tangan gaib.
Brakk!
“Ughh! Patah punggungku!” keluhnya tatkala
punggungnya membentur pohon yang tumbang malang
melintang tak karuan. Dengan susah payah, akhir ia
sanggup berdiri, meski tangan kiri harus bersitekan pada
batang pohon yang rubuh.
Kembali ke pertarungan ...
Jalu Samudra masih tegak dengan posisi semula,
dengan tangan kiri masih memegang busur tongkat hitam

sedang tangan kanan masih dalam posisi seperti
melepas anak panah. Tidak ada yang berubah sama
sekali, tetap seperti sebelumnya. Sedang Golok Tapak
Kuda justru terjajar ke belakang hingga tanah di bawah
kakinya membentuk lekukan memanjang ke belakang.
Dari lima panca indra di tubuhnya keluar leleran darah
kental kehitaman berbau sangat. Jelas sekali bahwa
organ dalam tubuhnya terluka parah. Mungkin
kesempatan untuk hidup hanya tinggal satu dua bagian
saja. Andaikata ia selamat, ia pasti jadi orang cacat
seumur hidup.
Golok persegi ditangannya pelan tapi pasti terkikis
menjadi bubuk halus dan akhirnya seluruh badan golok
musnah, lenyap tertiup angina, termasuk pula dengan
gagang golok yang ikut menyerpih, membuat laki-laki
pendek kekar ini berkata dalam keterkejutan.
“Golok kesayanganku ... ” desisnya dengan mata
nanar, “Golokku ... ”
Rasa kehilangan benda kesayangan menyeruak dari
dalam jiwanya. Golok persegi yang mengangkat
namanya dengan julukan Si Golok Tapak Kuda, senjata
yang selama hidupnya telah menemaninya, kini telah
hilang musnah. Tiba-tiba sorot matanya berubah
beringas seperti mata beruang yang kehilangan anaknya.
“Kembalikan golokku!”
Golok Tapak Kuda dengan menggembor marah,
melesat ke depan. Meski dalam keadaan terluka parah,
namun Golok Tapak Kuda tidak malu dianggap sebagai
salah satu tokoh hitam yang di perhitungkan.
Gerakkannya masih gesit dan bertenaga.
Debb! Debb!

Meski tanpa senjata, tapi sisa-sisa energi dari jurus
‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ masih
ada. Bahkan daya tekannya lebih dahsyat dari pada
menggunakan golok. Kali ini jurus lanjutan dari jurus
‘Gelombang Pasang Mempermainkan Ombak’ yang
bernama jurus golok ‘Gelombang Badai Silih Berganti
Menindih Dan Menerpa’ di ubah menjadi jurus pukulan
maut menerjang keras ke arah Si Pemanah Gadis.
Wutt! Wutt!
Sepasang kepalan tangan bergerak cepat membentuk
bayangan pukulan. Namun bagaimana pun juga, sisa
tenaga yang ada paling tinggi sampai tiga bagian saja,
dipaksakan sekeras apa pun juga tidak akan bertambah
banyak.
Melihat serangan nekat lawan, Jalu tanpa bersuara
segera menghindar kesana kemari dengan jurus ‘Kilat
Tanpa Bayangan’. Sosoknya kadang melejit ke atas,
kadang berputar ke bawah bahkan berkelit ke kiri dan
kanan menghindari sergapan lawan.
Tiba-tiba saja, Jalu berkelebat ke depan, tidak
menghindari serangan lawan tapi justru memasuki
daerah pukulan yang dilancarkan Golok Tapak Kuda.
“Mampus kau!” bentak Golok Tapak Kuda sambil
mengelebatkan tangan kanan ke kiri.
Wutt!
Luput!
Jalu menundukkan kepala sambil tangan kiri meraih
pinggang lawan dari arah belakang.
Sett!
“Apa yang kau lakukan!?” sergah Golok Tapak Kuda
kaget.

Begitu Golok Tapak Kuda berada dalam pelukan Jalu,
tangan kanan yang memancarkan cahaya biru bening
bergerak meremas ke arah dada kiri Golok Tapak Kuda
sambil berkata, “Selamat tinggal, sobat!”
Krakkk!
“Aaaacchh ... ”
Si pendek kekar menjerit keras saat tulang iganya
berderak hancur dan melesat masuk ke dalam dada
setengah jengkal dan tentu saja jantungnya langsung
terkoyak oleh patahan iga.
Rupanya Si Pemanah Gadis yang mengetahui kondisi
lawan sudah tidak bisa diselamatkan lagi, segera
mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan
lawan. Dengan salah satu jurus dari ‘30 Jurus Asmara
Pemanah Gadis’ yang bernama ’Memeluk Pinggang
Meremas Dada’ disertai hawa sakti dari Ilmu 'Tenaga
Sakti Kilat Matahari' tingkat dua, nyawa Golok Tapak
Kuda keluar dari raganya dengan sukses!
Namun, sebelum melepas nyawa, Golok Tapak Kuda
sempat bertanya, “Sia ... pa nama ... mu?”
“Kau boleh menyebutku ... Si Pemanah Gadis,” bisik
lirih Jalu Samudra.
“Rupa ... nya ... kau ... ”
Kepala Golok Tapak Kuda langsung terkulai!
Dengan pelan, Jalu Samudra meletakkan jenazah
Golok Tapak Kuda di tanah, gumamnya, “Maaf, sobat!
Aku terpaksa membunuhmu dari pada dirimu tersiksa
yang membuatmu setengah hidup setengah mati.”
--o0o--

BAGIAN 12
Beda Kumala berlari kecil menghampiri Jalu Samudra
yang sedang meletakkan raga tanpa nyawa Golok Tapak
Kuda. Sekujur badan si cantik mungil ini penuh keringat,
selain karena hawa panas siang hari, juga baru saja
mengerahkan hawa inti ‘Air Panas Tenaga Surya’ untuk
membantu penyembuhan luka dalam.
“Bagaimana kondisinya, Kakang?” tanya Beda Kumala
begitu sampai dengan napas sedikit memburu.
“Ia tewas.”
“Kakang membunuhnya?”
“Aku terpaksa melakukannya, Beda. Sebab luka dalam
yang dialaminya teramat parah. Dari pada menanggung
sakit derita berkepanjangan lebih baik aku sudahi saja
hidupnya,” desah Si Pemanah Gadis, “ ... padahal
sebenarnya aku berniat mengorek keterangan tentang
gurumu yang menghilang.”
“Lawanku juga tewas, Kakang,” tutur gadis berbaju
hijau itu, “Padahal awalnya aku juga punya niatan yang
sama denganmu. Namun, nasi telah menjadi bubur, apa
yang bisa kita perbuat jika sudah begini?”
Jalu hanya mengangguk pelan.
“Kita kuburkan mereka,” ucap Jalu.
Siang itu juga mayat Golok Tapak Kuda dan Cambuk
Pemutus Nyawa di kubur di tempat itu pula. Karena
kondisi kepala mayat Cambuk Pemutus Nyawa yang
menjadi serpihan daging kecil, membuat Jalu Samudra
dan Beda Kumala sedikit sibuk.
Sambil bersungut-sungut, pemuda berkuncir ekor kuda
itu berkata, “Uuhh ... besok lagi kalau mau buat mayat,

kepalanya jangan dibuat kecil-kecil begini, susah
menguburnya ... ”
Beda Kumala hanya meringis saja tanpa menjawab.
Setelah selesai mengubur dua mayat pengikut Istana
Jagat Abadi, mereka berdua segera meninggalkan
tempat itu.
Saat berada tepat berada di luar hutan, hawa mulai
berubah. Terik sinar matahari terasa lebih menyengat
dari pada dalam hutan.
“Fyuhh ... capek juga ... ” kata si gadis, sambil tangan
kanan memegang kerah baju kiri dan dikibas-kibaskan,
“Hawa siang ini begitu panas menyengat, sampai
tubuhku bersimbah keringat begini.”
Tentu saja Jalu Samudra yang ada di samping
kanannya dapat tontonan gratis. Sebentuk pemandangan
indah terbentang di sela-sela kerah baju Beda Kumala
yang sekarang semakin ketat membasah berkeringat.
Sebentuk penutup dada ukuran sedang terisi dengan
sempurna oleh gelembung payudara putih dibalik baju
seragam hijaunya.
“Benar. Aku sendiri juga merasa gerah,” kata Jalu
sambil menyeka keringat di dahinya. Tentu saja
gerahnya Jalu tidak sama dengan gerahnya gadis cantik
di sampingnya.
“Iya. Apalagi setelah ... oupss,” tiba-tiba gadis itu
menyadari bahwa pemuda di depannya sedang menatap
kedua payudara yang kelihatan jelas dari balik kancing
baju yang terlepas di urutan paling atas. Hampir saja ia
membentak kalau tidak menyadari bahwa pemuda yang
ada disampingnya itu buta. Akhirnya ia biarkan saja
tanpa membetulkan kerah bajunya.

“Untung saja ia buta,” pikirnya menerawang. “Duuh ...
kancingnya pakai acara lepas, lagi?”
“Bagaimana kalau kita duduk sebentar di bawah
pohon itu. Sekalian melepas lelah.”
“Emm ... boleh juga.”
Keduanya segera duduk di atas sebatang kayu yang
melintang.
“Kakang, aku bingung dengan ilmu silat yang tadi kau
gunakan untuk bertarung dengan Golok Tapak Kuda,”
ucap Beda Kumala mengawali pembicaraan. “Benarbenar
aneh dan membingungkan gerakannya.”
“Apanya yang kau bingungkan?” Jalu bertanya sambil
melirik wajah gadis di sebelahnya, pikirnya, “Wooow,
rupanya seorang bidadari mungil yang duduk
disebelahku, wajahnya sungguh cantik. Bibir tipis
kemerahan, hidung mancung dengan sepasang alis mata
hitam melengkung tipis di atas matanya yang bulat
bersinar. Belum lagi dengan sepasang bukit kembar yang
menggelembung sempurna. Benar-benar yang makhluk
menawan.”
“Kulihat gerakan tongkat hitammu selalu menebas
atau menusuk dari arah samping, tidak pernah dari
depan atau belakang. Apa lagi gerak langkah yang miring
ke kiri ke kanan tak tentu arah,” kata Beda Kumala, “Baru
kali ini aku melihat ilmu silat seaneh itu.”
“Sebenarnya aneh atau tidak, itu tergantung seberapa
sering kau melihatnya.”
“Tapi tetap saja aku merasa aneh dengan jurusmu itu.
Apalagi dengan anak panah warna biru yang kau
lepaskan tadi, benar-benar mengagumkan,” sambung
Beda Kumala dengan sinar mata berbinar, lalu

tambahnya, “Tak kuduga jika Kakang Jalu ternyata
pemuda berilmu tinggi.”
“Kau sendiri juga hebat, Beda.”
“Tapi lebih hebat Kakang Jalu,” tukas Beda Kumala,
lalu dengan pandangan ingin tahu, imbuhnya,
“Memangnya ... jurus yang Kakang kerahkan tadi apa
namanya?”
“Yang miring-miring itu?”
“Ya.”
“Sebenarnya jurus tadi adalah gabungan antara ilmu
tombak dengan ilmu tongkat yang aku pelajari dari
mendiang kakek nenekku,” tutur Jalu samudra, “Jurus ini
sementara hanya diriku yang menguasainya. Namanya
Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’.”
“Ilmu Silat ‘Kepiting Kencana’? Pantas saja
gerakannya miring-miring seperti kepiting,” desis Beda
Kumala dengan senyum geli. “Jika boleh tahu, siapa
nama kakek nenekmu itu, Kang?”
“Aku sendiri tidak tahu pasti siapa namanya, hanya
saja mereka dijuluki dengan Tombak Utara Tongkat
Selatan ... ”
“Tombak Utara Tongkat Selatan ... ” desis Beda
Kumala.
“Apa kau mengenalnya?”
“Tidak juga. Hanya dari Nyai Guru, kupernah
mendengar bahwa di rimba persilatan pernah tersiar
kabar bahwa Tombak Utara Tongkat Selatan adalah
sepasang suami istri aliran lurus yang banyak berbuat
kebajikan. Bahkan mereka termasuk tokoh silat papan
atas meski tidak bisa dikatakan dalam jajaran jago silat
nomor satu. Bahkan kabar terakhir, selama puluhan

tahun ini mereka jarang menampakkan diri, mungkin
karena usia tua atau ... ”
“Sekarang mereka berdua sudah meninggal,” potong
Jalu Samudra.
“ ... atau sudah meninggal ... ” kata lanjut Beda
Kumala, “Hanya saja, tidak ada yang tahu dimana
adanya sepasang pendekar budiman ini mengasingkan
diri.”
“Kakek nenekku selama hayat mengasingkan diri di
Gua Walet,” Jalu berkata membuka cerita, “Mereka
adalah orang yang paling kusayangi. Meski cuma orang
luar ... ”
“Orang luar?” potong Beda Kumala, heran.
“Mereka sebenarnya bukan kakek nenekku yang
sejati, tapi cuma kakek nenek angkat saja ... ”
“Terus orang tuamu dimana?”
“Menurut penuturan kakek, aku ditemukan di tengah
laut lepas, dimana sehari sebelumnya sebuah bencana
melanda beberapa desa di pesisir laut hingga hancur
akibat terjangan badai laut raksasa dan di hari
berikutnya, nenek menyelidiki kemungkinan adanya
warga desa yang selamat, akan tetapi tidak ada satu pun
yang tersisa dari mereka,” tutur Jalu mengenang jati
dirinya, “Dan karena saat bayi mereka menemukanku di
tengah laut dan di leherku tergantung taji ayam, maka
kakek memberiku nama Jalu Samudra.”
Beda Kumala mengangguk-angguk pelan.
“Boleh aku bertanya satu hal?” tanya Beda Kumala,
kali ini nadanya sedikit bergetar seperti menahan
sesuatu.
“Tanya saja.”

“Tentang kebutaan matamu, apakah ... ”
“Sejak masih bayi. Memangnya kenapa?” tanya Jalu
Samudra sambil bersandar ke batang pohon.
Beda Kumala memutar badan ke kiri, lalu tangan
kanannya digoyang-goyangkan pulang pergi di depan
mata Si Pemanah Gadis.
“Kamu ini ngapain, sih?” tukas Jalu dengan dahi
berkerut.
“Pendengarannya hebat. Pantas dia sanggup
menumbangkan Golok Tapak Kuda,” batin Beda Kumala.
“Jika bukan karena pendengaran yang super tajam,
mana mungkin dia bisa tahu kalau aku mengibasngibaskan
tangan di depan matanya.”
“Kenapa bengong?” tanya Jalu Samudra sambil
memalingkan wajah ke kanan. Lagi-lagi matanya melihat
celah-celah aduhai disela-sela kerah baju Beda Kumala,
pikirnya, “Kalau begini terus-terus, bisa kumakan dia!”
“Ahh ... enggak. Aku hanya bisa merasakan kalau
dalam kehidupan Kakang pasti penuh kegetiran.”
“Tidak juga!”
“Tidak?”
“Karena aku sendiri menikmati apa saja yang melekat
pada diriku ini. Tidak pernah satu kali pun dalam hidupku
menghujat Yang Pencipta. Dia menciptakan mahkluk
pasti dengan tujuan mulia,” ujar Jalu Samudra,
sambungnya, “ ... nenek pernah bilang begini, ‘seorang
anak manusia tidak mungkin mengalami cobaan berat
yang tidak mampu ia jalani, sebab Yang Kuasa pasti
sudah memberikan jalan keluar untuk setiap cobaan yang
diberikan kepada anak manusia. Dan yang pasti, tidak
mungkin Yang Kuasa memberikan cobaan tidak sesuai

dengan kemampuan anak manusia itu sendiri. Apa pun
itu bentuk dan caranya pasti ada penyelesaian masingmasing.’
Kata-kata itulah yang membuat diriku seperti
mendapat cambuk penyemangat agar tidak pernah putus
asa. Dalam setiap masalah yang menghadang seberat
apa pun, pasti ada jalan keluarnya masing-masing. Dan
hal itu aku yakini hingga sekarang.”
Beda Kumala termenung mendengar penjelasan
panjang lebar dari pemuda berbaju biru itu. Jika
sebelumnya mengenai tentang cinta, kini justru
membahas tentang pandangan hidup si pemuda. Tidak
disangkanya bahwa pemuda yang menurutnya buta,
ternyata memiliki pandangan hidup yang begitu dalam
dan luas. Tidak ada keluh kesah dalam kamus hidupnya.
Jika dibanding dengan dirinya, bedanya seperti air laut
dengan air selokan. Dirinya yang selalu mengeluh jika
ada masalah yang terbentang lebar di depannya, selalu
berusaha mencari pelarian tanpa mencari solusi. Tidak
pernah bertanya apa dan mengapa masalah itu bisa
timbul dan menimpa dirinya. Selalu saja orang lain yang
membantu menyelesaikan masalahnya, bukan dirinya.
Betapa kecilnya ia di hadapan pemuda buta itu
sekarang!
“Aku harus berubah mulai dari sekarang,” pikir Beda
Kumala, “Aku tidak bisa terus seperti ini. Pasrah jika ada
masalah menghadang, lari jika tidak menyelesaikannya.
Seberapa jauh aku menghindar, masalah selalu saja
mengikuti kemana saja. Tampaknya aku harus belajar
banyak dari Kakang Jalu.”
“Apa yang kau pikirkan sekarang? Sedang mengurai
setiap masalah yang menimpamu, ya?” tebak Jalu.

Dengan sedikit merengut, dia berkata, “Memangnya
Kakang Jalu ini cacing yang ada di perutku, ya? Sok
tahu!”
“Ha-ha-ha!”
Jalu Samudra tertawa tergerai saat melihat bibir merah
Beda Kumala meruncing.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” sergah Beda
Kumala dengan sedikit melotot.
“Ada.”
“Apa?”
“Kalau aku seperti cacing di dalam perutmu, mungkin
sekarang aku sudah minta jatah.”
“Minta jatah?”
“Ya. Sebab dari tadi kudengar perutmu ‘kruak-kruek’
tanpa bisa dikendalikan,” sahut Jalu sambil tertawa
terpingkal-pingkal.
“Dasar sinting!” seru Beda Kumala sambil tangan
kanan-kiri memberikan cubitan-cubitan tajam di lengan
Jalu, tentu saja tidak keras, cenderung mesra malah.
Tentu saja jalu berteriak-teriak kesakitan mendapat
serangan jari-jari lentik Beda Kumala (meski cuma purapura
sakit sih).
Perlahan namun pasti, rona muka Beda Kumala
memerah. Tentu saja perubahan wajah gadis di
depannya dapat terlihat dengan jelas oleh Jalu. Tapi
sedapat mungkin Jalu berpikir bahwa hal itu mungkin
saja terjadi kala si gadis sedang bersenda-gurau
sehingga rona mukanya menjadi memerah. Akan tetapi,
makin lama justru makin merah saja, dan hal ini ternyata
tidak disadari oleh Beda Kumala yang masih asyik
mencubiti lengan Jalu Samudra.

Akhirnya, tanpa dapat di tahan lagi, mulut Jalu pun
terucap, “Tunggu sebentar, Beda. Aku melihat ada yang
aneh pada dirimu.”
Beda Kumala terperanjat, “Apanya yang aneh?”
“Apa kau selalu bermuka merah merona seperti itu jika
dekat dengan laki-laki?”
Tanpa sadar, Beda Kumala memegang ke dua pipinya
yang halus, sambil berkata, “Tidak. Tidak pernah.
Memangnya mukaku semerah itu, ya? Perasaan aku
baik-baik saja.”
“Apa kau sedang ... maaf ... dilanda birahi?” tanya Jalu
dengan hati-hati. “Maksudku ... ingin bercinta, begitu!?”
“Aku?” kata Beda Kumala menunjuk hidungnya
sendiri.
Jalu hanya menganggukkan kepala.
“Tidak juga,” sahutnya, namun saat mengatakan hal
itu, darah dalam raga cantik Beda Kumala berdesir
lembut, “Edan! Perasaan apa ini? Kenapa rasanya aku
ingin sekali dibelai oleh laki-laki di depanku ini? Janganjangan
memang benar aku sedang birahi?”
Jalu termenung sambil berpikir, “Jelas sekali ia sedang
mengalami hal itu. Tapi kenapa bilang tidak? Aneh! Atau
jangan-jangan ia keracunan waktu sedang bertarung
dengan Cambuk Pemutus Nyawa tadi? Aku harus tanya
sejelas-jelasnya pada si mungil ini.”
“Sewaktu bertarung tadi, apakah lawanmu
menggunakan senjata beracun atau sejenisnya?” tanya
murid Dewa Pengemis.
“Tidak,” sahut Beda Kumala, “Memangnya ada apa,
Kakang Jalu? Dari tadi pertanyaanmu aneh terus.”

Sambil membetulkan letak duduknya, Jalu pun mulai
berkata, “Begini! Dari tarikan napasmu, aku merasakan
kalau kau sedang mengalami sesuatu. Meski lembut
sekali, tapi aku merasa kalau saat ini kau sedang
keracunan sesuatu atau jika tidak sedang dalam tahap
pencapaian nafsu ragawi,” tutur Jalu Samudra.
“Yang benar?” tanya Beda Kumala dengan mimik
muka tidak yakin.
“Boleh aku pegang tangan kirimu?”
“Untuk apa?”
Meski bertanya begitu, toh Beda Kumala
mengangsurkan tangan kirinya juga.
Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Jalu
diluruskan, kemudian ditempelkan pada urat besar yang
ada di tangan kiri. Dari bawah pusar, mengalir lembut
sebentuk tenaga yang menyusup masuk ke dalam urat
besar di tangan kiri.
Begitu disentuh, sekujur tubuh Beda Kumala langsung
bergetar aneh.
“Apa-apa’an ini?” pikir Beda Kumala.
“Denyut nadimu mulai memburu, jalan darah bergerak
cepat dan tiga perempat bagian darah dalam tubuhmu
bergejolak,” ucap Jalu, lalu sambungnya, “Bahkan
sekarang dengusan napasmu mulai tersengal-sengal.”
Jalu menarik kembali tangan kanannya, bersamaan
dengan serangkum hawa hangat yang asalnya dari
hidung dan hembusan napas mulut Beda Kumala
menerpa wajah Jalu.
“Coba kau ingat-ingat, mungkin ada senjata rahasia
atau apa sajalah yang menempel di tubuhmu atau
dimana pun. Pokoknya apa saja yang pernah menempel

atau menancap,” ucap Jalu Samudra kemudian. “Dari
deteksi jalan darah, kalau tidak dalam birahi tinggi, kau
menderita keracunan, Beda.”
“Racun?” gumam Beda Kumala, sambil berusaha
meredakan dengusan napasnya.
Gadis itu memeras otak, berusaha membuka lipatanlipatan
ingatan yang ada di kepala, terutama dengan
pertempuran maut melawan Cambuk Pemutus Nyawa.
Namun setelah berpikir pulang-pergi, tidak ada yang
terlewatkan sama sekali di otaknya.
“Tidak ada, Kakang ... tidak ada ... ” jawab Beda
Kumala. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, sesuatu yang
menancap di tangan kirinya. Tanpa sadar, ia mengelus
tangan yang terkena serabut kayu, katanya, “Oh ... i ya!
Waktu aku sedang menyembuhkan luka dalamku, ada
sebuah benda kecil menancap di tangan kiriku.”
“Bentuknya seperti apa?”
Seperti bergumam, gadis itu berkata lirih, “Seperti apa
ya? Emm ... mungkin bisa dikatakan seperti ... serabut ...
ya ... serabut kayu warna coklat yang segera kucabut,
karena bentuknya cuma kecil. Setelah itu kubuang.”
“Serabut kayu?”
“Betul.”
“Apa kau tidak merasakan tanda-tanda keracunan
yang aneh? Pusing misalnya?”
Beda Kumala menggeleng. Beberapa saat kemudian,
barulah Beda Kumala menyadari bahwa tubuhnya terasa
hangat di bawah pusar, tepatnya di gerbang istana
kenikmatan miliknya.
Tiba-tiba Jalu melihat sebuah urat warna hijau di
lengan kiri gadis murid Perguruan Sastra Kumala.

“Celaka!” desisnya, “Kalau dibiarkan saja, aliran
darahnya bisa meledak sewaktu-waktu. Aku harus
bertindak cepat.”
Jalu segera bangkit berdiri dan mengambil keputusan
cepat, lalu meraih tangan Beda Kumala sambil berkata,
“Kita harus cari penginapan. Penyakitmu harus segera
disembuhkan atau kau akan mati dengan tubuh hancur
berantakan!”
Tanpa sepatah kata pun, Beda Kumala mengikuti
tarikan tangan si pemuda.
--o0o--
BAGIAN 13
Cuaca menjelang sore masih panas meski tidak
menyengat. Suasana saat keluar dari hutan belantara
yang sejuk dan kini masuk ke sebuah pedesaan, berubah
drastis. Terasa lengang, hanya orang yang tampak lalu
lalang sambil berkipas-kipas. Mungkin merasakan
panasnya sengatan sinar matahari sehingga harus cari
angin di luaran.
Terlihat Beda Kumala juga mengipasi lehernya dengan
telapak tangan karena kepanasan, sampai-sampai baju
hijau yang masih melekat di tubuh membasah hingga
mencetak indah lekuk tubuhnya. Sepintas terlihat tampak
sangat menggairahkan dengan kerlip keringat di wajah.
Belum lagi dengan rona merah matang yang semakin
kentara, membuat nuansa romantis tercipta dengan
sendirinya.
Sesuatu dalam diri pun mulai Jalu Samudra
bergejolak.

“Kurasa aku rindu bercinta yang benar-benar bercinta,”
kata dalam hatinya.
“Kita cari penginapan untuk menyembuhkan lukamu
dulu,” kata Jalu Samudra.
“Aku sudah cukup sehat, Kakang.”
“Tapi wajahmu semakin merah matang seperti itu. Aku
takut kalau benar-benar kau menderita keracunan,” tutur
Jalu sambil memandang lekat-lekat wajah Beda Kumala.
“Wajahku semakin memerah?” tanya Beda Kumala,
heran.
Seakan menyadari sesuatu, Jalu berkelit dengan
manis, “Dengus napasmu terdengar memburu, itu adalah
salah satu tanda orang keracunan. Dan kalau orang
keracunan salah satu tanda yang lain adalah wajahnya
merah matang macam tomat.”
Beda Kumala mengangguk pelan saja.
Akhirnya mereka memilih penginapan yang ada di
desa itu. Saat membuka pintu kamar, Si Pemanah Gadis
bersin beberapa kali begitu menghirup debu yang
berhamburan keluar.
Hatchiing! Hatchiing ... !
“Hi-hik-hik!”
Beda Kumala terkikik geli melihatnya.
“Sialan! Kalau pemilik penginapan ini kesini bakalan
aku semprot habis-habisan dia,” gerutu Jalu. “Kamar
bersih apanya? Debu hampir satu jengkal begini dibilang
bersih. Bah!”
Kembali Beda Kumala tertawa renyah.

Begitu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu,
Jalu segera melangkah ke ruang tengah, sambil berkata,
“Lebih baik kau duduk di atas dipan sana. Aku bantu
menyembuhkan lukamu.”
Belum lagi suara menghilang dari tenggorokan,
mendadak saja Beda Kumala merangkul dari belakang.
“Wah, wah, ada apa nih,” protes Jalu.
Tak ada sahutan dari Beda Kumala, yang terdengar
hanyalah dengusan napas memburu saja disertai
pelukan yang semakin erat. Tonjolan besar di dada gadis
itu menekan punggung Jalu.
“Edan! Jangan-jangan anak ini benar-benar terkena
racun birahi,” pikir Jalu sambil berusaha melepaskan diri,
“Atau malah mungkin dia terkena apa yang namanya
Serabut Maut yang seperti diucapkan Golok Tapak Kuda
tadi, ya? Masa’ hasilnya seperti ini!?”
Jalu segera menyentuh nadi tangan kiri Beda Kumala.
“Pembuluh darahnya berdenyut terlalu cepat,” pikirnya,
“Dia benar-benar kena racun birahi!”
Jalu membiarkan saja tangan gadis itu menjelajah
kemana-mana.
“Cuma ada satu solusi untuk masalah ini. Jika ditotok
jalan darahnya pasti ada pembalikan hawa,” pikirnya,
“Kukira tidak ada solusi lain selain hal itu.”
Si Pemanah Gadis tahu betul, bahwa gadis yang
terkena racun birahi tidak ada obat yang paling manjur
dan ampuh selain bercinta dengan lawan jenisnya pula.
Diobati dengan hawa murni atau ramuan obat apa pun
juga tidak akan berguna. Hanya saja Jalu Samudra tidak
tahu apa jenis racun birahi yang berada di dalam tubuh
Beda Kumala dan seberapa kuat daya kerjanya.

“Yach ... apa boleh buat ... sekali-sekali diperkosa
gadis juga tidak ada jeleknya,” desis Si Pemanah Gadis,
membiarkan saja tingkah polah gadis yang
menggerayangi dirinya.
Tangan gadis itu lalu turun dan jemarinya masuk
bergerilya kemana-mana.
Jalu segera membalik tubuh dan membalas memeluk
mesra Beda Kumala dengan segenap perasaan. Jalu
sendiri sempat terheran-heran mendapati pilar tunggal
penyangga langit menegang begitu cepat.
“Kurasa baju hijaunya yang basah oleh keringat itu
membuat daya khayal asmaraku cepat berkembang,”
pikirnya sambil tangan kanan meremas-remas dada
membusung Beda Kumala, “Sudahlah! Toh, bercinta
merupakan sesuatu yang menyenangkan.”
Sedang Beda Kumala merasakan kekagetan.
“Benda apa ini yang menempel di perutku? Apa
mungkin ... ” pikir si gadis.
Belum lagi ia menurunkan tangan kiri ke bawah, Si
Pemanah Gadis telah melancarkan serangan pertama.
“Hmmm ... ” Jalu langsung melumat bibir merah
merekah yang seolah disodorkan dengan pasrah sambil
memeluk pinggang si gadis erat-erat sampai ia terengahengah.
Bau keringat yang keluar dari tubuh Beda Kumala
membuat darah muda Si Pemanah Gadis mengalir
semakin cepat.
“Kau berkeringat,” bisik Jalu di bibirnya.
“Aku ... mhh ... ini gara-gara nahan kelamaan,” Beda
Kumala balas berbisik.
Jalu tertawa, sambil berpikir, “Aku harus bertindak
cepat. Tidak ada waktu untuk main-main sekarang ini.”

“Sekarang balik belakang,” kata Jalu seraya
merapatkan tubuh gadis mungil baju hijau ke dinding
kamar.
Beda Kumala menurut. Saat ia hendak melepas baju
hijaunya, Jalu berbisik, “Jangan dilepas. Pakai saja
bajumu.”
Beda Kumala tersenyum saja.
“Kamu suka dengan begini ya, Kang,” katanya
setengah mendesah.
“Kau lebih merangsang kalau begini," ucap Jalu
Samudra.
Saat itu, baju hijaunya yang basah sudah membasahi
pakaian biru si pemuda. Rambutnya yang basah karena
keringat membuat ia tampak sangat menggairahkan di
mata Si Pemanah Gadis.
Si Pemanah Gadis segera melipat kaki ke bawah dan
berjongkok di belakang, sambil jari tangannya meraba
lembut bagian kaki yang masih terbalut celana,
sementara jari tangan kiri bergerak-gerak tak sabar,
sedang tangan kanan menurunkan sedikit celana Beda
Kumala. Setelah itu, ditekan sedikit jemari ke dalam
lipatan paha.
Beda Kumala langsung mendesah nikmat.
“Baru kali ini aku bisa merasakan nikmatnya jari
seorang laki-laki bermain di tempat itu,” desahnya dalam
hati sambil matanya sedikit memejam. “Dia pintar
memanjakan lawan jenisnya.”
Tanpa tempo lama, Beda Kumala tiba-tiba merasakan
sesuatu akan segera meledak dalam dirinya. Akan tetapi,
ketika baru mau mencapai titik yang jarang sekali ia
dapatkan, justru Jalu menghentikan jurus ‘Tarian Jari’-

nya, diganti dengan si pemuda semakin menurunkan
posisi celana luar dalam hingga mencapai lutut. Praktis
belahan pantat bebas merdeka yang penuh dan kencang
terpampang di depan mata putihnya.
“Kenapa berhenti?” desis Beda Kumala, kecewa.
“Bungkuk lagi,” bisik Jalu Samudra tanpa menjawab
pertanyaan, sembari tangan kiri menekan lembut
punggung si gadis.
”Gila! Mau apa lagi si buta satu ini? Aku sudah tidak
tahan tapi dianya masih main-main saja!” desah Beda
Kumala dalam hati.
Beda Kumala merendahkan tubuhnya hingga pemuda
yang ada di belakangnya bisa melihat gerbang istana
kenikmatannya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Dengan
masih bertumpu di lutut, kepala Jalu sedikit merunduk ke
bawah, lidahnya menjulur.
Slepp!
Langsung memainkan bibir gerbang istana
kenikmatannya.
“Ughh ... uahh ... ”
Beda Kumala semakin merapat ke dinding kamar
sambil mendesah. Erangan keluar dari mulutnya saat
lidah panas bermain-main dengan tepi gerbang istana
kenikmatan miliknya. Dinikmatinya setiap rasa yang
masuk dan menjalar hingga membuat seluruh tubuhnya
bergetar lembut.
Jemari Beda Kumala bergeser ke belakang, lalu
menemukan rambut si pemuda, menjambak dan
mencakar dengan penuh gelora.
“Kakang Jalu ... ah ... ah ... ” ia merintih.

Tak ingin Beda Kumala mencapai titik asmara
sebelum dahaganya terpuaskan, Jalu segera
mengangkat tubuhnya. Beda Kumala hendak berbalik,
tapi si pemuda menahannya.
“Tetap seperti itu,” kata Jalu lirih.
Baju hijau khas Perguruan Sastra Kumala yang basah
kuyup membuat Si Pemanah Gadis terangsang juga.
Srett!
Tiba-tiba Beda Kumala merasakan sesuatu benda
panas membara dengan ukuran jumbo berusaha
menerobos masuk gerbang istana kenikmatan dari
belakang. Di tarik, didorong. Di tarik, didorong. Di tarik,
didorong.
“Gila! Baru kali ini bisa merasakan hentakan nikmat
dan berirama seperti ini,” pikir Beda Kumala sambil
memejamkan mata, sedang mulutnya mendesis-desis
seperti ular. Beda Kumala merintih saat ujung pilar
tunggal penyangga langit si Jalu semakin dalam
membelah bibir gerbang istana kenikmatannya dan
melesak masuk perlahan.
Beda Kumala untuk pertama kalinya mencicipi jurus
‘Keledai Musim Semi‘ dimana dalam jurus ini menuntut
kekuatan topangan kaki dan tangan sang gadis, karena
dilakukan dalam posisi menungging dan bertumpu pada
kaki dan tangannya, meskipun sulit, posisi ini disukai
gadis murid Perguruan Sastra Kumala ini, karena dengan
posisi ini sebenarnya Jalu Samudra alias Si Pemanah
Gadis berniat membuat Beda Kumala mendaki puncak
asmara yang paling tinggi dalam waktu singkat.
Sementara itu, Jalu terus menyerang, membenamkan
puncaknya sedikit demi sedikit, tarik ulur dalam
menenggelamkan ujung pangkalnya, bagai siput besar
sedang mengusir angin.
”Meski aku pernah melihatnya bercinta dengan Garan
Arit, tak kuduga gerbang istananya masih sedahsyat ini,”
pikir Jalu, ”Begitu sesak, begitu menantang, menjepit,
memijat pilar tunggalku hingga rasa nikmat menjalar
cepat. Aku harus menekan masuk lebih dalam lagi. Biar
dia merasakan titik puncak asmara yang sebenarnya.”
Sedang Beda Kumala menggerak-gerakkan
pinggulnya dan merintih-rintih kala benda bulat panjang
itu semakin menerobos masuk.
Tangan kanan kiri Jalu menyusup masuk ke dalam
baju hijau, meremas-remas sepasang bukit kembar yang
penuh dan kencang, yang menggelantung bergerakgerak
saat ia mendorong pinggulnya maju dan mundur
serta masih terbungkus penutup dada.
“Kakang ... Jalu ... kang ... ah ... ah ... ” Beda Kumala
terus merintih.
Si pemuda berbaju biru terus mendorong semakin
kencang dan semakin kencang. Diciuminya belakang
telinga dan punggung leher Beda Kumala yang membuat
gadis itu menggelinjang geli-gatal. Saat Si Pemanah
Gadis semakin cepat menerjang, lengan Beda Kumala
terlepas dari dinding. Masih dengan pilar tunggal
penyangga langit di dalam gerbang istana
kenikmatannya, didorongnya tubuh Beda Kumala dari
belakang, sampai ia terjatuh membungkuk di lantai.
Permainan jurus ‘Keledai Musim Semi‘ naik ke tingkat
dua!
Gadis itu berusaha membalikkan tubuhnya, tapi Jalu
kembali menahan tubuhnya hingga tetap diam
membelakang dalam posisi nungging. Pipinya menempel
di tembok. Rintihan terdengar terus dari bibir mungil. Bagi
Beda Kumala sendiri, rasanya seperti diterjang batang
membara yang membawa geli-gatal ke seluruh dinding
gerbang istana kenikmatannya. Belum apa-apa, gadis itu
sudah terlanda gelombang puncak birahinya yang
pertama.
Begitu cepat!
“Aaaah ... aaahh ... ”
Beruntun dengan gelombang ke dua datang saling
susul menyusul.
“Aaaah ... uuuhh ... ”
Beda Kumala mengerang, melejang, bahkan
sepasang matanya membeliak merasakan sebentuk
kenikmatan yang untuk pertama kalinya ia rasakan.
Begitu menggeletar. Begitu menggemuruh seakan
sanggup merontokkan seluruh isi tubuhnya.
Melihat Beda Kumala sudah mencapai titik asmara
tertinggi, Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga
yang dipakai.
Srepp!
--o0o--
BERSAMBUNG