Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 02


 “Baiklah, aku ikut denganmu. Tapi ... ”
“Tidak ada tapi-tapian!”
Tali busur semakin merentang ke belakang.
“Maksudku, kalau kau tidak menunjukkan jalan mana
yang harus aku lewati, mana bisa aku sampai di
tempatmu?” tanya Jalu. “Kalau aku bisa melihat, tentu
aku akan ikut denganmu tanpa kau suruh.”
Tinara segera mengendorkan tarikan panah.
“Ikuti langkahku!” kata Tinara sambil berkelebat pergi.
Wess!
Jalu pun mengikuti arah lesatan gadis galak itu,
namun baru beberapa langkah ...
Jdukk! Brukk!
Kepalanya membentur pohon dan otomatis ia jatuh
terjengkang.
“Wadaoo ... “ teriaknya kesakitan sambil tangan kiri
mengelus-elus jidat.
Mendengar suara jeritan, Tinara kembali ke tempat
semula. Dilihatnya pemuda bertongkat hitam terkapar di
tanah sambil mengelus-elus jidat.
“Tingkah apa lagi yang dikerjakan si buta sinting ini,”
pikir Tinara. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya heran.
Bukannya menjawab, malah Jalu balik berkata, “Aku
jangan ditinggal begitu saja.”
“Kamu kan tinggal mengikuti aku saja? Apa
susahnya!?”
“Ya begini ini susahnya jadi orang buta. Menderita
melulu,” keluh Jalu. “Ngga orang cakep, ngga orang
jelek. Ngga orang kaya, ngga miskin ... sama saja,
memperlakukan diriku dengan seenak perutnya sendiri!”
Tinara tersenyum saja melihat gerutuan pemuda buta
berbaju biru itu.

“Sudahlah! Aku minta maaf! Aku lupa kalau kau buta!”
kata Tinara sambil mendekati si Jalu, membantunya
bangun dari tempatnya terkapar.
“Biar aku tuntun saja.” katanya sambil meraih tangan
kiri si pemuda.
“Naah ... gitu dong! Itu baru benar!” tukas Jalu cepat.
Namun baru saja ucapan terlontar dari mulut, tubuh
pemuda itu langsung pontang-panting mengikuti tarikan
tangan Tinara langsung mengerahkan jurus peringan
tubuh untuk menyusul Ratih yang telah terlebih dahulu
kembali ke perguruan.
Lapp! Lapp!
“Gadis edan! Tanpa permisi langsung lari begitu saja,”
kata hati Jalu sambil pura-pura mau jatuh, namun gadis
yang menyeretnya mana mau peduli dengan keadaan diri
pemuda itu.
--o0o--
BAGIAN 5
Perguruan Sastra Kumala ...
Sebuah perguruan ilmu kanuragan yang seluruh
muridnya adalah para gadis atau wanita, tidak ada satu
pun dari mereka yang berjenis laki-laki, bahkan jumlah
muridnya pun tidak sampai dua puluh orang banyaknya.
Perguruan Sastra Kumala sendiri baru muncul
menancapkan taringnya di kancah rimba persilatan,
tepatnya setelah enam tahun Perguruan Gunung Putri
berdiri. Meski bukan perguruan silat besar dan ternama,
namun kharismatik Nyi Tirta Kumala sebagai Ketua
cukup disegani kalangan pendekar persilatan. Dengan

pukulan maut yang bernama Pukulan ‘Jambu Surya’
yang sumbernya dari Kitab ‘Bunga Matahari’, Nyi Tirta
Kumala malang melintang di rimba persilatan dengan
gelar Dewi Tangan Api. Hanya Ketua Perguruan Gunung
Putri dan beberapa tokoh tua tidak lebih dari lima orang
yang tahu bahwa bahwa pukulan maut yang dikuasai
oleh wanita usia kisaran empat puluhan tahun bersumber
dari Kitab ‘Bunga Matahari’.
Namun yang jelas, tak satu pun tokoh dunia persilatan
mana pun tahu bahwa sesungguhnya Perguruan Sastra
Kumala masih erat kaitannya dengan Perguruan Gunung
Putri yang telah dihancurkan oleh Perkumpulan Gagak
Cemani. Hal ini dikarenakan Ketua Perguruan Sastra
Kumala yaitu Nyi Tirta Kumala masih saudara satu ayah
lain ibu dari Ketua Perguruan Gunung Putri yaitu
mendiang Dewi Gunung Putri.
Tentu saja berita kehancuran Perguruan Gunung Putri
sempat memukul batin Nyi Tirta Kumala hingga sakit
selama berhari-hari, terlebih lagi setelah mengetahui
tidak ada satu pun dari murid perguruan kakaknya yang
selamat dari pembantaian masa sepuluhan tahun yang
lalu.
Ke Perguruan Sastra Kumala-lah Tinara menyeret
‘paksa’ Jalu Samudra!
Sebentar saja, pintu gerbang Perguruan Sastra
Kumala sudah berada di depan mata. Begitu mendekati
pintu gerbang, Tinara mengurangi daya lari cepatnya dan
dengan setengah berlari, gadis berbaju hijau itu terus
menyeret masuk Jalu Samudra lewat pintu gerbang yang
diatasnya tertera tulisan 'PERGURUAN SASTRA
KUMALA', melewati beberapa teman-teman
seperguruannya yang sedang berlatih silat di tanah
lapang, terus berjalan tergesa-gesa ke arah tenggara dan

pada akhirnya berhenti di sebuah ruang terbuka yang
cukup luas.
“Lebih baik kau tunggu disini,” kata Tinara sambil
melepaskan pegangan tangannya. “Dan jangan kemanamana!
Ingat itu!”
Tinara meninggalkan pemuda yang dianggapnya buta
di tempat itu, namun baru saja berjalan delapan langkah,
gadis itu membalikkan badan dan bertanya, “Siapa
namamu?”
“Kau bertanya padaku?” tanya Jalu menunjuk dirinya
sendiri.
“Di tempat ini, selain kamu dan aku, tidak ada orang
lain,” terang Tinara dengan ketus, lalu tanya ulang,
“Siapa namamu?”
“Namaku ... Jalu.”
Gadis itu hanya menggumam sebentar, kemudian
balik badan melanjutkan langkahnya, meninggalkan
sendiri pemuda yang baru saja ditarik paksa.
“Masa aku ditinggal sendirian disini? Kalau ada setan
lewat dan aku diculik, bagaimana?” gerutunya sambil
celingak-celinguk seperti kera mau mencuri buah.
Ruangan tempat pemuda murid tunggal pasangan
Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga
berukuran sekitar lima kali enam tombak, cukup lega dan
luas. Di empat sudut berdiri kokoh tiang penyangga dari
kayu jati yang sudah tua. Tidak ada apa-apa di tempat
itu, selain sebuah bangku panjang berada di sudut
selatan yang menghadap tanah lapang tempat para
murid berlatih silat. Di atasnya atap dari sirap kayu cukup
mampu menahan teriknya panas matahari di siang hari.

“Lebih baik aku duduk saja di bangku, sekalian
istirahat,” pikirnya sambil berjalan ke sudut selatan, dan
lagi-lagi tongkatnya diketuk-ketukkan seperti penunjuk
jalan bagi orang buta.
“Gadis galak yang kudengar bernama Tinara itu benarbenar
sinting, langsung lari begitu saja tanpa bilangbilang.
Mau balas dendam padaku rupanya!?” gerutunya
pada diri sendiri.
“Heran, kenapa kebiasaan mengetuk-ngetuk tongkat di
tanah tidak hilang, ya?” kata hatinya lagi, mencela
kebiasaan 'asli'-nya. Begitu sampai, Jalu duduk di
bangku panjang ujung dekat tiang penyangga, bersandar
di sana, meluruskan kaki sepanjang bangku sambil
memandang ke sekumpulan gadis yang rata-rata
berwajah cantik sedang berlatih jurus-jurus silat khas
Perguruan Sastra Kumala.
“Kalau disuruh nongkrong di sini lima hari lima malam
juga tidak nolak, apalagi panorama di sini indah-indah,”
katanya lirih.
Yang dimaksud dengan 'panorama indah-indah'
adalah baju hijau para gadis murid Perguruan Sastra
Kumala yang bersimbah peluh keringat hingga mencetak
lekak-lekuk tubuh mereka. Matahari di siang itu benarbenar
terik sehingga peluh yang keluar lebih banyak dari
biasanya.
Tentu saja kedatangan Jalu ke tempat itu, membuat
dua belas gadis yang ada sedang berlatih di tanah
lapang menghentikan latihannya.
“Huh, mentang-mentang Nyai Guru sedang tidak ada
di tempat, Tinara seenaknya saja memasukkan lelaki ke
tempat ini,” ujar gadis yang berbibir sedikit tebal yang
bernama Tiara.

“Bagusan begitu, Tiara! Kita jadi tahu siapa kekasih
gelapnya Tinara,” kata gadis berikat kepala hijau
menimpali perkataan Tiara.
“Bukan begitu maksudku, Gadira! Apa kau tidak tahu
larangan Nyai Guru, bahwa kita tidak boleh memasukkan
laki-laki ke tempat ini,” tukas Tiara.
“Ya, aku tahu! Tapi kalau memasukkan laki-laki buta
kukira tidak ada masalah,” tangkis Gadira. “Yang dilarang
Nyai Guru kan cuma memasukkan laki-laki yang bisa
melek saja.”
“Dia buta?”
Gadira mengangguk pasti.
“Darimana kau tahu kalau dia buta?” tanya kawannya,
dia bernama Gaharu.
“Lihat saja ke dua bota matanya ... semuanya putih!”
kata Gadira dengan dagu sedikit diangkat. “Mana ada
manusia bermata seperti itu kalau bukan orang buta
namanya!?”
“Bisa saja itu cuma mata palsu.” Gayatri menyahut.
“Lha, terus gunanya tongkat hitam ditangannya itu apa
kalau bukan sebagai penunjuk jalan bagi orang buta?
Apa kau tidak melihat saat ia berjalan menuju bangku di
sana, tongkatnya diketuk-ketukkan ke tanah,” kata
Gadira, berusaha meyakinkan bahwa pendapatnya
adalah yang paling benar. “Dan lagian, kalau memang ia
pakai mata palsu ... itu artinya dia memang laki-laki
kurang kerjaan!”
“Dan tadi sempat kulihat waktu dibawa oleh Tinara,
terlihat sekali kalau pemuda itu buta beneran. Jalannya
saja sradak-sruduk seperti mau jatuh,” timpal Gayatri.

“Sradak-sruduk ... sradak-sruduk ... memangnya dia
kerbau apa!?” ujar Tiara sambil terkikik geli mendengar
istilah yang dipakai oleh Gayatri. “Enak saja kau
ngomong!” lanjutnya sambil njulekin dahi Gayatri.
Para gadis murid Perguruan Sastra Kumala langsung
tertawa cekikikan mendengar celotehan teman-teman
mereka yang kadangkala rada-rada sableng, apalagi jika
yang angkat suara Tiara dan Gayatri, pasti ramai sekali.
“Eh Tiara, menurutmu tampan mana antara si buta itu
dengan Kakang Gabus Mahesa, tunanganmu itu?” tanya
Gadira pada Tiara.
“Sebentar kulihat dulu.”
Gadis bernama Tiara memandang sekejap ke arah
pemuda berbaju biru, barulah ia berkata, “Kalau dinilai
dari segi ketampanan, memang Kakang Gabus Mahesa
kalah jauh dengannya. Namun kalau segi kekuatan ... hm
... aku yakin Kakang Gabus Mahesa jagonya.”
“Kekuatan apa?”
“Kekuatan ... 'kekuatan itu’, tuh!?” kata Gayatri sambil
menjungkit-jungkitkan alisnya.
“Iiihh ... Gayatri! Ngomong jangan sembarangan
dong!”
“Lho, siapa yang ngomong sembarangan? Bukankah
katanya kamu pernah klepek-klepek saat bersilat lidah
dan main kuda-kudaan dengan Kakang Gabus Mahesa?”
sergah Gayatri. “Kita semua juga tahu itu. Buat apa
malu?”
“Hi-hi-hik!”
Sebelas gadis usia belasan tahun itu kembali tertawa
cekikikan saat melihat gaya bicara Gayatri yang kocak
dengan gerak tangan pulang pergi seperti itu.

“Kalau misalnya aku di suruh memilih, kalau disuruh
lho ya ... aku lebih memilih si buta tampan itu daripada
Kakang Gabus Mahesa-mu, Tiara!” kata Gaharu, yang
sedari awal mengawasi si pemuda buta dengan
seksama.
“Memangnya kenapa?” tanya Tiara heran sambil
menoleh pada Gaharu. “Kakangku perawakannya tinggi
besar, kekar, gagah dan berotot! Masa' kau lebih memilih
pemuda buta seperti itu. Tampan sih tampan ... tapi kalau
buta buat apa coba?”
“Bukan itu masalahnya! Coba kau lihat saja
senyumnya. Aduuhh ... entah kenapa ketika melihat
senyumnya aku jadi deg-degan. Jantungku berdebardebar
kencang,” ucap Gaharu.
“Masa' senyumnya sehebat itu?” tanya Tiara tidak
percaya.
“Kalau tidak percaya, coba raba dadaku.”
“Yang benar?”
Tiara dengan serta merta meletakkan tangan di dada
kiri Gaharu.
Benar saja, jantung gadis itu berdetak lebih kencang
seperti habis lari dikejar setan.
“Kawan-kawan! Rupanya Gaharu sedang jatuh cinta
pada pandangan pertama!” seru Tiara, setelah
mengetahui bahwa jantung Gaharu berdebar lebih keras
dari biasanya.
“Aaahh ... dasar Tiara brengsek! Bicaranya jangan
keras-keras, nanti dia dengar,” kata Gaharu sedikit
manyun. “Awas nanti, kubalas kau!”

“Memangnya kau mau membalas apa? Adu silat? Adu
panco?” tantang tiara sambil menyingsingkan lengan
baju. “Ayo maju kalau berani?”
“Sudahlah ... begitu saja ribut,” lerai kawan-kawannya.
“Pokoknya tunggu saja nanti,” kata Gaharu dengan
senyum teka-teki.
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang cukup
nyaring menyeruak.
“Sudah waktunya kalian latihan di kolam air panas!”
Suara itu sedikit memantul dimana-mana, jelas sekali
bahwa pemilik suara bukan orang berilmu rendah.
“Baik, Sari!” sahut Gadira. “Ayo kawan-kawan, kita ke
kolam air panas.”
Sambil masih bersenda gurau, dua belas gadis yang
rata-rata cantik, meski kalah cantik dengan Tinara dan
Ratih, berjalan dengan langkah ringan. Langkah ringan
mereka tidak lepas dari pendengaran Jalu Samudra yang
super tajam.
“Hemm, tenaga dalam yang mereka miliki sudah
cukup tinggi,” gumam Jalu Samudra dengan mata
memandang ke depan. “Aku yakin guru di tempat ini
mendidik para muridnya dengan disiplin tinggi.”
Sekumpulan gadis itu berjalan mendekat ke arah
tempat murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan
Naga duduk istirahat. Tiba-tiba saja angin bertiup
lumayan kencang dari arah depan.
Whuss ... !
Sebentuk hawa sejuk menerpa dan diterima syarafsyaraf
tubuh seperti belaian dari surga. Rambut panjang
Tiara bagai gelombang air laut yang dipermainkan angin.

“Tiara, lebih baik rambutmu kau ikat saja,” kata
Gayatri. “Digelung dulu juga tidak apa-apa.”
“Emm ... boleh juga usulmu,” sahut Tiara sambil
berjalan.
Dua tangan Tiara meraih rambut panjangnya. Namun
belum lagi sempat menggelung rambut, dua buah tangan
menyusup di bawah ketiak dan dengan gerakan cepat,
menarik baju hijau Tiara ke belakang.
Sett!
“Aaaakhh ... !”
Tiara langsung menjerit keras saat baju depannya
terkuak lebar hingga memperlihatkan perut putih dan
busungan dada montok yang terbalut kain penutup dada
warna merah muda.
“Brengsek! Siapa nih yang main-main?”
Namun tanpa menunggu jawaban siapa yang berbuat,
gadis itu sudah tahu siapa biang keladinya. Dilihatnya
Gaharu dan Gayatri berlari menjauh sambil tertawa
terpingkal-pingkal.
“Hi-hi-hik!”
Wutt!
Tiara melesat mengejar dua kawannya tanpa
membetulkan kembali baju yang setengah terbuka.
“Gaharu brengsek! Awas kau, ya!?”
“Rasakan pembalasanku!” teriak Gaharu.
“Memang enak setengah bugil di depan orang buta?”
timpal Gayatri.

Teman-teman mereka yang ada di belakang tertawa
terpingkal-pingkal melihat 'aksi balas dendam' yang
dilakukan Gaharu dibantu oleh Gayatri.
Benar-benar balas dendam yang aneh!
“Pantas saja tadi kulihat mereka berdua kasak-kusuk
di belakang,” kata Gadira, “Rupanya mereka berdua
berniat ngerjain si Tiara.”
“Pasti nanti di kolam air panas terjadi kehebohan.”
sahut kawannya yang agak pendek.
“Benar! Seperti tiga ekor kucing rebutan ikan asin!”
seloroh kawan si pendek.
“Lebih baik, segera kita lihat ke kolam air panas.”
“Ayo!”
Setelah sembilan orang gadis berlalu dari tempat itu,
Jalu menghela napas dalam-dalam.
“Lama-lama di tempat ini kepalaku bisa penuh dengan
pikiran jorok,” kata Jalu dalam hati. “Tapi ... ngomongngomong,
Tinara kemana sih? Lama amat dia di dalam?”
Baru saja ia berpikir seperti itu, telinga Jalu
menangkap suara halus di belakangnya.
“Yang datang kali ini berilmu lebih tinggi dari Tinara
dan kawannya. Langkah mereka seperti harimau sedang
mengincar mangsa. Begitu halus dan ringan,” pikir Jalu
sambil menoleh ke belakang. “Woow! Dua gadis cantik,
meeen!” katanya cukup keras, tapi cuma dalam hati.
“Syukurlah ... ada yang datang juga ke tempat ini,”
kata Jalu, “Kalau tidak, mungkin aku sudah ketiduran
sesiangan. Apalagi hawa di sini membuatku menjadi
mengantuk.”

Dua gadis yang berusia sekitar dua puluh limaan dan
dua puluh empatan berhenti melangkah, lalu saling
pandang satu sama lain.
“Hebat juga dia, bisa mengetahui kehadiran kami,”
pikir keduanya.
“Sari, bagaimana menurutmu?” bisik yang sebelah kiri
yang di bagian punggung menyoren pedang.
“Dia cukup hebat, Wulan!” sahut lirih gadis yang
menenteng pedang di tangan kanan yang bernama Sari,
“Pendengarannya cukup tajam hingga bisa mengetahui
kehadiran kita. Padahal aku tadi sudah menggunakan
tataran tertinggi dari ilmu peringan tubuhku.”
“Jadi ... apa yang dikatakan Ratih tentang pemuda
buta ini memang tidak salah,” tutur lirih Wulan, “Sebab
jarang ada pendekar yang bisa menghindari lesatan
panah dari perguruan kita.”
“Kita dekati dia,” kata Sari, pendek.
Setelah mendekat, salah seorang dari mereka
menyeret bangku panjang satunya, dan pada akhirnya
dua gadis cantik itu duduk berhadapan dengan si
pemuda buta.
“Jika boleh kutahu, siapakah nona berdua ini?” tanya
Jalu.
“Aku Sari,” sahut gadis yang menyandang pedang di
punggung, “Lengkapnya Sari Kumala.”
“Aku sendiri bernama Wulan Kumala,” terang gadis
yang memegang pedang sambil meletakkan pedangnya
di samping kanan.
“Nama kalian selalu berakhiran 'Kumala', ya?” tanya
Jalu, heran.

“Benar! Memang di perguruan kami selalu
menambahkan kata 'Kumala' di belakang nama
panggilan kami sehari-hari.”
“Aneh juga.”
“Apanya yang aneh, Jalu? Eh ... namamu Jalu, khan?”
tanya Sari Kumala menegaskan.
“Benar! Sedari kecil nama pemberian orang tuaku
belum berubah hingga sekarang.”
“Apanya yang kau anehkan dari nama kami, Jalu?”
tanya Wulan Kumala.
“Aku pernah dengar ada sekumpulan orang yang
nama awal semuanya 'Gagak' dan sekarang justru nama
akhirnya 'Kumala'!” tutur Jalu Samudra sambil gelenggeleng
heran. “Jangan-jangan nanti aku berjumpa
dengan orang yang semua nama tengahnya sama?”
Wulan Kumala tersenyum kecil mendengar analisis
pemuda bertongkat hitam yang duduk tenang sambil
bersandar di hadapan mereka.
BAGIAN 6
“Kukira tidak ada yang aneh di dunia ini, sobat!” kata
Sari Kumala singkat. “Apa pun istilahnya, nama memang
digunakan untuk lebih mengingatkan seseorang pada
satu orang saja.”
“Bagaimana dengan kondisi Beda Kumala?” tanya
Jalu, mengalihkan pembicaraan.
“Berkat dirimu yang secepatnya membawa kemari,
racun yang mengeram di tubuh Beda bisa dinetralisir
dengan ramuan obat milik perguruan kami. Sekarang

Beda Kumala sedang dalam masa penyembuhan di
kolam air panas,” tutur Sari Kumala panjang lebar.
“Di tempat kalian ada kolam air panasnya?” tanya Si
Pemanah Gadis, kaget.
“Betul sekali.”
“Di sini bukan daerah pegunungan atau pun
perbukitan, bagaimana bisa ada kolam air panasnya?”
tanya Jalu dengan heran.
“Kami sendiri juga tidak tahu. Saat kami berdua masuk
menjadi murid Perguruan Sastra Kumala memang sudah
ada kolam air panas dengan tiga warna di tempat ini.”
“Kolam tiga warna? Warnanya apa saja?”
“Warna hijau, biru dan bening.”
Jalu hanya sedikit mengangguk. “Apa manfaat dari
kolam tiga warna itu?”
“Kolam bening kami gunakan untuk penyembuhan
segala macam luka termasuk luka keracunan. Kolam biru
untuk melatih hawa sakti dan kolam hijau saat ini belum
kami ketahui apa manfaatnya,” terang Sari Kumala.
“Kenapa?”
“Karena kolam hijau memiliki suhu yang teramat
sangat panas. menurut penuturan Nyai Guru, mungkin
panasnya mencapai sembilan kali terik matahari di siang
hari,” ujar Wulan Kumala.
“Bahkan tangan Nyai Guru Tirta Kumala melepuh saat
berusaha menjajaki seberapa panas air dari kolam hijau,”
sambung Sari Kumala.
Kembali Jalu hanya mengangguk sedikit.

“Butuh berapa lama proses penyembuhan dari kolam
bening itu?” kata Jalu, tertarik dengan manfaat dari kolam
bening.
“Jika lukanya cukup parah, paling banter butuh tiga
hari tiga malam lamanya.”
“Wahh ... lama juga kalau begitu!?” kata Jalu dengan
takjub, “Terus ... kalau seperti luka yang dialami oleh
Beda Kumala, kira-kira membutuhkan waktu berapa
hari?”
“Seharusnya butuh waktu dua hari lebih sedikit untuk
menetralisir racun yang ada dalam tubuhnya.”
“Kenapa kau katakan 'seharusnya’?” Jalu bertanya
dengan dahi berkerut.
“Karena racun yang mengeram dalam tubuhnya
adalah racun paling ganas dunia persilatan yang
bernama Racun 'Ular Karang'!” kata Wulan Kumala.
“Apa!?”
Sebagai orang yang masa kecilnya hidup
berdampingan dengan laut, tentu saja Jalu Samudra
kenal dengan yang namanya Racun 'Ular Karang', yaitu
sejenis racun yang berasal dari sejenis ular laut
berkepala gepeng segitiga yang banyak berdiam diri di
atas karang-karang terjal. Karangnya pun tidak
sembarang karang, tapi karang yang dibawahnya
memiliki riak ombak cukup besar dan acap kali
bergulung-gulung setinggi lima enam tombak sebelum
pada akhirnya pecah membentur batu karang.
Kakeknya pernah berkata, bahwa siapa saja yang
tergigit Ular Karang di bagian tubuh mana pun, dalam
waktu kurang dari sembilan helaan napas tubuhnya akan
dengan cepat berubah kaku laksana batu dan andai

dikubur selama ratusan tahun pun tubuhnya akan tetap
utuh membatu. Tidak ada penawar racun untuk racun
jenis ini kecuali bahwa yang tergigit memiliki hawa
pemunah racun alami atau setidaknya memiliki hawa
sakti yang unik saja.
“Hanya saja, kami cukup heran dengan Racun 'Ular
Karang' yang mengeram dalam tubuhnya. Sepertinya ...
racun dalam tubuhnya tertahan oleh suatu tenaga aneh
yang tidak kami ketahui,” kata Wulan Kumala dengan
tatapan menyelidik.
Gadis ini memang tipe gadis teliti. Apa saja yang
terasa aneh olehnya pasti akan membuatnya penasaran
sehingga berusaha keras mencari penyebab dari
keanehan yang dijumpainya. Seperti halnya racun yang
ada dalam tubuh Beda Kumala. Ia tahu betul bahwa
racun yang mengeram dalam tubuh saudara
seperguruannya adalah jenis racun ganas. Jarang-jarang
ada manusia yang bisa tahan hidup dalam waktu
sepenanakan nasi lamanya sejak Racun 'Ular Karang' itu
masuk ke dalam tubuh. Dan ia tahu betul, seberapa
besar hawa tenaga dalam yang dimiliki Beda Kumala.
Untuk menahan menjalarnya racun saja sudah pasti ia
tidak sanggup, apalagi bertahan dengan waktu yang
lama. Sehingga ia menyimpulkan tidak mungkin Beda
Kumala sanggup bertahan dengan racun ganas sebegitu
lamanya.
Satu-satunya kesimpulan adalah ada orang yang
dengan sengaja memasukkan hawa saktinya untuk
menahan lajunya Racun 'Ular Karang'!
Dan satu-satunya orang yang dicurigai adalah pemuda
buta di depannya!
“Tenaga aneh yang bagaimana maksudmu, Wulan?”
tanya Jalu pura-pura tidak tahu, padahal dalam hatinya ia

sempat kagum dengan ketajaman mata gadis di
depannya, “Hebat! Hawa murni yang kususupkan ke
tubuh Beda Kumala pun bisa diketahuinya.”
“Aku sendiri kurang begitu tahu! Hanya saja tenaga ini
sejenis hawa yang belum pernah aku lihat sama sekali.”
“Sudahlah, Wulan! Yang penting sekarang ini, Beda
Kumala sudah selamat dari ancaman kematian,” sela
Sari Kumala sambil mengedipkan mata.
Wulan Kumala yang paham arti dari kedipan mata
Sari, hanya menghela napas pelan.
“Jalu, kami ucapkan beribu-ribu terima kasih atas
pertolonganmu pada saudara kami,” ucap Sari Kumala.
“Jika tidak ada kau, mungkin sekarang ini nyawa Beda
Kumala sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
“Sama-sama, Sari Kumala! Hanya kebetulan saja aku
lewat saat Beda Kumala sedang terkulai setengah
pingsan akibat luka yang dideritanya.”
Tentu saja Jalu tidak mengatakan yang sebenarnya,
sebab bisa-bisa ia didamprat sebagai laki-laki kurang
kerjaan karena mengintip gadis yang sedang bermain
asmara.
“Jika boleh tahu, siapa yang menjadi lawan tarung
Beda Kumala, Jalu?” tanya Sari Kumala. “Sebab dari
jejak luka yang dideritanya ia bertarung dengan seorang
yang jago menggunakan racun ganas.”
“Dari apa yang kudengar, Beda menyebut-nyebut
nama mereka dari Istana Jagat Abadi,” terang Si
Pemanah Gadis.
“Istana Jagat Abadi?” tanya Sari Kumala menegaskan.
“Begitulah apa yang kudengar, Sari.”

Wulan Kumala langsung menukas, “Tidak mungkin
kalau mereka dari Istana Jagat Abadi!”
“Kenapa tidak mungkin, Wulan?”
“Sebab, saat ini Istana Jagat Abadi merupakan pihak
penengah di antara Perguruan Sastra Kumala dan Aliran
Danau Utara yang sedang bersengketa,” tutur Wulan
Kumala. “Mereka bertindak netral. Jelas tidak mungkin
mereka memusuhi kami dari Perguruan Sastra Kumala.”
Jalu Samudra termangu-mangu mendengarnya.
“Memangnya ada perseteruan apa antara kalian
dengan Aliran Danau Utara?” tanya Jalu, lalu
sambungnya, “Itu pun jika kalian tidak keberatan
menceritakannya padaku sebagai orang luar perguruan.”
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang
beberapa saat.
Kemudian Sari Kumala-lah yang membuka
pembicaraan.
“Baiklah, Jalu! Sebagai balas budi kami, tidak ada
salahnya jika kau tahu apa yang sebenarnya terjadi
sekaligus yang menjadi sebab musabab silang sengketa
antara Aliran Danau Utara dengan perguruan kami,” ujar
Sari Kumala, lalu lanjutnya, “Silang sengketa kami
berawal sekitar dua tahun yang lampau, tatkala Nyai
Guru sedang berlatih silat dari sebuah kitab yang
bernama Kitab ‘Bunga Matahari’.
“Kitab ‘Bunga Matahari’?”
“Betul! Kitab itu ditemukan pada sebuah gua kecil di
saat beliau kehujanan dan berteduh di sana. Pada saat
yang sama pula, Ki Gegap Gempita juga ikut berteduh di
tempat itu ... ”
“Siapa itu Ki Gegap Gempita?” potong Jalu.

“Ki Gegap Gempita adalah Ketua Aliran Danau Utara
generasi ke lima,” terang Wulan Kumala.
“Ooo ... ”
“Bisa kulanjutkan?”
“Silahkan, silahkan ... ”
“Waktu itu Ki Gegap Gempita terluka parah akibat
bertarung dengan musuh lamanya. Oleh Nyai Guru, Ki
Gegap Gempita berniat beliau obati dengan ramuan obat
yang selalu dibawanya. Namun belum lagi dimulai, tibatiba
saja gua tempat mereka berteduh runtuh di bagian
sebelah timur,” ucap Sari Kumala, lalu menghela napas
sebentar, terus berkata, “Dan di antara reruntuhan
dinding gua, tergolek begitu saja dua buah kitab yang
diikat menjadi satu. Mulanya yang melihat dua kitab itu
cuma Ki Gegap Gempita, disebabkan sedang dibalut
lukanya oleh Nyai Guru, Ki Gegap Gempita hanya diam
saja. Setelah selesai dan agak baikan, barulah Ketua
Aliran Danau Utara berjalan ke sisi timur dan memungut
dua kitab itu dari tumpukan reruntuhan.”
“Nyai Guru hanya mendiamkan saja perbuatan Ki
Gegap Gempita, karena memang beliau paling tidak suka
berebut dengan orang lain,” sambung Wulan Kumala,
“Setelah diobati oleh Nyai Guru Tirta Kumala dan merasa
tertolong jiwanya, Ki Gegap Gempita bermaksud
memberikan salah satu dari dua kitab yang ada di
tangannya, dimana satu kitab warna kuning dengan
gambar bunga matahari dan satunya berwarna putih
bergambar sepasang mata dengan latar belakang bulan
purnama. Mulanya Nyai Guru menolak halus tawaran
tersebut, tapi Ketua Aliran Danau Utara terus memaksa.
Akhirnya Nyai Guru memilih kitab yang berwarna putih
dengan lambang sepasang mata dengan latar belakang
bulan purnama dan pilihan itu disetujui oleh Ki Gegap

Gempita. Bahkan untuk lebih memudahkan mereka
berdua, Ketua Aliran Danau Utara memberikan nama
Kitab ‘Bunga Matahari’ pada kitabnya sedang kitab
pilihan Nyai Guru diberi nama Kitab ‘Mata Bulan’.”
“Kitab ‘Bunga Matahari’ dan Kitab ‘Mata Bulan’,”
gumam murid tunggal Dewa Pengemis.
“Setelah ke dua kitab dibuka-buka sebentar, barulah
diketahui bahwa isi dari kedua kitab adalah tata cara
menghimpun hawa sakti tingkat tinggi yang bersumber
dari kekuatan alam. Namun dengan dasar hawa murni
yang mereka pelajari selama ini, ternyata isi kitab saling
bertentangan satu sama lain ... ”
“Maksudnya?”
“Jika Nyai Guru berlatih hawa berunsur api justru kitab
yang didapatnya berisi penggunaan unsur air sebagai
dasarnya. Begitu juga dengan Ki Gegap Gempita yang
melatih hawa berjenis air justru mendapatkan kitab
berunsur api.”
“Terus mereka bertukar kitab, begitu?” tebak Jalu
Samudra.
“Benar, Jalu. Akhirnya Ki Gegap Gempita menukarkan
Kitab ‘Bunga Matahari’ miliknya dengan Kitab ‘Mata
Bulan’ milik Nyai Guru,” kata Sari Kumala.
“Hingga kemudian terjalin hubungan baik antara Nyai
Guru Tirta Kumala dengan Ki Gegap Gempita. Otomatis
para murid dari ke dua belah pihak saling mengenal satu
sama lain, bahkan ada di antara kami yang menjalin
hubungan asmara dengan murid-murid Aliran Danau
Utara yang memang keseluruhannya adalah laki-laki,”
terang Wulan Kumala.

“Termasuk kalian tentunya?” goda Jalu, yang langsung
membuat rona merah di pipi ke dua gadis cantik itu.
Jalu senang sekali menggoda dua gadis ini, entah
kenapa begitu melihat rona merah di pipi ke dua gadis
itu, ingin sekali ia menggodanya terus-menerus.
“Aku yakin, kedua pipi kalian pasti merona merah,”
kata Jalu.
Padahal, sebenarnya ia bisa melihat dengan jelas rona
merah di pipi ke dua gadis tersebut. Tentu saja hal ini ia
lakukan karena sedang berpura-pura menjadi orang buta.
Kalau ia bilang ‘aku melihat rona merah di ke dua pipi
kalian’, tentulah sandiwara kebutaannya akan
terbongkar.
“Jika memang keduanya sudah sepakat membagi
kitab masing-masing, lalu apa masalahnya?” tanya Jalu.
“Justru karena dua buah kitab itulah menjadi pangkal
masalah.”
“Terus?”
“Saat Nyai Guru Tirta Kumala sedang berlatih jurus
Pukulan 'Jambu Surya' di ruang latihan silat, Kitab ‘Bunga
Matahari’ dicuri orang!”
“Dicuri orang?”
“Pencuri itu menggunakan kerudung hitam dan kami
pergoki saat sedang berusaha lari melewati pintu
gerbang. Saat kami serang, si pencuri kerudung hitam
menggunakan ilmu khas yang hanya Aliran Danau Utara
saja yang memilikinya.” kata Wulan Kumala. “Yaitu
kekuatan inti dari ‘Air Dingin Tenaga Bulan’!”
“Kekuatan inti dari ‘Air Dingin Tenaga Bulan’? Ilmu apa
itu?” tanya Jalu, heran.

“Jika di perguruan kami memiliki Kolam Air Panas Tiga
Warna, maka di Aliran Danau Utara memiliki Kolam Air
Dingin Tiga Rupa. Di dalam Kitab ‘Bunga Matahari’,
pemanfaatan unsur panas sangat dominan sekali,
sehingga akan memunculkan kekuatan panas yang bisa
merasuk ke dalam tubuh dan jika diolah secara benar
sesuai petunjuk yang ada dalam Kitab ‘Bunga Matahari’
akan berubah menjadi tenaga dalam berunsur api, yang
dinamakan kekuatan inti ‘Air Panas Tenaga Surya’.”
Ucap Sari Kumala sambil menarik napas, kemudian
disambungnya, “Demikian pula dengan yang dilakukan
Ketua Aliran Danau Utara, memanfaatkan unsur dingin
dari kolam air dingin yang jika diolah sesuai dengan
petunjuk dari Kitab ‘Mata Bulan’ sehingga berubah
menjadi tenaga dalam berunsur air atau dingin, yang
dinamakan kekuatan inti ‘Air Dingin Tenaga Bulan’!”
Jalu mengelus-elus dagunya yang klimis sambil
memutar otak, berusaha mencerna setiap cerita yang
didengarnya secara bergantian dari mulut Wulan dan
Sari. Beberapa kali ia menemukan hal yang janggal
dalam cerita mereka berdua.
“Apakah Kitab ‘Bunga Matahari’ yang dicuri berada
satu ruangan dengan guru kalian waktu?” tanya Jalu.
“Benar.”
“Terjadinya siang atau malam?”
“Tepat di tengah hari.”
“Apa tindakan guru kalian sewaktu mengetahui bahwa
kitabnya dicuri orang?”
“Beliau langsung mengejar si Pencuri Kitab sambil
memerintahkan kami untuk mencegat jalan keluar si
pencuri,” jawab Sari Kumala.

“ ... dan ia berusaha lewat pintu gerbang depan,”
tambah kawannya.
“Hanya begitu?”
“Ya.”
“Jika benar cerita kalian dan seperti itu kejadiannya,
maka ada hal aneh yang aku jumpai.”
“Kami kira cerita yang kuutarakan dan Sari katakan
tidak ada hal yang aneh,” sergah Wulan Kumala.
“Justru itulah anehnya! Karena kalian yang mengalami
sendiri maka tidak tampak aneh, tapi jika orang lain yang
mendengarnya justru akan terlihat beberapa
kejanggalan.”
“Kejanggalan?”
“Coba kalian pikir baik-baik! Jika mencuri di siang
bolong sudah pasti tidak aneh, bukan?” kata Jalu, “Tapi
justru menjadi aneh ketika si pencuri lewat pintu gerbang
depan, seakan membiarkan dirinya diketahui bahwa
dialah sang Pencuri Kitab. Kenapa tidak mencari arah lari
yang aman dari cegatan kalian!?”
Wulan Kumala menganggukkan kepala.
“Benar juga kata si buta ini,” pikir gadis yang
menyandang pedang di punggung. “Kenapa aku tidak
berpikir seperti itu dari dulu?”
“Itu kejanggalan yang pertama. Yang ke dua, si
pencuri seakan memberikan identitasnya sendiri kepada
kalian dengan menggunakan jurus atau ilmu andalan dari
perguruan tertentu.” kata Jalu, “Dalam hal ini Aliran
Danau Utara, tentunya.”
“Karena waktu ia dikepung oleh kami bersaudara
sehingga terpaksa harus menggunakan kekuatan inti ‘Air

Dingin Tenaga Bulan’ untuk menahan kekuatan inti ‘Air
Panas Tenaga Surya’ yang kami gunakan waktu itu,”
tukas Sari Kumala.
BAGIAN 7
“Jika memang seperti itu keadaannya, berarti dia
pencuri paling goblok yang pernah kutahu,” kata Jalu.
“Apa sebabnya?”
“Dimana pun seorang pencuri, ia pasti dengan serapat
mungkin menyembunyikan jati dirinya yang asli agar
tidak diketahui oleh pihak yang menjadi korbannya dari
awal hingga akhir kejadian!” ucap Jalu.
“Benar sekali.”
“Jadi ... pencurian kitab di tempat kalian adalah
disengaja dan hal itu seperti orang berniat lempar batu
sembunyi tangan!”
Deg!
Jantung Wulan dan Sari seperti dipantek dengan paku
baja!
Dalam otak mereka tidak pernah terlintas sama sekali
bahwa ada kemungkinan seperti yang dikatakan oleh
Jalu.
“Kau benar, Jalu ... kau benar! Kami tidak sempat
berpikir seperti itu!” kata Sari Kumala dengan raut muka
tegang.
“Jadi ... ada kemungkinan kalau kita ini ... ”
“Masuk perangkap!” potong Jalu Samudra mantap.

Dua murid teratas dari Perguruan Sastra Kumala
saling pandang tidak percaya. Sulit sekali menerima
kenyataan bahwa mereka bisa masuk perangkap orang
lain tanpa mereka sadari.
“Dan kejanggalan yang ketiga ... ”
“Masih ada lagi?” tanya Wulan dan Sari hampir
bersamaan.
Jalu mengangguk pasti.
“Dengan adanya kerudung hitam yang dipakai si
pencuri, hanya ada dua jawaban yang pasti.”
“Hanya dua jawaban?” tanya Wulan Kumala. “Apa
itu?”
“Pertama, si pencuri adalah orang yang kalian kenal
sebelumnya sehingga perlu menyembunyikan jati dirinya
dan yang kedua adalah si pencuri kenal dengan dua guru
masing-masing perguruan sehingga ia perlu menutupi
identitasnya,” terang Jalu pada dua gadis cantik yang
semakin terpana dengan penjelasan murid Dewa
Pengemis ini.
Kembali dua gadis cantik yang memiliki pesona
kecantikan hampir setara terhenyak!
“Semua yang kuutarakan tadi hanyalah kemungkinankemungkinan
yang mungkin saja terjadi ... ”
“Tidak, Jalu! Semuanya sudah pasti!” tutur Wulan
Kumala, “Dan aku sudah yakin bahwa memang ada
pihak ketiga yang bermaksud menarik keuntungan dari
pertikaian yang mereka ciptakan sendiri.”
“Kalau begitu, kepergian Nyai Guru ke Aliran Danau
Utara satu setengah tahun lalu untuk mengunjungi Aliran
Danau Utara adalah juga perangkap yang dibuat oleh
mereka yang kita anggap saja sebagai pihak ketiga?”

kata Sari Kumala mengkhawatirkan keadaan gurunya jika
benar-benar Perguruan Sastra Kumala dijebak agar
berseteru dengan Aliran Danau Utara.
“Kemungkinan besar hal itu terjadi,” tukas Si Pemanah
Gadis. “Dan aku yakin hal itulah yang diinginkan oleh
pihak ketiga.”
Kembali Sari Kumala dan Wulan Kumala tercenung.
Meski percakapan mereka dengan Jalu Samudra masih
sebatas dugaan saja, tapi melihat situasi yang terjadi
saat ini besar kemungkinan dugaan mereka bertiga
tidaklah meleset jauh.
“Sejak mulai kapan Istana Jagat Abadi menjadi
penengah?” tanya Jalu Samudra tiba-tiba.
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Aku hanya ingin tahu saja.”
“Tepatnya, satu pekan sejak kepergian Nyai Guru, Ki
Harsa Banabatta datang ke perguruan kami.”
“Siapa itu Ki Harsa Banabatta?”
“Ki Harsa Banabatta adalah Ketua Istana Jagat Abadi
yang dijuluki Si Tangan Golok,” jawab Sari Kumala.
“Dengan tujuan apa Si Tangan Golok datang ke
tempat ini?”
“Si Tangan Golok mengatakan bahwa ia membawa
pesan dari guru untuk membantu menengahi pertikaian
yang terjadi antara perguruan kami dengan Aliran Danau
Utara ... ”
“Tunggu dulu ... menengahi katamu?” tanya Jalu
heran.

“Menengahi tentang silang sengketa tentang
pencurian kitab perguruan kami,” jawab Wulan Kumala.
“Memangnya kenapa? Ada yang aneh?”
“Hanya heran saja, darimana ia tahu tentang
permasalahan ini?”
“Ia bertemu Nyai Guru Tirta Kumala di tengah
perjalanan dan Ki Harsa Banabatta bersedia membantu
pihak Perguruan Sastra Kumala sebagai pihak yang
dirugikan oleh pihak ketiga, yang kami duga ia berasal
dari Aliran Danau Utara.”
“Dan kalian percaya begitu saja?”
“Benar.”
“Dengan alasan apa kalian bisa mempercayai ucapan
Si Tangan Golok?”
“Karena Si Tangan Golok membawa ini!” kata Sari
Kumala sambil meletakkan sesuatu di hadapan Jalu.
Dengan meraba-raba, Jalu memungut benda hijau
muda segi delapan yang ada di depannya. Memegangmegang
beberapa saat sambil membolak-balik benda
hijau muda di tangannya.
“Hemm ... terbuat dari batu giok murni yang umurnya
sudah lebih dari seratus tahun. Pahatannya halus,
teramat halus malah. Jarang sekali dijumpai tukang
pahat yang bisa memahat sebaik dan sebagus ini,”
gumam Jalu Samudra.
“Hebat! Hanya dengan meraba saja kau sudah bisa
menebak tepat sembilan bagian dari Lencana Ketua,”
puji Wulan Kumala mendengar penilaian dari pemuda
berbaju biru yang sebelum telah membuatnya kagum
dengan analisisnya.

“Jika kau tahu kau kalau aku bisa melihat benda ini,
bakalan pingsan kau, Cah Ayu!” kata hati Jalu, tapi
luarnya ia berkata lain, “Jangan terlalu memujiku, nanti
aku besar kepala, Wulan.”
Sambil menyerahkan Lencana Ketua, Jalu berkata,
“Apa kau yakin bahwa benda itu asli?”
“Aku yakin benda itu asli.”
“Seberapa yakin?”
“Sepuluh bagian.”
“Bagaimana kau yakin?”
“Karena kami berdua pernah melihatnya.”
“Pernah memegangnya?”
“Belum! Sama sekali belum pernah.”
“Pernah melihat sisi belakang dari lencana itu?”
“Sama sekali belum!” sahut dua gadis bersamaan,
dalam hati mereka berpikir sama, “Kenapa
pertanyaannya semakin lama semakin aneh?”
Si Jalu bangkit berdiri sambil menggendong tangan di
belakang punggung dan berbalik membelakangi dua
gadis teratas dari Perguruan Sastra Kumala.
“Kalian pernah lihat ayam betina?” tanya Jalu
kemudian.
Dengan mulut tersenyum simpul menahan tawa
karena pertanyaan Jalu yang lucu, Sari Kumala
menjawab, “Tentu saja pernah. Makan ayam betina saja
aku juga pernah. Digoreng atau dibakar, bahkan teramat
sering malah.”
“Kalau begitu ... kalian pernah melihat ayam bertelur,
bukan?”

“Di belakang pondok kami, ada kandang ayam.
Bahkan beberapa diantaranya sedang mengerami
telurnya. Memangnya ada apa sih kau tanya perkara
ayam dan telur pada kami?” seloroh Wulan Kumala,
hingga akhirnya ia tertawa lepas.
Sambil membalik badan menghadap ke arah dua
gadis itu, Jalu bertanya, “Kalau begitu ... tentu kalian
pernah memasukkan jari ke dalam brutu?” (brutu =
lubang telur ayam, bahasa jawa).
Mendengar pertanyaan kali ini, dua gadis itu semakin
tertawa lepas saja.
“Hi-hi-hik ... kau ini aneh-aneh saja, Jalu! Buat apa ... ”
“Disitulah masalahnya!” potong Jalu dengan cepat.
Sontak, tawa lepas Wulan dan Sari Kumala lenyap
bagai digondol setan!
“Masalahnya?”
“Ya, disitulah masalahnya! Masalah sepele yang
terlewatkan oleh kalian semua!” kata Jalu dengan tegas.
“Bisa kau jelaskan pada kami, Jalu?” pinta Sari
Kumala.
“Dengan senang hati!” kata Jalu, lalu ia kembali duduk
ke tempat semula, lalu katanya dengan mimik muka
serius, “Jika kalian tidak pernah memasukkan jari ke
dalam lubang telur ayam untuk mengetahui apakah ayam
betina itu mau bertelur atau tidak, bukankah itu sama
artinya dengan kalian yang belum pernah menyentuh
sama sekali Lencana Ketua. Hanya dengan melihat
bentuk luarnya saja kalian berdua lantas begitu yakin
bahwa benda itu adalah asli.”
“Lalu?”

“Dalam hal ini, perangkap orang ketiga telah berhasil
untuk ke sekian kalinya.”
Jika orang menggali lubang dan si penggali terperosok
ke dalamnya tanpa disadari adalah suatu kemungkinan
yang wajar, tapi jika berkali-kali terperosok ke dalam
lubang sama, sulit sekali menerima kenyataan itu dalam
suatu kewajaran!
Sari Kumala dan Wulan Kumala saling pandang
dengan tatapan tak percaya!
Bersamaan dengan itu, dua gadis cantik itu
memandang Jalu dengan tatapan penuh pertanyaan.
“Pernahkah kalian memberikan barang kesayangan
atau milik pribadi yang paling kalian sayangi kepada
orang lain?”
“Tidak pernah!” sahutnya bersamaan.
“Bukankah itu sama halnya dengan Lencana Ketua
yang kalian bawa,” kata Jalu Samudra, “Tidak mungkin
Nyai Guru kalian memberikan begitu saja lencana
lambang Ketua Perguruan Sastra Kumala pada
sembarang orang. Jika hal itu sampai terjadi, bukankah
itu sama artinya bahwa ... ia memberikan tampuk
pimpinan tertinggi perguruan kepada si Pemegang
Lencana!?”
Deg!
Kembali jantung dua gadis itu berdetak kencang,
mungkin lebih kencang dari larinya kuda yang dikejar
macan!
“Kalau begitu ... ”
“Ada kemungkinan bahwa Lencana Ketua kalian
dipalsukan dan delapan bagian aku yakin, bahwa Ketua

kalian saat ini dalam tawanan pihak ketiga yang
memasang perangkap.” tandas Si Pemanah Gadis.
Deg!
Kembali jantung mereka berdetak lebih kencang lagi.
“Kalau begitu, apakah artinya bahwa Istana Jagat
Abadi adalah dalang dari semua ini? Lalu apa tujuan
mereka melakukan semua ini?” desah Sari Kumala
sambil matanya menerawang ke atas.
“Belum tentu!”
“Belum tentu? Apa maksudmu?” tanya Wulan Kumala,
heran.
“Aku sendiri juga belum yakin dengan dugaanku, tapi
kalian perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang
masalah ini.”
“Apa harus kami?”
“Mungkin salah seorang dari teman kalian juga bisa.”
kata Jalu.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa tidak mungkin?” tanya Si Pemanah Gadis
heran.
“Jika dilihat dari tataran ilmu, rata-rata kami bersaudari
selain aku dan Wulan, masih dalam tahap pematangan
ilmu tahap ke dua,” kata Sari Kumala, “ ... dan itu bisa
membuat mereka kehilangan kontrol hawa murni
sewaktu-waktu.”
“Tenaga kalian buyar?” tanya Jalu heran.
“Bukan buyar, tapi kadangkala meluap tanpa kendali!”
“Heran, kenapa ada ilmu semacam itu?” gumam Jalu
Samudra.

“Menurut Kitab ‘Bunga Matahari’ milik Nyai Guru,
untuk sanggup mengendalikan luapan hawa murni,
minimal harus bisa melewati tahap ke tiga dari daya inti
'Air Panas Tenaga Surya'!”
Jalu Samudra manggut-manggut.
“Kalian sendiri sampai tahap berapa?”
“Aku tahap ke empat dan Wulan mendekati tahap ke
lima,” kata Sari Kumala. “... dan itu artinya kami berdua
harus membimbing saudari-saudari kami hingga
mencapai tahap ketiga.”
“Butuh waktu berapa lama?”
“Kira-kira butuh waktu dua minggu ke depan.”
“Bagaimana dengan Nyai Guru Tirta Kumala?”
“Beliau sudah mencapai tahap tujuh. Tahap
pamungkas sempurna!” kata Sari Kumala dengan nada
bangga, sambungnya, “Saat tahap tujuh terlampaui,
barulah jurus Pukulan 'Jambu Surya' bisa dipelajari
dengan tuntas.”
“Wulan, bukankah beberapa hari yang lalu, Beda
Kumala sudah menyelesaikan tahap ke tiga?”
Seperti diingatkan oleh sesuatu, Sari Kumala berkata,
“Benar! Jika begitu tidak ada halangan baginya untuk
melakukan penyelidikan ke Aliran Danau Utara maupun
Istana Jagat Abadi.”
“Betul sekali, Wulan! Tengah malam nanti
kemungkinan besar Beda Kumala akan pulih kembali.”
“Tapi ... ”
“Tapi apa?” tanya Sari Kumala.

“Kondisinya baru saja pulih dari cedera keracunan.
Apa tidak berbahaya jika ia berangkat sendirian?”
“Mungkin salah seorang dari kalian bisa
menemaninya.” usul si pemuda bertongkat hitam.
Keduanya menggeleng lemah.
Mendadak, Wulan Kumala berkata dengan lirih,
“Bagaimana jika kau yang menemaninya, Jalu?”
Meski lirih, namun karena suasana yang cukup sepi
dan cuma ada mereka bertiga, suara lirih pun menjadi
cukup jelas di dengar oleh telinga siapapun yang ada di
tempat itu.
“Aku?” sahut Jalu sambil menunjuk dirinya. “Kenapa
harus aku?”
“Karena kau adalah orang luar, Jalu!”
“Bukankah justru karena aku orang luar perguruan,
maka seharusnya aku tidak boleh ikut campur?”
“Istana Jagat Abadi juga pihak luar, tapi mereka juga
mencampuri urusan dalam perguruan kami. Jadi ... tidak
ada salahnya kami juga meminta bantuan pihak luar
untuk menuntaskan silang sengketa kitab perguruan
kami,” tutur Sari Kumala.
“Walah ...”
“Jalu, kami mohon ... ”
“ ... dengan sangat!” imbuh Sari Kumala.
Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal
Bertangan Naga jadi serba salah. Membantu salah, tidak
membantu juga tidak enak hati!
“Aduh, bagaimana ya?” gumam Jalu Samudra alias Si
Pemanah Gadis sambil garuk-garuk kepala.

“Ayolah ... kumohon ... ” pinta Sari Kumala, padahal
dalam hati ia merutuki dirinya, “Heran! Kenapa aku begitu
ingin sekali pemuda buta di depanku ini membantu kami!
Kenal juga baru hari ini. Benar-benar aneh apa yang aku
alami hari ini, seolah pemuda didepanku ini memiliki daya
tarik tersendiri dalam pandangan mataku. Entah di
bagian mana, aku sendiri tidak tahu.”
Apa yang dirasakan Sari Kumala tidak jauh beda
dengan apa yang dirasakan Wulan Kumala.
“Setiap tutur kata dan senyumannya seperti memiliki
daya magis yang sanggup meruntuhkan dindinng hati
setebal apa pun,” pikirnya, “ ... atau jangan-jangan
pemuda buta ini memiliki sejenis ilmu pelet yang bisa
membuat para gadis tergila-gila padanya?”
Justru apa yang dipikirkan Jalu berbeda jauh bagai
siang dan malam!
“Jika kubantu mereka, naga-naganya bisa
menghabiskan waktu enam tujuh hari di depan,” kata
hatinya, “Tapi jika tidak kubantu, kasihan sekali mereka.
Bisa-bisa mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Andai dua puluh orang gadis
berilmu tinggi seperti mereka jika digunakan untuk
menghancurkan keangkaramurkaan tidak masalah, tapi
kalau disetir supaya mengumbar angkara murka? Hiih ...
amit-amit deh ... !”
Setelah menimbang, mengingat dan melihat, akhirnya
Jalu mengambil keputusan.
“Baik! Aku terima permohonan bantuan kalian berdua.”
“Terima kasih, Jalu!”
“Tapi dengan syarat.”

“Apa pun syaratnya, kami akan penuhi,” kata Sari
Kumala tanpa sadar.
Seulas senyum terukir di sudut bibir si pemuda.
“Apa pun?” tanya Jalu Samudra menegaskan.
“Ya! Apa pun ... ”
Tiba-tiba suara Sari Kumala tercekat di leher. Gadis
cantik itu menyadari sesuatu. Sesuatu yang berhubungan
dengan ‘apa pun’. Perkataan ‘apa pun’ bukankah sama
artinya dengan ‘apa saja yang kau minta dari kami, tentu
kami akan mengabulkan semua?’
Seraut wajah Sari Kumala langsung pucat pasi!
“Aku terima!” kata Jalu, pendek.
“Maksudku adalah ... ”
“ ... apa pun permintaanku selama tidak menentang
kebenaran, menentang hukum rimba persilatan dan hati
nurani akan kalian kabulkan,” kata Si Pemanah Gadis,
“Begitu bukan, maksudmu?”
Sari Kumala mengangguk pelan, pikirnya, “Untung dia
tidak minta macam-macam.”
“Kalau begitu, permintaan pertama ... ”
“Lho, kerja saja belum kok sudah ada permintaan?”
protes Wulan Kumala. “Ngga bisa!”
“Tapi ini wajib kalian penuhi!”
“Apa itu harus? Dan kapan?”
“Harus dan sekarang juga!”
Dua gadis itu kembali saling pandang.
“Baiklah ... apa permintaanmu?” tanya Sari Kumala
dengan lesu.

Jalu Samudra tersenyum kecil melihat lagak-lagu
gadis didepannya itu.
“Aku minta kalian menemaniku ... ”
“Apa!? Tidak mau!”
“ ... makan malam!” lanjut Jalu sambil tertawa lebar.
Dua gadis itu langsung menghembuskan napas lega.
“Cuma itu saja?”
“Dari tadi pagi aku belum makan sesuap nasi pun! Dan
kalian sebagai tuan rumah juga tidak menyediakan
minuman sedikit pun pada tamu seperti aku ini.” Pikirnya,
“Kena juga kalian aku kadali!”
Dua gadis cantik itu kembali menarik napas lega.
“Kukira kau minta apa?” sahut Wulan Kumala sambil
bangkit berdiri.
“Lho, memangnya dalam kepalamu apa yang
terlintas?” tanya Jalu menggoda.
“Tidak ada!” ucap Sari Kumala ketus.
Sore itu pula ...
Jalu Samudra menjadi tamu kehomatan Perguruan
Sastra Kumala. Tentu saja sebagai tamu harus menurut
dengan apa kehendak tuan rumah yang notabene
seluruh penghuninya adalah para gadis yang rata-rata
cantik molek. Beruntunglah Jalu karena ia buta (itu
menurut anggapan mereka), meski ia sepuluh bagian
adalah laki-laki tampan yang menarik dengan postur
tubuh tinggi tegak, yang seharusnya tidak bisa masuk
seenak perutnya sendiri ke dalam ruang mana pun di
dalam perguruan itu.
Dua hari kemudian ...

Dua sosok bayangan terlihat berlompatan dari pohon
ke pohon. Jika dilihat dengan teliti, terlihat sekali
bayangan hijau yang di depan membimbing sesosok
bayangan biru yang tepat berlari di belakangnya.
Beberapa kali terlihat si bayangan biru hampir saja
terperosok jatuh dari atas pepohonan, namun dengan
sigap pula si bayangan hijau menolongnya.
Siapakah dua sosok bayangan yang sedang
berkelebatan menuju utara itu?
Mereka tak lain dan tak bukan adalah Si Pemanah
Gadis atau Jalu Samudra dan Beda Kumala adanya!
Setelah sembuh dari Racun ‘Ular Karang’, Beda
Kumala berniat menyelidiki Aliran Danau Utara yang
dicurigai oleh pihak Perguruan Sastra Kumala telah
mencuri kitab milik perguruan yang bernama Kitab
‘Bunga Matahari’ sekaligus mencari keberadaan Nyai
Guru Tirta Kumala yang menghilang sekian waktu
lamanya. Mulanya Tinara dan beberapa murid berniat
menyelidiki sendiri, namun oleh Sari Kumala dan Wulan
Kumala dilarang keras, sebab jika semua orang pergi ke
Aliran Danau Utara, lalu siapa yang menjaga perguruan?
Dan yang paling utama, tingkat ilmu mereka harus
dimatangkan terlebih dahulu!
Akhirnya diputuskan, bahwa pihak Perguruan Sastra
Kumala meminta bantuan pada Jalu Samudra yang
memang benar-benar orang luar perguruan dan
mengutus Beda Kumala mendampingi si pemuda berbaju
biru. Mulanya hal ini diprotes oleh Ratih Kumala dan
Tinara Kumala yang diam-diam naksir sang pendekar,
tapi dengan pertimbangan bahwa Beda Kumala sebagai
saksi hidup terbunuhnya Garan Arit alias Si Pendekar
Dari Utara, mau tidak mau mereka harus mengalah.
Padahal sebenarnya mereka ingin mengikuti Jalu karena

rasa ketertarikan pada diri si pemuda murid Dewa
Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga. Entah pada
bagian mana yang membuat dua gadis cantik dari
Perguruan Sastra Kumala tertarik pada sosok Jalu
Samudra ini.
Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari
bahwa pemuda yang mereka anggap sebagai orang buta
dan berilmu pas-pasan itu memiliki kesaktian tanpa
tanding. Kesaktian paling langka dan paling dicari para
pendekar dunia persilatan masa silam dan masa kini
yang justru berada di dalam genggaman tangan si
pemuda buta yang di kalangan persilatan mendapat
julukan sebagai Si Pemanah Gadis. Andai mereka
mengetahui jati diri sesungguhnya dari Jalu Samudra,
mungkin bukan hanya dua atau tiga orang yang ikut
meluruk ke Aliran Danau Utara, tapi dua puluh orang
gadis cantik bakal berada di belakang si pemuda tangguh
ini!
Celakanya lagi, tanpa Jalu sadari pula, bahwa dalam
dirinya telah muncul sebentuk kekuatan aneh yang bisa
membuat gadis mana pun menaruh perhatian pada
dirinya luar dalam. Sejenis kekuatan pemikat atau
penakluk lawan jenis yang mendarah daging dalam diri si
pemuda. Hal ini terjadi sejak ia menelan buah Naga Kilat
dan Bibit Matahari pada dua belas tahun silam, hingga
secara tidak langsung pula si pemuda selain memiliki
tenaga dalam langka tingkat tinggi bernama Ilmu ‘Tenaga
Sakti Kilat Matahari' tingkat sembilan yang di kalangan
pendekar disebut-sebut sebagai Ilmu Sakti 'Mata
Malaikat', juga kebal terhadap segala jenis racun baik
yang berwarna, berbau dan tanpa warna tanpa bau,
bahkan dalam Kitab ‘Kembang Perawan’ milik istrinya
Kumala Rani di bagian tengah dibeberkan sedikit

mengenai beberapa jenis racun berbahaya yang beredar
di dunia persilatan.
Kali ini dalam pengembaraannya Jalu Samudra,
dengan terpaksa membantu pihak Perguruan Sastra
Kumala (meski tidak ada yang maksa sih).
--o0o--
BAGIAN 8
Seorang laki-laki berdiri dengan menggendong tangan
di belakang punggung, berdiri membelakangi delapan
orang berbaju hitam beludru yang berdiri tepat di
belakangnya.
Ki Wira, demikian namanya, seorang laki-laki tua
dengan tubuh tinggi ceking menjulai mendekati dua
tombak. Beberapa saat kemudian, ia membalik badan,
sehingga kelihatan jelas bentuk raut muka tirus yang
penuh kerut merut karena usia tua. Tidak ada yang
menarik sedikit pun pada laki-laki yang kini berdiri
petentang-petenteng di hadapan delapan anak buah
kakaknya ini, kecuali sinar mata licik dan kejam tergurat
jelas di wajah yang penuh dengan bercak-bercak putih
dilengkapi dengan sejumput jenggot warna kuning
kehitaman macam jenggot kambing.
Meski ilmu silatnya tidak begitu tinggi alias biasa-biasa
saja, tapi justru ilmu meringankan tubuh dan racunnya
luar biasa tinggi. Di balik baju kuning kusamnya yang
kedodoran, terdapat puluhan bahkan mungkin ribuan
jenis racun dan lusinan senjata gelap yang dinamai
Jarum Lebah Terbang yang tidak pernah lepas satu
jengkal pun dari tubuh tinggi cekingnya. Mungkin berak
sekalipun benda-benda kesayangannya tetap melekat

pada di tubuh keroposnya. Julukan sebagai Raja Jarum
Sakti Seribu Racun diberikan pada dirinya sendiri karena
ia menganggap bahwa dialah satu-satunya orang yang
paling lihai dan hebat dalam olah racun dan punya
keyakinan tinggi bahwa tanpa ada satu pun lawan yang
sanggup menghindari lemparan senjata Jarum Lebah
Terbangnya.
Meski hanya tokoh kelas dua, tapi Raja Jarum Sakti
Seribu Racun justru menganggap dirinya sebagai tokoh
nomor satu rimba persilatan!
“Goblok! Kenapa kalian begitu ceroboh!” bentak
seorang tua dengan raut muka tirus.
“Kami tahu telah salah tangan, Ki Wira!” sahut Pedang
Dewa, mewakili teman-temannya. “Maafkan kami!”
“Bukan hanya salah tangan, tapi tindakan kalian yang
seenaknya sendiri bisa mempengaruhi rencana utama
kita,” kembali orang tua yang di panggil Ki Wira
membentak, “Kalau sampai Ketua sendiri yang
mendengarnya, entah mau diletakkan dimana kepala
kalian sekarang ini!”
Delapan orang berbaju hitam beludru tercekat!
“Kami benar-benar tidak terima dengan tingkah Garan
Arit yang telah mempecundangi salah seorang kawan
kami, Ki Wira,” elak Pedang Dewa. “Kukira ... nyawa
busuknya cukup pantas untuk ... ”
“Aaaah ... kau cuma pintar pentang mulut saja,
Pedang Dewa, tapi otakmu di dengkul!” potong Raja
Jarum Sakti Seribu Racun dengan tangan kiri mengibas.
Serangkum hawa padat membuat orang-orang anak
buah pimpinan Pedang Dewa terjajar dua tiga tindak ke
belakang.

Tidak dinyana bahwa tindakan mereka menghabisi
Pendekar Dari Utara, salah seorang murid Aliran Danau
Utara siang tadi bisa membuat Ki Wira meradang.
Padahal rencana mereka berdelapan sudah dimatangkan
selama beberapa hari, namun hanya terlaksana satu
rencana. Dua rencana yang gagal adalah mencederai
murid Perguruan Sastra Kumala dan dilanjutkan dengan
meletakkan mayat Pendekar Dari Utara di wilayah
kekuasan Perguruan Sastra Kumala.
Rencana ini gagal secara tidak sengaja karena turut
campurnya si pemuda buta!
“Bangsat! Kalau bukan dirimu orang dekat Ketua,
sudah kukirim kau ke neraka jauh-jauh hari!” kata hati
Pedang Dewa. “Memangnya kau ini siapa, berani tunjuk
perintah seenaknya pada kami!?”
“Apa kalian tahu siapa pemuda yang menghalangi
kalian?” tanya Ki Wira dengan gusar.
“Tidak! Ia tidak menyebutkan nama atau gelar, Ki
Wira.” sahut Trisula Kembar, datar.
“Bagaimana ciri-cirinya?”
Tombak Sakti segera angkat bicara, “Pemuda itu buta
... ”
“Apa! Jadi kalian kalah sama orang buta?” bentak Ki
Wira dengan mata melotot.
Mereka berdelapan kembali diam membisu.
Setelah mendengus untuk kesekian kalinya, laki-laki
bermuka tirus berkata, “Apa lagi?”
“Ia membawa tongkat hitam berlekuk. Bajunya biru
laut, badan tinggi tegap ... ”
Ki Wira segera memotong, ”Sebutkan ciri khususnya!”

Delapan orang itu kembali terdiam. Otaknya berusaha
mengingat kembali kejadian yang mereka alami baru
saja. Tapi sekian lama memeras otak, tidak ada yang
istimewa dari pemuda buta yang menggagalkan rencana
mereka.
“Bagaimana? Ada ciri khusus?” tanya ulang Ki Wira
pada delapan anak buahnya.
Mereka hanya menggeleng lemah.
“Dasar goblok! Mengenali lawan saja tidak becus!”
kembali Ki Wira mengumpat keras.
Tiba-tiba Karang Kiamat yang kini buta berseru, “Aku
tahu!”
“Apa yang kau tahu, Karang Kiamat?” tanya Pedang
Dewa.
“Apa kalian tidak ingat dengan jurus pukulannya?”
“Jurus pukulan yang mana?” tanya heran Tombak
Sakti.
“Jurus yang menumbangkan pohon tempat kita
bersembunyi waktu itu,” terang Karang Kiamat, lalu
sambungnya, “Bukankah ia memiliki jurus pukulan
berupa larikan sinar putih yang membentuk mata anak
panah?”
“Benar! Itu dia!” kata Trisula Kembar.
Raja Jarum Sakti Seribu Racun tercenung sesaat,
gumamnya sambil mengelus-elus jenggot kambingnya,
“Selarik sinar putih yang membentuk mata anak panah?
Baru kali ini aku dengar ada jurus semacam itu? Apa
mungkin ia murid tokoh sakti yang sekian lama tidak
menampakkan diri?”
“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, Ki.”

“Apa kalian tahu siapa saja tokoh yang memiliki jurus
semacam itu?” tanya Ki Wira. “Atau setidaknya
mengandalkan senjata panah?”
Golok Tapak Kuda yang paling pendiam membuka
suara.
“Setahuku, di wilayah tenggara ada tokoh yang
berjuluk Panah Tengkorak, tapi aku yakin ia tidak
memiliki jurus tenaga dalam yang berbentuk anak panah.
Senjata andalannya adalah Gendewa Panah Pendek,
bukan jurus seperti yang kami lihat,” tutur Golok Tapak
Kuda.
Meski berbadan pendek kekar, tapi senjata yang juga
bernama Golok Tapak Kuda yang berada di punggung
justru besar melebar ke samping, mungkin lebarnya
sekitar satu setengah tombak dan yang aneh, tidak ada
mata golok disana. Entah di bagian mana senjata
berbentuk kotak itu bisa di sebut golok.
“Hemm, Panah Tengkorak!? Aku kenal dengan tokoh
itu. Tidak mungkin ia punya murid seperti pemuda buta
yang kalian maksudkan,” tutur Raja Jarum Sakti Seribu
Racun setelah mendengar penjelasan anak buahnya.
“Ki Wira yakin?” tanya Gada Maut yang bertubuh
gempal dengan kumis tebal sebesar pisang ambon, tapi
lucunya justru ia bersuara kecil melengking.
“Setan! Jadi kau meragukan perkataanku!?” bentak
laki-laki itu meradang.
“Bukan begitu, Ki! Kita tidak tahu apa, siapa dan
bagaimana si Panah Tengkorak itu. Bisa saja ia
mengangkat murid di luaran ... ” sela Gada Maut dengan
dibesar-besarkan.

Sambil mendengus karena perkataannya tidak
dipercaya, Raja Jarum Sakti Seribu Racun berkata
dengan mata mendelik, “Panah Tengkorak adalah orang
paling pelit dalam segala hal, tapi ia juga rakus dalam
semua hal. Rakus harta, kedudukan dan juga wanita.
Semua yang dilakukannya harus membuat ia
mendapatkan keuntungan namun ia paling pelit jika
memberi sesuatu apa pun bentuknya,” terang Ki Wira.
“Jadi ... kalau ia mengangkat murid itu adalah hal yang
mustahil terjadi. Ia hanya ingin ilmu silatnya, ia sendiri
yang memilikinya!”
“Lagi pula, setahuku Panah Tengkorak hanya keluar
jika ada hal-hal genting dan itu pun hanya untuk
kepentingannya sendiri,” ucap Cambuk Pemutus Nyawa.
“Lalu bagaimana dengan Pemanah Dewa Dua
Nyawa? Bukankah ia juga tokoh yang patut kita curigai?”
kata Trisula Kembar. “Sepengetahuanku Pemanah Dewa
Dua Nyawa mempunyai ilmu pukulan yang bernama
‘Panah Kayu Pemecah Bintang’?”
“Trisula Kembar, apa kau tidak tahu bahwa sudah dua
puluh tahun ini kalau Pemanah Dewa Dua Nyawa tidak
pernah terdengar lagi kabar beritanya. Mungkin saja
sudah sejak dua puluh tahun lalu ia mampus dimakan
cacing tanah dan kini tinggal tulang belulangnya,” kata
datar Cambuk Pemutus Nyawa.
“Berarti kau yang tuli, Cambuk Pemutus Nyawa!”
“Apa maksud perkataanmu, Trisula Kembar!?” bentak
Cambuk Pemutus Nyawa sambil meraba gagang
cambuknya.
Dengan nada menghina Trisula Kembar menjawab,
“Setengah tahun lalu, Pemanah Dewa Dua Nyawa
membantu Kerajaan Danaraja untuk menggulung

Komplotan Pondok Setan yang mengganas di wilayah
kerajaan itu. Bahkan Panglima Bratasena sendiri yang
meminta bantuan tokoh ini.”
“Darimana kau tahu kalau ... ”
Dengan mata sedikit menyipit, Trisula Kembar
memotong, “Sebab aku adalah salah satu pucuk
pimpinan dari Komplotan Pondok Setan! Puas!?”
Tujuh orang itu terpana mendengar penjelasan singkat
tersebut.
“Rupanya delapan orang bawahanku ini memang
saling tidak mengetahui asal-usul mereka sebenarnya,”
batin Raja Jarum Sakti Seribu Racun, “Entah dengan
cara bagaimana Raja Iblis Pulau Nirwana sanggup
membuat mereka tunduk? Aku yakin, jika aku yang
menundukkan mereka, tak bakalan mereka berdelapan
begitu setia dan taat pada perintahku? Beruntunglah
Ketua menugaskanku memimpin mereka, bukan
menaklukkan delapan orang tak punya otak ini!”
Dengan dua tangan diangkat ke atas, Ki Wira berkata,
“Sudah cukup! Hentikan perang mulut kalian yang sudah
basi itu! Kita kembali ke pokok permasalahan.”
Begitu mendengar ucapan Raja Jarum Sakti Seribu
Racun, delapan orang itu langsung bungkam, hanya
sorot mata Trisula Kembar dan Cambuk Pemutus Nyawa
seperti mengeluarkan api permusuhan.
Siapakah delapan orang yang mengaku-ngaku berasal
dari Istana Jagat Abadi?
Benarkah mereka berasal dari satu perguruan yang
sama?
Jawabnya adalah ... tidak!

Mereka berdelapan adalah tokoh hitam yang takluk
dan dikumpulkan oleh sesosok tokoh jago silat misterius
yang mereka sebut dengan Raja Iblis Pulau Nirwana.
Mulanya, mereka berdelapan adalah para perampok dan
penjahat paling dicari di seantero jagat persilatan karena
sepak terjang mereka yang merugikan semua kalangan.
Namun, pada akhirnya mereka berdelapan dikalahkan
oleh Raja Iblis Pulau Nirwana yang tidak diketahui apa
dan bagaimana bentuk wajahnya.
Entah dengan cara bagaimana, delapan orang tokoh
hitam ini bisa kalah dalam tempo singkat!
Siapa sebenarnya sosok misterius itu, tidak ada yang
tahu dengan pasti. Ia hanya sesosok samar, sosok
antara ada dan tiada, seperti asap tertiup angin. Bahkan
sosok misterius itu bisa berada dimana saja dan kapan
saja ia mau menampakkan diri, juga tidak ada yang tahu.
Hanya satu yang mereka ketahui, bahwa sosok itu
mengatakan sendiri bahwa ia berasal dari Pulau
Nirwana, entah dimana adanya pulau itu, mereka semua
tersebut tidak ada yang tahu dengan pasti. Untuk
memudahkan mereka dalam penyebutan, akhirnya
digelari dengan Raja Iblis Pulau Nirwana!
Dan sebagai wakilnya, Raja Iblis Pulau Nirwana
menunjuk Raja Jarum Sakti Seribu Racun yang diakuinya
sebagai adik. Namun anehnya, Raja Jarum Sakti Seribu
Racun sendiri juga orang taklukan dari Raja Iblis Pulau
Nirwana dan ia sama butanya dengan delapan orang
bawahannya, tidak mengetahui secara pasti siapa
adanya Raja Iblis Pulau Nirwana tersebut.
Hanya satu hal yang pasti, bahwa keberadaan mereka
bersembilan, termasuk Ki Wira atau Raja Jarum Sakti
Seribu Racun harus membuat geger di rimba persilatan

dengan mengadu domba antar perguruan silat atau
padepokan yang ada di Tanah Jawa.
Bahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun sendiri secara
tersamar ditugasi untuk mencari keterangan tentang
adanya benda pusaka yang memiliki unsur air dan unsur
api. Entah dengan tujuan apa mencari benda tersebut,
hanya perintah itu saja yang ia terima dari Raja Iblis
Pulau Nirwana. Bahkan untuk membantu mencari benda
yang dimaksud, Raja Iblis Pulau Nirwana membekali
Raja Jarum Sakti Seribu Racun dengan sebuah ilmu
kesaktian yang bisa menyadap kesaktian orang lain
dalam sekali lihat sekaligus bisa membedakan unsur
yang menyertai ilmu tersebut.
Dua setengah tahun yang lalu, kakek ahli racun ini
berhasil menyirap kabar tentang adanya dua kitab yang
memiliki dua unsur yang berlainan seperti yang
diinginkan oleh Raja Iblis Pulau Nirwana, dan begitu
mendengar kabar ini, Raja Iblis Pulau Nirwana langsung
memerintahkan Raja Jarum Sakti Seribu Racun untuk
mengambil benda yang dimaksud.
--o0o--

BERSAMBUNG