Sengketa Kitab Pusaka Air Api Bag. 05


BAGIAN 19
Wulan Kumala yang paling teliti diantara sesama
saudara perguruannya, melihat sesuatu yang tidak wajar
sedang dilakukan oleh Trisula Kembar.
“Aneh, jelas-jelas dia dalam keadaan tertotok namun
kulihat ujung tangannya bisa bergetar pelan. Pasti ada
apa-apanya ini,” kata hati Wulan Kumala sambil
meloloskan gagang pedang pendek dari balik baju.
Ratih Kumala yang menyandang busur melihat apa
yang dilakukan oleh Wulan.
“Ada apa, Wulan?” bisiknya.
“Aku melihat sesuatu yang mencurigakan,” kata Wulan
Kumala. “Lebih baik kau siap-siap menanti
perkembangan. Gunakan anak panahmu! Cari posisi
yang tepat dan sasarannya adalah laki-laki di sana. Aku
mau melakukan sesuatu sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban dari Ratih Kumala, gadis
baju hijau itu segera berjalan mendekat ke arah Gelang
Bintang, lalu berjongkok tepat di belakang kepala
pemuda tanpa telinga.
Saat itu, Gelang Bintang sendiri sedang mengamatamati
ke arah Trisula Kembar, pikirnya, “Bagus! Trisula
Kembar sudah hampir berhasil membuka totokan. Dalam
keadaan terkepung seperti ini, jurus ‘Belut Hitam Melipat
Bumi’ paling cocok digunakan. Aku juga harus bersiapsiap
dari sekarang.”

Tentu tatapan mata Gelang Bintang yang selalu
mengarah ke temannya, bisa dilihat Wulan Kumala dari
samping belakang.
“Hemm ... pasti dia sedang menanti sesuatu yang
berhubungan dengan tanah,” pikir Wulan Kumala sambil
berjongkok tepat di belakang Gelang Bintang yang
tergeletak di tanah. “Jangan-jangan ia memiliki Ilmu
‘Belut Putih’? Tapi jika benar ia memiliki ilmu itu, kenapa
waktu kami tangkap ia tidak bisa meloloskan diri?”
Sambil berbisik pelan, diangkatnya kepala Gelang
Bintang, “Jika kau dan temanmu berniat melarikan diri
lewat jalan tanah, aku punya sedikit kenang-kenangan
untukmu.” Lalu tangan kirinya meletakkan mata pedang
pendek di bawah tengkuk dalam posisi tajam
bersentuhan langsung dengan kulit dan daging.
Cress!
Tajamnya mata pedang pendek mengiris sedikit
bagian tengkuk Gelang Bintang saat kepala pemuda itu
diletakkan kembali ke tanah. Dan tentu saja darah mulai
menetes keluar. Namun karena tertutup tebalnya rambut
dan memang sudah adanya ceceran darah, membuat
orang-orang yang ada di tempat itu tidak menaruh
perhatian sama sekali.
Setelah itu Wulan Kumala langsung bangkit berdiri dan
berjalan lambat-lambat ke arah Trisula Kembar.
Tentu saja hati Gelang Bintang kebat-kebit saat
merasakan hawa dingin menyayat di bagian tengkuk.
Dan lagi, ia juga melihat gadis yang meletakkan benda
tajam di bawah lehernya juga berjalan ke arah Trisula
Kembar.
“Celaka! Kalau benar Trisula Kembar ingin meloloskan
diri lewat jalan tanah dengan jurus ‘Belut Hitam Melipat

Bumi’, bisa mati tanpa kepala, nih!” pikir Gelang Bintang,
panik. “Aku harus memperingatkannya! Harus!”
Berulangkali ia berusaha berteriak, namun hanya
sebentuk seringai saja yang keluar.
“Setan keparat! Totokan ini sulit sekali dibukanya!”
keluh Gelang Bintang dalam hati, dan hal ini membuat
Gelang Bintang tidak bisa berbuat lebih banyak lagi
selain sepasang matanya yang membeliak-beliak lebar
seperti orang kesurupan.
“Jadi ... yang mengetuai Istana Jagat Abadi sekarang
ini bukanlah Ki Harsa Banabatta yang dijuluki Si Tangan
Golok? Dan digantikan oleh Raja Jarum Sakti Seribu
Racun, begitu?” tanya Gabus Mahesa.
“Betul! Ketua Istana Jagat Abadi yang asli, kami
masukkan ke dalam kamar tahanan bawah tanah
bersama seluruh tiga puluh orang murid-muridnya,” ucap
Trisula Kembar, pikirnya, “Bagus. Aku sudah bisa
menggerakkan sepuluh jariku. Sekarang saat meloloskan
diri sudah tiba.”
Saat ia melirik ke arah Gelang Bintang, ia melihat
mata kawannya membeliak-beliak liar.
“Rupanya dia sudah paham dengan maksudku,” kata
hati Trisula Kembar, sambil mengangguk-angguk pelan,
sehingga ia mendesis tanpa sadar, “Bagus!”
“Apanya yang bagus?” tanya Watu Humalang dengan
heran.
Sambil menyeringai, Trisula Kembar pun berkata,
“Bagus maksudku adalah ... selamat tinggal!”
Begitu kata ‘selamat tinggal’ terlontar, terjadi hal yang
luar biasa!

Tanah di sekitar Trisula Kembar melunak dengan
cepat.
Cepat dan cepat sekali!
Bless!
Semua orang yang ada di tempat itu berloncatan
menjauh.
Belum lagi Watu Humalang dan Gabus Mahesa
bertindak dengan apa yang terjadi, sosok Trisula Kembar
yang sejarak satu tombak dengan mereka mendadak raib
di telan tanah. Bersamaan dengan itu pula, sebentuk
anak panah melesat cepat, menembus masuk ke dalam
tanah lunak.
Jlebb!
Rupanya, Ratih Kumala yang sedari awal sudah
merentang busur lengkap dengan panah, segera
melepaskan senjatanya dan tepat masuk ke dalam tanah
bersamaan dengan raibnya Trisula Kembar.
Belum lagi keterkejutan mereka hilang, terdengar
suara menjerit tertahan, “Eeekh!”
Crass!
Kepala pemuda tanpa telinga tergeletak begitu saja di
atas tanah!
Rupanya, Trisula Kembar berhasil menarik tubuh
Gelang Bintang dari dalam tanah seperti belut saja
layaknya. Akan tetapi, mata pedang pendek yang ada di
bawah tengkuk sang kawan di luar perhitungan sosok
yang tenggelam dalam tanah itu, sehingga waktu saat
berhasil menarik tubuh Gelang Bintang masuk ke dalam
tanah, yang tertinggal hanyalah sosok tubuh tanpa
kepala!

Begitu melihat tawanan mereka melarikan diri dengan
cara menenggelamkan diri ke dalam tanah, Raden
Wiratama segera bertindak. Telapak tangan terbuka si
pemuda bangsawan langsung menghantam tanah.
Bughhh ... !
Bumi terasa berguncang kala jurus ‘Naga Air
Menggebah Bumi’ digelar. Seantero dalam tanah dalam
jarak lima tombak bagai diaduk tangan raksasa disertai
semburan hawa dingin. Beberapa kedukan tanah
semburat diselimuti butiran-butiran es yang tidak
terhitung jumlahnya. Bahkan potongan kepala Gelang
Bintang terpental kesana kemari seperti ditendang
puluhan orang.
Namun, sosok Trisula Kembar benar-benar lenyap di
telan bumi!
Beberapa murid Perguruan Sastra Kumala sampai
berdecak kagum melihat peragaan jurus yang dilakukan
salah satu murid Aliran Danau Utara.
“Dia berhasil melarikan diri,” desis Raden Wiratama
sambil menarik jurusnya.
“Dia benar-benar telah menjauh dari sini, mungkin
sudah puluhan tombak ... ” tutur Tiara Kumala,
sambungnya, “ ... sebab jurus ‘Detak Jantung Penghitung
Nyawa’ perguruan kami tidak bisa menembus dalam
jarak jika lebih dua puluh tombak.”
Jika sebelumnya murid-murid Perguruan Sastra
Kumala yang terkagum-kagum, kini giliran murid-murid
Aliran Danau Utara yang ternganga kaget mengetahui
kehebatan perguruan silat yang notabene berisi para
gadis cantik.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Raden
Wiratama sambil duduk berjongkok memandangi kepala
Gelang Bintang yang tertinggal. Lalu kembali
mengerahkan jurus ‘Naga Air Menggebah Bumi’.
Blubb!
Potongan kepala Gelang Bintang langsung lenyap
ditelan bumi!
Hilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, kecuali
ceceran darah yang mulai mongering.
“Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, lebih
baik kita segera menyusul Jalu Samudra dan Beda
Kumala yang lebih dahulu ke Istana Jagat Abadi,” tutur
Sari Kumala.
“Jadi Beda dan pemuda buta itu telah ada disana?”
tanya Watu Humalang, “Kalian terlalu berani membiarkan
mereka berdua menempuh bahaya!”
“Kalau begitu ... biar aku menyusul mereka sekarang
juga,” kata Gabus Mahesa. “Siapa tahu, aku bisa
membantu mereka jika terjadi apa-apa.”
“Diantara kita, hanya Adi Mahesa saja yang memiliki
jurus peringan tubuh paling tinggi,” ucap Watu Humalang
dengan nada bangga, “Adi Mahesa, kau bisa bergerak
mendahului kami. Tapi ingat ... jangan bertindak
gegabah. Dari apa yang kita dengar dari Trisula Kembar,
Istana Jagat Abadi dihuni oleh tokoh-tokoh hitam berilmu
tinggi.”
“Apakah aku boleh ikut?” tanya Tiara Kumala, sambil
memandang lekat-lekat pada lelaki tinggi besar itu.
“Sebaiknya kau menyusul saja, Tiara. Mahesa akan
kesulitan jika engkau ikut dengannya,” sahut Ratih
Kumala.

Gabus Mahesa yang paham dengan kekhawatiran
sang kekasih, segera memegang pundak gadis itu.
“Tiara, untuk sementara ini, terpaksa aku tidak bisa
mengajakmu serta. Kita harus berlomba dengan waktu.
Jika Trisula Kembar kembali lebih dulu ke istana mereka,
dapat dipastikan mereka membuat persiapan untuk
menghadapi gempuran kita. Aku hanya bertugas menjadi
telinga panjang saja. Dan lagian ... aku bukan orang tolol
yang menganggap diriku paling hebat sehingga langsung
menyerang lawan tanpa perhitungan. Kau paham
maksudku?” kata Gabus Mahesa panjang lebar.
Tiara Kumala akhirnya mengangguk. Gadis itu sadar
betul, bahwa keadaan sekarang ini dalam kondisi kritis.
Salah perhitungan sedikit saja, bisa membahayakan
nyawa orang banyak!
“Baik! Kau harus hati-hati, Kang.”
“Pasti!” sahut Gabus Mahesa, lalu sambungnya,
“Saudara-saudara sekalian! Aku berangkat dulu. Kalian
bisa menyusulku ke Istana Jagat Abadi. Aku akan
meninggalkan tanda-tanda khusus aliran kita untuk
kalian.”
Begitu kata-katanya selesai, si tinggi besar Gabus
Mahesa segera berkelebat cepat, mengerahkan tahap
tertinggi dari jurus peringan tubuh Aliran Danau Utara
yang bernama jurus ‘Air Buyar Bayangan Berlalu’.
Plasshh ... !
Sebentar saja, terlihat gumpalan cahaya putih yang
semakin menjauhi tempat itu, dan akhirnya hilang sama
sekali.
“Jurus ringan tubuh ‘Langkah Menjangan Terbang
Meloncat’ perguruanku mungkin seimbang dengan jurus

ringan tubuh milik Aliran Danau Utara,” pikir Wulan
Kumala. “Aneh! Aku merasakan bahwa setiap ilmu yang
dimiliki aliran ini merupakan pasangan dari ilmu-ilmu
perguruan kami.”
“Kakang Watu, karena diantara kita sudah tidak ada
ganjalan lagi, apa kau setuju kalau kita kembali
bersahabat seperti dulu lagi? Menjalin hubungan seperti
sebelumnya?” tanya Sari Kumala.
“Tentu saja, Sari. Tentu saja!” jawab Watu Humalang
sambil mengembangkan senyum.
“Lalu ... bagaimana dengan guru-guru kita?”
“Dari apa yang kita dengar, tampaknya berani
kupastikan bahwa Ki Gegap Gempita dan Nyai Tirta
Kumala juga turut tertawan pihak lawan. Kita harus
membebaskan guru-guru kita,” ucap Watu Humalang.
“Bagaimana saudara-saudara?”
“Setujuuuu!!” jawab semua orang yang ada di situ.
Para gadis dan pemuda yang ada di tempat itu saling
bersalaman satu sama lain. Bahkan diantara mereka
yang menjalin hubungan kasih menumpahkan dalam
bentuk pelukan mesra dan ciuman hangat.
Tiba-tiba, Sari Kumala berkata pada Watu Humalang
yang saat itu sedang menggenggam erat tangannya.
“Kakang Watu ... sebenarnya satu hal buruk yang ingin
kami sampaikan pada Kakang.”
“Ada apa, Sari!?” sahut Watu Humalang, lalu dua
tangannya bertepuk tangan dua kali.
Plok! Plokk!
Semua yang mendengar tepukan keras ini
menghentikan ‘ritual kebersamaan’ mereka sejenak.

“Ini ada hubungannya dengan Garan Arit atau
Pendekar Dari Utara,” Sari Kumala berkata.
“Katakan saja. Kami akan mendengarkan.”
“Garan Arit ... telah tewas beberapa waktu yang lalu.”
“Hah!?”
“Apa!?”
Seluruh anak murid Aliran Danau Utara terkejut
mendengar keterangan salah seorang dari murid
Perguruan Sastra Kumala.
“Siapa yang telah membunuhnya?” tanya Angklung
Penebar Maut, meradang. Diantara sesama saudara
perguruan mereka, hanya Angklung Penebar Maut dan
Pendekar Dari Utara yang paling akrab satu sama lain.
Jadi wajar saja jika ia langsung meradang mendengar
saudara karibnya telah tewas.
“Dari penuturan Beda Kumala, orang-orang Istana
Jagat Abadi-lah pelakunya. Tapi pelaku utamanya adalah
orang yang tadi terpenggal kepalanya di tempat ini, yang
bernama si Gelang Bintang,” tutur Sari Kumala sambil
melanjutkan rangkaian kronologis selengkapnya.
“Kurang ajar! Mereka harus menerima balasan yang
setimpal dengan perbuatan mereka!” desis Angklung
Penebar Maut.
“Kakang, kita tidak bisa membiarkan orang-orang
gadungan itu menginjak-injak harga diri kita,” kata
Wonoboyo yang bertubuh pendek kekar. “Kita balas
perbuatan busuk mereka!”
“Betul! Betul!” sahut beberapa orang membetulkan
ucapan Wonoboyo.

“Baik! Malam ini kita harus bisa menyelesaikan latihan
tahap akhir dari ilmu aliran kita! Kalian siap?”
“Siap!”
--o0o--
BAGIAN 20
“Apa keterangan dari Trisula Kembar bisa dipercaya,
Mahesa?” tanya Jalu Samudra.
“Aku sendiri juga tidak tahu, sebab baru dua hari aku
sini dan melakukan penyelidikan seperti kalian,” tutur
Gabus Mahesa, lalu katanya kemudian, “ ... tapi tujuan
penyelidikanku terfokus pada letak kamar tahanan bawah
tanah yang kuperkirakan berada di bagian belakang
bangunan. Namun sampai sekarang, belum ada hasilnya
... justru malah kepergok kalian berdua.”
“Kalau begitu, upaya pelarian Trisula Kembar
kemungkinan besar berhasil sampai ke markasnya.
Sebab dari beberapa hari yang lalu, kulihat banyak orang
yang berjaga-jaga di sekitar wilayah Istana Jagat Abadi
dengan tidak kentara,” sahut Si Pemanah Gadis, “Meski
begitu, mereka berbuat seolah-olah tidak terjadi apaapa.”
Lalu ia menoleh ke Beda Kumala, “Beda, apa kau
masih ingat dengan wajah beberapa orang yang
membunuh Garan Arit?”
“Masih, Kang. Kuingat jelas wajah orang-orang yang
membunuh Kakang Garan Arit dengan licik meski
tertutup dengan kotoran sekali pun!” tandas Beda
Kumala.
“Dari delapan orang yang kita ketahui raut mukanya,
telah berkurang tiga orang ... ”

“Tunggu dulu! Berkurang tiga orang?” tanya Gabus
Mahesa dengan heran.
“Benar! Satu orang tewas di Aliran Danau Utara, si
tanpa telinga yang bergelar Gelang Bintang. Yang ke dua
dan ke tiga adalah Golok Tapak Kuda dan Cambuk
Pemutus Nyawa,” kata Beda Kumala dengan nada
bangga.
“Kalian mengatakan Golok Tapak Kuda dan Cambuk
Pemutus Nyawa telah tewas?” tanya Gabus Mahesa
dengan tidak percaya. “Oleh kalian berdua?”
Dua orang yang ditanya mengangguk pasti.
Melihat anggukan Beda Kumala dan Jalu Samudra
secara hampir bersamaan, membuat kening Gabus
Mahesa berkerut.
“Setahuku, Golok Tapak Kuda dan Cambuk Pemutus
Nyawa adalah dua tokoh hitam berilmu tinggi bahkan
beberapa kali lipat lebih tinggi dariku. Trisula Kembar
berhasil kulumpuhkan itu pun hanya faktor
keberuntungan saja yang kebetulan berpihak pada
diriku,” kata Gabus Mahesa, lalu sambungnya sambil
memandang Beda Kumala, “Sedang Gelang Bintang
sendiri dengan dikeroyok tujuh delapan orang saudara
seperguruanmu, baru dapat dilumpuhkan. Aku sulit
mempercayai kalau dua orang pentolan hitam yang
kemana-mana selalu berdua itu bisa kalian bunuh. Pasti
pertempuran kalian berjalan alot dan lama.”
“Benar! Pertempuran kami berjalan lama,” kata Jalu
Samudra membenarkan. “Bahkan sangat melelahkan
sekali.”
Justru Beda Kumala berkerut kening, pikirnya, “Lama
bagaimana? Lha wong tidak sampai tidak sampai siang
hari sudah selesai!?”

“Jadi ... sekarang ini tinggal Tombak Sakti, Karang
Kiamat, Pedang Dewa, Trisula Kembar dan Gada Maut
yang masih ada,” tutur Gabus Mahesa, saat ingat
keterangan Trisula Kembar tempo hari.
“Di tambah sang Ketua, tentunya,” imbuh Jalu
Samudra.
“Benar.”
“Namun, aku yakin masih ada pihak-pihak lain yang
berada di balik semua kejadian ini,” tambah Beda
Kumala. “Tidak mungkin mereka mengadu domba dua
perguruan silat dengan alasan iseng saja.”
“Tepat sekali apa yang duga, Beda!” sahut Gabus
Mahesa cepat, lalu sambil membetulkan duduknya,
“Dalam perjalanan kemari, kujumpai beberapa tokoh silat
yang sedang melakukan pencarian terhadap beberapa
tokoh silat tertentu. Mulanya aku kira hanya acara balas
dendam antar mereka. Namun, dari apa yang mereka
bicarakan, ternyata berhubungan dengan raibnya
beberapa tokoh silat belakangan ini secara misterius.
Tidak peduli siapa mereka dan dari golongan mana,
semuanya lenyap tanpa ketahuan rimbanya. Terakhir
kali, tepatnya dua hari yang lalu, Iblis Pedang Beku dari
Sungai Hitam yang hilang dari pertapaannya.”
Beda Kumala dan Jalu Samudra tidak menyela apa
yang dikatakan oleh Gabus Mahesa. Mereka menyimak
setiap kalimat yang keluar dari murid kedua Aliran Danau
Utara ini. Tentu saja hal ini tidak pernah tertangkap
telinga dua anak muda ini, karena belakangan ini
kegiatan mereka hanya tertuju menyelidiki setiap jengkal
dari Istana Jagat Abadi.
Dengan adanya tambahan informasi ini membuat Jalu
Samudra berpikir keras, “Dari keterangan Gabus

Mahesa, aku bisa menarik satu benang merah disini.
Rata-rata dari tokoh silat memiliki ilmu silat tinggi dan
setiap dari korban mempunyai dasar ilmu yang sama
yaitu unsur air dan api. Tidak ada satu pun yang memiliki
unsur logam, kayu, batu atau unsur-unsur yang lain. Ini
benar-benar menarik!”
“Pihak lawan telah kita ketahui dan beberapa tokoh
silat aliran hitam dan putih telah hilang, meski kita belum
begitu yakin bahwa Istana Jagat Abadi adalah dalang
dari semua kekacauan, namun hal ini layak diselidiki
lebih jauh,” tutur Beda Kumala, “Kakang Mahesa, terus
apa rencanamu selanjutnya?”
“Kemungkinan besok saat terang tanah, jika tidak ada
aral melintang di jalan, rombongan dari Aliran Danau
Utara dan Perguruan Sastra Kumala akan sampai di
tempat ini. Biar aku menunggu mereka di tempat ini.”
“Benarkah?” tanya Beda Kumala dengan girang,
karena sebentar lagi ia bakalan berjumpa dengan
saudara-saudara seperguruannya.
Gabus Mahesa mengangguk pasti, “Kita harus
bergerak cepat! Dan malam ini ... kita terpaksa harus
berbagi tugas. Waktu kita tidak banyak!”
“Kakang Mahesa, lebih baik kau saja yang membagi
tugas,” kata Beda Kumala.
“Jalu, kau menyelidiki bagian belakang dari Istana
Jagat Abadi. Kukira letak penjara bawah tanah tidak jauh
dari tempat itu. Meski seorang tuna netra, aku yakin kau
memiliki kepandaian tinggi,” kata Gabus Mahesa.
“Ceileee ... orang tuna netra? Sopan amat
bahasanya!? Bilang aja orang buta, habis perkara!?” pikir
Jalu Samudra, namun diluarnya ia berkata lain, “Baiklah!
Aku akan menyelidiki bagian belakang dari Istana Jagat

Abadi dan malam ini ... tidak boleh tidak harus bisa
mendapatkan hasil,” kata Jalu Samudra menyanggupi
tugasnya, “Beda, lebih baik kau temani Mahesa di tempat
ini.”
Jalu Samudra bangkit berdiri sambil menggerakkan
tongkat hitamnya mengetuk-ngetuk tanah.
“Tidak! Beda Kumala harus ikut denganmu. Mungkin
kau butuh bantuan nantinya,” kata Gabus Mahesa,
sambungnya, “Biar aku seorang diri saja yang menunggu
mereka di tempat ini.”
“Kakang Mahesa, jaga dirimu baik-baik!” kata Beda
Kumala sambil berdiri, kala melihat Jalu Samudra alias Si
Pemanah Gadis berkelebat menjauh, ia pun segera
menyusul.
Blass!
Sosok Beda Kumala berubah menjadi segulungan
bayangan hijau yang meluncur cepat, menyusul sosok
bayangan biru yang telah berada di kejauhan sana.
“Hemm ... benar dugaanku! Jalu bukan tokoh silat
sembarangan. Dari cara berjalan yang tidak
menimbulkan suara saja sudah bisa kupastikan seberapa
hebat tenaga dalam yang dimilikinya,” gumam Gabus
Mahesa, “Mungkin beberapa tingkat di atasku.”
--o0o--
Sementara itu ...
Tiga sebelumnya, Istana Jagat Abadi kedatangan
tamu tak diundang. Dan datangnya pun tidak dengan
cara yang lazim. Bukan dari pintu depan, pintu belakang,
melompati tembok atau pun menerobos masuk lewat
genteng dan jendela, namun justru keluar dari dalam
tanah!

Brull!
Tanah keras bagian dalam, sejarak sepuluh tombak
dari sisi dalam pintu gerbang utama Istana Jagat Abadi
tiba-tiba semburat ke atas, diikuti dengan melesatnya
sesosok tubuh tinggi besar yang berjumpalitan beberapa
kali di udara dan akhirnya melayang turun ke tanah.
Jlegg!
Sosok belepotan tanah kini berdiri tegak dengan dua
tangan memondong sosok tanpa kepala!
Semua orang terpana sesaat, bahkan Pedang Dewa
yang saat itu sedang berbincang-bincang dengan Karang
Kiamat yang kini buta kedua matanya pun ternganga
sesaat. Saat rasa keterkejutan lenyap, Pedang Dewa
membentak sambil mencabut pedang besar yang
tergeletak di depan.
Srriing!
“Setan tanah darimana yang berani lancang
menerobos masuk ke dalam wilayah istana ini!”
Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula
melakukan gerak tusukan tajam.
Wutt!
Ilmu Pedang ‘Mayapada Beku’ yang dimiliki oleh
Pedang Dewa bukanlah sembarang ilmu pedang. Ilmu
pedang yang mengutamakan kecepatan gerak dikuasai
sempurna oleh laki-laki bertabiat aneh ini. Ilmu ini pada
prinsip adalah mendahului serangan lawan dengan
pancaran hawa pedang, barulah serangan yang
sebenarnya dilancarkan. Kali ini, lewat jurus ‘Deru Angin
Debur Ombak’ datang laksana gulungan angin tajam dan
deburan ombak ganas yang langsung membuncah ke
arah sosok tinggi besar. Hamparan hawa pedang lawan

yang berjarak hanya satu tombak dari dirinya
membuatnya mengambil keputusan cepat.
“Bangsat! Apa kau mau membunuhku, Pedang
Dewa?” bentak sosok belepotan tanah sambil
melemparkan begitu saja sosok yang ada dalam
pondongannya. “Ini aku ... Trisula Kembar!”
Wutt!
Sepasang telapak tangannya yang berubah menjadi
hitam kelabu, langsung disorongkan ke depan.
“Ilmu ‘Tapak Pengguncang Bukit Dan Sungai’!” seru
Pedang Dewa, mengenali jenis pukulan lawan, lalu
bentaknya, “Trisula Kembar, kurangi tenaga!”
Dalam waktu sepersekian detik, pancaran hawa
tenaga dalam yang digunakan masing-masing pihak
menurun cepat. Namun, benturan keras tetap terjadi
meski tidak sudah berusaha semaksimal mungkin
meminimalisir tenaga yang keluar.
Bumm ... ! Bumm ... !
Hawa pedang yang keluar dari jurus ‘Deru Angin
Debur Ombak’ akhirnya baku hantam secara frontal,
sehingga dalam jarak tiga tombak, tanah sekitar bagai
dilanda gempa kecil. Tubuh Pedang Dewa dan Trisula
Kembar terseret hingga membentuk cerukan tanah ke
belakang sedalam mata kaki.
“Kau mau membunuhku, apa?” bentak Trisula Kembar
dengan mata melotot liar.
“Dasar orang syaraf! Memangnya aku tahu kalau yang
keluar dari dalam tanah adalah kau!? Muka belepotan
tanah mirip cacing tanah mana aku kenal!?” balas bentak
Pedang Dewa tidak mau disalahkan.

“Setan keparat! Kau berani sekali menghinaku dengan
sebutan cacing tanah?” maki Trisula Kembar, sambil
meloloskan sepasang trisula yang berada di balik
punggungnya. “Kecoa tengik sepertimu memang harus
dikasih pelajaran!”
Crangg!
“Memangnya aku takut denganmu, trisula busuk!”
bentak Pedang Dewa sambil pasang kuda-kuda.
Keduanya berjalan mendekat dengan senjata
terhunus.
Tatapan mata beringas disertai dengusan napas
keras.
Hawa membunuh sontak terpancar luas.
Beberapa orang murid Istana Jagat Abadi yang
melihat kedua orang bersenjata pedang dan trisula
sebentar lagi akan saling labrak segera berlarian
menjauh. Sudah puluhan kali mereka melihat sesama
murid yang berselisih paham saling labrak dan ujungujungnya
... senjata pula yang bicara!
Satu-satunya jalan menghindar adalah menjauh
sejauh-jauhnya dari ajang pertikaian. Dan tujuannya pasti
cuma satu ... apalagi jika bukan takut kena salah
sasaran!?
Mereka hanya menonton dari kejauhan saja,
menunggu siapa yang terjungkal lebih dahulu. Dalam
benak mereka masih terbayang lima hari yang lalu, tujuh
orang teman mereka tewas hanya gara-gara masalah
sepele. Tujuh orang murid sedang berlatih melempar
senjata rahasia yang bernama Gundu Terbang. Namun
karena tidak pernah kena sasaran satu kali pun, salah
seorang dari mereka jengkel dan secara sembarangan

melempar Gundu Terbang ke belakang. Dan tanpa
sengaja pula, Gundu Terbang justru tepat mengenai Ki
Wira Raja Jarum Sakti Seribu Racun sedang berjalanjalan
di sekitar taman. Meski tidak mengalami luka apa
pun, baik luka besar atau pun luka kecil, kecuali benjol
sedikit macam jerawat batu, tapi cukup membuat laki-laki
tinggi kurus berbaju kuning kusam naik pitam.
Bagaimana tidak naik pitam ... lha wong kena pas di
tengah dahi!
Tanpa ba-bi atau bu, apalagi permisi, puluhan Jarum
Lebah Terbang langsung menembusi tubuh murid Istana
Jagat Abadi hingga tubuh mereka mirip landak!
Dan tentu saja ... tewas-lah tujuh murid sial itu!
Kali ini pula, mereka bergerak menjauh menghindari
medan perang antara Trisula Kembar dan Pedang Dewa.
Akan tetapi, terjadi suatu keanehan!
Tunggu punya tunggu ... tidak ada tusukan pedang
atau sabetan trisula yang kena sasaran!
Jelas sekali terlihat pedang besar di tangan Pedang
Dewa dan sepasang trisula di tangan Trisula Kembar
terayun-ayun kesana kemari dengan gerakan-gerakan
tertentu. Akan tetapi anehnya, gerakan Pedang Dewa
dan Trisula Kembar seperti tertahan dinding tidak
tampak.
Tentu saja Karang Kiamat yang buta dan sekarang
mengandalkan ketajaman telinga, hanya mendengar
suara sumpah serapah dan caki maki dari Pedang Dewa
dan Trisula Kembar.
“Heran ... masa sedari tadi cuma pentang bacot saja?”
desis Karang Kiamat sambil memiring-miringkan

kepalanya. “Apa jangan-jangan telingaku sudah soak,
ya?”
Dua jari tangan dimasukkan ke dalam lubang telinga
sebentar, diputar pulang balik, lalu ditarik keluar.
“Tidak ada masalah,” gumamnya. Karena tidak tahan,
akhirnya ia berteriak, “Sebenarnya kalian ini mau bunuhbunuhan
atau cuma pentang lebar mulut atau malah
sedang lomba menggonggong siapa yang paling keras?”
Dua orang yang saling cakar itu tersentak kaget,
seperti baru saja terbangun dari mimpi!
Belum lagi Pedang Dewa dan Trisula Kembar
menjawab, sebuah suara menggema di tempat itu.
“Dua budak goblok! Apa yang kalian ributkan!?”
Suara itu menggema ke seantero halaman.
Menggetarkan dinding-dinding telinga semua orang
yang ada di tempat itu. Beberapa orang berilmu paspasan
langsung jatuh terduduk karena telinga mereka
seperti ditusuk ribuan jarum, bahkan ada yang langsung
pingsan karena tidak tahan dengan getaran tenaga gaib
yang memaksa masuk ke dalam gendang telinga.
Benar-benar hamparan kesaktian yang luar biasa!
“Raja Iblis Pulau Nirwana ... ” desis Karang Kiamat,
mengenali sebentuk suara tanpa wujud yang menggema.
“Pasti dia yang punya kerjaan menghalang-halangi baku
hantam antara Pedang Dewa dan Trisula Kembar. Jika
dia datang, pasti ada hal penting atau gawat yang akan
terjadi ... ”
Tentu saja Pedang Dewa dan Trisula Kembar
mengenal siapa pemilik suara itu. Siapa lagi jika bukan
Raja Iblis Pulau Nirwana, tokoh misterius yang bisa

membuat mereka bertekuk lutut tanpa sempat
memberikan perlawanan yang berarti!
“Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian. Panggil
semua teman-teman kalian yang lain. Kumpul di aula
tengah. Cepat!” kata suara tanpa wujud bernada
memerintah.
Tanpa banyak membantah, Trisula Kembar, Pedang
Dewa dan Karang Kiamat langsung berpencar.
Dan tanpa tempo lama pula mereka semua telah
berkumpul di tempat yang telah ditentukan.
--o0o--
BAGIAN 21
Di dalam aula tengah Istana Jagat Abadi, terlihat Ki
Wira yang bergelar Raja Jarum Sakti Seribu Racun
sedang duduk di atas kursi besar berukiran burung
merak. Di depannya duduk berkumpul setengah
lingkaran dimulai dari Tombak Sakti, Karang Kiamat,
Pedang Dewa, Trisula Kembar dan Gada Maut.
Terlihat di bagian pojok ruangan, sesosok tubuh tanpa
kepala!
“Apa!? Jadi kau ketahuan?” bentak Ki Wira dengan
mata melotot, “ ... dan untuk bisa lolos dari sana, lalu kau
korbankan Gelang Bintang, begitu!?”
Trisula Kembar yang merasa tidak bersalah namun
merasa dipojokkan, langsung membalas bentakan Ki
Wira.
“Bah! Mana aku tahu kalau dibawah tengkuk Gelang
Bintang tergeletak sebilah pedang telanjang!?” seru
Trisula Kembar, “Kepala si kunyuk itu telah terpotong

sebatas leher saat aku tarik ke dalam tanah, barulah
kutahu adanya pedang itu!”
“Bangsat! Terhadap teman sendiri saja kau tidak setia
kawan, bagaimana terhadap pimpinan?” bentak Raja
Jarum Sakti Seribu Racun sambil mengibaskan tangan
kiri.
Seleret cahaya perak menyambar ke arah
tenggorokan Trisula Kembar.
Wuss!
Tentu saja yang diserang tidak mau begitu saja
membiarkan lehernya menjadi sasaran empuk Jarum
Lebah Terbang yang dilemparkan Ki Wira. Trisula di
samping kiri keluar dari balik baju, lalu berkelebat
menebas dari kiri ke kanan.
Triing!
Jarum Lebah Terbang terpental ke kanan, lalu
menancap di tiang kayu yang jaraknya sekitar sepuluh
tombak.
Jleebb!
“Kurang ajar!” Raja Jarum Sakti Seribu Racun
membentak marah. “Berani sekali kau menangkis Jarum
Lebah Terbangku?”
“Bah! Memangnya apamu yang aku takuti! Cuih!”
Trisula Kembar gantian membentak sambil meludah di
lantai batu. Seketika lantai batu mengeluarkan asap putih
dan tak beberapa lama kemudian, lantai batu menjadi
semacam bubur batu!
“Sudah cukup!” bentak suara tanpa ujud atau Raja Iblis
Pulau Nirwana kembali menggema, “Dasar manusiamanusia
tidak tahu diuntung! Menyesal aku membiarkan
kalian hidup lebih lama lagi!”

Semua yang ada di tempat itu tercekat mendengar
ancaman dari si sosok tanpa ujud.
Buru-buru Pedang Dewa angkat bicara.
“Maaf, Ketua!” kata Pedang Dewa, “Kami mohon
maafmu yang sedalam-dalamnya! Kami tidak akan
mengulangi kejadian seperti ini lagi! Saya meyakini
dengan keluarnya dari kamar tahanan bawah tanah pasti
membekal suatu berita penting. Ada apakah gerangan
yang membuat Ketua yang sakti tanpa tanding bisa
keluar dari tempat pendadaran ilmu?”
“Huh! Pedang Dewa! Mulutmu memang tajam, setajam
pedangmu!” seru Raja Iblis Pulau Nirwana. “Kau benar!
Ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengan kalian
semua.”
Sesaat keadaan menjadi senyap. Hanya suara desau
angin yang menerobos celah-celah lobang angin yang
terdengar.
“Mulai saat ini ... ” kembali terdengar suara Raja Iblis
Pulau Nirwana, “ ... aku ingin kalian meningkatkan
kewaspadaan. Aku merasakan adanya getaran bahaya
yang mendekat ke tempat kita ini.”
“Bahaya?” tanya Ki Wira, “Siapa orangnya yang berani
menyatroni tempat ini, Ketua!? Apa mereka mau
menggali liang kubur di tempat ini!”
“Aku tidak tahu dengan pasti. Namun yang jelas, salah
seorang dari mereka telah membunuh Golok Tapak Kuda
dan seorang lagi kawannya, seorang perempuan baju
hijau, berhasil pula mengalahkan Cambuk Pemutus
Nyawa, bahkan membunuhnya pula.”
“Apa!?” enam orang itu berteriak kaget.

“Kalian tidak perlu terkejut,” kata Raja Iblis Pulau
Nirwana, “Tokoh ini memiliki ilmu kesaktian yang tinggi
bahkan terhitung langka untuk masa kini. Namun yang
pasti, lewat Ilmu ‘Tatar Sukma Memindah Hawa’ bisa
kurasakan bahwa sosok ini membekal suatu benda yang
bisa membuatku merasa ketakutan, bahkan diriku bisa
tewas jika tersentuh. Kalian harus bisa mengambil dan
menghancurkan benda itu!”
Tentu saja semua orang yang ada di tempat itu
melengak kaget!
Beberapa jeda kemudian, mereka berenam saling
pandang satu sama lain, dengan pikiran yang sama. Raja
Iblis Pulau Nirwana yang mereka anggap memiliki
kesaktian setingkat dewa ternyata memiliki rasa takut?
Takut pada seseorang yang memiliki suatu benda!
Tapi ... benda apa?
Dan siapa orang yang ditakutinya itu!?
Itu yang perlu dicari!
Dicari bukan untuk dihancurkan demi kepentingan
Sang Ketua ... tapi justru untuk menghancurkan Sang
Ketua, Raja Iblis Pulau Nirwana!
Tentu saja apa yang ada di kepala masing-masing
orang bisa diduga oleh Raja Iblis Pulau Nirwana.
“Kalian jangan berani main golok di depanku!” bentak
Raja Iblis Pulau Nirwana pada enam orang bawahannya.
“Jangan dikira aku tidak tahu apa isi otak busuk kalian!
Tiga hari mendatang, ilmu kesaktian yang aku peroleh
dari tokoh-tokoh silat yang berhasil aku tawan akan
sempurna ... dan saat itulah ... tidak ada satu pun yang
sanggup mengalahkan aku, Raja Iblis Pulau Nirwana!

Bahkan tokoh yang aku takuti ini hanyalah seorang
pecundang! Ha-ha-ha ... !”
Suara tawa kembali terdengar menggema di dalam
aula tengah.
“Ketua, orang yang kau takuti itu membekal barang
apa? Apakah Ketua bisa menyebutkannya!?” tanya
Pedang Dewa dengan hati-hati. “Dan ... apakah Ketua
mengetahui siapa adanya tokoh ini!?”
“Aku tidak bisa mengetahui dengan jelas,” jawab Raja
Iblis Pulau Nirwana, “Semua serba samar-samar. Namun
yang jelas, aku melihat sosok harimau putih belang hijau,
seekor ular besar bermahkota warna hitam dan seekor
burung raksasa warna emas menyertainya.”
Semua orang tercenung.
“Hemm ... rupanya hanya seorang pawang binatang
saja,” pikir Tombak Sakti, “Aku harus bisa mendapatkan
benda yang dimiliki orang itu. Dengan adanya benda
sakti itu, aku yakin sanggup membuat Raja Iblis bertekuk
lutut di bawah telapak kakiku.”
“Apakah Ketua bisa memberikan gambaran tentang
wujud dari benda sakti itu?” tanya Raja Jarum Sakti
Seribu Racun.
“Benda sakti apa!? Lebih tepat kalau disebut benda
keparat!” nada suara Raja Iblis Pulau Nirwana semakin
menggema, namun terdengar jelas bahwa dalam getaran
suara terdapat rasa gentar. “Bentuknya ... aku tidak tahu.
Itu adalah tugas kalian semua. Kalian cari sendiri!
Pertemuan hari ini, bubar! Aku ingin melanjutkan
pendadaran ilmu saktiku!”
Suasana mendadak senyap.
Sepi.

Tidak ada helaan napas atau sesuatu gerakan dalam
aula pertemuan.
“Apakah Ketua sudah pergi?” tanya Gada Maut, orang
yang paling pendiam diantara mereka.
Senjata sakti yang diberi nama Gada Raja Langit
Empat Sisi dengan empat rantai sepanjang satu
setengah tombak yang bersilangan dibagian tengah,
sehingga untuk menggunakan benda super antik ini
harus sedikit mempunyai tenaga dalam tinggi, dimana
masing-masing rantai memiliki bandulan besi berduri.
Belum lagi dengan cara menggunakan Gada Raja Langit
Empat Sisi terletak pada sisi silang empat yang ada
ditengah, membuat gada empat sisi ini akan banyak
membawa kesulitan bagi pemiliknya.
Namun bagi Gada Maut, untuk memainkan Gada Raja
Langit Empat Sisi seperti halnya membawa empat karung
kerupuk diatas pikulan bambu.
Enteng!
“Tampaknya begitu,” jawab Ki Wira. “Karang Kiamat,
bagaimana menurutmu?”
“Dia benar-benar telah keluar dari ruangan ini,” ucap
Karang Kiamat. “Lalu ... apa yang harus kita lakukan?”
“Menuruti perintah Ketua! Apa lagi!?” sahut Ki Wira
sambil bangkit berdiri.
--o0o--
Dua sosok bayangan berloncatan di atas genting
tanpa menimbulkan suara.
Blass ... ! Tapp! Tapp!
Tanpa tempo lama, keduanya terlihat mendekam
sama rata di atas genting, tepat di sebuah bangunan

paling belakang dari lingkungan wilayah Istana Jagat
Abadi. Sosok sebelah kiri yang berbaju biru dengan mata
putih terlihat menggerakkan tangan pulang pergi sambil
menunjuk bergantian dirinya dan sosok baju hijau di
depannya, lalu satunya menunjuk ke bawah.
(Maksudnya, ‘kau tinggal disini dan aku yang masuk ke
dalam’).
Seolah paham, si baju hijau menggeleng cepat, lalu
dia jari telunjuk di jejer satu sama lain, terus digerakkan
bolak-balik, lalu ke dua tangan bergerak seolah
membuka sesustu, diikuti kepala dilongok-longokkan ke
depan. (Maksudnya, ‘tidak bisa. Kita datang berdua
masuk juga harus berdua’).
Si baju biru menggeleng-gelengkan kepala.
(maksudnya, ‘tidak bisa’).
Si baju hijau justru mengangguk-anggukkan kepala.
(maksudnya, ‘harus bisa’).
“Fyuhh ... capek juga ngomong seperti orang bisu,”
bisik si baju biru.
“Sama,” sahut si baju hijau sambil menghela napas.
“Pokoknya ... aku harus ikut masuk ke dalam. Titik!”
“Baik! Tapi kau harus ikut apa kataku,” kata si sosok
bayangan biru pada akhirnya.
“Aduuhh ... kakang baik, dech.” Si sosok baju hijau
berbisik sambil menepuk-nepuk pipi si baju biru.
“Sudahlah! Jangan main tepuk seenaknya.
Memangnya pipiku mirip bantal apa!?”
Tiba-tiba dua sosok baju hijau dan biru semakin
merundukkan kepala sambil menutup mulut. Rupanya
dua orang penjaga mendengar suara bisik-bisik dan
keluar dari ruang jaga.

“Apa kau mendengar sesuatu?” tanya yang sebelah
kanan yang menggenggam tombak bergolok.
Satunya yang baru bangun dari tidur-tidur ayam,
nampak menguap sebentar. Tidurnya agak terganggu
karena sang kawan menariknya begitu saja saat ia
hampir terlelap.
“Aku tidak mendengar apa-apa. Mungkin kau salah
dengar, ‘kali!” katanya, lagi-lagi iamenguap, “Lebih baik
kita masuk saja. Udara malam ini dingin sekali.”
Penjaga bertombak mengedarkan pandangan, lalu
mendongak ke atas.
Tidak ada apa-apa disana.
“Benar juga. Mungkin aku salah dengar!” sahutnya.
“Apa kataku!?”
Keduanya segera beranjak masuk. Namun baru dua
langkah, mendadak tubuh mereka ambruk ke tanah.
Brughh!
Ternyata ... keduanya jatuh tertidur!
Tidur saja bisa kompak!
Hebat!
Sebenarnya, kedua orang ini tertotok tepat di jalan
tidur.
Bersamaan dengan itu pula, dua sosok tubuh
melayang turun. Rupanya salah satu dari sosok ini piawai
melancarkan serangan totokan jarak jauh.
“Totokan jarak jauh yang hebat,” desis si baju hijau
sambil berjongkok meneliti sesaat. Matanya melihat
sesuatu menempel dekat tengkuk. “Benda apa ini?”

Tangannya hendak bergerak menyentuh.
Plakk!
Namun sebatang tongkat menyingkirkan tangan si
baju hijau.
“Jangan dipegang benda itu, Beda! Kalau kau pegang,
kau bakalan menyesal seumur hidup.”
Dengan heran si baju hijau yang ternyata adalah Beda
Kumala pun berkata, “Kenapa? Apa kalau kusentuh
mereka akan bangun? Aku sanggup kok melumpuhkan
mereka sekaligus.”
“Bukan itu, bukan itu! Sebab ... ” ucapan si baju biru,
yang tak lain tak bukan Jalu Samudra, sambil tertawa
aneh. “Sebab ... itu adalah kotoran hidungku alias upil.
Hi-hi-hik!”
“Buta brengsek!” maki Beda Kumala, terus bangkit
berdiri.
“Sttt ... jangan keras-keras!” bisik Jalu sambil
meletakkan jari tangan ke depan mulut Beda Kumala.
“Nanti kita ketahuan.”
“Biarin!”
“Ssstt!”
Jalu sekarang malah mendekap mulut Beda Kumala
sambil menyeret gadis itu masuk ke dalam. Dan
bersamaan dengan itu juga, kaki kanan Jalu bergerak
menendang.
Bukk! Bukk!
Dua sosok tubuh penjaga terlempar ke arah semaksemak.

“Kau membunuhnya?” bisik Beda Kumala setelah
berada di dalam.
“Tidak. Tapi aku tidak ingin ada orang yang tahu
kedatangan kita,” kata lirih Jalu Samudra. “Kita harus
segera mencari ruangan tahanan secepatnya.”
Keduanya berjalan masuk lebih dalam. Di sudut
ruangan, ada sebuah lorong panjang yang diterangi
dengan nyala obor, kesanalah tujuan mereka. Setelah
berjalan sejauh dua tombak, mereka menemukan jalan
undak-undakan (tangga batu) menurun.
Jalu Samudra dan Beda Kumala langsung bergerak
menuruni tangga batu yang bentuk berulin seperti sekrup.
Entah berapa lama mereka berjalan, tidak ada yang tahu.
Hanya yang pasti, semakin lama hawa semakin pengap
dan jumlah obor semakin jarang.
“Entah sampai kapan kita berjalan seperti ini?” keluh
Beda Kumala, “ ... atau jangan-jangan kita salah jalan?”
“Tidak! Kita tidak salah jalan! Aku mendengar banyak
hembusan napas berat sejarak lima tombak di bawah
kita,” kata Jalu sambil memiring-miringkan kepalanya.
“Namun ... ”
“Apa?”
“Suara mereka seperti terhalang sesuatu,” kata Jalu
Samudra kemudian.
Keduanya terus berjalan turun ke bawah. Dan benar
seperti apa kata Jalu, sejarak lima tombak di depan
terdengar suara hembusan napas berat dan beberapa
kali suara erangan kesakitan yang semakin keras, namun
suara ternyata terhalang oleh suatu benda.
Yaitu ... pintu!

Ya, benda apa lagi yang menghalangi suatu ruang
dengan ruang lain jika bukan pintu!?
Akan tetapi, pintu bukan sembarang pintu. Sebentuk
pintu dari besi baja pilihan setinggi tiga tombak tanpa
ukiran berdiri kokoh.
Tangg!
Jalu mengetukkan tongkat hitamnya.
“Hemm ... cukup tebal,” desisnya. “tidak ada kuncinya.
Terus ... masuknya lewat mana?”
Setelah meneliti sekian lama, tidak ditemukan satu
pun lubang kunci, gembok atau pun rantai pengikat untuk
membuka tutup pintu baja.
“Jebol saja. Gitu aja kok repot,” katanya kemudian.
Pemuda yang dijuluki Si Pemanah Gadis tampak
melakukan ancang-ancang untuk mengerahkan tenaga
sakti untuk menjebol, namun sebuah tangan mulus
memegang pundaknya.
“Biar aku saja, Kang.”
“Apa kau yakin?” tanya Jalu sambil mengembalikan
posisi.
“Kalau tidak dicoba, mana tahu? Betul ngga?”
--o0o--
BAGIAN 22
Tanpa menunggu jawaban dari Jalu Samudra, Beda
Kumala berjalan mendekat sambil memutar dua tangan
bolak-balik dengan dada. Begitu sebentuk tenaga
berhawa panas mengalir deras, Beda Kumala yang saat

itu mengerahkan jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’,
menghentakkan tangannya ke depan.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !!
Bukannya suara ledakan keras terdengar, tapi justru
suara mendidih seperti air dimasak. Pintu baja yang
terkena jurus ‘Dewa Surya Melumerkan Bumi’ langsung
melumer, membentuk bubur besi pada bagian yang
tertembus hawa panas ini.
Beda Kumala segera mengulangi dengan jurus yang
sama untuk lebih memperlebar lobang pintu.
Wuss ... wushh ... !!
Jresss ... jress ... !! Jresss ... jress ... !!
Terdengar tiga empat kali suara mendidih yang diikuti
dengan melumernya besi baja.
“Menakjubkan! Tidak kukira peningkatan tenaga
dalamku setinggi ini,” desis Beda Kumala melihat ‘hasil
perbuatannya’. Ia tahu betul, jurus ‘Dewa Surya
Melumerkan Bumi’ yang intinya bersumber pada
kekuatan 'Air Panas Tenaga Surya' tahap tiga paling
banter hanya sanggup membuat lubang besi selebar
telapak tangan, itupun membutuhkan waktu lama. Akan
tetapi kali ini justru hanya dengan satu serangan sanggup
melobangi pintu besi tebal sebesar kambing dewasa
dalam waktu sekian detik.
“Kita masuk!” kata Jalu.
Baru saja masuk dua langkah, telinga Jalu mendengar
suara berdesing.
“Awas! Serangan gelap!”

Jalu segera memutar tongkat hitamnya di depan dada
dengan cepat, diikuti Beda Kumala sendiri yang dengan
sigap mencabut pedang dan memutar pedang
membentuk perisai.
Triing! Triing!
Beberapa pisau terbang langsung berpentalan tak
tentu arah. Tak berapa lama, hujan pisau terbang
berhenti.
“Hati-hati! Siapa tahu masih ada senjata rahasia di
tempat ini,” bisik Jalu Samudra.
Kedua berjalan dengan sikap waspada terhadap
segala kemungkinan. Namun sebegitu jauh tidak ada
serangan susulan. Setelah berjalan beberapa tombak
jauhnya, mereka menemukan beberapa ruangan, namun
semua dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Saat di
paling ujung dari semua ruangan yang ada, pandangan
mata mereka melihat sesuatu yang berbeda dengan
ruangan sebelumnya.
Sebuah kolam raksasa!
Namun, bukan kolam berpenerangan beberapa obor
itu yang membuat mereka terkejut, tapi adanya puluhan
orang yang terbelenggu tangan dan kaki mereka dengan
besi bulat menempel di dinding batu, sedang rantai besar
yang membelenggu kaki, seluruhnya tercelup masuk ke
dalam kolam besar. Meski para tahanan yang adalah
para tokoh rimba persilatan dapat duduk, namun melihat
keadaan mereka yang lebih mirip mayat hidup cukup
membuat siapa saja yang melihatnya trenyuh.
Yang mengenaskan, wajah mereka rata-rata putih
pucat tanpa daya sedikit pun!

Adanya dua belas nyala di empat sudut ruangan bisa
membuat Jalu Samudra dan Beda Kumala melihat
seluruh penghuni ruang tahanan bawah tanah, bahkan
beberapa diantara mereka terlihat bermeditasi
menenangkan diri.
Beda Kumala memandang berkeliling, seakan mencari
sesuatu. Matanya segera berhenti mencari saat menatap
sosok tubuh perempuan tua dengan baju hijau kumal
berada di sebelah timur. Wajah perempuan tua itu terlihat
pucat seperti mayat. Rambut panjang awut-awutan
menutupi sebagian mukanya dengan tubuh kurus kering
kulit terbalut tulang terlihat duduk bersemedi.
Di sampingnya duduk berjejer di kiri kanan dalam
keadaan bersemadi dua laki-laki tua yang masing-masing
berbaju ungu lusuh penuh sobekan dan satunya baju
putih lecek.
Beda Kumala setengah berlari diikuti isak tangis
keharuan.
“Nyai Guru ... ”
Suara nyaring melengking ini membuat kaget semua
orang yang ada di tempat itu. Sebab setahu mereka,
hanya suara kasar tanpa ujud saja yang sering mereka
dengar dan si pemilik suara kasar itu pulalah yang
sekarang ini membuat mereka menderita lahir batin.
Tentu saja, suara yang berbeda dari biasanya ini,
membuat mereka seolah tidak percaya!
Mereka rata-rata berpikir sama, jangan-jangan ada
setan kesasar masuk ke tempat ini?
Si perempuan tua terlihat membuka mata perlahan,
saat itu pula melihat sesosok tubuh mungil gadis cantik
duduk bersimpuh di hadapannya.

“Siapa ... kau ... ?” tanya si nenek terbata-bata.
“Nyai Guru!” kata Beda Kumala sambil memegang
tangan kanan si nenek, “Ini aku ... Beda Kumala!
Muridmu yang paling bungsu!”
Kelopak mata nenek tua yang disebut Nyai Guru, yang
tak lain adalah Nyi Tirta Kumala semakin melebar.
“Kau ... Beda Kumala?” tanya Nyi Tirta Kumala, “Kau
benar muridku?”
“Benar, Nyai! Ini aku ... muridmu!”
Beda Kumala segera memeluk tubuh kurus gurunya.
Pertemuan guru dan murid ini cukup membuat mereka
yang ada di tempat itu menitikkan air mata. Bahkan
beberapa orang diantara sampai menangis tersedu-sedu
melihat rasa kasih sayang yang ditunjukkan oleh murid
bungsu si wanita tua.
“Kau sudah besar sekarang,” kata Nyi Tirta Kumala.
“... dan ... cantik jelita,” sambung laki-laki tua berbaju
putih.
“Kakang Gegap, inilah muridku paling bungsu.
Namanya Beda Kumala,” kata Nyi Tirta Kumala pada
laki-laki berbaju putih.
Beda Kumala menganggukkan kepala.
“Anda pastilah Ki Gegap Gempita, Ketua Aliran Danau
Utara adanya,” tebak Beda Kumala.
Si laki-laki tua baju putih mengangguk membenarkan.
Melihat murid bungsunya datang dengan seorang
pemuda bertongkat hitam, Nyi Tirta Kumala bertanya,
“Dengan siapa kau datang, Beda?”

Karena rasa gembira, Beda Kumala sampai terlupa
beberapa saat pada murid Dewa Pengemis.
“Dia Kakang Jalu. Orang yang membantu kita selama
ini, Nyai.” ucap Beda Kumala, lalu menoleh ke arah Jalu
Samudra yang berdiri sejarak beberapa langkah, sambil
berkata, “Kakang Jalu, kemarilah.”
Jalu Samudra yang dipanggil, segera berjalan
mendekat. Ketukan tongkat hitamnya memecah
kesunyian tempat itu. Melihat cara kedatangan Jalu
Samudra dengan mengetuk-ngetukkan tongkat di lantai
membuat semua orang yang ada di tempat itu maklum
bahwa pemuda baju biru ternyata bermata buta.
“Apakah kalian berdua juga tertangkap seperti kami
semua?” tanya laki-laki berbaju ungu.
“Tidak. Kami sengaja datang kemari untuk
membebaskan para tokoh yang di tempat ini,” kata Jalu
Samudra.
“Ha-ha-ha! Mimpi kau, anak muda!” tukas laki-laki
berbaju ungu. “Si buta yang mimpi di siang bolong, haha-
ha!”
Jalu Samudra hanya tersenyum simpul.
“Jika boleh saya tahu, siapakah andika ini?”
“Dia adalah Ki Harsa Banabatta, Ketua sekaligus
pemilik tempat celaka ini!” seru salah seorang tokoh silat
yang berkepala gundul klimis.
“Ooo ... jadi Ketua Istana Jagat Abadi yang dijuluki Si
Tangan Golok itu?” tanya Jalu Samudra, menegaskan.
“Hanya kalian berdua yang ingin membebaskan
kami?” tanya Nyi Tirta Kumala, tanpa mempedulikan
ocehan Si Tangan Golok.

“Bukan hanya kami berdua saja. Tapi dengan seluruh
murid Aliran Danau Utara dan perguruan kita, Nyai ... ”
“ ... mungkin dengan ditambah beberapa puluh tokoh
silat ... ” tambah Jalu Samudra.
Akhirnya, Beda Kumala menceritakan semua kejadian
yang dialami antara Aliran Danau Utara dengan
Perguruan Sastra Kumala sepeninggal gurunya.
Semuanya diceritakan tanpa ada yang dikurangi dan
ditambahi, kecuali hubungan mesra antara dirinya
dengan Jalu Samudra yang disembunyikan. Bahkan Jalu
Samudra sendiri menambahkan adanya beberapa tokoh
silat yang ikut bergabung dalam usaha pencarian
terhadap para tokoh silat yang hilang secara misterius.
Beberapa tokoh silat yang sudah sekian lama
mendekam di tempat itu terbakar semangatnya
mendengar apa yang diceritakan oleh murid bungsu Nyi
Tirta Kumala dan murid Dewi Binal Bertangan Naga.
“Anak muda ... jika benar memang seperti itu apa yang
kau katakan pada kami, kami sangat berterima kasih
sekali, akan tetapi ... bagaimana caranya kami semua
dapat keluar dari tempat ini?” kata Ki Harsa Banabatta,
masgul. “Kaki dan tangan kami terbelenggu begini rupa?”
“Biar kuputuskan rantai ini!”
Beda Kumala segera mencabut pedang, menghimpun
tiga bagian tenaga dalamnya dilanjutkan dengan
membacok sekuat tenaga.
Trang! Triing! Triing!
Terdengar suara dentingan beradunya logam. Akan
tetapi, justru membuat Beda Kumala terbelalak matanya.
Jangankan putus, rantai besar itu tergores pun juga tidak!

“Percuma saja, Cah Ayu! Pedangmu tidak akan
mempan!” kata si kepala gundul klimis.
“Biar aku gunakan tenaga penuh,” desis Beda Kumala,
lalu menghimpun tenaga hingga sepuluh bagian.
Trang! Triing! Triing! Criing!
Namun hasilnya tetap saja!
Rantai yang membelenggu tetap utuh tanpa cela!
“Sudah kukatakan, tidak ada satu pun senjata yang
sanggup memutuskan Rantai Setan Penghisap Tenaga
Bumi Dan Langit dengan cara apa pun,” keluh Ki Harsa
Banabatta.
Jalu yang tadi mendengar bahwa Ki Harsa Banabatta,
Ketua Istana Jagat Abadi sekaligus pemilik tempat
dimana mereka berada sekarang mengajukan
pertanyaan.
“Apakah Aki yang merancang tempat ini?” tanya Jalu
Samudra, menyelidik. “Dan apa itu Rantai Setan
Penghisap Tenaga Bumi Dan Langit?”
“Memang ... yang merancang seluruh bangunan di
tempat ini adalah aku sendiri, tapi yang membawa rantai
celaka ini adalah Raja Iblis Pulau Nirwana,” kata geram
Ki Harsa Banabatta, lalu sambungnya, “Jika aku bisa
bebas dari tempat ini, aku akan adu jiwa dengannya!”
“Lagi-lagi Raja Iblis Pulau Nirwana,” pikir Jalu
Samudra, “Seperti apa wujud orang ini? Aku jadi
penasaran dibuatnya!”
“Rantai inilah yang membelenggu seluruh kesaktian
kami, Jalu. Dan hal ini secara tidak langsung telah
mengkebiri kami semua,” kata Ki Gegap Gempita, Ketua
Aliran Danau Utara.

“Dan satu-satunya manusia yang bisa memutus rantai
ini hanyalah satu orang, yaitu pemilik ilmu langka rimba
persilatan yang dulunya berjuluk Dewa Pengemis,” ucap
Nyi Tirta Kumala. “Padahal semua pendekar persilatan
tahu, bahwa tokoh ini sudah hilang sejak lima ratus tahun
lalu, dan setahuku tidak ada satu pun muridnya yang
memiliki ilmu langka itu.”
Jalu Samudra berdebar saat mendengar nama
gurunya disebut-sebut.
“Dan kau tahu ... itu apa artinya? Artinya rantai celaka
ini akan membelenggu kami sampai ajal datang
menjemput!” seru seorang laki-laki berwajah dingin.
“Alias mati dijemput malaikat maut!”
“Kalau tidak dicoba, bagaimana bisa mengetahuinya?”
kilah Jalu Samudra, lalu katanya pada Nyi Tirta Kumala,
“Nyai, bagaimana cara melepas rantai ini? Aku ingin
mencobanya.”
“Tangan Golok, kau saja yang bicara,” sahut Nyi Tirta
Kumala.
“Diberitahu pun juga percuma,” sahut Ki Harsa
Banabatta.
“Hemm ... laki-laki berjuluk Tangan Golok ini selalu
memandang rendah orang lain,” kata hati Beda Kumala.
“Biar kupancing dia!?”
“Huh, bilang saja tidak tahu! Habis perkara!” kata Beda
Kumala.
“Gadis kurang ajar! Tentu saja aku tahu!”
“Apa!?”
“Kau tinggal menyelam ke dalam kolam, dan pukul
hancur tepat di bagian tengah sambungan. Rantai ini
bakalan hancur berantakan dan setelah itu ... seluruh

kesaktian kami akan kembali seperti semula!” bentak Si
Tangan Golok tanpa sadar kalau dirinya berhasil
dipancing oleh Beda Kumala.
“Ooo ... jadi tinggal menyelam ke kolam ini?” tanya
Beda Kumala, sambil berjalan mendekati kolam.
“Beda Kumala, tunggu!” seru Nyi Tirta Kumala melihat
muridnya berniat menyelam ke dalam kolam raksasa.
“Ada apa Nyai Guru?”
“Beda, aku ingin bertanya padamu satu hal.”
“Silahkan, Nyai?”
“Kuat berapa lama kau dalam air?”
“Sekitar sepenanakan nasi.”
“Untuk kedalaman berapa tombak?”
“Paling banter sepuluh tombak, Nyai.”
“Menurut Si Tangan Golok, kolam ini sedalam tiga
puluh tombak lebih.”
“Apakah Si Tangan Golok yang membuat kolam ini,
Nyai?” tanya Beda Kumala.
“Tidak!” kata Si Tangan Golok, “Ini kolam alam. Bukan
buatan tangan manusia.”
“Jika begitu, darimana Aki tahu kalau kolam ini
dalamnya lebih dari tiga puluh tombak?”
“Bukankah gurumu telah menurunkan jurus ‘Detak
Jantung Penghitung Nyawa’? Kenapa kau tidak gunakan
ilmu itu?” ejek Si Tangan Golok. “Atau jangan-jangan kau
tidak bisa melakukannya?”
Beda Kumala hanya mendengus kesal. Namun ia
menuruti apa kata Ketua Istana Jagat Abadi. Beberapa

saat kemudian, suasana berubah hening. Namun
keheningan di pecah oleh suara tercebur suatu benda.
Byuuurr!
Mendengar suara benda jatuh, Beda Kumala segera
menghentikan pengerahan ilmunya dan bertanya, “Siapa
yang masuk ke dalam kolam?”
“Siapa lagi jika bukan temanmu yang buta itu?” ejek Si
Tangan Golok. “Dia salah jalan dan kecebur ke dalam
kolam.”
“Celaka! Kakang Jalu!” desis gadis itu yang seketika
terkesiap. Lalu berlari ke dekat kolam dan tanpa banyak
pertimbangan langsung ikut terjun ke dalam kolam!
“Beda, jangan!” cegah Nyi Tirta Kumala, namun
terlambat!
Byuuurr!
Gadis itu langsung terjun menyelam ke dalam kolam!
Baru menyelam tiga tombak lebih, Beda Kumala
langsung terperanjat!
“Gila! Tekanan air di tempat ini terlalu besar!” pikirnya,
lalu matanya nyalang memandang berkeliling, “Dimana
beradanya Kakang Jalu?”
Beberapa kejap ia mencari, namun ia tidak
menemukan sosok pemuda baju biru yang menyelam
lebih dahulu dari dirinya.
“Uhhh ... dadaku rasanya mau meledak,” keluhnya
dalam hati, “Mana pemuda itu?”
Setelah berputaran beberapa kali dan tidak
menemukan sosok pemuda yang dicarinya, akhirnya
Beda Kumala memunculkan diri dari dalam kolam.

Pyarr ... !
Air kolam tersibak saat kepalanya muncul. Diiringi
dengan napas terengah-engah, gadis itu berenang ke
pinggir.
“Mana pemuda temanmu tadi?” ujar Si Tangan Golok.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, murid bungsu Nyi
Tirta Kumala berjalan lunglai dan duduk dekat gurunya.
Kepalanya ditundukkan.
“Aku ... tidak menemukannya, Nyai.”
“Sudahlah, muridku! Mungkin sudah takdir pemuda itu
bahwa ia tewas di tempat ini,” kata Dewi Tangan Api,
sambil menjatuhkan raga muridnya ke dalam pangkuan,
“Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatannya.”
Beda Kumala hanya terdiam sambil memejamkan
mata.
Setitik air bening terjatuh dari sudut mata indahnya!
--o0o--
BERSAMBUNG