Wisanggeni Bag. 11


Malam gelap gulita, Prawesti tidak peduli akan keselamatan diri, dia hanya menuruti langkah. Dia berlari sambil menangis. Berhenti bersandar di pohon, dia berlari lagi. Hatinya hancur, malu dan marah. Ia menyesal mengapa sampai terjerumus ajakan Ekadasa. "Gayatri itu perempuan baik, dia tidak marah dan tidak menaruh dendam padaku. Yang marah, hanya ketua, itu pun memang salahku sendiri. Mengapa aku begitu bodoh?"

Berlari dan berlari, ia sangat letih. Tubuh letih dan batin merana, Prawesti jatuh di tengah hutan. Ia roboh, pingsan. Ia sadar ketika embun membasahi wajahnya, suara burung berkicau, ayam berkokok.

"Aku tertidur semalaman. Di mana aku sekarang?" Ia mencari jalan setapak, setelah menemukan jalan, ia kemudian menuju ke arah tenggara. Ia tahu arah tenggara adalah tujuan ke air terjun hutan dawuk. "Aku akan menetap di situ, di goa, berlatih sampai aku menguasai semua ilmu silat yang diajarkan ketua."

Setelah menetapkan keputusannya ia melanjutkan per jalanan. Ia tidak terburu-buru. Tak ada sesuatu yang mengejar dan tak ada sesuatu yang dia kejar. Senja hari dia tiba di desa Sajan, desa kecil. Ia merogoh saku, masih ada kepingan uang. Ia numpang di rumah rakyat, kebetulan pemiliknya seorang ibu tua dan dua orang cucu yang masih belia. Esoknya dia melanjutkan perjalanan.

Suara gemuruh air terjun terdengar merdu di telinga Memandang jauh ke sana terbayang Wisang Geni sedang berlatih di bawah guyuran air terjun. Dia membayangkan dirinya sedang bercinta dengan lelaki itu di dalam goa di balik air terjun. Bagi dirinya goa itu penuh kenangan manis. Tak tahan lagi, Prawesti berlari menerobos dinding air, masuk ke dalam goa. Goa itu gelap. Ia mengibas rambutnya yang basah. Tiba- tiba matanya melihat sosok tubuh sedang berbaring di tanah. Tubuh itu membelakangi dia. Samar-samar Prawesti memerhatikan rambut orang itu, putih mengkilap. "Apakah dia Wisang Geni?"

Belum sempat berpikir lebih lanjut, Prawesti dikejutkan ketika orang itu memanggil namanya, "Westi, kemari kamu!"

Ia mengenal suara itu, suara panggilan "Westi", ia tahu persis itu suara Wisang Geni. Tetapi pikirannya membantah. "Aku sudah mulai gila, mustahil dia ada di sini, dia sekarang sedang bercinta dengan isterinya di Lemah Tulis, bagaimana mungkin dia bisa berada di sini, pasti aku sudah gila!"

Orang itu memang Wisang Geni. Ia melakukan perjalanan cepat, pagi hari berangkat tepat senja hari ia menemukan Prawesti yang nginap di desa Sajan. Ia bisa menyusul dan mendahului, karena tahu persis tujuan Prawesti juga lantaran gadis itu melakukan perjalanan lambat. Geni menguntit dari jauh. Ia mendahului masuk ke goa. Ia mengintip dari jauh.

Ketika gadis itu berlari menuju goa, ia pura-pura tidur.

Dalam keadaan masih bingung, apakah bermimpi, ataukah sudah gila, Prawesti melihat orang itu melejit dan menubruk ke arahnya. Prawesti terkejut dengan sigap mengelak sambil menyerang balik. Namun mana mampu dia melawan Wisang Geni. Hanya dengan satu gerak tipu, Geni sudah mendekap tubuh Prawesti. Gadis ini memberontak, namun ketika melihat orang yang mendekapnya adalah Wisang Geni, seketika ia pingsan lantaran kaget. Tubuhnya lemas tidak bertenaga lagi dalam pelukan Geni.

Sesaat Geni terkejut. Pelan-pelan ia meletakkan tubuh Prawesti di tanah. Ketika meraba denyut nadinya, ia tahu Prawesti hanya pingsan karena kaget. Dalam remang-remang gelap, Geni memerhatikan Prawesti. Tubuhnya agak kurus dan wajah itu seperti menyimpan banyak derita. Timbul rasa kasihan, Geni tak kuasa menahan diri, ia merunduk dan mencium mulut Prawesti. Bibir itu lembut dan basah tetapi dingin. Pelan-pelan bibir itu bergerak, mulut itu membuka dan terjadilah ciuman yang panjang. Mata Prawesti masih terpejam. Dua tangannya melingkar di punggung Geni. Mendadak dia berontak. Dua tangannya menolak tubuh Geni. "Pergi kamu, Geni, pergi!"

Geni membekap tubuh Prawesti. "Tidak, aku tak mau pergi!"

Prawesti menangis. Suaranya tersendat, "Aku mohon, Geni, kau pergilah, jangan mempermainkan aku, pergi kembalilah kepada isterimu, mereka menantimu."

"Justru mereka yang menyuruhku mengejarmu," kata Geni lirih.

Prawesti kembali memberontak. "Dia menyuruhmu mengejar aku, buat apa? Aku tak mau dipermainkan. Geni kamu pergilah."

Tiba-tiba Geni ingat kata-kata Gayatri. "Dia sendirian di luar sana, tak punya siapa-siapa." Ingat kata-kata itu dan menilai penolakan Prawesti, Geni sekarang mengerti apayang harus ia lakukan. "Westi, kamu sekarang kurang ajar, berani panggil aku, Geni, kamu tak lagi memanggil ketua atau Mas Geni."

"Kau bukan lagi ketua bagiku, aku sudah bukan murid Lemah Tulis lagi, aku diejek orang, semua gara-gara kamu."

"Kamu harus ikut aku, harus ikut, kamu harus hidup bersamaku, berempat bersama Sekar dan Gayatri."

Prawesti melotot memandang Geni. "Dengar Geni, aku tak mau dikasihani oleh Gayatri atau Sekar, aku tak mau kamu kasihani."

"Siapa bilang aku kasihan padamu." Berkata demikian Geni memeluk erat Prawesti, menjambak rambutnya, dan mencium mulutnya. Prawesti berontak, tetapi makin lama makin lemah. Gadis itu bereaksi dengan bernafsu. Geni memperlakukan Prawesti dengan kasar dan penuh nafsu. Dua anak manusia itu tenggelam dalam nafsu birahi yang tak pernah kunjung padam.

Tengah malam, saat bulan bersinar terang, cahayanya menerobos sela-sela dinding air terjun sedikit menerangi goa. Prawesti terbaring lemas di sisi Geni. Mendadak gadis itu berbalik dan menerkam Geni, ia menampar pipi Geni. Ia terkejut karena Geni tidak menangkis. Ia mengelus pipi lelaki itu. "Kenapa kamu tidak menangkis?"

"Untuk perempuan yang kucintai, kalau hanya sekali tamparan, tidak berarti apa-apa."

"Kamu bohong Geni, kamu tidak mencintaiku, kamu hanya menganggap aku sebagai pelampiasan nafsumu saja."

"Tidak Westi, tidak benar itu. Aku mengejarmu karena ingin memperbaiki kesalahanku, sekarang ini aku memaksa kamu ikut bersamaku, kembali ke Lemah Tulis dan setelah itu kita berempat, aku, kamu, Sekar dan Gayatri pergi dari Lemah Tulis, kita hidup menyendiri, hanya berempat."

Prawesti mengelus bulu dada Geni. "Kamu sudah meniduri aku, bagaimana kalau Gayatri dan Sekar tahu, mungkin "

Geni memotong, "Gayatri dan Sekar mengikuti apa mauku, lagi pula keduanya yang menganjurkan aku membawamu pulang."

"Jadi semua ini anjuran dua isterimu itu, bukan kemauanmu?"

Geni memeluk erat gadis itu. "Tentu saja itu kemauanku, kamu kan tahu berada di dekatmu saja aku sudah terangsang."

Gadis itu menggigit bahu kekasihnya. "Kamu selalu mengucapkan kalimat itu kepada setiap gadis." Geni tertawa geli. Prawesti mencium leher kekasihnya. "Geni jawab yang jujur, siapa yang lebih kau cintai Sekar atau Gayatri?"

"Mengapa kamu tidak menempatkan namamu ke dalam pertanyaan itu?"

"Aku tahu diri. Sejak awal aku hanya meminta menjadi pelayanmu, berada di sisimu. Aku tahu kamu mencintai dua perempuan itu, aku tidak masuk hitungan. Jawablah dengan jujur, siapa yang lebih kaucintai, Sekar atau Gayatri?"

"Aku akan berkata jujur, memang aku mencintai Sekar dan Gayatri. Dan di antara mereka berdua, aku merasa aku lebih mencintai Sekar."

"Apa kelebihannya yang membuat kau begitu mencintai Sekar?"

Tanpa sadar Geni menjawab, "Sekar tidak pernah meminta, dia selalu memberi, dia memberi semangat, kenikmatan dan kebahagiaan. Dia mencintai aku, tetapi dia tidak cemburu, dia memberiku kebebasan."

"Alasan itu bisa dimengerti, tetapi aku pikir pasti ada yang istimewa dalam diri Sekar, dia sangat cantik, aku belum pernah melihat perempuan secantik dia, apakah karena kecantikannya?"

Geni menjawab tanpa ragu, "Dia sangat cantik." Prawesti melanjutkan, "Gayatri, bagaimana dengan

Gayatri?"

"Gayatri cerdas," Geni menceritakan bagaimana Gayatri menyelamatkan dia dari fitnah.

Mendadak saja Prawesti teringat sesuatu, dia melompat berdiri dan berkata dengan suara parau dan gugup. "Geni, di mana Gayatri sekarang ini?"

"Di Lemah Tulis, mengapa?" "Kamu cepat pulang ke Lemah Tulis, Gayatri dalam bahaya, cepat, jangan terlambat, isterimu dalam bahaya, aku nanti menyusul."

"Ada apa? Bahaya apa?"

"Ekadasa, dia dendam padamu, dia merencanakan membunuh Gayatri pada saat kau tidak ada di samping isterimu. Cepat Geni, tak ada waktu lagi, pergi cepat, aku akan menyusul."

Kendati belum mengerti sepenuhnya, saat itu juga Wisang Geni berkelebat pergi. Ia menggelar ilmu ringan tubuh yang paling tinggi.

"Gayatri dalam bahaya, tak mungkin, dia aman di Lemah Tulis, ada kakek, ada Sekar dan anak murid yang pasti akan membelanya. Tetapi ada apa dengan Ekadasa apakah dia yang mau membunuh Gayatri, hmmm, biar ada sepuluh Ekadasa juga tak akan ungkulan menghadapi Gayatri. Tetapi isteriku itu baru saja sembuh dari luka dalam, apakah ia sudah bisa bertarung seperti sediakala, tetapi Sekar ada di sampingnya, lalu mengapa Prawesti begitu tegang dan menyuruh aku cepat pergi melindungi Gayatri?"

Banyak pertanyaan yang simpang siur di benak Geni, namun lelaki ini tak membuang-buang waktu. Ia mengempos seluruh tenaga dalamnya dan berlari dengan ilmu ringan tubuh paling tinggi. Di tengah jalan ia berjumpa dua pengendara kuda. Sambil mengucap maaf, Geni menyerobot seekor kuda dan memacunya menuju Lemah Tulis. Makin cepat makin baik.

---ooo0dw0ooo---

Pagi hari itu ketika Wisang Geni meninggalkan Lemah Tulis mencari Prawesti, sesaat kemudian Jayasatru keluar dari pintu gerbang. Ia menuju ke rumah penduduk menemui seorang lelaki muda. Tak lama berselang, lelaki itu menulis sesuatu di secarik kulit tipis, menggulungnya sampai kecil, mengikatkan di kaki burung elang. Burung itu terbang pergi Jayasatru kembali ke perguruan setelah sebelumnya mampir di sebuah warung.

Burung elang itu meluncur turun dan hinggap di tangan seorang punggawa Tumapel. Dia, seorang lelaki tegap bertelanjang dada memperlihatkan tubuhnya yang bidang. Dia, punggawa Tumapel kesembilan, berjuluk Nawa si Tombak, nama aslinya Margana. Ia berteriak ke dalam rumah. "Jeng, sudah ada berita!"

Dari dalam rumah keluar Ekadasa, tangannya memegang erat selembar kain yang hanya dililitkan di tubuh montoknya. Ia menempelkan tubuh ke punggung Nawa. "Coba bacakan!"

Nawa mengambil sekerat daging, memberinya kepada si elang, mengambil kulit yang terikat di kaki burung. Ia membacanya, "Geni sudah pergi?”

Nawa berbalik, memeluk Ekadasa. "Ayo kita berangkat sekarang."

Perempuan itu mendesah, "Nanti siang-siang saja kita berangkat aku masih mau tiduran lagi." Sambil tertawa cekikikan Ekadasa menarik lengan Nawa masuk rumah.

Sebuah rumah darurat di tepi hutan dekat desa Diwek, delapan orang sedang tiduran. Lelaki kecil pendek dengan rambut panjang dikuncir berjalan mondar mandir. "Sudah dua hari kita menanti, aku sudah tak sabaran lagi, aku ingin melumat perempuan asing itu, sudah dua tahun ini aku mencarinya. Tak lama lagi dendam isteri dan selirku akan terbalas. Tetapi mengapa begini lama?"

"Atirodra, aku juga sudah tak sabaran. Kita tidak saja diberi kesempatan balas dendam malahan dijanjikan menjadi punggawa Tumapel, wuah bisa pesta setiap hari, duit berlimpah dan kapan saja kita mau perempuan pasti tersedia," tukas lelaki tinggi jangkung dengan wajah tirus macam burung elang. Julukannya juga seram "Elang Maut".

Seorang lelaki lain, Maruta, usia setengah baya namun tampan dan kekar. Ia duduk dan berkata lirih, "Aku tak ingin hadiah apa pun, mendapatkan Ekadasa untuk satu malam saja, aku bersedia pertaruhkan nyawa membelanya.

Menantang Wisang Geni yang konon disebut Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa, aku bersedia, apalagi hanya membunuh perempuan asing."

Atirodra berkata tegas, "Kawan-kawan, kita sudah sepakat, jika perempuan asing itu masih berada di dalam perguruan Lemah Tulis, aku tak mau masuk. Itu sama saja dengan memancing murid Lemah Tulis ikut campur. Sesuai janji, kita hadapi perempuan itu di luar pagar Lemah Tulis, dengan demikian tak ada alasan bagi Lemah Tulis membantu perempuan itu, jangan lupa itu."

Delapan pendekar itu berhasil dikumpulkan Ekadasa dan Nawa, sebagai pasukan khusus yang akan membunuh Gayatri.

Ekadasa sudah merencanakan sejak saat Geni mencium perempuan India itu di depan matanya dan mengumumkan pernikahannya dengan Sekar dan Gayatri. Ia sangat marah. Ia merasa dirinya paling cantik, sehingga cemburunya meradang melihat perempuan lain merebut lelaki yang dicintainya dan yang pernah bercinta dengannya.

Ketika Geni menidurinya di kamarnya di istana Tumapel, ia telah mengerahkan segala pesona miliknya untuk memikat Geni. Dan pengalaman selama ini membuat Ekadasa yakin setiap lelaki yang bercinta dengannya tidak akan pernah lupa kenikmatan yang diberikannya. Itu sebab keakuannya tersinggung oleh Gayatri. Seluruh kebencian dan kecemburuannya akan terobati jika perempuan Himalaya itu mari. Di Argowayang ia membujuk Prawesti bersekongkol membunuh Gayatri, tetapi Prawesti menolak malah mengusirnya pergi.

Sepulang dari rumah nginapkelompok Lemah Tulis, ia dibuntuti seseorang. Ia menoleh. Lelaki itu dikenalnya. Dia Jayasatru. Tiba tiba terlintas rencana di benaknya akan memanfaatkan lelaki itu. Senja itu ia berhasil membuat Jayasatru bertekuk-lutut. Ia memberi kenikmatan persetubuhan yang menurut Jayasatru, amat istimewa dan luar biasa. Jayasatru makin tergila-gila mendengar Ekadasa menjanjikan pertemuan di hari-hari mendatang.

Jayasatru tidak bermaksud mengkhianati Wisang Geni. Tetapi melihat nasib Prawesti yang nelangsa, ia pun sangat membenci Gayatri. Pada pikirannya, gara-gara Gayatri maka Geni sampai mengusir Prawesti. Ditambah pengaruh pesona erotisme Ekadasa, tak heran akhirnya Jayasatru menyetujui rencana melenyapkan Gayatri. Dan rencana itu sangat rinci dan njelimet sehingga ia yakin rahasianya tak akan terbongkar.

Tugasnya hanya memberi kabar saat Geni pergi meninggalkan Gayatri sendirian. Setelah itu ia mencari jalan agar Gayatri bisa diajak pesiar ke bukit Kukun. Sampai di situ tugasnya selesai, rombongan pembunuh sewaan akan menyelesaikan rencana selanjutnya. Ia tak pernah mengenal dan tak pernah bertemu dengan orang-orang sewaan itu, semuanya ditangani Ekadasa.

Saat Wisang Geni dalam perjalanan bergegas menuju Lemah Tulis, saat yang sama Sekar dan Gayatri sedang makan di dapur. Tidak seperti biasa, kali ini Dyah Mekar menemaninya. Tiga perempuan itu berbincang dengan akrab. Diam-diam Dyah Mekar mengagumi pengetahuan sastra Gayatri yang dengan lancar menceritakan perasaan Subadra saat mengetahui suaminya, Arjuna kawin lagi "Itu sebab aku mengerti bagaimana perasaan Prawesti, ia sedih dan nelangsa tetapi moral gadis itu sangat baik sehingga ia tidak memusuhi aku dan Sekar atau membenci Geni.

Pertama jumpa dengannya aku sudah menyukainya, ia manis dan ramah. Aku setuju malah memaksa Geni memaafkan dan mengajaknya pulang berkumpul dengan aku dan Sekar."

Selesai makan ketiganya beranjak ke bilik masing-masing. Di tengah jalan mereka jumpa Jayasatru. Lelaki ini sengaja bersilang jalan dengan tiga wanita itu. "Kalau mau jalan-jalan melihat-lihat pemandangan, sebaiknyake bukit Kukun, pemandangannya bagus," kata Jayasatru yang melangkah terus sambil mengharap umpannya mengena. Dan memang usulan itu membangkitkan keinginan tahu Gayatri. "Mbak Dyah, bukit itu jauh?"

"Tidak. Bukit itu tidak jauh dari sini, banyak pepohonan dan dari ketinggian di situ kita bisa memandang jauh ke sekeliling perdikan. Pemandangannya indah," kata Dyah Mekar.

Sekar menolak pergi. Ia memilih istirahat di bilik. Dyah Mekar berdua Gayatri melangkah ke bukit. Setelah puas berkeliling bukit, keduanya istirahat di bawah pohon dan berbincang-bincang.

Dyah Mekar menyukai Gayatri yang cantik, cerdas dan baik budi. Ia kagum mengetahui isi hati Gayatri yang tulus terhadap Prawesti. Pandangan Gayatri menerawang jauh ke depan, ia bertata lirih, "Dua hari sudah suamiku Geni pergi, aku rindu kepadanya, tetapi aku tidak ingin dia cepat-cepat pulang jika tidak membawa serta Prawesti, aku sangat berharap dia menemukan Prawesti dan membawanya kemari."

Tanpa dibuat-buat Dyah Mekar memegang erat tangan Gayatri, dan berbisik di telinganya, "Tadinya aku tak begitu menyukaimu, kupikir kamu telah merebut Geni dari pelukan Prawesti, dan kebetulan Prawesti sangat dekat denganku. Tetapi sekarang aku sungguh menyukaimu, aku bangga padamu, sungguh pintar ketua memilih isteri." Ia tertawa lirih, Gayatri ikut tertawa.

Mendadak terdengar bentakan, "Ini dia perempuan pembunuh itu." Beberapa bayangan mengepung Gayatri dan Dyah Mekar.

"Siapa kalian?" kata Dyah Mekar. Saat berikutnya ia mengenali seorang di antaranya, "Ekadasa, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Kamu orang Lemah Tulis, urusan ini tidak ada sangkutannya dengan Lemah Tulis, kamu boleh minggir. Aku dan teman-teman hanya berurusan dengan perempuan asing ini, dia telah banyak membunuh pendekar tanah Jawa, kini saatnya balas dendam."

"Tidak bisa. Dia isteri ketua Lemah Tulis, bagaimanapun juga aku tak akan membiarkan orang mengganggu dia."

Gayatri berbisik pada rekannya, "Hati-hati mereka semua memiliki ilmu silat tinggi. Jumlahnya banyak, sepuluh orang." Ia menatap Ekadasa, "Waktu itu kamu telah melukai aku, kini kamu datang bersama teman-temanmu, apa sebenarnya maumu?"

"Jangan banyak bacot, kamu telah membunuh saudaraku, sudah lama aku mencarimu, sekarang rasakan golok ini." Pendekar bernama Atirodra langsung menerjang Gayatri.

Serangan ini diikuti sembilan temannya. Mereka sejak awal sudah sepakat untuk menyelesaikan keroyokan mi secepatnya, khawatir datangnya bantuan untuk Gayatri.

Gayatri cepat mengambil posisi. Ia memang baru sembuh dari luka dalam, dan tenaga dalamnya belum pulih seperti sediakala. Ia mengelak, balas menyerang. Dyah Mekar tak mau ketinggalan, ia menyerang pendekar yang bernama Maruta. Tetapi jumlah lawan yang banyak membuat Gayatri dan Dyah Mekar terdesak. Melihai situasi yang tidak menguntungkan, Gayatri berbisik, "Mbak Dyah, kita bertarung saling memunggungi, tujuan kita adalah lolos menuju Lemah Tulis. Begitu ada kesempatan, kamu lari ke Lemah Tulis minta bantuan."

Dyah Mekar berbisik, "Aku tak mau meninggalkan kamu sendiri."

Serangan sepuluh orang itu semakin gencar. Gayatri tidak leluasa bertarung karena ia memikirkan keselamatan Dyah. "Mbakyu, kamu pergilah, aku masih bisa bertahan untuk waktu lama, tak usah khawatirkan aku, percayalah."

Sambil berkata, Gayatri mulai memainkan jurus handal an dari Himalaya Terisanson Meiti Jevan Mein, Sirefteri Kusbu Hai (Dalam hidup dan nafasku hanya ada harum dirimu). Ia bergerak sangat cepat, gesit dan gemulai

Tangan Gayatri mengibas dan menampar. Ia bergerak bagai penari, kakinya bergerak lincah dan gesit, pukulannya yang berisi tenaga dalam mengancam setiap lawan. Seorang pengeroyok kena tendangan, tulang pahanya retak. Seorang lain kena kibasan tangan yang gemulai itu, pundaknya cedera

Gayatri bergerak kian kemari, mengelak dan menyerang. Para penyerang, bahkan Ekadasa pun terkejut dengan sepak terjang Gayatri yang begitu trengginas. Pada saat kepungan agak kendur, ia mendorong Dyah Mekar. "Cepat lari, aku akan menyusul."

Setelah menyaksikan ilmu silat Gayatri yang dalam beberapa jurus sudah mencederai dua penyerang, Dyah Mekar tak ragu lagi. Ia keluar dari kepungan dan lari menuju perguruannya yang tidak jauh. Tak lama kemudian ia sampai di pintu gerbang. Ia berteriak memanggil teman-temannya, memberitahu Gayatri dikeroyok penjahat di bukit Kukun.

Tetapi ia terkesima melihat mereka hanya menggeleng kepala, dan balik kembali ke dalam. Prastawana, suami Dyah Mekar sedang turun gunung. Jayasatru dan beberapa murid enggan membantu. Tidak demikian dengan Gajah Lengar,yang langsung berlari mendaki bukit.

Dyah Mekar berdua Gajah Lengar tiba di tempat pertarungan, tampak Gayatri dikeroyok empat orang. Ekadasa, Nawa, Elang Maut dan nenek bersenjata tongkat kepala ular. Tiga pengeroyok terkapar di tanah. Tiga lainnya berdiri di pinggiran sambil sekali-sekali menyerang dari belakang.

Gajah Lengar kesal dan kecewa melihat rekan-rekannya enggan menolong Gayatri yang adalah isteri Wisang Geni, ketua mereka. Ia tak mengerti sebabnya. Tetapi ia tak peduli, baginya membela Gayatri merupakan harga mati. Sebab Wisang Geni adalah putra tunggal Gajah Kuning, gurunya. Ia berteriak, "Curang," sambil ia menyerang lelaki yang berdiri di pinggiran.

Pertarungan makin seru, Dyah Mekar dan Gajah Lengar melawan tiga penjahat. Pertarungan berimbang, menyerang dan bertahan silih berganti. Di tempat lain Gayatri terdesak. Sebenarnya jurus silat Gayatri lebih unggul dibanding pengeroyok. Dalam keadaan biasa, ia akan mengalahkan mereka. Tetapi tenaganya belum pulih dari luka dalam. Ia juga lupa membawa senjata andalannya. Dan tarung puluhan jurus membuatnya lelah. Dari empat penyerangnya, nenek bersenjata tongkat itu yang paling lihai. Nenek itu ternyata guru dari Ekadasa, julukannya Tongkat Ular.

Gayatri terdesak. Empat pendekar itu menyerang dengan jurus mematikan. Cepat dan ganas. Mereka ingin membunuh Gayatri secepatnya. Tak ada ampun, tak ada belas kasihan. Gayatri bahkan tak pernah mengenal siapa mereka. "Mengapa mereka ini begitu membenciku, ingin membunuhku, kenapa?" katanya dalam hati

Gayatri tahu diri, tenaganya belum pulih untuk pertarungan panjang. Limapuluh jurus sudah berlalu, tiga pendekar sudah ia gebuk terkapar di tanah. Kedatangan nenek tua bersenjata tongkat kepala ular merupakan kesulitan paling besar baginya. Nenek itu menyerang dengan jurus-jurus ganas, mengincar titik kematian. Kesulitan lain, tiga pendekar yang berdiri di pinggiran, mereka menyerangnya setiap melihat salah seorang dari empat kawannya terancam bahaya. Dengan demikian empat pendekar leluasa menyerang.

Situasi Gayatri agak tertolong dengan datangnya Dyah Mekar dan Gajah Lengar. Begitu tiba di tempat Gajah Lengar langsung menyerang tiga penjahat di pinggiran itu. Gayatri heran melihat Dyah Mekar hanya membawa bantuan Gajah Lengar. Ia bertanya dalam hati "Mengapa Dyah hanya membawa seorang tenaga bantuan, ke mana murid Lemah Tulis yang lain, apakah Lemah Tulis juga diserbu penyerang?"

Tetapi ia tak peduli. Baginya dua tenaga itu sudah cukup untuk meringankan desakan lawan. Di balik itu Gayatri mengerti keadaan dirinya, tenaganya semakin terkuras dan lambat laun ia akan melemah. Empat penjahat itu bisa membaca gerak Gayatri yang tidak lagi cepat dan ganas. "Ia sudah lelah, cepat selesaikan," suara keras Ekadasa sepertinya menambah daya gempur tiga kawannya.

Nawa menyerang ganas. Ujung tombaknya mengancam leher Gayatri. Gadis Himalaya ini merunduk dan tombak itu lewat di atas kepala namun tak urung beberapa lembar ujung rambutnya putus beterbangan.

Gayatri terkesiap. "Hari ini mungkin ajalku sudah ditentukan, seharusnya aku ikut saja ke mana Geni pergi, sayang aku tak bisa bertemu suamiku lagi. Baiklah tetapi sebelum ajal, aku akan adu jiwa," katanya dalam hati.

Mendadak Gayatri berseru dalam bahasa India, 'Martahoon Magar Martabhinahin (Aku memukulnya tapi serasa tak memukulnya)", tangan dan kakinya berkelebat. Dia memainkan jurus andalan itu dengan pengerahan tenaga dalam yang besar, memompa habis sisa tenaganya yang masih tersedia. Jurus itu memang liar dan aneh, sulit ditebak arahnya. Hanya sekejap saja, pundak Ekadasa kena tampar, terlepas dari engsel. Tangan kiri wanita itu lumpuh. Rekannya, Elang Maut, ulu hatinya kena tendangan Gayatri, langsung tewas.

Gayatri gembira melihat hasilnya, ia memang berniat adu jiwa sehingga tak lagi memikirkan pertahanan. Ia menyesal pukulannya ke kepala Ekadasa luput dan hanya mendarat ke pundak si wanita genit. Selang sesaat: ia melihat datangnya serangan Nawa, ujung tombak mengarah dada, perut dan leher berbarengan datangnya serangan tongkat si nenek yang mengemplang kepala.

Tidak tinggal diam dengan sisa tenaganya Gayatri memainkan jurus Yaadon Mein Tum Koye Rahoo Saare Jahan Kobhul Ke (Melamunlah dalam pelukan dan lupakan dunia ini). Ia menampar ujung tombak sambil kakinya melepas tendangan. Nawa terpental, tulang pahanya patah. Gayatri memang hebat, tetapi ia sudah sangat lelah. Tubuhnya limbung pada saat mana tongkat kepala ular si nenek mengancam akan menghancurkan kepalanya.

Melihat isteri ketuanya terancam maut, Gajah Lengar yang sedang bertarung secepatnya meninggalkan lawannya dan melompat dengan seluruh tenaganya. Dia membentak dengan teriakan keras, "Mati kamu nenek cabul!"

Dia tidak hanya membentak tetapi berbarengan menyambit kerisnya mengarah kepala si nenek, gerak lanjutan adalah menubruk untuk melindungi Gayatri. Semua gerak dilakukan dalam sekejap mata. Bentakan itu telah mengejutkan nenek tua sehingga serangannya tertunda beberapa detik.

Nenek tua mengelak lemparan keris, tetapi tongkatnya tetap mengancam kepala Gayatri yang semakin limbung. Tubrukan dan dorongan Gajah Lengar membuat Gayatri terpental dan terhindar dari sasaran tongkat. Sebagai gantinya adalah Gajah Lengar yang menangkis tongkat dengan gerak mengibas. Gayatri selamat, tetapi lengan Gajah Lengar kena hantam tongkat kepala ular. "Duuukkk," tulang lengan Gajah Lengar patah Tetapi tongkat itu seperti ular hidup, terus bergerak dalam serangan susulan mengejar Gayatri. Melihat itu meskipun kesakitan, Gajah Lengar siap mempertaruhkan nyawa melindungi isteri sang ketua.

Pada saat kritis itu terdengar lengking teriakan perempuan. Kesiuran angin kencang menyerbu dalam arena. Sekar datang pada saat yang tepat

Setelah berpisah dengan Gayatri, Sekar istirahat di biliknya.

Dalam tidurnya ia terjaga oleh mimpi buruk. Ia melihat suaminya bermandi darah. Suaminya tampak sekarat tapi masih bisa berteriak minta tolong, "Sekar, tolong aku!"

Sekar melompat bangun. Ia lari keluar. Sampai di gerbang, ia ingat Gayatri dan Dyah Mekar pergi ke bukit Kukun.

Firasatnya tajam ada yang bertarung di bukit itu. Ia lantas mengerahkan ringan tubuhnya yang paling handal Wimanasara. Dari kejauhan ia melihat Gayatri terancam jiwanya. Ia langsung masuk tarung.

Belum sampai di dekat Gayatri, Sekar mendorong dengan dua jurus Sapwa Tanggwa (Sapu menyapu) yakni Mammyangken (Menyakiti hati) disusul Hatut (Sehidup semati). Serangan itu datang bergelombang dengan tenaga besar Segoro (Samudera).

Hantaman Sekar memaksa nenek tua mengubah posisi kaki dan menarik pulang serangannya. Tanpa pikir lagi ia mengerahkan seluruh tenaga menahan hantaman Sekar. "Deeesss" dua tenaga berbenturan. Nenek itu terdorong mundur dua langkah. Ia memandang Sekar. Ia heran dan tak menyangka tenaga Sekar yang hanya seorang gadis muda, bisa sebesar serudukan gajah.

Gayatri terbaring di tanah. Ia nyaris pingsan, tetapi langsung siuman ketika mendengar lengkingan Sekar. Sambil tarung Sekar bertanya keadaannya. Gayatri menjawab tegas, "Aku tak apa-apa, hanya letih, kau cepat selesaikan nenek jelek itu." Di samping Gayatri, berdiri Gajah Lengar dengan tegar dan waspada, siap melindungi isteri ketuanya.

Nenek itu marah dan menyerang ganas, tongkatnya mengancam dada. Sekar mengerahkan seluruh tenaga Segoro dalam jurus Harwuda (Seratus ribu juta) dan Ghardawari (Saling sayang). Tangannya memutar dan menarik. Tangan lainnya mengibas dalam lingkaran besar. Tongkat si nenek terbawa dalam arus putaran. Saat berikut Sekar menyodok dan tongkat memukul balik kepala si nenek. Tengkorak kepalanya retak. Tak sempat berteriak, nenek itu tewas di tempat Ia bahkan tidak sempat melihat gerakan lawan.

Tidak berhenti sampai di situ, Sekar merunduk ke tanah, meraup pasir dan batu kerikil kemudian mengibas ke tiga penjahat yang sedang mengancam Dyah Mekar. Terdengar desir angin yang mencicit, tiga orang itu berteriak keras, wajah mereka kena terjang pasir kasar. Pasir itu menusuk daging, perih dan panas. Darah menetes dari wajahnya.

Beruntung pasir dan kerikil tak mengena mata. Sambil teriak kesakitan ketiganya kabur. Tarung usai.

Sekar memeluk dan memeriksa Gayatri. Ia merasa lega karena sahabatnya hanya kehabisan tenaga karena kelelahan. Dengan bantuan tenaga dalam dan istirahat satu hari, ia akan pulih sediakala. "Untung kamu tidak kena apa-apa," katanya.

Dia memeriksa Gajah Lengar yang tulang lengannya patah.

Sementara Gayatri sudah berdiri dan membantu membalut luka Dyah Mekar yang kena senjata tajam di pundak, lengan dan paha. Sekar yang sedikitnya sudah menguasai ilmu pengobatan dari Dewi Obat merawat Gajah Lengar. Ia membenahi letak tulang yang patah, mengamankannya dengan dua potong kayu lebar. Keadaan Gajah Lengar tidak berbahaya. Pada saat itu kesiuran angin keras mendatang. Geni muncul. Ia terkejut namun gembira melihat Gayatri tertawa dalam pelukan Sekar. Ia mendekat Gayatri berkata lirih, "Untung Sekar datang di saat yang tepat, terlambat sedikit saja, aku, kangmas Gajah Lengar dan mbak Dyah sudah tak bernyawa. Eh, mana Prawesti?"

Geni tak menjawab. Setelah yakin Gayatri tidak luka. Ia menoleh ke para pengeroyok yang sedang berusaha bangkit. Nawa dan Ekadasa mengerang kesakitan. Kali ini Geni marah. Dalam benaknya tidak ada lagi sisa kenangan indahnya tubuh punggawa wanita itu. Ia benar-benar marah: "Ekadasa, ini peringatan terakhir, jika kamu masih mengganggu isteriku, tak ada ampun bagimu, aku akan telanjangi kamu di depan umum, semua pakaianmu akan kulucuti dan membiarkan kamu jadi tontonan orang. Ingat itu! Sekarang pergi bersama temanmu semua, pergi, sebelum aku berubah pikiran."

Wisang Geni memeluk Gajah Lengar, kemudian menyalami Dyah Mekar. "Terirnakasih kangmas Lengar dan mbakyu Dyah, kalian sudah mempertaruhkan nyawa melindungi isteriku."

Karuan saja dua anak buah itu tersipu-sipu, malu. "Itu sudah kewajiban kami, ketua. Kamu membuat kami jadi sungkan."

Gayatri menyahut dengan tertawa senang, "Aku yang harus berterimakasih kepada kakak berdua, kalau tidak ada kalian, aku pasti sudah mati, kalian sudah menyelamatkan nyawaku dan kamu juga mbakyu Sekar, terimakasih." Ia mengulang pertanyaannya, "Eh Geni, mana Prawesti?"

Dyah Mekar dan Gajah Lengar terharu, dalam keadaan seperti itu, Gayatri masih juga menanyakan Prawesti. Satu bukti ketulusan hati perempuan India ini. Geni menyahut dengan kesal, "Aku sudah temukan dia, tetapi aku pulang duluan, dia menyusul belakangan. Dia yang mengatakan adanya bahaya mengancam kamu, dan ia mendesak aku cepat-cepat kembali. Ternyata dia benar. Dan aku memang terlambat, untung ada Sekar."

Wisang Geni tampak kesal. Ia menggenggam tangan Gajah Lengar dan mengajak tiga perempuan itu kembali ke Lemah Tulis. Geni berdiam diri sepanjang jalan. Dari wajahnya yang kusut tampak ia sedang marah. Mereka tiba di kaki bukit, berbarengan dengan tibanya Prawesti yang menunggang kuda.

Prawesti melompat dari kuda, ia mendekati Gayatri. "Kamu tidak apa-apa?"

Gayatri tersenyum, "Kamu lihat sendiri aku sehat"

Dia menggenggam tangan Gayatri. Ketika gadis Himalaya itu tersenyum, tak bisa membendung harunya Prawesti menghambur memeluk Gayatri. Ia menangis dan berkata dalam sendu. "Maafkan aku, memang aku bodoh, maafkan aku Gayatri."

Gayatri berbisik di telinga Prawesti, "Mulai sekarang, kamu harus memanggil aku, kakak, tak peduli berapa pun usiamu."

Prawesti mengangguk. "Iya kakak, aku akan ikuti semua perintahmu." Gayatri mendorong Prawesti. "Kamu pergi kepada mbakyu Sekar, minta maaf padanya."

Tanpa diperintah dua kali, Prawesti menggenggam dan menciumi tangan Sekar. Ia memeluk Sekar. "Mbak Sekar, aku minta maaf atas semua kesalahan dan kebodohanku."

Dua perempuan itu menggenggam tangan Prawesti.

Persentuhan tangan tiga perempuan itu menjalarkan pertemanan tulus. Keakraban merambah lewat telapak tangan menuju hati sanubari ketiganya. Dua perempuan itu saling rangkul. "Maafkan aku, kak Gayatri. Malam itu aku seperti orang tolol, mau saja terjerumus bujukan Ekadasa. Aku berterimakasih karena kakak berdua telah mengajak aku pulang." Dalam perjalanan menuju perguruan, Geni bertanya bagaimana Prawesti bisa menduga adanya bahaya itu. Prawesti menceritakan kejadian di Argowayang ketika Ekadasa membujuknya. "Maafkan aku ketua atas kesalahanku malam itu. Tetapi Ekadasa benar-benar membenci kakak Gayatri.

Rencananya, ia memisahkan ketua dari kakak, sebab ilmu silat ketua tak mungkin bisa dilawan. Pada saat ketua tidak berada di tempat, dia bersama teman-temannya menyerang kakak Gayatri. Dia minta aku bekerjasama dan tugasku memancing ketua pergi dari sisi kakak. Waktu itu aku marah dan mengusirnya. Tetapi kemarin terpikir jangan-jangan lantaran aku kabur dan ketua mencari aku, kakak Gayatri diserang Ekadasa. Tetapi sebenarnya kakak aman karena berada di perguruan Lemah Tulis, kupikir tak akan ada yang berani menyerang. Tapi tampaknya rencana Ekadasa hampir saja berhasil."

Wisang Geni diam, tetapi ia mendengar percakapan itu. Begitu juga Dyah Mekar dan Gajah Lengar yang berjalan berdampingan. Gayatri memotong, "Westi kamu tidak bersalah, lagipula aku sendiri salah, tubuhku masih lemah, belum sehat benar, seharusnya aku di rumah saja berlatih semedi. Sialnya, aku juga tak membawa senjata" Ia menyambung dengan kesal "Kalau aku sehat dan berbekal senjata, sepuluh orang itu t,ak ada apa-apanya"

Dyah Mekar ikut bicara, "Jikalau saja aku tidak mengajak Gayatri jalan-jalan ke bukit Kukun, mungkin tak akan ada kejadian itu, aku minta maaf ketua."

Geni menyahut dengan kesal, "Kalian mencari-cari alasan siapa yang salah, kalian tidak bersalah, tak ada seorang pun yang salah. Aku akan membereskan semua ini." Mendengar suara Geni yang serak pertanda marah, ketiganya diam tak menyahut.

Mereka tiba di pendopo. Wisang Geni duduk di tangga pendopo, berkata kepada Gajah Lengar, tepatnya memerintah. "Kangmas, tolong panggil kedua kakek sepuh dan semua murid, aku sebagai ketua ingin bicara."

Sekar, Gayatri dan Prawesti selama ini belum pernah melihat Wisang Geni bersikap tegas dan kasar seperti itu. Sikap seorang pemimpin, tegas, tegar dan wibawa. Diam-diam mereka keder dan takut. "Wibawanya itu, wibawa seorang raja yang bisa memutuskan mati hidup seseorang, pantas jika ia disegani dan ditakuti anak buahnya"

Hari sudah senja ketika semua orang berkumpul di pendopo termasuk Padeksa dan Gajah Watu. Mereka menduga-duga ada kejadian apa yang membuat wajah ketua muram dan kesal. Geni mengumpulkan segenap tenaga batinnya, ia harus membicarakan hal paling penting dalam kehidupannya.

"Aku mohon maaf kepada guru Padeksa dan paman Gajah Watu, dua sesepuh yang paling kuhormati, sebagai ketua Lemah Tulis hari ini aku harus menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan, untuk aku pribadi dan untuk kemajuan Lemah Tulis. Ada beberapa kejadian yang membuat aku mengambil keputusan ini.

"Pertama, kejadian aku dituduh memerkosa perempuan. Aku tidak persalahkan kalian yang percaya berita buruk itu. Kalian punya hak untuk percaya. Aku kecewa, karena itu membuktikan bahwa kalian tidak percaya padaku, kalian tidak percaya bahwa aku laki-laki yang punya moral baik dan budi pekerti tinggi yang mustahil mau melakukan perbuatan terkutuk itu.

"Di sini ada pembelajaran, bahwa jika seorang pemimpin sudah tidak dipercaya oleh anak buahnya, maka dia tidak layak lagi menjadi pemimpin. Itu artinya aku sudah tidak layak menjadi ketua Lemah Tulis.

"Hal kedua, perkawinan dengan Sekar dan Gayatri adalah urusan pribadiku, pilihanku sendiri. Isteriku Gayatri memang perempuan asing, jadi aku anggap wajar dan cukup manusiawi jika kalian tidak menyukainya. Kalian punya hak tidak menemaninya di dapur, tidak mengajak bergaul, tidak menyukainya. Kalian punya hak mengasingkan dia dari pergaulan di perdikan ini, tapi tak seorang pun yang boleh mencelakai isteriku, camkan itu.

"Contoh, kejadian di bukit Kukun tadi, kalian diberitahu oleh Dyah Mekar bahwa Gayatri isteriku dikeroyok banyak orang, tetapi kalian diam dan memilih tidak mau membantu, itu hak kalian. Aku menghormati hak pilih kalian. Tetapi aku kecewa, karena tugas kependekaran adalah menolong manusia yang perlu ditolong, dan itu telah kalian langgar, kalian lupa itu.

"Hal ketiga, tantangan dari pendekar Cina, mereka menantang aku, dan tidak ada sangkut paut dengan Lemah Tulis, ini urusan dendam mereka atas kematian Sam Hong dua tahun lalu. Akan kuhadapi tantangan ini, aku tidak minta bantuan kalian karenanya aku larang kalian ikut campur. Mau nonton silahkan. Aku akan datang ke desa Bangsal di bulan Waisaka bersama Sekar, Gayatri dan Prawesti."

Wisang Geni menoleh ke arah dua kakek sepuh. "Hal keempat, aku mohon maaf atas kelancanganku kepada guru berdua, aku sudah pikir masak-masak, hari ini aku mengundurkan diri dari jabatan ketua, untuk seterusnya silahkan guru berdua dan para kawan memilih ketua baru, ketua yang kalian percaya."

Pengumuman terakhir ini disambut keluh kesah semua murid. Semua menyuarakan tidak setuju. Gajah Lengar berseru, "Tidak bisa, ketua harus tetap memimpin kami, kesalahan segelintir murid tak bisa menjadi sebab ketua meninggalkan kami, masih banyak murid yang mencintaimu dan yang bersedia mati untukmu."

Wisang Geni mengangkat tangannya, meminta agar para murid diam sejenak. "Aku belum selesai. Aku berdiri di sini dengan penuh kesadaran, aku belajar banyak dari pengalaman sebagai ketua Lemah Tulis, keputusanku sudah bulat untuk mundur tetapi aku tak akan tinggal diam jika ada orang menyerang perguruan ini. Aku pernah mengucap janji dan mengancam di hadapan banyak pendekar di gunung Argowayang, bahwa siapa pun yang memusuhi Lemah Tulis akan aku hadapi, tanpa kecuali. Janjiku ini masih berlaku sampai kapan pun bahkan sampai ajalku.

"Hal kelima, akan kubereskan semua urusanku. Hari ini aku bukan lagi ketua, tetapi aku masih nginap disini bersama Sekar, Gayatri dan Prawesti sampai kalian mendapatkan ketua baru. Kemudian aku akan pergi menetap di lereng gunung Welirang." Geni berhenti dan merasa lega telah mengutarakan keputusannya yang berat itu.

Ia melanjutkan, "Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk kalian semua, silahkan datang kapan saja. Aku menyepi bersama tiga isteriku. Cukup sudah kata-kataku, aku mohon pamit, selanjutnya pertemuan ini akan dipimpin guru dan paman guru," sambil dia menoleh ke arah Padeksa dan Gajah Watu. Ia kemudian menggandeng tiga isterinya melenggang menuju rumah. Ia meninggalkan orang-orang yang gelisah dan ribut di belakangnya.

---ooo0dw0ooo---

Malam hari di Lemah Tulis keadaan sunyi Biasanya suasana cukup meriah dengan sekelompok murid menyanyi berbagai macam kidung dan tembang sekelompok lain belajar sastra Tetapi malam itu semua murid tampak lesu dan kurang bersemangat Terjadi banyak perdebatan. Sebagian besar mempersalahkan diri dan menyesal atas sikap dan perlakuan tidak adil kepada Gayatri.

Di dapur keadaan sepi. Hanya tampak Gayatri, Sekar dan Prawesti mempersiapkan santap malam Mereka tampak akrab, tertawa di lain saat berbisik-bisik. Dyah Mekar bersama dua murid, Rukmini dan Selasih masuk. Ketiganya ikut larut dalam pembicaraan. Ketiga isteri Geni pamit setelah siap dengan masakannya Sepeninggal mereka, Selasih berbisik, "Gayatri orangnya baik, ramah lagi. Tadinya kukira wanita cantik seperti dia pasti angkuh."

Mereka bertiga terkejut ketika masuk rumah, ternyata Padeksa dan Gajah Watu sedang bicara dengan Wisang Geni. Agaknya urusan penting. Mereka tak mau mengganggu, berniat keluar lagi setelah meletakkan makanan di tilam. Geni menggeser duduknya dan memanggil tiga isterinya duduk di dekatnya. "Kalian duduk di sampingku, silahkan dilanjutkan, guru."

Padeksa dan Gajah Watu diam. Tampak keduanya tersinggung. "Geni, aku mau bicara hanya dengan kamu, jangan ada yang lain ikut mendengar," kata Padeksa agak kaku.

"Guru, tiga wanita ini, adalah wanita dalam hidupku, aku mohon guru membolehkan mereka ikut mendengarkan."

Gajah Watu melihat suasana memanas. Ia batuk-batuk kecil dan berkata lirih, "Kangmas, mohon tiga perempuan ini dibolehkan mendengarkan apa yang diputuskan Wisang Geni."

Akhirnya Padeksa mengalah, dia mengangguk, "Geni, semua murid menginginkan kamu jangan mundur. Untuk itu mereka akan mematuhi apa saja syarat kamu. Mereka menyatakan menyesal akan kesalahannya."

"Guru, aku tak sanggup memimpin suatu kelompok orang yang pernah tidak mempercayai moralku, bahkan kakek sendiri orang yang mendidik aku sejak kecil bisa tidak mempercayai moralku. Sedangkan Gayatri dan Sekar, orang yang belum lama mengenalku tidak mempercayai fitnah keji itu. Keduanya tidak percaya moralku sebejat itu."

"Kamu harus bisa memaafkan kesalahan orang, apalagi jika yang bersangkutan sudah minta maaf," suara Padeksa lirih. Wisang Geni mengiyakan. "Aku sudah maafkan, aku hanya tak mau menjadi ketua lagi, itu saja."

"Geni, kami masih butuh kamu sebaga iketua, kamu pikirlah dulu" Gajah Watu bicara dengan penuh harapan, hampir-hampir seperti memohon.

Wisang Geni tetap pada keputusannya. Dua orangtua ini gagal mengubah keputusan Geni, keduanya pamit. Empat orang muda ini mengantar sampai di pintu "Guru, besok pagi aku akan pamitan," kata Geni.

Sambil menikmati santapan malam, Geni berkata kepada tiga isterinya, "Besok kita pamitan, kita ke gunung Welirang, aku nanti minta tolong kangmas Gajah Lengar dan Gajah Nila ikut membangun rumah."

Geni membantu mengobati Gayatri menata tenaga dalam.

Luka isterinya sudah sembuh namun perkelahian tadi menyebabkan jalan darah tidak lancar. Usai mengobati Gayatri, Geni semedi.

Ketika membuka mata, ia terkejut melihat Gayatri, Sekar dan Prawesti berbaring di tikar dengan selembar kain menutupi tubuh. Tiga wanita itu tertawa. "Mulai malam ini, Geni, kita bertiga tidur bersamamu," bisik Sekar sambil tawa cekikikan.

Wisang Geni tak pernah menyangka tiga isterinya bisa cepat akrab. Tadi sewaktu di dapur Gayatri menanyakan usia Prawesti dan Sekar.

"Sembilanbelas," kata Prawesti.

Lalu Gayatri memotong cepat, "Aku duapuluh, jadi kamu harus panggil aku kakak," bisik Gayatri.

Prawesti mengiyakan. Sekar menyahut, "Aku duapuluh satu, jadi kalian berdua panggil aku kakak." Gayatri tertawa. Sebenarnya usia mereka sama, duapuluh tahun. Selanjutnya tiga perempuan itu bisik-bisik, akan tidur bertiga "Geni itu mesti dikeroyok, kalau sendirian kita bisa cepat tua atau cepat mati Tapi mbak Sekar, aku heran bagaimana mbakyu Wulan bisa tahan melayani Geni selama dua tahun," bisik Gayatri

"Oh mbak Wulan itu luar biasa, usianya empatpuluhan tetapi nampak seperti gadis belasan tahun, karena punya ilmu Karma Amamadangi, ilmu langka warisan Ki Panawijen," kata Prawesti. "Ilmu itu membuat wanita awet muda dan tubuh tetap sekel" imbuhnya.

Malam itu Geni merasa beruntung, kehilangan Wulan tetapi memperoleh ganti tiga isteri cantik. Malam itu menjadi istimewa bagi Geni dan tiga isterinya Empat insan ini bercanda-ria dan bercinta sepanjang malam.

---ooo0dw0ooo---

Siang itu di biliknya Geni sedang makan bersama tiga isterinya. Seorang murid masuk. Ia tampak canggung di depan Geni. Agak gugup ia memberitahu ada tetamu ingin menjumpai Wisang Geni. Ternyata dua lelaki itu utusan dari keraton Tumapel yang mengantar hadiah dari permaisuri Waning Hyun. Dua ekor kuda, pejantan warna hitam pekat dan kuda betina warna putih. Selain itu ada perhiasan emas berupa dua untai kalung dengan liontin bergambar burung garuda. Sangat indah. Ada kulit tipis bertuliskan Hadiah untuk isteri kangmas Geni, Sekar dan Gayatri dan Hyun.

Sekar dan Gayatri menyukai perhiasan emas itu, tampak gembira seperti anak kecil memperoleh mainan. Geni berterimakasih melihat kegembiraan dua isterinya. Ia menulis di balik kulit itu. Terimakasih atas hadiah paduka, isteriku sangat gembira. Ia memberikan surat tersebut kepada dua lelaki itu. Kepada Gayatri, Sekar dan Prawesti, dia berkata, "Sungguh kebetulan mendapat hadiah itu, aku memang sedang membutuhkan kuda."

Usai makan, Gayatri duduk di dekat Geni. Prawesti membereskan sisa makanan. Gayatri menghela napas, memandang Geni dengan rasa cinta. "Geni, ada sesuatu yang aku harus katakan padamu Aku tidak suka kamu melepas jabatan ketua dengan alasan aku tidak disukai di sini. Aku malu, karena orang pikir aku melapor dan mengadu kepadamu, mereka akan menuduhku jahat Padahal aku tak pernah tersinggung apalagi marah, aku menerimanya dengan hati terbuka. Kupikir, lambat laun sikap mereka akan melunak. Perbuatan mereka tidak melukai aku, lantas mengapa harus melukai kamu, padahal aku tak pernah melapor."

"Memang kamu tidak mengadu padaku, tetapi aku melihat dengan mataku sendiri, ketika kamu masuk dapur, mereka menyingkir keluar dari dapur sambil meludah. Aku mendengar mereka bergunjing di belakangmu. Tentu saja aku sangat tersinggung, karena mereka tidak menyukai isteriku, aturannya kan jelas jika menghormati aku sebagai ketua patutlah jika mereka berbaik hati pada isteri si ketua," kata Geni kesal.

"Ketika kamu menyatakan mundur dari jabatan ketua, aku sungguh terkejut. Kamu pernah mengatakan niat itu padaku beberapa waktu lalu, tetapi kupikir hanya ungkapan rasa kesal. Sekarang sudah terjadi, dan pasti mereka menduga disebabkan kehadiranku sebagai isteri, aku yang mengadu domba, apalagi aku adalah cucu dari musuh Eyang Sepuh Suryajagad. Lengkap sudah citra buruk atas diriku, Gayatri penyebab utama Wisang Geni mundur dari jabatan ketua Lemah Tulis." "Mereka anak buahku, jika tidak menghargai isteriku, itu hak mereka, tetapi aku juga bisa marah. Seharusnya mereka percaya padaku, itu yang disebut setia kepada pemimpin.

Lagipula aku tidak melakukan sesuatuyang melanggar aturan perguruan. Nah sekarang apa alasan mereka tidak memercayai aku? Jika percaya padaku, mereka harus bisa berteman dengan isteri si ketua," jawab Geni dengan nada tinggi.

"Geni, jangan marah, aku bukannya menentang kamu, melainkan mengutarakan isi hatiku. Aku di sini sebatangkara, aku tak punya siapa-siapa hanya kamu seorang." Gayatri memeluk suaminya, merangkul erat, ia mengecup bibir suaminya.

Prawesti dan Sekar diam-diam melangkah keluar rumah.

Mereka tidak cemburu. Sudah ada kesepakatan tak boleh ada cemburu malahan kadang-kadang memberi kesempatan temannya berduaan dengan Geni.

Sedang Prawesti pernah berjanji bahwa ia akan memberi lebih banyak waktu kepada Sekar dan Gayatri bercinta dengan Geni. Melihat dua perempuan itu keluar rumah, Geni memeluk gemas Gayatri. Saat berikutnya dua kekasih ini larut dalam permainan cinta.

Siang berganti senja, matahari mulai doyong ke Barat. Dua insan itu masih bergelut dalam api asmara Gayatri merebahkan kepala di dada Geni. Ia mendengar degup jantung kekasihnya Geni mengelus-elus rambut Gayatri. "Kau cantik, hangat, mesra dan mahir bercinta, padahal aku tahu persis kamu masih perawan artinya belum pernah dijamah laki-laki, lantas dari mana kamu pelajari cara bercinta yang begitu memikat?"

Gayatri tertawa. "Aku belajar dari kamu" "Tetapi aku tak pernah mengajari kamu" "Aku mempelajari apa yang kau suka kemudian dari situ aku memikirkan cara untuk memberi kepuasan kepadamu. Mudah kan?" katanya sambil membelai dan mengelus bulu dada suaminya.

"Kamu cerdas, itulah yang membuat aku sangat menyintaimu, lebih dari apa pun di kolong langit ini." Geni berbisik di telinga kekasihnya. "Kamu lebih hebat dari Sekar dan Westi, lebih cantik, tubuhmu sempurna, caramu bercinta lebih merangsang, aku tidak akan pernah bosan menikmati tubuhmu" Kata-kata ini juga sering dia ucapkan di telinga Sekar.

"Oh Geni, kekasihku, hanya kamu yang kucintai, aku hanya hidup untuk memuaskan dirimu. Nikmatilah tubuhku sepuas- puasnya, karena semakin kamu puas, semakin aku bahagia.

Aku ingin sisa hidupku yang dua bulan ini kita nikmati sepuas- puasnya."

"Tak usah kau sebut-sebut sisa hidupmu tinggal dua bulan, tak mungkin itu terjadi, kita berdua akan hidup lama, seperti kataku, kita menyepi dan hidup bersama anak-anak kita."

Perempuan itu mengalihkan pembicaraan. "Geni apa alasan sebenarnya kamu mundur itu? Apakah benar kamu bosan dengan pertarungan, jenuh dengan perkelahian di rimba persilatan ini?"

Geni mendekap isterinya. "Aku tak akan pernah katakan ini pada orang lain. Aku sakit hati karena pada akhirnya aku tahu orang-orang di sekitarku hanya butuh aku sebagai pelindung untuk menghadapi musuh, aku merasa sebagai petarung untuk kepentingan mereka. Tarung ini tak akan pernah berhenti, bisa sepanjang hidupku. Mereka tidak tulus padaku, mungkin yang tulus padaku, hanya Gajah Lengar dan Gajah Nila. Keduanya murid ayahku, mereka mencintai ayahku, mereka menyayangiku dengan tulus. Kamu ingat waktu Gajah Lengar siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu Jika Sekar terlambat sesaat, dia akan mati lebih dulu setelah itu baru kamuyang mari Ia tidak mengenalmu, tetapi ia menyayangiku maka ia juga menyayangi isteriku, tanpa pamrih." Gayatri mengangguk karena dia menyaksikan sendiri sepak terjang Gajah Lengar.

Sudah dua hari sejak Wisang Geni melepas jabatan ketua.

Suasana Lemah Tulis masih muram. Semua murid dilanda kebingungan. Mereka tidak bisa menyembunyikan kenyataan belum ada seorang murid pun yang mumpuni menjadi ketua. Hanya dua yang layak, Padeksa dan Gajah Waiu. Namun kedua sepuh itu menolak, dengan alasan usia sudah lanjut.

Padeksa dan Gajah Watu belum menentukan sikap. Malam itu, keduanya berembuk. "Tak ada jalan lain, kita harus membujuk Wisang Geni, kalau perlu mengemis kepadanya, ini kan untuk kemajuan Lemah Tulis, kita tak boleh membiarkan Lemah Tulis yang sudah maju pesat ini kembali merosot," kata Gajah Watu

Keduanya menuju rumah Geni. Lelaki itu sedang bercanda dengan tiga isterinya. Gajah Watu membuka percakapan, minta Geni membatalkan niatnya. Namun Geni bersikukuh tetap mundur. "Aku tak bisa menjilat ludah kembali."

Padeksa menoleh kepada Gayatri dengan air muka muram.

Orang tua itu berkata dengan suara rendah. "Gayatri aku minta maaf atas nama semua murid jika perlakuan terhadapmu telah menyinggung perasaanmu."

"Tidak perlu begitu kakek yang budiman, aku tidak pernah tersinggung, aku tidak marah, semua itu aku anggap biasa." Gayatri bicara dengan kepala merunduk dan suara yang lirih.

Orangtua itu memandang Gayatri bergantian Wisang Geni. "Gayatri, kamu bantu melunakkan hati suamimu"

Gayatri tetap merunduk. "Aku tidak berani lancang terhadap suamiku. Sejak mulai dewasa, aku diajar untuk patuh kepada ayah, setelah kawin, maka harus patuh dan setia melayani suami seperti pelayan dengan majikan." Semua diam. Sekar beringsut mendekati Geni dan berbisik di telinga. Geni batuk kecil lalu menggeleng-geleng kepala. "Sekar membujuk aku agar menerima permintaan guru, tapi guru maafkan aku, mohon beribu ampun, aku tak sanggup menjadi ketua. Sesungguhnya sekarang ini guru berdua yang layak memimpin Lemah Tulis. Pasti perguruan akan lebih maju."

Padeksa berkata dengan nada tinggi, "Kamu keras kepala, apakah kamu tidak berpikir bahwa kamu bisa jadi begini hebat karena telah dibesarkan oleh Lemah Tulis?"

"Lebih tepat lagi, aku menjadi besar karena dibesarkan guru. Dan sekarang aku harus membalas jasa. Begitu kan maksud guru?" Geni bicara dengan nada datar tanpa emosi. Tetapi dari air mukanya orang bisa menangkap bahwa dia merasa kecewa dan getir.

Dua orang tua itu terpaku di tempat duduk. Geni melanjutkan, "Aku sudah melewati banyak pertarungan dengan nyawaku di ujung maut, semua kupertaruhkan untuk Lemah Tulis. Tolong guru memahami, aku tak sanggup lagi, aku bosan, capek, aku ingin sendiri, ingin menyepi. Aku akan selesaikan pertarungan lawan pendekar Cina. Setelah itu jika aku selamat dari pertarungan itu dan jika aku masih hidup, ijinkan aku pergi, aku mohon guru, jika memang masih ada setetes kasih sayangmu padaku."

Padeksa melihat mata murid dan cucu angkatnya itu berkaca-kaca. Ia terharu, ia bisa merasakan yang dialami Geni. Semua pendekar pada akhirnya akan dibebani perasaan seperti itu. Ia akhirnya legowo, menghargai keputusan Geni. "Baik, tetapi kamu masih harus membantu jika Lemah Tulis butuh bantuanmu, dan kamu berjanji akan melatih murid- murid nantinya."

"Terimakasih, kakek. Aku berjanji bahwa aku masih menjadi bagian dari Lemah Tulis. Aku pasti akan membantu perguruanku ini, aku tetap membuka pintu menerima murid yang kau kirim belajar padaku. Besok, aku mengajak kukang Gajah Lengar, Gajah Nila dan beberapa murid lain membantuku membangun rumah."

---ooo0dw0ooo---

Warok Brantas, lelaki berusia empatpuluhan, tubuhnya tidak tinggi tetapi kekar berotot. Kumis dan janggutnya lebat, juga bulu-bulu dadanya. Pakaiannya hitam dengan bagian depan dada telanjang memperlihatkan dada yang bidang. Di sekitarnya lima isteri dan beberapa gundik sibuk melayani.

Warok hidup macam raja, ia memang penguasa perguruan Brantas. Dengan anak murid yang mencapai ratusan orang, tidak heran jika perairan kait Brantas dan kali Porong berada dalam kekuasaannya.

Semua angkutan air, perahu kecil sampai perahu layar besar adalah milik Warok. Siapa saja yang menggunakan jasa perjalanan air harus mendapat pengawalan dari anak murid Brantas. Tentu saja dengan imbalan membayar jasa.

Sesungguhnya penguasa tunggal perguruan itu adalah ayah Warok, julukannya Manyar Edan. Lelaki berusia enampuluhan, pendekar liar dan aneh. Dia sudah lama menghilang dari rimba persilatan. Dia yang membangun perguruan Brantas dengan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Dia punya banyak isteri dan selir, anaknya berjumlah sebelas, semuanya menguasai ilmu silat kelas satu.

Beberapa tahun lalu ia menunjuk Warok sebagai pemimpin perguruan dan menegaskan aturan keras. Tak boleh ada sengketa di antara sesama saudara, melainkan harus saling membantu. Jika ada yang mengkhianati persaudaraan, akan dihukum mati. Tak ada ampun bagi pengkhianat. Putra Manyar yang tertua, Sampurna dihukum mati, dibunuh dengan tangan Manyar sendiri, lantaran memberontak hendak merampas kursi ketua dari tangan Warok. Manyar Edan tidak cuma memiliki banyak putra, tetapi juga murid yang ia didik langsung. Jumlahnya sama, sebelas.

Mereka ini, sepuluh putra dan sebelas murid utama, ditambah lagi dengan tujuh isteri Manyar adalah orang-orang penting dalam aturan perguruan di bawah pimpinan Warok Brantas sebagai ketua.

Malam hari, di rumah atas air, tempat kediaman Warok Brantas, semua orang penting berkumpul. Duapuluh delapan pendekar kelas satu. Warok Brantas dengan suara serak kasar menjelaskan adanya tantangan dari pendekar Cina. Tidak hanya perguruan Brantas, rombongan pendekar Cina itu menantang semua pendekar yang punya nama besar di tanah Jawa. Termasuk dua perguruan besar lainnya, Mahameru dan Lemah Tulis. Tempat tarung juga sudah ditentukan di desa Bangsal.

Sehari setelah menerima berita tantangan, Warok menugaskan Belut Ireng dan Prabowo melakukan penyelidikan. Prabowo adalah saudara bungsu Warok, sedangkan Belut Ireng salah seorang murid pintar Manyar Edan. Malam itu semua orang penting perguruan Brantas duduk mendengar laporan Prabowo dan Belut Ireng. "Rombongan Cina itu jumlahnya sebelas, tujuh pria dan empat wanita. Ketuanya, Ciu Tan, tampaknya ingin balas dendam karena adik perguruannya, dibunuh Wisang Geni di pertarungan bukit Penanggungan. Mereka semua pendekar hebat yang di daratan Cina sudah bernama besar."

Secara bergantian Belut Ireng dan Prabowo menceritakan secara rinci peta kekuatan para pendekar Cina, seperti si kembar Mok dengan golok bersatupadu, Li Moy belalang beracun dan Sian Hwa Pendekar Pedang Gurun Gobi.

Mendengar ini, semua pendekar Brantas mengerutkan kening, bertanya-tanya apa maksud tantangan itu. "Mereka ingin menjajal orang-orang tanah Jawa, mau mempermalukan pendekar negeri ini," tukas Warok marah. Pada akhir pertemuan Warok Brantas setuju siasat yang dikemukakan salah seorang ibu tirinya, selirnya Manyar Edan. "Ketua tidak perlu maju, sebaiknya salah seorang dari kita yang tarung duluan, dan kita harus memilih lawan yang paling ringan."

Dua murid utama Manyar Edan ditugaskan mencari tahu ilmu silat para pendekar Cina, siapa paling kuat, siapa paling lemah, "Cepat kalian bekerja dan kembali membawa kabar menggembirakan," kata Warok.

Diam-diam Warok Brantas mengumpat pendekar Cina. Apa maunya mereka melibatkan dirinya, selama ini ia tak pernah bentrok dengan mereka. Ketika terjadi pertarungan di bukit Penanggungan, ia bahkan tidak hadir. Dari cerita beberapa saudaranya yang hadir, Warok mengetahui para pendekar Cina itu memiliki kepandaian silat tinggi. "Jika dua tahun lalu, Demung Pragola, Antaboga, Sagotra, Sang Pamegat dan Macukunda saja bisa dikalahkan, apalagi sekarang ini dengan kekuatan sebelas orang. Pasti para pendekar Cina yang datang kali ini lebih lihai dibanding yang lalu. Aku jelas tak mungkin bisa disejajarkan, aku masih kalah dibanding Macukunda, Sagotra dan Demung Pragola. Bagaimana cara supaya aku bisa lolos dari kekalahan?"

---ooo0dw0ooo---

Rumah itu sangat besar dengan pekarangan luas. Itulah rumah Demung Pragola, juga markas perguruan Daridrayang hampir semua muridnya hidup sebagai pengemis. Orang tua berusia lebih separuh abad itu adalah ketua perguruan. Malam itu ia berkumpul dengan para pentolan perguruan membicarakan tantangan para pendekar Cina.

Demung Pragola, duduk bersila di tilam. Wajahnya teduh dan sangat wibawa. Jenggot dan kumisnya menyatu, putih panjang. Tubuhnya tegap, tinggi. Matanya dingin dan tajam Menatap matanya seperti memandang sumur yang kedalamannya tidak terukur. Itu tanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi

Ia menghela nafas kemudian berkata, suaranya serak dan kasar. "Aku tidak pernah menyangka, setelah lebih dari satu tahun berlalu, para pendekar Cina datang lagi. Dulu itu di bukit Penanggungan terjadi pertarungan hebat, lima pendekar tanah Jawa ditantang lima pendekar negeri Cina."

Dia melanjutkan cerita. Dalam pertarungan itu, empat pendekar tanah Jawa sudah kalah. Demung Pragola dikalahkan Liong Kam, Antaboga dan Sang Pamegat tumbang oleh Pak Beng, Pendekar Merapi, Sagotra dikalahkan jago nomor satu Cina, Sam Hong. Pertarungan terakhir, pendeta Macukunda sudah didesak oleh jago nomor dua Cina, Sin Thong. Jika Macukunda kalah, maka kubu tanah Jawa dinyatakan kalah.

Sebab sebelum pertandingan disepakati perjanjian bahwa satu kubu dinyatakan kalah jika lima pendekarnya kalah semua. Saat itu empat pendekar tanah Jawa sudah kalah, sementara di kubu Cina hanya seorang yang kalah yakni Kok Bun.

Pada saat Macukunda terdesak hebat oleh Sin Thong, mendadak Wisang Geni menerobos gelanggang dan membuat kekacauan. Ketua Lemah Tulis yang masih muda itu memaksa diri untuk ikut tarung. Macukunda keluar gelanggang digantikan Geni yang dengan ilmu dahsyat menghajar Sin Thong muntah darah, golok pendekar Cina itu ditekuk patah menjadi beberapa potong. Geni kemudian mengalahkan Tangan Salju Pak Beng. Ia kemudian menantang Sam Hong, si jago nomor satu. Pertarungan itu sangat dahsyat, Geni akhirnya memukul mati Sam Hong meski ia sendiri luka parah.

Pertarungan selesai, kubu Cina kalah, mereka pulang membawa malu. Gengsi tanah Jawa diselamatkan Wisang Geni. Sejak-hari itu, nama Wisang Geni berkibar sebagai pendekar paling jago di tanah Jawa. Orang memberinya gelar Pendekar Tanah Jawa.

Hampir semua pendekar Daridra mengetahui kisah pertarungan di Penanggungan. Namun sebagian lain tidak sempat menyaksikan, hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut. Peristiwa itu sempat menjadi bahan cerita menarik di rimba persilatan selama dua tahun dan tentu saja yang paling dipuji dan diagulkan adalah Wisang Geni. Tanpa kehadirannya pasti pendekar tanah Jawa akan kalah dan dipermalukan lawannya.

Itu sebab Demung Pragola terkejut ketika ia menerima tantangan dari sebelas pendekar Cina. Jika mereka datang lagi jauh-jauh dari Cina untuk menantang tarung, sudah pasti membawa serta pendekar yang paling tangguh. Sebelas orang pendekar, suatu jumlah yang besar.

"Lantas siapa saja yang sudah ditantang mereka, apakah termasuk Macukunda, Wisang Geni, Pamegat juga Sagotra? Apakah pendekar negeri ini mau datang mempertaruhkan nama mereka? Bagaimana jika tidak seorang pun yang hadir nanti?" Pertanyaan ini menusuk pikirannya, tanpa dia mampu menjawabnya.

Teringat kekalahannya dari Liong Kam waktu itu, Demung Pragola mengepalkan tangannya. Kebetulan Liong Kam termasuk di antara sebelas orang itu. "Aku jadi penasaran, selama lebih dari satu tahun aku berlatih, aku ingin menjajal sampai di mana kemajuanku. Kebetulan lawan yang pernah mengalahkan aku dulu, Liong Kam akan hadir. Aku akan tantang dia," ucap Demung Pragola dengan suara bergetar.

Ia teringat bagaimana malunya dia dikalahkan jurus pedang Liong Kam Ia sulit melupakan kekalahan itu, karena kejadiannya disaksikan ratusan pendekar lain. "Masih ada sisa waktu duapuluh hari, aku akan melatih irnaga, hiar lebih segar." Salah seorang yang hadir, Sardula, tokoh terkemuka yang lihai ilmu silat dan terkenal cerdas, memberi hormat. "Ketua Demung, aku pikir, kita perlu memastikan semua pendekar terkemuka negeri ini hadir dan membela gengsi tanah Jawa. Kita sebar semua murid ke semua penjuru mengundang para pendekar terutama Wisang Geni, Macukunda, Sagotra, Grajagan, Pamegat, Manyar Edan, Manjangan Puguh dan lain- lain."

---ooo0dw0ooo---

Di rumah sewaan di desa Bangsal, Ciu Tan dan kawan- kawannya berbincang mengenai pertarungan mendatang. Selama dua bulan berkelana ke seluruh pelosok tanah Jawa, Ciu Tan dan beberapa temannya telah memperoleh gambaran jelas peta kependekaran di tanah Jawa. Ada banyak perguruan namun tiga paling berbobot, Lemah Tulis, Mahameru dan Brantas, selain itu ada beberapa pendekar yang tidak terikat suatu perguruan pun.

"Semakin banyak pendekar lihai yang hadir, semakin bagus buat kita, kemenangan terasa lebih nikmat Huuh, aku sudah tidak sabar lagi menanti hari pertarungan," kata Ciu Tan geram Ia tak bisa meredakan api dendam terhadap Wisang Geni. Selama ini ia tidak berdiam saja di desa Bangsal. Ia sering bepergian mencari berita dan pengalaman sehingga ia mengetahui nama Wisang Geni adalah pendekar yang paling berkibar di negeri ini. Di kalangan pendekar, Geni bahkan sudah dinobatkan sebagai Pendekar Nomor Satu Tanah Jawa. Selama ini Wisang Geni tak punya tandingan.

Ciu Tan sudah menyaksikan sepak terjang Geni bertarung lawan K alandara dan tiga muridnya. Empat pendekar wanita itu tak berdaya, Geni mempermainkan dan mempermalukan mereka. Ciu Tan juga menyaksikan kehebatan Geni di gunung Argowayang ketika menghajar mati Lembu Agra dan beberapa begundalnya, termasuk pertarungannya yang hebat lawan Lembu Ampai.

Pak Beng menuturkan bagaimana ia dikalahkan Geni dua tahun lalu. Ia dikenal dengan tenaga racun dingin. Jika pukulannya mengena maka korban akan menderita kedinginan sebelum tewas. Tetapi Wisang Geni justru melayaninya dengan adu pukulan dingin, ia kalah, muntah darah dan nyaris tewas.

"Aku sudah memperdalam dan melatih racun dingin ini selama dua tahun, tetapi ketika aku melihat kepandaian orang itu, terus terang aku terkejut. Tidak kusangka ia maju begitu pesat, kupikir aku sudah maju pesat, tetapi Wisang Geni maju jauh lebih pesat lagi. Huaaah, rasanya aku tak mungkin bisa membalas sakit hati dua tahun lalu," kata Pak Beng kesal.

Pendapat Sin Thong pun tidak berbeda. Ia pernah menelan pil pahit, goloknya dirampas dan ia terluka muntah darah. Ia hampir tak percaya melihatkebolehan Wisang Geni dalam tarung di gunung Argowayang. "Ia sulit dikalahkan, tetapi jika kita ingin menang maka ia harus bisa disingkirkan, sebab begitu Wisang Geni kalah maka semangat pendekar lain akan runtuh dan mudah bagi kita untuk mengalahkan mereka semua."

Ciu Tan termenung. Umu kepandaiannya tidak berbeda jauh dengan teman-temannya. Dua tahun lalu Pak Beng dan Sin Thong dikalahkan Wisang Geni. Kalah secara telak. Bahkan adik seperguruannya, Sam Hong, yang dia tahu cukup ting gi ilmu silatnya, juga kalah bahkan mati. Menurut Pak Beng dan Sin Thong, sekarang ini kepandaian Geni maju pesat Keduanya merasa mustahil bisa mengalahkan Wisang Geni.

Sebelas orang itu diam. Masing-masing dengan pikiran sendiri. Sekonyong-konyong Siauw Tong memecah kesunyian. "Situasi tidak menggembirakan, bahkan terasa sangat sulit, tetapi bukannya kita tak punya harapan menang. Harapan menang selalu ada tetapi harus menggunakan strategi matang. Bahkan jika perlu kita tidak usah malu-malu menggunakan cara yang tidak terhormat"

Agak penasaran Sian Hwa, Pendekar Pedang dari Gurun Gobi menanyakan maksud lelaki itu menyebut cara yang tidak terhormat Siauw Tong yang terkenal cerdas menjelaskan, bahwa jika menggunakan cara terhormat artinya pertarungan satu lawan satu, perkelahian bersih tanpa menggunakan senjata rahasia atau senjata beracun. "Maksudku, kita tak perlu bicarakan persyaratan terhormat itu, sehingga dalam perkelahian jika diperlukan kita bisa menggunakan senjata rahasia atau senjata beracun, mereka tidak akan bisa menyalahkan kita karena hal itu tak pernah dibicarakan di awal."

Siauw Tong melihat berkeliling. Semua diam, tidak ada tanggapan berarti semuanya setuju. Ia menjelaskan strateginya dengan cermat. "Paling penting, kita tegaskan sebelas lawan sebelas, dan pendekar yang sudah kalah tidak boleh naik panggung lagi. Pihak mana yang sebelas pendekarnya sudah kalah semua, pihak itu yang kalah.

Dengan demikian, maka kita harus bisa mengalahkan semua sepuluh pendekar itu. Aku berani pastikan bahwa Wisang Geni akan naik panggung sebagai orang terakhir. Dengan demikian Wisang Geni akan kita gilir tanpa harus istirahat Setahuku, pendekar itu tak per i ul i tarung menggunakan senjata, kita manfaatkan kesombongan dia itu, kita justru menggunakan senjata yang ada racunnya, kita siapkan senjata rahasia. Aku yakin Wisang Geni, sehebat apa pun kepandaiannya, tak akan lolos dari kematian."

Semua pendekar diam. Rencana Siauw Tong nyaris sempurna. Kata ahli perang, suatu perencanaan yang sempurna ibarat sudah merebut separuh kemenangan. "Tinggal kita tentukan siapa-siapa yang maju duluan dan siapa-siapa yang harus dia lawan, hal ini juga sangat menentukan menang kalahnya kita," lanjut Siauw Tong. ---ooo0dw0ooo---

Perguruan Mahameru terletak di kaki gunung Mahameru, sebelah selatan pegunungan Semeru Senja itu suasana di balairung agak riuh. Sebagian besar murid berkumpul, hanya murid yang masih bertugas berjaga atau bekerja di dapur yang tidak hadir. Mereka yang hadir saling pandang penuh tanda-tanya, tidak mengerti apa yang akan diumumkan ketuanya, pendeta Macukunda. Ketika ketua muncul seketika juga suasana hening.

Pendeta Macukunda duduk didampingi saudara perguruannya, Antasena, Bragalba, Rawaja, Matangkis. Lima orang ini duduk bersila, memandang puluhan murid yang duduk berkumpul.

Diantara lima tokoh tua Mahameru hanya Macukunda yang seorang pendeta. Macukunda memecah keheningan, "Dengarkan, sepuluh hari lagi, aku akan ke desa Bangsal menghadiri pertarungan menghadapi sebelas pendekar Cina. Orang-orang seberang itu telah menantang seluruh pendekar negeri ini untuk tarung, sebelas lawan sebelas. Aku sebenarnya tak ingin tarung lagi, tetapi demi membela negeriku, tanah airku, aku harus ikut, ini merupakan darmaku. Aku sudah tua dan aku tidak tahu, apakah aku akan mati atau tetap hidup dalam pertarungan itu. Tetapi hari ini aku akan mengangkat adik Antasena sebagai ketua Mahameru" Terdengar suara bisik-bisik di kalangan murid. Namun empat tetua yang duduk di samping ketua, tampak biasa. Rupanya sebelum itu lima orang itu sudah berunding dan sepakat dengan semua keputusan ketuanya.

Macukunda melanjutkan, "Sebenarnya memang sudah saatnya Antasena maju sebagai ketua, ia lebih muda dari kami berempat, ia cerdas dan bijaksana, ia berilmu tinggi, ia sudah menguasai jurus andalan Sasra Ludira dengan sempurna dan lebih baik dari kami semua. Keberangkatanku ke pertarungan itu bukan suatu alasan pergantian ketua ini. Baik, aku selamat atau mati, Antasena tetap sebagal ketua. Jika aku selamat, aku kembali ke Mahameru dan menyepi. Sebaliknya bila aku mati, kalian sempurnakan jasadku, dan tak boleh seorang pun membalas dendam. Kemarin kami berlima sudah berunding, aku akan didampingi adik Matangkis, muridku Minasih, tiga murid utama Jokonang, Setawastra dan Sawitri serta sepuluh murid lapis dua. Semuanya tidak ikut bertarung, kecuali tenaganya dibutuhkan. Hanya adik Matangkis yang boleh tarung. Isteri Setawastra, Rorowangi karena sedang hamil, jadi tak boleh ikut."

Dia menghirup nafas panjang, matanya menatap ke atas. "Pertarungan di bukit Penanggungan telah mempermalukan aku, aku sudah hampir kalah malah sebenarnya aku sudah dikalahkan Sin Thong. Mendadak datang Wisang Geni yang mengacau. Ia berhasil mengambil alih semua pertarungan, mengalahkan Sin Thong, Pak Beng termasuk si jago nomor satu Sam Hong. Aku tak perlu malu mengakui kehebatan Wisang Geni, anak muda itu telah membawa Lemah Tulis dari nasib terpuruk menjadi harum, bahkan kini sudah sangat terkenal, murid-muridnya berkelana menjadi penolong kaum tertindas."

Ia melanjutkan dengan bersemangat, "Wisang Geni sebagai orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ternyata bisa membawa diri, tidak sombong, tidak semena-mena, ia menghormati orang yang lebih tua. Aku mau, aku ingin suatu hari kelak, ada seorang atau lebih, murid Mahameru yang berkepandaian tinggi dan perilaku mulia."

Hari itu upacara pengangkatan Antasena sebagai ketua Mahameru berlangsung tertib dan sederhana. Tak ada reaksi berlebihan di kalangan murid. Tradisi dan peraturan Mahameru menetapkan seorang guru melatih secara bergilir, sehingga tak pernah ada murid dilatih khusus seorang guru. Para ketua melatih murid lapis satu dan lapis satu melatih lapis dua dan lapis tiga.

Setelah hari pengangkatan, Macukunda menyepi berlatih silat. Adik perguruannya termasuk Antasena bergantian menjadi lawan tanding. Ia menekuni jurus andalan Sasra Ludira. Jurus ini sudah didalami Macukunda sejak kekalahan dari Sin Thong. Ia berlatih keras meningkatkan kualitas jurus hebat ini. Jurus ini mengutamakan kedalaman tenaga batin sehingga cepat menemukan kelemahan lawan untuk dijadikan sasaran serangan. Dalam cerita Mahabrata Sasra Ludira adalah nama pusaka yang direbut naga kowara, ular sakti, yang menerobos sembunyi di tubuh Prabu Destarata sehingga bisa tepat memilih Dewi Gandari sebagai isteri.

Macukunda juga mendalami jurus Kadharmesta (Kebajikan) dan Amijilakna (Hasil upaya). Dua jurus ini diambil dari sifat Gereh (Guntur) dan Sedung (Badai) saling dukung mendukung. Suatu serangan lawan yang ganas bagaikan guntur dan badai, akan luluh jika dihadapi dengan Kebajikan, selanjutnya serangan balik menggunakan Amijilakna ibarat amuk naga kowara.

Dalam sisa waktu sepuluh hari Macukunda berlatih dan tenggelam dalam ilmu silat. Baginya, inilah darma seorang pendekar untuk tanah airnya. Sekarang ini ia tak punya beban apa pun di dunia. Ia telah menobatkan Antasena sebagaiketua, sehingga tak perlu lagi khawatir kelangsungan Mahameru. Ia tak punya keluarga. Ia kini merasa bebas. Ia akan bertarung hanya karena ingin melaksanakan darma. Mati dalam tugas darma bakti adalah kehormatan, menang pun suatu kehormatan.

---ooo0dw0ooo---

Kabar pertarungan antara para pendekar tanah Jawa lawan pendekar Cina di desa Bangsal itu sampai juga ke Tumapel dan Kediri. Tarung mempertaruhkan gengsi tanah Jawa, menjadi bahan gunjingan di sudut-sudut paling rahasia kedua kerajaan itu.

Di Tumapel, Raja Sang Mapanji Seminingrat alias Ranggawuni dan permaisuri Waning Hyun sangat tertarik mendengarnya. Begitu pun Raja Tohjaya dari keraton Kediri. Berita itu membuat dua penguasa tertinggi Kediri dan Tumapel mengirim wakilnya yang paling mumpuni.

Tumapel mengirim Panji Patipati yang dijuluki Sang Pamegat didampingi beberapa jagoan dari 18 pendekar pengawal Raja Tumapel yakni Dwi, Catur, Dasa, Rewawelas yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Siki. Sementara dari kerajaan Kediri, Raja Tohjaya tidak mengutus Pranaraja sang penasehat yang konon ilmu silatnya sangat digjaya. Raja mengutus ketua Sinelir, Senopati Samba si Pedang Hitam bersama delapan anggota Sinelir lainnya. Para jago dari kerajaan Tumapel dan Kediri juga melakukan persiapan matang, siapa tahu akan terlibat tarung.

---ooo0dw0ooo---

Gunung Welirang letaknya sebelah utara gunung Arjuno.

Hutan padat dan lebat merambah seluruh bagian lereng gunung. Hanya lereng bagian timur yang pernah dijamah manusia. Ada jalan setapak namun yang sudah nyaris hilang tertutup semak belukar. Jalan itu menuju ke hutan kecil yang pepohonannya tidak terlalu padat Setelah melewati hutan kecil itu, tampak pemandangan luas. Air terjun dari tebing yang tinggi mencurah ke danau yang cukup besar. Agak jauh dari air terjun, terdapat tebing terjal Ada sepotong bagian tebing, mencuat ke luar sehingga memayungi sebidang tanah di bawahnya. Tanah yang tidak terlalu luas itu terlindung dari curah hujan. Di tanah itu Wisang Geni dan rombongan berhenti setelah menempuh dua hari perjalanan dari Lemah Tulis. Wisang Geni, Sekar, Gayatri dan Prawesti akan menetap.

Sedang Gajah Lengar dan Gajah Nila yang didampingi masing- masing isterinya bersama enam murid pria dan dua murid wanita hanya membantu mendirikan rumah, setelah itu mereka akan kembali ke Lemah Tulis.

Pemandangan alam sekitar lereng timur itu sangat indah. Tampak air terjun dan pepohonan mengelilingi danau. Puncak gunung Welirang kebiru-biruan menjulang tinggi dibungkus kabut dan awan putih. Udara sejuk. Gayatri terpesona. "Geni, tempat ini luar biasa indah, mengingatkan akan kampungku di lereng Himalaya. Kamu pandai memilih tempat, aku pasti betah hidup di sini."

Wisang Geni, Sekar, Gayatri, Prawesti, Gajah Lengar dan Gajah Nila berdiri di tanah kosong itu. Semak belukar dan pepohonan kecil sedang dibersihkan oleh murid-murid Lemah Tulis. Gayatri menunjuk arah tebing. "Aku mau rumahku terlindung dan aman dari gangguan, misalnya, hujan. Rumah sudah pasti aman dari curah hujan karena terlindung oleh tebing. Tetapi lantai rumah harus tinggi dan di tepian sebelah barat harus dibendung dengan bebatuan, agar air hujan yang turun mengalir dari atas gunung tidak merembes ke dalam rumah."

Gayatri bersama Sekar mengatur semuanya dengan teliti. Bahkan ia memikirkan tempat strategis, menentukan bagian depan rumah sedemikian rupa sehingga penghuni rumah bisa memandang lepas ke daerah sekitar. "Jika ada tamu tak diundang datang berkunjung, kita bisa tahu lebih awal," katanya. Mereka pun mulai membangun rumah sesuai kemauan Gayatri.

Empat murid wanita membantu Gayatri, Sekar dan Prawesti menyiapkan dapur. Dua murid lelaki berburu binatang untuk dimasak. Geni dan murid lelaki lainnya bekerja mendirikan rumah darurat untuk tempat bermalam Ketika matahari mulai terbenam, tiga buah rumah darurat sudah siap. Satu untuk Geni sekeluarga Satu untuk Gajah Lengar dan Gajah Nila sekeluarga Rumah ketiga yang lebih besar untuk murid-murid.

Hari-hari di lereng gunung Welirang dilalui dengan pekerjaan membangun rumah. Peralatan lengkap dibawa dari Lemah Tulis, sedangkan semua bahan tersedia di hutan. Dari kayu, bebatuan, daun nipah sampai pun damar untuk penerangan, tersedia dan mudah didapat.

Pada saat saat tertentu Gajah Lengar dan murid lainnya meminta petunjuk Geni tentang ilmu silat. Latihan terkadang dilakukan di air terjun, di danau bahkan juga di tebing-tebing yang curam Duapuluh hari berlalu, rumah besar sudah berdiri berikut kandang kuda untuk si hitam dan si putih. Mereka masih merencana membangun dua rumah lain, yang nantinya tempat nginap para murid Lemah Tulis yang datang berlatih.

Malam itu seperti biasa Wisang Geni melakukan semedi. Ia bersila dengan melipat dua kakinya. Tubuhnya melayang di udara, tidak menyentuh tanah. Tenaganya terpusat di sekitar pusar, berputar-putar merambah ke seluruh jalan darah. Ia merasa angin bergerak di seputar tubuh. Pikirannya melayang jauh mengingat dan memeta kembali secara rinci pertarungannya lawan Sam Hong di bukit Penanggungan dua tahun lalu.

Gayatri duduk bersemedi di samping Geni. Tenaga batinnya tidak sehebat suaminya sehingga tubuhnya hanya terangkat satu jengkal dari tanah. Ia belum mampu melayang-layang seperti Geni. Sekar tak kalah hebat tenaga dalamnya. Hanya Prawesti yang masih tertinggal dalam soal ilmu silat Tetapi ia juga duduk bersila, ikut semedi melatih tenaga dalam.

Prawesti tak bisa memusatkan pikiran. Ia memikirkan pertarungan di desa Bangsal. Ia khawatir keselamatan Geni mengingat sebelas pendekar Cina itu konon memiliki ilmu silat lebih tinggi dari mereka yang pernah dikalahkan Geni di bukit Penanggungan. Kata orang, Ciu Tan, adalah kakak Sam Hong dan memiliki ilmu silat jauh lebih lihai dari Sam Hong. Sebelas pendekar Cina itu merupakan yang paling terkemuka di negerinya. Prawesti gelisah. Pertarungan semakin dekat, lima hari lagi.

Wisang Geni selesai semedi. Ia melihat Gayatri sedang semedi, Prawesti duduk bersila namun tampak gelisah. Geni berseru perlahan, "Sekar, kamu ikut aku, kita berlatih di luar." Gayatri dan Prawesti mengerti bahwa Geni tidak menghendaki mereka ikut. Sekai menghentikan semedi kemudian melesat mengikuti Wisang Geni

Malam itu bulan terang, tak ada awan mendung. Geni menggenggam tangan isterinya. Mereka mendaki tebing menuju ai ah barat Tak berapa lama, mereka tiba di atas tebing yang permukaannya datar dan cukup luas untuk beberapa orang duduk.

Di bawah sinar terang bulan tampak air terjun dan danau.

Kemilau air terjun diterpa sinar rembulan, memantulkan kemilau warna warni, tampak indah. Sekar menggumam, "Oh pemandangannya sangat indah, coba lihat air terjun itu dan air di danau, indah kena pantulan sinar rembulan. Geni kamu pintar mencari tempat."

"Aku ingin hidup seperti ini, terpencil bersama isteriku, tak ada orang lain, tak ada lagi tarung, tak ada balas dendam.

Sekar kekasihku, aku sudah bosan berkelana, bertarung dan membunuh orang. Dalam tarung memang kalau tidak mau dibunuh maka kita harus membunuh. Aku sudah bosan dengan semua ini, aku ingin menyendiri, bercinta dengan kamu seperti malam ini. Sepanjang malam, bercinta sampai puas." Sambil bicara tangan Geni memeluk tubuh isterinya.

Sekar mencubit perut suaminya. "Tak mungkin bercinta di atas tebing ini. Gila! Dingin sekali, anginnya kencang dan membawa uap air. Aku kedinginan."

"Katanya kamu terbiasa berlatih di laut Kidul yang udaranya justru lebih dingin," Geni menggoda. "Menurutku udara gunung dengan udara laut sangat berbeda. Di sini jauh lebih dingin. Geni, kita kembali saja."

Geni memeluk isterinya. "Kita cari tempat lain." Ia memondong Sekar menuju dinding tebing. Ia mendorong batu besar. Sekar kaget. Ia bergerak namun Geni mencegah. Ia berbisik di telinga isterinya, "Kamu diam saja, pejamkan mata, nanti aku bilang buka, baru kau buka matamu."

Ternyata pada dinding tebing ada lubang, ukuran setengah badan manusia. Sambil membopong tubuh isterinya, ia membungkuk masuk ke goa. Gelap gulita Sekar masih memejam mata, merasa tubuhnya diletakkan di tempat yang hangat, seperti rumput kering, angin dingin mendadak lenyap.

Geni meraba-raba Ia memegang batu kemudian menggeseknya. Letupan api menyambar obor. Ada tiga obor, bahan bakarnya damar. Goa terang benderang. "Buka matamu, sekarang."

Sekar terkejut. Ia terbaring di atas tumpukan rumput kering dan dedaunan. Suhu udara di dalam goa, hangat Goa itu sempit, cukup untuk empat orang berdesakan. Geni tertawa senang. Sekar juga tersenyum "Kapan kamu siapkan tempat ini?"

Geni memeluk isterinya, berbisik, "Dua hari kusiapkan goa ini, aku memang mencari tempat tersembunyi khusus untuk kita bercinta, tak ada siapa-siapa lagi di sini kecuali aku dan kamu."

"Bagaimana dengan Gayatri dan Westi?"

"Mereka akan kebagian jatah. Terkadang aku butuh berduaan saja dengan isteriku, kamu atau Gayatri atau Prawesti." Sambil Geni memeluk, menciumi seantero tubuh molek isterinya. Ia menikmati kecantikan paras isterinya yang cantik rupawan. Geni mengakui bahwa Gayatri cantik, tetapi Sekar lebih cantik. Kecantikan Sekar membias sejuta rasa puas dan bahagia. Dia bisa bersikap pasrah menanti tapi pada saatyang sama bisa liar. Keduanya bergelut dalam pelukan nafsu birahi dan cinta. Sepanjang malam.

Udara pagi terasa sejuk. Di dalam goa masih tetap hangat. Dua insan itu masih berpelukan. Sekar telungkup di atas tubuh Geni. Ia berbisik, "Geni, menurut rencana dua hari lagi kita berangkat ke desa Bangsal. Menurut kangmas Gajah Nila, perjalanan ke Bangsal sekitar dua hari. Entah mengapa setiap memikirkan tarung itu, aku merasa takut."

"Apa yang kau takutkan?"

Sekar menyembunyikan wajahnya di dada suaminya. "Aku takut kehilangan kamu. Aku tak mau kehilangan kamu, Geni."

Mata Geni menerawang. "Aku juga takut. Sudah sering aku tarung mati hidup. Di Mahameru menghadapi tokoh kelas atas, aku tidak takut. Di Penanggungan aku merasa takut terutama saat tarung lawan Sam Hong. Di Argowayang, aku tidak takut. Belakangan aku tahu sebabnya, di Mahameru aku belum punya apa-apa, mati pun tak mengapa. Di Penanggungan aku sudah punya isteri yang menyinta dan kucinta, Wulan dan kamu. Di Argowayang aku ingin membalas dendam Sekarang ini aku takut sebab aku tak mau mati, sebab masih ingin hidup bersama kamu dan Gayatri, isteri yang menyinta dan yang kucinta. Manusia selalu takut mati saat dia sedang menikmati miliknya yang paling berharga, isteri, anak, harta atau kekuasaan. Kamu pernah takut menghadapi tarung?"

"Aku jarang terlibat tarung. Tarung paling hebat kualami ketika bersamamu mengadu nyawa menantang Kalayawana dan Malini. Saat-saat itu tak pernah kulupa. Kita berdua luka parah, saling membantu di bawah ancaman musuh yang ilmu silatnya jauh di atas kita." 

Geni menciumi buah dada kekasihnya. "Apa lagi yang kau alami waktu itu, kekasihku?" . "Aku berpakaian dekil, tubuh dan wajahku burik bekas penyakit cacar. Tetapi ada lelaki tampan yang tidak jijik padaku. Ia memuji tubuhkuindah. Katanya wajahku cantik jika tak ada burik. Aku jatuh cinta padanya, tanpa ragu aku berikan perawanku. Lelaki itu orang pertama dan terakhir yang kucinta" "Apalagi, Sekar?"

Sekar memeluk dan menggigit leher suaminya. "Kami bercinta di tengah hutan, dalam keadaan sakit dan terluka, bercinta di Lembah Cemara, bercinta di rerumputan, di atas tanah, tak terhitung Sungguh hari-hari yang paling bahagia bagiku."

"Kamu lupa suatu hal penting, Sekar."

Sekar berbisik sambil menggelitik telinga suaminya. "Apa?" "Bahwa lelaki itu mencintaimu. Sejak hari pertama di

tengah hutan sampai sekarang, sampai hari ini di goa ini.

Lelaki itu mencintaimu dari ujung kaki sampai ujung rambutmu."

"Aku senang dan bahagia mengetahui kamu mencintaiku. Tetapi aku lebih senang lagi karena dalam hidup ini ternyata aku sanggup mencintai seorang lelaki, seluruh cintaku telah kuberikan padanya. Tak ada lagi yang tersisa walaupun untuk diriku sendiri, aku hanya hidup untuk memberinya kebahagiaan dan kesenangan."

Sekar seorang perempuan yang cerdas. Ia selalu memerhatikan Geni, setiap rasa dan gerak suaminya tak luput dari pengamatannya. Dalam bercinta, ia selalu mendahulukan kepuasan Geni. Ia melakukan apa saja yang disukai Geni.

Setelah itu, baru ia mengekspresikan diri betapa ia puas dan bahagia Ia memperlihatkan dengan gerak tubuh dan gigitan, bahwa ia takluk dan bertekuk lutut di bawah pesona dan keperkasaan suaminya Kata neneknya, "Kamu harus perlihatkan bahwa kamu bangga dengan keperkasaan suamimu. Pasti ia akan senang dan tidak akan pernah puas bercinta denganmu, dia tak akan pernah bosan. Ia membutuhkan kamu dan akan mencari kamu setiap saat."

Hebatnya Sekar, ia tak memperlihatkan semua pesonanya jika Gayatri atau Prawesti ikut bercinta. Ia tidak mau jurus rayuannya ditiru dua saingannya. Geni merasakan hal ini, dan itu sebab dia sangat bernafsu jika bercinta dengan Sekar, hanya berduaan saja.

Tampaknya Wisang Geni makin terperangkap oleh kenikmatan yang disuapi Sekar. Pagi itu Geni masih menggeluti tubuh molek itu. "Sekar, kamu luar biasa, bisa merawat dan memelihara tubuhmu sehingga tetap langsing dan sekal. Kamu seperti dewi kecantikan, aku beruntung mendapatkan kamu sebagai isteriku."

"Tubuh ini akan berubah jika aku mengandung anakmu, Geni. Perutku akan besar, gendut."

"Apakah kamu hamil?"

Sekar melingkarkan pahanya ke paha Geni. Ia mengecup mulut Geni. Lalu ia menggeleng kepala, rambutnya yang basah keringat menyapu wajah Geni. "Aku bisa hamil, bisa juga tidak hamil, semua tergantung ijinmu, suamiku.

Tergantung perintahmu."

"Jangan! Kamu jangan hamil dulu Sekar, karena aku masih ingin menikmati keindahan tubuhmu."

'Tetapi Geni, aku ingin memberimu seorang putra biar dia perkasa dan pendekar macam bapaknya, atau seorang putri cantik seperti ibunya, eh Geni apakah benar aku ini cantik?"

"Sudah kukatakan tadi, kamu cantik macam dewi-dewi, tetapi apa benar kamu ingin hamil?"

Sekar mencium dada suaminya, beralih ke leher di mana gigitannya dulu masih membekas. "Bekas gigitanku masih ada, tandanya kamu tak akan pernah bisa lupa padaku, Geni." "Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu ingin hamil?" Sekar manggut. "Aku pikir aku harus hamil, sebab jika

Gayatri atau Prawesti hamil sedangkan aku tidak, bisa-bisa

cintamu lebih condong kepada mereka. Kamu ingat malam itu di hutan, pertama kaU kita bercinta setelah aku selesai berguru pada nenek. Kau ingat bagaimana aku menikmati cintamu. Kita bercinta begitu Uar dan bernafsu. Malam itu aku sudah mempersiapkan diri untuk hamil."

Geni tertawa. "Kamu hebat Sekar, perangkap cintamu membuat aku makin hari makin kasmaran padamu. Boleh! Aku ijinkan kamu hamil. Biar perutmu nantinya gendut, tetapi aku yakin kamu akan merancang jurus cinta yang baru."

Sekar memeluk dan mengusap tubuh suaminya dengan lembut. 'Terimakasih, atas ijinmu, suamiku. Kamu tahu Geni, aku tak peduli berapa perempuan yang menjadi isterimu selama aku tetap yang nomor satu seperti sekarang ini. Dan aku sungguh-sungguh akan mempertahankan cintamu padaku ini."

Dua kekasih itu bergumul lagi, bercinta dan bercinta. Siang hari ketika sinar mentari menerobos goa, keduanya kembali ke rumah. Tampak sebagian orang sibuk berkerja, sebagian lain berlatih silat. Sedang para wanita menyediakan makanan.

Sekar menarik Gayatri dan Prawesti ke tempat sunyi. Tiga perempuan itu membicarakan sesuatu. Mereka tertawa-tawa.

Malam itu usai makan, Gayatri berbisik di telinga suaminya, "Geni, kamu tadi malam bercinta dengan Sekar di goa kecil di atas tebing. Kata Sekar, goa itu namanya Goa Cinta, tebingnya kaunamakan Tebing Cinta. Di malam hari pemandangannya indah. Benarkah?"

Geni memeluk Gayatri. Ia mencium harum bunga melati di rambut sang isteri. Geni berkata lirih kepada Gayatri tetapi bisa didengar Sekar dan Prawesti. "Aku memang mau mengajak kamu ke sana!" "Aku sudah rindu, dua hari rasanya cukup lama, ayo, Geni kita pergi."

Keduanya berkelebat mendaki tebing. Seperti halnya Sekar, Gayatri juga terpesona indahnya pemandangan di tempat itu. Geni menyalakan obor kemudian membawa isterinya masuk.

Begitu rebah di tumpukan rumput kering. Gayatri menampar pundak sang suami. Berulang-ulang sambil berkata manja, "Kamu curang, kamu tidak mengajak aku ke sini. Kamu hanya mengajak Sekar. Goa ini kan cukup luas untuk kita bertiga"

Geni memeluk, menciumi leher dan ketiak isterinya. Tidak tahan menahan geli, Gayatri meronta. Makin meronta, makin erat Geni menggumulinya Pada akhirnya perempuan itu tenggelam dalam kenikmatan yang sudah menjadi semacam candu. Selesai bercinta keduanya tertidur lelap, berpelukan dalam keadaan bugil.

Tengah malam menjelang fajar, Gayatri terjaga Ia melihat Geni tidur lelap di samping. Gayatri menatap kekasihnya "Lelaki ini telah membuat aku lupa daratan. Ia tidak begitu tampan, banyak lelaki lain lebih tampan. Tetapi ia punya daya tarik yang liar dan aneh. Hanya satu kali jumpa dengannya, aku langsung jatuh cinta Itu juga gara-gara dia menciumku." Pikiran liar ini membuat Gayatri tersenyum sendiri.

Tiba-tiba Geni merangkul erat isterinya "Apa yang membuat kamu tersenyum."

"Aku memikirkan lelaki yang kurangajar, yang mencium paksa seorang wanita yang sedang tidak bertenaga dan tak kuasa melawan."

"Pertama-tama kamu marah, tetapi beberapa saat kemudian kamu membalas ciumanku, kita berciuman lama." "Tidak hanya itu, kamu juga memeluk erat tubuhku, buah dadaku ini kau himpit ke dadamu, aku sulit bernafas. Apakah kamu selalu berkelakuan liar seperti itu terhadap perempuan?"

Geni menggeleng. "Tidak pernah. Baru satu kali itu, dan entah mengapa mendadak saja timbul kenakalan menggodamu. Kupikir saat itu aku sudah mencintaimu."

"Cinta! Kau bilang cinta kepada semua perempuan yang kau temui dan yang kau suka, kepada aku, Wulan, Sekar, Prawesti, Ekadasa dan entah siapa lagi yang aku tak pernah kenal. Tetapi aku tidak seperti itu, cintaku hanya satu, dan sudah kuberikan seluruhnya padamu, aku tak mungkin mencintai lelaki lain."

"Aku memang merasa diriku ini aneh, aku bisa mencintai banyak perempuan jika aku bernafsu atau terangsang birahi melihat kecantikan wajah dan tubuhnya. Tetapi terus terang saja cuma dua perempuan yang benar-benar kucinta, Gayatri dan Sekar. Aku tak mau kehilangan kalian berdua."

"Bagaimana dengan Prawesti?"

"Sama halnya perasaanku terhadap perempuan lain, nafsu dan birahi. Tetapi Prawesti, lebih istimewa dari Ekadasa, karena aku kasihan dan sayang padanya. Westi juga banyak berkorban menolong aku saat aku dalam kesulitan."

"Geni kekasihku, aku merasa bersalah jika tidak mengatakan hal ini kepadamu, karena aku harus berlaku jujur padamu sekarang dan selamanya."

Geni memeluk dan mengelus kepala isterinya, "Katakan!" "Di Argowayang saat aku mengetahui kamu adalah Wisang

Geni, aku marah karena merasa kau telah sengaja menipu aku. Kau telah mencuri perawanku, sesuatu yang suci yang paling kujaga dan menjadi lambang kehormatanku. Aku membencimu, aku ingin membunuhmu Tetapi aku juga mencintaimu" Gayatri menangis tetapi juga tersenyum "Ketika kamu pergi bersama Sekar, aku sudah mengatur rencana akan membunuhmu di rumahku. Kamu akan kuracuni biar mati Tetapi aku tak mampu melakukan itu. Saat memegang racun saat itu juga aku tahu pasti dalam lubuk hatiku aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Mau kamu memaafkan aku, suamiku?"

Geni mencium mata isterinya yang basah air mata. "Aku maafkan, tetapi kau melakukan hal yang bodoh, bertarung dengan jurus mati hidup. Hampir saja aku atau kamu menjadi korban."

"Aku tak pernah tarung, tak punya pengalaman tarung.

Sewaktu di Himalaya aku hanya tarung lawan perampok atau penjahat kecil untuk membela kaum tertindas, ku pun ada kakak yang mengawasi, siap membantuku. Aku terpaksa harus tarung denganmu"

"Karena balas dendam kakekmu? Atau kesal dan benci padaku?"

"Dua-duanya salah! Yang benar, aku harus memenuhi sumpahku. Aku pernah bersumpah pada ayah dan ibu, bahwa laki-laki yang menjadi suamiku harus bisa silat dan lebih jago dari aku. Itu sumpahku, makanya aku senang kamuyang menang."

"Mengapa demikian, aneh?!"

Gayatri tertawa. Kesedihannya sudah hilang. "Jika aku menang, maka sesuai sumpahku, kamu tidak boleh menjadi suamiku, padahal setelah malam di desa Gondang itu kamu sebenarnya sudah menjadi suamiku. Untung saja kamu yang menang sehingga aku terbebas dari sumpah itu."

"Sebenarnya mudah, kamu tak perlu menyerang sungguh- sungguh supaya kamu kalah atau bisa saja kamu pura-pura kalah." "Tidak boleh begitu! Aku harus tarung sungguh-sungguh dan dengan jurus yang paling kuhandalkan. Itu sebab aku memainkan jurus maut Dinak Din Naachu Mein Gae Dil jumne Zamana (Aku menari, hati menyanyi dan dunia bergembira). Tadinya kami bertiga sepakat, jika kamu jatuh maka tarian kuhentikan. Jika sampai tarian itu selesai dan kamu tetap segar bugar, tarian dengan sendirinya berhenti dan aku kalah."

Geni menikmati cerita itu, ia menyukai gerak dan mimik wajah cantik di hadapannya. "Tetapi Geni, semua tiba-tiba menjadi kacau. Ketika kamu jatuh seharusnya tarian kuhentikan, tetapi aku seperti tidak sadar. Samar-samar aku berpikir mengapa tak bisa menghentikan tarian, pikiran itu hanya sekilas. Pikiranku saat itu dipenuhi ingatan bahwa aku mencintaimu, aku kasmaran padamu, aku tak bisa hidup sendiri tanpa kamu di sisiku."

"Ketika kamu jatuh, kupikir kamu sudah kalah tetapi saat berikut kamu bangkit seketika aku merasa ada sesuatu yang menghantam keseimbangan tubuhku. Pasti itu penolakan tenaga batinmu, yang lebih besar dan lebih kuat dari tenaga kami bertiga Selanjutnya aku tidak ingat, yang kuingat ketika pukulan melanda tubuhku, aku melihat wajah dua perempuan, setelah itu aku pingsan. Belakangan Urmila dan Shamita bercerita bahwa kau melompat menerjang dua perempuan itu dan menolong aku. Lalu aku ingat ketika kamu menolong dan menciumku di depan semua orang. Saat itu aku merasa bahagia mendapatkan suami yang lebih jago dari aku dan memperoleh ciuman yang selalu kumimpikan."

Geni tertawa menggoda, "Tadinya aku bingung dan panik, aku lega ketika merasa kau membalas ciumanku."

Perempuan itu membalik tubuh, menelungkup di atas tubuh Geni, ia menatap suaminya mesra "Aku sudah bilang, aku menyintamu pada saat kamu menciumku di gubuk reyot itu, kamu membuat aku tergila-gila, aku tak bisa tidur, aku tidak tenang, aku mudah marah. Kau tahu Geni, pada saat kau pergi ke istana, meninggalkan aku di hutan dan berjanji menemui aku di desa Gondang, malam harinya aku menyesal dan berkata pada diri sendiri seharusnya aku ikut ke mana pun kamu pergi."

"Jika kamu ikut aku, tentu aku tak perlu meniduri Ekadasa.

Aku bisa meniduri kamu"

Gayatri mencubit mulut suaminya. "Mana bisa, kau tak mungkin bisa meniduri aku, aku bukan perempuan gampangan."

"Buktinya malam itu di desa Gondang aku berhasil menidurimu" Geni tertawa dan melanjutkan, "Aku yakin kita saling mencinta."

Gayatri mencium suaminya. "Malam itu aku sedang gelisah, aku memikirkan kamu, kesal dan kecewa tetapi aku merindu. Terus terang saja, waktu itu aku sedang kasmaran, aku merasa tubuhku menuntut kehadiranmu Maka ketika kamu muncul dan menyentuh dan mencium aku, aku tak bisa berpikir normal, rangsangan birahi itu menguasai diriku. Tetapi sebelum itu, aku sudah berpikir matang, bahwa jika kamu merayuku dan mengajak bercinta, aku bersedia. Alasanku, jika seandainya aku tidak beruntung dan harus kawin dengan lelaki yang tidak kusuka namun yang dipilih ayahku, maka biarlah dia menerima tubuhku yang sudah tidak perawan lagi. Dan tubuhku ini kuberikan kepada orang yang memang kucinta dan mencintai aku."

"Waktu itu kamu percaya bahwa aku mencintaimu Kamu yakin pada janjiku akan mengawinimu"

"Mungkin aku berlaku bodoh saat itu, tetapi aku sudah yakin sejak di hutan itu bahwa kamu sungguh mencintaiku dan bahwa kamu tidak berpura-pura, aku yakin dan percaya pada naluriku." Geni merangkul isterinya, mencium mesra. Keduanya kembali memadu kasih, untuk kesekian kalinya. Beberapa lama kemudian Gayatri tergeletak kelelahan. Terengah-engah ia berkata, "Geni, tenagamu itu, aku heran bagaimana mungkin kamu tak pernah lelah, kamu bisa sepanjang malam sepanjang hari meniduri aku, besoknya dengan Sekar terkadang dengan Prawesti juga, apakah kau tidak berpikir tenagamu susut pada saat kamu butuh tenagamu itu dalam pertarungan."

Geni merenung. "Tenaga Wiwaha ini kuperoleh dari peninggalan pendekar Lalawa yang konon menurut guru Padeksa, ia hidup di zaman baginda raja Erlangga, itu artinya ratusan tahun lampau. Belakangan aku tahu rahasia paling hebat dari ilmu Wiwaha ini, dia akan bereaksi langsung jika tubuhku diserang penyakit, racun, lelah, apa saja yang tidak disukai pikiranku. Tenaga Wiwaha ini membuat aku selalu segar, tak pernah lelah. Balikan jika selesai bercinta aku justru merasa lebih segar."

Tiba-tiba Gayatri memukul-mukul dada Geni. "Kamu akan awet muda tidak pernah menjadi tua. Suatu ketika aku sudah tua dan kau pasti akan mencari gadis yang lebih muda."

Geni tertawa terbahak-bahak. "Gayatri, kau salah, aku tidak bisa awet muda, tidak ada ilmu seperti itu. Aku laki-laki biasa, aku akan menjadi tua seperti juga semua manusia. Justru aku khawatirkan kamu isteriku, kamu jauh lebih muda dari usiaku, pasti jika aku sudah tua, kamu akan mencari lelaki lain yang jauh lebih muda."

Sekarang Gayatri yang tertawa. "Menurutku sepuluh laki- laki muda tak akan bisa memberi kepuasan kepadaku seperti kamu memuaskan aku, kamu memang penjahat penakluk wanita. Pantas Ekadasa mengejar-ngejar kamu dan hampir membunuhku. Hanya semalam saja kamu tiduri dia tetapi seumur hidup dia tidak akan bisa melupakan kamu. Memang kamu penjahat penakluk perempuan." Saat berikut Gayatri tertidur. Ia kehabisan tenaga.

Matahari tertutup mendung tebal. Tak lama kemudian hujan deras. Guruh dan halilintar saling sahut. Tebing seakan bergetar. Geni memerhatikan keindahan tubuh bugil isterinya di antara remangnya cahaya mentari yang menerobos sela- sela pintu goa. Perempuan itu tidur pulas. Ia bahkan tak mendengar suara guruh dan halilintar yang mengiringi turunnya hujan deras.

Geni bersila melancarkan aliran Wiwaha. Ia memegang telapak kaki Gayatri, menyalurkan tenaga. Hawa panas dingin bergantian merambah seantero tubuh sang isteri. Perempuan itu masih tidur lelap. Ia tersenyum dalam tidur.

Lama berselang Gayatri membuka mata. Di luar goa masih hujan. Geni melepas kaki isterinya. "Bagaimana keadaanmu sekarang?"

Gayatri mengangguk. Ia tampak segar. Kulit wajah yang putih tampak kemerahan, berseri memancarkan cahaya bahagia. "Aku sudah segar kembali, tenagaku sudah pulih kembali, aku siap melayanimu lagi. Tetapi terus terang saja, aku lapar, sangat lapar."

Melihat Geni berdiri. "Aku akan menangkap ikan, kau tunggu di sini."

”Tidak, aku tak mau tunggu di sini, aku ikut."

Tebing itu licin namun dengan ilmu ringan tubuh yang sudah mencapai puncak kemahiran, Geni dan Gayatri dengan mudah menuruni tebing. Keduanya tiba di danau. Hujan masih deras. Keduanya basah kuyup.

Gayatri menangkap ikan dengan senjata tali. "Geni, lihat tujuh ekor besar dan gemuk Ayo kita panggang, aku sudah lapar." Geni tidak menjawab sebab masih terpesona memandang isterinya, pakaian Gayatri basah kuyup melekat di tubuh memperlihatkan lekuk tubuhnya yang molek. Gayatri berseru, "Geni jangan melamun, ayo kita kembali ke rumah."

Esok harinya, Geni beserta semua anggota rombongan berangkat menuju desa Bangsal. Geni menunggang si hitam, Gayatri berdua Sekar menunggang si putih. Prawesti bingung. Geni berseru, "Westi, kamu naik si hitam bersamaku."

Tanpa diperintah lagi, Prawesti melompat di depan suaminya. Ia berbisik lirih, "Nanti kalau kamu terangsang bagaimana?"

Geni berbisik di telinganya, "Nanti malam kita cari tempat sunyi"

Sekar dan Gayatri tertawa melihat lagak Geni. Tangan lelaki itu melingkar di atas perut isterinya. Sekali-sekali tangan itu pasti menjamah buah dada Prawesti.

Rombongan lain ada yang menunggang kuda, sebagian lain naik kereta kuda. Semua orang berdebar tegang, ini tarung hidup mati bagi Wisang Geni. Semua orang dengan pikiran masing-masing.

Tadi malam, Gajah Lengar dan Gajah Nila telah melakukan ritual perpisahan dengan isteri masing-masing. Dua perempuan itu menangis haru merasa tidak akan bertemu lagi karena mengerti suaminya siap mengorbankan nyawa membela Wisang Geni.

Dua hari perjalanan, mereka tiba di desa Bangsal. Tidak seperti biasa, tiga hari belakangan ini banyak pendekar datang dan nginap di desa. Rumah-rumah penduduk tidak cukup untuk menampung. Geni dan rombongan akhirnya menemukan tempat berteduh di tepi hutan. Di sekitar hutan itu banyak pendekar membangun gubuk darurat. Murid Lemah Tulis dipimpin Gajah Lengar dengan cepat mendirikan tiga gubuk darurat yang cukup besar. Malam hari semua murid Lemah Tulis istirahat. Wisang Geni dan Prawesti duduk berdampingan di luar gubuk Sekar dan Gayatri bersama wanita lain berbincang di dalam. Geni memeluk isterinya, tangannya merambah ke dalam kebaya. "Kita pergi ke desa, aku sudah menyewa satu rumah kecil untuk satu malam ini. Kita ke sana Westi."

Fajar menyingsing. Dua insan itu masih lelap, berpelukan dalam keadaan bugil. Cahaya merah mentari menerobos sela- sela pintu, menerangi wajah manis Prawesti yang tidur menghadap pintu. Tak lama kemudian, Geni terjaga Ia membangunkan Prawesti, mencium isterinya. Keduanya cepat berpakaian, kembali ke gubuk di mana rombongan berada.

Pagi itu semua di gubuk sibuk menyiapkan makanan. Prawesti dan Gayatri beserta beberapa murid perempuan. Geni duduk sendirian di luar. Setelah makanan siap, tiga isterinya menghampiri Geni. Ketiganya duduk mengelilingi Geni. Mereka makan bersama.

Sekar beringsut mendekati suaminya, ia berkata perlahan, "Besok pertarungan dimulai, aku dan Gayatri mau ikut tarung! Kami sudah berunding. Prawesti karena ilmu silatnya belum mumpuni, ia hanya akan membantu semua persiapan. Dan ia yang akan melayanimu jika kamu ingin bercinta."

Geni terkejut. "Jangan, tarung ini amat berbahaya, seseorang bisa mati atau luka parah Aku tidak mau kalian luka apalagi mati"

"Semuanya tergantung pada ijinmu, tetapi kami berdua punya hak untuk ikut tarung membela suami. Kami punya hak karena kami adalah isterimu." Nada bicara Gayatri mengandung keputusan yang teguh.

Prawesti ikut bicara. "Kemarin ada yang mengantar undangan pendeta Macukunda, para pendekar kumpul nanti malam untuk merundingkan segala sesuatu menyangkut tarung." "Kami ikut! Kau harus bisa meyakinkan mereka agar kami masuk daftar tarung." Sekar menatap Geni yang sedang merenung. Geni mengangguk. Tetapi matanya menerawang, memikirkan sesuatu.

"Mengapa melamun, apa yang kamu pikirkan, ketua?" tanya Prawesti yang tidak bisa menghilangkan kebiasaan memanggil suaminya dengan sebutan ketua.

"Aku sedang mengingat jurus-jurus yang dimainkan Sam Hong dan juga Sin Thong serta Pak Beng. Kupikir semua jurus silat itu tidak berbeda jauh, satu sama lainnya. Yang berbeda hanyalah pikiran, bobot tenaga dan terutama nasib alias keberuntungan."

Gayatri berbisik, "Geni, kamu harus waspada dan hati-hati sebab dalam tarung nanti, lawan-lawan pasti berlaku curang, membokong kamu, senjata beracun, senjata rahasia dan tipuan apa saja."

Dia mendengar dengan penuh perhatian. Gayatri melanjutkan pembicaraan, "Jika satu lawan satu, aku yakin mereka tidak akan mampu mengalahkan kamu Kupikir mereka tahu kelebihanmu, itu sebab mereka akan berlaku curang. Jika aku berada pada posisi mereka, aku juga akan berpikir demikian, main curang."

"Kau harus waspada jika menghadapi lawan yang mengenakan baju lengan panjang, aku yakin dia pasti menyembunyikan senjata rahasia, di pergelangan tangan, jarumatau paku. Mereka sudah mahir dengan permainan curang itu, dengan sekali sentakan saja, jarum-jarum itu akan melesat keluar. Jika jarakmu hanya terpaut satu tombak, sulit bagimu untuk menghindar sebab begitu kau terkejut, gerakanmu akan terlambat sesaat Lain hal jika kau sudah waspada, dan sudah siap menerima serangan bokongan itu, kau bisa mengelak."  Mendadak timbul pemikiran Geni. "Mungkin aku akan bermain mainan anak-anak, main gasing, berputar-putar dengan angin."

"Apa itu mainan gasing, Geni, ilmu apa itu?" tanya Sekar. "Itu jurus yang kugunakan menghindar dari dua belas pisau terbang Lembu Ampai!" katanya tertawa.

Sekar yang sejak awal mendengar dengan teliti, memuji Gayatri,. "Kamu hebat adik, katamu tak punya pengalaman tarung tapi kamu bisa merinci seluk beluk kecurangan. Pasti ayahmu pendekar pengalaman."

"Tidak seluruhnya benar. Aku banyak belajar dari kakek dan juga dari pengalaman orang lain, pengalaman ayah, ibu, kakek, kakak," tukas Gayatri.

---ooo0dw0ooo---

BERSAMBUNG