Tabir Sakti Ilmu Rimba Persilatan Bag. 02

Bab 9 
Si gadis hanya mengangguk pelan. Nun jauh di dasar hatinya, ia merasakan sesuatu yang unik saat bercakap-cakap dengan Jalu. 
“Aneh! Baru kali ini aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum pernah kualami sebelumnya. Sepertinya Jalu begitu memikat di hadapanku meski ia buta. Menginginkan seorang pemuda mandi bersama? Ini hal aneh yang pernah kulakukan.” pikirnya saat ia melihat si Jalu melepas pakaian biru dan celana hitamnya. “Sudahlah! Mungkin sudah saatnya aku membuka diri untuk pemuda lain.” Lalu sambungnya dalam hati, “Meski ia buta, tapi tampan juga. Dada bidang dengan postur tubuh yang tidak begitu kekar, dengan kulit bersih terawat rapi. Dia bukan pemuda malas yang biasa aku temui. Dan yang jelas ... dia pernah menyelamatkan nyawaku. Kalau cuma membiarkannya mandi disini, kukira tidak ada jeleknya. Lagian ia buta sejak kecil, sampai matanya copot pun juga tidak bakalan bisa melihat tubuh indahku. Anggap saja ini sebagai balas budiku padanya.” 
Saat itu si Jalu sudah dalam keadaan setengah bugil, baju dan celana panjang sudah terlepas dan telah dilipat rapi, kini bersiap melepas celana dalamnya, tapi ia ragu-ragu. 
Tentu saja keraguan itu dilihat oleh Kumala Rani. 
“Lepas saja, kenapa sih? Apa perlu kubantu?” kata Kumala Rani sedikit nakal. Lagi-lagi ia merasa aneh sendiri, “Kok aku berani ngomong begitu sih?” pikirnya. 
“Aku bisa sendiri, kok!” kata Jalu Samudra, “Beneran nih, mau ngajak mandi bersama? Ntar kalau kenapa-kenapa gimana?” 
“Kenapa-kenapa gimana, maksudmu?” 
Si Jalu hanya nyengir kuda sambil melepas celana satu-satunya yang masih menempel ditubuhnya, dalam hati ia tertawa senang, “Rupanya mau liat punyaku? Boleh!” 
Sementara itu, setan-setan burik di belakang si Jalu berteriak-teriak kesenangan. 
Begitu terlepas, mata Rani sedikit membelalak melihat benda yang tegak menantang di bawah perut si Jalu. 
Pilar tunggal penyangga langit super jumbo! 
“Wah ... gedhe banget!” pekik Kumala Rani sambil menutup mulut, agar tidak terlalu terdengar oleh si pemuda, dalam hati ia berkata, “Pilar tunggal penyangga 
langit Kakang Raganata kalah dengan milik si Jalu. Apa setiap orang buta memiliki pilar tunggal penyangga langit berukuran segitu?” 
Si Jalu langsung terjun bebas. 
Byurr! 
Menimbulkan suara ramai yang mengagetkan beberapa burung di atas pohon sambil ribut mencicit seperti segerombolan gadis marah-marah. 
Air muncrat kemana-mana, bahkan Rani sampai terpekik kecil. 
Gadis itu berenang menjauh sambil tertawa kecil, sedang Jalu bagai ikan menyusul dengan cepat di belakangnya. Bagaimana pun juga ia sejak kecil tinggal dekat laut, berenang dan menangkap ikan adalah keahliannya, apalagi jika menangkap ikan cantik, tentu ia lebih ahli lagi! 
Dua insan beda jenis pun mandi bersama, saling canda dengan kecipakan air. Ada kalanya tanpa sengaja tangan Jalu menyentuh buah dada sekal Rani, yang tentu saja gadis itu maklum karena beranggapan bahwa si pemuda benar-benar buta. Padahal yang sesungguhnya memang disengaja (mumpung ada kesempatan) dan ada kalanya pula tangan Rani membalas menyenggol pilar tunggal penyangga langit si pemuda dari bawah air. 
“Bagaimana kalau kita bertanding?” kata Jalu sambil mengapung di air, dengan gaya tidur terlentang. 
Gadis itu kaget juga melihat gaya renang terapung begitu. 
“Bertanding apa?” tanya Kumala Rani dengan sedikit berdebar-debar, sebab memang baru kali ini ia mandi 
bersama seorang pemuda, meski pemuda itu buta sekalipun (itu anggapan Rani lho ... !) 
“Asal tidak bertanding mengapung saja,” kata gadis itu kemudian. 
“Bagaimana jika bertanding ... menyelam! Berani?” 
“Siapa takut!” 
“Lalu apa hukuman bagi yang kalah?” tanya Jalu. 
“Tentu saja yang kalah harus tunduk pada yang menang!” 
“Dalam hal apa?” 
“Dalam segala hal!” timpal Rani cepat, tiba-tiba Rani menyadari bahwa ia salah kata. “Tung ... “ 
Namun terlambat! 
Blubb! 
Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu bagai kura-kura laut sudah menyelam lebih dulu ke dasar danau, lalu duduk manis di bawah sana dengan kepala mendongak ke atas. 
Apalagi jika tidak memandang tubuh mulus si gadis dari bawah air! 
“Brengsek benar dia! Mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” gerutu Kumala Rani, lalu mengambil napas dalam-dalam, terus menyelam ke dalam air. “Kau sudah menyelam duluan, sedang aku belakangan. Kau pasti kalah!” pikir Kumala Rani. 
Blubb! 
Kumala Rani bergegas menyelam ke dasar danau. Meski hanya sedalam tiga tombak, tapi tekanan air di tempat itu lumayan besar. Dan itu dirasakan oleh Kumala 
Rani. Gadis itu yakin dengan kemampuannya bertahan di dalam air, tentu saja dalam hal ini hawa tenaga dalam yang dimiliki si gadis sangat berperan serta. 
Sepeminuman teh lamanya mereka berdua hanya duduk-duduk saja tanpa melakukan gerakan apa pun! 
Kumala Rani memandang tajam seraut wajah tampan si Jalu, lalu dengan curi-curi pandang menatap pilar tunggal penyangga langit milik pemuda yang duduk di depannya. Selebar mukanya panas dan beberapa segelembung udara keluar tanpa sengaja saat ia membuka mulut. 
Blubb! 
“Kurang ajar! Jalu benar-benar berhasil memikat hatiku! Perasaanku jadi tidak karuan,” pikirnya sambil mengatur hawa dalam tubuhnya. 
Sementara itu si Jalu tenang-tenang saja, sebab saat ini dirinya menggunakan salah satu jurus dari ‘18 Tapak Naga Penakluk’ yang bernama ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’ (Yu Yue Yu Yuan) yang selain bisa digunakan sebagai jurus tapak, juga berfungsi kuat berlama-lama di dalam air, karena ia menggunakan napas pori-pori kulit. 
Curang juga dia! 
Dua peminuman teh telah berlalu. Pertandingan menyelam antara Jalu Samudra dengan Kumala Rani sudah mendekati detik-detik akhir. Seluruh rongga dada Kumala Rani sudah panas terbakar karena terlalu lama menahan napas di dalam air. Beberapa gelembung air sudah berhamburan keluar, melayang sebentar ke atas dan akhirnya ... 
Pyuss ... ! 
Pecah, membebaskan udara yang ada di dalamnya. 
Payudara putih mulus dengan ujung coklat kemerahan semakin menggelembung padat. Hingga pada titik kemampuan yang dimilikinya, gadis itu akhirnya menyerah kalah, dengan sigap ia meluncur ke atas. 
Byar!! 
“Huah-hah-hah!” 
Kumala Rani megap-megap sambil berusaha mengatur napas. Rongga dada segera terisi udara segar. Napas gadis cantik itu sudah pulih sebagian sambil melihat ke bawah. 
“Kuat benar dia!” 
Kumala Rani dengan napas yang masih sedikit tersengal-sengal berenang menepi, dan duduk di atas batu besar yang menonjol, hanya kepalanya saja yang diatas air, sedang dari leher ke bawah masih terendam. Sepasang kaki indahnya sedikit terbuka dalam posisi ditekuk sedikit, sebab batu tempat duduknya hanya sedalam setengah tombak saja. Sambil memejamkan mata ia beristirahat akibat pertandingan menyelam yang melelahkan itu. 
Justru yang kelabakan sekarang adalah Jalu Samudra yang masih berada dibawah dan yang paling senang tentu saja setan-setan burik di belakang sana yang langsung bersorak gembira. 
“Brengsek! Dia malah duduk menggodaku, sepertinya gerbang istana kenikmatan itu sengaja disediakan untukku,” pikir Jalu sambil terus memandangi tubuh telanjang Kumala Rani terutama pada segundukan gerbang istana kenikmatan yang ada di atas sana. 
Pelan-pelan ia bangkit dari duduknya, lalu berenang pelan ke atas seperti kura-kura. Setelah dekat dengan sepasang betis indah Rani yang saat itu sedikit terpentang lebar, memperlihatkan sebentuk keindahan alami yang dimiliki para gadis. Kedua tangannya memeluk pelan paha mulus dan bibirnya bergerak mendekati gerbang istana kenikmatan. 
Pemuda bermata putih melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. 
Tidak pernah di atas air, apalagi di bawah permukaan air! 
Tentu saja Kumala Rani kaget bukan alang kepalang, tapi hanya sebentar kemudian ia sudah mengerang lirih sambil memegang erat di kepala pemuda itu di bawah air. Kedua pahanya terkuak melebar ketika lidah pemuda itu melakukan apa yang biasa ia lakukan di mulut. Lidah panas terus menjelajah nakal, semakin dalam dan semakin dalam. 
Kenakalan yang disukai Kumala Rani! 
“Uuhh ... ssst ... ahh ... nikmat sekali!” keluh si gadis, dalam hati ia berkata, “Tidak kukira dengan cara seperti itu aku bisa merasakan getaran nikmat yang menjalari seluruh tubuhku.” 
Jalu Samudra sanggup menahan napas di dalam air cukup lama karena menggunakan ‘Ikan Menyusup Ke Kedalaman’ (Yu Yue Yu Yuan). Tetapi dengan kegiatan baru ini, ia butuh udara lebih banyak. Cepat-cepat ia mengatur hawa di pori-pori kulitnya agar bisa mengambil udara yang ada di dalam air, lalu kembali ia melakukannya jurus bersilat lidah di dalam air. Kali ini pemuda itu mempraktekkan Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ untuk pertama kalinya terhadap seorang gadis. 
Seluk beluk dan lekuk tubuh gadis yang tertera jelas di dalam Kitab Dewa Dewi dihapalnya dengan cepat, terutama pada bagian titik-titik kenikmatan yang bisa memanjakan seorang gadis, salah satunya adalah setitik benda bulat kecil sebesar kacang yang berwarna merah muda. 
Salah satu jurus 'Asmara Pemanah Gadis' adalah jurus ‘Tikus Menggali Lubang’, dimana jurus ini merupakan jurus rangsangan-pemanasan, tangan meraba-raba payudara sambil menjilat dengan lidah berlanjut hingga ke gerbang istana kenikmatan, namun jari tidak diperbolehkan masuk ke puncak gerbang kenikmatan, hanya menggesek-gesek lembut di sekitar atas pintu gerbang. 
Sesaat Jalu melakukan sesuatu dengan kedua bibirnya di bawah sana, sontak Kumala Rani mengerang lirih dan merenggangkan lagi kedua belah pahanya. Ia ingin membuka diri selebar mungkin, karena rasanya ada sesuatu di dalam sana yang memerlukan sentuhan lembut tetapi cepat. Kumala Rani menggeliat sambil bertahan agar tidak merosot turun dari batu yang kini diduduki pantatnya! 
Suatu saat Jalu mengambil napas segar ke permukaan air. Mengambil nafas dalam-dalam sebelum tenggelam lagi didorong lembut tetapi setengah memaksa oleh bidadari cantik yang sedang bertahta di atas batu dalam air. Gerakannya semakin cepat dan semakin tangkas. Dan Kumala Rani merasakan titik puncak asmara datang secepat kilat. Tubuhnya menegang-meregang, lalu bergeletar kecil dan berkali-kali. 
“Oooh!” jeritnya sambil memejamkan mata erat-erat. 
Ia tidak mau terbangun dari mimpi indah ini! 
Sentakan-sentakan nikmat memenuhi sekujur tubuh gadis ini berputar dalam hitungan delapan, sembilan atau mungkin belasan kali. 
Bab 10 
Kumala Rani terus menggeliat untuk yang kesekian kalinya dalam puncak asmara yang berhasil didakinya dengan sempurna, sebelum membiarkan tubuhnya luruh, masuk ke air lagi sebatas leher. 
“Gila!” pikir pemuda ini dalam hati, “Gadis ini cepat sekali mencapai puncak asmara.” 
Tapi justru apa yang barusan dia lakukan benar-benar lebih gila. 
Tanpa permisi dulu meminta persetujuan si gadis, langsung serobot begitu saja! 
Dua jenis manusia itu melanjutkan kegiatan saling menyalurkan kenikmatan ragawinya. Ada saat-saat di mana Rani seperti sedang meluncur cepat di pusaran air yang bergelora, terbawa arus entah ke mana, cepat sekali menggelandang di antara lika-liku kenikmatan yang diberikan secara jelas dan nyata oleh Jalu. Ada saat di mana sang gadis bagai melambung di atas bola-bola air, ada kalanya bagai melayang di atas awan yang bergumpal-gumpal. 
Seluruh pori-pori tubuhnya dijalari rasa nikmat yang muncul bertubi-tubi ketika kulit mulusnya tersentuh, tertelusur, terjilat, tergigit, tersedot ... 
“Oh ... !” 
Rani sungguh tak pernah menyangka bahwa kendali dirinya bisa begitu cepat lepas. Ia membiarkan saja Jalu 
Samudra menciumi lembah dangkal di antara dua bukit sekal di dada, membiarkan tangannya meremas dan memilin bergantian di ujung-ujung bukit kembarnya. Dalam Kitab Dewa Dewi disebutkan salah satu kiat melakukan rangkaian jurus asmara tertinggi adalah ‘rayulah, rabahlah, biarkan dia merintihlah saat bersetubuh. Menjilat dan biarkan dia menjerit mencurahkan isi hatinya'. 
Kali ini si Jalu sudah mulai mengawali langkah pertama! 
Jalu mendorong tubuh mereka berdua semakin ke pinggir, ke sebuah lokasi yang agak lapang beralaskan batu hitam datar. Di situ Jalu mencoba melanjutkan dan menyempurnakan kegiatan mereka. Kali ini pemuda murid tokoh sakti masa silam itu bersiap-siap melancarkan jurus ‘Naga Bersalto Di Udara‘ dimana si gadis berbaring terlentang, sementara si laki-laki menindih dan menyerang dari atas dengan pilar tunggal penyangga langit yang kokoh bagai batu karang. 
Kumala Rani terus mendesah, menggeliat, terlentang pasrah, dibiarkan pemuda tampan yang juga telanjang bulat itu mengangkat kedua lututnya, menguak sebentuk gerbang istana kenikmatan di antara kedua belah paha. 
Dengan lembut, ujung keras pilar tunggal penyangga langit itu mendekat, berusaha menyelusup masuk dengan pelan namun pasti. Tentu saja Jalu sedikit kesulitan. Sebab selain baru pertama kali, senjata pusaka miliknya terlalu besar untuk ukuran gerbang istana kenikmatan Kumala Rani yang sempit. 
Baru masuk ujungnya saja, Rani sudah meringis. 
“Ughh ... “ 
“Sakit ... ?” 
“Lanjut ... “ bisiknya parau ketika terasa Jalu berhenti sejenak di tengah jalan. 
Jalu mendorong masuk lebih dalam. 
“Oh ... !” 
Kembali Kumala Rani hanya bisa merasakan dirinya terbelah dua dari ujung ke ujung. 
Dan kembali pula Jalu mendorong masuk lebih dalam lagi. Kumala Rani menjerit kecil dan menggigit pundak pemuda yang menindihnya. Terasalah sudah seluruh batang kenyal itu di dalam gerbang istana miliknya, begitu besar dan panjang hingga bergetar menimbulkan rentetan nikmat di sepanjang dinding-dinding lembut bagian dalam istana. 
Sambil terus mendorong memaju-mundurkan pilar tunggal penyangga langit, bibir si Jalu memagut lembut bibir merah merekah Rani yang langsung menerima. Lidah saling bertaut di dalam sana, menimbulkan getaran-getaran halus. 
Plukk! 
Ciuman si Jalu terlepas, bergerak turun menyusuri leher, terus turun ke pundak, bermain sebentar di gundukan daging kenyal yang tegak menantang, kemudian menyambar cepat pada ujung-ujung bukit yang coklat kemerahan. 
“Oooh ... “ keluh Rani. “Aku tidak menyangka Jalu begitu pandai memanjakan diriku. Tidak seperti Kakang Raganata yang langsung tancap.” keluhnya dalam hati sambil membuat perbandingan jurus-jurus asmara milik Jalu dengan mantan kekasihnya. “Dia benar-benar hebat! Benar-benar perkasa!” 
Setelah selesai dengan yang kiri, si Jalu berpindah posisi ke yang kanan, sedang tangan kiri yang bebas segera meluncur dan meremas, memilin bagian satunya, dada bulat menggairahkan! 
“Sebentar lagi ... “ bisik hatinya tidak karuan “ ... sebentar lagi sempurna sudah ... “ 
“Lebih cepat lagi ... “ desah Kumala Rani. “Ahhhhh ... !” 
Rupanya gadis itu mendambakan gerakan-gerakan cepat mengagetkan. Hunjaman dalam hingga mampu membentur-bentur apa saja yang ada di dalam sana, kalau perlu tikaman tak kenal ampun. 
“Ja ... lu ... “ nama itu terlompat dari mulutnya yang terbuka terengah-engah. 
Kumala Rani sampailah sudah pada awal untaian kematian kecil yang nikmat itu. Ia pejamkan mata erat-erat, berkonsentrasi pada luar-dalam yang terpancar kuat dari dalam gerbang istana kenikmatan miliknya yang menghadirkan kembali puncak-puncak asmara. 
Jalu semakin mempercepat gerakannya. Menambah daya serang. Meningkatkan kemampuan tertinggi dari jurus-jurus asmara, semuanya demi gadis yang sedang menggelepar-gelepar mencari pelepasan birahi. Demi menunduk Rani. Jalu semakin menggenjot sekuat tenaga. 
Srett! Srett! 
Dan juga ... karena sebuah kekalahan yang ditanggung gadis itu! 
Rani menjerit, mengeluh dan akhirnya ... menggeliat! 
“Aaaghh ...” 
Begitu Kumala Rani menyelesaikan puncak asmaranya, pemuda itu mengubah posisi, dengan pilar tunggal penyangga langit masih terselip rapat di dalam gerbang istana kenikmatan Kumala Rani, si Jalu menggunakan jurus ‘Monyet Bersilat’, dimana posisi si gadis telentang dengan pinggang disanggah oleh si pemuda, lututnya didorong sedemikian rupa hingga menempel ke dada dan bagian punggungnya terangkat ke atas, sepasang betis diletakkan pada pundak si pemuda. Jika pada gerakan awal seperti jurus 'Monyet Bersilat' tapi pada posisi kaki ia menggunakan jurus 'Burung Meraung’ yaitu jurus dimana si gadis berbaring dengan kaki diangkat, pria berlutut dan memasukkan pilar tunggal penyangga langit sampai ke daerah gerbang dalam istana yang gelap dan lembab. 
Jurus ini membutuhkan pengendalian diri yang sangat tinggi dan dalam hal ini, pemuda bermata putih itu justru sangat menguasai! 
“Ooh ... apalagi yang ingin dilakukannya?” pikir Kumala Rani. 
Ia tersenyum saja sambil mengikuti kemauan si Jalu. 
Pada serangan pertama, Kumala Rani tersedak nikmat karena ujung pilar tunggal penyangga langit tanpa permisi langsung menghantam ujung dinding yang paling dalam. 
“Hegh ... heghh ... mmmh ... !!” 
Suara itu cukup keras terdengar. 
“Gila! Ini lebih nikmat dari yang tadi!” pikirnya. 
Begitulah, sampai petang menjelang, entah sudah berapa kali Kumala Rani mendaki dan mencapai puncak asmara. Namun anehnya, hingga sekarang ini si Jalu 
belum juga memuntahkan lahar panas miliknya sebagai titian puncak asmara seorang pemuda. 
Keluhan dan lenguhan datang silih berganti baik dari mulut Jalu dan Rani. Saling pagut, saling lilit dan saling raba dilakukan oleh dua insan yang sedang berlayar di tengah samudra. 
“Luar biasa! Sudah begini lama, ia masih bisa bertahan! Benar-benar pejantan tangguh!” pikir Rani. “Kakang Raganata pasti sudah jatuh tertidur sedari tadi.” 
“Jalu ... “ kata Rani di sela-sela lenguhan kecilnya. 
“Apa?” 
“Kau belum lelah?” 
“Belum.” jawab Jalu sambil tetap melakukan kegiatannya. Tangan kiri kanan meremas-remas benda kenyal Kumala Rani sedang pinggangnya bergerak maju mundur dengan cepat. 
“Aku ada satu permintaan,” kata Kumala Rani sambil memejamkan mata menikmati serangan-serangan yang diterima bawah perutnya. 
“Apa yang kau minta?” 
“Keluar ... kan ... “ suara Kumala Rani terhenti karena Jalu melakukan serangan cepat membahana pada liang miliknya. “ .. ooohh .. “ 
“Apa ... “ 
“Keluarkan ... cairan ... keperkasaanmu di dalam sana ... aku sudah hampir sam ... pai ... sstt ... “ Rani berkata sambil menggoyang-goyangkan pantatnya yang besar untuk menambah rasa geli-geli nikmat yang serasa mengaduk-aduk gerbang dalam istana. 
“Kau yakin?” 
“Cerewet! Cepat lakukan perintahku!” bentak Rani, karena saat ini ia sudah merasakan bahwa gelombang asmara akan datang lebih besar lagi dari sebelumnya dan ia ingin sekali bisa pada saat yang bersamaan si Jalu memuntahkan lahar panasnya. 
Si Jalu segera menarik mundur seluruh tenaga yang dipakai. 
Srepp! 
Begitu tenaga ditarik, ia mengganti dengan sebuah tarikan napas lembut, mengalir cepat melewati pori-pori bawah perut dan pada akhirnya sebuah denyutan kuat berjalan cepat dari bawah pusar ke ujung pilar tunggal penyangga langit. 
“Terima ini, sayang!” kata Jalu sambil mempercepat gerakan. 
Kumala Rani sampai terguncang-guncang, tapi justru inilah yang diharapkannya. Ia pun semakin menggerakkan pinggul dan pantat lebih cepat ... lebih cepat! 
“Aaah ... hhh .... hehh ... ssst ... ugh ... “ 
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk denyutan cepat bergerak pada dinding-dinding gua, menjalar cepat menuju ke ujung. Dan akhirnya ... 
Jrass ... ! 
Sebentuk cairan panas menggelegak tersembur keluar diiringi dengan sentakan keras pilar tunggal penyangga langit hingga melesak ke dalam, menekan erat bagian terujung dari dinding dalam gerbang istana kenikmatan. Dan bersamaan dengan itu pula, Kumala Rani mengalami hal yang sama. 
Serr ... ! 
Cairan asmara memancar kuat, bertemu dengan lahar panas di dalam. 
Saling sembur dan saling semprot! 
Jika tubuh si Jalu menegang sambil mendekat erat punggung si gadis hingga dada padat Rani menempel erat dada bidang si Jalu yang membuat pilar tunggal penyangga langitnya semakin dalam menekan ke gerbang istana terujung, lain halnya dengan Kumala Rani. Tubuhnya melengkung indah ke depan dengan kepala mendongak ke belakang memperlihatkan sebentuk leher jenjang serta sepasang tangan melingkar kuat ke pinggang si Jalu, seakan dengan begitu, ia bisa memperdalam hunjaman pilar tunggal penyangga langit si pemuda. Dada kencang gadis itu semakin membusung. 
Delapan-sembilan helaan napas kemudian, tubuh mereka mulai melemas. 
“Kau benar-benar pejantan tangguh, Jalu.” kata Kumala Rani sambil berpindah posisi setelah gelombang asmaranya mereda. Mereka berdua beristirahat sambil berpelukan erat dimana kali ini posisi Jalu di bawah, sedang posisi Rani berada di atas Jalu, dan tentu saja pilar tunggal penyangga langit masih tercengkeram erat di dalam gerbang istana kenikmatan. 
“Mengapa kau katakan begitu?” 
Rani pun mulai bercerita tentang masa lalunya pada si pemuda yang telah memberikan berjuta-juta kenikmatan ragawi. 
“Dulu ... sekitar dua tahun yang lalu, ditempat ini pula aku serahkan milikku yang paling berharga pada Kakang Raganata, tunanganku. Kami begitu bernafsu melakukannya, dan setelah itu hanya kekecewaan yang 
aku dapat. Belum pernah aku merasakan seperti apa yang aku rasakan saat bersamamu. Rasanya beda jauh dan jauh beda.” 
“Benarkah?” 
Rani hanya mengangguk pelan, lalu ia merengkuh bahu si pemuda dan melumat bibir dengan lembut serta kaki sedikit di tekuk ke belakang. 
Wah ... rujak bibir nih! 
“Tapi ... aku hanya merasakan satu keanehan di dalam sana.” kata Rani setelah melepas pagutan panasnya. “Cairan keperkasaanmu terasa lain.” 
“Sebenarnya ... itu bukan cairan keperkasaanku, tapi hawa keperkasaanku.” 
“Hawa keperkasaan?” 
Jalu Samudra mengangguk. 
“Hawa ini hanya sebuah saluran tenaga lembut, memang hasil akhir agak sedikit mirip dengan cairan keperkasaan tapi berbeda,” kata Jalu, lalu sambungnya, “ ... hawa ini berasal dari tekanan udara yang diolah di perut, seperti mengolah tenaga dalam. Untuk memancarkan hawa keperkasaan membutuhkan pengaturan tenaga yang tepat, tidak lebih dan tidak kurang. Ilmu ini dinamakan jurus 'Perjaka Murni'!” 
“Apa akibat dari hawa keperkasaan itu?” 
“Tidak ada ... hanya rasa nyaman yang menjalari seluruh tubuh. Dan yang pasti ... kau tidak bakalan hamil gara-gara hawa keperkasaanku!” seru Jalu sambil meraih punggung si gadis, bibir ranum di depannya langsung dilumat dengan penuh perasaan. Tentu saja badan segar dengan buah dada sekal dan menantang langsung beradu keras dengan dada bidang si pemuda. 
Sementara mulut masih bertautan, Kumala Rani yang mengambil inisiatif terlebih dahulu, segera ia menaik turunkan pantatnya dengan dengan dada terayun-ayun ke depan. 
“Hemm ... jurus ini dalam Ilmu ‘Asmara Pemanah Gadis’ dinamakan 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang'!” pikir Jalu sambil membalas lumatan bibir si gadis. 
Jurus 'Kunci Pusaka Menemukan Lubang Gerbang' adalah jurus dimana posisi pasangan duduk bersama dengan kedudukan gadis di atas kaki pria. Kaki sedikit direntangkan hingga kaki sang pria berada di bawah kaki sang gadis. Kemudian kaki gadis ditekankan ke perut pria agar pilar tunggal penyangga langit dapat digerakan maju mundur serta dapat keluar masuk gerbang istana kenikmatan dengan bebas. 
“Uhh ... “ 
Lenguhan dan desahan napas kembali terdengar di tepi danau. Suasana yang menjelang petang justru menambah keromantisan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu. 
Melihat bongkahan daging kenyal putih mulus bulat indah dan menggairahkan dengan ujung-ujung coklat kemerahan terayun-ayun bebas di depan mata, membuat Jalu semakin bersemangat. 
Happ! 
Dengan sebuah tangkapan mulut yang manis, ujung bongkahan daging sebelah kiri tertangkap mulut, sedang tangan kiri merengkuh pinggang ke depan dan tangan kanan dengan lembut meremas dan memilin benda menggairahkan itu lewat jurus 'Mematuk Keras Dan Berputar Ringan Persis Elang Memecahkan Kulit Gabah'. 
Sebentar kemudian, Kumala Rani kembali merasakan gelombang tinggi mendera gerbang istana kenikmatan dengan cepat. 
“Ssst ... shhh ... “ desisan terdengar saat gadis itu sudah berada di ambang puncak asmara. 
Dan ... 
“Aahhh ... “ 
Diikuti dengan sentakan-sentakan keras, gadis itu menekankan keras gerbang istana kenikmatannya dalam-dalam! 
... tujuh ... delapan helaan napas berlalu. Kembali gadis itu terkulai untuk kesekian kalinya. Kali ini dahaga ragawinya benar-benar terpuaskan. Setelah beristirhat sejenak, Jalu Samudra dan Kumala Rani membersihkan badan masing-masing, tentu saja diselingi dengan remasan dan pagutan-pagutan kecil. 
Bab 11 
Sebentar kemudian, mereka berdua telah berjalan berendeng menuju ke desa. 
Tanpa ketinggalan tongkat hitam Jalu kembali memerankan diri sebagai penunjuk jalan bagi si buta. Lucu juga, sudah bisa melihat dengan sempurna masih menggunakan tongkat penunjuk jalan. dalam hal ini si Jalu mempunyai pendapat sendiri. Waktu di danau, ia pernah sekali bercermin pada air. Terlihat dengan jelas bahwa matanya meski bisa melihat dengan sempurna, tapi tetap berwarna putih seperti orang buta, jadi tidak ada salahnya ia menggunakan tongkat itu. 
Yang kedua, tongkat hitam itu adalah warisan satu-satunya dari nenek baik hati yang mengasuhnya sejak bayi. dan yang terakhir, tongkat itu bisa digunakan sebagai senjata, dimana antara ujung ke ujung dikaitkan seutas benang tipis dari kulit ular yang banyak ditemuinya di gua bawah tanah. Jika ditarik dan direntangkan dari tengah, akan membentuk sebuah busur yang kuat. 
Busur tongkat hitam digunakan untuk melengkapi '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang telah dikuasainya dengan sempurna, meski dengan kemampuannya sekarang, tanpa busur pun ia bisa menggunakan Ilmu 'Tenaga Sakti Kilat Matahari' untuk membentuk hawa panah dahsyat. 
Saat malam sudah merembang dan dewi malam sudah bertahta di atas langit, dua muda-mudi berjalan bergandengan tangan sambil bersenda gurau menuju ke sebuah pondok kecil namun terawat rapi. Di kiri kanan tumbuh dengan subur tanaman pisang dan pepaya yang saat itu sedang ranum-ranum. 
Tentu saja kedatangan dua orang yang adalah Kumala Rani dan Jalu Samudra diketahui oleh dua laki-laki parobaya yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok klobot. Yang satu selalu terlihat bergerak lamban sambil membolak-balik sesuatu di tangan, sedang satunya terlihat terkantuk-kantuk menikmati sedapnya klobot yang kini tinggal beberapa hisapan lagi. Siapa lagi jika bukan Suro Keong dan Suro Bledek yang saat itu sedang keheranan melihat kedatangan gadis cantik anak asuh mereka. Kalau pulang sedikit malam sudah bukan hal baru lagi bagi dua orang itu, tapi kini justru terlihat sesuatu yang ganjil. 
Kumala Rani pulang dengan menggandeng mesra seorang pemuda! 
Tapi itu masih belum seberapa. Yang luar biasa adalah sinar mata gadis itu yang sekarang begitu hidup, begitu riang, begitu cemerlang laksana bintang dan teramat sangat bahagia, hal yang sudah dua tahun tidak dijumpai oleh pasangan Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur. 
“Paman Suro! Paman Bledek!” teriaknya nyaring. “Lihat siapa yang datang bersamaku!?” 
“Gadis bandel! Kenapa baru malam kau pulang? Kelayapan kemana saja kau?” bentak Si Mulut Guntur. 
Kalau perkara bentak membentak, dia nih jagonya! 
Rani yang biasanya mengkeret saat dibentak Suro Bledek, kini justru tertawa terkikik-kikik sambil tangan kiri menuding-nuding hidung sang paman. 
“hi-hi-hik! Baru kali ini aku tahu ... jika Paman Bledek marah seperti itu, wajahnya benar-benar lucu, hi-hi-hik!” 
“Dasar gadis sinting!” umpat Suro Bledek, tapi kali ini tidak begitu keras seperti sebelumnya, “Dengan siapa kau datang?” 
“Pacar barumu ya?” tanya selidik Suro Keong. 
“Masa' paman berdua sudah lupa? Coba perhatikan baik-baik!” kata Kumala Rani sambil meletakkan bakul cucian di dipan bambu panjang. “Coba tebak deh!” 
Suro Keong dan Suro Bledek bangkit dari duduknya, lalu berjalan mengitari pemuda tampan yang berdiri di depan mereka. 
Persis dua orang sedang menaksir harga ayam aduan! 
Tentu saja si Jalu merasa risih dipelototi dua orang laki-laki seperti mereka. 
“Brengsek! Dikiranya aku ayam aduan apa?” makinya dalam hati. 
Kalau ngomong keras, ntar dikira ngga sopan dan pasti dapat bonus tempelengan! 
“Hemm ... siapa ya?” gumam Suro Keong sambil mengusap-usap dagunya yang klimis. 
“Seperti aku pernah melihatmu, bocah ganteng,” tutur Suro Bledek, “Aku tahu! ... kau pasti ... “ 
Tiga orang yang mendengarnya menahan napas saat suara Suro Bledek menggantung. 
“Pasti siapa?” tanya Suro Keong tidak tahan. 
“Pasti ... pacar barunya gadis bengal itu!” sahut Suro Bledek kemudian. 
Plakk! 
Suro Bledek langsung celeng di tempeleng Suro Keong. 
“Setan alas! Kenapa kau memukul kepalaku?” bentak Suro Bledek sambil mengelus-elus kepalanya. 
Pening juga dia! 
“Goblok benar kau ini! Tanpa kau kasih tahu pun aku juga tahu!” timpal Suro Keong, “Lihat saja wajah keponakanmu itu! Cerah ceria! Mendung saja tidak ada! Itu artinya pemuda buta ini memang pacarnya. Eh ... tunggu ... tunggu dulu!” seru Suro Keong sambil mengamat-amati wajah dan sepasang mata putih pemuda bertongkat hitam itu. “Aaaahh .... aku tahu ... aku tahu ... “ 
“Apa yang kau ketahui?” 
“Kau masih ingat dengan bocah buta yang sepuluh tahun lalu kita temui di ladang?” 
“Ingat! Ingat! Lalu kenapa?” tanya Suro Bledek dengan muka ketolol-tololan. 
“Siapa?” 
“Huuh,” dengusnya pelan, “Siapa lagi jika bukan Jalu? Bocah yang dulu ditangisi keras-keras sama gadis bandel itu.” 
“Siapa yang menangis?” kata Kumala Rani yang sedari awal hanya diam, saling beradu pandang dengan si pemuda bermata putih. 
“Lho ... jadi air mata yang mengalir itu bukan air mata, tho?” tanya Suro Bledek dengan wajah ketolol-tololan. 
“Paman brengsek!” seru Rani sambil mengayunkan tangan untuk mencubit. 
“Ha-ha-ha!” 
Suro Keong dan Jalu Samudra tertawa keras melihat gaya bercanda Suro Bledek yang kocak, namun kadang menjengkelkan. 
Kini ... pondok kecil itu terlihat ramai. 
Tentu saja yang bikin ramai Jalu Samudra yang ketularan penyakit sintingnya Suro Bledek. Gelak tawa bercampur dengan jeritan khas terdengar santer. Hingga saat santap malam tiba, masih saja mereka berempat bersenda gurau seperti keluarga besar. 
“Rani ... ada yang ingin Paman katakan padamu.” kata Suro Keong. 
“Silahkan paman,” kata Rani sambil melirik sekilas pada Jalu. 
Suro Keong menyodorkan secarik kertas pada gadis itu. 
“Bacalah!” 
Kumala Rani menerima kertas, dan langsung membacanya dengan seksama. Sebentar kemudian, seluruh mukanya merah padam dengan napas berat tersengal-sengal. 
“Gagak Cemani keparat! Tidak ada habis-habisnya kalian mengganggu ketenteraman keluargaku!” 
Rupanya surat itu berisi permintaan bantuan dari Nila Sawitri kepada Suro Keong dan Suro Bledek, dimana disebutkan dalam surat bahwa Perkumpulan Gagak Cemani dalam tiga hari mendatang akan membumihanguskan seluruh Partai Naga Langit jika tidak mau memberitahukan tentang adanya Mata Malaikat. Sebab orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani, terutama sekali ketuanya, si Gagak Setan Tangan Seribu sangat berkeyakinan bahwa dua orang terakhir murid Perguruan Gunung Putri mengetahui dengan jelas letak keberadaan Mata Malaikat. 
Bahkan dari kabar terakhir yang terdengar, Perserikatan Mata Emas telah hancur lebur di tangan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani. 
“Kita harus membantu Kangmbok Nila dan Kakang Rangga, Paman!” kata Kumala Rani dengan berapi-api. “Bagaimana menurutmu, Kakang Jalu?” 
“Betul katamu, Rani! Orang-orang Gagak Cemani kelihatannya harus diberantas dari muka bumi. Hanya karena kabar burung yang tidak jelas sudah 
menyusahkan orang banyak,” timpal Jalu, lalu tersenyum kecil saat mendengar sebutan ‘Kakang’ untuknya. 
Duuuh ... manisnya! 
“Kalau begitu ... kita berangkat saja bersama-sama membantu Partai Naga Langit.” kata Kumala Rani seraya bangkit dari duduknya. 
“Tidak!” 
“Kenapa, Paman!?” 
“Malam ini biar kami duluan yang berangkat. Besok pagi kalian pergi menyusul ke sana.” 
“Kenapa kita tidak berangkat bersama-sama saja?” usul Jalu Samudra. “Bukankah itu lebih ... “ 
“Justru itulah sebabnya kami ingin mendahului kalian.” potong Suro Keong, lalu lanjutnya, “Aku dan Bledek akan mengintai seberapa besar kekuatan lawan. Sebab menurut pendapatku, tidak mungkin orang-orang Gagak Cemani hantam kromo begitu saja terhadap Partai Naga Langit.” tutur Suro Keong kemudian, lalu lanjutnya, “ ... jika berangkat bersama kalian ... aku takut tidak bisa melindungi kalian dengan sebaik-baiknya.” 
“Bukannya kami meremehkan kepandaian kalian, tapi ini jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh.” kata Suro Bledek, “kita bantu Partai Naga Langit dari belakang!” 
“Benar juga apa kata Paman Suro Keong, Rani!” sahut Jalu sambil menyentuh lembut lengan kiri gadis itu dengan maksud menenangkan, “Cara ini bisa digunakan untuk mengurangi jumlah lawan. Kukira hanya itu cara yang terbaik saat ini!” 
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, akhirnya Kumala Rani menyerah juga, “Baiklah! Jika itu memang cara yang terbaik. Kapan Paman berangkat?” 
“Sekarang juga!” kata Suro Keong bangkit berdiri diikuti dengan Suro Bledek, lalu melangkah keluar. 
“Kutunggu kalian di Gunung Naga,” kata Suro Keong, lalu berkelebat cepat menembus kegelapan malam. 
wuuss!! 
Suro Bledek juga melakukan hal yang sama, tapi ia kembali lagi menghampiri dua muda-mudi yang berdiri berjajar itu. 
“Apa apa lagi, Paman?” tanya Kumala Rani, heran. 
“Kalian berdua kutinggal disini. Ingat jangan macam-macam, ya?” kata Suro Bledek sambil menjungkit-jungkitkan alis, lalu berkelebat cepat menyusul Suro Keong. 
“Jangan khawatir, Paman! Kami tidak akan macam-macam kok,” seru Rani. 
“Tenang saja, Paman! Kami tidak akan macam-macam, cuma ... satu macam saja kok,” ucap Jalu dengan diikuti cengiran konyol, setelah mengetahui dengan pasti bahwa dua orang itu benar-benar telah pergi jauh. 
“Kau berani?” kata Rani sambil berkacak pinggang. 
“Siapa bilang aku tidak berani?” kata Jalu sambil memegang dagu si gadis. 
Kumala Rani hanya mendengus lirih saat bibir pemuda tampan yang membuat jantung berdebar-debar keras melumat bibirnya. 
“Aku ingin tanya satu hal padamu?” tanya Jalu sambil melepas pagutan mautnya. 
Rani hanya mendesah saja, “Apa yang kau tanyakan, Kang?” 
“Sejak kapan kau memanggilku Kakang?” 
“Aaaah ... brengsek!” seru Rani sambil memukul-mukul pelan dada Jalu. 
Apalagi jika bukan pukulan mesra? 
“Memangnya kau tidak suka?” 
“Tentu saja suka dan ingin sekali.” sahut Jalu sambil menangkap dua tangan mulus yang kini menempel di dada bidangnya. “Apakah kau mencintaiku?” tanya Jalu tiba-tiba. 
Pertanyaan yang mendadak itu langsung membuat selebar pipi Rani merah merona. Gadis itu hanya mengangguk pelan. 
“Sejak kapan?” tanya Jalu sambil memandang lekat mata bening didepannya. 
Dengan muka semakin menunduk karena malu, ia berkata, “Sejak kita bertemu. Dan yang pasti sejak Kakang menyelamatkan diriku dari sergapan ular di danau. Mulai saat itu aku sudah berjanji dalam hatiku bahwa aku akan mengabdikan diriku seluruh jiwa raga.” 
“Lalu ... kenapa kau berhubungan dengan Raganata?” tanya Jalu Samudra. 
Suaranya tetap lembut dan tidak ada nada cemburu disana. 
Kumala Rani memberanikan diri memandang wajah tampan pemuda yang kini sedang meremas-remas dua tangannya. 
“Waktu itu ... aku menduga bahwa kau dicelakai oleh Sembilan Gagak Sakti dan telah tewas. Aku begitu mendendam pada mereka karena mengakibatkan penolongku tewas dan yang lebih menyedihkan, jasadmu 
lenyap, yang tersisa hanyalah sobekan bajumu saja.” Rani berkata sambil melepaskan ikatan pita biru laut di kepalanya. “Inilah sobekan bajumu itu, Kakang Jalu! Sampai sekarang aku masih menyimpannya.” 
Jalu Samudra begitu terharu melihat ketulusan cinta gadis itu padanya. 
“Tapi Rani ... aku khan buta. Tidak bisa melihat ... “ 
“Sttt!” gadis itu menempelkan jari telunjuk di bibir si pemuda, “Kakang, cintaku tidak mengenal batas! Yang aku cintai adalah hati tulusmu, jiwa budimanmu! Cacat fisikmu tidak menyurutkan langkahku untuk terus mencintaimu. Meski aku pernah menjalin asmara dengan pemuda lain, namun di dasar hatiku yang paling dalam, namamu terukir indah disini.” kata Kumala Rani sambil menyentuh dada kiri. 
Jalu Samudra semakin terharu mendengar ungkapan rasa cinta gadis itu. Dengan serta merta ia memeluk erat tubuh montok Kumala Rani dan di balas pula dengan pelukan hangat dari si gadis. 
Dua muda-mudi yang dulu dipisahkan oleh waktu, kini bisa bersatu kembali meski dalam suasana haru. Disertai ciuman panas membara, bibir dan lidah saling bertaut seperti bertautnya cinta mereka. 
“Kakang, kapan kita berangkat?” tanya Rani diantara desahan menggelora, saat pemuda itu menyusuri leher jenjangnya. 
“Apa kau begitu tergesa-gesa hingga melewatkan mau malam pengantin kita?” 
“Ahhh ... Kakang,” gumam Kumala Rani sambil merangkul mesra sebuah gigitan kecil mampir di telinga. 
Dengan sigap Jalu membopong tubuh montok Kumala Rani yang segera memeluk erat pundak dan leher Jalu, bahkan disertai desahan manja, entah apa yang diperbuat Jalu pada Rani, sehingga dia bisa berdesah seperti itu. 
“Kakang ... “ 
“Hmmh ... “ 
“Malam ini aku hanya ingin tidur dalam pelukanmu.” 
“Tidak mau 'yang lain'?” 
“Hi-hi-hik ... Kakang genit ... “ 
“Baiklah ... Kakang juga lelah gara-gara mandi di danau tadi sore,” kata Jalu sambil merebahkan tubuh Kumala Rani diatas kasur empuk, lalu ia menyusul merebahkan diri di samping si gadis yang segera memeluk erat sambil memejamkan mata. 
Kali ini ... mereka benar-benar tidur! 
-o0o- 
Bab 12 
“Kali ini kita harus bisa mengorek keterangan tentang adanya ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ pada bekas murid Perguruan Gunung Putri yang tersisa,” kata salah seorang yang sebelah kanan, sebab dialah pimpinan rombongan kecil yang terdiri dari tiga puluhan laki-laki. 
Tujuh delapan diantaranya masih berusia muda, sekitar sembilan belas tahunan, akan tetapi sorot mata mereka terlihat kejam dan bengis. Sedang yang lainnya berusia rata-rata dua puluh tujuh tahunan. Di bagian pinggang terlilit sabuk kuning dengan garis merah 
melintang satu, sedang sang pimpinan mengenakan sabuk kuning dengan garis merah melintang tiga. Seluruh tubuh mereka terbalut pakaian abu-abu dengan sulaman burung gagak raksasa merentangkan sayap di bagian punggung. 
Diantara mereka semua, dialah yang ilmunya paling tinggi. 
Dan uniknya, semua orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani selalu memberikan nama 'gagak' di depan nama mereka. 
“Kakang Gagak Ludira, apa rombongan yang lain sudah sampai di tempat yang direncanakan ketua?” tanya salah seorang yang bernama Gagak Angkeran. 
“Aku sudah mengirim sandi 'Api Gagak Suci' untuk memberitahukan posisi kita berada saat ini,” ujar Gagak Ludira menanggapi pertanyaan Gagak Angkeran. “kau tidak perlu khawatir, Adi Gagak Angkeran.” 
“Kali ini Ketua membagi kita dalam enam kelompok kecil ... hampir seluruh murid tingkat dua dan enam orang murid tingkat satu dikerahkan semua. Andaikata murid utama ketua, yaitu Sembilan Gagak Sakti tidak tewas sepuluh tahun yang lalu, mungkin kita masih melanjutkan pelajaran silat kita.” 
“Memang tewasnya Sembilan Gagak Sakti membuat kita semua kelimpungan, sebab secara tidak langsung mereka bersembilan adalah tulang punggung Perkumpulan Gagak Cemani. Kehilangan satu saja sudah merupakan tamparan berat bagi kita, tapi kita justru kehilangan mereka bersembilan sekaligus. Entah siapa yang bisa membantai mereka bersembilan yang kita tahu ilmunya hanya dua tingkat saja di bawah Ketua kita,” papar Gagak Ludira. 
Pandang matanya menyapu seluruh teman-temannya, dan kemudian ia menemukan sebuah wajah muram. 
“Apa ada, Angkeran? Kulihat kau sedang ada masalah serius?” 
“Kakang, kali ini firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat ini,” gumam Gagak Angkeran. 
“Apakah firasat buruk?” tanya yang paling muda, ia bernama Gagak Berpedang Sakti. 
“Entahlah. Aku sendiri tidak tahu.” gumaman kali ini agak sedikit keras. 
“Kakang Gagak Ludira, apa menurutmu Partai Naga Langit adalah memang tempat munculnya ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ yang sesungguhnya? Jangan-jangan cuma kabar angin saja.” 
“Jaga mulutmu, Gagak Rambata!” bentak Gagak Ludira pada Gagak Rambata, “ ... yang menyatakan tempat kemunculannya Mata Malaikat di Partai Naga Langit adalah guru Ketua sendiri, Ki Gagak Surengpati. Apa kau meragukan kemampuan ilmu nujum beliau?” 
“Tidak Kakang, sama sekali tidak! Hanya saja aku merasa heran, sudah sepuluh tahun lamanya kita memburu ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’ tapi hasilnya tidak ada. Bahkan beberapa perguruan silat telah kita hancurkan dan yang terakhir kali ... Perserikatan Mata Emas, yang dikatakan sebagai tempat keberadaan ‘Ilmu Sakti Mata Malaikat’, tapi tidak ada hasilnya sama sekali,” sahut Gagak Rambata membela diri. “Jelas tidak mungkin ilmu bisa berpindah-pindah seenaknya seperti itu?” 
Gagak Ludira hanya mendengus saja, meski dalam hatinya ia pun mulai goyah dalam keyakinan. 
“Benar juga apa kata Gagak Rambata! Semua perguruan yang dihancurkan adalah tempatnya orang-orang aliran putih yang sebagian besar memusuhi perkumpulan kami. Jangan-jangan ini merupakan siasat adu domba yang dilakukan oleh guru Ketua. Tapi tidak mungkin guru Ketua setega itu pada murid kesayangannya?” pikirnya. 
Sementara itu, di balik rimbunnya pohon-pohon raksasa yang ada di sekitar tempat itu, dua sosok manusia duduk mengintai di atas ketinggian. Helaan napas mereka sudah menyatu dengan alam, sehingga orang sehebat Gagak Ludira tidak akan bisa mengetahui keberadaan mereka. Rupanya, dua saudara seperguruan Suro Keong dan Suro Bledek sudah sampai terlebih dahulu di tempat itu. 
“Hemm, mereka ada bertiga puluh, apa perlu kita sikat sekarang?” bisik Suro Bledek, namun meski berbisik tetap saja suaranya keras. 
“Bledek, rendahkan sedikit suaramu,” bisik pula Suro Keong, “ ... mereka bukan orang-orang berilmu rendah.” 
“Aku tahu!” bisiknya dengan nada lebih rendah lagi, “Ini sudah jadi ciri khasku. Apa perlu kuserang dengan jurus 'Mulut Guntur'-ku?” 
“Jangan, nanti kita ketahuan.” 
“Lalu bagaimana caranya membunuh mereka tanpa ketahuan siapa diri kita. Ilmu-ilmu kesaktian kita sudah banyak dikenali orang-orang persilatan ... “ 
“Kita berdua masih punya ilmu sakti yang belum pernah kita gunakan sama sekali.” 
“Ilmu apa?” bisik Suro Bledek setelah berpikir keras. 
“Kau ingat dengan jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah'? Bukankah tidak ada yang mengetahui ilmu itu selain kita berdua dan dua keponakanmu.” 
“Benar juga! Rata-rata orang persilatan mengenalmu dengan ‘Ilmu Pukulan Tombak Akherat’ dan aku dengan jurus 'Mulut Guntur', tapi tidak ada yang tahu kalau kita punya ilmu sakti yang tingkatannya lebih tinggi dari ilmu yang biasa kita gunakan.” kata Suro Bledek manggut-manggut, “Sekarang tunggu apa lagi?” 
“Biarkan matahari berada tepat di atas kepala!” 
“Kenapa harus menunggu selama itu?” 
“Bego benar kau ini! Kalau kita gunakan sekarang, mereka pasti bisa menduga siapa bayangan yang tiba-tiba menyerang mereka. Kalau matahari tepat di atas kepala, akan sulit menentukan kita ini manusia atau setan?” 
“Ooo ... betul juga kau!” bisik Suro Bledek, “Baiklah! Kita perpanjang sedikit umur mereka hingga tengah hari, toh juga tidak lama lagi.” 
“Itu baru sobat karibku!” bisiknya sambil menyenggol rusuk kiri Suro Bledek. 
Hampir saja orang tua itu terjatuh jika tidak segera berpegangan pada ranting yang ada di samping kanan. 
Sementara itu, matahari yang semula berada di ufuk timur sedikit demi sedikit bergeser ke barat, dan tepat di tengah hari, dua sosok bayangan samar bergerak lincah dari sesekali menjentikkan jari ke arah kerumunan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani. 
“Awas serangan gelap!” seru Gagak Ludira sambil berkelit ke samping. 
Jrub! Jrub! Jrub! 
Tiga lesatan benda bulat sebesar kelereng melesat dalam-dalam di tanah menimbulkan kepulan asap. Akan tetapi serangan bayangan yang sulit sekali ditentukan bentuk dan rupanya kembali melakukan serangan kilat. Kali ini enam orang langsung terkapar menjadi mayat saat dahi mereka tertembus benda-benda kecil pembawa maut. 
Jrub! Jrub! Crook! Crook! 
“Ahh ... “ jerit kematian terdengar bersamaan dengan tumbangnya enam orang sekaligus. 
Gagak Berpedang Sakti dengan bergulingan di tanah segera mencabut pedang yang ada di punggung. 
Srangg! 
Secepat ia mencabut pedang, secepat itu pula ia mengayunkan benda tajam ke bagian tengah bayangan samar yang memunggunginya. 
Bless! 
Aneh, pedang itu berhasil menebas dengan tepat tapi seperti memotong bayangan, bahkan terdengar jerit kesakitan saja tidak! 
“Eh?” Gagak Berpedang Sakti terperanjat, “Ini ... bukan manusia?” 
Keterperanjatan Gagak Berpedang Sakti harus ditebus dengan mahal. Dua butir benda sebesar kelereng langsung menembus dada kiri dan mata kanan dengan telak. 
Jrub! Crook! 
“Ughh ... “ terdengar lenguhan pendek sebelum akhirnya ia terkulai melepas nyawa. 
Benar-benar cepat nyawa pemuda itu pergi! 
Kali ini firasat buruk yang dirasakan Gagak Angkeran benar-benar menjadi kenyataan. Bahkan pemuda itu sebisa mungkin berkelit kesana kemari dengan jurus peringan tubuh sambil membagi-bagikan serangan bertenaga dalam tinggi, harus rela melepaskan nyawa satu-satunya yang ia miliki. Lehernya tertembus benda bulat yang sebelumnya telah merenggut nyawa Gagak Berpedang Sakti. 
Jrubb! 
“Ukkh ... khekk ... “ 
Hanya terdengar suara mengorok nyaring, kemudian ia ambruk dengan tubuh berkelojotan dan akhirnya ... mati juga! 
“Biadab! Ilmu apa ini?” keluh Gagak Ludira sipat kuping menghindari serangan-serangan gencar dari dua bayangan yang berkelebat cepat bagai malaikat maut pencabut nyawa. 
“Serangan pukulan-pukulan sakti tidak berguna sama sekali. Dua bayangan ini benar-benar seperti bayangan yang sesungguhnya, bisa menembus benda apa saja.” gumamnya sambil bersalto ke atas menghindari lontaran benda bulat yang mengarah ke dada. 
Wutt! 
Serangan bayangan melesat lewat di bawah kakinya, tapi dua orang yang di belakanglah yang menjadi korban. 
Jrubb! Jrubb! 
Kembali dua nyawa melayang ke neraka. 
Dua bayangan samar yang melihat hasil karya mereka, semakin mempergencar pola serangan yang semakin hebat. 
Wutt! Wutt! Jrubb! Jrubb! 
Kali ini orang-orang Gagak Cemani harus ketemu batunya. Dua orang tokoh kelas tinggi rimba persilatan yang cukup terkenal adalah lawan yang tidak sepadan dengan mereka, apalagi mereka menggunakan jurus-jurus aneh dan langka, yaitu jurus 'Memindah Bayangan' dan jurus 'Kelereng Arwah' yang saat ini hanya dikuasai dengan sempurna oleh Pendekar Tombak Putih dan Si Mulut Guntur. 
Sepeminuman teh kemudian, dua puluh sembilan mayat terbujur kaku malang melintang di sana-sini, sedang yang seorang yaitu Gagak Ludira masih dengan lincah menghindari sergapan-sergapan benda bulat sebesar kelereng yang kemana-mana selalu mengejarnya. 
Wutt! Wutt!! 
Gagak Ludira berusaha menghindari serangan yang tiba-tiba saja sudah berada tepat di depan mata dengan mendongak ke belakang, tapi terlambat! 
Jrubb! 
Dahinya sempat terserempet benda pembawa maut. Kepalanya bagai pecah saat rasa panas menyengat merebak di jejak luka berdarah di dahi. 
“Ughh ... pecah kepalaku ... “ gumamnya sambil memegang erat kepala dan dahinya yang kini berlinang darah merah. 
Darah merah itu begitu panas bagai dimasak pada kuali mendidih. 
Sambil terhuyung-huyung, kembali Gagak Ludira berusaha menghindari serangan beruntun. 
Wutt! Wutt! 
Dua tiga serangan berhasil di hindari, tapi hujan serangan yang kian banyak membuatnya tidak bisa bergerak leluasa, apalagi ditambah dengan mata berkunang-kunang karena hawa panas menyengat. 
“Uuhh .. kalian pasti setan gentayangan!” serunya keras saat melihat tiga serangan beruntun mengarah ke tiga jalan darah kematian ditubuhnya. 
Jantung, ulu hati dan ubun-ubun! 
Jrubb! Jrubb! Jrubb! 
Tiga benda maut yang berasal dari jurus 'Kelereng Arwah' sukses menembus jantung, ulu hati dan ubun-ubun hingga ke belakang. 
Dan tentu saja ... orang tingkat satu rombongan kecil itu menyusul rekan-rekannya yang lain. 
Begitu selesai dengan pekerjaannya, dua bayangan itu mendadak menghilang begitu saja. 
Lenyap bagai dtelan bumi! 
Di atas pohon ... 
“Kali ini kita berhasil mengurangi jumlah lawan. Entah berapa banyak orang-orang Gagak Cemani yang akan menyerang Partai Naga Langit,” kata Suro Keong. 
“Dari apa yang berhasil aku sadap tadi, mereka mengerahkan hampir seluruh kekuatan yang ada.” 
“Benar-benar gawat keadaan sekarang ini. Kita harus bergerak cepat dalam mengurangi jumlah lawan.” 
“Benar katamu. Ayo kita cari yang lain!” kata Suro Bledek sambil berkelebat cepat, diikuti Suro Keong yang berada dibelakangnya. 
Blass! Blass! 
Sebentar kemudian, terlihat dua titik hitam di kejauhan! 
-o0o- 
Bab 13 
“Berapa jumlah mereka?” tanya seorang pemuda berbaju biru laut pada dara cantik di sebelahnya. 
“Sekitar tiga puluhan orang, mungkin lebih,” jawab si gadis tanpa mengalihkan pandangan. 
“Banyak juga! Jika langsung diserang mendadak, mungkin sembilan sepuluh orang bisa kita bereskan, justru sisanya itulah yang paling merepotkan,” bisik si pemuda lirih. 
“Kenapa dulu aku tidak belajar melempar pisau terbang atau senjata rahasia,” sahut lirih si gadis. “Kakang Jalu, kau pernah belajar menggunakan senjata rahasia?” 
“Belum pernah, Rani!” kata Jalu dengan singkat. 
Mata putih menatap nanar pada sekumpulan orang yang sedang menyantap daging ayam bakar. 
Saat ini mereka berdua sedang bertengger di atas sebuah dahan yang cukup besar dengan duduk bersebelahan. Pohon tempat persembunyian mereka berada dalam jarak aman sehingga lawan tidak bisa mendeteksi keberadaan dua insan itu. 
“Bagaimana kalau kita serang sekarang juga?” kata Rani sambil mengarahkan dua jari tangan lurus kencang. 
“Jangan gegabah! Dengan jurus pukulanmu mereka akan mengenali siapa kau adanya,” cegah Jalu sambil menyentuh lembut lengan gadis itu. 
“Lalu kita harus bagaimana?” tanya Kumala Rani sambil menurunkan tangan. 
Pemuda itu tidak menjawab. Tangan kiri meraih tongkat kayu hitam, tangan kanan menarik pelan seutas tali hitam, lalu sedikit direntangkan mundur. 
Sebuah busur kini terentang! 
“Apa yang Kakang lakukan?” 
“Membuat hujan turun dari langit.” kata si Jalu sambil mengarahkan busur ke atas. 
Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat empat dikerahkan dengan cara menghimpun tenaga kilat dan melontarkan hawa matahari yang ada di pusar. 
Swoshh ... !!! 
Sebentuk tenaga berupa kilatan cahaya kuning kebiru-biruan merambat keluar melewati tangan kanan dan kiri, lalu membentuk empat buah benda bulat kecil memanjang sepanjang setengah tombak. Rupanya dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’, Jalu Samudra bisa membuat anak panah sejumlah empat sekaligus, dimana mata anak panah berbentuk kepala burung rajawali dengan tangkai yang memancarkan cahaya bening kuning kebiru-biruan. 
“Ilmu apa lagi yang mau digunakan Kakang Jalu?” pikir Kumala Rani takjub, “Hebat juga dia bisa membuat anak panah dari pancaran hawa tenaga dalamnya. Entah darimana ia mempelajari ilmu unik ini.” 
Kali ini Jalu Samudra mengerahkan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang merupakan salah satu bagian dari '18 Jurus Panah Hawa' dari Aliran Rajawali Terbang yang diwarisinya dari Dewa Pengemis. Begitu empat anak panah telah terbentuk sempurna, dengan sedikit tarikan yang semakin mengencangkan busur, Jalu melepaskan tali yang direntang. 
Sasarannya adalah ... matahari! 
Srett! Twanggg! 
Empat anak panah terlepas dari busur. Bagaikan burung rajawali langsung melesat cepat ke angkasa menuju matahari. 
“Apa yang Kakang panah? Bukankah mereka ada di bawah sana?' kata Kumala Rani sedikit kesal setelah mengetahui serangan panah tidak ditujukan pada orang-orang Gagak Cemani yang ada dibawah sana. 
Jalu Samudra hanya tersenyum ringan. 
“Edan! Ditanya baik-baik malah senyam-senyum mirip orang sinting.” pikir Rani, “ ... tapi kalau dilihat-lihat, senyumannya manis juga.” 
Sementara itu, rombongan kecil itu tidak menyadari bahaya yang mengancam. 
“Apa itu?” tanya salah satu diantara mereka yang makan sambil tiduran hingga bisa menatap langit biru sehingga bisa melihat sekawanan benda kecil berwarna hitam bergerombol di atas sana 
Salah seorang berkomentar, “Cuma sekawanan burung yang mau kawin. Apa anehnya?” 
Beberapa orang tertawa pelan mendengarnya. 
Tess! 
Setitik air bening menetes dan mengenai lengan kanan orang baru saja berkomentar. 
“Lho, ini khan air hujan? Masak siang benderang ada air hujan?” katanya sambil mendongak. “ ... tapi ... kenapa rasanya panas menyengat ya?” katanya lagi sambil mengusap-usap lengan yang terkenan tetesan air hujan. Semakin diusap justru semakin membengkak besar. 
Belum lagi hilang keterkejutan mereka, datanglah bencana yang sangat mengejutkan. 
Kali ini justru nyawa mereka yang terkejut bukan alang kepalang! 
Bagai dicurahkan dari langit, titik-titik air maut berbentuk panah berkepala rajawali langsung menerjang bagai hujan lebat dari langit. 
Bress! Bress! Bessh! 
“Huahhh ... aakhh .... ugh ... “ 
“Panas ... panass ... tolooong ... “ 
Jerit lengking kematian terdengar keras bagai membelah bumi mengguncang langit. Tiga puluh orang itu tubuhnya seketika melepuh bagai tersiram air panas dan kulit terkelupas bagai disayat pisau. Beberapa diantara mereka yang sudah tidak tahan dengan rasa sakit dan panas menyengat bagai terkena sambaran kilat, langsung memukul kepala mereka sendiri. 
Bunuh diri! 
Sisanya dengan bergulingan di tanah, berkelojotan meregang nyawa. Teriakan kepanasan dan minta tolong mengiringi jerit kematian kini telah mereda dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula mereka melepas nyawa. 
Mati dengan kondisi mengenaskan! 
Tapi kematian mereka masih berlanjut. Saat hujan panah buatan akibat jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ yang dikerahkan Jalu Samudra menggunakan tingkat empat dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ berhenti, tubuh mereka mulai meleleh, mencair dan akhirnya menyatu ke dalam tanah. 
Dari tanah kembali tanah! 
“Bukan main! Jurus yang baru saja kau peragakan betul-betul jurus maut!” kata Kumala Rani dengan bergidik ngeri saat melihat orang-orang Gagak Cemani tewas terbantai tanpa perlawanan. 
“Hemm ... aku sendiri tidak menyangka kalau jurus yang kugunakan begitu mengerikan akibatnya,” sahut Jalu Samudra menyesali diri. 
“Kau tidak perlu menyesalinya, Kakang Jalu!” hibur Kumala Rani pada pemuda yang semakin membuatnya kagum, “Jika dibandingkan dengan perbuatan mereka, perbuatanmu tadi tidak sebanding dengan mereka.” 
“Meski begitu, mereka juga manusia sama seperti kita.” 
“Kalau saja pikiran mereka sama dengan apa yang Kakang pikirkan, tentu aku akan sangat mengasihani mereka. Tapi pikiran mereka tidak seperti itu, Kakang,” ucap Kumala Rani, sambungnya, “ ... yang mereka pikirkan hanyalah kesenangan diri mereka sendiri, perkara orang lain menderita akibat perbuatan mereka ... itu sudah urusan lain.” 
Sambil menghela napas, Jalu berucap, “Mungkin yang katakan tadi benar, Rani! Tapi aku ... “ 
“Sudahlah, tidak usah Kakang memikirkannya.” kembali Rani menghibur, “Jika mereka tidak dihabisi sekarang, tentu orang-orang Partai Naga Langit dan penduduk di sekitarnya yang akan menjadi korban.” 
Jalu Samudra mengangguk-anggukkan kepala. 
Kumala Rani sedikit berjinjit dan ... 
Cupp! 
Sebuah ciuman hangat mendarat di pipi kiri Jalu. 
Jalu hanya mengusap pelan pipi kiri yang baru saja mendapat ciuman. 
“Kita pergi dari sini, siapa tahu masih ada kelompok yang lain,” kata Jalu sambil menggandeng tangan Rani dan berkelebat turun. 
“Selain kau pandai memanah mati orang, ternyata Kakang juga pandai memanah hati seorang gadis.” kata Kumala Rani dengan mesra, lalu ia bergerak ke punggung Jalu. 
Apalagi jika bukan minta digendong? 
Sebab selama dalam perjalanan menuju Partai Naga Langit, Kumala Rani berada dalam gendongan Jalu. Andai saja hawa tenaga dalam gadis itu sudah mencapai tingkat tinggi, bisa saja ia menyamai kecepatan lari yang dikerahkan Jalu. 
Dan jika tidak dalam kondisi tergesa-gesa, Jalu inginnya berlama-lama dengan dara cantik yang ada dalam gendongannya, dan tentu saja Jalu dengan senang hati menggendong si gadis cantik, sebab dengan begitu punggungnya akan terasa nyaman saat dua gumpalan daging padat di dada Kumala Rani menekan hangat. 
“Ahhh ... yang bener?” 
“Benerr!” kata rani sambil mencuri cium dari samping, “Contohnya ya ... aku ini! Sekali panah ... langsung kena!” 
“Bagaimana jika aku memanah gadis lain?” tanya Jalu sambil berkelebatan diantara lebatnya pepohonan. 
“Ehhmm ... tidak masalah bagiku!” 
“Kau ... tidak cemburu jika aku juga bercinta dengan gadis lain?” 
“Tidak!” 
“Kenapa tidak?” tanya Jalu dengan heran. 
“Karena kau buta! Jadi andai seribu orang gadis cantik dari negeri mana pun berhasil kau panah sekaligus, aku tidak bakalan cemburu padamu.” 
“Hanya itu saja?” tanya Jalu semakin heran, “ ... padahal aku tidak buta lho... “ sambungnya. 
“Aku tahu, tapi apa yang aku katakan tadi adalah benar, asal ... “ 
“Asal apa?” 
“Asal Kakang tidak menggeser hatimu untukku! Dan selama dalam relung hatimu yang paling dalam tetap ada nama Kumala Rani yang tercinta disana.” bisik gadis itu di telinga Jalu, “ ... itu sudah cukup bagiku!” 
“Gadis ini benar-benar berlapang dada. Tidak percuma aku mencintainya sepenuh hati,” pikir Jalu sambil sesekali menjejakkan kaki di pucuk-pucuk daun. 
Wesss! 
“Yang namanya pendekar khan harus punya gelar, Kakang. kurasa Kakang pun juga harus memilikinya 
sebagai tanda pengenal kependekaran,” kata Kumala Rani dari belakang. 
“Apa itu harus!?” 
“Harus itu! Masak jagoan ngga punya gelar, sih?” 
“Terus ... kira-kira gelar apa yang pas bagiku menurutmu, sayang?” tanya Jalu Samudra sambil tangan kiri mencubit ujung hidung Kumala Rani yang ada dalam gendongannya. 
“Emmh ... sebentar kucarikan nama dulu,” gumam Rani sambil berpikir, “Kalau Dewa Panah ... kurang cocok. Jika si Pemanah Sakti ... juga tidak bagus. Pemanah Buta? Ihh ... jelek banget! Ahaa ... aku tahu!” 
“Apa?” 
“Kakang lebih pantas disebut ... Si Pemanah Gadis! Kukira gelar itu lebih cocok untukmu.” cetus Rani, “Bagaimana, bagus tidak?” 
“Hemm ... Si Pemanah Gadis?” gumam si Jalu sambil meluncur ke bawah, menghindari ular yang baru saja mengeluarkan kepala dari atas dahan pohon. “Apa tidak kedengaran seperti lelaki hidung belang, tuh?” 
“Tenang Kakang, aku sudah memikirkannya. Kalau lelaki hidung belang, jelas Kakang tidak masuk hitungan. Sebab yang namanya lelaki hidung belang pasti menggunakan segala tipu daya dalam menghadapi para gadis mau pun istri orang dan pasti tujuan mereka hanyalah tubuh para korbannya. Sedang Kakang tidak! Kakang lebih alami, lebih apa adanya. Tidak ada yang direkayasa atau dibuat-buat. Semua serba asli, dan yang pasti ... “ urai Rani memperjelas maksudnya memberi gelar aneh pada Jalu Samudra, kekasihnya. “ ... hidung Kakang tidak belang, tapi mancung. Hi-hi-hik!” kata Rani 
sambil terkikik geli, mirip benar dengan kuntilanak mau beranak. 
Si Pemanah Gadis, itulah gelar kehormatan yang dipilihkan Kumala Rani untuk kekasihnya tercinta! 
Setelah sekian lama mengitari lereng Gunung Naga, Jalu Samudra dan Kumala Rani menemukan orang-orang Perkumpulan Gagak Cemani dan dengan jurus ‘Hujan Turun Dari Langit’ pula, pemuda berbaju biru berhasil mengurangi jumlah lawan yang akan menyerang Partai Naga Langit. Tidak kurang empat kelompok berhasil dilumpuhkan pasangan muda-mudi itu. 
Yang satu cantik jelita dan satunya tampan rupawan! 
“Kakang ... kita sudah melumpuhkan empat kelompok. Jika ditotal sekitar seratus dua puluhan orang.” kata Kumala Rani, sambil menyantap ayam panggang, “Tentu mereka masih banyak yang berkeliaran di tempat ini. Aku hanya berharap Paman Suro Keong dan Suro Bledek pun melakukan pengurangan jumlah lawan yang cukup berarti. Sebab kekuatan Partai Naga Langit selain terletak pada Kakang Rangga dan Kangmbok Nila, tidak ada yang bisa diandalkan, kecuali Partai Naga Langit dibantu pendekar lain selain kita.” 
“Kupikir juga begitu. Meski baru saja muncul di jagad persilatan, nama Partai Naga Langit cukup diperhitungkan juga, terutama Ketuanya, Si Pedang Naga Perkasa,” sahut Jalu. 
“Jika ada bantuan lain, kemungkinan besar dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit,” kata Kumala Rani. 
“Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit yang terkenal itu?” 
“Perguruan Catur Bawana masih ada hubungan dengan kami berdua, karena kami berdua adalah cucu dari wakil Ketua Perguruan Catur Bawana dari garis ayah, sedang Kuil Langit adalah tempat asal perguruan Kakang Rangga Wuni, bisa dikatakan bahwa dia berguru di tempat itu, meski sekarang tidak resmi.” 
“Secara tidak resmi, maksudmu ... dia mencuri belajar ilmu silat disana?” 
“Tidak, Kakang! Kebetulan Kakang Rangga Wuni pernah membantu Kuil Langit dari serbuan beberapa pentolan aliran hitam yang pada waktu itu sedang dalam silang sengketa Kitab ‘Langit Sakti’ dan akhirnya, Kakang Rangga diangkat sebagai tamu kehormatan Kuil Langit dan dianugerahi jurus ‘Pedang Aliran Naga’ yang kini digunakan sebagai ilmu khas Partai Naga Langit.” 
“Ooo ... begitu rupanya!” 
Mereka makan sambil bercakap-cakap. 
“Rani, apa puncak Gunung Naga masih jauh dari tempat ini?” 
“Tidak seberapa jauh, paling juga tidak sampai tengah malam nanti kita sudah sampai disana. memangnya kenapa?” 
“Aku capek gendong kamu terus ... “ 
“Beneran nih?” 
“Tidak, kok cuma bercanda!” seru Jalu sambil meringis kena cubitan si gadis, lalu ia berkata sambil mengelus-elus lengannya, “Kita harus secepatnya sampai Partai Naga Langit, sebab aku merasakan firasat buruk jika kita datang terlambat.” 
Kumala Rani tercenung sebentar, dalam hati ia berkata, “Daya batin orang buta biasanya lebih peka 
membaca alam dari pada orang normal. Mungkin firasat Kakang Jalu ada benarnya.” 
“Kalau begitu kita berangkat sekarang,” kata Kumala Rani sambil bangkit berdiri. 
“Ayo!” 
Keduanya segera melesat pergi, dan kali ini tujuannya adalah Gunung Naga, tempat berdirinya Partai Naga Langit! 
-o0o- 
Bab 14 
Yang namanya matahari, mau dibenamkan lumpur mana saja tetap akan bersinar dan menghangatkan! 
Begitu pula dengan Partai Naga Langit yang bermarkas di puncak Gunung Naga. 
Saat mendengar bahwa Partai Naga Langit yang diKetuai Pedang Naga Perkasa mendapatkan musibah lewat burung merpati, beberapa orang tokoh dari Perguruan Catur Bawana dan Kuil Langit telah berdatangan memberikan bantuan. Tujuh murid tingkat pertama dari Perguruan Catur Bawana yang dijuluki Tujuh Dewa Catur di kalangan persilatan dimana mereka bertujuh terkenal dengan jurus unik 'Tujuh Bintang Catur' telah hadir. Mereka terdiri dari Catur Satu, Catur Dua, Catur Tiga, Catur Empat, Catur Lima, Catur Enam dan Catur Tujuh sebagai pimpinannya. 
Sedang dari Kuil Langit hanya mengirim dua utusan, satu Maharsi (pendeta) dan satu orang parobaya berkulit hitam legam (dalam bahasa jawa disebut keling) bertangan buntung sebatas pundak. Meski cuma dua 
orang, tapi mereka berdua bukan orang sembarangan. Siapa yang tidak kenal dengan Si Telapak Langit atau Maharsi Manikmaya dan Ki Jliteng, Si Dewa Kaki Kilat yang tersohor lewat Ilmu ‘Tendangan Api Membara’. Konon kabarnya Maharsi ini mendalami Ilmu 'Telapak Sakti Dewa' yang merupakan ilmu ke tujuh dari delapan ilmu-ilmu sakti yang ada di Kitab ‘Langit Sakti’, sedang Ilmu ‘Tendangan Api Membara’ merupakan ilmu ke lima dari kitab sakti tersebut. Justru karena cacat raga yang dimilikinya menjadikan ilmu ini semakin menunjukkan kehebatannya. 
Jurus ‘Pedang Aliran Naga’ juga merupakan ilmu pilih tanding, tapi masih kalah jauh dengan ilmu Ilmu 'Telapak Sakti Dewa' dan Ilmu ‘Tendangan Api Membara’, karena jurus pedang ini merupakan ilmu pertama dari Kitab ‘Langit Sakti’. Meski hanya tahap pertama, sudah bisa membuat Rangga Wuni sebagai tokoh silat yang diperhitungkan oleh lawan mau pun kawan. 
Sementara itu, Suro Keong, Si Pendekar Tombak Putih dan Suro Bledek, Si Mulut Guntur juga telah berada di tempat itu. Mereka berdiri bersebelahan dengan Nila Sawitri dan Rangga Wuni, sedang Tujuh Dewa Catur dan dua utusan dari Kuil Langit berdiri di kiri dan kanan mereka. Akan halnya Jalu Samudra dan Kumala Rani tidak terlihat diantara mereka yang ada disitu, entah apa yang sedang dilakukan pasangan kekasih itu. 
Beberapa orang yang merupakan murid-murid angkatan pertama Partai Naga Langit juga berada di tempat itu. Pada mulanya Si Pedang Naga Perkasa sudah memerintahkan murid-muridnya yang rata-rata anak petani yang ada di sekitar lereng Gunung Naga agar menyingkir terlebih dahulu dari kancah pertikaian, namun hanya sebagian kecil saja yang menuruti perintah sang guru, itu pun hanya murid-murid perempuan yang 
baru beberapa bulan belajar silat di tempat itu. Sedang sisanya murid-murid bandel yang ingin membela kehormatan partai mereka. 
Rangga Wuni sebagai guru muda begitu terharu melihat pengorbanan murid-muridnya, dan ia bertekad sebisa mungkin menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu, terutama di pihaknya. Meski ia menyadari bahwa dalam setiap pertempuran, membunuh atau dibunuh sudah biasa terjadi. 
Sementara itu, di hadapan orang-orang Partai Naga Langit berdiri puluhan orang dengan senjata telanjang terhunus. Sorot mata mereka terlihat kejam dan bengis. Rata-rata di bagian pinggang terlilit sabuk kuning dengan garis merah melintang satu, sedang tiga mengenakan sabuk kuning dengan garis merah melintang tiga, dimana seluruh tubuh mereka terbalut pakaian abu-abu dengan sulaman burung gagak raksasa merentangkan sayap di bagian punggung. 
Yang paling depan berdiri seorang kakek renta dengan dayung baja di tangan kiri. Meski tubuhnya ringkih seperti pohon mau tumbang, tapi jangan diremehkan kesaktiannya. Dialah yang digelari Si Kakek Nelayan Dari Laut Utara. Jurus silat menggunakan dayung baja sama ringannya bagaikan membawa segumpal kapas. 
Di sebelah kiri Si Kakek Nelayan Dari Laut Utara berdiri seorang perempuan cantik tinggi langsing dengan dandanan menor serba merah. Potongan baju bagian depan dibuat serendah mungkin sehingga terlihat jelas sumbulan gumpalan daging kenyal yang menggoda. Sebentuk bibir di poles tebal dengan pemerah bibir, lengkap dengan bedak tebal di wajah. Belum lagi dengan tingkahnya yang genit, saat mana mata besarnya selalu 
lirik sana lirik sini seperti mata maling yang mau mencuri jemuran. 
Saat melihat beberapa pemuda tampan dan masih muda di pihak Partai Naga Langit, membuat mata itu berbinar-binar kegirangan sehingga tanpa sadar berulang kali ia membasahi bibir. Jelas terlihat bahwa sebenarnya wanita cantik yang memang aslinya sudah berusia lanjut sekitar tujuh puluhan tahun sangat menggemari perjaka-perjaka muda dan tampan, apalagi jika tidak untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Dialah yang disebut sebagai Dewi Cabul Teratai Merah. Selain memiliki ilmu awet muda yang bernama Ilmu 'Serap Sukma' yang selain bisa membuat awet muda pada kaum hawa, namun jika diarahkan pada pemuda perjaka, mereka merubah diri menjadi kuda binal yang sulit dikendalikan nafsunya. 
Konon kabarnya, ilmu ini juga bisa menyerap kemurnian seorang gadis hingga korban menjadi kering kerontang dan raganya berubah seperti seorang nenek-nenek menjelang ajal, dan kabarnya pula, tidak ada satu obat pun yang bisa menghentikan menjalarnya Ilmu 'Serap Sukma' kecuali ada orang yang memiliki tenaga dalam langka dan unik. Bahkan siapa saja yang menyentuh korban Ilmu 'Serap Sukma' akan ikut tertular dan bernasib sama dengan korban yang ditolongnya. 
Di sebelah kanannya berdiri pula seorang kakek yang masih terlihat ketampanannya di masa muda. Dari muda hingga jadi tua bangka seperti ini, tetap saja kegemarannya melahap daun muda tidak pernah berhenti, semakin tua semakin menjadi-jadi. Tak peduli ia anak gadis orang atau istri orang, jika sudah nafsu birahi menguasai diri, membunuh orang yang menghalangi keinginannya seperti membalik telapak tangan. Dialah Ki Gagak Surengpati, yang juga sekaligus sebagai guru dari 
Gagak Setan Tangan Seribu, Ketua Perkumpulan Gagak Cemani. Konon kabarnya, ia memiliki sejenis ilmu yang bisa menembus alam gaib, tapi entah benar entah tidak belum ada yang bisa membuktikannya. 
Yang jelas ... dialah merupakan pasangan gelap dari Dewi Cabul Teratai Merah! 
Sedang yang disebut sebagai Gagak Setan Tangan Seribu rupanya masih berusia muda, berusia sekitar tiga puluh lima tahunan, tubuh tinggi besar. Seluruh otot di tubuhnya bertonjolan keluar, dilengkapi dengan wajah yang lumayan (lumayan jelek, maksudnya) karena wajah itu penuh dengan jejak luka yang tidak karuan. Ada yang melintang lurus dari dari kiri ke dagu kanan, ada yang meliuk tajam dari pipi kanan ke memutari leher, bahkan ada guratan kasar membentuk gergaji melingkari kepala botaknya. 
Mata kirinya tertutup bulatan hitam diikat dengan rantai emas, mirip sekali dengan bajak laut! 
Memang sebenarnya Gagak Setan Tangan Seribu mulanya adalah seorang bajak laut yang kejam dan ganas. Hanya kalah ilmu kesaktian saat adu tanding dengan Ki Gagak Surengpati, sehingga mengangkat laki-laki itu sebagai guru, lalu menggantikan gurunya memimpin Perkumpulan Gagak Cemani. Sejak ia pimpin, Perkumpulan Gagak Cemani menjadi maju pesat. Maju dalam arti sempit yaitu maju kejahatannya, maju kebengisannya, maju kebuasannya dan maju pula keserakahannya. 
Jika nama aslinya adalah Darupaksa, maka sejak memimpin perkumpulan ini, berubah menjadi Gagak Darupaksa. 
Ilmu Silat ‘Tangan Seribu’ menjadi lebih maju saat ia digembleng dengan hawa tenaga sakti oleh Ki Gagak Surengpati. Jika awalnya Gagak Darupaksa memiliki hanya tenaga luar yang besar, ditambah dengan hawa tenaga sakti justru semakin memperkokoh jurus silat andalannya. Tapi yang namanya bajak laut, tetap saja tidak luput dari keculasan dan kelicikan. Ia tidak mau mengajarkan ilmu andalannya itu pada orang-orang Gagak Cemani karena takut tersaingi. 
Praktis hanya ia sendiri yang memiliki Ilmu Silat ‘Tangan Seribu’! 
Jika di pihak Partai Naga Langit ada Tujuh Dewa Catur, di pihak penyerbu juga Tujuh Gembong Bandit dari Sarang Elang Langit. Mereka bertujuh sudah lama menjalin silang sengketa dengan Perguruan Catur Bawana saat Tujuh Dewa Catur membantu Kuil Langit di kala terjadi perebutan Kitab ‘Langit Sakti’ dan celakanya tahap ke tiga dari kitab itu yang dijaga Catur Lima berhasil dicuri secara licik oleh salah seorang dari Tujuh Gembong Bandit meski hanya mencuri separo bagian awal. 
Begitu melihat Si Elang Botak, hampir saja Catur Lima menerjang lawan jika tidak dicegah oleh Catur Empat dan Catur Enam. 
“Tenang, kawan! Aku tahu kau ingin sekali melumat si Perkutut Botak itu,” kata Catur Empat mengganti nama Elang Botak menjadi Perkutut Botak. 
“Betul! Jangankan kamu, aku saja juga pingin melumat habis Perkutut Botak itu!” timpal Catur Enam dengan suara agak dikeraskan. 
“Bangsat! Jika berani, silahkan kalian maju semua!” bentak Si Elang Botak, diejek sedemikian rupa oleh mereka. 
“Bangsat! Jika berani, silahkan kalian maju semua!!” tiru Elang Latah, sambil petentang-petenteng. 
Tentu saja orang-orang jadi tertawa geli mendengar perkataan si Elang Latah, yang tepat meniru apa yang baru saja didengarnya. 
Bahkan Catur Lima sampai tertawa terbahak-bahak, sambil berkata, “Dasar perkutut tolol!” 
“Dasar perkutut tolol!” tiru Elang Latah tanpa sadar. 
“Perkutut busuk!” 
“Perkutut busuk!” kembali Elang Latah menirukan. 
“Tujuh Gembong Bandit adalah kumpulan perkutut tukang kentut!” 
“Tujuh Gemb ... umphh!” 
Mulut Elang Latah langsung dibekap tangan Elang Kurus, agar ia tidak ngoceh tak karuan terlalu banyak. Tentu saja percakapan singkat itu membuat suara gelak tawa di sana-sini. Bahkan beberapa orang-orang Gagak Cemani tertawa keras mendengar celotehan latah itu. 
“Diam ... !!” bentak salah seorang dari Tujuh Gembong Bandit yang tinggi besar. 
Semua langsung terdiam. 
Dialah pimpinan Sarang Elang Langit yang disebut sebagai Raja Elang Besar, lalu tudingnya pada Elang Kurus, “Sumpal mulutnya dengan kain, biar dia tidak ngoceh sembarangan!” 
Mulut Elang Latah terlihat bergerak-gerak menirukan logat suara Raja Elang Besar, tapi tidak kedengaran karena dibekap erat tangan kurus kawannya. 
“Baik, Kakang!” 
“Tujuh Dewa Catur, aku tahu diantara kita telah terjadi silang sengketa sejak lama hanya masalah sepele.” 
“Sepele katamu?” bentak Catur Satu, “Nama baik Tujuh Dewa Catur tercemar gara-gara perbuatan kotor kalian!” 
“Huh, cuma karena beberapa lembar bagian kitab saja sudah kalian anggap mencemarkan nama baik!?” 
“Setan keparat! Tentu saja kalian bisa mengatakan seperti itu, sebab kalian sendiri yang berbuat licik!” sergah Catur Lima. “Siapa yang tidak kenal dengan tujuh manusia pengecut seperti kalian yang bisanya main belakang? Cuihh!” 
Mendengar olok-olok Catur Lima, selebar wajah Raja Elang Besar merah padam. Baginya kata pengecut merupakan tantangan berani mati untuknya! 
Bab 15 
“Kau ... aku tahu siapa kau! Bukankah kau manusia tolol yang dulu dipecundangi Elang Botak?” katanya sambil menunjuk hidung Catur Lima. 
“Betul! Aku memang pernah dipecundangi Si Perkutut Botak itu,” katanya sambil menuding ke arah Elang Botak yang lagi-lagi disebut Perkutut Botak, “ ... tapi dia ... membokongku dari belakang menggunakan Racun Pelemas Tulang!” 
“Dalam setiap pertarungan, cara apa pun boleh digunakan asal bisa meraih kemenangan!” sentak si Elang Botak marah, karena berulang kali disebut Perkutut Botak, pikirnya, “Benar-benar menghina dia!” 
Napasnya naik turun dengan cepat menahan kemarahan yang sudah hampir meledak keluar. 
Dan akhirnya ... 
Tanpa diperintah siapa pun Elang Botak langsung menerjang cepat ke arah Catur Lima yang sepertinya tidak siap untuk diserang ternyata telah siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. 
Wutt! Plakk! Plakk! 
Saling pukul dan saling serang terjadi dalam waktu cepat. Yang jelas, serangan dua musuh bebuyutan itu bukan sembarangan. Pancaran hawa tenaga dalam terasa memerihkan kulit saat desiran angin menerpa. Jika Catur Lima mengandalkan ilmu khas Perguruan Catur Bawana yang unik yang bernama jurus 'Tukang Catur Membalik Langit', dengan posisi kaki tangan yang selalu membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil menadahi setiap jurus cakar ganas yang dilancarkan Elang Botak. 
Wutt! Wess ... !! 
Ilmu Silat 'Cakar Elang' yang digunakan Elang Botak begitu lincah dan tangkas. Suatu saat cakar kiri berhasil menerobos masuk ke dalam lingkaran hawa yang dibentuk Catur Lima, tapi begitu berhasil masuk setengah bagian ke dalam lingkaran, jurus serangan cakar bagai dibalik arah serangannya, mengarah ke diri sendiri. 
Wutt!! 
“Ehhh?” 
Elang Botak terkejut saat mengetahui arah serangannya justru mengincar dua bola matanya, dengan sedikit menggeser kepala ke samping, membuat arah serangan meleset dua jari dekat telinga. 
“Upss, hampir saja,” keluhnya sambil mundur selangkah, katanya dalam hati, “Ilmu apa yang digunakan keparat itu?” 
“Baru menghadapi jurus kecil saja sudah kelabakan,” kat Catur Lima sambil membuat posisi kuda-kuda depan dengan dua tangan bergerak-gerak membentuk lingkaran. “Mana jurus-jurus ampuhmu, Perkutut Botak!” 
Catur Lima memang berusaha memancing kemarahan dari lawan. Jika lawan dalam keadaan terbelenggu hawa amarah, berarti ia sudah menang satu langkah! 
“Ini baru pemanasan, sobat! Sekarang terimalah kematianmu!” kata geram Elang Botak sambil melenting tinggi tiga tombak sambil sepasang tangannya yang membentuk cakar melancarkan serangan-serangan maut. Kali ini, si Elang Botak tidak mau berlama-lama menghadapi Catur Lima, sehingga jurus ‘Elang Membabi Buta’ langsung digunakan dengan menggunakan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. 
Wutt! Wutt ... ! 
Puluhan, bahkan mungkin ratusan bayangan cakar elang mengurung ruang gerak Catur Lima. 
“Kurang ajar! Rupanya si botak tidak main-main kali ini,” pikirnya sambil menghindar kesana kemari, tetap dalam posisi tangan dan kaki yang melingkar-lingkar, namun kali ini justru bentuk lingkaran kaki dan tangan menjadi lebh kecil dari sebelumnya. Anehnya, daya pental yang dihasilkan malah semakin membesar dan lebih berbahaya. 
Brakk! Brakk! 
Pertemuan antara cakar-cakar maut si Elang Botak dengan jurus ‘Perisai Catur Semesta’ yang digunakan Catur Lima terjadi. 
Namun hasilnya justru diluar dugaan Catur Lima. Saat Elang Botak melancarkan jurus ‘Elang Membabi Buta’ yang ternyata hanyalah jurus pancingan, sedang serangan yang sesungguhnya terletak pada sapuan kaki yang saling silang dalam jurus ‘Gunting Elang Besi’ yang mengarah pada sepasang kaki Catur Lima yang lincah bergerak berpindah-pindah. 
Srakk ... srakk ... !! 
Catur Lima terkejut bukan main. Menghindar tidaklah mungkin. Satu-satunya cara adalah bertahan. Dalam tempo singkat, ‘Hawa Sakti Catur Bawana’ dikerahkan untuk mempertahankan diri dari serangan lawan. 
“Heeaa ... “ 
Diikuti dengan teriakan kencang, sebentuk hawa padat kuning pekat dan putih cemerlang berbentuk lingkaran besar kecil langsung menghentak keluar dari seluruh tubuh Catur Lima. 
Glaar ... jdarrr ... !! 
Jurus ‘Elang Membabi Buta’ rontok! 
Jurus ‘Gunting Elang Besi’ kandas! 
Memang patut diacungi jempol hasil didikan Perguruan Catur Bawana. Meski banyak menggunakan jurus-jurus bertahan, tapi ternyata di dalam setiap pertahanan tersimpan daya serangan balik mematikan. Seperti halnya jurus ‘Perisai Catur Semesta’ yang beradu keras dengan jurus ‘Elang Membabi Buta’ membuat sepasang tangan Elang Botak patah tulang belulangnya. Bahkan 
jurus ‘Gunting Elang Besi’ yang penuh hawa sakti juga tumbang oleh ‘Hawa Sakti Catur Bawana’ meski dikerahkan secara mendadak oleh Catur Lima. 
Sepasang kaki Elang Botak langsung hancur lumat terkena bias tenaga sakti khas Perguruan Catur Bawana! 
Catur Lima mendekati tempat Elang Botak tergeletak. 
“Kau tinggal pilih, mati bunuh diri atau aku yang membunuhmu!?” kata Catur Lima sambil berdiri tegak dengan tangan kiri kanan mengencang memancarkan hawa padat kuning pekat dan putih cemerlang. 
“Bangsat!” kata geram si Elang Botak. “Bunuh kalau berani!” 
“Rupanya kau menginginkan aku sendiri yang turun tangan,” tutur Catur Lima, dingin. “Kukabulkan permintaanmu, Perkutut Botak!” 
Selesai berkata, dua tangan sarat tenaga sakti itu menghantam ke depan. 
Bumm! Bumm! 
Dentuman keras langsung terjadi. 
Justru yang aneh adalah tubuh Catur Lima terpental jauh ke belakang, dan andai tidak di tahan oleh Catur Tujuh mungkin sudah jatuh terjengkang mencium tanah. Ternyata, Raja Elang Besar-lah yang menapaki pukulan maut Catur Lima yang hampir saja menghabisi Elang Botak. 
“Itu ... jurus ‘Elang Dewa Menyambar Petir’!” kata kaget Ki Jliteng mengenali jenis pukulan lawan. 
“Jika begitu, empat jurus Silat ‘Elang Dewa’ dari Kuil Langit telah kau kuasai dengan baik, Raja Elang Besar,” kata lembut Maharsi Manikmaya, Si Telapak Langit. “Ilmu 
curian yang kau miliki tidak akan sempurna jika tidak digabung dengan delapan jurus yang lain, sobat.” 
“Jika bukan karena dia ... “ katanya sambil menuding Catur Lima yang terkapar di tanah yang tengah ditolong saudara-saudaranya yang lain, “ ... aku sudah menguasai dua belas jurus Ilmu Silat ‘Elang Dewa’ dengan sempurna. Semua ini gara-gara Tujuh Dewa Catur sialan!” geramnya kemudian. 
Lalu ia membopong tubuh lemas Elang Botak. Baru beberapa langkah berjalan, ia menyadari bahwa sosok dalam pondongannya ternyata telah tidak bernyawa! 
“Orang-orang Catur Bawana keparat!” bentaknya dengan mata berapi-api mengetahui salah seorang saudaranya telah menjadi mayat, lalu diletakkan begitu saja ke tanah, seakan tidak ada rasa hormat sama sekali. 
“Kalian harus membayar semua perbuatan kalian!” sergahnya, “Dasar kalian licik, menyerang orang yang sudah terluka parah!” 
“Bukankah dalam setiap pertarungan, cara apa pun boleh digunakan asal bisa meraih kemenangan, itu khan slogan yang sering kau gembar-gemborkan?!” bentak si Catur Tujuh, setelah menolong Catur Lima dari luka dalamnya, “Jika aturan seperti itu berlaku pada orang lain, kenapa tidak berlaku padamu?” 
“Kau ... “ 
“Apa? Mau memakiku?” 
Tiba-tiba saja Catur Tujuh sudah berada jarak setengah langkah dari Raja Elang Besar. 
Tentu saja laki-laki tinggi besar itu kaget bukan alang kepalang. Langsung saja ia melompat menjauh sambil menggerakkan sepasang kaki dan tangannya. 
“Kenapa kau malah seperti monyet menari, Raja Elang Besar? Takut diserang mendadak!” sergah Catur Tujuh dengan cepat. 
“Bangs ... “ 
“Siapa yang kau maki bangsat! Kaulah yang bangsat! Semua orang juga tahu itu!” 
Lagi-lagi dengan cara aneh, Catur Tujuh sudah berada dalam jarak setengah langkah dari Raja Elang Besar. 
Dan untuk kedua kalinya pula, Raja Elang Besar melompat sejauh tiga tombak dari tempat berdirinya semula, sambil memaki keras, “Setan bel ... “ 
“Siapa yang setan belang? Kau?” kata Catur Tujuh dan lagi-lagi ia sudah sejarak setengah langkah dari lawan, “Bagus kalau kau menyadari bahwa dirimu adalah biangnya segala setan belang!” 
Kali ini Raja Elang Besar benar-benar dibuat tidak berkutik! 
Gerak kilat Catur Tujuh yang seperti bayangan yang menempel terus pada dirinya kemana saja ia pergi membuatnya kehilangan akal. Pikirannya buntu. Kepala senut-senut. Badan gemetar menahan amarah. Kemana pun ia bergerak, selalu saja ada Catur Tujuh didekatnya. Sebenarnya apa yang dilakukan Catur Tujuh bisa dilakukan setiap orang Perguruan Catur Bawana, terutama sekali Tujuh Dewa Catur. Dalam jurus 'Menempel Setengah Langkah' merupakan jurus peringan tubuh yang paling diandalkan Tujuh Dewa Catur untuk merontokkan nyali lawan. Seperti apa yang dilakukan oleh Catur Tujuh pada Raja Elang Besar. Laki-laki pimpinan Tujuh Gembong Bandit itu sudah kuncup nyalinya. Bagaimana tidak kuncup nyali, laki-laki berbaju kuning putih itu bisa saja menggunakan jurus-jurus maut 
untuk membunuh dirinya, tapi justru tidak dilakukan Catur Tujuh. 
Itulah yang membuatnya serba susah! 
Hingga akhirnya ... laki-laki tinggi besar itu jatuh terduduk dengan meratap-ratap minta ampun seperti perawan mau dikawinkan! 
Dan itu semua dilakukan di hadapan para anak buahnya. 
Benar-benar memalukan! 
Sebenarnya, Catur Tujuh memang sengaja menggiring Raja Elang Besar agar berkumpul dengan para gembong bandit yang lain, dimana mereka berlima berdiri terpisah dari orang-orang Gagak Cemani. 
“Tolong ... tolong jauhi aku ... kumohon ... “ 
Tangan kanan Catur Tujuh terjulur ke depan. 
Krepp! 
Leher Raja Elang Besar langsung terkunci. 
“Berikan!” 
“Apa ... apa yang harus ... kuberikan?” 
“Kitab curianmu,” kata Catur Tujuh, datar. “ ... dan ingat! Jangan macam-macam!” desisnya. 
Dengan lesu, Raja Elang Besar merogoh ke dalam baju, lalu mengambil sebuah kitab kecil dan diangsurkan ke arah Catur Tujuh. 
Laki-laki itu menerima kitab kecil itu, lalu membuka-buka sebentar. Setelah itu mengangguk-angguk samar. 
“Bagus, kau boleh pergi!” Catur Tujuh berkata sambil membalikkan tubuh. 
Begitu melihat Catur Tujuh berdiri membelakangi, Raja Elang Besar tersenyum menyeringai. 
“Mampus kau, bangsat!” gumamnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam, dan tanpa mengindahkan sopan santun dan aturan dunia persilatan, laki-laki itu membokong Catur Tujuh yang baru berjalan dua tiga langkah. 
“Kakang, awas ... !!” seru Catur Tiga yang bermata paling tajam. 
Terlambat! 
Bumm ... bummm ... ! 
Bunyi ledakan keras membuncah terjadi. Di tempat berdirinya Catur Tujuh diselimuti kepulan asap berbau busuk menyengat. 
“Mampus kau! Mampus!” seru Raja Elang Besar kegirangan melihat serangannya berhasil menghantam lawan. 
“Mampus kau! Mampus!” tiru Elang Latah tanpa sadar. 
Tentu saja semua orang yang berada disitu kaget melihat kelicikan Raja Elang Besar, terlebih lagi Enam Dewa yang lain. Bahkan Rangga Wuni dan Suro Keong hampir saja melabrak Raja Elang Besar jika tidak dicepat Maharsi Manikmaya dan Ki Jliteng. 
“Dasar licik!” bentak Catur Empat. 
“Bukankah itu tadi jurus 'Elang Dewa Menyambar Matahari'!” pekik Si Telapak Langit. 
Saat semua orang terpengaruh oleh kelicikan Raja Elang Besar, terdengar suara dari atas. 
“Raja Elang Besar! Kau benar-benar manusia licik! Orang sepertimu tidak pantas hidup lebih lama didunia 
ini. ‘Pukulan Sakti Catur Bawana’ sebenarnya tidak cukup pantas melumatkan manusia sampah seperti kalian ini!” 
Bersamaan dengan ucapan yang terdengar dari atas, terpancarlah dari langit puluhan lingkaran kuning pekat dan putih cemerlang saling dahulu mendahului. Dan arah yang dituju adalah ... Raja Elang Besar dan anak buahnya yang saat itu sedang meluapkan kegembiraan sehingga mereka lengah! 
Blarr ... blarrr ... blarrr ... blarrr ... !! 
Ledakan keras terjadi beberapa kali, diiiringi dengan jerit lengking kematian yang menyayat hati. 
Begitu pancaran lingkaran kuning pekat dan putih cemerlang berhenti, berhenti pula bunyi ledakan. Sedikit demi sedikit kepulan asap menipis dan pada akhirnya, terlihat serpihan tubuh-tubuh hangus terbakar yang berserakan dimana-mana. Bahkan di satu tempat terdapat cekungan dalam, tepat dimana Raja Elang Besar berdiri pongah sebelumnya. 
Gara-gara perbuatan Raja Elang Besar, Tujuh Gembong Bandit dari Sarang Elang Langit benar-benar tamat sampai disini! 
Mereka tewas karena kejahatan mereka sendiri! 

ooOOOoo