Hujan Darah Ditanah Bambu Bag. 01


Hujan Darah Ditanah Bambu merupakan jilid ke-3 dari cerita Si Pemanah Gadis karya Gilang. Namun sayang, cersil ini belum sampai tamat. Selamat membaca.

BAGIAN 1
“Akhirnya datang juga.”
Itulah kata pertama yang keluar dari mulut seorang pemuda yang duduk santai
uncang-uncang kaki di atas sebuah balok kayu di sisi kiri dermaga yang cukup
ramai di pagi hari kala saat melihat kapal layar besar hijau garis-garis biru di
kejauhan. Meski hanya setitik kecil di kejauhan, namun mata putih si pemuda
bisa melihat dengan jelas.
“Satu pekan ditunggu-tunggu ... akhirnya nongol juga.”
Kembali terdengar suara keluar dari bibir si pemuda baju biru dengan kucir
rambut ekor kuda sambil bangkit berdiri. Tangan kanan meraih tongkat hitam
berlekuk di ke dua ujungnya. Ciri-ciri dengan mata putih berbaju biru laut hanya
dimiliki seorang pendekar saja yang akhir-akhir ini menyandang gelar nyentrik ...
Si Pemanah Gadis!
“Lebih baik ... aku sarapan dulu. Dari kemarin cuma makan ikan laut
pancingan saja. Hari ini aku mau makan besar. Pesta pora!”
Lalu dirogohnya saku celana.
“Masih ada sembilan keping uang perak dan dua keping uang emas
pemberian dari Ki Gegap Gempita. Lebih dari lumayan untuk mengisi perut,”
Pikirnya pula, “ ... lagian paling banter ntar sorean kapal itu juga baru sampai di
dermaga ini.”
Tongkat di tangan kanannya diketuk-ketukkan ke tanah sambil berjalan ke
arah sebuah warung yang letaknya tidak begitu jauh, kira-kira sepuluh tombak
dari tepi dermaga.
Meski terlihat lumayan ramai, dermaga Muara Karang tidaklah seperti
dermaga besar lainnya. Hanya sesekali saja dilewati kapal, itu pun belum tentu
bongkar sauh disana. Namun, roda kehidupan seakan tidak pernah berhenti
berputar. Ada-ada saja orang-orang yang hilir mudik di sekitar dermaga. Ada
yang jual-beli hasil tangkapan ikan, barter kebutuhan pokok, bahkan ada yang
membuka warung remang-remang (maksudnya buka ntar sore ampe tengah
malam, bukan warung buat 'begituan' lho ... kalau sekarang namanya warung
HIK alias Hidangan Istimewa Kampung). Namun tidak sedikit pula yang
menunggu datangnya kapal dagang untuk mengangkut hasil bumi dan di
perdagangkan di seberang pulau. Bahkan beberapa saudagar hasil bumi dari
seberang acap kali singgah ke dermaga Muara Karang untuk berdagang dengan
penduduk sekitar.
Langkah si pemuda bertongkat hitam akhirnya berhenti tepat di pintu masuk
warung.
Semua pengunjung menoleh sekilas, lalu meneruskan kegiatan makan
minum.
Apanya yang aneh dengan orang mau mengisi perut?

Nggak ada!
“Wedang Kamplung satu, Ki! Lengkap dengan nasi dan ayam panggang!” kata
Jalu sambil meletakkan tongkat hitam dan pantat di atas bangku yang terletak
sudut warung yang masih kosong. “Ingat Ki, lengkap dengan ayam panggang,
nasi putih sama lalapan sambal. Dan satu lagi ... ga pakai lama, hehehe!”
Semua orang yang berada di dalam warung makan sontak menghentikan
kegiatan makan minum secara hampir bersamaan. Mereka saling tatap satu
sama lain, seolah ada yang aneh dengan pendengaran mereka.
Wedang Kamplung?
Minuman jenis apa itu?
Dengar juga baru sekarang!
Salah seorang diantara mereka yang berewokan dengan tubuh kurus pun
akhirnya buka suara.
“Anak muda, kau tadi pesan apa?” tanya si brewok kurus.
“Ooo ... tadi nasi putih, a ... ”
“Bukan itu!” potong si brewok kurus, “Minuman apa tadi yang kau pesan?”
Jalu sedikit menjungkitkan alisnya sambil berkata singkat, “Wedang
Kamplung.”
“Wedang Kamplung?” tanya ulang brewok kurus. “Itu sejenis ... wedang jahe?”
Ki Durba sendiri juga heran, sebab selama ia membuka bisnis perwarungan,
baru kali ini ia mendengar nama 'Wedang Kamplung'!
“Nama minuman kok aneh!?”
Semua mata memandang ke sosok pemuda bermata putih dengan mata
bertanya dan begitu menginginkan jawaban dengan segera.
Jalu yang dipandangi merasa risih. Seperti orang melihat tahi kerbau yang
nempel di mukanya!
Mendadak saja, Jalu merasakan sesuatu yang janggal, katanya, “Ada yang
aneh?”
Semua orang --termasuk Ki Durba, si empunya warung-- mengangguk.
Melihat anggukan semua orang yang hampir bersamaan, Jalu semakin heran.
“Tunggu-tunggu-tunggu! Jangan sobat semua katakan bahwa tidak ada satu
pun diantara sobat yang ada disini tidak tahu dengan apa yang aku maksudkan?”
katanya dengan tatapan mengedar. “Betul begitu?”
Kembali semua mengangguk pelan.
Saat itulah, Jalu Samudra merasa bahwa dirinya sebagai orang paling pinter
dunia-akhirat!
Sungguh ... !

Pikirnya, “Busyet! Segini banyak orang ngga ada yang ngerti Wedang
Kamplung? Kata kakek, yang namanya Wedang Kamplung sudah mendunia.
Semua orang pasti tahu! Lha kok ini malah ... ” lalu katanya, “Sobat semua tidak
bercanda, kan?”
“Apa tampang kami semua seperti orang bercanda?” seru si gendut di dekat
pintu.
Naga-naganya memang tidak ada yang tahu, apalagi Ki Durba malah
plenggang-plenggong seperti sapi ompong, Jalu segera beranjak dari tempat
duduknya.
“Geser sedikit, Ki ... ”
“Silahkan, anak muda.”
Ki Durba menggeser sedikit ke kiri dari tempat biasanya ia membuat segala
macam minuman, ia bisa membuat segala macam minuman kecuali ya ... itu tadi
... Wedang Kamplung. Denger juga baru kali ini!?
Aneh, ya!?
Semua orang yang ada di tempat itu semakin heran dibuatnya. Jelas-jelas
orang bermata putih adalah ciri khas orang buta, namun pemuda bermata putih
itu dengan seenaknya berjalan mengitari meja tanpa menyenggol barang apa
pun. Bahkan tongkat hitamnya masih tergeletak begitu saja di atas meja.
“Begini cara buatnya,” kata Jalu ‘menggurui’.
Pemuda itu mengambil cangkir gerabah yang letaknya di sebelah kanannya.
Berikutnya mengambil daun teh kering dua jumput kecil, seruas jahe yang sudah
dimemarkan serta gula merah diikuti dengan irisan jeruk nipis tipis-tipis, semua
dimasukkan ke dalam cangkir.
“Minta air panas, Ki.”
Tanpa menjawab, Ki Durba menuangkan air panas ke dalam cangkir gerabah.
Serrr!!!
Saat tiga perempat sudah terisi air panas, Jalu berkata, “Cukup, Ki. Cukup!”
Cangkir dari gerabah digoyang-goyangkan sebentar. Tak lama kemudian, bau
semriwing teruar.
“Uahhhaah ... sedaaap ... !”
Suara desahan Jalu terdengar kala ia mencicipi Wedang Kamplung
buatannya!
Benar-benar nikmat, coy!
“Ini yang namanya Wedang Kamplung!” cerocos Jalu sambil ngeloyor begitu
saja, tak lupa ia berkata, “Jangan lupa nasi dan ayam panggangku, Ki! Ntar lupa,
tuh!”
“Baik.”

Dengan cekatan Ki Durba membuat semua pesanan Jalu dan sebentar saja
sudah terhidang di depan meja. Karena memang sudah lapar berat, semua
hidangan langsung disikat tanpa malu-malu!
Si brewok kurus yang penasaran dengan yang namanya Wedang Kamplung,
segera berkata pada Ki Durba.
“Ki, tolong buatkan Wedang Kamplung juga,” katanya, “Aku kok jadi
penasaran dengan rasanya.”
“Tunggu sebentar,” sahut Ki Durba. “Aku harus minta ijin dulu pada anak muda
itu. Dia ‘kan yang punya ide.”
“Sudahlah, Ki! Buatkan saja! Anggap saja ini menu spesial gratis dariku,” seru
Jalu dengan mulut penuh nasi dan potongan ayam.
“Terima kasih, anak muda. Kau baik sekali.”
Ki Durba segera membuatkan pesanan sang pelanggan.
Sebentar saja, semua orang yang ada di dalam warung, mencicipi segarnya
Wedang Kamplung!
--o0o--
Sore itu ...
Sesuai dengan perkiraan Jalu, kapal layar besar hijau garis-garis biru yang
ditunggu-tunggunya telah merapat ke dermaga Muara Karang. Begitu merapat
sempurna diikuti dengan awak kapal yang bertubuh gendut membuang jangkar,
para penumpang dengan berjalan dua-dua turun lewat tanggakayu yang letaknya
di sisi kiri lambung kapal, sedang di tangga satunya terlihat hilir-mudik para anak
buah kapal menurunkan tong-tong kayu ukuran besar dengan cara
digelindingkan dari atas dan beberapa orang menerimanya di bawah sambil
menata berjajar rapi di sudut dermaga. Tong-tong kayu yang telah kosong inilah
yang nantinya akan diisi air tawar sebagai persediaan di perjalanan.
Beberapa orang yang makan di warung ki durba bersama dengan Jalu segera
bergegas berlarian –sebagian terlihat beradu cepat dengan sesama kawan--
menuju ke arah tong-tong kayu tersebut berjajar.
Tentu saja perbuatan ‘sobat baru’ Jalu ini si pemuda baju biru terheran-heran,
dan bertanya pada laki-laki tua yang kini sedang asyik menghisap rokok kawung.
“Ki, mereka sedang apa?”
“Ooo ... mereka cuma Kuli Air,” jawab Ki Durba sambil klepas-klepus, enteng.
“Kuli Air?”
“Ya. Jika ada kapal merapat dan menurunkan tong-tong kayu seperti gentong
itu, menjadi tugas mereka untuk mengisikan air tawar kedalamnya,” jelas si
empunya warung. “Dan sebagai balas jasanya, mereka menerima satu keping
uang perak untuk delapan tong air.”

“Wah ... banyak juga ya, Ki!”
“Begitulah kehidupan orang-orang di dermaga ini, anak muda!” tutur Ki Durba
sambil mempermainkan asap rokok membentuk bulatan-bulatan tiga susun. “Jika
ada tong kayu dikeluarkan, jadilah mereka Kuli Air. Namun andai yang
dikeluarkan barang dagangan mereka berubah jadi Kuli Panggul. Akan tetapi jika
sepi, mereka jadi Kuli Ikan alias nelayan, hehehe ... ”
“Apa mereka tidak pernah saling cakar, Ki?” tanya Jalu. “Rebutan pelanggan,
maksud saya.”
“Itu dulu ... dulu sekali!” sahut ki durba dengan mulut dimonyong-monyongkan.
“Namun semenjak adanya Koro Welut datang ke tempat ini, semuanya menjadi
teratur. Tidak ada lgai saling jegal, saling memangsa. Dan yang pasti ... tidak ada
lagi pemuda yang suka mabuk-mabukan atau main judi di tempat ini. Apalagi
main perempuan ... wuihhh ... jaaauuuh ... !!”
Tentu saja Jalu Samudra paham dengan orang yang disebut-sebut dengan
Koro Welut itu. Laki-laki brewok kurus yang seluruh tubuhnya licin mengkilat
seperti belut sawah dengan kulit sawo matang akibat sering terpanggang
teriknya sinar matahari. Namun bukan Jalu namanya jika tidak mengetahui
bahwa di balik tubuh cekingnya ternyata si Koro Welut membekal ilmu silat yang
tidak rendah.
“Benar-benar kehidupan yang harmonis,” kata Jalu sambil nyeruput Wedang
Kamplung.
“Ya. Kehidupan damai seperti inilah yang diidam-idamkan oleh setiap orang.
Rukun tanpa perselisihan dan saling membantu dalam kesulitan,” kata Ki Durba.
“Masa tua yang penuh kedamaian.”
“Maaf, Ki! Dari kemarin ada yang mengganjal pikiranku,” ucap Jalu dengan
hati-hati.
“Apa yang membuat pikiranmu terganjal, Jalu?”
“Emmm ... dari tadi siang tidak terlihat anak-istri Ki Durba. Pada kemana ya,
Ki?” tanya Jalu sambil melirik ke arah pemilik warung yang baik hati itu.
Sekilas raut muka laki-laki itu berubah beberapa kejap, lalu mendesah, “Jika
saja tidak ada ombak raksasa pada dua puluh lima tahun silam, mungkin
sekarang ini anakku sudah sebesar kamu, Jalu. Mungkin aku sudah menimang
dua atau tiga orang cucu malah.”
Dada Jalu sedikit bergetar.
Dua puluh lima tahun silam!
“Anak Ki Durba ... laki-laki?” Jalu coba menebak.
“Perempuan.”
“Oooo ... ” sahut Jalu sambil manggut-manggut tanpa sadar. “Lalu ... saudarasaudara
Ki Durba?”

“Aku anak tunggal. Mendiang istriku juga anak tunggal,” terang Ki Durba
sambil menengadah. Matanya menerawang langit-langit atap warungnya yang
terbuat dari daun rumbia. “Yang aku sesalkan saat itu adalah istriku sedang
hamil lima bulan kala ombak pembawa petaka itu datang. Aku menyesal tidak
bisa menyelamatkan mereka.”
“Maaf, kalau saya lancang mengungkit-ungkit masa lalu Ki Durba,” kata Jalu
saat melihat sudut mata laki-laki itu berkaca-kaca.
Menyesal, Broo!
“Tidak apa-apa, Jalu,” kata Ki Durba sambil menyusut sudut matanya dengan
ujung lengan baju. “Sekarang, besok, atau kapan pun ... sama saja. Itu tetap
menjadi kenangan bagi tubuh tua ini.”
Dua orang laki-laki beda kualitas itu terus saja bisa bicara ngalor-ngidul.
Yang pasti ... ngga ada hubungannya sama dunia persilatan babar blas!
Ada kalanya terdengar tawa tua Ki Durba mendengar lelucon-lelucon yang
dilontarkan Jalu Samudra. Entah apanya yang lucu, acap kali kakek itu tertawa
terpingkal-pingkal. Jelas sekali terlihat bahwa dengan adanya Jalu disana
membuat kakek yang sudah uzur dimakan usia terlihat bahagia.
Lucunya lagi, Ki Durba tidak tahu bahwa saat ini dirinya dengan bercanda
dengan tokoh muda top markotop rimba persilatan, menjadi buah bibir para
pendekar karena kesaktiannya. Bahkan dari selentingan kabar yang sulit
dipertanggungjawabkan, menjadi idola para gadis-gadis yang ngebet berat
ketemu saja yang namanya si Pemanah Gadis!
Koro Welut dan teman-temannya menghentikan sejenak pekerjaan mereka
mendengar suara tawa yang paling sulit didengar oleh telinga mereka. Mereka
saling pandang satu sama lain.
“Kita tidak salah dengar, kan?” tanya Koro Welut.
“Itu memang suara Ki Durba. Asli!” tandas yang bernama Wangen. “Dulu
waktu kecil aku pernah dengar ia tertawa lepas seperti itu. Kok bisa, ya?”
“Mungkin kesedihan akibat di tinggal anak istrinya telah pupus,” serobot Sarpo
yang agak gendut.
“Mungkin juga,” kata Koro Welut, pendek. “Ayo ... kerja lagi.”
Saat merembang petang menjelma, semua tong-tong kayu telah penuh
dengan air tawar. Kalau sebelumnya digelindingkan dari atas ke bawah, kini
untuk menaikkan dengan cara memasukkan lima-enam tong kayu ke dalam jala
besar terbuat dari tali kulit kerbau dan ditarik ke atas oleh sembilan orang lewat
sebuah tuas. Seratus delapan puluh empat tong kayu sukses diangkut naik ke
atas kapal. Dan itu artinya dua puluh tiga keping uang perak telah berada dalam
genggaman tangan para Kuli Air!
Mereka membagi hasil kerja di dalam warung Ki Durba. Masing-masing
menerima tiga keping uang perak bertujuh yang cukup untuk makan dua bulan,

total yang dibagi dua puluh satu keping uang perak. Sedang sisa yang dua
keping uang perak dititipkan pada Koro Welut sebagai pimpinan mereka.
“Kawan-kawan! Uang sisa kerja kita bertujuh selama tiga bulan ini jika
ditambah dengan dengan pendapatan hari ini tepat tujuh keping uang perak,”
ucap Kowro Welut sambil mengeluarkan lima keping uang perak dari dalam
kantong hitam yang kemana-mana selalu dibawanya. “Setuju dibagi rata?”
“Setuju ... !!”
“Akur ... !”
--o0o--
BAGIAN 2
“Baik kalau begitu! Kita putuskan saja ... dibagi rata!” kata Koro Welut.
Biasanya seorang pemimpin akan mengambil bagiannya terlebih dahulu, tapi
hal itu tidak berlaku untuk Koro Welut. Ia mendahulukan teman-temannya
terlebih dahulu dengan masing-masing mendapatkan satu keping uang perak.
Barulah dirinya mendapat giliran terakhir!
“Lihat! Kantung ini sudah kosong!” kata Koro Welut sambil membalik bagian
dalam ke luar. “Bersih?”
“Bersih!” jawab mereka serempak.
Jalu Samudra kagum dengan Koro Welut saat melihat bagaimana si brewok
kurus itu membagi adil pendapatan mereka.
“Muka boleh sangar, tapi hati berkilau seperti intan permata,” pikir murid si
Dewa Pengemis. “Pemimpin panutan yang seperti ini contohnya.”
Mata Koro Welut melirik ke orang yang paling sudut sendiri. Yang sedari awal
menimang-nimang uang di tangannya.
“Apa ada, Sarpo?” tanya Koro Welut. “Ada yang kurang?”
Sarpo hanya menggeleng.
“Lalu ada apa?”
“Aku hanya berpikir saja, apa dengan uang sebanyak ini cukup membayar
ongkos dukun bayi dan tabib untuk dua anakku yang sedang sakit?” ucap Sarpo,
masgul.
“Begitu?” ucap Koro Welut, sambungnya dengan mata sedikit menyipit, “Lalu
... kapan anak ketigamu akan lahir?”
“Menurut Nyi Ginah, kemungkinan besar menjelang malam nanti. Tadi aku
sudah diberitahu Menik anaknya si Wangen, kalau istriku perutnya mulas-mulas
... ”
Tiba-tiba saja ...

Plakk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan si gendut Sarpo yang
langsung membuat laki-laki berkulit lumayan hitam terpelanting ke belakang
meski tidak jatuh dari kursi.
“Goblok! Kenapa kau tidak langsung pulang menemui istrimu!?” bentak Koro
Welut. “Mau menunggu sampai kapan!?”
“Tapi ... bukankah kita ... ”
“Apa?! Kau pikir dengan meninggalkan istri hamil tua sendirian di rumah, aku
akan senang!? Begitu!” bentak Koro Welut. Lalu ia memandang ke sekelilingnya,
“Bagaimana prinsip kita?”
“Susah senang dipikul bersama!” seru teman-teman Sarpo yang lain.
“Nah, kau dengar! Kalau situasinya seperti itu, kau tetap mendapatkan hak
yang sama,” kata koro welut sedikit melembut. “Dengan catatan ... selama tidak
malas bekerja! Itu saja!”
Lalu didekapnya Sarpo erat-erat.
Dekapan hangat persahabatan!
“Tamparanku tadi sebagai peringatan bahwa uang memang penting, tapi
keluarga lebih penting! Paham?”
“Paham, Koro.”
“Jika kau ingin membalas tamparanku ... silahkan,” kata Koro Welut sambil
melepaskan pelukan pada Sarpo diikuti mundur satu langkah sambil
mengangsurkan pipinya ke depan.
“Tidak, Koro.”
“Kau kecewa karena aku tampar?”
“Tidak.”
“Marah?”
“Tidak juga.”
“Dendam?”
“Juga tidak.”
“Kalau begitu ... terima ini sebagai sumbangan dariku,” kata Koro Welut sambil
mengangsurkan uang yang ada di tangan kanannya pada Sarpo.
Semuanya!
Uang yang didapatnya dengan memeras keringat dan menguras tenaga,
tanpa ragu-ragu diberikan begitu saja kepada Sarpo. Disusupkannya ke dalam
telapak tangan laki-laki dengan perawakan agak gendut itu.
“Tidak, Koro! Kau pun juga membutuhkannya,” kata Sarpo sambil
mengangsurkan kembali uang pemberian Koro Welut.

“Aku memang butuh, tapi kebutuhanku tidak mendesak seperti kebutuhanmu,”
kata Koro Welut, lalu tangannya mendorong ke depan. “Terimalah ... aku ikhlas
membantu.”
“Terima kasih, Koro. Terima kasih.”
Sarpo memeluk erat Koro Welut selama beberapa saat.
“Kami juga akan membantu, Sarpo. Meski tidak banyak, semoga saja cukup
meringankan bebanmu,” kata Wangen sambil mengangsurkan lima keping perak
yang dikumpulkan dari teman-temannya yang lain.
“Kawan-kawan ... kalian ... ”
“Terimalah ... ”
Sarpo segera jatuh berlutut sambil meratap, “Ya Dewa! Terima kasih engkau
telah mengirimkan kawan-kawan terbaik yang pernah hamba miliki.”
Jalu benar-benar terpana dibuatnya!
Drama kehidupan yang digelar nyata di depan matanya benar-benar membuat
jiwanya terketuk. Belum pernah selama hidupnya menjumpai orang-orang yang
memiliki ketulusan hati seperti apa yang ada didepan matanya. Tak terbersit
sedikit pun kalau ia bakal menjumpai hal seperti itu.
“Ki Durba, sudah saatnya kita berpisah,” kata Jalu saat melihat kapal layar
besar hijau garis-garis biru menaikkan bendera hijau kecil. Tak lupa diraihnya
tongkat kayu hitam miliknya. Menurut Ki Durba, tanda bendera kecil di dekat
pintu masuk ke kapal punya arti bahwa kapal akan berangkat dalam
sepeminuman teh.
“Jalu, apakah kita akan bertemu lagi?” tanya Ki Durba.
Sambil berjalan tanpa menoleh ke belakang, Jalu berkata, “Jika ada umur
panjang ... kenapa tidak?”
“Jalu ... aku punya pesan untukmu,” kata Ki Durba lebih lanjut.
Jalu berhenti sejenak.
“Silahkan, Ki.”
“Jika kau dalam bahaya ... nikmati saja. Jangan melawan,” kata Ki Durba.
Jalu sedikit mengerutkan alisnya mendengar ucapan dari si empunya warung.
Benar-benar pesan yang aneh!
Namun tanpa pikir panjang lagi, Jalu menyahut, “Baik. Akan kuturuti!”
Jalu kembali melangkahkan kakinya. Saat melewati kawan-kawan barunya,
Jalu berhenti sejenak.
“Kawan-kawan ... jaga diri kalian baik-baik.”
“Hoi, Wedang Kamplung! Kau mau kemana?” tanya Koro Welut.
“Ga ngerti. Mungkin cuma mau nostalgia dengan laut.”

“Huh! Orang buta saja pakai acara nostalgia-nostalgia segala,” seloroh
Wangen di sambut dengan gelak tawa yang lain.
Jalu juga ikutan tertawa, serunya, “Yach, maklumlah! Orang udik yang
kemana-mana selalu ditemani dengan tongkat mana ada tempat menetap? Tul
ngga?”
“Betul ... betul!” seru Koro Welut sambil menepuk-nepuk bahu kanan Jalu
Samudra.
Bukan sembarang tepukan, cing!
“Meski wajah terlihat serampangan seperti tapi tenaga dalamnya boleh juga,”
pikir murid si Dewa Pengemis.
“Hemm, dia bukan orang sembarangan rupanya. Jurus ‘Gunung Jugrug’
(Gunung Runtuh) rasanya seperti tenggelam ke dasar laut,” kata hati Koro Welut.
“Siapa dia sebenarnya?”
“Sarpo, aku juga mau ikut menyumbang,” kata si Pemanah Gadis sambil
meletakkan sesuatu di atas meja. “Anggap saja sebagai hadiah atas kelahiran
anakmu.”
Tanpa menunggu jawaban, Jalu segera berlalu dari tempat itu.
Semua mata memandang dengan melotot lebar-lebar. Bahkan Wangen yang
matanya sebesar jengkol itu hampir saja terlepas dalam rongga mata kala
melihat sebentuk benda yang seumur hidupnya belum pernah ia lihat sama
sekali.
Sekeping uang emas!
Sekeping uang emas jika ditukar dengan uang perak bisa mencapai seribu
keping. Semua mata beralih ke Jalu yang berjalan dengan lenggang kangkung.
Sebentar saja ia sudah sampai di dekat pintu masuk kapal.
“Mau berlayar, Tuan?” tanya si penjaga pintu dengan sopan.
“Betul.”
“Kemana tujuan, Tuan?”
“Emmm ... kemana saja. Sampai kapal ini berlabuh kembali,” sahut Jalu
sekenanya.
Kalau saja Jalu menjawab Kepulauan Tanah Bambu, pastilah si penjaga pintu
langsung pingsan kebingungan.
Gimana ngga bingung, lha wong dengar juga belum?
“Kapal ini akan berlayar kurang lebih satu bulan beberapa hari lamanya,” tutur
si penjaga pintu.
“Tak masalah,” tukas Jalu, pendek. “Berapa ongkos perjalanannya?”
Langsung pada sasaran rupanya!

Si penjaga pintu yang melihat si pemuda bermata putih, hanya tersenyum
menyeringai.
“Ada mangsa tolol,” katanya dalam hati, lalu katanya pada si pemuda berbaju
biru laut. “Tujuh keping perak.”
“Tidak mahal ... tidak mahal ... ” kata Jalu sambil merogoh saku celana,
katanya sambil memberikan uang tujuh keping perak, “Sudah termasuk makan
dan minum?”
“Sudah termasuk makan, minum dan menginap,” kata si penjaga pintu,
katanya dalam hati. “Orang buta bego! Ongkos naik kapal ini cuma lima keping
perak sudah lengkap semua. Lumayan-lah dapat untung dua keping perak.”
Tentu saja sorot mata licik si penjaga pintu tidak lepas dari mata putih Jalu,
pikirnya, “Buaya kok dikadalin ama monyet? Tapi biarlah ... sekali-sekali
membantu orang kesusahan ... ”
“Silahkan naik, Tuan! Ini nomor kamarnya,” kata si penjaga pintu sopan,
sambil mengangsurkan papan kayu kecil warna merah. Disana tertera angka
tujuh. “Kamar Tuan nomor tujuh dan di lantai ke tiga. Di dekat pintu ada ukiran
angka tujuh.”
“Begitu?” kata Jalu sambil menerima papan kayu kecil itu.
“Apa Tuan butuh bantuan untuk mencari kamarnya?”
“Tidak perlu. Aku bisa cari sendiri,” sahut Jalu sambil memutar-mutar tongkat
hitamnya pulang-balik.
Begitulah ... berturut-turut para penumpang naik ke atas kapal, satu demi satu.
Saat menjelang keberangkatannya, di kejauhan terlihat serombongan iringiringan
yang mendekati kapal.
Si penjaga pintu yang hampir saja berteriak kalau penumpang sudah habis,
mengurungkan niatnya. Matanya langsung hijau melihat banyaknya jumlah
rombongan. Terlihat memimpin di depan seorang pemuda tampan berbaju
merah terang memakai celana merah gelap dengan kumis tipis bertengger di
bawah bibir sedang puluhan orang di belakangnya berbaju aneka warna dengan
menyandang golok tersarung rapi di bagian punggung. Wajah-wajah mereka
terlihat sedang menyiratkan sesuatu yang penting. Beberapa orang diantara
tengak-tengok mengawasi keadaan sekelilingnya. Yang jelas ... semuanya ratarata
berusia antara tiga puluh hingga empat puluhan tahun.
“Hmm ... sekitar dua puluhan orang,” gumamnya. “Lumayan ... ”
“Silahkan naik, Tuan-tuan semua,” katanya sopan dengan sedikit
membungkukkan badan. “Silahkan.”
Pemuda berbaju merah terang tanpa banyak kata dan tanya segera
menyodorkan tiga keping uang emas.
“Cukup?” katanya singkat.
Aneh sekali nada suara pemuda ini. Suaranya terlalu merdu untuk seorang
pemuda. Yang lebih menarik lagi, tidak ada jakun pada lehernya.

Si penjaga pintu yang semula membungkukkan badan, semakin
membungkukkan badan kala melihat tiga keping uang emas berada tepat di
ujung hidungnya.
“Cu-cu-cukup ... cukup!” katanya terbata-bata, pikirnya, “Mimpi apa aku
semalam?”
Tanpa menunggu jawaban, si pemuda segera mengibaskan tangannya,
sambil berkata, “Kita naik.”
Si penjaga pintu segera melangkah minggir ke samping kiri, sambil
menyodorkan papan kayu kecil warna merah dengan tulisan angka delapan.
“Kamar Tuan di lantai ke tiga. Kamar terakhir.”
“Bagaimana dengan kami?” tanya salah seorang pengawal si pemuda yang
paling depan sendiri.
“Semua kamar sudah penuh, hanya tertinggal kamar nomor tiga, empat dan
lima di lantai dua,” kata si penjaga pintu, “Tapi jangan khawatir, tiga kamar
terakhir ini cukup muat kalau untuk tiga puluh orang sekaligus, karena ada
sepuluh ranjang di setiap kamarnya.”
“Lalu bagaimana dengan kamar lantai tiga?” tanyanya lagi.
“Seperti saya katakan sebelumnya, kamar Tuan Muda tadi adalah kamar
nomor terakhir,” terang si penjaga pintu. “Kamar lantai tiga hanya ada delapan
buah. Semua sudah terisi penuh dengan orang terakhir adalah Tuan Muda tadi.
Lagi pula, kamar ini berukuran lebih kecil ... ”
“Jalan keluar masuk cukup mudah?” potong cepat si pengawal.
“Sangat mudah.”
“Baik. Kami ambil kamar nomor tiga dan empat,” katanya cepat.
Rombongan itu segera saja naik ke atas kapal.
Tak lama kemudian, si penjaga pintu yang bernama Arimbawa berteriak
nyaring, “Angkut sauh!”
Terdengar suara bersahutan dimana-mana.
Tak lama kemudian, jangkar terangkat naik.
Layar besar di turunkan.
Brekk! Brekk!
Suara kelebatan kain tertiup angin nyaring terdengar. Pelan namun pasti,
kapal mulai meninggalkan dermaga Muara Karang.
Namun baru saja sejarak lima belas tombak dari dermaga, sebuah teriakan
keras terdengar.
“Hoi ... ! Tunggu aku, gimana sih kok ditinggal!” teriak seorang pemuda baju
hijau dari kejauhan.

Dari jaraknya saja yang sudah begitu jauh bisa dipastikan bahwa si pemilik
suara memiliki tenaga dalam kuat.
Nakhoda kapal yang saat itu berada di geladak berteriak keras, “Kalau kau
bisa ... lompat sajalah! Kalau tidak bisa ... tunggu bulan depan saja!”
Semua orang yang mendengar seloroh dari Nakhoda kapal tertawa keras.
Termasuk Jalu Samudra tertawa kecil mendengar suara si nakhoda kapal.
Sejenak pemuda baju hijau berdiri tegak sambil cemberut, gerutunya, “Dasar
kampret! Jarak lima belas tombak disuruhnya melompat! Memangnya aku
burung apa?” keluhnya. “Terpaksa deh, harus pamer dikit!”
Tanpa berkomentar lagi, ia menjejakkan kaki.
Jduk!
Dengan ringan ia melayang di atas air seperti orang berjalan saja mendekati
kapal.
Jleg!
--o0o--
BAGIAN 3
Sampai juga si pemuda di atas geladak kapal. Nakhoda kapal dan beberapa
anak buahnya tak bersuara menyaksikan pameran kesaktian yang jarang mereka
jumpai. Kalau saja ilmunya pas-pasan, si pemuda sudah mati tenggelam kecebur
laut!
“Hebat ... ” desis si pemuda baju merah terang.
“Gara-gara kekenyangan, aku malah ketiduran,” gerutu si pemuda sambil
duduk di atas bangku.
Seorang laki-laki dengan tubuh kekar berotot berompi merah dengan cepat
mendekatinya.
“Kau manusia, ‘kan?” ia bertanya.
“Bukan! Aku setan dari langit!” gerutu si pemuda baju hijau dengan nada
kesal, “Tentu saja manusia. Liat aja kakiku! Bego amat sih!”
Seolah sudah sering mendengar suara seperti itu, si laki-laki justru
mengangsurkan tangan kanan.
“Apa?” tanya si pemuda baju hijau, heran.
“Karena kau manusia, maka naik kapal ini tidak gratis,” kata si laki-laki
berompi merah tanpa basa-basi. “ ... cukup dua keping perak untuk sekali jalan.”
Pemuda baju hijau merogoh saku celana, mengambil dua keping perak, lalu
diberikan pada si laki-laki berompi merah.

“Terima kasih! Selamat datang di kapal layar Surya Silam,” kata si laki-laki
baju merah. “Namaku ... Gandarwa. Panggil aku jika kau butuh apa-apa.”
Tanpa menunggu jawaban, Gandarwa langsung pergi begitu saja. Rupanya ia
juga bertugas menarik ongkos dari semua orang yang naik kapal layar Surya
Silam.
--o0o--
Seekor elang laut terbang jauh di angkasa. Dari atas ia melihat sebuah kapal
berlayar dalam jarak yang tak terlalu jauh. Elang laut tadi menukik, hendak
bertengger beristirahat di ujung kapal yang besar dan beristirahat sejenak.
Namun ia mendadak mengurungkan niatnya.
Ia tak mau mati konyol ... !
Sebab ... nakhoda kapal keluar dari ruangannya dengan golok terhunus!
“Kemana perginya ayam sialan tadi?” pikir si Nakhoda, “Mau dibikin sate kok
malah menghilang?”
--o0o--
Saat sore merembang petang ...
Rata-rata penumpang tidak langsung masuk ke dalam kamar masing-masing.
Kebanyakan duduk saja sambil menikmati keindahan laut di sore hari. Termasuk
pula Jalu dan si pemuda baju hijau yang duduk di sebangku.
“Indah sekali sore ini,” kata si pemuda baju hijau. “Sudah lama sekali aku tidak
melihat laut. Jika dihitung-hitung ada kalau cuma lima belas tahunan.”
“Cukup lama juga,” sahut Jalu.
“Apakah kau juga sering pergi ke laut, sobat?”
“Dulunya iya ... tapi sekarang mungkin baru kali ini,” sahut Jalu dengan mata
merawang ke atas. Pikirannya tertuju ke Gua Walet, tempat dimana ia
dibesarkan oleh sepasang suami istri tokoh rimba persilatan yang mengasingkan
diri. Dari merekalah ia mengenal apa yang namanya ilmu silat dan segala hal
yang berhubungan dengan laut.
“Sobat, dari tadi kita bicara tak karuan tapi belum menyapa nama masingmasing,”
kata si Pemanah Gadis. “Perkenalkan namaku ... Jalu Samudra.”
“Samudra artinya lautan luas,” desis si pemuda baju hijau. “Nama yang sesuai
dengan apa yang sekarang ini kita jalani sekarang ini. Berlayar di tengah laut
luas tanpa batas. Kau sudah menyebut nama, tak adil rasanya jika aku --
Adiprana -- tidak memperkenalkan diri. Tapi orang rimba persilatan memberiku
julukan jelek ... si Naga Terbang.”
“Naga Terbang?” gumam Jalu Samudra.

Jalu pernah mendengar sepak terjang tokoh muda yang berjuluk Naga
Terbang selama dalam pengembaraannya. Sosok pemuda yang cukup ditakuti
oleh kaum sesat karena ketelengasannya dalam membantai lawan-lawannya.
Meski jika ditilik dari usianya hanya selisih dua tahun lebih tua dari Jalu sendiri,
namun gaya penampilannya masih seperti anak muda usia belasan tahun.
Pada intinya Adiprana bukanlah tokoh jahat, hanya saja sifatnya yang mau
menang sendiri membuatnya lebih banyak memiliki lawan daripada kawan.
Namun dalam sekelabatan saja, Jalu Samudra sudah bisa menyelami delapan
bagian jati diri si pemuda baju hijau. Meski terlihat seenaknya, namun jelas sekali
terlihat sifat-sifat seorang pendekar tulen. (Itu menurut penilaian Jalu, lho ... !)
Setelah berbasa-basi sebentar, Jalu pun berniat masuk ke dalam kamarnya di
lantai tiga.
“Hemm ... si Jalu ini meski buta, tapi aku yakin dia bukan tokoh silat kelas
kecoa atau setidaknya termasuk dalam golongan jago-jago kelas tiga,” pikir
Adiprana sambil menatap punggung si pemuda buta yang berjalan menyusuri
tangga ke atas. “Dari caranya berjalan dan bernapas, aku yakin setidaknya ia
berada satu tingkat di bawahku. Entah murid siapa dia ini sebenarnya.” Tiba-tiba
selintasan pikiran mampir ke dalam benaknya, “ ... atau jangan-jangan ia juga
memiliki tujuan yang sama denganku?”
Tujuan yang sama?
Apa yang dimaksud dengan ‘tujuan yang sama’ oleh Adiprana?
Semua itu masih menjadi tanda tanya besar dalam benak si Naga Terbang ini!
“Hemm ... satu-satunya jalan untuk mengetahuinya adalah dengan menyelidiki
lebih jelas siapa adanya si buta ini, jika perlu satu kapal aku selidiki jati diri
mereka semua,” desis si Naga Terbang dengan sorot mata berkilat aneh.
Sementara itu, Jalu sendiri yang pada saat itu baru mau masuk ke kamarnya,
berpapasan dengan sosok pemuda baju mentereng yang juga berkeinginan
masuk ke kamar di sebelahnya. Jalu Samudra tersenyum ramah dan
mengangguk sedikit dan dibalas dengan anggukan pula,
Melihat kawan sebelahnya, Jalu sedikit mengkernyitkan alis, batinnya, “Aneh,
jika dilihat sekilas mirip laki-laki, tapi dari langkah kakinya jelas-jelas seorang
perempuan.”
Hidungnya sedikit mengendus-endus seperri anjing membaui daging.
“Hemm, harum sekali. Aneh, masa’ laki-laki berbau harum bunga begini?”
gumamnya tanpa sadar, pikirnya kemudian, “Atau ... jangan-jangan ... dia banci?
Gini-gini aku ‘kan laki-laki tulen.”
“Hiii ... ” desis Jalu lirih sambil buru-buru masuk ke dalam kamar dan
mengunci pintu dari dalam.
Tentu saja cengar-cengir Jalu tidak lepas dari pandang mata si pemuda baju
merah.

“Brengsek!” maki si pemuda dalam hati. “Mata pemuda itu seolah sanggup
melongok ke dalam hatiku. Uhh ... kenapa jantungku berdebar-debar kayak gini?
Aneh! Tidak biasanya. Sekilas kulihat dia memiliki mata putih yang hanya dimiliki
orang buta. Apa benar dia buta?” Mendadak rasa sebal berubah menjadi rasa
iba. “Kasihan sekali! Ganteng-ganteng kok buta?”
Selebar wajahnya langsung merah merona.
“Sinting! Kenal saja tidak, kenapa aku bisa memikirkan dia?” gerutunya sambil
membuka pintu kamar dan langsung dikunci dari dalam.
Lagak lagunya sekilas seperti gadis usia belasan tahun.
--o0o--
BAGIAN 4
Nyi Sungsang Sumbel, julukannya Tongkat Berbisa, nenek jahat biang dari
segala tokoh jahat sekaligus nenek paling ceria di muka bumi, sebab senantiasa
ketawa mengikik di segala kesempatan. Nenek ‘berbahagia’ yang paling senang
menyebar teror di muka bumi dikukuhkan sebagai musuh bebuyutan para tokoh
aliran putih rimba persilatan wilayah tenggara. Dan uniknya, setiap pertarungan
maut yang terjadi tak pernah tuntas karena tokoh ini selalu saja lolos dari pintu
neraka.
Nenek jahat yang selalu beruntung!
Seperti halnya kali ini, Nyi Sungsang Sumbel ngibrit, lari lintang pukang saat
ketanggor tokoh tua yang berjuluk Kakek Kocak dari Gunung Tugel yang nama
aslinya Gayam Dompo.
“Brengsek keparat! Tiap kali ketemu dengan tua peot Gayam Dompo, aku
tidak pernah menang barang setindak pun juga,” maki Nyi Sungsang Sumbel
dalam keluhan. “Nampaknya aku harus memperdalam ilmu silatku lagi. Sampai
kapan aku harus main kucing-kucingan seperti ini?”
Pikir punya pikir, sampai kapan ia harus selalu menggunakan Ilmu Sakti
‘Langkah Seribu’ alias melarikan diri dari arena pertarungan. Paling banter yang
bisa dimajukan selain Ilmu Sakti ‘Langkah Seribu’ tidak ada yang lain, tuh!?
“Hi-hi-hi-hi! Bodohnya aku! Sudah tua bangka begini mau memperdalam apa
lagi? Ilmu sudah mentok begini kapan bisa dimajukan lagi? Kalau mau
diperdalam lagi, aku sudah keburu modar! Paling-paling juga ... hi-hi-hik, itunya
doang yang maju,” katanya sambil menjungkit-jungkitkan alis matanya yang
separo hitam separo putih.
Benar-benar sepasang alis yang aneh!
Mendadak saja ...
“Nah ... ini dia orangnya!”
Sebuah suara sember lumayan keras mengejutkan Nyi Sungsang Sumbel.
Wajahnya yang cerah ceria sontak ditekuk menjadi muram durja.

“Huh, aku tidak akan lari lagi,” katanya dalam hati. Lalu teriaknya dengan
suara cempreng, “Hi-hi-hik, gendut botak Gayam Dompo kurang kerjaan! Kesini
kalau berani!? Biar kulumat ... ”
“Apa? Kau mau melumat bibirku dengan bibirmu? Dasar nenek ganjen!
Pikirannya ngeres melulu! Sudah tua tidak ingat kuburan, justru sukanya
keluyuran!”
Suara sember kembali terdengar di belakang punggung Nyi Sungsang
Sumbel, yang dengan gerak refleks langsung mengayunkan tongkat kayu ke
belakang. Ayunannya bukan sembarang ayunan, namun sudah dialiri dengan
tenaga dalam tinggi.
Wutt!
“Tidak kena! Tidak kena!” ledek suara sember sambil melangkah mundur tiga
tindak.
“Botak sialan! Tongkat Berbisa dianggap mainan! Nih, makan!”
Si nenek sambil tertawa terkikik macam kuntilanak buang hajat segera
mengayunkan tongkat secara serampangan.
Wutt! Wess ... !
Meski terlihat serampangan tak tentu arah, namun sebenarnya si nenek baju
lurik kembang-kembang kedodoran yang berjuluk Tongkat Berbisa
menggunakan jurus-jurus aliran tongkat yang dinamakan jurus ‘Tamparan Kelinci
Genit’. Berulang kali sambaran tongkat sarat tenaga dalam menyambar ke arah
si kakek gendut botak, namun anehnya dengan gaya lucu megal-megol macam
angsa mau bertelur, kelebatan dan sambaran tongkat dari jurus ‘Tamparan
Kelinci Genit’ bisa di mentahkan begitu saja.
Sett! Wutt!!
Eitt ... ! Tidak kena!” ledek si kakek sambil nungging tepuk-tepuk pantat
kirinya, “Nih, pantatku! Silahkan sodok kalau bisa!?”
“Hi-hi-hik! Barang busuk macam pantat kuali saja kau pamerkan di
hadapanku!” sambar si nenek sambil terus mengayun-ayunkan tongkatnya
kesana kemari.
Wutt! Wutt ... !
Tiba-tiba, tangan kirinya melepas gagang tongkat lalu bergerak menyodok ke
depan.
Dubb ... !
Segumpal hawa padat melesat cepat, dan tanpa dapat di cegah lagi langsung
menghantam pantat kiri si kakek yang kala itu sedikit bergeser ke kanan
menghindari ayunan tongkat.
Blakk!
Tak pelak lagi, pantat bundar macam kuali terhantam keras.

“Wuadowww ... !!”
Si kakek kocak langsung berjingkrak-jingkrak sambil mengusap-usap
pantatnya.
“Dasar tua bangka ganjen!” bentak si kakek sambil tangan kanan masih terus
mengusap pantat, sedang tangan kirinya bergerak dari arah belakang ke depan
seperti anak kecil melempar gasing.
Wutt!
Sebentuk bola biru sebesar telur bebek melesat cepat.
“Jurus ‘Hantam Bukit Hancurkan Tebing’!” seru Tongkat Berbisa sambil
mengayunkan tongkat di tangannya membentuk baling-baling.
Wukk ... wukk ... !!
Durr ... !!
Terdengar suara letupan kecil dikala bola biru sebesar telur bebek membentur
perisai tongkatnya.
Jika si nenek terjengkang ke belakang akibat benturan, justru Kakek Kocak
dari Gunung Tugel terjerembab ke depan. Justru karena itulah, jurus yang baru
saja dilontarkan si kakek dinamakan ‘Hantam Bukit Hancurkan Tebing’ sebab
begitu serangan pertama bisa digagalkan lawan, maka dengan gaya seolah-olah
terjerembab, sepasang tangannya yang berubah menjadi biru terang
menghantam ke arah depan dengan cepat!
Wuss ... !!
“Hi-hi-hi-hik! Aku sudah tahu kelanjutan jurusmu, tua bangka edan!” kekeh
Tongkat Berbisa sambil melenting ke atas, sehingga serangan Gayam Dompo
alias Kakek Kocak dari Gunung Tugel lewat di bawah kakinya.
Wuss ... ! Durr ... !!
Dari arah ketinggian, kembali Tongkat Berbisa mengelebatkan tongkatnya
digebukkan ke arah punggung si gendut botak!
Wukk ... !
Benar-benar serangan yang berbahaya bagi keselamatan punggung gempal
itu!
Namun, bukan Kakek Kocak dari Gunung Tugel namanya jika hanya
mendapat serangan seperti itu sudah terkena serangan lawan. Sepasang
tangannya yang masih terselimuti cahaya biru terang di putar ke belakang dalam
posisi membungkuk untuk menghalangi ayunan tongkat yang akan mengarah ke
punggung.
Brakk! Jderr ... !!
Gerakan cepat lawan ternyata diluar perhitungan si nenek periang ini.
Akibatnya tubuh si nenek baju lurik kembang-kembang kedodoran semakin
melambung tinggi ke atas akibat benturan tenaga sakti masing-masing.

“Botak sialan! Aku terpaksa membiarkan nyawa busukmu untuk sementara
ngendon di sana! Suatu saaat aku akan mengambilnya sendiri, hi-hi-hik!” seru si
nenek sambil ngacir, mengerahkan jurus peringan tubuhnya sampai tahap
tertinggi. “Titip, ya!?”
Blass ... !
“Nenek ganjen! Bilang saja kau takut! Pake acara titip nyawa segala!” bentak
keras Gayam Dompo dengan pengerahan tenaga dalam tinggi hingga suaranya
memantul-mantul ke sekitar.
“Brengsek! Hebat juga tenaga si tua bangka itu,” gerutu si kakek sambil
mengeluarkan kakinya dari dalam tanah. “Luka dalam ngga, nih?”
Setelah dilihat pulang-balik, kaki ini menarik napas lega.
“Fiuhh ... untung cuma luka kecil doang,” katanya sambil menghembuskan
napas dari mulutnya yang lumayan tebal. Akibat benturan terakhir tadi, sepasang
kaki Gayam Dompo sampai melesak hingga setinggi lutut. Meski pertarungan
singkatnya seperti orang main-main, namun sebenarnya ke dua tokoh kosen
yang memang sama sudah bau tanah ternyata telah mengeluarkan jurus-jurus
silat tingkat tinggi.
“Dasar kodok sawah! Kemana saja perginya Kaswari muridku?” gerutu Kakek
Kocak dari Gunung Tugel. “Di pos selatan dan utara yang seharusnya dijaga oleh
Contreng Nyawa dan Dewa Periang dibiarkan kosong melompong tanpa
penjagaan sama sekali. Apa mereka tidak takut dengan hukuman dari Tuan
Majikan, apa?”
Belum lagi gerutuannya menghilang, tiga sosok bayangan berkelebat cepat.
Wutt! Jleegg!
“Guru!”
“Gayam Dompo! Enak saja kau bilang kami kelayapan!” tukas seorang laki-laki
parobaya berambut hijau belang-belang. “Jika bukan karena menolong murid
tololmu dari sergapan Nyai Kembang Hitam dan anak si Pawang Racun yang
menyusup, kami masih di pos penjagaan.”
“Nyai Kembang Hitam dan Pawang Racun Kecil?” kata kaget kakek Gayam
Dompo. “Benarkah mereka yang datang, Kaswari?”
“Benar seperti apa yang dikatakan Paman Contreng Nyawa, Guru,” sahut
Kaswari. Gadis manis berkulit kuning sedikit kecoklatan dengan raut muka
lonjong berbaju kuning gading membungkukkan badan dengan hormat kepada
kakek botak itu.
“Lagi pula di posku sendiri, aku juga harus menghadapi Pemulung Nyawa ... ”
ujar seorang kakek rambut putih sambil senyum-senyum sendiri. “Ha-ha-ha,
untung saja Pemulung Kurang Kerjaan itu bisa aku sepak keluar dari wilayah
kekuasaanku. Kalau tidak mengingat saudara Contreng Nyawa, mungkin
Pemulung Nyawa sudah dicambuk sama Dewa Neraka. Ha-ha-ha!”

Wajahnya terlihat paling segar diantara ke dua orang itu (kalau dengan
Kaswari jelas kalah segar, kalah cakep pula!). Mukanya kemerah-merahan
seperti bayi baru lahir, lucu-lucu imut gimana gitu!? Karena selalu riang gembira,
bahkan susah pun kakek ini selalu riang tanpa beban hingga digelari Dewa
Periang.
“Heh, memang adikku itu paling sulit dinasehati,” gumam Contreng Nyawa
sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Terima kasih atas kebaikan Dewa
Periang. Biar lain kali aku saja yang menghajar adat padanya.”
“Ho-ho-ho ... ! Jangan sungkan-sungkan sobat,” sahut Dewa Periang sambil
menepuk pundak Contreng Nyawa, ringan.
“Guru, aku sendiri merasa heran,” kata Kaswari.
“Apa yang kau herankan, muridku?”
“Nyai Kembang Hitam, anak si Pawang Racun, dan Tongkat Berbisa adalah
tokoh silat aliran hitam yang berkepandaian tinggi. Entah dengan cara
bagaimana paman Pemulung Nyawa bisa berkawan dengan mereka,” sahut
Kaswari, sambungnya. “Setahu murid, wilayah Tanah Bambu ini tidak pernah
memiliki silang sengketa dengan mereka bertiga, apalagi dengan Paman
Pemulung Nyawa yang masih saudara seperguruan dengan Paman Contreng
Nyawa. Bukankah hal ini adalah aneh?”
“Kita bicarakan saja hal ini di pos utama. Aku yakin, di sekitar tempat ini ada
mata dan telinga yang mendengar pembicaraan kita,” bisik Contreng Nyawa.
“Kita kembali sekarang.”
Ketiganya mengangguk pelan dan tanpa banyak kata, mereka berempat
langsung melesat pergi ke arah jurusan selatan.
Begitu empat orang itu lenyap dari pandangan, dari balik gerumbulan perdu
tiba-tiba menyeruak sebentuk tangan putih mulus diikuti dengan sesosok tubuh
tinggi semampai berbaju hitam ketat sehingga mencetak setiap lekuk lengkung
tubuhnya. Sepasang bukit kembar terlihat begitu menonjol sehingga jika terlihat
dari samping, potongan tubuh itu begitu sempurna. Dilihat sekilas, wanita yang
usianya sekitar dua puluh lima tahunan dengan wajah cantik jelita ini sangat
menggiurkan setiap laki-laki yang memandang. Terlebih lagi dengan adanya
belahan dada yang rendah sehingga sebagian besar bukit dada terlihat jelas
sudah lebihd ari cukup untuk membuat mata laki-laki manapun blingsatan.
Di dekat telinga kiri terdapat sekuntum bunga melati warna hitam legam.
Dialah yang dijuluki ...
Nyai Kembang Hitam!
Begitu sosok ramping Nyai Kembang Hitam keluar dari tempat
persembunyiannya, dibelakangnya telah berdiri tegak seorang laki-laki muda
rupawan berbaju merah darah dengan celana pangsi coklat cerah, yang tanpa
malu-malu langsung melingkarkan tangan kanan ke pinggang Nyai Kembang
Hitam, ditarik dalam satu sentakan saja tubuh Nyai Kembang Hitam sudah jatuh
dalam pelukannya.

Nyai Kembang Hitam tersenyum manis. Lalu dengan satu gerakan cepat, ia
meraih wajah si pemuda dengan kedua tangannya, dan menyentuhkan ujung
bibirnya dengan lembut ke bibir si pemuda. Merekahkan tepian lalu melumat
lambat-lambat. Pemuda itu memejamkan mata. Kehangatan bibir gadis itu, coba
diresapinya dalam-dalam.
Nyai Kembang Hitam menarik wajahnya mundur. Kelopak matanya tampak
sayu. Sedang napasnya terdengar mulai cepat.
“Panji Tilar, ini ... ”
Tanpa sempat melanjutkan kata-katanya, bibir si pemuda langsung
menyumpal bibir indah Nyai Kembang Hitam. Untuk sesaat, tubuh Nyai Kembang
Hitam mengejang-melemas tanpa kendali. Bahkan sedikit menggeliat kala
tangan kiri pemuda yang bernama Panji Tilar menyusup masuk ke dalam
belahan dada montok Nyai Kembang Hitam dari arah depan dan begitu
mendapat sasaran tangkap, langsung meremas-remas bongkahan kenyal di
dada kanan Nyai Kembang Hitam.
Untuk sesaat Nyai Kembang Hitam menikmati setiap perbuatan Panji Tilar,
namun pada detik berikutnya wanita cantik itu melakukan gerakan memutar
dengan cepat.
Sett!
Dalam satu gerakan saja, tubuh ramping Nyai Kembang Hitam telah lepas dari
dekapan Panji Tilar.
Namun, justru karena gerakan yang dilakukan oleh Nyai Kembang Hitam
membuat tangan kiri Panji Tilar yang masih berada dalam bajunya tanpa sengaja
tercabut paksa. Akibatnya ...
Brett!!
Baju bagian dada yang sudah rendah itu justru tersobek hingga ke pusar!
“Kenapa ... ?” terdengar suara Panji Tilar sedikit memburu.
Mata pemuda itu semakin nanar melihat pemandangan syur itu. Bagaimana
tidak, sepasang bukit kembar yang awalnya sudah membusung kencang, kini
seakan meloncat hendak keluar karena ruang geraknya sedikit terbebas.
Benar-benar memusingkan!
“Kau nakal sekali, Panji Tilar!” kata Nyai Kembang Hitam berjalan mendekat
dua langkah dengan napas sedikit cepat. Lalu dipeluknya pemuda itu. “Ingat
dengan tugas yang dibebankan Ketua pada kita.”
Mendengar kata-kata Nyai Kembang Hitam, Panji Tilar menghembuskan
napas berulang kali. Sedikit banyak, hawa birahinya terkendali.
“Tapi aku ... ”
Nyai Kembang Hitam meletakkan jari telunjuk kirinya ke bibir si pemuda.
“Pawang Racun Kecil!” kata Nyai Kembang Hitam menyebut gelar si pemuda.
“Aku tahu beban yang ditugaskan oleh Ketua berada di pundakmu. Dan aku tahu

pula kematian Pawang Racun ayahmu di tangan Dedengkot Dewa memang
harus dibalas termasuk dengan bunga-bunganya ... ”
“Aku paham maksudmu, Nyai ... !” tukas Pawang Racun Kecil. “Tapi sekarang
aku membutuhkan dirimu. Membutuhkan kehangatan tubuhmu! Balas dendam
bisa aku lakukan sambil jalan. Lagi pula Dedengkot Dewa sudah aku ketahui
dimana adanya dia berada. Kupikir ... ”
“Kau pikir segampang itu menghadapi Dedengkot Dewa? Ayahmu saja tewas
melawannya, apalagi dirimu?”
“Huh! Aku bukan ayahku!” sahut Pawang Racun Kecil sambil membalas
pelukan Nyai Kembang Hitam. “Ayahku tewas karena ia malas mempelajari Kitab
‘Racun Lima Bintang’ sampai tuntas! Sedang aku? Kitab itu aku pekajari hingga
tingkat paripurna. Tingkat dua puluh!”
“Sudahlah!” kata Nyai Kembang Hitam, karena ia memang tidak mau berdebat
dengan pemuda itu. “Bagaimana dengan tugasmu?”
“Pemulung Nyawa yang asli sudah aku kirim ke neraka,” kata Pawang Racun
Kecil sambil dua tangannya mengusap-usap lembut.
Nyai Kembang Hitam membiarkan saja tingkah pemuda di hadapannya,
bahkan kini karena mulai terangsang birahinya, ia meletakkan ke dua tangannya
merangkul leher si pemuda.
“Tugas kedua?”
“Pemulung Nyawa yang palsu sudah aku susupkan ke dalam wilayah Tanah
Bambu, tapi tololnya ... penyamarannya terbongkar dan terpaksa aku kirim pula
ia ke neraka menyusul Pemulung Nyawa yang asli,” ucap si pemuda sambil
tangannya terus bergerilya ke mana-mana. “Benar-benar brengsek! Untuk
mengambil sebuah medali saja, ia tidak becus!”
Pawang Racun Kecil terus saja menggerakkan tangannya ke sana kemari
menjelajahi tubuh Nyai Kembang Hitam sembari mulutnya memberi keterangan
tentang apa-apa yang menjadi tugasnya. Sedang yang menjadi sasaran gerilya
hanya bisa mendesis-desis sambil sesekali menggelengkan kepala dengan
pelan. Nampak Nyai Kembang Hitam pun mulai terangsang ulah Pawang Racun
Kecil.
“Apakah ... mas … sih ada ... lagi tugasmu ... ?” tanya wanita baju hitam, yang
kini baju hitamnya sudah tidak karuan bentuknya. Bahkan ia tidak menyadari
bahwa ikat pinggang hitamnya sudah kendor dan celananya sedikit melorot ke
bawah paha meski masih di atas lutut, sehingga sebentuk rerimbunan di bawah
sana yang menutupi sebentuk gerbang istana kenikmatan terkuak.
“Ada.”
“Apa?”
“Ini!”
Diangkatnya sedikit bagian bawah belakang Nyai Kembang Hitam, lalu
diturunkan dengan cepat!

Srepp ... !!
“Aaakkh ... !” jerit lirih Nyai Kembang Hitam kala ia merasakan sebuah benda
panjang menerobos paksa ke bagian bawah tubuhnya. Belum lagi ia menjerit
kembali, bibirnya sudah di sumpal oleh bibir Pawang Racun Kecil dan
menyodokkan pilar tunggal penyangga langitnya hingga masuk sempurna.
Srepp ... !!
Tangan kiri kanan Pawang Racun Kecil meremas-remas sepasang bukit
kembar milik Nyai Kembang Hitam dengan kasar. Tentu saja Nyai Kembang
Hitam kelabakan karena mendapat serangan dadakan begitu rupa dari pemuda
tampan yang kini sedang memaju-mundurkan senjata pusakanya.
“Nyai, kita bercinta di rumahku saja,” kata lirih Pawang Racun Kecil, yang
tanpa melepaskan pilar tunggal penyangga langitnya terlebih dahulu dari dalam
gerbang istana kenikmatan Nyai Kembang Hitam, langsung menghentakkan kaki
ke tanah.
Wutt!
Tubuh pemuda itu melesat cepat laksana panah terlepas dari busurnya.
Uniknya, meski sambil mengerahkan tenaga peringan tubuh, Pawang Racun
Kecil masih ‘menghajar nikmat’ bagian bawah tubuh Nyai Kembang Hitam
hingga wanita itu merasakan sensasi yang luar biasa yang seumur hidup belum
pernah ia rasakan.
Bercinta sambil melayang-layang di udara!
--o0o--
BAGIAN 6
“Kalau bukan rahasia Ilmu ‘Bayu Buana’ tentulah Kitab Ilmu ‘Seribu Bulan’
milik Tuan Majikan,” tebak Riung Gunung dengan pasti, sambil menyeret sebuah
bangku dan duduk di sana. Tak lupa periuk yang ada di punggungnya dilepas
lalu ditaruh di samping kanan.
Semua orang yang ada di tempat itu terkejut mendengar perkataan si pemuda
berperiuk. Jelas sekali bahwa memang ada kemungkinan dua ilmu rahasia itulah
yang menjadi sasaran dari para pennyusup. Karena dari tingkat kedudukan
mereka di rimba persilatan tidaklah mungkin mengincar harta benda berupa
emas berlian dan sejenisnya.
Lagi pula, siapa orang-orang rimba pendekar yang tidak tahu tentang Ilmu
‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’?
Kecuali orang yang tidak tahu, semua pasti tahu, bro!
Ilmu ‘Bayu Buana’ adalah sejenis ilmu ringan tubuh yang bisa membuat orang
mengarungi angkasa dengan memanfaatkan kekuatan angin meski tidak terbang
bebas seperti burung, akan tetapi tubuh bisa melayang-layang di angkasa tanpa

sayap. Jelas dengan adanya ilmu ini membuat siapa saja pasti ngiler empat hari
tiga malam karena saking inginnya menguasai Ilmu ‘Bayu Buana’ ini. Konon
kabarnya Tuan Majikan Kepulauan Tanah Bambu telah menguasai ilmu ini
dengan sempurna hingga bisa bepergian kemana saja.
Benar atau tidaknya, kali ini hanya Yang Kuasa yang tahu!
Lalu bagaimana dengan Ilmu ‘Seribu Bulan’?
Wah, ini malah bisa membikin lebih ngiler lagi, cing!
Dengan menguasai Ilmu ‘Seribu Bulan’ secara sempurna bisa
memperpanjang umur hingga mencapai delapan puluh empat tahun bahkan
lebih. Namun yang lebih membuat semakin ngiler adalah sosok pemilik ilmu ini
akan berubah wujud menjadi sosok manusia yang usianya baru mencapai dua
puluh lima tahunan. Pada umumnya usia manusia antara lima puluh sampai
tujuh puluh tahun. Kalau bisa menguasai ilmu dengan sukses plus umur
bertambah sekian puluh tahun, apa ngga hebat ’tuh?
Bisa dibayangkan betapa inginnya orang-orang menjadi awet muda, bukan
awet tua!
“Bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu, Riung?” tanya Dedengkot
Dewa sambil tersenyum.
“Mudah saja, Paman.” sahut Riung Gunung sambil membetulkan posisi
duduknya. “Semenjak Tuan Majikan serta Nyonya Majikan menghilang, kedua
ilmu ini pun turut menghilang. Sebagai orang asli Kepulauan Tanah Bambu,
semua tahu bahwa Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ hanya bisa dimiliki
oleh orang yang memiliki tautan darah dengan pemilik asli Kepulauan Tanah
Bambu, barulah bisa menguasai ke dua ilmu ini. Meski benar atau tidaknya
bahwa orang harus punya tautan darah untuk menguasai ke dua ilmu ini, tidak
ada yang tahu. Namun rahasia ini diketahui oleh pihak luar --dalam hal ini saya
beranggapan orang-orang yang berani menyusup ke tempat kita-- berpikir bahwa
dengan menghilangnya pucuk pimpinan di tempat ini akan semakin mudah
mencuri ilmu-ilmu sakti yang ditinggal.”
“Ilmu sakti yang ditinggal?” potong Kaswari.
“Benar. Ilmu sakti yang ditinggal bisa berupa catatan, kitab-kitab silat atau pun
sejenisnya ... ” kali ini yang menjawab Dedengkot Dewa, sambungnya, “ ... dan
hal itu perlu kita waspadai.”
“Setahuku, Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ selalu diturunkan secara
pribadi pada calon pengganti saja,” kata Dewa Periang.
“Benar apa yang dikatakan oleh Dewa Periang,” jawab Dedengkot Dewa,
“Namun kita melupakan satu hal yang teramat penting.”
“Apa itu!?” tanya Gayam Dompo, heran.
“Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’!” tegas sekali kata Dedengkot Dewa. “Dan
yang jelas ... tanpa perlu darah keturunan pun, kedua ilmu itu bisa dipelajari
siapa saja!”

Saat mengatakan hal itu, matanya sedikit berkeredep penuh kilatan amarah,
namun hanya sesaat saja. Semua orang yang ada di tempat itu terperanjat
mendengar ucapan Dedengkot Dewa sehingga tidak begitu menyadari
perubahan mimik muka dari si laki-laki berkumis tipis, kecuali satu orang!
Riung Gunung!
Kala itu si pemuda ingin mengambil potongan ikan asap yang ada di dalam
periuk, namun saat berusaha mengusir lalat, secara tidak sengaja ia memandang
raut wajah Dedengkot Dewa yang berdiri membelakangi semua orang yang ada
di tempat itu, kecuali dirinya yang duduk beradu muka sejarak tiga langkah dari
laki-laki itu. Keredepan mata penuh dendam bisa ditangkapnya meski sekilas.
“Aneh, sekilas tadi kulihat mata Paman Dedengkot Dewa sedikit
memancarkan hawa amarah yang tertahan,” pikir Riung Gunung, namun hatinya
merasa sangsi, “Atau ... jangan-jangan aku salah lihat?”
“Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’?” Contreng Nyawa membantah. “Tidak
mungkin! Kau bohong!”
“Bisa dipelajari siapa pun? Huh! Itu betul-betul tidak mungkin dan tidak
mungkin betul!” seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel.
“Dedengkot Dewa, Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’ hanyalah mitos belaka.
Mitos yang dihembuskan oleh Tuan Majikan pertama agar orang-orang
persilatan ... “
“Itu bukan mitos!” potong Dedengkot Dewa dengan cepat.
“Bukan mitos katamu?” kali ini Dewa Periang berkata, “Ha-ha-ha! Jangan
ngawur kau, sobat!”
“Aku berkata yang sebenarnya!” kali ini suara Dedengkot Dewa sedikit keras,
“Dengar! Dari beberapa lontar yang aku pelajari dan pernah kusinggung tentang
kitab itu pada Empat Tua Raja Tanah Bambu, ternyata Ilmu ‘Bayu Buana’ dan
Ilmu ‘Seribu Bulan’ berasal dari Kitab Ilmu Silat ‘Seribu Indera’. Dan menurut Tua
Raja Tinju Kayangan, masih ada dua ilmu lagi yang ada dalam kitab sakti itu.
Dan ilmu ini puluhan kali lebih berbahaya dari dua ilmu sebelumnya.”
“Apa!?” seru Gayam Dompo sambil berdiri.
Semua yang ada di tempat itu sontak ikut berdiri dengan wajah penuh
ketegangan. Jika dua ilmu pertama saja sudah membuat orang mupeng alias
muka pengin, lalu bagaimana dengan dua ilmu lainnya?
“Jika memang benar apa katamu, ilmu apa yang ke tiga dan ke empat?”
“Menurut penuturan Tua Raja Tinju Kayangan, dua ilmu yang lain adalah Ilmu
‘Sayap Pedang Malaikat’ dan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat Sembilan
Matahari’!” tegas Dedengkat Dewa, sambungnya, “ ... aku yakin kalian pernah
mendengar legenda dua ilmu itu!”
Mendengar tentang Ilmu ‘Bayu Buana’ dan Ilmu ‘Seribu Bulan’ saja sudah
membuat orang-orang persilatan sudah ngiler ingin menguasainya, kini ditambah
dengan Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ dan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat

Sembilan Matahari’ yang kabarnya hanya dikuasai oleh datuk persilatan masa
enam ratus silam ini, membuat tokoh-tokoh utama dari Kepulauan Tanah Bambu
bergidik ngeri!
Kala itu, guru Dewa Pengemis yang bergelar Matahari Sabit konon kabarnya
hanya menguasai setengah dari kekuatan Ilmu Sakti ‘Delapan Sambaran Kilat
Sembilan Matahari’ sudah menjadi jagoan tanda tanding di jagat persilatan,
bahkan para tokoh sakti dari Daratan Tiongkok dan Tanah Hindustan banyak
yang bertumbangan di bawah tangan si Matahari Sabit ini.
Beberapa Biksu Sakti dari Shaolin mengklaim bahwa Ilmu Sakti ‘Delapan
Sambaran Kilat Sembilan Matahari’ adalah sama dengan Kitab Ilmu ‘Sembilan
Matahari’ (Jiu Yang Zhen Jing) aliran mereka yang konon kabarnya telah hilang
dari Gudang Pustaka Biara Shaolin untuk kedua kalinya selama puluhan tahun
menghilang tak tentu rimba, sehingga mereka berkesimpulan bahwa ilmu yang
dikuasai oleh Matahari Sabit adalah ilmu dari Biara Shaolin sehingga mereka
berniat meminta kembali kitab ilmu tersebut. Namun oleh Matahari Sabit
disangkal keras, hingga terjadilah pertarungan dua hari dua malam lamanya.
Pertarungan itulah yang hingga kini menjadi legenda abadi rimba persilatan!
Matahari Sabit yang marah karena dituduh sebagai pencuri ilmu oleh para
Biksu Shaolin langsung membabat habis para biksu tanpa berpikir siapa yang
salah dan siapa yang benar. Tanpa ampun, delapan Biksu Shaolin pada akhirnya
harus mati berkalang tanah di Tanah Jawa. Meski begitu, akibat pertarungan
yang sungguh-sungguh melelahkan itu sang pendekar tidak luput dari luka dalam
parah karena terlalu banyak menggunakan tenaga sakti hingga melebihi batas
kemampuannya sebagai manusia.
Karena kejamnya pertarungan kala itu, sampai-sampai Matahari Sabit diberi
julukan baru ...
Dewa Perang!
Kini ilmu-ilmu sakti milik Dewa Perang dalam legenda kembali diungkit.
Tentu saja membuat orang-orang yang ada di tempat itu langsung merasa
ngeri!
“Jika memang benar seperti yang kau katakan, maka wilayah Kepulauan
Tanah Bambu ini sekarang bukan wilayah yang aman!” kata tegas Contreng
Nyawa, lalu sambil memandang semua orang yang di tempat itu satu persatu, ia
pun melanjutkan, “Dan naga-naganya ... kita harus melibatkan Penguasa Gaib
Tanah Bambu untuk membantu kita!”
“Maksudmu ... Sepuluh Dara Gaib!?” tanya Dewa Periang menegaskan.
“Benar.”
“Kau tahu cara menghubungi mereka?” tanya Dewa Periang lagi.
“Tahu.”
“Kau bisa melakukannya?”
“Tidak.”

“Kenapa tidak?”
“Karena aku tidak mau mati di alam gaib.”
“Kenapa, Paman?” kali ini Riung Gunung yang bertanya.
“Untuk masuk alam gaib wilayah kekuasaan Sepuluh Dara Gaib, memerlukan
tenaga gaib yang besar dan setidaknya menguasai ilmu pangracutan atau yang
sejenisnya. Di alam gaib, hanya sukma saja yang sanggup merobos masuk ke
dalam tirai gaib ... ” tutur Gayam Dompo, sambungnya, “ ... dan satu-satunya
orang pernah keluar-masuk alam gaib dengan selamat di wilayah mereka adalah
gurumu sendiri, Riung.”
“Ki Ajar Lembah Halimun!” seru Contreng Nyawa. “Betul-betul-betul! Kukira
hanya orang tua itu saja yang sanggup masuk ke sana.”
Mendengar nama gurunya disebut-sebut, Riung Gunung hanya tersenyum
kecut, “Percuma saja meminta bantuan Kakek Guru!”
“Kenapa?”
“Karena beliau berpesan, bahwa kemelut ini tidak akan terselesaikan meski
meminta bantuan kepada Sepuluh Dara Gaib.”
“Benarkah?”
“Guru tidak pernah meleset dalam soal ramal-meramal. Saya rasa pamanpaman
sekalian sudah jelas tentang hal itu,” tandas Riung Gunung.
Semua yang ada di tempat itu terdiam. Tidak ada komentar sedikit pun
terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh anak muda berperiuk itu. Para
penguasa Tapal Batas tahu betul seberapa jujur ucapan Riung Gunung dan
seberapa teguh pendirian Ki Ajar Lembah Halimun serta seberapa hebat ilmu
meramalnya.
“Kalau memang begitu, kita harus berusaha dengan cara kita sendiri,” putus
Contreng Nyawa, lalu sambungnya, “Kukira ... sudah saatnya Pedang Pensil
milikku perlu dicuci dengan darah.”
“Baik! Selain Pasukan Bambu Barat, Gelang Hitam Belenggu Hawa juga siap
mendampingiku menghadapi musuh yang menyerang wilayah kita, hahahaha!”
seru Kakek Kocak dari Gunung Tugel sambil mengelus-elus sepasang gelang
besar yang ada di punggungnya.
“Ha-ha-ha! Kalian jangan lupa dengan Tongkat Gulungan Kain-ku!” seloroh
Dewa Periang sambil memutar-mutar kain biru panjang di tangannya.
Begitu disentakkan ke depan ...
Sett! Rett!!
Sontak kain langsung menggulung membentuk sebuah tongkat panjang dari
gulungan kain. Jelas sekali bahwa Dewa Periang termasuk tokoh silat kelas
tinggi, terlihat dari tenaga dalam yang dialirkan ke dalam senjata uniknya,
sambungnya, “Lagi pula, Pasukan Tanah Selatan juga siap berkorban demi
kejayaan Kepulauan Tanah Bambu!”

“Pedang Pensil, Gelang Hitam Belenggu Hawa dan Tongkat Gulungan Kain
adalah senjata-senjata luar biasa. Sedang aku ... cuma punya Tangan Pengejar
Nyawa,” desah Dedengkot Dewa sambil tangan kirinya di tarik dari kiri ke atas
lalu turun sejajar dada. Sebentuk cahaya merah kecoklat-coklatan terpancar kuat
dari tangan kiri Dedengkot Dewa yang segera dikibaskan ke arah rerimbunan
pohon perdu.
Sett! Weeerr ... ! Dhuarrr ... !
Rerimbunan pohon perdu dan tanah dibawahnya langsung terbongkar diikuti
dengan semburatnya tanah.
Plokk! Plook!
Dewa Periang bertepuk tangan sambil berkata, “Benar-benar ilmu yang hebat,
Dedengkot Dewa! Tanpa bertanding denganmu pun, aku sudah merasa di bawah
angin! Benar-benar luar biasa!”
“Cuma ilmu picisan, apa bagusnya!?” kata Dedengkot Dewa sambil
tersenyum, lalu katanya pada Riung Gunung, “Anak Riung! Kurasa tugas
ayahmu di wilayah Tapal Batas Utara bisa kau ambil alih untuk sementara waktu.
Kau siapkan Pasukan Tambak Segara dengan sebaik-baiknya untuk
menghadapi lawan yang kemungkinan besar akan menyerang dalam waktu
dekat ini.”
“Baik, Paman!”
“Dan kau ... Kaswari! Kumpulkan semua teman-temanmu yang bisa memanah
untuk memperkuat Pasukan Panah Api,” kata tegas Dedengkot Dewa.
”Perbanyak latihan, jika perlu penegakan disiplin dalam latihan!”
“Siap, Paman!”
“Dedengkoat Dewa! Kukira Pasukan Tanduk Banteng-mu pun juga perlu
dipersiapkan lebih baik dari pasukan yang ada di tiap wilayah Tapal Batas,” usul
Gayam Dompo.
“Kau benar, sobat! Pasukan Tanduk Banteng adalah pasukan perintis. Mereka
memang telah terlatih sebagai pasukan berani mati,” ucap Dedengkot Dewa
dengan nada bangga. “Kalian tidak perlu khawatir dengan hal itu!”
“Sekarang ... pertemuan bubar!”
Semua orang yang di tempat itu saling menjura satu sama lain sebagai adat
penghormatan terhadap sesama penguasa wilayah Tapal Batas. Setelah itu
semua segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Hanya Riung Gunung
seorang yang berjalan lambat-lambat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di
dalam kepalanya.
“Aneh sekali. Kenapa aku merasa perlu mencurigai Paman Dedengkot Dewa,
ya?” pikirnya. ”Wah, pasti ada yang ga bener nih! Kuselidiki, ahh ... “
Sambil beranjak berdiri, ia kembali mendesis pelan, “Lebih baik aku kembali
ke tempat ayah. Kurasa Tombak Penusuk Bumi milik ayah bisa aku gunakan
sebagai penjaga diri. Tidak melulu Periuk Ikan ini!”

Riung Gunung melesat pergi dengan lompatan-lompatan ringan seperti gaya
belalang melentik.
--o0o--
BAGIAN 7
“Ada perompak ... ! Ada perompak ... !” seru salah seorang anak buah kapal
Surya Silam dari atas tiang penyangga layar. Tubuhnya berloncatan turun ke
bawah laksana kera. Meski tidak menguasai jurus peringan tubuh, namun
kegesitan yang ditempa alam membuatnya sanggup melejit dari satu tali ke tali
yang lain dan pada akhirnya turun dengan manis di atas geladak.
Gandarwa yang saat itu sedang tidur-tidur ayam dekat anjungan kapal
menikmati sejuknya angin laut, langsung menghampiri orang yang baru saja
berteriak, “Brengsek benar kau, Satari! Ada apa teriak-teriak sesiang ini?”
“Ada perompak, Kang! Di sana!” sahut Satari sambil menunjuk ke arah
selatan.
“Dasar setan laut keparat!” makinya sambil memandang ke jurusan selatan.
Mata tajamnya sedikit menyipit, seolah sedang memastikan benar-tidaknya
laporan dari sang anak buah.
Dari menyipit, Gandarwa justru menjerengkan mata!
“Busyet, itu mata apa jengkol? Gede amat!” pikir Satari.
“Demi setan laut! Itu Perompak Tujuh Lautan pimpinan Jenggot Perak Mata
Satu!” desis Gandarwa.
Mendengar sebutan Perompak Tujuh Lautan, Satari langsung terjengkit kaget!
“Yang bener, Kang!?”
“Meski jarak cukup jauh, mataku belum lamur!” desis Gandarwa sekali lagi,
sambil matanya tidak lepas dari sebentuk titik hitam yang semakin lama semakin
kelihatan jelas. “Lihat bendera hitam lambang tiga tengkorak itu.”
“Wah, ga keliatan, Kang ... masih jauh ... “ seru Satari sambil celingakcelinguk,
sambungnya, “Kakang yakin itu kapal Perompak Tujuh Lautan?”
“Yakin sekali.”
“Wah ... asyik kalau begitu ... “
“Asyik kepalamu pitak! Ini berhubungan dengan nyawa seluruh penumpang
kapal Surya Silam ini, goblok!” bentak Gandarwa.
Mendengar suara ribut-ribut di depan anjungan, nakhoda kapal berjalan
menghampiri mereka.
“Ada apa, Gandarwa?” tanyanya.
Tanpa menjawab, Gandarwa hanya menunjuk ke depan, ke jurusan selatan!

Dan tanpa bertanya untuk kedua kali, mata sang nakhoda langsung
memandang ke jurusan selatan, dimana Gandarwa memelototi titik hitam yang
semakin mendekat. Sontak, ia langsung berteriak kaget, “Celaka lima belas! Itu
... kawanan Perompak Tujuh Lautan!”
“Aku sudah tahu, Kang. Lalu bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana?” balik tanya si nakhoda yang bernama Gautama.
“Tentang Perompak Tujuh Lautan.”
“Hemm, dari kabar yang berhasil aku sirap, kawanan Perompak Tujuh Lautan
adalah jenis perampok yang pekerjaan yang ‘serba bersih’. Bersih nyawa, bersih
harta dan bersihkan apa yang ada!”
“Jadi ... ?”
“Jika mereka sudah memberikan target, pasti akan menyapu bersih semua
yang ada! Jika di kapal ini ada seribu nyawa, maka seribu nyawa pulalah yang
dibersihkan. Dan itu artinya ... “
“Artinya ... ?”
“Kita harus bersiap-siap menjadi penghuni laut!” desis Gautama.
“Huh, tapi aku tidak mau menjadi penghuni laut!” seru laki-laki berompi merah
itu. Wajah Gandarwa langsung membesi kala mengetahui bahwa kawanan
Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata Satu adalah tipe
perompak yang ‘suka kebersihan’!
Benar-benar reputasi yang hebat!
“Lebih baik mati dalam pertarungan dari pada mati tanpa perlawanan!” ucap
Gandarwa berapi-api.
“Aku setuju, Kang! Setuju!” sahut Satari ikut-ikutan.
Gandarwa menoleh pada pemuda pendek didekatnya. Sudah puluhan tahun
mereka bersama, baik dalam suka mau pun duka. Meski selisih umur mereka
sepuluh tahunan, tidak menghalangi rasa persahabatan diantara keduanya.
“Satari, kau takut mati!?”
“Yoo ... jelas to, Kang! Lha wong aku masih muda, pingin makan, pingin punya
istri, pingin ... “
“Kalau begitu ... kau siap mempertahankan hidupmu!?” tanya Gandarwa lagi.
“Jelas aku siap!” kata tegas Satari.
“Bagus! Tidak percuma aku punya sahabat seperti dirimu!”
Keduanya saling pandang, lalu sama-sama tersenyum.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan, Kang?”
“Siapkan teman-temanmu. Dan ungsikan para penumpang ke ruang rahasia di
bagian bawah kapal!” perintah Gandarwa. “Katakan pada mereka, keadaan
darurat!”

Tanpa bertanya lagi, Satari segera berlalu.
Sebentar saja, suara ribut-ribut terdengar saling bersahutan.
Ada yang langsung menangis menggerung-gerung mengetahui bahwa yang
ingin menyatroni mereka adalah kawanan Perompak Tujuh Lautan, ada pula
yang terlongong bengong macam sapi ompong, bahkan ada di antara mereka
yang sedikit memiliki ilmu silat, langsung menghunus senjata siap sedia
mempertahankan kapal yang mereka tumpangi.
Seorang laki-laki berumur sekitar tiga puluh lima tahunan berjalan cepat, naik
ke lantai tiga. Berjalan sebentar dan berhenti pada pintu kamar dengan tulisan
merah berangka delapan.
Took! Took ... !
Suara ketukan terdengar lirih.
“Siapa?” tanya sebentuk suara dari dalam kamar.
“Saya ... Cideng,” sahut si laki-laki.
Terdengar suara langkah kaki diikuti dengan deritan pintu.
Krieekk!
“Ada apa, Paman Cideng?” tanya si penghuni kamar yang ternyata seorang
pemuda berkumis tipis.
“Di luar ada perompak.”
“Perompak?” tanya heran si pemuda, “Perompak siapa?”
“Kawanan Perompak Tujuh Lautan yang diketuai oleh Jenggot Perak Mata
Satu,” tutur laki-laki bernama Cideng dengan sopan.
Sorot mata si pemuda mendadak berkilat tajam mendengar nama Jenggot
Perak Mata Satu.
“Huh, akhirnya muncul juga keparat itu,” desis si pemuda, lalu sambungnya,
“Lebih baik Paman siapkan kawan-kawan yang lain. Aku menyusul belakangan.”
Tanpa menyahut, orang yang menyandang golok di punggung membungkuk
sedikit lalu bergegas turun ke bawah.
“Hemm, sudah saatnya perompak kesiangan itu dikirim ke neraka,” desis si
pemuda. Lalu ia berbalik masuk ke dalam dan sebentar kemudian keluar dari
kamar. Di pinggangnya terlilit sebentuk benda putih keperakan. Jelas sekali
bahwa benda itu adalah sebentuk cambuk.
Saat melewati kamar sebelahnya, ia berandek sebentar, “Apa perlu pemuda di
sebelah ini aku bangunkan? Bangunkan ... tidak ... bangunkan ... tidak ... ? Ah ...
ga usahlah. Rasanya kok tidak etis. Dari keterangan yang kudapat, pemuda
berbaju biru laut dengan tongkat hitam di tangannya seorang pemuda buta.
Biarlah ... mendingan tidak perlu aku usik dia. Kasihan,” desahnya lirih.

Setelah mengambil keputusan, si pemuda baju merah dengan lilitan cambuk
bergegas pergi dari tempat itu. Begitu ia membelok ke kiri dan menghilang di
tikungan, pintu kamar yang ditempati si Pemanah Gadis terkuak lebar-lebar.
“Hemm, pemuda yang aneh,” gumam Jalu Samudra, “Kok rasa-rasanya makin
lama dia terlihat seperti gadis saja. Hiiiihh ... jangan-jangan dia banci!?” desis
Jalu sedikit meringis membayangkan seorang pemuda lengkap dengan pilar
tunggalnya mempunyai sepasang gunung kembar!
“Wuih ... lama-lama pikiranku jadi piktor alias pikiran kotor gini, nih ... “ katanya
sambil melangkah keluar dari kamar, “Apa karena sudah lama ga gituan ya ... ?
Wah, moga-moga aja ada rejeki nomplok!”
Sementara itu, di bawah, beberapa anak buah kapal Surya Silam telah siap
siaga di posisi masing-masing, termasuk pula puluhan orang bersenjata golok
terhunus yang dipimpin oleh pemuda baju merah. Kumis tipisnya berulang kali
diusap-usap dengan tangan kiri seakan takut kumis tipisnya jatuh ke bawah,
sedang tangan kanannya bersitekan pada hulu cambuk.
Beberapa penumpang yang pemberani, ikut berbaur menjadi satu dengan
mereka, namun tidak sedikit pula yang menyembunyikan diri ke dalam lambung
kapal. Ada yang berdoa dengan meratap-ratap, ada yang cuma menangis
sesenggukan, ada pula yang langsung tidur mendadak alias pingsan seketika
sehingga semakin membuat repot orang-orang disekitarnya.
Sementara di atas tiang paling tinggi, terlihat Adiprana yang kalangan
persilatan dijuluki si Naga Terbang terlihat berdiri bersedekap dengan tenang di
atas sana. Dengan berdiri tegak di tiang sekecil itu bisa diperkirakan seberapa
tinggi jurus peringan tubuhnya. Sorot matanya menombak lurus ke depan. Baju
hijaunya berkibaran tersampok angin laut yang berputar-putar dari ke selatan ke
utara. Otot-otot tubuhnya sedikit menegang kala jarak antara kapal Surya Silam
dengan sebuah perahu hitam dengan bendera tiga tengkorak sekitar dua puluh
tombak.
Dari arah kejauhan, kapal kawanan Perompak Tujuh Lautan sudah cukup
membuat nyali orang ciut, apalagi kini dengan jarak yang semakin lama semakin
mendekat. Sorak-sorai ditingkahi dengan bentakan-bentakan kasar mulai
terdengar. Bahkan kata-kata kotor, caci-maki yang ga karuan acapkali terlontar.
Ketika jarak kapal hanya sepuluh tombak, terdengar suara serak keras
menggelegar. Jelas sekali bahwa teriakannya dilambari dengan tenaga sakti
yang tidak kecil.
“Orang-orang yang ada di kapal! Cepat kalian gorok leher kalian sendiri atau
kami yang akan dengan senang hati melakukannya!” teriak seorang perempuan
berbaju ketat hitam-hitam. “Tapi sebelumnya, keluarkan seluruh barang-barang
berharga kalian dan kumpulkan di buritan!”
Meski sudah berumur setengah abad, namun kegenitan dan tingkah lakunya
tidak jauh berbeda dengan seorang gadis usia tujuh belasan tahun. Kulitnya
putih mulus masih terbilang kencang untuk ukuran wanita usia seperti dia. Akan
halnya baju depan diberi belahan cukup lebar tanpa kancing dari atas ke bawah

hingga pusarnya yang diberi anting-anting kelihatan jelas. Dan tentu saja
bongkahan bulat padat terlihat mencuat menantang dengan jelas sejelasjelasnya.
Bukan hanya mengintip malu-malu, tapi justru terkuak lebar tanpa
malu-malu lagi.
Bisa dibilang hanya bagian ujungnya yang tertutup baju hitam ketat,
selebihnya ... ya begitulah!
Tongkrongan yang sangat ’wow’ itu cukup membuat laki-laki yang melihatnya
sering menelan ludah.
Bahkan beberapa anak buah kapal Surya Silam lebih rajin menelan ludah!
Gautama yang kini memegang lembing berhulu panjang berucap tidak kalah
keras, “Kumbang Sadis! Kukira kau sudah merat ke akherat dua puluh tahun
silam. Tak tahunya jadi sampah di tengah lautan! Cuih!”
Gautama meludah ke depan, namun ludahnya bukan sembarang ludah.
Ludah itu sudah ngendon sekian lama dalam mulut, bahkan dua minggu
belakangan ini tidak gosok gigi, sehingga bisa dibayangkan betapa ‘harum’ bau
ludah milik Gautama!
Wutt!!
Pada jarak pertengahan, wanita sexy yang dipanggil Kumbang Sadis
mendengus pelan, “Huhh!”
Sebentuk gelombang angin langsung menderu keras.
Duess ... !!
Terdengar suara desisan keras saat ludah berbau ‘harum semerbak’ bertemu
dengan gelombang angin dari dengusan Kumbang Sadis.
“Rupanya kau, Lembing Nakhoda Berhulu Panjang! Keparat betul!” bentak
Kumbang Sadis. Sepasang bukit kembar menggelembung tampak bergerak
turun-naik seiring dengan tarikan napas, sambungnya dalam bentakan, “Cepat
kau bunuh diri di hadapanku atau ... aku yang melakukannya!”
“Hahahah! Kakang Gautama! Buat apa banyak omong dengan nenek kurang
sajen ini! Sudah, antar saja menghadap raja akhirat!” ejek Gandarwa sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Mana Jenggot Perak Mata Satu? Apa dia sedang enak-enakan di atas
punggung para gundiknya, hah!?”
“Keparat busuk!” bentak seorang laki-laki bercambang lebat yang ada di
samping kiri Kumbang Sadis, “Silahkan kalian pentang bacot seenak perutmu di
depan kami, toh pada akhirnya kalian pula yang akan menjadi mangsa ikan-ikan
ganas di tempat ini!”
“Betul! Betul!” teriak para perompak.
“Bunuh!”
“Cincang sampai habis!”

“Iya ... jangan lupa dengan anunya!”
Kepala orang tadi langsung ditabok dari belakang.
Plok!
Bentak yang menabok, “Bangsat! Apanya yang anu?”
“Eh ... maksudku ... jangan lupa dengan para gadisnya gitu looohhh ... !”
sahutnya sambil cengar-cengir tanpa dosa. Padahal kalau dihitung-hitung
dosanya sudah kelewat takaran.
Sementara mereka pentang mulut tak karuan, jarak antara kapal yang
ditumpangi kawanan Perompak Tujuh Lautan pimpinan Jenggot Perak Mata Satu
dengan kapal Surya Silam tinggal sejarak tujuh-delapan tombak.
Begitu sampai pada jarak enam tombak, sesosok bayangan hijau melayang
ringan sambil berteriak keras, “Silahkan kalian pentang bacot sampai mulut
berbuih! Tapi aku, Naga Terbang tidak mau banyak mulut terhadap perompak
seperti mereka!”
Lesatannya bagai gumpalan awan yang melayang cepat. Ringan dan mantap.
Begitu mencapai jarak pertengahan, tubuhnya seperti kehilangan daya lesat,
namun dengan cantik sepasang kakinya menapak air dua kali seperti orang
berjalan di tanah, kemudian tubuhnya melambung-meluncur deras dengan
sepasang kaki melakukan gerakan menendang berunntun.
“Silahkan cicipi jurus ‘Lima Naga Mencabik Mayat’! Heaaa ... !!”
Werr ... ! Wess ... !
Brakk! Prakk! Jderr ... !
Lima orang yang ada di depan langsung terkapar dengan kepala remuk
terkena tendangan keras yang dilancarkan oleh Naga Terbang, bahkan orang
kelima sampai dadanya melesak hingga membekas jejak kaki!
Naga Terbang segera bersalto dengan tumpuan kepala orang terakhir kala
beberapa senjata tajam mengarah pada tubuhnya.
Wutt! Jleeg!
--o0o--
Bagian 8
Belum lagi ia memperbaiki kedudukan, sesosok bayangan hitam berkelebat
dengan golok bergerigi membacok deras berusaha membelah tubuh Adiprana.
“Bangsat rendah! Berani mampus kau menyatroni kapal Perompak Tujuh
Lautan! Nih, makan jurus ‘Membendung Air Bah Menghalau Bencana’!”
Rrrttt ... !
Pusaran golok terlihat bergerak kacau-balau, namun sebenarnya di balik
gerakan kacau-balau justru tersimpan maut yang siap merenggut nyawa.

Werr ... ! Wess ... !
Adiprana yang diserang mendadak meski dalam posisi tidak siap, kembali
menunjukkan kelasnya sebagai seorang pendekar yang bukan hanya sekali dua
bertarung bertaruh nyawa.
“Huh, cuma jurus golok picisan! Apa hebatnya?” desisnya sambil meliuk cepat
ke samping, sambil tangan kanannya yang mendadak memancarkan cahaya
hijau terang langsung berkelebat cepat.
Wukk ... !
“Ehh ... !?”
Si penyerang terkejut sesaat. Namun keterkejutannya harus di bayar mahal!
Blarrr ... !!
Tubuhnya langsung hancur tercerai berai membentuk serpihan daging ketika
hawa tapak menghantam tubuhnya. Yang tersisa hanyalah ... golok bergerigi
yang jatuh berkerontangan di atas geladak.
Semua kejadian itu tidak luput dari tatapan mata dua belah pihak yang terpana
melihat gebrakan pertama yang dilakukan oleh Naga Terbang. Benar-benar
gebrakan pertama yang memukau sekaligus mematikan!
“Sobat-sobat semua! Apa kalian hanya ingin aku saja yang berpesta-pora di
tempat ini!” seru Naga Terbang.
“Benar! Jika tidak sekarang, kapan lagi kita bisa pesta-pora seperti ini!” seru
Cideng sambil melesat cepat, melontarkan potongan kayu ke temgah laut,
menjejak pelan, lalu melambung cepat ke arah kapal lawan sambil berseru,
“Sobat Adiprana! Mari kita pesta-pora para calon penghuni laut ini!”
“Dengan senang hati!”
Golok di tangan kanan Cideng langsung beraksi.
Rett ... reeett ... !
Crass ... cras ... !!
Beberapa orang langsung terjungkal dengan dada terbelah. Melihat hal itu,
empat perompak langsung mengeroyok Cideng diiringi dengan teriakan-teriakan
liar.
“Heeea ... heeaaaa ... !!”
Triing! Triing! Traang!
Suara denting senjata beradu langsung membuncah dimana-mana ditingkahi
dengan jerit lengking kematian. Jika Naga Terbang menggunakan jurus ‘Tarian
Tapak Naga Hijau’ yang membuat para perompak yang terkena sasaran
tubuhnya langsung hancur berantakan, justru Cideng menggunakan sepasang
goloknya untuk membabat lawan-lawannya. Kerjasama antara keduanya cukup
bisa diandalkan untuk membendung serbuan yang datang bergelombang silih
berganti.

Beberapa pendekar yang tidak memiliki ilmu ringan tubuh cukup tinggi
menunggu sampai jarak ke dua kapal mencapai satu tombak, barulah mereka
berloncatan ke atas kapal Perompak Tujuh Lautan. Akhirnya pecah pertempuran
di atas kapal Tujuh Lautan. Suara orang terjatuh ke laut dan jerit lengking
kematian semakin banyak terdengar saja.
Seharusnyalah kapal perompak itu yang melakukan penyerangan, namun kini
justru keadaan menjadi terbalik. Bisa dikatakan bahwa ini pertama kalinya dalam
sejarah perompakan kawanan Tujuh Lautan bahwa mereka menjadi pihak yang
diserang. Tentu saja hal ini bisa terjadi karena gebrakan yang dilakukan oleh
Adiprana sehingga membuat perhatian dari para perompak menjadi terpecah.
Namun, benarkah mereka perhatian terpecah?
Jawabnya adalah ... TIDAK!
Jenggot Perak Mata Satu adalah jenis perompak yang kenyang pengalaman,
apalagi di tambah dengan Kumbang Sadis dan empat orang andalannya yaitu
Mat Kilau, Peremuk Nyawa dan Sepasang Hiu Baja. Dalam tiap penyergapan,
Sepasang Hiu Baja selalu menggunakan beberapa perahu kecil dengan
beberapa orang kawan yang memiliki jurus peringan tubuh tinggi dan tentu saja
berilmu silat bisa diandalkan, mereka mengelilingi sasaran kemudian menyusup
masuk lewat jalur yang tidak di duga oleh pihak lawan.
Seperti halnya yang terjadi kali ini dimana semua orang di kapal Surya Silam
terfokus pada pertempuran yang ada di depan sehingga tidak ada dari mereka
yang mengira kalau justru penjarahan di mulai dari belakang.
Beberapa orang berloncatan naik dari jurusan utara.
Jlegg! Jlegg!
Tidak adanya suara tatkala kaki-kaki mereka menginjak papan jelas
membuktikan bahwa tenaga peringan tubuh yang digunakan cukup tinggi.
“Rencana Ketua memang hebat,” desis Sepasang Hiu Baja yang laki-laki --
biasa disebut Hiu Jantan--. Matanya yang kecil sipit melirik kanan-kiri untuk
memastikan bahawa tidak ada siapa-siapa di tempat itu. Tubuhnya berotot kekar
dengan bulu-bulu lebat di dada sedang tangan kanan siap dengan golok besar
bergelang bagian atasnya dalam keadaan terhunus. Baju buntungnya yang tidak
dikancingkan membuat beberapa codet bekas luka tampak jelas tak beraturan
bentuknya.
“Tentu saja,” sahut Hiu Baja yang perempuan -- alias Hiu Betina -- yang
memakai baju merah totol-totol dengan mata nyalang-jalang mengedar untuk
memastikan bahwa kedatangan mereka tidak diketahui. Meski bajunya terlihat
rapi, namun justru baju di belahan dada dibuat sedemikian rendah hingga
memperlihatkan sebagian besar bongkahan kenyal didadanya. Belum lagi
dengan pakaian bawahnya terbelah hingga batas pinggul.
Wah, bisa bikin celeng, tuh!
“Tidak ada orang disini,” desisnya kemudian.

Tangannya dikibaskan ke depan, pertanda bahwa sesi perompakan segera
dilakukan.
Namun baru beberapa tindak, sebuah suara terdengar, “Wah, wah, wah!
Kayaknya ada yang ambil kesempatan dalam kesempitan rupanya.”
Sepuluh orang itu langsung terperanjat kaget!
Tanpa dikomando, serentak mereka mendongak ke atas.
Terlihat disana, seorang pemuda berbaju biru laut dengan rambut di kuncir
ekor kuda dengan pita biru pula berjalan pelan dengan tongkat hitam diketukketukkan
waktu menuruni anak tangga.
Melihat caranya berjalan, sepuluh orang itu yakin bahwa si pemuda bermata
buta, karena terlihat sepasang mata putih yang hanya dimiliki oleh orang buta.
Cara jalannya pun tidak jauh beda dengan orang buta pada umumnya yang
berjalan dengan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tempat di sekitarnya. Namun si
pemuda baju biru laut bukan orang buta sembarang buta, meski kedua bola
matanya putih. Si pemuda bertongkat hitam justru bisa melihat seluruh isi alam
dengan sangat jelas dan sama persis dengan orang bermata normal.
Siapa lagi pemuda bermata putih itu jika bukan Jalu Samudra alias si
Pemanah Gadis adanya!
“Huh, cuma orang buta!” gerutu laki-laki berkulit hitam yang paling kiri, “Biar
dia bagianku. Kalian teruskan saja pekerjaan kita!”
Dengan langkah digagah-gagahkan, laki-laki berkulit hitam yang bernama
Sragenuka mendatangi si Pemanah Gadis sambil mendesis, “Orang buta!
Nasibmu hari ini benar-benar sial!”
Begitu dalam jarak dua langkah, kepalan tangan krinya menderu keras.
Wutt!
Seolah tanpa sengaja, Jalu menggeser tubuh ke kanan hingga serangan kilat
laki-laki berkulit hitam luput. Ia berkata, “Apa ngga kebalik, Kang!?”
“Eh!?” Sragenuka berseru kaget sat mengetahui serangannya luput. Namun
kekagetannya segera berganti menjadi kemarahan, “Bangsat buta!”
Tanpa sungkan-sungkan lagi, tinjunya secara beruntun langsung menerjang
ke arah si Pemanah Gadis, bahkan kaki kanan-kirinya juga ikut bekerja. Namun
anehnya dengan gerakan tubuh miring-miring si pemuda buta membuat
serangan beruntun Sragenuka selalu kandas.
Sett! Sett!
Tentu saja hal itu semakin membuat kemarahan Sragenuka bagaikan api
diguyur minyak. Tenaga dalamnya langsung salurkan lewatkan sepasang
tinjunya hingga terdengar suara berkerotokan nyaring.
“Keparat!” serunya, “Jangan sebut julukan Tinju Sejuta Dewa jika aku tidak
bisa membunuhmu, bangsat!”

Kembali tinju laki-laki berkulit hitam yang menyebut diri Tinju Sejuta Dewa
menyerang bertubi-tubi.
Wutt ... wutt ... !!
“Ooo, jadi kau yang bergelar ‘Tukang Bikin Ribut Saja’?” si Pemanah Gadis
mengejek sambil memutar tubuh ke kiri, “Gelar kok jelek banget. Dapat beli dari
mana, Kang!? Di pasar ya? Atau malah di tukang loak!?”
Ejekan Jalu semakin membuat wajah Tinju Sejuta Dewa kelam membesi. Dan
tentu saja ritme serangan tinju makin lama makin gencar seolah tanpa putus.
Geletar tenaga dalam yang membuncah terdengar seperti membeset-beset
angin.
Debb ... debb ... !!
Tiga-empat pukulan keras dapat dimentahkan Jalu dengan gerak tubuh
miring-miring dan adakalanya miring sambil meliuk-liuk seperti orang mabuk,
bahkan sesekali si Pemanah Gadis menepis serangan lawan. Jurus ‘Kepiting
Minum Tuak Sampai Mabuk’ yang digunakan si Pemanah Gadis cukup ampuh
untuk menghadang serangan beruntun dari Tinju Sejuta Dewa.
Plakk! Plakk!
 “Gila! Kibasan tangannya yang bergerak miring membuat tanganku terasa
panas menyengat seperti terpanggang bara api,” batin Sragenuka alias Tinju
Sejuta Dewa.
Tentu saja pertarungan yang semula dianggap cepat oleh Sragenuka, kini
justru menjadi pertarungan panjang. Tentu saja Sepasang Hiu Baja dan yang
lainnya melengak kaget mengetahui bahwa sejauh ini Tinju Sejuta Dewa tidak
bisa menjatuhkan lawan, mendesak pun tidak sanggup.
“Huh! Masakan si Tinju Sejuta Dewa bertekuk lutut di depan pemuda buta!?”
bentak salah seorang diantara mereka.
“Cakar Geledek! Lebih baik kau tutup mulut busukmu!” bentak Tinju Sejuta
Dewa gusar kala serangannya yang ke sekian kali kandas.
“Tinju Sejuta Dewa! Cepat selesaikan urusanmu! Kami tidak mau menunggu
lagi!” bentak Hiu Betina.
Tanpa menjawab, Tinju Sejuta Dewa semakin mempergencar serangannya,
namun lagi-lagi ia harus gagal total. Tentu saja hal ini semakin membuat Cakar
Geledek meradang dan tanpa persetujuan, langsung ikut mengeroyok si
Pemanah Gadis.
Bukk! Bukk!
Dua buah hantaman berhasil ditangkis oleh Jalu Samudra.
Brugh!
Bukannya Jalu yang terpental, tapi justru Cakar Geledek yang terjengkang ke
belakang. Sambil meringis menyeringai, ia mendesis, “Tenaga dalam si buta itu
hebat juga. Tanganku seperti dirambati semut api.”

Belum lagi Cakar Geledek masuk ke dalam arena pertarungan, terdengar
jeritan menyayat.
“Aaaa ... !”
Tubuh Tinju Sejuta Dewa terpental sejauh dua tombak, berkelojotan sebentar
kemudian diam untuk selama-lamanya. Terlihat bagian dada kiri Tinju Sejuta
Dewa melesat hangus disertai tebaran bau sangit!
Rupanya Jalu merasa cukup bermain-main, hingga saat Tinju Sejuta Dewa
kembali melancarkan tinjunya yang semakin menggila, dengan tetap
menggunakan jurus ‘Kepiting Minum Tuak Sampai Mabuk’, Jalu merangsek maju
di antara ribuan bayangan tinju yang terus menggelora. Dengan sigap, tangan
kirinya menerobos masuk dari bawah dan mengarah ke jantung lawan. Tentu
saja serangan kali ini bukan sembarang serangan, namun sudah dilambari
dengan Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ tingkat pertama sehingga tangan kiri
memancarkan sinar biru kusam sedang tangan kanan bersinar hitam cemerlang.
Terkena gelombang hawa dalam jarak dua tombak saya sudah mematikan,
apalagi terkena langsung!
Begitu lawan pertama selesai, si Pemanah Gadis berganti sasaran, “Sekarang
giliranmu!”
Tangan kanannya yang masih memancarkan sinar hitam cemerlang, di dorong
ke depan.
Wutt ... wusss ... !!
Sebentuk gelombang panas disertai kilatan-kilatan api hitam langsung
menerjang ke arah Cakar Geledek.
Tentu saja lawan yang diserang tidak tinggal diam menerima kematian begitu
saja. Kedua tangannya yang mendadak putih memucat kala Cakar Geledek
mengerahkan Ilmu Pukulan ‘Cakar Geledek’ miliknya.
Woss ... !
Sebentuk gelombang padat melesat cepat, memapaki serangan lawan.
Blamm! Blammm!
Benturan keras pun terjadi.
Jika si Pemanah Gadis tetap di posisi semula, justru Cakar Geledek terlempar
jauh ke belakang dengan tubuh hangus menghitam dan akhirnya ...
Byuuurr ... !!
Masuk ke dalam laut.
“Orang buta! Siapa kau sebenarnya!?” bentak Hiu Betina. “Kenapa kau
menghalangi pekerjaan kami? Bukankah kita tidak ada silang sengketa
sebelumnya?”
“Lalu apa yang kau lakukan di tempat ini?” balik tanya si Pemanah Gadis.
“Aku hanya melakukan ... pekerjaanku.”

“Ooo .. begitu!? Lalu ... apakah pemilik kapal ini ada siang sengketa dengan
kalian?” tanya Jalu kembali.
“Tidak ada.”
“Lalu ... dengan dasar apa kalian dengan menggasak habis kapal ini?”
“Bodoh! Tentu saja itu memang pekerjaan kami ... kawanan Perompak Tujuh
Lautan!” seru Hiu Jantan. “Lebih baik kau menyingkir jauh-jauh dari sini dan kami
tidak akan mengganggumu sedikit pun. Bagaimana?”
Disebutnya nama Perompak Tujuh Lautan dengan tujuan untuk membuat nyali
lawan ngeper, namun justru sebuah jawaban dingin yang didengar oleh Hiu
Jantan.
“Kalau begitu ... aku pun juga akan mengerjakan pekerjaanku,” desis Jalu
Samudra, dingin.
“Apa pekerjaanmu, orang muda?” tanya Hiu Betina sambil melangkah
mendekat. Senyumnya ditebar semanis mungkin. Langkahnya dibuat segenitgenitnya.
“Betina jalang! Buat apa kau bergenit-genit ria di depan orang buta!” bentak
Hiu Jantan. “Dasar bodoh!”
“Bangsat!” katanya memaki ketika menyadari kebenaran ucapan dari Hiu
Jantan.
“Bibit bencana macam mereka tidak boleh dibiarkan hidup berlama-lama,”
batin Jalu, lalu katanya, “Jika kau ingin tahu pekerjaanku, akan aku katakan!”
“Cepat katakan!”
“Pekerjaanku adalah ... membersihkan bibit malapetaka macam kalian!”
“Keparat!” bentak Hiu Jantan sambil menerjang.
Golok besar bergelang-gelang itu berkelebat cepat hingga yang terlihat sinar
perak berkeredepan.
Rrrttt ... rrrtt ... !!
Cranggg ... !!
Jalu Samudra memalangkan tongkat hitam di tangan kanan, hingga serangan
golok yang mengarah pada kepala tertangkis. Melihat serangan pertama gagal,
Hiu Jantan menarik pulang golok, diikuti dengan badan memutar ke kiri dan
langsung mengibaskan tangan mengejang kaku ke arah si Pemanah Gadis.
Wutt!!
Jalu melenting ke atas menghindari serangan lawan. Begitu berada di udara,
tongkatnya berkelebat cepat.
Bukk! Bukk!
“Uaaaahh ... !!”

Dalam gebrakan pertama, Hiu Jantan rugi dua serangan. Pundak dan
pergelangan tangan kirinya matang biru terkenan gebukan tongkat lawan.
“Buuuangsaaaattt ... !!”
--o0o--
Bagian 09
Hiu Jantan langsung merangsek maju dengan kemarahan meninggi. Jurus
golok yang bernama ‘Hiu Mengamuk’ langsung dikerahkan. Gerakannya
jurusnya secepat sergapan ikan hiu di laut. Ganas dan telengas. Ada kalanya
kakinya bergerak cepat seperti hiu jantan yang menerjang gelombang pasang.
Jika tangan kanan memainkan golok besar, tangan kiri Hiu Jantan sebatas siku
terlihat memancarkan cahaya merah darah dan sesekali berusaha dihantamkan
ke arah tubuh Jalu.
Wutt ... ! Blarrr ... !!
Namun yang menjadi lawannya sekarang bisa dikatakan sebagai biangnya
para pendekar rimba persilatan. Sebagai murid tunggal Dewa Pengemis dan
Dewi Binal Bertangan Naga tentulah bukan orang biasa. Gebrakan demi
gebrakan yang dilakukannya belakangan ini membuat nama nyentrik si Pemanah
Gadis mulai di perhitungkan baik oleh lawan mau pun kawan.
Sebagai pendekar pilih tanding dan sebagai seorang pecinta tanpa tanding!
Beberapa gadis yang pernah merasakan jurus-jurus bercinta si Pemanah
Gadis tidak akan pernah melupakan betapa dahsyatnya daya serang dari si
pemuda buta. Naga-naganya mungkin para gadis itu akan membentuk SPGFC
alias Si Pemanah Gadis Fans Club!
Blaamm ... !! Blaamm ... !! Blaamm ... !!
Terdengar tiga dentuman beruntun saat selarik sinar merah meleset dari
sasaran.
“Setan!” desis Hiu Jantan, “Gerakan tubuhnya yang miring ke kiri-kanan terlalu
cepat. Kalau begini caranya, bisa-bisa pekerjaanku gagal!”
“Hiu Jantan! Kita serang berpasangan!” seru Hiu Betina sambil melolos angkin
yang melilit pinggang rampingnya.
Sett!
Namun belum lagi membantu pasangannya, seberkas cahaya perak
memanjang telah menerjang dari belakang, diikuti teriakan keras, “Jangan main
curang, perompak busuk!”
Cleetarr!! Brakk!
Bekas tempat berdirinya Hiu Betina kontan berlubang besar.
Lalu kemana perginya Hiu Betina?

Ternyata, begitu mendengar suara mendesing dari arah belakang, Hiu Betina
segera melenting ke atas menghindari serangan dari belakang, dan tepat seperti
dugaannya, serangan lawan kandas.
Dari atas ketinggian, sebentuk angkin berkelebat cepat laksana ular putih
menyergap katak.
Weeerr ... !!
Si pemegang cambuk dengan sigap mengelebatkan benda panjang di tangan.
Wrett!!
Namun aneh, baru sampai setengah gerakan, ia langsung membanting diri ke
belakang.
Brakk ... !
Dinding kayu dibelakangnya berderak hancur.
“Brengsek! Di saat penting begini kenapa jurus cambukku mendadak macet!?”
makinya dalam hati. Ternyata si pemegang cambuk adalah pemuda baju merah
menyala berkumis tipis. Tubuhnya langsung berdiri tegak kala serangan
beruntun dari Hiu Betina kembali menerjang. Kembali ia berjumpalitan di udara
menghindari serangan angkin lawan.
Werr!! Werr!! Werr!
Jderr ... !!
Dinding kayu bagian belakang dekat tangga kembali berlobang, bukan hanya
satu tapi empat sekaligus di tempat yang berbeda-beda.
“Huh! Pemuda banci keparat! Bisamu cuma menghindar saja!” sentak Hiu
Betina sambil berulang kali mengelebatkan angkin yang dibawanya.
Sementara itu, kawan-kawan dari Perompak Tujuh Lautan telah menghadapi
empat orang bawah dari si pemuda berkumis. Meski cuma berempat, namun dari
gerakannya yang kompak dalam menggunakan golok terlihat matang dan
mantap.
Trang! Triing!
Crasss ... ! Crakk!
Dua orang terkapar bersimbah darah. Berkelojotan sebentar, kemudian diam
untuk selamanya.
Tentu saja bertempuran di atas merupakan pertarungan biasa bagi para
Perompak Tujuh Lautan. Namun menghadapi para penumpang kapal yang
ternyata rata-rata adalah pesilat tangguh --padahal hampir semuanya lho--
mungkin untuk pertama kalinya. Akan halnya pertempuran di atas kapal
Perompak Tujuh Lautan hampir usai. Beberapa mayat bergelimpangan tak tentu
arah.
Yang jelas, keributan itu telah kini meluas, ada sebagian berada di kapal
Surya Silam, namun sebagian besar berada di kapal Perompak Tujuh Lautan.

Tak lama kemudian, yang tersisa hanyalah tiga tempat pertarungan.
Pertarungan antara Naga Terbang dengan Kumbang Sadis yang sama-sama
menggunakan jurus-jurus silat bertenaga dalam tinggi sehingga beberapa kali
terdengar ledakan beruntun dikala dua tenaga beda sifat dan jenis saling
berbenturan di udara kosong.
Berikutnya Cideng dan seorang kawannya menghadapi laki-laki bermata satu
dengan besi kaitan di tangan kiri. Sedang yang terakhir adalah perkelahian
antara Gautama yang bergelar Lembing Nakhoda Berhulu Panjang dengan
seorang perempuan tua baju hitam-hitam kedodoran dengan senjata tongkat
panjang runcing. Dalam dunia persilatan ia dijuluki Peremuk Nyawa.
Sedang beberapa anak buah kapal Surya Silam pun ‘asyik’ bermain-main
dengan mengerubuti lima orang perompak yang sudah pucat pasi menanti
kematian. Jika satu lawan satu jelas kalau anak buah kapal Surya Silam tidak
bakal menang melawan mereka.
“Huh! Kukira kalian semua pendekar-pendekar persilatan yang berbudi luhur!”
seru salah seorang perompak yang menghadapi Satari dengan golok anehnya
dibantu empat orang kawan bersenjata pedang panjang. Mungkin tujuannya
untuk menjatuhkan harga diri lawan, sebab dari yang ia tahu seorang pendekar
persilatan memiliki pantangan mengeroyok lawan yang seorang diri. “Tak
tahunya ... “
“Tak tahunya apa?” tukas Satari sambil mengelebatkan golok ke leher lawan.
“Sama dengan kalian, begitu?”
“Huh!” lawan mendengus sambil balik menyerang dengan mengelebatkan
golok besar sembari merunduk. Sebab kalau tidak, kepalanya pasti sudah
terpisah dari badan.
Traang!
“Sudah mau mampus masih banyak bacot!” bentak seorang teman Satari dari
belakang sambil menusukkan pedangnya.
Wutt!
Sebagai perompak yang sudah malang melintang di tengah laut dan kenyang
tipu-tipu pertarungan, suara desingan halus bisa ditangkap dengan baik. Dengan
tubuh sedikit mengejut, ia merendahkan tubuh ke bawah.
Sett!
Namun lawan seolah mengetahui kalau yang diserang bakal tahu ia
melakukan gerakan menghindar ke bawah, maka serangan susulan dilakukan
dengan tendangan menyapu menyusur lantai dalam dua putaran cepat.
Wutt! Wutt!
Sasarannya adalah kaki kiri.
Krakk!
Sebuah gerakan menggunting dilakukan dengan manis.

“E-e-eeeee ... “
Karena posisi yang sedang merunduk membuat keseimbangan tubuh lawan
goyah.
Brukk!
Belum lagi ia tersadar dari keterpanaan sesaat, sebuah ayunan golok
berkelebat cepat.
Craasss ... !
Kaki sebatas dengkul terputus.
“Aaaaughhh ... !” terdengar raungan keras membahana, namun segera
terputus ketika sebilah pedang dengan cepat menebas leher.
Crasss!
Kepala langsung terpisah dari leher dan menggelinding begitu saja.
Pokoknya asal menggelinding-lah!
“Junjung! Akhirnya berhasil juga kau pisahin kepala dengan pantat, ni orang,”
kata Satari. Sambungnya, “Bagusnya kepala kampret dengan mata melotot ini
jadi makanan siang penghuni laut. Setuju!?”
“Setuju!”
Dengan sigap, dua kaki menjepit kepala lalu dengan satu sentakan kaki cukup
kuat ia melenting ke atas setinggi dua tombak.
Wutt!
Kepala yang terikut dalam lentingan pun dilepas, lalu dalam posisi tubuh turun
ke bawah dengan punggung terlebih dahulu, kaki kanannya menendang keras ke
arah kepala.
Pakkk!
Kepala perompak itu langsung melesat cepat, melewati beberapa orang yang
sedang berkutetan beradu otot, dan ...
Byurr!!
Ambles ke dalam laut.
“Hahaha! Gerak tendangan yang bagus, Satari!” puji Junjung diikuti tepuk
tangan tiga kawannya.
Heran, sempat-sempat mereka tepuk tangan di arena maut seperti itu!
“Apa nama jurusmu tadi?” tanya iseng seorang kawan.
Satari sedikit berpikir, lalu ia berkata, “Jurus ... Menendang Kepala
Menyuguhkan Sarapan! Hahaha!”
“Sudahlah! Kita bantu teman-teman yang lain.”
“Betul-betul-betul!”

Kelimanya langsung menerjang lawan-lawan mereka yang tersisa.
Sementara itu, Kumbang Sadis yang melihat perompakan kali ini bisa dibilang
gagal delapan bagian, matanya jelalatan liar. Tubuhnya sudah penuh dengan
luka-luka luar. Meski luka dalamnya tidak begitu parah, namun dengan adanya
luka luar sudah cukup mengurangi gerakan tubuhnya. Sedang Adiprana alias
Naga Terbang meski terluka namun tidak separah Kumbang Sadis.
“Setan! Entah bagaimana aku harus mengatakan pada Ketua kalau
perompakan kali ini gagal,” desah Kumbang Sadis. “Jurus ‘Kumbang Racun’
harus kugunakan sebagai alat meloloskan diri. Masa bodoh dengan Sepasang
Hiu Baja!”
Tangannya sedikit mengepulkan uap tipis kehitaman segera bergerak
menangkis serangan tapak yang dilakukan lawan.
Plakk!
“Ihhhh!”
Perempuan bertubuh sintal itu menjerit kecil. Tubuhnya terpental deras,
namun ia tidak terjatuh karena bersandar di tiang patah.
“Tenaga dalam monyet baju hijau semakin lama semakin tinggi. Tanganku
berulang kali kebas ketika berbenturan dengannya,” pikir Kumbang Sadis.
“Hebat juga kau bisa menahan jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’-ku!” dengus
Naga Terbang, meski sempat membatin dalam hati, “Wanita ini licik sekali.
Tanganku rasanya seperti digigit ular api. Pasti ia melumuri tangannya dengan
racun ganas. Aku harus cepat-cepat membereskannya!”
“Kumbang Sadis! Silahkan terima kematianmu!” bentak Naga Terbang sambil
memutar ke dua tangannya sedemikian rupa membentuk mulut naga terbuka.
Sebentuk bola cahaya hijau terlihat berpendar-pendar.
“Pukulan ‘Naga Hijau’!” desis Kumbang Sadis saat mengenali jenis pukulan
lawan. “Matilah aku kali ini!”
Namun, belum lagi Pukulan ‘Naga Hijau’ dilontarkan oleh lawan, tubuh
Adiprana terjerembab karena seseorang menabraknya dan hampir saja sebatang
pedang secara tidak sengaja membabat leher kalau ia tidak secara refleks
merundukkan kepala. Tak pelak lagi, kuda-kudanya sedikit bergeser ke samping.
Brukk!
Malu-maluin dong, masak pendekar sakti kok terbunuh sama orang tidak
terkenal!?
Udah gitu, matinya ga sengaja lagi!
Kesempatan yang hanya mungkin terjadi karena kebetulan itu dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh Kumbang Sadis. Sepasang tangannya didorongkan
ke depan sambil mendesis, “Mampus!”
Sebentuk gelombang angin berbau amis menerjang cepat dari jurus ‘Kumbang
Racun’ menggebah ke arah Naga Terbang.

Werr ... !
Naga Terbang kaget, lalu merengkuh orang yang menabrak tubuhnya sambil
membanting diri ke kanan.
Blarrr ... !
Lolos deh dari maut!
“Monyong lu! Ampir aja gue mampus gara-gara lu! Tolol! Kalo mau mbunuh
orang liat-liat dulu! Dasar bego!”
Terdengar suara amukan Naga Terbang yang begitu menyesakkan kuping.
Amukan ini akan berlanjut hingga beberapa menit, atau jam kalau beruntung,
sampai akhirnya Adiprana bosen sendiri.
Yang menabrak terpaku terbata-bata sambil mencoba meminta maaf,
“Maafkan aku, aku ... “
Saat Naga Terbang menoleh dan tak didapatinya Kumbang Sadis, kembali ia
meradang, “Dasar kupret! Gara-gara lu, wanita biang racun itu kabur! Dasar otak
udang!”
Berulang kali ia julekin dahi orang yang menabraknya sambil memaki-maki tak
karuan.
“Maaf ... maaf ... kang ... maaf ... “ kata si laki-laki terbata-bata yang ternyata
anak buah kapal Surya Silam.
“Maap, maap! Monyong! Enak aja bilang maap kalo udah gini! Tuh liat! Musuh
gue minggat begitu aja! Kaga pernah mikir! Dasar! Kalo mao bunuh orang liat-liat
dulu! Jangan asal gebuk dong! Kodok ajah kalo mau loncat lihat kiri-kanan dulu,
nah lu! Mau bunuh orang ngga ngeceng ke mana-mana, pikir dong kalo mau
bertindak, dasar ... “
Ucapan yang dilanjutkan oleh Adiprana agak kurang layak ditulis karena
cukup kasar bahkan kata-kata ajaib dari kebun binatang dan kitab maki-makian
tersembur begitu saja. Pokoknya bertele-tele. Lagi pula intinya menegaskan
kalimat yang sudah tertulis di atas serta diberi tekanan-tekanan tertentu terhadap
kecerobohan anak buah kapal Surya Silam sehingga Kumbang Sadis lolos.
--o0o--
Bagian 10
Cideng dan seorang kawan yang menghadapi laki-laki bermata satu dengan
besi kaitan di tangan kiri juga berjumpalitan karena lawan melempar bola
peledak yang menimbulkan asap tebal.
Blarr! Blubb!
“Awas, asap beracun!”
Begitu asap lenyap, lawan telah menghilang.

Apa yang dilakukan laki-laki berkait juga diikuti oleh Peremuk Nyawa. Si nenek
baju hitam-hitam kedodoran dengan senjata tongkat panjang runcing pun
membanting sesuatu ke bawah.
Blubb!
Seketika keluar asap hitam membumbung tinggi menutupi sosok Peremuk
Nyawa.
Sama halnya dengan Cideng, Gautama melompat ke belakang karena ia
berpikir bahwa asap yang keluar adalah asap beracun. Meski begitu, ia sempat
mendorongkan tangan kirinya ke gumpalan asap. Sebentuk hawa padat
berbentuk sinar putih sebesar kepala bayi datang menggemuruh bagai ombak
laut.
Wutt! Bruss ... !!
Ilmu ‘Hawa Peremuk Jiwa’ yang dimiliki oleh Lembing Nakhoda Berhulu
Panjang paling jarang digunakan, namun kali ini untuk mengantisipasi lawan
menyerang dari balik asap.
Blarr!
Seolah menerobos gumpalan asap, sinar sebesar kepala bayi menghantam
tiang layar hingga berderak patah.
“Hemm ... lolos juga dia,” gumamnya saat asap menghilang dan tidak
didapatinya Peremuk Nyawa. Matanya sedikit menyipik waktu melihat tetesan
darah di bekas tempat Peremuk Nyawa berada, pikirnya, “ ... meski lolos, aku
yakin pukulanku tadi sempat menyerempetnya.”
Praktis, pertempuran di atas kapal Perompak Tujuh Lautan usai sudah.
Terlihat mayat bergelimpangan dimana-mana. Ada yang dadanya terbelah,
kepala terpenggal, ada pula yang menjadi serpihan daging hancur akibat terkena
jurus ‘Tarian Tapak Naga Hijau’ Adiprana. Bahkan ada pula yang tewas dengan
badan tercabik-cabik sehingga sulit dilihat bagaimana bentuk aslinya. Termasuk
pula yang menjadi mayat adalah anak buah kapal Surya Silam.
Darah menggenang seperti anak sungai. Mengalir ke bawah dan akhirnya
jatuh ke laut. Air laut yang semula jernih kebiruan kini sedikit sedikit berwarna
merah di sekitar kapal. Adanya darah tentu saja mengundang para penghuni
laut. Beberapa diantaranya terlihat hilir mudik berkeliaran dengan sirip-sirip ikan
sura (ikan hiu) yang hitam mengkilap berseliweran.
“Entah apa yang akan dilakukan oleh Jenggot Perak Mata Satu jika pekerjaan
mereka kali ini gagal,” desah Gandarwa sambil menyusut darah di mata
kapaknya.
“Paling banter juga balas dendam,” kata Gautama, enteng. “Kau takut!?”
“Takut sih ... iya. Tapi aku tidak mau menjadi pecundang yang terima pasrah
disembelih orang,” sahut Gandarwa ringan. “Kukira mata kapakku ini pasti akan
melindungi majikannya.”
“Lebih baik kita tinggalkan kapal ini.”

“Di tinggal begitu saja, Kang?”
Gautama hanya tersenyum, lalu melesat ke arah kapal Surya Silam, diikuti
dengan Gandarwa sambil berseru, “Satari, atur tong-tong minyak yang ada di
sudut geladak dan letakkan dekat tiang patah. Setelah itu, kembali ke kapal! Kita
bakar pakai panah api.”
“Siap, Kang!”
Semua orang yang ada di kapal perompak segera berloncatan ke kapal Surya
Silam, kecuali Satari dan empat orang kawannya yang berbadan kekar
mengusung empat tong besar berisi minyak dan disusun rapi dekat tiang kapal
yang patah akibat terkena pukulan nyasar. Setelah selesai, mereka berlima
segera berlompatan ke kapal mereka.
Namun, begitu mereka sampai di kapal, terdengar suara ribut-ribut di ujung
geladak dan terlihat beberapa orang bersenjata golok terlihat berdiri gagah
menonton pertarungan.
“Wah, rupanya ada penyusup!” Gautama berkata gusar. “Pasti bangsatbangsat
licik itu mengambil kesempatan selagi kita menempur lawan dari depan!
Benar-benar kurang ajar!”
Langkahnya sedikit berdebam karena kegusaran memuncak. Akan tetapi
setelah melihat beberapa orang bertampang serampangan bergeletakan tanpa
nyawa, ia sedikit mengkerutkan dahi.
“Rupanya di kapal kita ini telah menjadi sarang jagoan hebat,” desis Gautama
melihat jenis luka hangus di dada kiri sosok kekar.
Siapa lagi jika bukan tubuh kaku Tinju Sejuta Dewa?
“Laki-laki tampan bersenjata cambuk itu juga bukan orang sembarangan,
Kang! Setidaknya ia murid tokoh kosen rimba persilatan,” kata Gandarwa sambil
memperhatikan lawan dari Hiu Betina.
Lembing Nakhoda Berhulu Panjang manggut-manggut.
“Dari jumlah pengawal yang ia bawa, besar kemungkinan ia anak seorang
ketua sebuah perguruan silat terkemuka,” sahut Gautama sambil memperhatikan
pertarungan antara Hiu Betina dan pemuda baju merah menyala. “Dari beberapa
jurus golok yang sempat aku perhatikan, kemungkinan besar para pengawal itu
berasal dari Perkumpulan Golok Tanpa Bayangan di wilayah selatan.”
“Benar. Konon kabarnya mereka memiliki hubungan dekat dengan ketua
persilatan yang berjuluk Tongkat Kayu Baka dari Perguruan Tongkat Hijau,” kata
Gandarwa. “Tapi ada yang aneh kulihat.”
“Apanya yang aneh, Adi Gandarwa?”
“Jika memang pemuda baju merah itu ada hubungannya dengan Perguruan
Tongkat Hijau, kenapa ia menggunakan jurus-jurus maut milik Ratu Cambuk Api
Lengan Tunggal dan bukan menggunakan jurus khas dari perguruannya?” jawab
Gandarwa.

“Maksudmu Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal yang memiliki senjata
bernama Cambuk Ekor Pari Pelangi itu?”
“Benar.”
Begitu mendengar nama Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal, Gautama
langsung tercekat. Meski tidak mengenal betul siapa adanya tokoh kosen itu,
setidaknya ia tahu tabiat nenek sakti bersenjata cambuk. Nenek sakti bertangan
satu ini terkenal dengan sifatnya yang berangasan. Ada yang tidak berkenan
sedikit saja dalam hatinya, langsung babat habis tanpa pandang bulu.
Entah bulu apa aja!
Kalau cuma muka bonyok sih masih mending, lha kalau pake acara nyawa
melayang segala?
Ini yang ga’ enak!
Gautama ngeri membayangkan bentuk wajah sangar-keriput Ratu Cambuk
Api Lengan Tunggal.
“Kalau benar dia ada hubungannya dengan nenek sakti itu, kita harus
membantu pemuda baju merah. Jangan sampai ia terluka atau tewas di tempat
kita. Kalau sampai terjadi, wah bisa berabe,” tukas Gautama siap-siap terjun ke
arena pertarungan.
“Tunggu dulu, Kang!” kata Gandarwa sambil memegang lengan Gautama.
“Apa lagi, sih?”
“Coba Kakang lihat! Tampaknya pemuda itu tidak terdesak ... “ kata
Gandarwa, sambungnya, “ ... setidaknya untuk saat ini.”
Gautama dengan seksama memperhatikan pertarungan antara Hiu Betina
dengan pemuda baju merah menyala. Dari gerak-gerik keduanya, ia tahu bahwa
keduanya bertarung seimbang atau bisa dikatakan memiliki kelebihan masingmasing.
Jika Hiu Betina lebih condong ke tenaga dalamnya yang mumpuni justru
si pemuda baju merah terlihat memiliki tenaga peringan tubuh handal.
Clettarr ... cleetarr!!
Angkin yang digunakan Hiu Betina berulangkali meledak memekakkan telinga,
namun ayunan cambuk si pemuda baju merah juga tidak mau kalah. Meski
kadang kala terlihat macet di tengah jalan, namun tetap saja membahayakan
lawan.
Tar .. !!
“Sial! Hari ini benar-benar sial!” keluh Hiu Betina sambil melempar badan ke
kiri sambil tangan bergerak menampar diikuti teriakan keras, “Makan nih ‘Hawa
Laut Membara’-ku!!”
Hawa panas menggebah maju laksana panggangan matahari.
Wutt! Blarr ... !

Lantai kayu tempat sang lawan berpijak sontak hancur berantakan.
Sedangkan si pemuda sendiri, entah bagaimana caranya sudah berada di atas
ketinggian sambil mengelebatkan cambuk.
Wreett!
Ujung cambuk mengarah ke jalan kematian Hiu Betina. Namun anehnya, lagilagi
seperti jurus cambuk tertahan di tengah jalan.
Weeerr ... !
Hiu Betina yang dalam kekagetannya terlambat menghindar, hingga tubuh
sekalnya terjungkal bagai dilanda angin ribut.
Brakk!
Byurr ... !!
Aduuhh ... beruntungnya Hiu Betina!
Karena setelah menabrak hancur tepi geladak sebelah kiri, tubuhnya langsung
meluncur jatuh ke dalam laut. Tanpa di rencana sebelumnya, justru nyawanya
selamat akibat pertarungan yang sebenarnya ia yakin bisa memenangkannya,
namun melihat kepungan lawan sekarang ini bisa dipastikan pihaknya kalah
total.
Si pemuda langsung berkelebat cepat memburu ke dekat geladak diikuti oleh
beberapa orang.
“Sial! Dia bisa lolos dari sergapan cambukku!” ucap gemas si pemuda baju
merah menyala berkumis tipis sambil menghentakkan kaki berulang kali.
Macam anak perawan kebelet pipis saja dia!
“Sudahlah, Tuan! Aku yakin dia tak bakalan berani lagi menyatroni kapal ini,”
kata salah seorang pengawal bergolok.
“Salah! Justru dengan membiarkan dia lolos akan membuat Jenggot Perak
Mata Satu semakin cepat tahu kalau pekerjaan anak buah mereka gagal,” desis
si pemuda baju merah. Lalu ia menoleh ke samping, “Kau paham?”
“Paham!” sahut si pengawal, lalu ia melangkah pergi mendekati Cideng.
“Tuan muda meminta kita membereskan mereka tanpa sisa, Kakang Cideng,”
desisnya.
Cideng tanpa menoleh, ia menyahut, “Sampurna! Teman-teman kita pasti
sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.”
“Aku juga yakin begitu!” sahut Sampurna. “Tinggal empat orang. Kukira tidak
begitu lama juga selesai.”
Benar saja, dalam tempo kurang dari sepeminuman teh, empat perompak
yang tersisa telah tergeletak tanpa nyawa.
Sementara itu, Jalu Samudra alias si Pemanah Gadis masih menempel ketat
Hiu Jantan. Berulang kali golok besar bergelang-gelang terpental kena
sampokan tongkat hitam di tangan si buta. Dan berulang kali pula Hiu Jantan

memaki panjang-pendek karena jurus golok andalannya gagal mengenai
sasaran.
“Anak muda bertongkat! Apa perlu bantuan?” teriak Gandarwa.
Sambil menangkis serbuan golok rapat lawan, Jalu sempat-sempatnya
menjawab, “Ma kasih, Paman! Kayaknya ga perlu deh! Ni juga hampir selesai
kok.”
Belum lagi ucapan Jalu selesai, Hiu Jantan memanfaatkan kesempatan lawan
lengah dengan mengayunkan golok dengan kecepatan tinggi hingga
menimbulkan bayangan golok bergulung-gulung. Semakin lama gulungan golok
itu semakin cepat. Berikutnya dengan sekuat tenaga, dikibaskannya gulungangulungan
golok ke arah Jalu Samudra.
Cideng tiba-tiba berteriak keras, “ Itu ... jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan
Melesat’! Tidak mungkin!”
Tentu saja bukan hanya Cideng saja yang kaget, termasuk Sampurna pun
bukan alang kepalang!
Setahunya jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’ adalah jurus khas
Perguruan Golok Tanpa Bayangan wilayah selatan, itu pun hanya murid Kelas
Utama seperti dirinya dan Cideng yang diajarkan jurus golok pamungkas yang
bernama jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’. Adalah aneh jika
seorang anggota gembong rompak Tujuh Lautan sanggup memainkan jurus
golok yang hanya diajarkan secara pribadi oleh Ki Ageng Suryapati.
Mata Sampurna dan Cideng melotot lebar!
Bibir menggerimit tidak jelas.
Yang jelas ... muka pucat seperti mayat!
Mereka jelas tahu dan tahu jelas, apa dan bagaimana kehebatan dari jurus
andalan perguruannya!
Namun, keadaan sudah berlangsung begitu cepat dan tidak terkendali.
Tetapi teriakan khawatir dari Cideng dan Sampurna tidak membuat Jalu
menjadi gugup apalagi kaget. Pemuda murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal
Bertangan Naga justru malah berdiri dengan tenang.
Posisi berdiri tegak menyamping.
Tongkat hitam menuding ke bawah hampir menyentuh lantai membentuk
sudut tajam.
Tangan kiri disembunyikan di belakang punggung.
Semua yang ada di tempat itu terpana!
“Dasar pemuda gila! Cepat menghindar!” teriak pemuda baju merah, cemas.
“Cepat! Cepaaat ... !”
Si pemuda terdiam seolah tidak mendengar seruan yang terdengar.

Begitu gulungan golok kurang sejengkal dari tubuh, mendadak ia menggoyang
tubuh ke kanan-kiri secara aneh sedang tangan kiri bergoyang-goyang ke atasbawah
sambil diputar-putar seperti gadis penari. Yang lebih unik lagi, bukannya
menangkis serangan golok justru ujung tongkatnya berulang kali mengetukngetuk
ke bawah seolah seekor binatang hutan menandai wilayah kekuasaan.
Sett! Sett!
Ajaib!
Beberapa kali jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’ kandas di tengah
jalan.
Cideng dan Sampurna terbelalak!
--o0o--
Bagian 11
“Tidak mungkin,” desis Sampurna dengan mata semakin melotot lebar. “Ini
benar-benar tidak mungkin! Dia sanggup mengeliminasi efek jurus ‘Cahaya
Mengapung Bayangan Melesat’! Gila!”
“Siapa sebenarnya pemuda itu?” ucap lirih Cideng dengan mata semakin
dijerengkan lebar-lebar.
Sementara itu, Hiu Jantan sendiri tidak kalah kagetnya.
“Keparat! Bagaimana bisa pemuda buta ini bisa membelokkan arah serangan
golokku!? Selama ini, belum pernah satu pun lawan yang sanggup menahan
jurus ‘Cahaya Mengapung Bayangan Melesat’ yang aku gunakan!”
Jalu Samudra sendiri masih asyik dengan jurus ‘Tarian Kepiting Gila’ yang
memang baru pertama kali ia gunakan. Kadang geleng-geleng, ada kalanya
jingkrak-jingkrak seperti monyet minta pisang, entah ulah apa lagi yang ia
lakukan, semuanya terpampang jelas.
Saking asyiknya, ia seperti orang sakit saraf yang nandak sendirian!
Dasar gendeng!
Sementara itu, Hiu Jantan sendiri merasa bahwa setiap kali serangan
gulungan golok hampir menyentuh lawan, terasa sekali bahwa hawa golok
seperti dicelupkan ke tempat yang sangat dalam.
Amblas begitu saja!
“Aku harus meningkatkan pola serangan!” desisnya sambil mengerahkan
seantero tenaga dalam dan tenaga peringan tubuh hingga ke puncaknya. Selain
jurusnya yang semakin mengganas, tubuh Hiu Jantan berkelebatan cepat.
Werr ... werr ... werr ... !!
Cess ... !! Cess ... !!

Melihat lawan meningkatkan tempo serangan, Jalu Samudra pun merubah
bentuk serangan meski tetap menggunakan jurus yang sama. Jika sebelumnya
ia hanya menggunakan tingkat awal dari Ilmu ‘Tenaga Sakti Kilat Matahari’ kini
justru dinaikkan ke tingkat dua. Begitu ia mengerahkan tenaga ...
Swooosh ... !!
Sebentuk pancaran biru bening hawa panas menyengat menyeruak spontan
dirasakan oleh semua khalayak yang menonton pertarungan. Beberapa
diantaranya harus mengerahkan tenaga dalam untuk menahan pancaran hawa
panas menyengat.
“Gila! Pancaran tenaganya hebat sekali,” desis pemuda baju merah dengan
peluh membasahi dahi. “Tenaga dalamku sudah mentok begini belum bisa
mengatasi hawa panas. Benar-benar yang luar biasa!”
Bukan hanya si pemuda baju merah saja, Cideng dan kawan-kawan pun
mengalami hal yang sama. Jika yang berilmu silat tinggi saja harus mati-matian
menggunakan tenaga dalamnya, bagaimana dengan yang berilmu pas-pasan?
Itu pun masih mending!
Lha bagaimana dengan Hiu Jantan!?
Sebagai orang yang langsung berhadapan dengan si Pemanah Gadis, Hiu
Jantan-lah yang paling parah menerima akibatnya.
“Kampret busuk!” keluhnya. “Bagaimana caranya si buta ini memiliki tenaga
begini hebat!?”
Untuk menutupi kegelisahannya, ia pun membentak keras, “Heeeaa ... !!”
Wess ... !
Trakk!!
Jika pada serangan awal Jalu Samudra lebih banyak menghindar, kali ini
justru menyongsong serangan lawan secara frontal!
“Aaaagghh ... !!”
Hiu Jantan terpental deras ke belakang. Menabrak beberapa barang yang
memang sudah pecah berantakan akibat pertarungan sebelumnya.
Duuessshh ... ! Crabb!
Sebuah pukulan telak menghantam punggung Hiu Jantan. Bersamaan dengan
itu pula sebentuk benda tajam menembus punggung Hiu Jantan.
Krakk!
Terdengar suara berderaknya tulang patah.
Bukan tulang punggung Hiu Jantan tapi justru tulang lengan seorang anak
buah Kapal Surya Silam yang bernama Kledung.
“Huaaaa ... !!” teriak Kledung sambil berguling-guling memegangi tangan
kanan.

Rupanya, arah jatuh tubuh Hiu Jantan mengarah ke Kledung yang waktu itu
sedang duduk manis bersama Satari menonton pertarungan terakhir. Karena
kaget, Kledung spontan menggunakan jotosan tangan kanan sedang Satari
dengan sigap ‘menyodorkan’ golok ke punggung.
Hiu Jantan terjengkit kaget saat ia merasakan perih dan sakit!
Saat ia menunduk, sebuah ujung golok terlihat mencuat keluar dari dada.
Dengan terhuyung-huyung, ia berusaha berdiri dengan jari telunjuk menuding
ke arah hidung Satari diikuti dengan suara parau kelaur dari mulutnya, “Kau ...
kau ... “
Satari yang tergugu tidak menyangka dengan perbuatannya yang asal-asalan.
“Aku ... aku ... tidak ... seng ... ngaja ... “ katanya terbata-bata. “Su ... sung ...
sungguh.”
Bagaimana pun juga, wibawa Hiu Jantan sebagai salah seorang pentolan
Perompak Tujuh Lautan bukanlah nama kecil. Puluhan tahun lamanya pasangan
Hiu Jantan dan Hiu Betina malang melintang sebagai orang paling ditakuti
sesama perompak, bahkan para perompak lain pun lebih baik menyingkir dari
pada berebut jatah dengan Sepasang Hiu Baja. Hingga pada lima belas tahun
silam, Jenggot Perak Mata Satu mengalahkan Sepasang Hiu Baja dalam duel
sengit yang konon kabarnya berlangsung dua hari dua malam lebih beberapa
jam.
Tak mau kehilangan orang-orang handal, Jenggot Perak Mata Satu merekrut
Sepasang Hiu Baja menjadi salah seorang kepercayaannya. Dan di bawah
naungan Perompak Tujuh Lautan-lah nama Sepasang Hiu Baja semakin berkibar
kejahatannya. Sudah tidak terhitung berapa nyawa melayang akibat tebasan
golok bergelangnya. Bahkan warga persilatan tidak sedikit yang harus melepas
nyawa karena berani mengusik Sepasang Hiu Baja.
Kini ...
Dalam perompakan di kapal Surya Silam, tidak ada dalam benaknya akan
menjadi akhir dari kisah sebuah kejahatan!
Sosoknya maju selangkah demi selangkah ke arah Satari. Jika langkah Hiu
Jantan terlihat berat berdebam sarat hawa pembunuhan, justru bagi Satari setiap
langkah Hiu Jantan bagai dentuman genderang pencabut nyawa. Begitu sejarak
satu langkah, Hiu Jantan berhenti. Golok bergelang telah diangkat tinggi-tinggi.
Bisa dipastikan dalam satu ayunan saja tubuh pemuda yang duduk ketakutan itu
bakal terbelah dua bagai semangka tanpa biji dibelah pisau tajam.
Yakin!
Satari yang sudah kalah wibawa, hanya pasrah sambil memejamkan mata.
“Mati dech aku sekarang,” pikirnya sambil menutup mata rapat-rapat, “Mogamoga
saja di sana aku ketemu bidadari cantik.”

Dalam kondisi ketakutan seperti itu, masih sempat-sempatnya Satari
memikirkan bidadari cantik. Mana ia tahu kalau disana sudah menunggu nenek
tua keriput dengan kunyahan susur di mulutnya?
Namun ... tunggu punya tunggu, tidak terjadi apa-apa padanya.
Jangankan rasa sakit, pedih pun tidak. Justru ia mencium bau tidak sedap.
“Gila! Ini ‘kan bau jengkol? Masa’ perompak kelas kakap suka makan
jengkol?” pikirnya. Dengan masih takut-takut, ia membuka matanya pelan-pelan.
Dan ...
Byakk ... !!
“Huaaaa ... !!”
Satari terperanjat kaget!
Bukannya sosok Hiu Jantan yang mengayunkan golok, justru kawannya yang
bernama Junjung sedang asyik meniup-niup wajahnya!
“Dasar monyet pitak!” bentak Satari sambil tangannya menepak dahi Junjung.
“Kau mau kubikin mampus, apa?”
“Hahahaha!” bukannya marah, Junjung justru tertawa lebar.
Setelah hilang rasa kagetnya, pandangan mata Satari mengedar dan berhenti
pada sosok yang tergeletak sejarak dua langkah darinya.
Sosok Hiu Jantan yang tergeletak tanpa nyawa!
Dari sumbulan gagang golok selain goloknya, bisa dipastikan ada orang lain
yang menuntaskan riwayat Hiu Jantan dengan lemparan golok dan menancap
tepat di dekat golok yang menancap sebelumnya.
Dengan takut-takut, ia tarik golok miliknya yang sedari tadi masih ngendon di
tubuh Hiu Jantan.
Srett!
“Heh, mati juga dia,” gumamnya sambil membersihkan golok dari darah Hiu
Jantan. “Entah apa jadinya jika setan laut ini masih hidup, hihhh!!”
Pertempuran berdarah di atas kapal di tengah laut pun akhirnya selesai
sudah.
Meski perompakan kali ini bisa dikatakan gagal, namun pihak Surya Silam
tetap merasa khawatir dengan ancaman Jenggot Perak Mata Satu.
“Bagaimana ini, Kakang?” tanya Gandarwa.
“Apanya yang bagaimana?” balik tanya Gautama.
“Dengan Jenggot Perak Mata Satu!” seru Gandarwa agak keras.
Dengan sedikit meringis, Gautama menjawab santai, “Yach ... bagaimana, ya?
Menghindar pun rasanya tidak mungkin. Laut adalah wilayah kekuasaan mereka.
Mereka adalah setan laut, yang bisa muncul kapan saja tanpa kita ketahui. Di

sekitas sini tidak ada tempat untuk sembunyi. Lalu apa yang harus kita lakukan
selain menghadapinya?”
Gandarwa tercenung sesaat, gumamnya, “Semoga saja para pendekar yang
berada di kapal ini bisa diharapkan bantuannnya. Semoga!”
“Kalau hal itu, kau tidak perlu khawatir. Di kapal kita ini ada tokoh muda
berjuluk si Naga Terbang yang tadi dengan gagah berani menerjang sendirinya
kapal lawan. Belum lagi dengan tuan muda dan puluhan pengawal bergoloknya
... “
“Jangan lupa dengan pemuda buta bertongkat hitam. Yang jika tidak salah
dengar bernama Jalu Samudra.”
“Benar. Dia cukup tangguh juga bisa mengalahkan Hiu Jantan dan
kelompoknya sendirian,” ucap Gautama sambil memandang lepas ke tengah
laut.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan keras, “Celaka ... !!”
“Apanya yang celaka, Satari?” tanya Gautama, heran.
“Kapal Perompak Tujuh Lautan!” sahut Satari sambil menuding ke arah
selatan. “Kapalnya teseret ombak.”
“Kita harus menghancurkan kapal itu!” seru Gautama panik, sambungnya,
“Daripada ketahuan Jenggot Perak Mata Satu! Bisa berabe.”
“Benar! Tapi bagaimana caranya? Jaraknya terlalu jauh. Kurang lebih seratus
tombak lebih,” desis Adiprana. “Menggunakan panah api pun jelas percuma.”
“Bagaimana dengan pukulan sakti?” usul si pemuda baju merah berkumis
tipis.
Semua temenung. Masing-masing sedang mengukur diri, mampukah mereka
melontarkan pukulan sakti dengan jarak sebegitu sejauh itu. Orang-orang yang
memiliki ilmu tinggi saling pandang satu sama lain, lalu saling angkat bahu tanda
menyerah. Karena mereka tahu, belum lagi pukulan sampai sasaran, tenaga
sudah habis terlebih dahulu.
“Bagaimana?” tanya kembali pemuda berbaju merah menyala. “Masa’ dari
sekian banyak orang tidak ada yang sanggup?”
“Bagaimana dengan kau sendiri?” sindir Adiprana.
“Aku?” katanya sambil menunjuk hidungnya sendiri. “Kalau aku ... jelas tidak
bisa. Aku berilmu silat pas-pasan. Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?”
“Heeehh ... “ Adiprana menghela napas pendek, lalu katanya, “Pukulanku
tidak bisa menjangkau jarak sejauh itu. Benar-benar tidak bisa!”
“Jadi ... kesimpulannya ... “
Tiba-tiba sebuah suara menyeruak, “Bagaimana dengan panah api?”
Semua mata menoleh ke sumber suara.

Terlihat sesosok pemuda baju biru laut bertongkat hitam berdiri mematung
dari dekat tiang penyangga yang patah.
Siapa lagi jika bukan Jalu Samudra adanya!
“Sobat buta, kukira telingamu masih baik-baik saja, tak tahunya ... “ ejek salah
seorang yang ada disitu, “Bukankah tadi sudah dikatakan tidak akan ada panah
yang lesatannya sanggup mencapai jarak ratusan tombak.”
“Apa sudah dicoba?” potong Jalu Samudra.
“Belum. Karena ... “
“Kalau belum dicoba, bagaimana kita tahu hasilnya,” sambil berkata, Jalu
mundur satu langkah. Tangan kanan menarik tali hitam pada tongkatnya sedang
tangan kiri dengan kokoh memegang tongkat hitam yang sekarang melengkung
bagai busur.
Krieeett ... !
“Mana panahnya?” tanya orang tadi dengan mimik muka heran, pikirnya, “Ni
orang gila apa kena sawan, nih? Merentang busur tanpa panah? Dasar
gendeng!”
Si pemuda berkumis tipis berjalan menghampirinya sambil berkata, “Apa yang
kau lakukan?”
“Tentu saja melepas anak panah.”
“Anak panah?” tanya kembali si pemuda baju merah menyala, “Mana ... “

BERSAMBUNG KE BAG. 2