Raja Naga 9 - Hantu Bersayap

SATU 

MALAM beranjak angker. Hembusan angin ma- 
lam semilir, tetapi dingin menusuk. Tak biasanya an- 
gin malam berhembus seperti ini, seolah mengabarkan 
akan terjadi satu kejadian yang sangat mengerikan. 
Bayangan pepohonan yang berjajar di hutan itu, seper- 
ti raksasa yang sedang menjaga. Suara burung malam 
terasa menyayat hati dan pendengaran. Malam seperti 
mati. Rembulan menghilang di balik gumpalan awan 
hitam. 

Tiba-tiba keheningan di hutan itu dipecahkan 
oleh suara kepakan sayap yang sangat cepat dan ken- 
cang, yang berasal dari dalam hutan. Dari kepakan 
sayap itu timbul gelombang angin yang membuat 
ranggasan semak terpapas rata ujungnya! 

Menyusul suara kepakan yang cukup keras itu, 
satu bayangan melesat keluar dari dalam hutan itu. 
Gerakannya sangat cepat dan lincah. Bayangan itu 
nampak gelap, karena malam memang pekat dan rem- 
bulan tertutup oleh awan hitam. 

Bayangan yang terbang dan sesekali menge- 
pakkan kedua sayapnya terus melesat. Dari sosok 
yang nampak, bayangan itu seukuran manusia dewa- 
sa! 

Setelah beberapa lama menempuh perjalanan 
di udara, bayangan bersayap itu hinggap di halaman 
sebuah rumah yang cukup besar. Tak ada suara yang 
terdengar saat dia hinggap. Matanya tajam memperha- 
tikan bangunan mewah itu, bangunan yang menanda- 
kan kalau pemiliknya adalah orang berada. Keadaan di 
rumah itu sepi. 

Sepasang mata bayangan bersayap ini meman- 
dang tak berkedip ke depan. Sorot matanya mengeri- 
kan dan sesekali seperti terlihat sinar merah yang me- 
nyilaukan. 

Sebelum dia melangkah, secara tiba-tiba kehe- 
ningan itu dipecahkan oleh bentakan keras, "Manusia 
terkutuk! Siapa kau yang berani muncul di rumah Ju- 
ragan Jagalaksa?!" 

Menyusul bentakan itu, telah berdiri delapan 
orang lelaki gagah yang memegang tombak dari samp- 
ing kanan kiri rumah itu. Menilik kemunculan mereka 
yang tiba-tiba, jelas sekali kalau orang-orang sebelum- 
nya mengetahui kehadiran orang bersayap ini. Mereka 
langsung mengelilingi si bayangan bersayap. Pandan- 
gan masing-masing orang dipenuhi kemarahan tinggi. 

Bayangan bersayap itu menggeram dingin. 

"Kalian hanya mencari mampus berani meng- 
halangi keinginanku!" suaranya pun dingin, dalam dan 
menghujam ke jantung 

Tetapi orang-orang yang bertindak sebagai pen- 
gawal rumah besar itu tak ada yang keder. Mereka tak 
mempedulikan kata-kata yang sarat dengan ancaman. 

"Meninggalkan halaman rumah ini dengan se- 
gera adalah tindakan yang lebih baik sebelum kami 
memutuskan untuk mencacak tubuhmu!!" bentak sa- 
lah seorang. 

Tombak yang dipegangnya sudah dihunuskan. 

Bayangan bersayap menggeram dingin. 

"Yang kubutuhkan adalah harta milik orang 
yang kalian jaga dengan nyawa kalian! Aku tak mem- 
butuhkan nyawa-nyawa busuk seperti milik kalian! 
Dan tak akan ku ulangi lagi ucapanku ini! Menyingkir, 
atau mampus saat ini juga!!" 

"Setan! Kau pikir kami takut, hah?! Bunuh ma- 
nusia itu!!" bentak si lelaki yang kemudian mendahului 
menerjang dengan tombaknya. Terjangan yang dilaku- 
kannya segera disusul oleh yang lainnya. 

Bayangan bersayap mengertakkan rahangnya 
keras-keras. Secara tiba-tiba tubuhnya berputar se- 
raya merentangkan sayap kanannya. 

Wuunggg!! 

Gelombang angin serta-merta terjadi. Dan dela- 
pan orang yang menerjang itu seketika berpentalan 
laksana sehelai kapas yang terhempas badai! 

Beberapa orang menabrak dinding pembatas 
rumah. Beberapa orang lagi menabrak dinding rumah. 
Secara bersamaan pula, masing-masing orang terbant- 
ing lagi ke depan dan ambruk dengan nyawa putus di 
atas tanah! 

"Huh! Kalian hanya membuang nyawa percu- 
ma!!" maki si bayangan bersayap. 

Lalu dengan merentangkan sedikit sayapnya, 
dia sudah hinggap lagi di depan pintu rumah besar itu. 
Dengan sekali mendorong saja, pintu itu jebol! 

Di kamarnya. Juragan Jagalaksa yang baru tiga 
hari menikah itu tersentak kaget. Terburu-buru dia 
bangkit dari atas tubuh istrinya yang dalam keadaan 
polos. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Nafas- 
nya masih terengah-engah. 

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya istrinya yang 
masih berusia sekitar tujuh belas tahun. Yang begitu 
merasakan kegiatan suaminya terhenti, perlahan- 
lahan dibuka kedua matanya. Dia juga mendengar su- 
ara dobrakan pintu tadi. Tetapi kala itu sukmanya se- 
dang berada di awang-awang. Karena mendadak saja 
suaminya menghentikan tindakannya, dia seperti ter- 
hempas di atas tanah! Rasa kesalnya sesaat muncul. 
Namun begitu dilihatnya suaminya terdiam, rasa kesal 
di hatinya hilang. 

Juragan Jagalaksa tak menjawab. Ditajamkan 
kedua alat pendengarannya. Lelaki bertubuh sedikit 
gemuk ini mengerutkan keningnya, karena tak me- 
nangkap suara-suara di luar. 

"Aneh!" desisnya. 

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Istrinya lagi 
seraya bangkit. Tidak berusaha untuk menutupi tu- 
buhnya yang polos. Sepasang bukit kembarnya sedikit 
basah oleh keringat, kencang dan menggemaskan. Di 
bagian atas bukit kembarnya sebelah kanan, terdapat 
sebuah tompel yang cukup besar berwarna coklat. 
Dengan adanya tompel itu, bukannya menjadikan bu- 
kit kembarnya tidak enak dipandang. Justru semakin 
membuat orang tergila-gila untuk melihat, menjamah 
maupun untuk.... 

Juragan Jagalaksa memandangi istrinya yang 
baru tiga hari dinikahinya itu. Selama ini. Juragan Ja- 
galaksa dikenal sebagai seorang dermawan yang mem- 
punyai usaha pada bidang perdagangan. Setelah sepu- 
luh tahun menduda karena istrinya yang pertama me- 
ninggal karena sakit. Juragan Jagalaksa memutuskan 
untuk menikah lagi. Dan pilihannya jatuh pada is- 
trinya yang masih belia ini. 

Masih dipandanginya istrinya yang perlahan- 
lahan tersen3mm. Tetapi begitu disadari kalau sua- 
minya sedang sedikit bingung, dia urung untuk mena- 
rik lagi tubuh suaminya, meneruskan kegiatan mereka 
yang belum selesai. Saat itu pula ketegangannya kem- 
bali merambat. 

Mendadak... braaakki! 

Terdengar pintu bagian tengah jebol seperti dis- 
entak. Seketika Juragan Jagalaksa mengenakan pa- 
kaiannya. 

"Kau tunggu di sini!" 

"Kakang... aku ikut!" seru istrinya yang terbu- 
ru-buru mengenakan pakaiannya pula. 

Juragan Jagalaksa menarik napas pendek. Di- 
turutinya apa yang diinginkan istrinya. 

"Aneh! Apa yang terjadi? Ke mana para penjaga 
rumahku ini?" tanyanya dalam hati. Begitu dirasakan 
tangan istrinya telah memegang tangannya, Juragan 
Jagalaksa memutuskan pertanyaannya sendiri. "Jan- 
gan bersuara...." 

Keadaan yang tiba-tiba menjadi tidak menye- 
nangkan itu, membuat sepasang suami istri yang ma- 
sih giat-giatnya melakukan kewajiban mereka, menjadi 
sedikit gusar. Tetapi yang mereka rasakan justru satu 
ketegangan yang sangat mengerikan. 

Juragan Jagalaksa mengambil pedang yang ter- 
sampir di dinding. 

"Aku tak mengerti, pada ke mana orang- 
orangku itu?" desisnya pada dirinya sendiri. Lalu den- 
gan hati-hati dibukanya pintu kamarnya. Dicobanya 
untuk mengintip lebih dulu keluar. 

Namun.... 

Braaakkk!! 

Pintu itu seketika jebol. Dan menghantam tu- 
buh Juragan Jagalaksa beserta Istrinya yang seketika 
terhu5rung ke belakang. 

"Kakang!" jerit istrinya yang terbanting di atas 
lantai. Rupanya dia belum sepenuhnya merapikan pa- 
kaiannya. Pakaian bagian atasnya memang telah tertu- 
tup. Tetapi di balik kain kamben yang dikenakannya, 
dia tak mengenakan apa-apa! Hingga saat tubuhnya 
terjengkang dan kambennya terbuka, terlihat sesuatu 
yang sangat menggiurkan! 

Juragan Jagalaksa sendiri buru-buru bangkit 
dengan susah payah. Ditolakkan pintu yang menimpa 
tubuhnya tadi. Kedua tangannya terasa agak ngilu. 
Pedang yang dipegangnya tadi terlepas. 

Dan begitu melihat satu sosok tubuh yang ber- 
diri di ambang pintu, kepalanya menegak dengan ke- 
dua mata membeliak. Di pihak lain, begitu melihat pa- 
ras orang yang tiba-tiba muncul. Istrinya sudah jatuh 
pingsan! 

Juragan Jagalaksa bukanlah seorang yang 
memiliki nyali ciut. Usahanya yang maju di bidang 
perdagangan, sebagai bukti salah satu dari kebera- 
niannya. Dengan gagah disambarnya lagi pedangnya 
yang terlepas. Pandangannya tak berkedip pada orang 
yang muncul di ambang pintu. 

"Siapa kau?!" bentaknya keras. Orang yang 
berdiri di ambang pintu yang bukan lain si bayangan 
bersayap menggeram. 

"Aku datang untuk mengambil seluruh ke- 
kayaanmu! Bila kau tidak melakukan kerja sama yang 
baik, berarti aku datang untuk mengambil nyawamu!". 

"Terkutuk! Kau pikir kau dapat melakukan se- 
mua ini, hah?!" geram Juragan Jagalaksa keras. Lalu 
berseru, "Jamalun! Gordo! Berguno!" 

"Huh! Para pengawalmu tak akan mampu me- 
lindungimu, karena mereka telah mampus kubunuh! 
Cepat kau lakukan kerja sama yang baik denganku!!" 

Juragan Jagalaksa merasa hatinya mulai tidak 
tenang. Rasa takutnya tiba-tiba muncul. Tetapi biar 
bagaimanapun juga, dia tak menghendaki orang ber- 
sayap itu merampas seluruh kekayaannya. 

Dipandanginya orang itu yang sedang mena- 
tapnya. Juragan Jagalaksa terkejut tatkala menyadari 
kalau orang itu mengenakan topeng yang menyeram- 
kan! Yang menutupi sebagian besar wajahnya kecuali 
matanya yang menyala-nyala! 

Perasaan Juragan Jagalaksa semakin menciut. 
Sebelum dia melakukan apa-apa, tiba-tiba tangan ka- 
nan orang itu sudah mencengkeram lehernya. 

"Aku bisa mematahkan batang lehermu dengan 
sekali sentak! Tetapi tentunya kau lebih menyayangi 
nyawamu ketimbang hartamu!" ancamannya dingin. 
"Tunjukkan di mana kau simpan hartamu?! Atau kau 
ingin membuktikan apa yang kukatakan tadi?!" 

Dalam sekali tekan saja, Juragan Jagalaksa 
sudah megap-megap kesulitan bernapas. Diangguk- 
anggukkan kepalanya dengan gerakan terburu-buru. 

Orang bersayap yang mengenakan pakaian hi- 
tam itu tertawa angker. Lalu dengan tangan yang se- 
makin keras mencengkeram leher Juragan Jagalaksa, 
dipaksanya lelaki bertubuh setengah tambun itu un- 
tuk mengeluarkan seluruh miliknya. 

Dengan sebuah karung kecil, orang bersayap 
itu berhasil mengeruk seluruh harta kekayaan Jura- 
gan Jagalaksa yang berupa uang dan perhiasan. 

"Kau telah melakukan kerja sama yang baik 
denganku! Dan aku minta, pada saat-saat mendatang 
kau juga melakukannya!!" 

Juragan Jagalaksa yang tersungkur di dinding 
tatkala orang itu mendorongnya, hanya memandang 
sengit. Kemarahannya muncul kembali. Tetapi hati ke- 
cilnya mengatakan, agar dia jangan bertindak gegabah. 

Walaupun dia berusaha untuk menindih ama- 
rahnya, tetapi amarah itu telah bergolak. Dengan su- 
sah payah sambil menahan sakit pada lehernya. Jura- 
gan Jagalaksa berdiri. 

"Manusia terkutuk! Siapa kau?!" 

"Kau tak perlu mengenal siapa aku! Aku datang 
bukan hanya untuk mengeruk seluruh kekayaanmu, 
tetapi seluruh kekayaan yang orang-orang miliki!" 

"Terkutuk! Aku bersumpah, suatu saat kau 
akan mampus tertelan oleh benda-benda yang kau cu- 
ri!" 

Kilatan merah pada kedua mata orang bersayap 
semakin kentara. Tajam, dingin dan bengis. 

"Kau telah menunjukkan kematianmu sendiri!" 

"Terkutuk!!" 

Wuutttt!! 

Tangan kanan orang bersayap sudah bergerak. 
Dan... plopp! 

"Heeiiggkk!!" 

Sebuah kalung masuk ke mulut Juragan Jaga- 
laksa di saat lelaki itu membentak tadi. Kontan Jura- 
gan Jagalaksa merasakan sesuatu yang menyiksa jalan 
nafasnya. Dia berusaha untuk memuntahkan kalung 
itu. 

Tiba-tiba dirasakan satu tenaga telah memak- 
sanya untuk terus mengatupkan mulut. Bahkan dira- 
sakan kedua lubang hidungnya tak bisa dipergunakan 
untuk bernapas. 

Orang bersayap yang sedang menunjuk ke 
arahnya sambil mengerahkan tenaga dalam terbahak- 
bahak. 

"Kau telah memilih jalan kematianmu sendiri!!" 

Habis ucapannya, dengan memanggul parang 
rampasannya orang bersayap melesat terbang. Di ru- 
mahnya, Juragan Jagalaksa berkelojotan dengan tu- 
buh menyentak-nyentak. Dia berusaha untuk membu- 
ka mulut dan bernapas selega-leganya. Tetapi semakin 
di usahakan, semakin sulit dilakukan. 

Tiga kejapan lain. Juragan Jagalaksa sudah 
menggelosoh dengan tubuh penuh keringat dan wajah 
memutih pucat! 

***

DUA 

KEMATIAN Juragan Jagalaksa yang dermawan 
itu menyentakkan seisi dusun keesokan paginya. 
Orang-orang ramai membicarakan kematiannya yang 
mengenaskan. Juga menduga-duga apa yang terjadi. 
Delapan pengawal Juragan Jagalaksa adalah orang- 
orang gagah yang memiliki sedikit ilmu bela diri. Meli- 
hat kematian mereka, orang-orang di sana menduga 
kalau si pembunuh jelas memiliki ilmu yang lebih ting- 
gi- 

Astari, istri Juragan Jagalaksa, masih dapat di 
selamatkan. Tetapi Astari tak bisa bercerita banyak. 
Dia selalu menangis dan menangis penuh ketakutan. 
Sesekali terdengar ucapannya, "Hantu Bersayap... 
Hantu Bersayap... " 

Ramalah orang-orang di dusun itu mencerita- 
kan tentang munculnya Hantu Bersayap yang telah 
membunuh Juragan Jagalaksa. Tiga orang yang me- 
ronda malam itu mengatakan, tidak mendengar apa- 
apa pada malam kejadian. Mereka kemudian sepakat 
untuk mengadakan ronda secara ketat. Siang dan ma- 
lam mereka berusaha menemukan jejak Hantu Ber- 
sayap. Namun sampai tujuh hari lamanya. Hantu Ber- 
sayap tak pernah muncul. Kendati demikian, tak men- 
gurangi kewaspadaan para penduduk desa itu. 

Berita tentang munculnya Hantu Bersayap, ter- 
dengar pula ke telinga seorang pemuda yang mengena- 
kan rompi ungu terbuka di bagian dada. Dadanya bi- 
dang dengan menonjolkan otot-otot yang terlatih. 
Rambut si pemuda tampan ini dikuncir kuda. Saat itu 
dia sedang makan di sebuah warung yang terdapat di 
pinggir dusun itu. Agak berada di pojok. 

"Anehnya," kata salah seorang yang sedang 
bercerita dengan mulut sedikit penuh, "Sampai saat ini 
tak terdengar lagi kabar si Hantu Bersayap itu mun- 
cul" 

"Hantu Bersayap hanya menginginkan harta 
kekayaan seseorang. Di dusun kita, hanya Juragan 
Jagalaksa orang yang kaya. Mungkin saat ini dia se- 
dang melakukan aksinya di tempat lain," sahut te- 
mannya 

Pemuda berompi ungu yang sedang menikmati 
makanannya, mendengarkan dengan seksama. Saat 
dia menyuap nasinya, terlihat sisik-sisik coklat yang 
memenuhi lengannya sebatas siku. Sisik-sisik coklat 
itu juga terdapat di lengan lainnya. Anak muda ini me- 
lirik orang-orang yang sedang membicarakan Hantu 
Bersayap. 

Astaga! Lirikannya begitu angker! Seperti men- 
gandung tenaga gaib yang mampu melemahkan nyali 
siapa pun yang melihatnya. 

"Hantu Bersayap... siapa pula orang itu?" de- 
sisnya dalam hati. Pemuda yang bukan lain Boma 
Paksi atau yang lebih dikenal dengan julukan Raja Na- 
ga, terus mendengarkan. 

"Dan kematian Juragan Jagalaksa justru mem- 
bikin orang-orang seperti Mat Bendot dan gerombolan- 
nya menjadi merajalela. Selama ini Mat Bendot hanya 
berdiam diri karena takut dengan Juragan Jagalaksa." 

"Ya! Kau benar! Dia semakin gila memeras para 
penduduk!" 

"Seharusnya kita bahu membahu untuk meng- 
hadapinya!" 

"Tapi kau kan tahu sendiri, Mat Bendot begitu 
kejam. Bukankah Kakang Jumewa dibunuhnya begitu 
saja di hadapan anak dan istrinya?" 

"Ya! Kekejamannya itu sudah tak bisa dibiar- 
kan!" 

"Tapi... siapa yang berani menghadapinya? Sia- 
pa?" 

"Bagaimana dengan Astari?" tanya lelaki yang 
di bahunya tersampir sebuah kain yang sudah lusuh. 
Nampaknya dia tidak begitu men3rukai percakapan 
tentang Mat Bendot dan gerombolannya yang merajale- 
la. 

"Wah! istri Juragan Jagalaksa itu tak bisa diha- 
rapkan banyak! Dia memang bisa bercerita, tetapi sela- 
lu terpotong. Ki Lurah saat ini sedang berusaha untuk 
menanyakan semua kejadian yang mengerikan." 

"Sayang... masih muda sudah jadi janda." 

"Memangnya kau mau dengan dia, Tong?." 

Otong yang giginya tonggos menyeringai. 

"Siapa yang tidak mau dengan Astari? Kau in- 
gat tidak. Gus, sebelum Astari dipungut istri oleh Ju- 
ragan Jagalaksa, kita sering mengintipnya mandi?" 

"Iya jelas ingat! Tapi...," mata Bagus melirik ke 
kanan kiri. "Jangan keras-keras kau bicara!" 

"Hei, hei... memangnya kalian pernah mengintip 
Astari mandi?" tanya yang duduk di samping kiri. Ke- 
pala lelaki ini bulat dengan sedikit botak di tengah. 

Bagus menganggukkan kepalanya. 

"Jangan cerita-cerita...." 

"Coba, coba... katakan padaku, bagaimana ben- 
tuk tubuhnya?" 

"Tanya Otong saja," sahut Bagus setengah ter- 
paksa. Sebenarnya ini rahasianya dengan Otong, tetapi 
Otong sudah lancang bicara. 

Sementara itu Otong justru bersemangat. Dia 
merasa bangga karena hanya dia dan Bagus yang per- 
nah melihat tubuh Astari sebelumnya. 

Otong mengangkat jempolnya. 

"Begini! Tubuhnya indah! Kulitnya mulus dan 
menggiurkan! Bukit kembarnya... waduh! Tidak sabar 
rasanya tanganku untuk menjamah dan meremasnya! 
Kalau bisa juga... hehehe... menciuminya!" 

"Terus, terus...," pinta Bulang bersemangat. Di- 
am-diam dia menelan ludahnya dan merasa iri dengan 
keberuntungan Otong dan Bagus. 

"Apalagi... di atas payudaranya sebelah kanan 
itu, terdapat sebuah tompel cukup besar berwarna 
coklat! Ih! Semakin membuatku tidak sabar untuk 
menjilatinya! Eh, kau tahu tidak? Pinggulnya... aduk, 
Mak! Nggak ketahanan deh! Pahanya mulus menggiur- 
kan! Juga... hehehe,.. kau tahu sendirikan, benda yang 
ada di pangkal paha?" 

"Bagaimana... bagaimana bentuknya?" 

"Wah! Pokoknya mengundang...." 

"Heemm!!" 

Kata-kata Otong terpotong, karena pemuda be- 
rompi ungu mendeham. Ketiga orang itu melirik tak 
senang. Tetapi si pemuda dengan tenangnya bangkit 
dan membayar apa yang telah dimakannya. Lalu berla- 
lu dari sana. 

"Sombong!" dengus Otong. 

"Siapa sih pemuda itu? Aku baru melihatnya!" 
sahut Bulang yang merasa kesal karena cerita Otong 
terpotong. Padahal yang akan didengarnya adalah se- 
suatu yang luar biasa. 

"Pasti dia seorang pengembara! Bukankah ak- 
hir-akhir ini desa kita banyak kedatangan pengemba- 
ra?" kata Bagus. 

"Sudah, sudah... teruskan lagi ceritamu. Tong!" 

Sementara Otong meneruskan ceritanya. Raja 
Naga terus melangkah masuk ke dusun itu. Saat ini 
matahari baru sepenggalah. Kesibukan di dusun itu 
sangat kentara sekaii. Beberapa orang menyapanya 
dan menawarkan dagangan yang mereka juai. Bebera- 
pa orang memandang terkejut begitu meiihat tatapan- 
nya. Beberapa orang gadis cekikikan meiihat ketampa- 
nannya. 

Semua disambut murid Dewa Naga dengan se- 
nyuman. 

"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 
Siapa orang yang dijuiuki Hantu Bersayap itu?" desis 
Boma Paksi daiam hati. 

Tiba di pasar yang ada di dusun itu, keributan 
terjadi. Seorang kakek yang jeias-jeias sudah tidak 
memiiiki daya, sedang dihajar oieh dua orang ieiaki 
bertubuh tinggi besar dengan wajah dipenuhi buiu 
tebai. Di pinggang masing-masing terdapat sebuah go- 
iok tajam. 

"Orang tua! Kemarin kau beium membayar pa- 
jak, sekarang juga demikian! Apakah kau lebih rela tu- 
buhmu kami hajar ketimbang kau membayar pajak?!" 

"Ampun, Den... ampun... saya... saya... belum 
mendapatkan untung...," sahut si kakek tersendat, 
mulutnya sudah mengeluarkan darah. 

"Setan! Aku tak meminta untung mu! Aku 
hanya minta kewajibanmu untuk membayar pajak! 
Atau... kau ingin Mat Bendot yang turun tangan untuk 
menghajarmu?!" bentak si lelaki bengis. 

"Jangan, Den... jangan...." 

Sraaakkk!! 

Golok yang berada di pinggang kini sudah be- 
rada di tangan. Tergenggam erat dan diacungkan di 
depan wajah si kakek. 

"Berikan sekarang juga! Atau... kami sita ba- 
rang dagangan mu ini!!" 

Orang tua yang tak berdaya itu terus mengiba- 
ngiba. Sementara para pedagang lainnya memandang 
dengan takut-takut. Di hati sebagian dari mereka begi- 
tu geram dan membenci tindakan orang-orang yang 
merupakan anak buah Mat Bendot. Ada orang yang in- 
gin segera menolong si kakek, tetapi masih berpikir 
beberapa kali mengingat mereka mempunyai keluarga. 

"Jangan... jangan sita dagangan saya, Den!" se- 
ru si kakek sambil memburu lelaki yang satunya lagi, 
yang sudah mengangkuti kain-kain dagangannya. 

Lelaki yang mengacungkan golok menendang- 
nya hingga dia Jatuh tersungkur. Tetapi si kakek tetap 
bangkit untuk merebut kembali dagangannya. 

Lelaki yang mengacungkan golok dan bernama 
Pergiwo, menendangnya kembali. 

Desl! 

Yang mengherankan, kalau sebelumnya si ka- 
kek tersungkur, kali ini si kakek tiba-tiba melenting ke 
udara dan hinggap di atas tanah. Bukan hanya orang- 
orang yang berada di sana, termasuk Pergiwo dan te- 
mannya yang bernama Adkuro yang tercengang, si ka- 
kek sendiri terkejut. Dipandangi sekujur tubuhnya 
dengan tatapan membelalak. 

"Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya heran. Dan 
belum dia menemukan jawaban atas keheranannya, 
tiba-tiba saja tubuhnya seperti terdorong, sudah mele- 
sat ke arah Pergiwo. "Hei, hei!!" seru si kakek gelaga- 
pan sendiri. 

Melihat si kakek melesat ke arahnya, Pergiwo 
menjadi murka. Serta-merta disabetkan goloknya yang 
jelas-jelas akan membuat tubuh si kakek tercacak! 

Orang-orang yang memandang menahan napas 
melihat kenekatan si kakek. Beberapa orang sudah 
siap bergerak untuk menolong. Tetapi yang terjadi ke- 
mudian sungguh mengejutkan, karena si kakek berha- 
sil menghindari sabetan golok yang memperdengarkan 
suara membeset angin! 

Bahkan tiba-tiba saja.... 

Plaaak! 

Tangan kanan si kakek sudah menampar wajah 
Pergiwol Yang ditampar tersentak kaget dengan mulut 
menganga. Untuk beberapa lama dia berdiam dengan 
pandangan tak berkedip. Tak disadarinya kalau darah 
mengalir dari sela-sela bibirnya. 

"Heiii! Kakek Kuto bisa melawan?!" 

"Astaga! Aku yakin kalau Kakek Kuto memiliki 
ilmu bela diri. Tetapi selama ini dia berdiam diri terus 
menyembunyikan keahliannya. Pasti, pasti sekarang 
dia sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi!" 

"Bagus! Ini kesempatan kita untuk menghajar 
kedua anak buah Mat Bendot!" 

Di pihak lain, Adkuro yang sudah mengambil 
barang dagangan milik Kakek Kuto, tersentak melihat 
apa yang dialami oleh Pergiwo. Dengan gusar dia 
membanting barang-barang yang diambilnya. Lalu 
dengan kemarahan tinggi, diloloskan goloknya dan dia 
menerjang ke arah Kakek Kuto. 

Seperti yang terjadi tadi. Kakek Kuto dapat 
menghindari tebasan golok Adkuro. Adkuro sejenak 
terperangah. Tetapi saat itu pula kemarahannya sudah 
naik ke ubun-ubun! 

"Keparat! Akan ku cacak tubuhmu. Kakek cela- 
ka!!" 

Tetapi sebelum dilakukannya, tiga orang lelaki 
sudah menyergapnya. Lalu membantingnya. Sebagian 
lagi menyerbu ke arah Pergiwo. Seperti mendapatkan 
tempat untuk melampiaskan segala kemarahan yang 
telah mereka tahan, orang-orang itu menghajar Pergi- 
wo dan Adkuro sampai babak belur. 

Dan tak seorang pun yang tahu apa yang ke- 
mudian dipikirkan oleh Kakek Kuto. Saat ini Kakek 
Kuto sedang memandangi tubuhnya sendiri, lalu me- 
natap kedua tangannya lama-lama. 

"Astaga! Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin 
aku bisa menghajar keduanya? Apa yang terjadi?!" 

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun juga, Bo- 
ma Paksi tersenyum dalam hati. 

"Hemm... mudah-mudahan dengan apa yang 
kulakukan itu, kedua anak buah Mat Bendot bisa sa- 
dar," desisnya dalam hati. 

Boma Paksi-lah yang tadi membantu Kakek Ku- 
to menghadapi kedua orang galak itu dengan jurus 
'Hamparan Naga Tidur'. 

Tetapi apa yang diharapkannya tidak berjalan 
seperti yang diinginkannya. Karena begitu dilepaskan 
dalam keadaan babak belur, Pergiwo dan Adkuro sege- 
ra berlari terbirit-birit tanpa menghiraukan rasa sakit 
yang mereka alami. Keduanya terus berlari menuju ke 
sebuah tempat yang dipenuhi ranggasan semak belu- 
kar. Tiba di sebuah tempat yang terhalang oleh pepo- 
honan tinggi, keduanya menghentikan lari masing- 
masing. 

Di tempat ini mereka baru merasakan sakit 
yang tak terkira. 

"Pergiwo... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya 
Adkuro dengan keheranan yang kian menjadi-jadi. 
"Bagaimana Kakek Kuto dapat menjadi hebat seperti 
itu?" 

Pergiwo yang bibirnya sudah jontor. dan sedikit 
berdarah mengeluh. Lalu bersuara sengau, "Aku tidak 
tahu." 

"Ini tak bisa kita biarkan berlarut-larut. Mereka 
pasti akan memberontak." 

"Kita katakan semua ini pada Kakang Mat Bendot." 

"Tapi...." 

"Kenapa? Kau khawatir Kakang Mat Bendot 
akan murka?" 

"Ya! Apakah kau tidak memikirkan soal itu?" 

Pergiwo menarik napas pendek. Ngilu pada se- 
kujur tubuhnya kian menjadi-jadi. Untuk beberapa 
saat keduanya tak ada yang buka suara. Lalu tanpa 
sadar mereka mengarahkan pandangan pada sebuah 
tenda besar berwarna hitam yang tak jauh dari sana. 
Di sanalah Mat Bendot tinggal bersama anak buahnya 
yang lain. 

"Aku yakin, Kakang Mat Bendot tidak akan 
murka. Malah ini suatu petunjuk untuknya kalau 
orang-orang desa sudah mulai memberontak." 

"Tapi...." 

"Adkuro... bukan hanya kau yang ketakutan. 
Aku pun sudah merasa sebelah kakiku telah masuk ke 
neraka! Tapi bila kita tidak muncul, Kakang pasti akan 
bertambah murka! Kita hanya berharap akan kebai- 
kannya saja!" 

Adkuro mengangguk-anggukkan kepalanya 
sambil menghela napas panjang. Rasa nyeri pada tu- 
buhnya kian terasa, apalagi ditambah dengan pera- 
saan tidak tenang. 

"Kalau begitu, ayo kita laporkan semua ini pada 
Kakang Mat Bendot!" 

Memutuskan demikian, kedua orang itu segera 
melangkah mendekati tenda besar yang mereka lihat. 

Mat Bendot lelaki bertubuh besar dengan ke- 
dua tangan yang besar pula. Wajahnya dipenuhi cam- 
bang bawuk. Matanya bersorot kejam. Di pipi kirinya 
terdapat codet bekas luka. Menurut kabar, Mat Bendot 
adalah murid seorang perempuan kejam yang berdiam 
di Gunung Halimun. 

Mendengar laporan Pergiwo dan Adkuro, Mat 
Bendot tidak bersuara. Lelaki berpakaian hitam ini 
hanya berdiam diri, duduk di kursinya sambil mengu- 
sap-usap cambangnya. 

Apa yang dilakukannya justru membuat Pergi- 
wo don Adkuro menjadi tidak tenang. Perasaan mereka 
diliputi ketakutan yang cukup tinggi. 

Keduanya tersentak kaget ketika Mat Bendot 
mendeham. 

"Kalian beristirahat sekarang! Kau, Jumono! 
Bawa lima orang untuk membunuh Kakek Kuto dan 
penduduk yang nekat menghajar Pergiwo dan Adkuro 
tadi!" 

Orang yang diperintah itu segera berlalu den- 
gan mengajak lima orang lainnya. 

"Sebelum kalian beristirahat, kalian ikut aku!" 
Mat Bendot turun dari kursinya dan melangkah ang- 
kuh. Wajahnya tegang penuh kemarahan. Pergiwo dan 
Adkuro saling berpandangan sebelum kemudian men- 
gikuti lelaki tinggi besar itu. Mat Bendot mengajaknya 
ke belakang tenda. 

Dia berdiri dengan kedua tangan terlipat di de- 
pan dada. Pergiwo dan Adkuro berdiri di hadapannya 
dengan kepala tertunduk. 

"Aku telah lama mengenal Kakek Kuto! Dan 
aku tahu apa yang dimilikinya!" 

Kata-kata Mat Bendot membuat keduanya 
mengangkat kepala. Mereka menangkap rasa tidak 
percaya dari kata-kata Mat Bendot. Dan ini membuat 
hati masing-masing orang menjadi ketakutan. Mereka 
tahu apa akibatnya bila perintah yang diberikan Mat 
Bendot gagal mereka laksanakan. 

"Tetapi Kakang.... Kakek Kuto berubah menjadi 
hebat! Bahkan dia dapat menghindari sabetan golok- 
ku!" kata Pergiwo dengan suara sedikit bergetar. 

Mat Bendot tak menjawab. Hanya menatap ke- 
jam. 

Adkuro buru-buru menyambung, "Benar, Ka- 
kang. Bahkan dia juga dapat menghindari sabetan go- 
lokku! Dan tindakannya itu, memancing keberanian 
orang-orang di sana! Mereka mengeroyok kami, hingga 
babak belur seperti ini!" 

Mat Bendot tak menjawab. Sorot matanya se- 
makin memperlihatkan rasa tidak percayanya. 

"Hemmm... apa mungkin Kakek Kuto menyem- 
bunyikan kehebatannya selama ini?" desisnya dalam 
hati. "Tetapi sungguh sulit kupercaya. Mungkin ini 
hanya kebodohan dari Pergiwo dan Adkuro saja. Huh! 
Sebaiknya kutunggu hasil yang dilakukan Jumono! 
Kalau memang Kakek Kuto berubah menjadi hebat, 
aku harus menemui Guru! Mungkin pula Kakek Kuto 
bukan tandinganku...." 

Habis membatin demikian, Mat Bendot berkata, 
"Beristirahatlah kalian!" 

Baik Pergiwo maupun Adkuro sama-sama men- 
ganggukkan kepalanya. Mereka merasa lebih baik se- 
gera menyingkir sebelum Mat Bendot berubah menjadi 
murka. 

Namun baru saja keduanya membalikkan tubuh, 
tiba-tiba.... 

Kraakk! Kraaakk! 

Keduanya merasa kepala mereka dihantam se- 
buah tenaga dahsyat. Belum lagi mereka menyadari 
apa yang terjadi, leher mereka telah terjepit tenaga 
yang kuat. 

Mat Bendot yang tadi memukul kepala kedua- 
nya, telah memiting leher masing-masing orang dengan 
tangan kanan kirinya. Wajah lelaki ini berubah menja- 
di sangat kejam, melebihi kekejaman seekor singa! 

"Aku tak menyukai orang-orang yang tak ber- 
guna! Sebaiknya kalian mampus saja!!" 

Kreeekkk!! 

Dengan satu tekanan yang dilakukan menyen- 
tak dan gigi yang merapat keras, Mat Bendot telah 
membuat leher dua anak buahnya patah. Tubuh ke- 
duanya menggelosoh dan begitu dilepaskan, langsung 
terjerunuk jatuh tanpa nyawa. 

Dipandanginya kedua mayat itu, dingin. 

"Tindakan bodoh kalian justru membuat nama 
besarku yang ditakuti oleh orang-orang desa akan ja- 
tuh!" 

Lalu seperti tanpa adanya kejadian, Mat Bendot 
langsung masuk kembali ke tenda besarnya. Dia ber- 
kata dingin pada dua orang anak buahnya yang berada 
di sana, "Kubur mayat-mayat manusia tak berguna 
itu!" 

Beberapa saat kemudian, ketika orang-orang 
yang diperintahnya muncul dengan tubuh babak be- 
lur, Mat Bendot mulai merasa yakin kalau Kakek Kuto 
menyembunyikan keahliannya selama ini. Apalagi ke- 
tika Jumono menceritakan bagaimana hebatnya Kakek 
Kuto. 

Mat Bendot terdiam sambil mengusap-usap 
cambang bawuknya. Kemarahannya perlahan-lahan 
naik. Tangan kanannya memegang kuat pegangan 
kursi. Tiba-tiba.... 

Praaakk! 

Pegangan kursi itu patah. 

"Ini tak bisa dibiarkan!" 

Tak seorang pun yang berani menyahut ucapan 
Mat Bendot. Jangankan menyahuti ucapannya, me- 
mandang sorot mata Mat Bendot yang telah dibalut 
kemarahan tinggi saja mereka tak berani melakukan- 
nya. Saat ini yang mereka harapkan adalah ampunan 
yang diberikan Mat Bendot. 

"Aku akan pergi sebentar! Kalian berjaga-jaga 
sini! Siapa pun orangnya yang berani memasuki dae- 
rah ini, bunuh!" 

Habis kata-katanya, Mat Bendot keluar dari 
tendanya. Menaiki kuda hitamnya yang gagah. Lalu 
menggebraknya menuju ke arah timur! 

***

TIGA 

SEPASANG mata angker dari balik dedaunan 
memperhatikan perginya Mat Bendot. Si pemilik mata 
angker yang bukan lain Raja Naga adanya ini menarik 
napas pendek. 

"Hemmm... cecunguk-cecunguk yang ingin 
tampil menjadi singa!" desisnya dalam hati. "Aku telah 
membantu Kakek Kuto untuk menghajar keenam 
orang yang kemudian datang itu. Dan kudengar pula 
kalau orang-orang desa sudah murka dan bersiap un- 
tuk menyerang gerombolan Mat Bendot! Ah, apakah 
urusan yang akan kuhadapi ini hanya sebatas urusan 
Mat Bendot saja. Bagaimana dengan Hantu Bersayap? 
Dan nampaknya para penduduk sudah melupakan 
tentang Hantu Bersayap, karena mereka yakin Hantu 
Bersayap tak akan datang lagi mengingat tak ada 
orang kaya di sini kecuali mendiang Juragan Jagalak- 
sa." 

Pemuda yang mulai jari jemari hingga batas si- 
ku kedua lengannya dipenuhi sisik coklat ini terdiam. 
Di menunggu kehadiran para penduduk yang sedang 
marah. 

Yang ditunggunya pun kemudian berdatangan. 
Berjumlah dua puluh orang dengan senjata beraneka 
macam di tangan. Di depan, Kakek Kuto melangkah 
gagah. Kecuali Raja Naga, tak seorang pun dari para 
penduduk itu yang mengetahui kalau Kakek Kuto be- 
rada dalam ketakutan yang teramat sangat. Tetapi pa- 
ra penduduk justru mengelu-elukannya. 

Kedatangan para penduduk yang murka itu 
disambut oleh anak buah Mat Bendot. Bentrokan tak 
terelakkan lagi. Raja Naga hanya memperhatikan dari 
atas pohon. 

Tanpa sepengetahuan siapa pun, dia mengirim- 
kan satu tenaga tak nampak yang membuat satu per- 
satu orang-orang Mat Bendot pingsan. Bila saja tidak 
dibantu oleh Raja Naga, sangat mustahil para pendu- 
duk itu bisa memenangkan bentrokan dengan anak 
buah Mat Bendot yang terlatih. 

Di bawah komando Kakek Kuto yang muncul 
lagi keberaniannya setelah tiba-tiba saja dia menjadi 
hebat lagi, mereka mengikat anak buah Mat Bendot. 
Lalu membakar tenda besar yang menjadi kediaman 
Mat Bendot. 

Di atas pohon. Raja Naga mendesah, "Mudah- 
mudahan begitu siuman, mereka sadar dengan apa 
yang telah mereka lakukan." 

Tiba-tiba terjadi keributan di sana. Mereka ber- 
teriak-teriak keras karena tak menemukan sosok Mat 
Bendot. 

"Cari! Cari bajingan itu!" seru Kakek Kuto ga- 
gah. Mereka pun segera berkeliaran mencari Mat Ben- 
dot. 

Raja Naga sendiri sudah melesat untuk men3ru- 
sul perginya Mat Bendot. Dan dia tidak mengetahui, 
tatkala satu bayangan hitam melesat cepat ke arah 
orang-orang desa yang sedang mencari Mat Bendot. 

Bayangan bersayap yang melesat di udara itu 
meluruk ke bawah dan berdiri di atas tanah. 

Sudah tentu kemunculannya yang tiba-tiba 
membuat orang-orang itu tersentak. Masing-masing 
orang meninggalkan kegiatan mereka yang hendak 
membawa anak buah Mat Bendot ke balai desa. 

Tiba-tiba salah seorang berseru, "Astaga! Orang 
itu... orang itu bersayap!" 

Seruannya membuat yang lain menjadi terhe- 
nyak. Menyusul terdengar suara, "Orang bersayap?! 
Jangar-jangan... dia... dia Hantu Bersayap!" 

"Hantu Bersayap yang membunuh Juragan Ja- 
galaksa?!" seru Kakek Kuto dengan kedua mata mem- 
belalak lebar. Siapa pun di desa itu sangat menghor- 
mati Juragan Jagalaksa! 

"Keparat! Bunuh dia! Bunuh!!" 

Seruan-seruan yang terdengar kemudian sema- 
kin membahana. Kemarahan mereka yang semula di- 
tujukan pada Mat Bendot dan anak buahnya, kini be- 
ralih pada orang bertopeng menyeramkan yang berdiri 
kaku. Sorot matanya tajam menyala-nyala. 

"Kudengar kalian mencariku untuk membalas 
kematian Juragan Jagalaksa?! Bagus! Nyali kalian 
memancingku untuk muncul kembali ke sini!" 

Sebagai jawaban, lima lelaki gagah dengan pa- 
rang di tangan sudah menyerbu ke arah Hantu Ber- 
sayap. Orang ini tak melakukan tindakan apa-apa. Ma- 
tanya yang menyala-nyala bersinar mengerikan. Me- 
n3rusul diiringi dengusan keras, tangan kanannya 
mengibas 

Sayapnya pun bergerak. 

Wussss!! 

Kelima orang itu kontan berpentalan tersapu 
gelombang angin besar yang keluar dari kibasan 
sayapnya. Dan begitu terbanting di atas tanah, mas- 
ing-masing orang telah putus nyawa! 

Melihat tindakan kejam orang bersayap, yang 
lainnya bukannya menjadi Jeri. Kemarahan mereka 
semakin menjadi-jadi. Tak seorang pun yang berniat 
untuk melarikan diri sebelum melihat orang bersayap 
itu putus nyawa! 

"Bunuh dia!" 

"Cincang sampai mampus!!" 

"Tunggu!!" tiba-tiba terdengar seruan keras itu. 
Kakek Kuto berdiri dengan kedua tangan terentang. 
Matanya memandang tak berkedip pada orang ber- 
sayap. "Jangan gegabah!" katanya lagi. 

"Kakek Kuto! Dialah orang yang telah membu- 
nuh Juragan Jagalaksa! Dia pula yang membuat is- 
trinya menjadi seperti orang sinting! Apakah kita akan 
mendiamkannya begitu saja?!" 

"Jangan gegabah...," desis Kakek Kuto sambil 
terus memperhatikan orang di hadapannya. Lalu bi- 
siknya, "Kalian lihat apa yang telah dilakukannya tadi? 
Dengan mudah dia dapat membunuh kawan-kawan ki- 
ta lainnya! Ini menandakan dia bukan orang semba- 
rangan!!" 

"Kakek Kuto! Pada orang seperti dia, kita tak 
boleh bermurah hati!" 

"Manusia itu adalah pembunuh yang kejam " 

"Ya! Bunuh saja dia!" 

"Ganyang!!" 

Kakek Kuto mendesah pendek. Dia tak mampu 
menahan kemarahan orang-orang lainnya, 

Salah seorang berseru, "Kakek Kuto! Selama ini 
kau kami kenal sebagai orang yang lemah, tetapi tidak 
tahunya kau menyimpan satu keahlian yang sungguh 
hebat! Bantu kami untuk membunuhnya!" 

Kakek Kuto tak bisa berbuat apa-apa. Walau- 
pun sesungguhnya dia merasa tak mengerti dengan 
perubahan yang beberapa kali terjadi pada dirinya, 
namun kali ini dia mencoba berharap banyak. Agar 
kemampuan yang tiba-tiba dimilikinya muncul kemba- 
li. 

Diiringi teriakan keras. Kakek Kuto menerjang 
ke arah Hantu Bersayap yang berdiri dengan tatapan 
bengis. Namun satu tendangan saja, sudah membuat 
tulang dada Kakek Kuto remuk! Men3nrsul dengan satu 
sontekan pada kaki kanannya, tubuh renta itu ambruk 
di atas tanah menjadi mayat! 

"Gila! Bunuh dia! Bunuh!!" 

Kegagah-beranian orang-orang desa itu pun ha- 
rus mereka tebus dengan nyawa! Masing-masing orang 
bertumbangan tatkala Hantu Bersayap tanpa bergeser 
dari tempatnya sudah menggerakkan sayap kanan ki- 
rinya. 

Dalam waktu singkat, orang-orang gagah itu te- 
lah tewas! 

Namun yang tewas ternyata bukan hanya me- 
reka karena anak buah Mat Bendot yang dalam kea- 
daan terikat pun harus menemui ajal setelah terseret 
gelombang angin dahsyat yang membuat tubuh mere- 
ka berpentalan laksana sebuah daun! 

"Huh! Orang-orang bodoh yang mencari mam- 
pus! Kalian tak bisa apa-apa menghadapiku!!" desis 
Hantu Bersayap dengan tatapan menyala-nyala. 

Diperhatikannya sekelilingnya yang telah po- 
rak-poranda akibat sapuan gelombang angin besar da- 
ri sayap kanan kirinya. 

Tiba-tiba Hantu Bersayap menggeram dingin. 

"Sampai saat ini orang yang kucari belum mun- 
cul juga! Padahal kabar yang kudengar, bila ada keja- 
hatan maka orang itu akan muncul! Tetapi sampai 
saat ini, belum juga kelihatan batang hidungnya! Ke- 
parat kapiran! Apakah aku harus selalu merampok te- 
rus dengan wujud Hantu Bersayap?!" 

Untuk beberapa lama orang bersayap yang wa- 
jahnya ditutupi topeng menyeramkan ini tak bersuara. 
Kejap lain dia sudah menggeram dingin. 

"Apa pun yang terjadi, aku harus membantu 
sahabatku untuk menemukan orang yang telah mem- 
bunuh sahabatnya!!" 

Di saat lain, orang bersayap ini sudah melesat 
ke udara. Lesatannya sangat cepat. Setiap kali dike- 
pakkan kedua sayapnya, angin yang menderu-deru 
terjadi. 

Boma Paksi memicingkan matanya untuk meli- 
hat lebih jelas siapakah orang yang diajak bercakap- 
cakap oleh Mat Bendot. Tetapi karena orang itu mem- 
belakanginya, dia tidak bisa melihat seperti apa rupa 
orang itu. Kecuali rambutnya yang sedikit beruban 
tatkala sinar rembulan meneranginya. 

Dipertajam pendengarannya untuk menangkap 
apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang itu. 

"Kau salah besar, Gayang Lumajang!" terdengar 
suara seorang perempuan yang serak. "Orang tua ber- 
nama Kuto itu tidak memiliki kemampuan apa-apa." 

"Apa maksud, Guru?" tanya Mat Bendot dengar 
kedua mata membuka. 

"Gayang Lumajang! Aku lebih yakin kalau si 
Kuto dibantu oleh seseorang yang memiliki ilmu sangat 
tinggi! Menurut laporan anak buahmu, mereka tak me- 
lihat adanya orang di sekitar sana kecuali Kakek Kuto. 
Mungkin pula mereka tidak terlalu memperhatikan ka- 
rena telah tersita perhatiannya terhadap Kakek Kuto! 
Mengingat, saat itu mereka terkejut dengan perubahan 
yang terjadi." 

"Jadi... maksud Guru... ada orang yang mem- 
bantunya?" 

"Bukankah tadi sudah kukatakan seperti itu?" 

Mat Bendot mengangguk-anggukkan kepa- 
lanya. Kedua tangannya dikepalkan bertanda kegera- 
mannya sudah muncul. 

Di balik ranggasan semak. Raja Naga membatin 
"Hemm... ternyata lelaki bernama Mat Bendot itu bu- 
kan nama sebenarnya. Dia bernama Gayang Luma- 
jang. Apakah gerangan yang membuatnya mengubah 
namanya menjadi Mat Bendot? Dan sialnya... aku tak 
bisa melihat wajah orang yang diajaknya bercakap- 
cakap kecuali kuketahui dia seorang perempuan...." 

"Gayang Lumajang.... Juragan Jagalaksa telah 
dibunuh oleh sahabatku yang berjuluk Hantu Ber- 
sayap. Akulah yang mengatur pembunuhan itu. Ke- 
mudian kau kuperintahkan untuk menyamar dan 
mencari anak buah untuk melakukan tindakan makar. 
Apakah orang yang kita tunggu sudah datang?" 

Mat Bendot atau yang bernama asli Gayang 
Lumajang menggelengkan kepalanya. 

"Sampai saat ini, aku belum menangkap kabar 
akan datangnya orang yang sedang kau cari, Guru. 
Aku tak mau mengatakan pada anak buahku kalau 
ada yang sedang kucari. Karena aku khawatir, mereka 
justru akan mencurigaiku hingga penyamaran ku akan 
terbongkar. Guru... ada sebenarnya yang ingin kuta- 
nyakan" 

"Tanyakanlah!" 

"Mengapa Guru begitu yakin kalau orang yang 
Guru maksud akan muncul di desa Karang Bambu 
itu?" 

"Karena... dia mempunyai seorang cucu yang 
berdiam di sana...." 

"Kalau begitu, bukankah lebih baik kita sande- 
ra saja cucunya?" 

"Tak semudah itu, Gayang." 

"Aku tak mengerti. Guru." 

"Aku tak ingin memancing ikan kecil kendati 
sering kali dipergunakan orang bila ingin mendapatkan 
ikan yang besar harus dipancing dengan ikan yang ke- 
cil. Cucu dari orang yang kucari dapat kupastikan te- 
lah diwarisi ilmu manusia celaka itu. Dan aku sama 
sekali tidak jeri terhadapnya. Malah dengan mudah dia 
akan kubunuh." 

"Aku dapat melakukannya untuk Guru! Siapa- 
kah cucunya itu. Guru?" 

"Dia bernama Astari...." 

Kepala Gayang Lumajang menegak. Kedua ma- 
tanya membelalak. Bahkan untuk beberapa lama dia 
tak bersuara. Tak lama kemudian dia mendesis terba- 
ta-bata, "Bukankah... bukankah... Astari adalah istri 
Juragan Jagalaksa?" 

"Ya!" 

"Aku telah menetap di desa Karang Bambu ku- 
rang lebih lima tahun! Aku tahu kalau Astari adalah 
putri dari...." 

"Tidak! Tak seorang pun yang tahu kalau Astari 
bukanlah putri kandung kedua orangtuanya! Mereka 
datang ke desa itu sekitar delapan tahun yang lalu. 
Dan tak seorang pun yang tahu asal usul kedua orang 
tuanya maupun Astari." 

"Dan Guru mengikuti mereka?" 

"Kau betul!" 

"Guru hanya membuang waktu! Sekian tahun 
Guru menunggu kemunculan orang yang Guru tung- 
gu, tetapi Guru menyia-nyiakan kesempatan untuk 
membunuh Astari!" 

"Karena aku baru mengetahui keadaan itu tiga 
tahun yang lalu!" 

Gayang Lumajang menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya yang semakin pusing. 

"Aku semakin tidak mengerti...." 

Perempuan tua di hadapannya mendengus. 

"Astari adalah cucu dari orang yang telah mem- 
bunuh suamiku tujuh belas tahun yang lalu! Orang itu 
mempunyai seorang putri yang telah mampus di tan- 
ganku untuk membalas kematian suamiku yang telah 
dibunuhnya! Saat itu, aku tak berhasil menemukan- 
nya! Jadi, putrinya dan suami putrinya itulah yang 
menjadi sasaranku! Tak ku hiraukan bayi mereka ka- 
rena aku terus melacak orang yang telah membunuh 
suamiku! Karena kupikir, bayi itu akan mampus kare- 
na kekurangan makan! Tetapi pada kenyataannya se- 
pasang suami istri menemukannya dan membawanya 
serta merawatnya! Yang kuingat adalah...!" perempuan 
tua itu menghentikan ucapannya sejenak. 

Sambil memandangi Gayang Lumajang dite- 
ruskan ucapannya, "Pada dada bayi itu di bagian atas 
sebelah kanan, ada sebuah tompel besar berwarna ke- 
coklatan! Dan ketika suatu hari aku tak sengaja meli- 
hat Astari mandi, aku melihat tanda itu yang segera 
mengingatkan ku pada cucu orang yang telah membu- 
nuh suamiku! Terus ku pantau keadaannya. Bahkan 
saat dipinang oleh Juragan Jagalaksa aku mengeta- 
huinya. Saat itulah aku berpikir untuk membuat Asta- 
ri menjadi sinting karena kejadian yang mengerikan. 
Seorang sahabatku yang berjuluk Hantu Bersayap ber- 
sedia membantuku. Gayang Lumajang... kau paham 
apa yang kuceritakan?" 

Gayang Lumajang mengangguk-anggukkan ke- 
palanya. 

Di tempat persembunyiannya, Raja Naga men- 
desah dalam hati, "Hemm... kini mulai jelas apa yang 
sebenarnya terjadi. Gayang Lumajang adalah murid 
dari perempuan yang belum kulihat wajahnya itu. Dia 
ditugaskan menyamar untuk menunggu kedatangan 
orang yang hendak dibunuh gurunya karena telah 
membunuh suami gurunya. Dan satu hal yang pasti 
sekarang, kalau Hantu Bersayap adalah orang suru- 
hannya. Berarti., sasaranku sekarang adalah perem- 
puan itu, Gayang Lumajang dan Hantu Bersayap...." 

Gayang Lumajang merangkapkan kedua tan- 
gannya di depan dada. 

"Guru... sebaiknya aku kembali ke dusun Ka- 
rang Bambu! Aku khawatir kalau orang yang Guru 
maksudkan telah hadir di sana! Tentunya dia telah 
mendengar kabar tentang cucunya yang menjadi sint- 
ing!" 

"Ya! Kau pergilah! Mengenai Kakek Kuto... kau 
tak perlu khawatir terhadapnya! Bunuh siapa saja 
yang menghalangi niatmu! Kau tetap melancarkan aksi 
gilamu di dusun Karang Bambu!" 

"Aku akan tetap melaksanakannya. Guru!" sa- 
hut Mat Bendot alias Gayang Lumajang. Lalu dia sege- 
ra berdiri dan menaiki kuda hitamnya yang ditam- 
batkan di sebuah pohon. 

Di saat lain digebraknya kuda itu hingga me- 
ringkik yang kemudian berlari dengan cepat. 

Raja Naga membatin, "Hemm.... Mat Bendot 
hanyalah seorang cecunguk yang menjadi suruhan 
utama dari perempuan itu. Sementara otak dari keja- 
dian ini adalah perempuan itu. Aku ingin melihat wa- 
jahnya...." 

Sejenak pemuda berompi ungu dari Lembah 
Naga ini memperhatikan sosok perempuan yang tadi 
berbicara dengan Mat Bendot alias Gayang Lumajang. 

Setelah itu, dengan mempergunakan ilmu pe- 
ringan tubuhnya, murid Dewa Naga mengendap, me- 
mutar tubuh untuk dapat melihat secara jelas sosok si 
perempuan. 

Namun mendadak saja terdengar seruan din- 
gin, "Langkahmu baru kudengar sekarang! Tetapi dari 
langkahmu itu, aku yakin kalau sebelumnya kau su- 
dah berada di sini! Mengapa harus mengendap? Men- 
gapa tidak segera muncul bila memang punya nyali?!" 

Seketika kepala pemuda yang kedua tangannya 
sebatas siku ini bersisik coklat menegak. 

"Astaga! Pendengarannya cukup tajam! Dia 
mendengar langkahku! Huh! Niat semula adalah untuk 
melihat wajahnya! Inilah kesempatan!" 

Di saat lain. Raja Naga sudah mencelat ke de- 
pan dengan gerakan lincah. Tanpa menimbulkan sua- 
ra, dia telah berdiri di hadapan perempuan yang juga 
telah berdiri tegak! 

***

EMPAT 

SOROT mata angker pemuda berambut dikun- 
cir itu tak berkedip memandang pada perempuan di 
hadapannya. Sejenak Raja Naga agak tersentak begitu 
melihat paras si perempuan! Paras itu sangat jelita, 
bahkan melebihi kecantikan para bidadari dalam don- 
geng. Kulitnya putih mulus, sedikit bercahaya terang. 
Hidungnya mancung dengan sepasang bibir memerah 
yang indah. Dagunya menggantung manja. Matanya 
bersinar cerah. Dari wujudnya yang nampak, tak ada 
tanda-tanda kalau perempuan itu adalah seseorang 
yang kejam, yang telah mengatur sebuah kejahatan ke- 
jam. 

Sementara itu, perempuan yang mengenakan 
pakaian putih bercahaya itu memandang tak berkedip 
pula. Terlihat kalau dia sedikit menegakkan kepalanya 
tatkala melihat sepasang mata pemuda di hadapannya. 

"Astaga! Ku rasakan kalau degup jantungku 
bertambah mengeras! Gila! Wajahnya begitu tampan, 
bahkan ku taksir kalau usianya baru tujuh belas ta- 
hun! Tetapi sorot matanya begitu kejam, angker dan 
berkesan sadis! Siapa pemuda yang mencuri dengar 
percakapan ku dengan Gayang Lumajang?" desisnya 
dalam hati. Kejap lain dia sudah menggeram lagi, 
"Huh! Siapa pun dia adanya, dia telah mengetahui apa 
yang telah ku susun! Bisa jadi dia akan membocorkan 
seluruh rencanaku!" 

Untuk beberapa lama masing-masing orang tak 
ada yang buka suara. Satu sama lain seperti terpeso- 
na. Padahal di hati masing-masing bergolak berbagai 
pertanyaan. 

Perempuan yang sebagian rambutnya sudah 
memutih itu mendesis dingin, "Orang muda berompi 
ungu! Siapa kau yang berani lancang mencuri dengar 
percakapan ku?!" 

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang 
angker bertambah angker. 

Mendapati sikap yang tak menyenangkan yang 
diperlihatkan si pemuda, perempuan itu mengertakkan 
rahangnya. 

"Kau berani tak menjawab pertanyaanku! Be- 
rarti kau telah siap untuk memasuki perjalanan ke 
akhirat!" 

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, siapakah 
kau adanya?!" 

Di balik tanya seperti itu semakin membuat 
kemarahan si perempuan menjadi-jadi. Dengan suara 
geram dia menyahut, "Kau boleh mengenalku sebagai 
Ratu Segala Bidadari!" 

"Ratu Segala Bidadari?" desis Raja Naga dalam 
hati. "Julukan yang sangat tepat untuknya, kendati 
nampaknya dia tidak memiliki murid wanita! Tetapi ju- 
lukan itu cocok mengingat kecantikan wajahnya yang 
sangat luar biasa!" 

Habis membatin demikian. Raja Naga menya- 
hut, "Namaku Boma Paksi. Aku hanyalah orang keba- 
nyakan yang suka menggembara! Kalaupun kau kata- 
kan aku mencuri dengar, sebenarnya tidak tepat sama 
sekali!" 

"Tepat atau tidak, kau telah mendengar apa 
yang menjadi rahasiaku selama ini! Itu artinya... kau 
harus mampus!!" 

Belum habis bentakan itu terdengar, diiringi te- 
riakan sengit Ratu Segala Bidadari sudah menerjang 
depan. Saat dia menerjang, terlihat pakaian panjang- 
nya terbelah di kanan kiri pahanya, hingga memperli- 
hatkan bungkahan paha yang gempal, indah, mulus 
dan menggiurkan! 

Tangan kanan kirinya dikepal. Dan saat dijotos 
terdengar gelombang angin yang mendahului jotosan- 
nya. 

Wuuusssl! 

Kejap lain, kedua tangannya yang dikepal itu 
sudah dibuka. Lalu dikibaskan dengan cara seperti 
mengepret! 

Wuuungggg!!! 

Gelombang angin pertama yang menderu tadi, 
tiba-tiba tertindih oleh datangnya gelombang angin su- 
sulan! Yang kemudian meliuk-liuk dengan suara ber- 
gemuruh! Tanah dan ranggasan semak terseret naik 
masuk dalam liukannya. 

Di tempatnya Raja Naga menjerengkan sepa- 
sang matanya. Diperhatikannya sesaat serangan aneh 
yang dilakukan perempuan jelita itu. Saat lain dia su- 
dah mendeham. 

"Hemmm!!" 

Dehaman yang dilakukannya bukan sembarang 
dehaman. Karena mengandung tenaga dahsyat yang 
dapat memusnahkan serangan lawan. Namun kalau 
biasanya serangan lawan akan terhenti, kali ini tidak 
sama sekali! 

Memang terlihat kalau gelombang angin yang 
meliuk-liuk menerbangkan tanah dan ranggasan se- 
mak itu seperti tertahan. Tetapi tidak pecah di udara! 
Bahkan semakin ganas menderu ke arah Raja Naga! 

"Heiiii!!" 

Anak muda dari Lembah Naga ini tersentak ka- 
get dan segera membuang tubuh ke samping kanan. 

Blegaaaarrr!! 

Ranggasan semak yang tumbuh di belakangnya 
kontan bermuncratan ke udara. Menyusul membuyar- 
nya tanah yang membubung tinggi. 

Belum lagi Raja Naga bernapas lega, satu se- 
rangan telah datang ke arahnya. 

Sigap anak muda ini memiringkan tubuhnya. 
Lalu menggerakkan kedua tangannya. 

Buk! Bukk!! 

Benturan yang terjadi itu membuat Ratu Segala 
Bidadari tersentak mundur. Wajahnya sedikit merin- 
gis. Dengan geram dipandangi kedua tangannya yang 
terasa ngilu. 

"Hebat!" desisnya dalam hati. "Tenaga dalam 
anak muda ini lumayan besar! Dia mampu membuat 
kedua tanganku terasa tidak enak!" 

Apa yang diduga oleh perempuan jelita itu sa- 
lah sama sekali. Karena kedua tangan Raja Naga seba- 
tas siku yang dipenuhi sisik coklat, memang memiliki 
kekuatan luar biasa. Bahkan mampu mematahkan 
senjata ampuh sekalipun. Jadi bukannya karena dia 
telah mengalirinya dengan tenaga dalamnya. 

Di pihak lain, Raja Naga juga tersentak kaget. 
"Astaga! Dia kelihatan hanya sekali saja meringis aki- 
bat benturan dengan tanganku! Hebat! Tenaga dalam- 
nya sangat tinggi!!" desisnya dalam hati. 

"Boma Paksi... siapa kau sebenarnya?!" seru 
Ratu Segala Bidadari. 

"Sejak tadi kukatakan, kalau namaku adalah 
Boma Paksi! Kau tanya siapa aku sebenarnya, yang 
sudah pasti namaku tetap Boma Paksi! Sampai kapan 
pun juga namaku akan dan selalu Boma Paksi!" sahut 
Raja Naga dengan tatapan angkernya. 

"Kau sungguh tidak memandang tingginya lan- 
git dan dalamnya lautan! Dari ucapanmu kau justru 
semakin membuatku bernafsu untuk membunuhmu!" 

"Yang kau cari bukanlah aku! Bukan pula Ju- 
ragan Jagalaksa maupun istrinya yang kini menjadi 
agak sinting karena perbuatanmu! Kau telah melaku- 
kan satu tindakan yang tak bisa dimaafkan! Hantu 
Bersayap adalah orang suruhanmu untuk membuat 
Astari menderita! Ratu Segala Bidadari! Bila kau me- 
mang memiliki sedikit nyali, katakan padaku... siapa 
sebenarnya orang yang kau tunggu!" 

Ratu Segala Bidadari tidak menjawab. Matanya 
kini ditujukan pada kedua tangan kanan kiri Boma 
Paksi. 

"Hemmm... baru kulihat sekarang kalau kedua 
tangannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat. Kalau 
aku tak salah ingat, saat ini rimba persilatan tengah 
gempar dengan kemunculan seorang pemuda yang ke- 
dua tangannya sebatas siku bersisik coklat! Apakah 
pemuda ini yang julukannya sedang ramai dibicarakan 
orang?" 

Untuk beberapa saat Ratu Segala Bidadari tak 
bersuara. Dari kedua tangan Boma Paksi, tatapannya 
dibawanya untuk menatap si pemuda. Dan perasaan 
tegang kembali muncul di hatinya sesaat tatkala meli- 
hat betapa angkernya sorot mata pemuda di hadapan- 
nya! 

"Keparat! Aku tak boleh melihat matanya!" ge- 
ramnya dalam hati. Lalu makinya dengan tangan me- 
nuding, "Pemuda celaka! Apakah kau orang yang ber- 
juluk Raja Naga?!" 

"Mungkin yang kau katakan benar, tetapi 
mungkin pula salah!" sahut Raja Naga. 

Perempuan yang pakaiannya terbelah di paha 
kaki kiri hingga ke pinggul itu menggeram pendek. 
Kain bagian tengahnya bergerak-gerak dihembus an- 
gin, dan mencetak sesuatu berbentuk segitiga pada 
pangkal pahanya. 

"Keparat terkutuk! Kelancanganmu ini akan be- 
rakibat fatal untukmu!!" 

Habis bentakannya, Ratu Segala Bidadari sege- 
ra memutar kedua tangannya di depan dada. Perlahan- 
lahan diangkatnya di atas kepala. Menyusul dengan 
gerakan disentak, kedua pergelangan tangannya di- 
tempelkan satu sama lain dengan cara menyilang! 

Crasss! 

Segera memercik cahaya bening ke udara. Ber- 
samaan memerciknya cahaya bening itu, bibirnya yang 
indah monyong sedikit dan.... 

Wrrrr! 

Dia meniup cahaya itu! 

Wunngggg!! 

Cahaya bening itu terlontar ke udara. 

Raja Naga mau tak mau mengikuti dengan 
pandangan angkernya. Di saat lain, dia sampai mun- 
dur satu langkah ke belakang tatkala melihat cahaya 
bening yang terlontar ke udara itu mendadak saja me- 
nyebar! Lalu bergumpal laksana awan-awan, memben- 
tuk beberapa gumpalan bening. 

Di saat lain, tiba-tiba saja menyalak guntur se- 
cara bersamaan dari cahaya bening yang telah beru- 
bah menjadi gumpalan awan-awan! 

"Heiiii!!" seru Raja Naga tersentak. 

Salakan guntur tadi membuat dedaunan men- 
gering. Menyusul kilat menyambar secara tiba-tiba. 

"Astaga!!" seru Raja Naga tertahan sambil me- 
lompat ke samping kanan. 

Biaaarr! Blaaarr! Blaaarr!! 

Kilat-kilat bening yang melesat itu menghantam 
tanah di mana Raja Naga sebelumnya berdiri. Belum 
lagi anak muda itu tegak di atas tanah kembali, kilat- 
kilat lain terus menyambar berulang-ulang! 

Tiga buah pohon tersambar, dan begitu angin 
berhembus luruh menjadi debu! Melihat kedahsyatan 
ilmu perempuan jelita berpakaian putih bercahaya itu, 
Raja Naga menggeram dingin. Sisik-sisik coklat yang 
terdapat pada kedua tangannya sebatas siku, semakin 
nampak. 

Dia menunggu dengan tatapan angkernya. Ta- 
jam dan tak berkedip. Tatkala kilat-kilat itu menyam- 
bar lagi. Raja Naga segera mendorong kedua tangan- 
nya ke atas. Melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengu- 
rung Lautan'. 

Gelombang angin dahsyat disaput sinar merah 
menggebrak dan membentur kilat-kilat bening yang 
menyambar. 

Blaaamm! Blaaam! Blaaammm! 

Letupan keras terjadi berturut-turut. Berte- 
munya dua tenaga dahsyat itu menyebabkan kilat-kilat 
bening itu bermuncratan ke udara. Untuk beberapa 
saat menerangi tempat itu. Sebagian mengenai pepo- 
honan yang langsung menghangus. 

Di tempatnya, kedua kaki Raja Naga amblas 
sebatas lutut. Anak muda ini cepat menarik keluar ke- 
dua kakinya tatkala kilat-kilat bening itu sudah meng- 
gebrak lagi, yang sebelumnya didahului oleh salakan 
guntur yang keras. 

"Huh! Kehebatan ilmu yang diperlihatkan Ratu 
Segala Bidadari sungguh menakjubkan! Tentunya aku 
harus menghantam gumpalan awan-awan bening itu!" 

Memutuskan demikian Raja Naga segera mun- 
dur tiga langkah dan siap mendorong kedua tangannya 
untuk melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 
Lautan' kembali. 

Di tempatnya Ratu Segala Bidadari yang kedua 
tangannya masih bersilangan mendengus pendek, 
"Kau telah cari penyakit! Dan kau akan merasakan 
akibatnya!!" 

Raja Naga melirik. Sorot matanya bertambah 
angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua 
tangannya sebatas siku semakin kentara, pertanda ka- 
lau dia sudah berada dalam kemarahan. Tiba-tiba satu 
pikiran lain singgah di benaknya. Urung melepaskan 
ilmu 'Kibasan Naga Penghancur Karang', mendadak 
sontak murid Dewa Naga ini menjejakkan kaki kanan- 
nya di atas tanah! 

Tanah muncrat sedikit ke atas. Dan pada saat 
yang bersamaan, tanah itu telah bergelombang, men- 
deru dahsyat ke arah Ratu Segala Bidadari. 

Perempuan berparas jelita itu tersentak. Sejak 
tadi dia memusatkan perhatiannya pada tindakan 
yang akan dilakukan oleh Raja Naga yang pikirnya 
akan mencoba untuk membuyarkan awan-awan ben- 
ing yang telah tercipta. Dia sama sekali tidak memikir- 
kan kemungkinan lain. 

Diiringi teriakan geram. Ratu Segala Bidadari 
melompat ke belakang. Begitu hinggap di atas tanah, 
dia sudah berlutut. Saat itu pula ditepakkan telapak 
tangan kanan kirinya di atas tanah! 

Blaaaammm!! 

Tanah yang bergerak cepat itu terhenti seperti 
ada tenaga yang menahannya. Tubuh Ratu Segala Bi- 
dadari terpental ke belakang. 

Dalam keadaan seperti itu, perempuan berpa- 
kaian putih bening ini masih memperlihatkan kelas- 
nya. Tubuhnya meliuk di udara dan hinggap kembali 
di atas tanah. Namun baru saja kedua kakinya hing- 
gap lagi di atas tanah, tanah sudah bergerak kembali. 
Lebih dahsyat dari yang pertama 

"Kepaaraaattt!!" geram Ratu Segala Bidadari 
sambil melompat menghindari barisan tanah yang ber- 
gerak itu. Namun tiba-tiba saja.... 

Desss!! 

Perutnya terhantam satu pukulan keras yang 
membuatnya terhuyung. Paras Jelitanya berubah, me- 
ringis. Perutnya dirasakan mulas yang tak terkira. Dia 
berusaha untuk mengembalikan keseimbangannya. 
Kepalanya sedikit didongakkan dengan tatapan tajam 
pada Raja Naga. 

Bila saja Raja Naga saat ini hendak menghabisi 
nyawanya, mungkin dia dapat melakukannya walau- 
pun sudah tentu Ratu Segala Bidadari tak membiar- 
kan hal itu terjadi. 

Raja Naga menggeram dingin, "Aku bukanlah 
orang yang lancang ingin mencampuri urusan orang 
lain! Tetapi dari tindakan yang telah kau lakukan dan 
rencanakan, kau hanya menimbulkan petaka belaka! 
Ratu Segala Bidadari... urungkan segala niat busukmu 
itu. Hentikan tindakan Hantu Bersayap dan muridmu 
yang bernama Gayang Lumajang! Karena bila kau ma- 
sih keras kepala, aku akan tetap menghancurkan se- 
gala keinginanmu!!" 

Ratu Segala Bidadari yang telah berhasil men- 
guasai keseimbangannya walaupun sambil memegangi 
perutnya, menggeram pendek. 

"Pemuda celaka! Kau baru sekali berhasil me- 
lancarkan seranganmu! Kau belum melihat keheba- 
tanku yang lain! Tetapi untuk saat ini, kuputuskan 
untuk menghentikan urusan yang telah terbuka di an- 
tara kita. Dan perlu kau ingat, bila urusanku telah se- 
lesai kita akan membuka urusan kembali!" 

Raja Naga tidak menyahut. Sorot matanya tetap 
angker dan berapi-api. 

"Kau telah membulatkan niatmu seperti itu! Be- 
rarti aku juga membulatkan niatku untuk menghenti- 
kan segala sepak terjang mu!" 

"Baik! Kita akan melihat, siapa yang berhasil 
menjalankan maksud! Anak muda... dalam satu hal 
kau kalah langkah! Karena... kau tidak tahu siapa 
orang yang hendak kubunuh! Kau tak mungkin dapat 
melakukan tindakan sekaligus! Karena bisa jadi saat 
ini orang yang hendak kubunuh sudah mampus dibu- 
nuh oleh muridku, atau oleh Hantu Bersayap!" 

Mendengar kata-kata orang. Raja Naga mende- 
sah pendek. Dibenarkan apa yang dikatakannya. Dan 
kalau sudah demikian, dia harus bertindak cepat! Te- 
tapi seperti yang dikatakan perempuan itu, tak mung- 
kin dia bisa bertindak pada saat yang bersamaan di ti- 
ga tempat yang berlainan! 

Sementara itu melihat pemuda berompi ungu 
tak bersuara. Ratu Segala Bidadari sudah melesat me- 
ninggalkan tempat itu. Tawanya menggema keras, "Ki- 
ta! berlomba untuk melihat siapa yang memenangkan 
permainan ini. Anak muda!!" 

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek. 

"Aku yakin, kalau perempuan itu memang sen- 
gaja menghentikan pertarungan. Dia belum kalah sa- 
ma sekali. Belum kalah. Karena aku yakin pula kalau 
dia masih memiliki ilmu lain yang tidak kalah menge- 
rikannya. ..." 

Untuk beberapa saat murid Dewa Naga ini ma- 
sih terpaku di tempatnya. Dipikirkannya cara terbaik 
untuk menghentikan sepak terjang Ratu Segala Bida- 
dari. Di saat lain, setelah menghela napas panjang, 
pemuda bersisik coklat pada kedua tangannya sebatas 
siku ini, sudah melesat meninggalkan tempat itu. 

Yang kembali direjam sepi, namun sudah ka- 
cau balau keadaannya! 

***

LIMA 

KAKEK setengah baya berpakaian biru muda 
itu menarik napas pendek tatkala mendengar teriakan 
menyayat dari sebuah rumah. Wajah si kakek yang di- 
penuhi keriput, diliputi duka yang cukup dalam. Beru- 
lang kali diusap jenggot putihnya. Matanya tetap 
memperhatikan rumah sederhana dari atas pohon di 
mana dia berada sekarang. 

Jeritan yang menyayat hati itu membuat si ka- 
kek menahan napas. Kegundahan dan kedukaannya 
terpilin menjadi satu. 

"Astari...," desisnya pelan. "Ah, betapa malang 
nasibmu. Nak...." 

"Jangan... jangan bunuh aku! Jangaaannn!!" je- 
ritan menyayat itu terdengar lagi. 

"Astari! Dia ayahmu. Nak! Ayahmu!" terdengar 
suara seorang perempuan dari rumah itu, cukup keras 
pula. Bukan bernada kemarahan, tetapi kesedihan 
yang dalam. 

Jeritan itu terdengar kembali. 

Otong dan Bagus yang melewati tempat itu me- 
nuju ke pasar, bercakap-cakap sambil melangkah, 
"Kasihan Astari.... Dia sudah menjadi gila...." 

"Ya! Ini gara-gara Hantu Bersayap!" 

"Huh! Aku juga muak dengan manusia yang di- 
juluki Hantu Bersayap itu! Ingin rasanya kubunuh 
dia?!" 

"Memangnya kau berani. Tong?!" 

"Siapa bilang aku berani?!" sahut Otong sambil 
mendengus. 

Bagus tertawa. 

"Pokoknya, kalau dia muncul kita tidak akan 
tinggal diam, kan?!" 

"Jelas dong! Oya, aku cukup heran dengan 
orang-orang Mat Bendot? Sejak tadi pagi tak seorang 
pun yang kulihat berkeliaran di sini!" 

"Jelas saja mereka tidak berkeliaran! Mungkin 
sudah pada mampus dibunuh oleh rekan-rekan kita 
yang lain yang menyerbu ke sana!" 

"Wah! Mengapa aku baru tahu? Siapa yang 
memimpin?" 

"Kakek Kuto!" 

"Hebat! Tapi sayang, aku tidak ikutan! Padah- 
al...." 

"Padahal apa?" goda Bagus. 

"Padahal kalau mereka menyerbu ke sana, aku 
lebih baik tidur saja...." 

Bagus tertawa sambil terus melangkah. 

Kakek di atas pohon yang masih mendengar 
percakapan keduanya kendati sudah cukup jauh, me- 
nahan napas. 

"Hantu Bersayap? Rasanya baru kali ini kuden- 
gar julukan Hantu Bersayap? Siapa orang yang telah 
membunuh suami cucuku itu, hingga membuat cucu- 
ku jadi ketakutan sepanjang hari?" 

Untuk beberapa lama kakek berpakaian pan- 
jang berwarna biru muda ini terdiam. Lalu diputuskan 
untuk mencari tahu tentang Hantu Bersayap. 

Pada saat yang bersamaan Mat Bendot alias 
Gayang Lumajang tersentak kaku di atas kuda hitam- 
nya yang bernapas mendengus-dengus. Mata Gayang 
Lumajang tak berkedip pada mayat-mayat yang dili- 
hatnya, bergeletakan. Atau boleh dikatakan berserakan 
laksana sampah. 

Dengan hati yang mulai diliputi kegeraman. 
Gayang Lumajang melompat turun dari kudanya. Di- 
perhatikan mayat-mayat itu satu persatu. Dikenalinya 
sebagian mayat-mayat itu adalah anak buahnya, se- 
mentara yang sebagian lagi para penduduk desa. 

"Aneh!" desisnya sambil mengusap-usap da- 
gunya yang dipenuhi bulu yang bersatu dengan cam- 
bangnya. "Mengapa anak buahku mampus dalam kea- 
daan terikat sementara para penduduk itu tidak sama 
sekali? Apa yang terjadi?" 

Masih terus memikirkan apa yang sebenarnya 
telah terjadi, Gayang Lumajang melangkah, meneliti 
satu persatu mayat-mayat di sana. Dilihatnya mayat 
Kakek Kuto yang tewas dengan dada remuk. Sejenak 
dipandanginya mayat itu dengan seksama sebelum 
kemudian datang amarahnya. 

"Terkutuk!!" 

Kakinya menyepak. 

Kraaakk! 

Leher Kakek Kuto yang telah menjadi mayat pa- 
tah! 

"Huh! Kau berani jual lagak di hadapanku ru- 
panya! Siapa orang yang telah membantumu, hah?!" 
maki Gayang Lumajang membawa kekesalannya sendi- 
ri. 

Lalu ditengadahkan kepalanya, memandang 
langit pagi yang cerah. 

"Orang-orangku mampus dalam keadaan teri- 
kat, sementara yang lain tidak! Tak mungkin si pem- 
bunuh yang mengikat orang-orangku, karena kemung- 
kinan besar para penduduk pun akan diikatnya pula 
sebelum dibunuh. Berarti...." 

Memutus ucapannya sendiri, Gayang Lumajang 
mengerutkan keningnya. Setelah beberapa saat dia 
mendengus gusar, "Keparat! Jangan-jangan para pen- 
duduk di bawah pimpinan Kakek Kuto yang telah 
mengikat anak buahku! Tentunya, orang yang entah 
siapa, telah membantu Kakek Kuto kembali! Kemu- 
dian... muncul si pembunuh yang keparat! Siapa orang 
itu?!" 

Penuh kegusaran Gayang Lumajang mendorong 
tangan kanannya. 

Wussss!! 

Serta-merta menghampar gelombang angin 
berkekuatan tinggi yang menghajar sebuah pohon 
yang seketika tumbang dan terpental cukup Jauh! 

Setelah beberapa saat berada dalam kegusa- 
rannya, Gayang Lumajang mendesis, "Keparat! Se- 
baiknya kutunggu kakek bernama Dundung Kali- 
mayang! Orang yang hendak dibunuh Guru karena te- 
lah membunuh suaminya!! Atau...." 

Kembali Gayang Lumajang menghentikan kata- 
katanya. Untuk beberapa saat dia terdiam sebelum ter- 
lihat seringaiannya. 

"Aku tidak mengerti mengapa Guru hanya me- 
nyiksa batin Astari, dengan harapan Dundung Kali- 
mayang akan muncul. Seharusnya Astari dibunuh sa- 
ja! Hemm sampai saat ini aku belum mengenal wajah 
dari Hantu Bersayap yang tertutup topeng. Kalau begi- 
tu... biar aku saja yang membunuh Astari! Aku yakin, 
bila Astari sudah mampus, maka Dundung Kali- 
mayang akan lebih cepat muncul di desa ini!" 

Seringaian lelaki tinggi besar ini semakin lebar. 
Kepuasan sudah terpampang di wajahnya. 

"Tompel coklat pada bagian atas buah dada As- 
tari? Hemm... baru mendengarnya saja sudah terun- 
dang gairahku. Berarti... sebelum kubunuh, akan ku- 
nikmati dulu tubuh cucu Dundung Kalimayang!" 

Memutuskan demikian, Gayang Lumajang se- 
gera berbalik. Dengan dua kali mengempes tubuh, dia 
sudah berada di atas kuda hitamnya kembali. Lalu 
disentaknya tali kekang kuda itu sebelum kemudian 
digebraknya menjauh. 

Pemuda berompi ungu yang memiliki pandan- 
gan angker itu kembali ke desa Karang Bambu. Setelah 
mendengar apa yang dipercakapkan antara Gayang 
Lumajang dengan Ratu Segala Bidadari, Boma Paksi 
merasa kalau memang dia harus kembali ke desa Ka- 
rang Bambu. Dia merasa pasti kalau orang yang entah 
siapa saat ini sedang ditunggu oleh Ratu Segala Bida- 
dari akan tiba di desa itu. 

Ditelusuri pasar yang ramai. Kalau sebelumnya 
kehadirannya tidak terlalu dipedulikan, kali ini orang- 
orang yang berdagang dan membeli di pasar, memper- 
hatikannya. Raja Naga tersen5rum berulang-ulang. Dia 
harus bersikap wajar agar tidak memancing kesalah- 
pahaman. 

Beberapa orang gadis yang kebetulan sedang 
berbelanja di pasar itu, tersenyum dengan wajah malu- 
malu padanya. 

"Ih! Tampan ya?" 

"Tapi... kau lihat tadi, tatapannya kok seram 
betul! Angker ya?" 

"Tapi aku yakin kalau dia memiliki sifat yang 
lembut. Selain tampan dia juga gagah lho." 

"Kau tidak melihat sisik-sisik coklat pada kedua 
tangannya sebatas siku? Seram betul!" 

"Biar saja. Kalau pemuda itu mau, aku mau 
menjadi istrinya..,." 

Percakapan itu terdengar oleh telinga peka Bo- 
ma Paksi. Tetapi anak muda gagah berambut dikuncir 
ini tidak menghiraukannya. Dia terus melangkah me- 
n3rusuri pasar. Tiba di tempat biasanya Kakek Kuto 
berdagang, Boma Paksi mengerutkan keningnya. Di- 
perhatikannya sekelilingnya dengan sikap yang tak be- 
gitu kentara. 

"Aneh! Ke mana Kakek Kuto dan orang-orang 
yang biasanya berdagang di sini? Tak seorang pun dari 
orang-orang yang semalam menyerbu markas Mat 
Bendot atau Gayang Lumajang yang kulihat. Apakah 
saat ini mereka sedang menghakimi orang-orang itu?" 

Raja Naga kembali memperhatikan dengan sek- 
sama. 

"Ah, kalau memang mereka menghakiminya, je- 
las ini sesuatu yang tidak menguntungkan. Aku harus 
mencegahnya." 

Tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, 
Otong dan Bagus sudah berlarian dengan napas ter- 
sengal-sengal. 

"Ada yang mati!!" seru Otong dengan wajah pe- 
nuh keringat. 

"Banyak yang mati!!" sambung Bagus. 

Seruan keduanya memancing perhatian orang- 
orang yang berada di sana, termasuk Raja Naga. Mere- 
ka mendengar Otong dan Bagus secara bergantian 
menceritakan apa yang mereka lihat. Seperti biasa bila 
Otong atau Bagus menuju ke pasar untuk berdagang, 
mau tak mau mereka harus melewati markas Mat 
Bendot. Pagi tadi mereka melihat suasana sepi, tak ada 
suara-suara yang terdengar. 

Sebenarnya Otong memiliki jiwa pengecut, teta- 
pi karena dipaksa oleh Bagus, akhirnya dia mau juga 
mengintip apa yang sedang dilakukan anak buah Mat 
Bendot. Mereka terkejut ketika melihat mayat-mayat 
bergeletakan di sana. Termasuk mayat Kakek Kuto dan 
beberapa orang yang mereka kenal. 

Raja Naga diam-diam menarik napas panjang. 

"Siapa yang telah membunuh mereka?" Lalu dia 
menghilang dari keramaian itu. Dipercepat larinya un- 
tuk kembali ke tempat semalam. Apa yang dilihatnya 
memang benar, sesuai dengan yang dikatakan Otong 
dan Bagus. 

"Gila! Siapa yang telah membunuh orang-orang 
ini? Mat Bendotkah? Tidak, tidak mungkin! Dia sedang 
menuju ke tempat Ratu Segala Bidadari! Lantas sia- 
pa... astaga! Jangan-jangan... orang yang berjuluk 
Hantu Bersayap yang melakukannya?" 

Untuk beberapa saat Boma Paksi tertegun di 
tempatnya. Dipikirkannya kemungkinan lain dari apa 
yang telah dipikirkannya. Tetapi dia tidak menda- 
patkan jawaban yang lebih tepat. 

"Keparat hina! Hingga saat ini aku belum per- 
nah melihat sosok Hantu Bersayap kecuali mendengar 
ciri-cirinya saja! Terkutuk!!" 

Sorot mata angker murid Dewa Naga, semakin 
angker, pertanda dia dilanda kemarahan. 

Tiba-tiba saja pemuda bersisik coklat pada ke- 
dua lengannya sebatas siku ini memalingkan kepa- 
lanya ke samping kanan. Saat itu dilihatnya seorang 
kakek mengenakan pakaian panjang berwarna biru 
muda telah berdiri di hadapannya sejarak sepuluh 
langkah. 

Melihat kemunculan orang. Raja Naga terdiam. 
Dipandanginya si kakek yang saat ini juga sedang me- 
mandangnya. Terlihat paras si kakek sedikit berubah 
begitu melihat tatapannya. 

"Astaga! Sorot matanya begitu angker dan men- 
gerikan! Dia tentunya mampu membuat ciut nyali sia- 
pa saja yang melihatnya!" katanya dalam hati. 

Raja Naga sudah bersuara, "Orang tua... kau 
muncul begitu saja di hadapanku. Kemunculanmu 
memang tidak terlalu mengejutkan dan membuatku 
menjadi curiga. Tetapi, apakah kita pernah saling 
mengenal?" 

Si kakek menggelengkan kepalanya. Rambut 
putihnya yang panjang tak terurus berlompatan. 

"Jelas kita belum pernah saling mengenal! Apa- 
kah saat ini bukan kesempatan yang baik untuk saling 
mengenal?" 

"Sikap si kakek begitu sopan. Kulihat pada wa- 
jah dan matanya menyiratkan kedukaan," kata Raja 
Naga dalam hati. Lalu sambil merangkapkan kedua 
tangannya di depan dada, dia berkata, "Namaku Boma 
Paksi.... Aku datang dari Lembah Naga...." 

Si kakek menganggukkan kepalanya. Jenggot 
putihnya sedikit bergerak. 

"Kau boleh mengenal namaku, Boma Paksi! 
Panggil aku dengan nama Dundung Kalimayang!" 

"Salam kenal untukmu. Orang Tua...." 

Dundung Kalimayang mengangguk. Lalu berka- 
ta, "Boma Paksi... melihat cara kau berpakaian dan ta- 
tapan mu itu, aku yakin kau bukan orang sembaran- 
gan! Tetapi aku tak ingin mengorek siapa kau sebe- 
narnya. Yang ingin kutanyakan, kenalkah kau dengan 
orang berjuluk Hantu Bersayap?" 

Mendengar pertanyaan kakek di hadapannya, 
kepala Raja Naga menegak. 

"Caranya bertanya begitu datar, seolah hanya 
hafalan belaka. Tidak kutangkap nada geram ataupun 
curiga. Hemm... mengapa orang tua ini mencari Hantu 
Bersayap?" 

Habis berpikir demikian, Raja Naga mengge- 
lengkan kepalanya. 

"Orang tua... belum lama ini aku mendengar Ju- 
lukan Hantu Bersayap, orang yang telah membunuh 
Juragan Jagalaksa dan menyebabkan istrinya yang 
bernama Astari menjadi agak sinting karena selalu ke- 
takutan memikirkan kejadian mengerikan yang diala- 
minya. Dan akhir-akhir ini julukannya semakin akrab 
di telingaku, sebagai pembunuh kejam. Bukan ber- 
maksud untuk mengetahui apa yang ingin kau keta- 
hui, tetapi... bila kau tidak berkeberatan aku ingin ta- 
hu sebab-sebab kau menanyakan Hantu Bersayap?" 

Dundung Kalimayang tak segera menjawab. Di- 
perhatikannya pemuda berompi ungu di hadapannya. 

"Sorot matanya sedemikian angker dan mampu 
membuat nyali orang yang melihatnya menjadi ciut se- 
ketika. Wajahnya tampan. Dan di kedua tangannya se- 
batas siku, terdapat sisik-sisik coklat. Hemm... ra- 
sanya aku pernah mendengar julukan seorang pemuda 
yang memiliki ciri seperti itu? Bukankah dia... hei! Dia 
tadi mengatakan berasal dari Lembah Naga?!" 

Bukannya menjawab pertanyaan Raja Naga, 
Dundung Kalimayang berseru, agak cepat "Anak muda! 
Apakah kau orang yang berjuluk Raja Naga?" 

Di hadapan kakek ini Raja Naga tak bermaksud 
menutupi siapa dirinya sebenarnya. Dianggukkan ke- 
palanya. 

"Ah... tak kusangka, kalau hari ini aku berjum- 
pa dengan pemuda yang julukannya menggemparkan 
rimba persilatan setelah membunuh Hantu Menara 
Berkabut" 

Raja Naga tersenyum. 

"Sepak terjang Hantu Menara Berkabut me- 
mang mengerikan dan julukannya pun terdengar luas, 
hingga kematiannya pun menjadi berita besar," ka- 
tanya dalam hati. 

(Untuk mengetahui siapakah Hantu Menara 
Berkabut dan apa yang dialami oleh Raja Naga, silakan 
baca episode, "Tapak Dewa Naga" hingga "Misteri Me- 
nara Berkabut"). 

"Kini aku tak perlu meragu lagi. Raja Naga... 
saat ini yang sedang kucari Hantu Bersayap, karena 
dialah yang menyebabkan cucuku menjadi agak sint- 
ing sekarang. Orang itulah yang telah melakukan 
pembantaian terhadap suaminya!" 

Mendengar kata-kata si kakek. Raja Naga me- 
nyipitkan sepasang matanya. Lalu katanya perlahan, 
"Siapakah orang yang kau maksudkan sebagai cucu- 
mu itu?" 

"Gadis yang tadi kau sebutkan namanya!" 

"Oh! Astari?!" 

Dundung Kalimayang menganggukkan kepa- 
lanya. 

"Astaga! Astari adalah cucumu. Orang Tua?" 

"Ya! Dan dia menjadi sedikit sinting karena 
perbuatan yang dilakukan oleh Hantu Bersayap! Itulah 
sebabnya mengapa aku mencarinya!" 

Raja Naga menenangkan gemuruh hatinya yang 
mendadak terjadi. Dipandanginya si kakek yang saat 
ini sedang mengusap-usap jenggotnya. 

Lalu tanyanya perlahan, "Orang tua... kenalkah 
kau dengan perempuan berparas jelita seolah melebihi 
kecantikan para bidadari yang berjuluk Ratu Segala 
Bidadari?" 

Mendengar pertanyaan si pemuda, Dundung 
Kalimayang tersentak. Kedua matanya membuka lebar. 

"Anak muda... dari mana kau mengenal Ratu 
Segala Bidadari?!" tanyanya sedikit menyentak. 

"Semalam, aku mencuri dengar apa yang dika- 
takannya pada muridnya yang bernama asli Gayang 
Lumajang, tetapi sekarang memakai nama Mat Ben- 
dot!" 

Dundung Kalimayang menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Lalu diarahkan pandangannya ke kejau- 
han. Pancaran matanya kosong, karena dia bukannya 
sedang memperhatikan sesuatu yang menarik perha- 
tiannya. Melainkan sedang memusatkan jalan pikiran- 
nya. 

***

ENAM 

TUJUH belas tahun yang lalu, julukan sepa- 
sang suami istri yang sering menimbulkan kekacauan 
di rimba persilatan mendadak muncul. Mereka berasal 
dari timur dan melakukan kekacauan di bagian sela- 
tan! Yang perempuan berjuluk Ratu Segala Bidadari 
sementara suaminya berjuluk Manusia Dua Wajah!" 
kata Dundung Kalimayang tetap memandang ke depan 
dan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipan- 
dangnya. 

Raja Naga hanya mendengarkan. "Banyak para 
tokoh golongan putih yang mencoba untuk menghenti- 
kan sepak terjangnya. Tetapi kesaktian keduanya 
sungguh luar biasa, terutama bila mereka bersatu pa- 
du. Untuk memancing mereka berpisah sungguh suatu 
hal yang mustahil mengingat keduanya selalu bersa- 
ma-sama. Dan karena kebersamaan itulah yang me- 
nyebabkan para tokoh golongan putih kesulitan untuk 
menghentikan sepak terjangnya." 

Dundung Kalimayang mengusap jenggot putih- 
nya. Lalu menyambung setelah berdiam beberapa la- 
ma, "Aku pun kemudian turut andil dalam tindakan 
untuk menghentikan sepak terjang keduanya. Aku su- 
dah merasakan kehebatan keduanya di saat mereka 
sama-sama menyerangku. Lalu kuputuskan untuk 
mencari kelemahan masing-masing. Dan kelemahan 
itu memang telah diketahui sejak lama. Adalah dengan 
cara memisahkan satu sama lain. Hingga suatu hari, 
aku berhasil memancing Manusia Dua Wajah menjauh 
dari Ratu Segala Bidadari. Bertarung satu lawan satu, 
aku memiliki banyak kesempatan untuk mengalah- 
kannya dan aku memang berhasil mengalahkannya. 
Kala itu Ratu Segala Bidadari muncul, tetapi suaminya 
sudah keburu tewas di tanganku. Karena dalam kea- 
daan terluka dalam, kuputuskan untuk melarikan diri 
dari Ratu Segala Bidadari. Dan sesuatu yang tak ku- 
duga terjadi...." 

Dundung Kalimayang terdiam beberapa lama. 
Kali ini sorot matanya kembali bersinar duka. 

"Putriku yang baru melahirkan, tewas dibunuh 
oleh Ratu Segala Bidadari. Demikian pula dengan su- 
aminya. Dua hari kemudian, aku datang ke kediaman 
putriku dan melihat keadaan yang mengenaskan. Ku- 
cari putri mereka yang tidak ada di sana. Ku pikirkan 
kemungkinan Ratu Segala Bidadari telah memba- 
wanya. Hingga siang malam aku menyesali tindakanku 
dulu yang kemudian berakibat fatal pada putriku sen- 
diri. Dan suatu hari, ketika aku singgah di desa ini ku- 
lihat seorang gadis yang memiliki ciri tompel coklat pa- 
da bagian atas pa3mdaranya. Aku melihat kala dia se- 
lesai mencuci dan hanya mengenakan kain kamben 
sebatas dada. Ku yakini betul kalau dia adalah cucu- 
ku. Rupanya Ratu Segala Bidadari tidak membunuh- 
nya. Tetapi ada satu hal yang membuatku sedih. Kare- 
na aku tak bisa mendekati cucuku atau mengakuinya 
sebagai cucuku. Tetapi bagiku itu bukan masalah be- 
sar karena aku sudah senang melihatnya bahagia ber- 
sama kedua orangtua angkatnya yang tentunya tak 
pernah menceritakan siapakah Astari sebenarnya...." 

Dundung Kalimayang mendesah pendek. 

Kemudian meneruskan ceritanya, "Aku hanya 
bisa menyaksikan cucuku semakin lama tumbuh men- 
jadi seorang gadis remaja dan dipinang oleh Juragan 
Jagalaksa. Dan... ah, kini cucuku mengalami nasib sial 
karena ulahku tujuh belas tahun yang lalu...." 

"Jangan menyesali keadaan. Orang Tua. Mung- 
kin memang seperti inilah garis kehidupanmu...." 

Dundung Kalimayang terdiam, lalu perlahan- 
lahan menoleh pada Boma Paksi. 

"Ceritakan apa yang kau ketahui tentang Ratu 
Segala Bidadari...." 

"Apa yang kuketahui tak banyak karena seba- 
gian dugaanmu benar. Saat ini Ratu Segala Bidadari 
telah mengetahui kalau Astari adalah cucumu. Dia 
sengaja tidak membunuh Astari, karena dia ingin me- 
nyiksa batinmu yang diyakininya akan muncul untuk 
melihat keadaan cucumu. Orang Tua. Bersama seo- 
rang muridnya yang bernama Gayang Lumajang, dia 
sedang menunggu kehadiranmu di desa Karang Bam- 
bu ini. Dia juga memiliki kambrat berjuluk Hantu Ber- 
sayap, orang yang telah membunuh suami cucumu 
dan menyebabkan cucumu berada dalam keadaan 
yang menyedihkan seperti sekarang...." 

Wajah duka Dundung Kalimayang tiba-tiba saja 
berubah. Kegeramannya memuncak. 

"Di mana Ratu Segala Bidadari berada?! Aku 
harus segera menyelesaikan urusan ini!" 

"Aku sempat bertarung dengannya dan dia te- 
lah pergi entah ke mana. Tetapi ku yakini kalau dia te- 
tap berada di desa Karang Bambu. Karena dia tetap 
akan menunggu kehadiranmu untuk membalas den- 
dam kematian suaminya." 

"Kalau begitu... aku akan muncul di hadapan- 
nya!" 

"Orang tua... aku tak bermaksud mencampuri 
urusanmu, tetapi apa yang telah terjadi Juga ku rasa- 
kan sebagai urusanku sekarang. Bila kau muncul se- 
cara terang-terangan, justru yang akan menjadi kor- 
ban adalah para penduduk yang tidak berdosa." 

"Gila! Pikiran apa yang menyebabkan kau ber- 
pikir demikian, hah?!" 

Suara keras kakek berpakaian panjang biru 
muda itu disambut sen3ruman oleh Raja Naga. Pemuda 
dari Lembah Naga ini sama sekali tidak tersinggung 
dengan bentakan si kakek. 

"Karena aku berpikir, bila kau muncul urusan 
akan menjadi kacau balau. Tak mustahil para pendu- 
duk yang akan menjadi korban. Mereka juga telah 
menjadi korban keganasan gerombolan Mat Bendot, 
atau yang bernama asli Gayang Lumajang. Dan aku 
yakin, mereka orang-orang yang mati di sekeliling kita 
sekarang ini, juga merupakan korban. Tetapi aku lebih 
yakin kalau mereka tewas dibunuh oleh Hantu Ber- 
sayap." 

Kata-kata pemuda berompi ungu itu dibenar- 
kan oleh Dundung Kalimayang. 

"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?" 

"Sebaiknya... kita memancing keluar Ratu Sega- 
la Bidadari. Kalau sebelumnya dia yang memancing 
mu untuk muncul, sekarang kita ganti memancing- 
nya...." 

"Caranya?" 

"Aku akan mencari muridnya yang bernama 
Gayang Lumajang itu. Aku yakin, bila muridnya telah 
kita kuasai, maka dia akan muncul. Dan sebaiknya, 
urusan ini dituntaskan bukan di desa Karang Bambu. 
Orang tua... bagaimana pendapatmu?" 

Dundung Kalimayang tak menjawab. Mengusap 
jenggot putihnya. Setelah itu dianggukkan kepalanya. 

"Yah... kau benar. Anak muda. Dan terima ka- 
sih atas bantuanmu...." 

"Karena aku merasa ini adalah urusanku juga." 

"Baik! Kutunggu kau di Bukit Bulang-bulang!" 

Habis ucapannya, Dundung Kalimayang segera 
berkelebat ke arah selatan. Tiga kejapan mata berikut- 
nya, yang kelihatan hanyalah bayangan biru belaka 
sebelum kemudian lenyap dari pandangan. 

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek. 

"Urusan ini memang tidak mudah. Karena keli- 
cikan demi kelicikan tengah dijalankan oleh pihak Ra- 
tu Segala Bidadari. Sampai saat ini, aku sendiri belum 
melihat sosok Hantu Bersayap...." 

Beberapa saat lamanya, murid Dewa Naga tak 
bersuara. Kemudian dipandanginya, mayat-mayat yang 
bergeletakan. 

Dengan mempergunakan sebatang ranting, dia 
mulai menggali tanah-tanah yang sengaja dibuat jarak 
agak sedikit berjauhan untuk menguburkan mayat- 
mayat itu.... 


Malam merambat perlahan. Sejak kematian Ju- 
ragan Jagalaksa dan terbunuhnya para penduduk be- 
serta anak buah Mat Bendot, penjagaan diperketat. 

Kalau sebelumnya hanya tujuh orang yang meronda, 
sekarang menjadi dua kali lipat jumlahnya. 

Gayang Lumajang yang bersembunyi di balik 
ranggasan semak di belakang rumah Astari, memper- 
hatikan sekelilingnya. Tak seorang pun yang berada di 
sekeliling rumah itu. Suasana hening. Sesekali dipe- 
cahkan oleh jeritan Astari yang menyayat hati. Sesekali 
ditingkahi oleh suara seorang perempuan dan lelaki 
yang terus membujuk Astari untuk tenang. 

Jeritan yang menyayat itu justru semakin 
membuat Gayang Lumajang kian bernafsu. Terutama 
tatkala membayangkan cerita gurunya tentang tompel 
pada bagian atas pa3rudara Astari. 

"Ingin sekali kulihat bagaimana tompel yang 
menjadi ciri Astari itu! Ah, tentunya akan menambah 
gairah semakin membesar. Apalagi bila puting buah 
dadanya juga berwarna coklat! Glek...! Ini sangat me- 
nyenangkan...," desisnya dan didengarnya lagi jeritan 
keras Astari yang semakin membuat gairahnya makin 
memburu. 

"Sudah beberapa bulan aku berada di desa ini 
menanti munculnya Dundung Kalimayang! Tetapi 
sampai hari ini, kakek keparat itu belum juga nampak 
batang hidungnya!!" geramnya sengit. "Berarti... seha- 
bis kunikmati tubuh indah Astari dan kupermainkan 
pa3rudaranya sampai puas, akan kubunuh dia! Kuha- 
rap dengan kematiannya akan mempercepat muncul- 
nya Dundung Kalimayang!" 

Kembali diperhatikan sekelilingnya. Setelah di- 
rasakan aman, dengan mempergunakan ilmu peringan 
tubuhnya, Gayang Lumajang bersiap untuk melang- 
kah. Namun satu suara dingin mengurungkan niatnya. 

"Tahan!" 

Serta-merta lelaki bercambang bawuk ini mem- 
balikkan tubuhnya. Dilihatnya satu sosok tubuh me- 
layang di udara dengan merentangkan kedua tangan- 
nya yang bersayap. Lalu tanpa menimbulkan suara, 
sosok tubuh yang mengenakan pakaian hitam telah 
hinggap di atas tanah. Berdiri angker. Wajah orang itu 
tertutup topeng dan dari balik topeng menyeramkan 
yang dipakainya, sorot kedua matanya menyala-nyala. 

"Hantu Bersayap...," desis Gayang Lumajang 
setelah mengenali orang itu. Sesaat diperhatikannya 
dengan seksama orang bertopeng menyeramkan, seo- 
lah hendak menembusi siapakah orang yang berada di 
balik topeng itu. Tetapi tiba-tiba saja Gayang Lumajang 
menggeram keras, "Orang bersayap! Ada urusan apa 
kau menahanku, hah?!" 

Hantu Bersayap mendengus. 

"Aku tahu apa yang hendak kau lakukan di sini 
Gayang Lumajang!" 

"Bila kau sudah tahu, mengapa kau masih be- 
rada di sini, hah?!" 

"Ratu Segala Bidadari adalah sahabatku! Setiap 
kata-katanya sangat kupatuhi karena aku pernah ber- 
hutang nyawa padanya! Dan aku paham apa yang di- 
rencanakannya! Dia tidak menginginkan cucu dari 
Dundung Kalimayang tewas saat ini! Dan tindakan 
yang hendak kau lakukan, sama sekali tak bisa kube- 
narkan! Karena... kau hendak mendahului segala ren- 
cana Ratu Segala Bidadari!" 

"Terkutuk!" maki Gayang Lumajang keras. Wa- 
jahnya memperlihatkan rasa tidak suka yang kentara, 
dan tidak dicobanya untuk ditutupinya, "Hantu Ber- 
sayap! Kau hanya orang lain antara aku dan guruku! 
Jangan coba-coba mencampuri apa yang hendak kula- 
kukan!" 

Terdengar suara rahang dikertakkan. "Jangan 
memaksaku untuk melakukan tindakan kasar men- 
gingat kau adalah murid sahabatku! Tetapi bila kau 
tak mengindahkan kata-kataku, aku tak segan-segan 
memberimu pelajaran!" 

Mengkelap wajah Gayang Lumajang mendengar 
ancaman orang. Dia merasa lebih berhak melakukan 
apa yang hendak dilakukannya ketimbang orang ber- 
topeng menyeramkan ini. Ratu Segala Bidadari adalah 
gurunya, jadi dialah yang lebih punya kuasa. Bukan 
orang bersayap ini! 

Dengan kedua tangan terkepal, Gayang Luma- 
jang menggeram,. "Mungkin kau sudah mendengar se- 
pak terjang ku sebagai Mat Bendot! Dan kau melihat 
kalau aku tak memiliki kemampuan apa-apa! Tetapi 
sebagai murid dari Ratu Segala Bidadari, aku telah di- 
warisi ilmu yang sangat tinggi! Tentunya kau mengeta- 
hui kesaktian dari ilmu guruku! Hantu Bersayap... kau 
yang berucap penuh ancaman, dan kuminta jangan 
coba-coba untuk menghalangi niatku!" 

Sepasang mata Hantu Bersayap nyalang, tajam 
dan berapi-api. 

"Gayang Lumajang! Perintah Ratu Segala Bida- 
dari adalah membiarkan Astari hidup, agar Dundung 
Kalimayang sebagai kakeknya mendapatkan siksaan 
batin yang menjadi-jadi! Tak akan pernah kubiarkan 
kau membunuhnya!" 

"Terkutuk!!" maki Gayang Lumajang keras. Dia 
sudah tak mampu untuk menahan gejolak amarahnya. 
Dengan gusar tangan kanannya didorong ke depan. 

Saat itu pula menggebah gelombang angin yang 
menggebubu dingin! 

Hantu Bersayap menjerengkan sepasang ma- 
tanya. Kemarahan lelaki bersayap ini pun sudah tiba 
di ubun-ubun. Tetapi begitu diingatnya kalau orang di 
hadapannya adalah murid dari Ratu Segala Bidadari, 
dia memutuskan untuk tidak bertindak telengas. Ka- 
rena biar bagaimanapun juga, Ratu Segala Bidadari 
tentunya akan murka terhadapnya! 

Sambil menggeser tubuhnya ke samping kiri 
sedikit, tangan kanannya yang menempel sayap hitam 
digerakkan. 

Wuussssi! 

Blaaarrrl! 

Seketika terdengar letupan yang cukup keras, 
yang membuat tanah dan ranggasan semak membuyar 
ke udara. Tindakan yang dilakukan Hantu Bersayap 
semakin membuat kemarahan Gayang Lumajang ma- 
kin menjadi-jadi. 

Tetapi sebelum dilancarkan lagi serangannya, 
terdengar seruan keras, "Dari sana asal letupan itu!" 

"Ayo kita ke sana! Siapa tahu ada manusia- 
manusia keparat yang hendak mencelakakan Astari!" 

Mendengar seruan-seruan itu, kemarahan 
Gayang Lumajang kian membara. 

Tatapannya kian tajam pada Hantu Bersayap. 
"Orang bersayap terkutuk! Mungkin kau sahabat dari 
guruku, tetapi aku, telah membuat keputusan untuk 
menjadi seteru mu!!" 

Habis membentak demikian, Gayang Lumajang 
segera melompat dan berlalu meninggalkan tempat itu. 
Di pihak lain. Hantu Bersayap sesaat memperhatikan 
sekelilingnya. Dilihatnya sekitar sepuluh orang tengah 
mengendap-endap ke arahnya dengan parang di tan- 
gan. 

Sejenak kemarahannya timbul dan berniat un- 
tuk menghabisi kesepuluh orang yang ternyata adalah 
para peronda yang kebetulan melewati depan rumah 
Astari dan mendengar letupan yang terjadi tadi. Tetapi 
begitu diingatnya sesuatu, Hantu Bersayap memu- 
tuskan untuk meninggalkan tempat itu. 

Dengan sekali empos saja, tubuhnya sudah me- 
layang di udara. Para peronda yang kini sudah tiba di 
balik ranggasan semak di mana Gayang Lumajang dan 
Hantu Bersayap sebelumnya berada, berpencar untuk 
mencari sumber letupan yang mereka dengar tadi. Me- 
reka tak menemukan siapa pun di sana. Tetapi melihat 
lubang besar yang terjadi dan sedikit mengeluarkan 
asap, mereka yakin kalau sebelumnya ada orang di se- 
kitar tempat itu. 

***

TUJUH 

OTONG dan Bagus baru saja pulang berdagang 
dari pasar. Keduanya bersiul-siul senang, terutama 
Otong yang dagangannya hari ini lebih banyak laku 
dari pada sahabatnya itu. 

"Jangan bersiul-siul terlalu keras!" seru Bagus. 

"Mengapa? Aku lagi senang, kok!" 

"Tong... apakah kau sudah lupa, kalau Hantu 
Bersayap selalu mengincar orang yang banyak uang?!" 

"Hah?!" seru Otong terkejut dan seketika menu- 
tup mulutnya. Kemudian dengan sorot ketakutan di- 
pandangi sekelilingnya. Tetapi begitu dilihatnya Bagus 
tertawa, Otong menggeram. "Brengsek! Kau menakut- 
nakutiku, ya?!" 

"Memangnya kau tidak takut dengan Hantu 
Bersayap?" goda Bagus sambil tertawa. 

Karena kesal digoda temannya barusan, Otong 
membusungkan dadanya lalu berkata sombong, "Huh! 
Mana orangnya? Mana?! Kalau dia muncul akan kupa- 
tah-patahkan lehernya!" 

"Waduh! Sombongnya kau ini...." 

"Aku tidak sombong! Aku mengatakan apa 
adanya! Kalau Hantu Bersayap muncul... biar ku... 
heit, eit, ciaaatt!!" Otong melakukan gerakan seperti 
orang sedang bersilat. Tetapi karena terlalu berseman- 
gat dia justru terjerunuk karena terserimpung kakinya 
sendiri. 

Bagus tertawa-tawa. 

Demikian pula dengan Raja Naga yang berada 
di atas pohon. Pemuda yang kedua tangannya sebatas 
siku dipenuhi sisik coklat ini tersen5rum geli melihat 
tingkah Otong. 

"Sok tahu sih kau ini!" seru Bagus. 

Otong nyengir sambil bangkit. Seraya menepuk- 
nepuk celananya yang kotor dia berkata, "Aku ingin 
membuktikan, kalau aku tidak takut pada Hantu Ber- 
sayap!" 

Bagus segera menutup mulut Otong dengan 
tangannya. 

"Jangan bicara sembarangan!" 

"Hembbb... sembarangan bagaimana?" seru 
Otong setelah berhasil melepaskan tangan Bagus dari 
mulutnya. 

"Bagaimana kalau Hantu Bersayap tiba-tiba 
muncul?!" 

Otong yang melihat wajah Bagus menjadi te- 
gang, semakin konyol, "Kalau dia muncul, akan kubu- 
nuh saja!" 

"Hei, hei! Kau bicara sembarangan ya?" 

"Kau takut, ya? Takut?" 

"Memangnya kau tidak takut?" 

"Tidak sama sekali!" 

"Kau ini sudah mau mampus rupanya! Apakah 
kau tidak tahu kalau sebenarnya Hantu Bersayap se- 
dang mencari seorang kakek bernama Dundung Kali- 
mayang?" 

Otong yang sejak tadi bercanda memandang te- 
gang. 

"Kakek bernama Dundung Kalimayang? Ah, 
kau ini tahu dari mana? Di desa kita tak ada kakek 
yang bernama Dundung Kalimayang...." 

"Aku hanya mendengar saja...," sahut Bagus. 
Sementara itu. Raja Naga yang sedianya hendak me- 
ninggalkan tempat itu mengurungkan niatnya. Diden- 
garnya lagi kata-kata Bagus, "Aku menangkap kabar, 
kalau Hantu Bersayap sedang mencari kakek yang 
bernama Dundung Kalimayang. Apa kau pernah meli- 
hat kakek yang mengenakan pakaian panjang warna 
biru muda?" 

"Wah! Siapa ya? Kau pernah melihatnya?" 

"Tidak! Kakek itu memiliki jenggot putih yang 
cukup panjang. Dan dia...." 

"Sudah, sudah! kau ini kok jadi ngelantur se- 
perti itu!" 

"Eh, aku tidak berkata bohong! Kau pernah me- 
lihatnya tidak?!" 

"Ya sudah tentu tidak!" sahut Otong agak jeng- 
kel karena merasa dipermainkan sahabatnya itu. "La- 
gian mana berani Hantu Bersayap muncul?" 

"Memangnya kenapa?" 

"Kalau dia muncul, akan kupatahkan batang 
lehernya!" 

"Kau sudah pernah melihatnya?" 

"Belum! Dengar-dengar saja sudah! Dia menge- 
nakan pakaian hitam dengan topeng yang menyeram- 
kan! Dan di kedua tangannya terdapat sayap! Ih! Ngeri 
betul!" 

"Tuh! Kau takut?" 

"Tidak! Mana orangnya?! Mana?!" 

Bagus tertawa geli. Tiba-tiba dia memegang pe- 
rutnya. 

"Aduh... aduh.... Tong, perutku mulas! Kau 
tunggu di sini, ya? Tunggu ya?!" 

"Brengsek kau! Sebentar lagi malam! Sana ce- 
petan sedikit!!" seru Otong jengkel. Begitu Bagus berla- 
ri, Otong berseru, "Tidak usah kau sisakan buat be- 
sok!" 

"Brengsek kau ya?!" 

Otong tertawa geli. Lalu dia bersandar di bawah 
sebuah pohon. Angin senja berhembus sejuk. Otong 
saat ini senang sekali karena dia memiliki keuntungan 
yang banyak dari biasanya. Dibayangkannya dia akan 
mengumpulkan uang yang sangat banyak untuk me- 
minang Juleha, gadis tetangganya yang memiliki tubuh 
bahenol tetapi berotak kosong. 

Di pihak lain, Boma Paksi masih tetap duduk di 
atas pohon di mana di bawahnya Otong bersandar. 
Pemuda berompi ungu dari Lembah Naga memikirkan 
apa yang dikatakan oleh Bagus. Sesekali keningnya 
berkerut merut untuk merangkaikan apa yang telah 
didengarnya. 

Namun sebelum dipikirkan lebih lanjut, men- 
dadak saja dilihatnya satu sosok tubuh melompat dari 
balik ranggasan semak dan... jleegg! 

Hinggap di hadapan Otong yang saat ini mulai 
diserang rasa kantuk. Begitu melihat orang yang mun- 
cul di hadapannya, kontan Otong berdiri tegak dengan 
kedua mata terbelalak. 

"Aku Hantu Bersayap...," desis orang bertopeng 
menyeramkan itu. 

Saat itu pula Otong kehilangan tenaganya. Dia 
tidak menyangka kalau orang yang sejak tadi dianggap 
sepele telah muncul di hadapannya. Seluruh tubuhnya 
bergetar hebat. Keringat saat itu pula bercucuran di 
seluruh tubuhnya. 

Otong jatuh bersujud seperti orang kehilangan 

tenaga. 

"Ampun... ampuni aku...." 

"Tak seorang pun yang telah meremehkanku 
akan kuampuni!" seru orang bersayap itu sambil me- 
langkah. 

Otong tak berani mengangkat kepalanya. Degup 
jantungnya berdebar lebih keras. Dia berusaha men- 
gumpulkan tenaganya untuk melarikan diri. Tetapi te- 
naganya seperti terkuras habis, tanpa bekas. 

Raja Naga sendiri tak menyangka kemunculan 
orang bersayap itu. Begitu dilihatnya orang bersayap 
itu mencengkeram kerah baju Otong, dia segera me- 
lompat turun! 

Kehadirannya tak diketahui oleh Otong yang 
sedang ketakutan. Tetapi orang bersayap itu tersentak. 
Buru-buru dilepaskan tangannya yang mencengkeram 
kerah baju Otong. Dan dia tersedak tatkala melihat ta- 
tapan angker dari pemuda yang tiba-tiba muncul di 
hadapannya. 

"Telah lama kudengar julukan Hantu Ber- 
sayap... dan baru sekarang kita berjumpa!" 

"Okh! Bukan, bukan! Aku bukan Hantu Ber- 
sayap!" orang bersayap itu tiba-tiba berseru. Terburu- 
buru dibuka topeng yang dipakainya. Lalu dibuka pa- 
kaiannya yang kemudian terlihat pakaian lain. 

Sementara itu, begitu mendengar seruan yang 
dikenalnya, dengan takut-takut Otong mengangkat ke- 
palanya. Dilihatnya Bagus yang sedang buru-buru me- 
lepaskan pakaiannya. 

Raja Naga tersentak 

"Astaga! Jadi...." 

"Nah, nah! Kau lihat bukan, aku bukan Hantu 
Bersayap! Namaku Bagus! Dia kawanku yang bernama 
Otong!" 

Dari rasa tegangnya tadi. Raja Naga mendengus 
mangkel. Rupanya Hantu Bersayap yang mendadak 
muncul itu adalah Bagus yang menyamar. 

Di pihak lain Otong buru-buru berdiri. 

"Kurang asem! Kau menakut-nakutiku, ya? Kau 
menakut-nakutiku!!" geramnya gemas sambil men- 
cengkeram leher Bagus yang sesaat tersedak. 

"Aku... aku... cuma ingin menggodamu saja...," 
desisnya sambil memegang kedua tangan Otong yang 
mencengkeram lehernya. 

"Tapi aku bisa mampus kau buat!" 

"Katamu... katamu kau tidak takut dengan 
Hantu Bersayap...," sahut Bagus membela diri. Ru- 
panya dia tadi berpura-pura hendak membuang air 
dan berniat mempermainkan sahabatnya itu. 

Otong melepaskan cengkeramannya dengan ge- 
ram. Mulutnya merutuk panjang pendek. 

Raja Naga mendesis, sorot matanya angker, 
"Tindakanmu itu dapat mencelakakanmu sendiri...." 

"Tapi... tapi... aku cuma bermaksud memper- 
mainkannya. ..." 

"Bila saja kau tidak langsung membuka pe- 
nyamaranmu, aku tak bisa membayangkan apa aki- 
batnya...." 

Otong yang baru menyadari kehadiran orang 
lain di sana, melirik. Dia tersentak begitu melihat sorot 
mata angker dari pemuda di sebelah kanannya. 

"Kau... kau... siapa?" 

Raja Naga mendesah pendek. Kekesalannya ka- 
rena mau tak mau harus ikutan dalam urusan konyol 
membuatnya untuk beberapa saat sulit untuk berkata- 
kata. 

Bagus masih kelihatan takut-takut. Dia juga 
tak bersuara. 

Beberapa saat hening. Raja Naga menghem- 
buskan nafasnya kuat-kuat. 

"Jangan sekali lagi kau melakukan tindakan 
seperti itu. Kau tahu sendiri, kalau saat ini Hantu Ber- 
sayap sedang dicari banyak orang, terutama para pe- 
ronda yang sudah tentu tak akan tinggal diam ..." 

Bagus cepat-cepat menganggukkan kepalanya. 
"Ya, ya... maaf, maafkan aku...." Raja Naga menatap 
Otong. 

"Dan kuminta, jangan sesekali meremehkan se- 
seorang, karena kelak kau akan mendapatkan akibat 
dari sikapmu itu...." 

Otong menganggukkan kepalanya. 

Di saat lain, baik Otong maupun Bagus sama- 
sama tersentak. Mereka merasakan desir angin yang 
membuat masing-masing orang secara tiba-tiba mun- 
dur. Di lain kejap, mereka tak melihat lagi pemuda be- 
rompi ungu! 

Untuk sesaat tak ada yang bersuara. Tetapi di 
saat lain, Otong sudah mendengus pada Bagus. 

"Tindakanmu tidak lucu! Aku bisa mampus 
berdiri tadi!" 

Bagus yang telah hilang ketegangannya terta- 
wa. 

"Tetapi kau bukan akan mampus berdiri, me- 
lainkan akan mampus dalam keadaan berjongkok!" 

"Brengsek! Konyol! Busuk! Tidak lucu!" maki 
Otong panjang pendek. Lalu sambungnya dalam hati, 
"Untung saja aku tidak terkencing-kencing di celana...." 

Bagus tertawa. Setelah itu dia berkata, "Kau 
tahu siapa pemuda berompi ungu itu, Tong? Tatapan- 
nya... fiuh! Mengerikan betul!" 

"Rasa-rasanya... aku pernah melihat dia waktu 
kita makan di warung pojok Jalan.... Tapi, aku tidak 
tahu siapa dia...." 

"Sudahlah... ayo kita pulangi" 

Tetapi Otong tak segera melangkah. Matanya 
tajam pada Bagus. 

"Awas! Kalau kau berani mempermainkan ku 
lagi?! Akan ku jitak kepalamu sampai benjol!" Bagus 
cuma tertawa. 

Dia mendahului Otong melangkah sambil 
membawa benda-benda penyamarannya. Otong men- 
dumal sebelum Menyusul. Sambil melangkah dia ber- 
tanya, "Dari mana kau dapatkan benda-benda keparat 
itu, bah?!" 

"Ini rahasiaku...," sahut Bagus sambil tertawa. 
Sambil melangkah Otong memperhatikan Bagus yang 
sedang menyeringai. 

"Brengsek! Awas, kalau dia berani bercerita pa- 
da yang lain!" 

***

DELAPAN 

SUARA gemuruh air sungai terdengar cukup 
keras. Beberapa helai daun dari dahan yang menjuntai 
jatuh melayang. Dan langsung terbawa derasnya aliran 
sungai. 

Perempuan jelita berpakaian putih bercahaya 
itu tegak di depan sungai. Berdiri dengan tatapan yang 
diarahkan pada aliran sungai itu. Tak sekali pun pe- 
rempuan yang bukan lain Ratu Segala Bidadari ini 
membuka mulut. 

Tiba-tiba diangkat kepalanya ke kanan tatkala 
didengarnya kepakan sayap di udara. Angin tiba-tiba 
saja berubah. Tak lama kemudian, satu sosok tubuh 
melayang turun dan hinggap sejarak delapan langkah 
dari hadapannya. 

"Bagaimana dengan tugasmu?" Ratu Segala Bi- 
dadari langsung bertanya. 

Orang bertopeng menyeramkan itu mendekat. 

"Aku belum mendapatkan kepastian yang Jelas 
tentang Dundung Kalimayang. Tetapi ada hal yang per- 
lu kukatakan padamu...." 

"Katakan!" 

"Aku memergoki Gayang Lumajang yang berniat 
untuk membunuh Astari!" 

Mata bercahaya milik Ratu Segala Bidadari 
membuka lebar. Ditatapnya Hantu Bersayap yang se- 
dang menatapnya pula. 

"Apa yang kau lakukan?" 

"Sesuai perintahmu, aku menahan keinginan- 
nya." 

"Bagus!" 

"Tetapi dia telah menganggapku sebagai seo- 
rang lawan! Ratu Segala Bidadari, bila aku tak ingat 
kalau dia adalah muridmu, sudah kubunuh dia saat 
itu Juga...." 

"Gayang Lumajang hanyalah alat yang baik ba- 
giku untuk melaksanakan semua ini," kata Ratu Sega- 
la Bidadari. Biar bagaimanapun Juga, dia tak suka mu- 
ridnya dilecehkan orang. "Padanyalah seluruh ilmu 
yang kumiliki kuturunkan! Bila kau hendak membu- 
nuhnya, mungkin kau dapat melakukannya! Tetapi 
aku berani bertaruh, kalau kau pun akan menda- 
patkan penderitaan berkepanjangan!" 

Hantu Bersayap tak mempedulikan kata-kata 
itu. Dia juga memandang aliran sungai yang bergemu- 
ruh keras. 

"Aku telah berjumpa dengan seorang pemuda 
berompi ungu. Di tangan kanan kirinya sebatas siku 
dipenuhi sisik berwarna kecoklatan. Apakah kau juga 
sudah berjumpa dengannya?" 

Ratu Segala Bidadari menggeram. 

"Aku bukan hanya pernah berjumpa dengan- 
nya, tetapi aku pernah bertarung dengannya!" 

Hantu Bersayap melirik. 

"Apa yang terjadi?" 

Ratu Segala Bidadari menceritakan pengala- 
mannya. 

"Pemuda itu nampaknya akan menjadi duri da- 
lam urusan ini. Hantu Bersayap... aku yakin kalau 
pemuda itulah yang berjuluk Raja Naga..." 

"Hemm.... Raja Naga. Aku juga telah mendengar 
sepak terjangnya. Apa yang kau katakan nampaknya 
tak mustahil terjadi. Sekarang, apa yang akan kau la- 
kukan?" 

"Apa maksudmu dengan apa yang akan kula- 
kukan?" 

"Bila kau menganggapnya sebagai duri, aku 
akan membereskannya!" 

"Bagus! Kau bisa membunuhnya kapan saja 
kau mau! Tetapi, bagaimana dengan Dundung Kali- 
mayang?" 

"Sampai saat ini aku belum mendapatkan kete- 
rangan yang tepat untuknya. Berulang kali kutanya- 
kan pada orang-orang di desa ini tentang Dundung Ka- 
limayang, tetapi tak seorang pun yang pernah men- 
genal ciri-ciri dari Dundung Kalimayang...." 

Ratu Segala Bidadari terdiam. Paras jelitanya 
sedikit bercahaya. 

Lalu katanya perlahan, "Kita tunggu kehadi- 
rannya sampai besok sore. Bila dia tidak muncul juga, 
Astari harus dibunuh!" 

"Baik! Kutunggu sampai besok sore untuk 
membunuh Raja Naga! Mungkin kau merasa lebih baik 
kaulah yang membunuh Astari!" 

"Ya! Akulah yang akan melakukannya!" 

"Kalau begitu, kita berpisah sekarang! Besok 
sore kita bertemu lagi di sini!" 

Habis ucapannya. Hantu Bersayap segera mele- 
sat dengan mengepakkan kedua sayapnya. Gerakan- 
nya sangat cepat sekali, karena dalam tiga kejapan 
mata saja dia sudah mengangkasa. 

Di tempatnya Ratu Segala Bidadari masih ter- 
diam. Otaknya terus memikirkan kemungkinan demi 
kemungkinan dari apa yang dilakukannya. 

"Hemm... di mana Dundung Kalimayang sebe- 
narnya berada? Aku telah bosan menunggu di desa ini 
terus menerus...," desisnya sambil menggeram. "Huh! 
Aku harus membunuh Astari! Mungkin dengan kema- 
tian cucunya... dia akan berpikir beberapa kali untuk 
tidak muncul! Atau... sebenarnya tidak tahu apa yang 
telah terjadi dengan cucunya?" 

Perempuan berparas jelita ini menjadi uring- 
uringan dengan setiap pikirannya yang tiba-tiba mun- 
cul. Mendadak dia menggeram dingin. 

"Untuk apa aku memikirkan semua ini lebih 
lama! Astari harus kubunuh!!" 

Kejap lain dia sudah berkelebat meninggalkan 
tempat itu. 

Pada saat yang bersamaan Mat Bendot alias 
Gayang Lumajang sedang memacu dirinya di atas tu- 
buh seorang gadis yang diculiknya. Dengusan nafas- 
nya terdengar berat dan terengah-engah. Keringat su- 
dah membasahi sekujur tubuhnya. 

Di bawah himpitan tubuhnya, gadis yang ber- 
paras cukup manis itu meringis menahan sakit. Air 
matanya sudah mengalir keluar. Tetapi tenaganya te- 
lah lenyap sama sekali. Pada pipi kanannya terlihat 
warna biru dan dari sela-sela bibirnya darah segar 
mengalir. 

Dengusan napas Gayang Lumajang semakin 
memburu. Gagal mengumbar gairahnya pada Astari, 
Gayang Lumajang memutuskan untuk menculik seo- 
rang gadis dan kebetulan dia melihat seorang gadis 
manis yang sedang mandi sore di sebuah sungai. 

Dengan keahliannya mudah saja dia menculik 
gadis itu dan langsung memperkosanya dengan buas. 

Mendadak tubuhnya mengejang hebat, giginya 
diadu satu sama lain. Wajahnya meringis. Gadis di 
bawah tubuhnya meringis menahan sakit. 

"Aaaah...," desis Gayang Lumajang panjang 
sambil merebahkan tubuhnya di atas tubuh si gadis. 
Nafasnya yang mendengus-dengus perlahan-lahan mu- 
lai teratur. 

Gadis yang dalam keadaan tertotok itu menggi- 
git bibirnya menahan sakit. Dia sedikit bernapas lega 
tatkala lelaki yang memperkosanya berdiri. Tetapi 
hanya sesaat dia bisa bernapas lega, karena di saat 

lain.... 

Kraaakk! 

Gayang Lumajang menampar pipi si gadis yang 
seketika bergerak ke kanan. Dan saking kerasnya 
tamparan serta sentakan itu, leher si gadis patah! 

Gayang Lumajang mendengus, lalu kembali 
mengenakan pakaiannya. Dipandanginya sekelilingnya 
yang sepi. Untuk beberapa saat dia masih merasakan 
tubuhnya lemas. 

"Huh! Hantu Bersayap telah menggagalkan ren- 
canaku untuk memperkosa dan membunuh Astari! 
Dan aku yakin, dia tetap berjaga-jaga agar aku tidak 
melakukan tindakan itu! Terkutuk! Kelak... dia akan 
mampus di tanganku!!" 

Gayang Lumajang menggeram keras dengan 
kedua tangan terkepal. 

"Sebaiknya... aku menjumpai Guru kembali. 
Akan kuadukan apa yang telah dilakukan oleh Hantu 
Bersayap!" 

Sebelum meninggalkan tempat itu, dipandan- 
ginya tubuh montok si gadis yang telah menjadi mayat. 
Ditatapnya lama-lama pa3mdara indah dan bagian di 
pangkal paha si gadis yang tadi direguknya untuk 
mendapatkan kenikmatan. 

Kejap lain, Gayang Lumajang berkelebat ke 
arah timur. Kepuasan yang didapatnya tadi tidak me- 
nyenangkannya. Dia akan merasa lebih senang bila 
berhasil menikmati tubuh Astari! Juga membunuhnya! 

Bayangan tompel coklat pada bagian atas buah 
dada Astari semakin melingkari benaknya. Rasa tidak 
sabarnya itu berubah menjadi kemarahan akibat tin- 
dakan Hantu Bersayap. Dan dia semakin bernafsu un- 
tuk mengadukan tindakan Hantu Bersayap pada gu- 
runya. 

Di jalan setapak yang dipenuhi ranggasan se- 
mak, mendadak saja Gayang Lumajang menghentikan 
langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan, kepada 

seorang pemuda yang berdiri tegak dengan kedua tan- 
gan terlipat di depan dada. Gayang Lumajang melihat 
jelas kalau pada kedua tangan yang terlipat itu terda- 
pat sisik-sisik coklat! 

Untuk beberapa saat dia tak bersuara sebelum 
membentak, "Pemuda celaka! Siapa kau yang berani 
menghalangi langkahku?! Apakah kau.," bentakan itu 
terputus begitu saja, ketika dilihatnya sorot mata ang- 
ker yang menatapnya. "Astaga! Tatapan itu... begitu 
mengerikan!" sambungnya dalam hati. 

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja 
Naga adanya mendesis, "Gayang Lumajang... atau... 
kau harus kupanggil dengan nama Mat Bendot? Tapi 
kupikir, itu bukanlah hal yang utama! Kuminta... kau 
ikut denganku...." 

"Terkutuk! Siapa pemuda tampan bermata 
mengerikan itu?" geram Gayang Lumajang dalam hati. 
Kemudian bentaknya, "Kau berucap begitu enak! Ten- 
tunya itu disebabkan karena kau tidak tahu siapa 
aku!" 

"Aku bukan hanya tahu siapa kau, tetapi aku 
tahu siapa orang yang berada di balik semua ini?" sa- 
hut murid Dewa Naga dingin. "Gayang Lumajang... kau 
hanyalah cecunguk busuk dari gurumu yang berjuluk 
Ratu Segala Bidadari! Sebaiknya... kau ikut denganku! 
Tak perlu menyusahkan dirimu dalam urusan busuk 
gurumu!" 

"Keparat! Kau pikir kau siapa, hah?!" geram 
Gayang Lumajang keras. Kalau sebelumnya dia sudah 
dilanda kegeraman akibat tindakan Hantu Bersayap, 
sekarang kegeramannya semakin menjadi-jadi. Dengan 
tangan menuding, dia membentak lagi, "Anak muda! 
Bagus kau berada di sini, hingga aku mendapatkan 
tempat untuk melampiaskan kekesalanku!!" 

Habis bentakannya, Gayang Lumajang segera 
memutar kedua tangannya di depan dada yang kemu- 
dian diangkatnya di atas kepala. Di saat lain, disen- 
takkan kedua pergelangan tangannya yang men3dlang 
itu ke depan! 

Wuuuuss! 

Saat itu pula memercik cahaya bening ke uda- 
ra. Gayang Lumajang meniup percikan cahaya bening 
itu! 

Wunngggg!! 

Kontan cahaya bening itu terlontar ke udara. 

Melihat apa yang dilakukan oleh Gayang Luma- 
jang, Raja Naga menjerengkan matanya. 

"Hemmm... dia telah mengeluarkan ilmu seperti 
yang diperlihatkan Ratu Segala Bidadari padaku! Aku 
harus berhati-hati karena ilmu itu tak bisa dianggap 
enteng!" 

Sebelum cahaya bening yang terlontar ke udara 
itu bergumpal membentuk seperti awan. Raja Naga 
sudah mendorong kedua tangannya ke udara. 

Wussss!! 

Menghampar gelombang angin besar yang dis- 
ertai cahaya merah, langsung melabrak putus cahaya 
bening yang hendak berubah menjadi gumpalan awan. 

Melihat apa yang dilakukan pemuda berompi 
ungu. Gayang Lumajang tersentak. 

"Kau?!" 

"Aku telah bertarung dengan gurumu, hingga 
aku tahu apa yang akan kau lakukan?!" 

"Setaaannn!!" 

Seiring makiannya, Gayang Lumajang melaku- 
kan tindakan yang sama berulang-ulang dan berulang 
pula Raja Naga memutuskannya. Namun di saat lain 
dia gagal melakukannya, karena cahaya bening yang 
terlontar itu sudah berubah menjadi gumpalan laksa- 
na awan-awan. 

Glegaaarrr!! 

Guntur menyalak keras, disusul dengan kilat 
berwarna bening yang menyambar ke arah Raja Naga. 
Segera pemuda dari Lembah Naga ini melompat ke be- 
lakang. 

Blaaarr! Blaaarr!! 

Kilat-kilat bening yang melesat itu menghantam 
tanah di mana Raja Naga sebelumnya berdiri. Belum 
lagi anak muda itu tegak di atas tanah kembali, kilat- 
kilat lain terus menyambar berulang-ulang! 

Dua buah pohon tersambar, dan begitu angin 
berhembus luruh menjadi debu! 

Raja Naga melirik. Sorot matanya bertambah 
angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua 
tangannya sebatas siku semakin Jelas terlihat, pertan- 
da kalau dia sudah berada dalam kemarahan. 

"Hemm... aku harus melakukan tindakan se- 
perti yang kulakukan terhadap Ratu Segala Bidada- 
ri...." 

Memutuskan demikian. Raja Naga tiba-tiba saja 
mendorong kedua tangannya ke udara. Namun pada 
saat yang bersamaan, kaki kanannya sudah dijejakkan 
di atas tanah! 

Tanah muncrat sedikit ke atas. Dan pada saat 
yang bersamaan, tanah itu telah bergelombang, men- 
deru dahsyat ke arah Gayang Lumajang yang tersen- 
tak. Saat itu pula dia melompat ke samping. Kedua 
tangannya yang men3dlang tadi dilepaskan, hingga pa- 
da saat itu pula awan-awan bening yang tercipta tadi 
hilang begitu saja. 

Di saat lain, sosoknya sudah menderu ke depan 
seraya mendorong tangan kanan kirinya. 

Raja Naga menunggu dengan tatapan angker- 
nya yang tajam. Begitu sosok Gayang Lumajang men- 
dekat, mendadak sontak dia membuang tubuh ke 
samping kiri. Baru saja kedua kakinya hinggap di atas 
tanah, tiba-tiba saja dia meluruk ke depan. 

Tangan kanannya menyambar tangan kanan 
Gayang Lumajang yang kemudian dipelintirnya! Me- 
njmsul tangan kirinya memegang dada Gayang Luma- 
jang dari belakang. 

Dan.... 

Tuk! Tuk! 

Tangan kanannya sudah menotok tubuh 
Gayang Lumajang yang seketika luruh laksana tanpa 
tulang. Ketika mulutnya akan bersuara, dengan men- 
jentikkan ibu jarinya dengan telunjuk. Raja Naga telah 
menotok lelaki itu. 

"Aku bukanlah orang yang kejam. Tetapi aku 
membutuhkan bantuanmu. Bila saja ini bukan uru- 
sanku, sudah tentu kau tak akan kuperhitungkan. Me- 
lainkan gurumu atau Hantu Bersayap...." 

Sepasang mata Gayang Lumajang mendelik gu- 
sar. Dia berusaha untuk memaki-maki, tetapi tak ada 
suara yang keluar. 

Dengan sekali menjejakkan kaki kanannya di 
atas tanah, tubuh Gayang Lumajang seketika mumbul 
yang segera ditangkapnya. Baru saja Gayang Luma- 
jang merasakan tubuhnya berada di bopongan si pe- 
muda, mendadak dia merasa tubuhnya sudah melesat 
sedemikian cepat! 

Setelah membawa tubuh Gayang Lumajang ke 
Bukit Bulang-bulang dan menyerahkannya pada Dun- 
dung Kalimayang yang sudah menunggu di sana. Raja 
Naga kembali lagi ke desa Karang Bambu, tepat pada 
saat matahari sepenggalah. Malam telah kembali pergi 
dengan cepat. 

Raja Naga yang sedang menjalankan renca- 
nanya untuk ganti memancing kemunculan Ratu Sega- 
la Bidadari, segera menjalankan maksud. Setelah ber- 
hasil menculik Gayang Lumajang, dia memang akan 
melakukan satu tindakan yang akan didengar oleh Ra- 
tu Segala Bidadari. 

Dan pasar merupakan tempat yang tepat! 

Segera saja dikatakannya kalau Mat Bendot, 
otak dari gerombolan yang mengacau di desa itu telah 
ditangkapnya dan ditawannya di Bukit Bulang-bulang. 

Pemberitahuan yang dilakukannya secara sen- 
gaja itu pun cepat tersebar. Otong dan Bagus yang me- 
lihat Raja Naga sama-sama berpandangan. Mereka in- 
gat kalau pemuda itulah yang telah muncul di hada- 
pan mereka kemarin sore. 

"Gus! Rupanya pemuda itu bukan orang sem- 
barangan?!" 

"Ya! Tetapi dia berada di pihak kita. Kan dia 
menangkap Mat Bendot?" 

"Kau betul! Ayo, kita teriakkan juga kabar gem- 
bira ini!" 

Keduanya pun sibuk meneriakkan kalau Mat 
Bendot telah ditangkap! 

Sementara itu. Raja Naga sendiri telah menghi- 
lang dari keramaian, karena dia memikirkan sesuatu 
yang mungkin terjadi. 

Ketika siang tiba, Otong kelimpungan mencari 
sahabatnya. Karena sahabatnya itu tidak berada di si- 
sinya. 

"Busyet! Di mana si Bagus itu?" dengusnya. Te- 
tapi kemudian tak dipedulikannya. Dia terus mene- 
riakkan berita tentang Mat Bendot yang telah ditang- 
kap. 

Jauh dari sana, bayangan bersayap itu melesat 
cepat melewati atas pepohonan dan turun di sebuah 
tempat. Dilihatnya Ratu Segala Bidadari berada di sa- 
na. 

"Aku tahu mengapa kau datang kemari," kata 
perempuan jelita itu tanpa menoleh. "Karena aku telah 
mendengar apa yang terjadi dengan muridku." 

"Bagus kalau kau sudah tahu! Muridmu telah 
ditawan oleh Raja Naga di Bukit Bulang-bulang! Ini ar- 
tinya, Raja Naga memang akan mengacaukan seluruh 
rencana yang telah kita susun!" 

Ratu Segala Bidadari tak menjawab. 

"Kita harus lebih cepat menjalankan rencana 
sebelum Raja Naga semakin lancang mencampuri uru- 
san ini!" seru Hantu Bersayap lagi. 

Ratu Segala Bidadari meliriknya. 

"Baik! Kita tak perlu menunggu sampai senja 
tiba! Kau bunuh Astari sekarang juga, sementara aku 
akan berangkat menuju ke Bukit Bulang-bulang! Sete- 
lah kau membereskan Astari, kau susul aku!" 

"Bagaimana dengan Dundung Kalimayang?" 

Kali ini Ratu Segala Bidadari menegakkan ke- 
palanya. 

"Entah mengapa... aku merasa Dundung Kali- 
mayang berada di balik semua ini...." 

"Maksudmu... dia yang mengatur dan memutar 
keinginan kita?" 

"Aku hanya menduga! Lakukan tugasmu seka- 
rang!" 

Hantu Bersayap mengangguk dan terbang lagi 
di udara, sementara Ratu Segala Bidadari pun segera 
menuju ke Bukit Bulang-bulang dengan hati murka. 

***

SEMBILAN 

KEMUNCULAN Hantu Bersayap yang hinggap 
di atap rumah Astari memancing perhatian sepasang 
mata angker yang memang sudah menunggunya di ba- 
iik rimbunnya semak. 

"Hemmm... dugaanku ternyata benar. Kaiau ti- 
dak Hantu Bersayap, Ratu Segaia Bidadari yang akan 
muncui di sini. Mereka tentunya teiah menangkap ge- 
iagat yang tak menguntungkan dan akan segera 
menghabisi nyawa Astari.... Dan dia akan menemukan 
satu kejadian yang sungguh di iuar dugaannya...." 

Di pihak iain, sepasang mata menyaia dari ba- 
iik topeng menyeramkan yang dipakai, memandangi 
sekeiiiingnya. Kedua teiinganya dibuka iebar-iebar. Se- 
benarnya dia merasa cukup heran, karena tak men- 
dengar suara-suara di daiam. Tapi di saat lain Hantu 
Bersayap sudah memukul pecah atap rumah itu. 

Brooll!! 

Pecahan genting berhamburan dan atap itu 
menjadi bolong. Kejap itu pula Hantu Bersayap me- 
lompat turun. Tetapi tak seorang pun yang berada di 
sana. Hantu Bersayap berkelebat ke sana kemari. Na- 
mun orang yang dicari tetap tak berada di sana. 

Selagi dia celingukan dengan kening berkerut, 
dari atas terdengar suara, "Kau tak akan menemukan 
siapa pun di tempat ini kecuali aku!" 

Seketika diangkat kepalanya. Dilihatnya pemu- 
da berompi Ungu sudah berdiri di sana. 

"Keparat!!" maki Hantu Bersayap yang kemu- 
dian sadar apa yang telah terjadi. Tentunya pemuda 
bersorot mata angker itulah yang telah mengungsikan 
seluruh penghuni rumah ini. 

Dengan kegeraman tinggi, Hantu Bersayap 
mencelat ke atas dengan kedua tangan terangkat. 

Brrolll!! 

Atap rumah itu jebol, berhamburan ke sana- 

sini. 

Raja Naga sudah melompat turun dan melihat 
orang bersayap itu hinggap di atas tanah dengan rin- 
gannya. Keduanya berpandangan tanpa ada yang ber- 
suara. 

"Keparat hina! Bagus kalau kau berani muncul 
di hadapanku! Karena aku tak perlu susah payah 
mencarimu!!" 

Raja Naga tak menjawab. Dia berpikir, "Aku ya- 
kin pertarungan tak dapat dielakkan. Sebaiknya... ku 
pancing dia agak menjauh dari sini!" 

Memutuskan demikian, murid Dewa Naga ber- 
kata "Kekejamanmu sudah tak bisa dimaafkan lagi! 
Tapi aku masih memberimu kesempatan agar kau sa- 
dar dari apa yang telah kau lakukan! Namun sebelum 
ku maafkan semuanya, buka topengmu itu! Aku ingin 
tahu wajahmu yang sebenarnya!" 

Hantu Bersayap terbahak-bahak. 

"Kau tak akan pernah melihatnya karena kau 
sudah keburu mampus!!" 

Kejap itu pula dia mencelat ke depan. Kedua 
sayapnya terentang. Kaki kanannya dia3runkan! 

Wuuuttt!! 

Desiran angin keras menyerbu lebih dulu ke 
arah Raja Naga yang kemudian mendeham dan mem- 
buat desiran angin itu putus di tengah jalan. 

Lalu... buk! Buk! 

Tangan kanan kirinya sudah diangkat untuk 
menahan tendangan kaki kanan kiri Hantu Bersayap. 

Benturan yang terjadi itu membuat Hantu Ber- 
sayap mundur. Kedua kakinya dirasakan cukup ngilu. 

"Hebat!" dengusnya lalu menyerbu lagi. 

Di pihak lain, Raja Naga segera berkelebat un- 
tuk menjauh. Karena diyakininya betul pertarungan 
yang terjadi itu akan memancing perhatian para pen- 
duduk desa Karang Bambu. 

"Keparat bersisik! Mau lari ke mana kau?!" 
bentak Hantu Bersayap sambil terbang men3msul. 

Raja Naga menemukan sebuah tempat yang la- 
pang. Begitu dihentikan larinya, segera dibalikkan tu- 
buhnya. Dan.... 

Buk! Buk! 

Dihantamnya kedua kaki Hantu Bersayap yang 
siap menghajar kepalanya! 

Kali ini Hantu Bersayap tak merasakan apa-apa 
karena sebelumnya dia sudah mengalirkan tenaga da- 
lamnya. Men3msul kedua sayapnya digerakkan. Seke- 
tika menggebah gelombang angin dahsyat yang mem- 
perdengarkan suara bergemuruh. Tanah dan rangga- 
san semak terseret membuyar ke udara. Untuk bebe- 
rapa kejap menghalangi pandangan Raja Naga. 

Raja Naga segera melepaskan ilmu 'Kibasan 
Naga Mengurung Lautan'! Letupan keras saat itu pula 
terjadi. Tanah di mana letupan itu terjadi, muncrat ke 
udara setinggi satu tombak! Belum lagi tanah-tanah 
itu sirap, mendadak sontak satu bayangan melesat ke- 
luar disertai teriakan penuh amarah!" 

Raja Naga tersentak kaget. Kepalanya menegak. 
Men5rusul diputar kedua tangannya di atas kepala se- 
belum dipalangkan 

Buk! Buk! 

Jotosan Hantu Bersayap yang dilakukan dari 
atas membuat tubuh Raja Naga sedikit menekuk ke 
bawah. Menyusul.... 

Dess!! 

Dadanya terhantam tendangan keras Hantu 
Bersayap yang membuatnya mundur beberapa lang- 
kah. Belum lagi dapat dikuasai keseimbangannya, 
Hantu Bersayap sudah meluruk dengan tubuh di atas 
tanah! 

"Astaga! Nampaknya aku memang harus mela- 
kukan kekerasan!" desis Raja Naga. Dia segera merun- 
duk menghindari lurukan tubuh Hantu Bersayap. 

Dan secara tiba-tiba memutar tubuhnya mele- 
paskan satu tendangan, yang dapat dihindari oleh 
Hantu Bersayap. Dalam kedudukan menyerang sambil 
terbang seperti itu. Hantu Bersayap mendapat angin 
lebih, membuat Raja Naga berulang kali yang harus 
menghindar. 

Hantu Bersayap terus mencecar. Setiap kali di- 
kibaskan sayap-sayapnya gelombang angin mengeri- 
kan terjadi. 

"Berabe kalau begini terus! Dia memiliki keun- 
tungan dari kepandaiannya terbang. Tetapi aku yakin, 
dia sebenarnya bukan terbang, tetapi dia telah memili- 
ki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Atau... bisa jadi dia 
memiliki ilmu yang mematikan bobot tubuh hingga se- 
perti udara! Aku harus menghantamnya sekarang!" 

Kalau sebelumnya Raja Naga selalu menghin- 
dar, kali ini begitu mundur dia sudah melepaskan ilmu 
'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. Bersamaan Hantu 
Bersayap menghindar dan hinggap di tanah, ilmu 
'Barisan Naga Penghancur Karang' menggebrak. Tanah 
seketika bergelombang yang dapat dihindari dengan 
mudah oleh Hantu Bersayap karena dia dapat melesat 
ke atas. Tetapi serangan berikutnya dari Raja Naga 
yang melepaskan pukulan 'Hamparan Naga Tidur' 
membuat orang bersayap itu terlempar ke belakang 
dengan perut yang seperti melesak! 

Bila saja Raja Naga menghendaki kematiannya 
saat ini, dengan mudah dapat dilakukannya. Tetapi 
anak muda itu hanya berdiri dengan membuka sedikit 
kakinya. 

"Aku tak ingin mencabut nyawamu! Aku hanya 
ingin...." 

Belum habis kata-katanya. Raja Naga sudah 
melesat ke depan. Dan... tap! 

Topeng menyeramkan yang dikenakan Hantu 
Bersayap telah disambarnya. Saat itu pula Raja Naga 
tertegun dengan mata membeliak. 

"Bagus...." 

* * * 

Orang bersayap yang kini telah terlepas topeng 
yang dipakainya menggeram. 

"Pemuda keparat! Kau sudah melihat wajahku 
dan mengetahui siapa aku sebenarnya.... Berarti, kau 
harus mampus!" 

"Pantas kau mengetahui tentang Dundung Ka- 
limayang! Dan aku yakin, kau bukannya bermaksud 
mempermainkan Otong di kala kau muncul dan men- 
gaku hanya menyamar saja! Tentunya kau berharap 
dapat mengetahui apakah Otong pernah melihat Dun- 
dung Kalimayang setelah kau mengatakan ciri-cirinya!" 

Bagus menggeram dingin. Wajahnya kaku. Lain 
sekali dengan yang sebelumnya terlihat. 

"Huh! Selama delapan bulan aku mencoba 
mencari keterangan tentang Dundung Kalimayang, te- 
tapi selalu gagal. Dengan penyamaran ku sebagai Ba- 
gus aku seharusnya dapat menemukan jejak Dundung 
Kalimayang! Dan sialnya, tak seorang pun yang men- 
getahui tentang Dundung Kalimayang, padahal aku 
sudah berusaha mengorek keterangannya!" 

"Tentunya... kau pula yang telah membunuh 
para penduduk dan anak buah Mat Bendot atau 
Gayang Lumajang!" 

"Ya! Manusia-manusia itu harus mampus! 
Gayang Lumajang gagal menjadikan anak buahnya se- 
bagai orang-orang tangguh! Aku merasa terpanggil un- 
tuk membunuhi mereka!" 

Kata-kata yang enteng itu membuat sepasang 
mata angker milik Raja Naga semakin bersorot angker. 
Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua tangannya 
sebatas siku, bersinar lebih terang. Tetapi di saat lain, 
sudah ditindihnya kemarahannya 

Lalu dibuangnya topeng menyeramkan yang 
sebelumnya dipakai oleh Bagus sebagai Hantu Ber- 
sayap. 

"Penyamaranmu telah terbuka, dan semuanya 
harus diakhiri! Sesuai ucapanku tadi, sebaiknya kau 
pergi dari sini!" 

Sepasang mata Bagus menyala bengis. 

"Jangan merasa kau telah memenangkan perta- 
rungan ini. Raja Naga!" 

Habis bentakannya dia melesat ke depan. Kali 
ini tubuhnya membubung lebih tinggi. Lalu seperti 
orang sedang terjun ke air, dia menderu ke arah Raja 
Naga. 

Di tempatnya Raja Naga memandang tak ber- 
kedip. Cepat digeser tubuhnya ke samping kanan. 

Blaaarrr!! 

Tanah di mana dia berdiri sebelumnya, jebol 
dan rengkah terhantam kedua tangan Bagus. Begitu 
menghantam tanah, tubuh Bagus atau yang lebih di- 
kenal dengan julukan Hantu Bersayap telah mencelat 
lagi. 

Tetapi itulah tindakan terakhir yang dilaku- 
kannya. Karena Raja Naga sudah melepaskan jurus 
'Hamparan Naga Tidur'. Salah satu jenis pukulan yang 
sama sekali tidak terlihat. 

Des! Des!! 

Tubuh Bagus terlempar ke belakang. Kedua 
bahunya patah. Dan urat pada punggungnya putus. 
Berarti, ilmu yang dimilikinya telah sirna! 

Raja Naga hanya mendesis, "Maafkan tinda- 
kanku.... Kau terlalu keras kepala. Ilmumu sudah sir- 
na. Dan kau tak akan mungkin mempelajari ilmu baru. 
Karena urat punggung adalah bagian vital dari tenaga 
dalam yang kita miliki...." 

Bagus mengerang menahan sakit. Raja Naga 
segera berlalu ke tempat di mana diungsikannya Astari 
dan kedua orangtua angkatnya. Lalu diajaknya mereka 
menuju ke Bukit Bulang-bulang. Raja Naga telah ber- 
hasil menyembuhkan Astari dengan cara meminumkan 
air rendaman Gumpalan Daun Lontar, pusaka milik 
mendiang ayahnya yang dapat mengobati penyakit apa 
saja. Keadaan Astari kini jauh lebih baik dari sebelum- 
nya. Dalam perjalanan menuju ke Bukit Bulang- 
bulang, Raja Naga menceritakan siapakah orang yang 
akan mereka temui. (Untuk mengetahui gumpalan 
daun lontar, benda pusaka ampuh, silakan baca epsi- 
sode : "Tapak Dewa Naga" sampai "Misteri Menara Ber- 
kabut"). 

Beberapa saat kemudian, Otong melewati tem- 
pat itu. Dia terkejut melihat Bagus yang sedang men- 
gerang di atas tanah. Terburu-buru dihampirinya lelaki 
berparas tampan itu. Tetapi begitu dilihatnya pakaian 
bersayap yang dikenakan Bagus dan topeng menye- 
ramkan yang tergeletak di atas tanah, Otong menghen- 
tikan langkahnya. 

Diperas otaknya untuk memikirkan apa yang 
sebenarnya terjadi. Tatkala tiba pada satu pikiran ka- 
lau Bagus adalah si Hantu Bersayap, Otong cuma ter- 
tegun. 

Pada saat yang bersamaan. Ratu Segala Bida- 
dari sedang mendesak Dundung Kalimayang. Gayang 
Lumajang hanya terbaring di atas tanah tanpa bisa 
bergerak. Bukan main geramnya lelaki penuh cambang 
ini mendapatkan keadaan dirinya sekarang. 

Benturan demi benturan terjadi. Letupan keras 
berulang-ulang terdengar. Tanah berhamburan ke 
udara. Dan Bukit Bulang-bulang seperti bergetar he- 
bat. 

Ratu Segala Bidadari terus menyerang ganas. 
Tak sekali pun dia memberi kesempatan pada Dun- 
dung Kalimayang untuk membalas. Pikirannya dipu- 
satkan untuk membunuh orang yang telah membunuh 
suaminya! 

Paha yang gempal, mulus dan menggiurkan mi- 
lik Ratu Segala Bidadari terbuka berulang-ulang saat 
dia berkelebat. Paras jelitanya telah berubah menjadi 
bengis. Cahaya-cahaya bening berkiblat cepat menge- 
rikan. Awan-awan bening telah mengeluarkan guntur 
dan kilatnya! 

Sambil terus menghindar Dundung Kalimayang 
berseru, "Kau telah mengeluarkan ilmu 'Cahaya Awan' 
Itu pertanda kau memang tak mau berdamai" 

"Jangan banyak mulut! Kau harus mampus! 
Mampus di tanganku, Dundung Kalimayang!" geram 
Ratu Segala Bidadari keras. Sebenarnya dia tak mera- 
sa yakin dengan kemampuannya untuk dapat mem- 
bunuh Dundung Kalimayang. Saat ini yang ditung- 
gunya adalah Hantu Bersayap. Dengan bantuan Hantu 
Bersayap, Ratu Segala Bidadari merasa pasti dapat 
membunuh kakek berpakaian biru muda itu dengan 
mudah. 

Tetapi, Hantu Bersayap belum muncul juga 
saat ini! 

"Keparat terkutuk! Apa yang dilakukan orang 
sialan itu?! Huh! Jangan-Jangan saat ini dia sedang 
menikmati tubuh montok Astari!" makinya dalam hati 
dan terus melancarkan serangan. Lalu berseru dengan 
maksud melumpuhkan semangat Dundung Kali- 
mayang, "Kakek celaka! Apakah kau tidak tahu kalau 
saat ini cucumu sedang dinikmati oleh Hantu Ber- 
sayap?!" 

Dundung Kalimayang tak bergeming dengan 
ucapan itu. Dalam satu kesempatan dia mulai memba- 
las. Sinar-sinar biru muda mencelat dan menebarkan 
hawa panas yang membuat Ratu Segala Bidadari ha- 
rus mundur beberapa langkah. 

"Ilmu itulah yang telah membunuh suamiku...," 
desisnya dengan wajah sedikit berubah. "Terkutuk! Ke 
mana Hantu Bersayap?! Mengapa dia belum muncul 
Juga?!" 

"Mengapa seranganmu menjadi kendor. Perem- 
puan?" ejek Dundung Kalimayang terus menyerang. 
"Sebaiknya kita hentikan pertikaian ini dan berjalan 
pada arah masing-masing!" 

"Setan! Tutup bacotmu! Perlu kau ketahui, aku- 
lah orang yang berada di belakang pembunuhan Jura- 
gan Jagalaksa! Karena aku tahu, istrinya adalah cu- 
cumu!" 

"Dan kau mengatakan kalau saat ini cucuku 
sedang dalam keadaan yang sulit sekaligus menyedih- 
kan?" 

Ratu Segala Bidadari yang sedang mencoba 
menyerang menggeram. "Kau akan menyesali apa yang 
dialami oleh cucumu itu!" 

"Astaga! Pikiran apa yang merasuki benakmu, 
bah?! Coba kau lihat ke belakang!" 

Seruan itu seketika membuat Ratu Segala Bi- 
dadari menoleh ke belakang. Dilihatnya Raja Naga se- 
dang melangkah sambil tersenyum bersama tiga orang 
lain-nya. Dan salah seorang adalah Astari! 

"Keparat!!" makinya pada Dundung Kali- 
mayang. 

"Ini adalah berkat kecerdikan Raja Naga! Aku 
yakin, Hantu Bersayap pun saat ini sudah tidak ber- 
daya! Apakah kau masih hendak meneruskan perta- 
rungan ini?!" 

Wajah Ratu Segala Bidadari berubah pias. Dis- 
adarinya betul kedudukannya sekarang. Semula yang 
diharapkan adalah bantuan dari Hantu Bersayap. Atau 
paling tidak, adalah muridnya. Tetapi muridnya sudah 
dalam keadaan tak berdaya sama sekali. 

Ketegangan yang mulai melanda dirinya beru- 
bah menjadi kenekatan. Hatinya tetap tak akan bisa 
tenang sebelum melihat orang yang telah membunuh 
suaminya masih hidup. Dan dia merasa inilah kesem- 
patan satu-satunya untuk menghabisi orang yang te- 
lah membunuh suaminya. 

Tatapannya tajam, nyalang dan berbahaya. 

Dundung Kalimayang mendesah pendek. 

"Aku tak ingin membunuhnya. Tetapi nampak- 
nya dia tak akan mundur sejengkal juga...." 

Mendadak saja perempuan jelita itu menderu 
diiringi teriakan dahsyat ke arah Dundung Kali- 
mayang! Tangan kanan kirinya didorong ke depan, 
menyusul lesatan gelombang angin hebat! 

Dundung Kalimayang menahan napas. 

Tiba-tiba pula dia melesat ke depan. Sinar-sinar 
birunya mendahului, dan membuat Ratu Segala Bida- 
dari membuang tubuh ke samping kiri. Saat itulah 
Dundung Kalimayang melepaskan jotosannya. 

Dess! 

Satu jotosan yang mampir di bagian tengah dari 
sepasang bukit kembar Ratu Segala Bidadari, mem- 
buat perempuan itu terjerunuk di atas tanah! Tubuh- 
nya terbanting keras. Dadanya terasa remuk dan sa- 
kitnya tak terkira. 

Dundung Kalimayang buru-buru mendekatinya. 

"Jangan banyak bergerak. Biar kuobati dulu...." 

Ratu Segala Bidadari meronta dan berdiri ter- 
huyung. Sorot matanya tajam. 

"Tak sudi aku dibantu oleh lawanku!" bentak- 
nya sengit. "Dundung Kalimayang... kali ini lagi-lagi 
aku mengaku kalah... tetapi kelak... aku akan muncul 
lagi untuk menuntaskan silang urusan yang belum 
terselesaikan ini!!" 

Sambil memegangi dadanya yang sakit, ter- 
huyung-hu3rung Ratu Segala Bidadari meninggalkan 
tempat itu, diiringi pandangan resah Dundung Kali- 
mayang. 

"Sayang... sayang sekali kau terlalu keras kepa- 
la.... Padahal, masih ada jalan terbuka untuk berto- 
bat...," katanya dalam hati. 

Lalu didengarnya suara orang melangkah men- 
dekatinya. Dilihatnya Astari berdiri di hadapannya. 
Rasa rindu dan suka cita seketika bergemuruh di hati 
Dundung Kalimayang. Selama ini dia hanya bisa me- 
mandangi cucunya dari kejauhan. Telah lama diingin- 
kannya untuk membelai, mendekap dan memanjakan 
cucunya itu, darah daging putrinya yang telah tiada. 

Tetapi ditahan keinginannya untuk merangkul 
dan membelai rambut cucunya, karena disadarinya 
kalau cucunya tentunya tidak tahu siapa dirinya sebe- 
narnya. 

Namun panggilan yang terlontar dari mulut As- 
tari, membuatnya terperangah, "Kakek...." 

Seketika Dundung Kalimayang tersenyum ce- 
rah dan tertawa-tawa sekaligus haru. Dirangkulnya 
Astari yang telah berlari ke dalam rangkulannya. Dibe- 
lai rambut indah cucunya penuh kasih sayang. 

"Pasti... pasti Raja Naga yang mengatakan se- 
mua ini...," katanya dalam hati. 

Lalu diangkat kepalanya ke depan. Tetapi dia 
tak lagi melihat sosok Raja Naga di sana. Bahkan ke- 
dua orang tua angkat Astari yang kini telah mengeta- 
hui apa yang terjadi pun tersentak kaget karena pe- 
muda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi si- 
sik coklat itu sudah tidak ada di sana. 

Kemudian perlahan-lahan mereka mendekati 
Dundung Kalimayang. Merangkapkan kedua tangan- 
nya di depan dada. 

Tanpa sadar, air mata haru keluar dari sepa- 
sang mata tua Dundung Kalimayang. Orang tua tegar 
perkasa itu ternyata masih juga tak mampu menahan 
harunya. 

Dia mendesis pelan, "Terima kasih Raja Naga...." 

Di sebuah tempat yang cukup jauh dan sana, 
pemuda berompi ungu yang kedua tangannya dipenuhi 
sisik coklat terus berkelebat melewati jalan setapak, 
ranggasan semak, akar pohon yang melintang, perbu- 
kitan dan masih banyak yang akan dilaluinya. Karena, 
dia merasa petualangannya belum selesai.... 

SELESAI 

Segera Menyusul: 
Misteri LAba-laba Perak

Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa