Raja Naga 18 - Ratu Dinding Kematian


Lanjutan TERJEBAK DI GELOMBANG  MAUT

SATU 

BLAAAARRR!! 

"Puspa?! Ada apa denganmu?!" seru Raja 
Naga seraya membuang tubuh ke samping kanan 
tatkala gadis berpakaian kuning itu kembali men- 
dorong tangan kanan kirinya. 

Puspa Dewi tak menyahuti seruan itu, Dice- 
carnya anak muda berompi ungu itu terus mene- 
rus. Paras jelitanya menekuk, menampakkan kege- 
raman luar biasa. 

Raja Naga kembali menghindari serangan 
ganas yang tak main-main itu. Setiap kali gelom- 
bang angin menderu, setiap kali pula ranggasan 
semak tercabut. Letupan keras berkali-kali terden- 
gar keras. 

"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia menyerang- 
ku begini?" seru Raja Naga dalam hati seraya 
menghindar. 

"Pemuda pengecut! Mengapa kau cuma bisa 
menghindar, hah?!" gadis bertahi lalat pada pelipis 
sebelah kiri itu berseru seraya menerjang ganas. 

Masih belum mengerti mengapa Puspa Dewi 
yang telah diselamatkannya dari niat buruk Setan 
Gundul Hutan Larangan menyerangnya, Raja Naga 
terus menghindar. Tetapi lama kelamaan dia men- 
jadi jengkel. Karena biar bagaimanapun, pemuda 
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya ini ma- 
sih mencurigai Puspa Dewi sebagai orang yang te- 
lah mencuri bunga-bunga keramat. 

Tiba-tiba saja seraya melenting di udara dua 
kali, Raja Naga mendeham. 

Blaaammm!! 

Tenaga tak nampak dari dehamannya, 
menghantam gelombang angin yang dilepaskan 
Puspa Dewi. Gadis itu sesaat mundur dengan ke- 
dua tangan bergetar. Kakinya terpancang di atas 
tanah, ketika matanya yang indah menatap penuh 
bara! 

"Apa yang telah kau lakukan, Puspa?!" seru 
Raja Naga ketika sudah hinggap kembali di atas 
tanah. Matanya yang selalu menyorotkan sinar 
angker, memandang pada Puspa Dewi. 

Yang dipandang sesaat mencoba membalas 
sebelum kemudian mengerjap-ngerjap. 

Sesaat suasana hening. Beberapa helai 
daun berguguran. Pagi masih cukup muda. Tiba- 
tiba gadis berkuncir kuda dengan pita warna kun- 
ing itu menggeram sengit, 

"Pengecut! Aku paling tidak suka dengan 
pemuda pengecut!" 

"Aku masih mencurigai gadis ini sebagai 
orang yang bertanggung jawab atas pencurian 
bunga-bunga keramat," desis Raja Naga dalam 
tanpa sahuti bentakan Puspa Dewi. "Setelah dia 
menghilang, baru kutemukan lagi dan sedang ber- 
tempur dengan Setan Gundul Hutan Larangan. 
Lantas... astaga! Aku tahu dia memang sengaja 
menyerangku, karena tentunya dia tahu aku men- 
curigainya?!" 

Mata angkernya melihat gadis jelita yang 
baru saja selesai bersemadi memulihkan tena- 
ganya, telah meloloskan pedangnya yang berhulu 
kepala elang. 

Raja Naga segera berseru, "Hati-hati dengan 
pedangmu itu!" 

"Pedang inilah yang akan mengajarkanmu 
untuk tidak bertindak pengecut!" 

"Lagi-lagi pengecut? Mengapa dia menu- 
duhku seperti itu? Ada apa ini? Apakah...." 

Kata batin Raja Naga terputus, karena gadis 
itu sudah melayang disertai gerakan pedang yang 
cepat dan mematikan. Angin keras mendahului 
menggebrak setiap kali pedangnya dikibaskan. 

Raja Naga terpaksa menghindar dengan 
otak berpikir untuk menemukan jawaban mengapa 
tiba-tiba gadis ini menjadi beringas. Karena tak 
menemukan jawabannya dan dia juga harus me- 
nyelamatkan diri dari pedang tajam Puspa Dewi, 
serentak anak muda dari Lembah Naga ini melesat 
ke depan. 

Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan su- 
kar di ikuti pandangan. Puspa Dewi nampak me- 
lengak karena tahu-tahu pemuda berompi ungu 
itu telah dekat dengannya. Sebelum sempat ditarik 
pedangnya, tahu-tahu tangan kanannya telah di- 
tangkap oleh Raja Naga. Puspa Dewi merasa tan- 
gannya dipuntir dan... tap! Pedangnya tahu-tahu 
sudah berpindah tangan. "Kau?!" serunya dengan 
suara tersendat. 

Raja Naga tersenyum. 

"Lebih baik jelaskan sebelum menjadi kesa- 
lah pahaman...." 

Gadis manis itu memandang dengan mata 
mengerjap-ngerjap. Bara api yang berkobar di ke- 
dua matanya pelan-pelan luluh. Raja Naga tersen- 
tak ketika dilihatnya gadis itu jatuh berlutut dan 
terisak! 

"Hei! Ada apa ini?" serunya dalam hati. 

Puspa Dewi terisak dengan kedua tangan 
menutupi wajahnya. Sesaat Raja Naga hanya 
memperhatikan dengan perasaan heran sebelum 
melangkah mendekat. 

"Jangan mendekat!" 

"Mengapa, Puspa? Aku tak mengerti men- 
gapa kau menyerangku?" tanya Raja Naga lembut. 

Bukannya menjawab pertanyaan orang, ga- 
dis berpakaian ringkas warna kuning yang telah 
robek di bagian punggung itu makin mengisak. 
Dan ini membuat Raja Naga bertambah tidak 
mengerti. 

Diputuskan untuk mendiamkan. Tetapi si- 
kapnya itu justru membuat si gadis semakin men- 
gisak. Dari sela-sela isakannya dia membentak li- 
rih 

"Kau jahat! Kau jahat!" 

Raja Naga tak menjawab. 

"Kau sengaja meninggalkan aku lama-lama 
di sana! Kau sengaja melakukannya!" 

Kali ini kening pemuda gagah bermata ang- 
ker itu berkerut. 

Puspa Dewi berseru lagi, tetap mengisak, 
"Kau sengaja membiarkan kedua setan gundul itu 
muncul dan hendak mempermalukanku! Kau ja- 
hat, Boma! Kau jahat!!' 

"Astaga! Jadi...." 

Kata batin Raja Naga terputus karena gadis 
itu sudah berseru-seru lagi, "Huh! Bila saja aku 
tak mencium uap beracun yang dihembuskan oleh 
kedua setan gundul itu, keduanya bisa langsung 
kubunuh! Dan tadi... kau sengaja melepaskannya! 
Kau tidak membunuhnya padahal kehormatanku 
hampir mereka renggut!!" 

Sadarlah Raja Naga apa yang telah terjadi. 
Selama ini dia beranggapan, kalau Puspa Dewi 
sengaja meninggalkannya ketika dia mencari pen- 
gisi perut. Raja Naga masih mencurigainya sebagai 
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat, 
di mana saat ini beberapa tokoh rimba persilatan 
memburunya karena menyangka dialah yang telah 
melakukan serangkaian pencurian. 

Tetapi kata-kata gadis itu barusan? Astaga! 
Apakah itu artinya dia selama ini salah menduga? 

Sambil menahan napas, anak muda bersi- 
sik coklat pada lengan kanan-kiri sebatas siku itu 
berlutut. Dipandanginya Puspa Dewi yang masih 
menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak 
tangannya. 

"Puspa... aku mulai mengerti apa maksud- 
mu. Tetapi kau salah mendugaku sepertiku itu...." 

"Salah? Huhuhu... kau sengaja melakukan- 
nya! Kau sengaja!!" 

"Tidak! Aku sedikit kesulitan untuk mene- 
mukan ayam atau kelinci yang bisa kita pang- 
gang!" 

"Dusta!" 

"Itulah kenyataannya, Puspa," sahut Raja 
Naga. Pelan-pelan dijamahnya bahu gadis yang 
masih mengisak itu. "Kalau begini keadaannya, 
aku memang salah menilai tentang dirinya," lan- 
jutnya dalam hati. "Berarti... bukan dia yang telah 
melakukan serangkaian pencurian bunga-bunga 
keramat...." 

Puspa Dewi masih mengisak. Lambat- 
lambat diangkat kepalanya dan ditatapnya Raja 
Naga yang berjarak sedemikian dekat. 

"Kau... kau tidak sengaja melakukannya?" 
Raja Naga tersenyum seraya menggeleng. "Aku ma- 
lah kebingungan karena kau menghilang begitu 
saja...." 

Puspa Dewi mengusap matanya yang basah 
dengan punggung tangan kanannya. 

"Kupikir... kupikir... kau sengaja melaku- 
kannya..." 

"Aku yakin usianya tak jauh berbeda den- 
ganku. Tetapi pengalamannya masih sangat sedikit 
sekali. Dan sepertinya, dia dapat mempercayai se- 
seorang dengan mudah," kata Raja Naga dalam ha- 
ti. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Ceritakan- 
lah bagaimana kedua orang yang mengaku berju- 
luk Setan Gundul Hutan Larangan itu muncul." 

Puspa Dewi mengusap-ngusap dulu kedua 
matanya. Parasnya yang jelita itu merona meme- 
rah. Sungguh, Raja Naga melihat pesona yang su- 
kar ditepiskan pada wajah jelita itu. 

Lalu didengarnya cerita Puspa Dewi. Ketika 
Raja Naga memutuskan untuk mencari makanan, 
gadis itu duduk di bawah sebatang pohon. Semilir 
angin membuatnya mulai mengantuk. Tatkala dia 
hampir terlena udara sejuk yang dihirupnya mulai 
sedikit beraroma wangi. Perubahan itu membuat- 
nya tersentak, karena saat itu dirasakan tubuhnya 
terangkat dan melayang. 

Dalam keadaan sedikit pusing, Puspa Dewi 
mendengar suara tawa dan percakapan seiring 
dengan tubuhnya yang terus melayang bergerak. 
Dicoba untuk menyadarkan dirinya sendiri, dicoba 
agar dia tidak terlena oleh aroma wangi yang di- 
ciumnya tadi. Saat itulah dia sadar kalau tubuh- 
nya melayang karena dibopong oleh seseorang! 

Tetapi Puspa Dewi merasa dirinya seperti 
kehilangan tenaga. Bahkan dia seperti tidak tahu 
ketika tubuhnya direbahkan di atas tanah. Namun 
ketika didengarnya napas mendengus-dengus di 
sekitar wajahnya, Puspa Dewi sadar kalau bahaya 
sedang mengancamnya. 

Seketika dia bangkit dan menahan aliran 
napasnya. Dicobanya untuk membuang pengaruh 
wangi yang diciumnya. Dengan masih agak sem- 
poyongan dicobanya untuk mempertahankan di- 
rinya dari niat busuk dua lelaki berpakaian pende- 
ta. Di saat mempertahankan diri itu pakaian ba- 
gian belakangnya dijambret salah seorang hingga 
robek. 

Raja Naga menarik napas pendek. "Berarti 
aku salah menduga padanya. Kupikir dia sengaja 
meninggalkanku karena tahu kalau aku mencuri- 
gainya. Tetapi dia justru berpikir kalau aku senga- 
ja meninggalkannya. Ah, berarti aku telah salah je- 
jak...." 

Habis membatin begitu dia berkata, "Sudah- 
lah, Puspa... yang pasti kau selamat sekarang...." 

Puspa Dewi hanya mengangguk-angguk. 

Raja Naga memasukkan pedang yang dipegangnya 
ke warangka yang ada di punggung Puspa Dewi. 

Kemudian dia berkata, "Apakah kau akan 
tetap melanjutkan perjalananmu ke Daerah Tak 
Bertuan?" 

"Guruku memerintahku seperti itu. Dan 
aku tak bisa kembali ke Tanah Kayangan sebelum 
berjumpa dengan Dewa Segala Dewa" 

"Masihkah kau merahasiakan siapa gurumu 
itu?" Ditanya seperti itu, Puspa Dewi tak segera 
menjawab. Ditatapnya pemuda bermata angker itu 
penuh seksama. Dan entah mengapa, tatapan 
angker milik si pemuda berkuncir yang dapat 
menciutkan nyali orang, justru dilihatnya begitu 
bersinar, indah dan menawan. Bahkan Puspa De- 
wi seolah merasa dia telah berenang-renang di se- 
buah telaga biru yang jernih. 

"Guruku berjuluk Ratu Tanah Kayangan...." 
Raja Naga tersenyum. 

"Kau telah mengatakan siapa gurumu. Dan 
tentunya kau tak berkeberatan bukan, untuk 
mengatakan mengapa gurumu menyuruhmu men- 
jumpai Dewa Segala Dewa?" 

Puspa Dewi tak menjawab. Dibawa pandan- 
gannya ke kejauhan. Ditatapnya cahaya matahari 
yang menerobos pepohonan. 

"Rasanya, tak mengapa bila kukatakan apa 
yang menyebabkan Guru menyuruhku menjumpai 
Dewa Segala Dewa. Boma Paksi ternyata orang 
baik-baik...." 

Setelah terdiam beberapa saat, meluncurlah 
kata-kata dari bibir indah memerah itu. 

"Boma... beberapa minggu lalu, guruku ke- 
datangan seseorang yang berjuluk Ratu Dinding 
Kematian, yang ternyata adalah kakak sepergu- 
ruan dari guruku. Ratu Dinding Kematian meng- 
hendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma yang dimiliki 
guruku, padahal dia telah memiliki Kitab Ajian Se- 
laksa Jiwa. Guruku menolaknya hingga pertarun- 
gan terjadi. Karena mereka sama-sama murid dari 
seorang tokoh, maka tak ada yang kalah dan me- 
nang. Tetapi...." 

Raja Naga mendiamkan saja gadis manis itu 
menghentikan ucapannya. Setelah beberapa saat 
hening, Puspa Dewi melanjutkan, "Ratu Dinding 
Kematian tetap menginginkan Kitab Ajian Selaksa 
Sukma. Dia mengancam akan muncul lagi setelah 
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat." 

'Apa hubungannya dengan bunga-bunga 
keramat?" 

"Aku sendiri tidak tahu sebenarnya. Hanya 
yang pasti, bila Ratu Dinding Kematian yang seha- 
rusnya kupanggil dengan sebutan Bibi Guru itu 
berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat, ma- 
ka dia akan memiliki ilmu yang sangat luar biasa 
dan tentunya dengan mudah membunuh guruku." 

"Lantas... apa hubungannya dengan Dewa 
Segala Dewa?" 

"Menurut cerita Guru, bunga-bunga kera- 
mat itu dimiliki oleh Tiga Penguasa Bumi, yakni 
Dewa Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi 
Lembah Air Mata. Dewa Segala Dewa adalah pe- 
mimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Guru menyu- 
ruhku untuk menjumpainya, untuk mengabarkan 
kalau Ratu Dinding Kematian hendak mengambil 
bunga-bunga keramat itu...." 

Raja Naga mendesah pendek. 

"Kini mulai jelas duduk masalahnya. Berarti 
bayangan kuning yang kulihat sebelum aku dis- 
erang Purwa dan Sibarani adalah Ratu Dinding 
Kematian. Perempuan itulah yang bertanggung ja- 
wab atas semua kejadian ini, sementara aku yang 
menjadi tertuduh. Dan Dewi Lembah Air Mata, 
tentunya Si nenek berpakaian hijau dengan kain 
kebaya lusuh yang telah menyerangku. Ah, sece- 
patnya aku harus tuntaskan urusan ini...." 

Sambil menatap gadis di hadapannya, Raja 
Naga berkata, "Puspa Dewi... selama ini, akulah 
yang dituduh sebagai pencuri bunga-bunga kera- 
mat." 

"Oh! Mengapa demikian?" 

"Karena secara tak sengaja aku mendengar 
suara ledakan keras ketika dua buah bunga kera- 
mat dicuri oleh orang yang ternyata Ratu Dinding 
Kematian. Bertepatan dengan perginya perempuan 
itu, Purwa dan Sibarani datang dan menuduhku 
telah mencuri kedua bunga itu." 

"Siapakah mereka?" 

"Secara jelas aku tidak tahu. Tetapi yang 
pasti, keduanya telah menyebarkan berita kalau 
akulah si pencuri bunga-bunga keramat. Puspa... 
aku tak bisa menemanimu menuju ke Daerah Tak 
Bertuan." 

"Mengapa?" tanya gadis itu. 

Raja Naga sedikit melengak, karena me- 
nangkap nada penyesalan dari suara si gadis. Te- 
tapi di lain saat dia sudah berkata, "Aku harus 
memulihkan nama baikku. Belum lama ini aku te- 
lah bertarung dengan Dewi Lembah Air Mata yang 
ternyata salah seorang dari Tiga Penguasa Bumi. 
Dan tak mustahil kalau yang lainnya juga akan 
memburuku...." 

Puspa Dewi tak menyahut. 

Raja Naga pelan-pelan berdiri. 

"Puspa... kita berpisah di sini. Mudah- 
mudahan kau...." 

"Aku ingin bersamamu, Boma...," putus 
Puspa Dewi sambil mendongak. 

Raja Naga menundukkan kepalanya. Biasan 
kelembutan pada sepasang bola mata indah itu se- 
saat mengaduk-ngaduk perasaannya. Dia seperti 
terbuai oleh pesona yang benar-benar indah. 

"Kita mempunyai urusan yang berbeda. Kau 
tetaplah pergi ke Daerah Tak Bertuan. Saat ini 
bunga-bunga keramat telah berhasil dicuri oleh 
Ratu Dinding Kematian. Bila kau berjumpa dengan 
Dewa Segala Dewa, kau bisa menjelaskan kalau 
aku bukanlah seperti orang yang diduganya, Pus- 
pa... kurasa ini hal yang terbaik sehingga...." 

Kata-kata Raja Naga terputus, karena tahu- 
tahu gadis bertahi lalat di pelipis sebelah kiri itu 
telah berdiri dan memeluknya. Sesaat murid Dewa 
Naga ini melengak dan tak tahu harus berbuat 
apa. Dirasakannya betapa eratnya dekapan Puspa 
Dewi pada tubuhnya, seolah tak ingin dilepaskan. 

"Puspa...," suara Raja Naga gemetar. 

"Boma... seumur hidupku... baru sekali ini 
aku keluar dari Tanah Kayangan. Dan... dan... 
aku.... 

Raja Naga menghela napas pendek. 

"Kau kenapa, Puspa?" 

"Aku... aku... tidak, tidak!" Gadis itu mele- 
paskan rangkulannya. Wajahnya merona merah. 
Matanya mengerjap berkali kali. "Tidak, Boma! 
Aku tidak apa-apa! Ya, ya... sebaiknya aku te- 
ruskan langkah ke Daerah Tak Bertuan!" 

Sebelum pemuda itu menyahut, Puspa Dewi 
sudah berlari meninggalkannya. 

"Hei! Ada apa ini?" seru Raja Naga sambil 
memandangi tubuh Puspa Dewi, yang kemudian 
lenyap di persimpangan jalan. Untuk beberapa la- 
manya anak muda bersisik coklat ini terdiam sebe- 
lum kemudian memutuskan untuk mencari Ratu 
Dinding Kematian. 

* * *

DUA 

LELAKI tegap dengan cambang di pipi ka- 
nan kirinya itu urung membuka mulut. Laksana 
terpantek tenaga gaib, langkahnya tiba-tiba ber- 
henti. Matanya membelalak melihat sekelilingnya 
yang telah porak poranda. Di lain saat dia berseru 
keras, "Sibarani!!" 

Tiga ekor kelinci yang tadi dibawanya di- 
lempar begitu saja. Penuh kepanikan didekatinya 
satu sosok tubuh yang tergolek di atas tanah! 

"Sibarani! Apa yang terjadi?! Apa yang terja- 
di?!" serunya panik. Tiba-tiba dia tersentak. "Ni- 
mas Herning" desisnya. 

Kepalanya segera ditolehkan ke kanan kiri. 
Begitu dilihatnya satu sosok tubuh tergeletak di 
atas tanah dengan pakaian robek, segera dia berla- 
ri mendekatinya. "Nimas! Ada apa ini?! Ada apa?!" 
Nimas Herning yang sesungguhnya adalah Ratu 
Dinding Kematian, membuka kedua matanya. Di- 
pandanginya lelaki berpakaian biru yang terbuka 
di dada itu 

"Purwa...," desisnya pelan. 

"Nimas! Apa yang terjadi? Apa...," seruan 
Purwa terputus ketika dia teringat sesuatu. Segera 
diarahkan pandangannya ke depan. Dilihatnya ja- 
jaran bunga matahari telah porakporanda. Da- 
danya seketika berdebar keras. 

Lebih berdebar ketika mendengar suara Ni- 
mas Herning yang dibuat memelas, "Raja Naga.... 
Raja Naga telah datang... dan... dan... mengambil 
Bunga Matahari Jingga...." 

"Terkutuk!!" geram Purwa sengit. Saat itulah 
dilihatnya pakaian di bagian dada perempuan ber- 
pakaian kuning keemasan itu telah robek. Sepa- 
sang payudara indah yang montok membayang di 
balik pakaian dalamnya yang tipis. "Ke mana... ke 
mana dia lari?" serunya lagi berusaha mengalih- 
kan matanya dari pandangan yang menggugah ke- 
lelakiannya itu. 

Nimas Herning mengeluh seraya memegangi 
kepalanya. Pelan-pelan Purwa mengangkatnya un- 
tuk duduk berselonjor. Saat perempuan berambut 
digelung ke atas dengan pita kuning itu duduk, 
sepasang payudaranya bergerak lembut, bergetar 
di balik pakaiannya yang tipis. 

Lagi-lagi Purwa berusaha menindih pera- 
saannya. Matanya dialihkan ke tempat lain. Tetapi 
mengarah tepat pada pakaian bagian bawah Nimas 
Herning yang telah, robek dan memperlihatkan 
paha mulus yang menggiurkan. 

Sementara lelaki tegak bercambang itu se- 
dang gelisah memikirkan lenyapnya Bunga Mata- 
hari Jingga dan resah karena pemandangan pada 
tubuh Nimas Herning, perempuan itu justru terta- 
wa dalam hati. 

"Sangat mudah, sangat mudah memainkan 
semua ini...." 

Dan di lain pihak, Sibarani menggeram da- 
lam hati. Dia masih berjuang untuk memulihkan 
suaranya yang lenyap akibat totokan yang dilaku- 
kan Nimas Herning. 

Purwa berkata, "Ceritakan, Nimas... cerita- 
kan bagaimana kejadiannya...." 

Nimas Herning yang bukan lain Ratu Dind- 
ing Kematian ini memainkan peranannya lagi. Se- 
belumnya diceritakan kalau dirinya sedang mem- 
buru Raja Naga yang telah memperkosa dan mem- 
bunuh adik seperguruannya. Kali ini dikarangnya 
cerita lain. Setelah Purwa pergi mencari kelinci- 
kelinci untuk dipanggang, Raja Naga tiba-tiba 
muncul. Dia dan Sibarani berusaha untuk meng- 
halangi niat pemuda itu untuk mencuri Bunga Ma- 
tahari Jingga. Tetapi mereka kalah dan Raja Naga 
berhasil mendapatkan Bunga Matahari Jingga. 

Purwa menggeram gusar mendengarnya. 

"Terkutuk!!" 

"Maafkan aku, Purwa... aku...." 

Kata-kata Nimas Herning terputus karena 
Sibarani telah melesat dengan jotosan tangan ka- 
nan kiri penuh tenaga dalam. 

Justru Purwa yang terkejut. Segera dia me- 
nahan jotosan itu seraya berseru, "Sibarani! Apa 
yang kau lakukan?!" 

Plak! Plak! 

Sibarani yang telah kehabisan tenaga akibat 
serangan Nimas Herning sebelumnya mundur 
dengan tangan kesemutan. Mulutnya bergerak- 
gerak tetapi tak ada suara yang keluar. 

Purwa mengerutkan kening melihatnya. 

"Kenapa dengan suaramu, Sibarani?" 

Sibarani berteriak-teriak, tetapi tetap tak 
ada suara yang keluar. Dia hanya bisa menjerit- 
jerit dalam hati, "Kakang! Perempuan itu berdusta! 
Dia yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga! 
Dia yang telah mencelakakanku jadi begini! Dan 
dia sengaja merobek-robek pakaiannya sendiri!" 

Nimas Herning berkata dengan suara penuh 
penyesalan, "Purwa... biarlah Sibarani menghu- 
kumku...." 

Sudah tentu Purwa terkejut mendengar ka- 
ta-katanya. 

"Aku tak mengerti...." 

"Karena... akulah yang harus dihukum...." 

"Aku makin tak mengerti...." 

"Ketika kami sudah terdesak kalah, Raja 
Naga memaksa kami untuk mengatakan yang ma- 
na Bunga Matahari Jingga di antara sekian banyak 
bunga matahari. Sibarani tak mau menjawab. Dan 
Raja Naga menjadi murka. Dibuatnya Sibarani 
hingga tak bisa bersuara untuk selama-lamanya." 

"Lantas... mengapa kau mengatakan kalau 
kau yang harus dihukum?" 

"Raja Naga menyiksanya, Purwa, Aku tak 
sanggup melihatnya, sementara untuk menolong- 
nya aku pun tak mampu. Terpaksa... terpaksa aku 
mengatakan di mana Bunga Matahari Jingga itu 
berada...." 

Purwa menghela napas pendek. Dipandan- 
ginya Nimas Herning, lalu diarahkan pandangan- 
nya pada Sibarani yang masih memandang penuh 
amarah pada perempuan itu. 

"Sibarani... tak sepatutnya kau menyalah- 
kan Nimas Herning. Bila dia tak melakukan hal 
itu, sudah tentu kau akan dibunuh oleh Raja Na- 
ga...." 

"Tidak, Kakang! Dia berdusta! Dia yang me- 
lakukan semua ini!!" seru Sibarani keras, tetapi 
hanya bisa dalam hati. 

Purwa berkata lagi, "Keadaan ini memang 
sudah sukar dibendung lagi. Sebaiknya kita men- 
cari Raja Naga...." 

"Kakang! Perempuan itulah yang telah men- 
curi Bunga Matahari Jingga! Dan bunga-bunga ke- 
ramat yang lain! Bukan Raja Naga yang melaku- 
kannya!" jerit Sibarani dalam hati. Perempuan 
berpakaian merah melapisi pakaian dalam warna 
hijau bersuara untuk berseru, tetapi suaranya te- 
tap lenyap. 

Keadaan ini membuatnya menjadi gusar. 
Amarah tak tertahankan berubah menjadi kene- 
langsaan. Tiba-tiba saja Sibarani berbalik dan me- 
ninggalkan tempat itu. 

"Sibarani!!" 

Sibarani terus berlari. Tak dihiraukannya 
panggilan Purwa, kakak seperguruannya yang di- 
am-diam dicintainya. Untuk saat ini memang tak 
banyak yang bisa dilakukan. Padahal dia tahu ka- 
lau Nimas Herning berdusta. Jalan satu-satunya 
memang harus meninggalkan mereka. 

Menyerang Nimas Herning pun akan mem- 
buat Purwa menjadi keheranan. Nimas Herning 
sendiri tentunya akan tetap meneruskan musli- 
hatnya, hingga Purwa pasti akan membelanya. Be- 
rarti, dia harus mencari jalan pemecahan sendiri, 
demikian Sibarani memutuskan. 

Purwa masih mematung. Disesalinya tinda- 
kan Sibarani yang meninggalkan mereka. 

Nimas Herning tersenyum dalam hati meli- 
hat keadaan yang sudah berada di tangannya. Di- 
am-diam diturunkan pakaiannya yang telah robek 
itu, hingga sepasang bukit kembarnya yang mon- 
tok kini terpampang jelas. Pakaian dalam tipis 
yang dikenakannya tak ada artinya sama sekali. 
Lalu dengan suara memelas dia berkata, "Purwa... 
aku merasa bersalah dalam hati ini...." 

Purwa berbalik. Matanya langsung mem- 
bentur pada payudara lembut yang terbuka lebar 
itu. Sesaat lelaki ini menjadi gelisah sendiri. Ratu 
Dinding Kematian sangat tahu perubahan wajah 
Purwa. Tiba-tiba saja dia mengeluh. "Aduh!!" 

"Oh! Kau kenapa, Nimas? Kenapa?!" se- 
runya terburu-buru. Dilihatnya Nimas Herning 
menekan-nekan pahanya yang telah terbuka. "Ka- 
kiku... kakiku nyeri sekali...." 

Sedikit gugup Purwa berlutut. Dia kelihatan 
ragu untuk menjamah kaki yang mulus itu. 

"Purwa...." Ratu Dinding Kematian mem- 
buat suaranya semakin kesakitan. "Tolong... tolong 
aku..,." 

Setengah ragu lelaki tegap itu menjamah 
kaki yang mulus. Ratu Dinding Kematian merasa 
tangan lelaki itu gemetar. 

"Tekan, Purwa... tekan...." 

Purwa menelan ludahnya berulang-ulang. 
Wajahnya memerah. Dia mulai menekan nekan 
kaki mulus itu. 

"Agak lebih kuat, Purwa...." 

Semakin gemetar tangan Purwa melaku- 
kannya. Terutama tatkala kedua tangannya memi- 
jat paha Ratu Dinding Kematian. Perempuan itu 
menyeringai dalam hati dan sengaja menggeliat 
seperti kesakitan. Tangan Purwa yang tadinya be- 
rada di pahanya, mau tak mau bergeser hingga ke 
pangkal pahanya. 

SeeerrrrH 

Lelaki itu merasakan ada sesuatu yang me- 
lesat naik tatkala tangannya menyentuh dan me- 
nekan benda lembut pada pangkal paha Ratu 
Dinding Kematian. Sebelum dia mengangkat tan- 
gannya dari sana, Ratu Dinding Kematian telah 
merangkulnya. 

"Jangan... jangan angkat tanganmu, Pur- 
wa.... Tekan, tekan dengan lembut...." 

Kalau tadi Purwa setengah meragu dengan 
dada bergemuruh karena jengah, kali ini gemuruh 
dadanya mengencang karena mulai terpengaruh 
gairah. Jakunnya mulai turun naik dengan napas 
terdengar memburu. 

Ratu Dinding Kematian tertawa dalam hati. 

"Hemmm.... Bunga Matahari Jingga telah 
kudapatkan. Kini lengkap sudah bunga-bunga ke- 
ramat berjumlah tujuh buah. Tinggal merendam 
dan meminumnya. Sebelum melakukannya dan 
membunuh Ratu Tanah Kayangan, lebih baik ber- 
senang-senang dulu dengan lelaki yang nampak- 
nya belum pernah merasakan enaknya tubuh pe- 
rempuan...." 

Sementara Purwa terus menekan-nekan 
daging lembut pada pangkal pahanya, Ratu Dind- 
ing Kematian makin kuat merangkulnya. Tubuh- 
nya menggeliat-geliat merasakan geli akibat teka- 
nan lembut pada pangkal pahanya. 

Napasnya sendiri mulai terengah-engah. Bi- 
birnya mulai menciumi leher Purwa yang seketika 
meremang. Sebelum lelaki itu melepaskan diri, bi- 
birnya telah dipagut Ratu Dinding Kematian dan 
dikulum dengan gigitan yang menggairahkan. 

"Nimas...," suara Purwa tertelan oleh na- 
pasnya sendiri. 

"Purwa... peluk aku... peluk...." 

Pelan-pelan lelaki yang kini mulai diamuk 
gairah itu merangkul Ratu Dinding Kematian. Dia 
sendiri mulai membalas ciuman-ciuman si perem- 
puan. Dan ketika Ratu Dinding Kematian memba- 
wa tangan kanannya pada sepasang payudaranya, 
ciuman-ciuman Purwa semakin mengganas. Tan- 
gannya meremas-remas payudara lembut yang pe- 
lan-pelan menjadi kenyal dan mengencang itu 
dengan penuh nafsu. 

Ratu Dinding Kematian menggeliat. Mem- 
buka pakaiannya sendiri hingga tubuh bagian 
atasnya kini dalam keadaan polos. Ditariknya ke- 
pala Purwa untuk menghujami payudaranya den- 
gan ciuman-ciuman, 

"Lebih keras, Purwa! Lebih keras!" Purwa 
yang telah diamuk birahi tidak sadar kalau dia te- 
lah melangkah masuk ke neraka. Lelaki itu se- 
makin menggila. Bahkan dia menjadi tidak sabar 
sendiri. Direnggutnya pakaian bagian bawah yang 
dikenakan Ratu Dinding Kematian. Lalu tangan- 
nya bermain-main di pangkal paha perempuan itu 
yang menggeliat-geliat disertai desahan penuh 
rangsangan. 

Tiga kejapan mata kemudian, di bawah si- 
nar matahari pagi dan udara yang masih dingin, 
keduanya, sudah berpacu penuh nafsu. Keringat 
seketika membanjiri tubuh masing-masing orang. 
"Lebih cepat, Purwa! Lebih cepat!" Purwa makin 
menggila memacu dirinya. Aliran darahnya ber- 
tambah cepat, jantung lebih kencang berdetak... 

"Tekan, Purwa! Tekaaannn!!" seru Ratu 
Dinding Kematian dengan napas mendengus- 
dengus. Kedua tangannya menekan pinggul Purwa 
kuat-kuat. 

Terdengar jeritan lirih dari mulut Ratu 
Dinding Kematian. Sesaat dia terkulai dan mem- 
biarkan lelaki itu terus berpacu di atas tubuhnya. 
Lima tarikan napas berikutnya, gerakan Purwa 
makin menggila, makin liar. Dia seperti memburu 
butiran mutiara di pasir putih. 

Napasnya terengah kencang dan.... 

Jeritan panjang itu terdengar seiring tu- 
buhnya terlempar di angkasa luas. 

Ratu Dinding Kematian tersenyum penuh 
kepuasan. Dibiarkannya tubuh tegap lelaki itu 
masih bertengger di atas tubuh polosnya. 

"Akan kupermainkan dia..,," desisnya dan 
tiba-tiba saja dia mengisak. 

Sudah tentu Purwa yang merasa baru saja 
melakukan perjalanan yang sangat berat dan telah 
tiba di puncak tersentak. Lebih kaget lagi ketika 
melihat tubuhnya dan tubuh perempuan itu dalam 
keadaan polos. 

"HeiiiiH" serunya kaget dan buru-buru 
bangkit dari atas tubuh Nimas Herning. Sesaat le- 
laki ini seperti orang dungu yang tak menyadari 
apa yang telah dilakukannya. 

"Astaga!" desisnya kemudian. "Apa yang te- 
lah kulakukan? Apa yang kulakukan?" lanjutnya 
panik. 

Ratu Dinding Kematian berkata di sela-sela 
isakan kepura-puraannya, "Kau... kau baru saja 
meniduriku, Purwa...." 

"Astaga!" lelaki itu menepuk keningnya sen- 
diri. Dan disambar pakaiannya yang segera dike- 
nakan dengan cepat. Lalu ditatapnya tubuh Ratu 
Dinding Kematian yang masih polos. "Nimas... 
aku... aku...." 

"Aku senang kau melakukannya, Purwa..." 

Purwa justru menjadi gelisah. Dia menyesali 
mengapa ini sampai terjadi. Ditariknya napas be- 
rulang-ulang. Setelah dikuatkan dirinya, dia ber- 
kata, "Aku akan bertanggung jawab, Nimas...." 

Ratu Dinding Kematian menghentikan isa- 
kannya. "Be benarkah?" 

Purwa mengangguk setengah meragu. 

"Ya!" 

"Oh! Terima kasih, Purwa! Terima kasih!" 
serunya seraya merangkul tubuh lelaki itu. 

Purwa tak berkata apa-apa. Dipejamkan 
matanya, menyesali apa yang telah dilakukannya. 
Pelan dia berucap, "Kenakan lagi pakaianmu, Ni- 
mas.... Tak ada gunanya lagi kita berada di sini. 
Kita harus memburu Raja Naga...." 

Ratu Dinding Kematian segera mengenakan 
pakaiannya lagi. Lalu dikecupnya bibir Purwa yang 
masih menyesali apa yang baru saja dilakukannya. 

"Kita berangkat sekarang?" 

Purwa cuma mengangguk lesu. Lalu me- 
langkah diiringi oleh Ratu Dinding Kematian yang 
tertawa dalam hati. Setelah delapan langkah, Ratu 
Dinding Kematian menjentikkan ibu jari dengan 
telunjuknya. 

Tujuh buah bunga beraneka jenis dan war- 
na, bergerak beriringan di udara! 

* * *

TIGA 

TEPAT matahari siap masuk ke peraduan- 
nya, nenek berkebaya lusuh mengenakan pakaian 
hijau itu menghentikan langkahnya di sebuah hu- 
tan kecil. Matanya yang tajam memperhatikan se- 
kelilingnya sejenak. Dia mendengus ketika seekor 
burung gagak tiba-tiba melintas dan keluarkan 
suara yang tak sedap didengar. 

"Kurang ajar!" makinya kemudian. Tangan 
kurusnya mengepal. Kondenya yang berwarna hi- 
jau bergerak mengikuti gerakan kepalanya yang 
mengantar lenyapnya burung gagak itu di antara 
pepohonan. "Raja Naga telah berhasil mematahkan 
ilmu ‘Air Mata Purnama’! Ini membuktikan kalau 
dia memang tak bisa dipandang sebelah mata." 

Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 
Mata ini kembali memaki-maki sendirian. Bibirnya 
yang keriput membentuk kerucut yang dapat me- 
mancing tawa. Tetapi bila melihat kegeramannya, 
tak seorang pun yang akan berani tertawa di ha- 
dapannya sekarang ini. 

"Pencuri keparat itu memang tangguh! Tak 
heran bila Purwa dan Sibarani gagal menangkap- 
nya ketika memergokinya mencuri Bunga Kecu- 
bung Putih dan Bunga Anggrek Biru! Setan terku- 
tuk!!" 

Dewi Lembah Air Mata yang sebelumnya 
merasa yakin dapat menangkap Raja Naga, sema- 
kin meradang amarahnya. Mata tajamnya meman- 
dang ke kejauhan. (Untuk mengetahui hal itu, si- 
lakan baca : "Terjebak di Gelombang Maut"), 

"Semakin kuat keyakinanku kalau Raja Na- 
ga yang telah melakukan serangkaian pencurian 
itu! Hanya saja, aku masih memikirkan satu hal. 
Mengapa Dewa Segala Dewa menyuruh Dewa Seri- 
bu Mata mendatangi Dinding Kematian? Ada uru- 
san apa dengan murid Dewa Pengasih yang berju- 
luk Ratu Dinding Kematian itu?" 

Dewi Lembah Air Mata mencoba mengingat- 
ingat siapa Ratu Dinding Kematian. 

"Selama ini tak pernah terdengar perem- 
puan itu buka urusan dengan siapa pun juga. 
Demikian pula dengan adik seperguruannya yang 
berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Huh! Mengada- 
ngada saja Dewa Segala Dewa! Padahal sudah jelas 
kalau... heiiii!!" 

Si nenek yang rambutnya sebagian besar 
memutih tetapi herannya rambutnya yang dikonde 
berwarna hijau memutus kata-katanya sendiri. 
Mata celongnya menangkap satu bayangan merah 
tak jauh dari tempatnya berdiri. 

"Busyet! Sibarani!" serunya kemudian. 
"Mengapa dia seorang diri?" 

Tak mau menunggu terlalu lama, Dewi 
Lembah Air Mata segera mengejar. Ilmu peringan 
tubuhnya lebih tinggi dari si bayangan merah yang 
berkelebat hingga dalam waktu singkat saja dia 
dapat mengejarnya. 

Seperti yang diduganya, perempuan itu 
memang Sibarani. 

"Sibarani! Berhenti!" 

Sibarani yang mengenali suara itu segera 
menghentikan larinya. Dia berbalik dan segera me- 
rangkapkan kedua tangannya di depan dada begi- 
tu melihat Dewi Lembah Air Mata. 

"Astaga! Apa-apaan kau berada di sini, 
hah?! Mana Purwa? Mengapa kau tidak bersa- 
manya menjaga Bunga Matahari Jingga seperti 
yang diperintahkan gurumu?!" 

Karena kehilangan suaranya, Sibarani 
hanya terdiam. Sorot matanya sedih saat meman- 
dang si nenek. Sikap diamnya itu justru membuat 
Dewi Lembah Air Mata menjadi geram. 

"Hei! Kau tidak mendadak menjadi bisu, 
kan?!" bentaknya keras. "Katakan padaku, menga- 
pa kau meninggalkan perintah gurumu?!" 

Lagi-lagi Sibarani tak bersuara. Matanya 
semakin sedih memandang Dewi Lembah Air Mata. 

Kali ini yang dipandang mengerutkan ke- 
ningnya. 

"Aneh juga sikap perempuan ini. Kenapa 
dia? Apa suaranya tiba-tiba hilang?" 

Belum lagi si nenek berkonde hijau ini buka 
mulut, Sibarani sudah menunjuk mulutnya sendiri 
seraya bersuara, "Ah, ah, ah, ah...." 

Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata. 

"Astaga! Kelihatannya dia benar-benar tidak 
bisa bersuara?!" serunya dalam hati. Dengan pan- 
dangan heran dia berkata, "Sibarani... aku belum 
dapat menebak secara pasti apakah kau tiba-tiba 
menjadi gagu atau tidak. Tetapi, kau bisa mengge- 
leng bila menjawab tidak dan mengangguk bila 
menjawab iya." 

Sibarani mengangguk-angguk dengan tata- 
pan cerah. 

"Bagus! Apakah kau kehilangan suaramu?" 

Sibarani mengangguk. 

"Astaga! Siapakah yang melakukannya?" 

Sudah tentu Sibarani hanya diam saja 
mendengar pertanyaan itu. Dewi Lembah Air Mata 
menyadari kesalahannya. 

"Apakah telah terjadi sesuatu?" 

Sibarani mengangguk. 

"Bunga Matahari Jingga telah lenyap?" 

Mengangguk lagi. 

"Raja Naga yang melakukannya?" 

Kali ini menggeleng. 

"Hei! Bukan Raja Naga yang melakukan- 
nya?" 

Sibarani mengangguk. 

"Lantas, siapa yang... bodoh! Kau sendiri 
saat berjumpa denganku ini. Apakah kau mening- 
galkan Purwa?" 

Sibarani mengangguk lagi. 

"Dia... dia baik-baik saja?" 

Mengangguk lagi. 

"Mengapa kau mening... busyet! Susah be- 
tul berbicara kalau begini! Kau menjawab bukan 
Raja Naga yang melakukannya, berarti ada orang 
lain yang juga menghendaki Bunga Matahari Jing- 
ga. Kau juga bilang Purwa tidak apa-apa tetapi kau 
meninggalkannya. Lantas, bagaimana aku bisa ta- 
hu apa yang sebenarnya telah terjadi?" 

Sibarani terdiam, sorot matanya sedih lagi. 

Dewi Lembah Air Mata menghela napas 
pendek. 

"Sekarang kau hendak ke mana? Kembali 
ke Daerah Tak Bertuan?" 

Sibarani menggeleng. 

"Kau hendak mengejar pencuri itu?" 

Lagi Sibarani menggeleng. 

"Gila!" seru Dewi Lembah Air Mata menjadi 
jengkel sendiri. "Lantas apa yang hendak kau la- 
kukan?!" 

"Aku akan berusaha mencari akal untuk 
menjelaskan kalau bukan Raja Naga yang melaku- 
kannya, Dewi Lembah Air Mata! Tetapi Nimas 
Herning yang telah memuslihati semua ini! Bah- 
kan Kakang Purwa kini telah berpihak padanya 
karena tidak tahu apa yang terjadi!" jerit Sibarani 
dalam hati. Dia berusaha untuk mengeluarkan su- 
aranya, tetapi tak ada suara yang keluar. 

Dewi Lembah Air Mata mendengus pendek. 

"Berlutut!" perintahnya. 

Sibarani melakukan perintah itu. Dilihatnya 
nenek berkebaya lusuh itu mendekatinya. Leher- 
nya dipegang dan digerak-gerakkan. 

"Aku tak melihat adanya satu totokan di se- 
kitar sini," katanya kemudian. "Buka mulutmu. 
Hemm... tak ada kulihat luka di dalam jalan sua- 
ramu. Kerongkonganmu bagus. Tenggorokanmu 
tak kurang suatu apa. Orang yang telah mencuri 
Bunga Matahari Jingga yang melakukannya?" 

Sibarani mengangguk. 

"Hebat! Tentunya dia berilmu tinggi! Meng- 
hilangkan jalan suara orang tanpa dapat ditemu- 
kan tanda-tanda yang berarti, hanya dapat dilaku- 
kan oleh orang yang memiliki ilmu bayangan. Ke- 
parat busuk! Bila saja kau bisa bicara, mungkin 
akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan 
orang keparat itu!" 

Sibarani beraha-uhu. 

Si nenek mendengus. 

"Aku tak bisa memahaminya! Tapi dengar- 
kan, kau bilang bukan Raja Naga yang telah men- 
curi Bunga Matahari Jingga. Apakah bukan dia 
pula yang mencuri bunga-bunga keramat yang 
lain?" 

Kali ini Sibarani tak menggeleng maupun 
mengangguk. 

"Berarti kau tidak tahu. Biar kusimpulkan 
sendiri, berarti memang ada dua orang yang men- 
ginginkan bunga-bunga keramat itu. Pertama Raja 
Naga, dan kedua orang yang telah mencelakakan - 
mu. Bisa jadi kalau sebenarnya Raja Naga dan 
orang itu saling membahu untuk mendapatkan 
bunga-bunga keramat." 

Dewi Lembah Air Mata mendengus beru- 
lang-ulang. 

"Setan alas!" makinya dalam hati. "Keadaan 
ini semakin membuatku bertambah bingung!" 

Kemudian katanya, "Aku sulit menangkap 
apa yang kau inginkan sekarang. Tetapi sebaiknya, 
kau berjalan bersamaku. Kukhawatirkan kalau 
orang yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga 
menjumpaimu dan akhirnya...." 

Kata-kata Dewi Lembah Air Mata terputus 
begitu melihat Sibarani menggeleng. "Lantas kau 
mau ke mana?" 

Sibarani tak menggeleng atau mengangguk. 
"Gila! Lama-lama aku bisa gila! Ya, sudah! Kau 
pergi sana! Berhati-hatilah!" 

Walaupun perasaannya sedih bukan kepa- 
lang karena tak bisa menjelaskan apa yang hendak 
dilakukannya dan membuat si nenek menjadi ur- 
ing-uringan sendiri, Sibarani segera merang- 
kapkan kedua tangannya di depan dada. Memang 
sulit untuk menjelaskan semua ini bila tak bisa 
bersuara. Tetapi perempuan ini cukup memiliki 
ketabahan untuk menjalankan apa yang diingin- 
kannya. 

Tetapi sebelum Sibarani berlalu, Dewi Lem- 
bah Air Mata sudah berkata, "Aku belum menda- 
patkan kejelasan! Lebih baik kita melangkah ber- 
sama-sama!" Lalu dia memaki-maki dalam hati, 
“Semuanya bikin kepalaku bertambah pusing! Be- 
lum tuntas satu pikiran, telah muncul lagi pikiran 
lain! Ah, Sibarani mengisyaratkan kalau Purwa ti- 
dak apa-apa. Tetapi yang mengherankanku, men- 
gapa dia meninggalkannya? Apakah Purwa sendiri 
memburu orang yang telah mencuri Bunga Mata- 
hari Jingga? Tetapi tadi Sibarani mengisyaratkan 
dia sendiri tidak sedang memburu orang itu. Lan- 
tas, apa yang sebenarnya terjadi?" 

Untuk beberapa saat si nenek makin uring- 
uringan sebelum mendahului melangkah. Sibarani 
mengikutinya. Memang itulah keputusan yang ter- 
baik. 

Menjelang tengah malam. Purwa berbisik li- 
rih, "Nimas... kau hendak ke mana?" 

Ratu Dinding Kematian tersenyum. 

"Aku hendak mencari makanan dulu," ka- 
tanya sambil mengenakan lagi pakaiannya. Untuk 
kedua kalinya dia berhasil membujuk Purwa 
menggeluti tubuhnya. Bagi Ratu Dinding Kema- 
tian, pelampiasan itu cukup mengasyikkan sebe- 
lum dia akhirnya membunuh Purwa. Tetapi dia tak 
ingin membunuh Purwa lebih dulu, mengingat ke- 
pergian Sibarani. 

Karena bila Sibarani muncul dan berhasil 
menjelaskan semuanya -entah dengan cara bagai- 
mana- maka kehadiran Purwa dapat dijadikannya 
sebagai tameng. Purwa yang tidak tahu masalah 
yang sebenarnya tentunya akan membelanya. 

"Kau tenang-tenang saja dulu di sini," lanjut 
Ratu Dinding Kematian lagi. Dikecupnya bibir lela- 
ki yang nampak lemas karena baru saja memacu 
birahi bersamanya. "Sebagai seorang kekasih, ten- 
tunya aku akan selalu berusaha membahagiakan 
mu...." 

Purwa tersenyum. 

"Jangan lama-lama," katanya yang kini te- 
lah lenyap segala jengah dan ragu terhadap pe- 
rempuan yang masih dikenalnya sebagai Nimas 
Herning. 

"Kenapa?" seringai Ratu Dinding Kematian. 
Sebelum Purwa menyahut, dia sudah lebih dulu 
berkata, "Kau masih ingin lagi, bukan? Jangan 
khawatir... aku akan memberikannya padamu, 
bahkan kau akan merasakan yang lebih hebat la- 
gi...." 

Purwa hanya tersenyum. 

Di lain kejap, Ratu Dinding Kematian sudah 
berkelebat meninggalkannya, menerobos kegela- 
pan dengan gerakan cekatan. Ranggasan semak 
dilompatinya tanpa menimbulkan getaran pada 
semak itu. Setiap kali dia melompat, empat lang- 
kah terlampaui tanpa kesulitan. 

"Kulihat tadi ada dua buah cahaya jingga 
terlontar ke udara. Tentunya kedua pendeta gun- 
dul itu yang melakukannya. Bagus! Mudah- 
mudahan dia telah mengetahui sesuatu tentang 
Ratu Tanah Kayangan. Karena rasanya tak mung- 
kin kalau Ratu Tanah Kayangan akan tetap me- 
nungguku di kediamannya...." 

Perempuan berpakaian kuning keemasan 
yang telah robek di bagian dada dan membiarkan 
sepasang bukit kembarnya membayang di balik 
pakaian dalamnya yang tipis terus berlari ke arah 
timur. Setelah beberapa kejapan mata, dilihatnya 
lagi dua cahaya jingga terlontar di udara. 

"Agak serong ke kanan!" serunya pada di- 
rinya sendiri dan berlari ke sana. 

Tak lama kemudian dilihatnya dua sosok 
tubuh berpakaian jingga yang diterangi sinar rem- 
bulan. Salah seorang dari mereka siap menghen- 
takkan kedua tangannya ke udara. 

"Aku telah datang!" seru Ratu Dinding Ke- 
matian seraya melenting dan hinggap sejarak lima 
langkah dari dua lelaki berkepala gundul. 

Kedua lelaki itu yang bukan lain Setan 
Gundul Hutan Larangan menoleh. Masing-masing 
orang tersenyum. 

"Syukurlah kau melihat isyarat kami, Ratu...." 

"Aku tak punya banyak waktu! Apakah ka- 
lian sudah mengetahui apa yang dilakukan Ratu 
Tanah Kayangan?!" bentak Ratu Dinding Kematian 
ketus. Tajam diperhatikan kedua lelaki berpakaian 
ala seorang pendeta itu. 

Lelaki gundul yang memegang tongkat beru- 
jung bundar itu mengangguk. Codetan pada ke- 


ningnya kentara. 

"Dia telah keluar dari Tanah Kayangan!" 

"Bagus! Ke mana dia pergi?" 

"Sialnya kami kehilangan jejak!" sahut si 
codet lagi yang bernama Cokro Kliwing. Kali ini 
sambil melirik temannya yang juga berkepala gun- 
dul dan mengenakan baju seperti pendeta berwar- 
na jingga. 

Lirikan itu membuat Ratu Dinding Kema- 
tian curiga. 

"Apa yang kalian lakukan?!" 

Si gundul bertasbih besar pada dadanya 
yang tadi dilirik Cokro Kliwing menyahut, "Kau 
tentunya sangat tahu apa kesukaan kami, bu- 
kan?!" 

Kali ini Ratu Dinding Kematian mendengus. 
"Kalian boleh menikmati tubuhku setelah aku ber- 
hasil membunuh Ratu Tanah Kayangan!" 

"Dan karena terlalu lama menunggu, kami 
terpaksa mencari perempuan lain sebagai tempat 
pelampiasan kami!" sahut Jodro Kliwing. 

"Aku tak peduli kalian melakukannya pada 
siapa pun juga! Teruskan melacak keberadaan Ra- 
tu Tanah Kayangan!" 

"Ratu...," kata Cokro Kliwing. "Apakah kau 
sudah mendapatkan seluruh bunga-bunga kera- 
mat itu?!" 

Ratu Dinding Kematian tak menjawab. 

"Setan-setan gundul ini memang berotak 
cerdik! Sebenarnya sangat mudah bagiku untuk 
membunuh keduanya! Tetapi selagi aku mencari 
bunga-bunga keramat itu, keberadaan mereka un- 
tuk melacak di mana Ratu Tanah Kayangan yang 
kuyakini pasti akan meninggalkan Tanah Kayan- 
gan sangat kuperlukan. Janji kuberi imbalan tu- 
buhku sudah membuat mereka seperti orang dun- 
gu." 

Habis membatin demikian, dia berkata dus- 
ta, "Aku belum berhasil mendapatkan bunga te- 
rakhir." 

"Tidak masalah bagi kami karena kami akan 
tetap menunggu tubuhmu yang montok itu sampai 
kapan pun juga," sahut Cokro Kliwing sambil me- 
nyeringai. 

"Setan gundul!" geram Ratu Dinding Kema- 
tian dalam hati. "Membunuhnya saat ini pun tak 
kusesali! Tapi tenaga mereka masih bisa kupergu- 
nakan!" 

Selagi Ratu Dinding Kematian tak buka mu- 
lut, Jodro Kliwing berkata, "Kau tidak bertanya 
siapa perempuan terakhir yang hampir saja kami 
gauli?" 

"Hampir?" kening Ratu Dinding Kematian 
berkerut. 

"Ya! Hampir!" suara Jodro Kliwing menjadi 
geram. 

"Siapa perempuan itu?!" 

"Dia adalah murid Ratu Tanah Kayangan!" 

Ratu Dinding Kematian membeliak sebentar 
sebelum membentak keras, "Bodoh! Kalian gagal 
mempermalukannya?!" 

"Kami hampir berhasil melakukannya!" sa- 
hut Jodro Kliwing gusar. "Dan kami mengetahui 
siapa gadis itu ketika dia meracau antara sadar 
dan tidak ketika terkena 'Uap Pelemah Tenaga' 
yang kami sebar padanya." 

"Mengapa kalian gagal melakukannya?" 

Kali ini Cokro Kliwing yang menyahut, sua- 
ranya tak kalah geram, "Seorang pemuda berompi 
ungu tiba-tiba muncul dan mengacaukan semua- 
nya! Dia begitu tangguh hingga kami tak bisa 
menghadapinya!" 

"Siapa pemuda itu?" 

"Saat itu kami tidak tahu! Tetapi si gadis 
memanggilnya Boma Paksi!" 

"Kau bilang saat itu tidak tahu. Berarti se- 
karang kau sudah tahu siapa dia?!" 

"Setelah kami dikalahkan olehnya, sambil 
berlari menjauh kami terus memikirkan siapa pe- 
muda itu hingga tiba pada satu kesimpulan." 

"Siapa?!" 

"Pemuda itu memiliki ilmu tinggi. Mengena- 
kan rompi berwarna ungu. Berkuncir ekor kuda. 
Pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik- 
sisik coklat. Dan yang mengerikan adalah sorot 
matanya." 

Jodro Kliwing menyambung, "Dari ciri-ciri 
itu, ingatan kami tiba pada seseorang yang ramai 
dibicarakan orang! Seseorang yang telah lama in- 
gin kami jumpai untuk kami bunuh! Karena terla- 
lu banyak mengganggu tindakan orang-orang se- 
perti kami dan juga... kau!!" 

"Siapa dia?!" 

"Raja Naga!" suara Jodro Kliwing penuh 
amarah. 

Kepala Ratu Dinding Kematian menegak. 

"Raja Naga?!" ulangnya dalam hati. Dan di- 
dengarnya kata-kata Jodro Kliwing lagi, 

"Kami tak sanggup menghadapinya dan 
kami tak terima dipermalukan olehnya! Itulah se- 
babnya kau kami beri isyarat untuk datang ke si- 
ni!" 

"Jangan berbelit-belit!" 

"Kau meminta kami untuk melacak apa 
yang dilakukan Ratu Tanah Kayangan dan kami 
telah melakukannya! Imbalan yang kau janjikan 
terlalu lama kami terima! Walaupun aku dan sau- 
daraku ini sudah tidak sabar untuk menikmati tu- 
buhmu berdua sekaligus, tetapi sekarang sudah 
kami putuskan untuk tidak akan melakukannya!" 

"Apa maksudmu dengan semua itu?!" 

Jodro Kliwing sekarang menyeringai. 

"Aku dan saudaraku sudah sepakat, untuk 
meminta imbalan yang lain darimu!" serunya dan 
tak segera melanjutkan ucapannya. Di kejap lain, 
dengan suara berayun dilanjutkan kata-katanya. 
"Yakni... kau harus membunuh Raja Naga!!" 

Memicing mata Ratu Dinding Kematian. 

"Dari balik ucapanmu, nampaknya ada se- 
suatu yang kau tutupi, Jodro Kliwing?!" 

Jodro Kliwing terbahak-bahak, hingga 
menggema di tempat sunyi itu. 

"Kau memang pandai, Ratu! Pandai sekali! 
Ya! Sudah tentu aku dan saudaraku yakin kalau 
kau akan melaksanakan permintaan kami itu! Ka- 
rena bila kau menolak, maka dari mulutku dan 
mulut saudaraku akan tersebar kabar, siapa orang 
yang telah melakukan serangkaian pencurian 
bunga-bunga keramat!" 

Mengkelap wajah Ratu Dinding Kematian. 
Kedua tangannya seketika mengepal dengan mata 
tajam berbahaya. 

"Keparat! Kedua manusia gundul ini justru 
balik menekanku! Setan alas!!" geramnya dalam 
hati. 

"Murka yang nampaknya kau tahan itu aku 
yakin tetap akan kau tahan, Ratu!" seru Cokro 
Kliwing. "Karena... semua apa yang kau rahasia- 
kan ada di tangan kami!" 

Lalu tanpa menunggu sahutan dari Ratu 
Dinding Kematian, dia sudah berlalu dari sana. 

Jodro Kliwing masih sempat membuka mu- 
lut sebelum menyusul, "Aku dan saudaraku sudah 
sepakat memberimu waktu hanya lima hari mulai 
sekarang! Setelah lewat hari itu belum terdengar 
kabar Raja Naga mampus, maka kau akan celaka, 
Ratu!!" 

Membludak amarah Ratu Dinding Kema- 
tian. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain 
melampiaskan amarahnya pada sebatang pohon 
yang seketika hancur ditendangnya. 

"Kalian boleh tertawa sekarang," desisnya 
geram laksana seekor serigala murka. "Tetapi ke- 
lak, kalian akan tahu kalau apa yang telah kalian 
lakukan sekarang ini adalah sebuah kebodo- 
han...." 

Di lain kejap, perempuan yang tepat pada 
keningnya terdapat sebuah tahi lalat, sudah berke- 
lebat meninggalkan tempat itu dengan sejuta ke- 
marahan. 

Ketika dia kembali menjumpai Purwa, lang- 
sung ditubruknya lelaki itu yang menjadi gelaga- 
pan seraya menciuminya. Purwa sempat melihat 
kalau perempuan yang masih dianggapnya berna- 
ma Nimas Herning itu tak membawa apa-apa. 

Tetapi di lain saat dia sudah tak mempedu- 
likannya. Karena dengan kasar penuh nafsu pe- 
rempuan itu telah membuka pakaiannya kembali. 
Dan mendorong tubuhnya menelentang, sementa- 
ra dia sendiri duduk di atas tubuhnya. Gerakan 
liar yang dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian 
yang melampiaskan kekesalannya dengan cara 
memuaskan gairahnya, membuat Purwa menjerit- 
jerit penuh kenikmatan. 

* * *

EMPAT 

SETELAH berpisah dari Puspa Dewi, Raja 
Naga terus berkelebat. Dia tak bisa menentukan 
tujuannya secara pasti, namun tekad telah dibu- 
latkan untuk segera menemukan Ratu Binding 
Kematian. Karena dari cerita Puspa Dewi. Raja Na- 
ga kini mulai bisa meraba siapa orang yang ber- 
tanggung jawab atas semua ini. 

Tiba-tiba saja anak muda bersisik coklat ini 
menghentikan langkahnya. Kepalanya seketika di- 
palingkan ke kanan dengan kening berkerut. 

"Kutangkap satu gerakan yang begitu berat, 
seolah pemilik gerakan itu bertubuh luar biasa 
gemuknya," desisnya sambil memicingkan ma- 
tanya. 

Kejap lain justru dia sendiri yang tersentak. 
Karena tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Men- 
gapa kau berhenti melangkah, hah?! Ayo, song- 
song aku!" 

Tanpa sadar Boma menoleh ke sekeliling- 
nya. Sadar kalau hanya dia seorang yang berada di 
jalan setapak itu, segera diarahkan lagi pandan- 
gannya pada tempat semula. Orang yang melang- 
kah berat itu belum kelihatan sosoknya, tetapi dia 
sudah keluarkan suara lagi. 

"Dasar nasib tak beruntung! Ke Dinding 
Kematian tak menjumpai orang! Ke tempat Purwa 
dan Sibarani, cuma menemukan tempat yang telah 
porak poranda! Sial! Memang sial!" 

"Hebat! Orang ini tentunya memiliki ilmu 
yang tinggi. Gerakannya dapat kudengar, tetapi dia 
lebih tahu kalau aku tak bergerak!" desis Raja Na- 
ga dalam hati. Sesaat pemuda ini terdiam, memi- 
kirkan apa yang harus dilakukan. "Karena tak ada 
orang lain di sekitar sini, sudah tentu yang tadi 
dimaksudkannya adalah aku. Percuma bila aku 
bersembunyi atau berlalu untuk menghindarinya. 
Karena bisa jadi, kalau orang yang akan muncul 
ini juga menyangka akulah si pencuri bunga- 
bunga keramat." 

Langkah yang cukup berat itu semakin ke- 
ras menerpa telinga Raja Naga. Pelan-pelan paras 
anak muda bermata angker ini sedikit berubah. 
Karena getaran yang dirasakan akibat langkah 
orang yang belum diketahui siapa adanya, seperti 
melesak masuk dan mempermainkan jantung! 

"Astaga! Apakah orang itu melangkah den- 
gan pergunakan tenaga dalam? Atau dia berniat 
mencobaku?" desisnya dalam hati. Segera dialir- 
kan tenaga dalamnya untuk menahan getaran 
yang seperti melempar-lempar jantungnya. 

Kendati langkah berat itu semakin keras 
terdengar, tetapi sosoknya belum kelihatan juga. 
Justru Raja Naga yang menjadi penasaran. Dia 
bermaksud untuk menyongsong orang yang belum 
diketahui siapa. Tetapi suara keras itu menahan- 
nya, 

"Bodoh? Apa kau tidak bisa melihat tubuh- 
ku yang segede ini, hah? Tetap di tempatmu! Kalau 
kau nekat pergi sebelum menjawab beberapa per- 
tanyaanku, akan kugampar mulutmu sampai ber- 
darah!!" 

Tersentak Raja Naga mendengar bentakan 
orang. Terpaksa dia urungkan niat untuk melang- 
kah. Dengan penuh penasaran ditunggunya orang 
yang membentak-bentak itu muncul. 

Dan yang mengejutkannya, justru getaran 
tapak orang yang belum diketahui siapa adanya 
itu tak terdengar lagi. Raja Naga mengerutkan ken- 
ing keheranan. 

"Aneh! Apakah orang itu mendadak lenyap? 
Atau dia membelokkan langkahnya?" 

Belum lagi dapat ditemukan jawaban atas 
pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja dilihatnya 
semak belukar di hadapannya menguak. Menyusul 
satu sosok tubuh besar muncul dari sana. 

Raja Naga melengak kaget. 

"Ampun! Orang atau gajah?!" desisnya da- 
lam hati. 

Orang yang tubuhnya luar biasa gemuk itu 
menghentikan langkahnya sejarak tujuh langkah 
dari Raja Naga. Pakaian hitam yang dikenakannya 
tak dapat ditutup, karena tak mampu menahan 
kelebihan lemak di tubuhnya. 

Leher kakek gemuk yang seolah menyatu 
dengan badannya bergerak-gerak sedikit sebelum 
mulutnya berbunyi, "Busyet! Kau melihatku seper- 
ti melihat setan berkelebat! Hei, anak muda! Jan- 
gan berlaku bodoh di hadapanku!" 

Raja Naga buru-buru tersenyum. 

"Aku..." 

"Kau hendak bilang tubuhku kurus, ya?!" 

Hampir saja Raja Naga tak mampu mena- 
han tawanya. Begitu melihat mata si kakek gemuk 
yang bukan lain Dewa Seribu Mata ini melotot, bu- 
ru-buru dia berkata, "Orang tua gemuk! Dari ke- 
jauhan sudah kudengar langkahmu yang luar bi- 
asa beratnya, tetapi sekarang kau melangkah se- 
perti tak memiliki bobot seperti yang kau punyai! 
Orang tua... namaku Boma Paksi...." 

"Aku tak butuh namamu! Aku cuma mau 
tanya, kau kenal Raja Naga?!" 

Kali ini pemuda bermata angker itu menge- 
rutkan keningnya. 

"Dia mencariku rupanya. Apakah ini ada 
hubungannya dengan bunga-bunga keramat?" ta- 
nyanya dalam hati. 

"Sejak tadi kau buka mulut, itu artinya kau 
tidak bisu maupun tuli! Sekarang kau jadi orang 
dungu seperti itu! Atau kau memang benar-benar 
ingin kubuat tuli?!" 

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 
kiri sebatas siku itu tersenyum. 

"Kebetulan aku tidak bisu dan tidak tuli. 
Aku juga tak menginginkan diriku jadi bisu atau 
tuli." 

"Bagus! Kau sudah dengar apa yang kuta- 
nyakan tadi!" 

Pemuda berompi ungu itu mengangguk- 
angguk. 

"Ya... aku mengenal pemuda berjuluk Raja 

Naga." 

"Bagus! Katakan padaku, di mana dia bera- 
da?!" 

Merasa harus mengetahui dulu sebab-sebab 
kakek gemuk di hadapannya mencarinya, Raja Na- 
ga menggelengkan kepala. 

"Sayang, aku tidak tahu di mana dia bera- 
da," sahutnya. Karena tak mau membiarkan di- 
rinya dicecar pertanyaan lain, Raja Naga buru- 
buru menyambung, "Mengapa kau mencarinya, 
orang tua?" 

Dewa Seribu Mata mendengus. Dipandan- 
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama. 

"Sorot matanya mengerikan sekali. Tadi aku 
sempat dibuat terkejut juga. Ya, ya... tak ada sa- 
lahnya bila kukatakan mengapa aku mencari Raja 
Naga. Barangkali pemuda ini dapat membantu- 
ku...." 

Memutuskan demikian, kakek berkepala 
bulat ini berkata, "Dari cara kau berpakaian ten- 
tunya kau adalah orang rimba persilatan, Anak 
muda! Dan seperti diketahui, rimba persilatan bu- 
kanlah tempat yang dapat menyembunyikan se- 
buah rahasia! Sebelum kujelaskan maksudku, 
apakah kau pernah mendengar tentang serang- 
kaian pencurian bunga-bunga keramat?" 

Raja Naga menahan napas. 

"Aku mulai bisa menebak sekarang. Ten- 
tunya kakek gemuk ini adalah salah seorang dari 
Tiga Penguasa Bumi. Bisa jadi dia orang yang ber- 
juluk Dewa Segala Dewa, atau Dewa Seribu Mata. 
Karena aku telah berjumpa dengan Dewi Lembah 
Air Mata yang merupakan salah seorang dari Tiga 
Penguasa Bumi. Seperti yang dikatakan oleh Pus- 
pa Dewi." 

"Kau jadi tuli lagi rupanya!" bentak Dewa 
Seribu Mata karena anak muda di hadapannya tak 
buka mulut. 

Raja Naga buru-buru mengangguk. 

"Aku pernah mendengar serangkaian pen- 
curian bunga-bunga keramat." 

"Kau juga mendengar siapa pelaku pencu- 
rian itu?!" 

"Maksudmu.... Raja Naga?" 

"Ya! Pemuda keparat itulah yang telah men- 
curi bunga-bunga keramat! Sungguh tak pantas 
bila ternyata dia murid seorang tokoh kenamaan 
rimba persilatan!" 

"Bila kukatakan akulah Raja Naga, bisa jadi 
dia akan menggempurku habis-habisan seperti 
yang dilakukan oleh Dewi Lembah Air Mata. Se- 
baiknya kututupi saja siapa diriku agar urusan ti- 
dak jadi kapiran." 

Usai membatin, Raja Naga berkata, "Orang 
tua gemuk... aku tak mendengar kabar tentang 
Raja Naga yang telah melakukan serangkaian pen- 
curian itu. Tetapi... kalau aku boleh buka mulut, 
aku justru mendengar kabar, bukan Raja Naga 
yang telah melakukannya." 

Kening kepala bulat itu berkerut. "Apa yang 
kau bicarakan itu?!" 

"Mungkin ini kesempatanku untuk membu- 
ka tabir gelap yang menyelimutiku selama ini," ka- 
ta Raja Naga dalam hati. Setelah menghela napas, 
barulah dia berkata, "Orang tua gemuk... seperti 
yang kau katakan, rimba persilatan bukanlah 
tempat yang pantas untuk menyembunyikan se- 
buah rahasia. Aku justru mendengar kabar, orang 
yang telah mencuri bunga-bunga keramat adalah 
Ratu Dinding Kematian...." 

Kerutan di kening kakek gemuk itu makin 
bertambah. 

"Ratu Dinding Kematian?" 

"Begitulah yang kudengar." 

"Dari siapa kau mendengarnya?" 

Raja Naga tersenyum. 

"Rimba persilatan bukanlah tempat yang 
tepat dijadikan sebagai tempat rahasia!" 

"Huh! Kau pandai bicara rupanya! Anak 
muda... aku tak bisa membenarkan atau menya- 
lahkan apa yang kau katakan tadi. Tetapi itu pun 
harus dipikirkan." 

"Sekarang aku yang tidak mengerti...." 

Dewa Seribu Mata pandangi dulu pemuda 
di hadapannya sebelum teruskan bicara, "Anak 
muda... aku adalah salah seorang dari Tiga Pengu- 

asa Bumi. Kau boleh memanggilku Dewa Seribu 
Mata. Saat ini rimba persilatan digemparkan den- 
gan serangkaian pencurian yang dilakukan oleh 
Raja Naga. Tuduhan itu begitu nyata, karena Pur- 
wa dan Sibarani telah mempergokinya. Sekarang 
kau mengatakan Ratu Dinding Kematian yang te- 
lah melakukannya." 

"Itulah yang kudengar." 

"Ucapanmu dapat kujadikan pegangan se- 
benarnya. Karena, sebelum ini Dewa Segala Dewa 
menyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian. 
Sialnya, perempuan itu tidak ada di sana. Kemu- 
dian kuarahkan langkahku pada tempat di mana 
Bunga Matahari Jingga, salah sebuah bunga dari 
bunga-bunga keramat yang masih belum dicuri, 
tetapi aku tak menemukan siapa pun di sana. 
Bahkan Bunga Matahari Jingga telah dicuri oleh 
Raja Naga." 

"Kau mengatakan tak menemukan siapa 
pun di sana dan mendapati Bunga Matahari Jing- 
ga sudah lenyap. Itu artinya kau terlambat datang 
dan tak melihat siapa orang yang telah mencuri 
Bunga Matahari Jingga. Sekarang, bagaimana kau 
bisa menuduh Raja Naga yang telah melakukan- 
nya?" 

Dewa Seribu Mata tak menjawab. Dia me- 
mang telah mendatangi Dinding Kematian dan tak 
menemukan penghuninya di sana. Dia juga telah 
mendatangi tempat Bunga Matahari Jingga. Bukan 
hanya bunga itu yang telah lenyap, tetapi Purwa 
dan Sibarani sendiri tak ada di sana. 

Karena menganggap pemuda ini dapat dija- 
dikan sebagai pembawa berita, Dewa Seribu Mata 
berkata lagi, "Apa yang dikatakan Purwa dan Siba- 
rani kujadikan patokan." 

Pemuda dari Lembah Naga itu ganti tak 
menjawab. Dipandanginya kakek gemuk itu den- 
gan mata yang selalu bersorot angker. 

"Dari ucapan si kakek gemuk ini, dapat ku- 
pastikan kalau Ratu Dinding Kematian yang telah 
mencuri bunga terakhir dari bunga-bunga kera- 
mat. Urusan ini semakin kacau sebenarnya. Satu- 
satunya harapan hanyalah Puspa Dewi. Tetapi dia 
sedang menuju ke Daerah Tak Bertuan." 

Raja Naga memecah keheningan, "Orang 
tua gemuk... bila kau tak keberatan, aku bersedia 
mencari Ratu Dinding Kematian untuk menda- 
patkan kejelasan semua ini, sementara kau men- 
cari Raja Naga." 

"Bagus! Tak kusangka kau mau berkorban 
seperti itu!" sahut Dewa Seribu Mata. "Atau... kau 
memang punya urusan dengan Ratu Dinding Ke- 
matian?!" 

"Dugaanmu itu tak bisa kubantah, Orang 
tua," kata Raja Naga sambil tersenyum. 

"Ada urusan apa kau dengannya?" 

"Beribu maaf kuucapkan padamu, karena 
aku tak bisa mengatakan apa urusanku dengan- 
nya, Orang tua gemuk," sahutnya lalu menyam- 
bung dalam hati, "Sesungguhnya aku sendiri be- 
lum tahu urusan apa yang harus kutuntaskan 
dengan Ratu Dinding Kematian. Mengenalnya pun 
tidak. Tetapi kata-kata Puspa Dewi dapat kujadi- 
kan pegangan." 

Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk. 

"Kalau begitu, aku terima saranmu. Seka- 
rang menyingkir dari sini, karena lama kelamaan 
aku jengah juga ditatap oleh matamu yang menge- 
rikan itu!" 

Raja Naga segera merangkapkan kedua tan- 
gannya di depan dada. Dengan sikap hormat dia 
berkata, 

"Aku berjanji, akan membantu Tiga Pengua- 
sa Bumi untuk menuntaskan urusan ini!" 

"Tidak usah basa-basi! Pergi sana!" 

Raja Naga sendiri tak mau membuang wak- 
tu. Dia bersyukur dapat menghindari urusan den- 
gan kakek gemuk itu. Karena dia beranggapan, bi- 
la Dewa Seribu Mata mengetahui siapa dirinya, tak 
mustahil tindakan yang telah dilakukan Dewi 
Lembah Air Mata padanya akan terulang. Dan dia 
memang akan menuntaskan urusan yang telah 
melekat pada dirinya, tanpa perlu berjanji pada 
kakek kelebihan lemak itu. 

Tetapi apa yang diduga Raja Naga sebenar- 
nya sangat berlainan sekali. Karena sepeninggal- 
nya, kakek gemuk kelebihan lemak itu mengge- 
leng-gelengkan kepalanya yang bergerak berat. Bi- 
birnya menyeringai sementara berulang kali dia 
menarik dan menghela napas. 

"Hemmm... kendati anak muda itu menutu- 
pi siapa dirinya, aku tahu siapa anak muda itu. 
Dia adalah Raja Naga sendiri. Ciri-ciri yang ada 
padanya menunjukkan dia memang Raja Naga, te- 
rutama sorot matanya yang angker dan sisik-sisik 
coklat yang menghiasi kedua tangannya sebatas 
siku. Tetapi apa yang dikatakannya itu dapat ku- 
jadikan pegangan. Ratu Dinding Kematian... ya, 
kemungkinan itu kini tak bisa kupungkiri mengin- 
gat Dewa Segala Dewa memintaku untuk menjum- 
pai perempuan itu. Kalau begitu... berarti Bunga 
Matahari Jingga yang telah lenyap memang telah 
dicuri oleh Ratu Dinding Kematian...." 

Dewa Seribu Mata menghela napas pendek. 

"Aku terpaksa menahan diri untuk turun- 
kan tangan pada pemuda itu. Aku ingin melihat 
kebenaran sekarang. Hanya saja... bagaimana 
dengan nasib kedua murid Dewa Segala Dewa? Ra- 
ja Naga tak terkejut dan berusaha bertanya ketika 
kusebutkan nama Purwa dan Sibarani. Itu tan- 
danya dia memang telah mengenal keduanya...." 

Kembali kakek gemuk ini terdiam. Sepasang 
matanya tiba-tiba saja membentuk berbagai 
bayangan dan bergerak-gerak ke atas ke bawah! 

"Untuk menjaga kemungkinan membesar- 
nya salah paham yang terjadi, aku harus berjaga- 
jaga. Sebaiknya... kuikuti saja pemuda bersisik 
coklat itu...." 

Habis ucapannya, kakek bertubuh gemuk 
ini sudah berkelebat! Astaga! Dia berkelebat dan 
gerakannya lebih cepat dari angin! 

* * *

LIMA 

SAMBIL terus berlari Raja Naga membatin, 
"Pencuri sesungguhnya dari lenyapnya bunga- 
bunga keramat telah mendapatkan bunga terakhir 
dari bunga-bunga keramat. Ini pertanda bahaya. 
Pertama bahaya untuk Ratu Tanah Kayangan yang 
belum kuketahui seperti apa rupanya. Kedua, ten- 
tunya Ratu Dinding Kematian bermaksud untuk 
menjadikan dirinya orang nomor satu di rimba 
persilatan." 

Dengan gerakan lincah pemuda yang dipe- 
nuhi berjuta pikiran ini terus berlari sambil berpi- 
kir, "Menurut Puspa Dewi... gurunya telah me- 
ninggalkan Tanah Kayangan untuk mencari Ratu 
Dinding Kematian. Kalau begitu, selain berusaha 
menemukan Ratu Dinding Kematian, aku juga ha- 
rus mencari Ratu Tanah Kayangan. Karena Ratu 
Tanah Kayangan dapat kujadikan sebagai saksi 
lain dari tuduhan yang melekat pada diriku...." 

Anak muda ini terus berkelebat tanpa ber- 
henti sekali pun. Hingga tiba di hadapan sebuah 
sungai, dihentikan langkahnya. Diperhatikan seke- 
lilingnya yang sepi. Aliran sungai bergemuruh dan 
sesekali memercik begitu menabrak bebatuan yang 
ada di dalamnya. 

Tiba-tiba saja matanya yang tajam meman- 
dang tak berkedip pada bagian kanan dari sungai 
itu. Satu sosok tubuh membayang muncul dari da- 
lam dan... 

Byuuurrr!! 

Rambut-rambut indah yang membasah le- 
bih dulu muncul sebelum seraut wajah jelita ber- 
hidung bangir dengan tahi lalat tepat pada kening- 
nya menyusul. Kepala perempuan itu menggeleng- 
geleng, meniriskan air yang melekat pada rambut 
dan wajahnya. 

Raja Naga sendiri buru-buru memalingkan 
kepalanya tatkala melihat sepasang bukit kembar 
montok yang tak tertutup apa-apa. Sementara di 
lain pihak, perempuan itu menjerit tertahan, 

"HeiiiiH" 

Dan buru-buru menyelam lagi hingga kepa- 
lanya saja yang nampak. 

"Pemuda tak tahu malu! Siapa kau yang 
kerjanya mengintip perempuan mandi?!" 

Sesaat wajah Raja Naga memerah. Tanpa 
membalikkan tubuhnya anak muda ini menyahut, 
"Aku tak sengaja berada di sini dan sebelumnya ti- 
dak tahu kalau kau sedang mandi." 

"Dusta! Kau memang ingin melihat tubuh- 
ku!" 

"Percaya atau tidak, itulah kenyataannya!" 

Si perempuan tak meneruskan ucapan. Ma- 
tanya memandang tak berkedip sosok pemuda 
yang sedang membelakanginya. Di lain kejap dike- 
rutkan keningnya. 

"Rasanya... aku mengenal pemuda berciri 
seperti ini. Mengenakan rompi ungu, berkuncir 
kuda, dan di kedua tangannya terdapat sisik-sisik 
berwarna coklat sebatas siku. Tetapi... apakah ma- 
tanya bersorot angker?" 

Merasa tak mendengar suara di belakang- 
nya Raja Naga berseru, "Bila tak ada urusan lagi, 
aku akan meninggalkan tempat ini!" 

"Tunggu!" seru si perempuan. Kembali dia 
membatin. "Aku harus melihat matanya. Kalau 
memang matanya bersorot angker, berarti dia ada- 
lah Raja Naga. Luar biasa! Semuanya di luar du- 
gaanku! Hemmm... selagi Purwa mencari maka- 
nan, sebaiknya kuurus pemuda ini!" 

Lalu dia berseru lagi, "Tetap di tempatmu! 
Jangan berbalik karena aku hendak berpakaian!" 

Raja Naga tak menjawab. Didengarnya sua- 
ra orang melompat dari dalam air yang sesaat 
membuatnya terkejut. 

"Dari gerakannya... perempuan itu nam- 
paknya bukan perempuan sembarangan. Huh! 
Mengapa aku harus bertemu dengannya padahal 
waktuku sangat sempit." 

Hanya beberapa kejap mata saja pemuda 
bermata angker itu berdiam di tempatnya sebelum 
didengarnya suara, "Sekarang... berbaliklah kau!" 

Pelan-pelan pemuda itu berbalik. Dilihatnya 
sosok perempuan tadi telah berdiri sejarak sepu- 
luh langkah. Kali ini telah berpakaian lengkap. 

Bibir merahnya tersenyum. Rambutnya 
yang tadi tergerai, kini telah digelung ke atas dan 
diberi pita berwarna kuning. Dia mengenakan pa- 
kaian kuning yang dipenuhi dengan sulaman be- 
nang keemasan. 

Dari ciri yang melekat pada perempuan itu 
dapat diketahui siapa dia adanya; Ratu Dinding 
Kematian. Setelah menerima isyarat dan menjum- 
pai Setan Gundul Hutan Larangan, Ratu Dinding 
Kematian kembali lagi menjumpai Purwa. Saat ini 
Purwa tidak berada di sisinya karena disuruhnya 
untuk mencari makanan. Karena badannya sudah 
terasa lengket. Ratu Dinding Kematian memu- 
tuskan untuk mandi. Dan sebelum Purwa muncul, 
dia akan menggabungkan bunga-bunga keramat 
yang telah didapatkannya. Akan direndamnya di 
dalam air untuk segera diminum. 

Tetapi dengan kemunculan pemuda ini, ter- 
paksa diurungkan niatnya. Dan yang tak disang- 
kanya, pemuda ini adalah Raja Naga. 

Ratu Dinding Kematian semakin bertambah 
yakin setelah melihat sepasang mata yang bersorot 
angker. 

"Benar-benar sebuah kesempatan yang tak 
bisa kulewatkan! Akan kucecar dia sekarang!" 

Di lain saat Ratu Dinding Kematian sudah 
membuat suaranya ngotot, "Pemuda celaka! Sela- 
ma ini selalu kujaga kerahasiaan tubuhku dari 
pandangan lelaki mana pun juga! Dan sekarang, 
kau telah mencuri lihat tubuhku!!" 

Raja Naga mendengus. 

"Nasibku benar-benar lagi tidak beres. Satu 
urusan belum tuntas, sudah ada urusan lain!" ka- 
tanya dalam hati. Lalu berkata, "Biar urusan cepat 
selesai, apa yang harus kulakukan untukmu?" 

"Kau harus menikahiku!" 

Sampai surut satu tindak anak muda itu 
mendengarnya. 

"Menikahimu?" serunya tertahan. 

"Ya! Kalau tidak... kau harus membunuh di- 
ri di hadapanku!" 

"Kapiran! Makin tak menentu urusan ini!" 
gerutu Raja Naga dalam hati. Lalu berkata, "Saat 
ini aku sedang punya urusan! Sebaiknya...." 

"Nimas! Ada apa?!" seruan itu memutus ka- 
ta-kata Raja Naga. Bersamaan dengan itu satu so- 
sok tubuh gagah penuh cambang pada pipi kanan 


kiri muncul. Begitu melihat Raja Naga, lelaki ber- 
pakaian biru terbuka di bagian dada ini sudah 
membentak gusar, "Pemuda keparat! Akhirnya kau 
muncul juga di hadapanku!!" 

Kedua tangannya segera didorong penuh 
amarah. Serta-merta menggebrak gelombang angin 
yang mengeluarkan suara berdenging-denging 
dengan kecepatan tinggi! 

* * *

Raja Naga yang sedikit terkejut begitu men- 
genali siapa adanya orang yang menyerangnya se- 
gera membuang tubuh ke samping kanan. Bersa- 
maan letupan keras yang menghancurkan semak 
belukar di belakangnya, dilihatnya lelaki bercam- 
bang itu sudah berlutut! 

"Astaga! Dia tentunya akan keluarkan ilmu 
'Bentang Gunung Banting Tanah!" desis Raja Naga 
dalam hati. 

Dilihatnya bagaimana tubuh Purwa yang 
berlutut mendadak bergetar hebat. Kedua tangan- 
nya yang dirangkapkan di depan dada bergerak- 
gerak pula, menyusul dari kepalanya keluar asap 
putih yang sangat pekat. 

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian mem- 
batin, "Urusan akan semakin mudah. Ingin kulihat 
lebih dulu, apakah Purwa mampu menghadapi 
pemuda itu. Kalau tidak, biar kubunuh pemuda 
itu sekarang agar urusan tuntas! Setelah itu, baru 
kucari Ratu Tanah Kayangan dan kedua setan 
gundul yang telah berani lancang memerasku!" 

Mendadak suara yang sangat memekakkan 
telinga menggebah. Raja Naga yang pernah meng- 
hadapi ilmu 'Bentang Gunung Banting Tanah' se- 
gera keluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 
Lautan' disusul dengan 'Barisan Naga Penghancur 
Karang'. 

Seperti telah diduganya, kedua ilmu yang 
dilepaskannya itu tak banyak membawa arti. Di- 
dahului ledakan yang membuat tempat itu berge- 
tar hebat, Raja Naga membuang tubuh ke samping 
kanan dengan cara melenting di udara. 

"Aku bisa memutuskan serangan itu sebe- 
narnya dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'. Tetapi 
bila kulakukan, maka akan semakin kacau kea- 
daannya!" 

Terpaksa pemuda bersisik coklat itu terus 
menerus menghindar dengan pergunakan ilmu pe- 
ringan tubuhnya. 

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men- 
dengus. 

"Purwa tak akan mampu mengalahkannya. 
Kalau begitu... biar aku turun tangan!" 

Memutuskan demikian, perempuan itu ber- 
seru keras, "Pemuda celaka! Kau telah mencuri 
Bunga Matahari Jingga dan berani-beraninya 
mengintip aku mandi! Kau harus mampus!!" 

Mendengar bentakan itu, Raja Naga yang 
sedang melenting di udara tersentak. 

"Astaga! Mengapa tahu-tahu perempuan itu 
mengatakan aku telah mencuri Bunga Matahari 
Jingga? Sebelum kemunculan Purwa, dia sama se- 
kali tak menyinggungnya! Ada apa ini?!" 

Sudah tentu Ratu Dinding Kematian yang 
dikenal Purwa sebagai Nimas Herning itu melaku- 
kan tindakan demikian. Karena dia telah mendus- 
tai Purwa tentang lenyapnya Bunga Matahari Jing- 
ga yang dicuri oleh Raja Naga dan mencelakakan 
dirinya serta Sibarani. 

Melihat perempuan berpakaian kuning 
keemasan itu menyerang Raja Naga pula, Purwa 
berseru, "Nimas! Kau bisa celaka!" 

"Purwa! Pemuda itu telah memperkosa dan 
membunuh adik seperguruanku!" seru Ratu Dind- 
ing Kematian mengulangi lagi muslihat yang per- 
nah didustainya pada Purwa. "Aku ingin melihat- 
nya mampus!!" 

Raja Naga sendiri menggeram dengan otak 
berpikir keras. 

"Ada sesuatu yang aneh di sini, Sekarang 
perempuan itu mengatakan aku telah membunuh 
dan memperkosa adiknya. Ada apa ini? Mengapa... 
astaga! Apakah dia...." 

Kata batin Raja Naga terputus karena se- 
rangan Purwa tiba-tiba begitu dekat dengannya. 
Melihat hal itu, Raja Naga memutuskan untuk ber- 
tindak cepat. Dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur' 
dia dapat memukul jatuh Purwa yang terbanting di 
atas tanah. Bila saja Raja Naga menghendaki, lela- 
ki itu bisa langsung tewas! 

Sambil menahan nyeri pada dadanya, Pur- 
wa berseru begitu melihat perempuan berambut 
digelung ke atas itu melesat maju. 

"Nimas! Kau tak akan sanggup menghada- 
pinya!!" 

Tetapi di lain saat, lelaki itu melengak kaget 
tatkala melihat serangan yang dilakukan si perem- 
puan yang secara tiba-tiba mengangkat kedua tan- 
gannya ke udara. 

Raja Naga sendiri tersentak melihat peru- 
bahan serangan yang dilakukan perempuan itu. 
Dilihatnya cahaya berwarna-warni bertaburan di 
sekitar kedua tangan yang terangkat itu. Dan di 
lain saat dengan cepatnya cahaya warna-warni itu 
menggumpal menjadi satu dan masuk serta lenyap 
pada kedua tangan si perempuan yang kini terlihat 
seperti mengeluarkan cahaya! 

"Aku mulai dapat menebak siapa perem- 
puan ini. Kata-kata anehnya tadi nampaknya un- 
tuk menutupi siapa dirinya dari Purwa. Dan pa- 
kaian kuning yang dikenakannya, mengingatkan 
aku pada bayangan kuning yang pertama kali ku- 
lihat sebelum Purwa dan Sibarani muncul." 

Di kejap lain Raja Naga tersentak tatkala 
mendengar tepukan keras yang dilakukan perem- 
puan bertahi lalat pada tengah keningnya, yang 
disusul dengan menggebraknya gelombang angin 
dahsyat yang diiringi oleh cahaya berwarna-warni! 

Sadar kalau bahaya mengancam dirinya, 
Raja Naga memutuskan untuk mengeluarkan ilmu 
'Naga Mengamuk'. Seketika tempat itu laksana di- 
amuk seekor naga liar yang ganas. 

BuuummmH 

Ledakan luar biasa kerasnya menggebah 
seiring dengan bergetarnya tempat itu. Tanah yang 
menghambur ke udara menghalangi pandangan. 
Tiba-tiba terdengar jeritan tertahan menyusul 
mencelatnya satu sosok tubuh berpakaian kuning 
ke belakang! 

Di pihak lain Raja Naga hanya surut dua 
tindak dengan tangan gemetar. Napasnya membu- 
ru dengan wajah merona merah. Sorot matanya te- 
tap angker. 

"NimasH" seru Purwa begitu melihat si pe- 
rempuan terbanting di atas tanah. Dengan mena- 
han sakit pada dadanya, Purwa buru-buru men- 
dekati perempuan itu. "Nimas... sudah kukatakan, 
kau tak akan sanggup menghadapinya. Dia pernah 
mencelakakanmu dan Sibarani...." 

Ratu Dinding Kematian mengeluh kesaki- 
tan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar. 

"Aku harus membunuhnya...." 

"Aku pun ingin membunuhnya. Tetapi kita 
tak kuasa menghadapinya...." 

"Peduli setan!" Ratu Dinding Kematian men- 
gibaskan tangan Purwa yang menjadi terkejut. 

"Nimas!" 

Tanpa menghiraukan seruan itu, Ratu 
Dinding Kematian segera berdiri. Tatapannya be- 
rapi-api pada Raja Naga yang sedang merangkai- 
kan pikiran di otaknya. 

"Ajian Selaksa Jiwa' tak mampu menghada- 
pinya. Berarti, aku memang kesulitan untuk 
membunuhnya. Huh! Bila saja telah kukuasai 
Ajian Selaksa Sukma’ yang akan ku gabungkan 
dengan Ajian Selaksa Jiwa' tak mustahil aku da- 
pat membunuhnya! Atau... huh! Aku harus memi- 
num air rendaman dari bunga-bunga keramat!" 

Di tempatnya Raja Naga angkat bicara, "Pe- 
rempuan berpakaian kuning! Ilmu yang kau miliki 
tak bisa dipandang sebelah mata, dan itu mem- 
buktikan kalau kau adalah perempuan yang tang- 
guh! Dari semua ini dan semua yang kau katakan 
tentang diriku, aku menangkap satu gelagat yang 
tidak enak!" 

"Pemerkosa hina! Kau hendak putar kenya- 
taan rupanya?!" bentak Ratu Dinding Kematian 
sambil mengatur napas dan bersiap untuk melan- 
carkan serangan kembali. 

Raja Naga tak mempedulikan bentakannya. 

"Matamu menyembunyikan sesuatu yang 
kau khawatirkan akan terbuka! Perempuan berpa- 
kaian kuning! Jangan berlaku bodoh di hadapan- 
ku! Kaulah yang berjuluk Ratu Dinding Kematian 
dan telah melakukan serangkaian pencurian ter- 
hadap bunga-bunga keramat!" 

Sudah tentu Ratu Dinding Kematian terke- 
jut mendengar seruan itu. Terutama ketika dili- 
hatnya kepala Purwa menegak dengan mata tak 
berkedip padanya. 

Tetapi di lain kejap dia sudah tertawa men- 
gejek. 

"Dua hari lalu kau telah mencelakakan aku 
dan membuat Sibarani tak dapat bersuara sebe- 
lum kau curi Bunga Matahari Jingga! Sekarang 
kau menuduhku yang bukan-bukan! Perlu kau ke- 
tahui namaku Nimas Herning!" 

"Nimas Herning atau bukan... kau tetaplah 
Ratu Dinding Kematian!!" 

"Pemuda celaka! Kurobek mulutmu yang 
berani berdusta!!" 

Kembali Ratu Dinding Kematian melesat 
dengan ‘Ajian Selaksa Jiwa’. Tetapi lagi-lagi ajian 
itu tak ada gunanya. Untuk kedua kalinya dia ter- 
banting deras di atas tanah. 

Purwa yang segera mendekatinya mengge- 
ram sengit pada Raja Naga. 

"Pemuda terkutuk! Kau bukan hanya seo- 
rang pencuri keparat, tetapi kau juga tukang fit- 
nah!" 

Raja Naga tetap berdiri di tempatnya. 

"Dari kilatan mata Purwa kulihat kalau le- 
laki itu telah terpengaruh oleh perempuan yang 
kuduga sebagai Ratu Dinding Kematian ini. Berabe 
memang, tetapi aku harus tetap mencecar agar pe- 
rempuan itu mau mengaku siapa dirinya!" 

Tanpa mempedulikan bentakan Purwa, pe- 
muda bersisik coklat itu membentak lagi, "Kau ha- 
rus kubawa ke hadapan Tiga Penguasa Bumi un- 
tuk membuka seluruh borok pada perbuatanmu!" 

Ratu Dinding Kematian menggeram dalam hati. 

"Keadaan ini membahayakan penyamaran- 
ku. Padahal aku belum berhasil meminum air ren- 
daman bunga-bunga keramat. Aku harus melaku- 
kan sesuatu. Dan jalan satu-satunya adalah mem- 
buat Purwa tetap mempercayaiku dan tidak mem- 
percayai ucapannya. Berarti.... " 

Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba 
saja Ratu Dinding Kematian menangis. Sudah ten- 
tu Purwa yang tidak tahu siapa perempuan itu se- 
benarnya menjadi murka. Dengan mengerahkan 
sisa-sisa tenaganya dia berdiri dan menuding pada 
Raja Naga. 

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!!" 

Dengan mempergunakan ilmu 'Bentang 
Gunung Banting Tanah' Purwa berusaha untuk 
mencecar anak muda berompi ungu itu. Tetapi su- 
dah tentu tak ada gunanya. Masih normal tenaga 
saja dia tak dapat mengalahkan Raja Naga, apalagi 
sekarang sudah kehabisan tenaga. 

Untuk kedua kalinya Purwa terbanting di 
atas tanah. Setelah mengeluh kesakitan sejenak, 
lelaki itu jatuh pingsan. 

Raja Naga mendesis dalam hati, "Sayang, 
dia pingsan. Padahal aku sedang berusaha mem- 
buka kedok perempuan celaka ini...." 

Sementara itu melihat pingsannya Purwa, 
Ratu Dinding Kematian menjadi pias. Tangisan 
yang tadi sengaja dibuatnya untuk memancing 
perhatian Purwa, seketika lenyap. Matanya men- 
gerjap-ngerjap saat menatap pemuda di hadapan- 
nya yang sedang menatap angker. 

"Celaka! Rencanaku bisa gagal sekarang! 
Bisa gagal! Ternyata kemunculannya tidak mem- 
bawa nasib yang baik buatku!" serunya panik da- 
lam hati. 

Raja Naga berseru seraya melangkah, "Jan- 
gan coba-coba berdusta padaku! Kaulah Ratu 
Dinding Kematian! Kau harus kuserahkan pada 
Tiga Penguasa Bumi!" 

"Keparat! Kau tidak mengenal Ratu Dinding 
Kematian, tetapi kau berani-beraninya menuduh- 
ku sebagai perempuan itu!" seru Ratu Dinding 
Kematian yang masih berusaha bertahan mem- 
bantah kata-kata Raja Naga. 

Murid Dewa Naga mendengus. Sisik-sisik 
coklat yang memenuhi kedua lengannya sebatas 
siku itu semakin terang menyala, pertanda kema- 
rahan sudah melambung naik ke ubun ubunnya 

"Baik! Bila kau memang bukan Ratu Dind- 
ing Kematian, berarti kau tak akan menolak ku- 
bawa pada Tiga Penguasa Bumi! Aku yakin, mere- 
ka, atau salah seorang dari mereka mengenalimu! 
Atau... kau kubawa ke hadapan Ratu Tanah 
Kayangan yang sudah pasti mengenalmu!" 

Mendengar nama terakhir yang disebutkan 
Raja Naga, kepala Ratu Dinding Kematian mene- 
gak. Matanya membeliak lebar. Gerakan itu sudah 
cukup bagi Raja Naga kalau apa yang dituduh- 
kannya benar. 

Di lain saat dia sudah melesat dengan tan- 
gan kanan kiri membuka siap menangkap perem- 
puan berpakaian kuning keemasan itu yang terbe- 
lalak panik karena merasa tak mampu untuk 
menghindar lagi. 

Tetapi sebelum Raja Naga berhasil menja- 
lankan niatnya, satu gelombang angin yang me- 
nyeret tanah telah memotong gerakannya dari 
samping kanan. 

Bummmmm!! 

Bersamaan hancurnya ranggasan semak 
terhantam gelombang angin yang memotong gera- 
kan Raja Naga, terdengar seruan keras, "Pemuda 
celaka! Kalau sebelumnya kau berhasil meloloskan 
diri, kali ini kau tak akan bisa berkutik di hada- 
panku!" 

Serta-merta pemuda dari Lembah Naga itu 
menoleh ke samping kanan. Dilihatnya dua sosok 
tubuh telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari 
tempatnya dan sejarak lima belas langkah dari 
tempat Ratu Dinding Kematian dan Purwa yang 
pingsan. 

Sosok tubuh yang tadi melancarkan seran- 
gan, memandang tak berkedip. Dia seorang nenek 
berpakaian hijau dengan kebaya lusuh. Rambut- 
nya yang sebagian besar sudah memutih dihiasi 
oleh sebuah konde berwarna hijau. Di samping 
kanannya, seorang perempuan jelita berpakaian 
merah dengan pakaian dalam warna hijau mena- 
tapnya pula tanpa kedip. 

Tetapi di lain saat, perempuan berambut 
indah itu sudah menatap Purwa yang pingsan. Ma- 
tanya membuka cemas. Namun begitu melihat so- 
sok perempuan berpakaian kuning yang juga se- 
dang menatapnya, kemarahannya seketika meng- 
gelegak. 

Di tempatnya, Raja Naga sendiri membatin 
sambil memandangi kedua orang yang baru da- 
tang itu, "Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani...." 

* * *

ENAM 

SEBELUM kita mengikuti apa yang akan 
terjadi dengan Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu 
apa yang akan dilakukan oleh Setan Gundul Hu- 
tan Larangan. Setelah berhasil mengancam Ratu 
Dinding Kematian, kedua lelaki berpakaian ala 
seorang pendeta itu terus berlalu. Mereka tak lagi 
menghiraukan janji dari Ratu Dinding Kematian. 
Karena yang terpenting bagi mereka, adalah meli- 
hat Raja Naga yang mampus! 

Di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan 
dua lelaki gundul yang di leher masing-masing 
menggantung sebuah tasbih sama-sama menghen- 
tikan langkah. Untuk beberapa saat tak ada yang 
buka suara kecuali memperhatikan sekelilingnya 
dengan seksama. 

Di lain saat, Cokro Kliwing berseru, "Kita te- 
lah berhasil membuat Ratu Dinding Kematian mati 
kutu! Aku yakin kalau perempuan itu belum ber- 
hasil mendapatkan secara utuh bunga-bunga ke- 
ramat yang diinginkannya!" 

Jodro Kliwing mendengus. 

"Kemungkinan itu bisa terjadi mengingat 
dia tak banyak berkutik ketika kita ancam untuk 
menyebarkan niat busuk yang sedang dilakukan- 
nya! Cokro... kita gagal mempermalukan murid 
Ratu Tanah Kayangan karena kehadiran Raja Na- 
ga! Dan untuk membalas Raja Naga, kita berhasil 
memeras Ratu Dinding Kematian! Sekarang... apa- 
kah kau tak memikirkan satu kesempatan emas 
yang ada di hadapan kita?!" 

Lelaki gundul bercodet di keningnya tak se- 
gera buka mulut. Dipandanginya lelaki di hada- 
pannya yang juga berkepala gundul. 

"Apa maksudmu tentang satu kesempatan 
emas?" 

Jodro Kliwing menyeringai. Ternyata tubuh- 
nya lebih besar dari Cokro Kliwing. 

"Ratu Dinding Kematian sedang berusaha 
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, di 
mana kesaktian yang akan didapatkannya dari 
bunga-bunga itu akan dipergunakannya untuk 
membunuh Ratu Tanah Kayangan. Mungkin tak 
banyak yang mengetahui siapa pencuri bunga- 
bunga keramat sebenarnya. Ini kesempatan kita 
untuk menggunting dalam lipatan!" 

Cokro Kliwing terdiam sejenak sebelum ta- 
wanya meledak. 

"Gila! Ternyata kau berotak cerdik juga! Ya, 
ya! Mengapa kita tidak bertindak sejak semula?" 

"Rencana yang datang terlambat ini justru 
membawa keberuntungan! Ingat, kita telah menge- 
tahui kalau Ratu Dinding Kematian telah berhasil 
mendapatkan enam buah bunga-bunga keramat! 
Bisa jadi pula kalau sekarang dia telah menda- 
patkan Bunga Matahari Jingga! Itu artinya, kita 
tahu kalau seluruh atau beberapa bunga-bunga 
keramat telah berhasil didapatkannya!" 

Makin lebar seringaian di bibir Cokro Kliwing 
disusul dengan tawanya yang menggema di se- 
kitar sana. 

"Bila rencana kita ubah seperti itu, berarti 
niat kita untuk meminta bantuan Setan Ngang- 
kang kita urungkan?" 

"Betul! Urusan dendam kita pada Raja Na- 
ga, dapat kita bebankan pada Ratu Dinding Kema- 
tian!" 

"Bagaimana dengan Ratu Tanah Kayan- 
gan?" 

"Perempuan mesum itu menjanjikan tu- 
buhnya untuk kita nikmati bila kita mengetahui 
keberadaan Ratu Tanah Kayangan. Dan kita sudah 
mengabarkan padanya, kalau Ratu Tanah Kayan- 
gan telah meninggalkan tempat tinggalnya. Berarti, 
kita tak perlu mencari perempuan itu!" 

Cokro Kliwing mengangguk-angguk. 

"Padahal, aku menginginkan tubuhnya." 

"Siapa yang tak ingin menikmati tubuh sin- 
tal milik Ratu Dinding Kematian? Sejak dulu kita 
selalu menggeluti tubuh perempuan yang sama. 
Dan sekarang...," Jodro Kliwing menghentikan ka- 
ta-katanya. Bibir tebalnya menyeringai lebar, "Bila 
kita berhasil merebut bunga-bunga keramat dari 
tangan Ratu Dinding Kematian, maka itu artinya, 
kita juga akan dapat menikmati tubuh perempuan 
itu!" 

Cokro Kliwing tertawa keras. 

"Benar-benar sebuah rencana yang matang!" 

"Ya, bahkan terlalu matang hingga menjadi 
busuk!" suara yang keras itu memutus tawa Cokro 
Kliwing. 

Serentak dua lelaki berkepala gundul itu 
menoleh ke samping kanan. Di hadapannya telah 
berdiri satu sosok tubuh berwajah jelita dengan 
pandangan dingin. 

* * *

Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan 
tak berkedip memandang ke depan. Di lain kejap 
masing-masing orang saling lirik. Cokro Kliwing 
sudah buka bicara dengan seringaian lebar, 

"Ratu Tanah Kayangan! Tak kusangka kau 
muncul di hadapan kami?!" 

Perempuan berpakaian biru keemasan den- 
gan perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan 
tangannya, tak buka mulut. Mata indahnya dingin 
pada masing-masing orang. 

"Setan-setan gundul berkedok pendeta! Ka- 
lian membicarakan Ratu Dinding Kematian, itu ar- 
tinya kalian tahu di mana dia berada!" 

Jodro Kliwing tertawa. Dia berusaha untuk 
melihat wajah di balik cadar sutera keemasan. 

"Perempuan beranting mutu manikam! Ka- 
mi juga baru saja membicarakan tentang dirimu! 
Dan kau telah datang di hadapan kami! Ini sangat 
menyenangkan sekali, mengingat kami pun men- 
ginginkan tubuhmu!" 

Di balik cadar sutera yang dikenakannya 
Ratu Tanah Kayangan menggeram. 

"Manusia-manusia terkutuk! Sejak tadi ku- 
curi dengar ucapan mereka tentang Ratu Dinding 
Kematian dan niatnya pada perempuan itu. Berar- 
ti, Ratu Dinding Kematian memang telah menda- 
patkan bunga-bunga keramat." 

Habis membatin demikian perempuan be- 
rambut hitam disanggul ke atas dan diberi sebuah 
jepitan terbuat dari emas, berseru, "Aku tak punya 
banyak waktu untuk terlibat urusan dengan ka- 
lian! Manusia-manusia busuk seperti kalian sebe- 
narnya tak pantas untuk hidup lebih lama di mu- 
ka bumi! Tetapi, aku masih berbaik hati membiar- 
kan kalian hidup! Katakan, di mana Ratu Dinding 
Kematian berada?!" 

Kedua lelaki berpakaian ala pendeta ber- 
warna jingga itu saling pandang dengan seringaian 
lebar. Di lain kejap mereka tertawa keras, seolah 
mendengar lelucon yang sangat lucu. 

"Mengapa kau begitu tergesa-gesa?" ucap 
Cokro Kliwing seraya melangkah ke samping ka- 
nan. Bersamaan dengan itu, Jodro Kliwing juga 
melangkah, tetapi ke samping kiri Ratu Tanah 
Kayangan. Dengan melakukan tindakan itu, mere- 
ka nampaknya berniat untuk mengurung perem- 
puan jelita itu. Cokro Kliwing berseru lagi penuh 
ejekan, "Kami adalah dua lelaki gagah yang mudah 
kelaparan bila melihat perempuan cantik seperti 
kau, Ratu! Dan sudah tentu, kami tak akan mele- 
paskan kesempatan yang telah ada!" 

Ratu Tanah Kayangan mendengus. Dari ba- 
lik cadarnya, matanya melirik ke kanan kiri. 

"Mulut mereka berbunyi busuk! Rasanya 
aku harus memberi pelajaran pada masing-masing 
orang!" geram Ratu Tanah Kayangan dalam hati. 
Lalu berkata dingin, "Kalian tetap tak buka mulut 
mengatakan di mana Ratu Dinding Kematian be- 
rada! Dan kalian justru lakukan tindakan memua- 
kkan! Baik! Kalian rupanya ingin merasakan keke- 
rasan!" 

Lelaki gundul bersenjata tongkat berujung 
bundar tertawa keras. 

"Jodro! Kau dengar itu? Rupanya dia suka 
melakukan hubungan badan dengan kekerasan!" 

"Mengapa kita tidak melayani saja?" sahut 
Jodro Kliwing tertawa pula. "Sebelum menjalankan 
seluruh rencana, ada baiknya kita nikmati tubuh 
indah perempuan ini bersama-sama! Sayang, ka- 
lau dia keburu dibunuh oleh Ratu Dinding Kema- 
tian sebelum kita menikmatinya!" 

Ratu Tanah Kayangan hampir-hampir tak 
mampu menahan amarahnya mendengar ucapan- 
ucapan kotor itu. Tetapi dia masih tindih amarah- 
nya. 

Setan Gundul Hutan Larangan yang sengaja 
menahan keinginan mereka untuk melaksanakan 
rencana yang telah mereka susun barusan, kem- 
bali tertawa keras. 

Dan tiba-tiba saja Jodro Kliwing melesat ke 
depan. Tangan kanan kirinya bergerak ke arah se- 
pasang bukit kembar Ratu Tanah Kayangan yang 
mencuat ke depan. 

Bersamaan dengan itu, Cokro Kliwing pun 
melakukan tindakan yang sama. Tongkatnya di- 
ayunkan ke arah kaki Ratu Tanah Kayangan, se- 
mentara tangan kirinya siap meremas pantat pe- 
rempuan jelita itu. Terdengar suara rahang diker- 
takkan. 

"Manusia-manusia keparat!!" 

Ratu Tanah Kayangan menggeser tubuhnya 
ke samping kanan. Kedua tangan Jodro Kliwing le- 
pas dari sasarannya. Bersamaan dengan itu, Ratu 
Tanah Kayangan melompat untuk menghindari 
sambaran tongkat Cokro Kliwing yang sekaligus 
mengelak dari remasan tangan kiri Cokro Kliwing. 

"Kau mau ke mana, Perempuan?!" seru Co- 
kro Kliwing seraya mengangkat tongkatnya ke 
atas. 

"Setan!!" 

Plak! 

Ratu Tanah Kayangan sudah menendang 
tongkat itu, lalu memutar tubuh di udara dan me- 
lenting untuk hinggap di atas tanah kembali, agak 
jauh dari masing-masing orang berkepala gundul. 

Tetapi kedua orang itu tak mau bertindak 
ayal. Mereka terus memburu. Bukan bermaksud 
untuk membunuh Ratu Tanah Kayangan, melain- 
kan untuk menangkapnya hidup-hidup! Di benak 
masing-masing orang sudah terbayang, bagaimana 
mengasyikkannya bergerak-gerak di atas tubuh 
indah Ratu Tanah Kayangan dalam keadaan polos. 

Di lain saat, masing-masing orang sudah 
menderu kembali. Cokro Kliwing bergerak dengan 
tongkat menyusur tanah yang segera berhambu- 
ran, sementara Jodro Kliwing melesat untuk me- 
nyerang bagian atas tubuh Ratu Tanah Kayangan. 

Perempuan bercadar sutera keemasan itu 
mendengus. 

"Keterlaluan! Terpaksa aku akan memberi 
mereka pelajaran!!" 

Di lain kejap, kedua tangannya sudah dis- 
ilangkan di depan dada. Tanpa bergeser dari tem- 
patnya, ditunggunya kedua serangan lawan sam- 
pai mendekat. 

Melihat perempuan jelita itu seperti mem- 
biarkan serangan mereka, kedua lelaki berkepala 
plontos melipatgandakan tenaga dalamnya. 

Ratu Tanah Kayangan tetap berdiri tegak 
dengan kedua tangan bersilangan. Namun di lain 
saat, kedua tangannya itu sudah didorong ke de- 
pan! 

WuuussssH 

Dua buah gelombang angin bersilangan 
menggebrak hebat! 

Kedua lawannya sesaat tersentak. Sementa- 
ra Jodro Kliwing membuang tubuh ke samping 
kanan, Cokro Kliwing justru mengangkat tongkat- 
nya ke atas. 

WuuutttttH 

Angin menderu menghantam dua gelom- 
bang angin bersilangan. 

Blaaammm! 

Letupan cukup keras terdengar, disusul sa- 
tu jeritan tertahan. 

"Aaaakhhhh!!" 

Cokro Kliwing tergontai-gontai ke belakang 
sembari pegangi dadanya yang terhantam tendan- 
gan memutar Ratu Tanah Kayangan. 

Di seberang perempuan bercadar itu men- 
desis dingin, "Urusanku bukan dengan kalian, me- 
lainkan dengan Ratu Dinding Kematian! Manusia- 
manusia dajal seperti kalian, seharusnya diberi pe- 
lajaran berarti!" 

Cokro Kliwing yang merasa nyeri pada da- 
danya menggeram sengit. Jodro Kliwing sudah 
menerjang ke depan disertai teriakan membahana. 

Ratu Tanah Kayangan memutuskan untuk 
melayani serangan mereka. 

Letupan demi letupan yang terdengar sema- 
kin ramai. Ranggasan semak yang terpapas rata, 
tanah yang berhamburan ke udara, pepohonan 
yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, men- 
gudara. Membuat tempat itu bertambah porak po- 
randa. 

Sementara itu lelaki gundul bersenjata 
tongkat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan ka- 
nan kirinya erat menggenggam tongkatnya yang 
siap mengetok pecah kepala Ratu Tanah Kayan- 
gan. Di pihak lain, Jodro Kliwing sudah meluruk 
laksana banteng ketaton mengamuk dengan kepa- 
la plontos yang siap menghajar perut dan pung- 
gung Ratu Tanah Kayangan! 

Ratu Tanah Kayangan menggeram seraya 
mendorong kedua tangannya. 

Bummm! BummmmU 

Dua letupan keras terdengar. Namun ber- 
samaan dengan itu, tiba-tiba saja Ratu Tanah 
Kayangan tersedak. Seketika dia mundur terburu- 
buru seraya menahan napas. Uap hitam yang tiba- 
tiba bertaburan di depan wajahnya tadi lenyap 
tanpa bekas. 

Di seberang Jodro Kliwing tertawa keras. 

"Ratu Tanah Kayangan! Kau memang hebat! 
Bahkan kami tahu kau belum keluarkan ‘Ajian Se- 
laksa Sukma’ yang hanya bisa ditandingi oleh 
Ajian Selaksa Jiwa' milik Ratu Dinding Kematian! 
Tetapi sekarang, apakah kau bisa bertahan meng- 
hadapi 'Uap Pelemah Tenaga'?!" 

"Terkutuk!" geram Ratu Tanah Kayangan. 
"Uap itu rupanya memiliki keampuhan memati- 
kan!" 

Cokro Kliwing yang siap menyerang mengu- 
rungkan niatnya. Dia tadi sempat melihat kalau 
Jodro Kliwing mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga' 
yang seketika terhirup indera penciuman Ratu Ta- 
nah Kayangan. 

"Tak perlu bersusah payah sekarang! Dalam 
sepuluh kejapan mata, tenagamu akan melemah, 
Ratu!" 

"Setan keparat! Kubunuh kalian!!" seru Ra- 
tu Tanah Kayangan seraya menerjang. Tetapi saat 
itu pula pekikannya terdengar karena secara ber- 
samaan, baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing 
sama-sama mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'! 

Semakin banyak uap mematikan itu ter- 
cium oleh Ratu Tanah Kayangan. 

"Keparat!" makinya gusar. "Tubuhku mulai 
terasa lemah, tenaga dalamku seperti tersedot ke 
bawah dan sukar untuk kugunakan. Okh! Kepala- 
ku... kepalaku mulai terasa pusing." 

Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan 
tertawa-tawa di tempatnya. Hajaran yang mereka 
alami tadi seolah tak dirasakan sekarang. Makin 
terbayang bagaimana mereka akan menikmati tu- 
buh indah perempuan itu yang terbungkus pa- 
kaian berwarna biru keemasan. 

"Cokro! Sebelum dia mengeluarkan 'Ajian 
Selaksa Sukma' kita sergap sekarang!" bisik Jodro 
Kliwing. 

Setelah melihat Cokro Kliwing mengangguk, 
dia sudah menerjang disusul oleh Cokro Kliwing. 
Serangan yang datang dari dua arah itu membuat 
Ratu Tanah Kayangan menggeram keras. 

"Aku tak boleh tertangkap!" desisnya men- 
guatkan hati seraya mengerahkan hawa murninya. 

Di lain saat dia sudah menghindar, namun 
begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, so- 
soknya agak goyah. Saat itulah Cokro Kliwing dan 
Jodro Kliwing menyergapnya! 

Tap! Tap! 

Jodro Kliwing berhasil menyergap ping- 
gangnya, sementara Cokro Kliwing memegang ke- 
dua tangannya. 

"Bawa dia ke balik semak!" 

Jodro Kliwing segera memanggul tubuh 
yang mulai melemah itu diikuti Cokro Kliwing yang 
tertawa-tawa seraya memegangi kedua tangan Ra- 
tu Tanah Kayangan. 

Namun sebelum keduanya berhasil tiba di 
balik semak belukar, tiba-tiba saja terdengar jeri- 
tan susul menyusul. 

Cokro Kilwing sudah melepaskan gengga- 
mannya, begitu pula dengan Jodro Kliwing yang 
telah melempar tubuh montok yang dipanggulnya! 

"Gila! Tubuhnya mendadak menjadi sangat 
panas!" seru Jodro Kliwing tertahan. 

Sementara Cokro Kliwing sedang meman- 
dangi Ratu Tanah Kayangan yang sudah berdiri 
tegak kembali. Tubuh perempuan itu tiba-tiba saja 
bercahaya sangat terang. Hawa panas seketika 
menggebah di sekitar tempat itu. Beberapa rang- 
gasan semak mendadak layu. Cahaya terang yang 
terpancar itu tiba-tiba saja bergumpal di kepalanya 
dan pelan-pelan naik di atas kepala. Lalu berteba- 
ran menjadi beberapa warna terang! 

"Astaga! Dia berhasil mengeluarkan ‘Ajian 
Selaksa Sukma’," desis Cokro Kliwing kaget. Apa- 
lagi mengingat 'Uap Pelemah Tenaga' yang mereka 
lepaskan tadi kadarnya lebih tinggi ketimbang 
yang pernah mereka lakukan pada Puspa Dewi. 

Jodro Kliwing sendiri membeliak. 

"Celaka! Keadaan sudah berbalik sekarang! 
Rupanya 'Ajian Selaksa Sukma' mampu menahan 
kehebatan 'Uap Pelemah Tenaga'!" 

Di seberang, paras di balik cadar sutera 
keemasan itu menegang. Sorot mata si perempuan 
tajam tak berkedip. 

"Beruntung aku masih mampu mengelua- 
rkan 'Ajian Selaksa Sukma'. Hemm... bila saja tadi 
salah seorang atau keduanya menotokku, dapat 
kubayangkan petaka apa yang kualami...." 

Habis membatin demikian, penuh kegusa- 
ran Ratu Tanah Kayangan menggeram sengit, "Ta- 
di kalian kuberi ampunan tetapi malah membang- 
kang! Sekarang... kematianlah yang akan kalian 
terima!!" 

Sebelum Ratu Tanah Kayangan menyerang, 
baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing memu- 
tuskan untuk lebih dulu menyerang. Mereka tahu 
kehebatan ajian yang dikeluarkan Ratu Tanah 
Kayangan. Maka tindakan yang mereka lakukan 
sebenarnya untung-untungan saja. Atau lebih te- 
pat bila dikatakan mencoba menahan sejenak se- 
belum melarikan diri. 

Ratu Tanah Kayangan mendengus gusar 
sebelum ditepukkan kedua tangannya yang seke- 
tika suara ledakan dahsyat terjadi. Menyusul ge- 
lombang angin dahsyat yang diiringi oleh cahaya 
terang menggebrak ganas! 

Kedua lelaki gundul itu segera mengurung- 
kan serangannya seraya bergulingan ke samping 
kanan dan kiri. Tetapi cahaya terang yang telah 
menghantam tanah hingga berhamburan setinggi 
dua tombak, mendadak saja terpecah dua, ber- 
gumpal dan menderu ganas pada masing-masing 
orang! 

Jeritan bertanda ngeri yang dalam terdengar 
dari dua tempat, Cokro Kliwing berhasil menyela- 
matkan diri dengan cara memukulkan tongkatnya 
di atas tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas. 
Tetapi sial bagi Jodro Kliwing. Dia tak sempat me- 
lakukan tindakan apa-apa. Hingga mau tak mau 
tubuhnya terhantam cahaya itu dan terseret di 
atas tanah! 

"Jodroooooo!" pekikan memecah langit ter- 
dengar dari mulut Cokro Kliwing begitu melihat ge- 
liatan-geliatan kesakitan Jodro Kliwing! Cahaya te- 
rang itu masih menggumpali tubuhnya yang terus 
menggeliat. 

Geliatan-geliatan itu akhirnya terhenti. 
Tatkala cahaya terang itu melesat kembali ke tan- 
gan Ratu Tanah Kayangan, terlihat tubuh Jodro 
Kliwing telah hangus. 

"Perempuan setan! Kubunuh kau?!!" Cokro 
Kliwing menderu ganas. Dia tak lagi menghiraukan 
rasa takutnya. Yang diinginkan sekarang adalah 
membalas kematian kambratnya. 

Dalam keadaan seperti itu, sudah tentu Ra- 
tu Tanah Kayangan akan dengan mudah menca- 
but nyawanya. Tetapi perempuan bercadar itu ju- 
stru tidak melakukannya. Dia hanya bergeser ke 
samping kanan. Secara tiba-tiba kaki kanannya 
mencuat! 

DesH 

Telak menghajar dagu Cokro Kliwing yang 
terlempar ke atas dan terbanting di atas tanah! Dia 
pingsan seketika dengan darah keluar dari mulut. 

Ratu Tanah Kayangan menarik napas pendek. 

"Manusia-manusia tak tahu diuntung," de- 
sisnya sambil memandang Cokro Kliwing yang 
pingsan. Kemudian ditatapnya kejauhan sebelum 
mendesis, "Terpaksa aku harus melacak lagi kebe- 
radaan Ratu Dinding Kematian...." 

Tiga kejapan mata berikut, perempuan ber- 
cadar sutera ini sudah meninggalkan tempat itu. 
Meninggalkan mayat Jodro Kliwing dan tubuh Co- 
kro Kliwing yang pingsan. 

* * *

TUJUH 

BEGITU melihat sosok pemuda berompi un- 
gu di hadapannya, nenek berkonde hijau mengge- 
ram dingin. 

"Dosa-dosamu sudah tak terampuni, Raja 
Naga!" bentaknya dengan tangan bergetar menud- 
ing. Sepasang mata celongnya seolah terlempar ke- 
luar. "Kau telah mencoreng nama baik gurumu 
dan membuat rimba persilatan menjadi kacau! Se- 
karang, kau telah menghantam Purwa dan perem- 
puan itu!" 

Di pihak lain Raja Naga yang tak menyang- 
ka akan munculnya Dewi Lembah Air Mata dan 
Sibarani membatin, "Celaka! Kehadiran Dewi Lem- 
bah Air Mata bisa mengacaukan keadaan. Dan bi- 
sa jadi perempuan berpakaian kuning keemasan 
itu akan tetap memutarbalikkan keadaan." 

"Pemuda terkutuk! Lebih baik kau kubunuh 
sekarang!!" 

Belum habis terdengar bentakan itu, tahu- 
tahu sudah menderu gelombang angin yang me- 
nyeret tanah ke arah Raja Naga yang mau tak mau 
melakukan tindakan untuk menahan. 

Blaaam! Blaaammm!! 

Suara letupan dua kali berturut-turut ter- 
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu 
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi ta- 
nah yang menghalangi pandangan itu luruh kem- 
bali, Dewi Lembah Air Mata sudah menerobos ke 
depan dengan tangan kanan kiri digerakkan. 

Raja Naga menghindar ke samping kanan. 
Sebelum dia tegak berdiri, dengan ekor mata ang- 
kernya dilihatnya tubuh si nenek tiba-tiba mence- 
lat ke udara untuk kemudian meluruk ke bawah 
diiringi suara dengingan yang memekakkan telin- 
ga. 

Raja Naga segera mendeham. Dehaman 
yang mengandung tenaga tak nampak itu sesaat 
mampu menahan lurukan tubuh Dewi Lembah Air 
Mata. Di lain kejap, dia melompat mundur. Begitu 
kedua kakinya menginjak tanah, dilihatnya Dewi 
Lembah Air Mata telah merangkapkan kedua tan- 
gannya di depan dada dengan kepala agak ditun- 
dukkan. 

Melihat tindakan yang dilakukan si nenek, 
kedua mata Raja Naga melebar. Sorot angkernya 
terlihat tegang. 

"Gawat! Dia hendak mengeluarkan ilmu 
isakan anehnya itu!" serunya dalam hati. 

Di pihak lain, Sibarani yang telah kehilan- 
gan suaranya menggeram sengit pada Ratu Dind- 
ing Kematian setelah memeriksa tubuh Purwa 
yang pingsan. Kedua mata perempuan berpakaian 
merah dengan pakaian dalam warna hijau ini me- 
lotot dengan tangan menuding. Mulutnya berge- 
rak-gerak seperti melontarkan makian, tetapi tak 
ada suara yang keluar. 

Ratu Dinding Kematian menggeram. 

"Celaka! Mengapa bukan Dewi Lembah Air 
Mata saja yang muncul? Kehadiran Sibarani dapat 
mengacaukan semua rencanaku! Dan itu artinya.,, 
setan! Lebih baik aku mengalah agar Raja Naga 
mulai goyah dengan dugaannya! Tetapi, apakah 
aku perlu melakukannya?" 

Ratu Dinding Kematian menimbang bebera- 
pa saat sebelum berkata, "Sibarani... mengapa? 
Ada apa? Tatapanmu menampakkan kalau kau 
menganggap aku seorang musuh?!" 

Sibarani menuding dengan mulut berke- 
mak-kemik tanpa ada suara yang terdengar. 

Ratu Dinding Kematian mempergunakan 
kesempatan itu, "Sibarani... apakah kau lupa den- 
gan wajah Raja Naga? Pemuda celaka yang telah 
mencuri bunga-bunga keramat?!" 

Mulut Sibarani terus bergerak-gerak, tetapi 
tetap tak ada suara yang keluar. Tangannya yang 
menuding gusar bergetar sementara matanya me- 
nyorot tajam. 

Sementara itu, Ratu Dinding Kematian mu- 
lai mendengar isakan Dewi Lembah Air Mata. Un- 
tuk sesaat perempuan bertahi lalat tepat di kening 
ini terkejut. 

"Gila! Apa yang terjadi? Kenapa nenek ber- 
konde hijau itu menangis? Apakah... heiii! Raja 
Naga terhuyung ke belakang! Astaga! Aku tahu, 
aku tahu. Isakan si nenek rupanya mengandung 
tenaga yang mengerikan! Kalau begitu...." 

Memutus kata batinnya sendiri, Ratu Dind- 
ing Kematian berkata lagi seraya berdiri, "Sibarani! 
Lawan kita saat ini adalah Raja Naga! Dialah yang 
harus kita bunuh! Lantas mengapa kau melotot 
seperti itu padaku?!" 

Tak kuasa menahan amarahnya, Sibarani 
sudah menerjang ke depan seraya dorong tangan 
kanan kirinya mengeluarkan ilmu 'Bentang Gu- 
nung Banting Tanah'. Sudah tentu Ratu Dinding 
Kematian tak mau tinggal diam. Dengan 'Ajian Se- 
laksa Jiwa' dilabraknya Sibarani yang lima kejapan 
mata kemudian terdesak. 

"Aku tidak boleh membunuhnya di hadapan 
Dewi Lembah Air Mata, karena nenek berkonde hi- 
jau itu bisa curiga! Huh! Sebaiknya dia kubikin 
pingsan!" 

Tetapi membuat Sibarani pingsan ternyata 
tak semudah dugaannya. Karena Sibarani ternyata 
tahu apa yang diinginkan Ratu Dinding Kematian. 
Hal itu mulai dirasakannya tatkala tak lagi mera- 
sakan dahsyatnya gempuran Ratu Dinding Kema- 
tian. Dan Sibarani justru mempergunakan kesem- 
patan itu untuk mencoba mencecar. 

Di pihak lain, Raja Naga yang tergontai- 
gontai akibat ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata, 
mau tak mau mengeluarkan Gumpalan Daun Lon- 
tar miliknya yang begitu ditarik keluar dari perut- 
nya, telah membentuk gumpalan sebesar dua ke- 
palan orang dewasa. Memang cukup aneh, karena 
selama ini perut Raja Naga tidak menonjol akibat 
gumpalan daun lontar yang tetap segar dan berca- 
haya hijau itu. Ini dikarenakan kesaktian Gumpa- 
lan Daun Lontar itu sendiri, yang begitu dimasuk- 
kan ke balik pakaiannya, mendadak menjadi se- 
perti lempengan dan menempel pada perutnya! 

Dengan memecah Gumpalan Daun Lontar 
yang tetap segar menjadi dua untuk dijadikan se- 
bagai penutup telinga, anak muda bermata angker 
itu menggebrak ke depan. 

Dewi Lembah Air Mata mendengus gusar. 

"Aku harus merebut Gumpalan Daun Lontar itu!" 

Raja Naga sendiri tahu apa yang diinginkan 
si nenek karena tangan kanan kiri si nenek selalu 
mengarah ke kedua telinganya. 

"Tak perlu kuladeni nenek berkonde hijau 
ini! Lebih baik kubantu Sibarani! Tidak seperti 
Purwa yang begitu akrab dengan perempuan ber- 
pakaian kuning keemasan itu, Sibarani nampak- 
nya sangat murka. Dan dia seperti melupakan di- 
riku yang disangkanya pelaku serangkaian pencu- 
rian bunga-bunga keramat." 

Memutuskan demikian, pemuda berkuncir 
kuda ini menggerakkan kedua tangannya. 

Buk! Buk! 

Sambaran tangan kanan kiri Dewi Lembah 
Air Mata pada kedua telinganya tertahan. Begitu 
kedua tangannya berhasil memapaki sambaran 
Dewi Lembah Air Mata. Raja Naga tiba-tiba me- 
nyergap. Ilmu 'Hamparan Naga Tidur' telah dile- 
paskan. 

DessssH 

Telak menghantam dada datar Dewi Lem- 
bah Air Mata. Sementara si nenek tergontai-gontai 
ke belakang dengan amarah setinggi langit, Raja 
Naga melesat ke depan. Tepat ketika tangan kanan 
Ratu Dinding Kematian siap menghantam leher 
Sibarani. 

Plaaak! 

Tepakan tangan kanan Raja Naga mengha- 
langi niat perempuan mesum Itu yang tersentak 
dan melompat ke belakang. Sementara Raja Naga 
menyambar Sibarani untuk kemudian hinggap di 
atas tanah. 

"Aku tidak tahu mengapa kau tidak bisa bi- 
cara sekarang, aku juga tidak tahu mengapa kau 
menyerang perempuan itu! Tetapi aku yakin, kau 
mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu!" 

Habis kata-katanya Raja Naga melesat ke 
depan. 

"Sekarang kau tak bisa lagi menutupi siapa 
dirimu, Perempuan celaka!!" 

Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' su- 
dah dilepaskan oleh Raja Naga yang ditahan Ratu 
Dinding Kematian dengan 'Ajian Selaksa Jiwa'. Ge- 
lombang angin deras disemburati asap merah pu- 
tus di tengah jalan! Tetapi kali ini Raja Naga ber- 
tindak cepat. Begitu surut ke belakang, dijejakkan 
kaki kanannya yang serta-merta membuat tanah 
berderak dan bergelombang hebat ke arah Ratu 
Dinding Kematian. 

"Terkutuk!" perempuan itu memaki keras 
seraya membuang tubuh ke samping kiri. 

Saat itulah Raja Naga menyergap cepat. 

Tetapi... 

Buk! Buk! 

Sepasang kaki kurus yang bergerak bertubi- 
tubi menahan niatnya dan membuatnya harus 
mundur ke belakang. 

Dewi Lembah Air Mata yang tadi mengha- 
langi niatnya menggeram sengit, "Kau tak bisa me- 
larikan diri, Pemuda keparat!" 

"Dewi Lembah Air Mata!" seru Raja Naga ke- 
ras. "Kau salah tempat dan salah orang! Aku bu- 
kanlah orang yang telah mencuri bunga-bunga ke- 
ramat! Tetapi perempuan celaka berpakaian kun- 
ing itu!" 

Si nenek berkonde hijau melirik Ratu Dind- 
ing Kematian yang wajahnya tegang. Di saat lain, 
si nenek yang masih menahan nyeri pada dadanya 
akibat serangan Raja Naga mendengus, 

"Aku tak mengenal siapa perempuan itu! Te- 
tapi dia nampaknya dekat dengan Purwa, karena 
membela Purwa yang telah kau buat pingsan! Uru- 
sanku adalah...." 

"Apakah kau tak melihat Sibarani menye- 
rangnya?" putus Raja Naga mulai gusar. Dia tidak 
mau kehilangan kesempatan untuk membuktikan 
kalau dirinya tidak bersalah. "Bila kau mau pergu- 
nakan sedikit otakmu, kau seharusnya memikir- 
kan mengapa Sibarani menyerangnya!" 

"Karena Sibarani menyangka perempuan itu 
adalah sahabatmu!" 

"Gila! Mengapa otakmu menjadi dungu se- 
perti itu?" seru Raja Naga bertambah gusar. "Kalau 
perempuan itu sahabatku, untuk apa kusela- 
matkan Sibarani! Dewi Lembah Air Mata! Buka 
matamu lebar-lebar sekarang, Orang tua! Perem- 
puan itu berniat untuk membunuh Sibarani!" 

Kali ini Dewi Lembah Air Mata tak segera 
angkat bicara. Ditatapnya perempuan berpakaian 
kuning keemasan yang wajahnya makin mene- 
gang. 

"Aku tak tahu apa yang terjadi saat ini. Te- 
tapi... apa yang dikatakan Raja Naga kelihatannya 
benar. Perempuan itu memang seperti hendak 
membunuh Sibarani. Tetapi... mengapa? Menga- 
pa? Apakah dia... astaga! Aku ingat apa yang di- 
isyaratkan Sibarani ketika kutanyakan apakah Ra- 
ja Naga telah mencuri Bunga Matahari Jingga? Te- 
tapi dia menggeleng. Lantas... hemm... saat itu aku 
menduga, kalau Raja Naga dibantu oleh seseorang 
untuk mendapatkan bunga-bunga keramat. Bisa 
jadi orang itu...." 

"Dewi Lembah Air Mata! Mengapa kau terla- 
lu lama berpikir? Kau ingin pencuri itu lari?!" 

Seruan murid Dewa Naga membuat jalan 
pikiran si nenek terputus. Sekarang matanya yang 
celong menacing, keningnya berkerut. 

"Raja Naga ingin menggunting dalam lipa- 
tan! Dia bekerja sama dengan perempuan itu un- 
tuk mencuri bunga-bunga keramat, lalu menuduh 
dia seorang yang melakukannya! Licik!" 

Berpikir demikian, Dewi Lembah Air Mata 
menggeram seraya menatap tak berkedip, "Aku tak 
mudah kau muslihati! Kau telah dibantu oleh pe- 
rempuan itu untuk mencuri bunga-bunga kera- 
mat! Karena tak sanggup menghadapiku, kau me- 
nuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga itu 
seorang diri! Terkutuk! Kau ternyata lebih licik dari 
yang kuduga!" 

Kejap itu pula Dewi Lembah Air Mata siap 
menerjang. Tetapi Sibarani telah menangkap tan- 
gan kanannya. 

"HeiiiiH Apa yang kau lakukan?!" 

Sibarani menatap tajam si nenek seraya 
menggeleng keras-keras. 

"Aku tak paham apa maksudmu!!" 

Sibarani menuding Raja Naga lalu meng- 
goyang-goyangkan kepalanya. Kemudian menun- 
juk Ratu Dinding Kematian dan kali ini mengang- 
guk-anggukkan kepalanya. 

Dewi Lembah Air Mata memperhatikan tak 
berkedip. 

Raja Naga menahan napas. 

Ratu Dinding Kematian membatin resah, 
"Rasanya penyamaranku sudah terbongkar seka- 
rang. Aku harus mencari kesempatan untuk melo- 
loskan diri...." 

Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata mengge- 
rakkan kepalanya ke arah Ratu Dinding Kematian. 

"Perempuan! Siapa kau?!" 

Ratu Dinding Kematian menahan debaran 
dadanya yang mengeras, antara tegang dan mur- 
ka. Pelan-pelan dia berkata, "Namaku Nimas Hern- 
ing! Aku adalah kekasih Purwa yang sedang men- 
cari pemuda bersisik coklat itu!" 

Belum lagi Dewi Lembah Air Mata teruskan 
ucapan, Sibarani sudah melesat dengan penuh ke- 
geraman ke arah Ratu Dinding Kematian. 

Kendati rahasia dirinya akan terbongkar se- 
karang, tetapi perempuan itu tak mau mati konyol. 
Segera dibalas serangan Sibarani dengan gerakan 
yang sukar diikuti mata. 

Des! Des! 

Tahu-tahu Sibarani sudah terlontar ke be- 
lakang tanpa mampu menguasai keseimbangan- 
nya. Raja Naga mencoba menyambarnya, tetapi 
Sibarani sudah keburu terbanting di atas tanah, 
yang pingsan seketika! 

Melihat hal itu Dewi Lembah Air Mata 
membentak gusar, "Perempuan berpakaian kuning 
keemasan! Sekarang aku tak yakin kau adalah ke- 
kasih Purwa! Sibarani adalah adik seperguruannya 
yang tak seharusnya kau serang! Aku akan men- 
gulitimu bila kau tidak mau mengatakan siapa di- 
rimu sebenarnya!" 

Rasa amarah di dada Ratu Dinding Kema- 
tian sudah tidak bisa ditahan lagi. Tetapi perem- 
puan yang tepat pada keningnya terdapat sebuah 
tahi lalat itu, berusaha untuk tahan amarahnya. 

"Dewi! Tadi kukatakan namaku Nimas 
Herning! Aku tak berniat mencelakakan Sibarani! 
Aku hanya membela diri!" 

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku!" 

"Tak ada yang kusembunyikan! Aku dan 
Purwa sama-sama sedang mencari Raja Naga yang 
telah memperkosa dan membunuh adikku!" seru 
Ratu Dinding Kematian. Dia sengaja menandaskan 
kata-katanya terakhir untuk mengubah pikiran 
Dewi Lembah Air Mata. 

Tetapi rupanya si nenek sudah tidak ter- 
pengaruh sekarang. Dia justru mempertimbang- 
kan sikap Sibarani sebelum pingsan tadi. Dilirik- 
nya Raja Naga sesaat sebelum berkata lagi, "Kau 
menyembunyikan sesuatu!!" 

Belum habis bentakannya, tiba-tiba saja si 
nenek sudah membuang tubuh, ke samping ka- 
nan. Karena gelombang angin bertaburan cahaya 
warna-warni sudah menyerangnya! Rupanya Ratu 
Dinding Kematian telah mengambil kesempatan 
lebih dulu 

"HeiiiiiH" si nenek memekik tertahan. 

Raja Naga bergerak cepat menyambar tu- 
buhnya karena serangan susulan dari perempuan 
berpita kuning itu sudah menderu lagi ke arah si 
nenek! 

Blaaammm!! 

Tanah terangkat naik ditaburi cahaya war- 
na-warni yang bertebaran! Cukup lama tanah itu 
menghalangi pandangan sebelum kemudian luruh 
kembali di atas tanah. 

Saat itulah Raja Naga yang telah menurun- 
kan tubuh Dewi Lembah Air Mata menggeram sen- 
git. Karena sosok Ratu Dinding Kematian sudah 
tidak ada di sana, bersama dengan tubuh pingsan 
Purwa! 

* * *

DELAPAN 

ANAK muda bersisik! Aku tidak tahu apa 
yang sebenarnya terjadi! Selama ini kaulah yang 
kuanggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat! 
Jelaskan secara rinci sebelum kuputuskan untuk 
tetap pada tuduhan itu!" suara Dewi Lembah Air 
Mata membuat Raja Naga memalingkan kepa- 
lanya. 

Anak muda dari Lembah Naga ini tak segera 
menjawab. Mata angkernya berkilat-kilat menan- 
dakan kegusarannya. Sisik-sisik coklat pada len- 
gan kanan kirinya sebatas siku lebih terang dari 
sebelumnya. 

"Orang tua... kesalahpahaman yang selama 
ini terjadi memang harus diluruskan. Aku bukan- 
lah pencuri bunga-bunga keramat!" sahutnya lalu 
diceritakannya bagaimana Purwa dan Sibarani 
menuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga ke- 
ramat (Baca : "Terjebak di Gelombang Maut"). 

"Aku tak bisa mempercayai ucapanmu begi- 
tu saja!" 

"Kau bisa menanyakannya pada Puspa Dewi!" 

"Siapa orang itu?" 

"Dia murid Ratu Tanah Kayangan! Dan ten- 
tunya Ratu Tanah Kayangan tahu kebenaran dari 
semua ini!" 

"Kalau bukan kau yang mencurinya, siapa 
pencuri itu?" seru si nenek berkonde hijau setelah 
terdiam beberapa saat. 

"Dia adalah Ratu Dinding Kematian!" 

Dewi Lembah Air Mata terdiam. 

"Aku ingat, kalau Dewa Segala Dewa me- 
nyuruh Dewa Seribu Mata untuk menjumpai Ratu 
Dinding Kematian. Jangan-jangan orang tua itu 
memang mencurigai Ratu Dinding Kematian. Ta- 
pi... aku tak bisa percaya begitu saja pada kata- 
kata pemuda ini." 

Habis membatin begitu, si nenek berkata, 
"Ratu Dinding Kematian yang telah mencurinya 
katamu! Sulit dipercaya mengingat dia salah seo- 
rang murid Dewa Pengasih!" 

"Mungkin pula sulit dipercaya kalau Ratu 
Tanah Kayangan yang juga murid Dewa Pengasih 
sedang memburu saudara seperguruannya sendiri! 
Yang berniat untuk mendapatkan Kitab Ajian Se- 
laksa Sukma yang bila digabungkan dengan Kitab 
Ajian Selaksa Jiwa akan menjadi sebuah ilmu yang 
mengerikan! Karena memiliki ilmu yang seimbang 
dengan Ratu Tanah Kayangan, Ratu Dinding Ke- 
matian memutuskan untuk mencuri bunga-bunga 
keramat!" 

Si nenek mendengus. 

"Lantas, di mana aku harus mencari Ratu 
Dinding Kematian?!" 

Raja Naga tak menjawab. Mata angkernya 
tak berkedip ke arah si nenek yang seketika mera- 
sa jantungnya berdebar lebih kencang. Di lain saat 
dia berucap pelan, "Perempuan yang hendak 
membunuh Sibarani tetapi sebelumnya kau bela 
itulah Ratu Dinding Kematian!" 

Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata 
mendengarnya. Untuk sesaat dia terdiam. Lalu di- 
arahkan pandangannya pada Sibarani yang masih 
pingsan. Saat diangkat kepalanya lagi untuk me- 
mandang Raja Naga, pemuda berompi ungu itu 
sudah tidak ada di tempatnya! 

Untuk beberapa lama Dewi Lembah Air Ma- 
la terdiam di tempatnya. Otak tuanya dipenuhi 
bermacam pikiran yang membuat perasaannya ja- 
di tidak tenang. 

"Aku telah salah sangka...," desisnya pelan. 
Angin semilir membelai wajah keriputnya. "Aku 
harus meluruskan kebenaran ini...." 

Kemudian dihampirinya Sibarani dan dipe- 
riksanya tubuh perempuan itu sebelum dilakukan 
pengobatan. 

Raja Naga tak mau menghentikan larinya 
barang sekejap pun. Kendati lelah tak terkira 
mendera kedua kakinya, anak muda bersisik cok- 
lat itu terus berlari. Pikirannya hanya berpusat 
pada Ratu Dinding Kematian. 

Cukup lama dia mencari bukti-bukti kalau 
dirinya tidak bersalah dan sudah tentu dia tak 
akan mau melepaskannya karena bukti itu sudah 
di ambang mata. 

Tetapi sampai matahari kembali muncul da- 
ri peraduannya, anak muda itu tetap tak mene- 
mukan jejak Ratu Dinding Kematian yang melari- 
kan diri dengan membawa Purwa yang pingsan. Di 
samping merasa sia-sia untuk melakukan pengeja- 
ran, dan juga karena lelahnya sudah tak tertahan- 
kan lagi, anak muda itu terpaksa menghentikan 
larinya 

Dipandanginya sekelilingnya yang sepi. Be- 
berapa buah pohon tegak berdiri dengan dedau- 
nannya yang rimbun. 

"Ratu Dinding Kematian... semakin jelas se- 
karang. Dialah pencuri bunga-bunga keramat," de- 
sisnya setelah mengatur napas. Sorot matanya 
yang angker tak berkedip ke beberapa tempat. "Su- 
lit bagiku menemukan di mana dia berada seka- 
rang." 

Kembali pemuda ini terdiam sebelum berka- 
ta, "Tindakan yang dilakukan Sibarani terhadap 
perempuan itu menunjukkan telah terjadi satu pe- 
ristiwa yang membuat Sibarani begitu murka. Bisa 
jadi kalau suaranya yang lenyap akibat perbuatan 
Ratu Dinding Kematian yang mengaku bernama 
Nimas Herning. Tetapi sayangnya, Purwa berada 
dalam genggaman perempuan itu." 

Teringat pada lelaki bercambang itu, Raja 
Naga mengerutkan keningnya. 

"Kebalikan dari sikap Sibarani terhadap Ra- 
tu Dinding Kematian, Purwa begitu dekat sekali. 
Hemm... ada apa di balik keadaan ini? Apakah...." 

Raja Naga urung meneruskan jalan pikiran- 
nya. Digeleng-gelengkan kepalanya. 

"Ketimbang pikiranku semakin tak menen- 
tu, sebaiknya kuteruskan langkah mencari perem- 
puan berpakaian kuning keemasan itu!" 

Tetapi satu suara membuat pemuda itu 
mengurungkan niatnya. "Mengapa harus tergesa- 
gesa, Anak muda?!" 

Raja Naga segera palingkan kepalanya ke 
kanan. Untuk beberapa saat dia terdiam dengan 
mata waspada, lurus pada perempuan berpakaian 
biru keemasan yang sedang melangkah mendeka- 
tinya. 

"Perempuan ini memakai cadar sutera kee- 
masan. Rambutnya disanggul indah. Di telinganya 
terdapat anting-anting mutu manikam. Siapakah 
perempuan ini? Mengapa dia menahan langkah- 
ku?!" 

Sementara Raja Naga membatin demikian, 
si perempuan menghentikan langkahnya sejarak 
sepuluh tindak dari Raja Naga. Sesaat dipandan- 
ginya pemuda di hadapannya dengan seksama. 

"Dari keseluruhan yang nampak di tubuh- 
nya, matanyalah yang sangat mengerikan. Sorot- 
nya tajam, angker dan menusuk hingga jantung. 
Siapakah dia yang... astaga! Aku tahu siapa anak 
muda ini!" 

Habis membatin demikian, perempuan ber- 
cadar sutera itu berkata, 'Anak muda! Kau nam- 
pak terburu-buru, hingga rasanya tidak enak aku 
mengganggumu! Tetapi, ada kebutuhan mendesak 
hingga membuatku mau tak mau menahan lang- 
kahmu!" 

Ucapan si perempuan berpakaian biru kee- 
masan yang lembut dan sopan membuat Raja Na- 
ga terdiam. 

Dipandanginya sesaat perempuan itu sebe- 
lum berkata, "Setiap manusia selalu saja merasa- 
kan memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mende- 
sak! Perempuan bercadar, aku menyediakan wak- 
tu beberapa kejapan mata untukmu." 

"Terima kasih!" sahut si perempuan. "Ku- 
dengar sejak tadi kau menyebut-nyebut julukan 
Ratu Dinding Kematian! Pertanyaanku, apakah 
kau berjumpa dengan perempuan berpakaian kun- 
ing keemasan itu?" 

Raja Naga tak menjawab. Matanya tak ber- 
kedip ke depan. Diam-diam dia membatin, "Ada 
urusan apa lagi ini? Perempuan ini menanyakan 
tentang Ratu Dinding Kematian. Pertanyaannya 
diucapkan datar saja, hingga sulit kutangkap 
maksudnya di balik pertanyaan itu. Tetapi...." 

Memutus kata batinnya sendiri, anak muda 
bersisik coklat pada lengan kanan kirinya sebatas 
siku ini segera berkata, "Perempuan bercadar! Ya, 
belum lama ini aku berjumpa dengan orang yang 
kau maksud!" 

Di luar dugaan Raja Naga, perubahan pada 
wajah di balik cadar sutera itu begitu jelas. Kali ini 
suara si perempuan terdengar agak sengit, "Kata- 
kan di mana perempuan itu berada?!" 

"Aku belum mengenal siapa kau adanya dan 
aku tak tahu ada urusan apa kau dengan Ratu 
Dinding Kematian! Tetapi sebaiknya, kau jelaskan 
terlebih dulu!" 

Dari balik cadar yang dikenakannya, sepa- 
sang mata bening yang indah itu membulat tajam. 
Untuk beberapa saat hening menghampar seiring 
dengan matahari yang terus berangkat naik ke ti- 
tik atasnya. 

"Anak muda... urusanku dengan Ratu Dind- 
ing Kematian sangat erat hubungannya dengan- 
mu!" 

Raja Naga memicingkan matanya. 

"Apa lagi maksud perempuan ini? Sikapnya 
sukar kutebak. Dia tetap kelihatan tenang," ka- 
tanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku semakin ber- 
tambah tidak mengerti." 

"Mungkin kau berlagak tidak mengerti ka- 
rena kau belum mengenal siapa aku! Tetapi aku 
merasa pasti kalau sedikit banyaknya kau sudah 
mendengar siapa aku adanya!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Dari ucapanmu kau nampaknya begitu ya- 
kin kalau kau sudah mengenal aku." 

"Siapa yang tidak mengenal pemuda berciri- 
kan seperti yang ada pada dirimu, Raja Naga?!" 

Seruan si perempuan sesaat membuat ke- 
pala murid Dewa Naga itu menegak. 

"Dia mengenalku rupanya. Tetapi aku be- 
lum mengenal siapa dia adanya," katanya dalam 
hati. Masih tersenyum dia berkata, "Biar tidak ter- 
jadi kesalahpahaman, sebaiknya kau perkenalkan 
siapa dirimu, Perempuan bercadar!" 

Perempuan bercadar sutera keemasan itu 
tak segera buka mulut. Raja Naga melihat senyu- 
man lebar bertengger di balik cadar sutera. 

Menyusul didengarnya kata-kata, "Selama 
ini kau berada dalam lingkaran dan gelombang 
maut dari tuduhan-tuduhan tentang dirimu. Dan 
sudah tentu kau berusaha untuk mencari kejela- 
san dan bukti-bukti kalau kau tidak bersalah! 
Anak muda berjuluk Raja Naga... kau boleh men- 
genalku dengan julukan Ratu Tanah Kayangan!" 

* * *

SEMBILAN 

TEMPAT yang dipenuhi bebukitan itu nam- 
pak suram, padahal saat ini matahari sudah me- 
nebarkan sinarnya ke segenap penjuru tempat itu. 
Suasana sunyi senyap, seolah tempat yang dind- 
ing-dinding bukit di sekitarnya landai dan curam 
tak berpenghuni. Tempat yang juga dipenuhi pe- 
pohonan itu seperti mengisyaratkan satu kematian 
berkepanj angan. 

Di antara dua buah bukit dengan dinding- 
dinding yang terjal, terdapat sebuah bangunan 
yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil. 
Kendati demikian bangunan itu terbuat dari kayu- 
kayu jati yang sangat kokoh. Di sekitar bangunan 
itu terdapat batu-batu cukup besar dan... astaga! 
Nampaknya tak ada jalan untuk menuju ke ban- 
gunan itu kecuali melompati batu-batu yang 
menghadangnya. 

Tindakan seperti itulah yang dilakukan oleh 
satu bayangan kuning yang bergerak cepat. Lang- 
kahnya nampak lincah walaupun parasnya seperti 
menahan satu penderitaan. Di punggungnya tergo- 
lek satu sosok tubuh berpakaian biru yang dalam 
keadaan pingsan. 

Begitu kedua kakinya hinggap di atas se- 
buah batu besar, si bayangan kuning yang bukan 
lain Ratu Dinding Kematian sudah menggenjot tu- 
buhnya dan... 

Tap! 

Kini kedua kakinya sudah menginjak bagian 
depan dari bangunan itu. Tanpa menghentikan 
langkahnya, tangannya digerakkan ke atas dua 
kali. 

Pintu kayu jati yang berat itu berderit dan 
terbuka. Tetap tanpa berhenti sekali pun Ratu 
Dinding Kematian masuk ke dalam bangunan itu. 
Aroma wangi menyergap hidungnya. 

Purwa yang berada dalam bopongannya 
menggeliat setelah hidungnya menangkap aroma 
wangi. 

"Kau tak boleh tahu dulu apa yang akan ku- 
lakukan!" desis Ratu Dinding Kematian seraya me- 
rebahkan tubuh lelaki itu di atas sebuah tempat 
tidur berkasur empuk. Lalu... 

Tuk! Tuk! 

Tangannya menotok, tubuh Purwa mengejut 
sejenak. Lelaki yang hampir saja tersadar dari 
pingsannya ini, kini terkulai lagi. 

Di lain saat, Ratu Dinding Kematian meng- 
hampiri sebuah lemari berukir yang terdapat di 
sudut kamarnya. Dibukanya lemari itu dan diam- 
bilnya sebuah pakaian berwarna kuning keema- 
san, sama seperti yang dipakainya. 

Lalu dihampirinya sebuah cermin besar. Di- 
perhatikan wajahnya yang terlihat kacau balau. 
Parasnya tiba-tiba saja mengeras. Didahului den- 
gusan, dibuka pakaiannya yang telah robek akibat 
perbuatannya sendiri (Baca : "Terjebak di Gelom- 
bang Maut"). 

Seketika kulit mulus miliknya terpampang. 
Demikian pula dengan sepasang buah dada besar 
yang menggiurkan. Ujung-ujungnya yang berwar- 
na kemerahan nampak agak menegang. Untuk se- 
saat Ratu Dinding Kematian melupakan kekesa- 
lannya pada Raja Naga. Dikaguminya tubuhnya 
sendiri, 

Tiba-tiba saja terdengar desisannya cukup 
meremangkan bulu roma. Lalu dirabanya kedua 
payudara montok itu dan diremas-remasnya. Sete- 
lah puas meremas-remas payudaranya sendiri, Ra- 
tu Dinding Kematian membuka pakaian bagian 
bawahnya hingga yang tinggal hanya sehelai kain 
berwarna merah jambu yang masih melekat di 
pangkal pahanya. 

Dikaguminya lagi tubuhnya yang indah itu, 
yang mampu membuat setiap laki-laki terpesona 
dan rela mengorbankan nyawa untuk dapat meni- 
durinya. 

Mendadak perempuan ini mengeluh. Dipe- 
ganginya dadanya yang kini terasa sesak. 

"Pemuda keparat!" geramnya dengan wajah 
murka. "Kau tak akan kulepaskan lagi! Kaulah 
yang menjadi tumbal bunga-bunga keramat ini! 
Orang pertama yang akan kubunuh sebelum ku- 
bunuh Ratu Tanah Kayangan!" 

Sesaat perempuan yang tanpa pakaian ini 
mengingat lagi peristiwa kemarin. Dia memang tak 
mampu menghadapi Raja Naga, apalagi saat itu 
Dewi Lembah Air Mata pun sudah berpihak pada 
Raja Naga. Makanya diputuskan untuk mening- 
galkan mereka dan satu-satunya tempat yang bisa 
didatanginya dengan aman hanyalah tempat ting- 
galnya di Dinding Kematian. 

Lalu diliriknya Purwa yang masih pingsan. 

"Lelaki itu masih berguna untukku...," de- 
sisnya. 

Kembali dipandangi tubuhnya di cermin be- 
sar. Pelan-pelan diturunkannya sisa kain yang me- 
lekat pada pangkal pahanya, hingga kini dia dalam 
keadaan polos. 

"Luar biasa! Pantas... pantas setiap laki-laki 
tergila-gila oleh tubuhku!!" 

Dalam keadaan polos, Ratu Dinding Kema- 
tian masuk ke kamar mandi yang ada di kamar- 
nya. Dibersihkan tubuhnya sebersih-bersihnya. 
Lalu dikenakan pakaian yang tadi diambilnya dari 
lemari besar itu. 

"Aku tak boleh membuang waktu. Pagi ini 
juga harus kurendam bunga-bunga keramat untuk 
mendapatkan kesaktian darinya. Setelah itu...," si 
perempuan terdiam sejenak sebelum terlihat se- 
ringaian di bibirnya, "Bodoh! Mengapa tidak kuhu- 
bungi Bancak Bengek?! Kakek kurus kerempeng 
itu sudah tentu akan bersedia membantuku! Huh! 
Dengan modal tubuhku ini, tak ada yang perlu ku- 
risaukan untuk meminta bantuan pada orang se- 
perti Bancak Bengek maupun Setan Gundul Hutan 
Larangan!" 

Teringat pada dua lelaki kepala gundul ber- 
pakaian ala pendeta yang pernah mengancamnya, 
Ratu Dinding Kematian menggeram sengit. 

"Kedua manusia gundul itu harus mampus 
pula di tanganku! Bukan untuk menutup mulut 
mereka, karena rahasiaku sudah terbongkar! Te- 
tapi... agar mereka tahu kalau aku tak bisa disem- 
barangkan begitu saja!" 

Kejap kemudian, dengan gerakan-gerakan 
yang sangat cepat Ratu Dinding Kematian me- 
nyiapkan sebuah baki yang telah berisi air. Lalu 
duduk bersemadi di hadapan baki yang cukup be- 
sar itu. Mulutnya berkemak-kemik sementara tan- 
gannya mengulap-ngulap di atas air itu. 

Setelah beberapa saat dihela napas pan- 
jang-panjang. 

"Kini tibalah saatnya untuk menjalankan 
seluruh keinginan yang telah kudapatkan...." 

Habis berucap demikian, kali ini Ratu Dind- 
ing Kematian merangkapkan kedua tangannya di 
depan dada. Kejap itu pula nampak cahaya warna- 
warni bertebaran di atas kepalanya yang ketika 
kedua tangannya diangkat serta ditepukkan pada 
cahaya warna-warni itu, cahaya itu lenyap. 

Menyusul, "Datanglah kemari!!" 

Tujuh gelombang angin tiba-tiba saja men- 
deru-deru, menabrak dinding bangunan itu yang 
menimbulkan suara cukup keras. Ratu Dinding 
Kematian menggerakkan tangannya ke depan dan 
memancangkan matanya tajam-tajam! 

Saat itu pula tujuh gelombang angin yang 
menabrak dinding tadi berhenti dan sebagai gan- 
tinya terlihat tujuh buah bunga berlainan jenis 
dan beraneka warna di hadapannya! 

Seketika pecah tawa Ratu Dinding Kema- 
tian. Matanya memandang ketujuh bunga berlai- 
nan jenis yang mengambang di udara. Amarahnya 
pada Raja Naga, dendamnya pada Ratu Tanah 
Kayangan dan murkanya pada Setan Gundul Hu- 
tan Larangan seperti lenyap seketika. 

"Bunga-bunga keramat!" desisnya penuh 
kepuasan. "Tiga Penguasa Bumi ternyata orang- 
orang bodoh! Tak pernah memikirkan kemungki- 
nan bunga-bunga keramat diambil orang! Berun- 
tung aku yang pernah mendengar cerita Dewa 
Pengasih tentang bunga-bunga keramat." 

Perempuan ini menghentikan desisannya. 

"Dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' aku dapat me- 
nutupi keberadaan bunga-bunga keramat yang te- 
lah kucuri tanpa seorang pun dapat melihatnya. 
Dan sekarang... tibalah saatnya untuk memulai 
seluruh yang kuinginkan!!" 

Habis desisannya, tangan kanan kiri Ratu 
Dinding Kematian mengulap ke arah bunga-bunga 
keramat. Lalu pelan-pelan mengarahkan tangan- 
nya pada air di dalam baki. 

Ketujuh bunga yang terdiri dari Bunga Me- 
lati Hijau, Bunga Mawar Ungu, Bunga Anyelir 
Kuning, Bunga Kamboja Merah. Bunga Kecubung 
Putih, Bunga Anggrek Biru dan Bunga Matahari 
Jingga masuk ke dalam baki berisi air itu. Air ben- 
ing di dalam baki berubah menjadi warna hijau 
tatkala Bunga Melati Hijau masuk ke dalamnya. 
Terus berubah menjadi ungu, kuning, merah, pu- 
tih, biru dan jingga. 

Ketujuh warna itu beraduk-aduk menjadi 
satu, sementara bunga-bunga itu mengambang. 
Pelan-pelan air di dalam baki itu bergerak memu- 


uJh 
tar, semakin lama bertambah cepat hingga terden- 
gar desingan-desingan yang kuat. 

Seringaian di bibir Ratu Dinding Kematian 
semakin melebar. Dia tak sabar untuk menunggu 
putaran air itu berhenti. Ditunggunya dengan sek- 
sama tanpa mengalihkan perhatiannya dari air 
yang telah berubah warna laksana warna pelangi. 

Cukup lama air itu berputar hingga kemu- 
dian berhenti. Kalau sebelumnya bunga-bunga itu 
mengambang, kali ini tenggelam. 

"Inilah saatnya...." 

Pelan-pelan Ratu Dinding Kematian mengu- 
lurkan tangannya untuk memegang baki itu. Teta- 
pi kejap itu pula tangannya ditarik ke belakang 
dengan mata membelalak. 

"Astaga! Aku seperti memegang besi yang 
sangat panas!" serunya tertahan. Dipandanginya 
baki berisi air di hadapannya. "Dapat kupastikan 
kalau panas itu berasal dari bunga-bunga keramat 
ini." 

Segera ditariknya napas kuat-kuat, lalu di- 
tahannya di bawah perut. Hawa murni di dalam 
tubuhnya dialirkan hingga kini dia merasa tubuh- 
nya melayang. Dan... gila! Bukan hanya dirasa tu- 
buhnya melayang, tetapi tubuhnya memang men- 
gambang dua jengkal dari lantai. 

Lalu pelan-pelan dijamahnya baki itu. Wa- 
lau masih terasa panas, tidak seperti sebelumnya. 
Kemudian diangkatnya dengan mulut berkemak- 
kemik. Sesaat diperhatikannya air yang berwarna- 
warni itu sebelum kemudian didekatkan bibir baki 
itu pada mulutnya. 


Kejap berikutnya... 

Gluk... gluk... gluk.... 

Air yang mengisi penuh baki itu kini telah 
habis seluruhnya. Saat meminum tadi, Ratu Bind- 
ing Kematian berjaga-jaga agar jangan setetes air 
pun yang tumpah ke bumi. 

Tak ada perubahan apa-apa pada dirinya. 
Ditunggunya beberapa saat. Tetapi perubahan itu 
tetap tidak dirasakannya. 

"Astaga! Apakah ada yang salah? Mengapa 
aku tidak merasa apa-apa?" serunya sedikit mera- 
sa aneh dan terkejut. "Apakah aku... heiii!!!" 

Tiba-tiba saja tubuh Ratu Dinding Kematian 
yang masih mengambang dua jengkal dari tanah, 
melesat ke atas! Dan menabrak atap hingga jebol! 

Ratu Dinding Kematian menjerit tertahan. 
Tanpa sadar dadanya berdebar keras. Seluruh ke- 
gembiraannya karena merasa telah berhasil memi- 
num air rendaman dari bunga-bunga keramat sir- 
na seketika. 

Tubuhnya terus meluncur ke atas. Namun 
seperti ditahan satu tenaga, celatan tubuhnya ti- 
ba-tiba terhenti. Berbalik dan menukik deras ke 
bawah! Kecepatannya melebihi sebuah batu bin- 
tang yang jatuh dari langit. 

Perempuan mesum berpakaian kuning 
keemasan itu memekik keras, memecah pagi dan 
memantul di antara dinding-dinding bukit. Karena, 
dia tak mampu menahan luncuran tubuhnya yang 
sangat cepat itu, sementara kepalanya berada di 
bawah 

SELESAI 

Ikuti kelanjutan serial ini: 
DEWA PENGASIH


Scan/B-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa