Raja Naga 1 - Tapak Dewa Naga


MALAM berkabut dalam. Lolongan 
serigala di kejauhan, menambah 
keangkeran malam. Gumpalan awan hitam 
padat di atas, tak bergeming sedikit pun 
jugaterhembus angin. Beberapa helai daun 
berguguran, beterbangan jauh. Malam kali 
ini lain dengan malam-malam sebelumnya. 
Lebih mencekam, dingin dan dalam. 

Keheningan malam pun melanda sebuah 
rumah besar yang terletak di sebuah 
lembah. Lembah yang tak begitu curam dan 
luas. Hanya beberapa buah pohon yang 
tumbuh di sana. Tak jauh dari sana 
puncak-puncak tebing bebatuan berdiri 
angkuh. Seolah hendak menantang siapa 
saja yang berniat untuk merobohkannya. 

Asap kemenyan tercium dari rumah 
itu. Rumah yang biasa tenang dan damai, 
kini telah menjadi rumah duka. Dua orang 
lelaki bertubuh tegap dan gagah, dengan 
sebilah pedang di pinggang, berdiri di 
depan rumah itu. Menyambut ramah 
beberapa orang yang datang dan kemudian 
pergi setelah memberikan ucapan 
belasungkawa pada tuan rumah. 

Di dalam rumah itu, di sebuah 
ruangan yang cukup besar, nampak satu 
sosok tubuh terbujur kaku di atas sebuah 
dipan. Di bawah dipan itu, tepat di 
bagian kepala dan kaki, mengepul uap 
kemenyan dari anglo hitam. 

Seorang perempuan berusia sekitar 
dua puluh tujuh tahun, nampak khusuk 
duduk berlutut di samping kanan jenazah 
lelaki berwajah tampan yang mengenakan 
pakaian putih bersih, yang pada kening 
lelaki itu terdapat untaian daun lontar. 
Mata si perempuan berpakaian hitam itu 
sembab. Di lehernya menggantung untaian 
daun lontar yang dirajut indah. Dia 
berulang kali mengusap kedua matanya. 
Dan dengan ketabahan tinggi, dia 
berusaha untuk menahan tangis. 

Tak jauh dari tempatnya, berdiri dua 
lelaki setengah baya yang mengenakan 
pakaian serba kuning panjang. Jubah 
mereka berwarna hijau. Satu sama lain 
memiliki raut wajah yang sama. Keduanya 
pun datang dengan belasungkawa yang 
dalam. 

Salah seorang dari kedua orang itu, 
yang berdiri di samping kiri, menoleh 
pada seorang lelaki bertubuh pendek, 
gemukkekar. Lelaki yang diperkirakan 
berusia sekitar enam puluh tahun itu 
mengenakan pakaian warna biru terbuka dl 
bagian dada, hingga tak bisa tutupi perut 
gemuknya. Mungkin karena lemak yang 
berlebihan di setiap inci tubuhnya, 
hingga tak terlihat adanya kerutan atau 
keriput di wajahnya. Sebuah tombak 
berwarna biru tergenggam di tangan 
kanannya yang gempal, lebih tinggi dari 
tubuhnya. 

Orang yang menoleh tadi berbisik, 
"Dewa Tombak... apa yang sebenarnya 
terjadi?" 

Si gemuk pendek mengangkat 
kepalanya, karena orang yang bertanya 
lebih tinggi. Mata bulatnya sesaat 
memandangi orang itu, lalu kembali 
diarahkan pada jenazah lelaki gagah yang 
terbujur kaku. 

Masih memandang dia menjawab, "Aku 
tidak tahu apa yang terjadi. Lima hari 
yang lalu... aku datang seperti biasa, 
untuk menyambangi Pendekar Lontar. Saat 
itu dia dalam keadaan segar bugar. Tak 
terlihat tanda-tanda sedang sakit atau 
kena penyakit. Tetapi kemarin malam, 
ketika aku datang kembali ke tempat ini, 
dia sudah tewas...." 

"Kau tidak tahu apa yang terjadi?" 

Dewa Tombak gelengkan kepalanya. 
Lehernya yang seperti menyatu dengan 
bahunya seperti tak kelihatan bergerak. 

"Bukan hanya aku yang tidak tahu apa 
yang menyebabkan kematian Pendekar 
Lontar. Tetapi istrinya sendiri, Dewi 
Lontar, ketika kutanyakan 
sebab-sebabnya, dia mengaku tidak tahu 
sama sekali." 

"Sebagai seorang sahabat, kau sudah 
memeriksa keadaan Pendekar Lontar?" 

"Aku sudah melakukannya. Tak ada 
tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya 
normal. Bagian tubuhnya tak terlihat 
terkena satu serangan. Tadi siang, aku 
sudah menghubungi Dewa Segala Obat. Biar 
bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui 
penyebab kematian Pendekar Lontar. Bila 
memang Pendekar Lontar meninggal karena 
panggilan Sang Pencipta, itu tak perlu 
dipermasalahkan lagi. Tetapi kita tahu. 
Pendekar Lontar banyak mempunyai musuh 
akibat dari segala tindakannya yang 
selalu membela kebenaran." 

"Katamu tadi, kau sudah menghubungi 
Dewa Segala Obat. Apa katanya?" 

"Dia berjanji untuk datang. Dan aku 
berharap, dia dapat menemukan 
sebab-sebab kematian Pendekar 
Lontar...," sahut Dewa Tombak. Lalu 
mengangkat kepalanya, 

"Sema Kuriang... aku tahu 
kesibukanmu dengan saudara kembarmu itu. 

Tetapi kau tetap bisa datang. Aku 
mengucapkan terima kasih...." 

Si lelaki berjubah hijau itu 
menganggukkan kepala. 

"Kendati kami jarang berjumpa 
dengan Pendekar Lontar, tetapi kami 
sangat menghormatinya. Dalam usianya 
yang baru tiga puluh tahun, julukannya 
sudah membedah sebagian jagat raya ini 
sebagai orang yang berada dalam golongan 
lurus. Selain dikenal dengan ilmu yang 
dimilikinya. Pendekar Lontar juga pandai 
memainkan ilmu pedang. Tak seorang pun 
yang menyangsikan kehebatannya 
mempergunakan pedang. Sudah tentu, kami. 
Dua Serangka! Jubah Hijau, merasa perlu 
untuk datang memberikan penghormatan 
terakhir 

Baik Sema Kuriang maupun Dewa Tombak 
tak buka suara. Mereka melihat perempuan 
berpakaian ringkas warna hitam 
perlahan-lahan bangkit. Sepasang mata 
yang biasanya bersinar ceria dan indah, 
kini sembab akibat menahan tangis. Si 
perempuan yang ternyata istri dari si 
lelaki yang telah menjadi mayat, 
memandang pada keempat orang itu. 

Dia mencoba tersenyum. 

"Terima kasih atas kedatangan 
kalian...," katanya agak tersendat. 

Dewi Lontar..., kata Sema Kuriang. 
"Aku sudah bertanya pada Dewa Tombak, 
penyebab kematian suamimu, si Pendekar 
Lontar. Tetapi dia tidak tahu apa yang 
terjadi. Sebagai orang yang menghargai 
sekaligus menghormati Pendekar Lontar, 
kami merasa perlu untuk mengetahui 
penyebab kematiannya....". 

Perempuan berambut hitam indah 
dikuncir kuda yang dari tubuhnya 
menguarkan aroma harum itu, menarik 
napas pendek. Hidung bangirnya agak 
memerah, demikian pula dengan kulit 
putih bersihnya. 

Sambil memainkan kalung daun lontar 
yang tergerai di dadanya, perlahan-lahan 
dia menggeleng. 

"Aku sendiri tidak tahu sama 
sekali.... Kemarin malam, kami masih 
bercanda. Bahkan, kami sama-sama 
mencandai putra kami satu-satunya, si 
Boma Paksi, sampai putra kami yang 
berusia lima tahun itu tertidur." 

"Apakah kau tidak melihat gelagat 
buruk saat itu?" tanya lelaki berjubah 
hijau yang berdiri di samping Sema 
Kuriang. Wajahnya mirip dengan Sema 
Kuriang. Tetapi ada tahi lalat tepat di 
tengah keningnya. 

Dewi Lontar kembali menggelengkan 
kepalanya. Gerakannya sangat lemah. 
Perempuan perkasa itu merasa sebagian 
jiwanya telah terampas pergi bersamaan 
meninggalnya suaminya. Sebelum subuh 
tadi, dia terbangun karena hendak buang 
air. Lalu dia pergi ke belakang. Setelah 
itu dia kembali ke kamarnya. Dilihatnya 
suaminya yang tertidur dengan kedua mata 
mengatup. 

Rasa cinta kasihnya membuatnya 
lebih lama memperhatikan suaminya. 
Sampai dia merasakan sesuatu yang aneh 
terjadi. Karena dia tak mendengar 
desahan napas lembut suaminya seperti 
biasa. Rasa herannya itu membuatnya jadi 
penasaran. Dijulurkan telunjuknya ke 
hadapan hidung suaminya. 

Hati Dewi Lontar seketika tercekat 
karena dia tak merasakan adanya hembusan 
atau tarikan napas. Rasa penasarannya 
berubah menjadi panik. Dia segera 
tempelkan telinganya pada bagian jantung 
suaminya. Sama sekali dia tak mendengar 
bunyi detakan lembut jantung suaminya. 

Untuk beberapa saat Dewi Lontar 
tertegun. Seperti tak mempercayai apa 
yang terjadi. Dan perlahan-lahan dia 
sadar, kalau suaminya sudah meninggal. 

Kala matahari sepenggalah, Dewa 
Tombak muncul sesuai janjinya dua hari 
lalu. Diceritakannya apa yang telah 
terjadi dengan penuh kesedihan. 

Dewi Lontar menggelengkan 
kepalanya. Perempuan berwajah bulat 
telur Ini berusaha untuk kelihatan 
tegar. 

"Aku tak melihat tanda-tanda 
kecemasan suamiku akan sesuatu pada 
malam itu. Dia tetap kelihatan tenang dan 
selalu ceria seperti biasanya...." 

"Dewi Lontar... selama ini suamimu 
dikenal sebagai orang yang membela orang 
yang Eemah. Berpuluh orang pernah 
dikalahkannya karena orang-orang itu 
berbuat makar. Menurut penilaianku, tak 
mustahil bila ada orang yang mendendam 
padanya dan malam itu datang melakukan 
serangan 

"Serangan gelap seperti apa pun akan 
selalu diketahui oleh suamiku...." 

Jawaban Dewi Lontar tidak bernada 
sombong sama sekali. Dua Serangkai Jubah 
Hijau dan Dewa Tombak, sama-sama tahu 
kalau Pendekar Lontar memiliki ilmu 
'Raga Pasa. Ilmu yang membuatnya dapat 
mengetahui serangan gelap apa pun juga. 
Bahkan Ilmu sihir yang dilancarkan oleh 
seorang ahli sihir yang sangat ahli pun 
dapat diketahui. 

Dewa Tombak berkata, "Dewi 
Lontar... tabahkanlah hatimu. Bila 
memang suamimu meninggal karena sudah 
batas usianya, relakanlah...." 

Dewi Lontar menganggukkan 
kepalanya. 

"Ya... aku akan merelakannya. 
Kematian apa pun yang telah menimpanya, 
aku akan rela menerimanya...." 

"Tidak!" Dewa Tombak berkata tegas. 
Perutnya yang besar sesaat bergerak. 
Lalu suaranya berubah lembut ketika 
tatapan Dewi Lontar tak berkedip ke 
arahnya, "Maksudku... aku tak akan 
pernah terima, bila ternyata ada orang 
yang telah menjahati suamimu. Bila 
memang demikian adanya, dugaanku dia 
tewas akibat ilmu hitam...." 

Pernyataan Dewa Tombak membuka 
sepasang mata perempuan jelita 
berpakaian hitam. Untuk sesaat dia 
terdiam memikirkan apa yang dikatakan 
orang bertubuh gemuk itu. Tetapi di kejap 
lain perempuan itu sudah gelengkan 
kepala. 

"Untuk saat Ini, aku tak ingin 
memikirkan keadaan itu. Besok... aku 
akan mengadakan upacara penguburan.. . ." 

Dewa Tombak tak tersinggung dengan 
ucapan si perempuan. Dia dapat 
memakluminya. 

"Selama aku mengenal Dewi Lontar, 
belum sekali pun kulihat dia bersedih 
seperti ini. Dia selalu ceria dengan 
kegembiraan yang alami. Tak pernah 
dibuat-buat. Tetapi di saat lain, dia 
bisa berubah menjadi seseorang yang 
sangat garang, melebihi garangnya 
harimau betina. Dan biasanya, dia selalu 
memikirkan baik-baik setiap urusan yang 
terjadi. Nampaknya kail ini, kesedihan 
sudah melandanya hingga dia seolah tak 
pedulikan apa yang kukatakan tadi," kata 
Dewa Tombak dalam hati. 

Lalu tamu-tamu pun berdatangan 
untuk mengucapkan belasungkawa kepada 
janda Pendekar Lontar. Mereka 
berdatangan dan segera pergi. 

Sampai tinggal orang-orang yang 
sejak tadi memang berada di sana. Saat 
Itulah terdengar suara anak kecil 
menangis. Dewi Lontar segera beranjak ke 
salah sebuah ruangan yang terdapat di 
rumah itu. 

Sema Kuriang berbisik pada Dewa 
Tombak, "Di mana Dewa Segala Obat? 
Mengapa sampai saat ini dia belum juga 
hadir?" 

Lelaki gemuk itu menggelengkan 
kepalanya. 

"Aku juga heran. Mengapa dia belum 
hadir juga?" 

Tak lama kemudian mereka melihat 
Dewi Lontar sudah muncul kembali, kali 
ini sambil menggendong bocah laki-laki 
yang tertidur manja dalam rangkulan-nya. 
Bocah itu berambut gondrong. Di 
punggungnya terdapat sebuah gambar 
seekor naga berwarna hijau. 

Dua Serangka! Jubah Hijau sama-sama 
memandang tak berkedip pada tato seekor 
naga yang terdapat pada punggung si 
bocah. Sementara Dewa Tombak tak acuh 
saja, karena dia sudah sering melihat 
gambar seekor naga disana. 

Dewi Lontar sadar apa arti tatapan 
kedua lelaki setengah baya berjubah 
hijau. 

Dia berkata, "Aku tidak tahu 
bagaimana asal mulanya gambar naga hijau 
ini terdapat pada punggung bayiku. Saat 
kulahirkan, gambar naga hijau yang 
seperti sebuah tato Ini, sudah terdapat 
pada punggungnya...." 

Dua Serangka! Jubah Hijau tak 
bersuara. Mereka masih memperhatikan 
tato naga hijau yang terdapat pada 
punggung si bocah. 

Sema Kuriang membatin, "Aku seperti 
melihat sisik tipis warna coklat yang 
terdapat pada kedua tangannya sebatas 
siku. Ah, mungkin aku salah melihat. 
Rasanya agak janggal kalau bocah Itu 
memiliki sisik." 

Di pihak lain, saudara kembarnya 
juga membatin, "Pada punggungnya, 
terdapat tato naga hijau. Pada kedua 
tangannya sebatas siku terdapat 
sisik-sisik kecoklatan. Aneh Mengapa 
kedua tangannya sampai bersisik seperti 
itu? Padahal Pendekar Lontar dan 
istrinya tak memiliki sisik seperti itu. 
Jangan-jangan... sisik-sisik coklat 
yang terdapat mulai jari-jemarinya hing¬ 
ga batas siku, juga dibawanya sejak 
lahir." 

Selagi keheningan terjadi, 
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di 
depan. Dewa Tombak segera berkelebat ke 
sana. Dia melihat dua orang 
bersenjatakan pedang yang menjaga di 
depan rumah besar itu, sedang ribut 
omongan dengan seorang kakek yang me¬ 
ngenakan jubah merah. Kepala si kakek 
lonjong. Kumis putihnya panjang turun ke 
bawah. Rambutnya yang sudah memutih 
semua diikat ekor kuda. Bola matanya 
tajam dengan sepasang aiisyang seperti 
menyatu. Dari apa yang ada pada tubuh si 
kakek, yang mengejutkan adalah kedua 
punggung tangannya. Karena, di sana ada 
sisik-sisik berwarna hijau. Sangat 
jelas. Sisik itu pun terdapat pada bagian 
wajahnya, tetapi tipis saja. Karena dia 
mengenakan pakaian panjang, jadi tak 
bisa diketahui apakah sisik-sisik Itu 
juga,terdapat pada bagian tubuhnya yang 
lain. 

Si kakek saat ini sedang 
marah-marah. Bahkan tangan kanannya siap 
terangkat untuk menampar kedua penjaga 
itu. 

"Selamat datang ke rumah duka. Dewa 
Naga...." 

Ucapan Dewa Tombak yang disusul 
dengan sosoknya yang mendekat, membuat 
si kakek mengurungkan niatnya untuk 
menampar kedua penjaga yang bersiaga. 
Bahkan tangan kanan masing-masing sudah 
menggenggam pedang, siap dihunuskan. 

"Brengsek! Apa-apaan kedua cecunguk 
ini melarangku masuk, hah?I Hei, Orang 
bulat! Katakan pada mereka, jangan 
banyak tingkah di hadapanku!" 

Dewa Tombak tersenyum. Saat 
melangkah tubuhnya mengegal-ngegol. Dia 
memberi isyarat pada kedua penjaga yang 
menuruti tetapi tatapannya tajam pada si 
kakek muka lonjong. 

"Hanya kesalahpahaman saja...," 
kata Dewa Tombak dengan senyuman lebar. 

"Dan kau tetap selalu bersikap keras 
seperti itu rupanya." 

Si kakek muka lonjong yang bersisik 
halus itu menggeram. 

"Brengsek! Apanya yang kesalah 
pahaman, hah?I Mereka melarangku masuk! 
Memangnya di dalam sana ada pertunjukan 
yang mengharuskan aku membayar untuk 
melihat?!" 

Salah seorang penjaga itu berseru, 
"Tuan Dewa Tombak. . . sikap si kakek 
sungguh tak menyenangkan. Dia datang 
dengan sikap yang angkuh. Bahkan 
mulutnya terus berbunyi yang justru 
menimbulkan kegaduhan..." 

"Eh, busyet maki si kakek dengan 
mata tajam. "Mulutku berbunyi?! Keparat 
betul kau ya? Jangan-jangan kau memang 
mengharapkan kugaplok?!" 

Si penjaga sama sekali tak kelihatan 
takut, karena mereka memang tidak tahu 
siapa kakek bersisik hijau yang datang 
ini. Saat ini dia sedang berduka karena 
majikan mereka tewas tanpa ketahuan 
penyebabnya. Dan dia sangat tersinggung 
bila ada orang yang bermaksud 
menyembangi majikannya bersikap tak 
menyenangkan. Selama delapan tahun, 
Markuto dan adiknya yang bernama Gerada 
sudah mengabdikan diri pada Pendekar 
Lontar. Bahkan dengan senang hati Pen¬ 
dekar Lontar mengajarkan mereka sedikit 
ilmu pedang yang dimilikinya. Rasa 
hormat mereka pada Pendekar Lontar 
melebihi sayangnya mereka pada nyawa 
sendiri. 

Sementara si penjaga mendelikkan 
matanya gusar, Dewa Tombak justru 
tertawa-tawa keras. 

Si kakek muka lonjong menggeram. 

"Kau teruskan tawamu, kubunuh kau!!" 

Dewa Tombak sendiri segera 
menghentikan tawanya. Bukan karena takut 
akan ancaman si kakek yang berjuluk Dewa 
Naga, melainkan karena dia kembali 
teringat, kalau saat ini suasana duka 
sedang melanda. 

Lalu katanya pada Markuto, "Kau 
salah sangka, Markuto. Bukan mulutnya 
yang berbunyi, tetapi pantatnya!" 

Sementara Markuto melongo, si kakek 
muka lonjong menggeram. 

"Brengsek! Kau membuka aibku ya?! 
Memang... pantatku ini terkadang tidak 
bisa diajak kompromi! Selalu bunyi tanpa 
kuminatiI Eh, selagi kuminati... susah 
sekali bunyinya...." 

Dewa Tombak menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Lalu diajaknya Dewa Naga 
masuk ke dalam. Markuto dan Gerada 
memperhatikan dengan seksama. Mereka 
membuka pendengaran lebih lebar. Dan 
mereka tak mendengar suara yang seperti 
sebelumnya mereka dengar. 

Sementara itu, menyadari kalau dua 
pasang mata tertuju pada pantatnya, si 
kakek muka lonjong menggeram jengkel. 
Mendadak dijentikkan ibu jari dengan 
telunj uknya. 

Claaap.... I 

Gerakan yang sangat ringan dan cepat 
itu seperti tak mengandung apa-apa, 
tetapi Markuto dan Gerada mendadak saja 
jatuh terjengkang. 

Dewa Tombak berkata, "Kau terlalu 
ringan tangan. Kawan...." 

"Keparat kau. Kakek Bulat! Siapa 
yang tidak risih kalau pantatnya 
dilihati terus? Memangnya aku janda 
kembang yang punya pantat bulat yang 
memancing perhatian untuk 
diremas-remas?!" seru si kakek gusar. 

Dewa Tombak mendengus. 

"Bila kakek ini mau, kedua orang itu 
bukan hanya akan langsung tewas 
seketika. Tetapi tubuhnya akan lebur 
menjadi debu," katanya dalam hati. 
Kemudian melanjutkan, "Tokoh satu ini 
memang dikenal memiliki sifat 
angin-anginan. Setiap orang yang 
mendengar julukannya, pasti akan merasa 
copot jantungnya. Siapa yang tak 
mengenal julukan Dewa Naga?" 

Lalu dengan langkah yang 
mengegal-ngegol dia masuk kembali ke 
ruangan duka, disusul oleh Dewa Naga yang 
mendengus. 

Di pihak lain, Markuto dan Gerada 
sedang bangkit sambil meringis. Dan 
mereka tidak mengerti apa yang telah 
menimpa mereka tadi. 

★ ★ ★ 



KEKADIRAN Dewa Naga membuat Dua 
Serangkai Jubah Hijau segera 
merangkapkan kedua tangannya di depan 
dada. Yang dihormati justru mendengus 
sa j a. 

Dia berkata pada Dewi Lontar yang 
sedang mengangguk hormat, "Siapa orang 
keparat yang membunuh pendekar gagah 
itu, Dewi Lontar?" 

Dewi Lontar menggelengkan 
kepalanya. Lalu dengan suara pelan dia 
menyahut, 

"Dewa Naga... suamiku tidak mati 
dibunuh orang. Tetapi ajal memang sudah 
menjemputnya...." 

"Huh! Bicaramu terlalu ringan! Kau 
terlalu diliputi oleh kesedihan 
rupanya!" dengus si kakek berjubah 
merah. Dia berjalan mendekati jenazah 
Pendekar Lontar. Saat berjalan mendadak 
saja sesuatu berbunyi, 

Brrut! Bruuut! 

Kontan Dewa Naga menghentikan 
langkahnya. Dia melirik ke kanan kiri 
dengan wajah agak memerah. Keanehan 
terpampang. Karena sisik halus warna 
hijau pada wajahnya, seperti berubah 
menjadi merah. Setelah dilihatnya tak 
ada yang ketawa atau meringis, dia 
melangkah lagi. 

Padaha! saat ini Dewa Tombak sudah 
tertawa keras dalam hati. Sementara Dua 
Serangkai Jubah Hijau hanya 
menggeleng-gelengkan kepala saja. 

"Kakang Segala Jaka memang tak 
pernah menghilangkan kebiasaannya itu, " 
desis Sema Kuriang dalam hati. 

"Ah... kebiasaan buruk. Tapi mau 
bagaimana lagi? Dia tak akan pernah bisa 
menghilangkannya...." 

Dewa Tombak membatin, "Tak kusangka 
kalau Dewa Naga, Majikan Lembah Naga, 
akan hadir di sini. Ya, ya... siapa pun 
akan menyambangi kematian pendekar besar 
seperti Pendekar Lontar." 

Saat itu Dewa Naga sudah berdiri di 
samping kanan sosok Pendekar Lontar yang 
terbujur kaku. Sepasang mata tajam si 
kakek yang memperlihatkan Sinar 
kewibawaan kendati kalau bicara asal 
saja, memperhatikan sekujur tubuh 
Pendekar Lontar. Saat lain mulutnya 
terlihat berkemak-kemik di saat tangan 
kanannya digerakkan di atas tubuh 
Pendekar Lontar. Sisik-sisik hijau pada 
wajahnya semakin menyala. 

Tak ada yang menahan apa yang 
dilakukannya. Mereka tahu, kalau Dewa 
Naga yang memiliki kesaktian luar biasa 
itu, sedang mencari penyebab kematian 
Pendekar Lontar. 

Kemudian terlihat tangannya 
bergetar. Dia buka Suara, "Aku tak 
percaya kalau dia tewas tanpa ada 
penyebabnya...." 
Kata-katanya itu membuat 
orang-orang yang berada di sana, 
termasuk Dewi Lontar jadi membuka mata 
lebih lebar. Mereka melihat tangan kanan 
Dewa Naga semakin bergetar, tepat pada 
jantung Pendekar Lontar. 

"Aku mencurigai ada sesuatu di 
jantungnya, yang menyebabkannya 
meninggal...." 

"Kakang Segala Jaka...," kata Gala 
Kuriang salah seorang dari Dua Serangka! 
Jubah Hijau, "Apakah kau berpendapat 
kematian Pendekar Lontar tidak wajar?" 

"Brengsek! Jangan ganggu aku kalau 
aku sedang mencari sesuatu, hah?I Kau 
ingin wajahmu kuhantamkan ke tembok?!" 
maki Dewa Naga keras. 

Gala Kuriang tidak tersinggung 
dengan ucapan itu. Dia justru menutup 
mulutnya. 

"Aku yakin. Pendekar Lontar mati 
tidak wajar. Tetapi aku tidak tahu apa 
penyebabnya. Semua orang tahu, kalau dia 
memiliki ilmu 'Raga Pasa'. Boleh 
dikatakan, kalau orang yang 
membunuhnyaini memiliki limu yang tinggi 
dan aneh. Bisa juga kalau dia 
mempergunakan sesuatu untuk 
membunuhnya." 

"Kalau kau sudah tahu, mengapa kau 
katakan dia meninggal tidak wajar?" 
tanya Dewa Tombak. 

Dewa Naga melotot padanya. 

"Orang bulat banyak omong! Aku bukan 
ahli penyakit dan juga bukan ahli obat! 
Yang bisa menerangkan semua ini hanya 
Dewa Segala Obat!" 

"Aku telah menjumpainya dan 
memintanya datang ke sini...." 

"Bagus! Tapi, mengapa dia belum juga 
datang?!" 

"Dewa Segala Obat selalu tepati 
janji. Kalaupun dia terlambat datang, 
mungkin ada sesuatu yang menghambatnya. 
Tetapi aku yakin, dia pasti datang." 

Justru yang datang kemudian, dua 
orang lelaki berwajah tirus. Kedua 
lelaki ini diperkirakan berusia sekitar 
enam puluh tahunan. Tampang mereka sadis 
dan angker. Yang berambut panjang tetapi 
botak di tengah, memiliki mata tajam 
mengerikan. Tak berkumis, tetapi 
berjenggot yang dikepang. Mengenakan 
pakaian hitam dengan rompi biru. Di 
pergelangan tangannya yang kurus 
terdapat gelang-gelang hitam hingga 
batas lengan. 

Sementara yang seorang lagi, 
mengenakan pakaian panjang dengan jubah 
hitam. Lebih tinggi dari yang satunya 
lagi. Tatapannya pun tajam, dengan 
kelopak mata agak menurun. Kepalanya 
plontos, dan terdapat tanda matahari 
tepat di ubun-ubunnya. 

Masing-masing orang yang berada di 
sana memandang tidak enak akan kehadiran 
keduanya. Mereka mengenal kedua tokoh 
itu. Yang berjenggot dikepang berjuluk 
Iblis Penghancur Raga, sementara yang 
seorang lagi berjuluk Iblis Telapak 
Darah. Kedua orang ini dikenal sebagal 
orang sesatyang menguasai daerah timur. 

Iblis Penghancur Raga mengedarkan 
pandangannya ke orang-orang yang berada 
di sana. Begitu tertumbuk pada mata Dewa 
Naga, dia kelihatan berusaha untuk tidak 
menatapnya lebih lama. 

"Keparat! Kupikir kakek sialan itu 
tidak hadir di sini I " makinya dalam hati . 
Lalu melangkah mendekati jenazah 
Pendekar Lontar. Ditatapnya jenazah itu 
dengan seksama. Dan tanpa sungkan dia 
memperlihatkan senyuman sinisnya. Lalu 
melakukan pertghormatan tiga kali. Lalu 
mundur. 

Iblis Telapak Darah ganti melakukan 
penghormatan yang sama. Tetapi sambil 
berkata, "Kehebatanmu ternyata tak 
seberapa, Pendekar Lontar. Kau yang 
selama ini dikenal sebagai orang sok suci 
yang selalu lancang mencampuri urusan 
orang, akhirnya pun mampus juga...." 

Kata-kata sinis Ibiis Telapak Darah 
membuat muka Dewi Lontar memerah. Tetapi 
perempuan Jelita yang sedang menggendong 
Boma Paksi yang masih tertidur, segera 
tindih amarahnya. Dia tahu, kalau tiga 
bulan yang lalu, Ibiis Penghancur Raga 
dan iblis Telapak Darah pernah 
dikalahkan suaminya di Lembah Air Mata. 
Dan dapat dipastikan kalau keduanya 
datang untuk mencari gara-gara. 

Tetapi Sema Kuriang tak menyukai 
kata-kata iblis Telapak Darah. 

"Ada seekor kucing yang hendak 
berubah menjadi harimau, tetapi sampai 
kapan pun tak akan pernah bisa terjadi 
walaupun sudah diupayakan seperti apa 
pun. Keberaniannya tak akan ada meskipun 
dia telah berubah menjadi harimau. 
Karena masih ada harimau sesungguhnya 
yang siap menerkamnya...." 

Sindiran halus Sema Kuriang membuat 
iblis Telapak Darah seketika menoleh. 
Lelaki berjubah hitam ini sudah hendak 
buka mulut menyemprot, tetapi tangannya 
dijentik oleh ibiis Penghancur Raga. 

Mengerti maksud dari Iblis 
Penghancur Raga kalau di sana ada Dewa 
Naga yang sedang melotot pada mereka, 
iblis Telapak Darah menelan bulat-bulat 
kejengkelannya. 

Iblis Penghancur Raga berkata pada 
Dewi Lontar, "Dewi Lontar... kuhaturkan 
ucapan belasungkawa yang 
sedalam-dalamnya atas kematian suamimu. 
Terus terang, kami hadir dengan membawa 
persahabatan dalam. Tak ada dendam 
sedikit pun di hati kami kendati pernah 
dikalahkannya di Lembah Air Mata...." 

Kendati tak mempercayai kata-kata 
Iblis Penghancur Raga, Dewi Lontar 
mengangguk. 

"Terima kasih kuucapkan atas 
kesediaanmu menyambangi jenazah 
suamiku 

Iblis Telapak Darah berkata, 
"Suamimu adalah seorang tokoh besar yang 
pernah hidup di zaman in! . Sayang, 
usianya sangat pendek. Padahal, masih 
banyak yang bisa dilakukannya...." 

"Siapa pun tak akan bisa menentang 
ajal...," kata Dewi Lontar sopan. 

Iblis Telapak Darah menganggukkan 
kepalanya. 

"Ya, siapa pun tak akan bisa 
menentang ajal. Maafkan kami... kami tak 
bisa tinggal lebih lama di sini. Sekali 
lagi, kami turut berduka cita 
sedalam-dalamnya...." 

Setelah itu, keduanya melangkah 
keluar dengan kepala terangkat, angkuh. 
Iblis Telapak Darah melirik Sema Kuriang 
penuh amarah yang dibalas oleh Sema 
Kuriang tak kalah garangnya. 

Sepeninggal keduanya. Dewa Tombak 
berkata, "Sejak tadi kita memikirkan 
penyebab kematian Pendekar Lontar. Tak 
seorang pun yang memungkiri kalau 
sesungguhnya ini sudah panggilan Tuhan. 
Tetapi, kita wajib berusaha untuk 
mengetahui segala penyebabnya. Untuk 
itu... aku bermaksud untuk menjemput 
Dewa Segala Obat. Mungkin dia 
mendapatkan satu halangan hingga 
terlambat hadir di sini. Padahal, dia su¬ 
dah berjanji padaku...." 

Dewi Lontar sebenarnya ingin 
melarang, karena dia tak mau kematian 
suaminya menjadi urusan yang panjang. 
Baginya, suaminya memang sudah diberikan 
umur yang cukup oleh Sang Pencipta. Dan 
bila Dia menghendakinya untuk pulang, 
bukan hanya suaminya yang tak dapat 
menolak, siapa pun orangnya tak akan 
mungkin bisa menghindari keadaan itu. 

Gala Kuriang berkata, "Dewa 
Tombak... kau adalah sahabat terdekat 
dari Pendekar Lontar. Akan lebih baik 
bila kau tetap berada di sini menemani 
Dewi Lontar. Sebaiknya, biar kami saja 
yang menjemput Dewa Segala Obat...." 

Bukannya Dewa Tombak yang menyahut. 
Dewa Naga yang berkata, "Brengsek! Apa 
kau pikir kehadiranku di sini tidak akan 
jadi lebih baik? Benar-benar ingin..." 

Bruuutt! 

Kata-kata Dewa Naga terputus karena 
pantatnya sudah berbunyi lagi. Sekali 
lagi sisik hijau pada wajahnya berubah 
menjadi merah. Tetapi dia justru 
mengangkat dagunya tinggi-tinggi seraya 
berkata, 

"Daripada kutahan jadi uban, kan 
lebih baik kulepas saja?" 

Baik Dewa Tombak maupun Dua 
Serangkai Jubah Hijau tak menghiraukan 
selorohannya. Tetapi Dewi Lontar 
tersenyum. Perempuan perkasa yang sedang 
berduka itu, merasa agak terhibur dengan 
ulah si kakek muka lonjong yang penuh 
sisik hijau. 

Lalu penuh duka, ditatapnya jenazah 
suaminya. Ada keinginan kuat yang 
mendorongnya untuk memeluk jenazah Itu. 
Tetapi ditahan sebisanya. 

"Suamiku... mungkin hanya Sang 
Penguasa Jagat dan kau sendiri yang 
mengetahui penyebab kematianmu. Tetapi 
mungkin pula kau tak mengetahuinya. 
Semula... aku tak mempedulikan keadaan 
itu, karena kau tentunya tahu bila ada 
satu serangan gelap yang datang. Hanya 
saja... kata-kata Dewa Naga tadi, 
mengubah keyakinanku. Aku mencurigai 
kematianmu, suamiku...," katanya dalam 
hati . 

Dewa Tombak berkata pada Gala 
Kuriang, "Bila kalian berkenan 
melakukannya, silahkan." 

Dua Serangkai Jubah Hijau sama-sama 
menganggukkan kepala. 

Dewa Naga berkata setelah 
mendengus, "Gala Kuriang! Bila kau sudah 
berjumpa dengan Dewa Segala Obat dan 
masih memiliki waktu, kuminta kau 
mendatangi Menara Berkabut" 

Kata-kata bernada perintah dari 
Dewa Naga itu bukan hanya mengejutkan 
Gala Kuriang saja, tetapi orang-orang 
yang berada di sana. Siapa pun tahu. 
Menara Berkabut adalah sebuah tempat 
yang penuh dengan misteri. Bahkan tempat 
itu seolah telah melegenda karena 
kemisteriusan dan keangkerannya. 
Kalaupun Dewa Naga memerintahkan Dua 
Serangkai Jubah Hijau untuk mendatangi 
Menara Berkabut, tentunya ada sesuatu 
yang dimaksud. 

Tetapi dengan konyolnya si kakek 
muka lonjong penuh sisik hijau itu justru 
nyengir, "Eh... tidak usah saja, deh! 
Tidak usah I Cepat kalian pergi dari sini ! 
Kalau bisa, selekasnya membawa orang tua 
pikun berjuluk Dewa Segala Obat itu!" 
Lalu sambungnya sambil menggeleng 
gelengkan kepala seperti ditujukan pada 
dirinya sendiri, "Heran! Sudah 
sedemikian tua.. . kenapa dia masih hidup 
juga, ya?" 

Kendati demikian, masing-masing 
orang merasa pasti kalau Dewa Naga 
mengetahui sesuatu. Tetapi seperti yang 
mereka ketahui. Dewa Naga adalah seorang 
tokoh yang selain memiliki kesaktian 
tinggi juga memiliki sifat 
angin-anginan. Dan bila ada orang yang 
berani mendesaknya, bisa jadi mulutnya 
sudah mencong tanpa orang itu tahu apa 
penyebabnya! 

Mendadak dia membentak, "Hei, 
Kenapa kalian masih berada di sini? ! Tadi 
kalian yang mau untuk pergi menemui Dewa 
Segala Obat! Sekarang masih diam di sini 
kayak kambing ompong! Ayo, sana pergi! 
Kalau tidak... kujitak kepala kalian!" 

Sesungguhnya, sikap Dewa Naga 
tidaklah tepat. Karena saat ini suasana 
sedang berkabung tengah melanda rumah 
besar itu. Tetapi dia masih bersikap 
semau jidatnya saja. Karena memang 
begitulah sifatnya. Hanya saja, 
janganlah sekali-sekali memancing 
amarahnya! 

Dua Serangkai Jubah Hijau segera 
mengangguk dan melangkah keluar. 

"Brengsek!" dengus Dewa Naga. Lalu 
diarahkan pandangannya pada Dewi Lontar 
yang masih menggendong putranya yang 
tetap tertidur. Mulut Dewa Naga hendak 
membuka, tetapi mendadak saja dia 
melongo. Seperti melihat sesuatu yang 
baru, kakek muka lonjong ini terdiam 
dengan muiut ternganga. 

"Ada apa. Orang Tua?" tanya Dewi 
Lontar pelan. 

"Busyet! Astaganaga! Benar-benar 
astaga! Dewi Lontar... bocah siapakah 
yang sedang kau gendong itu?" 

"Dia adalah putraku. Orang Tua." 

"Siapa namanya?" 

"Boma Paksi." 

"Nama yang bagus. Berapa usianya?" 

"Jalan lima tahun...." 

"Gila! Sudah hampir lima tahun? Dan 
selama ini aku tidak tahu kalau kau dan 
Pendekar Lontar sudah mempunyai anak 
sebesar itu? Benar-benar busyet! Ke mana 
aku selama ini?" 

"Kau memang tidak ke mana-mana... 
tetapi asyik menggoda janda dusun 
sebelah," sahut Dewa Tombak. 

Dewa Naga mendengus. Matanya 
mendadak tajam memerah. 

"Kakek buntal! Kau terlalu banyak 
omong! Ingin perutmu kukempeskan?!" 

Dewa Tombak hanya mengangkat 
bahunya saja, tak acuh. 

Dewa Naga kembali memandang Boma 
Paksi yang masih tertidur. 

"Astaganaga!" desisnya dalam hati. 
"Bertahun-tahun aku mencari seorang 
bocah yang pada punggungnya terdapat 
gambar seekor naga hijau. Bertahun-tahun 
pula aku dibingungkan oleh mimpiku 
mengenai bocah itu. Dan tidak tahunya, 
bocah itu terlahir dari rahim Dewi Lontar 
yang merupakan perpaduan dengan Pendekar 
Lontar. Nasib baik, walaupun hari buruk. 
Tak perlu lagi aku melangkah jauh, 
melanglang buana melewati sebagian jagat 
untuk mencari bocah itu. Kini sudah 
terpampang di depan mata...." 

Dewi Lontar tahu ke mana tatapan 
Dewa Naga ditujukan. Tetapi perempuan 
jelita ini tak menghiraukannya. 

Dilihatnya si kakek muka lonjong hendak 
membuka suara dengan kedua mata masih tak 
berkedip. 

Namun urung dilakukannya, karena 
pada saat itu Sema Kuriang melangkah 
masuk. Dewa Naga sudah mau membentaknya, 
tetapi didahului oleh Sema Kuriang yang 
berkata tenang, "Ada orang yang hendak 
tunjuk ilmu di sini Markuto dan Gerada 
tewas dengan leher putus" 

★ ★ ★ 



DISAAT Sema Kuriang mengatakan 
keadaan Markuto dan Gerada, saat ini Gala 
Kuriang sedang menyipitkan matanya ke 
depan. Dalam keremangan malam dia 
melihat satu sosok tubuh kontet sedang 
melangkah ke arahnya. 

Dari menyipitkan matanya, mendadak 
saja sepasang mata lelaki setengah baya 
yang pada keningnya terdapat cebuah tahi 
lalat, membesar. Saat itu pula dia merasa 
tegang. 

"Hantu Sejuta Setan!" desisnya 
pelan dan dia berusaha untuk menenangkan 
perasaannya. 

Orang kontet yang ternyata seorang 
perempuan itu makin lama makin mendekat. 
Langkahnya santai saja, seperti tidak 
tergesa ataupun memburu waktu. Tak lama 
kemudian, dia telah tiba di hadapan Gala 
Kuriang. 

Sosok perempuan Ini lebih pendek 
dari Dewa Tombak. Wajahnya dipenuhi 
keriput dan berkulit hitam. Semakin 
kelam karena pakaian yang dikenakannya 
pun berwarna hitam, panjang hingga ke 
mata kaki. Dan terbetah hingga batas 
dengkul. Memperlihatkan sepasang kaki 
hitam yang keriput. Kepalanya bulat 
dengan rambut panjang acak-acakan hingga 
pinggul. Hidungnya juga bulat dengan 
bibir lebar tanpa gigi. Yang mengerikan 
dari sosoknya adalah sepasang boia ma¬ 
tanya, yang menyala-nyala merah. 

"Kudengar kabar.... Pendekar Lontar 
sudah mampus!" kata Ratu Sejuta Setan 
dengan suara cempreng. Kepalanya agak 
ditengadahkan saat menatap tajam pada 
Gala Kuriang. 

Yang ditatap kembali menindih 
gentarnya. Siapa pun sudah mengenal 
sepak terjang ganas dari perempuan 
kontet ini. Lalu dengan sikap tenang, 
Gaia Kuriang menganggukkan kepalanya. 

"Kabar yang kau dengar tidak salah. 
Dan sungguh menakjubkan, kalau dari 
tempat ini kabar itu menyebar ke tempatmu 
yang sangat jauh." 

Perempuan kontet itu mendengus. 

"Minggir! Aku ingin lihat lelaki 
yang selalu banyak tingkah itu!" 

Sikap kurang ajar dan memandang 
enteng yang diperlihatkan Ratu Sejuta 
Setan, membuat Gala Kuriang menjadi 
geram. Saat itu pula kegentarannya 
lenyap. 

"Siapa pun yang datang dengan maksud 
baik dan bertujuan semata-mata 
menyembangi Pendekar Lontar, pintu akan 
selalu terbuka. Tetapi muncul dengan 
memperlihatkan tingkah tengik dan tangan 
telengas, apakah masih dapat dibukakan 
pintu lebar-lebar untuk kehadirannya?I" 

"Keparat, Apa yang kau maksudkan 
dengan tangan telengas itu. Gala 
Kuriang?I" 

Gala Kuriang menunjuk mayat Markuto 
dan Gerada yang telah terpisah dari 
kepala masing-masing. 

"Apakah kau mau memungkiri keadaan 
dengan melihat kedua mayat ini?" 

Ratu Sejuta Setan lagi-lagi 
mendengus. Dia kembali berkata-kata, dan 
karena tak memiliki gigi, pipinya jadi 
semakin kempot, 

"Aku cuma ingin tahu kehebatan dua 
orang penjaga Ini! Menjadi penjaga 
Pendekar Lontar tentunya memiliki ilmu 
yang lumayan! Tapi dari jarak dua puluh 
tombak, keduanya tak mampu menghalangi 
lesatan angin yang kulepaskan!" 

Makin mengkeiap Gala Kuriang 
melihat tingkah Ratu Sejuta Setan, yang 
selain memancing amarahnya juga enak 
saja mengakui perbuatannya. 

"Selama ini, aku tak pernah 
memandang rendah pada perempuan kontet 
berjuluk Ratu Sejuta Setan! Tetapi malam 
ini, kedatanganmu sungguh menaikkan 
amarah! Akulah yang menjadi penjaga 
pintu rumah duka ini!" 

Sepasang boia mata perempuan kontet 
yang selalu menyala, mendadak bersinar 
terang. Merah pekat. 

"Bagus kalau kau memutuskan untuk 
menjadi penjaga! Aku ingin lihat apakah 
kau mampu menghalangi langkahku, atau 
kau hanya menjadi orang ketiga yang malam 
ini kubunuh!" 

Habis ucapannya, mendadak saja Ratu 
Sejuta Setan melingkarkan telunjuknya 
pada ibu jarinya. Dengan tiga jari 
lainnya yang terentang, dia mendorongnya 
ke arah Gala Kuriang. 

Gala Kuriang bukanlah anak kemarin 
sore. Dengan saudara kembarnya dia sudah 
cukup lama malang melintang di rimba 
persilatan. Dengan mudahnya dia dapat 
menghindari Sesatan sinar merah yang 
berbentuk lingkaran. Namun yang 
mengejutkannya, karena mendadak sontak 
sinar merah berbentuk lingkaran itu 
seperti sebuah bumerang berbalik arah! 

Kali ini diiringi suara dengungan 
keras. 

"HeiiiitI" 

Gaia Kuriang terkejut dan cepat 
mengibaskan tangan kanannya. Serangkum 
angin besar memutuskan gerakan sinar 
merah berbentuk lingkaran Itu. Kalau 
biasanya gelombang angin berbenturan 
dengan tena-ga lain, akan menimbulkan 
letupan, ini justru tidak. 

Gala Kuriang memang mampu 
memutuskan sinar merah berbentuk 
lingkaran milik Ratu Sejuta Setan. 
Tetapi yang terjadi kemudian, sinar 
merah itu justru membesar dan merangkum 
gelombang angin yang dilepaskan Gala 
Kuriang. Menyusul. . . . 

WrrrrrII 

DesssII 

Gelombang angin itu menghantam dada 
pemiliknya sendiri yang terjengkang di 
atas tanah dengan keluhan tertahan. 

Ratu Sejuta Setan menggeram. 

"Kau belum pantas menjadi seorang 
penjaga! Bila kau tahu malu, seharusnya 
kau sudah menjadi petani di 
gunung-gunung!" 

Lalu dengan enaknya Ratu Sejuta 
Setan masuk ke rumah duka. Dia langsung 
mengedarkan pandangannya pada 
orang-orang yang berada di sana. Begitu 
matanya berbenturan dengan tatapan Dewa 
Naga, perempuan kontet ini segera 
berkata, 

"Rupanya Lembah Naga juga sudah 
kebagian berita hingga penghuninya perlu 
untuk datang! Padahal, seorang Pendekar 
Lontar tak patut didatangi oleh tokoh 
kenamaan!" 

Lalu dengan santainya, perempuan 
kontet berpakaian hitam in! melangkah 
mendekat jenazah Pendekar Lontar. Dia 
tak memandang sebelah mata pada Dewi 
Lontar, Dewa Tombak, maupun Sema 
Kuriang. 

Ratu Sejuta Setan tak melakukan 
gerakan apa-apa, hanya sedikit 
berjingkat untuk melihat jenazah 
Pendekar Lontar. Masih memandangi 
jenazah dia berkata, "Tak kulihat Pusaka 
Pendekar Lontar ada di sisinya! Orangnya 
kini sudah mampus I Pusaka itu tentunya 
tak berguna lagi untuknya I Aku datang 
untuk mengambil pusaka itu!" 

Tingkah menjengkelkan Ratu Sejuta 
Setan membuat Dewi Lontar menggeram. 
Perempuan yang masih menggendong Boma 
Paksi yang masih tertidur, segera 
berkata, 

"Siapa pun yang datang dengan 
baik-baik untuk menyambangi suamiku, 
kuterima dengan tangan terbuka. Bila dia 
datang untuk memancing persoalan, 
silakan angkat kaki dari sini. Dan tunggu 
beberapa hari lagi bila tak puas dengan 
tindakan yang kulakukan!" 

Ratu Sejuta Setan menyahut tanpa 
menoleh, "Tanpa suamimu lagi di sisimu, 
kau tak akan bisa berbuat banyak. Dewi 
Lontar. Selama ini, orang hanya meman¬ 
dang suamimu yang memiliki iimu tinggi! 
Sekarang, bila kau banyak tingkah, aku 
tak akan segan untuk menampar mulutmu 
sampai berdarah!" 

Menggigil tubuh Dewi Lontar 
mendengar kata-kata yang menyakitkan 
itu. Dia sudah hendak bergerak, tetapi 
begitu melihat Dewa Tombak menggelengkan 
kepala, terpaksa dia surutkan niat. Hati 
perempuan yang masih dilanda duka karena 
kematian suaminya, kini berbalur 
kemarahan tinggi terhadap Ratu Sejuta 
Setan. 

Masih tanpa berbalik, perempuan 
kontet itu berkata lagi, "Kurasakan 
gerakanmu itu. Dewi Lontar! Tapi mengapa 
kau menahannya? Apakah kau sudah sadar 
kalau Kau tidak memiliki kemampuan 
apa-apa tanpa suamimu? Bagus kalau kau 
sudah menyadari hal itu! Itu artinya, kau 
sadar siapa dirimu sebenarnya! Sekarang, 
berikan padaku Pusaka Pendekar Lontar!" 

Di akhir kata-katanya. Ratu Sejuta 
Setan membalilkkan tubuh. Bola matanya 
menghujam dalam pada bola mata bening 
Dewi Lontar. Dewi Lontar sesaat 
mengkelap mendengar ucapan si perempuan 
tua kontet. Tetapi dia tak buka suara. 
Hanya mengerahkan tenaga dalam, karena 
merasakan adanya gelombang tenaga yang 
mencoba menerjang kedua matanya. 

Tiba-tiba terdengar dengusan Dewa 
Naga, keras. Disusul makiannya, 
"Perempuan kontet! Kau datang dengan 
sikap memuakkan! Ayo, tinggalkan tempat 
Ini sebelum kau kutendang sampai 
menggelinding! " 

Tanpa mengalihkan pandangannya dari 
Dewi Lontar, Ratu Sejuta Setan menyahut 
dingin, "Silang sengketa tak pernah 
kulakukan dengan orang Lembah Naga! 
Tetapi kalau malam ini hendak buka 
urusan, aku sudah siap menghadapi!" 

"Eh! Brengsek kau ya?! Kau pikir kau 
ini siapa, hah? Sudah kontet, banyak 
lagak lagi! Kau mau tubuhmu kubuat lebih 
kontet, hingga kau akan dijadikan sebuah 
bola oleh anak-anak di sebuah dusun? Atau 
kau...." 

Bruuut! 

Pantat Dewa Naga berbunyi. Kali ini 
si kakek tak mempedulikan bunyi 'merdu' 
itu. Dia berkata lagi, "Eh, tadi aku 
ngomong sampai mana ya? Makan nasi uduk, 
ya? Wah, bukan! 0 ya, kau ini masih mau 
hidup atau tidak?! Masih mau... waduh! 
Betul tidak sih memang itu yang mau 
kukatakan? Brengsek betul!" 

Kali Ini Ratu Sejuta Setan segera 
memalingkan kepalanya. Dia mendongak dan 
memandang tajam pada Dewa Naga. Yang 
ditatap justru membelalakkan kedua 
matanya. 

"Busyet! Kau mencoba mengerahkan 
tenaga dalam melalui matamu? Huh ! Apa kau 
pikir kau sudah mampu melakukan hal itu, 
hah?!" gerutunya Jengkel. 

Lalu seiring bunyi dari pantatnya 
lagi, mendadak saja sosok Ratu Sejuta 
Setan terhuyung dua tindak ke belakang. 
Saat itu pula darah merembas dari 
sela-sela bibir kempotnya. Kejadian yang 
tak disangka itu membuat gusar si 
perempuan kontet. Mulutnya terlihat 
berkemak-kemik tetapi tak ada suara yang 
keluar. 

"Wah! Kau hendak perlihatkan ilmu 
sihirmu ya? Tak guna! Tak guna!" seru 
Dewa Naga dengan bibir mencibir. 
Lalu.... 

Bruuutt 

Enak saja dia buang angin. 

Sementara itu, Dewa Tombak 
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tak 
menyukai tindakan yang dilakukan Ratu 
Sejuta Setan. Datang-datang bersikap 
kurang ajar dan menginginkan Pusaka 
Pendekar Lontar. Dewa Tombak tahu, kalau 
Pendekar Lontar memiliki sebuah benda 
yang berbentuk gumpalan daun lontar. 
Menurut cerita Pendekar Lontar di kala 
masih hidup, gumpalan daun lontar yang 
sejak bertahun-tahun ada padanya tetapi 
masih tetap berwarna hijau segar, bila 
direndam ke dalam air, maka akan 
menyembuhkan penyakit apa pun juga. Dan 
bila dilemparkan ke arah lawan, setinggi 
apa pun ilmu lawan, maka tubuhnya akan 
remuk terkena hantaman gumpalan daun 
lontar yang sebesar kepalan tangan. 

Yang menjengkelkannya, suasana duka 
masih meliputi rumah itu, terutama hati 
Dewi Lontar. 

Sebelum Ratu Sejuta Setan bersuara, 
kakek bertubuh buntal ini sudah berkata, 
"Perempuan kontet... di tempat ini, 
bukanlah tempat yang tepat untuk adu 
ilmu. Bila kau penasaran... aku bisa 
mewakili Dewa Naga...." 

"Busyet! Orang buntal! Kau jangan 
sok jago ya? Kau pikir aku tak mampu 
menghadapinya?!" bentak Dewa Naga. 

Dewa Tombak hanya mendengus, lalu 
melangkah keluar sambil membawa 
tombaknya. Langkahnya egal-egol. 

Kata-kata Dewa Tombak sudah 
menggelegakkan darah Ratu Sejuta Setan. 
Dia berkata dulu pada Dewa Naga, 
Tingkahmu malam ini, akan kuingat terus" 

Lalu serunya pada Dewi Lontar, "Bila 
dua puluh hari mendatang kau juga tidak 
menyerahkan pusaka itu, jangan salahkan 
aku bila kau akan segera menyusul 
suamimu!" 

Kemudian dia melangkah menyusul 
Dewa Tombak keluar. Sema Kuriang sendiri 
segera menyusul karena merasa heran,
mengapa saudara kembarnya belum muncul 
juga. 

Dewi Lontar yang dilanda gusar 
menarik napas dalam-dalam. Hati 
perempuan ini sangat masyguL. Hari Ini 
dia sedang berduka dalam karena kematian 
suaminya, tetapi tamu yang menyembangi 
suaminya justru bersikap menjengkelkan. 
Kendati demikian, Dewi Lontar dapat 
memaklumi kejadian itu. Karena dia tahu, 
begitu banyaknya orang-orang yang 
mendendam pada suaminya, bahkan mungkin, 
saat ini ada seseorang atau sekelompok 
orang yang sedang berpesta merayakan 
kematian suaminya. 

Bruuutt! 

Pantat Dewa Naga berbunyi lagi. Dia 
mendengus jengkel pada dirinya sendiri. 
Lalu berkata, "Kau tak perlu 
menghiraukan perempuan kontet itu! Biar 
Dewa Tombak menghajarnya! Tapi kalaupun 
Dewa Tombak kalah, biar saja! Toh itu 
sudah maunya sendiri!" 

Dewi Lontar hanya tersenyum tipis. 
Lalu memandangi jenazah suaminya. Saat 
itu, putranya yang sejak tadi tertidur, 
terbangun. Sejenak bocah ini menggeliat. 
Lalu dia tersenyum pada Dewa Naga yang 
menganggukkan kepala. Lalu dengan wajah 
segar, seperti tidak terlihat kalau 
sebelumnya dia lelap tertidur, bocah Itu 
turun dari pelukan ibunya. 

Begitu meiihat ayahnya terbujur di 
atas dipan, dia segera melangkah 
diiringi tatapan sedih dari Dewi Lon¬ 
tar. Sejenak bocah yang pada punggungnya 
terdapat tato naga hijau memandangi 
ayahnya. 

Dia menoleh pada ibunya. 

"Ibu...mengapa sejak pagi Ayah 
tidak bangun-bangun juga? Mengapa 
tidurnya lama sekali?" 

Dewi Lontar sesaat merasa sesak pada 
dadanya. Napasnya dirasakan putus. 
Tetapi sebagai perempuan perkasa dia 
masih dapat kendaiikan diri, kendati dia 
ingin berteriak sekeras-kerasnya, 
menumpahkan segala kepedihan di hatinya. 

Lalu perlahan dia menjawab, 
"Boma. .. . Ayahmu bukannya tertidur. .. . " 

"Kalau tidak tertidur, mengapa Ayah 
tidak bangun juga?" tanya si bocah dengan 
kening berkerut. 

Dewi Lontar lagi-lagi menahan 
gemuruh di hatinya. Dipandanginya wajah 
tampan putranya. Ketampanan yang 
diwarisi dari suaminya. 

Sambli memaksakan sebuah senyum. 
Dewi Lontar menjelaskan apa yang telah 
terjadi pada ayah Boma Paksi. Dia dengan
lembut menjelaskan begitu 
sejelas-jelasnya. 

Bocah itu ternyata cerdik. Dia dapat 
memahami apa yang dikatakan ibunya. Tak 
ada tangisan apa-apa kecuali sepasang 
bola mata yang berkaca-kaca. 

"Ketegaran bocah ini iuar biasa. Dia 
paham apa yang dikatakan ibunya, kalau 
dia tak akan pernah lagi melihat ayahnya 
mulai besok. Tetapi dia dapat bersikap 
tenang. Ah, rupanya... pencarianku 
selama bertahun-tahun memang harus 
kusudahi. Bocah itullah yang kucari 
selama ini, bocah yang hadir dalam 
mimpi-mimpiku. Tetapi... apakah Dewi 
Lontar mau menyerahkannya kepadaku?" 

Dewa Naga yang membatin tadi, 
menggeleng-gelengkan kepala. 

"Mungkin ini bukan saat yang tepat. 
Tetapi, aku harus memintanya. Aku merasa 
yakin, kalau jantung Pendekar Lontarlah 
yang menyebabkan kematiannya. Bukan 
karena penyakit, tetapi satu serangan 
yang dilakukan seseorang. Hanya saja, 
aku belum bisa memastikan, bagaimana 
Pendekar Lontar yang memiliki ilmu 'Raga 
Pasa' tidak mengetahui atau tidak dapat 
menghindar kalau dirinya diserang. 
Hemm... hanya Dewa Segala Obat yang 
mengetahui penyebabnya secara pasti ..." 

Sementara Itu, diluar telah 
terdengar suara teriakan disusul letupan 
berkali-kali. Saking kerasnya letupan 
itu, orang-orang yang berada di dalam 
rumah duka, agak bergetar karena lantai 
yang mereka pijak pun bergetar. 

Dewa Naga menggeram. 

"Brengsek betul Ratu Sejuta Setan 
itu! " 

"Ibu.. . , " panggil Boma Paksi dengan 
kening berkerut. "Apakah saat ini sedang 
terjadi gempa seperti lima bulan yang 
lalu?" 

Dewi Lontar menggelengkan 
kepalanya. 

"Tidak, Anakku. Tidak terjadi gempa 
apa-apa. Kau tak perlu menghiraukannya. 
Sekarang, menyembahlah pada jenazah 
ayahmu untuk terakhir kalinya...." 

Boma Paksi masih mencoba merasakan 
letupan keras yang kembali terjadi, yang 
menyebabkan lantai yang dipijaknya 
bergetar. Lalu suara.... 

GlegaaarrrI 

Mungkin tembok yang mengelilingi 
rumah itu sudah jebol. Entah akibat 
serangan siapa. 

Lalu dengan sikap tak mempedulikan 
kejadian itu, bocah gagah yang pada kedua 
tangannya sebatas siku dipenuhi 
sisik-sisik halus warna coklat, segera 
berlutut dengan merangkapkan kedua 
tangannya di depan dada. Dia berdoa 
khusuk, khusus untuk arwah ayahnya. 

Kakek muka lonjong memperhatikannya 
tak berkedip. Samar-samar terlihat 
senyuman bibirnya. Sikapnya itu tak 
luput dari perhatian Dewi Lontar. 

★ ★ ★ 



DILUAR rumah duka itu, Dewa Tombak 
sedang berusaha melayani 
serangan-serangan ganas yang 
dilancarkan Ratu Sejuta Setan. Berulang 
kali sinar-sinar merah melingkar yang 
dilepaskan perempuan tua kontet itu 
berhasil dihindarinya. Namun 
sinar-sinar merah itu justru berpentalan 
dan berbalik arah ke arahnya dengan 
ganas. Bahkan sinar-sinar merah lainnya 
naik ke atas, lalu muncrat menyebar dan 
laksana hujan mengguyur Dewa Tombak. 

Tanah di mana sebelumnya Dewa Tombak 
berdiri, langsung meletup keras dan 
muncrat ke udara. 


Mendapati setiap serangannya dapat 
dihindari oleh Dewa Tombak, perempuan 
kontet berpakaian hitam itu semakin 
ganas. Serangan demi serangannya terus 
diiancarkan, yang membuat Dewa Tombak 
mulai terdesak. 

Kakek bertubuh gemuk ini pun muiai 
dibuncah kemarahan. Tetapi meskipun 
kemarahannya sudah tiba di ubun-ubunnya, 
Dewa Tombak tetap tertawa-tawa. 

"Selama ini kudengar. Ratu Sejuta 
Setan memiliki ilmu yang sangat tinggi, 
hingga berani melanglang buana dengan 
ilmunya itu! Tetapi malam ini, aku 
melihat sesuatu yang sangat lain dari 
yang pernah kudengar I I" 

"Terkutuk! Kau hanya bisa 
melompat-lompat seperti bola ditendang 
ke sana kemari!" 

"Dan bola itu dapat menghindari 
permainan anak kecil yang kau 
perlihatkan!" 

Ucapan Dewa Tombak semakin membuat 
keganasan Ratu Sejuta Setan kian 
menjadi-jadi. Kalau tadi sinar merah 
yang dilepaskannya muncrat ke atas dan 
turun laksana hujan, kali ini diiringi 
gemuruh angin lintang pukang. 

Dewa Tombak yang sejak tadi terus 
menghindar, sesaat menahan napas melihat 
ganasnya serangan lawan. Tombak birunya 
mendadak saja diputar yang kecepatan 
putarannya melebihi sebuah 
baling-baling. Diiringi gemuruh angin 
yang menderu-deru, bermuncratanlah 
sinar-sinar biru yang mengandung hawa 
panas. 

Jlegaaarrr! 

Bertemunya dua gelombang angin 
dahsyat itu menimbulkan letupan yang 
keras, diiringi muncratnya tanah 
keudara. Saking kerasnya lagi-lagi 
tempat itu seperti bergetar. Dinding 
tembok yang mengelilingi rumah duka, 
bagian depannya kontan roboh. Mengiringi 
letupan keras itu, bermuncratanlah 
sinar-sinar merah yang berbenturan 
dengan sinar-sinar biru. Malam pekat 
laksana dihiasi kembang api. 
Berulang-ulang. 

Begitu muncratan sinar-sinar itu 
jatuh ketanah, terdengar 
letupan-letupan kecil. Namun akibatnya, 
tanah bermuncratan secara bersamaan! 

Di tempatnya. Gala Kuriang yang 
masih menahan sakit, memandang tak 
berkedip pada Ratu Sejuta Setan. Saudara 
kembarnya yang kini tahu mengapa Gala 
Kuriang tidak segera masuk tadi, 
menyipitkan mata. 

Gelegak amarah sudah terpampang di 
depan matanya. 

"Gala Kuriang. . . nenek kontet itu 
sudah menunjukkan sikap yang tidak baik. 
Dia bukan hanya buka ucapan yang 
menyakitkan hati, terutama hati Dewi 
Lontar. Tetapi sekarang, dia justru 
menimbulkan keonaran di sini...." 

Gala Kuriang menganggukkan 
kepalanya. 

"Sikap Iblis Penghancur Raga dan 
Iblis Telapak Darah pun tak mengenakkan 
hati, tetapi mereka tak sampai 
menimbulkan keributan. Lain halnya 
dengan perempuan tua kontet satu ini." 

Sema Kuriang melirik saudara 
kembarnya. 

"Apakah kau tak ingin menuntut balas 
atas perlakuannya terhadapmu?" 

Sesungguhnya Gala Kuriang sudah tak 
bisa menahan diri untuk membalas 
perbuatan Ratu Sejuta Setan tadi. Tetapi 
agaknya, lelaki setengah baya yang pada 
keningnya terdapat tahi lalat hitam, 
masih dapat mengendalikan amarahnya. 

"Sebelum kedatangannya tadi, kita 
sudah menyetujui, untuk menjemput Dewa 
Segala Obat. Orang tua yang mengerti 
bermacam penyakit dan pemunahnya itu, 
harus tiba di sini sebelum matahari 
sepenggalah besok pagi. Karena, upacara 
penguburan akan dilakukan besok. Bila 
ternyata dia tidak bisa datang ke sini, 
berarti kita tak punya rasa curiga lagi 
akan penyebab kematian Pendekar 
Lontar 

"Dewa Naga sempat mengucapkan kata 
Menara Berkabut. Aku yakin, sesungguhnya 
kakek muka lonjong bersisik hijau itu 
sudah mencurigai sesuatu." 

"Tetapi kau tentunya tahu akan sifat 
Kakang Segala Jaka. Orang itu memiliki 
sifat angin-anginan. Sudah tentu kita 
tak akan pernah mendengar apa yang 
diketahuinya... Kalaupun kita berhasil 
mendengar dari mulutnya, mungkin karena 
sifat baiknya lagi muncul...." 

Sema Kuriang tak membuka mulut, dia 
melihat Ratu Sejuta Setan kembali 
melancarkan serangannya pada Dewa Tombak 
yang membalas dengan tombak birunya itu. 

Lalu katanya pada saudara 
kembarnya, "Ya... sebaiknya kita segera 
menjemput Dewa Segala Obat...." 

Kejap berikutnya. Dua Serangkai 
Jubah Hijau sudah melesat meninggalkan 
tempat itu. Gala Kuriang berlari dengan 
masih menahan rasa sakit. 


★ ★ ★ 

Pertarungan sengit yang terjadi di 
depan rumah duka itu semakin mengganas. 
Ratu Sejuta Setan semakin menggila. Dia 
benar-benar jengkel karena setiap kali 
melancarkan serangan, setiap kali pula 
dapat dilumpuhkan oleh Dewa Tombak. 

Bahkan, satu tendangan yang 
dilancarkan oleh Dewa Tombak, tepat 
mengenai perutnya, hingga perempuan tua 
kontet itu terjengkang. 

Pakaian hitam yang dikenakannya 
tersingkap! 

Dewa Tombak yang sudah hendak 
melancarkan serangan, justru 
menghentikan gerakannya. Saat lain dia 
berpaling sambil menutup mata dengan 
tangan kirinya. 

"Astaga! Kau tidak pakai apa-apa di 
balik pakaianmu itu?! Astaganaga! Rumput 
keringmu hitam betul! Kupikir... kau 
tidak punya kue cucur seperti kebanyakan 
perempuan! Sudah peot kali, ya?! Duh! 
Baunya begitu busuk! Tidak pernah kau 
cuci apa tidak pernah disentuh pacul 
laki-laki?!" 

Bukan kata-kata itu yang membuat 
Ratu Sejuta Setan semakin mengkelap. 
Tetapi tendangan yang bersarang telak 
pada perutnya yang seketika dirasakan 
seperti diaduk-aduk tangan kasar. 
Sebenarnya dia cukup heran sekaligus 
terkejut, karena dia sama sekali tak 
melihat Dewa Tombak lepaskan tendangan. 

"Hei, hei! Kau masih pamerkan kue 
cucurmu tidak? Cepat tutupi! Nanti 
keburu banyak lalat!" 

"Terkutuk!" maki Ratu Sejuta Setan 
geram. Paras hitamnya nampak semakin 
menghitam. "Kakek gemuk keparat! Untuk 
saat ini, kuputuskan untuk menghentikan 
pertarungan! Tetapi tak akan pernah 
kulupakan kejadian ini!" 

Masih berpaling dan menutupi kedua 
matanya dengan telapak tangan kirinya. 
Dewa Tombak berseru, 

"Tidak melupakan ya tidak 
melupakan! Tapi kau sudah menutupi 
belum? Baunya sungguh tak sedap nih!" 

"Setan buntal! Selama dua puluh hari 
di muka, kau masih kuberi kesempatan 
hidup! Katakan pada Dewi Lontar, bila dia 
tak menjumpaiku di Tanah Terbuang, dia 
tak akan pernah menikmati cahaya 
matahari pada hari kedua puluh satu! 
Demikian pula denganmu!" 

"Iya, iya! Tapi... kau sudah 
menutupi kue cucur hangus itu apa 
belum?!" seru Dewa Tombak keras. 

Ratu Sejuta Setan merutuk 
sehabis-habisnya mendengar kata-kata 
Dewa Tombak. Tetapi perempuan kontet ini 
tak melakukan serangan. Sedikit 
banyaknya, dia dapat menduga kalau dia 
akan sulit menghadapi Dewa Tombak. 

"Sambil menunggu dua puluh hari di 
muka, sebaik nya aku ke Menara Berkabut. 
Aku yakin, dialah yang telah membunuh 
Pendekar Lontar...." 

Habis membatin demikian, dengan 
membawa sejuta kemarahannya, perempuan 
tua kontet berkulit hitam legam itu sudah 
melesat menjauh. 

Dewa Tombak yang mendengar 
lesatannya berseru, "Heiii ! Bau busuknya 
masih tertinggal, nih?! Kau harus 
mensucikan kembali tempat ini dari bau 
kue cucurmu I I" 

Ratu Sejuta Setan tak menghiraukan 
seruan ejekan itu. Dia mendesis 
berulang-ulang, "Kau akan menerima 
balasannya... kau akan menerima 
balasannya...." 

Di tempatnya. Dewa Tombak hanya 
menggeleng-gelengkan kepala sambil 
tertawa. 

"Dua puluh hari di muka. . . perempuan 
kontet itu tentu akan menjalankan 
janjinya.... Hemm. rasanya, aku tak 
perlu menyampaikan urusan ini pada Dewi 
Lontar. Biarlah aku yang akan datang ke 
Tanah Terbuang pada hari kedua puluh." 

Habis membatin demikian, kakek 
bertubuh bulat berpakaian biru ini 
memperhatikan mayat Markuto dan Gerada 
yang tanpa kepala. Ada kepedihan di 
hatinya. Lalu sambil menarik napas 
pendek, dia muiai menggali makam untuk 
keduanya dengan tombak birunya. 

Di dalam rumah duka, Boma Paksi 
masih berlutut dihadapan jenazah 
ayahnya. Dewa Naga masih memperhatikan 
tak berkedip. Matanya yang bersinar 
merah berwibawa dalam, seperti 
mengandung kekuatan yang tak bisa 
dihindari. 

Lalu tanpa menoleh pada Dewi Lontar, 
kakek muka lonjong penuh sisik hijau ini 
berkata, "Dewi Lontar... nampaknya Sang 
Pencipta telah melakukan satu pilihan 
utuh yang sangat sempurna. Pilihan yang 
telah dijatuhkan pada keluargamu...." 

"Apa maksudmu dengan pilihan itu. 
Dewa Naga?" 

"Bertahun-tahun lamanya aku 
bermimpi. Mimpi aneh yang membuatku 
semakin tak mengerti. Tetapi 
bertahun-tahun pula kupaksakan diri 
untuk mencari titik temu dari mimpiku 
itu. Dan baru sekarang ini, kuhentikan 
semua pencarianku...." 

"Aku sama sekali tak mengerti apa 
yang kau maksudkan, Dewa Naga?" 

"Dewi Lontar. . . aku tak tahu, apakah 
kau tahu makna dari tato naga hijau yang 
terdapat pada punggung putramu atau 
tidak. Tetapi, bocah dengan gambar tato 
seekor naga hijau pada punggungnya, yang 
dibawa sejak lahir itulah yang selalu 
datang dalam mimpi-mimpiku...." 

Kening Dewi Lontar berkerut. Dia 
melirik Boma Paksi yang masih berlutut di 
samping jenazah suaminya. 

"Aku belum mengerti...." 

"Memang sulit bila kujelaskan," 
kata Dewa Naga. Ketika dia hendak 
menyambung, dia urung. Karena... 

bruuutt! 

"Busyet! Nih pantat tidak bisa 
diaj ak diam?!" 

Dewi Lontar hanya memperhatikan. 

"Kesaktian yang dimilikinya tiada 
banding. Sulit mencari tandingan tokoh 
satu ini. Tetapi sifat angin-anginannya 
masih saja terlihat," katanya dalam 
hati . 

"Menjelaskannya saat ini pun, bukan 
saat yang tepat. Tetapi telah kubulatkan 
tekad, bila aku berjumpa dengan bocah 
yang hadir dalam setiap mimpiku... aku 
akan mengangkatnya menjadi seorang 
murid." 

Mendengar kata-kata Dewa Naga, 
kepala Dewi Lontar terangkat. Sepasang 
mata perempuan perkasa itu membulat dan 
mengerjap-ngerjap. Dia tahu arah ucapan 
si kakek berjubah merah. 

"Dewa Naga. . . aku dan suamiku pernah 
berangan-angan, bila putra kami sudah 
berusia enam tahun, maka dia mulai kami 
gembleng untuk mewarisi segala ilmu yang 
kami miliki. Kendati suamiku sudah 
tiada. aku tetap akan mewujudkan 
angan-angan kami itu. Jadi... aku pikir, 
biarlah putraku, si Boma Paksi tetap 
bersamaku...." 

"Aku tak pernah memaksa. Bila kau 
tak menyetujuinya... aku akan menurut 
saja ...." 

"Terima kasih atas pengertianmu...." 

"Satu hal yang harus kukatakan 
sebelum kutinggalkan tempat ini... 
adalah tentang penyebab kematian 
suamimu. Mungkin Dewa Segala Obat yang 
dapat menjelaskan lebih rinci. Tetapi 
telah kutangkap sesuatu yang tak 
mengenakan, sesuatu yang menyesakkan 
dada...." 

Terbuka kedua mata Dewi Lontar. 

"Dewa Naga... apakah yang kau 
maksudkan, kalau suamiku tewas dibunuh 
seseorang?" 

"Ya! Pada balik jantungnya, 
terdapat sebuah titik hitam yang telah 
menghanguskan sebagian jantungnya. 
Jantung bagian atas masih utuh dan tetap 
normal, tetapi bagian bawahnya telah 
menghitam. Aliran darah tak bisa 
mengalir secara sempurna. Dan aku yakin, 
suamimu tewas tanpa mengetahui apa 
penyebabnya. Itulah yang agak kusesali 
sebenarnya, selain kematian yang 
merenggut nyawa suamimu...." 

"Kau tahu apa penyebabnya?" Dada 
perempuan perkasa itu bergetar. 

"Hanya Dewa Segala Obat yang bisa 
menerangkannya...," sahut si kakek muka 
lonjong. Lalu sambungnya, "Kendati 
begitu... aku tahu siapa yang telah 
melakukannya...." 

"Okh! Kau tak mau mengatakan 
penyebab kematiannya, sekarang, apakah 
kau juga tidak mau mengatakan siapa yang 
telah melakukannya?" 

"Aku menginginkan putramu menjadi 
muridku. Karena, niat telah kucanangkan. 
Bila aku mendustai apa yang selama ini 
kucari... berarti aku tak pernah 
menghargai diriku sendiri... Satu hal 
yang perlu kuceritakan padamu. Sisik 
yang ada pada tubuhku ini bermula setelah 
aku menguasai ilmu-ilmu naga. Sisik ini 
bertumbuhan dan semakin lama semakin 
jelas. Tetapi sisik-sisik coklat pada 
kedua tangan putramu sebatas siku telah 
dibawanya dari lahir. Dewi Lontar... aku 
telah berniat untuk menggembleng 
putramu. Karena... dialah satu-satunya 
orang yang tepat untuk kujadikan sebagai 
penerus ilmu yang kumiliki." 

Kata-kata Dewa Naga membuat Dewi 
Lontar terdiam. Perempuan perkasa ini 
diliputi kebimbangan dalam. Di satu 
segi, dia ingin sekali mengetahui 
penyebab kematian suaminya dan siapa 
orang yang telah melakukannya. Tetapi di 
segi lain, dia tak mau berpisah dengan 
putranya. Apalagi sekarang, dia hanya 
memiliki Boma Paksi seorang. 

Lalu dengan membesarkan hati dia 
berkata, "Maafkan aku... aku terpaksa 
memilih untuk tidak mengetahui siapakah 
orang yang telah membunuh suamiku." 

"Itu lebih baik!" suara Dewa Naga 
terdengar agak serak. 

"Dan aku berharap. Dewa Segala Obat 
mau mengatakannya." 

"Mudah-mudahan...." 

"Sayangnya, aku merasa tak bisa 
menghargaimu lagi. . . . " 

"Itu hakmu. Dewi Lontar, aku 
terpaksa pamit sekarang. Aku tak bisa 
menghadiri pemakaman suamimu besok. 
Tiba-tiba saja aku merasa sedih, karena 
kau menolak permintaanku...." 

"Maafkan aku. Orang Tua..." 

Dewa Naga tak menjawab. Dibalikkan 
tubuhnya dan hendak melangkah. 

"Kakek" panggilan si kecil itu 
urungkan niatnya melangkah. 

Dewa Naga tak berpaling. 

"Ada apa?" 

"Hendak ke manakah kau?" tanya si 
kecil Boma Paksi. 

"Aku akan kembali ke Lembah Naga." 

"Besok ayahku akan dimakamkan, kau 
tak ingin hadir dalam upacara 
pemakamannya?" 

"Aku tak biasa melakukan hal itu." 

"Mengapa?" 

"Karena aku memang tak biasa 
melakukannya sahut Dewa Naga, lalu 
melangkah keluar. 

Dewi Lontar merangkul putranya yang 
mencoba memanggil si kakek muka lonjong. 

"Biarkan dia, Boma." 

"Ibu... aku menyukai kakek itu. Dia 
lucu. Pantatnya selalu berbunyi terus. 

Mukanya memang galak tetapi dia baik 
hati. Aku dapat merasakannya, Ibu. Pada 
wajah dan tubuhnya ada sisik hijau!" 

"Ibu pun menyukainya," sahut Dewi 
Lontar sambil mengangguk. "Tetapi 
seperti yang dikatakannya tadi, dia 
mungkin memang tak biasa menghadiri 
upacara pemakaman...." 

"Padahal, aku mau ikut dengannya. 
Ibu...." 

Dewi Lontar tercekat mendengar 
kata-kata putranya. Sesaat 
dipandanginya wajah tampan Boma Paksi. 


Lalu hati-hati diliriknya tato naga 
hijau yang terdapat pada punggung
putranya, yang telah ada sejak dia 
dilahirkannya. 

"Mungkin... kelak kau akan ikut 
dengannya, Boma.... Tetapi untuk saat 
ini... sebaiknya kau menemani Ibu saja." 

Boma Paksi tersenyum. 

"Ibu... sampai kapan pun aku akan 
menemani Ibu. Aku akan menjaga Ibu. Ayo 
kita berdoa untuk Ayah...." 

Sementara kedua ibu dan anak itu 
berlutut di samping jenazah orang yang 
mereka cintai. Dewa Naga sedang 
mendengus tatkala berpapasan dengan Dewa 
Tombak yang sedang melangkah masuk. 


Pertanyaan Dewa Tombak tak disahutinya 
sama sekali. Tetapi pantatnya berbunyi. 

Bruuuttt 

Dewa Tombak menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Lalu masuk ke dalam. Dia 
melihat Dewi Lontar sedang berdoa khusuk 
bersama bocah gagah berusia lima tahun 
itu. 

Ditunggunya beberapa saat sampai 
Dewi Lontar menyadari lagi kehadirannya. 
Perempuan jelita yang berkalungkan 
rangkaian daun lontar itu meliriknya 
sejenak, lalu kembali menatap putranya 
yang masih khusuk berdoa. 

Dewa Tombak berbisik, "Mengapa 
orang tua bersisik itu kelihatan gusar?" 

Dewi Lontar sejenak menatap kakek 
gemuk di sampingnya. Lalu diceritakan 
apa yang kira-kira membuat Dewa Naga 
kecewa. 

Dewa Tombak hanya mengangguk-angguk 
mendengar penjelasan istri mendiang 
Pendekar Lontar. 

"Yah... siapa pun pasti akan merasa 
kecewa bila keinginannya ditolak. 
Terutama, setelah memastikan kalau dia 
akan mengangkat seseorang menjadi murid, 
yang dapat diharapkan sebagai pewaris 
dari seluruh ilmu yang dimilikinya." 


★ ★ ★ 



MALAM terus beranjak, keheningan 
tetap terjaga. Dua pertiga perjalanan 
malam telah terlampaui. Dua bayangan 
kuning terus berkelebat. Saat berkelebat 
cepat, masing-masing orang yang di 
punggung terdapat jubah warna hijau itu 
tak ada yang buka suara. Mereka bukan 
lain adalah Dua Serangkai Jubah Hijau. 
Kendati mereka masih memikirkan tingkah 
Ratu Sejuta Setan, tetapi mereka merasa 
yakin kalau Dewa Tombak dapat 
mengatasinya. Lagi pula, di sana masih 
ada Dewa Naga yang meskipun memiliki 
sifat angin-anginan namun tak seorang 
pun yang menyangkal kesaktian yang 
dimilikinya. 

Dua Serangkai Jubah Hijau sengaja 
mempergunakan ilmu lari mereka hingga 
yang nampak hanyalah bayangan belaka. 
Mereka berharap, sebelum malam punah, 
mereka sudah tiba di kediaman Dewa Segala 
Obat. 

Tetapi, dua sosok tubuh yang berdiri 
sejarak dua puluh langkah dari saat 
mereka berlari, membuat keduanya saling 
pandang. Semakin dekat, mereka mengenali 
siapa dua lelaki yang berdiri menghadang 
itu. Dan mau tak mau keduanya harus 
menghentikan lari. 

Baru saja mereka menghentikan lari 
dan berdiri sejarak sepuluh langkah dari 
keduanya, lelaki berusia sekitar enam 
puluh tahun yang kepalanya botak 
ditengah tetapi rambut lainnya panjang 
tergerai ke belakang, sudah keluarkan 
dengusan. 

"Beberapa saat lalu, bukanlah saat 
yang tepat untuk unjuk gigi! Tetapi di 
sini, tanpa sosok Dewa Naga maupun Dewa 
Tombak, kegatalan tanganku harus segera 
dihentikan I" 

Dua Serangkai Jubah Hijau 
berpandangan. Sema Kuriang berkata 
dingin, "Iblis Penghancur Raga! Kalau 
kau merasa beberapa saat lalu, tepatnya 
di rumah mendiang Pendekar Lontar, kau 
memutuskan untuk tidak cari keributan, 
kami juga memutuskan, saat ini pun bukan 
saat yang tepat untuk melakukannya!" 

Lelaki yang jenggotnya dikepang itu 
menggeram. Tangan kurusnya yang terdapat 
gelang-gelang hitam menuding ke arah 
Sema Kuriang. 

"Malam sebentar lagi berlalu! Aku 
ingin menikmati kematian kalian sebelum 
pagi datang!" 

Kata-kata lelaki berompi biru yang 
memang Ib;is Penghancur Raga membuat 
dada Sema Kuriang dilanda amarah. 
Tatapannya menyipit dan siratkan 
keangkeran. Tetapi mengingat dia dan 
saudara kembarnya harus segera menemui 
Dewa Segala Obat, Sema Kuriang berusaha 
agar tidak terjadi pertikaian sekarang. 

"Tak pernah terpikirkan saat ini aku 
atau saudara kembarku akan tewas! Tetapi 
bila memang ajal telah diturunkan oleh 
Sang Kuasa, tentunya tak akan bisa 
ditolak! Hanya saja... tangan maut yang 
kau turunkan, bisa-bisa, kembali pada 
dirimu sendiri!" 

Lelaki berjubah hitam berkepala 
plontos, dan terdapat tanda matahari 
tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara, 
"Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus 
berlama-lama lagi! Siapa orang yang kau 
pilih untuk kau bunuh saat ini?!" 

"Aku memilih orang yang banyak omong 
itu! " 

Habis ucapannya, lelaki berjenggot 
dikepang itu sudah menggebrak ke arah 
Sema Kuriang. Dari gelombang angin yang 
mendahului lesatan tubuhnya, jelas kalau 
dia sudah mengerahkan setengah dari 
tenaga dalam yang dimilikinya. 

Sema Kuriang menjerengkan matanya. 
Mulutnya merapat dingin. Saat itu pula 
dikibaskan kedua tangannya ke atas. 
Segera menggebrak satu pusaran angin 
yang menyeret dan membuat tanah 
membubung. 

Iblis Penghancur Raga hanya 
mendengus. Tak surutkan kecepatannya. 
Begitu dekat, segera ditepukkan kedua 
tangannya. 

Blaaaarr! 

Letupan keras terdengar dan 
menyusul munculnya gelombang angin yang 
masuk dalam pusaran gelombang angin Sema 
Kuriang. 

Blaaam! Blaaam! Blaaam!! 

Tiga kali letupan terdengar keras 
disertai muncratan tanah ke udara. 
Tatkala sirap, terlihat masing-masing 
orang sudah mundur beberapa langkah. 

Kalau Iblis Penghancur Raga berdiri 
dengan kepala terangkat angkuh, Sema 
Kuriang agak sempoyongan. Tangan 
kanannya memegang dadanya yang terasa 
sesak. 

"Gila! Dia telah mengeluarkan ilmu 
'Penghancur Raga'nya. Uh! Bila aku belum 
tamengkan diri dengan hawa murni, entah 
apa jadinya!" 

"Ilmu yang kau miliki tak seberapa! 
Tetapi kau sudah berani unjuk gigi di 
hadapanku". 

Dengan memperlihatkan ketenangan, 
Sema Kuriang menyahut, "Kau baru melihat 
sebagian kecil dari ilmu yang kumiliki!" 

"Bagus! Perlihatkan semuanya 
kepadaku!" 

Bersamaan Iblis Penghancur Raga 
menggebrak kembali, lelaki berkepala 
plontos pun menerjang Gala Kuriang. 
Kedua telapak tangannya diangkat 
tinggi-tinggi saat menerjang dan 
mendadak diturunkan dengan cara 
menyentak. 

Angin dibaluri asap merah melesat ke 
arah Gala Kuriang. Dengan cara yang 
dilakukan oleh Sema Kuriang tadi. Gala 
Kuriang berhasil memutuskan serangan 
lawan. Iblis Telapak Darah mundur dengan 
cara bersalto. Begitu kedua kakinya 
menginjak tanah kembali, tiba-tiba saja 
terlihat kedua telapak tangannya 
memancarkan sinar warna merah. Lalu 
terlihat tetesan darah dari sana. Angker 
dan menyebarkan bau busuk. 

Gala Kuriang tahu, kalau lawan tak 
mau bertindak ayal. Maka dia segera putar 
kedua tangannya ke atas. Lalu 
meletakkannya pada dada. Samar-samar 
terlihat sinar kuning menyelubungi 
dirinya. 

"Huh! Ilmu picisan itu kau 
perlihatkan kepadaku!" bentak Iblis 
Telapak Darah. 

Kejap kemudian dia sudah menerjang 
ke depan. Kedua telapak tangannya yang 
meneteskan darah, didorong ke atas. 
Sinar merah bergelombang muncrat. 
Mengeluarkan suara berdenging 
menggiriskan. 

Tindakan yang dilakukan oleh Iblis 
Telapak Darah sesaat membuat kening Gala 
Kuriang berkerut. Dia masih tetap 
berdiri di tempatnya. Kejap berikutnya, 
lelaki berjubah hijau ini berteriak 
tertahan dan segera melompat dari 
tempatnya. 

Karena muncratan sinar merah yang 
masih meneteskan darah mendadak meluncur 
ke arahnya, berkelok-kelok dengan suara 
berdenging-denging. 

JgaaarrrII 

Tanah di mana tadi Gala Kuriang 
berdiri, langsung retak lebar. Tempat 
sepi itu bergetar laksana hendak am bias 
ke bumi. Yang lebih mengejutkan lagi. 

karena sinar merah yang meneteskan darah 
Itu mendadak muncrat kembali ke udara. 

"Gila!" seru Gala Kuriang keras. 
Menyusul diputar tubuhnya membentuk 
pusaran cepat. Sinar kuning yang 
membaluti dirinya berpentalan menerjang 
sinar-sinar merah yang meneteskan darah. 

Letupan beruntun terjadi berkali-kali. 

Di pihak lain, Iblis Penghancur Raga 
terus mendesak Sema Kuriang yang kini tak 
berani berbenturan. Karena tadi 
dilihatnya, bagaimana sebatang pohon 
langsung menjadi debu tatkala telapak 
tangan kanan Iblis Penghancur Raga 
menyentuhnya. 

Pertarungan sengit yang tak dapat 
dihindari, membuat tempat itu 
benar-benar dilanda kiamat. Dalam waktu 
singkat saja, tanah sudah banyak yang 
retak dan rengkah. Pepohonan sudah 
hangus menjadi debu hingga tempat itu 
kini berubah menjadi tanah lapang yang 
porak poranda. 

Saat ini Gala Kuriang sudah 
kewalahan. Kaki kanannya terhantam 
telapak tangan kiri Iblis Telapak Darah. 
Sakitnya tak tertahankan. Rasanya 
tulangnya patah dan menembus ke 
belakang. Tetapi Gala Kuriang masih coba 
bertahan. Karena dia sadar, lengah 
sedikit saja berarti kematian. 

"Sungguh menyenangkan karena kau 
akan mampus hari ini ! " seru Iblis Telapak 
Darah sambil tertawa-tawa. "Kami hadir 
untuk membunuh Pendekar Lontar 
sebenarnya! Tetapi pendekar keparat itu 
sudah mampus I Dan kau telah membuat darah 
kami mendidih! Kau akan terbakar oleh 
didihan darah kami ini!" 

Gala Kuriang tak menyahuti ejekan 
Iblis Telapak Darah. Dengan susah payah 
dia terus berusaha menghindari ganasnya 
serangan lawan. Namun dengan kaki kanan 
yang semakin sakit, terutama bila dia 
gerakkan, keadaannya menjadi lintang 
pukang dan tak menentu. 

Sema Kuriang bukannya tidak 
mengetahui apa yang dialami oleh saudara 
kembarnya. Tetapi untuk menolong, 
rasanya agak sulit karena dia sendiri 
sudah masuk dalam lingkaran serangan 
Iblis Penghancur Raga. 

Dia hanya bisa melompat menghindari 
maut yang diturunkan Iblis Penghancur 
Raga. Bahkan, dia sudah terdesak tatkala 
lelaki tua berjenggot dikepang itu masuk 
dengan kibasan tangan kanan dan kiri. 

"Tak lagi kubayangkan betapa 
nikmatnya melihat kau mampus, karena ini 
adalah kenyataan sekarang!" 

Namun mendadak saja, sosok Iblis 
Penghancur Raga yang sudah siap 
menurunkan tangan mautnya, terlempar ke 
belakang laksana sehelai daun dihantam 
angin. Sosok lelaki itu kehilangan 
keseimbangan. Dia ambruk dengan keluhan 
tertahan. 

"Setan keparat! Siapa yang berani 
campur tangan dalam urusanku?!" 
bentaknya keras. Tetapi tak seorang pun 
yang muncul di sana kecuali orang-orang 
yang telah berada sebelumnya. 

Sema Kuriang sendiri mundur dengan 
kepala memandang ke kanan kiri. Dia juga 
tak melihat siapa pun kecuali saudara 
kembarnya yang terdesak ganasnya 
serangan Iblis Telapak Darah. 

Dan kejadian aneh yang dialaminya 
tadi terulang pada saudara kembarnya. 
Karena iblis Telapak Darah tahu-tahu 
terbanting di atas tanah, hampir 
berjajar dengan Ibiis Penghancur Raga 
yang sudah bangkrt. 

"Keparat! Siapa pelaku jahanam yang 
mau mampus ini?!" serunya sambil menahan 
sakit pada perutnya. 

"Hati-hati... orang ini tentunya 
bukan orang sembarangan. Dia dapat 
menjatuhkan kita dengan mudah, tetapi 
sosoknya belum nampak...," kata Iblis 
Penghancur Raga. 

"Peduli setan Hatiku belum puas bila 
belum melihat dua cecunguk Itu mampus ! " 
seru Iblis Telapak Darah keras. Lalu 
tanpa menghiraukan apa yang terjadi 
dengannya barusan, dia menerjang ke arah 
Gala Kuriang! 

Namun lagi-lagi sosoknya terpental 
ke belakang. 

"Aaaakhhh!!" Bersamaan teriakan 
kesakitan itu, darah menghambur dari 
mulutnya. Lalu... 

brrrugg 

Sosoknya terbanting keras di atas 
tanah. 

"Jangan gegabah!" desis Iblis 
Penghancur Raga sambil memperhatikan 
sekelilingnya. "Kita belum tahu siapa 
orang lancang ini. Tapi gelagatnya, dia 
memiliki ilmu yang tak bisa dipandang 
sebelah mata." 

Kebuasan Iblis Telapak Darah 
berangsur turun. Dia juga merasa jeri 
sekarang. 

"Apa yang harus kita lakukan? 
Padahal kedua cecunguk itu sudah di 
ambang kematian?" 

"Untuk saat ini, kita terpaksa tunda 
keinginan. Sebelum kita mengetahui orang 
lancang itu masih akan mencampuri urusan 
kita atau tidak, kita tak bisa 
bertindak 

Iblis Telapak Darah menggeram. 
Pandangannya dingin terarah pada Dua 
Serangkai Jubah Hijau yang juga tak 
mengerti, siapakah orang yang telah 
menolong mereka. 

Tiba-tiba Iblis Telapak Darah 
mendesis, "Untuk saat ini, kalian masih 
dapat hidup lebih lama. Tetapi jangan 
berharap, kelak kalian masih dapat 
hidup!" 

Kejap kemudian, lelaki berjubah 
hitam itu sudah berkelebat meninggalkan 
tempat itu, disusul oleh Iblis 
Penghancur Raga. 

Sepeninggal keduanya. Dua Serangkai 
Jubah Hijau saling mendekat. 

"Siapa kira-kira orang yang telah 
menyelamatkan kita?" 

"Gala Kuriang... bukan hanya kau 
yang tidak tahu, aku pun tidak tahu. 
Tetapi kalau orang itu dapat menghalangi 
serangan ganas kedua durjana tadi tanpa 
diketahui berada di mana, sudah jelas dia 
bukan orang sembarangan. Kau lihat 
sekeliling, sudah tak ada lagi tempat 
bersembunyi." 

Gala Kuriang mengangguk-anggukkan 
kepalanya. 

"Ya! Kita memang tak perlu menunggu 
sampai orang yang telah menolong kita 
muncul. Mudah-mudahan orang itu 
mengerti, kalau kita sebenarnya sangat 
berterima kasih. Di samping itu, kita 
memiliki waktu yang sangat terbatas. 
Kita harus segera menemui Dewa Segala 
Obat. Yah... sekaligus meminta 
bantuannya akan luka yang kita 
alami.

"Bagaimana dengan kaki kananmu?" 

"Walau sakitnya tak terkira, aku 
masih sanggup untuk berlari cepat...." 

Tiga tarikan napas berikutnya. Dua 
Serangkai Jubah Hijau sudah meninggalkan 
tempat itu. Mereka tak mau mengambil arah 
yang ditempuh oleh Iblis Penghancur Raga 
dan Iblis Telapak Darah. Jadi, walaupun 
agak memutar, mereka merasa lebih aman 
ketimbang berjumpa lagi dengan Iblis 
Penghancur Raga dan Iblis Telapak Darah. 

Lima betas kejapan mata kemudian, 
entah darimana datangnya, satu sosok 
tubuh tahu-tahu telah berdiri di tempat 
itu. Kakek berjubah merah yang rambut 
putihnya diikat ekor kuda ini menggerutu 
panjang pendek. 

Lalu terdengar bunyi keras dari 
pantatnya. 

Bruuut! 

"Huh! Untung dugaanku tepat! 
Makanya kuputuskan untuk meninggalkan 
rumah duka itu! Karena aku merasakan, 
kalau Dua Serangkai Jubah Hijau akan 
mendapat halangan dari Iblis Penghancur 
Raga dan Iblis Telapak Darah!" 

Si kakek yang ternyata Dewa Naga dan 
membuat Iblis Penghancur Raga serta 
Iblis Telapak Darah keheranan akibat 
serangan yang dilakukannya, kembali 
menggerutu panjang pendek. Kumis putih 
panjangnya yang menjulai hingga ke bahu 
itu bergerak-gerak. 

"Sebenarnya tak ada gunanya 
memanggil Dewa Segala Obat untuk 
mengetahui penyebab kematian Pendekar 
Lontar. Aku tahu siapa yang 
melakukannya. Hantu Menara Berkabut. 
Huh! Seharusnya kukatakan saja pada Dewi 
Lontar siapa yang telah membunuh 
suaminya. Tetapi kalau ditanya, 
bagaimana caranya, pusing juga aku 
menjawabnya. Betul juga tindakan kakek 
buntal itu. Hanya Dewa Segala Obat yang 
mengetahui bagaimana caranya Pendekar 
Lontar terbunuh. Sementara aku hanya 
tahu kalau dia mati dibunuh oleh Hantu 
Menara Berkabut! Brengsek betul!" 

Si kakek kembali uring-uringan 
sendiri, lalu berseru keras dengan wajah 
jengkel, "Keparat! Seharusnya kudatangi 
saja Menara Berkabut sekarang. Akan 
kugebuk penguasanya sampai dia minta 
ampun. Tapi...," si kakek terdiam 
sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tak 
berhak sama sekali untuk itu. Yang berhak 
melakukannya adalah Dewi Lontar. Atau... 
ya, ya... si Boma Paksi. Kalau begitu... 
aku akan tetap mengambilnya untuk 
kujadikan murid. Dalam mimpiku, kelak 
bocah yang pada punggungnya terdapat 
seekor naga hijau dan kedua tangan 
sebatas siku terdapat sisik coklat, akan 
menjadi seorang pendekar besar. Bocah 
itu sungguh luar biasa. Dia terlahir 
dengan sisik coklat dan tato naga hijau. 
Yah! Aku harus mendapatkan anugerah itu 
dengan menurunkan semua ilmu yang 
kupunyai! Aku harus mendapatkannya!" 

Habis berkata demikian. Dewa Naga 
terdiam. Lamat-lamat terlihat bibir 
keriputnya mengembang. 

"Ya... aku harus mendapatkannya. 
Kalau Dewi Lontar tetap tak berkenan, aku 
akan menculiknya." 

Kejap kemudian, kakek muka lonjong 
yang penuh sisik hijau ini sudah 
meninggalkan tempat Itu. Suara 'merdu' 
dari pantatnya tersisa di sana. 

★ ★ ★ 



MATAHARI kini sudah menampakkan 
bias-biasnya di ufuk timur. Menyinari 
lembah itu dan menerobosi dedaunan. 
Kakek pendek berambut jarang itu 
menggeleng-gelengkan kepalanya di 
samping jenazah Pendekar Lontar. 
Mulutnya terkatup. Dia merasakan sesuatu 
yang tak diharapkannya. Tangan kurusnya 
masih memegang kening Pendekar Lontar. 

"Dewa Tombak... kau benar. Pendekar 
Lontar meninggal tidak wajar...," 
katanya kemudian. 

Kakek buntal berpakaian biru itu 
segera ajukan tanya, "Dewa Segala Obat, 
kira-kira... apa yang menyebabkannya 
tewas?" 

Kakek pendek yang mengenakan 
pakaian compang-camping warna putih dan 
di pinggangnya tercantel sebuah pundi, 
mengangkat kepalanya. 

"Dari getaran kuat yang kurasakan, 
jantung bagian bawahnya telah hangus. 
Itulah yang menyebabkannya tewas." 

"Dewa Naga mengatakan hal yang 
sama," sahut Dewi Lontar sambil 
memperhatikan Dewa Segala Obat. Di 
sisinya, Boma Paksi pun memandang tak 
berkedip. 

Si kakek yang ternyata Dewa Segala 
Obat mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Setelah perginya Dewa Naga, tak berapa 
lama kemudian. Dewa Segala Obat muncul. 
Dia meminta maaf karena tak bisa segera 
datang, mengingat dia masih harus 
mengobati seorang pasien. 

Dewa Tombak dan Dewi Lontar sudah 
tentu menyambutnya gembira. Dari Dewa 
Tombak, Dewa Segala Obat tahu kalau Dewa 
Naga tadi berada di sini. Dia sangat 
menyayangkan karena tak bisa menjumpai 
orang yang sangat dihormatinya itu. Dia 
Juga tahu, kalau saat ini Dua Serangkai 
Jubah Hijau sedang menyusulinya. 

Kakek berambut jarang ini 
memasukkan tangan kanannya ke dalam 
pundi yang tercantel di pinggangnya. 

Ketika diangkat, teriihat ujung-ujung 
jarinya menjumput butiran pasir berwarna 
keemasan. Lalu dltaburkannya butiran 
pasir yang luruh dengan memperlihatkan 
kilauan indah tepat pada jantung 
Pendekar Lontar. 

Yang berada di sana hanya 
memperhatikan. Mereka sama-sama melihat 
kalau butiran pasir keemasan yang kini 
menempel tepat pada bagian jantung 
Pendekar Lontar berubah warnanya, 
menjadi kehitaman. 

Dewa Segala Obat menganggukkan 
kepalanya sekali, lalu meniup butiran 
pasir itu. Pasir-pasir itu berhamburan. 
Kemudian dibalikkan tubuhnya, memandang 
Dewi Lontar yang nampak tidak sabar untuk 
mendengar apa yang dikatakannya. 

"Setahuku, suamimu memiliki ilmu 
'Raga Pasa' yang membuatnya dapat 
mengetahui setiap serangan yang datang. 
Baik kasar maupun halus. Tetapi... dia 
tentunya tak menduga sama sekali, kalau 
seekor lebah yang kemudian menyengat 
bagian jantungnya, akan mengakhiri 
hidupnya 

"Seekor lebah?" ulang Dewi Lontar 
tak percaya. 

"Ya! Seekor lebah! Lebah yang 
sengatannya telah dibaluri racun yang 
sangat mengerikan itulah yang telah 
merenggut nyawanya...," kata Dewa Segala 
Obat. 

"Apakah...." 

"Seperti kebiasaan seekor lebah, 
bila dia sudah menyengat, tentunya dia 
akan mati." 

Dewi Lontar yang tadi hendak 
melontarkan pertanyaannva tetapi sudah 
dipotong, tak menjawab. Dia buru-buru 
masuk ke kamarnya. Boma Paksi hanya 
memperhatikan. Matanya yang tajam 
memandang Dewa Segala Obat dan Dewa 
Tombak bergantian. 

Tak lama kemudian. Dewi Lontar 
muncul kembali dengan membawa seekor 
lebah hitam yang sudah mati. 

"Dewa Segala Obat... apa yang kau 
katakan itu benar," katanya pilu. "Tadi 
kau katakan, ada orang yang telah 
melumuri sengat lebah itu dengan racun. 
Tahukah kau siapa orang itu?" 

Dewa Segala Obat mengangguk. 

"Aku tahu...." 

"Katakan!" suara perempuan jelita 
yang pada lehernya menggantung untaian 
daun lontar, tersirat kemarahan. Lebah 
yang sudah mati itu dilemparnya. 

PlasssI 

Menembus tembok dan jatuh entah di 
mana. Tembok itu kini bolong sebesar jari 
telunjuk. Boma Paksi menyaksikan dengan 
terkagum. 

Kakek berambut jarang Itu 
menggelengkan kepalanya. 

"Untuk saat ini. sebaiknya kau tidak 
perlu tahu dulu. Nanti siang, seperti 
yang kau katakan, kau hendak memakamkan 
jenazah suamimu...." 

"Aku ingin tahu siapa manusia 
keparat yang telah membunuh suamiku 
dengan mempergunakan lebah jahanam ini ! " 
seru Dewi Lontar bersikeras. 

"Kau sedang dibaluri kemarahan. 
Sebaiknya, kau tunda dulu 
keingintahuanmu itu sampai upacara 
penguburan jenazah suamimu selesai." 

"Tidak! Dewa Segala Obat, selama ini 
kita bersahabat dan tak pernah punya 
silang sengketa! Dan sekarang, kau 
justru menyakitkan hatiku dengan tak mau 
mengatakan siapakah orang yang telah 
membunuh suamiku dengan lebah terkutuk 
itu! " 

Dewa Segala Obat kelihatan serba 
salah. Dewa Tombak hanya terdiam. 
Kendati dia juga penasaran, tetapi dia 
masih bisa menerima alasan Dewa Segala 
Obat. 

Bocah tampan yang pada punggungnya 
terdapat tato naga hijau, memegang 
lengan ibunya. 

"Ibu. . . apa yang dikatakan Kakek itu 
benar. Sebaiknya, Ibu tak mengetahuinya 
sekarang. Karena Ibu akan menjadi marah 
dan dendam. Bukankah Ibu sendiri yang 
mengajarkan, kalau dendam itu tidak 
baik?" 

Kata-kata putranya yang tak 
disangka sama sekali, meluluhkan 
kekerasan hati Dewi Lontar. Lalu sambil 
menarik napas panjang, kendati masih 
penasaran, dia berkata pada Dewa Segala 
Obat, "Maafkan aku...." 

Waktu pun terus merambat. Beberapa 
orang rimba persilatan pun hadir di sana. 
Sampai kemudian, siang pun menjelang. 
Persiapan penguburan jenazah Pendekar 
Lontar pun dilakukan. 

Tak banyak orang yang datang 
menghadiri pemakaman itu. Dewi Lontar 
menahan sedihnya tatkala jasad suaminya 
mulai dimasukkan ke dalam tanah. 

Dewa Tombak melirik Boma Paksi. 
Bocah itu kelihatan tegar meskipun 
sepasang matanya berkaca-kaca. Sebutir 
air mata jatuh pada pipinya. 

Tak lama kemudian pemakaman pun 
selesai. Orang-orang yang hadir mohon 
diri. Termasuk Dewa Tombak, yang 
berjanji akan datang dua hari di muka. 

Dewi Lontar berkata pada Dewa Segala 
Obat yang sudah pamitan, "Apakah kau 
tetap tidak mau mengatakan siapakah 
orang keparat yang telah membunuh 
suamiku?" 

Dewa Segala Obat menggeleng. 

"Besok, aku akan kembali ke sini. 
Saat Ini, tenangkanlah pikiranmu. Karena 
kau akan diliputi kemarahan...." 

Dewi Lontar hanya memandang dingin. 
Boma Paksi memegang lengan ibunya. 

"Ibu... kata-kata kakek berambut 
jarang itu benar. Lagi pula, bukankah dia 
berjanji akan datang besok yang tentunya 
akan mengatakan siapa yang telah mem¬ 
bunuh Ayah. Bukan begitu, Kek?" 

Dewa Segala Obat menganggukkan 
kepalanya. Sebenarnya, begitu melihat 
sisik coklat sebatas siku yang terdapat 
pada kedua tangan si bocah, dia agak 
terkejut tadi. Tetapi dia tak 
menghiraukannya. 

"Ya... besok aku akan datang 
lagi...." 

Lalu kakek berpakaian putih 
compang-camping Ini segera melangkah 
meninggalkan tempat itu. Tinggal Dewi 
Lontar yang masih sedih sekaligus 
diliputi penasaran tinggi. 

Boma Paksi membujuk ibunya agar 
tidak bersedih dan penasaran. Siang dan 
menjelang senja, dia terus menghibur 
ibunya sampai senyuman terpampang di 
bibir ibunya. 

Dengan penuh kasih sayang, Dewi 
Lontar merangkul putranya. Seketika 
tiba-tiba terdengar suara tawa yang luar 
biasa keras. Atap rumah itu mendadak 
berderak dan terbongkar. Angin menjadi 
lintang pukang. 

"Ibu!" seru Boma Paksi terkejut. 

Dewi Lontar tak menjawab. Kepalanya 
menoleh ke arah luar. Sepasang matanya 
membuka. 

"Celaka! Tentunya dia yang 
datang...," desisnya dalam hati. Lalu 
terburu-buru dia berkata, "Boma... kau 
masuk ke kamarmu! Kunci rapat-rapat!" 

"Ibu! Ada apa?" 

"Jangan banyak tanya! Lakukan 
perintah Ibu!" 

Kemudian dia sudah berkelebat ke 
kamarnya. Dan keluar lagi dengan membawa 
sebuah gumpalan daun lontar berwarna 
hijau menyala. Begitu segarnya laksana 
baru saja disiram. Sementara di 
punggungnya, sudah tersampir sebuah 
pedang. 

"Boma! Bila malam sudah datang Ibu 
belum menjumpaimu, cepat kau pergi 
sejauh-jauhnya! Bawa gumpalan daun 
lontar ini dan jangan sampai jatuh ke 
tangan orang sesat". 

Sambil memegang gumpalan daun 
lontar segar Itu, Boma Paksi bertanya 
heran, "Ibu... ada apa? Mengapa Ibu 
begitu panik? Apakah.... Ibu khawatir 
dengan orang yang tertawa itu?" 

"Jangan banyak tanya! Cepat kau 
masuk ke kamarmu! Ingat pesan Ibu 
baik-baik! Ayo, Boma! Cepat kau...." 

"Kabar telah sampai ke telingaku, 
kalau Pendekar Lontar sudah mampus ! Kini 
tinggal kau sendiri Dewi Lontar! Apakah 
kau akan tetap keras kepala seperti 
suamimu yang tak mau menyerahkan Pusaka 
Pendekar Lontar?!" suara mengguntur itu 
memutus kata-kata Dewi Lontar. 

Boma Paksi kini tahu apa yang 
menyebabkan ibunya menjadi panik. Dia 
berkata gagah, "Ibu! Aku tahu siapa orang 
itu! Bukankah dia kakek bongkok yang tiga 
bulan lalu datang untuk merebut gumpalan 
daun lontar hijau milik Ayah ini?" 

Dewi Lontar mengangguk cepat. 
Sebelum dia berkata, si bocah yang pada 
punggungnya terdapat tato naga hijau 
sudah bertanya kembali, "Memangnya... 
apakah kegunaan dari gumpalan daun 
lontar sebesar kepalan Ayah Ini, ibu? 
Kulihat... tak ada yang menarik?" 

Dewi Lontar menarik napas panjang. 
"Anakku... saat ini. Ibu tak memiliki 
waktu untuk menjelaskannya kepadamu. 
Tapi, percayalah. Ibu akan 
menj elaskannya." 

"Kalau memang kakek jahat itu 
menginginkan gumpalan daun lontar ini. 
Ibu katakan saja di mana memetiknya? 
Nanti suruh dia datang ke tempat itu. Kan 
dia bisa memetiknya sendiri?" 

Suara di luar terdengar lagi. Dewi 
Lontar berkata terburu-buru, "Ya! Cepat 
kau ke kamarmu! Ingat, bila Ibu belum 
menjumpaimu menjelang malam... kau 
tinggalkan tempat ini!" 

"Tidak!" seru Boma Paksi tanpa 
disangka. "Ayah telah tiada! Aku adalah 
satu-satunya lelaki di sini! Aku akan 
melindungi Ibu! Ayo, Bu! Kita hadapi 
kakek bongkok itu!" 

Dewi Lontar terharu mendengar 
kata-kata putranya. Dirangkulnya Boma 
Paksi erat-erat. 

"Ya! Kau seorang lelaki yang kelak 
akan tumbuh menjadi gagah! Dan sebagai 
seorang gagah, harus menuruti perintah 
ibunya...." 

"Tapi. . . aku tak mau Ibu 
menghadapinya seorang diri! Aku akan 
membantumu, Bu!" 

Jlegaaar....!! 

Dinding rumah itu jebol dan pecah 
berpentalan. Dewi Lontar segera melompat 
sambil menggendong putrsnys itu hingga 
menabrak dinding lainnya. 

"Boma! Kau lelaki gagah! Lelaki 
gagah akan menuruti perintah ibunya!". 

"Tidak!!, Aku harus membela ibu!" 

"Ya...ya. Kau akan membela ibu! 
Tetapi... kau tunggu dulu di kamarmu! 
Bila Ibu butuh bantuanmu, ibu akan 
memanggilmu". 

Sepasang mata Boma Paksi 
berbinar-binar gembira. 

"Janji ya. Bu? Janji?" 

"Ya! Cepat kau masuk ke kamar!" 

Boma Paksi masuk ke kamarnya dengan 
membawa gumpalan daun lontar yang 
diserahkan ibunya tadi. Dewi Lontar 
menarik napas dulu. Lalu segera 
berkelebat ke depan. 

Satu sosok bongkok dengan rambut 
putih panjang turun ke bawah telah 
berdiri di sana. Kulit si kakek sangat 
tipis. Sepasang matanya dalam dan tajam. 

Kumis dan jenggotnya seperti terpintal 
bersatu. Mengenakan pakaian hitam penuh 
tambalan. Di tangannya, terdapat sebuah 
bambu berwarna hitam yang ujungnya 
runcing. 

Mendadak si kakek mendengus, "Aku 
tak punya banyak waktu! Kedatanganku ke 
sini, sama dengan kedatanganku tiga 
bulan yang lalu! Cepat kau serahkan 
gumpalan daun lontar milik suamimu itu! 
Tentunya dia tak memerlukannya lagi 
karena sudah mampus!" 

Dewi Lontar berdiri gagah. Matanya 
memandang tajam pada si pendatang yang 
telah menghancurkan dinding rumahnya. 

"Bukan hanya Ratu Sejuta Setan yang 
menghendaki gumpalan daun lontar sakti 
milik suamiku. Kakek bernama Dadung 
Bongkok ini pun menghendaki hal yang 
sama. Tidak! Sampai kapan pun tak akan 
pernah kuserahkan gumpalan daun lontar 
yang hingga saat ini aku tak pernah tahu 
bagaimana suamiku mendapatkannya. Benda 
itu benda sakti. Dan tentunya, baik Ratu 
Sejuta Setan maupun Dadung Bongkok, 
menginginkannya untuk kepentingan 
pribadi." 

Habis membatin demikian, dengan 
gagah Dewi Lontar berkata, "Dadung 
Bongkok! Kendati suamiku sudah 
meninggal, apakah kau berpikir aku tak 
mampu menghadapimu?" 

Dadung Bongkok menggeram. 

"Jangan banyak omong! Serahkan 
benda sakti itu kepadaku!" 

"Tiga bulan lalu, kau telah dibuat 
terbirit-birit oleh suamiku! Hari ini, 
akulah yang akan membuatmu ingat kembali 
kejadian tiga bulan lalu!" 

"Setan betina! Kau akan menyesali 
tindakanmu ini!" 

Habis ucapannya, Dadung Bongkok 
sudah melompat maju dengan gerakan 
bersalto satu kali. Bambunya yang 
berujung runcing dikibaskan dengan cepat 
ke arah leher Dewi Lontar. Yang diserang 
hanya mundur satu tindak ke belakang. 
Lalu dengan gerakan yang cepat, 
digerakkan pedangnya. 

Traaakk! 

Benturan yang mengandung tenaga 
dalam itu membuat masing-masing orang 
mundur. Dan tiba-tiba saja sosok Dewi 
Lontar terjajar ke belakang. 

Perutnya sudah terkena satu 
tendangan keras yang dilepaskan dengan 
cepat oleh Dadung Bongkok. Belum lagi dia 
dapat menguasai keseimbangannya, Dadung 
Bongkok sudah merangsek maju dengan 
gerakan tombaknya yang serabutan 
membingungkan. 

Tersentak Dewi Lontar tatkala 
merasakan gelombang angin kacau menderu 
ke arahnya. Cepat perempuan ini membuang 
tubuh ke samping. 

Blooorr! 

Dinding rumahnya jebol terkena 
hantaman bambu Dadung Bongkok. Rupanya, 
kakek bongkok ini memang tak mau 
bertindak ayal. Kalau tiga bulan lalu dia 
merasa jeri setelah menyadari kesaktian 
Pendekar Lontar, kali ini dia merasa di 
atas angin. Karena diyakininya dapat 
mengalahkan Dewi Lontar. 

Tetapi Dewi Lontar bukanlah 
perempuan sembarangan. Pedangnya pun 
mulai diayunkan dengan kecepatan luar 
biasa. Disinari matahari senja, ujung 
pedangnya berkilat kilat dengan 
mengeluarkan suara mendesing-desing. 

"Keparat! Rupanya, dia tak kalah 
hebatnya dengan suaminya I I Tetapi 
kelihatannya dia tak membawa gumpalan 
daun lontar itu! Ini kesempatan untuk 
membunuhnya!" maki Dadung Bongkok, lalu 
menyerbu kembali. Kali ini tangan 
kirinya ikut digerakkan yang seketika 
menggebah awan-awan hitam! 

Dewi Lontar pun memperlihatkan 
kelasnya. Menunjukkan kalau dia adalah 
istri dari mendiang Pendekar Lontar. 
Dengan pekikan keras, perempuan jelita 
berpakaian hitam ini melompat ke atas 
seraya menggerakkan pedangnya ke bawah 
membabi-buta. Sinar-sinar terang 
bermuncratan dan menghantami awan-awan 
hitam yang dilepaskan Dadung Bongkok. 
Letupan terdengar berkali-kali. Dadung 
Bongkok terpekik keras, tubuhnya 
terbanting di atas tanah. 

Dewi Lontar menggeram dingin. 

"Tiga bulan lalu kau datang membuat 
onar! Tetapi suamiku masih mengampuni 
nyawamu! Dan sekarang kau datang lagi 
dengan keinginan yang sama! Tak akan 
pernah kuampuni nyawamu sekarang!!" 

Dadung Bongkok muntah darah. Darah 
hitam menyembur keluar. Perlahan-lahan 
dia berdiri sambil memegangi dadanya 
dengan tangan kirinya. Kepaianya agak 
didongakkan. Tatapannya yang selalu 
memancarkan kekejian, kini lenyap. 
Berganti dengan kepanikan. 

Lalu terbata-bata dia 
berkata,"Ampuni aku. Dewi... ampuni 
aku...." 

"Suamiku pernah mengampunimu tetapi 
kau masih berani datang lagi! Apakah 
sekarang aku perlu mengampunimu lagi?!" 
hardik Dewi Lontar dengan tatapan tajam. 
Kesedihan yang melanda akibat kematian 
suaminya, kini berubah menjadi kegeraman 
dalam. Dan perempuan ini seolah 
mendapatkan tempat pelampiasan untuk 
menumpahkan seluruh kesedihan dan 
amarahnya. 

Dadung Bongkok bangkit dengan kedua 
kaki goyah. Dia terbatuk-batuk yang 
memuncratkan darah. 

"Ampuni aku, Dewi... ampuni 
aku...," serunya penuh iba. "Aku 
bersumpah... tak akan pernah lagi 
kuganggu ketenteramanmu. Tak lagi 
kuinginkan apa yang selama ini 
kuinginkan...." 

Kendati diiiputi amarah tinggi, 
tetapi Dewi Lontar adalah seorang 
perempuan yang lemah lembut. Sikap kakek 
bongkok itu membuatnya merasa kasihan. 

Lalu serunya, "Baik! Sekali ini kau 
kuampuni! Tetapi bila kau berani iagi 
muncul, kau akan mampus, Dadung 
Bongkok!" 

Dadung Bongkok mengangguk 
berkali-kali sambil berucap terima 
kasih. 

Dewi Lontar menyampirkan lagi 
pedangnya pada punggungnya. Dia berkata. 

"Sepuluh tarikan napas kau masih 
berada di sini, kau akan mampus!" 

Lalu dia berbalik melangkah ke 
rumahnya. 

Dewi Lontar tidak tahu, kalau 
sesungguhnya Dadung Bongkok sedang 
merencanakan satu kekejian. Dia memang 
merasa tak sanggup menghadapi kesaktian 
Dewi Lontar. Jalan satu-satunya, dia 
memang harus mengiba mohon ampun. 

Begitu Dewi Lontar berbalik, 
seringaian melebar di bibirnya. Kejap 
berikutnya, dia sudah menerjang dengan 
bambu yang digerakkan serabutan. 

Dewi Lontar tersentak tatkala 
merasakan gelombang angin menderu ke 
arahnya. 

"Terkutuk!" makinya sambil berbalik 
dan mencabut pedangnya. 

Plaas! 

Plukkk! 

Bambu keras milik Dadung Bongkok 
putus tertebas pedangnya. Dewi Lontar 
berhasil patahkan serangan si kakek. 
Tetapi, satu gelombang angin yang keluar 
dari dorongan tangan kiri Dadung 
Bongkok, tak bisa dihindarinya, 

Dessss!! 

"Aaakhhhh!!" Dewi Lontar berteriak 
sekeras-kerasnya. Tubuhnya terseret ke 
belakang. Belum lagi dia dapat menguasai 
keseimbangannya, Dadung Bongkok sudah 
datang melancarkan serangan. 

Perempuan perkasa itu masih bisa 
menghindari dengan jalan menjatuhkan 
diri. Bahkan pedangnya langsung 
diangkat. Dadung Bongkok menggeram. Lalu 
memutar tubuh dua kali seraya pukulkan 
bambunya. 

Praaakk! 

Bambunya itu tertahan pedang Dewi 
Lontar. Karena dalam keadaan terguling, 
bambu itu tidak putus tertebas. Dadung 
Bongkok menyusulkan serangannya lagi. 

Tetapi.... 

Craassl! 

"Aaaakhhh! " 

Gerakan yang dilakukan Dewi Lontar 
sungguh di luar dugaannya. Tahu-tahu 
tangan kirinya telah kutung tertebas 
pedang. Dadung Bongkok terhuyung. Darah 
keluar dari lengan kirinya yang sudah 
buntung. 

"Perempuan celaka!!" serunya keras 
seraya melemparkan bambu kerasnya. 

Dewi Lontar yang masih berada di 
atas tanah memekik. Dia berguling dan 
berhasil menghindari bambu itu. Tetapi 
diluar dugaannya, bambu itu justru 
berbalik. Dan.... 

Bleesss!! 

Masuk tepat pada jantungnya! Saat 
itu, malam pun datang. 

★ ★ ★ 



DiKAMARNYA, Boma Paksi sudah tak 
sabar untuk segera keluar. Bocah yang 
pada kedua tangannya sebatas siku 
terdapat sisik coklat dan pada 
punggungnya terdapat gambar seekor naga 
hijau yang dibawanya dari lahir, memang 
mematuhi kata-kata ibunya, tidak akan 
keluar sebelum malam datang. 

Dan saat ini malam telah datang. 
Tetapi ibunya belum juga muncul 
menj umpainya. 

"Mengapa Ibu belum muncul juga?" 
desisnya dalam hati dengan perasaan tak 
sabar. "Apakah saat ini Ibu berhasil 
dikalahkan kakek bongkok itu? Ah, tidak! 
ibu pasti bisa mengalahkannya! Seperti 
yang dilakukan Ayah!" 

Kembali si bocah mondar-mandir 
dengan perasaan tak tenang. Gumpalan 
daun lontar yang diberikan ibunya masih 
dipegangnya erat-erat. Kembali 
dihentikan langkahnya karena dia tak 
mendengar langkah-langkah mendekati 
kamarnya. 

"Aku harus melihat keluar! Aku harus 
membantu Ibu!" serunya memutuskan. Lalu 
dengan langkah tegap dan wajah tegang, 
bocah yang pada punggungnya terdapat 
tato seekor naga hijau itu segera keluar. 

Langkahnya terburu-buru dengan rasa 
tidak sabar yang dalam. Di luar, 
dilihatnya keadaan di sana sudah porak 
poranda. Saat ini rembulan bersinar 
cuktip terang. Begitu melihat Dadung 
Bongkok, dia langsung berseru, "Kakek 
brengsek! Lagi-lagi kau yang datang! 
Dan... hei! Tangan kirimu telah buntung 
rupanya! Lebih baik kau cepat pergi dari 
sini sebelum Ibu membuat tangan kananmu 
yang satunya lagi buntung!" 

Dadung Bongkok yang masih terhuyung 
karena menahan sakit, mengangkat 
kepalanya. Tatapannya tajam menusuk. Dan 
mendadak saja kepalanya menegak. Matanya 
terbeliak, tak berkedip. 

"Gumpalan daun lontar itu... daun 
lontar itu ada padanya?" desisnya sambil 
menyeringai. Lalu ditotoknya urat darah 
pada bahu kirinya. Dia menjerit pelan. 
Lamat-lamat terlihat darah yang tadi 
banyak keluar perlahan-lahan menipis dan 
akhirnya tak keluar sama sekali. 

Rasa sakit dan amarah yang mendekam 
di dadanya tak lagi dihiraukan begitu 
melihat benda yang dicarinya berada di 
tangan bocah tanpa pakaian itu. 

Malah mendadak dia terbahak-bahak 
keras. 

Boma Paksi yang berdiri dengan kedua 
kaki dibuka, berseru, "Kakek bongkok! 
Kau sudah gila ya? Cepat kau pergi dari 
sini sebelum Ibu. . . . Ibu? Hei . . . di mana 
Ibu?I" 

"Hahaha...," menggema keras tawa 
Dadung Bongkok. "Kau mencari ibumu? 
Lihat di sana! Siapa yang tergeletak 
Itu? ! " 

Segera Boma Paksi mengarahkan 
pandangannya pada tempat yang ditunjuk 
Dadung Bongkok. Seketika bocah itu 
berteriak keras dan memburu ibunya. 
Karena terburu-buru dia terjatuh. Lalu 
dengan kekerasan hatinya, dia bangkit 
dan merangkul ibunya yang telah menjadi 
mayat. 

"Ibuuuuu" 

"Ibumu sudah mampus. Bocah! 
Sekarang, serahkan benda itu kepadaku? ! " 

Boma Paksi masih menangis sambil 
merangkul ibunya. 
"Ibu... ibu. . desisnya mengibakan. 

Dadung Bongkok menggeram. 

"Kali ini, tak ada lagi yang akan 
menghalangi keinginanku! Mendapatkan 
gumpalan daun lontar sakti yang selama 
ini kuimpikan, tak akan mendapatkan 
ganjalan apa-apa! Huh! Bocah itu pun 
harus knmampuskan! Biar hilang sudah 
keturunan dari Pendekar lontar!" serunya 
puas dalam hati. 

Lalu dengan langkah agak terhuyung, 
Dadung Bongkok menghampiri Boma Paksi 
yang masih menangis. Sejenak dikerutkan 
keningnya begitu melihat gambar seekor 
naga hijau pada punggung bocah itu. 

"Aneh! Mengapa ada gambar seekor 
naga hijau pada punggungnya? Siapa yang 
telah mentato punggungnya itu?" desisnya 
sejenak. Lamat-lamat keheranannya itu 
lenyap, berganti dengan niatnya semula. 
"Kau akan menyusui ibumu. Bocah!" 

Tangannya siap dihantamkan pada 
punggung si bocah. 

Boma Paksi mendengar seruan itu. Dia 
hendak berbaiik. Tetapi sebelum dia 
berbalik, mendadak saja Dadung Bongkok 
terpentai ke belakang. 

"Astaga! Ada apa ini?!" serunya 
gelagapan sambil berusaha mengendalikan 
keseimbangannya. 

Sementara itu, Boma Paksi sudah 
berbalik dan berdiri dengan tatapan 
tajam. Kemarahan sungguh kentara sekali 
pada wajahnya yang memerah. 

Di tempatnya, Dadung Bongkok yang 
telah berdiri terdiam. 

"Sempat tadi kulihat, kalau gambar 
seekor naga pada punggung bocah itu 
seperti keluarkan sinar. Lalu ada tenaga 
yang menahan seranganku. Astaga! Apakah 
gambar seekor naga hijau itu memang 
memiliki arti?!" 

Sementara itu kemarahan Boma Paksi 
semakin menjadi-jadi. Bocah itu 
perlahan-lahan berdiri. Dan astaga! 
Sorot matanya sangat angker, mengerikan! 

"Ibu... aku akan membalas perbuatan 
kakek jelek itu!" 

Saat dia berbalik, Dadung Bongkok 
melihat gambar naga hijau pada punggung 
si bocah semakin bersinar hijau. 
Keheranannya semakin menjadi-jadi. 

"Aku yakin, kalau gambar seekor naga 
hijau itu bukannya tanpa isi! Sekarang 
sinarnya semakin terang! Hemm... 
jangan-jangan, ini mengisyaratkan satu 
bahaya! Peduli setan! Bahaya apa pun akan 
kuterjang untuk mendapatkan gumpalan 
daun lontar itu!" 

Lalu diiringi teriakan keras, 
Dadung Bongkok menerjang Boma Paksi yang 
masih membelakanginya. Kalau tadi Dadung 
Bongkok merasakan ada tenaga yang 
menghantamnya, kali ini dia melihat 
sinar hijau melesat ke arahnya. Yang 
membuatnya melengak dan untuk beberapa 
saat terdiam tegang, karena sinar hijau 
itu mendadak berubah menjadi bayangan 
seekor naga! 

"Heiiii!!" 

Cepat dia menghindar. 

Bggaaaarr! 

Sinar hijau yang membentuk seekor 
naga itu menghantam dinding rumah yang 
seketika jebol dengan suara keras. 

Dadung Bongkok terbelalak. Dia tak 
percaya melihat apa yang terjadi. 

"Astaga! Ternyata tak semudah 
dugaanku! Tentunya Pendekar Lontar dan 
istrinya telah membekali putranya dengan 
ilmu aneh itu! Terkutuk! ! Selama ini aku 
tak pernah mendengar kalau Pendekar 
Lontar maupun istrinya memiliki ilmu 
lain kecuali ilmu pedang yang sangat 
tinggi. Dan sekarang... aku melihat 
kalau keduanya mempunyai ilmu yang 
disembunyikan. yang diturunkan pada 
putra mereka! Jahaman terkutuk! Terku-
tuk!" makinya dalam hati. 

Tetapi di kejap lain, terlihat 
bibirnya tersenyum. "Hemm, untunglah aku 
dilahirkan dengan otak cerdik! Aku 
yakin, bila yang kuserang bagian depan, 
gambar seekor naga hijau itu tak akan 
banyak artinya." 

Memutuskan demikian, Dadung Bongkok 
menunggu sampai si bocah berbalik sambil 
mengatur napasnya yang mulai 
putus-putus. Sementara itu, 
perlahan-lahan Boma Paksi pun akhirnya 
berbalik. Kemarahan begitu membias 
dalam. Tatapannya yang tadi menggoda 
rasa Iba, kini nyalang mengerikan, 
seperti mengandung satu kekuatan yang 
mampu melemahkan keberanian lawan. 
Tangan kirinya mengepal kuat sementara 
tangan kanannya memegang erat-erat 
gumpalan daun lontar yang diberikan 
ibunya. 

Dadung Bongkok pun merasakan 
keangkeran pada sorot mata si bocah. Dia 
juga melihat sisik coklat halus pada 
kedua tangan si bocah meremang, dan 
bersinar terang. 

Tetapi dia tak mempedulikannya. 

"Kakek kurang ajar! Kau telah 
membunuh ibuku! Kau telah membunuh 
ibuku!" seru Boma Paksi dengan tatapan 
memerah tajam. 

Dadung Bongkok tak bersuara. 
Matanya memperhatikan dalam-dalam 
dengan mulut merapat. 

"Bocah ini akan menjadi duri! 
Sebelum ada yang datang ke sini, aku 
harus melaksanakan niat!!" 

Memutuskan demikian, si kakek 
dengan bengis berseru, "Serahkan benda 
yang kau pegang itu padaku, ketimbang kau 
akan kesakitan kugebuk!" 

"Tidak! Bukan aku yang akan kau 
gebuk! Tetapi kau yang akan kugebuk!" 
seru Boma Paksi keras. Lalu dengan 
kegagahan yang sangat kentara dan 
keberanian luar biasa, si bocah 
menerjang ke depan. Tangan kanannya yang 
memegang gumpalan daun lontar, tak 
sengaja bergerak. 

Dadung Bongkok menunggu. Dia 
sengaja tak segera melaksanakan niatnya, 
karena khawatir sinar hijau yang 
membentuk seekor naga hijau keluar lagi. 
Tetapi bukan itu yang kemudian 
mengejutkannya. Karena mendadak saja 
dari gumpalan daun lontar yang tak 
sengaja digerakkan si bocah, 
mengeluarkan gelombang angin yang 
diliputi asap tipis berwarna hijau.

"Heeiiii!!" 

Jlgaaarrr!! 

Gelombang angin itu menghantam 
dinding rumah yang seketika ambrol 
berhamburan. 

Kendati demikian, biar bagaimanapun 
juga, Dadung Bongkok adalah seorang 
tokoh sesat yang telah banyak makan asam 
garam. Tindakan yang dilakukan si bocah 
jeias-jelas hanya nalurinya belaka. 
Makanya dia berhasil menghindarinya. 
Bahkan dapat mengetahui, bila dia 
menyerang bagian depan tubuh si bocah, 
sinar hijau yang kemudian membentuk 
bayangan seekor naga itu tidak keluar. 
Tetapi bila diserang punggungnya, maka 
dialah yang akan celaka. 

"Saatnya dia harus mampus!" 

Lalu dengan enteng saja, Dadung 
Bongkok menghindari gelombang angin yang 
dihiasi asap hijau tipis yang keluar dari 
gumpaian daun lontar. Menyusul dengan 
kejamnya, dihantamnya perut si bocah 
yang terbanting di atas tanah. Rasa sakit 
yang tak terkira dirasakan Boma Paksi. 
Kalau tadi air matanya keluar karena 
kematian ibunya, sekarang air matanya 
keluar karena menahan sakit. 

Tetapi kegagahan Pendekar Lontar 
mengalir dalam darahnya. Seolah tak 
merasakan sakitnya, bocah itu menyerang 
lagi. Bahkan diiringi teriakan keras. 

Dan untuk kedua kalinya dia 
terbanting di atas tanah, karena jotosan 
tangan kanan Dadung Bongkok telah 
mendarat di perutnya. Darah segar 
muncrat dari mulutnya. Wajahnya meringis 
kesakitan. Si bocah menggeliat sebentar. 
Dia sempat buka suara sebelum jatuh 
pingsan. 

"Ibu...." 

Dadung Bongkok terbahak-bahak 
keras. 

"Telah tiba saatnya kudapatkan 
pusaka itu! Rahasia pusaka itu akan 
kukupas I Itu artinya. . . tak lama lagi aku 
akan menjadi tokoh rimba persilatan 
tiada tanding!" 

Lalu menggema tawanya yang sangat 
keras. Setelah puas melampiaskan 
kegembiraannya, Dadung Bongkok berjalan 
menghampiri Boma Paksi. Diambilnya 
gumpalan daun lontar yang diingininya 
itu, yang tadi menggelinding terlepas 
dari genggaman tangan Boma Paksi. 

Diamat-amatinya gumpalan daun 
lontar sebesar kepalan tangannya itu 
dengan kegembiraan tiada banding. 
Senyuman tak putus di bibirnya. 

"Pusaka ini telah banyak membunuh 
orang-orang segolongan denganku! Sepak 
terjang Pendekar Lontar tak akan pernah 
dimaafkan oleh orang-orang segolongan 
denganku! Dan sekarang... pusaka ini 
akan menghisap darah dagingnya sendiri ! " 

Kembali diamat-amatinya gumpalan 
daun lontar itu. Pancaran mata berbinar 
yang mengandung kebuasan itu jelas 
terlihat. Lamat-lamat tetapi pasti, 
dengan seringaian lebar, Dadung Bongkok 
mengangkat gumpalan daun lontar itu. 

"Tamat sudah riwayat Pendekar 
Lontar beserta keturunannya!" 

Tanpa memiliki rasa kasihan sedikit 
pun juga, digerakkan tangannya dan siap 
dihantamkan pada kepala si bocah. 
Namun.... 

Dessss!! 

Dadung Bongkok mendadak saja 
terjengkang ke belakang dengan perut 
yang seperti melesak ke dalam. Gumpalan 
daun lontar yang dipegangnya terlepas 
Kakek yang dibutakan oleh keinginannya 
ini tak menghiraukan rasa sakit atau 
siapa orang yang telah menyerangnya. Dia 
justru melompat untuk mendapatkan kem¬ 
bali pusaka yang telah terlempar itu. 

Tetapi... 

Buukkk! 

Kembali dia terbanting di atas 
tanah. Untuk sejenak Dadung Bongkok 
tergeletak menahan sakit. Di saat lain, 
gelagapan dia berusaha untuk bangkit. 
Saat itulah dilihatnya satu sosok tubuh 
berjubah merah telah berdiri di sana 
dengan memegang pusaka diingininya! 

"Dewa Naga...," desis Dadung 
Bongkok dengan suara tertahan. Matanya 
melotot panik. 

Kakek berjubah merah yang telah 
memegang pusaka Pendekar Lontar itu 
menggeram. Tatapannya dingin. Tak ada 
tanda-tanda dia akan memperlihatkan 
sikap konyol dan angin-anginan seperti 
biasanya. Yang terlihat hanyalah 
kemarahan yang terpancar dari sepasang 
matanya yang memancarkan sinar merah, 
terang. Sisik-sisik hijau yang terdapat 
pada wajahnya memerah. 

"Tindakanmu sudah kelewat batas, 
Dadung Bongkok!" 

Paras kejam Dadung Bongkok menciut. 
Dia tahu kesaktian yang dimiliki Dewa 
Naga. Dan disesalinya mengapa kakek muka 
lonjong penuh sisik hijau itu keburu 
datang sebelum ditinggalkannya tempat 
ini. Tetapi, ambisinya yang sudah hampir 
terpenuhi digagalkan, membuat Dadung 
Bongkok melupakan kedutannya. Tak lagi 
dipedulikan siapa orang bersisik hijau 
yang berdiri di hadapannya. 

Dia bangkit dengan terhuyung. 

"Dewa Naga, Aku tak peduli seberapa 
tinggi kesaktianmu! Tetapi, siapa pun 
yang lancang mencampuri urusanku, dia 
akan menyesal seumur hidup! Serahkan 
benda sakti itu padaku, maka urusan 
selesai I" 

Dewa Naga melotot. 

"Sinting! Kau ini sudah sinting 
rupanya? Muiut baumu itu masih bisa juga 
melontarkan sesumbar ! Hei, kakek bongkok 
jelek! Apakah kau pikir aku tega 
membunuhmu yang sudah tak berdaya itu?!" 

Seharusnya Dadung Bongkok menyadari 
keadaan dirinya. Menghadapi Dewa Naga 
dalam keadaan segar bugar saja, dia tidak 
akan menang. Apa lagi sekarang? Tetapi 
kemarahan dan keserakahah telah 
membutakah pikirannya. 

"Peduli setan! Serahkan pusaka itu! 
Atau... kau sebenarnya sudah memutuskan 
untuk mampus malam ini?!" 

Bukannya mulut Dewa Naga yang 
berbunyi, justru pantatnya. 

Bruuut! 

Kalau biasanya dia selalu 
memaki-maki karena pantatnya tak bisa 
diajak berunding, kali Ini dia tak 
peduli. Sinar matanya terus memancarkan 
maut. 

"Ucapanmu benar-benar bikin panas 
hatiku! Seharusnya aku menghukummu 
sekarang I Tetapi 

"Keparat I!" 

Dadung Bongkok mendorong tangan 
kanannya. 

Wrrrrll 

Menggebah gelombang angin yang 
menyeret tanah. Dewa Naga menggeram. 
Lalu mendehem. Suara dehemannya kecil 
saja, tetapi .... 

Blaaaammm 

Gelombang angin itu putus di tengah 
jalan seperti menghantam sebuah tembok. 
Bahkan Dadung Bongkok sendiri terbanting 
lagi di atas tanah. 

"Kakek terkutuk!" makinya dengan 
darah yang mengalir dari hidung. 

"Kau benar-benar tak tahu diuntung! 
Padahal aku sudah beri peruntunganmu 
untuk hidup lebih lama lagi! Tapi kalau 
kau keras kepala, aku tak akan pikir dua 
kali untuk membunuhmu! Hanya saja, 
lagi-lagi, aku tak berhak membunuhmu!" 
seru Dewa Naga sambil melotot. Lalu 
diangkatnya tubuh Boma Paksi yang 
pingsan. Ditelitinya sejenak sebelum dia 
angkat pandangan dan berseru. 

"Ingat apa yang kukatakan tadi! Dua 
belas tahun mendatang, bocah ini akan 
datang untuk mencabut nyawamu. Jadi, 
persiapkan dirimu mulai sekarang sebelum 
dua belas tahun menjelang!" 

Habis ucapannya. Dewa Naga segera 
berkelebat meninggalkan tempat itu. 

Dadung Bongkok merutuk panjang 
pendek dengan kegusaran luar biasa. 
Dihantaminya apa saja dengan kibasan 
tangan kanannya. Letupan berkali-kali 
terdengar sebelum akhirnya dia 
terengah-engah sendiri. 

"Keparat! Keparat kau. Dewa Naga... 
kau akan menyesali tindakanmu ini...." 

Lalu dengan langkah sempoyongan 
Dadung Bongkok melangkah meninggalkan 
tempat itu. 

"Aku akan menunggu dua belas tahun 
mendatang 


*****



PERPUTARAN waktu sungguh sangat 
sukar diikuti. Kita tak tahu sang waktu 
akan melangkah ke mana. Tetapi yang 
pasti, sang waktu tak mau membuang diri 
untuk kembali ke masa lalu. Dia terus 
bergerak dan bergerak sampai tiba Sang 
Penguasa Jagat memerintahkannya untuk 
berhenti. Dan tak seorang pun yang 
mengetahui, kapan Sang Penguasa Jagat 
memerintahkan sang waktu untuk berhenti 
bekerja. 

Dua belas tahun sejak peristiwa 
kematian Pendekar Lontar pun sudah 
terlampaui. Rentang waktu yang lama itu, 
ternyata tak begitu terasa. Tahu-tahu 
sudah membentang jauh melewati 
batas-batas yang tak bisa ditentukan. 

Pagi masih buta. Butiran embun 
bergayutan manja di dedaunan. Udara 
sangat dingin menusuk tulang. Semakin 
dingin karena semalam hujan turun sangat 
lebat. Di mana-mana terdapat tanah becek 
dan genangan air. Tak seekor hewan pun 
yang keluar untuk mencari makan. Mungkin 
mereka sudah mempersiapkan makanan lebih 
atau juga merasa enggan bergabung dengan 
udara dingin. Mendadak.... 

Jlegaaaarrrl! 

Sebuah letupan keras menggema di 
pagi buta. Disusul gemuruh angin dahsyat 
yang berputar dan menerjang. Lima batang 
pohon berpentalan jauh dengan suara 
bergemuruh. 

Beberapa kejap kemudian hening 
menggenang. Pagi senyap kembali. 

"Guru! Bagaimana menurutmu?!" 
terdengar suara itu memecah keheningan. 

Bruuuttt! 

Suara pantat berbunyi terdengar 
keras, disusul dengusan. 

"Brengsek! Apanya yang menurutku, 
hah? ! Anak kecil pun bisa melakukan apa 
yang barusan kau lakukan". bentakan 
keras itu terdengar. 

"Astaga! Guru! Yang benar saja? Lima 
batang pohon itu sudah tumbang kuhantam 
dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 
Lautan' yang Guru ajarkan! Kalau 
ternyata Guru anggap belum sempurna, ya 
karena ilmu Guru itu tidak bagus!" 

"Brengsek! Brengsek! Kau mau 
menganggap gurumu ini tidak becus 
mengajarkanmu?! Sembarangan kalau 
ngomong! Kau ingin kugampar ya?!" 

Pemuda yang mengenakan rompi 
berwarna ungu yang sedikit terbuka 
hingga memperlihatkan dada bidangnya, 
yang tadi melepaskan pukulan menghantam 
lima batang pohon yang berpentalan 
pecah, tertawa. Tak ada tanda-tanda dia 
kecut diancam seperti itu. 

Sikapnya enak saja berucap demikian 
dengan kakek berjubah merah yang duduk di 
atas sebuah batu. Membuat si kakek 
bermuka lonjong yang penuh sisik hijau 
itu menggerutu panjang pendek. Dan 
berkali-kali dari pantatnya keluar 
suara, 'Bruttt!' 

"Sembarangan kau ya?! Ilmu 'Kibasan 
Naga Mengurung Lautan' sukar dicari 
tandingannya di jagat ini?! Itu termasuk 
ilmu dahsyat yang kuturunkan kepadamu! 
Yang dapat kau pergunakan sebagai satu 
senjata tangguh bila kau terdesak! Tapi 
bukan cuma bisa menumbangkan lima batang 
pohon itu!" 

"Tapikan bagian atasnya hangus?!" 
seru si pemuda yang rambutnya dikuncir 
itu tak mau kalah. Dia berdiri berjarak 
delapan langkah dari si kakek muka 
lonjong. Berdiri tegak dengan kegagahan 
yang kentara. Matanya berkilat-kilat 
jenaka, kendati sorotnya angker. 
Parasnya tampan dan tubuhnya gagah. Yang 
agak mengherankan adalah kedua 
tangannya, yang mulai dari 
jari-jemarinya hingga batas siku, 
bersisik coklat! Padahal bagian tubuhnya 
yang lain tidak. 

"Bukan itu yang kuinginkan! Tapi 
semuanya langsung hangus begitu kau 
bantam!!" maki si kakek bersisik hijau 
keras. "Percuma aku mengajarimu kalau 
cuma itu saja yang bisa kau lakukan! 
Kebanyakan makan kau ya?! Atau... kau 
kebanyakan ngintip perawan mandi di desa 
seberang ya?!" 

Si pemuda nyengir. 

Tindakannya itu membuat si kakek 
bersisik hijau yang bukan lain Dewa Naga 
mendengus. 

"Kenapa kau nyengir begitu, hah?! 
Kau pikir parasmu tampan apa?!" 

"Dibandingkan wajah Guru sih... 
rasanya masih ada deh perawan montok yang 
akan melirikku lebih dulu! Lalu menutup 
mata begitu memandang Guru," sahut si 
pemuda kalem. 

"Busyet, Kau ini. 

Kata-kata Dewa Naga terputus 
tatkala didengarnya suara letupan lima 
kali berturut-turut. Sejenak si kakek 
rhengerutkan keningnya. Telinganya 
dibuka lebar-lebar. 

Kejap berikutnya, dia mendengus 
keras. 

"Brengsek! Kau mempermainkan 
orangtua ya? Kau mempermainkan gurumu 
ya? Murid kebluk! Bagaimana bisa kau buat 
lima batang pohon itu lebur 
belakangan?!" 

Si pemuda tertawa. 

"Nah! Guru akhirnya mengakui bukan, 
kalau Guru tidak sia-sia menurunkan ilmu 
kepadaku?" 

"Kurang asem! Selain memiliki 
ketegaran dan jiwa ksatria tinggi, 
pemuda ini juga memiliki sifat 
asal-asalan! Dia sengaja 
mempermainkanku rupanya! Lima batang 
pohon yang dihantamnya dengan ilmu 
'Kibasan Naga Mengurung Lautan' tadi 
hanya untuk menggodaku saja! Tapi... 
bagaimana caranya dia bisa menyimpan 
tenaga dari ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 
Lautah' pada lima batang pohon yang 
kemudian lebur belakangan? Busyet! Dia 
memang hebat dan cerdik!" 

Lalu dipandanginya si pemuda yang 
sedang nyengir. 

"Sekujur tubuhku dipenuhi 
sisik-sisik hijau. Pemuda itu memiliki 
sisik yang sama tetapi berwarna coklat 
dan hanya terdapat mulai dari 
jari-jemarinya hingga batas siku kedua 
tangannya. Ah, kalau sisik-sisik hijau 
pada tubuhku karena pengaruh ilmu yang 
kumiliki, tetapi dia telah membawanya 
sejak lahir." 

Melihat tatapan gurunya, si pemuda 
berkata, "Kenapa Guru melihatku seperti 
itu? Apakah baru kali ini Guru melihat 
ketampananku?" 

Dewa Naga menggerutu. 

"Banyak omong!" 

"Apa iya?" 

BruutttI 

Pantat si kakek berbunyi. 

"Guru! Kau ini tidak punya malu ya? 
Buang angin sembarangan! Untung baunya 
tidak busuk! Coba kalau...." 

"Hei, hei ! Cuma buang angin itu yang 
tak bisa kuajarkan padamu! Jangan kau 
pikir buang anginku itu seperti buang 
angin orang kebanyakan! Hemm... suatu 
saat akan kuperlihatkan kepadamu! 
Sekarang... aku ingin melihat 
kebisaanmu! Ayo, serang aku!" 

"Wah! Kok pakai main 
serang-serangan nih? Kalau aku sudah 
tamat mewarisi seluruh ilmu Guru, ya su¬ 
dah ! " 

"Banyak omong! Ayo, serang aku!!" 
seru Dewa Naga dengan mata melotot. 

"Menyerangmu? Wah! Mana bisa 
kulakukan? Guru sudah tua, gerakan Guru 
tentunya sudah lamban!" sahut si pemuda 
sambil tertawa. Dia memang hendak 
menggoda gurunya. 

Sebagai sahutan, Dewa Naga 
menjentikkan ibu jari dengan 
telunj uknya. 

Trikk! 

Bunyi pelan terdengar. Tetapi... 
secara tak disangka, menggebah gelombang 
angin yang diliputi asap hijau ke arah si 
pemuda yang bukan lain Boma Paksi adanya. 

Putra almarhum Pendekar Lontar dan 
almarhumah Dewi Lontar mendengus pendek. 
Tanpa bergeser dari tempatnya, dia 
mendorong tangan kanannya 

Wrrpr!! 

Serangkum angin merah menggebrak 
keras. 

Dan.... 

Blaaaam!! 

Letupan keras terjadi. Tanah di mana 
benturan itu terjadi, muncrat ke udara. 
Dan bila saat ini matahari sudah 
menampakkan diri, maka akan terlihat 
muncratan angin merah ke mana-mana. 

Masih dengan pandangan terhalang 
oleh muncratan tanah, satu gelombang 
angin lainnya menderu cepat ke arah si 
pemuda. Merasakan adanya dorongan kuat, 
si pemuda menepukkan tangan kanannya 
pada lengan kirinya. 

Wuuutttl! 

Angin berputar tiba-tiba menderu, 
melingkar dan membubungkan tanah dalam 
pusarannya. 

Si kakek yang sudah meluncur 
menyerang, mengentakkan rahangnya. 
Diurungkan niatnya untuk menyerang. Kaki 
kanannya dijejakkan ke tanah. Bersamaan 
tubuhnya melenting ke atas, tanah 
menghambur ke arah si pemuda. Tetapi 
langsung tertelan dalam pusaran angin 
yang dilakukan si pemuda. 

"Wah! Guru kenapa?! Kenapa harus 
melompat ke atas seperti monyet?!" 

"Brengsek!" 

Bruuutt! 

Si kakek memutar tubuhnya kembali. 
Lalu digerakkan jotosan tangan kanannya 
tepat pada kepala Boma Paksi. Yang 
diserang langsung merunduk. Dan 
tiba-tiba saja kaki kanannya mencuat 
dari belakang. 

Plaaak!! 

Si kakek terpental ke belakang dan 
hinggap diatas tanah dengan kedua kaki 
tegak. Sementara itu, Boma Paksi tetap 
berada di tempatnya. Tetapi kedua 
kakinya kini melesak hingga lutut di 
tanah yang becek. 

Belum lagt diangkat kedua kakinya, 
mendadak saja dilihatnya tanah bergerak 
cepat ke arahnya. 

"Waduh! Kenapa Guru mempergunakan 
ilmu "Barisan Naga Penghancur karang'? I " 
seru Boma Paksi keras. 

Dalam gerakan yang sangat cepat, 
pemuda tampan ini menghantamkan telapak 
tangannya pada tanah yang bergelombang 
ke arahnya. 

BlaaaammmI 

Tanah yang bergerak cepat itu 
terhenti seperti ada tenaga yang 
menahannya. Dan muncrat ke udara. Tubuh 
Boma Paksi terpental. Kedua kakinya yang 
ambias sebatas lutut terlepas dan tanah 
terbongkar. 

Baru saja kedua kakinya hinggap lagi 
di atas tanah, tanah sudah bergerak 
kembali. Boma Paksi langsung melompat 
menghindari barisan tanah yang bergerak 
itu. Mendadak... 

Desss I I I 

Perutnya terhantam satu pukulan 
keras yang membuatnya terhuyung. Paras 
tampan si pemuda meringis. Perutnya 
dirasakan sakit. Rambutnya yang dikuncir 
kuda terlempar sejenak ke depan. 

"Bodoh! Anak kecil saja mampu 
menghindari seranganku" seru Dewa Naga 
pada murid kesayangannya ini. 

"Astaga, Anak kecil mampu 
menghindari pukulan 'Hamparan Naga 
Tidur' tadi? Ada-adanya saja guruku ini! 
Dia selalu bicara semau jidatnya saja! 
Dan pantatnya itu selalu saja berbunyi! 
Hmm... akan kuhadapi dia dengan pukulan 
yang sama." 

Saat lain yang terjadi benar-benar 
tak bisa diikuti oleh mata lagi. Hanya 
yang terdengar beberapa kali letupan 
keras terjadi di sela makian Dewa Naga, 
"Murid brengsek! Kau mau menghajar 
'kantong menyan'ku ya?!" 

Lalu suara Boma Paksi, "Pecah juga 
nggak apa-apa. Guru! Toh sudah nggak bisa 
digunakan lagi?! Guru ini kok aneh-aneh 
saja ya? Buat apa barang yang tidak bisa 
dipergunakan lagi masih Guru tangisi 
juga?!" 

"Bicara sembarangan" 

Blaaarr! 

Jlgaaarrl! 

Dewa Naga semakin gencar menyerang 
muridnya, yang dihadapi muridnya dengan 
gerakan-gerakan yang tak kalah 
gencarnya. Perlahan-lahan matahari pun 
mulai naik dan tanpa terasa, matahari 
sudah sepenggalah. Embun-embun sudah 
mengering. Angin tak lagi menusuk 
dingin. 

Dan... astaga! Sinar matahari yang 
telah menerangi tempat di mana guru dan 
murid itu sedang berlatih, namun 
serangan demi serangan sangat berbahaya, 
membuat jelas tempat itu sekarang. 
Benar-benar membuat kepala 
menggeleng-geleng. Tempat itu ternyata 
sebuah lembah yang ditumbuhi pepohonan. 
Anehnya, seluruh pohon yang tumbuh di 
sana seperti bersisik. Baik batang, 
dahan, ranting maupun daun! 

"Gila betul! Guru benar-benar 
menganggapku sebagai lawan!" seru Boma 
Paksi dalam hati tatkala tanah yang 
menghambur ke udara sirap kembali. Rompi 
berwarna ungu yang dikenakannya sudah 
kotor. Tangan kanan kirinya terasa ngilu 
karena berulang kali berbenturan dengan 
gurunya. 

Tetapi gurunya terus mendesak. 
Bahkan langsung mengambil sebatang 
ranting dan memutar-mutar ranting itu 
hingga si pemuda gelagapan. Dia terus 
melompat karena tak diberi kesempatan 
membalas. 

Plaaakk! 

Dia langsung terjajar ke belakang 
dengan tangan kanan ngilu begitu kena 
gebuk ranting si kakek. 

"Guru! Jangan terus menyerangku! 
Aku kan tidak bersenjata!" serunya 
sambil meluruk ke depan, 

Dewa Naga menarik badannya ke 
belakang seraya mendorong tangan 
kirinya. 

Plaak! Plaaakk! 

"Huhh! Kau ketakutan ya?!" 

"Eh, siapa bilang aku takut?!" seru 
Boma Paksi melotot. 

Bruuuttt! 

"Ya ampun! Kau ini tidak tahu malu 
betul, ya? Buang angin sembarangan!" 

"Bodo, ah!" sahut Dewa Naga cuek. 
Tanpa mengurangi kecepatannya, dia terus 
menyerang muridnya itu. Pembicaraan yang 
enak saja memang kerap kali terjadi. 
Masing-masing orang dapat berbicara 
seperti itu. Ini dikarenakan keakraban 
di antara mereka. Tetapi Boma Paksi 
sendiri masih dapat mengingat posisinya 
sebagai seorang murid. 

Kibasan demi kibasan ranting yang 
dilakukan Dewa Naga memang menyulitkan 
Boma Paksi. Tiba-tiba saja pemuda yang 
kedua tangannya sebatas siku bersisik 
coklat itu menerjang ke depan. Suara 
gerengan terdengar keras. 

"Bagus! Dia telah mempergunakan 
jurus 'Naga Mengamuk'! Aku memang ingin 
melihat kemajuannya!" desis Dewa Naga 
sambil tersenyum. 

Apa yang terjadi kemudian sungguh 
mengejutkan. Pepohonan di sana 
bertumbangan terhantam tangan kanan kiri 
Boma Paksi. Paras si pemuda yang sejak 
tadj terlihat konyol, kini meregang 
tegang. Tatapan matanya dingin dan 
bertambah dingin. Bahkan sisik-sisik 
coklat pada kedua tangannya semakin 
terang menyala, berkiiat-kilat. 

Dewa Naga terus melayani dengan 
kibasan rantingnya. Sampai kemudian 
ranting itu patah. 

"Hebat I Dia dapat mematahkan 
rantingku ini!" serunya. 

Lalu dengan mempergunakan jurus 
'Naga Mengamuk', Dewa Naga melayani 
serangan murid tunggalnya. Apa yang 
terlihat sungguh mengerikan. Lembah Naga 
seperti dilanda kiamat. Letupan demi 
letupan terdengar keras dan angker. 
Pepohonan tumbang disertai muncratan 
tanah di sana-sini. Tempat itu bergetar 
hebat. 

Dari tindakan yang keduanya 
lakukan, terlihat kalau masing-masing 
orang telah membahayakan dirinya 
sendiri. Masuk dalam pertarungan jarak 
dekat dengan kecepatan luar biasa, 
memang sama-sama sukar dihindari. 

Benturan pun terjadi. 

Masing-masing orang mundur lima 
tindak ke belakang. 

Boma Paksi cepat menangkupkan kedua 
tangannya di depan dada. Karena dia 
merasa ada hawa panas yang 
melingkupinya. Di lain pihak. Dewa Naga 
hanya mendengus dan.... 

Bruuttt! 

Hawa panas yang melingkupinya pun 
lenyap. 

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" 
desisnya. 

Boma Paksi yang telah selesai 
mengalirkan tenaga dalamnya hingga hawa 
panas yang melingkupinya lenyap, juga 
memandang gurunya. Sisik-sisik coklat 
yang menyala tadi, kini lenyap dan 
memperlihatkan sisik halus seperti 
sebelumnya. 

"Guru! Kenapa sih Guru menyerangku 
betulan seperti itu?!" 

Kakek muka lonjong mengangkat 
kepalanya. Dipandanginya pemuda di 
hadapannya. 

"Sosoknya gagah dan tegap. Wajahnya 
tampan. Sifatnya kendati agak konyol 
tetapi masih bisa mempergunakan otaknya. 
Sorot matanya itu... terkadang 
menyiratkan kedinginan dan keangkeran 
yang membuat orang berpikir untuk tidak 
menatapnya lebih lama. Ah, aku melihat 
sosok Pendekar Lontar padanya. Rasanya, 
hari inilah saat yang tepat untuk 
mengatakan semuanya...." 

Berpikir demikian, Dewa Naga 
mengangguk-angguk. 

"Pertanyaanmu barusan, memang 
datang pada waktu yang tepat! Tapi 
sebelumnya, aku akan bertanya padamu. 
Boma... apakah kau lupa pada peristiwa 
dua belas tahun yang lalu?" 

★ ★ ★ 



SEJENAK pemuda bersisik coklat itu 
terdiam. Dewa Naga melihat pancaran 
merah angker dari matanya. 

"Aku tahu, dia sedang menahan 
gejolak batin di hatinya. Tetapi aku 
harus membuka lagi mata dan ingatannya 
akan peristiwa dua belas tahun lalu... . " 

Lalu dilihatnya muridnya 
mengangguk. Suaranya angker tetapi masih 
dapat dikendalikan. 

"Ya, Guru! Sudah tentu aku tidak 
melupakannya! Aku ingat sekali! Saat 
itu... Ayah yang berjuluk Pendekar 
Lontar telah tewas tanpa diketahui 
penyebabnya! Lalu... ada Dua Serangka! 
Jubah Hijau! Kakek Dewa Tombak dan Kakek 
Dewa Segala Obat! Aku juga ingat, kalau 
Ibu tewas dibunuh oleh Dadung Bongkok!" 

"Ingatanmu kuat sekali...." 

"Ayahku tewas tanpa diketahui 
penyebabnya. Ibuku tewas dibunuh Dadung 
Bongkok. Ah, lengkaplah apa yang pernah 
kupunyai kini menghilang...." 

Melihat pemuda di hadapannya 
terdiam. Dewa Naga mendengus. 

"Kau mau mendengarkan penjelasanku 
lagi atau kau cuma mau bengong seperti 
kambing ompong, hah?!" 

Boma Paksi mengangkat kepalanya. 
Dewa Naga berkata, "Dua belas tahun yang 
lalu, aku telah mengucapkan sebuah janji 
pada Dadung Bongkok! Saat itu, aku memang 
hadir di sana, tetapi aku terlambat 
karena ibumu sudah dibunuh olehnya! Aku 
hanya bisa menyelamatkanmu yang juga 
hendak dibunuh Dadung Bongkok!" 

"Mengapa Guru tak membunuhnya?" 

"Aku tak berhak melakukannya!" 

"Mengapa?!" suara si anak muda 
terdengar menuntut. 

"Bila itu kulakukan, aku hanya akan 
menimbulkan keonaran! Jadi, apa bedanya 
aku dengan Dadung Bongkok sendiri? 
Silang urusan tak pernah terjadi antara 
aku dengan orang itu! Lagi pula, aku tak 
berhak melakukannya!" 

Boma Paksi terdiam. Kemarahannya 
mendadak muncul. Tetapi dua kejapan mata 
berikut, dia sudah menindih 
kemarahannya. 

"Dua belas tahun lalu, aku sudah 
berkata pada Dadung Bongkok, kalau dia 
akan mendapatkan balasannya! Tetapi 
kemudian aku menyadari, kalau aku telah 
salah berucap!" 

"Di mana Dadung Bongkok berada. 
Guru?" 

"Dia tinggal di Sungai Darah! Tetapi 
aku tidak tahu apakah dia masih tinggal 
di sana atau tidak! Muridku, sebaiknya 
kau melupakan apa yang telah ter j adi . Tak 
ada gunanya kau menyimpan dendam atau 
membalasnya! Karena dengan begitu urusan 
akan semakin panjang. Sebelum kau 
berangkat.. . . " 

"Tunggu, Guru! Berangkat? Apa 
maksud Guru dengan berangkat?" potong 
Boma Paksi. 

"Berangkat ya berangkat!" bentak 
Dewa Naga tiba-tiba. "Kok kau ini bodoh 
betul, ya? Berangkat itu sama dengan 
meninggalkan tempat ini!" 

"Jadi... maksud Guru... aku harus 
meninggalkan tempat ini sekarang?!" 

"Ya! Kapan lagi?!" 

Boma Paksi hendak membantah ucapan 
gurunya, tetapi gurunya telah 
melanjutkan, "Sebelum kau meninggalkan 
tempat ini, ada satu hal yang hendak 
kuceritakan padamu." 

Boma Paksi tak menjawab. 

"Hei! Kau ini mendadak jadi tuli, 
ya? ! " 

"Apa yang hendak Guru ceritakan?" 

"Tentang kematian ayahmu...." 

"Kematian Ayah?" ulang Boma Paksi 
sambil memandang tajam pada gurunya. 

"Ya! Kematian ayahmu?!" 

"Guru! Aku hanya ingat, kalau tak 
seorang pun yang mengetahui penyebab 
kematian Ayah! Bahkan, Ibu pun tidak!" 

"Kau betul! Tetapi aku mengetahuinya!" 

"Oh! " Paksi 

Sejenak Boma Paksi terdiam. 
Perasaan pemuda ini kembali bergelora. 
Hatinya terbawa iagi pada peristiwa dua 
belas tahun yang lalu. 

Lamat-lamat dia berkata, "Ceritakanlah, Guru...." 

BruuuttI 

"Busyet! Pantat ini kok tidak bisa 
dia j ak tenang ya? I " maki Dewa Naga. "Masa 
bodoh, ah! Mau diajak tenang atau tidak 
bukan urusanku!" 

Lalu sambil memandangi muridnya 
yang masih memandangnya, kakek berjubah 
merah itu berkata, "Aku telah memeriksa 
tubuh ayahmu. Pada jantungnya, aku 
menemukan kejanggalan Dan satu-satunya 
racun yang dapat menyebabkan kematian 
seperti itu, adalah racun milik Hantu 
Menara Berkabut!" 

"Hantu Menara Berkabut? Siapakah 
dia. Guru?" 

"Sampai saat ini. Hantu Menara 
Berkabut tak pernah lagi kedengaran 
beritanya! Tetapi dulu, aku pernah 
sekali bertarung dengannya! Dan aku 
berada pada pihak yang menang! Bahkan 
sempat kudengar, kalau ayahmu pernah 
bertarung pula dengannya! Kendati 
sama-sama terluka, tetapi tidak ada yang 


tewas! Rupanya, Hantu Menara Berkabut 
masih mendendam pada ayahmu yang 
kemudian membunuhnya!" 

"Guru! Aku ingat, kalau Ayah 
mempunyai ilmu 'Raga Rasa" yang 
membuatnya akan mengetahui setiap 
serangan yang datang! Lantas, 
bagaimanakah cara Hantu Menara Berkabut 
membunuhnya?" 

"Aku tidak bisa menjawab soal itu. 
Hanya Dewa Segala Obat yang dapat 
menjawabnya. Jadi... kau harus 
mencarinya juga dan menanyakan soal 
itu. " 

"Apakah Ibu mengetahui siapakah 
yang telah membunuh Ayah?" tanya Boma 
Paksi penuh keingintahuan. 

"Aku tidak tahu pasti soal itu!" 

"Guru telah mengetahui kalau Hantu 
Menara Berkabut yang telah membunuh 
Ayah! Tetapi Guru mengatakan tidak tahu 
pasti Ibu tahu atau tidak soal itu! 
Berarti Guru tak mengatakannya! Mengapa 
Guru?! Mengapa tak mengatakannya pada 
Ibu?!" 

"Saat itu... ibumu dalam keadaan 
berduka. Berduka yang sangat dalam. Aku 
yakin, bila kukatakan soal itu, tentunya 
dia akan menjadi murka. Dalam keadaan 
berduka seseorang akan mudah menjadi 
berduka dan terluka. Itulah sebabnya, 
aku tak mengatakannya. Di samping itu, 
aku juga tidak tahu bagaimana caranya 
Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu. 
Mungkin, saat itu Dewa Segala Obat sudah 
datang. Bisa jadi dialah yang 
mengatakannya kepada ibumu. Hanya saja, 
aku merasa sangsi apakah dia akan 
mengatakannya? Karena aku merasa agak 
yakin, kalau Dewa Segala Obat pun 
mempunyai pertimbangan yang sama 
denganku.. . . Tapi sekali lagi, aku masih 
meragukan hal itu." 

Mendengar penjelasan gurunya, Boma 
Paksi mengangguk-angguk mengerti. 
Dadanya digolak rasa amarah lagi. Sisik 
coklat pada kedua tangannya berubah 
terang. 

Dewa Naga melihat sinar mata 
muridnya berkilat-kilat. 

"Kurasakan ada getaran gaib dari 
kedua matanya. Ah, matanya itu seperti 
mengandung magnet yang menggetarkan ! Dan 
gambar seekor naga hijau pada 
punggungnya, tentunya memiliki kekuatan 
yang sama! Aku tak tahu sama sekali soal 
kekuatan itu! Rasanya, biarlah dia yang 
menemukan jawabannya kelak!" 

Kemudian kakek ini berkata, "Satu 
hal lagi yang perlu kukatakan Boma... 
pada punggungmu terdapat sebuah tato 
naga hijau!" 

"Tato naga hijau?" 

"Ya! Sebuah gambar seekor naga hijau 
yang kau bawa sejak kau dilahirkan oleh 
ibumu! Terus terang, aku pernah bermimpi 
tentang seorang bocah yang memiliki 
gambar seekor naga hijau seperti yang ada 
pada punggungmu! Jangan kau tanyakan 
apakah naga hijau itu mengandung sesuatu 
yang berarti atau tidak! Karena aku tidak 
tahu! Jadi kuminta... kau sendiri yang 
akan menemukannya kelak! Dan kau harus 
berhasil menemukan jawabannya!" 

"Ah, selama dua belas tahun ini, aku 
tak pernah diliputi rasa marah dan heran 
seperti sekarang. Guru telah banyak buka 
semua rahasia yang dipendamnya selama 
dua belas tahun. Dan dari sikap Guru, aku 
merasa pasti, kalau Guru menghendakiku 
untuk tinggalkan tempat ini sekarang. 
Tentunya bukan dengan maksud mengusir, 
tetapi menyuruhku untuk menimba 
pengalaman di dunia luar...." 

Habis membatin demikian, pemuda 
gagah ini merangkapkan kedua tangannya 
di depan dada. Dipandanginya sesaat 
kakek berjubah merah yang berdiri di 
hadapannya. Lamat-lamat ditundukkan 
kepalanya tanpa berucap apa pun. 

Dewa Naga membatin, "Dia sungguh 
mengerti apa yang kumaksudkan. Sikapnya 
itu. . . ah. .. benar-benar sungguh luar 
biasa. Santun dan sangat santun sekali. 
Aku yakin, kelak pemuda ini akan 
menggegerkan rimba persilatan. Tapi... 
tentang tato naga hijau pada pung¬ 
gungnya, aku masih belum dapat 
memecahkan, rahasia apa yang ada di 
sana...." 

Kakek muka lonjong penuh sisik itu 
perlahan-lahan mendengar kata-kata si 
anak muda yang masih menundukkan kepala, 

"Guru. . . aku mohon diri 

"Bagus kalau kau mengerti apa yang 
kumaksudkan! Satu pesanku... di dunia 
luar sana, tak sama dengan dunia yang 
kita hadapi sekarang ini I Kau akan banyak 
menemukan beragam sifat manusia! Kau 
akan berhadapan dengan manusia yang 
luarnya baik tetapi hatinya busuk! Dan 
kau juga akan berhadapan dengan manusia 
yang luarnya buruk tetapi hatinya emas ! 
Juga kau akan berhadapan dengan 
manusia-manusia yang bukan hanya 
memiliki sifat aneh, tetapi juga 
mengerikan! Pesanku, dapatlah kau 
menjaga dirimu sendiri. ..." Boma Paksi 
mengangguk. 

"Akan kuingat pesan, Guru! Guru... 
di manakah Hantu Menara Berkabut 
berada?" 

"Selama dua belas tahun aku terus 
berada di sini bersamamu. Ingatanku agak 
lupa. Kau harus menemukannya. . . . Dan.. . 
tunggu sebentar!" 

Boma Paksi melihat gurunya 
menjentikkan tangan kanannya ke atas. 
Dari atap bangunan kecil yang tak jauh 
dari sana, mendadak saja melayang sebuah 
benda. Masih melayang di udara. Dewa Naga 
menjentikkan lagi tangannya 

Benda yang melayang itu terpental 
lagi, kali ini mengarah pada Boma Paksi 
yang dengan sigap menangkapnya. 

"Oh! Gumpalan daun lontar!" 
serunya. Lalu tanyanya kemudian, "Untuk 
apakah benda ini. Guru? Dan mengapa aku 
seperti begitu akrab dengan benda ini?" 

"Benda itulah yang diinginkan oleh 
Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok. 
Benda itulah yang menyebabkan ibumu 
dibunuh olehnya?!" 

"Aneh! Mengapa hanya gumpalan daun 
lontar ini saja orang-orang seperti Ratu 
Sejuta Setan dan Dadung Bongkok 
menginginkannya?!" 

"Kau akan tahu jawabannya kelak! 
Sekarang... berangkatlah!!" 

Boma Paksi memasukkan gumpalan daun 
lontar itu ke balik pakaiannya. Dan 
mendadak saja dia lerkejut. 

"Heiii!!" 

Kalau biasanya sebuah benda bulat 
bila dimasukkan ke balik pakaian akan 
menonjol, tetapi gumpalan daun lontar 
yang tetap segar dan bersinar terang itu, 
justru mendadak saja mengempis. Begitu 
mengempis, Boma Paksi merasakan ada hawa 
sejuk yang mengaliri sekujur tubuhnya. 

"Guru!" 

"Jangan banyak tanya lagi! Sana 
pergi! Dan j angan terpancing oleh hal-hal 
yang dapat mencelakakanmu sendiri...." 

"Semua pesan Guru akan kuingat!" 

"Jangan meremehkan siapa pun juga! 
Dan katau bisa, hindarilah pertempuran 
dengan siapa pun juga. Di samping itu, 
jangan suka menyimpan dendam! 'Raja 
Naga' berangkatlah kau sekarang!" 

Boma Paksi terdiam dengan keningnya 
berkerut. Matanya menatap dalam gurunya. 

"Guru memanggilku Raja Naga?" 
desisnya dalam hati. 

"Hei, Mengapa kau masih berada di 
sini, hah?! Ayo! Kau pergi sana! Otakku 
jadi mumet bila melihatmu masih berada di 
sini!" 

Setelah merangkapkan kedua 
tangannya dan mengucapkan terima kasih, 
Boma Paksi pun muiai berlari 
meninggalkan tempat itu. Ilmu peringan 
tubuh dipergunakannya hingga dalam 
beberapa kejap saja dia sudah berada jauh 
dari Lembah Naga. Dilihatnya lembah itu 
sekali lagi. Warna hijau menyelimutinya, 
seperti menyemarakkan tempat. Tetapi di 
balik semua itu, tersimpan keangkeran 
dalam yang tak bisa dipecahkan. Juga 
mengenai pepohonan yang semuanya 
bersisik halus. 

"Guru... aku mohon restumu...." 

Kejap kemudian, pemuda gagah 
berompi ungu dengan kedua tangan sebatas 
siku dipenuhi sisik coklat, sudah 
berkelebat meninggalkan tempat itu 
dengan berjuta rintangan yang harus 
dihadapinya. 

Kelak, rimba persilatan akan 
dikejutkan dengan munculnya seorang 
tokoh muda berjuluk 'Raja Naga' 


SELESAI 

RAJA NAGA
Ikuti kelanjutan serial ini: 
'KUTUKAN MANUSIA SEKARAT' 


Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: mybenomybeyes 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/