Raja Naga 19 - Dewa Pengasih


SATU 

PEKIKAN keras yang memecah pagi itu terus 
menggema. Wajah Ratu Dinding Kematian menja- 
di pias. Dia berusaha untuk menahan luncuran 
tubuhnya yang siap menghantam tanah! 

"Celaka! Apa yang terjadi?! Aku bisa mam- 
pus!" serunya panik. Dikerahkan ilmu peringan 
tubuhnya untuk menahan bahkan kalau bisa 
mengubah luncuran tubuhnya. Tetapi luncuran 
deras itu tak bisa ditahannya! 

"Mampus aku!!" 

Akan tetapi tiba-tiba saja dirasakan kepa- 
lanya menghantam sebuah benda yang sangat 
lembut. Belum lagi sadar apa yang terjadi, perem- 
puan berpakaian kuning keemasan ini tiba-tiba 
merasakan tubuhnya berputar dua kali di udara. 
Saat itu pula dirasakan kalau dia mampu men- 
gendalikan tubuhnya! 

Laksana seekor burung, Ratu Dinding Kema- 
tian memutar gerakan tubuhnya dan... hup! Den- 
gan ringan kedua kakinya kembali menginjak lan- 
tai bangunan di mana dia berada. 

Untuk beberapa lama Ratu Dinding Kema- 
tian terdiam dengan rasa keheranan yang kian 
menggebubu. Diperhatikan sekujur tubuhnya 
yang tak kurang suatu apa. Bahkan dirasakan 
bobot tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya. 

Mendadak saja perempuan bertahi lalat tepat 
di tengah keningnya memegang kepalanya yang 
tadi menghantam jebol atap bangunan. Tak ada 
rasa nyeri. Bahkan ketika dilihat telapak tangan- 
nya tak ada bekas-bekas luka atau noda darah. 

"Astaga!" desisnya tertahan. Napasnya tiba- 
tiba memburu tegang. "Apakah... apakah semua 
ini... sudah menunjukkan khasiat dari air renda- 
man bunga-bunga keramat?" 

Tak puas dengan apa yang dirasakannya, 
Ratu Dinding Kematian menjejakkan kakinya di 
atas tanah. Dan... wuuuttt!! 

Tubuhnya langsung mencelat ke atas seting- 
gi tiga tombak. 

"Luar biasa!!" serunya keras seraya memutar 
tubuh ke belakang. Lalu... tap! 

Kedua kakinya membentur dinding bangu- 
nan. Seiring dengan itu tubuhnya mencelat lagi 
ke depan dan hinggap di atas tanah. Belum lagi 
dikagumi apa yang telah dilakukannya, tiba-tiba 
saja terdengar suara bergemuruh. 

Terbelalak Ratu Dinding Kematian menga- 
rahkan pandangannya pada dinding di mana tadi 
dijadikan sebagai tempat pantulan! 

Dinding itu telah jebol! 

Ratu Dinding Kematian terdiam dengan mu- 
lut menganga. Dadanya berdebar lebih keras. 

"Inilah yang kuharapkan! Inilah yang kuha- 
rapkan!!" 

Di lain saat dia sudah melesat keluar ban- 
gunan. Dipandangi sekelilingnya. Saat ini mata- 
hari telah melewati batas sepenggalah. Sebagian 
sinarnya terhalang oleh dinding-dinding perbuki- 
tan yang banyak berada di sana. 

Di atas sebuah batu besar, Ratu Dinding 
Kematian berdiri tegak. Matanya yang mengedar 
tadi dihentikan, dan diarahkan pada dinding bu- 
kit sejarak lima belas tombak dari tempatnya. 
Lama kelamaan sorot tajam terpampang di ma- 
tanya. Napasnya sedikit memburu tetapi bibirnya 
menyeringai. 

Secara tiba-tiba diputar kedua tangannya ke 
atas, lalu didorong ke arah bukit yang dipan- 
dangnya. 

Tak ada desir angin yang keluar, tak ada su- 
ara yang terdengar. Namun dua tarikan napas 
kemudian, tiba-tiba saja terdengar ledakan yang 
luar biasa kerasnya. 

BuuummmH 

Dinding bukit itu tiba-tiba jebol. Batu-batu 
berpentalan ke sana kemari, menyusul gemuruh 
terdengar keras. Karena sebagian batu bebatuan 
itu meluncur deras! Beberapa buah batu melun- 
cur ke arahnya. 

Masih terkagum-kagum dengan apa yang di- 
lakukannya, Ratu Dinding Kematian kibaskan 
tangan kanannya. 

Tiga buah batu besar yang menderu ke 
arahnya tiba-tiba saja berderak dan.... 

Blaaamm! Blaaamm! Blaaammmi! 

Ketiga batu besar itu pecah dan membentuk 
kerikil-kerikil yang berpentalan! 

Cukup lama gemuruh dahsyat itu masih ter- 
dengar sebelum kemudian keadaan kembali se- 
nyap. Dinding bukit yang terhantam tenaga tak 
nampak tadi telah bolong dan mengeluarkan asap 
yang cukup tebal! 

Ratu Dinding Kematian masih berdiri di atas 
batu besar itu. Matanya tak berkedip memandang 
pada dinding bukit yang telah jebol. Di lain saat 
tawanya memecah kesunyian tempat itu. 

"Tak lama lagi... tak lama lagi akan kukuasai 
semuanya!!" 

Setelah beberapa saat berlalu, perempuan je- 
lita itu melesat kembali ke dalam bangunan. Di- 
angkatnya baki yang kini telah kering airnya. 

"Akan kuhancurkan bunga-bunga yang su- 
dah tak berguna ini!!" 

Tiba-tiba saja jari jemarinya dilebarkan 
dan... tap! 

Baki yang berisi bunga-bunga keramat yang 
telah hilang kesaktiannya itu melayang di udara. 
Lalu didorong kedua tangannya. 

DesH 

Baki itu melayang ke atas melalui atap yang 
jebol dan jatuh entah di mana. 

"Semuanya telah usai sekarang. Tinggal me- 
nunggu saat yang tepat. Dan...." Perempuan ini 
memutus kata-katanya sendiri. Bibirnya tahu- 
tahu menyeringai lebar. "Mengapa harus mem- 
buang kesempatan? Kepenatan ini bisa kule- 
paskan dengan segera! Kenikmatan harus kuca- 
pai sekarang! Purwa! Ya! Purwa dapat kujadikan 
sebagai tempat pelampiasanku untuk mencari 
kenikmatan itu!" 

Dengan seringaian lebar yang masih ber- 
tengger di bibirnya dan perasaan puas karena te- 
lah berhasil mendapatkan kesaktian dari bunga- 
bunga keramat, Ratu Dinding Kematian melompat 
dari batu besar itu dan melangkah ke kamar yang 
terdapat di dalam bangunan itu. Saat melangkah, 
dia seperti tak menginjak bumi, begitu ringan dan 
seolah melayang. 

Di dalam kamar itu terbaring Purwa yang 
masih pingsan. Setelah mendapat hajaran dari 
Raja Naga, lelaki berpakaian biru terbuka di dada 
itu jatuh pingsan, yang kemudian dibawa oleh Ra- 
tu Dinding Kematian saat meloloskan diri. Sebe- 
lumnya Purwa sudah hampir siuman, tetapi Ratu 
Dinding Kematian telah menotoknya lagi di saat 
dia hendak melakukan kegiatan untuk menda- 
patkan kesaktian dari bunga-bunga keramat. 

Diperhatikannya wajah tampan yang pingsan 
itu. Lalu pelan-pelan dibuka totokan yang sebe- 
lumnya dilakukan. Tubuh Purwa mengejut se- 
saat. Menyusul Ratu Dinding Kematian menekan 
dada Purwa dan mengalirkan tenaga dalamnya. 

Tiga kejapan mata berikut, Purwa terbatuk- 
batuk. 

"Bangun, Sayang... bangun...," desis Ratu 
Dinding Kematian seraya membelai-belai pipi 
Purwa. 

Sesaat Purwa merasakan getaran halus dan 
napas sedikit panas di pipinya. Di lain saat begitu 
sadar sepenuhnya, Purwa bangkit seketika den- 
gan kedua tangan bersiaga. 

"Mana? Di mana pemuda bersisik itu?!" se- 
runya keras dengan mata berkeliling. 

Ratu Dinding Kematian tersenyum. 

"Siapa yang kau cari, Purwa?" panggilnya da- 
ri atas tempat tidur yang lembut. 

Seketika Purwa menoleh, kejap lain diperha- 
tikan sekelilingnya. Lelaki penuh cambang ini 
mengerutkan keningnya sambil memandang 
kembali pada Ratu Dinding Kematian. 

"Nimas... di mana kita?" 

Ratu Dinding Kematian yang dikenal Purwa 
bernama Nimas Herning tersenyum. 

"Tak usah kau pikirkan di mana sekarang ki- 
ta berada. Yang harus kau pikirkan, justru apa 
yang sebentar lagi akan kita lakukan...." 

"Tapi... tapi...." 

Ratu Dinding Kematian menarik lembut tan- 
gan lelaki itu. 

"Kita berada di tempat yang aman. Dan un- 
tuk sementara, kita lupakan dulu Raja Naga...." 

Masih sedikit keheranan murid Dewa Segala 
Dewa itu mengikuti tarikan lembut Ratu Dinding 
Kematian. Dia masih memikirkan apa yang sebe- 
narnya terjadi di saat Ratu Dinding Kematian mu- 
lai mencumbunya. 

Pelan-pelan kecupan-kecupan kecil di sekitar 
leher dan bibir Purwa, membangkitkan kejanta- 
nan lelaki itu. Walaupun demikian Purwa masih 
berkata, 

"Nimas... apakah kau berhasil membunuh 
Raja Naga?" 

"Tidak usah kau pikirkan dulu. Tak lama lagi 
kita akan membunuhnya...." 

"Tetapi...." 

Kata-kata Purwa terhenti, karena bibir me- 
rah yang basah itu telah menyumbat bibirnya. 
Purwa merasakan gerakan lembut pada bibirnya 
dan menyusup masuk ke dalam mulutnya. Dira- 
sakan lidahnya dikilik-kilik benda lembut yang 
sangat halus. 

"Kita sudahi dulu memikirkan Raja Naga. Ki- 
ta gunakan kesempatan ini untuk bersenang- 
senang...." desah Ratu Dinding Kematian sambil 
berdiri berlutut. Lalu dengan gerakan erotis, di- 
bukanya pakaiannya sendiri. Gerakannya itu dis- 
ertai dengan desisan-desisan penuh rangsangan. 

Lalu diremas-remasnya payudaranya sendiri yang 
telah terbebas dari belenggu pakaian yang dike- 
nakannya. 

Melihat apa yang dilakukan perempuan jelita 
di hadapannya, Purwa sendiri akhirnya terbakar 
oleh gairahnya. Kalau tadi dia masih agak mera- 
gu, kali ini dia tak mempedulikan lagi apa yang 
dipikirkannya. Yang ada sekarang, adalah me- 
nikmati tubuh montok di hadapannya. 

Sedikit kasar tangan kanan kirinya menja- 
mah meremas-remas payudara montok yang mu- 
lus itu. Si pemilik payudara terkikik. Kikikannya 
lebih liar ketika Purwa membungkuk dan meng- 
hisap-hisap ujung payudara yang mulai mene- 
gang itu. 

"Ya, ya... betul... Lakukan terus, Purwa... 
Lakukan...," desah Ratu Dinding Kematian sambil 
membukai pakaian Purwa. 

Purwa semakin menggila. Lelaki yang tidak 
tahu kalau dia sudah masuk perangkap birahi 
Ratu Dinding Kematian semakin liar ketika pe- 
rempuan itu merebahkan tubuhnya. Lalu meng- 
geliat lembut seraya membuka pakaian bagian 
bawahnya. 

"Ayo, Purwa... kita arungi lagi keindahan 
ini...," desahnya seraya membuka kedua kakinya 
lebar-lebar. 

Mata Purwa tak berkedip memandang benda 
yang masih terbungkus kain merah jambu. 

"Tubuhku bukan untuk dipandangi saja, 
Purwa...," desah Ratu Dinding Kematian. Gairah 
telah membakar dirinya pula. Saat ini yang diin- 
ginkan memang untuk mencari kesenangan terle- 
bih dulu sebelum menjalankan rencananya. 

Purwa sendiri segera bergerak. Tangannya 
menekan-nekan benda yang masih terbungkus 
kain berwarna merah jambu itu. Di lain saat, se- 
dikit gemetar diturunkannya sisa kain yang masih 
melekat pada tubuh Ratu Dinding Kematian. Ma- 
tanya menjadi nanar melihat bagian bawah perut 
perempuan itu yang sudah membuka lebar. Na- 
pasnya bertambah memburu. 

"Ayo, Purwa... ayo...!" seru Ratu Dinding Ke- 
matian seraya meraih leher Purwa. 

Purwa sendiri segera menyergap bibir meme- 
rah itu, lalu turun ke leher dan hinggap lebih la- 
ma di atas bukit kembar yang ranum. Mengecu- 
pinya bergantian sementara tangan kanannya si- 
buk meraba-raba bagian di bawah perut Ratu 
Dinding Kematian yang menggeliat-geliat diiringi 
dengusan napas liar. 

Tiga kejapan mata kemudian, Purwa sudah 
memasuki tubuhnya dengan gerakan pelan dan 
tiba-tiba menyentak. Gerakan-gerakan yang ke- 
mudian dilakukan lelaki itu sangat liar, sementa- 
ra di bawahnya Ratu Dinding Kematian terus 
memutar dan menggerak-gerakkan pinggulnya. 

Jeritan lirih dari mulutnya berulang kali ter- 
dengar seiring dengusan napas Purwa yang se- 
makin memburu. 

"Lebih cepat. Purwa! Cepat! Ya, ya begitu! Ya! 
Ya! Tekan! Tekan sesekali!!" teriakan-teriakan me- 
racau dari mulut perempuan mesum itu terus 
terdengar. 

Tempat yang sunyi, matahari yang semakin 
meninggi, menjadi saksi bisu dari perbuatan ke- 
dua anak manusia yang sudah diamuk birahi. 

* * *

DUA 

PADA saat yang bersamaan, di sebuah tem- 
pat yang sepi dan hanya ditumbuhi beberapa po- 
hon, Raja Naga memandang tak berkedip pada 
perempuan berpakaian biru keemasan di hada- 
pannya. Dari balik cadar sutera yang dikenakan 
perempuan itu, pemuda bersisik coklat pada len- 
gan kanan kiri sebatas siku, melihat senyuman- 
nya. 

"Tadi kukatakan, kalau kau tentunya sudah 
mendengar julukanku, bukan?" 

Untuk beberapa lamanya murid Dewa Naga 
yang memiliki mata angker ini terdiam sebelum 
mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Ya... aku memang pernah mendengar ten- 
tang dirimu...," katanya pelan. 

Perempuan beranting dan bergelang indah 
tersenyum. 

"Mudah-mudahan kau mendengar sesuatu 
yang baik tentang diriku...." 

"Bahkan sesuatu yang sangat berguna sekali 
bagiku, Ratu Tanah Kayangan...," kata Raja Naga. 
Lalu katanya lagi, "Aku telah mendengar dirimu 
dari mulut muridmu sendiri...." 

"Oh! Kau sudah berjumpa dengan murid- 
ku?!" 

"Ya! Aku sudah berjumpa dengan Puspa De- 
wi!" 

"Saat ini Puspa Dewi sedang kuperintahkan 
untuk mendatangi Daerah Tak Bertuan untuk 
menjumpai Dewa Segala Dewa. Anak muda be- 
rompi ungu, kapan kau berjumpa dengannya?" 

Raja Naga yang sedang melacak jejak Ratu 
Dinding Kematian ini tak segera menjawab. Dia 
sama sekali tak menyangka akan berjumpa den- 
gan Ratu Tanah Kayangan (Baca: "Ratu Dinding 
Kematian). Kemudian diceritakannya pertemuan- 
nya dengan Puspa Dewi (Baca: "Terjebak di Ge- 
lombang Maut"). "Puspa Dewi sedang menuju ke 
Daerah Tak Bertuan...," katanya di akhir ceri- 
tanya. 

"Syukurlah kalau dia dalam keadaan baik- 
baik," sahut Ratu Tanah Kayangan yang sebe- 
lumnya sudah mendengar penyelamatan yang di- 
lakukan oleh Raja Naga terhadap muridnya. Bah- 
kan dari mulut dua lelaki yang ingin memperma- 
lukan muridnya (Baca: "Ratu Dinding Kematian"). 
Lalu katanya dalam hati, "Bila ternyata keadaan- 
nya seperti ini, perintah yang kuberikan pada 
Puspa Dewi sudah tak ada gunanya. Karena su- 
dah barang tentu Tiga Penguasa Bumi, terutama 
Dewa Segala Dewa telah mengetahui urusan pen- 
curian bunga-bunga keramat. Aku tak bisa me- 
nyalahkan Puspa Dewi yang terlambat tiba di 
Daerah Tak Bertuan untuk mengabarkan apa 
yang akan dilakukan oleh Ratu Dinding Kema- 
tian." 

Perempuan jelita bercadar sutera ini melan- 
jutkan ucapannya, "Aku telah berjumpa dengan 
Setan Gundul Hutan Larangan. Dan aku terpaksa 
membunuh Jodro Kliwing." 

Raja Naga memandang tak berkedip. 

"Kau mengatakan telah membunuh Jodro 
Kliwing, berarti Cokro Kliwing selamat?" 

"Ya. Aku memang tak ingin membunuh sia- 
pa-siapa. Kalaupun kubunuh Jodro Kliwing kare- 
na aku melakukan tindakan penyelamatan diri. 

Raja Naga... sebelum ini aku telah berjumpa den- 
gan Dewa Seribu Mata." 

"Ratu... aku pun telah berjumpa dengannya 
Dan terpaksa aku mengelabuinya tentang siapa 
diriku ini." 

Ratu Tanah Kayangan mengangguk-angguk. 

"Tindakan yang kau lakukan sangat tepat 
Karena bila tidak, tak mustahil Dewa Seribu Mata 
akan turunkan tangan padamu." 

Raja Naga ganti mengangguk. 

"Ya Seperti halnya yang telah dilakukan oleh 
Dewi Lembah Air Mata. Masih beruntung kalau 
kemudian Dewi Lembah Air Mata mulai menyada- 
ri siapa pencuri bunga-bunga keramat sesung- 
guhnya. Hanya sayangnya, Ratu Dinding Kema- 
tian berhasil meloloskan diri...." 

Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Dari 
balik cadar sutera yang dikenakannya dipandan- 
ginya pemuda di hadapannya. 

"Pemuda ini berparas tampan dan bertubuh 
tegap. Sebagai murid Dewa Naga tentu ilmu yang 
dimilikinya tak bisa dipandang sebelah mata. Dan 
matanya... ya, matanyalah yang sangat mengeri- 
kan di samping sisik-sisik coklat pada kedua tan- 
gannya sebatas siku. Ah... sesungguhnya, dia 
sangat cocok bila menjadi pasangan Puspa De- 
wi...." 

Karena perempuan di hadapannya tak ber- 
kata-kata, Raja Naga berucap, "Apa yang kau pi- 
kirkan sekarang, Ratu?" 

Ratu Tanah Kayangan tersenyum. 

Dia tidak mengutarakan apa yang dipikir- 
kannya. Malah dia berkata, "Pada Dewa Seribu 
Mata telah kukatakan, kalau sesungguhnya bu- 
kan kaulah yang telah melakukan serangkaian 
pencurian, melainkan Ratu Dinding Kematian." 

Raja Naga membiarkan perempuan itu terus 
berkata-kata. 

"Tindakan yang dilakukan Ratu Dinding Ke- 
matian erat hubungannya dengan diriku. Mung- 
kin Puspa Dewi telah menceritakan kejadian pahit 
yang kualami di Tanah Kayangan. Karena itulah 
kemudian kuperintahkan padanya untuk menga- 
barkan apa yang akan dilakukan Ratu Dinding 
Kematian pada Dewa Segala Dewa. Aku juga ter- 
paksa meninggalkan Tanah Kayangan dan bebe- 
rapa orang yang setia terhadapku." 

Raja Naga tak menyahut. Matanya lekat pa- 
da mata Ratu Tanah Kayangan. 

"Ratu... aku teringat akan sesuatu." 

"Katakanlah...." 

"Apakah... apakah kau orangnya yang bera- 
da di dalam tandu warna biru yang sangat indah, 
yang pernah kulihat beberapa hari lalu?" 

Ratu Tanah Kayangan tersenyum dan men- 
gangguk. 

"Kau benar! Tetapi aku sama sekali tak men- 
getahui kalau kau melihat iringan tanduku." 

"Yang kau maksudkan dengan orang-orang 
setia itu tentunya orang-orang yang menggotong 
tandu dan mengiringimu, bukan?" 

"Sekali lagi kau benar! Aku tak bisa mem- 
biarkan mereka terus menerus bersamaku kenda- 
ti mereka berkeras hati untuk tetap bersamaku. 
Terpaksa hal itu kulakukan, mengingat bahaya 
yang mengancam diri mereka. Ratu Dinding Ke- 
matian menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma 
yang kumiliki dan dia memutuskan untuk men- 
curi bunga-bunga keramat agar ilmunya bertam- 
bah. Itu sudah cukup bagiku membayangkan ka- 
lau bahaya akan menghadang orang-orang setia- 
ku. Dan sekarang... nampaknya Ratu Dinding 
Kematian telah berhasil mendapatkan bunga- 
bunga keramat itu." 

Raja Naga mengangguk. 

"Kau betul. Ratu. Tak kusangsikan kalau Ra- 
tu Dinding Kematian telah mendapatkan seluruh 
bunga-bunga keramat. Mengingat ketika pertama 
kali aku berjumpa dengan Purwa dan Sibarani 
yang menuduhku telah mencuri Bunga Kecubung 
Putih dan Bunga Anggrek Biru, mereka berkata 
kalau empat bunga keramat lainnya telah dicuri 
orang. Dan tinggal Bunga Matahari Jingga saja. 
Tetapi aku pun yakin kalau bunga itu telah ber- 
hasil didapatkan oleh Ratu Dinding Kematian." 

"Dan itu pertanda buruk!" suara Ratu Tanah 
Kayangan sedikit bergetar. 

"Seburuk apa pun yang akan terjadi, aku 
akan tetap menangkapnya. Dia harus kuha- 
dapkan pada Tiga Penguasa Bumi, untuk mem- 
bersihkan namaku yang telah coreng moreng." 

Perempuan bercadar itu mengangguk- 
angguk. 

"Keadaan memang sukar dikendalikan seka- 
rang. Ratu Dinding Kematian tentunya akan me- 
rajalela." 

"Sebagai saudara seperguruannya, tahukah 
kau di mana perempuan itu tinggal?" 

"Dinding Kematian...," sahut Ratu Tanah 
Kayangan seraya mengangguk. "Dia tinggal di 
Dinding Kematian. Tetapi, apakah dia berada di 
sana mengingat kalau tindakannya telah diketa- 
hui? Menurut penilaianku, Ratu Dinding Kema- 
tian tidak berada di sana...." 

"Kalau begitu... apakah kau punya satu piki- 
ran lain di mana dia berada?" 

Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Ma- 
tanya dibawa ke kejauhan, menatap hamparan 
padi menguning. 

"Sesungguhnya perempuan itu memiliki hati 
yang lembut. Namun sayang, mempunyai sifat se- 
rakah. Semenjak sama-sama menjadi murid Dewa 
Pengasih, dia selalu membangkang dan tidak me- 
rasa puas. Bahkan dia pernah menuntut pada 
Guru, kalau Guru tidak menurunkan seluruh il- 
mu yang dimilikinya kepada kami. Tetapi Guru 
memang berjiwa pengasih. Dia tidak gusar ditun- 
tut seperti itu, bahkan menyerahkan dua buah ki- 
tab kepada kami. Kitab Ajian Selaksa Sukma di- 
berikannya kepadaku dan Kitab Ajian Selaksa Ji- 
wa diberikannya pada Ratu Dinding Kematian. 
Tetapi sayang...." 

Perempuan jelita itu menggeleng-gelengkan 
kepalanya, hingga cadar sutera yang dikenakan- 
nya bergerak. Raja Naga sempat melihat betapa 
halus kulit pada wajah jelita itu. 

"Dia tetap tidak merasa puas. Bahkan men- 
coba merebut Kitab Ajian Selaksa Sukma dari 
tanganku." Ratu Tanah Kayangan menoleh. "Raja 
Naga... kalau kau tanyakan di mana kemungki- 
nannya dia berada selain di Dinding Kematian, 
mungkin dia berada di Hutan Laknat." 

Kening pemuda bermata angker itu berkerut. 

"Hutan Laknat? Di manakah tempat itu? 
Dan mengapa dia berada di sana?" 

"Tempat itu sangat jauh dari sini. Dan ka- 
laupun dia memang berada di sana, tentunya dia 
menjumpai Bancak Bengek." 

"Ratu... jelaskan padaku tentang Bancak 
Bengek." 

"Bancak Bengek adalah seorang dukun ilmu 
hitam yang memiliki ilmu-ilmu aneh dan menge- 
rikan. Sejak lama dia selalu bermusuhan dengan 
guruku; Dewa Pengasih. Tetapi dia tak berani un- 
tuk menantangnya terang-terangan karena bebe- 
rapa kali telah dikalahkan oleh Guru." 

"Lantas bagaimana bisa Ratu Dinding Kema- 
tian berhubungan dengannya?" 

"Itulah yang tidak pernah kumengerti." 

"Dan kau menduga dia berada di sana?" 

"Kebenaran akan dugaan itu sangat kecil. 
Tetapi tidak ada salahnya bila kita menyelidik ke 
sana...." 

Raja Naga terdiam. Matanya yang angker 
memandang ke kejauhan pula. Diam-diam murid 
Dewa Naga yang berkuncir kuda ini membatin, 
"Bila memang dugaan Ratu Tanah Kayangan be- 
nar, berarti ada lagi seorang lawan yang patut di- 
perhitungkan. Bancak Bengek. Namanya sungguh 
aneh. Seorang dukun ilmu hitam. Ah... mau tak 
mau aku memang harus ke sana." 

Selagi Raja Naga membatin, Ratu Tanah 
Kayangan berkata, "Hutan Laknat adalah sebuah 
tempat yang penuh dengan jebakan. Jangankan 
orang yang baru menginjak tempat itu, orang 
yang telah sering ke sana pun masih bisa pula 
terjebak." 

"Kau tahu bagaimana caranya untuk tiba di 
sana dengan selamat?" 

Ratu Tanah Kayangan menggeleng. 

"Kecuali Bancak Bengek sendiri dan Ratu 
Dinding Kematian, tak seorang pun yang bisa se- 
lamat tiba di sana...." 

Anak muda dari Lembah Naga itu terdiam. 

Matanya tetap bersorot angker mengerikan. Sisik- 
sisik yang memenuhi kedua lengannya sebatas 
siku sedikit lebih kentara. 

Ratu Tanah Kayangan membatin, "Apa yang 
sedang dihadapi oleh pemuda ini memang sesua- 
tu yang sulit. Dia sama sekali tak punya hubun- 
gan dengan urusan ini sebenarnya. Tetapi na- 
manya telah tercemar akibat tindakan Ratu Dind- 
ing Kematian." 

Raja Naga berkata, "Ratu Tanah Kayangan... 
kupikir, kita sudahi saja pertemuan ini. Tolong 
berikan petunjuk padaku arah mana yang harus 
kutempuh untuk tiba di Hutan Laknat?" 

Ratu Tanah Kayangan tersenyum. 

"Anak muda.... Ratu Dinding Kematian juga 
menginginkan nyawaku. Dan aku tak ingin nya- 
waku lepas begitu saja. Juga, aku tak ingin meli- 
hatnya melakukan tindakan makar di rimba per- 
silatan. Bila kau tak berkeberatan, bagaimana bi- 
la kita bersama-sama ke Hutan Laknat?" 

Usul yang diberikan Ratu Tanah Kayangan 
sebenarnya memang sukar untuk ditolak. Karena 
dengan begitu berarti akan mendapatkan tamba- 
han tenaga untuk menghadapi Ratu Dinding Ke- 
matian yang kemungkinan besar bergabung den- 
gan Bancak Bengek. Apalagi bila dibayangkan ka- 
lau perempuan itu telah berhasil meminum air 
rendaman bunga-bunga keramat. 

Tetapi Raja Naga justru menggelengkan ke- 
palanya. 

"Kita masih sama-sama menduga kebenaran 
tentang Ratu Dinding Kematian yang berada di 
Hutan Laknat. Dan dugaan ini tentu juga bisa sa- 
lah. Ratu Tanah Kayangan... apakah tidak se- 
baiknya biar aku yang ke Hutan Laknat sementa- 
ra kau dapat melacak jejak Ratu Dinding Kema- 
tian di tempat lain?" 

"Hemm... dari kata-katanya itu, aku tahu ka- 
lau sebenarnya dia enggan untuk melangkah ber- 
samaku. Dan itu dapat kumaklumi karena ten- 
tunya dia hendak menuntaskan urusan sendiri. 
Yah... memang benar apa yang dikatakannya, ka- 
rena belum tentu Ratu Dinding Kematian berada 
di Hutan Laknat." 

Habis membatin demikian, Ratu Tanah 
Kayangan berkata, "Pergilah terus ke arah timur. 
Dari tempat ini kau akan menempuh perjalanan 
selama satu hari satu malam. Itu pun bila tidak 
ada halang rintang yang mengganggumu." 

Raja Naga segera merangkapkan kedua tan- 
gannya di depan dada. 

"Ratu... apa yang kau lakukan padaku ini, 
tak akan pernah kulupakan. Dan aku bersyukur 
berjumpa dengan orang yang mengetahui kebena- 
ran tentang siapa pelaku pencurian bunga-bunga 
keramat itu. Baiklah... aku berangkat sekarang." 

"Tunggu! Raja Naga... kalau sebelumnya kau 
dapat mempercundangi Ratu Dinding Kematian, 
kemungkinan besar saat ini kau akan mengalami 
kesulitan. Juga kau akan mendapatkan kesulitan 
bila ternyata dia memang telah bergabung dengan 
Bancak Bengek!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Aku dapat memahami keadaan itu. Dan se- 
berat apa pun yang akan kuhadapi, aku akan te- 
tap berusaha untuk menangkapnya!" 

"Berhati-hatilah!" 

Raja Naga segera berlalu ke arah yang dika- 
takan oleh Ratu Tanah Kayangan. Perasaan anak 
muda ini sesungguhnya sedikit cemas. Tetapi se- 
mua itu ditindihnya dengan satu harapan yang 
ada di benaknya. Dia harus tuntaskan urusan ini 
apa pun risikonya. 

Sepeninggal Raja Naga, perempuan bercadar 
sutera itu menarik napas pendek. 

"Ah, bila saja Puspa Dewi tidak terlambat 
untuk mengabarkan apa yang akan dilakukan 
Ratu Dinding Kematian pada Dewa Segala Dewa, 
mungkin anak muda dari Lembah Naga itu tak 
akan mengalami urusan seperti itu. Tetapi, aku 
memaklumi mengapa Puspa Dewi sampai terlam- 
bat, karena dia sendiri belum pernah ke Daerah 
Tak Bertuan...." 

Untuk beberapa lama perempuan bercadar 
sutera ini tak buka mulut. Angin yang masih te- 
rasa dingin kendati saat ini matahari terus beran- 
jak menggerak-gerakkan cadar sutera yang dike- 
nakannya. Wajahnya sedikit terbelai lembut oleh 
sang bayu. 

Ratu Tanah Kayangan menarik napas pen- 
dek. 

"Mudah-mudahan perjalanan Puspa Dewi ke 
Daerah Tak Bertuan tak mendapat halang rin- 
tang. Dengan begitu aku bisa sedikit tenang un- 
tuk mencari Ratu Dinding Kematian...." 

Perempuan ini memandangi sekitarnya seje- 
nak sebelum mendesis, "Aku tak boleh mem- 
buang waktu...." 

Setelah menarik napas pendek, Ratu Tanah 
Kayangan segera berkelebat ke arah yang ditem- 
puh oleh Raja Naga. 

* * *

TIGA 

KAU masih belum dapat bicara juga, hingga 
aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" ka- 
ta-kata yang berkesan menggerutu itu terdengar 
dari sebuah tempat yang sepi. Gemuruh air sun- 
gai samar-samar terdengar. "Sibarani! Bagaimana 
caranya kau dapat menjelaskan semuanya?!" 

Perempuan berpakaian merah dengan pa- 
kaian dalam warna hijau itu menundukkan kepa- 
lanya. Dihela napasnya sebelum kemudian diang- 
kat kepalanya. Matanya mengerjap-ngerjap saat 
memandang si nenek berkonde hijau yang berdiri 
di hadapannya. 

Si nenek mendengus. 

"Aku tak bisa mengartikan tatapanmu, Siba- 
rani! Jalan satu-satunya kita memang harus 
mencari perempuan yang dikatakan oleh Raja Na- 
ga adalah Ratu Dinding Kematian, sementara pe- 
rempuan itu sendiri mengaku bernama Nimas 
Herning!" 

Kali ini Sibarani mengangguk-angguk, tanpa 
mengeluarkan suara. Tetapi wajahnya berseri- 
seri. Apa yang telah dilakukan oleh Ratu Dinding 
Kematian yang sebelumnya mengaku bernama 
Nimas Herning ini membuat Sibarani sangat ge- 
ram. Terutama bila mengingat bagaimana Purwa 
kemudian membela perempuan itu. Tetapi dimak- 
luminya mengapa Purwa justru membela Nimas 
Herning, karena di saat Nimas Herning mencela- 
kakannya dan mencabut Bunga Matahari Jingga 
yang sedang mereka jaga, Purwa tidak ada di 
tempat (Untuk mengetahui semua itu, silakan te- 
man-teman pembaca membaca episode : "Terje- 
bak di Gelombang Maut"). 

Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 
Mata ini mendengus. 

"Anggukanmu dapat kuartikan kalau kau se- 
tuju untuk mencari perempuan yang mengaku 
bernama Nimas Herning itu!" 

Sibarani mengangguk-angguk lagi. Ingin se- 
kali dia berteriak sekeras-kerasnya, tetapi sua- 
ranya tetap tak bisa keluar. 

Dewi Lembah Air Mata berkata, "Hari sudah 
semakin senja. Dan tak lama lagi malam pun 
akan tiba. Sebaiknya kita berangkat!" 

Tanpa menunggu jawaban Sibarani, si nenek 
berpakaian hijau itu sudah melangkah mendahu- 
lui yang disusul oleh Sibarani. Sambil melangkah 
mengikuti si nenek, Sibarani membatin resah, 
"Kakang Purwa... apa yang terjadi denganmu se- 
karang? Kau harus sadar Kang, harus mengerti 
siapa Nimas Herning sesungguhnya...." 

Kedua perempuan berbeda usia ini terus me- 
langkah. Menjelang tengah malam Dewi Lembah 
Air Mata berhenti di sebuah tempat yang cukup 
sepi dan hanya sesekali terdengar suara hewan 
malam. Sibarani sendiri hanya mengikuti. 

Dan ternyata berhentinya si nenek di tempat 
itu bukan dikarenakan tanpa sebab. Sesungguh- 
nya dia mendengar suara getaran pada tanah se- 
mentara Sibarani belum mendengarnya. 

Makanya dia mengerutkan kening ketika 
mendengar dengusan si nenek. Ingin sekali dia 
bertanya ada apa, tetapi suaranya tetap tak ke- 
luar. 

Justru si nenek yang berkata, "Orang tua 
gemuk yang diperintah Dewa Segala Dewa ke 
Dinding Kematian rupanya yang sedang menuju 
ke sini!" 

Sudah tentu kata-kata si nenek semakin 
membuat Sibarani merasa keheranan. Tetapi dia 
hanya bisa menindih rasa ingin tahunya saja ka- 
rena tetap tak dapat bersuara. 

Namun lima tarikan napas kemudian, baru- 
lah didengarnya suara langkah yang sangat berat. 
Juga dirasakannya kalau tanah yang dipijaknya 
bergetar. 

"Astaga! Ada apa ini? Siapa yang melangkah 
menimbulkan getaran seperti ini?" Sibarani hanya 
bisa bertanya-tanya dalam hati. 

Sementara itu Dewi Lembah Air Mata me- 
mandang ke arah kanan, menerobos jalan seta- 
pak yang membentang. 

"Kita tunggu sampai si Gemuk datang! Aku 
ingin tahu apa yang dialaminya!" 

Sibarani tahu kalau kata-kata itu ditujukan 
kepadanya. Tetapi karena tak bisa bersuara dia 
hanya diam saja. 

Tak lama kemudian keduanya mulai melihat 
satu sosok tubuh besar sedang melangkah ke 
arah mereka. Langkah orang gemuk itulah yang 
membuat tanah bergetar. Tetapi semakin dekat 
orang gemuk itu dengan mereka, tanak tak lagi 
bergetar. 

Sementara Sibarani keheranan, Dewi Lem- 
bah Air Mata justru mendengus, "Jalanmu seperti 
keledai mau mampus. Dewa Seribu Mata! Apakah 
kau tak bisa mempercepat langkahmu sedikit?!" 

Orang gemuk itu tertawa-tawa. Tawanya 
sangat keras, bahkan mengandung satu gelom- 
bang yang membuat dedaunan berguguran. 

"Gila! Siapa sangka di tempat gelap ini ber- 
jumpa denganmu!!" serunya seraya hentikan 
langkah sejarak sepuluh langkah dari hadapan 
Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani. 

Sebelum Dewi Lembah Air Mata buka mulut, 
kakek gemuk berpakaian hitam yang tak mampu 
menutupi lemak pada tubuhnya sudah berkata, 
"Bukankah dia murid Dewa Segala Dewa yang di- 
tugaskan untuk menjaga Bunga Matahari Jingga? 
Astaga! Mengapa berada di sini? Dan ke mana si 
lelaki bernama Purwa?" 

"Jangan banyak tanya! Bagaimana dengan 
kerjamu di Dinding Kematian!!" 

Orang tua gemuk berkepala bulat itu meng- 
gerakkan lehernya yang seperti menyatu dengan 
tubuhnya. 

"Aku telah datang ke sana dan tak menjum- 
pai penghuninya! Aku juga telah datang ke tem- 
pat Bunga Matahari Jingga dan tak menemukan 
siapa-siapa di sana, termasuk Bunga Matahari 
Jingga sendiri! Sibarani! Kau sebelumnya berada 
di sana, sebaiknya ceritakan padaku apa yang 
terjadi?!" 

"Dia tidak bisa bersuara!" 

Gemuk membelalak. 

"Busyet! Dari mana omonganmu itu, Nenek 
peot?! Sejak dia masih kecil aku telah mengeta- 
huinya dia pandai bicara!" 

Sesungguhnya kalau di hadapan Dewa Sega- 
la Dewa, Dewi Lembah Air Mata dan Dewa Seribu 
Mata tak pernah bertengkar. Ini disebabkan kare- 
na mereka memandang Dewa Segala Dewa yang 
dijadikan pimpinan dari Tiga Penguasa Bumi. Te- 
tapi bila tidak di hadapan Dewa Segala Dewa, me- 
reka selalu saja bertengkar. Terkadang pertengka- 
ran itu terlalu mengada-ngada. Mungkin itu me- 
reka lakukan untuk menutupi perasaan masing- 
masing yang sebenarnya, kalau mereka sama- 
sama menyukai tetapi tak ada yang mau membu- 
ka hati! 

Dewi Lembah Air Mata membentak, "Orang 
gemuk! Ditanya balik tanya! Mungkin lidahmu 
sudah terlipat!" 

Dewa Seribu Mata tertawa. 

"Ya, ya... lidahku sudah terlipat rupanya! 
Apalagi bila lidahmu yang bau itu masuk ke da- 
lam lidahku!" 

"Tutup mulutmu yang busuk itu!" 

"Astaga, Dewi! Mulutku yang busuk atau 
mulutmu?" 

"Keparat! Jangan banyak omong! Mengapa 
kau berada di sini?!" 

"Sekali lagi astaga! Kau bertanya begitu, aku 
juga ingin bertanya yang sama! Huh! Jangan- 
jangan sebenarnya kita berjodoh, Nenek peot!" 

"Gila! Berjodoh denganmu? Benar-benar se- 
suatu yang gila! Aku lebih baik mati berdiri!" 

"Baguslah kau mati berdiri hingga aku masih 
bisa menguburmu! Bagaimana kalau kau mati 
dalam keadaan nungging? Apa tidak repot?!" 

Mulut keriput Dewi Lembah Air Mata mem- 
bentuk kerucut. Sibarani yang melihat pertengka- 
ran itu mengerutkan keningnya, 

"Aneh! Mengapa mereka bertengkar, padahal 
di hadapan Guru mereka akur-akur saja?" ka- 
tanya dalam hati. Bila saja saat ini dia dapat ber- 
bicara, sudah ditanyakannya soal itu. 

Lalu didengarnya kata-kata Dewa Seribu Ma- 
ta, "Aku punya dugaan lain tentang siapa pencuri 
bunga-bunga keramat sebenarnya! Hei! Kenapa 
kau melotot seperti itu, Peot?!" 

Dewi Lembah Air Mata menggeram. 

"Kakek gemuk seperti kodok bunting! Apa 
kau pikir kau saja yang punya dugaan lain?" 

"Astaga! Jadi kau juga sudah menduga se- 
perti itu? Gila! Ini pasti gila! Kita jelas-jelas berjo- 
doh!" 

"Kambing buduk pun tak akan mau berjodoh 
denganmu!" 

"Ya, ya... kau benar sekali! Untungnya kau 
bukan kambing buduk, bukan?!" 

Memerah wajah Dewi Lembah Air Mata. Di 
pihak lain Sibarani tertawa dalam hati mendengar 
kata-kata Dewa Seribu Mata. Dibiarkan saja ke- 
dua tokoh aneh itu bertengkar. 

Kakek gemuk kelebihan lemak itu berkata 
lagi, "Selama ini kita terpaku pada satu orang saja 
yang kita anggap telah mencuri bunga-bunga ke- 
ramat! Padahal ternyata bukan orang itu! Aku ti- 
dak menyalahkan laporan dari Sibarani dan Pur- 
wa yang mengatakan kalau orang itu yang telah 
melakukan serangkaian pencurian, karena mere- 
ka menduga keberadaan orang itu di saat lenyap- 
nya Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek 
Biru! Tetapi setelah kukaji lebih dalam, dugaanku 
mengarah pada orang lain!" 

"Siapa?!" 

"Busyet! Apakah kau tidak bisa bersabar se- 
dikit?!" 

Dibentak seperti itu kedua tangan si nenek 
berkonde hijau seperti sudah gatal untuk mela- 
brak si kakek gemuk. Tetapi ditindih kejengke- 
lannya. 

Dewa Seribu Mata buka suara lagi, "Sebe- 
lumnya aku keheranan mengapa Dewa Segala 
Dewa menyuruhku untuk mendatangi Dinding 
Kematian! Tetapi sekarang..." 

"Jangan berbelit-belit!" potong si nenek ber- 
kain kebaya lusuh. 

"Iya, iya!" sepasang mata si kakek gemuk 
melotot gusar. "Kau memang tidak sabaran! Kau 
pasang kedua telingamu yang seiring usiamu se- 
makin uzur tentunya sudah sedikit budek! Aku 
menduga kalau pencuri itu adalah salah seorang 
murid Dewa Pengasih yang berjuluk Ratu Dinding 
Kematian!" 

Dewi Lembah Air Mata menyambut dingin. 

"Aku juga menduga seperti itu!" 

"Ini benar-benar gila! Gila benar-benar!" 

"Apa maksudmu dengan benar-benar gila 
dan gila benar-benar?!" 

"Ya, ampun! Ke mana otakmu, Nek? Sudah 
tentu maksudku cuma membalik-balik kalimat!" 

Mengkelam wajah Dewi Lembah Air Mata, 
sementara Sibarani mengakak sekeras-kerasnya 
dalam hati. Untuk sesaat dia melupakan apa yang 
sedang dialaminya. 

"Kurang ajar!!" 

"Ya, ya! Aku memang kurang ajar! Tapi cuma 
sedikit! Kau tak perlu gusar karena sesungguhnya 
kau sendiri yang dungu! Sekarang, bagaimana 
kau bisa mengatakan kalau Ratu Dinding Kema- 
tian yang telah mencuri bunga-bunga keramat!" 

Kendati hatinya jengkel Dewi Lembah Air 
Mata menceritakan juga (Baca: "Ratu Dinding 
Kematian"). 

"Nah! Bagus itu! Selama ini kita sudah salah 
orang!" Dewa Seribu Mata memandang Sibarani. 
"Kau sendiri... apakah masih menganggap Raja 
Naga yang melakukannya?" 

Sibarani menggeleng. 

"Dari pancaran matamu, kau seperti hendak 
terangkan suatu masalah! Cepat kau terangkan, 
terutama mengapa kau tak bisa menjaga Bunga 
Matahari Jingga! Juga... ke mana perginya si 
Purwa?!" 

"Gemuk! Apa kau sudah tuli?! Tadi kukata- 
kan kalau dia tidak bisa bicara!" 

Dewa Seribu Mata melongo. 

"Jadi sungguhan, nih?" 

"Gila! Di dunia ini banyak orang bodoh, teta- 
pi tidak sebodoh kau!" 

"Aku kan cuma menandaskan saja? Menga- 
pa harus sewot?" balas si kakek gemuk santai. 
Lalu berkata pada Sibarani, "Kalau kau tidak bisa 
berkata-kata ya sudah! Nek! Sekarang, apa yang 
akan kau lakukan?!" 

"Justru aku bertanya padamu, apa yang 
akan kau lakukan?!" balas Dewi Lembah Air Mata 
melotot. 

"Apa yang akan kulakukan? Apa ya?" Dewa 
Seribu Mata mengerutkan keningnya sementara 
telunjuknya menempel pada bibir tebalnya. Lalu 
seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga 
dia berseru, "Bagaimana kalau kau kunikahi?!" 

Kepala si nenek seketika menegak. Kedua 
matanya membeliak lebar seolah salah menden- 
gar apa yang dikatakan kakek gemuk itu. Sibara- 
ni melihat kalau pancaran mata si nenek men- 
gandung kebahagiaan. Sempat pula dilihatnya ka- 
lau si nenek sedikit tersipu-sipu. 

Tetapi begitu mendengar kata-kata Dewa Se- 
ribu Mata kemudian, seketika si nenek meradang, 
"Cuma apa untungnya menikahimu, ya? Badan- 
mu cuma selebar papan? Dadamu tidak montok 
lagi! Pinggulmu... wah, mungkin cuma tinggal 
kentut saja! Apanya yang bisa kunikmati!" 

"Kurang asem! Siapa sudi menikah dengan- 
mu, hah?! Tubuh seperti buntalan kentut! Leher 
dengan badan tidak bisa dibedakan! Beda kau 
dengan gajah sendiri orang tak bisa membedakan! 
Huh! Hanya orang bodoh yang mau menikah den- 
ganmu?!" 

"Tetapi kau kan tidak bodoh?!" 

"Aku jelas tidak bodoh, dan jelas tidak akan 
mau menikahimu!" 

"O... jadi kau tidak mau kunikahi? Ya, su- 
dah!" sahut Dewa Seribu Mata berlagak tidak pe- 
duli. 

Dewi Lembah Air Mata masih mendelik gu- 
sar. Padahal sesungguhnya, dia sangat mengha- 
rapkan kalau Dewa Seribu Mata mengulangi lagi 
ucapannya tadi. Bahkan kalau mungkin sedikit 
merayunya. Biar bagaimanapun juga telah berpu- 
luh tahun dipendam rasa cintanya pada manusia 
gemuk itu, semenjak mereka bergabung menjadi 
Tiga Penguasa Bumi. 

Dan dia hanya bisa menelan harapannya sa- 
ja ketika tanpa peduli Dewa Seribu Mata berbalik 
dan melangkah. 

"Kau mau ke mana?" 

"Apa urusannya denganmu aku mau ke ma- 
na! Kau tidak mau kunikahi! Lantas buat apa aku 
berada di sini?!" 

Ingin sekali Dewi Lembah Air Mata berteriak 
kalau dia bersedia dinikahi. Tetapi sudah tentu 
dia tidak mau melakukannya. Terlalu menjatuh- 
kan harga diri bila dia melakukan tindakan itu. 
Kendati demikian, dia bersedia melakukannya 
demi orang yang dicintainya. 

Sibarani sendiri tak menyangka akan men- 
dengar kata-kata si kakek gemuk. Disadarinya be- 
tul walaupun kelihatan main-main tetapi nada 
suara si kakek begitu tandas dan pasti. Sesaat 
Sibarani teringat lagi pada Purwa. 

Telah lama dia mencintai kakak sepergu- 
ruannya itu dan telah lama pula dia hanya berani 
memendam cintanya saja. Sibarani diam-diam ju- 
ga tahu sekarang, kalau kedua tokoh aneh itu se- 
benarnya saling mencintai. 

Kalau begitu, dia harus dapat membujuk sa- 
lah seorang dari mereka agar mau mengalah dan 
mengatasi rasa gengsinya. Dipegangnya segera 
tangan Dewi Lembah Air Mata dan digerak- 
gerakkannya sambil menunjuk si kakek gemuk 
yang terus melangkah menjauh. 

Dewi Lembah Air Mata mengerti apa yang 
dimaksudkan Sibarani. Tetapi dia menggeleng. 

"Tidak! Aku tidak sudi mengejarnya!" 

Sibarani menyesali mengapa suaranya le- 
nyap hingga dia tidak bisa bertindak segera. Tin- 
dakan berikut yang dilakukannya hanyalah me- 
narik tangan si nenek untuk menyusul Dewa Se- 
ribu Mata yang kini telah lenyap dari pandangan. 

"Tidak usah! Tidak perlu kau lakukan itu 
padaku! Aku tahu, kalau aku dan dia tidak 
mungkin bersatu!" 

Sibarani terus menarik tangan si nenek yang 
tetap tak bergerak. 

"Aku memang mencintainya! Tetapi aku ti- 
dak tahu apakah dia mencintaiku juga atau ti- 
dak!" 

"Siapa bilang aku tidak mencintaimu, Peot?!" 
seruan itu tiba-tiba terdengar. Tetapi sosok orang 
yang berseru itu belum kelihatan. 

Tetapi baik Sibarani maupun Dewi Lembah 
Air Mata tahu kalau itu suara Dewa Seribu Mata. 
Si nenek berkonde hijau membelalak kaget men- 
dengarnya. 

"Terkutuk! Dia tahu kalau aku mencin- 
tainya?!" geramnya dalam hati. 

Tahu-tahu melenting satu sosok gemuk dari 
balik ranggasan semak yang sama sekali tak ber- 
gerak akibat lentingan tubuh itu. Bahkan tak ada 
suara yang terdengar tatkala sepasang kaki ge- 
muk itu hinggap di atas tanah. 

Orang gemuk yang muncul dan memang 
Dewa Seribu Mata adanya sudah berkata sambil 
tertawa-tawa, "Kalau aku tidak mencintaimu, 
buat apa aku ingin menikahimu, Peot?!" 

Dewi Lembah Air Mata menelan ludahnya 
kaget. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak me- 
nentu. 

Sibarani bertepuk tangan sambil ber- 
jingkrak-j ingkrak. 

* * *

EMPAT 

KAKEK kurus tanpa baju itu tertawa sangat 
keras, hingga merentak di tengah malam buta. 
Gema tawanya mengudara hingga ke batas hutan 
yang dipenuhi pepohonan tinggi. 

Purwa sesaat bergidik mendengar tawa yang 
menyeramkan itu. Diliriknya perempuan berpa- 
kaian kuning keemasan yang sedang tersenyum 
di sampingnya. 

"Sudah kuduga kau mengetahui kedatan- 
ganku, Bancak Bengek!" 

Kakek berambut beriap-riap tak beraturan 
itu belum memutus tawanya. Tulang-tulang yang 
menonjol keluar bergerak-gerak mengikuti gera- 
kan tawanya. Mata si kakek celong ke dalam, dan 
memancarkan cahaya hitam, dingin dan kejam. 
Hidungnya bengkok seperti paruh betet. Kumis 
putihnya menjulai ke bawah, hampir sama pan- 
jang dengan janggutnya yang jarang. 

Di sela-sela tawanya yang keras, kakek be- 
rusia sekitar delapan puluh tahun itu berkata, 
"Hanya kau seorang yang dapat tiba di Hutan 
Laknat ini dengan selamat! Bagus! Bagus sekali! 
Tiga kali kudatangi tempat kediamanmu, tetapi 
tak kujumpai kau di sana!" 

Ratu Dinding Kematian memperhatikan ka- 
kek di hadapannya. 

"Manusia satu ini begitu mendendam pada 
guruku. Dan aku tak peduli dia punya urusan 
dendam dengan guruku. Bahkan aku ingin meli- 
hatnya bertarung lagi dengan guruku itu," ka- 
tanya dalam hati. Sambil tersenyum lebar, dia 
berkata, "Ada urusan apa kau mencariku, Bancak 
Bengek?!" 

Kakek bernama Bancak Bengek itu melotot. 
Cahaya hitam yang menghiasi kedua matanya 
seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh sintal 
di hadapannya. 

"Urusan apa?! Gila! Kita sudah lama tidak 
bertemu! Dan sudah tentu aku sudah kegilaan 
untuk menik...." 


"Kini aku sudah datang di hadapanmu," kata 
Ratu Dinding Kematian memutus kata-kata si ka- 
kek kurus. Dia tahu apa yang hendak diucapkan 
Bancak Bengek. Bila sekarang ini Purwa tidak be- 
rada di sisinya, dia tak peduli apakah Bancak 
Bengek akan mengatakannya beribu kali. Tetapi 
Purwa tidak boleh mengetahui rencananya. 

Setelah mendapatkan kepuasan yang dica- 
rinya, Ratu Dinding Kematian segera mengajak 
Purwa untuk menuju ke Hutan Laknat. Dikata- 
kannya kalau mereka akan meminta bantuan dari 
seseorang bernama Bancak Bengek untuk me- 
nangkap dan membunuh Raja Naga. Purwa yang 
hingga saat ini masih menganggap perempuan di 
sebelahnya itu bernama Nimas Herning, hanya 
mengikutinya. 

Nasib Purwa memang benar-benar sudah 
sangat tragis. Tanpa sadar dia terus menerus ma- 
suk ke jebakan yang diciptakan Ratu Dinding 
Kematian. Terkadang Purwa memang teringat pa- 
da Sibarani. Tetapi setiap kali dia teringat pada 
Sibarani, setiap kali pula ditindih ingatannya. 
Bahkan dia mulai membenci Sibarani yang me- 
nyerang Nimas Herning ketika Raja Naga berhasil 
mencuri Bunga Matahari Jingga. Purwa tidak ta- 
hu, kalau yang didengarnya itu adalah muslihat 
dari Ratu Dinding Kematian. 

Ketika memasuki jajaran pepohonan yang 
sangat besar dan menjulang tinggi itu, Ratu Dind- 
ing Kematian menjelaskan, setiap kali mereka su- 
dah berjalan dua puluh langkah, maka harus se- 
rong dua langkah ke kanan. Begitu seterusnya. 

Kendati sedikit merasa heran, tetapi Purwa 
tidak bertanya mengapa mereka harus melangkah 
demikian. Ratu Dinding Kematian sendiri tidak 
mau mengatakan, kalau pada setiap langkah ke- 
dua puluh satu di sanalah Bancak Bengek mele- 
takkan jebakannya yang mengerikan. Itulah se- 
babnya, harus melangkah pada hitungan kedua 
puluh dan serong dua langkah ke kanan sebelum 
melangkah lagi. Kembali pada hitungan kedua 
puluh serong lagi dua langkah ke kanan dan begi- 
tu seterusnya. 

Dan tiba-tiba saja tawa yang menyeramkan 
menggema keras, hingga membuat masing- 
masing orang berhenti melangkah. Kalau Purwa 
seketika bersiaga, Ratu Dinding Kematian justru 
tenang-tenang saja. Karena dia tahu, suara itu 
berasal dari mulut Bancak Bengek. 

Bancak Bengek memandang perempuan di 
hadapannya sejenak sebelum melirik Purwa. 

"Hemmm... dia sengaja memotong kata- 
kataku. Aku tahu apa yang dimaksudnya," ka- 
tanya dalam hati. Lalu seraya arahkan lagi pada 
perempuan sintal di hadapannya, si kakek ke- 
rempeng berkata, "Sebagai tuan rumah yang baik, 
sudah tentu selayaknya aku menyambut keda- 
tangan kalian secara baik-baik. Lelaki muda... 
bersediakah kau berjalan dulu hingga dua puluh 
lima langkah ke muka?" 

Purwa tak menjawab. Diliriknya Ratu Dind- 
ing Kematian yang berkata, "Ada yang hendak 
kubicarakan dengan temanku ini." 

Purwa kembali memandang si kakek yang 
sedang berkata, "Di sana kau akan menemukan 
sebuah bangunan kecil yang lumayan nyaman. 
Tunggulah kami di sana. Dan bila kau berkenan... 
hehehe... kau bisa memiliki salah seorang dari ti- 
ga orang gadis yang menjadi pelayanku." 

Purwa hanya mendengus. Setengah jengkel 
dia segera melangkah. Sepeninggal Purwa, Ban- 
cak Bengek langsung menyergap Ratu Dinding 
Kematian. 

"Keparat betul kau ini! Kau ingin membua- 
tku mati karena tidak menggeluti tubuhmu, 
h ah?!" 

Ratu Dinding Kematian terkikik. Dibiarkan 
mulut busuk Bancak Bengek menjelajahi wajah- 
nya. Dibiarkan pula ketika tangan kurus itu den- 
gan kasar membukai seluruh pakaiannya. Kalau 
melayani Purwa, Ratu Dinding Kematian juga 
timbul gairah, tetapi melayani kakek kerempeng 
ini sama sekali dia tak memiliki gairah. Kalaupun 
hal itu dilakukannya, hanya untuk membuat 
Bancak Bengek senang. 

Tetapi Bancak Bengek tidak peduli. Perem- 
puan itu mau melayaninya atau diam, tetap saja 
dia akan mengejar kenikmatannya sendiri. 

Kini dipacunya tubuh kurusnya di atas tu- 
buh polos Ratu Dinding Kematian. Tangan ku- 
rusnya meremas-remas sepasang payudara mon- 
tok perempuan itu. 

Lewat setengah peminuman ten, Bancak 
Bengek berteriak keras seraya menjambak ram- 
but Ratu Dinding Kematian. Dia menekan kuat- 
kuat hingga akhirnya terkulai di atas tubuh polos 
itu. 

Ratu Dinding Kematian yang tidak merasa- 
kan gairah apa-apa segera mendorong tubuh ku- 
rus itu. Seraya mengenakan pakaiannya dia ber- 
kata, "Aku datang ke sini untuk meminta ban- 
tuanmu...." 

"Untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, 
atau ada urusan lain?" desis Bancak Bengek 
sambil bangkit pula mengenakan pakaiannya. 

Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut men- 
dengar kata-kata si kakek kurus. Tetapi di lain 
saat dia tertawa. "Rupanya kau memantau kea- 
daanku!" 

"Rimba persilatan bukanlah tempat yang da- 
pat dijadikan sebagai penyimpan rahasia! Sejak 
kau terus menerus mengutarakan keinginanmu 
untuk mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Sukma 
dari tangan Ratu Tanah Kayangan, aku yakin ka- 
lau kau akan melaksanakan keinginanmu itu. 
Dan aku tahu kalau kau gagal mendapatkannya. 
Lalu kau putuskan untuk mendapatkan bunga- 
bunga keramat!" 

Ratu Dinding Kematian tersenyum. 

"Dan tentunya kau tahu urusan apa yang 
sekarang kuhadapi, bukan?" 

"Dari pertanyaanmu itu berarti kau sudah 
mendapatkan bunga-bunga keramat!" 

"Kau betul!" 

"Bahkan kau sudah mendapatkan khasiat- 
nya, bukan?!" 

Kali ini Ratu Dinding Kematian menggeleng. 
"Belum! Bunga-bunga keramat itu kusembunyi- 
kan di tempat yang sangat rahasia!" katanya ber- 
dusta. Kali ini sepasang mata Bancak Bengek me- 
lebar. "Mengapa kau tidak segera merendam bun- 
ga-bunga keramat untuk kau minum air renda- 
mannya?" 

Ratu Dinding Kematian hanya tersenyum. 
Diam-diam dia membatin, "Aku tak mau dia tahu 
kalau aku telah mendapatkan kesaktian dari 
bunga-bunga keramat. Dari pancaran matanya, 
aku menangkap gelagat kalau dia menginginkan 
bunga itu. Bagus, berarti tak terlalu sulit memin- 
ta bantuannya. Dan kalau semua urusan telah 
selesai, kakek keparat ini harus kubunuh!" 

Bancak Bengek masih memandang pada pe- 
rempuan bertahi lalat tepat pada tengah-tengah 
keningnya. 

"Apa yang sebenarnya diinginkan perempuan 
ini dengan tidak segera mengambil keuntungan 
dari bunga-bunga keramat? Apa yang sedang di- 
rencanakannya?" tanyanya dalam hati. Dan dia 
mendengus dalam hati seraya meneruskan uca- 
pannya, "Peduli setan apa yang hendak dilaku- 
kannya! Ini merupakan berita baik untukku! Ka- 
rena... tak perlu bersusah payah, aku akan men- 
dapatkan bunga-bunga itu dari tangannya! Aku 
tetap ingin membalas seluruh kekalahanku dari 
Dewa Pengasih!" 

Habis membatin demikian, Bancak Bengek 
berkata, "Ratu... siapa lelaki itu?" 

"Dia bernama Purwa," sahut Ratu Dinding 
Kematian. Lalu diceritakan tentang Purwa. 

"Hemm... jadi aku harus memanggilmu Ni- 
mas Herning?" 

"Itu pun lebih baik." 

"Mengapa tidak kau bunuh lelaki itu?" 

Ratu Dinding Kematian tersenyum. 

"Dia adalah murid Dewa Segala Dewa. Den- 
gan membiarkannya hidup, berarti aku memiliki 
seorang sandera." 

"Huh! Dari ucapanmu kau nampaknya jeri, 
hah?!" 

Ratu Dinding Kematian menggeleng. 

"Aku memang harus berhadapan dengan Ti- 
ga Penguasa Bumi, pemilik bunga-bunga keramat 
itu. Tetapi aku juga harus berhadapan dengan 
Ratu Tanah Kayangan! Biar bagaimanapun juga, 
aku masih tetap menginginkan Kitab Ajian Selak- 
sa Sukma!" 

"Lawan-lawanmu tidak berarti bila mereka 
tidak bergabung! Untuk mengalahkan Tiga Pen- 
guasa Bumi, kau harus membunuh mereka satu 
persatu!" 

"Aku... atau kita?" senyum Ratu Dinding 
Kematian. 

Bancak Bengek menyeringai. 

"Kita! Karena aku akan membantumu! Ra- 
tu... di manakah kau sembunyikan bunga-bunga 
keramat?" 

"Hemmm... dugaanku benar. Dari perta- 
nyaannya itu tentunya dia ingin mengorek kete- 
rangan tentang bunga-bunga keramat dan men- 
dapatkan untuk dirinya sendiri," senyum Ratu 
Dinding Kematian dalam hati. "Biar kumuslihati 
dia." 

Lalu katanya, "Bunga-bunga keramat itu ku- 
simpan di Dinding Kematian!" 

"Di bagian mana tepatnya?" Bancak Bengek 
berusaha untuk tidak membuat suaranya tergesa- 
gesa. 

"Kau tentunya ingat sebuah batu besar yang 
biasa kududuki bukan? Di bawah batu itulah ku- 
simpan bunga-bunga keramat." 

Kakek tanpa baju itu tertawa keras. 

"Kau memang sangat cerdik!" 

"Karena dengan kecerdikan itulah aku dapat 
menjalankan seluruh rencanaku," kata Ratu 
Dinding Kematian. Lalu sambungnya dalam hati, 
"Dan memuslihati mu, Kakek celaka!" 

Bancak Bengek berkata, "Kalau begitu, un- 
tuk apa kita berdiam di Hutan Laknat ini lebih 
lama? Mengapa tidak segera kita cari orang-orang 
yang hendak kau bunuh itu? O ya, apakah mere- 
ka tahu kalau kau orang yang telah mencuri bun- 
ga-bunga keramat?" 

Ratu Dinding Kematian mengangguk. 

"Seorang pemuda keparat telah berhasil 
membongkar seluruh penyamaranku!" 

"Siapa pemuda lancang yang ingin mampus 
itu?!" 

Sepasang mata tajam Ratu Dinding Kema- 
tian menyipit. 

"Dia datang dari Lembah Naga dan berju- 
luk.... Raja Naga...." 

Kepala Bancak Bengek sesaat menegak. Ka- 
kek berambut beriap-riap ini tak segera buka mu- 
lut. Setelah hening beberapa saat, barulah dia 
angkat bicara, 

"Raja Naga! Ya, ya! Aku pernah mendengar 
julukan itu akhir-akhir ini! Kalau tak salah ingat, 
dialah yang telah mengatasi keinginan Sekar 
Sengkuni untuk membunuh Resi Tala Kangkang!" 

"Aku tidak mendengar kabar itu!" 

"Aku mendengarnya!" 

(Bagi teman-teman pembaca yang ingin 
mengetahui persoalan apa yang terjadi antara Se- 
kar Sengkuni dan Resi Tala Kangkang, silakan 
baca episode: "Istana Gerbang Merah"). 

Bancak Bengek berkata lagi, "Bagus kalau 
kau juga ingin membunuh pemuda itu! Aku sen- 
diri sudah tidak sabar sebenarnya untuk melihat 
kehebatan pemuda itu!" 

"Kau terlalu lama berdiam di Hutan Laknat!" 

Kali ini Bancak Bengek mendengus. 

"Aku sedang menuntaskan sebuah ilmu yang 
kuciptakan. Dengan ilmu itulah aku ingin mem- 
balas kekalahanku dari Dewa Pengasih! Tetapi 
sayang, ilmu itu belum sempurna betul!" 

"Tak perlu membicarakan tentang guruku 
itu! Urusan dendammu dengan dia adalah uru- 
sanmu, bukan urusanku! Kalaupun aku mau 
menjalin kambrat denganmu, karena aku merasa 
kau lebih bisa menghargaiku daripada guruku 
sendiri!" 

Bancak Bengek tertawa keras mendengar- 
nya. Ketika secara tidak sengaja dia berjumpa 
dengan Ratu Dinding Kematian dua tahun yang 
lalu, Bancak Bengek memang tidak mengenal sia- 
pa Ratu Dinding Kematian sebelumnya. 

Saat itu birahinya sedang naik dan hendak 
dilampiaskannya pada Ratu Dinding Kematian. 
Sudah tentu kala itu Ratu Dinding Kematian be- 
rontak habis-habisan, hingga pertarungan terjadi. 
Dari pertarungan itulah Bancak Bengek mengena- 
li jurus-jurus yang dilakukan oleh si perempuan, 
jurus milik Dewa Pengasih! 

Kalau sebelumnya dia hanya hendak me- 
lampiaskan birahinya, kali ini dia ingin membu- 
nuh Ratu Dinding Kematian! Tetapi di luar du- 
gaannya, perempuan itu justru mengatakan kalau 
dia sudah tidak lagi menganggap Dewa Pengasih 
sebagai gurunya! Bahkan dia rela melayani apa 
pun kemauan Bancak Bengek. 

Bancak Bengek menganggap bila dia berhasil 
mempermalukan perempuan itu, Dewa Pengasih 
akan merasa terpukul. Makanya digeluti saja tu- 
buh itu siang malam tanpa mengenal puas. Dan 
rupanya Ratu Dinding Kematian memang tidak 
lagi mempedulikan gurunya! 

Barulah kemudian Bancak Bengek mengeta- 
hui sebab-sebabnya, ternyata Ratu Dinding Ke- 
matian menginginkan pula Kitab Ajian Selaksa 
Sukma yang diberikan Dewa Pengasih pada Ratu 
Tanah Kayangan. Perempuan itu menginginkan 
ilmu yang setingkat dengan gurunya sendiri! 

"Bagus! Kita berangkat sekarang!" 

"Tunggu! Lawan yang kita hadapi ini adalah 
lawan-lawan yang tangguh dan bukan lawan yang 
bisa dipandang sebelah mata! Tetapi aku yakin 
dengan kemampuan yang kau miliki dan siasat 
yang kau katakan tadi! Untuk membunuh Tiga 
Penguasa Bumi, tak akan pernah berhasil bila 
mereka bersatu! Itu artinya, kita memang harus 
membunuh mereka satu persatu! Bancak Bengek! 
Kini kita membagi dua tujuan!" 

"Apa maksudmu dengan dua tujuan?" 

"Kita melangkah pada arah yang berlainan! 
Dengan cara seperti itu, kemungkinan untuk me- 
lacak lawan-lawan kita akan lebih cepat tercapai!" 

"Usul yang bagus! Tetapi... apakah kau 
mampu menghadapi mereka?" 

Ratu Dinding Kematian menyeringai dan 
berkata dalam hati, "Inilah yang kutunggu." 

Lalu katanya, "Kau sendiri tahu, kalau aku 
hanya menguasai 'Ajian Selaksa Jiwa' yang dapat 
kujadikan andalan. Menghadapi Ratu Tanah 
Kayangan sendiri aku tentunya akan kesulitan 
karena ilmu kami berimbang. Untuk itulah, aku 
berharap kau mau menurunkan ilmumu padaku!" 

Menggema tawa Bancak Bengek. Sepasang 
telinga perempuan mesum itu memerah menden- 
garnya. 

"Keparat! Dia mentertawakanku!" makinya 
dalam hati. "Aku harus menahan amarahku dulu. 
Bila kudapatkan lagi tambahan ilmu darinya, 
maka kedudukanku akan lebih kuat. Bertemu 
dengan Tiga Penguasa Bumi sekaligus pun bukan 
masalah besar." 

Kemudian didengarnya kata-kata Bancak 
Bengek, "Tak perlu khawatir! Kau akan kuturun- 
kan sebuah ilmu yang sangat luar biasa!" 

"Aku sudah tidak sabar menanti!" 

"Ilmu yang hendak kuturunkan ini akan 
membuat lawan-lawanmu menderita gatal-gatal 
seumur hidupnya dan tak akan menemukan obat 
penyembuhnya!" 

"Bagus! Segera kau turunkan padaku!" 

"Baik! Mundur lima langkah dan berlutut!" 

Ratu Dinding Kematian bersikap patuh. Di- 
lakukannya perintah itu. Dilihatnya Bancak Ben- 
gek berdiri dengan kedua kaki agak dilebarkan. 

"Tanggalkan pakaianmu!" 

Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut. Dan 
parasnya memerah geram ketika mendengar kata- 
kata Bancak Bengek. "Astaga! Mengapa kau harus 
berpikir lebih lama? Setiap kali kau kugeluti, kau 
dalam keadaan polos! Bahkan kau tak peduli apa 
pun yang kulakukan terhadap tubuh montokmu 
itu! Dan sekarang... kau meragu hanya untuk 
menanggalkan pakaianmu?!" 

"Terkutuk! Lama kelamaan rasanya tak akan 
sanggup kutahan amarahku ini!" maki Ratu Bind- 
ing Kematian dalam hati. Lalu segera ditanggal- 
kan seluruh pakaiannya hingga kini tubuhnya be- 
tul-betul polos! 

Bancak Bengek menyeringai dalam hati. 

"Memang sangat sempurna tubuh yang dimi- 
likinya! Siapa pun akan terlena bila sudah mema- 
suki keindahan yang dimilikinya! Untuk menu- 
runkan ilmu 'Kelabang Jinjit' tak perlu harus me- 
nanggalkan pakaian! Tetapi ini lebih baik! Aku 
dapat lebih lama menikmati keindahan tubuh- 
nya!" 

Habis membatin demikian, Bancak Bengek 
membuka kedua matanya lebar-lebar. Ratu Dind- 
ing Kematian yang berlutut dengan tubuh tegak 
itu melihat cahaya hitam pada mata Bancak Ben- 
gek semakin mengelam. 

Dilihatnya pula mulut kakek berambut be- 
riap tak beraturan itu berkemak-kemik, sementa- 
ra tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Di 
lain kejap, Ratu Dinding Kematian merasakan sa- 
puan angin yang lembut namun agak berbau bu- 
suk. Angin yang keluar dari tiupan mulut Bancak 
Bengek menyelimuti tubuhnya. 

Saat itulah cahaya hitam melesat keluar dari 
kedua bola mata Bancak Bengek, tepat menerpa 
sepasang payudara montok yang berujung keme- 
rahan itu! 

Tap! Tap! 

Ratu Dinding Kematian terdorong sedikit dan 
tubuhnya bergetar. Di lain saat dirasakan kalau 
seluruh tubuhnya gatal-gatal. 

"Terkutuk! Apa yang dilakukannya?!" ma- 
kinya dalam hati. 

Rasa gatal-gatal itu kian terasa menyengat, 
semakin menyulitkannya untuk bergerak. Dan... 
astaga! Kedua tangannya tak mampu digerakkan! 

"Gila! Kubunuh dia! Kubunuh dia!" 

Bersamaan hendak dilepaskannya 'Ajian Se- 
laksa Jiwa', terdengar seruan Bancak Bengek. 
"Selesai! Kau telah memiliki ilmu 'Kelabang Jinjit' 
sekarang!" 

Ratu Dinding Kematian sendiri sudah tidak 
lagi merasa gatal-gatal pada tubuhnya. 

"Kerahkan hawa murnimu dan letakkan di 
bawah perut. Bersamaan kau hembuskan napas- 
nya, ilmu 'Kelabang Jinjit' akan keluar!" seru 
Bancak Bengek. 

Ratu Dinding Kematian berseru, "Apakah 
aku masih harus tetap tak berpakaian seperti 
ini?!" 

"Hahaha... kau memang keras. Ratu! Bahkan 
terlalu keras untuk seorang perempuan!" 

Ratu Dinding Kematian mengenakan lagi pa- 
kaian nya dan berdiri tegak. Matanya tak berke- 
dip pada Bancak Bengek, "Kita susul Purwa un- 
tuk kemudian tinggalkan Hutan Laknat!" 

Bancak Bengek sendiri sudah mendahului 
langkah sambil tertawa-tawa. 

* * *

LIMA 

SEPASANG mata angker milik Raja Naga tak 
berkedip memandang sekitarnya yang sepi. Saat 
ini matahari, sudah memancarkan kembali ca- 
haya keemasannya. Panasnya belum terlalu me- 
nyengat tetapi membuat embun yang menggayuti 
setiap dedaunan mengering. Angin masih ber- 
hembus cukup dingin. Tak jauh dari tempatnya, 
gumpalan kabut masih menggenang di udara. 

"Dari petunjuk Ratu Tanah Kayangan, jelas 
Inilah tempat yang bernama Dinding Kematian. 
Tempat yang sunyi dan benar-benar tepat berna- 
ma Dinding Kematian," desisnya dalam hati. 
Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling 
tempat itu. "Hemm... tak ada tanda-tanda kalau 
tempat ini berpenghuni!" 

Untuk beberapa lamanya pemuda bersisik 
coklat pada lengan kanan kiri sebatas siku itu 
masih berdiam di tempatnya. Mata angkernya 
menelanjangi sekitar tempat itu. 

"Tempat ini dipenuhi oleh bukit-bukit ber- 
dinding landai. Batu-batu besar berserakan di 
sana-sini. Dan nampaknya... hei! Itu ada sebuah 
bangunan! Tetapi... tak kulihat adanya jalan un- 
tuk tiba di bangunan itu!" 

Raja Naga menimbang beberapa saat sebe- 
lum memutuskan untuk mendatangi bangunan 
itu. Dengan penuh kewaspadaan, dipergunakan- 
nya ilmu peringan tubuhnya. Gerakannya sangat 
lincah ketika melewati batu-batu besar itu sebe- 
lum akhirnya hinggap di muka bangunan. 

Dilihatnya dinding bangunan itu telah Jebol. 
Diputuskan untuk masuk ke dalamnya. Dilihat- 
nya pula kalau atap bagian dalam bangunan itu 
telah jebol. Diperiksanya seluruh bagian bangu- 
nan itu sebelum akhirnya berhenti di tempat se- 
mula. 

"Dugaanku ternyata benar. Tak ada tanda- 
tanda Ratu Dinding Kematian berada di sini. Apa- 
kah sebelumnya dia sudah di sini kemudian ber- 
lalu lagi?" desisnya dengan kening dikerutkan. 

Kemudian diangkat kepalanya untuk meliha- 
ti atap dan dinding yang jebol. 

"Apakah telah terjadi satu pertarungan di si- 
ni? Atap dan dinding yang jebol itu sudah mengi- 
syaratkan demikian. Tetapi anehnya, tempat ini 
sama sekali tidak berantakan. Kalau tidak terjadi 
pertarungan, apa yang telah terjadi?" 

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini me- 
mikirkan kemungkinan Ratu Dinding Kematian 
telah tiba di tempat itu atau belum. Tiba-tiba ke- 
ningnya berkerut dengan mata yang tetap me- 
mancarkan keangkeran menggidikkan. 

"Apakah aku salah tempat?" 

"Kau tidak salah tempat, Anak muda! Me- 
mang tempat inilah yang dinamakan Dinding Ke- 
matian!" 

Satu suara yang mengejutkan Raja Naga, 
membuat anak muda dari Lembah Naga itu sege- 
ra membalikkan tubuh. Entah dari mana datang- 
nya, di hadapannya telah berdiri seorang kakek 
agak bongkok yang mengenakan pakaian dan ju- 
bah putih panjang. Jubahnya sangat bersih, tidak 
terlihat sedikit noda pun. Mata si kakek berusia 
sekitar delapan puluh tahun itu sangat teduh. Se- 
luruh rambut dan bulu yang ada pada sekujur 
tubuhnya berwarna putih. Di tangan kanan ki- 
rinya terdapat sebuah gelang berwarna putih yang 
terbuat dan baja. 

Untuk beberapa lamanya pemuda berompi 
ungu yang terbuka hingga memperlihatkan dada 
bidangnya itu tak buka suara. Mata angkernya 
tak berkedip pada si kakek. 

"Aku sama sekali tak menangkap suara apa- 
apa, tahu-tahu kakek ini sudah berkata-kata dan 
berada di belakangku. Dari keadaan itu, dapat 
kusimpulkan kalau kakek ini bukan orang sem- 
barangan. Siapakah kakek ini? Apakah dia ter- 
masuk lawan, atau kawan?" 

Kakek bermata teduh penuh kasih itu terse- 
nyum. 

"Keheranan yang terpancar di wajah setiap 
orang bila baru pertama kali berjumpa dengan se- 
seorang yang belum dikenalnya, memang sesuatu 
yang lumrah. Apalagi di saat perasaan sedang ka- 
cau menimbang-nimbang, apakah orang yang ba- 
ru dilihat itu lawan atau kawan...." 

Kepala Raja Naga menegak. Matanya melebar. 

"Astaga! Dia seperti tahu kata hatiku!" se- 
runya dalam hati. Lalu segera dirangkapkan ke- 
dua tangannya di depan dada dan berkata lem- 
but, "Orang tua berjubah putih... apa yang kau 
katakan tadi itu memang benar. Ya... aku me- 
mang sedang menimbang-nimbang siapakah di- 
rimu...." 

"Untuk menganggapku lawan atau kawan itu 
kupulangkan pada diri pribadi seseorang yang 
menilainya. Tetapi seumur hidupku, tak pernah 
aku menganggap seseorang itu lawan, baik dia 
orang yang baru kenal maupun seseorang yang 
menyimpan dendam membara padaku...." 

"Kata-katanya teduh dan mendayu penuh 
kasih. Sikapnya luar biasa tenangnya. Siapakah 
kakek ini?" Raja Naga bertanya-tanya dalam hati. 

"Orang muda... bila tak ada urusan yang 
penting, tak akan mau orang mendatangi Dinding 
Kematian. Dan karena kau sudah berada di sini, 
tentunya kau punya urusan yang penting," kata si 
kakek berjubah putih. 

Raja Naga terdiam sesaat sebelum mengang- 
guk. 

"Ya! Aku memang punya urusan penting 
hingga sampai di tempat ini." 

"Mungkin agak tidak enak bila aku ingin 
mengetahui urusan apa yang kau anggap penting 
itu." 

"Ucapannya benar-benar sangat pengasih 
dan berusaha untuk tidak melukai perasaan 
orang," kata Raja Naga dalam hati. Setelah mem- 
pertimbangkan beberapa saat, diceritakannya se- 
bab-sebab dia berada di Dinding Kematian. 

Dilihatnya kakek berjubah putih itu menghe- 
la napas pendek, 

"Dugaanku ternyata benar. Ya... apa yang 
kau katakan itu memang suatu urusan panting." 

"Orang tua... apakah kau juga tidak kebera- 
tan mengapa kau mendatangi tempat ini?" 

Kakek itu menghela napas pendek dulu se- 
belum menjawab, "Aku datang ke sini untuk me- 
nasihati muridku yang sudah berada di luar jalur 
yang ditentukan. Telah banyak keonaran yang di- 
timbulkannya hingga aku yang telah memu- 
tuskan untuk meninggalkan rimba persilatan 
mau tak mau harus datang lagi ke dunia ramai." 

Kening Raja Naga berkerut mendengar kata- 
kata kakek bermata teduh itu. 

"Untuk menasihati seorang murid? Apakah... 
astaga!" sepasang mata anak muda dari Lembah 
Naga itu melebar bersamaan kata batinnya terpu- 
tus. Lalu dipandanginya orang tua di hadapannya 
dengan seksama, sebelum berkata, "Orang tua... 
apakah... apakah kau yang berjuluk Dewa Penga- 
sih?" 

Sesaat suasana hening sebelum kakek di 
hadapannya menganggukkan kepalanya. 

"Ya... akulah Dewa Pengasih, orang tua yang 
sedang sedih memikirkan kelakuan salah seorang 
muridnya yang telah berada di luar batas. Orang 
tua yang tak ingin muridnya terus menerus terbe- 
lenggu oleh kesesatan dan orang tua yang merasa 
pilu karena tak berhasil mendidik salah seorang 
muridnya...." 

Raja Naga tak berkata-kata. Dipandanginya 
kakek itu dengan seksama. Sama sekali tak dis- 
angkanya kalau dia akan berjumpa dengan tokoh 
yang julukannya sering didengar. Seorang tokoh 
guru dari Ratu Tanah Kayangan dan Ratu Dind- 
ing Kematian. 

Kemudian didengarnya si kakek berkata- 
kata lagi, "Sejak semula aku sudah mengetahui 
perbedaan sifat antara Retno Harum dan Ratna 
Wangi. Retno Harum memiliki sifat yang lembut, 
baik dan sopan. Padanyalah kupercayakan Tanah 
Kayangan didudukinya hingga dia dijuluki banyak 
orang dengan julukan Ratu Tanah Kayangan. Se- 
mentara Ratna Wangi memiliki sifat yang jauh 
berbeda dengan Retno Harum. Dia kuberikan 
tempat di Dinding Kematian hingga dijuluki orang 
dengan sebutan Ratu Dinding Kematian." 

Kakek itu menghentikan ucapannya. Setelah 
menghela napas pendek, dilanjutkan lagi kata- 
katanya, "Semua ini adalah kesalahanku. Tak se- 
harusnya kuberikan kedua kitab pusaka yang 
kupunyai itu, yang ternyata memancing sifat se- 
rakah Ratna Wangi untuk memiliki kedua- 
duanya. Bahkan dia tega melakukan tindakan- 
tindakan makar yang akan mencelakakan sauda- 
ra seperguruannya. Tetapi... semuanya telah ter- 
jadi dan aku harus meluruskan keadaan...." 

"Dewa Pengasih...," kata Raja Naga. "Tanpa 
mengurangi rasa hormatku padamu, tentunya 
kau telah mendengar kabar tentang pencurian 
bunga-bunga keramat, bukan?" 

"Kabar memang telah sampai ke telingaku 
yang tua ini. Bunga-bunga keramat milik Tiga 
Penguasa Bumi telah dicuri seseorang. Selain Tiga 
Penguasa Bumi, aku dan tentunya Ratu Tanah 
Kayangan, Ratu Dinding Kematian juga memiliki 
ilmu yang dapat menghapus mantra yang dilaku- 
kan Dewa Segala Dewa terhadap bunga-bunga ke- 
ramat. Ya.... Ratna Wangi memang telah bertin- 
dak lebih jauh dari apa yang telah digariskan...." 

Raja Naga tak bersuara. Dia berkata dalam 
hati, "Kakek ini sangat begitu mengasihi murid- 
muridnya. Tak sekali pun kudengar ungkapan 
marah atau cacian terhadap Ratu Dinding Kema- 
tian. Bahkan dia sendiri hanya mengatakan da- 
tang untuk menasihati perempuan itu. Ah, 
sayangnya Ratu Dinding Kematian tidak berada di 
sini...." 

Kemudian murid Dewa Naga ini berkata, 
"Orang tua Pengasih... sebelum kau tiba di sini, 
aku sudah memeriksa sekeliling tempat ini. Tak 
ada tanda-tanda Ratu Dinding Kematian berada. 

Aku juga telah berjumpa dengan muridmu yang 
berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Dari mulutnyalah 
aku tahu kalau tak kujumpai Ratu Dinding Ke- 
matian di sini, berarti dia berada atau sedang 
menuju ke Hutan Laknat...." 

"Telah lama pula kudengar kalau dia menja- 
lin hubungan dengan Bancak Bengek, yang beru- 
lang kali berniat untuk membunuhku. Sama se- 
kali aku tak bisa melarang apa yang akan dilaku- 
kan oleh Ratna Wangi. Karena itu haknya, terma- 
suk bersahabat dengan orang yang mengang- 
gapku sebagai musuhnya. Tetapi Ratna Wangi 
benar-benar telah kelewat batas dan tindakan sa- 
lahnya itu harus diberi nasihat agar dia tidak se- 
makin jauh terjerumus ke lembah kesesatan." 

"Lagi-lagi dia begitu pengasih. Nada sua- 
ranya tetap tak berubah. Penuh pengertian," kata 
Raja Naga dalam hati. Sambil menatap kakek 
bermata teduh itu dia berkata, "Saat ini namaku 
telah coreng moreng akibat tindakan yang dilaku- 
kan oleh Ratu Dinding Kematian. Orang tua... 
aku bermaksud untuk menangkapnya dan akan 
kuhadapkan pada Tiga Penguasa Bumi untuk 
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan- 
nya. 

"Anak muda... lakukanlah sebisamu. Hanya 
satu pesanku, kau harus berhati-hati menghada- 
pinya." 

"Kata-katanya penuh nasihat dan ini mem- 
buka mataku kalau kemungkinan besar Batu 
Dinding Kematian memang telah mendapatkan 
kesaktian dari bunga-bunga keramat," kata Raja 
Naga dalam hati. Lalu berhati-hati dia berkata, 

"Aku tidak tahu kesaktian macam apa yang dida- 
patkan oleh seseorang bila telah meminum air 
rendaman dari bunga-bunga keramat. Orang 
tua... apakah kau bisa memberiku satu nasihat?" 

Dewa Pengasih menatap pemuda itu dalam- 
dalam dengan mata teduhnya. Tak ada tanda- 
tanda keterkejutannya melihat mata angker milik 
Raja Naga. 

"Nasihatku mungkin tak banyak gunanya...." 

"Aku akan tetap menjalankannya," sahut Ra- 
ja Naga sambil memandang kakek di hadapannya. 

Si kakek menarik napas pendek. Raja Naga 
menangkap nada masygul di dalam tarikan na- 
pasnya. 

"Berhati-hati menghadapinya. Itulah satu- 
satunya nasihat yang dapat kuberikan padamu, 
Raja Naga." 

Habis kata-katanya Dewa Pengasih berbalik 
dan melangkah. Langkahnya pelan sekali, seolah 
dia bukanlah seseorang yang berilmu tinggi. Teta- 
pi dua kejapan mata berikutnya, Raja Naga hanya 
melihat satu bayangan putih saja yang berkelebat 
dan tahu-tahu lenyap dari pandangan. 

Masih berdiri di tempatnya, pemuda beram- 
but dikuncir ini menarik napas dalam-dalam. 

"Kata-kata Dewa Pengasih semakin menya- 
darkanku, kalau tentunya sangat sulit untuk 
menghadapi orang yang telah meminum air ren- 
daman bunga-bunga keramat. Ah, apa yang ha- 
rus kulakukan untuk menghadapi perempuan 
itu? Apakah aku... hei!!" 

Anak muda itu tercekat, seolah baru sadar 
akan sesuatu. 

"Dia memanggil julukanku tadi! Astaga! Dia 
mengenalku rupanya!" 

Untuk beberapa lama Raja Naga kemudian 
terdiam. Otaknya dibuncah pikiran sekaligus ke- 
gelisahan yang tumpang tindih. Dia dapat mem- 
bayangkan musibah besar yang akan terjadi pada 
dirinya. Dan dia lebih ngeri tatkala membayang- 
kan, musibah yang jauh lebih besar dari apa yang 
akan dialaminya. 

"Aku harus dapat menangkap Ratu Dinding 
Kematian kendati harus kukorbankan nyawaku. 
Karena... tak mustahil perempuan itu akan mela- 
kukan keonaran yang sukar dibendung oleh siapa 
pun juga...." 

Pelan-pelan pemuda bermata angker ini me- 
narik napas pendek. Lalu melangkah keluar dari 
bangunan itu. Sinar matahari menerpa wajahnya, 
sedikit terasa panas. Dirasakan angin hanya ber- 
putar-putar saja di sekitar sana, menabrak dind- 
ing-dinding bukit dan berputar lagi. 

"Apa pun yang terjadi... aku harus dapat 
menangkap Ratu Dinding Kematian...," katanya 
membulatkan tekad. 

Tiga kejapan mata kemudian, dengan gera- 
kan-gerakan lincah, pemuda itu segera mening- 
galkan Dinding Kematian yang tetap direjam sepi. 

* * *

ENAM 

KETIKA matahari tepat berada di atas kepa- 
la, kakek berpakaian serba biru dengan wajah te- 
duh yang dipenuhi keriput itu menghentikan 
langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan. Se- 
sekali diusap jenggot putihnya yang menjulai tan- 
pa keluarkan suara. 

Gadis berpakaian ringkas warna kuning 
yang tadi melangkah bersamanya, mau tak mau 
juga menghentikan langkah. Sesaat diliriknya ka- 
kek di sebelahnya sebelum mengikuti pandangan 
mata si kakek. Dicobanya untuk mencari tahu 
apa sebab-sebab si kakek menghentikan lang- 
kahnya. 

Sesaat tak ada yang bersuara. Jalan setapak 
itu senyap. Sengatan matahari tak begitu terasa, 
karena terhalang oleh tingginya pepohonan. 

Tak enak berada dalam kebisuan, di samping 
juga ingin tahu mengapa orang tua berjanggut 
putih di sebelahnya berhenti melangkah, gadis 
berwajah manis dengan tahi lalat pada sisi kiri 
pelipisnya berkata, "Kek! Apakah ada sesuatu 
yang menarik perhatianmu hingga kita harus 
berhenti di sini?" 

Kakek berpakaian serba biru itu melirik, se- 
belum tersenyum seraya mengangguk. 

"Ya! Ada sesuatu yang menarik perhatianku!" 

Gadis manis itu mengerutkan kening. Lalu 
kembali mengarahkan pandangannya pada tem- 
pat yang dipandang orang tua di sebelahnya. 

"Aku tak melihat sesuatu yang menarik ke- 
cuali pepohonan dan semak belukar! Aneh! Apa 
yang sebenarnya dilihat kakek berjuluk Dewa Se- 
gala Dewa ini? Apakah dia tertarik dengan pepo- 
honan dan semak belukar?" 

Kembali tak ada yang buka suara. Si gadis 
berambut dikuncir ekor kuda dan diberi pita war- 
na kuning membatin lagi, "Mungkin memang ada 
yang menarik perhatiannya, tetapi aku tak meli- 
hatnya...." 

Kakek berpakaian serba biru itu berkata, 
"Puspa Dewi... kau belum juga mengetahui apa 
yang menarik perhatianku?" 

Gadis yang ternyata Puspa Dewi itu mengge- 
leng. Diperhatikannya si kakek dengan seksama. 
Sesaat ada kekagumannya. Setelah berpisah den- 
gan Raja Naga. Puspa Dewi meneruskan langkah- 
nya menuju ke Daerah Tak Bertuan. Kegigihan 
murid Ratu Tanah Kayangan itu memang mem- 
bawa hasil. Akhirnya dia tiba juga di Daerah Tak 
Bertuan. Kedatangannya di sana disambut oleh 
Dewa Segala Dewa yang kini hanya seorang diri. 

Setelah memperkenalkan siapa dirinya, Pus- 
pa Dewi menceritakan maksud kedatangannya. 

Dalam kesempatan itu pula Puspa Dewi menceri- 
takan tentang Raja Naga, yang saat ini sedang di- 
buru oleh orang-orang persilatan karena dianggap 
sebagai pencuri bunga-bunga keramat. 

Dewa Segala Dewa menyuruhnya beristira- 
hat sebelum malamnya diceritakan juga apa yang 
telah terjadi. Dan keesokan paginya mereka me- 
ninggalkan Daerah Tak Bertuan. 

"Kulihat satu kelebatan di sana tadi...," kata 
Dewa Segala Dewa. 

"Kelebatan?" 

"Ya! Satu kelebatan!" 

"Oh! Apakah dia Ratu Dinding Kematian?" 

Dewa Segala Dewa menggeleng. 

"Tidak! Orang yang berkelebat itu memang 
samar hingga sulit bagiku untuk melihat wajah- 
nya secara jelas. Tetapi yang pasti, dia tidak men- 
genakan pakaian dan usianya... lebih tua dariku. 
Walaupun hanya bersifat dugaan, aku bisa men- 
getahuinya...." 

"Siapakah dia, Kek?" tanya Puspa Dewi. Se- 
dikit banyaknya dikagumi kerendahan hati si ka- 
kek. Semula dikatakan kalau dia hanya samar- 
samar melihat. Tetapi mengetahui orang yang 
berkelebat itu lebih tua dari dirinya, bukankah itu 
sudah menunjukkan ketinggian ilmu si kakek? 

Dewa Segala Dewa mengusap usap janggut- 
nya dulu sebelum menjawab, "Kalau tak salah in- 
gat... dia adalah Bancak Bengek." 

"Bancak Bengek? Kakek! Aku baru pertama 
kali mendengar nama Itu!" 

"Tak heran bila kau memang baru menden- 
gar nama itu. Kau masih muda. Kau belum ba- 
nyak tahu urusan. Aku pun merasa pasti, kau 
baru pertama kali meninggalkan Tanah Kayan- 
gan. Puspa... Bancak Bengek adalah orang yang 
memiliki niatan busuk pada Eyang Gurumu." 

"Telah lama aku mendengar julukan Eyang 
Guru; Dewa Pengasih, tetapi hingga hari ini aku 
belum pernah berjumpa dengannya. Hingga aku 
tidak tahu seperti apa rupanya. Dan aku tidak 
tahu ada urusan apa antara Eyang Guru dengan 
Bancak Bengek." 

"Puspa... selama ini Bancak Bengek jarang 
keluar dari tempat tinggalnya di Hutan Laknat. 
Dan kalau memang benar orang yang berkelebat 
tadi adalah Bancak Bengek, sudah tentu ada uru- 
san besar yang sedang dihadapinya." 

"Apakah ini ada hubungannya dengan Eyang 
Guru?" 

"Biasanya, keluarnya Bancak Bengek selalu 
dengan niatan untuk membunuh Dewa Pengasih! 
Tetapi aku tak bisa menduganya saat ini." 

Puspa Dewi mengangguk-anggukkan kepa- 
lanya. Gadis yang pada punggungnya terdapat 
sebilah pedang berhulu kepala burung elang ber- 
kata, "Kek! Apakah ini ada hubungannya dengan 
Ratu Dinding Kematian?" 

"Kemarin senja kita sudah tiba di Dinding 
Kematian dan tak berjumpa dengan penghuninya! 
Seperti yang pernah kuceritakan padamu, Pus- 
pa... aku bukannya tidak mempercayai kata-kata 
Purwa dan Sibarani kedua muridku itu yang 
mengatakan kalau Raja Naga telah mencuri bun- 
ga-bunga keramat. Justru ingatanku tiba pada 
Dewa Pengasih. Kukaji lebih jauh lagi dan ra- 
sanya tak mungkin Dewa Pengasih melakukan 
tindakan keji. Menyusul ingatanku tiba pada ke- 
dua muridnya dan kembali kukaji keadaan. Ah... 
hingga kemudian kusimpulkan, kalau salah seo- 
rang dari murid Dewa Pengasih yang melakukan- 
nya. Tetapi sayang... dugaan itu baru terlambat 
menjadi kenyataan...." 

Dewa Segala Dewa menarik napas pendek 
sebelum melanjutkan ucapannya, "Puspa... bisa 
jadi apa yang kau katakan tadi itu benar. Karena 
aku juga pernah mendengar, kalau secara diam- 
diam Ratu Dinding Kematian menjalin hubungan 
busuk dengan Bancak Bengek. Puspa... aku juga 
menduga kalau Ratu Dinding Kematian telah ber- 
hasil mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke- 
ramat." 

Puspa Dewi ink segera buka mulut. "Kek! 
Adakah cara untuk menanggulangi khasiat dari 
bunga-bunga keramat?" 

Dewa Segala Dewa mengusap jenggot putih- 
nya. Gerakannya begitu lambat, seolah hendak 
diresapi usapannya. Tetapi di balik itu, tersimpan 
satu kegelisahan yang berusaha untuk tidak dipe- 
lihatkannya. 

Pelan-pelan kepala si kakek bergerak dan 
matanya menatap gadis bertahi lalat pada pelipis 
sebelah kiri itu. 

"Hingga saat ini, aku belum pernah tahu ba- 
gaimana caranya menanggulangi kehebatan orang 
yang telah meminum air rendaman bunga-bunga 
keramat. Dan itu berarti...." 

Dewa Segala Dewa tak meneruskan kata- 
katanya. Puspa Dewi tak mengusiknya. Diam- 
diam dia dapat merasakan kegelisahan yang di- 
alami oleh kakek berpakaian serba biru itu. 

"Ternyata semuanya ini telah berada dalam 
satu lingkaran yang mengerikan. Tentunya kehe- 
batan Ratu Dinding Kematian tak akan bisa di- 
hentikan. Dan itu berarti... astaga! Bagaimana 
dengan nasib Guru? Bagaimana?!" seru Puspa 
Dewi dalam hati. Perasaannya berdebar keras, 
kegelisahan pun dirasakan dan bertambah men- 
jadi-jadi. 

Dewa Segala Dewa melihat perubahan paras 
gadis manis itu. 

"Aku tahu kau mengkhawatirkan gurumu, 
bukan?" 

Puspa Dewi mengangguk-angguk. 

"Bukan hanya gurumu yang kukhawatirkan, 
Puspa... tetapi seluruh kehidupan yang masih 
akan terus berlangsung ini. Kabar sudah kuden- 
gar pula kalau saat ini Raja Naga sedang membu- 
ru Ratu Dinding Kematian. Itu artinya dia me- 
mang sedang memburu kematian! Dan bisa jadi 
ini akan melibatkan kemunculan Dewa Naga. 
Bancak Bengek sudah muncul dan tak mustahil 
Dewa Pengasih akan muncul pula. Berarti... akan 
semakin banyaknya para tokoh yang akan ber- 
munculan kembali di rimba persilatan yang bisa 
jadi dapat menimbulkan kesalahpahaman...." 

"Kek! Kita harus menghentikan semua itu!" 

Dewa Segala Dewa mengangguk. 

"Ya! Kita memang harus menghentikan sega- 
la tindakan busuk yang akan dilakukan oleh Ratu 
Dinding Kematian! Karena bila tidak, itu artinya 
membiarkan petaka terus menerus berdatangan 
dan tak akan pernah berhenti sebelum ada yang 
berhasil mengatasi Ratu Dinding Kematian!" 

Hati gadis berpakaian kuning itu semakin 
tak menentu. Lalu dilihatnya Dewa Segala Dewa 
melangkah. 


"Kita teruskan langkah. Firasatku mengata- 
kan, tak lama lagi kejadian buruk akan mengge- 
bah rimba persilatan!" 

* * *

TUJUH 

JAUH dari tempat Dewa Segala Dewa dan 
Puspa Dewi menghentikan langkah, orang yang 
kelebatannya dilihat oleh kakek berpakaian serba 
biru itu menghentikan langkahnya di sebuah 
tempat dipenuhi bebatuan. Semenjak tadi orang 
bertubuh kurus kerempeng tanpa baju ini merasa 
kalau dia melihat seseorang di saat berkelebat. 
Tetapi dia tidak terlalu mempedulikannya. Setelah 
tiba pada satu pikiran, barulah dihentikan lang- 
kahnya. 

"Terlalu lama aku tak libatkan urusan den- 
gan dunia ramai. Kalaupun aku keluar dari Hu- 
tan Laknat, hanya untuk menjumpai Ratu Dind- 
ing Kematian untuk melampiaskan nafsuku. Ilmu 
yang kuciptakan untuk membunuh Dewa Penga- 
sih belum sempurna, hingga belum kuputuskan 
untuk mencarinya dan membalas kekalahanku.... 

Kakek berambut putih beriap-riap ini mem- 
balikkan tubuhnya, memandangi jalan dari mana 
dia datang tadi. Sepasang matanya yang meman- 
carkan cahaya hitam berkilat-kilat. Kekejian san- 
gat kentara sekali. 

Dia mendesis lagi, "Kalau tak salah ingat, 
Dewa Segala Dewa selalu mengenakan pakaian 
serba biru! Astaga! Bisa jadi kalau orang yang ku- 
lihat tadi itu Dewa Segala Dewa! Dan kalau tak 
salah pula, kulihat seorang gadis berpakaian kun- 
ing di sebelahnya! Gila! Ratu Dinding Kematian 
juga mengenakan pakaian berwarna kuning? 
Apakah... tidak, tidak mungkin! Perempuan me- 
sum itu menginginkan nyawa Tiga Penguasa Bu- 
mi, tak mungkin dia mau bergabung dengan De- 
wa Segala Dewa! Kalau begitu... perempuan ber- 
pakaian kuning yang bersamanya itu bukanlah 
Ratu Dinding Kematian!" 

Kakek kurus ini menarik napas dalam- 
dalam, hingga tulang-tulang pada dadanya ber- 
tonjolan keluar. 

"Ratu Dinding Kematian telah memiliki bun- 
ga-bunga keramat! Dan dia juga belum meman- 
faatkan bunga-bunga itu! Berarti...," memutus 
ucapannya sendiri, bibir keriput menghitam itu 
menyeringai. "Begitu bodoh bila tidak segera ku 
manfaatkan! Sebaiknya kudatangi Dinding Kema- 
tian untuk mengambil bunga-bunga keramat itu!" 

Si kakek tertawa puas pada pikirannya sendiri. 

"Masa bodoh dengan Tiga Penguasa Bumi 
untuk saat ini! Sebaiknya...." 

Kata-katanya terputus begitu pendengaran- 
nya yang tajam mendengar suara dari balik rang- 
gasan semak. Kejap itu pula dia melesat menyer- 
gap. 

"Siapa yang berani lancang mencuri dengar 
ucapanku, hah?!" 

Semak belukar itu langsung tersibak dan 
berpentalan. Tangan kurus Bancak Bengek me- 
nyambar dan... tap! 

Sebuah leher jenjang yang halus tertangkap 
oleh tangan kurusnya! Tetapi saat itu pula dia 
membeliak sebelum tertawa keras. 

'"Astaga! Tak kusangka kalau aku menda- 
patkan daging segar seperti ini!!" 

Sementara tawa Bancak Bengek semakin ke- 
ras, perempuan yang lehernya dicengkeram tan- 
gan kurus itu menggeliat-geliat berusaha mele- 
paskan diri. Napasnya seketika terasa sesak. Se- 
pasang payudaranya yang dibalut kain kebaya lu- 
suh itu bergerak-gerak. 

Bancak Bengek mengarahkan pandangannya 
pada sepasang benda yang bergerak lembut itu. 

"Heepp... lepas... lepaskan aku...," desis si 
perempuan dengan suara memelas. 

"Astaga! Kau datang pada saat yang tepat pe- 
rempuan!" 

"Ampun... ampuni aku... kumohon... le- 
paskan aku...." 

Bancak Bengek hanya tertawa saja. Tanpa 
melepaskan cengkeraman pada leher jenjang mu- 
lus itu dibantingnya tubuh sintal yang seketika 
terkapar di atas tanah. Saat terbanting kebaya 
bagian bawah si perempuan terlepas dan mem- 
perlihatkan sepasang paha mulus yang gempal. 

Mata bercahaya hitam milik Bancak Bengek 
semakin melebar. 

"Kau tentunya sudah berpengalaman dalam 
urusan bawah perut! Ayo, layani aku!!" 

"Tidak... ampun... jangan... jangan lakukan 
itu..." ratap si perempuan makin ketakutan. 

Tiba-tiba Bancak Bengek membentak, hingga 
si perempuan merasa jantungnya seperti copot. 

"Menolak keinginanku, berarti kau bersiap 
untuk mampus!!" 

"Jangan... jangan lakukan itu...," ratap si pe- 
rempuan ketakutan. Wajah jelitanya seketika 
pias. Dia beringsut mundur. 

Tetapi kaki Bancak Bengek sudah menye- 
paknya hingga dia terguling dan tengkurap. Be- 
lum lagi si perempuan bangkit Bancak Bengek 
sudah menindihnya. Dirobek-robeknya kain ke- 
baya yang dikenakan si perempuan yang menje- 
rit-jerit ketakutan. 

Masih menindih si perempuan yang dalam 
keadaan tengkurap, Bancak Bengek membuka ce- 
lananya sendiri, sementara tangan kanannya me- 
remas-remas pantat bulat yang sudah tak tertu- 
tup apa-apa. 

"Aku belum pernah melakukannya seperti 
ini! Kau sungguh pandai mencari posisi!!" 

Sedikit paksa, disentakkan kedua paha si 
perempuan hingga terbuka lebar. Mata Bancak 
Bengek makin berkilat-kilat melihat tonjolan pan- 
tat yang montok itu. Lebih bernafsu lagi ketika 
melihat agak ke bawah, sesuatu yang mencuat 
membuat napasnya mendengus-dengus. 

Tetapi sebelum dilakukan niatnya itu, satu 
suara telah membentaknya, "Betul-betul kapiran! 
Kupikir aku tak akan berjumpa lagi denganmu, 
Kakek kerempeng! Dan selagi berjumpa, kau se- 
dang berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang 
istimewa!!" 

Serentak Bancak Bengek bangkit dan mem- 
betulkan celananya. Sementara masih dalam kea- 
daan polos, perempuan itu menangis dengan tu- 
buh masih tengkurap. 

"Kau benar-benar membuatku ngiri! Dulu 
kau selalu memuja tubuhku, terutama payudara- 
ku yang kau bilang hanya payudara para bidadari 
yang dapat menandanginya! Tapi sial, sungguh 
sial! Aku tak bisa melawan waktu yang terus ber- 
gerak hingga tubuhku sudah menjadi peot seperti 
ini!!" 

Bancak Bengek sesaat tak buka suara. Ma- 
tanya memandang tak berkedip pada nenek 
bongkok yang pada kepalanya terdapat tiga tang- 
kai bunga mawar segar. 

Kejap berikutnya dia sudah mendengus, "Se- 
tan perempuan! Aku juga tak menyangka kau 
akan muncul di hadapanku sekarang! Sial betul, 
kedatanganmu mengganggu keasyikanku!!" 

Si nenek yang berusia sekitar tujuh puluh 
lima tahun itu tertawa hingga kedua pipinya ter- 
tarik ke dalam dan keluar, karena si nenek tidak 
mempunyai gigi lagi. Parasnya dipenuhi keriput 
yang sangat banyak. Di bawah matanya seperti 
ada daging tua yang menggelambir. 

Nenek berpakaian merah menyala ini berse- 
ru, "Mana mau aku mengganggu keasyikanmu, 
hah?! Kalaupun aku mau, karena aku iri saja 
dengan keberuntungan perempuan itu!" 

Bancak Bengek sesaat melirik si perempuan 
yang masih tengkurap menangis dalam keadaan 
polos. Matanya menghujam pada pantat montok 
yang mencuat itu. 

Kemudian bentaknya pada si nenek tanpa 
gigi, "Nyai Darah Sumba! Siapa pun orangnya su- 
dah tentu akan memilih daging segar ketimbang 
daging busuk yang sudah dipenuhi banyak ulat! 

Lebih baik kau menyingkir agar tidak timbul uru- 
san!" 

Bukannya gusar dibentak seperti itu, si ne- 
nek yang pada rambut putihnya terdapat tiga 
buah bunga mawar segar justru terkikik-kikik. 

"Gila, sungguh gila! Siapa ingin bikin urusan 
denganmu, Bancak Bengek?! Tetapi kau boleh 
mengingat-ingat, kalau kau belum pernah menga- 
lahkanku sekali juga! Dan kita tentunya sama- 
sama tahu, setelah sekian lama berdiam diri di 
tempat sunyi, kita telah menciptakan banyak il- 
mu-ilmu baru! Bagus, bagus sekali! Mungkin ini 
kesempatanku untuk menjajal ilmuku!!" 

Bancak Bengek mendengus. Dia sama sekali 
tidak menyangka akan berjumpa dengan Nyai Da- 
rah Sumba, perempuan yang pernah menjadi ke- 
kasihnya lima puluh tahun yang lalu. Selama ber- 
tahun-tahun Bancak Bengek mendapatkan tem- 
pat pelampiasan nafsunya, sebelum kemudian dia 
terlibat urusan dengan Dewa Pengasih yang mau 
tak mau membuatnya meninggalkan Nyai Darah 
Sumba. 

Sebelum kakek kerempeng itu buka mulut, 
si nenek sudah berseru lagi, "Biarpun aku ingin 
menjajal ilmuku, tetapi tidak perlu! Ya, tidak per- 
lu kulalukan padamu! Asal...." 

"Asal apa, hah?!" 

"Kau serahkan perempuan itu kepadaku!" 

"Gila! Sejak kapan kau suka pada perem- 
puan, hah?!" 

Si nenek terkikik. 

"Jangan berlaku aneh di depanku! Bancak 
Bengek, sejak dulu kita selalu berhubungan ba- 
dan. Tetapi kau tahu sesuatu yang tidak pernah 
kita dapatkan? Sesuatu yang tak bisa mengikat- 
mu untuk terus menjadi pendampingku?!" 

Bancak Bengek mendengus. 

"Sejak dulu perempuan ini menginginkan 
seorang anak, tetapi aku tak pernah berhasil 
memberikannya! Aku yakin, bukan aku yang 
mandul, tetapi dia!" 

Habis membatin demikian, dengan suara ge- 
ram Bancak Bengek berseru, "Nyai Darah Sumba! 
Kalaupun aku berhasil memberimu seorang anak, 
tak akan sudi aku menikahimu!" 

"Gila, gila betul! Siapa yang ingin kau nika- 
hi? Aku hanya kau ingin terikat padaku!" 

"Siapa orangnya yang sudi berhubungan le- 
bih lama dengan perempuan mandul seperti 
kau!!" 

Diejek seperti itu, Nyai Darah Sumba cuma 
tertawa. 

"Ya, kau betul sekali! Sangat betul! Itulah 
sebabnya, sekarang ini sedang kukumpulkan pe- 
rempuan-perempuan cantik untuk menjadi pen- 
gikut ku! Dan di antara mereka akan kuangkat 
seorang Ratu yang harus dihormati tetapi harus 
menghormatiku! Lalu akan kucari seorang jejaka 
atau lelaki mana pun juga untuk membuahi sang 
Ratu! Dan anak yang akan terlahir itulah yang 
akan kudidik untuk kuturunkan seluruh ilmu 
yang kupunyai!" 

"Terlalu berbelit-belit!" 

"Itu urusanku! Sekarang, serahkan perem- 
puan itu kepadaku! Karena kutangkap satu fira- 
sat, kalau dialah sang Ratu yang akan kujadikan 
sebagai orang kepercayaanku!!" 

"Walaupun aku tak bisa lagi menahan ama- 
rah karena kemunculannya, tetapi aku tak ingin 
terlibat urusan lebih lama dengannya. Lagi pula, 
masih bisa kudapatkan perempuan-perempuan 
yang akan kujadikan sebagai tempat pelampiasan 
nafsuku selain perempuan montok itu!" 

Memutuskan demikian, Bancak Bengek ber- 
kata, "Kau bawa perempuan itu, dan segera ting- 
galkan tempat ini!!" 

Nyai Darah Sumba tertawa-tawa. 

"Bagus, bagus kalau kau mengerti keadaan," 
katanya seraya mendekati perempuan yang masih 
dalam keadaan polos itu. Nyai Darah Sumba ber- 
kata lembut, "Perempuan... bangunlah. Kau tidak 
perlu takut dengan kakek jelek ini... Ayo, ban- 
gun... dan sebutkan namamu...." 

Mendengar ucapan lembut itu, si perempuan 
pelan-pelan bangkit seraya berusaha menutupi 
bagian-bagian tubuh terlarangnya dari mata Ban- 
cak Bengek yang melotot. 

"Terima... terima kasih atas... pertolongan- 
mu, Nek...," katanya terbata. 

"Jangan panggil aku seperti itu. Kau boleh 
panggil aku 'Nyai'. Katakan, siapa namamu...." 

Perempuan itu melirik Bancak Bengek dulu 
dengan takut-takut sebelum berkata lirih, "Nama- 
ku.... Ganda Arum... orang-orang di desaku, me- 
manggilnya dengan sebutan Nyai Ganda Arum...." 

"Hik hik hik... nama yang bagus, bagus seka- 
li! Dan aku tak akan salah memilih orang! Ganda 
Arum... mengapa kau berada di tempat seperti 
ini?" 

Nyai Ganda Arum terdiam sejenak. Ingatan- 
nya kembali pada peristiwa beberapa hari lalu, di 
mana ketika dia sedang asyik bercinta dengan 
Dat Mala, suaminya tiba-tiba muncul dan mem- 
bunuh Dat Mala. Nyawanya masih tertolong kare- 
na munculnya Dewa Seribu Mata, yang mengu- 
sirnya begitu saja (Teman-teman pembaca bisa 
mengetahui semua itu dalam episode: "Terjebak di 
Gelombang Maut"). 

Tiba-tiba sepasang mata Nyai Ganda Arum 
berkilat-kilat. Nyai Darah Sumba sesaat menge- 
rutkan keningnya melihat perubahan mata si pe- 
rempuan. 

Kemudian didengarnya kata-kata Nyai Gan- 
da Arum, "Nyai... ajari aku ilmu yang hebat, un- 
tuk membalas sakit hatiku atas perlakuan Dewa 
Seribu Mata...." 

Kepala Nyai Darah Sumba sesaat menegak 
sebelum kikikannya yang keras berkumandang. 

"Ya, ya! Kau bukan hanya akan menda- 
patkan ilmu yang hebat, tetapi kau akan menjadi 
seorang ratu!!" serunya. Lalu berkata pada Ban- 
cak Bengek, "Kapan-kapan... kita bertemu lagi! 
itu pun... kalau kau masih hidup! Karena dari 
pancaran matamu, kau sedang terlibat satu uru- 
san! Aku tidak tahu apakah dugaanku ini benar 
atau tidak, tetapi yang pasti... sampai kapan pun 
juga kau tak akan pernah melupakan kekala- 
hanmu dari Dewa Pengasih!" 

Sebelum kakek kerempeng itu menyahut, 
Nyai Darah Sumba sudah berkata pada Nyai 
Ganda Arum, "Ikuti aku, Ganda Arum! Kita akan 
mencari pakaian untukmu di perjalanan!" 

Masih dalam keadaan polos karena pakaian- 
nya tak mungkin lagi bisa dipakai, Nyai Ganda 
Arum mengikuti langkah si nenek berpakaian me- 
rah lusuh yang sudah mendahului. 

Di tempatnya Bancak Bengek menelan lu- 
dahnya berkali-kali melihat pantat mencuat yang 
bergoyang-goyang penuh gairah itu. Tetapi di lain 
saat dia sudah kembali pada tujuannya semula 
dan meninggalkan tempat itu. 

* * *

DELAPAN 

KELEBATAN Raja Naga seketika terhenti 
tatkala didengarnya suara letupan berulang-ulang 
dari satu tempat. Sejenak anak muda bersisik 
coklat pada lengan kanan kiri ini menajamkan 
pendengarannya. Samar-samar ditangkapnya 
bentakan demi bentakan bernada amarah. Kepala 
Raja Naga menegak ketika ditangkap bentakan 
yang membuat dadanya berdebar. 

Kejap itu pula dia berkelebat untuk mencari 
asal letupan dan bentakan yang keras itu. 

Belum lagi dia tiba di tempat itu, tiba-tiba 
saja sebuah pohon yang tumbang menderu keras 
ke arahnya. Dengan sigap Raja Naga menghantam 
luncuran pohon itu hingga terpecah menjadi dua 
dan berpentalan. 

Lalu dilihatnya cahaya warna-warni bertabu- 
ran di udara. Dadanya semakin berdebar ken- 
cang, terutama ketika mendengar bentakan, "Se- 
rahkan Kitab Ajian Selaksa Sukma bila kau masih 
ingin melihat matahari besok!!" 

"Jangan berpikir semudah itu kau dapat 
mengalahkanku, Ratna Wangi! Tak mudah!" 

"Akan kubuktikan kalau ucapanmu itu salah 
besar!!" 

BuummmH 

Ledakan dahsyat itu menggebah keras. Raja 
Naga melihat tanah muncrat setinggi dua tombak 
disusul dengan cahaya warna-warni dan cahaya 
terang yang saling tumpang tindih. 

Raja Naga tercekat dengan suara menjerit 
yang dikenalinya. 

"Ratu Tanah Kayangan!" desisnya seraya me- 
lesat ke depan. Saat itu dilihatnya satu bayangan 
kuning sudah menggebah dengan tangan kanan 
kiri bercahaya. Gerakannya luar biasa ringan. Ra- 
ja Naga yang sedang melesat saja sudah merasa- 
kan gemuruh angin ke arahnya, apalagi perem- 
puan bercadar sutera yang sedang memekik keras 
itu! 

Raja Naga segera mendeham untuk menga- 
tasi gemuruh angin. Tenaga tak nampak yang 
menderu dari dehamannya itu tertelan bulat- 
bulat oleh gemuruh angin raksasa yang menyeret 
tanah. Seketika anak muda dari Lembah Naga itu 
mendorong tangan kanan kirinya. Gelombang an- 
gin yang disaput asap merah menggebrak, tetapi 
lagi-lagi lenyap tertelan gemuruh dahsyat itu. 

"Gila!!" pekikan tertahan terdengar dari mu- 
lut si pemuda. Kini yang harus dilakukannya ada- 
lah segera menyambar tubuh perempuan berpa- 
kaian biru keemasan. 

Ketika berhasil melakukannya, terdengar 
suara berdebam yang lintang pukang. Pepohonan 
berderak dan tumbang. Dahan-dahannya ber- 
hamburan dan bertabrakan satu sama lain. 

Sementara Raja Naga berusaha menyela- 
matkan perempuan bercadar sutera, perempuan 
yang menyerang itu telah berdiri tegak dengan 
mata memicing. 

"Hemmm... bagus! Raja Naga!" desisnya den- 
gan bibir menyeringai. Dia sengaja tak segera me- 
lakukan serangannya. Dibiarkan pemuda berompi 
ungu itu hinggap kembali di atas tanah. 

Begitu Raja Naga tegak lagi, terdengar satu 
seruan keras, "Nimas! Pencuri bunga-bunga ke- 
ramat itu!!" 

Ratu Dinding Kematian mendesis, "Diam di 
tempat, Purwa! Biar kuhabisi dia sekarang!" 

Lelaki yang berseru tadi urung untuk me- 
nyerang. Matanya bersinar tajam memandang Ra- 
ja Naga yang telah berdiri di samping Ratu Tanah 
Kayangan. Sementara itu, Ratu Tanah Kayangan 
sendiri sedang berusaha mengatur napasnya yang 
terputus-putus. Dadanya bergemuruh hebat. 

Dia memang telah membayangkan keheba- 
tan Ratu Dinding Kematian yang diduganya telah 
berhasil meminum air rendaman bunga-bunga 
keramat. Tetapi sungguh di luar dugaan kalau 
ternyata lebih dahsyat dari perkiraannya. 

Ratu Dinding Kematian mendengus dingin. 

"Kalau sebelumnya hanya kutepuk seekor la- 
lat, sekarang dua ekor lalat telah masuk perang- 
kap!" 

Pemuda bermata angker itu memandang tak 
berkedip. Diam-diam dadanya berdebar keras. 

"Apa yang dikatakan Dewa Pengasih memang 
sebuah kenyataan. Perempuan itu sukar ditan- 
dingi. Ini berbahaya! Bisa-bisa nyawaku dan nya- 
wa Ratu Tanah Kayangan yang akan lenyap!" 

Ratu Tanah Kayangan yang belum berhasil 
mengatur napasnya berbisik, "Hati-hati... kesak- 
tiannya sungguh luar biasa...." 

Raja Naga menyahut tanpa melirik, "Bagai- 
mana kau bisa berjumpa dengannya?" 

"Tahu-tahu dia muncul di hadapanku. Bila 
saja kau tadi tidak muncul, aku sudah mampus 
saat ini. Raja Naga... jangan bertindak gegabah. 
Perempuan ini memiliki kesaktian hebat seka- 
rang." 

"Retno Harum...," kata Raja Naga memanggil 
nama asli Ratu Tanah Kayangan. "Kita sama- 
sama tak menyangsikan lagi kehebatan perem- 
puan itu sekarang. Rasa-rasanya, nyawa kita 
memang bisa putus di sini. Dan aku tak ingin itu 
terjadi." 

"Apa maksudmu?" 

"Kau segeralah menyingkir dari sini. Biar 
aku yang menghadapinya." 

"Gila! Tak mungkin aku meninggalkanmu di 
sini untuk menghadapinya seorang diri, Raja Na- 
ga! Kita sama-sama menghadapinya!" 

Raja Naga menyahut, tetap tanpa melirik, 

"Tak ada waktu buat berdebat sekarang. Segera- 
lah menyingkir." 

"Tidak! Kau pikir aku semacam orang penge- 
cut yang tak berani menghadapi segala urusan 
yang mengandung risiko besar? Raja Naga! Kita 
hadapi perempuan itu bersama-sama!" 

Raja Naga cuma menahan napas. 

Ratu Dinding Kematian berseru penuh eje- 
kan, "Cepat kalian atur bagaimana caranya untuk 
mengalahkanku?! Kalian boleh pula tinggalkan 
tempat ini, asalkan telah tanggalkan nyawa!!" 

Di lain saat kedua tangannya sudah me- 
rangkap di depan dada. 

Raja Naga membatin, "Dia pernah keluarkan 
Ajian Selaksa Jiwa'. Aku ingat gerakan pertama 
yang dilakukannya. Tetapi sekarang dia... astaga! 
Tentunya dia akan keluarkan kehebatan dari 
khasiat bunga-bunga keramat!!" 

Ratu Tanah Kayangan sudah berbisik, "Hati- 
hati! Dia akan keluarkan ilmu barunya itu!" 

Di pihak lain, lelaki bercambang tebal itu 
memperhatikan Ratu Dinding Kematian dengan 
seksama. Dia sebenarnya merasa heran menda- 
pati kemajuan Ratu Dinding Kematian. 

"Ketika bertarung dengan Raja Naga sebe- 
lumnya, Nimas Herning begitu keder dan kebin- 
gungan. Tetapi sekarang dia bersikap penuh tan- 
tangan. Bahkan, di saat Raja Naga bersama-sama 
dengan Ratu Tanah Kayangan. Aneh! Apa yang... 
heiii!! Tadi perempuan berjuluk Ratu Tanah 
Kayangan itu memanggilnya dengan sebutan Rat- 
na Wangi! Astaga! Bukankah dia mengaku ber- 
nama Nimas Herning?" 

Purwa mulai berpikir setelah menemukan 
kejanggalan demi kejanggalan. Terutama setelah 
menyaksikan kehebatan perempuan yang dipang- 
gil dengan nama Ratna Wangi. 

Tiba-tiba kedua telinganya menegak ketika 
perempuan bercadar sutera berseru, "Ratu Dind- 
ing Kematian! Perbuatanmu sudah kelewat batas! 
Kau...." 

"Kau yang akan mampus di tanganku!!" pu- 
tus perempuan bertahi lalat tepat di tengah- 
tengah keningnya, Di lain saat kedua tangannya 
yang merangkap tadi didorong ke depan. 

Astaga! Gemuruh liar menggebrak mengeri- 
kan, menyeret tanah hingga membentuk laksana 
ombak di tengah laut! 

Baik Ratu Tanah Kayangan maupun Raja 
Naga sama-sama tersentak. Ratu Tanah Kayan- 
gan sudah melepaskan 'Ajian Selaksa Sukma' 
yang menggebrak sengit, disusul dengan tanah 
yang bergerak membentuk gelombang dari ilmu 
'Barisan Naga Penghancur Karang'. 

Ledakan susul menyusul membuat tempat 
itu bergetar dahsyat. Tetapi gemuruh angin yang 
menggebah itu terus menderu ganas. Hingga mau 
tak mau Ratu Tanah Kayangan dan Raja Naga 
sama-sama melompat menghindar. 

Buuummmmm!! 

Lima batang pohon seketika berpentalan ter- 
dorong. Tanah-tanah berhamburan, pekat laksa- 
na gumpalan kabut hitam. Belum lagi Raja Naga 
dan Ratu Tanah Kayangan berdiri tegak, tiba-tiba 
saja satu bayangan kuning sudah melesat disertai 
geraman memecah langit. 

Tetapi kali ini tak ada gemuruh angin dah- 
syat seperti tadi walaupun Ratu Dinding Kema- 
tian sudah memutar kedua tangannya ke atas 
dan tangan kanannya disentakkan ke arah Raja 
Naga, sementara tangan kirinya didorong ke arah 
Ratu Tanah Kayangan. 

Ratu Tanah Kayangan kelihatan sudah ber- 
siap untuk membalas karena menduga tak ada 
serangan berbahaya seperti tadi. Namun sebelum 
dilakukannya, Raja Naga sudah mendorongnya 
hingga bergulingan. 

" Menyingkirrrrr!!" 

BuuummmH 

Ledakan luar biasa kembali membuat tempat 
itu bergetar hebat. Ratu Tanah Kayangan berdiri 
lagi, kali ini dengan wajah pias. 

"Gila! Tak ada suara apa pun yang kutang- 
kap, tak ada desiran apa pun yang kurasa! Tetapi 
akibatnya... celaka! Sungguh celaka!" serunya da- 
lam hati dengan napas kembang kempis. 

Kejap berikutnya dilihatnya Raja Naga yang 
sedang berusaha berdiri. 

"Raja Naga!" serunya tertahan tatkala meli- 
hat betis kanan Raja Naga mengeluarkan darah. 


Raja Naga menggerak-gerakkan tangan ka- 
nannya. 

"Aku tidak apa-apa!" desisnya menahan nye- 
ri. Rupanya kakinya terserempet tenaga tak nam- 
pak yang dilepaskan Ratu Dinding Kematian. 

Di pihak lain perempuan itu tertawa sangat 
keras. 

"Manusia-manusia tak berguna! Cukup su- 
dah aku menaruh belas kasihan pada kalian! Kini 
tibalah saatnya untuk melihat kalian mampus!!" 

Tetapi sebelum Ratu Dinding Kematian me- 
lancarkan niat, seruan keras terdengar, "Tunggu, 
Nimas!" 

Segera dipalingkan kepalanya. Matanya ta- 
jam memandang pada Purwa yang juga sedang 
memandangnya. 

"Mengapa kau menahanku, hah?!" geramnya 
sengit. 

Purwa tak segera menjawab. Matanya terus 
menerus memandang. Tiba-tiba dia mendesis, 
"Siapakah kau sebenarnya, Nimas?" 

Mendengar pertanyaan orang, Ratu Dinding 
Kematian melengak sejenak sebelum membentak. 

"Purwa! Apa-apaan kau bertanya begitu, hah?!" 

"Nimas... sebelumnya kau tidak mampu 
menghadapi Raja Naga. Tetapi sekarang tiba-tiba 
saja kau memiliki ilmu yang luar biasa tinggi. 
Bahkan kau dapat membuat Raja Naga dan Ratu 
Tanah Kayangan kocar-kacir!" 

Ratu Dinding Kematian tertawa keras. 

Karena, aku bukanlah orang yang sombong!" 

"Aku mulai menyangsikan siapa kau sebe- 
narnya, Nimas! Aku mulai yakin kalau namamu 
bukan Nimas Herning! Karena perempuan berca- 
dar sutera itu berulang kali memanggilmu Ratna 
Wangi! Tadi, tadi... dia memanggilmu dengan ju- 
lukan Ratu Dinding Kematian! Nimas... aku jadi 
ingat tentang tuduhan Raja Naga waktu itu! Dia 
mengatakan dirimu adalah Ratu Dinding Kema- 
tian!" 

Sepasang mata Ratu Dinding Kematian be- 
rapi-api. 

Lelaki berpakaian biru terbuka itu sudah 
berkata lagi, "Aku juga mulai berpikir, sebab- 
sebab Sibarani menyerangmu dengan kalap! Dan 
bagiku cukup mengherankan sekarang. Nimas 
Herning... katakan siapa kau sebenarnya? Dan 
apa yang terjadi dengan Bunga Matahari Jingga?!" 

"Keparat! Lelaki ini rupanya mulai menduga 
apa yang terjadi sebenarnya! Huh! Tak perlu lagi 
dia kubiarkan hidup, untuk kujadikan sandera 
yang akan memudahkanku untuk menghadapi 
Dewa Segala Dewa!" 

Habis membatin geram seperti itu, Ratu 
Dinding Kematian berseru keras, "Purwa! Sebaik- 
nya jangan banyak mulut bila ingin mampus!" 

Bukannya jeri dengan ancaman itu, Purwa 
justru merandek gusar, "Aku ingin tahu apa yang 
telah terjadi! Aku tidak yakin lagi kalau Raja Na- 
galah yang menyebabkan Sibarani tak bersuara! 
Nimas Herning! Kaulah yang telah melakukannya, 
untuk menutup mulut Sibarani!" 

Baru saja habis bentakannya, Purwa sudah 
menyerang dengan ilmu 'Bentang Gunung Bant- 
ing Tanah'! 

Ratu Dinding Kematian menggeram. 

"Huh! Tidak, dia tidak boleh kubunuh lebih 
dulu! Tetapi... menyiksanya saat ini boleh juga!!" 

Tanpa bergeser dari tempatnya, perempuan 
berpakaian kuning mengerahkan hawa murninya 
dan membawanya ke bawah perut. Bersamaan 
dihembuskan napasnya, tiba-tiba saja dia berges- 
er ke samping kanan. 

Serangan Purwa lolos. 

Tangan kanan kiri Ratu Dinding Kematian 
sudah menepak punggung Purwa! 

Plak! 

Tubuh Purwa meluncur deras dan ambruk di 
atas tanah. 

Melihat hal itu Raja Naga bermaksud mem- 
burunya, tetapi tangan Ratu Tanah Kayangan su- 
dah menahannya. 

"Jangan... jangan sentuh dia..." 

Sebelum Raja Naga melontarkan keheranan- 
nya, dilihatnya tubuh Purwa sudah menggeliat- 
geliat. Menyusul bintik-bintik hitam menghiasi 
sekujur tubuh dan lelaki itu berteriak-teriak ke- 
ras seraya menggaruki seluruh tubuhnya yang te- 
rasa gatal. 

"Dugaanku ternyata benar. Tentunya dia te- 
lah berjumpa dengan Bancak Bengek dan menda- 
patkan ilmu hitamnya," desis Ratu Tanah Kayan- 
gan. 

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men- 
dengus, "Nah! Kau bersenang-senanglah dulu 
dengan ilmu 'Kelabang Jinjit'!" 

Kemudian diarahkan pandangannya pada 
Raja Naga dan Ratu Tanah Kayangan. "Kini tiba- 
lah saatnya kalian mampus!!" 

Tangan kanan kirinya sudah didorong ke depan. 

Tak ada suara yang terdengar, tak ada desir 
angin yang terasa. Tetapi baik Raja Naga maupun 
Ratu Tanah Kayangan sudah membuang tubuh 
ke samping kanan. 

BummmmH 

Ledakan itu terdengar mengerikan. Raja Na- 
ga mendorong tubuh Ratu Tanah Kayangan ke 
belakang. Dia sendiri segera melompat ke depan. 
Menghadapi keganasan Ratu Dinding Kematian 
memang harus memiliki keberanian sendiri. Dan 
Raja Naga bertekad menghadapinya terus. Kalau- 
pun dia mendorong Ratu Tanah Kayangan, agar 
perempuan bercadar sutera itu menyingkir. Kare- 
na dengan begitu, Raja Naga tak perlu memikir- 
kan keselamatan si perempuan. Yang dipikir-kan 
hanyalah keselamatannya. 

Dengan menggunakan ilmu 'Naga Menga- 
muk' dan sesekali melepaskan ilmu 'Hamparan 
Naga Tidur' anak muda bermata angker itu me- 
nerjang ke depan. Namun apa yang dilakukannya 
hanyalah kesia-siaan belaka. Karena kedua ilmu 
itu putus di tengah jalan. Bahkan Ratu Dinding 
Kematian kemudian berusaha untuk menyentuh 
bagian-bagian tubuh Raja Naga dengan ilmu 
'Kelabang Jinjit'! 

Masih beruntung Raja Naga terus berhasil 
menghindari tepakan kedua tangan si perem- 
puan. Kendati demikian, luka pada betis kanan- 
nya kian terasa nyeri dan sangat mengganggu ke- 
seimbangannya. Anak muda itu tergontai-gontai 
ke belakang. 

Blaaammm!! 

Bila saja Ratu Tanah Kayangan tak segera 
menyambar tubuhnya dapat dipastikan kalau 
nyawanya telah melayang. 

"Sudah kukatakan. Kita harus menghada- 
pinya bersama-sama!" serunya. 

Raja Naga cuma mengangguk-angguk. Na- 
pasnya semakin megap-megap dan dirasakan da- 
danya seperti hendak membuncah pecah. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" de- 
sisnya terbata. 

"Jalan satu-satunya harus menyingkir dulu." 

"Tidak! Kita tidak boleh menyingkir dari sini! 
Kita harus terus menghadangnya agar dia tak 
punya kesempatan menurunkan onarnya di sana- 
sini!" 

Ratu Tanah Kayangan menggeram gemas. 

"Kau lihat sendiri kehebatannya! Kita tak 
akan mampu menghadapinya!" 

"Apa pun yang terjadi kita akan tetap meng- 
hadapinya!!" 

Di seberang, Ratu Dinding Kematian mulai 
bertambah gusar. Dia memang tak bisa dikalah- 
kan oleh kedua lawannya, tetapi hingga saat ini 
dia sendiri belum berhasil membunuh keduanya. 

"Terkutuk! Akan ku cecar mereka sekarang!!" 

Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba saja 
dua sosok tubuh melayang dan hinggap di atas 
tanah. Berdiri tegak sejarak dua belas langkah 
dari Ratu Dinding Kematian. Sebelum ada yang 
memperhatikan mereka, terdengar suara keras 
dan langkah berdebam, "Kurang ajar! Kenapa ka- 
lian meninggalkanku, hah?!" 

Bersamaan orang yang bersuara yang memi- 
liki tubuh luar biasa gemuk Itu muncul, tiba-tiba 
salah seorang dari kedua perempuan yang mun- 
cul lebih dulu tadi, telah memburu Purwa yang 
sekujur tubuhnya mulai merah-merah dan men- 
geluarkan darah akibat terus menerus digaruk. 

Raja Naga memekik keras. "Jangan, Sibara- 
ni!! Jangan sentuh dia!!" 

Tetapi terlambat. Perempuan berpakaian me- 
rah dan berpakaian dalam hijau itu telah me- 
nyentuh tubuh Purwa. 

* * *

SEMBILAN 

BEGITU memegang tubuh Purwa, sesaat Si- 
barani tersentak kaget karena merasa begitu pa- 
nas. Tetapi di kejap lain, seperti didorong satu te- 
naga kuat, perempuan itu terbanting di atas ta- 
nah. Bintik-bintik hitam segera menghiasi tubuh- 
nya. Kedua tangannya menggaruk-garuk sekujur 
tubuhnya yang terasa gatal luar biasa. Sementara 
Raja Naga hanya bisa mundur tanpa berani me- 
megangi tubuh Sibarani maupun Purwa. 

Nenek berpakaian hijau yang datang bersa- 
manya mengerutkan kening. 


"Aku mengenal ilmu itu. Kalau tak salah, sa- 
lah satu ilmu hitam milik Bancak Bengek. Terku- 
tuk! Apakah kakek kerempeng itu berada di sini? 
Atau...." 

Memutus kata batinnya, si nenek yang seba- 
gian rambutnya memutih tetapi rambut yang di- 
kondenya berwarna hijau sudah menggeram pada 
Ratu Dinding Kematian. 

"Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tan- 
ganku sekarang!!" 

Ratu Dinding Kematian mendengus. 

"Ingin kulihat kehebatan omonganmu, Pe- 
rempuan tua!!" 

Belum habis bentakannya Ratu Dinding Ke- 
matian melompat. Lompatannya sangat cepat se- 
kali sementara tanah di mana tadi dijadikan se- 
bagai tumpuan kedua kakinya membuyar setinggi 
satu tombak dan membentuk lubang! 

Gemuruh angin dahsyat seketika mengge- 
bah. Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 
Mata adanya segera menghindar. 

"Astaga! Bagaimana tahu-tahu dia memiliki 
kehebatan berlipat ganda?!" serunya tertahan dan 
saat itu pula dia berpikir, "Terkutuk! Jelas me- 
mang dialah pencuri bunga-bunga keramat dan 
saat ini tentunya telah mendapatkan khasiat dari 
bunga-bunga itu! Aku tak boleh bertindak ayal!!" 

Tetapi si nenek sendiri kesulitan untuk 
mundur dan mencari kesempatan. Sementara itu, 
kakek bertubuh luar biasa gemuk yang pakaian- 
nya tak mampu menutupi lemak-lemak tubuhnya 
mengerutkan kening. 

"Kini sudah terbuka semuanya! Perempuan 
berpakaian kuning keemasan itulah pangkal dari 
semua urusan berbahaya ini! Hemmm... kubiar- 
kan saja dulu Dewi Lembah Air Mata menghada- 
pinya! Setelah itu... astaga! Sungguh mustahil ka- 
lau nenek berkonde hijau itu berhasil didesaknya! 
Apakah... gila! Tentunya perempuan itu memang 
telah mendapatkan khasiat bunga-bunga kera- 
mat!" 

Dewi Lembah Air Mata sendiri berusaha un- 
tuk menjaga jarak dengan Ratu Dinding Kema- 
tian. Tatkala berhasil menghindar dan hinggap 
kembali di atas tanah, si nenek sudah merang- 
kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa- 
lanya agak ditundukkan hingga tubuhnya mem- 
bungkuk sedikit. Di lain saat dia sudah mengisak. 

Ratu Dinding Kematian terheran-heran men- 
dengar isakan si nenek. Di kejap berikutnya dia 
menggeram, "Hemmm... aku ingat. Kalau isakan 
si nenek ini pernah membuat Raja Naga tergontai- 
gontai. Keparat! Rupanya dia hendak menyerang- 
ku dengan...." 

Kata-katanya terputus karena tahu-tahu di- 
rasakannya sesuatu menggedor keras kedua te- 
linganya hingga berdenging-denging. 

Dengan menggeram keras, Ratu Dinding 
Kematian berusaha menahan isakan itu. Tetapi 
isakan itu terus menerobos dahsyat ke kedua te- 
linganya dan semakin keras terdengar. Dalam dua 
kejapan mata saja, tubuhnya bergetar hebat. 

"Keparat! Terkutuk!!" makinya gusar. Sakit 
tak terkira membuat aliran darahnya bertambah 
cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti dihan- 
tam gada besar berulang-ulang. Napasnya mulai 
terasa sesak. 

Namun tiba-tiba saja perempuan mesum ini 
memutar kedua tangannya ke atas yang segera 
didorongnya. Dewi Lembah Air Mata melihat ge- 
rakan itu. Sejenak dia hendak menghindar tetapi 
tetap melancarkan ilmu 'Air Mata Purnama'. Na- 
mun karena tak merasakan sesuatu dari kedua 
dorongan tangan Ratu Dinding Kematian, dia te- 
tap berlutut tanpa bergeser. 

Raja Naga yang sedang berpikir mengelua- 
rkan Gumpalan Daun Lontar yang sedianya digu- 
nakan untuk mengikis penderitaan Sibarani dan 
Purwa, justru berteriak keras, "Menyingkir dari 
tempatmu!!" 

Anak muda itu berusaha keras untuk men- 
dorong tubuh si nenek. Tetapi dikarenakan kaki 
kanannya yang semakin melemah dan bertambah 
nyeri, tindakannya terlambat. Ya, terlambat! 

Plaaakkk! 

Justru dirasakannya satu tepakan pada 
punggungnya hingga tubuhnya berguling ke 
samping kanan. Dilihatnya pula bagaimana orang 
yang menepaknya tadi juga menepak punggung 
Dewi Lembah Air Mata. 

Kendati demikian, jeritan Dewi Lembah Air 
Mata terdengar memecah tempat itu. 

"Aaaakhhhhhh!!" 

Kaki kirinya kutung terhantam tenaga tak 
nampak. 

Sementara itu Ratu Tanah Kayangan yang 
tadi berusaha bergerak cepat setelah melihat Raja 
Naga terganggu akibat luka pada betis kanannya 
pun terlempar ke belakang dengan tangan kanan 
kutung! 

Dua sosok tubuh bergulingan hebat di sana. 
Berputaran menahan sakit yang luar biasa. Darah 
yang telah bercampur dengan tanah berceceran di 
sana. 

"Retno Harummmm!" teriak Raja Naga dan 
segera menyambar tubuh si perempuan. Lagi-lagi 
karena kaki kanannya terluka, saat hinggap kem- 
bali di atas tanah, tubuhnya goyah dan dia ter- 
banting di atas tanah dengan tubuh Ratu Tanah 
Kayangan yang menindihnya. 

Sakit pada dadanya tak terkira. Tetapi anak 
muda itu tak mempedulikannya. Segera ditotok- 
nya urat darah pada pangkal lengan kanan Ratu 
Tanah Kayangan. Begitu ditotok, perempuan ber- 
cadar sutera itu telah jatuh pingsan! 

Dan kepanikan Raja Naga kian bertambah. 
Karena saat ini Ratu Dinding Kematian sudah 
menerjang ke arah Dewi Lembah Air Mata yang 
masih menggeliat-geliat menahan sakit! Tetapi 
sebelum serangan itu berhasil mengenai si nenek, 
sosok Ratu Dinding Kematian terpental ke bela- 
kang tatkala kibasan tangan gempal melesat ke 
arahnya. 

Menyusul gelombang angin dahsyat mengge- 
bah menghantamnya! 

Bila saja saat ini Ratu Dinding Kematian be- 
lum mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke- 
ramat, nyawanya tidak hanya lepas dengan tubuh 
utuh, melainkan dengan tubuh lebur! Akan teta- 
pi, kesaktian yang didapatkannya dari bunga- 
bunga keramat benar-benar membuatnya menjadi 
seseorang yang tangguh luar biasa. 

Begitu tubuhnya terdorong ke belakang den- 
gan deras, cepat diputar dengan cara mengam- 
bang di udara. Kedua kakinya diluruskan dan 
menghantam sebuah pohon yang sekaligus dija- 
dikan sebagai pantulan gerakannya. 

Pohon itu bukan hanya tumbang, tetapi pe- 
cah berhamburan sementara sosoknya melesat 
cepat ke arah Dewa Seribu Mata. Kakek gempal 
itu memandang tak berkedip. Dadanya dibuncah 
kemarahan tinggi. Dia memang terlambat berge- 
rak karena dia sama sekali tak menyangka, apa 
yang akan terjadi ketika Ratu Dinding Kematian 
mendorong kedua tangannya. Dan sekarang, si 
kakek gemuk menjadi sangat gusar. 

Kedua telapak tangannya diusap satu sama 
lain hingga mengeluarkan asap berwarna hitam 
yang pekat. Aroma wangi seketika menyebar dan 
menerpa indera penciuman masing-masing orang 
yang berada di sana. 

Raja Naga yang sedang berusaha mengatasi 
rasa sakit pada diri Dewi Lembah Air Mata, segera 
melakukan totokan yang seperti dilakukannya 
pada Ratu Tanah Kayangan. Dan seperti yang ter- 
jadi pada perempuan bercadar sutera itu, si ne- 
nek berkonde hijau itu pun jatuh pingsan. 

Kemudian diangkat kepalanya, diperhati- 
kannya bagaimana Dewa Seribu Mata sedang 
mendorong tangan kanan kirinya setelah asap hi- 
tam pekat itu lenyap sama sekali! 

Suara berdentum sangat keras menggebah, 
membuat tempat itu laksana bergetar hebat. Raja 
Naga harus menahan tubuh Dewi Lembah Air Ma- 
ta yang terjingkat naik. Lalu menggerakkan tan- 
gannya pada sosok pingsan Ratu Tanah Kayangan 
yang mencelat ke atas akibat tanah yang bergetar! 

Menyusul didengarnya suara berdebam yang 
luar biasa keras! 

Seketika Raja Naga menoleh. Dilihatnya tu- 
buh gemuk berpakaian hitam itu terbanting di 
atas tanah! Untuk beberapa lamanya Dewa Seribu 
Mata terdiam sambil memegangi dadanya yang 
seperti remuk. Tapi di lain saat dia sudah berdiri. 
Kedua kakinya agak goyah hingga dia limbung ke 
kanan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah se- 
gar. 

"Tiga Penguasa Bumi telah mengetahui ke- 
hebatan apa yang akan didapatkan oleh orang 
yang telah meminum air rendaman dari bunga- 
bunga keramat. Tetapi aku sama sekali tak me- 
nyangka kalau kesaktian yang didapatkan dari 
bunga-bunga keramat itu lebih mengerikan dari 
apa pun juga!" 

Di seberang begitu tanah yang berhamburan 
tadi luruh kembali ke bumi, terlihat Ratu Dinding 
Kematian tetap berdiri tegak tanpa kurang suatu 
apa. Dan tanpa berkata apa-apa, dia sudah mele- 
sat ke arah Dewa Seribu Mata! 

Melihat apa yang akan dialami kakek gemuk 
luar biasa itu, tanpa pikir panjang lagi Raja Naga 
sudah melesat ke depan. Kendati kelihatan nekat 
karena menyongsong bahaya, Raja Naga masih 
dapat mempergunakan otaknya. Seraya melompat 
dikeluarkannya Gumpalan Daun Lontar yang se- 
gera memancarkan sinar hijau. 

Lalu diputarnya dan didorong untung- 
untungan! 

Selarik sinar hijau yang luar biasa terangnya 
menggebah. Ratu Dinding Kematian mendengus 
sejenak tanpa kurang kecepatannya. Bahkan dili- 
patgandakan tenaga dalamnya. 

BummmmmH 

Benturan itu mengakibatkan ledakan yang 
sangat luar biasa dahsyatnya. Tempat itu bergetar 
untuk kesekian kalinya. Sinar-sinar hijau berpen- 
talan ke udara, menerangi tempat itu beberapa 
saat. 

Dan masing-masing orang yang saling ber- 
benturan tadi sama-sama terpelanting ke bela- 
kang. Raja Naga terbanting keras di atas tanah. 
Tulang punggungnya terasa seperti patah. Luka 
pada betisnya bertambah nyeri. 

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian juga 
terbanting di atas tanah. Namun perempuan me- 
sum ini masih dapat berdiri kembali kendati agak 

I goyah. Dan terlihat wajahnya menunjukkan ke- 
kagetan. 

"Gila! Apa yang terjadi? Mengapa aku bisa 
terhantam seperti ini?!" 

Di pihak lain Dewa Seribu Mata sudah ber- 
seru keras, "Anak muda bersisik! Kau dapat me- 
nahan serangannya dengan benda sakti itu!!" 

Begitu mendengar seruan si kakek gemuk, 
dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya Raja 
Naga bangkit dan mempersiapkan diri kembali. 
Seluruh tulang di tubuhnya seperti memar dan 
sakitnya sangat menyengat, terutama pada betis 
kanannya yang terluka. 

Sementara itu, Ratu Dinding Kematian men- 
gerutkan keningnya. Matanya tak berkedip pada 
benda yang memancarkan sinar hijau yang masih 
berada di tangan Raja Naga. 

"Gumpalan Daun Lontar! Gila! Rupanya 
benda itu mampu menahan seranganku! Apa- 
kah... tidak! Itu hanya kebetulan saja! Biar kusi- 
kat dia sekarang!!" 

Dipandanginya pemuda berompi ungu yang 
dalam keadaan goyah itu. Ratu Dinding Kematian 
juga mempersiapkan ilmu 'Kelabang Jinjit'. Saat 
kembali dikeluarkan ilmu itu dia mendengus ke- 
tika teringat pada Bancak Bengek. 

"Terkutuk! Ke mana si Kerempeng itu?! Men- 
gapa dia belum tiba juga di sini?!" 

Di pihak lain Raja Naga sudah tak bisa me- 
nahan goyahan tubuhnya. Diputuskan untuk se- 
gera melancarkan serangannya sekarang. Setelah 
menguatkan diri dan meneguhkan perasaannya, 
murid Dewa Naga itu segera melesat ke depan. 
Gumpalan Daun Lontar didorongnya yang kali ini 
bukan hanya selarik sinar hijau saja yang mele- 
sat. Tetapi sinar hijau berbentuk layar lebar 
menggebah! 

Ratu Dinding Kematian menggeram dan se- 
gera menerjang pula! 

Benturan tak terkira dahsyatnya terjadi 
kembali. Tanah yang bergetar hebat itu membuat 
tubuh pingsan Ratu Tanah Kayangan dan Dewi 
Lembah Air Mata terjingkat ke atas. Sementara 
itu baik Purwa maupun Sibarani sudah semakin 
menggila dengan garukan-garukan pada tubuh 
mereka. 

Raja Naga terpental deras ke belakang. Tu- 
buhnya menghantam sebuah pohon hingga patah. 
Keluhan tertahan terdengar cukup nyaring. Saat 
terbanting lagi ke depan, mulutnya menggembung 
dan.... 

"HuaaaakkkH" 

Pemuda itu muntah darah! 

Di pihak lain, Ratu Dinding Kematian yang 
telah melipatgandakan tenaganya, langsung ber- 
diri begitu terbanting di atas tanah. Walaupun di- 
rasa punggungnya nyeri, tetapi dia segera berdiri 
lagi. Dan menyusul serangan ganasnya datang 
menyerbu Raja Naga! 

Dewa Seribu Mata yang tiba-tiba matanya 
bergerak menjadi banyak, mencoba menahan. Dia 
mampu melakukannya dengan serangan melalui 
kedua matanya yang seakan menjadi banyak. Su- 
ara laksana pasir disiram menggebah. Tetapi saat 
itu pula tubuhnya terbanting di atas tanah kare- 
na dorongan angin yang kuat. Masih beruntung 
kakek gemuk luar biasa itu dapat menghindari 
sentuhan tangan Ratu Dinding Kematian yang te- 
lah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit'! 

Dan sekarang... nasib Raja Naga sudah be- 
rada di ujung tanduk! 

Namun sebelum maut menjemput nyawa 
anak muda dari Lembah Naga itu, tiba-tiba saja 
terdengar suara bergetar yang berdenging-denging 
disusul satu suara, 

"Mengapa harus menurunkan tangan telen- 
gas mengerikan seperti ini, Ratna Wangi?!" 

Blaaammmmm!! 

Serangan ganas Ratu Dinding Kematian pu- 
tus di tengah jalan. Orangnya sendiri sudah 
mundur ke belakang. Begitu tegak di atas tanah, 
kepalanya menegak dengan mata bergerak-gerak 
liar mencari orang yang bersuara sekaligus me- 
nahan serangannya pada pemuda berompi ungu. 

"Suara itu... suara itu...," desisnya sedikit 
panik dalam hati. Tetapi di lain kejap desisannya 
sudah berubah menjadi geraman, "Siapa pun 
yang menghalangi keinginanku, dia harus mam- 
pus di tanganku!" 

Kemudian dilihatnya seorang kakek agak 
bongkok yang mengenakan pakaian dan jubah 
putih panjang telah berdiri di samping kanan Raja 
Naga yang sedang berusaha bangkit. Kakek yang 
seluruh rambut dan bulu yang menghiasi tubuh- 
nya ini berwarna putih, pandangi Ratu Dinding 
Kematian dengan mata teduhnya. Tertangkap ke- 
san kalau mata teduh itu memancarkan sorot ke- 
sedihan sekaligus penyesalan. 

Tetapi Ratu Dinding Kematian tidak mempe- 
dulikannya. Dia justru berteriak lantang, "Guru! 
Jangan ikut campur urusanku! Namun bila Guru 
berkehendak demikian, aku tak segan-segan un- 
tuk turunkan tangan!" 

* * *

SEPULUH 


KAKEK yang pada masing-masing pergelan- 
gan tangannya terdapat sebuah gelang terbuat 
dari baja putih berkata lembut, "Ratna Wangi... 
kembalilah ke jalan yang benar. Kau telah salah 
melangkah, Muridku...." 

Sesaat Ratu Dinding Kematian tak bersuara. 
Matanya yang kejam sedikit mengerjap-ngerjap 
pada kakek di hadapannya. Namun di saat lain 
dia sudah membentak gusar 

"Guru! Jangan ikut campur urusanku!!" 

"Hingga saat ini, aku tak pernah punya nia- 
tan untuk ikut campur dalam urusan orang lain! 
Kalaupun aku ikut campur dalam urusan ini, ka- 
rena kau adalah muridku, Ratna Wangi. Kau se- 
makin dalam terjerumus pada jurang kesesatan. 
Sadarlah. Muridku... kembalilah ke jalan yang 
benar." 

"Guru! Sekali lagi kukatakan, jangan ikut 
campur urusanku!!" geram Ratu Dinding Kema- 
tian, namun kali ini suaranya agak bergetar. 

Kakek bermata dan berwajah teduh yang 
bukan lain Dewa Pengasih adanya menggeleng. 

"Sebelum kulihat kau menginsyafi semua ke- 
salahanmu, aku akan tetap berada di sini, Murid- 
ku...." 

Ratu Dinding Kematian tak menjawab. Da- 
danya dipenuhi gemuruh keras. Namun di kejap 
lain dia sudah melesat ke depan. 

Akan tetapi, sebelum dia bergerak, tiba-tiba 
saja tubuhnya terbanting di atas tanah. Karena 
dirasakan kedua kakinya seperti tersambar satu 
tenaga tak nampak. 

"Maafkan aku, Muridku... terpaksa aku ha- 
rus bertindak sedikit keras padamu...." 

Ratu Dinding Kematian bangkit dengan ka- 
lap. Wajahnya menghitam penuh amarah. 

"Ke mana perginya Bancak Bengek?! Menga- 
pa dia tidak muncul di sini?!" serunya dalam hati. 

Dewa Pengasih berkata lagi, "Berpikir jernih- 
lah, Muridku. Kau sudah berada di ambang ke- 
hancuran dari jalan yang kau pilih. Aku sama se- 
kali tak ingin turunkan tangan. Walaupun demi- 
kian, tak ada jalan lain lagi untuk menghentikan 
sepak terjangmu selain mengatakan kelemahan- 
mu." 

"Orang tua keparat! Jangan berlaku som- 
bong di hadapanku! Kau tak akan mampu meng- 
hadapiku sekarang!" 

"Siapa pun akan sulit menghadapi orang 
yang telah mendapatkan kesaktian dari bunga- 
bunga keramat! Tetapi... kau melupakan satu hal! 
Ada seseorang yang sebenarnya mampu menga- 
lahkanmu! Aku sendiri yakin, kalau orang itu se- 
benarnya tak tahu kalau dia mampu mengalah- 
kanmu!" 

Huh! Tak seorang pun yang akan mampu 
melakukannya!" seru Ratu Dinding Kematian 
dengan kepala tegak. Sorot matanya penuh tan- 
tangan. 

Dewa Pengasih menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya. 

Raja Naga yang telah berdiri kembali dengan 
sekujur tubuh terasa nyeri memandangi si kakek 
dengan keheranan. 

"Sebelum ini, Dewa Pengasih mengatakan 
kepadaku, kalau tak seorang pun yang bisa men- 
galahkan orang yang telah mendapatkan kesak- 
tian dari bunga-bunga keramat. Tetapi sekarang 
dia justru berkata kebalikannya. Ada apa ini? 
Apakah dia sengaja mencoba meluluhkan hati Ra- 
tu Dinding Kematian?" 

Dewa Pengasih berkata lagi, kali ini sambil 
melirik Raja Naga, "Anak muda bersisik... aku ta- 
hu apa yang kau pikirkan. Kalaupun aku tidak 
pernah mengatakan padamu kalau ada seseorang 
yang mampu mengalahkan orang yang telah 
mendapatkan kesaktian dari bunga-bunga kera- 
mat, itu disebabkan karena aku tak ingin orang 
itu membunuh muridku ini. Anak muda... aku 
sangat menyayangi dan mengasihinya kendati dia 
telah murtad. Aku masih berkeinginan dia tetap 
menjadi muridku dan kembali ke jalan yang be- 
nar. Tetapi sekarang... melihat sikap muridku ini, 
aku tak bisa berbuat banyak...." 

Raja Naga segera berseru, "Dewa Pengasih! 
Aku pun tak ingin mencelakakannya! Siapa pun 
orangnya juga tak punya pikiran demikian! Hanya 
saja... siapa pun orangnya pasti akan berusaha 
menghentikan segala sepak terjangnya yang su- 
dah kelewat batas! Apakah tindakan itu salah?" 

Dewa Pengasih menggelengkan kepalanya. 

"Tidak, itu tidak salah sama sekali. Tetapi...," 
kakek bermata teduh ini memutus kata-katanya 
sejenak. Seraya pandangi Ratu Dinding Kematian 
yang juga sedang memandangnya dilanjutkan 
ucapannya, "Ratna Wangi... apakah kau tetap ti- 
dak mau menghentikan segala sepak terjangmu 
ini?" 

"Kau terlalu banyak bicara, Orang tua! Kau 
pun akan kubunuh!!" 

"Ratna Wangi!" membentak Raja Naga den- 
gan suara bergetar. Dari sela-sela bibirnya men- 
galir darah segar. "Kau benar-benar sudah digelu- 
ti iblis! Hatimu sudah berubah liar! Kau tak lagi 
menghormati gurumu!" 

"Siapa pun yang menghalangiku, maka dia 
akan mampus!!" geram Ratu Dinding Kematian 
keras dan bersiap untuk melancarkan serangan- 
nya lagi. 

Sebelum Raja Naga menyahut, Dewa Penga- 
sih sudah berkata, "Anak muda... kuserahkan dia 
padamu. Karena... kaulah yang dapat membu- 
nuhnya. ..." 

* * * 

Raja Naga melengak kaget. Matanya mem- 
buka lebar. 

"Orang tua...," katanya terbata. "Aku tak 
mengerti maksudmu...." 

Dewa Pengasih menghela napas pendek. 

"Kau memiliki tato gambar naga pada pung- 
gungmu. Sebelum kau dipungut sebagai murid 
oleh Dewa Naga, aku telah mendengar tato aneh 
yang kau bawa sejak kau dilahirkan. Kau harus 
dapat memecahkan rahasia tato itu, Anak mu- 
da...." 

Raja Naga hendak menyahut, tetapi urung 
karena Dewa Pengasih sudah berbalik dan me- 
langkah. 

Baru tiga tindak dia melangkah, gemuruh 
angin dahsyat sudah menerjang ke arahnya. Ka- 
kek itu tidak berbalik, malah terus melangkah. 
Justru Raja Naga yang tersentak. Dia segera me- 
lompat ke depan. 

Tetapi begitu teringat akan kata-kata Dewa 
Pengasih, segera dibalikkan tubuhnya. Hingga ki- 
ni dia melompat dengan punggung terlebih dulu. 

Raja Naga sendiri hingga saat ini belum berhasil 
memecahkan rahasia tato gambar naga yang ter- 
dapat pada punggungnya. Bahkan kerap kali dia 
dibingungkan oleh tato itu. Karena tiba-tiba saja 
tato itu memiliki kekuatan dahsyat yang bisa ke- 
luar secara tiba-tiba tanpa dipergunakan-nya. 

Dan bisa juga tidak keluar apa-apa, seperti sejak 
tadi dia berhadapan dengan Ratu Dinding Kema- 
tian. 

Namun kali ini dia bertindak lebih nekat! 

Ratu Dinding Kematian yang telah dibuncah 
amarah tinggi, semakin bernafsu. Tangan kanan 
kirinya yang juga telah dialirkan ilmu 'Kelabang 
Jinjit' siap menepak punggung Raja Naga. Ten- 
tunya bukan hanya akan membuat anak muda 
itu mengalami nasib naas seperti Purwa dan Siba- 
rani. Tetapi selain gatal-gatal yang luar biasa, ten- 
tunya tubuhnya akan hancur karena kesaktian 
bunga-bunga keramat! 

Raja Naga sendiri meringis tatkala merasa- 
kan tubuhnya laksana ditampar oleh gemuruh 
angin yang menderu ke arahnya. Namun tiba-tiba 
saja.... 

ClaasssH 

Seekor naga hijau berbentuk bayangan me- 
lesat dari punggungnya. Ratu Dinding Kematian 
tersentak melihatnya. Namun di saat lain dia tak 
mempedulikan dan semakin bernafsu! 

Blaaaarrrrr!! 

Letupan keras itu terdengar. Raja Naga ter- 
pelanting ke belakang sejenak. Bersamaan den- 
gan itu satu suara terdengar sangat keras. 

" Aaaaakhhhhh!!" 

Tubuh Ratu Dinding Kematian terguling ke 
belakang dengan cepat. Dia baru bisa menghenti- 
kan gulingan tubuhnya setelah menabrak sebuah 
pohon. Setelah dia berdiri, keningnya sedikit ber- 
kerut tatkala melihat seekor naga hijau besar 
berbentuk bayangan melenggak-lenggok di hada- 
pannya. Di seberang, Raja Naga sedang berdiri 
sambil memperhatikan naga hijau itu. 

Telinganya menangkap suara, "Kau dapat 
mengalahkannya sekarang, Anak muda. Dan su- 
dah seharusnya kau berusaha memecahkan ra- 
hasia tato gambar naga pada punggungmu itu...." 

Raja Naga mendesah pendek. Tak lagi dili- 
hatnya sosok Dewa Pengasih di sana. Dan dia ju- 
ga tidak lagi melihat sosok Ratu Tanah Kayangan 
yang pingsan dengan tangan kanan buntung. 

"Tentunya dia dibawa oleh kakek berjubah 
putih itu," kata Raja Naga dalam hati. "Aku tak 
tahu apakah yang dikatakan Dewa Pengasih itu 
benar. Tetapi barangkali inilah kesempatan yang 
ada...." 

Kemudian diliriknya Dewa Seribu Mata yang 
sedang berdiri di hadapan tubuh Purwa yang ma- 
sih menggaruk-garuki tubuhnya. Sekujur tubuh- 
nya kini penuh luka akibat garukan kedua tan- 
gannya. 

"Kakek gemuk itu nampaknya sedang beru- 
saha mengobati Purwa. Mudah-mudahan dia ber- 
hasil melakukannya. Juga terhadap Sibarani...." 

Habis membatin demikian, pemuda bermata 
angker itu mendesis, "Ratna Wangi! Kini habislah 
apa yang kau lakukan! Lebih baik menyerahkan 
diri untuk diadili!" 

"Peduli setan dengan ucapanmu! Akan ku- 
hancurkan naga siluman itu!!" 

Di kejap lain Ratu Dinding Kematian sudah 
menggebrak ganas. Tangan kanan kirinya dido- 
rong ke arah naga hijau berbentuk bayangan yang 
sedang melenggak-lenggok. Tak ada suara yang 
terdengar, tak ada apa-apa yang terasa! 

Tetapi justru Raja Naga yang segera melom- 
pat ke samping kanan, karena dilihatnya sesuatu 
menerobos bayangan naga hijau itu. 

Blaaammmm!! 

Ranggasan semak di belakangnya seketika 
hancur berantakan. Menyusul dilihatnya Ratu 
Dinding Kematian terperangah dan mundur tiga 
tindak. Matanya tak berkedip pada bayangan na- 
ga hijau yang masih melenggak-lenggok. 

"Celaka! Rupanya yang dikatakan Dewa Pen- 
gasih itu benar!" desisnya dalam hati dengan wa- 
jah pias. "Peduli setan! Aku harus melabraknya! 
Harus kulakukan!" 

Lalu dengan bertubi-tubi diiringi teriakan 
mengguntur, Ratu Dinding Kematian menyerang 
bayangan naga hijau itu. Tetapi semua serangan 
yang dilakukannya bagai menerobos asap. Bah- 
kan dia memekik keras tatkala naga hijau itu me- 
luruk ganas. 

Ratu Dinding Kematian masih berhasil melo- 
loskan diri. Tanah di mana dia berpijak tadi 
memburai terhantam moncong bayangan naga hi- 
jau yang kini menyerangnya dengan cepat. 

Berulang kali pekikan Ratu Dinding Kema- 
tian terdengar. Wajahnya kali ini pucat bagai 
mayat. Tak ada lagi tawa mengejek maupun se- 
ringaiannya. Yang terlihat hanyalah kepanikan 
belaka. 

Raja Naga sendiri mendesah pendek melihat 
keadaan itu. Dan dipalingkan kepalanya ke bela- 
kang tatkala dilihatnya mulut bayangan naga hi- 
jau itu melebar dan.... 

CraasssH 

Mencaplok kepala Ratu Dinding Kematian 
yang berteriak setinggi langit. Tubuhnya terbant- 
ing-banting di atas tanah karena naga hijau itu 
membanting-bantingnya. Setelah beberapa lama, 
kepala bayangan naga hijau itu menyentak. 

Sosok Ratu Dinding Kematian terlempar de- 
ras ke belakang! Begitu terbanting di atas tanah, 
kepalanya telah terpisah dari tubuhnya! 

Raja Naga menarik napas pendek melihat 
keadaan yang mengenaskan itu. 

"Tak ada jalan lain.... Membiarkan perem- 
puan itu hidup lebih lama, sama artinya dengan 
membiarkan puluhan nyawa berjatuhan...." 

Lalu dilihatnya bayangan naga hijau yang 
masih melenggak-lenggok itu melesat dan lenyap 
pada punggungnya. Raja Naga mengejut sejenak 
ketika naga hijau itu masuk. 

Setelah beberapa saat ditariknya napas da- 
lam-dalam. Ada kepedihan pada sorot matanya 
yang angker. Kemudian dengan sempoyongan di- 
dekatinya Dewa Seribu Mata yang rupanya belum 
berhasil mengobati Purwa. 

Raja Naga mendesah pelan. 

"Biar kucoba mengobatinya. Orang tua ge- 
muk, tolong kau carikan aku air...." 

Memerintah Dewa Seribu Mata sebenarnya 
enggan dilakukan oleh Raja Naga. Tetapi mau tak 
mau dia harus melakukannya. Setelah Dewa Se- 
ribu Mata mencari air, dikeluarkannya Gumpalan 
Daun Lontar dari balik tubuhnya. Berhati-hati 
diusapinya seluruh tubuh Purwa dengan benda 
yang mengeluarkan cahaya hijau itu. Pada Siba- 
rani pun dilakukan hal yang sama. 

Raja Naga menunggu beberapa saat. Dilihat- 
nya baik Purwa maupun Sibarani sudah tidak lagi 
menggeliat-geliat hebat seperti tadi. Mereka juga 
tidak menggaruk-garuk karena mereka kemudian 
telah jatuh pingsan. Namun luka pada tubuh 
masing-masing orang akibat garukan tadi masih 
kelihatan. 

Raja Naga segera mendekati Dewi Lembah 
Air Mata yang pingsan dengan kaki kiri remuk. 
Diusapkannya pula Gumpalan Daun Lontar itu 
pada kaki kiri Dewi Lembah Air Mata, setelah ter- 
lebih dulu membuka totokannya. 

Dewa Seribu Mata muncul dengan membawa 
air pada sebuah baki yang ditemukannya. Segera 
Raja Naga merendam Gumpalan Daun Lontar 
yang membuat air itu berwarna hijau. Selain 
menjadi sebuah senjata yang tangguh, Gumpalan 
Daun Lontar juga memiliki khasiat dapat me- 
nyembuhkan berbagai macam penyakit 

Dengan menahan napas, Raja Naga memi- 
numkan air rendaman Gumpalan Daun Lontar itu 
pada Purwa. Dia berdiam dulu sejenak untuk me- 
rasakan perubahan pada tubuhnya. Tak terjadi 
apa-apa. Rupanya akibat usapan Gumpalan Daun 
Lontar tadi, gatal-gatal akibat ilmu 'Kelabang Jin- 
jit' yang mengenai Purwa tidak menularinya. Ke- 
mudian air yang sama diminumkannya pada Si- 
barani dan Dewi Lembah Air Mata. Setelah itu dia 
juga meminumnya sendiri. 

Kemudian ditarik napasnya pelan-pelan se- 
belum kembali dimasukkannya Gumpalan Daun 
Lontar itu pada balik pakaiannya. Luka pada be- 
tisnya tidak terasa menyengat lagi. 

Pelan-pelan anak muda ini berdiri. Dipan- 
danginya kakek gemuk luar biasa di hadapannya 
yang juga sedang memandangnya. 

"Orang tua... nampaknya urusan ini telah se- 
lesai. Dan rasanya... aku harus segera mene- 
ruskan perjalananku." 

"Ke mana kau akan meneruskan perjala- 
nanmu, Anak muda?" tanya Dewa Seribu Mata 
kagum. Selama ini dia menduga kalau pemuda 
itulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat, 
hingga pemuda itu harus masuk dalam gelom- 
bang maut yang diturunkannya juga oleh yang 
lainnya. 

Raja Naga memandang ke kejauhan. "Aku 
masih memikirkan tentang Bancak Bengek. Me- 
nurut Ratu Tanah Kayangan yang telah dibawa 
pergi oleh Dewa Pengasih, ilmu 'Kelabang Jinjit' 
telah diturunkan oleh Bancak Bengek pada Ratu 
Dinding Kematian. Bisa jadi kalau tak lama lagi 
Bancak Bengek yang akan menurunkan keona- 
ran...." 

Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk. Di- 
benarkannya apa yang dikatakan pemuda itu. 

Didengarnya lagi pemuda bersisik coklat pa- 
da lengan kanan kirinya berkata, "Sampaikan sa- 
lamku pada Dewa Segala Dewa. Sampai saat ini 
aku belum pernah berjumpa dengannya. Barang- 
kali, suatu ketika aku akan punya kesempatan 
untuk berkenalan dengannya. O ya, sampaikan 
juga salamku pada Puspa Dewi...." 

Dewa Seribu Mata lagi-lagi tak menjawab. 
Dibiarkannya pemuda itu kemudian melangkah 
agak terpincang. 

"Kau benar-benar memiliki ketabahan seo- 
rang ksatria, Anak muda. Beruntung Dewa Naga 
mempunyai murid seperti kau...." 

Setelah pemuda berompi ungu itu lenyap da- 
ri pandangannya, didekatinya Dewi Lembah Air 
Mata yang masih pingsan dengan kaki kiri bun- 
tung. 

"Nasibmu sungguh sial kasihku... Tetapi apa 
pun yang terjadi padamu... aku akan tetap meni- 
kahimu... karena aku sangat mencintaimu...," de- 
sisnya sambil memandangi wajah Dewi Lembah 
Air Mata. 

Lalu diusapnya pipi kempot Dewi Lembah Air 
Mata yang masih pingsan. Kemudian, pelan-pelan 
dikecupnya kening si nenek berkonde hijau itu 
penuh kasih sayang. 

Ditungguinya sampai Dewi Lembah Air Mata, 
Purwa dan Sibarani siuman dari pingsannya 

SELESAI 

Scan/B-Book: Abu Keisel 
Juru edit: Fujidenkikagawa