Raja Naga 17 - Terjebak di Gelombang Maut

SATU 

JLEGAAAARRRR!! 

Ledakan dahsyat yang membedah malam 
itu mengejutkan seorang pemuda yang baru saja 
memejamkan matanya. Kontan pemuda ini berdiri 
dengan mata memperhatikan sekelilingnya. Saat 
itu rembulan sedang terang bersinar, tak ada 
gumpalan awan hitam yang menghalanginya. Di 
sekitar tempat itu pun tak banyak tumbuh pepo- 
honan tinggi hingga sinar rembulan dapat menyo- 
rot jelas siapa si pemuda. 

Pemuda itu mengenakan rompi berwarna 
ungu. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor 
kuda, bergerak-gerak saat kepalanya dipalingkan 
ke kanan kiri. Parasnya tampan dengan... astaga! 
Sorot mata pemuda itu... gila, benar-benar gila! 
Sorot mata si pemuda sangat mengerikan! Angker 
berkilat-kilat dan mampu menciutkan nyali siapa 
saja yang melihatnya. 

Pemuda ini membatin, "Ledakan itu sung- 
guh luar biasa kerasnya! Aku yakin, ledakan itu 
berasal dari satu tempat yang agak jauh dari sini. 
Tetapi... ledakannya membuat tempat ini berge- 
tar...." 

Pelan-pelan pemuda berusia tujuh belas 
tahun ini mengangkat tangan kanannya. Saat itu- 
lah terlihat tangan kanannya sebatas siku dipe- 
nuhi sisik berwarna coklat. Sisik yang sama pun 
terdapat pada tangan kirinya. 

Dari ciri yang melekat pada diri si pemuda, 
dapat ditebak siapa dia adanya. Pemuda itu bu- 
kan lain Boma Paksi atau yang lebih dikenal den- 
gan julukan Raja Naga. 

Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja 
memutuskan untuk beristirahat, melewati malam. 
Dia memang tak punya tujuan tertentu. Yang di- 
lakukannya hanyalah memuaskan jiwa petualan- 
gan yang ada di dadanya. Tetapi ledakan dahsyat 
yang menggetarkan tempatnya, mengejutkannya. 

"Hemmm... dari ilmu 'Rabaan Naga' dapat 
kupastikan kalau ledakan itu berasal dari barat 
laut," katanya sambil menurunkan lagi tangan 
kanannya. Pemuda bersisik coklat ini terdiam be- 
berapa saat sebelum berkelebat ke arah barat 
laut. 

Sambil berlari, pemuda ini menajamkan 
penglihatan dan pendengarannya. Tak ada sesua- 
tu yang berubah kecuali malam yang terus berge- 
rak. Ledakan itu pun tidak terdengar lagi. Raja 
Naga masih mempergunakan ilmu ‘Rabaan Naga’ 
untuk menentukan sumber ledakan itu lebih te- 
pat. 

Mendadak.... JlegaaarrrH 

"Gila!" serunya tertahan sambil menghenti- 
kan larinya. "Ada apa ini? Apakah saat ini bumi 
sedang mengamuk? Tanah ini lagi-lagi bergetar!" 

Raja Naga terus memikirkan kemungkinan 
asal ledakan itu. Diteruskan langkahnya. Setelah 
melewati hampir sepenanakan nasi, dari kejau- 
han dilihatnya tanah berhamburan di udara. 
Asap putih menyelimuti tempat itu. 

Raja Naga memicingkan matanya untuk 
melihat lebih jelas. Tetapi asap putih yang menye- 
limuti udara ditambah hamburan tanah yang be- 
lum luruh, membuatnya tak dapat melihat secara 
jelas. Diputuskan untuk segera mendekati tempat 
itu. Dan entah mengapa dia menjadi sedikit te- 
gang. 

"Asap putih itu masih mengepul di udara, 
tanah juga belum luruh," katanya berjarak dua 
belas langkah dari kepulan asap dan tanah. 
"Aneh! Tak ada tanda-tanda seseorang berada di 
sini! Lantas... apa yang menyebabkan ledakan itu 
terjadi? Apakah... hei! Di sana tanah dan asap 
putih telah mereda. Berarti... kedua ledakan tadi 
memang berasal dari sini...." 

Berhati-hati pemuda pewaris ilmu Dewa 
Naga ini melangkah. Dari sela-sela asap putih 
yang masih menghalangi pandangan, dilihatnya 
sebuah lubang di bawah asap itu. Sebuah lubang 
yang kecil! 

"Astaga! Apakah lubang sebesar lingkaran 
jari telunjuk dan jempol itu yang menyebabkan 
ledakan tadi?" desisnya sambil bergerak ke tem- 
pat yang satunya lagi. Di tempat yang mulai lebih 
jelas terlihat karena tanah sudah luruh kembali 
dan asap putih telah meregang lepas, Raja Naga 
juga melihat lubang yang sama. "Aneh! Di tempat 
ini masing-masing ada dua buah lubang! Berar- 
ti... sukar bagiku untuk mempercayai ini sebe- 
narnya, kalau lubang itulah yang menyebabkan 
ledakan tadi." 

Raja Naga berlutut. Diperiksanya lubang 
itu. Ada sedikit hawa panas yang menerpa tan- 
gannya saat dimasukkan tangannya ke dalam lu- 
bang. 

"Ledakan tadi benar-benar dahsyat! Tetapi 
hanya lubang sebesar ini yang terbentuk! Ra- 
sanya tidak masuk di akal! Karena... heiii!!" 

Pemuda berompi ungu ini memutus kata- 
katanya, karena saat itu dari ekor matanya dili- 
hatnya satu sosok tubuh bergerak sangat cepat. 
Melompati ranggasan semak tanpa mengeluarkan 
suara. 

Segera Raja Naga bergerak untuk menyu- 
sul bayangan tadi yang semakin menjauh. Yang 
sempat dilihat, hanyalah warna kuning yang be- 
rasal dari pakaian yang dikenakan orang yang 
berkelebat tadi. 

Belum lagi Boma Paksi menemukan kejela- 
san dari kejadian aneh yang dialaminya ini, tiba- 
tiba terdengar seruan di belakangnya, "Pemuda 
celaka! Rupanya kau-lah pencuri celaka yang telah 
mencuri bunga-bunga keramat!" 

Serta-merta Raja Naga membalikkan tu- 
buh. Dilihatnya dua sosok tubuh telah berdiri 
berjarak sepuluh langkah dari tempatnya. Mata 
masing-masing orang tegang, bersinar penuh ba- 
haya! 

"Ada apa lagi ini?" desis Raja Naga yang be- 
lum menemukan kejelasan dari apa yang diala- 
minya. "Tadi yang laki-laki mengatakan aku men- 
curi bunga?. Astaga Bunga? Sekuntum bunga?!" 

Orang yang berdiri di sebelah kanan men- 
gertakkan rahangnya. Dia seorang lelaki berusia 
sekitar tiga puluh tahun. Bertubuh tegap dengan 
cambang di pipi kanan kirinya, hingga menam- 
pakkan kejantanannya. Dia mengenakan pakaian 
berwarna biru yang terbuka di dada, hingga 
memperlihatkan dadanya yang bidang. 

Lelaki itu telah membentak, "Pemuda kepa- 
rat! Serahkan Bunga Kecubung Putih dan Bunga 
Anggrek Biru!" 

Raja Naga yang masih belum memahami 
keadaan hanya mengerutkan kening. Dia tak bu- 
ka suara. Matanya memandangi si lelaki. 

Lelaki itu sudah siap untuk keluarkan ben- 
takan lagi, tetapi nampak dia sedikit terkejut se- 
karang. 

"Gila! Tatapan pencuri keparat ini sungguh 
mengerikan! Jantungku seperti diremas-remas!" 
desisnya dalam hati. "Dapat kupastikan kalau 
pemuda bermata angker ini bukan orang semba- 
rangan! Terbukti dia dapat mencabut Bunga Ke- 
cubung Putih dan Bunga Anggrek Biru, yang be- 
rarti berhasil menyingkirkan mantra yang dilaku- 
kan Guru!" 

Perempuan berparas jelita yang berdiri di 
sebelahnya sudah membentak, "Kakang Purwa! 
Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar Ungu telah 
lenyap beberapa hari lalu! Demikian pula dengan 
Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Me- 
rah! Dan sekarang, Bunga Kecubung Putih dan 
Bunga Anggrek Biru juga telah lenyap! Berhari- 
hari kita melacak pencuri terkutuk! Dan sekarang 
dia sudah tertangkap basah! Kita tangkap seka- 
rang juga, Kakang!!" 

Habis bentakannya, perempuan berpa- 
kaian merah dengan baju dalam berwarna hijau 
ini sudah melesat ke depan. Kedua tangannya di- 
rangkapkan menjadi satu, lurus ke depan. Masih 
melesat tiba-tiba saja kedua tangannya itu dite- 
kuk, lalu diputar ke atas dan ke bawah. 

Mendadak... wrrrrr!! 

Gelombang angin dahsyat yang diiringi 
dengan asap merah dan hijau yang menyilaukan 
mata, menggebrak ke arah Raja Naga. 

Sudah tentu Raja Naga tidak mau mati ko- 
nyol. Tetapi dibiarkan saja gelombang serangan 
itu mendekatinya. Berjarak tiga langkah, tiba-tiba 
dia mendeham. 

Blaaammmm!! 

Gelombang angin deras itu putus di tengah 
jalan, terhantam tenaga tak nampak yang keluar 
dari dehemannya. Tetapi asap merah dan hijau 
terus meluruk ke arahnya. 

"Hebat!" desis anak muda ini sambil meng- 
geser tubuhnya ke kanan. Bersamaan dengan itu 
ditepuknya lengan kanannya. 

Wuuuttt! 

Blaamm! Blaaammm!

Asap merah dan hijau yang menerangi 
tempat itu, putus di tengah jalan, muncrat ke 
udara dan laksana air mancur berhamburan ke 
sana kemari. Sebagian ranggasan semak menger- 
ing terkena siraman asap yang muncrat itu, seba- 
gian tanah meletup di sana-sini. 

"Tahan!" seru Raja Naga tatkala melihat si 
perempuan sudah siap menyerang kembali. Juga 
dilihatnya lelaki bercambang itu siap membantu 
si perempuan. 

Kedua orang itu menghentikan gerakan 
mereka. Raja Naga tak mau menyia-nyiakan ke- 
sempatan. Segera dia angkat bicara, "Kita sama- 
sama belum saling kenal! Tetapi kalian telah me- 
nyerangku begitu saja tanpa memberikan satu 
penjelasan! Yang lebih mengherankan lagi, kalian 
menuduhku melakukan satu tindakan yang sama 
sekali tak ku mengerti!" 

"Di mana-mana... tak ada pencuri yang 
mau mengaku sebagai pencuri!" seru si perem- 
puan yang masih penasaran. Sesungguhnya dia 
kaget karena serangannya tadi dapat dipatahkan 
dengan mudah. "Tempat yang layak bagi seorang 
pencuri hanyalah di neraka!!" 

Kembali si perempuan menggebrak, men- 
gulangi serangannya seperti yang pertama. Raja 
Naga pun bertindak cepat mengatasi serangan 
itu. Tetapi sekarang, si lelaki yang dipanggil Pur- 
wa tadi sudah menerjang pula. Serangannya lebih 
mengerikan dari si perempuan. Setiap kali diki- 
baskan tangannya, gelombang angin yang menge- 
luarkan suara berdenging-denging menggebrak 
dengan kecepatan tinggi. 

Raja Naga menahan napas seraya meng- 
hindari serangan itu 

"Ada sesuatu yang aneh di sini..." desisnya 
memaklumi apa yang dilakukan kedua lawannya. 
Kendati demikian dia juga gusar karena tak diberi 
kesempatan untuk menjelaskan keadaan yang 
sebenarnya. 

"Sibarani! Kurung dia dengan ilmu 
'Bentang Gunung Banting Tanah'!" seru Purwa 
sambil terus melancarkan serangan. 

Mendengar seruan itu Raja Naga kembali 
menahan napas. Matanya dijerengkan seraya 
menghindar. Dia memang belum membalas. Tin- 
dakan itu dilakukan agar kedua orang ini menger- 
ti kalau mereka salah paham terhadapnya. 

Dilihatnya bagaimana perempuan jelita 
bernama Sibarani itu tiba-tiba duduk berlutut. 
Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. 
Kepalanya sedikit diangkat dengan mata berkilat- 
kilat penuh amarah. 

Seraya menghindari sergapan ganas Purwa, 
Boma Paksi melihat tubuh Sibarani bergetar he- 
bat. Dia terkejut ketika melihat dari kepala si pe- 
rempuan mengeluarkan asap putih yang sangat 
pekat. 

"Astaga! Ini tidak main-main lagi! Kedua- 
nya tetap menyangkaku sebagai seorang pencuri! 
Tetapi mencuri bunga? Gila! Bunga apa? Mengapa 
bunga-bunga itu membuat keduanya menjadi be- 
ringas liar seperti ini?!" 

Tiba-tiba dilihatnya lelaki berpakaian biru 
yang terbuka di dada itu mundur beberapa tin- 
dak. Sesaat Raja Naga tidak mengerti mengapa le- 
laki itu seperti sengaja menghentikan serangan- 
nya. Tetapi di lain saat, murid Raja Naga ini ter- 
sentak kaget dengan mata membuka lebar. 

Karena mundurnya lelaki itu, bermaksud 
memberi kesempatan pada Sibarani untuk me- 
lancarkan serangannya!! 

Gemuruh liar laksana curahan air hujan 
yang sangat deras, menggebrak ke arah Raja Na- 
ga! Anak muda ini tersentak. Dia buru-buru 
mundur dua tindak seraya mendorong kedua tan- 
gannya. 

WrrrrrH 

Gelombang angin disemburati asap merah 
menggebrak dari dorongan kedua tangannya. 

Blaaaammmm!! 

Bertemunya dua serangan itu membuat 
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan 
semak di sekitar tercabut dan berpentalan. Dua 
buah potion bergetar dan tubuh bergemuruh. Ta- 
nah di mana bertemunya dua serangan itu ber- 
hamburan di udara setinggi dua tombak! 

Yang mengejutkan Raja Naga, jurus ‘Kiba- 
san Naga Mengurung Lautan’ yang dilepaskannya 
tadi seperti tertelan ilmu aneh Sibarani yang ma- 
sih berlutut dengan kedua tangan merangkap di 
depan dada. Bahkan serangan Sibarani terus 
menggebrak ke arahnya dengan kecepatan tinggi! 

"Astaga! Ini memang tidak main-main! Aku 
bisa celaka!!" serunya seraya bergulingan ke 
samping dan langsung berdiri tegak. Saat itu pula 
dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk melan- 
carkan jurus yang sama. Ditambah dengan jeja- 
kan kaki kanan di atas tanah untuk melepaskan 
jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang' yang se- 
ketika tanah berderak, bergelombang dan meng- 
gebah hebat. 

Blaaammm! Blaaaammmm!! 

Kali ini serangan Sibarani putus. Tetapi itu 
bukan berarti bahaya yang dihadapi Raja Naga 
berakhir. Karena Purwa sudah menggebrak den- 
gan jurus yang sama! 

Pontang-panting Raja Naga dibuatnya. 

"Pemuda keparat! Kembalikan bunga- 
bunga yang telah kau curi sebelum nyawamu le- 
pas dari badan!" 

Raja Naga tak sempat menjawab karena se- 
rangan itu benar-benar mengerikan. Dia hanya 
bisa menghindar sekarang dengan kecepatan 
tinggi. 

"Bila begini terus, nyawaku memang bisa 
putus tanpa kuketahui masalah yang sebenar- 
nya!!" serunya dalam hati. 

Dan tiba-tiba saja anak muda ini membuat 
gerakan memutar dengan kepala meliuk dan ke- 
dua kaki berzig-zag. Purwa yang berlutut dengan 
kedua tangan merangkap di depan dada, mengge- 
ram melihat tindakan si pemuda. Dipercepat se- 
rangannya! 

Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga beru- 
saha menghindar, tiba-tiba saja dia melesat ke 
depan dengan berzigzag. Melihat hal itu Purwa 
semakin bernafsu. Dalam bayangannya pemuda 
itu telah menyongsong maut! 

Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga ter- 
jadi. Karena mendadak saja Purwa terbanting di 
atas tanah disertai seruan tertahan "Aaaakhhhh!!" 

Melihat hal itu, Sibarani bertambah murka. 

"Pencuri hina laknat! Kau semakin me- 
nambah beban dosamu saja!!" 

Raja Naga menghindari sambaran asap me- 
rah dan hijau itu, lalu meluruk ke depan dengan 
cara yang sama. 

Dan... des!! 

Sibarani terjengkang pula di atas tanah. 
Mulutnya menyembur darah segar! 

Raja Naga sendiri melompat di udara bebe- 
rapa kali sebelum hinggap di atas tanah. Rupanya 
dia sudah mengeluarkan ilmu 'Hamparan Naga 
Tidur' yang sulit diikuti oleh mata. Bahkan lawan 
tak mampu melihatnya. 

Mata si pemuda yang angker memandang 
kedua orang itu yang sedang berusaha untuk 
berdiri. 

"Aku hanya mengenal kalian bernama 
Purwa dan Sibarani! Tetapi aku tidak tahu men- 
gapa kalian menuduhku telah mencuri bunga- 
bunga yang kalian sebutkan! Apakah tidak se- 
baiknya kalian jelaskan bunga-bunga apa yang 
kalian maksud?!" 

Sambil menahan sakit di dadanya, Purwa 
menggeram. 

"Terkutuk! Kau bukan hanya telah mencuri 
bunga-bunga keramat itu, tetapi kau juga men- 
dustai telah melakukannya!!" 

Kendati gusar karena pertanyaannya tak 
dijawab, Boma Paksi masih dapat menindih kegu- 
sarannya. 

"Biar urusan tidak berlarut-larut, sebaik- 
nya kalian jelaskan semuanya!" 

"Setan alas! Apa yang harus dijelaskan lagi, 
hah?! Sebutkan siapa kau adanya sebelum orang- 
orang rimba persilatan memburumu!!" 

Raja Naga menahan napas. Rasa penasa- 
rannya membuatnya menjadi sangat gusar. Tetapi 
lagi-lagi ditindih kegusarannya. Lalu dengan sua- 
ra dingin dia berkata, "Namaku Boma Paksi... 
orang-orang menjulukiku Raja Naga..." 

Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama 
berpandangan dengan mata membeliak. Di kejap 
lain sama-sama mendengus. 

Sibarani berseru, "Julukan Raja Naga telah 
terdengar ke segenap penjuru sebagai seorang 
pendekar yang membela kebenaran! Tetapi seka- 
rang... ternyata tak ubahnya seorang pesakitan 
belaka! Dan berani-beraninya mencuri bunga- 
bunga keramat yang tentunya bila sudah berjum- 
lah tujuh akan dipakai sebagai penambah kekua- 
tan!!" 

Raja Naga mengerutkan keningnya. 

"Aku semakin tak mengerti apa yang mere- 
ka maksudkan. Tetapi untuk meminta penjelasan 
rasanya... astaga! Aku ingat sekarang! Ya, ya... 
aku mulai bisa memahaminya..." 

Habis membatin demikian dia berkata, 
"Aku mulai mengerti apa yang kalian maksudkan 
sekarang. Apakah kedua lubang sebesar lingka- 
ran jari telunjuk dan jempol itu tempat bunga 
yang kalian maksudkan?!" 

"Terkutuk! Seorang pendekar mulia ternya- 

I ta tak Lebih dari setan hina!" bentak Purwa den- 
gan wajah geram. Kemarahannya semakin menja- 
di, terutama mengingat kalau dia tidak mampu 
menghadapi pemuda di hadapannya yang ternya- 
ta Raja Naga. 

Raja Naga tak mempedulikan bentakan itu. 

Dia berkata lagi, "Tadi Sibarani menyebutkan be- 
berapa bunga yang telah dicuri dan berjumlah 
enam buah! Lantas dikatakan masih ada sebuah 
lagi sehingga berjumlah tujuh! Apakah...." 

"Jangan banyak tanya!!" Sibarani telah 
mendorong tangan kanannya. 

Gelombang angin deras itu dihindari den- 
gan mudah oleh Raja Naga. Tindakan yang dila- 
kukan Sibarani tadi mencelakakannya sendiri. 
Karena terluka dalam, dia memaksakan diri un- 
tuk menyerang. Akibatnya perempuan itu ter- 
sungkur ke depan dengan mulut mengeluarkan 
darah. 

Raja Naga tercekat dan bermaksud meno- 
long. Tetapi bentakan Purwa menghentikan gera- 
kannya. 

"Jangan berlagak suci di hadapan kami! 
Kau telah melakukan tindakan yang tak pernah 
bisa dimaafkan!!" geramnya dan perlahan-lahan 
mengangkat tubuh Sibarani. Sambil memanggul 
tubuh si perempuan, dengan suara bergetar ka- 
rena marah, Purwa berseru, "Ingat Raja Naga... 
semua ini belum berakhir! Dan tak akan kubiar- 
kan kau mencuri Bunga Matahari Jingga!!" 

Dipandanginya pemuda berompi ungu itu 
dengan tatapan berapi-api. Kejap kemudian, den- 
gan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Purwa 
meninggalkan tempat itu dengan membopong Si- 
barani. 

Tinggal Raja Naga yang urung untuk me- 
nahan. Karena bila itu dilakukan, maka kesalah- 
pahaman ini akan semakin terjadi. Kendati demi- 
kian, perasaannya mulai tidak enak. 

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 
kirinya sebatas siku ini menggeleng-gelengkan 
kepalanya seraya menghela napas panjang. 

"Belum kuketahui secara pasti penyebab 
ledakan dahsyat tadi, telah datang tuduhan yang 
membuatku tidak enak. Keduanya benar-benar 
menginginkan nyawaku, terbukti serangan- 
serangan yang mereka lakukan tadi sangat ber- 
bahaya. Ya... hanya seorang yang bisa menje- 
laskan semua ini. Orang berpakaian kuning yang 
sempat kulihat sebelumnya. Ah, bisa jadi kalau 
orang berpakaian kuning itu yang telah mencuri 
Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Bi- 
ru.... 

Anak muda dari Lembah Naga ini terdiam. 
Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang ter- 
jadi dan apa yang akan dilakukannya. 

"Jalan satu-satunya aku memang harus 
menemukan orang berpakaian kuning yang tidak 
kuketahui siapa dia adanya. Bahkan aku tidak 
tahu apakah dia seorang perempuan atau lelaki. 
Tetapi... nampaknya urusan ini tidak bisa ku di- 
amkan saja. Mengingat bunga-bunga yang telah 
dicuri dan dianggap keramat itu dapat menjadi 
sebuah tenaga dahsyat bila telah terkumpul men- 
jadi tujuh. Dan itu... tinggal Bunga Matahari 
Jingga...." 

Setelah terdiam beberapa saat, Raja Naga 
segera meninggalkan tempat yang telah porak po- 
randa itu, menuju ke arah orang berpakaian kun- 
ing yang sempat dilihat sebelumnya. 

* * *

DUA 

DUA hari kemudian setelah peristiwa itu. 

Di ruangan tengah sebuah bangunan yang 
cukup besar, yang terletak di depan sebuah gu- 
nung yang menjulang tinggi, nampak beberapa 
orang telah berkumpul di sana. Di hadapan me- 
reka duduk seorang lelaki tua berpakaian serba 
biru. Paras si kakek yang dipenuhi keriput ini ke- 
lihatan galau. Berulang kali dia menarik dan 
menghela napas seraya mengelus jenggotnya yang 
putih. 

Mata teduhnya menatap satu per satu 
orang-orang yang berada di sana. Di sana juga 
duduk Purwa dan Sibarani yang sudah sembuh 
dari luka dalamnya. 

Saat ini matahari baru muncul di balik bu- 
kit. Sebagian sinarnya menerobos masuk melalui 
jendela yang terbuka pada bangunan itu. 

"Aku mengundang kalian ke sini, karena 
ada peristiwa penting yang harus ku kabarkan," 
kata si kakek dengan suara lembutnya. "Dua pu- 
luh tahun yang lalu, kau Dewa Seribu Mata telah 
menanam Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar 
Ungu! Dan kau Dewi Lembah Air Mata, telah me- 
nanam Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kambo- 
ja Merah! Sementara aku menanam Bunga Kecu- 
bung Putih, Bunga Anggrek Biru, dan Bunga Ma- 
tahari Jingga! Ketujuh bunga keramat yang kita 
tanam di tempat terpisah itu, telah kuberi mantra 
yang rasanya tak mungkin dapat dilewati orang, 
apalagi untuk mencabut bunga-bunga keramat 
yang kita dapatkan di Bukit Genangan Setan! Te- 
tapi sekarang, kejadian demi kejadian telah terja- 
di! Bunga-bunga itu telah dicuri oleh se-seorang 
yang sudah barang tentu memiliki ilmu tinggi 
hingga dapat mengambilnya! Ketika orang itu se- 
dang mencuri Bunga Kecubung Putih dan Bunga 
Anggrek Biru, kedua muridku ini memergo- 
kinya...." 

"Dewa Segala Dewa," panggil lelaki bertu- 
buh gemuk yang duduk di sebelah kanannya. Le- 
laki berusia sekitar enam puluh tahun ini jelas- 
jelas kelebihan lemak di beberapa bagian tubuh- 
nya. Dia mengenakan pakaian hitam yang tak bi- 
sa menutupi lemak di tubuhnya. Orang inilah 
yang berjuluk Dewa Seribu Mata. "Siapakah pen- 
curi laknat yang berilmu tinggi itu?" 

Kakek bermata teduh yang berjuluk Dewa 
Segala Dewa menarik napas pendek. 

"Sesungguhnya, sangat sulit kupercaya. 
Sangat sulit sekali. Tetapi kenyataan telah berbi- 
cara. Kedua muridku ini telah memergoki si pen- 
curi yang bukan lain... Raja Naga...." 

Kepala Dewa Seribu Mata menegak. 

"Raja Naga?!" serunya kaget. 

Dewa Segala Dewa mengangguk lemah. 

"Ya... Raja Naga-lah si pencuri itu...." 

Perempuan tua berpakaian hijau dengan 
kain kebaya lusuh berkata kaget, suaranya cem- 
preng, "Apakah kedua muridmu itu tidak salah 
melihat?!" 

Dewa Segala Dewa menggeleng. 

"Mereka bukan hanya melihat, tetapi juga 
bertarung dengan pemuda murid Dewa Naga itu, 
Dewi Lembah Air Mata...." 

"Terkutuk!" geram si perempuan berkonde 
warna hijau ini. "Tak kusangka... sama sekali tak 
kusangka... Dewa Segala Dewa... memburu Raja 
Naga, itu sama artinya memancing keluar Dewa 
Naga...." 

"Aku pun memikirkan hal itu. Tetapi, kita 
tak bisa berdiam diri. Raja Naga harus ditangkap. 
Dan tentunya... saat ini dia sedang memburu 
Bunga Matahari Jingga yang kutanam di sebuah 
lembah yang sangat jauh dari sini...." 

Dewa Seribu Mata berkata, "Apa yang dika- 
takan Dewi Lembah Air Mata sangat benar, Dewa 
Segala Dewa. Raja Naga murid tunggal Dewa Na- 
ga. Memburunya dapat memancing kemarahan 
Dewa Naga. Kita sama-sama tahu, tokoh sakti itu 
memiliki sifat angin-anginan. Kalau lagi datang si- 
fat baiknya, mungkin dia tidak akan mengambil 
pusing kita memburu muridnya. Tetapi bila dia 
membantah, kita bisa diremuknya!" 

Tak ada yang buka suara. Masing-masing 
orang mengenal Dewa Naga, majikan Lembah Na- 
ga yang memiliki ilmu setinggi dewa. Ketegangan 
meliputi wajah masing-masing orang. 

Purwa berkata, "Guru... maaf bila aku lan- 
cang bicara. Tindakan yang dilakukan Raja Naga 
tak bisa dimaafkan. Aku pikir. Dewa Naga dapat 
mengerti bila kita memburu muridnya...." 

Dewa Segala Dewa tersenyum. 

"Kau belum pernah mengenal Dewa Naga, 
Purwa. Tak ada yang bisa menebak kakek bersisik 
hijau yang memiliki ilmu mengerikan. Aku tak in- 
gin memancing pertikaian dengannya...." 

"Tetapi Guru, tindakan Raja Naga dapat 
mengacaukan rimba persilatan. Bukankah Guru 
sendiri mengatakan, bila Bunga Matahari Jingga 
yang masih tersisa itu berhasil dicurinya, dia 
akan memiliki ilmu tiada banding? Dari tinda- 
kannya jelas-jelas Raja Naga mementingkan di- 
rinya sendiri...." 

"Dewa Segala Dewa... yang dikatakan mu- 
ridmu itu memang benar. Dewa Naga tentunya 
dapat mengerti tindakan yang akan kita laku- 
kan...." 

"Kau benar, Dewi Lembah Air Mata. Tetapi..." 

"Apa yang kau khawatirkan?" 

Dewa Segala Dewa tak buka suara. Di- 
usapnya jenggot putihnya dengan wajah bertam- 
bah galau. Kemudian pelan-pelan dia berucap, 
"Bagaimana bila ternyata bukan Raja Naga yang 
melakukan pencurian itu?" 

"Hei! Apa maksudmu berkata demikian?" 
seru Dewi Lembah Air Mata heran. 

"Terkadang manusia yang telah berada di 
jalan lurus, dapat berbelok arah dan mengubah 
segalanya menjadi buruk. Hal itu tak luput dari 
apa yang ada di diri Raja Naga. Tetapi... bagaima- 
na bila ternyata memang bukan dia yang melaku- 
kannya? Maksudku, dia kebetulan berada di sana 
dan masih berada di sana saat kedua muridku ti- 
ba?" 

Masing-masing orang bungkam. Tak ada 
yang membantah kata-kata Dewa Segala Dewa 
Kendati mulut mereka ingin berbunyi. 

Sibarani memecah kesunyian, "Guru... 
maaf aku juga lancang bicara. Pada kenyataanlah 
kita harus berpijak. Raja Naga jelas-jelas telah 
mencuri bunga-bunga keramat itu dan kami tidak 
menyangsikannya lagi...." 

Dewa Segala Dewa menghela napas pen- 
dek. 

"Ya... memang kita harus berpijak pada 
kenyataan yang ada. Mungkin memang Raja Naga 
yang telah mencuri bunga-bunga keramat itu...." 

"Guru... keadaan itu bukan lagi sesuatu 
yang mungkin. Tetapi sebuah kenyataan...." 

Dewa Segala Dewa mengangguk. 

"Ya... kau benar, Sibarani." 

"Kau harus mengambil keputusan seka- 
rang juga," kata kakek bertubuh gemuk luar bi- 
asa. 

"Ya, aku memang harus mengambil keputusan." 

"Segeralah kau putuskan," kata Dewi Lem- 
bah Air Mata. "Tak kupedulikan lagi apakah kita 
memang harus berhadapan dengan Dewa Naga 
atau tidak. Tindakan Raja Naga harus dihentikan 
sebelum dia menemukan Bunga Matahari Jing- 
ga...." 

"Untuk menemukan Bunga Matahari Jing- 
ga, bukanlah sesuatu yang mudah. Karena bunga 
keramat itu ditanam di antara tanaman bunga 
matahari. Tetapi seperti kita ketahui, Raja Naga 
memiliki ilmu tinggi hingga kemungkinan untuk 
mendapatkan bunga itu bukanlah sesuatu yang 
mustahil. Ya, aku harus mengambil keputusan. 
Kita kesampingkan dulu masalah Dewa Naga 
akan muncul dan ikut campur dalam urusan ini. 
Kalaupun dia tidak mau mengerti, terpaksa kita 
harus menghadapinya." 

"Katakan keputusanmu," kata Dewa Seribu Mata. 

Dewa Segala Dewa tak segera berbicara. Di- 
tarik napasnya dalam-dalam. Dipandanginya 
orang-orang yang berada di sana satu per satu. 
Setelah itu barulah dia berkata, "Yah... kita harus 
memburu Raja Naga sekarang juga. Kau Purwa 
dan Sibarani, pergilah ke arah barat laut. Jangan 
kalian berhenti sebelum menemukan sebuah 
lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Di lem- 
bah itu banyak tumbuh Bunga Matahari Jingga. 
Kalian harus menjaga bunga-bunga itu...." 

"Guru... kami tidak mengetahui yang ma- 
nakah Bunga yang dimaksudkan...," ujar Purwa. 

"Dari dinding bukit sebelah kanan yang 
menghadap ke utara, kalian bergerak ke depan. 
Pada hitungan langkah kedua puluh tiga, kalian 
berhenti. Tepat pada langkah kedua puluh empat, 
Bunga Matahari Jingga berada. Ingat, kalian jan- 
gan mencabutnya. Jangan sama sekali...." 

"Mengapa, Guru?" 

"Kalian hanya menjaganya saja," kata Dewa 
Segala Dewa seperti menyembunyikan sesuatu. 

Purwa tidak banyak bertanya lagi. Setelah 
mengaturkan sembah, bersama Sibarani dia sege- 
ra melaksanakan perintah itu. 

Dewa Segala Dewa berkata, "Dewa Seribu 
Mata... bila kau berkenan... kau kutugaskan un- 
tuk mendatangi Dinding Kematian di perbukitan 
Mamerah!" 

"Hei! Mengapa kau menyuruhku ke tempat 
itu? Apakah kau menyuruhku menjumpai Ratu 
Dinding Kematian?" seru Dewa Seribu Mata den- 
gan kening berkerut. 

"Aku tidak menyuruhmu menjumpainya. 
Tetapi aku menyuruhmu mengamat-ngamatinya 
saja...." 

"Aku tidak memahami maksudmu...." 

"Aku menduga ini berkaitan dengan Ratu 
Dinding Kematian...." 

"Kau terlalu mengada-ngada!" dengus Dewa 
Seribu Mata. Dia ingin meneruskan bantahannya, 
tetapi diurungkan. Lalu dengan gerakan yang 
sangat ringan, berlainan sekali dengan bobot tu- 
buhnya, kakek itu bangkit dan meninggalkan 
tempat itu dengan pinggul bergerak-gerak. 

"Dewa Segala Dewa...," berkata Dewi Lem- 
bah Air Mata. "Selama ini dan sampai hari ini aku 
dan kakek buntal itu tetap menganggap kau se- 
bagai pemimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Aku 
juga tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba men- 
gaitkan urusan ini dengan Ratu Dinding Kema- 
tian?" 

"Aku hanya punya satu dugaan." 

"Baiklah. Seperti sifatmu, kau memang tak 
bisa terbuka sebelum mendapatkan kejelasan. 
Lantas... apa tugasku?" 

Kakek bermata teduh itu menatap si pe- 
rempuan berkonde hijau. 

"Cari Raja Naga dan bawa dia mengha- 
dapku. Sementara aku sendiri, akan bersiap-siap 
bila Dewa Naga muncul..." 

Dewi Lembah Air Mata mengangguk den- 
gan wajah puas. Sambil berdiri dia berkata, "Aku 
sudah tidak sabar untuk mencekik leher pemuda 
celaka itu!" 

Lalu dia berbalik dan melangkah, mening- 
galkan Dewa Segala Dewa yang terdiam di tem- 
patnya. Dinding-dinding bangunan menatapnya 
hampa, sehampa perasaan dalam dirinya. 


Ketika senja menurun, pemuda dari Lem- 
bah Naga menghentikan langkahnya di hadapan 
sebuah sungai yang mengalir deras. Mata angker- 
nya memandangi arus sungai itu. Beberapa helai 
daun kering yang dahannya menjuntai di atas 
sungai, gugur dan terbawa arus yang entah akan 
berakhir di mana. 

"Dua hari aku melacak siapa orang berpa- 
kaian kuning itu, tetapi hingga hari ini belum ku- 
dapatkan jejak yang berarti," desisnya sambil me- 
narik napas. "Persoalan yang datang ini begitu 
menghimpit perasaanku. Dapat kubayangkan se- 
karang kalau aku menjadi seorang tertuduh...." 

Anak muda dari Lembah Naga ini menen- 
dang sebuah kerikil yang ada di hadapannya. 

Wuuuttt! 

Kerikil itu mencelat, melewati sungai yang 
cukup lebar dan bergulingan di seberang entah 
berhenti di mana. 

"Purwa dan Sibarani telah menganggapku 
sebagai pencuri. Bila berita ini menyebar, sudah 
tentu aku laksana telur di ujung tanduk. Ah, se- 
belum masalah ini berlarut-larut... aku harus se- 
gera menyelesaikannya...." 

Lalu diperhatikan sekelilingnya. Tak jauh 
dari tempatnya berdiri nampak sebuah jalan se- 
tapak. Raja Naga memutuskan untuk mengambil 
jalan itu. 

Baru dua langkah dia bergerak, tiba-tiba 
pendengarannya yang tajam menangkap satu ge- 
rakan di belakangnya. Bersamaan dia balikkan 
tubuh, satu sosok tubuh telah berdiri di hada- 
pannya. Tersenyum manis dengan sepasang bola 
mata indah. 

"Maaf... kalau aku mengagetkanmu," kata 
orang yang baru muncul dan ternyata seorang 
gadis. 

Raja Naga memandang tak berkedip pada 
gadis itu. Wajahnya manis dengan tahi lalat pada 
sisi kiri pelipisnya. Rambutnya indah dikuncir 
ekor kuda dan diberi pita berwarna kuning. Di 
punggung si gadis terdapat sebuah pedang berwa- 

I rangka indah dan pada ujung tangkai pedang ter- 
dapat ukiran sebuah kepala burung elang. 

Bukan karena keadaan itu yang membuat 
Raja Naga tak berucap beberapa saat. Tetapi, ka- 
rena dara itu mengenakan pakaian berwarna 
kuning! 

Di pihak lain senyuman di bibir si dara le- 
nyap. Keningnya berkerut karena tak menda- 
patkan sahutan apa-apa dari pemuda di hada- 
pannya. Sesaat matanya membeliak ketika ber- 
benturan dengan mata angker si pemuda. 

"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Aku 
menyapanya baik-baik, dia justru memandangku 
seperti aku ini tidak berpakaian!" 

Raja Naga masih terpaku di tempatnya, te- 
tap tak berkedip memandangi gadis di hadapan- 
nya. 

Si gadis berkata, "Heiii! Apakah kau tidak 
bisa bersuara?" 

Mendengar ucapan si gadis, Raja Naga ter- 
gagap sejenak sebelum tersenyum. 

"Oh! Sudah tentu aku bisa bersuara...." 

"Bagus!" kata si gadis yang kembali terse- 
nyum. Rupanya dia memiliki sifat ceria. "Kupikir 
aku bertemu dengan orang bisu!" 

Raja Naga mencoba tersenyum 

"Setelah peristiwa tidak mengenakan itu 
terjadi, baru sekarang aku berjumpa dengan 
orang berpakaian kuning. Apakah gadis ini orang 
yang sedang kucari? Tetapi sudah tentu aku tak 
bisa menduga seperti itu sebelum mendapat ke- 
pastian," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku 
juga beruntung bertemu dengan seorang gadis 
manis yang tidak bisu...." 

Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan 
lorong indah pada mulutnya. Sepasang dadanya 
yang membusung sedikit bergerak. 

"Ya, ya... kita sama-sama beruntung! Dan 
kupikir, aku akan lebih beruntung bila kau dapat 
menjawab pertanyaanku...." 

"Aku tidak tahu apakah aku memang bisa 
menjawab pertanyaanmu atau tidak. Tetapi se- 
baiknya segera kau perdengarkan sebelum aku 
tiba-tiba menjadi tuli dan bisu?" 

Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu 
tertawa kecil. 

"Kau ternyata pandai melucu juga," ka- 
tanya dan menyambung dalam hati, "Wajahmu 
tampan kendati memiliki mata yang angker." 

Masih tersenyum dilanjutkan kata- 
katanya, "Sudah hampir tujuh hari ini aku men- 
cari sebuah tempat yang bernama Daerah Tak 
Bertuan." 

Mendengar kata-kata itu, kepala Raja Naga 
sedikit menegak. 

"Daerah Tak Bertuan? Baru kali ini kuden- 
gar nama tempat itu. Apakah... astaga! Aku ingat 
sekarang! Sibarani dan Purwa mengatakan, masih 
ada sebuah bunga keramat lagi yang bernama 
Bunga Matahari Jingga. Jangan-jangan, gadis ini 
mencari Daerah Tak Bertuan karena di sanalah 
Bunga Matahari Jingga berada," kata Raja Naga 
dalam hati. 

"Hei! Kenapa kau tidak menjawab? Kau 
sudah mendadak tuli dan bisu, ya?" tegur si gadis 
sambil tertawa. 

Raja Naga tersenyum tipis. 

"Mengapa kau mencari tempat itu?" 

"O ya? Karena... aku sedang mencari seseo- 
rang yang berjuluk Dewa Segala Dewa. Apakah 
kau mengenal orang itu?" 

Raja Naga mengerutkan kening. "Dugaanku 
salah. Tetapi dia bisa saja mengelabuiku," ka- 
tanya dalam hati. 

Dan berkata, "Aku baru mendengar julu- 
kan itu." 

"Ah, sayang sekali." 

"Kejadian yang kualami sebelumnya masih 
membingungkanku. Pertemuanku dengan gadis 
ini juga membingungkanku. Gadis ini mencari 
Daerah Tak Bertuan untuk bertemu dengan orang 
berjuluk Dewa Segala Dewa. Ah, apakah sebenar- 
nya dia memang orang yang sedang kucari? Teta- 
pi, nampaknya dia tidak membawa sesuatu atau 
menyembunyikan sesuatu kalau memang dialah 
orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat 
itu. Tetapi, bukankah dia bisa menyembunyikan- 
nya di satu tempat?" tanya Raja Naga pada di- 
rinya sendiri dalam hati. 

Sambil memandang si gadis anak muda 
dari Lembah Naga Itu berkata, "Tempat bernama 
Daerah Tak Bertuan dan Dewa Segala Dewa baru 
kali ini kudengar. Bila kau tak keberatan, sudilah 
kiranya kau menceritakan padaku mengapa kau 
mencari Dewa Segala Dewa." 

"Maaf, aku tak bisa menceritakannya. Te- 
tapi kau boleh mengetahui, kalau guruku yang 
memerintahkanku melakukan semua ini...." 

"Kau juga keberatan mengatakan siapa gu- 
rumu?" 

"Kalau mengatakan siapa namaku, aku ti- 
dak keberatan sama sekali. Namaku Puspa Dewi. 
Dan tentunya...," si gadis menyeringai lucu, "Kau 
juga punya nama, bukan?" 


Terpaksa Raja Naga menelan keinginta- 
huannya itu. Sambil mengangguk dia berkata, 
"Namaku Boma Paksi...." 

"Nama yang bagus! Baiklah Boma... bukan 
maksudku untuk menjauhimu. Tetapi aku belum 
menyelesaikan tugasku ini. Bukankah lebih baik 
kita berpisah di sini?" 

Raja Naga yang masih berusaha mencari 
kejelasan tentang siapa gadis ini adanya segera 
berkata, "Aku sama sekali tak berkeberatan kau 
meninggalkan aku di sini. Dan aku juga sama se- 
kali tak berkeberatan bila kau berkenan kutemani 
untuk mencari Dewa Segala Dewa." 

Raja Naga terpaksa melakukan tindakan 
itu. Karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa 
mengetahui siapa gadis ini. Dengan berada di de- 
katnya, berarti dapat diketahuinya apa yang akan 
dilakukannya. 

Di luar dugaannya, si gadis segera men- 
ganggukkan kepala. 

"Sangat menyenangkan! Selama tujuh hari 
aku melangkah sendiri dan rasanya sangat lebih 
baik bila ada teman berbicara...." 

Raja Naga mengangguk. 

"Terima kasih atas kesediaanmu. Melang- 
kah bersama gadis cantik juga merupakan kese- 
nangan tersendiri..." 

Puspa Dewi cuma tertawa dan segera me- 
langkah yang diikuti oleh Raja Naga. 

* * *

TIGA 

HAMPARAN malam kembali merambat. 
Udara dingin menyengat hingga ke tulang sum- 
sum bagian dalam. Namun satu sosok tubuh ber- 
pakaian kuning itu tak menghiraukan segalanya. 
Dia tetap berdiri di hadapan sebuah bukit, di ma- 
na perbukitan yang lain berada di sekitarnya 
mengelilingi lembah sunyi di mana dia berdiri se- 
karang. Saat ini gumpalan awan hitam berayun- 
ayun di mata langit, tak bergerak sama sekali 
hingga sinar rembulan tak mampu menembu- 
sinya. 

Bayangan Kuning itu mendengus, "Tak ku- 
sangka kalau di tempat ini juga ditumbuhi ba- 
nyak bunga matahari. Keparat! Sulit bagiku un- 
tuk menemukan bunga yang kucari..." 

Untuk beberapa lama Bayangan Kuning ini 
terdiam di tempatnya. Matanya memicing mem- 
perhatikan hamparan bunga-bunga matahari di 
hadapannya. 

"Huh! Apakah sebenarnya aku salah tem- 
pat?" desisnya setengah meragu. "Tetapi tidak! 
Lembah yang dikelilingi perbukitan ini adalah 
tanda di mana bunga yang kuinginkan berada! 
Hanya saja... bunga-bunga matahari banyak 
tumbuh di sini! Keparat busuk! Ketimbang buang 
waktu, biar kusingkirkan saja seluruh bunga ma- 
tahari ini!" desisnya dan lambat-lambat tangan 
kanannya terangkat. Seketika membersit cahaya 
hitam menggumpal pada tangannya yang men- 
gepal. Tetapi di saat lain sudah diturunkannya 
tangannya itu. "Setan alas! Bila kuhancurkan 
bunga-bunga itu tak mustahil bunga yang kuke- 
hendaki pun akan terbawa. Dan ini semakin sulit 
bagiku untuk menemukan bunga yang kucari!" 

Si Bayangan Kuning menggeram beberapa 
kali pertanda dia sangat gusar. Tak pernah terpi- 
kirkan olehnya kalau dia akan menghadapi ha- 
langan seperti ini. 

"Enam bunga keramat lainnya telah kuda- 
patkan dan dapat kupetik dengan mudah. Tetapi 
Bunga Matahari Jingga... keparat busuk! Benar- 
benar di luar dugaanku!!" 

Si Bayangan Kuning memaki-maki sendiri, 
jengkel pada kenyataan yang ada di hadapannya. 
Tiba-tiba saja dihentikan makiannya tatkala pen- 
dengarannya menangkap dua kelebatan dari se- 
belah kanan. 

Dengan gerakan ringan, si Bayangan Kun- 
ing melompat ke balik sebuah batu besar yang 
berada di sana. Dari balik batu itu, dilihatnya dua 
orang yang berlari semakin mendekat. 

"Kakang Purwa! Kita telah tiba di tempat di 
mana Bunga Matahari Jingga berada!" berseru sa- 
lah seorang setelah menghentikan larinya. 

"Ya! Seperti yang dikatakan Guru... di tem- 
pat ini banyak ditumbuhi bunga matahari," sahu- 
tan itu terdengar. "Sibarani... apa yang akan kita 
lakukan sekarang?" 

"Guru menyuruh kita untuk menjaga Bun- 
ga Matahari Jingga dari tangan si pencuri yang 
kita ketahui Raja Naga! Sebaiknya, apa pun yang 
terjadi kita memang harus tetap berada di sini!" 

Di balik batu besar si Bayangan Kuning 
mengerutkan keningnya 

"Raja Naga yang telah mencuri? Astaga! 
Mencuri bunga-bunga keramat? Hahaha... ini ba- 
ru berita yang menyenangkan! Aku bisa menebak 
siapa kedua orang itu sekarang. Dewa Seribu Ma- 
ta dan Dewi Lembah Air Mata tak pernah terden- 
gar memiliki murid. Hanya Dewa Segala Dewa 
yang terdengar memiliki murid. Dan tiga orang 
berjuluk Tiga Penguasa Bumi itulah yang telah 
memiliki bunga-bunga keramat dan menanamnya 
di tempat-tempat tertentu agar tak mudah dite- 
mukan orang. Aku tahu siapa kedua orang ini, 
mereka tentunya adalah murid-murid Dewa Sega- 
la Dewa...." 

Terdengar lagi suara yang perempuan, "Ka- 
kang Purwa! Apakah menurutmu Raja Naga akan 
muncul di sini?" 

Purwa mendengus geram. Dipandanginya 
Sibarani yang juga berwajah geram. 

"Aku sangat berharap pencuri busuk itu 
akan muncul di sini! Aku telah bulatkan tekad 
untuk mengadu jiwa dengannya!" 

Di balik batu besar itu, si Bayangan Kun- 
ing membatin senang, "Kerjaku memang bagus, 
hingga tak seorang pun yang mengetahui kalau 
akulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat 
ini! Aha, aku tahu! Aku tahu! Tentunya pemuda 
berompi ungu yang sempat kulihat mendatangi 
tempat setelah Bunga Kecubung Putih dan Bunga 
Anggrek Biru kucabut, yang dimaksud dengan 
Raja Naga! Ini sesuatu yang sama sekali tak ku- 
sangka dan rasanya... aku dapat memuslihati ke- 
dua orang itu. Tapi... biarlah mereka tenggelam 
dalam amarah pada Raja Naga...." 

Si Bayangan Kuning terus mendekam di 
balik batu besar itu dengan tajamkan pendenga- 
rannya. 

Purwa berkata lagi, "Dari dinding bukit se- 
belah kanan yang menghadap ke utara ini, kita 
harus melangkah ke depan dan pada hitungan 
langkah kedua puluh tiga kita harus berhenti, ka- 
rena pada langkah kedua puluh empat itulah 
Bunga Matahari Jingga berada...." 

"Lantas, apakah kita hanya mengamat- 
ngamati saja dari sini, atau kita langsung menuju 
ke Bunga Matahari Jingga?" 

"Sibarani... bila kita berada di dekat Bunga 
Matahari Jingga, sudah pasti Raja Naga tak akan 
mau bertindak gegabah bila dia telah muncul di 
sini. Sebaiknya kita bersembunyi saja untuk 
mengamat-ngamati kedatangannya. Kita akan 
mempergokinya lagi dan sekarang... akan ku kor- 
bankan nyawaku untuk menangkap pemuda ce- 
laka itu!" 

Sibarani memandang kakak seperguruan- 
nya yang berwajah tampan. Dalam keremangan 
malam, Purwa merasa kalau Sibarani sedang me- 
natapnya. Tanpa sadar dia balas menatap. Mas- 
ing-masing orang menajamkan penglihatan untuk 
melihat satu sama lain. 

Sibarani berkata tersendat, "Kakang Pur- 
wa... apa yang kita alami beberapa hari lalu itu 
sebenarnya sangat memalukan. Pencuri busuk itu 
telah kita pergoki tetapi kita tak mampu menang- 
kapnya...." 

"Kau benar, Sibarani. Beruntung Guru 
memaklumi apa yang terjadi. Tetapi yang meng- 
herankanku, mengapa Guru kelihatan masih ti- 
dak mempercayai kalau Raja Naga yang telah me- 
lakukan pencurian itu?" 

Perempuan berpakaian merah dengan baju 
dalam berwarna hijau di sampingnya tak segera 
angkat bicara. Sesungguhnya Sibarani juga me- 
mikirkan akan hal itu. 

Keheningan merambat pelan. Malam terus 
menuju titik puncaknya. Sinar rembulan masih 
tetap tak mampu menerobos gumpalan awan hi- 
tam yang menggelayut di hadapannya. 

Lambat-lambat Sibarani buka mulut, 
"Mungkin... Guru masih terpengaruh oleh nama 
besar Dewa Naga...." 

"Apa yang dipikirkan Guru memang kita ti- 
dak tahu sama sekali. Tetapi menurutku, Dewa 
Naga tentunya memaklumi apa yang akan dilaku- 
kan orang-orang rimba persilatan terhadap mu- 
ridnya yang telah mencoreng arang di rimba per- 
silatan ini? Seperti yang Guru katakan, kita me- 
mang tak mengenal siapa dan bagaimana sifat 
Raja Naga, akan tetapi itu bukan berarti Raja Na- 
ga akan selalu membela muridnya bila berada di 
jalan yang salah...." 

Sibarani dapat memaklumi kegusaran hati 
Purwa. Sedikit banyaknya dia juga gusar akan ke- 
jadian ini. Kemudian katanya, "Sudahlah, Ka- 
kang, kita tak perlu lagi memikirkan soal itu. 
Yang pasti sekarang, kita akan tetap menunggu 
Raja Naga datang ke tempat ini...." 

Sibarani melangkah ke muka beberapa tin- 
dak. Lalu... hup! 

Dia melompat dan hinggap dalam kedudu- 
kan bersila di sebuah batu besar. Berada di tem- 
pat yang lebih tinggi, angin lebih keras mener- 
panya. 

Purwa sendiri masih mencoba menemukan 
apa yang dipikirkan gurunya. Setelah mencoba 
dan tak mampu menemukan, akhirnya lelaki ber- 
pakaian biru terbuka di dada itu melompat ke be- 
lakang dan... hup! Hinggap di atas batu di sebelah 
batu yang diduduki Sibarani. 

Tanpa sepengetahuan keduanya si Bayan- 
gan Kuning yang masih mendekam di balik batu 
besar itu, membatin dengan kening berkerut, "Se- 
cara tidak sengaja aku mendapat keterangan yang 
lebih baik. Keterangan yang benar-benar mengun- 
tungkan. Raja Naga kini sebagai tersangka pelaku 
pencurian dan pernah bentrok dengan murid- 
murid Dewa Segala Dewa. Dari mulut masing- 
masing orang, nampaknya mereka telah melapor- 
kan semua ini pada Dewa Segala Dewa. Ini sangat 
menguntungkan! Dan yang lebih membuatku be- 
runtung, karena kini kuketahui yang mana bunga 
yang kuinginkan dari sejumlah bunga matahari 
yang berserakan itu...." 

Si Bayangan Kuning mengikik puas dalam 
hati. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan 
Bunga Matahari Jingga, bunga terakhir dari tujuh 
bunga keramat yang dicurinya. Tetapi saat ini 
murid-murid Dewa Segala Dewa menjaganya. Si 
Bayangan Kuning memaklumi kalau kedua murid 
Dewa Segala Dewa tak bisa dipandang sebelah 
mata kendati dia yakin dapat mengalahkan mere- 
ka. 

Tetapi itu artinya akan banyak tenaga dan 
waktu yang terbuang. 

Tiba-tiba senyuman cerah terpampang di 
bibirnya. Dalam keremangan malam, matanya 
berkilat-kilat karena satu rencana yang menda- 
dak muncul di kepalanya. 

"Sangat bodoh bila aku tidak melakukan- 
nya, karena tak ada alasan yang menyebabkan 
aku harus tidak melakukannya," desisnya. "Mere- 
ka tidak tahu kalau akulah si pencuri itu....?" 

Berpikir demikian, dengan gerakan yang 
tak menimbulkan suara si Bayangan Kuning ber- 
kelebat ke belakang, lalu memutar dengan cepat. 
Dalam waktu singkat dia sudah berada di jalan 
setapak menuju ke lembah itu. Dengan cara se- 
perti ini si Bayangan Kuning berharap kedua 
orang itu tidak tahu kalau sebelumnya dia berada 
di sana dan mencuri dengar percakapan mereka. 

Sengaja ditampilkan sosoknya agar kedua 
orang yang menjaga di sana melihat kehadiran- 
nya. Dan seperti yang diharapkan, kedua orang 
itu memang melihatnya dan melompat turun dari 
batu besar yang diduduki masing-masing. 

Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama 
memicingkan mata. Karena saat ini malam sangat 
pekat, mereka tak bisa melihat secara jelas paras 
orang yang telah berhenti berjarak delapan lang- 
kah dari hadapan mereka. Yang dapat mereka 
pastikan, kalau orang itu bukanlah Raja Naga. 
Karena pakaian kuning yang dikenakan orang itu 
cukup kentara. 

Si Bayangan Kuning tak buka suara. Di- 
perhatikannya kedua orang itu dengan seksama. 
Keheningan itu dipecahkan olehnya sendiri, "Maaf 
kalau kemunculanku di hadapan kalian cukup 
mengejutkan...." 

Purwa membatin, "Suaranya menunjukkan 
dia seorang perempuan. Sayang aku tak bisa me- 
lihat wajahnya." 

Sibarani sudah angkat bicara, "Orang da- 
lam gelap... kemunculanmu di sini cukup menge- 
jutkan sebenarnya. Tetapi kami memakluminya. 
Apakah ada sesuatu yang penting?" 

Si Bayangan Kuning mengangguk dan bu- 
ru-buru berkata, "Ya... menurutku ini sangat 
penting dan kuharap, kalian dapat membantuku 
untuk memecahkan persoalan yang kuhadapi...." 

"Kami belum mengetahui apa persoalan 
yang sedang kau hadapi. Tetapi, bila kami dapat 
membantu, sudah tentu kami akan melakukan- 
nya...." 

Si Bayangan Kuning menarik napas dan 
menghembuskannya. Sengaja keras-keras agar 
kedua orang di hadapannya mendengar. Paling ti- 
dak, dia telah membuat helaan napasnya bernada 
gelisah. 

"Saat ini aku sedang mencari Raja Naga...." 

Kata-kata yang tak disangka itu membuat 
Purwa dan Sibarani terdiam dengan mata makin 
memicing. Kening mereka berkerut. Purwa yang 
sesungguhnya tidak begitu senang karena ke- 
munculan orang ini di saat dia sedang menjalan- 
kan perintah yang menurutnya cukup menegang- 
kan, angkat bicara, "Mengapa kau mencari pemu- 
da itu?" 

Sambutan seperti itulah yang dikehendaki 
si Bayangan Kuning. Dengan suara sesekali di- 
buat geram dan masygul dia berkata, "Raja Naga 
telah membunuh adik seperguruanku!" 

"Keparat!" amarah di dada Purwa seketika 
menggelora. Kebenciannya pada Raja Naga sema- 
kin menjadi-jadi mendengar kata-kata orang. 
"Orang dalam gelap, kami dapat merasakan ke- 
marahanmu, karena kami juga sedang murka pa- 
da pemuda celaka itu!" 

Sibarani masih lebih dapat menguasai di- 
rinya. "Bila kau tak keberatan, dapatkah kau 
menceritakan mengapa pemuda yang juga kami 
cari itu membunuh adik seperguruanmu?" 

Si Bayangan Kuning yang telah menyusun 
rencana busuknya, sudah tentu dengan segera 
dapat menciptakan cerita bohongnya. Dengan su- 
ara dibuat geram dia berkata, "Sepuluh hari yang 
lalu, secara tak sengaja adikku berjumpa dengan 
Raja Naga. Pemuda yang julukannya amat keso- 
hor itu sudah tentu dikenal oleh adik seperguru- 
anku kendati tidak pernah melihat sosoknya. Da- 
lam perjumpaan itu, Raja Naga merayu adikku. 
Sayangnya... adikku yang belum banyak makan 
asam garam di rimba persilatan ini, terlena oleh 
rayuannya. Dan... akh... aku tak bisa mencerita- 
kan kelanjutannya kecuali satu, kalau adikku 
kemudian dibunuhnya." 

"Terkutuk!!" geram Purwa seraya menger- 
takkan rahangnya. 

Si Bayangan Kuning semakin menggila 
dengan rencana busuknya. "Dan aku tak pernah 
membiarkan pemuda hidung belang itu banyak 
menelan korbannya. Di balik tindakannya yang 
selalu membela kebenaran, dia tak lebih dari ma- 
nusia busuk!" 

Purwa menggeram. 

"Perlu kau ketahui, kami juga sedang men- 
cari pemuda keparat itu!" 

"Keberatankah kau menceritakannya pa- 
daku?" 

Kebencian yang ada di dada Purwa menye- 
babkan pemuda itu menceritakan segala-galanya. 
Sibarani sendiri sebenarnya tak menyetujui tin- 
dakan kakak seperguruannya, karena secara ti- 
dak langsung, dia telah mengungkapkan apa yang 
sedang mereka lakukan saat ini. 

"Aku pernah mendengar tentang bunga- 
bunga keramat itu," kata si Bayangan Kuning. 
"Huh! Raja Naga ternyata bukan hanya telah me- 
malingkan kepala orang-orang darinya, tetapi ju- 
ga telah menorehkan peristiwa buruk rimba persi- 
latan! Kawan... kita punya keinginan yang sama 
untuk membunuh Raja Naga. Bagaimana bila kita 
saling bantu?" 

"Sudan tentu usulmu itu kami sambut 
dengan gembira!" sahut Purwa. 

Sibarani buka mulut, "Kawan berpakaian 
kuning! Sejak tadi kita banyak bicara, tetapi kau 
belum memperkenalkan diri...." 

Si Bayangan Kuning tak segera menjawab. 
Dia berkata dalam hati, "Hemm... kejelasan sudah 
kudapatkan. Tinggal mencari kesempatan untuk 
mendapatkan Bunga Matahari Jingga. Tetapi un- 
tuk saat ini biarlah kutahan keinginan itu. Biar 
kurasuki kebencian masing-masing orang pada 
Raja Naga,..." 

Kemudian katanya, "Kalian boleh menge- 
nalku sebagai Nimas Herning!" Lalu sambungnya 
dalam hati, "Nama yang bagus. Ya, Nimas Herning 
nama yang bagus dan mudah-mudahan mereka 
tidak curiga kalau itu hanyalah nama palsu." 

"Nimas Herning...." Purwa berkata lagi. 
"Saat ini kami sedang menunggu kedatangan Raja 
Naga! Kami yakin kalau dia akan datang ke sini 
untuk mendapatkan Bunga Matahari Jingga, 
bunga keramat ketujuh! Seperti yang telah kita 
sepakati sebaiknya kau tetap berada di sini!" 

Purwa memutuskan demikian mengingat 
dia dan Sibarani pernah dipecundangi oleh Raja 
Naga. Dengan kehadiran Nimas Herning yang ten- 
tunya memiliki ilmu tak bisa dipandang sebelah 
mata, itu berarti menambah kekuatan mereka. 

Lain yang dipikirkan Purwa, lain pula yang 
dipikirkan Sibarani. Perempuan berpakaian me- 
rah dengan baju dalam warna hijau itu sesung- 
guhnya menyesali apa yang dilakukan kakak se- 
perguruannya. Karena tugas yang mereka emban 
sekarang ini adalah tugas sangat rahasia. Tak 
seorang pun boleh mengetahuinya kecuali Dewa 
Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi Lem- 
bah Air Mata. Tetapi apa hendak dikata, Purwa 
telah membeberkan semuanya. 

Di pihak lain, Si Bayangan Kuning yang 
sebenarnya bukan bernama asli Nimas Herning, 
semakin mendapat kesempatan dengan kata-kata 
Purwa. Dia akan menunggu kesempatan untuk 
mendapatkan Bunga Matahari Jingga yang dica- 
rinya. 

Menyerang keduanya saat ini, itu berarti 
hanya akan membuang banyak tenaga. Terutama 
setelah mengetahui kalau Raja Naga dapat dijadi- 
kan kambing hitam. Ketimbang membuang tena- 
ga, lebih baik merasuki hati keduanya dengan ke- 
bencian pada Raja Naga. Juga, akan ditunggunya 
kesempatan baik. 

Si Bayangan Kuning memutuskan, paling 
lambat besok senja dia sudah harus menda- 
patkan Bunga Matahari Jingga. 

Lalu katanya, "Terima kasih atas kesediaan 
dan penjelasan kalian hingga aku tak perlu ber- 
susah payah melacak di mana Raja Naga berada!" 

Purwa melenting ke belakang dan hinggap 
di atas batu yang tadi didudukinya. 

"Kita tunggu kedatangan pemuda itu...." 

Si Bayangan Kuning sudah melompat ke 
batu besar di dekatnya. Sibarani sendiri, walau- 
pun menyesali apa yang dikatakan Purwa, mau 
tak mau hanya menuruti saja. Perasaannya saat 
ini mengatakan, sesuatu yang tidak enak akan 
terjadi. 

* * *

EMPAT 

PADA saat yang bersamaan, Raja Naga 
menghentikan larinya di sebuah tempat yang se- 
pi. Di sekelilingnya ditumbuhi oleh ranggasan be- 
lukar dan pepohonan tinggi. Matanya yang angker 
tak berkedip pada sebatang pohon, di mana tadi 
Puspa Dewi berada sebelum ditinggalkannya 
mencari makanan. 

Dengan kening berkerut Raja Naga mende- 
kati pohon itu. 

"Hemmm... ke mana dia pergi?" desisnya. 
Tiga ekor kelinci yang diburunya jatuh di atas ta- 
nah. Mats angkernya memandang sekeliling. "Ru- 
panya dia telah meninggalkanku. Bodoh! Bodoh 
sekali aku ini!!" 

Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah 
Naga ini terdiam, menyesali apa yang telah terja- 
di. 

"Bisa jadi kalau Puspa Dewi mengetahui 
kalau sesungguhnya aku mencurigainya. Dengan 
kepergiannya ini, semakin menguatkan dugaan- 
ku, kalau dialah si Bayangan Kuning yang kulihat 
melarikan diri dan dialah si pencuri bunga-bunga 
keramat sesungguhnya. Brengsek! Aku tertipu 
mentah-mentah!" 

Anak muda ini memaki-maki tak karuan, 
menyesali kelalaiannya sendiri. Diingatnya ba- 
gaimana sebelumnya Puspa Dewi nampak begitu 
kelelahan hingga memutuskan untuk beristirahat 
dulu sebelum melanjutkan langkah menuju ke 
Daerah Tak Bertuan. 

Karena tak mau memancing kecurigaan si 
gadis berpakaian kuning, Raja Naga menyetujui 
usulnya. Bahkan disetujuinya untuk mencari 
makanan. 

"Brengsek! Aku telah ditipunya! Huh! Pasti 
saat ini dia sedang mencari Bunga Matahari Jing- 
ga! Sayang, aku tidak tahu di mana bunga kera- 
mat yang belum dicuri itu,..." 

Kekesalan Raja Naga kian menjadi-jadi. Te- 
tapi kemudian ditindih kekesalannya itu mengin- 
gat kalau itu memang kelalaiannya sendiri. 

"Dia pasti belum jauh, karena aku belum 
terlalu lama meninggalkannya. Tetapi, ke mana 
arah yang harus kutempuh?" 

Raja Naga menimbang-nimbang sesaat se- 
belum diangkat tangan kanannya yang dipenuhi 
sisik sebatas siku. Dipergunakannya ilmu 
'Rabaan Naga' yang dapat melacak jejak apa pun 
yang diinginkannya. Namun dia terkejut ketika 
tak mendapatkan jejak apa-apa! 

"Astaga! Apa yang telah terjadi?" desisnya 
kaget seraya menurunkan tangan kanannya lagi. 
"Ilmu 'Rabaan Naga' seperti tak berguna. Celaka! 
Dia memang tahu kalau aku mencurigainya, dan 
ini semakin menambah keyakinanku kalau dialah 
si pencuri bunga-bunga keramat. Gadis itu ten- 
tunya telah mempergunakan ilmunya, entah ilmu 
apa, hanya yang pasti dapat menangkap ilmu 
'Rabaan Naga' yang kupergunakan...." 

Raja Naga benar-benar di ambang kemara- 
hannya mengingat semua itu. 

"Huh! Saat ini namaku sudah coreng mo- 
reng karena tuduhan itu. Aku harus segera mem- 
bersihkan namaku sebelum..." 

"Ternyata ada manusia di sini! Bagus! Aku 
bisa bertanya sesuatu padamu!" suara cempreng 
itu memutus kata-kata Raja Naga. Belum lagi ha- 
bis terdengar suara cempreng itu, satu sosok tu- 
buh telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari 
tempatnya. 

Raja Naga memicingkan matanya untuk 
melihat siapa yang datang. 

"Hemmm... seorang perempuan tua berke- 
baya lusuh dengan baju berwarna hijau. Ram- 
butnya hitam, tetapi... kondenya berwarna hijau!" 
katanya dalam hati. 

Perempuan tua yang baru muncul itu me- 
micingkan matanya sebelum berkata, "Anak mu- 
da! Kau berada di tempat sesunyi ini, apakah se- 
dang menunggu seseorang atau kau memang 
hendak menjadikan tempat ini sebagai tempat pe- 
lepas lelah?" 

Raja Naga tak segera menjawab. Kembali 
diperhatikannya sosok si perempuan yang ternya- 
ta Dewi Lembah Air Mata adanya. 

Setelah itu barulah dia berkata, "Aku sebe- 
narnya bersama seseorang. Tetapi sayang, orang 
itu sudah pergi.... " 

"Satu pergi satu datang! Ya, aku yang da- 
tang ke hadapanmu sekarang! Anak muda... aku 
tidak mengenal siapa kau adanya! Dan kau ten- 
tunya... hei!! Gila! Mengapa matamu bersorot 
angker mengerikan seperti itu?! Apakah kau tidak 
suka dengan kehadiranku di sini?!" 

Raja Naga mendengus pelan. 

"Tak perlu kau hiraukan tentang mataku ini..." 

"Ya! Memang tak perlu kuhiraukan!" sahut 
Dewi Lembah Air Mata sambil mengingat-ngingat 
sesuatu. 

Raja Naga yang merasa harus segera men- 
cari Puspa Dewi segera berkata, "Nek... aku tak 
punya banyak waktu. Aku harus segera menemu- 
kan temanku itu." 

"Mendengar nada bicaramu yang agak geli- 
sah, aku dapat menebak siapa temanmu itu! Kau 
masih muda, dan tentunya temanmu adalah seo- 
rang gadis belia! Atau boleh dikatakan, tentunya 
dia adalah kekasihmu!" 

Raja Naga tidak menyahut. 

Dewi Lembah Air Mata berkata lagi, "Kau 
tentunya orang rimba persilatan dari pakaian 
yang kau kenakan! Dan tentunya tak asing bagi 
seorang rimba persilatan pernah mendengar satu 
julukan yang menggemparkan rimba persilatan!" 

"Aku tak paham maksud kata-katamu...." 

"Apakah kau pernah mendengar julukan 
Raja Naga?" seru Dewi Lembah Air Mata. 

Raja Naga sesaat meragu sebelum berkata, 
"Ya... kenapa dengan dia?" 

"Aku juga pernah mendengar julukan yang 
menggemparkan rimba persilatan karena sepak 
terjangnya yang menggegerkan! Tetapi sayangnya, 
aku belum pernah berjumpa dengan pemuda ber- 
juluk Raja Naga hingga aku kesulitan untuk me- 
nemukannya!" 

Perasaan Raja Naga mulai dibaluri sesuatu 
yang tidak enak. Dia menjadi gelisah sendiri. 

"Harap jangan bicara berbelit-belit! Sebaik- 
nya kaujelaskan saja apa maumu...." 

"Orang yang hidup di rimba persilatan sela- 
lu mau bertindak cepat, tak mengherankan me- 
mang. Anak muda... saat ini aku sedang mencari 
Raja Naga!" 

Raja Naga menjerengkan matanya. "Kenapa 
kau mencari Raja Naga?" 

"Pemuda yang bersembunyi di balik tinda- 
kannya yang menggegerkan, ternyata seorang 
pencundang yang pengecut! Dia telah menanam- 
kan bibit permusuhan di rimba persilatan ini dan 
mencoreng namanya yang sudah melambung!" 

"Aku memang mendengar julukan orang 
yang kau maksud, tetapi aku makin tidak men- 
gerti tentang apa yang kau katakan," kata Raja 
Naga. Kendati mulutnya berbunyi demikian, na- 
mun hatinya menduga sesuatu yang tidak enak. 

Dewi Lembah Air Mata menyahut, "Raja 
Naga telah mencuri bunga-bunga keramat! Kau 
masih sedemikian muda, tentunya kau belum 
mendengar tentang bunga-bunga keramat! Aku 
tak punya waktu untuk menjelaskan tentang 
bunga-bunga itu! Dan yang kuminta sekarang, 
apakah kau tahu di mana Raja Naga berada?" 

Murid Dewa Naga itu diam-diam menarik 
napas masygul. 

"Firasat tidak enakku ini membawa kenya- 
taan. Tentunya berita buruk itu telah menyebar. 
Aku terpaksa harus berbohong sekarang agar 
urusan tidak semakin kapiran," katanya dalam 
hati. Lalu dengan menindih gemuruh di dadanya, 
pemuda berompi ungu itu berkata, "Nek... kalau 
kau tanyakan aku pernah mendengar julukan itu 
atau tidak, kujawab pernah. Tetapi aku tidak ta- 
hu di mana orang yang kau maksudkan bera- 
da...." 

"Sayang sekali, sayang sekali. Padahal aku 
berharap kau dapat memberikan kejelasan pada- 
ku." 

"Apa yang hendak kau lakukan bila kau 
berjumpa dengannya?" tanya Raja Naga berhati- 
hati. 

"Kecuali menangkap dan membawanya ke 
hadapan Dewa Segala Dewa, tak ada keinginan 
yang lain di hatiku! Dia, harus mempertanggung- 
jawabkan tindakan busuknya! Bahkan kalau da- 
pat, dia harus dihadapkan pada gurunya sendiri 
hingga tak terjadi kesalahpahaman!" 

Raja Naga menahan napas sejenak. "Dewa 
Segala Dewa?" katanya dalam hati. "Bukankah 
orang itu yang hendak dijumpai Puspa Dewi?" 

Kemudian dia berkata, "Nek... apakah De- 
wa Segala Dewa orang yang berdiam di Daerah 
Tak Bertuan?" 

"Ya! Dialah majikan Daerah Tak Bertuan! 
Dan tak mengherankan kalau kau mengeta- 
huinya!" 

"Kau tadi mengatakan bunga-bunga kera- 
mat, apa yang kau maksudkan dengan bunga- 
bunga keramat itu?" tanya Raja Naga setelah ter- 
diam beberapa jenak. 

"Huh! Tadi sudah kukatakan, aku tak 
punya banyak waktu untuk menjelaskannya! Te- 
tapi kau boleh tahu sedikit saja! Bunga-bunga ke- 
ramat berjumlah tujuh buah! Bila dijadikan satu 
dan direndam di dalam air, maka air yang dimi- 
num oleh seseorang akan menjadikan orang itu 
kebal terhadap senjata apa pun. Dan memiliki 
kekuatan seorang raksasa!" 

"Astaga! Sungguh menakjubkan! Dan 
sungguh mengerikan bila orang yang meminum 
air itu melakukannya untuk tindakan kejaha- 
tan...." desis anak muda dari Lembah Naga itu da- 
lam hati. "Aku harus menemukan Puspa Dewi. 
Gadis itu tentunya si pencuri yang se- 
sungguhnya. Tetapi... mengapa dia mencari Dewa 
Segala Dewa dan Daerah Tak Bertuan? Apakah 
Bunga Matahari Jingga sesungguhnya berada di 
Daerah Tak Bertuan?" 

Raja Naga tak mencoba untuk menemukan 
pertanyaannya sendiri. Kemudian berhati-hati 
anak muda itu berkata, "Nek... sebaiknya kita 
berpisah di sini. Karena aku harus menemukan 
temanku itu...." 

"Baik! Bila kau berjumpa dengan Raja Na- 
ga, katakan padanya, Dewi Lembah Air Mata da- 
tang untuk menangkapnya!" 

Raja Naga hanya mengangguk. Di kejap 
lain dia sudah melangkah untuk meninggalkan 
tempat itu. Perasaan tidak enaknya semakin, 
menjadi-jadi. 

"Ah, beruntung dia mempercayai ucapan- 
ku. Kalau tidak, urusan bisa jadi panjang! Aku 
akan banyak kehilangan waktu untuk mengejar 
Puspa Dewi, sementara menjelaskan keadaan 
yang sebenarnya pun percuma saja. Tentunya dia 
telah berjumpa dengan Purwa dan Sibarani yang 
menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi. 
Ah, apakah Purwa dan Sibarani menganggap ka- 
lau ini hanya kesalahpahaman saja?" 

Sambil terus melangkah, anak muda be- 
rompi ungu ini terus membatin. Tetapi apa yang 
dipikirkannya hanya sesaat membawa sedikit ke- 
tenangan. Karena tiba-tiba saja satu suara cem- 
preng yang sangat nyaring membentak keras, 
"Pemuda celaka! Kau mencoba mengelabui Dewi 
Lembah Air Mata rupanya! Untung aku ingat, ka- 
lau Raja Naga memiliki sorot mata angker!" 

Bersamaan bentakan itu terdengar, meng- 
gebrak satu gelombang angin yang menyeret ta- 
nah ke arah si pemuda! 

*** 

"HeeiiiiH" teriak Raja Naga tertahan dan ke- 
jap itu pula dia membuang tubuh ke samping ka- 
nan. Blaaarrrr!! 

Ranggasan belukar di hadapannya terpa- 
pas rata ujungnya. Dan tak jauh dari sana, suara 
letupan disusul dengan gemuruh tumbangnya se- 
buah pohon terdengar keras. 

"Menurut cerita orang, Raja Naga memiliki 
sorot mata angker! Dan mengenakan pakaian be- 
rompi ungu! Dasar aku yang bodoh tidak tahu ge- 
lagat! Pemuda keparat, kau hampir berhasil me- 
muslihatiku, padahal kaulah Raja Naga sebenar- 
nya!!" 

Dewi Lembah Air Mata melesat diiringi te- 
riakan mengguntur. Kemarahannya tiba-tiba 
mencuat dan harus dituntaskan. 

Raja Naga sendiri merasa tak akan ada gu- 
nanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenar- 
nya. Cepat didorong kedua tangannya ke depan. 

WuuttttH 

Blaaam! Blaaammm!! 

Suara letupan dua kali berturut-turut ter- 
dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu 
berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi 
tanah itu luruh kembali, satu bayangan hijau te- 
lah melesat, menerobos ke depan dengan tangan 
kanan kiri digerakkan. 

Tap! Tap! 

Raja Naga mundur dua tindak. Lalu.... 
Buk! Buk! 

Dihadangnya jotosan si nenek dengan tan- 
gan kanan kirinya. Kedua tangannya sebatas siku 
yang dipenuhi sisik coklat, memiliki kekuatan ter- 
sendiri yang mampu mematahkan sebuah godam. 
Tetapi benturan yang terjadi itu tak membawa 
akibat apa-apa pada Dewi Lembah Air Mata. 

Bahkan tiba-tiba saja si nenek berkonde 
hijau ini mencelat ke atas. Lalu meluruk ke ba- 
wah diiringi suara dengingan yang memekakkan 
telinga. 

Cepat, Raja Naga palangkan kedua tan- 
gannya di depan dada. Didahului satu dehaman 
keras, disentak kedua tangannya ke atas. 

Dehaman yang mengandung tenaga tak 
nampak itu tak mampu menahan lurukan tubuh 
Dewi Lembah Air Mata. Tetapi ketika gelombang 
angin disemburati asap merah yang keluar dari 
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' mengge- 
brak, membuat si nenek mengubah gerakannya. 

Dia melenting ke samping dan hinggap di 
atas tanah dengan ringannya. 

Suara geramnya terdengar, "Tak menghe- 
rankan kalau julukan Raja Naga telah membedah 
langit, karena memang memiliki ilmu yang tak bi- 
sa dipandang sebelah mata! Malam ini aku masih 
memberimu kesempatan hidup, bila kau mau 
menyerahkan bunga-bunga keramat yang telah 
kau curi!" 

Di tempatnya Raja Naga menjadi agak geli- 
sah. 

"Apa yang harus kujelaskan kalau tuduhan 
itu telah melekat padaku? Tentunya bukan hanya 
dia yang sedang mencariku, tetapi orang berjuluk 
Dewa Segala Dewa juga sedang mencariku. Bisa 
pula masih ada orang-orang yang lain...." 

"Tak banyak waktu yang kau punyai, Pe- 
muda keparat!!" bentak Dewi Lembah Air Mata ge- 
ram. 

Raja Naga menghela napas pendek. 

"Kau tak mengerti apa yang telah terjadi 
dan tak seorang pun yang bisa mengerti...." 

"Ya! Siapa pun orangnya tak akan mau 
mengerti apa pun yang dikatakan pencuri busuk! 
Serahkan bunga-bunga keramat itu padaku!!" 

Raja Naga tak menjawab. Bergeming pun 
tidak. Matanya yang angker semakin bertambah 
angker. Dilihatnya bagaimana perlahan-lahan 
Dewi Lembah Air Mata rangkapkan kedua tan- 
gannya di depan dada. Kalau sejak tadi dia me- 
mandang ke depan, kali ini kepalanya agak di- 
tundukkan hingga tubuhnya membungkuk sedi- 
kit. Jelas kalau si nenek telah siap melancarkan 
satu serangan. 

Kendati Raja Naga dapat memahami apa 
yang akan dilakukan Dewi Lembah Air Mata, te- 
tapi dia tercekat tatkala tiba-tiba mendengar pe- 
rempuan tua itu terisak. 

"Astaga! Apa yang terjadi? Mengapa dia te- 
risak?" 

Untuk beberapa saat pemuda berkuncir 
kuda ini merasa heran dengan apa yang diden- 
garnya. Namun di kejap lain, dia tersentak. Kare- 
na isakan yang pelan itu telah menggedor kedua 
telinganya hingga berdenging-denging! 

* * *

LIMA 

CELAKA! Apa yang terjadi? Ada apa ini?" 
serunya seraya alirkan tenaga dalamnya pada in- 
dera pendengarannya. Tetapi isakan pelan yang 
menerobos dahsyat ke kedua telinganya, semakin 
keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja, 
tubuh Raja Naga bergetar hebat. 

Menyusul suara letupan berulang kali ter- 
dengar. Tanah berhamburan ke udara yang sege- 
ra membuat tempat itu laksana diselimuti kabut 
tebal. 

"Aku harus berbuat sesuatu bila tidak in- 
gin celaka!" seru anak muda itu sambil tutup ke- 
dua telinganya dengan tangan kanan kirinya. Kini 
disadari kalau isakan yang dilakukan si nenek 
ternyata merupakan satu serangan mengerikan. 

Tiba-tiba dia berteriak setinggi langit se- 
raya mendehem berkali-kali. 

Letupan demi letupan keras terdengar. Te- 
naga tak nampak yang keluar dari dehemannya 
berbenturan dengan tenaga aneh yang keluar dari 
isakan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi isakan yang 
berdenging-denging keras itu semakin kuat me- 
nerpa kedua telinganya 

Telinga adalah salah satu alat keseimban- 
gan tubuh selain dagu dan kedua bahu. Akibat 
dari terobosan suara isakan yang berdenging- 
denging itu, Raja Naga terhuyung ke belakang. 
Sakit tak terkira membuat aliran darahnya ber- 
tambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti 
dihantam gada besar berulang-ulang. Napasnya 
mulai terasa sesak. 

"Celaka... aku bisa celaka!" serunya beru- 
lang-ulang sambil terus mengerahkan tenaga da- 
lamnya. 

Dari sela-sela bibirnya telah mengalir da- 
rah segar. Keseimbangannya semakin terganggu, 
sementara di seberang, Dewi Lembah Air Mata te- 
tap bersikap seperti sebelumnya. Isakannya tetap 
terdengar hanya pelan saja. 

Mendadak anak muda dari Lembah Naga 
itu melepaskan tangan kanan kirinya dari kedua 
telinganya. Lalu diputar ke atas dan didorong ke 
depan dengan wajah tegang. 

WuussssH 

Gelombang angin disemburati asap merah 
menggebrak deras dan.... Blaaammm! 

Laksana terhantam tenaga tak nampak, se- 
rangan yang dilakukan Raja Naga guna memu- 
tuskan ilmu aneh si nenek putus di tengah jalan. 
Raja Naga tidak putus nyali. Dia harus mele- 
paskan diri dari isakan mengerikan itu. 

Dengan mencoba mengembalikan keseim- 
bangannya, dijejakkan kaki kanannya. Disusul 
dengan kaki kirinya. Tanah di hadapannya seke- 
tika berderak, terangkat naik dan menyusur den- 
gan suara bergemuruh ke arah Dewi Lembah Air 
Mata yang masih menunduk. 

Masih tetap terisak, Dewi Lembah Air Mata 
tiba-tiba menepukkan kedua tangannya di tanah. 
Akibatnya.... 

JlegaaarrrrU 

Letupan yang membuat tempat itu seperti 
bergetar terjadi. Tanah semakin berhamburan ke 
udara. Namun kali ini Raja Naga merasakan te- 
kanan menyakitkan pada kedua telinganya sedikit 
berkurang. Ini terjadi karena Dewi Lembah Air 
Mata terpaksa menurunkan tangannya yang di- 
rangkapkan di depan dada tadi. 

Kesempatan itu dipergunakan Raja Naga 
untuk melesat ke depan. Jalan satu-satunya un- 
tuk menghentikan serangan aneh itu dengan ja- 
lan menghentikan sumbernya. Tetapi.... 

" Aaaakkhhhh!!" 

Anak muda itu menjerit keras bersamaan 
tubuhnya terpelanting ke belakang, karena Dewi 
Lembah Air Mata telah merangkapkan kembali 
kedua tangannya di depan dada disertai isakan- 
nya yang tetap pelan namun terus terdengar. 

Disusul dengan tubuhnya yang berguling- 
guling berulang-ulang. 

"Kau terlalu keras kepala, Pemuda terku- 
tuk! Tak mau menyerahkan kembali bunga-bunga 
keramat yang telah kau curi, itu artinya akan 
menambah penderitaan yang kau alami!" seru 
Dewi Lembah Air Mata tetap terisak dan sejauh 
ini tak ada air mata yang mengalir. 

Raja Naga merasa punggungnya remuk se- 
telah menghantam sebuah pohon. Sempoyongan 
pemuda tampan ini mencoba berdiri. Tulang- 
tulang pada kakinya seperti telah terlolosi. 

"Aku yakin, dalam dua gebrakan berikut- 
nya... aku tak akan mampu menghadapi serangan 
aneh si nenek...," desisnya dengan wajah tegang. 
Darah yang merembes melalui sela-sela bibirnya 
makin banyak. Diusap dengan punggung tangan- 
nya yang terasa nyeri saat dilakukan. 

Tenaga dalamnya masih dikerahkan untuk 
menghindari terobosan isakan berdenging- 
denging yang dahsyat itu. 

"Aku harus mencoba lagi...," desisnya da- 
lam hati. Masih sedikit sempoyongan, anak muda 
bersisik coklat ini memasukkan tangannya ke ba- 
lik rompi yang dikenakannya. Tersentuh olehnya 
sebuah benda yang seperti menempel pada kulit 
perutnya tetapi tidak menimbulkan tonjolan. Se- 
gera diambil keluar benda yang memancarkan si- 
nar hijau. Anehnya, benda yang tadi seperti lem- 
pengan, begitu dipegangnya berubah bentuk. 
Menjadi sebuah gumpalan berwarna hijau! 

Itulah benda sakti warisan dari mendiang 
ayahnya, Gumpalan Daun Lontar. 

Di seberang Dewi Lembah Air Mata sempat 
melihat benda di tangan Raja Naga. 

"Kabar telah sampai di telingaku, kalau 
mendiang Pendekar Lontar memiliki sebuah ben- 
da berwujud gumpalan daun lontar. Rupanya 
benda itu diwarisi oleh Raja Naga. Huh! Ingin ku- 
lihat kebenaran cerita... apakah memang benda 
itu sesuatu yang pantas diperebutkan!" 

Memutuskan demikian, Dewi Lembah Air 
Mata bertambah terisak. Ilmu anehnya ini me- 
mang sukar dibendung. Isakan yang pelan itu te- 
tapi akan melesat tajam mendenging-denging 
dahsyat pada telinga orang-orang yang ditujunya. 

Raja Naga sendiri terbanting lagi. Gumpa- 
lan Daun Lontar itu masih erat dipegangnya. Lalu 
tiba-tiba saja Gumpalan Daun Lontar itu dipecah 
menjadi dua dengan gerakan yang sangat ringan. 
Di kejap lain, kedua telinganya sudah ditutupi 
Gumpalan Daun Lontar yang terbagi dua. 

Begitu Gumpalan Daun Lontar yang terbagi 
dua menutupi kedua telinganya, Raja Naga tak 
lagi mendengar suara dahsyat berdenging-denging 
yang hampir memutus nyawanya. Dan anak mu- 
da ini melakukan satu siasat yang baik. Kendati 
tak lagi dirasakan kedahsyatan suara yang mene- 
robos telinganya, tetapi dia sengaja membuat tu- 
buhnya terbanting dan terhuyung. Hal ini dilaku- 
kan untuk mengelabui Dewi Lembah Air Mata. 

Karena Raja Naga berpikir tak akan mung- 
kin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pa- 
da Dewi Lembah Air Mata. Bila dihadapinya si 
nenek, itu artinya semakin menambah keyakinan 
si nenek kalau dia memang bersalah. 

Di seberang Dewi Lembah Air Mata men- 
dengus penuh kebencian. 

"Gumpalan Daun Lontar bukan sesuatu 
yang hebat!" dengusnya. "Terbukti ilmu 'Air Mata 
Purnama' ini tetap membuatnya seperti orang bo- 
doh! Akan kusiksa dia lebih dulu sampai aku 
puas, sebelum kuserahkan pada Dewa Segala 
Dewa!" 

Dewi Lembah Air Mata semakin kuat men- 
gerahkan ilmu anehnya itu. Berkali-kali dia men- 
dengus puas melihat pemuda berompi ungu yang 
kedua telinganya tertutup Gumpalan Daun Lontar 
terhuyung, terbanting dan muntah darah. 

Yang tak disadarinya, kalau jarak dirinya 
dengan anak muda itu semakin lama cukup jauh. 
Kalau sebelumnya Raja Naga hanya terbanting 
sekitar jarak delapan langkah, sekarang anak 
muda itu makin terhuyung dan menjauh. 

Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata tersentak 
seraya berseru, "Kurang ajar! Kau...." 

Seruannya itu terputus karena Raja Naga 
sudah melompat ke balik ranggasan semak dan 
berlari. Dia berseru keras, "Dewi Lembah Air Ma- 
ta! Kelak kau akan tahu kebenaran dari apa yang 
terjadi!" 

Dewi Lembah Air Mata menggeram sengit 
seraya menghentikan ilmu 'Air Mata Purnama'. 
Parasnya mengeras dengan rahang berkali-kali 
dikertakkan. 

"Terkutuk! Terkutuk! Mengapa aku baru 
menyadari itu?" geramnya sengit. "Ilmu 'Air Mata 
Purnama' menyerang telinga dan jantung. Kedua 
indera itu bila terendam hebat, maka akan men- 
gakibatkan pendarahan. Dan tadi... terkutuk! Se- 
jak dia menutup kedua telinganya dengan Gum- 
palan Daun Lontar itu, tak lagi kulihat kalau dia 
muntah darah atau mengeluarkan darah dari se- 
la-sela mulutnya..." 

Kemarahan Dewi Lembah Air Mata sema- 
kin tinggi mengingat kalau dia berhasil dimusliha- 
ti oleh pemuda dari Lembah Naga itu. Di lain saat 
terdengar geramannya setinggi langit. Disusul so- 
soknya melesat ke arah perginya Raja Naga. 

"Tak akan pernah kulepaskan kau, Pemuda 
celaka!!" 

*** 

Menjelang pagi, Raja Naga menghentikan 
langkahnya di jalan setapak. Diperhatikannya se- 
keliling tempat itu, barangkali saja perempuan 
tua berkonde warna hijau itu menyusulnya. Sete- 
lah ditunggu beberapa saat tak juga ada tanda- 
tanda kemunculannya, Raja Naga menarik napas 
pendek. Gumpalan Daun Lontar yang tadi dibagi 
dua sudah disatukan kembali ketika berlari tadi. 

Dia baru saja merendam Gumpalan Daun Lontar 
itu di dalam air yang kemudian air itu diminum- 
nya. Luka dalam yang dideritanya akibat hanta- 
man ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata berangsur- 
angsur lenyap hingga kini Raja Naga merasa telah 
pulih kembali. Gumpalan Daun Lontar itu sendiri 
telah dimasukkan ke balik rompinya yang seketi- 
ka menyatu kembali dengan kulit perutnya. 

"Urusan ini semakin melebar sementara 
aku semakin kehilangan jejak Puspa Dewi. Huh! 
Dasar aku yang lalai! Tak seharusnya aku menu- 
ruti keinginannya untuk beristirahat!" geramnya 
sengit. "Tak ada sama sekali jejak yang berarti, 
yang dapat membawaku kepadanya!" 

Raja Naga terus berpikir keras. Kehadiran 
Dewi Lembah Air Mata sesungguhnya memang ti- 
dak disengaja. Dan itu terjadi karena permintaan 
Puspa Dewi yang beristirahat di sana. Bila saja 
tak dipenuhinya permintaan itu, mungkin saat ini 
Puspa Dewi tak akan terlepas dari perhatiannya, 
juga tak perlu melibat urusan dengan Dewi Lem- 
bah Air Mata. 

"Tak ada yang perlu disesali," desahnya 
kemudian seraya menghela napas pendek. Mata 
angkernya memandang ke depan. "Yang perlu ku- 
atasi saat ini, secepatnya meluruskan tuduhan 
yang kualami. Juga menemukan Puspa Dewi...." 

Memutuskan demikian, pemuda yang len- 
gan kanan kirinya sebatas siku bersisik coklat ini 
kembali meneruskan langkahnya. Sambil me- 
langkah setengah berlari, mata angkernya me- 
mandang ke sana-kemari penuh perhatian. 

Perasaannya masih dibuncah kejengkelan 
yang terus ditindihnya sampai dia tak lagi mera- 
sakan kejengkelan itu, kecuali bertekad untuk 
menemukan Puspa Dewi yang dipikirnya pelaku 
dari semua pencurian bunga-bunga keramat. Ka- 
lau dia sudah berhasil menangkap si pencuri 
yang sesungguhnya, maka dengan mudah dapat 
dibersihkan namanya dari segala tuduhan yang 
menyerang. 

Setelah melewati sebuah hutan dan tiba 
pada jalan berdebu, Raja Naga terpaksa menyem- 
bunyikan diri, ketika melihat sejumlah orang yang 
melangkah gagah. Empat orang lainnya sedang 
menggotong sebuah tandu bagus. 

Rombongan itu lewat di hadapannya tanpa 
ada yang keluarkan kata-kata. Hanya derap lang- 
kah mereka saja yang terdengar teratur. Raja Na- 
ga tak sempat melihat apa atau siapa yang berada 
di dalam tandu indah berwarna biru yang dipe- 
nuhi untaian benang dan bunga keemasan, kare- 
na tandu itu rapat dan tak tembus pandang. 

Setelah rombongan itu berlalu, barulah Ra- 
ja Naga keluar dari persembunyiannya. Dipan- 
danginya orang-orang itu yang semakin menjauh. 

"Siapa lagi mereka?" desisnya sambil mem- 
perhatikan sekelilingnya sejenak. "Baru kali ini 
aku berjumpa dengan rombongan itu.... Ah, aku 
menangkap sesuatu yang tidak enak dari kehadi- 
ran orang-orang yang membopong tandu itu. Sia- 
pa pula orang yang berada di dalam tandu itu? 
Ah, apakah memang orang atau sesuatu yang be- 
rada di sana?" 

Raja Naga tak mau meneruskan lagi jalan 
pikirannya, karena dia harus menemukan Puspa 
Dewi. Anak muda ini tetap berkeyakinan kalau 
Puspa Dewi adalah orang yang bertanggung jawab 
atas urusan ini. 

Dan tanpa sepengetahuannya, orang yang 
berada di dalam tandu yang kini melewati hutan 
yang tadi dilewati Raja Naga, membatin, "Kulihat 
ada tarikan dan helaan napas ketika kulewati ja- 
lan berdebu tadi. Jelas kalau ada seseorang yang 
mengintai. Kalau memang dia orang yang kucari, 
tak mungkin dia bersembunyi atau menghindar. 
Karena orang itu juga sedang mencariku. Berarti 
bukan dia...." 

Orang di dalam tandu ini ternyata seorang 
perempuan berpakaian biru keemasan dengan 
perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan 
tangannya. Anting-anting indah menghiasi kedua 
daun telinganya, bertakhta mutu manikam. Ram- 
butnya hitam berkilat, disanggul ke atas dengan 
diberi sebuah jepitan terbuat dari emas. Parasnya 
hanya samar-samar terlihat, karena cadar dari 
sutera warna keemasan itu menghalangi di depan 
wajahnya. Walaupun demikian, parasnya telah 
memperlihatkan kejelitaannya. Hidungnya man- 
cung dengan bibir memerah ranum menggiurkan. 

Sepasang matanya indah, berkilat-kilat menan- 
dakan kalau dia seorang perempuan yang cerdik. 

Perempuan berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun itu tiba-tiba berseru di pertengahan hutan 
yang sedang mereka lewati, "BerhentiiiiH!" 

Orang-orang berpakaian putih yang mem- 
bopong tandu maupun yang mengiringi, seketika 
berhenti. Empat orang yang membopong tandu 
tak perlu menurunkan tandu itu di atas tanah, 
karena.... 

WuuutttH 

Tandu itu tiba-tiba saja melesat dengan 
ringan. Menabrak beberapa ranting pohon sebe- 
lum kemudian bertengger di antara cabang se- 
buah pohon. 

Sentakan tandu itu sama sekali tak meng- 
goyahkan keseimbangan pada penggotongnya. Ka- 
laupun kemudian mereka duduk berlutut, karena 
memang itulah kebiasaan yang mereka lakukan 
bila orang dalam tandu memerintahkan berhenti 
dan telah mencari sebuah tempat. 

Suara merdu terdengar dari balik tandu 
berwarna biru keemasan itu, "Hampir sebulan 
lamanya kita meninggalkan Tanah Kayangan, te- 
tapi hingga saat ini belum menemukan orang 
yang kucari! Dan mulai hari ini... aku membe- 
baskan kalian untuk pergi!!" 

Salah seorang berkata sambil merang- 
kapkan kedua tangannya, "Ketua! Sudah lima ta- 
hun kami mengabdi, dan rasanya tak mungkin 
kami akan meninggalkan Ketua!" 

"Urusan yang kuhadapi ini bukan urusan 
ringan! Kalaupun aku mengajak kalian dalam 
bentuk rombongan, karena aku tak mau mening- 
galkan kalian di Tanah Kayangan! Karena tak 
mustahil perempuan itu akan muncul dan meng- 
hancurkan kalian selagi aku mencarinya!" 

"Ketua... kami tak peduli dengan apa yang 
akan terjadi pada kami! Tetapi...." 

"Tahan ucapanmu, Menggala!" seruan pe- 
rempuan dalam tandu yang tetap bernada merdu 
itu terdengar lagi. "Dengarkan ucapanku seka- 
rang... aku sama sekali tak menyangsikan kese- 
tiaan kalian kepadaku! Sejak lima tahun lalu ka- 
lian mengabdi setulus hati padaku, hingga ra- 
sanya aku tak pernah menganggap kalian sebagai 
abdi-abdiku! Karena selama ini aku telah men- 
ganggap kalian sebagai teman-temanku dan ku- 
harap kalian juga menganggapku seperti itu, bu- 
kan sebagai seorang Ketua yang harus kalian 
hormati!" 

Si perempuan menghentikan ucapannya. 
Lalu melanjutkan, "Dan pada malam purnama 
bulan lalu, perempuan berjuluk Ratu Dinding 
Kematian telah datang dengan membawa suasana 
tak mengenakkan. Untung saat itu aku berada di 
tempat hingga kehadirannya tak banyak menelan 
korban!" 

"Dan seperti yang kalian ketahui" si perem- 
puan melanjutkan, "Ratu Dinding Kematian ada- 
lah kakak seperguruanku yang telah lama mem- 
benciku! Aku sendiri tak pernah mengerti menga- 
pa dia membenciku kecuali, kalau dia sebenarnya 
juga menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma 
yang diberikan guruku padaku. Padahal, dia telah 
mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Jiwa yang juga 
tak kalah dahsyatnya. Kitab Ajian Selaksa Sukma 
telah kusembunyikan di satu tempat setelah ku- 
pelajari isinya. Rupanya, Ratu Dinding Kematian 
tak pernah membiarkan keinginannya itu tertu- 
tup hingga dia terus menerus berusaha untuk 
mendapatkannya kembali. Dan pada purnama la- 
lu, dia datang kembali, tetapi berhasil kugagal- 
kan. Namun aku masih ingat apa yang dikata- 
kannya kemudian...." 

"Kami pun ingat, Ketua... karena kami 
memang berada di sana...," sahut Menggala. 

"Ya! Ratu Dinding Kematian mengatakan, 
kalau dia akan mencariku dan menjumpaiku lagi 
dua bulan mendatang dari kedatangannya waktu 
itu! Dikatakannya juga, kalau dia telah menemu- 
kan jejak bunga-bunga keramat milik Tiga Pengu- 
asa Bumi yang akan dicabut dan dimilikinya! 
Dengan kesaktian yang akan didapatkan itulah 
dia akan membunuhku!" 

"Ketua! Kami tak akan membiarkan hal itu 
terjadi!" seru Menggala yang disahuti oleh yang 
lainnya. 

Perempuan dalam tandu itu tersenyum. 

"Ya... aku dapat mengerti semua itu karena 
kalian memang orang-orang yang penuh bakti. 
Tetapi, aku juga telah membayangkan kesaktian 
macam apa yang akan didapatkan oleh Ratu 
Dinding Kematian bila dia telah menyatukan 
bunga-bunga keramat itu. Mungkin, aku sendiri 
tak akan dapat mengalahkannya. Jadi kuminta 
kalian dapat memaklumi keadaan ini, hingga ber- 
sedia meninggalkanku sekarang juga...." 

Kesepuluh lelaki berpakaian putih itu tak 
ada yang menyahut. Bahkan mengangkat kepala 
saja tidak. 

Di dalam tandu si perempuan menarik na- 
pas masygul. Dia berkata sendiri, "Dengan 'Ajian 
Selaksa Jiwa', tak mustahil Ratna Wangi atau 
yang berjuluk Ratu Dinding Kematian dapat men- 
gambil dengan mudah bunga-bunga keramat itu. 
Tentunya dia telah mengetahui mantra yang dila- 
kukan oleh Dewa Segala Dewa. Tetapi, semua 
mantra apa pun akan punah oleh 'Ajian Selaksa 
Jiwa' maupun 'Ajian Selaksa Sukma'. Karena pa- 
da dasarnya, Dewa Segala Dewa adalah paman 
guruku dan paman guru Ratna Wangi. Ah, apa- 
kah Ratna Wangi memang sudah mendapatkan 
bunga-bunga keramat itu? Aku jadi ingat pada 
Puspa Dewi, gadis yang kudidik menjadi muridku 
dan sekarang kuperintahkan untuk menjumpai 
Dewa Segala Dewa di Daerah Tak Bertuan. Mu- 
dah-mudahan Puspa Dewi membawa berita yang 
cukup menggembirakan kalau sesungguhnya 
bunga-bunga keramat itu masih berada di bawah 
pengawasan Tiga Penguasa Bumi." 

Setelah hening beberapa saat, si perem- 
puan berkata, "Aku tak ingin mengorbankan ka- 
lian! Jadi lebih baik kita berpisah untuk sementa- 
ra waktu! Bila aku masih memiliki umur panjang, 
kita dapat bertemu lagi di Tanah Kayangan!" 

Habis seruan itu terdengar, tiba-tiba saja 
tandu yang berada di atas pohon itu meledak ke- 
ras dan berhamburan segala yang telah beranta- 
kan. 

Orang-orang di bawah segera berdiri den- 
gan mata membuka lebar. Mereka hanya sempat 
melihat, bayangan biru keemasan melesat dari sa- 
tu pohon ke pohon lain dan kemudian lenyap dari 
pandangan. 

Tak ada yang buka suara. Masing-masing 
orang dilanda kebingungan dan tanggung jawab. 
Lalu Menggala memutuskan untuk segera me- 
ninggalkan tempat itu. Tidak menuju ke Tanah 
Kayangan. 

* * *

ENAM 

MENUNGGU semalaman hingga matahari 
sudah melewati batas kepala, sungguh suatu pe- 
kerjaan yang tidak menyenangkan. Terutama ka- 
rena orang yang diharapkan datang tak kunjung 
tiba. Perasaan itu melanda Purwa dan Sibarani 
yang terus menerus duduk di atas batu besar. 

Di pihak lain, si Bayangan Kuning hanya 
terdiam kendati otaknya terus merencanakan saat 
yang tepat. Tak lama lagi senja akan datang. Se- 
malam diputuskan untuk mendapatkan Bunga 
Matahari Jingga paling lambat pada senja hari ini. 

Diliriknya Purwa yang sedang menggeram. 
Dilihatnya Sibarani yang kendati parasnya mem- 
biaskan kebosanan tetapi sangat dipaksakan. Si 
Bayangan Kuning sendiri tak memungkiri kalau 
perutnya sudah berteriak-teriak minta diisi. Dia 
juga merasa pasti kalau Purwa dan Sibarani juga 
sudah kelaparan. Karena sejak semalam, tak seo- 
rang pun yang turun dari batu yang masing- 
masing duduki. Tak terkecuali untuk buang air. 

Si Bayangan Kuning berkata, "Mengapa Ra- 
ja Naga belum muncul juga?" 

Purwa melirik. Lelaki bercambang tebal itu 
tak menjawab. Kembali menatap ke depan. Ken- 
dati bersikap acuh, Sibarani melihat ada sedikit 
cahaya di mata Purwa. 

Dia berkata, "Kami juga sedang menunggu 
kedatangannya, jadi tak bisa menjawab perta- 
nyaanmu." 

Si Bayangan Kuning tersenyum. Di saat 
matahari menyalang garang ini, terlihat jelas so- 
soknya. Dia seorang perempuan jelita berusia se- 
kitar tiga puluh tujuh tahun. Hidungnya bangir 
dengan bibir menawan. Tepat pada bagian tengah 
keningnya, nampak sebuah tahi lalat. Rambutnya 
digelung ke atas dan diberi pita warna kuning. 
Pakaian kuning yang dikenakannya ternyata di- 
penuhi dengan sulaman benang keemasan. 

"Menunggu adalah pekerjaan yang membo- 
sankan," kata si Bayangan Kuning mencoba men- 
cari kesempatan. "Tetapi biar bagaimanapun juga, 
aku tak akan mundur sebelum membunuh pe- 
muda yang telah mempermalukan dan membu- 
nuh adik seperguruanku." 

"Nimas Herning... mengapa kau jadi begitu 
banyak omong?" tanya Sibarani dengan mata me- 
nyelidik. Lalu menyambung dalam hati. "Ku- 
sayangkan kalau Kakang Purwa mengatakan apa 
yang sedang kami lakukan. Ah, rasanya ada se- 
suatu yang disembunyikan oleh Nimas Herning. 
Tetapi aku tidak tahu apa yang disembunyikan- 
nya....!" 

Si Bayangan Kuning yang mengaku ber- 
nama Nimas Herning tersenyum. 

"Apakah kau memungkiri kalau kau juga 
sudah jadi tidak sabaran, Sibarani?" 

Dibalik ucap seperti itu membuat Sibarani 
mendengus. Tetapi dibenarkan juga apa yang di- 
katakan Nimas Herning. 

Purwa buka suara seraya melompat turun. 

"Aku akan mencari makanan!" 

Itulah yang ditunggu oleh si Bayangan 
Kuning. Dia berharap salah seorang dari kedua- 
nya memutuskan untuk mencari makanan. Den- 
gan cara seperti itu dapat dijalankan rencananya 
dengan segera. Karena dia yakin, untuk menca- 
but Bunga Matahari Jingga adalah sebuah peker- 
jaan yang mempertaruhkan nyawa. Bila sekarang 
dia hanya menghadapi salah seorang dari kedua- 
nya, tentunya tak akan banyak membuang tena- 
ga. 

Buru-buru dia berkata, "Aku menyukai ke- 
linci panggang...." 

Purwa tersenyum. 

"Aku juga menyukai kelinci panggang." 

Nimas Herning tertawa, sementara Sibarani 
diam-diam mendengus. Entah mengapa dia men- 
jadi gusar mendengar tawa dan sikap mesra Ni- 
mas Herning. Terutama melihat Purwa terse- 
nyum. Sungguh, sekali pun Sibarani belum per- 
nah mendapatkan senyuman seperti itu. 

Purwa sendiri sudah melesat meninggalkan 
tempat itu. Sepeninggalnya, Sibarani berkata din- 
gin, "Nimas Herning... siapa kau sebenarnya?" 

Si Bayangan Kuning mengalihkan pandan- 
gannya pada Sibarani. Bibirnya tersenyum. 

"Astaga! Sungguh aneh pertanyaanmu, Si- 
barani...." 

"Setiap pertanyaan yang kulontarkan, tak 
ada yang aneh!" sahut Sibarani dingin. Perasaan 
tak sukanya pada Nimas Herning semakin menja- 
di-jadi. "Kau tahu aku dan Kakang Purwa sedang 
menjalankan tugas yang tak bisa dipandang en- 
teng. Lebih baik kau menyingkir dari sini...." 

"Sibarani, Sibarani... mengapa kau berkata 
begitu? Semalam kau tak banyak ucap tatkala 
kuputuskan untuk bergabung dengan kalian, Te- 
tapi sekarang... ah" Nimas Herning tersenyum 
yang membuat Sibarani bertambah jengkel. "Aku 
tahu apa yang menyebabkanmu bersikap demi- 
kian...." 

"Kau tahu atau tidak, aku tidak peduli!" 

"Sibarani... kalaupun Purwa tiba-tiba me- 
nyukaiku, bukankah itu haknya?" kata Nimas 
Herning sambil tersenyum. 

Wajah Sibarani kontan memerah. Perem- 
puan berpakaian dalam warna hijau itu menga- 
lihkan perhatiannya ke tempat lain. 

"Brengsek! Dia dapat menebak perasaan- 
ku!" geramnya dalam hati. "Tetapi... ah, mengapa 
perasaanku jadi begin!?" 

Si Bayangan Kuning sendiri tak mau pedu- 
li. Dia memang sengaja menyakiti hati Sibarani 
setelah mengetahui perasaan perempuan itu pada 
Purwa. 

"Dan rasanya aku juga tak bersalah bila 
aku menyukai Purwa, bukan?" 

"Tutup mulutmu itu!" 

"Astaga! Mengapa kau menjadi gusar? Apa 
yang kukatakan ini memang sebuah kenyataan! 
Semalam aku belum melihat wajah kalian dengan 
jelas! Dan begitu melihat wajah Purwa yang tam- 
pan rasanya aku jatuh cinta padanya...." 

Ingin Sibarani membungkam mulut usil 
perempuan berpakaian kuning itu. Disesalinya 
mengapa semalam dibiarkan saja Nimas Herning 
bergabung. 

Perempuan berpakaian kuning keemasan 
itu tersenyum dalam hati. "Ini kesempatan yang 
tak boleh ku sia-siakan! Akan kucecar hatinya 
hingga dia menjadi marah. Dan rasanya dia tak 
punya alasan untuk menyerangku. Berarti... ya, 
aku harus menyingkirkannya dari sini. Bila dalam 
dua puluh kejapan mata dia tak menyingkir, be- 
rarti dia harus kubunuh dan Bunga Matahari 
Jingga harus kudapatkan sebelum Purwa kemba- 
li." 

Kemudian dicecarnya Sibarani dengan 
ucapan demi ucapan yang membuat telinga pe- 
rempuan itu memerah. Tangan kanan kiri Siba- 
rani sudah mengepal kuat. Ditahan amarahnya 
yang sudah mendidih. 

"Ya... kupikir memang tak ada salahnya bi- 
la aku mencintai Purwa dan Purwa mencintaiku. 
Sibarani... apakah kau merestui percintaan ka- 
mi?" 

Sibarani tak menjawab. Melirik pun tidak. 
Dikuatkan perasaannya agar tidak meledak ama- 
rah. Dia memang tak punya alasan untuk mem- 
bungkam mulut perempuan itu. Apa yang dikata- 
kannya memang benar. Sungguh tak ada sesuatu 
yang salah bila ternyata Purwa dan Nimas Hern- 
ing akhirnya saling mencinta. Tetapi cara bicara 
perempuan itulah yang membuat Sibarani ham- 
pir-hampir tak mampu untuk menahan diri. 

"Nimas Herning...," desisnya dengan tata- 
pan tajam. "Sebaiknya kau membuat api untuk 
memanggang daging kelinci...." 

"Kupikir juga begitu. Seorang lelaki ten- 
tunya akan semakin menyayangi seorang perem- 
puan bila perempuan itu dapat bersikap lembut, 
anggun, dan penuh perhatian...." 

"Bagus! Buatlah api itu!" 

Nimas Herning menyeringai. 

Sibarani mengangguk-angguk dalam hati, 
"Bagus! Aku tak punya alasan untuk membung- 
kam mulut keparatnya. Tetapi aku bisa mem- 
buatnya menjadi budakku! Menyuruhnya mem- 
buat api termasuk pekerjaan pertama untuknya!" 

Namun yang diduga Sibarani jauh dari ke- 
nyataan. Karena tiba-tiba saja Nimas Herning 
berkata, "Sibarani... bukanlah lebih baik bila yang 
membuat api adalah Purwa? Membuat api adalah 
tugas seorang laki-laki. Menguliti kelinci atau 
ayam hutan juga tugas laki-laki. Tugas kita seba- 
gai seorang perempuan... hanya memanggang lalu 
memakannya...." 

Mendidih darah Sibarani sekarang. Perem- 
puan berpakaian merah itu tak bisa lagi menahan 
diri. Kontan dia berdiri dengan tangan menuding. 

"Siapa kau sebenarnya, Nimas Herning?!" 
serunya berapi-api. Perubahan yang terjadi pada 
Nimas Herning membuatnya bertambah heran. 
Semalam perempuan itu bersikap begitu sopan 
dan sekarang begitu pandai menyakiti hatinya. 

Nimas Herning juga berdiri. Dipandanginya 
Sibarani sambil berkata dalam hati, "Senja telah 
datang. Saat ini juga aku harus mendapatkan 
Bunga Matahari Jingga." 

Sambil menyeringai dia berkata, "Aku ada- 
lah... perempuan jelita yang mencintai dan dicin- 
tai Purwa. Sungguh menyedihkan memang, bila 
kita mencintai orang lain tetapi tak mendapatkan 
balasan darinya...!" 

"Tutup mulutmu!!" 

Wuuuduuttt!! 

Gelombang angin menggebrak ke arah pe- 
rempuan berpakaian kuning itu yang masih ter- 
tawa hanya mengibaskan tangan kanannya di 
atas. 

Blaaarrr!! 

Serangan itu putus di tengah jalan. Siba- 
rani memicingkan matanya. 

"Ah, mengapa aku jadi tak bisa menahan 
diri? Tidak, tidak! Aku akan makin bikin kesala- 
han bila kuserang dia! Yang dikatakannya itu 
memang benar! Kalau Kang Purwa mencintainya, 
aku memang tak bisa..." 

"Mengapa kau hentikan seranganmu, Siba- 
rani?" seruan Nimas Herning memutus kata batin 
Sibarani. "Ayo, tak usah tanggung-tanggung! Tun- 
jukkan kemampuanmu untuk menghadapiku! Ini 
sungguh kebetulan! Selagi Purwa tak ada di sini, 
kita bisa mengadu kepandaian! Karena, yang 
pandailah yang akan dipilih oleh Purwa!!" 

Sibarani yang sudah memutuskan untuk 
menahan sabar hanya menggeram. 

"Tak perlu diperpanjang urusan!" 

"Mendadak saja kau jadi penakut, hah?!" 
ejek si Bayangan Kuning sambil tertawa keras. 
Dia sengaja memancing amarah Sibarani "Atau 
kau kini mulai sadar kalau Purwa memang men- 
cintaiku? Di samping itu juga, kau merasa tak 
akan mampu menghadapiku?" 

"Keparat! Akan kuberi pelajaran perem- 
puan keparat ini!!" geram Sibarani dalam hati. 

Karena kemarahan yang membara di da- 
danya, Sibarani tak mau bertindak tanggung. Ti- 
ba-tiba saja dia melompat dari batu besar yang 
didudukinya. Begitu hinggap di tanah, dia lang- 
sung duduk berlutut. 

Sambil menatap tajam pada perempuan 
berpakaian kuning keemasan yang sedang me- 
nyeringai di hadapannya, pelan-pelan Sibarani 
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ke- 
palanya sedikit diangkat. Sepasang matanya ber- 
kilat-kilat penuh kebencian. 

Di seberang, perempuan bermaksud busuk 
itu membatin, "Nampaknya Sibarani tak mampu 
lagi menahan kemarahannya. Bagus! Akan kuha- 
bisi dia, dan kucabut Bunga Matahari Jingga lalu 
meninggalkan tempat ini. Tapi...," perempuan ini 
memutus kata batinnya. "Mengapa aku begitu 
bodoh? Akan kubuat satu permainan yang mena- 
rik! Dan satu-satunya cara, adalah membuat Si- 
barani tak bisa lagi bersuara!" 

Pelan-pelan perempuan berambut digelung 
ke atas ini melihat tubuh Sibarani bergetar. Ke- 
ningnya berkerut tatkala melihat dari kepala Si- 
barani keluar asap putih yang sangat pekat. 

Di saat lain, sambil merapatkan mulutnya, 
perempuan berpakaian kuning keemasan ini 
menggeser kaki kanannya ke belakang. 

"Aku belum tahu seberapa dahsyat seran- 
gan yang akan dilakukan Sibarani, Tetapi jelas- 
jelas dia ingin mencelakakanku...." 

Sibarani yang tak mampu lagi menahan 
ejekan-ejekan Nimas Herning menggeram dingin. 
Di dasar hatinya, dia merasa ada sesuatu yang di- 
tutupi perempuan di hadapannya. 

Akan diberinya perempuan itu pelajaran 
agar bisa menahan mulut! Diiringi teriakan keras, 
Sibarani mendorong kedua tangannya tanpa ber- 
geser dari tempatnya. Laksana curahan air hujan 
yang sangat deras, tiba-tiba saja menggebrak ge- 
lombang angin dahsyat! 

Perempuan berpakaian keemasan itu men- 
dengus sebelum mendorong kedua tangannya pu- 
la. 

WrrrrrH 

Gelombang angin disemburati asap kuning 
menggebubu melesat dari dorongan kedua tan- 
gannya. 

Jlegaaarrr!! 

Bertemunya dua serangan itu membuat 
tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan 
semak di sekitar sana tercabut dan berpentalan. 
Beberapa buah tangkai bunga matahari berwarna 
jingga beterbangan. Tanah di mana bertemunya 
dua serangan itu berhamburan di udara setinggi 
satu tombak. 

Terlihat bagaimana sosok Nimas Herning 
terlempar ke belakang. Masih untung dia dapat 
berbalik dan menepakkan tangannya pada batu 
besar yang siap menyambut tubuhnya. Di saat 
lain, dia melenting ke atas dan hinggap di atas 
batu yang tadi didudukinya. 

"Sibarani! Kau terlalu menantang!" 

Sibarani menyeringai. 

"Sekarang sudah terbukti, siapa yang takut 
dan siapa yang berani menghadapi maut?!" 

"Sombong! Kau akan celaka!!" 

Tiba-tiba saja si perempuan mengangkat 
kedua tangannya ke udara. Menyusul terlihat ca- 
haya berwarna-warni bertebaran di sekitar kedua 
tangannya yang terangkat. Di saat lain tebaran 
cahaya warna-warni itu menggumpal menjadi sa- 
tu dan masuk serta lenyap pada kedua tangan si 
perempuan yang kini terlihat seperti mengelua- 
rkan cahaya. 

Sibarani hanya mendengus. 

"Biar dia tahu siapa aku?!" 

Saat itu pula dilancarkan serangannya lagi 
pada si perempuan, yang mengertakkan rahang 
dan menepukkan kedua tangannya. Suara tepu- 
kan yang sangat keras itu menggema, menyusul 
gelombang angin dahsyat yang diiringi oleh ca- 
haya berwarna-warni menggebrak. 

Blaaammm!! 

Kembali letupan keras itu terdengar. Na- 
mun kali ini diiringi teriakan tertahan yang be- 
rasal dari mulut Sibarani. Karena serangan yang 
dilancarkannya seperti tertelan serangan menge- 
rikan dari Nimas Herning. Bahkan serangan itu 
terus menggebrak ke arahnya dengan kecepatan 
tinggi! 

Seketika kepala Sibarani menegak. Dia sa- 
dar kalau bahaya mengancamnya. Serentak dia 
berguling ke samping kanan. 

Blaaammm! Blaaammmm!!! 

Tanah di mana dia tadi duduk berlutut, 
seketika rengkah terhantam serangan itu. Belum 
lagi dapat dikuasai keseimbangannya, tiba-tiba 
saja dirasakan lehernya seperti disambar sesuatu. 

Seketika dirasakan dingin yang cukup 
menggigit, sebelum tubuhnya terbanting di atas 
tanah dan bergulingan. Bunga-bunga matahari 
berwarna Jingga hancur tertindih gulingan tu- 
buhnya. 

"Itulah akibatnya bila berani menantang- 
ku...," desis si perempuan berpakaian kuning. 
"Sekarang saatnya untuk menjalankan rencana 
berikut...." 

Sementara Sibarani masih bergulingan 
sambil memegangi lehernya yang terasa dingin, si 
perempuan sudah berlari ke bukit sebelah kanan. 
Lalu menghadap ke utara. Ditahan napasnya se- 
jenak sebelum melangkah. Pada langkah kedua 
puluh tiga, dia berhenti. Di hadapannya terlihat 
sebuah bunga matahari berwarna jingga yang tak 
jauh berbeda dengan bunga-bunga yang lain. 

"Ini hitungan kedua puluh empat, seperti 
yang kudengar sebelumnya di kala Sibarani dan 
Purwa bercakap-cakap. Berarti, memang bunga 
inilah yang kucari. Bagus! Setelah urusan selesai, 
tinggal memburu Ratu Tanah Kayangan untuk 
kubunuh!!" 

Pelan-pelan Nimas Herning yang sesung- 
guhnya adalah Ratu, Dinding Kematian, meman- 
dangi Bunga Matahari Jingga di hadapannya. 
Kemudian ditahan napasnya sejenak. Sepasang 
bola matanya tiba-tiba berkilat-kilat dan wajah- 
nya dipenuhi dengan cahaya kemerahan. 

Lalu terlihat bayangan-bayangan orang 
yang bergerak-gerak, disekelilingnya yang kemu- 
dian menyatu ke kedua tangannya. Itulah 'Ajian 
Selaksa Jiwa' yang dimilikinya, yang mampu 
mengalahkan mantra Dewa Segala Dewa. 

Gerakan yang dilakukannya kemudian su- 
kar diikuti oleh pandangan. Karena secara tiba- 
tiba Ratu Dinding Kematian menyambar Bunga 
Matahari Jingga 

Tap! 

Begitu dicabut, dia langsung melompat ke 
belakang 

Jlegaaaarrrr!!! 

Suara ledakan yang sangat dahsyat mem- 
bahana di tempat itu. Tanah diiringi asap putih 
berhamburan ke udara dibukit-bukit di sekitar 
sana bergetar. Bebatuan di bagian timur berham- 
buran menimbulkan suara bergemuruh. 

Sibarani yang telah mampu mengatasi rasa 
nyeri dan hawa dingin pada lehernya segera ber- 
diri tegak. Matanya membeliak melihat apa yang 
dilakukan Nimas Herning. Lebih terkejut lagi 
tatkala melihat Bunga Matahari Jingga berada di 
tangan perempuan itu. 

Sibarani segera membentak. Namun... 
mendadak saja dia mundur beberapa tindak ke 
belakang dengan wajah panik. 

"Astaga! Suaraku... suaraku...!" serunya 
dalam hati. Kepanikan jelas membayangi wajah- 
nya. Dia mencoba berteriak lagi. Tetapi suaranya 
tetap lenyap. Lenyap sama sekali. 

Ratu Dinding Kematian yang kemudian 
melihatnya tertawa keras. 

"Sibarani... semua rencanaku telah berja- 
lan dengan baik. Kini... kau tinggal mengikuti saja 
apa yang akan terjadi...." 

Lalu... breekkk!! 

Dengan sengaja perempuan itu merobek 
pakaiannya di bagian dada. Juga merobek sedikit 
pakaian bawahnya hingga memperlihatkan paha 
yang gempal. Setelah itu dilemparnya Bunga Ma- 
tahari Jingga yang lenyap entah ke mana. Hanya 
dia yang tahu. 

Sementara Sibarani masih berusaha men- 
geluarkan suaranya yang tiba-tiba lenyap 

* * *

TUJUH 

BERSAMAAN ayam jantan berkumandang 
di kejauhan, tarikan napas kencang itu terdengar 
keras disertai dengusan dan engahan. Menyusul 
suara keresek di bali semak terdengar, pertanda 
seseorang bergulingan di atas rumput. 

Perempuan berusia sekitar tiga puluh ta- 
hun yang masih dalam keadaan polos itu meme- 
jamkan matanya. Sepasang payudaranya yang 
besar bergerak turun naik, sedikit memerah se- 
merah wajahnya saat ini. Diresapinya sesaat ke- 
nikmatan yang baru saja diraihnya sebelum ter- 
buru-buru meraih pakaiannya. Pemuda yang juga 
dalam keadaan polos yang tergolek di samping- 
nya, melirik. 

"Mau ke mana Nyai? Pagi masih buta..." 
katanya dengan napas setengah memburu. 

Si perempuan tersenyum. Membiarkan 
payudaranya yang berputing merah itu di remas- 
remas si pemuda. 

"Aku harus pulang..." 

"Pulang? " si pemuda menyahut segan. Se- 
kujur tubuhnya lemas karena baru saja menum- 
pahkan kejantanannya. Dibalikkan tubuhnya, 
memandang pada si perempuan yang sedang ber- 
pakaian. "Mengapa terburu-buru? Tidak ada 
orang di sini..." 

"Hei, hei! Sebentar lagi tempat ini dilalui 
banyak orang," kata si perempuan sambil terse- 
nyum. 

"Masih lama...," si pemuda merangkulnya. 

Walaupun setengah menolak, tetapi si pe- 
rempuan bertubuh sintal itu membiarkan saja. 
Dia jatuh dalam pelukan si pemuda yang segera 
menciuminya sambil tertawa-tawa. 

"Sudah, Dat Mala... sudah...." 
"Aku masih ingin lagi...." 

"Besok kita bisa mengulanginya lagi...," sa- 
hut si perempuan berusaha menolak. Tetapi di- 
biarkan bibir si pemuda mencari-cari bibirnya. 
Dibiarkan pula tangan si pemuda masuk ke balik 
pakaiannya. 

Pemuda bernama Dat Mala itu sangat tahu, 
bagian mana dari tubuh Nyai Ganda Arum yang 
mengandung rangsangan tinggi. Sambil menciumi 
bibir memerah itu, tangannya terus meremas- 
remas payudara sebelah kanan Nyai Ganda Arum. 

"Mala, besok kita, Dat ehmmpphmmmphmm...." 

"Aku mau sekarang...." 

"Sudah, sudah, Dat Mala. Ayo, kita harus 
segera pulang. Kalau orang-orang desa melihat ki- 
ta berdua di sini, aku bisa kacau...." 

Dat Mala kontan menghentikan kegiatan- 
nya. Matanya mendelik tanda tak senang men- 
dengar ucapan Nyai Ganda Arum. . 

"Kau takut pada suamimu?" 

"Hei, hei! Mengapa kau jadi tegang begitu? 
Bukannya aku takut. Tetapi...." 

"Katakan saja kalau kau masih mencin- 
tainya!" Dat Mala bangkit, menyambar pakaian- 
nya. 

Melihat sikap si anak muda bertubuh tegap 
itu, membuat Nyai Ganda Arum menjadi tidak 
enak. Sesungguhnya memang dia yang mulai le- 
bih dulu mendekati Dat Mala. Bermula ketika di- 
ketahuinya Dat Mala sering mengintipnya mandi 
di sungai. Perasaan marah saat itu menggebah 
hatinya. Biar bagaimanapun juga, Nyai Ganda 
Arum tak sudi tubuhnya dalam keadaan polos di- 
lihat orang lain kecuali suaminya 

Tetapi sesampai di rumah, dia justru mem- 
bayangkan Dat Mala. Untuk ukuran orang de- 
sanya, Dat Mala memiliki paras lumayan dan tu- 
buh yang tegap. Nyai Ganda Arum sering melihat 
tubuh si pemuda bila sedang membajak sawah 

Namun ditekan semua itu mengingat dia 
adalah istri dari seseorang. Tetapi ketika dilihat- 
nya Dat Mala kembali mengintipnya saat mandi, 
perasaan aneh menyelinap di hatinya. Seperti 
anak tujuh belasan yang senang tubuhnya dika- 
gumi seorang pemuda, Nyai Ganda Arum mem- 
biarkan tubuhnya dilahap mata Dat Mala. Bah- 
kan sering kali dia sengaja bersabun sambil ber- 
diri, hingga sepasang buah dadanya yang besar 
dan montok itu mengarah pada Dat Mala 

Rupanya membiarkan tubuhnya dilihat 
oleh Dat Mala memberikan kesenangan tersendiri 
bagi Nyai Ganda Arum. Kini dia tidak hanya 
membiarkan bagian atas tubuhnya yang dilihat 
oleh Dat Mala. Tetapi seluruh tubuhnya! 

Ketika diketahuinya suaminya ada main 
dengan janda di desa seberang, Nyai Ganda Arum 
menjadi muak. Dia hendak membalas perbuatan 
suaminya. Dan pikirannya tiba pada Dat Mala. 

Sejuta rencana pun terpasang di benaknya 
untuk menjerat anak muda itu. Dengan bermo- 
dalkan kecantikan dan kesintalan tubuhnya, Nyai 
Ganda Arum dapat menggiring Dat Mala untuk 
melakukan apa yang di diinginkannya. Kendati 
demikian, dia tak mau perbuatannya diketahui 
oleh orang lain, apalagi suaminya. 

Nyai Ganda Arum membelai pipi anak mu- 
da itu. 

"Hei, hei... jangan merajuk seperti itu." 

"Kau pernah bilang padaku, kalau kau 
mencintaiku, Nyai..." 

"Itu betul." 

"Tapi nyatanya kau masih mencintai sua- 
mimu" 

"Habis aku harus berbuat apa lagi? Aku 
masih hidup dengan suamiku. Kalau tidak, ba- 
gaimana aku dan kedua anakku makan?" 

Dat Mala berdiri. Parasnya kaku. 

"Kita kembali saja!" 

Kali ini Nyai Ganda Arum yang jadi tidak 
enak. Biar bagaimanapun juga, Dat Mala memiliki 
kelebihan dibandingkan suaminya. Pemuda itu 
dapat memuaskannya, bahkan selalu menuruti 
bila ini-itu dimintanya. 

Buru-buru ditariknya tangan Dat Mala. 

"Tidak usah marah seperti itu." 

Dat Mala diam. Masih diam juga ketika 
Nyai Ganda Arum mencoba membangkitkan gai- 
rah anak muda itu. Tetapi tak lama kemudian, 
pemuda itu sudah menubruknya. Membukai lagi 

I pakaiannya. Nyai Ganda Arum sendiri hanya ter- 
kikik. Dibiarkan tangan si pemuda memegang, 
meremas dan memilin buah dadanya yang segar 
dan cukup besar itu. Dia menggelinjang ketika 
Dat Mala menciumi sepasang bukit kembarnya. 

Gerakan itu semakin membangkitkan gai- 
rah Dat Mala. Anak muda itu terus menyusupkan 
ciumannya. Memilin payudara itu sementara tan- 
gan kanannya menjelajah bagian bawah tubuh 
Nyai Ganda Arum. 

Kedua orang yang sedang dipacu birahi itu 
sama sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok 
tubuh telah berada di sana. Dan memandangi ke- 
duanya dengan sorot mata bengis. 

"Ayo, Sayang... ayo! Cepat! Lebih cepat!! 
Jangan lembek kayak suamiku!" suara Nyai Gan- 
da Arum meracau. Kehangatan itu telah memba- 
kar tubuhnya. 

Orang yang telah berada tak jauh dari me- 
reka, memperhatikan dengan sorot mata bengis. 
Di tangannya terpegang sebuah parang besar. 

"Manusia-manusia keparat!!" geramnya 
mengguntur. 

Laksana disengat kalajengking, kedua 
orang itu seketika menoleh. Dat Mala kontan me- 
lompat dari tubuh Nyai Ganda Arum. Dengan pa- 
nik disambar pakaiannya. Namun.... 

CrasssH 

Parang besar itu telah menyambar pung- 
gungnya. Seiring jeritan Nyai Ganda Arum, tubuh 
Dat Mala ambruk bersimbah darah. 

"Kau..." seru Nyai Ganda Arum tertahan.
Suaminya yang tiba-tiba muncul itu meng- 
geram sengit. 

"Perempuan terkutuk! Kau tak pantas un- 
tuk hidup!!" bentaknya seraya mengayunkan pa- 
rang besarnya. 

Nyai Ganda Arum memekik setinggi langit. 
Hatinya menjerit-jerit, mengapa suaminya harus 
muncul? Mengapa? 

Dan parang besar itu hanya tinggal bebe- 
rapa jengkal saja sebelum tiba-tiba... 

Tak! 

Sesuatu telah menyambarnya, sesuatu 
yang nampak begitu keras. Karena bukan hanya 
parang itu yang melenceng dari sasarannya, teta- 
pi juga terlepas dari genggaman tangan si lelaki 
bertubuh tegap! Dan begitu jatuh terlihatlah ka- 
lau sesuatu yang menahan parang Kalamonto 
hanyalah sehelai daun! 

Seraya menahan tangannya yang seketika 
kesemutan, lelaki bernama Kalamonto itu meno- 
leh ke samping kanan diiringi bentakannya yang 
keras 

"Siapa kau yang lancang campuri urusan 
rumah tangga orang?!" 

*** 

Seorang lelaki tua bertubuh luar biasa ge- 
muknya, telah muncul di sana dengan langkah 
yang terasa sangat berat. Lehernya yang seperti 
menyatu dengan badannya menggeleng-geleng. 

"Huh! Memang keterlaluan kalau melihat 
seorang istri berbuat serong seperti itu," katanya 
sambil memandang Nyai Ganda Arum yang be- 
ringsut dengan wajah sangat pucat. Gairahnya 
yang tadi berkobar seketika padam. Yang ada ha- 
nyalah ketakutan yang luar biasa. 

Kalamonto menggeram sengit. 

"Orang tua bertubuh tambun! Jangan suka 
ikut campur urusan orang! Aku berhak melaku- 
kan apa saja pada perempuan jahanam ini!" 

Kakek berpakaian hitam yang tak mampu 
menutupi besar tubuhnya mendengus. 

"Aku tak suka mencampuri urusan orang! 
Tapi lebih baik berdamai! Ingat, kau telah menca- 
but satu nyawa!" 

"Pemuda seperti itu lebih baik mampus, 
karena hidup hanya untuk mengganggu rumah 
tangga orang!" 

"Aku tak mau mengganggu urusan orang! 
Ayo, pergi, pergi dari sini!!" 

Diusir seperti itu amarah Kalamonto yang 
sudah sampai ke ubun-ubun segera membludak 
keluar. Tiba-tiba saja dia menerjang dengan teria- 
kan keras. Kalamonto memang tak memiliki ilmu 
apa-apa kecuali keberanian. Tetapi jotosan tan- 
gannya mampu merobohkan sebatang pohon pi- 
sang. 

Si kakek gemuk cuma mendengus. Mem- 
biarkan Kalamonto memukuli tubuhnya. 

"Lumayan kau menggaruki tubuhku...." 

Semakin berang Kalamonto mendengar ka- 
ta-kata itu. Dikerahkan seluruh tenaganya, diper- 
cepat jotosan demi jotosannya. Tetapi sampai dia 
lelah, si kakek gemuk tetap berdiri di tempatnya. 

"Sudah, sana pergi!" usir si kakek ketika 
Kalamonto ambruk dengan napas terengah- 
engah. Lalu dipalingkan kepalanya pada Nyai 
Ganda Arum. "Kau telah melakukan satu kesala- 
han yang membuat harga diri seorang laki-laki 
menjadi runtuh! Ingat, bila kau melakukannya la- 
gi, kubiarkan suamimu berbuat apa saja pada- 
mu...." 

"Aku ingin membunuhnya sekarang!" seru 
Kalamonto keras. 

"Membunuhnya bukan urusanku? Tetapi 
membunuhnya di depanku adalah urusanku...." 

Kalamonto tak berani membantah begitu 
melihat mata si kakek yang tiba-tiba seperti men- 
jadi sangat banyak. Ketakutan mulai merambati 
hatinya. Tiba-tiba dia beringsut dan berlari pon- 
tang-panting. 

"Pakai lagi pakaianmu!" dengus si kakek 
gemuk pada Nyai Ganda Arum. 

Terburu-buru penuh gemetar Nyai Ganda 
Arum mengenakan pakaiannya kembali. 

"Terima kasih... terima kasih atas pertolon- 
ganmu, Orang tua...." 

Si kakek gemuk cuma mendengus. Tak 
menatap pada Nyai Ganda Arum yang menatap- 
nya dengan takut-takut. 

"Huh! Perempuan sepertimu memang tak 
perlu dikasihani, tak perlu diampuni! Kau tak 
pernah menghargai perhatian seseorang yang se- 
benarnya kau kasihi dan mengasihimu!" 

Nyai Ganda Arum ingin meneriakkan sesu- 
atu yang dilakukan suaminya. Tetapi suara keras 
penuh tekanan itu tak berani membuatnya mela- 
kukan demikian. 

"Perempuan! Kau tahu bukan, kalau kau 
tak mungkin kembali kepada suamimu lagi! Bila 
kau masih mengharapkan belas kasihan suami- 
mu, itu adalah sebuah kebodohan! Suamimu te- 
lah mempergoki perbuatan busuk yang kau laku- 
kan! Sekarang pergi jauh-jauh dari hadapanku!" 

Kepanikan kini menghiasi wajah Nyai Gan- 
da Arum. Apa yang dikatakan kakek gemuk itu 
memang benar. Tak mungkin dia kembali pada 
suaminya yang sudah tentu akan membunuhnya. 
Tetapi untuk pergi dari sana, dia tidak tahu harus 
ke mana. Dat Mala sudah menjadi may at. Kini 
dia seorang diri. 

Sesungguhnya tempat dia bergantung 
hanya pada suaminya saja. Tak tahu harus ber- 
buat apa, Nyai Ganda Arum menangis. 

Kakek gemuk itu justru menjadi geram. 

"Jangan suka mempergunakan senjatamu 
untuk membuat orang merasa mengasihimu! Ka- 
rena tak pantas orang seperti kau yang melaku- 
kannya! Sana pergi, kau juga membuatku muak!" 

Bentakan itu menghentikan tangis Nyai 
Ganda Arum. Walaupun sorot matanya mengata- 
kan dia telah memutuskan untuk pergi sejauh- 
jauhnya, tetapi di hatinya timbul kebencian pada 
siapa pun juga. Terutama pada laki-laki. 

Tanpa berkata apa-apa, perempuan bertu- 
buh sintal itu segera meninggalkan tempat itu 
dengan langkah tersaruk-saruk. Keletihannya 
akibat bercinta dengan Dat Mala, semakin ditam- 
bah lagi dengan keletihan yang timbul akibat ke- 
takutan. 

Nyai Ganda Arum terus berlari dengan ke- 
bencian yang semakin menjadi-jadi. Saat berlari, 
dia bersumpah, bersumpah untuk membunuh se- 
tiap laki-laki! 

Sepeninggal Nyai Ganda Arum, kakek ge- 
muk itu mendengus. Tanpa berkata apa-apa, diin- 
jaknya tanah di hadapannya. 

BrroollH 

Berjarak satu tombak dari tempatnya ber- 
diri, tanah ambrol dan membentuk sebuah lu- 
bang. Sekali lagi dijejakkan kaki kanannya. Mayat 
Dat Mala tiba-tiba terangkat naik dan terlempar 
ke dalam lubang itu. Anehnya, tanah-tanah di se- 
kitar sana bergerak untuk menutupi lubang itu. 

"Keterlaluan! Amat keterlaluan!" maki si 
kakek kelebihan lemak ini. "Belum juga dapat 
kupikirkan ke mana perginya Ratu Dinding Kema- 
tian... sudah ada persoalan keparat seperti itu! 
Memalukan! Apakah tak ada kerjaan lain selain 
berzina dan berzina?!" 

Sambil menggerutu, si kakek gemuk meng- 
gerakkan lehernya, memandang ke sekitarnya. 

"Huh! Aku benar-benar tak habis mengerti, 
apa maunya Dewa Segala Dewa menyuruhku ke 
Dinding Kematian! Untuk apa dia menyuruhku 
menjumpai Ratu Dinding Kematian yang ternyata 
tak ada di tempat!" makinya lagi dengan napas se- 
tengah memburu. 

Kakek yang ternyata Dewa Seribu Mata ini 
menggeram panjang pendek. Wajahnya menun- 
jukkan betapa dia sedang memikirkan sesuatu 
yang benar-benar membuatnya heran. 

"Kenyataan sudah di depan mata, kalau 
Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga ke- 
ramat! Purwa dan Sibarani telah memergokinya! 
Apa yang menyebabkan Dewa Segala Dewa me- 
nyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian? 
Apakah dia mencurigai perempuan aneh itu?" 

Udara dingin terus berhembus. Kendati 
pakaian yang dikenakannya tak mampu menutu- 
pi tubuhnya, si kakek gemuk sama sekali tak me- 
rasakan hawa dingin itu. 

"Ketimbang bikin pusing kepala, sebaiknya 
aku menuju ke tempat Bunga Matahari Jingga 
berada...." 

Memutuskan demikian, si kakek gemuk ini 
mulai melangkah. Anehnya, sambil melangkah 
dia berkata seolah pada dirinya sendiri, "Sejak ta- 
di aku tahu kau berada di sini, Perempuan! Men- 
gapa kau tidak juga mau muncul? Atau ingin ku- 
tampar dulu pantatmu baru muncul?!" 

* * *

DELAPAN 

PEREMPUAN yang berada di balik semak 
melengak mendengar kata-kata si kakek gemuk. 
Sejak tadi dia memang berada di sana, tepat keti- 
ka Kalamonto mengayunkan parangnya pada Dat 
Mala. Sebenarnya perempuan ini tadi hendak 
menghalangi sabetan parang Kalamonto pada 
Nyai Ganda Arum. Tetapi sesuatu telah mengha- 
dang parang itu. 

Diperhatikannya siapa orang yang baru 
muncul, yang menghalangi parang besar itu den- 
gan lemparan sehelai daun. Diingat-ingatnya sia- 
pa kakek gemuk itu. Walaupun sudah diingatnya, 
tetapi perempuan ini memutuskan untuk tidak 
keluar. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar 
kehadirannya di sana tidak diketahui si kakek 
gembrot. Dan yang mengejutkannya, si kakek 
gemuk itu mengetahui keberadaannya di sana! 

Mau tak mau akhirnya perempuan ini ke- 
luar bertepatan dengan Dewa Seribu Mata meng- 
hentikan langkahnya. 

Dewa Seribu Mata memicingkan matanya 
melihat pada perempuan berpakaian biru keema- 
san dengan perhiasan pada kedua lengan dan 
pergelangan tangannya. Wajah perempuan ini 
terhalang oleh cadar terbuat dari sutera berwarna 
keemasan. 

"Hemm... rasa-rasanya, aku pernah men- 
dengar seorang perempuan bercadar sutera seper- 
ti ini," kata Dewa Seribu Mata. Sepasang matanya 
tiba-tiba bergerak-gerak di atas dan bawah wa- 
jahnya, laksana beberapa buah bayangan. Di lain 
saat dia mendengus, "Sungguh kebetulan! Ratu 
Tanah Kayangan, di mana saudara seperguruan- 
mu yang berjuluk Ratu Dinding Kematian itu be- 
rada?!" 

Dibentak seperti itu, perempuan berambut 
indah dengan anting-anting menghiasi kedua te- 
linganya ini mengerutkan kening. Matanya tak 
berkedip pada kakek 

"Astaga! Apa-apaan ini? Mengapa tahu- 
tahu dia menyerocos tentang Ratu Dinding Kema- 
tian?" tanyanya dalam hati tanpa mengalihkan 
sedikit pun pandangannya dari wajah kelebihan 
lemak di hadapannya. 

Setelah beberapa saat barulah dia angkat 
bicara, "Kalau tak salah ingat, tentunya engkau- 
lah tokoh yang berjuluk Dewa Seribu Mata...." 

Bukannya sahuti kata-kata si perempuan 
baik-baik, kakek gembrot itu malah membentak, 
"Jawab pertanyaanku tadi, jangan bikin kesaba- 
ranku habis!" 

Rata Tanah Kayangan segera tersenyum. 

"Kau salah menduga kalau menganggap 
aku tahu di mana Ratu Dinding Kematian. Karena 
saat ini, aku juga sedang mencarinya," sahutnya. 

"Sedang mencarinya atau tidak, tentunya 
kau tahu apa yang dilakukannya akhir-akhir ini?! 
Jelaskan padaku!" 

Ratu Tanah Kayangan tak buka mulut. Bi- 
ar bagaimanapun juga, dia tak suka dibentak- 
bentak seperti itu. Tetapi karena nampaknya ka- 
kek gemuk ini memang punya urusan penting 
dengan Ratu Dinding Kematian dia segera berka- 
ta, 

"Aku sama sekali tak mengetahui apa yang 
dilakukannya akhir-akhir ini. Yang pasti, aku se- 
dang mencarinya." 

"Astaga! Sejak tadi kau berkata sedang 
mencarinya! Aku tak peduli! Kau tak bisa menun- 
jukkan di mana Ratu Dinding Kematian, mengapa 
kau tetap berada di sini?" 

Perempuan yang rambutnya disanggul ke 
atas dengan diberi sebuah jepitan terbuat dari 
emas membatin seraya pandangi si kakek gemuk, 
"Dari suaranya dia begitu tak sabaran sekali. Aku 
memang pernah mendengar kabar, kalau kakek 
gemuk ini memiliki sifat tak sabaran. Kalaupun 
dia menanyakan Ratu Dinding Kematian, nam- 
paknya dia baru saja dari Dinding Kematian dan 
tak menjumpai perempuan itu di sana. Ah, sudah 
jelas dia tak menjumpainya...." 

"Kau belum juga jawab pertanyaanku!" 

Ratu Tanah Kayangan tetap tak buka mu- 
lut. Dia teringat akan sesuatu. 

"Jangan-jangan... dia mencari Ratu Dind- 
ing Kematian sehubungan dengan bunga-bunga 
keramat? Dewa Seribu Mata adalah salah seorang 
dari Tiga Penguasa Bumi yang memiliki bunga- 
bunga keramat. Kalau memang demikian adanya, 
berarti Ratu Dinding Kematian telah menjalankan 
rencananya untuk mendapatkan bunga-bunga 
keramat yang kelak akan dipergunakan untuk 
membunuhku." 

Belum habis Ratu Tanah Kayangan mem- 
batin, tiba-tiba saja dirasakan tanah yang dipi- 
jaknya bergerak. Menyusul satu sentakan kuat 
menerobos dari bawah. 

Walaupun terkejut dengan kejadian yang 
mendadak itu, tetapi perempuan bercadar ini te- 
tap tenang. Bahkan tubuhnya tetap terangkat 
naik tanpa kurang suatu apa tatkala tanah yang 

I mencelat ke atas itu menggebrak. Bersamaan 
dengan tanah yang sirap kembali ke bumi, pe- 
rempuan itu telah berdiri lagi, bergeser dua tin- 
dak dari tempat semula. 

Melihat hal itu Dewa Seribu Mata mendengus. 

"Mau pamer ilmu di hadapanku rupanya?" 

"Tunggu!" seru Ratu Tanah Kayangan. Biar 
bagaimana pun juga, dia tak ingin memancing 
kemarahan kakek gemuk ini. Disadarinya pula 
kalau dia tak akan bisa menang menghadapi De- 
wa Seribu Mata. Berarti, dia harus berusaha jan- 
gan sampai Dewa Seribu Mata menjadi gusar. Be- 
gitu melihat si kakek gemuk mendengus, buru- 
buru dia berkata, 

"Apakah tidak sebaiknya kau menjelaskan 
dulu sebab-sebab kau mencari Ratu Dinding Ke- 
matian?" 

"Kau adalah saudara seperguruannya, sa- 
ma-sama murid Dewa Pengasih! Dan tentunya ka- 
lian terus berhubungan! Jadi tak ada gunanya 
kau bertanya kecuali menjelaskan apa yang dila- 
kukan Ratu Dinding Kematian akhir-akhir ini!" 
kata Dewa Seribu Mata. Sesungguhnya dia me- 
mang masih tidak tahu mengapa Dewa Segala 
Dewa menyuruhnya menjumpai Ratu Dinding 
Kematian. Kendati demikian, Dewa Seribu Mata 
mulai menangkap satu isyarat mengapa Dewa Se- 
gala Dewa menyuruhnya seperti itu. 

"Kau salah besar, Orang tua gemuk! Sela- 
ma ini orang memang memandang aku dan Ratu 
Dinding Kematian adalah dua orang murid Dewa 
Pengasih yang berdamai. Padahal tidak sama se- 
kali." 

"Jangan dusta!" 

"Kami selalu menjunjung tinggi kejujuran 
dan selalu menghormati nama besar Dewa Penga- 
sih! Bila pertikaian yang belum lama ini terjadi di 
antara kami sampai terdengar dunia luar, secara 
tidak langsung kami telah mencoreng arang di 
wajah Dewa Pengasih!" 

"Kau pandai bicara rupanya!" 

"Kenyataan seperti ini memang tak ada 
yang mengetahui kecuali aku dan Ratu Dinding 
Kematian! Hingga bila kau menanyakan apa yang 
dilakukan olehnya akhir-akhir aku jelas tidak ta- 
hu kecuali dia hendak membunuhku!" 

Memicing mata orang tua gemuk itu. Le- 
hernya yang menyatu dengan badannya bergerak- 
gerak sejenak. 

"Mengapa dia hendak membunuhmu?" Ra- 
tu Tanah Kayangan tersenyum. Seraya merang- 
kapkan kedua tangannya di depan dada dia men- 
jawab, "Biarpun kau hendak membunuhku saat 
ini juga, aku tak bisa mengatakannya padamu. 
Karena kau tentunya tahu Orang tua, kalau seo- 
rang anak manusia berhak untuk menyimpan se- 
gala rahasia yang menurutnya patut disimpan...." 

Dewa Seribu Mata mendengus jengkel. 

"Kau pandai bicara! Apakah tindakan yang 
kau lakukan itu semata untuk menutupi keadaan 
yang sebenarnya?" 

"Apa maksudmu untuk menutupi keadaan 
yang sebenarnya, Orang tua?" 

"Kau mencoba mengalihkan perhatianku 
dari Ratu Dinding Kematian...." 

Kendati hatinya mulai geram, perempuan 
berpakaian biru keemasan ini hanya tersenyum. 

"Sebelum melihat kenyataan yang ada, je- 
las kau tak akan bisa menerima setiap jawaban- 
ku...." 

Dewa Seribu Mata mendengus. "Aku juga 
tidak tahu mengapa aku jadi memaksa seperti ini. 
Jelas-jelas Ratu Dinding Kematian tak ada hu- 
bungannya dengan pencurian bunga-bunga ke- 
ramat. Dewa Segala Dewa nampaknya mencurigai 
keterlibatan Ratu Dinding Kematian. Aha! Aku 
tahu! Dewa Pengasih satu-satunya orang yang di- 
ketahui yang dapat mematahkan mantra Dewa 
Segala Dewa. Tak mustahil memang bila Ratu 
Dinding Kematian memiliki ilmu itu sehingga De- 
wa Segala Dewa mencurigainya? Tetapi... Dewa 
Pengasih memiliki dua orang murid. Mengapa 
Dewa Segala Dewa tidak menyuruhku untuk 
menjumpai perempuan di hadapanku ini?" 

Suasana hening. Beberapa helai daun ber- 
guguran, sebagian melayang dihembus angin pagi 
dan jatuh entah ke mana. Pagi sudah merambat 
pelan. Bias-bias sang fajar kini telah berubah 
menjadi cahaya yang nanti akan datang segumpal 
sinar terang menjadi penerang persada. 

Tiba-tiba Ratu Tanah Kayangan berkata, 
"Orang tua gemuk, bila kau tetap membungkam 
mengapa kau mencari Ratu Dinding Kematian, 
sebaiknya kita berpisah di sini! Tanpa menguran- 
gi rasa hormatku padamu, aku suka berjumpa 
denganmu, tetapi urusan yang ada di depanku 
harus segera kuselesaikan!" 

Dewa Seribu Mata hanya mendengus. Ratu 
Tanah Kayangan menganggap dengusan itu seba- 
gai satu tanda. Setelah menganggukkan kepa- 
lanya sekali, perempuan jelita ini sudah berlari ke 
arah timur. Hatinya dipenuhi tanya yang tak ber- 
kesudahan. Juga dipenuhi kegelisahan ketika 
menyadari kalau Ratu Dinding Kematian telah 
menguasai bunga-bunga keramat. Hanya itulah 
satu-satunya jawaban yang bisa dipergunakan 
sebagai pegangan atas sikap Dewa Seribu Mata. 

Dewa Seribu Mata sendiri tetap terdiam di 
tempatnya. Sesaat terlihat matanya seperti mem- 
bayang di bagian atas dan bawah wajahnya. 

"Semuanya bikin otakku pusing! Pusing! 
Padahal jelas-jelas Raja Naga yang bikin semua 
urusan yang berantakan seperti ini! Huh! Seperti 
niatku semula, sebaiknya aku pergi untuk meli- 
hat Purwa dan Sibarani yang menjaga Bunga Ma- 
tahari Jingga. Karena bunga itulah satu-satunya 
yang belum didapatkan oleh Raja Naga!" 

Setelah mendengus berulang-ulang, kakek 
gembrot ini melangkah. Langkahnya terlihat san- 
gat berat, tapi dua kejapan mata berikutnya, so- 
soknya telah lenyap dari pandangan. 

* * *

SEMBILAN 

PADA saat yang bersamaan, Raja Naga 
bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon. 
Hampir dua penanakan nasi dia memutuskan un- 
tuk beristirahat. Sisa daging panggang dan bekas 
kayu-kayu bakar masih nampak. Aroma sisa dag- 
ing panggang itu masih menguar, sedikit menerpa 
hidungnya. 

Anak muda bersisik coklat ini memandangi 
sekelilingnya. Perasaannya kian tak menentu. 
Keinginan yang ada di hatinya adalah menun- 
taskan persoalan yang teramat mengganggunya. 
Raja Naga masih beranggapan, kalau Puspa Dewi- 
lah yang melakukan semua ini. 

"Aku bertambah yakin, kalau akan sema- 
kin banyak orang-orang seperti Dewi Lembah Air 
Mata yang memburuku. Kemungkinan besar 
Purwa dan Sibarani telah mengatakannya pada 
semua orang. Ah, bunga-bunga keramat. Aku 
sendiri tidak tahu apa yang di maksudkan dengan 
bunga-bunga keramat." 

Raja Naga melangkah. Di hadapannya ada 
sebuah pohon manggis hutan yang sedang ber- 
buah lebat. Diambilnya sebatang kerikil yang se- 
gera dilemparnya ke atas. 

Tas! 

Serenceng manggis hutan meluncur ketika 
tangkainya patah terhantam kerikil itu. Cekatan 
sekali Raja Naga menyambarnya. Sambil menik- 
mati manggis hutan itu, dia kembali memikirkan 
kejadian yang dialaminya. 

"Kalau kuputuskan untuk mencari Puspa 
Dewi nampaknya juga tidak membawa keberun- 
tungan. Mencari Purwa dan Sibarani untuk men- 
jelaskan duduk masalah yang sebenarnya, bu- 
kanlah sebuah tindakan yang bijak. Namaku su- 
dah coreng moreng di benak mereka, termasuk 
orang-orang yang tentunya berhubungan erat 
dengan bunga-bunga keramat. Berarti...." 

Sambil mengupas lagi sebuah manggis hu- 
tan dan menikmati rasanya yang sedikit asam, 
Raja Naga meneruskan ucapannya, "Ya... berarti 
satu-satunya cara yang tepat, adalah mendatangi 
Bunga Matahari Jingga. Mungkin aku bisa me- 
nunggu kedatangan si pencuri yang sebenarnya 
dan menangkap basah tindakannya. Cuma kesu- 
litannya, aku tidak tahu di mana Bunga Matahari 
Jingga itu berada..." 

Lima buah manggis hutan telah masuk ke 
perutnya. Sebagian sisanya diletakkan di tempat 
yang langsung terlihat. 

"Mudah-mudahan ada yang lewat dan me- 
makannya hingga buah-buahan ini tidak sia-sia." 

Kembali diperhatikan sekelilingnya yang 
sepi. Angin yang berhembus cukup mendirire- 
mangkan bulu roma, karena suaranya laksana 
bisikan setan. Beberapa helai daun jatuh. Sejak 
tadi burung-burung ramai beterbangan. Cahaya 
matahari telah menerobos sela-sela dedaunan. 

"Puspa Dewi! Aku harus bulatkan tekad 
untuk mencarinya!!" 

Segera anak muda berompi ungu ini berlari 
untuk keluar dari hutan itu. Perasaannya benar- 
benar tidak tenang. Hatinya juga geram. Karena 
orang lain yang berbuat, dia yang harus memikul 
beban tanggung jawab. 

Tepat matahari sepenggalah, pemuda dari 
Lembah Naga ini menghentikan langkahnya di ja- 
lan setapak, tak jauh dari hutan yang baru dilin- 
tasinya. Saat itu pula pendengarannya yang tajam 
mendengar suara orang berteriak-teriak keras, 
penuh amarah. 

Segera Raja Naga berkelebat untuk mencari 
sumber keributan itu. Setelah ditemukannya, di- 
lihatnya Puspa Dewi sedang menghindari serga- 
pan-sergapan ganas dua lelaki berkepala gundul. 
Kedua lawannya itu berusia sekitar empat puluh 
tahun. Mengenakan jubah berwarna jingga laksa- 
na seorang pendeta. Di leher mereka melingkar 
butiran tasbih yang cukup besar. Yang sebelah 
kanan menyerang Puspa Dewi dengan tangan ko- 
song, sementara yang sebelah kiri menyergap 
dengan tongkat yang bagian ujungnya bundar 

Raja Naga sendiri hanya memperhatikan 
saja dari balik pohon. Dia senang kalau akhirnya 
dapat menemukan Puspa Dewi lagi. Tetapi yang 
membuatnya heran, mengapa kedua lelaki seperti 
pendeta itu nampak berusaha untuk membunuh 
Puspa Dewi yang menghindar dan melawan den- 
gan mempergunakan pedangnya. 

Dan anak muda berompi ungu itu tersen- 
tak tatkala melihat pakaian bagian belakang yang 
dikenakan Puspa Dewi. Pakaian itu telah robek 
hingga memperlihatkan kulit punggungnya yang 
mulus! 

"Apa yang sebenarnya terjadi?" desisnya te- 
tap berada di balik pohon itu. "Sebaiknya kubiar- 
kan saja dulu...." 

Pertarungan sengit itu terus berlangsung 
alot. Dua lelaki berkepala plontos terus mendesak 
Puspa Dewi yang memainkan pedangnya dengan 
kelincahan luar biasa. Sesekali gadis jelita itu 
membuat gebrakan yang mengejutkan. Tetapi di 
lain saat dia mundur dengan tubuh tergontai- 
gontai. Rambut indahnya yang dikuncir ekor ku- 
da dan diberi pita berwarna kuning, melompat- 
lompat seiring wajahnya yang mendadak pucat. 

Raja Naga yang melihat akan hal itu ter- 
sentak. 

"Astaga! Ada yang tidak beres pada Puspa 
Dewi! Dari gerakan yang diperlihatkan, seharus- 
nya dia sudah dapat mengalahkan kedua pendeta 
itu! Tetapi, nampaknya dia mengalami gangguan 
pernapasan hingga kesulitan untuk mengatur na- 
pas guna keluarkan tenaga dalam. Tapi... biar 
kuperhatikan sekali lagi...." 

Letupan demi letupan yang terdengar se- 
makin ramai. Ranggasan semak yang terpapas ra- 
ta, tanah yang berhamburan ke udara, pepoho- 
nan yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, 
mengudara. Membuat tempat itu bertambah po- 
rak poranda. 

Di tempatnya Raja Naga mengangguk- 
anggukkan kepalanya. 

"Darah yang keluar dari bibir Puspa Dewi 
memang menunjukkan kalau dia mengalami 
gangguan pernapasan. Tenaga dalamnya jadi ter- 
tahan dan itu menyebabkan pendarahan di da- 
lam. Gadis itu tak boleh terluka, aku masih harus 
mengorek keterangan tentang bunga-bunga ke- 
ramat...." 

Di seberang, lelaki gundul bersenjata tong- 
kat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan kanan 
kirinya erat menggenggam tongkatnya yang siap 
mengetok pecah kepala Puspa Dewi. Di pihak 
lain, temannya meluruk laksana banteng ketaton 
mengamuk dengan kepala plontos yang siap 
menghajar perut Puspa Dewi! 

Puspa Dewi sendiri nampak kepayahan. 
Napasnya terasa sangat sesak. Dia hanya mem- 
buang tubuh ke samping kanan. Dua letupan ke- 
ras terdengar. Namun pada serangan berikutnya, 
gadis manis bertahi lalat pada pelipis sebelah ki- 
rinya memekik tertahan. Pedang berhulu kepala 
elangnya terlepas ketika tersambar tongkat si 
pendeta gundul. 

Sementara lawannya yang seorang lagi, me- 
luruk kembali dengan kepala siap menghantam 
perutnya! 

Tiba-tiba saja terdengar suara orang men- 
deham keras, disusul dengan menggebraknya ge- 
lombang angin deras yang disemburati asap me- 
reka! 

Tongkat si pendeta gundul yang siap 
menghancurkan kepala Puspa Dewi tiba-tiba saja 
tertahan satu tenaga yang tak nampak. Bersa- 
maan orang itu tersentak ke belakang, lelaki yang 
satunya lagi merandek gusar seraya buang tubuh 
ke samping kanan tatkala merasakan adanya de- 
ru gelombang angin deras ke arahnya. 

Blaaammmm!! 

Gelombang angin itu menghantam sebuah 
pohon yang seketika bergetar dan menggugurkan 
dedaunannya. Dua kejapan mata berikut, pohon 
itu tumbang perdengarkan suara bergemuruh. 

Tiga pasang mata segera mengarahkan 
pandangan ke depan. Puspa Dewi yang lebih dulu 
berseru, "Boma Paksi" 

Boma Paksi tersenyum dan berkata, "Me- 
nyingkir...." 

Dua lelaki berkepala plontos itu sudah ten- 
tu gusar bukan main. Mereka segera berdiri tegak 
dengan mata membelalak lebar. Sorot kebencian 
nampak jelas di mata masing-masing orang. 

"Pemuda berompi ungu! Bila kau ingin 
mampus, kau dapat tunggu giliran!!" bentak yang 
memegang tongkat. Wajahnya menekuk. Saat itu- 
lah terlihat codetan pada keningnya. 

Raja Naga tak menjawab. Bibirnya merapat 
dingin. Sorot matanya yang angker menghujam 
masing-masing orang. 

"Aku tak pernah suka memperpanjang 
urusan! Gadis itu adalah sahabatku dan aku ber- 
hak untuk membantunya! Kuminta dengan san- 
gat pada kalian, agar segera tinggalkan tempat 
ini!" 

"Terkutuk! Anak kemarin sore berani ber- 
tingkah di hadapan Setan Gundul Hutan Laran- 
gan!!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Setan Gundul? Astaga! Mengapa begun- 
dal-begundal busuk macam kalian memakai baju 
pendeta?" 

"Bunuh kedua manusia celaka itu, Boma!!" 
seru Puspa Dewi sambil mengatur napasnya. Ke- 
dua tangannya bergetar saat dirangkapkan di de- 
pan dada. "Terkutuk!" makinya dalam hati. "Un- 
tung aku masih bisa mengendalikan uap busuk 
ini. Kalau tidak...." 

Si gadis tak lagi meneruskan kata batin- 
nya. Dia segera bersemadi memulihkan keadaan- 
nya. 

Di pihak lain, lelaki gundul bersenjata 
tongkat yang bernama Cokro Kliwing sudah me- 
nerjang dengan ayunan tongkatnya berujung bu- 
lat. 

WuuutttH 

Desiran angin keras menggebrak. Raja Na- 
ga cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil 
merunduk. Di lain saat dia harus mundur karena 
lelaki bernama Jodro Kliwing pun sudah melan- 
carkan jotosan. 

"Hebat! Keduanya sama sekali tak menga- 
lami surut tenaga! Sementara Puspa Dewi sudah 
begitu kelelahan! Tapi itu jelas karena Puspa Dewi 
kesulitan bernapas. Dan aku tak yakin kalau ga- 
dis itu mempunyai penyakit kesulitan bernapas. 
Berarti... kedua orang ini yang telah meracuninya. 
Meracuninya? Astaga! Kepalaku jadi pusing...." 

Dua serangan ganas itu dibalas oleh Raja 
Naga dengan dehemannya yang mengandung te- 
naga dalam tinggi, juga tangkisan tangan kanan 
kirinya yang sebatas siku dipenuhi sisik berwarna 
coklat. Tangan yang dipenuhi sisik-sisik coklat itu 
memiliki kekuatan tiada tara. 

Jodro Kliwing memekik kaget ketika tan- 
gannya membentur tangan Raja Naga. Seketika 
dia mundur dengan tangan kanan kiri yang mem- 
biru. Melihat hal itu, Cokro Kliwing menjadi gu- 
sar. Tetapi dia tak mampu meneruskan seran- 
gannya ketika tanah tiba-tiba berderak dan berge- 
lombang ke arahnya begitu Raja Naga men- 
jejakkan kaki kanannya di atas tanah! 

Menyusul suara menggetarkan jantung itu 
terdengar keras, "Kalian sebaiknya menyingkir 
dari sini sebelum menyesal!" 

Baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing 
sama-sama mengangkat kepala, memandang ke 
depan. Saat itu pula jantung mereka laksana di- 
remas-remas tangan kasar. 

"Gila! Tatapannya itu... Jodro kau melihat- 
nya?!" 

"Ya! Kita bertemu dengan manusia iblis!" 
sahut Jodro Kliwing yang tangannya masih mem- 
biru. "Cokro! Untuk saat ini biar kita mengalah, 
juga gagal untuk menikmati tubuh gadis yang 
ternyata berisi itu! Kita menyingkir untuk kelak 
muncul kembali!!" 

Lelaki gundul dengan codet pada kening- 
nya itu mengangguk-angguk kendati dia tidak 
puas dengan yang dikatakan Jodro Kliwing. Mas- 
ing-masing orang tak ada yang buka suara saat 
berlalu, tetapi sorot mata mereka yang mengan- 
dung kebencian mengisyaratkan kalau kelak me- 
reka akan muncul kembali 

Sepeninggal kedua lelaki berkepala plontos 
itu, Raja Naga menghampiri Puspa Dewi yang se- 
dang bersemadi. Diperhatikannya raut wajah ma- 
nis di hadapannya itu. Sejenak hati Raja Naga 
meragu. Apakah memang gadis manis ini yang 
melakukan serangkaian pencurian terhadap bun- 
ga-bunga keramat. 

Ditindih pertanyaannya itu. Dia harus 
mengorek keterangan yang jelas. Juga akan dita- 
nyakannya mengapa dia bisa bertarung dengan 
Setan Gundul Hutan Larangan. 

Setelah beberapa saat menunggu, Raja Na- 
ga melihat Puspa Dewi menghentikan semadinya. 
Napasnya mulai teratur dan wajahnya kembali 
dihiasi kesegaran dan rona merah. 

Raja Naga menyapa, "Apa kabarmu, Puspa 
Dewi?" 

Tiba-tiba saja sepasang mata gadis bertahi 
lalat di pelipis sebelah kiri itu membuka lebar. 
Mulutnya merapat dingin. Pelan-pelan kilatan 
berbahaya jelas di matanya. Kedua tangannya 
mengepal kuat 

Raja Naga melengak kaget, karena tahu- 
tahu gadis itu sudah menyerangnya! 


SELESAI 

Ikuti kelanjutan serial ini :
RATU DINDING KEMATIAN