Raja Naga 3 - Misteri Menara Berkabut


UNTUK sesaat Raja Naga merasakan 
kepalanya agak bergoyang ke belakang. 
Kedua kakinya pun surut. Tapi di saat 
lain sepasang matanya yang bersinar 
angker memandang tajam pada gadis jelita 
berpakaian putih yang menatapnya tak 
mengerti. 

"Boma... ada apa?" tanya si gadis 
pelan dan tanpa sadar dia merasa ngeri 
dengan tatapan tajam itu. 

"Diah Harum. . . ulangi lagi apa yang 
kau katakan tadi," kata Raja Naga, 
suaranya dingin. 

"Apa... apa yang harus ku ulangi?" 
tanya si gadis yang pada bagian atas 
kedua dadanya yang membusung itu terdapat 
dua kuntum bunga mawar. 

"Siapa gurumu?" 

"Dia... bernama Dadung Bongkok...." 

"Keparat!!" 

"Boma! Ada apa ini? Mengapa kau 
kelihatan gusar?!" seru Diah Harum alias 
Dewi Bunga Mawar terkejut. 

Raja Naga menatapnya dalam. 

"Diah... apakah kau tidak tahu siapa 
gurumu itu?" 

"Yang kutahu Guru adalah seorang 
kakek baik-baik, seorang tokoh yang 
berada di jalan kebenaran." 

"Kau tahu siapa perempuan yang telah 
dibunuh oleh gurumu dua belas tahun yang 
lalu?!" 

"Dia... dia seorang perempuan biadab, 
istri seorang pendekar keparat berjuluk 
Pendekar Lontar...." 

"Dan kau tahu siapa orang yang berada 
di hadapanmu ini?!" 

"Boma! Ada apa ini? Mengapa kau 
menjadi begitu kasar?!" seru Diah Harum 
makin tak mengerti. 

Bentakan bernada menuntut dan serak 
itu menyadarkan Raja Naga dari amarah 
yang mengamuk di dadanya. Untuk beberapa 
saat pemuda berompi ungu ini menarik 
napas sambil menghentakkan kepalanya ke 
atas. Sepasang matanya yang bersinar 
angker menatap angkasa luas. Berulang 
kali dia menarik napas. 

Dewi Bunga Mawar yang tak mengerti 
akan sikap Boma Paksi memandang pemuda 
gagah yang berambut dikuncir, yang masih 
memandang angkasa. 

"Rasanya ada sesuatu yang salah yang 
membuatnya menjadi gusar seperti itu. Ada 
apa ini? Yang manakah ucapanku yang 
salah?" desisnya dalam hati bertanya- 
tanya . 

Didengarnya lagi kata-kata pemuda 
yang masih menengadah itu, "Diah Harum... 
maafkan sikapku tadi 

"Boma... aku tak mengerti mengapa kau 
menjadi gusar seperti itu! Katakan 
padaku, apakah ada ucapanku yang salah?!" 

"Gadis ini sama sekali tak mengerti 
apa yang telah terjadi. Tentunya Dadung 
Bongkok telah memutar kenyataan dan 
membikin si gadis menjadi mendendam pada 
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Aku bisa 
meraba sekarang apa yang diinginkannya 
menuju ke Lembah Naga. Tentunya Dadung 
Bongkok memerintahkannya untuk mengetahui 
keberadaan Guru dan diriku. Karena 
menurut cerita Guru, dia telah mengancam 
Dadung Bongkok atas perbuatannya yang 
menyebabkan Ibuku tewas," kata Boma Paksi 
dalam hati. 

"Boma! Katakan padaku, katakan! Ada 
apa? Jangan kau berdiam seperti itu?!" 
suara Dewi Bunga Mawar mengiba. Gadis 
yang baru saja ditolong dari kenistaan 
yang akan dilakukan oleh Renggana itu 
merasa tidak enak bila membuat si pemuda 
menjadi gusar terhadapnya. 

Raja Naga perlahan-lahan menurunkan 
kepalanya. Walaupun tatapannya tidak 
seangker tadi, tetapi tetap berkesan 
angker. Sesaat dipandanginya wajah jelita 
yang telah menggedor dadanya. 

"Diah Harum... kau tidak tahu apa 
yang sebenarnya terjadi. Gurumu telah 
menanamkan bibit permusuhan di dalam 
hatimu terhadap keturunan mendiang Pen- 
dekar Lontar dan Dewi Lontar...." 

"Aku tak mengerti apa yang kau 
katakan, Boma." 

Murid Dewa Naga menarik napas 
panjang. Sejenak dibawa pandangannya ke 
kejauhan sebelum kembali menatap wajah 
jelita yang masih menunggu jawabannya 
dengan tidak sabar. 

"Pendekar Lontar dan Dewi Lontar 
adalah sepasang suami istri yang berada 
di jalan kebenaran. Dan sesuatu yang 
mengejutkan terjadi karena pada malam dua 
belas tahun lalu, Pendekar Lontar 
ditemukan telah tewas tanpa ada yang 
mengetahui siapakah pelakunya. Menyusul 
kematian istrinya di tangan gurumu. Saat 
itu Dewi Lontar memang telah menyerahkan 
pusaka Pendekar Lontar yang berupa 
gumpalan daun lontar kepada putranya, 
yang kemudian muncul untuk membantu 
ibunya. Alangkah pedih hati si bocah 
tatkala mengetahui ibunya telah mening- 
gal. Lalu dengan keberanian penuh 
dicobanya untuk menuntut balas kematian 
ibunya pada orang yang telah membunuhnya. 
Tetapi jelas dia bukanlah tandingan si 
pembunuh. Sampai kemudian muncul Dewa 
Naga yang menyelamatkan si bocah. Si 
pembunuh sebenarnya sudah berulang kali 
mencoba merampas pusaka Pendekar Lontar 
tetapi selalu gagal. Dan malam itu dia 
juga gagal mendapatkannya karena ngeri 
terhadap Dewa Naga...." 

"Boma... kau menceritakannya begitu 
jelas seolah kau menyaksikan semua 
itu...," suara Diah Harum terdengar 
sinis. 

Boma Paksi menganggukkan kepalanya 
pasti. 

"Ya! Karena aku memang menyaksi- 
kannya ! " 

"Oh!" Bola mata si gadis menghujam 
tepat pada bola matanya. Lalu katanya 
terbata dibaluri ketegangan, "Boma... 
siapakah kau sebenarnya?" 

"Aku adalah putra mendiang Pendekar 
Lontar dan Dewi Lontar. Bocah yang hendak 
dibunuh oleh gurumu yang bernama Dadung 
Bongkok dan telah diselamatkan oleh Dewa 
Naga...." 

"Astaga!" surut kedua kaki Dewi Bunga 
Mawar dengan pandangan tegang. Lalu 
serunya tertahan, "Jadi... jadi... kau 
juga murid... Dewa Naga?!" 

"Ya! Aku adalah murid Dewa Naga!" 

Saat itu pula Dewi Bunga Mawar merasa 
kepalanya pusing. Otaknya kontan dipenuhi 
berbagai pikiran yang simpang siur. 
Berkali-kali gadis ini menggeleng- 
gelengkan kepalanya dengan cara disentak. 

"Tak mungkin... tak mungkin Guru 
membohongiku...." 

"Itulah kenyataannya. Gurumu 
menghendaki pusaka Pendekar Lontar untuk 
kepentingan pribadinya. Tetapi berulang 
kali dia gagal mendapatkannya. Bahkan di 
saat dia sudah berhasil, masih gagal pula 
karena kemunculan Dewa Naga. Diah... aku 
tahu apa yang diinginkan oleh gurumu 
dengan menyuruhmu untuk mendatangi Lembah 
Naga. Gurumu hendak memantau keadaan 
putra dari Pendekar Lontar karena dia 
tentunya teringat pada peristiwa dua 
belas tahun yang lalu. Dan perlu kau 
ketahui... aku pun akan menuntut balas 
atas perbuatan gurumu terhadap ibuku!" 

Diah Harum masih terdiam dengan 
kepala laksana dibebani oleh berjuta batu 
besar. Gadis Ini tak bisa mempercayai apa 
yang dikatakan Boma Paksi barusan. 

"Tak mungkin... tak mungkin Guru 
membohongiku. . . , " desisnya berulang 
ulang. 

Boma Paksi tak menjawab. Pemuda dari 
Lembah Naga ini hanya memandang saja. 
Tiba-tiba dilihatnya Diah Harum 
mengangkat kepala. Pandangannya angkuh 
dan tajam. Mulutnya merapat sebelum 
membuka. 

"Boma! Belum lama ini aku kagum 
terhadapmu! Tetapi sekarang kekaguman itu 
lenyap! Kau tak lebih dari seorang tukang 
fitnah belaka?" 

Raja Naga tak menyahuti ucapan Dewi 
Bunga Mawar. Dia hanya memandang saja. 

Karena sikap Boma Paksi itulah yang 
membuat Dewi Bunga Mawar yang sedang 
dipusingkan dengan apa yang didengarnya. 
meradang kembali. 

"Aku tahu kau memiliki ilmu yang 
sangat tinggi! Tetapi aku tak peduli! 
Siapa pun yang memfitnah guruku, dia akan 
mendapatkan balasan yang sangat 
menyakitkan!" 

"Diah... seharusnya aku yang marah 
karena ternyata kau adalah murid musuh 
besarku! Tetapi tindakan itu adalah 
sebuah kesalahan bila kutumpahkan kepada 
mu! Kau hanyalah seorang murid yang tidak 
ada sangkut pautnya dengan apa yang telah 
dilakukan gurumu dua belas tahun yang 
lalu!" 

"Jangan banyak omong! Kau telah 
memfitnah, Boma!" 

"Yang kukatakan adalah sebuah 
kebenaran! Dadung Bongkok telah menjejali 
pikiranmu dengan sebuah penjelasan palsu! 
Dia telah memutarbalikkan kenyataan!" 

"Selama ini aku sangat menghormati 
guruku, karena kebaikannya yang telah 
merawatku selama enam belas tahun! Dia 
adalah pengganti kedua orangtuaku yang 
tak pernah kukenal!" 

"Kau tahu bagaimana kau bisa menjadi 
muridnya?!" 

"Apa pedulimu dengan pertanyaanmu 
itu, hah?!" 

"Karena kau akan dapat menyusuri 
kebenaran!" 

"Peduli setan!" bentak Dewi Bunga 
Mawar berang. 

"Kau telah memfitnah guruku! Setinggi 
apa pun ilmu yang kau miliki aku tak 
peduli! Mulutmu harus kutampar karena 
kelancanganmu itu!!" 

Habis ucapannya dengan teriakan yang 
keras Dewi Bunga Mawar menerjang ke 
depan. Tangan kanan kirinya segera di 
dorong dengan keras yang segera 
menghampar gelombang angin berkekuatan 
tinggi. 

Raja Naga memandang tak berkedip. 
Keangkeran matanya menggigit kembali. 

"Gadis ini telah ditanamkan kebencian 
oleh gurunya pada keturunan Pendekar 
Lontar dan Dewa Naga! Hemm. . . apa yang 
dilakukannya semata karena dia tak suka 
mendengar gurunya dikatakan sebagai se- 
orang pecundang." 

Masih tanpa bergeser dari tempatnya 
Raja Naga mengangkat kedua tangannya. 

Buk! Buk! 

Benturan keras itu terjadi. Tetapi 
jangankan berpindah. Raja Naga bergeming 
saja tidak. Di pihak lain justru gadis 
jelita itu yang terpental ke belakang. 

Raja Naga memandang dingin. Kekuatan 
kedua tangannya yang sebatas siku 
dipenuhi sisik coklat memang luar biasa. 
Kalau dia mau, tadi dia bisa mematahkan 
kedua tangan Diah Harum! 

"Diah... kau terlalu dibutakan oleh 
perasaanmu sendiri! Padahal bila kau mau 
memikirkannya lebih dulu, kau akan sadar 
siapa gurumu!" 

"Guruku adalah orang baik-baik! Dan 
sekarang kau melontarkan fitnah yang 
menyakitkan! Boma... di balik perlakuan 
baikmu terhadapku, kau sebenarnya 
mempunyai maksud busuk! Aku yakin 
pertemuan kita yang kedua ini bukannya 
tidak disengaja, bahkan kau sengaja! Kau 
telah membuntutiku dengan harapan agar 
aku membawamu pada guruku!" 

"Diah Harum! Tanpa dirimu pun aku 
akan mencari pembunuh ibuku! Tetapi kau 
salah besar kalau mengatakan aku 
membuntutimu! Tidak sama sekali!" 

"Apakah aku harus mempercayai lagi 
ucapan seorang pembohong?!" seru Dewi 
Bunga Mawar dengan kemarahan bergolak. 
Dada padatnya bergerak turun naik. 

Kali ini Raja Naga tak menjawab. 

"Bila diladeni, gadis Ini akan 
menjadi semakin berang. Ternyata dia 
seorang yang keras kepala dan memiliki 
kepatuhan tinggi pada gurunya. Hemm... 
Dadung Bongkok yang memang harus bertang- 
gung jawab, dia telah mengisi perasaan si 
gadis dengan kebencian terhadap orang- 
orang yang dimusuhinya," katanya dalam 
hati . 

"Kau tidak menjawab, berarti kau 
memang menerima kukatakan sebagai seorang 
pembohong! Dan itu artinya kau memang 
pembohong!!" 

"Aku tak menjawab karena tak ingin 
menambah silang urusan ini semakin 
panjang! Urusanku adalah dengan gurumu!" 

"Setiap urusan Guru menjadi urusanku! 
Kita selesaikan saat ini juga!!" 

Habis bentakannya, si gadis memasuk- 
kan tangan kanannya ke balik pakaiannya. 
Ketika tangannya dikeluarkan, telah 
terdapat sebuah benda sepanjang sebuah 
pensil. Benda itu berwarna hitam 
berkilat. 

Raja Naga hanya memperhatikan. Dan 
mendadak ditegakkan kepalanya karena 
begitu digerakkan oleh Dewi Bunga Mawar, 
benda hitam sebesar pensil itu telah 
menjadi sepanjang dua lengan orang 
dewasa. 

"Urusan ini tak perlu berlarut-larut 
lagi! Harus diselesaikan sekarang juga!" 

Belum habis seruannya, Dewi Bunga 
Mawar sudah menggebrak ke arah Raja Naga. 
Senjata anehnya yang kini telah berubah 
menjadi sepanjang dua lengan orang 
dewasa, dikibaskan dengan cepat ke arah 
leher Raja Naga. Yang diserang hanya 
mundur satu tindak ke belakang. 

Wuusss!! 

Angin yang keluar dari kibasan 
senjata aneh Dewi Bunga Mawar mendadak 
menyebar. Kalau sebelumnya Raja Naga 
hanya mundur satu tindak ke belakang, 
kali ini dia justru melompat ke samping! 

Angin yang mendadak menyebar itu 
menghantam ranggasan semak yang seketika 
berhamburan ke udara! 

"Kau berilmu tinggi! Tapi kau hanya 
bisa melompat seperti seekor katak!" 

"Diah... aku tak ingin berurusan 
denganmu! Urusanku adalah dengan gurumu! 
Tak ada sangkut pautnya denganmu!" 

"Kau telah menyebarkan fitnah yang 
akan menyebar luas! Sebelum aib yang kau 
timpakan pada guruku semakin mengembang 
jauh, sebaiknya kau kubungkam terlebih 
dulu!" 

Dewi Bunga Mawar semakin ganas 
mencecar Raja Naga. Gadis jelita yang 
tersinggung karena gurunya dianggap 
sebagai seorang pembohong terus menyerang 
bagian-bagian berbahaya dari tubuh Raja 
Naga. 

Sesungguhnya menghadapi Dewi Bunga 
Mawar, Raja Naga tak mengalami kesulitan 
sama sekali. Tetapi dia hanya menghindar 
saja setiap kali Dewi Bunga Mawar 
melancarkan serangannya. Dan hal ini 
semakin membuat gusar Dewi Bunga Mawar. 

Serangannya kian ganas dan 
serampangan. Karena serampangan itu 
justru membuat Raja Naga agak 
kelimpungan. 

Bukkk! 

Perutnya terhantam tendangan keras 
yang dilepaskan Dewi Bunga Mawar. 
Mendapati serangannya berhasil mengenai 
sasarannya, gadis jelita itu terus 
merangsek masuk. 

"Diah! Tak ada gunanya kau melakukan 
tindakan ini! Kau telah dibutakan oleh 
kata-kata gurumu yang jahat itu!" 

Diah Harum tak menjawab, terus 
menyerang ganas. Di lain pihak Raja Naga 
yang sejak tadi hanya menghindar dan tak 
membalas, berpikir, "Kalau terus menerus 
diserang seperti ini aku bisa kena juga 
karena serangannya semakin kalap dan 
serampangan. Tetapi kalau kulayani justru 
akan memancing amarahnya. Berarti...." 

Memutus jalan pikirannya sendiri 
murid Dewa Naga segera melompat mundur 
sambil menggerakkan tangan kanannya. 

Dewi Bunga Mawar yang terus mendesak 
memekik keras tatkala merasakan tubuhnya 
seperti disampok dari kiri. Cepat gadis 
ini memutar tubuh dua kali di udara 
sebelum hinggap di atas tanah. 

"Diah Harum! Sampai kapan pun aku tak 
ingin menjadi lawanmu! Aku hanya ingin 
kita berkawan! Dan kupikir... lebih baik 
kita sudahi saja urusan ini!" 

"Boma Paksi! Jangan kabur kau! 
Sebelum kau menjalankan niat untuk 
membunuh guruku, hadapi aku lebih dulu!" 

Pemuda berambut dikuncir itu geleng- 
gelengkan kepalanya. Kalau biasanya 
tatapannya sedemikian angker, kali ini 
terlihat sinar murung di sana. Lalu 
katanya sambil menggelengkan kepala, 
"Saat ini mungkin kau tak akan bisa 
menerima segala yang kukatakan tentang 
gurumu! Tetapi percayalah, suatu hari kau 
akan melihat kebenarannya!" 

Diah Harum tak menyahuti seruan si 
pemuda. Dia telah menarik tangan kirinya 
sebatas dada, lalu didorong kuat-kuat. 
Saat itu pula menghampar awan-awan hitam 
yang menebarkan hawa dingin! 

Raja Naga menjerengkan matanya dengan 
dada sedikit berdebar. Dia menyesali 
mengapa keadaan berkembang buruk. Awan- 
awan hitam yang menebarkan hawa dingin 
itu semakin mendekat ke arahnya. Raja 
Naga segera menjentikkan telunjuk dan ibu 
jarinya. 

Triikk! 

Wrrrrr!! 

Wuussss!! 

Pyaaar. . . ! ! 

Awan-awan hitam itu pecah berantakan 
ke sana kemari, yang untuk sesaat 
menghalangi pandangan. Pecahannya 
menghantam ranggasan semak yang seketika 
membeku! 

Dewi Bunga Mawar menunggu tak sabar 
sampai awan-awan hitam yang menghalangi 
pandangannya itu lenyap. Baru saja awan- 
awan hitam itu lenyap, gadis ini sudah 
melesat ke depan seraya mengibaskan 
senjatanya. 

"Aku tak akan menyesal bila membunuhmu 
hari ini juga, Boma!

Heaaaaattt..  

Wussss! 

Blaairrr! 

Tanah langsung merengkah dan 
membubung tinggi begitu senjata si gadis 
menyusurnya! Tubuh si gadis sendiri masuk 
dalam kepulan tanah itu. Saat lain dia 
sudah melompat keluar dan berdiri tegak. 
Sepasang mata indahnya melotot gusar. 

"Brengsek! Di mana kau, hah?!" 
serunya keras. Karena Boma Paksi sudah 
tak berada di tempatnya. 

Dewi Bunga Mawar masih berteriak- 
teriak penuh kegusaran. Dadanya yang 
membusung bulat dan akan memancing 
perhatian kaum adam, bergerak turun naik. 

Saat lain dia sudah mendengus. Lalu 
menekan hulu senjatanya yang kembali 
menjadi sebesar telunjuk. 

Setelah masukkan kembali ke balik 
pakaiannya, gadis jelita berpakaian putih 
bersih itu sudah berkelebat meninggalkan 
tempat itu. 

***


DEWI Bunga Mawar terus berlari dengan 
dada masih dibuncah kemarahan. Kebencian- 
nya pada Boma Paksi semakin menjadi-jadi. 
"Walaupun dia pernah menolongku, aku tak 
peduli! Siapa pun orangnya yang menghina 
Guru, akan kuhajar sampai babak belur!" 
makinya sambil terus berlari. Wajah 
jelitanya dipenuhi rona merah karena 
amarah. 

Di sebuah persimpangan, murid Dadung 
Bongkok ini menghentikan langkahnya. Di 
hapus keringatnya dengan telapak tangan- 
nya sambil mengedarkan pandangan ke 
sekeliling. 

"Keparat! Ke mana perginya pemuda 
bersisik coklat itu?!" desisnya geram 
karena dia sudah kehilangan jejak pemuda 
yang dikejarnya. Dewi Bunga Mawar 
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah 
yang seketika muncrat sebatas dengkul. 

Dada padatnya yang selalu menarik 
mata lelaki untuk terus memandang, 
bergerak naik turun. Gadis berpakaian 
putih ini kepalkan kedua tangannya kuat- 
kuat . 

"Aku akan tetap mencari Lembah Naga! 
Perintah Guru harus kujalankan!" desisnya 
kemudian dengan mulut agak dirapatkan. 

Baru saja habis ucapannya, Dewi Bunga 
Mawar menoleh ke samping kiri karena dia 
menangkap suara bernada kesakitan. Saat 
itu pula dilihatnya seorang lelaki tua 
berjubah hitam melangkah sempoyongan 
sambil memegangi dadanya. 

Sejenak Diah Harum memperhatikan si 
kakek yang di kepala plontosnya terdapat 
tanda matahari itu, sebelum kemudian dia 
melengak dan buru-buru bergerak. Karena 
sosok si kakek sudah sempoyongan dan akan 
ambruk. 

"Bertahan, Kek!" desisnya sambil 
merebahkan tubuh si kakek berjubah hitam 
di atas rumput. 

Kakek yang bukan lain Iblis Telapak 
Darah adanya ini mengeluh. Wajahnya pucat 
pasi. Keringat membanjiri sekujur tubuh- 
nya . 

Dewi Bunga Mawar cepat bertindak. 
Dibukanya pakaian yang dikenakan si 
kakek. Dilihatnya tanda merah di sana. 

"Terkutuk! Siapa yang membuatmu 
celaka begini, Orang Tua?!" serunya 
dengan amarah yang mendadak naik. 

Iblis Telapak Darah menahan sakit. 

"Dia... dia... akhhh!" 

"Jangan banyak bicara dulu! Kau 
tenanglah... kosongkan tenaga dalammu..," 
desis Dewi Bunga Mawar kemudian. Lalu 
segera ditempelkan telapak tangan ka- 
nannya di atas dada Iblis Telapak Darah 
dan dialirkan tenaga dalamnya. 

Dalam waktu yang singkat sekujur 
tubuh si gadis sudah dibanjiri keringat. 
Sesungguhnya Dewi Bunga Mawar memiliki 
kelembutan dan hati yang baik. Dia memang 
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, 
terutama tentang gurunya sendiri. 

"Gila!" desisnya dengan wajah agak 
pucat. "Telapak tanganku terasa panas! 
Tentunya orang yang mencelakakan kakek 
ini memiliki ilmu yang tinggi!" 

Lalu ditempelkan pula telapak tangan 
kirinya. Dengan kedua telapak tangan yang 
menempel di dada si kakek, kembali 
dialirkan tenaga dalamnya. Ditahannya 
hawa panas yang keluar dari tubuh si 
kakek kuat-kuat. Keringat makin banyak 
membanjiri tubuhnya. 

Mendadak dia melihat si kakek mengembung. 

"Muntahkan, Kek!" 

"Huaaakkk!!" 

Darah hitam menyembur dari mulut 
Iblis Telapak Darah, sebagian mengenai 
kedua tangan Dewi Bunga Mawar. Bersamaan 
muntahan darah itu Iblis Telapak Darah 
jatuh pingsan. 

Dewi Bunga Mawar mengangkat kembali 
kedua telapak tangannya. Dipandanginya 
wajah si kakek yang pingsan. 

"Aku tidak tahu siapa kakek ini. 
Tahu-tahu dia muncul dengan membawa luka 
parah. Ah, bila saja aku tak segera 
menolongnya, mungkin dia tak akan bisa 
hidup lebih lama...." 

Lalu diperhatikan sekelilingnya yang 
sepi. Kemudian dia beranjak untuk mencuci 
tangannya. Di sekitar sungai di mana dia 
mencuci tangan banyak tumbuh pohon 
manggis hutan yang berbuah lebat. Dengan 
mudah saja Diah Harum mendapatkannya dan 
kembali ke tempat Iblis Telapak Darah. 

Iblis Telapak Darah masih pingsan. 

"Ah, banyak waktuku yang terbuang 
sekarang padahal aku harus segera 
menemukan Lembah Naga! Juga menemukan 
kembali di mana Boma Paksi berada! Aku 
tak mau pemuda itu menyebarkan fitnahnya 
ke segenap penjuru! Tapi...." 

Kembali dipandanginya wajah plontos 
yang pingsan ini. 

"Bagaimana dengan Kakek ini? Tak 
mungkin aku meninggalkannya sendirian?" 
desisnya pelan. Setelah beberapa saat 
terdiam, Dewi Bunga Mawar akhirnya 
memutuskan untuk menunggu sampai si kakek 
siuman. 

Hampir sepenanakan nasi dia berlutut 
di samping Iblis Telapak Darah yang 
pingsan sebelum kemudian didengarnya 
suara batuk-batuk si kakek. 

Cepat Diah Harum mengalirkan lagi 
tenaga dalamnya, kali ini melalui kedua 
ibu jari kaki si kakek. Wajah pucat si 
kakek perlahan-lahan mulai menghilang, 
demikian pula dengan keringatnya. 

Iblis Telapak Darah membuka kedua 
matanya. Sesaat langsung dipejamkannya 
kembali. 

"Anak gadis... terima kasih atas 
bantuanmu...," desisnya pelan. 

Karena memburu waktu, Diah Harum 
langsung mengajukan tanya, "Orang tua... 
apa yang telah terjadi denganmu?" 

Iblis Telapak Darah tak buka suara. 
Dia berbaring sesaat. Di saat lain 
perlahan-lahan dia bangkit, duduk ber- 
selonjor. Dadanya tidak lagi dirasakan 
nyeri. Napasnya sudah mulai teratur. 

Lalu dipandanginya gadis di hadapan- 
nya ini. 

"Siapa gadis ini sebenarnya? Dari 
caranya bertindak, aku yakin dia memiliki 
sifat baik hati yang tinggi. Jarang 
sekali ada orang yang mau menolong 
sesama. Peduli setan walau dia telah 
menolongku! Dan terlalu bodoh bila 
kulewatkan kesempatan ini untuk menikmati 
kegairahan barang sejenak!" 

Iblis Telapak Darah yang punya 
pikiran kotor itu, masih memandang Diah 
Harum. Yang dipandang justru mengerutkan 
keningnya. 

"Kenapa dia memandangiku seperti 
itu?" desisnya dalam hati. 

"Kecantikannya sungguh luar biasa. 
Kulitnya putih mulus. Tentu tubuhnya 
penuh gairah yang menjanjikan," kata 
Iblis Telapak Darah dalam hati. "Aku 
harus mencari kesempatan untuk menikmati 
apa yang dimilikinya...." 

Kemudian katanya, "Anak gadis... 
mungkin kau tak akan percaya dengan apa 
yang terjadi padaku...." 

"Kau belum mengatakannya. Siapakah 
yang telah melakukan tindakan ini?" 

Iblis Telapak Darah terdiam. 
Kegeraman perlahan-lahan muncul pada 
wajahnya. 

"Sahabatku telah mampus dibunuh 
pemuda keparat itu! Setan alas! Akan 
kucari dia! Akan kubalas semua perlakuan 
ini ! " 

Kata-kata yang tak tahu juntrungannya 
itu membuat Diah Harum mengerutkan 
keningnya. 

"Orang tua... aku tak mengerti apa 
yang kau katakan. Sebaiknya kau jelaskan 
agar aku tidak banyak bertanya tanya...." 

Kembali Iblis Telapak Darah memandang 
gadis jelita di hadapannya. Sifat kotor- 
nya yang muncul itu semakin bergolak. 

"Sungguh bodoh bila aku tidak bisa 
menikmati keindahan tubuhnya!" desisnya 
dalam hati. Lalu katanya, "Sebenarnya aku 
mempunyai seorang sahabat yang berjuluk 
Iblis Penghancur Raga. Kami adalah dua 
tokoh dari timur yang selalu membela 
kebenaran! Dulu kami memang adalah pelaku 
keonaran tiada banding, tetapi kami sudah 
insyaf." 

"Bagus bila kau sudah tak melakukan 
lagi apa yang kau lakukan dulu!" 

"Beberapa hari lalu kami sedang 
melakukan perjalanan. Di tengah jalan 
kami berjumpa dengan musuh bebuyutan kami 
yang banyak buat keonaran! Mereka 
berjuluk Dua Serangkai Jubah Hijau! 
Karena tahu kedua orang itu selalu 
menimbulkan petaka, kami mencoba untuk 
menghentikan sepak terjang mereka! Tetapi 
begitu hampir berhasil, mendadak seorang 
pemuda muncul! Dia membela Dua Serangkai 
Jubah Hijau! Bahkan... sahabatku tewas di 
tangannya!!" 

"Orang tua... siapa pemuda keparat 
itu?" 

Iblis Telapak Darah yang memutar- 
balikkan kenyataan itu memandang si gadis 
dalam-dalam. Kemudian katanya, "Dia 
seorang pemuda yang kedua tangannya 
bersisik coklat...." Dilihatnya kepala si 
gadis menegak. Kendati merasa agak heran, 
Iblis Telapak Darah melanjutkan, "Dia 
bernama... Boma Paksi atau berjuluk Raja 
Naga!" 

Dilihatnya wajah si gadis berubah 
memerah. Ketegangan terbayang jelas, 
terutama dari sorot matanya yang menyi- 
ratkan amarah tinggi. Menyusul.... 

"Keparat! Lagi-lagi pemuda itu! Akan 
kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" 
Sudah tentu Iblis Telapak Darah 
terkejut mendengar ucapan Diah Harum. 
"Dari kata-katanya aku yakin kalau gadis 
ini pernah berjumpa dengan Raja Naga yang 
kesaktiannya seperti setan itu! Dan 
tentunya telah terjadi sesuatu yang 
membuatnya murka." 

Ditunggunya beberapa saat sampai 
gadis jelita di hadapannya itu kelihatan 
tenang. Lalu katanya, "Anak gadis... apa 
yang telah terjadi? Apakah kau mengenal 
pemuda itu?" 

Kepala Diah Harum mengangguk kaku. 

"Aku bukan hanya telah mengenalnya, 
tetapi juga akan membunuhnya!" 

"Mengapa?" 

"Pemuda itu telah memfitnah guruku!" 

"Memfitnah? Siapakah gurumu itu?" 

Diah Harum menatap tajam-tajam kakek 
yang di ubun-ubunnya terdapat gambar 
matahari. Lambat-lambat dia berkata, 
"Guruku bernama Dadung Bongkok!" 

Kontan kepala Iblis Telapak Darah 
menegak. 

"Astaga! Beruntung aku belum 
melakukan apa-apa terhadapnya! Dadung 
Bongkok! Gila! Bila kujalankan maksudku 
untuk mempermalukannya, bisa hancur tubuh 
ku dihajar oleh Dadung Bongkok!" 

Kendati merasa aneh dengan sikap 
kakek berjubah hitam itu, Diah Harum tak 
mempedulikannya. Gadis ini masih 
pada Boma Paksi. Bahkan sekarang dia tahu 
kalau Boma Paksi telah mencelakakan kakek 
di hadapannya. (Bagi teman-teman yang 
ingin mengetahui apa yang sebenarnya 
terjadi terhadap Iblis Telapak Darah dan 
Iblis Penghancur Raga, silakan baca 
"Kutukan Manusia Sekarat"). 

"Boma Paksi telah memfitnah guruku! 
Dia mengatakan kalau guruku adalah orang 
jahat! Dan pemuda yang ternyata putra 
mendiang Dewi Lontar itu akan menuntut 
balas atas kematian ibunya yang tewas di 
tangan guruku!" 

"Aku pernah mendengar kematian Dewi 
Lontar, tetapi aku tidak tahu siapa yang 
melakukannya. Dan sekarang aku tahu kalau 
Dadung Bongkok yang melakukan pembunuhan 
itu," kata Iblis Telapak Darah dalam 
hati . 

Kemudian katanya, "Anak gadis... 
siapakah namamu?" 

"Namaku Diah Harum. Guruku memberiku 
julukan Dewi Bunga Mawar...." 

"Dewi Bunga Mawar... ketahuilah, aku 
dan gurumu adalah bersahabat. Dan tak 
kusangka kalau pemuda berompi ungu itu 
adalah putra mendiang Dewi Lontar dan 
Pendekar Lontar. Lantas apa yang 
dilakukannya lagi?" 

"Dia muncul kembali setelah dua belas 
tahun menghilang untuk membalas dendam 
pada guruku! Padahal bila dia mau 
mempergunakan otaknya, tentunya dia akan 
maklum apa yang dilakukan Guru terhadap 
ibunya dua belas tahun yang lalu! Menurut 
Guru, Pendekar Lontar dan Dewi Lontar 
adalah manusia-manusia keji yang telah 
banyak menimbulkan keonaran hingga Guru 
merasa terpanggil untuk menghentikan 
sepak terjang kedua orang itu. Tetapi 
Boma Paksi justru memutar balikkan 
kenyataan!!" 

"Hebat! Dadung Bongkok berhasil 
memperdayai muridnya sendiri dengan 
memutar kenyataan yang ada! Bagusnya aku 
juga telah membohonginya! Dan nampaknya 
gadis ini begitu menjunjung tinggi 
gurunya hingga tidak rela orang memfitnah 
gurunya!" 

Habis membatin demikian, Iblis 
Telapak Darah yang langsung surut niat 
busuknya tadi berkata, "Dewi Bunga 
Mawar... apa yang dikatakan gurumu itu 
memang benar. Begitu pula dengan apa yang 
kau pikirkan. Tak seharusnya pemuda itu 
melakukan fitnahan terhadap gurumu. Dan 
juga tak seharusnya pemuda berompi ungu 
itu menolong Dua Serangkai Jubah Hijau, 
orang-orang golongan sesat yang banyak 
membuat keonaran. Kau tentunya akan 
bermaksud untuk menghajar pemuda itu, 
bukan?" 

Dewi Bunga Mawar memalingkan 
kepalanya. Memandang tajam pada Iblis 
Telapak Darah. 

"Orang tua... aku bukan hanya akan 
menghajarnya! Tetapi aku juga akan 
membunuhnya! Perlakuannya sudah kelewat 
batas mengingat kau terluka parah dan 
sahabatmu juga telah tewas dibunuhnya!" 

"Sebagai seorang sahabat gurumu dan 
seorang yang tak menyukai keonaran, sudah 
tentu aku berada di pihakmu! Aku pun akan 
membalas kematian sahabatku itu!" 

Dewi Bunga Mawar tersenyum. 

"Aku senang karena berjumpa dengan 
sahabat-sahabat Guru...." 

"Aku pun senang berjumpa dengan murid 
sahabatku itu," sahut Iblis Telapak Darah 
sambil tersenyum. Lalu sambungnya dalam 
hati, "Tak kusangka perkembangannya jadi 
seperti ini. Begitu mudah. Aku yakin, 
bila gadis ini tidak dalam keadaan amarah 
dan tidak dipengaruhi oleh gurunya yang 
dihormatinya, tentunya akan sulit 
mempengaruhinya. Aku yakin Dadung Bongkok 
pun mengalami kesulitan untuk 
mempengaruhinya...." 

"Orang tua... apakah kau sudah lebih 
baik sekarang?" 

Iblis Telapak Darah mengangguk. 

"Kalau begitu, kita berangkat 
sekarang. Karena... aku juga hendak 
menuju ke Lembah Naga!" 

Iblis Telapak Darah yang sedang 
berdiri mendadak terhuyung mendengar 
kata-kata Dewi Bunga Mawar, dengan kedua 
mata terbeliak. 

"Orang tua! Kau masih lemah!" seru 
Dewi Bunga Mawar sambil menyambar tubuh 
Iblis Telapak Darah. 

Iblis Telapak Darah menggeleng- 
gelengkan kepala dan diam-diam menelan 
ludahnya. 

"Tidak, aku tidak apa-apa!" 

"Kau yakin, Orang Tua?" 

Iblis Telapak Darah buru-buru 
mengangguk. 

"Ya! Kita berangkat sekarang! Tetapi 
menurutku, yang terpenting sekarang 
adalah menemukan dulu pemuda bersisik 
coklat itu! . Karena aku khawatir dia su- 
dah menyebarkan fitnahnya!" 

Kata-kata Iblis Telapak Darah di 
setujui oleh Dewi Bunga Mawar. 

"Ya! Kita lakukan itu sekarang!" 

Lalu keduanya pun segera meninggalkan 
tempat itu. Sambil berjalan, Iblis 
Telapak Darah membatin, "Menemukan Lembah 
Naga? Astaga! Sudah tentu aku tak mau ke 
sana! Aku hanya memanfaatkan kesempatan 
agar dia membantuku membunuh Boma Paksi! 
Sebagai murid Dadung Bongkok, tentunya 
ilmunya tak perlu disangsikan lagi!" 

★ ★ ★ 


MENJELANG senja Boma Paksi tiba di 
sebuah hutan kecil yang dipenuhi pepo- 
honan tinggi. Matahari masih mampu 
menerobosi pucuk-pucuk pepohonannya. 
Pemuda dari Lembah Naga ini memperhatikan 
sekelilingnya yang sepi sebelum kemudian 
menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali 
apa yang telah terjadi. Menyesali 
kenyataan kalau Dewi Bunga Mawar ternyata 
adalah murid dari musuh besarnya. 

"Dia begitu cantik, lembut dan 
bersahaja. Sungguh sangat disayangkan 
bila dia menjadi seorang murid manusia 
sesat seperti Dadung Bongkok." 

Sesaat murid Dewa Naga terdiam 
sebelum menghela napas panjang. 

"Ah, mengapa aku harus bertikai 
dengan gadis yang telah mengguncangkan 
perasaanku?" keluhnya pelan. Lalu di 
arahkan pandangannya pada seekor kelinci 
yang keluar dari sarang dan langsung 
berlari ke antara ranggasan belukar. 
"Memaksanya untuk mengatakan di manakah 
Dadung Bongkok berada merupakan sebuah 
tindakan yang tepat seharusnya, karena 
aku bisa mempersingkat waktu untuk 
menemukan orang yang telah membunuh 
ibuku. Tetapi... ah, aku tak mengerti, 
aku tak mengerti 

Pemuda tampan bermata angker ini 
kembali menggeleng-gelengkan kepalanya 
penuh keresahan. Untuk beberapa saat dia 
terdiam. Lalu ditariknya napas dalam- 
dalam. 

"Aku tak boleh mendua hati. Dadung 
Bongkok adalah salah seorang musuh 
besarku. Demikian pula halnya dengan 
Hantu Menara Berkabut. Kedua manusia itu 
harus menerima ganjaran atas perbuatan 
mereka dua belas tahun yang lalu pada 
kedua orangtuaku. Mereka harus mendapat- 
kannya! Sayangnya... aku tak tahu di mana 
mereka berada?" 

Kalau sebelumnya murid Dewa Naga 
dipusingkan dengan apa yang terjadi 
antara dirinya dan Dewi Bunga Mawar, kali 
ini dia segera memusatkan perhatiannya 
pada dua musuh besarnya. Sepasang matanya 
yang dapat menciutkan nyali orang bila 
melihatnya kembali bersinar angker. 

"Sebaiknya... kuteruskan langkah 
untuk menemukan di mana Menara Berkabut 
berada. Nenek Konde Satu pernah berkata 
padaku, kalau aku harus terus melangkah 
ke arah timur. Tetapi sampai sejauh ini 
aku belum menemukan tanda-tanda di mana 
Menara Berkabut berada. Jangan-jangan... 
aku telah melewatinya dan tidak tahu 
kalau di sanalah Menara Berkabut berada? 
Mengingat, tempat itu selalu diliputi 
kabut tebal yang sukar ditembus oleh 
pandangan? Ah... apa pun yang...." 

"Brengsek! Brengsek betul! Bandung 
Sulang telah mampus! Aku yakin manusia 
penghuni Menara Berkabut itu yang telah 
melakukannya! Keparat brengsek! Manusia 
itu benar-benar sudah melaksanakan 
aksinya!" 

Ucapan keras yang memutus kata-kata 
Raja Naga itu terdengar dari balik 
ranggasan semak. Menyusul semak setinggi 
dada itu merebak dan menyeruak satu sosok 
tubuh buntal memegang tombak warna biru. 
Orang yang baru muncul ini masih 
menggerutu panjang pendek. 

"Keparat betul manusia satu itu! Dia 
bukan hanya telah membunuh Pendekar 
Lontar, tetapi juga Bandung Sulang! 
Sialan! Jangan-jangan Pendekar Harum pun 
telah mampus dibuatnya! Sayang, waktuku 
masih dua hari lagi untuk menjumpai Dewa 
Segala Obat, jadi aku belum tahu apakah 
Pendekar Harum memang sudah tewas atau 
belum! Keparat betul!" 

Munculnya kakek gemuk berpakaian biru 
itu membuat kening Raja Naga berkerut. 
Karena si kakek masih saja mendumal tak 
karuan seperti tak tahu adanya orang di 
sana. Yang membuat Raja Naga merasa 
heran, karena dia sama sekali tak 
menangkap adanya gerakan orang. Tahu-tahu 
telah terdengar suara keras dan munculnya 
kakek gemuk itu! 

Bahkan tiba-tiba si kakek yang 
seperti tak memiliki leher karena 
banyaknya lemak, mengangkat kepalanya. 
Matanya memandang pada Raja Naga yang 
balas tak berkedip. 

"Hei, anak muda! Kau tahu... manusia 
keparat itu telah membunuh sahabatku 
Bandung Sulang! Bisa jadi dia juga telah 
membunuh Pendekar Harum! Terkutuk! Akan 
kurajam tubuhnya dengan tombakku ini!" 

Sementara itu kendati agak kaget 
karena tiba-tiba diajak bicara oleh orang 
yang baru muncul, Raja Naga mengerutkan 
keningnya. Matanya yang bersinar angker 
memandang tak berkedip pada si kakek yang 
tingginya hanya sebahunya saja. 

"Aneh! Baru kali ini aku berjumpa 
dengannya. Tetapi mengapa aku seperti 
sudah sangat mengenalnya?" desisnya dalam 
hati . 

Di pihak lain, si kakek bertubuh 
buntal sudah berseru lagi, "Kau tahu, 
melihat kuburannya yang masih baru, jelas 
Bandung Sulang belum lama tewas! Brengsek 
tidak?! Manusia keparat itu rupanya 
memberi selang waktu selama dua belas 
tahun untuk membalas segala kekalahannya 
dulu! Hei, Anak muda! Kau tahu apa yang 
akan kulakukan terhadap manusia sialan 
itu?! Aku bukan hanya akan merajamnya 
dengan tombakku ini, tetapi juga 
mencabik-cabik tubuhnya sampai menjadi 
ratusan kerat! Brengsek betul!" 

Raja Naga tak menyahuti kata-kata 
orang. Dia masih mencoba mengingat-ingat 
siapakah si kakek yang rasa-rasanya 
pernah dilihatnya. Dibiarkan saja si 
kakek gemuk itu berbicara keras. Tetapi 
karena tak menemukan jawaban akan 
keheranannya itu, berhati-hati Raja Naga 
buka suara, 

"Kakek bertubuh buntal! Ada apa kau 
tiba-tiba muncul dan mengomel-ngomel 
sendiri?" 

"Bagaimana aku tidak ngomel kalau 
sahabatku telah dibunuhnya?!" sahut si 
kakek dengan kepala terangkat. "Ini 
namanya keterlaluan! Manusia itu benar- 
benar sedang menjalankan aksi balas 
dendamnya!" 

"Kau tadi mengatakan kalau sahabatmu 
itu bernama Bandung Sulang?" tanya Boma 
Paksi hati-hati. 

"Betul! Kau mengenalnya?!" 

Raja Naga mengangguk dan menggeleng. 

"Busyet! Apa-apaan kau mengangguk dan 
menggeleng seperti itu, hah?! Kalau kau 
mengenalnya ya kenal, tetapi kalau kau 
tidak mengenalnya ya tidak!" 

"Aku mengenalnya karena aku 
menemukannya dalam keadaan sekarat dan 
menguburkannya! Aku tidak mengenalnya 
karena baru kali itu aku berjumpa 
dengannya! Kalaupun aku tahu siapa 
namanya karena aku berjumpa dengan 
perempuan tua berjuluk Nenek Konde Satu!" 
(Untuk mengetahui soal ini, silakan baca: 
"Kutukan Manusia Sekarat"). 

"Busyet! Rupanya nenek itu muncul 
juga? Brengsek! Pasti dia mau cari gara- 
gara lagi? Dulu dia yang menolak cinta 
Bandung Sulang, sekarang malah dia yang 
mengejar-ngejarnya!" kakek bertubuh gemuk 
itu memaki-maki tak karuan. 

"Kakek gemuk ini sepertinya bukan 
hanya mengenal kakek bernama Bandung 
Sulang tetapi dia juga mengenal Nenek 
Konde Satu. Ah, mengapa aku begitu merasa 
akrab dengannya? Siapa sebenarnya kakek 
ini?" tanya batin Raja Naga dalam hati 
sambil memandang si kakek yang mulutnya 
masih berbentuk kerucut. 

Tiba-tiba si kakek gemuk memalingkan 
kepalanya lagi dan berseru, "Kau tahu 
siapa yang telah membunuhnya?! Kau... 
hei!!" seperti baru menyadari keadaan 
pemuda di hadapannya, kakek gemuk ber- 
senjata tombak biru itu melotot. Mulutnya 
menganga sejenak sebelum bicara, "Kulit 
kedua tanganmu sebatas siku bersisik 
coklat, Anak Muda!" 

Raja Naga hanya mengangguk. 

Lama si kakek gemuk memandanginya 
seperti itu sampai kemudian dia buka 
mulut, "Di dunia ini... hanya seorang 
yang memiliki kulit penuh sisik, tetapi 
berwarna hijau! Dia adalah kakek brengsek 
tukang kentut yang berjuluk Dewa Naga! 
Anak muda... kedua tanganmu sebatas siku 
bersisik coklat. Aku tidak tahu apakah 
kamu ada hubungannya dengan Dewa Naga 
atau tidak! Biar aku tidak banyak tanya, 
sebaiknya kau jelaskan!" 

Karena merasa sudah pernah mengenal 
si kakek gemuk tetapi tidak ingat lagi di 
mana, Raja Naga menganggukkan kepalanya. 

"Dia adalah guruku...." 

"Astaga! Gurumu?! Busyet! Sejak kapan 
dia mengangkat seorang murid, hah?! Sejak 
kapan?!" 

"Sejak dua belas tahun yang lalu!" 

Kakek gemuk itu menggeleng gelengkan 
kepalanya sambil memandang Raja Naga. 

"Kau memiliki tatapan yang menge- 
rikan, Anak muda. Tatapanmu seperti 
hendak menerkam orang yang kau lihat! 
Tetapi aku yakin kau memiliki hati yang 
lembut dan kebaikan tiada tanding! Tadi 
kau katakan kalau Dewa Naga adalah 
gurumu... sekarang, bagaimana kabarnya?!" 

"Sepeninggalku dari Lembah Naga, dia 
baik-baik saja...." 

"Bagus! Apakah dia masih suka kentut 
sembarangan?!" 

Raja Naga hanya tersenyum. Lalu 
katanya, "Kakek bertubuh gemuk! Baru kali 
ini kita pernah bertemu, tetapi mengapa 
aku seperti telah mengenalmu?" 

"Brengsek! Apakah kau saja yang 
merasa seperti itu? Aku juga seperti 
mengenalmu!" balas si kakek gemuk ketus. 

"Astaga! Jadi dia juga merasa pernah 
mengenalku?" desis Boma Paksi dalam hati. 

Tiba-tiba kepala si kakek menegak. 
Karena seperti tak memiliki leher, jadi 
tegaknya kepala si kakek kelihatan lucu. 

"Anak muda... kau mengatakan kalau 
kau adalah murid Dewa Naga! Apakah sisik 
coklat pada kedua tanganmu, berasal dari 
ilmu yang diturunkan oleh Dewa Naga?" 

"Menurut Guru, aku sudah memilikinya 
semenjak lahir." 

"Tadi katamu pula kalau kau berguru 
padanya sudah dua belas tahun?" 

"Begitulah adanya!" 

"Berapa usiamu sekarang?" 

"Tujuh belas tahun!" 

"Astaganaga!" Kakek gemuk itu 
menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu 
katanya dengan suara sedikit tegang, 
"Apakah... apakah kau bernama... Boma 
Paksi?" 

Bersamaan dengan si kakek mengajukan 
pertanyaan seperti itu, Raja Naga pun 
berseru, "Kek! Kau tentunya Dewa Tombak, 
bukan? Ya, ya! Dewa Tombak!" 

"E, busyet! Ditanya apa menjawab apa! 
Tapi apa yang kau katakan tadi memang 
benar! Orang-orang rimba persilatan 
menjulukiku Dewa Tombak!" 

Raja Naga tersenyum. Tatapannya tetap 
berkesan angker. 

"Kau juga tidak salah, Kek. Namaku 
Boma Paksi. Pantas aku seperti pernah 
mengenalmu. Kalau tak salah ingat, kau 
hadir di saat ayahku meninggal, bukan?" 

"Brengsek betul!" maki Dewa Tombak 
tiba-tiba. "Dicari ke sana kemari selama 
dua belas tahun, rupanya kakek tukang 
kentut itu yang membawamu kabur, ya?!" 

Raja Naga cuma tersenyum. Ingatannya 
kembali pada peristiwa dua belas tahun 
yang lalu, di mana ayahnya ditemukan 
tewas tanpa diketahui penyebabnya. Dan 
kakek gemuk berpakaian biru ini pun 
datang ke sana (Untuk mengetahui lebih 
jelas silakan baca serial Raja Naga dalam 
episode : "Tapak Dewa Naga"). 

Di pihak lain si kakek gemuk yang 
ternyata Dewa Tombak masih mendumal tak 
karuan. Setelah berpisah dengan Dewa 
Segala Obat, Dewa Tombak segera menuju ke 
Bukit Gulungan untuk menjumpai Bandung 
Sulang. Karena saat itu Dewa Tombak punya 
satu pikiran, kalau Hantu Menara Berkabut 
yang menurut Dewa Segala Obat adalah 
orang yang telah membunuh Pendekar 
Lontar, saat ini sedang menjalankan aksi 
balas dendamnya. Sementara itu Dewa 
Segala Obat sendiri segera berangkat 
untuk melihat keadaan Pendekar Harum 
(Baca : "Kutukan Manusia Sekarat"). 

"Boma Paksi...," panggil Dewa Tombak. 

"Tentunya Dewa Naga telah menceritakan 
apa yang terjadi pada mendiang ayahmu, 
bukan?" 

"Ya! " 

"Jadi aku tak perlu menceritakannya 
lagi. Hantu Menara Berkabutlah yang telah 
membunuhnya." 

"Tetapi Guru tak pernah mengatakan 
bagaimana Hantu Menara Berkabut membunuh 
ayahku! Beliau memintaku untuk mencari 
Dewa Segala Obat!" 

"Kau tak perlu mencarinya karena saat 
ini kakek tukang obat itu sedang menemui 
Pendekar Harum! Boma... kau telah tumbuh 
menjadi pemuda gagah! Sisik-sisik coklat 
di kedua tanganmu dulu sangat halus 
hingga tak begitu kentara, tetapi 
sekarang cukup nyata! Anak muda... 
menurut Dewa Segala Obat, Hantu Menara 
Berkabut membunuh ayahmu dengan 
mempergunakan seekor lebah yang telah 
dilumuri berbagai jenis bisa ular!" 

"Lebah?" 

"Ya! Lebah itulah yang telah 
membunuhnya! Tetapi sayangnya, kendati 
ibumu mengetahui bagaimana ayahmu 
dibunuh, tetapi dia tidak tahu kalau 
Hantu Menara Berkabut yang telah 
melakukannya! Sekarang, ada persoalan 
yang masih membingungkanku! Siapakah 
orang yang telah membunuh ibumu?" 

Kepala Boma Paksi terangkat. Sorot 
angker mata nya semakin memancar dingin. 
Dewa Tombak yang melihatnya tanpa sadar 
agak bergidik. 

"Astaga! Tatapan itu benar-benar 
mengerikan!" desisnya dalam hati. 

Lamat-lamat dilihatnya si pemuda 
mengarahkan pandangannya ke kejauhan. 

"Dewa Tombak... orang yang membunuh 
ibuku bernama Dadung Bongkok!" 

"Busyet! Dia lagi rupanya! Aku juga 
sudah menduga seperti itu sebenarnya, 
tetapi aku masih meragu!" 

"Dewa Tombak... aku telah berjumpa 
denganmu, berarti aku tak perlu lagi 
mencari Dewa Segala Obat untuk mengetahui 
sebab-sebab kematian ayahku! Sekarang aku 
hendak bertanya padamu! Tahukah kau di 
mana Menara Berkabut berada?!" 

Kepala Dewa Tombak menggeleng. 
"Menara Berkabut adalah sebuah tempat 
yang sangat sukar dilihat oleh mata 
karena terhalangi oleh gumpalan kabut 
tebal! Sekencang apa pun angin berhembus 
kabut-kabut tebal itu tak akan bergeser 
sedikit juga!" 

"Kalau begitu... kau tahu di mana aku 
bisa menemukan Dadung Bongkok?" 

"Manusia satu itu selalu berpindah- 
pindah tempat! Dia tak pernah menetap di 
satu tempat lebih dari satu tahun! Kabar 
yang kudengar terakhir dia berdiam di 
Puncak Angin! Tetapi bisa jadi kalau dia 
sudah tidak berada di sana sekarang!" 

Paras Raja Naga terlihat agak kecewa. 
Sepasang matanya mengerjap-ngerjap. 

"Boma... kau telah tumbuh menjadi 
seorang yang gagah dan aku yakin kau 
telah mewarisi ilmu Dewa Naga! Kau tak 
sendiri di dalam niatmu untuk menemukan 
Dadung Bongkok!" 

Raja Naga tak menyahuti ucapan si 
kakek gemuk. Otaknya dipenuhi berbagai 
pikiran. Lalu katanya seraya memandang 
Dewa Tombak, "Terima kasih atas kesediaan 
mu membantuku! Tetapi biarlah aku yang 
tangani urusan ini!" 

"Sok tahu! Kau belum tahu kehebatan 
Hantu Menara Berkabut dan Dadung 
Bongkok?! Mungkin kau bisa menghadapi 
mereka bila satu lawan satu! Tapi 
bagaimana bila keduanya bergabung dan 
siap menghabisimu?! Bicara seenaknya 
saj a!" 

Raja Naga tak menghiraukan kata-kata 
si kakek gemuk. 

Dia berkata, "Kedua orangtuaku 
dibunuh secara kejam oleh Hantu Menara 
Berkabut dan Dadung Bongkok! Biarpun 
keduanya bergabung, aku tak peduli! Aku 
akan menghadapinya dengan segenap 
kemampuanku!" 

"Kau tentunya telah mewarisi seluruh 
ilmu si kakek tukang kentut itu! Bisa 
jadi kau memang akan mampu menghadapi 
keduanya! Tetapi perlu kau ingat, ilmu 
yang telah kita miliki belum tentu 
menjadi jaminan untuk menghadapi 
seseorang! Karena terkadang kelicikan 
lebih mengerikan akibatnya daripada ilmu 
kesaktian!" 

Raja Naga membenarkan apa yang 
dikatakan Dewa Tombak. 

"Aku akan berhati-hati" 

"Bagus! Aku hanya mengetahui sedikit 
tentang Menara Berkabut! Menurut kabar 
tempat itu berada di sebelah timur! 
Teruslah kau melangkah ke sana untuk 
menemukan tempat penuh misteri itu! Dan 
ingat, berhati-hatilah!" 

Raja Naga merangkapkan kedua 
tangannya. 

"Bukannya aku tak punya banyak waktu 
atau tak mau bercakap-cakap lebih lama, 
tetapi aku ingin menyelesaikan urusanku 
secepat mungkin!" 

"Ya, sudah! Sana pergi!" 

Raja Naga mengangguk. Saat lain dia 
sudah berlari meninggalkan tempat itu. 
Diiringi pandangan mata Dewa Tombak, 
murid Dewa Naga terus berlari ke arah 
timur. 

"Kegagahannya tentunya diwarisi dari 
ayahnya! Dan di balik kegagahannya itu 
juga terdapat kelembutan yang tentunya 
diwarisi dari ibunya! Tak kusangka, bocah 
yang selama dua belas tahun membuatku 
bertanya-tanya tentang nasibnya, rupanya 
sudah diambil murid oleh Dewa Naga! 
Hemm... kakek tukang kentut itu berhasil 
juga menjalankan apa kemauannya! Karena 
aku ingat kalau dia pernah meminta bocah 
yang pada punggungnya terdapat gambar 
seekor naga hijau untuk dijadikan 
muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya 
karena dia tentunya masih sedih atas 
kematian suaminya. Ah, waktu memang cepat 
berjalan. Bocah itu sudah tumbuh menjadi 
pemuda gagah dengan sisik-sisik coklat 
pada kedua tangannya sebatas siku yang 
semakin kentara? Heii! Apakah gambar 
seekor naga hijau pada punggungnya yang 
dibawanya dari lahir itu masih ada?" 

Dewa Tombak memutus kata-katanya 
dengan pertanyaannya sendiri. Untuk 
beberapa saat kakek gemuk ini menggeleng- 
gelengkan kepalanya. 

"Sisik coklat pada kedua tangannya 
masih ada, tentunya gambar seekor naga 
pada punggungnya juga masih ada. Ah, apa 
makna gambar seekor naga itu sebenarnya?" 

Lagi si kakek gemuk terdiam sebelum 
memandang lagi ke tempat berlalunya Raja 
Naga. 

"Mungkin hanya dia yang akan tahu 
kelak! Sebaiknya... aku menemui Dewa 
Segala Obat di Gunung Menjangan! Mudah- 
mudahan Pendekar Harum tak mengalami 
nasib sial seperti yang dialami oleh Pen- 
dekar Lontar dan Bandung Sulang!" 

Saat lain kakek gemuk berpakaian biru 
yang nampak sesak karena lemak pada 
tubuhnya sangat banyak, sudah meninggal- 
kan tempat itu, menempuh arah yang 
berlainan dengan yang ditempuh Raja Naga. 
Kendati tubuhnya sangat gemuk, tetapi 
gerakannya sangat lincah sekali. 

Sepuluh tarikan napas berikutnya, 
satu sosok tubuh melompat turun dari atas 
sebuah pohon yang tak jauh dari tempat 
Raja Naga dan Dewa Tombak berdiri tadi. 
Sosok tubuh kontet berkulit hitam legam 
itu hinggap di atas tanah tanpa 
menimbulkan suara. 

Untuk beberapa saat perempuan tua 
bertubuh kontet ini terdiam, matanya 
nyalang menatap ke arah perginya Dewa 
Tombak. 

"Apa yang menjadi kecemasanku selama 
ini memang terbukti! Putra mendiang 
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar masih 
hidup! Bahkan dia telah menjadi murid 
Dewa Naga! Terkutuk!" maki si perempuan 
tua berpakaian hitam dan berkulit hitam 
legam. 

Kembali perempuan tua kontet yang 
bukan lain Ratu Sejuta Setan ini 
menggeram, "Aku lebih dulu berada di sini 
sebelum pemuda bersisik coklat itu 
datang! Dan aku lebih cepat melompat ke 
balik pohon itu! Sebenarnya aku hendak 
menanyakan sesuatu pada pemuda itu, 
tetapi keburu muncul Dewa Tombak! 
Keparat! Kakek gemuk itu pernah 
mengalahkanku dua belas tahun yang lalu! 
Dan beruntung aku bersembunyi hingga 
mengetahui apa yang terjadi! Terutama 
siapakah pemuda bersisik coklat itu! Dia 
adalah Boma Paksi! Murid Dewa Naga! Ini 
berita besar untuk Dadung Bongkok dan 
Hantu Menara Berkabut! Hemm... biar 
kuikuti ke mana perginya pemuda bersisik 
itu! " 

Kejap berikutnya, Ratu Sejuta Setan 
sudah berkelebat ke arah perginya Raja 
Naga. 

★ ★ ★ 


PAGI kembali menghampar dengan 
keindahan alam tiada banding. Bila pagi 
hari datang diiringi dengan sinar indah 
matahari, akan jarang orang yang akan 
melewatkan kesempatan untuk menikmati 
keindahan itu. Sama seperti halnya dengan 
kakek berambut jarang yang mengenakan 
pakaian compang-camping. Si kakek yang 
pada pinggang kurusnya tercantel sebuah 
pundi, sedang asyik memandang keindahan 
pagi. 

Tak jauh darinya, Gunung Menjangan 
menjulang tinggi. Bila dilihat dari 
kejauhan puncak gunung itu berbentuk 
seperti kepala menjangan. 

Kakek berambut jarang ini menggeleng- 
gelengkan kepalanya. 

"Terkadang aku suka tak habis 
mengerti, mengapa manusia selalu dipenuhi 
ambisi dan dendam berkepanjangan? Padahal 
alam yang begitu indah dapat dijadikan 
sebagai tempat menghirup kehidupan baru 
ketimbang dipenuhi ambisi kotor dan 
dendam 

Kakek berpakaian compang-camping ini 
kembali memandangi Gunung Menjangan. 
Hijau seperti meronai tempat itu. Kabut- 
kabut tipis yang perlahan-lahan akan 
menghilang seiring dengan pagi beranjak 
siang, masih nampak menyelimuti puncak 
Gunung Menjangan. 

"Huh!! Aku terlalu cepat satu hari 
berada di sini. Jadi terpaksa nanti aku 
akan bermalam di sini. Apa yang dialami 
Dewa Tombak sekarang? Apakah dia 
menemukan pemandangan mengerikan terhadap 
Bandung Sulang? Seperti pemandangan 
mengerikan yang kulihat pada Pendekar 
Harum?" 

Kakek yang bukan lain Dewa Segala 
Obat ini terdiam. Terbayang bagaimana 
ketika dia tiba di tempat kediaman 
Pendekar Harum. Sejak muncul di sana Dewa 
Segala Obat sudah merasa heran, karena 
melihat pepohonan tumbang dan tanah yang 
merengkah. Rasa herannya itu berubah 
menjadi ketegangan tatkala dia tiba pada 
satu pikiran. 

Penuh kehati-hatian Dewa Segala Obat 
melangkah untuk mencari Pendekar Harum. 
Dan seperti yang telah diduganya, dia 
menemukan Pendekar Harum dalam keadaan 
tewas dengan seluruh tubuh penuh luka. 
Perasaan gundah merasuki hati Dewa Segala 
Obat sesaat begitu melihat keadaan 
Pendekar Harum. 

Lalu dengan keahliannya dia memeriksa 
tubuh Pendekar Harum. Pertama keningnya 
berkerut. Lalu diedarkan pandangannya, 
mencari sesuatu yang diduga keras sebagai 
penyebab kematian Pendekar Harum. 

Tatkala melihat tiga ekor lebah yang 
telah mati berada di sana, kakek berambut 
jarang ini menarik napas dalam-dalam. 

"Hantu Menara Berkabut...," desisnya. 

Kemudian dikuburkannya mayat Pendekar 
Harum dan dia segera melakukan perjalanan 
ke Gunung Menjangan sesuai janjinya 
dengan Dewa Tombak. Dan sekarang Dewa 
Segala Obat telah berada di Gunung 
Menjangan, lebih awal dari waktu yang 
ditentukan. 

"Pendekar Lontar dan Pendekar Harum 
telah tewas di tangan Hantu Menara 
Berkabut. Kemungkinannya, Bandung Sulang 
pun akan mengalami nasib yang sama. 

Tetapi mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan 
pula Dewa Tombak muncul dengan membawa 
berita baik." 

Dewa Segala Obat menggeleng gelengkan 
kepalanya, agak resah. 

"Sampai hari ini aku masih 
dibingungkan dengan hilangnya putra 
Pendekar Lontar. Dewi Lontar telah tewas 
tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Dan 
kalau putranya dibunuh oleh orang yang 
belum diketahui itu, kemungkinan mayatnya 
berada di sisi atau tak jauh dari Dewi 
Lontar. Kendati begitu, tak mengurungkan 
pikiranku kalau si pembunuh membunuhnya 
di sebuah tempat yang sukar dicapai. 
Ah... urusan ini makin berkembang 
panjang! Aku merasa pasti, bukan Hantu 
Menara Berkabut yang telah lakukan 
pembunuhan terhadap Dewi Lontar! Karena 
tak kutemukan lebah-lebah beracun di 
sekeliling sana!" 

Kembali Dewa Segala Obat menggeleng- 
gelengkan kepalanya. Mendadak dipalingkan 
kepalanya ke kanan. 

"Hemmm... kutangkap satu gerakan 
tetapi sosok yang bergerak itu belum 
nampak. Apakah si gemuk yang sudah datang 
ke sini?" desisnya dengan kening 
dikernyitkan. Beberapa saat kemudian dia 
menyambung, "Aku tak perlu bersembunyi. 
Biar kulihat siapa yang muncul." 

Kakek berambut jarang ini segera 
memutar tubuhnya menghadap ke kanan. 
Sepasang matanya yang agak menyipit 
memandang tak berkedip pada jalan setapak 
yang dilihatnya. 

Dua kejapan mata berikut nampak satu 
sosok tubuh berpakaian kain batik telah 
muncul di sana. Masih berada dalam jarak 
dua puluh langkah, perempuan setengah 
baya itu melompat, berputar dan berdiri 
tegak tanpa mengeluarkan suara sejarak 
sepuluh langkah dari hadapan Dewa Segala 
Obat. 

Dewa Segala Obat langsung mendengus 
begitu mengenali siapa yang datang. 

"Siapa yang ditunggu, siapa yang 
datang!" gerutunya. 

Perempuan setengah baya berkonde 
mencuat itu juga mendengus. 

"Aku memang tak merasa sedang 
ditunggu seseorang! Kalau aku tiba di 
sini, karena memang sebuah kebetulan!" 

"Kebetulan ya kebetulan! Lebih baik 
kau segera pergi saja dari sini?!" 

"Keparat peot! Bicaramu masih sinis 
seperti dulu?!" bentak si pendatang. 

Dewa Segala Obat mendengus. 

"Ya, ya! Kalau kau tersinggung, aku 
minta maaf! Sekarang, mau apa kau berada 
di sini, Nenek Konde Satu?!" 

Nenek Konde Satu menggeram. 

"Aku sedang lakukan satu perjalanan! 
Kalau berada di sini karena kebetulan!" 

"Kalau begitu, teruskan saja 
perj alananmu!" 

"Sejak dulu Dewa Segala Obat selalu 
sinis padaku, semenjak diketahui kalau 
aku mengkhianati cinta kasih Bandung 
Sulang. Dia adalah sahabat Bandung 
Sulang! Dan aku merasa menjadi orang yang 
paling malang karena selalu disinisi oleh 
para sahabat Bandung Sulang! Okh! Apakah 
mereka tidak tahu kalau aku telah 
menyesali tindakanku selama ini?! Bahkan 
aku tak sempat meminta maaf pada Bandung 
Sulang karena orang itu sudah mati!" 

"Hei! Kenapa kau terdiam? Sudah pergi 
sana! Atau... kau sedang melakukan 
perjalanan untuk mencari Bandung Sulang?! 
Kau ingin menyakiti hatinya lagi dengan 
pengkhianatan cintamu itu?!" makin sinis 
suara Dewa Segala Obat. 

Sepasang mata Nenek Konde Satu 
membuka. Melotot gusar. 

"Jaga mulutmu kalau bicara!" 

"Bandung Sulang adalah sahabatku! Aku 
kecewa bila dia dikhianati cinta 
kasihnya! Kau tahu, betapa tulus dia 
mencintaimu! Tetapi nyatanya kau justru 
melakukan satu pengkhianatan yang 
membuatnya menyembunyikan diri di Bukit 
Gulungan!" 

"Aku datang untuk meminta maaf 
padanya!" 

"Mengapa baru sekarang kau 
melakukannya, hah?! Setelah sekian lama 
berlalu?!" 

"Karena aku tidak tahu dia berdiam di 
Bukit Gulungan!" sahut Nenek Konde Satu 
keras, tetapi serak. 

"Sejak dulu kau pandai memutar 
omongan! Kau bahkan terlalu pandai 
menyakiti hatinya!" 

"Dewa Segala Obat! Apakah kau tak 
bisa menahan mulutmu dulu barang sejenak 
sebelum kutampar?!" 

"Kau hendak menamparku?" sinis suara 
Dewa Segala Obat. "Sebaiknya kau 
menjumpai dulu Bandung Sulang, minta maaf 
padanya, baru kau menamparku!" 

Nenek Konde Satu terdiam. Sepasang 
matanya mengerjap-ngerjap. Lalu katanya 
parau, "Aku telah menjumpainya!" 

"Bagus, kalau kau sudah menjumpainya! 
Seperti kataku tadi, ayo, tampar aku!!" 

"Tapi... niatku tak pernah 
kesampaian...." 

Dewa Segala Obat mengangkat kepala- 
nya. Kesinisannya menghilang. Dipandangi- 
nya lekat-lekat perempuan berkonde di 
hadapannya. Dadanya bergemuruh. 

Lalu didengarnya kata-kata Nenek 
Konde Satu, "Ketika aku datang... dia 
telah tewas...." 

Kepala Dewa Segala Obat menegak. Lalu 
katanya dalam hati, "Berarti... Hantu 
Menara Berkabut telah menuntaskan seluruh 
dendamnya." 

Nenek Konde Satu mengangkat 
kepalanya. "Dewa Segala Obat... apakah 
kau masih memandang sinis kepadaku? Aku 
telah lama melakukan perjalanan untuk 
menjumpainya, untuk meminta maaf padanya, 
tetapi setelah aku menemukannya dia telah 
tewas! Apakah kau masih menganggapku 
sebagai seorang pengkhianat?" 

Dewa Segala Obat tak menjawab. Dia 
justru memalingkan kepalanya. 

"Bila besok Dewa Tombak datang, 
berarti aku telah tahu jawabannya...." 
katanya dalam hati. 

"Selama ini aku memang telah 
mengkhianati cinta kasih Bandung Sulang! 
Aku telah dibutakan oleh cinta kotor 
manusia keparat yang ternyata justru 
memperalatku! Baru kuketahui kalau 
manusia itu pernah dikalahkan oleh 
Bandung Sulang! Dia sengaja mengencaniku 
dengan tujuan menyakiti hatinya! Dan aku 
terlalu bodoh! Terlalu dibutakan oleh 
cinta palsu hingga aku tega mengkhianati 
cinta Bandung Sulang!" 

Dewa Segala Obat berkata tanpa 
memalingkan kepala, "Kau telah melakukan 
kesalahan dalam hidupmu dengan pengkhia- 
natan cinta yang telah kau lakukan! Kau 
telah membuat Bandung Sulang merana 
berkepanjangan! Padahal kau tahu akan 
sifat Bandung Sulang! Dia termasuk salah 
seorang yang tak banyak bicara! Sudah 
berulang kali kukatakan tak perlu 
menyembunyikan diri! Kukatakan dia harus 
tabah menghadapi semua ini! Karena masih 
banyak perempuan lain yang lebih baik 
dari kau, Nenek Konde Satu! Tapi dasar 
dia yang memiliki sifat perasa, tak 
dihiraukannya saran saranku!" 

"Kuakui kesalahan sekaligus kebodohan 
ku! Manusia keparat itu memperalatku! Dia 
mendendam pada Bandung Sulang! Dan hendak 
membunuhnya dengan jalan menyiksa 
perasaannya!" 

"Hingga saat ini tak seorang pun, 
termasuk Bandung Sulang, yang mengetahui 
pada siapa kau arahkan wajah! Apakah kau 
tidak mau mengatakannya saat ini?" 

Nenek Konde Satu terdiam. Matanya 
yang tadi mengerjap-ngerjap menahan 
gejolak di dada, perlahan-lahan membuka 
lebar. Mulutnya menggembung menyusul 
kata-katanya, "Manusia keparat itu akan 
kubunuh! Aku sedang melakukan perjalanan 
untuk membunuhnya! Dia adalah... Hantu 
Menara Berkabut!!" 

Seketika kepala Dewa Segala Obat 
berpaling. Mulutnya menganga lebar. 

"Astaganaga! Kau melakukan 
pengkhianatan pada musuh Bandung 
Sulang?!" 

"Aku tidak tahu kalau dia pernah 
dikalahkan oleh Bandung Sulang!" 

"Terkutuk!" maki Dewa Segala Obat 
keras. "Kau telah menyiksa perasaannya 
sementara Hantu Menara Berkabut tertawa 
keras! Mentertawakan ketololanmu dan 
kesedihan Bandung Sulang! Astaganaga! 
Nenek Konde Satu! Apa yang telah 
membutakan matamu hingga kau tidak tahu 
kalau Hantu Menara Berkabut adalah musuh 
Bandung Sulang?" 

Nenek Konde Satu menekan kesedihan- 
nya. Diangkat kepalanya sedikit dan 
berkata, "Aku memang bodoh tidak tahu 
semua itu...." 

"Bodoh atau tidak, kenyataannya kau 
telah melakukan kesalahan fatal! Dan kau 
tahu siapa yang telah membunuh Bandung 
Sulang?" 

Nenek Konde Satu terdiam. Lalu 
katanya, "Sebelum aku menjumpai mayat 
Bandung Sulang, di sana ada seorang 
pemuda berompi ungu. Aku menduga dialah 
yang telah membunuh Bandung Sulang hingga 
kulakukan gebrakan padanya. Tetapi di 
luar dugaan, pemuda itu dapat mematahkan 
seranganku dengan mudah. Lalu dia 
berkata, kalau dia menemukan Bandung 
Sulang dalam keadaan sekarat. Pemuda yang 
kedua tangannya bersisik coklat sebatas 
siku itulah satu-satunya orang yang 
terakhir melihat Bandung Sulang masih 
hidup." 

"Pemuda bersisik coklat?" kening Dewa 
Segala Obat berkerut. "Siapakah pemuda 
itu?" 

"Dia menyebut namanya, tetapi tidak 
mengatakan julukannya...." 

"Siapakah namanya?" 

"Boma Paksi!" 

"Boma Paksi?" Kerutan di kening Dewa 
Segala Obat semakin banyak. Kakek itu 
menggerak-gerakkan telunjuknya. "Boma 
Paksi... Boma Paksi... rasanya aku pernah 
mendengar nama itu. Tapi di mana ya? Di 
ma... astaga! Boma Paksi!" 

Nenek Konde Satu ganti mengerutkan 
keningnya melihat kepala si kakek 
menegak. Dia tak berkata apa-apa, hanya 
memandang penuh tanya. 

"Boma Paksi!" seru si kakek lagi. 

"Ya, ya! Tidak salah! Tidak salah lagi! 
Pasti dia! Pasti! Dulu di kedua tangannya 
sebatas siku juga terdapat sisik-sisik 
coklat! Dan ciri itu pun masih melekat 
sampai sekarang! Namanya juga sama! Ah, 
tak salah lagi! Pasti dia!" 

"Siapa orang yang kau maksudkan?" 
tanya Nenek Konde Satu. 

Dewa Segala Obat menengadah sedikit, 
tatapannya tajam. 

"Kalau memang dia masih hidup, pemuda 
itu adalah putra Pendekar Lontar!" 
"Putra Pendekar Lontar?" 

"Ya! Dia. . . tapi. . . kau tadi 
mengatakan kalau seranganmu dipatahkannya 
dengan mudah?" 

"Begitulah adanya!" 

"Dia mengatakan siapa gurunya?" Nenek 
Konde Satu menggelengkan kepalanya. 

"Tidak!" 

Dewa Segala Obat mengangguk anggukkan 
kepalanya kembali. 

"Pasti... pasti dia telah berguru 
pada seseorang," desisnya dalam hati. 
Lalu dipandanginya lagi Nenek Konde Satu, 
"Kau mengatakan kalau pemuda itu 
menjelaskan keadaan Bandung Sulang! Kau 
juga meragukan kalau dia yang telah 
membunuhnya! Lantas, siapakah yang kau 
duga sebagai pelaku pembunuhan itu?" 

Nenek Konde Satu menahan napas 
sejenak. Pancaran matanya menjadi berang. 
Lalu katanya dengan suara ditekan, "Hantu 
Menara Berkabut!" 

"Hantu Menara Berkabut?!" 

Nenek Konde Satu mengangguk. 

"Brengsek! Manusia itu memang telah 
menjalankan aksi balas dendamnya pada 
tiga tokoh kenamaan rimba persilatan! 
Pembantaian yang dilakukannya tak akan 
bisa dimaafkan!" 

"Dan aku datang untuk menuntut balas! 
Untuk melampiaskan perbuatannya padaku 
dulu!" 

"Tak guna! Tak guna!" 

"Dewa Segala Obat! Aku tahu kesaktian 
Hantu Menara Berkabut! Tetapi aku tak 
peduli! Aku tak akan pernah tenang bila 
mendengar atau melihatnya masih hidup! 
Aku telah bulatkan tekad untuk berjibaku 
menghadapinya!" 

Kata-kata bernada tandas dari Nenek 
Konde Satu membuat Dewa Segala Obat 
memandang si perempuan lekat-lekat. Yang 
dipandang agak risih kendati dia tak lagi 
melihat tatapan sinis di bola mata tua 
itu. 

"Bagus kalau kau punya pendirian 
seperti itu!" 

"Terima kasih akhirnya kau mau 
mengerti...," sahut Nenek Konde Satu. 
"Dan kuharap sahabat Bandung Sulang 
lainnya mau mengerti keadaanku! Dewa 
Segala Obat! Aku telah bertekad untuk 
membunuh Hantu Menara Berkabut! Rasanya 
lebih baik kita berpisah sekarang!" 

Dewa Segala Obat memandang dalam- 
dalam perempuan berkebaya itu. Lalu 
katanya seraya mengangguk, "Aku masih 
harus menunggu Dewa Tombak di sini. 
Berhati-hatilah..." 

Mengembang senyuman di bibir keriput 
itu. Lalu dengan membawa ketenangannya. 
Nenek Konde Satu segera meninggalkan 
tempat itu. Dia merasa sebagian bebannya 
telah menghilang, karena akhirnya ada 
juga orang yang mau menerima penjelasan- 
nya. Selama ini Nenek Konde Satu selalu 
dicemaskan oleh keadaan itu, terutama 
sikap Bandung Sulang bila ditemuinya. Dan 
penyesalannya kini semakin dalam karena 
dia tak sempat meminta maaf pada Bandung 
Sulang. 

Sepeninggalnya, Dewa Segala Obat 
menghembuskan napas panjang. 

"Tak kusangka kalau cinta telah 
membutakan mata seseorang, telah memba- 
likkan hati seseorang yang semula bersih 
menjadi kotor. Yang tak kusangka sama 
sekali, kalau Nenek Konde Satu melakukan 
pengkhianatan bersama Hantu Menara 
Berkabut! Ah! Cinta memang sukar sekali 
ditebak! Sekali orang terjerat cinta, 
akan sulit untuk melepaskan diri!" 

Untuk beberapa saat kakek yang di 
pinggang kurusnya mencantel sebuah pundi 
itu terdiam. Lalu diangkat kepalanya. 
Diperhatikan sekelilingnya. Sinar 
matahari mulai terasa menyengat. Kabut- 
kabut tipis telah lenyap dari puncak 
Gunung Menjangan. 

"Aku telah berjanji pada Dewa Tombak 
untuk bertemu dengannya di sini. 
Berarti... aku harus menunggunya," kata- 
nya kemudian setelah menghela napas. 
"Sebaiknya... aku cari makanan dulu 
sebagai pengganjal perut..." 

Di lain saat kakek berambut jarang 
ini sudah melangkah mencari apa saja yang 
bisa dimakan. 

★ ★ ★ 


NENEK Konde Satu terus berlari 
seiring matahari yang semakin menurun. 
Dari gerakannya dia sama sekali tak 
bermaksud untuk menghentikan larinya 
sekali pun, terus menuju ke arah timur. 
Perjumpaannya dengan Dewa Segala Obat 
yang secara tidak langsung akhirnya 
memaklumi apa yang selama ini pernah 
dilakukannya terhadap Bandung Sulang, 
menambah semangatnya untuk membalas 
semuanya pada Hantu Merana Berkabut! 

Kegagalannya untuk meminta maaf pada 
Bandung Sulang atas semua kesalahan yang 
pernah dilakukannya, semakin menambah 
gejolak amarah di dadanya. Dia merasa 
begitu bodoh karena tak sadar kalau se- 
dang diperalat oleh Hantu Menara 
Berkabut. Namun di balik semua itu, dia 
menyalahi dirinya sendiri karena begitu 
mudah terpengaruh hingga ditinggalkannya 
Bandung Sulang yang tulus mencintainya. 

Nenek Konde Satu bertekad untuk 
menghapus semua kesalahan yang telah 
dilakukannya. Dan jalan satu-satunya 
adalah melihat Hantu Menara Berkabut 
mampus di tangannya! 

Sebelum matahari hilang di balik 
sebuah bukit, dihentikan langkahnya di 
sebuah jalan setapak. Sepasang matanya 
memandang tak berkedip ke depan. "Hmmm... 
ada gumpalan kabut tebal di ujung sana! 

Kabut itu menjulang tinggi, menutupi 
bagian bawah hingga ke atas! Aneh! Nampak 
seperti ada sesuatu yang ditutupi kabut 
itu! " 

Untuk beberapa saat Nenek Konde Satu 
tak beranjak dari tempatnya. Matanya 
terus memandang pada gumpalan kabut hitam 
tebal itu. Hatinya dipenuhi banyak tanya. 
Setelah beberapa saat terdiam diputuskan 
untuk kembali berlari. 

Tepat matahari sudah lenyap di balik 
bukit, Nenek Konde Satu kembali menghen- 
tikan larinya. Dipandanginya keadaan di 
hadapannya. Dari jarak yang lebih dekat 
dari semula, Nenek Konde Satu dapat 
melihat lebih jelas lagi gumpalan kabut 
hitam tebal yang nampak menyelimuti 
sesuatu yang menjulang tinggi. Dari 
gumpalan kabut tebal itu, dibawa 
pandangannya agak ke bawah. Seluas mata 
memandang, yang nampak adalah ranggasan 
semak dan lumpur-lumpur hitam. Dari sorot 
matanya yang tak berkedip, perlahan-lahan 
terlihat keningnya berkerut. 

"Astaga!" desisnya cukup keras hingga 
kepalanya menegak. Lalu diambilnya 
sebatang dahan pohon yang kebetulan ada 
di sisi kanannya. Dilemparnya dahan pohon 
itu ke ranggasan semak belukar. 

Wlessss! 

Dilihatnya tiga ekor ular langsung 
keluar begitu dahan tadi mengenai salah 
satu ranggasan semak yang banyak terdapat 
di sana, bergerak cepat dan menyelinap ke 
semak lain. 

Tak puas sampai di sana, kembali 
Nenek Konde Satu mengambil dahan pohon 
yang ada di sisinya lagi. Kali ini 
dilemparkannya ke arah lumpur yang tak 
jauh darinya. 

Pluss ! 

Sejenak dahan itu mengambang, sebelum 
kemudian perlahan-lahan lenyap tertelan 
lumpur. 

"Gila! Gila!" seru si nenek berkebaya 
ini kemudian. "Bukankah... bukankah... 
apa yang kulihat ini adalah ciri dari 
Menara Berkabut?!" 

Tiba pada pikirannya sendiri Nenek 
Konde Satu terdiam. Tanpa sadar dadanya 
bergerak turun naik. Dia menjadi agak 
tegang sekarang. 

"Menara Berkabut! Berarti... aku 
telah tiba di tempat manusia keparat 
itu!" desisnya dengan kedua tangan 
mengepal. Mendadak dia berteriak keras, 
"Manusia dajal! Keluar kau! ! Aku datang 
untuk mencabut nyawamu!!" 

Suaranya menggema di malam yang terus 
beranjak. Burung-burung malam bersuara 
yang tak enak didengar. Membuat bulu roma 
berdiri dan seperti mengisyaratkan 
kematian pada orang yang mendengarnya. 

Nenek Konde Satu bersuara lagi yang 
kali ini dikirimkan melalui tenaga 
dalamnya. Suaranya menggema, menyusul 
letupan dua kali terdengar. Tetapi tak 
satu sosok tubuh pun yang muncul di sana. 

Si nenek terdiam dengan mata 
menyipit. 

"Jangan-jangan... aku salah menduga, 
kalau apa yang kulihat ini hanya 
kebetulan sama seperti ciri Menara 
Berkabut?" desisnya agak meragu sekarang. 
Mendadak dia meradang, "Terkutuk! Mengapa 
dulu aku begitu bodoh?! Terlalu bodoh 
bahkan! Seharusnya aku menanyakan bagai- 
mana caranya menuju ke Menara Berkabut 
pada manusia keparat itu?! Kurang ajar!" 

Untuk beberapa lama Nenek Konde Satu 
merapatkan mulut. Dada tipisnya naik 
turun. Gelora amarahnya pada Hantu Menara 
Berkabut semakin membesar. 

"Tetapi...." desisnya dengan panda- 
ngan tegang. "Sebelum aku mendapatkan 
jawaban yang pasti, aku tak akan berhenti 
sebelum mengetahuinya! Hanya saja... 
bagaimana caranya aku untuk tiba di 
tempat itu? Ranggasan semak belukar itu 
dihuni oleh ular-ular yang tentunya 
banyak jumlahnya. Kalau aku bisa 
menanggulangi ular-ular itu, lumpur- 
lumpur hidup akan menelanku bulat- 
bulat 

Nenek Konde Satu terdiam lagi. 
Otaknya diperas memikirkan cara untuk 
tiba di balik kabut hitam itu. Malam 
terus beranjak. Udara dingin mulai terasa 
menyengat. Burung-burung malam yang 
beterbangan dan memperdengarkan suara tak 
enaknya terus melayang-layang. 

"Rasanya... dalam keadaan gelap 
seperti ini, aku tak akan mungkin bisa 
menemukan jalan teraman menuju ke balik 
kabut tebal itu. Sebaiknya... kutunggu 
saja sampai besok pagi. Dengan bantuan 
sinar matahari, kuharap aku dapat 
menentukan jalan yang aman untuk tiba di 
sana...." 

Kembali kepalanya dipalingkan ke 
belakang. Kegelapan semata yang dilihat- 
nya karena saat ini sinar rembulan tak 
mampu menembus gumpalan awan-awan hitam 
yang menghalanginya. 

"Brengsek!" maki si nenek sambil 
memutar kepala lagi ke depan. 

Saat itulah dia melengak kaget, 
bahkan tanpa sadar telah surut satu 
tindak ke belakang. Lalu dengan kegusaran 
tinggi dibuka matanya lebar-lebar meman- 
dang ke depan. 

Kejap berikutnya, terdengar bentakan- 
nya keras, "Manusia keparat! Ternyata kau 
punya nyali juga akhirnya berani muncul 
di hadapanku ! ! " 

Orang yang tahu-tahu telah berdiri di 
hadapannya menyeringai lebar. Lalu sambil 
menggeleng-gelengkan kepalanya orang itu 
berkata, "Ayuni Laksmi... mengapa kau 
harus gusar melihatku? Bukankah seharus- 
nya kau merasa gembira?" 

★ ★ ★ 

Sepasang rahang Nenek Konde Satu 
menggembung. Lalu terdengar kertakannya 
keras-keras. Kepalanya diangkat penuh 
keangkuhan dan kemarahan. 

"Bagus kau berani muncul! Sekarang 
sudah tiba saatnya untuk membalas semua 
perlakuan busukmu kepadaku!!" 

Kakek berjubah jingga itu hanya 
tersenyum, yang semakin membuat muak 
Nenek Konde Satu. 

"Lama kita tak berjumpa... dan baru 
kali ini kita bertemu lagi. Lantas... 
mengapa kau menjadi marah-marah seperti 
itu? Bukankah seharusnya kau senang 
berjumpa denganku? Keberadaanmu di sini 
sudah menunjukkan kalau kau merindukanku, 
bukan?" 

"Keparat! Aku datang untuk menuntut 
balas atas semua perbuatanmu dulu!" 
bentak Nenek Konde Satu. Lalu diam-diam 
membatin, "Aneh... bagaimana caranya 
tahu-tahu dia bisa berada di hadapanku? 
Aku sama sekali tak mendengar 
kehadirannya?" 

Hantu Menara Berkabut menyeringai. 
Masih menyeringai dia berkata, "Ayuni 
Laksmi... kau masih tetap saja jelita 
seperti dulu. Ayolah... datanglah ke 
dekapanku, kita bersenang-senang seperti 
yang dulu kita lakukan setiap hari...." 

"Tutup mulutmu! Hantu Menara 
Berkabut, kau tentunya tahu maksud 
kedatanganku ke sini!" bentak Nenek Konde 
Satu gusar. Tatapannya tajam meradang. 

"Sudah tentu kau akan melepaskan 
kerinduanmu kepadaku, bukan?" 

Mendengar kata-kata itu semakin 
mengkelap wajah Nenek Konde Satu yang 
bernama asli Ayuni Laksmi. Dada tipisnya 
bergerak-gerak pertanda kemarahan sudah 
menjulang tinggi. 

Tangan kanannya terangkat menuding, 
"Kau telah memperalatku untuk menyakiti 
Bandung Sulang! Manusia keparat! Tak 
pernah kuketahui sebelumnya kalau kau 
adalah musuh besar Bandung Sulang 
sebelumnya! Hingga..." 

"Mengapa baru kau persoalkan 
sekarang? Apakah kau marah karena 
kutinggalkan begitu saja?" 

"Kau meninggalkanku karena merasa 
semua yang kau lakukan sudah cukup! 
Bandung Sulang sudah mengundurkan diri 
dan menyembunyikan diri dalam siksaan 
batin yang tinggi!" 

"Itu bukan urusanku! itu adalah 
urusannya!" 

"Tetapi semua gara-gara kau! Kau 
sengaja memperalatku, membujuk dan 
merayuku untuk meninggalkan Bandung 
Sulang, karena kau ingin melihat Bandung 
Sulang menderita batin!" 

Sepasang mata Hantu Menara Berkabut 
mendadak menajam. 

"Itu dikarenakan kebodohanmu sendiri! 
Pada dasarnya kau memang memiliki sifat 
pengkhianat! Kau sendiri yang terlena dan 
jatuh ke pelukanku! Apakah selama ini aku 
pernah memaksamu?!" 

Nenek Konde Satu terdiam. Dadanya 
makin digemuruhi amarah tinggi. 

"Keparat!!" 

"Dan sungguh mengherankan, kalau kau 
yang selama bertahun-tahun juga 
mendapatkan kenikmatan yang sama, karena 
kita selalu saling members, kini muncul 
dengan amarah membludak! Apakah ini bukan 
tindakan yang lebih memperlihatkan 
kebodohanmu, Ayuni Laksmi?!" 

"Setaaannn" 

Nenek Konde Satu sudah tak dapat 
menahan amarahnya lagi, Tangan kanannya 
didorong ke depan. 

Wussss!! 

Serta merta menghampar gelombang 
angin berkekuatan tinggi ke arah Hantu 
Menara Berkabut yang menyipitkan matanya. 
Lalu dengan sekali kibasan tangan, 
gelombang angin itu dapat diputuskan di 
tengah jalan. 

Blaaaamm!! 

"Terkutuk! Aku tak akan pernah tenang 
sebelum melihat kau mampus, Manusia 
keparat!!" 

Dengan kemarahan menjadi-jadi Nenek 
Konde Satu melesat ke depan. Kaki 
kanannya melepaskan tendangan dahsyat. 

Ditempatnya Hantu Menara Berkabut 
menggeram, "Jahanam! Perempuan satu ini 
seharusnya sudah dari dulu kubunuh! 
Tetapi bila dulu kulakukan sudah tentu 
aku tak akan merasakan kepuasan seperti 
sekarang! Hemm... biar dia bermain-main 
dulu melampiaskan kemarahannya!" 

Bersamaan kata-kata terakhirnya, 
Hantu Menara Berkabut cepat mengangkat 
tangan kanannya, menghadang tendangan 
dahsyat itu. 

Bukkk!! 

Sosok Nenek Konde Satu kontan 
terpental balik dan terjajar tiga 
langkah. Namun kejap itu pula dengan 
wajah yang semakin mengkelap, dia sudah 
menghentakkan kakinya di atas tanah. 
Bersamaan tanah yang menghambur cukup 
tinggi, sosoknya sudah melompat kembali 
dan membuat gerakan berputar dua kali di 
udara. Kejap lain tiba-tiba dia sudah 
meluruk dengan kaki kanan kiri melepaskan 
tendangan dahsyat sekaligus! Dua 
gelombang angin sudah mendahului tenda- 
ngannya, pertanda tendangan kaki kanan 
kirinya itu sarat dengan tenaga dalam 
tinggi! 

Hantu Menara Berkabut kertakkan 
rahangnya, karena sadar kalau Nenek Konde 
Satu tak bertindak ayal. Dia cepat 
melesat ke udara. Kaki kanan kirinya 
disentakkan berkali-kali. 

Blaam! Blaaamm! Blaaammm!! 

Tempat itu beberapa saat dibuncah 
dengan terdengarnya benturan keras 
beberapa kali. Bersamaan letupan yang 
terakhir terdengar, Nenek Konde Satu 
berseru tertahan. Sosoknya terpental di 
udara lalu melayang dan jatuh terduduk 
dengan mata terpejam terbuka. Sementara 
itu kedua kakinya bergetar keras. 

Di pihak lain Hantu Menara Berkabut 
sudah berdiri tegak di atas tanah. 
Kendati nampak tak kurang suatu apa, 
kedua kakinya jelas kelihatan sedikit 
bergetar. 

Nenek Konde Satu cepat mengatur napas 
dan mengerahkan tenaga dalamnya. Lalu 
dengan pandangan sengit melirik pada 
Hantu Menara Berkabut yang sedang 
menyeringai. 

"Jahanam itu memang bukan tandingan 
ku! Tetapi aku tak peduli! Malam ini, 
mati pun aku rela, agar berhasil 
melampiaskan kemarahanku dan dendam Ban- 
dung Sulang!" 

Habis memaki demikian, Nenek Konde 
Satu tiba-tiba sudah melompat ke depan. 
Kedua kakinya kembali digerakkan. 

Wuutt! Wuuttt!! 

Dari sepasang kakinya melesat dua 
gelombang dahsyat yang keluarkan deruan 
keras. 

Hantu Menara Berkabut kembali 
mengertakkan rahangnya. 

"Dia terlalu keras kepala! Dan bisa 
menjadi duri bila tidak kuselesaikan 
sekarang! Kutukan Bandung Sulang masih 
menjadi pikiranku!" 

Bersamaan dia membatin demikian, kali 
ini didorong tangan kanan kirinya. 

Kembali benturan dahsyat beberapa 
saat terjadi. Tempat itu seperti 
diguncang kiamat kecil. Bahkan lumpur- 
lumpur yang agak jauh dari sana 
bermuncratan ke udara. 

Sosok Nenek Konde Satu terbanting 
deras di atas tanah, bergulingan dan 
akhirnya berhenti setelah menabrak sebuah 
pohon yang kemudian bergetar. Dari 
mulutnya tampak rembesan darah. 

Walaupun sudah terluka dalam, Nenek 
Konde Satu masih berusaha berdiri. 
Kekeras kepalaannya yang didasari karena 
penyesalan dan dendamnya telah membuatnya 
menjadi seliar dan seganas harimau 
betina. 

"Aku tak akan pernah tenang sebelum 
melihat kau mampus!" 

Di pihak lain Hantu Menara Berkabut 
sudah dirundung kemarahan tinggi. Apa 
yang diperlihatkan Nenek Konde Satu 
membuatnya meradang. 

"Perempuan keparat! Kau tak tahu 
diuntung rupanya!" bentaknya gusar. Lalu 
berseru semata untuk menyiksa batin Nenek 
Konde Satu, "Seharusnya kau tak perlu 
gusar karena secara tak langsung aku 
telah menolong Bandung Sulang! Bila dia 
akhirnya berhasil memperistrimu berarti 
dia telah memasukkan sebelah kakinya ke 
dalam neraka! Hidup bersama perempuan 
berjiwa pengkhianat, hanya orang bodoh 
yang mau melakukannya!" 

Meledak kemarahan Nenek Konde Satu. 
Mulutnya meracau hingga percikan-percikan 
ludah yang bercampur darah keluar. 

"Mampuslah kau, Manusia jahanam!!" 
Dengan keganasan yang sama Nenek Konde 
Satu melesat ke depan. Masih berada di 
udara, dia langsung menyentakkan kedua 
tangan dan kakinya secara bersamaan. 
Hingga gelombang angin dahsyat menderu- 
deru ke arah Hantu Menara Berkabut. 

"Pukulan 'Inti Langit'!" serunya 
tertahan. Segera kakek berjubah jingga 
ini mundur dua tindak. Lalu ditarik napas 
kuat-kuat. Bersamaan dihembuskan napasnya 
dengan cara disentak, kedua tangannya 
didorong pula. 

Terdengar deruan keras memburu ke 
arah Nenek Konde Satu. 

Benturan yang sangat dahsyat yang 
membuat tanah muncrat dan membubung 
tinggi terjadi. Dari gumpalan tanah yang 
menghalangi pandangan itu, mencelat sosok 
Nenek Konde Satu dan untuk kedua kalinya 
terbanting di atas tanah! Dadanya terasa 
mau pecah. Kedua tangan dan kakinya 
seperti tak kuasa untuk digerakkan! 

Di pihak lain, Hantu Menara Berkabut 
terseret ke belakang. Masih terseret ke 
belakang digerakkan tangan kanan kirinya 
ke atas. Lalu.... 

"Heeeh!!" 

Diarahkan kedua telapak tangannya itu 
ke atas tanah tepat di depan kedua 
kakinya. Bersamaan tanah yang muncrat, 
tubuhnya yang terseret tiba-tiba 
berhenti. 

"Keparat sial!!" makinya dengan wajah 
memerah padam. 

Nenek Konde Satu mengangkat wajahnya. 
Tatapannya angkuh dan tajam. Lalu dia 
menyeringai. 

"Kau harus mampus di tanganku! 
Harus!" 

"Setan perempuan! Kau yang akan 
kukirim ke neraka sekarang juga!" 

Belum habis bentakan itu terdengar. 
Hantu Menara Berkabut sudah melompat 
sembari mendorong tangan kanan kirinya. 

Nenek Konde Satu menggeram. Dia masih 
berusaha untuk menahan kedua pukulan itu. 
Tetapi karena tenaganya telah terkuras, 
apa yang dilakukannya hanyalah sebuah 
kesia-siaan belaka. 

Des! Des!! 

Nenek Konde Satu terlempar ke 
belakang dan melolong panjang laksana 
hendak merobek langit. Namun laksana 
dibetot setan, lolongannya itu putus 
seketika. Tubuhnya masih tetap terlempar 
ke belakang sebelum akhirnya terhempas 
jatuh di atas tanah. Tubuhnya mengejang- 
ngejang beberapa saat dan di saat lain 
diam tak bergerak. Nyawa nenek yang 
pernah diperalat oleh Hantu Menara 
Berkabut ini telah putus! 

Hantu Menara Berkabut menggeram 
pendek. 

"Itulah akibatnya berani menantangku! 
Kau seharusnya menyadari siapa dan 
mengapa aku mendekatimu dulu! Dasar 
bodoh! Dasar pengkhianat! Kau justru 
melibatkan diri dalam asmara palsu yang 
kuberikan!!" 

Kemudian Hantu Menara Berkabut 
merangkapkan kedua tangannya di depan 
dada. Dalam keadaan berdiri diatur napas 
dan dikerahkannya tenaga dalamnya. 
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. 
Bersamaan terdengar suara burung malam 
yang serak, Hantu Menara Berkabut telah 
menurunkan kedua tangannya. 

"Satu lagi orang yang berani 
menantangku telah mampus! Huh! Kini 
tinggal menunggu kabar dari Dadung 
Bongkok dan Ratu Sejuta Setan tentang 
putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar!" 
desisnya sambil memandang mayat Nenek 
Konde Satu. 

Mendadak dia melangkah mendekati 
mayat itu. Lalu disertai dengusan tinggi, 
disepaknya. 

Wusss!! 

Mayat Nenek Konde Satu melayang deras 
dan jatuh di atas lumpur. Untuk beberapa 
saat mayat itu mengambang namun lama 
kelamaan lenyap tertelan lumpur hidup 
itu. 

Hantu Menara Berkabut terdiam dengan 
mata menyipit. 

"Kutukan Bandung Sulang tak bisa 
kupandang remeh! Sebelum aku mengetahui 
secara pasti apakah putra Pendekar Lontar 
masih hidup atau sudah mampus, aku tetap 
tak akan tinggal diam! Tak akan 
kujalankan rencanaku sebelum berhasil 
mengetahui keadaannya!" 

Dibawanya pandangannya ke sekeliling. 
ke tempat yang sangat dikenalinya. 

"Sebaiknya... aku menunggu di Menara 
Berkabut 

Lalu dengan setengah berlari Hantu 
Menara Berkabut menuju ke arah kanannya. 
Di sebuah balik ranggasan semak, dia 
berhenti melangkah. Dipandanginya ke 
sekeliling dengan seksama. Kemudian di 
sibakkannya semak belukar itu. Ditemukan- 
nya sebuah pengait terbuat dari baja. 
Diangkatnya baja itu yang seketika ter- 
pampang sebuah lubang yang cukup besar. 
Setelah memperhatikan sekelilingnya dia 
segera masuk ke sana. 

Melalui jalan itulah Hantu Menara 
Berkabut tahu-tahu muncul di hadapan 
Nenek Konde Satu! 

★ ★ ★ 



RAJA Naga yang tiba di sebuah jalan 
setapak menghentikan langkahnya tatkala 
melihat dua sosok tubuh yang sedang 
berlari. Dalam sekali lihat saja dia 
sudah mengenali keduanya. 

"Dewi Bunga Mawar! Dan kakek berjubah 
hitam itu.... Astaga! Bukankah dia Iblis 
Telapak Darah?!" desisnya kemudian. 
"Hemm... rupanya mereka bersahabat!" 

Pikiran yang singgah di benak murid 
Dewa Naga ini membuatnya mengerutkan 
kening. Otaknya berpikir keras untuk 
mendapatkan jawaban dari apa yang 
dipikirkannya barusan. 

"Kalau begitu... apakah aku salah 
menduga tentang Dewi Bunga Mawar? Semula 
aku berpikir kalau gadis itu hanya 
terkena pengaruh gurunya belaka, hingga 
dia bersikap seperti yang kulihat 
beberapa hari lalu. Tindakannya yang 
mendadak menjadi berang tatkala kukatakan 
kalau dia terkena pengaruh gurunya, bisa 
jadi hanyalah kebohongan belaka." 

Boma Paksi tak meneruskan ucapannya. 
Keningnya berkerut, terus memikirkan apa 
yang ada di otaknya. 

"Yang kutahu sekarang kalau Dewi 
Bunga Mawar sedang mencari Lembah Naga. 
Di sanalah guruku tinggal. Dan satu hal 
lagi, bisa jadi kalau dia juga diperin- 
tahkan untuk melacak keberadaanku. Guru 
telah melontarkan ancaman pada Dadung 
Bongkok dua belas tahun silam kalau 
akulah yang akan membalas segala 
perbuatannya. Dan sekarang... gadis itu 
bersama-sama dengan Iblis Telapak Darah!" 

Tatapan angker dari pemilik mata yang 
kedua lengannya sebatas siku bersisik 
coklat ini menyalang dalam. Seperti 
hendak menelan siapa saja yang dilihat- 
nya . 

Kejap kemudian digeleng-gelengkan 
kepalanya. 

"Tidak! Aku tak boleh mengambil 
kesimpulan seperti itu! Bisa jadi kalau 
Dewi Bunga Mawar memang sebenarnya tak 
tahu urusan! Iblis Telapak Darah tentunya 
sama keji dan liciknya seperti Dadung 
Bongkok! Tentunya dia telah menceritakan 
apa yang dialaminya, dan akan membuat 
Dewi Bunga Mawar semakin murka 
terhadapku! Ah, urusan ini justru menjadi 
runyam..." 

Sesaat Raja Naga terdiam dengan 
tatapan tak berkedip ke depan, sebelum 
meneruskan kata-katanya pada dirinya 
sendiri, "Aku tak boleh mengambil 
kesimpulan sebelum kuketahui apa yang 
terjadi. Sebaiknya... kususul saja 
keduanya. Barangkali mereka membawaku ke 
tempat yang kutuju. Dan sungguh kebetulan 
keduanya berlari ke arah timur...." 

Memutuskan demikian, pemuda dari 
Lembah Naga ini sudah mengempos tubuhnya 
untuk menyusul kedua orang yang 
dilihatnya. 

Sementara itu jauh di depan, sambil 
berlari gadis berpakaian putih bersih itu 
berseru, "Mengapa kau mengajakku ke 
Menara Berkabut, Iblis Telapak Darah?" 

"Dewi... keadaan sudah semakin kacau 
balau! Kita sama-sama tahu kalau putra 
Pendekar Lontar masih hidup! Aku yakin 
gurumu tentunya juga ingin mengetahui 
tentangnya!" 

"Tapi aku harus ke Lembah Naga! Guru 
bisa murka bila aku tak segera 
menjalankan perintahnya!" 

Iblis Telapak Darah yang di tengah 
perjalanan mengusulkan untuk ke Menara 
Berkabut segera menjawab, "Kau tak perlu 
khawatir! Percayalah, gurumu tak akan 
marah!" 

"Tetapi mengapa kita harus ke Menara 
Berkabut?!" 

"Hantu Menara Berkabut adalah 
junjunganku! Sebenarnya aku dan Iblis 
Penghancur Raga hendak menuju ke sana! 
Tetapi karena kemunculan Dua Serangkai 
Jubah Hijau dan pemuda berompi ungu itu, 
banyak waktuku yang terbuang!" 

Diah Harum tak menjawab, dia terus 
berlari, seperti menyongsong matahari 
yang semakin meninggi. Lalu serunya, 

"Iblis Telapak Darah! Kau adalah 
sahabat guruku, tetapi aku merasa tak 
pasti kalau kau lebih mengenal guruku 
daripada aku sendiri!" 

"Gadis ini masih ketakutan kalau 
gurunya marah karena dia tidak menuju ke 
Lembah Naga! Hemm... aku harus berusaha 
meyakinkannya. Karena biar bagaimanapun 
juga, aku berharap Dadung Bongkok akan 
membantuku untuk membunuh Raja Naga. Di 
samping itu, Hantu Menara Berkabut akan 
kujadikan sebagai tumpuan yang terakhir 
mengingat kesaktian pemuda bersisik 
coklat itu begitu tinggi!" kata Iblis 
Telapak Darah dalam hati. Sadar kalau 
Dewi Bunga Mawar sedang menunggu 
jawabannya dia segera berkata, "Dewi 
Bunga Mawar! Mungkin aku tak lebih 
mengenal Dadung Bongkok ketimbang kau 
sendiri! Tetapi percayalah dia tidak akan 
gusar dengan apa yang kau lakukan! Bahkan 
dia akan gembira setelah mendengar 
ceritamu nanti!" 

"Lantas... mengapa kita harus ke 
Menara Berkabut?" 

"Karena aku yakin gurumu berada di 
sana! Paling tidak, dia baru dari sana!" 

"Hei! Bagaimana kau bisa mengambil 
kesimpulan seperti itu?" 

Iblis Telapak Darah sesat terdiam 
sebelum kemudian berkata, "Percayalah! 
Aku mengandalkan naluriku!!" 

Kali ini Dewi Bunga Mawar tak 
menjawab. Hati si gadis masih kebat-kebit 
mengingat dia tak segera menjalankan 
perintah gurunya. Bahkan sebelum 
ditemukannya Lembah Naga, dia justru mau 
mengikuti usulan dari lelaki berjubah 
hitam ini untuk menuju ke Menara 
Berkabut. 

"Ah... bagaimana dia bisa 
berkesimpulan Guru baru saja dari Menara 
Berkabut atau berada di sana? Apakah 
sebenarnya Iblis Telapak Darah diperintah 
oleh Guru untuk mencariku? Dan membawaku 
ke Menara Berkabut?" 

Hati Dewi Bunga Mawar semakin 
diliputi banyak pertanyaan. Tetapi segera 
ditindihnya berbagai pertanyaan itu. Lalu 
terus disej ajarkan larinya di samping 
kiri Iblis Telapak Darah. 

Di pihak lain, Iblis Telapak Darah 
diam-diam menarik napas lega karena tak 
lagi banyak mendengar berondongan per- 
tanyaan dari murid Dadung Bongkok. 

Keduanya terus berlari ke arah timur. 

Setengah penanakan nasi kemudian, 
masing-masing orang menghentikan lari 
mereka di sebuah tempat yang agak lapang 
dan dipenuhi ranggasan semak belukar. 
Bukan karena tempat itu yang membuat 
keduanya hentikan langkah, tetapi sosok 
perempuan tua kontet berkulit hitam legam 
yang telah berdiri sejarak dua belas 
langkah di hadapan mereka itulah yang 
menyebabkannya. 

"Ratu Sejuta Setan...," desis Iblis 
Telapak Darah dalam hati. Wajahnya tiba- 
tiba dihiasi butiran keringat. 

Di pihak lain Dewi Bunga Mawar 
memicingkan matanya dalam-dalam. 

"Rasa-rasanya... Guru pernah 
bercerita kalau dia memiliki seorang 
sahabat persis seperti ciri yang ada pada 
perempuan kontet itu...." 

Perempuan tua itu sendiri, menger- 
takkan rahangnya. Matanya memandang tak 
berkedip pada masing-masing orang. Lalu 
ditujukan pada Iblis Telapak Darah yang 
diam-diam menahan napas. 

"Orang busuk berjubah hitam! Tak 
kusangka kalau kita akan berjumpa lagi di 
sini! Kendati kita tak punya silang 
urusan, tetapi melihat gadis itu berada 
di sampingmu, aku yakin kalau kau punya 
maksud busuk padanya!" 

Ditembak seperti itu iblis Telapak 
Darah sejenak gelagapan sebelum dia 
menindih rasa tegangnya. Buru-buru dia 
tersenyum. 

"Ratu Sejuta Setan... apakah kau 
tidak tahu ke mana arah yang kutuju saat 
ini, hingga kau berani melontarkan ucapan 
lancang seperti itu?" 

Sementara Ratu Sejuta Setan 
mendengus, Dewi Bunga Mawar membatin, 
"Ratu Sejuta Setan... ya, ya... aku ingat 
kalau perempuan tua kontet inilah yang 
memang pernah diceritakan Guru sebagai 
salah seorang sahabatnya." 

"Menuju ke arah timur berarti sedang 
menuju ke Menara Berkabut! Orang licik 
seperti kau tentunya punya maksud 
tertentu untuk tiba di sana!" sahut Ratu 
Sejuta Setan. 

"Kata-kata perempuan tua keparat ini 
dapat menggagalkan seluruh rencanaku. 
Dewi Bunga Mawar bukanlah gadis bodoh. 
Kalau begitu aku harus berusaha untuk 
memutar balikkan omongan...." 

Lalu berhati-hati Iblis Telapak Darah 
berkata, "Ratu Sejuta Setan... apakah kau 
tidak tahu siapa gadis yang berdiri di 
sebelah ku ini?! Dia adalah murid sahabat 
ku yang tentunya juga sahabat mu...." 

"Jangan berbelit-belit!" 

Iblis Telapak Darah tersenyum. 

"Dia adalah murid Dadung Bongkok!" 
sahutnya tenang. Begitu dilihatnya sesaat 
kedua mata Ratu Sejuta Setan membuka, 
segera disambungnya dengan ucapan lebih 
tenang, "Apakah kau berpikir aku akan 
melakukan tindakan lancang seperti yang 
kau tuduhkan?" 

Untuk sesaat Ratu Sejuta Setan tak 
bersuara. Dipandanginya Dewi Bunga Mawar 
yang tersenyum karena merasa senang 
berjumpa dengan salah seorang sahabat 
gurunya yang lain. 

"Kalau memang apa yang dikatakan 
orang berjubah itu benar, berarti gadis 
itulah yang dimaksud oleh Dadung Bongkok 
saat mendatangi Menara Berkabut. Aku tak 
tahu bagaimana Iblis Telapak Darah bisa 
bersama-sama dengannya. Tentunya orang 
itu punya pikiran licik yang memang 
selalu ada di kepalanya. Tapi...." 

Memutus jalan pikirannya sendiri, 
Ratu Sejuta Setan berseru, "Bagus kalau 
kau memang murid Dadung Bongkok! 
Lantas.. . apa yang kau lakukan bersama 
dengan manusia keparat Ini?!" 

Dewi Bunga Mawar sesaat melirik Iblis 
Telapak Darah yang sedang menindih 
kegeramannya, lalu katanya pada Ratu 
Sejuta Setan, "Sebelumnya Guru memerintah 
ku untuk mendatangi Lembah Naga! Kendati 
aku tahu apa yang diperintahkan Guru, 
tetapi aku tak mengerti...." 

"Jangan berbelit-belit!" 

Dewi Bunga Mawar sesaat merapatkan 
mulutnya mendengar bentakan orang. Gadis 
yang panasan ini tak segera buka mulut. 
Dipandanginya perempuan tua kontet itu 
dengan seksama. 

Lalu sambil menindih gusarnya dia 
berkata, "Aku bersamanya karena hendak 
menjumpai guruku!" 

"Iblis Telapak Darah... kudengar kau 
juga hadir di rumah duka dua belas tahun 
yang lalu?" 

"Aku hadir di sana bersama sahabatku 
Iblis Penghancur Raga...." 

"Sejak tadi aku ingin menanyakan di 
manakah sahabatmu itu berada!" 

Iblis Telapak Darah mendadak 
menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat- 
kuat . 

"Sahabatku telah mampus dibunuh oleh 
putra Pendekar Lontar!" 

Mendengar jawaban itu Ratu Sejuta 
Setan hanya memperdengarkan dengusan. 

"Dan kau sekarang justru membawa 
pemuda bersisik coklat itu ke tempat yang 
ditujunya?! Keparat betul! Kau bukannya 
dapat mempengaruhi Hantu Menara Berkabut 
seperti yang kau niatkan! Tetapi kau akan 
dihancurkan oleh Hantu Menara Berkabut!" 

Mendengar kata-kata itu, Iblis 
Telapak Darah segera memperhatikan 
sekelilingnya dengan paras tegang. Di 
pihak lain Dewi Bunga Mawar hanya 
memandangi perempuan tua kontet di 
hadapannya. 

"Mengapa tahu-tahu dia berkata 
begitu?" desisnya dalam hati. "Ucapannya 
selalu tajam menyelekit, tetapi Iblis 
Telapak Darah tidak berani memperlihatkan 
ketersinggungannya! " 

Ratu Sejuta Setan berseru gusar, 
"Lelaki berjubah! Kau terlalu tolol 
melakukan tindakan seperti ini hingga kau 
tidak tahu kalau ada seseorang yang 
mengikutimu!" 

Kalau sebelumnya Iblis Telapak Darah 
memandangi sekitarnya dengan tegang, kali 
ini dia nampak bersiaga. 

Justru Dewi Bunga Mawar yang 
mengerutkan keningnya lagi. 

"Ada orang yang mengikuti?" desisnya 
pelan. Sebelum disambungnya lagi kata- 
katanya, terdengar suara dengungan keras 
dari sisi kanannya! 

Wussss!! 

Gelombang angin dahsyat sudah 
menggebrak ke arah salah satu ranggasan 
semak belukar yang tak jauh dari 
tempatnya! 

Seiring letupan terdengar dan 
muncratnya ranggasan semak itu ke udara, 
satu sosok tubuh telah melenting lebih 
dulu dan hinggap di atas tanah dengan ke- 
dua kaki tegak! Tatapan sosok tubuh ini 
angker, nyalang dan tajam. Terutama pada 
Iblis Telapak Darah dan Ratu Sejuta 
Setan! 

"Boma!!" terdengar seruan Dewi Bunga 
Mawar tertahan. 

Sosok tubuh yang melenting dari balik 
ranggasan semak itu dan bukan lain Boma 
Paksi alias Raja Naga adanya, 
memperlihatkan senyuman angker. Matanya 
ditujukan pada Ratu Sejuta Setan. 

"Perempuan tua kontet! Kau tadi 
berkata hendak membunuh putra Pendekar 
Lontar! Sekarang aku telah berada di 
sini! Apakah kau akan tetap melaksanakan 
tujuanmu?!" 

Sebagai tanggapan suara dingin itu 
Ratu Sejuta Setan terkikik. 

"Sudah tentu aku akan membasmi semua 
keturunan Pendekar Lontar dan Dewi 
Lontar! Tak terkecuali kau adanya! Perlu 
kau ketahui, aku juga hadir pada kematian 
ayahmu dua belas tahun yang lalu! Aku 
datang untuk meminta pusaka milik ayahmu! 
Sekarang katakan padaku, di mana pusaka 
itu berada?!" 

"Tentunya yang dimaksud dengan pusaka 
itu adalah gumpalan daun lontar yang kini 
ada di balik pakaianku. Aku belum tahu 
apa kegunaan benda pusaka ini. Dadung 
Bongkok juga menginginkan benda yang sama 
sampai dia membunuh ibuku." 

Usai membatin Raja Naga berseru, 
"Kendati kau pernah melakukan tindakan 
makar terhadap kedua orangtuaku, kau 
bukanlah orang yang kutuju!" 

"Dengan kata lain kau ngeri 
menghadapiku?!" 

Tatapan itu semakin angker bersinar. 

"Perempuan tua kontet! Lebih baik 
menyingkir sebelum kau menyesali keadaan! 
Aku hanya mencari Dadung Bongkok yang 
telah membunuh ibuku! Dan mencari Hantu 
Menara Berkabut yang telah membunuh 
ayahku!" 

"Kedua orangtuamu telah tewas, dan 
sekarang kau unjuk gigi di hadapanku! 
Katakan, di mana pusaka gumpalan daun 
lontar itu berada?!" 

"Kendati aku tahu di mana benda yang 
kau inginkan itu berada, tetapi tak akan 
pernah kuucapkan sesuatu pun mengenai 
benda itu!" 

"Setan jahanam! Berarti kau ingin 
mampus ?!" 

"Sekali lagi kukatakan, aku hanya 
punya urusan dengan Dadung Bongkok dan 
Hantu Menara Berkabut!" suara itu semakin 
dingin. "Tetapi aku bisa berkompromi 
denganmu! Katakan di mana kedua manusia 
dajal itu, maka akan kukatakan padamu di 
mana gumpalan daun lontar milik mendiang 
ayahku yang kau inginkan?!" 

Mendengar kata-kata pemuda bermata 
angker itu, ketamakan Ratu Sejuta Setan 
muncul. 

"Aku tak punya urusan dengan Dadung 
Bongkok dan Hantu Menara Berkabut! 
Kalaupun punya, karena kami memiliki 
kepentingan yang sama! Tetapi 
kepentinganku jauh di atas segala- 
galanya! Dadung Bongkok sudah menutup 
diri dari keinginannya untuk mendapatkan 
pusaka Pendekar Lontar! Berarti... ini 
kesempatanku! Keduanya akan mampus di 
tangan pemuda itu pun aku tak peduli! 
Hanya saja... pemuda ini terlalu berani 
menantang mereka! Dia tidak tahu kalau 
dia sudah memasukkan kedua kakinya ke 
dalam liang lahat!" 

Pikiran tamak itu semakin menari-nari 
di benak Ratu Sejuta Setan. Tetapi 
sebelum dia buka mulut, sudah terdengar 
bentakan keras, "Boma Paksi! Sejak tadi 
kau bicara semaumu saja! Membunuh guruku. 
dan membunuh guruku! Apakah kau pikir 
akan semudah itu kau lakukan?!" 

Raja Naga melirik gadis yang 
membentak tadi. Diam-diam pemuda dari 
Lembah Naga ini merasa tidak enak 
mendengar kata-katanya. Ditatapnya gadis 
yang telah mengguncangkan perasaannya 
itu. 

Kemudian katanya, "Diah Harum... kau 
tak tahu apa yang telah terjadi...." 

"Aku tidak tahu apa yang terjadi?!" 
melotot Diah Harum dengan kegeraman yang 
kentara. "Apakah kau anggap aku ini gadis 
bodoh?!" 

Sembari menggelengkan kepalanya Raja 
Naga berkata, "Diah Harum... gurumu 
adalah manusia sesat yang telah membunuh 
ibuku. Termasuk kedua orang yang berada 
di dekatmu itu. Dan perlu kau ketahui, 
momok dari semua urusan ini adalah Hantu 
Menara Berkabut yang telah membunuh 
ayahku!" 

Wajah Diah Harum memerah dalam. 
Dikertakkan rahangnya sambil melotot 
gusar. 

"Boma! Kau sudah keterlaluan! Kalau 
beberapa hari lalu kau dapat meloloskan 
diri, kali ini kau akan mampus di 
tanganku!" 

Baru saja habis bentakannya, gadis 
jelita yang di atas dadanya terdapat dua 
buah bunga mawar di kanan kiri sudah 
menerjang ke depan! 

★ ★ ★ 


"DIAH! Kau terlalu dibutakan oleh 
kemarahan! Bila belum kau ketahui 
kebenarannya, kau memang tak akan tahu 
apa yang akan terjadi!" seru Raja Naga 
dengan pandangan disipitkan. 

Diah Harum tak mempedulikan ucapan 
itu. Dia justru lipat gandakan tenaga 
dalamnya. Angin deras mendahului kedua 
jotosannya. 

Rupanya Raja Naga tak ingin bertindak 
lebih lama lagi. Dia tidak marah dengan 
sikap yang diperlihatkan Dewi Bunga Mawar 
karena dia tahu kalau gadis itu berada 
dalam kesalah pahaman. Tetapi membiarkan 
gadis ini dirundung amarahnya, justru 
akan merepotkan. 

Cepat Raja Naga menggeser tubuhnya 
sedikit, gelombang angin yang mendahului 
jotosan tangan kiri kanan Dewi Bunga 
Mawar melesat. Bersamaan dengan ranggasan 
semak meletup, kedua tangannya diarahkan 
pada wajah dan dada Boma Paksi. 

Boma Paksi membuka matanya lebar- 
lebar. Sesaat Dewi Bunga Mawar merasakan 
kengerian dari tatapan itu, tetapi dia 
tak peduli. 

Buk! Buk! 

Dua kali benturan itu terjadi. Raja 
Naga bergerak cepat. Mulutnya bersuara, 

"Maaf... Diah...." 

Desss!! 

Jotosannya bersarang di dada si gadis 
yang seketika terhuyung. Karena memang 
tak ingin mencelakakan Dewi Bunga Mawar, 
Boma Paksi cepat menyambar tubuh yang 
begitu dipegangnya telah jatuh pingsan. 

Lalu berhati-hati dibaringkannya 
tubuh si gadis di atas rumput. 

"Mungkin kau tak perlu mengetahui 
keadaan ini untuk sementara waktu...," 
desisnya. 

Di seberang Iblis Telapak Darah 
menegakkan kepalanya dengan mata membuka 
lebar. 

"Gila! Gerakan pemuda itu sungguh 
cepat! Dan... dan... murid Dadung 
Bongkok? Gila! Begitu mudah dipatahkan 
serangannya sekaligus dibuat pingsan!" 

Sementara itu Ratu Sejuta Setan 
menggeram. 

"Kau hanya berani dengan orang yang 
baru lepas dari susuan Ibu, Pemuda 
keparat! Serahkan gumpalan daun lontar 
itu Atau... kau sengaja berdiam diri 
lebih lama semata untuk menunggu Dewa 
Tombak?!" 

Perlahan-lahan Raja Naga bangkit. 
Kedua matanya bersinar lebih angker. 
Sisik-sisik coklat yang terdapat pada 
kedua tangannya sebatas siku, tiba-tiba 
lebih terang terlihat. 

"Dia menyinggung soal Dewa Tombak! 
Hemm. . . bisa jadi di saat aku berjumpa 
dengan Dewa Tombak dia berada di sekitar 
sana! Keparat! Pantas dia mengetahui aku 
bersembunyi tadi! Tentunya dia membuntuti 
ku dan mendahuluiku untuk menjumpai Dewi 
Bunga Mawar dan Iblis Telapak Darah!" 

Setelah mengertakkan rahangnya dan 
tatapan kian angker, murid Dewa Naga 
mendesis dingin. "Tadi sudah kukatakan 
usulku! Beri tahu padaku di mana Dadung 
Bongkok berada, dan jalan yang harus 
kutempuh menuju Menara Berkabut! Maka kau 
akan mendapatkan apa yang kau inginkan!" 

"Hemm... ini memang kesempatan yang 
tak boleh ditinggalkan," desis Ratu 
Sejuta Setan dalam hati. Lalu dengan 
seringaian lebar dia terkikik-kikik. 
"Ucapan memang mudah! Tetapi apakah aku 
akan mendapat kebenaran?!" 

"Aku hanya melontarkan usulan sekali 
saja! Kau menolak, urusan selesai!" 

"Setaaann! Kau bisa mencari Dadung 
Bongkok..." 

"Perempuan tua jahanam! Kau mencoba 
mendapatkan kesempatan dengan menjadi 
seorang pengkhianat! Terkutuk! Selesai 
pemuda itu kubereskan, nyawamu yang akan 
kukirim ke neraka!!" 

Habis bentakan yang tiba-tiba itu 
terdengar, mendadak terlihat satu sosok 
tubuh berputar di udara tiga kali. Lalu 
dengan lincah dan ringannya sosok tubuh 
itu telah berdiri dengan kedua kaki 
tegak. 

"Dadung Bongkok!" desis Ratu Sejuta 
Setan dengan mata membuka. "Keparat! Tak 
seharusnya dia muncul lebih dulu!" 

Kemudian serunya keras, "Keparat 
bongkok! Kemunculanmu telah menggagalkan 
rencanaku!" 

Orang yang baru datang itu memang 
Dadung Bongkok. Serta merta sepasang 
matanya yang dalam dan tajam memandang 
tak berkedip pada Ratu Sejuta Setan yang 
mementangkan matanya pula. 

"Terkutuk!! Ratu Sejuta Setan! Jangan 
bikin hari ini juga kuputuskan untuk 
mencabut nyawamu!" 

"Jangan banyak bicara! Pemuda yang 
kau cari sudah berada di hadapanmu! Kau 
menunggu selama dua belas tahun 
kehadirannya! Hadapi pemuda itu! Bila kau 
menang, maka kau akan menghadapiku untuk 
menerima kematian!!" 

Kumis dan jenggot Dadung Bongkok yang 
seperti terpintal bersatu bergerak 
tatkala dia mendengus. Lalu pandangannya 
mengarah pada sosok pingsan yang 
dikenalinya. 

"Keparat! Siapa yang berani bikin 
pingsan muridku, hah?!" 

Ratu Sejuta Setan menunjuk Raja Naga. 
"Kalau kau mau tahu, dialah yang telah 
melakukannya!" 

"Terkutuk! Terkutuk!!" 

Di pihak lain, Raja Naga memperha- 
tikan sosok bongkok berpakaian hitam 
penuh tambalan itu. Dan pancaran matanya 
kian menajam tatkala orang yang ditatap- 
nya membalikkan tubuh, juga menatapnya. 

"Ibu... manusia keparat itu telah 
muncul di hadapanku. Kini tiba saatnya 
untuk membalas perbuatannya dua belas 
tahun lalu...," desisnya dingin. 

Seraya maju dua tindak ke muka, 
pemuda berambut dikuncir hijau ini 
berseru, "Dua belas tahun bukanlah waktu 
yang singkat dalam perjalanan hidup ma- 
nusia! Tetapi sepertinya begitu singkat 
karena sudah berada di hadapan kita! Dua 
belas tahun menunggu saat-saat yang 
tepat! Dadung Bongkok! Siang ini juga kau 
akan kukirim ke neraka!!" 

Dadung Bongkok menggeram. 

"Ucapan hanyalah sebuah ungkapan yang 
terkadang dipergunakan untuk menutupi 
diri dari kenyataan! Pemuda bersisik! 
Niatmu untuk membalas kematian ibumu 
hanyalah sebuah kesia-siaan!!" 

Nyalang mata angker itu. 

"Bila belum melihat bukti, mengapa 
harus bicara besar?! Bersiaplah untuk 
mampussss!!" 

Habis ucapannya, Raja Naga sudah 
menggebrak ke depan. Tahu kalau lawannya 
bukan orang sembarangan, segera 
digerakkan tangan kanan kirinya melepas- 
kan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 
Serta merta menghampar gelombang angin 
merah yang bergemuruh menggidikkan. 

"Dadung Bongkok mengertakkan rahang- 
nya kuat-kuat. Setelah menjejakkan kaki 
kanannya tubuhnya meluruk ke depan seraya 
mendorong tangan kanan kirinya pula. 
Seketika menggebah awan-awan hitam yang 
menebarkan hawa dingin. 

Jlegaaaarrr!! 

Bertemunya gelombang angin merah dan 
awan-awan hitam itu mengakibatkan letupan 
yang sangat keras. Tanah di mana bertemu- 
nya dua serangan itu kontan membuyar ke 
udara. menghalangi pandangan untuk 
beberapa saat. 

Mendadak dari gumpalan tanah itu 
melesat sosok Raja Naga diiringi teriakan 
membahana. Dadung Bongkok yang tadi 
surutkan langkah, mengangkat kepala dan 
melakukan gebrakan yang sama. 

Untuk kedua kalinya letupan keras 
terjadi. Kali ini terlihat muncratan 
angin merah dan pecahnya awan-awan hitam. 
Dan kalau tadi Raja Naga langsung 
melancarkan serangan, kali ini pihak 
lawan yang mendahuluinya. 

Merasakan adanya gelombang angin yang 
menderu serabutan, si pemuda menepukkan 
tangan kanannya pada lengan kirinya. 

Wuuuttt!! 

Angin berputar tiba-tiba menderu, 
melingkar dan membubungkan tanah dalam 
pusarannya. 

Melihat hal itu, Dadung Bongkok 
mengurungkan niatnya menyerang. Dibuang 
tubuhnya ke samping kanan. Bersamaan 
dengan itu Raja Naga sudah menjejakkan 
kaki kanannya ke tanah. Bersamaan tubuh- 
nya melenting ke atas, tanah menghambur 
ke arah Dadung Bongkok yang terkesiap dan 
segera membuang tubuh. 

Blaaaarrr!! 

Tempat itu laksana dihantam kiamat 
kecil. Ranggasan semak berhamburan. Iblis 
Telapak Darah berdiri terengah-engah. 
Bila saja tadi dia tidak segera meng- 
hindar, maka tubuhnya akan hancur terkena 
serangan si pemuda yang berhasil di 
hindari Dadung Bongkok. 

"Keadaan ini jelas-jelas tak mengun- 
tungkan. Pemuda itu ternyata lebih hebat 
dari apa yang pernah diperlihatkannya 
kepadaku. Hemm... lebih baik... aku 
menyingkir saja dari sini. Kulihat tanda- 
tanda kalau Ratu Sejuta Setan pun sudah 
tidak sabar untuk melancarkan serangan.." 

Memutuskan demikian, Iblis Telapak 
Darah perlahan-lahan mundur. Ditunggunya 
kesempatan untuk meninggalkan tempat itu. 

Sementara itu Dadung Bongkok yang 
berhasil menghindar sedang menarik napas 
dalam-dalam. Dadanya turun naik. Wajahnya 
sedikit memucat 

"Gila! Ilmunya sungguh di luar 
dugaan! Tentunya Dewa Naga sudah 
menurunkan semua kepandaiannya pada 
pemuda itu!" desisnya dalam hati. 

"Dadung Bongkok! Kau sudah terlalu 
tua untuk menghadapi lawan yang lebih 
muda dan gagah! Bila kau mau memohon 
bantuan, lakukan! Aku akan segera 
membantumu!" seru Ratu Sejuta Setan tiba- 
tiba . 

Dadung Bongkok menggeram dingin. 

"Perempuan tua kontet itu sudah tak 
bisa dimaafkan lagi segala tindakannya! 
Ucapannya barusan benar-benar bikin 
dadaku mau pecah! Huh!" makinya dalam 
hati. Tetapi di pihak lain satu pikiran 
sudah singgah di benaknya, "Begitu bodoh 
kalau aku tidak mau dibantunya! Dia hanya 
menuntut tindakan memohon! Bagus! Itu 
akan kulakukan! Kalau perempuan kontet 
itu mampus, tak ada lagi yang akan 
menghalangi niatku untuk mendapatkan 
pusaka Pendekar Lontar!" 

Memutuskan demikian, Dadung Bongkok 
berkata dengan suara ditekan, "Ratu 
Sejuta Setan! Aku mohon bantuanmu!" 

"Keparat! Kau bukan memohon, tetapi 
membentak!" 

"Setan alas! Kubunuh juga dia!" maki 
Dadung Bongkok geram. Tetapi ditindih 
amarahnya demi rencana yang sudah ada di 
benaknya. Lalu katanya dengan suara 
dibuat mengiba, "Aku memohon bantuanmu 
untuk menghadapinya. ..." 

Meledak tawa Ratu Sejuta Setan. 
"Bagus! Kita akan maju bersama-sama untuk 
membunuhnya!" 

Di depan Raja Naga mendesis angker, 
"Ratu Sejuta Setan! Kau memang musuh 
kedua orangtuaku! Tetapi kau tidak 
lakukan pembunuhan seperti yang dilakukan 
Dadung Bongkok! Sebaiknya kau menyingkir 
dari sini sebelum ketiban sial!" 

Wajah hitam Ratu Sejuta Setan semakin 
menghitam karena mengkelap. 

"Keparat! Tak akan pernah kusesali 
apa yang terjadi! Keturunan Pendekar 
Lontar harus mampus!" 

Kejap itu pula Ratu Sejuta Setan 
sudah melancarkan serangan ganasnya. 
Dadung Bongkok segera menyusul. 

Raja Naga mengertakkan rahangnya 
keras-keras. Tatapannya bertambah angker, 
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas 
siku, semakin menyala. Tiba-tiba dihen- 
takkan kaki kanan kirinya di atas tanah. 
Kontan tanah itu bergerak, bergelombang 
cepat diiringi suara mengerikan ke arah 
Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok. 

Yang diserang sama-sama memekik 
tertahan dan sama-sama membuang tubuh ke 
kanan kiri. Sambil membuang tubuh, Dadung 
Bongkok menghentakkan tangan kanannya. 

Wusss! 

Awan-awan hitam yang menebarkan hawa 
dingin menderu ganas ke arah Raja Naga. 
Awan-awan itu langsung putus dihalau 
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'! 

Namun sinar-sinar merah ganas yang 
dilepaskan Ratu Sejuta Setan membuat Raja 
Naga harus surutkan langkah. Tetapi di 
kejap itu pula, dia sudah langsung 
menerjang ke depan. 

Ratu Sejuta Setan palangkan kedua 
tangannya di atas kepala, kejap kemudian 
disentakkan dengan cara membuka. 

Buk! Buk! 

Benturan keras itu membuat Raja Naga 
terlempar tiga langkah ke belakang. Di 
pihak lain Ratu Sejuta Setan terseret dua 
tombak. Kalau Ratu Sejuta Setan sudah 
kembali berdiri tegak, justru Raja Naga 
terpelanting ke samping kiri. 

Karena tendangan kaki kanan Dadung 
Bongkok telah menghantam pinggangnya! 

"Pergilah menyusul kedua orangtuamu 
ke akhirat!!" seru Dadung Bongkok 
menyerbu ganas. 

Melihat hal itu, Ratu Sejuta Setan 
tak mau ketinggalan. Dia sudah menerjang 
diiringi teriakan membahana. Dua serangan 
secara bersamaan yang datang dari kanan 
kiri itu membuat Raja Naga sejenak 
terkesiap. 

Cepat diempos tubuhnya ke belakang 
dan bersalto dua kali. 

Buummm!! 

Tanah di mana tadi sosoknya berdiri 
kontan muncrat dan membentuk kubangan 
lebar tatkala dua serangan ganas itu 
menghantam tempat kosong! Tempat itu 
sesaat bergetar. Ranggasan semak merang- 
gas rengkah! 

Sementara itu begitu hinggap kembali 
di atas tanah, kembali Raja Naga 
menghentakkan kaki kanannya di atas 
tanah. 

Brrolll!! 

Letupan keras terdengar. Tanah 
bergerak cepat ke arah Ratu Sejuta Setan 
dan Dadung Bongkok. Masing-masing orang 
segera melompat, langsung mengarahkan 
serangan masing-masing pada Raja Naga. 

Sementara itu Iblis Telapak Darah 
hanya terperangah melihat pertarungan 
yang sangat ganas. Beberapa saat dia 
hanya terdiam menyaksikan, sebelum 
kemudian teringat kembali dengan apa yang 
ingin dilakukannya. 

"Hemmm... selagi mereka sibuk 
bertarung, sebaiknya aku segera mening- 
galkan tempat ini 

Sejenak diperhatikannya dulu bagai- 
mana Dadung Bongkok dan Ratu Sejuta Setan 
sedang melancarkan serangan beruntun pada 
Raja Naga, sebelum kemudian ditinggal- 
kannya tempat itu. 

Di pihak lain Raja Naga berusaha 
untuk menghadang setiap serangan yang 
datang. 

"Gabungan kekuatan keduanya ini 
sangat luar biasa! Jalan satu-satunya 
mungkin aku harus menggunakan ilmu 'Naga 
Mengamuk'! Tetapi... tidak! Ilmu itu akan 
kupergunakan untuk menghadapi Hantu 
Menara Berkabut!" 

"Pemuda bersisik! Apa yang kau 
dapatkan selama berguru pada Dewa Naga 
itu, hah?!" ejek Dadung Bongkok menyerang 
ganas. Suasana di tempat itu sudah tak 
karuan. "Kau hanya bisa kentut seperti 
dirinya belaka!" 

Raja Naga menggeram dingin. Wajahnya 
semakin bertambah angker dan mengerikan. 
Sisik-sisik coklat pada kedua tangannya 
sebatas siku kian menyala. Yang nampak 
sekarang hanyalah wujud dari ganasnya 
seekor naga! 

Mendadak dia meluruk seraya mengibas- 
kan tangan kanan kirinya. Dadung Bongkok 
membentur! 

Des ! 

Sosoknya terseret ke belakang 
sementara Raja Naga sendiri goyah. Saat 
itulah Ratu Sejuta Setan yang begitu Raja 
Naga menyerang melompat ke depan dan kini 
berada di belakang si pemuda, sudah 
menderu dengan tenaga dalam lipat ganda! 
"Mampuslah kau!!!" 

★ ★ ★ 


NAMUN yang terjadi kemudian sungguh 
mengejutkan! Karena sosok Ratu Sejuta 
Setan justru yang terpental ke belakang, 
seperti menabrak sebuah tembok yang 
sangat tebal! 

"Astaga!!" pekikan kagetnya terdengar 
dan cepat dikuasai keseimbangannya. Dia 
memang berhasil berdiri tegak kembali, 
tetapi tangan kanan dan kirinya terasa 
ngilu luar biasa. 

Raja Naga yang tadi sudah bersiap 
untuk menghadang serangan Ratu Sejuta 
Setan tetapi perempuan tua kontet itu 
sudah terlempar, mengerutkan keningnya. 

"Aneh! Apa yang terjadi?! Siapa yang 
telah membantuku?!" desisnya tak 
mengerti. Namun lain halnya dengan Dadung 
Bongkok. Kakek bongkok berpakaian hitam 
compang-camping ini justru menjadi 
tegang. 

"Dulu... dua belas tahun yang lalu... 
aku pun tak mudah membokongnya dari 
belakang! Satu tenaga dahsyat telah 
keluar dari tato naga hijau pada 
punggungnya! Rupanya ilmu aneh yang 
dimilikinya itu masih ada!" 

Kemudian dia berseru, "Ratu Sejuta 
Setan! Jangan coba-coba kau menyerang 
punggungnya!" 

"Kenapa?!" 

"Dia memiliki tato seekor naga hijau 
pada punggungnya! Dan tadi kau terpental 
karena terhalang oleh tenaga tak nampak 
yang keluar dari tato itu!" 

"Gila! Apakah kau sudah gila, Dadung 
Bongkok?!" 

"Jangan mendebat! Aku pernah 
mengalami hal itu dua belas tahun yang 
lalu!" maki Dadung Bongkok keras (Untuk 
mengetahui pengalaman Dadung Bongkok itu 
silakan baca : "Tapak Dewa Naga"). 

Sementara itu, Raja Naga yang tak 
mengerti apa yang tadi terjadi, diam-diam 
membatin, "Tato seekor naga hijau? Aku 
tahu kalau aku memiliki gambar tato itu 
semenjak aku lahir. Menurut Guru, ada 
sesuatu di balik gambar itu. Rasanya 
sekarang aku mulai memahaminya. Tetapi 
mengapa baru sekarang tenaga tak nampak 
itu bisa keluar padahal sejak tadi 
keduanya selalu mencoba membokongku?" 

Pertanyaan pada dirinya sendiri itu 
mendapat jawaban dari mulut Dadung 
Bongkok, "Gambar naga hijau pada 
punggungnya akan menimbulkan satu tenaga 
gaib yang dahsyat!" 

"Ciiih! Kau begitu ketakutan sekali?! 
Aku tak merasakan kedahsyatannya tadi!" 
cibir Ratu Sejuta Setan. 

"Bodoh! Semakin dia marah, tenaga 
yang keluar itu akan semakin dahsyat!!" 

Ratu Sejuta Setan tak bersuara tetapi 
mulutnya berkemak-kemik mengumbar kejeng- 
kelan. Di pihak lain Raja Naga diam-diam 
berkata dalam hati, 

"Semakin aku marah, semakin dahsyat 
tenaga yang keluar? Astaga! Sepertinya 
ini sangat membahayakan! Kalau begitu, 
aku tak boleh terpengaruh oleh amarahku 
sendiri?" 

Sementara itu Ratu Sejuta Setan 
nampak masih belum puas dengan apa yang 
dikatakan Dadung Bongkok. Dia membentak, 
"Kakek bongkok keparat! Aku akan 
membuktikan kalau apa yang kau katakan 
itu tidak benar! Lihat!!" 

Habis ucapannya, Ratu Sejuta Setan 
menerjang ke depan. Kali ini Raja Naga 
langsung membalikkan tubuh. Hingga apa 
yang diinginkan Ratu Sejuta Setan jelas 
gagal. Raja Naga sendiri sudah 
menghentakkan kedua tangannya. 

Blaar! Blaaarr!! 

Ratu Setan terpuruk ke belakang. 

"Perempuan kontet! Sejak tadi 
kukatakan, jangan ikut campur urusanku! 
Aku hanya menginginkan nyawa kakek 
bongkok itu!" 

Menyusul Boma Paksi melancarkan 
serangannya pada Dadung Bongkok! 

Mendapati serangan ganas itu Dadung 
Bongkok tak mau tinggal diam. Tetapi 
karena Ratu Sejuta Setan masih terdiam 
menahan sakit, dia jadi kewalahan. Murid 
Dewa Naga itu semakin mengganas. 

"Perempuan kontet! Bantu aku!!" seru 
Dadung Bongkok keras. 

Ratu Sejuta Setan mengertakkan 
rahangnya. 

"Kau hadapi dia sendiri! Karena 
kaulah orang yang diburunya!" 

"Perempuan hina!!" 

"Huh! Begitu bodoh kalau kukorbankan 
diriku untuk kepentinganmu sendiri! Aku 
sudah tak peduli lagi dengan gumpalan 
daun lontar milik Pendekar Lontar! 
Tetapi... aku akan membalas semua 
perlakuannya hari ini!!" 

"Setaaann!!" maki Dadung Bongkok 
keras. Dia berusaha melancarkan 
serangannya pada Ratu Sejuta Setan, 
tetapi urung karena serangan Raja Naga 
sudah menggebrak kembali. 

Ratu Sejuta Setan menggeram dingin. 

"Keparat! Dia bermaksud membunuhku! 
Jahanam! Masa bodoh sekarang! Semua ini 
adalah urusannya! Dia mampus pun aku tak 
peduli! Lebih baik aku berlalu untuk 
kelak kembali lagi ke hadapan pemuda 
itu!" desisnya dalam hati. 

Lalu pandangannya terbentur pada 
sosok Dewi Bunga Mawar yang masih jatuh 
pingsan. 

"Hemm... gadis ini belum tahu apa 
yang sebenarnya terjadi. Bahkan dia tidak 
tahu kalau gurunya telah muncul di sini! 
Bodoh! Mengapa aku jadi bodoh! Lebih baik 
gadis ini kubawa! Dia akan kudidik untuk 
membalas kekalahanku hari ini pada Raja 
Naga! Bagus, bagus sekali! Aku ternyata 
memiliki otak yang cerdik!" 

Lalu dia melangkah mendekati Dewi 
Bunga Mawar yang masih pingsan. Dengan 
sekali menyentakkan kaki dan menggerakkan 
tangannya, Ratu Sejuta Setan sudah 
memanggul Dewi Bunga Mawar. 

Kemudian serunya pada Dadung Bongkok, 
"Kakek bongkok yang sudah menjelang 
mampus! Muridmu kubawa serta! Kau 
hadapilah kematianmu seorang diri!" 

"Keparat kau! Kubu.. ." 

Bentakan Dadung Bongkok terputus 
karena dia harus menghindari serangan 
Raja Naga. 

Sementara itu berkumandang tawa Ratu 
Sejuta Setan di saat dia berlalu sambil 
membawa sosok Dewi Bunga Mawar! 

Perginya Ratu Sejuta Setan membawa 
murid kesayangannya, membuat Dadung 
Bongkok hilang percaya dirinya. Meskipun 
dia masih dapat menghindari setiap 
serangan Raja Naga, namun karena terus 
didesak sekali waktu dadanya telak 
terhantam jotosan Raja Naga! 

Bukkk! 

Tubuhnya kontan terlempar ke belakang 
dan muntah darah. Dadung Bongkok 
tersentak karena mendadak saja kaki Raja 
Naga telah menginjak dadanya! 

"Kau telah membunuh ibuku! Kau hidup 
pun justru akan banyak menimbulkan 
petaka! Hari ini kau lebih baik mampus!!" 

Pucat pasi wajah Dadung Bongkok. 

"Jangan... jangan bunuh aku... aku... 
aku mohon maaf... aku mohon ampun...." 

"Kau telah membunuh ibuku!" 

Suara dingin itu makin membuat Dadung 
Bongkok mengkeret. Dia terus bersuara 
mengibakan. Sesungguhnya Raja Naga memang 
memiliki sifat yang lembut, hingga 
setelah beberapa lama terdiam, akhirnya 
dia berkata, 

"Kuampuni nyawamu... bila kau mau 
menunjukkan jalan menuju ke Menara 
Berkabut!" 

"Oh! Gila! Kau... kau... akan mampus 
sebelum tiba di sana... Kalaupun kau 
berhasil tiba di Menara Berkabut, 
kematian sudah menunggu." 

"Aku tak peduli apa pun yang 
menungguku! Tetapi aku percaya kalau kau 
tahu jalan yang menuju tempat itu!" desis 
Raja Naga dingin. Kakinya ditekan lebih 
kuat hingga Dadung Bongkok mengerang. 
Kedua matanya membeliak, mulutnya terbuka 
menahan sakit. 

"Ya! Ya! Aku akan menunjukkannya!" 
serunya parau. 

"Bagus!" Raja Naga mengangkat kakinya 
dari dada Dadung Bongkok. Lalu 
disentakkannya tubuh kakek itu ke atas. 
"Cepat tunjukkan padaku sekarang!!" 

Penuh amarah, kemuakan, dendam 
sekaligus rasa takut, Dadung Bongkok 
berjalan terseret-seret. Dia langsung 
memutuskan untuk mengatakan jalan rahasia 
menuju ke Menara Berkabut. Pikirnya, 
sudah tentu pemuda itu akan mampus di 
tangan Hantu Menara Berkabut! 

"Jangan coba-coba mengelabuiku!" 

"Aku. . . aku. ..." Dadung Bongkok tak 
meneruskan ucapannya. Dia memang telah 
kafah. Tetapi dia merasa belum kalah 
sepenuhnya. Masih ada harapan satu- 
satunya melihat pemuda ini mampus. Hantu 
Menara Berkabut yang akan melakukan 
untuknya! 

Dengan seluruh rencana yang telah 
tersusun, kakek bongkok itu menunjukkan 
jalan rahasia di mana dia biasa 
melaluinya bila mendatangi Menara 
Berkabut. 

"Buka!" bentak Raja Naga sambil 
menatap Dadung Bongkok yang sedang 
berlutut di hadapan tanah di balik 
ranggasan semak. 

Dengan kemarahan yang ditindih, 
Dadung Bongkok menarik sebuah besi kecil 
yang menempel pada dinding tanah. 

Boma Paksi melongok. 

"Hemm... ada undakan menuju ke bawah. 
Mudah-mudahan dia tidak berdusta...," 
desisnya dalam hati. 

"Kau telah kutunjukkan jalan menuju 
ke Menara Berkabut yang lebih aman! 
Sesuai janjimu... kau akan melepaskanku, 
bukan?" desis Dadung Bongkok sambil 
mengerj ap-ngerj ap. 

Raja Naga mementangkan mata 
angkernya. 

"Aku bukanlah orang yang pandai 
berdusta! Hari ini kuampuni nyawamu! 
Tetapi bila kelak kudengar lagi sepak 
terjangmu, jangan harapkan kau dapat 
hidup lebih lama!" 

"Ya, ya... aku... aku berjanji...." 

"Pergi dari sini!!" 

Dadung Bongkok mengangguk anggukkan 
kepalanya seraya mundur. Lalu berlari 
sekencang mungkin. 

Raja Naga memandang sesaat sosok 
Dadung Bongkok sebelum menghilang ditelan 
pepohonan. Dia kini berlutut pada lubang 
yang menganga. 

"Undakan tanah ini tak terlalu banyak 
dan nampaknya tempat di bawahnya pun 
tidak lebar. Bisa jadi aku harus 
membungkuk," desisnya sambil melongok ke 
dalam lubang itu. Ditarik napasnya pelan- 
pelan, lalu ditengadahkan kepalanya pada 
matahari yang sekarang sudah disaputi 
senja. "Ayah... kini tiba saatnya untuk 
menuntut balas pada orang yang telah 
membunuhmu. Ibu... maafkan aku yang telah 
melepaskan Dadung Bongkok... tetapi aku 
berjanji, bila kudengar dia melakukan 
tindakan makar lagi, maka tak akan pernah 
kuampuni nyawanya." 

Kemudian pemuda berompi ungu itu 
menahan napas sejenak. Sambil dihembuskan 
dia mulai memasukkan kaki kanannya ke 
lubang yang sebelumnya tertutup tanah dan 
berada di balik ranggasan belukar. 

Namun sebelum dilakukannya, awan-awan 
hitam dingin menderu ganas dari samping 
kanan! Sejenak murid Dewa Naga menegakkan 
kepalanya. 

"Keparat!" desisnya. 

Sambil menundukkan kepala, tangan 
kanannya ditepukkan pada tanah. Serta 
merta tanah itu bergerak cepat, 
bergelombang dan bergemuruh. 

Menyusul terdengar jeritan keras, 

"Aaaakhhhh!!" 

Sosok bongkok berpakaian hitam 
terpental ke udara dan terbanting deras 
di atas tanah! Terlihat sejenak 
menggeliat-geliat penuh erangan kesakitan 
sebelum di saat lain meregang tegang dan 
terdiam tak bergerak! 

Raja Naga menggeram. 

"Aku sudah mengampuni nyawanya... 
tetapi dia masih mencoba membokongku!" 
desisnya. 

Lalu dia pun masuk ke dalam lubang 
itu. Ditutupnya sebelum menyusuri jalan 
sempit di dalam tanah. 

Di atas tanah, Dadung Bongkok telah 
tergolek menjadi mayat! Rupanya kakek 
bongkok itu masih tidak puas dengan apa 
yang dialaminya. Dia sengaja berlari 
kencang tadi untuk cepat lenyap dari 
pandangan si pemuda, tetapi dia justru 
memutar dan mencari kesempatan untuk 
melancarkan serangan. 

Tetapi sayang, serangan balik dari 
Raja Naga lebih cepat datang dan mengirim 
nyawanya ke neraka! Padahal, anak muda 
dari Lembah Naga itu sudah mengampuni 
kesalahannya! 

★ ★ ★ 


PERJALANAN menuju ke Menara Berkabut 
yang ditempuh Raja Naga melalui lorong 
rahasia itu pun berakhir. Anak muda dari 
Lembah Naga itu kini berada di undakan 
pertama menuju ke bagian atas menara. 

Dinding menara yang terbuat dari batu 
hitam itu tak ada celah jendela ataupun 
lubang angin. Suasana cukup gelap. Raja 
Naga yakin kalau dia bisa melihat keluar, 
yang dipandang hanyalah kegelapan semata. 

Anak muda bersisik coklat ini tak 
segera melangkahkan kaki menuju ke atas. 
Dia mempertimbangkan keadaan terlebih 
dulu. 

"Aku belum tahu di bagian mana dari 
tempat ini Hantu Menara Berkabut berada. 
Bisa jadi dia berada di puncak menara 
ini, karena di sini hanya terdapat 
undakan tangga belaka. Kalau begitu...." 

Memutus kata-katanya sendiri, Raja 
Naga berhati-hati menaiki undakan tangga 
menuju ke atas. 

Keheningan mencekam. Kegundahan 
mendadak terjadi. Raja Naga terus 
melangkah dengan membuka mata dan telinga 
lebih lebar. Dinding-dinding hitam Menara 
Berkabut seperti memiliki mata, memandang 
sinis dan curiga padanya. 

Baru saja dia menaiki setengah 
perjalanan menuju ke atas, mendadak tawa 
menggema berkumandang, bertalu-talu dan 
menyakitkan gendang telinga. 

"Selamat datang di Menara Berkabut! 
Menara penyimpan misteri berkepanjangan 
akan menjemput nyawamu ke akhirat!" 

Bergemanya suara itu sesaat membuat 
Raja Naga terdiam. Napasnya sedikit 
ditahan. Dia menunggu beberapa saat. 

Setelah tak didengarnya lagi suara dia 
mulai melangkah lagi, lebih berhati-hati. 

"Aku yakin... orang yang bersuara itu 
adalah Hantu Menara Berkabut! Berarti... 
dia telah mengetahui kehadiranku!" 

Tiba-tiba saja murid Dewa Naga 
menoleh ke samping kiri, karena mendadak 
terdengar suara berderak cukup keras, 
menggema ke bawah dan ke atas menara. 
Menyusul meluncurnya sepuluh buah tombak 
hitam! 

"Heiiit!" 

Cepat anak muda ini menggerakkan 
tangan kanannya. Jurus 'Kibasan Naga 
Mengurung Lautan' menggebrak. Terdengar 
suara patah-patahan beberapa kali. Namun 
sepuluh buah tombak lainnya menyusul 
menggebrak, kali ini dari atas dan siap 
menghujam di kepala Raja Naga! 

Anak muda ini cepat memalangkan kedua 
tangannya yang segera didorong ke atas. 
Suara patah-patahan benda terdengar lagi. 
Sebuah patahan tombak itu mengenai 
bahunya yang terasa sedikit ngilu. 

"Keparat! Aku bukan hanya harus 
berhati-hati, tetapi harus berlari untuk 
tiba di atas!" 

Memutuskan demikian, Boma Paksi 
segera mengempos tubuhnya menuju ke atas. 
Namun dia segera melompat turun kembali. 
Karena sebuah Jala besar mendadak turun! 

"Gila!!" serunya keras dan.... 

Croook! Croook! 

Kedua tangannya menghujam pada 
dinding menara di mana saat ini tubuhnya 
menempel seperti laba-laba. Jala besar 
itu jatuh ke bawah dan menimbulkan suara 
cukup keras. 

Belum lagi Raja Naga membebaskan 
dirinya dari kedudukannya sekarang, 
dinding di mana kedua tangannya menghujam 
tiba-tiba saja bergerak. Dan... 

Brroolll!! 

Kontan tubuhnya terdorong ke 
belakang, menghantam dinding menara 
sebelahnya lagi. Wajah anak muda ini 
terlihat tegang, karena pecahnya dinding 
itu melontarkan bebatuan ke arahnya! 
Serta merta diliukkan tubuhnya dan 
melompat ke atas. 

Bersamaan suara keras berkali-kali 
menghantam dinding, Raja Naga terus 
melesat ke atas, mempergunakan ilmu 
peringan tubuhnya. 

"Hebat! Sungguh hebat! Beberapa 
jebakan di Menara Berkabut berhasil kau 
atasi! Dan kupikir sudah selesai 
pemanasan itu! Teruslah kau naik, Anak 
muda! Karena maut sudah menunggumu di 
sini!!" 

Boma Paksi terus berlari ke atas 
hingga akhirnya dia memasuki sebuah 
tempat yang cukup lapang di bagian atas 
Menara Berkabut! 

Begitu dia berada di sana, dilihatnya 
satu sosok tubuh telah berdiri angkuh 
dengan kedua tangan melipat di depan 
dada. Raja Naga melangkah pelan, mencari 
kedudukan yang lebih aman. 

Dipandanginya sosok tubuh itu dengan 
tatapan angker. 

"Hantu Menara Berkabut!" serunya 
menggema. "Aku datang untuk menuntut 
balas perbuatanmu terhadap ayahku dua 
belas tahun lalu!!" 

Orang berjubah jingga itu tertawa 
keras. 

"Kau hanya mengantarkan nyawamu 
percuma, Anak muda!" 

"Kita lihat apa yang akan terjadi!" 
seru Raja Naga keras. Pemuda dari Lembah 
Naga ini sudah tak bisa lagi menahan 
gejolak amarahnya. Dia langsung mendorong 
tangan kanan kirinya yang serta merta 
menghampar angin merah berkekuatan ganas. 

Orang berjubah jingga itu 
menjerengkan sepasang matanya, menyingkir 
sedikit dan tiba-tiba meluruk ke depan! 

Entah apa yang dilakukannya mendadak 
saja Raja Naga merasa perutnya terkena 
jotosan kuat. Tubuhnya terhuyung ke 
belakang dan menghantam dinding menara! 

"Huh! Ternyata kau tak jauh berbeda 
dengan kedua orang tuamu yang tak 
mempunyai kemampuan apa-apa! Sudah 
kukatakan tadi, kau datang hanya 
mengantar nyawa! Sekarang juga akan 
kucabut nyawamu! !" 

Berada di tempat yang tak terlalu 
luas itu dan keadaan yang cukup gelap, 
membuat pertarungan yang kemudian terjadi 
seperti berat sebelah. Karena Hantu 
Menara Berkabut sangat hafal dengan 
setiap sudut yang ada di Menara Berkabut. 
Sementara Raja Naga harus mengandalkan 
nalurinya. 

Berulang kali terdengar letupan demi 
letupan yang sangat keras. Raja Naga 
menjejakkan kaki kanannya untuk melancar- 
kan jurus 'Barisan Naga Penghancur 
Karang'. Namun justru dia yang langsung 
melompat ke samping. Karena begitu 
dilepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur 
Karang' lantai bagian atas Menara Ber- 
kabut ambrol! 

Sementara itu, sepasang mata Hantu 
Menara Berkabut menyipit. 

"Apa yang diperlihatkannya barusan 
tentunya sebuah ilmu yang luar biasa! 
Tetapi tak bisa digunakan karena begitu 
dikeluarkannya ilmu itu, lantai langsung 
ambrol! Ini kesempatanku untuk 
membereskan keturunan Pendekar Lontar!" 

Lalu dengan ganasnya Hantu Menara 
Berkabut menerjang. Dinding Menara Berka- 
but jebol ketika terhantam jotosannya. 
Seketika angin besar dan dingin masuk, 
membuat wajah masing-masing orang seperti 
disentak tamparan keras. Dan keduanya 
segera mengalirkan tenaga dalam masing- 
masing. Kendati angin besar masuk 
menyerbu, tetapi gumpalan kabut hitam 
yang kini kelihatan tetap tak bergerak! 
Keduanya sama-sama tahu, terlempar 
melalui dinding yang jebol itu berarti 
menyongsong maut! 

Hal itulah yang kemudian dilakukan 
oleh Hantu Menara Berkabut. Dia mencoba 
mendesak Raja Naga agar terlempar ke 
dinding yang jebol. 

Sadar kalau dirinya bisa terjatuh, 
Raja Naga mencoba mencari tempat yang 
lebih aman. Dia terus melancarkan 
serangan hebatnya. Bahkan dia sudah 
mempergunakan ilmu 'Naga Mengamuk' yang 
membuat tempat itu seperti bergetar 
dihantam badai. 

Dalam waktu singkat saja tiga dinding 
bagian atas Menara Berkabut sudah jebol. 
Angin besar semakin banyak yang masuk dan 
membuat masing-masing orang harus lebih 
berhati-hati. 

"Keparat! Bila berada di tanah 
terbuka, sudah tentu aku akan kewalahan 
menghadapi putra mendiang Pendekar Lontar 
ini! Ilmu-ilmunya begitu hebat dan me- 
ngerikan! Tetapi dipergunakan pada tempat 
yang tak lapang ini ilmu itu seperti tak 
ada gunanya! Malah membahayakan dirinya 
sendiri! Aku harus mempergunakan lebah- 
lebahku sekarang!" 

Seraya menghindari serangan beruntun 
dan cepat dari Raja Naga, Hantu Menara 
Berkabut segera melepaskan lebah-lebah 
beracunnya. Suara mendengung itu sejenak 
membuat Raja Naga mundur. Dibuka matanya 
lebih lebar untuk melihat dari mana asal 
suara itu. 

"Lebah!" desisnya setelah mengenali 
benda-benda yang berdengung keras. 
Tatkala teringat kematian ayahnya yang 
diakibatkan lebah-lebah beracun itu, anak 
muda ini segera membuang tubuh. Lalu 
mendorong tangan kanannya. 

Wuuss! 

Tiga ekor lebah kontan berjatuhan dan 
mati . 

Tetapi lebah-lebah berikutnya yang 
dilepaskan Hantu Menara Berkabut 
membuatnya agak sedikit kewalahan. Lebah- 
lebah itu menyerangnya dari berbagai 
penj uru. 

"Kau tak akan pernah bisa bertahan 
lebih lama untuk menikmati kehidupan ini, 
Pemuda keparat!!" seru Hantu Menara 
Berkabut sambil tertawa keras. 

Raja Naga merandek gusar. Sepasang 
matanya yang bersinar angker, lebih 
mengerikan. Bila saja tempat itu agak 
sedikit terang, dapat terlihat sisik- 
sisik coklat pada kedua tangannya sebatas 
siku semakin bersinar! Pertanda kemarahan 
sudah melanda diri pemuda itu! 

Tiba-tiba terdengar seruan tertahannya ! 

"Aaakhhh!!" 

Hantu Menara Berkabut berkata sinis, 
"Seekor lebahku sudah menyengat tubuhmu! 
Bersiaplah untuk mampus!!" 

Dilihatnya bagaimana sosok pemuda 
berompi ungu itu terhuyung ke belakang, 
ke arah dinding yang jebol. Melihat hal 
itu Hantu Menara Berkabut segera 
menerjang ke depan. 

Wusss!! 

Raja Naga segera menghindar ke 
samping, tubuhnya agak terhuyung. Melihat 
hal itu semakin keras tawa Hantu Menara 
Berkabut. Dia yakin kalau putra mendiang 
Pendekar Lontar itu sudah terkena racun 
dari lebah miliknya. 

"Hmmmm! Akan kugiring dia ke arah 
dinding yang jebol biar dia jatuh dari 
ketinggian ini!!" 

Dengan ganas Hantu Menara Berkabut 
terus melancarkan serangannya. Dilihatnya 
huyungan tubuh Raja Naga semakin menjadi- 
jadi . 

"Kau tak akan bisa melepaskan diri 
dari kematian. Hari ini keturunan 
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar akan 
berakhir!" 

Huyungan tubuh Raja Naga semakin 
nampak, bahkan terdengar berulang kali 
keluhannya menahan rasa sakit. Namun di 
balik rasa sakit itu, Raja Naga menggeram 
dalam hati. 

"Hemm... dia tidak tahu apa yang 
sebenarnya terjadi pada diriku sekarang 
ini! Lebah itu memang menyengatku, tetapi 
tidak kurasakan sakit seperti yang selama 
ini kudengar! Bahkan kurasakan tenagaku 
semakin kuat! Aku tidak tahu mengapa ini 
terjadi? Tapi... aku yakin, gambar naga 
hijau pada punggungku inilah yang mungkin 
menanggulangi racun berbahaya dari lebah 
miliknya! Hanya saja... mengapa begitu 
lebah ini menyengat, perutku seperti 
meregang dan ada hawa panas yang naik?" 

Tetap bersikap terhuyung dan seperti 
tak mampu menghalangi setiap serangan 
lawan, dia tetap menghindar. 

"Manusia satu itu kelihatan 
mengarahkan diriku ke dinding yang jebol! 
Tentunya dia ingin melihatku jatuh 
terhempas ke bawah! Bagus! Akan kupancing 
dia! " 

Memutuskan demikian, Boma Paksi 
menghindari setiap serangan ganas itu dan 
sengaja mengarahkan dirinya pada dinding 
yang jebol. Bahkan dia nekat mencondong- 
kan tubuhnya pada dinding jebol itu! 
Kedua tangannya berpegangan di bagian 
atas dan kedua kakinya mengganjal di 
bagian bawah. Angin besar menampar-nampar 
punggungnya! Walau terasa agak nyeri 
tetapi dia tidak peduli. 

Di pihak lain, Hantu Menara Berkabut 
terbahak-bahak keras melihat keadaan si 
pemuda. 

"Nyawamu tinggal selangkah lagi akan 
lepas dari jasad! Berarti... lenyap sudah 
keturunan Pendekar Lontar!" 

Dengan membuat wajahnya seperti 
menahan sakit dan suara diparaukan, Raja 
Naga mendesis, "Kau hanya bisa banyak 
omong! Ayo serang aku! Apakah kau 
ternyata hanya seorang pengecut?!" 

Ejekan itu membuat gusar Hantu Menara 
Berkabut. Segera kerahkan tenaga 
dalamnya. Kejap berikutnya dia sudah 
menerjang ke depan. 

Raja Naga menyipitkan sepasang 
matanya. Begitu jotosan tangan kanan kiri 
lawan bergerak ke arahnya, anak muda ini 
cepat membuang tubuh ke samping. Dan.... 

Tap! 

Tangan kanannya sudah menangkap 
tangan kiri Hantu Menara Berkabut. Kejap 
itu pula dengan kekuatan berlipat ganda 
dibetotnya tubuh Hantu Menara Berkabut ke 
arah dinding yang jebol. 

"Heiiii!!" Hantu Menara Berkabut 
berteriak keras. Wajahnya seketika 
menjadi pias. Dia berusaha menahan 
gerakan tubuhnya yang disentakkan Raja 
Naga. Tetapi satu tendangan memutar yang 
dilakukan Raja Naga membuat dia 
kehilangan keseimbangan. 

Maka tanpa ampun lagi tubuhnya 
terlempar keluar dari Menara Berkabut. 

"Aaaaaakhhhhhh!!" 

Lolongan laksana seekor serigala 
menyayat dahsyat, terdengar keras dan 
semakin lama menjadi pelan untuk kemudian 
lenyap tak terdengar lagi! 

Di atas Menara Berkabut, Raja Naga 
menarik napas panjang. Untuk beberapa 
saat murid Dewa Naga ini tak bersuara. 

Kemudian digeleng gelengkan kepala- 
nya . 

"Musuh-musuh utamaku sudah tewas 
sekarang.... Berarti tugasku untuk 
membalas kematian kedua orangtuaku telah 
selesai.... Ah, apakah masih ada 
persoalan lain yang akan kuhadapi?" 

Kembali pemuda berambut dikuncir ini 
terdiam. 

"Guru tak menghendaki aku kembali ke 
Lembah Naga walaupun tugasku sudah 
selesai. Berarti... yah, aku akan memulai
saja petualanganku ini. Ke mana kedua 
kakiku melangkah, aku akan mengikutinya." 

Kemudian perlahan-lahan Boma Paksi 
menuruni undakan tangga Menara Berkabut. 
Kembali melewati lorong rahasia dan 
kembali tiba di tempat dari mana dia 
datang tadi. 

Dipandanginya sekelilingnya. Malam 
telah datang. Hembusan angin cukup 
dingin. Di atas sana rembulan bersinar 
terang. 

"Seharusnya aku bisa menahan 
kepergian Ratu Sejuta Setan yang membawa 
Dewi Bunga Mawar. Gadis itu belum 
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. 
Dia tidak tahu kalau berulang kali dia 
telah diperalat. Pertama oleh gurunya 
sendiri si Dadung Bongkok. Kemudian 
tentunya oleh Iblis Telapak Darah yang 
entah berada di mana sekarang. Dan aku 
yakin... Ratu Sejuta Setan akan terus 
mengisi perasaan si gadis dengan segala 
kebenciannya kepadaku hingga gadis itu 
tetap tak mengetahui apa yang sebenarnya 
terjadi?" 

Raja Naga menarik napas panjang. 
Kembali diedarkan pandangannya. 

"Aku berharap dapat berjumpa kembali 
dengan Dewi Bunga Mawar. Biar 
bagaimanapun dialah gadis jelita yang 
pertama kujumpai dan sempat menggetarkan 
hatiku..." 

Lalu ditengadahkan kepalanya, menatap 
rembulan yang bersinar indah. Kejap 
kemudian pemuda yang kedua tangannya 
sebatas siku bersisik coklat ini sudah 
melangkah memulai petualangannya. 

Dan dia tidak tahu, kalau sengatan 
lebah beracun milik Hantu Menara Berkabut 
bukan ditanggulangi oleh tato gambar naga 
hijau pada punggungnya, melainkan oleh 
gumpalan daun lontar yang berada di balik 
perutnya. Itulah sebabnya, mengapa tadi 
dia sempat merasakan hawa panas. 

SELESAI