Raja Naga 11 - Pengadilan Rimba Persilatan

SATU

MASING-MASING orang tak ada yang bersuara.
Jalan setapak yang telah porak poranda itu mendadak
lengang! Burung-burung yang beterbangan pun seperti
merasa heran, kalau sebelumnya tempat itu laksana
dilanda gempa, sekarang tiba-tiba menjadi sunyi.

Raja Naga memandang tak berkedip pada dua
lelaki berkepala plontos yang mengenakan pakaian pu-
tih terbuka di bahu kiri. Yang berkumis tebal sedang 
berdiri dengan dada yang sedikit nyeri. Sementara
yang seorang lagi, sedang meliriknya, tak percaya 
dengan apa yang terjadi.

"Kala Sringgil... benarkah yang kau katakan ta-
di?" tanya lelaki kelimis itu.

Lelaki berkumis tebal yang merasa nyeri di da-
danya menganggukkan kepala.

"Aku yakin! Bukan pemuda itu yang menahan
seranganku! Karena aku masih sempat melihatnya
yang tidak melakukan gerakan apa-apa. Jala Sringgil, 
ada orang lain yang berada di sini..."

Sementara itu Raja Naga kembali mengedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat itu. Sorot matanya 
yang angker dan mampu membuat lawan ciut nyali,
tak berkedip. Lamat-lamat pemuda yang kedua tan-
gannya sebatas siku dipenuhi sisik-sisik coklat ini, 
menarik napas pendek.

"Setelah aku berhasil melancarkan serangan
pada Jala Sringgil, Kala Sringgil sudah menderu maju.
Tetapi, aku tak melakukan apa-apa! Tiba-tiba saja tubuh-
nya terlempar ke belakang! Astaga! Siapakah
orang yang menahan serangan Kala Sringgil padaku?!"

Suasana hening beberapa lama terjadi. Masing-
masing orang belum ada yang melancarkan serangan
kembali. 

Di pihak pemuda berompi ungu dari Lembah
Naga itu, yang diinginkannya memang untuk menyu-
dahi pertarungan yang mengarah pada kesalahpaha-
man. Namun tak mudah dilakukan begitu saja, men-
gingat kedua orang di hadapannya masih mengang-
gapnya sebagai pencuri kalung Laba-laba Perak!

Jala Sringgil mengertakkan sepasang rahang-
nya. Matanya memancarkan sorot bengis dan kekesa-
lan. Perlahan-lahan mulutnya membuka, mengelua-
rkan desisan dingin, "Pemuda celaka! Rupanya kau 
telah mengatur semua ini dengan seksama! Bahkan kau
mencoba mempengaruhi kami kalau kau bersih! Tapi
pada kenyataan yang sesungguhnya, kau telah menco-
reng namamu sendiri dengan tindakan busuk yang
kau lakukan Mencuri kalung Laba-laba Perak adalah
sebuah tindakan hina! Dan sekarang, kami semakin
yakin kalau kau memang telah melakukannya!!"

Raja Naga tak bersuara. Sorot matanya yang
angker tak berkedip pada Jala Sringgil yang sudah
meneruskan kata-katanya, "Kau telah mengatur semua 
ini hingga sedemikian rupa! Kau mencurinya, lalu me-
larikan diri dan telah bersiap menanti kehadiran kami!
Mungkin juga menanti kehadiran siapa pun yang kau
ketahui akan memburumu, yang kau yakini tak akan
melepaskanmu begitu saja! Bahkan, kau telah mem-
bawa seseorang atau mungkin beberapa orang rekan-
mu untuk mengurung kami di sini! Tapi... kau salah
sangka bila berpendapat kami akan mundur!"

Sadar apa yang dimaksud oleh Jala Sringgil,
Boma Paksi buru-buru berkata, "Jala Sringgil! Apa 
yang kau katakan tadi itu tidak benar sama sekali!
Mungkin kau dan kawanmu itu tetap menuduhku se-
bagai pelaku dari pencurian di Perguruan Laba-laba
Perak yang menyebabkan penobatan Pangku Jaladara
selaku calon ketua yang baru menjadi gagal! Seperti
yang telah kukatakan sebelumnya, aku sama sekali
tak melakukan tindakan itu! Seseorang telah melem-
parkannya kepadaku, bertepatan dengan munculnya
murid-murid Perguruan Laba-laba Perak, sehingga me-
reka menuduhku yang telah melakukan pencurian itu!
Dan satu hal lain, aku tak memiliki seseorang atau 
beberapa orang teman yang menurutmu telah ku atur
semuanya!"

Jala Sringgil menyeringai penuh ejekan.

"Tak kusangka, seseorang yang julukannya su-
dah menjulang tinggi ternyata pandai bermain kata-
kata!" 

"Celaka! Kedua orang gundul ini tetap berkeyakinan 
akulah yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe-
rak! Bahkan sekarang menganggap kalau aku telah
mengatur semua ini! Dengan menempatkan seseorang
atau beberapa orang untuk membantuku?! Ah, siapa-
kah orangnya yang telah menggagalkan serangan Kala
Sringgil padaku?" desis Raja Naga dalam hati. 

Kembali ditolehkan kepalanya ke kanan kiri, hingga 
rambutnya yang dikuncir berlompatan.

Kala Sringgil berbisik, "Jala Sringgil... aku yakin, 
orang yang bersamanya itu bukanlah orang sem-
barangan. Sejak tadi kita belum dapat mengalahkan
pemuda ini. Bila orang itu muncul, kita akan menda-
patkan banyak kesulitan."

"Jadi... apa yang harus kita lakukan?"

"Rasanya... untuk saat ini, kita tinggalkan saja dia dulu. 
Karena aku tak mau mati konyol. Biar bagaimanapun 
juga, kita adalah sahabat dari mendiang Resi Kala Jinjit, 
dan tak membenarkan siapa pun mengacaukan keadaan 
di perguruan Laba-laba Perak,"

Jala Sringgil tidak setuju dengan usul itu. "Ka-
la... sebelum kuketahui siapakah orang yang memban-
tunya, aku tak akan mundur."

"Apa maksudmu dengan tak akan mundur?"

"Aku ingin tahu lebih dulu siapa orang yang te-
lah membantunya. Dengan kata lain, bila kita telah
mengetahuinya, maka kita akan dengan mudah me-
numpas satu persatu dari komplotan Raja Naga..."

Kala Sringgil tak buka mulut. Diam-diam dibe-
narkan apa yang dikatakan saudaranya ini. Perlahan-
lahan tatapannya diarahkan kembali pada Raja Naga
yang sedang terdiam dengan kening dikerutkan. Murid
Dewa Naga ini masih berusaha keras untuk menemu-
kan siapakah orang yang telah menolongnya, yang ju-
stru semakin membuat keruh keadaan.

Perlahan-lahan diangkat tangan kanannya, di-
cobanya untuk menemukan di manakah orang itu
dengan mempergunakan tenaga dalamnya. Namun tak
dirasakan perubahan lain di sana, kecuali pancaran
hawa panas yang keluar dari tubuh dua orang berke-
pala plontos itu.

"Keadaan akan semakin bertambah kacau.
Ucapan Jala Sringgil tadi, sudah membuktikan kalau
keduanya tetap tak bisa mempercayai apa yang telah
kukatakan. Hemm... aku memang harus menemukan
bukti-bukti kalau aku bukanlah pelaku dari pencurian ini, 
yang secara tidak langsung menghentikan upacara 
penobatan Pangku Jaladara...," desisnya dalam hati.

Lalu sambungnya, "Menurut Dewi Pengunyah Sirih, 
aku juga telah dianggap sebagai orang yang telah 
melukai Pangku Jaladara dan membunuh salah seorang
murid Perguruan Laba-laba Perak. Celaka! Ini benar-
benar celaka! Sebaiknya... aku menyingkir dari sini 
sebelum urusan semakin jadi kapiran!"

Memutuskan demikian, Boma Paksi segera ber-
kata sambil merangkapkan kedua tangannya di depan
dada. "Apa yang telah terjadi tadi, sebaiknya kita su-
dahi dulu! Mungkin setiap aku berucap, setiap kali pu-
la akan menambah kemarahan dan ketidakpercayaan
kalian! Dan untuk membuktikan kebenaran ucapanku,
aku akan mencari bukti-bukti kalau aku tidak bersa-
lah!" 

Jala Sringgil maju dua langkah ke depan. Tangan 
kanannya menuding, sedikit bergetar. Suaranya
sarat dengan kemarahan, "Uh! Kau hendak mencari 
bukti dari setiap ucapanmu, atau kau hendak melari-
kan diri?!"

"Memang sangat sulit untuk memahami kea-
daan seperti ini, karena kalian hanya berpegang pada 
satu pikiran! Hanya saja, aku meminta sedikit penger-
tian kalian!"

Jala Sringgil tak bersuara. Dia justru berbisik
pada Kala Sringgil, "Kala... biar bagaimanapun juga, 
pemuda keparat ini tak bisa kita biarkan! Selama ini 
kita mengetahuinya kalau dia berada di jalan lurus,
tapi pada kenyataannya, dia telah melakukan satu
tindakan yang tak bisa dimaafkan! Aku belum puas 
sebelum melihatnya mampus!"

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan menyerangnya lagi sekarang. Kau
perhatikan sekeliling tempat ini. Dan usahakan untuk 
menemukan siapakah orang yang akan menyerang kita
selagi aku menyerang pemuda keparat itu!"

Kala Sringgil menganggukkan kepalanya. Jala
Sringgil bersiap. Raja Naga mendesah pendek.

"Nampaknya mereka tidak puas dengan apa
yang kukatakan. Tetapi untuk saat ini, aku dapat me-
maklumi apa yang keduanya lakukan. Karena, mereka
masih menyangka kalau akulah pelaku dari pencurian
itu. Rasanya... aku harus bertindak pula dan men-
gambil kesempatan untuk meninggalkan tempat ini...."

Memutuskan demikian, Raja Naga pun mem-
persiapkan dirinya dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengu-
rung Lautan'.

Sejarak delapan langkah di hadapannya, Jala
Sringgil bersiap. Menarik napas dan menghembuskan-
nya perlahan-lahan. Lalu secara tiba-tiba, didahului 
teriakan membahana, tubuh lelaki berkepala plontos
ini sudah melesat dengan cara berputar cepat laksana
mata bor! Gelombang angin mendahului gebrakannya.

Menggebubu tinggi yang membuat tanah beterbangan.
Raja Naga menunggu sampai tubuh lawan se-
makin dekat dan baru akan dilancarkan serangannya.

Di pihak lain, Kala Sringgil memicingkan mata untuk
memperhatikan apa yang terjadi.

Ketika Jala Sringgil semakin dekat dan gemu-
ruh angin yang mendahuluinya menampar wajahnya,

Raja Naga bersiap untuk mendorong tangan kanan ki-
rinya. Namun sebelum dilakukan, tiba-tiba saja me-
nyeruak gelombang angin dari balik ranggasan semak
sebelah kanan ke arah Jala Sringgil.

Jala Sringgil yang menyerang Raja Naga, juga
berwaspada akan serangan lain yang bisa muncul
mendadak. Dan segera didorong kedua tangannya ke
arah gelombang angin yang mendera.

Blaaarr! Blaaarrr!!

Bersamaan dia mundur ke belakang, Kala
Sringgil telah melompat ke balik ranggasan semak itu.

Begitu pula halnya dengan Raja Naga yang juga meli-
hat adanya lesatan gelombang angin dari sana.

Dan masing-masing orang hanya menemukan
tempat itu kosong melompong kecuali ranggasan se-
mak dan rerumputan.

"Astaga! Cepat sekali gerakan orang itu!" desis Raja 
Naga dalam hati.

Di pihak lain, Kala Sringgil menatapnya tajam.
"Siapa orang yang telah membantumu itu?!"
bentaknya dingin.

Mendengar bentakan itu, Raja Naga terdiam.
Sorot matanya angker, membuat Kala Sringgil sesaat
merasa lemas. Tetapi kemarahannya telah sampai pa-
da puncaknya. Dia tak menghiraukan tatapan angker
di hadapannya.

"Kau telah mengatur semua ini rupanya!" bentaknya lagi.

Raja Naga menggelengkan kepala.

"Aku tak tahu siapakah orang itu!"

"Dusta!"

"Aku...."

"Pendusta hanyalah melakukan sebuah kebo-
dohan yang harus mempertanggungjawabkan kebodo-
hannya!!" makian Jala Sringgil terdengar keras.

Raja Naga bukannya menoleh, justru menenga-
dah. Dilihatnya tubuh Jala Sringgil yang sudah mem-
bubung tinggi dan tiba-tiba meluruk dengan tubuh
berputar deras.

Gemuruh angin menerjang Raja Naga.
Cepat anak muda dari Lembah Naga itu mem-
buang tubuh ke samping kanan. Namun

Desss!!

Jotosan yang dilakukan Kala Sringgil yang me-
lihat kesempatan menyerang, telah menghantam len-
gan kanannya yang seketika dirasakan ngilu.

Brrrrr!!

Tubuh Jala Sringgil yang berputar telah mende-
ru pada tanah sehingga tanah bermuncratan dan bo-
long. Menyusul tubuhnya melesat ke arah Raja Naga
yang sedang mundur. Kala Sringgil juga memperguna-
kan kesempatan itu.

Raja Naga menarik napas pendek.
"Aku harus bertindak sekarang!" desisnya memutuskan.

Namun sebelum hal itu dilakukan, satu seran-
gan cepat telah membentur tubuh Jala Sringgil dan
Kala Sringgil. Serangan yang dilancarkan entah oleh 
siapa itu sungguh luar biasa. Karena begitu membentur 
tubuh Jala Sringgil, seperti memiliki mata serangan itu 
berpindah pada Kala Sringgil. Serangan yangdilepaskan 
dalam satu waktu!

Raja Naga masih sempat menangkap satu gera-
kan dari samping kirinya, serta-merta pemuda bersisik 
coklat pada kedua tangannya sebatas siku ini melompat 
ke sana. Namun lagi-lagi dia tak menemukan siapa pun 
di tempat yang dimaksudnya.

Perasaan jengkel perlahan-lahan mulai merajai 
dirinya. Kemarahannya pun timbul. Sisik-sisik coklat 
pada kedua tangannya itu mulai nampak lebih jelas,
bahkan bersinar lebih terang.

"Orang di balik angin! Aku tak tahu siapa kau
adanya! Aku juga tak tahu maksudmu membantuku!
Tetapi dari tindakan yang telah kau lakukan, kau ju-
stru menambah urusan ini menjadi semakin parah!
Tunjukkan wajah di hadapanku!!"

Tak ada sahutan apa-apa pun juga. Di pihak
lain, Jala Sringgil telah berhasil menguasai keseim-
bangannya. Dadanya terasa ngilu yang segera dialiri
tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba saja kepalanya mene-
gak. Wajahnya menjadi tegang. Baru disadarinya satu
hal, kalau orang yang telah menyerangnya itu bisa saja 
membunuhnya dengan mudah! Tetapi, orang itu justru
tak melakukan tindakan seperti itu!

Apa yang dipikirkannya pun singgah pula di
benak Kala Sringgil yang sedang merangkapkan kedua
tangannya di depan dada untuk memulihkan keadaan
tubuhnya yang sempat bergetar akibat serangan yang
dilancarkan oleh orang yang entah siapa.

"Dia dapat saja membunuhku dengan mudah!
Ini menandakan kalau orang itu memiliki kemampuan
luar biasa yang tak bisa dipandang sebelah mata! Te-
tapi, mengapa dia tidak membunuhku? Ini sebuah per-
tanyaan yang harus mendapatkan jawabannya. Kalau
memang apa yang dikatakan Jala Sringgil tadi, bahwa
orang yang entah siapa itu adalah kawan dari Raja Na-
ga, tentunya Raja Naga yang memerintah atau memin-
tanya untuk tidak membunuh. Tetapi... mengapa?"

Sementara kedua lelaki berkepala plontos itu
memikirkan hal yang sama dan semakin dipikirkan
semakin membuat mereka bingung, pemuda berompi
ungu itu sedang memicingkan sepasang matanya.

Keangkeran matanya semakin menjadi-jadi. Kemara-
hannya pada orang yang entah siapa, semakin membe-
sar. Karena orang itu justru menambah keadaan se-
makin kisruh.

Kembali dia membentak keras, "Aku bukanlah
orang yang tidak suka ditolong atau tidak pernah men-
gucapkan terima kasih karena ditolong! Tetapi, apa
yang telah kau lakukan bukannya membuat keadaan
menjadi aman! Justru malah semakin kacau balau!"

Lagi-lagi tak ada sahutan. Perasaan Raja Naga
semakin diliputi kemarahan. Bahkan juga kegelisahan.

Tetapi di saat lain, pemuda itu sudah dapat menguasai 
lagi keadaan hatinya.

Dilihatnya dua lelaki berkepala plontos yang se-
dang memulihkan tenaga masing-masing.

"Ah, orang yang telah melancarkan serangan-
nya tadi itu tetap sulit kuketahui siapa. Jangankan
untuk mengetahui siapa dia, mengetahui di mana dia
berada saat ini pun sulit. Dan itu jelas-jelas menandakan 
kalau dia bukan orang sembarangan. Satu hal
yang membuatku bertanya. Orang itu memang mena-
han setiap serangan yang dilancarkan oleh Jala Sringgil 
dan Kala Sringgil. Tetapi, jelas-jelas kalau dia tak
bermaksud melukai mereka, apalagi membunuhnya.
Ah, kenapa ini? Apa yang sebenarnya dikendakinya?"

Cukup lama Raja Naga memikirkan jawaban
atas pertanyaannya sendiri, sebelum didengarnya ben-
takan Jala Sringgil,

"Anak muda bersisik coklat! Untuk saat ini, bo-
leh dikatakan kami gagal mencabut nyawamu dan
meminta kembali kalung Laba-laba Perak! Tetapi ke-
lak, kami akan muncul lagu membuat perhitungan!"

"Tunggu! Bukan maksudku untuk tidak menye-
rahkan kalung Laba-laba Perak ini pada kalian! Tetapi 
sebelum kudapatkan bukti-bukti yang jelas kalau aku
tidak bersalah, biarlah benda ini tetap berada di tanganku!" 

"Kau tak memiliki kepentingan apa-apa dengan benda 
itu sebenarnya! Kau hanya membuat luka di hati 
Pangku Jaladara! Atau... sebenarnya kau mengin-
ginkan untuk menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Pe-
rak dan mencari pengikut sebanyak-banyaknya? Agar
kau dapat melakukan tindakan makar selanjutnya
dengan berlindung pada tubuh Perguruan Laba-laba
Perak?!"

Raja Naga memutuskan untuk tidak menjawab.
Karena bila dijawab, maka urusan akan semakin ke-
ruh. 

Kala Sringgil berkata, "Untuk saat ini, kau kami 
biarkan untuk menikmati kemenanganmu! Tetapi ingat
baik-balk, kelak kami akan muncul lagi di hadapanmu
untuk membuat urusan! Jala Sringgil, kita berangkat 
sekarang untuk mencari Pangku Jaladara! Bila ternya-
ta Pangku Jaladara tewas, aku bersumpah, akan ku-
patahkan leher pemuda yang telah mencelakakannya
itu!!" 

Habis berkata demikian, Kala Sringgil sudah 
berkelebat meninggalkan tempat itu. Jala Sringgil ma-
sih memandang sengit pada Raja Naga. Setelah melu-
dah dengan cara yang keras. disusulnya saudaranya
itu.

Tinggallah Raja Naga yang terdiam untuk bebe-
rapa lama, memikirkan setiap kejadian yang datang
beruntun. Bahkan dia masih mencoba menemukan
orang yang telah menolongnya, tetapi justru menam-
bah keadaan bertambah keruh. Setelah tak menemu-
kan siapa pun di sana, Raja Naga segera meninggalkan
tempat itu. Dia hendak mencari bukti-bukti kalau dia 
tidak bersalah. Tetapi, ke manakah dia harus mencarinya, 
sementara semuanya masih begitu gelap?

Lima kejapan mata kemudian, tanah sejarak 
sepuluh langkah dari tempat Raja Naga berada sebe-
lumnya, tiba-tiba seperti bergerak naik. Menyusul 
perlahan-lahan terlihat kalau tanah itu membentuk satu
sosok tubuh!

Astaga! Apa yang terlihat itu memang satu so-
sok tubuh! Mengenakan pakaian panjang seperti war-
na tanah! Begitu pula dengan kulit dan rambutnya!

Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki berusia 
lanjut ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menga-
rahkan pandangan ke arah yang ditempuh oleh Raja
Naga tadi.

"Nasibmu sungguh sial, Anak muda...," desisnya 
dengan suara serak. Parasnya dipenuhi keriput,
yang tidak terlalu kentara karena seluruh kulitnya 
seperti warna tanah. Rambutnya pun berwarna yang
sama, tak beraturan hingga punggung. 

"Aku tak percaya kalau kau yang telah mencuri kalung 
Laba-laba Perak! Tetapi, bukti memang ada padamu! 
Bahkan beberapa orang melihat tindakanmu! Ah, urusan 
ini memang sangat sulit. Kematian sahabatku itu saja baru
kuketahui belum lama. Juga dengan penobatan Pang-
ku Jaladara untuk menggantikan kedudukannya. Ah,
aku memang belum mengetahui kejadian yang sebe-
narnya. Aku masih disibukkan dengan kegemaranku
bertualang. Masih beruntung aku mendengar kabar
yang menggelisahkan itu, hingga kuputuskan untuk
menghentikan dulu perjalananku melanglang buana.
Makanya, saat aku kebetulan lewat di tempat ini dan
mengkaji apa yang terjadi, aku berkeyakinan kalau
pemuda itu berkata yang sebenarnya."

Kakek berkulit seperti warna tanah ini tak ber-
suara untuk beberapa lamanya. Dari keningnya yang
berkerut, jelas kalau dia sedang memikirkan apa yang 
dilihat-nya.

"Terpaksa aku memang membantu pemuda itu 
dengan tujuan agar Jala Sringgil dan Kala Sringgil 
menyingkir. Ah, keduanya juga sahabat-sahabatku. Tin-
dakan yang mereka lakukan terhadap pemuda itu me-
mang tidak salah. Aku pun akan melakukan hal yang
sama seperti mereka. Hanya saja... ah, sebaiknya aku 
mencari Pangku Jaladara untuk menanyakan kebenaran 
semua ini...." 

Habis berkata demikian, kakek yang ternyata adalah 
orang yang tadi membantu Raja Naga dengan harapan 
dapat membuat Jala Sringgil dan Kala Sringgil menyingkir, 
perlahan-lahan melangkah meninggalkan tempat itu.

***

DUA

“ORANG TUA! Apa yang terjadi ini bukanlah
urusanmu?! Aku tak peduli siapa pun kau adanya! Te-
tapi tindakan yang telah kau lakukan ini tak dapat ku-
terima!" bentakan keras itu terdengar di dalam sebuah 
hutan yang dipenuhi pepohonan. 

Seorang gadis manis berpakaian kuning nampak begitu 
marah. Wajahnya mengeras, dengan kedua tangan 
mengepal. Pada punggungnya terdapat sepasang pedang 
bersilangan.

Orang tua yang mengenakan pakaian dan ju-
bah warna biru itu tersenyum. Matanya mengedip-
ngedip yang merupakan suatu kebiasaan. Wajahnya
yang dipenuhi keriput masih menyisakan ketampanan
pada masa mudanya.

"Ratih... aku sama sekali tak bermaksud seperti apa 
yang kau tuduhkan," katanya lembut. "Aku hanya men-
coba memulihkan hubunganmu dengan kakak sepergu-
ruanmu sendiri." 

Saat berkata yang terakhir, si kakek melirik pemuda yang 
mengenakan pakaian berwarna merah dengan garis hitam 
yang bersilangan di depan dada. Di kening pemuda 
berambut gondrong ini, terdapat ikatan berwarna merah.

Pemuda yang ternyata Lesmana, nampak se-
dang menatap gelisah pada gadis yang bukan lain Ra-
tih adanya. Yang ditatap mendelik gusar. Kebencian-
nya pada Lesmana semakin menjadi-jadi.

Kemudian bentaknya lagi pada si kakek berju-
bah biru, "Orang tua! Jangan harap tindakanmu 
ini akan berhasil! Tak pernah akan kulakukan seperti
yang kau katakan! Aku tak pernah mempunyai kakak
seperguruan yang pengecut seperti dia!!"

"Ratih... apa yang dikatakan Lesmana memang
benar. Guru kalian yang berjuluk Setan Bayangan,
adalah orang sesat yang merupakan kaki tangan dari
Datuk Bunaeng. Kalaupun dia akhirnya tewas di tan-
gan Resi Kala Jinjit yang memergokinya setelah mem-
bunuh Pendekar Sedih, itu memang merupakan se-
buah hukuman yang patut diterima!"

"Huh! Setan Bayangan adalah guruku! Seperti 
apa pun dirinya, aku tetap menghormati dan menjun-
jung tinggi!" sahut Ratih gusar. "Tidak seperti dia yang
menjadi pengecut dan membiarkan Guru tewas di tan-
gan Resi Kala Jinjit!!"

Dewa Jubah Biru tak bersuara. Dapat dipahami
apa yang sebenarnya melingkar-lingkar di benak si 
gadis. Tetapi dapat juga dimaklumi apa yang dilakukan
Lesmana dalam memandang urusan yang telah terjadi.

Ratih berseru lagi, "Resi Kala Jinjit telah tewas entah 
siapa yang membunuhnya! Kendati demikian,
aku tak akan pernah menyingkirkan keinginanku un-
tuk menghancurkan perguruan Laba-laba Perak! Aku
telah mengikat janji dengan Datuk Bunaeng dan Ratu
Tongkat Ular untuk menghancurkan perguruan itu!"

"Dan rasanya... kau telah berhasil melakukan-
nya! Bukankah kau telah melihat sendiri keadaan yang 
menjadi kacau balau?!"

"Tidak! Keadaan itu bukan aku yang melaku-
kan! Melainkan seorang pemuda lain yang memiliki
kepengecutan yang sama! Pemuda yang berjuluk Raja
Naga yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Di-
alah orang yang harus bertanggung jawab dalam uru-
san ini! Karena secara tidak langsung telah mengga-
galkan segala rencanaku! Juga rencana Datuk Bu-
naeng!" 

Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepalanya 
melihat kekeras kepalaan gadis berpakaian kuning ini. 
"Dan satu kesalahan yang tak bisa kumaafkan, kau telah 
melakukan tindakan keterlaluan, Orang Tua!
Pertama, kau menyelamatkan Lesmana dari kematian
yang kuturunkan dengan mempergunakan ilmu
'Pedang Bayangan'! Kedua, kau menyelamatkannya da-
ri kematian yang akan kuturunkan tak jauh dari Per-
guruan Laba-laba Perak! Bahkan kau memisahkan
aku dengan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular!"

Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya tetap
berkedip-kedip.

"Aku hanya melakukan apa yang menurutku
baik!" 

"Kau telah mencampuri urusanku! Dan aku tak 
pernah menganggap itu sebuah kebaikan!" seru Ratih ketus. 
"Bila menurutmu itu sebuah kesalahan, aku meminta maaf...."

Ratih mengangkat kepalanya angkuh. Lesmana
ketika menoleh, menatap si kakek dalam-dalam. Dia
terkejut mendengar apa yang dikatakan kakek yang te-
lah menyelamatkannya dari maut.

Lamat-lamat dihembuskan nafasnya panjang-
panjang. Apa yang dikatakan oleh Ratih adalah sebuah
penghinaan. Kendati baru beberapa hari mengenal De-
wa Jubah Biru, tetapi Lesmana telah menghormatinya!

Dan dia tidak bisa menerima Ratih menghina Dewa
Jubah Biru!

Perlahan-lahan kalau sejak beberapa hari lalu 
Lesmana selalu mengambil sikap mengalah pada adik 
seperguruannya, kali ini hatinya mulai diisi kejengkelan.

"Ratih... apa yang kau lakukan sudah kelewat 
batas! Mulutmu terlalu kasar! Dan rasanya, aku ber-
hak menghukummu sekarang!"

Mendengar kata-kata itu, Ratih mengangkat 
dagunya lebih tinggi. Keangkuhan terpancar jelas 
dari sepasang matanya.

"Kau pernah merasakan akibat dari kelancan-
ganmu beberapa hari lalu! Dan sekarang, bila orang
tua itu tak turun tangan, aku bersedia melayanimu
beberapa jurus sebelum kukirim nyawamu ke akhirat,
Pengecut!!"

Kemarahan Lesmana kian menjadi-jadi. Sepa-
sang rahangnya mengembung lalu dikertakkan.

"Kau memang harus diberi pelajaran!!" dengus-
nya seraya membuka kedua telapak tangannya di de-
pan dada, pertanda dia akan segera melakukan seran-
gan. Ratih pun segera mengambil jarak. Sepasang
pedangnya diloloskan.

"Dendam ku akan lunas setelah melihat kau mampus!"

"Tahan!" terdengar seruan Dewa Jubah Biru.

Tanpa menghiraukan tatapan gusar dari Ratih, si ka-
kek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya melan-
jutkan kata-katanya, "Sungguh tak patut, sebagai 
saudara seperguruan kalian saling baku hantam! Apa
yang terjadi di antara kalian ini hanyalah kesalah-
pahaman dalam menyikapi suatu urusan! Padahal saat
ini, masih ada urusan lain yang lebih besar!"

"Maksudmu.... Raja Naga yang telah mencuri
kalung Laba-laba Perak dan mengacaukan seluruh
rencanaku?!" bentak Ratih.

"Aku tak berkata demikian! Tetapi menurut
hemat ku, sesuatu yang di luar dugaan telah terjadi!
Mungkin ada orang yang sedang gundah saat ini, teta-
pi juga ada yang terbahak-bahak keras!"

"Jangan berbelit-belit!"

"Anak gadis... kau terlalu keras kepala. Ucapan demi 
ucapanmu sungguh tak enak kudengar. Tetapi
aku dapat memaklumi apa yang membuatmu jadi ber-
tindak kasar seperti ini."

"Orang tua... urusanku dengan si Pengecut itu,
bukanlah urusanmu! Kau telah membuat silang uru-
san di antara kita. Itu artinya, mulai hari ini kau juga 
kuanggap sebagai lawanku! Tetapi, aku yakin, aku 
tak akan mampu menghadapimu! Hanya saja, kau 
tunggu saat kematianmu bila aku sudah kembali ber-
gabung dengan Datuk Bunaeng dan Ratu tongkat Ular!"

"Ratih!" Lesmana membentak keras dengan suara bergetar.

Ratih mengarahkan pandangannya. Bibirnya yang 
memerah menyunggingkan senyuman mengejek.

"Huh! Kulihat kau sudah tak mampu menahan
amarahmu, Lesmana! Bagus! Sekarang juga kau harus
mampus!!"

Habis bentakannya, Ratih sudah menerjang de-
ngan kedua pedang yang segera dikiblatkan ke arah
Lesmana. Sejenak pemuda berikat kepala merah ini
tak bergerak. Matanya memandang tak berkedip pada
kedua pedang yang mengarah padanya.

Sejenak ada keinginan untuk langsung menye-
rang dan memutuskan serangan itu. Tetapi di saat
lain, Lesmana hanya memiringkan tubuhnya.

Wuuuttt!!

Tanah membuyar dan membentuk garis lurus
tatkala pedang di tangan Ratih menyambar. Lalu den-
gan sentakan kuat, tangan kanannya disabetkan ke
arah pinggang Lesmana.

Lagi-lagi pemuda itu hanya melompat ke samp-
ing kanan.

Secara tiba-tiba, Ratih menjejakkan kaki ka-
nannya di atas tanah, yang membuat tubuhnya seketi-
ka mumbul. Diiringi teriakan keras, dia meluruk.

Lesmana tak berkedip di tempatnya. Ditung-
gunya serangan Ratih semakin mendekat. Lalu... den-
gan cara yang mengejutkan, diputar tangan kanannya
yang seketika keluar angin melingkar. Menyusul dido-
rong tangan kirinya.

Wrrr!!

Ratih tersentak. Lurukan tubuhnya tak bisa di-
tahan. Segera dilakukan satu tindakan yang cukup
mengejutkan. Pedangnya tiba-tiba diputar cepat. 
Seketika menggebah gelombang angin dingin 
disusul dengan cahaya bening yang membuat 
Lesmana tersentak.

Saat itu pula dia melompat dengan care ber-
jungkir balik ke samping kiri.

Blaaar! Blaaaaarr!!

Tanah di mana dia berdiri sebelumnya, mem-
buyar ke udara terkena gelombang angin yang berasal
dari putaran pedang Ratih. Menyusul muncratnya ca-
haya bening ketika mengenai tanah

Di tempatnya, Dewa Jubah Biru mendesis ka-
gum. "Hebat! Ilmu 'Pedang Bayangan' memang 
sangat hebat. Dan aku yakin, Lesmana dapat 
menanggulanginya...."

Sementara itu Lesmana yang sudah berdiri te-
gak kembali berseru, "Ratih! Kau telah memper-
gunakan kembali ilmu yang diwariskan Guru 
kepadamu untuk membunuhku! Tindakanmu 
memang sudah kelewat batas!"

"Sejak tadi kau selalu berkata, tindakanku su-
dah kelewat batas! Bagaimana dengan tindakanmu
sendiri yang begitu pengecut membiarkan Guru tewas
dibunuh Resi Kala Jinjit, hah?! Bahkan kau membiar-
kan Resi Kala Jinjit meninggalkan Guru setelah men-
jadi mayat!"

Mendengar ucapan itu, wajah tegang Lesmana
berubah. Hatinya begitu pedih mendengar ucapan Ra-
tih. Disesalinya benar-benar mengapa gadis berkuncir 
dua itu tak bisa menerima apa yang terjadi.

Lesmana tak bisa berpikir lebih lama, karena 
Ratih sudah menderu ke depan sambil menyabetkan
kedua pedangnya.

Gemuruh angin yang menerbangkan tanah dan
ranggasan semak belukar menggebrak, disusul dengan
cahaya-cahaya bening yang menyilaukan mata. Bah-
kan tatkala dengan sengaja Ratih memukulkan pe-
dangnya ke pedang yang lain, terjadi perubahan dah-
syat pada cahaya-cahaya bening itu.

Traaang!

Begitu bertemu, memercik cahaya merah yang
pekat. Menyusul menderunya cahaya-cahaya bening
yang menebar laksana hujan!

Lesmana menarik napas panjang.
"Terpaksa!!" desisnya dalam hati.

Lalu ditepukkan kedua tangannya, yang kemu-
dian diputar ke dalam. Bersamaan diputar seperti itu, 
kedua tangannya didorong ke depan.

Serta-merta terlihat cahaya yang membentuk
dua telapak tangan yang kemudian menyebar membe-
sar.

"Telapak Dewa'!" desis Ratih terkejut dan melipat-
gandakan kekuatannya.

Jlegaaarr!!

Bertemunya cahaya-cahaya bening yang mem-
besar dengan bayangan dua telapak tangan yang
membesar itu, membuat tempat itu laksana dilanda
kiamat kecil. Bukan hanya tanah dan ranggasan se-
mak yang bermuncratan ke udara, beberapa buah po-
hon pun bertumbangan berdebam.

Masing-masing orang yang melancarkan seran-
gan surut lima langkah ke belakang. Wajah Ratih 
sedikit pias. Kedua tangannya yang memegang 
sepasang pedang terasa ngilu. Di pihak lain, Lesmana 
sendiri merasakan detak jantungnya semakin kencang. 
Napasnya bergemuruh. Dilihatnya kedua telapak tangan-
nya sedikit membiru.

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru yang tak ber-
geser dari tempatnya tatkala goncangan tadi terjadi, 
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Rupanya Setan Bayangan tak menurunkan il-
mu 'Pedang Bayangan' pada Lesmana. Demikian pula
tidak menurunkan ilmu ‘Telapak Dewa' pada Ratih.
Ah, sungguh dua ilmu yang sangat tinggi."

Untuk beberapa lamanya tak ada yang buka
mulut. Baik Ratih maupun Lesmana saat ini sama-
sama sedang mengatur napas dan memulihkan tenaga.

Mereka juga sama-sama memaklumi, bila salah seo-
rang sudah mengeluarkan ilmu yang menjadi andalan
masing-masing, maka sampai kapan pun keduanya
tak akan pernah bisa mengalahkan satu sama lain.

Kecuali, bila salah seorang telah terkuras tenaganya.
Berarti yang harus dilakukan sekarang adalah mengu-
ras tenaga lawan.

Tetapi Ratih mempunyai satu pikiran yang da-
pat dipergunakan untuk memenangkan pertarungan
ini. Sambil mengangkat dagunya dan memperlihatkan
kesinisan, dia mendesis

"Huh! Kau ternyata bukan hanya seorang pen-
gecut, tetapi juga seorang yang tidak tahu malu! 
Kau menganggap kalau kematian Guru lebih baik 
ketimbang menimbulkan keonaran karena Guru kau 
anggap sebagai orang sesat! Tetapi, kau justru mem-
pergunakan ilmu orang sesat itu untuk menyerangku! 
Gila! Lesmana... kegilaan macam apa yang ada di 
otakmu hingga kau tidak tahu malu, hah?!"

"Hemmm... rupanya dendam sudah merasuki 
pikiran Ratih hingga dia bisa berucap seperti itu. 
Ratih yang hampir delapan tahun kukenal, ternyata 
memiliki kekerasan hati. Ah, aku jadi mulai meragu... 
apakah yang kulakukan waktu itu memang sebuah 
kesalahan? Seharusnya aku membela Guru dari 
kematian yang diturunkan oleh Resi Kala Jinjit. 
Tetapi, aku sudah berusaha membela dengan jalan 
menyelamatkannya. Namun Resi Kala Jinjit sudah 
tentu memiliki ilmu yang tak sebanding denganku

"Kau terdiam seperti itu, apakah karena mulai 
dihinggapi rasa malu atau kau sedang berpikir untuk
tidak perlu malu?!" ejekan Ratih menyelinap ke 
gendang telinga Lesmana.

Lesmana mengangkat wajahnya. Kemarahan
mulai terlihat kembali. Tetapi lagi-lagi pemuda 
berikat kepala merah ini tak mau menambah kisruh 
urusan.

Makanya dia berkata, "Ratih... apa yang hendak 
kau jalankan, jalankanlah! Demikian pula denganku!
Apa yang ingin kujalankan, akan kujalankan!"

"Bagus!"

"Tetapi perlu diingat, apa yang ingin kujalankan adalah
mencegah dirimu masuk ke dalam jurang yang 
seharusnya sudah kau sadari!"

"Huh! Manusia pandai bicara! Seluruh perbua-
tanku, aku yang menanggung! Tak perlu kau begitu
khawatir!"

"Aku hanya berharap, suatu saat kau sadar
dengan apa yang kau lakukan!"

"Aku akan sadar setelah berhasil membunuh-
mu dan membunuh Raja Naga! Manusia celaka yang
mengacaukan seluruh rencana yang telah disusun Da-
tuk Bunaeng! Manusia yang sama pengecutnya dengan
dirimu, yang hanya bisa menohok dari belakang?"

"Datuk Bunaeng bukanlah orang yang patut
kau jadikan sahabat, apalagi bersekutu dengannya!
Ratih...."

"Tutup mulutmu! Kelak kita akan berjumpa la-
gi!" putus Ratih geram. Lalu sambil memasukkan 
lagi sepasang pedangnya ke warangka di punggungnya,
gadis manis ini menatap tajam-tajam Dewa Jubah Bi-
ru. "Orang tua! Tindakanmu pun tak akan pernah 
kumaafkan! Ingat, aku bersumpah untuk membunuh-
mu!!" Dewa Jubah Biru hanya tersenyum dengan ma-
ta yang tetap berkedip-kedip.

Di lain saat, Ratih sudah meninggalkan tempat
itu dengan sejuta kemarahan di dada.

Sepeninggal Ratih, Dewa Jubah Biru melirik
Lesmana. Dilihatnya pemuda itu sedang menunduk-
kan kepala, lesu.

"Ketabahannya menghadapi urusan ini sung-
guh besar. Dia telah bersikap sebagai seorang kakak
yang berusaha untuk mengembalikan adiknya dari ke-
sesatan. Tadi, di saat keduanya bertarung, sempat 
kulihat adanya satu kesempatan yang seharusnya dapat
dipergunakan Lesmana untuk melancarkan serangan.
Tetapi hal itu tidak dipergunakannya!"

Habis membatin demikian, Dewa Jubah Biru
berkata, "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Lesmana menarik napas pendek, lalu menatap
kakek di samping kanannya.

"Orang tua... biar bagaimanapun juga, aku tak
pernah tenang melihat keadaan Ratih. Dia masih dipe-
nuhi oleh sejuta dendam pada mendiang Resi Kala Jin-
jit dan tak akan pernah berakhir dendamnya pada Per-
guruan Laba-laba Perak."

"Resi Kala Jinjit telah tewas. Sementara itu,
Perguruan Laba-laba Perak boleh dikatakan telah han-
cur." 

"Justru ini yang semakin membuatku cemas."

"Mengapa kau, menjadi cemas?"

"Karena... dia akan mencari Raja Naga yang di-
katakan telah mengacaukan seluruh rencana Datuk
Bunaeng. Dengan ucapannya itu, berarti dia masih te-
tap berkeinginan menjadi sekutu Datuk Bunaeng. Ah,
bila saja dia mau berpikir jernih... tentunya dia akan 
tahu siapa Datuk Bunaeng sebenarnya...."

Dewa Jubah Biru dapat merasakan kecemasan
Lesmana. Setelah memperhatikan beberapa saat, dia
berkata, "Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
adik seperguruanmu dari jurang kesesatan, sebaiknya
kau segera menyusulnya. Memantau keadaannya dan
menahannya untuk menjalankan setiap maksudnya."

Lesmana menatap Dewa Jubah Biru beberapa
lama sebelum mengangguk.

"Ya! Aku pun bermaksud untuk melakukan-
nya...." 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat kau susul 
adik seperguruanmu itu sebelum kehilangan jejaknya." 

"Orang tua... bagaimana denganmu sendiri?"

"Bagaimana denganku? Keadaanku baik-baik
saja. Aku akan mencari pemuda yang kedua tangan-
nya sebatas siku bersisik coklat. Ingin kulihat kebenaran, 
apakah memang benar dia yang telah mencuri ka-
lung Laba-laba Perak? Karena sebelumnya, dia pernah
berkata padaku, kalau Dewi Pengunyah Sirih hendak
melakukan hal itu...."

Kembali Lesmana memandang Dewa Jubah Bi-
ru dengan seksama. Lalu berkata, "Orang tua... kuu-
capkan terima kasih atas segala bantuanmu. Seka-
rang, aku akan menyusul adik seperguruanku itu...."

"Lakukanlah..."

Setelah merangkapkan kedua tangannya di de-
pan dada dan mengangguk hormat, Lesmana segera
melesat menuju arah yang ditempuh Ratih.

DI tempatnya, Dewa Jubah Biru menahan na-
pas sampai sosok Lesmana lenyap ditelan pepohonan.

Setelah beberapa lama, ditinggalkannya tempat itu.

***

TIGA

AAAAKHH..., desisan kepuasan itu terdengar
dari balik ranggasan semak belukar. Saat ini senja
sudah merajai alam dengan matahari yang semakin tu-
run. Di kejauhan bias-bias matahari semakin lama
semakin lenyap. Burung-burung beterbangan mem-
bentuk bayangan-bayangan indah.

Menyusul desisan kepuasan tadi, terdengar su-
ara, "Luar biasa... sungguh luar biasa... rasanya aku 
tak pernah puas menikmati tubuh montokmu ini, De-
wi...," 

"Pangku Jaladara... kau memang keterlaluan,"
terdengar suara bernada gemas. "Masa kau selalu 
menggeluti tubuhku? Hari ini, kau sudah melakukannya 
sebanyak lima kali...."

"Karena tubuhmu memang sulit untuk dilupa-
kan," kata lelaki yang mendesah tadi sambil bangkit 
dari tubuh polos yang tadi ditindihnya.

Matanya masih tertumbuk pada bungkahan in-
dah di dada si perempuan, besar, montok dan meng-
gairahkan. Perlahan-lahan tangannya menjamah sepa-
sang bukit kembar itu. Meremasnya dengan lembut.

Si perempuan yang pada kepalanya terdapat se-
buah mahkota penuh butiran berlian bangkit dari re-
bahannya. Membiarkan saja tangan lelaki di hadapan-
nya meremas payudaranya.

"Pangku Jaladara... besok malam adalah malam
yang telah kukatakan pada Datuk Bunaeng untuk ber-
jumpa di Lembah Lingkar. Dan sampai hari ini, kita
juga belum mendengar kabar kematian Raja Naga."

Pangku Jaladara melepaskan tangannya dari
sepasang bukit indah itu. Lalu mengenakan pakaian-
nya. "Tak lama lagi, Raja Naga akan mampus, Dewi.
Dendammu atas kematian saudaramu yang berjuluk
Ratu Sejuta Setan, yang dibunuh oleh Raja Naga akan
tuntas. Ini berarti... seluruh rencana kita berhasil...."

Perempuan berpayudara montok itu segera me-
ngenakan pakaiannya kembali. Berwarna hijau, yang
dipenuhi dengan butiran berlian. Di saat pakaiannya
telah dikenakan, dia sama saja dengan keadaan polos.

Karena pakaian itu begitu rendah pada dadanya, me-
nyembulkan sebagian besar bukit kembarnya. Semen-
tara bagian bawah pakaiannya kanan kiri, terbelah
hingga batas pinggul. Dapat dibayangkan bagaimana
saat dia berjalan atau angin berhembus nakal. Sudah
tentu bungkahan mulus sepasang pahanya akan men-
jadi pemandangan enak untuk lelaki.

Kedua manusia yang telah mengatur kebusu-
kan demi kebusukan ini tak ada yang bersuara. Pang-
ku Jaladara masih memandangi Dewi Berlian yang te-
lah memuaskannya. Tetapi setiap kali dia selesai me-
lakukannya, setiap kali pula gairahnya muncul kemba-
li. 

Pangku Jaladara adalah orang yang memiliki sifat rendah. 
Di Perguruan Laba-laba Perak dia bersikap sedemikian 
suci, tetapi di luar dia adalah orang yang tak bisa 
menahan gairah.

Perjumpaannya dengan Dewi Berlian telah 
membuatnya melakukan tindakan-tindakan kotor yang
membahayakan (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").

Ketika dilihatnya Dewi Berlian belum juga
membuka mulut, Pangku Jaladara berkata, "Mengapa 
kau berdiam seperti itu, Dewi? Tak seorang pun yang
mengetahui kalau kita yang telah membuat seluruh
urusan ini, dan secara tidak langsung kita adalah
penguasa urusan ini."

Perlahan-lahan perempuan berwajah jelita itu
mengangkat wajahnya. Bola matanya menghujam lem-
but ke bola mata Pangku Jaladara yang seketika gai-
rahnya menggelepar-gelepar kembali.

"Selain kematian Raja Naga, aku juga masih
memikirkan Langlang Benua...."

"Kau tak perlu memikirkan orang itu, Dewi.
Mungkin dia tak mendengar kematian Resi Kala Jinjit.
Karena, dia adalah orang yang suka bertualang.
Mungkin pula saat ini dia sedang berada di tanah orang." 

"Setiap kali Resi Kala Jinjit mendapat urusan, 
Langlang Benua pasti selalu muncul. Dan begitu urusan 
selesai, dia selalu menghilang begitu saja. Bahkan Resi 
Kala Jinjit sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukan 
dan ke mana orang itu pergi."

"Dari kata-katamu itu, aku berpendapat kau
tak perlu merisaukannya. Lagi pula, bukankah semu-
anya sudah kau atur sedemikian cerdik?"

"Ya! Mudah-mudahan aku berhasil memperalat
Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular yang saat ini
tentunya sedang mencari Raja Naga, untuk membu-
nuh Langlang Benua juga! Atau paling tidak, mengajak 
Langlang Benua untuk membunuh Raja Naga!"

Pangku Jaladara tertawa.

"Sempurna! Bukankah itu sebuah tindakan yang 
sempurna?!"

Perlahan-lahan Dewi Berlian tersenyum. Lalu 
berdiri. Saat berdiri sepasang pahanya yang gempal
mengganggu mata Pangku Jaladara. Dirabanya paha
itu dengan penuh nafsu.

Dewi Berlian terkikik.

"Kita masih punya banyak kesempatan."

"Sekarang ini pun kesempatan!"

"Masih ada kesempatan lain! Seperti apa yang
kukatakan, kapan saja kau inginkan, aku akan me-
layanimu! Bahkan rasanya hampir patah tulang ping-
gulku karena melayanimu sebanyak lima kali! Pangku
Jaladara, saat ini aku ingin mengetahui keadaan Raja Naga!" 

Pangku Jaladara perlahan-lahan berdiri. Gai-
rahnya terlihat lebih hebat dari pancaran matanya. 
Tetapi untuk saat ini ditahannya.

"Ya! Kita segera mencari tahu nasib sial yang 
menimpa Raja Naga!"

Dewi Berlian tersenyum. Setelah membelai pipi
Pangku Jaladara yang secara tidak langsung adalah
bonekanya, dia segera berlari. Pangku Jaladara mem-
perhatikan dulu bentuk indah tubuh Dewi Berlian 
dari belakang, sebelum sambil menyeringai lebar 
dia menyusul.

* * *

Kegelapan malam telah menghampar dan mem-
buat seisi alam seperti tertidur. Rembulan di atas 
sana tak mampu menembusi gumpalan awan hitam 
yang menghalanginya. Jalan setapak yang menuju 
sebuah tempat itu lengang. Ranggasan semak 
sesekali bergerak dihembus angin dingin.

Tak jauh dari jalan setapak itu, nampak sebuah
gua yang menganga lebar. Gua yang sebenarnya terha-
lang oleh semak belukar yang menutupinya. Tetapi di
saat angin bertiup nampak mulut gua yang gelap.

Dua sosok tubuh itu sejak tadi berada di depan
gua itu, tanpa melakukan tindakan apa-apa.

Nenek yang berpakaian compang-camping de-
ngan tongkat berkepala ular di tangan kanannya men-
desis, "Datuk Bunaeng... aku menunggu di sini saja...."

Kakek berambut dikelabang itu menoleh. Sorot
matanya tajam dan membuat nyali si nenek menjadi
ciut. Sepasang alisnya yang menyatu terangkat garang.

"Ratu Tongkat Ular... kau sudah sepakat untuk
mendatangi Resi Hitam di sini. Dan kau sudah tahu
apa akibatnya bila kau berani membangkang seka-
rang!"

Ratu Tongkat Ular menahan napas. Sesung-
guhnya dia tak suka dibentak seperti itu. Tetapi 
disadari betul siapa kakek berpakaian dan berjubah hi-
tam ini. Dengan berat hati dianggukkan kepalanya.

"Aku tahu kau punya persoalan dengan Resi
Hitam! Dan aku ingin kau bisa bersikap manis di ha-
dapannya nanti tanpa melakukan tindakan yang men-
gesalkan!"

Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menganggukkan
kepalanya. Dilihatnya Datuk Bunaeng sudah melang-
kah memasuki gua itu. Ratu Tongkat Ular menahan
napas sejenak, menenangkan gejolak hatinya yang ti-
ba-tiba membesar.

"Resi Hitam pernah memperkosaku empat pu-
luh tahun lalu. Sampai saat ini aku belum dapat me-
lupakan semua itu, menghilangkan dendamku pa-
danya. Tetapi untuk saat ini, rasanya aku memang ha-
rus melupakan semua itu..."

Setelah itu, Ratu Tongkat Ular segera menyusul
masuk ke dalam gua. Keduanya menyusuri gua yang
cukup dalam. Aroma lembab yang menguar dari dind-
ing gua yang dipenuhi lumut, membuat indera panci-
uman jadi tidak begitu enak. Lalu terlihat sebuah 
cahaya tak jauh dari sana sementara gua itu semakin
lama semakin membesar. 

Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang 
dikelilingi oleh dinding batu Datuk Bunaeng langsung 
berseru, "Aku tahu kau berada di sekitar sini! Resi 
Hitam! Mengapa kau tidak segera muncul untuk 
menyambutku, padahal aku yakin kau tahu kedatangan-
ku!! Atau... kau sudah tidak lagi mengganggapku seba-
gai seorang sahabat, hah?!" 

Baru saja habis seruan Datuk Bunaeng, tiba-tiba saja 
terdengar tawa keras bertalu-talu, yang me-
mantul dari dinding ke dinding. Sementara Datuk Bu-
naeng menyeringai lebar, Ratu Tongkat Ular menindih
kemarahannya mengenali tawa yang menyakitkan
gendang telinganya itu.

"Datuk Bunaeng! Mengapa kau berucap ketus
seperti itu, hah?! Sudah tentu aku menyambut keda-
tanganmu dengan penuh sukacita! Apalagi selama ber-
tahun-tahun, tak seorang pun yang mendatangi Gua
Hitam, seolah namaku telah dilupakan orang!"

"Tetapi tentunya kau yang selalu membuat
orang-orang terutama gadis-gadis montok datang ke
sini, bukan?" seringai Datuk Bunaeng.

"Hahaha... kesukaanku memang menggeluti
tubuh montok yang rupawan dan menawan! Ya, ya...
kau benar dan kau membuatku jadi malu dengan ka-
ta-katamu itu, Bunaeng! Hanya saja... kau sempat
mengganggu keasyikan ku...."

"Hanya menunda beberapa saat saja dan kau
bisa meneruskan keasyikan mu!" seru Datuk Bunaeng 
dengan mata melirik sana-sini untuk melihat di mana
orang yang berbicara itu berada.

"Betul!, betul! Tapi sayangnya juga, kau hari ini 
datang dengan seorang perempuan keriput yang tidak
montok!"

Belum habis suara itu terdengar, tahu-tahu an-
gin menderu keras dan satu sosok tubuh telah berdiri 
sejarak lima langkah dari hadapan Datuk Bunaeng
dan Ratu Tongkat Ular. 

Begitu melihat orang yang pernah mempermalukannya 
muncul, Ratu Tongkat Ular hampir saja melesat dengan 
satu serangan. Tetapi lagi-lagi ditindihnya kegeramannya.

Datuk Bunaeng menyeringai pada orang yang kira-kira 
tiga tahun lebih tua darinya. Orang itu bertu-buh 
bongkok dan memiliki kulit hitam legam seperti
pantat panci. Hanya matanya saja yang sedikit terlihat
putih. Sementara giginya hanya tinggal beberapa buah, 
itu pun sangat hitam. Tak mengenakan pakaian apa-apa 
kecuali celana pangsi butut yang sudah robek disana-
sini. Pada punggungnya terdapat sebuah tonjolan yang 
cukup besar.

"Bagaimana kabarmu, Resi Hitam?"

Orang yang ternyata Resi Hitam adanya, menyeringai lebar.

"Lama aku tak pernah mendengar ada orang 
yang menanyakan kabarku! Aku sangat paham akan
watakmu, Bunaeng! Dan aku yakin, kau datang ke sini
bukan tidak membawa satu urusan! Atau... Hei" 
kata-kata Resi Hitam terputus tatkala melirik Ratu 
Tongkat Ular. Untuk beberapa lama Resi Hitam 
terdiam sebelum terbahak-bahak. "Astaga! Sampai
 copot rasanya jantungku! Kau... kau... bukankah Ratu 
Tongkat Ular?" Ratu Tongkat Ular menggeram. 

Sorot matanya tajam penuh kemarahan. Tetapi lagi-lagi 
ditindih kegeramannya. Dengan gerakan kaku dianggukkan 
kepalanya. Resi Hitam menepuk keningnya sendiri.

"Astaga! Entah berapa puluh banyaknya gadis-
gadis atau perempuan yang kutiduri! Kalau tak salah
ingat, salah satunya adalah kau, bukan? Gila! Ini 
nostalgia namanya! Pertemuan tak terduga! Ratu Tongkat
Ular... bila kau ingin mengulangi lagi kebersamaan kita dulu, 
aku masih sanggup melakukannya! Dan aku yakin, seperti 
dulu, kau akan menggeliat-geliat keenakan di bawah tubuhku!"

Hampir saja Ratu Tongkat Ular bergerak untuk
menampar mulut lancang di hadapannya. Tetapi dia
berkata, "Aku telah melupakan urusan lalu."

"Tetapi aku masih ingat, masih ingat! Bagaima-
na nikmatnya menggelutimu yang berontak di bawah
tubuhku! Hahaha... aku yakin kau juga masih ingat...."

Di pihak lain, Datuk Bunaeng mendesis dalam hati, 
"Hemm... peristiwa itu rupanya yang menyebabkan Ratu 
Tongkat Ular bersikeras menolak ajakanku 
menjumpai Resi Hitam. Tidak tahunya dulu dia pernah
diperkosa oleh kakek bongkok ini...."

Datuk Bunaeng segera mengambil alih pembi-
caraan, "Terlepas dari segala ingatan dan kebersa-
maanmu yang tentunya penuh kebahagiaan bersama
Ratu Tongkat Ular, aku datang untuk meminta ban-
tuanmu...."

Resi Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Seperti yang telah kuduga, kau datang bukan-
nya tidak membawa persoalan. Katakan!"

"Telah lama namamu tak lagi kedengaran dan
tentunya kau jarang keluar dari Gua Hitam. Kecuali 
tentunya, hanya untuk menculik gadis-gadis atau pe-
rempuan!"

"Tepat! Sangat tepat! Aku sangat menyukai
mendapati geliatan dan rintihan gadis-gadis di bawah tubuhku!"

"Dan kau tentunya belum mendengar kabar
tentang kematian Resi Kala Jinjit!"

Resi Hitam menyeringai.

"Telingaku belum tuli, Bunaeng! Kabar itu su-
dah kudengar, bahkan aku tahu kalau si pembunuh
belum ketahuan! Dan aku berkeyakinan kalau orang
dalam sendiri yang melakukannya! Atau kau datang
untuk mengatakan, kaulah yang telah membunuh Ka-
la Jinjit?"

Datuk Bunaeng yang hanya memancing dari
pertanyaannya tadi, menggelengkan kepala. Diam-
diam dipikirkannya kata-kata Resi Hitam sebelumnya.

"Orang dalam? Orang dalam yang membunuh
Resi Kala Jinjit? Gila! Apakah mungkin itu?" desisnya
dalam hati. Lalu berkata, "Ada hal lain yang lebih penting."

 "Ceritakan!" sahut Resi Hitam, lalu berkata pada 
Ratu Tongkat Ular, "Tubuhmu sudah tidak seindah dulu. 
Sudah peot. Dan sepasang bukitmu yang dulu 
montok dan enak kusedot, sekarang tinggal seperti pe-
paya busuk! Tapi... aku masih tetap mau menikmati
tubuhmu...."

Gelegak amarah Ratu Tongkat Ular sudah sam-
pai ke ubun-ubun, tetapi tetap ditindih kemarahannya.
Datuk Bunaeng segera menceritakan apa yang
telah terjadi di Perguruan Laba-laba Perak. Diceritakan 
juga kemungkinan akan hadirnya Langlang Benua.

Resi Hitam mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku pernah bertarung dengan Langlang Benua
dan tak seorang pun di antara kami yang memenang-
kan pertarungan itu. Hingga saat ini aku belum tahu
siapakah yang lebih hebat antara aku dengannya.
Hemm... rasanya boleh juga untuk bertarung lagi de-

ngannya."

"Dengan kata lain, kau mau membantuku?"

"Bunaeng, sudah tentu aku akan membantu-
mu! Oya, telingaku memang belum tuli! Tetapi, aku 
belum pernah mendengar pemuda yang kau katakan 
berjuluk Raja Naga itu? Siapa dia?"

"Belum lama ini rimba persilatan telah digem-
parkan dengan munculnya seorang pemuda bernama
Boma Paksi, atau yang lebih dikenal dengan julukan
Raja Naga. Sepak terjangnya merupakan maut bagi
orang-orang segolongan dengan kita. Tetapi di luar 
dugaan siapa pun, dia telah melakukan satu tindakan
bodoh dengan mencuri kalung Laba-laba Perak. Aku
yakin, bukan hanya aku saja yang sedang membu-
runya. Di samping itu, aku juga tak akan pernah tinggal 
diam melihat keadaan Pangku Jaladara. Saat ini,
Dewi Berlian yang telah mengikat janji bersekutu denganku, 
sedang menjaganya jangan sampai terlepas. Setelah urusan 
beres, aku akan mempergunakan Pangku Jaladara 
sebagai boneka!"

"Hemm,... Dewi Berlian..,. Perempuan montok
yang hingga saat ini wajahnya tak pernah berubah.
Aku merasa pasti kalau dia memiliki ilmu awet muda.
Bunaeng... seperti yang kukatakan tadi, aku akan
membantumu. Langlang Benua akan menjadi lawanku
untuk meneruskan dan menentukan siapakah yang
paling hebat antara aku dengannya! Dan sekarang...
hehehe... apakah kau masih ingin berada di sini terus 
menikmati keasyikan ku menggeluti janda montok
yang kuculik dari desa seberang, atau kau mau me-
nunggu di luar?"

"Aku tak mau mengganggu keasyikan mu! Kutunggu kau 
di luar!" kata Datuk Bunaeng sambil ber-balik. Lalu dengan
 senyuman lebar karena Resi Hitammau membantunya, 
dia melangkah ke luar.

Resi Hitam menyambar tangan Ratu Tongkat
Ular. Sambil menyeringai dia berkata, "Kita akan ber-
nostalgia kembali. Dan aku yakin kau memang meng-
harapkannya..."

Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menindih geram-
nya. Dianggukkan kepalanya sekali, lalu menyusul Da-
tuk Bunaeng keluar. Mereka menunggu kemunculan
Resi Hitam yang segera menikmati lagi tubuh janda
montok yang diculiknya. Perempuan itu sebenarnya
sudah jatuh pingsan. Tetapi Resi Hitam tak mempedu-
likannya.

Setelah puas melampiaskan nafsunya, dia
muncul dengan membawa tubuh janda yang masih
pingsan dan dalam keadaan polos. Dengan enaknya
dia berkata,

"Kau mau mencicipi tubuh indah ini, Bu-
naeng?" Sementara Ratu Tongkat Ular menggelegak 
lagi amarahnya, Datuk Bunaeng menggelengkan 
kepalanya. Resi Hitam membanting tubuh pingsan itu di
atas tanah. Sambil menggelengkan kepala menatap tu-
buh polos itu, dia berkata, "Sayang kau menolak...."

Lalu dengan santainya dijentikkan ibu jari dan
telunjuknya.

Trik!

Asap hitam keluar dari kedua jarinya itu yang
semakin lama menebar dan menyelimuti tubuh polos
yang pingsan itu. Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu
Tongkat Ular, sama-sama hanya memperhatikan. Dan
kepala masing-masing orang menegak, dengan mata
terbeliak lebar tatkala melihat perlahan-lahan asap 
hitam yang menyelimuti tubuh polos itu lenyap, yang
nampak hanyalah seonggok debu hangus!

"Hei! Mengapa bengong?!" seru Resi Hitam
sambil menyeringai. "Kita berangkat sekarang!"

***

EMPAT

PAGI telah menjelang kembali. Pemuda dari
Lembah Naga itu masih terpaku menatap aliran sungai
di hadapannya. Wajahnya nampak sedikit kuyu, sarat
dengan beban yang memberati pikirannya. Walaupun
wajahnya dipenuhi beban, namun sorot matanya yang
memancarkan keangkeran tetap terjaga. Seolah meni-
kam aliran sungai yang jernih di hadapannya.

"Kalung Laba-laba Perak... menjadi urusan be-
sar untukku. Selain itu, aku masih dibingungkan oleh 
orang yang entah siapa yang telah mematahkan se-
rangan Jala Sringgil dan Kala Sringgil. Ah, keadaan 
ini semakin keruh. Sementara aku belum tahu apa yang
harus kulakukan. Ke mana aku harus mencari bukti-
bukti kalau aku tak bersalah.... "

Untuk beberapa lamanya pemuda tampan be-
rambut dikuncir ini terdiam memikirkan apa yang
menjadi masalahnya. Lamat-lamat ditarik, lalu dihem-
buskan napas perlahan-lahan.

"Satu-satunya cara yang paling tepat adalah
kembali ke Perguruan Laba-laba Perak. Tetapi jelas
tak ada gunanya. Menemukan Pangku Jaladara adalah
tindakan yang lebih tepat. Menurut Dewi Pengunyah
Sirih, Pangku Jaladara ditemukan pingsan. Ah, siapa
yang telah membuatnya pingsan?"

Kembali Raja Naga terdiam. Otaknya diperas
untuk memikirkan setiap kejadian.

"Yang harus ku kaji lebih dulu, mengapa Dewi
Pengunyah Sirih mengatakan terus terang kalau dia
hendak mencuri kalung Laba-laba Perak? Seorang
yang mempunyai niat seperti itu dan secara tidak 
langsung akan menggagalkan satu upacara sakral, ten-
tunya tak akan buka mulut dan menceritakannya pada
siapa pun juga. Hemm... apakah ada maksud lain dari
kata-kata nenek berkonde kecil itu?"

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini terdiam.
Keningnya sesekali berkerut. Tatapannya masih di-
arahkan pada aliran sungai yang jernih dan mengalir
lembut. "Kabar yang kudengar, Dewi Pengunyah Sirih 
bersahabat dengan mendiang Resi Kala Jinjit. Mustahil 
dia akan mencuri kalung Laba-laba Perak tanpa tujuan 
yang pasti. Keinginannya untuk menggagalkan
penobatan Pangku Jaladara sebagai ketua yang baru
Perguruan Laba-laba Perak, tentunya didasari oleh sa-
tu keinginan. Tapi keinginan apa?"

Raja Naga menarik napas, lalu dihembuskan-
nya perlahan-lahan. Tangan kanannya mengusap-usap
dagunya sejenak sebelum dia berpikir lagi.

"Jangan-jangan... niat Dewi Pengunyah Sirih
itu berhubungan erat dengan kematian Resi Kala Jin-
jit? Berhubungan erat? Hubungan apa? Dan mengapa?

Tidak mungkin Dewi Pengunyah Sirih yang telah mem-
bunuh Resi Kala Jinjit. Bisa jadi pula kalau dia me-
mang tidak tahu siapa pembunuh Resi Kala Jinjit. Be-
rarti jawaban satu-satunya...."

Raja Naga memutuskan jalan pikirannya. Ke-
ningnya berkerut. Diusap-usap lagi dagunya, sebelum
kemudian terlihat kepalanya diangguk-anggukkan.

"Rasanya memang itu jawaban yang paling te-
pat. Yah, memang jawaban itu satu-satunya. Tak mus-
tahil kalau sebenarnya tindakan Dewi Pengunyah Sirih 
itu atas suruhan Resi Kala Jinjit sendiri sebelum dite-
mukan tewas. Tapi dengan maksud apa? Ah, bisa jadi
maksudnya untuk melindungi murid-murid perguruan
Laba-laba Perak dari orang-orang yang hendak mem-
balas dendam padanya. Bila kalung Laba-laba Perak
berhasil dicuri oleh Dewi Pengunyah Sirih, maka de-
ngan sendirinya perguruan itu akan berantakan. Tan-
pa seorang ketua, akan sulit sebuah perguruan berja-
lan. Bahkan mungkin akan terjadi gontok-gontokan di
dalamnya. Hemm... ya, inilah jawaban yang tepat,
kendati aku belum dapat memastikannya secara pasti.
Hanya Dewi Pengunyah Sirih yang mengetahui alasan
apa yang membuatnya ingin mencuri kalung Laba-laba
Perak. Tetapi satu hal...." Raja Naga terdiam lagi.

Kemudian melanjutkan, "Bila memang Dewi
Pengunyah Sirih pernah berjumpa dengan Resi Kala
Jinjit sebelumnya dan mengetahui semua ini, mengapa
dia tidak menolongnya? Dan kejadian yang demikian
cepat ini, tentunya tak akan berhasil bila tidak ada
orang dalam sendiri. Ya! Aku mulai dapat meraba, ka-
lau ada orang dalam yang membantu perbuatan makar
ini. Bisa jadi kalau orang dalam pula yang telah mem-
bunuh Resi Kala Jinjit."

Raja Naga menarik napas pendek. Sehelai daun
jatuh menerpa wajahnya. Ditangkapnya daun itu, lalu
dilemparnya ke aliran sungai.

Begitu daun itu terbawa aliran sungai, tiba-tiba
saja Raja Naga memalingkan kepalanya ke kanan. Se-
pasang matanya tajam tak berkedip.

"Hemm... kutangkap gerakan orang di sekitar
sini," desisnya dalam hati. "Dalam situasi seperti ini 
sementara banyak orang yang menganggapku seba-
gai seorang pesakitan, keadaan bisa berabe untukku. 
Lebih berabe lagi bila ternyata orang itu juga meng-
inginkan nyawaku dengan tuduhan yang sama. Sebaik-
nya...." 

Belum habis kata-kata Raja Naga, mendadak saja 
melesat satu sosok tubuh berpakaian hitam. Tegak 
dengan kedua sorot mata tajam tak berkedip.

Raja Naga memperhatikan dengan seksama le-
laki yang rambutnya panjang dan di tengah kepalanya
botak. Dilihatnya kaki kanan lelaki yang dadanya agak 
terbuka, buntung. Dan dia memakai sebuah tongkat
untuk menyangga tubuhnya.

Untuk beberapa lama tak ada yang buka suara
sebelum si lelaki mendesis, "Cukup lama kucari orang 
yang telah membuat aib untuk dirinya sendiri! Orang
yang julukannya telah lama kudengar tetapi ternyata
tak lebih dari seorang pesakitan belaka! Orang yang 
telah menggagalkan upacara penobatan di Perguruan
Laba-laba Perak! Bahkan mempermalukan dirinya sen-
diri dengan mencuri kalung Laba-laba Perak!!"

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek.

"Ah... apa yang kuperkirakan ternyata benar.
Tentunya lelaki setengah baya berkaki buntung ini,
adalah sahabat dekat dari Resi Kala Jinjit. Dan ten-
tunya dia juga sudah mendengar kabar tentang keja-
dian buruk yang menimpaku, tetapi dianggapnya aku-
lah yang telah melakukan semua ini."

Lelaki berkaki buntung itu berseru lagi, "Ke-
hormatan seseorang sangat mahal harganya! Dirintis
dari bawah tetapi dalam sekejap saja setelah berdiri 
tegak dengan mata langit, akan hilang begitu saja! 
Tak ubahnya kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari!"

Raja Naga tetap tak menjawab. Sorot matanya
yang angker memandang pada si lelaki. Diam-diam dia
membatin, "Jalan satu-satunya, aku memang harus 
menghindar dari sini. Aku tak ingin terjadi lagi perta-
rungan seperti yang kualami dengan Jala Sringgil dan 
Kala Sringgil! Tapi, apakah aku dapat melakukannya
sementara tuduhan keji itu sudah terpatri pada diriku?
Ah! Siapa orangnya yang telah melakukan tindakan
busuk ini! Dewi Pengunyah Sirih mengatakan bukan
dia yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak dan
menjatuhkan tanggungjawab kepadaku!"

Lelaki berkaki kanan buntung itu menggeram
karena sejak tadi Raja Naga tidak menyahuti ucapan-
nya. "Pemuda celaka yang telah menamengkan diri 
dengan tindakan lurus padahal busuk tak ketulungan!
Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawa-
banmu! Sebaiknya menyerah sebelum kulakukan ke-
kerasan untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persila-
tan! Agar kau dihukum rajam oleh orang-orang rimba
persilatan! Tetapi bila kau menolak, terpaksa akulah 
yang akan menghukummu di sini!"

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku
dipenuhi sisik coklat itu menarik napas pendek.

"Seperti yang kualami sebelumnya, rasanya aku
memang susah untuk membela diri," desisnya. Lalu,
"Kejadian buruk yang menimpa diriku memang sulit 
bagiku untuk membela diri sebelum mendapatkan
bukti-bukti! Dan kesulitan kedua, adalah untuk men-
cari bukti-bukti itu! Karena sebelum kudapatkan buk-
ti-bukti yang jelas kalau aku tidak bersalah, telah 
datang orang-orang seperti dirimu yang membuatku 
mati langkah!"

"Kau masih mencoba bersilat lidah padahal kau
memang bersalah! Tak perlu lagi ada bukti! Kabar te-
lah sampai ke telingaku kalau kau telah melakukan
tindakan keji! Banyak saksi mata yang melihatmu me-
lakukan pencurian itu! Bahkan aku yakin, barang
bukti itu masih ada padamu!"

Murid Dewa Naga menganggukkan kepala sam-
bil menghela napas masygul.

"Kalung Laba-laba Perak memang masih berada
padaku! Tetapi, aku bukan orang yang melakukan
pencurian itu!"

"Huh! Kau dipergoki oleh Pangku Jaladara, se-
laku calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang ba-
ru! Bahkan kau telah membuatnya pingsan! Sementa-
ra kau juga telah membunuh salah seorang murid Per-
guruan Laba-laba Perak!"

"Keadaan seperti ini memang sulit untuk ku je-
laskan. Dan rasanya tak bisa," desis Raja Naga 
dalam hati. 

Ketika dilihatnya lelaki berkaki buntung itu maju dua 
tindak dengan kepala sedikit diangkat, pemuda
berompi ungu ini mendesah. "Aku harus mencari jalan 
untuk meloloskan diri...."

"Sebagai sahabat setia Pangku Jaladara dan
orang yang tak bisa berdiam diri melihat keadaan 
yang menyakitkan, hari ini juga kau harus mampus 
kubunuh! Kau tak memberi jawaban apa-apa untuk 
kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan! Itu 
mengukuhkan keyakinanku kalau kau memang bersalah!"

Belum habis seruannya terdengar, lelaki berka-
ki buntung itu sudah melesat ke depan. Tangan kanan
kirinya digerakkan, sementara tongkat penyanggah tu-
buhnya seperti menempel pada ketiak kanannya.

Dari angin yang keluar mendahului, Raja Naga
sadar kalau lelaki buntung itu menyerang dengan
mempergunakan setengah tenaga dalamnya. Tetapi
anak muda dari Lembah Naga ini justru tak bergerak
dari tempatnya. Matanya yang angker dipicingkan.

Ketika kedua jotosan lawan sudah mendekat,
barulah digerakkan kedua tangannya.

Buk! Buk!

Benturan yang terjadi itu membuat lelaki ber-
kaki kanan buntung berteriak tertahan seraya mun-
dur. Kedua matanya terbeliak tak percaya merasakan
ngilu pada kedua tangannya yang berbenturan tadi.

"Hebat? Julukannya yang cepat membubung
tinggi itu memang tak sia-sia! Tenaga dalamnya 
sangat tinggi!" 

Di pihak lain Raja Naga hanya mendesah pelan.
Bila saja dia mau melakukan, dia bukan hanya dapat
membuat kedua tangan lelaki berkaki buntung itu ngi-
lu, tetapi juga patah. Ini disebabkan karena kekuatan 
yang ada pada sepasang lengannya yang bersisik 
hingga batas siku.

Di seberang, lelaki berkaki buntung menggeram
dingin. "Tindakanmu barusan semakin membuatku
penasaran! Kau harus mampus di tanganku, agar tak
ada lagi orang-orang licik sepertimu di rimba persila-
tan ini!!" 

Menyusul suaranya, dia sudah menggebrak kembali. 
Tongkat penyanggah tubuhnya digerakkan di
saat dia melesat. Diputar sejenak yang seketika keluar
angin berputar yang kecil dan semakin lama mem-
besar. Bergemuruh mengerikan yang membuat tanah
seketika masuk dalam pusarannya dan bersama-sama
menggebrak ke arah Raja Naga!

Pemuda bersisik coklat itu menjerengkan ma-
tanya. Kejap lain dia sudah mendeham.

"Ehmmm!!"

Blaaaarr!!

Gelombang angin berputar yang dahsyat itu pe-
cah seketika. Terlihat paras lelaki buntung itu se-
dikit berubah. Tetapi di lain kejap, dengan sekali 
menjejakkan ujung tongkat penyanggah tubuhnya 
di atas tanah, sosoknya sudah mumbul ke udara. 
Berputar deras meluruk ke arah Raja Naga se-
mentara tongkatnya digerakkan menyilang tiga kali!

Gelombang angin bersilang menderu keras. Ra-
ja Naga cepat membuang tubuh ke samping kanan.

Blaaam! Blaaam! Blaaamm!

Letupan berkali-kali terdengar menghantam ta-
nah, disusul dengan sapuan tongkat ke arah kaki 
Raja Naga. "Heiii!!"

Terkejut, pemuda bersisik ini segera melompat
dengan cara berputar di udara. Tetapi sosok 
lelaki berkaki buntung itu terus mengejarnya. 
Bahkan ujung tongkatnya siap menotok jantung 
Raja Naga yang bila masuk pada sasaran, maka 
pemuda itu hanya akan tinggal jasadnya belaka!

Melihat keadaan yang membahayakan tubuh-
nya, Raja Naga segera menepukkan tangan kanannya
pada lengan kirinya.

Wuusss!!

Menggebrak angin yang cukup besar.
Tetapi lelaki berkaki buntung itu tak mau men-
gendorkan serangannya. Tangan kirinya dikibaskan
yang membuat serangan balik Raja Naga putus di ten-
gah jalan, sementara tongkat penyanggah tubuhnya te-
tap lurus ke arah jantung si pemuda.

Mau tak mau Raja Naga harus bertindak me-
nyelamatkan dirinya. Bahkan dia bertindak sangat ce-
pat. Dengan mengeluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengu-
rung Lautan' dia dapat membuat lelaki berkaki bun-
tung itu mundur untuk menghentikan serangannya.

Menyusul dengan jurus 'Hamparan Naga Tidur' Raja
Naga membuat lelaki itu terbanting di atas tanah.

Dia sendiri segera hinggap dan memperhatikan
lelaki yang kemudian bangkit itu dengan agak susah
payah. Sebelum lelaki berkaki buntung itu buka suara, 
pemuda bersorot mata angker ini sudah berkata,

"Memang sulit bagiku untuk membuktikan
bahwa aku tidak bersalah! Tetapi, biar bagaimanapun
sulitnya, aku akan tetap mencari bukti-bukti kalau
aku tidak bersalah!"

Sambil menahan sakit pada perutnya, lelaki
berkaki buntung itu berseru, "Kau boleh berucap apa 
saja untuk membela dirimu! Tetapi jangan berharap
aku atau siapa pun juga yang membela kebenaran,
akan mempercayai ucapanmu! Kau harus kubunuh di
sini bila menolak kubawa pada Pengadilan Rimba Per-
silatan!"

Raja Naga menggelengkan kepalanya.

"Apa pun yang terjadi, nampaknya memang ha-
rus kuhadapi! Sebesar apa pun risikonya! Maaf, aku
tidak bisa berlama-lama di sini!"

Ucapan Raja Naga itu menandakan dia akan
segera berlalu dan ini membuat lelaki berkaki 
buntung segera menggebrak kembali. Tetapi 
bersamaan denganitu, Raja Naga sudah menje-
jakkan kaki kanannya diatas tanah, melancarkan 
serangan 'Barisan Naga Penghancur Karang'.

Serta-merta tanah itu bergerak, bergelombang
deras ke arah lelaki berkaki buntung yang mau tak
mau mengurungkan niatnya menyerang!

Blaaaarrr!!

Letupan keras dengan terbongkarnya tanah ke
udara terjadi. Sejenak tanah menghalangi pandangan
lelaki buntung itu yang kemudian menggeram keras
setinggi langit. Karena tatkala tanah itu sirap kembali, 
sosok Raja Naga sudah tak ada di tempatnya.

"Keparat! Kehebatannya memang sulit dicari
tandingannya! Sayang sekali kemampuannya dipergu-
nakan untuk tindakan yang menyesatkan dirinya!
Huh! Biar bagaimanapun juga, aku harus menangkap
atau membunuhnya!"

Di lain saat, lelaki berkaki kanan buntung ini
sudah berkelebat tanpa menghiraukan perutnya yang
masih sedikit mulas.

***

LIMA

DI SEBUAH persimpangan, Raja Naga kembali
menghentikan larinya. Keringat sedikit membasahi wa-
jahnya yang segera diusapnya. Dihirup udara segar
untuk menghilangkan beban yang menindih dadanya.

"Urusan ini semakin tak menentu. Tentunya se-
makin banyak orang-orang yang menuduhku telah me-
lakukan pencurian. Ah, jalan satu-satunya aku me-
mang harus mencari bukti-bukti bahwa aku tidak ber-
salah, tetapi... ke mana harus kucari bukti itu semen-
tara aku sendiri harus bersiaga penuh terhadap orang-
orang yang telah salah memahami keadaan?"

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma-
tanya yang angker menatap ke kejauhan, menatap bu-
kit-bukit yang menghijau. Jauh di sebelah kanannya,
hamparan padi menguning berlenggak-lenggok dihem-
busi angin barat laut.

"Tak bisa kusalahkan sikap orang-orang seperti
Jala Sringgil, Kala Sringgil maupun lelaki berkaki bun-
tung yang belum kuketahui siapa nama dan julukan-
nya. Ini menandakan kalau kesetiakawanan mereka
begitu tinggi. Ah, cap pencuri dan pengacau memang
telah melekat padaku. Siapa sebenarnya orang yang
hendak mencelakakanku ini?"

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini mengge-
leng-gelengkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi keresa-
han. Tetapi di lain saat, kepalanya sudah ditegakkan 
kembali. Sorot matanya tetap angker.

"Aku tak bisa berdiam terlalu lama untuk men-
cari bukti-bukti yang ada. Biar bagaimanapun juga,
keadaan ini tak boleh berlarut-larut. Di samping itu, 
aku juga akan mencari siapa orang yang telah mem-
buatku seperti...."

Kata-kata Raja Naga terputus. Karena dia lang-
sung memalingkan kepalanya ke kanan, melihat satu
bayangan hijau dari balik ranggasan semak. Berputar
di udara dua kali dalam keadaan berdiri, sebelum ak-
hirnya hinggap di hadapannya.

Raja Naga memperhatikan dengan seksama
orang yang berdiri di hadapannya, yang tadi saat 
berputar di udara pakaian panjangnya yang terbelah itu
membuyar. Selain memperlihatkan bungkahan sepa-
sang paha mulus dan gempal, juga membiarkan sesua-
tu yang terbalut kain tipis berwarna merah jambu
mengintip.

"Dewi Berlian...," deals Raja Naga kemudian.

Perempuan berpayudara besar itu menyeringai
lebar. Tak mengeluarkan suara. Sorot matanya me-
rayu.

"Raja Naga...," desisnya lembut.

Raja Naga tak menyahut, hanya memandangi
dengan sorot matanya yang angker.

"Tatapan pemuda itu benar-benar membuat
jantungku berdetak lebih cepat. Sungguh mengerikan.
Dan satu hal yang membuatku kesal, ternyata dia ma-
sih hidup! Huh! Kematian Ratu Sejuta Setan harus
kubalaskan! Rencana lain harus kujalankan seka-
rang... " Berpikir demikian, Dewi Berlian tersenyum.

"Julukan Raja Naga telah menjulang ke langit
tujuh dan menyebar ke segala penjuru sebagai orang
golongan lurus yang menerjang orang-orang golongan
sesat! Tetapi sayangnya, tindakan yang telah lama 
dilakukan itu harus dicoreng dengan satu tindakan me-
malukan yang tak bisa dimaafkan!"

"Bibirnya tersenyum, wajahnya cerah, ucapan-
nya pun lembut. Tetapi aku berkeyakinan kalau dia
tak lama lagi akan menyerangku," desis Raja Naga 
dalam hati.

Didengarnya lagi kata-kata perempuan mesum itu, 
"Dan sungguh malang nasib yang menimpamu, 
Pemuda tampan! Aku merasa pasti kau bukanlah orang
yang melakukan pencurian seperti yang dituduhkan
siapa pun juga! Dan seseorang yang melakukannya te-
lah menimpakan tanggung jawabnya padamu!"

Mendengar kata-kata itu, Raja Naga mengang-
kat kepalanya.

"Aku belum mengetahui siapa kau sebenarnya,
Dewi Berlian. Tetapi aku bersyukur karena masih ada
yang mau mempercayaiku...."

Sambil menindih dendamnya, Dewi Berlian te-
rus menjalankan rencananya.

"Sudah tentu aku tak pernah berpikir demi-
kian! Bahkan yang terpikirkan oleh ku sekarang, ada-
lah Datuk Bunaeng!"

"Datuk Bunaeng?"

"Siapa pun tahu, kalau Datuk Bunaeng yang
bersekutu dengan Ratu Tongkat Ular memiliki dendam
berkepanjangan pada mendiang Resi Kala Jinjit! Ken-
dati Resi Kala Jinjit telah tewas, tetapi dendam di 
hatinya tak akan padam! Rencana busuk telah dikuman-
dangkan dan siap dijalankan! Kaulah yang terkena ge-
tah dari segala rencananya!"

"Walaupun dikatakannya kalau dia yakin aku
bukanlah yang melakukan pencurian itu, tetapi aku
tak bisa mempercayai sepenuhnya. Tadi kutangkap
nada suaranya sedikit bergetar," kata Boma Paksi dalam 
hati. Lalu, "Apakah maksudmu dengan mengatakan 
akulah yang terkena getahnya?"

"Datuk Bunaeng telah menyusupkan anggo-
tanya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba Perak! Dia
telah mengatur semuanya sedemikian rupa! Dan kau-
lah yang menjadi sasarannya!"

"Jelaskan!"

"Salah seorang anak buah Datuk Bunaeng te-
lah mencuri kalung itu, lalu melemparkannya kepa-
damu hingga kau yang dituduh!"

"Hemm... apa yang dikatakannya tak sama se-
perti yang kudengar dari mulut Gala Jenjang dan 
Kulo Marutung saat kucuri dengar percakapannya. 
Tetapi ini lebih baik ketimbang aku tak mendengar
kannya lagi," ucap Raja Naga dalam hati. Seraya 
memandangi perempuan jelita di hadapannya, pe-
muda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi
sisik coklat ini berkata, "Kalau memang yang kau 
katakan itu benar, apa alasannya?"

"Alasannya? Huh! Dengan mudah sekali akan
kukatakan! Datuk Bunaeng sebenarnya memiliki den-
dam padamu!"

"Astaga! Dendam padaku? Gila! Aku belum la-
ma mengenai Datuk Bunaeng!"

"Tetapi... kau tentunya ingat tentang seorang
nenek berkulit hitam legam yang berjuluk Ratu 
Sejuta Setan, bukan?"

Kepala Raja Naga menegak. Untuk beberapa
lamanya dia terdiam mencernakan apa yang dimak-
sudkan oleh Dewi Berlian.

"Mengapa dengan Ratu Sejuta Satan?"

"Dia adalah saudara dari Datuk Bunaeng! Dan
kau telah membunuhnya! Rencana diatur sedemikian
rupa! Orang yang mengundangmu untuk datang ke
Perguruan Laba-laba Perak adalah orang suruhan Da-
tuk Bunaeng! Kau akhirnya terpancing untuk datang
ke sana, pada upacara penobatan Pangku Jaladara se-
bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru!
Dan Datuk Bunaeng kemudian dengan leluasa mem-
burumu! Dia ingin membunuhmu, tetapi tidak mem-
pergunakan tangannya! Melainkan, menimpakan satu
kesalahan besar padamu, hingga orang-orang rimba
persilatan memburumu!"

Raja Naga menahan napas. Dipandanginya pe-
rempuan berpakaian hijau yang dipenuhi butiran ber-
lian itu.

Di pihak lain Dewi Berlian tersenyum dalam hati.

"Sorot matanya yang angker semakin angker
dan kutangkap kalau dia mulai direjam amarah. Ba-
gus! Rencana ini akan berjalan lebih mulus lagi! 
Datuk Bunaeng mencarinya karena pemuda itu 
dianggapnya telah mencoreng wajahnya, sementara 
pemuda ini juga akan mencarinya untuk mendapat-
kan bukti kalau dia tidak bersalah! Luar biasa! 
Ternyata otakku sungguh cerdik! Dan sungguh 
kebetulan aku berjumpa dengan-
nya di sini! Ratu Sejuta Setan, bila saja kau masih hi-
dup, tentunya kau akan mengagumi kecerdikanku...."

Lamat-lamat terdengar kata-kata Raja Naga se-
telah terdiam beberapa lama.

"Dewi Berlian... apakah kau tahu keadaan
Pangku Jaladara sekarang?"

"Hemm... bagus! Pertanyaan bagus! Akan se-
makin kubuat dia mendendam pada Datuk Bunaeng,"
desis Dewi Berlian dalam hati. Lalu menyahut, "Aku 
tidak tahu bagaimana keadaannya! Pangku Jaladara di-
temukan pingsan sementara salah seorang anak
buahnya yang bernama Duto telah tewas!" Kemu-
dian suaranya dibuat geram, "Tentang kalung Laba-
laba Perak aku yakin bukan kau yang mencurinya! 
Tetapi, pembunuhan yang kau lakukan dan sebab-sebab
Pangku Jaladara pingsan, aku merasa pasti, kalau kau
yang melakukannya!"

Raja Naga menggelengkan kepala.

"Kau salah besar, Dewi. Aku tak melakukan tin-
dakan itu! Kalaupun lima orang murid Perguruan La-
ba-laba Perak kubuat pingsan, karena terpaksa. Aku
harus membela diri."

"Jika bukan kau yang melakukannya, siapa,
hah?!" Dewi Berlian membuat suaranya makin keras.

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang
angker tetap terjaga. Justru Dewi Berlian yang bersua-
ra, dibuat kaget, "Astaga! Kini aku baru sadar! Ya, ba-
ru terbuka mataku!"

"Apa maksudmu dengan baru sadar?"

"Bodoh! Bodohnya aku ini! Sudah tentu yang 
melakukannya adalah orang-orang Datuk Bunaeng!"

Raja Naga tidak menyahut. Dewi Berlian berkata lagi,

"Huh! Sungguh sebuah akal licik yang diperlihatkannya! 
Datuk Bunaeng men-dendam padamu karena kau
telah membunuh Ratu Sejuta Setan. Semua dirancang
sedemikian rupa hingga sulit bagi siapa pun untuk
menuduh Datuk Bunaeng yang telah melakukan se-
mua ini. Raja Naga... apa yang akan kau lakukan se-
karang?"

Raja Naga tetap tidak menyahut. Otaknya ber-
pikir keras. Setelah beberapa lama baru dia berkata,

"Aku akan mencari Datuk Bunaeng!"

"Bagus! Kini sasaranku kualihkan padanya!"

"Mengapa kau berkata demikian? Apakah kau
sebelumnya mempunyai sasaran lain?"

"Ya! Kaulah sasaranku, Raja Naga! Karena se-
belumnya, kau kuanggap sebagai orang yang telah
mencelakakan Pangku Jaladara!"

Lagi-lagi Raja Naga tidak menyahut, diperhati-
kannya dengan seksama perempuan jelita di hadapan-
nya. Didengarnya lagi kata-kata Dewi Berlian,

"Menurut yang kudengar, Datuk Bunaeng dan
Ratu Tongkat Ular akan berada di Lembah Lingkar te-
pat pada tengah malam, malam ini."

"Bagaimana kau tahu?"

"Karena aku mencuri dengar percakapan mere-
ka! Raja Naga, tentunya kau menolak bila kita bersa-
ma-sama ke Lembah Lingkar! Sebaiknya, kita memang
menempuh jalan masing-masing! Satu hal lain yang
perlu kau ketahui, aku berada di pihakmu!"

Raja Naga hanya menganggukkan kepalanya.

"Di mana Lembah Lingkar berada?"

"Berjalanlan menuju ke selatan. Setelah kau
menemukan dua buah pohon yang tumbuh bersilan-
gan, berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari sana, kau
sudah akan melihat Lembah Lingkar."

"Kata-kata perempuan ini tak sepenuhnya ku
percayai. Karena dia begitu mudah menerima setiap
ucapanku. Tidak seperti Jala Sringgil dan Kala Sringgil 
yang tetap ngotot menyalahkanku. Hemm... apakah dia
menyembunyikan sesuatu di batik semua ini? Tapi bi-
sa jadi apa yang dikatakannya memang benar. Sampai
saat ini aku belum tahu apa yang harus kulakukan.
Tak ada salahnya bila aku pergi ke Lembah Lingkar."

Habis membatin demikian, Raja Naga berkata,
"Baiklah! Kita memang sebaiknya pergi masing-masing!
Kita berjumpa di Lembah Lingkar, Dewi Berlian!"

Belum habis seruannya, sosok Raja Naga sudah
menjauh. Dewi Berlian hanya melihat bayangan ungu
saja yang kemudian lenyap di telan pepohonan.

Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu-
buh melompat dari balik ranggasan semak dan berdiri
di samping kanan Dewi Berlian.

"Itukah rencana yang kau maksudkan tadi,
Dewi?" tanya sosok tubuh itu yang bukan lain 
Pangku Jaladara.

Dewi Berlian mengangguk-anggukkan kepa-
lanya sambil tersenyum.

"Ternyata semuanya jauh lebih mudah, jauh le-
bih baik dari apa yang kubayangkan."

Pangku Jaladara merangkul tubuh montok itu
dari belakang. Sepasang telapak tangannya menempel
tepat pada payudara Dewi Berlian, meremas-remasnya
sambil mengecupi tengkuk si perempuan yang mulus.

"Kau benar-benar cerdik...."

"Kita harus tiba lebih dulu di Lembah Lingkar."

"Untuk apa? Bukankah kita bisa bersenang-
senang dulu...."

"Yang dipikirkan lelaki ini hanya gairah semata!
Huh! Lama-lama tingkahnya membuatku muak! Aku
sudah tak lagi membutuhkan bantuannya! Membu-
nuhnya pun tak pernah kusesali! Tetapi, dia masih bi-
sa kupergunakan!"

Berpikir seperti itu, Dewi Berlian membalikkan
tubuhnya. Dirangkulnya Pangku Jaladara dengan ke-
tat, hingga payudaranya menempel erat di dada Pang-
ku Jaladara yang meram-melek.

"Aku khawatir, dia akan lebih dulu tiba di sana sebe-
lum kita. Rencana ini baru saja muncul, setelah
tak sengaja kita yang lebih dulu berada di sini meli-
hatnya muncul."

"Dan kehadirannya mengganggu keasyikan ku
mencumbumu, Dewi...."

Dewi Berlian tak menghiraukan kata-kata itu.

"Kita harus mengatakan pada Datuk Bunaeng yang
tentunya telah menunggu di Lembah Lingkar, kalau
pemuda itu akan segera tiba di sana."

"Kau mengatakan tengah malam mereka baru
berada di sana. Padahal tidak seperti itu kenyataan-
nya." 

"Tetapi tak menutup kemungkinan Raja Naga akan 
tiba lebih dulu dari mereka. Pangku Jaladara, ki-
ta masih punya banyak waktu untuk menikmati se-
mua ini...," sahut Dewi Berlian. 

Setelah mengecup bibir Pangku Jaladara dengan me-
sra, dilepaskan rangku-lannya. "Kita berangkat seka-
rang! Melewati arah timur lebih cepat ketimbang me-
lalui selatan!"

Walaupun harus menindih gairahnya, Pangku
Jaladara menyetujui usul itu. Keduanya pun segera
meninggalkan tempat itu dengan berjuta kemenangan
yang telah membayang di benak Dewi Berlian. Semen-
tara itu yang dipikirkan Pangku Jaladara, hanyalah
mendapatkan kesempatan untuk menikmati tubuh
montok yang menggairahkan itu.

***

ENAM

PADA saat yang bersamaan, Dewi Pengunyah
Sirih yang berkelebat cepat menghentikan langkahnya
di jalan setapak. Tak jauh dari tempatnya, sebuah per-
simpangan yang tumpang tindih terpampang. Bukan
karena memikirkan arah mana yang harus ditempuh-
nya yang membuat nenek yang selalu mengunyah sirih
itu menghentikan larinya. Tetapi satu suara yang sangat 
dikenalnya yang menahannya di sini.

"Dewa Jubah Biru!" desisnya pelan.

"Hebat, hebat sekali! Kau masih mengenali sua-
raku!" kembali terdengar seruan itu, menyusul satu 
sosok tubuh hinggap sejarak lima langkah dari hadapan 
Dewi Pengunyah Sirih. 

Orang yang memang DewaJubah Biru ini langsung 
buka suara, "Kau nampaknya tergesa-gesa sekali? 
Rasanya tak mungkin bila kau tak punya urusan yang 
mendesak sementara kau berlari seperti setan!"

Dewi Pengunyah Sirih menatap tak berkedip
pada kakek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya.

Perlahan-lahan dia bersuara, "Katanya, kalau orang 
bertanya seperti itu tetapi juga menduga, ada dua
maksud! Pertama memang tidak tahu, kedua bermak-
sud mengejek! Dewa Jubah Biru... yang mana yang
kau maksudkan?"

"Yang kumaksudkan? Aku hanya ingin ber-
tanya! Dan sungguh kebetulan kita berjumpa di sini!"

"Katanya, kalau orang hendak bertanya itu pa-
da orang yang tepat! Dewa Jubah Biru, aku bukan
orang yang tepat untuk dijadikan sebagai tempat ber-
tanya!" 

"Kalau orang yang semula berniat untuk mencuri 
kalung Laba-laba Perak kemudian beranggapan
bukan sebagai tempat yang tepat untuk bertanya, apa-
kah itu sebuah kebohongan?"

Wajah keriput si nenek berubah. Mulutnya se-
makin cepat mengunyah sirihnya sehingga keluar cai-
ran merah dari Sana.

"Katanya, orang berbohong itu selain harus di-
pertanggungjawabkan juga telah melakukan sebuah
kebodohan! Dan sangat bodoh orang yang melakukan
tindakan seperti itu!"

Dewa Jubah Biru tersenyum. Angin senja
menggerai jubah birunya.

"Jadi... apa yang kukatakan tadi itu benar?"

"Aku tidak berkata demikian! Katanya, orang
yang ingin bertanya akan langsung melontarkan per-
tanyaannya! Tetapi mengapa kau berputar-putar?!"

Lagi-lagi Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya
tetap berkedip-kedip.

"Kabar telah kudengar kalau kau berniat untuk
mencuri kalung Laba-laba Perak! Tetapi mengapa kau
menimpakan kesalahan itu pada seorang pemuda ber-
juluk Raja Naga?"

"Katanya, orang yang menimpakan kesalahan
pribadi pada diri orang lain telah melakukan kecura-
ngan! Dewa Jubah Biru, aku tak melakukan tindakan
seperti itu! Bila kau ingin mendapatkan kejelasan, 
sebaiknya kau temukan Raja Naga!"

"Dalam keadaan serba kacau seperti ini, dan
sulit menganggap yang mana kawan atau lawan, su-
dah tentu tak akan mudah menemukan Raja Naga!
Apalagi waktu yang sedemikian sempit! Apakah tidak
sebaiknya kau yang menjelaskan?"

"Hemmm... bila tidak kukatakan padanya, uru-
san akan jadi berabe. Aku merasa pasti kalau dia, telah 
datang ke Perguruan Laba-laba Perak dan berjum-
pa dengan Raja Naga yang kemudian menceritakan se-
mua ini. Apakah memang harus kukatakan saja se-
mua ini?"

Cukup lama tak ada yang bersuara. Dewi Pen-
gunyah Sirih masih menimbang apakah dia memang
harus mengatakan rahasia yang disimpannya atau ti-
dak. Di pihak lain, Dewa Jubah Biru hanya menunggu
penuh kesabaran.

Setelah beberapa lama tak ada yang bersuara,
Dewi Pengunyah Sirih berkata, "Katanya, menyimpan 
sebuah rahasia lebih baik seorang diri! Walaupun
orang yang hendak kita bagi rahasia sudah bersumpah
untuk tidak membocorkannya, pada akhirnya akan
bocor juga! Tetapi aku yakin, kau akan menjaga raha-
sia itu dengan segala kehormatan yang kau miliki!"

"Ternyata kau sungguh pandai berbicara, Dewi!
Dengan kata lain, kau memaksa aku untuk bersum-
pah!"

"Kau tidak perlu bersumpah! Katanya, seseorang yang
 telah mempercayai orang lain demi satu ke-
benaran, akan dijunjung tinggi kehormatannya!"

Dewa Jubah Biru tersenyum dan berkata, "Kau
hendak menutupi kesalahanmu dengan memaksaku
secara halus seperti itu, atau kau memang hendak
mengatakan yang sebenarnya?"

"Katanya, sesuatu yang disampaikan itu benar
atau salah, orang yang mendengarnya yang dapat dan
harus menilai! Karena bila salah menilai, bisa-bisa
akan menjerumuskannya sendiri!"

Dewa Jubah Biru hanya mengangguk-
anggukkan kepalanya.

Dewi Pengunyah Sirih terdiam sejenak, seperti
mengatur kata-katanya. Dipandanginya kakek yang se-
lalu mengedip-ngedipkan matanya. Sejak pertama kali
mengenal Dewa Jubah Biru, belum pernah sekali pun
Dewi Pengunyah Sirih melihat tindakan yang melen-
ceng dari Dewa Jubah Biru. Dan diyakininya betul hal 
itu, hingga diputuskannya untuk mengatakan apa
yang selama ini disimpan sebagai rahasia.

"Sekitar sebulan yang lalu, aku berjumpa den-
gan Resi Kala Jinjit di Bukit Dedemit. Kala itu, aku ba-
ru kembali dari perjalananku. Pertemuan yang tak
sengaja itu sungguh sangat menggembirakan. Karena
aku memang sudah berniat untuk menyambanginya
ke Perguruan Laba-laba Perak!"

Sampai di sini, Dewi Pengunyah Sirih menghen-
tikan kata-katanya. Perlahan-lahan kepalanya dipa-
lingkan. Dipandanginya kejauhan dengan seksama.

Lalu, "Kulihat juga, betapa gembiranya Resi Ka-
la Jinjit saat berjumpa denganku. Dari percakapan 
kegembiraan dua orang sahabat, aku menangkap sesu-
atu di balik kegembiraannya. Dia seperti menyimpan
satu persoalan yang dipendamnya sendiri. Setelah ku-
bujuk beberapa kali, akhirnya Resi Kala Jinjit mau
mengatakannya."

Dewa Jubah Biru hanya mendengarkan, dibiar-
kan saja si nenek yang selalu mengunyah sirih itu 
terdiam dulu.

"Dan yang dikatakannya, sungguh menge-
jutkan. Dikatakannya, kalau dia menangkap gejala-
gejala di mana hidupnya akan berakhir. Aku tertawa.
Dan kukatakan padanya, kalau itu hanyalah sebuah
perasaan belaka. Tetapi jawabannya kemudian, mem-
buatku tak bisa tertawa dan menganggap apa yang di-
katakannya sebagai gurauan. Resi Kala Jinjit menga-
takan, akan munculnya beberapa orang untuk mem-
balas dendam terhadapnya. Yang baru kuketahui, ka-
lau dia hampir tiga hari sekali mendatangi Bukit De-
demit. Dengan maksud, agar orang-orang yang hendak
membalas dendam padanya, tidak menumpahkan ke-
marahan di Perguruan Laba-laba Perak! Itu menanda-
kan, betapa luhurnya pekerti yang dimilikinya! Dia 
hendak menanggung semuanya seorang diri, dan tak
mau menimpakannya pada murid-muridnya!"

Lagi Dewi Pengunyah Sirih terdiam. Gerakan
mengunyah sirihnya melambat. Tatapan sepasang ma-
tanya kosong, kali ini dia tidak tahu apa yang menarik
perhatiannya untuk ditatap.

Perlahan-lahan dia berkata kembali, "Satu hal
lain yang dikatakannya, dia menangkap gelagat yang
tidak baik di dalam perguruannya."

"Aku tidak mengerti," kata Dewa Jubah Biru untuk 
pertama kalinya.

"Dia merasa pasti kalau ada orang yang me-
nyusup ke dalam perguruannya. Tetapi setiap kali di-
selidikinya, setiap kali pula dia tidak menemukan si-
apa orang itu. Dan satu gelagat lain yang menurutnya 
sangat merisaukan, kalau ada muridnya sendiri yang 
mulai memperlihatkan tindakan mencurigakan. Kendati
diketahuinya, tetapi Resi Kala Jinjit tak berani main 
tangkap sebelum ada bukti. Sebagai seorang sahabat,
kukatakan padanya, aku mau membantu apa saja un-
tuk menolongnya. Paling tidak, menghilangkan keri-
sauan yang ada." 

Dewi Pengunyah Sirih tiba-tiba memalingkan kepalanya. 
Tatapannya tajam pada DewaJubah Biru. 
"Kau tahu apa yang kemudian dikatakannya padaku?" 
Dewa Jubah Biru menggeleng.

"Tidak."

"Dia mengatakan, bila dia tewas... maka ke-
mungkinan besar akan adanya salah seorang murid-
nya yang akan menggantikan kedudukannya."

"Kupikir itu bukanlah masalah yang besar."

"Katanya, bila seseorang belum mengetahui se-
suatu yang pasti, maka dia akan menganggap enteng
satu urusan," ucap Dewi Pengunyah Sirih, bernada sinis,

Dewa Jubah Biru hanya tersenyum.

Dewi Pengunyah Sirih mengarahkan lagi pan-
dangannya ke kejauhan. Lamat-lamat kembali dia be-
rucap, "Apa yang kemudian dimintanya benar-benar 
membuatku terkejut. Dikatakannya, bila dia tewas dan
ada yang menggantikan kedudukannya, aku dimin-
tanya untuk mencuri kalung Laba-laba Perak yang
saat itu menggantung di lehernya. Sebuah benda pu-
saka yang menjadi lambang sahnya seseorang menjadi
Ketua Perguruan Laba-laba Perak."

"Jadi... niatmu untuk mencuri kalung itu atas
usul mendiang Resi Kala Jinjit sendiri?"

"Kau benar! Dia yang memintaku seperti itu!"

"Apakah dia mengatakan alasannya?"

"Resi Kala Jinjit merasakan sesuatu akan terja-
di dan sesuatu yang menohoknya dari belakang akan
dialaminya. Dengan kata lain, bila aku berhasil men-
curi kalung Laba-laba Perak, maka dengan sendirinya
perguruan itu akan bubar."

"Astaga! Sejauh itukah maksud dari Resi Kala
Jinjit?" "Apa yang menjadi tujuannya menurutku 
sebuah tindakan mulia. Dia tidak ingin setelah kema-
tiannya kelak, para muridnya yang akan menanggung
semua tindakannya semasa dia hidup. Diduganya, wa-
laupun dia telah tewas, tetap akan banyak orang-orang 
yang menyimpan dendam padanya akan bermunculan.
Ini memang sebuah tindakan yang penuh keberanian
juga kesedihan. Seperti yang dialami oleh Resi Kala
Jinjit." 

Dewa Jubah Biru tak bersuara. Kini dia mulai dapat 
memahami apa yang Sebenarnya terjadi. 
Kemudian diajukan tanya, "Lantas... apakah memang 
kau yang telah mencuri benda itu dan menimpakan 
tanggung jawab pada Raja Naga?"

"Tidak! Aku bahkan tidak pernah sampai ke 
Perguruan Laba-laba Perak! Sudah sekian lama aku ti-
dak mendatangi tempat itu, hingga aku lupa di mana
tempatnya! Kalaupun kuceritakan aku hendak mencu-
ri kalung Laba-laba Perak pada pemuda bersisik coklat
itu, karena aku tahu siapa dia adanya! Dia tentunya
berpikir keras untuk menemukan jawaban atas uca-
panku!" 

"Secara tidak langsung, kau mengharapkan pemuda itu 
yang akan mencuri kalung Laba-laba Perak
bila kau gagal melakukannya?"

"Tidak salah sama sekali. Tetapi sayangnya,
semua menjadi berantakan seperti ini. Raja Naga telah 
dituduh mencuri benda pusaka milik Perguruan Laba-laba 
Perak dan kini dia diburu oleh para sahabat dekat 
mendiang Resi Kala Jinjit!"

"Kalau begitu, kita harus membantunya guna
memulihkan nama baiknya."

"Katanya, Raja Naga mempunyai kemampuan
tinggi dan otak yang cerdik! Aku merasa pasti, dia dapat 
mengatasi semua ini. Satu hal yang menjadi piki-
ranku sekarang... adalah Datuk Bunaeng...."

Dewa Jubah Biru tak menjawab. Sebenarnya
yang menjadi pusat perhatiannya pun Datuk Bunaeng.
Kakek yang menyimpan bara dendam sepanas api ne-
raka pada Resi Kala Jinjit.

"Aku juga menduga seperti itu. Bahkan, saat ini dia 
telah bersekutu dengan Dewi Berlian...."

Sepasang mata Dewi Pengunyah Sirih seketika
membuka lebar. Gerakan mengunyah sirihnya terhen-
ti. Tatapannya terpaku pada Dewa Jubah Biru. Cukup
lama dia berada dalam ketegangan sekaligus kegera-
man seperti itu sebelum kemudian menghela napas.

"Dewi Berlian.... Katanya, dia juga pernah dikalahkan 
oleh Resi Kala Jinjit. Tak mustahil memang kalau dia 
bersekutu dengan Datuk Bunaeng dan menja-
lankan semua rencana busuk untuk menimpakan ke-
salahan pada Raja Naga."

"Kabar telah kudengar, kalau mereka akan ber-
temu malam ini di Lembah Lingkar."

Kembali sepasang mata si nenek membuka.

"Katanya, Lembah Lingkar adalah sebuah tem-
pat yang sangat mengerikan. Hanya orang-orang nekat
yang datang ke sana. Kau tahu siapa yang mengusul-
kan untuk bertemu di sana?"

"Dewi Berlian."

"Hemmm... jangan-jangan, perempuan mesum
itu mempunyai maksud tertentu terhadap Datuk Bu-
naeng sendiri. Katanya, perempuan itu mempunyai ke-
licikan dan segala cara licik setinggi langit. Dewa Jubah 
Biru, apa yang menjadi pikiranmu sekarang ini?"

"Sejak pertama aku juga memikirkan hal yang 
sama dengan apa yang kau pikirkan. Tak menutup
kemungkinan kalau biang keladi dari semua ini adalah  
Dewi Berlian. Dan tentunya... dibantu orang dalam
mengingat Resi Kala Jinjit mengharapkan kau mencuri
kalung Laba-laba Perak."

"Dia tidak mengatakan seperti itu."

"Ini hanya baru sebuah dugaan. Dan tak menu-
tupi dugaan itu akan menjadi satu kebenaran. Dewi...
apakah tidak sebaiknya kita menuju ke Lembah Ling-
kar sekarang untuk membuktikan semua dugaan?"

"Bagaimana dengan pemuda bersisik coklat
itu?" 

"Seperti katamu tadi, dia memiliki kemampuan tinggi 
dan otak yang cerdik. Mudah-mudahan, dia dapat 
memecahkan segala urusan yang rumit ini."

Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-
lanya. Lalu berkata, "Ya! Kita harus membuktikan 
semua dugaan...."

Bersama Dewa Jubah Biru, Dewi Pengunyah
Sirih segera melangkah menuju ke Lembah Lingkar.

***

TUJUH

MEMASUKI awal malam, Raja Naga tiba di se-
buah hutan yang cukup lebat. Untuk beberapa saat
dipandanginya sekelilingnya. Lalu perlahan-lahan di-
ambilnya sesuatu dari balik pakaiannya. Sebuah ka-
lung berbandul seekor Laba-laba berwarna perak. Di-
pandanginya benda itu penuh kemasygulan, sebelum
dimasukkan lagi ke balik pakaiannya dan memu-
tuskan untuk melewati hutan itu.

Pepohonan tinggi yang tumbuh di sana, laksa-
na puluhan raksasa yang sedang menatapnya. Suara
hewan-hewan malam terdengar, cukup membuat bulu
roma berdiri. Belum lagi suara gagak yang sangat 
tidak enak didengar.

Melewati hutan itu, Raja Naga terus berlari ke
selatan. Dia berharap dapat tiba lebih cepat di Lembah 
Lingkar. Sepanjang dia berlari, dicobanya untuk 
menemukan dua buah pohon bersilangan, sebagai tanda 
dia harus ke kanan untuk tiba di Lembah Lingkar.

Namun mendadak saja larinya dihentikan
tatkala didengarnya teriakan-teriakan keras tak jauh dari sana.

"Sekarang tak ada Dewa Jubah Biru di sini! Tak
ada lagi orang yang akan menolongmu, Lesmana!"

Menyusul suara tadi, satu letupan yang cukup
keras terdengar.

"Ratih! Hingga hari ini aku tetap berusaha un-
tuk mencegah seluruh niatmu dan mengembalikan di-
rimu seperti dulu! Tetapi kau tetap keras kepala!"

"Keinginanku sekarang hanya melihat kau mampus!!"

Di tempatnya Raja Naga mengerutkan kening-
nya. "Hemm.... Lesmana. Ratih. Rasanya... aku 
pernah mendengar kedua namamu. Ah, tentunya dia pe-
muda gagah yang kala itu bersama Dewa Jubah Biru.

Tentunya pula gadis yang bernama Ratih itu adalah
adik seperguruannya. Secara tidak langsung, telah 
kudengar percakapan Dewa Jubah Biru dengan Lesmana.

Di antara kedua saudara seperguruan itu telah terjadi 
silang pendapat. Ah, apakah aku turut membantu
urusan itu, ataukah aku langsung menuju ke Lembah
Lingkar?"

Sementara letupan demi letupan keras terdengar, Raja 
Naga masih berpikir.

"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng akan 
tiba di Lembah Lingkar tepat tengah malam. Menurut
keyakinanku, aku sudah tidak jauh lagi untuk tiba di 
tempat itu. Sebaiknya...."

Memutus ucapannya sendiri, murid Dewa Naga
ini segera berlari ke arah suara-suara keras yang 
terdengar. Lalu dengan gerakan ringan, dia melompat 
ke atas sebuah pohon. Dari tempat yang cukup tinggi 
itu, Boma Paksi dapat melihat bagaimana gadis 
berpakaian kuning itu sedang menyerang Lesmana 
dengan ganas.

Dilihatnya pula kalau si pemuda untuk beberapa lama
hanya bertahan, tetapi kemudian mulai membalas.

"Hemm... ilmu pedang gadis itu sungguh hebat. 
Mengeluarkan cahaya bening yang menggidikkan. 
Tetapi bayangan telapak tangan yang keluar dari 
telapak tangan Lesmana juga mengerikan. Dan nam-
paknya keduanya seolah tidak tahu kalau masing-
masing orang membahayakan satu sama lain."

Letupan keras yang membongkar tanah dan
muncratnya cahaya-cahaya bening itu terjadi bebe-
rapa kali. Tempat itu bergetar. Pohon di mana Raja 
Naga berada, menggugurkan dedaunannya akibat 
getaran hebat itu. Masing-masing orang yang tadi 
melancarkan serangan mundur lima langkah.

Dengan napas agak memburu Lesmana berseru,

"Ratih! Hingga hari ini aku tetap tak mengang-
gapmu sebagai lawanku! Aku hanya mencoba untuk
menyadarkanmu! Tak perlu kau turuti hawa nafsu dan
dendammu! Apalagi tetap menjalankan niat untuk ber-
gabung dengan Datuk Bunaeng!"

Ratih menggeram. Dadanya yang membusung
mengkal turun naik. Dihapus sedikit keringatnya pada 
pelipis kanannya. Dengan suara ketus dia menyahut,

"Lesmana! Hingga hari ini aku tetap mengang-
gapmu sebagai musuhku yang harus kubunuh! Kema-
tian Guru lebih banyak disebabkan karena kepengecu-
tanmu!" 

"Ratih! Urusan itu sudah lama berlalu, dan tak perlu 
diungkit lagi!"

"Aku tak pernah menerima keadaan ini! Bila sa-
ja kau tidak pengecut dan berani untuk menghadapi
Resi Kala Jinjit, mungkin Guru belum tewas!"

"Kalaupun Guru hidup, dia hanya akan me-
nambah petaka di rimba persilatan belaka!"

"Lancang bicaramu, Lemana!"

Lesmana tak peduli. Dia berkata lagi, "Keadaan
seperti itu justru akan membahayakan dirinya sendiri, 
Ratih! Selain akan menimbulkan petaka di bawah ke-
kuasaan Datuk Bunaeng, Guru juga akan mengaki-
batkan kematian demi kematian yang berkepanjan-
gan!" 

"Itu urusannya! Bukan urusanmu!"

"Aku tak melihat itu adalah urusan Guru atau
urusanku! Yang kulihat hanyalah, aku mengetahui
siapa Guru sebenarnya! Keinginanku hanyalah untuk
mengembalikannya ke jalan lurus! Ratih... kau tidak 
melihat bagaimana dengan kejamnya Guru membunuh
Pendekar Sedih! Bahkan sampai hari ini aku tidak ta-
hu sebabnya! Yang mengetahui sebab-sebab itu hanya-
lah seorang, dia adalah Datuk Bunaeng!"

Paras manis yang dimiliki Ratih kian mengke-
lap. Dadanya turun naik dengan napas mendengus-
dengus "Aku akan tetap membalas sakit hati Guru!"

"Ratih! Berulang kali kukatakan, Resi Kala Jin-
jit telah tewas, sementara Perguruan Laba-laba 
Perak telah hancur! Apakah kau masih menden-
dam juga?"

"Aku belum melihat kau mampus! Orang yang
menjadi penyebab kematian Guru!"

Lesmana menahan napas sejenak. Tetapi beru-
saha menjaga kesabarannya

"Ratih... sejak pertama kau sudah kuanggap
sebagai adikku sendiri! Kita sama-sama tak memiliki
siapa pun juga kecuali kita berdua! Dan sebagai seo-
rang kakak, aku berusaha untuk mengembalikan
adikku dari niat busuk dan jurang kesesatan!"

"Huh! Aku tak mempedulikan segala ucapan-
mu, Lesmana!" bentak Ratih ketus. "Dulu aku juga 
menganggapmu sebagai seorang kakak yang melin-
dungiku! Tetapi aku tak pernah merasa mempunyai
seorang kakak yang pengecut, yang membiarkan gu-
runya dibunuh orang! Sebagai seseorang yang meng-
hormati dan menjunjung tinggi nama besar gurunya,
aku akan tetap turun tangan untuk membunuhmu
Lesmana!"

"Ratih..."

"Jangan banyak berucap lagi! Bila kau tidak in-
gin mampus, kau masih kuberi keringanan untuk se-
gera menyingkir dari sini! Dan jangan coba-coba
menghalangi semua keinginanku! Terutama untuk
kembali bergabung dengan Datuk Bunaeng dan mem-
bunuh Raja Naga yang telah mengacaukan semua
urusan!"

Sementara Lesmana mulai kehilangan, rasa
percaya dirinya untuk mengembalikan Ratih ke jalan
yang benar, di atas pohon Raja Naga mendesis pelan,

"Hemm... keadaan yang dialami oleh Lesmana memang 
bukan sesuatu yang mudah. Menurutku, jalan satu-
satunya dia memang harus melepaskan Ratih, mem-
biarkan gadis itu bergabung dengan orang yang diin-
ginkannya! Aku yakin, dia akan dapat mempertim-
bangkan kembali apa yang telah dilakukannya bila su-
dah bersama-sama dengan Datuk Bunaeng!"

Di tempatnya, Ratih sudah menyilangkan sepa-
sang pedangnya.

"Guru menurunkan ilmu pedang pamungkas
padaku! Guru juga menurunkan ilmu 'Telapak Dewa'
padamu! Sekarang, kita adu siapa yang paling hebat
menguasai ilmu-ilmu itu!"

Habis ucapannya, Ratih menggeser kaki ka-
nannya ka belakang. Tubuhnya agak sedikit dibong-
kokkan dengan sepasang pedang yang tetap menyi-
lang. Lesmana menarik napas panjang. Kegelisahan
jelas pada wajahnya yang cukup tampan.

"Dengan cara baik-baik Ratih tak bisa kute-
nangkan. Apakah aku memang harus mempergunakan
kekerasan untuk melunakkannya?" desisnya dengan 
otak berpikir. "Apakah kekerasan akan membuatnya 
menuruti setiap yang kukatakan? Terlalu picik bila
aku tiba pada kesimpulan itu. Bila tidak kulayani, itu 
artinya aku membiarkannya masuk ke jurang kehan-
curan. Sebaiknya...."

Memutus kata-katanya sendiri, Lesmana meng-
angkat kepalanya.

"Ratih! Aku tidak tahu apakah tindakan yang
akan kulakukan ini benar atau tidak! Tetapi satu hal 
yang harus kau pahami betul, kalau aku telah berusaha 
sekuat mungkin agar kau tidak sampai jatuh ke
lembah nista!"

"Tutup mulutmu! Kuperingatkan padamu, aku
akan mempergunakan ilmu 'Pedang Bayangan' pada
tingkat pamungkas! Dan sebaiknya kau juga mengelu-
arkan ilmu 'Telapak Dewa' pada tingkat yang sama!!"

Lagi-lagi Lesmana menarik napas. Ketika dili-
hatnya kedua tangan gadis berpakaian kuning di ha-
dapannya itu bergetar, perlahan-lahan pemuda ini
menahan napas.

"Aku tak menginginkan kejadian ini..."

"Kau inginkan atau tidak... bersiaplah!"

Kejap lain, tak ada yang bersuara. Seiring den-
gan waktu yang terus merambat, ketegangan pun ter-
jadi. Ratih memandang tajam. Sorot matanya dipe-
nuhi binaran kebencian dan kemarahan. Di pihak lain, 
Lesmana hanya memandang penuh penyesalan. Di
atas pohon, Raja Naga memperhatikan dengan seksa-
ma. Tanpa terasa perasaannya menjadi tegang.

"Hemm... tentunya ilmu-ilmu yang akan mas-
ing-masing perlihatkan sungguh dahsyat! Kutunggu
saja apa yang akan terjadi sebelum kuputuskan untuk
bertindak."

Ratih menggeram keras.

"Bersiaplah!"

Bersamaan gelegar seruannya, tubuhnya mele-
sat cepat. Tangan kanan kirinya menyabetkan sepa-
sang pedangnya. Gemuruh angin yang menerbangkan
tanah dan ranggasan semak belukar menggebrak, dis-
usul dengan cahaya-cahaya bening yang menyilaukan
mata bermuncratan.

Gebrakan yang dilakukan Ratih hanya dihinda-
ri saja oleh Lesmana. Tindakan pemuda itu Justru
membuat Ratih menjadi geram. Dengan melipat gan-
dakan tenaga dalamnya, dipukulkan pedangnya ke pe-
dang yang lain. Terjadi perubahan dahsyat pada ca-
haya-cahaya bening itu.

Traaang!

Begitu pedangnya berbenturan, serta-merta,
memercik cahaya merah yang pekat. Menyusul mende-
runya cahaya-cahaya bening yang menebar laksana
hujan! Wajah Lesmana sedikit pucat. Saat itu pula 
ditepukkan kedua tangannya, yang kemudian diputar ke
dalam. Dan dalam kejapan mata yang bersamaan, ke-
dua tangannya didorong ke depan!

Seketika menghampar cahaya yang membentuk
dua telapak tangan yang kemudian menyebar mem-
besar. Gemuruh angin yang mendahului membuat
tempat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar.

Jlegaaarr!!

Bertemunya cahaya-cahaya bening yang mem-
besar dengan bayangan dua telapak tangan yang
membesar itu, membuat tempat itu bergetar hebat;
Tanah ditingkahi dengan ranggasan semak belukar
yang seketika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul 
suara berdebam berkali-kali.

Di tempatnya, Raja Naga mendesis kaget.

"Astaga! Pohon ini pun bergetar hebat! Gila! 
Sebagian dedaunannya berguguran!"

Masing-masing orang yang melancarkan seran-
gan surut beberapa langkah ke belakang. Ratih berte-
riak sesaat sambil menjejakkan kedua kakinya di atas 
tanah. Menahan goyahan tubuhnya. Kedua tangannya
bergetar dan terasa ngilu. Tetapi di lain saat, gadis ini 
sudah berteriak setinggi langit.

Lalu melesat ke depan!

Sepasang mata Lesmana yang belum dapat me-
nguasai keseimbangannya, membelalak lebar. Dia tak
bisa berpikir lebih lama kecuali melipatgandakan tena-
ga dalamnya lagi untuk melancarkan Ilmu 'Telapak De-
wa'!

Namun sebelum benturan yang lebih mengeri-
kan terjadi, mendadak sontak terdengar suara deha-
man yang cukup keras, disusul gemuruh angin lintang
pukang yang disemburati sinar merah.

Dehaman yang mengandung kekuatan tinggi
itu, memecahkan gemuruh angin yang keluar dari se-
rangan Ratih maupun serangan Lesmana. Sementara
gemuruh angin lintang pukang yang disemburati sinar
merah, melesat tepat sebelum cahaya-cahaya bening
dan bayangan telapak tangan yang semakin membesar
bertemu.

Jlegaaar...!!

Apa yang terjadi kemudian lebih mengerikan
dari sebelumnya. Tempat itu benar-benar sudah dilan-
da kiamat kecil. Tanah membuyar setinggi tiga tombak.

Beberapa buah pohon bertumbangan dan menimbul-
kan suara bergemuruh. Mendadak dari gumpalan ta-
nah yang membuyar tinggi itu melesat satu bayangan
kuning yang tak bisa menguasai keseimbangannya.

Dan terbanting deras di atas tanah, bertepatan
dengan melesatnya satu bayangan lagi yang juga ter-
banting keras!

Baik Ratih maupun Lesmana yang sama-sama
terbanting itu berusaha untuk berdiri. Untuk beberapa 
saat masing-masing orang seperti melupakan sakit pa-
da tubuh mereka. Keduanya sama-sama bertanya-
tanya, siapakah orang yang berani menahan serangan
mereka satu sama lain. Tak jauh dari Lesmana dan
Ratih berdiri, kedua pedang milik Ratih telah amblas di
atas tanah dan yang nampak hanya hulunya saja!

"Gila! Siapa orang yang mau mampus berani
menahan seranganku dan serangan Lesmana?!" 
desis Ratih dengan aliran darah yang kacau. Bahkan 
tanpa sadar tubuhnya menggigil keras. "Dehaman yang 
keras tadi jelas kalau itu dilakukan oleh seseorang!"

Di pihak lain, Lesmana juga mendesis dengan
sekujur tubuh yang terasa ngilu.

"Orang itu mencari mati rupanya, karena mela-
kukan satu kenekatan yang sangat mengerikan. Ten-
tunya dia sudah mati sekarang. Hanya karena tanah
itu masih belum sirap, mayatnya belum kelihatan.
Ah... dia melakukan satu perbuatan yang sia-sia...."

Masing-masing orang seperti melupakan uru-
san yang mereka alami. Terutama gadis berkuncir dua
yang masih tak mengerti siapakah orang yang berani
lancang menahan serangannya dan serangan Lesma-
na. Karena siapa pun orangnya, kecuali memiliki ilmu 
yang sangat tinggi, dia bukan hanya akan putus nyawa!
Tetapi tubuhnya akan menjadi serpihan.

Sementara itu, diam-diam Lesmana berdoa,
agar kiranya orang yang tadi menahan serangannya
dan serangan Ratih dalam keadaan selamat. Tetapi
Lesmana sendiri tak berani berharap banyak. Karena
dia tahu apa akibatnya bila seseorang berani menahan 
Ilmu 'Pedang Bayangan' dan 'Telapak Dewa' dalam
waktu yang bersamaan!

Dengan perasaan tegang, ditunggunya sampai
tanah yang masih mengepul di udara itu sirap. Di se-
berang, Ratih sendiri juga melakukan hal yang sama.

Perlahan-lahan tanah itupun mulai sirap. Perla-
han-lahan nampak satu bayangan yang berdiri gagah,
yang semakin lama semakin memperlihatkan wujud-
nya secara jelas.

Satu sosok tubuh berompi ungu, dengan kedua
tangan sebatas siku dipenuhi sisik coklat yang dilipat 
di depan dada, berdiri dengan gagah. Tubuhnya 
sedikit dipenuhi tanah. Rambutnya pun agak kotor. 
Dan sorot matanya angker!

***

DELAPAN

SEBELUM kita mengikuti kejadian itu, sebaik-
nya kita lihat dulu apa yang dilakukan oleh Jala 
Sringgil dan Kala Sringgil. Setelah memutuskan 
untuk meninggalkan Raja Naga, kedua lelaki ber-
kepala gundul ini terus bergerak ke arah timur.

Sambil berlari Jala Sringgil berkata, "Kau yakin 
kalau Musang Berjenggot mau membantu kita?" 

Kala Sringgil menganggukkan kepalanya.

"Satu-satunya orang yang dapat kita mintai
bantuan adalah Musang Berjenggot!"

"Rasanya mustahil kalau Musang Berjenggot ti-
dak mendengar kematian Resi Kala Jinjit!"

"Kalau dia sudah mendengar hal itu, malah le-
bih bagus! Itu artinya, akan mempermudah kita untuk
meminta bantuannya! Jala Sringgil, kita tidak tahu
siapakah orang yang telah menghalangi seranganku
dan seranganmu terhadap Raja Naga! Tetapi satu hal
yang perlu kita perhatikan, tanpa adanya orang yang
mematahkan serangan kita itu, sulit rasanya mengha-
dapi Raja Naga!"

"Kau benar!" sahut Jala Sringgil sambil melom-
pati akar melintang. "Kesaktian yang dimiliki pemuda 
bersisik pada kedua tangannya sebatas siku itu, 
memang sangat tinggi! Bahkan boleh dikatakan kita 
bukanlah tandingannya!"

"Itu artinya, kita dapat meminta bantuan Mu-
sang Berjenggot! Dia adalah adik seperguruan dari 
Resi Kala Jinjit! Tetapi seperti layaknya seekor musang,
Musang Berjenggot yang tidak kita ketahui siapa nama 
aslinya, lebih banyak berdiam diri! Atau boleh dikatakan 
bersembunyi!"

"Dan bila memang dia telah mendengar kema-
tian Resi Kala Jinjit, mengapa dia tidak muncul?"

"Seperti yang kukatakan tadi, dia lebih suka
berada dalam tempat yang sunyi!"

"Menurutmu... apakah dia juga sudah menden-
gar kejadian buruk di Perguruan Laba-laba Perak?"

"Rimba persilatan ini bukanlah tempat yang te-
pat untuk menyembunyikan sesuatu! Kabar dengan
cepat akan meluas dan aku yakin, dia juga telah men-
dengarnya! Dan ini artinya, akan mempermudah kita
untuk meminta bantuannya! Sungguh keterlaluan bila
dia tidak mau turun tangan!!"

Tak ada lagi yang bersuara. Kedua orang itu te-
rus berlari sampai kemudian menghentikan lari mas-
ing-masing tatkala menangkap satu bayangan hitam
tak jauh dari sana.

"Segara Mungkil!" desis Jala Sringgil. Pada saat 
yang bersamaan, Kala Sringgil juga berseru, 
"Pendekar Kaki Satu!"

Orang yang mereka lihat itu mendengar seruan
masing-masing orang. Serta-merta lelaki berpakaian
hitam yang kaki kanannya buntung itu menghentikan
langkahnya. Begitu melihat siapa adanya orang, se-
nyuman lebar segera terpampang.

Masih tersenyum lelaki yang kaki kanannya
buntung dan memakai sebuah tongkat sebagai pe-
nyanggah ini mendekat.

"Jala Sringgil dan Kala Sringgil! Tak kusangka
kalau kita akan berjumpa di sini!"

Baik Jala Sringgil maupun Kala Sringgil sama-
sama tersenyum. Kala Sringgil berkata, "Ada 
urusan apa kau sampai meninggalkan Bukit Manunggal?"

Ditanya seperti itu, Segara Mungkil atau yang
berjuluk Pendekar Kaki Satu menyeringai. Lalu berka-
ta, "Kalian sendiri mengapa meninggalkan Pantai Tidar 
Kemala?"

Kala Sringgil tertawa.

"Kau memang selalu balik bertanya jika di-
tanya! Hemm... apakah kau sudah mendengar tentang
kematian Resi Kala Jinjit?"

"Aku sudah mendengarnya."

"Juga tentang dicurinya kalung Laba-laba Pe-
rak oleh...."

"Raja Naga!" putus Pendekar Kaki Satu sedikit geram. 
"Ya! Aku sudah mendengarnya! Bahkan belum lama ini, 
aku baru saja mencoba untuk menangkapnya
untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan! Te-
tapi pemuda dari Lembah Naga itu menolak hingga
kuputuskan untuk membunuhnya! Hanya saja... aku
gagal melakukannya..."

Kala Sringgil melirik Jala Sringgil yang juga se-
dang meliriknya.

"Beberapa hari lalu, kami pun baru bertarung
dengannya untuk meminta pertanggung jawabannya
atas perbuatan terkutuk yang dilakukannya! Tetapi...
kami juga gagal melakukannya!"

"Ah, siapa nyana ternyata kalian juga sudah tu-
run tangan untuk menghentikan sepak terjang gila da-
ri Raja Naga! Kuakui terus terang, kemampuannya
memang sungguh luar biasa!"

"Lantas... perjalanan ke mana yang sedang kau
lakukan sekarang?"

Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Diin-
gatnya bagaimana Raja Naga terlepas dari tangannya.

Kemudian diangkat kepalanya. Ditatapnya kedua lelaki 
berkepala plontos di hadapannya.

"Setelah aku gagal menangkapnya. aku mulai
berpikir keras untuk meminta bantuan seseorang! Dan
pikiranku tiba pada seseorang yang kuanggap mau
membantuku!"

"Siapakah orang yang kau maksud?" tanya Jala Sringgil.

"Musang Berjenggot!"

"Heiii!!" Jala Sringgil berseru, Lalu tertawa.

"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kita sama-sama 
pernah mencoba untuk menangkap Raja Naga, tetapi sa-
ma-sama mengalami kegagalan! Dan sekarang... kita
juga punya tujuan yang sama!"

"Astaga! Jadi kalian hendak menemui Musang
Berjenggot pula?!"

"Demikianlah keadaannya!"

"Sungguh sebuah perjumpaan yang mengun-
tungkan! Walaupun kabar telah kudengar kalau Raja
Naga banyak melakukan kebaikan dengan menghenti-
kan se-pak terjang orang-orang berhati busuk, tetapi 
indakan yang dilakukannya terhadap Perguruan Laba-
laba Perak tak bisa dimaafkan!"

"Kau benar! Kami sendiri belum puas bila be-
lum melihatnya diadili oleh Pengadilan Rimba 
Persilatan!" 

"Memang, seseorang yang telah berada di puncak 
ketenarannya, suatu saat akan melakukan satu
tindakan yang akan meruntuhkan namanya sendiri.
Mungkin ini disebabkan oleh kesombongan yang me-
mang dimiliki oleh Raja Naga. Dia masih muda, dan
tentunya mudah goyah. Padahal sebagai seseorang
yang julukannya ramai dibicarakan orang karena tin-
dakannya menghentikan sepak terjang orang-orang
terkutuk, seharusnya dia memiliki ketenangan yang
benar-benar harus dipertahankan...."

"Tetapi terlepas dari semua itu, kini pemuda itu 
adalah orang yang harus ditangkap! Atau dibunuh!
Tindakannya telah mengotori rimba persilatan!" sahut 
Kala Sringgil geram.

Pendekar Kaki Satu menganggukkan kepa-
lanya. "Ya! Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan 
oleh Dewa Naga bila dia mendengar tindakan yang 
dilakukan muridnya itu!"

"Pendekar Kaki Satu... ada satu masalah yang
harus dibicarakan di sini...."

Lelaki berkaki kanan buntung itu menatap Kala
Sringgil.

"Katakan...."

Kala Sringgil segera menceritakan peristiwa te-
rakhir yang dialami saat mencoba menangkap Raja Na-
ga. Jala Sringgil pun memperkuat cerita itu.

Di tempatnya Pendekar Kaki Satu mengerutkan
kening. "Kalian tidak tahu siapa orang yang telah 
menghalangi serangan kalian itu? Yang dengan kata
lain telah membantu Raja Naga?"

Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil meng-
gelengkan kepalanya. Pendekar Kaki Satu tak berkata
apa-apa. Untuk beberapa lama keadaan sunyi. Masing-
masing orang direjam pikiran sendiri-sendiri. Malam
terus beranjak perlahan-lahan.

Tiba-tiba Pendekar Kaki Satu berkata, agak me-
ragu, "Apakah orang yang telah membantunya itu 
adalah kaki tangannya?"

"Kaki tangannya? Maksudmu... dia... tidak
mungkin!" sahut Jala Sringgil. "Bila melihat k
ebiasaan lama, seorang kaki tangan biasanya tak 
lebih pandai dari orang yang dianggap sebagai 
ketuanya."

"Maksudmu... orang yang entah siapa menye-
rang kalian itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari 
Raja Naga?"

"Itulah yang bisa kami nilai!"

"Kalau begitu...." Pendekar Kaki Satu tak segera 
meneruskan ucapannya. Keningnya berkerut pertanda
dia sedang berpikir. Lamat-lamat dilanjutkan ucapan-
nya, kali ini bernada geram, "Orang itu... tentunya 
adalah orang yang dihormati oleh Raja Naga!"

"Astaga!" seruan kaget itu terdengar dari mulut Jala 
Sringgil dan Kala Sringgil. Masing-masing orang menatap
tak berkedip pada Pendekar Kaki Satu.

Dengan terbata dan mata membeliak, Jala
Sringgil berkata, "Maksudmu..Dewa Naga?"

"Siapa lagi orangnya yang dihormati oleh Raja
Naga selain gurunya sendiri?"

Sahutan Pendekar Kaki Satu membuat mulut
keduanya seperti terkunci. Bahkan tanpa disadari, 
ubuh keduanya menggigil. 

Menghadapi Raja Naga saja mereka sudah kalang 
kabut, apalagi bila memang Dewa Naga-lah orang 
yang berada di balik tindakan Raja Naga! Tetapi 
kata-kata Pendekar Kaki Satu kemudianmembuat 
keduanya sedikit tenang, "Dewa Naga adalah 
sahabat guruku. Selama ini aku memang belum 
pernah berjumpa dengannya kecuali mendengar 
cerita dari guruku tentang sepak terjangnya. Kendati, 
memiliki sifat angin-anginan yang sulit ditebak, 
tetapi Dewa Naga adalah orang golongan lurus."

"Berarti kau menyangsikan sendiri dugaanmu?"
tanya Jala Sringgil bernapas lega.

Pendekar Kaki Satu mengangguk.

"Kalau begitu, siapakah orang yang berada di
balik Raja Naga?"

Pendekar Kaki Satu menggeleng.

"Keadaan seperti ini memang sangat sulit sekali 
dapat kita pahami. Memahami tindakan Raja Naga 
saja pun aku tidak bisa. Banyak pertanyaan di benakku
yang tumpang tindih. Keherananku pun rasanya kian
bertambah melihat perbuatan buruk Raja Naga. Tetapi
pada kenyataannya, kita memang tak perlu lagi me-
musingkan segala macam pertanyaan yang ada. Ka-
rena saat ini, Raja Naga jelas-jelas telah melakukan 
tindakan busuk."

"Berarti... kita belum mendapatkan jawaban
siapakah orang yang telah menghalangi serangan kami
pada Raja Naga."

"Jawaban itu dapat kita cari kemudian dan se-
baiknya memang dikesampingkan dulu. Yang pasti, ki-
ta akan berhadapan dengan orang yang lebih tinggi il-
munya."

"Mungkin orang itu hanya bisa dihadapi oleh
Resi Kala Jinjit bila dia masih hidup."

"Tetapi dia sudah tewas, dan kita belum menge-
tahui siapa pembunuhnya."

"Kami menduga, Raja Naga-lah yang telah me-
lakukan tindakan keji itu," kata Kala Sringgil.

"Dan itu artinya, dia memang harus mampus!"
sambung Jala Sringgil sambil mengepalkan tangannya
kuat-kuat.

Kembali tak ada yang membuka suara. Masing-
masing orang berusaha untuk menemukan jawaban
demi jawaban yang memang sukar sekali ditemukan.

Untuk beberapa saat keheningan terjaga, hanya desir
angin yang menggeresek dedaunan yang terdengar.

"Sebaiknya...," terdengar kata-kata Pendekar Kaki 
Satu, "Kita kesampingkan dulu tentang Raja Na-
ga. Kebulatan tekad kita untuk membawanya pada
Pengadilan Rimba Persilatan harus kita lakukan. Dan
satu-satunya cara kita memang harus bersatu untuk
menangkapnya."

"Ya! Kau benar! Sebaiknya kita segera menjum-
pai Musang Berjenggot!" kata Jala Sringgil.

Usulnya itu disetujui. Tak lama kemudian, ke-
tiganya sudah meninggalkan tempat itu. Di hati mas-
ing-masing orang, hanya ada satu keinginan. Menang-
kap Raja Naga dan melihatnya mati, karena telah men-
coreng aib di perguruan Laba-laba Perak! Perguruan
yang telah dibina oleh sahabat mereka yang telah te-
was. Bahkan, bukan hanya mereka yang tidak tahu
siapa pembunuh Resi Kala Jinjit!

***

SEMBILAN

ASTAGA!" seruan kaget itu sama-sama keluar
dari mulut Ratih dan Lesmana. Masing-masing orang
mundur satu langkah dengan kepala menegak. Sosok
yang berdiri angker itu tersenyum.

"Maafkan tindakanku yang mengganggu kea-
syikan kalian," kata Raja Naga penuh wibawa. "Tetapi, 
apa yang kulihat tadi, sungguh sesuatu yang sangat
mengerikan. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi di
antara kalian...."

Lesmana yang masih tertegun menyaksikan so-
sok yang diduganya telah mati itu, mendesis pelan,
"Boma Paksi....".

Di pihak lain, Ratih memicingkan matanya. Ga-
dis ini seolah melupakan rasa sakit pada sekujur tu-
buhnya. Mendadak kedua matanya membuka lebar.
Menyusul desisannya, "Raja Naga!"

Boma Paksi tersenyum pada Ratih.

"Ratih... apa yang telah dilakukan oleh Lesma-
na, menurutku adalah satu tindakan yang mulia! Te-
tapi, semuanya kembali kepadamu bagaimana cara
kau menyikapinya! Hanya saja, aku juga berharap,
agar kau mengurungkan semua niat yang telah terjalin 
di hatimu! Untuk membalas dendam maupun untuk
bergabung dengan Datuk Bunaeng!"

Kemarahan gadis berpakaian kuning ini mun-
cul kembali. Ditatapnya pemuda berompi ungu itu un-
tuk beberapa lama.

"Huh! Kabar yang kudengar kalau orang yang
berjuluk Raja Naga adalah orang yang berada di jalan 
lurus! Tetapi pada kenyataannya, hanyalah seorang
pengecut yang hanya berani melakukan satu pencu-
rian tanpa berani mempertanggungjawabkan perbua-
tannya!"

"Apa yang kau katakan itu, tak bisa kubantah!
Karena bila kulakukan pun kau tetap tak akan mem-
percayainya! Hanya yang kuinginkan sekarang, agar
kau menghentikan semua niatmu, Ratih!"

"Seorang pengecut hanya berani berucap untuk
menutupi kepengecutannya! Gara-gara tindakanmu
seluruh rencana Datuk Bunaeng menjadi gagal!"

"Kau begitu menyesali nampaknya!"

"Karena aku tak sudi seseorang menggagalkan
rencana orang yang kuhormati!"

"Sejak tadi kau hanya mengatakan kalau Setan
Bayangan adalah orang yang paling kau hormati lan-
tas, mengapa kau mengatakan kalau kau juga meng-
hormati Datuk Bunaeng?!"

"Karena guruku adalah sahabatnya! Dan aku
patut menghormatinya!"

"Kau menghormati Setan Bayangan karena dia
adalah gurumu, Ratih! Dan kau menghormati Datuk
Bunaeng hanya karena dia seorang sahabat gurumu?
Ratih... aku telah mengetahui keadaanmu dan Les-
mana! Setan Bayangan hanyalah menjadi seorang pe-
suruh belaka dari Datuk Bunaeng, yang memerintah-
kannya untuk membunuh Pendekar Sedih! Apakah
kau patut menghormati orang yang telah menyuruhmu
melakukan tindakan keji?"

"Raja Naga! Apa pun yang dilakukan oleh guru-
ku bukanlah urusanmu! Yang pasti, guruku telah te-
was dibunuh oleh Resi Kala Jinjit!"

"Resi Kala Jinjit melakukannya hanya melak-
sanakan kewajibannya untuk menghentikan tindakan
makar gurumu! Bahkan bukan hanya yang dilakukan
oleh gurumu! Siapa pun yang telah melakukan tinda-
kan keji, tentunya tak luput dari tindakannya!"

Wajah Ratih memerah.

"Dan aku tak pernah memaafkan tindakan-
nya!!" Raja Naga tersenyum.

"Bagaimana dengan tindakan gurumu yang te-
lah membunuh Pendekar Sedih? Apakah kau bisa
memaafkannya?!"

Kali ini Ratih tak bersuara. Lesmana yang
memperhatikan diam-diam berkata dalam hati, 
"Ah, seperti itulah inti yang harus kukemukakan...."

Karena tak mendapati jawaban si gadis, Raja
Naga berkata lagi, "Mungkin saat ini, ada orang 
yang menangisi kematian Pendekar Sedih, mungkin 
juga tidak. Mungkin ada pula orang yang mendendam 
pada gurumu, Setan Bayangan, mungkin juga tidak. 
Kematian Pendekar Sedih di tangan gurumu, lantas
 kematian gurumu di tangan Resi Kala Jinjit, merupakan 
sebuah rangkaian yang memang harus terjadi! Ratih...
kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah kau
juga mau memaafkan tindakan gurumu yang telah
membunuh Pendekar Sedih bila saat ini dia masih hi-
dup? Atau kau akan diam saja membiarkannya mela-
kukan tindakan seperti itu?"

Lagi-lagi Ratih tak menjawab. Wajahnya yang
dipenuhi amarah dan ketegangan, perlahan-lahan me-
redup. Matanya sesekali mengerjap. Sesuatu yang se-
lama ini tak disadarinya mulai naik ke permukaan.

Tetapi mendadak dia berseru, "Raja Naga! Kau
tidak tahu sebab-sebab guruku membunuh Pendekar
Sedih! Mungkin Pendekar Sedih adalah seseorang yang
telah banyak melakukan perbuatan dosa dan guruku
kemudian menghukumnya!"

"Lantas bagaimana dengan gurumu sendiri
yang jelas-jelas telah melakukan tindakan keji pada
Pendekar Sedih? Apakah tidak patut dihukum? Atau
memang seharusnya dibiarkan!"

"Itu urusan guruku!"

"Bukan urusan gurumu, Ratih! Karena bila me-
mang itu urusan gurumu, sudah seharusnya kau tidak
mencampurinya! Kau tak perlu mendendam pada Les-
mana yang kau katakan seorang pengecut! Padahal
apa yang dilakukannya adalah sebuah tindakan yang
benar!" "Jangan bicara lagi!" bentak Ratih keras, 
tetapi suaranya mulai bergetar.

Raja Naga terus berbicara, "Orang yang seha-
rusnya bertanggung jawab dalam urusan ini adalah
Datuk Bunaeng! Dengan kata lain, gurumu hanyalah
kaki tangannya belaka yang menjalankan seluruh
keinginannya! Keinginan membunuh Pendekar Sedih
dapat kuyakini kalau bukan keinginan gurumu, tetapi
keinginan Datuk Bunaeng yang memerintahnya! Jadi
dalam hal ini, Datuk Bunaenglah yang harus bertang-
gung jawab!"

Untuk kesekian kalinya Ratih terdiam. Wajah-
nya perlahan-lahan membiaskan ketegangan kembali.
Kalau sebelumnya ketegangan itu menandakan kema-
rahannya, tetapi kali ini justru menampakkan kebin-
gungannya.

Raja Naga menghentikan ucapannya. Dibiarkan
gadis itu yang memikirkan setiap ucapannya tadi. Di-
yakininya kalau gadis itu memang memiliki tabiat
baik, tetapi hanya karena dendam yang bermula dari
silang pendapatlah yang membuatnya menjadi sedemi-
kian ganas dan keras kepala.

Sementara itu, melihat adik seperguruannya
seperti merenungi kata-kata pemuda yang kedua len-
gannya sebatas siku bersisik coklat, Lesmana segera
berkata, "Ratih... apa yang dikatakan Raja Naga san-
gatlah benar sebenar-benarnya. Dalam urusan ini kita 
bukan melihat keadaan Pendekar Sedih maupun kea-
daan Guru. Tetapi, orang yang telah memerintah Guru
untuk melakukan tindakan keji itu. Dapat kupahami
kalau Guru melakukan tindakan keji itu semata takut
pada orang yang memerintahnya...."

Ratih melirik. Sorot matanya berubah tajam kembali.

"Bagaimana dengan kau sendiri yang telah 
menjadi pengecut seperti itu, hah?! Kau sekarang da-
pat membela diri karena merasa mendapat teman yang
mampu membuatmu bertahan!"

Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ratih.... Datuk Bunaenglah yang harus mem-
pertanggungjawabkan semua ini. Dan sungguh meng-
herankan bila ternyata kau berkeinginan untuk berse-
kutu dengannya."

Kendati sorot matanya tetap tajam, Ratih tak
bersuara. Dadanya bergerak turun naik. Perasaannya
mulai dimasuki sesuatu yang membuatnya menjadi re-
sah sendiri.

Lesmana berkata lagi, "Terlepas dari semua 
yang dikatakan oleh Raja Naga dan aku tadi, semua-
nya kembali pada dirimu sendiri, Ratih. Hanya kaulah
yang bisa menyikapi keadaan ini sebelum kau masuk
ke jurang kesesatan,..."

Kegelisahan gadis manis itu semakin memun-
cak. Kepalanya menggeleng-geleng resah dengan mata
yang berulangkali mengerjap. Raja Naga melangkah
mendekatinya.

"Urusan ini memang tidak mudah. Karena
kembali pada diri kita masing-masing. Hanya yang per-
lu ditekankan di sini, keadaan akan semakin menjadi
berantakan bila kita tidak menggabungkan akal piki-
ran kita untuk menindih amarah. Ratih... berpikirlah 
sekali lagi. Bila kau memang masih menganggap pera-
saanmu yang pertama itu sebuah kebenaran, tak ada
salahnya bila kau melakukannya. Mungkin dengan ca-
ra seperti itu, kau akan bisa merasa puas untuk mem-
buktikan semuanya. Dan mengenai tuduhan yang te-
lah melekat pada diriku, kukatakan itu adalah sebuah 
kesalahan besar. Aku tidak pernah mencuri kalung
Laba-laba Perak. Tetapi, kuceritakan pun tak ada gu-
nanya...."

Gadis berkuncir dua itu perlahan-lahan men-
gangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan mata
angker Raja Naga. Kalau sebelumnya Ratih sempat
menundukkan kepalanya, tetapi kali ini dia seperti
menangkap sebuah pesona yang mendadak masuk ke
perasaannya. Diusahakan untuk menepiskannya, te-
tapi semakin dia berusaha, semakin kuat pesona yang
terpancar itu.

Tiba-tiba dia mendesah pendek.

"Aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa
yang salah."

"Dalam hal ini, tak ada yang benar atau yang
salah. Tetapi yang pasti, Datuk Bunaeng adalah orang 
di balik semua ini. Seperti yang kudengar dari Dewi
Berlian, kalau dia telah merencanakan tindakan makar
untuk menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak.

Satu hal lain, Dewi Berlian juga mengatakan, kalau
Datuk Bunaeng mendendam padaku."

"Mengapa?"

"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng mem-
punyai seorang saudara yang berjuluk Ratu Sejuta Se-
tan, yang beberapa waktu lalu harus kuhentikan sega-
la tindakan kejinya dengan memperalat seorang gadis
yang sebelumnya murid dari seorang tokoh keji ber-
nama Dadung Bongkok. Gadis itu berjuluk Ratu Tanah
Terbuang yang telah dimasukkan dengan pendapat ke-
ji tentang diriku. Dan menurut Dewi Berlian, Datuk
Bunaeng telah merencanakan semua ini untuk mence-
lakakanku...."

Untuk beberapa lama tak ada yang membuka
suara. Baik Ratih maupun Lesmana sama-sama mena-
tap Raja Naga. Sementara itu, dengan sesekali melirik 
adik seperguruannya, Lesmana membatin, "Nampaknya 
kekerasan dan kemarahan Ratih mulai melemah.

Dia mulai kembali ke sifat aslinya. Ah, bagaimana caraku 
untuk berterima kasih pada Raja Naga?"

Terdengar suara Ratih, "Raja Naga... dari apa
yang kau katakan barusan, aku menangkap sedikit ke-
janggalan."

"Tentang apa?"

"Sebelum ini aku telah bergabung dengan Da-
tuk Bunaeng yang menyambut kehadiranku dengan
penuh suka cita mengingat aku adalah murid Setan
Bayangan, hingga dia tak sungkan untuk mencerita-
kan seluruh rencananya padaku. Tak pernah disebut-
sebutnya julukan Ratu Sejuta Setan. Bahkan tak per-
nah disinggungnya keinginannya untuk mencuri ka-
lung Laba-laba Perak dan menimpakan kesalahan itu
kepadamu!"

Raja Naga tak menjawab. Keningnya sejenak
berkerut memikirkan apa yang dikatakan Ratih.

Gadis itu melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak
tahu apakah Datuk Bunaeng memang menutupi sesu-
atu atau tidak. Tetapi sekarang, aku hendak mencari
Datuk Bunaeng untuk menanyakan kebenaran dari
ucapanmu...."

Pemuda dari Lembah Naga itu menarik napas
pendek. Diam-diam dia membatin, "Menurut Dewi 
Berlian, Datuk Bunaeng akan berada di Lembah 
Lingkar malam ini. Bila kukatakan soal itu pada Ratih, 
dapat kupastikan kalau dia akan berangkat ke sana. 
Ini lebih berabe. Mengingat saat ini nampaknya Ratih 
mulai dapat memahami apa yang terjadi. Sebelumnya 
dia punya niatan untuk bergabung dengan Datuk Bu-
naeng. Dan sekarang dia punya niatan untuk bertanya
pada Datuk Bunaeng tentang keadaan yang sebenar-
nya. Bisa kupastikan kalau Datuk Bunaeng tanpa me-
ragu akan menjawab apa adanya. Itu artinya, justru
akan membuat bibit dendam di hati gadis itu akan be-
ralih pada Datuk Bunaeng. Dengan begitu, artinya aku 
tak mampu membawanya pada kebenaran. Hemm...
sebaiknya tak perlu kukatakan."

Raja Naga sesaat terdiam, mempertimbangkan
apa yang dipikirkannya. Di lain saat, sambil meman-
dang pada gadis berkuncir dua itu, dia berkata, "Ya!
Mungkin kau harus mencari Datuk Bunaeng untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya! Dan kuminta
kau dapat menyikapinya dengan lebih baik apa pun
yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng!"

Ratih memandang pemuda di hadapannya den-
gan seksama.

"Sorot matanya begitu angker, tetapi dia memi-
liki hati yang lembut."

Raja Naga berkata pada Lesmana, "Lesmana...
kau temani adik seperguruanmu itu...."

Sejenak Lesmana kelihatan meragu. Ditatapnya
pemuda berompi ungu itu yang sedang menunggu ja-
wabannya. Perlahan-lahan Lesmana melirik Ratih, Dan
dia tercekat tatkala melihat Ratih menganggukkan ke-
pala sambil tersenyum, pertanda dia setuju akan usul 
Raja Naga. Pemuda gagah ini menghela napas lega.

Lalu dirangkapkan kedua tangannya di depan
dada dan berkata hormat pada Raja Naga, "Aku tidak 
tahu bagaimana caraku untuk berterima kasih padamu. 
Hampir tujuh bulan lamanya aku berusaha untuk
menyadarkan Ratih, menyadarkan kesalah pahaman-
nya dalam urusan ini. Tetapi malam ini, kau dengan
mudah melakukannya. Karena kau menemukan inti
dari permasalahan ini."

"Tak perlu dipikirkan soal itu. Yang telah kau
lakukan adalah sesuatu yang hebat. Kau masih dapat
menahan amarahmu menghadapi adik seperguruanmu
itu. Itu tandanya kau lebih bijak dari apa yang kau 
rasakan sebenarnya."

Mendengar kata-kata itu, Lesmana tersenyum.

"Aku bersyukur bisa berjumpa dengan Raja Naga..." 

"Sebaiknya, kau temani adik seperguruanmu itu...." 

"Kakang Lesmana! Apakah kau masih hendak 
berdiam di sini lebih lama?!" terdengar suara Ratih.

Lesmana tertawa. Cara Ratih memanggilnya ta-
di, seperti tujuh bulan yang lalu.

"Ya, ya! Kita berangkat sekarang!"

"Lesmana... ajak dia menjauh sejauh-jauhnya.
Usahakan agar dia tidak mengingat tentang Datuk Bu-
naeng...."

"Mengapa kau memintaku berbuat demikian?"

"Untuk saat ini, aku hanya ingin mendengar
kabar yang enak tentang Ratih. Seperti yang kita keta-
hui, kalau Datuk Bunaeng adalah orang di belakang
gurumu yang telah memerintahkannya untuk membu-
nuh Pendekar Sedih. Dan sudah tentu bila Ratih ber-
temu dengan Datuk Bunaeng dan menanyakan kebe-
naran itu, Datuk Bunaeng tak akan segan-segan men-
jawab apa adanya. Itu artinya, kita hanya akan 
menjerumuskan Ratih dalam bara dendamnya...."

Mendengar penjelasan Raja Naga, Lesmana
mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya, kau benar."

"Jadi... usahakanlah agar kau membawa adik
seperguruanmu itu menjauh dari urusan ini."

Lesmana mengangguk lagi. Tiba-tiba dia berka-
ta, "Raja Naga... aku merasa pasti kalau kau 
mengetahui di mana Datuk Bunaeng sekarang?"

Raja Naga mengangguk.

"Ya! Bahkan seharusnya aku sudah tiba di
tempat itu...."

"Kau hendak...."

"Sudahlah," kata murid Dewa Naga sambil 
tersenyum. "Tak usah kau pikirkan soal itu! Aku
 menemui Datuk Bunaeng, untuk mencari bukti-
bukti kalau aku tidak bersalah! O ya, di manakah 
Dewa Jubah Biru sekarang?"

Lesmana menggeleng.

"Aku meninggalkannya karena aku harus me-
nyusul Ratih."

Raja Naga tersenyum.

"Sekarang, berangkatlah. Hati-hati...."

Diantar pandangan angker Raja Naga, kedua
saudara seperguruan yang telah berdamai itu segera
meninggalkan tempat. Raja Naga masih memandan-
ginya sampai keduanya menghilang. Perlahan-lahan
pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi
sisik coklat ini menarik napas panjang.

Tatkala ditengadahkan kepalanya dan dilihat-
nya rembulan semakin beranjak tepat di atas kepala,
kejap itu pula murid Dewa Naga sudah berkelebat me-
neruskan perjalanan menuju ke Lembah Lingkar.

Tak lama kemudian, tanah yang berada tak
jauh dari tempat Lesmana berdiri tadi, mendadak 
saja bergerak. Sangat perlahan dan semakin lama makin
memperlihatkan bentuk satu sosok tubuh.

Lagi-lagi kakek yang mengenakan pakaian pan-
jang seperti warna tanah itu berada tak jauh dari 
Raja Naga. Kalau sebelumnya si kakek yang sekujur 
tubuhnya berwarna sama dengan tanah ini berada tak 
jauh dari Raja Naga di kala sedang menghadapi serangan
dari Jala Sringgil dan Kala Sringgil, sekarang dia sudah 
berada di sana.

"Hemmm... seperti apa yang kuduga- akhirnya
membawa kenyataan. Pemuda itu jelas-jelas bukan pe-
laku dari pencurian pusaka kalung Laba-laba Perak.

Bunaeng, Ratu Tongkat Ular dan Dewi Berlian. 
Aku tak bisa mempercayai apa yang telah dikatakan 
Dewi Berlian kepada pemuda itu sebelumnya. 
Sebenarnya aku juga hadir di sana saat pemuda itu 
berjumpa dengan Dewi Berlian. Bahkan, aku sempat 
melihat satu sosok tubuh lainnya yang berada di balik 
ranggasan semak.

Astaga! Rupanya kelicikan demi kelicikan telah terjadi 
dan pemuda berjuluk Raja Naga itulah yang menjadi
korban...."

Perlahan-lahan kakek berkulit seperti warna
tanah ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tindakan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia
dapat menuntaskan urusan antara pemuda bernama
Lesmana dan gadis yang bernama Ratih. Hebat! He-
bat!" desisnya lagi sambil tetap menggeleng-gelengkan 
kepala. "Hemm.... Lembah Lingkar... pemuda itu akan 
menuju ke sana untuk mencari bukti kalau dirinya tak
bersalah. Aku pun ingin tahu siapa yang telah mem-
bunuh Resi Kala Jinjit. Sebaiknya, kuikuti saja terus 
pemuda itu...."

Si kakek sesaat terdiam. Setelah menatap ke-
lamnya langit sejenak, di saat lain dia sudah bergerak 
ke arah yang ditempuh Raja Naga.

SELESAI

Ikuti kelanjutan serial ini:
MUSLIHAT DEWI BERLIAN

Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa