Raja Naga 4 - Rahasia Taman Kematian

SATU 

SUARA lolongan serigala menghempas 
di tengah malam buta. Lolongannya mendi- 
riremangkan bulu roma. Begitu angker, 
mengerikan, dan membuat orang yang men- 
dengarnya langsung menutup telinga. Malam 
menggigit dalam. Keheningan melanda se- 
saat, tetapi segera diusik lagi oleh lo- 
longan serigala yang entah berada di mana . 

Di atas sana, gerombolan awan hitam 
pekat tak bergeming dari tempatnya. Terus 
menghalangi sinar bulan yang berusaha me- 
nembus pekatnya awan-awan hitam itu. 

Satu sosok tubuh tinggi besar yang 
berdiri tegak di sebuah tempat yang agak 
tersembunyi di balik ranggasan semak itu, 
tetap berdiri tanpa terpengaruh apa pun. 
Dia sama sekali tak menghiraukan keadaan 
yang mengerikan. Melipat kedua tangannya 
di depan dada dengan sepasang mata yang 
memerah terus diarahkan pada samping ka- 
nannya . 

Cukup lama dia berdiri tanpa mela- 
kukan tindakan apa-apa sebelum akhirnya 
terdengar geramannya gusar. 

"Terkutuk! Ke mana manusia itu, 
hingga saat ini belum datang juga?!" maki 
lelaki yang diperkirakan berusia sekitar 
tiga puluh delapan tahun gusar. Tangan 
kanannya mengusap dagunya yang kelimis. 

Mulutnya berkemak-kemik, kendati tak ada 
lagi suara yang terdengar tetapi jelas 
kalau lelaki berkepala lonjong ini nampak 
sedang gusar. 

Lolongan serigala kembali mengusik, 
ditingkahi dengan suara burung gagak yang 
tidak sedap yang makin membuat suasana 
laksana didatangi oleh puluhan setan ku- 
buran. Berada di tempat yang sepi seperti 
itu seorang diri, bila orang yang berada 
di sana tidak memiliki nyali besar atau 
memiliki satu kepentingan, tak akan mung- 
kin ada yang mau singgah di sana. 

Lelaki berkepala lonjong ini kemba- 
li mengeluarkan geraman. Lebih keras dari 
sebelumnya. 

"Keparat betul! Sudah hampir sepe- 
minuman teh aku menunggu di sini! Tetapi 
orang pincang itu belum juga muncul! Sia- 
lan betul I Rupanya dia hendak mempermain- 
kan ku! Setan laknat! Akan kuhajar dia 
sampai mampus bila ternyata memang punya 
niatan keparat seperti itu!" 

Baru saja lelaki yang mengenakan 
pakaian merah dan berompi hitam ini menu- 
tup mulut, mendadak saja didengarnya sua- 
ra gerakan dari samping kanan. Serta mer- 
ta matanya dibuka lebih lebar, lalu agak 
dipicingkan. 

"Terkutuk! Akhirnya dia datang juga! ! " 

Lalu dengan rahang menggembung, le- 
laki ini memutar sedikit tubuhnya untuk 
menyambut kedatangan orang yang ditung- 
gunya . 

Orang yang ditunggunya itu tak jauh 
berbeda dengan usianya. Bertubuh agak se- 
dikit bongkok. Mengenakan pakaian putih 
penuh tambalan berwarna-warni. Wajahnya 
tirus dengan cambang panjang. Tak memili- 
ki kumis, tetapi jenggotnya menjulai. 

Begitu berada sejarak sepuluh lang- 
kah di hadapan lelaki yang tengah gusar 
itu, si pendatang sudah buka suara, "De- 
mit Merah! Maafkan aku yang datang ter- 
lambat ! Bukan maksudku membiarkan kau me- 
nunggu di sini! Tetapi aku baru saja la- 
kukan hal yang sangat penting!" 

Lelaki yang dipanggil dengan sebu- 
tan Demit Merah itu perdengarkan geraman. 

"Pengemis Pincang! Jangan berdalih 
bila sudah terlambat! Jangan coba lunak- 
kan hatiku bila takut mampus! Kau telah 
menyalahi janji! Apakah aku salah bila 
menghukum mu?!" 

Lelaki berpakaian putih penuh tam- 
balan warna-warni itu melangkah. Saat me- 
langkah nampak tubuhnya agak turun naik 
ke kiri. Rupanya kaki sebelah kirinya ke- 
cil sebelah! 

Orang ini menghentikan langkahnya 
lagi dan berkata, "Bila kau tahu apa yang 
kulakukan, mungkin kau tak akan bersikap 
seperti itu!" 

"Biar bagaimanapun juga, kau telah 
membuang waktuku! Bila kau tak punya ala- 
san yang masuk akal, jangan salahkan aku 
untuk mencabut nyawamu 1" 

"Mencabut nyawaku bukanlah urusan 
sulit bila kau memang menginginkannya! 
Tetapi... bagaimana dengan rencana ki- 
ta?!" balas Pengemis Pincang. Kendati se- 
pasang matanya membuka lebar, tetapi sua- 
ranya agak parau. Diam-diam dia menyam- 
bung dalam hati, "Manusia satu ini memang 
panasan. Dia selalu mengukur segala sesu- 
atunya melalui kacamatanya sendiri. Aku 
harus berhati-hati. Bila tidak, bisa-bisa 
rencanaku untuk mendapatkan apa yang 
kuinginkan di Taman Kematian akan gagal. 
Biarlah dia terus bersikap kasar dan aku 
selalu bersikap ketakutan. Padahal... 
membunuhnya semudah membalikkan telapak 
tangan!" 

"Aku tak peduli dengan rencana itu 
sebelum kau katakan alasan membuatku me- 
nunggu seperti ini?!" bentak orang berma- 
ta merah keras. 

Pengemis Pincang mengangguk- 
anggukkan kepala. Wajahnya dibuat agak 
tegang. Dan dia senang melihat lelaki di 
hadapannya itu begitu yakin akan kemam- 
puan dirinya. 

"Aku telah menghubungi Peramal Sakti ! " 

Mata Demit Merah memicing. 

"Apa maksudmu dengan menghubungi 
Peramal Sakti?!" desisnya setengah tak 
percaya. 

Pengemis Pincang mengangkat kepa- 
lanya. Dipandanginya sesaat Demit Merah. 
Untuk beberapa lama dia tak keluarkan su- 
ara. Setelah mendengar suara rahang di- 
kertakkan oleh orang yang berdiri di ha- 
dapannya, barulah dia berkata, "Kau telah 
tahu tentang Taman Kematian! Menurut ka- 
bar yang kudengar, di tempat itu terdapat 
harta karun yang melimpah ruah! Tidak 
sembarang orang yang mengetahui tentang 
tersimpannya harta karun itu di Taman Ke- 
matian! Saat ini, hanya kau dan aku sa- 
ja!" 

"Bodoh! Apakah kau tidak memikirkan 
tentang Ki Dundung Kali?! Tujuh hari lalu 
kau datang kepadaku menceritakan tentang 
Taman Kematian! Dan ketika kutanyakan da- 
ri siapa kau tahu tentang taman berikut 
harta karun yang dipendamnya, kau menga- 
takan dari guru mu sendiri! Ki Dundung 
Kali!" 

Pengemis Pincang mendengus pelan. 

"Kau tak perlu merisaukan tentang 
Ki Dundung Kali! Kakek tua itu sudah tak 
punya kemampuan apa-apa!" 

"Apa maksudmu dengan tak punya ke- 
mampuan apa-apa?!" 

"Setan terkutuk! Manusia ini bukan 
hanya membuatku memutuskan untuk membu- 
nuhnya saat ini juga, tetapi dia terlalu 
banyak ingin tahu urusan! maki Pengemis 
Pincang dalam hati. Tatapannya tajam me- 
nusuk. Namun di kejap lain dia membuat 
lagi parasnya menjadi ketakutan. 

Kemudian dia berkata, "Demit Merah! 
Urusan Ki Dundung Kali adalah urusanku! 
Yang terpenting sekarang, kau tetap akan 
ikut denganku menuju ke Taman Kematian, 
atau hanya jadi orang yang selalu banyak 
tanya?!" 

"Setaaann!" maki Demit Merah. Tan- 
gan kanannya mendadak dikibaskan ke arah 
Pengemis Pincang. Sinar merah menggebrak 
cepat! 

Pengemis Pincang menjerengkan ma- 
tanya. Dia hampir saja memutar tangan ka- 
nannya untuk menahan serangan tiba-tiba 
itu. Tetapi begitu diingatnya kalau dia 
harus berlagak bodoh, maka dia hanya 
menggeser tubuhnya! 

Lalu dengan gerakan tak sengaja, 
dia menyerimpungkan kakinya sendiri hing- 
ga terhuyung. Bahkan dia keluarkan jeri- 
tan tertahan saat jatuh di atas tanah! 

Blaaarrr!! 

Sinar merah yang dilepaskan tiba- 
tiba oleh Demit Merah itu melesat di atas 
tubuhnya dan menghantam ranggasan semak 
yang seketika rengkah. 

"Jangan bicara sembarangan kalau 
masih ingin hidup!" maki Demit Merah gu- 
sar. 


Pengemis Pincang buru-buru berdiri. 
Kali ini tegak karena dia berdiri dengan 
kaki kanannya, sementara kaki kirinya 
yang kecil sebelah menjuntai-juntai. 

"Maaf... maaf... aku tak bermaksud 
bicara lancang!" serunya kemudian sambil 
menyembah-nyembah. 

"Manusia satu ini tergolong orang 
bodoh! Dia mau memberitahukan sebuah ra- 
hasia kepadaku! Dan aku akan menjadi 
orang bodoh pula bila tak mau menjalankan 
apa yang dikatakannya! Harta karun di Ta- 
man Kematian? Luar biasa! Aku akan menja- 
di orang terkaya di jagat ini!" 

Habis membatin demikian, Demit Me- 
rah berseru angkuh, "Apa yang dikatakan 
Peramal Sakti?!" 

Pengemis Pincang buru-buru menja- 
wab, sikapnya tetap dibuat takut-takut, 
"Aku coba memastikan tentang harta karun 
yang terdapat di Taman Kematian padanya! 
Sudah tentu kukatakan kalau aku diperin- 
tahkan oleh guruku untuk menanyakan soal 
itu padanya! Bila tidak kulakukan seperti 
itu, mana sudi Peramal Sakti menjawab 
pertanyaanku!" 

"Apa jawabannya?!" 

"Dari dia aku lebih pasti tentang 
keberadaan harta karun pada Taman Kema- 
tian! " 

Seringaian lebar segera terpampang 
di bibir Demit Merah. 

"Bagus! Kita berangkat sekarang!" 

Pengemis Pincang tersenyum. 

"Kau telah dibutakan oleh kesombon- 
gan dan keangkuhan mu hingga tak memper- 
gunakan otakmu! Kau akan menemukan sesua- 
tu yang tak pernah kau bayangkan di Taman 
Kematian! Aku menjumpai Peramal Sakti bu- 
kanlah untuk menanyakan tentang ramalan- 
nya mengenai Taman Kematian! Karena aku 
tahu dia mengetahui tentang Taman Kema- 
tian. Seperti yang pernah diceritakan gu- 
ruku sendiri. Kalau dia menguburkan benda 
itu di dalam Taman Kematian bersama-sama 
Peramal Sakti," desisnya dalam hati. 

Lalu dengan sedikit mempergunakan 
ilmu peringan tubuhnya, Pengemis Pincang 
mendahului Demit Merah yang segera menyu- 
sul. Di benaknya tergambar rencana yang 
sudah disusunnya agak lama, rencana yang 
sama sekali tak diketahui Demit Merah. 
Terutama, apa yang dikehendakinya di Ta- 
man Kematian. 

* * * 

Perjalanan yang keduanya lakukan 
sungguh bukanlah perjalanan biasa. Karena 
keduanya harus melewati ladang, pematang 
sawah, ranggasan semak, jalan setapak, 
bahkan perbukitan dan gunung-gunung. 

Demit Merah menggeram dalam hati 
karena sejak berlari Pengemis Pincang be- 
lum juga berhenti sekali pun. Padahal 
saat ini bukan lagi malam atau pagi teta- 
pi sudah menjelang senja! Astaga! Kedua- 
nya sudah melewati waktu satu hari! 

"Setan betul si Pincang itu! Apa 
yang diinginkannya sebenarnya?! Kalau Ta- 
man Kematian berada di tempat yang sangat 
jauh begini, mengapa dia harus mengadakan 
pertemuan denganku di tempat semalam?!" 

Kalau Demit Merah merutuk demikian 
dengan napas yang sudah terputus-putus, 
lelaki pincang berwajah tirus itu masih 
terus berlari dengan enaknya. Tak terli- 
hat tanda-tanda kelelahan pada dirinya. 
Memang keringat sesekali mengalir, dan 
napas yang agak terengah. Tetapi kelela- 
han tak kelihatan sedikit juga. 

"Hemm... aku memang sengaja menga- 
dakan pertemuan di tempat semalam, padah- 
al jarak Taman Kematian dengan tempat se- 
malam itu sangat jauh! Ingin kulihat se- 
berapa tangguhnya Demit Merah! Dan aku 
tahu akan keserakahannya! Harta karun 
yang ada di Taman Kematian akan kuberikan 
padanya! Dan aku hanya akan meminta 
'benda' butut itu! Aku yakin, dia mau 
memberikannya! Urusan ini nampaknya begi- 
tu mudah!" 

Sambil berlari Pengemis Pincang me- 
lirik ke belakang. Dia tertawa dalam hati . 

"Bagus! Dia masih cukup tangguh! 
Menurut Ki Dundung Kali, orang yang bisa 
masuk ke Taman Kematian hanyalah Dadu 
Ganggang! Kakek yang berdiam di Gua Tapak 
Sepuluh! Dan... Demit Merah adalah murid- 
nya! Aku yakin, dia telah menguasai ilmu 
'Tapak Sepuluh' milik Dadu Ganggang! Den- 
gan ilmu itulah dia akan kusuruh untuk 
masuk ke Taman Kematian!" 

Terdengar geraman keras Demit Me- 
rah, "Manusia pincang! Hendak kau bawa ke 
mana aku sebenarnya, hah?!" 

"Kita akan menuju ke Taman Kema- 
tian!" seru Pengemis Pincang sambil mem- 
perlambat larinya. Begitu Demit Merah 
mendekat, tiba-tiba saja Pengemis Pincang 
terhuyung. 

Demit Merah segera menyambar ba- 
junya dan seketika berhenti. 

"Kalau kau tak mampu berlari, jan- 
gan berlagak menjadi jago!" makinya sam- 
bil melepaskan tangannya yang mencengke- 
ram baju Pengemis Pincang. 

Lelaki pincang itu terjatuh. Napas- 
nya terengah-engah. Wajahnya sedikit pu- 
cat. Dia memandang Demit Merah yang juga 
terengah-engah dengan sikap takut-takut. 

"Untuk saat ini aku mengalah saja. 
Biarlah dia melakukan apa pun juga. Asal- 
kan dia tetap bisa kuperalat untuk menda- 
patkan apa yang kuinginkan di Taman Kema- 
tian, senyumnya dalam hati. 

Di pihak lain orang berkepala lon- 
jong yang berdiri dl hadapannya mengge- 
ram. Dadanya serasa ingin pecah. Setelah 
mengusap keringatnya dia mendesis dingin, 

"Jarak dari tempat semalam ke Taman 
Kematian rupanya sangat jauh! Mengapa kau 
menyuruhku untuk menjumpai mu di tempat 
semalam, hah?!" 

Pengemis Pincang menjawab dengan 
suara dibuat terengah, "Demit Merah... 
apakah kau lupa kalau apa yang akan kita 
lakukan ini sangat rahasia? Di rimba per- 
silatan ini banyak mata dan telinga yang 
tak pada tempatnya! Berita apa pun akan 
segera menyebar! Itulah sebabnya aku me- 
mintamu untuk datang di tempat semalam! 
Dengan tujuan agar pertemuan kita tidak 
ada yang menciumnya! Kalaupun ada, orang 
itu akan sulit menemukan Taman Kematian!" 

Jawaban yang diberikan Pengemis 
Pincang membuat kepala Demit Merah men- 
gangguk-angguk. Kendati dapat menerima 
apa yang dikatakan Pengemis Pincang, 
orang tinggi besar itu membentak juga, 

"Katakan padaku! Masih jauhkah Taman 
Kematian berada?!" 

"Kita masih harus menempuh waktu 
sepananakan nasi!" 

"Setan! Kau mempermainkan ku ru- 
panya?!" bentak Demit Merah. Tangan ka- 
nannya terangkat siap memukul, tetapi 
tertahan karena Pengemis Pincang buru- 
buru berkata, 

"Tak akan mungkin aku berani mem- 
permainkan mu! ilmu yang kumiliki tak se- 
berapa! Kau pernah kuceritakan bukan, ka- 
lau aku menyesali karena tak menuntut il- 
mu dengan tekun seperti yang diajarkan Ki 
Dundung Kali?" 

Mendengar jawaban itu, dada Demit 
Merah membuncah. Dia mengangkat kepalanya 
dengan sikap angkuh. Tangan kanannya di- 
turunkan lagi. 

"Aku sebenarnya tak mempercayai ka- 
ta-katamu! Sedikit pun tidak sama seka- 
li ! " 

"Kau maksudkan... kau tidak memper- 
cayai ada harta karun di Taman Kema- 
tian? ! " 

"Kali ini aku percaya karena kau 
telah menghubungi Peramal Sakti!" 

"Lantas apa yang membuatmu meragu- 
kan kata-kataku?" 

Demit Merah tatap tajam-tajam Pen- 
gemis Pincang. "Tentang harta karun itu!" 

"Aku tak mengerti!" 

"Bila harta karun itu kudapatkan... 
apa yang kau inginkan?!" 

Pengemis Pincang sesaat terdiam se- 
belum mendadak tertawa. 

"Astaga! Kupikir apa? Kalau kau su- 
dah mendapatkannya... ya sudah tentu kau- 
lah yang berhak memilikinya?!" 

Pandangan Demit Merah menyipit. Bi- 
birnya menyunggingkan sinis. "Semudah 
itukah?" 

"Itu kulakukan karena aku ingin 
menjadi sahabatmu!" 

"Hemm... tak ada orang yang tak 
menginginkan harta! Apalagi harus bersu- 
sah payah mengelabui gurunya sendiri dan 
seorang tokoh berjuluk Peramal Sakti! 
Pengemis Pincang... jangan memutar omon- 
gan . . . . " 

"Keparat! Ternyata dia tidak sebo- 
doh dugaanku! Aku harus memeras akal agar 
dia dapat percaya," desis Pengemis Pin- 
cang dalam hati. Lalu sambil memamerkan 
senyuman, dia berkata, "Demit Merah... 
sudah lama kudengar tentang kehebatanmu 
yang merajai daerah utara! Juga kudengar 
nama besar gurumu Dadu Ganggang! Siapa 
pun orangnya yang berani berlaku lancang 
di hadapanmu, sudah tentu dia hanya men- 
cari penyakit! Aku tak mau menjadi orang 
seperti itu! Kau kuajak bergabung untuk 
mendapatkan harta karun di Taman Kema- 
tian, karena aku ingin menjadi sahabat 
mu! " 

"Jadi... kau tak berkeinginan sedi- 
kit juga untuk mendapatkan bagian?!" 

Pengemis Pincang menggelengkan ke- 
pala tegas. 

"Demi Setan! Aku bersumpah! Tak 
kuinginkan sama sekali harta karun itu! 
Sekecil apa pun juga!" 

Seringaian lebar segera terpampang 
di bibir Demit Merah. 

"Bagus! Kau mengerti gelagat ru- 
panya I Tunjukkan padaku di mana Taman 
Kematian berada?!" 

"Kalau begitu... kita segera berge- 
rak kembali!" sahut Pengemis Pincang. Be- 
gitu melihat kepala Demit Merah mengang- 
guk, dia memaki dalam hati, "Benar-benar 
setan manusia satu ini! Rasanya aku sudah 
tak sabar untuk membunuhnya! Tetapi... 
sebelum kudapatkan 'benda' itu, aku tak 
akan melakukannya! Ilmu yang dimilikinya 
harus ku manfaatkan sepenuhnya untuk men- 
dapatkan apa yang kucari!" 

Saat lain Pengemis Pincang sudah 
bergerak mendahului Demit Merah. 

Lewat sepenanakan nasi dari malam 
yang datang kembali, masing-masing orang 
sudah berada di jalan setapak yang tum- 
pang tindih. Pengemis Pincang kali ini 
melangkah. Di saat dia berlari tadi sama 
sekali tak terlihat kalau kaki kirinya 
kecil sebelah, justru di saat berjalan 
tubuhnya agak sedikit turun naik. Di be- 
lakangnya, Demit Merah hanya mengikuti 
dengan seringaian lebar yang tak putus di 
bibirnya. 

Udara malam tetap dingin menusuk. 
Lolongan serigala tetap terdengar. Burung 
gagak yang berkepakan terbang disertai 
suara yang tak enak didengar, menambah 
keangkeran suasana di jalan setapak itu. 
Namun masing-masing orang tak ada yang 
menghiraukan keadaan. 

Kalau pikiran Demit Merah dipenuhi 
dengan harta karun yang luar biasa jum- 
lahnya, Pengemis Pincang justru memikir- 
kan bagaimana cara dia membujuk lelaki 
tinggi besar itu nanti setelah tiba di 
Taman Kematian. 

Tanpa setahu masing-masing orang, 
sepasang mata angker yang berada di atas 
sebuah pohon yang kemudian dilintasi ke- 
duanya, memperhatikan tak berkedip. Sak- 
ing angkernya tatapan itu, bila ada orang 
yang melihat sudah tentu akan berpikir 
dua kali untuk melakukan tindakan lancang 
terhadap si pemilik mata. 

Pemilik mata angker ini melompat 
turun tatkala kedua orang itu sudah men- 
jauh. Tak ada suara yang terdengar sama 
sekali saat kaki kanan kirinya menginjak 
tanah secara bersamaan. 

Pemilik mata angker ini terus men- 
garahkan tatapannya pada jalan yang di- 
tempuh keduanya. 

"Hemm... sebelum malam datang aku 
sudah berada di sini. Tetapi tak seorang 
pun yang melewati tempat ini. Lantas mun- 
cul kedua orang itu yang kendati melang- 
kah pelan tetapi jelas terlihat ketegan- 
gan yang terpancar dari mata masing- 
masing," desis si pemilik mata angker 
yang ternyata seorang pemuda gagah. Di 
saat rembulan berhasil membebaskan diri 
dari gumpalan awan hitam yang menghalangi 
sinarnya, terlihat sosok si pemuda yang 
betul-betul mengejutkan. 

Kalau parasnya sedemikian tampan, 
tetapi kedua lengannya sebatas siku dipe- 
nuhi sisik kecoklatan! Pemuda ini menge- 
nakan rompi berwarna agak ungu. Rambutnya 
gondrong acak-acakan. Sosoknya benar- 
benar membikin orang tegang, terutama so- 
rot matanya. 

Pemuda yang bukan lain Boma Paksi 
adanya alias Raja Naga ini kembali mende- 
sis, "Melihat gerakan yang dilakukan ke- 
duanya, masing-masing orang jelas memili- 
ki tenaga dalam cukup tinggi. Ah, aku ja- 
di penasaran ingin mengetahui apa yang 
keduanya lakukan di malam seperti ini." 

Memutuskan demikian, pemuda dari 
Lembah Naga ini segera mengeluarkan ilmu 
peringan tubuhnya untuk menyusul kedua 
orang yang dilihatnya tadi. 


DUA 

BEGITU melihat kedua orang yang di- 
ikutinya sudah menghentikan langkah dan 
berdiri di hadapan sepetak tanah yang tak 
begitu luas. Raja Naga langsung melompat 
ke balik ranggasan semak, tetap tanpa me- 
nimbulkan suara apa pun. 

"Aneh! Mengapa keduanya berhenti 
melangkah? Hemm... sempat kulihat kalau 
wajah orang yang kakinya pincang itu sem- 
pat tegang. Sementara orang berompi hitam 
justru tersenyum lebar. Ada apa ini sebe- 
narnya?" 

"Taman Kematian... sudah tiga kali 
aku mendatangi tempat ini dan mencoba 
mengambil apa yang dipendamnya, tetapi 
selalu gagal. Pada kedatanganku yang 
keempat ini, aku tak boleh gagal," desis 
Pengemis Pincang dalam hati sambil meman- 
dang sepetak tanah yang dipenuhi rerumpu- 
tan dan bunga-bunga warna merah. 

Demit Merah membuka mulut, "Penge- 
mis Pincang! Kau berhenti di hadapan tem- 
pat yang dipenuhi bunga ini! Apakah tem- 
pat ini yang kau maksudkan sebagai Taman 
Kematian?!" 

Pengemis Pincang mengangkat kepala 
dan mengangguk. 

Demit Merah mendengus. 

"Tempat seindah ini kau namakan Ta- 
man Kematian?!" ejeknya keras. 

"Guruku yang mengatakannya." 

"Hhhh! Bukan hanya kau yang bodoh 
rupanya, tetapi juga Ki Dundung Kali!" 

Kalau seorang murid akan tersing- 
gung gurunya dimaki seperti itu. Pengemis 
Pincang cuma menganggukkan kepala. 

"Di sinilah harta karun itu terpendam. " 

Demit Merah tak segera menyahut. 
Sementara itu di balik ranggasan semak, 
murid Dewa Naga mengerutkan keningnya. 

"Taman Kematian? Aneh! Baru kali 
ini aku mendengar tentang Taman Kematian? 
Orang tinggi besar itu pun merasa tak 
percaya dengan tempat yang seindah itu 
dinamakan Taman Kematian. Dan harta ka- 
run? Oh! Rupanya kedua orang ini hendak 
memburu harta karun yang terdapat di Ta- 
man Kematian!" 

Demit Merah menggeram dalam hati, 
"Keparat betul! Dia benar-benar begitu 
tenang dan penuh keyakinan! Tempat sein- 
dah inikah yang dinamakan Taman Kematian? 
Kupikir taman itu merupakan sebuah tempat 
yang mengerikan! Huh! Menilik keterangan- 
nya, aku mulai yakin kalau memang inilah 
Taman Kematian! Peduli setan! Kalau dia 
membohongiku, akan kuhajar sampai tung- 
gang langgang!" 

Habis membatin demikian. Demit Me- 
rah mendesis kasar, "Tunjukkan di mana 
letak harta karun itu?! Aku akan mengam- 
bilnya sekarang juga!!" 

Pengemis Pincang mengarahkan lagi 
pandangan-nya pada taman yang dipenuhi 
bunga-bunga. Lalu katanya tanpa menoleh 
pada Demit Merah, "Kau lihat tangkai ma- 
war merah berkuntum tiga itu?!" 

Demit Merah memperhatikan sesaat. 

"Setiap tangkai mawar yang tumbuh 
di taman itu berkuntum satu. Tetapi men- 
gapa tangkai itu berkuntum tiga?" desis- 
nya dalam hati. Lalu katanya, "Mengapa 
dengan tangkai mawar berkuntum tiga itu?" 

"Tepat di bagian yang ditumbuhi 
tangkai mawar berkuntum tiga itulah harta 
karun yang kau inginkan akan kau da- 
patkan! Menurut Ki Dundung Kali maupun 
Peramal Sakti, tempat pada tanah yang 
tumbuh tiga kuntum mawar satu tangkai 
itu, tersimpan harta karun yang tak ter- 
nilai harganya! Tapi..." 

"Tapi apa, hah?!" maki Demit Merah 
yang urung melangkah. 

"Menurut Ki Dundung Kali maupun si 
Peramal Sakti, kita tak akan bisa tiba di 
tempat itu!" "Gila! Apa lagi ini, hah?!" 

Pengemis Pincang melirik, lalu ber- 
kata, "Di bagian tempat itu terdapat se- 
buah tenaga gaib yang sangat luar biasa! 
Tak akan mudah orang untuk bisa tiba di 
tempat itu! Kau tahu kemampuan ilmuku, 
bukan? Aku tak akan mungkin sanggup untuk 
menghadang tenaga gaib itu! Dan tak seo- 
rang pun yang bisa mencapainya!" 

"Terkutuk! Dengan kata lain kau 
menganggap aku tak mampu mendapatkan- 
nya? ! " 

"Jangan gusar! Sesusah apa pun, 
pasti ada orang yang bisa mendapatkannya! 
Terutama..." 

"Kau selalu bicara dipotong- 
potong!" sengat Demit Merah gusar. 

Pengemis Pincang tak menjawab. Dia 
membatin dalam hati, "Aku sudah tiga kali 
mencobanya. Tetapi jangankan untuk menca- 
but tangkai mawar berkuntum tiga itu, 
mendekati saja aku sudah terhajar lintang 
pukang! Guruku dan Peramal Sakti yang te- 
lah tanam tenaga gaib dengan kemampuan 
mereka di sana! Untuk berjaga-jaga bila 
suatu saat orang mengetahui tentang raha- 
sia Taman Kematian." 

Kemudian katanya pada Demit Merah, 
"Orang yang memiliki langkah ringan dalam 
sepuluh langkah maka dialah orang yang 
bisa mencabut tangkai mawar berkuntum ti- 
ga itu. " 

Demit Merah mengerutkan keningnya. 

"Langkah ringan dalam sepuluh lang- 
kah? Apakah yang kau maksudkan dengan se- 
kali langkah berarti sudah berada pada 
langkah ke sepuluh?" 

"Kau betul!" 

"Dan gerakan itu tak akan bisa di- 
ikuti oleh mata karena begitu cepatnya?" 

"Ya! " 

"Aku memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh'! 
Ilmu yang bila kupergunakan akan dapat 
melangkah sedemikian cepat!" 

Seolah baru mengetahui hal itu. 
Pengemis Pincang mengangkat kepala dengan 
mata membelalak. 

"Oh! Kau... kau... dapat memecahkan 
rahasia itu, Demit Merah!" 

Wajah Demit Merah menyiratkan ke- 
banggaan yang tidak di tutupinya. Dadanya 
dibusungkan. 

"Masih banyak yang belum kau keta- 
hui tentang kehebatanku!" desisnya bang- 
ga . 

Pengemis Pincang yang sesungguhnya 
sudah mengetahui tentang ilmu 'Tapak Se- 
puluh' yang dimiliki oleh Demit Merah, 
mengangguk-anggukkan kepala sambil mena- 
tap kagum. Lalu keluar pujiannya yang se- 
makin membuat hidung Demit Merah kembang- 
kempis, 

"Hebat! Hebat sekali! Berarti aku 
tak salah mengajak mu ke Taman Kematian, 
Demit Merah!" 

Senyuman bangga itu masih terpam- 
pang. Matanya memancarkan sinar meremeh- 
kan. Secara tiba-tiba senyuman itu lenyap 
dan berganti dengan suara merandek din- 
gin, "Ingat! Kau sudah mengatakan kalau 
seluruh harta karun yang terdapat pada 
Taman Kematian akan menjadi milikku! Be- 
rani kau punya pikiran untuk meminta ba- 
gian, Taman Kematian ini akan jadi kubu- 
ranmu ! ! " 

Pengemis Pincang buru-buru menja- 
wab, "Tidak... aku tidak menginginkannya 
sama sekali. Aku hanya ingin menjadi sa- 
habatmu. Itu saja...." 

"Bagus! Dari mana aku bisa memu- 
lainya? ! " 

Pengemis Pincang yang sudah tiga 
kali mencoba untuk mencabut tangkai mawar 
berkuntum tiga itu tetapi selalu gagal, 
sudah tentu sangat paham dari mana lang- 
kah harus dimulai, Berhari-hari dia memi- 
kirkan cara untuk bisa mencabut tiga kun- 
tum mawar itu. Bahkan dicobanya dengan 
ilmu peringan tubuhnya dan bergerak ce- 
pat. Tetapi selalu gagal. Karena sebelum 
dia tiba di tempat tumbuhnya tangkai ma- 
war berkuntum tiga, satu tenaga dahsyat 
sudah menghantamnya. 

Pada percobaannya yang terakhir. 
Pengemis Pincang berhasil menemukan cara 
yang menurutnya sangat tepat. Sayangnya, 
dia tak bisa lakukan percobaannya itu. 
Dipikirkannya untuk mencari orang yang 
dapat melakukannya hingga dia mendengar 
kabar tentang Dadu Ganggang yang memiliki 
ilmu 'Tapak Sepuluh'. 

Meminta bantuan Dadu Ganggang sudah 
tentu adalah tindakan percuma. Tetapi dia 
tak habis akal. Dengan bujuk rayu akhir- 
nya Pengemis Pincang berhasil mempengaru- 
hi Demit Merah yang merupakan murid Dadu 
Ganggang satu-satunya. 

Dipandanginya Demit Merah sesaat. 

"Kau bisa memulai dari tempatmu me- 
langkah. Aku tak bermaksud menggurui mu, 
tetapi aku memiliki keterangan yang ba- 
gus. Kau harus mempergunakan ilmu 'Tapak 
Sepuluh' yang kau miliki. Lantas segera 
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga itu 
sekaligus, lalu menghindar secepat- 
cepatnya ! " 

"Huh! Untuk urusan sepele seperti 
ini kau masih banyak omong!" dengus Demit 
Merah. Dengan kepala terangkat angkuh dia 
memandang lagi pada tangkai mawar merah 
berkuntum tiga yang tumbuh di tengah- 
tengah Taman Kematian. 

Di balik ranggasan semak, Raja Naga 
mengerutkan kening. Dari sela-sela semak 
itu dia memandangi keduanya bergantian. 

"Aku menangkap satu siasat licik. 
Orang yang kakinya kecil sebelah dan di- 
panggil dengan sebutan Pengemis Pincang 
itu, nampaknya sedang bermain sandiwara. 
Dari gelagatnya jelas sekali terlihat ka- 
lau dia mencoba memanfaatkan orang tinggi 
besar yang memiliki ilmu 'Tapak Sepuluh' 
itu. Aku yakin, bila orang berjuluk Demit 
Merah itu mau mempergunakan sedikit otak- 
nya, tentunya dengan mudah dia sudah me- 
nangkap gelagat tak baik dari Pengemis 
Pincang. Hemmm . . tentunya karena selalu 
dipuji yang membuatnya menjadi besar ke- 
pala dan bayangan harta karun itulah yang 
bikin dia tak sadari keadaan. Kalau begi- 
tu. . . biar aku berada di sini dulu...." 

Demit Merah menarik napas dalam- 
dalam. Matanya memandang tak berkedip 
pada tiga kuntum mawar itu. Secara tiba- 
tiba tanah yang dipijaknya membubung se- 
tinggi lutut. Kemudian tubuhnya bergetar. 
Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. 

Melihat keadaan itu ,Pengemis Pin- 
cang mundur dua tindak ke belakang. 

"Kalau sejak tadi tanah yang dipi- 
jaknya tak mengalami apa-apa, sekarang 
terjadi perubahan. Hemm... tentunya dia 
sudah mengeluarkan ilmu 'Tapak Sepuluh'. 
Bagus! Dan kalau saja dia bisa menghinda- 
ri tenaga gaib yang keluar dari dalam ta- 
nah, mungkin semua yang kuinginkan akan 
tercapai. Kalau begitu... aku harus ber- 
siap pula untuk membantunya...." katanya 
dalam hati. 

Wuuutttt I ! 

Terdengar angin berkesiuran kencang 
disusul dengan tanah yang membubung ting- 
gi. Lelaki berompi hitam itu sudah mele- 
sat ke depan. Tubuhnya seperti melayang. 
Langkahnya tak menginjak tanah, tetapi 
kedua kakinya bergerak-gerak seperti 
orang berlari di saat melompat. Kecepatan 
tubuh Demit Merah laksana bayangan bela- 
ka! 

Pengemis Pincang menahan napas dan 
memperhatikan tak berkedip. 

Raja Naga mendesis kagum dalam ha- 
ti. Demit Merah terus melayang. Bersamaan 
dengan itu dirasakannya satu tenaga mele- 
sat ke arahnya. Tetapi dengan ilmu yang 
dimilikinya yang dapat membuatnya berge- 
rak laksana angin dia berhasil menghinda- 
ri tenaga dahsyat yang siap menghantamnya 
tadi. Bersamaan suara letupan keras yang 
menghantam sebuah pohon yang langsung me- 
ranggas gugur dedaunannya, Demit Merah 
sudah tiba di dekat tangkai mawar berkun- 
tum tiga. 

Dan.... tap! 

Tangan kanannya telah meraup tang- 
kai bunga mawar berkuntum tiga itu, lalu 
ditariknya. 

Bersamaan dengan tangkai mawar ber- 
kuntum tiga itu ditarik, seketika terden- 
gar suara bergemuruh dari dalam tanah. 
Begitu kencang seolah perut bumi hendak 
muntah secara bersamaan. 

Menyusul... 

Jlegaaaarrr!! 

Laksana sumber air deras yang am- 
brol ke udara, gelombang angin menderu 
lintang pukang. Menerjang apa saja yang 
ada di sana. Tempat yang semula tenang 
itu benar-benar diamuk badai dahsyat. 

Kendati Demit Merah hanya mengang- 
gap kecil omongan Pengemis Pincang, teta- 
pi dia sudah melompat dengan memperguna- 
kan ilmu 'Tapak Sepuluh' begitu berhasil 
mencabut tangkai mawar berkuntum tiga. 
Saat kedua kakinya tegak kembali di atas 
tanah, dia terperangah melihat gelombang 
angin yang muncul dari dalam tanah di ma- 
na dia mencabut tangkai mawar berkuntum 
tiga tadi. 

"Gila! Untung aku masih punya otak 
untuk langsung menghindar begitu tangkai 
mawar ini berhasil kucabut!" 

Gelombang angin yang seketika mem- 
buat tempat itu diamuk badai, terus meng- 
hantam! apa saja yang ada di sekitarnya. 
Pepohonan tumbang terseret, ranggasan se- 
mak pecah rengkah dan tanah membubung 
tinggi. Kiamat kecil telah datang! 

Pengemis Pincang sudah merunduk 
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Raja 
Naga merebahkan tubuh di atas tanah dan 
menamengi diri dengan tenaga dalam. Pemu- 
da dari Lembah Naga itu sebenarnya bisa 
menahan gelombang angin yang mengarah pa- 
danya, tetapi bila dilakukannya itu be- 
rarti keberadaannya di sana akan diketa- 
hui oleh Pengemis Pincang dan Demit Me- 
rah. Makanya dia memutuskan untuk mere- 
bahkan tubuh saja! 

Di pihak lain. Demit Merah mengang- 
kat dan mendorong kedua tangannya tatkala 
gelombang angin memutar menderu ke arah- 
nya. Bersamaan dia mendorong kedua tan- 
gannya, dia segera melompat ke belakang. 

Blaaaarrr!! 

Hamparan angin yang melesat dari 
kedua tangannya tadi pecah terhantam ge- 
lombang angin memutar yang agak berbelok 
sedikit. Dan melibas ranggasan semak yang 
berpentalan ke berbagai penjuru. 

"Orang pincang keparat!! Bagaimana 
cara menghentikan badai itu, hah?!" se- 
runya keras. 

Masih merunduk Pengemis Pincang 
berseru, "Aku tidak tahu!" 

"Jahanam sial!" geram Demit Merah 
seraya mengertakkan rahangnya. 

Didengarnya lagi seruan Pengemis 
Pincang, "Menurut Ki Dundung Kali, badai 
itu akan berhenti dengan sendirinya!" 

"Ya! Setelah menghantam dan melibas 
kita sampai mampus!" 

Di balik ranggasan semak yang sudah 
tak menghalangi lagi tubuhnya karena su- 
dah pecah berhamburan. Raja Naga mendon- 
gak dengan tangan kanan menghalangi kedua 
matanya. 

"Kalau tak segera kuhentikan, badai 
yang keluar ganas itu akan membikin han- 
cur tempat ini! Mungkin pula akan melibas 
ku! Selagi bubungan tanah itu menghalangi 
pandangan, sebaiknya kuhentikan saja se- 
mua ini!" desisnya sambil menajamkan pan- 
dangannya . 

Dengan gerakan sangat cepat pemuda 
yang kedua tangan hingga sikunya bersisik 
kecoklatan ini berdiri. Tubuhnya terlihat 
agak samar-samar karena tanah yang membu- 
bung. Mendadak saja dia menghentakkan ka- 
ki kanannya. Anak muda dari Lembah Naga 
ini sudah mengeluarkan ilmu 'Barisan Naga 
Penghancur Karang'! 

Seketika tanah itu bergerak sangat 
cepat, suara bergemuruh semakin menjadi- 
jadi, dipadu dengan ganasnya badai yang 
terus keluar dari dalam tanah! 

Menyusul.... blaaaarrr! Blaaarrr! 
Blaaaarr!! 

Terdengar ledakan dahsyat beberapa 
kali yang semakin membuat tempat itu ber- 
goncang hebat. Demit Merah yang sedang 
mengerahkan tenaga dalam, terpental ke 
belakang. Sosok Pengemis Pincang terhem- 
pas di atas tanah. 

Raja Naga mengulangi lagi tindakan- 
nya. Bersamaan dengan ledakan dahsyat 
yang kembali terdengar, dia langsung me- 
lompat ke atas sebuah pohon yang agak 
jauh dari tempatnya! 

Letupan terdengar beberapa kali, 
menyusul api dahsyat yang sesaat menggem- 
brus . 

Brussss!! 

Bersamaan api yang menggembrus dan 
menghamburkan asap hitam terjadi, badai 
yang muncul dari dalam tanah perlahan- 
lahan mengecil dan lenyap. Tinggal kepu- 
lan asap yang membubung tinggi. 

Secara bersamaan pula terdengar ko- 
kokan ayam jantan di kejauhan. 

***

TIGA 

PENGEMIS Pincang yang telah berdiri 
tegak, memandangi kepulan asap itu dengan 
seksama. Seperti mengingat sesuatu, sa- 
mar-samar kening lelaki pincang ini ber- 
kerut . 

"Ada sesuatu yang terjadi... ada 
sesuatu yang membuat badai dari dalam ta- 
nah itu terhenti...." desisnya. 

Perlahan-lahan lelaki berkaki kecil 
sebelah ini mengedarkan pandangannya. 
Yang terpampang di de-pan matanya hanya- 
lah tempat yang telah porak poranda. Pe- 
pohonan tumbang tumpang tindih. Tanah 
terbongkar di sana-sini. 

Matanya menyipit dengan kening ber- 
kerut . 

"Kendati tak kulihat adanya orang, 
tetapi aku yakin, aku masih sempat meli- 
hat tanah bergerak cepat dengan suara ke- 
ras. Hemm... jelas bergeraknya tanah itu 
tak mungkin terjadi tanpa ada yang menye- 
babkannya 

"Badai telah usai! Tangkai mawar 
berkuntum tiga telah tercabut! Mana harta 
karun itu?!" 

Bentakan keras Demit Merah membuat 
Pengemis Pincang tak lagi meneruskan apa 
yang jadi pikirannya. Dipandanginya orang 
tinggi besar itu sesaat. 

Lalu dengan langkah pincang dia ma- 
ju tiga langkah seraya berkata, "Kau te- 
lah lalui ujian pertama untuk mendapatkan 
harta karun itu!" 

Setan! Lantas kau maksudkan akan 
ada ujian kedua?!" geram Demit Merah ke- 
ras . 

"Apa yang akan kau lakukan sekarang 
bukanlah sesuatu yang menyulitkan, " sahut 
Pengemis Pincang sambil melangkah lagi, 
ke arah Taman Kematian yang telah porak 
poranda. 

Diikuti pandangan curiga dari Demit 
Merah, lelaki pincang itu menghentikan 
langkahnya tepat pada tanah di mana tadi 
Demit Merah mencabut tangkai mawar ber- 
kuntum tiga. Lalu dengan tangan kanannya 
Pengemis Pincang mulai menggali. 

Melihat hal itu Demit Merah menggeram . 

"Terkutuk! Dia rupanya hendak me- 
langkahi ku!" makinya gusar. Kemudian 
bentaknya, "Orang pincang celaka! Apa 
yang kau lakukan, hah?!" 

Pengemis Pincang menghentikan pe- 
kerjaan menggalinya. Mengangkat wajahnya 
pada Demit Merah. 

"Kau telah melakukan tugasmu! Kali 
ini biarlah aku yang melakukan tugasku!" 
"Apa maksudmu?!" 

"Tanganmu akan menjadi kotor bila 
kau menggali tanah ini! Biarlah aku yang 
melakukannya!" 

Demit Merah tak buka suara. Matanya 
memperhatikan penuh curiga. 

"Hemm... dari semula aku menyangsi- 
kan apa yang dikatakannya. Tetapi dia 
sangat meyakinkan, hingga aku dapat mem- 
percayainya. Membunuhnya semudah memba- 
likkan telapak tangan. Berarti bila dia 
nekat mendustai ku, akan kubunuh saat ini 
j uga." 

Karena tak ada sahutan atau tinda- 
kan apa-apa dari Demit Merah, Pengemis 
Pincang meneruskan pekerjaannya. Sesung- 
guhnya, dengan ilmu yang dimilikinya. 
Pengemis Pincang akan dengan mudah dan 
singkat saja menggali tanah itu. Tetapi 
karena dia berkeinginan tetap berlaku bo- 
doh makanya dia menggali tanpa mempergu- 
nakan ilmunya. 

Pekerjaan menggali itu baru selesai 
tatkala matahari mulai sepenggalah. 

"Kau sudah melihat harta karun 
itu?" seru Demit Merah. 

"Kau bisa melihatnya sendiri seka- 
rang . 

Dengan langkah lebar dan hati dipe- 
nuhi sedikit ketegangan. Demit Merah me- 
langkah mendekat. Dia melongok pada lu- 
bang sedalam setengah badannya. Dari da- 
lam lubang itu terlihat sinar indah ber- 
kilau -kilau. Seketika mata Demit Merah 
membelalak lebar. Mulutnya menganga tanpa 
mengeluarkan suara. Untuk sesaat lelaki 
tinggi besar ini terdiam terpana menyak- 
sikan apa yang ada di dalam lubang itu. 

"Astaga!" desisnya tertahan. 

Di balik rimbunnya dededaunan, Raja 
Naga memperhatikan dengan seksama. Dia 
juga melihat sedikit kilatan cahaya indah 
dari dalam lubang yang digali Pengemis 
Pincang. 

"Hemm... seruan Demit Merah jelas 
kalau dia melihat harta yang dicarinya. 
Berarti orang pincang itu tidak berbo- 
hong. Hanya saja aku menangkap satu ke- 
janggalan. Sepertinya orang pincang itu 
memang tak menginginkan harta yang terda- 
pat pada lubang itu. Lantas apa yang di- 
inginkannya? Dan mengapa dia berpura-pura 
bodoh? Dia menggali dengan mempergunakan 
tangannya dan membutuhkan waktu yang cu- 
kup lama, tetapi tak sebutir keringat pun 
membasahi wajahnya. Ini menandakan kalau 
dia memang bukan orang sembarangan. Ah, 
bila saja Demit Merah lebih memperhati- 
kan. ..." 

Raja Naga melihat Demit Merah ber- 
lutut dan memasukkan kedua tangannya ke 
dalam lubang lebar. Saat ditarik keluar 
tawa Demit Merah menggelegar. 

"Ha ha ha... dengan kekayaan ini, 
aku dapat mewujudkan seluruh rencanaku!!" 
serunya seraya mengangkat tinggi-tinggi 
bungkusan kain hitam usang. Dari balik 
kain hitam itulah terlihat samar-samar 
kilauan cahaya di dalamnya. 

Dengan sesekali terdengar tawanya, 
Demit Merah meletakkan benda yang ter- 
bungkus kain hitam usang itu pada telapak 
tangan kirinya. Lalu berhati-hati dia mu- 
lai membuka. 

Kilauan cahaya batu berlian segera 
membayang pada wajahnya. Butiran berlian 
indah menumpuk pada bungkusan itu! 

"Menakjubkan! Sungguh menakjub- 
kan! ! " serunya berulang-ulang. 

Pengemis Pincang tersenyum. 

"Demit Merah... apakah aku membo- 
hongimu?" 

Demit Merah hanya tertawa keras. 
Kepuasan membayangi wajahnya. Dan secara 
tiba-tiba dia memutuskan tawanya. Dengu- 
sannya seketika terdengar. Tatapannya 
mengeras, tajam pada Pengemis Pincang. 
"Mengapa kau menatapku seperti itu, 
hah?!" 

Pengemis Pincang hanya tersenyum. 

"Orang pincang celaka! Kau sudah 
mengatakan kalau harta karun ini untukku! 
Mengapa kau memandangku seperti itu, 
hah?!" 

Pengemis Pincang buru-buru mengang- 
gukkan kepalanya. 

"Aku hanya senang melihat kau puas 
seperti itu...." 

"Bagus! Urusan sudah selesai! Me- 
nyingkir dari si ni! " bentak Demit Merah 
sambil membungkus kembali berlian indah 
yang banyak jumlahnya. 

Pengemis Pincang berkata, "Puluhan 
batu berlian itu akan menjadi harta ke- 
kayaanmu tujuh turunan! Benda-benda yang 
banyak diinginkan orang! Demit Merah... 
sebaiknya kau membungkus berlian-berlian 
itu dengan kain yang lebih bagus dan 
baik. Rasanya tak pantas kalau dibungkus 
dengan kain hitam yang usang seperti 
itu...." 

Demit Merah sesaat memperhatikan 
kain hitam yang membungkus berlian- 
berlian itu. 

Kemudian dengusannya, "Aku tak me- 
miliki kain lain sebagai ganti! Biar kain 
hitam usang ini yang membungkusnya!" 

"Kau tak menghargai sebuah keinda- 
han tiada tara. Sudah tentu kain usang 
itu tak pantas dijadikan sebagai pembung- 
kus...." kata Pengemis Pincang tenang. 
Lalu memasukkan tangan kanannya ke balik 
pakaiannya. Saat ditarik keluar, ditan- 
gannya telah terpegang sebuah kain warna 
jingga terbuat dari sutera. "Kain inilah 
yang pantas membungkus berlian-berlian 
itu...." 

Demit Merah memandang tajam Penge- 
mis Pincang. Yang dipandang menganggukkan 
kepala seraya mengangsurkan kain sutera 
berwarna jingga itu. 

Tiba-tiba Demit Merah terbahak-bahak. 

"Kau memang pandai! Kau dapat me- 
nyenangkan orang!" serunya keras sambil 
menyambar kain sutera itu. Lalu ditua- 
ngnya berlian-berlian itu ke dalam kain 
sutera. Kain hitam usang pembungkusnya 
tadi di lontarkan asal saja dan jatuh ke 
tempat yang cukup jauh. Setelah itu dima- 
sukkannya berlian-berlian yang telah ter- 
bungkus kain sutera itu ke balik pakaian- 
nya . 

Kemudian katanya, "Urusan ini sudah 
selesai! Aku tak punya urusan lagi! Kecu- 
ali... kalau kau hendak merebut berlian- 
berlian ini dari tanganku!" 

Pengemis Pincang buru-buru mengge- 
leng . 

"Tidak, aku tak pernah punya niatan 
seperti itu! Kau bebas pergi ke mana saja 
dengan membawa berlian-berlian itu! Kare- 
na urusan memang sudah selesai!" 

"Bagus! Kau tahu gelagat rupanya!" 

"Tapi... kau mau menganggapku seba- 
gai seorang sahabat, bukan?" suara Penge- 
mis Pincang penuh harap. 

Demit Merah terbahak-bahak keras. 
Masih terbahak dia sudah melangkah me- 
ninggalkan tempat itu. Tawa kerasnya se- 
makin lama semakin menghilang dan lenyap 
sama sekali. 

Pengemis Pincang masih berdiri di 
tempatnya. 

Raja Naga yang menyaksikan semua 
itu dari balik rimbunnya dedaunan menge- 
rutkan keningnya. 

"Aneh! Aku melihat semua ini seba- 
gai sebuah keanehan! Apa yang sesungguh- 
nya diinginkan oleh lelaki pincang itu? 
Dia sama sekali tak menghendaki berlian- 
berlian yang kini dibawa Demit Merah! Dan 
tak ada tanda-tanda dia menginginkannya 
atau mencoba merebutnya di sebuah tempat! 
Bahkan dia telah mempersiapkan sebuah 
kain sutera sebagai pengganti kain hitam 
usang yang sebelumnya membungkus berlian- 
berlian itu. Sebenarnya apa yang di... 
hei! Apa yang dia lakukan?!" 

Di bawah, Pengemis Pincang mendadak 
saja tertawa keras. Wajahnya yang bila 
berhadapan dengan Demit Merah selalu te- 
gang dan ketakutan, kali ini tak keliha- 
tan ketakutannya sama sekali. Kedua ba- 
hunya yang kurus sampai berguncang. 

"Aku berhasil! Aku berhasil menge- 
labuinya!" serunya berulang-ulang. 

Ditempatnya Raja Naga membatin la- 
gi, "Dia berhasil mengelabui orang itu? 
Astaga! Aku jadi makin penasaran! Apa 
yang sebenarnya diingininya?!" 

Pengemis Pincang tiba-tiba memutus 
tawanya. Dia berbalik dan melangkah ber- 
gegas ke arah kanan, di mana kain hitam 
usang yang tadi sebagai pembungkus ber- 
lian tergeletak. 

Raja Naga melihat lelaki pincang 
itu memungut kain hitam usang tadi. 

"Inilah yang kucari! Benda inilah 
yang selalu dibicarakan oleh guruku, Ki 
Dundung Kali, tetapi tak pernah mau mem- 
beritahukan padaku bagaimana cara mengam- 
bilnya! Hahaha... benda inilah yang kuin- 
ginkan! Kain Pusaka Setan!" 

Raja Naga tersentak dengan kepala 
terangkat. Sepasang matanya yang selalu 
menyiratkan keangkeran memandang tak ber- 
kedip pada Pengemis Pincang yang sedang 
terbahak-bahak. 

"Pantas kalau dia tak menginginkan 
berlian-berlian itu... pantas pula dia 
telah menyiapkan sebuah kain pengganti 
kain hitam usang itu. Karena... kain itu- 
lah yang diinginkannya.... Luar biasa! 
Sungguh dia memiliki kecerdikan yang 
tinggi! Dan kalau tidak ada apa-apanya, 
tak mungkin dia mau bersusah payah mela- 
kukan sandiwara di hadapan Demit Me- 
rah . . . . " 

Di bawah. Pengemis Pincang masih 
tertawa keras sambil memandangi kain hi- 
tam usang yang berada di tangan kanannya. 

"Kain Pusaka Setan! Benda ini yang 
kuinginkan! Dengan benda ini aku dapat 
melakukan apa saja!! Ha ha ha....!" 

Masih tertawa Pengemis Pincang mem- 
bebatkan kain hitam usang itu pada tela- 
pak tangan kanannya. Lalu diputus tawanya 
sendiri. Dipandanginya sekelilingnya den- 
gan tatapan tak berkedip. 

"Menurut cerita Ki Dundung Kali... 
benda ini tak ada tandingannya di muka 
bumi! Hemm... aku harus mencobanya!!" 

Habis mendesis demikian, mendadak 
saja Pengemis Pincang terdiam. Dari si- 
kapnya jelas kalau dia sedang memusatkan 
pikiran pada satu masalah. Dan seperti 
melihat lawan yang sudah siap menyerang- 
nya, di gerakkan tangan kanannya itu den- 
gan cara menyentak ke depan. 

Breeerrrrrr!!! 

Serta merta menghampar gelombang 
angin laksana badai yang segera menghan- 
tam tanah. Letupan dahsyat terdengar be- 
berapa kali bersamaan tanah yang muncrat 
dahsyat! Kedahsyatan yang terjadi tidak 
hanya sampai di sana. Karena mendadak sa- 
ja hamparan gelombang angin tadi berbalik 
arah, menyentak naik ke udara dan melun- 
cur kembali ke bawah disertai letupan be- 
rulang-ulang . 

Dan.... Buummm! ! 

Begitu gelombang angin yang melun- 
cur tadi menghantam tanah, letupan menge- 
rikan terjadi seiring tanah yang membuyar 
ke udara. Cukup lama tanah-tanah itu 
menghalangi pandangan sebelum kemudian 
sirap kembali. Dan terlihat kemudian ba- 
gaimana sebuah lubang besar yang mengelu- 
arkan asap telah terbentuk sejarak sepuluh 
langkah dari hadapan Pengemis Pincang . 

Kontan tawa Pengemis Pincang mele- 
dak . 

Raja Naga yang menyaksikan kejadian 
itu dan sempat merasakan pohon di mana 
dia bersembunyi bergetar, melengak kaget. 
Mulutnya membuka lebar. 

"Astaga!" desisnya. "Kain hitam 
usang itu ternyata memang bukan benda 
sembarangan?I" 

"Tak sia-sia aku berlaku bodoh di 
hadapan Demit Merah! Tak sia-sia ku dus- 
tai Peramal Sakti! Dan tak sia-sia aku 
meracuni guruku untuk menjelaskan semua- 
nya! " 

Sepasang mata angker Raja Naga ber- 
sinar lebih angker ketika mendengar se- 
ruan itu. Gelegak amarah mendadak saja 
merajai tubuhnya. 

"Orang seperti dialah yang membuat 
segala urusan jadi berantakan. Orang be- 
rotak licik yang menghancurkan siapa pun 
juga dengan mempergunakan akalnya ini le- 
bih berbahaya daripada melakukannya den- 
gan jalan kekerasan. Karena tak nampak di 
mata," desisnya dalam hati. 

Lalu di lihatnya Pengemis Pincang 
yang berdiri tegak dengan kaki kanan, se- 
mentara kaki kirinya menjulai. Kain Pusa- 
ka Setan masih terbebat pada telapak tan- 
gan kanannya. 

Tawa kepuasan Pengemis Pincang ter- 
henti sudah. Mulutnya merapat dingin. Ma- 
tanya menyipit. Menyusul desisannya yang 
bernada dingin. 

"Dengan benda sakti ini, aku dapat 
menuntut balas perbuatan perempuan celaka 
yang menolak cintaku! Yang menyakiti ha- 
tiku! Dan yang telah menghinaku!" Orang 
ini melangkah ke depan. Matanya diedar- 
kan. Dewi Bintang... tak lama lagi kau 
akan mampus di tanganku!!" 

Raja Naga membatin, "Hemmm. . . Dewi 
Bintang. Aku tak tahu siapa adanya perem- 
puan itu. Tetapi yang pasti. Pengemis 
Pincang berkeinginan membunuhnya. Ah, 
apakah ini suatu pengkhianatan cinta se- 
perti yang dilakukan Nenek Konde Satu 
terhadap Bandung Sulang? Hingga saat ini 
aku tak tahu kabar Nenek Konde Satu. Bisa 
jadi kalau dia telah tewas dibunuh oleh 
Hantu Menara Berkabut." (Untuk mengetahui 
tentang Nenek Konde Satu, Bandung Sulang 
dan Hantu Menara Berkabut, silakan baca: 
"Tapak Dewa Naga" sampai Misteri Menara 
Berkabut"). 

Tiba-tiba saja gemuruh angin lin- 
tang pukang menerjang ganas ke arah lima 
buah pohon yang berdiri 
sejarak lima belas langkah dari 
tempat Pengemis Pincang berdiri. Rupanya 
lelaki pincang itu sudah mendorong lagi 
tangan kanannya! 

Letupan dahsyat beberapa kali ter- 
dengar mengerikan! Pepohonan itu berpen- 
talan dan pecah di udara dan menimbulkan 
suara cukup keras 1 

Pengemis Pincang terdiam dengan da- 
da naik turun. Parasnya kini dibiasi se- 
juta dendam yang ingin segera ditun- 
taskan . 

"Dewi Bintang.... kau akan mampus! 
Kau akan menyesali tindakanmu kepadaku!!" 
serunya berulang-ulang. 

Di tempatnya Raja Naga berkata da- 
lam hati, "Aku tak ada urusan apa-apa da- 
lam hal ini. Tetapi maksud busuk Pengemis 
Pincang itu harus kuhentikan. Sudah dapat 
kupastikan kalau urusan ini akan jadi ru- 
nyam 

Memutuskan demikian, Raja Naga me- 
narik napas dalam-dalam. Mata angkernya 
terus memandang pada Pengemis Pincang. 
Dan baru saja dia hendak mengempos tubuh 
untuk turun, mendadak saja dilihatnya sa- 
tu bayangan kuning melesat dari arah de- 
pan Pengemis Pincang! 

Lelaki pincang itu sempat menangkap 
bayangan yang mengarah padanya. Dia se- 
saat melengak kaget. Menyusul teriakannya 
terdengar keras, 

"Terkutuk! Kembali kau!!" 

Sosoknya sudah melesat menyusul 
bayangan kuning yang telah menyambar Kain 
Pusaka Setan yang terbelit di tangannya 
tadi. Melihat hal itu jelas kalau si 
Bayangan Kuning bukan orang sembarangan. 
Kain yang terbelit di tangan itu tak mu- 
dah dilepaskan begitu saja, tetapi si 
Bayangan Kuning berhasil merebutnya! 

Raja Naga terperangah. Dia kembali 
pada maksud semula untuk turun. Tetapi 
kali ini dengan tujuan untuk melihat sia- 
pa adanya si Bayangan Kuning. 

Tatkala mendengar deru angin dah- 
syat yang mengarah pada Pengemis Pincang, 
murid Dewa Naga ini mengurungkan niat. 

"Manusia setaaannn!!I" makian Pen- 
gemis Pincang terdengar keras bersamaan 
dia membuang tubuh ke samping kanan. 

Blaaaammmm!I 

Tanah di mana tadi dia berdiri, 
kontan rengkah ke udara dan tatkala sirap 
telah terbentuk sebuah lubang yang cukup 
besar serta mengeluarkan asap! 

Si Bayangan Kuning yang tadi mele- 
sat itu dan tiba-tiba berbalik seraya ke- 
pretkan kain hitam usang itu, sudah le- 
nyap dari pandangan. 

Hanya tawanya yang menggema berke- 
panj angan. 

"Setan alas!" geram Pengemis Pin- 
cang yang sudah berdiri tegak. "Manusia 
berpakaian kuning! Kau telah membuka uru- 
san denganku! Berarti kau harus mampus!!" 

Kejap berikutnya, lelaki pincang 
ini sudah berkelebat ke arah perginya si 
Bayangan Kuning. 

Tiga kejapan mata berikutnya, Raja 
Naga melompat turun dan segera menyusul. 
Anak muda dari Lembah Naga ini memperki- 
rakan urusan akan bertambah kacau. Penge- 
mis Pincang telah mendapatkan Kain Pusaka 
Setan dengan susah payah. Niatan untuk 
membunuh Dewi Bintang telah terpampang. 
Tetapi ada orang lain yang kemudian men- 
dapatkannya dengan cara merebutnya. 

"Luar biasa! Cara orang berpakaian 
kuning itu berkelebat dan merebut Kain 
Pusaka Setan dari tangan Pengemis Pincang 
sungguh luar biasa! Dan serangannya baru- 
san. .. hemm... jelas kalau manusia berpa- 
kaian kuning itu bukan orang sembaran- 
gan! " desis Boma Paksi dalam hati. "Dan 
aku jelas melihat... kalau si Bayangan 
Kuning adalah seorang gadis berambut kun- 
cir kuda!" 

Sambil terus membatin, murid Dewa 
Naga terus berlari menyusul. 

* * * 


EMPAT 

MALAM kembali membentang kelam. 
Udara dingin berhembus, kian menusuk tu- 
lang, dan seperti membawa kabar yang men- 
gerikan ke tempat yang agak landai dan 
dipenuhi pepohonan itu. Lolongan serigala 
terdengar di kejauhan, lambat dan pan- 
jang, menggema dingin dan mengerikan. 

Di tengah-tengah tempat yang boleh 
dikatakan seperti sebuah lembah, terdapat 
sebuah gubuk yang sudah condong ke kanan. 
Gubuk yang kelihatan tak lama lagi akan 
ambruk. Bila saja malam ini angin berhem- 
bus lebih kencang, tak mustahil gubuk itu 
akan terbongkar pecah. 

Di dalam gubuk reyot itu seorang 
kakek berjenggot putih yang panjang hing- 
ga perut, duduk di atas sebuah dipan 
usang. Tangan kanan si kakek terus mene- 
rus mengusap-usap jenggot putihnya. Sepa- 
sang matanya redup, bersinar agak sedikit 
terang. Si kakek yang rambut putihnya di- 
kuncir ekor kuda ini nampak sedang memi- 
kirkan sesuatu. Jelas dari keningnya yang 
sesekali dikerutkan. 

Lamat-lamat terdengar helaan napas- 
nya bersamaan wajahnya yang agak murung. 

"Ah... entah apa yang terjadi sebe- 
narnya, perasaanku semakin tidak enak sa- 
ja! Dan sungguh aneh, mengapa aku mera- 
malkan kalau telah terjadi sesuatu di Ta- 
man Kematian?" desisnya pelan, terus men- 
gusap-usap jenggot putihnya yang menjadi 
kebiasaannya. Dia terdiam sejenak sebelum 
meneruskan ucapannya seraya menggeleng- 
gelengkan kepala, "Kedatangan Karna Dirga 
atau yang berjuluk Pengemis Pincang, sam- 
pai saat ini masih menjadi pikiranku. Ta- 
pi. . . mengapa?" 

Kakek berpakaian putih panjang ini 
kembali terdiam, memikirkan jawaban atas 
pertanyaannya sendiri. Otaknya sesekali 
berkerut lagi. Tangan kanannya masih te- 
rus mengusap-usap jenggot putih panjang- 
nya . 

"Benarkah memang dia yang menyuruh- 
nya datang padaku untuk menanyakan kepas- 
tian tentang Kain Pusaka Setan yang ter- 
dapat di Taman Kematian? Semula aku me- 
mang tak percaya dengan ucapan Pengemis 
Pincang kalau dia disuruh Ki Dundung Kali 
untuk menjumpai ku menanyakan kejelasan 
tentang benda setan itu. Tetapi... ah, 
apakah aku telah lakukan kesalahan? Kesa- 
lahan yang harus kutebus dengan sebuah 
perjalanan panjang mengerikan?" 

Si kakek yang berjuluk Peramal Sak- 
ti ini kembali terdiam. Perasaan tidak 
enak menyiksa batinnya. Angin dingin ma- 
suk melalui pintu yang terbuka lebar, ka- 
rena memang tak ada daun pintu di sana. 
Kembali terdengar helaan napasnya pan- 
j ang-panj ang. 

"Mungkin aku telah melakukan kesa- 
lahan. Karena entah mengapa aku meramal- 
kan kalau akan terjadi sebuah urusan be- 
sar yang diakibatkan oleh Kain Pusaka Se- 
tan. Hanya aku dan Ki Dundung Kali yang 
dapat mengambil benda sakti itu dengan 
mudah. Karena kami sama-sama tahu bagai- 
mana cara menanggulangi tenaga dahsyat 
yang akan keluar dari dalam tanah setelah 
tangkai mawar berkuntum tiga tercabut. 
Karena memang aku dan Ki Dundung Kali-lah 
yang menanam tenaga gaib itu di sana. Dan 
telah memberikan tenaga dalam pada tang- 
kai mawar berkuntum tiga hingga tak per- 
nah layu selama seratus tahun." 

Kakek berjenggot putih panjang ini 
menarik napas pendek. Lalu melanjutkan, 
"Ki Dundung Kali tak mungkin melakukan 
tindakan itu. Kami telah bersumpah untuk 
tidak mengutak-atik Taman Kematian, tem- 
pat kami menguburkan barang celaka itu. 
Tetapi Pengemis Pincang? Ah, begitu bo- 
dohnya aku yang tak meramalkan kejadian 
ini sebelumnya. Aku memang meramalkan 
akan kedatangan seorang tamu, dan ternya- 
ta si Pengemis Pincang yang mengatakan 
kalau dia disuruh gurunya untuk. . . ah. . . 
aku telah melakukan kesalahan... kesala- 
han besar 

Memutus sendiri ucapannya. Peramal 
Sakti menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Ketimbang ini jadi pikiranku se- 
mentara ramalanku jelas-jelas mengisya- 
ratkan akan terjadi kejadian buruk, se- 
baiknya aku datangi saja si Dundung Kali. 
Mudah-mudahan dia bisa memberikan kejela- 
sannya. Dan kuharapkan pula kalau ramalan 
ku kali ini meleset..." 

Memutuskan demikian, si kakek ber- 
jenggot putih panjang segera berdiri. La- 
lu turun dari dipan yang di dudukinya dan 
melangkah ringan keluar. Udara malam me- 
nyergapnya. Tetapi tak terlihat dia meng- 
gigil. Bahkan, pakaian panjang yang dike- 
nakannya tak bergerak sedikit pun dihem- 
bus angin! Demikian pula rambut dan jeng- 
got panjangnya! 

Si kakek memperhatikan dulu seki- 
tarnya sebelum kemudian melangkah mening- 
galkan gubuk yang tak ditutupnya, karena 
memang tak memiliki daun pintu. Langkah- 
nya nampak perlahan dan begitu tenang, 
tetapi hanya dalam waktu tiga kejapan ma- 
ta saja, sosoknya sudah lenyap sama seka- 
li ! 

Jarak yang ditempuh Peramal Sakti 
untuk menjumpai Ki Dundung Kali seharus- 
nya ditempuh dalam waktu satu hari satu 
malam perjalanan berkuda. Dan kalau ber- 
jalan kaki bisa ditempuh hingga satu hari 
dua malam. Tetapi menjelang pagi dia su- 
dah tiba di tempat yang dituju. 

Tempat itu merupakan sebuah tempat 
yang dipenuhi ranggasan semak belukar. 
Keheningan yang terjaga di tempat itu cu- 
kup mendebarkan. Tak jauh dari sana ter- 
dapat sebuah sungai yang alirannya cukup 
deras. Suaranya bergemuruh kencang, teru- 
tama pada telinga si kakek yang sangat 
peka. 

"Aneh! Mengapa sepi sekali?" desis 
si kakek sambil mengusap-usap jenggot pu- 
tih panjangnya. "Tak terdengar suara ge- 
rakan apa pun atau desahan napas kecuali 
burung-burung yang beterbangan. Apakah 
ada sesuatu yang telah terjadi? Atau... 
si Dundung Kali sudah berangkat menuju 
Taman Kematian? Kalau memang demikian, 
berarti dugaanku salah. Bisa jadi Karna 
Durga memang diperintah olehnya untuk 
menjumpai ku." 

Si kakek kembali terdiam, hanya me- 
mandangi ranggasan semak belukar setinggi 
dada yang terpampang di depannya sambil 
mengusap-usap jenggot putihnya. Kemudian 
seraya melangkah digerakkan tangannya se- 
dikit. Tiba-tiba saja ranggasan semak itu 
menguak dan membentuk sebuah jalan. 

Terlihat di balik ranggasan semak 
itu sebuah gubuk yang tak begitu besar 
tetapi masih kokoh. Dengan enaknya Peram- 
al Sakti melangkah ke sana. Begitu dia 
berada di balik ranggasan semak, semak 
yang tadi menguak memberinya jalan itu 
sudah menutup kembali. 

"Dundung Kali! Aku datang untuk me- 
nyambangi mu! Bila kau berada di dalam, 
jangan sampai aku masuk ke dalam gubukmu 
yang bau apak!" serunya. Lalu sambungnya, 
"Sama seperti bau apak yang menguar di 
gubukku sendiri I" 

Tak ada sahutan apa-apa dari dalam 
gubuk. 

Si kakek menghentikan langkahnya. 

"Memmm... jangan-jangan gubuk itu 
kosong. Dundung Kali rupanya sudah be- 
rangkat menuju ke Taman Kematian. Hanya 
saja aku tak habis mengerti, mengapa dia 
meminta aku menjelaskan tentang Taman Ke- 
matian, seperti yang dikatakan muridnya, 
si Pengemis Pincang?" 

Kembali Peramal Sakti merapatkan 
mulutnya. Di usap-usap lagi jenggot putih 
panj angnya. 

"Aneh! Ramalanku mengatakan sesuatu 
telah terjadi di Taman Kematian. Kain Pu- 
saka Setan telah di dapatkan oleh seseo- 
rang. Tidak! Bukan oleh Dundung Kali mau- 
pun muridnya! Tetapi orang lain yang tak 
kuketahui siapa..." 

Habis berpikir begitu. Peramal Sak- 
ti melangkah mendekati gubuk itu seraya 
berseru, "Dundung Kali! Apakah kau berada 
di dalam?!" 

Hanya suara angin dan burung-burung 
yang terdengar. Untuk kesekian kali Pe- 
ramal Sakti menghentikan langkahnya. Dia 
terdiam sejenak. Lalu terlihat wajahnya 
agak tegang Bergegas dia melangkah ke da- 
lam . 

"Dundung Kali!" desisnya terkejut. 

Dilihatnya satu sosok tubuh sedang 
berbaring di atas lantai dengan kedua 
tangan membujur di sisi kanan kiri ping- 
gang. Wajah tua yang dilihatnya meringis. 
Mulutnya susah payah membuka, tetapi tak 
ada suara yang keluar. 

"Siapa yang lakukan ini?" tanya Pe- 
ramal Sakti sambil berlutut. Diperiksanya 
tubuh tua yang mengenakan pakaian merah 
penuh tambalan itu. Terlihat kemudian ke- 
ningnya berkerut. "Aneh! Aku tak merasa- 
kan sesuatu yang membuatnya terbujur tan- 
pa daya! Bahkan aku tak melihat adanya 
luka di sekujur tubuhnya. Berarti...." 

"Kau telah diracuni seseorang," ka- 
tanya kemudian. Lalu mengambil sesuatu 
dari tabung kecil yang berada di balik 
pakaiannya. Diangkatnya kepala Ki Dundung 
Kali. Tiga buah pil hitam yang kini dipe- 
gangnya dimasukkan ke mulut Ki Dundung 
Kali yang sesaat tersedak, lalu terbatuk 
dan terdiam menahan sakit. 

"Tahan! Jangan kau alirkan dulu te- 
naga dalam mu...." kata Peramal Sakti. 
Sikapnya benar-benar tenang. Keterkeju- 
tannya hanya sekali saja tatkala melihat 
sahabatnya terbujur tanpa daya. Kemudian 
diletakkan telapak tangan kanannya se- 
jengkal di atas dada kakek berpakaian me- 
rah. Satu tenaga keluar, masuk ke dada Ki 
Dundung Kali yang semakin meringis mena- 
han sakit. Tetapi tetap tak mengeluarkan 
suara. "Jangan kau tahan tenaga dalamku 
dengan tenaga dalammu ..." 

Mulut Ki Dundung Kali membuka. Dia 
berusaha keras untuk mengeluarkan suara. 
Dia berhasil melakukannya, tetapi sangat 
pelan, "Tenaga dalamku... keluar... ke- 
luar dengan sendirinya...." 

"Hemm... dalam soal tenaga dalam 
aku memang mengakui keunggulan nya. Dan 
jelas kalau orang yang meracuninya ini 
punya keberanian tinggi. Rasanya tak 
mungkin orang lain yang melakukannya. Be- 
rarti... dia adalah muridnya sendiri. Ah, 
pantas ramalanku mengatakan kalau sesuatu 
telah terjadi di Taman Kematian...." 

Tarik menarik dan tolak menolak an- 
tara tenaga dalam yang dialirkan Peramal 
Sakti dengan tenaga dalam yang keluar 
sendirinya milik Ki Dundung Kali, semakin 
kuat. Lama kelamaan Peramal Sakti nampak 
bergetar hebat. Keringat sudah mengalir 
di sekujur tubuhnya. 

Susah payah dan menahan sakit Ki 
Dundung Kali bersuara, "Sobat... jangan 
kau lakukan lagi... Karena aku merasakan 
tenaga dalamku akan menolak kuat tenaga 
dalammu. . . . Yang akan. . . menyebabkan mu 
terluka dalam...." 

"Tak usah kau menghiraukan soal 
itu! Biar bagaimanapun juga aku harus 
mengeluarkan racun celaka yang mengalir 
di tubuhmu menjadi uap!" 

"Bukan bermaksud mengecilkan kemam- 
puanmu. .. tetapi kau... kau akan mencela- 
kakan dirimu sendiri..." 

Peramal Sakti tak peduli. Dia tetap 
tenang melakukan apa yang menurutnya baik 
dilakukan. 

"Sobat... tenaga dalamku sudah tak 
kuasa ku bendung. Dia.... akan terlontar 
keluar... Hentikan... hentikan tindakan- 
mu...." suara Ki Dundung Kali makin susah 
payah dan bertambah serak. 

Peramal Sakti tak menjawab. Dia te- 
rus mengerahkan tenaga dalamnya. Telapak 
tangan kanannya yang berada sejengkal di 
atas dada Ki Dundung Kali makin bergetar 
hebat. Keringat terus membanjiri tubuh- 
nya. Dan dia mulai merasakan telapak tan- 
gannya terangkat naik karena dorongan 
kuat yang keluar menyentak dari dada Ki 
Dundung Kali. 

Sebelum tenaga dalam yang keluar 
dengan sendirinya itu menyentaknya lebih 
kuat, mendadak Peramal Sakti melakukan 
totokan melalui tangan kirinya pada dada 
Ki Dundung Kali. 

Tuk! Tuk! 

Tubuh Ki Dundung Kali melonjak se- 
saat. Suaranya seperti orang tercekik. 

Tindakan yang dilakukan Peramal 
Sakti memang tepat. Karena begitu tubuh 
Ki Dundung Kali tertotok kaku, tenaga da- 
lam yang keluar sendiri itu sudah terhen- 
ti sama sekali. 

Tinggal Peramal Sakti yang terus 
melakukan pengobatannya. Lamat-lamat ke- 
luar uap hitam dari dada Ki Dundung Kali 
yang menempel pada telapak tangan kanan- 
nya. Semakin lama telapak tangan Peramal 
Sakti semakin menghitam. Itu berarti ra- 
cun yang mengalir di 

tubuh Ki Dundung Kali yang telah 
menjadi uap hitam telah berkurang dan se- 
makin lama akan berangsur lenyap sama se- 
kali . 

Peramal Sakti tersentak ke belakang 
begitu selesai melakukan pengobatan aneh- 
nya. Lalu diusap telapak tangan kanannya 
dengan tangan kiri seraya mulutnya berke- 
mak-kemik. Kemudian disentaknya lalu di- 
tiupnya. Uap hitam yang menempel itu te- 
lah lenyap. 

Peramal Sakti segera melepaskan to- 
tokan yang di lakukannya. 

"Bagaimana keadaanmu, Sobat?" 

Ki Dundung Kali memejamkan matanya 
beberapa saat. Ketika dibukanya kembali, 
wajahnya sudah sedikit cerah dan berke- 
ringat . 

Terima kasih atas bantuanmu, " ka- 
tanya seraya duduk berselonjor. "Bila sa- 
ja kau datang terlambat... sebelum mata- 
hari tepat di atas kepala, mungkin kau 
hanya menjumpai mayatku di sini...." 

"Ke mana muridmu itu?" tanya Peram- 
al Sakti kemudian. "Ramalanku mengatakan 
kalau telah terjadi sesuatu di Taman Ke- 
matian. Kain Pusaka Setan yang kita kubur 
empat puluh tahun lalu di sana, telah 
terbongkar dan kini berada di tangan se- 
seorang . " 

Ki Dundung Kali terdiam menahan na- 
pas. Seraya menghembuskan napas digeleng- 
gelengkan kepalanya. 

"Semua di luar dugaanku... sama se- 
kali di luar dugaanku. Bukan maksudku un- 
tuk membocorkan rahasia yang berpuluh ta- 
hun kita pendam. Tetapi muridku itu sung- 
guh licik hingga dia bisa mengorek semua 
keterangan 

"Bahkan... dia telah datang kepada- 
ku untuk meminta kejelasan." 

Tatapan Ki Dundung Kali membuka. 
Celaka! Tentunya dia..." 

"Dia mengatakan kaulah yang menyu- 
ruhnya untuk menjumpai ku. Dan karena ke- 
bodohan ku, aku telah membuka semuanya. 
Mungkin sama seperti yang kau lakukan. 
Karena menurut dugaanku, kau telah menga- 
takan tentang rahasia itu padanya...." 

Ki Dundung Kali menggeleng- 
gelengkan kepala. Wajahnya nampak gusar. 

"Sobat... ucapanmu sudah menandakan 
kalau kau tahu aku tak pernah menyuruhnya 
untuk menjumpai mu. Yah... tak kusangka 
kalau aku memiliki murid murtad seperti 
itu...." 

"Kau tak boleh menyesali keadaan. 
Yang pasti, kita harus merebut kembali 
Kain Pusaka Setan. Tapi menurut ramalan- 
ku. . . benda sakti itu bukan berada di 
tangan muridmu." 

"Okh!" Ki Dundung Kali melengak. 
"Kau..." Peramal Sakti berdiri. Memandang 
keluar. Lalu berkata tenang, "Ramalanku 
mengatakan... muridmu memang telah menda- 
patkan Kain Pusaka Setan dengan mempera- 
lat seseorang yang tak kuketahui siapa. 
Tetapi seseorang telah merebut benda sak- 
ti itu. Dundung Kali... ingatkah kau pada 
peristiwa empat puluh tahun lalu, di mana 
kita pertama kali merebut Kain Pusaka Se- 
tan dari mendiang manusia terkutuk berju- 
luk Durjana Kayangan?! Benda itu telah 
banyak menimbulkan keonaran! Membuat sua- 
sana lintang pukang tak menentu! Bahkan 
kau dan aku sama-sama terluka dalam dan 
harus menderita selama lima tahun setelah 
berhasil merebut Kain Pusaka Setan!" Ki 
Dundung Kali berdiri, 

"Sudah tentu aku tak pernah melupa- 
kannya. Bahkan Kain Pusaka Setan itu kita 
jadikan pembungkus berlian-berlian milik 
Durjana Kayangan. Peramal Sakti... ke 
arah mana yang harus kita tuju?" 

"Aku belum meramalkannya. Tetapi 
entah mengapa... semalam aku meramalkan 
kalau seseorang akan datang sebagai pe- 
nengah! Seseorang yang memiliki kesaktian 
tinggi yang akan berhasil merebut Kain 
Pusaka Setan dan menguburkannya kembali 
selama-lamanya...." 

"Siapakah orang itu?" 

Peramal Sakti menggeleng. 

"Aku tidak tahu siapa dia! Tetapi 
ramalanku mengatakan, dialah yang akan 
berhasil menanggulangi semua urusan yang 
kelak akan jadi kacau balau! Dundung 
Kali... kau tahu bukan, kita harus berbu- 
lan-bulan memikirkan cara yang tepat un- 
tuk menghentikan sepak terjang Durjana 
Kayangan empat puluh tahun lalu. Dan ren- 
cana itu pun tak membawa keberhasilan 
yang menggembirakan. Hanya karena kebera- 
nian dan kebulatan tekad kita saja dapat 
menghentikan tindakan makar Durjana 
Kayangan sebagai pemilik Kain Pusaka Se- 
tan. " 

"Lantas... bagaimana dengan ramalan 
mu itu?" "Ramalanku mengatakan kalau 
orang itu akan berhasil melakukannya." 

Tak ada yang mengeluarkan suara. 
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam 
gubuk. 

Ki Dundung Kali berkata, "Sobat... 
keadaan ini bermula dari kesalahanku. Aku 
akan menebusnya...." 

Peramal Sakti berbalik. Menatap sa- 
habatnya yang telah sama-sama tua. 

"Aku juga telah dikelabui oleh Pen- 
gemis Pincang. Aku punya kepentingan yang 
sama." 

"Tak pernah kusangka kalau muridku 
yang selama ini kukenal baik ternyata 
punya maksud busuk. Bahkan dia tega sam- 
pai meracuniku." 

Peramal Sakti mengusap-usap jenggot 
putih panjangnya. 

"Barangkali... dia memiliki satu 
urusan yang selama ini dirahasiakannya 
darimu. Dia membutuhkan sebuah benda sak- 
ti yang dapat dipergunakan untuk membantu 
apa yang hendak dilakukannya..." 

Ki Dundung Kali terdiam sejenak se- 
belum berkata, "Barangkali memang begitu 
adanya... Sobat... kita berangkat seka- 
rang . . . . " 

Ki Dundung Kali sudah mendahului 
keluar. Disusul oleh Peramal Sakti. Ber- 
samaan mereka hendak melangkah meninggal- 
kan tempat itu, terdengar suara bentakan 
yang luar biasa keras, 

"Dundung Kali! Di mana murid kepa- 
ratmu itu?! Bila dia tidak ada di sini 
atau kau melindunginya, maka kau yang ha- 
rus bertanggung jawab atas kematian mu- 
ridku ! ! " 

Belum habis bentakan itu terdengar, 
satu sosok tubuh telah berdiri sejarak 
sepuluh langkah di hadapan masing-masing 
orang. 

Ki Dundung Kali mendesis, "Dadu Ganggang.... 

***


LIMA 

KAKEK bongkok yang usianya tak jauh 
berbeda dengan Ki Dundung Kali dan Peram- 
al Sakti, melangkah bergegas. Wajahnya 
gusar. Tatapannya penuh kemarahan. Pa- 
kaian hitam yang dikenakannya berkibar 
dihembus angin. 

Saat dia menghentikan lagi langkah- 
nya, mulutnya sudah berseru tertuju pada 
Ki Dundung Kali, "Dundung Kali! Mana mu- 
rid jahanammu itu?! Suruh dia keluar un- 
tuk menerima kematian! Tapi... bila kau 
ingin menangani urusan ini, silakan kau 
coba-coba berdusta padaku!" 

Ki Dundung Kali mengerutkan kening- 
nya . 

"Ada urusan apa tahu-tahu Dadu 
Ganggang muncul dengan membawa amarah da- 
lam? Mengapa dia mencari muridku?" desis- 
nya dalam hati. 

Lalu dengan senyuman di bibir Ki 
Dundung Kali berkata, "Lama tak jumpa ta- 
hu-tahu datang dengan membawa amarah! Da- 
du Ganggang... bukankah kita bisa bersi- 
kap lebih tenang sebelum membicarakan 
urusan?" 

Kakek berwajah tirus dengan hidung 
bengkok itu mendengus. 

"Urusanku datang ke tempat ini ada- 
lah untuk mencabut nyawa murid celakamu 
itu! " 

Meskipun agak jengkel dengan sikap 
kakek agak bongkok itu, Ki Dundung Kali 
tetap bersikap tenang. 

"Terus terang, aku belum tahu ten- 
tang urusan yang kau bawa! Bukankah se- 
baiknya kau jelaskan?!" 

"Sepanjang hidupku kita tak pernah 
buka urusan! Tetapi bila pagi ini kau 
hendak buka urusan denganku, tak ada sa- 
lahnya! Aku menerimanya!" 

"Kakek satu ini bila sedang marah 
memang tak pernah mempertimbangkan akal 
sehat! Dia akan melontarkan langsung ke- 
marahannya! Bisa berabe kalau dia lang- 
sung menyerang tanpa menjelaskan uru- 
san...." kata Ki Dundung Kali dalam hati. 
"Karena... aku juga tak akan tinggal diam 
bila dia mendadak menyerang. Dan ini ar- 
tinya, urusan akan bertambah runyam." 

Sementara itu Peramal Sakti berka- 
ta, "Dadu Ganggang... kau muncul di sini 
dengan membawa amarah tinggi! Apakah ini 
tindakan yang baik?" 

"Peramal Sakti! Aku tak punya si- 
lang urusan denganmu! Sebaiknya kau jan- 
gan campuri urusan ini!" bentak Dadu 
Ganggang gusar. Tongkat yang dipegangnya 
tahu-tahu amblas hingga setengah ke dalam 
tanah. 

Peramal Sakti melirik tongkat yang 
amblas itu sejenak sebelum berkata, "Se- 
jak dulu kita bertiga saling kenal dan 
tak punya silang urusan! Sampai hari ini 
pun aku akan menjaga keadaan agar tetap 
terjadi seperti itu! Seperti yang dikata- 
kan oleh Ki Dundung Kali... apakah tak 
sebaiknya kau menjelaskan dulu urusan 
ini?" 

Dadu Ganggang memandang gusar pada 
kakek yang selalu mengusap jenggot putih 
panjangnya. Lalu dengan kepala diangkat 
angkuh, dia buka mulut, 

"Kalian tentunya telah tahu, kalau 
aku memiliki seorang murid yang kujuluki 
Demit Merah! Dan sekarang... dia telah 
mampus dengan dada jebol!" 

Baik Ki Dundung Kali maupun Peramal 
Sakti sama-sama melengak kaget. 

"Astaga! Siapakah yang melakukan- 
nya?" 

"Dundung Kali! Kau masih juga ber- 
laku bodoh di hadapanku dengan bertanya 
seperti itu!" 

Ki Dundung Kali terdiam. Perasaan- 
nya menjadi tidak enak tatkala dia memi- 
kirkan sesuatu. Kemudian katanya, 

"Sebaiknya kau jelaskan semua ini...." 

Dadu Ganggang menggeram. Tetapi mu- 
lutnya berbunyi juga, 

"Beberapa hari lalu, muridku me- 
ninggalkanku! Dia mengatakan akan menemui 
Pengemis Pincang yang kuketahui adalah 
muridmu! Aku tak banyak tanya apa yang 
akan keduanya lakukan! Dan semalam aku 
menemukan muridku sudah menjadi mayat di 
Bukit Beringin!" Dadu Ganggang terdiam 
sesaat lalu sambungnya lebih gusar, "Apa- 
kah sekarang kau akan berlaku bodoh kare- 
na merasa kesulitan untuk menebak siapa- 
kah yang telah membunuh muridku?! Atau... 
kaulah yang sebenarnya melakukannya?!" 

Ki Dundung Kali menarik napas pen- 
dek. 

"Astaga! Tak kusangka kalau mulut- 
nya menilaiku sedemikian keji," katanya 
sambil menindih kegeramannya. Kemudian 
sambungnya, "Aku sama sekali tak tahu 
persoalan itu! Bahkan aku tak tahu kalau 
muridku pergi bersama dengan Demit Merah, 
yang entah ke mana tujuan mereka! Tapi... 
Dadu Ganggang, mengapa kau menuduh murid- 
ku yang melakukannya?!" 

"Keparat! Kau mau membela muridmu 
rupanya?!" 

"Ketahuilah... sebelum kau datang 
tadi, aku sudah tak menganggapnya sebagai 
muridku!" 

"Bualan kosong!" 

"Kau belum menjawab pertanyaanku?!" 

"Siapa orangnya yang memiliki ilmu 
'Menggiring Awan Hitam" selain dirimu, 
hah?! Sudah tentu muridmu memilikinya ju- 
ga! Ilmu itu jelas sekali dapat terlihat, 
karena mengarah pada jantung dan menje- 
bolkan dada! Apa yang dialami muridku 
bernasib demikian! Dan satu hal yang tak 
bisa dipungkiri, kalau muridku pergi ber- 
sama murid celakamu!" 

Ki Dundung Kali tak buka suara. 

Peramal Sakti yang berkata, "Kau 
dan aku tahu tentang ciri ilmu 
'Menggiring Awan Hitam'! Apakah kau sudah 
menelitinya lebih lanjut?!" 

Paras Dadu Ganggang memerah. Tata- 
pannya menusuk tajam. 

"Sejak tadi sudah kukatakan, jangan 
turut campur urusan ini!" bentaknya din- 
gin. "Tapi bila kau ingin ambil bagian... 
aku tak pernah menghalangi!!" 

Peramal Sakti tersenyum. 

"Kita sedang mencoba menyelesaikan 
keadaan ini! Perlu kau ketahui... ketika 
aku datang, aku menjumpai Dundung Kali 
dalam keadaan terkapar tanpa daya! Dia 
telah diracuni seseorang yang ternyata 
muridnya!" 

Kepala orang berpakaian hitam pan- 
jang itu menegak. Sorot matanya tetap ta- 
jam. Tetapi keningnya berkerut. 

"Diracuni oleh muridnya sendiri? 
Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya dalam 
hati. Tetapi di lain saat dia sudah men- 
dengus gusar. Kemudian bentaknya, "Kau 
pandai memutar omongan Peramal Sakti!" 

"Aku mengatakan apa adanya! Baik- 
lah... kuulangi lagi pertanyaanku tadi! 
Apakah kau sudah meneliti bekas pukulan 
yang menewaskan muridmu?!" 

"Jangan mengajariku!" 

"Aku hanya ingin mencari kebenaran 
hingga urusan ini tak berkembang menjadi 
kesalahpahaman! Kalau memang terbukti mu- 
rid Dundung Kali yang melakukannya... itu 
bukanlah tanggung jawab Ki Dundung Kali, 
karena dia sudah tak dianggap lagi seba- 
gai seorang murid! Berarti... semua tin- 
dakannya sudah menjadi tanggung jawabnya 
sendiri! Dan kalau bukan dia yang melaku- 
kannya, kau telah salah tempat!" 

"Peduli setan dia atau bukan yang 
melakukannya! Aku hanya tahu kalau murid- 
ku pergi bersama Karna Dirga!" 

"Terlepas dari semua itu... jawab- 
lah pertanyaan ku!" 

Dadu Ganggang yang agak sedikit me- 
redakan kemarahannya karena mendengar ka- 
ta-kata Peramal Sakti sebelumnya, menga- 
rahkan pandangannya ke tempat lain. 

Lalu dengan suara angkuh dia berka- 
ta, "Dada muridku jebol dan jantungnya 
hangus! Sekujur tubuhnya pun menghitam!" 

"Coba kau ulangi sekali lagi?" de- 
sis Peramal Sakti dengan kening berkerut. 

Serta merta Dadu Ganggang mengarah- 
kan tatapan menusuk pada Peramal Sakti. 

"Apakah kau mendadak menjadi tuli?! " 

Peramal Sakti tersenyum. Di pihak 
lain Ki Dundung Kali menghela napas lega. 

Peramal Sakti berkata, 'Kau rupanya 
belum mengetahui tentang kehebatan ilmu 
"Menggiring Awan Hitam'. Atau... kau ber- 
lagak sudah melupakannya?" 

"Apa maksudmu dengan berlagak melu- 
pakannya? ! " 

"Sasaran dari ilmu 'Menggiring Awan 
Hitam" memang dada yang akan jebol bila 
terhantam! Kehebatan dari ilmu itu, akan 
membikin sekujur tubuh orang yang terhan- 
tam akan menghitam! Tetapi... jantungnya 
tidak akan hangus kendati dada adalah sa- 
saran utamanya...." 

Mendengar penjelasan itu. Dadu 
Ganggang tersentak kaget. Bahkan dia sam- 
pai surut satu langkah. 

"Astaga! Aku baru ingat akan hal 
itu! Ilmu "Menggiring Awan Hitam' tak 
akan membuat hangus jantung!" desisnya 
dalam hati. 

Peramal Sakti menyambung, "Berarti 
sudah jelas kalau bukan bekas murid Ki 
Dundung Kali yang melakukannya?" 

Dadu Ganggang tak buka suara. Wa- 
jahnya kini kelihatan sedikit malu. 

Ki Dundung Kali berkata, "Kau sudah 
mendengar kenyataan yang ada, bukan? 
Dan kurasa... kau sudah salah tempat, 
Sobat . . . . " 

Kembali Dadu Ganggang merapatkan 
mulutnya. 

Dia hanya memandang keduanya ber- 
gantian . 

Saat lain dia berkata, tetapi sua- 
ranya sudah tak sekeras tadi, "Kalau be- 
gitu... siapakah yang telah membunuh mu- 
ridku?" 

"Itu yang harus diselidiki!" 

"Lantas... di mana muridmu seka- 
rang?" 

"Setelah dia meracuniku... dia 
menghilang tak tahu ke mana...." 

"Dundung Kali I Aku ingin tahu apa 
sebabnya muridmu meracuni mu?!" 

Ki Dundung Kali menarik napas pen- 
dek. Dia memandang Peramal Sakti seolah 
meminta pendapat. Yang dipandang mengang- 
gukkan kepala. Kemudian Ki Dundung Kali 
segera menceritakan apa yang terjadi. 

Dadu Ganggang terdiam setelah Ki 
Dundung Kali selesai bercerita. Sementara 
itu Peramal Sakti membatin, 

"Berarti ramalanku yang mengatakan 
kalau Pengemis Pincang dibantu seseorang, 
adalah Demit Merah, yang ternyata murid 
Dadu Ganggang." 

"Dundung Kali... baru kali ini ku- 
dengar tentang Taman Kematian! Tetapi... 
tentang Kain Pusaka Setan telah kudengar 
lama! Bila aku tak salah, kain penyebar 
maut itu adalah milik si Durjana Kayangan 
yang kalian kalahkan dulu! Lantas... apa- 
kah maksud murid mu mengajak muridku per- 
gi ke sana?!" 

"Secara pasti aku tak bisa menja- 
wabnya, karena aku sama sekali tidak ta- 
hu! Dan sekarang, memang tak ada yang 
perlu ditutupi lagi! Sekian lama aku dan 
Peramal Sakti mencoba melupakan dan men- 
gubur rapat-rapat tentang Kain Pusaka Se- 
tan yang kami kuburkan di sebuah tempat! 
Kami pula yang menamakan tempat itu den- 
gan nama Taman Kematian! Karena khawatir 
suatu ketika ada orang yang akan menemu- 
kan tempat itu dan secara tak sengaja 
mendapatkan Kain Pusaka Setan, maka kami 
letakkan satu tenaga rahasia di sana! 
Saat itu aku dan Peramal Sakti berdebat 
cukup sengit, mengingat bila seseorang 
tak sengaja mencabut tangkai mawar ber- 
kuntum tiga, maka dia akan celaka. Tetapi 
kala itu, kami memutuskan untuk tetap me- 
lakukannya! Mengorbankan nyawa seseorang 
lebih baik ketimbang puluhan orang akan 
menjadi celaka akibat teror Kain Pusaka 
Setan! Di saat Durjana Kayangan berhasil 
kami bunuh, kami menemukan butiran ber- 
lian yang sangat banyak! Kain Pusaka Se- 
tan kami jadikan sebagai pembungkus ber- 
lian-berlian itu!!" 

Dadu Ganggang lagi-lagi terdiam. 

Kakek berpakaian hitam ini sudah tak se- 
keras tadi suaranya. Tetapi parasnya ma- 
sih menyiratkan kemarahan tinggi. 

Didengarnya lagi kata-kata Ki Dun- 
dung Kali, "Besar dugaanku, kalau muridmu 
lah yang diminta oleh murid ku untuk men- 
cabut tangkai mawar berkuntum tiga! Kare- 
na... muridmu tentunya memiliki ilmu 
'Tapak Sepuluh'". 

Dadu Ganggang masih terdiam. Napas- 
nya terdengar agak memburu dengan dada 
naik turun. Kemudian katanya pada Ki Dun- 
dung Kali, "Dundung Kali! Kau tadi menga- 
takan kalau kau sudah tak anggap lagi 
Karna Dirga sebagai muridmu! Berarti... 
membunuhnya pun tak jadi masalah yang be- 
sar ! " 

"Itu urusanmu! Hanya saja... menga- 
pa kau hendak membunuhnya? Padahal kau 
sudah tahu kalau bukan dia yang telah 
membunuh muridmu?! Aku memang akan menca- 
rinya untuk meminta pertanggungjawaban 
atas perlakuannya, tetapi tidak untuk 
membunuhnya!" 

"Karena... dialah yang mengajak mu- 
ridku untuk mencari Kain Pusaka Setan!" 

"Aku yakin... Pengemis Pincang tak 
pernah mengatakan soal Kain Pusaka Setan! 
Karena bila dia mengatakannya, sudah ten- 
tu Demit Merah akan merebutnya! Jadi du- 
gaanku... muridmu dibujuknya dengan ber- 
lian-berlian yang banyak itu!" 

"Keparat! Kau hendak mengatakan mu- 
ridku seorang yang tamak?!" bentak Dadu 
Ganggang dengan mata seperti hendak me- 
lompat keluar. "Aku tak berkata demi- 
kian!" 

Dadu Ganggang menggeram dingin. 

"Dundung Kali! Kuharap semua kete- 
ranganmu ini memang benar! Karena bila 
kelak terjadi kesalahan dari ucapanmu 
ini, jangan salahkan aku untuk datang ke- 
padamu membawa urusan!" 

Habis ucapannya, kakek itu mencabut 
tongkatnya yang amblas ke tanah tadi. 
Terdengar suara 'brol' yang cukup keras 
dan tanah seketika membubung sepinggang- 
nya. 

Lalu dipandanginya Ki Dundung Kali 
dan Peramal Sakti bergantian. Kejap beri- 
kutnya, dia sudah bergerak dengan langkah 
lebar dan dengusan keras. Saat melangkah, 
terbayang ketika dia menemukan mayat mu- 
ridnya yang kemudian dikuburnya. Dan se- 
mua itu membuatnya semakin gusar. 

Sepeninggal Dadu Ganggang, Ki Dun- 
dung Kali berkata, "Sobat... ramalan mu 
memang luar biasa. Kau mengatakan akan 
terjadi urusan yang besar dan runyam. 
Urusan pertama sudah datang dibawa Dadu 
Ganggang. Bila saja atau kau salah bica- 
ra, tak mustahil akan terjadi kesalahpa- 
haman 

Kakek berkuncir kuda itu menggeleng-
gelengkan kepalanya. Sambil mengu- 
sap-usap jenggot putih panjangnya, dia 
berkata, "Muridmu memang tak pantas di 
maafkan. Bila aku memiliki murid seperti 
itu, membunuhnya pun aku tak menyes- 
al .... " 

Ki Dundung Kali tak menjawab. 

"Ku benarkan apa yang di inginkan 
oleh Dadu Ganggang. Tetapi kesalahan tak 
sepenuhnya berada pada muridmu. Kesalahan 
justru berpulang pada kita, kau dan aku, 
yang telah menceritakan tentang Kain Pu- 
saka Setan yang membungkus berlian- 
berlian milik Durjana Kayangan pa- 
danya . . . . " 

Ki Dundung Kali perlahan-lahan me- 
narik napas panjang. 

"Sobat... aku bertanggung jawab se- 
penuhnya atas urusan ini. Tetapi seperti 
yang telah kau ramalkan, kalau Kain Pusa- 
ka Setan tak lagi berada di tangan murid 
ku. Aku justru punya dugaan, kalau orang 
yang telah merebut Kain Pusaka Setan itu- 
lah yang telah membunuh murid Dadu Gang- 
gang . . . . " 

Peramal Sakti mengangguk, tetap 
sambil mengusap-usap jenggot putihnya. 

"Aku pun punya pikiran yang sama. 
Mengingat ciri khas dari Kain Pusaka Se- 
tan bila telah mengenai korbannya. Tubuh 
korbannya akan hangus seluruhnya." 

Habis itu tak ada yang mengeluarkan 
suara. Sehelai daun gugur melayang dan 
jatuh di atas tanah. Peramal Sakti menen- 
gadah. Memandang ke langit yang cerah. 

Tanpa menoleh pada kakek berpakaian 
merah penuh tambalan itu, dia berkata, 
"Dundung Kali... kita berangkat seka- 
rang 

* * * 


ENAM 

BOMA Paksi yang mengikuti ke mana 
perginya Pengemis Pincang yang sedang 
mengejar si Bayangan Kuning, menghentikan 
langkahnya di sebuah persimpangan. Sejak 
tadi malam dia sudah tak lagi melihat so- 
sok Pengemis Pincang maupun si Bayangan 
Kuning. 

Si Bayangan Kuning yang diduga oleh 
murid Dewa Naga ini adalah seorang gadis 
berparas jelita, ternyata memiliki ilmu 
lari yang luar biasa. Karena dalam waktu 
singkat saja dia sudah berhasil mening- 
galkan Pengemis Pincang yang menghentikan 
larinya sembari menyumpah-nyumpah. Raja 
Naga yang berada di belakangnya, tak mau 
menghentikan larinya. Dia tak menghirau- 
kan Pengemis Pincang. Anak muda bersisik 
coklat dari jari jemari hingga sikunya 
itu terus berusaha menyusul si Bayangan 
Kuning. 

Namun sampai hari menjadi siang se- 
perti ini, dia pun kehilangan jejak orang 
yang dikejarnya. 

Raja Naga menarik napas panjang. 
Matanya yang bersinar angker dan dapat 
membuat orang ciut bila menatapnya, di- 
edarkan ke sekelilingnya. 

"Heemm... ke mana perginya gadis 
berpakaian kuning itu? Larinya seperti 
setan! Sungguh luar biasa!" desisnya pe- 
lan. Lalu dia melangkah ke depan. Indera 
penglihatan dan pendengarannya di tajam- 
kan. "Pengemis Pincang bisa jadi sudah 
menderita batin sekarang! 

Dia yang berusaha membujuk Demit 
Merah dan berlaku bodoh dengan bersikap 
mengalah dan ketakutan, kini harus gigit 
jari karena benda yang diinginkannya te- 
lah direbut orang. Ah, menilik kedahsya- 
tan Kain Pusaka Setan... aku khawatir ka- 
lau si gadis berpakaian kuning akan mem- 
pergunakannya untuk tindakan makar. 
Atau... dia bertindak atas suruhan orang 
lain? Ah... aku tak bisa menduga-duga se- 
belum mendapat kepastian." 

Baru saja selesai ucapannya. Raja 
Naga tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Se- 
pasang matanya yang tajam memandang ke 
depan. Dua sosok tubuh sedang melangkah 
mendekatinya. Yang seorang tertawa-tawa 
manja, sementara yang seorang lagi sedang 
berkata, 

"Wah! Kau ini pelit amat?! Masa' 
aku mencowel pantatmu yang mumbul itu sa- 
ja tidak boleh? Atau... kau ingin gunung 
kembarmu itu yang kucowel?!" 

"Ih! Kau ini! Seharusnya berkaca 
dulu! Lihat wajahmu yang sudah keriputan 
seperti itu!" 

"Busyet! Kau ingin kubantu atau ti- 
dak? Kalau ingin... ayo, sinikan pantat 
mumbulmu itu! Masih untung kucowel pakai 
tangan! Coba kalau pakai.." 

"Pakai apa?" 

"Eh! Nantang ya?! Kucowel gunungmu 
saja deh! Wadaouuuuww! Lembut amat! Lagi, 
lagi ah!" 

"Sttt! ! Kau tidak lihat di depan 
itu? Malu!" 

Raja Naga yang memperhatikan ting- 
kah laku kedua orang yang baru datang 
itu, mengerutkan keningnya. Matanya yang 
bersinar angker memandang tak berkedip. 

Kakek bertelanjang dada yang mem- 
perlihatkan tulang belulang tubuhnya, 
langsung melotot ke arahnya. 

"Busyet! Hei, anak muda! Menyingkir 
kau dari sini! Kami ingin pakai tempat 
ini untuk bersenang-senang!" 

Boma Paksi tak buka mulut. Keangke- 
ran matanya sangat menusuk. 

Melihat si pemuda di hadapannya tak 
menyahut, si kakek berambut putih acak- 
acakan yang beriap sudah hendak membentak 
lagi. Mulutnya memang sudah membuka, te- 
tapi tak ada suara yang keluar. Justru 
kedua matanya yang membelalak lebar. 

"Gila! Tatapannya! Seperti ada satu 
kekuatan yang dapat mempengaruhi seseo- 
rang? ! " 

Sementara itu, perempuan setengah 
baya yang berwajah jelita dan bertubuh 
sintal laksana seorang penari jaipong, 
juga mengalami hal yang sama. Dia tak 
berkedip memandang sinar angker dari mata 
pemuda berompi ungu di hadapannya. 

"Seumur hidupku... baru kali ini 
kulihat tatapan yang sangat mengerikan 
seperti itu. Dan kedua lengannya sebatas 
siku? Astaga! Bersisik coklat yang agak 
terang! Gila! Padahal parasnya sedemikian 
tampan! Tetapi sorot matanya sangat ang- 
ker menusuk!" 

Si kakek bertelanjang dada yang be- 
berapa saat terperangah melihat sorot ma- 
ta angker milik pemuda di hadapannya, 
mendadak mendengus. 

"Anak muda! Apakah kau tuli dan bi- 
su hingga tak bisa mendengar dan menjawab 
pertanyaan orang?! Atau... kau terpesona 
melihat tubuh indah dengan buah dada se- 
besar pepaya ini?!" 

Raja Naga mendengus dingin. 

"Kakek tanpa baju! Kau katakan hen- 
dak mencari tempat untuk bersenang- 
senang, silakan! Tapi jangan usik kete- 
nanganku I " 

"Astaga! Suaranya begitu dingin! 
Sedingin tatapan angkernya!" desis si ka- 
kek bertelanjang dada. Tetapi karena yang 
berucap itu seorang anak muda yang baru 
dikenalnya, si kakek sudah menggeram, 
"Setan bersisik! Lidahmu tajam juga bila 
bicara! Menyingkir dari sini! Menyingkir 
kataku!!" 

Raja Naga tak bergeming dari tem- 
patnya. Murid Dewa Naga ini memang memi- 
liki sifat yang keras. Dia sudah tak suka 
melihat kemunculan kedua orang itu diha- 
dapannya. Terlebih lagi si kakek sudah 
melontarkan ucapan yang tak enak diden- 
gar . 

Merasa didiamkan orang, mendidih 
darah kakek tanpa baju itu. Tetapi dia 
urung bicara, karena perempuan yang tubuh 
sintalnya ditutupi kain panjang berwarna 
keemasan yang terbuka sebatas bagian ten- 
gah payudara besarnya, yang mau tak mau 
menyembul keluar, sudah buka mulut, 

"Anak muda... maafkan sikap saha- 
batku ini. Dia memang sudah senewen bila 
hendak menggeluti tubuhku. Jadi... dia 
bersikap seperti itu... Harap kau maklumi 
saj a ...." 

Ucapan bernada kotor dari si perem- 
puan yang puncak dan belahan bukit gem- 
palnya dipamerkan tanpa risih, membuat 
Raja Naga mendengus. 

"Mungkin kau tak pernah punya pa- 
kaian yang lengkap, hingga kau membiarkan 
mata leluasa memandang tubuhmu!" 

"Kunyuk!" si kakek yang membentak. 
"Mulutmu bicara begitu, tetapi hatimu ju- 
stru mengharapkan agar dia mau menurunkan 
lagi sedikit pakaiannya! Hingga kau dapat 
melihat semuanya dengan jelas!" 

Raja Naga mengentakkan rahangnya. 

"Manusia-manusia cabul ini akan bi- 
kin runyam urusan. Lebih baik aku me- 
nyingkir dari sini 

Memutuskan demikian, murid Dewa Na- 
ga ini berkata, "Kurasa sudah cukup kita 
buka percakapan! Kalian bisa meneruskan 
apa yang kalian inginkan?!" 

"Apakah kau tak ingin ambil ba- 
gian?" ucap si perempuan tiba-tiba. Dia 
maju dua langkah ke muka. Saat melangkah, 
terlihat belahan panjang pakaian yang di- 
kenakannya sebatas pangkal paha sedikit 
membuka. Bukan hanya sepasang paha gempal 
halus mulus yang terlihat, sesuatu yang 
ditutup kain warna merah jambu sekilas 
terpampang di mata Raja Naga. 

Bukannya Raja Naga yang menyahut, 
si kakek sudah berseru, "Lara Dewi! Apa- 
apaan kau mengajaknya untuk bergabung, 
hah?! Apakah kau tidak puas dengan apa 
yang kuberikan?!" 

Perempuan mesum berpayudara besar 
yang gempal dan mulus itu, mencolek dagu 
si kakek yang ditumbuhi jenggot jarang 
dan kasar. 

"Mengapa harus berucap keras seper- 
ti itu? Siapa bilang aku tak puas dengan 
apa yang kau berikan?!" 

Si kakek tertawa senang. Matanya 
dimeram-pejamkan menikmati colekan Lara 
Dewi. Lalu dengan nakalnya, ganti dia 
yang mencolek. Bukan dagu Lara Dewi yang 
menggantung indah, melainkan belahan bu- 
kit kembarnya. 

"AmboooiiiII" serunya kegirangan. 

Raja Naga mendengus. Dia tak mau 
lagi melihat pemandangan yang menjengkel- 
kannya. Tanpa bicara apa-apa, pemuda yang 
kedua tangannya sebatas siku bersisik 
coklat itu sudah berbalik dan melangkah. 

"Tunggu I" 

Ucapan si perempuan mesum itu mem- 
buat Raja Naga menghentikan langkahnya. 
Tetapi tidak memutar tubuhnya. 

"Kalian memintaku menyingkir dari 
sini, tetapi menahanku sekarang! Ada uru- 
san apa lagi?!" 

"Anak muda... kau tak perlu gusar 
seperti itu? Sahabatku ini memang suka 
kasar kalau bicara! Tetapi sesungguhnya 
dia baik hati, terbukti mau membantuku 
untuk menyelesaikan urusan...." 

"Aku bukanlah orang yang suka mem- 
bantu dengan imbalan sesuatu! Tetapi buat 
kakek tanpa baju itu, dengan imbalan tu- 
buhmu, melompat ke jurang paling dalam 
pun akan dilakukannya seperti kerbau di- 
cucuk hidung!" 

"Ih! Mengapa bicaramu seketus itu?" 
sahut Lara Dewi sambil tersenyum. "Aku 
tak meminta bantuanmu... tetapi aku ber- 
harap kau dapat menjawab pertanyaan- 
ku .... " 

"Aku bukanlah orang yang pantas di- 
jadikan sebagai tempat bertanya!" 

Perempuan berpakaian keemasan yang 
terbuka hingga pangkal paha dan bila me- 
langkah menampakkan sesuatu yang tersem- 
bunyi yang dibalut dengan kain merah jam- 
bu ini, tak mempedulikan sahutan Raja Na- 
ga. 

Dia mengajukan pertanyaan, "Perta- 
ma. . . siapakah namamu? Melihat gayamu 
tentunya kau adalah orang rimba persila- 
tan. Berarti kau punya julukan .." 

"Tak semua orang rimba persilatan 
punya julukan! Maaf... masih ada yang ha- 
rus kuselesaikan.... 

"Jawab pertanyaannya bila kau masih 
ingin melihat matahari esok pagi!!" suara 
tajam dan keras itu menggelegar. 

Raja Naga mengertakkan rahangnya. 
Lalu perlahan-lahan berbalik. Terlihat 
sisik-sisik coklat yang terdapat pada ke- 
dua tangannya sebatas siku, agak menyala 
terang. 

"Aku tak pernah menginginkan urusan 
menjadi runyam!" 

"Bagus! Jawab pertanyaannya!" ben- 
tak si kakek tajam. Matanya mencoba mem- 
balas tatapan angker Raja Naga. Tetapi 
tiga tarikan napas berikutnya dia sudah 
mengarahkan pandangannya ke bagian lain 
dengan mulut berkemak-kemik gusar. 

"Bila kalian memaksa juga, aku akan 
menjawab. Namaku Boma Paksi! Aku dijuluki 
Raj a Naga!" 

"Huh! Julukan keren tetapi aku ya- 
kin hanya kosong melompong!!" sahut si 
kakek. 

Raja Naga tak mempedulikannya. 

"Apa yang kalian inginkan sudah ku- 
lakukan ! Berarti.. . aku..." 

"Tunggu!" seru Lara Dewi sambil 
tersenyum. Dadanya sengaja digoyangkan. 
Payudaranya yang nampak sesak karena kain 
panjang keemasan yang dikenakannya begitu 
kelat, sedikit bergerak seolah mencari 
ruang yang lebih terbuka. Gerakan payuda- 
ranya itu sungguh menggiurkan. 

Si kakek sudah menjulurkan lidah- 
nya. Lalu dengan nakal menyelipkan tangan 
kanannya ke balik bukit kembar sebelah 
kiri. Kemudian ditariknya dan segera di- 
cium-ciumnya. 

"Wangi...." 

Lara Dewi tak menghiraukan tindakan 
si kakek. Dia berkata pada Boma Paksi, 

"Raja Naga... aku ingin bertanya lagi pa- 
damu! Kenalkah kau dengan orang yang ber- 
juluk Peramal Sakti dan Ki Dundung Kali?" 

"Kedua nama itu pernah kudengar da- 
ri mulut Pengemis Pincang dan Demit Me- 
rah. Tetapi aku belum pernah berjumpa 
dengan keduanya. Hemmm... ada maksud apa 
perempuan mesum itu menanyakan mereka?" 

Habis membatin demikian, pemuda 
tampan bersorot mata angker ini mengge- 
leng, "Aku tak mengenal kedua orang yang 
kau sebutkan I" 

"Kalau begitu... bila kau bertemu 
dengan keduanya atau salah seorang dari 
mereka, maukah kau untuk menyampaikan pe- 
sanku?" 

"Bila aku berjumpa dengan mere- 
ka. ... " "Katakan... aku Lara Dewi dan sa- 
habatku ini Setan Gemolong... datang un- 
tuk mencari keduanya...." 

"Dengan pertanyaanmu tadi, aku su- 
dah tahu kalau kau dan kakek tanpa baju 
itu sedang mencari mereka!" 

Sepasang mata Lara Dewi menyipit 
mendengar ejekan pemuda di hadapannya. 

"Aku belum selesai bicara!" sua- 
ranya mendadak menggelegar. 

"Bila kau belum selesai, silakan 
kau teruskan!" 

"Katakan pada mereka... aku akan 
menuntut balas tindakan yang mereka laku- 
kan terhadap kakak kandungku, si Durjana 
Kayangan!" 

Raja Naga tak segera bicara. Tata- 
pannya tetap angker pada keduanya. 

Setan Gemolong mendesis, "Lara De- 
wi. . . sudahlah... untuk apa kau berkata 
demikian pada tikus got itu! Ayo! Aku su- 
dah tidak tahan! Barangku sudah turun 
naik nih!" 

Lara Dewi melirik, tatapannya ta- 
jam. 

"Bila saja aku tak membutuhkan ban- 
tuannya, mana sudi aku diperlakukan se- 
perti ini!" geramnya dalam hati. 

Lalu katanya, "Apakah kau tak bisa 
tahan sedikit saja?" 

"Bagaimana aku bisa tahan kalau gu- 
nung kembar itu pun sudah melambai-lambai 
padaku?!" 

Lara Dewi tersenyum dingin. Kemu- 
dian mengarahkan pandangannya pada pemuda 
tampan di hadapannya. 

"Raja Naga... mengapa kau tak bica- 
ra?" 

"Lara Dewi... aku tak mau campuri 
urusanmu! Karena, aku sendiri masih punya 
urusan yang harus kuselesaikan!" 

Perempuan setengah baya yang masih 
memiliki tubuh sintal dan padat itu men- 
gembangkan senyuman sinis. 

"Kau memang terlalu banyak tingkah. 
Raja Naga! Tindakanmu sudah kelewat ba- 
tas ! " 

"Aku tak pernah menyukai orang- 
orang yang bersikap tanpa memakai otak!" 

"Keparat!! Setan Gemolong! Bila kau 
ingin meniduri ku lagi... bunuh pemuda 
itu! " 

Kakek tanpa baju itu segera men- 
gangkat kepala. 

"Bagus! Sejak tadi aku memang sudah 
ingin membunuhnya!" 

Kejap berikutnya, tangan kanannya 
sudah didorong ke depan. Seketika mengge- 
brak gelombang angin memutar yang menye- 
ret tanah dan ranggasan semak. Suara ber- 
gemuruh seketika menggebah. Dan kejap itu 
pula gelombang angin memutar tadi menge- 
luarkan letupan. Seperti ada tenaga yang 
menyentak, gelombang angin itu naik ke 
atas. Menyebar dan meluruk turun dengan 
ganasnya laksana air hujan! 

** * 


TUJUH 

KALAU Lara Dewi tersentak kagum 
disertai decakan. Raja Naga menjerengkan 
mata. Kepalanya didongakkan, melihat ge- 
muruh angin yang meluruk turun laksana 
hujan. Dengan kecepatan luar biasa, pemu- 
da yang lengannya coklat itu menghindar 
ke samping kanan. 

Letupan terdengar berulang-ulang, 
disertai muncratan tanah ke udara silih 
berganti. Dan yang mengejutkan, serangan 
yang dilancarkan Setan Gemolong ternyata 
tak berhenti di sana. Dari muncratan ta- 
nah yang menghalangi pandangan, tiba-tiba 
menyeruak gelombang angin yang menyusur 
tanah! 

"Hemm... si kakek rupanya memang 
ingin membunuhku!" desis Raja Naga dengan 
tatapan yang kian angker. Kejap itu juga 
dia menghentakkan kaki kanannya di atas 
tanah. 

Terdengar suara letupan kecil, dis- 
usul dengan gelombang tanah yang bergerak 
dahsyat dengan memperdengarkan suara ke- 
ras. Bertemunya angin yang menyusur tanah 
dengan tanah yang bergerak itu mengaki- 
batkan letupan keras terjadi. 

Blaaaammm!! 

Tanah di mana bertemunya dua tenaga 
dahsyat itu seketika rengkah dan muncrat 
setinggi satu tombak! Tatkala sirap kem- 
bali di atas tanah, terlihat sosok Raja 
Naga agak surut satu langkah ke belakang. 
Tubuhnya 

berdiri kaku. Sorot matanya kian 
angker dan sisik-sisik coklat sebatas si- 
kunya menjadi lebih terang! 

Di pihak lain. Setan Gemolong tak 
bergeser dari tempatnya. Tetapi tubuh ka- 
kek tanpa baju ini bergetar hebat. Di 
kertakkan kedua tangannya. Lamat-lamat 
terlihat getaran pada tubuhnya melemah. 
Matanya memandang tajam ke depan. 

Sementara itu Lara Dewi diam-diam 
kembangkan senyum. 

"Dengan kemampuan yang dimiliki Se- 
tan Gemolong, aku yakin kalau dua musuh 
besarku yang telah membunuh kakak kan- 
dungku akan mampus dengan mudah! Berarti, 
tak sia-sia ku korbankan tubuh mulus ku 
ini padanya...." 

Tatapan tajam Setan Gemolong terus 
mengarah pada Raja Naga yang terdiam den- 
gan sorot mata angker. Lamat-lamat terli- 
hat mulut si kakek berambut acak-acakan 
itu membuka. 

"Aku mengenal serangan yang kau la- 
kukan, Anak muda!" 

"Bagus kalau kau mengenalnya!" 

"Hanya seorang saja di muka bumi 
ini yang memiliki ilmu 'Barisan Naga 
Penghancur Karang'! Katakan padaku, ada 
hubungan apa kau dengan kakek tukang ken- 
tut berjuluk Dewa Naga?!" 

Kalau Raja Naga hanya perlihatkan 
senyuman sinis, kepala Lara Dewi menegak. 

"Gila! Apakah Setan Gemolong tak 
salah berucap? Dewa Naga? Bukankah dia 
kakek penghuni Lembah Naga yang namanya 
begitu disegani oleh lawan maupun ka- 
wan? ! " 

"Setan Gemolong!" seru Boma Paksi. 

"Bila kau bertanya demikian, sudah tentu 
aku akan menjawabnya! Dewa Naga adalah 
guruku! Kau puas dengan jawabanku itu?!" 

Di luar dugaan Setan Gemolong ju- 
stru mengeluarkan makian keras. "Terku- 
tuk! Lama kucari tak pernah berjumpa! Dan 
sekarang... aku berjumpa dengan muridnya! 
Bagus! Kau harus membayar semua hutang- 
hutang gurumu itu!" 

Belum habis makiannya terdengar, 
Setan Gemolong sudah melompat ke muka. 
Tangan kanan kirinya dikibaskan berulang- 
ulang. Gelombang angin mengerikan menda- 
hului gebrakannya. 

Raja Naga terdiam sesaat. Murid De- 
wa Naga ini memperhitungkan dulu apa yang 
akan terjadi. Kejap lain dia sudah men- 
gangkat kaki ke samping kiri, bersamaan 
dengan itu didorong kedua tangan kanan 
kirinya. 

Blaaamm! 

Lagi letupan keras terjadi. Raja 
Naga goyah dan surut ke belakang. Pada 
saat itu Setan Gemolong sudah meluncur ke 
depan. 

Plaak! 

Dalam keadaan agak goyah Boma Paksi 
masih dapat menahan jotosan Setan Gemo- 
long . 

Sesaat tubuhnya agak goyah. Di se- 
berang, Setan Gemolong merasakan tangan 
kanannya yang membentur tangan kanan si 
pemuda yang bersisik coklat hingga siku 
itu agak bergetar. 

"Astaga! Tangannya memiliki satu 
kekuatan tinggi I 

Dan nampaknya kekuatan itu bukan 
berasal dari tenaga dalamnya! Melain- 
kan... hemm, bisa jadi berasal dari si- 
sik-sisik coklat sebatas sikunya! Kepa- 
rat! Aku harus berusaha untuk tidak mem- 
bentur kedua tangannya!" 

Kemudian dengan gerakan yang sukar 
diikuti mata, Setan Gemolong melancarkan 
serangan kembali! 

Buk! 

Jotosannya sudah menghantam perut 
Raja Naga yang membuatnya terbanting di 
atas tanah! 

"Ternyata kau belum sepenuhnya men- 
guasai seluruh ilmu Dewa Naga! Tetapi... 
tak bisa membunuh kakek itu membunuh mu- 
ridnya pun tak percuma!" seru Setan Gemo- 
long seraya menerjang kembali. Di mengu- 
langi lagi serangan yang pertamanya tadi. 

Raja Naga tak mau lagi menghindar. 
Biarpun perut nya terasa mulas, tetapi 
pemuda berompi ungu itu sudah cepat ber- 
diri kendati agak goyah. Begitu gelombang 
angin berputar tadi mendadak naik ke 
atas, menyebar dan turun laksana hujan. 
Raja Naga sudah mengangkat kedua tangan- 
nya ! 

Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan 
sudah dilepaskan! 

Letupan keras beberapa kali terden- 
gar di udara. Habis menahan serangan la- 
wan, sosok Raja Naga tiba-tiba saja men- 
celat ke arah Setan Gemolong. Gerakannya 
kail ini benar-benar sukar diikuti mata, 
seperti menyusup di antara kegelapan. 

Setan Gemolong masih sempat melihat 
gerakan lawan, namun sebelum dia melaku- 
kan tindakan apa apa tahu-tahu... 

Desss ! ! 

Tubuhnya sudah terhuyung ke bela- 
kang. Bila saja dia tidak segera menje- 
jakkan kaki kanannya di atas tanah, tak 
mustahil tubuhnya akan terbanting. 

"Hamparan Naga Tidur'!" serunya 
dingin. 

Di pihak lain. Raja Naga agak goyah 
kembali. Dia tergontai-gontai ke bela- 
kang . 

Mendadak terdengar suara 'breeet'! 
yang cukup keras. Suara yang berasal dari 
kibasan kain panjang Lara Dewi. Sosoknya 
sendiri sudah melesat ke arah Raja Naga! 

Merasakan adanya gelombang angin 
yang siap menghantamnya, pemuda bersisik 
coklat itu berusaha untuk mempertahankan 
keseimbangannya. Dia meliuk sedikit sebe- 
lum memapaki jotosan Lara Dewi. 

Plak! Plak! 

Benturan tadi itu membuat Lara Dewi 
terkejut. Karena tangan kanan kirinya di- 
rasakan ngilu. Tetapi dia cepat melancar- 
kan serangan susulan. 

Raja Naga cepat merundukkan kepa- 
lanya karena kaki kiri Lara Dewi sudah 
melayang ke arah kepalanya. 

Wuuuttt! 

Kesiur angin yang ditimbulkan dari 
tendangan kaki kiri si perempuan menerpa 
wajah Boma Paksi yang seketika merasa pe- 
rih . Lalu... 

Buk! 

Perutnya kembali terhantam. Tendan- 
gan kaki kanan Lara Dewi sudah mampir di 
sana! 

"Lara Dewi! Tahan! Dia adalah ba- 
gianku!" Perempuan berkain keemasan yang 
perlihatkan sebagian besar bagian atas 
buah dadanya, menghentikan gerakannya. 
Dia mengerling manja pada Setan Gemolong. 

"Kau akan membantuku untuk membunuh 
Ki Dundung Kali dan Peramal Sakti! Seka- 
rang aku pun harus membantumu!" 

"Dengan imbalan tubuh yang sintal 
padat itu, sudah cukup bagiku sebagai 
alasan untuk membantumu! Menyingkir!" 

Lara Dewi hanya tersenyum, lalu me- 
langkah agak menjauh. Saat melangkah, 
kain panjang ke emasannya berkibar dan 
memperlihatkan lagi sesuatu yang ditutupi 
kain merah jambu. 

Di pihak lain untuk kesekian ka- 
linya Raja Naga merasa sekujur tubuhnya 
agak nyeri. Walaupun dia merasakan kenye- 
rian itu, tetapi tatapan angkernya tetap 
bersorot tajam. 

"Mereka menginginkan nyawa Ki Dun- 
dung Kali dan Peramal Sakti! Aku memang 
belum mengenal keduanya! Kakak kandung 
Lara Dewi yang berjuluk Durjana Kayangan, 
tentunya punya urusan yang sangat serius 
dengan kedua orang itu! Hemm... apakah 
ini berkaitan dengan Taman Kematian? 
Atau... berhubungan langsung dengan Kain 
Pusaka Setan?!" 

Selagi pemuda gagah dari Lembah Na- 
ga itu membatin. Setan Gemolong sudah 
membentak, "Raja Naga! Bertahun-tahun la- 
manya aku mencari gurumu yang pernah me- 
nyakiti hatiku! Karena perempuan yang ku- 
cintai justru berpaling padanya!" 

Mendengar seruan itu membuat kening 
Raja Naga berkerut. 

"Lagi-lagi urusan cinta! Tak ku- 
sangka kalau Guru juga mengalami persoa- 
lan itu!" desisnya dalam hati. Kemudian 
katanya, "Sebagai seorang murid, sudah 
tentu aku harus membela guruku sendiri! 
Nama besar guruku harus kujunjung tinggi! 
Setan Gemolong, kau katakan kalau perem- 
puan yang kau cintai justru beralih pada 
guruku! Bukankah itu menandakan kalau pe- 
rempuan yang kau cintai tidak mencintai- 
mu? ! " 

"Itu dikarenakan kehadirannya di 
saat aku sedang berusaha mendapatkan cin- 
ta kasihnya!" desis Setan Gemolong din- 
gin. Wajahnya tegang kaku. 

"Kalau begitu, tak seharusnya kau 
merasa gusar dan mendendam pada guruku, 
karena toh perempuan itu tak mencintaimu! 
Kalaupun kemudian perempuan itu berpaling 
cintanya pada guruku, itu adalah haknya!" 

"Tetapi gurumu justru menyakiti ha- 
tinya ! " 

"Apa maksudmu dengan menyakiti ha- 
tinya?!" sahut pemuda yang kedua tangan 
sebatas sikunya itu bersisik coklat den- 
gan kening berkerut. Tatapannya tetap 
angker menusuk. 

Setan Gemolong menggeram dingin. 
Sepasang rahangnya kaku. Kedua tangannya 
dikepalkan kuat-kuat. Lalu dengan suara 
terdengar seperti dari dalam sumur dia 
menyahut, "Karena... ternyata gurumu ti- 
dak mencintainya!" 

"Astaga! Benar-benar bikin pusing 
urusan masa lalu guruku ini!" dengus Raja 
Naga dalam hati. Lalu serunya, "Itu pun 
haknya, bukan?!" 

"Tidak! Itu bukanlah haknya, tetapi 
itu adalah sebuah kesalahan! Perempuan 
yang kucintai berpaling dari ku karena 
kehadirannya! Dan hingga saat ini merana 
karena cintanya justru ditolak Dewa Na- 
ga!" 

"itu artinya... kau mempunyai ke- 
sempatan untuk mendapatkan cintanya kem- 
bali?! " 

"Bila mudah kulakukan, sudah tentu 
aku tak menyimpan dendam berkepanjangan 
pada guru mu! tetapi... justru dengan 
keadaan yang dialaminya, perempuan yang 
kucintai semakin dingin dan menjauh!" 
sentak Setan Gemolong keras. 

Raja Naga tak bicara lagi. Diperha- 
tikannya Setan Gemolong dalam-dalam. 

"Tak kusangka kalau guru punya ma- 
salah cinta yang rumit. Setan Gemolong 
mencintai si perempuan yang tak mencin- 
tainya, tetapi malah mencinta' guruku. 
Tetapi justru guruku yang tak mencintai 
perempuan itu. Ah... bikin pusing kepala 
saj a ...." 

Terdengar suara rahang dikertakkan. 

"Kau harus membayar tindakan gurumu 
itu! 

Kejap lain Setan Gemolong sudah me- 
nerjang ke arah Raja Naga. Yang diserang 
segera melayani serangannya. Sadar kalau 
lawan setingkat dengan gurunya, Boma Fak- 
si melipatgandakan tenaga dalam dan me- 
lancarkan serangan-serangan berbahaya. 
Tidak tanggung lagi, dia sudah mengelua- 
rkan ilmu 'Naga Mengamuk'! 

Suara gerengannya terdengar keras. 

Melihat perubahan angin yang dah- 
syat tatkala si pemuda melancarkan seran- 
gannya, Setan Gemolong pun melipatganda- 
kan kecepatan dan kekuatannya. 

Apa yang terjadi kemudian sungguh 
mengejutkan. Pepohonan di sana bertumban- 
gan terhantam tangan kanan kiri Boma Pak- 
si yang memang memiliki kekuatan tinggi. 
Bahkan kedua lengannya itu dapat menahan 
senjata hebat sekalipun. Parasnya mere- 
gang tegang. Tatapan matanya dingin dan 
bertambah dingin. Sisik-sisik coklat yang 
terdapat pada kedua tangan sebatas si- 
kunya itu semakin terang menyala, berki- 
lat-kilat . 

Lara Dewi yang melihat serangan 
mengerikan dari pemuda bersisik, mau tak 
mau berdebar juga dadanya. 

"Hebat! Aku bisa memperkirakan ka- 
lau anak muda bersisik coklat itu mampu 
mengimbangi serangan Setan Gemolong. Ka- 
laupun gagal, mungkin dia kurang pengala- 
man saja untuk menyiasati kelicikan Setan 
Gemolong! Hemm... aku tak ingin kakek itu 
mampus sebelum apa yang kuinginkan terca- 
pai! Sebaiknya... dia ku bantu saja!" 

Memutuskan demikian, perempuan ber- 
payudara besar itu sudah melesat ke de- 
pan. Buah dadanya bergoyang-goyang meng- 
giurkan. Kalau biasanya Setan Gemolong 
sudah datang usilnya, kali ini dia tak 
mempedulikannya. 

Menghadapi dua serangan yang dilan- 
carkan sekaligus, mau tak mau membuat Ra- 
ja Naga agak kewalahan. Menghadapi Setan 
Gemolong saja belum tentu dia dapat men- 
gatasinya. Kali ini sudah disusul dengan 
serangan yang tak kalah berbahayanya dari 
Lara Dewi! 

Amukan ganas dari ilmu 'Naga Menga- 
muk' membikin suasana menjadi kacau ba- 
lau. Ditingkahi dengan serangan berbahaya 
dari Setan Gemolong dan Lara Dewi, sema- 
kin membuat tempat itu bertambah kacau. 

Bahkan tak ubahnya sebuah kiamat 
kecil sudah melanda tempat itu. 

Pepohonan bertumbangan disertai 
ranggasan semak yang berhamburan. Tanah 
sudah muncrat melebihi dua tombak. Kenda- 
ti pandangan sesekali terhadang oleh ta- 
nah-tanah itu tetapi serangan-serangan 
berbahaya yang masing-masing dilancarkan 
secara gencar tak berkurang. 

Raja Naga berpikir, "Aku bisa mati 
konyol menghadapi dua serangan berbahaya 
sekaligus! Sebaiknya aku segera menying- 
kir dari sini! Urusan Kain Pusaka Setan 
yang direbut oleh si bayangan kuning dari 
tangan Pengemis Pincang, masih sedikit 
yang kuketahui! Aku memperkirakan justru 
bahaya lebih dahsyat akan terjadi yang 
diakibatkan Kain Pusaka Setan!" 

Memutuskan demikian. Raja Naga me- 
mikirkan cara yang tepat untuk loloskan 
diri. Dia pun sudah lepaskan ilmu 
'Barisan Naga Penghancur Karang" yang se- 
makin membuat tanah berhamburan ke udara. 

Sesekali dia juga melepaskan ilmu 
'Hamparan Naga Tidur' yang kemudian dis- 
ertai teriakan tertahan baik dari Setan 
Gemolong maupun Lara Dewi. 

Bahkan dia sudah memutar tubuhnya 
laksana pusaran baling-baling. Tanah ma- 
kin berhamburan ke udara dan menghalangi 
pandangan. Sadar bahaya yang akan muncul 
tiba-tiba, membuat Setan Gemolong dan La- 
ra Dewi mundur. Mereka menunggu serangan 
berikutnya dengan kesiagaan penuh. 

Tetapi sampai hamburan tanah itu 
sirap kembali dan tak menghalangi pandan- 
gan lagi, tetap tak ada serangan yang da- 
tang. Menyusul terdengar geraman Setan 
Gemolong sambil menghentakkan kaki kanan- 
nya yang seketika amblas ke tanah! 

"Terkutuk! Terkutuk! Pemuda itu cu- 
kup cerdik! Dia sengaja membikin tanah- 
tanah sialan itu berhamburan hingga meng- 
halangi pandangan! Maksudnya sudah jelas, 
agar dia dapat mempergunakan kesempatan 
untuk meloloskan diri!" 

Lara Dewi sesungguhnya juga kesal 
dengan lolosnya pemuda bersisik naga itu. 
Tetapi di lain pihak dia sudah tersenyum. 

"Aku tak punya urusan dengan Raja 
Naga maupun Dewa Naga. Urusanku adalah 
untuk membunuh Ki Pundung Kali dan Peram- 
al Sakti. Dengan kemunculan Raja Naga, 
sudah memberikan bayang-bayang yang jelas 
kalau dengan bantuan Setan Gemolong selu- 
ruh urusanku akan tuntas dengan mudah. 
Karena kesaktian Setan Gemolong sudah 
terbukti sekarang. Bila aku sendiri, be- 
lum tentu aku dapat mengatasi pemuda ber- 
sisik coklat itu...." 

Habis membatin demikian, dideka- 
tinya Setan Gemolong yang masih dilanda 
kemarahan. 

"Kau tak perlu gusar lagi... Biar- 
kan pemuda itu pergi!" 

Bila biasanya Setan Gemolong akan 
langsung timbul usilnya, kali ini dia 
hanya melirik dingin. Tetapi tetap saja 
pandangannya menghujam pada bongkahan 
'bola-bola' indah yang menggantung manja 
itu. 

Lara Dewi menggayut pada bahunya. 

"Dengan kepergiannya, malah kau tak 
banyak membuang tenaga. Karena siapa tahu 
dia memberitahukan kemunculanmu ini pada 
Dewa Naga. Dengan kata lain, kau tak lagi 
akan mematahkan rantingnya, tetapi lang- 
sung mencabut akarnya...." 

Kata-kata Lara Dewi yang disertai 
kecupan kecil pada pipinya, menurunkan 
kemarahan Setan Gemolong. Dadanya yang 
kurus tipis itu mulai mereda turun naik- 
nya . 

"Kau betul.. . Aku sudah lama me- 
nunggu saat-saat ini. Dewa Naga harus 
mampus kubunuh...." 

"Bila memang kau mau melakukan- 
nya... mengapa kau tidak mendatangi Lem- 
bah Naga?" 

Setan Gemolong hanya mendengus. 

"Bila bukan orang yang memang sen- 
gaja diundang atau diizinkan masuk oleh 
Dewa Naga, tak akan bisa orang lain mene- 
mukan Lembah Naga. Berulang kali aku men- 
coba untuk menemukan di mana tempat itu, 
tetapi sampai setua ini pun aku belum 
berhasil menemukannya...," desis Setan 
Gemolong dalam hati. 

Lalu diliriknya wajah jelita berku- 
lit kencang itu. Kemudian diarahkan pan- 
dangannya pada dada sesak yang memperli- 
hatkan sebagian besar bagian atas dan be- 
lahan indahnya. Sambil mendengus, tangan 
kurus Setan Gemolong masuk ke dalam kain 
yang dikenakan Lara Dewi. 

Si pemilik dada besar itu hanya 
tertawa mengikik tatkala Setan Gemolong 
mengangkat tubuhnya dan membawanya ke ba- 
lik ranggasan semak. 

***

DELAPAN 

BAYANGAN kuning itu terus berkele- 
bat dengan lincahnya. Melompati akar me- 
lintang dan ranggasan semak belukar tanpa 
membuat dedaunan bergerak. Dia terus ber- 
lari tanpa tanda-tanda akan menghentikan 
larinya. 

Menjelang senja, bayangan kuning 
ini sudah memperlambat larinya di dekat 
sebuah patung yang lebih tinggi sedikit 
darinya. Patung itu terbuat dari batu 
yang sangat keras. Berwujud seorang lela- 
ki berparas kejam dengan kedua tangan dan 
kaki merapat pada tubuh. Sesaat si bayan- 
gan kuning memandang patung itu sebelum 
kemudian melangkah bergegas. 

"Dayang Kuning... kau sudah kemba- 
li ! Bila kedatanganmu tak membawa hasil, 
lebih baik siap serahkan kepalamu!" 

Suara yang terdengar keras penuh 
ancaman itu membuat sosok yang melangkah 
itu seketika menghentikan langkahnya. Dia 
segera merangkapkan kedua tangannya, ke- 
palanya agak ditundukkan. 

"Guru... aku datang bukan dengan 
tangan kosong...." 

Seketika meledak tawa yang sangat 
keras, menggema di sekitar tempat itu. 
Saking kerasnya, seperti ada gelombang 
angin yang membuat angin yang berhembus 
lebih kencang. 

"Bagus! Berarti tugasmu sudah sele- 
sai! Tetapi,., mengapa kau tidak bersama 
Dayang Biru?" 

"Maafkan aku, Guru... Dayang Biru 
mengambil arah yang berlainan. Dengan 
maksud, agar kami lebih cepat tiba di Ta- 
man Kematian. Dan ternyata akulah yang 
lebih dulu tiba di sana. Nasibku sungguh 
beruntung, karena begitu aku tiba di sa- 
na, kulihat lelaki pincang sedang menguji 
coba Kain Pusaka Setan!" 

"Bagus! Berikan benda itu kepada- 
ku ! " 

Habis terdengar seruan itu, menda- 
dak saja ranggasan semak di hadapan si 
gadis terangkat naik, membubung setinggi 
satu tombak. Si gadis segera melangkah. 
Setelah dia berada di balik semak, semak 
yang terangkat naik itu segera merapat 
kembali. Sejenak si gadis memandangi dulu 
ranggasan semak itu, sebelum meneruskan 
langkahnya. 

Tempat di mana dia berjalan seka- 
rang ini cukup gelap, karena pepohonan 
tinggi menghalangi sinar matahari senja. 
Tak lama kemudian dia tiba di sebuah ban- 
gunan berwarna hitam yang di sana-sini 
telah banyak yang runtuh. 

Dayang Kuning terus melangkah ma- 
suk, menuju ke satu ruangan yang berhawa 
lembab. Di sana dihentikan langkahnya dan 
dirangkapkan kedua tangannya di depan da- 
da. 

Berselang satu tarikan napas, satu 
sosok tubuh yang entah dari mana datang- 
nya tahu-tahu telah berdiri di hadapan 
Dayang Kuning. 

"Mana benda itu?!" serunya agak ke- 
ras . 

Dayang Kuning mengambil kain hitam 
usang yang direbutnya dari tangan Penge- 
mis Pincang. Dia menyerahkannya pada ne- 
nek berkonde yang menerimanya sambil ter- 
bahak-bahak. Jari jemari si nenek berpa- 
kaian hitam dengan jubah hitam ini pan- 
jang disertai kuku-kuku yang runcing. Pa- 
rasnya dipenuhi keriput. Kedua pipinya 
kempot karena dia tak memiliki gigi se- 
buah pun. 

"Bagus! Bagus! Kau telah berhasil 
menjalankan perintahku, Dayang Kuning!" 

"Saya, Guru... . " 

"Kau sudah melihat kehebatan Kain 
Pusaka Setan ini?" 

Dayang Kuning mengangguk. 

"Kau akan melihatnya sekali lagi." 

Lalu nenek berkonde itu segera me- 
langkah keluar, disusul dengan muridnya 
yang mengekor patuh. Di luar, si nenek 
segera membebatkan Kain Pusaka Setan pada 
tangan kanannya yang seketika didorong ke 
depan. 

Sesuatu yang sangat mengerikan ter- 
jadi. Gempuran dahsyat meledakkan tempat 
itu. Berulangkali si nenek melakukannya 
sambil tertawa puas. 

"Gila! Gila! Benda ini lebih dah- 
syat dari yang ku perkirakan semula!!" 
serunya berulang-ulang. 

Dayang Kuning membatin, "Benar- 
benar sebuah kain yang sangat mengerikan. 
Padahal bila melihat potongannya, kain 
itu tak lebih dari kain biasa belaka.." 

Si nenek mengajaknya kembali ke 
bangunan yang telah rusak. Sesampai di 
dalam. Dayang Kuning berkata, 

"Guru... setelah aku berhasil men- 
dapatkannya, lelaki pincang berjuluk Pen- 
gemis Pincang itu mengejarku. Tetapi ber- 
hasil kulalui. Kulihat juga seorang pemu- 
da bersisik coklat berlari di belakang 
Pengemis Pincang yang kemudian melesat 
cepat untuk mencapai lariku. Tetapi, aku 
berhasil pula mengatasinya 

"Bagus! Tak kan sia-sia kau ku di- 
dik menjadi murid ku!" 

"Setelah aku berhasil mengatasi ke- 
dua pengejar ku, aku berjumpa dengan seo- 
rang lelaki tinggi besar berpakaian merah 
dan berompi hitam. Aku memang curiga pa- 
danya. Terlebih lagi tatkala dia bermak- 
sud kotor. Dan... aku... aku..." 

"Mengapa kau menghentikan kata- 
katamu, Dayang Kuning?" desis si nenek 
tak senang. 

"Maafkan aku. Guru... aku telah 
mempergunakan Kain Pusaka Setan untuk 
membunuh lelaki berjuluk Demit Merah 
itu...." 

Meledak tawa si nenek. 

"Gila! Mengapa kau harus ragu-ragu 
seperti itu? Siapa pun yang ingin kau bu- 
nuh, boleh kau bunuh tanpa peduli! Bila 
waktu itu kau mempergunakan Kain Pusaka 
Setan untuk membunuhnya, tak ada salah- 
nya! ! " 

Wajah Dayang Kuning menjadi cerah. 

"Setelah lelaki itu mati, aku meli- 
hat sesuatu bergulir dari balik pakaian- 
nya yang segera kuambil .." 

"Hemmm... apa yang kau ambil itu?" 

Dayang Kuning mengambil bungkusan 
yang terbalut kain sutera yang sedikit 
menghangus. Di bukanya bungkusan itu. 

"Astaga!!" seruan tertahan si nenek 
terdengar. Sepasang mata tuanya membela- 
lak melihat benda apa yang berada di te- 
lapak tangan Dayang Kuning. "Gila! Ber- 
lian! Berlian yang indah!" 

Dayang Kuning tersenyum senang me- 
lihat gurunya yang berjuluk Ratu Dayang- 
dayang gembira seperti itu. 

Ratu Dayang-dayang segera mengambil 
butiran berlian yang berada di tangan 
Dayang Kuning. 

"Luar biasa! Sungguh luar biasa! 
Kau hebat sekali. Dayang Kuning! Kau 
sungguh hebat!" 

Dayang Kuning tersenyum senang. 

Dilihatnya gurunya mempermainkan 
butiran berlian indah itu. Kemudian di- 
dengarnya kata-kata gurunya setelah mem- 
bungkus berlian-berlian itu kembali. 

"Dengan benda ini, kita akan dapat 
mengubah bangunan ini menjadi istana yang 
megah! Dayang Kuning... tak ada waktumu 
untuk berlama-lama di sini I Segera kau 
susul Dayang Biru sekarang juga! Bila kau 
sudah menemukannya, ajak dia untuk menca- 
ri seorang lelaki tua berjuluk Peramal 
Sakti! Bila kalian sanggup, bunuh kakek 
celaka yang menjadi musuh besarku itu! 
Bila kalian merasa tak mampu, cepat ka- 
lian kembali ke sini!" 

Dayang Kuning mengangguk. Lalu di- 
angkat kepalanya dan ditatap gurunya yang 
sedang memandangi Kain Pusaka Setan yang 
masih membebat di tangan kanannya. 

"Guru...." 

"Hemmm....!" 

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" 

"Bila tak perlu lebih baik jangan 
lontarkan!" 

"Guru... mungkin aku agak lancang 
bicara, tetapi aku ingin tahu lebih jelas 
lagi." 

Ratu Dayang-dayang mengangkat wa- 
jahnya dari Kain Pusaka Setan. Matanya 
tajam pada Dayang Kuning yang seketika 
menjadi ciut dan saat itu juga dia segera 
mengurungkan niat bertanyanya. 

Apalagi gurunya berkata, "Dayang 
Kuning! Aku paling tak suka punya murid 
yang banyak tanya! Jalankan perintahku 
sekarang juga!" 

"Baik, Guru... baik! Aku akan me- 
laksanakan perintahmu...." sahut Dayang 
Kuning terburu buru Lalu dia mundur ke- 
luar. Sesampai di luar dia segera memper- 
gunakan ilmu peringan tubuhnya untuk ce- 
pat-cepat meninggalkan tempat itu. Kalau 
dia datang melalui ranggasan semak yang 
terangkat naik, saat dia pergi justru dia 
berkelebat ke arah timur. 

Di dalam bangunan yang di sana-sini 
hancur itu, si nenek berkonde menggeram. 

"Aku tahu apa yang hendak ditanya- 
kan Dayang Kuning!" desisnya dengan mata 
menerawang. Lalu sambungnya, "Dia belum 
saatnya untuk tahu... demikian pula den- 
gan Dayang Biru yang sesungguhnya adalah 
saudara kandungnya...." 

Kemudian sambil melepaskan bebatan 
Kain Pusaka Setan pada tangan kanannya. 
Ratu Dayang-dayang melangkah. Melewati 
pula ranggasan semak yang mendadak naik 
ke atas. Lalu dia mendekati patung batu 
bertampang lelaki bengis. 

Di pandanginya patung itu beberapa 
lama. "Peramal Sakti punya rahasia ten- 
tang Patung Darah Dewa...." desisnya pe- 
lan. Suasana di sekitarnya sepi. Angin 
berhembus agak dingin. "Sampai saat ini, 
aku masih penasaran untuk mengetahui ra- 
hasia apa yang ada pada Patung Darah De- 
wa. . . Menurut Kiai Gede Arum yang telah 
tewas ku racun karena tak mau mengatakan 
rahasia Patung Darah Dewa, terdapat sesu- 
atu yang sangat mengerikan. Karena petaka 
akan terjadi itulah dia tak mau mengata- 
kan apa yang menjadi rahasia Patung Darah 
Dewa! Huh! Aku tak percaya dengan apa 
yang dikatakannya! Aku lebih percaya bila 
Patung Darah Dewa menyimpan sesuatu yang 
nilainya lebih tinggi dari Kain Pusaka 
Setan...." 

Kembali nenek berjubah hitam dengan 
kuku-kuku runcing ini terdiam. Kedua pi- 
pinya yang tanpa gigi kelihatan tertarik 
ke dalam saat dia merapatkan mulutnya. 
Mendadak dia menggeram. "Kiai Gede Arum 
selalu berlaku curang! Dia terlalu mele- 
bih-lebihkan Gadang Junjung yang sekarang 
berjuluk Peramal Sakti! Dan aku yakin, 
hanya padanyalah dia mau menceritakan ra- 
hasia apa yang terdapat pada Patung Darah 
Dewa! Juga bagaimana caranya mendapatkan 
apa yang menjadi rahasia Patung Darah De- 
wa! Huh! Berulangkali aku mencoba menda- 
patkan rahasia itu dari mulutnya, tetapi 
selalu gagal! Hingga kemudian dia menjadi 
murka begitu mengetahui kalau akulah 
orang yang telah membunuh Kiai Gede Arum! 
Terkutuk! Terkutuk! Aku harus tetap men- 
getahui rahasia apa dan bagaimana menda- 
patkan rahasia pada Patung Darah Dewa!" 

Wajah Ratu Dayang-dayang berubah 
sengit. 

"Aku tak yakin Dayang Kuning dan 
Dayang Biru dapat mengalahkannya! Tapi 
peduli setan! Dengan kain sakti ini, akan 
kubunuh Peramal Sakti!" 

***

Pada saat yang bersamaan, dara je- 
lita berambut dikuncir kuda menghentikan 
langkahnya di tepi sebuah hutan. Sepasang 
mata dara jelita berpakaian biru ini be- 
gitu indah. Parasnya cantik dengan hidung 
bangir. Untaian poni yang menghiasi ke- 
ningnya menambah kecantikan si dara. 

Perlahan-lahan dara berpakaian biru 
ketat ini menarik napas pendek. 

"Ah, ke mana lagi jalan yang harus 
kutempuh menuju Taman Kematian?" desisnya 
pelan sambil memperhatikan sekelilingnya. 
Lalu diangkat kepalanya untuk menatap ma- 
tahari senja yang semakin menurun. "Apa- 
kah Dayang Kuning sudah tiba di sana dan 
berhasil mendapatkan Kain Pusaka Setan?" 

Dara jelita ini kembali menarik na- 
pas, lalu menghembuskannya perlahan- 
lahan. Menilik sikapnya jelas dia sedang 
masygul. 

"Bisa kubayangkan apa yang akan aku 
dan Dayang Kuning alami bila gagal menda- 
patkan Kain Pusaka Setan! Guru tentu akan 
murka dan menghukum kami! Ah, mudah- 
mudahan Dayang Kuning sudah berhasil men- 
dapatkannya! Biar bagaimanapun juga salah 
seorang dari kami harus berhasil menda- 
patkan Kain Pusaka Se tan, itu tak akan 
membuat Guru murka...." 

Gadis berponi indah mengarahkan 
pandangannya ke depan. Seluas mata meman- 
dang, dia melihat jajaran padi menguning. 
Dari kejauhan kuningnya padi itu seolah 
berubah menjadi keemasan karena terkena 
bias-bias merah matahari senja. 

Tanpa sepengetahuan si gadis, sepa- 
sang mata yang sebelum gadis itu menghen- 
tikan langkahnya sudah berada di sana, 
memandang tak berkedip dari balik rangga- 
san semak. 

"Hemmm... gadis jelita itu nampak- 
nya sedang menuju ke Taman Kematian. Dia 
juga menyebutkan tentang Kain Pusaka Se- 
tan. Bahkan dia nampak ketakutan bila dia 
atau kawannya yang dipanggil dengan sebu- 
tan Dayang Kuning gagal mendapatkan Kain 
Pusaka Setan. Guru mereka tentu akan mur- 
ka. Hemm... apakah ini ada hubungannya 
dengan si bayangan kuning yang telah me- 
rebut Kain Pusaka Setan dari tanganku?" 

Sementara sepasang mata di balik 
ranggasan semak itu terus memandang tak 
berkedip, gadis berponi yang sedang pus- 
ing memikirkan urusannya berkata lagi, 

"Seharusnya aku tak berpisah dengan 
Dayang Kuning. Tetapi... ah, usulan itu 
memang berasal dariku dengan maksud, agar 
aku atau Dayang Kuning lebih dulu tiba di 
Taman Kematian. Satu hal yang kusesali 
sekarang, mengapa aku tak membuat kesepa- 
katan untuk berjumpa lagi dengan Dayang 
Kuning di suatu tempat, bila salah seo- 
rang dari kami sudah menemukan Kain Pusa- 
ka Setan? Tapi... aku dan Dayang Kuning 
telah membuat kesepakatan, siapa yang le- 
bih dulu mendapatkan Kain Pusaka Setan 
harus segera menyerahkan pada Guru...." 

Gadis berponi indah ini terus men- 
geluh . 

Sepasang mata di balik ranggasan 
semak semakin menyipit. 

"Dari kata-katanya, makin kuat du- 
gaanku kalau gadis berpakaian biru itu 
ada hubungannya dengan si bayangan kun- 
ing. Bila ternyata salah, paling tidak 
aku mengetahui kalau bukan aku saja yang 
menginginkan Kain Pusaka Setan. Kedua ga- 
dis itu yang diperintahkan oleh gurunya 
yang entah siapa, pun menginginkan benda 
yang sama. Berarti... bukan hanya aku sa- 
ja yang mengetahui tentang Kain Pusaka 
Setan yang berada di Taman Kematian. Ke- 
duanya juga tahu yang tentunya dari mulut 
gurunya. Hemmm... siapakah gurunya?" 

Gadis berpakaian biru perlahan- 
lahan menarik napas panjang. Poninya se- 
dikit berkibar tatkala angin lembut meng- 
hembus ke arahnya. "Aku tak ingin urusan 
ini jadi bumerang buatku dan Dayang Kun- 
ing. Biar bagaimanapun juga aku harus te- 
tap menemukan di mana Taman Kematian be- 
rada. Dengan kata lain..." 

Tiba-tiba saja gadis berponi ini 
memutus ucapannya. Mulutnya merapat den- 
gan tatapan yang mengarah pada kejauhan. 
Diam-diam dia membatin, 

"Keparat! Ada orang lain di sekitar 
sini! Kutangkap satu gerakan kecil di ba- 
lik ranggasan semak sebelah kanan. Setan 
alas! Tentunya orang itu sudah sejak tadi 
berada di sini, dan tentunya dia telah 
mendengar segala ucapanku! Padahal Guru 
telah berpesan, agar aku dan Dayang Kun- 
ing menjalankan perintahnya dengan hati- 
hati tanpa ada orang yang tahu! Setan 
alas!! Benar-benar hendak cari mampus 
orang itu!" 

Gadis berponi indah ini bukannya 
mengarahkan tatapan pada ranggasan semak 
yang diperkirakan dijadikan sebagai tem- 
pat persembunyian oleh orang yang sudah 
dirasakan kehadirannya, dia justru meman- 
dang ke kejauhan. 

Kejap lain dia bersuara keras, "Se- 
baiknya... ku tinggalkan saja tempat ini...." 

Kemudian dia melangkah cepat. Baru 
lima langkah dia bergerak, mendadak saja 
gadis ini sudah melompat seraya mengi- 
baskan tangan kanannya. 

"Manusia celaka!" bentaknya memba- 
hana. "Jangan cuma bisa jadi tikus got 
belaka I I" 

Wrrrrr!I 

Serangkum angin berwarna biru me- 
nerjang ganas. Blaaaarrrl! 

Ranggasan semak yang ditujunya se- 
ketika rengkah. Terdengar letupan di be- 
lakangnya, disusul suara berderak dan 
tumbangnya sebuah pohon. 

Sebelum gelombang angin biru yang 
dilepaskan si gadis mengenai sasarannya, 
pemilik sepasang mata yang tadi sudah 
hendak bergerak untuk mengikuti si gadis 
karena diperkirakan si gadis akan mening- 
galkan tempat itu, sudah melompat keluar. 

Melihat munculnya orang, si gadis 
sudah mendorong tangan kanan kirinya. 

"Kematianlah yang pantas bagi orang 
yang kerjanya cuma mencuri dengar kata- 
kata orang!I" 

Dua gelombang angin biru menggebrak 
dengan suara menggebubu angker. Pemilik 
sepasang mata yang tadi sudah melompat 
tersentak kaget. 

Bersamaan dengusannya, dia sudah 
mendorong tangan kanan kirinya pula. 

Blaaamm! Blaaammm!! 

Gelombang angin biru yang dile- 
paskan si gadis putus di tengah jalan, 
membuyar ke udara ditingkahi dengan tanah 
yang membubung. 

Si gadis tak segera menyusulkan se- 
rangan berikutnya. Dia justru membuang 
tubuh ke belakang. Kedua kakinya tegak di 
atas tanah dengan kedudukan angkuh dan 
penuh siaga. Sepasang matanya menatap ta- 
jam pada orang yang diserangnya, yang te- 
lah berdiri dengan tatapan menusuk! 

"Gadis celaka! Katakan, siapa guru- 
mu yang berani lancang perintahkan kau 
dan temanmu berjuluk Dayang Kuning untuk 
mencari Kain Pusaka Setan?!" 

Gadis berpakaian biru tak menjawab. 
Matanya makin bersinar tajam. Kesiagaan- 
nya terpampang penuh. 

Lamat-lamat dia berseru, "Ada manu- 
sia pengecut yang kerjanya hanya bisa 
bersembunyi di belakang dinding! Ada juga 
manusia yang tak punya nyali, tetapi ju- 
stru mencoba memperlihatkan nyali dan ta- 
ringnya ! " 

Mendengar ejekan itu, orang bertu- 
buh agak sedikit bongkok mengenakan pa- 
kaian putih penuh tambalan berwarna-warni 
menggeram dingin. Kedua tangannya mengep- 
al kuat seperti hendak meremukkan jari 
jemarinya sendiri. Wajahnya yang tirus 
dengan cambang panjang, mengeras. Tak me- 
miliki kumis, tetapi jenggotnya menjulai. 

Dia berdiri dengan kaki kanannya, semen- 
tara kaki kirinya menggantung karena ke- 
cil sebelah! 

***

SEMBILAN 

ORANG yang bukan lain Pengemis Pin- 
cang ini sudah mengeluarkan dengusan. So- 
rot matanya tajam tak berkedip. Kejap 
lain dia sudah membentak, "Tiga kejapan 
mata lagi kau masih bungkam, jangan sa- 
lahkan aku bila nyawamu melayang!" 

Ancaman yang dilontarkan oleh Pen- 
gemis Pincang tak digubris si gadis. Dia 
tetap memandang tak berkedip. Tenang dan 
dingin. 

"Seorang lelaki pincang yang curi 
dengar ucapanku..." desisnya dalam hati. 

Diamnya si gadis itu sudah membuat 
Pengemis Pincang menjadi gusar. 

"Kau telah sia-siakan waktu yang 
kuberikan!" Gadis berponi indah itu tetap 
tak buka suara. Bahkan di perlihatkan se- 
nyuman sinisnya yang membuat darah Penge- 
mis Pincang mendidih. Tanpa berucap apa- 
apa lagi, orang berwajah tirus ini sudah 
melesat ke depan! 

Lesatan yang dilakukannya sangat 
cepat. Tangan kanan kirinya digerakkan ke 
atas dan ke bawah. Bersamaan lesatan tu- 
buhnya yang terus mengarah pada si gadis 
berponi indah, angin dari atas ke bawah 
sudah mendahului menggebrak. 

Gadis berpakaian biru masih tetap 
berdiri di tempatnya, kejap itu pula dis- 
ilangkan kedua tangannya di depan dada, 
disusul dengan dorongan cepat ke depan! 

Wuusss!I 

Gelombang angin menyilang warna bi- 
ru menggebrak dengan suara tak kalah ke- 
rasnya . Dan... 

Jlegaaarrr!I 

Berbenturannya serangan Pengemis 
Pincang dengan gelombang angin menyilang 
itu, menimbulkan letupan yang sangat ke- 
ras. Tempat itu sesaat bergetar ditingka- 
hi muncratan tanah ke udara. Belum lagi 
tanah itu sirap kembali sosok berpakaian 
putih penuh tambalan warna-warni sudah 
menyeruak dari bubungan tanah, menderu ke 
depan! 

"Heii!!I" 

Gadis berpakaian biru yang sesaat 
surutkan langkah akibat benturan keras 
tadi, segera mengempes tubuh ke samping 
kanan diiringi makian. 

WuuutttI 

Jotosan yang dilancarkan Pengemis 
Pincang luput dari sasaran. Tetapi orang 
berkaki kecil sebelah ini sudah membuat 
gebrakan yang mengejutkan. Begitu joto- 
sannya mengenai sasaran kosong, kaki ka- 
nannya sudah digerakkan, yang tiba-tiba 
mencuat! 

Wuuuttt!! 

"Gila! I" seru si gadis sambil mema- 
pak! tendangan itu. 

Plaaak! 

Tubuhnya agak terseret ke belakang, 
yang kejap itu pula langsung melompat 
menjauh karena Pengemis Pincang sudah me- 
lancarkan serangan kembali. 

"Sebutkan siapa namamu dan siapa 
gurumu yang memerintahkanmu untuk mengam- 
bil Kain Pusaka Setan?!" geram Pengemis 
Pincang hentikan serangannya. 

Si gadis yang telah berdiri tegak 
kembali di atas tanah memandang tak ber- 
kedip ke depan. Dada padatnya naik turun. 
Keringat sudah menghiasi keningnya. 

"Hebat! Gebrakan yang dilakukannya 
sungguh hebat! Dia dapat melancarkan se- 
rangan beruntun dalam satu gebrakan! Ra- 
sanya, akan sulit kuhadapi! Tetapi... aku 
lebih ngeri akan amukan Guru ketimbang 
serangannya bila aku gagal mendapatkan 
Kain Pusaka Setan!" kata gadis itu dalam 
hati. 

Lalu diangkat kepalanya dengan ta- 
tapan angkuh. 

"Lelaki pincang! Kau telah melaku- 
kan satu kesalahan besar karena berani 
bertindak lancang di hadapanku! Sebelum 
mampus, ketahuilah., julukanku Dayang Bi- 
ru dan guruku berjuluk Ratu Dayang- 
dayang 1 " 

Pengemis Pincang yang amarahnya su- 
dah berada di atas kepala sesaat tersen- 
tak mendengar julukan yang terakhir dis- 
ebut si gadis. Beberapa saat lamanya dia 
terdiam. 

"Ratu Dayang-dayang? Hemmm, aku 
pernah mendengar julukan itu dari mulut 
guruku sendiri, Ki Dundung Kali! Kalau 
tak salah ingat, perempuan itu punya uru- 
san dengan Peramal Sakti yang bukan lain 
kakak seperguruannya. Hemm... aku bisa 
menebak sekarang. Ratu Dayang-dayang me- 
merintahkan muridnya si Dayang Biru dan 
Dayang Kuning untuk mendapatkan Kain Pu- 
saka Setan, tentunya akan dipergunakan 
untuk membunuh Peramal Sakti!" 

Habis berpikir demikian. Pengemis 
Pincang berseru, "Dayang Biru! Tindakan 
gurumu si Ratu Dayang-dayang benar-benar 
sungguh memuakkan! Kau di perintahnya un- 
tuk mendapatkan Kain Pusaka Setan, semen- 
tara dia tetap berdiam di tempat yang tak 
kuketahui. Apakah kau tak pernah berpikir 
kalau Kain Pusaka Setan itu milik seseo- 
rang? ! " 

"Aku tak punya urusan untuk ber- 
tanya tentang itu! Semua perintah Guru 
harus ku junjung tinggi!" sahut Dayang 
Biru keras dan angkuh. 

Pengemis Pincang tahan kegusaran- 
nya. "Semakin kuat dugaanku kalau si 
Bayangan Kuning adalah Dayang Kuning, 
yang tentunya juga diperintah oleh Ratu 
Dayang-dayang untuk mendapatkan Kain Pu- 
saka Setan! Ini artinya akan memudahkan 
untuk mendapatkan kembali Kain Pusaka Se- 
tan! Biar bagaimanapun juga, benda sakti 
itu harus kudapatkan untuk membunuh Dewi 
Bintang. Berarti 

Memutus jalan pikirannya sendiri 
Pengemis Pincang membentak, "Tentunya kau 
tak ingin mampus secara mengerikan! Aku 
masih bisa bertindak adil untuk tidak 
membunuhmu bila kau segera menjawab per- 
tanyaanku! Katakan, di mana Gurumu ting- 
gal, maka kau akan selamat?!" 

Dayang Biru ganti terdiam. Dia ber- 
pikir, "Aneh! Mengapa tahu-tahu dia mena- 
nyakan tentang tempat tinggal Guru? Pa- 
dahal sejak tadi kelihatan dia ingin mem- 
bunuhku! Aku harus mengorek keterangan 
sebelum menjawab!" 

Kemudian Dayang Biru angkat bicara, 
"Lelaki pincang! Tak ada angin tak ada 
hujan kau sudah berlaku kurang ajar den- 
gan bersembunyi yang kemudian melancarkan 
serangan! Bila aku yang melakukannya per- 
tama kali, memang pantas kulakukan! Kare- 
na tindakan mu yang bersembunyi mendengar 
apa yang kukatakan sungguh satu tindakan 
yang tak bisa dimaafkan! Sekarang, apa 
urusanmu menanyakan di manakah guruku 
tinggal?I" 

"Tadi kau katakan, mengapa gurumu 
menyuruhmu mencari Kain Pusaka Setan, bu- 
kankah urusanmu kecuali menjalankannya! 
Sekarang, kau bisa menganggap kalau apa 
yang kutanyakan ini bukanlah urusanmu!" 

"Apakah kau menganggap aku hanya 
memandang sebelah mata dari pertanyaanmu 
barusan?! Terlalu sempit bila kau berpi- 
kir demikian! Karena nyatanya, aku dan 
guruku tetaplah berhubungan! Tak seorang 
pun yang akan tahu di mana dia tinggal!" 

"Kalau begitu... kau akan menerima 
kematian!!" Dengan sikap tenang dan sedi- 
kit angkuh. Dayang Biru berkata, "Lelaki 
pincang! Kau begitu bersikeras sekali, 
padahal kau tidak tahu dengan siapa kau 
berhadapan! Apakah kau sebenarnya juga 
menghendaki Kain Pusaka Setan?!" 

"Jangan banyak mulut!" bentak Pen- 
gemis Pincang gusar. "Sungguh bodoh bila 
kau memang menginginkan benda yang diin- 
ginkan guruku!" sahut Dayang Biru tetap 
tenang. Lalu sambungnya dingin, "Itu tan- 
danya kau mencari kematian!" 

"Terkutuk!" geram Pengemis Pincang 
dengan darah mendidih. Lalu dengan menje- 
rengkan mata dia mendesis dingin, "Aku 
telah mendapatkan Kain Pusaka 

Setan! Tetapi, satu sosok tubuh 
berpakaian kuning telah menyambar benda 
itu! Dan aku punya dugaan, kalau orang 
yang telah merebut Kain Pusaka Setan ada- 
lah kawanmu yang berjuluk Dayang Kuning!" 

Ucapan yang di luar dugaan Dayang 
Biru itu membuat kepala si gadis menegak. 
Untuk beberapa saat dia terdiam. Pikiran- 
nya seketika dibuncah sesuatu yang sedi- 
kit melegakannya tetapi juga mengejutkan- 
nya . 

Kemudian desisnya, "Kau telah men- 
dapatkan Kain Pusaka Setan tetapi seseo- 
rang berpakaian kuning telah merebutnya! 
Lantas atas dasar apa kau mengatakan ka- 
lau Dayang Kuning yang telah merebutnya, 
padahal kau tak mengenali orang itu?!" 

"Baru hari ini kuketahui... kalau 
ada orang lain yang juga menginginkan 
Kain Pusaka Setan! Orang itu adalah kau 
dan Dayang Kuning! Jelas sudah siapa 
orang keparat yang berani merebut Kain 
Pusaka Setan dari tanganku!" 

"Kalau memang benar Dayang Kuning 
yang merebut Kain Pusaka Setan, tentunya 
dia memang sudah menjumpai Guru, sesuai 
dengan kesepakatan yang aku dan dirinya 
ambil. Hemmm... pantas lelaki pincang ini 
ingin tahu di mana Guru tinggalkata 
Dayang Biru dalam hati. 

"Gadis celaka! Apakah kau mendadak 
bisu sekarang?!" hardik Pengemis Pincang 
gusar. 

Dayang Biru merandek gusar. Sesaat 
dia memandangi orang di hadapannya sebe- 
lum berkata dingin, "Kau tak perlu menja- 
di sinis seperti itu! Aku yakin Kain Pu- 
saka Setan bukanlah milikmu! Siapa yang 
lebih unggul dialah yang berhak untuk 
mendapatkannya! Dan kau sudah dipecundan- 
gi oleh Dayang kuning! Itu artinya, dia 
lebih unggul darimu! Tetapi bila kau ma- 
sih penasaran, aku dapat mewakili Dayang 
Kuning sebagai sasaran mu!" 

"Bagus! Berarti kau sudah siap un- 
tuk menebus kesalahan Dayang Kuning! in- 
gin kulihat apakah kau memang lebih hebat 
dari kata-katamu?!" 

Belum habis bentakannya terdengar. 
Pengemis Pincang sudah melesat cepat dis- 
ertai teriakan membahana. 

Dayang Biru yang sejak tadi bersiap 
pun tak mau tinggal diam. Kini dia sudah 
tenang karena mengetahui kalau Dayang 
Kuning telah berhasil merebut Kain Pusaka 
Setan. Kendati begitu, masih ada sedikit 
keraguan di hatinya. Bagaimana bila ter- 
nyata orang yang merebut Kain Pusaka Se- 
tan dari tangan lelaki pincang itu bukan 
Dayang Kuning? Berarti, urusan masih pan- 
jang! 

Bukan urusan dengan lelaki pincang 
ini yang jadi pikiran Dayang Biru, me- 
lainkan urusan dengan gurunya bila ter- 
nyata Dayang Kuning bukanlah orang yang 
telah berhasil mendapatkan Kain Pusaka 
Setan dari tangan si lelaki pincang. 

Dua orang yang bergebrak itu sama- 
sama memperlihatkan kemampuan tinggi yang 
seketika membuat tempat itu menjadi kacau 
balau. Kalau sebelumnya Dayang Biru sem- 
pat kewalahan menerima serangan Pengemis 
Pincang, karena dia tak diberi kesempatan 
untuk membalas. Kali ini Dayang Biru me- 
lancarkan taktik mundur maju. Mundur saat 
diserang dan maju saat menyerang! 

Taktik yang dijalankannya membawa 
hasil. 

"Keparat!!" maki Pengemis Pincang 
karena merasa dipermainkan. Dia terus me- 
lancarkan serangan ganas-nya, berusaha 
untuk mengurung ruang gerak Dayang Biru 
agar tak bisa melepaskan serangan. 

Tetapi murid Ratu Dayang-dayang ini 
tetap berhasil melepaskan diri, karena 
taktik yang dijalankannya. Justru dialah 
yang kemudian berhasil mendesak mundur 
Pengemis Pincang yang menggeram sejadi- 
j adinya. 

"Keparat! Gadis ini benar-benar be- 
rotak cerdik! Huh! Aku harus mengeluarkan 
ilmu 'Menggiring Awan Hitam' rupanya!" 

Memutuskan demikian. Pengemis Pin- 
cang berusaha melepaskan diri dari kurun- 
gan serangan Dayang Biru. Tetapi tak se- 
mudah yang dilakukannya. Bahkan Dayang 
Biru berhasil mampirkan jotosannya pada 
dada lawan yang seketika terhuyung. 

"Terkutuk!!" geram Pengemis Pincang 
dengan suara serak. Mendadak dijejakkan 
kaki kanannya di atas tanah yang serta 
merta membuat tubuhnya melenting ke uda- 
ra. Masih melenting di udara, mendadak 
sontak didorong kedua tangannya. 

Dayang Biru yang mencoba melakukan 
sergapan tersentak kaget, karena tiba- 
tiba menderu keras awan-awan hitam yang 
mengeluarkan hawa dingin I 

"HeiiiiII" 

Cepat dia membuang tubuh ke samping 
kiri. Blaaaarrrl! 

Sebatang pohon tinggi terhantam sa- 
lah sebuah awan hitam yang dilepaskan 
Pengemis Pincang. Pohon itu tidak tum- 
bang, walau bergetar sesaat. Tetapi lama 
kelamaan terlihat pohon itu mulai menghi- 
tam, yang kemudian menghangus. Tatkala 
angin berhembus, laksana debu pohon itu 
berhamburan. 

"Astaga!" Wajah Dayang Biru menjadi 
pias. Dia menelan ludahnya berkali-kali 
dengan mata membelalak. "Ilmu yang diper- 
lihatkan bukan ilmu sembarangan! Aku ha- 
rus lebih berhati-hati sekarang! Teta- 
pi... ah, begitu bodoh bila ku lanjutkan 
pertarungan ini. Bila memang Dayang Kun- 
ing telah berhasil merebut Kain Pusaka 
Setan untuk apa aku bersusah payah seka- 
rang? Lebih baik aku menghindar daripada 
mati konyol!" 

Baru saja habis kata hati gadis 
berponi indah ini, lima buah awan hitam 
yang mengeluarkan hawa dingin sudah meng- 
gebubu ke arahnya! 

Dayang Biru mencoba menahan dengan 
gelombang angin birunya, tetapi kandas di 
tengah jalan. Awan-awan hitam itu terus 
menggebrak ke arahnya! 

Sebisanya Dayang Biru berusaha 
menghindari ganasnya serangan lawan. Dia 
sampai jungkir balik keblingsatan menye- 
lamatkan diri. Di pihak lain Pengemis 
Pincang terus mencecar. Dia tak lagi 
mengharapkan dapat mengetahui di mana Ra- 
tu Dayang-dayang tinggal. Tetapi keingi- 
nannya sekarang adalah mencabut nyawa ga- 
dis berpakaian biru ini. 

Seraya terus lepaskan ilmu 
'Menggiring Awan Hitam', Pengemis Pincang 
mengurung langkah Dayang Biru, dia sema- 
kin mendekat. 

Keringat yang mengaliri sekujur tu- 
buh Dayang Biru semakin banyak keluar. 
Gadis jelita berambut dikuncir 

kuda ini sudah benar-benar kewala- 
han. Wajahnya pucat dan tegang. Dari mu- 
lutnya sesekali keluar teriakan tertahan. 

Lima buah pohon sudah hangus dan 
berhamburan laksana debu, semakin mem- 
buatnya menggigil ngeri. Jalan untuk me- 
mapak! serangan itu tak mungkin dilaku- 
kannya, yang bisa hanyalah menghindar. 
Tetapi menghindar pun sudah sedemikian 
sulit. 

Sampai suatu ketika, dua buah awan 
hitam mendadak melesat ke atas, lalu me- 
luruk turun siap menghantam kepala Dayang 
Biru. Sementara dari depan, tiga buah 
awan hitam telah mengurungnya hingga su- 
lit baginya untuk hindari serangan! 

Namun sebelum maut menelan mentah- 
mentah nyawa Dayang Biru, satu deheman 
keras terdengar disusul dengan gelombang 
angin memutar yang dihiasi asap merah me- 
lesat . 

Terdengar letupan berulang-ulang 
yang sangat keras. Bersamaan dengan itu. 
Dayang Biru merasa tubuhnya terangkat 
naik. Seseorang telah menyambarnya, mem- 
bawanya melenting ke atas dan hinggap 
kembali di atas tanah dalam keadaan te- 
gak . 

Di depan. Pengemis Pincang yang su- 
dah hendak tertawa melihat si gadis tak 
berdaya dalam lingkaran serangannya, ber- 
diri dengan satu kaki. Kepalanya menegak 
dengan mata melotot. Mulutnya membuka le- 
bar. 

Dia melihat satu sosok tubuh berom- 
pi ungu telah berdiri di samping kiri 
Dayang Biru yang melirik sosok tubuh itu 
dengan kening berkerut. Tatapan mata pe- 
muda tampan itu begitu angker, menyi- 
ratkan sinar kematian yang membuat ciut 
hati orang. Dia melipat kedua tangannya 
di atas dada. Dan terlihat sisik-sisik 
coklat yang terdapat mulai dari jari je- 
marinya hingga sebatas siku.... 

Ikuti kelanjutannya 
KAIN PUSAKA SETAN 



E-Book by Abu Keisel