Raja Naga 7 - Selubung Tabir Hitam

SATU 

NAUNGAN mata langit kini mulai memerah. Si- 
nar matahari tak lagi segarang siang tadi. Bersamaan 
senja yang datang, kendati masih menampakkan sisa- 
sisa kegarangannya, tetapi matahari kali ini lebih ba- 
nyak bersikap berteman dengan penghuni bumi. Tidak 
lagi bersorot ganas. 

Pemuda berompi ungu yang kedua tangannya 
sebatas siku bersisik coklat itu menegakkan kepala di 
sebuah jalan setapak. Sebelumnya pemuda berwajah 
tampan ini baru saja berlari, tetapi mendadak dihenti- 
kannya larinya. Rambutnya yang gondrong beriap-riap 
dipermainkan angin. 

Si pemuda yang bukan lain Boma Paksi alias 
Raja Naga ini, mengarahkan pandangannya ke depan. 
Sorot matanya sedemikian tajam dan angker. Seperti 
mengandung satu kekuatan yang dapat melemahkan 
mental lawan. 

Dilihatnya satu sosok tubuh yang sedang berja- 
lan terhuyung ke arahnya. Kepala sosok tubuh yang 
ternyata seorang kakek ini menegak sesaat. Matanya 
yang agak memerah meredup memandangnya. Kehadi- 
ran kakek itulah yang membuat Boma Paksi menghen- 
tikan langkahnya. Bukan dikarenakan dia mengenali si 
kakek, melainkan dia melihat langkah si kakek yang 
limbung seperti sedang mengalami penderitaan. 

Boma Paksi hendak berkata, tetapi kakek ber- 
pakaian hitam dengan jubah biru itu mendadak saja 
terhuyung disertai suara tertahan. 

"Heiiii!!" Raja Naga cepat bertindak. Segera dis- 
ambarnya tubuh tua yang hampir terbanting di atas 
tanah. Begitu berhasil disambarnya, si kakek berjubah 
biru sudah jatuh pingsan. 

"Astaga! Baru pertama kali berjumpa, sudah ja- 
tuh pingsan seperti ini! Ada apa ini?" desisnya sambil 
merebahkan tubuh si kakek di atas tanah. Segera di- 
periksanya keadaan si kakek. "Hemmm... pada bebera- 
pa bagian tubuhnya terdapat bekas pukulan. Mungkin 
pukulan-pukulan itulah yang menyebabkannya ping- 
san. Tetapi bisa jadi dia pingsan karena tenaganya te- 
lah banyak terkuras...." 

Di lain saat, pemuda tampan berompi ungu 
yang memperlihatkan dada bidangnya ini segera men- 
galirkan tenaga dalamnya melalui kedua ibu jari kaki 
si kakek. Cukup lama dia melakukannya sebelum dili- 
hatnya wajah pucat si kakek agak memerah. 

Dihentikannya mengaliri tenaga dalamnya. Se- 
jenak dipandanginya wajah si kakek yang kedua ma- 
tanya masih terpejam. 

"Siapakah kakek berjubah biru ini? Sebelum ini 
aku belum pernah melihatnya. Dan dari bekas puku- 
lan di tubuhnya tentunya dia habis bertarung dengan 
seseorang. Ah, urusan apa lagi yang kuhadapi seka- 
rang?" desisnya pelan. Lalu diedarkan pandangannya 
ke sekelilingnya. Sekelilingnya tetap sepi. Angin senja 
terus berhembus semilir. Beberapa helai dedaunan 
berguguran, melayang dan jatuh entah ke mana. 

Setelah beberapa saat terdiam, pemuda gagah 
dari Lembah Naga ini berkata lagi, "Aku masih harus 
mencari Marinah yang telah dikuasai oleh ilmu hitam! 
Bila aku gagal mencarinya, bisa jadi dia telah banyak 
memakan korban. Padahal sampai sejauh ini aku be- 
lum dapat memahami apa yang sebenarnya dikehen- 
daki oleh Marinah...." 

Lalu diingat-ingatnya awal mula dia berhada- 
pan dengan istri Jaka yang telah tertitisi ilmu hitam 
milik seorang manusia durjana. Juga diingatnya per- 
jumpaannya lagi dengan Dewi Kerudung Jingga. 

"Menurut Peramal Sakti, ilmu hitam itu berasal 
dari Patung Darah Dewa, yang keluar dikarenakan 
masuknya Kain Pusaka Setan. Ah, pantas tatkala Kain 
Pusaka Setan terbetot masuk ke dalam tubuh Patung 
Darah Dewa, ketegangan terpancar pada wajah si ka- 
kek yang selalu mengusap-usap jenggot putih pan- 
jangnya. Tetapi seperti yang dikatakannya belum lama 
ini, dia menjadi sedikit tenang ketika tak terjadi apa- 
apa. Tetapi... ramalannya justru mengatakan lain. Ah, 
sebenarnya aku masih bingung siapakah yang harus 
kuhadapi...." 

Kembali murid Dewa Naga itu terdiam seraya 
memandang si kakek yang masih pingsan. Dicobanya 
untuk mengingat-ingat apakah sebelumnya dia pernah 
berjumpa dengan kakek berjubah biru ini atau belum. 
Setelah sekali lagi diyakininya dia belum pernah ber- 
temu dengan si kakek, diputuskan untuk menung- 
guinya sampai siuman. 

Setelah satu kali penanakan nasi berlalu, baru- 
lah didengarnya si kakek mengeluarkan suara terta- 
han. 

"Jangan banyak bergerak!" desis Boma Paksi 
tatkala melihat si kakek telah membuka kedua ma- 
tanya dan hendak bangkit. 

Mendengar kata-kata orang di samping kanan- 
nya, si kakek berjubah biru ini merebahkan lagi tu- 
buhnya di atas tanah. Matanya dipejamkan rapat- 
rapat. Kepalanya masih dirasakan pusing. Sesaat ke- 
mudian dirasakannya satu aliran tenaga halus masuk 
melalui dadanya. Setelah beberapa saat, dirasakannya 
kalau nafasnya mulai teratur. 

Boma Paksi yang tadi meletakkan telapak tan- 
gan kanannya di atas dada si kakek dan mengalirkan 
tenaga dalamnya, tersenyum begitu mendengar desa- 
han napas teratur dari orang di hadapannya. 

"Atur tenaga dalammu, Orang Tua...." 

Si kakek segera melakukan apa yang dikatakan 
orang di samping kanannya. Dia sempat melihat seki- 
las paras si pemuda tadi. Tak lama kemudian dibuka 
kedua matanya. Dipandanginya si pemuda yang se- 
dang memandangnya sambil tersenyum. 

Saat itu pula terlihat paras si kakek berubah. 

"Astaga! Sorot matanya... sorot itu... begitu 
angker dan mengerikan!" desisnya dalam hati. 

Boma Paksi tahu akan arti tatapan si kakek. 
Dia segera berkata, "Keadaanmu sudah normal kemba- 
li. Bila kau tak keberatan, aku bersedia mendengarkan 
sebab-sebab kau terluka seperti ini...." 

Kata-kata itu diucapkan penuh kesopanan, 
membuat si kakek mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Seraya menarik napas panjang, dia bangkit dengan 
kedua kaki perlahan-lahan dilipat bersila. Dipandan- 
ginya pemuda tampan di hadapannya ini lagi. 

"Sorot mata itu benar-benar membikin jantung 
yang melihatnya kian berdebar! Sungguh... oh! Dari 
mulai jari jemari hingga batas siku kedua tangannya, 
terdapat sisik-sisik coklat. Ah, siapakah pemuda be- 
rompi ungu ini?" 

Untuk beberapa saat tak ada yang bersuara. 
Boma Paksi sendiri hanya membiarkan saja si kakek 
berada dalam jalan pikirannya sendiri. 

Setelah itu barulah si kakek angkat bicara, 
"Anak muda... kuucapkan terima kasih atas pertolon- 
ganmu..." 

"Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini dan 
kebetulan melihatmu yang hendak terjatuh...." 

Si kakek terdiam dulu sebelum melanjutkan, 
"Sudah tentu aku tak keberatan untuk mengatakan 
mengapa aku berada dalam keadaan seperti ini. Tapi 
sebelumnya... keberatankah kau mengatakan siapakah 
dirimu?" 

Raja Naga menggeleng. 

"Sudah tentu tidak. Namaku Boma... Boma 
Paksi. Dan julukanku... Raja Naga...." 

Kepala si kakek mendadak menegak. Sepasang 
matanya membuka lebih lebar. 

"Katakan... katakan... apa julukanmu?" 

Meskipun merasa agak keheranan tetapi Boma 
Paksi menjawab juga pertanyaan si kakek. Kemudian 
dilihatnya si kakek menggeleng-gelengkan kepala. 

"Ada apakah, Orang Tua?" 

Si kakek tak menjawab. Diam-diam dia berkata 
dalam hati. "Jadi pemuda inilah yang berjuluk Raja 
Naga. Orang yang telah membunuh Hantu Menara 
Berkabut, kakek dari Setan Pemetik Bunga. Hemmm... 
kutangkap sesuatu yang jauh lebih menyenangkan da- 
ri apa yang ku rasakan sekarang karena aku masih 
bertahan hidup...." 

Perlahan-lahan si kakek mengangkat kepa- 
lanya. Sambil memandang si pemuda dan sesekali 
mengalihkan pandangannya dia berkata, "Raja Naga... 
aku yang tua ini bernama Junjung Tala. Orang yang 
datang dari selatan untuk mengembara." 

"Kakek Junjung Tala... aku tak punya banyak 
waktu. Bila kau tak keberatan menceritakan apa yang 
terjadi, aku akan menunggu. Tetapi bila...." 

"Sudah tentu tidak," sahut Junjung Taia. Bebe- 
rapa saat dia terdiam. Kemudian katanya, "Sebelum ini 
aku mempunyai beberapa orang teman. Antara lain 
Gada Iblis, Resi Kawula, Setan Gempal dan Setan Pe- 
metik Bunga. Kami kemudian mengadakan pesta be- 
sar-besaran di kediaman Setan Pemetik Bunga. Dan 
siapa nyana kalau ternyata Setan Pemetik Bunga 
mempunyai maksud keji?! Di dalam arak yang kami 
minum, rupanya lelaki itu telah menaruh racun! Dan 
kami mendapatkan musibah yang berkepanjangan, 
bahkan boleh dikatakan beruntun...." 

"Kau berhasil meloloskan diri?" 

"Begitulah keadaannya. Tetapi ketiga temanku 
yang lain tewas. Di antaranya ada yang diakibatkan 
oleh perbuatan Setan Pemetik Bunga dan di antaranya 
ada yang tewas dibunuh oleh seorang perempuan ber- 
telanjang dada yang mendadak muncul dan mempu- 
nyai kesaktian yang tinggi." 

Kening Raja Naga berkerut. 
"Perempuan bertelanjang dada?" 

"Ya!" 

"Oh! Kapan... kapan itu terjadi?" 

"Kejadian itu sudah dua hari lamanya...." 

Raja Naga menarik napas dan berkata dalam 
hati, "Sayang sekali... padahal aku berharap masih da- 
pat menemukan jejak perempuan bertelanjang dada 
yang ku yakini adalah Marinah." 

Lalu katanya, "Kek... karena masih ada urusan 
yang harus kuselesaikan, sebaiknya kita...." 

"Tunggu dulu, Anak Muda..." kata Junjung Tala 
yang hendak menjalankan siasatnya.”Kau harus men- 
getahui satu hal." 

Raja Naga mengurungkan niatnya. 

"Apakah itu?" 

"Setan Pemetik Bunga adalah cucu dari Hantu 
Menara Berkabut!" 

"Astaga! Benarkah yang kau katakan?" 

"Ya! Dia meminta ku dan ketiga kawanku yang 
lain untuk bergabung dengannya! Untuk menuntaskan 
segala dendam yang ada di dadanya! Ketahuilah... Se- 
tan Pemetik Bunga hendak membalas kematian ka- 
keknya. Dan itu artinya...." 

"Dia hendak membunuhku?" 

"Begitulah kenyataannya! Kematian Hantu Me- 
nara Berkabut sangat menggegerkan rimba persilatan! 
Ketahuilah, kalau julukanmu sudah menjulang, Anak 
Muda...." 

Raja Naga tak menghiraukan pujian itu. Dia 
berkata, "Setelah itu, apa yang terjadi?" 

"Aku dan ketiga kawanku yang lain menolak 
permintaannya mengajak kami bergabung! Itulah yang 
menyebabkannya hendak membunuh kami dengan ra- 
cun yang dimilikinya!" 

Raja Naga menarik napas pendek. 

"Ah, lagi-lagi urusan dendam. Mengapa harus 
begini kejadiannya? Mengapa selalu saja ada orang 
yang tidak puas dengan keadaannya?" 

Selagi Raja Naga membatin, Junjung Tala ber- 
kata, "Anak muda... aku berada di pihakmu karena 
aku tak ingin membantu Setan Pemetik Bunga untuk 
membunuhmu. Tetapi tak menutup kemungkinan ka- 
lau masih ada orang yang mau membantunya untuk 
membunuhmu...." 

Raja Naga tersenyum. 

"Kakek Junjung Tala... bukan kuanggap apa 
yang kau ceritakan itu urusan kecil. Tetapi untuk se- 
mentara biarlah ku kesampingkan...." 

"Kau memang tak menganggap urusan ini uru- 
san kecil. Tetapi seharusnya kau sudah bersiap untuk 
menghadapinya." 

"Apa maksudmu?" 

"Membunuhnya lebih dulu akan memudahkan 
mu untuk menangani urusan lain yang sedang kau ja- 
lankan...." 

Raja Naga tersenyum seraya menggelengkan 
kepalanya. 

"Bila dia memang ingin melakukannya, biar- 
lah.... Dan sudah tentu aku akan mempertahankan se- 
lembar nyawaku dari keinginannya itu. Hanya saja, 
aku tak berkeinginan dia melaksanakan semuanya, ju- 
ga tak berkeinginan untuk membunuhnya. Aku berha- 
rap dapat berjumpa dengannya dalam waktu yang ce- 
pat dan menjelaskan segala persoalan yang membuat- 
nya mendendam...." 

"Astaganaga!" desis Junjung Tala dalam hati. 
"Baru sekarang ini aku berjumpa dengan seseorang 
yang tak menghiraukan keadaannya sendiri. Padahal 
jelas jelas dia terancam. Huh! Kalau aku yang menga- 
lami hal seperti itu, orang itu sudah kucari untuk ku- 
bunuh lebih dulu!" 

Raja Naga berdiri, "Orang tua... seperti yang 
kukatakan tadi, masih ada urusan yang harus kusele- 
saikan. Jadi sebaiknya kita berpisah saja di sini...." 

Junjung Tala mengangguk dan ikut-ikutan ber- 
diri. Tubuhnya sudah dirasakan segar kembali. Dipan- 
danginya si pemuda yang sedang memandang ke ke- 
jauhan. 

Lalu katanya, "Pesanku hanya satu, berhati- 
hatilah menghadapinya...." 

"Aku akan memenuhi pesanmu itu...." 

"Orang yang hendak mencarimu itu memiliki 
wajah tampan tetapi berhati busuk! Kebiasaannya ada- 
lah memetik bunga-bunga indah pada diri seorang pe- 
rawan! Dia mengenakan pakaian serba keperakan...." 

Mendengar kata-kata terakhir Junjung Tala, 
kening Raja Naga berkerut. Tetapi di saat lain murid 
Dewa Naga ini sudah tersenyum kembali. 

"Kau juga harus berhati-hati...," katanya yang 
kemudian segera melangkah meninggalkan Junjung 
Tala. 

Junjung Tala terus memperhatikan sampai pe- 
muda gagah berompi ungu itu menghilang di balik 
ranggasan semak belukar. Beberapa saat kemudian 
dia menarik dan menghela napas panjang. 

"Dari apa yang dikatakannya, jelas-jelas aku bi- 
sa gagal membunuh Setan Pemetik Bunga dengan 
mempergunakan tangannya. Pemuda itu kelihatan be- 
gitu tegar, dan emosinya tidak terpancing sedikit juga 
mendengar apa yang kuceritakan. Sungguh ketabahan 
tebal yang dimilikinya...." 

Kakek berjubah biru ini terdiam kembali sebe- 
lum kemudian mendesis lagi, "Kalau begitu, seperti 
janji ku pada Setan Gempal dan Gada Iblis, juga ter- 
hadap Resi Kawula, sebaiknya kuteruskan langkah un- 
tuk mencari Setan Pemetik Bunga! Lelaki keparat itu 
harus menerima ganjaran atas perbuatannya!!" 

Beberapa saat Junjung Tala terdiam dengan 
dada yang mendadak naik turun. Nafasnya terdengar 
mendengus-dengus tak beraturan. Parasnya menjadi 
tegang, penuh kemarahan. 

Saat lain, kakek berjubah biru ini sudah berke- 
lebat meninggalkan tempat itu. 

***

DUA 

KAKEK berjubah merah itu berkelebat laksana 
bayangan. Gerakannya sungguh tak ubahnya setan 
belaka. Bahkan kelebatannya sendiri sangat sukar di- 
ikuti oleh mata. Dalam satu tarikan napas saja, si ka- 
kek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Se- 
buah ilmu peringan tubuh yang telah mendekati tahap 
sempurna yang dimiliki si kakek! 

Di sebuah jalan setapak, si kakek menghenti- 
kan langkahnya. Malam mulai datang dan sang rem- 
bulan saat ini bersinar cukup terang. Sepasang bola 
matanya yang tajam memperhatikan sejenak sekeli- 
lingnya. Lalu kepalanya yang lonjong itu digerak- 
gerakkannya hingga rambut putihnya yang dikuncir 
ekor kuda berlompatan. Di atas bola matanya terdapat 
sepasang alis yang bertemu pada atas hidungnya. Dan 
nampaknya si kakek berkumis putih panjang yang tu- 
run ke bawah ini memang tak berniat melanjutkan 
langkahnya lagi. Dia tetap berada di sana dengan ke- 
dua tangan terlipat di depan dada. 

Dan... astaga! Sekujur kulit si kakek ternyata 
bersisik hijau! Mendadak.... 

Bruuuttt!! 

Dari pantat si kakek terdengar suara yang cu- 
kup keras. Tetapi si kakek bersisik hijau ini tak mem- 
pedulikannya, kendati matanya berkeliling. Waswas 
seolah khawatir ada yang mendengar suara dari pan- 
tatnya. 

Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu- 
buh berpakaian dan mengenakan jubah putih panjang 
telah tiba di tempat itu. Si kakek sejenak menatap pa- 
da kakek bersisik hijau saat melangkah mendekat. Ju- 
bah putihnya berkibar-kibar. Sosoknya agak sedikit 
bongkok. Wajahnya yang dipenuhi kerut merut itu 
bergetar-getar sejenak sebelum berkata, 

"Maafkan keterlambatan ku!" 

Kakek bersisik hijau itu hanya mendengus. 

"Aku tak punya banyak waktu! Kau tentunya 
telah mendengar apa yang terjadi, Gede Arum?!" 

Si kakek berjubah putih menganggukkan kepa- 
lanya. 

"Ya! Aku telah mendengarnya! Ilmu manusia 
keparat bernama Sangga Langit itu telah keluar dari 
Patung Darah Dewa, akibat Kain Pusaka Setan yang 
masuk ke dalamnya!" 

"Sesungguhnya ada yang membingungkan! Ada 
hubungan apa antara Durjana Kayangan dengan 
Sangga Langit?!" 

"Sangga Langit adalah guru dari Durjana 
Kayangan yang telah tewas di tangan muridku, si Pe- 
ramal Sakti yang bersama-sama dengan Ki Dundung 
Kali! Kain Pusaka Setan sesungguhnya adalah milik 
Sangga Langit!" 

"Gede Arum! Hingga saat ini tak seorang pun 
yang mengetahui kalau kau masih hidup! Baik murid- 
mu sendiri ataupun orang lain! Tetapi kabar telah 
sampai ke telingaku, kalau murid murtad mu yang 
berjuluk Ratu Dayang-dayang telah tewas di tangan 
muridku, si Raja Naga! Dan tinggal Peramal Sakti yang 
tentunya sampai saat ini sedang memikirkan keadaan 
yang terjadi! Tetapi jelas dia tidak tahu kalau kau se- 
benarnya masih hidup!" 

Kakek berjubah putih yang bukan lain Kiai 
Gede Arum adanya menganggukkan kepala. 

"Ya! Bila saja aku tak bisa bertahan lebih lama, 
mungkin aku akan mampus akibat racun yang diberi- 
kan Ratu Dayang-dayang di makananku!" 

"Bahkan kau sempat dikuburkan oleh muridmu 
yang satunya lagi: si Peramal Sakti!" 

"Ya!" 

"Dan yang membingungkan ku, mengapa kau 
berlagak sudah mampus saat itu?!" 

"Aku tak ingin mendengar adanya rengekan da- 
ri Ratu Dayang-dayang yang ingin tahu rahasia ten- 
tang Patung Darah Dewa! Di samping itu, aku ingin dia 
menyesali tindakannya." 

"Gede Arum! Bila aku yang diperlakukan seperti 
itu, akan kuhajar habis-habisan murid celaka itu!!" 
sahut si kakek bersisik hijau keras. Sisik-sisik hijau 
pada wajahnya sedikit menyala. 

Kiai Gede Arum hanya menganggukkan kepala. 

"Dan aku sama sekali tak menyangka kalau Ra- 
tu Dayang-dayang justru semakin bernafsu untuk 
mengetahui rahasia dari Patung Darah Dewa!" 

"Itu adalah kesalahanmu!" 

"Sedikit banyaknya kuakui kesalahanku itu! 
Juga akibat dan sikap yang kulakukan! Peramal Sakti 
justru menjadi murka dengan tindakan yang dilaku- 
kan Ratu Dayang-dayang! Tetapi aku salut padanya 
yang kemudian tidak lagi meneruskan kemarahannya! 
Hanya saja, karena sikap Ratu Dayang-dayanglah yang 
membuatnya menjadi marah kembali!" 

"Dan dalam keadaan terluka kau bangkit dari 
kuburmu kemudian mencariku! Beruntung kau men- 
gisyaratkan nya kepadaku! Bila tidak, mungkin dalam 
perjalanan menuju ke Lembah Naga kau sudah mam- 
pus!" sahut si kakek bersisik hijau yang bukan lain 
Dewa Naga adanya. Ketika dia hendak menyambung 
kata-katanya, mendadak.... 

Brruutt!! 

Suara dari pantatnya terdengar lagi. Wajahnya 
sedikit memerah tetapi dia tak mempedulikannya. Ta- 
tapannya semakin tajam pada kakek berjubah putih di 
hadapannya. 

"Kau tertawa sedikit saja, jangan menyesali ka- 
lau mulutmu akan mencong ke kanan!" 

Kiai Gede Arum tak menyahuti ucapan itu. De- 
wa Naga menyumpah-nyumpah dalam hati. 

"Brengsek betul pantat ku ini! Selalu bunyi dan 
berbunyi! Huh! Kalau aku lagi ingin mengeluarkannya, 
susah betul! Tetapi kalau tidak disuruh, malah ber- 
bunyi! Brengsek!" 

Habis menyumpah-nyumpah dalam hati, kakek 
muka lonjong ini berkata, "Kumpulan ilmu hitam milik 
Sangga Langit kini telah menitis pada seorang gadis 
bernama Marinah! Aku yakin kau juga sudah menden- 
garnya! Gede Arum! Kupikir, tibalah saatnya bagimu 
untuk keluar dari persembunyianmu setelah sekian 
lama orang menganggapmu telah mati!" 

Kepala Kiai Gede Arum mengangguk-angguk. 

"Yah... aku bertanggung jawab atas kejadian itu!" 

"Satu hal yang masih membingungkan ku, 
mengapa kau justru mengatakan tentang rahasia Pa- 
tung Darah Dewa pada Peramal Sakti tetapi kau tidak 
mau mengatakannya pada Ratu Dayang-dayang?" 

"Dewa Naga! Aku lebih mengerti tentang murid- 
muridku ketimbang siapa pun juga!" 

"Brengsek! Jadi kau menganggapku telah me- 
lontarkan pertanyaan bodoh?!" 

"Tidak! Sama sekali aku tidak menganggap de- 
mikian!" sahut Kiai Gede Arum sambil menggelengkan 
kepalanya. Wajahnya dipenuhi dengan duka yang ber- 
kepanjangan. Lalu setelah menghela napas, kakek ber- 
jubah putih ini berkata, "Peramal Sakti memiliki kesa- 
baran hati yang tinggi. Sejak pertama kali aku men- 
gambilnya sebagai murid, aku sudah tahu tentang si- 
kapnya yang sedemikian santun. Lain halnya dengan 
apa yang dimiliki oleh Ratu Dayang-dayang. Muridku 
yang satu itu...." 

"Kau masih menganggapnya sebagai murid?!" 
bentak Dewa Naga cukup keras. 

"Biar bagaimanapun juga, dia pernah menjadi 
muridku," sahut Kiai Gede Arum pelan. Bersamaan 
suara 'brutt' dari pantat Dewa Naga, Kiai Gede Arum 
melanjutkan, "Ratu Dayang-dayang memiliki kekera- 
san hati yang tinggi! Sikapnya yang pertama kali diper- 
lihatkan, di saat dia merasa tidak puas dengan ilmu 
yang kuturunkan padanya! Dia menganggap aku lebih 
banyak menurunkan ilmuku pada Peramal Sakti! Pa- 
dahal tidak sama sekali! Ilmu yang kuturunkan pada 
Peramal Sakti, memang diperuntukkan buat seorang 
lelaki! Demikian pula halnya dengan ilmu yang kutu- 
runkan pada Ratu Dayang-dayang!" 

"Lepas dari semua itu, pada akhirnya kau akan 
tetap muncul juga di rimba persilatan ini!" seru Dewa 
Naga. "Aku menangkap satu hal yang mungkin akan 
jadi pikiranmu! Tentunya, dengan munculnya kembali 
kau ke rimba persilatan, akan banyak memancing ke- 
luar tokoh-tokoh yang pernah kau kalahkan!" 

"Aku juga sudah membayangkan hal itu! Tapi 
memang pada akhirnya aku harus muncul kembali di 
rimba persilatan! Karena biar bagaimanapun juga na- 
sib gadis malang bernama Marinah itu adalah tang- 
gung jawabku!" 

"Satu hal yang...." Bruttt!! "Busyet! Nih pantat 
tidak bisa tenang juga!" dengus Dewa Naga pada di- 
rinya sendiri. Di hadapannya Kiai Gede Arum tak ber- 
suara. Kemudian katanya lagi, "Aku menangkap 
bayangan kalau muridku yang bernama Boma Paksi 
akan turut hadir dalam urusan yang seharusnya kau 
pegang! Gede Arum! Tak ada yang perlu dibicarakan 
kecuali bila memang masih ada yang hendak kau bica- 
rakan!" 

Kakek berjubah putih itu menggelengkan kepa- 
lanya. 

"Terima kasih karena kau mau menemuiku di 
tempat ini!" 

"Bila ini tidak ada urusannya dengan muridku, 
mana sudi aku...." Bruuuttt!! "Eh, busyet! Kenapa ti- 
dak mau tenang juga pantat ku ini! Gede Arum! Perlu 
kau ingat-ingat ciri muridku! Dia memiliki paras tam- 
pan dengan rambut gondrong! Tatapannya sangat ang- 
ker dan mampu membuat nyali putus! Kedua tangan- 
nya mulai dari jari jemari hingga siku terdapat sisik 
kecoklatan! Bila kau berjumpa dengannya, jangan 
mengatakan kalau kita pernah bertemu seperti seka- 
rang!" 

Kiai Gede Arum mengangguk. 

Kakek berjubah merah itu mendengus. Di lain 
saat dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu di- 
iringi ucapannya yang ngawur. Dan bunyi pantatnya 
tersisa di sana. 

Sepeninggal Dewa Naga, Kiai Gede Arum mena- 
rik napas panjang. Mengusap-usap dagunya yang ke- 
limis. 

"Mau tak mau aku memang harus muncul 
kembali ke rimba persilatan! Siapa pun orangnya su- 
dah tentu akan menghadapi banyak waktu untuk me- 
nandingi kekuatan ilmu hitam milik Sangga Langit 
yang telah menitis pada gadis bernama Marinah. Ah... 
hanya aku seorang yang mengetahui kelemahannya. 
Tetapi... di usia yang sudah bertambah ini, apakah aku 
masih sanggup menghadapinya?" 

Kakek berjubah putih ini menengadahkan ke- 
palanya. Dipandanginya langit cerah yang dipenuhi 
gumpalan awan putih. Saat lain dia memandang ke 
arah perginya Dewa Naga. 

"Kini memang sudah saatnya...," desisnya ke- 
mudian dan segera melangkah ke arah yang berlawa- 
nan yang ditempuh oleh Dewa Naga. 

Jalan setapak itu kembali direjam sepi. 

* * *

Pada saat yang bersamaan, lelaki berpakaian 
terbuat dari keperakan itu berkata pada orang di 
samping kanannya, 

"Semua telah menjadi jejas. Pemuda itulah yang 
memang hendak kubunuh! Lantas, kapan kau akan 
membantuku untuk melaksanakan semua ini?" 

Orang di hadapannya tersenyum. 

"Jangan terlalu gegabah. Biarkanlah pemuda 
dari Lembah Naga itu menuntaskan urusannya dengan 
perempuan bertelanjang dada yang telah dirasuki sinar 
hitam dari Patung Darah Dewa." 

Lelaki tampan berhati licik yang bukan lain Se- 
tan Pemetik Bunga mengerutkan kening. 

"Aku tak memahami kata-katamu. Sebelumnya 
kau mengatakan, kalau kau hendak mencari perem- 
puan bernama Marinah yang telah berubah menjadi 
sedemikian kejam untuk mengajaknya bergabung. Se- 
karang kau mengatakan untuk membiarkan dulu Raja 
Naga berhadapan dengan perempuan itu!" 

"Jangan terlalu tegang! Setan Pemetik Bunga, 
kemarahan mu ini didasari dengan rasa tak sabar un- 
tuk membunuh pemuda itu! Dan kupikir, bila kita se- 
dikit tenang, apa yang kita inginkan akan tercapai!" 

"Perempuan celaka!" maki Setan Pemetik Bunga 
dalam hati sambil memandang orang di hadapannya. 
Dan dia menggeram pelan setelah mengetahui apa 
yang diinginkan orang itu sebenarnya. "Terkutuk! Su- 
dah jelas kalau dia hendak mempergunakan tenaga 
sakti dari perempuan bertelanjang dada yang telah di- 
masuki sinar hitam dari Patung Darah Dewa! Dengan 
begitu... dia tak akan terlalu banyak menguras tenaga 
untuk membunuh Raja Naga! Keparat terkutuk!" 

Tak bisa menahan kemarahannya, Setan Peme- 
tik Bunga sudah berseru, "Dengan memutuskan demi- 
kian, aku tahu kalau kau sebenarnya tak ingin mem- 
bantuku!" 

Perempuan di hadapannya tersenyum, yang 
semakin membuat gusar dada Setan Pemetik Bunga. 

"Aku telah menjalankan apa yang kau inginkan! 
Keempat orang yang kau katakan sebagai pesaingmu 
itu telah mampus kuracuni! Aku yakin Gada Iblis dan 
Junjung Tala juga telah mampus, tetapi mampus di 
tangan perempuan bertelanjang dada yang mendadak 
muncul!" 

"Sudah kukatakan tadi, kau tidak perlu tegang. 
Bila kau mau tenang sedikit, urusan ini dapat disele- 
saikan dengan mudah," kata perempuan di hadapan- 
nya sambil tetap tersenyum. "Murid Dewa Naga itu 
masih melacak ke mana perginya perempuan bertelan- 
jang dada yang telah menimbulkan keonaran. Dan ini 
berarti, kau tak perlu tegang. Untuk apa kita buang 
tenaga percuma bila pemuda itu dapat dibunuh bukan 
dengan tangan kita?" 

"Aku telah melaksanakan apa yang kau ingin- 
kan!" desis Setan Pemetik Bunga dengan suara agak 
meradang. Kedua matanya menyipit dengan gemuruh 
amarah di dada sulit dipertahankan. "Dan kau berjanji 
untuk membantuku membunuh Raja Naga! Tetapi dari 
apa yang kau katakan, kau hanya memperalat ku!!" 

Perempuan di hadapannya tertawa keras. 

"Sejak tadi kukatakan janganlah terlalu gusar! 
Kau telah melaksanakan apa yang kuinginkan, sudah 
tentu kau akan mendapatkan apa yang kujanjikan!" 

"Tetapi...." 

"Setan Pemetik Bunga! Di dunia ini hanya ada 
dua sifat manusia yang sama sekali terkadang tak bisa 
diduga! Pertama, orang yang bersikap baik tetapi sebe- 
narnya memiliki sifat yang sangat jahat! Kedua, adalah 
kebalikan dari sifat yang pertama tadi!" 

"Dengan kata lain kau hendak mengatakan, ka- 
lau kau berpura-pura membantuku agar aku mau me- 
laksanakan keinginanmu?" 

"Aku tak berkata demikian," sahut orang di ha- 
dapannya sambil tersenyum. 

"Keparat! Kau benar-benar membuatku murka! 
Kelicikanmu itu akan mendapatkan balasan!" geram 
Setan Pemetik Bunga keras. Dia sama sekali tak me- 
nyangka kalau orang di hadapannya telah memperalat 
dan mengkhianatinya. 

Sebelumnya Setan Pemetik Bunga merasa ya- 
kin kalau orang di hadapannya akan membantunya 
untuk membunuh Raja Naga. Orang itu memang telah 
mengajukan satu syarat, dia akan membantunya bila 
Setan Pemetik Bunga berhasil membunuh Junjung Ta- 
la, Resi Kawula, Setan Gempal dan Gada Iblis. Keem- 
pat orang itu sebenarnya adalah para kambratnya 
yang sama-sama malang melintang di dunia hitam! Te- 
tapi kenyataannya sekarang? (Untuk mengetahui keli- 
cikan Setan Pemetik Bunga sebelumnya, silakan baca : 
"Patung Darah Dewa"). 

Orang di hadapannya tersenyum. Lalu dengan 
suara tenang berkata, "Katamu tadi aku telah berlaku 
licik. Lantas bagaimana dengan kau sendiri? Apakah 
kau tidak berlaku licik?" 

"Terkutuk!!" kemarahan Setan Pemetik Bunga 
semakin menjadi-jadi. 

Orang di hadapannya kembali tertawa, lebih 
keras dari sebelumnya. Dedaunan yang berada di seki- 
tar mereka meranggas, bertebaran karena gelombang 
tawa orang itu telah dialiri tenaga dalam. 

"Dari kata-katamu tadi, kau menyimpan rasa 
tak percaya kepadaku rupanya!" 

"Aku bukan hanya telah menyimpannya, tetapi 
melontarkan ketidakpercayaan itu!" 

"Justru dengan sikap yang kau perlihatkan aku 
bertambah yakin akan keinginanmu untuk membunuh 
Raja Naga! Dan kau tidak setengah-setengah meminta 
bantuanku!" 

"Karena aku telah melakukan apa yang kau in- 
ginkan!" 

"Bagus! Kau tak perlu gusar dan menyimpan 
rasa tidak percaya mu itu kepadaku lebih lama! Kare- 
na, aku akan tetap membantumu! Tetapi sebaiknya... 
kita berpisah di sini!" 

"Apa maksudmu dengan berpisah di sini?" 

Orang di hadapannya tersenyum. Lalu menge- 
mukakan alasannya yang membuat lelaki berpakaian 
keperakan itu mengangguk-anggukkan kepala. 

"Baiklah! Bila alasanmu demikian adanya, aku 
setuju dengan apa yang kau inginkan!" 

"Dan kau akan mendapatkan keuntungan be- 
sar dengan janji ku ini!" 

Habis berkata demikian, orang itu sudah berke- 
lebat diiringi tawa yang panjang. Di tempatnya, Setan 
Pemetik Bunga menggeram dalam hati. 

"Aku tidak tahu apakah harus mempercayainya 
atau tidak! Tetapi dari apa yang dikatakannya, rasanya 
tak perlu mencurigainya sekarang! Huh! Sebaiknya 
aku segera melacak jejak Raja Naga! Padahal sebelum- 
nya, dia sudah berada tak jauh dariku! Membunuhnya 
adalah yang kuinginkan! Tetapi perempuan keparat itu 
menghendaki lain!" 

Kejap kemudian, Setan Pemetik Bunga sudah 
berkelebat meninggalkan tempat itu, ke arah yang ber- 
lawanan dengan orang yang setengah dipercayainya 
dan setengah lagi tidak. 

***

TIGA 

TEPAT matahari muncul kembali di persada 
bumi, dua sosok tubuh yang sama-sama berkelebat 
dari arah yang berlawanan sama-sama menghentikan 
langkah. Kedua orang ini sejenak saling pandang sebe- 
lum kemudian sama-sama melangkah lagi, mendekati 
satu sama lain. 

"Kirana! Bagaimana? Apakah kau berhasil men- 
jumpainya?" tanya orang yang datang dari sebelah ka- 
nan. Dia seorang lelaki yang berusia sekitar enam pu- 
luh tahun. Parasnya sedikit keriput. Rambutnya yang 
sudah mulai memutih tergerai dipermainkan angin. Le- 
laki ini mengenakan pakaian putih dengan dua selen- 
dang hijau bersilangan di depan dan di belakang dada. 

Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun yang 
mengenakan pakaian ringkas warna biru merang- 
kapkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya 
yang jelita disaput sedikit keringat. Dadanya yang agak 
membusung turun naik dengan napas yang sedikit te- 
rengah. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Di punggung- 
nya bersilangan dua buah pedang. 

"Aku sudah menemuinya, Guru! Dan beliau 
mau turut membantu kita untuk membasmi gadis 
yang mengaku berjuluk Ratu Tanah Terbuang!" 

Si lelaki mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Wajahnya menyiratkan sedikit kepuasan. 

"Bagus! Rupanya dia masih ingat padaku!" 

"Bahkan dia menyesali mengapa Guru baru 
mengutus ku untuk menjumpainya sekarang ini." 

Lelaki tua berpakaian putih dengan selendang 
hijau yang berselempangan di depan dan di belakang 
dadanya menarik napas pendek. 

"Sudah lama sebenarnya aku ingin menjum- 
painya. Berbicara banyak dengannya tanpa mengenal 
waktu. Mengulang lagi kebersamaan yang pernah ku 
alami bersamanya...." 

Kirana merasa tidak enak menyampaikan kata- 
kata orang yang dijumpainya kepada gurunya. Dia 
mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guru... bagai- 
mana dengan hasil yang Guru capai? Apakah Guru 
berhasil mengikuti ke mana perginya Ratu Tanah Ter- 
buang, hingga Guru mengetahui di mana gadis kejam 
itu tinggal?" 

Si lelaki yang berjuluk Pendekar Kencana 
menggelengkan kepalanya. 

"Aku gagal mengikutinya! Gadis itu sungguh 
memiliki ilmu peringan tubuh yang sangat tinggi!" 

Diam-diam Kirana menyesali itu, tetapi sudah 
tentu dia tidak mengatakannya. Apa yang dilakukan 
gurunya mungkin sudah batas dari kemampuannya. 

"Guru... baru-baru ini kita sudah diguncangkan 
oleh kehadirannya! Tahu-tahu gadis yang mengaku 
berjuluk Ratu Tanah Terbuang itu datang dan meng- 
hancurkan Perguruan Kencana! Ah, aku sungguh tidak 
sabar untuk membalas apa yang telah dilakukannya 
itu! Apakah Guru mengetahui sebab-sebabnya?" 

Pendekar Kencana menggelengkan kepalanya. 
Diingatnya bagaimana pada malam itu mendadak saja 
seorang gadis berjuluk Ratu Tanah Terbuang muncul. 
Dan tanpa basa-basi lagi gadis itu telah membunuhi 
murid-muridnya yang berjumlah sembilan orang. Pen- 
dekar Kencana bukanlah seorang pendekar sembaran- 
gan, dia cukup disegani oleh kawan maupun lawan. 
Tetapi malam itu dia tak bisa berbuat banyak. Bahkan 
memutuskan untuk meloloskan diri, bersama Kirana, 
satu-satunya muridnya yang berhasil diselamatkan. 

Setelah dua hari dua malam bersembunyi dari 
kejaran Ratu Tanah Terbuang, Pendekar Kencana 
mengutus muridnya untuk menjumpai sahabatnya 
yang bernama Kidang Gerhana di Lembah Gerhana 
untuk meminta bantuan. Sementara dia sendiri men- 
coba menemukan jejak Ratu Tanah Terbuang. Meski- 
pun dia berhasil menjumpai gadis itu, tetapi dia gagal 
mengikuti ke mana perginya Ratu Tanah Terbuang. 

"Aku tidak tahu secara pasti tentang hal itu, Ki- 
rana! Tetapi, aku sempat menangkap ucapannya yang 
menyebutkan satu julukan!" 

"Siapakah orang yang disebutkan itu Guru?" 
tanya Kirana sambil mengatur nafasnya. 

"Aku belum pernah berjumpa dengannya. Teta- 
pi, aku sudah pernah mendengar julukannya yang ti- 
ba-tiba merebak ke permukaan!" sahut Pendekar Ken- 
cana kemudian terdiam untuk beberapa saat. Lalu 
sambil memandang muridnya yang memiliki paras jeli- 
ta itu dia melanjutkan, "Pemuda itu bernama Boma 
Paksi dan berjuluk Raja Naga!" 

"Guru pernah menceritakannya kepadaku! Bu- 
kankah dia yang telah menghancurkan Menara Berka- 
but sekaligus membunuh penghuninya yang berjuluk 
Hantu Menara Berkabut?" 

Pendekar Kencana menganggukkan kepalanya. 

"Kau betul! Ratu Tanah Terbuang sedang men- 
carinya! Gadis kejam berilmu tinggi itu memang tak 
mengatakan apa yang diingininya dengan mencari Raja 
Naga! Tetapi dari tindakan brutalnya, aku yakin dia 
mencoba memancing kemunculan Raja Naga! Dengan 
kata lain, dia berharap Raja Naga muncul dan menca- 
rinya! Mungkin... mungkin untuk dibunuhnya!" 

Kirana sedikit menegakkan kepala mendengar 
kata-kata terakhir gurunya. 

"Huh! Urusan orang lain ternyata harus kami 
yang menanggung! Ratu Tanah Terbuang melakukan 
tindakan kejamnya untuk memancing munculnya Raja 
Naga! Tetapi, mengapa harus kami yang menjadi kor- 
ban? Padahal kami tak punya urusan apa-apa den- 
gannya, juga tak mengenal Raja Naga kecuali menden- 
gar julukannya saja!" desisnya dengan hati sedikit gu- 
sar. 

Lalu katanya dengan suara kesal yang tak dis- 
embunyikan, "Guru! Biar bagaimanapun juga, kita tak 
bisa membiarkan Ratu Tanah Terbuang terus menerus 
membunuhi siapa saja, semata untuk memancing ke- 
munculan Raja Naga!" 

"Kau betul! Tetapi kita sama-sama tahu akan 
kesaktian Ratu Tanah Terbuang! Kirana.. apakah yang 
dikatakan oleh Kidang Gerhana?" 

"Selain apa yang kusampaikan tadi pada Guru, 
dia juga mengatakan, sebagai seorang sahabat, dia 
bersedia membantu kita, Guru!" 

"Bagus! Dan kau sudah mengatakan padanya 
seperti yang kukatakan padamu?" 

"Ya! Dia berjanji tiga hari di muka akan muncul 
di Sungai Matahari, tempat yang Guru katakan!" 

Pendekar Kencana terdiam beberapa saat. Ki- 
rana dapat melihat bagaimana wajah gurunya dipenu- 
hi oleh kedukaan. 

Kemudian katanya, "Guru... aku dapat mema- 
hami apa yang Guru rasakan...." 

Pendekar Kencana mengangkat kepalanya. Di- 
pandanginya muridnya itu. Perlahan-lahan dia terse- 
nyum. 

"Sudahlah... tak sepatutnya aku bersikap se- 
perti ini. Mungkin apa yang kita hadapi ini sebagai sa- 
lah satu cobaan hidup yang diturunkan oleh Sang Ma- 
ha Penguasa Jagat! Kirana... kita berangkat sekarang 
menuju ke Sungai Matahari...." 

Kirana menganggukkan kepalanya. Hati gadis 
berkuncir ini sedih bukan main. Dia tak pernah me- 
nyangka kalau kehidupannya bersama-sama para 
saudara seperguruannya akan berakhir secepat itu. 

Namun belum lagi keduanya sama-sama me- 
langkah meninggalkan tempat, mendadak saja terjadi 
perubahan angin. Angin yang semula berhembus se- 
juk, kini mendadak berubah menjadi cepat. Lintang 
pukang dengan menyambar dedaunan yang segera 
berguguran. 

"Guru!" desis Kirana dengan wajah agak tegang. 

Dilihatnya gurunya terdiam dengan paras kaku. 
Sepasang matanya dibuka lebih lebar. Pendengarannya 
disapukan bersih untuk menangkap suara di sekitar- 
nya. 

Kemudian terdengar desisan, "Bersiaplah... se- 
seorang sedang menunjukkan kesaktiannya..." 

Perlahan-lahan Kirana mendekati dan berdiri di 
samping kanan gurunya. 

"Guru... apakah Ratu Tanah Terbuang yang 
muncul?" tanyanya dalam bisikan. 

"Tidak! Bila gadis itu yang muncul, akan segera 
tersebar aroma wangi!" 

Kirana hanya mengangguk-anggukkan kepa- 
lanya. Diliriknya gurunya yang kendati kelihatan agak 
tegang tetapi masih bisa bersikap tenang. 

Mendadak satu gelombang angin menderu dah- 
syat dengan suara menggebu. Di lain kejap.... 

Jlggaaarrr! 

Pohon yang berdiri berjarak sepuluh langkah 
dari samping kanan keduanya, mendadak terhantam. 
Rengkahnya pohon itu membuat keduanya tersentak. 
Dan masing-masing orang segera melompat ke depan 
tatkala bagian atas pohon yang terhantam itu tumbang 
ke arah mereka! 

Blaaammm!! 

Jatuhnya pohon itu di atas tanah menimbulkan 
suara yang cukup keras, disusul muncratnya tanah 
yang diselingi dedaunan dari pohon itu. 

Belum lagi masing-masing orang mengetahui 
apa yang terjadi, belum lagi muncratan tanah dan de- 
daunan itu berguguran lagi ke bumi, suara dingin itu 
terdengar angker, "Kalian adalah bagian dari hidupku! 
Akulah yang menentukan hidup matinya kalian! Kali 
ini, aku menghendaki kalian hidup asalkan dapat 
menjawab pertanyaan!!" 

Baik Pendekar Kencana maupun muridnya, 
sama-sama mengarahkan pandangan ke depan. Mas- 
ing-masing orang terdiam beberapa lama begitu meli- 
hat orang yang muncul dengan memperlihatkan satu 
serangan yang mengerikan itu. 

Perempuan itu berwajah jelita, tetapi sorot ma- 
tanya bengis dengan kejelitaan yang seperti kabur. 
Rambutnya tergerai dan nampak acak-acakan. Satu 
hal yang membuat Kirana mendengus, karena perem- 
puan yang tiba-tiba muncul itu bertelanjang dada. 
Memperlihatkan bukit kembarnya yang mengkal dan 
menggiurkan tanpa kelihatan risih sama sekali. 

"Perempuan tak tahu malu!" geram Kirana den- 
gan kedua tangan terkepal. 

Perempuan itu tak bersuara. Sorot matanya 
yang memancarkan kebengisan memandang tak ber- 
kedip pada keduanya. 

Lain halnya dengan apa yang melintas di benak 
Kirana, lain dengan apa yang dipikirkan oleh Pendekar 
Kencana. Lelaki ini masih bisa bersikap tenang, wa- 
laupun perempuan di hadapannya sudah memperli- 
hatkan tindakan makar. 

"Sorot matanya begitu bengis, wajahnya tegang 
kaku. Dan dia membiarkan buah dadanya terbuka se- 
perti itu. Hemm... biasanya, bila seseorang menganut 
ilmu hitam dan ilmu itu sedang dipergunakan, tak 
akan ada tanda-tanda dia akan malu dengan apa yang 
dilakukannya. Hanya saja... dari sorot mata yang ben- 
gis itu kutangkap satu siksaan yang dalam. Seperti 
ada gejolak yang diingininya untuk melawan tindakan 
yang dilakukannya. Astaga! Apakah...." 

"Kalian adalah bagian dari hidupku!" 

"Perempuan tak tahu malu!" seru Kirana yang 
sudah tidak dapat menahan amarahnya. "Kau datang 
dengan tindakan busuk! Dan sekarang berkata kalau 
kami adalah bagian dari hidupmu! Keparat! Apakah 
kau sebenarnya punya nyali? Atau... kau termasuk pe- 
rempuan yang terjerumus ke dalam selokan!!" 

Tatapan perempuan bertelanjang dada yang 
bukan lain Marinah, yang kemasukan ilmu hitam yang 
sekian puluh tahun lamanya berdiam di tubuh Patung 
Darah Dewa, memandang tak berkedip pada Kirana. 
Sorot matanya bengis dan mengandung ketidaksaba- 
ran untuk menghabisi si gadis. 

Kirana bukanlah gadis yang memiliki nyali 
pendek. Keberaniannya tinggi. Tanpa rasa takut, di- 
pentangkan kedua matanya lebar-lebar untuk memba- 
las sorot mata si perempuan. 

Pendekar Kencana berbisik, "Kirana... jangan 
bertindak gegabah. Perempuan ini nampaknya tak 
memiliki rasa perikemanusiaan...." 

Mendengar kata-kata gurunya walaupun ha- 
tinya sedikit mangkel, Kirana yang tadi sudah hendak 
bersuara, kini merapatkan mulutnya. 

Pendekar Kencana berkata, "Perempuan! Aku 
tak pernah melihatmu sebelumnya! Dan aku yakin kau 
juga baru melihatku sekarang! Tetapi... mengapa kau 
sudah pertunjukkan satu kejadian yang sama sekali 
tak bisa kuterima?!" 

"Kalian adalah bagian dari hidupku...," desis 
Marinah dingin. Sorot matanya bertambah bengis. 

"Hemmm... aku makin kuat menduga, kalau 
perempuan ini dipengaruhi oleh ilmunya sendiri...," ka- 
ta Pendekar Kencana dalam hati. Kemudian dia berka- 
ta, "Aku tak yakin kalau kau mengenal dirimu sendiri!" 

"Bagian dari hidupku tak berhak untuk ber- 
tanya! Siapa pun orangnya!" sahut perempuan berte- 
lanjang dada dingin. Lalu sambungnya dibarengi tata- 
pan yang semakin bengis, "Ini semua gara-gara Kiai 
Gede Arum! Manusia celaka yang menyebabkan aku 
kehilangan jasad! Bila kalian dapat mengatakan di 
mana manusia celaka itu berada, maka kalian tak 
akan pernah celaka!" 

"Kiai Gede Arum? Rasa-rasanya... aku pernah 
mendengar nama itu? Oh! Bukankah dia yang tewas 
akibat racun muridnya sendiri yang berjuluk Ratu 
Dayang-dayang? Astaga! Perempuan tak tahu malu ini 
sedang mencari Kiai Gede Arum?! Ada urusan apa se- 
benarnya?! Tadi dia mengatakan kalau dia kehilangan 
jasad? Gila! Bagaimana mungkin?! Sudah jelas jasad- 
nya itu terpampang di depan mata! Gila! Ini urusan gi- 
la! Apakah ini urusan dendam? Tetapi... dendam yang 
bagaimana mengingat dia masih sedemikian muda? 
Bisa jadi kalau sebenarnya dia adalah kaki tangan se- 
seorang, yang memanfaatkannya untuk membunuh 
Kiai Gede Arum." 

Selagi Pendekar Kencana membatin, perem- 
puan bertubuh sintal yang memamerkan buah da- 
danya itu mendesis lagi, "Di mana manusia keparat itu 
berada?!" 

Pendekar Kencana menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya. 

"Kau hanya membuang waktu belaka dengan 
mencarinya! Sampai usiamu habis pun kau tak akan 
menemukan di mana Kiai Gede Arum berada!" 

Mata bengis di hadapannya itu semakin nya- 
lang. 

"Kalian mencoba membagi kehidupan untuk di- 
ri kalian sendiri! Padahal akulah yang berhak atas hi- 
dup kalian!" 

"Kiai Gede Arum sudah tewas dibunuh oleh 
muridnya sendiri!" seru Pendekar Kencana. 

Untuk beberapa lama perempuan bertelanjang 
dada itu merapatkan mulut. Matanya bertambah nya- 
lang. Kejap lain dia sudah mengeluarkan suara meng- 
gelegar. 

"Kau berkata demikian, karena kau mencoba 
membebaskan diri dari kehidupan yang kuberikan! 
Maka...." 

"Tunggu! Kau nampaknya tidak tahu kalau 
orang yang kau cari sudah tewas?" 

"Kau pandai bicara! Kau hebat memutarbalik- 
kan fakta! Orang yang biasa berdusta, akan mengang- 
gap kata-katanya adalah sebuah kebenaran! Tetapi je- 
las-jelas kalau orang itu mencoba untuk mengelabui 
seseorang atau memanfaatkan kesempatan! Kiai Gede 
Arum sampai hari ini masih hidup!" 

Pendekar Kencana tak mempedulikan kata-kata itu. 

"Ada urusan apa kau mencarinya?" 

"Berpuluh tahun lamanya dia mengunci diriku 
pada Patung Darah Dewa! Berpuluh tahun pula aku 
tak bisa bergerak lagi dalam kebebasan! Tetapi sesuatu 
telah terjadi! Sesuatu yang sekian lama kutunggu agar 
aku dapat bebas dari Patung Darah Dewa! Dan tibalah 
saatnya untuk membalas perlakuan terkutuk yang di- 
lakukannya terhadapku!" 

Pendekar Kencana mengerutkan keningnya. 

"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang 
dibicarakannya! Perempuan itu nampaknya baru beru- 
sia sekitar dua puluh limaan. Tetapi dia mengatakan 
telah berpuluh tahun terkunci pada sebuah patung 
yang bernama Patung Darah Dewa! Astaga! Jangan- 
jangan aku sedang menghadapi seorang perempuan gi- 
la yang memiliki kesaktian tinggi!" 

"Guru... apakah kita akan berdiam begini te- 
rus?" usik Kirana dalam bisikan. Dia sejenak melirik 
gurunya, lalu mengarahkan lagi pandangannya pada 
perempuan bertelanjang dada di hadapannya. "Aku 
sudah tidak sabar untuk menghajarnya! Lagi pula, kita 
harus menemui kakek Kidang Gerhana! Kalau kita te- 
rus meladeninya, ini hanya membuang waktu saja, 
Guru." 

"Kirana... aku belum tahu siapa perempuan itu 
sebenarnya. Dari ucapannya tadi, jelas kalau sebelum- 
nya dia pernah bertarung dengan Kiai Gede Arum pada 
rentang waktu yang lama dari sekarang. Hanya yang 
mengherankan ku, bagaimana mungkin dia bertarung 
dengan Kiai Gede Arum bila melihat parasnya yang 
masih sedemikian muda? Juga dikatakannya kalau dia 
telah mendekam berpuluh tahun di dalam tubuh Pa- 
tung Darah Dewa." 

"Mungkin perempuan ini sudah miring otaknya, 
Guru," kata Kirana sambil memandang tak berkedip 
pada perempuan bersorot mata bengis di hadapannya. 

Pendekar Kencana mengangguk-anggukkan ke- 
palanya. 

"Kalian adalah bagian dari hidupku! Akulah 
yang memutuskan apakah kalian masih boleh hidup 
atau tidak! Tadi ku putuskan untuk membiarkan ka- 
lian hidup sementara waktu! Tetapi kalian tidak mem- 
pergunakan kesempatan yang kuberikan untuk men- 
gatakan di mana Kiai Gede Arum berada! Itu artinya 
kalian menyia-nyiakan waktu! Dan... kalian sekarang 
harus mampus!!" 

Habis kata-kata yang seolah keluar dari dalam 
sumur itu, perempuan bertelanjang dada itu sudah 
menyambung dengan tatapan dingin, "Gadis manis 
berkuncir kuda! Kau adalah bagian dari hidupku!" 

Kirana sejenak mengerutkan keningnya men- 
dengar kata-kata itu ditujukan padanya. Di saat lain 
gadis itu sudah melangkah mendekati si perempuan. 
Langkahnya kaku. Wajahnya kaku. Sikapnya kaku. 

"Kirana!" seru Pendekar Kencana terkejut. 

Tetapi muridnya itu terus melangkah seolah ti- 
dak mendengar panggilannya. 

***

EMPAT 

PENDEKAR KENCANA tercekat. Untuk bebera- 
pa lama dia hanya memandangi saja muridnya yang 
terus mendekati perempuan bertelanjang dada. Pera- 
saan keheranan semakin merajai hatinya. Di saat lain 
mendadak dia sudah berseru lagi, "Kiranaaaa!!" 

Seruan itu sedemikian keras, bahkan terdengar 
sampai ke kejauhan. Tetapi Kirana terus melangkah, 
seolah tak mendengar seruannya. 

"Kiranaaa!!" 

"Dia adalah bagian dari hidupku! Bila aku su- 
dah berkehendak, siapa pun atau apa pun tak akan 
mampu menghalangiku! Aku menginginkan kematian- 
nya sekarang, yang akan segera disusul dengan kema- 
tianmu!!" 

"Astaga!" desis Pendekar Kencana dengan wajah 
tegang. "Kirana sudah masuk ke dalam ilmu aneh yang 
dikeluarkan perempuan bertelanjang dada itu! Aku ha- 
rus melakukan sesuatu, bila tak ingin terjadi sesua- 
tu!!" 

Memutuskan demikian, Pendekar Kencana su- 
dah menerjang ke depan seraya mendorong tangan ka- 
nannya ke arah perempuan bertelanjang dada. Saat itu 
pula menghampar satu gelombang angin berkekuatan 
tinggi! 

Bersamaan gelombang angin yang melesat ke 
arah Marinah. Tangan kirinya ditepakkan pada bahu 
kanan muridnya. 

Plak!! 

Kirana terlempar cukup jauh dari tempatnya 
semula. Beruntung dia terbanting di atas tanah be- 
rumput. Begitu terbanting di sana, si gadis tergagap, 
lalu menggeleng-gelengkan kepalanya kebingungan. 

"Aneh! Apa yang telah terjadi?" desisnya terbata. 

Blaaaammmm!! 

Letupan yang keras itu segera membuat Kirana 
mengangkat kepalanya. Dilihatnya gurunya sedang 
mundur beberapa tindak karena perempuan bertelan- 
jang dada itu sudah memutuskan serangannya. 

"Astaga! Perempuan bertelanjang dada itu?! 
Heiii! Kapan dimulainya Guru sudah terlibat bentrok 
dengan perempuan itu?! Aneh! Mengapa aku tak men- 
getahuinya sama sekali?!" 

Di depan Pendekar Kencana terus mencoba 
mencecar perempuan bertelanjang dada yang mengge- 
ram dingin. 

Kirana yang sudah berdiri memandang tak ber- 
kedip. Rasa cemas, gelisah sekaligus amarah menjadi 
satu di dadanya. Mendadak dia mendesis, "Aku harus 
membantu Guru!!" 

Tanpa memikirkan lagi apa yang dialaminya ba- 
rusan, Kirana sudah meloloskan sepasang pedangnya. 
Dengan memegang kedua pedang itu, gadis berpakaian 
ringkas warna biru ini sudah menerjang ke depan. 

"Guru! Kita hadapi perempuan itu bersama- sama!!" 

Begitu kedua pedangnya diayunkan, segera ter- 
dengar suara besetan yang menggidikkan. 

Pendekar Kencana yang telah menguasai ke- 
seimbangannya kembali setelah terkena sampokan 
tangan kanan lawan, menegakkan kepala. Dilihatnya 
perempuan bertelanjang dada itu dengan mudah 
menghindar serangan Kirana. 

"Kalian benar-benar menyalahi kodrat! Padahal 
kalian adalah bagian dari hidupku! Dengan menan- 
tangku seperti ini, itu artinya kau telah melangkahi ga- 
ris yam kutentukan!" desis si perempuan dingin. 

"Kau yang bagian dari hidup kami! Dan kami 
menghendakimu mati hari ini juga!!" seru Kirana se- 
raya melancarkan serangannya kembali. Namun sam- 
pai sejauh itu dia belum dapat mengenai bagian- 
bagian tubuh si perempuan. Padahal Kirana sudah 
mempergunakan jurus 'Membelah Langit Memecah 
Guntur'. 

Bahkan si perempuan sudah mendorong kedua 
tangannya. 

Kirana memekik tertahan. Pendekar Kencana 
membeliak matanya yang kejap itu pula sudah berge- 
rak untuk menyelamatkan muridnya. Begitu berhasil 
menyambar tubuh muridnya, terdengar letupan keras. 

Blaaaammm!! 

Gelombang angin hitam yang keluar dari do- 
rongan kedua tangan si perempuan, menghantam ta- 
nah hingga bermuncratan. Sebagian membuyar ke 
udara. Namun di saat lain, buyaran angin yang ber- 
pencar itu mendadak bersatu kembali. Dan menyergap 
cepat ke arah Pendekar Kencana yang telah menyela- 
matkan muridnya. 

Mendelik sepasang mata Pendekar Kencana 
melihat apa yang terjadi. Disertai teriakan kecil, dia 
segera melempar tubuh muridnya yang terhuyung ke 
belakang. Sementara dia sendiri sudah mendorong ke- 
dua tangannya ke depan. 

Jlegaaarrr!! 

Bertemunya dua gelombang angin berkekuatan 
dahsyat itu membuat tempat itu laksana bergetar! Be- 
berapa buah pohon bertumbangan. Tanah di mana 
bertemunya dua kekuatan itu terdongkrak naik seting- 
gi dua tombak. 

Gelombang angin hitam yang pecah berantakan 
itu berhamburan menghantam apa saja yang dike- 
nainya, yang seketika menghangus hitam legam! 

Di pihak lain, begitu serangannya berhasil me- 
mapaki serangan ganas si perempuan, Pendekar Ken- 
cana terhuyung-huyung ke belakang sambil menekap 
dadanya dengan tangan kanan. 

"Gila! Ilmunya sangat tinggi! Lebih mengerikan 
dari ilmu milik Ratu Tanah Terbuang!" desisnya geli- 
sah. Keringat sudah mengaliri sekujur tubuhnya. 

"Guru! Jangan khawatir, aku akan membantu!" 
suara Kirana tahu-tahu sudah terdengar di samping 
kirinya. Muridnya itu telah berdiri dengan mata mem- 
buka lebar dan dada naik turun. 

"Kirana... menyingkir dari sini! Perempuan ini 
lebih kejam dari Ratu Tanah Terbuang!" 

"Tidak! Kita akan bersama-sama menghada- 
pinya!" 

"Kirana! Jangan banyak membantah! Kau tidak 
tahu siapa yang kita hadapi!" 

"Guru juga tidak tahu siapa yang sedang kita 
hadapi! Kita hanya sama-sama tahu kalau perempuan 
itu memiliki keganasan tinggi dan sedang mencari Kiai 
Gede Arum!" 

"Kirana...." 

Kata-kata Pendekar Kencana terputus karena 
suara menggemuruh sudah menerjang dari depan. 
Disusul dengan lesatan tubuhnya disertai tangan ka- 
nan kirinya yang digerakkan membentuk jotosan. 

Melihat datangnya serangan, Pendekar Kencana 
segera berseru, "Menyingkir, Kirana! Menyingkir!!" 

Kemudian dia melesat ke depan dengan kegigi- 
han yang kentara. 

Buk! Buk! 

Benturan tangan itu terjadi dua kali. Kejap itu 
pula Pendekar Kencana terlempar ke belakang. Kedua 
tangannya terasa seperti patah. Belum lagi dia mengu- 
asai keseimbangannya, perempuan bertelanjang dada 
itu sudah menepukkan tangannya. Tak ada suara yang 
keluar akibat tepukan tangannya itu. 

Akan tetapi yang terjadi kemudian, menderu 
gelombang angin hitam yang bergerak berputar-putar 
lima langkah di hadapannya. Putaran angin hitam itu 
semakin lama semakin membesar. Menyeret tanah dan 
ranggasan semak yang masuk ke dalam putaran angin 
itu yang kemudian terlempar deras ke beberapa tem- 
pat! 

Pendekar Kencana menegakkan kepalanya. Ke- 
dua kakinya dijejakkan di atas tanah untuk menghen- 
tikan gontaian tubuhnya. Begitu putaran angin hitam 
itu bergerak ke arahnya, dia sudah mendorong kedua 
tangannya berkali-kali. 

Gelombang-gelombang angin keras yang keluar 
dari dorongan kedua tangan Pendekar Kencana, terte- 
lan oleh putaran angin hitam yang keluar dari tepukan 
kedua tangan perempuan bertelanjang dada, untuk 
kemudian lenyap! 

Menyusul putaran angin itu menderu ke arah- 
nya. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Pendekar 
Kencana kecuali menghindari serangan itu disertai do- 
rongan kedua tangannya. 

Di tempatnya Kirana memperhatikan dengan 
kedua mata terbelalak. Gemuruh jantung si gadis ber- 
detak lebih cepat. Kengerian terpampang di matanya. 
Keinginan untuk membantu gurunya sedemikian be- 
sar. Tetapi disadarinya kalau dia nekat membantu se- 
karang maka akan mengakibatkan kematian belaka, 

Jlegaaarrr!! 

Gelombang angin tadi menabrak putaran angin 
hitam yang terus memburu ke arah Pendekar Kencana! 
Sesaat terlihat gelombang angin itu masuk pada puta- 
ran angin hitam. Terdengar suara letupan susul me- 
nyusul yang sangat keras! Kejap lain terdengar letupan 
membahana! 

Blaaaarrr!! 

Putaran angin hitam itu berpentalan ke sana 
kemari! Beberapa pohon yang tumbang terseret jauh. 
Berhamburannya angin hitam disertai muncratan ta- 
nah menambah kepekatan tempat itu hingga sangat 
sukar ditembus oleh pandangan. Suara gerengan dari 
mulut si perempuan bertelanjang dada yang telah di- 
kuasai oleh ilmu hitam milik Sangga Langit, terdengar 
sangat keras disusul dengan tanah yang bergetar-getar 
hebat! 

Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su- 
dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa- 
ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya me- 
layang ke depan. Jotosannya meluncur cepat. 

Desss!! 

Dari bubungan tanah yang menghalangi pan- 
dangan, terlempar satu sosok tubuh deras ke bela- 
kang. 

Kirana membelalak, 

"Guru!!" 

Kejap itu pula dia melesat untuk menyambar 
tubuh gurunya. Karena kerasnya lemparan tubuh 
Pendekar Kencana, begitu berhasil menyambar tubuh 
gurunya, Kirana pun terseret beberapa langkah. Gadis 
ini berusaha keras untuk menghentikan seretan tu- 
buhnya sendiri. 

Dia berhasil melakukannya ketika tubuhnya 
terbentur pada sebuah pohon. Tak dipedulikannya ra- 
sa sakit pada punggungnya akibat benturan dengan 
pohon itu. Dengan kepanikan tinggi dia melihat kea- 
daan gurunya. 

Seketika terdengar teriakannya yang membahana, 

"Guruuuu!!" 

Pendekar Kencana telah tewas begitu berhasil 
disambar oleh Kirana tadi! 

"Kini tinggal kau, Gadis Manis! Kau adalah ba- 
gian dari hidupku!" 

Suara menggereng dingin itu disusul dengan 
labrakan ganas dari gelombang angin hitam. Dalam 
waktu yang sangat sempit, Kirana berhasil mengenda- 
likan dirinya. Serta-merta dia melompat ke samping 
kanan sambil membawa jenazah gurunya. 

Blaaarrr!! 

Pohon di belakangnya seketika pecah bermun- 
cratan. Bersamaan pecahnya pohon itu, Kirana memu- 
tuskan untuk melarikan diri. Sekencang-kencangnya 
dia berusaha berlari untuk menghindari perempuan 
bertelanjang dada. 

Di tempat semula, Marinah yang telah dikuasai 
ilmu hitam milik mendiang Sangga Langit menggeram 
keras untuk kemudian segera meninggalkan tempat 
itu. 

Senja merambah alam lagi. Senja yang menyi- 
ratkan kepedihan dalam. Terutama pada hati gadis 
berpakaian ringkas warna biru itu yang duduk ber- 
simpuh di hadapan sebuah gundukan tanah yang ma- 
sih baru. 

Gadis ini berusaha untuk tidak menangis, kendati 
tubuhnya sedikit bergetar. 

"Guru... maafkan aku yang tak bisa memban- 
tumu...," desisnya pelan. Hati Kirana laksana disayat 
oleh sembilu bermata tiga, pedih dan sangat pedih. 

Tiga helai daun jatuh tepat di atas gundukan 
tanah itu. Disingkirkannya dengan gerakan lemah. Su- 
ara tekukur yang entah berada di mana, menambah si 
gadis larut dalam kesedihan. 

"Guru... belum lama rasanya kita bersama- 
sama, tetapi musibah sudah menimpa beruntun. Ratu 
Tanah Terbuanglah yang menjadi pangkai dari petaka 
ini. Bila dia tidak muncul ke Perguruan Kencana, su- 
dah jelas kita masih tetap berada di sana, bersama 
dengan saudara-saudara seperguruanku yang lain- 
nya." 

Untuk beberapa lama gadis ini menumpahkan 
seluruh perasaan dukanya. Dia tetap menahan air ma- 
tanya jangan sampai keluar. Setelah beberapa saat, 
barulah dia berdiri dengan pandangan masih tertuju 
pada gundukan tanah itu. Dia sepertinya tak menghi- 
raukan keadaan sekelilingnya sebelum menumpahkan 
segala duka di hatinya. 

"Guru... masih ada amanat mu yang belum ku- 
jalankan. Aku harus tetap ke Sungai Matahari untuk 
menjumpai kakek Kidang Gerhana. Aku akan mencari 
Ratu Tanah Terbuang. Juga... juga perempuan berte- 
lanjang dada yang telah merenggut nyawamu...." 

Setelah terdiam beberapa saat, Kirana mende- 
sah, "Aku berangkat sekarang, Guru. Damailah Guru 
di sisi Yang Maha Kuasa...." 

Kejap lain dia sudah bersiap untuk meninggal- 
kan tempat itu. Baru saja dibalikkan tubuhnya ke 
samping kanan, kejap itu pula dia menegakkan kepa- 
lanya. 

Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri di 
hadapannya. Untuk beberapa saat Kirana terdiam 
memandang pemuda yang sedang tersenyum padanya. 

"Maafkan kalau kehadiranku ini mengagetkanmu...." 

Kirana tak segera menjawab. Dipandanginya 
pemuda tampan berambut gondrong itu. Entah men- 
gapa Kirana mendadak bergetar begitu melihat tatapan 
angker dari si pemuda. 

"Oh! Tatapan itu... tatapan itu begitu mengeri- 
kan...," desisnya dalam hati. 

Si pemuda tersenyum. 

"Aku tak bermaksud mengusik hatimu. Kebetu- 
lan aku sedang melewati tempat ini dan melihat kau 
bersimpuh di hadapan gundukan tanah itu. Maafkan 
aku... siapakah yang telah membunuh gurumu?" 

Kirana tak menjawab. 

"Dia bertanya seperti itu, berarti dia tahu kalau 
yang berada di dalam tanah ini adalah guruku. Dan itu 
artinya dia sudah lama berada di sini. Tetapi aku tak 
mengetahuinya sama sekali...." 

Karena mendapati pertanyaan dan sikap yang 
sopan, Kirana menjawab, "Aku tidak tahu secara pasti 
siapakah yang telah membunuh guruku. Dia tahu- 
tahu muncul di hadapanku dan guruku. Muncul den- 
gan satu tindakan yang mengerikan...." 

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja 
Naga adanya terdiam sebelum berkata, "Kau tidak tahu 
siapa orang yang telah membunuh gurumu, apakah 
itu hanya sebatas kau tidak mengetahui siapa orang 
itu atau kau tidak melihat wujudnya?" 

"Aku tidak tahu siapa perempuan ganas itu, te- 
tapi aku tahu wujudnya. Dia seorang perempuan tak 
tahu malu yang sedang mencari Kiai Gede Arum. Gu- 
ruku mengatakan kalau Kiai Gede Arum telah lama 
tewas, tetapi dia justru menuduh guruku berdusta," 
sahut Kirana pelan. Tetapi di saat lain suaranya sudah 
berubah menjadi dingin, "Dia... perempuan bertelan- 
jang dada!" 

Mendengar kata-kata terakhir si gadis, Raja 
Naga menegakkan kepala. Untuk beberapa saat dia tak 
bersuara, sebelum keluar suaranya yang menyentak, 

"Di mana perempuan itu sekarang?!" 

Kirana menggelengkan kepala walaupun seje- 
nak merasa keheranan melihat perubahan paras pe- 
muda tampan di hadapannya. 

"Aku tidak tahu. Sobat... apakah kau mengenal 
siapa perempuan itu?" 

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Lalu diceritakannya tentang perempuan bertelanjang 
dada yang telah menewaskan guru dari si gadis. 

"Hingga saat ini aku masih melacak di mana 
perempuan itu berada. Perempuan yang semula adalah 
seorang istri yang sabar, santun, sopan, dan selalu 
menjunjung tinggi kehormatannya. Tetapi kini, telah 
berubah menjadi sedemikian ganas karena tertitis ilmu 
hitam milik manusia berhati kejam...." 

"Jadi yang kau maksudkan, perempuan itu bu- 
kan bertindak atas nuraninya sendiri?" 

"Sama sekali tidak. Dia telah dikuasai oleh ilmu 
hitam dari orang yang pernah dibunuh Kiai Gede 
Arum." 

Kirana tak menjawab. Hatinya yang berduka 
tadi tetap diliputi kemarahan. 

Kemudian dia mendesis pelan, "Ini semua gara- 
gara Ratu Tanah Terbuang." 

"Ratu Tanah Terbuang? Siapa pula orang itu? 
Dan apa yang telah terjadi?" desis Boma Paksi dalam 
hati. Kemudian sambil memandang gadis di hadapan- 
nya dia berkata, "Siapakah Ratu Tanah Terbuang itu?" 

Kirana segera menceritakan apa yang diala- 
minya. Di sela-sela kata-katanya, dia menyebutkan pu- 
la namanya. Dia juga mengatakan kalau saat ini dia 
harus segera menuju ke Sungai Matahari untuk men- 
jumpai kakek bernama Kidang Gerhana. 

"Tanpa sebab yang pasti, tak mungkin gadis 
yang dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi itu ta- 
hu-tahu menyerang Perguruan Kencana." 

"Ya! Memang tak mungkin!" 

"Apakah kau mengetahui sebab-sebabnya?" 

"Guruku hanya mengetahui sedikit saja. Menu- 
rut Guru, Ratu Tanah Terbuang sedang mencari seo- 
rang pemuda! Menurut Guru pula, kalau Ratu Tanah 
Terbuang melakukan tindakan makar itu karena dia 
menghendaki pemuda itu muncul." 

"Siapakah pemuda yang dicarinya?" 

Kirana mendadak menggeram. Kedua tangan- 
nya dikepalkan hingga wajahnya menjadi tertarik ke- 
ras. 

"Kami tak punya urusan apa-apa dengan Ratu 
Tanah Terbuang, juga dengan pemuda yang sedang di- 
carinya! Tetapi tentunya antara Ratu Tanah Terbuang 
dengan pemuda itu telah terlibat satu urusan dalam, 
berkepanjangan yang mungkin menimbulkan dendam 
tinggi di hati salah seorang atau mungkin keduanya! 
Dan kami yang kemudian menjadi korban! Huh! Bila 
saja aku bertemu dengan pemuda itu, dia akan kuha- 
jar habis-habisan!" 

"Mengapa?" 

"Karena pemuda itulah yang telah menyebab- 
kan semua ini! Dialah yang dicari oleh Ratu Tanah 
Terbuang! Dialah yang diinginkan oleh gadis ganas 
yang memiliki ilmu tinggi itu! Huh! Aku sudah tidak 
sabar untuk berjumpa dengan pemuda bernama Boma 
Paksi atau yang berjuluk Raja Naga itu!" 

***

LIMA 

MENDENGAR nama dan julukannya dis- 
ebutkan, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 
dipenuhi sisik-sisik coklat itu menegakkan kepala. So- 
rot matanya tetap angker dan tajam. 

"Astaga! Jadi... jadi akulah yang sedang dicari 
oleh perempuan berjuluk Ratu Tanah Terbuang? Asta- 
ga! Mengapa? Baru kali ini aku mendengar julukan itu! 
Aku tak tahu siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya! 
Tetapi tahu-tahu dia sedang mencariku. Apakah ada 
urusan yang terpendam selama ini? Kalau memang 
benar, mengapa aku tidak tahu?" 

Kirana yang masih dilamun kegusarannya ka- 
rena menganggap pemuda berjuluk Raja Naga-lah pe- 
nyebab dari semua ini, memandang tak berkedip pada 
pemuda di hadapannya. Diperhatikannya beberapa 
lama, tetapi tidak berani langsung menghujam pada 
sepasang mata angker di depannya. 

Kening gadis ini lamat-lamat berkerut karena 
pemuda di hadapannya tak bersuara. Kemudian den- 
gan suara terdengar agak menyelidik, dia berkata, 
"Kau sepertinya mengenal siapa pemuda yang berjuluk 
Raja Naga!" 

Raja Naga tersenyum, lalu menganggukkan ke- 
palanya. Melihat anggukan si pemuda, Kirana sudah 
berseru-seru keras, 

"Katakan, katakan di mana pemuda itu berada! 
Dia harus membayar semua ini!" 

"Kau terlalu dibawa oleh emosimu sendiri yang 
menurutku tak patut kau lakukan," kata Raja Naga te- 
nang. 

Kata-kata si pemuda membuat Kirana tidak se- 
nang. 

"Mengapa kau berkata demikian, hah?! Sudah 
jelas-jelas aku dan guruku serta saudara-saudara se- 
perguruanku yang menjadi korban urusan antara Ratu 
Tanah Terbuang dengan Raja Naga!" 

"Apa yang kau katakan memang benar. Sung- 
guh tak menyenangkan bila kita ternyata jadi korban 
atau tumbal dari urusan orang lain. Hanya saja bila 
Raja Naga memang mengenal Ratu Tanah Terbuang 
dan punya urusan dengannya. Tetapi bagaimana bila 
ternyata dia sama sekali tak mengenalnya, yang berarti 
tidak punya urusan dengan Ratu Tanah Terbuang?" 

"Mengenalnya atau tidak, tetaplah Raja Naga 
yang sedang dicari oleh Ratu Tanah Terbuang hingga 
kami yang menjadi korban!" sahut Kirana tegas. "Pe- 
rempuan itu sedang memancing munculnya Raja Naga! 
Coba kau pikir baik-baik! Seberapa banyak korban 
akan berjatuhan lagi akibat keinginan Ratu Tanah 
Terbuang agar Raja Naga muncul?! Bisa jadi pula ka- 
lau kami bukanlah korban pertama dari urusan ini! 
Apakah kau tidak memikirkan soal itu?!" 

Raja Naga hanya mengangguk. 

"Bagus kalau kau memikirkannya juga! Berarti, 
kau memahami kesulitan yang ada! Dan kuharap kau 
dapat memaklumi perasaanku! Sekarang... katakan 
padaku, di mana pemuda itu berada?! Dia harus bera- 
ni tampil untuk menghentikan sepak terjang Ratu Ta- 
nah Terbuang dan mempertanggungjawabkan kepen- 
gecutannya!" 

Raja Naga memandang si gadis yang sedang ka- 
lap itu. 

"Sebaiknya aku tetap tak mengaku kalau aku- 
lah pemuda yang dimaksudnya. Ini memang tidak 
baik. Tetapi bila aku mengatakan yang sebenarnya, bi- 
sa jadi kalau gadis itu akan menyerangku. Dan aku 
yakin dia akan melakukan tindakan seperti itu, semata 
untuk melampiaskan kedukaan sekaligus kekesalan- 
nya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Maafkan aku. 
Aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu dia 
berada di mana saat ini." 

Kirana mendengus. 

"Huh! Dari sikapmu sebelumnya, aku tahu kau 
menyembunyikan yang sebenarnya! Padahal kau tahu 
di mana pemuda itu berada!" 

Raja Naga tak menjawab. Kirana berkata lagi 
seraya mengepalkan kedua tinjunya, "Pemuda itu ha- 
rus merasakan akibat dari semua ini!" 

"Kirana... sebaiknya kau pendam kemarahan 
mu itu, karena belum tentu memang pemuda itu yang 
harus kau jadikan sebagai pelampiasan kemarahan 
mu." 

"Kukatakan tadi, aku tak peduli! Dia yang se- 
dang dicari perempuan itu, dan dialah yang harus ber- 
tanggung jawab!!" 

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Baiklah... bila aku berjumpa dengannya, akan 
kuceritakan semua ini!" 

"Katakan... dia harus berhadapan denganku!" 

Kembali Raja Naga mengangguk-anggukkan 
kepalanya. 

"O ya.... Kau tadi mengatakan kalau kau seka- 
rang hendak menjumpai Kidang Gerhana di Sungai 
Matahari. Berhati-hatilah. Sementara aku akan tetap 
mencari perempuan bertelanjang dada yang bernama 
Marinah." 

"Aku akan mencarinya juga!" desis Kirana geram. 

Raja Naga menganggukkan kepalanya. 

Kirana sesaat memandangi pemuda tampan di 
hadapannya. Di hatinya ada sedikit ketidakpuasan. Te- 
tapi begitu mengingat dia harus segera menuju ke 
Sungai Matahari, gadis ini pun segera berlari tanpa be- 
rucap apa-apa lagi. 

Raja Naga menarik napas pendek. 

"Ah, siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya?" 
desisnya pelan. "Mengapa urusan selalu datang bertu- 
bi-tubi? Urusan Marinah belum dapat kuselesaikan. 
Demikian pula apa yang dikatakan Junjung Tala ten- 
tang Setan Pemetik Bunga yang sedang mencariku, ka- 
rena dia adalah cucu dari Hantu Menara Berkabut 
yang tewas di tanganku...." 

Untuk beberapa lama pemuda dari Lembah Na- 
ga ini terdiam, sebelum kemudian memutuskan lagi 
untuk segera mencari Marinah yang telah dikuasai 
oleh ilmu hitam. 

Lima kejapan mata dari perginya Raja Naga, sa- 
tu sosok tubuh berpakaian putih melompat dari atas 
sebuah pohon. Gerakan kakek bertubuh sedikit bong- 
kok ini sungguh ringan, tak ada suara yang terdengar. 
Bahkan di saat kedua kakinya hinggap, tak ada debu 
yang membuyar sedikit pun juga. 

Angin senja menggerakkan jubahnya yang juga 
berwarna putih dan rambutnya yang tak beraturan. 
Wajah si kakek sedikit bergetar-getar saat dia berkata, 

"Dari ciri yang ada pada diri pemuda itu, aku 
yakin, dialah murid Dewa Naga. Tindakan pemuda be- 
rompi ungu itu memang benar. Dia sengaja tak mau 
mengatakan siapakah dirinya sebenarnya, karena dia 
tahu kalau gadis yang ternyata murid Pendekar Ken- 
cana itu sedang gusar. Ah, tak kusangka kalau Pende- 
kar Kencana akan tewas di tangan perempuan yang te- 
lah dikuasai oleh ilmu hitam milik mendiang Sangga 
Langit...." 

Untuk beberapa lamanya si kakek yang bukan 
lain Kiai Gede Arum ini terdiam. Wajahnya menyi- 
ratkan keresahan dalam. Sepasang matanya menger- 
jap-ngerjap dipenuhi kegelisahan. 

"Biar bagaimanapun juga, aku yang harus ber- 
tanggung jawab dalam urusan ini. Aku harus lebih du- 
lu menemukan perempuan bernama Marinah sebelum 
perempuan yang dikuasai ilmu hitam itu akan semakin 
jauh bertindak...." 

Habis mendesis demikian, Kiai Gede Arum me- 
lirik makam Pendekar Kencana sejenak. Saat lain dia 
sudah meninggalkan tempat itu. 


Larinya Raja Naga yang menyusuri malam yang 
baru datang itu, tertahan karena satu gelombang an- 
gin sudah menerjang ganas ke arahnya. 

Wuuutttt!! 

Serta-merta anak muda tampan ini membuang 
tubuh ke samping kanan. 

Blaaammm!! 

Tanah di mana dia sebelumnya hendak me- 
langkah tadi seketika rengkah, bermuncratan ke uda- 
ra. Baru saja dia hinggap kembali di atas tanah, sudah 
menderu gelombang angin lainnya, yang lebih ganas 
dan lebih dahsyat! 

Sepasang mata angker itu meradang gusar. Ke- 
palanya menegak kaku. Lalu.... 

"Ehm!" terdengar dehemannya yang disusul 
dengan letupan keras, 

Blaaarrr!! 

Gelombang angin yang kembali menderu itu 
putus di tengah jalan terhantam kekuatan tak nampak 
yang terpancar dari deheman Raja Naga. Di lain saat, 
Raja Naga sudah menjejakkan kaki kanannya di atas 
tanah. Begitu kaki kanannya dijejakkan, mendadak sa- 
ja tanah itu bergerak membujur ke arah kanannya. 

Blaam! Blaaammm!! 

Ranggasan semak yang diarahkan serangannya 
membuyar ke udara. 

Raja Naga menunggu beberapa saat sambil 
memicingkan matanya. Tetapi tak ada satu sosok tu- 
buh pun yang keluar dari balik semak yang telah lebur 
itu. 

"Hemmm... orang yang menyerangku ini jelas- 
jelas memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Semula 
aku yakin dia berada di balik ranggasan semak itu, te- 
tapi pada akhirnya aku tak melihat siapa pun keluar 
dari sana. Siapakah dia? Dan mengapa dia menye- 
rangku?" desisnya sambil bersiaga penuh. Sepasang 
mata angkernya diedarkan berkeliling. "Tak ada tanda- 
tanda penyerang ku ini berada di mana. Bisa jadi dia 
adalah perempuan bertelanjang dada, atau Ratu Tanah 
Terbuang? Tetapi menurut Kirana, kehadiran Ratu Ta- 
nah Terbuang akan didahului oleh aroma wangi yang 
menyengat. Tak ku cium adanya aroma wangi pertan- 
da kemunculan Ratu Tanah Terbuang." 

Kembali pemuda berompi ungu dan bermata 
angker terdiam. Kesiagaannya tetap terjadi. Tiba-tiba 
terlintas satu pikiran di benaknya. 

"Hemm... jangan-jangan... dia adalah Setan 

Pemetik Bunga, cucu Hantu Menara Berkabut yang 
menurut Junjung Tala hendak membalas dendam pa- 
daku? Atau..." 

Wuussss!! 

Mendadak dua buah gelombang angin mener- 
jang kembali dengan keganasan tinggi. Raja Naga sege- 
ra mendehem kembali yang membuat dua bokongan 
itu putus mendadak. Tetapi di saat lain dia sudah 
menggerakkan tangan kanan kirinya. 

Karena secara tiba-tiba gelombang angin itu 
mencuat ke atas dan turun laksana hujan anak panah. 

Gerakan tangan kanan kiri Raja Naga berhasil 
memutus serangan aneh itu. Menyusul dia melesat ke 
depan, ke balik sebuah ranggasan semak. Tetapi sam- 
pai di sana, dia tak melihat adanya orang. 

"Hemm... orang ini mengajakku main kucing- 
kucingan! Baik! Bila dia menginginkan seperti itu, aku 
akan mengikuti apa yang diinginkannya!" 

Memutuskan demikian, seolah tanpa adanya 
kejadian yang menjengkelkan sekaligus dapat mereng- 
gut jiwanya, Raja Naga melangkah seperti hendak me- 
ninggalkan tempat itu. Dia yakin kalau orang yang en- 
tah berada di mana akan melancarkan serangannya 
lagi. 

Apa yang diperkirakannya memang benar, ka- 
rena mendadak saja dua gelombang angin melesat dari 
arah belakang dan siap menghantam punggungnya! 

Raja Naga belum timbul kemarahannya, dia 
hanya jengkel saja. Segera dia bersalto ke belakang la- 
lu memutar tubuhnya dalam keadaan berdiri beberapa 
kali untuk kemudian tiba di balik semak di mana dua 
gelombang angin tadi melesat. 

Tetapi lagi-lagi pemuda yang sebatas sikunya 
terdapat sisik-sisik coklat ini kecele, karena dia tak 
melihat siapa pun di sana. 

Tiga kejapan mata kemudian, terdengar suara, 
"Keparat! Aku gagal mengejarnya! Aku gagal!" 

Segera Boma Paksi memutar tubuhnya. Dili- 
hatnya Dewi Kerudung Jingga sedang berlari mendeka- 
tinya. Sebelum perempuan jelita berkerudung jingga 
itu tiba di hadapannya, Raja Naga mengerutkan ke- 
ningnya. 

"Siapa orang yang kau maksudkan gagal kau 
kejar?" tanyanya kemudian setelah Dewi Kerudung 
Jingga tiba di hadapannya. 

Perempuan itu menggeram. 

"Siapa lagi orangnya kalau bukan orang yang 
hendak mencabut nyawamu?!" 

"Maksudmu... Setan Pemetik Bunga?" 

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan 
kepalanya. Wajah jelitanya menampakkan kejengkelan 
luar biasa. 

"Sayang aku terlambat datang ke sini! Kalau ti- 
dak, aku sudah lebih dulu menangkapnya sebelum dia 
mencelakakanmu!! Dan sungguh sial, dia dapat berge- 
rak sedemikian cepat!" 

Raja Naga mengerutkan keningnya sejenak, se- 
belum kemudian tersenyum. 

"Sudahlah. Toh pada kenyataannya aku tak ku- 
rang suatu apa, meskipun aku merasa penasaran un- 
tuk mengetahui siapakah orang yang membokongku." 

"Dari gelagat yang kau perlihatkan, nampaknya 
kau tak menghiraukan apa yang kukatakan!" dengus 
Dewi Kerudung Jingga keras. Tatapannya tajam me- 
mandang Raja Naga, tetapi segera diarahkannya ke 
tempat lain. Karena sorot mata itu begitu angker ke 
arahnya. 

Raja Naga menggeleng. 

"Sama sekali aku tak melakukan apa yang kau 
katakan. Biar bagaimanapun juga aku harus berhati- 
hati terhadap Setan Pemetik Bunga. Manusia itu telah 
memperlihatkan kelasnya yang tak bisa dipandang se- 
belah mata." 

"Huh! Kau sudah meninggikan orang yang hen- 
dak membunuhmu! Tak sepatutnya kau melakukan 
hal itu!" dengus Dewi Kerudung Jingga untuk kesekian 
kalinya. 

Lagi-lagi Raja Naga tersenyum. 

"Aku memang ingin berjumpa dengan Setan 
Pemetik Bunga. Tetapi bukan untuk mencari urusan, 
melainkan menjelaskan apa yang sesungguhnya terja- 
di." 

"Kau hanya datang menerima undangan kema- 
tiannya belaka! Seharusnya manusia seperti itu kau 
bunuh saja!" 

"Aku tak berhak melakukan, dan siapa pun 
orangnya tak berhak melakukan tindakan itu." 

Perempuan cantik berkerudung jingga itu 
menggeram. Tetapi dia tidak lagi membicarakan ten- 
tang Setan Pemetik Bunga. 

Kemudian katanya, "Bagaimana dengan perem- 
puan bernama Marinah itu?" 

"Sampai saat ini aku belum berhasil menemu- 
kannya. Tetapi kekejamannya telah terjadi lagi! Belum 
lama ini dia telah membunuh Pendekar Kencana. Ah, 
entah berapa banyak lagi jumlah orang-orang yang 
akan dibunuhinya itu sebelum dia menemukan Kiai 
Gede Arum! Tetapi menemukan Kiai Gede Arum jelas 
tak mungkin dilakukannya mengingat Kiai Gede Arum 
telah tewas. Dan ini berarti, sepak terjang perempuan 
yang telah dimasuki ilmu hitam itu akan semakin 
mengganas." 

"Lantas... kau masih akan tetap mencarinya?" 

Boma Paksi menganggukkan kepala. 

"Sampai kapan pun juga aku akan mencarinya. " 

"Aku juga sudah tidak sabar untuk mencari pe- 
rempuan itu! Raja Naga... kesaktian perempuan itu 
tentunya sangat tinggi! Aku mengemukakan usulku la- 
gi yang telah ku kemukakan beberapa hari lalu...." 

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang 
angker memandang pada Dewi Kerudung Jingga. Un- 
tuk beberapa lama dia terdiam sebelum mengangguk- 
kan kepala. 

"Ya... sebaiknya kita memang bersama-sama...." 

"Hemmm... kalau sebelumnya dia menolak 
usulku, tetapi sekarang dia justru menyetujuinya. Apa 
yang menyebabkannya berubah seperti ini?" desis Dewi 
Kerudung Jingga dalam hati. Tetapi dia tak mengung- 
kapkannya. 

Kemudian katanya, "Sekarang juga kita be- 
rangkat! Aku khawatir kalau perempuan itu akan se- 
makin menelan korban yang entah berapa banyak 
jumlahnya...." 

Raja Naga menganggukkan kepala. Sekilas ter- 
lihat kalau dia sedang berpikir. Tak lama kemudian 
keduanya sudah melangkah bersama-sama. 

***

ENAM 

MENJELANG pagi, nampak dua sosok tubuh 
tergesa-gesa keluar dari balik ranggasan semak. Sepa- 
sang anak manusia itu nampak terburu-buru pula me- 
rapikan pakaiannya. Si perempuan yang berkulit hitam 
manis sedang merapikan rambutnya yang acak- 
acakan, sementara si pemuda sedang mengikat celana 
pangsinya. Melihat paras masing-masing orang, jelas 
kalau si perempuan lebih tua usianya daripada si pe- 
muda. 

Setelah mengikat celana pangsinya, si pemuda 
meraih pinggang ramping si perempuan diiringi suara 
penuh gairah, 

"Nyi... aku masih ingin lagi.... 1 ' 

"Gila!" seru si perempuan sambil tertawa, tetapi 
tidak berusaha melepaskan tangan si pemuda yang 
melingkar pada pinggang rampingnya. "Aku harus ce- 
pat kembali ke rumah. Kalau tidak suamiku bisa curi- 
ga...." 

"Ah, kan dia tahu kalau kau semalam berjualan 
di kotapraja!" sahut si pemuda sambil mencium pipi 
halus si perempuan. Tangan kanannya menggelitik 
pinggang ramping si perempuan hingga menggelinjang. 

"Iya, iya! Tetapi jarak tempat ini dari tempat 
tinggal kita cukup jauh. Lagi pula, jajanan yang ku da- 
gangkan di kotapraja belum habis. Brengsek betul! 
Kupikir akan ada pesta besar di sana, tidak tahu tidak 
sama sekali! Apa yang harus kukatakan pada suamiku 
nanti?" 

"Katakan saja... kalau kau tidak berani pulang 
malam. Toh, dia kan tidak tahu kalau sebelumnya aku 
sudah menunggu di ujung jalan?" 

"Iya! Tetapi terkadang dia suka banyak tanya!" 

"Biarkan saja! Salahnya sendiri, mengapa harus 
sakit-sakitan? Yang mengherankan ku, kok orang sakit 
pakai banyak tanya segala!" 

Perempuan itu tersenyum. 

"Karena dia sakit itulah kau mendapatkan ba- 
gian yang sebenarnya bukan milikmu...." 

"Tetapi kau menyukainya, bukan? Lagi pula 
kau mengatakan, kalau bersamanya kau tidak menda- 
pat kan kepuasan. Ayo, Nyi! Kau akan kuberikan ke- 
puasan lagi...." 

"Sudah, sudah... aku harus pulang. Ayo, kau 
juga harus pulang, kan?!" 

"Sekali lagi saja, Nyi..." 

Si perempuan terkikik. Tangannya membelai 
pipi si pemuda yang menyeringai lebar. 

"Besok masih ada kesempatan untuk kita. Dan 
masih akan banyak lagi kesempatan yang akan kita 
dapatkan...." 

"Aku masih ingin sekarang...," sahut si pemuda 
sambil membukai pakaian atas si perempuan yang 
hanya tertawa-tawa. Dibiarkan tangan si pemuda me- 
megang, meremas dan memilin buah dadanya yang se- 
gar dan cukup besar itu. 

Ketika si pemuda hendak menghujamkan ci- 
umannya pada dada besarnya, si perempuan mundur. 

"Sudahlah, Angga... besok masih ada waktu...." 

"Aku tak sabar menunggu besok...." 

"Tubuhku sudah pegal-pegal." 

Tetapi si pemuda tak peduli. Dia terus menyu- 
supkan ciumannya pada bukit kembar yang kini ter- 
buka lebar itu. Diciuminya penuh nafsu membara. 

Tindakan yang dilakukan si pemuda membuat 
si perempuan menggelinjang sambil terkikik-kikik. Si 
pemuda begitu pandai memainkan peranannya untuk 
membangkitkan gairah si perempuan. Dia tahu kalau 
perempuan itu sebenarnya memiliki nafsu yang besar. 
Dan dia harus membangkitkannya. 

Perempuan itu terus tertawa-tawa, sesekali 
menolak tetapi tak ada tindakan yang mengarah pada 
penolakannya. Si pemuda semakin ganas melakukan 
tindakannya. Meremas apa saja yang bisa diremasnya 
agar dapat membangkitkan gairah si perempuan lagi. 
Tindakannya itu berhasil, karena si perempuan telah 
pasrah tatkala dia mengangkat tubuh bahenol itu 
kembali ke balik ranggasan semak di belakang mereka. 

Bahkan perempuan itu hanya mendesah-desah 
tatkala tangan si pemuda dengan kasar menyusuri se- 
luruh tubuhnya. Membukai kembali pakaiannya satu 
persatu dan membiarkan si pemuda kemudian mema- 
suki tubuhnya. 

Kedua orang yang sedang bermesraan itu sama 
sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok tubuh telah 
berada di sana. Dan memandangi keduanya dengan 
sorot mata bengis. 

"Ah... ayo, Angga! Lebih cepat! Lebih cepat!" su- 
ara si perempuan meracau. 

Di udara pagi yang masih dingin ini, tubuh ke- 
duanya sudah berkeringat. Orang yang telah berada 
tak jauh dari mereka, memperhatikan dengan sorot 
mata bengis. 

Yang pertama kali melihat keberadaan orang 
itu, adalah si perempuan yang saat ini sedang meringis 
keenakan. Tanpa sadar dia membuka matanya untuk 
melihat paras si pemuda yang sedang sibuk di atas tu- 
buhnya. Dia tertawa senang dalam hati karena dapat 
memberikan sekaligus mendapatkan kepuasan. Saat 
itulah si perempuan melihat sosok orang yang telah 
berdiri tak jauh dari tempat mereka, 

"Oh!!" 

Seruan tertahan itu dianggap oleh Angga kalau 
perempuan yang berada di bawah tubuhnya merasa 
puas. Dia terus bergerak-gerak memacu tubuh. Tetapi 
mendadak saja dirasakan satu dorongan pada da- 
danya. 

"Heiiii!!" serunya dan tubuhnya terlepas dari 
tubuh si perempuan, "Mengapa, Nyi? Ada apa?" ta- 
nyanya heran dengan napas masih mendengus- 
dengus. 

Nyi Rukmini menunjuk-nunjuk ke belakang. 
Seketika Angga menoleh. Dilihatnya seorang perem- 
puan berwajah jelita telah berdiri di hadapannya. Ka- 
lau Nyi Rukmini kelihatan malu dan kecut, Angga ju- 
stru tersenyum. 

Terutama melihat si perempuan yang berdiri di 
hadapannya memamerkan buah dada mengkal yang 
menggiurkan! 

"Nyi... mengapa harus terkejut seperti itu? Kita 
ajak sekalian perempuan ini...." 

Seketika Nyi Rukmini merengut. 

"Apa-apaan yang kau bicarakan itu, hah?! Pu- 
kul dia! Usir!!" seru Nyi Rukmini sambil mengenakan 
pakaiannya kembali. 

Angga cuma tertawa-tawa. Sambil merapikan 
pakaiannya dia berkata, "Mengapa harus diusir pe- 
rempuan seperti ini, Nyi?! Biar dia kuajak dalam per- 
mainan yang kita lakukan!" 

Perempuan bertelanjang dada itu tak bergem- 
ing. Sorot matanya tetap bengis. 

"Perempuan bahenol... mengapa kau diam saja? 
Ayo, ikutlah bersama-sama kami menikmati keindahan 
ini! Jangan khawatir, aku mampu membuatmu me- 
layang sampai ke langit tujuh!" seru Angga sambil ter- 
bahak-bahak. 

Perempuan bertelanjang dada yang bukan lain 
Marinah menggeram, "Kalian adalah bagian dari hi- 
dupku!" 

Angga tertawa-tawa senang. 

"Ya, ya! Aku adalah bagian dari hidupmu!!" se- 
runya. Dan gairah yang tak tertuntaskan tadi naik 
kembali. Dipandanginya perempuan di hadapannya 
sambil menyeringai. Dijilat bibirnya saat pandangan- 
nya memandang tak berkedip pada sepasang bukit 
kembar yang menggantung manja. 

Tiba-tiba pemuda ini sudah menubruk Mari- 
nah! Dia langsung merangkulnya. Tangan kanannya 
sibuk meremas buah dada Marinah sementara mulut- 
nya menciumi sekujur wajah Marinah. 

Melihat hal itu, Nyi Rukmini menjadi gusar. 

"Brengsek! Brengsek!" makinya jengkel. "Angga! 
Apa-apaan yang kau lakukan ini, hah?!" 

Tetapi Angga tak mempedulikan ucapannya. 
Dia seperti menemukan durian runtuh. Apalagi pe- 
rempuan itu tak melakukan tindakan apa-apa. Mem- 
biarkan sepasang bukit mengkalnya diremas-remas. 

Nyi Rukmini menjadi jengkel. Saat itulah dia 
sadar kalau apa yang telah dilakukan adalah sebuah 
kesalahan besar. Pengkhianatan terhadap suaminya 
ini membuatnya merasa malu. 

Dengan mencoba untuk tidak lagi melihat apa 
yang dilakukan oleh Angga, Nyi Rukmini mengambil 
bakul jajanan yang sedianya akan dijual di kotapraja. 
Lalu bergegas dia meninggalkan tempat itu dengan 
kemarahan yang besar terhadap Angga dan penyesalan 
dalam pada suaminya. 

"Aaaakhhhhh!!!" 

Teriakan yang keras itu membuat Nyi Rukmini 
menghentikan langkahnya. Dia mencoba melihat kem- 
bali ke belakang, tetapi terhalang ranggasan semak. 

"Huh! Pemuda brengsek itu tentunya sedang 
keenakan!" dengusnya gusar dan melangkah lagi. 

Tapi lagi-lagi dihentikannya tatkala terdengar 
teriakan untuk kedua kalinya. Kali ini Nyi Rukmini 
terdiam dengan kening berkerut. 

"Teriakan itu... itu... itu teriakan kesakitan! Oh! 
Kesakitan?!" desis Nyi Rukmini bingung. 

Selagi dia kebingungan, mendadak saja satu 
sosok tubuh terlempar dan jatuh tepat di hadapannya. 

Brukkkk!! 

Seketika terdengar jeritan Nyi Rukmini lintang 
pukang seraya mundur. Bakul jajanannya terlepas, 
isinya bertumpahan. Nyi Rukmini mundur dengan wa- 
jah pucat. 

"Tidak! Tidak! Tidaaaakkkk!!" 

Kejap itu pula dia berteriak keras seraya berlari 
kencang. Tubuh yang terlempar tadi adalah tubuh 
Angga yang telah menjadi mayat dengan luka yang 
menganga lebar pada leher yang masih mengeluarkan 
darah! 

Teriakan Nyi Rukmini didengar oleh kakek ber- 
jubah putih yang kebetulan lewat di tempat itu. Segera 
saja kakek berjubah putih ini yang bukan lain Kiai 
Gede Arum adanya, memutuskan untuk mencari orang 
yang berteriak itu. Begitu melihat siapa yang berteriak, 
Kiai Gede Arum berdiri menghadang. 

"Perempuan... ada apa?!" 

"Huaaaa!!" Nyi Rukmini berteriak keras. Dia 
berbalik dan siap berlari dengan wajah pucat luar bi- 
asa. 

Merasa ada sesuatu yang terjadi Kiai Gede 
Arum segera menyambar perempuan itu. Nyi Rukmini 
meronta-ronta diiringi teriakan tertahan. 

"Lepaskan! Lepaskan! Toloong! Tolooonggg!!" 

Kiai Gede Arum berusaha menenangkan pe- 
rempuan itu. Sempat dilihatnya wajahnya menunjuk- 
kan ketakutan yang luar biasa. Sepasang matanya 
memancarkan kepanikan tinggi. 

Kiai Gede Arum memutuskan untuk menotok si 
perempuan yang sesaat tubuhnya mengejut untuk 
kemudian menggelosoh pingsan seolah tak memiliki 
tulang. 

Perlahan-lahan Kiai Gede Arum meletakkan tu- 
buh Nyi Rukmini di atas tanah. Diperhatikannya se- 
saat Nyi Rukmini dengan kening berkerut. 

"Perempuan ini seperti melihat setan di siang 
bolong. Ah, apa yang menyebabkannya seperti ini? Apa 
iya ada setan di pagi seperti ini?!" 

Kemudian diperiksanya tubuh Nyi Rukmini. 
Tak ditemukannya tanda-tanda luka atau lainnya yang 
membuat si perempuan sedemikian paniknya. Kiai 
Gede Arum bertambah yakin kalau sesuatu yang san- 
gat mengerikanlah yang membuat perempuan berke- 
baya ini menjadi sangat ketakutan. 

Belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, sa- 
tu suara terdengar, "Sekian lama kucari, baru kali ini 
kujumpai! Kiai Gede Arum, kau adalah bagian dari hi- 
dupku! Dan sekaranglah saatnya untuk menuntaskan 
segala urusan lama!!" 

Serta-merta Kiai Gede Arum mengangkat kepa- 
lanya. Masih memandangi orang yang berdiri di hada- 
pannya, kakek berjubah putih ini perlahan-lahan ber- 
diri. Ketegangan perlahan-lahan merambati hatinya. 
Tetapi segera ditindihnya dengan cara menarik lalu 
menghembuskannya lambat-lambat. 

Perempuan bertelanjang dada itu mendesis lagi, 
sorot matanya bengis mengerikan, "Berpuluh tahun 
lamanya aku tak kuasa melakukan apa-apa, terkubur 
pada jasad kaku Patung Darah Dewa! Berpuluh tahun 
lamanya pula aku hidup dalam kungkungan sepi men- 
gerikan! Dan sekarang semuanya sudah berakhir! Sa- 
ma dengan akan berakhirnya perjalanan hidupmu!!" 

Kiai Gede Arum menahan napas sejenak sebe- 
lum bersuara, "Sangga Langit! Ilmu yang kau miliki 
adalah ilmu setan! Sebagai penganut setan kau masih 
dapat hidup melalui ilmumu yang terkumpul pada si- 
nar hitam! Sebaiknya... tinggalkan perempuan malang 
itu!" 

Marinah yang tertitisi ilmu hitam milik Sangga 
Langit, tertawa keras. 

"Begitu bodoh bila aku mau melakukannya! 
Kau tahu kalau aku tak bisa melakukan tindakan apa- 
apa tanpa sebuah jasad sebagai perantara! Gede Arum! 
Kini tiba saatnya untuk membalas semua perlakuan- 
mu dulu!" 

"Kau terlalu gegabah, Sangga Langit!" desis Kiai 
Gede Arum tenang, tetapi sesungguhnya hatinya tidak 
tenang. Rasa khawatir semakin kuat mengikatnya. 

"Jangan katakan aku terlalu gegabah! Keingi- 
nanku adalah membunuhmu! Dan aku sudah memu- 
tuskan untuk menjadikan perempuan ini sebagai pe- 
rantara kehidupanku! Seharusnya dia bersyukur kare- 
na aku telah memilihnya!" 

Kiai Gede Arum tak menjawab. 

"Perempuan itu memang bernasib malang, dia 
telah dipilih untuk dijadikan sebagai perantara oleh 
Sangga Langit yang masih hidup dalam ilmu hitamnya. 
Dan bila aku menyerangnya, itu artinya aku menye- 
rang perempuan malang itu...." 

Lalu dengan ketenangan tinggi, Kiai Gede Arum 
berkata, "Sangga Langit... zaman sudah berubah! Lain 
dulu lain sekarang! Dan tak seharusnya kau menitis 
pada perempuan itu untuk menjalankan apa yang kau 
inginkan! Kau masih beruntung hidup di dalam ilmu- 
mu!" 

"Grrrrhhh!! Ucapanmu hampir sama dengan 
yang kau katakan puluhan tahun lalu, di saat aku ma- 
sih hidup dalam jasad ku! Gede Arum! Zaman memang 
telah berubah, tetapi dendam ku padamu tak akan 
pernah berubah!" 

"Padahal bila kau mau membenarkan apa yang 
kulakukan, kau seharusnya bersyukur karena...." 

"Grrrhhhh! Tutup mulutmu!!" Kiai Gede Arum 
bersiaga. 

"Sangga Langit... bila kau memang memaksa, 
aku bukan hanya menghabisi jasad mu! Tetapi juga 
kehidupanmu yang berada dalam lingkaran ilmu hi- 
tam!" 

"Bagus kau berani berucap demikian! Seka- 
rang, bersiaplah untuk mampus!!" 

Habis kata-kata itu terdengar, kedua tangan 
Marinah terangkat, lalu disilangkan perlahan-lahan. 
Kejap lain silangan kedua tangannya sudah didorong 
ke depan. Serta-merta menghampar gelombang angin 
hitam yang bersilangan dan semakin lama bertambah 
membesar. 

Kiai Gede Arum menahan napas, untuk kemu- 
dian disemburkan dengan cepat ke depan. 

Wrrrrr!! 

Semburan napas itu melesat pelan, tetapi se- 
makin lama semakin melebar dan.... 

Jlegaaar! Bjaaarrr!!! 

Benturan dahsyat itu terjadi hingga tempat itu 
seperti bergoyang. Beberapa buah pohon langsung 
tumbang. Sosok Nyi Rukmini yang jatuh pingsan ter- 
lempar ke belakang dan jatuh kembali di atas tanah 
dalam keadaan telungkup. 

Masing-masing orang yang sama-sama mele- 
paskan serangan mundur tiga langkah ke belakang. 

Perempuan bertelanjang dada yang tertitisi ilmu 
hitam milik mendiang Sangga Langit menggeram keras 
yang merentakkan kesunyian tempat itu. Di saat lain, 
dia sudah kembali menerjang dengan ganas" 

***

TUJUH 

KIAI GEDE ARUM menjerengkan sepasang ma- 
tanya. Jubah putihnya sudah berkibar-kibar terkena 
terpaan angin yang keluar dari lesatan tubuh Marinah. 
Bersamaan dengan itu, kaki kanannya digeser ke mu- 
ka setengah lingkaran. Tanah segera terangkat naik 
akibat geseran kakinya. 

Marinah menggeram keras sambil menggerak- 
kan tangan kanannya. Tanah yang menghambur ke 
arahnya beterbangan tertepis angin yang keluar dari 
gerakan tangannya. Menyusul tubuhnya meluruk den- 
gan gerakan yang sukar diikuti mata. Bersamaan den- 
gan itu, kaki kanannya mendadak mencuat. Gerakan 
yang diperlihatkan sungguh menakjubkan. 

Kiai Gede Arum mau tak mau mundur dengan cepat. 

Wuuuttt!! 

Cuatan kaki kanan lawan menderu ke atas. 
Masih dengan kaki kanan berada di atas, mendadak 
tubuh Marinah terangkat pula. Naik seraya mengge- 
rakkan kaki kirinya. 

Wrrrrr!! 

Gelombang angin menghempas dari tendangan 
kaki kirinya. Kiai Gede Arum menggeser tubuhnya 
dan.... 

Plak! 

Tangannya sudah membentur tendangan kaki 
kiri Marinah. Kejap itu pula dia mundur sambil men- 
dorong tangan kanan kirinya. Suara letupan keras ter- 
dengar tatkala perempuan bertelanjang dada yang di- 
kuasai ilmu hitam itu memutus serangannya. 

Di saat tanah muncrat menghalangi pandan- 
gan, tubuhnya sudah melesat. Kiai Gede Arum masih 
dapat menghalangi serangan ganasnya itu. Namun... 

Desss!! 

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ma- 
rinah sudah berhasil menjotos dada kurus Kiai Gede 
Arum, yang membuat si kakek mundur beberapa lang- 
kah dengan dada yang saat itu juga dirasakan nyeri. 
Jalan nafasnya terasa sesak. Belum lagi dia dapat 
menguasai keseimbangannya, gelombang angin hitam 
sudah menghempas bersilangan, semakin lama ber- 
tambah membesar. Menyeret tanah dan semak belu- 
kar. 

"Astaga!!" desis Kiai Gede Arum. Segera dia ber- 
gulingan ke belakang, sedikit menyusup untuk meng- 
hindari labrakan angin yang bersilangan! 

Blaaam! Blaaaammm!! 

Ranggasan semak di belakangnya rengkah ber- 
hamburan. Menyusul dua buah pohon berderak lalu 
ambruk terbanting di atas tanah dengan suara meng- 
gidikkan. 

Kiai Gede Arum yang sudah berdiri tegak men- 
desis dengan wajah agak sedikit tegang, "Astaga! Men- 
gapa ilmunya jadi sedemikian hebat?! Seingatku dulu, 
Sangga Langit tak memiliki kekuatan seperti ini." 

Tetapi serangan yang datang kemudian mem- 
buat Kiai Gede Arum tak sempat berpikir lebih lama. 
Kakek ini segera menghindarinya dengan gerakan ce- 
pat. Dan serangan yang datang ke arahnya semakin 
beruntun, ganas dan brutal! Dalam waktu singkat saja 
tempat itu sudah porak poranda. Bahkan.... 

Breettt!! 

Jubah putih Kiai Gede Arum sudah sobek ter- 
sambar gelombang angin hitam yang keluar dari kedua 
tangan lawan! 

"Jubah mu telah sobek, Gede Arum! Tak lama 
lagi tubuhmu yang bukan hanya akan sobek laksana 
sebuah kain, tetapi akan hancur berantakan!!" 

"Kalau ku diamkan terus menerus, bisa jadi 
aku akan celaka! Tetapi bila kubalas serangannya, ju- 
stru nasib perempuan itu akan bertambah malang!" 
desis Kiai Gede Arum dengan pandangan tak berkedip. 

Untuk beberapa lama kakek berjubah putih ini 
terdiam. Dia terus memikirkan kemungkinan untuk 
menyerang. Tetapi tak ada cara lain untuk menghenti- 
kan tindakan brutal dari Marinah yang telah tertitis 
ilmu hitam milik Sangga Langit, kecuali memang harus 
menyerangnya. 

Kiai Gede Arum tak bisa lagi meneruskan piki- 
rannya, karena serangan berikut sudah datang. Kali 
ini beberapa gelombang angin beruntun melesat ganas 
dengan suara bergemuruh. Sebagian meluncur deras, 
sebagian naik ke atas disusul dengan meluruk jatuh, 
sebagian lagi berdiri dan menjalang! 

"Aku tak akan membiarkannya merenggut nya- 
waku!" kata Kiai Gede Arum memutuskan. Habis me- 
mutuskan demikian, kepalanya ditegakkan. Sepasang 
matanya dijerengkan hingga cahaya bening seperti 
berpendar-pendar di sekeliling kedua matanya. 

Kejap lain, dari kedua matanya melesat cahaya 
bening yang berputar-putar ganas. Menderunya ca- 
haya bening yang mengeluarkan angin besar itu mela- 
brak tanah dan membuatnya membubung naik. Me- 
nyusul letupan-letupan yang membuat tempat itu ber- 
goncang. 

Kiai Gede Arum mempertahankan keseimban- 
gannya sambil terus melancarkan serangannya yang 
berbahaya. Di pihak lain, Marinah semakin mengga- 
nas. Terus menerus dia mendorong kedua tangannya 
dengan gerakan yang semakin liar dan kacau. Bahkan 
suatu ketika dia sudah melesat ke depan! 

"Astaga!" justru Kiai Gede Arum yang berteriak 
tertahan. Karena biar bagaimanapun juga, dengan tu- 
buh si perempuan bertelanjang dada melesat ke depan, 
itu artinya menyongsong kematian! Karena saat ini 
Kiai Gede Arum sedang terus melancarkan serangan- 
nya. 

Saat itu pula Kiai Gede Arum memutuskan un- 
tuk menghentikan serangannya. Tetapi justru nasib 
malang berpihak padanya. Karena begitu dihentikan 
serangannya, mendadak saja menggebah gelombang 
angin hitam yang ganas! 

"Heiiii!!" 

Kiai Gede Arum berusaha untuk menghindari 
ganasnya serangan yang datang. Tetapi satu jotosan 
yang serasa meremukkan tulang paha kanannya, 
membuatnya terhuyung ke belakang. Selagi tubuhnya 
tergontai-gontai, sosok perempuan bertelanjang dada 
itu sudah menyerbu ke arahnya. 

"Astaga!" seru Kiai Gede Arum tercekat. Dia be- 
rusaha untuk merunduk, tetapi sapuan kaki kanan 
lawan membuatnya terbanting di atas tanah. 

Saat itu pula diiringi gerengan keras, Marinah 
mumbul ke atas dan siap meluncur dengan kaki kanan 
mengarah pada kepala. Gelombang angin kaki kanan- 
nya mendahului. 

Dengan mata terbeliak, kakek yang jubah pu- 
tihnya telah robek itu masih berhasil menghindari 
sambaran angin yang mendahului injakan kaki kanan 
Marinah. 

Blaaarrrt! 

Tanah itu membuyar. Kiai Gede Arum bergulin- 
gan seraya merapatkan kedua matanya. Tetapi bila dia 
terus memejamkan matanya untuk menghindari buya- 
ran tanah, bisa jadi kalau nyawanya akan putus saat 
itu juga. Makanya Kiai Gede Arum segera membuka 
matanya. 

Justru ini yang mengakibatkan kefatalan ber- 
pihak padanya. Karena tanah yang membuyar itu se- 
bagian menerpa ke dua matanya. Kontan terdengar te- 
riakannya. Gulingan tubuhnya semakin liar, membuat 
tanah membuyar tatkala tubuhnya terus bergulingan 
sambil menahan sakit. 

"Kau adalah bagian dari hidupku!!" 

Gelombang angin hitam mencecar ganas ke 
arah Kiai Gede Arum yang tak bisa membuka kedua 
matanya. Perih tak terkira. Bahkan kedua matanya 
sudah mengeluarkan air. Hanya karena naluri saja 
Kiai Gede Arum masih bisa menyelamatkan diri. 

Tetapi dalam keadaan tak bisa melihat, siapa 
pun orangnya akan sulit menghadapi serangan bertu- 
bi-tubi itu. Hingga satu ketika, satu jotosan telak 
menghantam punggungnya, yang membuatnya melen- 
gak diiringi teriakan keras. 

"Aaaakhhhh!!" 

Tubuhnya terasa terpantek di tanah. Pakaian 
putihnya sudah kotor. Marinah mencelat ke atas dan 
meluruk dengan kedua kaki di atas, sementara kedua 
jotosannya siap menghantam punggung Kiai Gede 
Arum yang sekaligus akan mengakhiri hidupnya! 

Tetapi rupanya maut berkehendak lain. Karena 
tiba-tiba saja terdengar satu deheman cukup keras. 

"Ehhhmmmm!!" 

Menyusul sosok Marinah terlempar ke samping 
kanan dan terbanting di atas tanah. Perempuan berte- 
lanjang dada ini cepat berdiri. Bukit kembarnya agak 
kotor. Gerengannya terdengar sangat keras. 

"Manusia terkutuk!" makinya gusar. 

Berjarak dua belas langkah, Kiai Gede Arum 
sudah berdiri dipapah seorang pemuda berompi ungu. 
Sambil memapah, si pemuda berbisik dengan mata te- 
rarah pada perempuan bertelanjang dada, "Orang 
tua... sebaiknya kau mundur dulu...." 

Kiai Gede Arum mengangguk-anggukkan kepa- 
la. Dia bersyukur karena seseorang yang tak bisa dili- 
hatnya karena kedua matanya masih kemasukan ta- 
nah, telah menyelamatkannya. 

Kemudian didengarnya suara itu berkata, "Dewi 
Kerudung Jingga! Tolong kau jagai orang tua ini! Ban- 
tu dia untuk menghilangkan tanah pada kedua ma- 
tanya!" 

Perempuan berparas cantik yang mengenakan 
kerudung jingga itu menganggukkan kepala, lalu men- 
dekati si pemuda yang bukan lain Raja Naga. Berhati- 
hati dan penuh kesiagaan Dewi Kerudung Jingga me- 
mapah Kiai Gede Arum. 

Raja Naga memandang tajam pada perempuan 
bertelanjang dada yang bengis menatapnya. 

"Kita berjumpa lagi, Pemuda Keparat! Kau ada- 
lah bagian dari hidupku!!" seruan dingin itu terdengar 
mengerikan. 

Raja Naga menahan napas. Dadanya tiba-tiba 
bergolak lebih hebat. Rasa kecut nampak di wajahnya. 
Tetapi di saat lain, yang tersisa hanyalah ketenangan 
dan sorot mata angker yang terpancar! Dengan kema- 
rahan yang perlahan-lahan merambat naik. 

"Lama kucari akhirnya berjumpa juga!" desis- 
nya sambil memperhitungkan keadaan. Diliriknya De- 
wi Kerudung Jingga yang sedang mengalirkan tenaga 
dalam pada kakek berjubah putih melalui punggung. 

"Kau adalah bagian dari hidupku!" desis Mari- 
nah dingin dengan tatapan bengisnya yang menghujam 
tajam. 

Raja Naga terdiam tak berkedip. Mulutnya me- 
rapat tanpa ada suara yang keluar. 

"Aku harus berhati-hati menghadapinya! Aku 
pernah terkena pengaruh gaib dari kata-katanya itu 
yang jelas-jelas terpancar dari kedua matanya. Biar 
bagaimanapun juga, aku harus menghadapinya...." 

Memutuskan demikian, Raja Naga mendesis, 
"Marinah... sadarlah... apa yang terjadi sekarang ini, 
kau tidak tahu sama sekali. Kau bukanlah dirimu yang 
sebenarnya. Kau mempunyai seorang suami, Mari- 
nah...." 

Perempuan bertelanjang dada itu terdiam. Sorot 
matanya tetap bengis. 

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 
dipenuhi sisik-sisik coklat berkata lagi, "Sadarlah, Ma- 
rinah... Kau masih punya kehidupan lain dari yang se- 
karang kau hadapi. Kau bukanlah dirimu, Marinah. 
Ingatkah kau pada suamimu yang bernama Jaka? Saat 
ini dia sedang menunggumu penuh kerinduan, Mari- 
nah. Sadarlah..." 

"Keparaaat!! Kau adalah bagian dari hidupku!!" 

Sebelum Raja Naga berkata lagi, Kiai Gede 
Arum sudah bersuara, "Anak muda! Tindakan yang 
kau lakukan hanyalah sebuah kesia-siaan! Karena pe- 
rempuan itu tak akan mengerti apa yang kau katakan! 
Dia tak memiliki naluri atau nurani! Dia telah dikuasai 
oleh ilmu hitam!" 

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepala. 

"Nampaknya kau mengetahui apa yang terjadi 
dengan perempuan ini, Orang Tua!" 

"Aku sangat mengetahuinya!" 

"Oh! Apakah kau sudah beberapa kali berta- 
rung dengannya?!" tanya Raja Naga tetap memandang 
pada perempuan bertelanjang dada yang sedang me- 
mandangnya dengan bengis! 

"Untuk kali ini, adalah yang pertama bagiku!" 

"Orang tua... kalau memang ini yang pertama 
bagimu, bagaimana kau bisa mengetahui tentang pe- 
rempuan ini?!" 

Kiai Gede Arum yang masih belum dapat mem- 
buka kedua matanya, menarik napas pendek. Hawa 
hangat yang dialiri oleh Dewi Kerudung Jingga melalui 
aliran tenaga dalamnya, terasa menyegarkan tubuh- 
nya. Matanya tetap perih. Air yang keluar semakin ba- 
nyak. Dia tak lagi berusaha untuk mengucak-ngucak 
matanya, karena justru akan membuat tanah yang 
masuk pada kedua matanya semakin tak menentu. 

Perlahan-lahan dia berkata, "Anak muda... se- 
jak kau muncul dan bersuara tadi, aku tahu siapa kau 
adanya..." 

Raja Naga sejenak melirik. Saat dia mengarah- 
kan lagi pandangannya ke depan, mendadak satu ge- 
lombang angin hitam telah menggebrak. 

"Heiiii!!" serunya tertahan sambil mundur. Ber- 
samaan dia mundur dia mendehem. 

Gelombang angin hitam itu pecah di udara ter- 
hantam satu tenaga tak nampak yang keluar dari 
deheman Boma Paksi. Seraya menggeser kakinya ke 
samping kiri, murid Dewa Naga ini berseru, "Orang 
tua! Baru kali ini aku melihatmu, tetapi kau mengata- 
kan sudah mengenalku! Bahkan hebatnya, kau men- 
genalku dari suaraku!! Apakah kau tidak salah beru- 
cap?!" 

Kiai Gede Arum terbatuk. Air dari matanya se- 
makin banyak mengalir. 

"Mungkin kau pernah mendengar cerita tentang 
seorang lelaki yang pernah berhadapan dengan lawan 
berilmu hitam bernama Sangga Langit!" 

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan!" 

"Mungkin kau pernah mendengar tentang Kain 
Pusaka Setan yang berhubungan dengan Patung Da- 
rah Dewa! Kain Pusaka Setan yang merupakan nyawa 
dari Patung Darah Dewa, yang sesungguhnya merupa- 
kan titik kehidupan pada kumpulan ilmu hitam yang 
bergabung dalam sebuah sinar hitam!" 

Kepala Raja Naga menegak. Dia tak berani meli- 
rik lagi khawatir serangan dari perempuan bertelan- 
jang dada yang masih memandang bengis di hadapan- 
nya terjadi lagi. 

Lalu dengan suara agak tersendat, dia berkata, 

"Orang tua... apakah... apakah kau... kau yang 
bernama Kiai Gede Arum? Guru dari kakek berjuluk 
Peramal Sakti dan perempuan berjuluk Ratu Dayang- 
dayang?!" 

"Tak salah dugaanmu, Raja Naga!" 

"Astaga! Mengapa jadi begini?!" 

"Kau akan sulit memahaminya, Raja Naga!" 

"Tapi... tapi... bukankah kau telah...." 

Seruan Raja Naga terputus, karena gelombang 
angin bersilangan telah menggebrak dahsyat ke arah- 
nya! 

***

DELAPAN 

WUUUSSSH 

Gelombang angin hitam bersilangan yang se- 
makin lama semakin besar itu bergerak sangat cepat. 
Suaranya membuat bulu roma berdiri. 

Raja Naga pernah menghadapi kedahsyatan il- 
mu dari lawan, makanya dia tak mau bertindak ayal. 
Seketika dia menjejakkan kaki kanannya. Tanah yang 
terjejak itu seketika bergerak. Membentuk gelombang 
laksana di lautan. Memburu ke arah gelombang angin 
hitam yang menggempur. 

Mendadak tanah bergelombang itu meletup ke 
udara. Tenaga kuat menggebrak ke atas, menghantam 
gelombang angin hitam. 

Jlegaaarrr!! 

Kontan tempat itu laksana diguncang badai 
dahsyat. Dewi Kerudung Jingga langsung mengangkat 
tubuh Kiai Gede Arum dan membawanya ke tempat 
yang aman. 

"Orang tua... maafkan aku. Aku tak bisa mene- 
ruskan mengobatimu. Aku harus membantu Raja Na- 
ga," katanya agak terburu-buru. 

Kiai Gede Arum menganggukkan kepalanya. 

"Perempuan... kesaktian ilmu hitam milik men- 
diang Sangga Langit sangat berbahaya dan tinggi. Ka- 
takan pada pemuda itu, di saat membalas atau meng- 
hindar usahakan untuk tidak menatap matanya. Ka- 
rena dapat dipengaruhi jalan pikirannya dengan keku- 
atan ilmu hitam yang masuk ke perempuan malang 
itu...." 

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan 
kepalanya. 

"Terima kasih atas nasihatmu...." 

Habis berkata demikian, perempuan jelita ini 
sudah menggebrak ke depan dengan kekuatan tinggi. 
Sambil menyerang dia menyerukan apa yang dikata- 
kan oleh Kiai Gede Arum sebelumnya. 

"Dewi! Sebaiknya kau menjaga Kiai Gede 
Arum!" seru Raja Naga keras seraya mendorong kedua 
tangannya ke depan. 

"Raja Naga! Kita telah sama-sama memutuskan 
untuk menghadapi perempuan yang tertitisi ilmu hi- 
tam itu! Biar bagaimanapun juga, aku akan memban- 
tumu!" 

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma- 
tanya bertambah angker. Berulang kali tangan kanan 
kirinya berbenturan dengan kedua tangan Marinah. 
Tangan Boma Paksi yang sebatas siku dipenuhi sisik 
coklat, memiliki kekuatan tinggi. Senjata apa pun akan 
dengan mudah dipatahkannya. Tetapi yang dihada- 
pinya ini adalah ilmu hitam milik orang berilmu tinggi. 
Berulang kali tangan kanan kirinya berbenturan, beru- 
langkah pula dia merasa ngilu! 

Dewi Kerudung Jingga sudah menyusup masuk 
dengan sinar-sinar jingganya yang menebarkan hawa 
panas, yang membuat perempuan bertelanjang dada 
itu berteriak penuh kegeraman. 

Mendadak sontak gelombang angin hitam yang 
dilepaskannya membuyar begitu saja. Tetapi justru 
melesat laksana butiran air ke arah Dewi Kerudung 
Jingga. 

Perempuan jelita itu memekik. Cepat diloloskannya 
kerudung yang dikenakannya, lalu dikibaskan! 

Cltaaarrr! Brrett! Brreeettt! 

Angin hitam yang melesat laksana puluhan bu- 
tiran air itu tertahan kekuatan kerudung jingga. Tetapi 
akibatnya, kerudung itu bolong berjumlah lebih dari 
sepuluh! 

Dan butiran angin hitam itu terus menerjang ke 
arah Dewi Kerudung Jingga. Membuat si perempuan 
memekik tertahan. 

Melihat keadaan yang membahayakan si pe- 
rempuan, Raja Naga segera meluruk ke depan seraya 
melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 
Sisik-sisik coklat yang terdapat pada tangan sebatas 
sikunya bersinar lebih terang, menandakan kalau pe- 
muda itu telah diliputi amarah. 

Blaaarrr!! 

Serangan angin berputar dari Marinah, terhan- 
tam serangan dahsyat Raja Naga. Dalam keadaan yang 
kritis itu, Raja Naga cepat menyambar tubuh Dewi Ke- 
rudung Jingga. Lalu berputar dua kali di udara. 

Blaam! Blaaammm!! 

Berhamburannya angin hitam disertai muncra- 
tan tanah menambah kepekatan tempat itu hingga 
sangat sukar ditembus oleh pandangan! Suara geren- 
gan dari mulut Marinah terdengar sangat keras disusul 
dengan tanah yang bergetar-getar hebat! 

Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su- 
dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa- 
ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya me- 
layang ke depan. Jotosannya meluncur cepat. Raja Na- 
ga menggeram sengit. Dia masih bisa mengatasi seran- 
gan itu. 

Tetapi dia mau tak mau harus menyelamatkan 
Dewi Kerudung Jingga. Dengan jiwa ksatria yang ting- 
gi, Raja Naga membalik dan mendekap tubuh si pe- 
rempuan hingga dia membelakangi Marinah yang saat 
ini sedang menyerang ganas! 

Dan mendadak sontak melesat dari punggung- 
nya cahaya kehijauan yang kemudian tergambar see- 
kor naga hijau! 

Blaaaarrr!! 

Letupan yang membuat tempat itu kian porak 
poranda membahana. Terdengar jeritan Marinah keras, 
disusul tubuhnya yang terpental ke belakang. 

Di pihak lain, Raja Naga sendiri terjerunuk ke 
depan dan jatuh di atas tanah dengan mau tak mau 
harus menindih tubuh Dewi Kerudung Jingga. 

Secepat itu pula dia berdiri seraya berkata, 
"Dewi... menyingkir! Keadaan ini akan membahayakan 
mu!" 

Dewi Kerudung Jingga yang perlahan-lahan 
berdiri, mengangguk-anggukkan kepalanya. Mendadak 
dia berteriak keras, 

"Awaassss!!" 

Raja Naga mencoba berbalik. Tetapi serangan 
yang datang itu lebih cepat dari gerakannya. Namun 
yang terjadi, kembali bayangan naga hijau melesat dari 
punggungnya. 

Blaaammm!! 

"Aaaakhhhh!!!" 

Sosok Marinah yang dikuasai ilmu hitam milik 
Sangga Langit terlempar deras dan terbanting di atas 
tanah. 

"Raja Naga! Apa yang terjadi?!" desis Dewi Ke- 
rudung Jingga tersentak. 

Pemuda tampan berompi ungu itu tak menja- 
wab. Dia segera membalikkan tubuhnya. Dilihatnya 
Marinah menggeliat-geliat seperti orang sekarat. Na- 
mun lima tarikan napas berikut, dia sudah berdiri 
kembali. Payudaranya semakin kotor. 

Matanya bertambah bengis. Mulutnya merapat 
dingin. Kedua tangannya mengepal. 

"Kau adalah bagian dari hidupku!!" desisnya 
garang. 

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma- 
tanya tetap angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat 
pada kedua tangannya sebatas siku semakin terang. 

"Sejak tadi kuhadapi dia dengan ilmu pembe- 
rian Guru, aku tak mendapatkan satu keuntungan 
apa-apa. Nampaknya dia hanya bisa kuhadapi dengan 
mempergunakan tato naga hijau yang terdapat pada 
punggungku. Tetapi bila dia menyerang dari depan 
atau dari samping bisa jadi risiko yang harus kuhadapi 
akan semakin besar! Berabe! Ini artinya...." 

Mendadak saja kepala Raja Naga menegak. So- 
rot matanya kian angker menikam. 

"Astaga! Seingatku... seingatku... Guru pernah 
menyerahkan gumpalan daun lontar milik mendiang 
ayahku. Daun lontar yang dulu hendak direbut oleh 
Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok! Apakah... 
apakah gumpalan daun lontar itu dapat kupergunakan 
sekarang?" 

Sambil membatin, murid Dewa Naga ini meraba 
pinggangnya. Dirasakan sesuatu yang menempel pada 
tubuhnya. 

"Aku tak tahu apakah ini memang akan berha- 
sil atau tidak. Tetapi aku harus mencobanya...." 

Kemudian perlahan-lahan diambilnya benda 
yang menempel pada pinggangnya. Benda itu berben- 
tuk gepeng dan bersinar terang kehijauan. Tetapi begi- 
tu terpegang pada tangannya, benda yang merupakan 
gumpalan daun lontar yang sebelumnya berbentuk ge- 
peng itu, mendadak menggumpal sebesar dua kali ke- 
palan tangannya. 

Dewi Kerudung Jingga yang sudah mengenakan 
kerudungnya lagi tetapi sudah penuh dengan bolongan 
kecil, memandang sambil mengerutkan keningnya. 

"Aneh! Pemuda ini memiliki hal-hal yang aneh! 
Dua kali tadi kulihat dari punggungnya keluar bayan- 
gan seekor naga hijau. Dan sekarang di tangannya su- 
dah terpegang gumpalan daun lontar yang segar dan 
bersinar terang. Ah, kalau begini keadaannya... bisa 
jadi...." 

Kata-kata Dewi Kerudung Jingga terputus, ka- 
rena sudah terdengar gerengan keras dari perempuan 
bertelanjang dada. Disusul dengan lesatan tubuh ke 
arah Raja Naga. 

Raja Naga terdiam dengan wajah kaku. Ma- 
tanya tegang tak berkedip. Mendadak sontak dilem- 
parnya gumpalan daun lontar itu ke arah Marinah 
yang sedang menerjang ke arahnya! 

Sinar terang kehijauan yang keluar dari gumpa- 
lan daun lontar itu mendadak melesat cepat. Seperti 
menerangi tempat itu laksana api unggun di malam 
buta! 

Lesatan tubuh Marinah tertahan. Wajah ka- 
kunya berubah. Mata bengisnya menjadi kecut. Secara 
tiba-tiba dia berbalik ke belakang! 

Blaaaammm!! 

Gumpalan daun lontar yang dilempar oleh Raja 
Naga menghantam sebuah pohon, dan langsung berba- 
lik! Lesatannya yang terdengar bergemuruh, sinar hi- 
jaunya semakin terang. Pohon yang tertabrak tadi 
mendadak menghangus layu! 

Marinah yang tadi menghindari gempuran 
mengerikan itu memekik tertahan. Dia berusaha untuk 
menghindari datangnya gumpalan daun lontar itu. 

Di pihak lain, Raja Naga menarik napas panjang. 

"Mungkin inilah apa yang dimaksud oleh Guru 
mengapa Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok 
menginginkan gumpalan daun lontar milik mendiang 
ayahku!" katanya dalam hati. 

Lalu dilihatnya sosok Marinah menjadi tegang, 
menyusul bergetar sangat hebat! Sebelum gumpalan 
daun lontar itu menghantamnya, satu sinar hitam te- 
lah keluar melalui kepalanya. Seperti terbetot keras 
hingga Marinah memekik tertahan! 

"Aaaakhhhh!!" 

Kejap lain dia menggelosoh pingsan! 

Lesatan gumpalan daun lontar yang didahului 
oleh sinar terang kehijauan itu langsung menyergap 
sinar hitam yang melesat keluar dari ubun-ubun kepa- 
la Marinah. Menabrak dan menelannya. Terlihat sesua- 
tu yang menakjubkan. 

Karena seperti memiliki mata, gumpalan daun 
lontar itu berkutat hebat dengan sinar hitam. Masing- 
masing berusaha untuk melepaskan diri. Gelombang 
angin berubah mengerikan. Dedaunan berguguran. 
Semak belukar tercabut dan beterbangan. Tanah 
membuyar ke udara. 

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Raja Na- 
ga cepat melesat untuk menyambar tubuh Marinah 
yang pingsan dan membawanya ke dekat Dewi Keru- 
dung Jingga yang berdiri dengan mata terbelalak. 

Letupan-letupan kecil mulai terdengar di udara. 
Berulang kali sinar hitam itu berusaha melepaskan di- 
ri, tetapi gumpalan daun lontar milik Raja Naga terus 
mengejarnya, menabraknya lagi dan mencoba mene- 
lannya lagi! 

Untuk kemudian terlihat sesuatu yang menge- 
jutkan. Karena sinar hitam itu semakin lama nampak 
semakin mengecil. Terangnya sinar itu pun mulai 
menghilang dan bertambah meredup untuk kemudian 
lenyap sama sekali! 

Tetapi gumpalan daun lontar itu terus berge- 
rak-gerak sedemikian liar. Melesat ke sana kemari 
dengan suara bergemuruh. Menabrak apa saja yang 
berada di sekitarnya, yang begitu ditabrak langsung 
hancur berantakan. 

***

SEMBILAN 

"RAJA NAGA... apa yang terjadi?" terdengar se- 
ruan Kiai Gede Arum. Orangnya sedang menelengkan 
kepala, mempertajam pendengaran! 

"Orang tua! Aku tak bisa menjelaskannya seka- 
rang!" 

"Desingan itu... bukankah berasal dari benda 
pusaka berbentuk gumpalan daun lontar? Kalau aku 
tak salah ingat... benda itu adalah milik Pendekar Lon- 
tar yang kabarnya telah tewas dibunuh Hantu Menara 
Berkabut?!" 

"Kau benar, Orang Tua!" sahut Boma Paksi 
sambil memperhatikan lesatan gumpalan daun lontar 
itu. 

"Tapi bagaimana bisa berada di tanganmu?" 

"Aku adalah putra dari mendiang Pendekar 
Lontar dan Dewi Lontar!" 

Kiai Gede Arum menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya. Matanya tetap tak bisa dibuka, karena rasa sa- 
kit yang menggigit. 

"Ternyata banyak yang tidak kuketahui...." 

Sementara hati Raja Naga menjadi waswas ka- 
rena sampai sejauh ini gumpalan daun lontar itu ma- 
sih terus melesat ke sana kemari. 

"Aku harus merebutnya!" 

Memutuskan demikian, anak muda dari Lem- 
bah Naga ini segera melesat untuk menangkap gumpa- 
lan daun lontar yang bergerak liar itu. Tetapi tak se- 
mudah yang diduganya, karena gumpalan daun lontar 
itu justru berbalik menyerang ke arahnya! 

"Heiiii!!" 

Raja Naga cepat berkelit. Begitu kakinya men- 
ginjak tanah, tubuhnya sudah terlontar kembali dan.... 

Tap! 

Dengan melipatgandakan tenaga dalamnya, 
gumpalan daun lontar itu berhasil ditangkap! Aneh- 
nya, begitu terpegang olehnya liarnya gerakan gumpa- 
lan daun lontar itu lenyap sama sekali! 

Raja Naga menarik napas lega. 

"Astaga! Sungguh sesuatu yang mengerikan...." 

"Raja Naga... apakah sinar hitam itu telah le- 
nyap tertelan oleh gumpalan daun lontar milikmu?" 

Boma Paksi menganggukkan kepala. 

"Kau benar, Orang Tua! Sinar hitam itu telah 
hilang...." 

Terdengar desahan Kiai Gede Arum, lega. 
Orangnya perlahan-lahan berdiri. Kedua matanya te- 
tap tak bisa dibuka. 

Lalu dengan agak tertatih dia mendekati Raja 
Naga. "Kau masih tak bisa membuka matamu, Orang 
Tua?" tanya Raja Naga pelan. 

Kiai Gede Arum tersenyum dan menggeleng. 
"Mungkin, aku sudah ditakdirkan untuk tak lagi dapat 
mempergunakan indera penglihatanku ini. Sudahlah... 
aku sama sekali tak menyesalinya. Anak Muda, terima 
kasih atas bantuanmu...." 

"Aku sudah tak sanggup menghadapi ilmu hi- 
tam yang mengerikan itu sebenarnya. Hanya keberun- 
tunganlah yang berpihak padaku...." 

"Kau terlalu merendah." 

"Kiai Gede Arum, menurut kabar yang kuden- 
gar, kau telah tewas akibat racun yang dilakukan oleh 
muridmu sendiri yang berjuluk Ratu Dayang-dayang. 
Dan hingga saat ini, muridmu yang berjuluk Peramal 
Sakti menganggapmu telah tewas...." 

"Cerita ini terlalu panjang. Aku tak bisa menga- 
takannya. Raja Naga, sudah saatnya kita harus berpi- 
sah...." 

Sesungguhnya pemuda berompi ungu itu masih 
penasaran ingin mengetahui apa yang sebenarnya di- 
alami oleh Kiai Gede Arum. Tetapi dia pun tak mau 
memaksanya. 

"Aku akan mencoba mengobati kedua matamu, 
Orang Tua. Khasiat lain dari gumpalan daun lontar ini, 
bila dimasukkan ke dalam air akan berubah menjadi 
air sakti yang dapat menyembuhkan penyakit apa pun. 
Aku akan mencari air. Harap kau bersedia menunggu 
sejenak...." 

Kiai Gede Arum menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya. 

"Kau tak perlu melakukannya. Ini mungkin su- 
dah garis hidupku. Bila kau berjumpa dengan Peramal 
Sakti, katakan padanya, kalau aku masih hidup...." 

Raja Naga terdiam dulu sebelum berkata, "Ba- 
gaimana bila Peramal Sakti menyatakan keheranannya 
dan meminta padaku kejelasan sejelas-jelasnya?" 

"Katakan padanya... ini adalah sebagian dari 
rahasia hidup...." kata Kiai Gede Arum. Kemudian ka- 
kek yang jubah putihnya sudah sobek, segera melang- 
kah meninggalkan tempat itu. Tak ada kedukaan di 
wajahnya. Tak ada kepedihan. Tak ada penyesalan wa- 
laupun kedua matanya tak akan berfungsi lagi selama- 
lamanya. 

Raja Naga memandang kepergian Kiai Gede 
Arum dengan sejuta tanya yang masih melekat di di- 
rinya. 

"Aku tak habis mengerti akan sikap kakek satu 
ini. Baru pertama kali berjumpa, dan baru pertama 
kali kuketahui kalau dia masih hidup, sebelum men- 
dapat kejelasan semuanya sudah berakhir...." desisnya 
pelan. 

Cukup lama tak ada suara yang terdengar. Ke- 
senyapan terjadi beberapa lama. Raja Naga menarik 
napas pendek. Namun mendadak sontak menggebrak 
gelombang angin berwarna keperakan ke arahnya! 

Raja Naga segera menegakkan kepala. Menyu- 
sul dia mendehem cukup keras. 

Blaaammm!! 

Tenaga yang keluar dari dehemannya itu me- 
mutus pecah gelombang angin keperakan. Menyusul 
terdengar suara, 

"Kau telah membunuh kakekku! Kini tiba saat- 
nya kau untuk menerima semuanya!!" 

Kejap itu pula terlihat satu bayangan kepera- 
kan menggebrak ke arah Raja Naga. Cepat anak muda 
dari Lembah Naga ini surutkan langkah dua tindak. 
Lalu.... 

Buk! Buk! 

Jotosan yang tiba-tiba mengarah padanya ter- 
tahan papakan kedua tangannya. Terdengar teriakan 
tertahan, menyusul satu sosok tubuh yang tergontai- 
gontai ke belakang. 

"Setan Pemetik Bunga!!" terdengar seman Dewi 
Kerudung Jingga yang terperanjat melihat datangnya 
serangan ganas ke arah Raja Naga. 

Perempuan jelita ini segera melompat diiringi 
teriakan, "Manusia jahanam! Kau adalah lawanku!!" 

Segera dia melancarkan serangannya pada 
orang yang tadi melancarkan serangan pada Raja Naga 
yang ternyata adalah Setan Pemetik Bunga. Mendapati 
datangnya serangan, Setan Pemetik Bunga segera 
mendorong kedua tangannya. 

Blaaamm! Blaaammm!! 

Seketika bermuncratan sinar jingga dan kepe- 
rakan ke udara. Dewi Kerudung Jingga langsung me- 
mutar tubuh ke udara, dan melancarkan serangannya 
lagi. 

Setan Pemetik Bunga mendongak. Mulutnya 
membuka, "Kau?!" 

"Tutup mulutmu! Kau adalah bagianku!!" seru 
si perempuan dan terus menyerang ganas. 

Apa yang terjadi itu cukup mengejutkan Raja 
Naga, karena dia belum sepenuhnya menyadari apa 
yang terjadi. Dilihatnya dua sosok tubuh saling mener- 
jang dengan ganas. Sesekali terdengar teriakan Setan 
Pemetik Bunga, "Apa-apaan ini?!" 

Tetapi Dewi Kerudung Jingga tak mempeduli- 
kannya. Dia terus mencecar sampai kemudian berhasil 
meringkus Setan Pemetik Bunga. 

"Keparat! Kau...." 

"Tutup mulutmu! Kau tak akan mampu meng- 
hadapi Raja Naga! Kau hanya keroco busuk yang su- 
dah berusaha membesarkan nyali!" 

"Apa-apaan ini?!" geram Setan Pemetik Bunga 
sambil berusaha meronta. 

"Kau hanya melakukan tindakan bodoh dengan 
mencoba menantang sekaligus membunuh Raja Naga! 
Kau tak akan mampu menghadapinya!!" bentak Dewi 
Kerudung Jingga bengis. 

Setan Pemetik Bunga mengertakkan sepasang 
rahangnya. 

"Apa-apaan perempuan ini?! Mengapa dia ju- 
stru berbalik menyerangku?! Keparat!" makinya dalam 
hati. Dia hendak bersuara, tetapi terpotong oleh se- 
ruan Dewi Kerudung Jingga, 

"Menghadapiku saja kau tak mampu, apalagi 
menghadapi Raja Naga! Ilmu Raja Naga sangat tinggi! 
Ia memiliki senjata aneh berbentuk gumpalan daun 
lontar! Juga memiliki ilmu yang dapat mengeluarkan 
bayangan naga hijau!!" 

"Mengapa dia berseru seperti itu? Begitu lan- 
tang seolah berusaha agar aku mendengarnya, padah- 
al aku tidak tuli! Atau jangan-jangan... perempuan 
ini.... ah, aku mengerti sekarang... aku mengerti...." 
kata Setan Pemetik Bunga dalam hati. Dan dia mera- 
patkan mulutnya tetapi sorot matanya tajam pada Raja 
Naga yang sedang memasukkan kembali gumpalan 
daun lontar ke balik pakaiannya. 

Serta-merta gumpalan daun lontar itu kembali 
menjadi berbentuk lempeng. 

Dewi Kerudung Jingga membawa tubuh Setan 
Pemetik Bunga ke hadapan Raja Naga. 

"Aku tak tahu apa yang akan kau lakukan ter- 
hadap manusia terkutuk ini?! Membunuhnya adalah 
sesuatu yang lebih baik! Tetapi... itu artinya kita mem- 
berikan kesenangan tersendiri padanya! Dia harus dis- 
iksa terlebih dulu sebelum dibunuh!" 

Raja Naga tersenyum. Lalu menggelengkan ke- 
palanya. 

"Kita tak boleh menjadi orang yang kejam, De- 
wi," katanya. Lalu sambungnya, "Setan Pemetik Bun- 
ga... mungkin kau tak menyadari, betapa kakekmu 
yang berjuluk Hantu Menara Berkabut bukanlah orang 
yang patut kau bela! Dia telah membunuh ayahku! 
Dan melakukan tindakan yang sangat mengerikan! Bi- 
la dia dibiarkan hidup, keadaan akan semakin ber- 
tambah kacau! Ada baiknya kau mau mengerti kata- 
kataku ini!" 

Setan Pemetik Bunga membuka kedua matanya 
lebar-lebar. Kegusaran sangat nampak. 

"Huh! Bila saja Dewi Kerudung Jingga tak 
memberikan isyarat terlebih dulu, aku tak peduli! Dan 
rasanya, aku memang tak boleh membuang tenaga 
atau nyawa pemuda di sini! Aku harus menunggu saat 
yang tepat untuk membalas kematian kakekku!!" 

"Jawaaaabb!!" bentakan itu terdengar keras. 
Dewi Kerudung Jingga menarik tangan kanan Setan 
Pemetik Bunga yang ditelikungnya, yang seketika men- 
jerit. 

"Iya, iya!" serunya keras. "Raja Naga! Nyawa ha- 
rus dibayar nyawa! Itu adalah prinsip hidupku!!" 

"Bodoh! Kau hanya mengantar nyawa sia-sia 
sekalipun kau dibantu oleh sobat-sobatmu!!" bentak 
Dewi Kerudung Jingga gusar. 

Raja Naga mengangkat tangan kanannya. 

"Dewi... jangan terlalu kejam terhadapnya!" 

"Jangan terlalu kejam terhadapnya?! Raja Naga! 
Dia menginginkan nyawamu! Dan manusia seperti ini 
akan menjadi duri di dalam kehidupanmu! Bila kau 
keberatan menghabisi nyawanya, biar aku yang mela- 
kukan!" 

"Tunggu! Jangan gegabah! Biarkan dia! Malah 
lebih baik... kau melepaskannya!" 

"Melepaskan manusia jahanam seperti dia?! 
Huh! Kau terlalu bermurah hati pada orang yang 
menghendaki nyawamu!" 

"Aku hanya tak ingin terjadi urusan yang lebih 
panjang lagi! Urusan dendam bukanlah jalan keluar 
dari setiap persoalan! Lepaskan dia!" 

Dewi Kerudung Jingga nampak masih ngotot 
dengan kata-kata Raja Naga. Dia tidak melepaskan Se- 
tan Pemetik Bunga. Malah semakin kuat menelikung 
tangan lelaki licik itu yang menjerit kesakitan 

"Dengan caramu seperti itu, kau hanya akan 
menambah bibit permusuhan saja...," desis Raja Naga. 

Dewi Kerudung Jingga melotot gusar. Dia tidak 
puas dengan apa yang dikatakan pemuda bersisik cok- 
lat itu. Tiba-tiba saja dia mendorong tubuh Setan Pe- 
metik Bunga hingga terjerunuk di atas tanah. 

Lalu berkata bengis, "Menyingkir dari sini! Jan- 
gan coba-coba lagi untuk memperlihatkan wajah sialan 
mu di hadapanku! Bila kau masih nekat melakukan- 
nya, aku tak segan-segan untuk mencabut nyawamu!!" 

Setan Pemetik Bunga bangkit terburu-buru. 
Wajahnya sedemikian gusar, terutama pandangannya 
yang tajam mengarah pada Raja Naga. Dia berusaha 
mempertahankan pandangan tajamnya itu, tetapi se- 
gera dipalingkan kepalanya sejenak ke tempat lain ka- 
rena tak kuasa menahan keangkeran sorot mata si 
pemuda. 

Kemudian dengusnya gusar, "Untuk saat ini 
aku mengaku kalah! Raja Naga... kelak aku akan da- 
tang lagi untuk membuat perhitungan yang belum tun- 
tas ini!" 

"Setan keparat! Menyingkir dari sini!!" memben- 
tak Dewi Kerudung Jingga dengan kemarahan tinggi. 

Melihat tangan kanan Dewi Kerudung Jingga 
sudah terangkat, Setan Pemetik Bunga menggeram. 
Tanpa berkata apa-apa dia sudah meninggalkan tem- 
pat itu. 

Raja Naga memperhatikannya dengan seksama. 
Sesuatu yang aneh mulai dirasakannya. Tetapi dia tak 
berusaha untuk mengutarakannya. Cukup dipendam 
di hatinya. 

Dewi Kerudung Jingga berbalik dan menatapnya. 

"Tak seharusnya kau biarkan manusia keparat 
itu meloloskan diri! Dia harus mampus!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Keadaan ini tak memaksa siapa pun juga un- 
tuk mati. Apa yang dilakukan oleh Setan Pemetik Bun- 
ga semata didorong oleh kemarahannya belaka karena 
kematian kakeknya. Tetapi aku yakin, suatu saat dia 
akan menyadari kalau tindakannya itu salah...." 

"Huh! Kau terlalu lembut pada orang yang hen- 
dak membunuhmu!! Dan tak akan mungkin manusia 
seperti dia akan menganggap kalau apa yang diingin- 
kannya adalah sebuah kesalahan! Raja Naga... dalam 
hal ini, kaulah yang melakukan kesalahan besar den- 
gan membiarkannya pergi begitu saja!" 

"Kau telah membuatnya merasa tersiksa tadi" 

"Bila ini urusanku, aku tak akan segan-segan 
untuk membunuhnya!" 

"Aku tak ingin urusan menjadi panjang!" 

Dewi Kerudung Jingga tidak menyahut, tetapi 
mulutnya berkemak-kemik. Kemudian diangkat kepa- 
lanya menatap langit yang berubah menjadi senja. Cu- 
kup lama tak ada yang membuka suara. Angin ber- 
hembus sejuk. Beberapa helai dedaunan berguguran. 

"Tak ada lagi yang bisa kuperbuat di sini...," de- 
sisnya sambil tetap memandang ke atas. 

"Ya! Sebaiknya kita memang berpisah...," sahut 
Raja Naga sambil menganggukkan kepalanya. Pelan- 
pelan dibuka rompi ungunya. Lalu dipakaikannya pa- 
da Marinah yang masih pingsan. Saat dia memakaikan 
rompi itu, Dewi Kerudung Jingga melihat tato gambar 
naga pada punggung Raja Naga. 

"Astaga! Jangan-jangan... dari tato itulah 
bayangan naga yang menghalangi serangan ganas pe- 
rempuan bertelanjang dada itu tadi? Gila! Bila Setan 
Pemetik Bunga masih nekat mau membunuh pemuda 
ini juga, dia bisa mati konyol! Dengan bantuanku pun 
akan percuma saja!" desisnya dalam hati. "Huh! Be- 
runtung dia mengerti apa yang kukatakan tadi, kalau 
tidak urusan akan jadi berabe! Sampai saat ini aku 
yakin Raja Naga tidak tahu apa yang sebenarnya ku 
kehendaki! Aku sudah tak sabar pula untuk membu- 
nuhnya, agar apa yang kujanjikan pada Setan Pemetik 
Bunga, setelah manusia itu membunuh Resi Kawula, 
Gada Iblis, Junjung Tala dan Setan Gempal akan ter- 
laksana.... Dengan cara seperti ini, aku bisa menyusun 
rencana baru bersama Setan Pemetik Bunga untuk 
membunuhnya. Ada dua hal yang sangat mengerikan 
dari pemuda ini...." 

Raja Naga yang sudah memanggul tubuh ping- 
san Marinah berkata, "Dewi Kerudung Jingga... aku 
masih harus menunaikan janji ku pada Kakang Jaka! 
Aku akan membawa istrinya ini kembali padanya...." 

Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepala. 

"Pemuda ini jelas-jelas tidak mengetahui siapa 
aku sebenarnya. Dan dia juga tidak mengetahui kalau 
akulah yang pernah membokongnya beberapa saat la- 
lu. Tetapi pemuda ini sungguh hebat, dia dapat meng- 
hindari seranganku. Beruntung aku bisa mempergu- 
nakan akal ku untuk mengatakan kalau Setan Pemetik 
Bunga-lah yang telah menyerangnya. Dengan cara ber- 
lagak memburu manusia itu, aku muncul di hadapan- 
nya." 

Habis membatin demikian, Dewi Kerudung 
Jingga berkata, "Ya! Mudah-mudahan tak ada halan- 
gan yang merintangimu dijalan!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Kuharap... kita akan berjumpa lagi...." 

Dewi Kerudung Jingga mengangguk. 

"Pasti... pasti kita akan berjumpa lagi...." 

Habis kata-katanya, Dewi Kerudung Jingga su- 
dah berbalik meninggalkan tempat itu. Seperginya De- 
wi Kerudung Jingga, pemuda tampan ini menghela na- 
pas. 

Lalu berkata pelan, "Hemm... aku menangkap 
satu gelagat yang kau sembunyikan, Dewi. Dan aku 
tahu mengapa kau berulang kali meneriakkan kalau 
Setan Pemetik Bunga tak mampu menghadapiku.... 
Aku juga tak percaya kalau Setan Pemetik Bunga per- 
nah menyerangku waktu itu. Kau yang muncul men- 
dadak dan bersikap seolah habis mengejar Setan Pe- 
metik Bunga, adalah satu kesalahan besar. Karena se- 
belumnya tak kutangkap siapa pun di sana kecuali 
kau yang mendadak muncul. Ah, lebih baik aku me- 
mang berlaku bodoh saja...." 

Kemudian pemuda ini memandangi dulu sekeli- 
lingnya. 

"Masih ada yang harus kulakukan. Setelah ku- 
serahkan Marinah pada suaminya, aku akan mencari 
gadis bernama Kirana yang sedang menuju ke Sungai 
Matahari untuk menjumpai seorang kakek bernama 
Kidang Gerhana.... Dan nampaknya, urusan Ratu Ta- 
nah Terbuang yang mencariku tanpa kuketahui sebab- 
sebabnya, sudah semakin dekat di depan mata...." 

Setelah terdiam beberapa saat, pemuda dari 
Lembah Naga ini melesat meninggalkan tempat itu 
dengan membawa tubuh Marinah. 

Sepuluh kali kejapan mata, satu sosok tubuh 
berjubah biru telah melompat dari satu tempat. Berdiri 
tepat pada tanah di mana sebelumnya Raja Naga ber- 
diri. 

"Dewi Kerudung Jingga sudah melakukan satu 
tindakan pengecut. Aku yakin, dia tak berani mengha- 
dapi pemuda itu. Dan sandiwaranya tadi cukup berha- 
sil. Dia begitu ngotot agar Setan Pemetik Bunga dibu- 
nuh. Padahal... huh! Akal liciknya memang boleh juga! 
Padahal dialah satu-satunya orang yang bersedia 
membantu Setan Pemetik Bunga untuk membunuh 
Raja Naga!" desis orang ini yang bukan lain Junjung 
Tala adanya. 

Sejenak lelaki setengah baya ini terdiam, mem- 
perhatikan tempat yang porak poranda. 

"Huh! Jangan-jangan... tindakan yang dilaku- 
kan Setan Pemetik Bunga dengan meracuni ku dan 
yang lainnya, atas usulnya?! Keparat! Biar bagaimana- 
pun juga, aku tak akan pernah tinggal diam! Dewi Ke- 
rudung Jingga berhasil membohongi Raja Naga! Dan 
tentunya Raja Naga tidak tahu kalau sesungguhnya 
Dewi Kerudung Jingga menghendaki nyawanya! Hebat! 
Sungguh permainan yang hebat dilakukan oleh Dewi 
Kerudung Jingga!!" 

Junjung Tala tak bersuara lagi. Parasnya se- 
makin lama semakin dipenuhi ketegangan. Dadanya 
dibuncah amarah. 

"Mungkin aku gagal mempergunakan tangan 
Raja Naga untuk membalas perbuatan Setan Pemetik 
Bunga! Tetapi, aku akan tetap mencarinya! Akan tetap 
membalas perbuatannya!!" 

Habis mendesis demikian, kakek berjubah biru 
ini. sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Ke 
arah yang diambil oleh Dewi Kerudung Jingga! 


SELESAI 

Segera menyusul: 
Ratu Tanah Terbuang