Raja Naga 2 - Kutukan Manusia Sekarat


SEJAK semalam hujan turun dengan 
derasnya. Curahan air laksana bendu- 
ngan bobol dari langit. Menggempur 
bumi dan seisinya. Ditingkahi dengan 
salakan guntur yang datang bersahut- 
sahutan, dan kilat yang sambar 
menyambar, bumi laksana direntakkan 
oleh kekuatan alam. Rasanya tak lama 
lagi bumi akan hancur lebur didera 
hujan yang terus menerus. 

Satu sosok tubuh yang sedang 
berkelebat melintasi hujan, bukannya 
ngeri dengan alam yang sedang marah. 
Bahkan sambil berkelebat yang tak 
ubahnya hantu belaka, lelaki yang 
diperkirakan berusia sekitar tujuh 
puluh tahun itu, tertawa-tawa. Saking 
keras tawanya, seolah meredam kekuatan 
guntur yang lintang pukang.Kilat 
menyambar. Guntur menyalak lagi. 

Blaaaarrr! 

Pucuk sebuah pohon tersambar dan 
tumbang menjadi arang. Menyusul guntur 
menyalak lagi. Lebih dahsyat. 
Menghantam sebuah pohon yang tumbang 
dengan gerakan cepat. 

Tumbangnya pohon itu, tepat di 
atas kepala sosok tubuh yang tadi 
melesat laksana hantu dan sekarang 
sudah menghentikan lesatannya. Dia 
sedang tertawa-tawa seperti menerta- 
wakan sesuatu. Sejenak kakek ini 
memutuskan tawanya sendiri, lalu di- 
angkat kepalanya sedikit. Tangan 
kanannya digerakkan dengan cara s- 
perti mengusir seekor lalat. 

Plaass! 

Satu tenaga keluar deras. Tumbang-
nya pohon akibat guntur yang sedianya 
akan menimpa kepalanya, mendadak saja 
terpental sejarak tiga tombak dan 
menindih ranggasan semak yang mungkin 
sedang menggigil akibat derasnya hujan 
dan dinginnya desiran angin. 

Si kakek tertawa lagi. Kilat 
menyambar cepat, menerangi tempat itu 
beberapa saat. Menerangi pula dinding 
tebing yang berdiri kokoh tak jauh 
dari sana. 

Saat kilat sempat menerangi 
tempat itu, terlihat bagaimana wujud 
si kakek. Kakek ini berkepala bulat 
dengan rambut panjang warna putih, 
berlap hingga tergerai acak-acakan 
sampai punggungnya. Tubuhnya agak 
kurus. Sepasang matanya tajam laksana 
sambaran mata elang. Wajahnya yang 
dilapisi kulit tipis, dihiasi dengan 
cambang yang turun hingga dagu. Kakek 
yang pada tangannya terdapat gelang 
warna hitam ini, mengenakan pakaian 
panjang warna jingga. Jubahnya pun 
berwarna sama. Dari sosoknya yang 
angker itu, ada satu keanehan. Karena 
sejak tadi hujan menggempur deras, 
tetapi tubuhnya tak basah sedikit pun! 

Bahkan, air hujan seperti tertahan 
untuk mengenai tubuhnya! Hanya berada 
pada batas kepala dan tubuh bagian 
depan dan belakang! 

Tiba-tiba si kakek putuskan tawa- 
nya. Menyusul terdengar rahang diker- 
takkan. 

"Pendekar Harum telah tewas men- 
jelang senja tadi! Dia adalah orang 
kedua yang kubunuh dalam rentang waktu 
dua belas tahun! Dua belas tahun yang 
lalu, dengan lebah yang kulumuri 
racun. Pendekar Lontar telah mampus 
kubunuh! Huh! Kini... tinggal Bandung 
Sulang yang akan mampus di tanganku! 
Tiga manusia itulah yang pernah 
mengalahkanku dulu!" 

Kembali si kakek tertawa keras, 
hingga kedua bahunya yang kurus 
berguncang-guncang. 

"Selama dua belas tahun aku 
menunggu kedatangan seseorang yang 
akan menuntut balas atas kematian 
Pendekar Lontar! Tetapi tak seorang 
pun yang datang! Aku yakin, tak ada 
yang mengetahui, kalau akulah si pem- 
bunuhnya! Akulah yang mencabut nyawa 
Pendekar Lontar!!" 

Semakin keras tawa si kakek 
bercambang turun hingga ke dagu ini. 
Hujan terus menggempur ganas. Angin 
dingin berhembus lintang pukang. Dua 
buah pohon tumbang tergedor gelombang- 
nya, jatuh bergemuruh. 

"Bukit Gulungan tak jauh lagi 
dari sini! Malam ini juga akan 
kutuntaskan semua urusan hingga tak 
ada lagi yang mengganjal di dada!" 
serunya tiba-tiba. Matanya yang tajam 
laksana mata elang, menyipit. Sinar 
angker seperti keluar dari sana. 
Sambil mengangkat dagunya, si kakek 
berseru dingin, "Bandung Sulang! Malam 
ini juga kau harus mampus!" 

Kejap berikutnya, tanpa ada 
setetes pun air hujan yang mengenai 
tubuhnya, si kakek berjubah jingga ini 
berkelebat. Kelebatannya lebih cepat 
dari yang pertama! 

Dalam deraian air hujan tetapi 
tubuhnya tetap terlindung, si kakek 
terus berkelebat laksana hantu. 
Melewati tanah becek, pepohonan yang 
tumbang dan ranggasan semak. Dia 
melakukannya tanpa kesulitan sedikit 
pun. 

Setelah melewati pematang sawah 
yang agak banjir, tubuh si kakek yang 
masih kering kendati hujan sangat 
deras, tiba di hadapan sebuah bukit 
yang menjulang tinggi. Dinding bukit 
itu terjal. Di saat kilat menyambar 
sepasang mata si kakek pun menyambar 
memandahg bukit itu. 

"Bukit Gulungan. . . , " desisnya 
pendek. Wajah angkernya kelihatan te- 
gang. Sepasang matanya berkilat-kilat 
penuh ancaman. Lama-lama terlihat 
sorot dendam yang dalam. Perlahan- 
lahan si kakek menarik napas, lalu 
berseru keras, hingga memantul dari 
bukit itu. "Bandung Sulang! Bila kau 
masih hidup, keluarlah untuk terima 
kematian! Jangan kau berlagak sudah 
mampus, karena aku selalu memantau 
keadaanmu I !" 

Dengan perasaan tak sabar, si 
kakek menunggu beberapa saat. Tetapi 
tak ada sahutan apa-apa akan 
seruannya. 

"Kakek celaka! Keluarlah! Kita 
tuntaskan silang urusan yang pernah 
terjadi di antara kita!!" 

Kembali si kakek bertampang ang- 
ker ini menunggu sahutan. Lagi-lagi 
dia tak mendengar apa-apa kecuali gema 
pantulan suaranya yang mengalahkan 
gemuruh hujan. 

"Setan keparat! Mengapa dia tidak 
menyahut?! Jangan-jangan... dia tak 
berada di tempat Ini? Terkutuk! Ber- 
arti, sia-sia perjalananku malam ini!" 
maki si kakek panjang pendek. 

Tiba-tiba saja kepalanya diangkat 
dengan tatapan disipitkan tajam. 
Menyusul tangan kanan kirinya didorong 
ke depan. 

Wrrrr!! 

Geiombang angin yang memutuskan 
desiran angin kencang, menggebrak ke 
arah dinding bukit. 

Blaaarr! Blaaarrr! 

Dua kali letupan terdengar 
berturut-turut. Saat itu pula batu- 
batu yang terdapat pada dinding bukit 
berguguran. Suara gemuruh mengerikan 
yang ditingkahi ganasnya gempuran 
hujan terjadi. 

Belum lagi batu-batu tuntas 
berguguran, terdengar satu suara di 
belakang si kakek, "Hantu Menara 
Berkabut! Kau datang di malam yang 
dingin ini, pada saat hujan turun 
deras! Apakah kau sudah bosan tinggal 
di Menara Berkabut?!" 

Serta merta si kakek berjubah 
jingga memutar tubuhnya. Saat itu pula 
dikertakkan rahangnya. 

"Ternyata kau masih punya nyali, 
Bandung Sulang! Kupikir, kau sudah 
menjelmakan diri menjadi tikus got 
belaka!" 

Orang yang telah berdiri sejarak 
sepuluh langkah dari hadapannya, hanya 
tersenyum. Menilik parasnya, dia 
berusia tak berbeda jauh dengan si 
kakek yang dipanggil dengan julukan 
Hantu Menara Berkabut tadi. 

Orang ini mengenakan pakaian ber- 
warna hijau yang penuh tambalan. 
Jenggot dan kumisnya panjang menjulai, 
seolah berlomba dengan rambutnya. 
Kalau sosok Hantu Menara Berkabut 
masih kering, si kakek sudah basah 
sekujur tubuhnya! 

"Seseorang yang malam-malam mere- 
lakan diri untuk datang ke Bukit 
Gulungan, tentunya tidak tanpa maksud! 
Hantu Menara Berkabut, apakah aku 
boleh mengetahui maksud kedatanganmu 
sekarang?I" 

Mendengar ucapan bernada datar 
itu, sepasang pipi cekung Hantu Menara 
Berkabut mengembung. Seraya menyembur- 
kan napasnya keras-keras dia berseru, 
"Aku datang... untuk mencabut 
nyawamu I" 

"Dua puluh lima tahun telah 
berlalu tanpa terasa! Waktu memang 
benar-benar tak mengenai ampun! Selalu 
menggilas siapa pun juga yang lengah! 
Kupikir, selama dua puluh lima tahun 
ini, kau sudah kehilangan nama! 
Karena, tak pernah kudengar lagi 
tentang dirimu!" 

"Malam ini, kau sudah melihat 
diriku! Kau akan menyusul Pendekar 
Harum ke akhirat!" 

Kepala Bandung Sulang sesaat 
menegak. Sepasang matanya menyipit 
tegang. Terlihat bibirnya bergerak 
sedikit, hingga suaranya menjadi 
sengau dan tajam. 

"Rupanya kau masih menyimpan 
keonaran yang nampaknya akan kau 
tumpahkan malam ini! Apakah kau ingin 
kugebuk seperti dua puluh lima tahun 
yang lalu?!" 

"Lain dulu lain sekarang! Aku 
pernah juga dikalahkan Pendekar Harum 
di Lembah Utara! Tetapi sekarang, 
orang itu sudah berkalang tanah!" 

Bandung Sulang terdiam. Tata- 
pannya tetap tajam. 

"Sebelum kau kubunuh, akan 
kuceritakan sebuah rahasia!" seru 
Hantu Menara Berkabut sambi! melipat 
kedua tangannya di depan dada. 
"Tentunya kau sudah mendengar berita 
kematian Pendekar Lontar, bukan?!" 

"Aku tak sempat menyambanginya!" 
desis Bandung Sulang dengan suara 
sedikit bergetar. Batinnya mengatakan, 
kalau dia akan mendengar berita yang 
lebih buruk dari kematian Pendekar 
Lontar. 

Hantu Menara Berkabut menyeringai 
lebar. 

"Rasanya, bukan hanya kau yang 
tak mengetahui siapa pelaku dari 
kematian Pendekar Lontar!" 

"Dia meninggal karena...." 

"Akulah yang membunuhnya!" putus 
Hantu Menara Berkabut sambii tertawa. 

Bandung Sulang tak menyahut. Dia 
Justru mengerutkan keningnya. "Berita 
kematian Pendekar Lontar sudah me- 
nyebar ke segenap persada. Siapa pun 
tentu telah mendengar kematian 
pendekar perkasa itu. Aku juga men- 
dengar kalau tak seorang pun yang 
mengetahui penyebab kematiannya. Kecu- 
ali jantungnya yang hangus. Memang 
sungguh aneh, karena Pendekar Lontar 
dikenal sebagai pemilik ilmu 'Raga 
Pasa' yang dapat membuatnya mengetahui 
ada serangan halus sekalipun." 

Kemudian dia berkata dingin, "Kau 
hanya membual di hadapanku! Seharusnya 
kau memperdengarkan bualan lain yang 
dapat membuatku mempercayaimu! Bukan 
dengan omong kosong seperti yang 
barusan kau lakukan!" 

Memerah paras si kakek berjubah 
jingga mendengar kata-kata orang di 
hadapannya. 

"Setan terkutuk! Dia mengejekku 
habis-habisan!" geramnya dalam hati. 
Lalu ditindih rasa geramnya. Dia 
kembaii tertawa panjang. "Ya, Siapa 
pun orangnya, tentunya akan berpikir 
kalau aku hanya membual belaka! 
Tetapi, seekor lebah yang telah 
kulumuri racun pada sengatnya, tak 
akan mungkin bisa dinilai dengan Ilmu 
'Raga Pasa' Lebah itu hanyalah seekor 
hewan kebanyakan! Tentunya Pendekar 
Lontar tak akan pernah mengetahuinya! 
Tentunya pula, dia hanya menganggap 
kalau lebah itu hanya seekor hewan 
yang kebetulan mampir ke tempatnya!" 

Bandung Sulang tak menjawab. 
Tubuhnya terus diguyur hujan deras. 

"Rupanya manusia ini sedang 
melancarkan setiap dendam yang 
dimilikinya. Dan ucapannya tadi, ah, 
aku mulai dapat mempercayainya. 
Pendekar Lontar tewas dibunuhnya 
dengan mempergunakan lebah yang 
dilumuri racun. Tadi dia juga 
mengatakan, telah membunuh Pendekar 
Harum," kata Bandung Sulang dalam 
hati. Kakek berpakaian hijau penuh 
tambalan ini terdiam beberapa saat. 
Memandang pada kakek berjubah jingga 
yang sedang menyeringai penuh 
keangkuhan. 

Lamat-lamat Bandung Sulang 
bersuara, "Hantu Menara Berkabut! Kau 
telah menorehkan lagi sejarah hitam di 
rimba persilatan! Kalau waktu lalu kau 
masih kuampuni, tetapi dengan membunuh 
Pendekar Lontar secara pengecut dan 
merenggut nyawa Pendekar Harum, hanya 
setanlah yang mau mengampuni seluruh 
belang dosamu!" 

Habis ucapannya, Bandung Sulang 
menerjang ke depan dengan tangan kanan 
kiri dikibaskan. Dia tak bisa lagi 
menahan amarahnya mengetahui dua orang 
sahabatnya telah tewas. Bahkan dengan 
sikap angkuh, kakek berjubah jingga di 
hadapannya mengakui kalau dialah 
pelaku kedua pembunuhan itu! 

Terjangan yang dilakukan Bandung 
Sulang sed-mikian cepat, hingga 
memperdengarkan angin berkesiur. 
Butiran hujan yang turun deras seperti 
menyibak, seolah memberi jalan terkena 
gelombang tenaga dalam yang dilepas- 
kannya . 

Hantu Menara Berkabut menger- 
takkan rahang. Kepalanya diangkat 
sedikit. Kejap berikutnya, dia berke- 
lebat ke depan dengan kedua tangan 
terangkat dan tiba-tiba disentakkan ke 
bawah. 

Blaaaarrr!! 

Benturan yang terjadi meng- 
akibatkan letupan keras, mengalahkan 
suara derasnya hujan. Saat benturan 
tadi terjadi, guntur tidak menyalak. 
Tetapi letupan itu, justru melebihi 
ganasnya salakan guntur! 

Bandung Sulang terseret ke bela- 
kang. Celana bagian bawahnya kotor 
terkena tanah becek. Hantu Menara 
Berkabut pun surut tiga langkah. 
Dengan kegeraman yang kentara, 
dijejakkan kaki kanannya, yang serta- 
merta membuat tubuhnya mencelat ke 
depan. 

Gelombang angin berputar yang 
menyeret tanah basah menggebrak ke 
arah Bandung Sulang. Yang diserang 
menyipitkan matanya. Tak beranjak dari 
tempatnya. Sebelum gelombang angin itu 
menghajarnya, mendadak diputar tangan 
kanannya. 

Segera menghampar gumpalan asap 
hijau ke arah gelombang angin yang 
dilancarkan Hantu Menara Berkabut. 
Kalau biasanya asap akan terkuras 
sirna bila terkena air, asap-asap 
hijau yang dilepaskan Bandung Sulang 
justru seperti menelan air-air itu. 


Dalam satu kejapan saja, asap-asap itu 
sudah berubah menjadi kantung air! 
Menerobos gelombang angin yang 
dilepaskan Hantu Menara Berkabut! 

Sudah tentu Hantu Menara Berkabut 
terkejut melihat serangan lawan. 
Gelombang anginnya tak berguna, bahkan 
terus diterobos oleh asap-asap yang 
telah berubah menjadi kantung air. 

"Terkutuk!" makinya seraya 
memukul kantung-kantung air itu. 

Plaaarr!! 

Sebuah asap yang telah berubah 
menjadi kantung air berhasil dipu- 
kulnya. Begitu pecah, justru dia yang 
menjadi terkejut dan mendadak sontak 
membuang tubuh ke samping kanan. 

Karena begitu pecah, kantung air 
itu memuncratkan air warna hijau yang 
menyebar laksana puluhan jarum 
rahasia. Sebagian mengarah pada Hantu 
Menara Berkabut yang membuatnya segera 
menghindar. 

Tiga buah asap yang telah berubah 
menjadi kantung air itu pecah 
berhamburan tatkala menghantam tiga 
buah pohon. Tak terjadi apa-apa. 
Tetapi di lain saat, pepohonan itu 
bergetar. Dedaunannya berguguran lak- 
sana diguncang tangan raksasa. Menyu- 
sul suara letupan tiga kail berturut- 
turut Bagian atas pohon yang terkena 
hantaman kantung-kantung air yang 
pecah, patah berhamburan. 

Hantu Menara Berkabut terbelalak. 
Sepasang matanya menatap tak percaya 
pada tiga batang pohon yang telah 
hancur bagian atasnya. Lamat-lamat 
dengan suara erangan pelan diputar 
kepalanya. Tatapannya tajam pada 
Bandung Sulang yang telah berdiri 
tegak. 

"Dari ketiga orang yang telah 
mengalahkanku dan membuatku mendendam 
setinggi langit, kupikir Bandung 
Sulanglah yang paling lemah di antara 
mereka. Kuperkirakan akan dengan mudah 
membunuhnya. Tetapi nyatanya, dia 
justru telah bertindak mengejutkan. 
Menghadapi Pendekar Lontar, aku telah 
mempergunakan akal licik untuk 
membunuhnya. Demikian pula dengan 
Pendekar Harum. Dia mampus setelah 
kulepaskan tiga ekor lebah yang telah 
kulumuri racun. Keparat! Rasanya... 
aku juga harus melepaskan lebah- 
lebahku ini 

"Kau telah membunuh dua saha- 
batku! Rasanya, aku memang berhak 
untuk mencabut nyawamu sekarang!" 

"Jangan berbangga dulu dengan apa 
yang kau lakukan barusan!" sambut 
Hantu Menara Berkabut dingin. Dia 
masih tetap kering, karena sosoknya 
seperti terpayungi yang menghalangi 
derasnya butiran hujan. 

"Karena... tak lama lagi kau akan 
menyusul Pendekar Lontar dan Pendekar 
Harum ke akhirat!" 

"Mungkin aku akan menyusulnya! 
Tetapi... kaulah yang akan lakukan 
perjalanan ke neraka!" 

Habis ucapannya, Bandung Sulang 
menggebrak kembali. Gelombang angin 
mendahului lesatan tubuhnya yang 
cepat. Saat tangan kanan kirinya 
digerakkan, kembali menghampar asap- 
asap hijau yang begitu terkena air 
langsung berubah menjadi kantung- 
kantung air. 

Hantu Menara Berkabut menatap 
kantung-kantung air yang melesat cepat 
ke arahnya itu. Dia tak mau untuk 
membentur lagi kantung-kantung air 
itu, karena dia tahu apa akibatnya. 
Mendadak terlihat mulutnya mengembung 
dan.... 

Wuussss!! 

Begitu dikempeskan dengan cara 
menyentak, udara yang keluar dari 
mulutnya menggebah deras. Kantung- 
kantung air yang mengarah padanya, 
tertahan dan berbalik pada pemiliknya! 

"Hebat! Tentunya hembusan napas- 
nya itu bukan dialiri tenaga dalam, 
tetapi hawa murni karena tak 
memecahkan asap hijauku yang telah 
berubah menjadi kantung air!" desis 
Bandung Sulang dalam hati. Kejap 
kemudian diputar tangan kanan kirinya. 

Wrrrrr! 

Kantung-kantung air yang kembali 
mengarah padanya, berbalik lagi 
setelah terkena gelombang angin dari 
kedua tangannya. 

Hantu Menara Berkabut segera 
berbuat yang sama seperti yang dila- 
kukannya barusan, hingga kantung- 
kantung air itu kembali berbalik. 
Demikian pula halnya dengan Bandung 
Sulang. Dia juga berbuat yang sama 
seperti yang dilakukannya tadi. 

Hingga yang terjadi kemudian, 
lima buah kantung-kantung asap itu 
akhirnya tertahan di udara. Menggan- 
tung agak bergoyang. Karena tekanan 
dari Bandung Sulang dan tahanan dari 
Hantu Menara Berkabut. 

Masing-masing orang terlihat 
mulai bergetar. Berulang kali Bandung 
Sulang memutar tangan kanan kirinya. 
Demikian pula dengan Hantu Menara 
Berkabut yang menghembuskan napasnya 
berulang-ulang. 

Dan mendadak, lima buah kantung- 
kantung air itu meluncur ke udara 
setinggi empat tombak. Lalu meluncur 
deras ke bawah. Begitu menghantam 
tanah becek, letupan keras yang 
membongkar tanah terdengar lima kali 
berturut-turut. 

Saat itu guntur menyalak. Hingga 
tempat itu benar-benar laksana kiamat! 

Sementara itu, baik Bandung 
Sulang maupun Hantu Menara Berkabut 
sama-sama terpental ke belakang. 

Bandung Sulang terjengkang di tanah 
becek. Hantu Menara Berkabut jatuh 
berlutut. Kalau sebelumnya dia seperti 
terpayungi, kali ini sekujur tubuhnya 
didera hujan! 

"Keparat I !" makinya sambil mendo- 
ngakkan kepala. Tatapannya memancarkan 
keangkeran dalam, menyambar laksana 
mata elang murka. 

Bandung Sulang sendiri sedang 
berdiri dengan agak sempoyongan. Dia 
menarik dan mengeluarkan napas guna 
mengatasi rasa sesak pada dadanya. 

Hantu Menara Berkabut pun me- 
lakukan hal yang sama. Tetapi baru 
saja dia berdiri, mendadak dia 
terjatuh kembali. 

Terkutuk!" desisnya dingin. Sepa- 
sang rahangnya mengeras. Hujan terus 
mengguyur tubuhnya. Dia merasakan 
ngilu pada kedua kakinya. Napasnya 
dirasakan sesak dengan rasa nyeri tak 
terkira. "Setan keparat! Aku bisa 
mampus bila menghadapinya langsung! 
Kesaktiannya benar-benar tak kuba- 
yangkan! Rupanya selama dua puluh lima 
tahun, dia lelah berlatih keras untuk 
memperdalam ilmunya! Keparat busuk!!" 

Bandung Sulang berseru dingin, 
"Dalam hujan yang deras ini, dalam 
malam yang laksana kiamat, aku akan 
menuntut balas kematian kedua 
sahabatku!" 

Mendengar ucapan itu, dengan 
mengerahkan sisa tenaga dalamnya, 
Hantu Menara Berkabut bangkit berdiri. 
Agak goyah. Dia berusaha keras untuk 
mempertahankan keseimbangannya. Lalu 
kepalanya diangkat, memandang angkuh. 
Matanya keras, tajam dan m-nusuk. 

"Bandung Sulang.... Jangan 
berharap kau dapat mengalahkanku malam 
ini! Aku telah bertekad untuk menumpas 
semua lawan-lawanku! Dan di hari yang 
menjelang pagi ini, kau akan mampus di 
tanganku I I" 

Habis ucapannya. Hantu Menara 
Berkabut memasukkan tangan kanannya ke 
balik pakaiannya. Lalu.... 

WuuusssII 

Dilemparkannya sesuatu yang telah 
terdapat di telapak langannya. 

Mata tajam Bandung Sulang melihat 
tiga buah benda kecil terlempar. 
Dlpicingkan matanya untuk mengetahui 
benda apakah yang telah meluncur ke 
arahnya itu. 

Mendadak saja kepalanya menegak. 
Mulutnya membuka lebar tatkala menge- 
tahui benda apakah yang mengarah 
kepadanya, yang tak bergoyang ditimpa 
air hujan. 

"Lebah!!" serunya keras. 

★ ★ ★ 


SERENTAK Bandung Sulang mendorong 
kedua tangannya karena tiga benda 
kecil yang ditempar Hantu Menara 
Berkabut yang ternyata tiga ekor 
lebah, telah menerjang ke arahnya. 
Sungut-sungut kecilnya siap menghujam 
pada bagian-bagian tubuh Bandung 
Sulang. Suara dengungannya menegakkan 
bulu roma. 

Plaass!! 

Dua jotosan yang dilakukannya 
hanya mengenai tempat kosong. Karena 
seperti mengerti apa yang dimaui 
orang, ketiga ekor lebah itu 
menghindar dan memutarinya. 

"Astaga! Makhluk-makhluk kecil 
ini seperti tahu apa yang akan 
kulakukan! Hemmm... dua ekor berada di 
belakangku Seekor lagi di hadapanku! 
Apa yang harus kulakukan menghadapi 
ketiga ekor makhluk ini?!" desisnya 
sambil bersiaga. Dialirkan tenaga 
dalamnya untuk menamengkan diri bila 
salah seekor lebah atau ketiga- 
tiganya, akan menyengatnya. 

"Kau telah kuberi tahu bagaimana 
caraku membunuh Pendekar Lontar dan 
Pendekar Harum! Kedua orang itu mampus 
dengan cara yang sama! Lebah-lebahku 
sungguh perkasa! Karena... lebah-lebah 
itu telah kuberi makanan yang kucampur 
dengan racun yang ku ramu dari puluhan
bisa ular dan cairan katak!" 

Bandung Sulang tak menyahuti 
kata-kata Hantu Menara Berkabut. Dia 
terus bersiaga. 

"Lebah-lebah itu tak menyerangku, 
mereka seperti menunggu. Lebah-lebah 
ini jelas lain dengan lebah-lebah 
biasa. Dalam gemuruh hujan, dengu- 
ngannya masih dapat kudengar. Atau... 
karena pendengaranku yang tajam?" 

Bandung Sulang masih berdiri 
bersiaga. Wajahnya mulai terlihat 
tegang. Mendadak dia menangkap suara 
dari belakangnya. Seketika dikibaskan 
tangan kanannya. 

Plakkk!I 

Seekor lebah yang menyerangnya 
terpukul pecah dan jatuh di tanah 
becek. Menyusul tangan kirinya dige- 
rakkan pula. Lebah yang seekor lagi 
sudah menyerangnya pula. 

PlaaakkI 

Lebah itu pun menyusul lebah yang 
pertama tadi. 

Bandung Sulang belum bisa merasa 
tenang, karena lebah yang melayang di 
hadapannya sudah menerjang dengan 
dengungannya yang cukup keras. Dan 
lebah itu dapat menghindari sampo- 
kannya. Bahkan berputar dan terus 
mencari sela untuk menghujamkan 
sungutnya yang telah dilumuri racun. 

Bandung Sulang memaki panjang 
pendek. 

"Keparat! Baru sekarang aku 
khawatir dengan makhluk yang bernama 
lebah ini!" 

Dan lebah yang tinggal seekor 
lagi itu ternyata cukup lincah. Setiap 
kali Bandung Sulang mengibaskan tangan 
kanan kirinya, lebah itu dapat terus 
menghindari. Bila seseorang yang 
melihat (bukan Hantu Menara Berkabut), 
tentunya akan merasa heran melihat 
kakek berpakaian hijau penuh tambalan 
itu seperti kalang kabut sendirian. 
Tangan kanan kirinya terus dikibaskan, 
tetapi lebah itu terus dapat meng- 
hindarinya . 

"Permainan ini bukankah sangat 
menyenangkan?" ejekan Hantu Menara 
Berkabut terdengar. 

Bandung Sulang tak menghiraukan 
ejekan itu. Dia semakin jengkel dan 
penasaran untuk menghabisi lebah itu. 
Diam-diam, dia juga merasa khawatir, 
kalau-kalau Hantu Menara Berkabut 
membokongnya di saat dia masih 
disibukkan oleh lebah yang terus 
mencari sela menyerangnya. 

Tetapi kakek yang belum lama 
telah membunuh Pendekar Harum ini, 
justru melipat kedua tangannya di 
depan dada. Sambil menyaksikan 
pertunjukan yang menurutnya sangat 
lucu di hadapannya, dipergunakannya 
kesempatan itu untuk memulihkan 
tenaganya lagi. 

"Lebah-lebahku memiliki naluri 
yang tinggi. Kau tak akan mudah 
membunuhnya!" 

"Aku telah berhasil memusnahkan 
dua lebah keparatmu itu!" seru Bandung 
Sulang dan semakin jengkel karena 
terus-terus dia gagal melakukan niat- 
nya . 

Sementara Hantu Menara Berkabut 
terbahak-bahak, Bandung Sulang memba- 
tin, "Peduli setan dengan lebah yang 
tinggal seekor ini I Aku masih dapat 
menghindarinya! Hemm... lebih baik 
kubokong saja kakek celaka itu!" 

Memutuskan demikian, sambil terus 
berusaha untuk membunuh lebah yang 
terus dapat menghindar, mendadak 
Bandung Sulang memutar tangan kanannya 
ke arars Hantu Menara Berkabut, siap 
untuk melancarkan asap-asap hijaunya 
yang bila terkena air maka akan 
berubah menjadi kantung-kantung air. 
Tetapi dia justru urungkan niat dan 
cepat menarik tangannya ke belakang. 

"Heiiih!" 

Lebah yang masih dapat menghindar 
itu telah menyerbu ke arah tangannya. 
"Terkutuk!" 

"Kau tak akan punya kesempatan 
apa-apa, Bandung Sulang! Kau seharus- 
nya berterima kasih padaku, karena aku 
ternyata bukan orang licik yang 
seperti kau duga selama ini! Padahal 
aku punya banyak kesempatan untuk 
membunuhmu di saat kau sedang kelim- 
pungan!" 

Lagi-lagi Bandung Sulang tak 
menyahuti ejekan itu. Jalan satu- 
satunya dia memang harus membunuh 
lebah itu! 

Dengan rasa penasaran yang 
membakar tubuhnya, akhirnya Bandung, 
Sulang berhasil membunuh lebah itu! 

"Huh!" dengusnya pada Hantu 
Menara Berkabut. Tatapannya tajam. 
Kemarahannya tak dapat dibendung lagi. 
"Apakah kau masih mempunyai lebah- 
lebah jahanam Itu?!" 

Hantu Menara Berkabut tertawa 
keras. 

"Sudah tentu, sudah tentu aku 
masih mempunyainya! Apakah kau pikir 
aku sudah kehabisan 'prajurit' yang 
kumiliki?!" 

"Keluarkan lebah-lebah itu! Akan 
kuhancurkan mereka!!" 

Kakek bercambang hingga dagu itu 
justru menepuk tangannya berulang- 
ulang. Seringaiannya lebar di bibir. 

"Sungguh luar biasa! Kau memang 
memiliki kepandaian yang tinggi! Kau 
berhasil membunuh ketiga lebahku itu! 
Ya, ya! Pendekar Harum pun dapat 
melakukannya!" 

Bandung Sulang menggeram. 
Sepasang matanya menyipit dalam. 
Dagunya agak diangkat. 

"Bila keparat ini masih hidup. 
dia akan lebih banyak menimbulkan 
keonaran! Aku harus menghentikannya 
sekarang juga! Manusia sepertinya 
hanya akan ... oh!!" 

Mendadak sontak kepala Bandung 
Sulang menegak. 

"Aneh! Mengapa kau menjadi tegang 
seperti itu?!" seru Hantu Menara 
Berkabut penuh ejekan. "Seharusnya kau 
senang karena telah berhasil mematikan 
tiga ekor lebah kesayanganku, bukan?! 
Mengapa kau jadi kelihatan seperti 
ketakutan?! Apakah parasku mendadak 
berubah mengerikan?!" 

Bandung Sulang tak menjawab. Dia 
merasa aliran darahnya berubah menjadi 
cepat. 

"Terkutuk!!" makinya kemudian. 

"Mengapa kau harus memaki seperti 
itu?! Seharusnya, akulah yang memaki 
karena tak bisa membunuhmu, bahkan 
lebah-lebahku telah mampus di tangan- 
mu!" 

Bandung Sulang makin merasakan 
betapa cepatnya aliran darahnya. Malam 
yang terus didera hujan dan dingin 
yang menghujam, tak lagi dirasakannya. 
Karena perlahan tetapi pasti dia mulai 
merasakan ada hawa panas yang menjalar 
dari kedua telapak tangannya, terus 
masuk ke dalam melalui aliran darah 
yang bertambah cepat. 

Mendadak ditekap dadanya dengan 
tangan kanan. Tubuhnya agak limbung 
sedikit. 

"Hei, hei! Kau bukan hanya te- 
gang, tetapi juga kehiiangan keseim- 
bangan?! Ada apa ini?!" 

"Terkutuk!!" bergetar suara Ban- 
dung Sulang sambil mengangkat 
kepalanya. "Kau bukannya melumuri ra- 
cun pada sungut lebah itu! Tetapi pada 
sekujur tubuhnya!" 

"Luar biasa kalau kau mengeta- 
huinya! Ya, akan kukatakan lagi satu 
rahasia yang kumiliki! Memang benar 
yang kau katakan itu! Dan itulah yang 
terjadi pada Pendekar Harum hingga 
nyawanya putus! Dia berhasil membunuh 
ketiga lebahku yang lain dengan cara 
memukulnya, sama seperti yang kau 
lakukan! Dan... hahaha... racun pada 
tubuh lebah itu telah mengenai telapak 
tanganmu yang tentunya sedang kau 
rasakan sekarang! Bukankah sungguh 
hebat racun yang kumiliki?!" 

"Setan! Mengapa aku baru berpikir 
sekarang? Mengapa aku tak berpikir 
kalau sekujur lebah itu telah dilumuri 
racun?" desis Bandung Sulang dengan 
tubuh yang bertambah goyah. "Aku baru 
sadar setelah keparat itu mengatakan 
kalau Pendekar Harum juga berhasil 
membunuh ketiga lebahnya. Tetapi... 
hasilnya. Pendekar Harum justru tewas! 
Terkutuk! Terkutuk!" 

Tubuh limbung Bandung Sulang 
semakin kentara. Diiringi tawa 
kepuasan dari Hantu Menara Berkabut, 
dia ambruk di atas tanah becek. 
Tubuhnya makin tersiksa karena 
derasnya butiran hujan yang menerpa 
wajah dan tubuhnya. Rasa panas yang 
mengikatnya kian menyengat. Kulitnya 
mendadak terlihat memerah. Napasnya 
mulai tersengal-sengal. Mulutnya 
merapat, menahan sakit tak terkira. 

"Sebelumnya kau adalah manusia 
yang begitu perkasa... tetapi sekarang 
kau teiah menjadi manusia sekarat...." 

"Iblis!! Kau akan menyesali semua 
perbuatanmu ini!" balas Bandung Sulang 
geram, suaranya agak melemah. 
Tenaganya perlahan-lahan dirasakan 
lenyap. 

"Menyesali tindakanku? Astaga! 
Apakah aku sudah gila? Melihat musuh- 
musuhku tewas di tanganku, aku harus 
menyesali?! Bandung Sulang! Kau telah 
menjelma menjadi manusia sekarat! 
Mungkin itulah yang menyebabkan kau 
sudah menjadi agak gila!" 

Bandung Sulang meringis menahan 
sakit. Dari sela-sela bibirnya mulai 
merembas darah, juga hidungnya. Rasa 
sakit kian dirasakan tatkala darah 
mengalir keluar dari kedua telinganya. 

Dengan susah payah kakek 
berpakaian hijau penuh tambaian ini 
mendesis, "Malam ini... aku akan 
menyusul dua sahabatku yang telah kau 
bunuh. Di antara kami, sudah pasti tak 
ada yang bisa membalas perbuatanmu 
sekaligus... menghentikan sepak 
terjangmu. Tetapi... kau tak akan 
memiliki waktu lama untuk berbangga 
dengan hasil perbuatanmu ini...." 

"Tak memiliki waktu lama? Kau 
benar-benar sudah gila, Bandung 
Sulang! Manusia sekarat yang telah 
berubah pikiran!" balas Hantu Menara 
Berkabut penuh ejekan. 

Bandung Sulang meringis. Bibirnya 
merapat dalam. Dengan mengumpulkan 
sisa tenaga dan menahan sakit yang 
kian mendera, dia berkata terpatah- 
patah, "Malam ini... menjelang ajalku, 
kau kukutuk. Orang Celaka! Kau tak 
akan bisa menikmati keberhasilanmu 
ini! Karena kelak... seseorang yang 
merupakan darah daging dari kami 
bertiga, akan datang untuk menuntut 
balas segala perbuatanmu!!" 

Kilat menyambar. Guntur menyalak. 
Hantu Menara Berkabut tertawa. 

"Aku jadi ketakutan mendengar 
kutukanmu itu. Manusia sekarat! Hanya 
saja... siapa orangnya yang merupakan 
darah daging di antara kalian ber- 
tiga? ! " 

"Kau tahu...!" seru Bandung 
Sulang, "Aku memang tak pernah 
beristri... demikian pula Pendekar 
Harum. Tetapi.... Pendekar Lontar 
mempunyai istri dan... dia mempunyai 
seorang anak!" 

Tawa Hantu Menara Berkabut 
seketika terputus. Dia menatap tajam 
pada Bandung Sulang yang sekarang 
menyeringai. 

"Kau... nampak ketakutan seka- 
rang!" ejeknya sambil menahan sakit. 
Di saat dia berkata-kata darah hitam 
keluar dari mulutnya, tertelan lagi 
sedikit yang membuatnya tersedak. "Aku 
tahu... tentunya kau juga telah 
mendengar kabar kalau.... Dewi Lontar 
telah tewas tanpa diketahui siapa 
pembunuhnya...." 

"Aku tahu siapa yang telah 
membunuh Dewi Lontar. Dadung Bongkok. 
Ratu Sejuta Setan pernah menceri- 
takannya kepadaku ketika dia datang ke 
Menara Berkabut," desis kakek berjubah 
jingga dalam hati. 

Didengarnya lagi kata-kata Ban- 
dung Sulang, "Dan tentunya... kau juga 
telah mendapat kabar... kalau putra 
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar lenyap 
begitu saj a...." 

"Ratu Sejuta Setan juga pernah 
menceritakannya kepadaku. Tetapi dia 
tidak mengetahui ke mana lenyapnya 
putra Pendekar Lontar dan Dewi Lontar 
itu, " desis Hantu Menara Berkabut 
dalam hati. 

Bandung Sulang terus memaksakan 
dirinya untuk bicara, "Kutukanku akan 
dimulai malam ini... tak lama lagi, 
kau akan mampus di tangan putra 
Pendekar Lontar...." 

"Keparat!!" 

Hantu Menara Berkabut tak dapat 
menahan lagi kegelisahan yang mendadak 
muncul yang kemudian berubah menjadi 
kemarahan. Tangan kanannya dikibaskan. 

Dessss!! 

"Aaaaakhhh!!" 

Dalam keadaan'susah payah dan 
kesakitan, Bandung Sulang masih dapat 
berguiing menghindari gelombang angin 
yang mengarah padanya. Kendati de- 
mikian, paha kanannya terkena pula 
hantam itu yang seketika terdengar 
suara berderak. 

Hantu Menara Berkabut menggeram 
dingin. 

"Kau tentunya telah menamengkan 
dirimu dengan tenaga dalam hingga kau 
tak mampus sekaligus! Tetapi aku 
memang tak ingin meiihatmu mampus 
malam ini! Kau akan menikmati 
kesakitanmu dalam keadaan sekarat 
selama satu hari lagi! Kau nikmatilah 
itu, Bandung Sulang!" 

"Dan kau tetaplah ingat-ingat 
kutukanku. Manusia Keparat!!" seru 
Bandung Sulang penuh kemarahan. 

Hantu Menara Berkabut tak 
menghiraukan seruan itu. Dia langsung 
berkelebat meninggalkan tempat itu. 
Sejenak dirasakannya kegelisahannya 
membesar setelah mengingat kalau putra 
Pendekar Lontar kemungkinan besar 
masih hidup. 

Di tempatnya, Bandung Sulang 
masih tergolek dengan kesakitan yang 
kian dirasakannya. 

* * * 


HUJAN Telah berhenti begitu mata- 
hari sepenggalah tadi. Sisa butirannya 
masih tersimpan pada dedaunan. Tanah 
becek berada di sana-sini. Menjelang 
siang hari, sisa air hujan telah 
lenyap dari dedaunan, tetapi tanah 
becek masih menggenang. 

Seorang pemuda berusia kurang 
lebih tujuh belas tahun nampak sedang 
melangkah. Langkahnya begitu tenang. 
Dia tak begitu menghiraukan tanah 
becek yang dilangkahinya. Kendati 
kulit pengalas kakinya agak basah, 
tetapi tidak ada tanah yang menempel 
di sana. Padahal tanah begitu becek. 

Pemuda yang mengenakan rompi 
berwarna ungu itu, tiba-tiba saja 
menghentikan langkahnya. Diarahkan 
pandangannya pada tempat yang menarik 
perhatiannya. Astaga sorot matanya 
sedemikian angker! 

"Hemm... sejak tadi kulewati 
tempat ini, tak ada yang porak poranda 
seperti ini...," desisnya pelan. 
Diedarkan pandangannya ke sekeliling. 

Dia melihat perbukitan yang menghijau. 
Pemuda ini mengangkat tangan kanannya. 
Saat itu pula terlihat sisik-sisik 
coklat sebatas siku pada lengan 
kanannya itu. Sisik yang sama pun 
terdapat pada lengan kirinya. "Hmmm... 
aku mencium bau amis. Amis darah...," 
desisnya kemudian sambil turunkan lagi 
tangan kanannya. Kembali pemuda ini 
terdiam. 

"Aku masih harus melacak di 
manakah Menara Berkabut berada, tempat 
di mana manusia iblis yang telah 
membunuh ayahku tinggal. Ah, aku masih 
pula harus mencari orang bernama 
Dadung Bongkok, orang yang telah 
membunuh ibuku. Tapi... penciumanku 
tetap mengatakan kalau ada bau amis 
darah. Nampaknya...." 

Memutus kata-katanya sendiri, si 
pemuda yang rambutnya dikuncir ekor 
kuda ini mendadak menoleh ke kanan. 

"Ada orang yang datang. . . , " 
desisnya. Baru saja dia mendesis 
demikian, sepasang matanya yang angker 
telah menangkap satu kelebatan tubuh 
di kejauhan. 

"Seorang gadis...," desisnya 
lagi. Semakin sama, kelebatan bayangan 
putih itu semakin jelas. Seperti yang 
diduganya, orang yang berkelebat itu 
memang Seorang gadis. Gadis berpakaian 
putih bersih dengan dua kuntum mawar 
merah pada atas dada kanan kirinya itu 
sudah menghentikan larinya. Tak ada 
desah napas yang keluar. Bahkan 
dadanya yang membusung itu sama sekaii 
tak bergerak. Sejenak sepasang mata 
indah milik si gadis memandang tak 
berkedip pada pemuda di hadapannya. 

"Aneh! Baru kali ini kulihat 
seseorang yang memiliki sisik-sisik 
coklat pada kedua tangannya sebatas 
siku. Wajahnya sangat tampan! Tetapi 
sisik-sisik itu? Duh Matanya begitu 
angker sekali, tetapi terkesan ramah!" 
kata si gadis dalam hati. 

Di pihak lain, pemuda bersisik 
itu justru tersenyum. 

Dia berkata sopan, "Kau nampak 
begitu tergesa, tetapi sekarang kau 
menghentikan langkah. Apakah memang 
ada yang bisa kubantu?" 

Si gadis masih memandangi si 
pemuda, seolah tak mendengar apa yang 
dikatakannya. 

Pemuda berompi ungu itu 
tersernyum. Tanpa berkata apa-apa, dia 
menyingkir tiga langkah ke belakang, 
memberi jalan pada si gadis. 

Melihat apa yang dilakukan pemuda 
di hadapannya, gadis jelita berambut 
tergerai itu segera berkata, "Maafkan 
atas keterdiamanku itu barusan." "Tak 
ada persoalan apa-apa." "Sejak tadi 
pagi aku sudah melangkah, dan baru 
kali ini aku berjumpa dengan sese- 
orang. Sobat, barangkali kau bisa 
menjawab pertanyaanku." 

Si pemuda terdiam sejenak. Lalu 
katanya, "Aku bukanlah orang yang 
patut dijadikan sebagai tempat ber- 
tanya, karena aku sendiri baru pertama 
kali menginjakkan kaki di tempat ini." 

"Suaranya sopan. Berbeda jauh 
dengan tatapannya yang bikin orang 
keder," kata si gadis dalam hati. 
Kemudian katanya, "Kalau begitu, 
mengapa kau berada di sini? Nampak- 
nya... di sini tak ada buah-buahan 
bila ternyata kau memang sedang 
mencari makanan untuk pengganjal 
perut?" 

"Tidak sama sekaii. Aku hanya 
ingin berada di sini," sahut si pemuda 
sopan. 

"Hemm... nampaknya dia memang 
baru pertama kali berada di sini. 
Seperti diriku. Ah, ke mana aku harus 
mencari orang yang harus kubunuh. Guru 
memerintahkan begitu. Karena dia telah 
menunggu selama dua belas tahun. Ah, 
sudahlah... sebaiknya kuteruskan 
langkah...." 

Habis membatin demikian, gadis 
itu berkata, "Sobat... namaku Diah 
Harum. Guruku memberi julukan Dewi 
Bunga Mawar. Siapakah namamu dan 
apakah julukanmu?" 

Si pemuda tak segera menjawab. 
Matanya yang memancarkan sinar angker 
itu memperhatikan si gadis di hada- 
pannya. 

"Dua belas tahun aku menghuni 
Lembah Naga, belum sekail pun berjumpa 
dengan seseorang kecuali Guru. Dan 
sekarang... aku berjumpa dengan se- 
orang gadis yang kecantikannya 
melebihi kecantikan seorang bida- 
dari 

"Sobat! Sejak tadi kau banyak 
bicara, berarti kau tidak tuli. Tetapi 
sekarang, kau terdiam seperti itu?I" 
Kata-kata si gadis membuat si pemuda 
mengangkat kepalanya. 

"Namaku Boma Paksi... julukanku 
Raja Naga 

"Raja Naga?" 

"Begitulah Guru memberikannya 
kepadaku." 

"Hemmm... baiklah! Boma,.. kita 
berpisah di sini!" Si pemuda bersisik 
yang ternyata adalah Boma Paksi murid 
Dewa Naga, menganggukkan kepalanya. 

Kejap berikutnya, Diah Harum 
alias Dewi Bunga Mawar segera ber- 
kelebat meninggalkan tempat itu. 

Boma Paksi memperhatikan keper- 
gian si gadis sampai menghilang dari 
pandangannya. 

"Luar biasa, sungguh luar biasa! 
Kecantikannya penuh pesona tiada tara! 
Ah, bila saja aku tidak penasaran 
ingin mengetahui dari mana asal bau 
darah ini, sudah tentu aku akan banyak 
bertanya tentang dirinya. Nampaknya 
Diah Harum sedang mencari sesuatu atau 
seseorang mengingat sikapnya yang 
tergesa." 

Kejap lain Raja Naga sudah 
menyusuri tempat itu. Tangan kanannya 
sebatas siku yang penuh sisik coklat 
kembali diangkat. 

"Menurut ilmu "Rabaan Naga', bau 
amis itu berasal dari arah barat. Aku 
harus ke sana...." 

Dengan berhati-hati pemuda tampan 
berompi ungu ini terus melangkah, 
sampai kemudian dia menemukan seorang 
kakek yang sedang terbaring dengan 
darah yang keluar dari sekujur pori- 
porinya . 

"Astaga!" seru Raja Naga ter- 
kejut. Segera dia menghampiri si kakek 
yang bukan lain Bandung Sulang. 

Bandung Sulang masih dalam ke- 
adaan sekarat. Perlahan-lahan kakek 
ini membuka kedua matanya takkala 
merasa ada tangan yang meraba kening- 
nya . 

Sejenak Bandung Sulang terkejut 
melihat tangan yang meraba keningnya. 

"Astaga! Dewa Naga... mengapa... 
mengapa kau jadi... sedemikian muda? 
Mengapa sisik-sisik hijaumu telah 
berubah menjadi coklat...." 

Ucapan si kakek membuat kening 
Raja Naga berkerut. 

"Hemm... dari kata-katanya, jelas 
kalau kakek sekarat ini mengenai 
guruku. Dia menyangka aku adalah Dewa 
Naga," katanya dalam hati. Lalu 
berkata, "Jangan banyak bicara 
dulu.... Kau dalam keadaan terluka 
parah, Kek...." 

"Dewa Naga... suaramu mengapa 
berubah? Kau... apakah kau... sudah 
menjadi... orang suci sekarang?" suara 
Bandung Sulang begitu lambat. Lalu 
kakek ini terbatuk-batuk. Darah keluar 
dari mulutnya. 

Raja Naga mendesis pelan, "Aku 
bukan Dewa Naga, Kek. Aku adalah 
muridnya 

"Muridnya? Gila! Gila! Bagaimana 
mungkin. . . dia. . . dia bisa mau menu- 
runkan seluruh... ilmu yang dimili- 
kinya?" 

Raja Naga tak menghiraukan per- 
tanyaan bernada sinis itu. Bandung 
Sulang terbatuk-batuk lagi. 

Dengan hati-hati Raja Naga meme- 
gang dada si kakek. Lalu dialirkan 
tenaga dalamnya. Tetapi baru sekejap 
dia melakukan, si kakek sudah geleng- 
gelengkan kepala. 

"Anak muda... dari hawa panas 
yang kurasakan... kau nampaknya... 
sedang... sedang mencoba mengobati- 
ku . . . huk huk huk 

"Jangan banyak bicara dulu, 
Kek..." 

"Kuucapkan... terima kasih... huk 
huk huk... tapi ketahuilah... usahamu 
ini... akan sia-sia belaka...." 

Boma Paksi tak menghiraukan kata- 
kata si kakek, dia terus mengalirkan 
tenaga dalamnya dengan hati bertanya- 
tanya, siapakah gerangan orang yang 
telah mencelakakan kakek ini? 

Tetapi justru dia yang tercekat, 
karena darah yang mengalir dari 
seluruh pori-pori yang ada pada tubuh 
si kakek, semakin deras. Melihat hal 
itu, seketika Raja Naga menghentikan 
tindakannya. 

"Kek! Mengapa jadi demikian?" 
Aku... aku telah keracunan... sulit... 
sulit sikali.., mengobati keracunan- 
ku... kecuali... kecuali Dewa.... 
Segala . . . Obat 

Sejenak kepala Boma Paksi 
menegak. 

"Dewa Segala Obat? Aku juga harus 
mencarinya untuk mengetahui bagaimana 
caranya Hantu Menara Berkabut membunuh 
ayahku. Dan kakek ini? Apa yang bisa 
kulakukan untuknya? Mengalirkan tenaga 
dalam guna menambah kekuatannya, malah 
justru mencelakakannya...." 

Lamat-lamat dia melihat si kakek 
yang sesekali tersedak berkata,. "Anak 
muda..aku tak tahu... apakah... apakah 
aku tepat mengadukan hal... ini... 
padamu.... Ketahuilah... aku... aku... 
telah mengutuk manusia... keparat... 
yang telah... mencelakakanku... huk 
huk huk. . . . Dia. . . : dia akan. . . mampus 
di tangan... putra.. Pendekar Lon..." 

Belum habis kata-katanya, Bandung 
Sulang terbatuk-batuk keras. Tersedak 
beberapa kali. Darah kental hitam 
banyak keluar. 

"Tak usah kau meneruskan ucapanmu 
sekarang! Kau..." 

Ganti Boma Paksi yang memutuskan 
kata-katanya. Karena dilihatnya kepala 
si kakek terkulai ke samping kanan. 
Melihat hal itu, pemuda dari Lembah 
Naga ini menarik napas panjang. 

"Dia tak kuasa menahan luka yang 
dideritanya.... Siapa sebenarnya si 
kakek ini? Tadi dia mengatakan... 
kalau dia... telah mengutuk si 
pembunuh yang akan tewas di tangan 
putra seorang pendekar. Sayang, dia 
tak bisa meneruskan ucapannya. Bahkan, 
dia juga belum mengatakan siapa yang 
telah mencelakakannya...." 

"Bagus! Berani berbuat, harus 
berani bertanggung jawab! Pemuda 
bersisik siapakah kau adanya?!" 
bentakan itu tiba-tiba terdengar dari 
samping kanan. 

Boma Paksi alias Raja Naga segera 
mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan 
dia berdiri. Ditatapnya perempuan 
setengah baya berkonde mencuat yang 
sedang membuka mata penuh amarah itu 
dengan seksama. Sadar akan arti 
tatapan itu, Boma Paksi segera 
tersenyum. 


Lalu berkata, "Dari ucapanmu, kau 
menyangka kalau akulah yang telah 
melakukan pembunuhan ini! Kau salah 
besar!" 

"Tutup mulutmu!" bentak si nenek 
berpakaian batik dengan suara keras. 
Dia akan bersuara lagi, tetapi 
mendadak saja dikatupkan. "Gila! 
Tatapannya itu begitu angker 
mengerikan! Lebih gila lagi jantungku 
menjadi lebih cepat berdetak! Astaga! 
Siapakah pemuda berompi ungu ini?!" 

Murid Dewa Naga berkata, 
"Perempuan berkonde... apa yang kau 
lihat ini jauh berbeda dengan 
sangkaanmu! Aku memang datang lebih 
dulu darimu di sini. Bahkan aku sempat 
berbicara walaupun menurutku tak 
berarti banyak dengan kakek yang di 
saat kutemukan masih hidup dalam 
keadaan sekarat! Dan bukan aku yang 
telah membunuhnya!" 

"Di sini tak ada orang lain 
kecuali kau! Jadi, tak ada gunanya kau 
putar ucapan dan kenyataan!" 

"Sekaii lagi kukatakan, aku bukan 
pembunuhnya!" Perempuan setengah baya 
berkonde mencuat,Ini terdiam dengan 
dada yang entah kenapa berdebar. 

"Astaga! Suaranya begitu dingin 
dan angker. Ada satu kekuatan yang 
meresap dan membara dalam suaranya. 
Siapakah pemuda ini? Sosoknya begitu 
mengerikan!" 

Habis membatin demikian, si 
perempuan berkata, "Aku tak peduli 
siapa kau adanya! Tetapi aku hanya 
minta satu pengakuan dari mulutmu!" 

"Apa yang kukatakan tadi adalah 
sebuah pengakuan tentang kebenaran!" 

"Keparat! Kau benar-benar hendak 
kuhajar!" 

Belum lagi habis terdengar 
bentakannya, tangan kanan si perempuan 
berkonde mencuat ini sudah didorong ke 
depan. Menghampar gelombang angin 
berkekuatan tinggi yang diliputi asap 
hitam ke arah si pemuda. 

Raja Naga menjerengkan matanya. 
Tanpa berkedip dia mendehem. 

"Heeemm!" 

Blaaaarrr!! 

Gelombang angin yang menggebrak 
ke arahnya itu mendadak saja putus di 
tengah Jalan, bermuncratan ke sana 
kemari. 

Perempuan tua berkonde mencuat 
terbelalak. 

"Gila!" serunya tertahan. Untuk 
beberapa saat dia tak melakukan 
tindakan apa-apa. 

"Nenek berkonde mencuat! Aku 
mengatakan apa yang sebenarnya 
terjadi! Sebaiknya, kau terima apa 
yang kukatakan! Juga lebih baik, kita 
menguburkan mayat kakek yang nampaknya 
kau kenal ini!" 

SI nenek masih terbelalak, seolah 
tak mendengar kata-kata si pemuda. 

"Benar-benar gila! Tak kulihat 
sama sekaii dia bergerak atau 
menghindar! Dia hanya mendehem saja! 
Tapi, seranganku putus di tengah 
jalan! Gila! Tenaga apa yang telah 
memutuskan seranganku itu?!" seru si 
perempuan dalam hati. Lalu berseru, 
"Pemuda bersisik! Siapakah kau 
sebenarnya?!" 

"Namaku Boma Paksi!" 

"Apa julukanmu?!" 

"Untuk saat ini, sebaiknya kau 
mengenalku dengan nama asliku. Tak ada 
yang kurahasiakan sama sekali! Dan 
kuharap, kau tak salah sangka dengan 
tindakanku ini! Nenek berkonde... aku 
sudah memperkenalkan diriku, apakah 
kau merasa rugi bila memperkenalkan 
diri juga?" 

Perempuan setengah baya berpa- 
kaian batik itu memandang pemuda di 
hadapannya dalam-dalam. Keheranannya 
karena serangannya begitu mudah dipa- 
tahkan si pemuda, masih dalam 
membekas. 

"Kau boleh mengenalku dengan 
sebutan Nenek Konde Satu! Aku datang 
dari tempat yang jauh dengan maksud 
mengunjungi sobatku yang kini telah 
menjadi mayat, Bandung Sulang!" 

"Bila kau masih penasaran hendak 
mengetahui siapa pembunuhnya, untuk 
saat ini aku tak bisa menjawab! Nenek 
Konde Satu! Aku masih ada urusan yang 
harus kuselesaikanI Sebaiknya, kita 
kuburkan mayat sobatmu ini I" 

Tanpa menunggu jawaban Nenek 
Konde Satu, pemuda dari Lembah Naga 
ini segera mengambil sebatang ranting. 
Dengan ranting itulah dia menggali 
tanah becek yang dalam waktu tiga 
kejapan mata sudah membentuk sebuah 
lubang. 

Lalu mengubur mayat Bandung 
Sulang. 

Nenek Konde Satu hanya memper- 
hatikan. Dia masih tak percaya 
bagaimana mudahnya pemuda itu memu- 
tuskan serangannya. 

"Lengannya sebatas siku penuh 
sisik coklat. Apakah... apakah dia ada 
hubungannya dengan Dewa Naga? 
Seingatku, hanya Dewa Nagalah satu- 
satunya manusia yang memiliki sisik, 
tetapi warna hijau! Dan tatapan mata 
pemuda itu... gila! Benar-benar 
angker! Tetapi jelas kalau dia 
memiliki kelembutan pula!" 

Raja Naga mengangkat kepalanya. 

"Sebelum kita berpisah, aku hen- 
dak bertanya padamu! Tahukah kau di 
mana Menara Berkabut berada?!" 

Kepala Nenek Konde Satu menegak. 
Matanya tak berkedip. Masih dalam 
posisi seperti itu dia berkata, "Me- 
ngapa kau mencari Menara Berkabut? Ada 
urusan apa kau dengan manusia keji 
yang berdiam di sana?!" 

"Itu urusan pribadiku! Bila kau 
bisa mengatakan di mana Menara 
Berkabut berada, aku tidak akan pernah 
melupakan budi baikmu! Kelak... pasti 
akan kubalas!" 

"Suaranya berubah dingin dan 
dalam. Tatapannya makin angker. Ah, 
pemuda ini nampaknya memang punya 
urusan yang tak bisa dilepaskan! 
Tentunya... dengan Hantu Menara 
Berkabut!" kata Nenek Konde Satu dalam 
hati. 

Kemudian berkata, "Sungguh 
kebetulan sekali kau bertanya soal 
itu. Karena, aku sendiri juga hendak 
menuju ke sana!" 

"Berarti... kau tahu di mana 
Menara Berkabut berada?" tanya si 
pemuda terburu. 

Perempuan tua berkonde mencuat 
ini menggelengkan kepala 

"Aku datang mengunjungi Bandung 
Sulang, untuk menanyakan dimanakah 
Menara Berkabut berada? Tapi sayang, 
dia sudah keburu mampus!" 

Nenek Konde Satu melihat pancaran 
angker si pemuda agak meredup. Kendati 
demikian tak mengurangi kengerian 
siapa pun yang melihatnya. 

"Ya, sungguh sayang...," kata 
Raja Naga pelan sambil mengangguk. 
Kemudian sambungnya, "Kita sama-sama 
punya urusan di Menara Berkabut, 
sebaiknya., kita cari di mana Menara 
Berkabut itu berada!" 

Habis ucapannya, pemuda bersisik 
ini sudah berkelebat cepat. Rambut 
panjangnya yang diikat ekor kuda itu 
berlompatan. 

WuusssII 

Nenek Konde Satu yang berdiri 
agak jauh dari sana, tersentak karena 
merasa desiran angin yang keluar di 
saat si pemuda berkelebat. 

"Luar biasa! Siapa pemuda itu 
sebenarnya?! Dia merahasiakan julu- 
kannya, tentunya untuk sembunyikan 
sesuatu! Gila! Sungguh gila!" desisnya 
terheran dan terkagum. Lalu digeleng- 
gelengkan kepalanya. "Pemuda itu juga 
hendak mencari Menara Berkabut! Jelas 
dia punya persoalan dengan Hantu 
Menara Berkabut! Bandung Sulang telah 
tiada! Sulit mencari tempat bertanya 
lagi! Mungkin, tinggal Dewa Naga dan 
Dewa Segala Obat yang mengetahui 
tempat itu! Tapi... mencari keduanya 
sama saja dengan mencari jarum di 
tumpukan jerami!" 

Perempuan tua berkonde mencuat 
ini masih menggeleng-gelengkan kepala. 
Wajahnya terlihat agak jengkel. Tak 
lama kemudian, dia segera meninggalkan 
Bukit Gulungan. 

★ ★ ★ 


MATAHARI kembali memancarkan 
sinar beningnya di awal perjalanannya. 
Warna keemasan terpantul indah pada 
sebuah sungai. Di sekeliling sungai 
yang mengalirkan air jernih dan tak 
memperdengarkan suara bergemuruh, 
tumbuh pepohonan yang sebagian akarnya 
banyak masuk ke dalam air. Ranggasan 
semak belukar setinggi dada menghiasi 
tempat itu. 

Lelaki bertubuh pendek, gemuk 
kekar yang mengenakan pakaian warna 
biru terbuka di bagian dada, hingga 
tak bisa menutupi perut gemuknya, 
hanya berdiri membelakangi sungai. Tak 
ada suara yang keluar dari mulut 
lelaki gemuk itu. Karena lemak yang 
berlebihan di setiap inci tubuhnya, 
tak terlihat adanya kerutan atau 
keriput, padahal usia si kakek sudah 
mencapai tujuh puluh dua tahun. Sebuah 
tombak berwarna biru tergenggam di 
tangan kanannya yang gempal, lebih 
tinggi dari tubuhnya. 

"Sebelum matahari terbit, aku 
sudah berada di sini. Tetapi, kakek 
berambut jarang itu belum juga datang. 
Apakah dia sudah melupakan pertemuan 
ini? Atau, justru aku yang salah 
tempat itu?" kakek bertubuh gempal ini 
memandang sekelilingnya. "Tidak! Aku 
tidak salah tempat! Tempat inilah di 
mana terakhir kalinya aku bertemu 
dengan kakek berambut jarang itu!" 

Belum habis kata-kata si kakek 
bertubuh gempal, satu suara telah 
terdengar, "Dewa Tombak! Maafkan 
keterlambatanku!" 

Dewa Tombak segera memutar kepala 
ke samping kanan. Dia langsung 
menyeringai begitu melihat satu sosok 
tubuh berpakaian compang-camping telah 
berdiri sejarak delapan langkah. 

"Kau memang selalu terlambat! Dan 
aku merasa pasti, alasanmu lagi-lagi 
tentunya karena kau harus mengobati 
pasienmu!" 

Kakek berpakaian ungu compang 
camping itu mengangguk-anggukkan kepa- 
lanya yang jarang ditumbuhi rambut. Di 
pinggangnya yang kurus, menyantel 
sebuah pundi kecil. 

Sambil berjalan si kakek berkata, 
"Dua belas tahun sudah berlalu, usia 
kita kini sudah bertambah sebanyak dua 
belas tahun! Tetapi kau tetap tak jauh 
berubah. Dewa Tombak!" 

"Selain keahlianmu dalam bermacam 
penyakit dan penemuanmu dalam segala 
obat, kau rupanya pandai memuji juga! 
Dewa Segala Obat! Apakah kau belum 
juga menemukan jejak di manakah putra 
mendiang Pendekar Lontar berada?" 

Dewa Segala Obat menggeleng. 

"Dua belas tahun aku mencoba 
melacak jejaknya, tetapi gagal 
kutemukan! Bagaimana dengan kau 
sendiri?I" 

"Aku juga mengalami nasib yang 
sama! Selama itu pula aku tak 
menjumpai di manakah putra mendiang 
Pendekar Lontar dan Dewi Lontar 
berada!" 

"Sampai saat ini, aku masih 
menyesal, mengapa aku tak segera 
mengatakan pada Dewi Lontar, siapakah 
orang yang telah membunuh suaminya!" 

"Kau juga belum mengatakannya 
kepadaku?! Sekarang, apakah kau mau 
membuka rahasia yang selama dua belas 
tahun kau simpan?!" 

Dewa Segala Obat mengangguk- 
anggukkan kepalanya. 

"Ya! Mungkin sudah terlambat, 
tetapi tak ada salahnya bila kukatakan 
sekarang!" 

"Katakan!" 

"Seperti hasil yang kudapatkan 
setelah memeriksa tubuh Pendekar 
Lontar dua belas tahun yang lalu, aku 
berkesimpulan, kalau yang membunuhnya 
adalah Hantu Menara Berkabut!" 

Kepala Dewa Tombak menegak. 

"Hantu Menara Berkabut?!" 

"Demikianlah kesimpulanku!" 

Dewa Tombak tak segera membuka 
mulut. Kening kakek gemuk ini 
berkerut. Lamat-lamat seraya meman- 
dangi Dewa Segala Obat, Dewa Tombak 
berkata, "Aku ingat kalau Pendekar 
Lontar pernah mengalahkan manusia itu! 
Aku juga Ingat, Hantu Menara Berkabut 
pun pernah dikalahkan oleh Bandung 
Sulang dan Pendekar Harum! Bagaimana 
kau bisa berkesimpulan demikian?!" 

"Racun yang mengakibatkan kema- 
tian Pendekar Lontar, merupakan 
gabungan dari puluhan bisa ular 
mematikan! Dan ular-ular itu hanya 
bisa didapatkan di sekitar Menara 
Berkabut!" 

Kedua kakek ini tak ada yang 
bersuara. Air sungai tetap mengalir 
jernih. Perlahan-lahan matahari pun 
semakin naik. Sinarnya tak secemerlang 
tadi, karena sudah terdapat sengatan 
yang cukup panas. 

"Seperti janjiku pada Dewi 
Lontar, setelah penguburanjenazah sua- 
minya, aku akan datang lagi 
menjumpainya. Tetapi yang kutemukan, 
hanyalah jenazahnya belaka sementara 
putranya sudah tidak ada di tempat. 
Setelah itu kau datang dan menanyakan 
sebab-sebab kematian Dewi Lontar yang 
tak bisa kujawab. Dewa Segala Obat, 
sampai hari ini, aku juga masih 
dibingungkan dengan kematian Dewi 
Lontar. Siapakah yang telah membunuh 
perempuan perkasa itu?" 

Dewa Segala Obat menggelengkan 
kepalanya. 

"Saat ini yang terbaik menurutku, 
kita harus mencari di manakah putra 
mereka yang bernama Boma Paksi! 
Mungkin agak sulit untuk menemu- 
kannya ! " 

"Bagaimana bila ternyata bocah 
itu juga telah tewas di tangan si 
pembunuh?" 

"Tidak! Aku merasa pasti dia 
belum mati" 

"Karena kita tak menemukan 
mayatnya selain mayat Dewi Lontar?" 

"Kira-kira demikian!" 

"Bagaimana kalau ternyata si 
pembunuh membawanya dari tempat itu 
dan membunuhnya di tempat yang 
tersembunyi? Mengubur atau membuang 
mayatnya ke dasar jurang, sangat sulit 
kita temukan!" 

Kata-kata Dewa Tombak membuat 
kakek berpakaian compang-camping itu 
terdiam. 

"Apa yang kau katakan memang 
benar! Yah... kalau memang demikian, 
berarti habislah penerus dari Pendekar 
Lontar dan Dewi Lontar!" 

Kembali tak ada yang bersuara. 
Angin pagi yang sejuk telah berubah 
menjadi sedikit menyengat, karena 
sinar matahari yang sudah sepenggalah 
lewat, telah dapat menerobos rangkaian 
pepohonan di tepi sungai sana. 

Tiba-tiba Dewa Segala Obat 
berkata, "Bagaimana dengan satu 
kemungkinan lain?" 

"Kemungkinan apa?" 

"Menurutmu. . . . Dewa Naga juga 
berada di sana." 

"Ya! Dia memang berada di sana, 
tetapi dia telah meninggalkan tempat 
itu dengan paras kecewa! Tentunya ada 
yang membuatnya kecewa!" 

"Kau tahu apa sebabnya?" 

"Dewa Naga menghendaki Boma Paksi 
menjadi muridnya. Tetapi Dewi Lontar 
menolaknya." 

"Mengapa?" 

"Aku tak bertanya lebih jauh 
dengannya. Hanya yang bisa kuduga, 
karena saat itu Dewi Lontar masih 
berada dalam kesedihannya. Tentunya 
dia akan makin sedih bila berpisah 
dengan putranya. Kau tahu, bila saat 
itu Pendekar Lontar tidak meninggal, 
mungkin Dewi Lontar akan mengizinkan 
anaknya berguru atau mewarisi seluruh 
ilmu Dewa Naga. Dan menurutku...." 

Dewa Segala Obat memutus kata- 
katanya sendiri. 

Sepasang mata bulatnya memandang 
Dewa Segala Obat. Yang dipandang 
seperti mengerti apa yang terpancar 
dari pantiangan itu. 

Dewa Tombak berkata, "Maksud- 
mu. . . . Dewa Naga yang telah membawa 
putra mereka?" 

"Itulah satu-satunya jawaban yang 
dapat diterima pula!" 

"Tetapi dia sudah meninggalkan 
tempat penuh kekecewaan." 

"Kita tahu, Kakang Segala Jaka 
adalah orang yang angin-anginan. Dia 
bisa tiba-tiba marah dan bisa bersikap 
lebih konyol dari siapa pun. Tak 
mustahil kalau kemudian dia datang 
kembali, kali ini dengan maksud untuk 
mengambil langsung tanpa permisi putra 
Dewi Lontar." 

Kata-kata Dewa Tombak membuat 
Dewa Segala Obat terdiam. Dan masing- 
masing orang untuk beberapa lama tak 
ada yang buka suara. Sampai Dewa Se- 
gala Obat berkata lagi, 

"Kalau begitu... bagaimana bila 
kuusulkan sebaiknya kita segera 
mendatangi Menara Berkabut?" 

"Usul yang bagus! Tetapi sebelum- 
nya, aku ingin menjumpai Bandung 
Sulang maupun Pendekar Harum! Mereka 
pernah mengalahkan Hantu Menara 
Berkabut! Bila memang Hantu Menara 
Berkabut datang untuk membalas dendam, 
keduanya pun tak akan luput dari 
dendam yang merejam dirinya!" 

Dewa Segala Obat mengangguk. 

"Kalau begitu... kau pergilah 
menjumpai Bandung Sulang dan aku 
menjumpai Pendekar Harum! Kau ingat 
tempat di mana dulu kita pernah 
bertemu?" 

"Maksudmu... di Gunung Menja- 
ngan?" 

"Ya! Kita akan berjumpa di sana 
sepuluh hari di muka!" 

Setelah berbicara beberapa saat, 
kedua tokoh itu pun segera berkelebat 
ke arah yang berbeda. Siang terus 
beranjak menuju senja. 

★ ★ ★ 


MENCARI sesuatu atau seseorang 
yang belum diketahui tempatnya maupun 
rupanya memang laksana mencari jarum 
di tumpukan Jerami. Sudah tiga hari 
Raja Naga meninggalkan Lembah Naga 
untuk mencari pembunuh ayah dan 
ibunya. Dan di hari yang keempat ini, 
dia belum juga menemukan jejak yang 
berarti. 

"Nenek Konde Satu yang pernah 
kujumpai beberapa hari lalu, 
sebenarnya punya tujuan yang sama 
denganku, mencari Hantu Menara 
Berkabut yang berdiam di Menara 
Berkabut. Seharusnya aku bisa melacak 
tempat itu bersama-sama dengannya. 
Tstapi, ah... masih banyak yang harus 
kupercimbangkan ketimbang melangkah 
bersamanya. Masih untung dia mau 
mengerti kalau bukan akulah yang telah 
membunuh sahabatnya yang bernama 
Bandung Sulang," kata pemuda berusia 
tujuh belas tahun ini. 

Pancaran matanya yang dingin dan 
angker diedarkan ke sekeliling. 
Memandang ranggasan semak dan jalan 
setapak yang tumpang tindih. 

Untuk beberapa saat Raja Naga 
terdiam. Otaknya diputar untuk 
menentukan jalan mana yang harus 
ditempuh. Tetapi karena tak tahu harus 
ke mana, dia lagi-lagi merasa buntu. 

"Huh! Sesulit apa pun, aku harus 
menemukan Hantu Menara Berkabut dan 
Dadung Bongkok! Kedua manusia itulah 
yang menjadi musuh utamaku saat ini!" 

Tiba-tiba Raja Naga menoleh ke 
kiri. Dia melihat dua sosok tubuh 
berkelebat cepat. 

"Hei! Kupikir hanya aku seorang 
diri di tempat sunyi ini. Tetapi ada 
dua orang berkelebat yang sempat 
kulihat jubah masing-masing berwarna 
hijau" 

Belum lagi Boma Paksi memikirkan 
lebih jauh tentang siapa kedua orang 
yang dilihatnya, dia kembali melihat 
dua sosok tubuh berkelebat cepat ke 
arah kedua orang yang berkelebat tadi. 

Bahkan dia sempat mendengar salah 
seorang yang menyusul itu berseru, 

"Ke mana pun kalian pergi, kalian 
tak akan pernah luput dari kematian!" 

Ditempatnya Raja Naga terdiam 
dengan kening berkerut. 

"Astaga! Ada apa ini? Jelas 
sekali kalau kedua orang yang 
berkelebat betakangan itu sedang 
menyusul dua orang berjubah hijau yang 
berkelebat lebih dulu! Hemm... 
tentunya telah terjadi sesuatu di 
antara mereka! Sebaiknya aku melihat 
apa yang sebenarnya terjadi!" 

Memutuskan demikian, pemuda yang 
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi 
sisik-sisik coklat ini sudah ber- 
kelebat. Dalam waktu singkat dia dapat 
melihat bayangan dua orang yang 
mengejar dua orang berjubah hijau. 

"Jarak telah diperpendek! Dua 
orang pengejar itu nampaknya tak lama 
lagi akan dapat mengejar sekaligus 
melampaui kedua orang berjubah hijau 
itu!" desisnya. 

Apa yang diperkirakan Raja Naga 
memang benar, karena mendadak saja dua 
pengejar itu telah melenting ke udara, 
berputar dua kali dan berdiri sejarak 
sepuluh langkah dari hadapan dua orang 
berjubah hijau yang berlari di depan. 
Begitu kedua kaki masing-masing orang 
hinggap di tanah, mereka langsuhg 
berbalik dan memasang wajah angker. 

Salah seorang dari pengejarnya 
yang berkepala botak di tengah tetapi 
rambut lainnya panjang tergerai ke 
belakang, sudah memperlihatkan seri- 
ngaiannya. 

"Tak ada lagi tempat untuk 
melarikan diri selain menuju ke 
neraka! Dua Serangkai Jubah Hijau... 
hari ini juga kalian akan mampus!!" 

Dua kakek berpakaian kuning yang 
mengenakan jubah hijau itu perlahan- 
lahan mundur dua tindak ke belakang. 
Wajah masing-masing orang yang serupa 
satu sama lain, pucat pasi. Yang pada 
keningnya terdapat sebuah tahi lalat 
yang dapat dijadikan sebagai pembeda 
dari yang seorang lagi, nampak sedang 
menekap dadanya kuat-kuat. Dari 
bibirnya masih mengalir darah segar. 

Di pihak lain yang seorang lagi 
hampir-hampir tak bisa menguasai 
keseimbangannya. 

Yang ada tahi lalat di keningnya 
berbisik, "Sema Kuriang... bertahan- 
lah... kita jangan sampai mampus di 
tangan mereka...." 

Sema Kuriang meringis nyeri. 

"Gala Kuriang, kita tak mungkin 
bisa menghadapi keduanya...." 

"Peduli setan! Sebelum kita 
menemukan putra Pendekar Lontar, kita 
jangan mati dulu!" 

Di balik ranggasan semak. Raja 
Naga yang memutuskan untuk bersembunyi 
mengerutkan keningnya mendengar ucapan 
keduanya. Dia mendengarkan lagi. 

"Tetapi rasanya... kita tak akan 
pernah menemukan putra mendiang 
Pendekar Lontar. Mungkin... saat ini 
dia sudah bersama Dewa Segala Obat 
atau Dewa Tombak...." 

Sebelum Sema Kuriang menyahut, 
kakek berkepala botak di.tengah tadi 
sudah mendesis dingin, "Dendam lama 
telah terkuak! Dua belas tahun lalu 
kami gagal membunuh kalian karena 
seseorang tak dikenal telah menye- 
lamatkan kalian! Tetapi sekarang, 
kalian tak akan bisa memohon bernapas 
lebih lama 

Dua Serangkai Jubah Hijau tak ada 
yang membuka mulut. Mereka sama-sama 
menahan sakit dan berusaha untuk 
mengalirkan tenaga dalam. Kendati 
keadaan mereka sudah tak memungkinkan, 
tetapi keduanya tak ingin mati lebih 
dulu. 

Lelaki berjubah hitam berkepala 
plontos, dan terdapat tanda matahari 
tepat di ubun-ubunnya, angkat bicara, 
"Iblis Penghancur Raga! Mengapa harus 
berlama-lama lagi?! Membunuh keduanya 
adalah pekerjaan yang harus kita 
lakukan! Agar mereka mengerti siapa 
kita adanya?!" 

Kakek berjenggot dikepang itu 
melirik pada temannya. Lalu sambil 
mengarahkan kembali pandangannya pada 
Dua Serangkai Jubah Hijau yang sudah 
memucat dia berkata dingin, 

"Kau benar. Iblis Telapak Darah. 
Kita bunuh keduanya!!" 

Habis ucapannya. Iblis Penghancur 
Raga segera menerjang ke depan, ke 
arah Sema Kuriang. Di pihak lain. 
Iblis Telapak Darah melancarkan 
serangan ganasnya pada Gala Kuriang 
{Teman-teman pembaca bisa membaca 
episode pertama dari serial Raja Naga; 
"Tapak Dewa Naga", untuk mengetahui 
siapakah orang-orang ini). 

Kendati mereka telah terluka 
parah, Dua Serangkai Jubah Hijau masih 
berusaha untuk menyelamatkan diri. 

Iblis Penghancur Raga mendengus 
begitu melihat Sema Kuriang berhasil 
memutuskan serangannya. Tanpa surutkan 
kecepatannya tiba-tiba ditepukkan ke- 
dua tangannya. 

Blaaaarrr!! 

Wrrrrr!! 

Letupan terdengar, menyusul meng- 
gebraknya hamparan angin bergemuruh. 
Melihat hal itu, wajah Sema Kuriang 
memucat. Lintang pukang dia menghin- 
dar! ganasnya serangan lawan. 

Jlgaaaarrr!I 

Sebatang pohon langsung hangus 
terkena gelombang angin Iblis Penghan- 
cur Raga. Kejadian itu membuat kakek 
berompi biru ini menggeram sengit. 

"Kau masih dapat menghindar 
rupanya I" 

Terhuyung-huyung Sema Kuriang 
menyahut, "Ilmu Penghancur Ragamu tak 
memiliki kekuatan berarti!" 

"Terkutuk! Kukirim nyawamu ke 
akhirat!!" 

Di pihak lain lelaki berkepala 
plontos dan berjubah hitam itu sudah 
mengangkat " kedua telapak tangannya 
tinggi-tinggi saat menerjang. Lalu 
secara tiba-tiba diturunkan kedua 
telapak tangannya dengan cara 
menyentak! 

Angin dibaluri asap merah melesat 
ke arah Gala Kuriang yang memekik 
tertahan. Dengan sisa tenaganya dia 
berputar ke belakang menghindari 
serangan lawan. 

Kedua kakinya goyah begitu 
menginjak tanah kembali. Dia hampir 
saja tak bisa mengendalikan keseim- 
bangannya. Dengan kekerasan hati dia 
berhasil mengimbangkan lagi kedudu- 
kannya. Segera dagunya diangkat ke 
arah Iblis Telapak Darah. Saat itu 
juga dilihatnya kedua telapak tangan 
kakek berkepala plontos memancarkan 
sinar warna merah. Lalu terlihat 
tetesan darah dari sana. Angker dan 
menyebarkan bau busuk. 

"Celaka! Dia sudah mengeluarkan 
ilmu 'Telapak Darah'nya! Okh I Rasanya 
akan sulit untuk bertahan lebih lama! 
Celaka! Betul-betul celaka! Mengapa 
kami harus berjumpa dengan dua jahanam 
ini?!" serunya dalam hati. 

Belum lagi dia memutuskan untuk 
melakukan tindakan apa pun guna 
mengatasi serangan lawan, Iblis 
Telapak Darah sudah menerjang. Kedua 
telapak tangannya yang meneteskan 
darah, didorong ke atas. 

Sinar merah bergelombang muncrat 
Memperdengarkan suara berdenging 
menggiriskan. Lalu laksana anak panah 
muncratan sinar merah yang masih 
meneteskan darah mendadak meluncur ke 
arahnya, berkelok-kelok dengan suara 
berdenging-denging. 

Jgaaarrr!! 

Tanah dimana tadi Gala Kuriang 
berdiri, langsung retak lebar. Belum 
lagi Gala Kuriang yang berhasil 
menghindarkan serangan lawan berdiri 
tegak, sinar merah yang meneteskan 
darah itu mendadak muncrat kembali ke 
udara. 

Dua Serangkai Jubah Hijau memang 
harus mati-matian mempertahankan 
selembar nyawa milik mereka. Tetapi 
sekeras apa pun yang keduanya lakukan, 
mereka tetap tak akan bisa menghindari 
serangan-serangan kedua lawannya. 
Karena luka dalam yang mereka derita 
semakin menyakitkan! 

Saat ini iblis Penghancur Raga 
dan Iblis Telapak Darah sudah meluncur 
dengan ilmu masing-masing, siap 
mengantar Dua Serangkai Jubah Hijau ke 
akhirat! Wajah Dua Serangkai Jubah 
Hijau sendiri sudah memucat laksana 
mayat. Dada mereka turun naik dengan 
napas memburu. Butiran keringat 
sebesar jagung sudah turun membasahi 
wajah masing-masing orang. 

Namun mendadak saja satu sosok 
tubuh mencelat dari balik ranggasan 
semak. Tak ada desir angin apa-apa di 
saat sosok tubuh itu melesat. Tak ada 
tanda-tanda ranggasan semak di mana 
tadi dilewati oleh sosok tubuh itu 
bergerak. 

Kejap kemudian.... 

Jlegaaarr!! 

Blaaaarrrl! 

Dua serangan ganas dari Iblis 
Penghancur Raga dan Iblis Telapak 
Darah putus di tengah jalan. Benturan 
dahsyat itu membuat tanah terbongkar 
ke udara dan beberapa buah pohon 
tumbang. Tempat itu laksana dilanda 
topan dahsyat. Untuk beberapa saat 
pandangan masing-masing orang ter- 
halang . 

Tatkala tanah-tanah itu surut 
kembali, terlihat sosok Iblis 
Penghancur Raga dan Iblis Telapak 
Darah telah mundur sejarak lima 
langkah. Masing-masing orang saat ini 
sedang berpandangan dengan wajah 
terhenyak. Lalu tanpa sadar keduanya 
memandangi sekujur tubuh mereka. 

Saat lain keduanya sudah 
mengangkat kepala ke depan. Mereka 
melihat seorang pemuda sudah berdiri 
di tengah-tengah Dua Serangkai Jubah 
Hijau yang juga sedang memandangi 
pemuda yang menolong mereka. Tadi 
begitu mendengar benturan dahsyat, 
keduanya merasakan kalau punggung 
mereka ditarik ke belakang oleh 
seseorang. Dan sekarang, orang yang 
ternyata seorang pemuda itu sudah 
berdiri di tengah-tengah mereka. 

"Astaga! Siapakah pemuda ini? 
Wajahnya begitu tampan, tetapi kedua 
lengannya sebatas siku bersisik 
coklat. Tadi... astaga! Dia memutuskan 
dua ilmu mengerikan dari Iblis 
Penghancur Raga dan Iblis Telapak 
Darah sekaligus! Dan sekarang dia tak 
kurang suatu apa," desis Sema Kuriang 
dalam hati. 

"Wajah pemuda ini sebenarnya 
tampan, tetapi tatapannya... sangat 
dingin dan mengerikan. Bibirnya 
tersenyum, memperlihatkan kalau dia 
sebenarnya seseorang yang penuh canda. 
Ah, siapakah pemuda yang secara tiba- 
tiba muncul dan menolong kami Ini?" 
batin Gala Kuriang. 

Di pihak lain Iblis Penghancur 
Raga sudah berseru setelah hilang 
keterkejutannya, "Pemuda bersisik mau 
mampus! Sebutkan siapa kau adanya 
sebelum kubuat lumat tubuhmu!!" 

Pemuda yang tadi melompat dan 
mematahkan serangan Iblis Penghancur 
Raga dan Iblis Telapak Darah hanya 
tersenyum. Kendati demikian, tatapan- 
nya yang angker cukup menyiutkan hati 
yang melihatnya. 

"Aku hanyalah seorang pengembara 
yang kebetulan lewat di tempat ini! 
Dan sungguh kebetulan lagi kalau aku 
tak pernah menyukai tindakan semena- 
mena ini!". 

"Tatapannya itu... seperti 
mengandung kekuatan magis yang dapat 
merontokkan nyali lawan! Keparat! 
Siapa pun dia adanya, aku tak peduli! 
Dia telah masuk kalangan dan telah 
mengacaukan semua niatku!" geram Iblis 
Penghancur Raga dalam hati. Dengan 
angkuh diangkat dagunya dan berseru, 
"Kau tak tahu urusan dan telah lancang 
mencampuri! Apakah salah bila aku 
menghajar sampai mampus?!" 

"Urusan salah atau tidak, rasanya 
tak ada yang bisa tentukan saat ini! 
Yang pasti, aku menghehdaki kalian 
berdamai dan menghentikan pertikaian 
ini" 

"Pemuda celaka! Sikapmu seperti 
kau sudah berada di atas langit! 
Sebutkan Julukan?!" geram Iblis 
Penghancur Raga dengan tubuh menggigil 
karena amarah 

"Aku tidak tahu apakah julukanku 
ini sudah kau dengar atau belum! 
Tetapi tak ada salahnya bila kau 
mendengarnya! Guruku memberiku julukan 
Ra ja Naga 

"Raja Naga?" ulang Iblis 
Penghancur Raga dalam hati. Matanya 
memandang tak berkedip pada si pemuda 
yang masih tersenyum. "Sudah lama aku 
malang melintang di rimba persilatan 
ini bersama Iblis Telapak Darah, 
tetapi aku belum pernah mendengar 
julukan angker itu. Sama angker dengan 
tatapannya yang memerah." 

Di pihak lain Iblis Telapak Darah 
yang juga gusar karena niatnya untuk 
membunuh Dua Serangkai Jubah Hijau 
gagal, sudah membentak, "Siapa pun kau 
adanya. kusarankan lebih baik 
menyingkir sebelum kau menyesali 
keadaan!" 

"Aku telah masuk ke dalam 
kalangan! Apakah kau pikir aku akan 
menyesalinya?!" 

"Bagus! Berarti kau sudah siap 
untuk mampus I" 

Habis bentakannya Iblis Telapak 
Darah sudah menerjang dengan kedua 
telapak tangannya yang seperti 
meneteskan darah. Gelombang angin 
diliputi asap merah sudah menderu 
ganas ke arah Boma Paksi alias Raja 
Naga. 

Yang diserang hanya menggeleng 
gelengkan kepalanya. 

"Seharusnya kau menyadari dengan 
tindakanmu seperti ini bukan 
mengakhiri urusan dalam perdamaian, 
tetapi semakin menambah pertikaian!!" 

Bersamaan dia berucap demikian, 
pemuda bersisik hijau ini juga 
menerjang ke depan. Tangan kanannya 
diputar sedikit, menyusul disentakkan. 

Jlegaaaarrrll 

Benturan yang terjadi itu menim- 
bulkan letupan yang sangat keras. 

Tanah seketika memburai ke udara. Dari 
gumpalan tanah itu mencelat sosok 
Iblis Telapak Darah yang terbanting 
teiungkup dengan dada menghantam 
tanah. Bukan karena terbanting di atas 
tanah yang menyebabkan dadanya terasa 
sakit dan sesak, melainkan karena 
benturan yang terjadi tadi. 

Sementara itu Dua Serangkai Jubah 
Hijau maupun iblis Penghancur Raga 
masih memperhatikan gumpalan tanah 
yang menutupi sosok si pemuda, karena 
pemuda tampan berambut dikuncir itu 
tak terlihat terpental. 

Iblis Penghancur Raga yang tadi 
terhenyak melihat ambruknya Iblis 
Telapak Darah, menggeram dingin sambil 
memandangi gumpalan tanah yang masih 
membubung, "Pemuda itu tentunya memi- 
liki ilmu yang tinggi karena dapat 
membuat Iblis Telapak Darah 
terbanting! Tetapi tentunya, sekarang 
dia sudah mampus I" 

Sema Kuriang membatin gelisah, 
"Pemuda itu terlalu berani! Bahkan 
sangat berani! Nampaknya dia tidak 
mengetahui kehebatan ilmu 'Telapak 
Darah' dari lelaki berjubah hitam itu 
hingga nekat membenturnya! Ah, bila 
dia tewas sekarang, keadaan kami akan 
lebih celaka!" 

Sementara itu sambil menahan 
nyerinya. Gala Kuriang berkata dalam 
hati, "Pemuda itu telah melakukan 
kesalahan besar, karena berani memben- 
tur ilmu 'Telapak Darah'. Tentunya dia 
tidak mengetahui kehebatan dan 
kekejaman ilmu itu. Sayang sekali 
kalau pemuda gagah itu harus tewas 
saat ini juga...." 

Gumpalan tanah yang membubung 
tinggi itu perlahan-lahan sirap. Dan 
orang yang berada di sana yang melihat 
ke arah gumpalan tanah itu termasuk 
Iblis Telapak Darah yang telah berdiri 
walau agak sempoyongan, sama-sama 
memandang tegang. Terutama pandangan 
Dua Serangkai Jubah Hijau yang harap- 
harap cemas. Berbeda dengan tatapan 
Iblis Penghancur Raga dan Iblis 
Telapak Darah yang merasa pasti kalau 
pemuda berompi ungu itu telah mati. 

Dan tatkala tanah itu sirap, 
semuanya melengak kaget. Bahkan seruan 
terkejut terdengar dari mulut Iblis 
Penghancur Raga dan Iblis Telapak 
Darah secara bersamaan, 

"Gillaaa!!" 

Sosok pemuda gagah yang kedua 
tangannya sebatas siku bersisik coklat 
itu, tetap berdiri tegak! Bahkan 
tersenyum tanpa kurang suatu apa! 

★ ★ ★ 


RAJA Naga tersenyum, "Aneh! 
Mengapa kau melotot sampai sedemikian 
rupa, hah?! Atau jangan-jangan... 
matamu sebenarnya memang selalu 
melotot karena keseringan mengintip 
nenek-nenek mandi?!" 

Sindiran pemuda itu seolah tak 
terdengar oleh telinga Iblis Peng- 
hancur Raga. Lelaki berjenggot 
dikepang ini masih tertegun, tak 
percaya dengan apa yang dilihatnya. 
Terlebih lagi Iblis Telapak Darah. 
Orang yang tadi melancarkan serangan- 
nya ini pun terdiam tak berkedip. 
Bahkan mulutnya sampai menganga! 

Lain halnya dengan Dua Serangkai 
Jubah Hijau yang begitu melihat sosok 
si pemuda tak kurang suatu apa, 
kegelisahan dan ketegangan mereka 
seketika lenyap. Bahkan keduanya 
seolah melupakan rasa sakit pada dada 
masing-masing, karena terlalu gembira 
melihat pemuda itu masih berdiri 
tegak. 

Raja Naga berseru lagi, "Busyet! 
Kalian Ini kenapa?! Kok pada bengong 
seperti itu?!" 

Iblis Telapak Darah lebih dulu 
sadar dari keterkesimaannya. Tangan 
kanannya menuding ke depan. "Pemuda 
laknat! Siapa kau sebenarnya, hah?!" 

"Tadi kukatakan... namaku Boma 
Paksi! Julukanku Raja Naga!" sahut si 
pemuda sambil tersenyum, tetapi sorot 
matanya tetap angker. 

"Katakan dari mana asalmu?!" 

"Aku berasal dari Lembah Naga!" 

"Apa?!" seru Iblis Telapak Darah 
keras. Dia sampai tersentak mundur dua 
langkah ke belakang mendengar jawaban 
si pemuda. Bahkan dia hampir ter- 
sungkur karena sesungguhnya keseim- 
bangannya belum pulih. 

Demikian pula halnya dengan 
orang-orang yang berada di sana. 
Kepala masing-masing orang tegak, 
tatapan mereka tak berkedip pada si 
pemuda. 

Iblis Penghancur Raga sudah ber- 
seru, tetapi kali ini suaranya tidak 
sedingin tadi, "Kau mengatakan berasal 
dari Lembah Naga! Apa hubunganmu 
dengan Dewa Naga?!" 

"Dia adalah guruku...." 

Kali ini Iblis Penghancur Raga 
yang surutkan langkah dengan wajah 
tegang. Dia melirik Iblis Telapak Da- 
rah yang juga sedang meliriknya. 

"Pantas dia dapat menanggulangi 
ilmu Telapak Darahku," desis Iblis 
Telapak Darah. 

Di pihak lain senyuman Dua 
Serangkai Jubah Hijau semakin 
mengembang. Mereka sama sekaii tak 
menyangka kalau pemuda bersisik coklat 
itu adalah murid dari Dewa Naga. 

"Nasib lagi beruntung," desis Sema 
Kuriang. 

Raja Naga berkata lagi, "Sekarang 
apakah kalian masih mau meneruskan 
urusan Ini?! Silang urusan ini tak 
pantas diteruskan! Sebaiknya kita 
sama-sama membuka tangan untuk saling 
memaafkan dan menghentikan semua ini." 

Tak ada yang menyahuti ucapannya. 
Ketegangan yang memancar dari wajah 
Iblis Penghancur Raga semakin menjadi- 
jadi. Matanya tak berkedip, menyipit 
dalam. Lamat-lamat ketegangannya itu 
mencair, berubah menjadi amarah dan 
rasa tak puas. 

"Aku ingin membuktikan kebenaran 
apakah kau memang murid dari Dewa Naga 
atau kau hanya mengada-ngada!" 

Belum habis bentakannya, lelaki 
berjenggot dikepang ini sudah mene- 
pukkan tangannya bersamaan luncuran 
tubuhnya yang sedemikian cepat. 

Gelombang angin bergemuruh 
dahsyat menggebrak ke arah Raja Naga. 
Yang diserang hanya menjerengkan mata. 
Keangkeran terpancar dalam dari sana. 

Tanpa bergeser dari tempatnya, 
anak muda dari Lembah Naga ini sudah 
mendorong kedua tangannya ke depan. 
Menderu pula gelombang angin yang 
mematahkan gelombang angin dari Iblis 
Penghancur Raga. Menyusul. . . . 

Tap! Tap!! 

Telapak tangan masing-masing
orang bertemu. Menempel kuat hingga 
menimbulkan asap hitam. Iblis Penghan- 
cur Raga menggeram seraya melipat 
gandakan kekuatannya. Tetapi Raja Naga 
tetap kelihatan tenang. 

Bahkan seraya mendehem kecil, dia 
mendorong kedua telapak tangannya. 

Wuusss! 

Kontan Iblis Penghancur Raga 
terpental ke belakang dan terbanting 
kuat di atas tanah setelah menabrak 
pohon yang langsung tumbang. 

"Keparaaatthhh!!" desisnya seraya 
mengangkat kepala dengan muiut menge- 
luarkan darah. Hanya itu yang bisa 
dikatakannya, karena kejap kemudian 
tubuhnya mendadak bergetar hebat. 
Menyusul terdengar letupan kecil 
berkali-kali diiringi keluhan 
tertahan! 

Dua tarikan napas betikut sosok 
Iblis Penghancur Raga tinggal tulang 
belulang saja karena daging yang 
meliputi tubuhnya telah hancur menjadi 
debu. Ilmu 'Penghancur Raga' yang 
dikeluarkannya tadi telah menerpa 
dirinya sendiri. 

Raja Naga menarik napas pendek. 

"Dia terlalu kejam...," desisnya 
pelan. 

Sementara itu dalam keadaan 
terhuyung. Iblis Telapak Darah 
bangkit. Darahnya mendidih. Tatapannya 
sepanas bara api. 

"Pemuda bersisik! Aku akan terus 
mengingat peristiwa ini I Kelak kau 
akan mendapatkan balasannyalI" 

Lalu dengan masih menahan sakit 
dan dendam setinggi gunung merapi, 
lelaki berjubah hitam itu sudah 
berialu. 

Raja Naga hanya memandang keper- 
giannya tanpa berkata apa-apa. Lamat- 
lamat dia mendesis pelan, "Maafkan 
aku...." 

"Anak muda... kuucapkan terima 
kasih atas bantuanmu," terdengar suara 
itu di belakangnya. 

Raja Naga membalikkan tubuhnya. 
Dilihatnya Sema Kuriang sedang 
merangkapkan tangan sambil menahan 
sakit. 

"Paman... jangan banyak bicara 
dulu.... Kau masih terluka. Sebaiknya 
berbaringlah, biar kuobati dulu luka- 
lukamu. Kau juga. Paman...." 

Dua Serangkai Jubah Hijau segera 
melakukan apa yang diperintahkan oleh 
Raja Naga. Setelah diobati luka- 
lukanya, kedua lelaki berpakaian 
kuning dan berjubah hijau itu duduk 
bersemadi sementara Raja Naga 
menunggu. 

"Salah seorang dari mereka tadi 
menyebut julukan mendiang Ayah. Aku 
berharap, mereka mengetahui sesuatu 
yang selama ini sedang kucari.... 
Sebaiknya, kutunggu saja mereka." 

Raja Naga pun menunggu sampai 
keduanya selesai bersemadi. Lalu dia 
bertanya, "Paman... aku telah men- 
dengar julukan kalian tadi. Dua 
Serangka! Jubah Hijau. Tetapi, aku 
belum mengetahui siapakah nama Paman 
berdua?" 

"Namaku Sema Kuriang dan dia 
adalah saudara kembarku Gala Kuriang. 
Anak muda... aku tak menyangsikan lagi 
kalau kau adalah murid Dewa Naga. 
Bagaimanakah kabar beliau?" Raja Naga 
tersenyum. 

"Beliau baik-baik saja. Paman 
Sema Kuriang. 0 ya. Paman... kalau tak 
salah dengar tadi. Paman menyebutkan 
julukan seorang tokoh yang berjuluk 
Pendekar Lontar. Apakah Paman menge- 
nalinya?" 

Sema Kuriang mengangguk. 

"Kami bukan hanya mengenalnya, 
tetapi bersahabat akrab dengannya dan 
istrinya." 

"Tolong ceritakan tentang Pen- 
dekar Lontar dan istrinya. Paman...." 

Sema Kuriang menarik napas pen- 
dek. Lalu meluncur cerita dari 
mulutnya, cerita yang sama seperti 
yang pernah didengar Raja Naga dari 
gurunya. 

"Sampai hari ini, kami tidak tahu 
siapa yang telah menolong kami dua 
belas tahun yang lalu dari maut yang 
akan diturunkan oleh Iblis Penghancur 
Raga dan Iblis Telapak Darah. Lalu 
kami segera pergi ke tempat Dewa 
Segala Obat. Tetapi sayang, kami tak 
menjumpainya. Kami juga Ingat kalau 
Dewa Naga menyuruh agar kami datang ke 
Menara Berkabut. Tetapi cara menyuruh 
Dewa Naga sungguh angin-anginan sesuai 
dengan sifatnya...." 

Gala Kuriang menyambung, "Karena 
gagal menjumpai Dewa Segala Obat, 
akhirnya kami memutuskan untuk tidak 
mendatangi Menara Berkabut, karena 
kami ingin hadir dalam upacara 
pemakaman Pendekar Lontar. Tetapi 
sayang, kami tertahan hujan badai yang 
sangat dahsyat hingga lima hari 
kemudian kami baru tiba di rumah 
kediaman Pendekar Lontar. Tak ada 
siapa pun di sana. Sepi, sepi sekaii. 
Tak ada Dewi Lontar maupun putranya 
yang bernama Boma Paksi. Saat itu kami 
berpikir, kalau Dewi Lontar sudah 
meninggalkan tempat itu bersama 
putranya. Lalu kami pun mencari makam 
Pendekar Lontar. Tetapi yang 
mengejutkan, karena di sana ada dua 
buah makam. Pada batu nisan yang ada 
di masing-masing makam, kami melihat 
nama Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. 
Hal ini sangat mengejutkan kami! 
Bagaimana Dewi Lontar yang segar bugar 
bisa menemui kematiannya? Kami terus 
berpikir tetapi kami tak menemukan 
jawabannya. Sampai kemudian kami ingat 
putra mereka yang bernama Boma Paksi. 
Kami mencoba mencarinya tetapi tak 
pernah menemuinya." 

"Sampai hari ini?" 

"Sampai hari ini!" 

"Paman Gala Kuriang... bagaimana 
kalian bisa berjumpa kembali dengan 
Iblis Penghancur Raga dan Iblis 
Telapak Darah?" 

"Sesungguhnya, selama dua belas 
tahun kami masih mencari kebenaran 
siapakah yang telah Si membunuh 
Pendekar Lontar, juga yang membunuh 
istrinya. Kami juga masih penasaran 
apakah putra mereka masih hidup atau 
tidak. Karena rasa penasaran itulah 
akhirnya kami memutuskan untuk melacak 
kembali semua itu dari awal. Saat itu 
kami memutuskan untuk mencari Dewa 
Segala Obat yang kemungkinan besar 
dapat mengetahui semua rahasia itu. 
Dan di tengah perjalanan kami berjumpa 
dengan Iblis Penghancur Raga dan Iblis 
Telapak Darah yang rupanya tetap 
mendendam. Kami mencoba menghindari 
pertarungan, tetapi gagal karena kedua 
orang itu sudah menerjang. Dan 
kelanjutannya... kau melihat sendiri 
apa yang telah terjadi. Anak muda...." 

Boma Paksi menarik napas panjang. 

"Tak kusangka kalau urusan yang 
kuhadapi ini sedemikian sulit. Bermula 
dari kematian Bandung Sulang yang 
tidak kuketahui siapa pembunuhnya. 
Masih beruntung karena Nenek Konde 
Satu yang sudah menuduhku masih bisa 
menerima ucapanku. Dan sekarang? Ah, 
urusan ini semakin panjang berkem- 
bang . " 

"Anak muda... sebenarnya kau 
hendak ke mana?" tanya Sema Kuriang. 

Boma Paksi tersenyum. Bukan 
menjawab pertanyaan orang, dia malah 
berkata, "Paman Sema Kuriang, tadi 
kalian mengatakan kalau kalian sedang 
mencari putra Pendekar Lontar." 

"Ya... kami akan tetap mencarinya 
sampai kami mengetahui beritanya. 
Apakah dia sudah mati atau masih 
hidup." 

"Dia masih hidup. Paman." 

"Oh! Kau mengenalnya?! Katakan, 
di mana dia berada?!" 

"Aku sangat mengenalnya. Paman. 
Dan saat ini dia berada di sini...." 

Seketika Dua Serangkai Jubah 
Hijau memutar kepala ke sekeliling. 
Mereka membuka mata lebar-lebar untuk 
melihat orang lain yang berada di 
sana. Karena tak melihat siapa pun di 
sana kecuali pemuda dihadapannya, 
masing-masing orang mengarahkan lagi 
pandangannya ke depan. 

Sema Kuriang nampak akan buka 
mulut, tetapi urung dilakukan. Justru 
dipandanginya si pemuda yang memiliki 
tatapan angker itu dengan seksama. 

"Okh!" desisnya kemudian. "Kau... 
kaukah putra Pendekar Lontar dan Dewi 
Lontar?" 

Kepala Boma Paksi mengangguk 
perlahan. 

★ ★ ★ 

"Astaga!" seru Gala Kuriang. 
"Benarkah... benarkah kau putra 
mendiang Pendekar Lontar dan Dewi 
Lontar?" 

"Tak ada yang kudustai, karena 
aku memang tak pandai berdusta...." 

Dua Serangka! Jubah Hijau 
memandang pemuda di hadapannya penuh 
takjub. Dua belas tahun mereka melacak 
jejak putra mendiang Pendekar Lontar 
dan tanpa disangka sekarang bertemu. 
Kalau dulu mereka melihat pemuda itu 
masih bocah, kini sudah menjadi 
seorang pemuda gagah. Bahkan memiliki 
kesaktian tinggi I 

"Boma Paksi... tentunya, Dewa 
Nagalah yang telah menyelamatkanmu, " 
kata Gala Kuriang. 

"Kau benar. Paman. Guru Dewa Naga 
memang yang telah menyelamatkanku. 
Bahkan, dia mendidikku dengan menurun- 
kan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Oya, 
Paman... menurut Guru, pembunuh ayahku 
adalah Hantu Menara Berkabut sementara 
yang membunuh ibuku adalah Dadung 
Bongkok." 

Dua Serangkai Jubah Hijau tak 
menjawab. Sema Kuriang membatin, "Dulu 
ketika masih bocah, dia memiliki sisik 
yang halus yang belum begitu kentara 
pada kedua tangan sebatas siku. Juga 
tatapan mata yang dingin. Sekarang 
sisik-sisik pada kedua tangannya sudah 
jelas kelihatan. Sepasang matanya 
bukan hanya memancarkan sinar dingin, 
tetapi juga keangkeran yang membikin 
ciut hati yang melihatnya. Rasanya... 
sudah tiba saatnya untuk membalas 
kematian Pendekar Lontar dan Dewi 
Lontar 

Gala Kuriang berkata dalam hati, 
"Kesaktian pemuda ini tak disangsikan 
lagi. Dia adalah murid Dewa Naga, 
manusia sakti yang tiada tanding di 
kolong jagat ini." 

"Paman berdua... mengapa kalian 
terdiam?" tanya Raja Naga. Sorot 
matanya tetap memancarkan keangkeran. 
Sema Kuriang menarik napas 
pendek. 

"Rasanya... perjalanan panjang 
yang telah kami lakukan harus segera 
diakhiri. Kami memang bermaksud hendak 
mencari pembunuh Pendekar Lontar dan 
Dewi Lontar. Bahkan kami juga hendak 
mencari Dewa Segala Obat untuk 
menanyakan kejelasan tentang kematian 
Pendekar Lontar. Dan hari ini, 
nampaknya tugas kami sudah 
selesai 

"Apa maksud. Paman?" 

"Boma... Sekarang kami hanya 
ingin memesan kepadamu. Hantu Menara 
Berkabut dan Dadung Bongkok bukanlah 
orang-orang yang bisa dipandang 
sebelah mata. Kesaktian kedua manusia 
itu sangat tinggi. Mungkin, hanya Dewa 
Naga yang dapat menandingi mereka." 

"Aku sudah menduga akan hal itu, 
Paman. Tetapi biar bagaimanapun Juga 
kebenaran harus ditegakkan. Aku men- 
cari mereka bukan untuk menuntut balas 
kematian kedua orangtuaku. Tetapi 
mencoba menyadarkan mereka untuk tidak 
lagi melakukan tindakan yang sama 
kejinya seperti tindakan yang pernah 
mereka lakukan terhadap orangtuaku." 

"Seingatku.... Hantu Menara Ber- 
kabut pernah dikalahkan oleh Pendekar 
Lontar, Pendekar Harum dan Bandung 
Sulang. Nampaknya dia sedang membalas 
kekalahannya dulu. Hingga hari ini, 
yang baru kami ketahui adalah kematian 
ayahmu, Boma. Mungkin pula Hantu 
Menara Berkabut akan menuntut balas 
pada Pendekar Harum dan Bandung 
Sulang." 

"Bandung Sulang?" desis Boma 
Paksi dalam hati. "Kakek yang sempat 
bercakap-cakap denganku sebelum tewas 
bernama Bandung Sulang. Jangan-jangan 
dia tewas dibunuh oleh Hantu Menara 
Berkabut? Sayangnya, aku belum sempat 
mendengar kelanjutan ucapannya...." 

"Paman... tahukah Paman di manakah 
Menara Berkabut berada?"
tanyanya kemudian. 

"Tempat itu merupakan sebuah 
misteri berkepanjangan yang sulit 
terpecahkan. Hanya pemiliknya yang 
mengetahui seluk beluk tempat itu. 
Menara Berkabut merupakan menara kokoh 
berwarna hitam gelap yang selalu 
diliputi kabut tebal. Bila kita tidak 
mengetahuinya kendati kita tahu di 
mana tempatnya, masih memungkinkan 
kita akan tersesat dan terjebak. 
Karena selain kabut tebal yang dapat 
menghalangi pandangan, di sana juga 
terdapat puluhan ular berbisa yang 
sangat ganas. Boma... kau bisa 
meneruskan langkahmu ke arah timur. 
Aku belum pernah datang ke Menara Ber- 
kabut, tetapi aku pernah melihat 
tempatnya bersama Dewa Naga. Tanpa 
dirinya, mungkin aku tak akan bisa 
mengetahui di mana tempat itu." 

"Satu hal yang perlu kau ingat, " 
sambung Gala Kuriang, "Di sekitar 
Menara Berkabut juga terdapat lumpur 
hidup yang bisa menelan apa saja dan 
siapa saja yang jatuh padanya." 

Wajah Boma Paksi agak sedikit 
berubah mendengar apa yang dikatakan 
Dua Serangkai Jubah Hijau. Sesaat 
murid Dewa Naga ini terdiam. Sisik 
pada kedua tangannya sebatas siku 
sedikit agak menyala, pertanda dia 
agak sedikit tegang. 

Tetapi di lain Saat pemuda gagah 
ini sudah berkata, "Paman... bahaya 
apa pun yang akan kuhadapi aku tak 
peduli. Aku harus berhasil menemukan 
Hantu Menara Berkabut dan Dadung 
Bongkok. Aku ingin melihat rupa orang- 
orang yang telah membunuh kedua 
orangtuaku 

"Kegagahan yang dimilikinya itu 
tentu diwarisi dari mendiang Pendekar 
Lontar...," desis Sema Kuriang dalam 
hati. Lalu berkata, "Kalau begitu... 
tugas kami sudah selesai. Dan tiba 
saatnya kami untuk kembali ke tempat 
asal." 

"Dari manakah Paman berdua 
berasal?" "Kami berasal dari sebuah 
dusun sunyi yang jauh dari keramaian. 
Berada di antara dua buah gunung yang 
menjulang tinggi. Mungkin kami akan 
berdiam di sana untuk menghabiskan 
usia...," sahut Gala Kuriang. "Boma... 
bila kau senggang, mampirlah ke tempai 
kami." 

Boma Paksi menganggukkan 
kepalanya. 

"Semoga Paman berdua akan selalu 
baik-baik saja dan dipanjangkan 
umur 

"Kami turut pula mendoakan agar 
kau berhasil menjalankan tugasmu...." 

"Kalau begitu, aku akan segera 
melanjutkan perjalanan. Paman...." 
kata Boma Paksi sambil merengkapkan 
kedua tangannya. Setelah itu dia mulai 
melangkah dengan gagah diikuti oleh 
pandangan Dua Serangkai Jubah Hijau 
yang beberapa saat kemudian melengak. 

Karena sosok pemuda bermata 
angker itu telah lenyap dari 
pandangan! 

"Hebat!" Sema Kuriang berkata 
sambil menggeleng-gelengkan kepala. 

"Aku yakin... tak lama lagi 
julukan Raja Naga akan menggegerkan 
rimba persilatan. Sema Kuriang, 
seperti yang pernah kita rencanakan, 
sebaiknya kita memang kembali ke 
tempat asal. Aku sudah rindu dengan 
tanah kelahiran kita...." 

Saudara kembarnya mengangguk. 
Lalu keduanya sama-sama mening- 
galkan tempat itu. Walaupun tenang 
tetapi keduanya juga sedikit 
mencemaskan apa yang akan dialami oleh 
Raja Naga. 

★ ★ ★ 


DUA hari telah berlalu kembali, 
seperti angin yang terus bertiup, 
waktu pun terus bergerak pelan-pelan 
dan kemudian bertambah cepat tanpa 
dapat dirasakan kembali. Terkadang 
hanya tinggal penyesalan dalam bagi 
orang yang merasa telah dikalahkan 
sang Waktu. 

Saat ini siang meranggas panas. 
Sinar matahari seolah mengamuk hendak 
mengkeringhitamkan seisi bumi. Kering 
kerontang melanda beberapa tempat. 

Akan tetapi di balik sinar terik 
matahari yang menyengat bumi ada 
sebuah tempat yang tetap gulita. 
Tempat yang agak terpencil dan sukar 
dilihat oleh mata karena tertutup 
gumpalan kabut yang sangat tebal. Di 
sekeliling tempat itu dipenuhi lumpur- 
lumpur yang kelihatan tenang padahal 
mematikan. Ular-ular berbisa dari 
berbagai jenis berkeliaran di seke- 
liling tempat itu. 

Dari kengerian yang nampak adalah 
kabut-kabut tebal itu yang seperti tak 
mau beranjak kendati saat ini angin 
berhembus kencang. Di balik kabut 
tebal itu berdiri sebuah bangunan yang 
menjulang tinggi, bangunan kokoh yang 
tertutup oleh gumpalan kabut hitam. 
Bukan hanya kabut-kabut hitam itu yang 
tak bergeming sedikit pun dihembus 
angin, menara tinggi itu seharusnya 
pun agak bergetar. Tetapi kekokohannya 
sungguh luar biasa. 

Di bagian teratas dari bangunan 
berbentuk menara itu terdapat sebuah 
ruangan yang cukup besar. Di ruangan 
itulah tiga sosok tubuh sedang duduk 
mengadakan suatu pertemuan. 

Orang yang duduk di atas sebuah 

batu altar yang menghadap dua orang 
lainnya yang duduk di batu altar pula, 
memandang kedua tamunya tak berkedip. 
Orang ini berkepala bulat dengan 
rambut panjang warna putih, beriap 
hingga tergerai acak-acakan sampai 
punggungnya. Tubuhnya agak sedikit 
bongkok dan kurus. Sepasang matanya 
tajam laksana sambaran mata elang. 
Wajahnya yang dilapisi kulit tipis, 
dihiasi dengan cambang yang turun 
hingga dagu. Kakek yang pada tangannya 
terdapat geiang warna hitam ini, 
mengenakan pakaian panjang dan jubah 
berwarna jingga. 

Di hadapannya, di sebelah kanan- 
nya, duduk seorang perempuan tua 
kontet berkulit hitam legam. Semakin 
kelam karena pakaian yang dikenakannya 
pun berwarna hitam, panjang hingga ke 
mata kaki. Dan terbelah hingga balas 
dengkul. Memperlihatkan sepasang kaki 
hitam yang keriput. Kepalanya bulat 
dengan rambut panjang acak-acakan 
hingga pinggul. Hidungnya juga bulat 
dengan bibir lebar tanpa gigi. Yang 
mengerikan dari sosoknya adalah 
sepasang bola matanya, yang menyala- 
nyala merah. 

Di samping perempuan kontet ini, 
duduk seorang kakek bongkok dengan 
rambut putih panjang. Sepasang matanya 
dalam dan tajam. Kumis dan jenggotnya 
seperti terpintal bersatu. Mengenakan 
pakaian hitam penuh tambalan. Tangan 
kiri si kakek pertampang angker ini 
kutung. 

Masing-masing orang tak ada yang 
buka mulut. Dari sikap mereka, jelas 
kalau pertemuan belum dimulai. 

Kakek berjubah jingga yang bukan 
lain Hantu Menara Berkabut memandang 
pada kakek yang tangan kirinya kutung. 

"Dadung Bongkok! Seingatku kau 
memiliki dua tangan yang utuh! Tapi 
sekarang, kau hadir hanya dengan satu 
tangan! Juga, di manakah senjatamu 
yang cukup terkenal itu?!" 

Kakek yang kumis dan jenggotnya 
terpintal menjadi satu mengangkat 
kepala. Kepalanya agak condong ke 
depan karena tubuhnya bongkok. 

"Hantu Menara Berkabut... dua 
belas tahun lalu kualami kesialan 
tiada banding! Kesialan yang telah 
memupuk dendamku setinggi langit! Dewi 
Lontar yang menyebabkan tangan kiriku 
kutung seperti ini! Dia juga yang 
telah menghancurkan senjataku!!" 

"Kabar telah kudengar, tetapi tak 
sampai sedemikian parah! Ratu Sejuta 
Setan! Bagaimana kabar Tanah 
Terbuang?!" 

Perempuan tua kontet berkulit 
hitam legam mengangkat kepala. 

"Tanah Terbuang tetap merupakan 
tempat terpencil, tempat yang akan 
kujadikan sebagai kuburan Dewi Lontar! 
Tetapi dasar sial! Dadung Bongkok 
telah menggagalkan seluruh rencanaku! 
Bahkan dia telah membunuh Dewi Lontar 
terlebih dulu!" 

Sambil mengucapkan kata-kata 
terakhir, sepasang mata Ratu Sejuta 
Setan melirik tajam pada Dadung 
Bongkok. Yang ditatap membalas penuh 
amarah! 

"Aku tahu kau menghendaki gum- 
palan daun lontar milik mendiang 
Pendekar Lontar! Tetapi bukan hanya 
kau saja yang menginginkan pusaka itu! 
Mungkin pula bukan hanya aku seorang 
yang akan jadi pesaing! Masih banyak 
lagi yang bertebaran dan menginginkan 
pusaka itu!" 

"Dadung Bongkok! Selama ini kau 
kuanggap sebagai teman sejalan yang 
dapat saling bantu! Tapi nyatanya kau 
menohok dari belakang!" 

"Seharusnya kau bersyukur hingga 
kau tak perlu susah payah membunuh 
Dewi Lontar yang bisa jadi akan 
mengalahkanmu! Mungkin akan membuatmu 
terkapar dua belas tahun yang lalu!" 

"Setan bongkok! Kutampar mulutmu 
sampai robek!" 

Dadung Bongkok hanya memperlihat- 
kan tatapan sinis. 

"Dan kau tak mampu melakukan apa- 
apa di hadapan Dewa Tombak!" ejeknya. 

Ratu Sejuta Setan menahan gejolak 
amarah dalam dadanya. Sepasang 
rahangnya mengembung karena menahan 
napas. Bersamaan dia menghembuskannya 
dengan cara menyentak, mulutnya 
bicara, "Kakek buntal itu akan mampus 
di tanganku sepergi dari tempat ini!" 

"Bicara boleh tinggi tapi 
kenyataannya masih merayap di tanah!" 

"Setan! Tutup mulutmu!!" hardik 
Ratu Sejuta Setan menggelegar. 

Dadung Bongkok kontan menegakkan 
kepala, tetapi punggungnya tetap 
menjorok ke belakang. 

"Perempuan tua kontet! Kau telah 
membuka urusan di hadapanku sekarang! 
Berarti kau akan mampus di tanganku!" 

Sebelum Ratu Sejuta Setan 
berseru. Hantu Menara Berkabut sudah 
mendahului, "Tak perlu bertengkar! 
Kita adalah sesama Tiga tokoh kelas 
tinggi yang sudah tentu harus saling 
bantu!" 

Kata-kata kakek berjubah jingga 
itu membuat keduanya terdiam. Kendati 
demikian mata mereka tetap saling 
menatap penuh amarah. 

Hantu Menara Berkabut berkata 
lagi, "Seperti yang kalian ketahui, 
akulah yang telah membunuh Pendekar 
Lontar! Dan dari kematiannya telah 
kalian coba untuk mengambil kesempatan 
guna merebut pusaka Pendekar Lontar!" 
Hantu Menara Berkabut melihat wajah 
keduanya memerah. Dia melanjutkan, 
"Tapi aku tak peduli apa pun yang 
kalian kehendaki! Yang pasti, dendamku 
pada Pendekar Lontar telah terbayar! 
Dan sesuai dengan rencanaku aku memang 
tak membunuh Dewi Lontar! Aku sengaja 
menyiksanya agar dia terbawa dalam 
arus kesedihan sepanjang hari! Dan 
belum lama ini aku juga telah 
menamatkan riwayat Pendekar Harum dan 
Bandung Sulang! Dua manusia keparat 
yang juga pernah mengalahkanku dulu 
kini telah menjadi makanan cacing 
tanah!" 

Kata-kata Hantu Menara Berkabut 
membuat dua pasang mata di hadapannya 
terbuka lebih lebar. 

Hantu Menara Berkabut melan- 
jutkan, "Dadung Bongkok! Dewi Lontar 
telah kau bunuh! Dan menurut kabar 
yang kudengar kau juga hampir berhasil 
mendapatkan pusaka Pendekar Lontar! 
Tetapi mengapa kau kemudian sampai 
gagal?" 

Mendengar pertanyaan itu wajah 
Dadung Bongkok diliputi kegeraman 
dalam. Untuk beberapa lama kakek 
bongkok ini tak berkata apa-apa. 

Ratu Sejuta Setan membentak, 
"Keparat! Apakah telingamu sudah 
menjadi tuli hingga tak mendengar 
pertanyaan orang?!" 

Dadung Bongkok tak meladeni 
bentakan itu. Ditekan napasnya lalu 
dihembuskan pelan-pelan. 

"Sesuatu yang tak kusangka terjadi.
Dewa Naga muncul dan 
menggagalkan rencanaku!" 

Sementara wajah Ratu Sejuta Setan 
melengak, Hantu Menara Berkabut 
terdiam dengan pandangan menyipit. 

"Dewa Naga! Rupanya dia juga ikut 
campur dalam urusan ini!" desisnya 
dingin. 

"Bila Dewa Naga tidak muncul saat 
itu, aku bukan hanya telah mendapatkan 
pusaka Pendekar Lontar! Tetapi juga 
telah menghabisi keturunan Pendekar 
Lontar!" 

Hantu Menara Berkabut menjereng- 
kan matanya. "Inilah yang kutunggu- 
tunggu. Kendati tak kuhiraukan kutukan 
Bandung Sulang, tetapi aku masih 
diliputi rasa penasaran tentang putra 
Pendekar Lontar. Dan nampaknya manusia 
bongkok ini mengetahui tentang bocah 
itu yang bila masih hidup tentunya dia 
telah berusia sekitar tujuh belas 
tahun." 

Lalu dengan sikap tenang dan 
seolah tak mempedulikan segala sesu- 
atunya, kakek bercambang hingga dagu 
ini berkata, "Apakah Dewa Naga telah 
menyelamatkan putra Pendekar Lontar?!" 

"Ya! Kakek keparat itulah yang 
menyelamatkannya! Dan dia umbar 
ancaman padaku untuk menunggu dan 
menerima balasan atas perbuatanku dua 
belas tahun mendatang. Tapi... huh! 
Sampai saat ini aku belum melihat atau 
mendengar kemunculan putra Pendekar 
Lontar! Dan aku yakin kalau bocah itu 
sebenarnya sudah mampus?!" 

"Bagaimana bila ternyata masih 
hidup?" tanya Ratu Sejuta Setan. 
"Kemungkinannya dia akan menjadi murid 
Dewa Naga! Seperti yang dikatakan oleh 
Dewa Naga, tentunya ancaman yang 
dilakukannya akan dijalankan oleh 
putra Pendekar Lontar yang tentunya 
akan diangkat menjadi muridnya!" 

Dadung Bongkok mendengus. Dia 
menangkap nada melecehkan darj kata- 
kata Ratu Sejuta Setan. Makanya dia 
berkata, "Siapa pun yang akan muncul 
di hadapanku, aku tak peduli! Aku 
telah siap untuk menyambutnya! Dan 
saat ini telah kukirim murid tunggalku 
untuk menyelidiki Dewa Naga!" 

"Kau hanya memberi jalan bagi 
muridmu untuk menuju ke sebuah musibah 
yang tak pernah dibayangkannya!" 

"Jangan menganggap sepele! Dengan 
ucapanmu aku menangkap kau justru 
melecehkanku! Apakah kau pikir aku tak 
mampu mendidik murid tunggalku itu? 
Ratu Sejuta Setan! Bila muridku telah 
muncul, akan kusuruh dia menyerangmu! 
Ingin kuiihat apakah kau mampu 
menghadapinya sampai dua puluh lima 
jurus!" 

Wajah kelam perempuan tua kontet 
itu semakin menghitam. Asap putih 
nampak sedikit mengepul di atas 
kepalanya, pertanda amarah sudah 
merasuk dalam dirinya. 

Tetapi dia tidak-berkata apa-apa 
karena Hantu Menara Berkabut telah 
berkata, "Berarti kalian akan mengha- 
dapi momok yang cukup angker! Murid 
Dewa Naga akan muncul mencari kalian! 
Terutama kau, Dadung Bongkok!" 

"Hantu Menara Berkabut! Tadi 
kukatakan aku telah siap untuk 
menyambut kedatangannya!" sahut Dadung 
Bongkok dingin. Diam-diam dia 
melanjutkan dalam hati, "Dan bukan 
hanya aku saja yang sedang dicari oleh 
putra Pendekar Lontar bila memang dia 
masih hidup! Kau pun akan dicarinya 
pula karena kaulah yang telah membunuh 
ayahnya!" 

Ratu Sejuta Setan yang memandangi 
Hantu Menara Berkabut diam-diam 
berkata dalam hati, "Tak seharusnya 
Hantu Menara Berkabut menanyakan 
tentang putra Pendekar Lontar! Dan 
kalaupun dia bertanya seperti itu, 
tentunya ada sesuatu yang telah 
membuatnya kecut! Mungkin pula dia 
merasa kalau dirinya akan menjadi 
sasaran dari putra Pendekar Lontar!" 

Berkata Hantu Menara Berkabut, 
"Telah kudengar kabar kalau putra 
Pendekar Lontar memiliki sisik coklat 
halus pada kedua tangannya sebatas 
siku! Kalau dia memang masih hidup 
sekarang, sudah tentu sisik-sisik 
halus berwarna coklat itu akan semakin 
jelas! Berarti tak sulit menentukan 
siapa orangnya jika kelak kita 
berjumpa! Apakah kau punya pikiran 
untuk menjaga keselamatanmu, Dadung 
Bongkok?!" 

"Sejak dulu aku sudah siap 
menghadapi apa pun! Keselamatan diriku 
kujaga di atas segala-galanya! Aku 
telah canangkan niat untuk 
mendahuluinya! Aku akan memburunya 
sebelum dia memburuku!!" sahut Dadung 
Bongkok ketus. 

"Ratu Sejuta Setan... apa yang 
akan kau laku-kan?!" 

"Aku tak punya urusan lain 
kecuali menginginkan pusaka Pendekar 
Lontar! Bila memang putranya itu masih 
hidup, aku akan memburunya! Selain 
membunuhnya, aku akan merebut pusaka 
Pendekar Lontar!" sahut Ratu Sejuta 
Setan. Lalu melirik Dadung Bongkok 
tajam-tajam, "Bila ada orang lain yang 
menginginkan benda itu, jangan 
berharap dia dapat melihat matahari 
lebih lama!" 

Dadung Bongkok sadar kalau kata- 
kata ketus itu ditujukan kepadanya. 
Dia segera melotot gusar. Diam-diam 
telapak tangannya ditempelkan pada 
lantai. Dialirkan tenaga dalamnya yang 
melesat halus ke arah Ratu Sejuta 
Setan. 

Perempuan tua kontet itu 
merasakan adanya desiran angin yang 
melesat di bawahnya. Tetapi dia tidak 
berbuat apa-apa, bahkan berkata pada 
Hantu Menara Berkabut, "Bila kau 
berkenan mengatakan, apakah rencanamu 
selanjutnya?!" 

Hantu Menara Berkabut juga tahu 
kalau Dadung Bongkok lancarkan 
serangan diam-diam pada Ratu Sejuta 
Setan. 

"Hemmm... kakek bongkok itu 
memandang sebelah mata pada perempuan 
tua kontet itu. Kendati Ratu Sejuta 
Setan kelihatan tenang-tenang saja 
tetapi dia telah mengalirkan tenaga 
dalamnya melalui pinggulnya. Sebentar 
lagi akan terjadi bentrok...." 

Baru saja habis kata batin Hantu 
Menara Berkabut mendadak saja terlihat 
lantai sejarak duduknya Ratu Sejuta 
Setan dan Dadung Bongkok bergetar. 
Lalu berderak! 

Tak ada letupan yang keluar 
akibat benturan tenaga dalam Dadung 
Bongkok dengan Ratu Sejuta Setan. 
Tetapi masing-masing orang terlihat 
justru terdiam sekarang. Tangan kanan 
Dadung Bongkok semakin kuat menekan 
lantai, begitu pula dengan Ratu Sejuta 
Setan yang pinggulnya kuat menempel 
pada lantai. 

Hantu Menara Berkabut mendengus 
sekarang. 

Mendadak dijentikkan tangannya ke 
tengah-tengah, tepat di antara Dadung 
Bongkok dan Ratu Sejuta Setan duduk. 

Trikkk!! 

Pyaaarrr!! 

Letupan kecil terjadi namun 
akibatnya baik Dadung Bongkok maupun 
Ratu Sejuta Setan sama-sama terlempar 
ke samping. 

"Tak perlu perpanjang urusan yang 
tak harus kita lakukan! Bila kalian 
masih keras kepala, akulah yang akan 
menghabisi kalian sekarang juga!!" 
dingin suara Hantu Menara Berkabut. 

Baik Dadung Bongkok maupun Ratu 
Sejuta Setan tak ada yang bersuara. 
Kendati demikian keduanya sama-sama 
saling pandang penuh dendam. 

"Tak lama lagi malam akan datang! 
Sekarang juga kalian tinggalkan Menara 
Berkabut! Bunuh putra Pendekar Lontar 
bila memang dia masih hidup!" 

Kali ini kedua orang yang duduk 
di hadapannya sama-sama merangkapkan 
kedua tangannya di depan dada. 

"Mulai hari ini, aku akan 
menuruti apa yang kau katakan, " kata 
Ratu Sejuta Setan. 

"Hantu Menara Berkabut... apa pun 
yang terjadi, semuanya akan kupikul 
sendiri di bawah pantauanmu!" kata 
Dadung Bongkok. 

"Bagus! Tinggalkan tempat ini 
sekarang juga!" 

Lalu tanpa ada yang bersuara, 
masing-masing orang melangkah ke 
belakang. Masuk melewati sebuah pintu 
dan menuruni undakan tangga yang 
berputar. Jumlah tangga itu cukup 
banyak tetapi keduanya dapat menuruni 
dalam waktu yang cukup singkat. 

Tangga yang berputar ke bawah itu 
terus sampai ke bawah tanah, berada di 
bawah bangunan Menara Berkabut. 
Setelah itu masing-masing orang 
melangkah melewati jalan yang cukup 
sempit dan harus agak menunduk. Bau 
lumut menusuk penciuman. 

Tak berapa lama kemudian keduanya 
sudah keluar dari balik ranggasan 
semak, dan segera menghirup udara 
segar dalam-dalam. Lalu sama-sama 
memandangi Menara Berkabut yang tak 
nampak sama sekail karena kabut tebal 
yang melindunginya. 

"Jalan rahasia ini tak ada yang 
mengetahui kecuali kita bertiga," kata 
Ratu Sejuta Setan. "Itu pun 
dikarenakan kita diberitahu oleh 
pemilik Menara Berkabut!" 

"Ratu Sejuta Setan... aku tak 
lagi menginginkan pusaka Pendekar 
Lontar! Jadi kau bebas mendapatkannya 
tanpa ada persaingan dariku! Tetapi 
aku menginginkan nyawa putra Pendekar 
Lontar bila memang dia masih hidup. 
Kau tahu siapa nama pemuda itu?" 

Ratu Sejuta Setan memalingkan 
kepalanya ke kanan. Lama dipandanginya 
Dadung Bongkok sebelum menggeleng. 

"Aku tak ingat lagi siapa 
namanya! Kita berpencar sekarang untuk 
mencari tahu tentang putra Pendekar 
Lontar!" 

"Aku pun akan mencari muridku! 
Barangkali dia sudah menemukan jejak 
Dewa Naga! Karena... selama ini tak 
seorang pun yang mengetahui di mana 
Lembah Naga berada!" 

Masing-masing orang saling tatap 
sebelum kemudian menempuh jalan yang 
berbeda. Apa yang terjadi di Menara 
Berkabut sebelumnya dan tindakan yang 
dilakukan Hantu Menara Berkabut, telah 
membuka mata masing-masing untuk 
saling membantu. Karena secara tak 
langsung Hantu Menara Berkabut telah 
melepaskan ancaman dari ucapannya. 

★ ★ ★ 


SUNGAI berair jernih itu mengalir 
agak sedikit bergemuruh. Beberapa 
helai dedaunan pepohonan yang menjulai 
ke tengah sungai gugur dan terbawa 
oleh arus sungai. Agak ke tengah sana 
batu-batu menyembul keluar. 

Mendadak.... 

Byuuurrr! 

Sebuah kepala muncul dari dalam 
air, lalu digerak-gerakkan hingga 
butiran air yang menempel pada wajah 
jelita dan rambut indahnya bermun- 
cratan. Kemudian gadis jelita 
berhidung mancung itu kembali menye- 
lam, berenang-renang kesana kemari. 
Lalu muncul kembali wajahnya. Kembali 
pula digerak-gerakkan hingga butiran 
air berloncatan. 

Mendadak gadis berambut indah 
tergerai yang sekarang basah itu 
menoleh ke kanan. Pandangannya tajam 
pada semak belukar yang tak jauh dari 
tempatnya. 

"Keparat! Siapa orang lancang 
yang berani mengintipku itu?!" makinya 
dalam hati. Lalu perlahan-lahan dia 
berenang ke tepian, ke balik ranggasan 
semak lainnya, di mana sebelumnya 
diletakkan pakaiannya dengan pandangan 
bersiaga. 

Namun belum lagi dia tiba di 
tempat yang dituju, mendadak sebuah 
benda berwarna putih jatuh di atas 
rumput yang tak jauh darinya. 

"Setan laknat!" maki si gadis 
begitu mengenali benda yang ternyata 
pakaiannya itu. "Akan kuhajar orang 
yang berani berbuat lancang seperti 
ini! Tapi dalam keadaan telanjang 
bulat seperti sekarang, sulit bagiku 
untuk melakukan serangan!" 

Gadis jelita yang ternyata Diah 
Harum alias Dewi Bunga Mawar itu hanya 
bisa merutuk panjang pendek. Dia 
memang bisa melesat dari dalam air 
untuk menyambar pakaiannya, tetapi 
sudah tentu bagian-bagian tubuhnya 
akan terlihat oleh si pengintip yang 
berada di balik ranggasan semak 
sebelah kanan. Dan kalau dia tidak 
segera mengambil pakaiannya, 
kemungkinan besar si pengintip akan 
melakukan tindakan yang tak 
menyenangkan. Dalam keadaan polos 
seperti itu, sudah tentu Diah Harum 
akan kelabakan bila si pengintip ke- 
luar untuk melihatnya lebih dekat. 

Hal itu pun terjadi! 

Dua sosok tubuh muncul dari balik 
ranggasan semak sambil tertawa-tawa. 
Yang memiliki wajah tirus dengan 
pakaian hitam terbuka di bagian dada 
sudah ber-seru, "Renggana! Hidungmu 
sungguh tajam untuk mencium bau sedap 
dari tubuh seorang perawan!" 

Yang dipanggil Renggana menoleh. 
Dia seorang laki-laki bermata besar 
dengan bibir tebal dan codet di pipi 
kirinya. Tepian matanya bersinar 
menggiriskan. Sebilah kapak lebar 
tergenggam pada tangan kanannya. 

"Ki Lodan, Aku sangat hafal 
dengan bau sedap dari tubuh perawan! 
Karena sebelum mengikutimu tak pernah 
kulewatkan sehari pun untuk menikmati 
kehangatan tubuh seorang perawan!" 

Ki Lodan tertawa lagi. Tubuhnya 
agak ringkih, kurus dengan kedua 
tangan yang agak panjang. 

"Dan perawan itu kini sudah 
berada di hadapanmu! Berarti kau tidak 
hendak melewatkan kesempatan ini I" 

"Sudah tentu ya! Apakah kau juga 
akan turut ambil bagian?!" 

"Renggana, Renggana... aku sudah 
tua walaupun gairahku tak kalah dengan 
apa yang kau miliki! Sewaktu muda aku 
pun banyak mengumbar seluruh nafsuku 
pada siapa saja! Karena itu adalah 
sebuah pekerjaan penuh nikmat tiada 
tara! Tapi sekarang ini, biarlah kau 
yang menikmati perjalanan kehikmatan 
sementara aku akan menyaksikan saja!" 

"Gairahku akan semakin bertambah 
bila kuketahui akulah yang akan 
menikmati keindahan ini!" 

Di dalam air di mana hanya 
kepalanya yang muncul, Diah Halum 
menggeram dingin, "Keparat! Tentunya 
salah seorang dari mereka yang telah 
mengambi! pakaianku dan sengaja 
melemparkannya! Semata untuk memper- 
mainkanku! Jahanam terkutuk! Bila saja 
aku sudah berpakaian, siapa pun 
keduanya akan kugebrak sampai mampus!" 

Habis membatin Diah Harum 
membentak sengit, "Manusia-manusia 
terkutuk! Kalian telah melakukan 
kesalahan karena berani lancang 
mempermainkanku! Kemarikan pakaianku 
itu! Kita akan bergebrak sampai kalian 
mampus kubunuh!" 

Bentakan si gadis hanya disambut 
tawa oleh Ki Lodan dan Renggana. 

Ki Lodan buka suara, "Perjalanan 
menuju ke Menara Berkabut masih tiga 
hari lagi! Dan membuang waktu sedikit 
untuk memberimu kesempatan rasanya tak 
ada yang perlu disesali! Renggana, 
apakah kau akan diam saja?! Apakah 
matamu buta tidak melihat indahnya dua 
gundukan bukit yang membayang pada air 
itu?!" 

Sementara lelaki tinggi besar 
bersenjatakan kapak lebar itu ter- 
bahak-bahak hingga bahunya berguncang, 
Diah Harum dengan perasaan marah 
menurunkan lagi kedudukannya di dalam 
air. 

"Setan keparat!" geramnya dengan 
pancaran mata diamuk kemarahan. 
"Mengapa aku tidak memperhitungkan 
akan kemunculan kedua manusia keparat 
ini?!" 

Renggana buka suara, "Ki Lodan! 
Kau bukan hanya akan melihat dua 
gundukan indah pada dadanya, tetapi... 
hahaha... kau akan melihat 
pemandanganyang benar-benar luar 
biasa! Dari sini saja tubuhnya sudah 
menjanjikan kenikmatan tiada tara!" 

Habis ucapannya, Renggana 
melangkah ke depan. Di dalam air Diah 
Harum mundur ke belakang. 

"Manis... mengapa kau menjadi 
panik seperti itu? Bukankah tadi kau 
hendak bergebrak denganku? Ayo, 
muncullah! Kalau kau bisa ambillah 
pakaianmu! Tetapi bila kau tidak bisa 
berarti bagiankulah yang akan segera 
kuperlihatkan!" 

"Manusia keparat! Lemparkan 
pakaian itu ke sini!!" 

"Mengapa kau tidak muncul saja? 
Aku biasa melihat! keindahan yang 
terpampang sebelum merasakan keindahan 
itu! Ayo, ayo! Kau basuhlah kedua 
mataku ini dengan keindahan yang ada 
pada dirimu" 

Sebagai jawaban, Diah Harum 
menggerakkan tangan kanannya ke depan. 
Air memercik ke atas saat tangan 
kanannya dikibaskan. Menyusul mengham- 
par gelombang angin berkekuatan tinggi 
ke arah Renggana. 

Yang diserang sedikit terkejut, 
tetapi hanya dengan memiringkan tubuh 
ke kiri gelombang angin itu telah 
luput dari sasarannya dan menghajar 
sebatang pohon yang dedaunannya 
berguguran laksana hujan. 

"Hebat! Aku menyukai gadis yang 
agak keras kepala" serunya sambil 
tertawa kembali. 

Lalu dia melangkah ke tepian 
sungai, diperhatikannya Diah Harum 
yang nampak sudah semakin panik. Dalam 
keadaan tidak berpakaian seperti itu, 
sudah barang tentu dia tak akan mampu 
melakukan tindakan apa-apa. 

Mendadak dilihatnya lelaki tinggi 
besar itu mengayunkan kapak lebarnya 
ke dalam air. 

Pyaaaarrr!! 

Air itu muncrat ke udara. Kejap 
berikutnya telah disusul dengan 
muncratan yang lebih banyak, dan 
seperti membelah ke tepian satunya 
lagi. 

"Heiiii!!" 

Diah Harum tersentak kaget dan 
tanpa sadar dia melompat agak menjauh. 

Kontan Ki Lodan terbahak-bahak. 

"Kau memang pandai membuat sebuah 
permainan menyenangkan, Renggana! 
Apakah kau tidak melihat benda bulat 
indah yang ujungnya terdapat bulatan 
coklat menggiurkan tadi?! Fiuh I 
Bergoyang indah menantang! Sayang... 
sayang aku tidak melihat benda lainnya 
yang sangat ingin kuiihat karena 
loncatannya terlalu rendah!" 

"Kau sendiri rupanya tidak saba- 
ran, Ki Lodan! Sekarang kau akan 
melihatnya!" 

Kemudian Renggana mengangkat 
kapak lebarnya lagi dan siap diayun- 
kan. Tetapi sekarang urung karena 
dengan penuh kemarahan Diah Harum 
sudah mendorong tangan kanan kirinya. 

Wuuusss! Wuuusss!! 

Renggana segera menggerakkan 
kapak lebarnya ke samping. 

Blaarr! Blaaarrr!! 

Dua gelombang angin itu putus 
terhantam ayunan kapak lebarnya tetapi 
tubuhnya sendiri harus terdorong 
beberapa langkah. 

"Perawan kurang ajar!!" makinya 
dengan tubuh bergetar. Matanya melebar 
seperti. siap melahap bulat-bulat 
tubuh yang masih terendam di air itu. 

Menyusul digerakkan kapak lebar- 
nya di atas kepala. Suara dengungan 
terdengar berdenging-denging, memekak- 
kan telinga. Menyusul terjadinya ge- 
lombang angin memutar yang membuat 
ranggasan semak dan dedaunan di 
sekitar sana berguguran. Kejap 
berikutnya, disentakkan kapak lebarnya 
kuat-kuat ke arah Diah Harum! 

Wrrrrrrr!!! 

Gelombang angin dahsyat menderu 
ke arah Diah Harum. Gadis jelita itu 
memekik tertahan. Tak mau tubuhnya 
terhantam gelombang angin itu dia 
segera menyelam dan berenang tergesa 
agak menjauh. 

Byuurrrr!! 

Air yang terkena hantaman 
gelombang angin yang meluncur dari 
kapak besar Renggana muncrat setinggi 
dua tombak. 

"Wah! Kau gagal, Renggana! Gadis 
itu lebih cerdik! Dia tidak melompat 
seperti tadi malah berenang! Kau 
gagal! Ayo, sekali iagi kau paksa 
gadis itu untuk melompat!!" 

Kata-kata Ki Lodan membuat 
Renggana menjadi panas. Dilakukan lagi 
hal yang sama yang membuat Diah Harum 
harus berusaha untuk menghindar. Gadis 
ini memiliki sifat yang keras rupanya. 
Dia tetap tak mau melompat lagi 
kecuali tergesa-gesa berenang menjauh 
untuk menghindari gelombang angin yang 
menderu ke arahnya. 

"Kau gagal, Renggana! Gagali!" 

"Keparat!!" maki'Renggana keras. 
Sepasang matanya yang bersinar 
menggiriskan tak berkedip pada Diah 
Harum yang sedang mengatur napas. 
Tetapi mendadak saja lelaki tinggi 
besar itu kemudian terbahak-bahak. 
"Sekarang kau akan kena batunya...." 

Lalu orang ini melangkah masuk ke 
dalam sungai. 

Paras Diah Harum menegang. 

"Celaka! Celaka aku sekarang! Tak 
mungkin aku bisa menghadapinya dalam 
keadaan seperti ini!" 

"Ayo, kau perlihatkan apa yang 
kau miliki itu. Manis! Agar Ki Lodan 
gembira di pagi ini! ! " seringai Reng- 
gana sambil terus mendekat. 

"Terkutuk! Berikan pakaianku! Kau 
akan kuhajar! !" seru Dewi Bunga Mawar 
sambil beringsut mundur. Dia tetap 
berusaha untuk tidak keluarkan anggota 
tubuhnya yang lain dari dalam air 
kecuali sebatas leher. 

Renggana hanya tertawa sebagai 
sahutan. Dia terus mendekati Diah 
Harum. Yang didekati semakin panik. 
Wajah jeiitanya mulai diliputi 
ketegangan dalam. 

Dan tanpa setahunya, Renggana 
mengirimkan serangan melalui kedua 
kakinya yang berada di dalam air. Diah 
Harum masih terus beringsut mundur 
diiringi teriakan-teriakannya. Ketika 
dirasakan ada hawa yang menderu ke 
arahnya, cepat gadis ini bergerak ke 
samping kanan! 

PyaaarrrI! 

Air sungai itu terangkat naik dan 
muncrat ke udara. 

"Hebat!" desis Renggana kagum 
bercampur marah. Kejap berikutnya dia 
sudah bergerak begitu cepat membuat 
Diah Harum merasa terkepung. Gadis 
jelita itu masih berusaha untuk 
menghindar bahkan melancarkan sera- 
ngannya. Tetapi karena tak berpakaian, 
apa yang dilakukan hanyalah sebuah 
kesia-siaan belaka. 

Bahkan... tap! 

Tangan kanannya telah, tergenggam 
tangan kiri Renggana dan siap untuk 
ditarik keluar. Namun sebelum 
dilakukan, bersamaan terdengar seruan 
tertahan, 

"Heiiii!!" satu sosok tubuh sudah 
melayang ke arahnya. Dan.... 

Tukk!! 

"Wadoaauuuwww!!" 

Menyusul... pyarr! 

Sosok tubuh itu telah menarik 
keluar tubuh Diah Harum seraya 
menyelimuti tubuh gadis itu dengan 
pakaian berwarna putih. Kejap 
berikutnya orang yang menggagalkan 
niat busuk Renggana sudah keluar lagi 
dari balik ranggasan semak di mana 
tadi dia membawa Diah Harum ke sana! 

* ★ ★ 

Ki Lodan yang tadi berseru 
tertahan karena melihat kejadian yang 
mengejutkannya, memandang tidak ber- 
kedip pada pemuda yang telah berdiri 
sejarak delapan langkah dari 
hadapannya. Sejak Ki Lodan memandangi 
orang itu sebelum kemudian dirasa- 
kannya debaran jantungnya semakin 
cepat. 

"Gila! Siapa pemuda berompi ungu 
ini?! Tatapannya sungguh angker dan 
mengerikan! Sosoknya membuat orang 
akan berpikir dua kali untuk 
menghadapinya! Tadi... tadi hanya 
kulihat satu bayangan yang menyambar 
pakaian si gadis yang dilempar 
Renggana. 

Lalu dengan gerakan seperti setan 
bayangan itu sudah melesat dan 
menggagalkan niat Renggana. Bahkan 
dalam waktu yang sama dia sudah 
membawa keluar tubuh si gadis tanpa 
dapat kulihat secara jelas. Dan 
sekarang dia sudah berdiri di 
hadapanku. Astaga! Dia hanya membutuh- 
kan waktu tiga kejapan mata untuk 
lakukan semua tindakan II" 

Sementara itu, lelaki tinggi 
besar yang masih berada di dalam 
sungai meraung keras. 

"Pemuda keparat! Siapa kau?!" 
bentaknya seraya berenang ke tepian. 

Pemuda bermata angker itu ganti 
memandang pada lelaki tinggi besar 
yang sebagian tubuhnya basah. 

Namaku Boma Paksi! Julukanku Raja 
Naga! Lebih baik kalian menyingkir 
dari sini sebelum aku marah!" 

Suara dingin itu membuat Renggana 
dan Ki Lodan sejenak terdiam. Bukan 
suara itu yang sebenarnya membuat 
keduanya terhenyak. Tetapi tatapan 
angker dari pemuda berambut dikuncir 
itu! 

"Raja Naga...," desis Ki Lodan 
dalam hati. "Astaga! Julukannya sangat 
tepat untuknya! Tatapannya begitu 
mengerikan!" 

Di pihak lain Renggana tak buka 
mulut. Lelaki tinggi besar berkapak 
lebar ini memandang tak berkedip pada 
pemuda yang sesungguhnya baru berusia 
tujuh belas tahun. 

"Seumur hidupku... baru kali ini 
kulihat tatapan angker yang mengandung 
kekuatan magis," desisnya dan tanpa 
sadar dia masih tertegun. 

Ki Lodan yang buka mulut, 
"Renggana! Mengapa kau diam seperti 
kerbau dungu, hah?! Pemuda keparat itu 
muncul dan menggagalkan keinginanmu! 
Apakah kau tak mendengar ucapannya 
yang tak memandang kita sebelah mata 
pun?I" 

Kata-kata Ki Lodan menyadarkan 
Renggana dari keterkesimaannya. Lelaki 
tinggi besar ini menggeram. 

"Pemuda celaka! Ulangi lagi apa 
yang kau katakan tadi?!" 

Raja Naga memandang tak berkedip. 
Sisik-sisik coklat yang terdapat pada 
kedua lengannya sebatas siku lebih 
bersinar, pertanda dia sudah dilanda 
amarah. Murid Dewa Naga ini sebenarnya 
tak sengaja melewati tempat itu. 
Tatkala dia mendengar teriakan memaki 
dari seorang gadis, nalurinya segera 
mengatakan kalau ada orang yang 
membutuhkan bantuannya. Dan yang tak 
disangkanya, orang yang menjerit itu 
adalah gadis. yang pernah berjumpa 
dengannya. Gadis yang diam-diam telah 
memincut hatinya dengan kecantikan 
yang dimilikinya! 

Tatapan angker itu kian meradang. 
Suaranya bertambah dingin, "Kuminta 
kalian tinggalkan tempat ini, sebelum 
kemarahanku semakin membesar!" 

Kata-kata itu membuat Renggana 
meradang. 

"Setan keparat! Kutebas kepala- 
mu!!" 

Meluncur lelaki tinggi besar itu 
seraya ayunkan kapak lebarnya. 

Wuuunggg!! 

Tak! 

"Aaaakhhhhi!" Renggana memekik 
tertahan dan terhuyung ke belakang. 
Tangan kirinya menekap tangan kanannya 
dengan mulut monyong menahan sakit. 
Kapak lebarnya telah jatuh di atas 
tanah! 

"Gila!!" seruan kaget itu ter- 
dengar dari mulut Ki Lodan. Sosoknya 
sampai surut satu tindak ke belakang. 
"Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa?!" 
desisnya lagi, berulang-ulang. 

Raja Naga tetap berdiri di 
tempatnya. "Kau telah pancing kema- 
rahanku! Berarti... kau tak akan 
kuampuni!!" 

Renggana yang masih menahan sakit 
mengangkat kepalanya. Tatapannya 
mengandung kengerian sekarang. 

"Kupikir... tubuhnya akan 
tercacak buntung akibat kapak lebarku! 
Tapi... gila! Aku sama sekaii tak 
melihatnya bergerak! Gila!!" 

"Boma Paksi! Terima kasih atas 
pertolonganmu! Biar aku yang urus 
manusia keparat itu!!" satu suara 
terdengar bersamaan melompatnya satu 
sosok tubuh dengan gerakan indah. Dan 
tanpa keluarkan suara telah berdiri di 
samping kanan Raja Naga. Menyusul 
terdengar bentakannya, "Manusia lak- 
nat! Kau terima balasanku sekarang!" 

***


GADIS berpakaian putih bersih 
dengan dua kuntum mawar merah pada 
atas dada kanan kirinya itu sudah 
menerjang ke arah Renggana yang masih 
merasakan ngilu pada tangan kanannya, 
Gerakan si gadis sungguh cepat sekali. 
Renggana mengangkat kepalanya dan 
sebisanya digerakkan tangan kirinya. 

Des! Des! 

Benturan itu terjadi. Sosok si 
gadis yang bukan lain Dewi Bunga Mawar 
terpental ke belakang. Baru saja kedua 
kakinya menginjak tanah, tubuhnya 
sudah menerjang kembali. 

Raja Naga hanya tersenyum. Dan 
begitu mendengar satu gerakan di 
sampingnya, dia langsung menoleh. 

"Jangan gegabah! Kau tak perlu 
mencampuri urusan ini!" bentaknya pada 
Ki Lodan. 

Ki Lodan yang tadi sudah bersiap 
hendak membantu Renggana menggeram 
keras. Lelaki berwajab tirus ini 
memandang tajam Raja Naga tak 
berkedip. Tetapi dia tak sanggup 
melakukannya lebih lama, karena ta- 
tapan angker itu seperti menghujam 
pada jantungnya. 

"Pemuda bersisik! Renggana adalah 
sobatku. Apa pun yang terjadi padanya 
aku akan ikut ambil bagian!" bentaknya 
sambil menenangkan gemuruh dadanya. 

"Kau telah lakukan kesalahan yang 
paling bodoh! Sobatmu telah memiliki 
niat keji terhadap gadis itu! Bila kau 
masih punya akal seharusnya kau 
menghalangi niatnya itu, bukannya 
mendorong atau membantu!" 

"Peduli setan!" bentak Ki Lodan 
sambil menindih rasa ngerinya. "Kau 
boleh unjuk gigi di hadapannya, 
tapi... kau akan menyesali tindakanmu 
itu di hadapanku!!" 

Habis seruannya Ki Lodan 
menerjang ke depan. Seraya menerjang 
tangan kanan kirinya yang kurus 
direntangkan lebar-lebar. Lalu seperti 
meraup sebuah benda, digerakkannya 
masuk ke dalam hingga melipat dadanya 
sendiri. Kejap berikutnya tubuhnya 
sudah berputar sedemikian hebat. Tanah 
segera mengepul mengiringi putaran 
tubuhnya. Suara yang keluar keras, 
bergemuruh. 

Raja Naga hanya memperhatikan tak 
berkedip. 

Begitu putaran tubuh Ki Lodan 
mendekat dan siap menggulungnya, dia 
segera melepaskan jotosan. 

Buk! ! 

Tubuh Ki Lodan terpental ke 
belakang sejenak masih dalam keadaan 
berputar. Saat lain masih berputar 
yang semakin cepat tubuhnya kembali 
meluncur ke arah Raja Naga. 

"Keras kepala!" 

Kalau tadi Raja Naga melancarkan 
jotosannya sekali, kali ini dua kali. 
Tetapi justru dia yang sekarang 
terkejut. Karena begitu kedua 
jotosannya masuk dalam putaran tubuh 
Ki Lodan, mendadak saja dia terseret 
berputar agak terhuyung. 

Menyusul... buk! 

Dadanya terhantam tendangan kaki 
kanan Ki Lodan yang membuatnya mundur. 

"Ternyata kau tak setangguh apa 
yang kau perlihatkan pada Renggana 
tadi!" seru Ki Lodan masih berputar. 

Kali ini gelombang angin semakin 
dahsyat diiringi tanah yang makin 
banyak mengepul. Menyusul be- 
muncratannya sinar-sinar bening ke 
arah Raja Naga yang masih sempoyongan. 

Anak muda bersisik dari Lembah 
Naga itu mengertakkan rahangnya. 
Mendadak saja dijejakkan kaki kanannya 
di atas tanah yang seketika terdengar 
letupan kecil. Namun yang terjadi 
kemudian sungguh mengejutkan. Karena 
tanah itu bergerak cepat menyusur ke 
arah putaran tubuh Ki Lodan. Rupanya 
Boma Paksi sudah mengeluarkan ilmu 
'Barisan Naga Penghancur Karang'. 

Ki Lodan yang masih berputar 
dahsyat itu memekik keras karena 
merasakan tanah mendadak berderak ke 
atas ! 

Brooolll!! 

Kekuatan besar menyembur dari 
dalam tanah, memuntahkan tanah ke 
berbagai arah. Ki Lodan memang 
berhasil menghindari serangan aneh 
yang dilepaskan Raja Naga, tetapi dua 
kali dia terhantam lesatan tanah yang 
muncrat ke arahnya. 

Saat itu pula tubuhnya ambruk! 

Punggungnya dirasakan seperti mau 
patah. Untuk sesaat dia menggeliat 
lalu berusaha bangkit. Dilihatnya 
pemuda bersisik coklat hanya berdiri 
tegak dengan tatapan kian angker. 

Susah payah Ki Lodan bangkit 
sambil memegang dadanya dengan tangan 
kanannya. Sesuatu dirasakan bergolak 
pada perutnya dan melesat ke atas! 

"Huaaaakkkl!" dia muntah darah. 
Untuk beberapa saat Ki Lodan 
mengalirkan tenaganya dalam guna 
memulihkan keadaannya. 

"Terkutuk! Bertahun-tahun aku 
berlatih ilmu 'Pusaran Mata Angin'. 
Tetapi hari ini ilmu itu begitu mudah 
dipatahkan oleh seorang pemuda yang 
masih bau kencur!" 

"Lebih baik kau menyingkir dari 
sini! Kalaupun kau masih ingin berada 
di sini, kau hanya berhak sebagai 
penonton! Biarkan gadis itu menuntut 
balas apa yang telah dilakukan kawanmu 
terhadapnya I" 

Seruan dingin itu membuat Ki 
Lodan mengangkat kepalanya. Kendati 
parasnya meringis kesakitan tetapi 
sorot matanya tetap angkuh. Dia tak 
melakukan tindakan apa-apa. 

Sementara itu Dewi Bunga Mawar 
sedang berusaha untuk mendesak 
Renggana. Tetapi tak mudah dilaku- 
kannya. Karena kendati tangan kanannya 
nyeri akibat hantaman Raja Naga 
sebelumnya, Renggana masih bisa 
memperlihatkan kelasnya. 

Raja Naga membatin, "Dari apa 
yang terjadi seharusnya Dewi Bunga 
Mawar dapat segera mengalahkan orang 
tinggi besar itu. Tetapi dia terlalu 
dipenuhi dengan hawa amarah dan 
keinginan untuk memenangkan perta- 
rungan . " 

Zeebbb! 

Tangan kiri Renggana mengibas ke 
arah kepala Dewi Bunga Mawar yang 
menghindar. Namun gadis itu tak bisa 
langsung melancarkan serangan balasan 
karena kaki kanan Renggana sudah 
mencuat. 

Raja Naga menggeleng-gelengkan 
kepalanya. 

"Dewi Bunga Mawar! Coba kau 
hantam pergelangan kedua tangannya!" 

Dewi Bunga Mawar yang sedang 
menghindar langsung mengarahkan sera- 
ngannya pada kedua pergelangan 
Renggana. Ganti Renggana yang keli- 
hatan agak pucat sekarang. 

"Gila! Bagaimana pemuda bersisik 
itu bisa mengetahui kalau kelemahanku 
terletak pada kedua pergelangan 
tanganku ini? Jahanam terkutuk! Pemuda 
bau kencur itu bukan orang sembarangan 
rupanya!" 

Karena kelemahannya sudah diketa- 
hui lawan, Renggana tak bisa berbuat 
banyak. Dia hanya berusaha menghindari 
setiap terjangan dari Dewi Bunga 
Mawar. 

Orang tinggi besar ini memekik 
tatkala tendangan Dewi Bunga Mawar 
telah menghantam pergelangan tangan 
kirinya. Disusul dengan kibasan tangan 
dari samping kiri ke pergelangan 
tangan kanannya. 

Kontan Renggana terhuyung ke 
belakang diiringi teriakan keras. 
Kedua penglihatannya saat itu pula 
berkunang-kunang. Kepalanya mendadak 
pusing tujuh keliling. 

Dewi Bunga Mawar yang marah 
karena niat busuk orang, sudah melesat 
ke depan untuk menyelesaikan 
pertarungan. 

"Tahan!" seru Raja Naga sambil 
menjentikkan tangan kanannya. 

Trikkk! 

Satu tenaga menghalangi gerakan 
Dewi Bunga Mawar yang seketika 
berputar. Begitu kedua kakinya hinggap 
di atas tanah, gadis jelita berambut 
indah itu sudah buka mulut, 

"Boma! Mengapa kau menghalangi 
niatku, hah?!" 

"Karena sudah cukup kau 
menghajarnya, Diah...." 

"Manusia bejat seperti dia, tak 
patut ada kata cukup untuk 
menghajarnya! Boma! Biarkan aku 
menghajarnya lagi!!" 

"Dia sudah mendapatkan balasan! 
Diah... bila kau bersikeras. Lantas 
apa bedanya kau dengannya? Apakah kau 
Ingin menyamakan dirimu dengan orang 
seperti dia?" 

Kata-kata Raja Naga membuat Diah 
Harum menggeram pendek. Gadis jelita 
ini kelihatan masih belum puas untuk 
menghajar Renggana. Tetapi dia 
menuruti juga kata-kata Boma Paksi. 
Hanya terlihat kaki kanannya 
dihentakkan di atas tanah yang 
seketika amblas untuk melampiaskan 
rasa kesalnya. 

Raja Naga memalingkan kepalanya, 
"Sekarang kalian tinggalkan tempat ini 
sebelum aku berubah pikiran!" 

Ki Lodan memandanginya tajam- 
tajam. 

"Pemuda bersisik! Dengan perginya 
kami dari sini bukan berarti urusan 
telah selesai! ingatlah baik-baik!

Kelak kami akan muncul kembali!!" 

Habis kata-katanya Ki Lodan 
menarik tubuh Renggana untuk dibawanya 
berlari. Susah payah Renggana 
mengikutinya. 

Raja Naga berseru, "Heiii! Apakah 
kau melupakan kapak lebarmu ini?!" 

Lalu disepaknya kapak yang 
tergeletak di tanah itu dengan gerakan 
ringan. 

Wungg! 

Kapak lebar itu melesat dengan 
kecepatan tak ubahnya anak panah 
dilepaskan dari busur. Mendesing di 
atas kepala Ki Lodan yang masih 
menyeret Renggana.

Cleebbb !

Kapak lebar itu menancap pada 
sebatang pohon. 

Ki Lodan yang di saat kapak lebar 
itu mendesing di atas kepalanya 
menghentikan larinya, menggeram 
dingin. Di pihak lain Renggana 
terhuyung. 

Dengan kegeraman luar biasa, Ki 
Lodan mencabut kapak itu! Tetapi tak 
semudah yang dibayangkannya. Setelah 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya 
dan tubuhnya dibanjiri keringat, 
barulah di berhasil mencabut kapak 
yang menancap pada pohon itu. 

Mendadak... kraaakk! 

Begitu kapak lebar itu dicabut, 
pohon itu seketika tumbang bergemuruh. 

"Terkutuk! Akan kuingat semua 
ini! Akan kuingat selama-lamanya!!" 
makinya keras dengan wajah ditekuk 
gusar. Lalu katanya pada Renggana yang 
telah berdiri dan masih menahan sakit, 
"Kita urungkan niat menuju ke Menara 
Berkabut! Kita akan menuntut balas 
perbuatan Raja Naga!" 

Diiringi Renggana yang menahan 
sakit, Ki Lodan sudah berlari 
mendahului dengan membawa kapak lebar 
milik temannya itu. 

★ ★ ★ 

"Boma... terima kasih atas 
pertolonganmu. . . , " kata Diah Harum 
kemudian. Sesungguhnya masih ada 
keinginan untuk menghajar Renggana. 

Boma Paksi tersenyum. Tatapannya 
tetap angker. 

"Aku hanya kebetulan lewat di 
tempat ini," sahutnya sambil menatap 
dalam-dalam wajah jelita di 
hadapannya. Dan hati pemuda bersisik 
ini sedikit demi sedikit mulai terusik 
oleh kecantikan alami Diah Harum. 

"Boma... belum lama kita berjumpa 
dan kini sudah berjumpa lagi. Apakah 
kita akan langsung berpisah sekarang?" 
Diah Harum tersenyum. "Wajahnya 
tampan. Tapi tatapan itu masih 
terkesan angker...," sambungnya dalam 
hati. 

"Sudah tentu aku tidak punya 
keinginan selekas itu sekarang. Aku 
masih ingin menatapnya lebih lama 
lagi," kata Raja Naga dalam hati. 
Tetapi mulutnya bicara lain, 

"Aku tahu kalau kau masih punya 
urusan, begitu pula denganku. Yah... 
kupikir sebaiknya kita memang harus 
berpisah lagi...." 

"Boma... apakah ini saat yang 
tepat bagi kita untuk saling 
mengenal?" 

Mendengar pertanyaan si gadis. 
Raja Naga langsung arahkan pan- 
dangannya ke kejauhan. 

"Apa yang ingin kau kenal dariku, 
Diah?" 

"Pemuda ini terlihat begitu 
tertutup sekali," kata Diah Harum 
dalam hati. Kemudian katanya, "Mungkin 
yang hendak kutanyakan, hendak ke 
manakah kau sebenarnya? Pertama kali 
kita berjumpa kau begitu tergesa dan 
tentunya ada urjusan yang harus kau 
selesaikan." 

Boma Paksi mengangguk. 

"Keberatankah kau bila mengata- 
kannya kepadaku?" 

Pemuda dari Lembah Naga ini tak 
segera menjawab. Dia justru menarik 
napas panjang. 

Dewi Bunga Mawar menunggu untuk 
beberapa lama. Kemudian didengarnya 
pemuda itu berkata, "Aku sedang 
mencari pembunuh ayah dan ibuku, 
Diah...." 

"Oh! Kau... kau sedang mencari 
pembunuh ayah dan ibumu?" ulangnya 
terbata. 

Raja Naga mengangguk. 

"Ya... pembunuh yang selama dua 
belas tahun belum pernah kulihat 
wa j ahnya 

"Siapakah orang itu, Boma?" 

"Yang membunuh ayahku adalah 
Hantu Menara Berkabut...." 

"Oh!" untuk kedua kalinya Dewi 
Bunga Mawar tersentak kaget. 

Boma Paksi langsung menoleh. 

"Diah... kau mengenalnya?" 

Kepala si gadis menggeleng- 
geleng . 

"Aku... aku tidak pernah menge- 
nalnya, aku hanya pernah mendengar 
Guru menceritakannya kepadaku... 
Bukankah dia penghuni Menara Ber- 
kabut?" 

"Yah! Aku sedang menuju ke sana! 
Diah... apakah gurumu pernah menceri- 
takan di manakah letak Menara Ber- 
kabut?" 

"Guru pernah sekali mengatakannya 
kepadaku, tetapi aku belum pernah 
diajaknya ke sana. Dan rasanya sangat 
sulit untuk mencapai Menara Berkabut. 
Bahkan melihat menara itu saja tak 
bisa dilakukan mengingat diliputi 
kabut tebal yang sulit ditembus oleh 
pandangan. 

"Aku juga pernah mendengar 
tentang hal itu. Selain di sekitarnya 
hidup berbagai jenis ular berbisa juga 
terdapat lumpur-lumpur hidup yang 
dapat menelan siapa saja." 

"Boma... guruku pernah mengatakan 
kalau ada jalan rahasia yang dapat 
membuat orang dengan mudah bisa 
mendatangi Menara Berkabut." 

"Oh! Apakah kau tahu di manakah 
jalan rahasia itu?" 

Dengan berat hati Dewi Bunga 
Mawar menggeleng. 

"Sayang, aku tidak tahu sama 
sekali. Kendati guruku pernah 
menerangkan aku tak bisa mengetahuinya 
mengingat aku belum pernah ke 
sana...." 

Raja Naga hanya mengangguk 
anggukkan kepalanya. 

Dewi Bunga Mawar menjadi tidak 
enak karena melihat pemuda di 
hadapannya itu jadi kelihatan gelisah. 

"Maafkan aku, Boma...." 

Buru-buru pemuda dari Lembah Naga 
itu menggeleng. 

"Diah... kau tahu kalau aku masih 
harus melakukan perjalanan ke Menara 
Berkabut. Sebaiknya, kita berpisah di 
sini 

Diah Harum mengangguk. "Sebelum 
berpisah, ada yang ingin kutanyakan 
padamu, Boma." 

"Aku menunggu." 

"Tahukah kau di mana Lembah Naga 
berada?" Pertanyaan Diah Harum membuat 
kening Raja Naga berkerut. 

"Lembah Naga? Ada apakah kau 
mencari tempat itu?" 

"Guruku memerintahkanku untuk 
mendatangi Lembah Naga, untuk 
mengetahui sesuatu di sana...." 

"Apa yang ingin kau ketahui?" 

"Tentang Dewa Naga sendiri yang 
merupakan penghuni Lembah Naga dan 
nasib seorang bocah yang dibawa lari 
olehnya." 

Kening Raja Naga makin berkerut. 
Firasatnya mengatakan dia akan 
mendengar sesuatu yang tidak enak. 

"Kau tahu di mana tempat itu?" 

"Jelaskan dulu kepadaku apa yang 
kau cari." 

Dewi Bunga Mawar menarik napas 
hingga dadanya yang membusung itu 
bergerak indah. Setelah terdiam bebe- 
rapa saat barulah dia berkata, "Dua 
belas tahun yang lalu, guruku pernah 
bertarung dengan Pendekar Lontar yang 
merupakan musuh bebuyutannya. Dia 
mengatakan Pendekar Lontar adalah 
musuh utamanya yang harus dimusnahkan. 
Guruku tidak kesampaian membunuh 
Pendekar Lontar karena pendekar itu 
sudah tewas lebih dulu. Dia memang 
datang ke kediaman Pendekar Lontar dan 
menjumpai istrinya yang berjuluk Dewi 
Lontar. Pertarungan terjadi. Guruku 
berhasil membunuh perempuan biadab itu 
kendati dia harus membayar mahal 
dengan tangan kirinya yang kutung 
akibat tebasan pedang Dewi Lontar." 
Dada Boma Paksi berdebar keras. 

"Lantas?" 

"Yang diinginkan guruku adalah 
Pusaka Pendekar Lontar yang begitu dia 
berhasil membunuh istrinya, putranya 
muncul dengan membawa pusaka yang 
berupa gumpalan daun lontar. Guruku 
telah berhasil mendapatkannya bahkan 
bermaksud untuk menghabisi putra 
Pendekar Lontar yang dimaksudkan agar 
keturunan pendekar biadab itu tidak 
ada lagi di muka bumi ini! Tapi 
wajah Dewi Bunga Mawar mengeras. 

"Dewa Naga datang dan menggagal- 
kan rencananya!" 

Gemuruh di dada Boma Paksi 
mengeras. Sisik coklat pada kedua 
tangannya hingga siku mulai bersinar. 
Dewi Bunga Mawar terkejut melihatnya. 

"Boma... Ada apa?" 

"Diah Harum. . , " Suara si Pemuda 
dingin. "Siapakah nama Gurumu?". 

Sesaat Diah Harum memandangi 
wajah dihadapannya sebelum menjawab, 
"Dia bernama.. Dadung Bongkok..," 


Ikuti Kelanjutannya dalam 
episode: 
"Misteri Menara Berkabut" 


Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: mybenomybeyes 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/