Raja Naga 15 - Pusara Keramat

SATU 

Pratiwi yang masih dalam keadaan polos, 
segera menyembunyikan dirinya di belakang Raja 
Naga. 

Paras gadis jelita ini nampak tegang, karena 
tak disangkanya akan muncul dua orang bersosok 
aneh di tempat itu. 

Di pihak lain pemuda berompi ungu dari 
Lembah Naga, memandang tak berkedip pada 
orang-orang yang baru muncul. Sorot mata anak 
muda itu tetap tajam. Mereka masih berada di da- 
lam sungai. 

Kedua orang yang muncul secara tiba-tiba 
itu saling pandang dengan seringaian lebar di bibir 
masing-masing. Si nenek berpakaian compang- 
camping hingga memperlihatkan pepaya busuk 
yang menggantung di dadanya, harus menunduk. 
Sementara lelaki tua kontet berambut sejumput 
harus mendongak untuk balas memandangnya. 

"Kontet!" seru si nenek berpunuk sambil 
terkikik. Cairan merah yang berasal dari sirih yang 
dikunyahnya muncrat. Sedikit membasahi wajah 
si kontet yang mengelap dengan punggung tangan 
kanannya sambil mendengus. "Rupanya kita tidak 
perlu bersusah payah mencari jejaka tampan dan 
gadis jelita! Tuh, kau lihat sendiri, bukan?! Hik hik 
hik... mereka seperti hidangan empuk yang me- 
mang telah disediakan untuk kita!" 

Lelaki tua kontet berpakaian warna hijau 
sangat kusam, terkekeh-kekeh geli. Tongkat yang 
di ujungnya melingkar kawat berwarna hitam yang 
dipegangnya digerak-gerakkan. 

"Nyi Bawung! Kali ini sih aku tidak perlu 
harus berpikir hingga mau tak mau menghisap 
pepaya busukmu yang menggantung itu! Kita juga 
tidak perlu memilih!" 

Si nenek tanpa gigi yang rambutnya dige- 
lung ke atas itu memandang kembali ke arah sun- 
gai. Dia menyeringai lebar sebelum berkata, "Yang 
satu tampan..., yang satu cantik! Amboi, betul- 
betul pasangan yang serasi! Betul, betul! Kau tidak 
perlu berpikir sehingga dadaku yang montok ini ti- 
dak harus dihisap oleh mulutmu yang bau!" 

Si Kontet mendengus. 

"Montok?! Edan! Nyi Bawung... apa kau su- 
dah sinting, model dada kayak pepaya busuk itu 
kau katakan montok?! Tuli! Kau lihat tadi kan? 
Sepasang bukit kembar gadis yang bersembunyi 
karena malu padaku itu yang bisa disebut mon- 
tok!" 

Si nenek tak peduli. 

"Tapi sialannya, kita tidak melihat lagi ke- 
lanjutan kemesraan mereka! Ini gara-gara kau, 
Kontet! Yang sudah tidak sabaran!" 

Si Kontet yang bernama asli Beliung Kutuk 
terkekeh-kekeh sambil mengangguk-anggukkan 
kepalanya. 

"Mana bisa aku menahan lebih lama lagi. 
Apa kau tidak lihat tadi, bukit kembar halus yang 
menggantung di dada gadis itu?! Bagus betul! Ti- 
dak seperti bukitmu yang sudah rata begitu! Tidak 
tahu malu lagi, karena nekat masih menggantung! 
Benar-benar pepaya busuk!" 

Tak! 

Si nenek menjitak kepala si Kontet yang se- 
gera mengusap-ngusapnya. 

"Ayo eepat hisap dadaku biar kau bisa ber- 
pikir!" 

Si Kontet melotot. 

"Buat apa aku menghisap dadamu lagi? Se- 
karang sih tidak perlu dipikir aku juga sudah tahu 
apa yang harus kulakukan!" 

Sementara orang-orang bersosok aneh itu 
berbicara, Raja Naga berbisik, "Pratiwi... kau mun- 
dur pelan-pelan. Usahakan agar tubuhmu tidak 
terlihat oleh mereka...." 

Di belakangnya Pratiwi yang masih dalam 
keadaan polos mengangguk. Ucapan pemuda yang 
lengan kanan kirinya sebatas siku dipenuhi sisik 
coklat itu, menandakan kalau si pemuda men- 
ganggap kedua orang yang baru muncul itu bukan 
orang baik-baik. 

Pratiwi sendiri juga menduga seperti itu. Pe- 
lan-pelan dibenamkan tubuhnya di dalam air, lalu 
melangkah ke belakang. Diputuskan dia akan se- 
gera melompat bila jarak sudah cukup dekat den- 
gan tanah. 

Tetapi... blaaarrr!! 

Serangkum angin telah menghantam air di 
hadapannya hingga muncrat ke udara dan mau 
tak mau membuat Pratiwi mengurungkan niatnya. 

"Brengsek! Kau ini mau ke mana, hah?! Aku 
masih ingin melihat tubuhmu!!" seru Beliung Ku- 
tuk yang tadi menggerakkan tongkat berujung ka- 
wat melingkar. 

"Setan kontet!!" geram Pratiwi gusar. Ham- 
pir saja dia berdiri tegak untuk melepaskan seran- 
gan balasan bila tak ingat keadaannya. 

"Tahan amarahmu," bisik Raja Naga. "Kita 
sama-sama belum mengenal siapa kedua orang 
ini. Dan nampaknya mereka bukan tergolong 
orang baik-baik. Di mana kau simpan pakaian- 
mu?" 

"Di balik ranggasan semak sebelah kanan...." 

Raja Naga tak buka suara lagi. Sorot mata 
angkernya tetap tajam pada masing-masing orang 
aneh yang berdiri di seberang. 

"Kau memang tak sabaran, Kontet! Kau kan 
seharusnya memberi gadis itu kesempatan untuk 
berpikir?!" 

"Berpikir? Berpikir apa?" sambar si Kontet 
diiringi dengusan. Kepalanya mendongak pada Nyi 
Bawung. 

"Ya... berpikir untuk memutuskan apakah 
dia mau melayanimu atau tidak!" sahut Nyi Ba- 
wung sambil terkikik. 

"Tidak lucu! Sudah tentu dia akan melaya- 
niku! Lagi pula, kalau dia tidak mau... akan ku 
eabik-eabik tubuh mulusnya! Tapi... tidak, ah! 
Sayang, ah!" 

Nyi Bawung terkikik seraya mengangkat ke- 
palanya ke depan. Mulutnya yang tanpa gigi asyik 
mengunyah-ngunyah sirihnya. 

"Hei, Jejaka tampan dan Gadis manis! Ayo 
kalian cepat kemari! Kedua majikanmu ini sudah 
tidak sabar untuk kau layani! Betul tidak, Tet?!" 

"Nenek setani Pergi kau dari sini!" bentak 
Pratiwi sengit. Gadis itu sudah tidak sabar untuk 
membungkam mulut kedua orang itu. Tetapi kare- 
na keadaannya yang tidak memungkinkan, maka 
dia hanya bisa memendamnya dalam hati. 

Di pihak lain. Raja Naga sejak tadi belum 
juga beranjak dari tempatnya. Kalau dia beranjak, 
berarti dia membiarkan kedua orang itu bebas 
memandangi Pratiwi walaupun Pratiwi bisa me- 
nyembuNyikan tubuhnya di dalam air. Tetapi ke- 
mungkinan lelaki kontet berpakaian hijau sangat 
kusam segera memburu ke dalam air, tidak mus- 
tahil terjadi. 

Di samping itu Raja Naga juga masih dibin- 
gungkan oleh kenyataan mengapa dia tak menge- 
tahui kehadiran kedua orang itu. Dari sikap mas- 
ing-masing orang, jelas kalau keduanya sudah eu- 
kup lama berada di sana. Bisa jadi di saat dia 
bermesraan dengan Pratiwi di dalam air, menjadi 
tontonan kedua orang aneh itu. 

Memerah paras Raja Naga menahan geram 
memikirkan soal itu. Sorot mata angkernya berki- 
lat-kilat bertambah angker. 

Beliung Kutuk berseru jengkel, "N}^ Ba- 
wung! Mereka rupanya semacam anak-anak nakal 
juga! Kau lihat sendiri kan, kalau mereka tak men- 
gindahkan perintahmu?!" 

Nenek bongkok karena punggungnya ber- 
punuk itu terkikik. 

"Kalau kau berpikir begitu, mengapa tidak 
segera kau sergap saja yang gadis? Lihat! Dia pasti 
sudah menggigil kedinginan, dan itu tugasmu un- 
tuk menghangatkannya! Tapi apa iya ya kau bisa 
melakukannya kalau anumu itu cuma segede ke- 
lingking?!" 

"Kau lihat saja nanti! Kau pasti iri setelah 
melihat bagaimana gadis itu menjerit penuh ke- 
nikmatan!" 

Habis ucapannya, tiba-tiba saja Beliung Ku- 
tuk melompat ke arah sungai. Lompatannya san- 
gat cepat dan meninggalkan bekas kedua kakinya 
di atas tanah. 

Pratiwi yang sudah tak kuasa menahan 
amarahnya, siap untuk mendorong tangan kanan 
kirinya, menyambut tubuh Beliung Kutuk. Tetapi 
Raja Naga sudah bertindak lebih dulu. 

Buk! Buk! 

Tangan kanannya membentur tangan ka- 
nan Beliung Kutuk yang siap menyambar Pratiwi. 
Benturan itu membuat Beliung Kutuk memekik 
tertahan seraya membuang tubuh ke belakang. 

Jarak tanah dengan tubuh Beliung Kutuk 
cukup jauh sementara lompatan tubuhnya agak 
sedikit limbung karena benturan tadi. Maka mau 
tak mau tubuhnya pun masuk ke dalam air. 

Byuurrr!! 

Nyi Bawung seketika terkekeh keras. 

"Busyet! Kau ini mau menikmati tubuh mu- 
lus itu, atau mau mandi?!" 

"Setan!!" seru Beliung Kutuk yang segera 
menggerakkan kedua kakinya bila tidak ingin 
tenggelam. Dalamnya sungai itu sebenarnya hanya 
sebatas pinggang Raja Naga, tetapi karena tubuh 
Beliung Kutuk lebih pendek makanya dia bisa 
tenggelam. 

Pyaaanrr! 

Wrrruussss!! 

Air itu seperti terbelah dan bermuneratan 
ketika Beliung Kutuk memukulkan telapak tangan 
kirinya. Muneratan air sungai itu tidak seperti 
muneratan biasa. Muncratan itu laksana puluhan 
jarum berkekuatan tinggi 

Raja Naga mendeham. 

Blaaarrr!! 

Muncratan air yang menyerbu ke arahnya 
tertahan dan beterbangan ke udara. Tatkala ber- 
hamburan lagi di atas air terdengar suara letupan 
cukup keras. 

"Hebat!" desis Raja Naga dalam hati melihat 
hal itu. "Aku bisa jadi menjatuhkan si Kontet itu 
sekarang juga. Tetapi bila aku bergeser dari tem- 
patku ini, maka mau tak mau mereka akan meli- 
hat tubuh Pratiwi yang masih polos? Ah, mengapa 
aku tidak mengetahui kehadiran mereka?" 

Semua itu terjadi karena Nyi Bawung telah 
mengerahkan ilmu 'Penyesat Suara' yang dimili- 
kinya. Bila ilmu itu sudah dikerahkan, maka tak 
seorang pun yang akan mengetahui kehadirannya. 

Nyi Bawung terkikik melihat wajah Beliung 
Kutuk memerah. 

"Ayo! Kenapa kau masih main-main, hah?! 
Masa menghadapi anak ingusan begitu kau harus 
lintang pukang?!" 

Beliung Kutuk melotot. Main-main? Sung- 
guh keparat nenek itu! Padahal dia sudah mem- 
pergunakan seperempat tenaga dalamnya untuk 
menghamburkan butiran air sungai tadi. 

"Nyi Bawung!" serunya sambil melompat 
dan hinggap di samping kanan Nyi Bawung. Selu- 
ruh tubuhnya basah. Tetapi rambutnya yang se- 
jumput tetap berdiri kaku. "Kau akan melihat apa 
yang akan kulakukan?!" 

"Busyet! Sejak tadi aku juga melihatnya?! 
Ayo, cepatan kau ambil gadis montok itu! Aku su- 
dah tidak sabar untuk mendapatkan jejaka tam- 
pan itu!" 

Mengkelap wajah Beliung Kutuk mendengar 
ejekan Nyi Bawung. Tiba-tiba tangan kirinya sudah 
berada di depan dada, sementara kepalanya sedi- 
kit ditegakkan. Sepasang matanya melotot gusar, 
seperti hendak menelan Raja Naga yang dua kali 
menghalangi niatnya. 

Raja Naga memperhatikan tak berkedip. Ba- 
tinnya mengatakan kalau si Kontet hendak menge- 
luarkan salah satu ilmunya yang sudah tentu tak 
bisa dipandang sebelah mata. 

Di belakangnya, Pratiwi berbisik, "Boma... 
apa yang harus kulakukan? Dalam keadaan seper- 
ti ini aku seperti berada dalam pasungan." 

"Kau tetap berada di dalam air. Usahakan 
jangan menampakkan bagian tubuhmu. Pratiwi... 
aku akan meneoba memaneing manusia kontet itu 
untuk mengalihkan perhatiannya sejenak darimu. 
Setelah itu, kau eepat keluar dari dalam air. Men- 
gerti?" 

Pratiwi mengangguk. "Ya, ya...." 

Di seberang Beliung Kutuk masih berdiri te- 
gak, tetapi sekarang mulutnya telah berkemak- 
kemik. 

Nyi Bawung terkikik-kikik sambil mundur 
dua langkah. 

"Busyet! Kau mau keluarkan Ilmu Tongkat 
Menohok Matahari’? Wah! Mana bisa kau pergu- 
nakan ilmu jelek kayak begitu?!" 

Beliung Kutuk tak mempedulikan ejekan itu 
kendati hatinya menjadi mangkel. Karena ucapan 
Nyi Bawung itu mengingatkannya akan kekala- 
hannya dari Nyi Bawung. 

Raja Naga sendiri tetap berdiri tegak di da- 
lam air. Lambat-lambat dilihatnya dari kawat yang 
melingkari ujung tongkat si Kontet mengeluarkan 
asap hitam yang menyebarkan bau busuk. Bahkan 
baunya telah tercium oleh Raja Naga dan Pratiwi. 

Menyusul asap hitam yang menyebarkan 
bau busuk itu melingkar-lingkar ke udara dan 
mengeluarkan suara cukup keras. 

Mendadak.... 

Wussss!! 

Pusaran asap hitam yang menyebarkan bau 
busuk itu meliuk, dan menyerbu ganas ke arah 
Raja Naga. Kendati telah bersiaga untuk mengha- 
dapi serangan si Kontet, tetapi pemuda dari Lem- 
bab Naga itu tersentak juga. 

Dia mendeham, yang merupakan pengera- 
han tenaga dalam yang dapat memutuskan seran- 
gan lawan. 

Blaaammm!! 

Letupan itu terdengar cukup memekakkan 
telinga. Asap hitam yang menyerbu ke arahnya 
meletup dan lenyap. Tetapi secara mengejutkan, 
asap hitam busuk itu muncul kembali dan meng- 
gebrak. Pusarannya bertambah membesar. Pepo- 
honan yang tumbuh di sekitar sungai itu, lang- 
sung mengering dedaunannya. 

"Astaga!" seru Raja Naga tertahan. Segera 
saja didorong kedua tangannya untuk melepaskan 
jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 

Serta-merta menderu gelombang angin yang 
disemburati asap merah, menabrak pusaran asap 
hitam yang menyebarkan bau busuk. 

Bertemunya dua tenaga dalam tingkat tinggi 
itu menyebabkan air sungai muncrat setinggi dua 
tombak dan asap hitam serta merah berhamburan 
di udara. Bau busuk menyengat keras. 

Sosok Raja Naga terbanting, menimpa tu- 
buh Pratiwi yang masih merendam di belakangnya. 
Gadis itu menjerit tertahan. Raja Naga sendiri se- 
gera berdiri kembali. Sekujur tubuhnya basah. 

Di seberang. Beliung Kutuk berada dalam 
tahanan kedua tangan Nyi Bawung. Rupanya lela- 
ki tua kontet itu pun terlempar ke belakang yang 
segera ditangkap oleh Nyi Bawung. 

"Sudah kubilang ilmu yang kau pergunakan 
itu tak berguna!" gerutu Nyi Bawung. 

Beliung Kutuk melotot. Tangan kanannya 
yang memegang tongkat bergetar. Dari mulutnya 
mengalir darah segar yang tak dirasakannya. 

"Kalau sudah tahu begitu, mengapa kau di- 
am saja?!" makinya gusar. 

"Hik hik hik... diam saja bagaimana? Kau 
sendiri yang mengambil bagianku! Kau tahu kan. 
kalau pemuda itu adalah bagianku?!" 

"Cepat kau bunuh dia!" 

Tak! 

Kepala Beliung Kutuk kena jitak Nyi Bawung. 

"Enaknya ngomong! Kalau dia mampus, aku 
mau berbagi kenikmatan sama siapa?! Sama kau 
yang punya barang segede kelingking itu?!" 

Beliung Kutuk memaki-maki. Bara dendam 
dan amarah bergolak di dadanya. Ketika dia hen- 
dak melancarkan serangan Nyi Bawung mendesis, 
"Busyet! Katanya pemuda itu bagianku? Kenapa 
masih mau menyerang juga?!" 

"Pemuda itu penghalang bagiku untuk 
mendapatkan gadis itu! Aku sudah tidak sabar un- 
tuk membunuhnya!" 

"Membunuh pemuda itu atau menggeluti si 
gadis?!" 

Beliung Kutuk memaki-maki tanpa kelua- 
rkan suara. 

Raja Naga masih memperhatikan masing- 
masing orang yang bertingkah laku aneh itu. Dili- 
riknya Pratiwi yang masih merendam di dalam air 
sambil mengusap kepalanya. Bahu kanannya se- 
dikit memerah akibat tertimpa tubuhnya tadi. 

"Huh! Mengapa aku mesti terbawa arus 
emosi gairahku tadi? Padahal aku bisa segera me- 
lanjutkan perjalanan bersama Pratiwi ke Pusara 
Keramat untuk mengabarkan pada Malaikat Biru 
kalau bencana akan datang padanya. Apakah saat 
ini Datuk Meong Moneng telah berjumpa dengan 
Kembang Darah? Ah, aku masih belum tahu kea- 
daan Lesmana dan Ratih. Dan kedua manusia 
aneh itu...." 

Raja Naga memutus kata batinnya sendiri. 
Parasnya kini menegang. Kedua matanya makin 
angker. Kemarahan sudah melanda diri murid De- 
wa Naga itu. 

Di seberang Nyi Bawung sedang berkata, 
"Mengapa aku tidak segera menyerangnya, begitu 
kan pertanyaanmu, Kontet? Karena... aku sedang 
berpikir!" 

"Berarti kau harus menghisap pepaya bu- 
sukmu sendiri!" maki Beliung Kutuk jengkel. 

Nyi Bawung terkikik-kikik. 

"Mana bisa aku menghisap buah dadaku 
yang montok ini? Kalau menghisap... hik hik hik... 
malu, ah!" 

Beliung Kutuk memaki-maki. Penasaran 
masih melanda dirinya. Berulang kali dicobanya 
untuk melihat tubuh Pratiwi yang semakin mem- 
benamkan tubuhnya di dalam air sungai. 

"Kau berpikir apa?!" 

"Serangan pemuda tampan itu!" 

"Kenapa dengan serangannya?!" 

"Rasanya... aku seperti pernah mendengar 
kehebatan sebuah jurus sekitar tiga puluh tahun 
yang lalu! " 

"Kau masih muda waktu itu!" 

"Hik hik hik... saat ini aku juga masih mu- 
da, masih bergairah, masih penuh pesona dan ma- 
sih...." 

"Terus apa?!" bentak Beliung Kutuk bosan. 
Matanya terus berusaha mencuri lihat tubuh Pra- 
tiwi. 

"Hik hik hik... ya, ya... aku ingat sekarang. 
Hei, Kontet! Apakah kau lupa dengan seseorang 
yang menghuni Lembah Naga?" 

"Lembah aneh yang seluruhnya berwarna 
merah?" 

"Tidak salah!" 

"Kenapa dengan penghuni Lembah Naga 
yang berjuluk Dewa Naga itu?!" 

"Nah, itu dia! Aku yakin, yakin sekali... ka- 
lau jurus yang diperlihatkan si pemuda saat me- 
nahan serangan jelekmu itu, adalah salah satu ju- 
rus milik Dewa Naga!" 

"Sinting! Apa kau pikir Dewa Naga menjadi 
muda kembali?!" 

"Dasar kontet! Sudah jelas itu tidak mung- 
kin! Kita juga sudah sama-sama mendengar, kalau 
Dewa Naga mempunyai seorang murid! Muridnya 
itulah yang menghabisi jejak Dadung Bongkok, Ra- 
tu Sejuta Setan dan Hantu Menara Berkabut!" 

"Lalu kau pikir pemuda itu adalah murid 
Dewa Naga?!" 

"Siapa lagi? Pemuda itu tentunya orang 
yang berjuluk Raja Naga!!" 

***

DUA 

SEKETIKA kepala bulat Beliung Kutuk me- 
negak. Sorot matanya bertambah penuh bahaya. 
"Laknat!! Jadi dia yang telah membunuh saudara- 
ku si Dadung Bongkok?!" geramnya setinggi langit. 

"Siapa lagi? Nah! Ketimbang kita harus 
mencari Kembang Darah yang telah memiliki Bun- 
ga Kemuning Biru, mengapa tidak kau tuntaskan 
dulu saja dendammu? Cuma ingat... pemuda itu 
tidak boleh kau bunuh dulu sebelum kuperas te- 
naganya untuk memuaskankull" 

Sementara Beliung Kutuk dibuncah amarah 
tinggi, tanpa sadar Raja Naga menjadi sedikit te- 
gang. 

"Astaga! Rupanya si kontet yang bernama 
Beliung Kutuk itu saudara dari Dadung Bongkok? 
Ah... nampaknya urusan ini akan lebih lama, pa- 
dahal aku harus segera menuju ke Pusara Kera- 
mat. Aku juga masih memikirkan satu kejanggalan 
yang terjadi ketika aku dan Pratiwi berjumpa den- 
gan Datuk Meong Moneng... apakah sebaiknya...." 

Memutus kata batinnya sendiri, pemuda be- 
rambut dikuncir kuda itu sudah mendorong tan- 
gan kanan kirinya, melepaskan jurus 'Kibasan Na- 
ga Mengurung Lautan'. 

Baik Beliung Kutuk maupun Nyi Bawung 
sama-sama membuang tubuh ke samping kanan. 
Raja Naga terus melancarkan serangannya tanpa 
bergeser dari tempatnya. Di saat kedua orang aneh 
itu terus menghindari serangannya, disambarnya 
tangan kanan Pratiwi. Lalu ditariknya. 

"Sekarang!!" 

Walaupun tidak sigap, Pratiwi masih bisa 
memahami apa yang diinginkan Raja Naga. Diban- 
tu sentakan tangan kanan anak muda itu, dike- 
rahkan ilmu peringan tubuhnya untuk melompat. 

"Heiiii!!" 

Beliung Kutuk berteriak ketika melihat tu- 
buh Pratiwi melayang dan hinggap di balik semak. 
Diiringi kemarahan tinggi, dia memburu ke sana. 

Raja Naga yang tak perlu lagi menghalangi 
tubuh Pratiwi yang masih polos dari pandangan 
Beliung Kutuk, segera melompat keluar dari dalam 
sungai untuk menghadang gerakan Beliung Kutuk. 
Tetapi satu sambaran kuat dari samping kanannya 
membuatnya harus membuang tubuh ke samping 
kanan. 

"Biarkan temanku itu bermain-main dengan 
gadismu. Anak muda! Untukmu, biar kulayani...." 
Nyi Bawung terkikik sambil mengunyah sirihnya. 

Raja Naga terdiam dengan mata memieing. 

"Pratiwi tentunya bisa menghadapi lelaki 
tua kontet itu bila dia sudah berpakaian. Dan ten- 
tunya dia sudah berpakaian sekarang. Hemm... bi- 
ar kuhadapi nenek ini...." 

"Ayo, ayo, anak muda! Ingin kulihat kau 
dapat apa dari Dewa Naga?!" seru Nyi Bawung. 
"Atau... kau sebenarnya sudah tidak sabar untuk 
menggeluti tubuhku? Hanya karena ada gadis itu 
saja kau merasa enggan? Hik hik hik... ayolah! Ti- 
dak perlu malu-malu sekarang, toh dia sedang 
asyik melayani si Kontet!" 

Raja Naga tak mempedulikan ueapan itu. 

"Kita sama-sama tidak saling kenal, tetapi 
kau dan temanmu itu telah buka urusan! Sudah 
jelas aku tak bisa menghindarinya begitu saja!" 

"Betul sekali! Apalagi ternyata kau adalah 
pemuda berjuluk Raja Naga yang harus kulumat 
habis!!" 

Belum habis gema suaranya, si nenek ber- 
pakaian hitam eompang-eamping itu sudah mele- 
sat ke arah Raja Naga. Kaki kanan kirinya berge- 
rak seeepat angin, yang terlihat hanyalah kepulan 
debu dan tanah. Serangkum angin telah mendahu- 
lui lesatan tubuhnya. 

Raja Naga melirik. Kejap lain dijejakkan ka- 
ki kanannya di atas tanah. Segera tanah berderak, 
bergelombang dan menghambur ke arah Nyi Ba- 
wung. 

Nyi Bawung cuma mendengus. Tanpa men- 
gurangi kecepatan lesatan tubuhnya, tangan ki- 
rinya dipukulkan ke bawah. 

Blaaaarrr!! 

Tanah berderak yang mengarah ke arahnya 
itu terhenti di tengah jalan dan meletup di udara. 

Raja Naga terkesiap, apalagi ketika tangan 
kanan kiri Nyi Bawung siap menjotos wajahnya. 
Serentak dipalangkan kedua tangannya di depan 
kepala, menyusul digerakkan. 

Buk! Buk! 

Tangan kanan kiri Raja Naga yang dipenuhi 
sisik coklat sebatas lengan itu memiliki kekuatan 
yang mematikan. Kalau si pemuda menghenda- 
kinya dia dapat memukul hancur sebuah pohon 
menjadi serpihan. Dan kali ini, mengingat urusan 
yang harus segera diselesaikannya. Raja Naga 
memutuskan untuk memberi pelajaran Nyi Ba- 
wung. 

Nyi Bawung memang terpental ke belakang 
disertai suara mengaduh. Tetapi tubuhnya yang 
masih berada di udara tiba-tiba saja berputar 

Des! Des! 

Kaki kanan kirinya menyambar telak dada 
Raja Naga yang terhuyung ke belakang. Belum lagi 
Raja Naga dapat menguasai keseimbangannya, Nyi 
Bawung telah meluneur dengan kedua kaki yang 
bergerak-gerak di udara. 

Dalam keadaan terhuyung seperti Itu, Raja 
Naga sulit untuk menghindar. Tetapi dia masih 
dapat memiringkan tubuhnya, bahkan melanear- 
kan pukulan. 

Plak! 

Pukulannya tersampok kaki kanan Nyi Ba- 
wung yang begitu jatuh segera memukulkan tan- 
gan kanannya di tanah. Seketika tubuhnya me- 
lenting ke udara dan hinggap di atas tanah sambil 
terkikik-kikik. Cairan merah yang berasal dari si- 
rih yang dikunyahnya bermuneratan. 

Sejarak sepuluh langkah. Raja Naga berdiri 
sambil memegangi dadanya. 

"Tak bisa kubiarkan ini berlarut-larut. Ter- 
paksa aku harus bertindak lebih kasar...," desis- 
nya dalam hati. Mendadak saja Raja Naga menoleh 
ke arah belukar di samping kanannya dengan wa- 
jah tegang. 

Nyi Bawung mengerti apa yang membuat 
Raja Naga menjadi tegang. 

"Hik hik hik... tak perlu gusar seperti itu," 
desisnya yang sama sekali tidak terlihat merasa 
kesakitan pada tangan kanan kirinya. "Sudah ten- 
tu gadismu lagi asyik melayani si Kontet! Sungguh 
hebat kalau si Kontet itu mampu memberikan ke- 
nikmatan yang sama pada gadismu! Padahal... hik 
hik hik... paling gede barangnya euma sekelingk- 
ing!" 

Memerah paras Raja Naga karena amarah. 
Memang, setelah terlempar ke balik semak dan di- 
buru oleh Beliung Kutuk, baik Pratiwi maupun Be- 
liung Kutuk belum terlihat batang hidungnya. Raja 
Naga menjadi gusar. 

"Nyi Bawung! Kaulah yang akan mengganti- 
kan Beliung Kutuk untuk menerima kemarahan- 
ku!!" 

Belum habis kata-katanya terdengar. Nyi 
Bawung sudah menerjang ke depan. Gelombang 
angin bergemuruh dahsyat menerjang ke arah Ra- 
ja Naga. Yang diserang hanya menjerengkan mata. 
Keangkeran terpanear dalam dari sana. 

Tanpa bergeser dari tempatnya, anak muda 
dari Lembah Naga ini sudah mendorong kedua 
tangannya ke depan. Menderu pula gelombang an- 
gin yang mematahkan gelombang angin dari Nyi 
Bawung. Nyi Bawung masih dapat meliukkan tu- 
buhnya untuk menghindari serangan susulan 
yang dilancarkan Raja Naga. Raja Naga sendiri me- 
lompat memburu. 

Tap! Tap!! 

Telapak tangan masing-masing orang ber- 
temu. Menempel kuat hingga menimbulkan asap 
hitam. Nyi Bawung terkikik seraya melipatganda- 
kan tenaga dalamnya. Di pihak lain. Raja Naga te- 
tap terlihat tenang. 

Tetapi dua kejap kemudian, wajahnya me- 
negang. Karena dirasakan hawa panas masuk ke 
dalam tubuhnya. 

"Celaka! Hawa panas ini bukan hanya 
membuat tubuhku seperti terbakar, tetapi juga 
menyedot tenaga dalamku!" desisnya. Keringat 
mulai bereueuran. Gigi-giginya mulai terdengar 
bergemelutuk. Tubuhnya bergetar. 

"Sungguh mengherankan, bagaimana kau 
bisa membunuh yang lainnya, hah?!" ejek Nyi Ba- 
wung. 

Tubuh Raja Naga terus bergetar. 

"Celaka! Hawa panas ini semakin kuat! Aku 
harus berbuat sesuatu!!" desisnya dengan wajah 
makin berkeringat. Secara tiba-tiba anak muda be- 
rompi ungu itu mendeham kecil, seraya mendo- 
rong kedua telapak tangannya. 

Wussss!! 

Nyi Bawung tersentak kaget ketika merasa- 
kan wajahnya seperti ditampar satu tenaga tak 
nampak. Belum disadari apa yang terjadi, tubuh- 
nya sudah terpental ke belakang dan terbanting 
kuat di atas tanah setelah menabrak pohon yang 
langsung tumbang. 

Raja Naga sendiri terpelanting di atas tanah. 
Sesaat anak muda ini terlentang dengan napas 
megap-megap. Dia memang belum bertindak pe- 
nuh, karena tak ingin memancing silang sengketa 
lebih panjang. Namun akibat dari niatnya itu, ju- 
stru dapat mencelakakan dirinya. 

"Pratiwi!" sentaknya tiba-tiba seraya berdiri. 
Segera dia melompat ke balik semak. 

Wussss!! 

Satu tenaga tak nampak yang keluar dari 
tangan kanan Nyi Bawung memutuskan niatnya. 
Bersamaan sebuah pohon terhantam tenaga itu 
yang tumbang seketika. Raja Naga bergulingan ke 
belakang. 

Tiba-tiba... euiihhh! 

Craaaattt!! 

Cairan merah yang berasal dari kunyahan 
sirih Nyi Bawung menyerbu ke arahnya, Raja Naga 
memutar tangan kanannya seraya bergulingan lagi. 

Sebagian cairan merah itu tertahan, dan le- 
nyap ditelan pusaran angin yang dilepaskan Raja 
Naga. Sebagian lagi menghanguskan semak belu- 
kar di belakang anak muda itu. 

"Kau tak akan bisa meloloskan diri. Pemuda 
celaka!!" 

Nyi Bawung menerjang. Kali ini apa yang 
diperlihatkannya sungguh aneh, karena tubuhnya 
melompat-lompat ke depan. Dan lompatannya se- 
makin lama semakin tinggi, bahkan dua kali mele- 
bihi tingginya Raja Naga. Dan setiap kali dia me- 
lompat, laksana sebuah palang tegak lurus dengan 
langit, menggebah satu tenaga tak nampak. 

Raja Naga kali ini memutuskan untuk tidak 
bertindak ayal lagi. Terpaksa hal itu dilakukan, 
mengingat nyawanya bisa putus sekarang juga bila 
dia masih bertindak setengah-setengah. Di samp- 
ing itu, dia juga merasa heran sekaligus cemas 
mengapa Pratiwi belum muncul. Termasuk Beliung 
Kutuk. Bahkan tak ada tanda-tanda pertarungan 
di balik semak. 

Selagi Nyi Bawung melompat tinggi dan Raja 
Naga harus membuang tubuh karena tenaga tak 
nampak menderu ke arahnya, segera saja dijejak- 
kan kaki kanannya di atas pohon yang telah tum- 
bang. 

Wuuuttt!! 

Tubuhnya meluneur ke atas laksana anak 
panah! Nyi Bawung menggerakkan kaki kanannya, 
meneoba menginjak kepala Raja Naga. Namun pe- 
muda itu sudah menahan dengan tangan kanan- 
nya. Masih di udara tubuhnya berputar dan.... 

Des! Des! 

Jotosannya yang mengandung tenaga dalam 
tinggi mampir di dada Nyi Bawung yang meluncur 
ke belakang dengan deras. 

Braaakk! 

Tubuhnya menabrak sebuah pohon bagian 
atas, lalu terpelanting di atas tanah dalam kedu- 
dukan tengkurap. Terlihat si nenek masih berusa- 
ha untuk bangkit. 

Kalau saja Raja Naga menginginkan kema- 
tian nenek berpakaian compang-camping itu, den- 
gan mudah dilakukannya sekarang juga. Namun 
pemuda dari Lembah Naga ini tak menginginkan 
hal itu sama sekali. Dia segera melompat ke balik 
ranggasan semak untuk melihat keadaan Pratiwi. 

"Pratiwi! Di mana kau?!" serunya ketika 
hanya menemukan pakaian dan jubah Pratiwi 
yang tergeletak di balik semak. Dipungutnya ben- 
da-benda itu dengan perasaan yang semakin tak 
menentu. Kecemasannya kian menjadi-jadi. Sem- 
bari berseru-seru memanggil Pratiwi diselusurinya 
jalan setapak yang terdapat di balik semak belukar. 

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Mata 
angkernya menatap tak berkedip pada satu sosok 
tubuh yang tergeletak dengan dada bolong di atas 
tanah berumput! 

"Gila! Apa yang terjadi? Siapa yang melaku- 
kannya?" serunya sambil memeriksa tubuh yang 
telah menjadi mayat itu. Untuk beberapa saat pe- 
muda berompi ungu ini hanya memandangi saja. 

"Apakah Pratiwi yang melakukan ini?" desisnya la- 
gi. "Tidak! Tidak mungkin! Dia dalam keadaan tak 
berpakaian, terbukti pakaian dan jubah putihnya 
kutemukan di sana. Tetapi... kalau bukan dia, sia- 
pa yang telah membunuh Beliung Kutuk?" 

Untuk sesaat Raja Naga terdiam, otaknya 
berpikir keras. 

"Dalam keadaan terpaksa, seseorang dapat 
bertindak di luar kesadarannya. Bisa jadi memang 
Pratiwi yang melakukan hal ini walaupun tanpa 
pakaian. Kalau begitu... di mana dia sekarang? 
Apakah dia juga terluka atau... dia telah tewas di 
satu tempat?" 

"Keparat bersisik! Berani-beraninya kau 
membunuh sahabatku, hah?!" bentakan itu meng- 
gema di belakang Raja Naga disusul satu gelom- 
bang angin yang menyeret ranggasan semak belu- 
kar di belakangnya. 

Raja Naga membalik seraya mendeham. Ge- 
lombang angin itu putus di tengah jalan didahului 
satu letupan keras yang membongkar tanah. 

Buk! Buk! 

Tangan kanannya bergerak eepat, menahan 
jotosan Nyi Bawung yang berteriak setinggi langit. 

"Aku tak membunuh si Kontet ini!" seru Ra- 
ja Naga seraya mundur 

Nyi Bawung yang sudah murka karena ber- 
hasil dipercundangi dan lebih murka lagi melihat 
si Kontet terkapar dengan dada bolong, menerjang 
membabi buta. Serangannya justru lebih ganas 
dari sebelumnya. Ranggasan semak terpapas rata 
ujungnya, tanah terbongkar dan letupan keras be- 
berapa kali terdengar. 

Raja Naga hanya menghindar saja. Dipu- 
tuskan untuk segera menjauh dari tempat itu. Da- 
lam satu kesempatan, pemuda gagah bersorot ma- 
ta angker ini sudah berkelebat. 

Tinggallah Nyi Bawung yang memaki-maki 
panjang pendek. Pepohonan yang tumbuh di sana 
menjadi sasaran kemarahannya. Berhamburan 
laksana serpihan. 

Tiba-tiba dia jatuh terduduk di samping 
mayat Beliung Kutuk. Dipandanginya si Kontet 
yang tak akan pernah bergerak lagi dengan kema- 
rahan dan dendam membara. 

Menyusul dia meraung-raung sangat keras. 
Hampir setengah peminuman teh Nyi Bawung te- 
rus meraung-raung sampai suaranya menjadi se- 
rak. 

Tetapi tak ada tanda-tanda dia letih. Yang 
terlihat justru kemarahan yang membabi buta. Di- 
pandanginya tubuh si Kontet yang dadanya bo- 
long. 

"Beliung Kutuk! Masih ada sesuatu yang tak 
kuceritakan padamu mengapa aku memburu Ma- 
laikat Biru!" desisnya pada angin, karena Beliung 
Kutuk sudah tak mungkin bisa mendengar atau 
berucap. "Hal itu memang kusembunyikan dari- 
mu, karena aku tak ingin kau khianati! Biarpun 
kau sebagai sahabat baikku, tetapi untuk yang sa- 
tu itu aku harus berhati-hati!" 

Dipandanginya wajah si Kontet yang kaku. 

"Aku telah mendengar sesuatu yang tak 
pernah orang lain tahu kecuali Malaikat Biru dan 
mendiang Durga Marakayangan. Pusara Keramat! 
Ya, di Pusara Keramat terdapat sesuatu yang luar 
biasa, sesuatu yang membuatku penasaran untuk 
mengetahui sekaligus memilikinya! Tetapi, pengha- 
lang masih ada di sana, yakni Malaikat Biru! Itu- 
lah sebabnya mengapa dia harus mampus lebih 
dulu. Beliung Kutuk?!" 

Nyi Bawung tiba-tiba menggeram. 

"Manusia satu itu hanya bisa mampus den- 
gan Bunga Kemuning Biru! Kita harus menda- 
patkan benda itu agar dapat meNyingkirkannya 
hingga kita bebas menemukan sesuatu yang ter- 
sembunyi di Pusara Keramat! Tetapi sayang, 
sayang sekali... kau telah mampus, Kontet!" 

Si nenek tiba-tiba mengikik, kesedihan dan 
kemarahannya seolah berubah menjadi uap. 

"Aku yang akan mendapatkannya sesuai 
dengan keinginanku, Kontet! Aku akan tetap men- 
cari benda itu!!" 

Diiringi kikikannya, ditendangnya tubuh 
Beliung Kutuk yang terlempar dan jatuh entah di 
mana. Lalu sambil terkikik keras, nenek berpa- 
kaian compang-camping itu berlalu dari sana. 

***

TIGA 

GARANGNYA sinar matahari mulai berang- 
sur meredup. Angin yang ditaburi debu-debu pa- 
nas pun kini tak lagi sepanas sebelumnya. Di ke- 
jauhan nampak bayangan beberapa ekor burung 
yang terbang menyongsong tenggelamnya mataha- 
ri. Beberapa helai dedaunan kering gugur, me- 
layang dibawa angin dan jatuh entah di mana. 

Lelaki tua berpakaian hitam yang di dada 
kanan kirinya terdapat sulaman keris bereluk de- 
lapan itu bangkit dari duduknya. Parasnya yang 
dipenuhi keriput begitu geram, pertanda dia se- 
dang dilanda amarah. Apalagi ketika diliriknya 
tangan kirinya yang telah buntung, kemarahan 
semakin nampak di wajahnya. 

"Setan alas! Mengapa aku harus terpaneing 
ueapan perempuan mesum itu?!" makinya sambil 
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah. 
Rambut panjangnya yang diikat dengan kain war- 
na putih berlompatan sesaat. Diangkat kepalanya, 
ditatapnya kejauhan tanpa diketahuinya apa yang 
menarik untuk ditatapnya. Tetapi sorot matanya 
memancarkan sinar bahaya. "Datuk Meong Mo- 
neng!" geramnya sengit. "Kakek muka kucing itu 
harus kubunuh!" 

Untuk beberapa saat lelaki tua yang bukan 
lain Setan Keris Kembar ini terdiam dengan sepa- 
sang rahang mengatup keras. Dadanya turun naik 
dibuncah kemarahan. 

"Terkutuk!" makinya lagi. "Sejak semula aku 
berniat untuk membunuh Malaikat Biru, tetapi se- 
telah bertemu, semua harapanku putus! Aku tak 
akan mampu menghadapinya sebelum Bunga Ke- 
muning Biru kudapatkan dari tangan Datuk 
Meong Moneng, manusia eelaka yang telah mem- 
buntungi tangan kiriku!!" 

Setan Keris Kembar terdiam lagi. Ingatan- 
nya kembali pada Kembang Darah, gadis berku- 
tang merah yang berhasil mengatakan kalau Bun- 
ga Kemuning Biru berada di tangan Datuk Meong 
Moneng. Setan Keris Kembar sama sekali tidak ta- 
hu kalau dia telah masuk perangkap yang dimain- 
kan Kembang Darah. Akibatnya, tangan kirinya 
harus buntung akibat sambaran eakar Datuk 
Meong Moneng! Yang menyakitkan hatinya, ter- 
nyata dia ditolong oleh Malaikat Biru yang justru 
hendak dibunuhnya! (Untuk lebih jelasnya, teman- 
teman pembaea bisa membaeanya dalam episode : 
"Jejak Malaikat Biru"). 

Tiba-tiba Setan Keris Kembar memalingkan 
kepalanya ke kanan. Dibuka indera pendengaran- 
nya tajam-tajam. 

"Kakang! Sebaiknya kita beristirahat saja 
dulu...," terdengar suara seorang gadis. 

"Ratih... waktu kita sangat sempit. Kita ha- 
rus menemukan Raja Naga untuk membebaskan 
totokan pada dirimu." 

"Kakang... jangan terlalu memaksakan diri. 
Aku tahu kau lelah." 

"Tidak! Aku tidak lelah!" sahut si pemuda, 
tetapi suaranya terdengar tersendat bersama he- 
laan napasnya yang berat. 

"Kakang... beristirahatlah. Waktu kita masih 
banyak." 

"Totokan pada tubuhmu bila tidak segera 
ditemukan dan dibebaskan dapat mengakibatkan 
kelumpuhan pada dirimu, Ratih." 

"Aku tahu. Tapi aku tak ingin kau terlalu 
banyak membuang tenaga." 

Si pemuda menghentikan langkahnya. Di- 
tundukkan kepalanya pada gadis yang berada da- 
lam bopongannya. 

"Baiklah. Kita beristirahat dulu," katanya 
sambil melangkah lagi untuk mencari tempat yang 
nyaman. 

Setan Keris Kembar segera mengempes tu- 
buh ke atas sebuah pohon. Tak lama kemudian di- 
lihatnya seorang pemuda tampan bertelanjang da- 
da sedang membopong seorang gadis yang nampak 
tak berdaya. 

Tak jauh dari tempat di mana Setan Keris, 
Kembar tadi duduk, si pemuda berhenti dan me- 
nurunkan tubuh si gadis di atas tanah dalam ke- 
dudukan terlentang. 

Setan Keris Kembar segera menyembunyi- 
kan tubuhnya di balik dedaunan. 

"Kakang Lesmana... sudah berhari-hari kita 
mencari Raja Naga, tetapi belum kita temukan ju- 
ga. Begitu pula dengan Malaikat Biru. Ah, aku se- 
makin tidak enak padamu, Kakang...." 

'"Hus!" si pemuda yang bukan lain Lesmana 
meletakkan telunjuknya pada bibir merah keka- 
sihnya. "Tidak perlu kau berkata begitu, Ratih. Bi- 
ar bagaimanapun juga aku harus tetap menjagamu.... 

Ratih menarik napas pendek. Ditatapnya 
wajah tampan kekasihnya itu yang bertelanjang 
dada, karena pakaiannya dikenakan olehnya. Di- 
alihkan pandangannya ke tempat lain, diperhati- 
kannya pepohonan. 

Tiba-tiba dirasakan sentuhan lembut pada 
bibirnya. Sejenak Ratih melengak, tetapi di saat 
lain dibalasnya ciuman Lesmana. Ingin sekali Ra- 
tih dapat merangkul tubuh kekasihnya. Tetapi hal 
itu tak bisa dilakukan karena dirinya masih dalam 
keadaan tertotok. Hanya kepalanya yang dapat di- 
gerakkan. 

Lesmana terus mencium bibir kekasihnya 
dengan penuh kasih sayang. Saat ini yang dapat 
dilakukannya memang hanya menjaga Ratih. Se- 
sungguhnya ada keinginan di hati Lesmana untuk 
menemukan perempuan berjuluk Kembang Darah 
yang telah mengambil Bunga Kemuning Biru dari 
tangan Ratih. 

Tiba-tiba didengarnya Ratih berbisik, "Ada 
orang di atas, Kakang. Jangan... jangan bergerak. 
Teruslah menciumku. Lalu bawa aku ke tempat 
yang aman. Aku tak ingin ada keributan di saat 
keadaanku seperti ini..." 

"Di mana orang itu, Ratih?" tanya Lesmana 
sambil terus berlagak menciumi kekasihnya. Ha- 
tinya tiba-tiba saja menjadi sedikit tidak enak. 

"Di pohon sebelah kananmu...." 

"Kau mengenalinya?" 

"Tidak... oh, aku... mengenalinya...." 

"Siapa?" 

"Kalau tak salah... kakek itulah yang berta- 
rung dengan Datuk Meong Moneng di Tanah Ke- 
matian,..." 

Lesmana terdiam sejenak sebelum berkata, 
"Aku ingat sekarang siapa orang itu. Kalau tidak 
salah, dia berjuluk Setan Keris Kembar yang mun- 
eul bersama seorang perempuan berpakaian me- 
rah yang berjuluk Dewi Perenggut Sukma...." 

"Aku baru tahu kalau kau mengenal mereka." 

"Ketika kau menghilang dan kubaca tulisan 
di atas tanah, kusangka perempuan itu adalah 
Kembang Darah. Ratih, kita harus berhati-hati. 
Dewi Perenggut Sukma dan Setan Keris Kembar 
juga menginginkan Bunga Kemuning Biru. 
Hemmm... sebaiknya, kubawa kau ke tempat 
aman...." 

Perlahan-lahan Lesmana mengangkat kepa- 
lanya. Sambil mengeraskan suaranya dia membo- 
pong tubuh Ratih, "Udara semakin dingin! Kau bi- 
sa menghangatiku. Sayangi" 

"Ih! Kau membuatku malu, Kakang!" 

"Kau malu atau mau?" sahut Lesmana 
sambil tertawa. 

"Mengapa masih bertanya? Ayolah... cari 
tempat yang sedikit tersembuNyi biar kita bebas 
melakukan apa yang kita inginkan." 

Sambil bersiaga dan sengaja tertawa keras, 
Lesmana membopong tubuh Ratih menjauh dari 
sana. Lalu dengan cepat dia menyelinap ke balik 
semak. 

"Aku akan mengalihkan perhatian kakek 
itu...," bisik Lesmana setelah merebahkan tubuh 
Ratih di atas tanah. 

"Kakang...." 

Lesmana menatap kekasihnya. 

"Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Kau 
aman di sini," jawabnya dan setelah melihat Ratih 
mengangguk, anak muda berikat kepala merah itu 
sudah bergerak eepat. 

Sementara itu Setan Keris Kembar telah tu- 
run dari atas pohon. 

"Hemm... Kalau tak salah ingat, pemuda itu 
adalah pemuda yang menyangka Dewi Perenggut 
Sukma adalah Kembang Darah," desisnya. Tiba- 
tiba dia memaki, "Terkutuk! Di mana perempuan 
eabul itu?!" 

Dari memaki terlihat paras keriput Setan 
Keris Kembar menjadi eerah. Matanya berkilat- 
kilat lieik. 

"Mengapa harus memikirkan perempuan 
itu?" desisnya, ada nada puas dalam suaranya. 
"Mengapa tidak kucari kenikmatan saja pada gadis 
yang sepertinya tertotok itu?" 

Sambil tertawa Setan Keris Kembar segera 
berlari ke arah yang dituju Lesmana dan Ratih ta- 
di. Lesmana yang sudah berada di balik semak 
mendesis, "Aku harus mengalihkan perhatiannya 
dari Ratih." 

Ditunggunya sampai kakek berlengan kiri 
buntung itu mendekat. Dia akan langsung menye- 
rangnya dan membawanya menjauh dari sana. Te- 
tapi sebelum dilakukannya tiba-tiba saja terdengar 
suara, "Setan Keris Kembar! Mengapa kau berlari 
ke sana? Apakah kau tidak rindu padaku?!" 

Setan Keris Kembar menghentikan larinya 
dan berbalik. Dilihatnya satu sosok tubuh berku- 
tang merah berdiri sambil menyeringai. Kontan Se- 
tan Keris Kembar terbahak-bahak. Ingatannya pa- 
da Ratih dan Lesmana lenyap. 

"Bagus kau muneul di hadapanku selagi 
aku membutuhkanmu, Kembang Darah!" 

Orang yang berseru tadi tertawa renyah. 
Merentangkan kedua tangannya hingga sepasang 
bukit mulusnya yang montok itu bergerak sesaat, 
seperti sudah tak tahan untuk membebaskan diri 
dari kungkungan kutang merah. 

Setan Keris Kembar mendekat sambil ter- 
bahak-bahak. Diraihnya pinggang ramping Kem- 
bang Darah. Dikeeupinya bibir dan leher perem- 
puan itu yang terkikik-kikik dan melingkarkan ke- 
dua tangannya pada leher Setan Keris Kembar. 

"Kenapa tangan kirimu?" desahnya sambil 
menggeliat karena bibir Setan Keris Kembar terus 
menyerbu lehernya. 

Tanpa mempedulikan pertanyaan Kembang 
Darah, Setan Keris Kembar membanting tubuh pe- 
rempuan itu di atas tanah. Tangan kanannya me- 
narik kutang yang dikenakan Kembang Darah. 

Plup! 

Sepasang bukit indah montok itu meneuat 
keluar yang langsung menjadi sasaran mulut Se- 
tan Keris Kembar. Kembang Darah hanya terkikik, 
makin terkikik ketika kain hitamnya dibuka oleh 
Setan Keris Kembar. 

Lesmana yang masih berada di balik rang- 
gasan semak, tak mau melihat adegan itu lebih 
lanjut. Segera dia kembali ke tempat Ratih. 

"Kau berhasil menghindarinya, Kakang?" 

"Tidak," jawab Lesmana sambil membopong 
tubuh Ratih. "Kita menjauh dari sini." 

"Dia... dia masih ada di sini?" 

"Ya!" sahut Lesmana kaku. Dia terus berlari. 

Ratih merasakan perubahan suara Lesmana. 

"Mengapa, Kakang?" 

"Perempuan terkutuk berjuluk Kembang 
Darah, saat ini bersama Setan Keris Kembari" 

Ratih mendesah pendek. Dia mengerti men- 
gapa kekasihnya menjadi gusar dan tegang seperti 
itu. Karena tentunya dendam pada Kembang Da- 
rah belum dapat dibalas saat ini. 

Sementara itu Setan Keris Kembar sedang 
mendesis kuat hingga urat pada lehernya me- 
nyembul keluar. Lalu dia terlungkup di atas tubuh 
Kembang Darah yang perlahan-lahan menurunkan 
kedua kakinya yang tadi melingkar dan menekan 
pinggul Setan Keris Kembar. 

Kakek berlengan buntung itu berguling 
dengan mata terpejam. Tubuhnya dibaluri kerin- 
gat. Napasnya masih memburu. Ketika dibuka ma- 
tanya, dilihatnya Kembang Darah sudah menge- 
nakan lagi pakaiannya yang berbentuk kutang 
berwarna merah. 

"Mengapa kau berpakaian?" tanyanya den- 
gan suara serak. 

"Apakah kau masih menginginkannya?" 
Kembang Darah menyeringai. 

Setan Keris Kembang mendengus, menya- 
dari nada ejekan dalam suara Kembang Darah. La- 
lu dikenakan lagi pakaiannya. 

"Kau belum menjawab mengapa tangan ki- 
rimu buntung," kata Kembang Darah. 

"Datuk Meong Moneng yang melakukan- 
nya!!" sahut Setan Keris Kembar geram. 

Kembang Darah tersenyum. 

"Hemmm... sejak semula sudah kuduga ka- 
lau dia tak akan mampu mengalahkan Datuk 
Meong Moneng. Tetapi paling tidak, aku tahu ka- 
lau dia sudah datang ke Tanah Kematian. Berarti 
bila Datuk Meong Moneng muncul di hadapanku, 
aku tetap bisa menjebak kakek dungu ini," ka- 
tanya dalam hati. 

Sambil menepuk dada Setan Keris Kembar. 
Kembang Darah berbisik, "Maafkan aku... karena 
akulah tangan kirimu menjadi buntung..." 

"Aku tetap tak bisa mempercayai perem- 
puan ini," desis Setan Keris Kembar dalam hati 
sambil melirik Kembang Darah yang sedang terse- 
n3rum. "Tetapi untuk saat ini, biar aku bersikap 
mempercayainya. Terutama... karena aku akan te- 
tap menikmati tubuh montoknya... hahaha...." 

"Kembang Darah," katanya kemudian. "Aku 
tak akan pernah membiarkan Datuk Meong Mo- 
neng tertawa akan kemenangannya! Aku akan te- 
tap mencarinya...." 

"Oh! Apakah kau melakukannya untukku?" 
Kembang Darah membuat suaranya senang. 

"Ya! Tetapi... mengapa kau menolak mem- 
bantuku? Mengapa kau justru berusaha menja- 
lankan perintah kakek muka kucing itu untuk 
membunuh Raja Naga?" 

Perempuan montok berkutang merah itu 
menangkap nada tajam dalam suara Setan Keris 
Kembar. Dia buru-buru tersen3aim. 

"Karena aku tak ingin mendapat celaka...." 

"Kau membiarkan aku celaka seperti ini!!" 

"Tidak, aku tidak bermaksud begitu," jawab 
Kembang Darah dan melanjutkan dalam hati, 
"Bahkan aku ingin kau mampus di tangannya 
hingga dapat kujalankan seluruh rencana yang 
kususun dengan mudah." 

Mata Setan Keris Kembar menajam. 

"Kalau begitu... kita cari sekarang juga ka- 
kek muka kucing itu!" 

"Ya! Sudah tentu itu akan kulakukan. Ka- 
rena... aku sendiri sudah berhasil melukai Raja 
Naga." 

"Masa bodoh dengan keberhasilanmu itu! 
Aku tetap tak menyukai keadaan seperti ini!" 

"Keparat!" dengus Kembang Darah dalam 
hati. "Ucapan demi ucapannya membuat kedua 
gendang telingaku menjadi panas! Huh! Apakah 
dia akan kuhabisi sekarang juga?! Tidak! Dia ma- 
sih berguna!" 

"Mengapa kau diam?" sambar Setan Keris 
Kembar. 

Kembang Darah tersenyum. 

"Aku sedang berpikir, apakah kita memang 
mampu menghadapi Datuk Meong Moneng?" 

"Peduli setan! Mampu atau tidak, aku akan 
tetap membalas kekalahanku ini!" geram Setan Ke- 
ris Kembar. Lalu lanjutnya dalam hati, "Aku ingin 
lihat apakah kau memang sedang menjalankan sa- 
tu reneana busuk atau tidak?!" 

Perempuan berkutang merah itu tersen3rum. 
"Kita memang tak boleh membuang waktui Ayo, ki- 
ta buru kakek muka kueing itu!" 

Setan Keris Kembar segera mengikuti lang- 
kah Kembang Darah. Saat itulah dia teringat pada 
Lesmana dan Ratih. Tetapi di saat lain, sudah di- 
lupakan ingatannya itu. 

***

EMPAT 

MALAM pun akhirnya jatuh mendekap 
alam. Gugusan bintang menampakkan diri dan 
memperlihatkan eahayanya yang bila dilihat dari 
bumi berkerlap-kerlip. Di bawah naungan rembu- 
lan itu dua sosok tubuh bergelut dalam keadaan 
polos di atas tanah berumput. Masing-masing 
orang saling dekap dengan kuat diiringi napas 
memburu. 

Dinginnya udara malam, semakin membuat 
masing-masing orang berusaha untuk segera tiba 
pada puncak tindakan mereka. Keringat sudah 
membanjiri tubuh keduanya yang menjadi satu. 
Napas semakin memburu. 

Tiba-tiba lelaki yang berada di atas tubuh 
polos itu menggerakkan kedua tangannya yang di- 
penuhi bulu-bulu halus, berguling dan mengang- 
kat tubuh molek si perempuan muda ke atas un- 
tuk menduduki tubuhnya. Kembali kegiatan itu 
mereka lakukan ditingkahi dengusan napas yang 
kian memburu. 

Perempuan muda yang berada di atas se- 
makin menggila menggerakkan pinggulnya. Wa- 
jahnya tegang dan memerah. Kedua tangannya se- 
perti hendak merobek-robek tubuh si lelaki. Sam- 
pai satu ketika gerakan liar si gadis bertambah ee- 
pat dan semakin eepat. Men3rusul tubuhnya seper- 
ti tersentak mengejut. Dan dia jatuh dalam deka- 
pan si lelaki yang menarik tubuhnya. 

Lalu terdengar desahan napas diiringi suara, 

"Aaaakhh...." 

Gerakan liar yang keduanya lakukan tadi 
perlahan-lahan melambat. Keringat masih menga- 
lir. Si gadis turun dari tubuh di bawahnya, terlen- 
tang di atas tanah. Membiarkan tubuh polosnya 
bermandikan sinar rembulan. 

"Hebat, sungguh hebat...," desis si lelaki 
yang wajahnya mirip seekor kucing. Kumis jarang- 
nya melintang kaku. Dimiringkan tubuhnya. Dija- 
mahnya pa3aidara sebelah kanan si gadis. Dire- 
masnya dengan gairah yang masih tersisa. 

Si gadis berhidung bangir itu melirik. 

"Aku senang dapat memuaskanmu. Guru...." 

Lelaki tinggi besar bermuka kucing itu tertawa. 

"Aku tak merasa sia-sia memiliki seorang 
murid sepertimu.... " 

Si gadis tersenyum. Dibiarkannya tangan 
penuh bulu halus itu meremas-remas payuda- 
ranya. 

"Kecerdikan yang kau miliki juga sangat 
luar biasa. Kau dapat mengelabui pemuda dari 
Lembah Naga itu." 

"Aku tak sengaja melakukannya," sahut si 
gadis sambil sesekali memejamkan matanya. Sen- 
sasi yang tadi dirasakannya terbit kembali akibat 
remasan tangan penuh nafsu pada pa3rudaranya 
itu. 

"Aku tak sabar untuk mendengarnya. Kau 
ingat, betapa murkanya aku ketika melihatmu 
bersikap kasar saat bersama pemuda itu berjumpa 
denganku...." 

Si gadis membuka matanya. 

"Hal itu terpaksa kulakukan. Guru. Kalau 
tidak, pemuda bersisik coklat itu pasti curiga pa- 
daku." 

"Aku memahaminya, bukan? Bahkan... ha- 
haha... tak kusangka kalau aku bisa berlakon se- 
perti pentas panggung...." 

"Kalau kau tidak bersikap seperti itu, sudah 
tentu seluruh rencanaku berantakan." 

"Apa yang kau rencanakan?" 

"Aku ingin memperalat pemuda itu untuk 
dapat menemukan Malaikat Biru. Bukankah Guru 
ingin membunuh orang yang mengeluarkan ca- 
haya biru dari tubuhnya itu?" 

"Tak pernah kupendam keinginan itu!" sa- 
hut kakek muka kucing geram. 

Kedua orang itu terus bercakap-cakap da- 
lam keadaan polos. 

"Ketika kucuri dengar percakapan pemuda 
berompi ungu itu dengan seorang pemuda berna- 
ma Lesmana, aku sedikit terkejut karena menge- 
tahui kalau Bunga Kemuning Biru telah diambil 
oleh Kembang Darah. Kupikir Kembang Darah 
berkhianat padamu, Guru. Tetapi setelah kuden- 
gar kalau Kembang Darah menuju ke Tanah Ke- 
matian, keterkejutan ku itu sedikit hilang. Saat itu 
aku berpikir, kalau Kembang Darah melakukan- 
nya atas perintahmu." 

Si gadis melihat wajah lelaki tua muka kue- 
ing itu berubah. Sejenak dia ragu untuk melan- 
jutkan. Tetapi karena orang di sampingnya tak 
buka mulut, dilanjutkan ucapannya. 

"Tak kusangka kalau pemuda berjuluk Raja 
Naga itu kemudian mengetahui kalau aku mencuri 
dengar percakapannya. Saat itu pula kubuat per- 
mainan yang muncul secara tiba-tiba. Dan selagi 
kuperintahkan anak buahku, dia muncul di tem- 
patku. Semakin kuperpanjang permainanku, bah- 
kan kusesatkan dia menuju ke Tanah Kematian. 
Guru... satu hal yang membuatku merasa berada 
di atas angin dalam permainan ini, karena Raja 
Naga menganggap kehadiranku sebagai sesuatu 
yang luar biasa." 

"Mengapa?" 

"Karena aku mengingatkannya kembali pa- 
da kekasihnya yang bernama Diah Harum. Aku 
pernah mendengar dia mengucapkan nama itu se- 
cara tak sengaja. Tetapi sudah tentu aku berlaku 
bodoh. Sampai kita berjumpa dan terpaksa aku 
mengingkari siapa dirimu. Guru." 

"Aku mengerti mengapa kau melakukannya." 

"Dan di sebuah sungai, aku mencoba men- 
jerat Raja Naga untuk menggumuli tubuhku. Den- 
gan cara seperti itu, aku akan membuatnya ber- 
tanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi ternya- 
ta dia memiliki mental yang kuat. Hingga aku gag- 
al menjeratnya. Dan tak kusangka dua orang aneh 
bernama Nyi Bawung dan Beliung Kutuk muncul, 
padahal aku masih mencoba untuk menjerat Raja 
Naga. Terus terang, kemarahanku sudah tak bisa 
kubendung lagi. Tetapi karena di sana ada Raja 
Naga, aku harus bersikap sopan, berusaha menja- 
dikan diriku sebagai Diah Harum. Makanya aku 
tak beranjak dari dalam sungai mengingat tubuh- 
ku yang masih telanjang." 

"Sampai kemudian kau berhasil melompat 
keluar dari sungai itu?" sen3aim Datuk Meong Mo- 
neng. 

"Itu pun atas bantuan Raja Naga. Dan keti- 
ka hendak kukenakan pakaianku. Beliung Kutuk 
muncul. Hampir saja kulabrak dia bila saja kau ti- 
dak muncul di sana. Guru." 

"Aku tak pernah tenang memikirkan kau 
bersama pemuda itu." 

Si gadis merangkul tubuh gurunya. 

"Tak mungkin aku berlaku bodoh. Kalau- 
pun aku mencoba menjeratnya agar dia bertang- 
gung jawab padaku. Dengan cara seperti itu, dia 
dapat dengan mudah kukendalikan." 

Si kakek muka kucing mendengus. 

"Telah lama kudengar nama Beliung Kutuk 
dan Nyi Bawung. Tetapi baru kemarin itu aku me- 
lihat mereka. Huh! Bila saja kau tidak menahan- 
ku, mungkin Nyi Bawung pun akan menyusul si 
Kontet ke neraka!" 

"Aku ingin Raja Naga mencariku, karena tak 
menemukanku di sana. Pakaian dan jubahku pun 
sengaja tak kuambil." 

"Ya, ya! Bagus! Kau memang cerdik sekali!" 

"Apa rencana Guru sekarang? Mengapa 
Guru mengatakan Kembang Darah telah 
mengkhianati Guru?" 

Wajah kakek muka kucing itu berubah ge- 
ram. 

"Perempuan keparat itu telah menipuku! 
Bunga kemuning biru yang diserahkannya padaku 
adalah bunga yang palsu, sementara yang asli ten- 
tunya berada padanya!" 

"Keparat!" si gadis ikut-ikutan menjadi ge- 
ram. "Guru! Kita harus segera menemukannya!" 

"Ya!" sahut si kakek sambil bangkit. Dike- 
nakan lagi pakaian dan jubah hitamnya. "Kita 
memang harus menemukannya!" 

Si gadis sendiri segera mengenakan pakaian 
berwarna putih kusam yang disambarnya dari je- 
muran seorang petani. Lalu dikenakannya celana 
pangsi hitam yang juga milik seorang petani. 

"Guru... aku punya sedikit rencana." 

"Kau memang cerdik! Katakan...." 

"Kita berpisah untuk sementara. Maksudku, 
bila aku berjumpa dengan Raja Naga, sudah tentu 
pemuda itu tak akan curiga. Juga kesempatan un- 
tuk menemukan Kembang Darah semakin terbu- 
ka, karena kita bisa menyisir jalan yang berbeda 
dalam waktu bersamaan." 

"Tidak! Sebaiknya kau bersama anak muda 
itu menuju ke Pusara Keramat. Ilmu yang dimiliki 
Raja Naga tak bisa dipandang sebelah mata. Aku 
berharap dia dapat membuka jalan menuju ke Pu- 
sara Keramat." 

"Kalau begitu, sembari menuju ke Pusara 
Keramat, aku akan mencari Kembang Darah," kata 
si gadis. "Kebetulan anak muda itu sedang kebin- 
gungan akan hilangnya dua sahabatnya yang ber- 
nama Lesmana dan Ratih." 

"Hmm.... Ratih telah menghilang dari Tanah 
Kematian di saat aku menjamu Setan Keris Kem- 
bar yang kuberikan kenang-kenangan pada tangan 
kirinya! Ya... kau dapat berlagak membantu anak 
muda itu untuk menemukan kedua sahabatnya." 

"Baiklah, Guru... kita berpisah di sini." 

"Kau kutunggu tanpa luka sedikit pun." 

Si gadis tersenyum. 

"Aku telah menyerahkan seluruh jiwa raga- 
ku padamu. Sudah tentu aku tak ingin melihatmu 
kecewa bila menemukan luka atau bekas luka pa- 
da bagian-bagian tubuhku. Terutama... pada ba- 
gian yang dapat menyenangkanmu...." 

Kakek muka kucing itu tertawa. 

"Tak salah, aku. Datuk Meong Moneng 
mengambilmu sebagai murid." 

"Dan kau tak salah Guru, mengambilku, 
Pratiwi, sebagai muridmu...." 

Datuk Moeng Moneng tertawa. Dilihatnya 
Pratiwi berlalu dengan mempergunakan ilmu pe- 
ringan tubuhnya. 

"Aku masih menginginkanmu, Pratiwi!" se- 
runya. 

Pratiwi cuma mengangkat tangan kanannya 
dan tubuhnya pun menghilang di balik semak be- 
lukar. 

"Murid yang hebat! Tetapi aku tak membu- 
tuhkan apa-apa darinya kecuali tubuhnya yang 
panasi" tawanya keras. Lalu dipandanginya sekeli- 
lingnya. Diyakininya kalau Pratiwi tidak akan 
muncul lagi ke tempat itu. "Tak seorang pun yang 
tabu, termasuk Pratiwi dan Kembang Darah, apa 
yang sebenarnya kuinginkan dari kematian Malai- 
kat Biru. Hemmm... kakek bercahaya biru itu me- 
mang hanya dapat dibunuh dengan memper- 
gunakan Bunga Kemuning Biru. Dan bila dia su- 
dah mampus, berarti tak akan ada lagi yang men- 
jaga Pusara Keramat. Aku beruntung, sebelum 
mampus, Durga Marakayangan menceritakan ten- 
tang Pusara Keramat, di mana di dalamnya ter- 
simpan sesuatu yang sangat berharga! Ya! itulah 
yang kuinginkan sebenarnya!" 

Datuk Meong Moneng terdiam dengan na- 
pas memburu. Rasa tidak sabar membias pada 
wajah kucingnya. 

"Raja Naga akan membuka jalan menuju ke 
Pusara Keramat!" serunya kemudian sambil berla- 
lu dari tempat itu. 

***

Malam terus bergerak dengan segala miste- 
rinya. Sinar rembulan mulai tak kuasa untuk me- 
nembus gumpalan awan hitam yang menghalan- 
ginya. Nampak sekali kalau hujan tak lama lagi 
akan segera turun. 

Tak jauh dari dua buah pohon yang tum- 
buh aneh karena kedua akarnya seperti melintir 
sementara bagian atasnya bertemu dan bersilan- 
gan, terdapat sebuah tempat yang sangat pekat. 
Tidak hanya pada malam hari, pada saat matahari 
garang bersinar pun tempat itu tetap pekat. 

Tiba-tiba terlihat eahaya biru dari tempat 
pekat itu yang semakin lama bertambah terang. 
Disusul satu sosok tubuh bongkok muncul di 
tempat pekat yang seketika menjadi terang oleh 
warna biru yang ternyata berasal dari sekujur tu- 
buh si kakek. 

Kakek yang mengenakan pakaian serba biru 
dan di bahunya terdapat empat buah gelang ber- 
warna biru ini, memandang kejauhan. Sorot ma- 
tanya teduh, wajahnya penuh wibawa. Rambut pu- 
tihnya bertambah acak-acakan dipermainkan an- 
gin malam. 

Si kakek yang tubuhnya memancarkan ca- 
haya biru ini menghela napas panjang-panjang. 

"Firasatku mengatakan, dua hari lagi tem- 
pat ini akan menjadi ajang keributan. Ah... men- 
gapa masih ada orang yang ingin menimbulkan pe- 
taka?" 

Si kakek menghela napas masygul. Tangan- 
nya memainkan janggut putihnya. 

"Seumur hidupku, aku selalu membela yang 
lemah dan menegakkan kebenaran. Tetapi seka- 
rang, semua yang pernah kulakukan dulu justru 
berbuah kepahitan. Karena begitu banyaknya 
orang yang mendendam padaku dan menimbulkan 
silang sengketa karena memperebutkan Bunga 
Kemuning Biru...." 

Si kakek yang bukan lain Malaikat Biru 
adanya memandang sekitarnya. Dia tersen3aim 
melihat seekor kelinei meliriknya, lalu buru-buru 
menjauh. 

"Walau begitu, aku tak merasa yakin kalau 
orang-orang itu berniat membunuhku. Tidak... 
mereka pasti sedang memburu sesuatu yang ter- 
sembunyi di Pusara Keramat...." 

Si kakek mulai melangkah ke arah timur. 
Dihitung langkahnya. Pada langkah kedua puluh 
dari tempatnya berdiri tadi, si kakek menghentikan 
langkahnya. 

"Pusara Keramat, selama aku berdiam di si- 
ni, baru tiga kali aku mendatangi tempat itu. Tem- 
pat yang merupakan pangkal pertikaianku dengan 
Durga Marakayangan. Dan kami sama-sama ber- 
janji, siapa pun yang menang atau kalah, tak akan 
pernah memberitahukan tentang Pusara Keramat. 
Tetapi entah mengapa berita itu sudah tersebar? 
Apakah karena aku tinggal di sekitar Pusara Ke- 
ramat, yang mana kumaksudkan dapat menjaga 
makam itu dari sentuhan dan niatan busuk orang 
yang datang?" 

Si kakek melangkah lagi, melewati pepoho- 
nan dan ranggasan semak yang tinggi. Melihat 
keadaan di sekitar sana, jelas sekali kalau tempat 
itu jarang sekali didatangi orang. Termasuk Malai- 
kat Biru sendiri yang tinggal tak jauh dari sana! 

"Rasa-rasanya... aku tak bisa memperta- 
hankan lagi Pusara Keramat dari keinginan busuk 
orang-orang serakah. Hingga saat ini aku tidak ta- 
hu apa yang tersembunyi di dalamnya kecuali de- 
sas-desus yang mengatakan di tempat itu tersim- 
pan sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu itu 
pun aku tak tahu sama sekali." Diusap-usap jang- 
gut putihnya. Tempat yang gelap itu diterangi oleh 
cahaya biru yang memancar dari sekujur tubuh- 
nya. "Apakah kucoba saja untuk mengetahui apa 
yang tersimpan berpuluh tahun di Pusara Kera- 
mat?" 

Malaikat Biru sejenak terdiam, memikirkan 
keputusannya sendiri. Lalu dihentikan langkahnya 
di sebuah tempat yang dipenuhi semak belukar. 

Dipandanginya semak belukar itu sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 

"Apakah benar tindakan yang hendak kula- 
kukan ini?" desisnya masih meragu. Pelan-pelan 
diangkat kepalanya. Ditatapnya langit yang sema- 
kin kelam. Tumpukan awan hitam tak bergeming, 
menghalangi sinar rembulan. 

Setelah menarik napas dalam-dalam. Ma- 
laikat Biru kembali memandangi semak belukar di 
hadapannya. Tangannya diangkat hingga dada, 
sangat perlahan. Semak-semak di hadapannya 
mendadak berhamburan ke belakang dan dalam 
waktu yang sangat singkat, di hadapannya kini tak 
ada lagi semak belukar. 

Yang terlihat hanyalah sebuah gundukan tanah! 

Malaikat Biru terdiam kembali. Mata teduh- 
nya kali ini memancarkan sinar pedih. 

"Tidak, aku tak boleh membongkar makam 
itu. Hanya seorang saja yang boleh, seseorang 
yang merupakan keturunan dari seorang pendekar 
sakti, seseorang yang memiliki tenaga sakti tiada 
banding. Karena.,.." 

Malaikat Biru memutus kata-katanya sendiri
seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Aku tak tahu siapakah orang itu. Siapakah 
dia," katanya bagai keluhan. Tubuhnya tiba-tiba 
bergetar, "Yang kukhawatirkan... kalau waktuku 
telah sampai, hingga aku tak bisa lagi menjaga Pu- 
sara Keramat. Ah, urusan Bunga Kemuning Biru, 
satu-satunya benda yang dapat mengalahkan ku 
sudah banyak menimbulkan petaka dan kegempa- 
ran. Bagaimana bila aku sudah mati? Tentunya 
akan semakin menggila orang-orang rakus yang 
menginginkan benda yang tersimpan di Pusara Ke- 
ramat ini...." 

Kali ini cukup lama kakek bijak yang se- 
dang gundah terdiam. Mata teduhnya terus me- 
mandangi makam di hadapannya. Makam itu tak 
ubahnya makam kebanyakan, tak ada yang isti- 
mewa sama sekali. Tak ada bunga-bunga yang 
tumbuh di atasnya. 

Tiba-tiba dia mendesis, 

"Mengapa aku tak mencobanya dulu? Ya, 
aku harus mencobanya! Mungkin... pemuda itu bi- 
sa kuandalkan sebagai orang yang menggantikan 
tugasku menjaga Pusara Keramat...." 

Bersamaan habis kata-katanya, tiba-tiba 
saja hujan turun, curahan air menghambur dari 
udara. Kilat menyambar yang sesekali menerangi 
tempat itu. Petir berpesta pora, laksana petasan 
raksasa. Kejap itu pula tempat itu laksana hendak 
dihantam kiamat kecil. 

Malaikat Biru tetap berdiri di tempatnya. 
Tubuhnya tidak basah sama sekali. Karena, ca- 
haya biru yang memancar dari tubuhnya mengha- 
langi tumpahan air hujan. 

Dia masih terpaku di sana. 

***

LIMA 

HUJAN masih turun walaupun pagi sudah 
datang. Sinar matahari kali ini sia-sia menerangi 
persada. Angin lintang pukang bergemuruh diting- 
kahi sambaran kilat dan ganasnya salakan petir. 
Tanah becek terjadi di mana-mana, air mengge- 
nang. Beberapa buah pohon tumbang, terpental 
dan ambruk di tanah becek. 

Dengan membawa pakaian dan jubah putih 
milik Pratiwi, Raja Naga terus berlari, menghindari 
hujan juga berusaha untuk menemukan Pratiwi 
dengan segera. 

Karena tempat di mana dia berlari sedang 
diamuk badai. Raja Naga sukar untuk menentu- 
kan arah yang dituju. Tetapi dia terus berlari. Se- 
kujur tubuhnya telah basah. 

Yang diinginkannya saat ini adalah mencari 
tempat berteduh. Tetapi sepanjang jalan dia berlari 
hanya terdapat pohon-pohon besar saja yang tak 
mungkin dijadikannya sebagai tempat berteduh,
mengingat dapat disambar kilat atau petir. Dan 
anak muda itu sendiri tidak tahu, sudah seberapa 
jauh dia berlari. 

Tiba-tiba matanya yang tajam dan bersorot 
angker, menangkap satu bayangan gubuk tatkala 
kilat menyambar. Segera anak muda dari Lembah 
Naga ini berlari ke sana. Langsung menyelinap ke 
dalam gubuk yang gelap gulita. 

"Bila cuaca seperti ini terus, maka akan se- 
makin banyak waktuku yang terbuang sia-sia," de- 
sisnya sambil mengerahkan hawa panas dalam tu- 
buhnya. Hanya beberapa kejap saja, seluruh tu- 
buhnya termasuk pakaian yang dikenakan telah 
mengering. 

Kembali pemuda berompi ungu ini mende- 
sis, "Hingga saat ini aku belum menemukan di 
mana Lesmana dan Ratih berada. Dan sekarang, 
Pratiwi yang tidak ketahuan batang hidungnya. 
Kalau memang dia yang telah membunuh Beliung 
Kutuk, mengapa dia harus meninggalkan tempat 
itu?" 

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 
kirinya sebatas siku ini berpikir keras untuk me- 
mecahkan masalah yang dihadapinya. Sedikit ba- 
nyaknya dia mulai menangkap apa yang sesung- 
guhnya sedang dihadapi. 

Tiba-tiba saja kepalanya ditolehkan ke ka- 
nan. Walaupun saat itu yang terdengar hanyalah 
gemuruh hujan dan angin, namun pendengaran- 
nya yang tajam menangkap satu gerakan di luar 
menuju ke gubuk di mana dia berada. 

"Hemmm... ada seseorang yang melangkah 
dengan berat menuju ke sini. Nampaknya orang 
itu sedang membawa sesuatu hingga langkahnya 
menjadi berat. Apakah aku harus menghindar 
atau..." 

Kata batin Boma Paksi terputus, karena 
orang yang didengar langkahnya telah masuk ke 
dalam gubuk itu. Orang itu menurunkan sesuatu 
di punggungnya pada dipan reyot yang ada di gu- 
buk itu. 

Mendadak orang itu berpaling ke belakang 
disertai bentakan, "Rupanya ada manusia busuk 
di sini!!" 

Wuuutttt!! 

Dalam keadaan gelap. Raja Naga menang- 
kap satu gerakan ke arahnya. Cepat digerakkan 
tangan kanannya. 

Buk! 

Terdengar jeritan dari orang yang melanear- 
kan jotosan tadi. Sementara itu, sesuatu yang tadi 
diletakkannya di dipan reyot bersuara, "Kakang! 
Ada apa?!" 

"Tenang! Diam-diamlah kau di situ! Ada pe- 
nyeUnap yang ingin mencari mampus!!" 

"Heiii!!" Raja Naga berseru tertahan, karena 
merasa mengenali suara kedua orang itu. Tetapi 
urung berseru lagi karena satu desiran angin men- 
garah padanya. Kali ini dia tidak menangkis, 
hanya menghindar saja. 

Tetapi orang yang menyerang itu tak mau 
tahu. Penuh kemarahan dipercepat serangannya. 
Bahkan dapat membuat rubuh gubuk itu. 

"Tahan!!" seru Raja Naga sambil memiring- 
kan tubuhnya. Dan.... 

Des! 

Jotosannya mampir pada tulang iga si pe- 
nyerangnya yang sedikit terhu3rung. Karena Raja 
Naga tak mempergunakan tenaga penuh, orang itu 
segera dapat berdiri tegak kembali. 

"Lesmana!!" serunya kemudian. 

Orang yang menyerangnya tadi terdiam 
dengan mata memicing. Dicobanya untuk melihat 
siapa orang yang berseru. Tetapi hanya kegelapan 
yang nampak. 

"Siapa kau?!" serunya curiga. 

"Astaga! Apakah kau tidak mengenaliku?" 

Bukannya orang yang menyerang yang ber- 
seru, tetapi orang yang berada di dipan yang ber- 
suara, "Boma! Kaukah itu Boma?!" 

Raja Naga cepat mendekat. 

"Benar, Ratih! Aku Boma!" 

"Astaga!" seru orang yang menyerang tadi. 
"Gila! Aku tidak tahu kalau itu kau adanya. Raja 
Naga!" Raja Naga tertawa pelan. 

"Bila Ratih tak buka suara, aku pun tak 
akan mengenali kalian. Hei, bagaimana kabarmu?" 

Orang yang menyerang tadi yang bukan lain 
Lesmana menarik nafas pendek. Kegembiraan ter- 
hias di wajahnya. Apa yang dilakukan oleh Lesma- 
na tadi hanyalah sebuah gerakan yang telah terla- 
tih. Dalam keadaan seperti Ini, Lesmana memang 
menjadi orang yang serba curiga. Apalagi amarah 
masih bergolak di dadanya. 

Tanpa dapat menutupi kegembiraannya, 
Lesmana menceritakan apa yang dialaminya ber- 
sama Ratih. 

"Jadi dia berhasil tiba di Tanah Kematian 
dan menyelamatkan Ratih," kata Raja Naga dalam 
hati. Kemudian berkata, "Aku mungkin juga akan 
mendapatkan kesukaran seperti yang kau hadapi 
untuk menemukan di mana letak totokan Kem- 
bang Darah di tubuh Ratih. Tetapi, biarlah kueo- 
ba...." 

Lesmana menyingkir ketika dirasakan Raja 
Naga mendekati Ratih yang masih terbaring di di- 
pan. Dipicingkan matanya untuk menatap sosok 
gadis yang dalam keadaan tertotok itu. 

Ratih bisa melihat sorot keangkeran di mata 
yang menatapnya. 

"Terima kasih. Gusti.... akhirnya kau sudahi 
juga penderitaanku ini...," katanya dalam hati. 

"Maaf," desis Raja Naga sambil meraba len- 
gan Ratih. Ditekannya lengan itu pelan-pelan. Ra- 
tih merasa ada hawa panas mengalir dalam tu- 
buhnya. 

Dalam gelap seperti ini, memang sulit buat 
Raja Naga untuk dapat menemukan totokan di tu- 
buh Ratih dengan segera. Makanya dia berulang 
kali memeriksa. 

"Di bagian atas tubuhmu tak ada tanda- 
tanda totokan itu berada, Ratih." 

"Aku tidak bisa berbalik." 

"Tidak usah. Kau tahan sedikit, mungkin 
sekarang akan terasa lebih panas dari sebelum- 
nya." 

Ratih mengangguk-angguk. Tetapi segera 
berueap karena sadar Raja Naga tidak akan meli- 
hat anggukannya. 

"Ya...." 

Pemuda pewaris Ilmu Dewa Naga itu mena- 
rik napas pendek. Lalu ditempelkan telunjuknya 
pada punggung tangan Ratih yang segera merasa- 
kan adanya hawa panas yang merambat. Seperti 
apa yang telah diberitahukan Raja Naga, Ratih me- 
rasa hawa panas itu semakin lama bertambah me- 
nyengat. 

Dia mengeluh. 

"Boma... apakah Ratih tidak apa-apa?" 
tanya Lesmana eemas yang mendengar keluhan 
itu. 

"Tidak apa-apa. Aku masih berusaha me- 
nemukan di mana letak totokan itu...," sahut Raja 
Naga. 

Sementara itu dalam waktu singkat sekujur 
tubuh Ratih telah dibanjiri keringat. Berulang kali 
mulutnya keluarkan keluhan menahan hawa pa- 
nas yang tak terkira. Bila saat ini ada eahaya sedi- 
kit saja, maka akan terlihat kalau wajah gadis ber- 
kuncir dua itu seperti kepiting rebus. 

"Gagal...," desis Raja Naga sambil mengang- 
kat telunjuknya dari punggung tangan Ratih. 

Ratih menarik napas lega. 

"Boma... kau tentunya tahu bukan, apa 
akibatnya bila seseorang tertotok dan tak bisa di- 
buka dalam waktu beberapa hari?" seru Lesmana 
cemas. 

Di luar hujan terus mengguyur bumi. Petir 
seperti hendak meluluhlantakkan bumi. 

Raja Naga menyahut, "Aku tahu. Tetapi...." 

Memutus kata-katanya sendiri dia berkata pada 
Ratih, "Kita beristirahat dulu sejenak. Karena... 
aku akan mempergunakan ilmu 'Rabaan Naga' un- 
tuk menemukan totokan itu." 

"Mengapa tidak segera kau lakukan saja?" 
desis Ratih. "Aku sudah bosan dalam keadaan se- 
perti ini!" 

"Dalam keadaan tertotok kau tak mungkin 
dapat mempergunakan tenaga dalammu, bahkan 
kau tak akan mampu untuk memulihkan kea- 
daanmu," sahut Raja Naga pelan. 

"Aku tak mengerti maksudmu..." 

Lesmana yang menjawab, "Dalam keadaan 
tertotok seperti ini kau hanya dapat mengandalkan 
tenaga yang tersisa belaka tetapi tak bisa berbuat 
apa-apa. Mungkin Ilmu 'Rabaan Naga' yang dimili- 
ki Raja Naga akan dapat membuatmu eelaka. Ka- 
rena kau, tak bisa menahannya mengingat tenaga 
dalammu seperti lenyap." 

Ratih mendesis, "Begitukah maksudnya. 
Raja Naga?" 

"Ya! Begitulah maksudnya. Aku tak ingin 
membuatmu celaka. Kendati kau tak bisa memu- 
lihkan tenagamu saat ini, tetapi paling tidak biar- 
kanlah hingga napasmu teratur dan degup jan- 
tungmu seirama seperti semula. Kau paham, Ra- 
tih?" 

"Ya, ya...," sahut Ratih sedikit kecewa. 

Raja Naga berkata pada Lesmana, "Kau tadi 
bilang, kau berjumpa dengan Setan Keris Kembar 
dan Kembang Darah. Apakah kau mengetahui se- 
suatu dari pertemuan mereka?" 

Lesmana hampir saja menceritakan perbua- 
tan mesum kedua orang itu, tetapi masih ditahan- 
nya mengingat di sana ada Ratih. Lalu dikatakan- 
nya, "Tak banyak yang kuketahui kalau keduanya 
ternyata bersekutu. Ketika aku tiba di Tanah Ke- 
matian, aku juga melihat Setan Keris Kembar ber- 
tarung dengan seorang kakek berjuluk Datuk 
Meong Moneng yang berhasil memutus tangan kiri 
Setan Keris Kembar dan hampir saja memperma- 
lukan Ratih!" 

Raja Naga mendengar suara Lesmana me- 
ninggi, tetapi dibiarkan saja pemuda bertelanjang 
dada itu meneruskan ucapannya, "Saat aku 
menghindari Setan Keris Kembar dan Kembang 
Darah, aku memikirkan sesuatu." 

"Beri tahu padaku," sahut Raja Naga. 

"Kembang Darah menulis, kalau dia mem- 
bawa Ratih ke Tanah Kematian. Dan di tempat 
berbau busuk itu, ternyata tinggal seorang kakek 
berjuluk Datuk Meong Moneng. Keherananku itu 
kusampaikan pada Ratih yang memberitahuku ka- 
lau Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng 
bersekutu. Bahkan Kembang Darah telah men- 
gambil Bunga Kemuning Biru yang diserahkannya 
pada Datuk Meong Moneng. Dan...." 

"Tunggu," potong Raja Naga. "Bunga Ke- 
muning Biru berada di tangan Datuk Meong Mo- 
neng?" 

"Itu yang kuketahui." 

"Mengherankan." 

"Apa maksudmu dengan mengherankan?" 

"Sebelum ini aku pernah bertarung dengan 
Kembang Darah yang telah membunuh Dewi Pe- 
renggut Sukma. Dan perempuan itu memperguna- 
kan Bunga Kemuning Biru." 

"Astaga! Jadi maksudmu.... Kembang Darah 
telah menipu Datuk Meong Moneng dengan mem- 
berikan bunga kemuning biru yang palsu?" 

"Bisa jadi! Karena aku menyaksikannya 
sendiri! Atau... dia memang belum menyerahkan 
bunga itu pada Datuk Meong Moneng?" 

"Tak mungkin! Menurut Ratih, Kembang 
Darah langsung menyerahkan Bunga Kemuning 
Biru pada Datuk Meong Moneng." 

"Hemmm... berarti yang diberikan Kembang 
Darah itu memang bunga yang palsu. Pantas, pan- 
tas dia berkata begitu.... " 

"Berkata apa?" 

Raja Naga menjawab, "Tidak, tidak apa-apa. 
Teruskan eeritamu, Lesmana...." 

"Sekarang kita sama-sama mengetahui, ka- 
lau Setan Keris Kembar dan Kembang Darah ber- 
sekutu. Demikian pula Kembang Darah dengan 
Datuk Meong Moneng. Tetapi, mengapa Setan Ke- 
ris Kembar dan Datuk Meong Moneng bertikai?" 

Tak ada yang menjawab pertanyaan Lesma- 
na yang lebih banyak ditujukan pada dirinya sen- 
diri. Keheningan itu terjaga beberapa saat sampai 
Raja Naga berkata, "Aku bisa menduganya. Kem- 
bang Darahlah orang yang memainkan semua ini. 
Tentunya dia memiliki maksud tertentu dengan 
menguasai Bunga Kemuning Biru dan menyerah- 
kan bunga yang palsu pada Datuk Meong Moneng. 
Dia juga tahu kalau Setan Keris Kembar meng- 
hendaki Bunga Kemuning Biru dan dikatakannya 
kalau bunga yang diinginkan Setan Keris Kembar 
berada di tangan Datuk Meong Moneng." 

"Lieik!" geram Lesmana, rahangnya menger- 
tak. 

"Ya! Orang itulah yang membuat keadaan 
ini menjadi kaeau! Tetapi... mengapa Datuk Meong 
Moneng... Ah, tidak, tidak...." Raja Naga berkata 
pada Ratih, "Apakah kau sudah tenang sekarang?" 

"Ya...." 

"Baiklah... kita coba lagi untuk menemukan 
totokan yang kau alami itu...." 

Sementara Raja Naga mengangkat tangan 
kanannya setelah memusatkan pikirannya seje- 
nak, Lesmana membatin; "Nampaknya ada sesua- 
tu yang diketahui Raja Naga tetapi enggan menga- 
takannya padaku dan Ratih. Mengapa, mengapa 
dia bersikap seperti itu? Apakah sebenarnya dia 
belum menemukan kejelasan dari apa yang dipi- 
kirkannya?" 

Di lain kejap Lesmana tak lagi memikirkan 
hal itu. Samar-samar dilihatnya tangan kanan Ra- 
ja Naga yang terangkat itu seperti bergetar. 

"Nampaknya dia telah mengeluarkan ilmu 
'Rabaan Naga'. Mudah-mudahan kali ini tak me- 
nemukan kesulitan seperti sebelumnya...." 

Di pihak lain Ratih tiba-tiba saja merasa tu- 
buhnya seperti disergap hawa yang luar biasa din- 
gin. Menyusul hawa panas yang silih berganti. Be- 
rulang kali dia berteriak kesakitan. Lesmana sen- 
diri segera mendekap kepala gadis itu, memberinya 
ketegaran hati dalam dekapannya. Sesaat tadi dia 
sempat terkejut ketika merasakan betapa dingin 
pipi gadis itu. Men3aisul terasa panas yang amat 
menyengat. Kedua telapak tangannya pun telah 
basah oleh keringat yang membasahi sekujur tu- 
buh Ratih. 

Selang beberapa lama terdengar suara Raja 
Naga, "Hebat, hebat sekali Kembang Darah!" 

"Kau menemukan totokan itu?" tanya Lesmana. 

"Ya! Totokan itu seperti totokan biasa sebe- 
narnya tetapi mengandung racun yang sangat ber- 
bahaya. Racun itulah yang membuat kita tak mu- 
dah menemukan di mana totokan itu berada." 

"Gila!! Boma! Apakah kau sudah...." 

"Jangan panik! Racun itu telah kupunahkan." 

Lesmana menghela napas lega. "Syukurlah...." 

Ratih merasakan urat darah di atas pa3ai- 
dara kanannya disentuh oleh telunjuk Raja Naga. 
Lalu ditekan yang membuat tubuhnya mengejut 
disusui teriakan, "Aaaaakhhhh!!" 

"Boma! Kenapa dengan Ratih?" teriak Les- 
mana kaget. 

"Tak usah cemas. Dia telah berhari-hari da- 
lam keadaan tertotok. Tentunya terasa sakit bila 
totokan itu dibuka." 

"Tetapi tubuhku masih belum dapat dige- 
rakkan" desis Ratih. 

"Kerahkan hawa murnimu pelan-pelan, lalu 
kerahkan tenaga dalammu." 

Gadis jelita itu menuruti kata-kata Raja Na- 
ga. Selang beberapa tarikan napas berlalu, dia mu- 
lai dapat menggerakkan kedua tangannya. Men3m- 
sul kakinya. "Oh! Terima kasih, Boma!" desisnya 
sambil duduk. 

"Bersemadilah dulu. Pulihkan tenagamu...." 

Ratih melakukan perintah itu. Raja Naga 
berkata pada Lesmana, "Aku tak bisa lama di sini. 
Aku harus meneari Pusara Keramat. Lesmana, kau 
jaga Ratih. Bila dia telah pulih, sebaiknya kau da- 
tangi Bukit Tidar. Setelah urusanku selesai, aku 
akan mencari kalian di sana. Bahkan kalau mung- 
kin, mengembalikan Bunga Kemuning Biru pada 
kalian...." 

"Raja Naga... aku masih memiliki dendam 
pada Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Lupakan dendammu. Tugasmu adalah 
menjaga Ratih. Ikutilah saranku, karena apa yang 
kita hadapi ini merupakan lawan-lawan tangguh 
yang berotak licik...." 

"Tapi...." 

Raja Naga sudah memotong, "Pakaianmu te- 
lah dikenakan oleh Ratih. Ini ada baju dan jubah 
putih. Berikan pada Ratih dan kau bisa memakai 
pakaianmu kembali." 

Habis kata-katanya, anak muda bersisik 
pada lengan kanan kiri sebatas siku itu, sudah 
melangkah keluar. Dipandanginya cuaca yang ma- 
sih mengganas. Kejap berikutnya dia sudah berlari 
meninggalkan tempat itu. 

Lesmana menarik napas panjang. 

"Terima kasih, Boma.... Terima kasih...," de- 
sisnya pelan, lalu ditutupnya pintu gubuk itu dan 
ditungguinya Ratih yang masih bersemadi. 

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, satu 
sosok tubuh yang membiarkan tubuhnya basah 
diterpa hujan, keluar dari balik semak belukar di 
samping kanan gubuk itu. Sosok ini menyeringai 
lebar. Satu pikiran hinggap di benaknya. 

Masih menyeringai, orang ini mengendap- 
endap mendekati gubuk di mana Lesmana dan Ra- 
tih berada.

***

ENAM 

HUJAN sudah lama berhenti. Senja baru sa- 
ja datang. Udara terasa segar laksana pagi hari. 
Datuk Meong Moneng menghentikan langkahnya 
ketika menangkap gerakan di belakangnya. 

"Terkutuk! Rupanya ada yang mengikutiku!" 
makinya dalam hati seraya berbalik. 

Dilihatnya satu sosok tubuh berpunuk telah 
berdiri di hadapannya. Mulut sosok berpunuk itu 
mengunyah sirih dengan enaknya, eairan merah 
dari sirih itu berlelehan keluar. 

"Meong Moneng! Apa kabarmu?!" Kakek 
muka kueing beijubah hitam itu menggeram. 

"Nyi Bawung! Mengapa kau berada di sini, 
hah?! Dan... ke mana perginya si Kontet yang sela- 
lu bersamamu itu?!" serunya dengan wajah dite- 
kuk. Lalu menyambung dalam hati, "Edan! Bagai- 
mana aku tidak tahu kalau diikuti olehnya? Dari 
sikapnya jelas-jelas kalau dia sudah lama mengi- 
kutiku!" 

Sosok berpunuk yang ternyata Nyi Bawung 
terkikik. 

"Tidak perlu berbasa-basi! Aku tahu Bunga 
Kemuning Biru berada di tanganmu! Tapi... aku 
tak menginginkan lagi benda itu, asalkan kau ber- 
sekutu denganku untuk membunuh Raja Naga!" 

Datuk Meong Moneng yang tadi sempat me- 
negakkan kepala dengan wajah geram, kali ini ju- 
stru mengerutkan keningnya. Mata merahnya tak 
berkedip memandang si nenek berpakaian com- 
pang-eamping yang memperlihatkan sepasang pe- 
paya busuk mengga3ait turun. 

"Gila! Siapa lagi yang buka permainan ini, 
hingga nenek peot ini mengatakan Bunga Kemun- 
ing Biru ada padaku?" desisnya dalam hati. "Kepa- 
rat! Siapa lagi yang bikin urusan jadi berantakan 
ini kalau bukan Kembang Darah! Terkutuk!!" 

"Kau tidak menjawab, berarti kuanggap kau 
setuju untuk membantuku membunuh Raja Na- 
ga!" seru Nyi Bawung sambil maju dua langkah. 

"Mengapa kau hendak membunuh pemuda 
usil yang banyak eampuri urusan orang?!" 

"Dia telah membunuh si Kontet!" suara Nyi 
Bawung mengeras. "Kau dengar. Meong Moneng? 
Dia telah membunuh Beliung Kutuk!" 

Datuk Meong Moneng tak menjawab. 

"Dia mengajakku bergabung untuk mem- 
bunuh Raja Naga? Hemm... kesempatan bagus! 
Bagus sekali!" 

Habis membatin begitu, tiba-tiba saja, ka- 
kek muka kucing itu tertawa keras. Menyusul ka- 
ta-katanya, "Bila kau memang ingin bersekutu 
denganku, tak akan pernah kutolak! Aku juga in- 
gin membunuh pemuda dari Lembah Naga itu ka- 
rena dia dapat mendadak muncul untuk menga- 
caukan semua rencanaku! Nyi Bawung... Ada satu 
hal yang harus kuberitahukan padamu!" 

"Katakan!" 

"Bunga Kemuning Biru tak berada padaku!" 
Bukannya heran atau gusar, Nyi Bawung justru 
terkikik. 

"Kau pandai berdusta rupanya! Pandai se- 
kali! Tetapi bagiku itu biasa, biasa dilakukan orang 
busuk sepertimu!" 

"Apa yang kukatakan ini sebuah kebena- 
ran!" sambung Datuk Meong Moneng sambil me- 
nindih amarahnya diejek seperti itu. 

"Oya?!" 

"Kembang Darah telah memuslihatiku! Dis- 
erahkannya bunga kemuning biru palsu padaku 
sementara yang asli ada padanya!" 

"O ya?" 

"Keparat! Dia masih mengejekku juga?!" ge- 
ram Datuk Meong Moneng. Lalu berseru lagi, "Kau 
dapat membuktikannya nanti, karena saat ini aku 
sedang mencari perempuan cabul itu!" 

"Busyet! Seingatku dia adalah tempat pe- 
lampiasan nafsumu? Ah, laki-laki memang seperti 
itu! Puas menghisap sari seorang perempuan, lalu 
pindah ke perempuan lain! Bahkan memfitnah pe- 
rempuan itu! Dasar!" 

"Kau dapat membuktikannya!" 

"Peduli setan apa yang kau katakan! Kau 
bantu aku membunuh Raja Naga, aku akan mem- 
bantumu untuk menangkap Kembang Darah!" 

"Itu pun lebih baik! Kita berangkat seka- 
rang! Aku sudah tak sabar untuk membunuh pe- 
muda dari Lembah Naga itu!" 

"Setelah semua urusan selesai, kita bahu 
membahu untuk membunuh Malaikat Biru agar 
dapat menuju ke Pusara Keramat!" 

Kepala Datuk Meong Moneng seperti ter- 
lempar ke belakang mendengar kata-kata yang tak 
disangkanya. Kedua matanya melebar. 

Nyi Bawung terkikik. 

"Busyet! Kau hendak melihat sepasang 
payudaraku yang montok ini agar lebih jelas, atau 
kau memang heran aku mengetahui tentang Pusa- 
ra Keramat?!" 

"Perempuan tua ini benar-benar terkutuk! 
Dia dapat mengejutkanku! Dan nampaknya... dia 
juga tahu tentang sesuatu yang tersimpan di Pusa- 
ra Keramat," kata Datuk Meong Moneng dalam ha- 
ti. 

Lalu tertawa untuk menutupi kekagetannya tadi. 

"Tak pernah kuketahui kalau kau terlalu 
banyak tahu. Nyi Bawung!" 

"Hik hik hik... karena aku bukanlah orang 
yang suka meNyimpan segala rahasia! Meong Mo- 
neng! Apakah sekarang kau tetap akan menyim- 
pan rahasia?!" 

"Tak ada lagi rahasia yang bisa kusimpan di 
hadapanmu!" 

"Bagus! Bagus sekali!" Nyi Bawung mem- 
buang cairan merah dari mulutnya. "Ciuuhhh!!" 

Cairan merah itu menghanguskan semak 
belukar. 

"Dia mau pamer rupanya," dengus Datuk 
Meong Moneng dalam hati. "Aku mesti bersabar." 

"Katakan padaku, apa yang tersimpan di 
Pusara Keramat!" 

Kali ini Datuk Meong Moneng tertawa keras. 
Tanah berhamburan dan dedaunan beterbangan. 
Ranting-ranting pohon pun patah, menimbulkan 
suara berderak karena bertabrakan satu sama 
lain. Tindakan itu dilakukan untuk membalas apa 
yang dilakukan Nyi Bawung. 

"Nyi Bawung... ternyata aku salah mengira! 
Kau tidak terlalu banyak tahu!" 

"Hik hik hik... itulah sebabnya aku mau 
meneari tahu!" 

"Sayang sekali! Aku pun tidak tahu apa 
yang tersimpan di Pusara Keramat!" 

"Suaramu tidak bergetar, tidak mengan- 
dung tekanan. Bebas mengambang! Ya, kau tidak 
berbohong!" 

"Apakah kita tetap bersekutu?" 

"Urusan itu tetap dijalankan! Dan urusan 
Pusara Keramat, adalah urusan sendiri-sendiri!" 
sahut Nyi Bawung sambil mendahului melangkah 
sambil terkikik-kikik. 

Datuk Meong Moneng menggeram dalam 
hati. "Kau akan melihat siapa yang berhasil men- 
dapatkan sesuatu di Pusara Keramat!" 

"Astaga!" seru Raja Naga sambil menghenti- 
kan larinya di jalan setapak. Saat ini malam telah 
menyelimuti alam kembali. Sepasang mata anak 
muda bersisik eoklat itu memandang tak berkedip 
ke depan "Tidak salahi Yang kulihat tadi memang 
eahaya berwarna biru, melesat dengan cepat ke 
arah utara! Gila! Pertanda apa ini?!" 

Selagi anak muda berambut dikuncir kuda 
itu memikirkan apa yang dilihatnya, cahaya biru 
itu terlihat lagi di kejauhan. 

"Aneh! Cahaya biru itu seperti berwujud sa- 
tu sosok tubuh! Gila! Apakah aku sudah gila?!" 

Tetapi yang dilihatnya itu memang cahaya 
biru yang terus bergerak menjauh. Penasaran 
menggumpal di dada Raja Naga. Segera saja dipu- 
tuskan untuk mengikuti cahaya biru yang sangat 
terang karena malam yang cukup gelap. 

Semakin diikuti, cahaya biru Itu semakin 
cepat bergerak. Raja Naga jadi jengkel sendiri akan 
tindakan yang dilakukannya. Dikerahkan ilmu pe- 
ringan tubuhnya untuk mengejar cahaya biru itu. 
Namun cahaya biru terus semakin menjauh. 

Tanpa sepengetahuan Raja Naga semak be- 
lukar yang tadi dilewatinya merebak sedikit. Sepa- 
sang mata memperhatikan tak berkedip. 

"Raja Naga...," desis orang yang mengintip itu. 

Mendengar ucapan orang itu, perempuan 
bertubuh montok yang terlentang di atas tanah 
dengan napas masih terengah-engah serentak 
bangkit. 

"Setan Keris Kembar! Apa kau bilang?!" 

Setan Keris Kembar menyahut tanpa meno- 
leh, "Raja Naga! Dia berlari ke arah utara!" 

"Keparat! Pemuda itu harus mampus!" 

"Jangan gegabah!" tahan Setan Keris Kem- 
bar. "Aku melihat cahaya kebiruan di kejauhan 
dan nampaknya Raja Naga sedang mengikuti ea- 
haya biru itu!" 

Kembang Darah yang masih dalam keadaan 
polos, memungut kutang merahnya yang segera 
dipakai untuk menutupi buah dadanya yang mon- 
tok. Lalu dibebatkan kain hitam ke tubuh bagian 
bawah. 

"Peduli setan apa yang kau katakan! Pemu- 
da itu pernah hampir meneelakakanku! Dia harus 
menerima balasan!" 

Setan Keris Kembar yang telah berpakaian 
dan begitu mendengar suara orang berlari tadi se- 
gera mengintip, tak menjawab. Selang beberapa 
saat terdengar ucapannya, "Cahaya biru... cahaya 
biru... Astaga! Bukankah... bukankah...." 

"Apa yang mau kau katakan?" sahut Kem- 
bang Darah kesal. 

"Kembang Darah! Nampaknya kita semakin 
dekat pada tujuan!" 

"Jangan berbelit-belit!" 

"Malaikat Biru memiliki ciri seperti itu! Dan 
aku yakin, cahaya biru itu keluar dari sosok Ma- 
laikat Biru!" 

"Maksudmu.... Raja Naga mengejar Malaikat 
Biru?" 

Setan Keris Kembar mengangguk cepat. 

"Tetapi menurutmu. Pusara Keramat masih 
jauh dari sini! Bagaimana..." 

"Itu urusan nanti!" sahut Setan Keris Kem- 
bar. "Nampaknya Malaikat Biru hendak menun- 
jukkan sesuatu pada Raja Naga!" 

"Mengapa?" 

"Jangan tanya aku! Tetapi ini adalah sesua- 
tu yang penting dan kita tak boleh luput untuk 
mengetahuinya!" sahut Setan Keris Kembar sambil 
melompati ranggasan semak. Kejap lain dia sudah 
berlari. 

Kembang Darah tak beranjak. Wajahnya te- 
gang dengan tatapan penuh sinar amarah. Tiba- 
tiba ditepukkan kedua tangannya, yang tak men- 
geluarkan suara sedikit pun. Tahu-tahu jatuh se- 
suatu dari udara yang segera ditangkapnya. Dita- 
tapnya. Bunga Kemuning Biru yang disimpannya 
di udara dengan bantuan tenaga dalamnya. 

Kejap lain dia sudah men3aisul Setan Keris 
Kembar. 

Berjarak dua puluh langkah, pemuda dari 
Lembah Naga itu terus berusaha men3aisul cahaya 
biru yang terus bergerak. Rasa jengkel mulai 
membias perasaannya. Tetapi karena penasaran 
yang kuat, ditindih rasa jengkelnya itu. 

"Aku tidak tahu apakah tindakanku ini bo- 
doh atau tidak? Tetapi aku penasaran ingin men- 
getahui siapakah orang yang mengeluarkan ca- 
haya biru itu?" serunya sambil terus mengejar. 

Jauh di belakangnya Kembang Darah yang 
telah berhasil men3rusul Setan Keris Kembar me- 
nahan langkah kakek berjubah hitam itu. 

"Aku menuruti apa yang kau katakan! Biar 
dendamku untuk sementara kukubur! Tetapi, ke- 
hadiran kita jangan sampai diketahui olehnya!" 

Setan Keris Kembar mengangguk. Matanya 
menghujam pada sepasang bukit putih montok 
yang tak pernah puas dieiumi dan dihisapnya. 

Kembang Darah hanya mendengus. Se- 
sungguhnya dia tak dapat lagi menahan kemara- 
hannya pada Raja Naga. Diingatnya bagaimana 
Raja Naga mempercundanginya, bahkan hampir 
membuatnya tewas! Tetapi untuk saat ini, Kem- 
bang Darah rela menindih amarah dan dendam- 
nya. 

Di depan Raja Naga tahu-tahu menjejakkan 
kaki kanannya di atas tanah. 

Wuuuttt!! 

Tubuhnya melenting ke udara, berputar be- 
berapa kali sambil mengerahkan ilmu peringan tu- 
buhnya. Jaraknya dengan eahaya biru itu semakin 
dekat. Tetapi begitu kedua kakinya hinggap kem- 
bali di atas tanah, eahaya biru itu telah menjauh 
kembali. 

"Heiiii! Berhenti!! Siapa kau sebenarnya?!" 
serunya penasaran bercampur jengkel. 

"Kalau memang cahaya biru berbentuk satu 
sosok tubuh itu memang Malaikat Biru, apa yang 
hendak dilakukannya?" tanya Kembang Darah pa- 
da Setan Keris Kembar. 

"Aku tidak tahu! Tetapi kuharap, kita men- 
dapatkan jejak yang tepat! Hanya sayang. Bunga 
Kemuning Biru tidak kita miliki!" sahut Setan Ke- 
ris Kembar sambil menjaga jarak. 

"Mengapa kau memikirkan Bunga Kemun- 
ing Biru?" 

"Benda itulah yang dapat membunuh Ma- 
laikat Biru!" 

"Kalau begitu... mengapa pula kita harus 
memburu Pusara Keramat?!" 

Setan Keris Kembar melirik. Sambil men- 
dengus dia berkata, "Ternyata kau euma bisa me- 
muasi setiap laki-laki dengan tubuh montokmu!" 

"Apa maksudmu berkata begitu?!' Paras 
Kembang Darah memerah. 

"Kau tidak tahu, kalau sebenarnya Pusara 
Keramatlah yang diburu oleh banyak orang!" 

Mata Kembang Darah melebar. Dia tidak 
bertanya lagi, tetapi mengikuti langkah Setan Keris 
Kembar. 

***

TUJUH 

RAJA Naga yang masih mengejar sosok ber- 
eahaya biru itu, mendadak mengerutkan kening- 
nya. "Aneh! Sejak tadi eahaya biru itu bergerak lu- 
rus, tetapi sekarang dia berbelok ke kanan! Gila! 
Apakah memang itu arah yang ingin ditempuhnya? 
Atau ada sesuatu yang menyebabkanhya berbe- 
lok?" Sambil terus mencoba mengejar cahaya biru 
itu. Raja Naga berkata lagi dalam hati, "Tetapi yang 
paling pokok, siapa orang yang mengeluarkan ca- 
haya biru itu?! Tetap kuikuti saja ke mana per- 
ginya orang bercahaya biru itu!" 

Di belakang Setan Keris Kembar mendesis, 
"Kembang Darah! Mungkin kita akan tiba di Pusa- 
ra Keramat tanpa bersusah payah harus melewati 
dua pohon bersilangan! Mungkin ini jalan potong 
yang paling mudahi" 

"Mudah-mudahan!" sahut Kembang Darati 
yang masih memikirkan kata-kata Setan Keris 
Kembar tadi. Dia menyambung dalam hati, "Pusa- 
ra Keramat? Di dalam pusara itu ada sesuatu yang 
tersembunyi? Hemm... pantas, pantas Datuk 
Meong Moneng menghendaki Bunga Kemuning Bi- 
ru untuk membunuh Malaikat Biru! Karena.... Ma- 
laikat Biru merupakan penghalang baginya untuk 
mendapatkan sesuatu yang tersimpan di Pusara 
Keramat! Dan mengapa dia men3airuhku untuk 
membunuh Raja Naga, tentunya karena dia tahu 
kalau anak muda itu akan melibatkan diri! Bagus! 
Bisa kubayangkan kalau akulah yang akan men- 
guasai semua ini!" 

Didengarnya kata-kata Setan Keris Kembar, 
"Hemmm... baru ku tahu kalau jalan menuju ke 
Pusara Keramat melewati tempat ini. Kau lihat. 
Malaikat Biru terus mengarahkan Raja Naga agar 
mengikutinya." 

Kembang Darah tidak menyahut. Walaupun 
dia memikirkan benda apa kira-kira yang tersim- 
pan di Pusara Keramat, tetapi dia juga merasa he- 
ran ketika melihat cahaya biru itu berbelok. 

"Sejak tadi Malaikat Biru terus melangkah 
lurus ke depan. Mengapa tahu-tahu dia berbelok? 
Bahkan belokan ini penuh belukar, tidak merupa- 
kan jalan setapak. Hemm... ini terlalu aneh! Apa- 
kah orang itu hendak menyesatkan jalan?" Dilirik- 
nya Setan Keris Kembar yang sama sekali tidak 
merasa aneh akan hal itu. "Sebaiknya, kulihat saja 
apa yang terjadi." 

Di depan, cahaya biru itu semakin lama 
semakin menjauh. Raja Naga yang sejak tadi su- 
dah keluarkan ilmu peringan tubuhnya namun be- 
lum dapat memperpendek jarak, masih berusaha 
mengejarnya. Tetapi tiga kejapan mata kemudian, 
cahaya biru itu lenyap secara tiba-tiba. 

"Heiii!!" seru pemuda berompi ini tertegun. 
Napasnya agak memburu dengan dada turun naik. 

Di belakang baik Setan Keris Kembar mau- 
pun Kembang Darah sama-sama segera menyeli- 
nap ke balik sebuah semak. 

Perempuan berkutang merah itu berbisik, 
"Aku menangkap gelagat tidak baik." 

"Apanya yang tidak baik, bah?!" 

"Malaikat Biru tiba-tiba berbelok dan seka- 
rang menghilang!" 

"Jangan banyak omong! Tak lama lagi kita 
tiba di Pusara Keramat!" 

Perempuan berkutang merah itu mengge- 
ram pelan. 

"Dengar baik-baik! Sejak tadi Malaikat Biru 
tak pernah berbelok, berjalan terus lurus ke de- 
pan! Tahu-tahu dia berbelok dan sekarang lenyap! 
Apakah kau tidak merasa aneh?" 

Kali ini Setan Keris Kembar mengerutkan 
keningnya. Tapi di saat lain dia mendengus, 

"Kau terlalu mengada-ngada!" 

"Apa maksudmu dengan mengada-ngada?" 
suara Kembang Darah mulai meninggi. Tak suka 
pendapatnya dilecehkan seperti itu. 

"Malaikat Biru menghilang tiba-tiba, itu ar- 
tinya dia tidak perlu lagi menunjukkan Jalan me- 
nuju ke Pusara Keramat pada Raja Naga. Berarti... 
pusara itu ada di sekitar sini." 

"Dungu!" geram Kembang Darah geram. "Itu 
berarti.... Malaikat Biru mengetahui kalau kita 
mengikutinya!" 

Setan Keris Kembar menoleh dengan mata 
sedikit melebar. Dilihatnya panearan ejekan dari 
mata Kembang Darah. Dia mendengus sebelum 
menyibakkan semak belukar itu sedikit. Dilihatnya 
pemuda berompi ungu itu masih berdiri di tem- 
patnya. 

Kembang Darah berkata lagi, "Kau terlalu 
dibuai kegembiraan akan menemukan Pusara Ke- 
ramat. Apakah kau pikir Malaikat Biru begitu bo- 
doh?" 

"Jangan membuatku gusar!" 

"Kau yang membuatku gusar! Tak kau per- 
gunakan otakmu untuk memikirkan apa yang se- 
benarnya hendak dilakukan Malaikat Biru!" 

Kakek yang lengan kirinya telah buntung 
itu menggeram, tetapi dibenarkannya juga kata- 
kata Kembang Darah. 

"Ueapanmu itu bisa jadi benar, tetapi kita 
harus membuktikannya!" 

"Bagaimana eara kau untuk.... " 

Kata-kata Kembang Darah terputus, karena 
satu suara penuh wibawa telah mendahului, 
"Hemm... pantas, pantas sekali eahaya biru itu 
menghilang! Rupanya ada dua eeeunguk yang juga 
mengikuti!" 

Seperti maling kesiangan, keduanya sejenak 
gelagapan. Tapi di lain saat sama-sama berdiri te- 
gak. Setan Keris Kembar sudah melompat dengan 
kaki kanan meneuat begitu mengetahui siapa 
orang yang barusan keluarkan suara. 

Raja Naga menarik mundur wajahnya, lalu 
melepaskan pukulan. 

Des! 

Bila saja Setan Keris Kembar tak segera 
membuang tubuh, dapat dipastikan dia akan ter- 
hu3nmg ke belakang. Karena Raja Naga telah 
mempergunakan setengah dari kekuatan tangan- 
nya yang dipenuhi sisik coklat. 

Sementara itu. Kembang Darah yang sebe- 
narnya tak mampu lagi memendam niatnya untuk 
membalas dendam, juga sudah meluneur sambil 
menjentikkan tangannya 

Trikkk! 

Sraaatt! 

Beberapa gelombang angin laksana jarum 
melesat ke arah Raja Naga yang telah berdiri tegak. 
Anak muda itu menjerengkan matanya seraya 
mendeham. 

Gelombang angin itu putus di tengah jalan 
terhantam tenaga tak nampak dari kekuatan de- 
haman Raja Naga. Dan saat itulah Setan Keris 
Kembar telah masuk menyerang disusul Kembang 
Darah. 

"Mungkin inilah sebabnya mengapa orang 
yang mengeluarkan cahaya biru itu tiba-tiba ber- 
belok dan menghilang," desis Raja Naga dalam hati 
sambil menghindar. "Kembang Darah dan Setan 

Keris Kembar! Aku harus bertindak eepat sebelum 
Kembang Darah mempergunakan lagi Bunga Ke- 
muning Biru." 

Kejap lain dijejakkan kaki kanannya untuk 
melepaskan jurus 'Barisan Naga Penghaneur Ka- 
rang'. Disusul kibasan tangan kanan kirinya le- 
paskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 

Sementara Setan Keris Kembar dapat 
menghindar, perempuan berkutang merah meme- 
kik tertahan tatkala merasakan betapa derasnya 
angin yang keluar dari gerakan tangan kanan kiri 
Raja Naga. Sambil mundur tiga langkah, perem- 
puan ini mengatupkan kedua tangannya di depan 
dada, lalu diputar dan dipentangkan lebar-lebar. 

Wrrrrrll 

Blaaammm! 1 

Letupan keras terjadi, tempat itu sesaat se- 
perti bergetar. Raja Naga terseret beberapa tindak 
ke belakang. Begitu kedua kakinya tegak kembali 
di atas tanah. Raja Naga sudah meneelat ke depan 
dengan gerakan memutar di udara. Dan tiba-tiba 
meluruk dengan kedua kaki siap menghantam da- 
da Kembang Darah yang membelalak. 

Des! Des! 

Dada montok perempuan itu telak terhan- 
tam hingga tubuhnya terjajar ke belakang. Murid 
Dewa Naga itu memang tak mau bertindak ayal, 
mengingat Kembang Darah masih memiliki Bunga 
Kemuning Biru. Segera diburunya perempuan itu. 

Tetapi satu sinar hitam bergelombang dela- 
pan kali telah menyongsongnya. 

Raja Naga mengertakkan rahangnya sambil 
membuang tubuh ke samping kanan. 

Blaaarrr!! 

Sinar hitam bergelombang delapan yang ke- 
luar dari keris kakek berlengan kutung. Itu meng- 
hantam sebuah pohon hingga hangus bagian ten- 
gahnya! 

Di pihak lain Kembang Darah telah berdiri 
kembali. Dipandanginya pemuda berompi ungu itu 
yang berdiri sejarak dua belas langkah dari tem- 
patnya. 

"Astaga! Tatapan matanya benar-benar 
membuat jantung orang bisa putus!" desisnya da- 
lam hati. "Waktu itu aku dapat menandinginya 
dengan mempergunakan Bunga Kemuning Biru. 
Tetapi sekarang, sulit kukeluarkan benda itu men- 
gingat kehadiran Setan Keris Kembar di sini. Se- 
baiknya... kubiarkan saja dulu kakek buntung itu 
menghadapinya! Bila dia sudah mampus, itulah 
saatnya kupergunakan Bunga Kemuning Biru!" 

"Pemuda celaka! Menyingkir dari sini sebe- 
lum kau mampus!" bentak Setan Keris Kembar 
bengis. Napasnya memburu. Amarahnya memblu- 
dak, mengingat tadi dipecundangi dengan mudah. 

Raja Naga tak menjawab. Diliriknya Kem- 
bang Darah. 

"Hemmm... ternyata yang kuduga benar. 
Kembang Darah berusaha memanfaatkan keheba- 
tan Setan Keris Kembar. Terbukti dia tak mau 
mengeluarkan Bunga Kemuning Biru. Ini satu ke- 
sempatan...." 

Habis membatin demikian, pemuda bersisik 
coklat itu sudah menerjang ke arah Kembang Da- 
rah. Tetapi sinar hitam bergelombang delapan itu 
menghalanginya. 

Tanpa menghentikan gerakannya. Raja Na- 
ga mendorong tangan kanannya. 

Wuuusss!! 

Jlegaaaarr!! 

Bertemunya gelombang angin yang disem- 
burati asap merah dengan sinar hitam bergelom- 
bang delapan dari sepasang keris kakek berpa- 
kaian hitam itu mengakibatkan ledakan yang he- 
bat. Seketika tanah berhamburan ke udara seting- 
gi dua tombak. 

Tiba-tiba terdengar teriakan membelah lan- 
git. Satu bayangan hitam telah melesat dari ham- 
buran tanah itu didahului sinar hitam bergelom- 
bang delapan. 

Raja Naga yang surut dua langkah mengge- 
ram! Sorot matanya yang angker berkilat-kilat 
memandang datangnya sinar hitam bergelombang 
delapan. 

Tanpa bergeser dari tempatnya, ditepuk 
tangan kanannya. 

Wuutttll 

Blaaaaammm 11 

Masing-masing orang mundur akibat kuat- 
nya benturan itu. Tetapi Raja Naga sudah melesat 
ke depan disertai dorongan tangan kanan kirinya. 
Gelombang angin yang disemburati asap merah 
menggebrak. 

Setan Keris Kembar memekik kaget. Cepat- 
cepat dia membuang tubuh ke samping kiri. 

Blaaam! Blaaamm! 

Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar 
ke udara dan tatkala luruh kembali ke bumi, di 
tanah itu telah membentuk dua buah lubang yang 
mengeluarkan asap! 

Raja Naga eepat meluruk ke depan disertai 
gerengan yang keras. Tangan kanan kirinya menjo- 
tos, disusul dengan satu tendangan yang mengan- 
dung tenaga dalam tinggi. 

Kendati masih dapat menghindari serangan 
itu, tetapi Setan Keris Kembar merasa wajahnya 
seperti ditampar, yang segera memerah karena pe- 
dih. Napasnya memburu keneang. Kepiasan nam- 
pak di wajah penuh keriputnya. 

Raja Naga sendiri memang tak mau bertin- 
dak ayal. Dia kembali memburu, 

Des! Des! 

Terlontar tubuh Setan Keris Kembar ke be- 
lakang dan berhenti setelah menabrak sebuah po- 
hon! 

Tubuhnya terbanting lagi ke depan. Untuk 
beberapa saat kakek berlengan buntung ini seperti 
tak mampu untuk bangkit. Ketika dia perlahan- 
lahan bangkit berdiri, terlihat eairan merah telah 
merembas di sudut-sudut bibirnya. 

Justru kegeramannya bukan ditujukan pa- 
da Raja Naga yang telah berdiri tegak tanpa melan- 
jutkan serangan, melainkan pada Kembang Darah, 
"Perempuan eabul! Mengapa kau diam saja, bah?! 
Kau ingin melihat aku mampus?!" 

Kembang Darah mendelik. 

Terkutuk! Bentakannya membuatku tak sa- 
bar untuk menghancurkan kepalanya! Tetapi ti- 
dak, dia masih kubutuhkan! Sebaiknya.... 

Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba 
Kembang Darah menyibakkan kain hitam yang di- 
kenakannya! Paha gempalnya terlihat jelas. 

Setan Keris Kembar yang melihat bagian da- 
lam Kembang Darah yang tertutup kain merah 
jambu menggeram sengit. 

"Terkutuk! Rupanya dia hendak mengalah- 
kan Raja Naga dengan mempergunakan kemulu- 
san tubuhnya! Dasar perempuan tidak tahu... 
heiii!!" 

Setan Keris Kembar membeliak, mulutnya 
masih membuka. Dilihatnya Kembang Darah telah 
memegang sebuah bunga kemuning berwarna bi- 
ru. 

"Astaga! Apa-apaan ini? Ola... dia... keparat 
hina! Dia mengelabuiku!!"geramnya dalam hati. 

Tanpa melihat Kembang Darah tahu apa 
yang dipikiran Setan Keris Kembar. Dia berucap 
dingin, "Panjang untuk menjelaskan bagaimana 
Bunga Kemuning Biru ada padaku! Sekarang... 
kau lihat saja, bagaimana pemuda celaka itu akan 
mampus kubunuh!!" 

Kejap itu pula disertai pekikan keras, pe- 
rempuan berpa 3 aidara montok itu melesat ke de- 
pan. Bunga Kemuning Biru digerakkan dengan ca- 
ra disentak. 

Wrrrrrr!! 

Gelombang sinar biru yang mengeluarkan 
hawa panas luar biasa menggebrak ganas. Pepo- 
honan yang terserempet hawa panas itu seketika 
mengering dan berguguran. 

Raja Naga segera membuang tubuh ke 
samping kanan. Sempat dilihatnya bagaimana 
ranggasan semak di belakangnya seketika hangus 
terkena hawa panas, dan tanah terbongkar ke 
udara setelah terjadi letupan. 

"Berbahaya!" desis pemuda bersisik ini. Per- 
lahan-lahan mata angkernya semakin berkilat- 
kilat mengerikan. Sisik-sisik eoklat yang terdapat 
di tangan kanan kirinya sebatas siku, semakin je- 
las kentara. "Aku harus bertindak cepat!" 

Sadar kalau dia tidak bertindak cepat maka 
keadaan akan menjadi gawat, dikeluarkannya ilmu 
'Naga Mengamuk'. Disertai gerengan keras, anak 
muda itu menerjang. 

Kembang Darah yang juga pernah mengha- 
dapi jurus itu pun tak mau bertindak ayal walau- 
pun dia tak mau gegabah. Yang terjadi kemudian 
sungguh sesuatu yang mengerikan. 

Pepohonan tercabut dan terlempar akibat 
dorongan desiran angin yang keluar dari tangan 
kanan kiri Raja Naga. Paras tampan anak muda 
itu meregang tegang. Tatapan matanya angker dan 
bertambah angker. Sisik-sisik eoklat pada kedua 
tangannya semakin terang menyala, berkilat-kilat. 
Kemarahan telah mendera dirinya. 

Setan Keris Kembar yang geram merasa di- 
muslihati Kembang Darah, buru-buru men 3 dngkir 
karena merasakan hawa panas yang luar biasa. 

"Terkutuk! Aku paham sekarang! Aku pa- 
ham!" desisnya berulang-ulang sambil memperha- 
tikan pertarungan ganas itu. "Dia sengaja menje- 
bakku dengan tubuh mulusnya, agar aku jadi 
pengikutnya dan mau membunuh Datuk Meong 
Moneng yang dikatakan memiliki Bunga Kemuning 
Biru! Setan alas! Perempuan itulah yang menjadi 
penyebab buntungnya tangan kiriku ini! Tetapi... 
di mana Bunga Kemuning Biru disembuNyikannya 
selama ini?!" 

Pertarungan ganas dan mengerikan itu te- 
rus berlangsung. Beberapa kali benturan dahsyat 
terjadi. Tempat itu laksana diamuk kiamat. Tanah 
berhamburan setinggi dua tombak, beterbangan 
menghalangi pandangan. Letupan demi letupan 
terdengar keras dan angker. 

Hingga suatu ketika, gelombang sinar biru 
yang panas luar biasa menderu menyeret tanah 
dan bergemuruh dahsyat ke arah Raja Naga yang 
segera mendorong kedua tangannya. 

Gelombang angin raksasa disaputi asap me- 
rah pun menggebrak. Menghantam dahsyat ge- 
lombang sinar biru yang mengandung hawa panas 
luar biasa. Akibatnya.... 

Blaaaammm!!! 

Ledakan luar biasa meletup dahsyat. Tanah 
munerat setinggi empat tombak disertai meng- 
hamburnya sinar biru dan asap semburat merah. 
Ranggasan semak menghangus. Pepohonan layu 
setelah menggugurkan seluruh dedaunannya. Dari 
muneratan tanah yang menghalangi pandangan, 
terlempar dua sosok tubuh ke belakang. 

Raja Naga berusaha menguasai keseimban- 
gannya dan segera merangkapkan kedua tangan- 
nya di depan dada. Hawa panas tinggi melingkupi 
sekujur tubuhnya. Di lain pihak. Kembang Darah 
masih terhuyung-huyung dengan bibir mengalir- 
kan darah segar. Dijejakkan kaki kanannya hingga 
huynngan tubuhnya berhenti. Napasnya terputus- 
putus dengan sekujur tubuh terasa ngilu. 

Segera dikerahkan hawa murninya untuk 
menahan rasa sakit yang menghantam dadanya. 
Tatapannya penuh bara dendam pada Raja Naga. 

"Terkutuk! Bunga Kemuning Biru telah ter- 
lihat oleh Setan Keris Kembari Dan pemuda ini la- 
gi-lagi mampu mempercundangiku! Setan alas! 
Rupanya hanya segini saja kesaktian Bunga Ke- 
muning Biru yang digembar-gemborkan mampu 
membunuh Malaikat Biru!" geramnya sengit. Teta- 
pi diputuskan untuk tidak segera menyerang pe- 
muda itu lagi, karena nafasnya terasa sesak. 

Di pihak lain Raja Naga membatin, "Aku 
merasa pasti, ada sesuatu pada Bunga Kemuning 
Biru yang mungkin hanya diketahui oleh men- 
diang Durga Marakayangan atau Malaikat Biru." 

Tak ada yang buka mulut. Setan Keris 
Kembar, menggeram dalam hati, "Hebat! Bunga 
kemuning itu memang hebat! Tapi sungguh kepa- 
rat perempuan cabul itu yang berhasil menjebakku 
dalam pusaran permainannya!" 

Keheningan yang terjaga itu tiba-tiba dipe- 
cahkan oleh satu suara menggidikkan bulu roma, 
"Meoooongg! Perempuan terkutuk! Rupanya kau 
berada di sini!!" 

Men3aisul suara tadi, dua sosok tubuh me- 
lompat dari sebelah kanan dan hinggap di atas ta- 
nah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. 

***

DELAPAN 

BUKAN hanya Kembang Darah yang terke- 
jut melihat siapa orang yang muncul. Setan Keris 
Kembar sendiri segera diamuk amarah begitu 
mengenali salah seorang dari mereka. Di pihak 
lain, Raja Naga mundur dua langkah. Dengan so- 
rot matanya yang angker, diperhatikannya kedua 
orang itu. 

Kakek berjubah hitam berwajah kucing itu 
menggeram pada Kembang Darah, "Perempuan 
terkutuk!! Tak pernah kusangka kalau kau me- 
mancing di air keruh! Berani memuslihatiku ada- 
lah suatu tindakan yang luar biasa!" 

Wajah Kembang Darah memucat. "Celaka! 
Mengapa dia harus muncul di saat aku terluka da- 
lam seperti ini? Menjalankan rencanaku pun seka- 
rang ini tak ada gunanya. Setan Keris Kembar bisa 
membongkar rahasia!" 

Datuk Meong Moneng menyeringai. "Paras- 
mu menunjukkan ketakutan! Sayang, aku tak 
pernah mengampuni orang sepertimu!!" 

Belum habis bentakannya kakek muka kuc- 
ing itu sudah menerjang ke depan. Tangan kanan 
kirinya membentuk cakar yang segera digerakkan. 
Desiran angin kuat mendahului gerakannya. 

Kembang Darah yang belum berhasil me- 
mulihkan tenaganya tersentak. Buru-buru dia 
menghindar ke belakang seraya menggerakkan 
Bunga Kemuning Biru. 

Wrrrrrrr!! 

Gelombang sinar biru menderu ganas. 

Kepala Datuk Meong Moneng menegak 
tatkala dirasakan hawa panas mengarah padanya. 
Dikatupkan mulutnya, lalu dihamburkan udara di 
dalamnya dengan eara menyentak! 

Bruuusssll 

Hanya sedikit hawa panas itu yang putus di 
tengah jalan. Sementara Datuk Meong Moneng ha- 
rus melompat ke samping kiri. 

"Gila!" bentaknya ketika telah berdiri tegak. 

Kembang Darah menyeringai dan berseru 
mengejek, "Huh! Kau boleh membanggakan selu- 
ruh ilmumu padaku waktu itu. Meong Moneng! Te- 
tapi sekarang... jangan berharap kau dapat mem- 
perlihatkannya lagi!!" 

Habis ejekannya. Kembang Darah sudah 
melesat seraya menggerakkan Bunga Kemuning 
Biru! 

Sementara itu nenek berpakaian compang- 
camping berpunuk pada punggungnya, memicing- 
kan matanya pada Raja Naga. Sinar bahaya berki- 
lat-kilat di matanya yang celong. 

"Aku telah bersumpah untuk mencabut 
nyawamu! Beliung Kutuk! Kau lihatlah apa yang 
akan kulakukan padanya!!" 

Kejap itu pula dia menerjang ke depan. 

Wussss!! 

Raja Naga yang masih dalam keadaan ter- 
luka dalam akibat benturan yang dialaminya tadi 
memutuskan untuk menghindari serangan itu. 

Selagi dia bergulingan mendadak... 

Cuiihhh! 


Craaaattt!! 

Cairan merah yang berasal dari kunyahan 
sirih Nyi Bawung menyerbu ke arahnya. Masih da- 
lam keadaan berguling pemuda berompi ungu ini 
memutar tangan kanannya. 

Melihat serangannya dapat diputuskan, Nyi 
Bawung menerjang dengan eara melompat-lompat 
yang lompatannya semakin lama semakin tinggi, 
bahkan dua kali melebihi tingginya Raja Naga. Dan 
setiap kali dia melompat, laksana sebuah palang 
tegak lurus dengan langit, menggebah satu tenaga 
tak nampak. 

"Lagi-lagi dipergunakan ilmu anehnya itu!" 
desis Raja Naga dalam hati. Sempat dilihatnya ba- 
gaimana Kembang Darah dan Datuk Meong Mo- 
neng bertarung dengan sengit. Juga dilihatnya Se- 
tan Keris Kembar telah berdiri dengan memegang 
sebilah keris bereluk delapan. 

Raja Naga menggereng keras seraya menje- 
jakkan kakinya di atas tanah. Bersamaan tanah 
yang berhamburan, tubuhnya melenting ke depan. 

Nyi Bawung yang saat ini sedang melompat 
terkikik. Kaki kanannya dijejakkan, siap meng- 
haneurkan kepala Raja Naga yang segera mena- 
hannya. Namun anak muda itu harus mengu- 
rungkan niatnya menyerang, karena cairan merah 
yang keluar dari mulut Nyi Bawung harus dihinda- 
rinya. 

"Kau tak bisa mengelabuiku dengan cara 
bodohmu ini. Raja Naga!" ejeknya terus melompat- 
lompat. 

"Nyi Bawung! Aku juga punya urusan den- 
gan anak muda itu!" seruan itu terdengar bersa- 
maan sinar hitam bergelombang delapan kali me- 
nerjang ke arah Raja Naga. 

"Hik hik hik... kau sudah terluka parah, Se- 
tan Keris Kembari Tapi bila kau memang ingin ee- 
pat mampus, bolehlah kau bersama-sama dengan- 
ku bergembira dengannya!" 

Setan Keris Kembar tak mempedulikan eje- 
kan itu. Diserangnya Raja Naga dengan ganas. Be- 
gitu melihat kehadiran Datuk Meong Moneng di 
sana, sesungguhnya hatinya marah luar biasa. In- 
gin segera diserangnya kakek muka kucing itu. 

Tetapi dia juga gusar karena telah dikelabui 
oleh Kembang Darah. Makanya dibiarkan saja ke- 
dua orang itu saling menyerang. Karena dengan 
cara seperti itu. Setan Keris Kembar bukan hanya 
dapat melampiaskan amarahnya hanya pada satu 
orang. Tetapi keduanya sekaligus yang saling me- 
nyerang satu sama lain! 

Menghadapi dua serangan ganas yang da- 
tang silih berganti, membuat Raja Naga banyak 
kehilangan keseimbangan. Bila saja saat ini dia ti- 
dak terluka dalam akibat benturan dengan Kem- 
bang Darah, mungkin dia masih dapat mengim- 
banginya. 

Dua kali tendangan kaki kiri Nyi Bawung te- 
lak ke dadanya yang membuatnya terhu3aing. Da- 
rah keluar dari sela-sela bibirnya. Tetapi masih di- 
usahakan untuk tidak ambruk. Raja Naga sadar, 
sedikit saja dia lengah, maka akan berakibat fatal. 
Hanya saja, saat ini tenaganya telah banyak terku- 
ras! Ilmu ‘Naga Mengamuk’ yang harus memper- 
gunakan tenaga kuat pun tak banyak dapat digu- 
nakannya, Bahkan... dess!! 

Des!! 

Jotosan keras Nyi Bawung disusul dengan 
tendangan kaki kanan Setan Keris Kembar mem- 
buat sosok pemuda dari Lembah Naga itu terlem- 
par dan terbanting! 

"Inilah saat-saat yang kutunggu!" seru Nyi 
Bawung, sambil melompat tinggi-tinggi dia melu- 
nak deras laksana batu besar jatuh dari langit. Ke- 
dua kakinya lurus siap menghantam kepala Raja 
Naga yang masih tergeletak! 

Saat itu pagi telah datang. 

Sebelum ajal menjemput Raja Naga, tiba- 
tiba saja selarik sinar biru melesat. 

Wuuuttt!! 

"Keparat!!" maki Nyi Bawung sambil berpu- 
tar dua kali di udara. Serentak kepalanya dipa- 
lingkan ke kanan. Disangkanya Kembang Darah 
yang melakukan tindakan itu. Tetapi saat ini Kem- 
bang Darah masih terus berkutat menghadapi se- 
rangan ganas Datuk Meong Moneng! 

Di pihak lain Raja Naga sendiri telah bang- 
kit terhuyung-huyung. 

"Bukan, bukan Kembang Darah yang mela- 
kukannya!" desisnya dan merasakan hawa dingin 
melingkupi tubuhnya. "Sinar biru yang barusan 
itu mengandung hawa dingin, sementara sinar bi- 
ru yang berasal dari Bunga Kemuning Biru men- 
gandung hawa panas." 

Apa yang dipikirkannya singgah pula di be- 
nak Nyi Bawung. Ditahannya Setan Keris Kembar 
yang siap menyerang Raja Naga kembali. 

"Jangan banyak omong!" bentaknya begitu 
Setan Keris Kembar hendak membuka mulut. "Se- 
seorang telah datang ke sini, seseorang yang jelas- 
jelas bukan berpihak pada kita!" 

Mendengar kata-kata itu Setan Keris Kem- 
bar terdiam. Baru disadarinya kalau hawa dingin 
menyergap tubuhnya. 

"Malaikat Biru!!" serunya tiba-tiba dengan 
kepala tegak. 

Seruannya itu sudah tentu mengejutkan 
orang-orang yang berada di sana. Termasuk Datuk 
Meong Moneng yang melompat ke belakang dan 
menghentikan serangannya. Kembang Darah sen- 
diri berbuat yang sama. 

Setan Keris Kembar berseru keras seraya 
memutar tubuhnya, "Malaikat Biru! Jangan men- 
jadi seorang pecundang bila takut mampus! Keluar 
kau!! Atau... aaakhhhh!!" 

Tubuh Setan Keris Kembar mendadak ter- 
pelanting di atas tanah. Bersamaan dengan itu, sa- 
tu cahaya biru nampak melayang di udara. Berpu- 
tar beberapa kali lalu hinggap di atas tanah den- 
gan ringannya. 

Lima pasang mata tertuju pada kakek ber- 
pakaian biru yang sedang tersen3aim. Matanya te- 
duh. Wajahnya bijak. Dengan gerakan lembut di- 
usap-usap janggut putihnya. 

"Semua telah berkumpul di sini. Inilah saat 



yang tepat untuk memberitahukan sesuatu yang 
telah lama terpendam...." 

Datuk Meong Moneng menggeram sengit, 
"Kau mencoba mencari selamat dengan bicara se- 
perti itu!" 

"Aku ingin semua yang ada di sini selamat," 
sahut kakek bongkok yang dari tubuhnya meman- 
car cahaya biru. Lalu dipalingkan kepalanya pada 
Raja Naga, "Anak muda... telah kuputuskan kalau 
kaulah yang kutugaskan untuk menjaga keutuhan 
Pusara Keramat dari orang-orang serakah ini! Te- 
tapi sayang, dua manusia serakah yang berada di 
sini telah membuntuti kita! Pulihkanlah tenagamu 
dulu...." 

Raja Naga merangkapkan kedua tangannya 
di depan dada. 

"Malaikat Biru... akhirnya aku berjumpa ju- 
ga dengan orang yang julukannya sering disebut 
banyak orang ini. Ternyata dia cahaya yang kulihat 
dan mengetahui kalau Setan Keris Kembar serta 
Kembang Darah mengikuti...." 

Malaikat Biru maju dua langkah ke muka. 

"Tak ada yang perlu disembunyikan karena 
semua telah terbuka," katanya lembut. "Pusara 
Keramat... ya. Pusara Keramatlah yang hendak ka- 
lian tuju. Desas-desus yang berpuluh tahun ter- 
dengar kemudian terhempas dalam bumi lalu 
mencuat lagi ke gendang telinga, telah menyebab- 
kan kalian menjadi orang serakah, menjadi orang 
terkutuk yang mengorbankan banyak nyawa orang 
untuk mendapatkan apa yang tersimpan di Pusara 
Keramat. Padahal... tak seorang pun yang tahu 


apa yang tersimpan di pusara itu." 

"Tak usah banyak bicara! Menyingkir dari 
sini dan biarkan kami untuk mengetahui apa yang 
tersimpan di Pusara Keramat!" bentak Datuk 
Meong Moneng. 

"Aku tak pernah mengerti, mengapa pusara 
itu dianggap keramat hingga dinamakan Pusara 
Keramat," sabut Malaikat Biru tak mempedulikan 
bentakan Datuk Meong Moneng. "Dan semua ini 
harus diakhiri hingga tak ada lagi petaka yang da- 
tang demi memuaskan hawa nafsu!" 

"Semua ini memang harus diakhiri!" terden- 
gar bentakan Kembang Darah. "Kakek bercahaya 
biru! Kau lihat benda apa yang kupegang ini?!" 

Malaikat Biru tersenyum. 

"Sejak tadi aku tahu benda apa yang kau 
pegang itu. Tetapi sayang, benda itu bukanlah mi- 
likmu!" 

"Setan tua! Mampuslah kau!!" 

Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, pe- 
rempuan berkutang merah itu menggerakkan tan- 
gan kanannya. Serentak sinar biru yang mengan- 
dung hawa panas luar biasa menggebrak ke arah 
Malaikat Biru. 

Astaga! Malaikat Biru tidak bergeser dari 
tempatnya! Dia tetap tersen3aim, tetap berdiri di 
tempatnya! 

Raja Naga berseru seraya mendorong kedua 
tangannya, "Menyingkir, Orang tuaaaa!!" 

Gelombang angin raksasa yang keluar dari 
ilmu 'Naga Mengamuk' luput menghantam sinar 
biru berhawa panas yang terus menghantam Ma- 
laikat Biru yang tetap tak bergeming di tempatnya. 

Blaaaammmm!! 

Letupan dahsyat terdengar. Sinar biru itu 
bermuneratan seiring dengan tanah yang berham- 
buran. Raja Naga sendiri meNyingkir karena mera- 
sa hawa panas yang menyergapnya. 

Untuk beberapa lama tanah masih menye- 
limuti tubuh Malaikat Biru. 

Kembang Darah mendesis pada Datuk 
Meong Moneng, "Datuk! Kita lupakan dulu perti- 
kaian di antara kita! Kau lihat, aku telah menying- 
kirkan penghalang untuk menuju ke Pusara Ke- 
ramat!" 

"Perempuan setan! Jangan meneoba men- 
gambil keuntungan! Aku akan tetap membunuh- 
mu!" 

Kembang Darah menggeram. "Sejak tadi 
kau tak mampu menghadapiku! Apakah kau me- 
rasa akan...," 

"Tak ada yang perlu diributkan. Yang harus 
diselesaikan adalah agar kita bisa saling menyikapi 
satu sama lain...." 

Lima pasang mata yang berada di sana me- 
noleh pada orang yang tadi berbieara. Kepala mas- 
ing-masing orang seketika menegak dengan mata 
melebar. 

Malaikat Biru tersen3aim dengan sorot ma- 
tanya yang teduh. 

"Kita sudahi urusan ini dan kita biarkan 
Pusara Keramat tetap berada di tempatnya, tanpa 
dijamah oleh tangan-tangan kotor kalian." 

Habis ucapannya. Malaikat Biru melangkah
meninggalkan tempat itu. Tetapi satu gelombang 
sinar biru berhawa panas sudah mengarah pa- 
danya. Disusul muneratan cairan merah. Dalam 
waktu yang bersamaan, sinar hitam bergelombang 
delapan menyerbu pula, berbarengan dengan de- 
ruan angin dahsyat! 

Raja Naga membeliak melihat serangan be- 
runtun yang mengarah pada Malaikat Biru. Dia 
mendeham, disusul dengan dorongan kedua tan- 
gannya. 

Cairan merah dan sinar hitam bergelom- 
bang delapan kali putus terhantam angin raksasa 
bersemburat asap merah. Kedua orang pemilik se- 
rangan itu menggeram dan segera menerjang Raja 
Naga. 

Di pihak lain, sinar biru berhawa panas dan 
gelombang angin dahsyat menghantam Malaikat 
Biru. Lagi-lagi tanah menghambur ke udara, me- 
nyelubungi sosoknya yang bercahaya biru. 

Kembang Darah tak mau mengulangi kega- 
galannya tadi. Dia segera mencelat ke depan se- 
raya mendorong tangannya yang memegang Bunga 
Kemuning Biru. 

Blaaaarrrrll 

Hamburan tanah itu terhantam hingga se- 
makin tinggi ke udara. Tempat itu bergetar bebe- 
rapa saat. 

"Kali ini mustahil kau masih hidup. Malai- 
kat Biru!" desisnya puas sambil melirik Datuk 
Meong Moneng yang menunggu dengan tegang. 

Namun satu suara mengejutkan keduanya. 
"Kalian terlalu memaksaku untuk bertindak.... " 

Keduanya sama-sama menoleh ke samping. 
Malaikat Biru telah berdiri di sana sambil terse- 
n3aam! Dari sela-sela bibirnya terlihat mengalir da- 
rah kental. 

"Gila! Bagaimana dia bisa menghindar?!" se- 
ru Kembang Darah. 

"Kau terlalu dungu mempergunakan Bunga 
Kemuning Biru! Kau hanya menghantam hambu- 
ran tanah kosong belaka!" 

"Setan! Kau lihat apa yang kulakukan ini, 
Meong Moneng!!" 

Amarah yang sudah berada di ubun-ubun 
itu membuat Kembang Darah menjadi semakin 
buas dan liar. Dia benar-benar tak mengerti ba- 
gaimana mungkin Bunga Kemuning Biru yang di- 
katakan mampu membunuh Malaikat Biru tetapi 
ternyata tak memiliki kemampuan seperti yang di- 
harapkan. 

Malaikat Biru mendesah pendek sambil 
mengusap janggut putihnya. Dia memang tak ber- 
geser dari tempatnya, tetapi tangan kanannya di- 
angkat dan diputar sedikit. 

"Maafkan aku...." 

Wuussss!! 

Sinar biru berhawa dingin menggempur ke 
depan, membentur sinar biru berhawa panas. Si- 
nar-sinar itu bermuneratan di udara. Tanah seke- 
tika bergetar. Pepohonan kembali tumbang. Hawa 
panas dan dingin saling tindih. Tempat itu laksana 
dilanda prahara! 

Datuk Meong Moneng melihat sosok Kem- 
bang Darah terlempar ke belakang sementara Ma- 
laikat Biru tetap berdiri di tempatnya. Segera di- 
empos tubuhnya untuk menyongsong tubuh Kem- 
bang Darah. Tetapi bukan bermaksud untuk me- 
nangkapnya, melainkan untuk merebut Bunga 
Kemuning Biru yang dipegang oleh perempuan 
berkutang merah itu. 

Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, 
Kembang Darah masih dapat berpikir jernih. Dia 
tahu apa yang dihendaki oleh Datuk Meong Mo- 
neng. Dicoba untuk mempergunakan Bunga Ke- 
muning Biru guna menghalangi niat Datuk Meong 
Moneng. Tetapi dadanya yang terasa sesak mem- 
buat tenaganya seolah lenyap. Jalan satu-satunya 
hanya melempar Bunga Kemuning Biru ke udara! 

Datuk Meong Moneng menggeram sengit se- 
raya melompat. 

Nyi Bawung yang sedang mendesak Raja 
Naga menghentikan serangannya. Cepat pula di- 
putar tubuhnya dan melesat ke udara. 

"Keparat!!" maki Datuk Meong Moneng gu- 
sar. Kakinya dijejakkan ke bawah. 

Nyi Bawung terkikik. 

"Persekutuan kita berakhir! Aku juga men- 
ginginkan bunga itu. Meong Moneng!" 

Buk! Buk! 

Tangannya menangkis jejakkan kaki Datuk 
Meong Moneng. Masih berada di udara tiba-tiba 
lompatannya bertambah tinggi. Menggebah tenaga 
tegak lurus ke arah Datuk Meong Moneng yang 
terkejut. Dia berhasil menghindar dengan jalan 
menekuk tubuhnya, bahkan.... 

Crasss!! 

Kuku-kuku jarinya menyobek pakaian di 
lengan kanan Nyi Bawung hingga semakin eom- 
pang camping. 

Masing-masing orang hinggap kembali di 
atas tanah. 

Setan Keris Kembar yang melihat Bunga 
Kemuning Biru sudah meluneur ke bawah tanpa 
ada lagi yang siap mengambilnya, segera meneelat. 

Raja Naga tersentak. Segera dijejakkan kaki 
kanannya di atas tanah dan melesat lebih eepat 
dari Setan Keris Kembar yang masih berusaha 
menghalangi dengan kerisnya. Raja Naga berhasil 
menghindar, bahkan menendang kakek berlengan 
buntung itu hingga ambruk di atas tanah. 

Lalu... tap! 

Bunga Kemuning Biru telah berada di tan- 
gannya dan dia segera hinggap di samping kanan 
Malaikat Biru. 

"Pertunjukan telah selesai! Sebaiknya me- 
nyingkir!" 

"Kau salah besar. Raja Naga! Pertunjukan 
belum selesai! Bahkan akulah yang akan meme- 
gang peranan!" 

Raja Naga memalingkan kepalanya ke kiri. 
Dilihatnya dua sosok tubuh dalam keadaan terikat 
terbanting di atas tanah. Lalu dilihat satu sosok 
tubuh berhidung bangir tertawa dengan kaki men- 
ginjak kepala salah seorang yang terikat itu! 

***

SEMBILAN 

TAWA Datuk Meong Moneng tiba-tiba 
menggema. Apa yang telah dilakukan Nyi Bawung 
seketika dilupakan. 

"Bagus, Pratiwi! Kau muncul pada saat yang 

tepat!!" 

Gadis berhidung bangir itu tersen3mm. "Wa- 
lau agak meleset, tetapi rencanaku berhasil. 
Guru!" 

Raja Naga menggeram. 

"Rupanya ini jawaban dari kejanggalan yang 
kurasakan di saat kita bertemu dengan Datuk 
Meong Moneng, Pratiwi!" 

Gadis berhidung bangir yang menginjak ke- 
pala pemuda berpakaian merah itu menyeringai. 

"Oya? Raja Naga! Apakah kau ingin melihat 
kepala pemuda ini remuk kuinjak?! Cepat serah- 
kan Bunga Kemuning Biru itu!" 

"Kala kita berjumpa dengan Datuk Meong 
Moneng, kakek itu seperti hendak memanggil na- 
mamu, Pratiwi! Bahkan dia merasa heran melihat 
kau beringas seperti itu padanya! Tetapi kau begi- 
tu pandai memainkan perananmu kalau kau se- 
sungguhnya punya hubungan dengan Datuk 
Meong Moneng! Ya, itulah yang kurasakan sebagai 
kejanggalan!" 

"Kau memang cerdik! Tetapi sayang, ternya- 
ta aku lebih cerdik!" seringai Pratiwi. "Cepat lem- 
par Bunga Kemuning Biru bila tak ingin melihat 
kedua sahabatmu ini mampus kubunuh!!" 

Raja Naga melihat Lesmana meringis kesa- 
kitan. Kegeraman anak muda ini semakin menjadi- 
jadi. Sisik coklat pada lengan kanan kirinya seba- 
tas siku semakin kentara. 

"Aku tak punya banyak waktu! Cepat!!" 
Dengan bengis Pratiwi mengeraskan injakannya. 
Lesmana berteriak tertahan. Pratiwi menyepak wa- 
jahnya hingga darah keluar dari hidung pemuda 
itu. 

"Keparat!" maki Raja Naga dengan tangan 
mengepal. Sorot matanya bertambah angker. 

Pratiwi tertawa sambil menyepak wajah 
Lesmana berkali-kali hingga pemuda itu babak be- 
lur. Ratih yang melihat hal itu berseru tertahan, 
"Boma! Berikan Bunga Kemuning Biru padanya! 
Berikaaaann!!" 

Penuh kegeraman Raja Naga akhirnya me- 
lempar Bunga Kemuning Biru. 

"Tangkap, Guru!" seru Pratiwi. 

Datuk Meong Moneng segera menyambar 
Bunga Kemuning Biru dan kembali hinggap di atas 
tanah, kali ini di sisi Pratiwi. 

Dia tertawa lebar. 

"Menyenangkan! Semuanya berakhir me- 
nyenangkan!!" 

Di tempatnya Malaikat Biru berbisik, "Ta- 
han emosimu. Anak muda. Mereka kini menguasai 
semuanya...." Raja Naga hanya mengangguk. 

Datuk Meong Moneng berseru keras, "Bun- 
ga Kemuning Biru telah kudapatkan! Kumiliki juga 
dua nyawa yang tak berguna di sini! Rahasia Pusa- 
ra Keramat harus segera dipecahkan! Tetapi, seo- 
rang manusia harus mampus sekarang sebagai uji 
eoba!!" 

Tiba-tiba digerakkan tangan kanannya yang 
memegang Bunga Kemuning Biru sementara tata- 
pannya tetap tajam pada Raja Naga. Raja Naga 
sendiri bersiap. 

Tetapi yang mengejutkan, Datuk Meong 
Moneng justru berbalik ke samping kanan seraya 
menggerakkan Bunga Kemuning Biru. 

"Mampuslah kau, Kembang Darah!" 

Kembang Darah yang tak mampu lagi ber- 
gerak karena luka dalam dan kehabisan tenaga, 
membeliak lebar seolah bola matanya hendak me- 
lompat keluar. Dia masih berusaha untuk meng- 
hindari sinar biru yang mengandung hawa panas. 
Tetapi.... 

" Aaaakkbhhhh!!!" 

Blaaaaammm! 1 

Tubuhnya telah terhantam sinar biru itu 
sehingga terdorong sepuluh langkah ke belakang. 
Dan dia tewas seketika dengan tubuh bolongi 

Datuk Meong Moneng terbahak-bahak keras 
beberapa saat sebelum diputuskan tiba-tiba. Ma- 
tanya tajam pada Nyi Bawung. 

"Apakah sekarang kau masih berpikir untuk 
memutuskan persekutuan denganku?!" 

Nyi Bawung terkikik. Dadanya berdebar. 
Masih terkikik dia berkata, "Hik hik hik... kau se- 
perti tidak tahu siapa aku. Menjilat kakimu pun 
aku mau!" 

"Bagus! Setan Keris Kembar! Bagaimana 
dengan kau?!" 

Setan Keris Kembar terdiam beberapa saat 
sebelum mengangguk-angguk dengan wajah ge- 
ram. 

"Bagus!" seru Datuk Meong Moneng sambil, 
terbahak. "Bunuh pemuda itu dan Malaikat Birui!" 

"Guru!" seru Pratiwi tiba-tiba. Gadis berhi- 
dung bangir itu menatap Raja Naga tanpa kedip. 
"Mengapa harus bersusah payah? Bukankah Guru 
ingin membunuh Malaikat Biru? Suruh pemuda 
itu membunuhnya! Bila dia menolak... kedua ce- 
cunguk ini akan mampus kuinjak-injak!" 

Makin keras tawa Datuk Meong Moneng. 

"Raja Naga! Kau sudah mendengar omongan 
muridku! Cepat lakukan!!" serunya seraya me- 
langkah mendekati Ratih. "Kalau tidak...." 

Breeekkk! 

Pakaian bagian punggung yang dikenakan 
Ratih robek. Gadis itu menjerit. 

"Aku akan mempermalukan gadis ini di ha- 
dapanmu!!" 

Bergetar tubuh pemuda dari Lembah Naga 
itu. Tetapi dia tidak dapat melakukan apa-apa. Di- 
dengarnya Malaikat Biru berkata, "Ini sudah kele- 
wat batas...." 

Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap, yang nam- 
pak hanyalah gumpalan cahaya biru belaka yang 
segera melesat tanpa bisa diikuti oleh mata ke 
arah Datuk Meong Moneng. Kakek muka kucing 
itu terkesiap. Dia hendak menggunakan Bunga 
Kemuning Biru. Tetapi gumpalan cahaya itu telah 
menabraknya hingga tubuhnya terpental ke bela- 
kang. 

Bunga Kemuning Biru yang dipegangnya 
terlepas. Raja Naga yang tak menyangka akan hal 
itu, segera melesat ke depan. Tap! Bunga Kemun- 
ing Biru kini berpindah tangani 

Pratiwi tersentak melihat kenyataan yang 
terjadi. Terburu-buru diinjaknya kepala Lesmana 
lebih kuat. Tetapi satu gelombang angin telah 
membuatnya terpental. Raja Naga melesat eepat 
dan menyergap. 

"Kau tak pantas untuk hidup lebih lama se- 
benarnya!!" geramnya dingin dan... tuk! 

Tuk! 

Tubuh gadis berwajah mirip Diah Harum itu 
menggelosoh tanpa daya. Mulutnya memaki-maki 
keras. Juga memaki Datuk Meong Moneng yang 
sedang pontang-panting menghadapi serbuan 
gumpalan cahaya biru! 

"Dungu! Kakek bodoh! Mengapa kau lengah 
seperti itu, bah?!" 

Raja Naga mendesis. Ditatapnya Pratiwi pe- 
nuh kebencian. 

"Seorang perempuan seharusnya dapat 
mempergunakan hati dan nuraninya untuk bersi- 
kap lebih sopan. Tetapi kau, justru memutar ke- 
nyataan yang ada." 

"Setan bersisik! Buka totokanmu! Ayo, ha- 
dapi aku!!" geram Pratiwi sengit. 

Raja Naga tak mempedulikannya. Dibu- 
kanya ikatan pada Ratih yang segera bangkit 
memburu Lesmana yang babak belur. 

"Kakang,..." 

Lesmana tersenyum lemah, menerima pelu- 
kan Ratih setelah dibuka ikatannya oleh Raja Na- 
ga. Tiba-tiba saja Ratih berteriak keras seraya me- 
nyerbu ke arah Pratiwi. Dua jotosan yang mengan- 
dung tenaga dalam tinggi menghantam dada Pra- 
tiwi yang terlempar beberapa langkah. 

Raja Naga melengak. Dilihatnya sosok Pra- 
tiwi yang kini tergeletak menjadi mayat 

"Aku tidak tahu harus menyalahkan siapa?" 
desisnya masygul. 

Sementara itu, penuh kepuasan, Ratih 
kembali pada Lesmana. "Kau tidak apa-apa, Ka- 
kang?" 

Lesmana tersenyum. 

Sementara itu Raja Naga melihat sosok Se- 
tan Keris Kembar dan Nyi Bawung sudah tak be- 
rada di sana. Rupanya kedua orang itu merasa le- 
bih baik menyelamatkan diri melihat keadaan te- 
lah dikuasai oleh Raja Naga dan Malaikat Biru 

Di pihak lain. Datuk Meong Moneng terus 
berusaha untuk menghindari gempuran cahaya bi- 
ru yang berhawa dingin. Sulit baginya untuk me- 
lancarkan serangan balasan, karena sosok Malai- 
kat Biru tak terlihat sama sekali kecuali gumpalan 
cahaya biru belaka. 

"Bagaimana bisa kau dan Lesmana berada 
di bawah kekuasaan Pratiwi?" tanya Raja Naga 
sambil melirik Pratiwi yang telah menjadi mayat. 
Ditindih perasaan gelisah yang mendadak singgah 
di hatinya. Biar bagaimanapun juga, Pratiwi men- 
gingatkannya pada mendiang Diah Harum, gadis 
yang pertama kali dicintainya dan hingga sekarang 
masih dicintainya. 

Ratih segera menceritakan apa yang terjadi. 
Sepeninggal Raja Naga setelah membebaskan toto- 
kannya, tiba-tiba muncul seseorang yang langsung 
menyergap. Dalam keadaan gelap seperti itu, Les- 
mana tak bisa berbuat banyak. Dalam waktu sing- 
kat saja dia sudah dibuat tidak berkutik. Sementa- 
ra itu Ratih sendiri belum pulih benar keadaannya 
setelah berhari-hari dalam totokan, hingga dia pun 
dengan mudah dikalahkan oleh orang yang ternya- 
ta Pratiwi. 

"Bersyukurlah...," kata Raja Naga pelan. La- 
lu disodorkannya Bunga Kemuning Biru pada Ra- 
tih. "Benda ini milik kalian. Sesuai dengan janjiku, 
kuserahkan lagi benda ini walaupun bukan di Bu- 
kit Tidar...." 

Ratih memandang pemuda gagah itu seje- 
nak sebelum mengalihkan pandangannya pada 
Lesmana. 

"Kakang... apakah kita membutuhkan Bun- 
ga Kemuning Biru?" 

Lesmana tersenyuum, lalu menggeleng. 

"Tidak, kita sama sekali tidak membutuh- 
kan benda itu. Raja Naga... biarlah benda itu kau 
simpan saja...." 

"Aku tak berhak melakukannya...." 

"Kalau begitu... mungkin ada yang lebih 
berhak...," kata Lesmana sambil melirik ke samp- 
ing kanan. 

Raja Naga mengikuti arah lirikan Lesmana. 
Dilihatnya sosok Malaikat Biru yang sedang me- 
mandangi mayat Datuk Meong Moneng dengan 
penuh kesedihan. 

"Aku tak menghendaki hal ini terjadi... sama 
sekali tak pernah kuhendaki...." 

Lalu dia melangkah mendekati Raja Naga. 
"Anak muda... sebelum ini kuputuskan untuk me- 
limpahkan tanggung jawab tentang Pusara Kera- 
mat di pundakmu. Tetapi kupikir, biarlah aku 
yang menjaganya sampai ajal menjemputku...." 

Raja Naga mengangguk. Dapat dirasakan 
kepedihan pada suara orang tua itu. Lalu disodor- 
kannya Bunga Kemuning Biru pada orang tua itu. 

"Orang tua... mungkin di tanganmu benda 
ini akan lebih aman...." 

Malaikat Biru memandangi bunga itu seje- 
nak sebelum mengambilnya seraya berkata, "Aku 
sebenarnya tak berhak atas benda sakti ini. Dulu 
pun aku mengembalikannya pada Durga Mara- 
kayangan. Tetapi... mungkin ini memang yang ter- 
baik seiring dengan niatku untuk tetap berusaha 
tidak mengetahui apa yang ada di Pusara Keramat. 
Anak muda gagah... apakah kau setuju dengan 
ueapanku itu?" Raja Naga mengangguk. 

"Ya, itu lebih baik. Orang tua, aku hendak 
menanyakan sesuatu. Selama ini Bunga Kemuning 
Biru dianggap dapat membunuhmu, tetapi menga- 
pa kau tidak terkena pengaruh apa-apa dari bunga 
itu?" 

Malaikat Biru mengangkat kepalanya, me- 
mandang naungan langit yang eerah. 

"Biarlah itu menjadi rahasiaku...." 

Habis kata-katanya, kakek bereahaya biru 
itu segera meninggalkan tempat yang telah porak 
poranda. Raja Naga memandangi kepergiannya 
sampai lenyap di balik pohon dengan tatapan ka- 
gum. 

Lalu digalinya lubang untuk menguburkan 
mayat Kembang Darah dan Datuk Meong Moneng. 
Setelah itu didekatinya Lesmana dan Ratih. 

"Kita berpisah di sini...." 

"Kau hendak ke mana?" tanya Lesmana. 

"Aku tidak tahu hendak ke mana. Tetapi 
perjalananku masih panjang.... Sampai berjumpa 
lagi!" 

Kejap lain Raja Naga sudah berlari mening- 
galkan tempat itu, meninggalkan Ratih dan Les- 
mana yang masih berada di sana hingga senja mu- 
lai turun.... 

SELESAI 

Segera menyusul: 
ISTANA GERBANG MERAH

Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa