Raja Naga 13 - Bunga Kemuning Biru

SATU 

BAYANGAN merah itu berlari sedemikian ce- 
patnya hingga sangat sukar diikuti oleh mata. Setiap 
kali dia berlari, setiap kali pula ranggasan semak ter- 
papas rata ujungnya. Saat ini tengah malam telah tiba. 
Kegelapan menghantui daerah di mana si bayangan 
merah berlari. Hewan-hewan malam langsung masuk 
ke sarang tatkala merasakan ada gelombang angin 
yang bertebaran. Setelah gelombang angin yang keluar 
dari tubuh si Bayangan Merah berlalu, seiring dengan 
menjauhnya sosok yang berkelebat cepat itu, hewan- 
hewan itu baru berani lagi keluar dari sarang mereka. 

Tatkala matahari mulai menampakkan bias- 
bias merahnya yang meronai langit di timur, si Bayan- 
gan Merah memperlambat larinya, untuk kemudian 
berhenti sama sekali. Kendati hampir satu malam dia 
berlari, sama sekali tak terdengar nafasnya yang teren- 
gah-engah. Bahkan dadanya yang membusung itu pun 
tak bergerak cepat, tetap tenang seolah baru bangun 
dari tidur. 

Bayangan merah yang ternyata seorang perem- 
puan setengah baya ini, sejenak memperhatikan seke- 
lilingnya yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Se- 
telah itu, diarahkan pandangannya pada dua buah po- 
hon yang tumbuh secara aneh. Karena bagian bawah 
kedua pohon itu meliuk-liuk sementara bagian atasnya 
bersilangan! 

Pelan-pelan perempuan yang di kedua tangan- 
nya terdapat gelang-gelang berwarna merah menarik 
napas pendek. 

"Dua pohon aneh itu sebagai tanda. Kesunyian 
tempat ini seperti isyarat," desisnya pelan. Wajah si pe- 
rempuan setengah baya ini masih cantik. Tidak ada 
keriput sama sekali. Hidungnya bangir dengan sepa- 
sang bibir tipis yang menawan. 

Untuk sejenak si perempuan tak berkata apa- 
apa lagi, hanya memperhatikan dua pohon yang bersi- 
langan yang tumbuh sejarak dua puluh langkah dari 
hadapannya. 

"Kutangkap sesuatu yang mengerikan akan ter- 
jadi," desisnya pada dirinya sendiri tanpa melepaskan 
pandangannya, pada kedua pohon yang bersilangan 
itu. 

Terlihat kemudian ditarik dan dihembuskan 
nafasnya pelan-pelan. Wajahnya terlihat sedikit tegang 
sekarang. Seperti menguatkan hati, perempuan ini 
menganggukkan kepalanya sekali sebelum melangkah 
ke arah dua pohon yang tumbuh bersilangan. 

Saat melangkah itu, terlihat pakaian bagian be- 
lakangnya terbuka hingga batas pinggul. Memperli- 
hatkan punggung yang berkulit putih mulus tanpa ca- 
cat. 

Baru enam langkah dia bergerak, mendadak sa- 
ja langkahnya dihentikan. Kepalanya seketika dipa- 
lingkan ke kanan. 

"Keparat! Rupanya aku tidak sendiri di sini," 
desisnya dalam hati dengan tatapan menyelidik. Pe- 
rempuan ini terdiam kembali. Keningnya sedikit berke- 
rut, bertanda dia sedang berpikir. Kemudian desisnya 
lagi, "Aku belum tahu siapa orang yang telah hadir ju- 
ga di sini. Huh! Ketimbang akan jadi urusan, sebaik- 
nya ku-bereskan saja sekarang!" 

Habis ucapannya, tiba-tiba saja tangan kanan- 
nya digerakkan seperti seseorang menepuk nyamuk! 
Anehnya, yang digerakkan hanya tangan kanannya sa- 
ja, tetapi terdengar suara seperti orang bertepuk. Kejap 
lain, menyalak sebuah suara yang cukup keras disusul 
dengan gelombang angin yang menghampar cepat! 

Plaaarr!! 

Wussss!! 

Kecepatan gelombang angin itu benar-benar 
sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu yang terdengar ha- 
nyalah suara letupan yang sangat keras. Letupan yang 
membuat ranggasan semak belukar muncrat ke udara! 

Si perempuan yang merasa pasti kalau ada 
orang lain di sana, sudah bersiap untuk segera mele- 
paskan serangan susulan. Tetapi dia kecele sendiri, 
karena tak satu sosok tubuh pun yang keluar dari ba- 
lik ranggasan semak yang kini telah rata dengan ta- 
nah! 

"Hebat! Siapa pun orang itu adanya, dia memi- 
liki gerakan yang sangat cepat!" desisnya dalam hati. 

Karena merasa ada orang lain di sana, si pe- 
rempuan tak segera meneruskan niatnya untuk men- 
dekati dua buah pohon yang bersilangan itu. Dia ju- 
stru melangkah ke tempat yang agak terbuka, seperti 
membiarkan dirinya untuk diserang. Memang itulah 
jalan satu-satunya yang harus dilakukan, membiarkan 
dirinya diserang. Dengan demikian, dia dapat menge- 
tahui siapa orang itu. Paling tidak, di mana orang yang 
diyakininya berada di sekitarnya! 

Tetapi setelah beberapa kejapan mata berlalu, 
tak ada tanda-tanda serangan muncul secara tiba-tiba. 
Perempuan berparas jelita ini mulai diliputi rasa kesal. 

"Keparat! Siapa manusia itu? Dia sengaja men- 
gajakku kucing-kucingan! Atau jangan-jangan...." Si 
perempuan memutus kata batinnya. Wajahnya kali ini 
terlihat lebih tegang. "Apakah... dia adalah Gilang Ken- 
cana sendiri alias si Malaikat Biru?" 

Kejap itu pula seperti mendapat satu serangan 
dari belakang, si perempuan menoleh dengan kedua 
tangan terangkat. Tetapi tak ada siapa-siapa di sana. 
Dia mundur tiga langkah dengan kewaspadaan tinggi. 

Dan mendadak saja si perempuan mendengus. 
Secara tiba-tiba digerakkan tangan kanan kirinya ke 
sembarang tempat. Kejap itu pula terdengar letupan 
demi letupan berulang kali, disusul dengan mengham- 
burnya ranggasan semak yang ditingkahi oleh hambu- 
ran tanah! 

Tempat sepi yang nampaknya jarang didatangi 
orang, kini seperti diamuk oleh puluhan banteng liar! 
Tetapi hampir seluruh ranggasan semak di sana telah 
terpapas dan rata dengan tanah, tak seorang pun yang 
muncul di hadapannya. Hal ini membuat si perempuan 
semakin murka. 

"Keparat sial! Aku bertambah yakin kalau Ma- 
laikat Biru yang mempermainkanku! Setan laknat! Ru- 
panya dia mengetahui kedatanganku!" makinya dalam 
hati. Lalu sambungnya geram, "Peduli iblis neraka! 
Aku datang untuk membunuhnya! Apa pun yang ter- 
jadi, aku akan menghadapinya!!" 

Lalu dengan mengangkat kepalanya, perem- 
puan berpakaian merah ini berseru keras, "Kau telah 
menjadi orang pengecut yang tak berani muncul 
menghadapi tamu yang datang! Apakah kau sudah be- 
rubah dari kedudukanmu sebagai salah seorang tokoh 
rimba persilatan?! Malaikat Biru... aku datang ke sini 
untuk menuntaskan dendam guruku yang kau bunuh 
lima tahun yang lalu! Keluar! Atau... kuhancurkan 
tempat ini?!" 

Perempuan yang punggungnya terbuka ini me- 
nunggu dengan penuh siaga. Seluruh indera yang di- 
milikinya dibuka lebar-lebar. Tetapi cukup lama me- 
nunggu, tak ada sahutan yang terdengar, tak ada so- 
sok tubuh yang keluar. 

"Setan terkutuk!" kemarahan si perempuan ber- 
tambah. Matanya mendelik gusar, menatap pada dua 
buah pohon yang bersilangan. "Menurut kabar yang 
kudengar, aku harus melewati dua buah pohon yang 
bersilangan itu sebelum tiba di Pusara Keramat di ma- 
na Malaikat Biru tinggal! Huh! Peduli setan! Akan ku- 
hancurkan kedua pohon itu!!" 

Sejenak dipandanginya dua pohon yang tum- 
buh secara aneh. Pelan-pelan tangan kanannya dibawa 
ke dada. Dua jari membuka, sementara tiga jari lagi 
menekuk, tepat di depan wajah. Sementara tangan ki- 
rinya berada di batas siku tangan kanannya. 

Mulut si perempuan lamat-lamat berkemak- 
kemik, tetapi tak ada suara yang keluar. Terlihat pula 
tangan kanannya yang dua jarinya membuka sementa- 
ra tiga jarinya menekuk mulai bergetar. Semakin lama 
getarannya semakin cepat dan kencang. Kemikan mu- 
lutnya juga bertambah cepat. 

Mendadak terlihat satu sinar merah mencelat 
deras dari tangan kanannya yang bergetar. Sinar me- 
rah itu menggumpal dan membentuk gumpalan yang 
sebesar empat buah tangan yang dikepal menjadi satu! 

Namun sebelum mengenai bagian bawah dua 
buah pohon bersilangan itu, mendadak saja sinar me- 
rah yang menggumpal itu pecah di tengah jalan! 

Blaaaammmm!! 

Kontan bermuncratan ke sana kemari. Rangga- 
san semak yang terkena muncratannya seketika han- 
gus dan bertebaran tatkala terhembus angin. 

Keadaan itu membuat si perempuan semakin 
gusar. Kembali diulanginya serangannya. Tetapi setiap 
kali pula harus putus di tengah jalan. 

"Keparat!!" geramnya memutuskan untuk 
menghentikan cara yang dilakukannya. Mendadak 
sontak dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Ber- 
samaan tanah yang berhamburan ke udara, tubuhnya 
mumbul ke atas. 

Dengan gerakan yang sangat cepat, digerakkan 
kedua tangannya berulang-ulang. Gelombang angin 
merah yang semakin lama semakin membesar mende- 
ru kencang ke arah kedua pohon yang bersilangan. 
Bahkan sebelum gelombang-gelombang angin itu men- 
genai sasarannya, masih berada di udara, si perem- 
puan memutar tubuhnya, bersalto dua kali. Dalam 
keadaan kaki di atas dan kepala di bawah, diputar ke- 
dua tangannya yang kemudian ditepukkan! 

Wuusss! Wuuuussss!! 

Sinar-sinar merah yang menyilaukan mata dan 
menerangi tempat yang masih disaput kegelapan 
menggebrak. 

Kontan terdengar letupan yang sangat keras 
tatkala gelombang angin merah yang dilepaskannya 
menghantam kedua pohon itu. Belum lagi tanah yang 
berhamburan sirna, kedua pohon itu telah dihantam 
lagi oleh sinar-sinar merah yang menyilaukan mata. 

Di pihak lain, si perempuan telah berdiri di atas 
tanah dengan kedua kaki dibuka. Matanya dibuka le- 
bar-lebar memandang ke depan. Lamat-lamat terlihat 
bibir indahnya membentuk sebuah senyuman. 

"Huh! Ternyata tak seberapa sulit untuk meng- 
hancurkan kedua pohon itu," desisnya. Tanah masih 
membubung dan menghalangi pandangan. Setelah ta- 
nah sirap, barulah aku menerobos jalan di bawah ke- 
dua pohon bersilangan itu.... 1 ' 

Dengan senyum kepuasan yang masih berteng- 
ger di bibir, si perempuan melipat kedua tangannya di 
atas dadanya yang membusung. Wajahnya menyi- 
ratkan kesenangan yang luar biasa, karena halangan 
pertama dapat dilaluinya dengan mudah. 

"Malaikat Biru tentunya tercengang sekarang," 
desahnya puas. "Dia boleh mempermainkanku baru- 
san, tetapi tak lama lagi dia akan... okh!!" 

Kata-katanya terputus dan berakhir dengan se- 
ruan kaget. Kepala si perempuan tiba-tiba saja mene- 
gak dengan kedua mata membeliak lebar. Mulutnya 
menganga, memperlihatkan lorong indah yang sukar 
untuk ditepiskan. 

Untuk beberapa lama si perempuan masih ter- 
paku, memandang kaget pada kedua pohon bersilan- 
gan yang tak kurang suatu apa. Masih berdiri tegak 
seperti semula! 

"Jahanam!!" geramnya kemudian dengan men- 
gertakkan rahang keras-keras. "Apa yang telah dilaku- 
kan oleh Malaikat Biru terhadap pohon itu?!" 

Perasaan senangnya yang menyangka telah 
menghancurkan kedua pohon bersilangan itu, kini pu- 
tus seketika. Amarahnya kembali bergolak 

"Jauh-jauh aku meninggalkan Bukit Lengkung 
untuk membalas kematian guruku di tangan si jaha- 
nam Malaikat Biru, tetapi sampai di sini aku harus 
berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali tak ku- 
bayangkan!" geramnya sengit. Nafasnya mulai membu- 
ru dan mendengus-dengus. "Terkutuk! Tanpa bisa me- 
lalui kedua jalan itu, tak akan mungkin aku bisa men- 
capai tempat Malaikat Biru berada! Setan alas! Kepa- 
rat!!" 

Kembali si perempuan merapatkan mulutnya. 
Tatapannya keras, diarahkan pada kedua pohon bersi- 
langan yang tetap berdiri tegak. Bahkan sehelai daun- 
nya pun tidak gugur! 

"Aku harus mempergunakan ilmu ‘Perenggut 
Sukma’ untuk menghancurkan pohon itu!!" 

Baru habis ucapannya, si perempuan mundur 
dua langkah. Kepalanya tetap tegak. Matanya tetap 
nyalang. Perlahan-lahan ditarik kaki kanannya ke be- 
lakang sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tu- 
buhnya sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan 
kedua tangannya di depan dada, mulut si perempuan 
nampak berkemak-kemik. 

Perlahan-lahan terlihat sekujur kulit di tubuh- 
nya berubah memerah dan semakin lama bertambah 
merah semerah darah. Paras jelitanya pun berubah, 
menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola matanya pun 
memerah, menyiratkan keganasan luar biasa. 

Namun sebelum dilepaskannya ilmu 'Perenggut 
Sukma' yang merupakan senjata pamungkasnya, 
mendadak saja terdengar satu suara bersamaan satu 
sosok tubuh melompat dari balik ranggasan semak di 
samping kirinya, "Tahan! Kau hanya akan membuang 
tenagamu sia-sia. Dewi Perenggut Sukma!" 

Seketika perempuan berpakaian merah yang 
terbuka di punggungnya ini memalingkan kepala ke ki- 
ri. 

Dilihatnya satu sosok tubuh kurus telah berdiri 
sejarak sepuluh langkah dari tempatnya, dan terse- 
nyum 

"Sial! Apa-apaan kau datang juga ke tempat ini, 
hah?!" 

* * * 

Lelaki yang diperkirakan berusia sekitar enam 
puluh tahun yang tadi berteriak keras hingga si pe- 
rempuan mengurungkan niatnya, tersenyum. Wajah 
lelaki itu mulai dihiasi keriput. Rambutnya dikuncir 
dengan ikat kepala warna putih. 

"Tutuplah dulu ilmu yang hendak kau kelua- 
rkan itu, Dewi," kata si lelaki yang mengenakan pa- 
kaian hitam dengan rajutan dua buah keris bereluk 
delapan di dada kanan kirinya. Karena tak menda- 
patkan jawaban dari si perempuan yang berjuluk Dewi 
Perenggut Sukma ini, si lelaki melanjutkan, "Kita ada- 
lah orang yang tak punya silang urusan satu sama 
lain. Jadi, tak perlu saling curiga." 

"Mengapa kau berada di sini?!" bentak Dewi Pe- 
renggut Sukma, dengan kedudukan yang sama. Selu- 
ruh kulitnya tetap berwarna semerah darah. 

Si lelaki tersenyum. 

"Tentunya, aku punya maksud yang sama den- 
ganmu...." 

"Jahanam terkutuk! Kau akan mampus di tan- 
ganku bila berani mendahuluiku membunuh Malaikat 
Biru!" 

"Jangan terlalu keras! Mana mungkin aku be- 
rani melakukan hal itu, mengingat...." Si lelaki meng- 
hentikan ucapannya. Dia hampir saja mengatakan ka- 
lau ilmu Dewi Perenggut Sukma masih berada di ba- 
wahnya, karena sedikit jengkel mendengar bentakan 
keras tadi. Tetapi sadar kalau itu akan membuat si pe- 
rempuan menjadi murka dan itu artinya akan me- 
mancing pertikaian tidak berguna, dia berkata, "Kesak- 
tian Malaikat Biru sulit untuk kutandingi." 

"Bagus kalau kau sadar dengan kemampuan- 
mu! Sekarang kau akan melihat, siapa aku sebenar- 
nya!" 

"Ilmu "Perenggut Sukma' memang sangat luar 
biasa! Memiliki keampuhan yang benar-benar menge- 
rikan. Tetapi sebelum kau mendapatkan rahasia ba- 
gaimana menghancurkan kedua pohon bersilangan se- 
kaligus membunuh Malaikat Biru, kau akan sia-sia 
melakukannya!" 

Kali ini Dewi Perenggut Sukma menutup mu- 
lutnya. Kedua bola matanya yang memerah tak berke- 
dip. Perlahan-lahan dia berdiri tegak kembali. Seiring 
dilakukannya tindakan itu, kulitnya yang berubah se- 
merah darah pun kembali pada keadaan semula. 

Dipandanginya lelaki di hadapannya dengan 
seksama. 

"Gadung Wuwung atau berjuluk Setan Keris 
Kembar! Kau berucap demikian, apakah kau mengeta- 
hui sesuatu?!" 

Si lelaki yang bernama Gadung Wuwung dan 
berjuluk Setan Keris Kembar tersenyum. 

"Tak mungkin aku tak mengetahui sesuatu ten- 
tang Malaikat Biru, hingga aku berani berkata begitu! 
Apalagi di hadapanmu, Dewi..." 

"Bagus! Aku sudah tak sabar untuk membunuh 
manusia celaka yang telah membunuh guruku!" 

"Tahanlah amarahmu sedikit saja. Kita sama- 
sama mengetahui, hampir tiga puluh tahun Malaikat 
Biru tak pernah meninggalkan tempat celakanya! De- 
wi... apakah kau ingat pada Durga Marakayangan?!" 

"Huh! Siapa orangnya yang tidak tahu tentang 
nenek berhati iblis itu?!" 

"Bagus kalau kau masih mengingatnya!" 

"Setan! Apa maksudmu berputar-putar omon- 
gan, hah?!" 

Gadung Wuwung menyeringai. 

"Kau terlalu tak sabaran! Apakah kau lupa, ka- 
lau satu-satunya orang yang bisa menandingi Malaikat 
Biru adalah Durga Marakayangan?!" 

"Maksudmu... aku harus mencari nenek kepa- 
rat itu? Gila! Rupanya kau sudah bodoh dan ke makan 
oleh pengalaman orang lain! Siapa pun orangnya tahu 
kalau nenek celaka itu sudah mampus?!" 

"Kau betul! Dia memang sudah mampus!" 
"Lantas apa hubungannya kau menceritakan 
semua itu kepadaku, hah?!" 

"Durga Marakayangan mempunyai seorang mu- 
rid yang dijulukinya Setan Bayangan! Dan tentunya ki- 
ta sama-sama tahu kalau Setan Bayangan telah mam- 
pus dibunuh oleh Resi Kala Jinjit, sementara Resi Kala 
Jinjit sendiri telah mampus yang ternyata dibunuh 
oleh muridnya sendiri yang bernama Pangku Jaladara 
atas bujukan Dewi Berlian!" (Untuk mengetahui ten- 

I tang Setan Bayangan, Resi Kala Jinjit yang tewas di- 
bunuh muridnya karena bujukan Dewi Berlian, silakan 
baca episode : "Misteri Laba-Laba Perak" sampai "Ben- 
cana Lembah Lingkar"). 

"Kau menceritakan orang-orang yang sudah 
mampus! Apakah kau bermaksud untuk menyusul 
mereka?!" bentak Dewi Perenggut Sukma tidak sabar. 
Setan Keris Kembar semakin menyeringai. 

"Kau telah dibutakan amarahmu hingga kau 
tak berpikir jernih! Sebelum mampusnya, Durga Mara- 
kayangan telah menyerahkan sebuah benda sakti ke- 
pada muridnya, yang diinginkannya untuk membalas 
kekalahannya pada Malaikat Biru! Tetapi hingga mam- 
pus, Setan Bayangan tidak melaksanakan keinginan 
Durga Marakayangan! Jadi sampai saat ini, Malaikat 
Biru masih hidup!" 

Dewi Perenggut Sukma memandang tak berke- 
dip. 

"Aku memang tak punya silang urusan dengan 
manusia satu ini, tetapi aku tahu kelicikan yang dimi- 
likinya. Huh! Ingin rasanya membunuh manusia cela- 
ka ini! Tetapi untuk saat ini, biarlah ku tahan amarah 
dan keinginanku itu," katanya dalam hati. Dengan su- 
ara tetap mengandung kemarahan, perempuan itu 
berkata 

"Yang hendak kau bicarakan, sebenarnya ben- 
da sakti yang dimiliki oleh Durga Marakayangan yang 
kemudian diserahkannya pada Setan Bayangan?" 

"Ternyata kau masih dapat menggunakan 
otakmu. Dewi!" 

"Jahanam! Semua yang kau katakan telah 
mampus. Lantas di mana akan didapatkan benda sakti 
yang kau katakan itu?!" 

"Kau nampaknya memang menyembunyikan di- 
ri di kediamanmu hingga tidak tahu perkembangan 
yang terjadi! Setan Bayangan mempunyai dua orang 
murid yang bernama Lesmana dan Ratih, yang sebe- 
lumnya terjadi kesalahpahaman di antara mereka! Te- 
tapi berkat bantuan pemuda berjuluk Raja Naga, maka 
urusan itu dapat diselesaikan!" 

"Kau maksudkan, benda itu diberikan Setan 
Bayangan kepada salah seorang muridnya?!" 

"Tepat! Dan satu-satunya yang dapat membu- 
nuh Malaikat Biru, hanya benda itu !!" 

Dewi Perenggut Sukma terdiam. Sorot matanya 
tak berkedip pada Gadung Wuwung yang menyeringai 
dengan tenangnya. 

"Mengapa kau menceritakan semua ini kepada- 
ku?!" bentaknya kemudian. 

"Mudah saja! Kita sama-sama menginginkan 
kematian Malaikat Biru! Manusia itu juga telah mem- 
bunuh guruku! Karena kau punya kepentingan yang 
sama, rasanya bukanlah masalah bila kuceritakan apa 
yang ku ketahui padamu!" 

"Kau terlalu pandai memutar ucapan!" 

"Kau bisa membuktikan kebenaran ucapanku!" 
Dewi Perenggut Sukma tak bersuara. 

"Huh! Siapa pun manusia satu ini, kemuncu- 
lannya memang membawa keberuntungan! Rasanya 
tak perlu ragu untuk mencoba keberuntunganku!" ka- 
tanya dalam hati. 

Lalu sambil menganggukkan kepalanya, pe- 
rempuan yang punggungnya terbuka lebar ini berkata, 
"Baik! Kita akan mencari murid-murid Setan Bayan- 
gan!" 

"Dengan bersatunya kita, tentunya akan den- 
gan mudah membunuh siapa pun juga!" sahut Setan 
Keris Kembar sambil tertawa. 

Tetapi mendadak saja tawanya putus tatkala 
mendengar ucapan Dewi Perenggut Sukma, "Sebelum 
mencari murid-murid Setan Bayangan, apakah kau 
yang sebelumnya mempermainkanku?!" 

Setan Keris Kembar sesaat memandang, sebe- 
lum terlihat seringaian di bibirnya. Seolah tak menge- 
tahui amarah yang terpancar di mata si perempuan, 
Setan Keris Kembar menganggukkan kepalanya. 

"Aku tak bermaksud mempermainkanmu. Teta- 
pi kau yang lebih dulu menyerangku." 

"Keparat! Ucapannya enteng sekali! Huh! Kelak, 
akan kubalas tindakannya tadi!" geram Dewi Perenggut 
Sukma dalam hati. Lalu dipandanginya dua buah po- 
hon yang tumbuh bersilangan. Setelah itu ditolehkan 
kepalanya pada Setan Keris Kembar, "Kita berangkat 
sekarang!" 

Setan Keris Kembar mengangguk, dan mulai 
berkelebat. 

Dewi Perenggut Sukma mendengus dan segera 
menyusul. Masing-masing orang seperti hendak me- 
mamerkan ilmu peringan tubuh yang mereka punyai. 

Saat ini matahari sudah sepenggalah dan si- 
narnya menerangi seluruh persada. Sambil berlari De- 
wi Perenggut Sukma bertanya, "Kau belum mengata- 
kan benda apa yang dapat membunuh Malaikat Biru?!" 

Gadung Wuwung menoleh. 

"Bunga Kemuning Biru!" 

***

DUA 

BUKIT Tidar adalah bukit paling timur dari Pu- 
lau Jawa. Terletak agak menyempil dan tersembunyi. 

Jarang sekali orang yang akan mendatangi tempat itu 
mengingat jalan yang sangat sulit dan terjal-nya Bukit 
Tidar. Kalaupun memang ada yang nekat ke sana, itu 
artinya dia memiliki nyawa rangkap atau memiliki ke- 
pentingan yang teramat sangat. 

Tetapi dua orang lelaki yang sama-sama tua itu 
telah berada di sana sejak pagi tadi. Masing-masing 
orang duduk berhadapan. Tak ada yang buka suara. 
Angin senja yang menggiring awan-awan hitam terus 
berhembus. 

Kakek yang mengenakan pakaian panjang ber- 
warna seperti warna tanah, mengangkat kepalanya, 
menatap pada kakek yang selalu menundukkan kepala 
di hadapannya. 

"Musang Berjanggut... masalah yang kau sam- 
paikan bukanlah masalah kecil," kata kakek yang se- 
kujur tubuhnya berkulit warna seperti tanah pula. 
Bahkan, rambut panjangnya yang tak beraturan pun 
berwarna seperti tanah! "Mengingat nasib murid Setan 
Bayangan yang akan ketimpa sial, kita harus secepat- 
nya untuk menanggulangi masalah ini." (Untuk menge- 
tahui siapa Musang Berjanggut, silakan baca : "Musli- 
hat Dewi Berlian") 

Lelaki tua yang hanya menundukkan kepa- 
lanya, mengangguk. Saat mengangguk, janggutnya 
yang panjang hingga melingkar di tanah terangkat se- 
jenak dan menyentuh tanah kembali 

"Aku bukannya hendak menelurkan satu masa- 
lah besar. Tetapi masalah itulah yang memang ku pi- 
kirkan," katanya sambil mengusap sejenak kumisnya 
yang melintang. 

Kakek berkulit seperti warna tanah berkata la- 
gi, "Durga Marakayangan dikenal sebagai momok men- 
gerikan yang pernah dikalahkan oleh Malaikat Biru. 
Tentunya semua orang tahu kalau Durga Marakayan- 
gan telah menyerahkan benda sakti yang bernama 
Bunga Kemuning Biru kepada Setan Bayangan selaku 
muridnya. Dan selama ini, kita tak pernah mendengar 
kalau Setan Bayangan mencoba membalas kematian 
guru-nya pada Malaikat Biru. Ah, kau menduga kalau 
Bunga Kemuning Biru telah diserahkan oleh Setan 
Bayangan yang telah tewas kepada salah seorang mu- 
ridnya. Berarti, memang nasib muridnyalah yang akan 
ketiban sial." 

"Langlang Benua... aku memikirkan akan ba- 
nyaknya orang-orang yang mendendam pada Malaikat 
Biru akan memburu Lesmana dan Ratih, murid-murid 
si Setan Bayangan," kata Musang Berjanggut tetap tak 
mengangkat kepalanya. "Dan kedua orang muda itu 
akan mengalami nasib yang sangat mengerikan. Aku 
sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan ini. De- 
mikian pula ketika terjadi keributan di Perguruan La- 
ba-laba Perak, aku merasa tidak enak sendiri. Bagai- 
mana dengan penilaianmu sendiri?" 

Langlang Benua menarik napas pendek (Untuk 
mengetahui Langlang Benua, silakan baca : "Misteri 
Laba-Laba Perak"). 

"Aku belum tahu apakah pemuda dari Lembah 
Naga berhasil menuntaskan masalah Laba-Laba Perak 
atau tidak. Dan nampaknya aku terpaksa menunda la- 
gi keinginanku untuk meneruskan petualanganku," 
katanya dalam hati. 

Lalu sambil mencoba menatap wajah kakek 
berjanggut panjang itu, dia berkata, "Aku juga sudah 
terlalu tua untuk mencampuri urusan keduniaan. Te- 
tapi nampaknya, mau tak mau aku terpaksa akan me- 
lakukannya." 

Musang Berjanggut mengangguk-angguk. 
"Mungkin, kita bisa tidak melakukannya." 

"Apa maksudmu dengan tidak melakukannya?" 

"Aku telah berjumpa dengan Raja Naga sebelum 
tiba di Bukit Tidar. Bahkan kepadanyalah kupesankan 
agar kau datang ke tempat ini." 

"Maksudmu... kita akan meminta murid Dewa 
Naga itu untuk menyelesaikan urusan ini?" 

"Kupikir, itulah yang paling tepat." 

"Musang Berjanggut... apakah itu bukan ar- 
tinya kita melimpahkan masalah berbahaya ini pa- 
danya?" 

"Semua keributan dan masalah di rimba persi- 
latan sangat berbahaya. Semenjak berhasil menghen- 
tikan sepak terjang Hantu Menara Berkabut, julukan 
Raja Naga telah membubung tinggi. Kemampuannya 
tidak diragukan lagi. Dan sesungguhnya, semua orang 
yang hidup di muka bumi ini selalu berada dalam ba- 
haya. Baik bahaya yang datang dari luar maupun dari 
dalam. Kupikir, anak muda itu akan mampu melaku- 
kannya. " 

Langlang Benua mengangguk. "Aku tak mera- 
gukan kemampuannya. Tetapi biar bagaimanapun juga 
dia tetaplah orang muda yang terkadang masih dibalu- 
ri amarah." 

"Mungkin kita hanya melihat sebagian kecil da- 
ri dirinya." 

"Mungkin kita memang bisa memintanya untuk 
menyelesaikan urusan ini. Tetapi, saat ini kita sama- 
sama tahu, kalau anak muda itu masih berada di 
Lembah Lingkar untuk menuntaskan urusannya. 
Mungkin saat ini dia...." 

Kata-kata Langlang Benua terputus, karena ti- 
ba-tiba saja kakek berkulit seperti warna tanah itu 
menoleh ke samping kanan. 

"Kau mendengar gerakan itu, Musang Berjang- 
gut?" 

"Sebelum kau mendengarnya, aku juga telah 
mendengarnya," sahut Musang Berjanggut tanpa ber- 
maksud menyombongkan diri. 

"Apakah akan kita teruskan pembicaraan ini, 
atau kita tunggu orang yang datang?" 

"Sebaiknya kita tunggu, karena orang yang ber- 
gerak ke arah sini itu sudah semakin mendekat." 

Langlang Benua memandang lagi pada Musang 
Berjanggut yang tetap menundukkan kepala. Seumur 
hidupnya Langlang Benua mengenal Musang Berjang- 
gut, sekali pun dia belum pernah melihat wajah kakek 
yang janggutnya panjang itu. 

Seperti tak merasakan akan hadirnya orang 
lain di Bukit Tidar, masing-masing orang seperti tak 
acuh saja. Sementara pendengaran mereka semakin 
kuat menangkap gerakan yang semakin mendekat. 

Tak lama kemudian orang yang berlari itu su- 
dah menghentikan larinya sejarak dua belas langkah 
dari mereka. Langlang Benua yang menoleh tersenyum 
melihat siapa yang datang. 

"Silakan bergabung, Raja Naga...." 

Pemuda yang baru datang itu tersenyum. Lalu 
melangkah mendekat. Dia merangkapkan kedua tan- 
gannya di depan Langlang Benua seraya mengangguk, 
lalu melakukan hal yang sama pada Musang Berjang- 
gut. Saat kedua tangannya dirangkapkan di depan da- 
da, terlihat kedua tangannya sebatas siku dipenuhi si- 
sik berwarna coklat. 

Lalu dia duduk agak di tengah, di kiri Langlang 
Benua dan di kanan Musang Berjanggut. 

Langlang Benua bertanya, "Bagaimana dengan 
urusanmu di Lembah Lingkar?" 

Pemuda berompi ungu yang rambutnya dikun- 
cir itu tersenyum. "Urusan itu telah selesai. Apa yang 
kuduga ternyata benar. Dewi Berlian lah yang berada 
di balik serangkaian kejahatan itu. Dan dibantu oleh 
Pangku Jaladara, murid dari Resi Kala Jinjit sendiri, 
dialah yang membunuh Resi Kala Jinjit." 

"Astaga! Sungguh di luar dugaan sama sekali!" 
desis Langlang Benua sambil memandang pemuda 
tampan itu. Dan diam-diam dia membatin. "Tatapan 
matanya benar-benar mengerikan. Mengandung 
keangkeran yang dalam. Gila! Tak seorang pun di du- 
nia ini yang memiliki tatapan yang dapat menciutkan 
jantung!" 

Musang Berjanggut berkata, "Kebenaran itu 
memang akan selalu terungkap walaupun cukup pan- 
jang dan merepotkan untuk mengungkapkannya. Anak 
muda... kebetulan kau datang ke Bukit Tidar. Dan ke- 
betulan sekali kami baru saja membicarakan masalah 
yang cukup rumit." 

"Bila tak keberatan aku mohon untuk diulangi 
lagi...," kata pemuda dari Lembah Naga itu. 

Musang Berjanggut mengulangi lagi apa yang 
telah dibicarakannya bersama Langlang Benua. Men- 
dengar apa yang diceritakan Musang Berjanggut, ken- 
ing pemuda yang kedua lengannya sebatas siku dipe- 
nuhi sisik coklat berkerut. 

"Bunga Kemuning Biru? Astaga! Aku pernah 
melihat benda itu, Orang tua...." 

"Di mana kau melihatnya?" tanya Musang Ber- 
janggut tetap tanpa mengangkat kepalanya. 

"Di saat Dewi Berlian menuduhku yang telah 
membunuh Pangku Jaladara, Lesmana dan Ratih 
muncul bersama mayat Pangku Jaladara. Dan di atas 
mayat itu, terdapat sebuah bunga kemuning berwarna 
biru...." (Baca : Muslihat Dewi Berlian"). 

"Itulah salah satu kesaktian dari Bunga Ke- 
muning Biru." kata Musang Berjanggut sementara 
Langlang Benua menegakkan kepalanya mendengar 
kabar Pangku Jaladasa telah tewas. Musang Berjang- 
gut menyambung ucapannya. "Bunga Kemuning Biru 
dapat membuat mayat tak akan membusuk selama 
bertahun-tahun." 

"Orang tua... aku belum mengetahui siapakah 
sebenarnya Malaikat Biru?" 

"Dia adalah seorang tokoh yang jarang sekali 
muncul ke dunia ramai. Kalaupun dia muncul ten- 
tunya memang ada urusan yang harus diselesaikan- 
nya. Hingga saat ini, belum seorang pun yang dapat 
mengalahkannya. Bahkan musuh bebuyutannya yang 
berjuluk Durga Marakayangan pun tidak mampu men- 
gatasinya. Sudah cukup lama Malaikat Biru menghi- 
lang entah ke mana, namun akhir-akhir ini mulai ter- 
dengar kabar kalau dia berada di Pusara Keramat. Dan 
dapat dipastikan, kalau orang-orang yang mempunyai 
dendam padanya akan memburunya ke sana." 

"Dari ucapanmu, tak kusangsikan lagi kesak- 
tian yang dimiliki orang berjuluk Malaikat Biru. Berar- 
ti, kalaupun ada orang yang mendendam padanya, 
tentunya dengan mudah akan ditanggulanginya. Lan- 
tas masalah apakah yang harus kita hadapi?" 

"Pertanyaanmu itu bagus sekali, Anak muda." 
sahut Musang Berjanggut tetap tak mengangkat kepa- 
lanya. Dia menghentikan ucapannya dan membatin 
dalam hati, "Walaupun tak kulihat seperti apa wajah- 
nya, tetapi batinku mengetahui rupanya. Dan ku rasa- 
kan tatapannya begitu menikam jantung. Kekuatan 
yang dimiliki oleh matanya sungguh angker dan men- 
gerikan." 

Tetap menunduk, kakek berjanggut hingga ke 
tanah itu melanjutkan ucapannya, "Yang menjadi piki- 
ranku sekarang ini, bukanlah Malaikat Biru. Melain- 
kan murid-murid mendiang Setan Bayangan yang 
memiliki Bunga Kemuning Biru. Dalam bayanganku, 
orang-orang yang mendendam pada Malaikat Biru dan 
mengetahui kalau Malaikat Biru hanya dapat dikalah- 
kan oleh orang yang mempergunakan Bunga Kemun- 
ing Biru, sudah tentu akan berusaha mendapatkan- 
nya." 

"Aku paham sekarang. Orang tua, kau menga- 
takan kalau satu-satunya benda yang dapat membu- 
nuh Malaikat Biru hanyalah Bunga Kemuning Biru 
yang dimiliki oleh mendiang Durga Marakayangan. 
Lantas, mengapa si pemilik Bunga Kemuning Biru 
yang berjuluk Durga Marakayangan itu tidak berhasil 
membunuh Malaikat Biru?" 

"Karena sebelum dipergunakannya benda sakti 
itu, Malaikat Biru lebih dulu berhasil merebutnya." 

"Astaga! Jadi... Malaikat Biru telah berhasil me- 
rebutnya? Lantas... bagaimana... bagaimana bisa kem- 
bali ke tangan Durga Marakayangan yang untuk ke- 
mudian diserahkan pada muridnya yang berjuluk Se- 
tan Bayangan? Apakah... oh! Apakah.... Malaikat Biru 
mengembalikan lagi bunga sakti itu?" 

"Apa yang kau katakan itu benar. Anak muda...." 

"Astaga! Benar?!" sepasang mata Raja Naga me- 
lebar, membuat sorot angkernya semakin kentara. 

Musang Berjanggut mengangguk. 

"Itulah sifat yang terkadang sukar dimengerti 
dari Malaikat Biru. Dia hanya bermaksud menggagal- 
kan rencana orang. Ya... apa yang kau katakan benar. 
Setelah berhasil mengalahkan Durga Marakayangan, 
Malaikat Biru menyerahkan kembali Bunga Kemuning 
Biru padanya." 

Pemuda bersorot mata angker ini terdiam dan 
berkata dalam hati, "Sungguh suatu tindakan yang 
luar biasa yang dilakukan oleh Malaikat Biru. Dia tahu 
kalau Durga Marakayangan berniat membunuhnya 
dengan Bunga Kemuning Biru, tetapi dia malah men- 
gembalikannya. Luar biasa. Sungguh tindakan yang 
membutuhkan keberanian tinggi." 

Lalu katanya. "Ratih dan Lesmana memiliki 
Bunga Kemuning Biru. Ya, ya... berarti memang kedu- 
anyalah yang akan diburu oleh orang-orang yang men- 
dendam pada Malaikat Biru untuk mendapatkan bun- 
ga sakti itu." 

"Itulah tragisnya kehidupan ini, Anak muda...," 
kata Musang Berjanggut tetap menunduk. "Di mana 
seseorang yang tak bersalah dan tak mengetahui 
pangkal suatu peristiwa harus menerima kenyataan 
yang pahit." 

Langlang Benua berkata, "Sebelum kau datang 
ke sini, kami sepakat untuk melimpahkan urusan ini 
kepadamu. Raja Naga. Bila kau berkeberatan... kau bi- 
sa mengatakannya." 

"Aku mengenal Lesmana dan Ratih. Murid- 
murid Setan Bayangan yang sebelumnya bersengketa. 
Tidak, aku tidak keberatan sama sekali." 

"Bila kau tidak berkeberatan, itu artinya kau 
meringankan beban yang kami miliki...." 

Raja Naga tersenyum. Lalu ajukan tanya, 
"Orang tua... seingatku, kau sedang dikejar oleh Resi 
Hitam. Apakah kau sudah berhasil menanggulan- 
ginya?" 

Kakek berkulit seperti warna tanah itu tertawa kecil. 

"Menanggulanginya? Bertarung pun aku tidak. 
Untuk apa melakukan tindakan yang tak berguna? Bi- 

I la aku melakukannya, itu sama dengan aku telah me- 
nuruti amarah Resi Hitam!" 

"Jadi apa yang telah kau lakukan?" 

Langlang Benua semakin keras tertawa. 

"Aku beruntung memiliki kulit berwarna seperti 
warna tanah.... Dan entah di mana Resi Hitam berada 
sekarang! Mungkin dia sedang menangis di satu tem- 
pat karena keinginannya untuk membuktikan kalau 
dia lebih unggul dariku gagal!" 

Kata-katanya yang seperti bukan jawaban itu, 
dimengerti oleh Boma Paksi. 

"Hemm... tentunya dia menyamar sebagai tanah 
hingga Resi Hitam kehilangan jejak. Yah, memang itu- 
lah yang terbaik. Bila masih dapat dihindari untuk apa 
bersusah payah bersilang urusan?" katanya dalam ha- 
ti. 

Musang Berjanggut berkata, "Apa yang kita bi- 
carakan ini telah selesai. Kau telah bersedia untuk 
mengemban tugas yang kami berikan. Untuk itu, laku- 
kanlah dengan baik." 

"Aku akan melakukannya." 

"Terlebih lagi yang harus kau lakukan adalah 
menyelamatkan murid-murid Setan Bayangan. Tak 
dapat ku salahkan mereka berguru pada orang sesat 
itu, karena aku yakin kalau mereka tidak tahu siapa 
Setan Bayangan sebenarnya." 

"Aku dapat memahaminya." 

"Hati-hati." 

Habis berkata begitu, Musang Berjanggut per- 
lahan-lahan berdiri. Janggutnya yang hampir menyen- 
tuh tanah di saat dia berdiri, menggantung. Kepalanya 
tetap menunduk. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ka- 
kek berpakaian putih compang-camping itu sudah me- 
langkah meninggalkan Bukit Tidar. 

Tak ada yang tersinggung dengan sikapnya. 
Masing-masing orang mengantar langkah Musang Ber- 
janggut yang melangkah pelan. Tetapi tiga kejapan ma- 
ta saja, mereka sudah tak melihat sosok yang selalu 
menundukkan kepalanya! 

Sepeninggal Musang Berjanggut. Langlang Be- 
nua mengalihkan pandangannya pada Raja Naga yang 
balas memandang. Untuk sejenak kakek berkulit se- 
perti tanah ini bergetar melihat tatapan angker milik 
pemuda di hadapannya. 

"Mengerikan! Sangat mengerikan tatapannya! 
Mampu menciutkan nyali lawan! Tetapi di balik keane- 
han dan keangkeran sorot matanya, dia adalah pemu- 
da berjiwa ksatria...." 

Habis membatin demikian, Langlang Benua 
berkata, "Anak muda... aku akan meneruskan petua- 
langanku. Kembalinya aku ke pulau Jawa, karena aku 
mendapatkan kabar tentang kematian sahabatku si 
Resi Kala Jinjit. Kini telah kudapatkan keterangan 
yang kubutuhkan tentang kematiannya. Pesanku 
hanya satu, berhati-hatilah dalam urusan yang satu 
ini. Karena akan banyaknya orang-orang licik yang 
akan kau hadapi...." 

Murid Dewa Naga itu mengangguk. 

Langlang Benua tersenyum. Dipandanginya se- 
jenak pemuda berompi itu sebelum mengempos tu- 
buhnya ke arah yang berlawanan dengan arah yang di- 
tempuh Musang Berjanggut. 

Raja Naga menarik napas panjang setelah 
hanya seorang diri di Bukit Tidar. Malam telah menye- 
limuti alam, meninabobokan bukit terjal itu. 

"Urusan demi urusan telah kuselesaikan. Teta- 
pi setiap kali berhasil kuselesaikan, sudah datang uru- 
san lain," desisnya pelan sambil memandang ke kejau- 
han. Sorot matanya tetap angker mengerikan. Ram- 
butnya yang dikuncir kuda melompat-lompat diper- 
mainkan angin yang tiba-tiba berhembus kencang. 

"Ah, apakah memang seperti ini corak kehidupan? Di 
mana kebaikan dan kejahatan yang selalu bertolak be- 
lakang namun pada akhirnya terasa begitu dekat? Be- 
rada di dalam sebuah lingkaran?" 

Murid Dewa Naga menarik napas pendek se- 
raya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya yang 
bersorot angker dibawanya ke kejauhan, menembus 
kabut bergumpal. 

Di lain kejap, pemuda berompi ungu ini sudah 
berkelebat ke arah dari mana dia datang sebelumnya. 

***

TIGA 

HAMPARAN pagi datang kembali, entah pagi 
yang ke berapa sejak diawalinya perjalanan kehidupan 
ini. Suara gemuruh air sungai yang tak jauh dari sana, 
membuat tempat itu tidak senyap. Burung-burung be- 
terbangan, hinggap ke satu dahan pohon ke dahan 
yang lain. Gadis berkuncir dua yang mengenakan pa- 
kaian ringkas warna kuning itu tersenyum memperha- 
tikan tingkah hewan-hewan bersayap itu. Wajah si ga- 
dis manis, disaput oleh beningnya sinar sang Fajar. Di 
punggungnya terdapat dua buah pedang bersilangan. 

Si gadis menoleh tatkala ranggasan semak seja- 
rak delapan langkah di samping kanannya menyeruak. 
Seorang pemuda gagah yang mengenakan pakaian 
berwarna merah dengan garis hitam yang bersilangan 
di depan dada muncul. Wajahnya cukup tampan den- 
gan kain berwarna merah yang melingkari keningnya. 
Rambutnya masih agak basah, pertanda si pemuda 
baru selesai mandi di sungai. 

Si pemuda mendekat. 

"Apa yang sedang kau perhatikan, Ratih?" ta- 
nyanya sambil tersenyum. 

Gadis berwajah manis itu balas tersenyum. 

"Aku iri dengan burung-burung itu, Kakang 
Lesmana. Mereka beterbangan dengan gembira, seolah 
tak ada gangguan apa pun dalam kehidupan yang me- 
reka jalani." 

"Kau betul. Tetapi, semua makhluk hidup, pasti 
akan mendapatkan gangguan, rintangan dan kebaha- 
giaan dalam kehidupannya," sahut si pemuda. 

"Ya!" sahut si gadis. "Memang semua perjalanan 
hidup tak semudah yang kita bayangkan." Kemudian 
diputar tubuhnya menghadap si pemuda. Dipandan- 
ginya sejenak pemuda itu sebelum berkata, "Kakang... 
hendak ke manakah kita sekarang? Aku tak mau kem- 
bali ke tempat di mana kita tinggal dulu bersama Guru 
yang berjuluk Setan Bayangan." 

Lesmana tersenyum. Diingatnya bagaimana 
adik seperguruannya ini berniat hendak membunuh- 
nya karena dianggap membiarkan guru mereka tewas 
di tangan Resi Kala Jinjit (Baca : "Misteri Laba-Laba 
Perak"). Dan berkat bantuan Raja Naga, kesalahpaha- 
man itu akhirnya dapat diselesaikan (Baca : "Pengadi- 
lan Rimba Persilatan"). 

"Ratih... aku juga enggan untuk kembali ke 
tempat di mana kita dibesarkan dan digembleng oleh 
Setan Bayangan. Dan siapa pun akhirnya guru kita 
itu, kita tetap menghormatinya." 

Ratih menganggukkan kepalanya. Kuncir dua- 
nya bergerak-gerak. 

"Kau betul, Kakang. Memang, sangat ku sesali 
apa yang terjadi. Tetapi aku akan lebih menyesal bila 
tetap menganggap kaulah penyebab kematian Guru" 

Sudahlah, kita tak usah membicarakan soal 
itu. Saat ini masih pagi, dan kita belum mengetahui ke 
mana kita harus pergi. Sebaiknya, kita memang me- 
mulai perjalanan ini sekarang. Bila menemukan tem- 
pat yang menurut kita aman, sebaiknya kita jadikan 
tempat tinggal. Bagaimana menurutmu, Ratih?" 

Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu 
menarik napas pendek seraya memandang kakak se- 
perguruannya. 

"Kakang... aku sudah tak punya siapa-siapa la- 
gi di muka bumi ini. Sekarang... hanya engkaulah 
tempatku bersandar.... Ke mana kau mengajakku per- 
gi... aku... aku... akan menurutinya, Kakang...." 

Mendengar kata-kata adik seperguruannya, 
Lesmana menghela napas pelan-pelan. Dipandanginya 
gadis itu untuk beberapa lama. Dan untuk pertama 
kalinya, Lesmana melihat kalau adik seperguruannya 
begitu manis. Bahkan lamat-lamat dilihatnya pesona 
yang selama ini tak pernah diketahuinya muncul dari 
diri Ratih. 

"Ratih...," suaranya kali ini sedikit bergetar. 

Ratih yang sedang memandang Lesmana me- 
nangkap getaran suara itu. 

"Kakang...," balasnya dan entah mengapa seka- 
rang dia merasa malu untuk menatap pemuda di ha- 
dapannya berlama-lama seperti biasanya. 

"Aku... aku... juga tak punya siapa-siapa kecua- 
limu, Ratih...." 

Gadis manis itu tak menjawab. Perlahan-lahan 
kepalanya tertunduk. Lesmana yang entah mengapa 
menjadi agak kikuk, urung untuk berucap lagi. Justru 
sesuatu yang selama ini tak pernah dipikirkan atau di- 
rasakannya, mendadak saja muncul perlahan-lahan 
dan semakin lama semakin cepat, membentuk gumpa- 
lan sensasi aneh yang membuatnya agak sedikit te- 
gang. 

Entah keberanian itu datangnya dari mana, ta- 
hu-tahu Lesmana meraih tangan adik seperguruannya. 
Sedikit terkejut Ratih mengangkat kepalanya. Dilihat- 
nya Lesmana sedang menatapnya dengan seksama. 
Untuk beberapa saat gadis itu balas menatapnya, seo- 
lah terjerat oleh pesona yang muncul. 

Dan entah siapa yang mendahului, kedua anak 
manusia itu sudah saling mendekap. Mencurahkan se- 
genap perasaan yang tahu-tahu muncul dan sesung- 
guhnya telah lama mereka miliki. Rasa kasih itu telah 
datang karena kebersamaan mereka selagi menjadi 
murid Setan Bayangan. Kasih yang merupakan cermi- 
nan dari sikap kakak beradik. Tetapi yang mereka ra- 
sakan sekarang ini, bukanlah rasa kasih seperti yang 
sudah-sudah. 

Tiga kejapan mata kemudian, terlihat keduanya 
sudah saling berciuman. Lembut. Penuh pesona dan 
menawan. Tak ada hawa nafsu yang melingkupi mas- 
ing-masing orang kecuali rasa kebersamaan yang me- 
reka butuhkan. 

Ketika sehelai daun menerpa kepala Lesmana, 
pemuda itu perlahan-lahan melepaskan rangkulannya. 
Dipeganginya kedua bahu adik seperguruannya sambil 
menatapnya lekat-lekat. 

Yang ditatap justru menundukkan kepala. Ro- 
na merah menghiasi wajah manis itu. 

"Ratih...." desis Lesmana, suaranya sedikit ber- 
getar. 

Gadis yang memiliki sifat panasan itu justru 
menundukkan kepala. Menyahut pun tidak. 

Sikapnya membuat Lesmana menjadi agak ki- 
kuk. Dia khawatir apa yang barusan dilakukannya da- 
pat memancing amarah Ratih. Tetapi tatkala gadis itu 
pelan-pelan merebahkan kepalanya ke dadanya, diam- 
diam Lesmana menarik napas lega. 

Didekapnya tubuh lembut itu seraya mengu- 
sap-usap rambut hitam Ratih. 

Tak lama kemudian, masing-masing orang telah 
melepaskan diri satu sama lain. 

Lesmana berkata, "Kita cari tempat yang aman 
untuk kita diami, Ratih." 

Ratih mengangguk. 

"Aku ingin hidup bersamamu, Kakang Lesmana...." 

Lesmana tersenyum. 

"Begitu pula denganku. Ayo, kita berlomba un- 
tuk mencari tempat itu...." 

"Tapi aku tak ingin jauh darimu, Kakang...," 
suara Ratih manja. 

Lesmana tertawa. Lalu keduanya pun segera 
meninggalkan tempat itu. 

Ketika matahari tepat di atas kepala, keduanya 
menghentikan lari mereka di sebuah hutan yang ba- 
nyak ditumbuhi pepohonan tinggi dan berdaun lebat. 
Panasnya matahari tak terlalu menyengat sekarang. 

Masing-masing orang memandangi sekitarnya, 
yang sepi dan hanya terdengar suara angin menggere- 
sek dedaunan. 

"Sebaiknya kita beristirahat di sini, Ratih. Kau 
jangan ke mana-mana, aku akan mencari makanan 
untuk pengisi perut...." 

Ratih mengangguk. Dan sepeninggal Lesmana, 
gadis yang pada punggungnya terdapat dua buah pe- 
dang bersilangan itu segera melangkah mendekati se- 
buah pohon besar. Lalu dia duduk bersandar di bawah 
pohon itu. 

Kemudian diingat-ingatnya apa yang telah dila- 
kukannya bersama Lesmana sebelumnya. Mengingat 
hal itu, justru membuat wajahnya memerah. 

Sementara itu, Lesmana yang sebelumnya su- 
dah membayangkan akan mendapatkan ayam atau 
burung hutan dan segera memanggangnya, menjadi 
jengkel sendiri. Karena cukup lama dia meninggalkan 
Ratih, dia belum juga mendapatkan apa yang dica- 
rinya. 

"Aneh! Ke mana hewan-hewan hutan ini pergi? 

Sejak tadi tak kudengar ada cicit burung atau ciapan 
ayam. Tak kulihat pula kelinci-kelinci yang berlarian," 
desisnya sambil memasang mata dan pendengaran le- 
bih lebar lagi. 

Untuk beberapa saat pemuda yang di kening- 
nya melingkar sehelai kain merah ini terdiam sambil 
memperhatikan sekelilingnya. Di lain saat, Lesmana 
kembali bergerak untuk mencari hewan-hewan hutan 
itu. 

Akhirnya Lesmana memang mendapatkan tiga 
ekor burung hutan. Kemudian dengan gembira dia 
kembali ke tempat di mana Ratih menunggu. Di- 
bayangkannya kalau nanti mereka akan menikmati 
burung panggang yang beraroma sedap. 

Begitu tiba di tempat semula, langkah pemuda 
ini mendadak saja terhenti. Kepalanya tiba-tiba mene- 
gak dengan kedua mata menyipit. Dilihatnya tempat di 
mana dia dan Ratih berada sebelumnya telah porak 
poranda. 

Untuk beberapa lama Lesmana masih tertegun 
di tempatnya sebelum berteriak keras, "Ratih!!" 

Dia segera berkelebat mengitari tempat itu. Tiga 
ekor burung yang berhasil ditangkapnya sudah tak di- 
hiraukan lagi. Kegelisahan merambati hatinya. Kete- 
gangan melandanya yang semakin membuatnya tidak 
enak tatkala tak menemukan Ratih di sekitar sana. 

"Astaga!" desisnya kembali ke tempat semula. 
Nafasnya memburu karena rasa tegang yang tak terta- 
hankan. "Ratih!!" serunya lagi, berusaha memanggil. 

Tetapi tak ada sahutan dari Ratih. Ketegangan itu 
terus merambati hati Lesmana. Rasa tak tenang mem-
buatnya menjadi agak gusar. 

"Ratih!!" serunya lagi. 

Dan lagi-lagi tak ada sahutan. Perlahan-lahan 
anak muda ini berusaha untuk menenangkan dirinya. 
Dikajinya kemungkinan apa yang terjadi. 

"Tempat ini telah porak poranda. Jangan- 
jangan... ada seseorang atau beberapa orang yang te- 
lah muncul ke tempat ini. Dan tentunya orang itu 
bermaksud jahat terhadap Ratih. Hingga Ratih mela- 
wan. Terbukti tempat ini jauh berbeda sebelum ku 
tinggalkan. Kalau begitu...." 

Memutus jalan pikirannya, perasaan Lesmana 
semakin tak menentu. 

"Berarti. Ratih... berada di pihak yang kalah! 

Dan orang itu... orang itu berhasil menangkap... okh! 
Tidak, tidak! Akan kubunuh siapa pun orangnya yang 
telah mencelakakan Ratih!!" 

Tubuh anak muda ini menggigil karena gelisah, 
tegang dan marah. Tetapi lagi-lagi dicobanya untuk 
menenangkan dirinya. 

"Barangkali... barangkali.... Ratih berhasil me- 
nyelamatkan diri.... Dan dia... dia terpaksa meninggal- 
kan ku agar tidak mendapat celaka. Ya, ya! Itu lebih 
baik... itu lebih...." 

Kata-katanya terputus tatkala pandangannya 
membentur pada batang pohon di mana sebelumnya 
Ratih bersandar. Dengan pandangan tetap mengarah 
pada batang pohon itu, Lesmana melangkah mende- 
kat. Semakin lama dia semakin jelas melihat apa yang 
terdapat pada batang pohon itu. Sebuah tulisan yang 
tergurat pada batang pohon itu! 

Lesmana membacanya, ''Bila kau menginginkan 
gadis ini selamat, datang ke Tanah Kematian tiga hari 
di muka dengan membawa Bunga Kemuning Biru. 
Kembang Darah! Astaga! Kalau begitu... kalau begitu... 
Ratih... okh, tidak-tidak!" pemuda ini menggeleng- 
gelengkan kepalanya penuh kegelisahan. "Kembang 
Darah?! Siapa orang berjuluk Kembang Darah yang 
menginginkan Bunga Kemuning Biru?! Lagi pula, di 
mana Tanah Kematian berada?!" 

Perasaan Lesmana semakin gelisah. Pemuda ini 
tak menyangka kalau akan mendapatkan urusan yang 
tak menyenangkan. Tetapi di lain saat, Lesmana sudah 
memantapkan dirinya untuk menuju ke Tanah Kema- 
tian. Karena biar bagaimanapun juga, dia akan ber- 
tanggung jawab dengan apa yang dialami oleh Ratih! 

Namun sebelum pemuda ini meninggalkan 
tempat itu, pendengarannya menangkap dua gerakan 
yang sudah mendekat. Seketika Lesmana menoleh dan 
bersiaga. 

Dua sosok tubuh melompat dengan gerakan 
yang sangat ringan dan hinggap di atas tanah sejarak 
sepuluh langkah dari hadapannya. 

Belum apa-apa, salah seorang yang mengena- 
kan pakaian merah dan terdapat gelang-gelang warna 
merah di pergelangan tangan kanan kirinya sudah bu- 
ka mulut, "Setan Keris Kembar! Yakinkah kau kalau 
pemuda ini bernama Lesmana, salah seorang murid 
dari Setan Bayangan?!" 

Lelaki berwajah keriput yang mengenakan pa- 
kaian hitam dengan rajutan dua buah keris bereluk 
delapan di dada kanan kirinya, menganggukkan kepa- 
lanya. 

"Sebelum berjumpa denganmu di jalan menuju 
kediaman Malaikat Biru, aku sudah menyelidiki ten- 
tang murid-murid Setan Bayangan! Dan aku yakin, 
pemuda inilah yang bernama Lesmana yang tentunya 
telah me-miliki Bunga Kemuning Biru!" 

Lesmana yang saat ini sedang diliputi kegelisa- 
han dan amarah, memandang masing-masing orang 
dengan tatapan garang. Kejap lain, terdengar suaranya 
merandek gusar pada perempuan berhidung bangir 
itu, "Perempuan celaka! Kau telah menculik adik se- 
perguruanku! Dan sekarang muncul lagi dengan ka- 
wanmu itu! Bagus! Memang itulah yang kuharapkan 
hingga tak perlu lagi aku mendatangi Tanah Kematian! 
Karena... di sinilah jasadmu akan dimakamkan!!" 

Habis ucapannya, Lesmana sudah menerjang 
ke depan dengan amarah tinggi seraya mendorong tan- 
gan kanan kirinya! 

Seketika menghampar cahaya yang membentuk 
dua telapak tangan yang kemudian menyebar membe- 
sar. Gemuruh angin yang mendahului membuat tem- 
pat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar! 

***

EMPAT 

KEDUA orang yang baru datang itu, sama-sama 
membuka mata mereka lebar-lebar. Perempuan berpa- 
kaian merah yang terbuka di punggung dan memperli- 
hatkan punggungnya yang putih mulus tanpa cacat, 
merandek gusar. Kejap lain dia sudah me-mutar kedua 
tangannya di depan dada, lalu didorong dengan cara 
bersilangan! 

Segera menggebrak gelombang angin yang 
mengandung kekuatan besar. Tanah dan ranggasan 
semak terseret. 

Jlegaaarr!! 

Bertemunya dua bayangan telapak tangan yang 
membesar itu, dengan gelombang angin berkekuatan 
tinggi, membuat tempat itu bergetar hebat. Tanah di 
tingkahi dengan ranggasan semak belukar yang seke- 
tika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul suara 
berdebam berkali-kali. Saat itu pula pandangan terha- 
lang karena tingginya tanah yang muncrat! 

Untuk beberapa saat tak ada serangan yang da- 
tang. Tatkala tanah yang membubung itu sirap, terli- 
hat sosok Lesmana bergeser dua langkah ke belakang 
sambil memegangi dadanya dengan tangan kanan. Ke- 
dua tangannya bergetar dengan tangan kiri yang dira- 
sakan sangat ngilu dan buru-buru dialirkan tenaga da- 
lamnya. 

Di pihak lain, perempuan berpakaian merah 
yang terseret lima langkah itu, sudah melompat kem- 
bali ke tempat semula. Sosoknya angker dengan tata- 
pan tajam tak berkedip. Mulutnya merapat dingin. Bi- 
birnya yang tipis bergerak-gerak maju mundur. 

"Keparaaat!!" suaranya menggelegar dahsyat. 

Lesmana sendiri yang menyangka kalau perem- 
puan itu adalah orang yang berjuluk Kembang Darah 
segera balas membentak, "Perempuan celaka! Kemba- 
likan adikku! Kita bertarung secara jujur!!" 

"Terkutuk! Apa yang kau maksudkan dengan 
mengembalikan adikmu, hah?!" 

"Huh! Jangan berlagak dungu di hadapanku!" 

"Setaaan! Kau benar-benar...." 

Seruan Dewi Perenggut Sukma terputus, kare- 
na Lesmana sudah menerjang kembali, melancarkan 
ilmu 'Telapak Bayangan'. 

Dewi Perenggut Sukma menggeram keras. Ama- 
rahnya menggelegak. Tetapi sebelum dia menghindar 
atau memapaki serangan yang datang, Gadung Wu- 
wung atau yang berjuluk Setan Keris Kembar sudah 
melesat ke depan. 

"Biar aku yang menghadapi pemuda keparat ini!!" 

Kedua tangannya disentakkan ke atas dan ke 
bawah. Saat itu pula melesat sinar kehitaman yang 
melesat menjadi delapan liukan. 

Blaaarr! Blaaarrr!! 

Benturan dahsyat kembali terjadi. Tiga buah 
pohon tumbang dan beberapa pohon lainnya bergugu- 
ran dedaunannya. Untuk kedua kalinya tanah mun- 
crat ke udara! 

Namun tidak seperti kejadian pertama, tahu- 
tahu muncratan tanah itu berhamburan ke arah Ga- 
dung Wuwung dan Dewi Perenggut Sukma yang mem- 
buat masing-masing orang segera melompat ke kanan 
kiri. 

Dan... wuussss!! 

Dua bayangan telapak yang membesar itu me- 
lesat dan menghantam empat batang pohon sekaligus 
yang terlempar jauh dan menimbulkan suara letupan 
yang keras! 

"Setaaann!" maki Dewi Perenggut Sukma. "Biar 
aku yang beri pelajaran padanya!!" 

Kejap lain perempuan ini sudah menegakkan 
kepalanya. Matanya yang kejam tetap nyalang. Setelah 
mendengus kecil, ditarik kaki kanannya ke belakang 
sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya 
sedikit dibungkukkan, dengan sikap siap menerjang. 
Seiring dirangkapkan kedua tangannya di depan dada, 
mulut Dewi Perenggut Sukma berkemak-kemik. 

Kejap lain, terlihat sekujur kulit di tubuhnya 
berubah memerah dan seiring mulutnya terus berke- 
mak-kemik, warna merah itu semakin memerah, seme- 
rah darah. Paras jelitanya pun berubah, menjadi men- 
gerikan. Bahkan kedua bola matanya pun memerah, 
menyiratkan keganasan luar biasa. 

Gadung Wuwung melirik. 

"Hemmm... dia telah mengeluarkan ilmu 
'Perenggut Sukma'. Bagus! Kalau sebelumnya dia sen- 
gaja ku tahan untuk tidak mengeluarkan ilmu 
'Perenggut Sukma' kali ini kubiarkan saja. Ingin kuli- 
hat seperti apa kehebatan ilmu itu? Karena biar ba- 
gaimanapun juga, aku harus berjaga-jaga untuk 
menghadapinya! Aku juga menginginkan Bunga Ke- 
muning Biru!" 

Di depan, Lesmana tak gentar sedikit pun juga. 
Pemuda murid mendiang Setan Bayangan ini tetap 
menyangka kalau perempuan berpakaian merah itulah 
yang berjuluk Kembang Darah dan telah menculik Ra- 
tih. 

Lantas dilipatgandakan tenaga dalamnya. Di- 
rangkum kembali ilmu 'Telapak Bayangan' yang dimili- 
kinya. 

Kejap berikutnya, masing-masing orang sudah 
menerjang diiringi teriakan membahana, diantar oleh 
tatapan Gadung Wuwung yang diam-diam mundur tiga 
langkah. Karena dia dapat membayangkan apa yang 
akan terjadi. 

Jlegaaar....!! 

Benturan dahsyat yang membuat tempat itu 
bergetar dan banyaknya pepohonan yang tumbang ter- 
jadi. Menyusul muncratnya sinar-sinar semerah darah 
yang dilepaskan Dewi Perenggut Sukma, ditingkahi 
dengan membubungnya dan lenyapnya dua bayangan 
telapak besar yang dilepaskan Lesmana. 

"Aaaakhhh...!" Lesmana terpental ke belakang 
dengan dada yang terasa nyeri. Anak muda ini masih 
berusaha untuk menguasai keseimbangannya. Tetapi 
gagal. Hingga mau tak mau punggungnya membentur 
batang pohon. Masih beruntung karena dia telah me- 
namengkan dirinya dengan tenaga dalam. 

Tetapi tubuhnya tetap terbanting di atas tanah! 
Di pihak lain. Dewi Perenggut Sukma tetap be- 
rada di tempatnya dengan seringaian lebar di bibirnya. 

Sementara itu diam-diam Gadung Wuwung 
membatin dalam hati, "Hemmm... ternyata ilmu 
'Perenggut Sukma' tak sehebat dugaanku. Aku mampu 
menghadapinya suatu saat untuk merebut Bunga Ke- 
muning Biru." 

Namun apa yang dikatakan Dewi Perenggut 
Sukma kemudian, membuatnya seketika menoleh pa- 
da perempuan itu. "Huh! Baru sebagian kecil tenaga 
yang kuper-gunakan untuk mengalahkanmu, Pemuda 
keparat! Karena aku masih menginginkan kau hidup!!" 

"Astaga! Jadi... jadi... dia.... Gila! Gila!" belalak 
Gadung Wuwung dalam hati sambil menggeleng- 
gelengkan kepalanya. 

Kemudian dilihatnya Dewi Perenggut Sukma 
mendekati Lesmana yang masih terlungkup di atas ta- 
nah. Dengan kaki kanannya perempuan berpakaian 
terbuka di bagian punggung itu membalikkan tubuh si 
pemuda yang sudah tak berdaya. Dari mulut dan hi- 
dung Lesmana mengalir darah segar. 

"Sebagai murid Setan Bayangan, kau memang 
tak terlalu mengecewakan! Tetapi kau sedang berha- 
dapan dengan orang yang seharusnya menjadi guru- 
mu!" 

Lesmana mengerang pelan. 

"Terkutuk! Kembalikan adik seperguruanku...," 
desisnya sambil menahan sakit. 

"Setan muda! Aku tidak tahu kau berkata apa! 
Tapi yang kubutuhkan adalah.... Bunga Kemuning Bi- 
ru!" geram Dewi Perenggut Sukma dengan sorot mata 
angkernya. Di kejap lain, tiba-tiba terlihat seringaian di 
bibirnya. 

Setan Keris Kembar yang melihat seringaian itu 
sejenak mengerutkan kening. 

"Aneh!" desisnya dalam hati. "Mengapa kekeja- 
mannya seperti memudar? Mengapa dia menyeringai 
seperti itu? Apa yang dipikirkan dan diinginkannya?" 

Sebelum lelaki itu dapat menemukan jawaban- 
nya, terdengar suara Dewi Perenggut Sukma, "Setan 
Keris Kembar! Menyingkir dari sini untuk sementara!" 

Didera rasa penasarannya untuk mengetahui 
arti senyuman perempuan berpakaian merah itu, Se- 
tan Keris Kembar berkata, "Mengapa kau menyuruhku 
menyingkir? Orang yang kita inginkan sudah ada di 
depan mata! Kau tinggal memeriksanya, apakah Bunga 
Kemuning Biru itu berada padanya atau tidak! Bisa ja- 
di berada pada adik seperguruannya yang sejak tadi 
diserukannya itu!" 

Masih tetap tak mengalihkan pandangannya 
dari Lesmana yang sedang menahan nyeri dan geram- 
nya, Dewi Perenggut Sukma berkata, "Aku tak pernah 
memerintah lebih dari satu kali! Cepat menyingkir dari 
sini atau ku putuskan untuk membunuhmu juga!!" 

Setan Keris Kembar tak bergerak. Matanya mu- 
lai memancarkan sinar berbahaya. Kata-kata Dewi Pe- 
renggut Sukma membuatnya murka. 

"Setan terkutuk!" tiba-tiba menggelegar suara 
keras itu disusul dengan menolehnya kepala Dewi Pe- 
renggut Sukma. "Apa-apaan kau masih berada di sini, 
hah?!" 

"Dewi... aku tak tahu apa yang hendak kau la- 
kukan!" desis Setan Keris Kembar dingin. "Tetapi un- 
tuk sementara aku akan menyingkir!" 

"Bagus! Cepat tinggalkan tempat ini!!" 

Dengan menahan geramnya, Setan Keris Kem- 
bar segera menjauh. Hatinya masih penasaran ingin 
mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh perem- 
puan berpunggung mulus itu. Di samping itu, dia juga 
sudah tidak sabar untuk menggeledah si pemuda guna 
menemukan Bunga Kemuning Biru. 

Untuk itulah Setan Keris Kembar memutuskan 
untuk menjauh lebih dulu dan kemudian kembali lagi 
tanpa sepengetahuan Dewi Perenggut Sukma. 

Apa yang dilihat oleh lelaki berpakaian hitam 
itu sungguh di luar dugaannya. Sepasang matanya 
yang tadi memancarkan sinar berbahaya, kini terbela- 
lak. Jakunnya turun naik dengan dada berdebar keras. 

Sejarak dua belas langkah dari batik ranggasan 
semak di mana dia bersembunyi sekarang, dilihatnya 
Dewi Perenggut Sukma sudah bertelanjang badan! 

"Iblis! Apa yang hendak kau lakukan?!" terden- 
gar suara Lesmana, serak bercampur amarah. 

Dewi Perenggut Sukma yang sudah bertelan- 
jang badan menyeringai lebar. Kini dia berdiri men- 
gangkangi tubuh Lesmana. 

"Anak muda... wajahmu cukup tampan. Dan 
aku menyukai ketampanan itu...." 

"Iblis! Kau akan mampus kubunuh!!" Dengan 
mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Lesmana mener- 
jang. Tetapi kejap itu pula tubuhnya terpelanting kare- 
na merasakan sengatan pada dadanya. 

Seringaian di bibir Dewi Perenggut Sukma se- 
makin menjadi-jadi. Dengan sengaja digerakkan da- 
danya hingga kedua bukit kembar yang mulus dan be- 
sar itu bergerak menggiurkan. 

Di balik ranggasan semak, Setan Keris Kembar 
menelan ludahnya. 

"Kebiasaan perempuan itu yang sering menghi- 
sap keperjakaan seorang pemuda belum hilang juga. 

Ah, sejak dulu aku ingin sekali mencicipi tubuhnya. 

Tapi dasar sial, sampai sekarang belum juga terlaksa- 
na...," desisnya dengan dada makin berdebar. Teruta- 
ma melihat buah dada Dewi Perenggut Sukma yang 
pada kedua pucuk bukitnya terdapat sebuah benda 
kecil berwarna kecoklatan itu bergerak-gerak. "Setan! 

Setan!" desisnya menahan gelora nafsu. 

Sementara itu Dewi Perenggut Sukma perla- 
han-lahan mulai membungkuk sehingga sepasang 
buah dadanya yang membusung itu menggantung in- 
dah. 

"Kau akan menikmati sesuatu yang belum per- 
nah kau nikmati, Anak muda...," desisnya dengan sua- 
ra ditenggorokan. 

Lesmana memejamkam matanya, berusaha 
menghilangkan pesona yang mau tak mau memikat- 
nya. Biar bagaimanapun juga, dia seorang pemuda 
yang memiliki gelora 

"Hei, hei... mengapa kau tutup kedua matamu 
itu, Anak muda?" desis Dewi Perenggut Sukma. Buah 
dadanya yang menggantung disentuhkan ke wajah 
Lesmana yang gelagapan dan tetap berusaha tidak 
membuka kedua matanya. 

"Jangan!!" serunya keras ketika sepasang tan- 
gan lentik Dewi Perenggut Sukma mulai membuka pa- 
kaiannya. 

Di tempat persembunyiannya, Setan Keris 
Kembar tetap tak berkedip. 

"Hemm... pakaian pemuda itu telah terbuka. 

Tak kulihat ada Bunga Kemuning Biru di sana. Berar- 
ti... bunga itu dibawa oleh adik seperguruannya yang 
bernama Ratih yang disangkanya telah diculik oleh 
Dewi Perenggut Sukma. Masa bodoh! Lebih baik ku- 
tonton saja pertunjukan yang mengasyikkan itu! Yap! 

Ya... terus, Dewi... turunkan pakaianmu hingga kau 
melorot semua...." 

Di depan, Dewi Perenggut Sukma yang juga tak 
melihat adanya Bunga Kemuning Biru di balik pakaian 
Lesmana, telah menurunkan pakaian yang dikenakan- 
nya dengan gerakan yang sangat merangsang. Perut- 
nya yang langsing dan mulus kini telah terbuka, demi- 
kian pula dengan bagian sejengkal dari pusarnya yang 
masih tertutup secarik kain berwarna putih. Bayang- 
bayang hitam di balik kain putih yang dikenakannya 
itu membayang, sedikit menggunung. Lalu... pluk! 

Pakaian yang dikenakannya kini telah melorot, 
bertumpuk di atas tanah. Kendati usianya sudah se- 
tengah baya, Dewi Perenggut Sukma masih memiliki 
tubuh yang kencang. 

Setan Keris Kembar berulang kali menelan lu- 
dahnya. Tidak sabar menunggu sampai perempuan 
bertubuh indah itu membuka sisa kain yang melekat 
di pangkal pahanya. 

"Ayo... ayo... buka, Dewi... buka...," desisnya 
dalam hati dengan napas berpacu. 

"Anak muda... mengapa kau masih memejam- 
kan matamu? Apakah kau tak ingin melihat apa yang 
kumiliki?" 

"Terkutuk! Iblis perempuan! Menjauh kau dari 
sini!!" bentak Lesmana tetap memejamkan matanya. 

"Hemm... sayang sekali, kau hanya akan me- 
nikmati apa yang akan kuberikan tetapi kau tidak me- 
lihat apa yang kumiliki. Baiklah... sebentar lagi aku 
yakin, kau akan membuka matamu karena membaui 
benda perempuan yang akan kuberikan padamu..,." 

Sepasang tangan Dewi Perenggut Sukma kini 
berada di pinggir kanan kiri kain putih yang menutupi 
pangkal pahanya. 

Di tempatnya Setan Keris Kembar tak mau ke- 
tinggalan barang sekejap pun walaupun agak jengkel 
mengapa dia mengambil tempat di sebelah kiri! 

"Ya... buka, Dewi... buka...." 

Sepasang tangan lentik itu pun siap melorotkan 
kain putih yang dipakainya sendiri. Namun mendadak 
saja, kepalanya menoleh ke sebelah kiri, menyusul 
tangan kanannya mengibas. 

"Manusia keparat!! Rupanya kau memang ingin 
mampus!!" 

Wussss!! 

Gelombang angin menggebrak dengan suara 
bergemuruh ke tempat persembunyian Setan Keris 
Kembar. 

"Heiiii!!" pekik lelaki berpakaian hitam itu se- 
raya melompat. 

Blaaaarrr!! 

Kontan semak belukar yang tadi menghalangi 
tubuhnya hancur berantakan. Kejadian itu membuat 
Setan Keris Kembar tak berani untuk mengintip kem- 
bali. 

"Setan!!" maki Dewi Perenggut Sukma. Yakin 
kalau Setan Keris Kembar tak akan berani mengulangi 
kebodohannya, dia meneruskan lagi niatnya untuk 
membuka kain terakhir yang menempel pada tubuh- 
nya. Tetapi.... 

"Terkutukkkk!! Kau benar-benar ingin mampus!!" 

Kali ini segelombang sinar berwarna merah me- 
nyerbu ganas ke samping kanan! 

Jleggaaarrr!!! 

Kali ini bukan hanya ranggasan semak belukar 
yang hancur berantakan, sebatang pohon besar yang 
berdiri di belakang semak itu terhantam dan tumbang 
dengan suara bergemuruh. 

"Mampus kau manusia setan!!" maki Dewi Pe- 
renggut Sukma sambil memperhatikan tempat yang 
tadi dihantamnya. Buah dadanya yang masih terbuka 
bergerak-gerak, berayun dan bergelayut manja. Tak di 
hiraukannya lagi kalau dia membunuh Setan Keris 
Kembar sekarang. 

Setelah ditunggu beberapa saat dan Setan Keris 
Kembar yang disangkanya masih berada di sana tadi 
tidak muncul, Dewi Perenggut Sukma meneruskan 
niatnya. 

Tetapi satu suara bernada dingin membuatnya 
terbelalak, 

"Kekejaman macam apa yang akan kau pertun- 
jukkan, Perempuan tidak tahu malu?!" 

Seketika perempuan yang hanya tinggal secarik 
kain putih yang menutupi pangkal pahanya itu meno- 
leh. Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri seja- 
rak sepuluh langkah dari tempatnya. Kedua tangan 
anak muda berambut dikuncir kuda itu melipat di atas 
dada, dan terlihat sisik-sisik coklat pada lengan seba- 
tas sikunya. 

Sudah tentu Dewi Perenggut Sukma yang me- 
nyangka kalau yang diserangnya tadi adalah Setan Ke- 
ris Kembar terkejut. Lebih terkejut lagi tatkala mena- 
tap sepasang mata pemuda di hadapannya! 

"Astaga! Siapa pemuda itu?! Tatapannya begitu 
menusuk jantungku...!" 

***

LIMA 

PEMUDA berompi ungu itu tetap berdiri di 
tempatnya. Sorot matanya semakin menusuk. 

"Apakah kau tidak takut masuk angin bertelan- 
jang seperti itu? Atau... kau hendak menyamakan be- 
sarnya buah dadamu dengan pepaya yang menggan- 
tung di sana?!" 

Ucapan si pemuda seperti menyadarkan Dewi 
Perenggut Sukma kalau dia hampir tak berpakaian. 
Tetapi sikapnya tak terburu-buru saat mengenakan 
pakaiannya kembali. 

Di pihak lain, Lesmana yang masih terkapar 
dan memejamkan matanya, perlahan-lahan membuka 
matanya begitu mengenali suara orang yang muncul. 

"Raja Naga!" serunya begitu mengenali siapa 
orang yang datang. 

Kepala Dewi Perenggut Sukma menegak. 

"Raja Naga? Jadi dialah orang yang berjuluk 
Raja Naga, pemuda yang julukannya begitu menyentak 
rimba persilatan! Hemm... bagus! Sebelum membunuh 
Malaikat Biru, akan ku uji kehebatan pemuda ini!" 

Memutuskan demikian, Dewi Perenggut Sukma 
maju dua langkah. Didengarnya gerakan Lesmana 
yang berusaha bangkit. 

"Hih!" desisnya sambil menggerakkan kaki ka- 
nannya ke belakang. 

Buk! 

Dada Lesmana telak terkena tendangannya dan 
pemuda yang telah banyak kehilangan tenaga itu kon- 
tan jatuh pingsan. 

"Raja Naga! Julukanmu sangat santer akhir- 
akhir ini! Bagus! Aku ingin melihat kehebatan pemuda 
yang julukannya banyak disanjung dan dibenci orang!" 

Anak muda dari Lembah Naga itu tetap berdiri 
di tempatnya, tetap melipat kedua tangannya di depan 
dada. 

"Perempuan berpakaian merah! Kita belum sal- 
ing kenal dan tak punya silang sengketa! Lebih baik 
tinggalkan tempat ini dan biarkan aku mengobati sa- 
habat-ku!" 

Dewi Perenggut Sukma tertawa keras. 

"Hebat, hebat sekali! Kau pikir dengan uca- 
panmu itu aku akan keder?! Kau salah besar, Anak 
muda! Dan nampaknya... kau lebih gagah dari pemuda 
itu! Bagus! Kaulah yang akan menggantikan pemuda 
itu memuaskan nafsuku!!" 

Belum habis ucapannya, perempuan berpa- 
kaian merah yang terbuka di bagian punggung itu su- 
dah melesat ke depan. 

Wuuuttt!! 

Kelebatannya menimbulkan desir angin yang 
keras. Menyusul desiran angin itu, mendadak mengge- 
bah gelombang angin yang lebih dahsyat mengarah 
pada tanah di hadapannya. Begitu gelombang angin 
tadi menabrak tanah, seketika tanah membuyar ke 
udara namun segera berpentalan karena satu gelom- 
bang angin lain masuk menderu, 

Wrrrrr!! 

Di tempatnya Raja Naga memicingkan sepasang 
matanya. Murid Dewa Naga itu sama sekali tak berge- 
rak dari tempatnya. Wajahnya tetap tenang, namun 
sorot matanya bertambah angker. 

Mendadak dia mendehem cukup keras. 

Blaaaarrr!! 

Gelombang angin ganas yang siap menerbang- 
kan sosoknya tiba-tiba saja buyar di tengah jalan. 

Dewi Perenggut Sukma memekik kaget. Dia 
urung untuk melanjutkan serangannya. 

"Hebat!" desisnya. 

Raja Naga berkata. "Jangan bikin urusan ber- 
tambah runyam! Lebih baik menyingkir dari sini!" 

"Kesombonganmu sudah kelewat batas, Anak 
muda! Kau akan mengenalku lebih jauh!!" 

Dewi Perenggut Sukma menggeser kaki kanan- 
nya ke belakang. Tubuhnya agak sedikit dibungkuk- 
kan. Kejap berikutnya dia sudah melesat ke depan. 
Kedua kakinya bergerak laksana setan, menyeret ta- 
nah hingga beterbangan. 

Raja Naga menjerengkan sepasang matanya. 
Sekali saja dapat dirasakannya kalau lawan melipat- 
gandakan tenaga dalamnya. 

Tiba-tiba saja kaki kanannya dijejakkan di atas tanah. 

Brrooll!! 

Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom- 
bang cepat ke arah Dewi Perenggut Sukma, anak muda 
dari Lembah Naga itu sudah melompat ke depan se- 
raya mendorong tangan kanan kirinya. 

Blaaaam! Blaaammm!! 

Gelombang angin yang disemburati asap merah 
melabrak putus gelombang angin yang keluar dari do- 
rongan kedua tangan Dewi Perenggut Sukma. Letupan 
yang sangat keras terjadi. Tempat itu sesaat bergetar. 

Dewi Perenggut Sukma berdiri tegak di atas ta- 
nah setelah mundur tiga tindak. 

Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang 
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, perem- 
puan berpakaian merah menggeram keras dan segera 
menerjang kembali. Tubuhnya mumbul di udara. Lak- 
sana berjalan di atas angin, kedua kakinya bergerak 
cepat. Akibatnya, tanah berhamburan ke udara. 

Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang 
keluar dari gerakan kedua kaki lawan menerpa da- 
danya. Sadar bila tidak bergerak cepat akan menda- 
patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini 
segera mendorong kedua tangannya ke atas. 

Blaaamm! Blaaamm!! 

Letupan yang terjadi semakin membuatnya ke- 
hilangan keseimbangan. Sementara itu, Dewi Pereng- 
gut Sukma yang masih berada di udara memutar tu- 
buh. Dan mendadak saja dia meluruk dengan kedua 
kaki siap menghantam dada Raja Naga. 

Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, mu- 
rid Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan 
kanannya digerakkan ke depan. 

Buk! 

Kaki kanan Dewi Perenggut Sukma dapat dita- 
hannya, tetapi kaki kiri perempuan itu tepat bersarang 
di dadanya! 

Des! 

Dan... wussss!! 

Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk. 
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Dewi Pereng- 
gut Sukma yang bergerak laksana setan itu akan 
menghantam rengkah kepalanya. 

"Huh! Kesombongan yang kau punyai ternyata 
tak sepadan dengan ilmu yang kau miliki!!" dengus 
Dewi Perenggut Sukma ketika berdiri lagi di atas ta- 
nah. "Lebih baik kusudahi saja kau sekarang!!" 

Belum habis ucapan itu terdengar. Dewi Pe- 
renggut Sukma sudah mundur dua langkah. Kepa- 
lanya menegak dengan tatapan nyalang pada Raja Na- 
ga yang hanya memperhatikan dengan kening berke- 
rut. 

Dilihatnya perempuan berpakaian merah itu 
perlahan-lahan menarik kaki kanannya ke belakang 
sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya 
sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan kedua 
tangannya di depan dada, mulut si perempuan nam- 
pak berkemak-kemik. 

"Heiii!" desis Raja Naga dengan mata membela- 
lak. 

Dilihatnya bagaimana sekujur kulit di tubuh 
perempuan itu berubah memerah dan semakin lama 
bertambah merah semerah darah. Paras jelitanya pun 
berubah, menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola ma- 
tanya pun memerah, menyiratkan keganasan luar bi- 
asa. 

"Gila! Nampaknya dia tidak main-main dengan 
ucapannya! Padahal tadi aku sengaja mengalah, biar 
dia puas dan tak melanjutkan lagi niatnya! Tetapi se- 
karang, aku malah termakan oleh siasatku sendiri...." 

Kata batin Raja Naga terputus karena terdengar 
bentakan perempuan di hadapannya, "Raja Naga! Se- 
belum kau mampus, kenanglah siapa aku! Dewi Pe- 
renggut Sukma!!" 

Menyusul kedua tangannya didorong ke depan! 
Gelombang angin berwarna semerah darah 
menggebrak ke depan dengan kecepatan tinggi dan 
memperdengarkan suara lintang pukang. Raja Naga 
mundur satu langkah seraya mendehem, mencoba 
memutus-kan serangan itu dengan kekuatan tenaga 
dalamnya. Namun di luar dugaannya, gelombang angin 
itu terus saja menggebrak ganas ke arahnya! 

Segera dikeluarkan jurus ‘Barisan Naga Peng- 
hancur Karang’ yang begitu dijejakkan kaki kanan ki- 
rinya di atas tanah, seketika tanah itu bergerak ke 
atas, bergelombang deras, menyerbu ke arah Dewi Pe- 
renggut Sukma. 

Terdengar letupan beberapa kali, tetapi gelom- 
bang angin semerah darah itu tetap tak putus di ten- 
gah jalan. Dengan wajah sedikit tegang, pewaris ilmu 
Dewa Naga itu cepat melompat seraya melepaskan ju- 
rus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 

Namun upaya itu pun putus di tengah jalan, 
bahkan.... 

Wrrrrr!! 

Gelombang angin semerah darah itu telah me- 
lingkupi tubuhnya. Saat itu pula Boma Paksi merasa 
nafasnya sesak. Dadanya laksana dihimpit dua tangan 
kasar dari depan dan belakang. Belum lagi dapat diku- 
asai dirinya, tiba-tiba.... 

Bukkk!! 

Satu hantaman telak telah membuat tubuhnya 
terlempar ke belakang. 

Brruukkk! 

Laksana nangka busuk tubuhnya ambruk di 
atas tanah. Bukan karena jatuh itu yang menyebabkan 
Raja Naga sulit bernapas, tetapi gelombang angin me- 
rah yang melingkupi tubuhnya mendadak telah beru- 
bah menjadi gumpalan asap. Membuatnya terbatuk- 
batuk dengan dada terasa sakit. 

Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di- 
alami olehnya, karena tiba-tiba saja tubuhnya menge- 
jut-ngejut keras. Menyusul laksana sehelai daun yang 
tersedot pusaran angin, tubuhnya meluncur deras ke 
depan, ke arah Dewi Perenggut Sukma yang sedang 
menunggunya dengan kedua telapak tangan membu- 
ka. 

"Gila! Ini tidak main-main lagi!!" geram Raja 
Naga keras dengan rahang merapat. 

Dengan menahan sedotan tenaga tak nampak 
itu, segera ditepukkan tangan kanannya pada lengan 
kirinya. 

Plak! 

Wuuuttt!! 

Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar 
dan membuat tanah terangkat dalam pusarannya. 

Blaaarrr!! 

Tenaga tak nampak yang membuatnya tersedot 
tadi sempat tertahan hingga tubuhnya terlempar ke 
belakang akibat angin berputar yang dilakukannya ta- 
di. Namun di kejap lain tubuhnya kembali tersedot ke 
depan! 

Begitu tubuhnya tersedot lagi ke depan, terlihat 
sorot matanya bertambah angker, mampu membuat 
siapa pun yang melihatnya akan terpaku. Sementara 
itu sisik-sisik coklat yang menghiasi kedua tangannya 
sebatas siku, semakin jelas terlihat. Pertanda anak 
muda dari Lembah Naga itu sudah berada di ambang 
kemarahannya. 

Dewi Perenggut Sukma yang sedang mengerah- 
kan ilmu pamungkasnya, sesaat tersentak. Terbayang 
kengerian di wajahnya tatkala melihat sorot mata pe- 
muda berkuncir kuda itu. Namun di lain kejap dia tak 
pedulikan hal itu. 

Seluruh kulit di tubuhnya yang sudah berubah 
warna menjadi semerah darah, semakin bertambah 
pekat hingga yang nampak tak ubahnya seperti gum- 
palan darah belaka berwujud manusia. Samar-samar 
asap merah keluar dari ubun-ubun kepalanya yang 
membubung tinggi. 

Kedua tangannya yang terbuka, siap menyam- 
but dada Raja Naga yang akan segera disedotnya selu- 
ruh tenaga dalam yang dimiliki anak muda itu dengan 
ilmu 'Perenggut Sukma'nya. 

***

ENAM 

SEBELUM kita ikuti apa yang terjadi dengan 
Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu apa yang dialami 
oleh Ratih. Sepeninggal kakak seperguruannya yang 
mencari makanan. Ratih menyandarkan tubuhnya di 
bawah sebatang pohon. 

Ketika diingatnya apa yang dilakukannya sebe- 
lumnya bersama Lesmana, wajah dara jelita berpa- 
kaian ringkas warna kuning itu merona. Dicobanya 
untuk mengingat siapa yang lebih dulu memulai saling 
dekap dan cium. 

"Ih...!" desisnya dengan rona semakin kentara 
di wajahnya. "Memalukan saja.... Lebih baik aku me- 
mikirkan yang lain daripada memikirkan kejadian 
itu...." 

Lalu diingatnya peristiwa di mana dia menya- 
lahkan Lesmana yang gagal menyelamatkan gurunya, 
si Setan Bayangan dari tangan Ketua Perguruan Laba- 
laba Perak. Diingatnya pula bagaimana akhirnya dia 
mengerti tentang kejadian yang sebenarnya dan siapa 
gurunya. 

Karena asyik mengingat hal itu. Ratih tak me- 
nyadari kalau sepasang mata indah namun bersinar 
jahat memperhatikannya dari balik ranggasan semak. 

"Kabar sudah kudengar kalau gadis itu dan 
pemuda yang meninggalkannya tadi adalah murid Se- 
tan Bayangan yang telah mampus. Berarti, perjalanan- 
ku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru tak la- 
ma lagi akan berakhir. Pada murid-muridnyalah Setan 
Bayangan mewariskan Bunga Kemuning Biru..." desis 
orang di balik semak itu sambil terus memperhatikan 
Ratih. "Ketimbang didahului orang, lebih baik aku 
mendahului.... " 

Lalu... wuuuttt! 

Sosoknya telah melompati ranggasan semak se- 
tinggi dada yang berada di hadapannya. Hebatnya se- 
mak itu sama sekali tak bergerak sedikit pun. Bahkan 
tatkala sosok tubuh itu hinggap, tak terdengar suara 
sama sekali. 

Namun kehadirannya sekarang telah diketahui 
Ratih karena orang itu berdiri tepat di hadapannya. 
Serta-merta gadis manis berambut dikuncir dua itu 
berdiri. Matanya memperhatikan sosok di hadapannya 
dengan seksama. 

"Gadis berkuncir dua!" seru orang itu yang ter- 
nyata seorang perempuan yang diperkirakan berusia 
sekitar tiga puluh tahun. "Waktuku tidak banyak! Dan 
aku juga tidak suka berbasa-basi! Serahkan Bunga 
Kemuning Biru kepadaku maka kau akan tetap dapat 
melihat matahari esok pagi!" 

Ucapan kasar itu membuat Ratih bersiaga. Biar 
bagaimanapun juga dia telah berpengalaman mengha- 
dapi kejadian demi kejadian yang tidak mengenakan. 

"Perempuan tak tahu malu berpakaian sea- 
danya! Siapa kau? Tahu-tahu muncul dan berkata 
yang tidak-tidak!" 

Perempuan berambut hitam legam itu mengge- 
ram. 

Sorot matanya tajam. Dia mengenakan pakaian 
semacam kutang belakang berwarna merah. Memper- 
lihatkan bahunya, sebagian besar buah dadanya ba- 
gian atas, dan perutnya yang lebar terbuka. Sementara 
bagian bawah tubuhnya ditutupi dengan kain hitam 
yang cukup lebar. 

"Kau boleh memanggilku Kembang Darah!" se- 
runya dingin. 

"Huh! Kembang Darah! Julukanmu boleh juga! 

Dan tindakanmu tadi sungguh tidak enak dilihat dan 
didengar! Aku tak mau buka urusan! Lebih baik me- 
nyingkir dari sini!" 

Menyipit mata bengis itu mendengar bentakan 
Ratih. 

"Setan muda! Kau belum mengenal siapa aku!" 

Belum habis bentakannya, tangan kanannya menjen- 
tik. 

Trik! 

Satu larik angin menderu cepat ke arah Ratih. 
Yang diserang segera memiringkan kepalanya. 

Plasss!! 

Begitu dia menoleh, dilihatnya batang pohon di 
mana tadi dia bersandar bolong tepat sejajar dengan 
wajahnya! Seketika Ratih menjadi geram. 

"Rupanya kau termasuk orang yang suka ber- 
buat hina! Baik! Aku ingin tahu kau bisa berbuat 
apa!!" 

Dengan menekan kemarahannya, gadis ber- 
kuncir dua itu menerjang ke depan. Perempuan berpa- 
kaian seperti kutang itu menggeram dingin. Dimiring- 
kan tubuhnya untuk menghindari jotosan Ratih. Lalu 
dengan gerakan cepat kaki kanannya sudah mencuat 
siap menghantam perut Ratih. 

Plak! 

Ratih masih dapat menahannya dengan telapak 
tangan kanannya, lalu melenting ke depan. Begitu ke- 
dua kakinya memijak tanah, tubuhnya sudah melent- 
ing kembali. Kedua pedang yang bersilangan di pung- 
gungnya telah berada dalam genggamannya. 

Segera digerakkan pedangnya dengan kecepa- 
tan tinggi. 

Kembang Darah menggeram. 

"Huh! Gadis ini tak perlu kubunuh! Tugasku 
hanya untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru dari 
tangan murid-murid mendiang Setan Bayangan! Tapi... 
ya! Lebih baik kubawa dia ke Tanah Kematian untuk 
kupersembahkan pada Datuk Meong Moneng!" 

Berpikir demikian, Kembang Darah mundur ti- 
ga tindak. Menyusul jari jemarinya dijentikkan. 

Trikkk! 

Sraaatt! 

Beberapa gelombang angin laksana jarum me- 
lesat ke arah Ratih yang sesaat tercekat, lalu dengan 
cekatan digerakkan kedua pedangnya. 

Trang! Trang! 

Gelombang-gelombang angin itu berpentalan. 

Namun yang mengejutkan, karena gelombang- 
gelombang angin laksana jarum itu memutar arah dan 
kembali lagi ke arahnya! 

"Heiiii!!" 

"Kau tak memiliki kepandaian apa-apa. Gadis 
manis!" desis Kembang Darah sambil memperhatikan. 

Buah dadanya yang terbungkus pakaian seperti ku- 
tang berwarna merah bergerak-gerak. 

"Terkutuk!!" bentak Ratih seraya menghindar. 
Nafasnya mulai sedikit terengah. Keringat membasahi 
sekujur tubuhnya. Sepasang dadanya yang mengkal 
naik turun. Dia terus menghindari serangan gelom- 
bang-gelombang angin seperti jarum itu. 

Dua kejapan mata kemudian, terlihat sepasang 
pedang Ratih memancarkan cahaya bening yang se- 
makin lama bertambah kentara. 

Kening Kembang Darah berkerut. 

"Hemmm... nampaknya dia telah mengeluarkan 
ilmu pedangnya. Setan! Buat apa aku berlama-lama!" 

Ratih memang telah mengeluarkan ilmu ‘Pe- 
dang Bayangan’yang setiap kali digerakkan, setiap kali 
pula menggebah gelombang angin dingin disusul den- 
gan cahaya bening yang menyilaukan mata. Dengan 
ilmu itu pula dia dapat mematahkan gelombang- 
gelombang angin laksana jarum. 

Lalu diiringi teriakan mengguntur dia mener- 
jang ke arah Kembang Darah yang segera menghindar. 
Sempat dirasakannya betapa tubuhnya seperti dis- 
erang oleh hawa dingin yang sangat kuat. 

"Membosankan!" makinya keras seraya menje- 
jakkan kaki kanannya. Serta-merta tubuhnya melent- 
ing ke depan. Kedua tangannya dirangkapkan menjadi 
satu. Ketika cahaya bening yang menyilaukan mata itu 
mengarah padanya, dibuka kedua tangannya dan di- 
putar ke atas. 

Wuuusss! 

Cahaya bening yang menyilaukan mata itu ter- 
tahan, bahkan seperti tertangkap lenyap. Ratih tersen- 
tak kaget. Namun dia tak mengurungkan niatnya un- 
tuk menyerang. 

Kembang Darah meliukkan tubuhnya sebentar dan.... 

Des! Des! 

Tangan kanannya dengan cepat bergerak me- 
motong, menghantam kedua pergelangan tangan Ratih 
yang seketika membuat sepasang pedangnya terlepas. 
Kejap itu pula telunjuk Kembang Darah bergerak. 

TukITuk! 

Dua totokannya bersarang di tubuh Ratih, yang 
mengejut sebentar untuk kemudian menggelosoh tan- 
pa tenaga di atas tanah. 

Kembang Darah menyeringai. 

"Kau terlalu berani bersikap lancang terha- 
dapku!" desisnya. Tanpa mempedulikan bentakan- 
bentakan Ratih, diambilnya kedua pedang gadis itu. 
Dengan salah satu pedang itu, digoreskan tulisan yang 
diyakininya akan dibaca oleh pemuda yang bersama 
gadis ini sebelumnya. 

Lalu dengan membopong tubuh Ratih, diba- 
wanya si gadis meninggalkan tempat itu yang berte- 
riak-teriak keras tetapi tak mampu berbuat apa-apa. 

Di sebuah hutan kecil yang sepi, Kembang Da- 
rah menghentikan langkahnya. Diperiksanya tubuh 
Ratih dan ditemukannya apa yang dicarinya. Dipan- 
danginya bunga kemuning berwarna biru itu yang se- 
pertinya hanya bunga biasa yang baru dipetik. Seperti 
tak ada keistimewaan apa-apa. 

"Perempuan iblis! Kembalikan benda itu padaku!" 

Kembang Darah menyeringai. 

"Inilah yang diinginkan oleh Datuk Meong Mo- 
neng, benda milik kakak seperguruannya yang telah 
mampus dan dia akan...," tiba-tiba kata-kata Kembang 
Darah terputus. Dia tak berkedip menatap Bunga Ke- 
muning Biru. Lama dia terdiam sebelum terlihat kepa- 
lanya mengangguk-angguk. "Mengapa itu tidak kula- 
kukan?" desisnya. 

Kejap itu pula dia berlalu, sementara Ratih ber- 
teriak-teriak keras. Cukup lama Kembang Darah me- 
ninggalkan Ratih sebelum akhirnya muncul kembali. 
Diselipkannya Bunga Kemuning Biru ke balik pakaian 
Ratih. 

Lalu dengan menyeringai lebar dibopongnya tu- 
buh Ratih kembali. 

Menjelang tengah malam. Kembang Darah yang 
tak berhenti lagi sekali pun, tiba di sebuah tempat 
yang sangat sepi. Kegulitaan menyelimuti tempat itu. 
Sesaat dipandangnya tempat yang sepi itu. 

Sementara Ratih mencium bau yang sangat bu- 
suk yang membuat dadanya terasa sesak 

"Kau belum terbiasa dengan Tanah Kematian, 
tetapi tak lama lagi kau akan terbiasa karena kau akan 
menjadi penghuni tetap tempat ini." 

Kembang Darah berkelebat kembali. Bau busuk 
itu kian menyengat. Di ujung tempat yang bernama 
Tanah Kematian, terdapat sebuah bukit yang di bagian 
bawah-nya terdapat celah menyerupai gua. Ke tempat 
yang pertama gelap itu kemudian semakin ke dalam 
bertambah terang, Kembang Darah masuk dengan 
membawa tubuh. Ratih. 

Suara keras yang menggema tiba-tiba terden- 
gar, "Kau telah kembali, Kembang Darah! Tepat sepu- 
luh hari dari yang kau janjikan! Apakah kau sudah 
mendapatkan apa yang kuinginkan?!" 

Kembang Darah berlutut. Ratih yang tak bisa 
bergerak diletakkan di atas tanah dalam gua itu. 

"Perintah telah kujalankan dengan baik...," de- 
sis Kembang Darah seraya menundukkan kepalanya. 

"Bagus! Berarti aku bisa membalas kematian 
kakak seperguruanku yang pernah dikalahkan oleh 
Malaikat Biru!" 

Belum habis kata-kata yang menggema itu ter- 
dengar, mendadak saja angin berkesiur kencang dari 
sebelah kanan. Ratih yang tergeletak di atas tanah 
memekik pelan karena angin itu menampar wajahnya. 

Ketika dipalingkan lagi kepalanya, dilihatnya 
satu sosok tubuh tinggi besar telah berdiri di sana. Un- 
tuk kedua kalinya Ratih memekik, tetapi kali ini kare- 
na terkejut melihat paras orang itu? 

Orang yang baru muncul mengenakan pakaian 
hitam dengan jubah hitam yang sangat pekat. Ram- 
butnya jarang dengan dua buah anting besar di telin- 
ganya. Di kedua pergelangan tangannya yang tak ter- 
tutup, terlihat bulu-bulu halus yang tebal. Paras orang 
itulah yang mengerikan, karena wajahnya tak ubahnya 
seekor kucing. Dipenuhi bulu-bulu halus dengan ku- 
mis jarang yang melintang kaku dan sorot mata meme- 
rah. 

"Apakah gadis ini yang kau ceritakan, Kembang 
Darah?" suara orang itu keras, dingin dan tajam. 

"Tidak salah, Datuk...." 

"Bagus! Mana benda yang kuinginkan?!" 

Dengan kasar Kembang Darah menyingkap pa- 
kaian Ratih hingga bagian bawah buah dada mengkal 
yang dimiliki si gadis terlihat, hanya ditutupi pakaian 
dalam yang tipis. Diambilnya Bunga Kemuning Biru 
yang dengan menundukkan kepalanya diserahkan pa- 
da orang tinggi besar berjuluk Datuk Meong Moneng. 

Terbahak-bahak orang berjubah hitam itu 
sambil memandangi Bunga Kemuning Biru. 

"Luar biasa! Inilah yang kucari! Hahaha... kau 
memang hebat, Kembang Darah! Hebat sekali!" Lalu 
diselipkan bunga itu ke balik pakaiannya. "Dan aku 
yakin mengapa kau membawa gadis ini kepadaku? 
Tentunya untuk kau persembahkan kepadaku, bu- 
kan?" 

"Begitulah adanya. Datuk...." 

"Dan... aku ingin kau yang melayaniku sekarang...." 

Mendengar kata-kata itu, perlahan-lahan Kem- 
bang Darah mengangkat kepalanya. Satu senyuman 
merangsang terpampang di bibirnya. 

"Aku telah siap, Datuk...," desisnya dan dengan 
gerakan lembut digerakkan payudaranya yang montok. 

Di pihak lain, Ratih tersentak ketika mengeta- 
hui apa yang hendak dilakukan oleh kedua orang itu. 

"Terkutuk! Terkutuk kalian!" 

Kembang Darah mengikik. 

"Kau akan merasakannya juga, Anak gadis. Se- 
karang... kau lihatlah bagaimana caranya melayani 
Datuk Meong Moneng." 

Lalu dengan gerakan lembut dan penuh rang- 
sangan, perempuan berkutang merah itu merebahkan 
tubuhnya, terlentang dengan kedua tangan dan kaki 
membuka lebar-lebar. 

Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit 
kembar Kembang Darah semakin penuh. Bahkan seo- 
lah terlempar keluar karena pakaiannya yang berben- 
tuk kutang itu tak mampu menahan penuhnya bola- 
bola asmara yang dimilikinya. Seiring nafasnya yang 
teratur, buah dadanya bergerak turun naik. Sementara 
itu kain yang dikenakannya telah tersingkap dan 
memperlihatkan gumpalan paha lembut, mulus dan 
merangsang. 

Perlahan-lahan Kembang Darah memejamkan 
matanya, seolah pasrah menerima apa yang akan ter- 
jadi. Di pihak lain, Datuk Meong Moneng tertawa ke- 
ras. Diperhatikannya perempuan yang berada di ba- 
wah kekuasaannya itu. Penuh gairah ditubruknya tu- 
buh montok yang pasrah itu. Mulutnya segera menci- 
umi sekujur wajah Kembang Darah. Lalu hinggap dan 
melumat bibir memerah itu sepuas-puasnya. Sementa- 
ra tangan kanan dan kirinya bekerja meraba, menekan 
dan meremas apa saja yang ada di tubuh perempuan 
itu. 

Kembang Darah sendiri segera membalasnya 
dengan penuh gairah. Mendapatkan balasan yang 
memang diinginkannya gairah Datuk Meong Moneng 
semakin menggebu-gebu. Tangannya meremas-remas 
sepasang payudara Kembang Darah yang telah terbuka 
secara bergantian. Lalu dengan gerakan cepat, tangan 
kanannya turun ke bawah. 

Menyingkap kain yang menutupi bagian bawah 
tubuh Kembang Darah. Diremas-remasnya gumpalan 
paha itu bergantian sebelum tangannya menyusup 
jauh lebih ke dalam. Tiga kejapan mata berikutnya, 
kain yang menutupi bagian bawah tubuh Kembang 
Darah telah terlempar. 

Dengan kasar dan tak sabar. Datuk Meong Mo- 
neng menarik sisa kain yang masih menutupi bagian 
tubuh Kembang Darah yang sekarang dalam keadaan 
polos. Setelah itu dilucutinya pakaiannya sendiri. 

"Terkutuk! Terkutuk kalian!" maki Ratih keras 
dengan suara menggigil. 

Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya. 
Mereka terus melakukan kegiatan yang hendak mereka 
capai. Ratih memalingkan kepalanya ke arah lain. Di- 
pejamkan matanya. Ditulikannya kedua telinganya. 
Namun tetap saja dia mau tak mau mendengar desa- 
han-desahan birahi dari keduanya karena mereka be- 
gitu dekat. 

Kembang Darah menggerakkan setiap tubuh- 
nya untuk menyenangkan Datuk Meong Moneng. 
Tatkala Datuk Meong Moneng memasuki tubuhnya, 
Kembang Darah mendesis tinggi dengan memejamkan 
matanya, terus menggerak-gerakkan pinggulnya den- 
gan gerakan yang semakin lama bertambah cepat 
hingga membuat Datuk Meong Moneng terbeliak-beliak 
dengan napas bertambah memburu. 

Dan terdengar jeritannya lirih seraya mendekap 
tubuh lelaki berwajah kucing itu dengan kuat ketika 
Datuk Meong Moneng menumpahkan seluruh kejanta- 
nannya. 

Ratih semakin memalingkan kepalanya. 

"Hahaha... kau memang hebat, Kembang Da- 
rah! Hebat sekali!" seru Datuk Meong Moneng seraya 
berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. "Aku 
memiliki satu perintah lagi untukmu!" 

Kembang Darah yang masih terlentang di atas 
tanah dan tak berusaha menutupi bagian-bagian tu- 
buhnya yang polos, menyahut dengan mata setengah 
terpejam, "Katakan, Datuk... aku akan segera melak- 
sanakannya. ..." 

"Bunuh Raja Naga!" 

Hanya itu yang terdengar, karena sosok Datuk 
Meong Moneng telah lenyap entah ke mana. 

Kembang Darah hanya menganggukkan kepa- 
lanya saja. Masih diresapi apa yang barusan dirasa- 
kan. Setelah beberapa kejap, barulah dia bangkit dan, 
mengenakan pakaiannya kembali. 

Dipaksanya Ratih untuk menatapnya. 

"Kau sudah melihat semua kenikmatan yang 
kami lakukan, bukan? Anak gadis... tak lama lagi kau 
pun akan merasakannya..." 

"Setan perempuan! Terkutuk! Kau telah mela- 
kukan perbuatan terkutuk!" 

Kembang Darah menyeringai. 

"Inilah kenikmatan yang banyak dikejar orang! 
Sayang, aku tak bisa melayani cacianmu sekarang! 
Aku harus mencari Raja Naga untuk kubunuh!" 

"Perempuan iblis! Kaulah yang akan mampus di 
tangan Raja Naga!" 

Kembang Darah menggeram, tetapi di saat lain 
dia sudah terbahak-bahak. 

"Kita lihat nanti!" 

Kejap berikutnya dia sudah berlalu meninggal- 
kan gua itu. Tinggallah Ratih yang masih dalam kea- 
daan terlentang tanpa dapat menggerakkan tubuhnya 
kecuali lehernya belaka. Sementara sepasang pedang- 
nya tergeletak di sisi kanannya. 

Dan gadis itu terisak menyadari ketidakber- 
dayaannya sekarang. Tanpa disadarinya dia berucap 
serak, "Kakang Lesmana...." 

***

TUJUH 

KEMBALI pada Raja Naga, pemuda berompi 
ungu itu saat ini sedang meluncur deras ke arah Dewi 
Perenggut Sukma. Tinggal beberapa langkah saja tu- 
buhnya akan menempel pada kedua tangan perem- 
puan berpunggung mulus yang membuka itu. 

Namun mendadak saja dia mendehem keras. 
Kedua tangannya sebatas siku di mana sisik-sisik cok- 
lat yang menghiasinya semakin bertambah kentara, di- 
gerakkan secara tiba-tiba ke atas. Menyusul kaki ka- 
nannya dijejakkan di atas tanah. 

Tiga letupan dahsyat saat itu pula menggebah 
menjadi satu, Dewi Perenggut Sukma terpental ke be- 
lakang tatkala satu dorongan keras menerjang ke 
arahnya. Belum lagi dapat dikuasai keseimbangannya, 
tanah bergelombang sudah meluncur deras ke arah- 
nya. 

Perempuan yang sama sekali tak menyangka 
tindakan yang akan dilakukan oleh Raja Naga, meme- 
kik tertahan. Cepat dia memutar tubuhnya hingga me- 
luncur ke atas dan hinggap pada tempat di sebelah 
kanan. 

Blaaamm! Blaaamm!! 

Tanah yang bergelombang tadi menghajar tiga 
buah pohon sekaligus disertai letupan yang dahsyat. 

Tempat itu seketika bergetar, tanah berhambu- 
ran di sana-sini menghalangi pandangan. Di tempat- 
nya, Dewi Perenggut Sukma terdiam dengan napas 
memburu. 

Tatkala semuanya sirap, dilihatnya sosok Raja 
Naga tegak tanpa kurang suatu apa. 

"Gila!" serunya keras dengan kedua mata mem- 
belalak. 

"Aku tak suka terlibat silang urusan dengan 
siapa pun! Maafkan tindakanku barusan!" kata Raja 
Naga seraya merangkapkan kedua tangannya. Sisik- 
sisik coklat pada kedua tangannya masih jelas keliha- 
tan, sementara matanya bertambah angker. 

"Mengapa dia mendadak menjadi begitu hebat? 
Padahal tadi dia kelihatan tak berdaya menghadapi- 
ku?" desis Dewi Perenggut Sukma tidak mengerti. Te- 
tapi di lain saat dia menggeram sengit, "Terkutuk! Ten- 
tunya tadi dia berlaku bodoh dengan cara mengalah! 
Keparat hina! Dia bukan hanya telah membuka kedua 
mataku, tetapi menginjak-injak harga diriku!" 

Di kejap lain perempuan berpakaian merah ter- 
buka di punggung ini sudah melesat ke depan, mengu- 
langi lagi serangannya dengan melepaskan ilmu 
'Perenggut Sukma'. 

Raja Naga menjerengkan matanya. 

"Perempuan ini terlalu keras kepala! Aku belum 
tahu apa yang sebenarnya dikehendakinya dari Les- 
mana. Tetapi paling tidak, sesuai janjiku dengan Mu- 
sang Berjanggut dan Langlang Benua, aku harus me- 
nyelamatkan Lesmana dan... oh! Di mana Ratih?!" 

Pemuda dari Lembah Naga itu tidak sempat 
meneruskan jalan pikirannya karena serangan berba- 
haya Dewi Perenggut Sukma sudah mendekat. 

Tanpa bergeser dari tempatnya, Raja Naga men- 
jentikkan telunjuk dan ibu jarinya. 

Triiikk! 

Wrrrrr! Wuussss!! 

Pyaaar....! 

Gelombang angin merah yang telah berubah 
menjadi gumpalan asap merah yang menyesakkan da- 
da itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk 
sesaat menghalangi pandangan. Pecahannya meng- 
hantam beberapa ranggasan semak yang seketika 
menghangus dan luruh tatkala terhembus angin. 

Bersamaan gagalnya serangan tadi, Dewi Pe- 
renggut Sukma memekik tertahan seraya mundur. 

"Gila! Gila! Apa yang terjadi?!" serunya dengan 
mata membelalak dan mulut terbuka lebar. Dia benar- 
benar tidak mengerti, karena ilmu 'Perenggut Sukma' 
yang sangat dibanggakannya sekarang tak berarti ba- 
nyak untuk Raja Naga. "Terkutuk! Dia benar-benar 
menghinaku! Dia tadi sengaja mengalah! Terkutuk! 

Kau akan...." 

Terputus makian Dewi Perenggut Sukma ketika 
tidak melihat Raja Naga di sana. Bahkan tak dilihatnya 
Lesmana yang jatuh pingsan. 

Menggeram setinggi langit perempuan setengah 
baya itu dengan kedua tangan mengepal keras. 

"Demi langit dan bumi! Aku tak akan mampus 
sebelum membunuhmu Raja Naga!!" 

Lama Dewi Perenggut Sukma berteriak keras, 
menumpahkan segala amarah yang bergejolak di da- 
danya sebelum meninggalkan tempat itu. 

"Jadi kau menyangka perempuan berpakaian 
merah itu yang telah menculik adik seperguruanmu, 
Lesmana?" tanya Raja Naga pada Lesmana yang sejak 
tadi sudah siuman. Saat ini malam telah datang. Ke- 
dua anak muda itu duduk di atas tanah berumput. Di 
hadapan mereka sebuah sungai mengalir deras dan 
memperdengarkan suara bergemuruh. 

Pemuda berpakaian warna merah dengan garis 
hitam yang bersilangan di depan dada mengangguk. 
Wajah tampannya kelihatan lesu. Sorot matanya tak 
bergairah. Dia baru saja menceritakan apa yang se- 
benarnya terjadi. Dia juga baru tahu kalau Raja Naga 
yang telah menolong dan mengalahkan perempuan 
berpakaian merah yang terbuka di punggung itu. 

Raja Naga memperhatikan Lesmana dalam-dalam. 

"Aku merasa pasti bukan dia yang melakukannya...." 

Kepala Lesmana menegak. Matanya menatap 
tajam, tanda tak suka mendengar ucapan Raja Naga. 
"Mengapa kau menduga demikian, Boma?" 

"Karena... dia berjuluk Dewi Perenggut Sukma, 
sementara orang yang menculik adik seperguruanmu 
mengaku berjuluk Kembang Darah." 

"Boma! Bisa saja dia mengubah julukannya un- 
tuk mengelabui kita! Katamu tadi, kau baru mengenal 
perempuan itu! Aku pun baru mengenalnya! Hingga 
tak mustahil kalau dia sengaja mengelabui kita dengan 
mengubah julukannya!" 

Boma Paksi menggeleng. 

"Hal itu mungkin saja dilakukannya dengan 
maksud tertentu. Tetapi kurasa tidak." 

"Boma... kau melarangku untuk segera mencari 
perempuan celaka itu, sekarang kau menduga kalau 
perempuan itu bukanlah orang yang bertanggung ja- 
wab akan hilangnya Ratih!" seru Lesmana sedikit kes- 
al. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan?!" 

Raja Naga yang tadi memang melarang Lesma- 
na untuk mencari Dewi Perenggut Sukma setelah pe- 
muda itu siuman, tersenyum. 

"Selain memikirkan Ratih, aku juga memikir- 
kan, apa yang sebenarnya dikehendaki perempuan 
itu." 

"Dia menginginkan Bunga Kemuning Biru! Dan 
gagal mendapatkannya!" 

"Hemmm... sudah kuduga kalau perempuan itu 
menginginkan Bunga Kemuning Biru," kata Raja Naga 
dalam hati. "Dan dia gagal mendapatkannya. Berar- 
ti...." 

Memutus jalan pikirannya sendiri, pemuda 
tampan bersorot mata angker itu berkata, "Lesma- 
na.... apakah Bunga Kemuning Biru berada pada adik 
seperguruanmu?" 

Lesmana yang masih kesal akan larangan Raja 
Naga menganggukkan kepalanya. Dia tak menghirau- 
kan apakah Bunga Kemuning Biru diambil orang atau 
tidak. Yang diinginkannya hanyalah mendapatkan Ra- 
tih kembali bersama dengannya. 

Raja Naga berpikir sebentar sebelum tersenyum 
pada Lesmana. 

"Mungkin kau masih ingat dengan Musang Ber- 
janggut dan Langlang Benua. Belum lama ini aku telah 
berjumpa dengan kedua tokoh kenamaan itu di Bukit 
Tidar. Dari mulut mereka, aku mengetahui kalau ba- 
nyak orang yang menginginkan kematian Malaikat Bi- 
ru." 

"Aku tak pernah mengenal siapa Malaikat Biru!" 
sahut Lesmana ketus. 

"Mungkin kau memang tak mengenalnya." 

"Aku juga baru mendengar julukan itu!" 

"Ya, mungkin saja, karena gurumu mendiang 
Setan Bayangan tidak pernah menceritakannya kepa- 
damu." 

Kali ini Lesmana terdiam. Tak ada tanda-tanda 
dia akan menyahuti kata-kata Raja Naga. Kendati de- 
mikian, parasnya yang masih jengkel belum berangsur 
reda. 

Raja Naga tersenyum lagi dan berkata dalam 
hati, "Dapat ku maklumi kalau dia begitu mence- 
maskan Ratih. Tetapi sebelum mengetahui lebih jelas 
siapa Kembang Darah, itu sama saja dengan mencari 
jarum di tumpukan jerami." 

Perlahan-lahan Raja Naga berdiri. Matanya 
yang bersorot angker menatap aliran sungai yang saat 
ini jelas terlihat karena rembulan bersinar terang. 

"Mendiang gurumu adalah murid dari seorang 
tokoh sesat berjuluk Durga Marakayangan, yang me- 
rupakan musuh bebuyutan dari Malaikat Biru. Dialah 
pemilik Bunga Kemuning Biru yang kemudian dis- 
erahkan pada mendiang gurumu yang kemudian ditu- 
runkan kepadamu dan Ratih." Raja Naga berpaling, di- 
lihatnya Lesmana mulai mendengarkannya. "Dan seka- 
rang... banyak orang-orang yang belum diketahui sia- 
pa, berniat membunuh Malaikat Biru." 

"Itu bukan urusanku!" 

"Ya! Tetapi... mereka menginginkan Bunga Ke- 
muning Biru yang merupakan satu-satunya benda 
yang dapat membunuh Malaikat Biru! Lesmana! Apa- 
kah kau tidak berpikir, kalau Kembang Darah adalah 
salah seorang yang ingin membunuh Malaikat Biru? 
Juga.... Dewi Perenggut Sukma!" 

Kepala Lesmana menegak. Matanya mengerjap 
beberapa kali. 

"Kalau begitu... kalau begitu.... Ratih...." 

"Ya! Nasib Ratih berada di ujung tanduk seka- 
rang. Bila Kembang Darah sudah mendapatkan Bunga 
Kemuning Biru, mungkin gadis itu akan dibunuhnya!" 

"Oh!" Lesmana berdiri dengan wajah kaku. 
"Boma Paksi! Aku harus mencari Ratih!" 

"Tak lama lagi kita akan melakukannya!" 

"Astaga! Kalau begitu kau membiarkan Kem- 
bang Darah membunuhnya!" 

Raja Naga tersenyum. 

"Tenanglah, Lesmana. Dengan ketenangan kau 
dapat menguasai segalanya," katanya. "Aku merasa 
pasti kalau Kembang Darah belum membunuhnya." 

"Gila! Bagaimana kau punya pikiran segila itu?!" 

Lagi-lagi Raja Naga tersenyum. Kini dia dapat 
menduga kalau ada sesuatu yang terjadi antara Les- 
mana dan Ratih. Dan sesungguhnya Raja Naga tidak 
begitu mempercayai dugaannya. Kalaupun kemudian 
dikatakannya, semata agar Lesmana tidak panik. 

"Kembang Darah menulis, kau ditunggu di Ta- 
nah Kematian. Untuk apa dia menunggumu di sana? 
Itu artinya, dia-tidak akan membunuh bila dia me- 
mang berniat membunuh Ratih sampai kau datang." 

"Berarti, kita memang harus segera ke sana!" 
seru Lesmana tidak sabar. 

"Ya! Aku pun berniat untuk ke sana!" 

"Bagus!" 

"Tapi..." 

Kata-kata Raja Naga terputus karena Lesmana 
sudah berlari meninggalkannya. 

"Hemm... kemarahannya telah membutakan si- 
fat yang dimilikinya. Pemuda itu sebenarnya memiliki 
ketabahan dan kesopanan tinggi. Dia selalu dapat 
mempergunakan jalan pikirannya guna mengatasi hal- 
hal yang membingungkan." 

Raja Naga tetap berdiri di tempatnya, menatap 
sosok Lesmana yang semakin lenyap ditelan kegela- 
pan. 

Tahu-tahu dia mendesis pelan, "Orang itu ma- 
sih berada di sini." 

Apa yang didesiskannya itu memang benar. Se- 
jak tadi Raja Naga mengetahui kalau ada seseorang 
yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Kare- 
na kehadiran orang itulah yang menyebabkan Raja 
Naga bertindak seperti ragu-ragu menghadapi Lesma- 
na. Bahkan dia sengaja memancing kemarahan Les- 
mana, semata untuk menegaskan keyakinannya akan 
orang yang bersembunyi di balik pohon besar. Ma- 
kanya, dia tidak bermaksud untuk segera mengikuti 
Lesmana sebelum mengetahui siapa orang yang ber- 
sembunyi itu. 

Sementara itu, orang yang bersembunyi meng- 
geram dalam hati, "Mereka menyebut-nyebut Kembang 
Darah. Bukankah perempuan iblis itu yang telah 
membunuh guruku? Huh! Rasanya pengejaranku su- 
dah akan berakhir! Tanah Kematian! Mereka menye- 
but-nyebut Tanah Kematian! Bisa jadi kalau perem- 
puan iblis itu memang tinggal di sana! Bagus! Aku 
akan mencari Tanah Kematian!!" 

Habis membatin demikian, orang yang berada 
di balik pohon besar itu mengintip lagi ke depan. Dili- 
hatnya sosok pemuda itu masih berada di sana. 

Di lain saat, orang itu segera bergerak tanpa 
mengeluarkan suara sedikit pun, bertanda dia memili- 
ki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Setelah di- 
rasanya agak menjauh dari tempat sebelumnya, diem- 
pos tubuhnya dengan cepat. Namun baru beberapa 
langkah, mendadak saja gerakannya terhenti. 

Kepalanya menegak. Sepasang matanya yang 
bulat indah memandang tak berkedip ke depan! 

Raja Naga tersenyum. 

"Ternyata seorang gadis...." 

***

DELAPAN 

ORANG yang bersembunyi dan siap meninggal- 
kan tempat itu ternyata seorang gadis berwajah bulat 
telur dan berhidung bangir. Mata indahnya menghu- 
jam tepat ke mata orang yang menghadangnya. Namun 
saat itu pula dialihkan pandangannya ke tempat lain. 

"Astaga! Di tempat tadi aku sama sekali tidak 
melihat tatapan matanya karena agak gelap. Tetapi di 
sini, jelas terlihat kalau dia memiliki tatapan yang 
mengerikan," desisnya dalam hati dengan dada sedikit 
berdebar. "Tetapi dia tersenyum. Dan nampaknya dia 
bukan termasuk pemuda berotak jahat." 

Di saat lain, gadis yang mengenakan pakaian 
putih bersih itu berkata, "Orang muda... jangan salah 
tanggap akan sikapku yang mencuri dengar percaka- 
panmu tadi. Aku tak bermaksud apa-apa." 

"Bila kau tidak bermaksud apa-apa, tentunya 
kau akan muncul di hadapan kami tadi," sahut Raja 
Naga sambil memperhatikan si gadis. "Parasnya... 
mengingatkan aku pada Diah Harum atau Dewi Bunga 
Mawar." (Untuk mengetahui siapa Diah Harum alias 
Dewi Bunga Mawar, silakan baca episode : "Kutukan 
Manusia Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut"). 

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Rambut 
indahnya bergerak sedikit. 

"Maafkan tindakanku...." 

"Aku merasa pasti kalau kau bukanlah orang 
yang mempunyai kebiasaan mencuri dengar percaka- 
pan orang lain. Dan melihat kau begitu terburu-buru 
sekarang, adakah sesuatu yang sebenarnya dapat kau 
petik dari percakapan kami tadi?" 

"Sikap pemuda ini begitu sopan. Wajahnya pun 
tampan meski sorot matanya angker mengerikan. Dia 
juga... astaga! Kedua tangannya mulai dari jari jemari 
hingga sebatas siku dipenuhi sisik coklat! Ah, siapakah 
pemuda berompi ungu itu?" desis si gadis dalam hati. 

Untuk beberapa saat tak ada yang buka suara. 
Masing-masing orang saling pandang. Entah mengapa 
sorot mata Raja Naga yang biasanya tajam dan angker 
kini kelihatan resah. 

"Kehadirannya mengingatkan aku pada Diah 
Harum... Ah, sayang gadis yang diam-diam kucintai itu 
telah tewas...," desisnya dalam hati. Tanpa sadar Raja 
Naga sesaat mengingat kembali kematian Diah Harum 
yang kemudian berganti julukan menjadi Ratu Tanah 
Terbuang (Baca : "Ratu Sejuta Setan"). 

Gadis di hadapannya berkata, "Semula aku tak 
berniat untuk mencuri dengar percakapanmu, tetapi 
lama kelamaan aku tertarik untuk menyimak." 

"Apa yang kau lakukan sebenarnya tak bisa di- 
benarkan. Tetapi aku dapat memaafkan bila kau men- 
gatakan apa kepentinganmu dengan percakapan kami 
tadi." 

Gadis itu memperhatikan dulu pemuda di ha- 
dapannya yang sedang tersenyum padanya. 

"Hmm... haruskah kukatakan apa yang hendak 
kulakukan sekarang?" desisnya dalam hati memper- 
timbangkan. Setelah berpikir beberapa saat, barulah 
gadis itu berkata, "Pertama-tama, kuberi tahu nama- 
ku. Namaku Pratiwi. Aku datang dari tempat yang cu- 
kup jauh. Apa yang membuatku tertarik akan perca- 
kapanmu tadi, ketika kalian menyebut-nyebut Kem- 
bang Darah." 

"Mengapa kau tertarik dengan orang yang ber- 
juluk Kembang Darah? Apakah kau mengenalnya?" 

Pertanyaan Raja Naga disambut dengan kepala 
tegak oleh Pratiwi. Sorot mata indahnya tiba-tiba ber- 
sinar penuh bahaya. Raja Naga juga melihat kedua 
tangan gadis itu mengepal. 

"Rasanya dia menyimpan dendam," desisnya 
dalam hati. 

"Kembang Darah!" desis Pratiwi. "Perempuan 
setan itulah yang telah membunuh guruku dua tahun 
yang lalu!" 

Kata-kata Pratiwi membuat kepala Raja Naga 
menegak. Diperhatikannya dengan seksama gadis yang 
memiliki wajah seperti Diah Harum. 

"Bila kau tak keberatan, ceritakan tentang 
Kembang Darah kepadaku...." 

Pratiwi terdiam sejenak. Setelah menarik dan 
menghembuskan napas, mulutnya pun membuka. 

Kala itu malam Jumat Kliwon. Seperti kebia- 
saannya bila malam Jumat Kliwon, Pratiwi selalu be- 
rendam di Sungai Pengulu, seperti ajaran gurunya 
yang berjuluk Kidang Bukit. Dan malam itu adalah 
malam terakhir dia berjumpa dengan gurunya. 

Karena begitu dia kembali ke tempat gurunya 
keesokan paginya, dia menemukan gurunya dalam 
keadaan sekarat. Dengan napas terputus-putus Ki- 
dang Bukit menceritakan siapa orang yang telah men- 
celakakannya. Dan orang itu berjuluk Kembang Darah. 

Pratiwi mengangkat kepalanya. 

"Itulah sebabnya, aku jadi tertarik untuk men- 
dengarkan percakapan kalian! Aku memang belum 
mengenal sosok perempuan keparat itu, tetapi dia ha- 
rus mampus menerima balasan atas perbuatannya!"

Raja Naga menarik napas pendek. 

"Ah, setiap saat rupanya darah selalu tumpah 
dari jasad manusia. Melihat gelagatnya, gadis bernama 
Pratiwi ini jelas-jelas tak akan bisa memendam den- 
damnya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Kau su- 
dah mendengar percakapanku dengan temanku tadi. 
Ya, Kembang Darah memang berada di Tanah Kema- 
tian." 

"Tahukah kau di mana Tanah Kematian berada?" 

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 
dipenuhi sisik coklat menggeleng. 

"Aku tidak tahu. Tapi bila boleh kuberi saran, 
sebaiknya kau lupakan dendammu itu...." 

Seketika kedua mata Pratiwi membuka lebar. 
"Aku tak butuh saran dari siapa-siapa! Yang 
kuinginkan adalah melihat setan betina itu mampus!" 

Habis bentakannya, gadis berhidung bangir itu 
melesat. Gerakannya sangat cepat hingga Raja Naga 
mau tak mau terkagum juga. 

"Hebat! Tapi sayang, dia diamuk oleh dendam- 
nya...," katanya pada dirinya sendiri. "Dan urusan 
Bunga Kemuning Biru semakin lebar berkembang. 
Keadaan Ratih sendiri belum diketahui." 

Pemuda dari Lembah Naga itu terdiam lagi be- 
berapa saat. Otaknya berpikir untuk memecahkan ma- 
salah yang dihadapinya. 

"Sebaiknya, kucari saja di mana Tanah Kema- 
tian berada!" 

Memutuskan demikian, pemuda pewaris ilmu 
Dewa Naga ini memutar tubuhnya, lalu berlari ke arah 
yang berlawanan dengan Pratiwi. 

* * * 

Saat matahari bersinar kembali, satu sosok tu- 
buh kurus menghentikan langkahnya di sebuah jalan 
setapak. Diperhatikannya tempat sekitarnya yang sepi. 

"Terkutuk!" makinya keras. "Ke mana perginya 
perempuan cabul itu?" 

Orang yang tak lain Setan Keris Kembar ini 
menggeram. Rambutnya yang dikuncir dengan pita pu- 
tih bergerak ketika dipalingkan kepalanya ke kanan. 

"Setan alas!" makinya ketika melihat seekor ke- 
linci keluar dan berlari cepat. 

Setelah ketahuan kalau dia bersembunyi, Setan 
Keris Kembar memang menjauh untuk kemudian da- 
tang lagi. Tetapi tak dilihatnya Dewi Perenggut Sukma 
di sana. Begitu pula dengan Lesmana. Walaupun ka- 
kek berpakaian hitam dengan rajutan dua buah keris 
berlekuk delapan di dada kanan kirinya ini melihat 
tempat yang telah porak poranda, sedikit pun dia tak 
menaruh curiga. Mengingat sebelumnya telah terjadi 
pertarungan. 

"Huh! Bunga Kemuning Biru tidak berada pada 
pemuda itu! Berarti, berada pada adik seperguruannya 
yang bernama Ratih! Aku ingat, kalau sebelumnya dia 
menuduh Dewi Perenggut Sukma telah menculik adik- 
nya! Dan dia juga menyebutkan Tanah Kematian! As- 
taga! Bukankah tempat itu.... Tanah Kematian... ada- 
lah tempat tinggal Kembang Darah?!" 

Tiba pada pikirannya sendiri, Setan Keris Kem- 
bar terdiam. Keriput di wajahnya nampak bertambah 
menumpuk ketika wajahnya ditekuk. 

"Kalau memang Kembang Darah yang telah 
menculik Ratih, berarti... dia juga menghendaki Bunga 
Kemuning Biru! Terkutuk! Apa-apaan dia berani mela- 
kukannya! Rupanya ingin...." 

"Tak kusangka kalau aku akan menjumpaimu 
di sini, Kakek bau!" satu suara terdengar di belakang 
Setan Keris Kembar. 

Seketika kakek berpakaian hitam itu berpaling. 
Dilihatnya seorang perempuan muda yang mengena- 
kan pakaian seperti kutang berwarna merah di sana. 

Sesaat Setan Keris Kembar menggeram sebelum 
terdengar tawanya keras. 

"Panjang umurmu rupanya, Kembang Darah! 
Baru saja kusebut namamu kau sudah berada di sini! 
Bagus, bagus sekali! Aku hendak bertanya sesuatu!" 

Kembang Darah menyeringai seraya mendekat. 

"Tak perlu kau tanyakan aku sudah tahu apa 
yang ingin kau tanyakan!" 

"Bagus! Itu artinya kau tidak memungkiri apa 
yang telah kau lakukan! Lantas, mengapa kau muncul 
kembali ke sini, hah?! Apakah pada diri gadis yang kau 
culik itu tidak kau temukan Bunga Kemuning Biru?!" 

Kembang Darah makin menyeringai. Lalu den- 
gan gerakan seperti tak disengaja, sepasang bukit 
kembarnya digerakkan hingga bergetar lembut. 

"Aku tidak salah memilih orang! Gadis itu ada- 
lah sasaranku dan sudah tentu kudapatkan Bunga 
Kemuning Biru padanya!" 

"Bagus! Mana benda sakti itu sekarang?!" 

Kembang Darah tersenyum dan berkata dalam 
hati, "Telah cukup lama aku berada di bawah kaki Da- 
tuk Meong Moneng dan telah lama pula aku menjadi 
budaknya. Dan dia tidak tahu kalau sesuatu telah ku- 
lakukan. Kehadiran Setan Keris Kembar semakin da- 
pat menguatkan seluruh rencanaku untuk lepas dari 
tangan Datuk Meong Moneng. Bagus! Aku akan memu- 
lainya sekarang...." 

Masih tersenyum perempuan itu berkata, 
"Bunga Kemuning Biru memang telah kudapatkan, te- 
tapi telah kuserahkan pada Datuk Meong Moneng!" 

Sampai mundur satu langkah Setan Keris 
Kembar mendengar nama itu disebutkan. Untuk bebe- 
rapa saat dia terdiam dengan mata mengerjap-ngerjap 
cepat. 

Kembang Darah mendengus mengetahui kalau 
Setan Keris Kembar putus nyali begitu mendengar ju- 
lukan Datuk Meong Moneng. 

"Kembang Darah! Ada urusan apa kau dengan 
Datuk Meong Moneng?!" 

"Dia telah menguasai diriku sejak aku dikalah- 
kannya! Dan manusia keparat itulah yang memerin- 
tahkanku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru!" 

"Dungu! Bila kau memang sudah menda- 
patkannya, mengapa kau menyerahkan kepadanya?!" 

"Kau yang dungu! Apakah kau tidak tahu ke- 
saktian yang dimilikinya?! Apa dayaku untuk mengha- 
dapinya, hah?! Dengan berat hati dan menyimpan 
amarah, terpaksa kuberikan Bunga Kemuning Biru 
padanya!" 

"Tindakannya tidak salah. Nyawanya memang 
patut lebih diutamakan ketimbang Bunga Kemuning 
Biru. Tapi bila dia mau mempergunakan otaknya, su- 
dah tentu dia tak akan menyerahkan bunga itu pada 
Datuk Meong Moneng. Karena dengan bunga itu dia 
dapat membunuh kakek muka kucing itu." 

Habis membatin demikian dia berkata, "Lantas, 
apa yang hendak kau lakukan sekarang?" 

"Setan Keris Kembar! Sejak berada di bawah 
kekuasaannya aku telah mencari jalan untuk meng- 
hindarinya, untuk lari darinya! Tetapi hingga saat ini 
aku belum menemukan cara yang tepat! Dan setelah 
bertemu denganmu sekarang, terbukalah kedua mata- 
ku...." 

"Apa maksudmu, Kembang Darah?" tanya Se- 
tan Keris Kembar waspada. Biar bagaimanapun juga 
dia mengenal siapa Kembang Darah adanya. Setan be- 
tina berotak licik. 

"Menghadapi Datuk Meong Moneng seorang di- 
ri, aku memang tak mampu melakukannya. Tetapi 
dengan bantuanmu, aku yakin dapat mengalahkan- 
nya." kata Kembang Darah sambil menatap dalam- 
dalam Setan Keris Kembar. Lalu sambungnya, "Setan 
Keris Kembar, apakah kau mau membantuku?" 

"Perempuan ini berotak licik dan selalu memili- 
ki siasat yang mematikan. Tapi untuk saat ini, aku 
percaya apa yang dikatakannya kalau dia berada di 
bawah kekuasaan Datuk Meong Moneng. Dan ra- 
sanya...," belum habis kata batin Setan Keris Kembar, 
Kembang Darah sudah berkata seraya melangkah, 

"Setan Keris Kembar... apa pun yang kau minta 
akan kupenuhi asalkan kau mau membantuku untuk 
melepaskan diri dari Datuk Meong Moneng." 

Laksana dua ekor ular, kedua tangan Kembang 
Darah sudah merangkul leher Setan Keris Kembar 
yang sesaat gelagapan. Wajah dan tubuh perempuan 
itu begitu dekat dengannya, aroma wangi menebar dan 
menyergap indera penciumannya. 

"Sudikah kau membantuku?" desis Kembang 
Darah sambil menggerakkan sepasang bukit kembar- 
nya. Ketika dilihatnya Setan Keris Kembar masih ter- 
diam gelagapan, buru-buru disambungnya, "Aku rela 
kau apakan saja...." 

Lalu dengan gerakan penuh rangsangan, Kem- 
bang Darah melepaskan rangkulannya. Dengan gera- 
kan penuh rangsangan dibukanya pakaiannya yang 
seperti kutang itu. Dalam sekejap saja sepasang bukit 
kembarnya yang padat sudah melontar keluar. 

Setan Keris Kembar yang tidak sempat berkata 
apa-apa karena 'serangan' mendadak dari Kembang 
Darah, mengerjap-ngerjap dengan napas agak membu- 
ru. 

Melihat hal itu Kembang Darah tersenyum. Se- 
tengah memejamkan matanya dia berkata, "Kau lihat 
sendiri, betapa aku rela kau apakan saja...." Lalu sam- 
bungnya dalam hati, "Aku telah menemukan siasat ba- 
ru untuk lolos dari tangan Datuk Meong Moneng. Mu- 
dah-mudahan manusia muka kucing itu belum menge- 
tahui kalau Bunga Kemuning Biru yang kuberikan pa- 
danya adalah palsu. Dan kakek bersenjata sepasang 
keris inilah yang akan kujadikan kambing hitam..." 

Setan Keris Kembar masih terdiam dengan ma- 
ta semakin nanar Nafasnya bertambah memburu. Da- 
danya yang tipis bergerak cepat. Jakunnya bergerak 
turun naik. 

Tak bisa lagi menahan diri karena dirangsang 
terus menerus, disergapnya tubuh montok itu yang 
memekik liar ketika tubuhnya ditindih Setan Keris 
Kembar. 

"Kau terlalu merangsangku, Kembang Darah...," 
dengus Setan Keris Kembar. Tangannya segera me- 
nyergap sepasang payudara montok yang terbuka lebar 
itu. Diremas-remasnya penuh nafsu. Lalu diciuminya 
hingga dia kehabisan napas sendiri. Puas menciumi 
sepasang bukit kembar itu, dia menggelosoh ke bawah. 
Dengan sedikit gemetar, disingkapkannya kain hitam 
yang dikenakan Kembang Darah. 

Dengan kasar tangannya meraba-raba di sana. 
Di pihak lain wajah Kembang Darah sudah me- 
rona. 

Nafasnya memburu dengan tubuh menggerijal- 
gerijal. Lalu dengan kasar ditariknya tubuh Setan Keris 
Kembar. 

Keduanya berpacu memburu kenikmatan mas- 
ing-masing dan beberapa saat kemudian, sama-sama 
menggelosoh dengan tubuh lemas setelah sama-sama 
memekik dan saling dekap keras. 

Dalam keadaan terlentang Kembang Darah me- 
lirik. Dilihatnya Setan Keris Kembar sedang terengah- 
engah dengan napas seperti mau putus. 

"Rencanaku akan berhasil dengan baik" desis- 
nya, lalu bangkit dan mengenakan kembali pakaian- 
nya. 

Di pihak lain, Setan Keris Kembar pun mema- 
kai lagi pakaiannya. Dipandanginya perempuan berku- 
tang merah itu dalam-dalam. 

"Aku mempercayai apa yang diinginkannya se- 
karang. Dia telah membuktikan dengan menyerahkan 
tubuhnya tadi. Ya, mengapa aku tidak membantunya? 
Apalagi kini kuketahui kalau Bunga Kemuning Biru 
berada di tangan Datuk Meong Moneng." 

Berpikir demikian, Setan Keris Kembar menye- 
ringai. Matanya dihujamkan lekat-lekat pada sepasang 
bukit kembar yang padat itu. Lalu dengan nakalnya 
disentuhnya bagian puncak bukit itu. 

"Kembang Darah... aku akan membantumu un- 
tuk membunuh Datuk Meong Moneng. Tapi dengan sa- 
tu syarat...." 

"Astaga! Syarat apakah itu?" seru Kembang Da- 
rah dan berlagak kaget, padahal dia yakin betul kalau 
kakek berpakaian hitam ini akan mengajukan syarat. 

"Nyawa Datuk Meong Moneng adalah milikmu 
yang sudah tentu akan kubantu untuk mendapatkan- 
nya. Tetapi, Bunga Kemuning Biru harus menjadi mi- 
likku." 

"Hemm... jadi itu yang kau hendaki? Ya! Kau 
boleh memiliki Bunga Kemuning Biru! Lagipula aku 
tak melihat tanda-tanda aku membutuhkan bunga 
itu!" 

"Bagus! Di mana sekarang manusia keparat itu 
berada?!" 

"Di Tanah Kematian!" 

"Kita ke sana sekarang!" 

"Tapi...." 

Setan Keris Kembar urung melangkah. Tata- 
pannya tajam pada Kembang Darah. 

"Apa maksudmu dengan tapi?" 

Kembang Darah membuat wajahnya menjadi 
tegang. Matanya dikerjapkan beberapa kali seolah dia 
berada dalam ketakutan. 

"Tak mungkin aku mendatanginya sekarang." 

"Gila! Apa maksudmu tidak bisa mendatan- 
ginya sekarang?! Kau menginginkan nyawanya, tetapi 
kau justru menahan keinginanmu itu!" 

Kembang Darah memalingkan kepalanya ke 
samping kanan. Tanpa menatap Setan Keris Kembar, 
dia berkata dengan suara dibuat sendu, "Setelah kuse- 
rahkan Bunga Kemuning Biru termasuk gadis berna- 
ma Ratih itu padanya, manusia bermuka kucing itu 
memerintahkan aku untuk membunuh Raja Naga." 

"Raja Naga?! Gila! Apa urusannya harus mem- 
bunuh Raja Naga?!" 

"Aku tidak tahu mengapa dia menyuruhku se- 
perti itu." 

"Di saat kau ingin membebaskan diri dari 
kungkungan Datuk Meong Moneng, kau masih juga 
berkeinginan untuk melaksanakan perintahnya!" 

"Aku tak kuasa menolak." 

"Urungkan niatmu itu! Kita berangkat ke Tanah 
Kematian sekarang!" 

"Tapi...." 

"Persetan dengan tapimu itu!" seru Setan Keris 
Kembar bernafsu. Sesungguhnya bukan karena dia in- 
gin membantu Kembang Darah yang membuatnya 
bernafsu, tetapi mengetahui kalau Bunga Kemuning 
Biru yang diinginkannya berada di tangan Datuk 
Meong Moneng! "Kita berangkat sekarang!" 

Tetapi Kembang Darah tak beranjak dari tem- 
patnya. Dia juga tahu apa yang membuat Setan Keris 

Kembar begitu tidak sabaran. 

"Keparat! Mengapa kau tak juga segera berang- 
kat, hah?!" bentak kakek yang pada pakaiannya terda- 
pat sulaman dua buah keris bereluk delapan. 

"Setan Keris Kembar... aku akan menjalankan 
dulu perintah Datuk Meong Moneng, setelah itu aku 
akan membunuhnya!" 

Di saat lain, Kembang Darah sudah berkelebat cepat. 

"Terkutuk!" maki Setan Keris Kembar sambil 
menghentakkan kaki kanannya di atas tanah yang se- 
ketika berhamburan. "Apa yang sebenarnya diinginkan 
oleh perempuan celaka itu? Dia ingin bebas dan mem- 
bunuh Datuk Meong Moneng, tetapi mengapa masih 
menjalankan juga perintahnya! Dasar setan buduk!" 

Setan Keris Kembar masih memaki panjang 
pendek sampai kemudian diputuskannya untuk segera 
menuju Tanah Kematian. 

Sepuluh kali tarikan napas, satu sosok tubuh 
melenting ringan dari balik ranggasan semak. Sosok 
tubuh yang bukan lain Kembang Darah adanya me- 
nyeringai lebar. 

"Huh! Rencanaku semakin matang! Dia dapat 
kujadikan sebagai kambing hitam! Tak lama lagi ten- 
tunya Datuk Meong Moneng mengetahui kalau Bunga 
Kemuning Biru yang kuserahkan padanya adalah bun- 
ga yang palsu! Dan aku punya alasan yang tepat bila 
dia murka kepadaku! Akan kukatakan kalau bunga 
yang asli telah direbut oleh Setan Keris Kembar!" 

Perempuan berkutang merah itu terkikik pan- 
jang memikirkan rencana yang disusunnya bertambah 
matang. Lalu dia berkelebat ke tempat di mana perta- 
ma kali dia datang ke tempat itu tadi. Dari balik se- 
buah ranggasan semak, diambilnya Bunga Kemuning 
Biru yang disusupkan di antara semak itu. 

Dipandanginya bunga yang memancarkan war- 
na biru indah berkilau itu. 

"Dengan bunga ini, aku akan menjadi orang 
yang tak terkalahkan! Dan untuk menguji kesaktian- 
nya, akan kucari Raja Naga. Paling tidak, bila aku ber- 
hasil membunuhnya, Datuk Meong Moneng akan men- 
ganggapku telah menjalankan perintahnya!" 

Kembali Kembang Darah tertawa keras. Lalu 
diselipkan Bunga Kemuning Biru ke balik kain yang 
menutupi tubuh bagian bawahnya sebelum mening- 
galkan tempat itu. 

Ketika dia sedang menatapi Bunga Kemuning 
Biru di mana Ratih dalam keadaan tertotok di sebuah 
hutan kecil, pikiran jahatnya muncul. Kala itu Kem- 
bang Darah berpikir, tak mungkin kalau Bunga Ke- 
muning Biru tak memiliki keistimewaan apa-apa, men- 
gingat Datuk Meong Moneng menginginkannya. Tim- 
bullah pikiran untuk menguasai Bunga Kemuning Bi- 
ru. 

Ketika dia meninggalkan Ratih di hutan itu, di- 
carinya bunga kemuning berwarna biru yang banyak 
tumbuh di sana. Dipetiknya sebuah sementara Bunga 
Kemuning Biru yang asli diselipkannya ke balik kain- 
nya. 

Bunga kemuning berwarna biru yang dipetik- 
nya itulah yang diserahkannya kepada Datuk Meong 
Moneng! 

*** 

SEMBILAN 

MENJELANG malam, Raja Naga tiba di sebuah 
tempat yang dipenuhi bebatuan. Sepanjang matanya 
memandang yang nampak hanyalah batu-batu besar. 
Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah bukit tegak 
angkuh menantang langit. 

Raja Naga memicingkan matanya ketika me- 
nangkap gerakan-gerakan di depan sana. Belum lagi 
dia dapat mengetahui siapa yang bergerak-gerak den- 
gan cepat itu, mendadak saja lima orang lelaki berpa- 
kaian hitam-hitam telah bermunculan dari balik bebe- 
rapa buah batu besar. 

Dan langsung mengurungnya! Raja Naga hanya 
memandang orang-orang yang ternyata memakai to- 
peng hitam itu. 

"Manusia yang berani datang ke Bukit Batu, 
kalau tidak untuk mengacau, adalah untuk mencari 
mampus!" salah seorang yang berdiri di tengah mende- 
sis, suaranya parau. 

Raja Naga hanya tersenyum. "Kalian salah 
sangka bila menduga aku seperti itu." 

"Kau berani berucap, berarti memiliki kemam- 
puan yang akan kau jadikan andalan! Tangkap pemu- 
da itu!!" 

Serentak keempat temannya bergerak cepat 
memutari Raja Naga. Yang mengejutkan, karena gera- 
kan mereka semakin lama bertambah cepat. Dan tiba- 
tiba saja mereka bergerak dengan jotosan tangan ka- 
nan kiri ke arah Raja Naga, 

Kendati cukup terkejut mendapatkan serangan 
yang aneh dan tiba-tiba, Raja Naga masih dapat men- 
guasai keadaan. Mengiringi putaran tubuh disertai se- 
rangan yang tiba-tiba, pemuda dari Lembah Naga itu 
menggerakkan kedua tangannya pula. 

Buk! Buk! Buk! 

Berulang kali suara berbenturan terdengar ke- 
ras dan keempat orang bertopeng itu tiba-tiba saja ter- 
lempar ke belakang dan terpelanting di atas tanah. 

Raja Naga sendiri telah tegak kembali tanpa ku- 
rang suatu apa! 

Orang yang tadi mengomandoi serangan itu 
terbelalak, jelas terlihat dari balik topeng yang dikena- 
kannya. 

"Gila! Pemuda itu dengan mudah menjatuhkan 
teman-temanku!" desisnya dalam hati. 

Raja Naga memandang orang di hadapannya. 
Sorot matanya yang angker berusaha menerobos to- 
peng yang dikenakan orang itu. Bila saja tadi dia ingin 
mematahkan tangan-tangan keempat orang bertopeng 
yang menyerangnya, akan sangat mudah dilakukannya 
mengingat kedua tangannya yang dipenuhi sisik seba- 
tas siku memiliki kesaktian luar biasa. 

"Maafkan sikapku barusan. Aku hanya membe- 
la diri," katanya kemudian. 

"Terkutuk! Rupanya kau memang benar-benar 
hendak mengacau!" bentak orang bertopeng itu disusul 
dengan satu kibasan tangan. 

Serta-merta menggebah gelombang angin ber- 
kekuatan tinggi ke arah Raja Naga yang segera mende- 
hem untuk memutuskan serangan itu. Sesaat orang 
bertopeng terkesiap melihatnya, namun di lain saat dia 
sudah meluncur ke depan. 

Kaki kanan kirinya bergerak ke atas dan ke 
bawah. Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di- 
lakukannya, karena tiba-tiba saja dia sudah menyusu- 
ri tanah hingga tanah beterbangan. 

Raja Naga menjerengkan matanya yang berso- 
rot angker. Tanpa bergeser dari tempatnya, diangkat 
tangan kanannya. Sekali gebrak saja dia dapat mema- 
tahkan serangan orang bertopeng. Menyusul kaki ka- 
nannya dijejakkan di atas tanah. 

Tanah seketika bergelombang, menderu ken- 
cang ke arah orang bertopeng yang sedang menyusur 
tanah. 

Terlihat kedua bola mata orang bertopeng itu 
terkesiap. Disertai pekikan tertahan, ditepukkan tan- 
gan kanannya di atas tanah yang membuat tubuhnya 
mumbul ke udara. 

Bila saja Boma Paksi mau, dengan mudahnya 
dia menghantam tubuh yang sedang mumbul di udara 
itu. Tetapi dibiarkan saja sampai orang itu hinggap 
kembali di atas tanah. 

Di lain pihak keempat orang bertopeng lainnya 
yang tadi terpelanting berantakan di atas tanah telah 
berdiri dan mendekati orang bertopeng yang tadi me- 
nyerang Raja Naga. 

"Dia bukan tandingan kita," kata salah seorang. 

"Aku tahu. Kesaktiannya melebihi setan neraka." 

"Apa yang kita perbuat sekarang?" 

"Kita tetap akan menahannya, kalau bisa akan 
kita bunuh pemuda itu." 

"Gila! Kita sudah tak berdaya menghadapinya!" 

"Kalau begitu... dua orang menghadap Ketua! 
Katakan, kalau ada pemuda bersisik yang hendak 
membuat onar!" 

Kendati kata-kata itu diucapkan dengan berbi- 
sik, tetapi Raja Naga dapat mendengarnya. Sambil ter- 
senyum dia berkata, "Kalian salah sangka. Aku tak 
memiliki maksud buruk. Jadi tak perlu melaporkan 
kejadian ini atau memanggil Ketua kalian keluar." 

Sudah tentu kelima orang bertopeng hitam itu 
tersentak mendengar kata-kata Raja Naga. 

"Gila! Siapa pemuda itu?!" desis salah seorang. 

Raja Naga berkata, "Hemm... namaku Boma 
Paksi. Saat ini aku sedang menuju ke sebuah tempat. 
Kalau pun aku tiba di sini, karena ketidaksengajaan. 
Maksudku, tempat yang ku tuju memang belum kuke- 
tahui berada di mana." 

Walaupun agak jeri mengetahui kesaktian pe- 
muda berompi ungu, tetapi kelima orang bertopeng itu 
tidak percaya begitu saja. Orang yang terakhir menye- 
rang Raja Naga tadi berkata, "Bila kau memang tak 
bermaksud jahat, tunjukkan itikad baikmu!" 

"Baik! Apa yang bisa kulakukan?" sahut Raja 
Naga. Sesungguhnya dia enggan untuk melayani 
orang-orang ini mengingat dia harus cepat-cepat tiba 
di Tanah Kematian. Biar bagaimanapun juga, dia men- 
cemaskan nasib Ratih dan Lesmana. 

"Ikut dengan kami menjumpai Ketua!" 

"Aku tak melihat kepentingan untuk itu!" 

"Berarti kau memang tengah menjalankan satu 
muslihat terhadap kami, agar kami lengah!" 

Gusar juga pemuda dari Lembah Naga itu men- 
dengar kata-kata orang bertopeng. Tetapi ditahan ke- 
gusarannya. 

"Aku tak memiliki waktu banyak. Dan kuminta 
kalian dapat memakluminya." 

"Orang yang telah masuk ke Bukit Batu hanya 
bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan tak ber- 
nyawa. " 

"Kalau begitu, berapa orang yang telah kalian bunuh?" 

"Itu tak ada urusannya denganmu! Tangkap dia!!" 

Kali ini orang itu juga ikut menyerang Raja Na- 
ga. Tetapi lagi-lagi mereka harus berpelantingan satu 
persatu. 

"Maaf... aku tak punya banyak waktu...." 
"Tunggu!" seru orang bertopeng yang berbicara 
mewakili teman-temannya tadi. "Siapa kau sebenar- 
nya?" 

"Tadi sudah kukatakan, namaku Boma Paksi! 
Aku sedang menuju ke satu tempat dan secara tak 
sengaja tiba di sini!" 

"Ketua kami mencari orang-orang sakti untuk 
membantunya! Apakah kau bersedia melakukannya?!" 

Kali ini Raja Naga terdiam. Rasa penasarannya 
timbul mendengar kata-kata orang bertopeng itu. 

"Ketua? Siapa orang yang dimaksud Ketua oleh 
orang-orang ini? Dan rencana apa yang diinginkan 
oleh orang yang dipanggil Ketua?" desis Raja Naga da- 
lam hati. Sambil menatap orang-orang bertopeng itu 
satu persatu dia berkata, "Sudah adakah orang yang 
memutuskan untuk membantu Ketua kalian?" 

"Tidak ada! Karena... mereka tak memiliki ke- 
saktian! Sudah mampus sebelum berhasil melewati 
kami!" 

"Nampaknya ada sesuatu yang disembunyi- 
kan," desis Raja Naga lagi dalam hati. Lalu berkata, 
"Apa yang sebenarnya hendak dilakukan oleh Ketua 
kalian dengan mencoba mengumpulkan orang-orang 
sakti?" 

"Kau akan mengetahuinya setelah berjumpa 
dengannya." 

Raja Naga terdiam beberapa saat, memikirkan 
kemungkinan apakah dia akan menuruti kemauan 
orang-orang bertopeng itu atau tidak. Di lain saat, ke- 
palanya mengangguk. 

"Baiklah... untuk sementara aku menurut...." 
"Bagus! Ikat dia! Tutup matanya!!" 

Diikat dengan mempergunakan tali yang sangat 
alot itu sebenarnya dengan mudah dapat diputuskan- 
nya, tetapi Raja Naga hanya menurut saja. Menurut 
pula ketika kedua matanya ditutup. 

Lalu disertai makian-makian kasar, dia digiring 
oleh orang-orang bertopeng itu. 

"Hemmm... nampaknya mereka mencoba me- 
nyesatkan ku dengan cara mengajakku berputar- 
putar. Tetapi biar diajak berputar bagaimanapun juga, 
aku tetap tahu tempat yang akan mereka tuju." 

Cukup lama Raja Naga merasa hanya dibawa 
berputar-putar saja sebelum kemudian dirasakannya 
angin tak sedingin tadi. Bahkan dirasakan begitu lem- 
bab. 

"Aku yakin, kalau saat ini telah memasuki se- 
buah gua," katanya dalam hati. 

Lalu dirasakan pundaknya ditekan untuk ber- 
lutut. Lagi-lagi Raja Naga hanya menuruti saja. 

Didengarnya orang yang selalu berbicara tadi 
berkata, "Ketua! Kami membawa seorang pengacau di 
Bukit Batu! Kesaktiannya cukup luar biasa! Bila Ketua 
berkenan mengambilnya sebagai pembantu, kami akan 
membiarkannya hidup!" 

"Bagus! Tetapi sayangnya, kalian belum tahu 
siapa pemuda yang kedua lengannya bersisik coklat 
itu!" terdengar suara seorang perempuan. 

Orang-orang bertopeng yang berlutut itu men- 
gangkat kepala masing-masing. Sorot mata mereka 
memancarkan keheranan yang luar biasa. 

"Siapa dia sebenarnya, Ketua?" 

"Pemuda itulah yang berjuluk Raja Naga!" 

Menegak kepala masing-masing orang yang se- 
ketika memalingkan kepalanya pada Raja Naga yang 
masih dalam keadaan terikat dan mata tertutup kain 
hitam. 

Orang-orang bertopeng itu bersujud tiga kali. 
"Maafkan kami, Ketua! Kami tidak tahu siapa dia 
adanya!" 

"Tak mengapa! Buka ikatan dan tutup ma- 
tanya!" 

Raja Naga merasakan ikatan pada kedua tan- 
gannya dibuka, menyusul penutup matanya. Segera 
saja dia mencari si perempuan yang bersuara tadi. 

Begitu melihat siapa adanya orang, kedua ma- 
tanya membuka lebih lebar. 

Orang yang berkata tadi tersenyum dan berka- 
ta, "Dunia ini begitu sempit rupanya! Belum lama kita 
berpisah, kini sudah bertemu lagi! Selamat datang di 
tem-pat kediamanku, Raja Naga!" 

"Pratiwi!" 


SELESAI 

Segera menyusul: 
JEJAK MALAIKAT BIRU

Scan/B-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 

Thanks to Culan Ode 
untuk melengkapi halaman yang 
hilang.