Raja Naga 12 - Muslihat Dewi Berlian

SATU 

SUASANA di tempat yang agak landai dan dipe- 
nuhi dengan pepohonan itu sepi. Hanya suara hewan 
malam yang terdengar. Angin timur laut berhembus 
dingin, menggeresek dedaunan yang cukup menimbul- 
kan suara mendebarkan. Malam terus beranjak dan 
tak lama lagi akan tiba pada puncaknya. 

Datuk Bunaeng tak bersuara. Matanya meman- 
dang tajam pada Dewi Berlian yang baru saja menceri- 
takan sesuatu yang cukup mengejutkan sekaligus 
membuat kemarahannya semakin naik. Diliriknya 
Pangku Jaladara yang terbujur dalam keadaan telen- 
tang di atas tanah. 

Sesuai dengan apa yang direncanakan, Datuk 
Bunaeng bersama Ratu Tongkat Ular dan Resi Hitam 
terlebih dulu tiba di Lembah Lingkar. Kakek berjubah 
hitam yang sepasang alisnya menyatu ini menggeram 
karena tak melihat sosok Dewi Berlian. Tetapi kegera- 
mannya itu lenyap tatkala perempuan berpa3mdara 
montok yang mengenakan pakaian panjang warna hi- 
jau dipenuhi butiran berlian itu muncul dengan me- 
nyeret tubuh Pangku Jaladara, yang kemudian diban- 
tingnya hingga terbujur di atas tanah. 

Kemudian tanpa membuang waktu Dewi Berlian 
memberitahukan sesuatu yang mengejutkan kakek be- 
rambut dikelabang itu! 

"Bagus kalau Raja Naga berani datang ke Lembah 
Lingkari" deals kakek berambut dikelabang itu dingin. 
"Itu tandanya, siap untuk mencari mampus!" 

Dewi Berlian yang sedang menjalankan rencana 
busuknya, tersen3rum dalam hati. 

"Dengan begini, aku dapat mengadu domba anta- 
ra Datuk Bunaeng dengan Raja Naga. Tetapi bila tin- 
dakanku ini tidak dibantu oleh Pangku Jaladara mus- 
tahil perkembangannya seperti itu." i 

Wajah perempuan yang pakaian bawahnya terbe- 
lah di kanan kiri hingga batas pinggul ini, sedikit be-  
rubah ketika melihat tatapan kakek bongkok berkulit 
sangat hitam. Belum lagi bibir keriput si kakek terse- 
nyum-senyum sendirian, dan sesekali memberi isyarat 
seperti kecupan. 

"Keparat! Siapa kakek setan ini? Tatapannya pe- 
f nuh birahi dan membuatku menjadi begitu muak!" 

Kakek yang bukan lain Resi Hitam itu mendesis 
pada Datuk Bunaeng, "Bunaeng! Lama kudengar kabar 
tentang seorang perempuan jelita yang berjuluk Dewi 
Berlian! Sekian lama pula kubayangkan betapa cantik 
wajahnya dan begitu panas tubuhnya! Lama pula ku- 
pendam hasratku untuk menggelutinya! Dan tak ku- 
sangka tak kuduga, kalau hari ini aku berjumpa den- 
gannya! Dan... wah, wah! Luar biasa! Sungguh luar bi- 
asa! Kecantikan dan kemolekannya jauh melebihi apa 
yang kubayangkan!" ! 

Datuk Bunaeng menyeringai lebar. Di pihak lain. 

Dewi Berlian menggeram keras. Sementara itu, sesuai 
rencana yang dijalankan. Pangku Jaladara yang berla- 
gak pingsan, menggeram dalam hati. 

"Terkutuk! Siapa kakek berkulit hitam yang sem- , 
pat kulihat tadi? Setan laknat! Lancang betul mulut- 
nya berbicara seperti itu. Huh! Suatu saat, dia harus 
mampus di tanganku!" 

Resi Hitam berkata lagi, "Bunaeng! Kau lihat bu- 
kit kembarnya yang padat dan memperlihatkan seba- 
gian besar kepadatannya itu? Ah, kedua tanganku ini 
rasanya sudah tak mampu kutahan lagi untuk mere-  
masnya! Tentunya begitu kenyal, lembut dan mengge- 
maskan! Dan kau lihat sepasang pahanya yang gempal 
aduhai? Gila! Aku bisa mati berdiri bila belum menik-
matinya!"  

"Kakek hitam! Jaga mulutmu kalau bicara!!" ben- , 
tak Dewi Berlian tak dapat menguasai lagi amarahnya. 
Kehadiran kakek itu memang di luar dugaannya. Sebe-
lumnya, dia hanya menyangka kalau Datuk Bunaeng 
dan Ratu Tongkat Ular saja yang berada di Lembah 
Lingkar. 

Resi Hitam menyeringai lebar. 

"Mengapa harus gusar? Aku laki-laki dan memili- 
ki kejantanan yang luar biasa! Dan kau perempuan 
yang memiliki tubuh montok luar biasa! Bukankah ini 
sesuatu yang menguntungkan? Kejantananku dapat 
kutumpahkan pada tubuhmu yang montok, yang ten- 
tunya juga akan kau nikmati!!" 

Srraaattt!! 

Belum habis seruan Resi Hitam terdengar, satu 
cahaya gemerlapan yang menebarkan hawa panas su- 
dah menggebrak ke arahnya! 

Kepala Resi Hitam seketika menegak. Sorot ma- 
tanya tajam berapi-api. Mendadak disentakkan tangan 
kanannya ke atas. Gumpalan awan hitam tiba-tiba 
bergerak naik diiringi suara bergemuruh. Men3rusul 
awan hitam itu tiba-tiba turun dengan deras dan se- 
perti halnya sebuah tangan, menangkap dan memaksa 
I masuk cahaya gemerlapan yang dilancarkan Dewi Ber- 
lian! 

Begitu masuk, terdengar letupan yang keras! 

Blaaarrrr!! 

Awan hitam itu muncrat berhamburan sementara 
cahaya gemerlapan tadi tertungkup jatuh di atas tanah 
yang membuat tanah muncrat setinggi setengah tom- 
bak. 

Di tempatnya, napas Dewi Berlian memburu ke- 
ras. Sorot matanya bengis tak berkedip. 

Di pihak lain, sepasang mata Resi Hitam melotot. 
Bukan jengkel karena mendapatkan serangan menda- 
dak dan tatapan seperti itu, melainkan mengarahkan 
pandangannya pada bungkahan sepasang bukit mon- 
tok milik Dewi Berlian yang naik turun. 

"Astaga!" desisnya sambil menelan ludah. "Pasti 
nikmat betul kalau aku menyusupkan kepalaku di be- 
lahan kedua bukit itu!" 

"Terkutuk!!" maki Dewi Berlian berang dan siap 
' melancarkan serangannya lagi. 

Tetapi suara Datuk Bunaeng menghentikannya, 

"Tak perlu gusar untuk urusan yang sepele ini! 
Kita adalah kawan, demikian pula dengan Resi Hitam! 
Tahan segala kemarahanmu. Dewi Berlian! Karena 
orang yang sama-sama kita tunggu akan muncul di si- 
ni!" 

Dewi Berlian melirik dengan tatapan ganas. Tak 
menyukai apa yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng. Di 
pihak lain. Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati. 

"Huh! Mengapa Bunaeng harus menahannya? 
Aku ingin melihat dia bertarung dengan Resi Hitam! 
Aku berharap kalau kedua-duanya sama-sama terluka! 
Bahkan kalau mungkin, mampus sekarang juga! Ja- 
di... dendam lamaku pada Resi Hitam yang pernah 
memperkosaku empat puluh tahun lalu, tak perlu ku- 
tindih seperti sekarang! Ah, aku sendiri sebenarnya 
sudah tak mampu menahan gejolak dendamku! Tetapi, 
aku melihat sebuah keuntungan yang lebih besar bila 
aku tetap menahan amarahku!" 

"Bunaeng! Rencana yang ada hanyalah kau dan 
aku! Tetapi kehadiran Ratu Tongkat Ular di sini bu- 
kanlah suatu masalah, karena pada awalnya dia sudah 
bergabung denganmu! Tetapi kakek keparat bermulut 
kotor itu, sungguh bukanlah sesuatu yang menye- 
nangkan melihatnya hadir!" 

Datuk Bunaeng menyeringai. 

"Tak perlu gusar! Kita akan saling bantu untuk 
mendapatkan sebuah keuntungan yang besar Dewi 
Berlian, tak lama lagi kau akan melihat betapa men- 
guntungkannya dengan hadirnya dia di sini!!" 

Sebelum dewi Berlian menyahut, Resi Hitam su- 
dah mendesis sambil menyeringai, "Ya! Kau akan men- 
dapatkan keuntungan, yang terbanyak di antara 
orang-orang yang hadir di sini! Karena, kau akan me- 
rasakan kejantananku yang akan membuatmu menje- 
rit serta menggelepar setinggi langit! Seperti yang dira- 
sakan oleh nenek berpakaian compang-camping itu 
empat puluh tahun lalu!" 

Dewi Berlian melirik Ratu Tongkat Ular. Yang di- 
lirik tersenyum. Tetapi Dewi Berlian menangkap satu 
gejolak amarah yang dipendam pada pancaran mata 
Ratu Tongkat Ular. 

"Hemmm... tentunya perlakuan kotor yang dila- 
kukan oleh Resi Hitam padanya! Jelas kutangkap ka- 
lau Ratu Tongkat Ular menjdmpan amarah kendati bi- 
birnya tersenyum." 

Datuk Bunaeng berkata, "Untuk saat ini, semua 
yang hadir di sini kecuali Pangku Jaladara, adalah ka- 
wan seperjuangan. Keinginan kita adalah menguasai 
rimba persilatan dan membuat para jago tunduk di te- 
lapak kaki kita! Rencanamu yang hendak menjadikan 
Pangku Jaladara sebagai boneka, membuat seman- 
gatku semakin membesar! Walaupun aku tak bisa me- 
lupakan dendamku pada mendiang Resi Kala Jinjit, te- 
tapi rencanamu itu lebih menyenangkan dari apa pun 
juga! Kita akan merebut kembali kalung Laba-laba Pe- 
rak sekaligus membunuh Raja Naga! Pangku Jaladara 
tetap kita biarkan hidup! Dia akan kita nobatkan men- 
jadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Dengan adanya
kalung Laba-laba Perak, maka dirinya akan sah men- 
jadi seorang ketua! Itu artinya...." 

Kata-kata Datuk Bunaeng tiba-tiba terputus ka- 
rena terdengar dengusan Resi Hitam yang keras, dis- 
usul dengan kata-katanya, "Huh! Menangkap gerakan 
yang ada, aku merasa pasti mengenal salah seorang 
dari mereka!!" 

Sudah tentu kata-kata yang tak ada ujung pang- 
kalnya itu, membuat yang lainnya terkejut. Termasuk 
Dewi Berlian, yang sama-sama menatap kakek berkulit 
hitam legam itu yang sedang menegakkan kepala. 

Di saat lain, masing-masing orang segera tahu 
apa yang dimaksud oleh Resi Hitam. 

Dewi Berlian membatin, "Jangan-jangan.... Raja 
Naga yang datang. Tetapi, mengapa Resi Hitam tadi 
bergumam kalau dia mengenal salah seorang dari yang 
datang ini? Kalau begitu, berarti yang datang bukan 
hanya seorang. Apakah Raja Naga datang bersama se- 
seorang yang menurutnya dapat dijadikan sebagai 
pen-damping?" 

Sementara itu Datuk Bunaeng membatin, 
Raja Naga. Dia telah mencoreng wajahku dengan tin- 
’ dakan busuknya! Dan sudah tentu tak akan pernah ku ' 
maafkan apa yang telah terjadi! Dewi Berlian telah 
mengusulkan sesuatu yang menurutku sangat baik! 
Dan setelah semuanya berjalan lancar, setelah Pangku 
Jaladara kujadikan sebagai bonekaku, maka tinggal 
membunuh Dewi Berlian! Tetapi tentunya... ha ha ha... 
ingin kulihat Resi Hitam memperkosanya terlebih dulu 
sebelum mampus...." 

Tiba-tiba terdengar lagi kata-kata Resi Hitam, 

"Bau sirih yang dikunyahnya sangat kukenal! Dan aku 
yakin dia adalah orang yang kukenal! Dan hei... aku , 
juga mengenal orang yang bersamanya! Wah! Ini bisa 
ramai! Mengapa bukan Langlang Benua yang muncul 
di tempat ini?!" 

Kali ini tak ada yang bersuara. Masing-masing 
orang menunggu siapa yang akan muncul. Lima keja- 
pan mata kemudian, mendadak saja dua sosok tubuh 
dengan gerakan yang sangat ringan melompati sebuah 
ranggasan semak tanpa membuat semak itu bergerak 
sedikit pun! 

Lalu tanpa suara yang terdengar, masing-masing 
orang telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari orang- 
orang itu. 

Resi Hitam langsung mendengus. "Huh! Apa yang 
kuduga memang benari Bau sirih-nya begitu menyen- 
gat! Dewi Pengunyah Sirih... bagaimana kabarmu? Dan 
perlu apa kau tiba di tempat itu?" 

Dua orang yang baru muncul itu bukan lain ada- 
lah Dewi Pengunyah Sirih dan Dewa Jubah Biru. Se- 
mentara Dewa Jubah Biru tetap mengedipkan matanya 
yang memang selalu bergerak-gerak. Dewi Pengunyah 
Sirih menghentikan kunyahan sirihnya, 

Matanya tak berkedip pada kakek bongkok ber- 
kulit hitam yang berseru tadi. 

"Resi Hitam... astaga! Tak pernah kusangka dia 
akan muncul di sini! Katanya, terakhir kali kabar yang 
kudengar, dia sudah pergi entah ke mana setelah ber- 
tarung dengan Langlang Benua dan tak seorang pun 
yang memenangkan pertarungan itu. Kalau dia mun- 
cul di sini, tentunya urusan akan jadi kapiran!" 

Habis membatin demikian, dengan mengunyah 
sirihnya kembali, nenek berkonde kecil ini berkata, 
"Katanya, orang yang telah lama menghilang suatu 
saat memang akan bisa muncul kembali! Katanya pu- 
la, kemunculan orang yang telah lama menghilang itu 
tentunya ada urusan yang mendesak dan penting! Resi 
Hitam... kau sendiri mengapa berada di tempat ini? 
Ku-pikir kau sudah mampus dimakan usiamu!!" 

Di saat Dewi Pengunyah Sirih berkata-kata. Ratu 
Tongkat Ular menggenggam tongkatnya erat-erat. Sorot 
matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru. 

"Terkutuk! Beberapa hari lalu dia mempecundan- 
giku di halaman Perguruan Laba-laba Perak! Bagus 
kalau dia berani muncul sekarang, berarti... urusan 
memang harus segera diselesaikan!" 

Sementara itu, wajah hitam kakek berkulit hitam 
semakin menghitam. Kalau sejak tadi ucapannya sela- 
lu bernada kotor dan diucapkan penuh ejekan, kali ini 
berubah geram. 

"Dewi Pengunyah Sirih! Orang bertanya malah 
kau balas tanya! Apakah tindakan itu sudah menun- 
jukkan kalau kau kini memiliki kemampuan yang lebih 
tinggi?!" 

"Katanya, kalau orang bertanya dibalas tanya, 
bukan sesuatu yang bagus! Tetapi katanya pula, ter- 
gantung bagaimana orang itu sendiri!" 

Jawaban Dewi Pengunyah Sirih membuat berang 
Resi Hitam. Tetapi kakek ini tak melakukan apa-apa, 
bahkan berbicara lagi pun tidak. ! 

Di pihak lain Dewi Berlian menjadi tidak enak 
sekarang. Dipandanginya kedua orang yang baru da- 
tang itu dengan seksama. 

"Rasanya, apa yang kuinginkan saat ini sulit un- 
tuk dicapai. Tak kusangka kalau Dewi Pengunyah Si- 
rih dan Dewa Jubah Biru akan muncul di sini. Bila Ra- 
ja Naga muncul, tentunya keduanya tak akan tinggal 
( diam untuk membantunya. Hemmm... ketimbang selu- 
n ruh rencanaku akan terbuka, sebaiknya aku menying- 
kir saja dari sini untuk menunggu kesempatan mem- 
bunuh Raja Naga bila dia memang berhasil meloloskan 
diri dari bencana di Lembah Lingkar. Dan rasanya, aku 
memang harus mempergunakan tanganku sendiri un- 
tuk membunuhnya!" 

Sebelum Resi Hitam berkata. Ratu Tongkat Ular 
yang sudah tak mampu lagi menahan amarahnya me- 
lihat kemunculan Dewa Jubah Biru sudah buka mu- 
lut, "Kakek lancang berjubah biru! Kau memiliki nyali 
yang tinggi untuk datang ke tempat ini, padahal kau 
tahu kalau maut sudah menghadangmu!" 

Dewa Jubah Biru tersenyum, tetap mengedip- 
ngedipkan matanya. 

"Ratu Tongkat Ular... mengapa harus gusar? Kau 
sendiri yang bermaksud untuk membunuh Lesmana 
yang saat itu sedang bertarung dengan adik sepergu- 
ruannya sendiri! Lantas, mengapa kau harus gusar bi- 
la aku membantu Lesmana?!" 

"Kau tidak tahu urusan, tetapi lancang mencam- 
puri urusan orang!" 

"Astaga!" Kedipan mata Dewa Jubah Biru sema- 
kin menguat. "Jadi... ternyata aku tidak tahu urusan 
ya? Busyet betul! Lancang betul! Ya, ya... betul-betul 
lancang diriku ini kalau begitu! Kau betul, kau betul!" 
Justru gelegak amarah Ratu Tongkat Ular tak bi-
sa ditahan lagi mendengar kata-kata yang penuh eje- 
kan itu. Tangan kanannya yang memegang tongkat hi- 
tamnya yang pada bagian atasnya terdapat ukiran ke-
pala ular, tiba-tiba amblas pangkalnya! Pertanda ke- 
marahan si nenek sudah memuncak. 

Dewi Berlian membatin, "Hemmm... aku memang
sebaiknya meninggalkan tempat ini. Ratu Tongkat Ular 
akan berhadapan dengan Dewa Jubah Biru. Resi Hi- 
tam tentunya untuk saat ini memilih lawan Dewi Pen- 
gunyah Sirih, walaupun tadi dia menyayangkan men- 
I gapa bukan Langlang Benua yang muncul. Dan.... Da- 
tuk Bunaeng tentunya tak akan menyia-nyiakan ke- 
sempatan untuk membunuh' Raja Naga bila pemuda 
itu hadir di sini! Bagus! Seluruh rencanaku bisa terca- 
pai sekarang, aku tak perlu risau!" ' 

Dewa Jubah Biru berkata, "Ratu Tongkat Ular..! 
kau hanyalah seorang perempuan tua yang bodoh! Kau 
bisa berada di bawah kaki Bunaeng saja sudah me- 
nunjukkan kebodohanmu! Apalagi sekarang bersama- 
sama dengan Resi Hitami Apakah kau melupakan 
aibmu empat puluh tahun yang lalu?!" 

Menegak kepala Ratu Tongkat Ular mendengar 
kata-kata Dewa Jubah Biru. Untuk sesaat kemara- 
hannya menggelegak kembali pada Resi Hitam yang ju- 
stru seolah sudah melupakan kejengkelannya pada 
Dewi Pengunyah Sirih dan saat ini sedang menatap le- 
kat-lekat pada pa3rudara montok Dewi Berlian, karena 
pakaian yang dikenakan perempuan bermahkota itu 
begitu rendah hingga memperlihatkan sebagian besar 
bungkahan pa3rudaranya! Bahkan Resi Hitam yang ca- 
bul ini yakin, hanya sekali tarik saja akan terlihat bu- 
lat-bulat seluruh bukit kembar menggiurkan itu! 

Ratu Tongkat Ular merandek dingin, "Aku sema- 
kin tidak sabar untuk membunuhmu!!" 

"Membunuhku? Astaga!" seru Dewa Jubah Biru 
cukup keras, matanya semakin berkedip-kedip. "Untuk 
saat ini yang seharusnya dilakukan, adalah mencari 
siapa orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe- 
rak dan menimpakan tanggung jawabnya pada pemu- 
da berjuluk Raja Naga! Atau...." 

Dewa Jubah Biru mengedarkan pandangannya 
berkeliling, menatap satu persatu orang yang berada di 
sana yang masing-masing menggeram kecuali Dewi 
Pengunyah Sirih. Perlahan-lahan matanya diarahkan 
pada Datuk Bunaeng men3rusul kata-katanya, "Salah 
seorang di antara kalian yang telah melakukan tinda- 
kan pengecut seperti itu?!" 

***

DUA
KEMARAHAN Datuk Bunaeng kontan meledak.  

Tangan kanannya menuding gusar. "Keparat tua! Ke-  
hadiranmu di sini hanya mencari petaka belaka! Ratu  
Tongkat Ular! Aku sudah bosan dengan kakek keparat 
satu ini! Bila kau ingin membunuhnya sekarang, laku- 
kan!!" 

Memang itulah yang sejak tadi ditunggu oleh Ra-  
tu Tongkat Ular. Si nenek sudah tak sabar untuk 
membalas kekalahannya di halaman depan Perguruan 
Laba-laba Perak. Dengan mengerahkan separo tenaga 
dalamnya, Ratu Tongkat Ular sudah menggebrak den- 
gan tongkat yang digerakkan dengan cara diputar. 
Menghampar gelombang angin memutar yang mem- 
perdengarkan suara bergemuruh. : 

Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepa- 
lanya sambil mendesis pelan, "Ah, sungguh memalu- 
kan sebenarnya! Aku yang tua ini harus ikut campur 
dalam urusan seperti ini!" 

Belum habis ucapannya, saat itu juga diangkat 
kedua tangannya. 

Wusss! 

Blaaam!! 

Gemuruh angin yang keluar dari putaran tongkat i 
si nenek berpakaian compang-camping yang memper- 
libatkan bukit kembarnya yang sudah loyo dan turun ' 
ke bawah, pecah berantakan terhantam gelombang an- 
gin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan j t 
D ewa Jubah Biru. Tindakan yang dilakukan Dewa Ju- 
bah Biru semakin membuat kemarahan Ratu Tongkat 
Ular berlipat ganda. Dipercepat serangannya yang ber- 
tambah ganas! 

Di pihak lain. Resi Hitam mendesis, "Bunaeng! 
Aku ikut denganmu hanya untuk menantang Langlang f
Benua yang menurutmu akan muncul! Tetapi sebelum 
kulakukan itu, sebaiknya aku melemaskan otot-otot di 
tubuhku!!" 

Belum habis ucapannya, Resi Hitam sudah 
menggebrak ke depan, ke arah Dewi Pengunyah Sirih 
yang menegakkan kepalanya. Dilihatnya dua bongkah 
awan hitam melesat cepat. 

Si nenek tak berkedip, tak beranjak pula. Sosok- 
nya tak bergeming. Kaku. Dua bongkah awan hitam itu 
semakin mendekat, tetapi tak ada tanda-tanda kalau si 
nenek berkonde kecil ini akan melakukan gerakan. 
Namun tiba-tiba... cuiiihhh!! 

Mulutnya disentakkan dengan cepat. Seketika 
berhamburan cairan merah yang berasal dari sirih 
yang selalu dikunyahnya terus menerus. 

Muncratan cairan merah yang menyebar itu ma- 
suk ke dalam awan-awan hitam milik si kakek bong- 
kok. Sesaat tak terjadi apa-apa. Namun di lain saat, ti- 
ba-tiba saja terjadi letupan yang sangat keras. 

Blaaaarrrr!! 

Awan-awan hitam yang dilepaskan Resi Hitam 
muncrat bertebaran dengan cepat. Resi Hitam tegak di 
tempatnya, tetapi sosok Dewi Pengunyah Sirih surut 
tiga langkah ke belakang dengan napas memburu. 

"Astaga! Kandungan tenaga pada awan-awan hi- 
tamnya tadi sungguh luar biasa!" desisnya. 

Resi Hitam menggeram. 

"Huh! Kau kuberi kesempatan bernapas dalam 
lima gebrakan!" bentaknya sengit yang segera mener-
jang kembali. 

Pertempuran yang terjadi kemudian sungguh me- 
lebihi amukan seratus ekor gajah liar. Tanah berham- 
buran di sana-sini akibat serangan-serangan yang 
gagal. Pepohonan bergetar hebat dan membuat dedau- 
nannya meranggas. Lembah Lingkar bergetar hebat! 

Masing-masing orang berusaha untuk mengalah- 
kan satu sama lain. Kalau Resi Hitam dalam dua ge- 
brakan berikutnya berhasil mendesak Dewi Pengunyah 
Sirih, demikian pula halnya dengan Dewa Jubah Biru. 
Setiap kali dilancarkan serangannya, setiap kali pula 
Ratu Tongkat Ular tak berani membentur atau mema- 
paki. Si nenek merasa lebih aman bila menjauh dulu 
baru kemudian membalas. 

"Terkutuk! Kesaktian kakek satu ini memang luar 
biasa! Huh! Seharusnya aku memilih lawan Dewi Pen- 
gunyah Sirih!" maki Ratu Tongkat Ular sambil meng- 
hindar. 

Dewa Jubah Biru berseru sambil melenting ke 
atas, "Ratu Tongkat Ular! Sebaiknya kau segera me- 
ninggalkan tempat ini! Tak ada perlunya kau bersama- 
sama dengan Bunaeng!" 

"Tutup mulutmu. Orang Tua! Sebelum kulihat 
kau mampus, sejengkal pun aku tak akan mundur!" 
hardik Ratu Tongkat Ular geram, men3rusul dia mener- 
jang ganas. 

Tongkat berkepala ularnya digerakkan dengan 
cara diputar. Gelombang angin mengerikan menyusur 
tanah ke arah Dewa Jubah Biru. Tanah-tanah itu ber- 
muncratan, meletup-letup keras. 

Dewa Jubah Biru menarik napas pendek. 

"Aku tak ingin melakukan pertarungan seperti 
ini. Yang kuinginkan hanyalah membuktikan ketidak 
bersalahan Raja Naga...," desisnya pelan. 

Mendadak ditepukkan tangannya satu kali. Ter- 
dengar suara tepukan sebagaimana lazimnya. Tidak 
pelan, tetapi juga tidak keras. Namun kejap itu pula 
terlihat gumpalan asap biru yang perlahan-lahan ber- 
tebaran, lalu dengan cepatnya bersatu membentuk se- 
perti sebuah dinding. 

Ratu Tongkat Ular sesaat terkejut. Tetapi dilipat- 
gandakan tenaga dalamnya untuk terus menyerang, 
bahkan bermaksud menerobos dinding asap berwarna 
biru itu. 

Blaaamm! Blaaammm! 

Gelombang angin mengerikan yang keluar dari 
putaran tongkatnya menghantam dinding asap itu. As- 
taga! Dinding yang terbentuk dari asap berwarna biru 
itu tak bergeming sama sekali. Justru gelombang angin 
Ratu Tongkat Ular yang berpentalan ke berbagai pen- 
Juru. Menerabas ranggasan semak hingga rata ujung- 
nya, menghantam sebuah pohon yang bergetar sehing- 
ga langsung menggugurkan dedaunan, Juga membuat 
Datuk Bunaeng menggeram keras seraya mendorong 
tangannya. Karena pentalan gelombang angin Ratu 
Tongkat Ular mengarah padanya! 

Blaaaarrrl! 

Gelombang angin yang mengarah padanya pecah 
berantakan, disusul dengusannya. 

"Keparat tual Rupanya kau terlalu tangguh untuk 
Ratu Tongkat Ular! Huh! ingin kulihat seberapa hebat 
sebenarnya kemampuanmu!!" 

Tetapi sebelum Datuk Bunaeng menerjang. Ratu 
Tongkat Ular sudah berseru, "Datuk! Bukannya ber- 
maksud untuk menolak bantuanmu! Tetapi, apa pun 
yang terjadi, aku akan tetap menghadapinya!" 

Kakek berambut dikelabang itu menggeram. So- 
rot matanya bengis mengiriskan. 

"Kau kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi! Bila 
kau tidak mampu Juga untuk membunuhnya, aku 
akan mengambil alih!" bentaknya geram. 

Apa yang didengarnya itu menambah kemarahan 
Ratu Tongkat Ular. Dia menerjang lagi dengan kegana- 
san yang lebih menggila. Bahkan kali ini tongkatnya 
digerakkan seperti ular mematuk. Secara tiba-tiba, 
Cairan bening melesat dari mulut ukiran kepala 
ular yang sedikit membuka. 

Dewa Jubah Biru langsung melompat ke samping 
kanan. 

Craasss!! 

Tanah di mana sebelumnya dia berdiri tadi, seke- 
tika bolong dan mengeluarkan asap. 

"Hemm... dia sudah mengeluarkan senjata raha- 
sianya," desis Dewa Jubah Biru dalam hati. "Bukan 
masalah besar sebenarnya bagiku untuk mengalah- 
kannya. Dan rasanya lebih baik memang memper- 
mainkannya saja. Tetapi, bila dalam tiga gebrakan be- 
rikutnya aku belum dapat dikalahkannya, berarti Bu- 
naeng akan turun tangan. Ah, itu juga bukan masalah 
besar. Tetapi itu artinya, aku justru akan lebih lama 
terlibat dalam pertarungan. Sebaiknya, biar aku men- 
galah saja...." 

Memutuskan demikian, tiba-tiba saja Dewa Ju- 
bah Biru melesat ke depan bersamaan Ratu Tongkat ! 
Ular sedang menggerakkan tongkatnya seperti mema- 
tuk, yang membuat cairan bening melesat kembali. Si 
kakek memang mau tak mau harus menghindarinya. 

Tetapi tatkala tiba-tiba Ratu Tongkat Ular melesat den- 
gan kaki kanan mencuat, si kakek sengaja tak meng- 
hindarnya. 

Bukk!! 

Dada kurusnya terhantam tendangan kaki kanan 
Ratu Tongkat Ular. Apa yang dihasilkannya itu mem- 
buat Ratu Tongkat Ular menyeringai lebar. Di liriknya 
Datuk Bunaeng yang mengangguk kaku. Dewa Jubah 
Biru sendiri sengaja membuat tubuhnya terhu3rung ke 
belakang. Padahal dia sama sekali tak merasa sakit! 
Karena sebelumnya Dewa Jubah Biru sudah mena- 
mengkan dirinya dengan hawa murni yang dimilikinya.  

Ratu Tongkat Ular menggebrak kembali.  

Datuk Bunaeng menengadah. Melihat rembulan 
yang tak lama lagi berada tepat di tengah kepala. 

"Sebentar lagi Raja Naga akan tiba di sini, begitu 
yang dikatakan Dewi Berlian. Huh! Tak sabar rasanya 
untuk membunuh pemuda keparat yang telah memfit- 
nahku itu!" 

Di pihak lain, perempuan berpakaian hijau yang 
dipenuhi butiran berlian itu menarik napas pendek. 
Dadanya yang membusung menggiurkan terangkat 
sejenak membuat bungkahan bagian atasnya yang ter- 
buka lebar terangkat pula. 

"Tak lama lagi rembulan tepat berada di atas ke- 
pala. Itu artinya. Raja Naga akan segera muncul. Da- 
lam keadaan seperti ini, rencanaku bisa gagal. Tetapi 
aku belum mendapatkan kesempatan untuk mening- 
galkan tempat ini" 

Diam-diam diliriknya Pangku Jaladara yang ma- 
sih berlagak pingsan. 

Di pihak lain. Resi Hitam semakin ganas melan- 
carkan serangannya pada Dewi Pengunyah Sirih. Si 
nenek berkonde kecil itu sama sekali tak mendapatkan 
kesempatan untuk membalas. Bahkan untuk memun- 
cratkan cairan sirihnya saja dia mendapat kesulitan. 

Yang terlihat sekarang, bagaimana Dewi Pengunyah Si- 
rih harus melompat-lompat untuk menghindari ganas-  
nya serangan Resi Hitam. 

"Satu gebrakan lagi!" bentakan keras itu terden- 
gar, bersamaan meluruknya tubuh Resi Hitam. Gelom-
bang angin yang mendahului lurukan tubuhnya, me- 
nyeret tanah yang membuat Dewi Pengunyah Sirih  
menjadi panik. 

Tetapi si nenek masih mencoba untuk menghin- 
dar dan membalas, kendati disadarinya betul kalau se- 
rangan balasannya tak berarti banyak. 

Sementara itu Dewa Jubah Biru yang memu- 
tuskan untuk mengalah karena tak ingin memperpan- 
jang urusan, begitu mendengar bentakan Resi Hitam 
pada Dewi Pengunyah Sirih, lagi-lagi membiarkan tu- 
buhnya terhantam tendangan Ratu Tongkat Ular. Dan 
lagi-lagi dibuat tubuhnya tergontai-gontai. Namun kali 
ini, gontainya dibuat ke arah Dewi Pengunyah Sirih. 

Seperti tak sengaja, ditabraknya tubuh si nenek 
berkonde kecil itu yang sedang kesulitan menghadapi 
sergapan Resi Hitam. Bahkan dengan cara dibuat tak 
sengaja, diam-diam tangan kanan Dewa Jubah Biru 
menepak tangan kiri si nenek hingga terangkat naik. 

Saat itu pula menderu gelombang angin berkeku- 
atan tinggi! 

Resi Hitam yang sudah siap untuk melancarkan 
serangannya tersentak dan mau tak mau mundur. 

Blaaarrr! 

Gelombang angin itu menghantam ranggasan 
semak yang seketika berhamburan ke udara. 

Resi Hitam yang telah hinggap di atas tanah den- 
gan ringannya menggeram dingin. 

"Terkutuk! Rupanya kau hanya berlagak menga- 
lah, hah?! Setan laknat! Akan kucacak tubuhmu sam- 
pai sekecil-kecilnya!!" 

Sementara itu. Dewi Pengunyah Sirih yang telah 
berdiri tegak kembali, mementangkan matanya lebar- 
lebar. Mulutnya sesaat berhenti mengunyah sirihnya. 

"Hemm... aku dalam kesulitan untuk membalas 
tadi, tetapi tahu-tahu tangan kiriku terangkat naik 
akibat tak sengaja ditepak oleh Dewa Jubah Biru...," 
desisnya dalam hati. "Tak mungkin, tak mungkin itu 
tak disengaja. Karena gelombang angin yang meng- 
hempas tadi bukan aku yang melakukannya, melain- 
kan keluar dari tepakan Dewa Jubah Biru. Berarti... 
aku tahu sekarang. Si kakek rupanya mengalah pada 
Ratu Tongkat Ular. Yang tentunya dilakukan karena 
tak mau Datuk Bunaeng turun tangan yang berarti , 
akan semakin memperpanjang urusan. Aku mengerti 
apa yang dimaui oleh si kakek..." 

Ratu Tongkat Ular yang telah berdiri di sebelah  
kanan Datuk Bunaeng berkata, "Datuk! Kau lihat sen- 
diri, aku telah mampu menendangnya dua kali! Dan 
aku yakin... tulang dadanya ada yang retak!" 

Datuk Bunaeng mengangguk dingin, tetapi ma- 
tanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru yang perla- 
han-lahan sedang mencoba berdiri tegak. Bahkan se- 
perti kehabisan tenaga, dipegangnya pundak Dewi 
Pengunyah Sirih sebagai tumpuan. 

"Bantu aku...," desisnya. 

Sambil membantu. Dewi Pengunyah Sirih mem- 
batin, "Hebat! Sandiwaranya sungguh hebat! Katanya, 
kalau orang yang bersandiwara itu lebih berada pada 
dua tujuan. Pertama, berpura-pura untuk mengalah. 

Kedua berpura-pura menutupi ketakutannya. Aku le-  
bih cenderung pada dugaan kalau Dewa Jubah Biru 
ada pada tujuan pertama." 

Di seberang. Ratu Tongkat Ular menyeringai pe- 
nuh kepuasan. Resi Hitam sedang bersiap lagi untuk 
menyerang. Dewi Berlian melihat kesempatan untuk 
meninggalkan tempat itu, diam-diam dia melangkah 
mundur mendekati Pangku Jaladara yang berlagak 
pingsan. Sementara itu, mata Datuk Bunaeng tak ber- 
kedip pada Dewa Jubah Biru. 

Sejak tadi, kalau kakek yang selalu mengedip- 
ngedipkan matanya itu mau menyerang, tentunya den- 
gan mudah dia dapat membunuh Ratu Tongkat Ular. 

Tetapi sejak tadi pula kulihat kalau dia tidak melaku- 
kan tindakan itu. Dan sekarang, setelah kukatakan i 
pada Ratu Tongkat Ular kalau dia hanya kuberi ke-
sempatan tiga gebrakan lagi, tiba-tiba saja Dewa Ju- 
bah Biru menjadi terdesak. Hemmm... ada sesuatu 
yang janggal?" 

Sembari memandang, Datuk Bunaeng terus ber- 
pikir. 

"Saat tendangan kaki kanan Ratu Tongkat Ular 
menghantam dadanya, tubuhnya terhu3rung-hu3mng. 
Mengarah pada Dewi Pengunyah Sirih yang sudah ter- 
desak hebat. Lalu menabrak Dewi Pengunyah Sirih 
yang secara tidak langsung selamat bahkan mampu 
melancarkan serangannya. Ini mustahil! Mustahil se- 
kali mengingat Dewi Pengunyah Sirih sudah kehilan- 
gan kesempatan! Bahkan dia tak akan mampu un- 
tuk... keparatttt!!" 

Mendadak kepala Datuk Bunaeng menegak keti- 
ka pikirannya tiba pada sesuatu yang seketika mem- 
buatnya gusar berlipat ganda. 

Dengan tangan menuding dan suara sarat kema- 
rahan, dia berseru keras, "Dewa Jubah Biru! Kau bisa 
mengelabui Ratu Tongkat Ular dengan cara mengalah 
seperti itu! Kau bisa mengelabui Resi Hitam dengan 
berlagak kalau Dewi Pengunyah Sirih yang menye- 
rangnya! Tetapi... kau tak bisa mengelabuiku!!" 

Dewa Jubah Biru berbisik, "Dewi... rasanya aku 
memang harus melibatkan diri dalam urusan ini ken- 
dati aku tak mau melakukannya. Yang kuinginkan 
adalah mengetahui siapa yang telah memfitnah Raja 
Naga dan membunuh Resi Kala Jinjit." 

Kata-kata Dewa Jubah Biru itu menambah keya- 
kinan Dewi Pengunyah Sirih apa yang diduganya itu 
benar. 

Dianggukkan kepalanya sambil menatap tajam- 
tajam pada Datuk Bunaeng. 

"Katanya, kalau orang yang tak mampu mengha- 
dapi orang lain itu sebaiknya mengalah atau berlalu bi- 
la ingin selamat. Katanya pula, bila memang ada orang 
lain yang merupakan seorang sahabat yang diperkira- 
kan mampu menghadapi lawannya, lebih baik melim- 
pahkan lawannya pada sahabatnya itu. Terus terang, 
aku tak mampu menghadapi Resi Hitam. Kita berganti 
lawan." 

"Karena kuputuskan untuk meneruskan semua 
ini, aku setuju!" bisik Dewa Jubah Biru. 

Sementara itu, mendengar teriakan Datuk Bu- 
naeng. Ratu Tongkat Ular seketika mengalihkan pan- 
f dangannya pada si kakek berambut dikelabang. Me- 
nyusul diarahkan pandangannya pada Dewa Jubah Bi- 
ru yang kini berdiri tegak tanpa kurang apapun. 

Sadar kalau dirinya dikelabui orang, memerah 
paras Ratu tongkat Ular. Seluruh tubuhnya bergetar 
dengan aliran darah yang bertambah cepat. 

Datuk Bunaeng membentak lagi, "Dewa Jubah 
Biru! Akulah lawanmu sekarang!!" 

Namun sebelum Datuk Bunaeng melancarkan se- 
rangan, tiba-tiba saja melesat satu sosok tubuh dari 
sebelah kanan. Lesatan tubuh yang kemudian berpu- 
tar di udara tiga kali itu, membuat orang-orang yang 
berada di sana mengarahkan pandangannya. 

Begitu pula tatkala sosok tubuh itu berdiri tegak 
di atas tanah. Wajahnya tampan, agak sedikit berke- 
ringat. Mengenakan rompi ungu yang terbuka di ba- 
gian dada. Berambut dikuncir kuda. Dan... sorot ma- 
tanya memancarkan keangkeran yang dalam! 

***

TIGA 

HUH! Kupikir kau tidak punya nyali? Tetapi ak- 
hirnya kau hadir juga di Lembah Lingkar!" bentakan 
Datuk Bunaeng seketika terdengar. Kemarahannya 
pada Dewa Jubah Biru seketika dialihkan begitu meli- 
hat siapa orang yang datang. 

Pemuda yang baru saja muncul itu terdiam. Sorot 
matanya tajam, menebarkan keangkeran yang mampu 
menciutkan hati lawan. Bibirnya merapat, memperli- 
hatkan kedinginan wajahnya. Diperhatikannya satu 
persatu orang yang berada di sana. 

"Hemm.... Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah 
Sirih rupanya sudah hadir di sini pula. Ada orang yang 
baru kukenal. Kakek bongkok berkulit sangat hitam 
itu," katanya dalam hati. Lalu diperhatikan orang yang 
tadi membentaknya. Di lain saat dia merandek dingin, 
"Tindakan busuk yang dilakukan seseorang kemudian 
dilimpahkan kepadaku, tak akan pernah ku maafkan 
kecuali orang itu mendahului untuk meminta maaf!!" 

Sadar ke mana arah kata-kata pemuda di hada- 
pannya, wajah Datuk Bunaeng memerah. Mulutnya 
merapat dalam dengan sorot mata bengis. 

"Kau datang ke Lembah Lingkar hanya untuk 
menjemput kematian yang akan kuturunkan, tetapi 
kau masih berani banyak ucap! Raja Naga! Tindakan 
yang telah kau lakukan dengan mencuri kalung. Laba- 
laba Perak kemudian mengalihkan tanggung jawab ke- 
padaku, tak akan pernah ku maafkan! Kecuali... kau 
mematahkan lehermu sendiri di hadapanku!" 

Murid Dewa Naga terdiam. Matanya tajam tak 
berkedip pada Datuk Bunaeng. 

"Yang kukatakan tadi, dikatakannya juga. Aku 
menuduhnya yang telah melakukan tindakan busuk 
terhadapku, tetapi dia justru ganti menuduhku! Apa- 
kah ada sesuatu yang salah di sini? Atau... dia hanya 
mencoba untuk memutarbalikkan kenyataan? Kurang 
ajar! Tak akan kubiarkan dia memfitnahku terus me- 
nerus seperti ini?!" 

Sementara Raja Naga membatin, kakek yang 
alisnya bersatu itu menggeram lagi, "Selain menimpa- 
kan tanggung jawab kepadaku, kau juga melakukan 
kesalahan besar! Dengan kata lain, kau telah mengga- 
galkan seluruh rencanaku untuk menghancurkan Per- 
guruan Laba-laba Perak!" Lalu serunya tanpa menga- 
lihkan perhatian pada Raja Naga, "Dewi Berlian! Siapa 
yang lebih dulu berkenan untuk membunuh pemuda 
celaka ini?!" 

Di seberang, pemuda yang kedua lengannya se- 
batas siku dipenuhi sisik coklat itu mengalihkan seje- 
nak pandangannya dari Datuk Bunaeng. 

"Dewi Berlian? Aneh! Mengapa Datuk Bunaeng "" 
memanggil perempuan mesum itu sementara dia tidak 
berada di sini? Jangan-Jangan... kakek berambut dike- 
labang ini mendadak menjadi sinting?" 

Masih tetap tak mengalihkan pandangannya pa- 
da Raja Naga, Datuk Bunaeng berkata lagi, "Kau tak 
menjawab. Dewi Berlian! Berarti, akulah yang berhak  
untuk membunuhnya!!" ' 

Habis kata-katanya. Datuk Bunaeng surutkan 
kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya sedikit dibung- 
kukkan hingga condong ke depan. Kepalanya ditegak- 
kan dengan kedua tangan hendak disilangkan. 

"Kau akan menyesal pernah mengenal seseorang 
yang bernama Datuk Bunaeng, Anak muda!!" 

Habis bentakannya. Datuk Bunaeng sudah siap 
menerjang ke depan. Namun sebelum dilakukan, 
terdengar seruan Ratu Tongkat Ular, 
"Datuk Bunaeng! Dewi Berlian tidak ada di tempat!" 

Seketika Datuk Bunaeng memalingkan kepalanya. 

"Keparat terkutuk! Ke mana perempuan mesum 
itu?!" bentaknya keras ketika tak melihat Dewi Berlian. 

"Setan laknat! Apa yang dilakukannya?! Ke mana per-
ginya Pangku Jaladara yang pingsan?!" 

Bukan hanya Datuk Bunaeng yang terheran- 
heran, tetapi juga yang hadir di sana. Sementara itu 
Raja Naga membatin, "Hemmm... dia tidak sinting. 

Nampaknya Dewi Berlian belum lama ini sudah berada 
di sini. Tetapi sekarang sudah pergi lagi. Dan Pangku 
Jaladara yang pingsan? Aneh! Ada apa ini? Sebelum- 
nya Dewi Berlian mengatakan kalau Datuk Bunaeng 
sengaja menjebakku karena Ratu Sejuta Setan yang 
ternyata.Tetapi, mengapa dia berada di sini? Dan 
mengapa pula Datuk Bunaeng berseru seperti tadi?" 

"Setan keparat!!" menggelegar suara Datuk Bu- 
naeng. "Apa-apaan ini?!" 

Resi Hitam menyahut, "Kau telah dikelabui pe- 
rempuan celaka itu, Bunaeng!" 

"Tak mungkin dia berani mengkhianatiku!" 

"Buktinya dia tidak lagi berada di sini!" 

Datuk Bunaeng mengertakkan gigi-giginya hingga 
berbuni. Matanya menyorot berapi-api. Mulutnya me-
rapat. 

"Setan keparat! Apa maksud Dewi Berlian meng- 
hilang seperti ini? Apakah dia memang mengelabuiku? 
Tetapi kurasa tidak! Bila dia berani melakukannya, be-
rarti dia berani menghadang kematian! Bisa jadi kalau 
sebenarnya dia hendak menyandera Pangku Jaladara 
sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hemm... 
suatu ide yang bagus! Karena selama Pangku Jaladara  
masih berada dalam kekuasaannya, berarti seluruh
rencana akan tetap dapat dilaksanakan. Pemuda itu- 
lah yang harus kubunuh sekarang!" 

Kejap itu pula tanpa mengucapkan sepatah kata 
juga. Datuk Bunaeng sudah menerjang ke arah Raja 
Naga. Gelombang angin yang keluar dari lesatan tu-  
buhnya, sejenak membuat Raja Naga terhenyak. Tetapi 
di lain saat, dia sudah menerjang pula ke depan. 

Buk! Buk!! 

Benturan keras terjadi dua kali. Datuk Bunaeng 
sesaat terkejut seraya mundur. Dipandangi tangan ka
nan kirinya yang cukup ngilu dengan mata membela- 
lak. 

"Gila! Tenaga dalamnya tak bisa dipandang sete- 
lab mata!" geramnya dalam hati. 

Di pihak lain, Raja Naga sendiri harus terjajar 
akibat benturan yang terjadi tadi. Kedua tangannya 
sebatas siku yang dipenuhi sisik coklat sedikit berge- 
tar. 

"Hebat! Kedua tanganku dibuatnya bergetar," de- 
sisnya dalam hati. 

Di pihak lain. Dewa Jubah Biru mendesis. 

"Aneh! Tak kurasakan adanya satu tenaga yang 
keluar dari kedua tangan pemuda berompi ungu itu. 
Tetapi Bunaeng dibuat terkejut. Jangan-Jangan... pe- 
muda itu memang tak mengeluarkan tenaga. Itu ar- 
tinya... kedua tangannya sebatas siku yang dipenuhi 
sisik coklat memiliki kekuatan besar!" 

Sementara itu Resi Hitam membatin dengan ken- 
ing berkerut. 

"Di saat menyerang, dapat kurasakan tenaga Bu- 
naeng. Tetapi pemuda itu? Edan! Nampaknya dia tidak 
mengeluarkan tenaga sama sekali, karena kalau dia 
mengeluarkan tenaganya, tentunya dapat kurasakan. 
Tetapi... astaga! Berarti, tenaga dalamnya lebih tinggi 
dari Bunaeng!" 

Sementara itu. Datuk Bunaeng sendiri sudah 
menerjang kembali. Jari Jemarinya dibuka lebar-lebar. 

Lalu laksana menepuk seekor lalat, digerakkannya ke 
arah Raja Naga. 

Saat itu pula menggebah gelombang angin berke-
kuatan lipat ganda, mengarah dari dua sisi karena Da- 
tuk Bunaeng menggerakkan tangan kanan kirinya 
yang membuka pada arah yang berlawanan. 

Raja Naga menjerengkan matanya. Dapat dirasa- 
kan kekuatan yang keluar dari gelombang angin yang 
menerjang ke arahnya. Tiba-tiba saja kaki kanannya 
digerakkan di atas tanah. 

Brrooll!! 

Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom- 
bang cepat ke arah Datuk Bunaeng, dia melompat ke 
f depan seraya mendorong tangan kanan kirinya. Raja 
Naga sudah melancarkan dua serangan sekaligus! 

Blaaaam! Blaaammml!  

Gelombang angin yang disemburati asap merah 
melabrak putus gelombang angin yang dilepaskan Da- 
tuk Bunaeng. Letupan yang sangat keras terjadi. Tem- 
pat itu sesaat bergetar. Men3rusul tanah di mana Da- 
tuk Bunaeng berdiri tadi rengkah dan membuyar ke 
udara. 

"Terkutuk!" maki Datuk Bunaeng geram. 

Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang 
tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu. Datuk 
Bunaeng segera menerjang kembali. Tubuhnya mum- 
bui di udara. Laksana berjalan di atas angin, kedua 
kakinya bergerak cepat. Akibatnya, tanah yang ber- 
hamburan ke udara. , 

Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang ke- 
luar dari gerakan kedua kaki Datuk Bunaeng menerpa 
dadanya. Gontaian tubuhnya semakin menjadi-jadi. 

Sadar kalau dia tidak bergerak cepat akan menda- 
patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini 
segera mendorong kedua tangannya ke atas. 

Blaaamm! Blaaamm!! 

Letupan yang terjadi semakin membuatnya kehi- 
langan keseimbangan. Sementara itu. Datuk Bunaeng
yang masih berada di udara memutar tubuh. Dan 
mendadak saja dia meluruk dengan kedua kaki siap 
menghantam dada Raja Naga. 

Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, murid 
Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan 
kanannya digerakkan ke depan. 

Buk! 

Kaki kanan Datuk Bunaeng dapat ditahannya, te- 
tapi kaki kiri Datuk Bunaeng telak mengenai dadanya! 

Buk! 

Dan... wussss!! 

Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk. 
Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Datuk Bu- 
naeng yang sedemikian cepat itu akan menghantam 
kepalanya. 

"Huh! Hanya begini saja kemampuan orang yang 
berani memfitnahku!" desis Datuk Bunaeng setelah 
hinggap kembali di atas tanah. 

Raja Naga tersenyum sambil memegangi dadanya 
yang terasa sesak.  

"Kuakui kalau kemampuanmu sangat luar biasa, 
Datuk! Tetapi sayangnya, aku tak akan mundur sebe- 
lum mendengar pernyataan maafmu!" 

"Keparat!!" teriakan itu menggelegar keras. "Kau 
yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak kemudian 
memfitnahku! Sekarang kau menuntutku untuk me- 
minta maaf! Gila! Pernyataan gila yang kau berikan 
padaku!!" 

Belum habis ucapan itu terdengar. Datuk Bu- 
naeng sudah menerjang ke depan. Kali ini lebih ganas 
dari serangan sebelumnya. 

Raja Naga menegakkan kepalanya. Sorot matanya 
bertambah angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pa- 
da kedua tangannya sebatas siku, semakin kelihatan, 
bahkan sedikit menyala. Pertanda kemarahannya su- 
dah siap meledak! 

Kejap itu pula kaki kanannya disepakkan di atas 
tanah. Tanah membuyar, menghalangi pandangan. Te- 
tapi langsung bertebaran tatkala gelombang angin 
yang keluar dari lesatan tubuh Datuk Bunaeng mena-
braknya. Men3rusul kedua tangan Datuk Bunaeng ber- 
gerak cepat, menyambar ke arah leher Boma Paksi. 

Yang diserang segera menggerakkan kedua tan- 
gannya dengan kedudukan membuka. 

Buk! Buk! 

Kalau sebelumnya Datuk Bunaeng terjajar ke be- 
lakang karena terkejut, kali ini dia tak peduli. Usai 
berbenturan, mendadak sontak tubuhnya berputar ke 
belakang dengan kaki kanan melesat ke atas. 

Boma Paksi cepat tarik kepalanya ke belakang. 
Terlambat sedikit saja, dagunya akan patah! 

Datuk Bunaeng benar-benar tak mau memberi 
kesempatan pada Raja Naga. Serangannya terus berda- 
tangan susul men3rusul. Tanah dan ranggasan semak 
berhamburan tak menentu. Letupan demi letupan ter- 
jadi ganas dan mengerikan. Lembah Lingkar laksana ! 
dilanda gempa mengerikan. 

Dewi Pengunyah Sirih berbisik pada Dewa Jubah 
Biru, "Katanya, kalau seseorang menolong orang lain 
yang dalam kesulitan, maka keberuntungan akan ber- 
pihak padanya. Apakah kau berpikir yang sama?" 

Kakek yang kedua matanya selalu berkedip-kedip 
itu mengangguk-angguk. 

"Kau betul. Tetapi, aku belum melihat kalau pe- 
muda bermata angker itu akan segera kalah." 

"Katanya, kalau kita sudah melihat kedudukan 
seperti itu, maka kekalahan akan segera datang. Apa- 
kah kita akan berdiam diri saja?" 

Dewa Jubah Biru tak menjawab. Dia terus mem-
perhatikan bagaimana Raja Naga yang mau tak mau 
terdesak hebat. Memang sejauh ini, pemuda dari Lem-
bah Naga itu masih dapat menghindar atau memapaki 
serangan lawan. Tetapi dua jurus berikutnya, Boma 
Paksi mulai terdesak. 

"Bunaeng! Menghadapi anak kemarin sore saja 
kau harus membutuhkan waktu yang lama?! Apakah 
kau memang tidak mampu, atau kau menunggu sam- 
pai aku turun tangan?!" 

Ejekan yang terdengar keras itu membuat wajah 
Datuk Bunaeng memerah. 

"Keparat kakek hitam itu! Kalau saja tenaganya 
tak kubutuhkan untuk menghadapi kemungkinan 
munculnya Langlang Benua, tak akan pernah aku da- 
tang menjumpainya!" makinya geram dalam hati. 

Di pihak lain Raja Naga membatin, "Sebenarnya 
aku bisa menghadapinya. Tetapi ada yang masih kupi- 
kirkan. Dan aku harus menghemat tenaga...." 

"Bunaeng! Cepat kau bunuh pemuda keparat itu! 
Anuku sudah tak bisa diajak berunding lagi! Aku ha- 
rus cari perempuan bahenol itu!" 

Ejekan Resi Hitam semakin membuat Datuk Bu- 
naeng bertambah ganas. 

Dewi Pengunyah Sirih berbisik lagi pada Dewa 
Jubah Biru, "Katanya, bila menunggu terlalu lama un- 
tuk menolong seseorang yang mengalami kesulitan ju- 
stru akan mencelakakan yang akan ditolong. Juga 
akan membuat yang menolong akan menyesali tinda- 
kannya bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apa- 
kah kita masih diam saja?" 

"Aku masih memikirkan tentang siapakah orang 
yang mencuri kalung Laba-laba Perak yang kemudian 
memfitnah Raja Naga. Nampaknya Datuk Bunaeng 
bukanlah orang yang melakukannya. Terbukti, dia be- 
gitu kesal karena menyangka Raja Naga yang telah 
memfitnahnya." 

Dewi Pengunyah Sirih manggut-manggut. Mulut- 
nya terus mengunyah sirihnya. 

"Dewi Berlian sudah tidak ada di tempat," tahu- 
tahu dia ngomong begitu. "Kepergiannya pun tak dike-
tahui sama sekali. Bahkan Bunaeng sendiri tidak tahu.  
Apakah kau memikirkan sesuatu, Orang Tua?" 

Dewa Jubah Biru melirik perempuan tua ber- 
konde kecil di sampingnya. 

"Menurutmu.... Dewi Berlian pelakunya?" 

"Katanya, bila bicara tanpa bukti adalah sebuah 
fitnah. Aku tak mau dikatakan memfitnah. Apalagi 
memfitnah perempuan mesum seperti Dewi Berlian! 

"Fiuh!" 

Dewa Jubah Biru kembali mengarahkan pandan- 
gannya ke depan, di mana saat ini Raja Naga benar- 
benar sudah kehilangan tempo penyerangannya. Sam- 
bil menggeleng-gelengkan kepalanya, perlahan-lahan 
kakek berjubah biru itu menarik napas panjang. 

"Rasanya... memang tak ada jalan lain. Kita ha- 
rus membantunya...." 

Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa- 
lanya. 

"Bersiaplah...."  

Namun sebelum masing-masing orang melesat ke 
depan, mendadak saja satu bayangan berkelebat se- 
demikian cepat dari balik ranggasan semak. Rangga- 
san semak itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sama 
sekali tak ada angin yang timbul dari gerakan orang 
yang tiba-tiba melesat. 

Blaaarrr! 

Serangan ganas Datuk Bunaeng luput pada sasa- 
rannya. Karena pemuda yang diserangnya telah lenyap 
dari pandangan disambar oleh satu bayangan yang 
berkelebat sedemikian cepat dan telah lenyap pula dari 
pandangan.  

"Heeiiiii!" terdengar seruan Resi Hitam keras dan 
bergetar. Mulut kakek berkulit hitam legam ini terbuka 
dengan mulut menganga lebar. Bahkan tangan kanan- 
nya yang menuding seolah menjadi kaku! 

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru sudah menyam- 
bar tangan kanan Dewi Pengunyah Sirih dan memba- 
wanya ke arah perginya bayangan yang menyambar 
Raja Naga. 

"Gilaaa!" terdengar teriakan Resi Hitam keras, 
berapi-api. "Jahanam keparat! Aku mengenal gerakan 
itu... aku sangat mengenalnya...." 

Datuk Bunaeng yang tadi sempat tertegun segera 
berseru, "Resi Hitam! Siapakah manusia keparat yang 
lancang menghalangi niatku dan berani mampus itu?!" 

"Dia... dia...," suara Resi Hitam geram. Nafasnya 
mendadak terengah-engah saking geramnya. Kedua 
tangannya mengepal kuat. Seiring dihentakkan kaki 
kanannya di atas tanah, suara Resi Hitam menggele- 
gar, "Dia... dia Langlang Benua!!" 

Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu Tongkat Ular 
sama-sama menegakkan kepala mendengar kata-kata 
Resi Hitam. Masing-masing orang melihat bagaimana 
ganasnya wajah Resi Hitam. 

"Keparat!" maki Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu 
serunya, "Kita tak boleh membuang waktu! Ratu Tong- 
kat Ular! Kau cari Dewi Berlian sampai ketemu! Resi 
Hitam... kita mengejar Langlang Benua yang membawa 
Raja Naga!" 

Sementara Ratu Tongkat Ular segera meninggal- 
kan tempat itu. Datuk Bunaeng masih berkata, "Ter- 
lambat sedikit saja, kedudukan kita akan berbahaya!" 

Resi Hitam menoleh. Pandangannya sengit. 

"Bunaeng! Dengan ucapanmu kau menganggap 
aku tak memiliki arti!" 

Datuk Bunaeng terkejut dibentak seperti itu. Se- 
belum dia membantah ucapan Resi Hitam, Resi Hitam 
sudah berseru, "Kau akan melihatnya nanti! Akan ku- 
patah-patahkan tulang di dalam tubuh Langlang Be- 
nua!" 

Habis bentakannya, Resi Hitam segera melesat, 
disusul oleh Datuk Bunaeng yang sekarang merasa 
menjadi tidak enak. Tetapi di lain saat, perasaan itu te- 
lah hilang bersamaan kegeramannya yang muncul 
kembali. 

***

EMPAT 

JAJARAN pagi telah menghampar kembali untuk 
yang kesekian kalinya. Tempat yang dipenuhi pepoho- 
nan itu sepi. Tak terdengar suara hewan-hewan yang 
berkeliaran menyambut pagi. Bahkan angin pun seo- 
lah tak berhembus, tak mampu menepiskan gumpalan 
kabut tebal yang menyelimuti tempat itu. Tak jauh dari 
tempat yang sepi itu, nampak sebuah gunung menju- 
lang tinggi. 

Di lereng gunung itulah tiga sosok tubuh sedang 
duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua yang 
hanya menundukkan kepalanya. Lelaki tua berwajah 
keriput itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh 
lima tahun. Mengenakan pakaian putih compang- 
camping. Rambutnya yang putih panjang tak beratu- 
ran. Kumisnya melintang menjulai. Tetapi yang sung- 
guh mengejutkan, adalah janggut putih yang dimili- 
kinya. Begitu panjang. Di saat si kakek duduk saja 
janggut itu sudah melingkar di atas tanah. 

Tanpa mengangkat kepalanya, si kakek berkata, 
"Aku sama sekali tak menyangsikan cerita kalian, ka- 
rena apa yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak 
aku juga sudah mendengarnya. Tetapi, rasanya sung- 
guh aneh, bila murid Dewa Naga lancang mencuri ka- 
lung Laba-laba Perak...." 

Lelaki berkepala plontos yang duduk di sebelah 
kanan membuka mulut, "Musang Berjanggut. Kami 
bukanlah orang yang suka memfitnah orang lain. Kau 
sendiri sudah mendengar berita itu. Sekarang, apakah 
kau masih juga menyangsikannya?" 

"Kala Sringgil... apa yang kukatakan tadi hanya- 
lah sebuah pikiran yang tiba di benakku," sahut si ka- 
kek berjuluk Musang Berjanggut tetap menundukkan 
kepalanya. 

Lelaki berkepala plontos yang mengenakan pa- 
kaian putih terbuka di bahu kiri, melirik lelaki yang 
mengenakan pakaian yang sama dengannya yang du- 
duk di sebelah kanannya. 

"Bantu aku untuk menjelaskannya...." 

Lelaki berkepala plontos pula tetapi berkumis 
tebal segera berkata, "Musang Berjanggut... aku dan 
Kala Sringgil sudah mencoba untuk menangkap murid 
Dewa Naga. Tetapi terus terang, kami memang tak 
sanggup untuk melakukannya. Bahkan, Pendekar Kaki 
Satu pun tak berhasil menangkapnya...." 

Lelaki berpakaian hitam yang terbuka di dada 
menganggukkan kepalanya. 

"Apa yang dikatakan Jala Sringgil benar." 

Musang Berjanggut mengangguk-anggukkan ke- 
palanya, tetapi tak mengangkat wajahnya. 

"Memang... aku tak bisa membuktikan apa yang 
menjadi pikiranku sekarang kecuali berhadapan lang- 
sung dengan murid Dewa Naga itu." 

"Musang Berjanggut... kami sama sekali tak me- 
nyangsikan tindakan busuk murid Dewa Naga. Sebagai 
sahabat mendiang Resi Kala Jinjit, kami tetap bermak- 
sud untuk menangkapnya," kata lelaki yang kaki ka- 
nannya buntung. Tongkat yang dipergunakan sebagai 
penyangga tubuhnya tergeletak di samping kanannya. 
"Selain itu, kami juga tidak bisa tinggal diam melihat 
perlakuannya yang hina itu. Mencuri kalung Laba-laba 
Perak sebagai lambang sahnya seseorang menjadi Ke- 
tua Perguruan Laba-laba Perak, adalah tindakan yang 
mencoba mencoreng arang di wajah perguruan itu 
sendiri!" 

Kakek berjanggut panjang itu mengangguk- 
anggukkan kepalanya. Tetap tak mengangkat wajah- 
nya. 

Pendekar Kaki Satu berkata lagi, "Setelah gagal 
menangkap Raja Naga, tak sengaja aku berjumpa den- 
gan Kala Sringgil dan Jala Sringgil. Yang sungguh luar 
biasa, kami memiliki niat yang sama untuk datang dan 
meminta bantuanmu." 

(Untuk mengetahui gagalnya Kala Sringgil dan 
Jala Sringgil menangkap Raja Naga, silakan baca : 
"Misteri Laba-laba Perak". Dan untuk mengetahui ten- 
tang gagalnya Pendekar Kaki Satu menangkap Raja 
Naga, serta perjumpaannya dengan Kala Sringgil dan 
Jala Sringgil, silakan baca : "Pengadilan Rimba Persila- 
tan"). 

Suasana hening. Masing-masing orang tak ada 
yang membuka mulut. Kala Sringgil dan Jala Sringgil 
memperhatikan Musang Berjanggut yang tetap me- 
nundukkan kepala. Sementara itu. Pendekar Kaki Satu 
membatin, "Bila Musang Berjanggut mengatakan kalau 
dia menyangsikan tindakan Raja Naga, kemungkinan 
itu memang sebuah kenyataan. Tetapi, ah... mungkin 
memang ada sesuatu di balik semua ini. Hanya saja..." 

Kata batin Pendekar Kaki Satu terputus, karena 
kakek berjanggut panjang sudah buka mulut, "Sebe- 
lum ada pembuktian, memang sulit untuk memperta- 
hankan pendapat." 

Kata-kata Musang Berjanggut secara tidak lang- 
sung sudah menunjukkan kesediaannya untuk me- 
nangkap Raja Naga, walaupun di balik kata-katanya 
dia akan melakukannya tetapi dengan maksud untuk 
mencari kebenaran. 

Ketiga orang di hadapannya segera merang-
kapkan tangan di depan dada masing-masing. 

Jala Sringgil berkata, "Terima kasih atas kese- 
diaanmu, Musang Berjanggut." 

"Sebelum kalian meninggalkan tempat ini, ada 
yang hendak kutanyakan. Apakah kalian mendengar 
munculnya Langlang Benua?" 

Ketiga orang itu berpandangan satu sama lain 
sebelum Pendekar Kaki Satu berkata, "Aku belum 
mendengar munculnya Langlang Benua. Tetapi, bu- 
kankah memang sulit untuk mencari kakek yang ge- 
mar bertualang, itu?"  

"Seperti halnya dengan kita. Langlang Benua  
adalah sahabat dari Resi Kala Jinjit. Kematian Resi Ka- 
la Jinjit telah membuat rimba persilatan berkabung. 
Aku yakin, kalau Langlang Benua juga telah menden- 
garnya." 

"Maksudmu... dia memang telah kembali?" 

"Aku hanya menduga." 

"Bagus kalau dia telah kembali! Itu artinya, akan , 
memudahkan kita untuk menangkap Raja Naga!" 

Tetap tanpa mengangkat wajahnya. Musang Ber- 
janggut mengangguk. 

"Itu pun harus kita buktikan kebenarannya. Se- 
karang, segera kalian tinggalkan tempat ini. Menu- 
rutku pada lima hari di muka, bencana akan terjadi di 
Lembah Lingkar." 

"Lembah Lingkar?!" seruan itu terdengar dari tiga 
mulut secara bersamaan. 

Musang Berjanggut tak menjawab. Bahkan se- 
makin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Masing- 
masing orang segera tanggap, kalau kakek di hadapan 
mereka sudah tak mau diganggu. Bahkan bila mereka 
bertanya pun sudah tentu tak akan mendapatkan ja- 
waban. 

Masing-masing orang segera berdiri. Setelah me- 
rangkapkan tangan dan memberikan penghormatan 
pada Musang Berjanggut, ketiganya sudah melangkah 
meninggalkan tempat itu. 

Sepeninggal ketiganya. Musang Berjanggut men- 
desah pendek. Tetapi tidak mengangkat wajahnya. 

"Rimba persilatan semakin kacau. Seorang anak 
muda yang telah banyak membela kebenaran, harus 
mendapatkan musibah yang cukup mengerikan. Ah, 
bila urusan ini tidak segera dituntaskan, tentunya pe- 
taka akan berkelanjutan...." 

Kejap lain. Musang Berjanggut terdiam tetap 
dengan kepala tertunduk. Kabut tebal masih menyeli- 
muti tempat itu. 

Sekitar lima puluh tombak dari kediaman Mu- 
sang Berjanggut, ketiga orang yang baru menjum- 
painya menghentikan langkah masing-masing di jalan 
setapak. 

Kala Sringgil langsung berkata, "Pendekar Kaki 
Satu... apakah tidak sebaiknya kita berpencar saja? 
Maksudku, dengan berpencar akan memudahkan kita 
untuk menemukan Raja Naga." 

Lelaki berkaki buntung itu mengangguk. 

"Aku pun berpikir hal yang sama denganmu. Kala 
Sringgil. Dan masih ada yang kupikirkan." 

"Tentang sikap Musang Berjanggut yang me- 
nyangsikan tindakan Raja Naga?" 

"Selain itu, juga dengan apa yang dikatakannya 
tentang bencana di Lembah Lingkar." 

"Aku juga memikirkan hal yang sama." 

Jala Sringgil berkata, "Apakah tidak sebaiknya ki- 
ta segera menuju ke Lembah Lingkar?" 

"Itu memang suatu yang tepat. Tetapi, masih lima 
hari di muka. Berarti kita hanya akan membuang wak- 
tu bila sudah tiba di sana," kata Pendekar Kaki Satu. 

"Padahal sebelum hari itu tiba, kemungkinan be- 
sar kita masih dapat menemukan Raja Naga." 

"Kalau begitu, sebaiknya kita memang mencari 
pemuda itu dulu," kata Jala Sringgil. "Dan itu artinya, 
kita tidak perlu berpencar." 

"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Kaki Satu. 

"Kita sama-sama pernah berhadapan dengan Ra- 
ja Naga dan sama-sama mendapatkan kesulitan untuk 
mengalahkannya. Bukankah sebaiknya kita bersatu 
saja untuk menghadapinya? Maksudku, dengan bersa- 
tu-nya kita, kekuatan yang kita miliki semakin ber- 
tambah. Itu artinya, kemungkinan besar kita dapat 
meringkus anak muda pembuat celaka itu. Jadi, kita 
tak perlu lagi harus mendatangi Lembah Lingkar." 

Baik Pendekar Kaki Satu maupun Kala Sringgil 
sama-sama tak buka mulut. Masing-masing orang 
memperhatikan Jala Sringgil. Sesaat kemudian, Pen- 
dekar Kaki Satu berkata, "Usul yang kau kemukakan  
itu memang baik. Kemungkinan besar untuk mering-
I kus pemuda itu dapat kita lakukan dengan lebih mu- 
dah. Tetapi, aku menangkap gelagat lain dari ucapan 
Musang Berjanggut." 

Pendekar Kaki Satu menghentikan ucapannya. 

Lalu memandangi Kala Sringgil dan Jala Sringgil ber- 
gantian. Karena kedua orang berkepala plontos itu tak 
ada yang menjawab. Segera dilanjutkan lagi kata- 
katanya, "Musang Berjanggut mengatakan, bencana 
akan terjadi di Lembah Lingkar. Jelas kalau ini berhu- 
bungan dengan tindakan Raja Naga. Bila Raja Naga 
seorang diri berada di sana, kemungkinan itu sangat 
kecil. Tetapi tentunya, akan adanya orang-orang yang 
muncul di sana selain Raja Naga dan kita bertiga...." 

"Astaga!" Kala Sringgil mendesis. 

"Mengapa aku tak memikirkan soal itu?" 

"Itu pun baru kupikirkan," kata Pendekar Kaki 
Satu jujur. 

"Kalau begitu, ya... seperti usulku semula, se- 
baiknya kita memang berpisah di sini...." 
Pendekar Kaki Satu memandang Jala Sringgil. 

"Bagaimana pendapatmu?" 

"Pendapat yang terbaik, bagiku akan selalu 
membawa keuntungan...." 

"Baiklah," kata Pendekar Kaki Satu sambil men- 
gangguk. "Kita akan berjumpa lagi lima hari menda- 
tang di Lembah Lingkar." 

Setelah melihat kedua lelaki berkepala plontos itu 
mengangguk. Pendekar Kaki Satu segera melangkah 
meninggalkan mereka. 

"Jala Sringgil," kata Kala Sringgil setelah Pende- 
kar Kaki Satu lenyap dari pandangan. "Aku jadi memi- 
kirkan apa yang disangsikan oleh Musang Berjanggut 
mengenai tindakan murid Dewa Naga. Apakah me- 
mang benar dia yang telah mencuri kalung Laba-laba 
Perak dan membuat keonaran? Kita juga menuduhnya 
sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit. Ah, keadaan ini 
membuat kepalaku menjadi pusing...." 

Jala Sringgil mengangguk. Sambil mengusap 
lembut kumis melintangnya dia menjawab, "Walaupun 
aku juga memiliki keraguan seperti itu, tetapi untuk 
saat ini, perhatianku tetap tertuju pada Raja Naga." 

"Yang hendak kita lakukan sekarang, menang- 
kapnya atau menanyakan kebenaran?" 

Jala Sringgil terdiam, karena dia memang tidak 
tahu harus menjawab apa. 

Didengarnya lagi kata-kata Kala Sringgil, "Sudah-  
lah! Kita tetap berusaha untuk menangkap pemuda
dari Lembah Naga itu!" 

"Kau benari Karena sejauh ini, aku belum meli- 
hat keterlibatan orang lain dalam urusan ini!" 

Kejap lain, kedua orang itu sudah melangkah 
menempuh arah yang berlawanan dengan Pendekar 
Kaki Satu. 

***

LIMA 

PADA saat bersamaan dengan melangkahnya Ka- 
la Sringgil dan Jala Sringgil, dari balik ranggasan se- 
mak setinggi dada yang jaraknya cukup jauh dengan 
tempat di mana Kala Sringgil dan Jala Sringgil berada, 
terdengar kata-kata yang cukup keras, 

"Berita kematian Resi Kala Jinjit-lah yang mem- 
buatku untuk sementara menghentikan pelanglangbu- 
anaanku." 

Pemuda berlengan sebatas siku dipenuhi sisik 
coklat itu memandang tak berkedip pada kakek yang 
barusan bicara di hadapannya. 

"Bila tak ku saksikan sendiri, mungkin aku tak 
percaya melihat ada orang yang memiliki kulit berwar- 
na seperti tanah," desisnya dalam hati. "Bahkan ram- 
butnya yang tak beraturan hingga punggung pun ber- 
warna seperti tanah. Dia mengaku berjuluk Langlang 
Benua." 

Kakek berkulit keriput namun karena warna ku- 
litnya seperti tanah hingga tak begitu terlihat keriput 
di sekujur tubuhnya berkata lagi, "Kematian Resi Kala 
Jinjit menimbulkan banyak pertanyaan di benakku, 

I hingga aku mencoba untuk mencari kejelasan. Sebe- 
lum kudapatkan kejelasan, berita tentang kekacauan 
yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak sudah me- 
nyengat telingaku. Seorang pemuda yang julukannya 
ramai dibicarakan orang akhir-akhir ini, dikatakan se- 
bagai pencuri." 

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya 
tetap angker. 

"Orang tua... tentunya akulah orang yang kau 
maksud. Aku tak bisa membantah bila kau juga me- 
nuduhku seperti itu, karena hingga saat ini, aku be- 
I lum memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan 
kalau diriku tidak bersalah." 

"Sama sekali aku tak menuduhmu seperti itu, 
aku hanya ingin menanyakan kebenaran." 

"Kebenaran itu ada di depan mata, tetapi sekali 
lagi, aku sulit untuk membuktikannya." 

"Keteguhan dan keyakinan ucapan sudah cukup 
bagiku." 

"Aku tidak mencuri kalung Laba-laba Perak!" 

"Agar menjadi jelas, silakan kau menceritakan 
padaku." 

Segera Raja Naga menceritakan nasib sial yang 
dialaminya (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). Dilihat- 
nya kakek yang kulitnya berwarna seperti tanah itu 
mengangguk-anggukkan kepala. 

"Bagaimana dengan kematian Resi Kala Jinjit?" 

"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi sebelum per- 
soalan menjadi panjang seperti sekarang, secara tak 
sengaja aku mencuri dengar percakapan dua orang, 
Tentang tindakan Datuk Bunaeng yang hendak mela- 
kukan makar." 

"Apakah kau mendengar kalau Datuk Bunaeng 
yang telah membunuh Resi Kala Jinjit?" 

"Tidak sama sekali." 

"Berarti bukan dia yang melakukannya." 

"Bukti belum terkumpul, Orang Tua." 

"Aku paham maksudmu. Bunaeng memiliki den- 
dam setinggi langit pada Resi Kala Jinjit. Bahkan sete- 
lah Resi Kala Jinjit tewas tanpa diketahui siapa pem- 
bunuhnya, dia tetap berkeinginan untuk menghancur- 
kan Perguruan Laba-laba Perak. Dan dia akan dengan 
bangga mengumumkan dirinya sebagai pembunuh Re- 
si Kala Jinjit, karena dengan cara seperti itu dia akan 
mendapatkan kepuasan dari dendam lamanya." 

Pemuda tampan berambut dikuncir itu tak men- 
jawab. Matanya memperhatikan terus kakek yang telah 
menyambarnya di Lembah Lingkar. 

"Aku mengenal Bunaeng, bahkan sangat menge- 
nalnya. " 

"Kalau memang bukan dia sebagai pembunuh 
Resi Kala Jinjit dan orang yang memfitnahku, ke- 
mungkinan besar ada orang ketiga yang mengadu 
domba." 

"Pikirkan terus. Anak muda." 

Raja Naga terus berkata-kata, "Ketika tiba di 
Lembah Lingkar, aku langsung menyuruh Datuk Bu- 
naeng agar meminta maaf padaku atas tindakannya, 
karena dugaanku dialah orang yang telah memfitnah- 
ku. Tetapi justru Datuk Bunaeng yang memaksaku 
untuk meminta maaf padanya, karena dia menuduhku 
sebagai orang yang memfitnahnya." 

"Berarti ada kesalahan di sini, bukan?" 

Seperti tak mempedulikan kata-kata Langlang 
Benua, Raja Naga melanjutkan kata-katanya, "Sebe- 
lum tiba di Lembah Lingkar, aku berjumpa dengan 
Dewi Berlian. Dari perempuan bermahkota itulah aku 
tahu kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar. 
Dikatakannya pula, kalau Datuk Bunaeng mendendam 
padaku. Dikarenakan saudara seperguruannya yang 
berjuluk Ratu Sejuta Setan tewas di tanganku." 

"Kau harus membuktikan ucapan Dewi Berlian." 

"Pemberitahuan Dewi Berlian semakin memper- 
kuat dugaanku kalau Datuk Bunaeng adalah orang 
yang berada di balik peristiwa rumit ini. Aku sama se- 
kali tak memikirkan adanya kemungkinan lain, kecuali 
satu pikiran yang timbul setelah mendengar kata-kata 
Datuk Bunaeng." 

"Katakan." 

"Secara tiba-tiba Datuk Bunaeng memanggil Dewi 
Berlian! Dengan tujuan siapakah yang akan lebih dulu 
menyerangku! Saat itu aku cukup terkejut mendengar- 
nya, mengingat sama sekali tak kulihat Dewi Berlian di 
sekitar sana." 

"Dia ada di sana." 

"Ya! Sebelumnya dia berada di sana. Dan yang 
mengherankanku, mengapa Dewi Berlian Justru hadir 
di Lembah Lingkar? Juga mengapa Datuk Bunaeng 
berseru seperti itu?" 

"Kau sudah memikirkan kelanjutannya?" 

"Aku masih memikirkannya sekarang." 

"Pikirkan lagi." 

"Keherananku itu semakin menJadi-Jadi. Terus 
kupikirkan tentang kata-kata Dewi Berlian padaku dan 
seruan Datuk Bunaeng pada Dewi Berlian yang ten- 
tunya sebelumnya berada di sana tetapi kemudian ber- 
lalu. Mengapa, itulah pertanyaanku yang ada." 

"Pikirkan lagi." 

"Pikiranku sekarang. Justru mengarah pada se- 
suatu yang mengejutkanku sendiri." 

"Apakah itu?" 

"Dewi Berlianlah dalang dari semua ini." 

"Mengapa?" 

"Pertama, di saat aku berjumpa dengannya, dia 
mengatakan kalau Datuk Bunaeng adalah orang yang 
juga mendendam padaku atas kematian Ratu Sejuta 
Setan. Dan mengatakan padaku, kalau Datuk Bu- 
naeng berada di Lembah Lingkar tepat tengah malam. 

Aku percaya saat itu. Tetapi keherananku pun segera 
timbul, karena sebelum tengah malam Datuk Bunaeng 
yang bersama dengan Ratu Tongkat Ular dan seorang 
kakek berkulit hitam legam sudah berada di sana. Ju- 
ga hadirnya Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Si- 
rih. Bayanganku, jauh sebelum tengah malam. Datuk 
Bunaeng sudah berada di sana." 

"Katakan yang kedua." 

"Yang kedua. Dewi Berlian ternyata juga hadir di 
sana walaupun aku tak sempat berjumpa dengannya. 
Ini mengherankan, karena katakannya tepat tengah 
malam Datuk Bunaeng tiba di Lembah Lingkar. Kalau 
kemudian Dewi Berlian hadir di sana sebelum tengah 
malam, berarti dia telah tahu kalau Datuk Bunaeng 
akan hadir di Lembah Lingkar sebelum tengah malam." 

"Yang ketiga!" 

"Ketiga, dari seruan Datuk Bunaeng pada Dewi 
Berlian. Mengapa Datuk Bunaeng berseru seperti itu? 
Apa yang sebenarnya dikatakan Dewi Berlian? Dan 
mengapa Dewi Berlian berlalu tanpa sepengetahuan 
siapa pun. Terbukti, mereka cukup terkejut karena 
menyadari Dewi Berlian tidak berada di sana." 

"Apakah masih ada alasan yang keempat?" 

"Ya! Yang keempat, siapa sebenarnya yang memi- 
liki hubungan dengan Pangku Jaladara yang katanya 
berada di sana dalam keadaan pingsan?" 

"Alasan atau tepatnya pertanyaanmu ini cukup , 
membingungkanku." 

"Datuk Bunaeng mendendam pada Resi Kala Jin- 
jit sampai ke akar-akarnya. Bahkan dia bermaksud 
untuk menghancurkan siapa pun juga yang mempu- 
nyai hubungan dengan Resi Kala Jinjit. Sasarannya 
yang pertama adalah menghancurkan Perguruan Laba- 
laba Perak. Tetapi mengapa dia tidak membunuh 
Pangku Jaladara?" 

"Kau pikir itu ada hubungannya dengan Dewi 
Berlian?" 

"Hanya itu kemungkinannya. Tetapi yang mem- 
buatku tak mengerti, bila memang Dewi Berlian berada 
di balik semua ini, apa yang diinginkan sebenarnya da- 
riku? Kalau memang dia, mengapa dia melakukannya 
padaku? Aku belum lama mengenal Dewi Berlian." 

"Itulah yang harus kau temukan Jawabannya," 
sahut Langlang Benua. Lalu melanjutkan, "Dan karena 
kau memikirkan rangkaian semua alasanmu itu, kau 
mengalah pada Datuk Bunaeng hingga kau tidak me- ’ 
nyerang sepenuh hati?" 

Mendengar pertanyaan itu kepala Raja Naga me- 
negak. Matanya yang tetap bersorot angker tak berke- 
dip memandang kakek di hadapannya. ! 

"Orang tua,., apakah aku salah bila kukatakan 
kau sudah berada di Lembah Lingkar cukup lama?" 

Langlang Benua mendengus. 

"Aku bertanya, malah dibalik tanya!" 

"Tetapi, bukankah apa yang kukatakan itu se-
buah kebenaran?" tanya Raja Naga lagi. Lalu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berkata; "Aku 
tahu mengapa kehadiranmu tidak diketahui di sana. 
Kau tentunya menyatu dengan tanah, bukan?"

Langlang Benua cuma mendengus. 

"Dan aku tahu, kaulah orang yang telah mem- 
bentur serangan dari Kala Sringgil dan Jala Sringgil 
sebelumnya. Ah, maafkan aku. Karena kala itu aku 
sempat gusar, mengingat tindakan yang kau lakukan 
dapat mengacaukan keadaan." 

"Karena aku ingin tahu sebuah kebenaran."  

Raja Naga menganggukkan kepalanya. Diingat- 
nya lagi bagaimana satu serangan yang tiba-tiba mun- 
cul telah membentur serangan Kala Sringgil maupun 
Jala Sringgil (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").  

Langlang Benua berkata, "Sekarang... setelah kau 
I mendapatkan satu pikiran tentang rangkaian dari per- 
soalan rumit ini, apa yang akan kau lakukan?" 

"Aku tetap akan mencari bukti kalau aku tidak 
bersalah. Karena orang-orang seperti Kala Sringgil, Ja- 
la Sringgil dan Pendekar Kaki Satu, serta mungkin ma- 
sih ada orang yang lain yang berhubungan erat dengan 
Resi Kala Jinjit, tentunya akan tetap mengejarku kare- 
na menganggap aku sebagai pengacau." 

"Bagus bila itu kau lakukan!" 

"Dari apa yang telah kita bicarakan, ada satu pi- 
kiran yang muncul di benakku secara tiba-tiba." 

"Mengenai apa?" 

"Mengenai siapakah pembunuh Resi Kala Jinjit 
sesungguhnya." 

"Katakan padaku!" 

"Orang tua... bukan maksudku tidak mau men- 
gatakannya kepadamu. Tetapi aku khawatir apa yang 
kupikirkan ini salah dan akan menjadi sebuah fitnah." 
Langlang Benua mendengus, tetapi berkata da- 
lam hati, "Ketabahannya dalam menghadapi persoalan, 
sungguh mengagumkan. Tanda-tanda kalau dia adalah 
seorang pendekar sejati sudah terlihat. Ah, beruntung
kakek tukang kentut itu menjadikannya sebagai mu- 
rid." 

Kemudian katanya, "Lembah Lingkar telah men- 
jadi saksi bisu tuduhan orang-orang kepadamu. Anak 
muda. Tentunya, Lembah Lingkar akan tetap menjadi 
saksi bisu untukmu mengungkapkan kebenaran." 

Raja Naga memperhatikan kakek di hadapannya 
dengan seksama. 

"Aku belum memahami apa maksudnya," katanya 
dalam hati, lalu berkata, "Orang tua... dapatkah kau 
lebih memperinci apa yang kau maksudkan?" 

"Aku tidak biasa melakukan apa yang seperti kau 
katakan. Tetapi menurut bayanganku, kau akan kem- 
bali ke Lembah Lingkar bersama yang lainnya." 

"Maksudmu.... Lembah Lingkar akan menjadi 
tempat pengungkapan bukti-bukti?" 

"Kira-kira seperti itu. Dan satu hal yang masih 
kupikirkan sebenarnya, adalah muncul tidaknya Mu- 
sang Berjanggut." 

Kali ini Raja Naga terdiam, memperhatikan kakek 
di hadapannya dengan seksama. 

"Setelah mendengar apa yang kau katakan, kupi- 
kir urusanku sudah selesai dan aku akan melanjutkan 
petualanganku. Tetapi rasanya, memang masih harus 
ada yang dituntaskan." 

"Siapakah orang yang kau maksudkan tadi. 
Orang Tua?" 

"Musang Berjanggut adalah salah seorang saha- 
bat dari Resi Kala Jinjit. Seperti diriku. Kala Sringgil, 
Jala Sringgil maupun Pendekar Kaki Satu. Dari orang- 
orang yang kusebutkan tadi. Musang Berjanggut me- 
miliki ilmu yang lebih tinggi. Dia memiliki sifat yang 
angin-anginan. Bila sifat Jeleknya datang, dia akan me- 
labrak apa saja yang diinginkannya dan akan dengan 
mudah dihancurkannya. Tetapi bila sifat baiknya da- 
tang, dia akan berubah menjadi malaikat." 

"Yang hendak kau katakan, kau khawatir kalau 
Musang Berjanggut menganggapku sebagai pencuri 
kalung Laba-laba Perak?" 

"Salah satunya seperti itu." 

Raja Naga diam-diam mendesah pendek. 

"Baru mendengar sedikit saja tentang Musang 
Berjanggut, perasaanku sudah tidak enak. Tetapi biar 
bagaimanapun Juga, aku harus tetap bergerak untuk 
mencari bukti-bukti." 

Habis membatin demikian. Raja Naga berkata, 
"Orang tua... nampaknya aku masih harus menghada- 
pi urusan yang lebih rumit." 

"Mudah-mudahan Musang Berjanggut sedang da- 
tang sifat baiknya," kata Langlang Benua. "Anak muda, 
untuk sementara akan kuhentikan dulu petualangan- 
ku untuk melanglang buana. Aku berada di pihakmu." 

"Bukannya menampik tawaran memikat yang 
kau berikan. Tetapi biarlah, aku akan mengurus se- 
mua ini sendiri." 

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" desis Langlang 
Benua dalam hati. "Dia tetap menunjukkan jiwa kesa- 
tria yang luhur." ' 

Lalu katanya, "Mungkin dengan kehadiranku. 
Musang Berjanggut akan dapat bertindak lebih baik." 

Raja Naga tersenyum dan berkata dalam hati, 
"Karena aku yakin... kalau kemampuanmu lebih tinggi 
dari Musang Berjanggut, Orang Tua." Kemudian ka- 
tanya, "Kalau begitu, rasanya lebih baik aku segera 
meneruskan langkah untuk mencari kebenaran. Teru- 
tama mencoba menemukan Dewi Berlian." 

"Lakukan dan berhati-hati."  

Raja Naga perlahan-lahan berdiri. Dirangkapkan 
kedua tangannya di depan dada. 

"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku
Orang Tua." 

Habis kata-katanya, pemuda dari Lembah Naga 
ini segera melangkah meninggalkan Langlang Benua. 

Kakek yang seluruh kulit di tubuhnya berwarna 
seperti tanah, menarik napas pendek. 

"Urusan ini memang sangat rumit. Dan kecerdi-
kan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia dapat mena- 
han gejolak perasaannya dan berpikir jernih. Mudah- 
mudahan, apa yang dipikirkannya itu akan memba- 
wanya pada satu kebenaran...." 

Lagi Langlang Benua menarik napas pendek. 
Diperhatikan sekelilingnya dengan seksama. "Aku 
harus menyebarkan isu tentang bencana yang akan 
terjadi di Lembah Lingkar, sehingga orang-orang akan 
bermunculan di sana. Mudah-mudahan kebenaran 
akan terbuka...." 

Setelah itu, Langlang Benua menundukkan kepa- 
lanya. 

***

ENAM 

PAGI telah datang menyegarkan alam kembali. 

Suasana di hutan itu sangat menyeramkan. Hembusan 
angin timur begitu dingin, menggeresek dedaunan 
hingga menimbulkan suara laksana tangisan. Pagi ini 
keadaan hening. Kabut masih menggumpal. Bahkan 
hewan-hewan malam pun enggan bersuara. 

Tetapi dari balik sebuah pohon besar terdengar 
suara keras bernada heran dan jengkel, "Dewi! Menga- 
pa kau menolakku?! Apa yang terjadi?!" 

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti- 
ran berlian itu menoleh. Tatapannya tajam dan sengit. 

"Keparat! Lama kelamaan aku muak dengan si- 
kapnya!" geramnya dalam hati. 

Pangku Jaladara yang terkejut akan penolakan 
Dewi Berlian, sebenarnya tahu arti tatapan sengit itu. 
Tetapi gairahnya sudah membludak hingga dia tidak 
mau tahu arti tatapan itu. Kedua tangannya kembali 
memeluk tubuh montok Dewi Berlian. Telapak tangan 
kanan kirinya menyergap sepasang bukit kembar yang 
besar, dan segera meremas-remasnya dengan napas 
mendengus-dengus. 

Dewi Berlian memaki dalam hati, "Setan alas! 
Yang dipikirkannya hanyalah mengumbar nafsu bela- 
ka! Padahal saat ini kedudukanku mulai goyah! Terku- 
tuk!" 

Dengan gusar Dewi Berlian menyentakkan tan- 
gan Pangku Jaladara yang masih asyik meremas- 
remas bukit kembarnya. Pakaiannya yang hanya me- 
nutupi sebagian kecil bukit kembarnya sudah terbuka. 

Seraya berseru jengkel. Dewi Berlian menaikkan 
lagi pakaiannya, "Setan terkutuk! Apakah kau tidak 
bisa menghentikan nafsumu barang sesaat, hah?!" 

Pangku Jaladara yang Jatuh terduduk akibat sen- 
takan tangan Dewi Berlian melongo. 

"Dewi!" serunya kemudian, kaget. "Mengapa jadi 
begini? Mengapa kau begitu marah?!" 

"Diaaamm!!" 

"Bukankah kau sudah berjanji, akan melayaniku 
kapan saja bila aku mau?!" 

Dewi Berlian justru mengalihkan pandangannya 
ke tempat lain. Angin berhembus, menggeraikan pa- 
kaian bagian bawahnya yang terbuka di samping ka- 
nan kiri hingga batas pinggul. 

Angin nakal itu justru memperlihatkan sesuatu 
yang semakin membuat Pangku Jaladara kian bernaf- 
su. Kembali ditubruknya tubuh montok yang sedang 
membelakanginya. Diciuminya tengkuk Dewi Berlian 
penuh nafsu. Tangan kanannya meraba bagian atas, 
sementara tangan kirinya menjelajah bagian bawah. 
Tetapi... trik! 

Tubuhnya kembali mundur dengan kedua tangan 
tersentak ke atas. Kali ini Pangku Jaladara mulai gu- 
sar akan tindakan Dewi Berlian yang menolaknya. Di 
pihak lain, perempuan mesum itu pun membalikkan 
tubuhnya dengan tatapan sengit. 

Tetapi sebelum dia berseru, Pangku Jaladara su- 
dah mendahului, "Dewi! Aku telah membantu menun- 
taskan segala urusanmu! Baik pada guruku sendiri 
maupun pada Raja Naga! Dengan tanganku sendiri 
kubunuh guruku demi dendammu! Dengan kecerdi- 
kanku pula, kuundang Raja Naga semata untuk men- 
cari kesempatan memfitnahnya, sebagai balasan tin- 
dakannya yang telah membunuh saudaramu yang ber- 
juluk Ratu Sejuta Setan! Kau berjanji akan memenuhi 
kapan saja aku menginginkanmu! Tetapi sekarang... 
tindakanmu sudah kelewat batas. Dewi!" 

Dibentak seperti itu Dewi Berlian menjadi ber- 
tambah berang. Wajah jelitanya dan sen3nrman serta 
tatapan mesumnya seolah lenyap. 

"Huh! Sampai hari ini aku tak pernah melupakan 
semua itu. Pangku Jaladara! Kau berhak menikmati 
kapan saja tubuhku sesuai dengan yang kujanjikan bi- 
la kau mau membantuku! Tetapi... kau tidak melihat ! 
saat yang tepat!" 

"Apanya yang tidak tepat, hah?! Saat ini, gairah- 
ku sedang memuncak! Dan tempat ini sangat me- 
mungkinkan untukku menyalurkan gairahku!" geram 
Pangku Jaladara semakin keras. Parasnya memerah 
karena marah. 

"Manusia satu ini benar-benar mulai bikin aku 
muak! Apa yang dilakukannya hanyalah ketololannya 
belaka! Huh! Resi Kala Jinjit yang pernah memperma- 
lukanku, telah tewas di tangannya! Niatku untuk 
membalas kematian Ratu Sejuta Setan di tangan Raja 
Naga pun mulai mendapatkan gambaran yang lebih je- 
las," maki Dewi Berlian dalam hati. Masih tetap me- 
mandang Pangku Jaladara yang memandangnya, anta-  
ra gusar dan penuh nafsu, "Tapi sialnya, urusan ini 
nampaknya akan berantakan karena kehadiran Dewa 
Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih!" 

"Dewi Berlian... kau tak menjawab pertanyaanku, 
berarti kau memang sengaja mempermainkanku!" ge- 
ram Pangku Jaladara. 

Dewi Berlian tetap tak buka mulut. Dadanya 
yang padat dan sebagian besar terbuka jelas, turun 
naik pertanda dia sedang dilanda kegusaran. 

Kalau biasanya Pangku Jaladara tak akan mam- 
pu lagi untuk menguasai nafsunya melihat gumpalan 
bulat benda lunak yang menggemaskan itu, kali ini 
hanya dipandangnya sekilas lalu mengarahkan tata- 
pannya pada Dewi Berlian. 

"Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ke- 
cuali aku, siapa orang yang telah menimbulkan keona- 
ran!" 

Dewi Berlian merandek. 

"Apakah kau sedang mengancamku?!" 

Pangku Jaladara melipat kedua tangannya di de- 
pan dada. Kepalanya sedikit ditegakkan. Lalu dengan 
angkuh, dia berkata, "Bila mulutku bicara, sudah ten- 
tu seluruh orang rimba persilatan akan memburumu. 
Dewi Berlian! Bukan hanya para sahabat guruku, teta- 
pi juga Raja Naga! Bahkan Datuk Bunaeng sendiri!" 

Kemarahan Dewi Berlian perlahan-lahan mulai 
memuncak. Tetapi perempuan bermahkota itu tak me- 
lakukan gerakan apa-apa. Berkata pun tidak. 

Merasa mendapat cara untuk menekan Dewi Ber- 
lian, Pangku Jaladara berkata lagi, "Sejauh ini, aku 
masih tak membuka mulut karena mempertimbangkan 
keuntungan yang kudapatkan! Dengan menikmati tu- 
buhmu yang montok itu bagiku merupakan sebuah 
imbalan yang layak, pertukaran yang saling mengun- 
tungkan! Tetapi sekarang, kau nampaknya mulai men- 
gubah apa yang ada!" 

Sadar kalau Pangku Jaladara akan membuka 
mulut maka segala niatnya akan jadi berantakan, Dewi 
I Berlian perlahan-lahan meredakan kemarahannya. La- 
lu sambil tersenyum dia berkata, 

"Mengapa sekarang harus saling menunjukkan 
kemarahan? Pangku Jaladara, tak ada maksudku un- 
tuk menolak apa yang kau inginkan. Tetapi untuk saat 
ini, ada masalah yang menggangguku." 

Pangku Jaladara menyeringai lebar. Lelaki yang 
telah dikuasai oleh nafsu birahinya ini tak mempeduli- 
kan apa pun yang terjadi. Dilupakannya pula kalau 
sesungguhnya dia adalah calon Ketua Perguruan Laba- 
laba Perak. Namun karena dikuasai nafsu dan dijanji- 
kan oleh Dewi Berlian menjadi sebagai pemuas naf- 
sunya, Pangku Jaladara lebih memikirkan tentang naf- 
sunya ketimbang urusan yang ada. 

"Suaramu melembut. Dewi. Apakah kau takut 
dengan apa yang barusan kukatakan?" 

Dewi Berlian mengembangkan senyumannya 
yang paling merangsang. Dia tahu betul bagaimana 
membuat Pangku Jaladara terangsang dan tergila-gila 
padanya. Seraya menggerakkan payudaranya yang 
montok, perempuan ini berkata, 
"Aku tak yakin bila kau akan melakukan tinda- 
kan seperti itu." 

"Kau belum melihat keadaan yang sebenarnya. 
Dewi." 

"Bukankah kita akan bersatu, saling membagi 
kenikmatan?" Dewi Berlian terus melancarkan ra-
yuannya. 

"Huh! Tetapi di saat aku membutuhkan, kau me- 
nolaknya!" 

"Karena... ada masalah yang harus kupikirkan. 
Apakah tidak sebaiknya sekarang kita memikirkan 
masalah itu bersama-sama?" ucap Dewi Berlian lalu 
menyambung dalam hati, "Aku tak ingin banyak mem- 
buang tenaga sekarang. Kalaupun ilmu Pangku Jala- 
dara lebih rendah dariku, tetapi aku yakin dia akan 
memberikan perlawanan yang ketat bila kuserang. Se- 
baiknya, kutunggu saat yang tepat untuk membunuh- 
nya. Karena rasanya, aku sudah tak memerlukannya 
lagi...." 

Pangku Jaladara semakin memperlihatkan serin- 
gaiannya. Matanya berkilat-kilat penuh gairah. 

"Kau berucap demikian, dengan maksud agar 
aku menutup mulutku, bukan?" 

Dewi Berlian tersenyum. Menggerakkan payuda- 
ranya. Ketika sempat dilihatnya tatapan Pangku Jala- 
dara menghujam tepat pada 'bola-bola asmara'nya, dia 
menyeringai dalam hati. 

"Menaklukkanmu sangat mudah. Dengan sedikit 
memberi kenikmatan saja kau sudah terlena." 

Sambil melangkah mendekat dan tetap menun- 
jukkan kelebihannya sebagai seorang perempuan yang 
matang. Dewi Berlian berkata, "Rasanya tidak tepat ki- 
ta harus bertengkar di pagi yang indah seperti ini. Se- 
benarnya, aku juga mengingihkan apa yang kau ingin- 
kan. Tetapi...." 

"Kau berbicara berbelok-belok!" 

Dewi Berlian tersenyum. 

"Pangku Jaladara, belum lama ini kita baru saja 
melarikan diri dari Lembah Lingkar...." 

Wajah Pangku Jaladara berubah menjadi geram. 

"Aku ingat ucapan kakek keparat berkulit hitam 

"Kau tak perlu gusar padanya," kata Dewi Berlian 
menyeringai dalam hati. "Siapa pun orangnya akan ku- 
tolak kecuali dirimu. Pangku." 

Pangku Jaladara tak menggubris ucapan itu. 

"Apa yang hendak kau katakan?" 

"Nampaknya urusan di Lembah Lingkar telah se- 
lesai. Tetapi anehnya, mengapa ada kabar baru yang 
semalam kita dengar, kalau Raja Naga akan muncul 
kembali di sana? Bukankah ini cukup aneh." 

"Apanya yang aneh! Mungkin pemuda celaka itu 
sudah membulatkan keinginan untuk mampus di 
Lembah Lingkar." 

"Apakah kau tidak berpikir sebaiknya kita kem- 
bali ke Lembah Lingkar?" 

"Untuk apa? Urusan telah selesai! Kau tinggal 
memetik apa yang telah kau tanam!" 

"Dia benar-benar dibutakan oleh nafsunya hingga 
tidak tanggap persoalan," desis Dewi Berlian dalam ha- 
ti. "Huh! Apakah Raja Naga sendiri yang menyebarkan 
berita kalau dia akan kembali ke Lembah Lingkar? 
Tentunya dengan maksud agar yang lainnya juga hadir 
di sana. Inilah yang menjadi pikiranku selain kehadi- 
ran Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih! Ka- 
rena ternyata, pemuda itu masih hidup!" 

Di hadapannya. Pangku Jaladara mendesis ge- 
ram. 

"Kau mencoba membuang waktu dengan membi- 
carakan persoalan yang tak berarti. Apakah...." 

"Tidak! Aku tidak membuang waktu. Karena aku 
pun ingin segera melupakan persoalan ini dengan me- 
nikmati apa yang akan kau berikan," sahut Dewi Ber- 
lian sambil tersenyum. Lalu berkata dalam hati, "Ma- 
nusia keparat ini benar-benar memuakkan! Tetapi me- 
naklukkannya memang sangat mudah!" 

Pandangan Pangku Jaladara kini tetap tertuju 
pada sepasang bukit kembar yang benar-benar meng- 
giurkan itu. Terutama tatkala dengan gerakan yang tak 
kentara namun sangat menggoda iman. Dewi Berlian 
menggerakkan payudaranya hingga bergerak lembut 
dan berirama. 

"Pangku... tanpa bantuanmu, tak akan mungkin f 
aku bisa melaksanakan seluruh dendam yang kumili- 
ki. Dan apakah aku akan melupakan begitu saja kebe- 
ranian yang telah kau perlihatkan? Sudah tentu tidak.  
Karena biar bagaimanapun Juga, aku... aku... telah ja
tuh cinta padamu...." 

Mendengar kata-kata Dewi Berlian, paras Pangku 
Jaladara menjadi cerah. 

Dia terbahak-bahak. 

"Ha ha ha... itulah yang ku maui! Sejak dulu aku 
sangat senang melihat perempuan jatuh cinta dan 
mengemis cinta padaku! Mengemislah padaku. Dewi 
Berlian! Mengemislah!" 

Dewi Berlian yang tengah melancarkan tipuannya 
melalui rajman mautnya, tersenyum. Tiba-tiba saja di- 
jatuhkan tubuhnya di atas tanah berumput, terlentang 
dengan kedua tangan dan kaki membuka lebar-lebar. 

Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit 
kembar Dewi Berlian semakin penuh. Bahkan seolah 
terlempar keluar. Bergerak turun naik seiring dengan 
nafasnya yang teratur. Di bagian bawah, pakaiannya 
yang terbelah hingga pinggul itu tersingkap. Memperli- 
hatkan gumpalan paha lembut, indah dan menggetar- 
kan. 

Perlahan-lahan Dewi Berlian memejamkan ma- 
tanya, seolah pasrah menerima apa yang akan terjadi. 

"Aku akan mengarungi dulu kenikmatan bersa- 
manya. Setelah itu... crass! Nyawanya akan putus!" ka- 
tanya dalam hati. 

Di pihak lain, napas Pangku Jaladara semakin 
memburu. Gairahnya benar-benar tak bisa ditahan la- 
gi. Apalagi melihat keadaan Dewi Berlian sekarang.

Lalu penuh nafsu ditubruknya tubuh montok 
yang pasrah itu. Mulutnya segera menciumi sekujur 
wajah Dewi Berlian. Lalu hinggap dan melumat bibir
memerah itu sepuas-puasnya. Sementara tangan ka- 
nan dan kirinya bekerja meraba, menekan dan mere- 
mas apa saja yang ada di tubuh perempuan itu. 

Dewi Berlian sendiri segera membalasnya dengan 
penuh gairah. Mendapatkan balasan yang memang di- 
inginkannya, gairah Pangku Jaladara semakin meng- 
gebu-gebu. Dalam waktu singkat saja, dia sudah me- 
lucuti seluruh pakaian yang dikenakan perempuan 
bahenol itu. Dia sendiri sudah dalam keadaan polos, 
f Di pihak lain. Dewi Berlian sesaat membuka ma- 

tanya. Diperhatikannya bagaimana sibuknya Pangku 
Jaladara sekarang, yang tak mau lagi menghiraukan 
sekelilingnya. 

"Untuk sejenak kau akan menikmati apa yang 
kau inginkan. Manusia keparat!" seringainya dalam 
hati 

Tatkala Pangku Jaladara memasuki tubuhnya. 
Dewi Berlian terus menggerak-gerakkan pinggulnya 
dengan gerakan seorang perempuan yang telah ma- 
tang. Napas Pangku Jaladara semakin memburu. 

Lelaki ini sudah melupakan seluruh persoalan 
yang sedang dihadapinya. Tidak dipedulikan sekitar- 
nya yang menjadi saksi bisu dari tindakannya. 

"Sekarang!" desis Dewi Berlian dalam hati tatkala 
melihat Pangku Jaladara sudah tiba pada puncaknya. 

Kedua tangannya yang memegangi erat-erat 
punggung Pangku Jaladara perlahan-lahan naik ke 
atas. Lalu diusap-usapnya leher Pangku Jaladara den- 
gan usapan lembut dan penuh rangsangan. Yang di- 
usap semakin memuncak gairahnya. 

Namun mendadak saja, 

"Heeiigkggg!!" 

Gerakan Pangku Jaladara kontan terhenti. Tu- 
buhnya mengejut dengan kepala tersentak ke atas li- 
dahnya mendadak menjulur keluar. 

Dewi Berlian yang mendadak saja menghentikan 
usapan tangannya pada punggung Pangku Jaladara, 
semakin kuat mencengkeram leher lelaki itu. Sesaat 
Pangku Jaladara masih berusaha untuk membebaskan | 
diri. Tetapi di lain saat terdengar suara cukup keras, 

"Kraaakk!!" 

Leher lelaki yang dibutakan oleh gairahnya telah 
patah. Dengan gerakan jijik Dewi Berlian mendorong 
tubuh itu lalu ambruk menjadi mayat di atas tanah. 

"Cihhh! Itulah upah dari bantuanmu, Pangku Ja- 
ladara!" desis perempuan mesum ini sambil berdiri. La- 
lu dipunguti pakaiannya dan dikenakannya kembali. 

Dipandanginya lagi mayat Pangku Jaladara yang 
dalam keadaan polos. Cukup lama perempuan mesum 
ini melakukan tindakan itu sebelum kemudian terlihat 
bibirnya tersenyum. 

"Bukan main! Kau memang sangat cerdik. Dewi 
Berlian! Sangat cerdik!" desisnya pada dirinya sendiri. 

Di saat lain, dengan sedikit susah payah. Dewi 
Berlian memakaikan pakaian Pangku Jaladara, yang  
sebelumnya dalam keadaan polos kini telah berpa- 
kaian lengkap kembali. 

Lagi Dewi Berlian berdiri tegak dengan tatapan 
tetap mengarah pada Pangku Jaladara. 

"Hemm... aku memang memiliki kecerdikan dan  
kelicikan yang luar biasa. Tak kusangka kalau aku 
menemukan cara yang tepat dari kebimbangan yang 
sebelumnya melandaku. Akan kukabarkan ke penjuru 
jagat ini, kalau Raja Naga telah membunuh.... Pangku 
Jaladara... Ini menyenangkan, sangat menyenangkan!" 

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti- 
ran berlian ini tertawa keras, hingga dedaunan bergu- 
guran. Masih tertawa, dia segera meninggalkan mayat 
Pangku Jaladara untuk segera menjalankan rencana 
yang baru saja dipikirkannya. 

***

TUJUH 

TAWA Dewi Berlian yang keras itu memancing 
perhatian dua sosok tubuh berlainan jenis yang se- 
dang berlari tak Jauh dari sana. Sejenak masing- 
masing orang menghentikan langkahnya dan berpan- 
dangan. 

"Kakang Lesmana! Sejak tadi kita memasuki hu- 
tan ini, tak seorang pun yang kita jumpai! Dan nam- 
paknya, kita akan menjumpai seseorang," terdengar 
kata-kata itu dari gadis berkuncir dua yang memiliki 
paras manis. 

Pemuda yang berdiri di samping kirinya men- 
ganggukkan kepala. 

"Kau betul! Dari tawa yang diperdengarkannya, 
nampaknya orang itu sedang gembira! Ratih, ada 
baiknya bila kita segera menemui orang itu!" 

Dua saudara seperguruan itu pun segera mencari 
sumber tawa yang mereka dengar. Sebelumnya, Ratih 
dan Lesmana mempunyai urusan yang membuat mas- 
ing-masing orang harus berulangkah bertarung. Ini 
disebabkan karena Ratih tidak bisa menerima tinda- 
kan Lesmana yang membiarkan guru mereka tewas di 
tangan Resi Kala Jinjit. Lesmana sendiri berulangkah 
pula menjelaskan semua itu. Dan berkat bantuan Raja 
Naga, kedua saudara seperguruan itu telah berdamai 
(Baca : "Misteri Laba-laba Perak" dan "Pengadilan Rim- 
ba Persilatan"). 

"Ratih! Lihat!" seru Lesmana tiba-tiba sambil 
menghentikan langkahnya. Tangannya menunjuk pada 
mayat Pangku Jaladara. 

"Kakang... kalau tidak salah, bukankah dia calon 
ketua dari Perguruan Laba-laba Perak?" 

Pemuda berpakaian berwarna merah dengan ga- 
ris hitam yang bersilangan di depan dada, mengang- 
guk. 

"Ya! Aku juga tahu siapa orang ini." 

Ratih berlutut, memeriksa mayat Pangku Jalada- 
ra. "Lehernya patah! Siapakah kira-kira orang yang te-  
lah membunuhnya?" 

Lesmana tak menjawab. Pemuda yang di kening- 
nya melingkar kain warna merah ini justru mencubit- 
cubit bibir bagian bawah. Otaknya berpikir. 

"Sejak kita memasuki hutan ini, kita tidak men- 
jumpai seseorang. Dan tiba-tiba ada tawa yang meng- 
gema keras. Tawa yang menunjukkan kalau orang itu 
sedang senang. Ratih... jangan-jangan, perempuan 
yang tertawa itulah yang telah membunuhnya," 

"Kalau begitu, tentunya perempuan itu dan 
Pangku Jaladara telah berada di sini dan terlibat satu 
pertarungan. Tetapi mengapa kita tidak mendengar 
tanda-tanda adanya sebuah pertarungan?" 

Pertanyaan Ratih tak segera dijawab oleh Lesma- 
na. Setelah beberapa saat terdiam, Lesmana berkata, 
"Mungkin Pangku Jaladara dijebak atau diserang seca- 
ra tiba-tiba." 

"Pangku Jaladara bukannya orang yang memiliki 
ilmu sejengkal. Diserang secara tiba-tiba pun masih 
memungkinkan baginya untuk mematahkan seran- 
gan." 

"Aku tidak mempunyai alasan lain." 

Ratih perlahan-lahan berdiri. 

"Kakang... urusan yang sedang kita hadapi ini be- 
lum mendapatkan titik temunya. Kita belum juga me- 
nemukan Datuk Bunaeng untuk mendapatkan kejela- 
san dari semua ini. Apa yang harus kita lakukan, Ka- 
kang?" 

Lesmana menatap adik seperguruannya yang 
berwajah manis itu. 

"Raja Naga berpesan padaku, agar aku membawa 
Ratih menjauh dari urusan ini. Tetapi sekarang, kea- 
daannya sudah berlainan. Semakin sulit. Apakah tidak 
sebaiknya...." 

"Aku masih tetap berkeinginan untuk mencari 
Datuk Bunaeng. Satu pikiran yang melintas di benak- 
ku sekarang, jangan-jangan perempuan yang kemung- 
kinan besar telah membunuh Pangku Jaladara, adalah 
dalang dari semua urusan ini." 

Lesmana sedikit terkejut mendengar kata-kata 
Ratih. Dipandanginya gadis yang di punggungnya ter- 
dapat sepasang pedang bersilangan itu. 

"Kita belum tahu siapa adanya perempuan itu. 
Saat ini aku masih yakin kalau Datuk Bunaeng adalah 
otak dari semua kekacauan. Tetapi apa yang kau kata- 
kan tidak mustahil bisa terjadi." 

Sepasang mata Ratih bersinar cerah. 

Kakang! Aku punya satu gagasan!" 

"Katakan...." 

"Mungkin saat ini, yang mengetahui kematian 
Pangku Jaladara hanya kita dan tentunya si pembu- 
nuh. Bila memang si pembunuh adalah biang dari se- 
gala kekacauan, tak mustahil dia akan terus memfit- 
nah Raja Naga. Ini berarti, si pembunuh mempunyai 
dendam pada Raja Naga." 

"Maksudmu, si pembunuh akan mengatakan Ra- 
ja Naga yang telah membunuh Pangku Jaladara?" 

"Tepat Kakang! Kalau tujuan kita sebelumnya 
adalah mencari Datuk Bunaeng, sekarang kita harus 
mencari Raja Naga! Ayo, Kakang! Waktu kita sangat 
sempit! Dan kita sama-sama mendengar kalau tak la- 
ma lagi akan ada bencana di Lembah Lingkar!" 

Lesmana mengangguk pelan. Sulit baginya untuk 
menolak permintaan Ratih. Mereka memang telah 
mendengar seseorang mengabarkan akan terjadi ben- 
cana di Lembah Lingkar. 

Kemudian katanya, "Ratih... kau masih memba- 
wa Bunga Kemuning Biru yang diberikan Guru?" 

"Ya!" 

"Berikan padaku!" 

Di lain saat, Lesmana mulai sibuk dengan Bunga 
Kemuning Biru yang diberikan Ratih, sementara gadis 
itu hanya memperhatikan saja. Tak lama kemudian, 
terlihat Ratih mengangguk-anggukkan kepala, menger- 
ti apa yang dilakukan oleh kakak seperguruannya, 
Lalu keduanya segera meninggalkan tempat itu. 

Menjelang senja. Raja Naga menghentikan lang- 
kahnya di jalan setapak. Matanya memandang sosok 
tubuh di hadapannya, yang membuatnya menghenti- 
kan langkahnya. 

"Hemm... dari pakaian putihnya yang compang- 
camping, orang yang berdiri itu tentunya seorang ka- 
kek. Jelas dari tubuhnya yang keriput. Kumisnya pu- 
tih melintang. Dan astaga! Janggutnya, hampir me- 
nyentuh tanah!" 

Kakek yang menundukkan kepalanya itu mende- 
sis tanpa mengangkat kepalanya, "Aku belum pernah 
melihat orang yang kucari. Tetapi naluriku mengata- 
kan kalau engkaulah orang yang kucari." 

Kepala murid Dewa Naga itu menegak. Matanya 
yang angker semakin bersorot angker. 

"Aku harus waspada. Bisa jadi kakek yang belum 
kulihat wajahnya ini termasuk salah seorang seperti 
Kala Sringgil dan Jala Sringgil maupun lelaki berkaki 
satu itu." 

Si kakek kembali bicara, "Kau tak buka mulut, 
Aku percaya, kalau saat ini kau sedang meningkatkan 
kewaspadaanmu terhadapku. Waspada sudah tentu ti- 
dak dilarang." 

"Suaranya lembut, tidak mengandung tekanan 
kemarahan seperti yang dilakukan beberapa orang 
yang menyerangku. Rimba persilatan telah menurun-  
kan pengadilannya terhadapku. Secepatnya aku harus 
mendapatkan bukti-bukti kalau aku tidak bersalah," 
kata Raja Naga dalam hati. Lalu berkata dengan te- 
nang, "Orang tua... aku tidak tahu siapa orang yang 
sedang kau cari. Tetapi melihat keyakinanmu tadi, aku 
merasa kalau akulah orang yang sedang kau cari." 

"Tidak salah." 

"Lantas, ada urusan apa sebenarnya?" 

Tetap menundukkan kepalanya, si kakek berka- 
ta, "Aku muncul hanya untuk membuktikan apa yang 
kupercayai. Kala Sringgil, Jala Sringgil dan Pendekar 
Kaki Satu, begitu yakin kalau kau bersalah. Raja Naga. 
Tetapi aku tidak." 

Kali ini kening Boma Paksi berkerut, pertanda dia 
sedang berpikir. Cukup lama dipandanginya si kakek 
sebelum berkata, "Orang tua... apakah... apakah kau 
orang yang berjuluk Musang Berjanggut?" ' 

Masih menundukkan kepala, si kakek mengangguk. 

"Kau tidak salah. Akulah orang yang berjuluk 
Musang Berjanggut." 

Seketika Raja Naga teringat perkataan Langlang 
Benua. 

"Hemm... menurut Langlang Benua, orang berju- 
luk Musang Berjanggut memiliki sifat angin-anginan 
yang sulit ditebak. Dia bisa berubah menjadi kejam, 
dan bisa berubah sesuci malaikat. Aku harus mencari  
keberuntunganku." I 

Habis membatin demikian, pemuda berompi un- 
gu ini berkata, "Tadi kau mengatakan, hendak mem- 
buktikan apa yang kau percayai. Aku bisa meraba apa
yang sebenarnya menjadi sasaranmu. Orang tua, tan- 
pa mengurangi rasa hormatku kepadamu, apakah kau 
hendak membuktikan kalau aku telah mencuri Kalung 
Laba-laba Perak?" 

Musang Berjanggut mengangguk. Janggut pan- 
jangnya sesaat menyentuh tanah, lalu menggantung 
lagi. Anehnya, tak sehelai janggut pun yang bergetar. 

Padahal saat itu angin sedang berhembus cukup 
kencang! 

"Sulit bagiku untuk menjelaskan apakah aku 
bersalah atau tidak! Karena di satu pihak, hal itu su-  
dah tidak bisa kupakai untuk memperjelas keadaan! 

Orang tua... aku hanya bisa mengatakan kalau aku ti- 
dak bersalah." 

"Ceritakan pangkal kejadiannya...." 

Sebelum menceritakan apa yang dialami sebe- 
lumnya, pemuda berompi ungu itu memandangi si ka- 
kek dengan seksama (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").

Kembali Musang Berjanggut mengangguk-angguk. 

"Betul kau tidak melakukannya?" 

"Ya!" 

"Kau punya dugaan siapa yang melakukannya?" 

Raja Naga terdiam dulu sebelum mengangguk 
dan berkata, "Dugaan itu kupunyai. Tetapi, aku kha- 
watir kalau akhirnya akan menjadi sebuah fitnah." 

"Sebutkan satu nama." 

"Dewi Berlian...." 

Musang Berjanggut terdiam. Kepalanya tetap 
menunduk hingga sukar bagi Raja Naga untuk melihat 
rupa orang tua itu. 

"Dewi Berlian...," ulangnya kemudian. "Tak perlu  
kutanyakan alasan apa hingga kau menyebutkan julu- 
kan itu. Anak muda... aku hanya memberimu satu ja- 
lan untuk menyelesaikan urusan ini." 

"Orang tua... jadi kau mempercayai kalau aku ti-
dak bersalah?" tanya Raja Naga sambil menahan na- 
pas. 

"Aku tidak berkata demikian. Tetapi naluriku 
mengatakan demikian." 

"Itu sudah cukup bagiku. Ternyata masih ada ju- 
ga yang mempercayaiku." 

"Anak muda... jalan yang hendak kuberikan, se- 
baiknya kau menuju ke Lembah Lingkar. Tetapi meli- 
hat arah yang sedang kau tempuh, saat ini kau ten- 
tunya sedang menuju ke sana. Lembah Lingkar akan 
menjadi saksi dari kebenaran apa yang selama ini kau 
inginkan." 

Raja Naga tak menjawab. Dia terus berusaha un- 
tuk melihat wajah si kakek. Tetapi tetap tak berhasil. 

Si kakek berkata lagi, "Menurut bayanganku, kau 
tentunya telah berjumpa dengan orang tua yang gila 
berlanglang buana. Tentunya kau sudah mendengar 
dari mulutnya siapa aku. Dan aku percaya kau meya- 
kini ucapannya." 

Raja Naga diam-diam mendesis dalam hati, "Luar 
biasa! Sungguh luar biasa! Bagaimana caranya dia 
mengetahui kalau aku sudah berjumpa dengan kakek 
berjuluk Langlang Benua?" 

Belum tuntas kekagetan Raja Naga, Musang Ber- 
janggut sudah berkata lagi, "Kau tak perlu tahu ba- 
gaimana cara aku tahu tentang pertemuanmu dengan , 
Langlang Benua. Tetapi yang pasti, aku memang hen- 
dak menjumpainya." 

Raja Naga berkata, "Orang tua, bila kau tidak 
berkeberatan, dapatkah aku mengetahui mengapa kau 
hendak menjumpai, kakek Langlang Benua?" 

Tanpa mengangkat wajahnya. Musang Berjanggut 
mengangguk-anggukkan kepalanya. 

"Anak muda... aku tahu siapa kau sebenarnya. 
Kau adalah putra dari mendiang Pendekar Lontar dan 
Dewi Lontar. Aku merasa pasti kalau kau memiliki se-  
buah benda sakti yang dimiliki oleh mendiang ayahmu. 
Apakah aku salah?" 

Raja Naga menggeleng. 

"Kau tidak salah, Orang Tua. Benda sakti yang 
kau maksudkan tentunya adalah Gumpalan Daun 
Lontar, bukan?" 

"Betul! Benda yang berpuluh tahun lamanya 
menjadi rebutan dari orang-orang serakah." 

"Dengan kau bicara seperti itu, apakah akan ter- 
jadi sesuatu yang cukup mengerikan?" tanya Raja Na- 
ga sambil memperhatikan dengan seksama. 

"Bukan hanya cukup mengerikan. Tetapi sangat 
mengerikan." 

Kepala Raja Naga menegak. "Orang tua... da- 
patkah kau memberitahukannya kepadaku?" 

Musang Berjanggut menggeleng. "Urusanmu be-
lum selesai. Untuk saat ini rasanya belum tepat untuk ! 
mengatakannya. Tetapi kau boleh mengetahui sedikit 
saja." 

"Aku menunggu." 

"Pernah kau mendengar sebuah benda yang di- 
namakan Bunga Kemuning Biru?" 

Dengan kening berkerut Raja Naga menggeleng. 
Musang Berjanggut berkata lagi, "Menurut bayangan- 
ku, benda aneh itu akan menjadi pangkal dari urusan 
yang harus kau hadapi. Mungkin Juga, nyawamu akan 
putus dalam urusan ini." 

Mulut Raja Naga terbuka, tetapi tak ada suara 
yang keluar. , 

Musang Berjanggut meneruskan ucapannya, 

"Kau harus bisa menuntaskan semua itu bila tak ingin
kekacauan akan timbul. Kau akan menghadapi urusan
dengan orang mati." 

"Aku belum dapat memahami apa yang kau mak- 
sudkan itu, Orang Tua..." 

"Urusanmu belum selesai. Sekarang, teruskan 
langkahmu menuju Lembah Lingkar. Bila kau berjum- 
pa dengan Langlang Benua, katakan padanya, aku 
menunggu di Bukit Tidar." 

Habis ucapannya, kakek berpakaian putih com- 
pang-camping itu membalikkan tubuhnya. Sambil te- 
tap menundukkan kepalanya, dia melangkah mening- 
galkan Raja Naga yang terbengong. 

Setelah Musang Berjanggut hilang dari pandan- 
gan, barulah Raja Naga menarik napas pendek. 

"Satu urusan belum rampung, sudah terbayang 
lagi urusan yang harus kuhadapi. Ah, keadaan seperti 
ini terkadang membuatku bertanya-tanya... sampai 
kapan petaka di dunia ini baru berakhir?" 

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di- 
penuhi sisik coklat ini kembali terdiam. Matanya yang 
bersorot angker memandang tak berkedip ke kejauhan. 

Lalu ditarik napas dalam-dalam, kemudian di- 
hembuskan perlahan-lahan. 

"Sedikit banyaknya aku telah mendapat keberun- 
tungan. Paling tidak, apa yang dikatakan Langlang Be- 
nua tentang Musang Berjanggut tidak lagi membuatku 
tegang. Hemmm... apa yang dikatakan Musang Ber- 
janggut tadi memang benar. Urusan yang kuhadapi 
sekarang, belum tuntas. Sebaiknya kutuntaskan dulu 
urusan ini baru kemudian memikirkan apa yang dika- 
takannya. " 

Memutuskan demikian, pemuda gagah berambut 
dikuncir ini segera melangkah meninggalkan tempat 
itu, ke arah yang berlainan dengan yang ditempuh 
Musang Berjanggut. 

***

DELAPAN  

TEPAT matahari tenggelam ditelan malam, Ratu 
Tongkat Ular menghentikan langkahnya di jalan seta-
pak. Sekelilingnya sepi menyengat. Masih beruntung 
karena di tempatnya hanya beberapa pohon saja yang
tumbuh, hingga rembulan masih dapat menyinari 
tempat itu. 

Perempuan tua Ini mendadak mengertakkan ra- 
hangnya. 

"Hah! Sejak melihat kemunculannya di halaman 
Perguruan Laba-laba Perak, aku sudah tidak memper- 
cayai Dewi Berlian! Entah setan mana yang merasuki 
otak Bunaeng hingga dia mempercayai perempuan me- 
sum itu!" ■ 

Si nenek memperhatikan sekelilingnya. Mulut ke-  
riputnya berkemak-kemik tanpa ada suara yang keluar 
Tak lama kemudian, dia mendesis lagi, lebih ge- 
ram, "Aku merasa pasti kalau Dewi Berlian hendak 
melakukan satu tindakan busuk dan memanfaatkan 
ketololan Bunaeng! Terkutuk! Sungguh terkutuk!!" 

Dihujamkan tongkatnya ke tanah yang seketika 
amblas hingga setengah. Bersamaan ditarik keluar 
hingga tanah berhamburan. Ratu Tongkat Ular meng- 
geram lagi, "Seingatku, Ratu Sejuta Setan adalah sau- 
dara Dewi Berlian. Dan perempuan kontet berkulit hi- 
tam itu kabarnya telah mampus di tangan Raja Naga! 
Huh! Bisa jadi kalau Dewi Berlian hendak membalas 
kematian saudaranya pada Raja Naga dan meman-
faatkan kesempatan dengan melakukan adu domba! 

"Keparat terkutuk!!" 

Selagi si nenek memaki-maki sendiri, tanpa se- 
pengetahuannya sepasang mata indah namun bersorot 
tajam, memperhatikannya dengan dada digolak ama- 
rah. 

"Setan alas! Perempuan tua itu bisa membuat 
urusanku berantakan! Dari ucapannya, jelas kalau dia 
mulai meraba apa yang sebenarnya hendak kulaku- 
kan! Se-baiknya, kubereskan saja perempuan tua ini!" 

Pemilik mata indah itu mengepalkan tangan ka- 
nannya dan bersiap mengirimkan pukulan jarak jauh. 
Tetapi kontan dihentikannya tatkala melihat satu so- 
sok tubuh bergerak ke arah Ratu Tongkat Ular. 

"Pendekar Kaki Satu...," desisnya. 

Ratu Tongkat Ular juga melihat siapa orang yang 
mendekat ke arahnya untuk kemudian menghentikan 
langkahnya sejarak sepuluh langkah dari hadapannya. 

Seketika Ratu Tongkat Ular mendengus. 

"Huh! Mau apa kau menghentikan langkahmu di 
sini, hah?!" 

Pendekar Kaki Satu memandang tak berkedip. 
Lalu berseru tak kalah kerasnya, "Bila kau bertanya 
mengapa aku menghentikan langkahku di sini, aku ju- 
ga hendak bertanya ada urusan apa kau berada di si- 
ni!" 

Ratu Tongkat Ular yang sedang geram terhadap 
Dewi Berlian, seketika memerah wajahnya. 

"Setan! Ditanya balik tanya! Cepat jawab sebelum 
kepalamu pecah akibat tongkatku!" 

Pendekar Kaki Satu merapatkan mulutnya. Lalu 
mendesis dingin, "Saat ini perasaanku sedang tidak 
enak! Jadi jangan banyak ulah di hadapanku!" 

"Keparat buntung! Kau pikir kau saja yang se- 
dang tidak enak, hah?!" bentak Ratu Tongkat Ular ke- 
ras. Tiba-tiba saja dia menyeringai, "Perasaanmu se- 
dang tidak enak, begitu pula denganku. Bagaimana bi- 
la kita membuatnya menjadi enak?!" 

"Apa maksudmu?!" 

"Kita bertarung sampai salah seorang di antara 
kita mampus!!"  

Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Sambil 
memperhatikan perempuan tua di hadapannya dia 
berkata dalam hati, "Aku harus segera tiba di Lembah 
Lingkar seperti apa yang dikatakan Musang Berjang-

gut. Bila kuterima apa maunya, berarti akan banyak 
membuang waktuku. Sebaiknya, aku mengalah saja." 

Memutuskan demikian, lelaki yang kaki kanan- 
nya buntung ini berkata, "Ratu Tongkat Ular, kita ten- 
tunya sama-sama punya urusan yang harus diselesai- 
kan! Bila urusan telah selesai, aku berjanji akan mene- 
rima tantanganmu!" 

"Secara tidak langsung, kau sudah mengemuka- 
kan kekalahanmu!" 

Kata-kata itu membuat wajah Pendekar Kaki Sa- 
tu memerah. Tetapi ditindih amarahnya. 

Di pihak lain, pemilik mata indah yang memper- 
hatikan dari balik ranggasan. semak belukar, tiba-tiba  
tersenyum tatkala melintas satu pikiran di benaknya. 

"Hemmm... kehadiran Pendekar Kaki Satu sung- 
guh tepat. Aku tak perlu mempergunakan tanganku 
untuk membunuh Ratu Tongkat Ular. Kalaupun gagal 
membunuhnya sekarang, paling tidak, aku dapat men- 
gubah apa yang sebelumnya dipikirkan." 

Habis kata-katanya, pemilik mata indah namun , 
tajam itu mendadak saja melesat dari balik ranggasan 
semak. Tangan kanan kirinya kontan digerakkan ke 
arah Pendekar Kaki Satu seraya berseru, "Manusia ce- 
laka! Kau harus mampus karena telah mengadu dom- 
ba orang-orang rimba persilatan!!" 

Bukan hanya Pendekar Kaki Satu yang terkejut 
karena mendadak diserang. Ratu Tongkat Ular pun 
membalikkan tubuhnya. Dilihatnya perempuan mon- 
tok berpakaian hijau yang dipenuhi butiran berlian itu 
menyerang Pendekar Kaki Satu! 

Dua gelombang angin berwarna hijau mengge- 
brak mengerikan. Walaupun terkejut, Pendekar Kaki 
Satu cukup menggeser kaki kanannya ke samping kiri. 
Wuuuss! Wuusss! 

Gelombang angin itu melesat beberapa jengkal 
dan menghantam ranggasan semak belukar, hingga 
hancur betebaran. Men3msul serangannya yang luput, 
orang yang sejak tadi bersembunyi di balik ranggasan 
semak dan ternyata Dewi Berlian adanya, membalik- 
kan tubuhnya dengan cepat. 

Jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar, kemudian 
diputar ke atas dengan cara disentak. 

Kontan meluncur lima sinar hijau yang melesat 
dari jari jemarinya, laksana membentuk lingkaran je- 
ruji. Yang mengejutkan, karena sinar-sinar itu tiba- 
tiba me-lebar dan menebarkan hawa panas luar biasa. 

Pendekar Kaki Satu tersentak. Namun di lain 
saat, tangan kanannya sudah menggerakkan tongkat 
penyanggah tubuhnya ke tanah. 

Wrrrusss!! 

Bersamaan tanah yang muncrat, tubuh Pendekar 
Kaki Satu melompat ke samping kanan. Lima sinar hi- 
jau yang melebar menyambar ranggasan semak yang 
seketika mengering.

Sementara itu, perempuan mesum berpa3aidara 
besar sudah hinggap di atas tanah. Paras jelitanya 
menyeramkan dengan sorot mata yang mengandung 
kemarahan. 

Di pihak lain. Pendekar Kaki Satu juga sudah 
berdiri tegak. Diperhatikannya perempuan di hada- |
pannya. Darahnya seketika mendidih karena amarah. 
Akan tetapi, sebelum dilontarkan bentakannya. Dewi 
Berlian yang telah menyusun sebuah rencana sudah 
berseru lebih dulu, 

"Manusia buntung celakai Rupanya kaulah orang 
yang berada di balik kekacauan rimba persilatan! Kau 
telah mencuri kalung Laba-laba Perak, lalu menimpa- 
kan pada Raja Naga, sementara Raja Naga menuduh 
Datuk Bunaeng yang melakukannya! Sungguh terku- 
tuk tindakanmu. Pendekar Kaki Satu!" 

Pendekar Kaki Satu mendengus. 

"Kau muncul secara tiba-tiba! Dan tiba-tiba pula 
mulutmu lancang berbunyi! Dewi Berlian! Bila kedua 
tanganmu sudah gatal, aku siap melayanimu!" 

"Manusia keparat! Tindakanmu yang telah men- 
gacaukan rimba persilatan tak bisa dimaafkan! Sebe- 
lum orang-orang rimba persilatan mengadilimu, biar 
aku yang menghukummu sekarang!!" 

Habis bentakannya Dewi Berlian menerjang ke 
depan. Saat menerjang itu pakaiannya yang terbelah 
tersingkap, memperlihatkan sesuatu yang menggu- 
nung dilapisi kain warna merah muda. Serangan per- 
tama yang dilancarkan Dewi Berlian begitu ganas dan 
mengerikan. Tetapi pada jurus berikutnya, dia sengaja 
mengendorkan serangannya. ' 

Pendekar Kaki Satu mengerutkan keningnya me- 
lihat perubahan serangan yang dilancarkan Dewi Ber- 
lian. 

"Aneh! Mengapa mendadak dia mengendorkan 
serangannya dan seperti mengalah? Bahkan... ah, ka-  
lau aku mau nampaknya dia membiarkan seranganku 
masuk! Aneh! Apa yang diinginkannya?" 

Karena merasa heran. Pendekar Kaki Satu pun 
mengendorkan serangannya. Dia masih bertanya-tanya 
mengapa Dewi Berlian mengendorkan serangannya. 

Tatkala didengarnya seruan Dewi Berlian, baru- 
lah lelaki yang kaki kanannya buntung ini mengerti. 

"Ratu Tongkat Ular! Apakah kau tidak mau 
menghukum manusia keparat yang telah memfitnah 
Datuk Bunaeng?!" 

Ratu Tongkat Ular yang sejak tadi berpikir, tiba- 
tiba mendengus. Kejap lain, dia sudah menerjang ke 
arah Pendekar Kaki Satu. 

"Bagus! Berarti urusanku yang satu ini telah tun- 
tas!" desis Dewi Berlian dalam hati seraya mundur per- 
lahan-lahan. 

Diperhatikannya bagaimana Ratu Tongkat Ular 
yang telah termakan siasat Dewi Berlian, menggempur 
habis-habisan Pendekar Kaki Satu. 

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti- 
ran berlian itu menyeringai. 

"Hemmm... siasat yang bagus! Ratu Tongkat Ular 
nampaknya telah termakan siasatku! Bagus! Berarti, 
aku memang tak perlu harus repot turun tangan! Biar 
keduanya saling bunuh!" 

Perempuan berotak licik itu sesaat memperhati- 
kan pertarungan yang terjadi, sebelum kemudian me- 
ninggalkan tempat itu. 

Di lain pihak. Ratu Tongkat Ular semakin ganas 
menyerang Pendekar Kaki Satu. Pendekar Kaki Satu 
tentu tak mau mati konyol. Diladeninya serangan ga- 
nas si nenek. Tetapi mengingat dia harus ke Lembah 
Lingkar, Pendekar Kaki Satu memutuskan untuk 
menghindari pertarungan. 

"Keparat! Kau tak akan lepas dari tanganku!" 
bentak Ratu Tongkat Ular seraya mengibaskan tong- 
katnya. 

Blaar!! 

Pendekar Kaki Satu dapat menghindari serangan 
itu. Saat itu pula diputuskan untuk tidak mendatangi 
Lembah Lingkar. 

Pendekar Kaki Satu terus menjauh. Di belakang- 
nya Ratu Tongkat Ular terus mengejar. 

Lembah Lingkar tetap sepi dan mencekam. Apa- 
lagi malam ini begitu gelap. Rembulan harus bersusah 
payah menerobos gumpalan awan hitam. Tak seekor 
hewan malam yang muncul di tempat yang landai itu. 
Angin barat laut berhembus dingin, menggeraikan 
rambut Datuk Bunaeng yang berdiri kaku. 

Di sampingnya, Resi Hitam tak berucap apa-apa. 

Sorot mata kakek berkulit hitam legam ini penuh ama- 
rah dan dendam. 

Keheningan itu dipecahkan oleh suaranya, "Bu- 
naeng! Rasanya tak mungkin Raja Naga akan kembali 
ke tempat ini! Orang yang telah meniupkan kabar yang 
belum lama kita dengar kalau dia akan kembali ke 
Lembah Lingkar, rasanya mencoba mengambil keun- 
tungan...." 

Kakek beralis menyatu itu melirik. 

"Atau... dia berharap kita tetap berada di sin!?" 

"Bisa jadi!" 

"Kalau bukan Raja Naga yang menghembuskan 
berita itu, siapa kira-kira orangnya?" 

Paras hitam kakek bertubuh bongkok itu sema- 
kin menghitam. Kedua tangannya yang kurus mengep- 
al kuat-kuat. Men3rusul rahangnya dikertakkan keras- 
keras, hingga suaranya begitu nyaring di malam yang 
sepi. 

"Kuat dugaanku kalau orang celaka itu adalah 
Langlang Benua!" 

"Bila memang dia orangnya, bukankah itu se- 
buah kesempatan untuk membunuhnya?" 

"Kesempatan atau tidak, aku akan tetap membu- 
nuhnya! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga be- 
rani menyelamatkan Raja Naga dan mau tak mau , 
membuatku harus menginjak tempat keparat ini lagi?!" 
Kali ini Datuk Bunaeng memutar tubuh, meman- 
dangi kakek bongkok berkulit hitam legam yang se- 
dang menggeram. 

"Aku tak tahu siapa orang yang meniupkan kabar 
kalau Raja Naga akan muncul kembali di Lembah 
Lingkar. Tapi siapa pun orang itu, sudah sepatutnya 
kuacungkan jempol hingga aku tak perlu bersusah 
payah untuk menangkap sekaligus membunuh Raja 
Naga!" katanya dalam hati, lalu menyambung, "Apa 
yang sedang dilakukan Ratu Tongkat Ular sekarang? 
Apakah dia telah bertemu dengan Dewi Berlian? Huh! 
Aku mulai merasa pasti kalau Dewi Berlian memiliki 
maksud tertentu." 

Mendadak terdengar suara Resi Hitam, "Aku, 
menangkap gerakan mendekat ke arah sini. Tetapi je- 
las bukan Langlang Benua...." 

Datuk Bunaeng sendiri segera menajamkan pen- 
dengarannya. Didengarnya juga gerakan orang yang 
berlari ke arah mereka. 

"Gerakan yang cukup ramai itu, menandakan ka- 
lau orang yang datang berjumlah dua orang. Apakah 
Dewa Jubah Putih dengan Dewi Pengunyah Sirih?" 
Sementara itu Resi Hitam mendengus, 

Huh! Hanya dua orang keroco!" 

Datuk Bunaeng sejenak melirik, lalu mengarah- 
kan lagi pandangannya pada jalan setapak yang mem- 
bujur di hadapannya. Tak lama kemudian muncul dua 
sosok tubuh mengenakan pakaian putih yang terbuka 
di bahu sebelah kiri. Kedua orang itu segera menghen- 
tikan lari mereka begitu melihat Datuk Bunaeng dan 
Resi Hitam. 

Datuk Bunaeng seketika mendengus, 

"Huh! Resi Hitam! Kau bilang kedua ini bangsa 
keroco?! Gila! Mereka adalah tikus-tikus got yang kela- 
paran!!" 

Kedua orang yang berkepala gundul itu tak ada 
yang membuka mulut. Kala Sringgil berbisik, "Jala 
Sringgil... tak kusangka kalau Datuk Bunaeng dan Re- 
si Hitam berada di sini. Rupanya apa yang dikatakan 
Musang Berjanggut memang benar. Bencana akan se- 
gera terjadi di Lembah Lingkar." 

Jala Sringgil tak menjawab. Justru memperhati- 
kan kedua orang di hadapannya bergantian. Kemudian
bisiknya, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak." 

"Aku pun menangkap gelagat itu." 

"Tetapi kita sudah berada di Lembah Lingkar. 
Mustahil kita keluar lagi dari tempat ini." 

Kata-kata Jala Sringgil menandakan kalau kedu- 
anya bertekad untuk tetap berada di sana. Masing- 
masing orang tetap berkeyakinan kalau Raja Naga 
yang harus mereka bekuk. 

Datuk Bunaeng menggeram keras. "Muncul seca- 
ra tiba-tiba dan tak diundang. Tak menunjukkan sikap 
yang baik pula! Manusia-manusia berkepala gundul.
Tinggalkan tempat ini sekarang juga sebelum aku be- 
rubah pikiran!"

Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil tak ang- 
kat bicara. Mereka tahu siapa adanya Datuk Bunaeng. 
Terlebih lagi kakek berkulit hitam legam itu. 

Namun begitu melihat Datuk Bunaeng hendak 
membentak lagi, Kala Sringgil segera berkata, "Mung- 
kin kita punya tujuan yang sama datang ke Lembah 

Lingkar! Tetapi bisa juga dengan tujuan yang berlai- 
nan. Namun satu hal yang pasti, kita sama-sama tak 
punya silang urusan!" 

"Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini se- 

karang juga!" geram Datuk Bunaeng. Tangan kanan- 
nya mengepal. 

Kala Sringgil melirik saudaranya. Yang dilirik tak  
mengangguk maupun menggeleng. Bersuara pun ti-
dak.

Mendapati sikap keduanya. Datuk Bunaeng tiba- 
tiba mengangkat tangan kanannya. Namun sebelum 
satu serangan dilepaskan, mendadak terdengar suara, 

"Mengapa selalu saja ada petaka yang diturunkan 
oleh manusia kejam?! Apakah tidak sebaiknya berda- 
mai untuk menyelesaikan urusan!" 

Sementara Datuk Bunaeng segera memutar tu- 
buhnya untuk mengetahui siapa adanya orang, kepala 
Resi Hitam menegak. Men 3 msul suaranya yang sangat 
keras, 

"Langlang Benua!!" 

"Resi Hitam," suara itu terdengar lagi sementara 
sosok orang yang bersuara itu belum kelihatan. "Kau 
Juga muncul di tempat ini untuk urusan sepele! Apa- 
kah tidak sebaiknya kau segera meninggalkan tempat 
ini?!" 

"Terkutuk!! Keluar kau! Kita selesaikan urusan 
yang belum tuntas!" suara Resi Hitam menggelegar 
laksana guntur. 

"Mengapa harus gusar?! Kita tak punya masalah 
dalam urusan yang dihadapi Bunaeng. Kalaupun hen- 
dak menuntaskan urusan yang kita punya, masih ba- 
nyak waktu yang tersisa!" 

Resi Hitam sudah tak dapat menguasai amarah- 
nya lagi. Tahu siapa orang yang bicara itu, dia segera 
melompat ke depan. Tangan kanan kirinya digerakkan 
sembarangan. 

Gelombang angin mengerikan bertebaran, meng- 
hantami apa saja. Kala Sringgil dan Jala Sringgil sege- 
ra menjauh karena tidak ingin terkena sasaran. Se- 

mentara itu. Datuk Bunaeng menggeser tubuhnya ke 
samping kiri tatkala satu gelombang angin yang dile- 
paskan Resi Hitam secara sembarangan, menggebrak 
ke arahnya. 

Lembah Lingkar berguncang. Bebatuan bergugu- 
ran di sebelah utara. Letupan demi letupan membaha- 
na di malam buta. Dalam waktu yang singkat, rangga- 
san semak di sana sudah terpapas habis, sementara 
tanah berhamburan. 

Namun Langlang Benua belum juga menampak- 
kan batang hidungnya! 

"Keluar kau. Bangsat! Keluar!!" geram Resi Hitam 
semakin sengit dan geram. 

"Tak lama lagi aku akan muncul di tempat ini!" 

"Setan terkutuk!" geram Resi Hitam dengan ama- 
rah menggelegak. Kembali dilepaskan serangannya se- 
cara sembarangan. Untuk kedua kalinya bahaya men- 
gerikan terjadi di Lembah Lingkar. 

"Kau benar-benar pemarah sekarang ini. Resi Hi- 
tam! Ah, sungguh aku jadi tidak enak! Kau sudah ber- 
susah payah mengeluarkan banyak tenaga, tetapi aku 
tidak muncul! Hanya saja, sebentar lagi aku akan 
muncul!!" 

Suara yang berpindah-pindah dari satu tempat 
ke tempat lain itu semakin membuat Resi Hitam mur- 
ka. Namun tiba-tiba dihentikan serangannya. Matanya  
menatap tajam pada satu tempat. Di lain saat, terlihat 
seringaiannya. 

"Kau akan mampus sekarang!!" 

Belum habis terdengar ucapannya, kembali di- 
lancarkan serangannya. Kali ini mengarah pada tanah 

di sekitar sana, yang didahului letupan keras, berham- 
buran ke udara. ' . 

Dan suara yang terdengar itu semakin membuat- 
nya murka, "Kau pikir aku menyamar menjadi tanah? 
Tidak! Kau salah besar!" 

"Setaaannn! Keluar kau!!" geram Resi Hitam den-  
gan napas terengah-engah. 

"Ya. ya! Nampaknya aku memang harus keluar!!" 
terdengar seruan itu. 

Bersamaan seruan itu terdengar, satu sosok tu- 
buh berompi ungu melompat dengan cara berputar 
empat kali sebelum kemudian hinggap di atas tanah.

Baru saja pemuda berompi ungu itu hinggap, satu so- 
sok tubuh berkulit seperti warna tanah telah berdiri di 
samping kanannya. 

***

SEMBILAN 

PEMUDA berompi ungu itu terkejut sesaat seraya 
melirik. Mengenali siapa adanya orang dia segera ter- 
seyum, "Orang tua... rupanya kau telah tiba di sini 
pula." 

"Sebelum ku lanjutkan pelanglangbuanaanku, 
aku masih ingin menyaksikan urusan ini." 

"Aku telah berjumpa dengan Musang Berjang- 
gut." Mendengar kata-kata Boma Paksi, Langlang Be- 
nua segera melirik. 

"Apa yang telah terjadi?" 

"Saat ini, aku tak punya banyak waktu untuk 
bercerita. Tetapi dia menunggumu di Bukit Tidar." 

"Musang Berjanggut menungguku di Bukit Tidar? 
Tidak biasanya dia melakukan tindakan seperti ini. 
Jangan-jangan ada urusan yang harus diselesaikan. 
Brengsek! Berarti aku harus kembali menunda keingi- 
nanku untuk terus berlanglang buana," kata kakek 
berpakaian seperti warna tanah itu dalam hati. 

Sementara itu terdengar suara secara bersamaan 
dari mulut Kala Sringgil dan Jala Sringgil, "Raja Naga!!" 

Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku di- 
penuhi sisik coklat itu menoleh, lalu tersenyum. 

"Kalian rupanya tiba juga di sini. Mudah- 
mudahan, kalian mendapatkan kebenaran yang kalian 
cari..." 

Wajah Kala Sringgil memerah. 

"Kebenaran yang kami cari akan kami dapatkan , 
setelah membunuhmu!!" 
Raja Naga hanya tersenyum. Tak dipedulikannya 
kemarahan yang terpancar dari mata kedua orang ber- 
kepala plontos itu. Lalu diarahkan pandangannya pada 
Datuk Bunaeng. 

"Apakah malam ini Dewi Berlian akan muncul la- 
gi di Lembah Lingkar?!" 

Sebelum Datuk Bunaeng menjawab, tiba-tiba 
terdengar gemuruh angin lintang pukang ke arah Lan- 
glang Benua. Resi Hitam sudah tak kuasa untuk tidak 
segera menyerang orang yang dibencinya. 

Langlang Benua hanya tersen3nrm seraya meng- 
gerakkan kepalanya ke kill lalu dihentakkan ke depan. 
Wrrrr!! 

Gelombang angin berputar setengah lingkaran  
menggebrak hebat dan.... 

Blaaaarrr!!! , 

Letupan keras yang membuat tanah berhambu- 
ran ke udara terjadi. 

Langlang Benua segera berbisik, "Aku yakin kau 
mampu menghadapi urusan ini! Biar aku main kucing- 
I kucingan lebih dulu dengan Resi Hitam! Anak muda, 
bila kau sempat, sebaiknya kau juga datang ke Bukit 
Tidar!" 

Tanpa menunggu sahutan Raja Naga, Langlang 
Benua sudah berseru pada Resi Hitam, "Lembah Ling- 
kar terlalu kecil bagi kita untuk bermain-main! Kita ca- 
ri tempat yang lebih luas!" 

"Terkutuk! Ke neraka pun akan kulayani!!" maki 
Resi Hitam seraya mengejar Langlang Benua yang su- 
dah menjauh. 

Sementara itu Datuk Bunaeng mendesis, "Tepat 
seperti rencanaku. Langlang Benua telah menyingkir 
dan akan mampus di tangan Resi Hitam. Sekarang...." 

Memutus kata batinnya sendiri, kakek beralis 
menyatu itu merandek dingin, "Kau menanyakan Dewi 
Berlian! Apakah untuk melihat bukit kembarnya yang 
luar biasa, atau ingin menjilati seluruh tubuhnya?!" 

"Datuk Bunaeng... kita sama-sama orang yang te- 
lah difitnah dan diadu domba oleh Dewi Berlian! Di- 
alah yang seharusnya kita cari!" 

"Ucapan kosong kau perdengarkan kepadaku!" 
Raja Naga tersen3rum. "Baiklah! Sekarang jawab 
pertanyaan, apakah kau punya hubungan dengan Ra- 
tu Sejuta Setan?!" 

"Terkutuk! Siapa yang mengatakan aku punya 
hubungan dengan nenek peot itu, hah?!" 

"Hemmm... tepat dugaanku. Berarti Dewi Berlian- 
lah yang punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan. 
Habat! Sungguh hebat akal liciknya!" kata Raja Naga 
dalam hati, lalu berseru, "Dewi Berlian yang mengata- 
kannya kepadaku! Dikatakannya pula kalau kau hen- 
dak membunuhku untuk membalas kematian Ratu Se- 
juta Setan!" 

"Terkutuk! Kau terlalu mengada-ngada!" 

"Itulah yang harus dibuktikan kebenarannya! 

Alasan itulah yang membuatku merasa yakin, kalau 
Dewi Berlian berada di balik urusan ini! Datuk Bu- 
naeng, sebelum beberapa hari lalu aku tiba di Lembah 
Lingkar, aku juga bertemu dengannya! Dari mulutnya 
aku tahu kalau kau menungguku di sini! Dikatakan- 
I nya kalau kau memfitnahku! Dia juga ingin membu- 
nuhmu! Tetapi yang pasti, dia ingin membunuhku 
dengan mempergunakan tanganmu! Terbukti, kalau 
ternyata dia pun datang ke tempat ini beberapa hari la- 
lu! Padahal saat itu dikatakannya, kalau dia hendak 
menyelamatkan Pangku Jaladara yang ingin kau bu- 
nuh!" 

Kata-kata pemuda bersorot mata angker itu 
membuat kakek berambut dikelabang itu terdiam be- 
berapa saat. Jubah hitamnya bergerai sesaat diper- 
mainkan angin malam. Mendadak dari hidungnya yang 
bengkok terdengar dengusan. 

"Apa sebenarnya saat ini kau yang sedang men- 
gadu domba antara aku dengan Dewi Berlian, hah?!" 

"Aku tak bisa membuktikan kebenaran ucapanku 
sebelum dia muncul!" 

Di pihak lain Jala Sringgil berbisik, "Kala Sringgil, 
apakah ini kebenaran yang dikatakan Musang Ber- 
janggut? Terus terang, aku mulai goyah dengan pendi- 
rianku yang menuduh pemuda yang matanya bersorot 
mengerikan itu sekarang." 

Kala Sringgil mengangguk. "Aku Juga demikian. ' 
Ketenangannya saat berkata-kata tadi sungguh luar 
biasa. Menandakan kalau dia tidak sedang berbohong 
dan memfitnah." 

"Sebaiknya, kita tunggu kebenarannya. Jangan 
sampai kita salah bertindak." 

Di depan terdengar suara Datuk Bunaeng, "Apa 
yang kau katakan memang harus dibuktikan! Selama 
ini dendamku hanya pada Resi Kala Jinjit yang mam- 
pus entah dibunuh siapa! Tetapi kau telah berani 
memfitnahku! Itu artinya, kau telah masuk dalam daf- 
tar kematian yang kumiliki!" 

Pemuda dari Lembah Naga itu tetap tenang men- 
dengar bentakan Datuk Bunaeng. 

"Siapa memfitnah siapa sekarang ini kurang je- 
las! Ada baiknya kita memang menunggu kedatangan 
Dewi Berlian! Atau... kau sudah menduga kalau dia ti- 
dak datang?!" 

Sebelum Datuk Bunaeng buka mulut, mendadak 
saja satu sosok bayangan hijau melompat dan hinggap 
di samping kiri Datuk Bunaeng. 

"Aku telah datang, Pemuda celaka! Sungguh se- 
suatu yang sangat luar biasa, kalau kau ternyata be- 
rani memfitnahku!!" 

Melihat kehadiran perempuan berpa3rudara besar 
itu. Raja Naga sesaat menahan napas. Sorot matanya 
lebih angker dari biasanya. Wajahnya dingin. Mulutnya 
terkatup rapat. Sisik-sisik coklat pada kedua tangan- 
nya sebatas siku, semakin terang. 

"Dewi Berlian kelicikanmu hampir saja membua- 
tku terjemurus ke dalam lingkaran sesat. Tetapi 
sayangnya, aku berhasil memikirkan sesuatu yang 
mengejutkanmu!" 

"Aku telah mendengar apa yang kau katakan pa- 
da Datuk Bunaeng! Dan tak kusangka kalau kau se- 
demikian piciknya! Kau telah memfitnah Datuk Bu- 
naeng, lantas sekarang memfitnahku pula! Tapi... ada 
hal yang sangat memberatkanmu! Mengapa kau mem- 
bunuh Pangku Jaladara?!" 

Bentakan terakhir Dewi Berlian membuat kepala 
Raja Naga menegak. Sementara Datuk Bunaeng mem- 
perhatikan perempuan itu dengan terkejut. Di pihak 
lain. Jala Sringgil dan Kala Sringgil berpandangan. Ke- 
dua orang berkepala gundul itu tak ada yang buka 
mulut. 

Dewi Berlian yang kembali menjalankan rencana 
barunya membentak keras, "Kau benar-benar keji. Ra- 
ja Naga! Kau telah menggagalkan Pangku Jaladara se- 
bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Kemudian 
memfitnah Datuk Bunaeng, lantas memfitnahku pula! 
Dan sekarang kau membunuh Pangku Jaladara!!" 

Raja Naga yang sadar siapa perempuan di hada- 
pannya ini tak segera menjawab. Dia berusaha tenang 
dan menindih sedikit demi sedikit amarah yang bergo- 
lak di dadanya. 

"Apa-apaan perempuan itu menuduhku telah 
membunuh Pangku Jaladara? Siapa yang membunuh- 
nya? Herannya, berita itu belum terdengar, lantas dia 
sudah menuduhku membunuh Pangku Jaladara. Jan- 
gan-jangan... dia sendiri yang melakukannya?" 

Selagi Raja Naga membatin demikian. Dewi Ber- 
lian berseru lagi, "Kau telah menggagalkan seluruh 
rencana yang telah kususun bersama Datuk Bunaeng! 

Kau telah menghinaku! Dan itu berarti menghina Da- 
tuk Bunaeng pula! Kau memang harus mampus!!" 

Belum habis seruannya, perempuan bermahkota 
indah itu sudah menerjang Raja Naga dengan ganas. 
Dewi Berlian berharap dengan tindakannya itu dapat 
memancing amarah Datuk Bunaeng pada Raja Naga. 

Raja Naga sendiri mau tak mau harus mengha- 
dapi setiap serangan yang dilancarkan Dewi Berlian. 

"Bagus! Kau berani melawan itu artinya kau tidak 
bertanggung jawab!!" bentak Dewi Berlian keras. Dan 
menyerang lagi, lebih ganas. 

Namun mendadak saja terdengar bentakan keras, 
"Tahan serangan mu. Dewi Berlian!!" 

Seketika Dewi Berlian melompat ke belakang, se- 
telah berputar tiga kali di udara dia hinggap di atas ta- 
nah. Tanpa mengalihkan pandangan sengitnya pada 
Raja Naga, dia berkata, "Mengapa kau menahanku, 
Datuk? Pemuda celaka itu telah menggagalkan seluruh 
rencana kita! Dia telah memfitnahmu, juga memfit- 
nahku! Bahkan dia membunuh Pangku Jaladara!" 

"Kau melihatnya membunuh Pangku Jaladara?!" 
desis Datuk Bunaeng dingin! 

"Ya! Kulihat sendiri!" 

"Kau selalu bersama Pangku Jaladara, mengapa 
kau tidak menyelamatkannya?!" 

"Ilmunya sangat tinggi! Aku gagal melakukan- 
nya!" 

"Mengapa kau meninggalkan tempat ini beberapa 
hari lalu?!" 

Dewi Berlian kali ini menoleh. Dia terkejut meli- 
hat tatapan sengit Datuk Bunaeng. Untuk sesaat pe- 
rempuan ini sedikit waswas Juga. 

Lalu sambil mendengus dia berkata, "Biar bagai- 
manapun juga, rencana kita adalah menjadikan Pang- 
ku Jaladara sebagai boneka! Aku tidak mau Dewa Ju- 
bah Biru ataupun Dewi Pengunyah Sirih menyela- 
matkannya!" 

"Kau meninggalkan tempat ini tanpa mengatakan 
apa pun padaku! Kau seperti mengambil satu kesem- 
patan selagi aku lengah! Mengapa?!" 

"Astaga! Mengapa kau berpikir seperti itu? Kita 
sudah sepakat untuk menjalankan rencana yang ada!" 
Datuk Bunaeng tak segera berkata. Tatapannya 
tajam pada Dewi Berlian. Yang ditatap mulai merasa 
tidak enak sekarang. Tiba-tiba terdengar desisan din- 
gin Datuk Bunaeng, 

"Mengapa kau mengatakan pada pemuda itu, ka- 
lau aku punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan?" 

Kali ini Dewi Berlian melengak. Sebelum bibir in- 
dahnya bergerak Datuk Bunaeng sudah melanjutkan 
desisannya, "Mengapa pula kau mengatakan kalau aku 
hendak membunuhnya karena dia telah membunuh 
Ratu Sejuta Setan?! Jawab, Dewi sebelum kemarahan- 
ku beralih padamu!" 

Dewi Berlian yang sebelumnya merasa pasti ka- 
lau rencananya untuk membunuh Raja Naga akan 
berhasil, kali ini mulai sedikit tegang. Perlahan-lahan 
diputar tubuhnya hingga berhadapan dengan Datuk 
Bunaeng yang sedang memandangnya penuh amarah. 

Lalu dengan sikap tenang dia berkata, "Datuk! 
Aku sama sekali tak mengerti maksudmu! Mengapa 
kau tiba-tiba berkata demikian? Siapa yang mengata- 
kannya?" 

"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi, 
hah?! Pemuda itu yang mengatakannya kepadaku!" 

"Astaga! Sudah tentu itu adalah fitnahan yang di- 
lancarkan pemuda keparat itu! Datuk... aku tak ingin 
banyak ucap! Siapa yang kau percaya sekarang, hah?!" 

"Selain diriku sendiri, tak seorang pun yang bisa 
kupercayai di muka bumi ini!" 

Sepasang mata Dewi Berlian men3dpit. Dia mulai 
menangkap tanda bahaya. 

"Dengan kata lain, kau lebih mempercayainya da- 
ri pada kata-kataku?" 

"Aku tidak mempercayai siapa pun! Tetapi aku 
tahu, kalau kau punya hubungan erat dengan Ratu 
Sejuta Setan! Dewi! Tentunya, kau bermaksud untuk 
mengadu domba antara aku dengan pemuda itu! Ten- 
tunya pula kau bermaksud untuk membalas kematian 
Ratu Sejuta Setan yang tewas di tangannya! Dan kau 
mencoba memanfaatkan tanganku untuk membunuh 

Raja Naga!" suara Datuk Bunaeng mengeras. "Berdus- 
talah agar aku bisa membunuhmu sekarang juga!" 

Dewi Berlian terdiam. Sorot matanya tajam me- 
natap pada Datuk Bunaeng. Suasana hening. Angin 
malam berhembus bertambah dingin. 

Tiba-tiba terdengar desisan Dewi Berlian "Semu- 
anya sudah terbuka, tak ada yang perlu ditutupi lagi! 

Yah! Akulah yang merencanakan semua ini bersama 
Pangku Jaladara! Pemuda tolol yang bisanya cuma 
mengumbar nafsu itu menerima tawaranku untuk 
membunuh Resi Kala Jinjit! Dengan memanfaatkan 
keinginanmu untuk membunuh Resi Kala Jinjit, se- 
muanya ku atur sedemikian rupa! Kuundang Raja Na- 
ga pada penobatan Pangku Jaladara sebagai Ketua 
Perguruan Laba-laba Perak! Pangku Jaladara sendiri 
yang mencuri kalung Laba-laba Perak lalu menimpa- 
kan kesalahan pada Raja Naga! Sementara aku sendiri, 
memanfaatkan semuanya untuk mengadu domba an- 
tara kau dengan Raja Naga!" 

Kepala Dewi Berlian tiba-tiba menoleh pada Raja 
Naga. Tatapannya sengit. 

"Otakmu lumayan cerdik, Anak muda! Kau telah 
membunuh saudaraku si Ratu Sejuta Setan, dan kau 
harus mampus secara mengerikan! Membunuhmu se- 
cara langsung bukanlah sesuatu yang sulit! Tetapi me- 
lihatmu disiksa dan diburu oleh para tokoh rimba per- 
silatan adalah sesuatu yang menyenangkan!!" 

Di tempatnya Raja Naga mendesis dalam hati, 

"Kebenaran telah terbuka...." 

Sementara itu. Kala Sringgil dan Jala Sringgil 
berpandangan. Mereka sama sekali tak mengerti peru- 
bahan yang telah terjadi. Namun paling tidak, kini me- 
reka tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. 

"Jala Sringgil... kupikir kita sudah tidak punya 
urusan lagi. Sekarang ini adalah urusan Raja Naga 
dengan manusia-manusia itu...." 

"Kala Sringgil, Dewi Berlian bersama Pangku Ja- 
ladara telah membunuh Resi Kala Jinjit. Mengapa kita 
harus tinggal diam?" 

"Kita lupakan soal ini. Aku khawatir kita akan sa- 
lah bertindak," sahut Kala Sringgil, lalu segera memba- 
likkan tubuhnya dan berlalu. 

Jala Sringgil memperhatikan ketiga orang itu ter- 
lebih dulu. Dianggukkan kepalanya pada Raja Naga 
begitu pandangannya berbenturan dengan pandangan 
pemuda itu. Setelah Raja Naga mengangguk. Jala 
Sringgil segera menyusul saudaranya. 

Di pihak lain. Datuk Bunaeng menggeram seting- 
gi langit. 

"Perempuan keparat! Hampir saja aku masuk da- 
lam pusaran kebusukanmu! Dan aku yakin, kaulah 
yang telah membunuh Pangku Jaladara!" 

Sebelum Dewi Berlian menyahut, tiba-tiba ter- 
dengar suara, "Ya! Dialah yang telah membunuh Pang- 
ku Jaladara!" 

Tiga pasang mata segera menoleh ke kanan. Raja  
Naga melihat Lesmana dan Ratih muncul. Di hadapan 
mereka, satu sosok tubuh membujur kaku dalam kea- 
daan mengambang. Dan di atas tubuh yang telah men- 
jadi mayat itu terdapat sebuah bunga kemuning warna 
biru.  

Begitu bunga itu diambil Lesmana, mayat Pangku 
Jaladara ambruk di atas tanah. 

Datuk Bunaeng mengertakkan rahangnya keras- 
keras menyadari kalau selama ini dia dibodohi Dewi 
Berlian. 

"Perempuan terkutuk! Kau harus membayar se- 
mua ini dengan nyawamu!" 

Kejap lain, kakek berjubah hitam itu telah me- 
nyerang Dewi Berlian dengan ganas. Yang diserang 
pun segera membalas. 

Raja Naga menarik napas pendek. 

"Ah, keadaan ini memang cukup rumit. Tetapi be- 
runtunglah karena masih dapat dikendalikan" 

Lalu dihampirinya Lesmana yang menyambutnya 
sambil tersenyum, sementara Ratih menarik napas , 
panjang mengetahui siapa pangkal dari urusan sesat 
ini. 

Raja Naga berkata, "Kalian melihat siapa yang 
membunuh Pangku Jaladara?" 

Lesmana menggeleng. Lalu menceritakan apa 
yang terjadi. 

"Begitu Dewi Berlian menyebut-nyebut Pangku 
Jaladara, kami yakin kalau dialah yang telah membu- 
nuhnya." ' 

Raja Naga tersenyum. 

"Sudahlah, kita tinggalkan tempat ini seka- 
rang...," katanya lalu mendahului. Diraba pinggang se- 
belah kanannya, di mana kalung Laba-laba Perak be- 
rada di sana. 

Lesmana segera mengajak Ratih untuk mening- 
galkan Lembah Lingkar. 

Sementara itu, pertarungan sengit Datuk Bu- 
naeng dan Dewi Berlian semakin seru, hingga akhirnya 
kedua orang itu saling bunuh.... 


SELESAI 

Segera menyusul: 
BUNGA KEMUNING BIRU

Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa