Raja Naga 16 - Istana Gerbang merah


SATU 

HANYA orang tolol yang mau menyembu- 
nyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam 
perempuan berusia sekitar enam puluh tahun be-
gitu sebuah keranjang eukup besar muneul den- 
gan cara melompat-lompat. Diperhatikannya ke- 
ranjang yang telah berhenti berjarak sepuluh 
langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata 
berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan . 
keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian 
hijau ini berseru, "Buntet Kalamangsang! Se- 
umur hidupmu kau selalu berada di dalam keran- 
jang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah 
kau ingin sampai mampus berada di sana?! 
Atau... kau enggan meninggalkan keranjang bu- 
suk itu karena tak mau orang lain melihat wajah
burukmu?!" 

Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu 
lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul  
suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar 
Sengkuni! Kau mengundangku ke sini, apa hanya 
untuk mendengar ucapan busukmu itu?!" 

Si perempuan menggeram. Parasnya yang 
mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput 
itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecanti- 
kannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai 
memutih, bergerai dipermainkan angin, bertam- 
bah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan 
keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha un- 
tuk melihat bagaimana caranya Buntet Kala- 
mangsang bisa mendekam berpuluh tahun la- 
manya di sana. 

Saat ini setengah perjalanan malam telah 
melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi rang- 
gasan semak dan pepohonan. Bukan jalan seta- 
pak, melainkan sebuah tempat yang cukup la- 
pang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hi- 
tam sehingga rembulan dengan leluasa meman- 
carkan sinar teduhnya. 

"Manusia satu ini memang aneh, tetapi 
memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang dengan- 
ku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah men- 
gerti bagaimana dia bisa mendekam di sana terus 
menerus! Mungkin kalau mau makan sama 
buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi 
dia juga buang air di tempat itu! Sungguh menji- 
jikkan!" 

"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas 
kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku 
ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan se- 
suatu yang tak menyenangkan karena telah ba- 
nyak membuang waktuku!" 

"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu 
memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat dapat 
mengalahkanku?!" 

"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah 
hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan na- 
pas lagi!" 

Kembali si nenek menggeram. Sorot ma- 
tanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak 
itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru, 
"Kau pernah mendengar sebuah tempat 
bernama Istana Gerbang Merah?!"  

"Keeuali orang tuli, tentunya tak akan per- p 
nah mendengar Istana Gerbang Merahi" sahut 
orang di dalam keranjang yang tak kelihatan so- 
soknya. 

"Bagusi Kuberikan kau emas permata yang 
banyak jumlahnya bila kau mau membantuku 
menghaneurkan Istana Gerbang Merah!" seru Se- 
kar Sengkuni lagi. Dia tetap berusaha untuk me- 
lihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh 
tahun dia hanya bisa bereakap-eakap dengan ke-  
ranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang 
yang mendekam di dalamnya. 

"Huh! Tawaran yang eukup menggiurkan! 
Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin 
menghaneurkan Istana Gerbang Merah, atau 
menghaneurkan Resi Tala Kangkang!" 

"Jangan banyak mulut!" ! 

"Bila saja kau masih muda, tubuhmu ma- 
sih montok seperti aku pertama kali mengenalmu 
dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imba- 
lan!" 

Walaupun kedua gendang telinganya me- 
merah mendengar ueapan orang dalam keran- 
jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di 
siang bolong. 

"Sampai hari ini aku belum pernah melihat 
tampangmu! Apakah memang tampan seperti seo- 
rang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka! 

Bila kau bertampang seorang pangeran, melaya- 
nimu siang malam bukanlah suatu masalah! Te- 
tapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih 
baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...." 

Wuuuttt!! 

I Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si 
nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin ter- 
dengar dan mendahului lesatan keranjang itu. 

Si nenek memutus kikikannya seraya do- 
rong kedua tangannya ke depan. 

Plak! Plak!! 

Keranjang itu terpental kembali ke bela- 
kang setelah membentur kedua telapak tangan si 
nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua 
kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan sua- 
ra cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni ha- 
rus surut tiga langkah. 

"Keparat busuk!" geramnya sengit. 

"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan! 
Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana 
Gerbang Merah sendiri!" 

"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku 
sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah, 
menghancurkan Resi Tala Kangkang yang ber- 
diam di sana! Tetapi...." 

"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki 
yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau 
cintai!" 

"Setan!!" bentak Sekar Sengkuni seraya 
mendorong tangan kanan kirinya. 

Menggebrak dua gelombang angin yang 
menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah 
orang dalam keranjang. Belum mengenai sasa- 
rannya, keranjang itu telah melambung ke atas, 
Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh 
bumi. 

Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu 
diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan 
aku lagi pada masa laluku! Manusia itu harus 
mampus kubunuh!!" 

"Kau tak mampu melakukannya karena 
kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru 
orang dalam keranjang yang terus melambung- 
lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar 
aku yang membunuh Resi Tala Kangkang!" 

Mendadak saja keranjang itu meluncur de- 
ras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang me- 
lompat sambil mendorong kedua tangannya. 

Buk! Buk! 

Keranjang itu terpental lebih ke atas se- 
mentara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Ke- 
dua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas 
tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si 
nenek tak mampu mengendalikan keseimbangan- 
nya. Dia ambruk di atas tanah. 

Berjarak dua belas langkah dari tempat- 
nya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar 
suara orang muntah di dalamnya. 

"Orang mengenal kita sebagai sahabat, te- 
tapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar 
Sengkuni yang masih berlutut di atas tanah. Dita- 
rik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut 
seiring dikerahkan tenaga dalamnya. 

Sementara si nenek berpakaian hijau yang 
pada hidungnya terdapat sebuah anting ini peria- 
han-lahan berdiri, orang dalam keranjang berse- 
ru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan! 

Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca- 
ra bersahabat yang kita lakukan!" 

Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana 
dengan usulku tadi? Kita sama-sama menghan- 
curkan istana Gerbang Merahi" 

"Kau rupanya masih mendendam pada Resi 
Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun su- 
dah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh pa- 
danya!" 

Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatan- 
nya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la- 
lu, di mana dulu dia bersahabat erat dengan Tala 
Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai 
seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ter- 
nyata membuahkan benih-benih cinta di hati Se- 
kar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cin- 
tanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan. 

Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang 
gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo. 

Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo sela- 
lu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Seng- 
kuni harus menahan pedih dan kecewanya bila 
mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo berme- 
sraan. Sekali waktu dia berusaha untuk mening- 
galkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cin- 
tanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa di- 
lakukannya, sehingga dibiarkan dirinya ter- 
pendam dalam lubang kepedihan. 

Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan be- 
nih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak 
terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala 
Kangkang sedang mencari makanan di sebuah 
hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri 
lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo 
yang dianggapnya sebagai penghalang dari cinta- 
nya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila 
Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepe- 
ninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo dis- 
erang oleh gerombolan. 

Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak 
berilmu, walaupun dia harus menderita kekala- 
han dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni 
hendak menurunkan tangan kematiannya. Tala 
Kangkang muncul yang segera menghalanginya. 

Perasaan kacau-balau berpadu di hati Se- 
kar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah 
berpilin geram. Terutama ketika mendengar ben- 
takan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya 
Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya me- 
lontarkan isi hatinya. 

Tala Kangkang yang marah melihat gadis 
yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah 
telah berubah menjadi seseorang yang mengang- 
gap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan 
keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriak- 
teriak agar pertarungan dihentikan. 

Tetapi keduanya telah dibuncah amarah, 
terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa. 

Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang 
dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemu- 
dian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya, 
"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar 
Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan 
pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya, 
hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di
mana Tala Kangkang telah membangun dan men- 
duduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua 
tangan mengepal. Sepasang rahangnya mengeras. 

Kedua pipinya yang telah peot menggembung. 

"Aku harus membunuhnya!!" 

Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga 
sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lo- 
lo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kem- 
bali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak 
pernah menikah dengan Tala Kangkang!" 

"Peduli setan dengan semua itu!" 

"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro Lolo!" 

"Berulang kali aku berusaha untuk mem- 
bunuhnya, tetapi berulang kali pula selalu diga- 
galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keran- 
jang, tak perlu kita berbieara lebar akan semua 
ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Ger- 
bang Merah!" 

"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau 
janjikan?!" 

Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang
sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala 
Kangkang. 

"Sudah tentu aku tak akan bertindak bo- 
doh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau te- 
lah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk 
membuktikan kebenaran ueapanku...." 

Memutus kata-katanya. Sekar Sengkuni 
menghembuskan napas keras ke semak belukar 

di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila- 
kukan secara menyentak itu berubah menjadi 
gemuruh angin dan.... 

Blaaarrr!! 

Semak belukar itu tercabut paksa dan 
memburai. Terlihat tumpukan emas batangan 
yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan. 

Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana. 

"Kau tak akan bisa mengambilnya karena 
emas-emas yang kujarah dari seorang juragan 
kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila 
kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya se- 
karang!" 

"Terkutuk!" seru orang dalam keranjang se- 
raya melayang kembali ke tempat semula. 
Sekar Sengkuni tertawa keras. 

"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Me- 
rah, masih ada seorang lagi yang hendak kubu- 
nuh!" 

Orang dalam keranjang menyahut geram, 

"Siapa?!" 

"Raja Naga!" 

Sesaat tak terdengar suara dari keranjang 
itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang 
berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat ba- 
gus! Pemuda dari Lembah Naga itu memiliki pen- 
dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti 
tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orang- 
orang golongan kita!" 

Sekar Sengkuni tersen 3 rum licik, 

"Aku ingin membunuhnya bukan karena 
dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...." 
"Mengapa kau memutus kata-katamu. 
hah?!" 

Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara. 

Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau 
tidak pernah mendengar kalau pemuda itu memi- 
liki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat? 
Pemuda yang julukannya melesat naik setelah 
berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu, 
akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun 
Lontar telah kudapatkan!" 

"Bagus!" 

Sekar Sengkuni tak bersuara. Dia terse- 
nyum dan berkata dalam hati, "Kau memang 
dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendali- 
kan hanya dengan emas batangan yang sebenar- 
nya hanyalah bayangan yang kupergunakan den- 
gan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu 
emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan 
pernah kuberikan padamu...." 

Keranjang di hadapannya bergetar sedikit, 
menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah 
pemuda keparat yang selalu mengacaukan sepak 
terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau 
inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh 
pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun 
juga... aku punya hubungan dengan Hantu Mena- 
ra Berkabut!" 

"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil 
tertawa. "Kau punya hubungan dengan Hantu 
Menara Berkabut? Keranjang busuk itu telah 
mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah den- 
gan bicara seperti itu kau menganggap orang- 
orang akan jeri padamu?!" 

"Setan terkutuk!" geram orang dalam ke- 
ranjang. "Pemuda bersisik eoklat itu memang ha- 
rus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya, 
dia seperti mencium keonaran yang akan terjadi!" 

Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak 
sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala 
Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Ger- 
bang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena... 
dia tentunya akan mencari korban perempuan- 
perempuan lain!" 

"Seperti dirimu?" 

"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya 
mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak lontarkan se- 
rangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau An- 
dalas, tentunya lelaki celaka itu akan mencari 
korban baru!" 

Orang dalam keranjang tertawa. 

"Apakah karena itu kau hendak membu- 
nuhnya atau itu cuma sebuah...." 

"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah 
berpikir...." 

"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala 
Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang 
memutus seruan si nenek. 

Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan 
membayang di wajah keriputnya. 

"Kau akan melihat apa yang akan kulaku- 
kan terhadapnya!!" 

Orang dalam keranjang itu membatin, "Pe- 
rempuan keparat ini memang berotak licik! Dia 
masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi 
Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil mem- 
bunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segan- 
segan menyeberang ke Pulau Andalas untuk 
mencari Woro Lolo!" . '* 

Sekar Sengkuni berkata seraya menghem- 
buskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat 
sekarang!" 

Belum habis terdengar ucapannya, si ne- 
nek beranting di hidungnya sudah melesat ke 
arah barat. 

Orang dalam keranjang menggeram dalam 
hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi ke- 
lak... kau akan mendapatkan balasan dari perbu- 
atanmu itu!" 

Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhen- 
ti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana 
emas batangan yang dilihatnya berada di sana. 

Menyusul makiannya terdengar keras, "Se- 
tan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak ! 
dilumuri racun, sudah tentu kuambil sekarang 
dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang 
diinginkannya! Terkutuk!" 

Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet 
Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa 
wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah 
sebuah keranjang yang berlompat-lompat. 

Lima kejapan mata dari perginya Buntet 
Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emas- 
emas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba 
menguap. Bersama angin yang berhembus, emas- 
emas batangan itu lenyap sama sekali. 

***

DUA 

HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Bu- 
tiran embun belum sepenuhnya mengering kare- 
na matahari masih menampakkan bias-biasnya 
saja. Udara masih berhembus dingin, masih 
membuat orang lebih suka mendekam di balik se- 
limutnya atau lebih erat mendekap pasangan ti- 
durnya. 

Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi. 

Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah 
besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah 
itu terdengar isakan seorang perempuan yang 
berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditu- 
tupi sehelai kain putih. 

Orang-orang yang berkumpul di depan ru- 
mah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua 
lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berse- 
ru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk 
melihat keadaan di dalam rumah. 

"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang 
menjaga di depan pintu halaman. "Bukan kami 
hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam 
telah sesak dengan orang." 

"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se- 
ru salah seorang dari yang berkerumun. 

"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah 
membunuhnya?!" 

Penjaga yang tadi berkata melirik teman- 
nya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat 
temannya mengangguk dia berkata, "Semalam, 
seseorang berpakaian hijau telah menyelinap ma- 
suk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang 
penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo. 

Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur 
di kamar Nimas Ken Fitria." 

Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah 
di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka 
tak pernah menerima keadaan itu karena selama 
ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan 
keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi 
buka mulut memerintahkan beberapa orang un- 
tuk segera melaeak si pembunuh. 

Di antara salah seorang yang berkerumun 
ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas 
jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas 
tahun ini hanya terdiam, tetapi menguping apa 
yang telah terjadi. 

"Seseorang berpakaian hijau? Siapa dia?' 
tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan. 

Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut 
indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali 
si pembunuh?" 

"Menurut Toha yang masih bisa disela- 
matkan, pembunuh itu seorang perempuan tua 
yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut 
si penjaga setelah memandangi gadis berpakaian 
merah muda itu beberapa saat. 

"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada 
di mana?" 

Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua 
penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis 
seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga 
yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami 
sedang berkeliling di luar sekitar rumah ini. Dan 
ketika kami kembali, keadaan sudah kaeau- 
balau. Juragan Purna Setyo telah tewas." 

"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si 
gadis seperti tidak puas. 

Lagi kedua penjaga itu tak segera menja- 
wab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak 
jengkel karena didesak oleh pertanyaan- 
pertanyaan si gadis. 

Tindakan gadis berpakaian merah muda 
itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di 
antara kerumunan itu di sebelah kanan. Dan... 

Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, men- 
gerikan dan mampu membuat orang putus nyali. 

Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi 
berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan 
yang diajukan gadis itu, nampaknya dia meneuri- 
gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si 
pembunuh?" 

Saat ini salah seorang penjaga sedang 
menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang me- 
lihat ke arah mana si pembunuh pergi. Setelah 
menjarah emas batangan simpanan Juragan Pur- 
na Setyo, dia lenyap begitu saja." 

Si gadis tampaknya tidak puas dengan ja- 
waban itu. Tetapi dia urung melontarkan perta- 
nyaannya lagi, karena orang-orang yang berke- 
rumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si 
gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu, 
yang mau tak mau membiarkan para penduduk 
yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo. 

Gadis berpakaian merah muda itu segera 
menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang 
mengagumkan. 

Pemuda bermata angker yang sejak tadi 
memperhatikannya, segera menyusul ke mana 
perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sam- 
pai memaneing perhatian si gadis. 

Di sebuah tempat yang dipenuhi pepoho- 
nan dan agak jauh dari desa itu, si gadis beram- 
but indah menghentikan larinya. Tak ada napas 
terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap 
bergerak, seirama napasnya yang tenang. 

"Perempuan tua berpakaian hijau.... Me- 
makai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah 
memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan 
seraya memperhatikan sekelilingnya. 

Saat ini matahari mulai menampakkan ca- 
hayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa 
lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hi- 
dung mancungnya. 

"Guru memerintahkanku untuk melacak 
jejak perempuan tua yang berciri seperti si pem- 
bunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku 
mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan 
ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada, 

Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Ger- 
bang Merah. Ah... apakah...." 

Seraya memutus desisannya, si gadis me- 
malingkan kepalanya ke samping kanan. Menyu- 
sul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada 
manusia iseng yang mencuri dengar seperti mal- 
ing kesiangan!!" 

Gelombang angin menggebrak setelah tan- 
gan kanannya dikibaskan! . 

Blaaarrr! 

Sebuah pohon yang ditujunya terhantam 
hingga bergetar. Dedaunannya kontan bergugu- 
ran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di 
bagian tengah. Jatuh berdebam menindih semak 
belukar di belakangnya. 

Secepat kilat si gadis memburu ke sana. 
Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru 
satu suara terdengar di belakangnya, 

"Ketelengasan yang kau lakukan dapat 
mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tinda- 
kan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba- 
rusan?!" 

Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dili- 
hatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu 
yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot
telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tem- 
patnya. Kemarahan segera naik ke ubun-ubun si 
gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan ke- 
ras, tetapi urung dilakukannya. 

"Astaga!" desisnya dengan mata melebar. 
"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengeri- 
kan!" Tanpa disadarinya dadanya sedikit berde- 
bar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat ge- 
rakannya menghindari seranganku. Hemm... ten- 

' tunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku 
harus bersiap bila dia bermaksud buruk!" 

Pemuda berkuncir kuda itu masih terse- 
nyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit 
gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik cok- 
lat sebatas siku memenuhi tangan kanannya. Si- 
sik yang sama pun terdapat di tangan kirinya. 

"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti 
maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa 
penasaranlah yang membuatku bertindak seperti 
ini!" 

Gadis berpakaian merah muda itu tak bu- 
ka suara. Masih dipandanginya wajah tampan di 
hadapannya. 

"Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan 
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik cok- 
lat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan 
tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?" 
gumamnya dalam hati. 

Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga 
memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis 
berseru, "Aku tak suka mencari silang sengketa! 

Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana, 
sebaiknya tinggalkan tempat ini!" 

Pemuda gagah itu masih tersenyum. 

"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran 
itulah yang membuatku mengikutimu...." 

"Mengikutiku? Brengsek! Tentunya dia te- 
lah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan 
Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu ke- 
hadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Ma- 
sih mengangkat dagunya dan kali ini kedua tan- 
gannya mengepal dia berseru, 

"Aku bukanlah orang yang tepat untuk di- 
jadikan sebagai tempat penumpahan rasa pena- 
saran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka  
membiarkan orang lain penasaran! Apa yang me- 
nyebabkanmu penasaran seperti itu?!" 

"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontar- 
kan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!" 
sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan. 
yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui 
sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal 
siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!" 

Si gadis tak menjawab. Matanya meman- 
dang tak berkedip pada si pemuda, yang kemu- 
dian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu 
menatap lebih lama. 

"Biar kau tidak penasaran kujawab kata- 
katamu! Ya, dari ciri-eiri yang dikatakan kedua 
penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembu- 
nuh Juragan Purna Setyo!" 

"Apakah kau keberatan untuk mengata- 
kannya padaku?" 

"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin 
tahu urusan orang!" ' 

"Karena masih ada rasa penasaran di hati- 
ku!" 

"Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram 
si gadis dalam hati. Kemudian berkata, "Aku 
mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, te- 
tapi belum pasti benar apa yang kukatakan! Dia 
seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!" 

"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau 
mengenal siapa Sekar Sengkuni!" 

Si gadis menggeleng. Rambut indahnya 
bergerak manja. 

"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihat- 
nya pun tidak pernah!" sahutnya. 

"Kalau begitu... kau tentunya sedeng men- 
cari perempuan tua Itu, bukan?" 

"Kau terlalu laneang bertanya!" 

"Penasaranlah yang...." 

"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong 
tangan kanan kirinya secara bersamaan, lalu me- 
nyentak ke atas. Dua gelombang angin yang ke- 
luar dari dorongan kedua tangannya menderu ke- 
ras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba- 
tiba menyentak ke atas! 

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 
kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan ma- 
tanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang 
angin deras yang berpilin menjadi satu tiba-tiba 
meluruk turun dengan suara berdenging-denging. 

"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak 
 dia mendehem cukup keras. 

Blaaaammm!! 

Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di 
tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang 
tak nampak. Lalu menyebar dan membuat rang- 
gasan semak hangus! 

Sampai surut satu langkah si gadis melihat 
apa yang dilakukan si pemuda. 

"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desis- 
nya tanpa dapat menutupi kekagumannya. Tetapi 
di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah 
mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan... 
kau adalah orang Sekar Sengkuni!" 

Si pemuda menggeleng. 

"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak per- 
nah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sung- 
guh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia ha- 
rus mendapat hukuman atas perbuatan yang di- 
lakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan 
sekali itu saja membunuh dan menjarah harta 
orang!" 

"Sombong!" 

Si pemuda hanya tersen3rum. Yang dikata- 

kannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan si- 
kap si gadis tentang perempuan tua bernama Se- 
kar Sengkuni. 

"Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu 
muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku 
tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian. 

Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan 
tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam 
hati. 

Lalu berkata, "Namaku Boma Paksi...." 

"Siapa sudi mengetahui namamu, hah?!" 
seru si gadis. 

"Berarti kau keberatan untuk menye- 
butkan namamu, bukan?" 

"Aku bukan hanya keberatan untuk mela- 
kukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa 
lagi denganmu!" 

"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar, 
Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin ku- 
tanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja 
Naga sambil tersenyum. 

Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa 
penasaranmu lagi?!" 

Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa 
mendengar kata-kata si gadis. 

"Mungkin, mungkin karena rasa penasa- 
ranku! Mengapa kau meneari si pembunuh itu?" 

"Itu urusanku!" 

"Betul, betul sekali! Itu memang urusan- 
mu!" 

"Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru 
si gadis sambil berbalik dan melangkah bergegas. 
Raja Naga tersenyum. 

"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa den- 
gan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau 
menearinya?" 

"Katakan padanya, kalau aku. Galuh Tantri 
datang menearinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba 
berhenti melangkah. Kepalanya menegak. "Kepa- 
rat! Dia menjebakku hingga kusebutkan nama- 
ku!" geramnya. 

Kejap itu pula dia berbalik dan siap mema- 
ki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah 
tidak ada di tempatnya. 

"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil 
menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah hingga 
mengepul ke udara dan membentuk sebuah lu- 
bang. 

Kejengkelan masih membias di wajahnya 
sampai kemudian dia tersen3mm sendiri. 

"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia 
dapat mengorek keterangan tanpa kusadari! 
Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, wa- 
laupun matanya bersorot angker. Biarpun berso- 
rot angker, dia bukanlah orang golongan sesat. 

Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematah- 
kan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa 
aku jadi memikirkan dia?!" 

Walaupun jengkel dengan apa yang dipi- 
kirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Ga- 
luh Tantri ini memerah. 

 "Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu 
dengan pemuda bersisik coklat pada lengan ka- 
nan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam bebe- 
rapa saat, gadis ini segera meninggalkan tempat 
itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja 
Naga. 

Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap 
konyol pemuda berompi ungu itu masih mem- 
bayang di benaknya. 

 ***

TIGA 
 
PEREMPUAN setengah baya berpakaian 
putih itu menghentikan langkahnya di sebuah da- 
taran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri se- 
buah bukit karang. Di kejauhan sana, bayangan 
beberapa ekor burung melayang bermandikan 
matahari senja. 

Perempuan ini menikmati keindahan itu 
beberapa saat. Sisa-sisa keeantikannya masih 
terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu 
mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh, 
Sepasang payudaranya masih membusung ken- 
cang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya 
menambah bias-bias sisa kecantikannya. 

"Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya . 
seraya menundukkan kepala. Kali ini terlihat wa- 
jahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam 
tak pernah kulupakan dirimu. Siang malam sela- 
lu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memi- 
liki perasaan yang sama seperti diriku?" 

Pelan-pelan perempuan ini mengangkat 
kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan 
yang sangat. 

"Berpuluh tahun aku kembali ke tanah ke- 
lahiranku untuk melupakan segala yang pernah 
terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakan- 
nya...." 

Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau 
yang bernama asli Mayang Kinanti ini menarik 
napas pendek. Keputusan yang pernah diambil- 
nya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupa- 
kan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya. 

Diputuskan untuk meninggalkan Tala 
Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena 
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-
kang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah, 
karena dengan mencintai dan mendapatkan cinta 
Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan 
perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia 
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang- 
kang. 

Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah 
memusnahkan hubungan baik antara Sekar 
Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya  
sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya. 
Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha 
menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni 
hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak 
ada benih einta yang bersemayam dan tumbuh 
menjadi besar. 

Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo 
dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Se- 
kar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika bebe- 
rapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuh- 
nya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras un- 
tuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa 
petualang yang dimilikinya. 

Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahiran- 
nya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya. 

Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakan- 
nya. Benih eintanya semakin tumbuh. Kerin- 
duannya semakin mendesak. Dieoba melupakan- 
nya dengan jalan memperdalam ilmunya dan 
meneiptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduan- 
nya semakin bergelora. 

Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih 
lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk 
kembali ke tanah Jawa, untuk meneari Tala 
Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang 
memang akhirnya menikah dengan Sekar Seng- 
kuni, atau justru dengan orang lain. 

Perempuan berpakaian putih bersih ini 
mendesah pendek, mengingat kalau dirinya be- 
lum menikah hingga saat ini. 

Senja terus menurun. Woro Lolo memu- 
tuskan untuk meneruskan langkahnya seraya 
mencari keterangan di manakah Tala Kangkang 
tinggal. 

Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai 
untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang 
lelaki sedang bercakap-cakap sambil memegang 
beberapa helai baju. 

"Orang-orang Istana Gerbang Merah me- 
mang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita 
makanan, kali ini pakaian!" sahut yang bertubuh 
gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hada- 
pannya. Porsinya lebih banyak dari dua orang te- 
mannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan 
di sisi kanannya. 

"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum 
pernah melihat siapa orang yang memimpin Ista- 
na Gerbang Merah kecuali mendengar namanya 
saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya 
penuh dengan nasi dan sedikit berhamburan ke 
arah si Gemuk. 

Si Gemuk melotot yang disambut dengan 
tawa oleh si Kerempeng. 

Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin 
suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Me- 
rah. Aku ingin mengucapkan terima kasih lang- 
sung pada Resi Tala Kangkang...." 

Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu ber- 
nafsu untuk menikmati sarapan paginya, mene- 
gakkan kepala ketika mendengar nama itu dis- 
ebutkan. 

"Resi Tala Kangkang? Apakah... dia orang 
yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa 
sadar dadanya berdebar dan ditajamkan telin- 
ganya untuk mendengar percakapan itu lebih lan- 
jut.

"Aku juga begitu," kata si Kerempeng. 
Woro Lolo makin tak berselera untuk 
menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia 
melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah 
tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi 
pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang 
ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilon- 
tarkan perempuan setengah baya itu mereka ja- 
wab penuh kegembiraan. 

Merasa keterangan yang didapatkannya 
sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan 
orang-orang itu yang menatap kepergiannya den- 
gan terkagum-kagum. 

"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia 
lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi 
wajahnya... amboi! Masih cantik!" 

"Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya 
tadi?" kata yang bertubuh sedang. 

Si Gemuk yang duduk di sampingnya lang- 
sung mendorong kening temannya. 

"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat 
itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan 
dada besar istrimu yang bertubuh lebih gemuk 
dariku?!" 

Temannya mendengus. 

"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu 
jadi istriku!" 

Si Gemuk tertawa. 

"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh 
lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Ma- 
kanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau 
kau mendapatkan istri yang gemuk itu, ya sudah 
rezekimu!" 

Si Kerempeng tertawa geli dan berkata, 
"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya 
yang gede betul!" 

Temannya mendengus lagi. 

"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo 
makan! Kita harus segera pulang!" 

"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi?!" tanya 
si Kerempeng. 

"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi 
ingin membajak sawah istriku saja!" 

Ketiganya tertawa bersamaan. 

Sambil terus berlari ke arah barat, Woro 
Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta- 
la Kangkang... apakah memang dia, orang yang 
kurindukan siang dan malam?" 

Semakin dipikirkan, semakin bertambah 
kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk menge- 
tahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimak- 
sud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya un- 
tuk terus berlari. Sekejap pun tak ada niatan un- 
tuk menghentikan larinya. 

Seperti yang dikatakan oleh salah seorang 
dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat. 
Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana 
Gerbang Merah berada. 

Tepat matahari berada di atas kepala, pe- 
rempuan berpakaian serba putih ini menghenti- 
kan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan kare- 
na merasa lelah, bukan pula karena memutuskan 
untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas 
langkah di hadapannya telah berdiri seorang ka- 
kek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian 
merah aeak-acakan. 

Dari earanya berdiri yang tepat di tengah 
jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang 
sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan 
hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat 
dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna 
memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo 
tersenyum seraya melangkah. 

"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nam- 
paknya kau sedang menanti seseorang! Apakah 
memang demikian adanya?" serunya setelah 
memperpendek jarak. 

Kakek berjenggot menjuntai itu mengang- 
kat kepalanya. Mata eelongnya yang berkilat-kilat 
merah memandang tak berkedip pada Woro Lolo. 

Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat 
membelalak. 

"Astaga naga!" desis si kakek sambil me- 
nyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu kutinggalkan 
Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada pe- 
rempuan sedemikian jelita!" 

Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi 
perempuan ini tetap tersen 3 rum. 

"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga 
sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," ka- 
tanya.

"Jalan di samping kanan kiriku cukup le- 
bar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang 
ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri . 
sekarang?" ' 

Woro Lolo paham arti ueapan itu, yang se- 
cara tidak langsung mengejeknya 

"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah ki- 
rimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bi- 
birnya tersen3rum, diam-diam perempuan dari Pu- 
lau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di 
sebelah kiri si kakek bongkok. 

Mendadak... tap! 

Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat 
oleh si kakek! 

Woro Lolo menindih kemarahannya. Ham- 
pir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak 
mau membuka urusan, digerakkan bahunya se- 
dikit. Jamahan tangan si kakek terlepas. ! 

Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak 
keras. Debu di sekelilingnya berhamburan. 

"Aku menyukai perempuan yang galak! 
Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana, 
sebelum bermain-main denganku!" 

Habis ueapannya, tiba-tiba saja si kakek 
melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar di- 
ikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang 
mengarah padanya saja Woro Lolo segera berkelit. 
Dan menggerakkan tangannya untuk menahan 
tangan kanan si kakek yang mengarah pada se- 
pasang bukit kembarnya 
Plak! Plak! 

Woro Lolo surut dua tindak dengan mata 
mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si 
kakek berpakaian merah eompang eamping mem- 
buang tubuh ke belakang dan hinggap di atas ta- 
nah dengan ringannya 

Tawa kerasnya masih terdengar 
"Menyenangkan, sangat menyenangkan! 
Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hen- 
dak bertanya padamu!" 

Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa ma- 
rah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek 
mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah 
Jawa, dan belum mengetahui apa-apa! Tidak te- 
pat kiranya bila kau hendak menjadikanku seba- 
gai tempat bertanya!" 

"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bu- 
kan urusan penting! Karena yang pasti, kau ada- 
lah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!" 

Hampir saja Woro Lolo melesat untuk me- 
nampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih di- 
tindih amarahnya 

"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin 
kelak, akan kulayani keinginanmu untuk ber- 
main-main!" serunya sambil berlari kembali. 

Tetapi gemuruh angin yang keluarkan sua- 
ra berdenging-denging itu membuatnya menghen- 
tikan larinya seraya membuang tubuh ke samping 
kiri. 

Blaaaammm!! 

Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar 
ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah 

lubang yang mengeluarkan asap berbau busuk,
"Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo
dengan mata menyipit. 

Si kakek hanya terbahak-bahak saja. 

"Aku ingin kita bermain-main sekarang! 
Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan 
betapa hebatnya aku dalam bereinta!" serunya 
semakin membuat kegeraman Woro Lolo memun- 
cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku 
suka membunuh lawan mainku! Jadi... jawab 
pertanyaanku sekarang!" 

"Keparat! Belum apa-apa aku sudah ber- 
temu dengan manusia seperti ini!" geram Woro 
Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar kudengar dulu 
apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata me- 
mang penting untukku." 

Di seberang si kakek sudah angkat bicara, 
"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah be- 
rada?!" 

Kepala Woro Lolo sedikit terangkat. Ma- 
tanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar 
nama Istana Gerbang Merah!" 

"Sayang, sayang sekali...," si kakek meng- 
geleng-geleng. 

"Mengapa kau menanyakan tentang Istana 
Gerbang Merah?!" 

"Percuma kukatakan padamu karena kau 
sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung ber- 
main cinta saja! Ayo, buka pakaianmu!!" 

"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo. 
Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia se- 
dang berusaha menahan kemarahannya. ; 

Si kakek kali ini terkekeh. 

"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain, 
aku selalu membuat orang tidak penasaran!" ka- 
tanya tiba-tiba. "Aku ingin menghancurkan Istana 
Gerbang Merah!" 

"Mengapa?" seru Woro Lolo. 

"Huh! Manusia keparat yang memiliki Ista- 
na Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka 
pada diri seorang perempuan tiga puluh lima ta- 
hun yang lalu! Dan karena manusia itu pula pe- 
rempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa 
bekas!" 

"Urusanmu adalah sesuatu yang berat! 
Kau hendak melampiaskan dendammu dengan 
cara yang salah! Apakah...." 

"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bong- 
kok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika 
mendengar kata-kata perempuan yang kucintai! 
Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku 
tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta- 
hu... apa yang dikatakannya agar dia bisa men- 
cintaiku? Aku harus membunuh lelaki keparat ' 
itu!" 

"Kau semakin banyak membuang waktu- 
ku!" 

Si kakek menggeram sengit. "Aku telah 
bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang 
harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni 
utuh menjadi milikku!!" 

Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo 
mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak 
dengan mulut membuka yang memperlihatkan lo- 
rong indah di dalamnya | 

"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada 
berdebar. "Jadi... Istana Gerbang Merah... Resi 
Tala Kangkang... memang dia... memang dia 
orang yang kueintai! Kakek eelaka ini telah men- 
jelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...." 

Di seberang si kakek menggeram seraya 
menyipitkan matanya, "Perempuan eantik! Kau 
seperti terkejut! Aku yakin kau mengetahui sesu- 
atu?!" 

Woro Lolo tak menjawab. 

"Aku mengerti sekarang... sangat menger- 
ti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..." 

Habis membatin begitu perempuan bertahi 
lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di- 
ciptakan, urusan einta tak pernah berkesudahan! 

Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok! 
Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu! 
Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang 
bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dice- 
gah!" 

Kakek bongkok itu mengerutkan kening- 
nya. Sorot matanya penuh keeurigaan. Beberapa 
saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Pe- 
rempuan eantik! Kau menyembun3dkan sesuatu 
dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ke- 
tahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk ti- 
dak langsung membunuhmu!" 

"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbi- 
cara seenak perutmu. Kakek eelaka!!" seru Woro 
Lolo dengan kaki sedikit dibuka. 

"Perempuan keparat! Meneoba memusliha-
tiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu 
kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun 

Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau menge- 
tahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah 
Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan cela- 
ka yang telah menghancurkan hidup perempuan 
yang kucintai?!" 

"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita ber- 
temu lagi!" 

"Jangan harap kau bisa lari dari tangan- 
ku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong 
tangan kanannya, disusul dengan dorongan tan- 
gan kiri! 

***

EMPAT 

WORO LOLO yang sudah melangkah harus 
membuang tubuh ke samping tatkala gelombang 
angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru sa- 
ja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah 
melenting ke depan seraya mendorong kedua tan- 
gannya. 

"Kau terlalu memaksa!!" 

Wussss! , 

Wusss! 

Blaaam! Blaaamm! 

Gelombang angin yang terlontar dari kedua 
tangannya putus di tengah jalan terhantam satu 
tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhu3aing ke be- 
lakang, keseimbangannya hilang sesaat. 

"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku 
 bisa celaka!" serunya dalam hati, 
Di seberang kakek bongkok itu sudah 
menderu kembali. Jari jemarinya membentuk ca- 
kar. Dan dia menggereng keras laksana serigala 
murka. . 

Woro Lolo berhasil menghindari sambaran 
cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tu-  
buhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si 
kakek hingga terjajar ke belakang. 

Kejadian itu membuat si kakek menggereng 
setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan. 

Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras 
disusul dengan satu lompatan seperti menerkam. 

Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari 
melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua 
tangannya. 

Terdengar suara yang sangat luar biasa ke- 
rasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan 
keseimbangannya, surut tiga tindak karena mera- 
sakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di 
lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini me- 
lompat ke samping kiri. 

Karena segumpal cahaya merah melesat 
dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya me- 
luncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendeng- 
ing-denging. 

Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya i 
palangkan kedua tangannya di depan dada. Terli- 
hat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu... 

Wuuussss!! 

Cahaya putih yang mengandung hawa din- 
gin itu melesat ke depan, membentur keras mun- 
cratan sinar merah yang berdenging-denging. Le- 
tupan beberapa kali terdengar seiring berhambu- 
rannya sinar merah dan cahaya putih hingga 
tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon 
besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuat- . 
nya letupan itu, men3rusul bertumbangan hingga 
menambah gemuruh di sekitar sana. 

Tanah yang menghambur ke udara belum 
luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat 
kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang per- 
tama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan 
dengan suara berdenging-denging. 

Woro Lolo mengulangi tindakannya yang 
pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di an- 
tara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro 
Lolo, "Aaaakhhhh!!" 

Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan 
kirinya melepuh karena salah satu muncratan si- 
nar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap  
bagian yang melepuh itu dengan tangan kanan-  
nya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki- 
ra, tetap dipaksakannya. Asap menggebrus dan 
ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak 
terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas. 

Diangkat kepalanya penuh amarah, dita-
tapnya kakek bongkok berpakaian merah com- 
pang-camping yang berdiri di tempatnya sambil 
menyeringai. 

"Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan se- 
rangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati den- 
gan sikap waspada. "Ada sesuatu yang aneh.... 
Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah 
dia.... Heiiill" 

Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya 
bergetar. 

"Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang 
mendadak limbung. Bersikeras perempuan berta- 
hi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangan- 
nya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur 
tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia 
berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau la- 
kukan?!" 

Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan. 

"Mengapa kau bertanya padaku? Memang- 
nya apa yang telah kulakukan?" ejeknya. 
"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak 
merasa kepanasan? Ayo, buka saja pakaianmu... 
biarkan angin dingin menerpanya..." 

"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo 
dalam hati. Ketegangannya semakin kentara. Ha- 
wa panas terus genear menyelimuti dirinya. 

"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau 
tidak ingin kepanasan...." 

"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang 
ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia ambruk berlu- 
tut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas 
dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Ten- 
tunya ini berasal dari tanganku yang terkena 
muneratan sinar merah yang dilontarkannya. Ke- 
parat! Rupanya serangan itu mengandung... 
aaakh...." 

"Mengapa kau tak segera buka pakaian- 
mu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh. 
mu 'Serigala Murka' mengandung satu keajaiban 
yang kini kau rasakan!!" ' 

Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar. 
Keringat sebesar biji jagung sudah bermuneulan 
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya meme- 
rah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.

"Celaka! Serangan yang dilontarkannya
mengandung hawa birahi!" geramnya seraya 
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan ge- 
jolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua 
tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan 
dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi ke- 
dua tangannya telah hinggap pada pakaiannya. 

"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, su-  
dah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di 
hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan 
ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!" 

Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha 
untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan 
sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru 
menggeliat-geliat disertai desahan erotis. Peria- 
han-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan 
yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke 
tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya. 

Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Se- 
rigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar. 

Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak 
wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya 
sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah 
tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka 
pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menera- 
wang terpampang di depan mata Demit Serigala, 

"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki  
bukit kembar yang indah!" serunya sambil mene- 
lan ludah berkali-kali. "Ayo, buka pakaian da- 
lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!" 

Perempuan setengah baya itu masih me- 
remas-remas sepasang bukit montoknya yang 
membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis. 

Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulut- 
nya mendesis-desis dengan wajah merona. Tu- 
buhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus meng- 
geliat-geliat penuh gairah. 

Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejo- 
lak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar 
dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati 
Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapai- ” 
gapai 

"Hehehe... kau memang berilmu tinggi, te- 
tapi tak akan mampu menandingiku..." 

Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tu- 
buh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak 
wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya 
mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit 
Serigala merambah payudaranya, meremas- 
remasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan 
Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian ba- 
gian bawahnya. 

Penuh nafsu dieiuminya leher jenjang yang 
putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepa- 
sang matanya yang terpejam membuka diamuk 
gelora. 

"Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit 
Serigala seraya membuka pakaiannya. Dia harus 
menahan diri sekaligus menahan kedua tangan 
Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tu- 
buhnya. "Sabar... sabar...." 

Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro 
Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pa- 
I kaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, se- 
mentara tangan kirinya siap menarik lepas pa- 
kaian bagian bawah perempuan 

Tetapi satu suara dingin telah terdengar, 
"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa 
yang telah kau lakukan?!" 

Serentak kakek berjenggot menjuntai itu 
menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi 
ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari 
tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata 
angker mengerikan. 

"Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil 
menyentak lepas tangan Woro Lolo yang masih 
menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisan- 
desisan mengundang dan gapaian tangan Woro 
Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda 
berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat 
Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan 
mengerikan yang terpanear dari sepasang mata si 
pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah memben- 
tak, "Pemuda berkuneir! Menyingkir dari sini se- 
belum kulumat haneur tubuhmu!" 

Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming 
di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian 
dalam. 

"Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itu- 
lah dilihatnya lengan kanan kiri si pemuda seba- 
tas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik!
Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari 
dua kali!" . 

Belum habis bentakannya, kakek yang te- 
lah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tu- 
lang belulang di tubuhnya sudah melesat ke de- 
pan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar. 

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra- 
ja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya. 

Lalu mendehem keras. 

Wuuuttt!! 

Satu tenaga tak nampak menderu keras ke 
arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu 
tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras, 
diterobosnya tenaga tak nampak itu. 

Plaass!! 

Raja Naga terkejut. , 

"Gila!" 

Segera digerakkan tangan kanan kirinya. 

Plak! Plak!! 

Benturan yang terjadi itu membuat mas- 
ing-masing surut tiga tindak ke belakang. 

"Gila! Tangannya keras sekali!" geram De- 
mit Serigala separuh terkejut. "Siapa pemuda ke- 
parat ini?" 

Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar 
biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar 
dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja ter- 
kena benturan tadi. Padahal aku sudah mengelu- 
arkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiri- 
ku yang bersisik ini." 

Sementara itu Demit Serigala sudah mele- 
sat kembali ke depan. Gerengan serigala murka 
menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang 
membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin 
mendahului serangannya. 

Raja Naga tak berkedip memandang ke de- 
pan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba 
saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat 
itu pula tanah berderak, menyusul laksana ge- 
lombang di lautan menderu ke arah Demit Seriga- 
la dengan suara berderak berulang-ulang. 

"Gila!!" maki Demit Serigala seraya mem- 
buang tubuh ke samping. 

Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!! 

Letupan yang memuncratkan tanah ke 
udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Be- 
lum lagi luruh muncratan tanah itu. Demit Seri- 
gala sudah menerobos. Membuka kedua tangan- 
nya lalu menepukkannya hingga terdengar suara 
yang sangat keras. 

Raja Naga tersentak tatkala merasakan da- 
danya seperti terhantam sesuatu yang keras. Ke- 
palanya sendiri menegak dengan mata melebar 
tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah 
menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak, 
gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, la- 
lu bermuncratan ke arahnya dengan suara ber- 
denging-denging. 

Raja Naga segera menepukkan tangan ki- 
rinya dengan tangan kanannya. Men3aisul satu 
tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya 
untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung 
Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap 
merah menggebrak ke depan. 

Blaaam! Blaaammm!! 

Seketika tempat itu bergetar dahsyat, rang- 
gasan semak tereabut, pepohonan bertumbangan 
dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa 
muneratan sinar merah yang tak terhalangi 
menghanguskan semak belukar. 

Raja Naga yang segera melompat ke samp- 
ing kanan begitu benturan terjadi, terhu3rung 
dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan 
untuk mengembalikan keseimbangannya. 

Berjarak delapan langkah. Demit Serigala 
telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam 
berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo me- 
lonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih 
terpengaruh ilmu aneh dari Demit Serigala, pe- 
rempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya 
meremas-remas pa3aidaranya sendiri. 

"Pemuda celaka! Siapa kau adanya?!" ge- 
ram Demit Serigala keras. 

Raja Naga menggeram. 

"Manusia busuk seperti kau tak pantas un- 
tuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya 
yang dalam sekali lihat saja tadi, tabu kalau pe- 
rempuan setengah baya itu berada dalam penga- 
ruh yang tidak wajar. 

"Setan bersisik! Kau telah mengundang 
kemarahan di dalam dadaku!!" 

Demit Serigala menerjang lebih mengeri- 
kan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan. 

Berulang kali tangan dan kaki mereka berbentu- 
ran. Berulang kali tanah bergetar dan letupan 
terdengar dahsyat. 

Hingga kemudian masing-masing orang 
mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan 
kedua telapak tangan mendorong. 

"Heaaaa!!" 

"Mampuslah kau, Pemuda celaka!!" 

Gelombang angin yang menderu berham- 
buran. Lalu.... 

Tap! Tap! 

Telapak tangan masing-masing orang ber- 
temu satu sama lain. Satu sama lain berusaha 
untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala meng- 
gereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret 
dua tindak, lalu menambah tenaga dalamnya. 

Bertemunya telapak tangan masing-masing 
orang mengakibatkan tanah di sekitarnya ber- 
hamburan ke udara. Sementara itu lambat- 
lambat terlihat asap hitam keluar dari telapak 
tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya 
semakin menguat. 

Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur 
tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya. 
Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Ma- 
sih beruntung dia mampu menghindari sambaran 
eakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan.... 

Des!! 

Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari 
Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosan- 
nya hingga si kakek terhu3rung ke belakang, yang 
segera menerjang kembali disertai gerengan kuat! 

"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan! 
Aku harus... astaga! Perempuan itu telah mero- 
bek-robek pakaian dalamnya!" 

Dengan wajah tegang Raja Naga menghin- 
dari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu 
kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, me- 
lepaskan jurus 'Barisan Naga Penghaneur Ka- 
rang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai 
letupan-letupan mengerikan. 

Demit Serigala menggeram seraya mem- 
buang tubuh ke samping. Masih sempat dilihat- 
nya bayangan ungu melesat ke samping kiri, me- 
nyambar pakaian putih yang tergeletak dan me- 
nyambar tubuh perempuan yang masih mengge- 
liat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya. 

Blaaammmmll 

Serangan yang dilanearkan Demit Serigala 
untuk menghalangi berlalunya Raja Naga meng- 
hantam sebuah pohon yang seketika haneur be- 
terbangan. 

"Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas 
terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu, Pemu- 
da bersisik! Akan kuingat!!" 

Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di 
atas tanah. Pakaian merah eompang-eampingnya 
yang tergeletak di atas tanah meneelat ke arahnya 
dan... tap, tap! Dengan gerakan eepat tangan ka- 
nan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali. 

Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah me- 
nempel di tubuhnya. 

"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh 
Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda cela- 
ka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah 
berlari ke arah barat. 

***

LIMA 

NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau 
tidak di mana Istana Gerbang Merah berada?!" 
makian itu terdengar dari balik sebuah pohon, 
bersamaan terlihat sebuah keranjang melompa- 
tinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di 
tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh 
berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari ke- 
ranjang itu. . 

"Manusia busuk! Jangan banyak mulut! 

Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki 
si perempuan keras. Mata eelongnya dingin mena- 
tap keranjang di hadapannya. 

Dari keranjang itu terdengar dengusan. 

"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang 
kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak 
karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh 
bukan yang kuharapkan!" 

"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma- 

ki si perempuan yang bukan lain Sekar Sengkuni. 
"Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah be- 
rada di barat!" 

Orang di dalam keranjang yang belum per- 
nah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni men- 
dengus. 

"Benar-benar bodoh! Apakah kau...." 

Kata-katanya terputus karena mendadak 
saja muneul sepuluh orang lelaki bersenjata pa- 
rang. Mereka memandang tak berkedip pada Se- 
kar Sengkuni yang mengerutkan kening. 

Mereka berbicara berbisik, "Sejak dua hari 
lalu kita memburu pembunuh Juragan Purna 
Setyo, baru sekarang kita melihat ciri-ciri si pem- 
bunuh." 

"Ya! Mungkin memang dia yang telah 
membunuh Juragan Purna Setyo!" 

"Kalau begitu... tangkap saja!" 

"Tunggu! Kita tak bisa menangkapnya begi- 
tu saja, karena bisa jadi kita salah orang!" 

Sepuluh lelaki bersenjata parang yang ter- 
nyata adalah para penduduk yang sedang menca- 
ri pembunuh Juragan Purna Setyo, memandang 
Sekar Sengkuni dengan seksama. Mereka sama 
sekali tak mengetahui kalau keranjang yang ter- 
buat dari anyaman bambu lapis itu berisi seseo- 
rang yang mempunyai ilmu tinggi. 

Salah seorang yang bertubuh gagah berse- 
ru, "Perempuan berpakaian hijau! Bukan kami 
lancang untuk bersikap, bukan kami tak punya 
adab kesopanan! Tetapi, kami tak punya banyak 
waktu! Apakah dua hari lalu kau singgah di se- 
buah desa yang bernama desa Karang Permata?!" 

Sekar Sengkuni yang telah mendengar apa 
yang mereka percakapkan tadi, menyeringai le- 
bar. 

"Ya! Aku pernah singgah di Karang Permata!" 

Orang-orang berpandangan. 

"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya 
orang yang berseru tadi berhati-hati. 

Sekar Sengkuni tak menjawab. Mata ce- 
longnya memandang orang-orang itu bergantian. 

Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang un- 
tuk menjarah harta seorang kaya yang bernama 
Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!" 

Menegak kepala masing-masing orang 
mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang 
menerjang ke depan dengan parang terhunus. Te- 
tapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan 
sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka 
ke akhirat! 

"Membosankan!" dengusnya. Lalu me- 
layang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua 
orang tewas dengan kepala peeah karena terhan- 
tam tendangannya. 

Tindakannya yang telengas itu tak menyu- 
rutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih 
hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha 
membacokkan parang-parang di tangan. 

Satu orang terbanting dan jatuh di samp- 
ing keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak 
melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak. 
Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba.... 

Prak! 

Keranjang itu telah menghantam wajahnya 
hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu 
kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang 
masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Se- 
kar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tu- 
langnya memutus nyawanya. Sementara yang 
seorang lagi sudah bergulingan dengan parang 
dikibaskan. 

"Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar 
Sengkuni sambil menghindar. Dan.... 

Prak! 

"Aaaaakkhhhh!!" 

Orang itu terbanting dengan tulang paha 
patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, melu- 
ruk dengan kedua kaki mengarah pada dada 
orang itu! 

Tetapi... wuuuttt!!! 

Satu bayangan merah muda telah me- 
nyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang 
sangat cepat. 

Brrollll! 

Bersamaan tanah yang ambrol karena in- 
jakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan 
berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan, 
"Siapa orang yang ingin mampus?!" 

Wuuutttt!! 

Satu gelombang angin memburu si bayan- 
gan merah muda yang berteriak kaget seraya 
memutar tubuh. 

Blaaarrr!! 

Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh 
bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah 
muda yang semula berniat untuk segera berlalu 
setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau 
mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di 
atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tu- 
buh lelaki yang telah disambarnya. 

"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat 
kepalanya. Wajah cantiknya berhadapan dengan 
Sekar Sengkuni yang mendengus gusar. 

"Seorang gadis bau kencur yang ingin 
mampus rupanya!" 

Gadis berambut indah itu tak buka mulut. 
Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni, 

"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya 
masih jelita dengan mata yang eelong ke dalam. 

Ciri-eirinya mirip seperti yang dikatakan Guru. 

Apakah memang orang ini yang harus kuketahui  
keberadaannya?" desisnya dalam hati. 

Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak 
bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis. 
Tangan kanannya terangkat dan siap melanear- 
kan satu pukulan jarak jauh. 

Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di 
tanah bergerak melayang ke arahnya disertai sua- 
ra, "Aku menginginkannya!" 

Sementara si gadis membelalakkan ma- 
tanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni meng- 
geram. 

"Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini 
aku belum pernah melihat wujudmu! Dan tidak 
tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!" 

"Siapa bisa tahan melihat gadis a3ru bertu- 
buh montok seperti dia, hah?!" 

"Di mana kau akan menggelutinya? Di da- 
lam keranjang busukmu itu?!" 

"Itu urusanku!" 

"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh 
dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang 
Permata itu!" 

Gadis jelita berpakaian merah muda yang 
bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan 
kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Seng- 
kuni. 

"Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari 
Karang Permata? Bisa jadi kalau mereka yang te- 
lah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat 
yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan 
ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna 
Setyo? Bisa jadi pula kalau memang dia perem- 
puan yang kueari, perempuan bernama Sekar 
Sengkuni...." 

Selagi si gadis membatin, keranjang yang 
berada di samping Sekar Sengkuni sudah me- 
layang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah 
padanya. 

"Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan 
kedua tangannya di depan dada. Lalu dihentak- 
kan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke 
depan. 

Desiran angin yang keluar dari keranjang 
itu putus di tengah jalan. Dan.... 

Buk! Buk! 

Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lan- 
carkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang 
itu melayang ke belakang. Kali ini disertai keke- 
han penghuninya lalu keranjang itu melayang la- 
gi, lebih cepat! 

"Siapa orang yang berada dalam keranjang 
itu?!" seru si gadis sambil membuang tubuh, 
Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya 
kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melan- 
carkan satu serangan yang kemudian diurung- 
kannya. 

"Guru berpesan kalau aku tak boleh men- 
geluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan 
dengan perempuan berpakaian hijau bermata ce- 
long. Walaupun tak mengerti mengapa Guru me- 
nyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku ha- 
rus tetap mematuhinya." 

Karena memegang pesan gurunya itulah 
Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan 
sesekali melanearkan serangan balasan dengan 
jotosan dan tendangannya. 

Dari keranjang itu terdengar suara terke- 
keh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan 
apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar Sengkuni. 
Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan 
keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memi- 
liki kemampuan berarti! Caranya menyambar tu- 
buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti 
dalam mengalahkan keeepatan seranganku tadi! 
Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apa- 
apa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan il- 
munya!" 

Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru, 
"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apa- 
apa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!" 

"Kau akan melihatnya. Sekar Sengkuni!!" 

Bersamaan lesatan yang semakin keras 
disertai gemuruh angin yang kuat. Galuh Tantri 
berseru kaget. 

"Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati se- 
raya menghindar dengan mempergunakan ilmu 
peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya 
yang bernama Sekar Sengkuni! Dan jelas dia juga 
yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan 
orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan 
sekarang? Guru menyuruhku mengetahui apa 
yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah 
itu aku harus kembali ke tempat asa!!" 

Sementara itu Buntet Kalamangsang 
menggeram sengit karena dia belum juga mampu 
melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang 
itu melayang ke belakang dan hinggap di atas ta- 
nah. 

Di lain kejap terdengar suara angin mende- 
ru-deru seiring dengan berputarnya keranjang 
itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di 
sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari 
pandangan. 

Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan 
bisa menyembunyikan ilmumu lagi. Gadis! Huh! 
Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenar- 
nya...." 

Di seberang Galuh Tantri memicingkan ma- 
tanya. Dadanya berdebar keras. Ketegangannya 
merambat. 

"Tentunya orang dalam keranjang itu se- 
dang melancarkan salah satu ilmunya yang he- 
bat," desahnya gelisah dalam hati. "Oh! Bagaima- 
na caraku menghadapinya? Aku tak boleh menge- 
luarkan ilmuku? Segera meninggalkan tempat ini 
pun tak mudah! Ah, kalau saja tadi perempuan 
itu tak menghalangiku, mungkin aku sudah ber- 
lalu bersama lelaki yang patah kaki itu...." 

Keranjang itu telah melesat cepat. Asap hi- 
tam mengiringi lesatannya. 

Sepasang mata Galuh Tantri melebar. Dia 
masih dapat menghindari ganasnya serangan ke- 
ranjang itu. Tetapi dua gebrakan berikutnya, ga- 
dis itu tak ubahnya seperti seekor tikus yang ma- 
suk perangkap seekor kucing. 

"Aku harus menyelamatkan diri!" serunya 
dalam hati. 

Seraya membuang tubuhnya ke samping 
kiri, Galuh Tantri menyilangkan kedua tangannya 
di depan dada. Bersamaan bertemunya pergelan- 
gan tangan kanannya dengan pergelangan tangan 
kirinya, terlihat eahaya putih berkilau berulang- 
ulang, semakin lama semakin membesar. Tiba- 
tiba.... 

Wwrrrrr! 

Dipadu dengan gemuruh angin yang tinggi, 
cahaya putih yang membesar itu tiba-tiba menee- 
lat. Suara yang memekakkan telinga terdengar 
berulang kali. 

"Heeiiiiill" seruan itu terdengar dari mulut 
Sekar Sengkuni yang tegak dengan mata melebar. 

Dilihatnya bagaimana keranjang yang me- 
lesat eepat itu, tiba-tiba saja berbelok. Asap hitam 
yang mengiringinya lenyap tertelan eahaya putih 
yang keluar dari silangan kedua tangan Galuh ; 
Tantri. Yang lebih mengejutkan, eahaya putih itu 
seperti memiliki mata. Berbalik dan menyergap 
laksana sebuah kain lebar. 

Plupp! 

Keranjang yang masih melayang itu ter- 
tangkup eahaya putih. Seperti hendak menelan 
bulat-bulat, eahaya putih itu menggulung Buntet 
Kalamangsang yang masih berada dalam keran- 
jang. 

Sementara Galuh Tantri makin memu- 
satkan perhatiannya untuk mengendalikan se- 
rangannya, terdengar teriakan keras orang yang 
tak diketahui seperti apa rupanya itu. Cahaya pu- 
tih yang menyelimuti keranjang itu bergerak- 
gerak, pertanda kalau keranjang itu berusaha 
membebaskan diri. 

"Terkutuk!!" makian itu memecah suara 
yang memekakkan telinga yang berasal dari ca- 
haya putih. Tiba-tiba gerakan-gerakan cahaya pu- 
tih itu semakin menguat. 

Galuh Tantri bergetar. Kedua tangannya 
yang menyilang di depan dada terasa panas. 

Tiba-tiba... plaasss!! 

Keranjang itu mental lebih tinggi ke udara 
laksana sebuah bola yang memantul dari bumi. 
Kejap lain keranjang itu menderu ke arah Galuh 
Tantri. Kalau sebelumnya asap hitam hanya men- 
giringi gerakannya saja, kali ini asap hitam telah 
menderu mendahului. 

Blaaarrrr!! 

Asap hitam itu putus di tengah jalan kare- 
na terhalang oleh cahaya putih yang tiba-tiba 
menghadang. Seketika bermuncratan asap-asap 
hitam ke udara dan cahaya putih ke berbagai 
penjuru. 

Masih menyilangkan kedua tangannya di 
depan dada. Galuh Tantri menggeser tubuhnya 
sedikit ke kanan. Kemudian memutar kedua tan- 
gannya di atas kepala dan disentak diiringi teria- 
kan. 

Heaaaattt!! 

Blaaamm! 

Keranjang itu terpental lebih jauh terkena 
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di 
udara sebelum terbanting di atas tanah dan ber- 
gelundung. Setelah menabrak sebuah pohon yang 
menggugurkan dedaunan, keranjang itu baru 
berhenti. 

Terdengar suara orang muntah darah be- 
berapa kali. 

"Setan alas!" memaki Sekar Sengkuni den- 
gan tubuh bergetar hebat. Kemarahannya bukan 
karena melihat Buntet Kalamangsang berhasil di- 
pecundangi si gadis. Tetapi satu hal yang sangat 
akrab dengannya. "Gadis celakai Kau telah kelua- 
rkan ilmu 'Tenaga Pusat Bumi' dan 'Tenaga Pusat 
Tanah'! Kedua ilmu itu hanya dimiliki oleh manu- 
sia keparat bernama Resi Tala Kangkang!!" 

Seketika Galuh Tantri tersentak. Wajahnya 
menjadi tegang. 

"Celaka! Aku telah melanggar perintah 
Guru!" serunya menyadari sesuatu. 

Di seberang. Sekar Sengkuni sudah men- 
deru dengan jotosan tangan kanan kiri. ; 

"Rupanya lelaki celaka itu telah mengambil 
seorang murid! Bagus! Kaulah yang akan mam- 
pus lebih dulu sebelum dirinya!!" 

Serangan itu semakin bertambah dekat. 
Galuh Tantri masih tertegun di tempatnya. 
Masih menyesali kalau dia telah membuka siapa 
dirinya! 

Gerakan Sekar Sengkuni semakin mende- 
kat. Perempuan berpakaian hijau itu tak dapat 
lagi menahan amarahnya setelah mengenali ilmu 
yang dikeluarkan oleh si gadis. 

Galuh Tantri sendiri seperti orang bodoh.
Dia tak berbuat apa-apa. Dapat dipastikan kalau 
nyawanya akan putus saat itu juga. 

Akan tetapi di saat yang kritis tiba-tiba saja 
satu bayangan merah telah meneelat dari samp- 
ing kanan. Lengannya mengibas. Terlihat eahaya 
merah dan putih menggebrak ke arah Sekar 
Sengkuni. 

Perempuan setengah baya yang dilanda 
murka itu menjerit tertahan. Cepat ditarik pulang 
kedua tangannya, lalu dipalangkan dan didorong. 

Blaaamm! Blaaammm!! 

Cahaya merah putih yang mengandung 
hawa panas tinggi itu putus di tengah jalan. Ken- 
dati berhasil memutus serangan itu, tetapi Sekar 
Sengkuni terbanting di atas tanah. ! 

Dilihatnya bagaimana bayangan merah itu 
menyambar tubuh Galuh Tantri yang masih terte- 
gun dan menyambar tubuh lelaki yang telah pa- 
tah kakinya. 

Sekar Sengkuni men3mmpah keras seraya ; 
mendorong kedua tangannya. Tetapi serangannya 
itu putus di tengah jalan, terhantam eahaya me- 
rah dan putih! 

Di lain kejap, bayangan merah itu telah le- 
nyap dari pandangan. 

"Keparat busuki Kau...," seru Sekar Seng- 
kuni setelah mengenali siapa orang yang menye- 
rangnya dan berlalu itu. Pelan-pelan dia berdiri. 

Dada membusungnya turun naik dengan napas 
terengah-engah. Dari sela-sela bibirnya merembas 
darah segar. 

Dari dalam keranjang terdengar suara, 

"Kau mengenali orang itu, Sekar Sengkuni?!" 

Sekar Sengkuni terdiam dengan napas 
memburu. 

"Aku tidak melihat wajahnya! Tetapi... ilmu 
'Kabut Bayangan Menembus Gelap' sangat kuke- 
nali!" sahutnya penuh amarah tinggi. 

"Siapa orang yang memiliki ilmu itu?" 
Sekar Sengkuni tak segera buka mulut. 
Sepasang mata celongnya seperti melompat ke- 
luar karena gemuruh amarah di dadanya. Lam- 
bat-lambat dia mendesis dingin, 

"Manusia itu adalah orang yang hendak ki- 
ta bunuh! Resi Tala Kangkang!!" 

***

ENAM 

PAGI telah menghampar dengan segenap 
keindahannya. Bukit kapur yang menjulang tinggi 
itu berkilat-kilat diterpa sinar matahari. Keseju- 
kan udara masih terasa. Tak jauh dari bukit ka- 
pur itu berdiri kokoh sebuah bangunan berben- 
tuk sebuah istana. Tembok tinggi mengeliling is- 
tana itu. Di muka pintu gerbang yang tinggi itu 
berdiri dua orang lelaki gagah bertelanjang badan.
Dan gerbang itu berwarna merah! 

Di bagian tengah Istana Gerbang Merah 
yang megah. Galuh Tantri sedang duduk bersim- 
puh. Di sebuah kursi indah, seorang kakek ber- 
pakaian merah sedang duduk dan sesekali terse- 
nyum. Kakek berwajah teduh ini mengusap ku- 
misnya yang sudah memutih. Keriput pun mulai 
menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mulai me- 
mutih pula diikat ekor kuda. 

"Galuh...," panggilnya lembut. "Tak usah 
berkeeil hati. Tindakan yang kau lakukan sangat 
benar. Kau memang harus mempergunakan ilmu- 
ilmu yang telah kau pelajari untuk mengatasi se- 
rangan orang dalam keranjang." 

Gadis berpakaian merah muda itu tak 
menjawab, bahkan mengangkat kepalanya tidak 
berani. Disesalinya mengapa dia tidak menjaga 
pesan kakek berpakaian merah di hadapannya 
ini. 

"Muridku, Galuh... kau tak bersalah. Kau 
melakukan satu tindakan yang tepat...." Galuh 
Tantri tetap tak bersuara. 

"Ingatkah kau akan petuahku? Bila kita 
bersalah, tidak seharusnya kita berdiam diri. Tin- 
dakan yang harus kita lakukan adalah mengakui 
kesalahan itu. Tetapi yang telah kau lakukan bu- 
kanlah kesalahan. Kau menyelamatkan dirimu 
sendiri...," sen3aim si kakek yang ternyata adalah , 
Resi Tala Kangkang. 

Mendengar kata-kata lembut gurunya, per- 
lahan-lahan gadis berambut indah itu berani 
mengangkat kepalanya, tetapi tidak berani mena- 
tap wajah gurunya 

"Aku mohon maaf. Guru...." 

"Hei, hei!" sen3rum Resi Tala Kangkang. 

"Tak ada yang salah dalam hal ini, sehingga tak 
perlu ada yang meminta maaf...." 

"Seeara tidak langsung aku telah mem- 
bongkar siapa diriku sendiri." 

"Kau melakukan tindakan yang tepat. Bila 
kau tidak melakukan tindakan seperti itu, justru 
aku menyalahkanmu...." 

"Aku telah melanggar pesan Guru...." 

I "Tidak. Kau telah menjalankan perintahku 
dengan baik. Kau telah menemukan Sekar Seng- 
kuni...." 

"Aku tak sengaja menemukannya, Guru...." 

"Itu artinya kau tetap telah menemukan- 
nya. Galuh." 

"Aku... ah, aku telah bertindak bodoh. 
Guru. Kesalahanku... aku justru merasa bersalah 
hingga seperti melupakan kalau bahaya siap me- 
renggut nyawaku." 

"Galuh...," senyum Resi Tala Kangkang. 

"Keberanianmu membuatku kagum. Kau berani 
menjalankan perintahku. Dan sudah tentu aku 
tak bisa melepasmu begitu saja, karena aku tahu 
ugas yang kuberikan padamu sungguh berat. 

Tanpa kau ketahui aku selalu mengikutimu. Ga- 
luh...." 

Kepala Galuh Tantri menegak. 

"Guru...." 

 "Ya! Sekarang... kukatakan mengapa aku 
menyuruhmu untuk mencari perempuan berna- 
ma Sekar Sengkuni...." 

Resi Tala Kangkang segera menceritakan 

masa lalunya, termasuk meneeritakan Sekar 
Sengkuni dan Woro Lolo. 

"Aku merasa pasti kalau Sekar Sengkuni, 
tetap akan meneariku, tetapi untuk membalas 
sakit hatinya...." . 

"Tak seharusnya perempuan itu sakit hati, 
Guru!" seru Galuh Tantri yang kini mengetahui 
siapa sebenarnya Sekar Sengkuni. 

"Kau betul. Tetapi, tidak semua orang bisa 
menerima kenyataan dan kejujuran. Termasuk 
Sekar Sengkuni." 

"Lantas... apa yang hendak Guru lakukan?" 
tanya Galuh Tantri. Dia sudah tidak segelisah dan 
merasa bersalah seperti tadi. ” 

"Dari arah yang dituju oleh Sekar Sengkuni 
dan orang dalam keranjang yang bernama Buntet 
Kalamangsang, aku yakin dalam waktu dua hari 
mereka akan tiba di Istana Gerbang Merah." Resi 
Tala Kangkang menghela napas pendek. Ingatan- 
nya sesaat kembali pada masa lalunya. Sambil 
memandang muridnya dia berkata lagi, "Dapat 
kubayangkan apa yang akan terjadi bila Sekar 
Sengkuni dan Buntet Kalamangsang tiba. Untuk 
itulah... siang nanti Istana Gerbang Merah harus 
sudah kosong keeuali diriku...." 

Galuh Tantri mengerutkan kening. Ma- 
tanya memandang tak berkedip. 

"Aku tak mengerti, apa yang Guru mak- 
sudkan?" 

"Mulai hari ini... seluruh penghuni Istana 
Gerbang Merah harus menyingkir. Termasuk kau, 
Muridku...." 

"Mengapa... mengapa Guru melakukan hal 
itu?" Resi Tala Kangkang tak menjawab. Dia ter- 
senyuam.  

"Kau pasti mengerti...." 

Kemudian dia turun dart kursinya dan me- 
langkah dengan kedua tangan berada di atas 
pinggul. Galuh Tantri tak berani bersuara, hanya 
berani memandang gurunya saja dari belakang. 

Tepat tengah hari di atas kepala, Istana 
Gerbang Merah telah sepi. Resi Tala Kangkang 
memberikan upah yang cukup banyak bagi orang- 
orang yang telah mengabdi padanya, 

Dia kembali ke tempat semula dan melihat 
Galuh Tantri masih berada di sana. 

"Tempat ini hampir kosong. Galuh. Silakan 
tinggalkan tempat ini...." 

"Guru!" protes Galuh Tantri. "Bukan mak- 
sudku untuk membantah perintah Guru! Tetapi... 
aku tak bisa meninggalkan Guru seorang diri di 
sini!" 

Resi Tala Kangkang tersenyum. Sambil me-  
langkah mondar-mandir dia berkata, "Kau me- 
mang telah bertarung dengan Buntet Kalamang- 
sang dan Sekar Sengkuni. Kau dapat mengalah- 
kan Buntet Kalamangsang, tetapi itu teijadi kare- 
na orang dalam keranjang yang tak pernah dike- 
tahui seperti apa wujudnya, memandang sebelah 
mata padamu. Itu artinya, dia dapat mengalah- 
kanmu. Demikian pula dengan Sekar Sengkuni. 
Muridku... bila kau masih berada di sini, itu sama 
artinya kalau aku membiarkan kau masuk dalam 
bahaya..." 

"Aku tidak peduli!" sahut gadis itu keras kepala. 

"Galuh... sejak kutemukan kau enam belas 
tahun yang lalu di bawah sebuah pohon, seluruh 
cinta kasih dan perhatianku kucurahkan bulat- 
bulat untukmu. Tak ada yang tersisa. Kalau seka- 
rang aku men3mruhmu meninggalkan Istana Ger- 
bang Merah, bukan karena aku tidak sayang pa- 
damu. Melainkan karena aku terlalu sayang pa- 
damu. Galuh. Kau mengerti maksudku?" 

Galuh Tantri tak buka suara. Matanya se- 
dikit berkilat-kilat. 

Resi Tala Kangkang berhenti melangkah. 
Mengusap lembut rambut si gadis yang masih 
duduk bersimpuh. 

"Berpuluh tahun kubangun istana ini 
hingga namanya dikenal dengan sebutan Istana- 
Gerbang Merah. Berpuluh tahun aku mendiami 
tempat ini. Dan berpuluh tahun aku berusaha 
mengubur masa laluku. Mengubur kenangan ber- 
sama Woro Lolo atau Mayang Kinanti yang hingga 
saat ini masih kucintai. Mengubur kenangan ber- 
sama Sekar Sengkuni yang berbalik memusuhi- 
ku. Dan nampaknya... tak lama lagi semua ini 
akan lenyap." 

"Maksud Guru.... Istana Gerbang Merah 
akan hancur?" 

"Bukan hanya akan hancur. Tetapi mung- 
kin.... di sinilah aku akan terkubur...." 

"Guru!" suara Galuh Tantri tersekat. Resi 
Tala Kangkang tersenyum. "Bila kau mengerti 
maksudku, tinggalkan tempat ini. Galuh...," 

Hanya itu yang dikatakan kakek bijak ber- 
pakaian panjang warna merah, karena di lain saat 
dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu. ' ^ 

Galuh Tantri urung berueap. Kepalanya pe- 
lan-pelan tertunduk. Batinnya gelisah. Kepedihan 
sangat dirasakannya. Dia tidak tahu apa yang ha- 
rus dilakukannya, tetapi dia sangat mematuhi pe- 
rintah gurunya dan dia harus mematuhi perintah 
gurunya sekarang ini. 

Pelan-pelan dengan kegelisahan yang kian 
merambat, gadis itu berdiri. Ditundukkan kepa- 
lanya, dirangkapkan kedua tangannya di depan 
dada. "Maafkan aku. Guru...." 

Lalu dia berkelebat, melewati lorong istana 
yang biasanya ramai kini hening. Tiba di halaman 
istana Gerbang Merah yang luas, keheningan me- 
nerpanya kembali. 

Bahkan Galuh Tantri seolah tak merasa- 
kan desiran angin. 

Dua kejapan mata kemudian, dia sudah 
berkelebat meninggalkan tempat itu. 

* * * 

Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan 
setapak yang sepi. Raja Naga memandangi pe- 
rempuan setengah baya bertahi lalat di dagu se- 
belah kiri itu. Dia telah mendengar semua keja- 
dian yang menimpa si perempuan, termasuk sia- 
pakah kakek bongkok berpakaian merah aeak- 
acakan. 

"Terkadang cinta tak terbalas merupakan 
bibit permusuhan yang berbuah menjadi dendam 
tiada banding. Kakek bongkok berjuluk Demit Se
rigala itu mencintai seorang perempuan bernama 
Sekar Sengkuni. Tetapi Sekar Sengkuni tidak 
mencintainya, karena dia mencintai Resi Tala 
Kangkang. Sementara Resi Tala Kangkang tidak 
mencintai Sekar Sengkuni karena dia mencintai 
perempuan di hadapanku ini. Astaga! Begitu ru- 
mitnya perjalanan cinta di antara orang-orang 
itu,..." 

Habis membatin demikian, pemuda bersi- 
sik coklat pada lengan kanan kirinya berkata, 

"Woro Lolo... bila Demit Serigala hendak menuju 
ke Istana Gerbang Merah untuk membunuh Resi 

Tala Kangkang, adakah kemungkinan perempuan 
bernama Sekar Sengkuni akan melakukan hal 
yang sama?" 

Perempuan jelita berbulu mata lentik itu 
tak segera menjawab. Ditatapnya pemuda berma- 
ta angker di hadapannya. Lalu katanya, 

"Aku tidak bisa memastikan. Seperti yang 
kukatakan, aku baru beberapa hari di tanah Ja- 
wa. Kedatanganku ke sini memang untuk mencari 
Tala Kangkang yang kemudian kudengar kabar 
seseorang bernama Resi Tala Kangkang tinggal di 
Istana Gerbang Merah. Perjumpaanku dengan 
Demit Serigala membuatku bertambah yakin ka- 
lau penghuni Istana Gerbang Merah memang le- 
laki yang sedang kucari...." 

Raja Naga tak buka mulut. Dipandanginya 
kejauhan. Ditatapnya matahari yang semakin be- 
ranjak naik dari sela-sela dedaunan. Masih me- 
mandang kejauhan dia berkata, "Demit Serigala 
sedang memburu Resi Tala Kangkang demi men- 
dapatkan cinta Sekar Sengkuni. Karena selama r ^ 
 Resi Tala Kangkang masih hidup, maka dia tak  
akan pernah mendapatkan einta Sekar Sengkuni. 
Dan tidak mustahil kalau ternyata Sekar Sengku- 
ni sendiri juga sedang menuju ke Istana Gerbang 
Merah...." 

Woro Lolo diam-diam menarik napas pendek. 

"Semenjak kutinggalkan Pulau Andalas, 
yang hanya kubayangkan adalah perjumpaan 
dengan Tala Kangkang. Bukan untuk menda- 
patkan urusan segala macam seperti tindakan 
Demit Serigala. Apa yang dikatakan pemuda ber- 
juluk Raja Naga ini memang benar. Tak mustahil 
kalau Sekar Sengkuni mempunyai niat yang sa- 
ma." 

Raja Naga berkata, "Woro Lolo... sebenar- 
nya Saat ini aku sedang meneari pembunuh Ju- 
ragan Purna Setyo dari desa Karang Permata. Te- 
tapi, aku juga penasaran ingin mengenal Resi Ta- 
la Kangkang dan Sekar Sengkuni. Apakah kau 
tahu di mana Istana Gerbang Merah berada?" 

Woro Lolo menjawab, "Secara pasti tidak. 
Dari petunjuk yang kudapatkan, kita harus me- 
nuju ke arah barat. Di belakang sebuah bukit ka- 
pur, Istana Gerbang Merah berada." 

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" 

"Aku akan tetap menuju ke Istana Gerbang 
Merah. Kejelasan sudah kudapatkan kalau Resi 
Tala Kangkang yang mendiami Istana Gerbang 
Merah adalah orang yang kucari," suara Woro Lo- 
lo tak mampu menyembunyikan rasa rindunya 
yang dalam. "Di samping itu, aku juga harus 
memberitahukannya kalau bahaya sedang men- 
gancamnya...." 

Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya si 
perempuan yang sedang memandang kejauhan. 
Dilihatnya kilatan rindu pada sepasang mata jer- 
nihnya, kerinduan dalam yang meletup-letup 
meminta pelampiasan. 

Dibiarkan saja Woro Lolo yang terbuai oleh 
kerinduannya. Untuk beberapa saat hening terja- 
ga. Pagi semakin beranjak menuju siang. Burung- 
burung yang sejak tadi ramai beterbangan dan 
ernyanyi, mulai berkurang. 

Raja Naga mengusik lamunan Woro Lolo, 

"Kita akan segera menuju ke Istana Gerbang Me- 
rah. Hanya saja, aku akan tetap melaeak si pem- 
bunuh Juragan Purna Setyo." 

Woro Lolo melirik. 

"Anak muda... aku masih ingin berada di 
tempat ini. Apakah kau tidak memahami getar pe- 
rasaan gelisah, bingung, dan juga rindu yang ber- 
gelora di dadaku?" 

Murid Dewa Naga itu euma tersenyum. 

"Aku sangat memahaminya. Karena... aku 
juga pernah mengalami saat-saat seperti itu...." 

Woro Lolo hendak bertanya lebih lanjut, te- 
tapi anak muda berompi ungu itu sudah berlari 
meninggalkannya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu. Raja 
Naga...," desis Woro Lolo sepeninggal Raja Naga. 

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi 
bila pemuda bersisik eoklat pada lengan kanan 
kirinya sebatas siku itu tidak muncul. Kehorma- 
tan dan harga dirinya akan tercabik-cabik! Hanya 
matilah jalan satu-satunya untuk melepas aib itu! 

Bahkan tanpa disadarinya, saat Raja Naga 
mencoba menyadarkannya dari pengaruh ilmu 
aneh milik Demit Serigala, Woro Lolo berulang 
I kali merangkul pemuda itu dengan geliatan- 
geliatan tubuh penuh rangsangan. Mulutnya be- 
f rulang-ulang mendesiskan sesuatu yang mampu 
membuat gairah seorang lelaki bergelora. 

Raja Naga sendiri sempat beberapa kali 
terpana melihat sesuatu yang jarang dilihatnya. 
Tetapi dikuatkan hatinya untuk tidak terpenga- 
ruh pada yang dilihatnya. Bahkan akan disesa- 
linya bila dia tak dapat menyembuhkan Woro Lolo 
dari pengaruh ilmu busuk Demit Serigala. 

Dengan mempergunakan Gumpalan Daun 
Lontar warisan dari mendiang ayahnya. Raja Naga 
berhasil memunahkan pengaruh jahat ilmu Demit 
Serigala pada Woro Lolo. Sementara itu, Woro Lo- 
lo sendiri tidak tahu bagaimana caranya pemuda 
berkuncir kuda bermata angker itu mengoba- 
tinya. 

Dalam keadaan yang tidak wajar, Woro Lo- 
lo hanya merasakan kalau dia diminumkan sesu- 
atu oleh Raja Naga. 

Perempuan berpakaian putih ini menarik 
napas pendek. Sorot matanya sarat kerinduan 
tinggi. Kegundahan tiba-tiba dirasakannya ketika 
die berpikir, "Apakah Tala Kangkang masih men- 
gingatku?" 

Untuk beberapa lamanya perempuan jelita 
dari Pulau Andalas ini masih berdiri di tempat- 
nya. Matanya sesekali menatap ke kejauhan. Di- 
buang segenap kegelisahan yang ada di dadanya. 

Lima belas tarikan napas kemudian, Woro Lolo 
alias Mayang Kinanti segera meninggalkan tempat 
itu. 

* * * 

TUJUH 

KETIKA senja tiba, pemuda dari Lembah 
Naga itu menghentikan larinya di sebuah jalan 
yang lengang. Diperhatikan sekelilingnya yang di- 
penuhi pepohonan. 

Tiba-tiba matanya yang tajam menangkap 
satu bayangan merah muda datang dari arah ba- 
rat. Dari gerakan yang dilakukan oleh bayangan 
itu yang semakin lama kelihatan siapa adanya, 
nampaknya dia tak terlalu memperhatikan sekeli- 
lingnya. Bahkan tak dilihatnya Raja Naga padahal 
orang itu melintas hanya berjarak dua belas lang- 
kah di hadapan Raja Naga. 

Tetapi pemuda dari Lembah Naga ini meli- 
hat siapa adanya orang itu. 

"Galuh Tantri...," desisnya dalam hati. "Dia 
datang dari arah barat. Dan cukup aneh kalau 
gadis yang biasanya sigap dan tangkas itu berlalu  
begitu saja tanpa melihat kehadiranku di sini. 

Hemm... apakah telah terjadi sesuatu?" 

Habis berpikir demikian, Boma Paksi su- 
dah bergerak cepat menyusul gadis jelita berpa- 
kaian merah muda. 

Dalam waktu singkat saja dia sudah dapat 
memperpendek jaraknya dengan Galuh Tantri. 

"Dugaanku benar, nampaknya telah terjadi 
sesuatu. Sepertinya dia berlari hanya mengikuti 
kedua langkahnya saja, tanpa tahu harus berlari 
ke mana...." 

Lalu... hup! 

Dengan satu lompatan keeil Raja Naga te- 
lah menjajari langkah gadis yang memang Galuh 
Tantri adanya. Gadis berambut indah itu sejenak 
terkejut begitu melihat seseorang di samping ka- 
nannya. Tapi di saat lain dia sudah mendengus. 

"Kau?!" serunya sambil berhenti berlari. 

Raja Naga nyengir. "Ya, aku!" 

"Mengapa kau berada di sini, hah?!" 

"Astaga! Justru aku yang hendak bertanya 
demikian padamu!" 

"Kau tak perlu banyak tahu!" 

Pemuda berompi ungu itu cuma mengang- 
kat kedua bahunya. Hanya sekali lihat saja Boma 
Paksi tahu kalau gadis jelita ini dalam keadaan 
gundah. Wajah jelitanya sedikit tegang. Sorot ma- 
tanya beriak-riak, laksana getaran air di sebuah 
danau bening. 

Raja Naga buru-buru tersen3rum ketika me- 
lihat sepasang bibir mungil indah itu hendak ke- 
luarkan bentakan, "Kebetulan aku berjumpa den- 
ganmu di sini...." 

Gadis itu memandang curiga. Apa yang di- 
alaminya belum lama ini membuatnya menjadi 
sedikit lebih pemarah. 

"Apa maksudmu dengan kebetulan ber- 
jumpa denganku di sini?" suaranya menyelidik. 

Raja Naga tersenyum. 

"Aku sedang menuju ke arah barat, semen- 
tara kau datang dari arah barat. Bukankah ini 
menunjukkan satu kebetulan?" 

"Jangan banyak mulut!" bentak Galuh Tan- 
tri gusar. Saat ini dia ingin menyendiri, mem- 
buang segala gundah yang ada di hatinya. Apa 
yang dikatakan gurunya. Resi Tala Kangkang tak 
pernah bisa membuatnya tenang. Dan dia telah 
meninggalkan Istana Gerbang Merah, berarti me- 
ninggalkan gurunya untuk menghadapi tindakan 
busuk dari Sekar Sengkuni dan Buntet Kala- 
mangsang yang diperkirakan tak lama lagi akan 
tiba di sana. 

"Hemmm... aku bertambah yakin kalau be- 
lum lama ini dia tengah mengalami hal-hal yang 
membuatnya sedih, gelisah, dan tak tahu harus 
berbuat apa," kata pemuda berompi ungu dalam 
hati sambil melirik si gadis. Lalu pelan-pelan dia 
berucap, "Aku hendak menuju ke Istana Gerbang 
Merah. Apakah kau mengetahui di mana tempat 
itu?" 

Kepala Galuh Tantri menegak. Keningnya 
dikerutkan dengan mata tak berkedip pada pe- 
muda di hadapannya yang juga sedang menatap- 
nya. Lambat-lambat sorot matanya yang tadi pe- 
nuh kesedihan berubah berkilat-kilat. 

Raja Naga menangkapnya sebagai kilatan 
berbahaya! 

"Mengapa kau hendak menuju ke Istana 
Gerbang Merah?" Galuh Tantri berseru dingin. 

Tangan kanan kirinya mengepal keras. Tatapan- 
nya tak berkedip. Kejadian yang dialaminya be- 
lum lama ini justru membuatnya mudah curiga. 
Saat ini dia tahu kalau Sekar Sengkuni dan Bun- 
tet Kalamangsang akan datang ke Istana Gerbang 
Merah untuk membunuh gurunya. Dan sekarang, 
pemuda yang dikenalnya bernama Boma Paksi ini 
menanyakan hal yang sama. "Bisa jadi kalau pe- 
muda ini bermaksud buruk," kata batin Galuh 
Tantri. 

Menangkap suara yang menjadi dingin dan 
gusar serta tatapan mengandung sorot berba- 
haya. Raja Naga hanya tersenyum saja. Justru 
perubahan cepat yang terjadi pada gadis di hada- 
pannya ini semakin memancing rasa penasaran- 
nya, sekaligus membuktikan dugaannya kalau 
gadis ini sedang mengalami satu persoalan yang 
sukar dicari pemecahannya. 

Boma Paksi menjawab, "Aku hanya ingin 
tahu, apakah Resi Tala Kangkang memang tinggal 
di Istana Gerbang Merah...." 

"Mengapa kau ingin tahu soal itu, hah?! 
Ada urusan apa kau dengan Resi Tala Kang- 
kang?!" 

"Suaranya semakin keras. Tubuhnya mulai 
bergetar. Matanya semakin berbahaya. Hmmm... 
aku menangkap gelagat yang tidak enak. Tetapi, 
mengapa dia nampak begitu gusar ketika kuta- 
nyakan tentang Istana Gerbang Merah dan Resi 
Tala Kangkang? Apakah dia punya hubungan 
dengan penghuni istana Gerbang Merah itu?" 

 "Pemuda bersisik!" menggelegar suara Ga- 
luh Tantri sementara kaki kanannya digeser sedi- 
kit ke samping. "Apakah kau tiba-tiba tuli?!" 

Raja Naga lagi-lagi hanya tersenyum. 

"Galuh... mengapa kau menjadi pemberang 
seperti ini? Bila kau memang membutuhkan seo- 
rang teman untuk berbieara, aku bersedia mela- 
kukannya..." 

"Kau belum jawab pertanyaanku, bah?!" 
Raja Naga tak segera buka mulut. Tiba-tiba 
dirasakan satu tenaga seperti telah menameng- 
kan diri Galuh Tantri. 

"Astaga! Dia telah mengalirkan tenaga da- 
lamnya, pertanda benar-benar dalam kedudukan 
siap menyerang! Hemmm... aku harus segera 
menjelaskan masalah ini biar tak jadi salah du- 
ga..." kata pemuda berompi ungu ini dalam hati 
dan segera berkata, "Galuh... aku sama sekali ti- 
dak tahu di mana Istana Gerbang Merah berada 
dan siapa Resi Tala Kangkang. Semua itu kuden- 
gar dari seorang perempuan setengah baya ber- 
nama Woro Lolo yang berasal dari Pulau Andalas. 
Secara tak sengaja aku telah menyelamatkan Wo- 
ro Lolo dari bahaya yang akan dilakukan manusia 
busuk berjuluk Demit Serigala, yang ternyata 
adalah orang yang mencintai seorang perempuan 
bernama Sekar Sengkuni." 

Raja Naga melihat kening Galuh Tantri 
berkerut. Dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena 
cintanya ditolak Sekar Sengkuni, Demit Serigala 
memutuskan untuk membunuh Resi Tala Kang- 
kang yang hingga saat ini masih dicintai Sekar 
Sengkuni. Menurut Woro Lolo pula, dia sedikit 
mendapat petunjuk di mana Resi Tala Kangkang 
berada. Di Istana Gerbang Merah. O ya... aku ti- 
dak tahu, apakah Sekar Sengkuni yang mencintai . 

Resi Tala Kangkang ini, sama dengan Sekar  
Sengkuni yang telah kau duga sebagai pembunuh 
Juragan Purna Setyo..." 

Galuh Tantri tak buka mulut. Sorot ma- 
tanya masih berkilat penuh bahaya. 
Raja Naga berkata lagi, "Sebelum aku dan 

Woro Lolo berpisah, kami sama-sama memikirkan 
satu kemungkinan tentang Sekar Sengkuni. " 
Hingga saat ini sebenarnya aku belum dapat 
mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi, 
kendati telah kudengar dari mulut Woro Lolo, pe- 
rempuan dari Pulau Andalas yang dicintai dan 
sangat mencintai Resi Tala Kangkang." 

"Kemungkinan apa yang kau pikirkan ten-  
tang Sekar Sengkuni?" walau sikapnya tidak sete- 
gang tadi, tetapi suara Galuh Tantri tetap dingin. 

"Aku dan Woro Lolo sama-sama menduga 
kalau Sekar Sengkuni akan datang ke Istana Ger- 
bang Merah untuk menuntaskan sakit hatinya 
pada Resi Tala Kangkang." 

"Apakah kebenaran ucapanmu itu dapat 
dipercaya?" 

"Ucapan yang mana?" 

"Tentang perempuan setengah baya ber- 
nama Woro Lolo dan manusia busuk berjuluk 
Demit Serigala?" 

Mendengar pertanyaan itu pemuda dari 
Lembah Naga justru membungkam. Matanya me- 
nyelidik pada Galuh Tantri. Setelah beberapa 
saat, lambat-lambat terdengar ueapannya, "Men- 
gapa kau hanya menanyakan tentang Woro Lolo 
dan Demit Serigala? Mengapa kau tak menanya- 
kan tentang Sekar Sengkuni?" 

Galuh Tantri menarik napas pendek. Selu- 
ruh ketegangannya menurun. Raja Naga tak lagi 
merasakan adanya getaran tenaga dalam yang 
menamengi seluruh tubuh si gadis. 

Sebelum gadis itu menjawab, Raja Naga 
sudah mendahului. "Galuh... kau sebenarnya 
mengetahui di mana istana Gerbang Merah dan 
penghuninya yang bernama Resi Tala Kangkang 
berada. Bahkan aku menduga kalau kau punya 
hubungan erat dengannya. Pertanyaanmu yang 
seolah melupakan Sekar Sengkuni, semakin 
memperkuat dugaanku. Kalau kau juga mengenal 
siapa Sekar Sengkuni. Dan aku merasa yakin, ka-
lau Sekar Sengkuni yang sedang kita bicarakan 
ini, adalah Sekar Sengkuni yang kau duga seba- 
gai pembunuh Juragan Purna Setyo. Galuh... be- 
narkah apa yang kukatakan ini?" 

Gadis jelita berambut indah itu tak menja- 
wab. Justru pelan-pelan ditundukkan kepalanya. 

Raja Naga mendengar gadis berpakaian merah 
muda itu berulangkali menarik dan menghem- 
buskan napas. Seolah membuang sebagian beban 
yang menyarati dadanya. 

Dibiarkan saja gadis itu bersikap demikian. 
Lambat-lambat kepala gadis itu terangkat. Ma- 
tanya memandang biasan senja di kejauhan, me- 
natap bayangan beberapa ekor burung yang ter- 
bang bermandikan sinar matahari senja. 

Tanpa menoleh pada Raja Naga, Galuh 
Tantri berkata, "Semua yang kau duga itu benar, 
Boma.... Benar sekali. Bahkan aku tahu, kalau 
Sekar Sengkuni siap membunuh Resi Tala Kang- 
kang bersama seorang temannya yang entah se- 
perti apa rupanya yang bernama Buntet Kala- 
j mangsang...." 

Raja Naga ingin bertanya tentang orang 
yang disebutkan terakhir oleh si gadis, tetapi per- 
tanyaan lain yang lebih penting segera diutara- 
kan, "Galuh... siapakah Resi Tala Kangkang sebe- 
narnya?" 

Galuh Tantri memutar kepalanya, menatap 
pemuda di hadapannya. 

"Dia... dia... adalah guruku...." 
Raja Naga cuma mendesah pendek. 

"Ah, kini aku bisa meraba semuanya. Resi 
Tala Kangkang men3mruh muridnya untuk me- 
nyelidiki keberadaan Sekar Sengkuni karena dia 
yakin kalau perempuan itu akan menuntut balas. 

Kalaupun sebelumnya Galuh Tantri tak pernah 
mengenal Sekar Sengkuni, adalah sebuah kejuju- 
ran. Bila dia sekarang mengetahui kalau Sekar 
Sengkuni bersama dengan temannya yang ber- 
nama Buntet Kalamangsang sedang menuju ke Is- 
tana Gerbang Merah, itu artinya dia pernah ber- 
jumpa dengan kedua orang itu...." 

Setelah terdiam beberapa saat Raja Naga 
melontarkan jalan pikirannya yang segera diiya- 
kan oleh Galuh Tantri. Gadis itu menceritakan 
kalau dia telah bertarung dengan Sekar Sengkuni 
dan Buntet Kalamangsang, bahkan secara tak 
sengaja membuat Sekar Sengkuni mengetahui 
siapa dirinya dari jurus-jurus yang diperguna- 
kannya untuk menghadapi Buntet Kalamangsang. 

"Aku tak mengerti dengan jalan pikiran 
Guru," katanya kemudian sambil memandang 
pemuda berkuneir di hadapannya. "Setelah Guru 
menyelamatkanku dan kembali ke Istana Gerbang 
Merah, dia justru men3ruruhku untuk meninggal- 
kan Istana Gerbang Merah. Seluruh penghuni 
yang berlainan tempat pun telah meninggalkan is- 
tana atas perintah Guru, termasuk lelaki dari de- 
sa Karang Permata yang patah kakinya..." 

Boma Paksi menarik napas pendek. Tanpa 
sadar ingatannya kembali ke Lembah Naga, di 
mana selama dua belas tahun dia digembleng 
oleh seorang tokoh sakti berjuluk Dewa Naga, 
yang dengan enaknya menyuruhnya meninggal- 
kan Lembah Naga setelah dianggap telah mengu- 
asai seluruh ilmu yang diberikan Dewa Naga (ba- 
ca : "Tapak Dewa Naga"). 

Tiba-tiba ia mendengus ketika ingat akan 
sifat gurunya yang angin-angin. Bahkan selalu 
buang angin betulan semau jidat saja, di mana 
saja dan di hadapan siapa saja! 

Dengusan itu membuat Galuh Tantri men- 
gerutkan keningnya. 

"Mengapa, Boma? Apakah kau anggap aku 
tak pantas untuk menolak perintah Guru itu?" 

Raja Naga buru-buru tersenyum. 

"Kau pantas melakukannya. Tetapi sebagai 
seorang murid yang menjunjung tinggi perintah 
gurunya, kau harus mematuhi perintah itu," sa- 
hutnya sambil menepiskan sehelai daun kering 
yang jatuh di bahu kanannya. 

"Aku tak bisa melakukan hal itu sebenar- 
nya! Dengan kata lain, aku membiarkan Guru 
menghadapi masalahnya seorang diri!" 

"Resi Tala Kangkang tentunya telah memi- 
kirkan semua ini sebaik-baiknya, Galuh. Gurumu 
tak mungkin tidak memikirkan ke depan, memi- 
kirkan apa yang akan dialaminya...." 

"Aku memahami apa yang kau maksudkan, 
Boma. Akan tetapi, tetap saja itu artinya aku 
membiarkan Guru menghadapi maut. Dua orang 
tokoh sesat tak lama lagi akan muncul di hada- 
pan Guru, juga seorang tokoh yang berjuluk De- 
mit Serigala. Bisakah kau bayangkan Boma, pera- 
saan apa yang bergetar di dadaku membayangkan 
Guru harus menghadapi tiga orang sesat itu seka- 
ligus?" 

Boma Paksi tak menjawab. Dimaklumi apa 
yang dirasakan Galuh Tantri. Memang sangat su- 
kar menentukan pilihan terbaik di saat seperti ini. 
Akan tetapi, biar bagaimanapun juga, mematuhi 
perintah seorang Guru adalah sebuah tindakan 
bijak, keputusan tepat yang harus diambil. 

Galuh Tantri berkata lagi, suaranya agak 
tersendat, "Guru mengatakan, mungkin Istana 
Gerbang Merah akan menjadi kuburannya. Bo- 
ma... bayangkan, bayangkan apa yang kurasa- 
kan? Aku seolah hanya menikmati apa yang me- 
nyenangkan saja, tetapi langsung kabur sipat 
kuping bila ada masalah yang tidak menyenang- 
kan! Aku tidak menginginkan seperti itu! Aku in- 
gin membantu Guru!" 

Raja Naga menarik napas pendek. Dipan- 
danginya Galuh Tantri yang terdiam dengan na- 
pas sedikit memburu. Sedikit banyaknya dibenar- 
kan apa yang diinginkan Galuh Tantri. Di pihak 
lain, dia juga tidak bisa menyalahkan sikap Resi 
Tala Kangkang yang tak mau muridnya menerima 
akibat dari masa lalunya. 

Pelan-pelan pemuda tampan dari Lembah 
Naga ini maju dua tindak. Dipegangnya kedua 
bahu si gadis yang berlahan-lahan mengangkat 
kepalanya untuk membalas menatapnya. 

"Mungkin, apa yang akan kusulkan ini se- 
suatu yang lebih baik..." katanya lembut, 
"Apa.... Apa yang hendak kau usulkan, 
Boma? " 

"Kau telah meninggalkan Istana Gerbang 
Merah, itu artinya kau tetap mematuhi perintah 
gurumu. Dan sekarang, aku yang mengajakmu ke 
Istana Gerbang Merah." 

Kedua mata Galuh Tantri melebar cerah. 

"Maksudmu... ah, ya, ya... dengan begitu, 
aku tidak melanggar perintah Guru, karena aku 
telah meninggalkan Istana Gerbang Merah sebe- 
lumnya. Bukankah begitu maksudmu, Boma?" 

"Kau gadis yang cerdik" 

"Oh! Terima kasih, Boma! Terima kasih!" 
seru Galuh Tantri. Dan karena gembiranya men- 
dapatkan cara yang sama sekali tidak melanggar 
perintah gurunya, si gadis merangkul pemuda di 
hadapannya yang sejenak tergagap tetapi kemu- 
dian mendiamkan saja. 

Rangkulan itu begitu erat, hingga akhirnya 
Raja Naga sedikit terbawa arus masa lalunya. 

"Andaikata.. Diah Harum yang saat ini me- 
rangkul ku... terasa akan lebih menyenangkan..." 
desisnya dalam hati. Diah Harum atau yang ber- 
juluk Dewi Bunga Mawar, adalah gadis pertama 
yang dicintai Boma Paksi. Sayangnya, gadis itu 
akhirnya telah tewas. (Untuk mengetahui siapa 
Diah Harum, silakan baca : "Kutukan Manusia 
Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut". Dan un- 
tuk mengetahui tewasnya Diah Harum, silakan 
teman-teman pembaca membaca episode: "Ratu 
Tanah Terbuang") 

Sementara itu Galuh Tantri tiba-tiba mele- 
paskan rangkaiannya. Dipandanginya sejenak 
pemuda tampan yang sedang tersen3rum. Rasa 
malu membiasi wajah Galuh Tantri yang seketika 
bersemu merah. 

"Boma...," desisnya menahan malu. "Aku... 
aku..." 

"Bila tak ada yang hendak dibicarakan lagi, 
kita berangkat sekarang ke Istana Gerbang Me- 
rah..." kata Boma Paksi yang tidak ingin si gadis 
bertambah malu. 

Galuh Tantri buru-buru mengangguk. Di- 
biarkan pemuda berompi ungu itu mendahu- 
luinya. Sejenak dipandanginya pemuda gagah itu 
dari belakang. Biasan malunya tiba-tiba lenyap, 
berganti dengan dada yang bergemuruh. 

"Ah... mengapa aku melakukan hal itu? " 
desisnya. "Apakah karena aku merasa gembira 
atas usulnya... atau karena..." 

Galuh Tantri tak mau meneruskan desi- 
sannya. Kejap berikutnya buru-buru dia menyu- 
sul pemuda berkuncir kuda itu. 

* * *

DELAPAN 

PAGl masih buta, butiran embun masih 
mengga3rut di pepohonan, udara masih sangat 
dingin tatkala bentakan membahana itu terden- 
gar, "Tala Kangkang! Jangan menjadi tikus busuk 
yang hanya mendekam di istanamu yang bagus 
ini! Keluar kaul!" 

Di ruang tengah Istana Gerbang Merah, 
kakek berpakaian merah mengangkat kepalanya 
sejenak. ; 

"Dia telah datang...," desisnya pelan seraya 
mengusap kumis putihnya. 

Di luar seruan yang mengalahkan petir di 
siang bolong menggema lagi, "Keluar kaul Atau... 
kuhancurkan Istana ini sekarang juga!" 

Menyusul bentakan itu terdengar suara le- 
tupan keras, 

Brooollll!! 

Batu-batu dinding bagian depan Istana 
Gerbang Merah berpentalan terhantam dorongan 
tangan kanan orang yang berseru. 

"Sekar Sengkuni! Gerbang istana ini terbu- 
ka! Hanya ada dua arti dari terbukanya gerbang 
itu! 

Sekar Sengkuni melirik tajam pada keran- 
jang yang berada tak jauh darinya. 

"Apa maksudmu?!" bentaknya sengit. 

Dari dalam keranjang terdengar dengusan 
keras, 

"Pertama, Resi Tala Kangkang memang 
mengetahui kita datang dan membiarkan gerbang 
ini terbuka untuk kita masuki Kedua, dia telah 
menyiapkan sebuah jebakan!" 

"Aku telah lama mengenal Tala Kangkang! 
 Dia tak akan mungkin melakukan tindakan pen- 
gecut!" 

"Melarikan diri setelah menyelamatkan mu- 
ridnya dan lelaki yang patah kakinya, apakah bu- 
kan tindakan pengecut?" maki orang dalam ke- 
ranjang. 

"Buntet Kalamangsang! Kau belum menge- 
nai dia!" 

"Astaga!" keranjang itu bergoyang-goyang 
sesaat. "Sekar Sengkuni, kau ingin membunuh- 
nya, atau mengajakku untuk mengenalnya lebih 
dekat?!" 

Ucapan orang yang tidak diketahui seperti 
apa rupanya itu membuat Sekar Sengkuni men- 
gertakkan rahangnya. 

"Terkutuk!" geramnya seraya melangkah 
memasuki pintu gerbang berwarna merah yang 
terbuka. Di belakangnya, keranjang itu melom- 
pat-lompat mengikutinya. 

Berjarak lima belas langkah dari pintu ma- 
suk ke dalam istana Gerbang Merah, Sekar Seng- 
kuni menghentikan langkahnya bersamaan satu 
sosok berpakaian merah muncul dari dalam, 

Untuk beberapa saat perempuan setengah 
baya berpakaian hijau ini terdiam tak berkedip. 
Napasnya memburu. Getaran di dadanya memacu 
amarahnya, tetapi juga memacu kerinduan yang 
telah lama dipendam. 

Resi Tala Kangkang mengembangkan senyum. 

"Selamat datang di kediamanku ini, Sekar 
Sengkuni...," sapanya ramah. 
Sekar Sengkuni masih terdiam. Seolah 
meyakinkan diri kalau lelaki itu memang lelaki 
yang pernah dan masih dicintainya. 

Justru Buntet Kalamangsang yang menjadi 
geram. 

"Perempuan celaka! Manusia yang telah 
menyakitimu telah berdiri di hadapanmu! Menga- 
pa kau bersikap seperti kambing dungu, hah?!" 

Bentakan itu menyadarkan Sekar Sengkuni 
dari tujuannya semula. Saat itu juga kemarahan-
nya muncul lagi. Kebenciannya menggebu-gebu 
kendati dia harus susah payah menindih kerin- 
duan yang datang di hatinya. 

"Hampir tiga puluh tahun lewat tak jumpa, 
ternyata kau masih tetap gagah. Tala Kangkang!" 

Sementara dari dalam keranjang terdengar 
dengusan. Resi Tala Kangkang tersen3rum. Seraya 
melangkah dia berkata, "Kau pun tak berbeda 
jauh dari tiga puluh tahun yang lalu. Sekar Seng- 
kuni!" 

Sekar Sengkuni terdiam. Dadanya berdebar. 

"Gila! Mengapa aku jadi gagap begini? Uca- 
pannya tadi... ah, dia seperti tetap mengin- 
gatku...." 

Selagi Sekar Sengkuni membatin begitu,
Buntet Kalamangsang menggeram, "Perempuan 
celaka! Mengapa harus membuang waktu lagi? Ki- 
ta bunuh manusia satu itu!" 

Kembali amarah Sekar Sengkuni beranjak naik. 

"Berhenti di sana!" bentaknya. Setelah Resi 
Tala Kangkang berhenti dia membentak lagi, "Aku 
datang untuk mencabut nyawamu. Tala Kang- 
kang!" 

"Meskipun aku telah menduga demikian, 
tetapi aku merasa heran mengapa kau begitu 
bernafsu menginginkan nyawaku!" 

"Tiga puluh tahun lewat kau telah menya- 
kiti hatiku! Dan rasa sakit hatiku itu telah ber- 
buah dendam, baru akan padam setelah meli- 
hatmu mampus!"

"Terkutuk!" desis Buntet Kalamangsang. 
"Mengapa dia masih banyak bicara? Kalau begitu...." 

Memutus kata batinnya sendiri dan sebe- 
lum Resi Tala Kangkang menjawab, Buntet Kala- 
mangsang telah melesat cepat. Gemuruh angin 
mendahului lesatan keranjang anyaman kayu la- 
pis itu, di belakangnya mengikuti asap hitam 
yang pekat. 

Sekar Sengkuni terkesiap melihat tindakan 
yang dilakukan Buntet Kalamangsang. Di sebe- 
rang, Resi Tala Kangkang hanya memperhatikan 
saja lesatan keranjang yang mengarah pada da- 
danya. 

Di saat lain, dia sudah menghindar dengan 
gerakan yang sukar diikuti mata. 

Brrooolll!!! 

Keranjang itu menghantam dinding di 
samping kanan pintu utama yang berpentalan ke 
dalam. Begitu menghantam dinding, keranjang itu 
sudah melesat, memburu ke arah Resi Tala Kang- 
kang. 

Kali ini kakek berpakaian merah tak 
menghindar seperti tadi. Kaki kanannya dis- 
urutkan ke belakang, lalu dengan tangan ditekuk 
disongsongnya keranjang itu. 

Plak! 

Keranjang itu terpental dan membalik lagi. 

Di pihak lain Resi Tala Kangkang mundur dua 
tindak seraya menyilangkan kedua tangannya di 
depan dada. Kejap lain diputar kedua tangannya 
di atas kepala lalu dihentakkan. 

Blaaamm! 

Keranjang itu terpental lebih jauh terkena 
dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di 
udara. Terdengar suara membentak keras, me- 
nyusul keranjang itu hinggap di atas tanah yang 
segera berhamburan. 

"Perempuan celaka! Kau ingin melihatku 
mampus, hah?!" geramnya sengit. 

Seperti disadarkan. Sekar Sengkuni meng- 
geram sengit. Dia sudah menggebrak cepat dis- 
usul Buntet Kalamangsang. 

Resi Tala Kangkang menarik napas panjang. 

"Rasanya hal ini memang tak bisa dielak- 
kan lagi. Aku harus menyelamatkan diri." 

Seraya menghindari dua serangan yang da- 
tang susul men3aisul, Resi tala Kangkang mengi- . 
baskan tangan kanan kirinya. Dari tangan ka- 
nannya meneelat eahaya merah sementara dari 
tangan kirinya meneelat eahaya putih. 

Dengan ilmu 'Kabut Bayangan Menembus 
Gelap' Resi Tala Kangkang berhasil memukul 
mundur kedua lawannya. Tetapi di saat lain, Se- 
kar Sengkuni sudah melesat disertai teriakan, 

"Ilmu 'Kabut Bayangan Menembus Gelap'
hanya akan menjadi sebuah nama belaka!!"

Masih melesat tiba-tiba saja tubuhnya ber- 
balik dengan kepala di bawah. Kedua kakinya te- 
rentang eepat dan memutar laksana baling-baling 
kapal berkeeepatan tinggi. 

Segera berhamburan gelombang angin 
yang perdengarkan suara bergemuruh. Tanah di 
sekitar Istana Gerbang Merah berhamburan. Pe- 
pohonan yang tumbuh di sana tumbang dan ter- 
pental menabrak dinding yang seketika roboh. 
Jendela-jendela Istana Gerbang Merah hancur be- 
rantakan. 

Resi Tala Kangkang tereekat begitu melihat 
eahaya merah dan putih yang keluar dari tangan 
kanan kirinya terhantam dan berbalik menderu 
ke arahnya. 

"Astaga!!" serunya terkejut seraya bergulingan. 

Blaaam! Blaaammm! 

Cahaya merah dan putih itu menabrak 
dinding istana hingga jebol dan bergetar. Belum
lagi si kakek berdiri, keranjang diiringi asap hitam 
sudah melesat ke arahnya. Resi Tala Kangkang 
masih berhasil memukul keranjang itu hingga 
terpental, tetapi dia harus eepat menghindari 
hamburan angin dahsyat yang keluar dari puta- 
ran kaki Sekar Sengkuni seperti kepalanya tak 
menyentuh tanah. 

"Luar biasa! Rupanya selama bertahun- 
tahun ini Sekar Sengkuni telah menciptakan ju- 
rus yang luar biasa untuk menandingi ilmu 
'Kabut Bayangan Menembus Gelap'," desisnya 
dengan napas memburu. 

Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh- 
nya. Paras si kakek menjadi tegang. Sekar Seng- 
kuni yang dilanda kemarahan tinggi terus mence- 
car, sementara Buntet Kalamangsang hanya ter- 
diam di dalam keranjangnya. Dia muntah darah 
akibat dorongan kedua tangan Resi Tala Kang- 
kang. 

Tetapi apa yang dilihatnya kemudian mem- 
buatnya geram. Karena Sekar Sengkuni seperti 
sengaja menurunkan keeepatan menyerangnya. 

Terlihat dari gelombang angin yang tidak sedah- 
syat sebelumnya. 

"Terkutuk! Rupanya dia memang masih 
meneintai Tala Kangkang! Terbukti dia menurun- 
kan daya serangannya! Ini tak boleh terjadi! Tak 
boleh terjadi!!" dengus Buntet Kalamangsang lalu 
berseru keras, "Sekar Sengkuni! Bila kau memang 
berniat untuk membunuhnya, putuskan segala 
apa yang kau rasakan! Hilangkan masa lalumu 
kalau kau pernah meneintainya! Dia adalah mu- 
suh besarmu yang telah menyakiti hatimu!!" 

Sekar Sengkuni yang masih dalam kedu- 
dukan kepala di bawah menggeram sengit. 

"Keparat! Apa yang telah kulakukan?" de- 
sisnya gusar pada dirinya sendiri. "Manusia cela- 
ka itu harus mampus! Harus mampus!!" 

"Perempuan bodoh!'" maki Buntet Kala- 
mangsang lebih keras. "Tindakanmu itu justru 
akan meneelakakanmu sendiri!" 

"Diaaamm!!" bentak Sekar Sengkuni geram. 

Kejap lain serangannya sudah sedahsyat 
sebelumnya. Resi Tala Kangkang masih terus ber- 
lompatan menghindari serbuan gelombang angin 
raksasa yang mengerikan. 

Bagian kiri Istana Gerbang Merah sudah 
porak poranda. Di bagian tengah terdengar suara 
atap ambruk. 

"Celaka! Aku harus bertahan!" serunya. 

Tetapi tiba-tiba... dess!! 

Resi Tala Kangkang terpental ke depan 
tatkala satu jotosan menghantam punggungnya. 

Dia sempoyongan tanpa dapat mengendalikan ke- 
seimbangannya. 

Sekar Sengkuni yang semakin gila dengan 
serangannya tiba-tiba saja menghentikan seran- 
gannya, sehingga Resi Tala Kangkang urung ter- 
kena sambaran gelombang angin memutar yang 
keluar dari kedua kakinya. Bersamaan dia tegak 
kembali di atas tanah, mulutnya membentak, 
"Kakek keparat! Mengapa kau ikut campur uru- 
sanku, hah?!" 

Berjarak dua puluh langkah dari tempat- 
nya, Demit Serigala menyeringai. Dialah yang tadi 
membokong punggung Resi Tala Kangkang. 

"Kekasihku... aku tahu, kau tak akan per- 
nah membalas einta kasihku sebelum Tala Kang- 
kang mampus kubunuh...." 

"Keparat!" geram Sekar Sengkuni penuh 
kebeneian. Matanya berapi-api menatap kakek 
berpakaian eompang-eamping warna merah. "Bi- 
arpun kau membunuh Tala Kangkang, kau tetap 
tak akan pernah mendapatkan cinta kasihku!" 

Seringaian di bibir Demit Serigala seketika 
lenyap. 

Matanya berkilat-kilat penuh bahaya. 

"Perempuan celaka! Berpuluh tahun aku 
berusaha mendapatkan ketulusan cintamu, tetapi 
hingga sekarang belum juga kudapatkan! Bahkan 
kau berani menghina keputusanku untuk mem- 
bunuh Tala Kangkang" 

"Bila kau berani melakukannya... kau akan 
berhadapan denganku!" 

Sebelum Demit Serigala yang tiba-tiba 
muncul berseru, dari keranjang terdengar ma- 
kian, "Perempuan bodoh! Apa yang dilakukan ka- 
kek itu adalah sesuatu yang benar! Kau bisa 
mempergunakan tangannya untuk membunuh le- 
laki yang kau benci!" 

"Aku tak pernah berpikir demikian! Aku 
tak pernah berharap kalau dia yang membunuh 
Tala Kangkang!" seru Sekar Sengkuni tanpa meli- 
hat pada Buntet Kalamangsang. 

Sementara itu. Resi Tala Kangkang sedang 
berusaha bangkit. Punggungnya terasa nyeri. Tu- 
buhnya bergetar karena ngilu. ' ^ 

Demit Serigala berseru jengkel, "Kuda- 
patkan atau tidak cintamu, lelaki yang kuanggap 
sebagai penghalang itu akan tetap kubunuh!" 

Belum habis ucapannya Demit Serigala su- 
dah melompat disertai gerengan laksana seekor 
serigala murka. Kedua tangannya membuka den- 
gan jari jemari melebar. Masih melayang di udara 
ditepuk kedua tangannya. 

Terdengar suara yang sangat luar biasa ke- 
rasnya. Resi Tala Kangkang yang baru saja men- 
gembalikan ke seimbangannya, terbanting lagi ka- 
rena merasakan satu dorongan tenaga menerpa 
dadanya. Belum lagi dia mampu untuk menghin- 
dar, segumpal cahaya merah melesat dan tiba- 
tiba meletup pecah. Muncratannya meluncur ke 
arah Resi Tala Kangkang dengan suara mendeng- 
ing-denging. 

Tetapi sebelum serangan ganas Demit Seri- 
gala mengenai sasarannya, tiba-tiba saja gelom- 
bang angin berputar berhamburan menghantam 
muncratan cahaya merah itu. 

Pias! Pias! Pias!! 

Muncratan cahaya merah itu berpentalan 
ke sana kemari dan menghantam tanah hingga 
berlubang mengeluarkan asap. 

Seketika bentakan Demit Serigala memba- 
hana, "Perempuan celaka! Apa yang kau lakukan, 
hah?!" 

Sekar Sengkuni yang tadi menghalangi se- 
rangan Demit Serigala pada Resi Tala Kangkang 
menggeram sengit setelah kembali berdiri tegak, 

"Jangan campuri urusanku! Lebih baik tinggalkan 
tempat ini sebelum kueabut nyawamu!" 

"Perempuan setani Kau benar-benar telah 
menghinaku!!" 

Sebelum Demit Serigala lanearkan seran- 
gannya pada Sekar Sengkuni, keranjang yang tadi 
bergerak-gerak melesat dan hinggap di tengah- 
tengah antara Demit Serigala dan Sekar Sengkuni. 

"Tahan! Kita sama-sama kawan! Kedatan- 
gan kita ke sini dengan tujuan yang sama, sama-
sama ingin mencabut nyawa Tala Kangkang! Hen-
tikan pertikaian ini! Karena kita bukanlah lawan!" 

Kendati masih tidak puas dengan apa yang 
dilakukan Sekar Sengkuni, Demit Serigala berse- 
ru, "Kau dengar ueapan orang dalam keranjang 
itu! Bila kau tidak puas, setelah kita bunuh Tala 
Kangkang, kita bisa teruskan urusan kita sendi- 
ri!" 

Sekar Sengkuni tak menjawab. Parasnya
diliputi oleh rasa bingungnya sendiri. Di satu pi- 
hak, keinginan untuk membunuh Resi Tala 
Kangkang begitu mendesak. Tetapi di pihak lain, c
begitu melihat lelaki yang sangat dieintainya ini, 
kelembutannya sebagai seorang perempuan tiba- 
tiba muncul. 

Buntet Kalamangsang membentak, "Cepat 
kau ambil keputusan sebelum akhirnya berubah 
menjadi tak karuan!" 

Sekar Sengkuni masih tak buka mulut. Di- 
perbatikannya bagaimana Tala Kangkang sedang 
berusaha berdiri dengan kedua kaki goyah. Dari 
mulutnya telah merembas darah segar. 

"Perempuan keparat!" maki Demit Serigala. 

"Kau mau membalas cintaku atau tidak, aku su- 
dah tidak peduli! Tetapi lelaki itu harus mampus 
saat ini juga!" 

"Kau harus mengambil keputusan, Sekar 
Sengkuni!" seru orang dalam keranjang: "Aku tak 
mengerti akan sikapmu yang berubah menjadi 
lembek seperti itu! Orang yang hendak kau bu- 
nuh sudah tak berdaya, melakukannya pun bu- 
kan sebuah kesukaran lagi! Cepat ambil keputu- 
san, sebelum aku berubah pikiran untuk berada 
sebagai pihak lawan denganmu!!" 

Sekar Sengkuni memandangi orang-orang 
yang berada di sana bergantian. Sorot matanya 
memancarkan dendam dan kelembutan yang ter- 
sisa. Gelora dadanya menyesakkan napasnya. 

Ditariknya napas pelan-pelan sementara 
kedua tangannya mengepal. Di lain kejap, terden- 
gar desisannya dingin, "Bunuh lelaki keparat 
itu!!" 

Habis ucapannya. Demit Serigala sudah 
menerjang dengan jari-jari membuka membentuk 
cakar. Seperti serangan yang pertama tadi dila- 
kukan, kembali segumpal cahaya merah melesat, 
meletup dan bermuncratan ke arah Resi Tala 
Kangkang yang hanya bisa memandang dengan 
mata tegar! 

Namun mendadak saja terdengar suara 
deheman yang sangat keras, menyusul dua ge- 
lombang angin yang disemburati asap merah 
menggebah. Menghantam serangan Demit 
Serigala. 

Blaaamm! Blaaammm!! 

Bersamaan letupan itu terjadi, satu bayan- 
gan putih melesat dari sebelah kiri dan menyam- 
bar tubuh Tala Kangkang. 

"Woro Lolo!" seru Sekar Sengkuni terkejut 
begitu mengenali siapa orang yang menyambar 
Resi Tala Kangkang. 

* * *

SEMBILAN 


BAYANGAN putih yang memang Woro Lolo 
memandang dingin pada Sekar Sengkuni. "Kau 
tak pernah puas mencelakakan Tala Kangkang, 
Sekar Sengkuni!" desisnya sementara Tala Kang- 
kang sendiri terkejut melihat kehadiran Woro Lo- 
lo. 

"Mayang Kinanti...," desisnya memanggil 
nama asli Woro Lolo. 

Di pihak lain. Demit Serigala menggeram 
setinggi langit pada pemuda berompi ungu yang 
tadi memutus serangannya. 

"Lagi-lagi kau. Pemuda celakai!" geramnya 
berang seraya menerjang. 

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra- 
ja Naga segera menjejakkan kaki kanannya. Seke- 
tika tanah berderak, bergelombang dahsyat ke 
arah Demit Serigala. 

Sementara itu. Sekar Sengkuni menjadi 
bertambah berang melihat kehadiran Woro Lolo. 
Dia sama sekali tak menyangka kalau perempuan 
itu akan muncul di sini. Kemarahannya kian me- 
muncak. Segera diterjangnya Woro Lolo yang se- 
gera melompat pula. 

Di pihak lain, gadis berpakaian merah mu- 
da sudah mendekati Resi Tala Kangkang. 

"Guru...." 

"Astaga! Kau datang kembali, Galuh...," de- 
sis Resi Tala Kangkang. 

Galuh Tantri mengangguk. Dia memang 
muncul bersama Raja Naga. Dan bersamaan Raja 
Naga hendak memutuskan serangan Demit Seri- 
gala pada gurunya, satu sosok tubuh berpakaian 
putih tiba-tiba pula muncul menyelamatkan gu- 
runya. Galuh Tantri sendiri baru sekarang men- 
genal perempuan bernama Woro Lolo. 

Dan gadis ini terpaksa harus menghindar 
dulu dari gurunya, karena keranjang anyaman 
kayu lapis sudah menderu. Rupanya Buntet Ka- 
lamangsang tak mau membuang kesempatan. 

Tetapi dia harus ditahan oleh Galuh Tantri. 

Tiga pertarungan yang seketika terjadi itu 
membuat tempat itu bertambah porak poranda. 

Bagian dalam Istana Gerbang Merah menjadi sa- 
saran serangan yang luput dari sasaran. 

Resi Tala kangkang yang masih dalam kea- 
daan terluka dalam dengan punggung yang san- 
gat nyeri, terpaksa beringsut mundur. Hati lelaki 
ini dipenuhi luka, dipenuhi kepedihan dalam 
mengingat kalau semua yang terjadi sekarang ini 
berasal dari dirinya. 

Disesalinya mengapa dia harus jatuh cinta 
pada Woro Lolo. Disesalinya mengapa dia tidak 
mengetahui kalau Sekar Sengkuni mencintainya. 
Tetapi begitu didapat jawaban kalau pangkal dari 
keributan ini berasal dari Sekar Sengkuni, pera- 
saan Reel Tala Kangkang sedikit tenang kendati  
hatinya pedih. 

Raja Naga mencoba mencecar Demit Seri- 
gala yang mengamuk. Dia memang agak kesulitan 
untuk menerobos serangan demi serangan dari 
Demit Serigala. Bahkan jurus 'Kibasan Naga Men- 
gurung Lautan' dan 'Barisan Naga Penghancur 
Karang' tak berguna sama sekali. Pemuda bersisik 
coklat ini mencoba melepaskan jurus 'Hamparan 
Naga Tidur' sebuah jurus yang menyerang secara 
tiba-tiba. Tetapi jurus itu pun tak banyak berarti. 

Hingga kemudian diputuskan untuk men-
geluarkan ilmu'Naga Mengamuk'. 

Di pihak lain, Woro Lolo tak sanggup 
menghadapi gempuran-gempuran Sekar Sengkuni
yang semakin berang. Putaran angin dahsyat 
yang berhamburan itu membuatnya tak berani 
untuk lebih mendekat. 

Sementara itu sesungguhnya Galuh Tantri 
bukan hanya mampu mengimbangi Buntet Kala- 
mangsang yang telah terluka, bahkan dia dapat 
menjatuhkan keranjang itu dengan segera. Tetapi 
karena terhantam pusaran angin yang keluar dari
putaran kedua kaki Sekar Sengkuni, gadis berpa- 
kaian merah muda itu kini terdesak hebat. 

Dadanya terasa nyeri, napasnya sesak. Ali- 
ran darahnya bertambah kacau dengan keringat 
yang membanjir. 

Raja Naga melihat keadaan yang tak men- 
guntungkan itu. Tiba-tiba saja dia merangsek ma- 
suk ke dalam pusaran serangan Demit Serigala. 
Selagi kakek bongkok berpakaian compang- 
camping itu harus menghindar, dia segera menee-  
lat ke arah Galuh Tantri. 

Tap! 

Disambarnya Galuh Tantri. Dengan memu- 
tar tubuh, tiba-tiba kakinya meneuat, menendang 
keranjang yang sedang menderu kencang. 

Buk !

Keranjang itu terpental. 

Raja Naga bertindak lebih cepat. Masih 
membopong Galuh Tantri dia memburu keranjang 
yang terpental itu. Dengan kekuatan yang terda- 
pat pada lengannya yang bersisik, dihantamnya 
keranjang itu dua kali. 
Jeritan keras terdengar. 

Keranjang itu bergulung di atas tanah 
dan... plar! Plaarrr! 

Anyamannya berpentalan lepas berhambu- 
ran ke sana kemari. Sesuatu masih berguling de- 
ras. Setelah menabrak dinding istana, barulah se- 
suatu itu berhenti. Sesuatu yang ternyata seorang 
manusia bertubuh ringkihi Tanpa mengenakan 
pakaian, berada dalam keadaan polos. Wajah 
Buntet Kalamangsang ternyata mengerikan. Di- 
penuhi dengan bopeng. Mata kirinya picak. Ram- 
butnya hanya sejumput belaka. Tangan kanannya 
dipenuhi luka yang memerah. Dan dia tidak me- 
miliki kaki! Dan sekarang, manusia aneh berwu- 
jud mengerikan itu telah tewas! 

Melihat kematian Buntet Kalamangsang 
perhatian Sekar Sengkuni menjadi peeah. Diting- 
galkannya Woro Lolo yang sebenarnya sudah tak 
berdaya. Diserbunya Raja Naga yang segera me- 
lempar tubuh Galuh Tantri yang segera ditangkap 
oleh Woro Lolo. 

Bersamaan Sekar Sengkuni menyerangnya, 
Demit Serigala juga melompat disertai gerengan 
keras. Menghadapi dua tokoh sesat berilmu ting- 
gi, Raja Naga terdesak hebat. Berulang kali wa- 
jahnya terterpa putaran gelombang angin yang 
keluar dari kedua kaki Sekar Sengkuni. 

Perih tak terkira, tetapi masih ditahan se- 
kuat tenaga. 

"Aku tak boleh menyerah!" desisnya men- 
guatkan hati. "Bila aku menyerah, bukan hanya 
nyawaku yang putus, tetapi nyawa Resi Tala 
Kangkang, Galuh Tantri, dan Woro Lolo juga akan 
meninggalkan jasadi" 

Dengan bara tekad yang kuat. Raja Naga 
terus bertahan. Dia sengaja agak menjauh dari 
yang lainnya agar tidak terkena sasaran seran- 
gan. 

Sementara itu baik Sekar Sengkuni mau- 
pun Demit Serigala, sama-sama bertambah buas. 
Terutama setelah anak muda itu terkena tendan- 
gan Demit Serigala pada perutnya yang mem- 
buatnya tersungkur. 

Bersamaan dengan itu Demit Serigala me- 
lompat dan berbalik. Cakar-eakarnya siap men- 
cabik-cabik punggung Raja Naga! 

Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan, 
sesuatu yang luar biasa terjadi! Karena mendadak 
saja sebuah cahaya hijau melesat dari punggung 

Raja Naga. 

Plaasss! . 

Dan menghantam Demit Serigala yang me-
lolong keras, "Aaaakhhhh!!" 

Tubuh kakek itu tergulung di atas tanah. 
Di pihak lain, Sekar Sengkuni yang siap 
menyerang dari depan urung melakukan seran- 
gannya. Matanya membeliak lebar melihat cahaya 
hijau yang kini meliuk-liuk di atas punggung Raja 
Naga.

Bukan hanya Sekar Sengkuni yang terke- 
siap kaget, yang lainnya pun tersentak, termasuk 
Demit Serigala yang telah berhasil berdiri. 

"Astaga!" seru Sekar Sengkuni tanpa sadar. 
"Cahaya hijau itu... berbentuk seekor naga!!" 

Saat ini Raja Naga telah berdiri tegak. Ca- 
haya hijau yang berbentuk seekor naga masih 
meliuk-liuk di atas punggungnya. Paras pemuda 
itu tiba-tiba berwibawa. Sorot matanya bertambah ; 
angker, bertambah mengerikan. Sisik-sisik coklat 
yang memenuhi kedua lengannya sebatas siku, 
semakin nyata. 

"Aku bukanlah orang yang kejam... silakan 
tinggalkan tempat ini bila ingin selamat...," desis- 
nya dingin. 

Cahaya hijau yang menjelma menjadi see- 
kor naga itu masih meliuk-liuk. Di punggung Raja 
Naga terdapat sebuah tato seekor naga berwarna 
hijau, tato yang dibawanya sejak dia dilahirkan. 
Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ba- 
gaimana tato naga hijau itu dapat menjelma men- 
jadi seekor naga berbentuk eahaya 

Bahkan Dewa Naga, guru Raja Naga pun 
tak bisa menjelaskan tentang naga yang keluar 
dari tato itu. Sebelum Raja Naga meninggalkan 
Lembah Naga, Dewa Naga pernah berpesan agar 
pemuda itu memeeahkan rahasia tato naga hijau 
pada punggungnya (Bila teman-teman pembaca 
penasaran ingin mengetahui tentang tato naga di 
punggung Boma Paksi, silakan baca episode 
"Tapak Dewa Naga"). 

Baik Sekar Sengkuni maupun Demit Seri- 
gala yang telah berdiri di samping kanannya, tak 
ada yang buka suara. Mereka masih memandangi 
naga hijau berbentuk cahaya itu. 

"Yang kudengar selama ini kalau Raja Naga 
memiliki kesaktian tinggi dan memiliki sebuah 
benda sakti bernama Gumpalan Daun Lontar. Te- 
tapi tak pernah kuduga kalau dia memiliki ilmu 
yang aneh itu...," desis Sekar Sengkuni dalam ha- 
ti. 

Demit Serigala berbisik, "Kendati dia telah 
mengeluarkan ilmu pamungkasnya... aku tak 
akan mundur. Bagaimana dengan kau?" 

Sekar Sengkuni melirik. 

"Keinginanku untuk membunuh Tala 
Kangkang. Dan pemuda itu telah menghalan- 
ginya. Kita bunuh dia sama-sama!" 

Habis desisannya, kembali Sekar Sengkuni 
menerjang dengan kedua kaki berputar di atas. 

Disusul oleh Demit Serigala. 

Raja Naga menjerengkan sepasang ma- 
tanya seraya membatin, "Manusia-manusia ini 
terlalu keras kepala. Dan rasanya...." 

Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba 
saja naga hijau yang masih meliuk-liuk di atas 
punggungnya menerjang keras. Sekar Sengkuni 
yang masih berputar dengan kedua kaki di atas 
itu terpelanting disertai jeritan tertahan. Di pihak 
lain. Demit Serigala menjerit keras karena terkena 
cakaran dari naga hijau itu. 

Menyusul gelombang jeritannya memecah 
alam. Karena tubuhnya telah berada dalam gigi- 
tan naga hijau itu yang menggoyang-goyangkan 
kepalanya. Berulang kali terdengar suara berde- 
rak keras sebelum kepala naga hijau itu bergerak 
ke samping kanan. 

Tubuh Demit Serigala meluncur deras dan 
ambruk di atas tanah menjadi mayat! 

Sekar Sengkuni telah bangkit. Tanpa keli- 
hatan jeri sama sekali dia menyerang lagi. Keja- 
dian yang dialami oleh Demit Serigala juga diala- 
minya. Tubuhnya pun terbanting di atas tanah 
tanpa nyawa. 

Setelah kedua orang itu telah putus nyawa, 
tiba-tiba saja naga hijau terbuat dari cahaya itu 
lenyap begitu saja. 

Raja Naga membatin, "Aku belum berhasil 
memecahkan rahasia Tato Naga Hijau pada pung- 
gungku. Dan aku sama sekali tak menggerakkan 
naga hijau ini untuk menyerang. Ah, terlalu men- 
gerikan akibatnya, karena naga hijau ini seperti 
memiliki mata dan kemampuan yang sangat luar 
biasa...." 


Lalu ditarik napasnya pelan-pelan. Setelah 
tenaganya pulih didekatinya orang-orang yang 
masih terluka di sana. Diperiksanya tubuh mere- 
ka satu persatu. Dengan air yang diambil di su- 
mur belakang dan direndam Gumpalan Daun 
Lontar yang dikeluarkan dari balik rompinya, Ra- 
ja Naga mengobati ketiga orang yang terluka itu. 

Lalu dimasukkannya kembali Gumpalan 
Daun Lontar sebesar dua kepalannya ke balik 
rompinya yang seketika seperti bersatu dengan 
perutnya. 

Resi Tala Kangkang berkata, "Aku sempat 
bertanya tadi pada muridku tentang siapakah 
kau. Anak Muda. Tak tahunya... kaulah pemuda 
yang julukannya akhir-akhir ini begitu santer...." 

Raja Naga tersen3rum. Sorot matanya tetap 
angker. 

"Aku tak ubahnya seperti orang kebanya- 
kan. Orang Tua...." 

"Pemuda seperti kaulah yang dibutuhkan 
oleh rimba persilatan...." 

"Banyak pemuda yang melakukan tindakan 
seperti yang kulakukan...," kata murid Dewa Naga 
sambil tersen3rum. 

"Kau betul... tetapi jarang yang mau mem- 
pergunakan ilmunya untuk membela orang lain. 

Di samping juga, jarang yang mempunyai kesem- 
patan seperti apa yang kau raih...." 

Raja Naga tersenyum. 

"Orang tua... terlalu lama kau didera oleh 
bayangan kerinduanmu sendiri terhadap Woro 
Lolo. Demikian pula dengannya. Dan sekarang 
tak ada alasan lagi yang bisa membuat kalian 
memutuskan untuk berpisah...." 

Resi Tala Kangkang melirik Woro Lolo yang 
menunduk dengan wajah bersemu merah. 

"Seperti gadis belasan tahun," kata Raja 
Naga dalam hati. "Tapi... itulah cinta...." 
Kemudian dia berkata, "Perjalananku ma- 
sih panjang. Sebaiknya aku berangkat seka- 
rang...." 

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga 
orang itu, pemuda berompi ungu ini sudah me- 
langkah. 

"Boma...," panggilan itu menghentikan 
langkahnya. 

Galuh Tantri mendekat. Menatap dalam- 
dalam wajah tampan di hadapannya. Terlihat ga-
dis itu seperti didera perasaan tak menentu di ha- 
tinya. 

Boma Paksi bertanya lembut, "Ada apa. Ga- 
luh?" 

Gadis itu malah tertunduk. Rona merah j 
mewarnai kedua belah pipinya. , 

"Aku... aku... ah... apakah kita akan ber- 
jumpa lagi, Boma?" ' 

Boma Paksi memegang dagu si gadis dan  
mengangkatnya perlahan-lahan. 

"Bila Gusti Allah mengizinkan, kita pasti 
bertemu lagi...." katanya, lalu... cup! 

Dikecupnya pipi kanan Galuh Tantri yang 
tercekat. Mulutnya urung berucap, karena pemu- 
da itu sudah lenyap di hadapannya. 

"Boma...," desisnya pada angin, 
Resi Tala Kangkang memanggil, "Galuh... 
aku tahu apa yang kau rasakan...." 

Gadis itu tetap terpaku di tempatnya. 

Dibantu Woro Lolo, Resi Tala Kangkang 
mendekati Galuh Tantri. 

"Lupakan pemuda itu untuk sementara. 
Seperti yang dikatakannya tadi, bila Yang Maha 
Kuasa mengizinkan, pasti kalian akan bertemu 
lagi...." 

Galuh Tantri mendesah pendek. 

"Guru benar...." 

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Istana 
Gerbang Merah kini hanya tinggal kenangan...." 

Perlahan-lahan seiring hari yang beranjak 
siang, ketiganya melangkah meninggalkan Istana 
Gerbang Merah. Baru tiga langkah berada di luar 
pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara membe- 
dah alam, 

"Untuk saat ini aku gagal membunuhmu. 
Tala Kangkang! Tetapi kelak, aku akan mene- 
ruskan niatku ini!" ; 

Ketiganya terkejut. Galuh Tantri dan Woro 
Lolo bersiap karena mengenali suara yang telah 
lenyap itu. 

Resi Tala Kangkang mendesis pelan, "Ter- 
nyata dia belum mati...." 

"Guru! Mayatnya masih berada di sana!" 
seru Galuh Tantri. | 

"Tidak! Kita tidak akan menemukannya lagi.
Rupanya Sekar Sengkuni telah mengeluarkan 
ilmu 'Muslihat Mata Bayangan' untuk mengelabui 
Raja Naga. Dan... aku sangat mempereayai uea- 
pannya kalau dia akan datang lagi...." 

Resi Tala Kangkang melangkah ditemani 
Woro Lolo. Galuh Tantri masih penasaran akan 
kata-kata gurunya. Dia berbalik ke halaman Ista- 
na Gerbang Merah. 

Dan tak menemukan mayat Sekar Sengkuni di sana.... 


SELESAI 


Scan/E-Book: Abu Keisel 
I I Juru Edit: Fujidenkikagawa