Pendekar Gagak Rimang 4 - Rahasia Golok Cindarbuana

 
Suara derap langkah kuda memecah 
keheningan suasana. Keadaan yang sunyi 
senyap itu pun harus terpecahkan oleh 
hentakkan kaki kuda yang dijalankan den-
gan cepat, lalu suara itu pun melambat 
dan perlahan-lahan. Hanya seperti bunyi 
ketukan yang berirama. 
Dan terdengar pula suara binatang 
yang berlarian karena merasa ketenangan 
mereka terganggu dengan terdengarnya de-
rap langkah kuda yang mendatangi tempat 
mereka itu. 
Suasana hutan yang cukup lebat tadi 
sebenarnya amat hening. Suasana di sana 
pun teramat mencekam. Sepertinya hutan 
itu, jarang didatangi orang. 
Namun seorang pemuda yang berpa-
kaian putih-putih dengan wajah sebagian 
yang tertutup-caping di kepalanya itu, 
menghentikan laju kudanya. Nampak sepa-
sang mata bening yang awas itu memperha-
tikan sekelilingnya. 
"Hmm... agaknya tempat ini cukup 
cocok bagiku beristirahat," katanya dalam 
hati. Lalu dia menjalankan kudanya perla-
han-lahan. Matanya tetap memperhatikan 
sekelilingnya. 
Tak lama kemudian pemuda berbaju 
putih dengan sebuah golok di punggungnya 
itu pun turun dari kudanya dan menam- 
batkan kudanya pada sebatang pohon. Golok 
yang ada di punggungnya nampak agak aneh. 
Sarungnya terbuat dari kulit kayu yang 
berlapiskan timah berwarna kuning. 
Pemuda itu kembali memperhatikan 
sekelilingnya. "Hmm... nampaknya hutan 
ini tak pernah di jamah orang. Binatang-
bina-tang nampak begitu gembira berlarian 
ke sana ke mari tanpa kuatir diganggu 
oleh tangan-tangan manusia yang jahat. 
Ah, kehidupan seperti inilah yang sebe-
narnya amat ku dambakan. Tenang. Bersih. 
Jauh dari segala orang-orang yang bermak-
sud jahat dan hendak berbuat jahat. Tapi 
agaknya, di muka bumi ini kejahatan itu 
akan terus berlangsung selama manusia ma-
sih ada. Sampai kapan pun. Hingga akhir 
kiamat nanti!" desisnya sambil mengusap 
dagunya yang kukuh. Wajahnya tertutup 
oleh sebagian caping yang menutupi kepa-
lanya. Namun melihat dari bentuk wajah 
dan dagunya, sudah bertanda dia adalah 
seorang pemuda yang gagah dan tampan. 
Lalu siapakah dia sebenarnya? 
Pemuda berbaju putih dengan memakai 
caping itu tak lain adalah Pandu atau 
Pendekar Gagak Rimang. Murid dari Eyang 
Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-
dul, memang sedang berkelana. Dalam pen-
gelanaannya dia sudah banyak terlibat da-
lam satu bentuk kehidupan manusia. Di ma-
na ada yang baik, berpura-pura baik dan  
ada yang jahat. Sifat manusia itu sukar 
dicari tolak ukurnya yang pasti. Karena 
hanya Yang Maha Kuasalah yang mengetahui 
apa yang tersimpan di dasar sanubari ma-
nusia. 
Dan Pandu semakin yakin, bahwa ke-
hidupan ini sukar untuk berdampingannya 
kejahatan dan kebaikan. Tidak akan pernah 
bisa. Karena keduanya nampak saling ber-
musuhan. 
Inilah sifat manusia yang mendasar 
namun sukar untuk diketahui secara pasti. 
Lalu murid Eyang Ringkih Ireng dari 
Gunung Kidul itu pun melangkah ke mata 
air yang terdapat di sana. Dia minum den-
gan sepuasnya dan membasuh mukanya. Tera-
sa sugar sekali. 
Dan ketika dia baru saja hendak 
kembali, tiba-tiba pendengarannya yang 
terlatih mendengar gerakan-gerakan yang 
mencurigakan. Pandu pun menjadi waspada. 
Namun dia tetap melangkahkan kakinya den-
gan ketenangan yang meyakinkan dan pasti. 
"Hm... rupanya ada manusia-manusia 
iseng yang ingin bermain-main denganku," 
desisnya. "Hmm... baiknya aku lihat saja 
siapa orang-orang ini. Dan apa yang mere-
ka inginkan dariku, hah?!" 
Dan langkahnya semakin pasti. Pandu 
bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa. 
Dugaannya pun menemui kenyataan, 
karena tiba-tiba saja meluncur tiga buah  
tali yang di ujungnya terdapat sebuah be-
si tajam dan menuju deras ke arahnya. 
"Siiinggg!!" 
"Siiingg!!" 
"Siiingg!!" 
Merasakan ada desiran angin yang 
keras menerpa ke arahnya, Pandu segera 
mengempos tubuhnya berjumpalitan ke atas. 
Dan ketika besi yang terikat di tiga buah 
tali itu pun menancap ke tanah. Barulah 
Pandu melihat benda apa yang  menyerang-
nya. Dia menggeram. 
"Bangsat! Apa maunya orang-orang 
ini!" 
Tiba-tiba saja ketiga besi yang me-
nancap di tanah itu tercabut. Dan bagai-
kan mempunyai mata yang bisa melihat sa-
sarannya, ketiga besi itu bergerak lagi 
ke arah Pandu. 
Bersamaan sehingga angin yang di-
timbulkan ketiga besi itu teramat kuat, 
berdesir membuat bulu roma berdiri. 
"Heit!" Pandu membentak seraya men-
gempos tubuhnya kembali ke udara. Gera-
kannya ringan sekali dan instingnya ber-
bicara penuh naluri. Ketiga besi itu lu-
put mengenai sasarannya. Namun sebelum 
dia hinggap kembali di tanah, salah satu 
besi itu berbalik dan meluncur kembali 
dengan deras ke arah punggungnya. 
Hampir saja punggung murid Eyang 
Ringkih Ireng itu bolong bila saja dia  
tidak segera berguling ke kiri. 
"Bedebah!" makinya geram. Lalu den-
gan satu gerakan yang ringan pula dia 
berdiri.  
"Hei, manusia-manusia busuk! Ke 
luaaaar kalian!" 
Tak ada sahutan. 
"Bangsat! Beraninya jangan hanya 
main bokong saja!!" bentaknya pula, keras 
dan suaranya menggema di seluruh hutan 
itu, membedah keheningan. 
Tetap tak ada sahutan. 
Hanya desir angin yang terdengar. 
Beberapa binatang malam pun segera 
kembali ke sarang mereka, karena naluri 
mereka seakan menangkap satu gerakan yang 
berbahaya yang akan terjadi. 
Menggeram marah Pandu membentak la-
gi, "Anjing-anjing kurap! Tampakkan ba-
tang hidung kalian yang tidak tahu malu 
bisanya hanya membokong saja!" 
Tetap tak ada sahutan. Sepertinya 
orang-orang gelap yang menyerang itu me-
mang ingin mempermainkannya. Mereka mem-
biarkan saja pemuda bercaping itu berse-
ru-seru. 
Menyadari hal itu, Pandu menggeram 
dalam hati. 
"Bangsat! Mereka memang ingin main-
main denganku," desisnya. "Tetapi menen-
tukan di mana posisi mereka, sulit juga 
buatku." 
 
Dia berseru kembali. 
"Hei, bangsat-bangsat pengecut, ayo 
tampakkan batang hidung kalian! Jangan 
hanya bisanya main bokong secara pengecut 
seperti anak perempuan!!" 
Tetap tak ada sahutan. 
Pandu semakin bertambah geram. 
Dia kepalkan kedua tangannya. Ma-
tanya awas memperhatikan sekelilingnya. 
Namun kegelapan malam membuatnya semakin 
bertambah kegelapan. Bukan apa-apa, dia 
memang telah digembleng oleh Eyang Ring-
kih Ireng untuk melihat dalam gelap. Na-
mun saat ini bukankah dia harus mencari 
manusia yang membokongnya? 
Pandu berseru lagi, "Bila kalian 
memang jantan, tampakkan batang hidung 
kalian! Bila memang kalian bersembunyi, 
tentulah kalian adalah orang-orang yang 
pengecut! Ayo tampakkan batang hidung ka-
lian!!" 
Tetap tak ada sahutan. 
Malah secara tiba-tiba sebagai ja-
waban dari bentakkannya, ketiga tab beru-
jung besi tajam itu meluncur kembali ke 
arahnya. 
"Bangsat!" maki Pandu seraya meng-
hindar. 
Tetapi ketiga tali berujungkan besi 
tajam itu seakan mempunyai mata. Kali ini 
tak memberi kesempatan lagi bagi Pandu 
untuk berdiam sedetik pun. Ketiganya te-
 
rus bergerak, kadang bersamaan kadang 
berlainan arah datangnya,  namun sasaran-
nya satu, tubuh Pandu! 
Setiap detik agaknya maut bagi Pan-
du bila dia tidak bergerak dengan cepat. 
Ujung-ujung tali itu siap untuk mencabut 
nyawanya. 
"Keparat!" maki Pandu yang tunggang 
langgang menghindari serangan tali beru-
jung besi tajam itu. 
Tiba-tiba salah sebuah tali melun-
cur ke arah kepalanya, Pandu berkelit. 
Namun tali berujung besi itu secara tiba-
tiba memutar dan mengancam dari belakang. 
"Sialan!!" makinya seraya bergulin-
gan. Dan tak ada kesempatan baginya untuk 
bernafas sejenak. 
Ketiga tali berujung besi tajam itu 
kembali menyerangnya. 
"Bangsat! Baiklah, kita lihat siapa 
yang lebih unggul!!" maki Pandu. 
Dia langsung melompat ke kiri begi-
tu sebuah tali mengarah padanya. Pandu 
sengaja berkelit ke arah pohon. Dan keti-
ka tali berujungkan besi itu mengarah pa-
danya, dia langsung melompat. 
"Cep!" 
Ujung besi itu menancap di batang 
pohon tadi. Sebelum tali itu bisa lepas, 
Pandu segera bergerak cepat. Membentak 
tali itu dengan keras. Dan dari salah sa-
tu pohon, meluncur sosok tubuh dengan  
lengkingan keras ke tanah. 
Pada saat itu dua buah tali beru-
jung besi yang lain tengah meluncur ke 
arahnya! Pandu bergerak cepat dan bertin-
dak di luar dugaannya. 
Dia menyongsong kedua besi tajam 
itu sedang tangannya masih memegang tali 
yang penyerangnya jatuh ke tanah. Ketika 
kedua besi itu akan menancap ke tubuhnya, 
tiba-tiba Pandu melenting lebih tinggi. 
Dan menarik dengan keras tali yang dipe-
gangnya hingga pemiliknya terbawa dan me-
nyongsong kedua tali berujung besi tajam 
itu. Tanpa ampun lagi, kedua besi tajam 
itu menembus tepat di jantung dan tenggo-
rokan orang itu. 
Seketika terdengar jeritan kematian 
yang keras, merobek keheningan malam. 
"Aaaaakkkkhhhh!!!" 
Dari salah sebuah pohon yang ada di 
sana terdengar seruan kaget, "Tambon!" 
Pandu yang sudah hinggap di tanah, 
melirik ke arah suara itu. Berarti manu-
sia penyerangnya itu bercokok di sana. 
Dan samar-samar dia melihat sebuah bayan-
gan sosok tubuh yang berdiri di salah sa-
tu dahan. 
Dengan gerakan yang cepat dia ber-
guling mengambil sebuah kerikil dan me-
nyambitkannya ke atas. 
"Tuk!" 
Kerikil itu tepat menotok urat kaku  
si orang tadi, hingga orang itu terdiam 
kaku. Dan tidak menyangka kalau pemuda 
yang diserangnya dapat menotok dengan se-
buah kerikil kecil dari jarak jauh. 
Tubuh kaku orang itu tidak sampai 
jatuh, karena terhalang dahan pohon. 
"Hm... tinggal yang seorang lagi," 
desis Pandu dalam hati. Tetapi Pandu ti-
dak perduli mencari karena orang itu su-
dah meloncat turun dan berdiri di hada-
pannya. 
Dia seorang laki-laki bertubuh te-
gap dengan wajah yang menakutkan. Wajah-
nya penuh kumis, cambang dan brewok. Se-
perti gendoruwo kalau di lihat malam begini. 
Wajah itu beringas dengan sepasang 
mata berkilat-kilat berbahaya. 
"Hahaha... akhirnya kau muncul ju-
ga, Setan!" Pandu terbahak begitu melihat 
kemunculan orang itu. 
Orang itu mengeram berat. Marah ka-
rena merasa diremehkan, dan marah karena 
salah seorang kawannya harus mati di ma-
kan ujung tali yang terikat sebuah besi 
miliknya sendiri. 
"Jangan tertawa kau, Bangsat! Kau 
telah membunuh temanku!!" geramnya. 
"Hahaha... membunuh? Bukankah kau 
sendiri yang membunuhnya dengan senjata 
mu itu?!" balas Pandu seenaknya. 
Yang membuat wajah laki-laki itu  
memerah. 
"Bangsat! Kau harus mengganti nyawa 
temanku itu, Setan!!" 
"Hahaha... baiklah, bila memang aku 
yang membunuh, aku telah siap untuk meng-
ganti. Tapi... tentunya bila kau mampu 
untuk mencabut nyawaku...." 
"Kau terlalu sombong!!" 
"Hahaha... baik, baik... tetapi ka-
takanlah dulu siapa kalian dan mengapa 
kalian menyerangku? Setahuku, kita tak 
pernah bertemu sebelumnya! Dan kita pun 
tak punya silang sengketa!" 
"Jangan banyak bacot, Bangsat! Bila 
kau ingin selamat, serahkan Golok Cindar-
buana itu padaku! Kalau tidak, kugorok 
lehermu!!" 
Walau kini mengerti, mengapa orang-
orang itu menyerangnya tetapi Pandu he-
ran. Mengapa golok ini diincar orang-
orang ini? Hmm, ada apa dengan golok ini? 
Dia kembali menatap. wajah seram di hada-
pannya. 
"Kalau aku tidak memberikan, kau 
mau apa?" kata Pandu dengan nada menan-
tang. Padahal dia bermaksud mengorek ke-
terangan lebih lanjut sebab apa orang-
orang ini menginginkan golok yang tersam-
pir di punggungnya. 
"Akan kurebut secara paksa golok 
itu! Dan kuhabisi nyawa kau, Pemuda gen-
deng!!"  
"Hmm... apakah kau yakin golok yang 
hendak kau rebut dari tanganku ini Golok 
Cindarbuana?" 
"Cepat serahkan golok itu padaku!!" 
"Hahaha... mengapa kau tidak segera 
mengambilnya dariku?!" 
"Bangsat! Kubunuh kau!!" 
"Hahaha... apakah kau mampu, heh? 
Silakan, kedua tanganku terbuka untuk me-
nyambutmu!" 
Diejek seperti itu, semakin mengge-
ram orang berwajah seram itu. Dia memang-
gil-manggil kawannya yang di atas, tetapi 
sekian lama dia memanggil kawannya itu 
tidak turun-turun. 
Pandu mentertawakannya. 
"Biar sampai habis suaramu, temanmu 
tak akan muncul, Orang jelek! Dia telah 
ku totok! Dan kini menjadi kaku seperti 
batang pohon!!" 
"Bangsaaaat!!" geram si jelek sam-
bil memutar tali berujung besinya dan me-
nimbulkan suara angin yang besar, berdes-
ing-desing. 
Begitu dingin dan menyeramkan. 
Pandu pun segera bersiap. Dia tetap 
heran, kenapa orang ini menginginkan go-
lok pemberian gurunya, Golok Cindarbuana? 
Mengapa? Kenapa? 
Dan siapa sebenarnya orang ini? 
Apakah memang dia dan temannya yang men-
ginginkan Golok Cindarbuana, ataukah ma- 
sih ada orang lain yang menyuruhnya? Dan 
apa sebenarnya yang diinginkan orang ini 
dari golok pemberian gurunya ini? 
Tetapi Pandu tidak sempat berpikir 
panjang lagi, karena tali berujung besi 
itu sebenarnya jauh lebih mudah, tetapi 
jurus-jurus tali yang di mainkan lawannya 
lebih dahsyat dari yang tadi. Nampaknya 
dia lebih leluasa  memainkan jurus-
jurusnya di tanah. Juga tidak terganggu 
oleh kedua senjata kawannya tadi. 
Pandu sendiri sudah memainkan jurus 
berkelitnya dari rangkaian jurus Gagak 
Rimang-nya. Hingga sukar bagi lawannya 
untuk mengenai sasaran yang tepat. Ini 
membuat lawannya murka. 
Kembali dia memperlihatkan keheba-
tan permainan tali berujung besi tajam 
itu. Ujung besi itu berdesing-desing 
hingga menimbulkan suara seperti tawon 
yang sedang marah. 
Tetapi Pandu tidak mau ayal lagi, 
mendadak dia melompat ke belakang dan me-
lontarkan pukulan sinar putihnya yang am-
puh! Sekaligus mencoba kembali! 
Seberkas sinar terang melesat ke 
arah tali berujung besi itu yang sedang 
mengarah padanya. 
"Tes!" 
Sinar itu menyambar tepat dan memu-
tuskan tali itu hingga terpisah dari 
ujung besinya. 
 
Orang itu terkejut dan menggeram. 
Biarpun senjatanya telah  dimusnahkan te-
tapi dia tidak takut. Lawan Pandu ini 
adalah orang yang telah matang dalam du-
nia kekerasan. 
Maka dia pun segera melengking dan 
melesat dengan jurus tangan kosongnya. 
Pandu pun segera menyambutnya den-
gan jurus Patuk Bangaunya yang telah di-
latihnya selama sepuluh tahun lamanya. 
Inilah jurus-jurus sakti dan telah ditu-
runkan Eyang Ringkih Ireng kepada murid 
tunggalnya. Jurus Pukulan Patuk Gagak Ri-
mang. 
Kembali di tempat itu terjadi per-
kelahian yang hebat. Kali ini masing-
masing bertangan kosong. Dan saling mem-
perlihatkan kehebatan mereka. 
Kadang saling memukul, bertahan, 
menendang, menangkis, menghantam, juga 
menghindar. Keduanya benar-benar dalam 
kondisi puncak bertarung. 
Mendadak lawan Pandu berputar dan 
tubuhnya berguling di tanah dan bergerak 
dengan cepat sekali ke arah Pandu. Pandu 
terkejut, dia berusaha untuk melompat ka-
lau tidak mau kemaluannya di sodok tangan 
yang sekokoh besi. 
Tetapi terlambat, karena meskipun 
gagal mengenai sasaran yang diincar, tan-
gan orang itu telah menghantam betis Pan-
du, yang loncatannya menjadi kacau dan  
hilang keseimbangannya. 
Tubuh Pandu ambruk ke tanah. Sung-
guh aneh jurus yang di mainkan orang itu. 
Orang itu berdiri kembali dan ta-
wanya pun menggema keras. 
"Hahaha... lebih baik kau serahkan 
Golok Cindarbuana padaku!!" serunya. 
Pandu  menahan rasa sakit di betis-
nya. 
"Hhh! Sejengkal pun aku tak akan 
mundur darimu! Dan tak akan pernah kube-
rikan golok ini padamu!!" 
"Hahaha... jangan main-main dengan 
Tiga Malaikat Pencabut Nyawa, Anak muda! 
Bila kau penasaran ingin tahu  siapa 
aku... hahaha... namaku Jimbun. Kau telah 
merasakan kehebatan Jimbun bukan?" 
"Bangsat!!" 
"Hhh! Cepat serahkan golok itu pa-
daku?! Atau... kutebas lehermu itu!!" 
"Kau banyak omong juga rupanya, 
Jimbun! Bila kau memang menginginkan nya, 
ambil dari tanganku!!" 
"Bangsat! Kutebas lehermu!!" 
"Kau belum membuktikan leherku kau 
tebas!!" bentak Pandu tak kalah geramnya. 
Dia baru saja turun gunung, dia masih be-
lum tahu akan kelicikan orang-orang di 
dunia luar. 
Dia belum tahu kalau ilmu yang te-
ramat keji, semacam ilmu yang dilancarkan 
oleh orang yang bernama Jimbun tadi. Dia  
kalah pengalaman, dan hal inilah yang 
membuat pengalamannya bertambah. 
Dia harus berhati-hati mengahadapi 
jurus lawannya yang tadi! 
Pandu mencoba berdiri. Hmmmp! Kaki 
kanannya terasa agak sakit. Dan perlahan-
lahan dia mengalirkan tenaga dalamnya ke 
kaki kanannya. 
Dan perlahan-lahan pula dirasakan-
nya sudah agak membaik. Dan dia bergidik 
mengingat jurus aneh yang dilancarkan 
orang bernama Jimbun ini tadi! 
Dan Pandu lebih terkejut mengingat 
tugas  yang diembannya belum mendapatkan 
hasil apa-apa. Malah kini dia mendapat 
halangan dari orang yang ingin merebut 
Golok Cindarbuana. 
Hmm... dia harus segera membereskan 
orang ini. Lalu dia membentak, "Hhh! Ka-
takan... siapa yang menyuruhmu dan kedua 
temanmu itu untuk merebut golokku ini?!" 
"Hahaha... rupanya kau belum tahu 
riwayat golok sakti itu, Anak muda!" 
"Apa maksudmu?!" 
"Perduli apa maksudku! Hhh! Dari 
mana kau dapatkan golok itu?!" 
"Itu urusanku!" sahut Pandu keras. 
"Tak layak orang sepertimu diberitahu!" 
"Jawab pertanyaanku. Kalau ti-
dak...." 
Pandu telah memotong lebih cepat, 
"Kau sudah mulai mengancam lagi? Tetapi  
mengapa sejak tadi tidak kau buktikan an-
camanmu itu, hah?!" 
"Bangsaaaat!! Kau memang mau mampus 
rupanya! Cepat serahkan golok itu pada-
ku!!" Sambil membentak keras, tubuh Jim-
bun menyerbu maju dengan pukulan lurus ke 
depan, ke arah dada Pandu. 
Pandu hanya tersenyum saja. Meski-
pun nampaknya tenang, namun dia dapat me-
rasakan angin besar akibat tubuh dan do-
rongan tangan dari Jimbun. 
Itu menandakan tenaga dalamnya te-
lah terkumpul di tangan dan membentak sa-
tu pertahanan tenaga yang amat kuat. 
Tubuh itu pun semakin meluncur. 
Pandu yang sudah mendapatkan penga-
laman pahit tadi, kini menjadi lebih ber-
hati-hati. Pada gebrakan pertama dia me-
nyambut pukulan Jimbun dengan tangkisan 
tangan kanannya. 
"Des!" 
Pandu dapat merasakan kalau tenaga 
dalam lawannya cukup besar. Jimbun sendi-
ri merasakan tangannya cukup ngilu. Dia 
meneruskan serangannya dengan satu ten-
dangan yang cukup kuat. 
Ke arah ulu hati Pandu. 
Pandu menangkis serangan itu dengan 
ayunan siku kanannya. Dan dengan gerakan 
yang mendadak dia memutar, tangan kanan-
nya tadi diteruskan pada satu gerakan 
yang cepat, mengarah hendak menyambar ke- 
pala lawan. 
Luput, karena Jimbun dengan cepat 
menarik kepalanya. Dan langsung melancar-
kan pukulan lagi ke perut Pandu. 
Diam-diam Pandu mendesis kagum da-
lam hati, "Hmm... rupanya manusia ini me-
miliki kepandaian yang cukup lumayan." 
Serangan yang dilancarkan Jimbun 
tadi dihindarinya dengan satu gerakan me-
miringkan tubuhnya dan menggeser kakinya 
satu langkah. Gerakan itu sungguh cepat. 
Keduanya saling serang. 
Namun Pandu kali ini lebih mengan-
dalkan jurus berkelitnya. Tubuhnya dengan 
lincah berkelit ke sana ke mari. Dengan 
maksud hendak menguras tenaga Jimbun. 
Jimbun sendiri  menjadi penasaran. 
Dia merasa dipermainkan karena sejak tadi 
tak satu serangan pun yang berhasil men-
genai sasarannya. 
"Anjing buduk!" makinya. "Jangan 
hanya bisa menghindar saja kau, Setan!" 
Pandu terbahak. 
"Bukankah dengan begini ketahuan 
bahwa kau sesungguhnya tidak memiliki ge-
rakan yang patut di andalkan, bukan?" se-
ru Pandu dan terus menghindar. 
Mendengar kata-kata yang penuh eje-
kan itu, membuat Jimbun semakin meradang. 
Dia pun menjadi buas. Dan serangan-
serangannya jadi sukar terkendalikan. Te-
naganya banyak yang terkuras karena ter-
lalu bernafsu menyerang. 
Hal inilah yang sejak tadi diingin-
kan Pandu. Dengan banyak tenaga yang ter-
kuras dari Jimbun, semakin membuat seran-
gannya bertambah kacau balau. Banyak se-
rangannya yang tidak terarah lagi. 
"Hahaha... lebih baik kau menyerah 
saja dan berlutut mencium kakiku. Niscaya 
aku akan memaafkanmu...." seru Pandu sam-
bil terus menghindar. 
"Bangsat! Rupanya kau hanya bisa 
menghindar saja, Pengecut!" 
"Hahaha... baik, baik... bila kau 
ingin melihat aku menyerang. Dan jangan 
salahkan aku bila kau akan kewalahan. Bu-
kankah kau sendiri yang  menginginkan-
nya!" 
"Buktikan, pengecut!" 
"Kau lihatlah. Tahan serangan!" se-
ru Pandu sambil berjumpalitan ke depan, 
dan langsung menyerang begitu hinggap di 
tanah. 
Kecepatan jurus Pukulan Patuk Gagak 
diperlihatkan dengan sempurna. Sejenak 
Jimbun tertegun  melihatnya. Namun di de-
tik lain dia pun harus berusaha menghin-
dari serangan yang secara beruntun itu di 
lancarkan oleh Pandu. Ini membuatnya se-
dikit kewalahan. 
Dan susah payah dia menghindari hal 
itu. 
Pandu terbahak melihat lawannya  
tunggang langgang menghindar. 
"Hahaha... maafkan aku, Kawan... 
Bukankah kau yang meminta hal itu?" 
"Anjing!" 
"Hahaha... kini terimalah pelajaran 
pertama dariku!" desis Pandu dan memper-
gencar serangannya. 
Gerakannya semakin cepat. 
Dua kali pukulan Patuk Gagak berha-
sil mengenai tubuh Jimbun hingga ter-
huyung. "Des!" "Des!" 
Di saat tubuh itu masih terhuyung 
kehilangan keseimbangannya, tubuh Pandu 
bergerak lagi dengan cepat. 
Menotok jalan darah Jimbun hingga 
kaku. 
Pandu menghentikan gerakannya. Wa-
jah yang sebagian tertutup caping itu 
tersenyum. 
Dihampirinya tubuh Jimbun yang ma-
sih dalam keadaan kaku. 
"Maafkan aku, kawan. Bukankah kau 
yang memaksaku untuk berbuat seperti 
ini?" 
"Anjing buduk! Lepaskan totokanmu! 
Kita kembali bertarung!" 
"Hmm... nampaknya kau sudah tidak 
mampu untuk melawanku. Lebih baik kau te-
nang saja dalam keadaan dirimu yang se-
perti ini." 
Sepasang mata itu terbelalak gusar. 
Berpendar sinar marah dan dendam. Kala  
mulut yang menguarkan bau busuk itu hen-
dak berucap lagi, dengan cepat Pandu 
menggerakkan tangannya. menotok urat ga-
gunya hingga mulut itu kaku dan dalam po-
sisi terbuka. 
Dan mata itu terlihat semakin kasar 
melotot. 
Pandu hanya tersenyum. 
"Hhh... sayang, aku lagi malas bi-
cara. Bila tidak, kupaksa kau untuk men-
gatakan siapa yang menyuruhmu dan kedua 
temanmu itu berbuat seperti ini padaku!" 
Mulut itu tetap terbuka, tanpa men-
geluarkan suara. Matanya saja yang nampak 
melotot, yang seakan menggantikan fungsi 
mulutnya untuk bicara. 
"Hahaha... kau kesal  denganku, bu-
kan? Tak perlulah kau sesali. Bukankah 
semua ini kau yang meminta?" 
Sepasang mata itu semakin mendelik. 
"Hmm... tadi kupikir aku bisa ber-
malam di sini, namun rupanya seleraku un-
tuk tidur di hutan ini jadi hilang. Tentu 
kau tahu bukan, di mana desa yang terde-
kat dari sini? Hahaha... tak usah, tak 
usahlah kau memberitahukannya padaku. Aku 
akan mencarinya sendiri. Oh, Tuhan... aku 
lupa... Maafkan aku, kawan... aku lupa, 
kalau kau sekarang tidak bisa bicara," 
kata Pandu sambil menahan tawanya. 
Kegeraman Jimbun semakin menjadi-
jadi. Namun dia sungguh tidak berdaya se- 
karang. Matanya yang tadi garang itu, ki-
ni pun mulai meredup. 
Merasa tak berdaya. 
Pandu memalingkan wajahnya, menatap 
gunung merapi yang dari kejauhan begitu 
menyeramkan. Samar terselubung oleh kabut 
dan suasana kegelapan yang amat pekat. 
"Maafkan aku, Kawan... terpaksa kau 
harus kutinggal di sini bertemankan din-
gin dan kegelapan. Hahaha... soalnya aku 
sudah mengantuk dan perutku lapar tera-
sa!" kata Pandu kemudian. Lalu dia pun 
mengambil kudanya. Dan dengan sekali me-
lompat sudah hinggap di atas kudanya. 
Dijalankannya kudanya mendekati 
Jimbun. 
"Hmm... maafkan aku, kawan... Sela-
mat berdingin-dingin dan kau tentunya se-
nang bukan ditemani oleh nyamuk-nyamuk 
nakal yang liar?" 
Lalu dia pun menggebrak" kudanya 
dengan diiringi tawanya yang mengejek. 
Sementara Jimbun hanya bisa melotot 
saja. 
Sedangkan Pandu terus memacu ku-
danya menerobos kepekatan malam. Berkali-
kali dia mendengus karena keinginannya 
untuk beristirahat ternyata terganggu. 
"Sialan! Dasar manusia-manusia sab-
leng! 
Kerjanya hanya mengganggu orang sa-
ja. Dan sungguh sialan, ada apa sebenar- 
nya dengan Golok Cindarbuana ku ini!" 
Memang, sebenarnya sudah lama Pandu 
tidak mengerti. Mengapa banyak orang-
orang yang menginginkan golok pemberian 
gurunya itu. Dia sungguh tidak tahu raha-
sia apa yang terpendam di balik golok 
itu. 
Gurunya sendiri tidak menjelaskan 
apa-apa saat pertama dia turun gunung, 
meninggalkan Gunung Kidul yang telah lama 
di diami nya. 
"Hmm... mulai saat ini, aku akan 
mencari rahasia apa yang terdapat di ba-
lik Golok Cindarbuana ini," desisnya pe-
nuh keyakinan yang mendalam. 
Lalu dipacunya kudanya dengan ce-
pat. Sebenarnya perutnya sudah cukup la-
par. Dan lelah menderanya. Dia sebenarnya 
tidak mengerti mengapa tiba di hutan itu 
tadi. 
"Masa bodohlah, yang penting aku 
bisa beristirahat sejenak. Ah, betapa ba-
nyaknya kejahatan di muka bumi ini. Dan 
semuanya menjanjikan  keangkaramurkaan." 
Kudanya pun terus dipacu ke luar 
dari hutan itu. Dia mengarahkan kudanya 
menuju Tenggara. Beberapa saat kemudian, 
Pandu cukup terkejut ketika melihat sinar 
api dari kejauhan. Berkobar dengan hebat. 
Dia menghentikan laju kudanya. 
"Gila. Ada pesta apa hingga membuat 
api demikian besarnya?" gumamnya "Atau  
penduduk di desa itu memang gila berbuat 
seperti itu? Bermain api? Hm... tapi men-
gapa nampaknya banyak dan seperti terpi-
sah?" 
Api yang dari kejauhan  di lihat 
Pandu itu memang nampak besar. Dan terda-
pat di beberapa bagian. 
Pandu jelas saja menjadi keheranan. 
"Hmm... lebih baik aku lihat saja, 
pesta apa yang tengah dirayakan oleh para 
penduduk desa itu." 
Lalu dipacunya kembali kudanya me-
nuju ke arah api yang besar itu. Dan se-
sampai di tengah desa itu, dia menjadi 
tercengang. 
Tak sadar dia menghentikan kudanya 
dengan menarik kuat tali kekangnya hingga 
kudanya berdiri dan meringkik keras. 
"Tenang, Hitam... Tenang...." de-
sisnya. 
Matanya kembali memperhatikan kea-
daan di depannya. Sungguh tragis sekali. 
Api besar yang dilihatnya di beberapa ba-
gian itu bukan berasal dari sebuah api 
unggun dalam satu pesta. Melainkan dari 
beberapa rumah penduduk yang terbakar. 
"Apa yang telah terjadi sini?" de-
sisnya. 
Dia pun melihat sebagian besar pen-
duduk desa itu berlarian ke sana ke mari 
dengan kepanikan yang luar biasa. Juga 
matanya menangkap beberapa sosok tubuh  
yang bergeletakan. Ada yang luka parah, 
juga ada yang mati terbakar. 
"Oh, Tuhan... siapa yang telah me-
lakukan semua ini?" 
Pandu melihat seorang laki-laki se-
tengah baya yang tengah berusaha untuk 
menenangkan orang-orang yang panik itu. 
Dia nampaknya sedikit agak kewalahan ju-
ga, namun lama kelamaan dia pun berhasil 
kelihatannya. 
Dan para warga yang berlarian itu 
pun berkumpul di depannya yang berdiri 
tegak. 
"Tenang... tenang semua!" serunya 
lantang. "Usahakanlah agar kalian tidak 
menjadi panik adanya. Lebih baik, kita 
padamkan saja api yang masih menyala di 
beberapa rumah! Untunglah Gerombolan Te-
lapak Bara sudah pergi meninggalkan desa 
kita!" 
"Tetapi bagaimana dengan anak-anak 
gadis kami yang mereka culik, Ki Lurah?" 
terdengar seruan keras itu di susul den-
gan suara yang ramai. 
Pandu yang masih tegak di atas ku-
danya, menjadi paham sekarang. Laki-laki 
yang nampak berwibawa itu bukan lain ada-
lah lurah di desa ini. 
 
** 
 
 
 
Dilihatnya Ki Lurah itu nampak 
menghela nafas panjang. Jelas sekali dia 
menjadi masygul dan gundah mendengar ka-
ta-kata yang diucapkan seseorang tadi. 
"Yah... itu memang amat kusesali 
sekali. Tetapi lebih baik, kita padamkan 
saja api-api yang masih berkobar itu se-
belum merambat ke yang lainnya!" 
Dan terlihatlah beberapa orang se-
gera berusaha memadamkan api. Pandu men-
desah. Dia jadi ingin mengetahui lebih 
banyak apa yang telah terjadi. 
Lalu perlahan-lahan di jalankannya 
kudanya ke tengah kerumunan orang-orang 
itu dan ki lurah yang tengah berkata-
kata, sudah tentu kemunculannya menarik 
perhatian mereka. Dan beberapa orang nam-
paknya menjadi curiga, terlihat jelas da-
ri sikap dan tatapan mata mereka. 
Pandu yang mengetahui kalau seba-
gian dari mereka menaruh curiga padanya, 
segera turun dari kudanya dan membuka ca-
pingnya. Terlihatlah seraut wajah yang 
tampan, dengan rambut tergerai yang teri-
kat berbentuk kucir kuda. 
Beberapa orang gadis yang berada di 
sana diam-diam mendesah dalam hati meli-
hat ketampanan wajah pemuda yang baru da-
tang itu. 
"Bukan main, baru kali ini kulihat 
 
pemuda begitu tampan," desis salah seo-
rang. 
"Oh, Tuhan... Dewa Kamajayakah yang 
hadir sekarang ini?" desis salah seorang. 
Begitu pula dengan para ibu yang 
memiliki anak gadis. 
"Andaikata pemuda itu menjadi suami 
Lastri, alangkah bahagianya aku. Dia bu-
kan hanya tampan, namun gagah pula. Oh, 
siapakah dia?" 
Namun sebagian pemuda atau laki-
laki yang berada di sana, masih menaruh 
curiga. Siapa pemuda ini? Kapan dia mun-
cul? Mau apa dia muncul? Ataukah... dia 
sesungguhnya adalah teman dari orang-
orang kejam yang menyerang desa kami ta-
di? 
Pandu segera menjura. 
"Maafkanlah bila kemunculanku men-
gejutkan kalian," katanya sopan. Lalu 
berkata pada Ki Lurah, "Salam hormat dan 
kenal dari ku, Ki Lurah...." 
Laki-laki setengah baya yang nampak 
masih gagah itu, mau tidak  mau  menaruh 
rasa kagum pula melihat kesopanan yang di 
tampilkan oleh si pemuda. 
"Anak muda... siapakah kau gerangan 
adanya?" tanyanya sambil memperhatikan 
Pandu. 
Pandu tersenyum. Hati beberapa ga-
dis yang berada di sana menjadi galau. 
"Ki Lurah... aku datang dari Gunung  
Kidul. Nama saya Pandu...." katanya so-
pan. 
Dan beberapa orang gadis segera 
mengingat-ingat nama itu dalam hati. 
"Anak muda... namaku Perkoso. Aku 
lurah di Desa Batang Muara ini," kata la-
ki-laki setengah baya itu. 
Pandu masih memasang senyumnya. 
"Ki Lurah... ada apa gerangan yang 
terjadi di desa ini? Dari kejauhan sana 
kulihat api berkobar dengan hebat, mem-
bumbung tinggi. Kupikir ada pesta yang 
tengah diselenggarakan oleh penduduk di 
sini. Namun yang mengherankan ku, mengapa 
api unggunnya terlihat ada di beberapa 
bagian. 
Dan yang lebih membuatku terkejut 
lagi, kala dekat kuperhatikan, bukannya 
api unggun, namun api yang membakar bebe-
rapa rumah. Juga kelihatan keadaan yang 
kacau balau. Ki Lurah, bila aku boleh ta-
hu. sebenarnya apa yang telah terjadi?" 
Ki Lurah Prakoso mendesah panjang. 
Beberapa orang yang tadi diperintahkan 
untuk memadamkan api, sudah kembali ber-
kumpul. Mereka keheranan melihat Pandu 
berada di sana. Dengan berbisik-bisik me-
reka bertanya siapa dia dan mengetahui 
jawabannya. 
"Memang benar, Pandu. Desa ini baru 
saja kedatangan orang-orang kejam yang 
me-namakan diri Telapak Bara...."  
"Telapak Bara?" potong Pandu. 
"Benar. Mereka amat kejam dan te-
lengas sekali. Dan... oh, Tuhan... mereka 
membunuhi siapa saja. Dan mereka juga 
menculik beberapa anak gadis kami yang 
entah di bawa ke mana." 
"Siapakah sebenarnya mereka, Ki?" 
"Aku tak tahu. Karena tiba-tiba sa-
ja mereka muncul dan dengan ganasnya me-
nyerang." 
"Apa yang mereka inginkan?" "Mereka 
menginginkan anak-anak gadis kami." "Gi-
la!" 
"Yang lebih gila lagi, bila permin-
taan mereka tidak kami penuhi...." 
"Apa yang akan mereka lakukan?" 
"Mereka akan membakar hangus seisi 
desa ini. Dan apa yang mereka lakukan ta-
di adalah sebagai peringatan...." 
"Rupanya ancaman mereka tidak bisa 
di anggap main-main, Ki...." 
"Benar. Dan kami kebingungan meng-
hadapi masalah seperti ini Pandu...." 
Pandu terdiam sejenak. Hmm, agaknya 
dia pun harus terlibat dalam masalah ini. 
Masalah dengan orang-orang yang menye-
rangnya di hutan itu saja tadi masih mem-
bingungkannya. 
Siapa sebenarnya mereka? Dan menga-
pa mereka menginginkan goloknya? Masih 
belum tuntas dia selesaikan. Hmm, lebih 
baik nanti dia kembali ke sana dan mena- 
nyai mereka. 
Lalu di tatapnya Ki Lurah Perkoso. 
"Ki Lurah... aku hanyalah seorang kelana. 
Namun... bila Ki Lurah mengizinkan... aku 
bermaksud untuk membantu Desa Batang Mua-
ra ini dari orang-orang Telapak Bara itu. 
Bagaimana, Ki Lurah? Yah... mungkin ban-
tuanku ini tak seberapa..." 
Ki Lurah Perkoso yang sejak tadi 
sudah kagum dengan sikap dan tutur kata 
pemuda itu, mengembangkan senyumnya. 
"Anak muda... bila kau jujur dan 
tulus ingin membantu kami menghadapi 
orang-orang itu, tentu saja akan kami te-
rima dengan senang hati. Tapi yang perlu 
kau ingat, kami tidak punya sesuatu yang 
patut untuk diberikan kepadamu sebagai 
imbalannya...." 
Pandu tersenyum. 
Perlahan menggelengkan kepalanya. 
"Aku tulus membantumu, Ki Lurah... 
karena kupikir dalam hidup ini kita harus 
saling tolong menolong, bukan?" 
Kembali Ki Lurah Perkoso tersenyum. 
Dia tak kuasa lagi untuk membendung rasa 
kagumnya. 
"Pandu.... Rasanya baru kali ini 
aku bertemu dengan seorang pemuda seperti 
kau. Biarpun kita baru saling bertemu na-
mun hati kecilku telah mempercayaimu se-
bagai seorang pemuda yang bertanggungja-
wab."  
"Terima kasih, Ki Lurah...." 
Dan diam-diam salah seorang gadis 
yang bernama Lastri yang sejak pertama 
melihat Pandu sudah tertarik, semakin 
tertarik pula melihat sikap dan tutur ka-
tanya. Dan hatinya semakin berbunga-bunga 
kala dia mendengar kata-kata Ki Lurah se-
lanjutnya. 
"Sebaiknya... kau tinggallah bersa-
ma kami, Pandu. Dan kau bisa menumpang 
untuk sementara di rumah Nyai Kasi-
mah...." 
Pandu hanya mengangguk. 
"Baiklah, Ki Lurah...." 
Dan dada Lastri ingin meledak ra-
sanya. Nyai Kasimah itu adalah ibunya. 
Berarti pemuda itu akan tinggal di rumah-
nya. Bukankah itu akan membuatnya lebih 
banyak berdekatan dengan pemuda itu. Tan-
pa sadar dia melirik Pandu yang juga se-
dang melihatnya karena Ki Lurah tengah 
menunjuk Nyai Kasimah dan putrinya. 
Hati Lastri galau. Gemuruh hatinya 
semakin menjadi-jadi bertalu-talu, ber-
goyang. Apalagi setelah pemuda itu mema-
merkan senyumnya. 
Hati Lastri seakan mau runtuh. 
"Bagaimana, Pandu? Kau bersedia me-
numpang di sana?" tanya ki lurah. 
"Bila segala sesuatunya memungkin-
kan, saya bersedia ki lurah. Dan sebalik-
nya kita harus segera menyusun segala se- 
suatunya." 
"Ya, sebaiknya memang begitu...." 
sahut Ki Lurah Perkoso. Lalu dia berseru 
pada warganya, "Sebaiknya kalian yang pe-
rempuan masuk kembali ke rumah! Dan bagi 
yang rumahnya terbakar sebaiknya menum-
pang di rumah yang lain! Bawa masuk juga 
anak-anak kalian! Sementara yang laki-
laki menguburkan mayat-mayat itu malam 
ini juga!" 
Seruan itu pun di patuhi. Lastri 
masih sempat menatap Pandu sebelum dia 
melangkahkan kakinya. Rasanya dia sudah 
tidak sabar menunggu Pandu tinggal di ru-
mahnya. 
Ah, mengapa perasaannya menjadi ga-
lau seperti ini? Jarang sekali dia menga-
lami hal seperti ini. 
Pandu sendiri hanya tersenyum saja. 
Lalu keisengannya timbul. Dia mengedipkan 
matanya pada Lastri hingga gadis itu se-
makin galau. Dan buru-buru menunduk, se-
mentara langkahnya makin bergegas. 
Setelah mayat-mayat di kuburkan, 
Pandu menghampiri Ki Lurah Perkoso. 
"Ki lurah... aku ada urusan seben-
tar di hutan sana. Dalam waktu beberapa 
jam nanti, aku akan kembali ke sini...." 
katanya yang tiba-tiba saja teringat akan 
para penyerangnya yang dalam keadaan ter-
totok. 
Dia bermaksud hendak langsung saja  
menanyai mereka siapa yang menyuruh mere-
ka hendak merebut Golok Cindarbuana dari 
tangannya. Karena  sesungguhnya Pandu ma-
sih amat heran dengan golok itu. 
Ada rahasia apa sebenarnya. 
Ki lurah tersenyum. 
"Pandu... bila kulihat dari kea-
daanmu, kau nampaknya amat lapar dan le-
lah. Tidak bisakah untuk sementara uru-
sanmu itu di tunda dulu kau beristira-
hat?" 
"Ki lurah... bukan aku menampak ta-
waranmu, tapi sungguh, aku harus menyele-
saikan urusanku ini. Demi Gusti Batara 
Agung, aku berjanji untuk membantu kalian 
menghalau orang-orang Telapak Bara itu." 
Ki lurah tersenyum. 
"Pergilah, Pandu... dan kembalilah 
ke sini!" 
"Baik, Ki!" sahut Pandu sambil ter-
senyum. Lalu dipasangnya kembali caping-
nya dan dia berjumpalitan naik ke kudanya 
hingga membuat orang-orang itu berdecak 
kagum. 
Ki lurah sendiri mendesis, "Agaknya 
pemuda itu memang di datangkan Dewata un-
tuk menolong kita. Buktinya, bertepatan 
desa kita di serang orang-orang kejam 
itu, dia datang dan menawarkan diri untuk 
membantu. 
"Ah, siapa pun adanya kau Pandu... 
sikapmu sudah membuat hatiku tertarik!"  
Sementara itu murid Eyang Ringkih 
Ireng dari Gunung Kidul semakin memperce-
pat laju kudanya. Dalam hatinya menden-
gus, "Sialan, perutku melilit sekali ra-
sanya! Tetapi bila aku tidak menyelesai-
kan masalah ini satu persatu bisa runyam 
semuanya. Yang paling penting adalah men-
cari jawaban rahasia apa yang ada di ba-
lik Golok Cindarbuana ini. Sekaligus me-
nolong mereka dari ancaman orang-orang 
Telapak Bara!" 
Kembali Pandu mengarahkan kudanya 
ke jalan semula. Di pacunya dengan ken-
cang menerobos kepekatan malam. 
Beberapa saat kemudian, dia sudah 
tiba di tempat tadi, di mana dia dibokong 
secara liar oleh tiga orang seram dengan 
bersenjata tali yang ujungnya terdapat 
besi tajam. 
Namun betapa terkejutnya Pandu ke-
tika melihat tak satu sosok tubuh pun 
yang ada di sana. 
"Hmm... ke mana larinya mereka?" 
desisnya. Bahkan mayat salah seorang dari 
ketiga nya sudah tidak ada di tempatnya. 
Pandu menengadah ke atas, mencari sosok 
tubuh yang telah kaku tertotok olehnya. 
Namun lenyap. 
Semuanya lenyap. 
Kening Pandu berkerut. 
"Hmm... apa yang telah terjadi? 
Mengapa mereka menghilang begitu saja?  
Bila yang tertotok tadi membebaskan toto-
kan dengan tangannya sendiri, rasanya 
mustahil. Karena tak akan mungkin bisa. 
Yang kugunakan itu adalah totokan satu 
jari! 
"Lalu bila begini, siapakah yang 
telah membebaskan mereka? Aneh sekali. 
Dan nampaknya aku kalah cepat dengan 
orang itu. Ya, keyakinanku semakin ber-
tambah, kalau ketiga pembokongku tadi itu 
adalah orang-orang suruhan atau orang-
orang bawahan dari seorang yang jago. 
Hmm... aku jadi penasaran sekali dalam 
hal ini. Baiknya kucoba saja mencari yang 
mungkin bisa kutemukan." 
Namun jejak itu pun tak ada sedikit 
pun. Tak ada tanda-tanda yang menggembi-
rakan baginya untuk mengetahui siapakah 
yang telah menolong orang-orang itu. 
"Sialan!" dengusnya. "Orang itu 
terlalu pintar, dan agaknya dia memiliki 
tenaga dalam yang lumayan!" 
Memang, sungguh hebat orang yang 
biasa membebaskan dua orang yang telah 
tertotok itu. 
Pandu mendengus. Lalu kembali dia 
menaiki kudanya. Lebih baik dia segera 
saja ke Desa Batang Muara, karena dia ya-
kin, ki lurah masih menunggu. 
Dan begitu dia tiba di desa itu, 
pagi telah menjelang dengan sinar mataha-
ri yang menyinari seluruh desa.  
Gunung merapi di kejauhan sana nam-
pak begitu angkuh dan menyimpan misteri 
yang mengerikan. 
 
* * 
 
 
 
Di Utara Desa Batang Muara, yang 
letaknya cukup jauh, ada sebuah gunung 
merapi yang masih aktif. Bila hendak per-
gi ke sana dari Desa Batang Muara, membu-
tuhkan waktu kira-kira tiga hari lamanya. 
Suasana di sekitar lereng gunung 
itu amat sepi dan menyeramkan. Tak seo-
rang manusia pun yang berani untuk menda-
tangi tempat itu. Padahal tanah di seki-
tar lereng gunung merapi itu amat subur. 
Apapun yang di tanam di sana akan tumbuh. 
Namun tak seorang pun yang tertarik 
untuk tinggal di sana. Bagi mereka, ha-
nyalah kematian yang akan didapati bila 
nekad untuk tinggal di sana. 
Bahkan sepertinya gunung merapi itu 
nampak menyimpan satu misteri yang hingga 
sekarang belum terungkap oleh siapa pun. 
Dia tetap tegar dengan keangkuhan yang 
amat tinggi menjulang. 
Gunung itu dikelilingi hutan yang 
lebat, masih banyak terdapat binatang 
 
buas di sana. Seperti monyet, ular dan 
harimau. Di sana-sininya pun banyak ter-
dapat jurang dan lembah yang terjal dan 
dalam. 
Sungguh  suatu keadaan yang amat 
mengerikan. Membuat orang harus berpikir 
sepuluh kali untuk mendatangi tempat itu. 
Dulu di sekitar lereng gunung mera-
pi itu memang banyak penduduk yang men-
diaminya. Mereka hidup dari bercocok ta-
nam dan rata-rata hidup serba kecukupan. 
Mereka hidup rukun dan damai.  Sal-
ing hormat menghormati satu sama lain. 
Namun sekitar dua tahun kemudian, 
suasana kehidupan yang ten tram dan damai 
itu pun harus porak poranda dengan da-
tangnya ke tempat itu gerombolan yang ke-
jam dan ganas. 
Mereka membuat hancur semuanya. Me-
reka membunuhi siapa saja yang ada di sa-
na. Tidak tua maupun muda. Mereka bengis 
dan kejam. Semua mereka bantai. 
Ladang dan sawah yang di tanami 
tumbuh-tumbuhan yang telah tumbuh dengan 
subur, mereka bakar dan bumi hanguskan. 
Yang amat kasihan dan mengenaskan 
tentulah nasib para wanitanya. Mereka di 
buat menjadi bulan-bulanan nafsu binatang 
para gerombolan itu. Orang-orang itu den-
gan buasnya menggumuli mereka. Bergan-
tian. Sungguh amat tragis apa yang diala-
mi oleh kaum wanita di sana pada kala  
itu. 
Sifat dan perangai orang-orang ke-
jam itu tak ubahnya seperti binatang be-
laka. Mereka tidak mengenal kasihan. Me-
reka tak menghiraukan jerit dan tangis 
minta dilepaskan dari para wanita yang 
merasakan dunia ini runtuh tepat menimpa 
kepalanya. 
Orang-orang itu bagaikan srigala 
yang tengah menggarap kelinci-kelinci 
mungil nan lembut. Dengan tawa birahi 
yang membludak diiringi dengan desis se-
tan merasuk jiwa, mereka hancurkan hidup 
mereka! 
Karena tak kuasa menahan siksaan 
yang amat keji dan memalukan itu, tak ja-
rang para wanitanya yang banyak membunuh 
diri. Sesudah atau sebelum diperkosa dan 
di gilir. 
Sungguh amat menyedihkan nasib me-
reka. Tetapi tidak sedikit pula yang 
hingga melahirkan. Namun setelah itu mem-
bunuh diri sambil menatap anak yang baru 
saja mereka lahirkan. Anak yang kelahi-
rannya mereka tidak inginkan. Anak yang 
terlahir dari hasil nafsu binatang laki-
laki, bukan dari perpaduan kasih sayang 
antara dua insan manusia yang berbeda. 
Namun dari nafsu binatang dan ketidakber-
dayaan perempuan. 
Namun anak-anak yang mereka lahir-
kan itu, lebih banyak mati kemudian dari  
pada hidup. Karena tak ada seorang manu-
sia pun yang menurunkan kasih sayang ke-
pada mereka. 
Sungguh memang amat mengerikan apa 
yang telah terjadi beberapa tahun yang 
lalu. Satu peristiwa yang tak mungkin 
terlupakan. 
Namun siapa yang bisa mengingatnya 
lagi, karena tempat itu sudah tidak ber-
penghuni lagi. Atau tepatnya, sesungguh-
nya tidak ada yang tahu kalau tempat itu 
sebenarnya berpenghuni. 
Dan hanya orang-orang itulah yang 
masih bisa  mengingat peristiwa beberapa 
tahun yang lalu. 
Karena di salah satu tempat di gu-
nung merapi itu, dekat sebuah lembah yang 
terjal dan curam, bermukimlah gerombolan 
kejam itu yang telah memporak-porandakan 
desa yang ada di sana beberapa tahun yang 
lalu. Mereka tidak meninggalkan tempat 
itu rupanya. Karena bagi mereka ini ada-
lah satu tempat yang amat strategis untuk 
di jadikan kediaman. 
Hidup mereka pun begitu mudah. Me-
reka tinggal menyerang beberapa buah desa 
yang letaknya berada di sekitar sana atau 
pun harus ke luar dari tempat mereka. 
Bukankah hal ini amat menyenangkan? 
Terlalu bodoh bila mereka meninggalkan 
tempat itu! 
Gerombolan kejam itu dipimpin oleh  
seorang laki-laki yang bernama Ki Pancang 
Jalak. Dia adalah seorang laki-laki yang 
sudah berusia lima puluhan. Namun masih 
nampak gagah dan kuat. Semua itu berkat 
kesaktiannya. Dialah yang memimpin gerom-
bolannya untuk menghabisi para penduduk 
yang hidup di sekitar lereng Gunung Bera-
pi itu beberapa tahun yang lalu. 
Dia adalah seseorang laki-laki yang 
teramat kejam. 
"Tak seorang pun yang bisa menga-
lahkan  aku di muka bumi ini!" serunya 
sombong 
Dan dia pula yang menyuruh dan me-
merintahkan puluhan orang anak buahnya 
untuk menyerang desa-desa. Sekadar mem-
buat mereka takluk dan keder. Namun tidak 
hanya sampai di sana saja tindakan yang 
dilakukan Ki Pancang Jalak. 
"Bunuh semuanya, siapa saja yang 
berani membantah perintahku!" 
Dan kekejamannya itu pun menular 
pada diri anak buahnya. 
"Bawa gadis-gadis cantik ke sini! 
Jadikan mereka perhiasan dan pajangan 
buat istana kita!" seru Ki Pancang Jalak. 
Memang sudah puluhan gadis yang me-
reka culik dan mereka paksa untuk menjadi 
dayang-dayang atau pun pelayan di sana. 
Namun nasib mereka tidaklah enak seperti 
yang dibayangkan. 
Karena di samping itu, mereka harus  
bersedia melayani nafsu binatang siapa 
saja dari gerombolan itu. Dan bila mereka 
menolak maka mautlah sebagai ganjarannya. 
Memang banyak yang menolak dan mati 
dengan leher patah. Namun tak sedikit pu-
la yang masih berusaha bertahan hidup 
dengan merelakan harga diri dan kehorma-
tannya diinjak-injak oleh mereka. 
Namun di hati mereka, dendam dan 
sakit hati itu sudah amat membludak dan 
sepertinya siap untuk di muntahkan. 
Tetapi tak satupun yang berani me-
nantang Ki Pancang Jalak. Manusia yang 
bersifat dan bersikap seperti binatang. 
Dia tak ubahnya seperti seekor srigala 
lapar yang siap dan kapan saja menampak-
kan taring-taring giginya yang tajam dan 
kuku-kukunya yang seperti pisau. 
Dia adalah manusia harimau yang kejam. 
Sejarah telah membuktikannya di 
saat dia menghancurkan hidup para pendu-
duk yang tak berdosa dan tak bersalah 
yang hidup di sekitar lereng gunung mera-
pi di sekitar beberapa tahun yang lalu. 
Dia adalah orang yang kejam dan mena-
kutkan. Siapa pun yang membangkangnya 
akan dihabisinya. 
Tak seorang pun anak buahnya yang 
berani mencoba-coba untuk membangkang pe-
rintah darinya. Ki Panjang Jalak adalah 
seorang pemimpin yang mempunyai ilmu ke-
 
saktian yang hebat. Dari tangannya bisa 
mengeluarkan panas yang bukan main me-
nyengatnya. Bila sesuatu atau apa pun 
terkena sentuhan tangan itu, maka niscaya 
akan hangus seketika. 
Hingga dia sering dijuluki oleh ka-
wan maupun lawan dengan sebutan Hantu 
Bertangan Bara. Ki Pancang Jalak bangga 
dengan sebutan itu. Dan dia semakin mem-
buat namanya menjulang menembus ke langit 
tujuh yang begitu menggetarkan. 
Dan sepak terjangnya amat menge-
naskan. 
Begitu pula dengan para anak buah-
nya yang dipimpinnya dalam panji kebesa-
ran Telapak Bara. Dan rata-rata para anak 
buahnya mewarisi ilmu ketua mereka walau 
masih jauh berada di bawah Ki Pancang Ja-
lak, namun cukup mampu untuk membuat la-
wan-lawan mereka ngeri untuk menghadapi. 
Sepertinya Ki Pancang Jalak memang 
sengaja mewarisi ilmu Tangan Baranya ke-
pada beberapa anak buah pilihannya. 
Tempat persembunyian mereka yang 
sukar dijamah dan sukar diketahui orang, 
lebih memungkinkan bagi mereka untuk men-
gepak dan mengembangkan sayap, Melatih 
anggota baru atau pun lama dengan ilmu 
andalan gerombolan itu, yaitu ilmu Tela-
pak Bara, pengembangan dari ilmu Ki Pan-
cang Jalak atau yang bergelar Hantu Ber-
tangan Bara. 
 
Ini merupakan satu tempat yang aman 
bagi Ki Pancang Jalak dan para anggotanya 
untuk berdiam. 
Hari ini, Ki Pancang Jalak sedang 
berhadapan dengan tiga orang anak buahnya 
di pendoponya yang mirip dengan istana. 
Dari pembicaraan itu, nampak jelas sekali 
kalau Ki Pancang Jalak amat serius men-
dengarkan salah seorang anak buahnya yang 
bernama Wayaluta berkata-kata. 
Berkali-kali Ki Pancang Jalak mang-
gut-manggut dan sekali-sekali pula dia 
menyela. 
"Jadi kau tidak tahu siapa dia, 
Wayaluta?" terdengar suara Ki Pancang Ja-
lak kemudian. 
Wayaluta mengangguk hormat. 
"Begitulah, Ketua. Aku tidak tahu 
siapa pemuda itu sebenarnya. Agaknya pe-
muda itu murid seorang tua yang gagah 
perkasa. Atau...." 
"Atau apa, Wayaluta?" tanya Ki Pan-
cang Jalak karena Wayaluta menghentikan 
kata-katanya. Sepertinya pemuda itu te-
ringat akan sesuatu. 
"Dialah yang mewarisi Golok Cindar-
buana itu berikut ilmu dahsyat yang ter-
pendam di dalam golok itu, Ketua!" 
Terlihat kepala Ki Pancang Jalak 
menggeleng. 
"Tidak mungkin!" potongnya cepat. 
"Bagaimana tidak mungkin, Ketua! 
Golok  Cindarbuana  itu berada di tangan-
nya!" 
"Tetapi tidak mungkin, Wayaluta. 
Golok Cindarbuana adalah milik sepasang 
kakek nenek dari Tiongkok, yang hilang 
begitu saja ketika sepasang kakek nenek 
itu lengah. Mereka tidak tahu siapa yang 
telah mencuri Golok Cindarbuana. Dan me-
reka bersumpah, akan membunuh orang yang 
telah mengambil golok itu. Tetapi sayang, 
mereka keburu mati. Maut telah mengundang 
mereka terlalu cepat sebelum mereka tahu 
siapa yang telah mencuri golok sakti 
itu." 
"Lalu bagaimana golok itu bisa be-
rada pada pemuda itu, Ketua?" 
"Aku pun tidak tahu," kata Ki Pan-
cang Jalak. Lalu berpaling pada dua orang 
yang duduk di sebelah Wayaluta. "Jimbun 
dan Rimbin... apakah kalian yakin Golok 
Cindarbuana yang ada di tangan pemuda 
sakti itu?" 
"Begitulah,  Ketua...." kata Jimbun 
hormat. Juga temannya yang bernama Rim-
bin. 
"Kau yakin?" 
"Saya yakin sekali, Ketua. Yang ada 
di punggung pemuda yang bernama Pandu itu 
adalah Golok Cindarbuana. Golok yang pu-
luhan tahun yang lalu telah hilang dan  
tak seorang pun yang tahu siapa pencu-
rinya. Seperti yang ketua pernah cerita-
kan kepada kami dulu...." 
Ki Pancang Jalak manggut-manggut. 
Usapkan tangannya pada jenggotnya yang 
memutih. 
Rupanya yang duduk di sebelah Waya-
luta adalah dua manusia yang ingin mere-
but Golok Cindarbuana dari tangan Pandu. 
Jimbun dan Rimbin serta seorang teman me-
reka yang tewas di tangan Pandu dalam 
perkelahian di hutan lebat yang jauh dari 
Desa Pareden. 
Ketiga penyerang Pandu itu bergelar 
Tiga Malaikat Tali Pencabut Nyawa. Pandu 
yang bermaksud hendak  beristirahat  dis-
erang begitu saja oleh ketiganya, yang 
ternyata hanya merebut Golok Cindarbuana 
pemberian gurunya, Eyang Ringkih Ireng 
atau sesepuh Gunung Kidul. 
Dan dalam perkelahian itu Pandu 
berhasil menang. Namun kala dia kembali 
hendak mengorek siapa mereka sebenarnya, 
bukan main terkejutnya Pandu karena 
orang-orang itu sudah tidak ada di tem-
patnya. 
Orang yang membebaskan Jimbun dan 
Rimbin dari totokan Pandu adalah Wayalu-
ta. 
Dialah yang telah membuat neraka 
bagi penduduk Desa Batang Muara, dengan 
beberapa gerombolannya. 
 
Ketika mereka melewati hutan lebat 
itu, mereka secara tak sengaja melihat 
Jimbun dan Rimbin dalam keadaan tertotok. 
Dan Wayaluta menjadi amat geram se-
kali mendengar kata-kata Rimbin. Dan ke-
geramannya berubah menjadi keterkejutan, 
setelah Rimbin berkata-kata tentang Golok 
Cindarbuana. Golok sakti yang tengah di 
cari ketua mereka, Ki Pancang Jalak! 
Tetapi mengapa mereka tidak berpa-
pasan dengan Pandu atau Pendekar Tangan 
Malaikat yang tengah ke luar dari hutan 
lebat itu? 
Tentu saja tidak, karena Pandu men-
gambil arah ke Tenggara, sedangkan orang-
orang itu melalui Barat Daya, karena me-
reka membuat onar lagi di sebuah desa 
yang ada di arah Barat Daya. 
Lalu Wayaluta segera memerintahkan 
para anggotanya untuk kembali ke markas 
mereka. Dia bermaksud hendak mencegat 
Pandu untuk merebut langsung Golok Cin-
darbuana bersama Jimbun dan Rimbin. 
Tetapi kemudian, Wayaluta merasa 
lebih baik mereka melaporkan hal itu pada 
Ki Pancang Jalak. Dan menguburkan mayat 
Tambon. 
Hal itu pun segera di laporkan ke-
pada Ki Pancang Jalak, yang juga merupa-
kan pimpinan dari Tiga Malaikat Tali Pen-
cabut Nyawa. 
Walau sedikitnya geram dan marah  
karena mengetahui Tambon tewas, namun Ki 
Pancang Jalak masih bisa tertawa gembira 
mendengar tentang golok sakti yang berta-
hun-tahun lamanya dia cari. Bahkan sele-
ranya terhadap wanita yang di culik pun 
menjadi lenyap begitu saja. 
Tak sabar dia untuk mengetahui ke-
jadian apa selanjutnya. Bukankah telah 
lama dia mencari tentang golok sakti itu? 
Dan sekarang telah didengarnya di mana 
golok itu berada, tentu saja dia tidak 
akan menyia-nyiakannya. 
Dan dia sudah membayangkan kalau 
dirinya akan menjadi seorang jago yang 
tak terkalahkan. 
Dengan golok sakti itu, tentunya 
tak seorang manusia pun yang akan bisa 
mengalahkannya. 
Sekarang pun dia membicarakan masa-
lah itu lagi. Dari raut wajahnya sudah 
tergambar rasa ketidaksabaran yang mem-
bludak. 
"Kalau benar Golok Cindarbuana yang 
di-bawa oleh pemuda itu, kita harus sege-
ra merebutnya. Golok itu adalah golok 
yang teramat sakti." 
"Ketua... sebenarnya rahasia apa 
yang terdapat di balik Golok Cindarbuana 
itu?" tanya Wayaluta. 
"Aku sendiri tidak tahu secara pas-
ti. Konon golok itu adalah sebuah golok 
yang hebat. Benda sekeras dan sehebat apa 
pun akan patah dan musnah di tebas oleh 
golok itu. Dan konon ada sebuah rahasia 
yang hingga sekarang belum terpecahkan. 
Karena sepasang kakek itu telah pergi se-
belum ada yang tahu apa rahasia itu." 
"Apa kira-kira rahasia itu, Ke-
tua...." 
"Entahlah... aku sendiri tidak ya-
kin, karena golok itu belum ada padaku. 
Dan tak lama lagi rahasia itu akan kuke-
tahui, karena sebentar lagi golok itu 
akan pindah tangan kepadaku, bukan?" 
Ki Pancang Jalak terbahak-bahak. 
Penuh keyakinan akan berhasil memiliki 
Golok Cindarbuana itu 
 
** 
 
 
Ketiga bawahannya itu pun ikut ter-
tawa. Mereka begitu heran sebenarnya me-
lihat Ki Pancang Jalak begitu gembira. 
Rupanya laki-laki setengah baya itu 
memang amat berharap dan berkeinginan un-
tuk berhasil memiliki Golok Cindarbuana. 
Yang konon tak ada satu benda pun yang 
dapat menandingi kehebatannya. 
"Ketua...  kita rebut golok itu," 
kata Jimbun. "Dan kita bunuh pemuda ber-
caping itu!" 
 
"Benar, Ketua," lanjut Rimbin. "Ka-
mi hendak membalas dendam atas kematian 
adik kami Tambon. Kami tidak akan pernah 
merasakan kegembiraan dalam hidup ini, 
selama pemuda itu masih hidup. Dan adik 
seperguruan kami tidak akan tenang dalam 
kuburnya sebelum nyawa pemuda itu datang 
menemainya. Hhh! Aku sudah tidak sabar 
rasanya untuk bertemu dan membalaskan ke-
matian Tambon pada pemuda bercaping yang 
juga mengaku Pendekar Tangan Malaikat!" 
Mendengar nama itu disebutkan, te-
linga Ki Pancang Jalak kelihatan menegak. 
Samar-samar dia pernah mendengar akan se-
buah julukan yang akhir-akhir ini menjadi 
pembicaraan orang ramai. Karena julukan 
itu telah mendatangkan bencana bagi 
orang-orang golongan hitam 
Ah, persetan dengan semua itu. Yang 
pasti, dia harus merebut dan memiliki Go-
lok Cindarbuana. Dan membunuh pemuda sia-
lan itu bila benar dia Pendekar Tangan 
Malaikat adanya. 
Ki Pancang Jalak memperhatikan Jim-
bun dan Rimbin yang ucapan keduanya ter-
dengar begitu berapi-api. Dari kedua mata 
mereka terlihat sinar dendam yang menya-
la-nyala, yang siap untuk ditumpahkan. 
"Hmm... ya, kalian kutugaskan untuk 
membunuh pemuda itu. Dan rebutlah Golok 
Cindarbuana untukku," katanya kemudian. 
"Ketua... lebih cepat lebih baik.  
Izinkanlah kami pergi mencarinya," kata 
Jimbun. 
"Baiklah, kalian memang kuizinkan 
untuk pergi," kata Ki Pancang Jalak. "Te-
tapi mendengar cerita kau berdua, ilmu 
pemuda itu agaknya cukup tinggi. Dan la-
gi, bila benar dia adalah Pendekar Tangan 
Malaikat yang namanya sudah sering dibi-
carakan orang, kalian harus lebih berha-
ti-hati lagi. Dan ada baiknya bila Waya-
luta ikut menemani kalian. Kuminta pada 
kalian untuk menyelesaikan tugas ini den-
gan baik!" 
"Baik, Ketua. Saya pun penasaran 
hendak melihat siapa  dia adanya, juga 
sampai seberapa tinggi kesaktiannya," ka-
ta Wayaluta. 
"Jangan lupa... selain nyawa pemuda 
itu, Golok Cindarbuana sasarannya." 
"Saya akan ingat pesan, Ketua." 
"Dan aku tidak suka dengan kegaga-
lan kalau tidak terpaksa." 
"Kami akan berusaha merebutnya. Ka-
mi yakin, akan berhasil mendapatkan golok 
itu." 
"Aku pun yakin akan hal itu. Kau 
Wayaluta, adalah orang ke satu di bawah-
ku. Ilmu Telapak Bara pun sudah sedemi-
kian tinggi. Aku harapkan kau bisa men-
gambil golok yang kuidam-idamkan. Dan 
persiapkan kau sendiri bagaimana, Jimbun, 
Rimbin?" 
 
Kedua orang itu menyembah hormat. 
"Maafkan kami, Ketua," kata Jimbun. 
"Dengan Adik Tambon, kami adalah Tiga Ma-
laikat Tali Pencabut Nyawa. Kami terlalu 
sombong, hingga tidak mau mempelajari Il-
mu Telapak Bara yang ketua ajarkan. Teta-
pi sekarang, kami telah mempelajarinya. 
Sudah cukup kami rasa dalam waktu tiga 
bulan mempelajarinya." 
Ki Pancang Jalak manggut-manggut. 
"Waktu itu sudah cukup memang. Ku-
lihat kalian berdua belajar dengan sung-
guh-sungguh. Nah, lakukan sekarang juga. 
Pergilah, rebut Golok Cindarbuana itu." 
"Kami akan penuhi harapan, Ketua," 
kata Jimbun dan Rimbin bersamaan. "Kami 
akan membawa pula mayat pemuda itu di ha-
dapan ketua...." 
"Kami tak ingin melihat ketua kece-
wa," sambung Wayaluta. 
Dan kata-kata ketiga orang itu mem-
buat Ki Pancang Jalak tertawa lebar. Se-
nang dia anak buahnya begitu patuh. 
Hmm... sebentar lagi golok itu akan men-
jadi miliknya. Dia akan berusaha memecah-
kan rahasia golok itu. 
Dia akan menjadi orang nomor satu 
dalam hal ilmu kesaktian. Olah kanuragan 
yang di dambakan oleh setiap manusia. Il-
mu yang memang perlu dimiliki oleh siapa 
saja. Namun alangkah salahnya jika ilmu 
kesaktian itu dibuat untuk membunuh, me- 
nyakiti atau melukai sesamanya. Olah ka-
nuragan hanya dipakai untuk membela diri, 
tanpa menyakiti sesamanya, selain pula 
untuk olahraga, mencari kesegaran jasma-
niah dan rohaniah. 
Tetapi orang-orang yang memiliki 
ilmu kesaktian atau olah kanuragan lebih 
banyak sombongnya daripada menyembunyikan 
kepandaiannya itu. Mereka lebih suka un-
tuk berseru-seru menyatakan diri mereka 
kuat. Diri mereka gagah. Diri mereka mam-
pu menghadapi apa pun dan siapa pun. 
Mereka merasa lebih dari siapa pun! 
Dan mereka tidak memakai ilmu padi, 
yang semakin berisi malah semakin merun-
duk. 
Kita mengalah belum tentu kalah. 
Kita merunduk belum tentu takut. Tetapi 
lebih baik menghindari perkelahian yang 
menyakiti sesama daripada harus terlibat 
perkelahian yang sebenarnya tidak ada gu-
nanya. 
Tidak seperti Ki Pancang Jalak yang 
memiliki ilmu kesaktian untuk menyerang 
sesama, menyakiti sesama dan membunuh se 
sama. Betapa sangat di sayangkannya 
ilmu yang di milikinya itu hanya untuk 
menyakiti sesamanya. 
Dia lupa akan kodratnya sebagai ma-
nusia yang lemah, yang sebenarnya tidak 
bisa berbuat apa-apa bila takdir buruk 
telah menimpa dirinya. 
 
Ki Pancang Jalak telah menyatakan 
dirinya sebagai orang yang ditakuti, den-
gan gelar Hantu Bertangan Bara. Sebagai 
orang yang berkuasa. Dan gerombolan yang 
dipimpinnya pun ditakuti oleh kawan mau-
pun lawan. 
Terdengar lagi dia berkata pada ke-
tiga bawahannya. 
"Gagal, aku paling benci dengan ka-
ta-kata itu. Dan aku tak ingin kalian 
gagal." 
"Seperti janji kami tadi, Ketua... 
kami tak akan membuat ketua kecewa," kata 
Wayaluta. 
"Bagus!" 
"Dan kami berjanji akan membuat ke-
tua tersenyum senang dan gembira," sam-
bung Jimbun. 
Ki Pancang Jalak terbahak. 
"Hahaha... bagus, bagus sekali. Aku 
suka dengan semua kata-kata kalian itu. 
Nah, rebutlah golok itu. Kalau perlu bu-
nuh siapa saja yang akan menghalangi ka-
lian. Jangan bertindak tanggung-tanggung 
lagi. Tunjukkan bahwa kalian adalah 
orang-orang yang kejam! Bantai semuanya! 
Darah sebagai taruhannya?!! Mengerti ka-
lian?!!" 
Ketiganya mengangguk. 
"Kami mengerti, Ketua!" kata Wayaluta. 
Terdengar Ki Pancang Jalak kembali  
terbahak. Dia merasa bangga pada dirinya 
sendiri karena para anak buahnya amat 
menghormati dan menaruh rasa segan yang 
besar terhadapnya. Bukankah ini merupakan 
satu kesenangan yang luar biasa? 
Terlihat ketiga kepala mengangguk 
kembali. Dengan yakin dan pasti akan me-
menuhi semua keinginan sang ketua dan ti-
dak akan mengecewakan mereka. 
Lalu sore itu pula mereka berangkat 
dengan kuda yang tinggi dan gagah untuk 
men-cari Pandu. Untuk merebut Golok Cin-
darbuana dan sekaligus membunuh Pandu! 
Namun yang pasti, untuk menyenang-
kan hati ketua mereka, Ki Pancang Jalak. 
Sementara. Ki Pancang Jalak lang-
sung melangkahkan kakinya ke kamarnya. Di 
kamarnya telah terdapat dua orang gadis 
manis yang matanya sembab karena terlalu 
banyak menangis. 
Keduanya adalah gadis-gadis yang 
baru di culik oleh Wayaluta. Dan melihat 
kemunculan laki-laki seram itu, membuat 
hati kedua gadis itu semakin ketakutan. 
Wajah mereka pias. 
Tak sadar mereka mundur ke sudut 
kamar begitu Ki Pancang Jalak menyerin-
gai. 
Dan ketakutan mereka semakin menja-
di-jadi ketika laki-laki itu membuka ba-
junya. 
"Hehehe... mengapa harus ketakutan,  
Manis? Kalian adalah hidanganku sore ini. 
Ayo... berbuatlah yang mengenakan hatiku. 
Hehehe... kalian memang ayam-ayam montok 
yang menggairahkan!" 
Langkah Ki Pancang Jalak semakin 
dekat. 
 
** 
 
 
Malam yang larut itu pun berganti 
dengan secercah matahari keesokan pa-
ginya. Suasana begitu asri dan damai. Ma-
tahari menyinari sebagian besar Desa Ba-
tang Muara yang kini nampak kembali ce-
rah. 
Sudah hampir lima malam keamanan 
desa diperketat sejak munculnya penyerang 
an sadis yang dilakukan oleh orang-orang 
gerombolan Telapak Bara. Dan dengan gerak 
cepat pula Pandu telah melatih beberapa 
orang warga desa dengan satu bentuk for-
masi pertahanan yang bagus dan cukup kuat 
dipakai untuk menghadang dan menahan. 
Dan hingga sejauh ini, orang-orang 
Telapak Bara tidak lagi muncul. Ataukah 
mereka tengah menyerang desa lainnya? 
Kemungkinan itu pun dibicarakan 
orang-orang atau warga desa itu di balai 
desa. Pandu pun hadir di sana. 
 
"Bila memang benar kenyataannya, 
bahwa  orang-orang itu menyerang desa 
lainnya, betapa mengenaskannya. Sementara 
kita menunggu di sini dan siap memperta-
ruhkan nyawa untuk melawan mereka semua, 
namun nyawanya tak satu pun wajah orang-
orang itu nongol," kata Ki Lurah Perkoso. 
Wajahnya sedikit terlihat pancaran lega, 
namun juga terlihat pancaran kesal. 
"Lalu apa yang akan kita perbuat, 
Ki Lurah?" tanya salah seorang. 
"Bila kau bertanya tentang itu, ja-
wabku hanya satu... kita tetap menunggu 
di sini dan siap menyambut kedatangan me-
reka bila mereka datang. Yah... mungkin 
ini agak membosankan bagi kita, namun bi-
la kita perhitungkan dengan matang, maka 
sesungguhnya ini merupakan satu keharusan 
yang tetap kita jalankan." 
"Ki lurah... apakah sebagai manusia 
yang berbudi dan beradab, kita tidak men-
coba membantu para penduduk yang lain, 
bila mereka memang benar tengah diteror 
oleh orang-orang sialan itu?" berseru sa-
lah seorang. 
"Benar, Ki Lurah!" lanjut salah 
seorang. "Kita tidak akan membiarkan me-
reka pun berbuat sewenang-wenang mereka 
saja terhadap sesama. Apakah lalu kita 
akan diam saja bila kita tahu kalau 
orang-orang itu tengah menyebarkan teror-
nya?"  
Sahutan-sahutan ramai pun terdengar. 
Ki Lurah Perkoso hanya mendesah. 
Sementara Pandu, murid dari Eyang 
Ringkih Ireng yang bermukim di Gunung Ki-
dul hanya mencoba untuk menjadi pendengar 
yang setia. 
Dilihatnya ki lurah seperti hendak 
berkata. Dan di dengarkannya dengan sek-
sama apa yang dikatakan ki lurah itu. 
"Yah... tentunya kita tidak akan 
berbuat seperti itu. Namun yang perlu di-
tanyakan, apakah kita tahu di mana dan 
desa mana yang tengah diserang oleh ge-
rombolan liar itu? Dan bila kita tahu, 
apakah kita harus segera ke sana, semen-
tara desa kita sepi tanpa warganya? 
Yah... aku pun masih punya rasa pe-
rikemanusiaan sebenarnya. Namun bagiku, 
desa dan wargaku inilah yang teramat 
penting nasib dan kehidupannya. 
Sekali lagi kukatakan, aku bukannya 
hendak mengalihkan atau tidak mengindah-
kan apa yang tengah dialami oleh warga 
desa lainnya. Namun nasib kita di sinilah 
yang harus kita jaga. Karena aku tidak 
mau bila suatu saat kita meninjau ke desa 
yang tengah di landa kesengsaraan, desa 
kita kosong melompong. Dan orang-orang 
liar itu mendadak saja mengalihkan penye-
rangan ke desa kita. 
Bukankah itu amat menakutkan sekali? 
Jadi... kupikir, lebih baik kita 
tetap saja berjaga-jaga dan menunggu ke-
datangan mereka di sini!" 
Orang-orang itu terdiam. Mereka pun 
akhirnya memaklumi apa yang dikatakan Ki 
Lurah Perkoso. Dan ini bukanlah demi ke-
pentingan mereka sendiri. Namun yang me-
reka takutkan, bila nyatanya yang dikata-
kan ki lurah benar. 
"Lalu apa yang akan kita lakukan, 
Ki Lurah?" bertanya salah seorang. Dia 
sebenarnya seusia dengan ki lurah. Namun 
hanya bedanya dia nampak lebih tua dari 
ki lurah. "Apakah kita akan membiarkan 
saja sementara beberapa orang anak gadis 
kita dibawa mereka. Dan aku tidak yakin 
mereka akan mendapatkan satu kebahagiaan 
di sana. Tentunya... oh, mereka akan di-
jadikan pelampiasan nafsu orang-orang be-
jat itu!" 
Kali ini ki lurah mendesah panjang. 
Dia sebenarnya pun memikirkan hal 
itu. Namun ke mana mereka akan bisa men-
cari jejak orang-orang jahat yang tak 
berperikemanusiaan itu? 
Anginnya saja pun tidak tahu ke ma-
na anak-anak gadis mereka di bawa. 
"Pak Martono... yah, mungkin sebe-
narnya inilah yang menyusahkan hatiku. 
Aku pun teramat was-was memikirkan nasib 
mereka. Tapi apa yang bisa kita perbuat,  
sementara hatiku sendiri begitu cemas?" 
Orang-orang pun terdiam. Ki lurah 
mendesah masygul. Yah, dia pun tidak tahu 
apa yang hendak diperbuatnya. 
Tiba-tiba terdengar suara pelan na-
mun berwibawa, semuanya menoleh pada Pan-
du, pemuda gagah yang mengenakan caping. 
"Maafkan kelancanganku bicara sebe-
lumnya," desis Pandu. 
Ki lurah tersenyum. Sikap pemuda 
ini meskipun sudah di terima sepenuhnya 
oleh mereka, tetap saja memperlihatkan 
sikap yang santun. 
"Silahkan Pandu... katakanlah apa 
yang ingin kau katakan...." kata Ki Lurah 
Perkoso. 
Pandu membuka capingnya. Dan meli-
hat orang-orang yang duduk di lantai itu 
memperhatikannya. Angin berhembus sejuk 
dari luar dan masuk melalui celah-celah 
pagar yang dijadikan dinding balai desa 
itu. 
"Bila ternyata kita semua mengua-
tirkan nasib para anak gadis kita, ada 
baiknya bila salah seorang atau beberapa 
orang dari kita untuk mencari jejak mere-
ka. Kupikir, kita memang tak perlu lagi 
membuang waktu sia-sia menunggu kedatan-
gan mereka. Yah, kita  harus  segera men-
gambil satu keputusan yang tepat. Bila 
kita membuat waktu lebih lama lagi, kupi-
kir nasib para gadis yang dibawa oleh  
orang-orang jahat itu akan sukar untuk 
dilindungi...." 
Pandu mengedarkan tatapannya pada 
orang-orang yang masih memperhatikannya. 
"Yah, untuk tugas penyelidikan 
ini... aku bersedia untuk melakukannya...." 
Dari keheningan karena mendengar 
kata-kata Pandu itu, berubah menjadi sua-
ra riuh. 
Ki lurah menenangkan warganya. 
"Pandu... bila benar kau mengingin-
kan hal itu dan bersedia melakukannya, 
kami mengucapkan banyak terima kasih. Te-
tapi bila kau memerlukan bantuan beberapa 
orang pemuda warga desa ini, kami pun 
bersedia membantu." 
Pandu tersenyum. 
"Tidak perlu, Ki. Maaf... bukannya 
aku tidak memerlukan bantuan  kalian dan 
tidak mengindahkan rasa berterima kasih, 
tetapi aku lebih suka melakukannya sendi-
ri." 
"Yah... bila itu maumu, silahkan-
lah, Pandu...." kata Ki Lurah Perkoso. 
Dan berita Pandu hendak mencari ke-
diaman orang-orang kejam itu sampai di 
telinga Lastri. 
Hati gadis itu menjadi gundah dan 
gelisah. Dia dapat merasakan kekejaman 
dari orang-orang Gerombolan Telapak Bara 
itu. Dan dia tidak menghendaki Pandu men- 
jadi korban dari kekejaman mereka. 
Maka ketika pemuda itu muncul di 
rumahnya, dia langsung bertanya, "Kakang 
Pandu... benarkah kau hendak mencari mar-
kas orang-orang kejam itu?" 
Pandu yang telah mengikat kudanya 
membuka capingnya. Dia tersenyum yang 
membuat Lastri jadi gelagapan tersipu. 
Dan tanpa sadar dia menunduk dengan wajah 
merona merah. 
Ih, dia jadi benci sendiri pada dirinya. 
Mengapa dia begitu gelisah sekali? 
Mengapa dia cemas? Ah, tidak tahukah Pan-
du, kalau aku menyukaimu?" 
"Rayi Lastri...." kata Pandu masih 
tetap tersenyum. "Memang itulah adanya, 
aku memang hendak mencari mereka. Karena 
di samping itu, aku juga amat gelisah 
dengan gadis-gadis yang mereka culik." 
Mendengar kalimat itu wajah Lastri 
menegak. Cemas akan gadis-gadis? Oh, su-
dah kenalkah Pandu dengan mereka? Mengapa 
pemuda ini begitu cemas? Ataukah dia se-
cara diam-diam telah mengenal salah seo-
rang dari mereka? Dan maksud kedatangan-
nya yang sebenarnya adalah untuk menjum-
pai gadis itu? 
Bermacam pikiran jelek singgah di 
benak Lastri. Dia begitu kuatir sekali 
nampaknya. 
Melihat gadis itu terdiam, Pandu  
berkata, "Mengapa, Rayi? Mengapa kau ter-
diam? Adakah kata-kataku yang menyinggung 
perasaanmu?" 
Gadis itu tanpa sadar menggelengkan 
kepalanya. Terlalu cepat dilakukannya, 
desis Pandu dalam hati. 
"Adakah kata-kataku yang menying-
gung perasaanmu, Rayi?" ulang Pandu. 
"Oh, tidak, Kakang... tidak... ti-
dak ada apa-apa...." 
"Lalu mengapa kau terdiam, Rayi?" 
"Ah, sungguh tidak ada apa-apa, Ka-
kang..." "Benar kah?" "Iya, Kakang...." 
Sebenarnya Pandu sudah tahu apa 
yang membuat gadis ini terdiam. Tentunya 
gadis ini cemburu kala dia berkata mence-
maskan gadis-gadis yang diculik oleh ge-
rombolan Telapak Bara yang kejam itu.. 
Namun bagi Pandu itu bukanlah satu hal 
yang bagus. Bukan-kah memang patut dia 
mencemaskan keselamatan para gadis yang 
entah bagaimana nasibnya hingga saat ini? 
Dan kemudian gadis itu yang kedua, 
tentunya dia cemas dengan perginya Pandu 
untuk mencari orang-orang kejam itu. Ka-
rena itu sama saja dengan mengantarkan 
nyawa percuma. 
Tetapi bagi Pandu yang yakin menga-
pa gadis itu menjadi cemas, tentunya ka-
rena gadis itu menyayanginya menjadi ser-
ba salah mengikuti sikap dan tingkah ga-
dis itu. 
 
Dari sikap yang diperlihatkan gadis 
itu sehari-hari selama dia berada di ru-
mah itu, begitu besar sekali. Dari makan 
hingga tidurnya pun diperhatikan. 
Sebenarnya Pandu risih dengan sikap 
yang diperlihatkan oleh Lastri. Karena 
dia  tahu semua itu dilakukan atas dasar 
cinta. Sedangkan dia? Ah, cinta... apakah 
dia cinta sama Lastri? Pandu tidak tahu 
dan tidak pernah mengerti. Dia memang su-
ka bila berdekatan dan berduaan dengan 
Lastri. Tetapi tidak bermaksud untuk men-
gakrabkan hubungan itu dengan satu tali 
percintaan yang bisa mengikat. 
Pandu tidak ingin seperti itu. 
Cinta baginya hanyalah cinta seba-
gai seorang kakak dan adik. Atau cinta 
anak pada orang tua. Bukannya cinta seo-
rang laki-laki dan seorang perempuan. 
Terlalu berat, terlalu berat resiko 
yang tentu akan ditanggungnya nanti. Tak 
mungkin dalam pengembaraannya ini dia 
membawa seorang istri. Tak akan mungkin. 
Bagaimana pula dia bisa bebas men-
gembara, bila di benaknya dipenuhi oleh 
nasib anak dan istrinya nanti? Pandu 
menghela nafas panjang. 
"Ah, Lastri... maafkan aku...." de-
sisnya dalam hati. 
Lalu ditatapnya gadis itu yang ma-
sih menundukkan kepalanya. Dan perlahan-
lahan serta hati-hati pula dia memegang  
dagu gadis itu yang langsung tersentak 
kaget dan tanpa sadar mengangkat kepa-
lanya. 
Pandu dapat melihat kerjapan malu 
dan senang pada sepasang mata yang bening 
dan cerah itu. 
Dan secepat dia mengangkat wajah-
nya, secepat itu pula dia menurunkan wa-
jahnya. Gelagapan tersipu. Dengan satu 
gerakan lembut yang sopan dan mampu mem-
buat hati Lastri bergetar, Pandu menaik-
kan wajahnya. 
Hingga mau tidak mau gadis itu ter-
paksa menatapnya. Sepasang mata itu sema-
kin tersipu. Ah, rasanya tak kuasa Lastri 
menolaknya bila Pandu mengecupnya atau 
menarik tubuhnya ke dalam rangkulannya. 
Dan dia memang mengharapkan pemuda itu 
melakukannya. 
Namun pemuda itu masih tegak mena-
tapnya. Tidak melakukan apa-apa biarpun 
tangannya masih memegang dagunya. Hal itu 
membuat Lastri semakin kagum karena pemu-
da itu tidak ceriwis dan tidak mengguna-
kan kesempatan yang ada. 
Jarang dia menemui pemuda seperti 
Pandu. Justru dari sikap Pandu itulah 
yang membuat Lastri semakin menjadi pena-
saran untuk dipeluk dan di rangkul. 
Ataupun... ih, dikecup! 
Tetapi pemuda itu tidak berbuat 
apa-apa. Lastri mendengar pemuda itu ber- 
kata, "Rayi... mengapa kau nampaknya ce-
mas padaku? Mengapa kau nampaknya tidak 
rela bila aku mencari orang-orang kejam 
itu? Bukankah kau tahu, bila orang-orang 
itu dibiarkan terus berkeliaran, maka na-
sib orang banyak akan jadi malapetaka 
yang luar biasa. Kau sudah menyaksikan 
bagaimana kekejaman mereka bukan, Rayi? 
Dan kau tentunya dapat merasakan kepedi-
han bagaimana yang dialami orang-orang 
yang terkena gangguan mereka? Pilu dan 
luka, Rayi. Apalagi dengan nasib para ga-
dis yang mereka culik? Mungkin sudah ra-
tusan jumlahnya gadis-gadis yang mereka 
culik dari berbagai desa itu tanpa seo-
rang pun yang tahu bagaimana nasib mere-
ka. Ini amat memprihatinkan, bukan?" 
"Tapi, Kakang...." suara gadis itu 
bergetar. "Aku kuatir denganmu...." 
"Mengapa kau kuatir, Rayi? Mengapa?" 
Ditembak dengan pertanyaan yang 
langsung pada sasaran dan tatapan mata 
yang menikam, membuat Lastri menunduk. 
Dan tiba-tiba saja dia berlari masuk ke 
dalam tersipu dan berujar, "Karena... aku 
sayang padamu, Kakang...." 
"Benar dugaanku," desah Pandu dalam 
hati. "Yah, memang sudah kuduga hal itu 
sebenarnya. Namun aku tidak mau terlibat 
percintaan seperti itu. Maafkan aku, Rayi 
Lastri." 
 
Lalu dia menaiki kudanya dan meng-
gebrak larinya dengan cepat. Dari balik 
gorden Lastri mengintip dengan hati pilu. 
"Mengapa Pandu tidak pamit lagi padaku?" 
Desisnya di hati. 
Sementara pemuda itu terus memacu 
kudanya dengan cepat. Baginya dia merasa 
tidak perlu memikirkan Lastri. Biarlah 
gadis itu akan menyadari sendiri, bahwa 
aku tidak pantas untuknya. 
Tidak mungkin gadis lembut seperti 
dia bisa kuajak mengembara, dan kalau pun 
bisa mungkinkah aku akan tega melakukan-
nya. 
Mengajaknya bertualang? Ah, bukan-
kah dalam pengembaraanku ini akan banyak 
kujumpai kendala dan halangan yang amat 
susah? Bisakah kulakukan bersama Lastri? 
Bisakah? 
Pandu mendesah panjang dan melari-
kan  kudanya kencang-kencang. Dia tidak 
mau lagi mengingat gadis itu. Biarlah ga-
dis itu, biarlah dia tenggelam dalam an-
gannya. Dan aku tak mau menambah angan 
itu semakin dalam. 
Kala siang hari saat matahari sudah 
merambah dunia dengan kegarangan sinar-
nya, Pandu menghentikan kudanya di suatu 
tempat yang cukup sepi. Pohon-pohon besar 
dan tinggi cukup menghalangi sinar mata-
hari yang datang menyengat. 
Setelah menambatkan kudanya, Pandu 
lalu merebahkan tubuhnya di rerumputan, 
namun setelah beberapa saat berlalu, ti-
ba-tiba di dengarnya derap langkah kuda 
yang bergegas ke arahnya dengan bergemu-
ruh dan cepat. 
Menimbulkan tanda tanya. 
Pandu pun segera bangkit untuk me-
lihat siapa yang datang. Dan batinnya 
berbicara, bahwa akan terjadi sesuatu 
yang tidak menggembirakan. 
 
** 
 
 
Semula Pandu tidak melihat dengan 
jelas siapa orang-orang yang menunggangi 
kuda-kuda itu. Namun ketika tinggal bebe-
rapa tindak lagi, barulah dia mengenali 
dua orang penunggang kuda itu yang pernah 
mau merebut Golok  Cindarbuana yang ter-
sampir di punggungnya. 
Dan dia memang benar, orang-orang 
itu adakah Wayaluta, Jimbun dan Rimbin. 
Yang setelah mendapat tugas dari Ki Pan-
cang Jalak atau Hantu Bertangan Bara un-
tuk membunuh Pandu dan merebut Golok Cin-
darbuana dari tangannya, telah tiba di sini. 
Mereka hampir seminggu lamanya me-
macu kuda-kuda mereka dengan rasa penasa- 
ran dan tidak sabar untuk bertemu dengan 
pemuda yang mereka cari! 
Dan sudah tentu mereka gembira kala 
secara tidak sengaja bertemu dengan pemu-
da itu di sini! Bukankah ini merupakan 
satu keberuntungan sehingga mereka tidak 
perlu bersusah payah lagi?! 
Serentak ketiganya memperlambat la-
ri kuda mereka. Dan betapa geramnya Jim-
bun dan Rimbin begitu melihat siapa pemu-
da yang tengah beristirahat dengan santai 
dan wajah yang sebagian tertutup caping 
yang dikenakannya. Namun kali ini sudah 
berdiri dengan gagah. 
"Bangsat! Rupanya kau berada di si-
ni, pemuda busuk!" membentak Jimbun den-
gan marahnya. Wajahnya seketika beringas. 
Dan nafasnya mendengus-dengus. Dendamnya 
semakin menjadi-jadi dengan besar sekali. 
Pandu hanya tersenyum. Hingga seka-
rang ini dia masih tetap heran bagaimana 
kedua manusia jelek ini bisa terlepas da-
ri totokannya. 
"Hmmm... rupanya Tiga Malaikat Tali 
Pencabut Nyawa yang ada di hadapanku se-
karang ini! Tetapi kini tinggal Dua Ma-
laikat Tali Pencabut Nyawa dan seorang ki 
sanak yang tak kukenal. Hmm... ada apakah 
gerangan hingga kalian tidak segera me-
lanjutkan perjalanan?!" 
Lalu mengapa kalian menuduh aku 
yang membunuh? Rupanya kalian berdua ini  
orang-orang yang pelupa sekali. Adik se-
perguruan kalian mati oleh tangan kalian 
sendiri?!" 
Merah padam wajah Rimbin. Memang, 
mereka juga kaget ketika menyadari senja-
ta tali berujungkan besi lancip yang men-
jadi senjata andalan mereka menancap di 
tubuh Tambon. Namun semua itu semua itu 
karena si pemuda setan ini!! 
"Perduli setan! Semuanya kaulah 
yang menjadi gara-gara!" 
"Aku? Hahaha... sejak semula sudah 
ku katakan, kita tidak punya saling seng-
keta. Namun kalian yang datang ingin mem-
bunuhku dan merebut Golok Cindarbuana mi-
likku ini! Nah, bagaimana aku bisa menye-
rahkan nyawa dan golokku ini begitu saja 
pada kalian? Mustahil bukan! Tapi... aku 
kagum dengan kalian berdua, rupanya ka-
lian bisa membebaskan diri juga, bukan? 
Tapi... tidak mungkin rasanya bila tidak 
ada yang menolong. Dan dugaanku, kaulah 
ki sanak yang telah menolong mereka...." 
Wayaluta yang merasa pandangan mata 
Pandu tertuju padanya hanya menyeringai. 
"Hehehe... memang aku yang telah 
membebaskan mereka dari totokanmu, Anak 
muda... Tapi perduli setan dengan semua-
nya. Yang kami inginkan sekarang, berikan 
Golok Cindarbuana itu pada kami! Dan se-
telah itu, kau boleh membunuh diri!!" 
Pandu tersenyum walau dalam hati  
berkata, lagi-lagi golok ini. Ada rahasia 
apa sebenarnya di batik golok ini? 
"Tidak mungkin sepertinya menda-
patkan golok ini dari tanganku...." 
"Bila benar adanya demikian, maka 
kau menantang orang-orang Telapak Bara!" 
seru Wayaluta dengan suara yang angker. 
"Telapak Bara? Apa pula itu?" tanya 
Pandu tidak mengerti. 
Dia memang sungguh-sungguh tidak 
mengerti. Namun Wayaluta menganggapnya 
sebagai suatu penghinaan dan ejekan. Ka-
rena ternyata masih ada orang yang tidak 
tahu tentang Gerombolan Telapak Bara. 
"Pemuda busuk! Sombong pula kau ru-
panya! Ketahuilah, Telapak Bara adalah 
sebuah gerombolan yang bermukim di Gunung 
Merapi. Dan dipimpin oleh Ki Pancang Ja-
lak atau yang bergelar Hantu Bertangan 
Bara!" 
"Apakah dia yang menyuruh kalian 
untuk merebut Golok Cindarbuana dari tan-
ganku ini?" 
"Tanpa diperintah oleh dia pun kami 
datang memang untuk membunuhmu!!" seru 
Jimbun dan tangannya sudah bergerak, me-
mainkan senjata talinya yang ujungnya te-
rikat sebuah besi tajam. 
Desingan senjata itu cukup keras. 
Pandu serentak berjumpalitan ke samping. 
Dalam hatinya dia menggerutu, "Sialan! 
Sebenarnya ada rahasia apa di balik  
Golok  Cindarbuana ini? Benar-benar aneh! 
Aneh sekali!" 
Dan melihat Jimbun sudah menyerang, 
Rimbin pun segera menggerakkan  senjata 
tali berujungkan besinya. Kini dua senja-
ta itu pun berputar-putar berdesing den-
gan hebatnya. Menyambar dengan cepat ke 
arah Pandu. Sungguh luar biasa cepatnya. 
Angin yang ditimbulkan akibat desingan 
senjata itu cukup keras. 
Pandu sendiri sudah menggunakan ju-
rus menghindarnya, Bangau Terbang. Lalu. 
Namun kedua senjata itu tetap mengejar 
dengan hebatnya. 
Belum lagi ketika Wayulata sudah 
membantu dengan jurus Telapak Baranya. 
Setiap tangannya bergerak, terasa hawa 
panas yang cukup menyengat menerpa kulit 
Pandu. 
Hal ini benar-benar membuatnya kerepotan. 
"Celaka! Aku tidak bisa bertahan 
lama-lama kalau begini! Mereka terus me-
nyerangku! Enak  saja, aku tidak di beri 
kesempatan untuk menyerang! Baiklah, kita 
lihat sekarang!!" desis pemuda berbaju 
putih itu dalam hati. 
Tiba-tiba saja dia berjumpalitan ke 
belakang dan sebelum hinggap di bumi dia 
sudah melepaskan pukulan sinar putihnya. 
Selarik sinar putih itu mampu mengurung-
kan niat Wayaluta untuk menerobos masuk  
menyerbu. 
"Haittt!!" serunya seraya menghindar ke kiri. 
"Bangsat!!" geram Jimbun dan segera 
menyerang lagi dengan senjatanya. Kali 
ini Pandu pun kembali mencecarnya dengan 
Pukulan Sinar Putihnya. Namun Jimbun yang 
dalam hal ini ditemani oleh Rimbin, tidak 
mengenal  takut. Keduanya terus menerobos 
masuk. Membuat Pandu menjadi kebingungan 
sendiri. Karena jarak yang mereka perli-
hatkan begitu dekat, begitu memudahkan 
mereka untuk menyerang dengan lebih lelu-
asa, karena senjata mereka itu bisa digu-
nakan dalam menyerang jarak panjang mau-
pun jarak pendek. 
"Brengsek!!" dengusnya apalagi se-
telah Wayaluta merangsek masuk. Membuat-
nya jadi kewalahan. Tak satu pun dari se-
rangan ketiganya yang berani di tangkis-
nya, hanya dihindarinya saja. 
Dan Pandu pun membuka Pukulan Patuk 
Gagak. Semua pukulan itu mampu mengimban-
gi ketiganya dengan kecepatan handal yang 
diperlihatkan. Gerakannya sungguh-sungguh 
amat cepat dan mengagumkan. 
Dan kaki tangannya seolah berubah 
menjadi gerakan Burung Gagak Rimang yang 
kadang gemulai dan. kadang keras. Cepat 
dan hebat. Sejenak Pandu berhasil mengua-
sai pertarungan. Namun karena dia tak be-
rani bersentuhan tangan dengan Wayaluta 
yang telah mengeluarkan pukulan Telapak 
Baranya sejak tadi, inilah yang membuat-
nya menjadi menjaga jarak. 
Dan akhirnya dia kembali terdesak. 
"Celaka! Mereka benar-benar tang-
guh! Huh! Mengapa harus ada orang yang 
bisa menggunakan Telapak Bara itu? Il-
munya sungguh hebat sekali! Sulit bagiku 
untuk melawannya. Hei... apakah mesti ku-
gunakan Ajian Tangan Malaikat ku?" 
Sambil memikir-mikirkan hal itu, 
Pandu masih berusaha untuk mengimbangi 
serangan-serangan ketiga lawannya. Dan 
dia pun tak dapat membendung serangan ke-
tiga lawannya. 
Memang tidak ada jalan lain lagi 
kalau begini. Terpaksa ilmu  andalannya 
yang diturunkan oleh gurunya, Mpu  Daga, 
harus digunakannya. Selama ini dia memang 
belum pernah menggunakan Ajian Tangan Ma-
laikatnya. Dan kali inilah kesempatan itu. 
Tiba-tiba saja Pandu melompat ke 
kiri, kala tangan Wayaluta sudah hendak 
menyambar tubuhnya. Lalu dia berjumpali-
tan ke belakang ketika dua senjata yang 
dilepaskan Jimbun dan Rimbin mencecar ke 
arahnya. 
Dalam hal ini Pandu bisa saja meng-
gunakan Golok Cindarbuana yang ada di 
punggungnya. Ilmu golok pun lumayan  he-
bat. Namun karena masih penasaran ada ra- 
hasia apa sesungguhnya di balik Golok 
Cindarbuana itu, membuat Pandu menjadi 
enggan untuk menggunakannya. 
Memang tidak ada jalan lain untuk 
menghadapi mereka. Ajian Tangan Malaikat-
nya harus segera dia gunakan. 
Dan begitu dia berhasil menghindari 
serangan-serangan itu, Pandu langsung me-
rangkum kedua tangannya di dada. Nampak 
dia seperti tengah bersemedi. Ketiga la-
wannya saling pandang tidak mengerti. Na-
mun kemudian mereka langsung menyerang. 
Sungguh luar biasa. Karena tiba-
tiba saja tubuh Pandu melenting ke atas. 
Dan saat hinggap di tanah kedua tangannya 
mengepulkan asap berwarna putih. 
Ketiga lawannya tahu, kalau pemuda 
itu tengah mengeluarkan jurus andalannya. 
Dan ini membuat mereka semakin berhati-
hati menyerang. Namun mereka telah ber-
janji, untuk tidak mengecewakan hati Ki 
Pancang Jalak. 
Mereka pun tetap menyerbu dengan 
maksud merebut Golok Cindarbuana dan mem-
bunuh pemuda itu. 
"Pemuda edan! Lebih baik serahkan 
saja golok itu pada kami, bila tidak in-
gin kau mati dalam keadaan yang  menya-
kitkan!!" seru Wayaluta sambil menyerbu. 
"Hahaha... tak akan pernah kuberi-
kan golok ini pada siapa pun yang bermak-
sud jahat denganku!" sahut Pandu sambil  
menghindari serangan itu dan mencoba mem-
balasnya lewat satu jotosan tangan kanan-
nya. Wayaluta langsung menghindar pula 
karena dia merasakan hawa yang sungguh-
sungguh panas luar biasa menguar dari 
tangan itu. Dan ini membuatnya menjadi 
pucat. Pandu melihat hal itu, "Hahaha... 
rupanya Telapak Baramu tak ada gunanya 
bukan melawan ilmu  Cakar Gagak Rimang 
yang kumiliki ini?" 
"Bangsat! Apa pula dengan ilmu Ca-
kar Gagak Rimang itu?!" bentak Wayaluta. 
"Hahaha... mengapa harus sungkan-
sungkan bertanya, hah? Semua ini tak per-
lu kujelaskan, karena sebentar lagi ka-
lian akan merasakan ilmu itu. Dan kalian 
akan tahu siapa aku... hahaha!!" 
"Sombong!!" dengus Jimbun sambil 
melontarkan lagi senjatanya. Namun sung-
guh di luar dugaannya, karena begitu sen-
jata itu dekat dengannya, tiba-tiba saja 
Pandu seperti gerakan membelah, tangan 
kanannya mengibas ke arah besi yang ten-
gah meluncur itu ke arahnya. 
"Trass!!" 
Tali itu terputus terpotong. Namun 
ujung besinya terus meluncur ke arah Pan-
du. Dengan satu gerakan yang luar biasa 
cepat dan sigapnya, tubuh Pandu berputar 
dua kali ke belakang menghindari ujung 
besi itu. Dan.... "Des!!" Tangan kanannya 
mengibas, tepat menghantam ujung besi itu  
hingga berbalik dengan cepat. 
Lebih cepat dari datangnya dan me-
luncur ke arah pemiliknya! 
Jimbun terkejut. 
Sungguh dia amat tidak menyangka 
kalau senjatanya akan berbalik ke arah-
nya. 
Dan dia pun seolah terpaku oleh 
senjatanya yang datang kembali ke arah-
nya. Tanpa ampun lagi besi itu pun menan-
cap tepat di jantungnya. 
Terdengar lolongan keras yang amat 
menyayat di pagi hari ini. 
Melihat kawannya mati, Rimbin men-
jadi buas dan marah. Dia mencecar Pandu 
dengan segala kecepatannya. Ujung talinya 
yang berbentuk besi itu menyambar-nyambar 
dengan cepat. Menimbulkan desingan angin 
yang kuat, atau pun seperti gemuruh tawon 
yang datang beramai-ramai. 
"Kau harus membayar nyawa Jimbun, 
Pemuda sombong!!" serunya kalap dan terus 
mencecar. 
Pandu pun menghindarinya dengan ce-
pat dan sigap. Dan tiba-tiba dia terdiam 
ketika ujung besi itu mengarah padanya. 
Namun lima senti ujung besi itu tepat 
menghujam jantungnya, tiba-tiba tubuhnya 
bergerak ke atas. Tangan kanannya menyam-
bar ujung besi itu dan dijadikannya seba-
gai batu tumpuan untuk mengempos tubuh-
nya. 
 
Dan tubuhnya itu pun terempos ke 
atas. Langsung meluncur ke arah Rimbin 
yang kini bisa jadi terpaku. Dan tanpa 
ampun lagi telapak tangan Pandu yang ter-
buka itu tepat mengenai dadanya. 
Terdengar lolongan bagaikan orang 
digigit seorang srigala lapar. 
Dan tak lama kemudian tubuh Rimbin 
menggelepar, lalu ambruk terdiam. Dan ti-
ba-tiba saja tubuh itu mengempos-ngempis. 
Lalu tiba-tiba meledak! 
Pandu terkejut.  Ya Tuhan... begitu 
kejam kah Ajian Cakar Gagak Rimang milik-
nya. Benar-benar amat mengerikan. Pantas, 
gurunya melarangnya menggunakan ilmu itu 
sembarangan Karena akibatnya sungguh-
sungguh di luar dugaan. 
Bau sengit pun menguar karena tubuh 
itu berubah menjadi hangus. 
Wayaluta sendiri pun terkejut. Tadi 
dia menduga, Ajian Cakar Gagak Rimang 
yang dimiliki pemuda itu hanya satu ilmu 
yang menimbulkan hawa panas. Sama seperti 
yang dimilikinya ini. Dan ilmu Tangan Ma-
laikat itu pasti jauh berada di bawah il-
mu si Hantu Bertangan Bara. Namun melihat 
hasil dari satu pukulan yang dilepaskan 
pemuda itu pada Rimbin tadi, sungguh amat 
mengejutkannya. 
Terus terang dia mengakui, ilmu si 
Hantu Bertangan Bara masih kalah oleh 
ajian milik si pemuda ini. 
 
Karena merasa tak sanggup untuk 
menghadapinya lagi, Wayaluta hanya bisa 
mendengus. 
"Pandu... suatu saat nanti, kita 
akan berjumpa lagi!" 
"Ki Sanak... mengapa kiranya ki sa-
nak bernafsu untuk memiliki Golok Cindar-
buana ini, dan begitu bernafsu ingin mem-
bunuhku? Ada apa dengan golok ini? Dan 
mengapa nyawaku begitu amat diinginkan 
oleh ki sanak untuk di cabut?" 
Wayaluta mendengus. 
"Persetan dengan semua pertanyaan-
mu! Jawablah sendiri! Karena kau pun se-
benarnya tahu apa jawabannya!" 
"Sungguh, ki sanak... aku tidak ta-
hu apa jawabannya! Masalah misteri apa 
yang terpendam di balik golok ini saja 
sudah amat membingungkanku!" 
"Hmm... kau sungguh hebat berka-
ta...." "Ki Sanak... aku sungguh bingung 
dengan semua ini. Belum lagi mengapa ka-
lian begitu bernafsu untuk membunuhku? 
Padahal sejak semula aku tidak memiliki 
silang sengketa dengan kalian? Ini benar-
benar merupakan satu teka-teki yang sulit 
untuk kujawab!" 
"Hmm... bila kau  penasaran, baik-
lah akan kujawab pertanyaanmu itu. Kami 
memang menginginkan nyawamu! Karena kami 
memang menginginkan kau mati! Sedangkan 
kenapa kami menginginkan golok itu, kare- 
na kau tak pantas memilikinya! Tak pantas 
golok itu berada di tanganmu, mengerti?!" 
"Belum, Ki Sanak. Aku belum menger-
ti sepenuhnya. Sebenarnya aku tidak mau 
terlibat perkelahian terus menerus den-
ganmu atau dengan siapa saja karena golok 
ini. Aku ingin kita hidup berdampingan. 
Tidak saling mencari silang sengketa yang 
berkepanjangan!" 
"Selama kau masih memiliki Golok 
Cindarbuana itu, maka selamanya orang 
akan mencarimu! Demikian pula aku, Waya-
luta, anggota dari Gerombolan Telapak Ba-
ra yang akan membuatmu musnah dari muka 
bumi ini!" 
Tiba-tiba Pandu terdiam. Telinganya 
seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. Anggota Telapak Bara? Oh, bu-
kankah dia memang sedang mencari orang-
orang itu? Ataukah... ya, ya... tentunya 
dia memang anggota Telapak Bara mengingat 
dari ilmu yang digunakannya tadi. 
Untuk meyakinkan Pandu bertanya, 
separuh geram dan separuh menyelidik. 
"Wayaluta... benarkah kau anggota 
perkumpulan kejam yang menamakan dirinya 
Gerombolan Telapak Bara?" 
Wayaluta terbahak. 
"Hahaha... agaknya kau jeri menden-
gar nama gerombolanku yang sudah begitu 
hebat, hah? Nah, bukankah lebih baik kau 
segera saja menyembah berlutut kepadaku,  
hah? Cepat, sebelum ajalmu datang!" 
Pandu mendesah dalam hati. 
"Wayaluta... apakah orang-orangmu 
yang menyerbu dan membumihanguskan Desa 
Batang Muara?" 
"Hahaha... aku sudah tidak ingat 
lagi nama desa-desa yang kupimpin untuk 
kuhancurkan! Batang Muara? Ya, ya... ra-
sanya aku pernah mendengar nama itu. Te-
tapi entahlah benar atau tidak... Haha-
ha... soalnya aku sudah lupa. Karena ter-
lalu banyak desa-desa yang kami ratakan 
dengan tanah!" kata Wayaluta terbahak. 
Pandu yang tadi semula sudah mena-
han dirinya lagi, kini kembali menjadi 
emosi. Hhh! Kalau tak percuma dia bertemu 
dengan manusia-manusia kejam ini. Bukan-
kah ini akan membuatnya mudah melakukan 
rencananya? 
"Wayaluta... ingatkah kau dengan 
seorang kepala desa yang bernama Ki Lurah 
Perkoso?" pancing Pandu untuk meyakinkan 
bahwa Desa Batang Muara dihancurkan oleh 
Wayaluta yang memang orang-orang dari Te-
lapak Bara. "Ingatkah kau akan hal itu, 
Wayaluta?!" 
Wayaluta terlihat terdiam. Lalu ke-
mudian terdengar tawanya yang keras. 
"Hahaha... ya, ya... aku ingat, aku 
ingat sekarang! Benar, kalau begitu Desa 
Batang Muaralah yang kami hancurkan baru-
baru ini. Hei, pemuda tengik! Ketahuilah,  
bahwa gadis-gadis dari Desa Batang Muara 
begitu cantik menggairahkan! 
Bahkan ketua kami, Ki Pancang Jalak 
amat menyukai mereka! Hahaha, ya, ya...." 
Terbahak Wayaluta namun tiba-tiba tawanya 
terhenti. Sepasang matanya tajam menatap 
Pandu. "Hhh! Lalu kau mau apa sebenar-
nya?! Apa kau pikir kaulah dewa penyela-
mat bagi setiap manusia yang kami teror 
hah? Jangan bermimpi pemuda tengik!!" 
"Wayaluta... agaknya petualangan 
kekejaman kau, ketuamu dan gerombolanmu 
akan segera berakhir! Selama aku masih 
ada di bumi ini, tak kubiarkan kalian te-
rus-menerus menebarkan teror yang kejam!" 
"Hahaha! Kau tengah bermimpi di 
siang belong, Pandu!" 
"Katakan pada ketuamu yang bernama 
Ki Pancang Jalak itu! Bila dia memang 
jantan adanya, kutunggu dia di Lembah 
Maut saat purnama pertama bulan ini! Dan 
bila dia menolak tantanganku, maka lebih 
baik tinggalkan dunia ini dan jangan kem-
bali lagi!" 
"Sombong!!" Wayaluta menggeram mur-
ka dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat 
menerjang dengan ganas. Dia kembali meng-
gunakan Ajian Telapak Baranya. Namun Pan-
du yang tengah kesal dan kejam, mengim-
banginya dengan Ajian Tangan Malaikatnya 
tingkat pertama. Dan gebrakan Wayaluta 
tak ada gunanya. Dia pun harus kalah da- 
lam gebrakan pertama. Mulutnya mengalir-
kan darah segar saat dia muntah. 
Matanya tajam menatap. Penuh kege-
raman yang amat sakit di dada. 
Pandu tersenyum. 
"Maafkan aku, Ki Sanak.... Katakan-
lah pada ketuamu tentang tantanganku itu! 
Dan sebaiknya, kau tak perlu ikut campur 
dalam masalah ini!!" 
"Persetan denganmu!" geram Wayalu-
ta. "Ingat, Pandu... suatu saat nanti, 
kita akan bertemu lagi! Dan kau harus me-
nyerahkan nyawamu dan Golok Cindarbuana 
itu padaku! Mengerti?!" 
"Ki Sanak...." 
Namun tubuh Wayaluta telah menghi-
lang dengan membawa dendam dan amarahnya 
yang luar biasa. Juga luka dalam yang di 
deritanya di dada. Bukannya berhasil men-
dapatkan apa yang mereka inginkan, malah 
mengorbankan nyawa Jimbun  dan Rimbin. 
Bahkan sebenarnya secara diam-diam  Waya-
luta kagum dengan keberanian dan ketega-
ran pemuda itu. 
Dan dia pun mengakui kalau pemuda 
itu amat tangguh. Apalagi dengan Ajian 
Cakar Gagak Rimang. Hmm... jadi dugaan 
ketua benar, kalau saat ini ada seorang 
pendekar kelana yang bergelar Pendekar 
Gagak Rimang, desisnya dalam hati. Dan 
gelar itu bukanlah gelar kosong belaka! 
Gelar yang amat menggetarkan bagi  
yang mendengarnya! Dan akan membuat orang 
lari terbirit-birit bila sudah menyaksi-
kan kehebatan ilmunya! 
Sementara Pandu mendesah panjang. 
Rupanya secara kebetulan tugasnya 
mencari orang-orang kejam  itu berakhir 
hingga di sini, karena dia akan menantang 
Ki Pancang Jalak untuk bertarung di Lem-
bah Maut. 
Dan secara tidak sengaja pula, dia 
dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang 
begitu penasaran untuk merebut Golok Cin-
darbuana itu. 
Kini Tiga Malaikat Tali Pencabut 
Nyawa telah mampus. Dan dia siap untuk 
menghadapi Ki Pancang Jalak  atau Hantu 
Bertangan Bara demi keadilan dan kebena-
ran. 
Baginya hidupnya tidak akan tenang 
bila dia tidak menghentikan sepak terjang 
orang-orang itu. 
Lalu Pandu segera menaiki  kudanya 
dan melarikan lagi kudanya. Kembali ke 
Desa Batang Muara. 
Sesampai di sana, dia segera mela-
porkan semuanya pada Ki Lurah Perkoso. 
"Jadi kau akan datang ke Lembah 
Maut itu, Pandu?" tanya ki lurah. 
"Benar, Ki. Aku akan ke sana. Jan-
gan ada seorang pun yang meninggalkan de-
sa. Karena menurutku, keadaan kini lebih 
gawat dari sebelumnya. Dugaanku, orang- 
orang itu akan segera menyerang ke mari." 
"Tapi, Anak muda... tegakah hati 
kami melepaskan kau pergi seorang diri?" 
"Ki lurah... percayalah, aku sudah 
berjanji akan menolong orang-orang di de-
sa ini dari keangkaramurkaan yang dilaku-
kan orang-orang kejam itu. Nah, aku akan 
tunaikan janjiku itu. 
Biarlah semuanya aku yang tanggung. 
Bila Gusti Batara Agung masih memperbo-
lehkan aku hidup, maka aku akan tetap hi-
dup. Percayalah, Gusti Batara Agung akan 
menjaga umat-Nya yang berlindung pada-
Nya. 
Tak ada yang bersuara. 
Dan tentang pertarungan itu pun 
terdengar oleh Lastri. Gadis itu hanya 
bisa menangis berkepanjangan. 
Dia amat mencintai pemuda itu. 
Amat mencintainya! 
 
* * 
 
 
Ki Pancang Jalak alias Hantu Ber-
tangan Bara menggebrak meja yang ada di 
hadapannya hingga hancur berantakan. 
Wayaluta yang duduk di hadapannya tanpa 
sadar menggigil. Dan tanpa sadar pula dia 
langsung menundukkan kepalanya begitu ta- 
tapannya berbenturan dengan tatapan mata 
Ki Pancang Jalak yang bukan main dingin-
nya. 
"Bodoh! Goblok! Menghadapi pemuda 
itu saja kau gagal, hah?! Bahkan harus 
mengorbankan nyawa Jimbun dan Rimbin! Be-
nar-benar tolol! Sungguh tolol!!" seru Ki 
Pancang Jalak dengan suara murka. 
Wayaluta hanya menunduk. Tadi pun 
dia ragu sebenarnya untuk mengatakan hal 
itu. Namun ketuanya bisa-bisa marah besar 
bila  dia terlambat memberi keterangan 
yang sesungguhnya. Hal seperti itu saja, 
padahal dia tidak terlambat, murkanya su-
dah bukan alang kepalang lagi. Ini amat 
berbahaya. 
"Maafkan saya, Ketua... pemuda itu 
amat tangguh sekali," kata Wayaluta den-
gan suara mendesis. Bagaikan desahan be-
laka. Wajahnya nampak pias dan ketakutan. 
"Bodoh! Tolol! Kau benar-benar ti-
dak berguna, Wayaluta! Kau bisa membunuh-
nya! Kau hanya omong besar, Wayaluta!!" 
"Ketua...." kata Wayaluta sambil 
menahan rasa takutnya. "Pemuda itu sung-
guh tangguh sekali, Ketua. Dia... dia... 
memiliki ilmu Tangan Malaikat, Ketua...." 
Ki Pancang Jalak yang sedang mondar 
mandir dengan perasaan kesal seketika 
berhenti melangkah. Berbalik menatap 
Wayaluta dengan tatapan terbelalak. 
"Apa katamu?!"  
"Dia... dia memiliki ilmu Cakar Ga-
gak Rimang, Ketua...." 
"Kau tidak salah, Wayaluta?" 
"Ketua.,.. Ketualah yang pernah 
menceritakan hal itu padaku, kalau ilmu 
itu adalah satu ilmu yang amat langka di 
muka bumi ini. Bahkan dikabarkan ilmu itu 
sudah tidak ada sama sekali 
Dan aku pun tahu bagaimana ciri-
ciri dari ilmu itu. Bukankah ketua sendi-
ri yang menceritakannya padaku? Dia sung-
guh-sungguh memiliki ilmu yang amat lang-
ka itu, Ketua! Ilmu Cakar Gagak Rimang. 
Ki Pancang Jalak terdiam. Ilmu Ca-
kar Gagak Rimang? Oh, ilmu yang pernah 
menggemparkan dunia puluhan tahun yang 
silam. Lalu mengapa sekarang ada seorang 
pemuda yang menguasai ilmu itu? Siapakah 
pemuda itu sebenarnya? 
Apakah selama ini desas-desus yang 
mengabarkan adanya seorang pemuda kelana 
yang tangguh dan bergelar Pendekar Gagak 
Rimang benar adanya. 
Wajah Ki Pancang Jalak semakin me-
rona memerah kala mendengar kata-kata da-
ri Wayaluta selanjutnya. 
"Ketua... bahkan pemuda itu menan-
tang ketua untuk bertanding di Lembah 
Maut kala purnama pertama di bulan ini." 
"Anjing buduk.'!" geram Ki Pancang 
Jalak hingga berdiri. Wajahnya menampak-
kan kegeraman yang amat luar biasa. Ma- 
tanya beringas dengan nafas yang menden-
gus-dengus menyeramkan. 
Wayaluta menjadi ngeri. Dan tanpa 
sadar dia menundukkan kepalanya. "Benar, 
Ketua...." 
"Setttan!! Pemuda itu belum tahu 
siapa aku rupanya, hah?! Baik, aku akan 
terima tantangan bertarung di Lembah Maut 
itu!" desisnya menggeram menakutkan. 
"Ketua...." kata Wayaluta sambil 
perlahan-lahan. "Bukannya saya meremehkan 
ketua... saya yakin, ilmu Tangan Bara ke-
tua tidak ada tandingannya. Namun...." 
"Hhh! Aku mengerti maksudmu, Waya-
luta! Nah, pergilah kau ke Gunung Semeru! 
Temui kakak seperguruanku yang sedang 
bersemedi di sana!" 
"Baik, Ketua. Tapi...." 
"Apa, Wayaluta?" 
"Bagaimana caranya hingga saya men-
getahui dia adanya? Bukankah selama ini 
saya tidak pernah berjumpa dengannya?" 
"Dia bernama Ki Kerto Ijo atau yang 
berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa! Dia 
tengah bersemedi di puncak Gunung Semeru. 
Katakanlah padanya, kalau aku amat membu-
tuhkan segala bantuannya. Mengerti?" 
"Ya, Ketua... tetapi jalan menuju 
ke Gunung Semeru demikian sulitnya. Dan 
aku tidak yakin bila tidak banyak penjeg-
al di sana." 
"Bawa beberapa anak buahmu! Cepat,  
Wayaluta!" Deru Ki Pancang Jalak. "Bunuh 
siapa saja yang menghalangi langkahmu! 
Persetan dengan mereka! Penghinaan ini 
tidak pernah aku terima! 
Cepatlah, Wayaluta! Ilmu Cakar Ga-
gak Rimang yang dimiliki pemuda itu hanya 
bisa dilawan oleh ilmu kakak sepergurua-
nku si Malaikat Pencabut Nyawa!" 
"Baik, Ketua!" kata Wayaluta hor-
mat. Lalu dia mengumpulkan tiga orang te-
man atau anak buahnya. Dan saat itu juga 
dia berangkat menuju Gunung Semeru. 
Ki Pancang Jalak hanya mendesah 
panjang. Lalu dia memasuki kamar yang ada 
di kediamannya itu. Satu sosok tubuh te-
lanjang bulat sudah menunggunya dalam 
keadaan tidak sadar. 
 
* * 
 
Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut 
Nyawa memiliki tubuh tinggi besar. Wajah-
nya amat menyeramkan. Di dadanya tersam-
pir kalung tengkorak yang menyala berwar-
na merah kedua matanya. Di dua pergelan-
gan tangannya terdapat dua belah gelang 
yang besar dan tebal. Begitu pula di ke-
dua pergelangan kakinya. 
Ki Pancang Jalak menyambut kakak 
seperguruannya itu dengan tertawa gembi-
ra. Keduanya berpelukan karena sekian la- 
ma tidak berjumpa. 
Ki Kerto Ijo disuguhi anak perawan 
yang masih murni, dan anak perawan itu 
hanya bisa menangis sedih. Setelah itu, 
keduanya bercakap-cakap. 
Sekali-kali terlihat wajah Ki Kerto 
Ijo geram bukan main. Dan kala mendengar 
kata-kata Ki Pancang Jalak tentang Golok 
Cindarbuana yang dimiliki pemuda itu wa-
jahnya menjadi gembira. 
Dia terbahak-bahak keras. 
"Hahaha... ini berita yang menggem-
birakan bagiku, Jalak! Bagus, bagus! Ya, 
ya... aku sudah tidak sabar rasanya untuk 
melumat ratakan dengan tanah pemuda busuk 
yang bergelar si Tangan Malaikat itu! 
Namun yang kutahu, di dunia ini 
hanya seorang yang memiliki ilmu Cakar 
Gagak Rimang. Dia adalah pertapa sakti 
Eyang Ringkih Ireng atau majikan Gunung 
Kidul di Bukit Paringin. Bila dikaitkan 
dengan pemuda itu, sudah bisa dipastikan 
kalau dia adalah murid tunggal Eyang 
Ringkih Ireng. 
Hmm, agaknya memang benar adanya. 
Ya, ya... Pukulan Sinar Putihnya pun amat 
tangguh. Tentunya semua ilmu yang dimili-
ki oleh  Eyang Ringkih Ireng telah ditu-
runkan kepadanya, mengingat pemuda itu 
pun memiliki ilmu yang amat hebat itu!" 
"Benar, Kakang Kerto.... Dan aku 
yakin, ilmu Malaikat Pencabut Nyawa yang  
akan bisa menandingi kehebatan ilmu dari 
Pendekar Gagak Rimang!" 
Mendengar pujian itu, Ki Kerto Ijo 
terbahak lebar. Ternyata saat tertawa pun 
tidak mengurangi keseraman wajahnya yang 
menakutkan itu. 
"Hahaha... jangan kuatir soal itu, 
Adi Jalak! Semuanya akan beres aku tanga-
ni! Hmm, ya, ya... rasanya aku pun sudah 
tidak sabar menunggu bulan ini!" 
"Benar, Kakang!" kata Ki Pancang 
Jalak yang sebenarnya masih  mengira-
ngira dan mengukur kehebatan ilmu Tangan 
Malaikat yang mampu menggetarkan siapa 
saja yang mendengar nama itu. 
Namun dia membesarkan dirinya, bah-
wa  ilmu Tangan Baranya akan mampu mem-
bungkamkan sepak terjang Pendekar Gagak 
Rimang. 
"Kurasa... kau sendiri mampu mela-
kukan, Adi Jalak!" kata Ki Kerto Ijo. 
"Tetapi bukankah bila ada kau, ke-
kuatan ku malah bertambah, Kakang?" kata 
Ki Pancang Jalak menyeringai. 
Ki Kerto Ijo terbahak keras. 
"Lembah Maut akan menjadi saksi ke-
matian dari Pendekar Gagak Rimang, yang 
namanya kini telah beranjak naik ke per-
mukaan. 
Dan nama Ki Kerto Ijo alias Malai-
kat Pencabut Nyawa akan menggebrak naik 
menjadi jago nomor satu di rimba persila- 
tan ini... hahaha!!" 
Ki Pancang Jalak pun terbahak-
bahak. Rasanya keyakinannya bertambah un-
tuk memiliki Golok Cindarbuana. Namun se-
kali waktu dia berpikir, apakah golok 
sakti itu akan jatuh ke tangannya bila 
kakaknya pun ingin memiliki golok itu? 
Ki Pancang Jalak hanya mendesah 
panjang. 
 
** 
 
 
Bila mendengar nama Lembah Maut di 
sebutkan, orang sudah bergetar hatinya. 
Bahkan bisa kuncup melempem. Jangankan 
untuk mendatangi tempat itu, mendengar 
namanya saja orang sudah ngeri dan berpi-
kir seribu kali untuk pergi ke sana. 
Konon di Lembah Maut pernah terjadi 
pertarungan yang amat hebat antara dua 
tokoh dari Tiongkok. Dan kedua orang sak-
ti itu pun sama-sama tewas setelah ber-
tempur seratus hari seratus malam tanpa 
beristirahat. 
Bahkan ada yang menduga, kalau Lem-
bah Maut itu pun akan menjadi makam abadi 
bagi yang mendatanginya. 
Namun di kala rembulan tepat berada 
di atas kepala, sinarnya cemerlang dan  
bersinar purnama, nampak dua sosok tubuh 
berada di lembah itu. Lembah yang sekeli-
lingnya kosong melompong dan di penuhi 
oleh batu-batu cadas yang tajam dan ter-
jal. Bila malam hari angin dingin berhem-
bus menembus hingga ke tulang sumsum. Na-
mun bila siang hari, panas yang luar bi-
asa akan menyengat menyakitkan. 
Tetapi di tengah dinginnya angin 
yang berhembus dan pekatnya kabut yang 
cukup tebal, sekilas nampak dua sosok tu-
buh yang berdiri tegar. Seakan tidak 
menghiraukan hembusan angin itu. Bahkan 
terlihat keduanya nampak begitu tenang 
dan tidak merasa terganggu. 
Mata keduanya nampak begitu waspada 
memperhatikan sekelilingnya. 
"Hmm... agaknya manusia itu adalah 
manusia pengecut, Adi Jalak!" terdengar 
suara bernada seram. 
"Benar, Kakang! Sudah cukup lama 
kita menunggu di sini, namun manusia itu 
belum muncul juga!!" terdengar sahutan 
yang di tanya tadi, 
Keduanya adalah Ki Kerto Ijo dan Ki 
Pancang Jalak. Purnama telah tiba berarti 
tantangan itu pun akan segera terlaksana. 
Sudah hampir seperminum teh mereka berada 
di sana, namun sedikit pun mereka tidak 
melihat bayangan Pandu. 
Namun tiba-tiba terlihat sekilas 
cahaya berwarna putih melesat ke angkasa. 
Keduanya tersentak. 
"Apa itu, Kakang?" tanya Ki Pancang 
Jalak. 
"Entahlah, aku pun baru melihat ca-
haya putih bersinar seperti itu!" 
Selagi keduanya sibuk untuk menge-
tahui cahaya apa yang baru saja berkele-
bat, mendadak saja satu sosok tubuh me-
lenting ke angkasa dan hinggap di dekat 
keduanya. 
Keduanya cukup terkejut, karena ge-
rakan sosok tubuh itu begitu cepat tanpa 
menimbulkan sedikit suara. Yang lebih 
terkejut lagi, Ki Pancang Jalak ketika 
mendengar suara angker bertanya. 
"Hmm, kaukah Ki Pancang Jalak alias 
Hantu Bertangan Bara? Bila memang benar 
adanya, apakah kau telah menjadi manusia 
pengecut hingga menerima tantanganku den-
gan membawa teman, hah?!" 
Dari rasa keterkejutannya segera 
beralih pada kegeraman. Seketika Ki Pan-
cang Jalak segera tahu siapa manusia yang 
tengah berdiri di hadapannya ini. Meski-
pun matanya susah untuk melihat wajah 
yang bersuara tadi karena tertutup oleh 
caping yang dikenakan, namun Ki Pancang 
Jalak dapat merasakan sorot tajam dari 
mata yang hanya terlihat sedikit itu. 
"Hhh! Rupanya Pendekar Gagak Rimang 
telah berdiri di hadapanku!!" 
"Memang benar adanya, Ki Pancang 
Jalak! Aku tidak mau panjang lebar sebe-
narnya, hentikan sepak terjangmu  menye-
barkan teror di muka bumi ini, niscaya 
nyawamu akan kuampuni! Namun bila tidak, 
kau tak akan pernah lagi melihat dunia 
yang begitu indah ini, Ki Pancang Jalak!" 
Dan satu hal itu, katakan... ada 
rahasia apa di balik Golok Cindarbuana 
ini? Dan mengapa kau begitu bernafsu un-
tuk memilikinya? 
"Demikian pula dengan para kerocomu 
yang nekad membuang nyawa percuma di tan-
ganku!" 
Wajah Ki Pancang Jalak memerah, 
terlihat jelas karena purnama bersinar 
terang. Dan terdengar geraman hebat dari 
sisinya. 
Ki Kerto Ijo menggeram bagaikan de-
sisan srigala lapar. Kedua tangannya yang 
besar dan kekar mengepal, menandakan dia 
telah marah. 
Pandu hanya tersenyum. Dan dia da-
pat mengetahui kalau ilmu yang dimiliki 
laki-laki menyeramkan ini lebih tinggi 
dari ilmu kesaktian Ki Pancang Jalak. 
"Pandu!" seru Ki Kerto Ijo. "Lebih 
baik kau segera menyerahkan Golok Cindar-
buana itu padaku, setelah itu kau boleh 
pergi dengan tenang! 
Namun bila kau melanggar perintahku 
ini, maka nyawa dan jasadmu akan terpisah 
selama-lamanya!" 
 
Mendengar ancaman itu Pandu hanya 
membuang tawa. 
"Lucu, lucu sekali! Siapakah kau 
sebenarnya, manusia jelek lagi seram? 
Apakah kau merasa yakin bisa merebut Go-
lok Cindarbuana dari tanganku ini, hah?" 
Demikian pula dengan kau, Ki Pan-
cang Jalak! Meskipun kau minta bantuan 
manusia kerbau seperti dia itu, tak akan 
mungkin kau bisa mengalahkan aku!!" 
"Anjing!" geram Ki Pancang Jalak. 
"Katakan... ada rahasia apa di ba-
lik Golok Cindarbuana ini?!" 
"Persetan dengan permintaanmu itu! 
Cepat serahkan golok itu pada kami!" 
"Hahaha... agaknya kau pun menjadi 
pemimpi, Ki Pancang Jalak! Ceritakan ra-
hasia apa yang terpendam pada golok ini, 
Ki Pancang Jalak?!" 
"Anjing buduk! Lebih baik kau mam-
pus saja!" maki Ki Pancang Jalak dan tu-
buhnya pun menderu maju dengan kecepatan 
laksana angin kencang. 
Pandu yang sejak tadi telah ber-
siap, hanya tersenyum saja. Dan begitu 
serangan Ki Pancang Jalak hendak mengenai 
tubuhnya mendadak saja, Pandu berputar 
dan tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke 
atas hinggap di tanah. 
Ki Pancang Jalak menggeram hebat, 
merasa pendekar itu tengah mempermainkan-
nya dengan memperlihatkan ilmu peringan  
tubuhnya. 
"Bedebah!" menggeram dia seraya 
membalikkan tubuhnya. Dan agaknya Ki Pan-
cang Jalak sudah tidak mau bertindak 
tanggung lagi. Apalagi di depan kakak se-
perguruannya. Ibaratnya dia  dipercundan-
gi dengan sekali menghindar  oleh pemuda 
sialan itu! 
Lalu dia pun merapal Ajian Tangan 
Baranya yang amat kejam. Seketika terli-
hat dari siku hingga jari jemarinya warna 
seperti bara. 
Dan mengeluarkan hawa panas yang 
cukup menyengat. 
Pandu dapat mengira-ngira kalau il-
mu itu amat mengerikan. Tetapi dia hanya 
tertawa saja. 
"Bangsat! Mampuslah kau!" sambil 
menggeram kembali Ki Pancang Jalak me-
nyerbu. Pandu pun segera mengeluarkan il-
mu menghindarnya. Gagak Rimang Terbang 
Lalu. 
Namun serangan dan ilmu yang diper-
lihatkan oleh Ki Pancang Jalak sungguh 
suatu ilmu yang dahsyat, kejam dan menge-
rikan. Angin yang timbul setiap kali dia 
menggerakkan  tangannya, menebarkan hawa 
panas yang menyengat. Biarpun Pandu dapat 
menghindari serangan-serangan itu, namun 
hawa panas yang timbul amat mengganggu 
gerakannya. 
Lama kelamaan dia menjadi cukup ke- 
panasan. Dan secara tiba-tiba saja kala 
Ki Pancang Jalak menyerbu, dia pun lang-
sung melenting ke angkasa. Dan  diki-
baskannya tangan kanannya. Selarik sinar 
putih melesat ke arah Ki Pancang Jalak 
yang nampaknya hendak menyerang lagi. 
Namun laki-laki ketua dari Telapak 
Bara itu harus mengurungkan niatnya me-
nyerang bila tidak ingin tubuhnya diterpa 
dan hangus oleh Pukulan Sinar Putih itu. 
"Setttannnn!" dengusnya seraya ber-
salto menghindar. 
Pandu dapat sejenak bernafas. 
Namun hanya beberapa detik saja, 
karena detik berikutnya Ki Pancang Jalak 
sudah menyerbu ke depan dengan pekikan 
melengking yang menyayat hati. 
Pandu pun tidak mau bertindak tang-
gung pula. Hanya satu yang bisa menghen-
tikan Ajian Tangan Bara milik Ki Pancang 
Jalak. Berpikiran demikian, maka dia pun 
mengeluarkan Ajian Cakar Gagak Rimang. 
Dan langsung memekik pula menyong-
song ke depan, ke arah Ki Pancang Jalak 
yang juga sedang menyerbu. 
Tanpa ampun lagi dua pukulan sakti 
itu pun bertemu. Menimbulkan suara leda-
kan yang cukup keras. Pasir yang ada di 
sekitar Lembah Maut beterbangan. 
Dan dua sosok tubuh terpental ke 
belakang. Sungguh hebat dan mengerikan 
dua ajian sakti itu bila bertemu dalam  
satu bentuk permusuhan dan menganggap se-
bagai lawan belaka. 
Bergulingan. 
Dan berhenti. 
Kala keduanya bangkit, terlihat ke-
duanya muntah darah. Keadaan Ki Pancang 
Jalak lebih parah rupanya, karena dia me-
rasakan sekujur tubuhnya panas menyengat. 
Dia menjerit-jerit bergulingan un-
tuk mengusir rasa panas yang menyengat. 
Ki Kerto Ijo segera bertindak ce-
pat. Dia pun mengalirkan tenaga dalamnya 
pada adik seperguruannya itu dengan mak-
sud untuk mengusir hawa panas dari tubuh 
Ki Pancang Jalak. 
Beberapa saat kemudian terlihat tu-
buh Ki Pancang Jalak yang bergulingan he-
bat itu terdiam. Dan perlahan-lahan ma-
tanya yang terpejam ketat untuk menghi-
langkan dan menahan hawa panas itu terbu-
ka. 
Dia kini bisa bernafas dengan lega. 
Lalu dia bersemedi untuk memulihkan tena-
ga dan jalan darahnya. 
Sementara Ki Kerto Ijo tengah mena-
tap Pandu yang bangkit perlahan-lahan. 
Dia masih beruntung karena Ajian Cakar 
Gagak Rimang berada satu tingkat di atas 
Ajian Tangan Bara Ki Pancang Jalak. 
"Anak muda... ilmu Cakar Gagak Ri-
mang sungguh luar biasa!" serunya jumawa 
sambil  berkacak pinggang. Jubah hitamnya  
berkibar dihembus angin malam. "Bila aku 
tidak salah duga, kau tentunya murid dari 
Eyang Ringkih 
Ireng, pertapa sakti yang kini ber-
diam di Gunung Kidul, karena sudah merasa 
tua dan tidak mampu untuk berada di kera-
maian rimba persilatan! 
Malam ini... aku hendak mencoba 
Ajian Tangan Malaikat milik Eyang Ringkih 
Ireng yang pernah menggetarkan dunia per-
silatan puluhan tahun yang silam. 
"Karena engkaulah pewaris tunggal 
dari pertapa sakti itu, maka engkaulah 
yang menjadi sasarannya!" 
Pandu yang diam-diam terluka dalam, 
mendesah. Dia memang belum tahu kehebatan 
Ki Kerto Ijo atau Malaikat Pencabut Nya-
wa. Namun biarpun begitu, dia sudah dapat 
mengira-ngira tentu amat tinggi kesaktian 
dari ilmu Ki Kerto Ijo. Dan berarti ini 
bukanlah satu hal untuk main-main. 
"Ki Kerto Ijo... kau dan adik se-
perguruan mu itu memusuhiku karena ingin 
merebut Golok Cindarbuana, bukan? Namun 
secara pribadi... aku pun mengatakan bah-
wa aku tidak menyukai sepak terjang yang 
kejam yang telah  di lakukan kau Ki Pan-
cang Jalak dan anggota gerombolan mu yang 
buas itu! 
"Hmm... sesungguhnya  ada apakah di 
balik Golok Cindarbuana ini?" 
Ki Kerto Ijo terbahak. 
 
"Hahaha... kau belum tahu rupanya, 
Pandu? Goblok! Amat tolol kau! Hhh! Cepat 
kau berikan golok itu padaku, sebelum 
nyawamu kucabut dan kau tak pernah akan 
mengetahui rahasia apa yang ada di balik 
golok itu. Cepat!! 
Saat ini yang ada di benak Pandu 
bukanlah untuk mempertahankan diri, me-
lainkan untuk mengetahui rahasia apa yang 
ada di balik Golok Cindarbuana. 
"Kalau begitu... aku harus menye-
rang, karena diam pun percuma. Malah sea-
kan aku mengantarkan nyawa belaka!" de-
sisnya dalam hati. "Maafkan aku, Eyang... 
dua manusia ini teramat sakti untukku!" 
"Kau tidak dengar kata-kataku, 
hah?!" membentak lagi Ki Kerto Ijo. 
"Agaknya kita memang diharuskan un-
tuk bertarung Ki Kerto Ijo. Aku tak akan 
mundur  selangkah ke belakang pun untuk 
menghadapimu!" 
"Bagus! Nah, kau bersiaplah!" seru 
Ki Kerto Ijo. Kini sepasang matanya mena-
tap mengerikan dan siap memuntahkan kema-
rahan yang luar biasa dalam dan dahsyat-
nya. Pandu pun bersiap. 
Dan kala tubuh Ki Kerto Ijo mener-
jang ke depan, dia pun segera melesat. 
Terjadi lagi pertempuran di tempat 
itu. Serangan demi serangan keduanya la-
kukan dengan cepat. 
Dahsyat. Dan berbahaya. 
 
Ki Kerto Ijo memang membuktikan 
ucapannya. Dia memang bukan omong kosong 
belaka. Karena serangan-serangan Pukulan 
Patuk Bangau yang dilakukan Pandu berha-
sil dipatahkannya. 
"Hahaha... lebih baik kau menyerah 
saja dan menyerahkan Golok Cindarbuana 
padaku!" 
"Bangsat!" memaki Pandu sambil 
menghindari pukulan Ki Kerto Ijo. 
"Eyang... ujian ini sungguh berat bagi-
ku," desis Pandu dalam hati. 
Dalam serangan-serangan berikutnya 
terlihat Pandu terdesak hebat. Dia memang 
berusaha bertahan, namun berkali-kali pu-
kulan atau pun tendangan yang dilakukan 
Ki Kerto Ijo mengenai sasarannya. 
"Goblok! Cepat kau keluarkan Ajian 
Cakar Gagak Rimang, hah? Cepat!" 
Memang, mungkin hanya itu yang bisa 
membuatnya bertahan. Tiba-tiba tubuh Pan-
du melenting ke angkasa. Dan kala dia 
hinggap di bumi, ilmu Cakar Gagak Rimang 
telah terangkum di tangannya. 
"Hahaha... mengapa tidak sejak ta-
di, hah? Nah, kita buktikan... apakah il-
mu mu mampu mengalahkan Ajian Malaikat 
Pencabut Nyawa milikku!" seru Ki Kerto 
Ijo. 
Beberapa saat kemudian terlihat dia 
terdiam. Matanya terpejam. Dan mendadak 
tangannya berputar bagaikan baling-baling  
lalu disusul dengan tubuhnya. 
Sungguh dahsyat angin yang ditim-
bulkan oleh tangan dan tubuh yang berpu-
tar itu. Pandu sedikit jeri melihatnya. 
Mampukah ajian Cakar Gagak Rimang menahan 
serangan yang nampak begitu. hebat dan 
mengerikan? 
"Bersiaplah untuk mampus, Pandu!" 
seru Ki Kerto Ijo dan tubuhnya pun sudah 
melesat menyerbu. Sungguh hebat sekali, 
karena gebrakannya terus berputar. Mampu 
membuat lawan menjadi kebingungan dan sa-
mar-samar mata yang melihat dan menjadi 
gelap. 
Begitu pula yang dialami Pandu. Na-
mun dia tetap berkonsentrasi penuh. 
Tiba-tiba dia pun memekik dan me-
nyongsong serangan itu. "Bantu aku, 
Eyang...." 
Dan tanpa ampun lagi keduanya pun 
bertemu. Kali ini lebih hebat dan bentu-
ran tenaga sakti Cakar Gagak Rimang dan 
Tangan Bara milik Ki Pancang Jalak. 
"Duuuuaaarrr!!!" 
Terdengar ledakan yang amat hebat 
dan kuat. Bumi seakan bergoncang dan me-
nimbulkan kepulan debu yang amat tebal. 
Dari balik kepulan itu satu sosok tubuh 
terdorong ke belakang dengan kuat. 
Tubuh Pandu, yang kini ambruk den-
gan dada terasa jebol dan seluruh tubuh 
yang ngilu. Dan kala debu yang tebal itu  
mulai menipis, terlihatlah sosok Ki Kerto 
Ijo yang tegar berdiri. 
Lalu mengumandanglah tawanya yang 
keras luar biasa, menebar ke seluruh Lem-
bah Maut. 
Pandu dengan susah payah untuk 
bangkit. Sakit. Sakit yang amat luar bi-
asa dideritanya. Capingnya terlepas. Dan 
terlihat tatapan mata yang mengandung si-
nar marah dan nyeri. 
"Bangsat!" makinya lemah. "Aku akan 
mengadu jiwa denganmu!" 
Dan tangannya pun bergerak, menca-
but Golok Cindarbuana dari sarungnya. Ki 
Kerto Ijo dan Ki Pancang Jalak mendesis 
kagum melihat golok yang luar biasa itu 
dan mengeluarkan cahaya. 
Mata Ki Kerto Ijo makin berkilat-
kilat. "Serahkan golok itu padaku!" 
"Hmm... rebutlah dari tanganku!" 
"Anjing!" maki Ki Kerto Ijo dan 
kembali menyerbu. 
Pandu pun melayaninya dengan ilmu 
goloknya  yang  amat hebat. Namun karena 
tenaganya sudah melemah dan tubuhnya yang 
kesakitan, gerakannya menjadi kacau. Da-
lam dua gebrakan berikutnya, dia sudah 
terhuyung dan terpelanting jatuh. 
Goloknya terlepas. 
Sigap  Ki Kerto Ijo menyambarnya. 
Dan mengelus-ngelusnya kagum dengan tawa 
yang menggelegar.  
"Hahaha... akhirnya golok ini men-
jadi milikku! Dan rahasia yang selama ini 
terpendam akan menjadi milikku pula! Hhh, 
Pandu... kini kau akan segera tahu raha-
sia apa yang ada di balik Golok Cindarbu-
ana ini. 
Ketahuilah, ujung golok ini mengan-
dung sari sakti yang amat hebat. Dua 
tetes air yang keluar dari ujung golok 
ini mengandung ilmu 
yang kuat. Bila orang beruntung 
mendapatkannya, maka dia akan kebal oleh 
akibat sari sakti itu. Pukulan dan benda 
apa pun tak akan mampu mengalahkannya. 
"Dan akulah orang yang mampu menga-
lahkannya!" 
Lalu terlihat Ki Kerto Ijo mengo-
sok-gosok ujung golok itu dengan menenga-
dah, tepat meletakkan ujung golok itu ke 
rongga mulutnya. 
Pandu mendesah panjang. Ini tidak 
boleh terjadi. Dan dia pun tahu akhirnya 
rahasia yang terpendam di balik Golok 
Cindarbuana itu. Namun dia tidak kuasa 
untuk menahannya. Dia hanya bisa memper-
hatikan dengan hati pedih. 
Sari sakti yang ada di ujung Golok 
Cindarbuana itu akan  tertelan oleh Ki 
Kerto Ijo. Yang dikuatirkan Pandu, karena 
Ki Kerto Ijo tentunya akan menggunakan 
kesaktiannya untuk berbuat jahat. 
"Maafkan aku, Eyang... aku tak kua- 
sa untuk mencegahnya," desisnya pilu. 
Namun mendadak terdengar jeritan 
kesakitan dari mulut Ki Kerto Ijo yang 
terhempas ke depan. Golok yang dipegang-
nya terlepas. 
Ki Pancang Jalak berdiri gagah usai 
menyambar golok yang terlepas itu. Dialah 
yang menghantam kakak seperguruannya dari 
belakang dengan Tangan Baranya. Dia tidak 
ingin sari sakti Golok Cindarbuana terte-
lan oleh kakaknya. 
Sejak semula dia memang telah me-
rencanakan semua itu. Dia akan menikam 
dari belakang kakak seperguruannya. 
Ki Kerto Ijo yang merasakan tubuh 
bagian belakangnya hangus menoleh dengan 
geram. "Kau?!" Hanya itu yang bisa di-
ucapkannya, karena detik berikutnya tu-
buhnya sudah ambruk. Racun Tangan Bara 
milik Ki Pancang Jalak sudah mengenai 
jantungnya. 
Kini Ki Pancang Jalak terbahak-
bahak. 
"Hahaha... akulah yang akan memili-
ki kesaktian ilmu kebal dari sari sakti 
Golok Cindarbuana ini!" Lalu dia  pun 
menggosok-gosok ujung golok itu dengan 
cara yang sama yang tadi dilakukan oleh 
kakak seperguruannya. 
Manusia ini sungguh licik, desis 
Pandu yang tidak mengira Ki Pancang Jalak 
akan melakukan pembokongan yang mengeri- 
kan itu. 
Dan manusia itu masih tertawa. Tan-
gannya masih menggosok-gosok ujung golok 
itu. Namun mendadak saja terdengar leng-
kingan kesakitannya. 
Tubuhnya terhuyung. Jalannya lim-
bung. Pandu melihat enam buah anak panah 
menancap di punggung Ki Pancang Jalak. 
Lalu nampaklah beberapa orang yang memba-
wa busur ke arahnya. Ki Lurah Perkoso dan 
beberapa orang penduduk. 
Ki Pancang Jalak masih berusaha un-
tuk bertahan, namun jantungnya telah ter-
tembus anak panah itu. Limbung. Dan ter-
dengar lolongan yang keras saat tubuhnya 
ambruk ke tanah. 
Darah segar bermuncratan. Nyawanya 
pun melayang.  
Pandu mendesah lega. Kelicikan itu 
telah terbalas. 
Ki Lurah Perkoso bergegas menghampiri. 
Hatinya pilu melihat Pandu yang ke-
sakitan dan terluka! "Pandu...." 
"Tenanglah, Ki....tolong ambil go-
lok itu." 
Ki  lurah menyerahkannya. Pandu 
menggosok-gosok ujung golok itu. Dan lama 
kelamaan menetes dua buah air dari ujung-
nya, yang langsung ditelannya. 
Rahasia Golok Cindarbuana telah te-
rungkap. Dan dia pula yang beruntung men- 
dapatkannya. 
Tubuhnya seketika terasa segar. 
Sungguh ajaib sari sakti yang terdapat 
dari Golok Cindarbuana ini. Rasa sakitnya 
pun menghilang. Pandu mengambil capingnya 
dan memasukkan golok itu ke sarungnya. 
Lalu dia berdiri. Ditatapnya ki lurah. 
"Ki lurah... kurasa Sudah saatnya 
kita berpisah. Terima kasih atas pelaya-
nan yang telah diberikan kepadaku." 
"Anak muda...." 
Tetapi sosok itu telah lenyap. Dan 
dari kejauhan hanya terdengar ringkik ku-
da saja. Membuat orang-orang menjadi ka-
gum. Walau sesungguhnya mereka masih ber-
tanya, siapakah sebenarnya pemuda itu! 
Dan di rumahnya, Lastri terus me-
nunggu yang berkepanjangan. 
 
 
SELESAI 
 
Ikutilah serial: 
Pendekar Gagak Rimang berikutnya, dalam 
episode: