Pendekar Mabuk 86 - Buronan Cinta Sekarat


SUNGAI di tengah hutan itu mempunyai air yang 
jernih. Kejernihannya membuat hati orang yang 
memandang merasa segar, lalu tertarik untuk merasakan 
kesegaran air tersebut. Lebih-lebih bagi orang yang 
selama dua puluh hari tak mandi, pasti ingin nyebur ke 
sungai itu. Perkara itu bisa berenang atau tidak, itu 
urusan nanti. Yang penting rasa tertarik ingin mandi di 
air jernih lebih dulu hadir menggoda hatinya. 

Perasaan seperti itu dialami oleh seorang perempuan 
muda yang berusia dua puluh lima tahun. Perempuan 
cantik berwajah oval dengan tahi lalat di sudut kiri dari 
bibir atasnya itu hentikan langkah ketika ingin seberangi 
sungai tersebut. 

"Menyegarkan sekali air sungai ini. Pasti badanku 
akan terasa nyaman jika habis mandi di sini. Oooh... ada 
air terjunnya segala di sebelah sana! Sebaiknya kucoba 
memeriksa keadaan di sekitar air terjun itu," ujar si 
perempuan muda yang berpakaian hijau tua itu. 

Guyuran air terjun yang tak seberapa tinggi itu 
sema ki n memikat hatinya untuk merasakan kesejukan air 
tersebut. Mata sedikit lebar berkesan galak dan 
mempunyai lilitan warna hitam di tepian kelopaknya itu 
memandang sekeliling tempat tersebut dengan teliti. 
Tiap pohon diperhatikan, ternyata tak ada orang di 
pohon-pohon tersebut. Tiap semak diincar dengan 
ketajaman matanya, ternyata juga tidak ada sepasang 
mata yang mengintai dari balik kerimbunan semak itu. 

"Aman-aman saja kelihatannya," pikir si perempuan 
muda berikat kepala merah bintik-bintik putih itu. 
"Tempat ini sepi sekali, seperti hutan yang masih 
perawan, belum terjamah tangan manusia. Kurasa aku 
bisa mandi dengan bebas tanpa takut ada yang 
mengintipnya." 

Perempuan berperawakan tinggi dengan badan sekal 
dan kencang itu tidak tahu kalau di balik bebatuan 
seberang ada sepasang mata yang memperhatikan. 
Celakanya, sepasang mata itu milik seorang pemuda 
tanggung. Pemuda itu pada mulanya tidak sengaja ingin 
mengintip orang mandi, ia hanya sekadar menunaikan 
tugas pribadi, yaitu buang hajat. 

Pada waktu pemuda itu telah selesai dengan hajatnya 
yang dibuang-buang dan ingin menaikkan celananya, 
tiba-tiba ia melihat kedatangan perempuan berbaju hijau 
tua itu. Ia buru-buru jongkok kembali karena malu jika 
perempuan itu melihatnya sedang merapikan celana. 
Mau tak mau pemuda berambut pendek itu merapikan 
celana sambil jongkok di balik batu tersebut. 

"Sialan! Mau apa perempuan itu datang kemari? 
Bikin repot orang pakai celana saja!" gerutu pemuda 
tersebut sambil sibuk menempatkan celana pada posisi 
sebenarnya. 

"Aduh! Pakai kejepit segala, lagi?!" Ia meringis 
sebentar, setelah sesuatu yang terjepit dan agak 
terpelintir itu dalam posisi yang tepat, ia pun segera 
mengencangkan ikat pinggangnya yang terbuat dari kain 
warna merah. 

"Oh, rupanya perempuan itu mau mandi?!" mata si 
pemuda mulai menegang, hati pun kegirangan. 

"Wah, wah, wah... kebetulan sekali kalau begitu. 
Sebaiknya aku tak perlu berdiri dulu. Dengan tetap 
jongkok begini, tubuhku terlindung oleh kedua batu 
besar ini, tapi pandangan mataku bisa menyelinap di 
celah-celah bebatuan." 

Mulailah si pemuda berbaju kuning dan bercelana 
hitam itu sibuk mengatur posisi agar pas untuk 
menyaksikan keindahan tubuh yang sudah mulai 
membuat hatinya berdebar-debar itu. Sepasang matanya 
tampak berbinar-binar penuh semangat pengintaian. 

Setelah meletakkan pedangnya, si perempuan dengan 
cueknya melepaskan pakaian hijaunya di atas batu lebar 
di tepian sungai. Ploos...! Kini perempuan itu telah 
polos. Pemuda yang mengintainya nyaris berteriak
kegirangan. Untung ia cepat-cepat membungkam 
mulutnya sendiri dengan tangan, sehingga suara 
kegirangannya tak sampai terdengar di telinga 
perempuan yang berkulit putih mulus itu. Si perempuan 
melompat ke atas batu yang berada tepat di bawah 
curahan air terjun. Teeeb... ! Dan air bening yang sejuk 
itu pun mengguyur sekujur tubuhnya, hingga rambut 
yang disanggul sederhana itu terlepas dan menjadi 
terurai. 

"Edan! Mulusnya seperti labu siam!" gumam si 
pemuda dengan kagum dan berdebar-debar. Sebentar- 
sebentar ia memegangi sesuatu untuk menenangkan 
lututnya yang gemetar. Sesuatu yang dipegang itu tak 
lain adalah tepian batu di depannya. 

Tetapi beberapa saat kemudian pemuda itu menjadi 
terkejut. Matanya terbelalak kian lebar dan tetap 
mengarah kepada perempuan mandi itu. Sesuatu yang 
janggal telah dilihatnya sangat di luar dugaan. 

"Edan dua kali! Ternyata dia mempunyai dada yang 
sangat montok, kencang, dan... woww! Bisa merobekkan 
celanaku kalau begini caranya! Aduh, bagaimana, ya? 
Ditinggal pergi saja, ah! Aku tidak kuat menahan detak 
jantungku yang keras dan cepat ini." 

Pemuda itu tampak bingung sendiri, memandang 
sekeliling dengan napas mulai memburu. 

"Tapi kalau aku pergi, pasti dia melihatku dan tentu 
aku disangkanya sengaja mengintipnya. Wah, repot juga 
kalau begitu. Sebaiknya... sebaiknya... ah, lebih dekat 
lagi saja. Biar lebih jelas. Hi, hi, hi...!" 

Pemuda itu melangkahkan kakinya pelan-pelan 
sambil tetap merunduk. Kaki berhasil pindah ke batu 
yang lainnya. Hal itu dilakukan beberapa kali, sehingga 
pemuda itu sekarang berada lebih dekat lagi dengan 
tempat perempuan itu mengguyur tubuhnya. Maka apa 
yang dipandangnya pun secara otomatis akan lebih jelas 
dari sebelumnya. 

"Edan! Edan tiga kali!" sentak hati si pemuda. 
"Ternyata bukan hanya dadanya saja yang mempunyai 
sepasang bukit montok, tapi... oh, di pinggang kanan-kiri 
juga ada tempat mimik bayi. Wah...?!" 

Pemuda itu m a kin lebarkan matanya lagi. 

"Ternyata di dekat perutnya juga ada satu tempat 
mimik, dan... dan... ya, ampun?! Di pangkal paha kanan- 
kiri juga ada tempat minum bayi walau tak sebesar yang 
di dada?!" 

Perempuan itu tetap mandi dengan cuek, menggosok 
tubuhnya sebersih mungkin, menikmati kesejukan air 
sepuas mungkin. Bahkan ia tak segan-segan membuka 
diri untuk membersi hk an bagian-bagian yang 
tersembunyi. Tentu saja si pemuda makin sesak napas, 
seperti menelan sepotong bantal. 

Pemuda itu lebih terbelalak lagi, seolah-olah matanya 
ingin disentakkan keluar dari kelopaknya ketika 
perempuan itu memunggunginya secara tak sengaja. 

"Hualah, hualah... ternyata di punggungnya juga ada 
sepasang tempat mimik bayi. Tidak terlalu montok tapi 
tampak kencang dan ujungnya tampak menantang. Ya, 
ampuuun... perempuan kok punya sembilan tempat 
minum bayi. Apa sekali beranak kembar sembilan?!" 

Pemuda itu makin gemetar, bukan saja kagum dan 
heran, namun juga gairahnya telah terbakar oleh 
kepolosan dan kesekalan tubuh si perempuan yang 
penuh tantangan itu. Napas yang terasa semakin sesak 
membuat si pemuda sering buka mulut, menghirup udara 
banyak-banyak untuk melegakan dadanya. 

Pemandangan tabu yang berhasil dim a nfaatkan oleh 
sepasang matanya secara jelas itu membuat persendian 
tulangnya gemeretuk. Akibatnya, pijakan kaki pun 
bergetar dan ia terpeleset jatuh ke air. 

Jebuuur...! 

"Oooh...?!" perempuan itu terpekik, lalu melompat ke 
daratan, menyambar pakaian serta pedangnya. Wuuut...! 

Tentu saja si pemuda menjadi kecewa bercampur 
ketakutan, ia juga cepat-cepat tinggalkan sungai tanpa 
peduli sekujur tubuhnya basah kuyup, ia akan malu 
sekali jika kepergok perempuan tersebut. Sambil 
bersembunyi di balik pohon besar, pemuda itu 
menghabiskan sisa gemetarnya. Tubuh itu bukan saja 
gemetar namun juga menggigil karena basah kuyup. 

"Sial! Pakai acara kepeleset segala!" gerutu si 
pemuda. "Coba kalau tidak ada acara terpeleset, pasti 
saat ini aku masih menikmati keindahan yang ganjil itu. 
liih... payudara kok sampai sembilan biji?! Mau dijual 
ke mana sisanya itu, ya? Jangan-jangan ia sengaja buka 
usaha penitipan payudara?! Uuh... merinding juga 
tubuhku kalau membayangkan dipeluk perempuan 
macam dia!" 

Rupanya perempuan itu merasa dirugikan oleh 
tingkah seseorang yang memanfaatkan pemandangan 
tubuhnya tanpa permisi. Menurutnya, tindakan itu adalah 
tindakan pelecehan yang harus diberi hukuman sebagai 
pelajaran. Maka perempuan itu pun segera mencari si 
pengintai dengan wajah berang. Tentunya ia mencari si 
pengintai setelah mengenakan pakaiannya. 

Merasa sudah cukup lama bersembunyi di balik 
pohon, pemuda itu menduga si perempuan sudah pergi 
jauh dan tak akan mandi lagi. Maka ia pun segera keluar 
dari persembunyiannya. Namun baru saja ia keluar dari 
balik pohon, tiba-tiba sesosok tubuh sekal menerjangnya 
dari samping. Wuuut...! Bruuus...! 

"Aaaoww...!" pemuda itu memekik kesakitan, 
tubuhnya terlempar jauh, berguling-guling dan 
berbantal-bantal. Orang yang menerjangnya itu segera 
berkelebat menghampiri, kemudian mencengkeram baju 
si pemuda dengan kedua tangannya. 

"Dasar mata tak pernah dicolok! Rasakan upah 
kekurangajaranmu tadi! Hiiah...!" 

Wuuus...! Pemuda itu dilemparkan bagai membuang 
karung isi bangkai anjing. 

"Aaa...!" pemuda itu menjerit sambil melayang di 
udara. Tubuhnya membentur pohon dengan keras hingga 
pekikannya meninggi. Brruk...! Ia pun jatuh terpuruk 
sambil menyeringai kesakitan. 

"Bangun kau, jahanam!" bentak perempuan yang tadi 
diintipnya. 

"Aaduuuh...!" 

"Cepat bangun!" bentaknya lagi dengan mata melebar 
galak. 

"Mana bisa bangun! Kakiku patah!" sentak pemuda 
itu sambil menyeringai bagai ingin menangis. 

Perempuan itu segera menjambak rambut si pemuda, 
menariknya ke atas hingga si pemuda terpaksa berdiri 
dan ketahuan kakinya tidak patah. Lalu dengan gerakan 
cepat perempuan itu menampar wajah si pemuda berkali- 
kali. 

Plak, plak, plak, plak, plak, plak, plak...! 

Si pemuda hanya bisa geleng-geleng dengan cepat 
karena sentakan tangan yang menamparnya berturut- 
turut itu. Begitu tamparan berhenti, wajah si pemuda 
seperti habis direbus. Merah matang, ia tak bisa berteriak 
lagi. Tangan perempuan yang mencengkeram rambutnya 
tadi dilepaskan, langsung tubuh si pemuda jatuh terkulai 
seperti sarung kehilangan burung. Brrruk...! 

"Lain kali tak akan kuberi kesempatan bernapas lagi 
kalau kau berani mengintipku. Tikus got!" geram si 
perempuan sambil menuding penuh ancaman. 

Perempuan itu segera meninggalkan si pemuda 
dengan wajah membendung kejengkelan. Tetapi si 
pemuda juga merasa jengkel, sempat merasa sakit hati 
juga, sehingga ia kumpulkan sisa tenaganya untuk 
bangkit dan lakukan pembalasan, ia berlari dari arah 
belakang si perempuan dan melompat melepaskan 
tendangannya. 

"Ciaaat...!" 

Perempuan itu berbalik cepat dengan tangan 
menyentak pendek. Wuuut...! Buuurk...! 

"Huuaahhk...!" 

Si pemuda terlempar kembali karena pukulan tenaga 
dalam dari perempuan tersebut. Tubuh yang tak seberapa 
kurus itu terbanting tanpa ampun lagi, membuat tulang 
pundaknya terasa mau patah, ia mengerang sambil 
berusaha untuk bangkit, setidaknya bisa duduk bersandar 
pada pohon. Si perempuan terpaksa hentikan langkah 
dan ingin menghajar pemuda itu lebih babak belur lagi. 
Tapi emosinya ditahan sesaat begitu melihat ada darah 
keluar dari hidung pemuda itu. 

"Agaknya ia tak punya tenaga dalam pelindung 
tubuh. Untung saja kepalanya tak sampai remuk 
kuhantam dengan tenaga dalamku tadi. Untung saja aku 
tadi tidak menggunakan jurus berbahaya. Hm... percuma 
saja melayani pemuda yang tak berilmu, untuk apa aku 
harus buang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik waktu 
dan tenaga kugunakan untuk mencari Pendekar Mabuk 
yang sudah lama belum kutemukan juga itu!" 

Perempuan yang membatin kata-kata tersebut segera 
teruskan langkahnya. Tapi baru saja ia m a u melangkah, 
pemuda yang sudah bonyok itu segera berseru sambil 
bangkit berdiri berpegangan pohon. 

"Tunggu...!" 

Perempuan itu berpaling kembali menatapnya dengan 
tajam. 

"Kau pikir dapat pergi begitu saja?! Wajahku sudah 
menjadi bonyok begini, kau harus menerima 
balasannya!" 

"Apakah kau ingin lebih bonyok lagi?!" geram 
perempuan itu. 

"Kau yang harus dibuat bonyok juga!" bentak si 
pemuda. "Siapa dirimu sebenarnya, sehingga seenaknya 
memperlakukan seorang lelaki tanpa hormat sedikit pun 
begini, bah?!" 

Pemuda yang masih berlagak galak itu didekati oleh 
si perempuan. Mau tak mau si pemuda mundur dua 
langkah, siap-siap berlindung di balik pohon. 

"Aku adalah perempuan yang benci kepada lelaki 
tukang ngintip sepertimu!" ujar si perempuan dengan 
pandangan mata menggigilkan nyali si pemuda. 

Sambungnya lagi, "Kalau kau ingin tahu diriku, 
akulah yang bernama Puting Selaksa, murid Resi 
Parangkara! Jika kau ingin melawanku, sebutkan dulu 
namamu, supaya aku bisa mencatat namamu dalam 
deretan orang-orang yang sudah kukirim ke neraka!" 

"Sombong!" sentak si pemuda dengan bersungut- 
sungut, ia sedi ki t menjauh dari pohon. Berdiri dengan 
tegak dan menepuk dada dengan bangga. 

"Perkenalkan, akulah yang bernama Mahesa Gibas! 
Atau lebih lengkapnya lagi: Mahesa Gibas Wingit!" 
sambil matanya dilebarkan dan wajah ditegangkan agar 
nama itu berkesan menyeramkan. 

Tetapi si perempuan yang ternyata adalah Puting 
Selaksa itu tidak merasakan ada pengaruh yang 
menyeramkan dari nama tersebut, ia justru tersenyum 
sinis berkesan meremehkan nama itu. Ia melangkah 
lebih mendekat, tapi Mahesa Gibas mundur sedikit 
dengan wajah tampak waswas. 

"Ketahuilah, Tikus got... kau sama sekali bukan 
tandinganku jika maksudmu ingin menantang 
pertarungan denganku!" 

"Memang bukan aku yang akan melawanmu! Ilmuku 
terlalu tinggi untuk melawan perempuan berilmu pas- 
pasan sepertimu. Tapi kalau memang kau seorang 
perempuan pemberani, lawanlah saudaraku!" 

"Siapa saudaramu itu?! Suruh dia datang kemari!" 

"Betul, ya?!" tuding si Mahesa Gibas bernada 
mengancam. "Jangan kabur ke mana-mana kau! Tunggu 
di sini, akan kupanggllkan saudaraku untuk 
menghajarmu!" 

"Aku bukan perempuan pengecut! Akan kutunggu 
kalian di sini sampai batas matahari bergeser ke barat!" 

"Baik! Akan kupanggil saudaraku itu sekarang juga! 
Awas, jangan lari! Kalau lari kuteriaki maling, biar 
dikejar-kejar orang sekampung!" sambil Mahesa Gibas 
melangkah pergi, kemudian berlari memanggil 
saudaranya. Puting Selaksa hanya tersenyum sinis, 
sangat meremehkan ancaman tersebut. 

Puting Selaksa adalah perempuan yang beberapa 
waktu yang lalu mendapat kekuatan gaib dari dewata 
yang dinamakan kekuatan 'Rona Dewaji'. Ia termasuk 
perempuan beruntung dari seluruh perempuan yang ada 
di dunia. Karena kekuatan 'Rona Dewaji' itu akan 
membawa keberuntungan besar dalam sepanjang sejarah 
hidupnya. Seluruh keturunannya akan menjadi raja, dan 
perkawinannya nanti akan berlimpah kebahagiaan,
kekayaan, dan kehormatan. 

Kekuatan gaib 'Rona Dewaji' itu mulai akan bekerja 
setelah ia menikah secara sah dan mendapatkan darah 
kemesraan dari suaminya. Tetapi jika sebelum 
melakukan pernikahan sah tubuhnya telah dicemari oleh 
darah kemesraan seorang lelaki, maka kekuatan 'Rona 
Dewaji' itu akan sirna dan keberuntungan tidak akan ada 
padanya. 

Karenanya, banyak kaum lelaki baik yang sudah 
beristri maupun yang belum, berhasrat sekali ingin 
menjadi suami Puting Selaksa. Mereka yang bernafsu 
ingin menjadi suami Puting Selaksa adalah mereka yang 
mengetahui bahwa perempuan itu memiliki kekuatan 
gaib 'Rona Dewaji'. 

Tetapi Puting Selaksa tidak mau menikah 
sembarangan. Sekalipun ia dilamar oleh seorang adipati, 
ia menolaknya dan lebih baik mati daripada bersuamikan 
sang adipati itu. Puting Selaksa hanya mau menikah dan 
bersuami dengan seorang lelaki yang mampu membuka 
pintu hatinya dan menghancurkan karang besi yang 
selama ini melapisi hatinya. Satu-satunya orang yang 
dapat membuka dan menghancurkan pintu hati itu 
adalah Pendekar Mabuk; Suto Sinting, ia sangat terkesan 
dengan kepribadian muridnya si Gila Tuak itu. 

Sekalipun ia tahu. Pendekar Mabuk; Suto Sinting 
sudah punya calon istri yang bernama Dyah 
Sariningrum, ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi alam 
nyata, tetapi Puting Selaksa bersikeras untuk dapat 
menggeser hati Suto Sinting agar berpindah kepadanya. 

"Selain ia gagah, tampan, dan berilmu tinggi, ia juga 
seorang lelaki yang tangguh dan panas di ranjang!" 

Begitulah penilaian Puting Selaksa terhadap Suto 
Sinting, ia merasa, hanya Pendekar Mabuklah yang 
mampu melayani hasrat eintanya. Hanya Suto Sintinglah 
yang mampu mengimbangi gairah cumbunya yang 
cukup besar itu. 

Meskipun Puting Selaksa belum pernah menerima 
semburan darah kehangatan Suto Sinting, namun ia 
pernah dilambungkan oleh Pendekar Mabuk hingga 
mencapai puncak keindahan cintanya berkali-kali. (Baca 
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Wanita 
Keramat"). Dalam penilaian Puting Selaksa, pemuda itu 
adalah pria yang pandai membangkitkan selera wanita 
dan pandai memandu gairah wanita mencapai 
puncaknya. 

"Belum menggunakan 'jimat lelaki'-nya saja dia 
sudah bisa melambungkan gairahku mencapai puncak 
keindahan berkali-kali; cukup bermodal tangan, bibir, 
dan lidahnya. Apalagi kalau sampai ia menggunakan 
'senjata pamungkas'-nya, wooow...! Tak terbilang lagi 
indahnya, tak terukur lagi bahagianya hatiku!" pikir 
Puting Selaksa dalam setiap mengkhayalkan cumbuan 
Suto Sinting. 

Tetapi sudah beberapa waktu lamanya Puting Selaksa 
gagal menemukan Pendekar Mabuk. Hatinya sering 
diguncang rindu dan kesepian. Perasaan tersebut 
membuatnya mudah tersinggung dan jengkel sendiri. 
Kadang ia meratap dalam hatinya, "Di manakah kau 
sebenarnya, Pendekar Mabuk? 
= 1 = 

* * 


TIDAK seberapa jauh dari sungai berair bening dan 
dingin itu, tampak sesosok tubuh kekar dan gagah 
sedang berhadapan dengan seorang gadis berusia sekitar 
dua puluh tiga tahun. Pemilik tubuh kekar dan gagah itu 
tak lain adalah murid si Gila Tuak yang kondang dengan 
nama Pendekar Mabuk atau Suto Sinting. Dengan 
bumbung tuak menggantung di pundak. Pendekar 
Mabuk hadapi gadis yang sedang berang padanya 
dengan sikap tenang. 

"Seharusnya kau tak perlu mengejarku sampai di sini. 
Lembah Wuyung!" ujar Suto Sinting kepada gadis 
berpakaian biru satin Itu. 

Lembah Wuyung mempunyai wajah cantik mungil. 
Rambutnya dikepang ekor kuda. Tubuhnya sintal, 
dibungkus kain ketat dan lentur, sehingga lekak-lekuk 
tubuhnya kelihatan jelas, ia tampak sebagai gadis yang 
lincah dan gesit dari caranya melangkah yang tampak 
ringan itu. Ketatnya pakaian membuat pinggulnya 
kelihatan meliuk sekal, dadanya juga kelihatan padat 
berisi walau tak semontok Puting Selaksa. 

Tapi dalam kecantikannya yang berbibir ranum 
menggemaskan itu. Lembah Wuyung tak kelihatan ceria, 
bahkan pandangan matanya yang tertuju pada Suto 
tampak bermusuhan sekali. Hal itu disebabkan oleh ia 
ingin membalas dendam kepada Pendekar Mabuk. 

"Tindakanmu harus dibalas dengan lebih kejam lagi, 
Pendekar Mabuk! Jangan mentang-mentang kau berilmu 
tinggi, lalu kau pikir tak ada orang yang bisa 
mengalahkan dirimu!" 

"Kau salah duga Lembah Wuyung," potong Pendekar 
Mabuk tetap dengan tenang. "Kalau aku menghaneurkan 
Istana Tengkorak dan menewaskan Pangeran Cabul, itu 
lantaran pihakmu berada di tempat yang salah. Tapi 
sebenarnya aku tidak memusuhimu. Lembah Wuyung!" 

"Kau memusuhi kakak angkatku; Pangeran Cabul! 
Kau juga memusuhi kakak angkatku; Ratu Lembah 
Girang. Itu sama saja kau bermusuhan denganku 
Pendekar Mabuk!" 

"Keliru! Anggapanmu keliru. Lembah Wuyung. 
Bukan aku yang memusuhi kedua kakakmu, tapi 
merekalah yang memusuhiku. Aku hanya bertahan, lebih 
baik membunuh daripada dibunuh. Itu sudah hukum 
kejiwaan di mana pun manusia berada! Kalau aku tidak 
dimusuhi, tentunya aku juga tidak memusuhi orang 
tersebut." 

Pendekar Mabuk memang dicari-cari oleh Ratu 
Lembah Girang untuk dibunuh. Karena pada waktu itu. 
Ratu aliran hitam dari Pulau Swaladipa menggunakan 
kekuatan iblis untuk memalsu kehadiran si Bocah Emas. 
Iblis yang menitis dalam sosok bocah yang sudah mati 
itu menewaskan korban cukup banyak. Pendekar Mabuk 
sendiri nyaris menjadi korban. Untung si Bocah Emas 
asli datang dan hancurkan bocah titisan iblis itu, 
sehingga ia menjadi buronan sang Ratu Lembah Girang, 
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Bocah 
Titisan Iblis"). 

Ratu Lembah Girang segera meminta bantuan 
saudara kandungnya: Pangeran Cabul yang berkuasa di 
wilayah tenggara dalam sebuah istana yang bernama 
Istana Tengkorak, ia ditugaskan oleh sang kakak 
perempuan untuk membunuh Pendekar Mabuk yang 
telah membawa lari Bocah Emas yang asli. Pendekar 
Cabul bekerja sama dengan manusia muka badak alias 
Rogana. Rogana mati di tangan Suto Sinting, (Baca 
serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan 
Sinting"). 

Suto pun menyerang Istana Tengkorak bersama 
Perawan Sinting. Selain Istana itu dibuat porak poranda 
oleh Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting, sahabat 
barunya, juga Pangeran Cabul berhasil dibunuh oleh 
Perawan Sinting. 

Lembah Wuyung, sebagai adik angkat Ratu Lembah 
Girang, diutus sampaikan perintah penangkapan kepada 
Pangeran Cabul. Pada saat terjadi pertempuran di Istana 
Tengkorak, gadis itu ada di sana dan sempat ikut 
memperkuat pertahanan Istana Tengkorak. Tapi ia 
terpaksa tak mampu lanjutkan pembelaannya terhadap 
Pangeran Cabul, karena Suto Sinting berhasil menotok 
jalan darahnya sehingga Lembah Wuyung tak bisa 
bergerak selama pertarungan berlangsung. Kini setelah 
salah seorang pengikut Pangeran Cabul membebaskan
totokan tersebut, maka Lembah Wuyung pun mengejar 
Pendekar Mabuk. Padahal waktu itu Pendekar Mabuk 
sedang mencari Perawan Sinting yang memburu sisa 
anak buah Pangeran Cabul lainnya. Suto ingin hentikan 
pengejaran si Perawan Sinting dan menganggap urusan 
itu sudah selesai. Hanya saja, langkah Suto segera 
terhenti oleh kemunculan Lembah Wuyung yang 
menghadang penuh tantangan itu. 

"Sekali lagi kuingatkan padamu. Lembah Wuyung," 
kata Suto. "Jangan teruskan niatmu membela kejahatan 
kakak-kakak angkatmu itu. Tinggalkan aliran hitam 
mereka, jadilah tokoh beraliran putih. Soal kehilangan 
kakak angkat, itu soal mudah. Aku bersedia 
mengangkatmu sebagai adik. Karena soal angkat- 
mengangkat itu sudah hal biasa bagiku. Terus terang, 
aku sudah sering angkat-angkat batu atau barang orang 
yang mau pindah rumah!" sambil senyum si pendekar 
tampan itu mekar menawan. 

Lembah Wuyung memandang dengan tak berkedip. 
Diam-diam hatinya berdesir mengagumi senyum musuh 
tampannya itu. Namun agaknya ia tetap bertahan dalam 
sikap bermusuhan, sehingga ia tak mau membalas 
senyuman seulas pun. 

"Aku tak butuh seorang kakak angkat lagi! Yang 
kubutuhkan adalah pembalasan! Hiaaat...!" 

Lembah Wuyung sentakkan tangannya bagai 
melempar pisau. Beet...! Tapi yang keluar selarik sinar 
biru berbentuk mirip kepala tombak. Zaaap...! 

Pendekar Mabuk segera lakukan lompatan miring,
sehingga bambu tempat tuak seakan sengaja dipakai 
sebagai penangkis sinar biru tersebut. Traab...! Sinar 
biru menghantam bumbung tuak, tapi tidak timbulkan 
ledakan yang memecah bumbung tuak itu, melainkan 
justru memantul balik. Zuuub...! 

Lembah Wuyung kaget. Sinarnya meluncur cepat 
sekali ke arahnya dalam keadaan lebih besar dan lebih 
cepat dari gerakan semula. Hampir saja Lembah 
Wuyung tak punya kesempatan untuk menghindar, ia 
hanya bisa melompat ke samping bagai seekor harimau 
menerkam mangsa. Wees...! Dan sinar biru itu, akhirnya 
menghantam gugusan batu hitam jauh di belakangnya. 

Blegaaarrr...! 

Bumi bergetar, pohon-pohon pun ikut gemetar. 
Dedaunan rontok dan bertaburan di sana-sini akibat 
gelombang ledakan tersebut. Sementara batu yang 
dihantam sinar biru itu tiba-tiba lenyap dan berubah 
menjadi seonggok bubuk hitam lebih lembut dari pasir. 

Lembah Wuyung tercengang, ia masih dalam 
keadaan setengah bangkit dengan menopang salah satu 
sikunya. 

"Luar biasa?! Kenapa bisa jadi sedahsyat itu?! 
Biasanya hanya bisa bikin batu pecah menjadi beberapa 
bagian, tapi sekarang jurus 'Bajing Biru'-ku bisa bikin 
batu sebesar itu menjadi lembut?! Getaran dari 
ledakannya tadi juga terasa kuat, tanah di sekitar sini 
bagai dilanda gempa yang menyeramkan. Biasanya tak 
begitu!" 

Lembah Wuyung bangkit dengan tetap tertegun 

penuh keheranan. Ketika ia berbalik untuk hadapi Suto 
lagi, ternyata pemuda itu sudah tidak ada di tempat. 

Pendekar Mabuk teruskan mencari Perawan Sinting 
untuk lakukan pencegahan agar si Perawan Sinting tak 
perlu hancurkan sisa pengikut Pangeran Cabul. 
Mencegah keganasan Perawan Sinting lebih penting 
daripada menghadapi dendam Lembah Wuyung. Secara 
jujur hati Suto tak tega jika harus melukai gadis cantik 
seperti Lembah Wuyung, apalagi jika harus 
membunuhnya, Suto benar-benar tak sampai hati. 
Karena itu ia segera meninggalkannya. 

"Keparat! Ke mana larinya si tampan memuakkan 
itu?!" geram Lembah Wuyung, kemudian ia berkelebat 
tinggalkan tempat mencari Pendekar Mabuk menuruti 
instingnya. 

Ledakan tadi menggema ke mana-mana, membuat 
seorang gadis berompi ungu dengan pakaian bawahnya 
model cawat berwarna ungu juga segera hentikan 
langkah. Gadis berusia sekitar dua puluh lima tahun itu 
mempunyai badan tinggi, kekar, padat, dan montok. 
Rompinya yang merawis-rawis tepiannya itu sangat 
pendek, hingga bagian perutnya tidak sampai tertutup 
rompi tersebut. Namun kedua ujung rompi saling 
diikatkan di perut, sementara belahan depan rompi 
terbuka lebar, hingga kemulusan sebagian dadanya 
tampak jelas di mata siapa pun, kecuali di mata orang 
buta. 

Gadis cantik berhidung mancung dan mempunyai 
mata agak lebar tapi indah itu mengenakan kalung tali 
hitam berbatu ungu sebesar mata kucing. Kalung itulah 
yang menjadi ciri khas bagi murid mendiang Nyai Gagar 
Mayang yang bernama Perawan Sinting. 

Dengan wajah memendam kemarahan, Perawan 
Sinting memandang ke arah kepulan asap dari ledakan 
tadi. Batinnya pun menggeram dengan dongkol. 

"Jangan-jangan ketiga orang yang melarikan diri dari 
Istana Tengkorak itu bikin ulah di sebelah sana! Hmm...! 
Sebaiknya aku menuju ke sana untuk mengetahui siapa 
yang bertarung itu!" 

Namun sebelum Perawan Sinting bergegas pergi, 
tiba-tiba muncul seorang pemuda berpakaian kuning dan 
celana hitam. Mahesa Gibas sengaja melompat dari balik 
semak dan menghadang langkah Perawan Sinting 
dengan hati membatin. 

"Nah, perempuan ini tadi kulihat mampu berlari 
dalam gerakan seperti kilat. Pasti berilmu tinggi. 
Potongan tubuhnya pun tinggi, kekar, setanding dengan 
perempuan yang tadi menghajarku'" 

Begitu melihat kemunculan Mahesa Gibas yang 
masih asing baginya. Perawan Sinting segera lepaskan 
tendangan bertenaga dalam dari jarak tujuh langkah. 
Wuuuk...! Tendangan kaki miring itu mengeluarkan 
gelombang tenaga dalam yang meluncur cepat tak 
bersinar apa pun. Tahu-tahu Mahesa Gibas seperti 
diterjang seekor kerbau yang sedang mengamuk. 
Brrruuussk...! 

"Aaakh...!" Mahesa Gibas terlempar ke belakang dan 
jatuh di sela-sela kerimbunan pohon bambu, ia 
mengerang kesakitan, baik sakit karena hentakan tenaga 
dalam maupun sakit karena punggungnya menghantam 
tonggak bambu. Untung tonggak bambu itu tak runcing, 
seandainya runcing pasti Mahesa Gibas mengalami 
cedera berat. 

Perawan Sinting yang sedang menggeram-geram 
membendung kemarahan itu cepat-cepat hampiri Mahesa 
Gibas dan mencengkeram baju pemuda itu, lalu 
menariknya keluar dari sela-sela pohon bambu. Weeet...! 

"Kau juga begundal dari Istana Tengkorak, bukan?! 
Kau harus mati sekarang juga menyusul atasanmu, si 
Pangeran Cabul itu! Hiaaaah...!" 

"Eh, eh, tunggu...! Tunggu...!" Mahesa Gibas 
mengangkat kedua tangannya, menghalangi tangan 
Perawan Sinting yang ingin menghantam wajahnya 
dengan kepalan tinjunya yang telah mengeras dan berisi 
tenaga dalam itu. 

"Aku... aku bukan orang Istana Tengkorak! Bukan!" 

"Jangan bohong kaul" 

"Tidak! Aku tidak bohong. Nona! Aku memang 
bukan anak buah Pangeran Cabul, seperti katamu tadi! 
Berani sumpah apa saja! Sumpah palapa pun berani, 
bahwa aku bukan orang Istana Tengkorak!" ujar Mahesa 
Gibas dengan suara memberondong. Perawan Sinting 
kendurkan cengkeramannya namun belum melepas 
secara keseluruhan. 

"Orang mana kau?!" suara Perawan Sinting 
membentak mengagetkan jantung Mahesa Gibas. 

"Aku orang barat!" 

"Bohong! Orang barat tidak ada yang dekil sepertimu 
begini!" 

"Maksudku, aku orang dari daerah barat, tepatnya 
dari Desa Cipuser. Aku anak yatim piatu. Nona!" 

"Aku tak tanyakan yatim piatumu!" sentak Perawan 
Sinting. 

"Tapi... tapi demi Dewa Penguasa Alam, aku bukan 
orang istana Tengkorak. Sumprrah... sekali!" 

"Apa itu sumprah?!" 

"Sumpah yang paling tinggi adalah sumprah...!" 

Maka cengkeraman baju itu dilepaskan oleh Perawan 
Sinting dalam sentakan rasa kesal karena ternyata yang 
ditangkap bukan orang Istana Tengkorak. Mahesa Gibas 
menyeringai dengan wajah masih merah akibat tamparan 
beruntun si Puting Selaksa tadi. Ia merapikan 
pakaiannya sebentar sambil sesekali melirik ngeri 
kepada Perawan Sinting. 

"Yang ini malah lebih galak lagi?! Datang-datang 
langsung hajar begitu saja!" gerutu Mahesa Gibas dalam 
hatinya. 

Melihat pemuda itu tak bersenjata dan wajahnya 
polos bagai orang tak berilmu tinggi. Perawan Sinting 
akhirnya menurunkan emosinya sendiri. Hanya saja, 
sikapnya masih tampak kaku dan keras, berkesan galak. 
Tak ada senyum, tak ada keramahan. Semuanya serba 
tegas. 

"Siapa namamu?!" pertanyaan ini juga terlontar 
dengan nada tegas dan keras. 

"Mahesa Gibas!" jawab si pemuda. "Nama lengkapku 
Mahesa Gibat Wingit! Tapi akrab dipanggil oleh para 
penggemarku dengan nama Mahesa Gibas saja!" 

"Penggemar?! Kau punya penggemar?! Apa 
kehebatanmu, hah?!" 

"Berjudi!" jawab Mahesa Gibas seenaknya saja. 
"Apakah kau belum kenal diriku? Siapa kau sebenarnya, 
Nona? Setahuku, para perempuan di sekitar tempat ini 
sudah mengenali sosok penampilanku sebagai Mahesa 
Gibas. Sepertinya kau orang asing, ya?" 

"Justru kau yang orang asing hingga tak mengenali 
penampilanku sebagai Perawan Sinting!" 

"Ooo... namamu Perawan Sinting?!" gumam Mahesa 
Gibas manggut-manggut sambil di wajahnya masih 
mengandung sisa kesakitan. Nam a itu digumamkan 
beberapa kali dalam batinnya dengan maksud tertentu. 

"Lalu, apa maksudmu melompat dari semak tadi dan 
menghadangku?!" sentak Perawan Sinting yang 
membuat pemuda itu terkejut dan menggeragap sesaat, 
pertanda ia tidak mempunyai kesiapan mental sebagai 
orang berilmu tinggi. 

"Aku habis dihajar oleh orang Istana Tengkorak, anak 
buah Pangeran Cabul!" kata Mahesa Gibas mulai 
membual. Padahal ia mendengar nama Istana Tengkorak 
dan Pangeran Cabul baru sekarang, yang didengarnya 
dari mulut Perawan Sinting tadi. 

Mendengar hal itu. Perawan Sinting terkesip dan 
menjadi percaya setelah melihat bekas pukulan di wajah 
Mahesa Gibas. 

"Mengapa kau dihajar oleh orang istana Tengkorak?" 

"Karena aku disuruh menyebutkan letak 
persembunyian Perawan Sinting. Padahal aku tidak tahu 
namamu dan belum pernah bertemu. Dia menyangka aku 
berbohong, lalu menghajarku. Akhirnya kuturuti 
kemauannya, walau aku tidak tahu harus ke mana 
meneari Perawan Sinting." 

"Siapa orang itu?!" 

Mahesa Gibas diam sejenak dan membatin, "Kalau 
kusebutkan namanya, dia tak akan percaya. Sebaiknya 
aku berpura-pura tidak tahu nama perempuan mandi 
tadi, biar dia yakin kalau aku benar-benar merasa asing 
terhadap perempuan mandi tadi." 

Setelah berlagak mengingat-ingat sebuah nama, 
Mahesa Gibas akhirnya berkata, "Wah, aku tak sempat 
tanyakan namanya. Tapi aku sempat mendengar 
temannya memanggil dia, hanya saja aku lupa siapa 
panggilarmya itu." 

"Apa maksudnya mendesakmu untuk meneariku?!" 

"Kau disangka takut dan berlari sembunyikan diri. 
Dia ingin menantangmu bertarung sampai mati. 
Karenanya, aku disuruh menearimu dan membawamu ke 
suatu tempat, ia telah menunggumu di sana dan siap 
bertarung denganmu!" 

"Kurang ajar!" geram Perawan Sinting dengan kedua 
tangan mengeraskan genggamannya. Melihat si gadis 
mulai terbakar oleh bualannya, Mahesa Gibas 
menambahkan bumbu agar hati Perawan Sinting lebih 
panas lagi. 

"Bahkan ia berkata kepadaku akan membeset-beset 
kulit tubuhmu dan kulitmu akan dijadikan kerupuk kulit 
olehnya!" 

"Biadab!" gigi Perawan Sinting menggeletuk. 

"Kubilang, dia akan kalah jika melawan Suto Sinting, 
sebaiknya urungkan saja niat tersebut. Eeeh... dia bahkan 
berkata dengan sesumbar di depanku!" 

"Apa yang ia katakan dalam sesumbarnya?!" 

"Kau dijuluki Perawan Edan Birahi. Dia akan 
meremasmu menjadi satu genggaman dan diremas-remas 
lalu akan dipakai campuran makanan babi!" 

"Bangsat! Kubelah kepala orang itu. Hiaaah...!" 

"Eh, eh, eh...! Dia menunggu di selatan! Kenapa kau 
mau lari ke timur?!" 

"Tunjukkan di mana tempatnya menungguku!" 
bentak Perawan Sinting. 

Tentu saja Mahesa Gibas bersemangat sekali. Hatinya 
girang dapat mencarikan lawan setanding bagi Puting 
Selaksa, ia bersorak membayangkan Puting Selaksa 
babak belur melawan Perawan Sinting. 

"Itu dia orangnya!" bisik Mahesa Gibas ketika 
mereka tiba di tanggul sungai. 

"Hmmm... rupanya seorang perempuan juga?!" geram 
Perawan Sinting. 

"Memang perempuan. Tapi gerakan dan tenaganya 
seperti lelaki. Aku tak berani mendekatinya, nanti kena 
kepret lagi, tambah bengkak wajahku!" 

"Diamlah di sini dan tonton saja, siapa yang unggul 
dalam pertarungan ini! Hm mm mm...! Kebetulan aku 
sudah tak tahan ingin habisi semua anak buah si 
Pangeran Cabul itu!" 

Wees...! Perawan Sinting melesat turun dari tanggul 
sungai. Puting Selaksa sedang pandangi curahan air 
terjun yang tadi dipakainya mandi itu. Tiba-tiba la 
seperti disambar kelelawar dari belakang. Brress...! 

Brrruk...! Puting Selaksa terjungkal ke depan dan 
berguling-guling. Terjangan Perawan Sinting yang 
datang dari belakang itu membuat Puting Selaksa bagai 
mengalami patah tulang punggungnya. Rasa sakit 
menghujam sampai ulu hati. Pemapasan menjadi sesak, 
sekujur tubuhnya bagai memar, ia buru-buru menarik 
napas dan salurkan hawa mumi penahan rasa sakitnya. 

Mahesa Gibas tertawa cekikikan. Hatinya girang 
melihat Puting Selaksa jungkir balik diterjang Perawan 
Sinting. 

"Mampus kau! Inilah saat pembalasanku tiba!" geram 
Mahesa Gibas dalam kegirangarmya. 

Puting Selaksa bangkit, agaknya Perawan Sinting 
memang sengaja biarkan lawannya berdiri dulu dan 
lakukan pertarungan secara ksatria. 

"Bangun kau. Kecoa Busuk!" sentak Perawan Sinting 
dengan keras, sengaja menjatuhkan mental lawannya 
lebih dulu. 

Tapi Puting Selaksa bukan orang yang lemah mental 
dan miskin keberanian. Puting Selaksa yang juga berjiwa 
keras dan tegas itu segera bangkit. Matanya terkesip 
sejenak memandang orang yang belum dikenalnya. 

"Siapa kau?!" suara Puting Selaksa terdengar datar 
dan dingin. 

"Kau tak perlu banyak tanya lagi! Akulah orang yang 
kau tunggu di sini!" 

"Hmmm...! Mahesa Gibas?!" 

"Ya, aku si Perawan Sinting yang datang bersama 
Mahesa Gibas!" 

"Jadi ini saudaranya si Mahesa Gibas?!" ujar Puting 
Selaksa dalam hatinya, ia menjadi sangat bernafsu untuk 
menghajar Perawan Sinting yang dianggap saudara 
Mahesa Gibas. 

"Berdoalah dulu sebelum nyawamu kukirim ke 
neraka! Itu pun kalau sampai di neraka. Kalau nyasar di 
sarang iblis, bukan tanggung jawabku!" ujar Perawan 
Sinting dengan kekonyolannya. 

Puting Selaksa tak mau banyak bieara. Memang 
begitulah wataknya. Tahu-tahu ia melompat dan 
melepaskan tendangan kaki kanannya dengan eepat dan 
beruntun. Wees...! 

Bet, bet, bet, bet, bet, bet...! 

Perawan Sinting menghindar ke kiri-kanan beberapa 
kali. Tak satu pun tendangan Puting Selaksa yang kenai 
sasaran. Sampai akhirnya, tangan Perawan Sinting 
berhasil menangkap kaki itu dan tulang kaki 
dihantamnya kuat-kuat. 

Praaak...! 

"Auh...!" Puting Selaksa langsung jatuh berlutut 
sambil menahan tulang kaki yang terasa remuk itu. 

Bettt...! Perawan Sinting menendang wajah Puting 
Seiaksa. Yang ditendang terjungkal ke belakang dan 
berguling-guling. Perawan Sinting belum puas, ia segera
melompat untuk lepaskan tendangan mautnya yang akan 
mematahkan leher lawan. 

"Heeaaat...!" 

Tapi tiba-tiba Puting Selaksa sentakkan tangan ke 
atas bersama terlepasnya gelombang tenaga dalam yang 
cukup besar. Wuuut...! 

"Heeeekh...!" Perawan Sinting mendelik. Perutnya 
bagai diterjang batu separuh gunung, ia terlempar jauh 
dan berguling-guling di sana. Begitu bangkit dengan 
kaki berlutut, mulutnya melelehkan darah kental. 
Matanya memandang bengis, penuh nafsu membunuh. 

Mahesa Gibas yang tadinya kegirangan melihat 
Puting Selaksa dihajar, kini jadi cemas melihat Perawan 
Sinting melelehkan darah dari mulut. 

"Wah, sepertinya Perawan Sinting akan kalah! Aku 
harus cepat-cepat lari, supaya tidak menjadi sasaran 
kemarahan si Puting Selaksa!" 

Weees...! Mahesa Gibas segera larikan diri. 

* * 


BELUM jauh dari tanggul sungai, Mahesa Gibas 
yang berlari sambil sebentar-sebentar menengok ke 
belakang itu akhirnya menabrak perut Suto. Brruk...! 

"Oouh...!" Mahesa Gibas jatuh terduduk. Wajahnya 
terasa panas menabrak perut Pendekar Mabuk. Untung 
kepalanya tak kenai bumbung tuak. Jika sampai kenai 
bumbung tuak, maka kepala itu akan langsung retak, 
karena bambu tempat tuak itu adalah bambu yang 
mempunyai kekuatan sakti, sehingga menjadi senjata 
andalan Pendekar Mabuk. 

"Setan kau!" maki Mahesa Gibas. "Ada orang lari 
bukannya menyingkir malah diam saja di depannya!" 

"Aku hanya ingin beri pelajaran padamu. Kawan... 
agar lain kali kalau jalan atau lari harus lihat arah depan, 
biar tak menabrak pohon," kata Suto dengan senyum 
tipis sebagai penghias ketampanannya. 

Mahesa Gibas bangkit berdiri dan bertolak pinggang 
dengan petentang-petenteng. 

"Kau memang manusia tak pakai otak!" tuding 
Mahesa Gibas sok galak. "Mana ada orang lari ketakutan 
melihat ke depan terus? Kalau tahu-tahu musuhnya 
sudah dekat di belakangnya, bagaimana dia bisa 
menghindar?!" 

Pendekar Mabuk tertawa pendek. Kalem-kalem saja. 

"Apakah kau dikejar seorang musuh. Kawan?" 

"Belum!" jawabnya tegas tapi menggelikan hati Suto. 
"Tapi dalam reneananya pasti aku akan dikejar, karena 
itu sebelum dia mengejar aku sudah lari. Bukankah 
pepatah mengatakan: sedia payung sebelum hujan?" 

"Artinya kau takut dengan musuhmu itu?" 

"Siapa bilang aku takut?!" Mahesa Gibas makin 
nyolot. "Aku tidak takut dengan siapa pun. Cuma 
terhadap perempuan itu, aku agak sungkan! Wajahnya 
mirip ibuku, sehingga hatiku tak tega untuk membalas 
pukulannya." 

"Ooo... jadi kau dikejar oleh seorang perempuan?!" 
Suto tertawa pelan. 

"Hei, kau orang mana, hah? Siapa kau sebenarnya 
sehingga berani menertawakan Mahesa Gibas!" pemuda 
itu melotot sok galak. 

"O, namamu Mahesa Gibas?!" 

"Mahesa Gibas Wingit, lengkapnya! Angkerkan?!" 

"Ya, ya... eukup angker, mirip nama juru kunei 
kuburan," goda Suto. 

"Eh, jaga bicaramu!" Mahesa Gibas mendekat dan 
menuding wajah Suto dengan kaki berjingkat karena ia 
lebih pendek dari Suto. 

"Sekali lagi kau berkata begitu, kurobek mulutmu, 
kujadikan dompet tembakau. Ngerti?!" 

"Ya, ya... maafkan aku. Aku hanya bercanda," ujar 
Suto mengalah. 

"Siapa namamu, hah?!" 

"Namaku Suto Sinting, Kawan." 

"Oh, kalau begitu kau saudaranya Perawan Sinting?!" 
Mahesa Gibas terperanjat. 

"Hmmm... bukan. eh... Iya, tapi... begini sebenarnya...." 

"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu! 
Saudaramu; si Perawan Sinting, sekarang sedang dihajar 
habis-habisan oleh... oleh orang Istana Tengkorak!" 
"Hahh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat tegang. 
"Orang dari Istana Tengkorak itu menginjak-injak 
Perawan Sinting," tambah Mahesa Gibas. "Ba hkan ia 
menyuruh Perawan Sinting memanggilmu. Kalian 
berdua akan dicacah-cacah dan akan dipakai campuran 
sayur buncis!" 

"Kau jangan membakar kemarahanku, Mahesa 
Gibas!" 

Blaaar...! Tiba-tiba terdengar ledakan menggelegar 
dari pertarungan Puting Selaksa dengan Perawan 
Sinting. Suara ledakan itu semakin membuat tegang 
Pendekar Mabuk. 

"Nah, itu pasti suara kepala Perawan Sinting yang 
pecah akibat pukulan orang Istana Tengkorak!" 

Makin gemetar tangan Suto membayangkan 
sahabatnya dihancurkan orang Istana Tengkorak. Maka 
serta-merta Pendekar Mabuk menenteng lengan Mahesa 
Gibas sambil membawanya pergi. 

"Tunjukkan di mana mereka bertarung!" 

"Iya, iya... tapi jangan main tenteng begini! Kau pikir 
aku sandal yang penuh lumpur?! Lepaskan, jangan 
tenteng aku!" 

Brrruk...! Pemuda berpakaian kuning-hitam itu 
tersungkur jatuh. 

"Kurang ajar! Mengapa kau membantingku?!" 

"Katamu minta dilepaskan?!" 

"Iya, tapi pelan-pelan! Jangan main taruh begitu saja! 
Memangnya aku keranjang sampah?!" Mahesa Gibas 
bersungut-sungut sambil membersihkan pakaiannya 
yang kotor oleh tanah kering, ia pun segera membawa 
Pendekar Mabuk ke pertarungan di tepi sungai itu. 

"Lihat, perempuan berpakaian hijau tua itulah yang 
tadi kubilang sebagai orang Istana Tengkorak!" sambil 
Mahesa Gibas menuding ke arah Puting Selaksa dari atas 
tanggul. 

Suto Sinting terkejut begitu melihat Puting Selaksa 
bertarung dengan Perawan Sinting, ia diam sejenak 
karena rasa kagetnya dan bingung mengambil sikap. 

"Perempuan berpakaian hijau itulah yang tadi 
kudengar berteriak menyuruh Perawan Sinting 
memanggil saudaranya; Suto Sinting. Dia bilang, 
mulutmu akan dijadikan tempat jamban bagi orang- 
orang Istana Tengkorak!" 

"Kurang ajar!" geram Suto Sinting. 

Mahesa Gibas menimpali, "Wah, memang kurang 
ajar sekali omongan si perempuan itu!" 

"Kau yang kurang ajar!" bentak Suto dalam nada 
menggeram marah. 

"Lho, kok aku...?!" 

"Kau membohongiku! Aku tahu, perempuan itu 
adalah Puting Selaksa!" 

"Naaah... benar! Memang dia bernama Puting 
Selaksa!" ujar Mahesa Gibas dengan penuh semangat. 
"Tadi pun kudengar dia...." 

Creeep, wuuut...! Suto Sinting meneengkeram baju 
Mahesa Gibas bagian tengkuk. Pemuda itu ditentengnya 
dan Suto Sinting melesat turun ke bawah tanggul seakan 
seperti seekor elang menenteng anak ayam. Wuuut...! 

Puting Selaksa sedang memainkan pedangnya dengan 
kaki terpineang-pineang. Ia akan lakukan serangan 
dengan pedang itu. Sementara di pihak lain. Perawan 
Sinting masih tampak segar walau di sudut mulutnya ada 
bekas darah yang tak bersih waktu menghapusnya. 
Perawan Sinting belum mau mencabut pedangnya, dan 
masih menggunakan tangan kosong untuk melawan 
Puting Selaksa. 

Wuuut, bruuuk...! Pendekar Mabuk muncul dan 
menyentakkan tentengannya. Mahesa Gibas tersungkur 
di pertengahan jarak pertarungan dua perempuan itu. 

"Lho, eh, eh... apa-apaan ini?!" Mahesa Gibas mulai 
menggeragap ketakutan. 

"Hentikan pertarungan ini!" sentak Pendekar Mabuk. 

"Suto...?!" sapa Puting Selaksa dengan terperanjat 
kecil, ia sembunyikan kegirangannya. 

"Mengapa kau hentikan, Suto?!" sentak Perawan 
Sinting bernada protes. Tetapi ia segera memandang 
Puting Selaksa dan Puting Selaksa pun segera menatap 
Perawan Sinting. 

"Oh, rupanya dia mengenal Suto?!" hati kedua 
perempuan itu sama-sama berkata demikian. 

"Aku tak ingin kalian bermusuhan!" kata Suto Sinting 
sambil tangannya segera menyambar lengan Mahesa 
Gibas dan menarik pemuda itu untuk berdiri. 

"E, e, eh...! Pelan-pelan, nanti tanganku copot kalau 
ditarik sembarangan, Suto!" 

"Seharusnya kepalamu yang copot!" ujar Suto dengan 
pandangan menciutkan nyali Mahesa Gibas. 

"Perawan Sinting, mengapa kau bermusuhan dengan 
Puting Selaksa?!" 

"Hahhh...?! Puting Selaksa?!" Perawan Sinting 
terkejut mendengar nama itu. Karena ia pernah 
mendengar nama Puting Selaksa sebagal murid Resi 
Parangkara, dan Resi Parangkara adalah sahabat si 
Tulang Geledek. Tulang Geledek adalah sahabat 
gurunya yang sudah dianggap sebagai kakek sendiri, 
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Perawan 
Sinting"). 

"Bukankah... bukankah dia orang Istana 
Tengkorak?!" Perawan Sinting menuding lawannya. 

"Siapa bilang aku orang Istana Tengkorak?!" sergah 
Puting Selaksa. "Jaga mulut bangkaimu itu!" 

"Mahesa Gibas yang mengatakan padaku, bahwa kau 
orang Istana Tengkorak dan menantang pertarungan 
sampai mati di sini!" 

Mahesa Gibas salah tingkah dipandangi Pendekar 
Mabuk, ia ingin pergi sambil berkata, "Maaf, aku ada 
pertemuan penting dengan para tokoh silat tingkat tinggi. 
Lain waktu kita bertemu lagi, Suto!" 

"Eh, tidak bisa...!" Pendekar Mabuk menyambar baju 
kuning itu. Berrrt...! 

Puting Selaksa berkata kepada Perawan Sinting. 
"Tadi aku menghajarnya, karena ia melakukan tindak tak 
senonoh padaku. Lalu dia bilang ingin memanggilkan 
saudaranya yang ilmunya setanding denganku. Tahu- 
tahu kau datang, dan aku langsung menganggapmu 
sebagai saudara si Mahesa Gibas itu!" 

" "Puih...! Kalau aku punya saudara seperti dia sudah 
kurebus dari dulu!" ujar Perawan Sinting, lalu dekati 
Mahesa Gibas yang masih ditenteng Suto. 

"Manis betul mulutnya, ya?!" geram Perawan Sinting. 

"Hmm, eehh... yah, termasuk manis juga, soalnya 
banyak gadis yang sering mencicipinya. Heh, heh, 
heh...!" 

"Kalau begitu aku ingin mencicipinya juga." 
Ploook...! 

"Huadoow...!" teriak Mahesa Gibas begitu mulutnya 
ditampar keras-keras oleh Perawan Sinting. Pemuda itu 
menangis kesakitan, mau melarikan diri tak bisa karena 
masih dalam genggaman Suto. 

"Aku semakin ketagihan dengan bibirmu. Manusia 
keparat! Kucicipi sekali lagi, hiaaah...!" 

Teeeb...! 

"Huadooooww...!" 

Padahal tangan Perawan Sinting yang ingin 
menampar itu sudah dicekal Pendekar Mabuk lebih dulu, 
tapi Mahesa Gibas memekik lebih keras karena 
membayangkan tamparan kedua pasti akan lebih sakit. 

"Cukup, Perawan Sinting," ujar Suto pelan. "Bibirnya 
sudah pecah. Kurasa sudah layak sebagai hukuman bagi 
orang yang gemar mengadu domba!" 

"Aku tidak suka adu domba!" sentak Mahesa Gibas 
sambil menangis. "Aku hanya sering adu ayam! Kau 
jangan menyebar fitnah di depan kedua perempuan ini, 
Suto!" 

Creeep...! Tangan Perawan Sinting menjambak 
rambut Mahesa Gibas dengan menggeram. 

"Hei, jangan sekali lagi membentak Pendekar Mabuk 
di depanku! Kau akan kehilangan gusi jika 
membentaknya lagi!" 

"Jangan, jangan... ampun! Aku tak akan mem-
bentaknya lagi. Aku tak ingin kehilangan gusi. 
Kehilangan gigi saja sudah cukup menderita apalagi 
sampai kehilangan gusi, oooh... tak bisa kubayangkan 
seperti apa menderitanya," ujar Mahesa Gibas sambil 
mengangkat tangan dengan rasa takut. 

Pendekar Mabuk bukan saja meluruskan perkara itu, 
juga mengobati mereka yang terluka dengan tuaknya. 
Bumbung tuak itu sempat diisi lebih dulu sebelum ia dan 
Perawan Sinting mendatangi Istana Tengkorak. Mereka 
melewati sebuah desa kecil dan kebetulan di situ ada 
kedai penjual tuak. Sekalipun tuak itu sudah berkurang 
banyak untuk pertarungan dengan Pangeran Cabul, tapi 
sisanya masih cukup untuk sembuhkan luka mereka dan 
sebagai persediaan sampai petang nanti. Sebelum petang 
tiba, Suto harus bisa dapatkan kedai penjual tuak dan 
mengisi bumbungnya lagi. 

"Rupanya diam-diam kau mempunyai seorang 
saudara yang cantik jelita seperti dia, Suto," ujar Puting 
Selaksa sambil melirik ke arah Perawan Sinting. 

"Hmmm...," Suto berpikir sebentar, ia harus hati-hati 
bicara dengan Puting Selaksa, sebab ia tahu Puting 
Selaksa menaruh hati padanya. 

"Hmmm... ya, aku sendiri baru tahu kalau aku punya 
saudara bernama Perawan Sinting. Dia memang 
saudaraku, tapi saudara jauh." 

"Mengapa tidak kau ajak singgah ke Teluk Sendu 
sekarang juga? Aku butuh bicara denganmu di depan 
guruku, Suto." 

'Tentang apa itu?" Suto berlagak tak mengetahuinya. 

"Perkawinan kita!" 

"Kau bercanda," gumam Suto Sinting dengan pelan 
sekali takut didengar Perawan Sinting, sebab Suto tahu 
Perawan Sinting juga menaruh hati padanya. 

"Aku bersungguh-sungguh, Suto. Tidakkah kau 
melihat kesungguhan dalam sikapku ini?" 

Pendekar Mabuk jadi serba salah. Senyumnya serba 
kaku. Pandangan matanya dilemparkan ke arah Perawan 
Sinting yang sedang mendengarkan penjelasan Mahesa 
Gibas dengan acuh tak acuh sebagaimana sikapnya 
terhadap seorang laki-laki. Entah apa yang dibicarakan 
Mahesa Gibas dengan Perawan Sinting di sebelah sana, 
yang jelas kesempatan itu digunakan oleh Suto untuk 
mengatasi tawaran Puting Selaksa. 

"Ada saatnya sendiri aku bicara tentang rencanamu 
itu. Puting Selaksa. Tapi kurasa bukan sekarang. Aku 
baru saja memporakporandakan Istana Tengkorak. 
Beberapa orang Istana Tengkorak masih banyak yang 
ingin membalas dendam padaku. Kurasa aku harus 
selesaikan dulu masalah ini sampai tuntas. Sebab aku 
yakin. Ratu Lembah Girang akan mengirimkan orang- 
orang andalannya untuk menyerangku." 

"Aku akan berada di paling depan!" ujar Puting 
Selaksa. 

"Aku tidak izinkan kau ikut campur dalam perkara 
ini." 

"Kenapa?!" sergah Puting Selaksa. 

"Kau tak boleh menempuh bahaya apa pun sebelum 
resmi menjadi seorang istri. Ingat, kekuatan 'Rona 
Dewaji' harus kau nikmati, sehingga kau tak boleh mati 
sebelum menikah." 

"Bagaimana dengan rasa sepiku jika sedang 
sendirian? Bagaimana jika batinku tersiksa manakala 
kemesraanmu hadir dalam bayanganku?" 

"Kurasa kau cukup mampu untuk menguasai perasaan 
seperti itu," kata Pendekar Mabuk memberi semangat 
kepada Puting Selaksa. 

"Tunggulah aku di Teluk Sendu. Selesai urusan ini 
aku akan ke sana!" 

"Kau janji...?!" 

"Ya, aku janji akan datang ke Teluk Sendu 
menemuimu, menemui Resi Parangkara dan menemui 
adik perguruanmu; si Manggar Jingga itu." 

"Kalau sampai...." 

Ucapan itu belum selesai, tapi terpaksa harus diputus, 
karena Perawan Sinting dekati mereka bersama Mahesa 
Gibas. Langkah mereka terburu-buru dan wajah Perawan 
Sinting tampak tegang sedikit. 

"Suto...!" sapa Perawan Sinting berkesan tegang. 
Setelah berada di dekat Suto Sinting, gadis itu lanjutkan 
sapaannya lagi. 

"Ada berita penting yang perlu kau dengar!" 

"Berita tentang apa?!" Suto masih tetap tenang. 

"Seorang adipati akan digantung di depan rakyatnya!" 

Berkerutlah dahi Pendekar Mabuk mendengar kabar 
aneh itu. 

"Adipati digantung?!" ulang Suto bagai tak yakin 
dengan pendengarannya sendiri. "Adipati mana itu'!" 

"Adipati Jayengrana dari Kadipaten Madusari!" 

"Hahh...?!" hidung Suto bagai disengat kalajengking, 
ia tersentak kaget mendengar nama sang adipati itu. 

"Siapa yang akan menggantungnya jika ia seorang 
adipati; pimpinan tertinggi di suatu wilayah?!" tanya 
Puting Selaksa. 

"Si Bayangan Setan!" jawab Mahesa Gibas dengan 
cepat. 

Pendekar Mabuk menarik napas panjang. Tersenyum 
getir kepada Perawan Sinting, melirik sinis kepada 
Mahesa Gibas, lalu menatap Puting Selaksa. 

"Sejak kapan pendusta menjadi orang jujur?!" 

Puting Selaksa mengerti maksud Pendekar Mabuk. 
Kabar dari Mahesa Gibas itu dianggap suatu tipuan yang 
tak perlu dibahas lagi. Puting Selaksa sendiri akhirnya 
ikut tersenyum sinis dan tipis, ia menepuk pundak Suto 
dan sambil ucapkan kata pelan. 

"Jangan ingkari janjimu. Kurasa Eyang Resi 
Parangkara sangat menunggu kehadiranmu di Teluk 
Sendu!" 

Pendekar Mabuk anggukkan kepala. Puting Selaksa 
pandangi Perawan Sinting. 

"Lakukan yang terbaik untuk saudaramu ini!" 

"Hei, apa maksudmu berkata begitu?" 

Puting Selaksa tak menjawab, justru bergegas pergi 
tinggalkan mereka. 

"Hei, Puting Selaksa...! Apa maksud ucapanmu itu? 
Tunggu...!" 

Teeeb...! Lengan Perawan Sinting disambar Suto. 

"Biarkan dia pergi!" 

"Tapi aku merasakan ada nada sumbang di balik kata- 
katanya tadi!" 

"Jangan berlebihan dalam menafsirkan ueapan 
seseorang," ujar Suto dengan kalem. 

Mahesa Gibas menyela kata, "Kurasa ia tak mau 
terlibat urusan dengan Bayangan Setan, ia memang 
perempuan pengecut. Dari tadi sudah kunilai, ia...." 

"Hentikan mulutmu, atau kusumbat pakai bumbung 
tuak ini?!" hardik Pendekar Mabuk. 

Mahesa Gibas sendiri segera diam, karena ia melihat 
pandangan mata Suto Sinting tampak serius dalam 
ancamannya. Hati pemuda berbaju kuning itu hanya 
menggerutu tanpa didengar siapa pun. 

"Enak saja, mulut mau disumbat pakai bambu sebesar 
itu. Apa dikiranya mulutku ini lubang ular?!" 

Perawan Sinting segera berkata setelah hempaskan 
napas mencari kelegaan hati. Rupanya ia punya 
kegelisahan yang bisa membuatnya marah jika 
kegelisahan itu disepelekan oleh Suto. 

"Adipati Jayengrana adalah kenalan mendiang 
guruku, Suto. Agaknya aku harus lakukan sesuatu agar 
sang Adipati tak jadi digantung di alun-alun!" 

"Lupakan kata-kata si pendusta itu! Tukang tipu kau 
ikuti kata-katanya, bisa-bisa kau mati karena menderita 
tekanan batin!" ujar Suto Sinting lalu membuka 
bumbung tuaknya untuk menenggak tuak beberapa 
teguk. 

"Kali ini aku tidak bohong, Suto," kata Mahesa 
Gibas. "Aku berani sumpah disambar petir bertiga, jika 
keteranganku tadi sekadar tipuan belaka! Aku sendiri 
orang sana, Suto." 

Suto tetap cuek. Setelah menenggak tuak tiga 
tegukan, ia menyodorkan bumbung tuak kepada 
Perawan Sinting, "Minum...?!" 

Perawan Sinting tak pedulikan tawaran itu, ia bahkan 
bicara lagi tentang sang adipati. 

"Suto, kurasa apa kata Mahesa Gibas ada benarnya, 
sebab ia termasuk salah satu rakyat Kadipaten Madusari 
yang melarikan diri, karena takut pada Bayangan Setan." 

"Dia penipu. Perawan Sinting! Jangan mudah percaya 
dengan ucapannya!" tegas Pendekar Mabuk. 

"Kali ini aku jadi orang jujur, Sutol" sergah Mahesa 
Gibas. "Aku orang Desa Cipuser yang masuk wilayah 
kekuasaan Kadipaten Madusari. Beberapa warga desaku 
sudah banyak yang menjadi korban keganasan si 
Bayangan Setan! Aku terpaksa melarikan diri, karena 
kakekku sendiri sudah tewas di tangan si Bayangan 
Setan." 

"Mungkin kakekmu berlagak jadi anak muda, maka 
dibunuh oleh si Bayangan Setan!" ujar Suto tetap 
meremehkan pengakuan Mahesa Gibas. Pemuda 
bercelana hitam itu cemberut dan bersungut-sungut. 

"Giliran aku berkata jujur kau tak mau percaya, nanti 
kalau aku berkata bohong, kau percaya sekali! Dasar 
sinting!" 

Serrrt...! Baju pemuda itu segera diremas gadis 
berompi ungu. 

"Jangan menyinggungku, Mahesa!" 

"Eh, hmm... maksudku, dia yang sinting, bukan kau!" 

"Tapi aku juga Perawan Sinting, dan bukan hanya dia 
yang punya nama Sinting!" bentak gadis itu dengan 
galak. 

'Ty, iya... Iya aku tahu. Kau juga sinting. Eh, 
maksudku... maksudku kau juga punya nama Sinting. 
Tapi...." 

"Dengar, Mahesa!" gertak Perawan Sinting. "Jika kali 
ini kau menipuku, tak akan kubiarkan lehermu utuh 
menyangga kepala! Kupenggal habis saat itu juga!" 

"Boleh! Aku berani bertaruh kepala; penggal leherku 
kalau apa yang kukatakan tadi hanya tipuan belaka. 
Istana kadipaten sekarang sudah dikuasai oleh si 
Bayangan Setan. Sang Adipati akan digantung setelah 
malam purnama lewat." 

Perawan Sinting pandangi Suto dengan tajam. 

"Dia telah menjadikan kepalanya sebagai jaminan 
kejujurannya, Suto. Masihkah kau tidak 
mempercayainya?!" 

"Tentu saja, sebab dia merasa kepalanya sudah tidak 
berarti!" 

"Kalau begitu aku akan berangkat ke Kadipaten 
Madusari sendiri. Aku harus tiba di sana sebelum malam 
bulan purnama!" 

"Pergilah! Aku tak ikut, karena aku tak mau tertipu 
oleh pemuda berbakat sesat ini!" kata Suto tegas-tegas. 

"Sudahlah, Perawan Sinting," ujar Mahesa Gibas. 

"Kalau dia tak mau ikut ke sana, biarlah aku yang 
menemanimu sepanjang perjalanan." 

"Aku tak butuh teman!" sentak Perawan Sinting. 

"Tapi kalau sampai malam tiba, bagaimana? Kalau 
kau kedinginan dan tak ada selimut, lantas siapa yang 
menghangatkanmu? Pikirkanlah hal itu. Perawan 
Sinting," kata Mahesa Gibas. 

"Kau pikir aku akan minta dipeluk oleh pemuda 
tengil macam kau?!" geram Perawan Sinting. 

"Kalau tidak ya tak apa-apa. Tapi tak perlu marah- 
marah begitu," sambil Mahesa Gibas garuk-garuk kepala 
dan bersungut-sungut. Sementara itu. Pendekar Mabuk 
masih tetap diam walau dalam hatinya masih diliputi 
keragu-raguan. 

"Benarkah kali ini Mahesa Gibas berkata yang 
sebenarnya?! Jika ternyata ia memperalat diriku dan 
Perawan Sinting, maka aku akan menjadi orang yang 
lebih bodoh dari dirinya! Hmmm, tak mau aku 
dibodohinya! Tapi jika kubiarkan, jangan-jangan sang 
Adipati benar-benar mau digantung?!" 



JIKA memang Adipati Jayengrana terancam 
keselamatannya. Pendekar Mabuk tak segan-segan akan 
turun tangan. Sebab ia kenal baik dengan sang Adipati, 
ia pemah selamatkan rakyat Kadipaten Madusari dari 
ancaman maut Penguasa Teluk Neraka. Apalagi Suto 
Sinting kenal baik dengan putri sang Adipati yang 
bernama Telaga Sunyi alias Muria Wardani yang kini 
telah menikah dengan Rama Jiwana, tentu saja Suto 
tidak akan tinggal diam saja jika kabar tersebut memang 
benar, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: 
"Asmara Berdarah Biru" dan "Penguasa Teluk Neraka"). 

Tapi Suto belum bisa mempercayai Mahesa Gibas 
sejak ia hampir tertipu mentah-mentah tadi. Bahkan Suto 
meragukan asal usul Mahesa Gibas. Ia sempat berkata 
pelan kepada Perawan Sinting sambil menarik gadis itu 
jauhi Mahesa Gibas. 

"Apa benar ia orang Kadipaten Madusari? Bahkan 
apa benar ia berasal dari Desa Cipuser?! Apa buktinya 
kalau dia orang Desa Cipuser yang masuk dalam 
wilayah Kadipaten Madusari?!" 

"Raut mukanya kulihat penuh kejujuran," bisik 
Perawan Sinting. 

"Pada saat ia menipumu, mengatakan kau ditantang 
oleh orang Istana Tengkorak, bukankah saat itu kau juga 
melihat kejujuran di wajahnya?" 

"Aku... aku terpengaruh oleh kemarahanku kepada 
orang-orang Istana Tengkorak, sehingga tak sempat 
kuperiksa wajahnya!" 

Pendekar Mabuk tarik napas panjang lagi. Ia tak tega 
jika Perawan Sinting pergi sendiri hadapi si Bayangan 
Setan, kalau ternyata berita itu memang benar. Tapi ia 
juga tak ingin Perawan Sinting kecewa berat jika
ternyata kabar itu tak benar. Untuk menguji kejujuran 
Mahesa Gibas, Pendekar Mabuk akhirnya memanggil 
pemuda itu agar mendekatinya. 

"Jika kau memang orang Desa Cipuser, pernahkah 
kau mendengar peristiwa penting yang amat berbahaya 
dan pernah dialami oleh seluruh wilayah kadipaten itu?!" 

Mahesa Gibas diam sejenak merenungkan pertanyaan 
tersebut. Sesaat kemudian ia bicara dengan nada agak 
ragu. 

"Apakah yang kau maksud peristiwa penting itu 
adalah saat sang Adipati menderita sakit itu?" 

Pendekar Mabuk diam sebentar, lalu berbisik kepada 
Perawan Sinting. 

"Ada benarnya juga. Adipati Jayengrana memang 
pernah menderita sakit berbahaya." 

Tapi agaknya Suto belum yakin, sehingga ajukan 
tanya lagi kepada Mahesa Gibas. 

"Kalau kau memang rakyatnya Kanjeng Adipati 
Jayengrana, tentunya kau tahu mengapa sang Adipati 
kala itu menderita sakit parah?" 

"Yang jelas bukan karena menelan biji durian!" 
Jawab Mahesa Gibas mendongkolkan hati Perawan 
Sinting. Tapi Mahesa Gibas menambahkan jawabannya 
dengan serius. 

"Dulu kabarnya sang Adipati pernah terancam maut, 
berupa penyakit kiriman, semacam teluh, yang 
dikirimkan dari jarak jauh oleh Penguasa Teluk Neraka." 

"Hmmm...," Suto manggut-manggut membenarkan 
jawaban itu. "Mengapa Penguasa Teluk Neraka 
menyerang sang Adipati?" 

"Karena ia ingin mengawini putri sang Adipati." 

"Siapa nama putri sang Adipati?" 

"Raden Ayu Muria Wardani." 

"Siapa nama istri sang Adipati?" 

"Gusti Ayu Windurini!" 

"Siapa nama menantu sang Adipati?" 

"Raden Rama Jiwana." 

"Siapa nama pelayannya yang paling cantik?" 

"Senduk!" 

"Dari mana kau tahu namanya Senduk?" 

"Karena aku pernah naksir dia tapi ditolak. Aku 
pernah mengintip dia masak di dapur, tapi disiram air 
panas. Dan... aku pernah mimpi mau dicium Senduk, 
tapi segera terbangun. Begitu aku tidur lagi, Senduk 
telah pergi dari mimpiku." 

Perawan Sinting berkata kepada Suto, "Apakah kau 
juga kenal dengan pelayannya yang bernama Senduk 
itu?" 

"Tidak. Baru sekarang kutahu kalau Adipati punya 
pelayan cantik bernama Senduk." 

"Mengapa tadi kau tanyakan pada Mahesa Gibas?" 

"Sekadar ingin tahu saja." 

"Maksudmu, nanti kau akan menemui pelayan cantik 
itu secara diam-diam?!" 

"Ah, mana sempat?!" Suto bersungut-sungut. 

"Kalau ternyata ada kesempatan?" pancing Perawan 
Sinting bernada cemburu. 

"Yaaah... itu lain persoalan," jawab Suto. 

"Dasar mata keranjang!" 

Plaak...! Suto ditampar, Perawan Sinting cemberut, 
Mahesa Gibas segera berkata kepada Pendekar Mabuk. 

"Jangan coba-coba berani mengganggu Senduk kalau 
tak ingin melihatku murka di depanmu, Suto." 

"Apakah kau kekasihnya Senduk?" 

"Ya!" jawab Mahesa Gibas tegas. 

"Kau mencintai Senduk?" 

"Cinta sekali!" 

"Senduk juga cinta?" 

"Tidak sama sekali!" 

"Mengapa tak kau culik saja si Senduk itu?!" 

"Terlambat!" 

"Terlambat bagaimana?" 

"Dia sudah meninggal empat puluh hari yang lalu!" 

"Ooo...," Suto dan Perawan Sinting saling pandang, 
sembunyikan senyum. 

"Mengapa dia tidak mengajakmu meninggal juga?" 
tanya Perawan Sinting dengan kesal. 

"Itulah tandanya kalau dia tidak cinta padaku!" jawab 
Mahesa Gibas serius sekali, seakan tak merasa bicara 
konyol sedikit pun. 

Akhirnya Suto Sinting percayai berita tersebut, ia 
putuskan akan bebaskan Adipati Jayengrana bersama- 
sama Perawan Sinting. Tetapi kala itu, senja mulai 
menua, sebentar lagi petang akan datang. 

"Kita berangkat esok pagi saja," usul Perawan 
Sinting. "Malam bulan purnama masih tiga hari lagi" 

Mahesa Gibas berkata, "Aku tadi melihat tempat yang 
nyaman untuk bermalam. Sebuah bangunan bekas Istana 
yang sudah porak poranda." 

"Baik. Kita akan bermalam di sana saja, esok pagi 
teruskan perjalanan ke kadipaten," ujar Suto. "Di sebelah 
mana bangunan yang kau lihat itu?" 

"Di balik bukit itu! Di depannya ada kuil pemujaan 
yang sepertinya sudah tidak dipakai lagi." 

"Goblok!" sentak Perawan Sinting. "Bangunan itu 
adalah Istana Tengkorak!" 

"Ooh...?!" Mahesa Gibas terkejut, lalu wajahnya 
mulai ngotot. "Tapi tak kulihat ada tengkorak sepotong 
tulang pun di sana!" 

"Kalau toh ada kau pasti tak akan bertemu dengan 
kami!" ujar Suto Sinting. "Mati digerogoti tengkorak!" 

Perawan Sinting akhirnya memandu mereka menuju 
ke sebuah bangunan tua bekas biara keeil yang sudah 
haneur. Biara itu mempunyai ruangan-ruangan tak 
seberapa lebar tanpa pintu. Ruangan itu dulu digunakan 
sebagai ruang semadi para biksu yang menempati biara 
tersebut. Sebagian ruangan masih ada, sisanya sudah rata 
dengan tanah atau haneur separuh bagian. 

"Menurut eerita guruku," kata Perawan Sinting. 
"Biara ini dulu dipakai untuk menggembleng murid- 
murid Perguruan Bunga Seroja. Aliran silat mereka 
berasal dari Pegunungan Tibet. Namun perguruan itu 
haneur setelah dipimpin oleh ketua baru yang berjuluk 
Peri Kahyangan. Aliran silat mereka menjadi sesat walau 
ilmu mereka tinggi-tinggi. Karena mereka akhirnya 
beraliran hitam, maka banyak dimusuhi oleh para tokoh 
aliran putih. Sampai pada suatu saat, biara ini diserang 
oleh orang-orang yang mengaku dari dasar bumi. Maka 
habislah riwayat Perguruan Bunga Seroja, hancur pula 
biara ini! Sedangkan Peri Kahyangan lenyap tanpa 
bekas. Diduga melarikan diri ke alam gaib!" 

"Tunggu," sergah Pendekar Mabuk. "Tadi kau 
menyebut-nyebut orang dasar bumi. Apakah itu nama 
perguruan atau benar-benar orang dari dalam tanah?!" 

"Dalam cerita guruku, orang-orang itu memang 
datang dari perut bumi, dipimpin oleh seorang gadis 
sakti bernama... hmmm... o, ya, bernama Nirwana 
Tria...." 

"Siapa...?! Nirwana Tria?!" Suto terkejut, karena 
nama Nirwana Tria bukan nama asing lagi baginya, ia 
pernah bertemu gadis cantik itu pada saat berada di 
perbatasan alam gaib dan alam nyata, (Baca serial 
Pendekar Mabuk dalam episode : "Ratu Maksiat"). 

"Jangan sok kenal!" cibir Perawan Sinting. "Nirwana 
Tria itu tokoh sakti dari dasar bumi, bukan dari Desa 
Cipuser atau tempat lairmya di permukaan bumi ini. 
Berlagak kaget kau! Hmmm...!" 

Pendekar Mabuk membiarkan cibiran Perawan 
Sinting. Tapi wajah cantik yang sempat membekas di 
hatinya itu kini muncul lebih nyata lagi dalam ingatan. 
Hanya saja. Pendekar Mabuk memang tak ingin 
tonjolkan dirinya bahwa ia kenal dan pernah bertemu 
dengan Nirwana Tria, cucu dari Dewa Tanah, yang 
menjadi penguasa tertinggi di alam mereka itu. 

Sementara mereka berdua asyik berbincang-bincang 
di depan ruang semadi beranak tangga empat baris itu, 
Mahesa Gibas tidur di dalam ruangan itu, mendengkur 
dan tampak nyenyak sekali. Cahaya rembulan yang 
belum sepenuhnya menyinari permukaan bumi telah 
membuat suasana lebih hangat dan lebih romantis lagi. 
Mereka sengaja tidak menyalakan api unggun, karena 
eahaya rembulan dianggap sudah eukup menjadi 
penerang alam sekitar mereka itu. 

Perawan Sinting yang semula berdiri dengan kedua 
tangan bersedekap itu, kini ikut-ikutan duduk di tangga 
seperti yang dilakukan Suto. Salah satu kaki Suto 
melonjor lurus, satunya lagi ditekuk hingga lututnya bisa 
untuk menaruh tangan, sedangkan bumbung tuak ada di 
samping kaki yang lututnya tegak itu. Perawan Sinting 
duduk di tangga bawahnya, dekat dengan kaki Suto yang 
melonjor lurus, ia meminta tuak, lalu meneguknya 
beberapa kali, setelah itu bumbung dikembalikan pada 
tempatnya. 

"Sejak kapan biara ini runtuh?" tanya Suto setelah 
berhasil menghilangan bayangan Nirwana Tria sejenak. 

"Menurut mendiang Guru, biara ini runtuh sekitar 
lima puluh tahun yang lalu." 

"Ooh...? !" Suto sedikit terperanjat, ia pun membatin, 
"Kalau begitu Nirwana Tria itu sebenarnya sudah tua 
sekali? Tapi tampaknya masih muda." 

"Kata Guru, beliau pernah bentrok dengan Peri 
Kahyangan, dan sama-sama terluka. Guru nyaris 
terdesak kalau tidak segera menggunakan akal untuk 
memaneing kelengahan Peri Kahyangan," tutur Perawan 
Sinting melanjutkan kisahnya. 

"Bagaimana cara memancing kelengahan Peri 
Kahyangan itu?" 

"Guru tak sebutkan. Tapi secara jujur Guru akui, Peri 
Kahyangan berilmu tinggi dan cukup tangguh." 

"Sayang sekali cerita itu tak lengkap." 

"Memang. Tapi aku mendapat cerita lain dari Eyang 
Tulang Geledek tentang si Peri Kahyangan itu." 

"Apakah beliau pernah bentrok juga dengan Peri 
Kahyangan?" 

"Bukan hanya pernah, bahkan nyaris mati di tangan 
Peri Kahyangan. Namun pada waktu itu Eyang Tulang 
Geledek segera melepas bajunya dan memandang 
dengan sayu. Peri Kahyangan langsung lemas dan 
menjadi tak mampu membunuh Eyang Tulang Geledek." 

"Mengapa begitu?" 

"Katanya, Peri Kahyangan luluh jika melihat lelaki 
bertelanjang dada. Gairahnya segera timbul dan 
berkobar-kobar, lalu seluruh kemarahannya lenyap, ia 
harus segera mendapatkan keindahan dari seorang lelaki 
untuk meredakan gairahnya itu." 

Pendekar Mabuk tertawa pelan. 

"Tapi itu kata Eyang Tulang Geledek. Aku tak yakin 
sepenuhnya, sebab Eyang Tulang Geledek gemar 
bercanda. Yang jelas menurut beliau, pada saat seperti 
itu sebenarnya Peri Kahyangan mudah untuk dibunuh 
oleh siapa pun, terutama lelaki yang membuat gairahnya 
terbakar. Hanya saja, pada waktu itu Eyang Tulang 
Geledek dalam keadaan terluka parah dan memilih 
larikan diri daripada berusaha membunuh Peri 
Kahyangan, karena ia lebih penting menyelamatkan 
nyawanya yang tinggal seujung rambut. Itu menurut 
eerita Eyang Tulang Geledek! Aku tak menjamin 
kebenarannya." 

"Kurasa memang benar," kata Suto Sinting dengan 
suara pelan. "Perempuan kalau sudah dituntut oleh 
gairah kemesraannya, ia akan lemas dan tak mampu 
berbuat apa-apa lagi. Segalak apa pun seorang 
perempuan, jika sudah dibuai oleh keindahan, maka ia 
akan menj adi jinak!" 

"Hmmm!" Perawan Sinting meneibir. "Lagakmu 
seperti penjinak perempuan saja!" 

"Buktinya, keangkuhanmu luntur ketika kau mulai 
terbuai oleh keeupan bibirku, saat kita berada di dalam 
gua?!" 

Perawan Sinting sunggingkan senyum malu. 

"Itu lantaran aku sudah bosan bersikap angkuh 
padamu," ujarnya menutupi kenyataan. 

Suto tertawa pelan sambil meneubit pipi Perawan 
Sinting. Gadis itu menepiskan tangan Suto, seakan tak 
ingin disentuh. 

"Jangan kurang ajar kau! Kutampar jika sekali lagi 
berani meneubit pipiku!" gertaknya dengan pelan. Mata 
lebar berbentuk indah itu menatap Suto tajam-tajam. 
Bibir sedikit tebal namun sangat menawan hati itu 
tampak eemberut, membuat hati Suto semakin berdebar 
tergoda oleh ingatan masa di dalam gua persembunyian 
si manusia badak itu. 

'Tamparlah sekarang, agar aku nanti boleh 
meneubitmu lagi," kata Suto sambil sodorkan pipinya. 
"Tamparlah sekarang juga!" 

Perawan Sinting pandangi wajah itu beberapa saat. 
Hati pun berdebar-debar, batin tergoda tuntutan gairah. 
Maka, tiba-tiba bibir Perawan Sinting mencium pipi 
Suto. Cup...! 

"Begitukah caramu menampar?" 

"Aku lupa cara menampar seorang lelaki yang 
mengguncang hatiku setiap saat," ucapnya pelan sedikit 
datar. 

"Apakah aku mengguncang hatimu?" 

Perawan Sinting anggukkan kepala sambil matanya 
mulai sayu. 

"Mengapa hatimu terguncang?" pancing Suto. 

"Entahlah. Baru sekarang aku merasa benar-benar 
terguncang oleh penampilan seorang lelaki yang pandai 
memberikan puncak keindahan bercinta tanpa 
menggunakan ’pusaka'-nya." 

Gadis itu tersenyum malu. Makin cantik dan makin 
menggairahkan jika sedang tersenyum begitu. Pendekar 
Mabuk tak mau memutus suasana romantis itu dengan 
suasana lain, sehingga ia lakukan desakan dengan 
beberapa pertanyaan. 

"Kau suka dengan cumbuan seperti waktu itu?" 

"Sangat suka! Kau jantan sekali. Kau dapat 
lumpuhkan lawan kencanmu sebelum pertarungan yang 
sebenarnya dimulai." 

"Kau ingin mendapatkannya lagi?" 

"Jangan bertanya begitu," jawab Perawan Sinting 
sambil tetap memandang semakin sayu, dan kini jarinya 
bermain di bibir Suto, mengusap pelan dan sentuhannya 
bagai mengambang di permukaan kulit bibir Suto. 

"Mengapa aku tak boleh bertanya begitu?" 

"Pertanyaanmu semakin menggoda hasratku." 

"Kau tak suka digoda, hah?!" 

Perawan Sinting makin sulit menjawab, karena saat 
itu bibir Suto dibuka sedikit, lalu jari telunjuk yang 
bermain di bibirnya itu digigit pelan. Jantung gadis itu 
semakin menyentak-nyentak. Terlebih setelah jari 
tangannya disambar mulut Suto, maka jantung Perawan 
Sinting nyaris berhenti karena ditikam perasaan nikmat. 

Pendekar Mabuk tetap memandang gadis itu, walau 
kini mulutnya menghisap-hisap jari si gadis dengan 
kepala maju pelan-pelan dan mundur kembali pelan- 
pelan. Perawan Sinting semakin berdebar-debar. 
Matanya kian mengeeil seakan menikmati tiap gerakan 
lidah Suto dalam menghisap jari tangannya itu. 

"Sss..., ahhh...!" Perawan Sinting mendesah dengan 
kepala sedikit mendongak dan bibirnya merekah. 

Tangan itu akhirnya dikeeup-kecup lembut oleh bibir 
Suto, dari telapak tangan merayap ke lengan, sampai ke 
siku lidah Suto menari-nari di sana. Perawan Sinting 
sengaja meluruskan tangannya itu. 

Keeupan Suto merayap lagi pelan-pelan dengan 
disertai pagutan-pagutan keeil. Sampai di pangkal 
pundak, lidah Suto menari kembali dan menggigit-gigit 
pelan, menimbulkan desiran nikmat di sekujur tubuh 
Perawan Sinting. 

Akhirnya gadis itu mengerang bersama desah yang 
dihamburkan ketika kecupan Suto sampai ke lehernya, ia 
sengaja memiringkan kepala agar Suto lebih leluasa 
menyapukan lidahnya ke leher kiri itu. 

"Ouh... oouh..., indah sekali, Suto! Oooh... ambillah 
ini, Suto. Ambil...!" rintihnya sambil menuntun tangan 
Suto ke dadanya. Dengan mudah tangan Suto mencapai 
dada yang kencang dan berujung ranum itu, karena 
rompi tersebut tidak dikancingkan sehingga mempunyai 
kelonggaran yang membuat tangan Suto bebas bergerak. 

"Ooh, indah sekali, Suto...! Ooh... teruskan. 
Sayang...." 

Tangan Perawan Sinting akhirnya ikut-ikutan 
menjelajahi dada Suto. Bahkan tangan itu berani 
bergerak turun dan menelusup, lalu menemukan 
kebanggaan yang telah menantang penuh keberanian itu, 
ia menggenggamnya sambil menggeram gemas. 

"Hhhhmmm... aaah...! Luar biasa, Suto! Luar biasa 
ini, Suto!" 

"Ini apa maksudmu?" 

"Malam ini luar biasa indahnya, Suto... ooh, kubalas 
kau... kubalas kau, Suto!" 

Perawan Sinting benar-benar membalas. Ciumannya 
mengganas, lidahnya menari dengan liar. Dan, huup...! 
la menyambar kebanggaan Suto, membuat Suto 
memekik ditikam keindahan yang luar biasa. 

"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Mahesa Gibas terbatuk-batuk. 
Mereka terkejut, bergegas rapikan diri. 

Sial!" gerutu si gadis dengan cemberut kesal. 


* * 



PERJALANAN diteruskan di awal pagi. Kalau saja 
mereka tidak bersama-sama Mahesa Gibas, perjalanan 
akan lebih cepat lagi, karena Suto Sinting dan Perawan 
Sinting akan menggunakan gerakan cepatnya agar lekas 
sampai tujuan. Tetapi karena Mahesa Gibas tak mampu 
bergerak cepat, maka perjalanan pun terasa lamban. 

"Bagaimana kalau Mahesa Gibas kita tinggal saja?" 
bisik Perawan Sinting kepada Suto. 

"Jangan, ah! Kasihan dia!" 

"Aku tak sabar ingin lekas sampai ke kadipaten dan 
bertemu dengan si Bayangan Setan itu!" 

"Aku pun demikian. Tetapi yang selalu kupikirkan 
sejak tadi adalah; seandainya Adipati Jayengrana dalam 
keadaan baik-baik saja dan tokoh yang berjuluk 
Bayangan Setan itu tidak ada, lantas apa yang akan kita 
lakukan terhadap Mahesa Gibas?" 

"Aku tak akan segan-segan memancung kepalanya!" 
tegas Perawan Sinting, tampaknya ia sangat mengancam 
perjanjian itu tanpa ampun lagi. 

Tiba-tiba mereka mendengar suara Mahesa Gibas 
terpekik di belakang mereka. 

"Aaaakh...!" 

Mereka berpaling ke belakang secara serentak. 
Ternyata Mahesa Gibas telah tumbang dan terkapar 
tanpa gerakan lagi. Hal itu sangat mengejutkan dan 
menegangkan Pendekar Mabuk serta Perawan Sinting. 

"Apa yang tejjadi?!" 

"Jangan-jangan ia hanya berpura-pura saja?!" gumam 
Pendekar Mabuk agak sangsi. Perawan Sinting segera 
memeriksa keadaan Mahesa Gibas. 

"Dia tidak main-main, Suto!" 

"Dari mana kau tahu?" 

"Kutemukan luka kecil di leher kirinya! Lihatlah 
sendiri!" 

Pendekar Mabuk memeriksa leher kiri Mahesa Gibas. 
Ternyata memang ada luka kecil sebesar satu titik, 
seperti bekas tusukan jarum. Perawan Sinting pandangi 
keadaan sekeliling dengan penuh siaga. Sementara itu, 
Suto memeriksa denyut nadi Mahesa Gibas yang 
wajahnya dalam sekejap telah menjadi sepucat mayat. 

"Denyut nadinya lemah sekali! Dia akan mati. 
Perawan Sinting!" 

"Urus dia, Suto! Aku akan mencari seseorang di 
sekitar sini!" 

Slaaap...! Perawan Sinting melompat sangat cepat. 
Gerakannya seperti kilat kebingungan, ia menjejak 
pohon hingga tubuhnya melesat ke pohon lain. Di pohon 
lain itu ia menjejakkan kakinya lagi dan melesat ke 
pohon lain. Begitu dilakukan secara terus menerus 
sehingga gerakannya yang luar biasa cepat itu sulit 
dilihat oleh mata manusia biasa. 

Wut, wut, wut, wut, wut, wut, wut...! 

Pendekar Mabuk tak hiraukan gerakan Perawan 
Sinting yang hampir menyamai jurus "Gerak Siluman'- 
nya itu. Ia sibuk berusaha membuka mulut Mahesa 
Gibas untuk menuangkan tuaknya agar bisa tertelan oleh 
pemuda berkulit sawo matang itu. Repotnya, gigi 
Mahesa Gibas terkatup rapat, rahangnya sukar 
direnggangkan. Bisa direnggangkan jika menggunakan 
kedua tangan Suto. Tetapi tak ada yang menuang tuak ke 
mulut yang direnggangkan itu. 

"Aauh...!" Suto Sinting memekik tak seberapa keras, 
karena ketika ia merenggangkan mulut itu dengan kedua 
tangannya, lalu tangan kiri melepaskan dan mengambil 
bumbung tuak, tiba-tiba gigi itu terkatup lagi dan jari 
tangan kanan tergencet gigi itu. 

"Susah-susah amat...?!" gerutu Pendekar Mabuk, 
kemudian ia mengambil sepotong kayu setinggi satu jari 
telunjuknya. Mulut itu dicangar dan diganjal memakai 
sepotong kayu itu. 

"Nah, kalau begini mulutmu baru bisa terbuka terus. 
Hmmm... minum tuak ini. Nak!" ujar batin Suto sambil 
mengucurkan tuak ke mulut Mahesa Gibas secara sedikit 
demi sedikit. 

Tuak itulah yang membuat denyut nadi pemuda itu 
menjadi normal kembali. Wajah pucatnya mulai tampak 
segar, dan luka kecil di leher Mahesa Gibas pun hilang. 
Kejap berikut, Mahesa Gibas siuman, namun ia menjadi 
terkejut dan ketakutan. 

"Hahh, hhahh...! Haaah, ha, hahh...?!" 

"Ssst...! Tenang-tenang, kau baru saja terkena 
bencana. Tapi sudah kuatasi. Kau selamat. Tenang saja, 
Mahesa!" 

"Hah, bah...?! Hhahhh...?!" 

"Oo, 00... maaf, aku lupa. Mulutmu masih terganjal 
kayu! Pantas kau ketakutan, kau kira mulutmu tak bisa 
dikatupkan kembali, ya?" sambil Suto Sinting tertawa 
kecil, lalu melepaskan kayu pengganjal mulut. 

"Uuh, aaah... sialan! Aku takut sekali. Kupikir 
mulutku menjadi cacat!" ujar Mahesa Gibas sambil 
terengah-engah dan merasa lega. 

"Kenapa kau tadi?" 

"Entahlah. Tiba-tiba aku merasa seperti digigit 
nyamuk di leherku. Kutampel satu kali, lalu tak terasa 
apa-apa lagi. Tiga langkah kemudian, tubuhku seperti 
disengat petir. Panas sekali. Aku terpekik, setelah itu tak 
ingat apa-apa lagi." 

Perawan Sinting kembali bergabung dengan mereka. 
Wajahnya tampak gusar, napasnya sedikit lebih cepat 
dari sebelumnya. 

"Tak ada siapa-siapa di sekitar sini!" 

"Kalau begitu, dia tadi memang digigit nyamuk yang 
mempunyai racun sangat berbahaya," ujar Suto Sinting. 

"Tapi aku tadi seperti melihat bayangan berkelebat di 
sebelah kiriku," kata Mahesa Gibas. "Kurasa dia si 
Bayangan Setan!" 

"Kau jangan mengada-ada, Mahesa!" ancam 
Pendekar Mabuk. 

"Tidak. Aku tidak mengada-ada!" Mahesa Gibas 
ngotot. 

"Aku tak menemukan bayangan apa pun di sekitar 
tempat ini!" Perawan Sinting agak ngotot juga. 

"Lupakan saja tadi soal bayangan itul Kita jalan 
terus!" tegas Pendekar Mabuk. "Kau jalan lebih dulu, 
Mahesa!" 

"Baik. Kalau aku pingsan lagi, usahakan jangan 
sampai jatuh ke tanah." 

"Kenapa begitu?" 

"Pakaianku nanti kotor!" 

Perawan Sinting menendang pantat Mahesa Gibas 
dengan kesal. 

"Jangan berlagak kau! Ayo, jalan.... Aaauh!" Tiba- 
tiba Perawan Sinting tersentak dalam pekikan pendek 
sambil menepak lehernya sendiri. Pendekar Mabuk 
pandangi Perawan Sinting dengan dahi berkerut. 

"Ada apa. Perawan Sinting?!" 

"Tak apa. Nyamuk nakal!" ujar Perawan Sinting 
melegakan hati Pendekar Mabuk, kemudian mereka 
teruskan perjalanan. 

Sekitar tujuh langkah kemudian. Perawan Sinting 
terpekik lagi. "Uukh...!" Tiba-tiba tubuhnya oleng, 
matanya terbeliak kemudian gadis itu tumbang tanpa 
malu-malu lagi. Brrrruk...! 

"Perawan Sinting...?!" Pendekar Mabuk sangat kaget. 
Lebih kaget lagi melihat wajah Perawan Sinting eepat 
menjadi pucat pasi, tangannya dingin, denyut nadinya 
lemah. Di leher gadis itu ada luka merah sebesar jarum 
seperti yang dialami Mahesa Gibas tadi. 

"Kurasa ini bukan nyamuk!" gumam Suto Sinting 
dengan waswas. "Nyamuk tak akan selalu menggigit 
leher. Bisa saja di lengan, pundak, kaki, atau yang 
lainnya." 

Mahesa Gibas hanya diam dengan mata menegang. 
Wajahnya ikut-ikutan pueat, bukan karena terluka lagi, 
tapi karena dihantui perasaan takut yang cukup besar. 

"Pasti... pasti si Bayangan Setan itu ada di sekitar 
sini, Suto! Oh, celaka kalau dia ada di sini. Bisa mati 
semua kita, Suto!" 

"Bantu aku menuang tuak ke mulut Perawan 
Sinting!" perintah Suto sambil membuka mulut Perawan 
Sinting dengan kedua tangannya, karena keadaan mulut 
gadis itu sama dengan mulut Mahesa Gibas tadi, keras, 
kaku, dan sukar dibuka. 

Tuak berhasil diminumkan secara paksa. Tangan 
gadis itu mulai hangat kembali. Pendekar Ma-buk 
merasa lega. Namun ia segera berdiri pandangi keadaan 
sekeliling mereka dengan tajam dan teliti. 

"Suto, kalian tetap saja di sini. Aku akan memeriksa 
ke semak-semak sebelah sana! Sepertinya tadi kulihat 
ada sekelebat bayangan di sana!" 

"Hati-hati, Mahesa. Jangan gegabah kau!" 

"Ti...ti... tidak! Aku tidak akan gegabah. Kalau ada 
apa-apa aku akan berteriak dan segeralah datang 
membantuku!" 

Setelah berkata begitu, Mahesa Gibas segera lari 
menerobos semak-semak yang ada di depan langkah 
mereka. Pendekar Mabuk sesekali perhatikan keadaan 
Perawan Sinting sambil pandangi sekitarnya dengan 
penuh selidik. 

"Daripada aku kena sasaran lagi, nyawaku melayang, 
lebih baik aku menghindar dulu!" pikir Mahesa Gibas. 
Rupanya ia pergi untuk eari selamat, ia naik ke atas 
pohon rindang, dan bersembunyi di sana. 

"Kalau keadaan sudah aman dan mereka tampak 
ingin lanjutkan perjalanan, barulah aku turun dan 
bergabung lagi dengan mereka!" pikir Mahesa Gibas. 
"Aman...! Kalau sudah di tempat rindang begini, mau 
apa lagi? Biarlah penyerang gelap itu dihadapi oleh Suto 
dan Perawan Sinting. Jangan sampai aku jadi sasaran 
empuk bagi si penyerang gelap itu." 

Perawan Sinting tampak mulai siuman. Gadis itu 
bangkit dan mengejap-ngejapkan mata sebentar. 
Pendekar Mabuk segera membantunya untuk dapat 
berdiri tegak. 

"Bagaimana keadaanmu. Perawan Sinting?" 

"Tak apa, aku sudah sehat kembali!" 

Dari tempat persembunyiannya, Mahesa Gibas pun 
tampak lega dan sunggingkan senyum kegirangan. 

"Untung tuak itu bisa pulihkan keadaan Perawan 
Sinting, kalau tidak... oh, kasihan sekali, gadis secantik 
dia terpaksa harus mati disengat bahaya dari orang yang 
tak berani menampakkan diri itu! Hmmm... kalau saja 
aku mempunyai ilmu setinggi mereka berdua, akan 
kucari orang itu dan kuhajar habis-habisan." 

Kecamuk batin Mahesa Gibas tiba-tiba terhenti 
karena mendengar teguran seseorang. "Mau apa kau 
kemari?!" 

Mahesa Gibas kaget, kemudian memandang ke dahan 
di atasnya. Ternyata di dahan itu ada seorang gadis yang 
duduk santai sambil pandangi Mahesa Gibas. 

"Hahhh...?!" Mahesa Gibas terpekik kaget. Karena 
kagetnya, ia tergelincir dan jatuh dari pohon itu. 

"Aaaa...!" 

Krrrak, gruzaaak...! Brrruk...! 

Perawan Sinting dan Suto Sinting sama-sama 
terkejut, kemudian tanpa bicara sepatah kata pun mereka 
berkelebat menuju ke tempat jatuhnya Mahesa Gibas. 
Mereka sama-sama tahu bahwa suara itu tadi adalah 
suara Mahesa Gibas. Dalam sekejap saja mereka sudah 
menemukan Mahesa Gibas terkapar di bawah pohon, tak 
sadarkan diri lagi. 

"Agaknya ia jatuh dari atas pohon ini, Suto! Lihat 
dahan yang patah itu!" sambil Perawan Sinting 
menuding dahan pohon yang patah tertimpa gerakan 
jatuh Mahesa Gibas tadi. 

Mereka segera pandangi atas pohon. Bahkan Perawan 
Sinting sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat lurus 
dengan ringannya. Wuuut...! Ia hinggap di sebatang 
dahan besar, lalu lakukan pemeriksaan di sekitar pohon 
itu. 

"Bagaimana...?!" tanya Suto dalam seruan dari bawah 
pohon. 

"Tak ada yang mencurigakan!" balas Perawan Sinting 
berseru juga, la memang tidak menemukan siapa-siapa 
di sana. Bahkan bau keringat atau wewangian juga tak 
ada. 

Suto berseru iagi, "Periksa pohon sekitarnya, siapa 
tahu... aauuw!" Suto terpekik dan cepat menepak 
lehernya. Plaaak...! 

Mendengar pekikan pelan dan suara tepakan tadi, 
Perawan Sinting langsung curiga ada sesuatu yang 
terjadi pada diri Pendekar Mabuk, ia segera turun dari 
atas pohon dengan satu lompatan bersalto. Wuuuk...! 
Jleeg...! 

"Ada apa, Suto?!" 

"Leherku seperti digigit nyamuk!" 

Perawan Sinting memeriksa leher Pendekar Mabuk. 
Ternyata ada noda merah dari darah yang tersumbul 
setitik dari pori-pori kulit leher Suto. Perawan Sinting 
menjadi semakin tegang. 

"Celaka! Lekas minum tuakmu! Lekas...!" 

Pendekar Mabuk buru-buru menenggak tuaknya. 
Dengan begitu, luka seujung jarum yang ada di leher 
Pendekar Mabuk segera lenyap. Pemuda tampan 
bertubuh kekar itu tak sampai jatuh pingsan seperti 
Perawan Sinting dan Mahesa Gibas tadi. Kini pandangan 
mata Pendekar Mabuk menjadi nanar dan tampak mulai 
marah, ia segera berkelebat memeriksa keadaan 
sekeliling dengan pergunakan 'Gerak Siluman'-nya, 
karena jurus itu dapat membuatnya bergerak menyamai 
kecepatan cahaya. Zlaaap, zlaap, zlaaap...! 

Beberapa saat kemudian, ia kembali tanpa membawa 
hasil apa-apa. Suto tak melihat tanda-tanda yang 
mencurigakan di sekitar tempat itu. Mahesa Gibas segera 
disadarkan dari pingsannya, lalu pemuda itu 
menjelaskan apa yang dilihatnya di atas pohon tadi. 

"Seorang gadis berwajah cantik," katanya. "Cantik 
sekali! Saking cantiknya aku sampai jatuh pingsan!" 

"Hmm...," Pendekar Mabuk agak sangsi dengan 
pengakuan Mahesa Gibas. 

"Kurasa dialah orang yang menyerang kita, Suto," 
ujar Perawan Sinting. 

"Kurasa juga begitu," timpal Mahesa Gibas. 

"Bagaimana ciri-ciri gadis itu?" tanya Suto. 

"Cantik, montok, menggairahkan, bibirnya indah...." 

"Selain soal kecantikannya! Apa lagi ciri-ciri yang 
bisa kau ingat!" sentak Perawan Sinting. 

"Hmmm... hmmm... pinggulnya...." 

"Jangan pinggulnya! Yang lain; warna pakaian atau 
senjatanya?!" potong Perawan Sinting. 

"Ak... aku tak sempat mengenali warna pakaian. 
Bahkan menurutku... menurutku dia tak mengenakan 
pakaian apa-apa." 

"O, ya?! Di mana dia sekarang?!" tanya Pendekar 
Mabuk. 

Perawan Sinting cepat mencengkeram baju Suto. 

"Hei, kenapa kau jadi bersemangat mencarinya begitu 
mendengar gadis itu tak mengenakan pakaian?!" 

"Kau pikir untuk apa kalau bukan untuk membalas 
serangannya tadi?! Pasti dia telah menyerang kita 
dengan senjata berupa jarum!" 

"Dan kau juga akan balas menyerangnya dengan 
'jarum'-mu itu?!" Perawan Sinting melirik nakal, Suto 
menjadi kikuk dan salah tingkah. 

"Kita lari saja dari sini! Jangan terlalu lama, nanti dia 
datang lagi!" usul Mahesa Gibas dengan nada cemas. 
"Aku yakin, orang itu adalah si Bayangan Setan!" 

Perawan Sinting segera berkata tegas, "Suto, totok dia 
dan bawa lari dengan pergunakan jurus kecepatan gerak 
kita!" 

Tiba-tiba ada orang yang menyahut pembicaraan itu. 

"Percuma saja kalian berlari secepat apa pun!" Kini 
mereka bertiga berpaling ke arah selatan. Ternyata di 
atas sebatang pohon tak terlalu tinggi, telah berdiri 
sesosok tubuh ramping berwajah cantik jelita. Gadis itu 
berambut kepang kuda dengan pedang di punggungnya, 
ia mengenakan pakaian ketat warna biru mengkilap yang 
membentuk lekak-lekuk tubuh sexy-nya itu. 

"Turun kau, jahanam!" seru Perawan Sinting. Ketika 
itu Pendekar Mabuk menggumam kaget di samping 
telinga Perawan Sinting. 

"Lembah Wuyung...?!" 

"It... itu dia! itu dia gadis yang... yang...." 

Mahesa Gibas tak jadi teruskan ucapannya karena 
tangan Pendekar Mabuk segera meremas mulutnya, 
menyuruhnya untuk diam dan segera mencari tempat 
aman bagi dirinya sendiri. 

"Kalau kau tak mau turun, kuhajar dari sini. 
Keparat!" teriak Perawan Sinting dengan berang. Tapi ia 
segera berkata lirih kepada Suto. 

"Biar kuhadapi sisa-sisa orang istana Tengkorak itu! 
Jangan ikut campur!" 

Sambil bergerak mundur, Suto sempat menggerutu 
pelan, "Kau dendam atau cemburu?!" 

Perawan Sinting tak sempat tanggapi gerutuan 
tersebut, karena pada saat itu Lembah Wuyung segera 
melepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar kecil 
sebesar jarum jahit yang keluar dari ujung jari 
tengahnya. Claaap...! Sinar itu berkelebat cepat, nyaris 
tak kelihatan karena begitu kecilnya. Tapi agaknya mata 
Perawan Sinting sudah terbiasa melihat kilatan cahaya 
sekecil itu, sehingga ia tahu dirinya sedang terancam 
sinar merah kecil itu. 

"Rupanya dengan melepaskan sinar merah seperti itu, 
si Lembah Wuyung menyerang kita bertiga," ujar Suto 
Sinting kepada Mahesa Gibas. Pemuda itu tak memberi 
jawaban apa pun karena sibuk mengagumi gerakan cepat 
Perawan Sinting. 

Slaaap...! Gerakan itu sepertinya hanya melompat ke 
samping dengan pelan, tapi kenyataannya Perawan 
Sinting bagaikan menghilang dari tempat berdirinya. 
Akhirnya sinar merah dari Lembah Wuyung hanya 
mengenal sebatang pohon. Suuurp...! Pohon itu tetap 
tenang tanpa gerakan apa pun kecuali daunnya yang 
bergoyang karena angin. 

Perawan Sinting ganti melepaskan pukulan 
bersinarnya dari tangan kiri. Claaap...! Seberkas sinar 
kuning berbentuk seperti meteor kecil melesat dan 
menghantam dahan tempat berpijak Lembah Wuyung. 

Jegaaar...! 

Ledakan keras terdengar mengejutkan Mahesa Gibas. 
la semakin terperangah melihat dahan itu hancur 
berkeping-keping, sementara Lembah Wuyung hilang 
dari pandangan. Laaap...! 

"Ke mana gadis itu?!" ujar Mahesa Gibas tak jelas 
ditujukan kepada siapa. Tetapi Pendekar Mabuk 
memberi jawaban lirih. 

"Dia ada di pohon sebelah timur!" 

Mahesa Gibas memandang ke arah yang dimaksud. 
"Oooh... benar juga apa katamu. Dia sudah pindah di 
sebelah sana!" 

Perawan Sinting berkelebat menuju ke timur. 
Gerakannya gila-gilaan; zigzag dengan sangat cepat dan 
menggunakan pohon-pohon di sekitarnya sebagai tempat 
menjejakkan kakinya. 

Wut, wut, wut, wut, wut...! 

Gerakan itu sangat membingungkan lawan, sehingga 
Lembah Wuyung tak sempat lepaskan serangannya. 
Namun tiba-tiba ia diterjang Perawan Sinting dari arah 
samping. Brruuuussk...! 

"Ouh...!" pekik Lembah Wuyung, kemudian 
tubuhnya melayang jatuh dari pohon dalam keadaan 
seperti terlempar kuat. 

"Keparat kau. Perempuan jalang!" teriak Lembah 
Wuyung setelah bangkit kembali dengan luka memar di 
tulang pipi kanannya. Sreeet...! Ia segera mencabut 
pedangnya dengan wajah berang. Perawan Sinting 
melangkah menyamping dengan tenang tapi pandangan 
matanya sangat tajam. 

"Hei, lihat pohon itu?!" seru Mahesa Gibas menuding 
pohon yang tadi terkena sinar merahnya Lembah 
Wuyung. 

"Gila...?!" gumam Suto Sinting lirih sekali. 

"Kenapa pohon itu tiba-tiba merengas dan menjadi 
hitam begitu, Suto?" 

"Pohon itu telah menjadi arang. Hangus akibat sinar 
merah si Lembah Wuyung tadi." 

"Oh, kalau begitu tubuh kita bisa menjadi seperti 
pohon itu jika tak buru-buru meminum tuakmu?!" 

"Yah, kira-kira begitu," jawab Suto masih dengan 
kalem, karena ia yakin Perawan Sinting tak mungkin 
tumbang di tangan Lembah Wuyung. 

Dugaan Suto Sinting itu memang benar. Ketika 
Lembah Wuyung menyerang dengan pedangnya. 
Perawan Sinting hanya menghindar beberapa kali tanpa 
mencabut pedangnya sendiri. Tebasan pedang Lembah 
Wuyung tak ada yang kenai tubuh Perawan Sinting 
sedikit pun. 

Bahkan ketika Lembah Wuyung hunjamkan 
pedangnya ke dada Perawan Sinting yang terdesak 
merapat pada sebatang pohon, pedang itu hanya 
dihindari dengan gerakan merendah secepat kilat. 
Suuut...! Jrrub...! Pedang itu menghunjam pohon. 
Sebelum ditarik kembali oleh pemiliknya, tangan 
Perawan Sinting segera menghentakkan ke depan, 
telapak tangan itu tepat kenai perut Lembah Wuyung. 
Buuukh...! 

"Heeekh...?!" Lembah Wuyung mendelik sambil 
tubuhnya terpental ke belakang membuat pedangnya 
tercabut dari pohon. Wees...! 

Gadis berpakaian ketat itu jatuh tunggang langgang 
dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya 
menghunjamkan pedang tadi, la mencoba bangkit, 
namun segera memuntahkan darah kental. 

"Hoeek...!" 

Perawan Sinting berkelebat hampiri lawannya. 
Wuuut...! Namun tiba-tiba Perawan Sinting terpental 
balik bagaikan menabrak dinding kaca. Duuub...! 
Weees...! Brrruk...! 

"Ouuuwh...!" erang Perawan Sinting sambil 
berguling-guling. Rupanya saat ia berkelebat hampiri 
lawannya, sang lawan segera kibaskan pedang dari 
kanan ke kiri dalam keadaan berlutut satu kaki. Kibasan 
pedangnya itu menyebarkan lapisan tenaga dalam yang 
sukar diterabas musuh. Lapisan tenaga dalam itulah yang 
ditabrak Perawan Sinting dan membuatnya terpental ke 
belakang. 

"Haaaiah...!" Perawan Sinting cepat sentakkan 
pinggulnya dan dalam satu sentakan saja ia sudah bisa 
melejit ke atas, lalu berdiri tegak kembali. Jleeg...! 
Matanya memandang semakin buas ke arah lawan. 

"Habis riwayatmu sekarang. Perempuan liar!" seru 
Lembah Wuyung sambil sentakkan pedangnya lurus ke 
depan. Suuut...! Dari ujung pedang itu keluar tiga cahaya 
merah berbentuk menyerupai pedang tersebut. 
Zraaaap...! 

Tiga pedang cahaya merah itu menyerang Perawan 
Sinting dalam formasi berjajar ke samping. Gerakan 
sinarnya sangat cepat dan menyilaukan pandangan mata 
lawannya. 

Namun Perawan Sinting segera sentakkan kaki ke 
tanah dan tubuhnya melesat naik dengan cepat sambil 
mencabut pedang dari punggungnya. Slaaap...! 

Pedang si Perawan Sinting menyala hijau pijar-pijar. 
Pedang pusaka yang bernama Pedang Galih Petir itu 
segera digunakan untuk menebas tiga cahaya pedang 
warna merah itu dalam gerakan tubuh Perawan Sinting 
menu ki k secara tiba-tiba. Wees...! 

Traaat, tat, tat, tat, blaab...! Blegaaarr...! 

Tiga cahaya pedang merah itu hancur seketika 
bersama menyebarnya cahaya hijau lebar yang 
mengeluarkan gelombang ledakan cukup besar. Bumi 
menjadi terguncang bagai dilanda gempa. Tanah retak di 
beberapa bagian. Pohon-pohon pun ikut bergetar hebat 
hingga daun dan rantingnya berguguran. 

Sedangkan tubuh Perawan Sinting yang belum 
menapak ke tanah itu sudah terlempar kembali ke atas 
dan berguling-guling di udara. Namun agaknya ia bisa 
mengendalikan keseimbangan tubuhnya, hingga 
akhirnya ia mendarat bagaikan seekor burung perkasa 
yang hinggap ke atas sebongkah batu tanpa guncangan 
sedikit pun. Namun batu itu ternyata sudah telanjur retak 
karena gelombang ledakan tadi, sehingga akhirnya batu 
itu pun rompal berbongkah-bongkah dan Perawan 
Sinting j atuh terduduk. Brrruk...! 

Di pihak lain, Lembah Wuyung sedang berusaha 
bangkit dengan mulut berdarah lagi. Gelombang ledakan 
tadi membuatnya terlempar dan terbanting keras sekali, 
sehingga punggungnya terasa patah dan dadanya 
menjadi panas, ia terluka dalam akibat gelombang 
ledakan dahsyat tadi. 

Wuuut...! Lembah Wuyung melambung ke atas dan 
hinggap di atas sebatang pohon. Jleeg...! Perawan 
Sinting memandanginya dengan ganas. Pedang yang 
memancarkan cahaya hijau pijar-pijar itu diarahkan 
kepada Lembah Wuyung. Tetapi gadis berpakaian biru 
ketat itu segera pergi tinggalkan tempat setelah 
tinggalkan ancaman. 

"Tunggu pembalasanku. Keparat!" 

Laaap...! Lembah Wuyung lenyap bagai ditelan 
angin. Perawan Sinting mengejarnya, namun segera 
hentikan pengejaran setelah mendengar seruan Suto. 

"Biarkan dia pergi! Kita punya tujuan lebih penting 
lagi!" 

Perawan Sinting hampiri Suto dan berkata dengan 
ketus, "Tampaknya kau khawatir kalau sampai dia mati 
di tanganku, ya?!" 

Pendekar Mabuk tersenyum tenang dan berbisik, 
"Hilangkan kecurigaan pribadi itu!" 

"Hmmm...!" Perawan Sinting mencibir sinis sambil 
buang muka. 

"Pusatkan perhatianmu dan simpan tenagamu untuk 
hadapi si Bayangan Setan!" tambah Suto sambil menatap 
gadis itu lekat-lekat. 

= 1 = 

* * 


MEREKA melewati Desa Cipuser, desa kelahiran si 
Mahesa Gibas. Namun keadaan desa itu telah menjadi 
sepi. Desa itu bagaikan telah mati. Elanya beberapa 
gelintir manusia yang masih menempati desa tersebut, 
sisanya mengungsi ke tempat lain, atau mengungsi ke 
alam kubur. 

"Beginilah keadaan desaku," ujar Mahesa Gibas. 
"Kehilangan kepereayaan penduduknya yang merasa tak 
aman tinggal di desa ini. Entahlah bagaimana jadinya 
desa ini nanti. Mungkin akan kujual saja kepada seorang 
penguasa yang masih membutuhkan desa." 

"Jual...?! Apa hakmu sehingga mau menjual desa 
seperti menjual sarung bekas saja?!" gerutu Perawan 
Sinting. 

"Yah, kalau tak laku kujual, akan kugadaikan saja!" 
kata Mahesa Gibas semakin mengacau. Wajahnya 
tampak sedih, sepertinya ia bicara di luar kesadarannya. 

"Gila! Apa yang terjadi dengan warga desa ini 
sebenarnya, Mahesa?!" tanya Pendekar Mabuk sambil 
pandangi rumah-rumah yang sebagian besar rusak dan 
kotor. 

"Dulu desa ini ramai dan penduduknya padat. 
Gadisnya cantik-cantik, jandanya montok-montok, tiap 
kamar mandi punya lubang khusus untuk mengintip...." 

"Siapa yang melubangi?" sergah Suto dengan 
menahan senyum geli. 

"Sebagian aku, sebagian lagi... aku juga," jawab 
Mahesa Gibas dengan ekspresi duka tapi menjengkelkan 
hati Perawan Sinting, ingin rasanya Perawan Sinting 
menabok wajah itu, namun ia tak mau terkena keringat 
pemuda konyol itu. 

Mahesa Gibas membawa mereka ke sebuah kedai 
yang sudah tidak menjual makanan lagi itu. Kedai 
tersebut milik Ki Ranowo, sahabat kakeknya Mahesa 
Gibas yang telah tiada itu. Mahesa Gibas membawa 
mereka masuk ke kedai yang pintunya terbuka lebar 
namun tak ada penghuninya. 

"Kalau mau makan atau minum, ambil saja! Soal 
pembayarannya biar kutanggungi" ujarnya sambil 
melangkah ke dapur. 

"Apa yang mau dimakan dan diminum? Kedai ini 
gersang!" ketus Perawan Sinting yang membuat Suto 
tertawa pelan. 

"Hei, ada tuak dalam guci!" seru Perawan Sinting 
setelah memeriksa gerobok di bawah meja jualan. Tuak 
itu segera dituang ke dalam bumbungnya Suto. 
Bumbung itu menjadi penuh tuak kembali, sisa tuak 
dalam guci dihabiskan oleh Perawan Sinting. 

"Gila kau! Tuak tersisa masih banyak begitu 
dihabiskan semua?!" gerutu Pendekar Mabuk dengan 
bersungut-sungut. 

"Aku haus," jawab Perawan Sinting sambil 


melangkah ke dapur juga. Ia berpapasan dengan Mahesa 
Gibas yang menghempaskan napas bagai melepas 
keluhan. 

"Ada apa, Mahesa?" 

"Ki Ranowo tak ada!" jawab Mahesa Gibas sambil 
duduk di sebuah bangku yang sudah berdebu, pertanda 
sudah beberapa waktu kedai itu dikosongkan. 

"Apakah Ki Ranowo itu pemilik kedai ini?" tanya 
Suto. 

"Ya, biasanya kalau aku datang langsung dia 
menyuguhkan minuman kopi, teh, atau tuak. Tapi 
sekarang kedatanganku tak disambut." 

"Mungkin Ki Ranowo sudah tidak menempati kedai 
ini lagi." 

"Seingatku tempo hari dia ikut mengungsi ke timur." 

"Kenapa kau cari!" sentak Perawan Sinting dengan 
jengkel. "Dasar bocah edan!" 

"Maksudku, siapa tahu Ki Ranowo datang lagi, kan 
bisa kita mintai tolong untuk menyediakan makanan," 
ujar Mahesa Gibas. 

"Rumahmu di mana, Mahesa?" 

"Di belakang rumah beratap miring itu. Tapi sudah 
rata dengan tanah." 

"Karena diratakan oleh si Bayangan Setan?" 

"Karena memang sudah rapuh bangunannya. Kena 
angin sedikit, ambruk!" 

"Apakah semua desa di wilayah Kadipaten Madusari 
mengalami nasib seperti ini?" tanya Perawan Sinting 
sambil ikut nimbrung duduk di dekat Suto. 

"Sepertinya memang semua desa mengalami nasib 
begini. Tapi menurutku hanya desaku ini yang paling 
parah. Kalau begini keadaannya, aku tak mau diangkat 
menjadi lurah di desa ini!" 

"Oh, apakah kau reneananya akan diangkat menjadi 
lurah di desa ini?" 

"Belum ada reneana itu. Tapi siapa tahu akan ada!" 

"Konyol!" Perawan Sinting menggeram gemas. 

"Sejak si Bayangan Setan menguasai kadipaten, desa 
ini seolah-olah dijadikan sasaran utama keganasannya." 

"Apa saja yang dilakukan si Bayangan Setan terhadap 
warga desa ini, Mahesa?" 

"Menangkap penduduk satu-persatu, membunuhnya, 
dan memakan dagingnya." 

"Oooh .?!" Perawan Sinting dan Pendekar Mabuk 
sama-sama terkejut. Tapi Suto sempat sangsi dengan 
kesungguhan kata-kata itu, sehingga dengan nada 
setengah menganeam. Pendekar Mabuk berkata kepada 
Mahesa Gibas. 

"Kau jangan membesar-besarkan kenyataan, ya?!" 

"Aku tidak membesar-besarkan kenyataan, Suto. 
Memang begitulah keganasan si Bayangan Setan. 
Bahkan...," Mahesa Gibas tundukkan wajah dengan 
sendu, sepertinya ada duka yang sedang ditahan dalam 
hatinya. 

"Bahkan... kakekku sendiri menjadi korban 
keganasan itu. Bayangan Setan itu masuk ke rumahku 
pada malam hari, pada saat itu aku sedang main dadu di 
Desa Pucang Wetan sampai pagi. Ketika aku pulang, aku 
terkejut melihat kakekku telah terkapar di ruang tamu 
dalam keadaan berlumur darah. Jantungnya hilang 
dan...." 

"Siapa yang menghilangkan jantungnya?" tanya Suto 
memotong kata-kata Mahesa Gibas. 

"Siapa lagi kalau bukan si Bayangan Setan. Dia 
gemar memakan jantung manusia. Menurut desas-desus 
yang kudengar, dengan memakan jantung manusia maka 
kekuatan si Bayangan Setan itu akan selalu terjaga." 

"Ceritamu itu sungguh-sungguh?!" 

"Sumpah! Berani disambar bakiak satu keranjang 
kalau memang aku berkata bohong pada kalian!" 
Mahesa Gibas ngotot, membuat Suto Sinting menarik 
napas lalu menggumam datar. 

"Kejam...!" 

"Kurasa si Bayangan Setan itu sesosok iblis yang 
menjelma sebagai manusia," ujar Perawan Sinting 
seperti bicara pada diri sendiri. 

"Kami memang menganggapnya iblis!" timpal 
Mahesa Gibas. "Tak ada manusia yang doyan makan 
jantung manusia lainnya. Kalau makan jantung pisang, 
memang ada. Aku sendiri suka makan jantung pisang 
direbus atau dibuat sayur. Tapi makan jantung manusia 
belum pernah." 

"Seperti apa ciri-ciri si Bayangan Setan itu?!" tanya 
Pendekar Mabuk. 

"Cantik, montok...." 

"Oh, dia seorang perempuan?!" sergah Perawan 
Sinting. 

"Menurut pengamatanku selama ini, dia memang 
seorang perempuan. Tapi, entah kenyataannya, karena 
aku tak pernah melihat sampai di kedalaman tubuhnya," 
jawab Mahesa Gibas. "Yang kutahu, dia berdada 
montok, seperti ini...," sambil menuding dada Perawan 
Sinting. 

Plaak...! Tangan itu ditampar oleh Perawan Sinting. 

"Kupatahkan jarimu kalau berani menudingnya lagi!" 

"Maaf, aku tidak akan menudingnya lagi, kecuali 
melirik!" 

"Kucolok matamu kalau berani melirik!" sergah 
Perawan Sinting sambil berdiri. 

"Sudah, sudah...!" lerai Suto. "Makanya rapatkan 
pakaianmu itu, biar tidak jadi bahan lirikan orang." Lalu, 
Suto berbisik setelah gadis itu duduk lagi. "Rapatkan, 
tapi sisakan sedikit untuk mataku. Boleh, kan?!" 

"Hmmm...!" Perawan Sinting mencibir dan melengos. 

"Jangan jual mahal, nanti kutawar murah kau!" canda 
Pendekar Mabuk, kali ini berhasil membuat si gadis 
galak menjadi tersenyum agak lebar. 

"Teruskan ceritamu tentang si Bayangan Setan itu, 
Mahesa." 

"Teruskan sambil jalan saja!" ujar Perawan Sinting, 
lalu ia mendahului bangkit dan langkahkan kakinya. 

Mahesa Gibas berjalan di tengah; antara Pendekar 
Mabuk dan Perawan Sinting. Pemuda berambut pendek 
itu menceritakan apa yang ia tahu tentang si Bayangan 
Setan itu dengan penuh semangat, kedua tangannya ikut 
bergerak-gerak seakan ingin memperkuat tiap kata yang 
diucapkan. 

"Sesuai dengan julukannya, si Bayangan Setan datang 
tidak diketahui dan pergi pun tak terlihat orang. Tapi ia 
bisa muncul sewaktu-waktu di depan kita atau di 
belakang kita." 

"Apakah ia tak bisa dipukul? Maksudku, raganya tak 
bisa disentuh?" 

"O, bisa! Kalau sedang berhadapan dengan kita, ya 
bisa disentuh. Dicium pun bisa, asal hati-hati, jangan 
sampai bibir kita dikunyah olehnya. Dia bukan saja suka 
makan jantung manusia, tapi gemar pula memakan 
daging mentah, termasuk daging manusia. Karena itu 
kalau kita ciuman beradu bibir, hati-hati... jika 
kecupannya semakin kuat, itu pertanda ia akan 
menggigit bibir atau lidah kita, lalu diku-nyah-kunyah 
seperti makan sate kambing." 

"Kalau begitu aku harus hati-hati," gumam Suto. 

Perawan Sinting menyentak berang. 

"Jadi kau ingin mencoba berciuman dengannya?!" 
mata gadis itu pun melotot galak. 

"Maksudku, harus hati-hati jangan sampai tergoda 
oleh rayuannya." 

"O, ya. Itu bagus!" kata Perawan Sinting, lalu segera 
lanjutkan langkahnya. 

Mahesa Gibas tertawa kedi, tapi segera hentikan 
tawanya karena takut melihat tatapan mata Perawan 
Sinting yang sangar itu. Ia justru lanjutkan ceritanya 
dengan lagak seperti tak pernah tertawa sedikit pun. 

"Si Moneng, temanku, matinya menyedihkan sekali. 
Dia bukan saja kehilangan bibirnya, namun juga 
kehilangan ’pusaka'-nya." 

"Lho, kenapa bisa begitu?" 

"Dia memang rakus perempuan. Wajahnya memang 
ganteng dan badannya tegap seperti kau," kata Mahesa 
Gibas kepada Suto. "Tapi sayang, dia tidak punya otak, 
sehingga perempuan mana saja yang mengajaknya 
kencan selalu dilayani. Akibatnya ia kena batunya. 
Perempuan yang mengajaknya kencan adalah si 
Bayangan Setan. Tentunya mereka bergumul dulu 
mencari puncak keindahan masing-masing. Tapi ketika 
si Bayangan Setan menciumi sekujur tubuh Moneng, 
tahu-tahu Moneng menjerit keras-keras ketika 'pusaka'- 
nya dimakan oleh si Bayangan Setan." 

"Maksudnya dimakan bagaimana?" tanya Perawan 
Sinting. Suto yang menjawab, 

"Seperti kau semalam itulah! Cuma, kalau si 
Bayangan Setan memang benar-benar memakannya 
sampai habis. Bukan sekadar di...." 

"Sudah, sudah...!" potong Perawan Sinting sambil 
mengulum senyum dan membuang pandangan ke arah 
lain. 

"Karena itulah aku tak pernah mau kencan 
dengannya," kata Mahesa Gibas. 

"Karena kau takut dimakan seperti Moneng?" 

"Karena aku tak pernah diajak kencan olehnya!" 
sahut Mahesa Gibas. Perawan Sinting alihkan 
pembicaraan agar lebih menjurus pada kekuatan si 
Bayangan Setan. 

"Lalu, apakah si Bayangan Setan itu hanya 
sendirian?" 

"O, dia punya anak buah!" ujar Mahesa Gibas penuh 
semangat. "Entah berapa jumlah anak buahnya, yang 
jelas ada dua orang yang dianggap sebagai orang 
kepercayaan si Bayangan Setan. Kedua orang itu adalah 
Melon dan Gober! Kekuatannya dahsyat-dahsyat mereka 
itu. Sekali menendang bikin kita melayang-layang bagai 
tak bernyawa lagi." 

"Kau pernah bertemu dengan Melon dan Gober?!" 

"Pernah melihatnya, tapi tak pernah bertarung dengan 
mereka, karena kelihatannya mereka sungkan jika 
berhadapan denganku!" 

Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting sama-sama 
mencibir sinis mendengar kesombongan Mahesa Gibas. 

"Lagakmu seperti jagoan saja, disungkani orang- 
orang seperti mereka. Hmmm... nanti kalau kita 
berhadapan dengan mereka, kau maju lebih dulu!" 

"Jangan begitu," ujar Mahesa Gibas dengan murung. 
"Aku sudah bertekad untuk tidak ikut campur di rimba 
persilatan lagi. Aku sedang berusaha untuk 
mengasingkan diri dan sengaja membuang ilmu-ilmuku. 
Jangan kalian bujuk aku untuk terjun kembali ke kancah 
persilatan ini." 

Perawan Sinting dongkol mendengar kata-kata 
Mahesa Gibas yang bermuluk-muluk itu. Rasa-rasanya 
ia ingin meremas mulut pemuda itu sampai giginya 
rontok semua. Tapi Perawan Sinting segera memaklumi, 
ucapan bermuluk-muluk itu biasanya dilakukan oleh 
seseorang untuk menutupi kelemahannya. Justru orang 
yang bicaranya bermuluk-muluk kentara sekali kalau dia 
orang yang kosong, tanpa isi apa pun dalam dirinya. 

"Apakah kau tahu, mengapa si Bayangan Setan 
menguasai kadipaten ini? Mengapa bukan kadipaten lain 
yang diganggunya?" tanya Suto dengan serius. 

"Kudengar dari orang-orang yang tinggal di sekitar 
alun-alun kadipaten, katanya si Bayangan Setan 
menyimpan dendam kepada leluhur sang Adipati 
Jayengrana. Ditambah lagi, si Bayangan Setan itu dulu 
naksir berat sama Raden Rama Jiwana. Si Bayangan 
Setan pernah membantu Rama Jiwana saat menyerbu 
Kerajaan Siluman Berhala. Raden Rama Jiwana kala itu 
menjadi panglima kadipaten yang amat diandalkan oleh 
sang Adipati." 

"Hmmm... ya, ya... aku ingat! Rama Jiwana memang 
pernah menjadi panglima Kadipaten Madusari dan 
pernah lakukan penyerbuan ke kerajaan Siluman 
Berhala. Memang benar itu!" kata Suto Sinting. 

"Nah, antara Raden Rama Jiwana dan si Bayangan 
Setan ternyata telah saling terikat perjanjian bahwa 
Raden Rama Jiwana akan bersedia menjadi suami si 
Bayangan Setan apabila Bayangan Setan membantunya 
menghancurkan kerajaan Siluman Berhala. Tapi setelah 
kerajaan itu hancur dengan bantuan si Bayangan Setan, 
kenyataannya Raden Rama Jiwana dianggap ingkar janji, 
karena menikah dengan putri sang Adipati yang bernama 
Muria Wardani alias Telaga Sunyi." 

"Ooo... jadi singkatnya cerita, si Bayangan Setan 
menuntut Rama Jiwana untuk memenuhi janjinya?" ujar 
Perawan Sinting. 

"Benar! Dan ia memberi batas waktu sampai pada 
malam bulan purnama nanti. Jika sampai malam bulan 
purnama Raden Rama Jiwana tidak muneul dan menolak 
dibawa pergi oleh si Bayangan Setan, maka sebagai 
gantinya, sang Adipati Jayengrana akan digantung di 
depan umum!" 

"Hmmm..., begitu?" Pendekar Mabuk menggumam 
sambil manggut-manggut. Perawan Sinting pun 
menggumam tapi tidak manggut manggut, karena 
matanya memandang ke arah depan penuh waspada. 
Mereka sama-sama terbungkam beberapa saat, sampai 
akhirnya suara Pendekar Mabuk memecah kebisuan 
mereka bertiga. 

"Apakah sampai sekarang Rama Jiwana belum mau 
menemui si Bayangan Setan?" 

"Aku tak jelas akan hal itu, karena aku bukan si 
Bayangan Setan," jawab Mahesa Gibas. "Kabar terakhir 
yang kudengar sebelum aku meninggalkan desaku 
adalah kesediaan Raden Rama Jiwana untuk 
mengadakan pertarungan pribadi dengan si Bayangan 
Setan. Tapi dari pihak keluarga sang Adipati dan 
terutama istrinya sendiri; Telaga Sunyi itu, tidak 
mengizinkan Raden Rama Jiwana beradu kesaktian 
dengan si Bayangan Setan. Sebab mereka tahu bahwa 
kekuatan si Bayangan Setan jauh lebih tinggi dibanding 
kesaktian yang dimiliki Raden Rama Jiwana." 

"Lalu tindakan apa yang diambil sang Adipati?" tanya 
Perawan Sinting. 

"Secara diam-diam, Kanjeng Adipati mengutus 
beberapa orangnya untuk mencari bantuan kepada para 
sahabat sang Adipati. Tapi sebagian para utusan itu 
dibunuh di perjalanan oleh anak buah si Bayangan 
Setan. Sebagian lagi berhasil mendapat sang penolong. 
Namun para penolong itu berhasil...." 

"Berhasil kala hk an si Bayangan Setan?!" 

"Berhasil dibunuh oleh Melon dan Gober!" 

Pendekar Mabuk pindah tempat, kini berjalan di 
samping Perawan Sinting, ia sempat berbisik kepada si 
Perawan Sinting. 

"Aku curiga padanya. Bagaimana dia bisa tahu 
panjang lebar tentang kekuatan dan tujuan si Bayangan 
Setan menguasai kadipaten ini?! Selengkap itukah 
pengetahuannya tentang hubungan si Bayangan Setan 
dengan Rama Jiwana?!" 

Perawan Sinting diam tertegun walau masih tetap 
melangkah dengan pandangan mata mulai menerawang 
kacau. Kesadarannya bagaikan baru saja dibangkitkan 
oleh bisikan Pendekar Mabuk, sehingga hati kecilnya 
ikut bertanya-tanya, "Mengapa si Mahesa banyak 
mengetahui tentang persoalan ini?!" 

= 1 = 

* * 



PERJALANAN mereka terhadang oleh dua orang 
berkuda yang bertugas menjaga perbatasan kotaraja. Dua 
orang berkuda itu hentikan langkah Pendekar Mabuk, 
Perawan Sinting, dan Mahesa Gibas. 

Kedua penunggang kuda itu adalah laki-laki berusia 
sebaya, sekitar empat puluh tahun, dan mempunyai 
tampang bengis. Mereka sama-sama berkumis lengkung 
sampai ke dagu dan bermata kecil dengan wajah lonjong. 
Tetapi yang satu berambut panjang sepundak dengan 
ikat kepala kuning, yang satunya berambut pendek, 
bahkan botak bagian tengahnya. Yang berikat kepala 
kuning dan berambut panjang itu mengenakan pakaian 
serba hitam, sedangkan yang botak mengenakan pakaian 
serba coklat tua. Mereka sama-sama bersenjata pedang 
besar yang tak bisa diselipkan di pinggang atau di 
punggung. 

"Berhenti kalian!" bentak si kepala botak. "Siapa 
kalian dan mau ke mana tujuan kalian?!" 

Pendekar Mabuk yang menjawab dengan tenang. 

"Kami ingin beranjangsana kepada sang Adipati. 
Kami adalah sahabat lama beliau!" 

"Tidak bisa! Adipati Jayengrana sedang sakit, tak bisa 
ditengok siapa pun." 

"Bagaimana kalau kami nekat menengok beliau?!" 

"Kalian akan kehilangan nyawa." sentak yang 
berambut panjang, lalu ia turun dari kudanya sambil 
mencabut pedang yang digantungkan di pelana kuda. 

"Hei, Parsonto!" seru yang berpakaian coklat tua 
kepada temannya yang berpakaian merah itu. 

"Ada apa, Wiguro?!" 

"Lihat pemuda berbaju kuning dan bereelana hitam 
itu. Bukankah dia yang bernama Sukron; pelayan sang 
Adipati yang melarikan diri beberapa hari yang lalu?!" 
sambil Wiguro menuding Mahesa Gibas. Yang dituding 
menjadi pueat dan bersembunyi di balik punggung 
Perawan Sinting, 

Parsonto menggeram dengan mata semakin 
dikeeilkan pandangi Mahesa Gibas. 

"Benar, dia adalah pelayan kadipaten yang melarikan 
diri tempo hari! Rupanya dia meneari bantuan dan 
sekarang datang bersama dua manusia bangkai ini!" ujar 
Parsonto sambil pandangi Suto dan Perawan Sinting 
dengan sinis. 

"Usir mereka dari wilayah ini, Parsonto!" seru 
Wiguro yang masih berada di punggung kuda. 

"Sabar dulu. Paman," ujar Pendekar Mabuk dengan 
kalem. 

Perawan Sinting menggerutu di samping Suto. 

"Terlalu lama dan bertele-tele!" 

Wuuut...! Claaap, errasss...! 

"Aaaakh...!" Parsonto mendelik ketika tiba-tiba sekali 
tangan Perawan Sinting menyentak ke depan dan 
seberkas sinar hijau lurus dari kedua tangannya melesat 
eepat menembus leher Parsonto. Leher itu menjadi 
bolong, berwarna hangus dan kepuikan asap putih. 
Parsonto pun tumbang dan berkelojot sesaat, lalu diam 
tak bergerak selamanya. 

Melihat keadaan Parsonto tak bernyawa lagi, Wiguro 
segera melompat dari punggung kuda dan menyambar 
Perawan Sinting. 

"Jahanam kau, Perempuan busuk! Heeeaat...!" 

"Hiaaah...!" Perawan Sinting berkelebat cepat dalam 
satu sentakan kaki. Tubuhnya melesat bagaikan panah 
yang menerjang tubuh Wiguro di udara. Breeess...! 
Blaaap, claaap...! Sinar hijau bagaikan menyebar pecah 
dalam sekejap. 

"Uuuaakh...!" Wiguro terlempar ke belakang, jatuh 
berdebam tanpa ampun lagi. Wajahnya menjadi hitam 
hangus karena dihantam telapak tangan Perawan Sinting 
saat bertabrakan di udara tadi. 

"Hooohk...!" Wiguro ingin memuntahkan sesuatu dari 
mulutnya. Tapi kaki Perawan Sinting segera mengakhiri 
masa hidupnya yang baru empat puluh tahun lewat 
sedikit itu dengan tendangan samping bertenaga dalam 
besar. 

Deess...! Krraak...! 

Tendangan itu tepat kenai leher kiri Wiguro. Suara 
tulang berderak terdengar sebagai tanda patahnya tulang 
leher Wiguro. Kejap berikutnya, Wiguro tumbang 
terkapar tanpa nyawa lagi. 

Perawan Sinting tampak berwajah sangar 
memandangi kedua lawannya. Setelah ia yakin keduanya 
sudah tak bernyawa lagi, ia berkata tegas kepada 
Pendekar Mabuk. 

"Cepat kita menuju istana kadipaten!" 

"Gila!" gumam Pendekar Mabuk di samping Mahesa 
Gibas. "Gerakannya cepat sekali. Dalam sekejap dua 
nyawa telah dicabutnya. Benar-benar perempuan elmaut 
kau, Perawan Sinting!" 

"Tak ada waktu buat basa-basi kepada orang seperti 
mereka!" 

"Tapi, tunggu dulu...," ujar Suto, kemudian menarik 
lengan Mahesa Gibas. 

"Ternyata kau pelayan sang adipati, Mahesa!" 

"Hemmm, eehhh, hmm...." Mahesa Gibas salah 
tingkah dan wajahnya menjadi pucat ketakutan. Terlebih 
setelah Perawan Sinting mendekatinya dengan wajah 
sangar, Mahesa Gibas semakin gemetar dan rasa 
takutnya kian tinggi. 

"Mengakulah, siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak 
Perawan Sinting sambil mencengkeram baju Mahesa 
Gibas dan menentengnya ke atas. 

Pemuda itu bertambah menggeragap, akhirnya ia 
hanya bisa anggukkan kepala dan berkata pelan. 

'Tyya... iya, aku pelayan sang Adipati. Aak... aku... 
aku memang melarikan diri karena takut kalau suatu saat 
tiba giliran jantungku yang dimakannya. Ak... aku hanya 
mempunyai satu jantung. Sumpah! Hanya satu jantung!" 

"Bukan soal jantung!" sentak Perawan Sinting. "Kau 
telah membohongiku lagi. Keparat!" 

Plaaak...! 

"Aauw...!" Mahesa Gibas terpelanting jatuh karena 
tamparan keras Perawan Sinting. Gadis itu marah sekali 
karena merasa ditipu oleh pengakuan Mahesa Gibas. 
Kalau saja ia tidak segera dicegah oleh Pendekar Mabuk, 
maka Mahesa Gibas akan babak belur, setidaknya gigi 
gerahamnya akan copot semua dihajar Perawan Sinting. 

"Cukup, cukup...! Kebohongannya bukan merupakan 
hal yang membahayakan bagi kita. Tak perlu 
menghukumnya lebih dari ini, Perawan Sinting!" 

"Sekali lagi kutahu kau berbohong padaku, kubedah 
perutmu dan kumasukkan sekeranjang tikus lalu kujahit 
lagi perutmu! Mengerti?!" 

"Ngeriii...!" 

"Mengertiiii...?!" 

"O, ya... mengerti!" jawab Mahesa Gibas dengan 
gemetaran. 

"Makanya jadi orang jangan suka bohong! Kau bisa 
terpenggal oleh lidahmu sendiri, Mahesa!" ujar Pendekar 
Mabuk sambil teruskan langkah bersam a -sama. 

"Aku toh tidak membohongi kalian. Aku memang 
berasal dari Desa Cipuser itu! Kakekku memang mati 
dibunuh si Bayangan Setan. Hanya saja, kalian tak 
menanyakan apa pekerjaanku, maka aku tidak ceritakan 
kalau aku bekerja sebagai pelayan di Istana kadipaten 
ini," ujar Mahesa Gibas sambil bernada gerutu yang 
menghiba. 

"Apa maksudmu melarikan diri dari istana 
kadipaten?" tanya Suto. 

"Pergi jauh-jauh dan tak perlu kembali lagi daripada 
harus kehilangan jantung, seperti Senduk dan beberapa 
pelayan lainnya." 

Pendekar Mabuk manggut-manggut dengan gumam 
tipis, ia merasakan kewajaran dalam pelarian Mahesa 
Gibas. Tentunya sebagai pelayan ia tak mau mati sesadis 
itu. Sikap pengabdiannya hanya sebatas pelayan sang 
Adipati, bukan pengawai yang harus berani pertaruhkan 
nyawa demi keselamatan sang Adipati. 

"Gajiku kecil kok harus sampai korbankan nyawa? 
Enak amat?!" gerutu Mahesa Gibas seperti bicara pada 
diri sendiri. 

Trang, trang, trang, blaaarr..! 

Pendekar Mabuk dan Perawan Sinting spontan 
hentikan langkah dan saling pandang dengan tegang. 
Mereka mendengar suara pertarungan di arah kanan 
mereka. Tanpa banyak bicara, Pendekar Mabuk 
anggukkan kepala, maka Perawan Sinting berkelebat 
lebih dulu ke arah pertarungan. Pendekar Mabuk 
menyusul setelah berkata kepada Mahesa Gibas, 

"Jangan jauh-jauh dariku, supaya kau tidak mati 
mendadak!" 

Rupanya pertarungan itu dilakukan oleh seorang 
pemuda berpakaian perak yang punya wajah tampan dan 
rambut bergelombang sepanjang pundak. Pemuda 
tampan itu mengenakan ikat kepala dari logam putih 
berukir dihiasi bebatuan warna merah dan hijau. 

Perawan Sinting tidak segera turun tangan karena ia 
merasa belum mengenali kedua orang yang bertarung 
dengan serunya itu. Bahkan ia sama sekali merasa asing 
kepada seorang lelaki berpakaian serba kuning yang 
bertubuh tinggi, tegak, dan kekar. Walau usianya sudah 
mencapai sekitar lima puluh tahun, tetapi lelaki itu 
masih tampak gagah dan tangkas, ia berkumis lebat dan 
bermata tajam. 

"Siapa mereka itu?" bisik Perawan Sinting saat Suto 
dan Mahesa Gibas mendekatinya. 

"Ooh...?! Rama Jiwana muncul?!" gumam Suto 
Sinting. 

"Yang mana yang namanya Rama Jiwana?" 

"Yang berpakaian perak itu! Aku kenal baik 
dengannya." 

"O, maksudmu dia si menantu sang Adipati?" 

"Benar! Dia bekas panglima sang Adipati." 

"Lalu, siapa yang memakai pakaian warna kuning 
itu?" 

"Melon Kuning, adiknya Melon Hijau!" jawab 
Mahesa Gibas dengan cepat. "Dia salah satu orang 
andaian si Bayangan Setan!" 

"Kalau begitu, akan kulumpuhkan si Melon Kuning 
itu. Kelihatannya Rama Jiwana terdesak dan terlalu 
lamban menumbangkan lawannya." 

Perawan Sinting tampak tak sabar melihat 
pertarungan yang menurutnya terlalu lamban itu. 
Sementara si Rama Jiwana sendiri berusaha menangkis 
jurus-jurus pedang Melon Kuning yang tampak liar dan 
ganas. Perawan Sinting segera melesat ke tengah 
pertarungan dengan beraninya. Weess...! Jleeg...! 

"Nekat sekali saudaramu itu, Suto!" bisik Mahesa 
Gibas. 

"Begitulah kesintingannya!" jawab Suto asal cuap 
saja, tapi ia segera bergegas dekati Rama Jiwana. Pria 
muda menantu sang Adipati itu terkejut girang melihat 
Pendekar Mabuk muneul di tempat itu. Sambil 
mendekap luka di pundak kirinya, ia segera menyapa 
Suto dan menyambut kedatangan si Pendekar Mabuk itu. 

"Suto...?! Oh, syukurlah kau ada di sini juga 
rupanya!" 

"Bagaimana dengan lukamu?! Minum tuakku ini!" 

"Hmmm, tapi...." 

"Biar si Melon Kuning dihadapi oleh Perawan 
Sinting. Dia murid sahabat Kanjeng Adipati!" 

Melon Kuning terkejut melihat tampilnya perempuan 
cantik berdandanan seronok. Tapi ia tak punya rasa 
tertarik untuk bercumbu, yang ada hanya perasaan heran, 
karena merasa asing terhadap perempuan montok itu. 

"Siapa kau dan mengapa mencampuri urusanku, 
hah?!" bentak si Melon Kuning bernada galak. 

Sreeet...! Perawan Sinting tak banyak bicara, ia 
mencabut pedangnya. Pedang yang menyala hijau pijar 
itu membuat mata Melon Kuning terkesiap, ia mundur 
satu langkah dengan tetap menggenggam pedangnya 
dengan kedua tangan dalam posisi berdiri tegak di 
samping kanan. Sebelum Melon Kuning ajukan tanya 
lagi. Perawan Sinting sudah lebih dulu menyerangnya 
dengan satu lompatan cepat yang membuat Melon 
Kuning geragapan. 

Wuuut...! Trang, craas...! 

"Aauh...!" Melon Kuning memekik, lengan kirinya 
terkena sabetan pedang. Lukanya menjadi hitam dan 
berasap. Melon Kuning menjadi gemetar setelah tahu 
lawannya punya jurus pedang yang tak bisa ditangkis 
karena kecepatannya tak bisa tertangkap oleh 
penglihatannya. 

"Hiaaah...!" Perawan Sinting sentakkan pedangnya ke 
depan dengan kaki kiri terangkat ke belakang dan tangan 
kanan merentang. Suuut...! Dari ujung pedang itu keluar 
petir hijau yang jumlahnya empat larik dan berkelebat 
zigzag membingungkan si Melon Kuning. 

Clap, clap, clap...! 

Melon Kuning hanya bisa menebaskan pedangnya ke 
kanan-kiri dengan cepat. Wung, wung, wung...! Dan 
keluarlah asap putih samar-samar. Asap itu diterjang 
oleh empat petir hijau tersebut. Cralap...! 

Blegaaarrr...! 

Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan bumi. 
Melon Kuning terlempar sejauh lima langkah ke 
belakang dan jatuh berguling-guling, ia cepat bangkit 
sambil menahan luka di lengan kirinya. Ternyata luka itu 
telah mengeluarkan belatung yang menjijikkan. 
Belatung-belatung itu mengerogoti daging hingga ke 
tulangnya. Rasa sakit nyaris membuat Melon Kuning 
berteriak meraung-raung seperti anak kecil. 

Wuuut, brruuss...! 

Perawan Sinting terlempar secara tiba-tiba. Ternyata 
dari arah belakangnya muncul sekelebat bayangan hijau 
yang menerjangnya dengan kuat membuat Perawan 
Sinting terlempar di udara, ia segera bersalto dan dengan 
menggunakan pedangnya yang disentakkan ke tanah, 
tubuh Perawan Sinting dapat hindari kilatan cahaya biru 
besar yang menerjangnya dari seorang lelaki gemuk 
berpakaian hijau. Claap, wuuut...! 

Jegaaar...! Cahaya biru itu menghantam sebatang 
pohon. Pohon itu lenyap tanpa bekas, tanahnya rata 
bagai tak pernah dipakai tumbuh pohon besar tadi. 

"Bahaya...!" gumam Pendekar Mabuk pandangi si 
lelaki gemuk berpakaian hijau dengan kepala 
mengenakan topi kain yang ujungnya melengkung ke 
samping. Ujung topinya itu mempunyai bundaran dari 
kain halus. Topi itu berwarna abu-abu biru. 

"Siapa dia?!" gumam Pendekar Mabuk. Mahesa 
Gibas menjawab dengan nada tegang. 

"Si Gober! Oh, celaka! Si Gober muncul, pasti 
sebentar lagi Melon Hijau, adik Melon Kuning akan 
muncul juga!" 

"Kalau begitu aku harus segera bertindak!" 

"Biar aku saja yang bertindak, Suto!" ujar Rama 
Jiwana. 

"Jangan! Kau di sini saja! Ak an kubereskan mereka 
secepatnya, lalu kita membebaskan mertuamu dari 
ancaman si Bayangan Setan!" 

Zlaaap...! Pendekar Mabuk berkelebat lebih 
menyerupai gerakan cahaya. Tahu-tahu ia telah 
menerjang Gober dengan tendangan kakinya yang 
menjejak secara beruntun cepat itu. 

"Bangsaaaat...!" 

Gober berteriak dengan kasar dan liar. Matanya yang 
agak besar itu segera pandangi Pendekar Mabuk yang 
sudah bergabung dengan Perawan Sinting. Saat itu si 
Perawan Sinting berkata lirih kepada Suto Sinting. 

"Siapa orang itu?" 

"Si Gober!" 

"Hmmm... kau ambil si Gober, aku akan ambil nyawa 
si Melon Kuning. Hati-hati, keduanya mempunyai 
tendangan yang berbahaya, menurut kata Mahesa Gibas 
tadi!" 

Gober segera melompat dalam keadaan tubuhnya 
memancarkan sinar hijau kebiru-biruan, ia menerjang 
Pendekar Mabuk yang saat itu segera lakukan lompatan 
ke samping. Kemudian ia segera memutar bumbung 
tuaknya, dan menghantamkan ke tubuh si Gober dengan 
kuat. Wuuut, blegaaarr...! 

Gober terpental dalam keadaan tubuhnya tidak 
bercahaya lagi. Ia terguling-guling dalam jarak lima 
belas langkah dari Suto. Tubuhnya menjadi hitam dan 
berasap tipis, ia mengerang dengan suara mengerikan. 

Sementara itu. Melon Kuning yang mencoba 
melepaskan pukulan bersinar kuning lurus itu telah 
dipatahkan oleh pedang hijaunya Perawan Sinting. Sinar 
kuning tersebut menghantam pedang dan pecah 
menyebar ke arah datangnya sinar tersebut. Blaaar...! 
Sraaap...! 

Melon Kuning kaget, sinarnya menyebar menjadi 
bias-bias runcing yang mengarah kepadanya. Firasatnya 
mengatakan, ia akan mati jika tetap di tempat. Maka, 
Melon Kuning pun lakukan sentakan dan ia melambung 
tinggi dengan cepatnya. Wees...! 

Di udara ia berjungkir balik berkali-kali dan tiba-tiba 
berubah menjadi gulungan asap. Bluub...! Kejap 
kemudian asap itu buyar tertiup angin, sosok si Melon 
Kuning pun menghilang dari pandangan mata lawannya. 

Pada saat itu Gober juga keluarkan jurus mautnya 
dalam bentuk semburan asap biru dari kedua tangannya. 
Kedua tangan itu disentakkan ke depan, tubuhnya 
melayang eepat bagai seekor kelelawar. Wees...! 
Bersamaan dengan itu, asap biru tadi menyebar ke mana- 
mana. Wuuuss...! 

Asap itu semakin tertiup angin semakin menjadi 
banyak dan memenuhi alam sekitar tempat mereka. 
Udara terasa kering dan menggatalkan hidung. Bau tak 
sedap pun tercium oleh mereka. 

"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Pendekar Mabuk terbatuk- 
batuk. Ia sempatkan diri berseru kepada Perawan 
Sinting. 

"Tahan napas! Udara beracun!" 

"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Perawan Sinting sudah 
telanjur menghirup udara bercampur asap biru itu. 
Sementara itu, Mahesa Gibas berlari-lari ketakutan 
sambil berseru di sela batuknya. 

"Sutooo...! Raden Rama hilang...! Raden Rama 
hilaaang...!" 

Pendekar Mabuk terkejut pandangi tempat Rama 
Jiwana berada tadi. Ternyata tempat itu telah kosong. 
Perawan Sinting pun terperanjat kaget dan menjadi 
tegang. Tapi tubuh mereka semakin terasa lemas karena 
menghirup udara beracun. 

Sementara itu, Gober yang telah menapakkan kakinya 
ke tanah, terpaksa urungkan niatnya untuk melepas 
pukulan penghancur ke tubuh Perawan Sinting, karena 
pada saat itu ia mendengar seruan seorang perempuan 
yang menggema ke mana-mana. 

"Buronan cinta telah tertangkap! Hatiku tidak sekarat 
lagi! Karena itu, semuanya segera pulang... pulang... 
pulang...." 

Pendekar Mabuk melihat si Gober berubah menjadi 
asap putih yang tebal. Tapi asap itu segera lenyap 
tersapu angin, dan sosok si Gober tak terlihat lagi, 
sepertinya halnya Melon Kuning tadi. 

Suara perempuan yang bergema itu terdengar 
kembali. 

"Tinggalkan mereka! Apa yang kucari sudah 
kudapatkan! Kita pulang ke Samudera Kubur! Pulang 
semuaaa...! Bebaskan Adipati dan yang lainnya, karena 
Rama Jiwana sudah ada dalam pelukanku!" 

"Suara siapa itu?!" 

"Siapa lagi kalau bukan si Bayangan Setan...!" seru 
Mahesa Gibas, lalu terbatuk-batuk lagi. Akhirnya ia 
jatuh dengan napas sesak dan seperti tak mempunyai 
tulang lagi. Hal yang sama dialami oleh Pendekar 
Mabuk dan Perawan Sinting. 

"Racun ini ganas sekali, Suto... uhuk, uhuk, uhuk...!" 
Perawan Sinting berusaha dekati Suto sambil 
merangkak. Pada saat itu, Suto buru-buru menenggak 
tuaknya untuk kalahkan keganasan racun yang 
bercampur dengan udara itu. 

Tanpa tuak tersebut, mungkin Suto dan Perawan 
Sinting dalam waktu dekat akan mati membiru,
demikian juga dengan Mahesa Gibas. Beruntung Mahesa 
Gibas ada bersama Suto, sehingga setelah meminum 
tuak sakti tersebut, pemapasannya menjadi longgar dan 
rasa panas di dada telah hilang seeara berangsur-angsur. 

"Adipati telah dibebaskan oleh si Bayangan Setan, 
tapi menantunya diculik dan dibawa lari!" ujar Perawan 
Sinting. 

"Sebaiknya kita menghadap sang Adipati dulu!" kata 
Suto Sinting. Lalu, mereka bertiga bergegas ke istana 
kadipaten. 

Namun alangkah terkejutnya mereka begitu melihat 
sepanjang perjalanan menuju istana kadipaten, mereka 
melihat mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini 
dalam keadaan biru legam. Mereka adalah para 
penduduk yang menjadi korban udara beracun tadi. 

Sampai di istana kadipaten, ternyata sang Adipati 
sendiri sedang dalam keadaan sekarat. Beberapa orang 
lainnya pun demikian, saling terkapar di sana-sini bagai 
diserang wabah penyakit yang amat ganas. Suto Sinting 
terpaksa sibuk memberikan minum tuaknya kepada 
mereka, sehingga mereka pun akhirnya selamat, 
termasuk sang Adipati dan permaisurinya. Namun yang 
sudah telanjur tewas tak bisa diselamatkan dengan tuak 
Suto. Setiap tuak dalam bumbung mau habis. Perawan 
Sinting menuangkan tuak baru lebih dulu ke dalam 
bumbung sakti tersebut, baru bisa dipakai untuk 
mengobati mereka yang terluka dan terancam racun 
ganas. 

"Beruntung sekali kau datang, Suto," ujar sang 
Adipati. "Tapi kita semua mendengar suara menggema 
tadi, itulah suara si Bayangan Setan. Dia telah membawa 
lari menantuku, sementara putriku sendiri: Muria 
Wardani sedang berada di tempatnya, ia sedang 
melahirkan bayi pertama mereka!" 

"Kasihan...," gumam Suto Sinting. 

"Tolong, Suto...! Tolong ambilkan kembali 
menantuku; Rama Jiwana agar Muria Wardani tidak 
menderita terlalu lama!" pinta sang Adipati di depan 
Perawan Sinting juga. 

"Kanjeng Adipati, apakah Kanjeng tahu di mana kami 
bisa temukan si Bayangan Setan?!" 

"Mereka tinggal di sebuah negeri yang bernama 
Samudera Kubur! Letaknya di Pulau Blaean!" 

Maka, berangkatlah Suto Sinting dan Perawan 
Sinting ke Samudera Kubur untuk berhadapan dengan si 
Bayangan Setan. Namun si Bayangan Setan bukan orang 
berilmu pas-pasan. Mampukah mereka berdua kalahkan 
kekuatan si Bayangan Setan dan membawa pulang Rama 
Jiwana? 

SELESAI 


Segera terbit!!! 
PEMBANTAI CANTIK 


Pembuat E-book: 
DJVU & E-book (pdi): Abu Keisel 
Edit: Paulustjing 
http://duniaabukeisel.blogspot.com/ 
https://www.facebook.com/DuniaAbuKeisel